mahkamah agung

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 18-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    1/15

    Mahkamah Agung (MA)

    (Supreme Court)

    Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd

    Terkait dengan Mahkamah Agung telah ditegaskan merupakan salah satu pelaku kekuasaan

    kehakiman yang merdeka dalam melakukan tugasnya, kemudian ditentukan secara tegas dalam

    UUD 1945 (lihat juga ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009), di samping terdapat

    pula Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka

    dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bahkan kedua lembaga tersebut kedudukan sejajar

    dalam UUUD 1945 (lihat juga ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009). UUD 1945

    setelah mengalami amandemen, ternyata telah merubah ketentuan tentang Mahkamah Agung,

    untuk itu hasil dari perubahan tersebut adalah sebagai berikut.

    BAB IX

    KEKUASAAN KEHAKIMAN

    Pasal24

    1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakanperadilanguna menegakan hukum dan keadilan.

    2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agungdan badan peradilanyang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

    agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

    sebuah Mahkamah Konstitusi.3. Badan-badan lain yangfungsinya berkaitandengan kekuasaan kehakiman diatur dalamundang-undang (kursif penulis).

    Sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945, berkaitan dengan pengaturan Mahkamah

    Agung di Bab X tentang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 24 dan 25 UUD 1945,

    ternyata hanya terdiri dari dua pasal disertai pula dengan dua ayat. Pasal beserta ayat

    sebagaimana dimaksud di atas dapat dilihat di bawah ini.

    Pasal 24

    1. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badankehakiman menurut undang-undang.

    2. Susunan dan kekuasaanbadan-badan kehakiman itu diaturdengan undang-undang.Pasal25

    Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan

    undang-undang (kursif penulis).

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    2/15

    Hasil amandemen UUD 1945 telah merombak kedudukan dan fungsi dari kekuasaan

    kehakiman yaitu lebih mempertegas lagi tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dengan

    menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

    menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Ketentuan ini kemudian

    akan lebih menegaskan kedudukan Mahkamah Agung, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

    yang tidak dapat di intervensi oleh kekuatan apapun, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan

    amanat dari UUD 1945, guna menegakan hukum dan keadilan. Ketentuan yang sama, yaitu

    berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dapat

    pula kembali kita temui dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam

    ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut menyatakan bahwa :

    Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

    peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

    HukumRepublik Indonesia (kursif penulis).

    Adanya ketentuan seperti tersebut di atas, tentunya akan berbeda dengan sebelum adanyaamandemen terhadap UUD 1945, yang sebelumnya tidak secara tegas menyatakan bahwa

    kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka, atau dengan kata lain bahwa tidak ada

    satu pasal pun yang secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan

    kekuasaan yang merdeka. Namun, jika kita lihat kembali ke dalam UUD 1945 sebelum di

    amandemen, berkaitan dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ternyata hanya dapat kita

    temui dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum dihapus yang menyatakan bahwa.

    Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh

    kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-

    undang tentang kedudukan para hakim(kursif penulis).

    Agar hakim dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tenang, tentram serta agar

    peradilan terlaksana secara fair, menurut hukum, tidak memihak, tidak semena-mena dan adil,

    maka perlu adanya jaminan (Mertokusumo,2011;135). Dalam pasal 24 UUD 1945 tersebut

    ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah sebuah kekuasaan yang independen, terutama

    untuk membuat sebuah keputusan tanpa adanya pengaruh darimanapun, baik legislatif maupun

    eksekutif, masyarakat dan pers serta lain-lain di luar badan peradilan dalam menjalankan tugas

    konstitusionalnya.Terkait dengan kekekuasaan kehakiman yang merdeka, Penjelasan UU No. 14

    Tahun 1970 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung

    pengertian di dalamnyaKekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan

    Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari

    pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-undang.Kebebasan dalam

    melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karenatugas dari pada Hakim adalah

    untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkanPancasila dengan jalan menafsirkan hukum

    dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang

    dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan

    Rakyat Indonesia. Tujuannya kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah untuk tegaknya

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    3/15

    hukum dan keadilan, serta sebagai prasyarat utama untuk terwujudnya negara hukum yang

    berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Mahmud MD (2010;87)

    bahwa kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan kekuatan di luarnya merupakan masalah

    esensial dalam penegakan hukum. Jadi, prasyarat utama untuk tegaknya hukum adalah bebasnya

    badan peradilan dari campur tangan di luar kekuasaan kehakiman. Karena jika badan peradilan

    dicampuri urusannya dalam menegakan hukum dan keadilan, yang terjadi hanyalah jatuhnya

    keadilan ke dalam kesewenang-wenangan hakim, yang kemudian tercermin dari putusannya,

    yang tentunya tidak dapat memenuhi rasa keadilan. Untuk itulah Najih (2008;8) kemudian

    menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun

    kecuali kepada kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, jelas dinyatakan bahwa untuk

    tegaknya hukum dan keadilan diperlukan adalah adanya jaminan terhadap peradilan yang bebas

    dan merdeka serta tidak memihak pada siapapun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.

    Tidak memihaknya kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dapat dilihat

    kemudian dari putusan-putusan yang dihasilkan, tentunya putusan hakim tersebut tidak

    bertentangan dengan undang-undang serta memperhatikan pula rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan

    jaminan dalam menegakan hukum demi tercapainya keadilan. Karena kekuasaan kehakiman

    yang merdeka, merupakan pencerminan daripada suatu negara untuk dianggap sebagai negara

    hukum, yang menempatkan hukum sebagai derajat tinggi, terutama dalam menegakan hukum

    untuk mencapai keadilan. Bahkan, Utama (2007;34) dengan tegas menyatakan bahwa badan

    peradilan di negara hukum, merupakan sub sistem hukum yang paling kentara sekaligus, menjadi

    wujud nyata bekerjanya hukum. Pernyataan di atas tidaklah berlebihan, dikarenakan bahwa

    keputusan badan peradilan merupakan kata akhir bagi para pencari keadilan, dengan demikian

    pada akhirnya, semua keputusan penentu berada pada tangan hakim, sebagai organ yudikatif

    yang memberi keputusan hukum atas proses hukum selama ini yang dijalani oleh para pencari

    keadilan. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa ujung tombak daripada negara hukum adalah

    terletak pada kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Walaupun mungkin aparat

    penegak hukum yang lainnya dalam menjalankan kekuasaannya ternyata tidak mampu

    menegakan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat, namun dengan adanya

    kemerdekaan hakim dalam menjalankan tugasnya, tentunya akan lebih mampu untuk

    mengurangi lunturnya keadilan. Lembaga peradilan yang merdeka merupakan upaya pencegahan

    terhadap kekuasaan sewenang-wenang daripada negara, yang memang telah terbukti dalam

    lintasan sejarah. Bahkan, lebih tegas lagi Huijbers (2011;87) menyatakan bahwa prinsip

    kedaulatan kekuasaan yudikatif sangat mendorong perkembangan negara hukum. Untuk itu,

    ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman merupakan pedoman di dalam menjalankan tugasnya,

    sebagaimana di amanatkan oleh UUD 1945 untuk tercapainya negara hukum (Pasal 1 ayat (3)

    UUD 1945). Negara hukum yang dimaksud di sini adalah negara hukum yang berdasarkan

    Pancasila bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa, yang tentram aman,

    sejahtera, dan tertib, dalam mana kedudukan hukum warga negara dalam masyarakat dijamin,

    sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan masyarakat

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    4/15

    (Soemitro,1998;1-2). Seomitro dalam pernyataannya telah memberikan pedoman untuk

    menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu selalu berpedoman dan bercermin pada

    nilai-nilai luhur yang menjadi kesepakatan bangsa, yaitu Pancasila. Tentunya keputusan yang

    diambil oleh hakim dalam menjalankan tugasnya tidak akan terlepas dari kelima nilai tersebut di

    atas, sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dengan tujuan untuk mewujudkan tegaknya

    hukum dan keadilan. Jika dituruti kelima sila tersebut sebagai acuan dalam pertimbangan untuk

    mengambil keputusan, niscaya terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman akan selalu

    tercermin kemudian dalam setiap keputusannya yang bersifat objektif, serta mampu

    mencerminkan independensinya dalam menegakan hukum dan keadilan, untuk tercapainya

    negara hukum yang demokratis.

    Lebih lanjut terkait dengan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, maka Azhary (tt;97)

    memberikan pengertian kemerdekaan yudisial sebagai kemerdekaan dari segala macam bentuk

    pengaruh dan campur tangan kekuasaan lembaga lain, baik eksekutif maupun legislatif.

    Tentunya, tidak hanya dari eksekutif maupun legislatif yang dapat kemudian menjadi sumber

    dari ketidak merdekaan hakim di dalam menjalankan tugasnya, namun mungkin dapat saja

    disebabkan oleh kekuasaan lainnya seperti masyarakat, pers, serta kekuatan ekonomi. Namun,

    tidak kurang pentingnya untuk disebutkan adalah dengan cara mengurangi penyebab seperti di

    atas, yaitu berupa keberanian hakim sebagai modal dalam menegakan hukum dan keadilan,

    merupakan salah satu syarat utama untuk merdekanya kekuasaan kehakiman dari pengaruh luar.

    Mertokusumo (2006;46) memandang bahwa asas kebebasan peradilan merupakan dambaan

    setiap bangsa. Yang dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk

    mengadilidan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil. Pendapat dari Mertokusmo

    tersebut di atas merupakan suatu pendapat yang sifanya paling luas, dari berbagai pendapat

    sebelum-sebelumnya dengan menyatakan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.Dengan demikian, jika intervensi kemudian datang dari dalam kekuasaan yudisial maka hal

    tersebut akan bisa dibenarkan. Dalam pada itu dapatlah dicontohkan kemudian terutama terkait

    dengan bidang tingkatan peradilan dalam mengambil keputusan, misalnya dapat saja putusan

    dari pengadilan negeri yang dikarenakan adanya banding kemudian dinyatakan batal oleh

    pengadilan tinggi yang merupakan pengadilan lebih tinggi, kemudian ternyata keputusan dari

    pengadilan tinggi tersebut berlanjut kembali dengan adanya permintaan kasasi yang dapat saja

    kemudian dibatalkannya keputusan dari pengadilan tinggi tersebut oleh Mahkamah Agung, tiada

    lain dikarenakan MA merupakan puncak daripada keempat peradilan yang ada di bawahnya.

    Ketentuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari luar, dapat pula kita temukan dalam

    ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, bahwa.

    Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman

    dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kursif penulis).

    Dengan demikian, campur tangan oleh badan peradilan yang lebih tinggi terhadap

    peradilan yang lebih rendah dengan membatalkan keputusannya tersebut dapatlah dibenarkan

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    5/15

    kemudian. Ini merupakan suatu upaya mekanisme dalam melakukan pengawasan terhadap badan

    peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan. Kemudian ada

    pula tujuan lainnya yaitu merupakan suatu upaya untuk mencapai unifikasi hukum serta

    penyamaan persepsi dalam hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa mekanisme seperti itu

    tidaklah kemudian dikatakan telah mengurangi serta mempengaruhi kebebasan hakim dalam

    mengambil keputusannya. Dalam hal ini berarti tidak dibenarkan untuk mempengaruhi hakim

    baik dengan melalui tekanan, paksaan maupun karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga

    hakim merasa tidak bebas dalam memberikan keputusan (Afandi,1981;65). Tidak lain tujuan

    utamanya adalah agar pengadilan benar-benar dapat menjadi benteng terakhir tegaknya hukum

    dan keadilan (Nasution,2007;6). Karena peradilanlah merupakan tempat yang terakhir bagi

    pencari keadilan untuk meminta keputusan yang adil tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Karena

    pengaruh dari pihak lain dalam peradilan dapat saja kemudian menyebabkan hakim terpengaruh

    untuk memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Bahkan diharapkan peradilan

    mampu memenuhi semua harapan dari para pencari keadilan, bukannya sebaliknya yaitu

    mempersulit bahkan menghambat dan merintanginya untuk memperoleh keadilan. Pengadilanmembantupencarikeadilandan berusaha mengatasisegalahambatandan rintanganuntuk dapat

    tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (kursif penulis) (Pasal 4 ayat (2)

    UU No. 48 Tahun 2009).

    Dalam pada itu, akan berbeda sekali dengan UU No 19 Tahun 1964, yang kemudian dalam

    ketentuan undang-undang tersebut diketahui bahwa antara lainnya menyatakan untuk

    memberikan wewenang kepada Presiden, dalam beberapa hal untuk dapat turut campur tangan

    terkait soal-soal pengadilan. Terkait dengan adanya UU No. 19 Tahun 1964, menurut Lubis

    (1987;197) merupakan suatu penyimpangan dari prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus

    independent yaitu lepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif, consideren UU itu,menilai UU No 19 Tahun 1964 itu sebagai memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan

    dengan UUD 1945. Dengan demikian, undang-undang yang dibentuk tersebut sebenarnya adalah

    sangat bertentangan dengan konstitusi, walaupun dalam kenyataan telah ditentukan oleh

    konstitusi bahwa undang-undang tersebut dibuat oleh lembaga demokrasi, namun jika ternyata

    bertentangan dengan prinsip hukum terutama dengan kebebasan kehakiman adalah harus

    dibatalkan atau dapat dinyatakan batal demi hukum. Sehingga, Supriyanto (2004;10) kemudian

    berpendapat bahwa the Independence of Judiciary is core element of supremacy of law and

    democracy) yang sangat didambakan, dapat terwujud. Walaupun untuk dapat mewujudkan

    independensi kekuasaan kehakiman sangatlah tidak mudah untuk mengukurnya, namun dapatlah

    kemudian dilihat daripada keputusan-keputusan yang tentunya disertai pertimbangan-

    pertimbangan hakim yang dikeluarkannya untuk menjawab pertanyaan para pencari keadilan.

    Peran Lembaga Peradilan yaitu untuk menjamin penerapan hukum dalam masyarakat dapat

    berlangsung dengan baik dan mencapai sasaran (Perwita dan Yani,2011;114). Lebih lanjut bagi

    negara yang meletakan rakyat sebagai sumber kedaulatan, maka berdasarkan pemikiran tersebut

    masyarakat kemudian dapatlah melakukan kontrol terhadap proses peradilan, apakah kemudian

    dalam melaksanakan tugasnya hakim dapat mencerminkan kemerdekaannya untuk menegakan

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    6/15

    hukum dan keadilan. Oleh karena itulah, kemudian dalam ketentuan dari Pasal 13 ayat (1) dan

    (1) UU No. 48 Tahun 2009, pada intinya mengamanatkan agar semua sidang pemeriksaan dalam

    proses peradilan dilaksanakan terbuka untuk umum, bahkan juga termasuk putusannya haruslah

    kemudian diucapkan di depan pengadilan yang terbuka untuk umum. Apabila hal tersebut tidak

    dituruti maka berakibat batalnya putusan yang diambil oleh hakim. Sidang yang tertutup

    memang dapat saja dibenarkan, apabila kemudian dalam undang-undang menentukannya dengan

    tegas, seperti berkaitan dengan kesusilaan, perceraian, dll.

    Perlu ditegaskan kembali berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yang tidak hanya

    dilakukan oleh Mahkamah Agung, seperti sebelum diamandemennya UUD 1945. Karena

    ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen, ternyata menentukan bahwa selain

    adanya Mahkamah Agung, ternyata terdapat Mahkamah Konstitusi yang berada di sampingnya

    serta memiliki peran sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, bahkan pada dasarnya memiliki

    kedudukan sama pula. Ketentuan yang sama dapat dijumpai kemudian dalam ketentuan dari

    Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatur tentang pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu

    Mahkamah Agung dengan keempat badan peradilan yang berada di bawahnya, serta terdapat

    Mahkamah Konstitusi yang berdiri di sampingnya, tentunya kedudukannya terpisah dengan

    Mahkamah Agung selain adanya perbedaan tugas dan wewenang lainnya, seperti apa yang

    memang telah ditentukan dalam UUD 1945. Dengan demikian, terdapat dua lembaga negara

    yang pada dasarnya merupakan pelaksana daripada kekuasaan kehakiman. Namun, bedanya

    adalah berupa tugas dan kewenangan yang telah ditentukan di dalam UUD 1945, termasuk pula

    dalam hal ini berkaitan dengan struktur dari keempat peradilan yang berada di bawah Mahkamah

    Agung tidaklah dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Perlulah kemudian untuk diketahui

    selanjutnya terkait dalam menjalankan kekuasaannya, yaitu Mahkamah Agung, kemudian dalam

    kenyataannya terdapat lembaga negara lainnya yang bertugas pula untuk menjalankan kekuasaankehakiman, yang struktural ternyata tidak berada di bawahnya atau dengan kata lain bahwa pada

    intinya kedua lembaga negara tersebut tidaklah memiliki hubungan, karena memang keduanya

    lembaga negara tersebut terpisah satu sama lain menurut UUD 1945. Sehingga jika kita simak

    kembali ketentuan dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 terlihatlah bahwa dari rumusan ini kemudian

    dapat disimpulkan bilamana kekuasaan kehakiman ternyata terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu

    cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada MA dan cabang peradilan

    konstitusi yang dijalankan oleh MK (Wasito dkk,2010;593). Dengan kata lain, bahwa reformasi

    di bidang hukum (amandemen UUD 1945) telah menempatkan Mahkamah Agung tidak lagi

    satu-satunya kekuasaan kehakiman, tetapi Mahkamah Agung hanya salah satu pelaku kekuasaan

    kehakiman (Triwulan dan Widodo,2011;83).

    Berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang

    merdeka dengan empat badan peradilan yang berada di bawahnya. Maka setelah reformasi UUD

    1945, berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga

    diperkenalkan sebuah lembaga negara baru yang bertugas melaksanakan kekuasaan kehakiman

    yaitu Mahkamah Konstitusi, yang ditentukan juga merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    7/15

    yang merdeka. Menurut Asshiddiqie (2006;41) bahwa memang benar Mahkamah Konstitusi dan

    Mahkamah Agung adalah lembaga independen yang sama sekali terpisah dari cabang kekuasaan

    legislatif dan eksekutif oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi peradilan (rechtsprekende

    functie) dan fungsi pengaturan (regelende functie), kedua mahkamah ini bersifat independen dari

    segala bentuk intervensi. Fatmawati (2005;17) kemudian menyatakan Mahkamah Agung dan

    Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga negara

    yang dijamin kemerdekaannya dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan

    demikian, ketentuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman tentunya sangat penting bagi

    Mahkamah Agung di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan UUD 1945

    agar kemudian tercipta negara hukum yang bersifat demokratis. Karenanya, Manan dan Magnar

    (1997;40) menyatakan bahwa baik menurut paham kedaulatan (demokrasi) maupun paham

    negara berdasarkan atas hukum (der rechtsstaatatau the rule of law, kekuasaan kehakiman yang

    bebas, merupakan unsur mutlak untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang

    berkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukum. Tanpa adanya kemerdekaan bagi kekuasaan

    kehakiman, yang kemudian diselenggarakan oleh Mahkamah Agung, maka kedaulatan rakyatakan mudah tergelincir sehingga menjadi anarki. Dalam melaksanakan seluruh tugas dan fungsi

    kekuasaan kehakiman, hakim diwajibkan untuk tetap mempertahankan kemandirian sistem

    peradilan. Ini artinya bahwa asas imparsial dan bebas merdeka itu tidak boleh digunakan sebagai

    perisai dalam melindungi anasir-anasir negatif yang mungkin saja bermain ketika peradilan

    memutus perkara (Asshiddiqie dan Syahrizal,2012;91). Ini membuktikan bahwa kekuasaan

    kehakiman ternyata begitu rentan terhadap intervensi dari kekuasaan-kekuasaan lain, yang pada

    akhirnya menginginkan agar kekuasaan kehakiman menjadi tidak independen dalam

    menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, untuk menghadapi tekanan-tekanan penguasa terhadap

    lembaga peradilan merupakan suatu keniscayaan, yang harus selalu dilakukan oleh lembaga

    peradilan terutama hakim agar tetap independen dalam memutus kasus. Kekuasaan lainnya akan

    selalu mencoba untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, tidak lain

    dikarenakan bahwa peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti functie), yang berdiri

    sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya (Basah,1985;28). Kekuasaan dimaksud adalah

    lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif, serta partai politik, pers dan lain-lainnya yang sewaktu-

    waktu dapat saja kemudian mengintervensi daripada kekuasaan kehakiman.

    Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung dalam menjalankan

    tugasnya yang berat sebagai suatu lembaga negara bertujuan untuk menegakan hukum dan

    keadilan, maka diperlukan orang-orang yang bijaksana untuk kemudian menjadi hakim agung

    dalam menjalankan tugasnya yang mulia. Sebutan atau kata Agung mencerminkan betapa tinggi

    nilai lembaga, sekaligus terkandung pengertian betapa besar kewajiban yang diletakan pada

    lembaga tersebut untuk menegakan keadilan (Ranadireksa,2009;223). Oleh karenanya, tumpuan

    utama yang diletakan oleh rakyat melalui UUD 1945, kepada Mahkamah Agung haruslah

    kemudian dilaksanakan dengan konsekuen. Tidak lain disebabkan tanpa itu, hukum yang

    sebenarnya menjadi tumpuan dalam mencari keadilan, tidak akan mampu memberikan suatu

    perlindungan yang nyata bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan sebagamana amanat dari

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    8/15

    UUD 1945. Untuk menegakan keadilan, maka diperlukan hakim yang benar-benar memiliki

    integritas, serta dapat memahami amanat yang dibebankan kepadanya secara konstitusional.

    Bahkan, menurut Setiyono (2008;33) bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dan

    menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan, fungsi dan sifat hukum. Untuk itu, perlukan

    hakim yang jujur dan berani dalam menegakan hukum, yang dalam kenyataannya memang

    sebenarnya diamanatkan oleh lembaganya yang tentunya merdeka, sehingga benar-benar mampu

    memberikan keputusan yang sifanya objektif, serta dapat memenuhi harapan para pencari

    keadilan. Sekalipun putusan hakim yang diambil belum tentu sesuai dengan ketentuan yang ada

    dalam undang-undang, namun bisa saja karena hakim tersebut memiliki perasaan keadilan,

    sehingga kemudian dapat memberi dasar-dasar putusan yang dapat diterima, serta

    dipertanggungjawabkan tidak hanya secara yuridis, sosial, serta moral, namun tetap dengan

    menjungjung tinggi Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun

    2009 dinyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

    suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas , melainkan

    wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hakim wajib menggali, mengikuti, danmemahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (kursif penulis)

    (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

    Berkaitan dengan struktur organisasi Mahkamah Agung, maka dapat dikatakan bahwa

    Mahkamah Agung merupakan puncak dari keempat peradilan yang berada di bawahnya yaitu

    lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan

    lingkungan peradilan tata usaha negara. Bahkan, Mahkamah Agung merupakan badan peradilan

    yang tertinggi daripada peradilan yang ada di bawahnya (lihat Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009).

    Asshiddiqie (2003;34) menyatakan ditinjau dari segi hubungan hakim dalam kelembagaan

    tersebut bahwa hubungan antar satu hakim dengan hakim yang lain besifat horizontal, tidak adahubungan vertical atasan dan bawahan. Lebih lanjut menurutnya semua pendapatnya tersebut

    timbul dari doktrin kebebasan atau kemerdekaan hakim, yaitu setiap individu hakim dalam

    menjalankan tugas utamanya sebagai hakim yang bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggung

    jawab kepada atasannya. Menurut Kelsen (2011;390) bahwa para hakim biasanya bebas yakni,

    mereka hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau intruksi dari organ

    yudikatif atau administratif yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, ke atas hakim bertanggung

    jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ke bawah bertanggungjawab secara

    hukum. Bahkan, dengan adanya doktrin kebebasan kekuasaan peradilan, yang kemudian menurut

    Soepomo (2005;67) bahwa di mana undang-undang memberi peraturan, hakim adalah bebas

    di dalam menentukan keputusannya. Terkait dengan peradilan yang secara struktural berada di

    bawah Mahkamah Agung maka Kusnardi dan Sarigih (1986;84) berpendapat bahwa hubungan

    Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili

    perkara-perkara tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada

    umumnya mengenai baik perkara pidana maupun perkara perdata. Karena dalam peradilan

    militer yang terkait di sana adalah berkenaan dengan kepentingan militer, sedangkan peradilan

    agama adalah peradilan yang khusus yang berkaitan dengan agama Islam, sedangkan peradilan

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    9/15

    tata usaha negara merupakan berkaitan dengan tindakan penyelenggara tata usaha negara yang

    merugikan rakyat, maka dapat dimintakan putusan peradilan tata usaha negara tentang tindakan

    pemerintah tersebut.

    Untuk selanjutnya, kemudian ternyata masih diakuinya adanya badan-badan lain selain

    ditentukan dalam UUD 1945 yang menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (3) UUD1945). Dalam Penjelasan Pasal 38 UU No. 48 Tahun 2009 kemudian dalam ketentuan tersebut

    ternyata memberikan penafsiran terhadap pengertian badan-badan lainnya yang bertugas

    menyelenggarakan kekuasaan kehakiman bahwa Yang dimaksud dengan "badan-badan lain"

    antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan. Sedangkan dalam

    ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, menyatakan bahwa Fungsi yang berkaitan

    dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a.penyelidikan dan penyidikan;b.penuntutan;

    c.pelaksanaan putusan;d.pemberian jasa hukum; dan

    e.penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Pada intinya lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud di atas, tentunya memiliki

    keterkaitan fungsi secara nyata atau bersentuhan dengan kekuasaan kehakiman. Adanya

    ketentuan ini merupakan jalan keluar bagi tidak dimasukannya kejaksaan sebagai salah satu

    pelaku kekuasaan kehakiman pada saat berlangsungnya amandemen UUD 1945. Pencantuman

    ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 di atas juga merupakan suatu antisipasi terhadap

    perkembangan yang mungik saja terjadi pada masa yang akan datang, misalnya kalau ada

    perkembangan terhadap badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat

    lingkungan peradilan yang sudah ada seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tentu

    kemudian kedudukan badan-badan peradilan selain yang sudah ditentukan dalam UUD 1945,

    dapatlah dikatakan tidak berbeda dengan badan-badan lainnya yang juga melaksanakan

    kekuasaan kehakiman, hal ini dikarenakan baik badan-badan pelaksana kekuasaan kehakiman

    dalam UUD 1945 muapun kejaksaan misalnya, dalam kenyataaannya memiliki kedudukan sama

    penting dalam konsitusi atau sama-sama penting secara konstitusional. Terkait dengan adanya

    ketentuan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, MPR (2011;147-148) menyatakan bahwa.

    Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang

    berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga

    penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Pengaturan dalam

    undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

    membuka partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar

    aspirasinya dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.

    Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud

    saling mengawasi dan mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di

    bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    10/15

    lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk

    mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.

    Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang

    terjadi pada masa yang akan datang, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain

    yang tidak termasuk dalam katagori keempat lingkungan peradilan sudah diatur dalam

    undang-undang.

    Selanjutnya pengaturan berkaitan dengan kewenangan, syarat-syarat seorang hakim agung

    dan juga proses pengangkatan hakim agung serta tata cara pemilihan Ketua dan wakil ketua

    Mahkamah Agung, telah ditentukan dengan tegas dalam ketentuan Pasal 24A UUD 1945 yang

    menyatakan bahwa.

    (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan

    perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan

    mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

    (2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

    (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat

    untuk mendapatkanpersetujuandan selanjutnya ditetapkansebagai hakim agung oleh

    Presiden.

    (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilihdaridan oleh hakim agung.

    (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan

    peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.

    Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung yang telah ditentukan dalam UUD 1945

    menurut ketentuan Pasal 24A ayat (1), pasal ini menegaskan bahwa dalam UUD 1945,Mahkamah Agung diberikan dua kewenangan secara konstitusional yaitu (1) mengadili pada

    tingkat kasasi, dan (2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

    terhadap undang-undang. Sedangkan, kewenangan lainnya, merupakan kewenangan yang

    didelegasikan oleh pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, bahwa kewenangan tersebut

    merupakan bersifat tambahan yang tidak diberikan oleh UUD 1945 namun oleh UU

    (Asshiddiqie,2006). Pengaturan yang sama kemudian juga dapat dilihat kembali dalam ketentuan

    Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, yang menyatakan kewenangan Mahkamah Agung

    yaitu.

    a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhiroleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah

    Agung, kecualiundang-undang menentukan lain;

    b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

    c. Kewenangan lainnyayang diberikanundang-undang.

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    11/15

    Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili pada tingkat kasasi,

    maka menurut Subekti (1983;105) bahwa perkataan kasasi berasal dari perkataan Perancis

    casser yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga kalau suatu permohonan kasasi

    terhadap suatu putusan Pengadilan bawahan diterima oleh Mahkamah Agung, maka itu berarti

    bahwa putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung

    kesalahan penerapkan hukum. Sedangkan, untuk kamus istilah hukum Fockema Andreae dalam

    Marpaung (2004;3) menyatakan bahwa cassatie, kasasi, pembatalan, pernyataan tidak

    berlakunya keputusan Hakim rendahan oleh Mahkamah Agung, demi kepentingan kesatuan

    peradilan. Menurut penulis kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk

    membatalkan keputusan pengadilan di bawahnya (banding) merupakan salah satu bentuk

    pengawasan Mahkamah Agung dari dalam terutama terkait dengan penerapan hukumnya.

    Menurut Mertokusumo (2011;131) bahwa kasasi adalah peradilan, sedang peradilan berarti

    pelaksanaan hukum, maka pada hakikatnya tujuan kasasi bukanlah mencapai kesatuan hukum,

    melainkan kesatuan dalam pelaksanaan hukum atau kesatuan dalam peradilan. Bahkan, putusan

    pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap pun masih dapat dimintakan peninjauankembali, tentunya jika karena keadaan tertentu yang kemudian dapat diterima oleh undang-

    undang (lihat Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009). Dapatlah kemudian dikatakan, bahwa

    kewenangan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan peradilan yang ada di bawahnya

    merupakan tugas utama daripada Mahkamah Agung dalam bidang pengawasannya. Pendapat

    tersebut adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan

    bahwa Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan

    peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan

    kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (kursif penulis). Bahkan, pengawasan MA

    sebagaimana dimaksud tersebut di atas tentunya juga meliputi pengawasan tertinggi terhadap

    pelaksana tugas administrasi dan keuangan. Selain itu, ternyata pengawasan internal terhadap

    tingkah laku hakim dilakukan juga oleh MA. Namun, dalam rangka menjaga dan menegakkan

    kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pula pengawasan eksternal oleh

    Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas utama yaitu melakukan pengawasan

    terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Namun,

    pada dasarnya ditentukan bahwa pengawasan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim

    dalam memutus perkara.

    Katamenguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah merupakan

    hak MA untuk melaksanakan tugasnya berkaitan penyesuaian bidang peraturan perundang-

    undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang agar tidak ada peraturan

    perundang-undangan di bawah undang-undang tersebut yang kemudian bertentangan dengan

    kedudukan undang-undang yang ada di atasnya. Hal ini berarti jika suatu saat ada peraturan

    perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang yang bertentangan

    dengan undang-undang di atasnya, maka terhadap peraturan tersebut kemudian dapatlah diuji

    dan dapat pula dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan untuk pengujian peraturan

    perundang-undang yang kedudukannya berada di bawah undang-undang dapat diuji dengan dua

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    12/15

    cara yaitu secara formil dan materil. Terkait dengan pengujian peraturan perundang-undangan

    secara materil, maka Abdullah (2006;10) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hak uji

    Materiil adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yudikatif untuk melakukan

    pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan

    perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Lebih jelas lagi bahwa jika ternyata ada suatu

    peraturan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah undang-undang, yang

    dilihat dari isinya ternyata bertentangan dengan isi undang-undang, maka untuk itu kemudian

    dapat dimintakan pembatalan kepada Mahkamah Agung. Dengan kata lain yang diuji merupakan

    keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat umum

    (Soemardi,1986;15). Adanya pengaturan hal tersebut merupakan suatu konsekuensi dari

    dianutnya prinsip hierarkis peraturan perundang-undangan, yang tentunya menyatakan bahwa

    suatu peraturan yang kedudukannya lebih rendah, isinya tidak boleh bertentangan dengan isi dari

    peraturan yang kedudukannya lebih tinggi tingkatannya (lex superior derogate legi inferiori).

    Dalam pada itu, tentunya akan berbeda dengan pengujian secara formal yang dilakukan oleh

    Mahkamah Agung, di mana jika ada suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yang dalam kenyataan dibentuk tidak sesuai dengan prosedur seperti apa yang telah

    ditentukan dalam ketentuan undang-undang, maka secara keseluruhan daripada peraturan

    perundang-undangan yang berkedudukan di bawah undang-undang tersebut dapat dibatalkan.

    Dari paparan tersebut kemudian, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jika pengujian peraturan

    perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh

    MA secara materiil, maka dapat dinyatakan batal adalah salah pasal atau bagian tertentu dari

    peraturan tersebut yang diminta untuk diujikan. Sedangkan jika ternyata pengujian peraturan

    perundang-undangan yang berkedudukan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-

    undang ternyata dilakukan secara formil, maka akibatnya putusan dari pembatalan tersebut oleh

    MA adalah secara keseluruhan peraturan perundang-undang yang kedudukannya berada di

    bawah undang-undang adalah batal dan tidak berlaku. Pengujian peraturan perundang-undangan

    yang kedudukannya berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan

    oleh Mahkamah Agung, dapat dilakukan melalui tingkat kasasi maupun secara langsung, yaitu

    dapat kemudian diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian permohonan tersebut cukup dibuat

    secara tertulis dalam bahasa Indonesia baik oleh pemohon maupun kuasanya. Pendapat tersebut

    adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 bahwa Putusan

    mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian dapat diambil

    baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan

    langsung pada Mahkamah Agung (kursif penulis). Permohonan hanya dapat dilakukan oleh

    pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di

    bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat

    hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

    Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum

    publik atau badan hukum privat. Berkaitan dengan kewenangan MA yang hanya menguji

    peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    13/15

    Mahkamah Agung tidaklah memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD

    1945. Pendapat tersebut adalah sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Kartasapoetra (1987;69)

    bahwa pada dasarnya Mahkamah Agung tidak mempunyai hak menguji, baik formal maupun

    material terhadap undang-undang.

    Mengenai upaya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangterhadap undang-undang, dapat dikatakan merupakan upaya pengujian legalitas (legal review).

    Pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini jelas berbeda dari pengujian konstitusional

    (constitutional review) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, obyek yang diuji

    hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (judicial review of

    regulation). Hal ini dikarenakan, pengujian arah konstitusionalitas undang-undang (judicial

    riview of law) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, yang dijadikan batu penguji oleh

    Mahkamah Agung adalah undang-undang, bukan UUD. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

    pengujian norma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah pengujian legalitas

    peraturan (judicial review on the legality of regulation), sedangkan pengujian oleh Mahkamah

    Konstitusi merupakan pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review on the

    constitutionality of law). Yang terakhir ini biasa di sebut dengan istilah pengujian konstitusional

    atas undang-undang (constitutional of law) (Asshiddiqie,2006;158).

    Dalam ketentuan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 ditentukan pula syarat untuk dicalonkan

    menjadi hakim agung, kemudian dinyatakan bahwa untuk menjadi hakim agung haruslah

    memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional yang tentunya berkaitan

    dengan keahliannya dalam bidang hukum dan sudah memiliki pengalaman sesuai dengan

    keahliannya di bidang hukum tersebut (lihat Pasal 6 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

    Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Calon hakim agung kemudian

    ditetapkan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan dari DPR yang sebelumnya diajukan

    oleh KY (Pasal 24A ayat (3) UUD 1945). Jumlah calon hakim agung yang diajukan oleh KY ke

    DPR adalah tiga kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi hakim agung (lihat Pasal

    8 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2009). Kemudian, selanjutnya ditentukan bahwa untuk memilih

    Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diserahkan kembali kewenangannya kepada anggota

    hakim agung sendiri untuk memilihnya (Pasal 24A ayat (4) UUD 1945) jo. (Pasal 8 ayat (7) UU

    No. 3 Tahun 2009),, Terkait dengan susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara

    Mahkamah Agung serta badan peradilan yang kedudukannya berada di bawahnya diatur dengan

    undang-undang (Pasal 24A ayat (5) UUD 1945). Undang-undang yang di maksud adalah UU

    No.14 tahun 1985 jo. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

    Selain adanya tugas seperti apa yang telah disebutkan di atas, ternyata MA memiliki suatu

    tugas yaitu untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden berkaitan dengan pemberian grasi

    dan rehabilitasi (Pasal 14 UUD 1945). Kemudian dapatlah diketahui bahwa berkaitan dengan

    pertimbangan yang telah diberikan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden terkait dengan grasi

    dan rehabilitasi tersebut tentunya tidaklah mengikat secara hukum. Namun, dapatlah dikatakan

    mengikatnya pertimbangan Mahkamah Agung terkait dengan pemberian grasi adalah terletak

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    14/15

    pada bidang moral. Kemudian juga ditentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk

    mengajukan 3 orang guna menjadi hakim konstitusi (Pasal 24C ayat (3) UUD 1945). Berkaitan

    dengan semua tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh MA adalah sesuai dengan ketentuan

    Pasal 22 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 yang pada dasarnya menyatakan bahwa Mahkamah

    Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga

    negara dan lembaga pemerintahan.Ketentuan ini merupakan hubungan MA dengan lembaga-

    lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaran Indonesia, yang merupakan wujud daripada

    saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).

  • 5/28/2018 Mahkamah Agung

    15/15

    BIODATA PENULIS

    I Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus

    1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti

    Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikandasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke

    SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN

    1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-

    2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja

    sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada

    saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti

    pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus

    dengan predikat cumlaude. Kemudian untuk sekarang ini penulis

    belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada

    Program Studi Pendas di Undhiksa.

    Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai

    nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor

    Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni

    FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu

    pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga

    aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami.

    Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung

    kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini.

    Alamat rumah : Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp :

    085237832582/085738693121.