laporan penelitian ta 2017...i laporan penelitian ta 2017 studi evaluasi eliminasi filariasis...
TRANSCRIPT
i
LAPORAN PENELITIAN TA 2017
STUDI EVALUASI ELIMINASI FILARIASIS KABUPATEN BOMBANA DAN
KOLAKA UTARA TAHUN 2017
(Daerah Brugia malayi Non-Zoonotik)
Tim Peneliti:
drh. Rais Yunarko; Ni Wayan Dewi Adnyana, S.Si; Yona Patanduk, S.Km; Mefi
Mariana Tallan S.Si; Maria Astiana Mapada, S.Km; Anderias Karniwan Bulu,
S.Si; Justus Edyson Tangkuyah, Amd. KL; Dewi Rahayu, Amd. Kep; Jerianto
Leba Dara; Vhensiana Benyamin; Piter W Praing
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
LOKA LITBANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
(LOKA LITBANG P2B2) WAIKABUBAK
2018
ii
SK TIM PENELITIAN
SUSUNAN TIM PENELITI
No Nama Kedudukan dalam Tim
1 Muhammad Kazwaini, S.KM., M.Kes PJT Provinsi Sultra
2 drh. Rais Yunarko PJT Kab. Bombana
3 Ni Wayan Dewi Adnyana, S.Si PJT Kab. Kolaka Utara
4 Yona Patanduk, S.KM Anggota Peneliti
5 Mefi Mariana T, S.Si Anggota Peneliti
6 Mariana A. Mapada, S.KM Anggota Peneliti
7 Anderias Karniawan Bulu, S.Si Anggota Peneliti
8 Dewi Rahyau, Amd. Kep Anggota Peneliti
9 Justus Edyson Tangkuyah, Amd.KL Anggota Peneliti
10 Jerianto Leba Dara Anggota Peneliti
11 Vhensiana Benyamin Anggota Peneliti dan Administrasi
12 Piter W Praing Anggota Peneliti dan Administrasi
PERSETUJUAN ETIK
KATA PENGANTAR
Limfatik filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit menular yang
terabaikan. Di Indonesia limfatik filariasis lebih dikenal sebagai filariasis. Filariasis
merupakan penyakit menular menahun yang menyebabkan kecacatan yang menetap,
meskipun penyakit ini bukan menyebabkan kematian utama. Penderitaan karena kasus
kronis filariasis diidentifikasi sebagai penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia
setela kecacatan mental. Kecacatan yang ditimbulkannya akan mengurangi
produktifitas, selain itu juga berdampak pada kondisi psikologis penderita, dan juga
menghambat mendapat keturunan.
Indonesia merupakan salah satu negara endemis filariasis, dimana masalah
filariasis masih menjadi masalah di beberapa Kabupaten/Kota. WHO mencanangkan
bahwa eliminasi filariasis pada tahun 2020, namun masih ada kabupaten/kota endemis
filariasis di Indonesia yang belum/sedang melakukan pengobatan massal filariasis.
Kabupaten Bombana merupakan salah satu kabupaten/kota yang pada tahun 2017
menerima sertifikat bebas filariasis. Proses eliminasi filariasis di Kabupaten Bombana
sudah dimulai sejak tahun 2005 untuk pemberian obat massal filariasis. Dari program
TAS yang dilakukan selama 3 periode dinyatakan bahwa kegiatan pemberian obat
pencegahan secara massal filariasis telah berhasil memtus mata rantai penularan.
Untuk itu perlu dikaji dari aspek epidemiologi maupun aspek manajemen eliminasi
filariasis di Kabupaten Bombana.
Dari hasil peneltian yang dilakukan di Kabupaten Bombana, didapatkan hasil
bahwa eliminasi filariasis dipengaruhi oleh dukungan yang baik dari aspek
manajemen yang dilakukan di level Dinas Kabupaten, Puskesmas, dan tingkat
pemerintah desa. Keberhasilan program filariasis di Kabupaten Bombana dipengaruhi
oleh kader kesehatan dan petugas Puskesmas yang merupakan pelaksana utama dalam
hal pembagian obat ke masyarakat yang dibantu oleh kepala desa dan Babinsa,
sedangkan perencanaan logistik obat dan anggaran dikerjakan oleh Dinas kesehatan.
PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG
STUDI EVALUASI ELIMINASI FILARIASIS KABUPATEN BOMBANA Tahun
2017
(Daerah Brugia malayi Non-Zoonotik)
Waikabubak, …. Januari 2017
Menyetujui,
Kepala Loka Litbang P2B2 Waikabubak
Rosiana Kali Kulla, S.KM
NIP. 196512291989032001
PJT Kabupaten Bombana
drh. Rais Yunarko
NIP. 198506092010121001
Ketua Panitia Pembina Ilmiah
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat
Sri Irianti, S.KM., M.Phil., Ph.D
NIP 195804121981022001
Kepala
Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat
drg. Agus Suprapto, M.Kes
NIP 196408131991011001
RINGKASAN EKSEKUTIF
LAPORAN PENELITIAN
STUDI EVALUASI ELIMINASI FILARIASIS KABUPATEN BOMBANA Tahun
2017
(Daerah Brugia malayi Non-Zoonotik)
PENYUSUN:
drh. Rais Yunarko; Ni Wayan Dewi Adnyana, S.Si; Yona Patanduk, S.Km; Mefi
Mariana Tallan S.Si; Maria Astiana Mapada, S.Km; Anderias Karniwan Bulu,
S.Si; Justus Edyson Tangkuyah, Amd. KL; Dewi Rahayu, Amd. Kep; Jerianto
Leba Dara; Vhensiana Benyamin; Piter W Praing
Filariasis dikategorikan sebagai neglected diseases (penyakit yang terabaikan)
menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia. Indonesia
merupakan salah satu dari 53 negara di dunia yang merupakan negara endemis
filariasis. Dari 236 kabupaten/kota yang endemis filariasis tersebut, 55 kabupaten/kota
telah melakukan pemberian obat pencegahan massal filariasis (POPM) selama 5 tahun
berturut-turut (5 putaran). Sisanya sebanyak 181 kabupaten/kota akan melaksanakan
POPM sampai dengan tahun 2020, dengan jumlah penduduk sebesar 76 juta jiwa.
Sampai akhir tahun 2016, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 236
kabupaten/ kota endemis filariasis. Dari 236 kabupaten/kota yang endemis filariasis
tersebut, 55 kabupaten/kota telah melakukan pemberian obat pencegahan massal
filariasis (POPM) selama 5 tahun berturut-turut (5 putaran). Adanya pengulangan
pengobatan menimbulkan kendala bagi kabupaten/kota karena besarnya sumber daya
yang diperlukan (biaya operasional dan dukungan SDM) serta berubahnya rencana
strategis kabupaten/kota dalam hal pengendalian penyakit menular.
Pada tahun 2017 Kabupaten Bombana telah mendapatkan sertifikat eliminasi
fialriasis. Untuk mengetahui keberhasilan yang telah dilakukan Kabupaten Bombana
guna mengetahui berbagai aspek terkait dengan kegagalan/keberhasilan suatu
kabupaten/kota dalam melaksanakan eliminasi filariasis. Studi yang dilaksanakan
meliputi aspek pemberian pengobatan pencegah massal, manajemen pengendalian,
lingkungan (fisik, biologis: vektor dan reservoir), dan perilaku masyarakat. Peneltian
ini diharapkan dapat mengetahui kegagalan dan keberhasilan eliminasi filariasis dari
aspek epidemiologi (host, agent, lingkungan) dan juga aspek manajemen.
Keberhasilan eliminasi filariasis di Kabupaten Bombana dimulai dengan
diadakaannya pelaksanaan POPM filariasis pada tahun 2005 kemudian dilanjutkan
dengan program TAS selama 3 periode. Dari aspek epidemiologi dari survei darah jari
malam di dua desa dan pemeriksaan nyamuk tidak didapatkan hasil positif mikrofilaria
ataupun nyamuk yang berpotensi menularkan filariasis. Namun, masih perlu menjadi
perhatian adalah lingkungan yang masih dijumpai adanya tempat potensial perindukan
nyamuk disekitar pemukiman. Keberhasilan eliminasi filariasis di Kabuapten Bombana
mendapat dukungan yang baik dari aspek manajemen yang dilakukan di level Dinas
Kabupaten, Puskesmas, dan tingkat pemerintah desa. Keberhasilan program filariasis di
Kabupaten Bombana dipengaruhi oleh kader kesehatan dan petugas Puskesmas yang
merupakan pelaksana utama dalam hal pembagian obat ke masyarakat yang dibantu
oleh kepala desa dan Babinsa, sedangkan perencanaan logistik obat dan anggaran
dikerjakan oleh Dinas kesehatan.
DAFTAR ISI
SK TIM PENELITIAN ........................................................................................................................... ii
SUSUNAN TIM PENELITI ............................................................................................................. xxvii
PERSETUJUAN ETIK .................................................................................................................... xxviii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... xxix
PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG ......................................................................... xxx
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................. xxxi
BAB I ....................................................................................................................................................... i
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... i
BAB II.................................................................................................................................................... iii
METODE ............................................................................................................................................... iii
1. Dasar Pemikiran ......................................................................................................................... iii
2. Tujuan ......................................................................................................................................... v
3. Manfaat ....................................................................................................................................... v
4. Kerangka Konsep ...................................................................................................................... vii
5. Waktu, Tempat/Lokasi, Pelaksana & Penanggung Jawab, dan Sumber Biaya. ....................... viii
6. Jenis Studi .................................................................................................................................. ix
7. Transmission Assesment Survey (TAS). ................................................................................... ix
8. Survei Darah Jari (SDJ) .............................................................................................................. x
9. Stool Survey (StS) ...................................................................................................................... xi
10. Deteksi DNA Brugia malayi ................................................................................................ xiii
11. KAP Survey Filariasis .......................................................................................................... xiv
12. Wawancara Mendalam (In-depth Interview) ....................................................................... xiv
13. Survei Vektor (Nyamuk). ...................................................................................................... xv
14. Survei Lingkungan ............................................................................................................... xvi
15. Bahan dan Cara Pengumpulan Data .................................................................................... xvii
16. Alur Kegiatan ...................................................................................................................... xxv
17. Definisi Operasional ........................................................................................................ xxviii
18. Manajemen dan Analisis Data ......................................................................................... xxviii
Bab III ................................................................................................................................................ xxix
Hasil Penelitian .................................................................................................................................. xxix
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ..................................................................................... xxix
2. Gambaran Umum Pengendalian Filariasis di Daerah Penelitian ............................................ xxx
3. Gambaran Jumlah & Karakteristik Subyek Penelitian/Sampel............................................. xxxi
4. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Filariasis. ....................................................... xxxv
5. Gambaran Sikap Responden Tentang Filariasis. ................................................................ xxxvii
6. Gambaran Perilaku Responden Tentang POPM Filariasis .................................................. xxxix
7. Gambaran Status Endemisitas Daerah Penelitian .................................................................... xlv
8. Gambaran Status Infeksi Kecacingan .................................................................................... xlvii
9. Gambaran Deteksi Gen Brugia malayi .................................................................................. xlvii
10. Gambaran Hasil Survei Vektor ......................................................................................... xlviii
11. Gambaran Hasil Survei Lingkungan ................................................................................... xlix
12. Gambaran Hasil Wawancara Mendalam .................................................................................. l
BAB IV ................................................................................................................................................ lvii
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. lvii
1. Survei KAP. ............................................................................................................................. lvii
2. Pemeriksaan Klinis Filariasis. ................................................................................................... lix
3. Survei Darah Jari. ....................................................................................................................... lx
4. Stool Survey .............................................................................................................................. lxi
5. Deteksi Gen Bm ...................................................................................................................... lxiii
6. Survei Vektor .......................................................................................................................... lxiii
7. Survei Lingkungan .................................................................................................................. lxiv
8. Wawancara Mendalam (Studi Kualitatif) ................................................................................ lxv
BAB V .............................................................................................................................................. lxviii
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................................... lxviii
BAB VI ............................................................................................................................................... lxix
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................................................... lxix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cakupan POPM di Kabupaten Bombana................................................................. xxx
Tabel 2. Jumlah Responden/Subyek Penelitian/Sampel Berdasarkan Jenis Data/Informasi
Yang Dikumpulkan Kabupaten Bombana Tahun 2017. ....................................................... xxxi
Tabel 3. Karakteristik Responden Survei KAP Kabupaten Bombana Tahun 2017 ............ xxxii
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Penyakit Kaki Gajah
Kabupaten Bombana Tahun 2017 ........................................................................................ xxxv
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Efek Dari Penyakit Filariasis ........ xxxvi
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Demam Berulang Disertai
Pembengkakan Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017............................... xxxvi
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pencarian Pengobatan Penyakit
Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ...................................................................... xxxvii
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pengetahuan POPM Penyakit Filariasis
Kabupaten Bombana Tahun 2017 ...................................................................................... xxxvii
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sumber Informasi POPM Penyakit
Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ...................................................................... xxxvii
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sikap Tentang Penyakit Filariasis
Kabupaten Bombana Tahun 2017 .....................................................................................xxxviii
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Keterlibatan Dalam POPM Penyakit
Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ....................................................................... xxxix
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Macam Obat Yang Diberikan Dalam
POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 .................................................. xl
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Untuk Minum Obat Yang Diberikan Dalam
POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 .................................................. xl
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Cara Meminum Obat Yang Diberikan
Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ...................................... xl
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Waktu Minum Obat Yang Diberikan
Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ..................................... xli
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Alasan Tidak Minum Obat Yang
Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 .................... xli
Tabel 17 Jumlah dan Persentase Responden Tentang Efek Samping Setelah Minum Obat
Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 ..........xlii
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Cacing Yang Keluar Setelah Minum
Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 xliii
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Alasan Tidak Ikut Dalam POPM
Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017 .......................................................... xliii
Tabel 20. Pemberitahuan Sebelum Pelaksanaan POPM filariasis di Kabupaten Bombana
Tahun 2017 ............................................................................................................................ xliv
Tabel 21. Upaya Yang Dilakukan Di Dalam Rumah Untuk Menghindari Gigitan Nyamuk
Pada Waktu Malam Hari di Kabupaten Bombana Tahun 2017 ............................................. xliv
Tabel 22. Upaya Yang Dilakukan Di Luar Rumah Untuk Menghindari Gigitan Nyamuk Pada
Waktu Malam Hari di Kabupaten Bombana Tahun 2017 ...................................................... xlv
Tabel 23. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Klinis .................................. xlvi
Tabel 24. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskop ..........................xlvii
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden yang Positif Kecacingan ..............................xlvii
Tabel 26. Jumlah Anak SD Hasil Pemeriksaan Gen Brugia malayi Kabupaten Bombana xlviii
Tabel 27. Jumlah Vektor (Nyamuk) yang Berhasil Ditangkap Dalam Dua Periode
Penangkapan Kabupaten Bombana Tahun 2017 ................................................................ xlviii
Tabel 28. Jenis Habitat Lingkungan di Desa Margajaya dan Lantawonua................................. l
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta plotting rumah responden di Kabupaten Bombana. Atas untuk Desa
Lantawonua dan Bawah untuk Desa Margaja. ................................................................... xxxiv
Gambar 2. Penderita Kasus Kronis di Kabupaten Bombana ................................................. xlvi
Gambar 3. Zona Penyangga Tempat Potensial Perindukan Nyamuk di Desa Lantawonua dan
Desa Margajaya .......................................................................................................................... l
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam resolusi World Health Assembly (WHA) tahun 1997,
filariasis yang dikategorikan sebagai neglected diseases (penyakit yang
terabaikan) menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan
dunia.1 Indonesia adalah salah satu dari 53 negara di dunia yang
merupakan negara endemis filariasis, dan satu-satunya negara di dunia
dengan ditemukannya tiga spesies cacing filaria pada manusia yaitu:
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.2
Tahun 2000 WHO mendeklarasikan global eliminasi filariasis
pada tahun 2020. Di Indonesia program eliminasi filariasis telah
dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 8 April 2002 di
Sumatera Selatan. Sejak pencanangan tersebut, Menteri Kesehatan
mengeluarkan Keputusan Nomor: 157/Menkes/SK/X/2003 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yaitu
Penatalaksanaan Kasus Kronis Filariasis. Tahun 2005 dikeluarkan
Keputusan Nomor: 1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman
Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah).2
Sampai akhir tahun 2016, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia,
terdapat 236 kabupaten/ kota endemis filariasis. Dari 236 kabupaten/kota
yang endemis filariasis tersebut, 55 kabupaten/kota telah melakukan
pemberian obat pencegahan massal filariasis (POPM) selama 5 tahun
berturut-turut (5 putaran). Sisanya sebanyak 181 kabupaten/kota akan
melaksanakan POPM sampai dengan tahun 2020, dengan jumlah
penduduk sebesar 76 juta jiwa.
Kabupaten/kota yang melaksanakan POPM, pada tahun ketiga
dilakukan evaluasi yang berupa pre-survei dengan melaksanakan survei
darah jari guna mengetahui ada tidaknya mikrofilaria dalam darah.
Selanjutnya setelah 5 tahun POPM dilakukan evaluasi dengan survei
kajian penularan (Transmission Assesment Survey)-1/TAS-1 dengan
menggunakan rapid diagnostic test/RDT1. RDT yang digunakan adalah
brugia rapid testTM untuk parasit Brugia malayi dan/atau Brugia timori1–4,
dan immunochromatographic test (ICT) untuk parasit Wuchereria
bancrofti. Brugia rapid test digunakan untuk mendiagnosis ada tidaknya
antibodi B. malayi/B. timori, sedangkan ICT untuk mendiagnosis ada
tidaknya antigen W. bancrofti. Dari hasil TAS-1 tersebut akan diketahui
apakah di kabupaten/kota tersebut masih terjadi penularan filariasis atau
masih dikategorikan sebagai daerah endemis. Terhadap daerah yang masih
terjadi penularan filariasis akan dilakukan POPM ulang selama 2 putaran
(2 tahun).5–7 Untuk hasil TAS-1 dengan nilai di bawah nilai cut-off maka
kabupaten/kota tersebut dinyatakan lulus TAS. Selama 2 tahun setelah
dinyatakan lulus, kabupaten/kota melaksanakan surveilans filariasis.
Setelah 2 tahun masa surveilans, dilakukan evaluasi (TAS-2). Dua tahun
kemudian dilakukan lagi evaluasi (TAS-3). Jika dalam 2 periode masa
surveilans dapat dilalui dengan status lulus TAS, maka kabupaten/kota tsb
disertifikasi dengan status filariasis telah tereliminasi. Dari status terakhir
per tahun 2015, terdapat 29 kabupaten/kota yang telah lulus TAS dan 22
kabupaten/kota gagal TAS baik TAS-1, TAS-2 atau TAS-3.
Pada tahun 2015, Menteri Kesehatan mencanangkan Bulan
Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga). Sebelumnya pada tahun 20147, Menkes
mengeluarkan Permenkes No. 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Filariasis. Dengan berlakunya Permenkes ini, maka Kepmenkes No.
1582/2005 dan Kepmenkes No. 893/2007 dinyatakan tidak berlaku. Bagi
kabupaten/kota yang gagal TAS menimbulkan kendala karena harus
mengulangi POPM.
Tahun 2017 Kabupaten Bombana telah mendapatkan sertifikat
eliminasi filariasis. POPM tahun pertama dilakukan pada tahun 2005 dan
terakhir dilakukan pada tahun 2010. TAS-1 dilakukan pada tahun 2011,
kemudian dilanjutkan TAS-2 pada tahun 2014 dan TAS-3 pada tahun
2016. Dari seluruh rangkaian kegiatan TAS itu semuanya dinyatakan
lulus. Dengan sertifikat eliminasi filariasis tersebut Kabupaten Bombana
Telah dinyatakan berhasil dalam membrantas masalah filariasis di
wilayahnya.
Adanya pengulangan pengobatan menimbulkan kendala bagi
kabupaten/kota karena besarnya sumber daya yang diperlukan (biaya
operasional dan dukungan SDM) serta berubahnya rencana strategis
kabupaten/kota dalam hal pengendalian penyakit menular. Adanya
masalah dan kendala tersebut di atas, perlu dilaksanakan suatu studi yang
menyeluruh guna mengetahui berbagai aspek terkait dengan
kegagalan/keberhasilan suatu kabupaten/kota dalam melaksanakan
eliminasi filariasis. Studi yang dilaksanakan meliputi aspek pemberian
pengobatan pencegah massal, manajemen pengendalian (surveilans: tools
dan metode, promosi, penanganan penderita), lingkungan (fisik, biologis:
vektor dan reservoir), dan perilaku masyarakat.
BAB II
METODE
1. Dasar Pemikiran
Banyak faktor yang mempengaruhi kegagalan kabupaten/kota
untuk lulus TAS. Salah satu adalah cakupan POPM yang belum mencapai
target yang ditentukan. Dari hasil kajian yang dilakukan Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI; persentase cakupan pengobatan
massal pada tahun 2009 mencapai 59,48%. Persentase cakupan ini masih
jauh di bawah target yang ditetapkan WHO (minimal 65% dari total
populasi atau 85% dari total sasaran). Rendahnya cakupan POPM antara
lain terbatasnya sumber daya yang tersedia, tingginya biaya operasional
kegiatan POPM, dan penolakan masyarakat dengan adanya reaksi
pengobatan seperti demam, mual, muntah, pusing, sakit sendi dan badan.8,9
Namun kegagalan TAS tidak hanya dari aspek manajemen POPM dan
metode surveilans yang diterapkan. Aspek lain yang terkait dengan
lingkungan (masih adanya reservoar dan vektor penyakit), perilaku
masyarakat, faktor sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah, dan
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kabupaten/kota terkait dengan
pengendalian filariasis; yang perlu diketahui secara lebih mendalam dan
komprehensif.
Salah satu keberhasilan POPM di Kabupaten Alor adalah
meningkatnya KAP (Knowledge, Attitudes, and Practice) penduduk.
Semula 54% penduduk yang mendengar dan mengetahui filariasis,
menjadi 89% penduduk yang tahu filariasis setelah dilaksanakan
sosialisasi. Meningkatnya KAP penduduk tentang POPM filariasis
berdampak dengan meningkatnya cakupan penduduk yang makan obat
sebesar 80%10. Studi yang dilaksanakan oleh Sekar Tuti dkk pada tahun
2006 di Pulau Alor menunjukkan bahwa selama 5 tahun POPM di 9 desa,
mf rate turun dari 2,1%--3% menjadi 0%11. Demikian juga hasil studi yang
dilakukan oleh Clare Huppatz pada 5 negara di Pasifik menemukan bahwa
pelaksanaan POPM selama 5 tahun berturut-turut dapat menurunkan
antigenaemia di bawah 1%12. Di India filariasis endemik di 17 negara
bagian dan 6 union territories dengan 553 juta penduduk berisiko
terinfeksi filariasis. Umumnya India endemis W. bancrofti, hanya 2% yang
endemis B. malayi yaitu di negara bagian Kerala, Tamil Nadu, Andhra
Pradesh, Orissa, Madhya Pradesh, Assam dan Benggala Barat. Pada tahun
2007, dari 250 kabupaten endemik, cakupan pengobatan massal adalah
82% dari 518 juta penduduk, dan setahun kemudian meningkat menjadi
85,92%. Meningkatnya angka cakupan pengobatan massal dikarenakan
kampanye pengendalian dan pencegahan filariasis yang merupakan
Kebijakan Kesehatan Nasional Tahun 2000 dalam upaya eliminasi
filariasis tahun 2015.13 Secara fenomenal, Tiongkok berhasil
melaksanakan eliminasi filariasis pada tahun 2006 dengan menggunakan
fortifikasi garam dapur dengan DEC. Keberhasilan program eliminasi
filariasis tersebut karena merupakan program prioritas di 864
kabupaten/kota, sebagai upaya yang berkelanjutan sejak tahun 1949,
adanya kerja sama yang erat antar instansi yang terkait, partisipasi aktif
masyarakat di wilayah endemis, dan tingginya intensitas kampanye
pengendalian dan pencegahan.14 Keberhasilan Tiongkok ini dapat
dijadikan contoh atas adanya partisipasi aktif masyarakat dan kampanye
pengendalian dan pencegahan filariasis.
Dari pengalaman Tiongkok dan hasil keempat studi tersebut di
atas, tampak bahwa keberhasilan pelaksanaan eliminasi filariasis terjadi
jika adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan eliminasi
filariasis sebagai program prioritas, adanya kontinuitas POPM, dan
promosi kesehatan yang intensif. Berdasarkan hal tersebut, bagaimana
dengan Indonesia?. Dimana letak kegagalan dan keberhasilan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan eliminasi filariasis yang telah
berlangsung sejak tahun 2002. Faktor kegagalan dan keberhasilan inilah
yang akan dicari dalam studi ini dengan melibatkan berbagai unit/instansi
yang berada di lingkup Badan Litbangkes.
2. Tujuan
Tujuan Umum
Diketahui dan dianalisis program eliminasi filariasis di kabupaten/kota
yang telah melaksanakan POPM.
Tujuan Khusus
i. Diketahui dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi
filariasis dari hasil analisis aspek epidemiologi (host, agent,
lingkungan).
ii. Diketahuinya dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi
filariasis dari hasil analisis aspek manajemen.
iii. Didapatkannya masukan yang signifikan untuk perbaikan eliminasi
filariasis di Indonesia.
3. Manfaat
Hasil studi diharapkan dapat dijadikan dasar atau acuan dalam hal
pengembangan model eliminasi filariasis yang dapat diterapkan oleh
pelaksana program dalam penanggulangan filariasis.
Untuk melaksanakan program penanggulangan filariasis, telah
ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis. Dalam Permenkes tersebut, penyelenggaraan
penanggulangan filariasis dilaksanakan oleh Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran
serta masyarakat. Penanggulangan filariasis dilaksanakan dengan empat
pokok kegiatan yaitu (1) surveilans kesehatan (penemuan penderita, survei
data dasar prevalensi mikrofilaria, survei evaluasi prevalensi mikrofilaria,
dan survei evaluasi penularan); (2) penanganan penderita; (3)
pengendalian faktor risiko melalui pemberian obat pencegah massal
(POPM); dan (4) komunikasi, informasi, dan edukasi.
4. Kerangka Konsep
Keterangan Diagram
1. Keberhasilan kabupaten/kota dalam eliminasi filariasis didasari oleh
lulus tidaknya saat dilakukan evaluasi (TAS). Pelaksanaan TAS
dilakukan setelah POPM dilakukan selama 5 putaran (5 tahun)
berturut-turut tanpa terputus. Pernyataan lulus TAS jika jumlah
sampel anak usia sekolah (kelas 1 dan 2 atau berumur 6-7 tahun) yang
diperiksa antibodi/antigen lebih rendah dari nilai cut-off kritis yang
ditetapkan (= 18). Sedangkan yang gagal TAS adalah sebaliknya (di
atas nilai cut-off kritis yang ditetapkan).
2. Untuk menuju tercapainya eliminasi filariasis, secara garis besar ada 6
faktor yang perlu dilakukan pengamatan dan pelaksanaan. Ke enam
faktor tersebut adalah reservoir, vektor, lingkungan fisik, pemberian
obat pencegah, perilaku masyarakat, dan manajemen pengendalian.
3. Jika digunakan model pendekatan berdasarkan teori H.L Blum,
keberhasilan eliminasi dipengaruhi atas faktor lingkungan, perilaku,
pelayanan, dan genetik. Enam faktor dalam diagram kerangka konsep
POPM -- Cakupan -- Kesesuaian Pelaksanaan dengan Prosedur -- Kepatuhan Masyarakat Minum Obat
Manajemen Pengendalian -- Surveilans -- Penanganan penderita -- Pengendalian faktor risiko -- Promosi/KIE -- SDM -- Rasio Pembiayaan -- Kebijakan dan Dukungan Pemkab/Pemkot.
Vektor -- Spesies -- Infectivity rate -- Jenis Tempat Perindukan
Reservoir – Spesies – Microfilaremia rate - Jarak Habitat dari Pemukiman Penduduk
Keberhasilan Eliminasi Filariasis
Perilaku Masyarakat -- Pengetahuan -- Sikap -- Kebiasaan
Lingkungan Fisik -- Tipe Wilayah -- Kondisi Pemukiman
Metoda TAS -- Penentuan Subyek -- Teknik Diagnosis -- Penentuan Batas Cut-Off
dapat dikelompokkan sebagai faktor lingkungan (vektor, reservoar,
lingkungan fisik), perilaku (perilaku masyarakat), pelayanan
(pemberian obat pencegah dan manajemen pengendalian), sedangkan
faktor genetik kontribusinya kecil dan dapat diabaikan.
5. Waktu, Tempat/Lokasi, Pelaksana & Penanggung Jawab, dan
Sumber Biaya.
Waktu: Studi dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan dimulai dari bulan
Februari sampai dengan November 2017.
Tempat/Lokasi studi adalah Desa Lantawonua dan Desa Margajaya,
Kabupaten Bombana yang merupakan wilayah endemis Brugia malayi.
Pemilihan lokasi kabupaten berdasarkan hasil TAS yang dilaksanakan
Subdit P2 Filariasis tahun 2016. Hasil TAS kabupaten Bombana
dilaporkan seluruh anak yang diperiksa hasilnya negatif. Adanya hasil
negatif tersebut, maka kriteria inklusi lokasi studi ditentukan berdasarkan
kriteria endemisitas dari hasil pemetaan dan survei darah jari (SDJ) yang
pernah dilakukan untuk menetapkan daerah sentinel dan/atau spot.
Kabupaten Bombana merupakan kabupaten pemekeran dari Kabupaten
Buton. Desa Lantawonua dipilih karena pada lokasi tersebut ditemukan
dua penderita kasus kronis kaki gajah, satu orang sudah meninggal dunia
dan satu orang masih hidup. Desa Margajaya dipilih karena merupakan
desa yang pada survey TAS ke 2 pada tahun 2014 ditemukan kasus positif.
Pelaksana dan Penanggung Jawab adalah Loka Litbang P2B2
Waikabubak yang merupakan satuan kerja yang berada di bawah Badan
Litbangkes.
Sumber Biaya studi berasal dari dana APBN pada DIPA Loka Litbang
P2B2 Waikabubak. Selain bersumber dari DIPA satuan kerja Loka
Litbang P2B2 Waikabubak, salah satu kegiatan yaitu pelaksanaan TAS di
Kabupaten Bombana bersumber dari DIPA Ditjen P2P, Kemenkes RI
tahun 2016. Untuk kegiatan TAS ini pelaksana adalah Subdit P2 Filariasis
dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonosis, Ditjen P2P.
6. Jenis Studi
Jenis studi adalah potong lintang (cross sectional).
7. Transmission Assesment Survey (TAS).
Transmission Assessment Survey (TAS) atau Survei Kajian Penularan
adalah salah satu langkah penentuan evaluasi keberhasilan POPM untuk
menuju eliminasi filariasis. Merupakan survei potong lintang
mengumpulkan data pada waktu yang ditetapkan. Disain survei tergantung
pada jenis parasit dan vektor, rasio angka partisipasi masuk sekolah,
besaran populasi anak usia 6-7 tahun atau kelas 1 dan 2, dan jumlah
sekolah atau daerah pencacahan. Tujuan dari TAS ini adalah untuk
mengukur apakah di daerah tersebut pasca POPM dapat mempertahankan
prevalensi infeksi di tingkatan yang aman, dalam pengertian tidak terjadi
lagi penularan baru meskipun POPM telah dihentikan.
Populasi: anak sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) kelas 1 dan 2
di Kabupaten Bombana.
Sampel: Pemilihan sampel dilakukan secara klaster dengan menggunakan
survey sample builder (SSB)8,15. SSB adalah suatu perangkat yang
dirancang untuk membantu pelaksanaan TAS. Program SSB digunakan
untuk mengotomatisasi perhitungan guna menentukan strategi survei yang
tepat. Dibuat dengan disain survei yang fleksibel agar sesuai dengan
situasi lokal yang tergantung dengan tingkat sekolah dasar, ukuran
populasi, jumlah sekolah atau daerah pencacahan, dan siswa yang dipilih.
Dalam SSB tersebut sudah diperhitungkan tingkat absensi 15%. Dari
seluruh SD/MI di kabupaten/kota dipilih secara random (acak) sebanyak
30 SD/MI sesuai dengan standar yang telah ditentukan WHO. Dalam
daftar random pada SSB mencantumkan juga 5 SD/MI cadangan yang
bisa diikutsertakan dalam survey berdasarkan urutan yang dipilih. Total
sampel antara 1.524-1.552 anak. Dari setiap SD/MI tersebut diambil
sampel anak-anak kelas 1 dan 2 untuk diambil darah jari guna mengetahui
antibodi/antigen dengan rapid diagnostic test. Untuk subyek yang positif
antibodi (lemah), pengambilan dilakukan satu kali lagi.
Kriteria Sampel
Inklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang sakit.
Lokasi: Lokasi pada SD/MI yang terpilih sebagai sampel (30 SD/MI) di
setiap kabupaten.
8. Survei Darah Jari (SDJ)
SDJ yaitu pengambilan darah jari untuk mengetahui ada tidaknya
mikrofilaria di dalam darah. Spesimen darah dilihat dengan mikroskop.
Waktu pengambilan malam hari untuk daerah endemis Brugia malayi dan
Wuchereria bancrofti.
Populasi: masyarakat di Desa Lantawonua dan Desa Margajaya
Sampel: Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi satu proporsi
dengan pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling)
dari Stanley Lemeshow et.al (1997):
n=[Z2 1-2. P(1-P)]/d2
Ket. n = jumlah sampel. Z2 1-2 = 1,960 (tingkat kepercayaan 95%). P=0,28.
d = 0,05.
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel setiap desa adalah:
n = 1,96x1,96x0,28(1-0,28)/0,05 x 0,05 = 309,78 orang, dibulatkan
menjadi 310 orang (minimal).
Jumlah 310 orang terdapat pada l.k. 70--100 rumah tangga (1 rumah
tangga 4,5 orang) per lokasi. Total sampel untuk setiap kabupaten adalah
620 orang di 2 desa pada kecamatan yang berbeda. Subyek yang diambil
Catatan: Kegiatan TAS ini dilaksanakan oleh tim dari Subdit P2 Filariasis dan Kecacingan, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonosis, Ditjen P2P pada tahun 2016.
darah adalah penduduk yang berusia 5 tahun ke atas, termasuk anak
SD/MI yang positif antibodi/antigen dan 10% yang negatif
antibodi/antigen.
Kriteria Sampel:
Inklusi: penduduk usia 5 tahun ke atas, terutama anak-anak kelas 1 dan 2
SD/MI yang positif hasil test antibodi/antigen. Saat pelaksanaan penelitian
anak-anak tersebut sudah menduduki bangku kelas 2 dan 3.
Eksklusi: penduduk yang sakit kronis (TBC, kusta), dan gangguan jiwa.
Lokasi: adalah Desa Lantawonua dan Desa Margajaya
9. Stool Survey (StS)
StS yaitu pemeriksaan tinja pada anak-anak SD/MI. Tujuannya adalah
untuk mengetahui apakah kemungkinan adanya reaksi silang brugia rapid
diagnostic test yang positif dengan kejadian infeksi kecacingan perut.
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan pemeriksaan langsung. Kegiatan StS
ini dilakukan pada daerah yang endemis B. malayi.
Populasi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 di Kabupaten Bombana
Sampel: Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi satu proporsi
dengan pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling)
dari Stanley Lemeshow et.al (1997):
n=[Z2 1-2. P(1-P)]/d2
Ket. n = jumlah sampel. Z2 1-2 = 1,645 (tingkat kepercayaan 90%). d =
0,05.
Prevalensi kecacingan adalah 18% sehingga P = 0,18.
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel setiap kabupaten adalah
antara 146 – 178 anak; dengan N = 1.464 – 1.783 anak.
Subyek yang diambil faeces adalah anak SD/MI yang positif dan negatif
antibodi/antigen.
Kriteria Sampel:
Inklusi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 yang positif dan negatif test
antibodi/antigen.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 yang sakit (diare).
Teknik pengambilan sampel:
Pada setiap lokasi diambil sampel sebanyak 150 anak SD kelas 1 dan 2
dengan cara sebagai berikut:
1) Jika hasil TAS ditemukan ada anak SD yang positif (hanya pada satu
SD), maka SD dimana ada anak yang positif tadi diambil sebanyak
150 anak SD kelas 1 dan 2. Jika sampel masih kurang maka diambil
pada SD yang berdekatan dengan SD sebelumnya tetapi SD tersebut
ikut menjadi sampel TAS tahun 2016, jika masih kurang juga maka
diambil dari SD yang berdekatan dengan SD sebelumnya tetapi SD
tersebut ikut menjadi sampel TAS tahun 2016.
2) Jika hasil TAS ditemukan ada anak SD yang positif (pada 2 SD),
maka pada kedua SD tersebut diambil sebanyak 150 anak SD kelas 1
dan 2. Jika sampel masih kurang maka diambil pada SD yang
berdekatan dengan SD sebelumnya tetapi SD tersebut ikut menjadi
sampel TAS tahun 2016, jika masih kurang juga maka diambil dari
SD yang berdekatan dengan SD sebelumnya tetapi SD tersebut ikut
menjadi sampel TAS tahun 2016.
3) Jika hasil TAS ditemukan ada anak SD semua negative, maka
sampel anak SD diambil pada SD yang menjadi sampel TAS tahun
2016 dan paling berdekatan dengan lokasi penelitian. Jika sampel
masih kurang maka diambil pada SD yang berdekatan dengan SD
sebelumnya tetapi SD tersebut ikut menjadi sampel TAS tahun 2016,
jika masih kurang juga maka diambil dari SD yang berdekatan
dengan SD sebelumnya tetapi SD tersebut ikut menjadi sampel TAS
tahun 2016.
Lokasi: Untuk Kabupaten Bombana ditetapkan SDN 47 Lameroro dengan
jumlah sasaran (target) sebanyak 90 anak; SDN 148 Lampopala dengan
jumlah sasaran (target) sebanyak 22 anak dan SDN 52 Hukaea dengan
jumlah sasaran (target) sebanyak 50 anak; sebagai lokasi pengumpulan
sampel stool. Pemilihan SD berdasarkan hasil Pre-TAS dan TAS 2016.16
10. Deteksi DNA Brugia malayi
Deteksi DNA Brugia malayi adalah pemeriksaan ada tidaknya jejak
keberadaan fragmen mikrofilaria Brugia malayi di dalam darah.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan teknik polymerase chain
reaction (PCR). Kegiatan deteksi DNA B. malayi ini dilakukan pada
daerah yang endemis B. malayi.
Populasi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 di Kabupaten Bombana
Sampel: anak SD/MI kelas 2 dan 3 yang positif/negatif hasil tes antibodi.
Jumlah sampel 15-20 per kabupaten. Subyek diambil darah jari sebanyak
150—200 µl, dimasukkan ke tabung microtainer dan sebagian diteteskan
ke kertas Whattman filter. Darah yang ada di tabung microtainer dan
kertas Whattman filter akan diperiksa dengan metode polymerase chain
reaction (PCR).
Kriteria Sampel:
Inklusi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 yang positif/negatif hasil tes antibodi.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 2 dan 3 yang tidak datang/hadir di sekolah
karena sakit atau ijin ada keperluan lainnya.
Teknik pengambilan sampel:
Pada setiap lokasi diambil sampel sebanyak 20 anak SD kelas 2 dan 3
dengan cara sebagai berikut:
1) Semua sampel anak SD yang positif hasil TAS 2016 diambil sebagai
sampel, jika jumlah sampel positif tidak sampai 20 maka untuk
memenuhi minimal sampel 20 ditambah dengan sampel anak SD
yang negatif pada TAS 2016. Sampel negatif ini bisa diambil pada
salah satu SD yang ada anak yang positif sampai terpenuhi minimal
sampel. Cara pengambilannya denga purposive sampling.
2) Jika hasil TAS ditemukan ada anak SD semua negatif maka sampel
anak SD sebanyak 20 buah diambil mengikuti lokasi pengambilan
sampel stools.
Lokasi: SDN 47 Lameroro, SDN 148 Lampopala, SDN 52 Hukaea.
11. KAP Survey Filariasis
KAP survey filariasis yaitu survei untuk mengetahui aspek pengetahuan,
sikap dan perilaku masyarakat terkait dengan program eliminasi filariasis
(penyebab penyakit, pengobatan, dan pencegahan).
Populasi: masyarakat di Desa Lantawonua dan Desa Margajaya
Sampel: Jumlah sampel sebanyak 310 orang yang berusia 5 tahun ke atas
pada 70—100 rumah tangga. Total sampel 620 orang per kabupaten.
Subyek diwawancarai dengan kuesioner terstruktur yang telah
dikembangkan oleh WHO.
Kriteria Sampel:
Inklusi: penduduk usia 5 tahun ke atas.
Eksklusi: penduduk yang kesulitan dalam berkomunikasi (tuna wicara dan
tuna rungu), dan lansia dementia.
Teknik pengambilan sampel:
Pada setiap lokasi diambil sampel sebanyak minimal 310 responden.
Untuk Desa Lantawonua responden pertama dipilih dengan kriteria adalah
rumah penderita kronis kaki gajah. Untuk Desa Margajaya responden
pertama dipilih dengan kriteria adalah rumah anak positif SDJ dari hasil
TAS, karena di desa tersebut tidak ditemukan penedirita kasus kronis kaki
gajah; maka rumah pertama yang terpilih dimulai dari rumah
anak/penderita tersebut. Sampel rumah tangga berikutnya diambil yang
paling dekat dengan rumah pertama dan seterusnya sampai mendapatkan
310 responden yang akan dilakukan pengambilan darah jari. Untuk
menentukan titik global positioning system (GPS) rumah responden
tinggal dilakukan plotting mulai dari rumah pertama sampai seluruh rumah
tempat tinggal calon responden.
Lokasi: Desa Lantawonua dan Desa Margajaya
12. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam ditujukan kepada informan yang terdiri atas para
pejabat lintas program dan sektor di tingkat provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa; serta penderita klinis kronis filariasis.
Kriteria Sampel:
a. Para pejabat lintas program dan sektor
Inklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di
provinsi/kabupaten/kecamatan/desa yang berada di bawah kordinasi deputi
kesejahteraan rakyat.
Eksklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di
provinsi/kabupaten/kecamatan/desa yang berada di bawah kordinasi deputi
kesejahteraan rakyat yang tidak terkait dengan program pengendalian
penyakit menular.
Untuk wawancara mendalam, jumlah informan berkisar 4—10 orang.
Lokasi: Bombana/Kecamatan Rumbia dan Rarowatu Utara/Desa
Lantawonua, Anekamarga, dan Marga Jaya.
b. Penderita klinis filariasis:
Inklusi: penderita klinis filariasis dengan ekstremitas (kaki/tangan) yang
membesar dalam stadium I—IV.
Eksklusi: penderita klinis filariasis yang tidak menunjukkan pembesaran
ekstremitas.
Untuk wawancara mendalam, jumlah informan adalah satu
orang/penderita.
Lokasi: Desa Lantawonua
13. Survei Vektor (Nyamuk).
Survei vektor (nyamuk) dilakukan untuk melihat spesies nyamuk
yang mengandung larva L1, L2 dan L3. Pelaksanaannya 2 kali, dengan
selang waktu 1 bulan, pada 3 titik/lokasi di Desa Lantawonua dan Desa
Margajaya. selama 2 malam berturut-turut. Dimulai sore hari pukul 17
sampai esok hari pukul 6. Metode yang digunakan adalah modifikasi
human landing collection dalam kelambu.
Selain survei vektor, juga dilakukan survei habitat vektor. Dalam
survei ini dilakukan pengamatan dan pencatatan habitat vektor filariasis
yang meliputi type breeding site, pengamatan flora dan fauna (naungan
dan kepadatan flora), kondisi ekologi (tanaman air, lumut, ganggang), dan
keberadaan hewan air predator, jarak dari rumah penduduk, penggunaan
lahan, dan total larva yang ditemukan per spesies. Untuk mengetahui
lokasi habitat vektor dilakukan plotting sehingga akan diperoleh titik
global positioning system (GPS) habitat vektor tersebut.
Kriteria Sampel:
Inklusi: Titik lokasi tempat penangkapan dengan kondisi ekologi yang
mendukung keberadaan vektor (ada kobakan air yang tergenang,
kelompok tumbuhan yang hidup di air, semak belukar, hutan sekunder atau
tersier).
Eksklusi: Titik lokasi tempat penangkapan dengan kondisi ekologi yang
tidak menunjukkan keberadaan vektor.
Lokasi: Lokasi adalah Desa Lantawonua dan Desa Margajaya.
14. Survei Lingkungan
Survei lingkungan adalah pengumpulan data dan informasi yang terkait
dengan lingkungan biologis vektor dan reservoar pada daerah tempat
pelaksanaan studi.
Sampel: Untuk lingkungan biologis vektor, jumlah sampel sebanyak 70—
100 bangunan rumah di tempat pelaksanaan SDJ.
Kriteria Sampel:
Lingkungan biologis vektor.
Inklusi: Lingkungan bangunan rumah responden yang terpilih dalam
survei KAP.
Eksklusi: Lingkungan bangunan umum (sekolah, kantor, gedung
pertemuan, pos keamanan, rumah kosong, masjid/mushalla/gereja/pura).
Lokasi: Lingkungan rumah penduduk tempat pelaksanaan SDJ pada 2
desa/kelurahan di setiap kabupaten.
Untuk mengetahui kondisi lingkungan biologis vektor dilakukan plotting
sehingga akan diperoleh titik global positioning system (GPS) lingkungan
di sekitar bangunan rumah responden.
15. Bahan dan Cara Pengumpulan Data
Transmission Assesment Survey (TAS).
a. Tim TAS terdiri atas (1) pengawas utama yaitu petugas yang sudah
menerima pelatihan TAS dan atau memiliki pengalaman mengikuti
survei TAS sebagai supervisor; (2) kordinator lapangan yang
bertugas melakukan kordinasi dengan pihak sekolah dan melakukan
penyuluhan kesehatan; (3) pendaftar yaitu petugas yang mencatat dan
mendaftar anak-anak yang dipilih sebagai sampel untuk diambil
darahnya; (4) pengambil darah yaitu petugas yang akan mengambil
sampel darah; (5) pembaca hasil tes yaitu petugas yang khusus
memonitor dan membaca hasil tes cepat antibodi/antigen termasuk
memonitor waktu (pengelola timer).
b. Di lokasi kegiatan (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah), pengawas
utama akan memberi penjelasan singkat kepada kepala sekolah dan
guru-guru tentang maksud dan tujuan pemeriksaan TAS. Selanjutnya
didiskusikan tempat terbaik untuk pengambilan darah, sebaiknya di
ruangan terpisah untuk mencegah murid merasa takut melihat proses
pengambilan darah.
c. Kordinator lapangan memberi penjelasan singkat kepada murid
(subyek penelitian) tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
Penjelasan tersebut mengenai risiko terhadap subyek penelitian,
meskipun kegiatan ini merupakan bagian dari suatu kegiatan rutin
program filariasis. Risiko yang dihadapi adalah risiko minimal yang
dapat menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan. Jarang sekali
terjadi infeksi atau perdarahan kecuali pada beberapa individu
tertentu. Dari hal ini subyek akan memperoleh manfaat karena bagi
subyek yang hasil pengujiannya positif akan diberi pemeriksaan dan
tindakan pengobatan lanjutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Tim TAS menyiapkan meja yang berpermukaan rata untuk mengatur
alat yang dibutuhkan dan membaca hasil-hasil tes. Anggota tim yang
telah ditentukan sebagai pengambil darah dan pembaca tes siap di
posisi masing-masing.
e. Pendaftar mengisi data demografis (nama, jenis kelamin, umur,
alamat) untuk setiap murid yang terpilih sebagai subyek penelitian di
formulir yang telah disediakan. Pendaftar memasukkan setiap data
dari murid yang menolak atau tidak mendapat ijin dan menuliskan
jumlah murid yang absen dalam formulir serta mengisikan nama
subyek dan nomor kode spesimen pada formulir.
f. Pengambil darah menuliskan nama dan nomor kode spesimen pada
perangkat kit diagnostik yang digunakan. Lakukan pengambilan darah
jari pada subyek sebanyak 35 μl.
g. Hasil yang diperoleh berupa jumlah anak/murid SD/MI yang positif
dan negatif diinformasikan ke Tim Pelaksana Riset Filariasis. Data
dan informasi anak/murid SD/MI positif antibodi/antigen yang
disampaikan adalah: nama SD/MI, nama anak, umur, alamat
(dusun/RT, desa/kelurahan, kecamatan), dan nama orang tua/wali.
Survei Darah Jari (SDJ) dan Survei KAP-Lingkungan (SKAP-L).
a. Tim SDJ dan SKAP-L terdiri atas (1) pemeriksa gejala klinis yaitu
peneliti yang akan melakukan anamnesa kepada subyek penelitian
terkait dengan gejala klinis yang dirasakan saat ini atau yang pernah
dirasakan subyek setahun terakhir, pemeriksa gejala klinis juga
merangkap sebagai ketua tim; (2) pewawancara yaitu peneliti yang
bertugas melakukan wawancara dari rumah ke rumah kepada subyek
penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur; (3) pencatat
lokasi GPS yaitu peneliti yang bertugas melakukan plotting rumah
calon responden; (4) pendaftar yaitu pembantu peneliti yang
mencatat dan mendaftar subyek penelitian yang dipilih sebagai sampel
untuk diambil darahnya; (5) pengambil darah yaitu peneliti yang
mengambil sampel darah; (6) pemroses spesimen yaitu peneliti yang
memproses spesimen sejak spesimen diteteskan pada slaid sampai
diperiksa; (7) pemberi bahan kontak yaitu pembantu peneliti yang
membagikan bahan kontak kepada subyek penelitian yang telah
selesai diambil darah jari dan wawancara.
b. Tim melakukan plotting pada bangunan rumah calon responden,
lingkungan rumah calon responden, dan habitat vektor.
c. Tim KAP melakukan wawancara ke masing-masing rumah responden
yang dilakukan pada siang hari. Pemilihan rumah responden
dilakukan dengan dimulai dari rumah penderita (positif antibodi atau
positif mikrofilaria atau kronis elefantiasis) sebagai titik pusat.
Selanjutnya dipilih rumah yang berdekatan di sekeliling rumah
penderita secara melingkar atau secara zig-zag disesuaikan dengan
posisi letak antar rumah.
d. Tim mengisi formulir identitas rumah tangga yang berisikan nama-
nama anggota rumah tangga dan informed concent. Untuk pengisian
formulir ini, dapat ditanyakan kepada kepala rumah tangga atau salah
seorang anggota rumah tangga yang berusia dewasa. Informed concent
ini diberikan kepada responden/subyek penelitian untuk dibawa ke
tempat pengambilan darah jari sebagai bukti bahwa rumah tangga
tersebut telah dilakukan wawancara.
e. Wawancara dilakukan pada responden yang berusia di atas 5 tahun ke
atas. Proses wawancara berlangsung antara 15—20 menit.
f. Sebelum melakukan wawancara, pewawancara akan menyodorkan
formulir persetujuan setelah penjelasan (PSP) kepada
responden/subyek penelitian untuk dibaca dan ditandatangani
responden jika responden setuju. Jika responden tidak dapat atau
kesulitan membaca, pewawancara akan membacakan PSP.
g. Setelah selesai wawancara ke seluruh subyek penelitian (responden),
tim melakukan persiapan tempat/posko untuk pengambilan darah jari.
h. Di tempat pengambilan darah/posko; tim menyiapkan tempat yang
cukup lapang. Di tempat pengambilan darah hendaknya disediakan
kursi secukupnya untuk subyek duduk menunggu giliran serta
minimal 4 buah meja untuk menaruh berbagai peralatan pengambil
darah dan bahan-bahan. Disiapkan satu tempat/ruangan khusus untuk
pemeriksaan klinis.
i. Subyek penelitian (responden) yang telah datang di tempat
pengambilan darah, mendaftar ke meja petugas pendaftar dengan
menyerahkan informed concent. Petugas pendaftar akan mendaftar
subyek penelitian pada formulir yang disediakan.
j. Subyek penelitian (responden) beralih ke tempat pemeriksaan klinis.
Oleh ketua tim, sebagai pemeriksa gejala klinis, diberikan penjelasan
singkat kepada subyek penelitian tentang maksud dan tujuan
pemeriksaan. Penjelasan tersebut mengenai risiko terhadap subyek
penelitian. Risiko yang dihadapi adalah risiko minimal yang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan (rasa sakit pada ujung jari) namun
jarang sekali terjadi infeksi atau perdarahan kecuali pada beberapa
individu tertentu. Dari hal ini subyek akan memperoleh manfaat
karena bagi subyek yang hasil pengujiannya positif akan dilakukan
pemeriksaan dan tindakan pengobatan lanjutan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Pemeriksa gejala klinis akan melakukan
anamnesa kepada subyek penelitian. Gejala klinis yang ditemukan
dan yang pernah dirasakan subyek penelitian dalam setahun terakhir
dicatat dalam formulir yang telah disiapkan.
k. Selanjutnya subyek penelitian akan diambil darah jari sebanyak 60 μl
untuk sediaan apus tebal oleh petugas pengambil darah. Pengambilan
darah jari dimulai pada pukul 21.00. Sediaan darah yang ada pada
kaca slaid akan diproses oleh pemroses spesimen sampai sedian darah
diperiksa dan disimpan pada kotak slaid.
l. Setelah selesai diambil darah jari, subyek penelitian beralih ke meja
petugas pemberi bahan kontak. Petugas pemberi bahan kontak akan
memberikan bahan kontak kepada subyek. Subyek menandatangani
tanda terima bahan kontak.
m. Proses pengambilan darah jari selesai, subyek kembali ke tempat
tinggal.
n. Proses pewarnaan sediaan darah dan pemeriksaan dilakukan oleh tim.
Bagi subyek penelitian yang hasil pemeriksaan darah jarinya positif,
dirujuk ke Puskesmas untuk diberikan pengobatan dengan DEC dan
albendazol sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
o. Hasil pemeriksaan slaid yang positif dan 10% dari slaid yang negatif
dikirim ke Tim Teknis (Laboratorium Parasitologi, Puslitbang
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) untuk dilakukan
pemeriksaan silang (cross check).
p. Data hasil pemeriksaan klinis, pemeriksaan sediaan darah, dan
wawancara dientri oleh tim.
Stool Survey (StS)
a. Tim StS terdiri atas (1) ketua tim yaitu peneliti yang memimpin
pelaksanaan kegiatan; (2) pengumpul dan pemeriksa spesimen
yaitu peneliti yang akan mengampulkan dan memeriksa spesimen
tinja; (3) pendaftar yaitu pembantu peneliti yang mencatat, mendaftar
dan memberikan bahan kontak kepada subyek penelitian (anak-anak)
yang dipilih sebagai sampel untuk menyerahkan tinjanya; (4)
penghubung adalah pembantu peneliti yang melakukan kordinasi
dengan pihak sekolah dan melakukan penyuluhan kesehatan kepada
subyek penelitian.
b. Sehari sebelum pengumpulan spesimen, ketua tim memberikan
penjelasan singkat kepada kepala sekolah dan guru-guru tentang
maksud dan tujuan survei. Selanjutnya pendaftar melakukan
pendaftaran dan pencatatan nama murid SD/MI yang terpilih sebagai
sampel yang akan menyerahkan spesimen tinja. Proses selanjutnya
adalah membagikan pot tinja tempat spesimen tinja disertai
keterangan cara pengambilan, pengemasan, dan waktu penyerahan.
Saat pembagian pot, kepada murid SD/MI dijelaskan maksud dan
tujuan pemeriksaan spesimen tinja dan manfaat yang diterima dari
kegiatan yang dilakukan. Informed concent diberikan ke murid untuk
ditandatangani oleh orang tua murid/wali murid.
c. Hari kedua; murid SD/MI yang terpilih sebagai sampel menyerahkan
pot yang telah terisi spesimen tinja kepada tim.
d. Setelah pemeriksaan klinis subyek penelitian menerima bahan kontak
dari pendaftar. Subyek menandatangani tanda terima bahan kontak.
e. Pemeriksaan spesimen tinja dilakukan langsung di lapangan. Bagi
subyek penelitian yang hasil pemeriksaan tinja positif, dirujuk ke
Puskesmas untuk diberikan pengobatan dengan albendazol sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
f. Hasil pemeriksaan spesimen tinja yang positif dikirim ke Tim Teknis
(Laboratorium Parasitologi, Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan) untuk dilakukan pemeriksaan silang (cross check).
Deteksi DNA Brugia malayi
a. Tim Deteksi DNA Brugia malayi (DDB) terdiri atas (1) pengambil
darah yaitu peneliti yang akan mengambil sampel darah jari murid
SD/MI yang positif/negatif antibodi brugia; (2) pendaftar yaitu
peneliti yang mencatat, mendaftar dan memberikan bahan kontak
kepada subyek studi (anak-anak) yang dipilih sebagai sampel.
b. Tim DDB akan mendatangi SD/MI tempat anak-anak yang
positif/negatif antibodi.
c. Sebelum pengumpulan spesimen, tim memberikan penjelasan singkat
kepada kepala sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan
pengambilan darah pada siang hari. Selanjutnya petugas pendaftar
melakukan pendaftaran dan pencatatan nama murid SD/MI yang
terpilih sebagai sampel.
d. Subyek studi diambil darah jari sebanyak 200 µl dimasukkan ke
tabung microtainer dan sebagian diteteskan ke kertas Whattman filter.
Darah yang ada di tabung vacutainer dan kertas Whattman akan
diperiksa dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
e. Spesimen darah tersebut dikirim ke Laboratorium Nasional Badan
Litbangkes di Jakarta.
Wawancara Mendalam (Depth Interview)
a. Tim Wawancara Mendalam terdiri atas (1) pewawancara, dan (2)
pencatat (notulis).
b. Tim Wawancara akan mendatangi informan di tempat masing-masing.
c. Sebelum pelaksanaan wawancara mendalam, pewawancara
memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan wawancara
mendalam. Informan diminta untuk membaca dan menandatangani
PSP.
Survei Vektor (Nyamuk).
a. Tim Survei Vektor (Nyamuk) berjumlah 4 (empat) orang dan dibantu
tenaga lokal sebanyak 9 (sembilan) orang. Salah seorang dari empat
peneliti tersebut menjadi ketua tim/ kordinator.
b. Sehari sebelum pelaksanaan survei, ketua tim/kordinator
mendatangi lokasi penangkapan vektor untuk menentukan lokasi
penangkapan vektor serta melakukan kordinasi dengan aparat
desa/kelurahan setempat.
c. Kelambu dipasang pada 6 titik/tempat di 3 rumah. Setiap rumah
dipasang 2 kelambu yaitu di dalam dan luar rumah.
d. Kelambu yang dipasang terdiri atas 2 kelambu yaitu kelambu luar
yang tempat masuknya terbuka dan kelambu dalam yang lebih kecil
dari kelambu luar. Umpan manusia berada di kelambu dalam.
e. Setiap 10 menit seorang peneliti dibantu tenaga lokal menangkap
nyamuk yang hinggap, baik yang di kelambu luar atau pun dalam.
f. Nyamuk yang terkumpul dibawa ke posko/tempat pemeriksaan untuk
dilakukan identifikasi. Hasil identifikasi nyamuk dicatat dalam form
yang telah disiapkan.
g. Penangkapan nyamuk dilakukan mulai pukul 18.00 sore sampai pukul
06.00 pagi berikutnya (12 jam).
h. Dua sampai empat spesies yang tertangkap dan diperkirakan sebagai
vektor potensial dikirim ke Laboratorium Entomologi Puslitbang
Upaya Kesehatan Masyarakat untuk diperiksa dengan teknik PCR
guna menentukan besarnya infectivity rate vector. Pemeriksaan
dilakukan secara pooling berdasarkan spesies dan lokasi. Untuk
efisiensi pemeriksaan PCR maka hanya nyamuk betina parous yang
akan diperiksa keberadaan larva cacing filaria.
16. Alur Kegiatan
Berikut di bawah ini alur kegiatan penelitian.
TRANSMISSION ASESSMENT SURVEY (dilakukan pada tahun 2016)
Populasi Sampel Murid SD/MI kelas 1 & 2 per kab/kota
Klaster/Sekolah 30--40 SD/MI di setiap kab/kota
yang lulus/gagal TAS.
Rapid Diagnostic Test (RDT) Brugia Rapid Test/ICT
Hasil RDT semua neg
Pilih lokasi: daerah sentinel dan/atau daerah spot.
Hasil RDT ada yg pos
DUA desa/kelurahan yang terpilih
Pilih lokasi: RDT positif terbanyak dan/atau keberadaan reservoar (kucing, anjing, lutung/ monyet) bagi daerah endemis B. malayi.
Daerah B. malayi: Pemilihan lokasi Stool Survey dan Deteksi DNA B. malayi
Kabupaten/Kota Masa Surveilans (Pasca Lulus TAS-1/TAS-2)
Kabupaten/Kota Pasca POPM (5 -- 7 thn)
DUA desa/kelurahan yang terpilih
Survei Darah Jari Bm = 20.00—02.00 Wb = 21.00—24.00 Jumlah sampel = 620 org, usia 5 thn >
Positif
Negatif
Pengobatan
KAP Survei: Jumlah responden = 620 org, usia 5 thn >
Survei Vektor: Mansonia, Culex, Aedes, Anopheles.
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Pemeriksaan PCR
Positif
Negatif
Data kuantitatif dan kualita-tif diolah dan dianalisis
Survei Reservoar (pada daerah endemis B. malayi): Pengambilan sampel darah kucing, anjing, dan primata (lutung, monyet) sebanyak 100 ekor.
Positif
Negatif
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Survei Lingkungan: Lingkungan di seputar desa/kelurahan.
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Wawancara Mendalam (Indepth Interview): Responden adalah (1) pejabat lintas program/sektor tingkat provinsi/kabupaten/kecamatan/desa, (2) penderita elephantiasis (jumlah responden 2—5 orang/kabupaten).
Data kualitatif diolah dan dianalisis
Identifikasi Status Antibodi IgG B. malayi: Jumlah responden 124 orang yang juga sebagai responden survei darah jari. Darah diambil sebanyak l.k 3 cc dari vena responden.
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Keterangan: = dilaksanakan oleh Subdit Filariasis dan Kecacingan,
Dit. P2TVZ.
Penjelasan diagram
1. Secara garis besar ada 5 faktor utama dalam pelaksanaan eliminasi
filariasis, yaitu sumber daya manusia yang kapasitas dan kapabilitas
terkait filariasis cukup baik kompetensinya; sistem logistik yang
memadai; pelaksanaan promosi kesehatan yang tepat sasaran,
melibatkan lintas sektor dan upaya kesehatan sekolah yang kontinu dan
terencana; adanya kebijakan dan peraturan yang mendukung kegiatan
eliminasi; dan tersedianya anggaran operasional yang memadai.
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Daerah B. malayi: Pemilihan lokasi Stool Survey dan Deteksi DNA B. malayi
Dari 30--40 SD/MI yang dilakukan TAS, pilih: SD/MI yg murid kelas 1 dan 2-nya (saat puldat sudah duduk di kelas 2 dan 3), ada dan banyak yg positif. Minimal 4 SD/MI. Jika kab/kota tsb tidak ada hasil TAS positif, pilih: SD/MI pada daerah sentinel dan/atau daerah spot atau SD/MI yang berdekatan dengan daerah sentinel dan/atau daerah spot; yang terkena sampel TAS. Minimal 4 SD/MI.
Stool Survey: Sampel 150—170 anak SD/MI kelas 1 dan 2 (10% dari total anak yang menjadi sampel TAS) untuk setiap kabupaten, diutamakan anak-anak yang positif TAS dan sisanya anak-anak yang negatif TAS.
Positif
Negatif
Deteksi DNA B. malayi Jumlah sampel = 15—20.
Data kuantitatif diolah dan dianalisis
Pengobatan
Catatan: tahun 2017 saat penelitian dilaksanakan, anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI tersebut telah duduk di kelas 2 dan 3.
2. Kegiatan eliminasi filariasis ditujukan ke segenap masyarakat yang
berdomisili di kabupaten/kota.
3. Dalam studi ini sasaran penelitian (subyek studi) adalah anak SD/MI,
tokoh masyarakat, anggota masyarakat termasuk orang tua anak SD/MI,
lingkungan, vektor dan reservoar penyakit.
4. Pada diagram di atas, tampak tergambar urutan tahapan pelaksanaan
studi yang dimulai dari TAS, pemeriksaan hasil SDJ secara
mikroskopis, stool survey, wawancara ke stake holder dan masyarakat,
survei lingkungan, penangkapan vektor, dan pemeriksaan reservoar.
17. Definisi Operasional
1) Kabupaten/Kota Gagal TAS adalah kabupaten/kota yang dalam
pelaksanaan TAS tidak lulus TAS baik TAS-1, TAS-2 dan TAS-3
dikarenakan dari jumlah sampel anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang
positif antibodi/antigen di atas nilai cut off yang ditetapkan.
2) Kabupaten/Kota Lulus TAS adalah kabupaten/kota yang dalam
pelaksanaan TAS lulus TAS baik TAS-1, TAS-2 dan TAS-3
dikarenakan dari jumlah sampel anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang
positif antibodi/antigen di bawah nilai cut off yang ditetapkan.
3) Sentinel area adalah wilayah (desa/kelurahan) yang terpilih pada
saat survei pemetaan sebelum pelaksanaan POPM.
4) Spot area adalah wilayah (desa/kelurahan) yang dicurigai masih
terjadinya penularan filariasis (cakupan POPM rendah, faktor
epidemiologi mendukung).
18. Manajemen dan Analisis Data
1) Manajemen Data
Data dan informasi yang diperoleh diedit, coding dan dientri
langsung di lapangan dengan program yang telah disiapkan. Entri
data dilakukan oleh tim pengumpul data. Selanjutnya data dikirim
via internet atau secara langsung dengan menyimpan dalam flash
disk.
2) Analisis Data
Data kuantitatif yang sudah bersih akan dilakukan analisis secara
deskriptif dan bivariat. Data kualitatif dari hasil wawancara
mendalam akan dilakukan pengkajian untuk diperoleh kesimpulan
di setiap variabel yang dikaji.
Bab III
Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Bombana merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan undang-undang
nomor 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana,Kabupaten
Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kabupaten Bombana terletak di bagian selatan garis khatulistiwa memanjang
dari utara ke selatan diantara 4.30o – 6.25o LS dan dari Barat ke Timur antara
120,82o – 122,20o Bujur Timur. Batas wilayahnya adalah Sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan; Sebelah Selatan
berbatasan dengan Laut Flores; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Muna dan Buton; Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone. Luas
wilayah daratan Kabupaten Bombana sekitar 3.316,16 km2, dan luas
perairan laut sekitar 11.837,31 km2. Secara administratif pemerintahan
Kabupaten Bombana tahun 2016 terbagi atas 22 kecamatan dan 143
desa/kelurahan. Puskesmas di Kabupaten Bombana berjumlah 22
Puskesmas. Jumlah rumah Sakit di Kabupaten Bombana sampai tahun 2016
adalah 1 rumah sakit daerah tipe D dengan nama RSUD Bombana dan 2
Rumah Sakit Pratama.17
Geografis Kabupaten Bombana terdiri atas daerah pegunungan,
daerah pesisir dan kepulauan serta daerah daratan dataran rendah dengan
ketinggian 1.000 mdpl, dan sebagian kecil di bagian utara dengan
ketinggian 500 mdpl. Wilayah Pulau Kabaena merupakan bagian dari
Kabupaten Bombana yang terpisah dari daratan utama Pulau Sulawesi.
Kabupaten Bombana beriklim tropis kering yang terbagi atas dua musim,
yakni musim hujan dan musim kemarau (RPJMD Kab. Bombana).
2. Gambaran Umum Pengendalian Filariasis di Daerah Penelitian
Pengendalian filariasis di Kabupaten Bombana dimulai dari sejak
kabupaten ini masih bergabung dengan Kabupaten Buton. POPM di
Kabupaten Bombana dimulai pada tahun 2005 dan berakhir pada tahun
2010. Cakupan POPM setiap tahunnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Cakupan POPM di Kabupaten Bombana
No Tahun
Cakupan
POPM
1 2005 71%
2 2006 72%
3 2007 72%
4 2008 60%
5 2009 58%
6 2010 41%
Sumber: Subdit Filariasis, P2PL, Kemenkes RI.
Dari tabel cakupan POPM dapat terlihat bahwa POPM di
Kabupaten Bombana dimulai pada tahun 2005 dengan cakupan 71%,
cakupan POPM menurun pada tahun 2008 sebesar 60%, dan semakin
menurun pada tahun 2010 yang hanya sebesar 41% dari seluruh penduduk.
Jika mengacu pada Permenkes RI No. 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis, angka cakupan POPM itu belum memenuhi
kriteria daerah yang siap dievaluasi TAS dan harus mengulang POPM
hingga minimal cakupan POPM 65% dari jumlah penduduk. Namun,
berdasarkan dari informasi dari Subdit Filariasis, P2PL Kemenkes RI, bahwa
pada tahun tersebut belum berlaku Peraturan menteri kesehatan tersebut dan
mengingat panduan dari WHO belum diterapkan. Sehingga setelah POPM
tahun 2010 dihentikan dan dilanjutkan dengan evaluasi kegiatan
Transmission Asessment Survey (TAS) untuk mengevaluasi dan mengetahui
apakah masih ada transmisi penularan filaraisis di daerah tersebut. Kegiatan
TAS 1 dilakukan pada tahun 2011, ditemukan 7 anak yang positif dan
dinyatakan lulus. Kegiatan TAS 2 dilakukan pada tahun 2014, ditemukan 12
anak yang positif, dan dinyatakan lulus. Kegiatan TAS 3 dilakukan pada
tahun 2016, tidak ditemukan kasus positif. Dari kegiatan TAS tersebut maka
tahun 2017 Kabupaten Bombana sudah menerima sertifikat bebas filariasis.
3. Gambaran Jumlah & Karakteristik Subyek Penelitian/Sampel
Berikut Tabel 2. disajikan jumlah responden/subyek
penelitian/sampel yang dikumpulkan dalam studi ini.
Tabel 2. Jumlah Responden/Subyek Penelitian/Sampel Berdasarkan Jenis
Data/Informasi Yang Dikumpulkan Kabupaten Bombana Tahun 2017.
No Jenis
Data/Informasi
Jumlah Res/
SP/Sampel
Keterangan
1 TAS * 1538 Subyek Penelitian (SP) adalah anak SD kelas
1 dan 2 (thn 2016)
2 Survei KAP 648 Desa Lantawonua 328 dan Desa Margajaya
320
3 Pemeriksaan Klinis 620 Desa Lantawonua 310 dan Desa Margajaya
310
4 Survei Darah Jari 620 Desa Lantawonua 310 dan Desa Margajaya
310
5 Stool Survey
151 SP sama dengan subyek penelitian pada TAS
(saat puldat anak duduk di kelas 2 dan 3 (thn
2017)
6 Deteksi Gen Bm 21 SP sama dengan SP TAS (saat puldat anak
duduk di kelas 2 dan 3 (thn 2017)
8 Studi Kualitatif 16 Informan adalah Kepala Dinas kesehatan,
Kabid, Kasie, Pemegang Program, Kepala
Puskesmas, Kader, Kepala Desa, Tokoh
Agama, Penderita kronis.
* = Pengumpulan data dilakukan oleh Ditjen P2 pada tahun 2016.
Dari Tabel 2 menunjukkan jumlah responden dari masing-masing
kegiatan tidak sama. Responden KAP, SDJ dan Pemeriksaan Klinis
seyogyanya sama. Namun dalam kenyataan di lapangan jumlah responden
KAP lebih banyak dibandingkan dengan responden SDJ atau pemeriksaan
klinis. Hal ini dikarenakan ada penduduk yang bersedia diwawancara pada
siang harinya namun tidak bersedia diambil darah jari pada malam hari.
Dalam gambaran karakteristik responden/subyek penelitian
kegiatan survey KAP ditampilkan 6 variabel yaitu jenis kelamin, umur,
status kawin, pendidikan, dan pekerjaan. Berikut Tabel 3. di bawah ini
menyajikan karakterisitik responden/subyek penelitian di Kabupaten
Bombana.
Tabel 3. Karakteristik Responden Survei KAP Kabupaten Bombana Tahun
2017
No Variabel
Desa Lantawonua
(N=328)
Desa Margajaya
(N=320) Jumlah
N % n % n %
1 Jenis kelamin
Laki-laki 140 42,7% 159 46,1% 299 46,1%
Perempuan 188 57,3% 161 53,9% 349 53,9%
Jumlah 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
2 Kelompok Umur
< 15 TAHUN 109 33,2% 57 26,3% 166 25,6%
15-24 TAHUN 48 14,6% 53 20,3% 101 15,6%
25-34 TAHUN 67 20,4% 60 13,8% 127 19,6%
35-44 TAHUN 56 17,1% 50 15,6% 106 16,4%
45-54 TAHUN 25 7,6% 51 13,4% 76 11,7%
55-64 TAHUN 10 3,0% 28 8,4% 38 5,9%
>= 65 TAHUN 13 4,0% 21 2,2% 34 5,2%
Jumlah 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
3 Status kawin
Belum Kawin 142 43,3% 109 34,1% 251 38,7%
Kawin 165 50,3% 195 60,9% 360 55,6%
Cerai Hidup 8 2,4% 5 1,6% 13 2,0%
Cerai Mati 13 4,0% 11 3,4% 24 3,7%
Jumlah 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
4 Tingkat pendidikan
Tidak pernah sekolah 11 4,0% 14 4,8% 25 4,4%
Tidak tamat SD 50 18,1% 43 14,8% 93 16,4%
Tamat SD/MI 82 29,6% 88 30,2% 170 29,9%
Tamat SLTP/MTs 58 20,9% 77 26,5% 135 23,8%
Tamat SLTA/MA 63 22,7% 55 18,9% 118 20,8%
Tamat D1/D2/D3 1 0,4% 3 1,0% 4 0,7%
Tamat Perguruan Tinggi 12 4,3% 11 3,8% 23 4,0%
Jumlah 277 100,0% 291 100,0% 568 100,0%
5 Pekerjaan Utama
Tidak bekerja 19 6,9% 19 6,5% 38 6,7%
Sekolah 79 28,5% 46 15,8% 125 22,0%
Ibu Rumah Tangga 82 29,6% 80 27,5% 162 28,5%
PNS/TNI/POLRI 7 2,5% 9 3,1% 16 2,8%
Pegawai Swasta 4 1,4% 2 0,7% 6 1,1%
Wiraswasta/Pedagang 14 5,1% 19 6,5% 33 5,8%
Petani 61 22,0% 103 35,4% 164 28,9%
Buruh Tani 3 1,1% 5 1,7% 8 1,4%
Lainnya 8 2,9% 8 2,7% 16 2,8%
Jumlah 277 100,0% 291 100,0% 568 100,0%
Dari Tabel 3. di atas menunjukkan bahwa responden KAP paling
banyak ditemui pada jenis kelamin perempuan sebesar 53,9% dan sisanya
adalah laki-laki. Sedangkan kelompok umur yang paling banyak pada
umur di bawah 15 tahun. Status kawin lebih banyak dijumpai penduduk
dengan status sudah pernah kawin. Variabel tingkat pendidikan paling
banyak dijumpai pada penduduk di dua desa yang tamat SD/MI sebesar
29,9%. Mayoritas pekerjaan utama dua desa tersebut berbeda. Di Desa
Lantawonua paling banyak dijumpai adalah ibu rumah tangga sebesar
29,6%, paling banyak kedua pekerjaan utama penduduk adalah sekolah,
dan paling banyak ketiga bekerja sebagai petani. Pekerjaan utama di Desa
Margajaya paling tinggi adalah petani sebesar 35,4%, paling banyak kedua
adalah ibu rumah tangga, dan pekerjaan paling banyak ketiga adalah
sekolah.
Gambar 1. Peta plotting rumah responden di Kabupaten Bombana. Atas untuk Desa Lantawonua dan Bawah untuk Desa Margaja.
Dari gambaran karakteristik responden di atas ditampilkan hasil plotting
rumah responden berdasarkan penentuan titik koordinat (Gambar 1). Di
Desa Lantawonua rumah pemukiman responden KAP memanjang terletak
pada lingkungan dengan habitat persawahan dan hutan. Berbeda dengan
Desa Margajaya yang merupakan pemukiman transmigrasi, dimana letak
antara persawahan dan pemukiman cukup jauh. Pada saat pengumpulan
data di lapangan merupakan musim kering dan bukan musim tanam padi,
sehingga pada ke dua desa sedikit ditemui banyak genangan di persawahan
maupun disekitar pemukiman.
4. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Filariasis.
Dalam studi ini dilakukan wawancara kepada responden yang akan
dilakukan pemeriksaan klinis dan diambil darah jari. Tabel 4
menampilkan jumlah responden yang mengetahui penyebab penyakit kaki
gajah (elephantiasis)/filariasis. 10,8% responden di dua desa sudah
mengetahui bahwa penyakit filariasis ditularkan oleh nyamuk, dan 3,1%
sudah mengetahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh cacing. Namun
3,1% responden di dua desa masih beranggapan bahwa penyakit filariasis
merupakan penyakit keturunan. Pengetahuan responden di dua desa
tersebut 45,4% mengetahui bahwa penyakit filariasis menyebabkan kaki
atau tangan yang membesar (Tabel 5). Pada tabel 6 menunjukkan 14,6%
responden dari Desa Lantawonua pernah mengalami demam berulang dan
pembengkakan pada lipat paha, hal ini lebih banyak daripada di Desa
Margajaya yang hanya 1,5% yang mengalami demam dan pembengkakan
pada lipat paha.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab
Penyakit Kaki Gajah Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya Jumlah
n % n % n %
Pengetahuan tentang penyebab filariasis
a. Penyakit yang disebabkan oleh cacing 12 5,5% 3 1,1% 15 3,1%
b. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk 26 11,9% 26 9,9% 52 10,8%
c. Penyakit keturunan 8 3,7% 7 2,7% 15 3,1%
d. Penyakit akibat gangguan makhluk halus 2 ,9% 6 2,3% 3 ,6%
e. Penyakit karena melanggar pantangan 1 0,5% 6 2,3% 8 1,7%
f. Lainnya 11 5,0% 1 0,4% 12 2,5%
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Efek Dari Penyakit
Filariasis
Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya Jumlah
n % n % n %
Pengetahuan jika terkena penyakit filariasis
a. Menyebabkan kaki atau tangan membesar 100 45,7% 119 45,2% 219 45,4%
b. Tidak menimbulkan gejala dan akibat pada tubuh 14 6,4% 12 4,6% 26 5,4%
c. Menyebabkan demam & tubuh lemah/sakit-sakit 22 10,0% 10 3,8% 32 6,6%
d. Menimbulkan pembengkakan pada lipat paha/ketiak 12 5,5% 6 2,3% 18 3,7%
e. buah dada/skrotum 2 0,9% 3 1,1% 5 1,0%
f. Lainnya, sebutkan 4 1,8% 0 0,0% 4 0,8%
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Demam Berulang
Disertai Pembengkakan Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun
2017
Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya Jumlah
n % n % n %
Apakah ada dari antara sanak famili/tetangga
[NAMA] yang pernah mengalami demam
berulang disertai pembengkakan kelenjar pada
lipat paha
Ya 32 14,6% 4 1,5% 36 7,5%
Tidak 187 85,4% 259 98,5% 446 92,5%
Total 219 100,0% 263 100,0% 482 100,0%
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa dalam hal pencarian pengobatan
61,1% responden di dua desa mencari pengobatan ke petugas kesehatan.
namun demikian masih ada 13,9% yang mencari pengobatan ke dukun.
Hal yang cukup mengejutkan adalah bahwa 74,1% responden di dua desa
tersebut tidak mengetahui adanya POPM yang diberikan untuk semua
penduduk desa (Tabel 8). Pada tabel 9 menunjukkan bahwa 84%
responden mendapatkan informasi mengenai adanya POPM Filariasis dari
petugas kesehatan dan guru.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pencarian Pengobatan
Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya Jumlah
n % n % n %
Mencari pengobatan
a. Petugas kesehatan 18 56,3% 4 100,0% 22 61,1%
b. Dukun 5 15,6% 0 0,0% 5 13,9%
c. Beli obat sendiri/beli di warung 1 3,1% 0 0,0% 1 2,8%
d. Pengobatan tradisional 1 3,1% 0 0,0% 1 2,8%
e. Lainnya 4 12,5% 0 0,0% 4 11,1%
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pengetahuan POPM
Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya Jumlah
n % n % n %
Pengetahui tentang pengobatan pencegahan
penyakit kaki gajah (filariasis) untuk semua
penduduk di desa ini
Ya, mengetahui 28 12,8% 78 29,7% 106 22,0%
Tidak mengetahui 184 84,0% 173 65,8% 357 74,1%
Lupa 7 3,2% 12 4,6% 19 3,9%
Total 219 100,0% 263 100,0% 482 100,0%
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sumber Informasi
POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya Jumlah
n % n % n %
a. Petugas kesehatan/Guru 20 71,4% 69 88,5% 89 84,0%
b. Teman/tetangga/sanak keluarga 6 21,4% 2 2,6% 8 7,5%
c. Membaca papan pengumuman di balai desa 4 14,3% 2 2,6% 6 5,7%
d. Membaca dari selebaran/suratkabar 2 7,1% 0 0,0% 2 1,9%
e. Mendengar pengumuman dari tempat ibadah 1 3,6% 1 1,3% 2 1,9%
f. Mendengar dari radio/televisi 2 7,1% 0 0,0% 2 1,9%
g. Lainnya 0 0,0% 2 2,6% 2 1,9%
5. Gambaran Sikap Responden Tentang Filariasis.
Sikap responden dalam mendukung kegiatan POPM cukup baik,
hal ini ditunjukkan dari beberapa jawaban responden. 40,5% responden
tidak setuju jika penyakit filariasis dapat dicegah dengan tidak minum obat
filariasis. Dalam hal penggunan kelambu paling banyak menjawab ragu-
ragu sebesar 41,7% yaitu penyakit filariasis dapat dicegah dengan hanya
tidur menggunakan kelambu. Dalam hal pelaksannan POPM 66%
responden menjawab setuju jika pelaksanaan minum obat massal filariasis
harus ada pemberitahuan terlebih dahulu. Terkait dengan efek samping
obat, 55,8% responden ragu-ragu jika obat filariasis menimbulkan efek
dan 27,8% responden menjawab setuju adanya efek samping yang
ditimbulkan dari pengobatan filariasis. Sikap responden dalam minum
obat cukup bagus, 76,3% responden setuju jika minum obat filariasis akan
meyebabkan dirinya seha dan 77,8% akan minum obat filariasis karena
kesadarannya sendiri.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sikap Tentang
Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
No Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya Jumlah
n % n % n %
1
Penyakit filariasis dapat dicegah
dengan tidak minum obat filariasis
Setuju 43 19,6% 59 22,4% 102 21,2%
Ragu-ragu 63 28,8% 122 46,4% 185 38,4%
Tidak
setuju 113 51,6% 82 31,2% 195 40,5%
2 Penyakit filariasis dapat dicegah
dengan hanya tidur menggunakan
kelambu
Setuju 102 46,6% 85 32,3% 187 38,8%
Ragu-ragu 60 27,4% 141 53,6% 201 41,7%
Tidak
setuju 57 26,0% 37 14,1% 94 19,5%
3
Jika minum obat filariasis harus
ada pemberitahuan terlebih dahulu
Setuju 170 77,6% 148 56,3% 318 66,0%
Ragu-ragu 34 15,5% 103 39,2% 137 28,4%
Tidak
setuju 15 6,8% 12 4,6% 27 5,6%
4
Minum obat filariasis akan ada efek
sampingnya
Setuju 67 30,6% 67 25,5% 134 27,8%
Ragu-ragu 97 44,3% 172 65,4% 269 55,8%
Tidak
setuju 55 25,1% 24 9,1% 79 16,4%
5
Jika tidak minum obat filariasis
yakin tidak akan tertular
Setuju 50 22,8% 31 11,8% 81 16,8%
Ragu-ragu 85 38,8% 173 65,8% 258 53,5%
Tidak
setuju 84 38,4% 59 22,4% 143 29,7%
6 Jika minum obat filariasis akan
menyebabkan kaki/tangan
membengkak
Setuju 35 16,0% 33 12,5% 68 14,1%
Ragu-ragu 75 34,2% 141 53,6% 216 44,8%
Tidak
setuju 109 49,8% 89 33,8% 198 41,1%
7 Minum obat filariasis karena disuruh Setuju 92 42,0% 84 31,9% 176 36,5%
orangtua/keluarga/kepala desa/tokoh
masyarakat/kader kesehatan desa Ragu-ragu 61 27,9% 111 42,2% 172 35,7%
Tidak
setuju 66 30,1% 68 25,9% 134 27,8%
8 Minum obat filariasis karena segan
kepada kepala desa/tokoh
masyarakat/kader kesehatan desa
Setuju 58 26,5% 71 27,0% 129 26,8%
Ragu-ragu 59 26,9% 121 46,0% 180 37,3%
Tidak
setuju 102 46,6% 71 27,0% 173 35,9%
9
Minum obat filariasis kita akan sehat
Setuju 169 77,2% 199 75,7% 368 76,3%
Ragu-ragu 37 16,9% 62 23,6% 99 20,5%
Tidak
setuju 13 5,9% 2 0,8% 15 3,1%
10
Minum obat filariasis karena
kesadaran sendiri
Setuju 166 75,8% 209 79,5% 375 77,8%
Ragu-ragu 34 15,5% 51 19,4% 85 17,6%
Tidak
setuju 19 8,7% 3 1,1% 22 4,6%
6. Gambaran Perilaku Responden Tentang POPM Filariasis
Keterlibatan responden dalam POPM Filariasis cukup rendah,
Tabel 11 menunjukkan bahwa 83,6% responden di desa tersebut tidak
pernah ikut dalam kegiatan minum obat POPM filariasis yang dilakukan
mulai dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Dari 106 responden yang
pernah ikut POPM filariasis 28,3% menjawab meminum 3 macam obat
yang diberikan, 23,6% meminum 2 macam obat, 22,6% meminum 1
macam jenis obat dan 11,3% menjawab lupa (Tabel 12). Tabel 13
menunjukkan dari 106 orang di dua desa tersebut yang mendapatkan obat
POPM filariasis 85,8% mengaku meminum obat dan 10,4% tidak
meminum obat.
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Keterlibatan Dalam
POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa Lantawonua
(N=328)
Desa Margajaya
(N=320)
Jumlah
n % n % n %
Pernah ikut POPM Filariasis
Pernah 12 3,7% 94 29,4% 106 16,4%
Tidak pernah 316 96,3% 226 70,6% 542 83,6%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Macam Obat Yang
Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun
2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Macam obat yang diberikan petugas
1 macam 2 16,7% 22 23,4% 24 22,6%
2 macam 5 41,7% 20 21,3% 25 23,6%
3 macam 5 41,7% 25 26,6% 30 28,3%
4 macam 0 0,0% 10 10,6% 10 9,4%
>4 macam 0 0,0% 5 5,3% 5 4,7%
Lupa 0 0,0% 12 12,8% 12 11,3%
Total 12 100,0% 94 100,0% 106 100,0%
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Untuk Minum Obat Yang
Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun
2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Responden meminum semua obat tersebut?
Ya, diminum semua 9 75,0% 82 87,2% 91 85,8%
Ya, tidak diminum semua 0 0,0% 4 4,3% 4 3,8%
Tidak minum obat 3 25,0% 8 8,5% 11 10,4%
12 100,0% 94 100,0% 106 100,0%
Tabel 14 menunjukkan dari 95 responden di dua desa tersebut
mengaku paling banyak tidak meminum di hadapan petugas maupun kader
kesehatan, namun 95,8% meminum obat filariasis di rumahnya masing-
masing. Waktu meminum obat paling banyak dilakukan pada malam hari
sebesar 52,6%, dan lainnya dilakukan pada pagi, siang, mapun sore hari
(Tabel 15). Alasan 11 responden yang menerima obat POPM filariasis
namun tidak minum adalah karena lupa sebesar 36,4%; kemudian takut
efek samping sebesar 45,5%; dan menjawab lainnya sebesar 27,3% (Tabel
16).
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Cara Meminum Obat
Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana
Tahun 2017
Variabel Desa
Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Bagaimana cara minum obat tersebut?
Diminum di hadapan petugas/guru 0 0,0% 2 2,3% 2 2,1%
Diminum di hadapan kader kesehatan 0 0,0% 2 2,3% 2 2,1%
Diminum sendiri di rumah 9 100,0% 82 95,3% 91 95,8%
9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Waktu Minum Obat
Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana
Tahun 2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Kapan obat tersebut diminum?
Pagi 2 22,2% 12 14,0% 14 14,7%
Siang 3 33,3% 12 14,0% 15 15,8%
Sore 0 0,0% 16 18,6% 16 16,8%
Malam 4 44,4% 46 53,5% 50 52,6%
9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Alasan Tidak Minum
Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten
Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Alasan Tidak Minum Obat
a. Lupa Ya 1 33,3% 3 37,5% 4 36,4%
Tidak 2 66,7% 5 62,5% 7 63,6%
Total 3 100,0% 8 100,0% 11 100,0%
b. Sibuk bekerja Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 3 100,0% 8 100,0% 11 100,0%
Total 3 100,0% 8 100,0% 11 100,0%
c. Takut efk samping obat Ya 2 66,7% 3 37,5% 5 45,5%
Tidak 1 33,3% 5 62,5% 6 54,5%
Total 3 100,0% 8 100,0% 11 100,0%
d. Lainnya Ya 1 33,3% 2 25,0% 3 27,3%
Tidak 2 66,7% 6 75,0% 8 72,7%
Total 3 100,0% 8 100,0% 11 100,0%
Efek samping yang dirasakan setelah minum obat filariasis
ditunjukkan pada tabel 17, dimana 17,9% responden mengaku mengalami
pusing/sakit kepala, 2,1% mengalami panas/demam, 3,2% mengalami
sakit perut, 1,1% mengalami muntah, 4,2% mengalami jantung berdebar-
debar, 4,2 merasaka mengantuk, dan 3,2% merasakan efek/gejala yang
lain. Dari 95 responden yang minum obat 6,3% mengaku ada cacing yang
keluar dari mulut atau keluar bersama feses (Tabel 18). Sedangkan 553
responden yang tidak ikut kegiatan POPM mempunyai alasan malas
sebesar 1,8%, kemudian 0,5% pernah mendengar jika minum obat malah
jadi sakit, 6% tidak tau manfaat sebenarnya, 3,3% merasa sehat jadi tidak
perlu minum obat, dan 55,5% repsonden menjawab lainnya (Tabel 19).
Tabel 20 menunjukkan bahwa 77,3% responden mengaku tidak
mengetahui adanya pemberitahuan sebelum pelaksanaan POPM filariasis.
Tabel 17 Jumlah dan Persentase Responden Tentang Efek Samping Setelah
Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten
Bombana Tahun 2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
a. Pusing/sakit kepala Ya 0 0,0% 17 19,8% 17 17,9%
Tidak 9 100,0% 69 80,2% 78 82,1%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
b. Panas/demam Ya 0 0,0% 2 2,3% 2 2,1%
Tidak 9 100,0% 84 97,7% 93 97,9%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
c. Badan sakit/nyeri/linu Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
d. Perut mulas/sakit Ya 0 0,0% 3 3,5% 3 3,2%
Tidak 9 100,0% 83 96,5% 92 96,8%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
e. Muntah Ya 0 0,0% 1 1,2% 1 1,1%
Tidak 9 100,0% 85 98,8% 94 98,9%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
f. Nafas sesak Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
g. Jantung berdebar-
debar
Ya 0 0,0% 4 4,7% 4 4,2%
Tidak 9 100,0% 82 95,3% 91 95,8%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
h. Mengantuk Ya 0 0,0% 4 4,7% 4 4,2%
Tidak 9 100,0% 82 95,3% 91 95,8%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
i. Lainnya Ya 3 33,3% 0 0,0% 3 3,2%
Tidak 6 66,7% 86 100,0% 92 96,8%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Cacing Yang Keluar
Setelah Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis
Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Setelah minum obat yang diberikan ada cacing
yang keluar dari mulut atau keluar sewaktu buang
air besar?
Ada 1 11,1% 5 5,8% 6 6,3%
Tidak ada 5 55,6% 77 89,5% 82 86,3%
Tidak tahu 2 22,2% 2 2,3% 4 4,2%
Lupa 1 11,1% 2 2,3% 3 3,2%
Total 9 100,0% 86 100,0% 95 100,0%
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Alasan Tidak Ikut
Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya
Jumlah
n % n % n %
Alasan tidak ikut/ tidak mau ikut/ tidak minum obat
pencegah filariasis
a. Malas (kurang berminat) Ya 7 2,2% 3 1,3% 10 1,8%
Tidak 312 97,8% 231 98,7% 543 98,2%
Total 319 100,0% 234 100,0% 553 100,0%
b. Pernah mendengar, jika minum obat
malah jadi sakit
Ya 1 ,3% 2 ,9% 3 ,5%
Tidak 318 99,7% 232 99,1% 550 99,5%
Total 319 100,0% 234 100,0% 553 100,0%
c. Tidak tahu faedah/manfaat
sebenarnya
Ya 24 7,5% 9 3,8% 33 6,0%
Tidak 295 92,5% 225 96,2% 520 94,0%
Total 319 100,0% 234 100,0% 553 100,0%
d. Merasa sehat, jadi tidak perlu minum
obat
Ya 8 2,5% 10 4,3% 18 3,3%
Tidak 311 97,5% 224 95,7% 535 96,7%
Total 319 100,0% 234 100,0% 553 100,0%
e. Lainnya Ya 151 47,3% 156 66,7% 307 55,5%
Tidak 168 52,7% 78 33,3% 246 44,5%
Total 319 100,0% 234 100,0% 553 100,0%
Tabel 20. Pemberitahuan Sebelum Pelaksanaan POPM filariasis di
Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua Desa Margajaya Jumlah
n % n % n %
Apakah ada pemberitahuan sebelum
pengobatan pencegahan penyakit kaki
gajah (filariasis) secara massal
Ya 46 14,0% 101 31,6% 147 22,7%
Tidak 282 86,0% 219 68,4% 501 77,3%
Total Ya 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
Pada tabel 21 menujukkan bahwa upaya yang dilakukan respoden
untuk menghindari gigitan nyamuk pada waktu malam hari paling banyak
adalah ketika pada malam hari tidur di dalam kelambu 88,1% dan
penggunaan obat nyamuk bakar sebanyak 74,4%. Sedangkan yang
menggunakan obat gosok anti nyamuk hanya 24,1% dan menyemprot
kamar tidur dengan obat nyamuk semprot hanya 13,4%. Sedangkan upaya
untuk menghindari gigitan nyamuk di luar rumah pada malam hari tidak
ada yang dominan (>50%), yang paling banyak adalah penggunanan baju
lengan panjang, celana panjang , serta kaus kaki sebesar 47,5% (Tabel 22).
Tabel 21. Upaya Yang Dilakukan Di Dalam Rumah Untuk Menghindari
Gigitan Nyamuk Pada Waktu Malam Hari di Kabupaten Bombana Tahun
2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya Jumlah
n % n % n %
a. Malam tidur pakai
kelambu
Ya 271 82,6% 300 93,8% 571 88,1%
Tidak 57 17,4% 20 6,3% 77 11,9%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
b. Memakai obat gosok anti
nyamuk
Ya 58 17,7% 98 30,6% 156 24,1%
Tidak 270 82,3% 222 69,4% 492 75,9%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
c. Menggunakan obat
nyamuk bakar
Ya 244 74,4% 238 74,4% 482 74,4%
Tidak 84 25,6% 82 25,6% 166 25,6%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
d. Menyemprot kamar tidur
dengan obat nyamuk semprot
Ya 33 10,1% 54 16,9% 87 13,4%
Tidak 295 89,9% 266 83,1% 561 86,6%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
e. Lainnya Ya 10 3,0% 6 1,9% 16 2,5%
Tidak 318 97,0% 314 98,1% 632 97,5%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
Tabel 22. Upaya Yang Dilakukan Di Luar Rumah Untuk Menghindari
Gigitan Nyamuk Pada Waktu Malam Hari di Kabupaten Bombana Tahun
2017
Variabel Desa Lantawonua Desa Margajaya Jumlah
n % n % n %
a. Memakai obat gosok anti
nyamuk atau minyak sereh
Ya 71 21,6% 129 40,3% 200 30,9%
Tidak 257 78,4% 191 59,7% 448 69,1%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
b. Menggunakan baju lengan
panjang dan celana panjang
serta kaus kaki
Ya 138 42,1% 170 53,1% 308 47,5%
Tidak 190 57,9% 150 46,9% 340 52,5%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
c. Membakar sampah
sehingga menimbulkan asap
Ya 40 12,2% 59 18,4% 99 15,3%
Tidak 288 87,8% 261 81,6% 549 84,7%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
d. Lainnya Ya 6 1,8% 0 0,0% 6 ,9%
Tidak 322 98,2% 320 100,0% 642 99,1%
Total 328 100,0% 320 100,0% 648 100,0%
7. Gambaran Status Endemisitas Daerah Penelitian
Sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, wilayah penelitian
merupakan daerah endemis filariasis. Berdasarkan data sekunder yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana dilaporkan adanya
empat orang yang menunjukkan kasus kronis filariasis. Tiga orang kasus
kronis berada di wilayah kerja Puskesmas Rumbia yang berjenis kelamin
perempuan dan satu laki-laki, semua menunjukkan pembengkakan kaki
dengan grade 3. Sedangkan satu orang berada di kepulauan Kabaena,
tepatnya di wilayah kerja Puskesmas Kabaena Tengah yang menunjukkan
pembengkakan di bawah lutut kanan dan kiri serta scrotum.
Dari pemeriksaan klinis yang dilakukan dalam penelitian ini
ditemukan satu orang yang menunjukkan kasus kronis filariasis.
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan didapatkan beberapa gejala yaitu:
Demam filariasis, Kasus kronis filariasis, Retrograde limfangitis, Early
lymphodema, elefantiasis (Tabel 23).
Gambar 2. Penderita Kasus Kronis di Kabupaten Bombana
Tabel 23. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Klinis
Kabupaten Bombana Tahun 2017
No Gejala Klinis Jumlah Jumlah
Diperiksa Persentase
1 Demam filaria 1 620 0,2%
2 Kasus Kronis
Elefantiasis 1 620 0,2%
3 Retrograde
Limphangitis 1 620 0,2%
4 Lymphadenitis 1 620 0,2%
5 Early Lymphodema 1 620 0,2%
6 Filarial Abscess 0 620 0,0%
7 Elefantiasis 1 620 0,2%
8 Hydro-cele 0 620 0,0%
9 Tidak ada gejala klinis 619 620 99,8%
Berikut Tabel 24 di bawah ini memperlihatkan hasil pemeriksaan
mikroskop untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dari survei darah jari
(SDJ) pada masyarakat di Desa Lantawonua dan Desa Margajaya. Hasil
pemeriksaan darah jari menunjukkan tidak ada hasil yang positif, dari total
620 sampel sediaan darah jari tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah.
Tabel 24. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskop
Survei Darah Jari Kabupaten Bombana Tahun 2017
No Desa Hasil
Jumlah Positif Mf Negatif Mf
1 Desa Lantawonua 0 310 310
2 Desa Margajaya 0 310 310
Jumlah 0 620 620
8. Gambaran Status Infeksi Kecacingan
Pelaksanaan pengumpulan data untuk pengambilan tinja (stool)
dilakukan di SDN 47 Lameroro, SDN 148 Lampopala, dan SDN 52
Hukaea pada anak-anak yang duduk di bangku kelas 2 dan 3. Tabel 25 di
bawah ini menunjukkan bahwa dari 151 anak SD kelas 2 dan kelas 3 yang
diperiksa ada 3 (2%) anak yang positif cacing Trichuris trichuria. Anak
SD yang positif berada di SDN 52 Hukaea.
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden yang Positif Kecacingan
Kabupaten Bombana Tahun 2017
No Sekolah Dasar/
Madrasah Ibtidaiyah
Jumlah
Sampel
Hasil
Positif
Al
Positif
Tt
Positif
Ad/Na
Positif
Cacing
Lainnya
1 SDN 47 Lameroro 85 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
2 SDN 148 Lampopala 18 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
3 SDN 52 Hukaea 48 0 (0%) 3 (6%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 151 0 (0%) 3 (2%) 0 (0%) 0 (0%)
Keterangan: Al = Ascaris lumbricoides; Tt = Trichuris trichiura; Ad/Na =
Ancylostoma duodenale/Necator
Americanus.
9. Gambaran Deteksi Gen Brugia malayi
Untuk melihat apakah anak SD yang telah dilakukan TAS, meski
hasilnya positif atau negatif, terdapat fragmen dari B. malayi; maka
dilakukan pengambilan darah jari pada anak-anak SD yang juga menjadi
subyek penelitian untuk stool survey. Spesimen yang diperiksa
menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Hasil PCR
ditampilkan pada tabel 26, dimana dari 21 sampel yang diperiksa
semuanya menunjukkan hasil negatif.
Tabel 26. Jumlah Anak SD Hasil Pemeriksaan Gen Brugia malayi
Kabupaten Bombana
No SD/MI Hasil
Positif Negatif
1 SDN 47 Lameroro 0 11
2 SDN 148 Lampopala 0 8
3 SDN 52 Hukaea 0 2
Jumlah 0 21
10. Gambaran Hasil Survei Vektor
Pelaksanaan penangkapan vektor dilakukan selama 2 malam
berturut-turut, dan kemudian satu bulan setelah penangkapan pertama
dilakukan kembali penangkapan kedua di tempat yang sama dengan
tempat penangkapan pertama. Tabel 27 Menunjukkan bahwa Genus Culex
mendominasi hasil tangkapan. Spesies yang paling banyak di Desa
Lantawonua adalah Culex vishnui sebanyak 260 ekor, demikian juga di
Desa Margajaya C. Vishnui tertangkap sebanyak 89 ekor. Sedangkan hasil
PCR nyamuk tidak ditemukan adanya nyamuk yang terdeteksi adanya gen
mikrofilaria.
Tabel 27. Jumlah Vektor (Nyamuk) yang Berhasil Ditangkap Dalam Dua
Periode Penangkapan Kabupaten Bombana Tahun 2017
NO Desa Genus Spesies Total
1
Lantawonua Aedes Aedes vexans 1
Anopheles Anopheles subpictus 1
Anopheles vagus 6
Culex Culex annulus 20
Culex fuscana 1
Culex gellidus 3
Culex quinquefasciatus 51
Culex tritaeniorrhyncus 14
Culex vishnui 260
2 Margajaya Aedes vexans 1
Anopheles Anopheles barbirostris 2
Anopheles indefinitus 2
Anopheles subpictus 22
Anopheles vagus 8
Culex Culex annulus 1
Culex bitaenirrhyncus 2
Culex gelidus 1
Culex quinquefasciatus 70
Culex tritaeniorrhyncus 50
Culex vishnui 89
11. Gambaran Hasil Survei Lingkungan
Berikut di bawah ini hasil plotting penetapan titik geo-spasial
habitat vektor di Desa Lantawonua dan Desa Margajaya dengan zona
penyangga 1 km dari plotting titik koordinat habitat vektor.
Gambar 3. Zona Penyangga Tempat Potensial Perindukan Nyamuk di Desa
Lantawonua dan Desa Margajaya
Dari gambar hasil plotting tersebut di atas, tampak bahwa rumah
responden pada tempat penelitian barada dalam radius kurang dari satu
kilometer tempat potensial perindukan nyamuk. Dari hasil buffer titik
koordinat terlihat di Desa Margajaya dan Desa Lantawonua berada tidak
jauh dari genangan air yang bisa menjadi tempat potensial perindukan
nyamuk.
Jenis habitat di Desa Margajaya paling banyak adalah genangan air
sebesar 67%, kemudian tepi sungai, rawa, dan kolam sebesar masing-
masing 11%. Untuk Desa Lantawonua paling banyak adalah habitat sawah
sebesar 60%, kemudian diikuti genangan air sebesar 33% dan tepi sungai
sebesar 7% (Tabel 28).
Tabel 28. Jenis Habitat Lingkungan di Desa Margajaya dan Lantawonua
Desa Jenis Habitat Jumlah %
Margajaya
Genangan air 6 67%
Tepi sungai 1 11%
Rawa 1 11%
Kolam 1 11%
Lantawonua
Sawah 9 60%
Genangan air 5 33%
Tepi sungai 1 7%
12. Gambaran Hasil Kualitatif
Proses eliminasi filariasis di tingkat kabupaten
Dalam melakukan indepth interview kendala yang dihadapi oleh
tim adanya recall bias dan susahnya mencari informan yang berkompeten
untuk menjawab terkait dengan eliminasi filariasis. Dalam menggali
ingatan informan cukup susah, karena mengingat bahwa proses POPM
filariasis dan pra POPM filariasis dilakukan terakhir tujuh tahun yang
lampau. Demikian dengan para pejabat/beberapa tokoh kunci program
filariasis di Kabupaten Bombana yang beberapa sudah pindah tugas,
maupun purna tugas.
Proses eliminasi di kabupaten ini merupakan proses yang telah
berjalan ketika kabupaten ini masih menyatu dengan Kabupaten Buton.
Pengumpulan data dasar juga dilakukan ketika Kabupaten Bombana masih
jadi satu dengan Kabupaten Buton. Tidak ada dokumen mengenai
Peraturan Bupati maupun surat edaran bupati untuk pelaksanaan POPM
pada waktu itu, namun berdasarkan keterangan dari beberapa informan ada
instruksi langsung dari bupati dan juga adanya sosialisasi dan
pencanangan POPM filariasis yang diikuti oleh aparat kecamatan dan juga
desa. Pelaksanaan eliminasi di Kabupaten Bombana berjalan sesuai
dengan peraturan pusat maupun petunjuk teknis dari pusat dan
berdasarkan informan tidak terjadi gap antara pertauran pusat dan daerah
terkait dengan pelaksanaan eliminasi filariasis.
Terkait Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pelaksanaan
eliminasi filariasis semua informan menyebutkan bahwa jumlah SDM
cukup karena adanya keterlibatan kader kesehatan.
“Kalau SDM kemarin saya rasa sudah cukup ya karena kemarin teman-teman di
P2M memang dari Sarjana Kesehatan Masyarakat jadi lebih kurang nereka
pahan epidemiologi, kemudian programernya saat POPM Ibu Rahma juga
Sarjana Kesehatan Masyarakat jadi paham epidemiologi. Cuma paska eliminasi
masih ada beberapa yang sudah tidak terlalu paham kaki gajahkarena kasus
kita sedikit jadi untuk teknis pemeriksaannya termasuk pengobatannya mereka
sudah lupa. Tapi sebelum eliminasi kerena memang waktu itu masih aktif semua
berjalan, tapi sejak eliminasi laporan kita sudah nihil karena memang untuk
pelaporan kasus kita juga sudah tidak ada.”
Pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan eliminasi di kabupaten ini
melibatkan kader kesehatan dan aparat desa sedangkan untuk kegiatan
TAS melibatkan guru-guru sekolah. Tenaga kader terlibat dalam
pembagian obat sedangkan perangkat desa berperan dalam
mensosialisasikan kegiatan pengobatan di wilayah desanya masing-
masing.
“Yang dilibatkan dari luar dari dinas pendidikan, guru-gurunya tapi mereka tidak
melakukan pemeriksaan cuma ikut koordinasi pada saat pemeriksaan”
“Jadi puskesmas yang menindaklanjuti ke sekolah-sekolah dan guru-gurunya.
Jadi sekolah kemarin yang menjadi sampel guru- gurunya yang menjadi kader,
kita tidak mengambil dari masyarakat langsung, gurunya yang dijadikan kader
karena terkait sampelnya adalah anak sekolah jadi yang kita ambil gurunya.”
Hampir semua informan menyebutkan bahwa ada anggaran dalam
kegiatan eliminasi filariasis yang bersumber dari Anggaaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD). Kecuali untuk kegiatan Transmission Assesment
Survey (TAS) yang dananya ditanggung oleh pusat. Untuk kendala terkait
perencanaan anggaran sebagian informan menyebutkan bahwa dalam
penganggaran tidak ada istilah dana ditolak tetapi mungkin jumlahnya
yang tidak sesuai dengan yang diusulkan. Sebagian informan lagi
menyebutkan tidak mengetahui terkait perencanaan anggaran eliminasi
filariasis.
Untuk aspek sarana dan prasarana terkait eliminasi filariasis
beberapa informan menyebutkan adanya kendala terkait transportasi dan
tenaga mikroskopis, tetapi untuk logistik obat selau tersedia. Pada
pelaksanaan eliminasi tidak ada kerjasama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
“LSM tidak ada, kalo desa iya karena dia pemerintah desa. Kalo sektor lain tidak
ada. saya tidak pernah lihat ada sektor lain yang ikut POPM, kalo pemerintah
desa iya karena dia yang mendorong”
Lintas sektor lainnya yang terlibat dalam kegiatan eliminasi yaitu
aparat desa, tokoh agama dan bantuan dari Babinsa. Dinas sosial
melakukan pendampingan khusus untuk penderita kronis, sedangkan untuk
kegiatan TAS dilakukan kerjasama dengan dinas pendidikan dan
kebudayaan yang nantinya melakukan koordinasi dengan kepala sekolah
tempat kegiatan TAS dilakukan.
Proses eliminasi filariasis di tingkat Puskesmas
Pada tingkat Puskesmas hampir semua informan menyebutkan
bahwa mereka tidak mengetahui dengan pasti kebijakan dalam
pelaksanaan eliminasi filariasis, karena mereka melaksanakan sesuai
dengan arahan atau instruksi dari tingkat kabupaten dalam hal ini adalah
Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana. Semua informan menyebutkan
bahwa untuk melaksanakan kegiatan eliminasi filariasis mereka
melibatkan semua tenaga yang ada di puskesmas meskipun demikian
jumlah SDM masih kurang sehingga harus melibatkan pihak di luar tenaga
puskesmas.
“kalo perencanannya kan sudah direncanakan memang karena sudah ada kasus.
Kita mungkin masih 2002, kabupaten di buton, baru kita distribuskan ke
masyarakat dengan bantuan kader, karena kita kurang tenaga dulu to. Jadi
kader yang bantu tapi diberikan petunjuk pedoman pemberiannya.”
Dalam pelaksanaan eliminasi filariasis di level Puskesmas ada
keterlibatan kader dan aparat desa termasuk bantuan dari Bintara Pembina
Desa (Babinsa). Kader berperan dalam pelaksanaan pembagian obat
sedangkan aparat desa dan Babinsa membantu dalam memberikan
informasi dan mobilisasi masyarakat.
“kader dibantu desa, kerjasama dengan Babinsa. Mereka ikut akitif.”
Untuk aspek anggaran hampir semua informan menyebutkan ada biaya
berupa transport yang diberikan tetapi tidak mengetahui sumber dana
pelaksanaan eliminasi filariasis apakah itu dari LSM atau pemerintah.
Semua informan menyebutkan bahwa yang menjadi kendala dam sarana
dan prasarana pelaksanaan eliminasi filariasis adalah terkait transportasi
baik itu jalan maupun kendaraan untuk menjangkau ke rumah-rumah
warga. Terkait jumlah obat mereka menyebutkan jumlahnya cukup.
Proses Eliminasi Filariasis di Tingkat Kader Kesehatan
Filariasis atau penyakit kaki gajah begitu masyarakat di kabupaten
Bombana menyebutnya, dan tidak ada nama lokal untuk nama penyakit
ini. Pengetahuan kader mengenai penyakit filariasis cukup memahami
bahwa penyakit ini dapat ditularkan oleh nyamuk dan penyakit ini bisa
diobati asalkan belum terlambat/cacat. Pengetahuan kader ini didapatkan
dari penyuluhan oleh petugas puskesmas sebelum mereka turun
melakukan pembagian obat ke masyarakat.
Kader dilibatkan dalam eliminasi filariasis di tingkat desa dan
dusun untuk membagikan obat ke masyarakat dengan metode door to
door. Menurut pengakuan petugas puskesmas dan kader bahwa metode
tersebut untuk menjaring masyarakat yang tidak datang ketika posyandu
ataupun ketika dikumpulkan untuk pembagian minum obat. Berdasarkan
cerita dari kader di Desa Margajaya yang dulu ikut membagikan obat
filariasis mengatakan bahwa mereka mengaku hanya membagikan obat
selama tiga periode. Pada tahun terkahir mereka tidak mau ikut
membagikan karena takut.
“tiga kali, yang tahun pertama di balai desa, yang ke dua keliling, yang ke tiga
keliling, yang keempat tidak berani. Sampai sekarang tidak ada program lagi itu,
kan kadernya takut.”
Ketakutan mereka karena pada tahun tersebut di media telvisi
tersiar kabar bahwa kader di daerah Jawa Timur ada yang dituntut oleh
masyarakat karena ada masyarakat yang meninggal diakbiatkan
pembagian obat massal yang dibagikan ke masyarakat. Dengan alasan
tersebut maka mereka tidak mau membagikan obat, sehingga obat
dibagikan langsung oleh petugas Puskesmas.
“...Yang terkahir tidak mau membagi karena di berita di jawa tengah atau
gimana kadernya dituntut karena habis konsumsi obat kaki gajah, terus
meninggal. Makanya pas kita nonton ndak mau pak, ndak berani. Nanti terjadi
apa2 malah”
Selama pengobatan massal filariasis, kader mendapatkan dukungan
anggaran dari Puskesmas, namun menurut keterangan kader uang yang
didapatkan jumlahnya sedikit untuk ukuran waktu itu. Secara keseluruhan
selama kader membagikan obat tidak ditemukan hambatan berarti. Sedikit
hambatan yang ditemui adalah penerimaan awal masyarakat karena
kejadian ikut paska pengobatan. Pada pelaksanaannya pemerintah desa
membantu dalam penyampaian ke warga, untuk pembagiannya kader
berjalan sendiri kerumah warga. Dalam pembagian obat mereka
mengambil contoh warga sekitar yang merupakan penderita kasus kronis.
“Kan sudah ada yang terkena apakah ibu mau terkena seperti ibu yang disana
itu, kan tinggalnya di hutan yang kena itu.”
Peran Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat Dalam Pelaksanaan POPM
Menurut tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak ada istilah lokal
untuk menyebut kaki gajah. Tokoh agama dan masyarakat di Desa
Margajayan dan Lantawonua kurang mengetahui tentang penyakit kaki
gajah. Mereka mengetahui penyakit kaki gajah, gejala yang
ditimbulkannya, namun tidak mengetahui proses penularan dan status
endemis daerahnya. Berdasarkan keterangan tokoh agama dan masyarakat
bahwa dulu pernah dilakukan pengobatan massal, namun mereka lupa
tahun diadakannya pengobatan massal.
Beberapa tokoh agama dan masyarakat mengaku terlibat dalam
pengobaatan massal filariasis pada waktu itu. Keterlibatan mereka hanya
sebatas memberikan informasi akan diadakannya pengobatan massal.
Informasi di wilayah itu biasa disampaikan melalui pengumuman di
masjid dan tempat ibadah lainnya. Ketika ada pembagian obat massal
dengan cara mengumpulkan warga, biasanya Puskesmas akan melibatkan
tokoh masyarakat dalam hal ini bapak desa dan tokoh agama.
“Artinya begini sy cerita sedikit bahwa untuk pemerintah desa kalau ada
kegiatan begitu. Dia sifatnya hanya memediasi kalau terjun langsung bahwa dia
harus membagikan jangan sampai dia salah membagi karena memang bukan
pekerjaanya.”
“...kalo ada kegiatan kayak pengobatan itu informasi yang cepat itu melalaui
imam desa, selain diundang dikasih surat untuk mengumumkan di masjid”
Dalam pelakasanna pengobatan massal pada tahun 2005-2011
tidak ditemui kendala oleh tokoh agama maupun masyarakat. Pengobatan
massal filariasis pada waktu itu juga tidak bertentangan dengan nilai atau
tatanan adat di wilayah Kabupaten Bombana. Sedikit hambatan yang
dialami oleh mereka adalah warga yang menolak untuk minum obat
karena merasa tidak sakit. Menurut keterangan salah satu tokoh agama
mengatakan:
“Mereka bilang kita tidak kena penyakit jadi tidak di minum..saya tidak minum
karena banyak yang tidak minum.”
Ketika masyarakat sudah menolak tokoh agama dan kepala desa tidak
memberikan pendampingan karena menganggap bahwa itu sudah urusan
dari tenaga kesehatan/kader.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Survei KAP.
Kelemahan dan kendala dari studi ini adalah dalam hal menggali
keterangan responden/recall bias, hal ini dikarenakan proses kegaiatan
POPM filariasis di Kabupaten Bombana terakhir kali dilakukan pada tahun
2010 yang artinya adalah 7 tahun yang lampau. Jumlah penduduk di
Kabupaten Bombana menurut Data Sensus Penduduk adalah 139.235
jiwa.18 Setelah proses POPM filariasis selesai hampir tidak ada program
filariasis yang menyentuh masyarakat, kecuali kegiatan TAS yang
tujuannya adalah murid sekolah kelas 1 dan 2.
Secara demografi penduduk di Desa Margajaya dan Lantawonua
bekerja sebagai petani. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan dengan kejadian filariasis. Responden yang bekerja sebagai
petani mempunyai risiko terkena filariasis sebesar 8,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan seseorang yang bekerja sebagai pegawai.19
Pengetahuan masyarakat mengenai filariasis masih kurang.
Pengetahuan masyarakat mengenai adanya POPM filariasis juga kurang
dimana 74,1% tidak mengetahui adanya POPM filariasis. Ada dua
kemungkinan kegiatan POPM filariasis yang sudah lama, yaitu
kemungkinan pertama adalah bahwa memang tidak ada kegiatan POPM
filariasis, dan kemungkinan kedua adalah adanya recall bias
mengakibatkan penduduk sudah lupa karena kegiatan POPM filariasis
terakhir diadakan pada tahun 2010. Sumber informasi dari responden yang
mengaku mengikuti kegiatan POPM filariasis paling banyak dari petugas
kesehatan sebesar 84%. Hal ini menunjukkan bahwa peran dari petugas
kesehatan cukup penting dalam POPM filariasis.
Sikap yang ditunjukkan oleh responden cukup baik, meskipun
perilaku responden tentang POPM filariasis kurang memuaskan. 83,6%
mengaku tidak pernah mengikuti ataupun terlibat dalam POPM filariasis.
Dari 106 responden yang mengaku diberikan obat, masih ada 10,4% yang
tidak meminum obat yang dibagikan dalam kegaitan POPM filariasis.
95,8% responden tidak meminum obat dihadapan petugas dan
meminumnya ketika di rumah dan paling banyak diminum ketika malam
hari. Hal ini berhubungan dengan hasil dari indepth interview bagi kader,
dimana kader dan petugas kesehatan pada waktu itu memang
menyarankan untuk meminum obat POPM filariasis pada malam hari
ketika akan tidur, menurut keterangan kader dan petugas kesehatan hal ini
untuk mengantisipasi adanya efek samping dari obat. Dengan meminum
obat pada malam hari memang sedikit yang menunjukkan gejala efek
samping, gejala dari efek samping obat yang paling banyak adalah
pusing/sakit kepala sebesar 17,9%. Pengawasan minum obat tetap perlu
diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat benar-benar patuh dalam
pengobatan.20
Kegiatan POPM filariasis dilakukan selama lima tahun berturut-
turut di seluruh wilayah kabupaten/kota endemis filariasis dengan sasaran
yang harus minum obat adalah seluruh penduduk berusia lebih dari dua
tahun. Obat yang direkomendasikan oleh program adalah
Diethylcarbamazine Citrate (DEC) dengan dosis 6 mg/kg dan Albendazole
dengan dosis 400 mg. Obat DEC mampu membunuh mikrofilaria dalam
darah dalam beberapa jam, selain itu DEC juga dapat membunuh sebagian
cacing dewasa serta menghambat pertumbuhan cacing dewasa yang masih
hidup selama 9-12 bulan. Kombinasi dengan Albendazole dapat
meningkatkan efek DEC dalam membunuh cacing dewasa dan
mikrofilaria serta meminimalisir efek obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan POPM yang dilakukan selama lima tahun berturut-turut dengan
cakupan minimal ˃65% diharapkan dapat memutus mata rantai penularan.
Selain itu, penduduk berisiko yang tinggal di daerah endemis dapat
dicegah dengan pemberian obat pencegahan selama lima tahun sebelum
timbul gejala klinis lebih lanjut.21,22
2. Pemeriksaan Klinis Filariasis.
Berdasarkan pemeriksaan klinis hanya ditemukan satu orang di dua
desa yang menunjukkan enam gejala kinis yang muncul, yaitu: demam
filarial, kasus kronis elefenatiasis retrograde limphangitis, lymphadenitis,
early lymphedema, dan elephantiasis. Gejala klinis yang ditimbulkan
antara beberapa jenis cacing, Infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan
kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi
dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat
kelamin.7
Morbiditas kasus filariasis di Provinsi Sulawesi Tenggara sampai
dengan tahun 2012 sebesar 3,08 per 100.000 penduduk. Berdasarkan
pemetaan kejadian kasus tahun 2012 dilaporkan kasus kronis tersebar di 7
kabupaten/kota, yang tertinggi berada di Kabupaten Kolaka sebanyak 27
kasus dan yang terendah di Kabupaten Muna sebanyak 1 kasus. Kabupaten
Bombana menurut profil kesehatan provinsi tahun 2012 dilaporkan ada 19
kasus kronis filariasis.23 Kasus kronis di Kabupaten Bombana pada tahun
2012 paling banyak ditemukan pada perempuan dengan 12 kasus kronis,
sedangkan laki-laki hanya 7 orang.24 Hal ini berbeda dengan peneltian
yang dilakukan di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Muaro
Jambi. Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian filariasis, di
Kabupaten Sumba Barat Daya kasus positif filariasis lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.25 Penelitian yang lain di
Kabupaten Muaro Jambi menunjukkan laki-laki lebih berisiko 6,2 kali
terkena filariasis dibandingkan dengan perempuan.26 Hal ini berhubungan
dengan proses penularan filariasis, penularan filariasis pada daerah
endemis filariasis terjadi pada malam hari (periodik nokturnal). Aktifitas
keluar rumah pada malam hari lebih banyak di jumpai laki-laki daripada
perempuan. Hasil analisis multivariat di Kabupaten Sambas menunjukkan
bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki risiko menderita
filariasis 39,054 lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak
memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari.27 Lebih banyak kasus
kronis yang ditemukan di Kabupaten Bombana pada perempuan
kemungkinan karena laki-laki lebih malu untuk melaporkan kasus kronis
dibandingkan perempuan.
Gejala klinis akut yang ditimbulkan filariasis berupa limfadenitis,
limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa
lemah dan timbulnya abses. Limfadema pada infeksi Brugia, terjadi
pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan
lutut masih normal.28 Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa tidak
adanya hydrocele, gejala ini hanya ditunjukkan pada infeksi W. bancrofti.
Limfadema yang ditunjukkan dari pemeriksaan klinis menetap dan tidak
ditemukan lipatan kulit dan nodul. Stadium limfadema ini digolongkan
pada stadium 2. Sesuai dengan Permenkes No. 94 Tahun 2014, Perawatan
yang dianjurkan adalah menjaga kebersihan anggota tubuh yang bengkak,
perawatan luka dan lesi di kulit, pelatihan anggota tubuh yang bengkak,
meninggikan anggota tubuh yang bengkak saat duduk lama, pemakaian
alas kaki yang cocok, memkai perban elastis atau pembalutan saat
melakukan aktivitas.28
3. Survei Darah Jari.
Berdasarkan pemeriksaan survey darah jari malam tidak ditemukan
mikrofilaria di dalam darah. Suatu daerah dinyatakan endemis filariasis
jika Mf rate ≥ 1%.28 Dari hasil survey darah jari malam menunjukkan
bahwa wilayah Kabupaten Bombana sudah bukan daerah endemis
filariasis. Dinamika penularan filariasis tergolong lambat, hal ini
dikarenakan penderita baru akan terinfeksi cacing mikrofilaria setelah
mengalami gigitan nyamuk vektor filariasis yang mengandung larva
cacing filarial stadium tiga.29
Kejadian filariasis di Sulawesi Tenggara pertama kalo telah
dipublikasikan oleh Joesoef A, dkk pada tahun 1984. Empat desa yang
dilakukan survey darah jari di Kbaupaten Kendari, Sulawesi Tenggara
menunjukkan prevalensi anatar 9,6% - 19,7%. Mikrofilaria yang
ditemukan adalah B. malayi dengan tipe periodik nokturna. Data Mf rate
pada tahun 2005 di Kabupaten Bombana (Desa Lantawonua)
menunjukkan Mf rate sebssar 1,18%.30 Pada riset kali ini tidak ditemukan
mikrofilara dalam survey darah jari menunjukkan keberhasilan
pelaksanaan POPM di Desa Lantawonua. Untuk Desa Margajaya
sebelumnya memang tidak ada data tentang Mf rate dan pada riset ini juga
tidak ditemukan mikrofilaria pada saat survey darah jari menunjukkan
bahwa tidak ada penularan filariasis yang terjadi di desa tersebut.
Desa Margajaya yang merupakan daerah transmigran, hampir
sebagian masyarakatnya adalah pendatang dari Pulau Jawa dan Bali. Pada
survey darah jari di Desa tersebut tidak ditemukan kasus positif maupun
kasus kronis. Semua manusia berpeluang untuk dapat tertular filariasis
apabila digigit nyamuk infektif yang mengandung larva stadium 3. Namun
tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Penduduk
pendatang pada suatu daerah endmis filariasis mempunyai risiko terinfeksi
filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Biasanya para transmigran
akan menunjukkan gejala klinis yang lebih berat jika dibadingkan dengan
penduduk asli.7
4. Stool Survey
Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya
parasit berupa cacing ke dalam tubuh manusia. Beberapa jenis cacing yang
sering ditemukan menimbulkan infeksi dalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), cacing kait
(Hookworm) yang penularannya melalui tanah.31 Tiga anak sekolah dari
151 sampel ditemukan adanya telur cacing Trichuris trichuria atau cacing
cambuk. Kasus infeksi cacing memang lebih sering terjadi pada Soil
Transmitted Helminthiasis (STH) karena cacing jenis ini tidak
membutuhkan hospes perantara untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Prevalensi hasil stool survey pada tiga Sekolah Dasar di Kabupaten
Bombana adalah 2%. Di Indonesia, prevalensi kecacingan masih tinggi
antara 60-90% tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan. Tinggi
rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan
pribadi dan sanitasi lingkungan menjadi sumber infeksi. Kasus positif
yang ditemukan dari tiga siswa sekolah dasar merupakan kasus infeksi
tunggal dari T. trichuria. Secara epidemiologi karakteristik jenis parasit
pada manusia terjadi dalam periode yang panjang dengan spesies parasit
yang menginfeksi lebih dari satu (Polyparasitism). Jika dibandingkan
dengan infeksi tunggal, infeksi parasit lebih dari satu parasit mungkin
lebih berakibat fatal. Kecacingan pada manusia hampir dapat ditemukan di
seluruh dunia lebih dari satu milyar orang di seluruh dunia terinfeksi oleh
satu atau lebih spesies cacing usus. Kejadian kecacingan ini tidak lepas
dari lingkaran kemiskinan, penurunan produktivitas dan pembangunan
sosio-ekonomi yang tidak merata. Kejadian kecacingan pada manusia
paling umum disebabkan oleh STH yang disebabkan oleh ascariasis,
trichuriasis, dan infeksi cacing tambang (necatoriasis, ancylostomiasis),
diikuti oleh schistosomiasis dan filariasis.32
Penyakit kecacingan umumnya tidak akut dan tidak fatal, namun
bersifat kronis yang sulit untuk diukur validitasnya. Penyakit kecacingan
oleh parasit usus termasuk kedalam kelompok Neglected Tropical
Disease, penyakit yang kurang diperhatikan. Keacacingan juga merupakan
salah satu penyakit yang kurang mendapat perhatian dari perencana
kesehatan dalam hal ini dinas kesehatan setempat.33 Keberadaan cacing di
dalam usus manusia berpengaruh terhadap proses penyerapan, pencernaan,
dan metabolisme makanan. Perilaku dari cacing tambang ini pada infeksi
yang berat serta berlangsung lama dapat menyebabkan anemia kronis pada
anak sekolah dan juga kekurangan protein. Hal ini berakibat pada
kelemahan fisik dan perkembangan intelektual anak. Diperhitungkan jika
ada seorang penderita ada 100 cacing dalam ususnya maka perkiraan
jumlah kehilangan darah akibat cacing ini adalah 44.000 liter per
harinya.34
Faktor risiko kejadian infeksi oleh parasit usus tidak lepas dari
siklus hidupnya. Untuk melakukan eliminasi kecacingan tidak cukup jika
hanya dilakukan dengan pengobatan, tetapi juga perlu untuk melakukan
perbaikan kondisi linkungan dan merubah perilaku yang berisiko.
Penanggulangan terhadap permasalahan gizi yang disebabkan oleh
kecacingan adalah melakukan pengobatan pada sumber infeksi selain
memperbaiki lingkungan, mengurangi populasi lalat/kecoa, menjaga
kebersihan makan/minuman, pemakaian jamban keluarga, menghindarkan
anak-anak untuk bermain di tanah, menjaga kebersihan kuku, serta
membiasakan mencucui tangan sebelum makan.33
5. Deteksi Gen Bm
Dari 21 sampel darah yang diperiksa Gen Bm tidak ditemukan
hasil positif. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan TAS pada tahun
2016, dimana dengan pemeriksaan Brugia Rapid Test juga tidak
ditemukan hasil positif. Mengapa anak sekolah yang diperiksa untuk TAS,
sesuai dengan Permenkes No. 94 Tahun 2017, bahwa untuk melakukan
evaluasi POPM filariasis dilakukan pemeriksaan pada anak Sekolah Dasar
dalam rentang umut 6-7 tahun.7 Pemeriksaan dengan PCR lebih sepesifik
untuk mendeteksi adanya DNA cacing mikrofilaria. Hasil pemeriksaan
negatif menggambarkan bahwa penularan dan penyebaran filariasis di
Kabupaten Bombana sudah tidak terjadi.
6. Survei Vektor
Di Indonesia sampai saat ini sudah diketahui 23 spesies nyamuk
dari 5 genus yang menularkan filariasis yaitu: Mansonia, Anopheles,
Culex, Aedes, dan Armigeres. Untuk melaksanakan pemberantasan vektor
filariasis perlu mengetahui bionomik vektor yang mencakup tempat
berkembang biak, perilaku mengigit dan tempat istirahat. Perilaku nyamuk
dapat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis. setiap daerah
mempunyai spesies nyamuk berbeda-beda, dan pada umumnya terdapat
beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama dan spesies lainnya
merupakan vektor potensial.7
Dari hasil penangkapan nyamuk di Kabupaten Bombana
menunjukkan bahwa ada 3 genus nyamuk yang tertangkap, yaitu dari
genus Aedes, Culex, dan Anopheles. Culex vishnui mendominasi dari hasil
tangkapan di Desa Lantawonua, sedangkan Cx. quinquefasciatus lebih
mendominasi di Desa Margajaya. Dari genus Anopheles ada dua spesies
yang ditemukan di Desa Lantawonua yaitu Anopheles subpictus dan An.
vagus. Genus Anopheles lebih beragam ditemukan di Desa Margajaya
ditemukan 4 spesies, yaitu An. barbirostris, An. indefinitus, An. subpictus,
An. vagus.
Vektor filariasis di Kabupaten Kendari, Provinsi Sulawesi
Tenggara yang telah dikonfirmasi adalah An. barbirostris, An. nigerimus,
Ma. uniformis, dan Ma. indiana.30 Dari nyamuk yang tertangkap ada
beberapa sepesies yang perlu mendapatkan perhatian karena sudah
dinyatakan sebagai vektor filariasis yaitu: An. barbirostris sebagai vektor
filariasis di Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain itu An. subpictus dan An.
vagus merupakan vektor Brugia timori di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam Permenkes No. 94 tahun 2014, ada 9 spesies nyamuk yang
menularkan cacing filarial B. malayi dan W. bancrofti di Provinsi Sulawesi
Tenggara yaitu: Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, An. aconitus, An.
barbirostris, An. nigerimus, Cx. annularistris, Cx. withmorei7. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya nyamuk yang
positif filarial, hal ini menunjukkan penularan filariasis tidak terjadi.
7. Survei Lingkungan
Lingkungan Desa Margajaya dan Lantawonua memiliki
karakteristik yang berbeda. Desa Lantawonua merupakan perumahan
memanjang yang dikelilingi oleh sawah dan kebun, sedangkan Desa
Margajaya merupakan daerah pemukiman yang kering. Jenis habitat yang
ditemukan di Desa Margajaya paling banyak adalah genangan air disekitar
pemukiman, sedangkan di Desa Lantawonua adalah sawah. Yang perlu
menjadi perhatian adalah bahwa pemukiman sangat dekat dengan tempat
potensial. Tidak hanya masalah penyakit filariasis namun juga penyakit
tular vektor lainnya.
Desa Lantawonua yang merupakan daerah sentinel yang pada
tahun 2005 mempunyai Mf rate ≥ 1%, merupakan daerah persawahan.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis dan
mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B. malayi adalah
daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai yang ditumbuhi tanaman air7.
Penelitian di Kabupaten Sambas menunjukkan adanya hubungan antara
habitat nyamuk dengan kejadian filariasis. Responden yang rumahnya
terdapat habitat nyamuk memiliki risiko 38,031 kali lebih besar menderita
filariasis dibandingkan dengan responden yang rumahnya tidak terdapat
habitat nyamuk.27
Jarak antara rumah dan titik koordinat tempat potensial perindukan
nyamuk terhubung pada jarak kurang dari 1 kilometer. Penelitian di
Kabupaten Sumba Barat Daya juga menunjukkan bahwa penularan
filariasis terjadi karena rumah penderita filariasis berada pada zona
penyangga yang berjarak kurang dari 1 kilometer dari tempat potensial
perindukan nyamuk.25 Jarak terbang nyamuk Anopheles pada umumnya
adalah 1-2 kilometer.25,27 Genangan air terbuka yang tidak terawat dan
terdapat tumbuhan air akan menjadi tempat potensial perindukan nyamuk.
Risiko penularan filariasis dapat ditekan dengan mengendalikan populasi
nyamuk vektor. Kegiatan membersihkan genagan air di sekitar rumah,
mengalirkan air pada persawahan dan menaburkan ikan pemakan jentik
merupakan upaya untuk mengurangi risiko penularan filariasis.25
8. Studi Kualitatif
Kabupaten Bombana menerima sertifikat eliminasi filariasis pada
tahun 2016 bersama 3 kabupaten lain yaitu Kabupaten Waringin Barat,
Kabupaten Kolaka Utara, dan Kota Bogor.35 Keberhasilan ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor mulai dari perencanaan dan penganggaran di tingkat
Kabupaten dan Puskesmas sampai dengan komitmen kader dan petugas
Puskesmas untuk menyelesaikan POPM filariasis. Capaian POPM
filariasis mulai dari tahun 2005 sampai dengan 2007 mampu mencakup
lebih dari 65%, namun setelah tahun ketiga mengalami penurunan yang
cukup drastis dibawah 65%. Meskipun capaian setelah tahun ketiga
menurun, namun ternyata berdasarkan hasil TAS dan hasil SDJ pada riset
ini menunjukkan bahwa transimisi penularan filariasis sudah tidak terjadi
dan Kabupaten Bombana dinyatakan bebas dari filariasis.
Pemberian pengobatan massal diharapkan mampu menurunkan
angka Mf rate dan mencegah orang yang tinggal di daerah endemis.
Cakupan POPM yang rendah akan menghambat eliminasi filariasis di
suatu daerah. Hasil penelitian di Kecamatan Pekalongan Utara
menunjukkan bahwa cakupan POPM yang kurang dari 75% selama tiga
periode pemberian obat massal filariasis belum mampu menurunkan angka
Mf rate kurang dari 1%.36
Dalam kegiatan POPM filariasis di Kabupaten Bombana kerjasama
antar lintas sektor dan program lebih banyak terjadi di tingkat Puskesmas
dengan melibatkan aparat desa, Babinsa dari TNI dan kader. Keterlibatan
dari lintas program dan lintas sektor sangat dibutuhkan dalam eliminasi
filariasis. Sosialisasi dan Promosi Kesehatan dalam eliminasi filariasis
dapat meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kegiatan POPM dan diharapkan mampu meningkatkan cakupan POPM.22
Perencanaan kegiatan POPM filariasis di Kabupaten Bombana
dilakukan ditingkat kabupaten. Dilihat dari kecukupan Sumber Daya
Manusia (SDM) pada tingkat kabupaten dikatakan cukup, namun SDM
pada tingkat Puskesmas dikatakan kurang, sehingga dalam pembagian
obat dibutuhkan bantuan kader. Kebutuhan SDM di tingkat Dinas
Kabupaten diperlukan dalam hal perencanaan penyediaan obat dan juga
anggaran. Kegiatan program eliminasi filariasis pada waktu itu yang
dilakukan hanyalah pembagian obat massal dan tidak diikuti kegiatan
penyelidikan epidemiologi tidak dilakukan. Hal ini sama terjadi di
Kabupaten Bandung, dimana surveilans yang berjalan di Kabupaten
Bandung satu-satunya adalah surveilens pengobatan sedangkan kegiatan
penyelidikan epidemiologi dan survei lingkungan tidak dilakukan.
Pengamatan lingkungan yang berhubungan dengan vektor perlu dilakukan
karena nyamuk mempunyai potensi sebagai penular.37
Kader kesehatan, petugas polindes, dan pustu sangat berperan
dalam pembagian obat dalam kegiatan POPM filariasis di Kabupaten
Bombana. Karena mereka yang langsung membagikan obat ke
masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan yang
mendistribusikan obat massal filariasis merupakan peluang yang mampu
mensukseskan kepatuhan masyarakat dalam minum obat20. Kebutuhan
SDM tidak hanya diperlukan saat pelaksannan POPM filariasis namun
juga saat sweeping dan monitoring, selain itu peduduk sasaran yang tidak
datang ke pos pengobatan akan didatangi oleh kader atau petugas.37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Keberhasilan eliminasi ini dimulai dengan diadakaannya pelaksanaan
POPM filariasis pada tahun 2005 kemudian dilanjutkan dengan program
TAS selama 3 periode.
2. Dari aspek epidemiologi dari survey darah jari malam di dua desa dan
pemeriksaan nyamuk tidak didapatkan hasil positif mikrofilaria ataupun
nyamuk yang berpotensi menularkan filariasis. Namun, masih perlu
menjadi perhatian adalah lingkungan yang masih dijumpai adanya tempat
potensial perindukan nyamuk disekitar pemukiman.
3. Keberhasilan eliminasi filariasis di Kabuapten Bombana mendapat
dukungan yang baik dari aspek manajemen yang dilakukan di level Dinas
Kesehatan Kabupaten, Puskesmas, dan tingkat pemerintah desa.
Dukungan yang baik di Dinas Kesehatan Kabupaten sudah terpenuhi dari
SDM pemegang program filariasis yang berkompeten dalam hal
perencanaan dan advokasi. Dukungan SDM pada tingkat Puskesmas
bekerjasama dengan pemerintah desa perlu adanya komitmen dari kepala
Puskesmas, kader dan kepala desa. Pembiayaan program eliminasi
filariasis tidak ditemukan kendala pada saat pelaksanaan, dari segi biaya
pengadaan obat sudah ditanggung oleh pemerintah pusat dan dari dinas
kesehatan provinsi. Biaya operasional kader selama pelaksanaan
pengobatan disediakan oleh Puskesmas.
4. Keberhasilan program filariasis di Kabupaten Bombana dipengaruhi oleh
kader kesehatan dan petugas Puskesmas yang merupakan pelaksana
utama dalam hal pembagian obat ke masyarakat yang dibantu oleh kepala
desa dan Babinsa, sedangkan perencanaan logistik obat dan anggaran
dikerjakan oleh Dinas kesehatan.
Saran
Meskipun sudah berhasil dalam eliminasi filariasis namun perlu
adanya surveilans penemuan kasus baru filariasias di daerah terpencil.
Masih adanya penderita kasus kronis filariasis perlu mendapatkan
perawatan dan pendampingan. Dari hasil survey lingkungan dan vektor
nyamuk perlu mendapatkan perhatian terkait dengan penyakit tular vektor
yang sewaktu-waktu dapat menjadikan permasalahan kesehatan di
Kabupaten Bombana.
BAB VI
DAFTAR RUJUKAN
1. WHO. Monitoring and Epidemiological Assessment of Mass Drug
Adminstration: Lymphatic Filariasis, Manual for National Elimination
Programmes. 2011.
2. Ditjen PP & PL. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Ditjen
PP & PL, Depkes RI; 2009.
3. Rahmah N, Taniawati S, Shenoy RK, Lim BH, Kumaraswami V, Anuar a.
K, et al. Specificity and sensitivity of a rapid dipstick test (Brugia Rapid) in
the detection of Brugia malayi infection. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2001;95(6):601–4.
4. Noordin R, Abdul Aziz RA, Ravindran B. Homologs of the Brugia malayi
diagnostic antigen BmR1 are present in other filarial parasites but induce
different humoral immune responses. Filaria J. 2004;3:1–7.
5. Subdit Filariasis dan Kecacingan. Data Endemisitas Filariasis di Indonesia
Sampai Dengan Bulan Juli 2014. Jakarta; 2014.
6. Subdit Filariasis dan Kecacingan. Rencana Pre TAS Kabupaten/Kota.
Jakarta; 2012.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Repubik Indonesia Nomor 94 tahun 2014, tentang Penanggulangan
Filariasis. Indonesia; 2014 p. 1–118.
8. Anorital, Indiarto AH, Dewi RM, Sugianto. Laporan Kajian Pengaruh
Upaya Pengobatan Massal Filariasis Terhadap Pengendalian Penyakit
Kecacingan (tidak dipublikasikan). Jakarta; 2014.
9. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi. “Filariasis di Indonesia” dalam
Buletin Jendela Epidemiologi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2010;1–8.
10. Supali T. Keberhasilan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Alor,
Nusa Tenggara Timur” dalam Buletin Jendela Epidemiologi. Kementerian
Kesehatan RI. 2010;20–3.
11. Filariasis S, Pulau DI, Pada A. Situasi filariasis di pulau alor pada tahun
2006. 2009;69–76.
12. Huppatz C, Capuano C, Palmer K, Kelly PM, Durrheim DN. Lessons from
the Pacific programme to eliminate lymphatic filariasis: A case study of 5
countries. BMC Infect Dis. 2009;9:1–6.
13. Sabesan S, Vanamail P, Raju K, Jambulingam P. Lymphatic Filariasis in
India: Epidemiology and Control Measures. J Postgrad Med. 2010;56:232–
8.
14. De-jian S, Xu-li D, Ji-hui D. The history of the elimination of lymphatic
filariasis in China. Infect Dis Poverty. 2013;2(1):1–9.
15. WHO. Slides on training in monitoring and epidemiological assessment
mass drug administration for eliminatiion filariasis: Module 8 Survey
sample builder [Internet]. 2016. Available from:
http://www.who.int/lymphatic_filariasis/resources/TAS_training_materials/
en/
16. Subdit Filariasis dan Kecacingan Kementerian Kesehatan RI. Hasil Pre-
TAS & TAS 2016. Jakarta; 2017.
17. Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana. Profil Kesehatan Kabupaten
Bombana Tahun 2016. Bombana; 2017.
18. BPS. No Title [Internet]. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun
1992-2015. 2016 [cited 2017 Dec 27]. Available from:
https://bombanakab.bps.go.id/statictable/2016/09/15/42/jumlah-penduduk-
menurut-jenis-kelamin-tahun-1992-2015.html
19. Rahayu N, Soeyoko, Sumarni S. Faktor Yang Berhubungan Dengan
Penularan Filariasis di Puskesmas Lasung Kec. Kusan Hilir Kab. Tanah
Bumbu Prop. Kalimantan Selatan. Kesmas. 2008;2(3):133–93.
20. Patanduk Y, Yunarko R, Mading M. Penerimaan Masyarakat dan Cakupan
Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten
Sumba Barat Daya. Bul Penelit Sist Kesehat. 2016;19(2):157–63.
21. Depkes RI. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia. Direktorat
Jendral PP&PL, Depkes RI; 2008.
22. Santoso, Cahyaningrum S. Re-Transmission Assessment Survey Filariasis
Pasca Pengobatan Massal di Kabupaten Agam , Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2016. BALABA. 2017;13(2):143–52.
23. Dinas kesehatan propinsi Sulawesi Tenggara. Profil Kesehatan Prov. Sul-
Tra 2012. Profil Kesehatan Prov. Sul-Tra 2012. Kendari; 2013.
24. Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana. Profil Kesehatan Kabupaten
Bombana Tahun 2012. Bombana; 2012.
25. Yunarko R, Patanduk Y. Distribusi Filariasis Brugia Timori dan
Wuchereria Bancrofti di Desa Kahale , Kecamatan Kodi Balaghar ,
Kabupaten S umba Barat Daya , Nusa Tenggara Timur. Balaba.
2016;12(2):89–98.
26. Santoso, Hotnida, S dan Oktarina R. Faktor Risiko Filariasis Di Kabupaten
Muaro Jambi. Bul Penelit Kesehat. 2013;41(3):152–62.
27. Ardias A, Setiani O, Darundiati YH. Faktor Lingkungan dan Perilaku
Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten
Sambas. J Kesehat Lingkung Indones [Internet]. 2013;11(2):199–207.
Available from: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/5032
28. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 94 Tahun
2014 Tentang Penanggulangan Filariasis. Indonesia; 2016.
29. Santoso. Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis di
Masyarakat (Analisis Lanjut Hasil Riskesdas 2007). Aspirator.
2011;3(1):1–7.
30. Joesoef A, Lifwarni, Wardiyo, Maneoba L, Bahang Z, Kirnowardoyo S, et
al. Malayan Filariasis Studies in Kendari Regency, Southeast Sulawesi,
Indonesia: Parasitological Survey. Bull Penelit Kesehat. 1984;XII(I):1–7.
31. Hairani B, Andiarsa D, Fakhrizal D. Risiko Infeksi Cacing Usus Pada Anak
Sekolah Dasar Berdasarkan Ekosistem Yang Berbeda di Kabupaten Tanah
Bumbu Tahun 2009. Buski. 2013;4(3):109–14.
32. WHO. Research Priorities for Helminth Infections [Internet]. 2012.
Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75922/1/WHO_TRS_972_eng.pdf?
ua=1
33. Rahayu N, Ramdani M. Faktor risiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing
Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Buski.
2013;4(3):150–4.
34. Sardjono TW. Strategi Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Parasitik
di Masyarakat. Maj Kedokt Indones. 2009;59(7):297–301.
35. Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat. Tahun Ini, 13
Kabupaten/Kota Dapat Sertifikat Eliminasi Filariasis. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2017. p.
http://www.depkes.go.id/article/view/17100900001/t.
36. Wahyudi BF, Pramestuti N. Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di
Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. Balaba.
2016;12(1):55–60.
37. Ipa M, Astuti EP, Ruliansyah A, Wahono T, Hakim L. Gambaran
Surveilans Filariasis di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. J Ekol
Kesehat. 2014;13 (2):153–64.
Cover dalam
LAPORAN PENELITIAN TAHUN 2017
Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis di Indonesia Tahun 2017
(Studi Multisenter Filariasis)
STUDI EVALUASI ELIMINASI FILARIASIS KABUPATEN
BOMBANA DAN KOLAKA UTARA TAHUN 2017
(Daerah Brugia malayi Non-Zoonotik)
Tim Peneliti:
drh. Rais Yunarko; Ni Wayan Dewi Adnyana, S.Si; Yona Patanduk, S.Km;
Mefi Mariana Tallan S.Si; Maria Astiana Mapada, S.Km; Anderias
Karniawan Bulu, S.Si; Justus Edyson Tangkuyah, Amd. KL; Dewi Rahayu,
Amd. Kep; Jerianto Leba Dara; Vhensiana Benyamin; Piter W Praing
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
LOKA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
(LOKA LITBANG P2B2) WAIKABUBAK
2017
SK PENELITI
DAFTAR SUSUNAN TIM PENELITI
No Nama kedudukan dalam tim
1 Muhammad Kaswaini, SKM, M.Kes PJT Provinsi Sultra
2 drh. Rais Yunarko PJT Kabupaten Bombana
3 NI Wayan Dewi Adnyana, S.Si
PJT Kabupaten Kolaka
Utara
4 Yona Patanduk, SKM Anggota peneliti
5 Mefi Mariana Tallan, S.Si Anggota peneliti
6 Mariana A. Mapada, SKM Anggota peneliti
7 Anderias Karniawan Bulu, S.Si Anggota peneliti
8 Dewi rahayu, Amd. Kep Anggota peneliti
9 Justus Edyson tangkuyah, Amd. KL Anggota peneliti
10 Jerianto Leba dara Anggota peneliti
11 Vhensiana Benyamin
Anggota peneliti dan
administrasi
12 Piter W Praing
Anggota peneliti dan
administrasi
COPY DOKUMEN PERSETUJUAN ETIK
LEMBAR PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG
Judul penelitian :
Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis di Indonesia Tahun 2017
(Studi Multisenter Filariasis)
Waikabubak, Januari 2018
Kepala Loka Litbang P2B2
Waikabubak
Rosiana K. Kulla, SKM
NIP 196512291989032001
PJT Kabupaten Kolaka Utara
Ni Wayan Dewi Adnyana, S.Si
NIP 198101212008122002
Menyetujui
Ketua Panitia Pembina Ilmiah
Sri Irianti, SKM,M.Phil,PhD
NIP 195804121981022001
Kepala
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat
drg.Agus Suprapto, M.Kes
NIP 196408131991011001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
berkat dan karunianya, kami dapat menyusun laporan penelitian yang berjudul
Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis di Indonesia Tahun 2017 (Studi Multisenter
Filariasis)
Upaya untuk memutuskan rantai penularan filariasis dapat dilakukan salah
satunya melalui POPM. Banyak daerah yang telah berhasil melakukan hal
tersebut, namun masih banyak juga daerah yang belum berhasil.
Mengingat besarnya masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh penyakit
filariasis apabila POPM tidak berhasil, maka dipandang perlu dilakukan penletian
yang bertujuan melihat faktor- faktor yang menyebabkan keberhasilan maupun
kegagalan di suatu daerah. Dengan harapan hasil yang telah diperoleh dapat
digunakan sebagai dasar upaya pengembangan metode pengendalian filariasis di
daerah yang masih gagal eliminasi filariasis.
Kami sampaikan limpah terimakasih semua pihak yang telah membantu
dan bekerjasama dan memberikan konstribusi baik pikiran maupun tenaga
sehingga laporan ini berhasil disusun.
Waikabubak, Januari 2017
Peneliti
ABSTRAK
Di Indonesia, terdapat 239 kabupaten/ kota endemis filariasis. Dari 236
kabupaten/kota yang endemis filariasis tersebut, 55 kabupaten/kota telah
melakukan pemberian obat pencegahan massal filariasis (POPM) selama 5 tahun
berturut-turut (5 putaran). Sisanya sebanyak 181 kabupaten/kota akan
melaksanakan POPM sampai dengan tahun 2020. Dari status terakhir per tahun
2015, terdapat 29 kabupaten/kota yang telah lulus Transmission Assesment Survey
(TAS) dan 22 kabupaten/kota gagal TAS baik TAS1, TAS2 atau TAS3. Banyak
faktor adanya kegagalan kabupaten/kota untuk lulus TAS. Salah satu aspek
kegagalan tersebut adalah cakupan POPM yang belum mencapai target yang
ditentukan. Namun kegagalan TAS tidak hanya dari aspek manajemen POPM
yang diterapkan. Aspek lain yang terkait dengan lingkungan (masih adanya
reservoar dan vektor penyakit), perilaku masyarakat, faktor sosial ekonomi
masyarakat yang masih rendah, dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota terkait dengan pengedalian filariasis; yang perlu diketahui secara
lebih mendalam dan komprehensif. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan
penelitian ini adalah Mengetahui dan menganalisis program eliminasi filariasis di
kabupaten/kota yang telah melaksanakan POPM.
Metode yang digunakan adalah Survei darah jari ,KAP, Stool survey
Detekesi Gen Brugia malayi, wawancara mendalam dan survei vektor
menggnakan metode Human Landing collection. Hasil pengumpulan data
diketahui bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku responden tentang eliminasi
filariasis masih sangat kurang. Hasil survei darah jari dan deteksi gen Brugia
malayi tidak ditemukan responden yang positif mikrofilaria maupun jejak
fragmen Brugia malayi. Begitupula dengan survei vektor, tidak ditemukan
nyamuk dengan positif vektor. Hasil wawancara mendalam diketahui bahwa
pemerintah setempat sangat mendkung pelaksanaan POPM, hanya saja
permasalahan penerimaan dari masyarakat yang masih kurang terhadap
pelaksanaan POPM.
Key word : Eliminasi filariasis, Survei darah jari, survey vektor, TAS
RINGKASAN EKSEKUTIF
Sampai akhir tahun 2016, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat
239 kabupaten/ kota endemis filariasis. Dari 236 kabupaten/kota yang endemis
filariasis tersebut, 55 kabupaten/kota telah melakukan pemberian obat pencegahan
massal filariasis (POPM) selama 5 tahun berturut-turut (5 putaran). Sisanya
sebanyak 181 kabupaten/kota akan melaksanakan POPM sampai dengan tahun
2020, dengan jumlah penduduk sebesar 76 juta jiwa. Kabupaten/kota yang
melaksanakan POPM, pada tahun ketiga dilakukan evaluasi yang berupa pre-
survei dengan melaksanakan survei darah jari guna mengetahui ada tidaknya
mikrofilaria dalam darah. Selanjutnya setelah 5 tahun POPM dilakukan evaluasi
dengan survei kajian penularan/TAS-1 dengan menggunakan rapid diagnostic
test/RDT 1. Dari hasil TAS-1 tsb akan diketahui apakah di kabupaten/kota
tersebut masih terjadi penularan filariasis atau masih dikategorikan sebagai daerah
endemis. Terhadap daerah yang masih terjadi penularan filariasis akan dilakukan
POPM ulang selama 2 putaran (2 tahun) 123. Untuk hasil TAS-1 dengan nilai di
bawah nilai cut-off maka kabupaten/kota tersebut dinyatakan lulus TAS. Selama 2
tahun setelah dinyatakan lulus, kabupaten/kota melaksanakan surveilans filariasis.
Setelah 2 tahun masa surveilans, dilakukan evaluasi (TAS-2). Dua tahun
kemudian dilakukan lagi evaluasi (TAS-3). Jika dalam 2 periode masa surveilans
dapat dilalui dengan status lulus TAS, maka kabupaten/kota tsb disertifikasi
dengan status filariasis telah tereliminasi. Dari status terakhir per tahun 2015,
terdapat 29 kabupaten/kota yang telah lulus Transmission Assesment Survey
(TAS) dan 22 kabupaten/kota gagal TAS baik TAS1, TAS2 atau TAS3.
Banyak faktor adanya kegagalan kabupaten/kota untuk lulus TAS. Salah
satu aspek kegagalan tersebut adalah cakupan POPM yang belum mencapai target
yang ditentukan. Dari hasil kajian yang dilakukan Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi, Kemenkes RI; persentase cakupan pengobatan massal pada tahun
2009 mencapai 59,48%. Persentase cakupan ini masih jauh di bawah target yang
ditetapkan WHO (minimal 65% dari total populasi atau 85% dari total sasaran) 4.
Rendahnya cakupan POPM antara lain terbatasnya sumber daya yang tersedia,
tingginya biaya operasional kegiatan POPM, dan penolakan masyarakat dengan
adanya reaksi pengobatan seperti demam, mual, muntah, pusing, sakit sendi dan
badan 45 Namun kegagalan TAS tidak hanya dari aspek manajemen POPM yang
diterapkan. Aspek lain yang terkait dengan lingkungan (masih adanya reservoar
dan vektor penyakit), perilaku masyarakat, faktor sosial ekonomi masyarakat
yang masih rendah, dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota terkait dengan pengedalian filariasis; yang perlu diketahui secara
lebih mendalam dan komprehensif.
Berdasarkan hal tersebut, dimana letak kegagalan dan keberhasilan
kabupaten/kota dalam pelaksanaan eliminasi filariasis yang telah berlangsung
sejak tahun 2002. Faktor kegagalan dan keberhasilan inilah yang akan dicari
dalam studi ini dengan melibatkan berbagai unit/instansi yang berada di lingkup
Badan Litbangkes.
Tujuan penelitian Mengetahui dan menganalisis program eliminasi
filariasis di kabupaten/kota yang telah melaksanakan POPM. Dengan tujuan
khusus untuk diketahui dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi
filariasis dari hasil analisis aspek epidemiologi (host, agent, lingkungan serta
diketahui dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi filariasis dari hasil
analisis aspek manajemen. Didapatkannya masukan yang signifikan untuk
perbaikan eliminasi filariasis di Indonesia.
Metode yang digunakan adalah Survei darah jari terhadap 620 responden
yang berdomisili di daerah sentinel atau spot., KAP untuk mengetahui
pengetahuan sikap dan perilaku responden sebesar jumlah responden SDJ tentang
penyebab, efek dan pengobatan filariasis, Stool survey merupakan survei
kecacingan yang dilakukan terhadap 10% anak dari total TAS yaitu sekitar 150-
160 anak, Detekesi Gen Brugia malayi dilakukan terhadap anak kelas 1-2 yang
positif atau negatif hasil tes antibodi sehingga jumlahnya sebanyak 15-20 anak per
kabupaten, wawancara mendalam dilakukan kepada pejabat dinas kesehatan yang
terlibat pada saat pelaksanaan POPM dari tingkat kabupaten hingga desa dan
terakhir adalah survei vektor menggunakan metode Human Landing collection
Hasil pengumpulan data diketahui bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku
responden tentang eliminasi filariasis masih sangat kurang. Hasil survei darah jari
dan deteksi gen Brugia malayi tidak ditemukan responden yang positif
mikrofilaria maupun jejak fragmen Brugia malayi. Begitu pula dengan survei
vektor, tidak ditemukan nyamuk dengan positif vektor. Hasil wawancara
mendalam diketahui bahwa pemerintah setempat sangat mendukung pelaksanaan
POPM, hanya saja permasalahan penerimaan dari masyarakat yang masih kurang
terhadap pelaksanaan POPM.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa keberhasilan eliminasi
filariasis di Kabupaten Kolaka Utara dimulai sejak pelaksanaan POPM 2005 dan
pelaksanaan TAS yang dilaksanakan sebanyak 3 kali. Secara epidemiologi,
keberhasilan ini dipengaruhi oleh tidak ditemukan agen maupun host definitif
dari penyakit filariasis dan juga tidak ditemukan nyamuk yang mengandung
cacing filariasis, walaupun lingkungan masih tersedia habitat perkembangbiakan
nyamuk. Keberhasilan ini juga didukung oleh aspek manajemen yang dilakukan
dari tingkat dinas kesehatan kabupaten, puskesmas dan tingkat pemerintah desa.
Dengan Kader dan petugas puskesmas sebagai pelaksana utama dan perencanaan
logistik obat dan anggaran dikerjakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka
Utara.
Berdasarkan hasil penelitian ini saran yang dapat diajukan adalah Untuk
tetap waspada agar tidak terjadi penularan kembali dengan memberikan informasi
tentang filariasis yang tepat dan mudah dipahami oleh masyarakat setempat.
DAFTAR ISI
COVER DALAM LXXIII SK PENELITI LXXIV DAFTAR SUSUNAN TIM PENELITI XCVII COPY DOKUMEN PERSETUJUAN ETIK XCVII LEMBAR PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG XCVIII KATA PENGANTAR XCIX ABSTRAK C RINGKASAN EKSEKUTIF CI DAFTAR ISI CIII DAFTAR TABEL CV DAFTAR GAMBAR CVI DAFTAR LAMPIRAN CVII BAB I 1 PENDAHULUAN 1
I.1. latar belakang ................................................................................................ 1
I.2. Dasar pemikiran ............................................................................................ 2
I.3 Tujuan penelitian ........................................................................................... 4
I.4. Manfaat penelitian ........................................................................................ 4
BAB II METODE PENELITIAN 5
II. 1. Kerangka konsep 5 II.2.Waktu, Tempat/Lokasi, Pelaksana & Penanggung Jawab, dan
Sumber Biaya. ................................................................................................ 6
II.3. Jenis Studi .............................................................................................. 8
II.4. Populasi, Sampel, dan Lokasi. .............................................................. 8
II.6. Bahan dan Cara Pengumpulan Data ................................................. 14
II.7. Alur kegiatan ........................................................................................ 18
II.8.Definisi operasional
23
II. 9. Manajemen dan analisis data ............................................................ 24
II. 10.Pertimbangan izin .............................................................................. 24
II. 11.Jadual kegiatan .................................................................................. 25
II. 12.Organisasi ........................................................................................... 27
BAB III HASIL PENELITIAN 28
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ............................................................. 28
2. Gambaran Jumlah & Karakteristik Subyek Penelitian/Sampel .................... 29
3. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Filariasis. ................................ 32
4. Gambaran Sikap Responden Tentang Filariasis. ........................................... 35
5. Gambaran Perilaku Responden Tentang POPM Filariasis ............................ 36
6. Gambaran Status Endemisitas Daerah Penelitian .......................................... 42
7. Gambaran Status Infeksi Kecacingan ............................................................ 43
8 Gambaran Hasil Survei Vektor ...................................................................... 44
9. Gambaran Hasil Survei Lingkungan
45
BAB IV 51
PEMBAHASAN 51 1. Survei KAP .................................................................................................... 51
2. Pemeriksaan klinis filariasis .......................................................................... 52
3. Survei darah jari ............................................................................................. 53
4. Stool survey .................................................................................................. 53
5. Deteksi Gen Bm ............................................................................................. 54
6. Survei vektor .................................................................................................. 54
7. Survei lingkungan .......................................................................................... 55
8. Wawancara mendalam studi kualitatif ........................................................... 55
BAB V 58
KESIMPULAN DAN SARAN 58 V.1. Kesimpulan ............................................................................................... 58
V.2. saran .......................................................................................................... 58
BAB VI 59
DAFTAR RUJUKAN 59 LAMPIRAN 62
3. Tim melakukan survei vektor ........................................................................ 64
4. Survei lingkungan .......................................................................................... 64
DAFTAR TABEL
TABEL 1. CAKUPAN POPM DI KABUPATEN KOLAKA UTARA .............. 28
TABEL2.JUMLAH RESPONDEN/SUBYEK PENELITIAN/SAMPEL
BERDASARKAN JENIS DATA/INFORMASI YANG DIKUMPULKAN
KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2017. ........................................................ 29
TABEL 3. KARAKTERISTIK RESPONDEN SURVEI KAP KABUPATEN
KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................................................................... 31
TABEL 4. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN YANG
MENGETAHUI PENYEBAB PENYAKIT DI KAB DI KOLAKA UTARA
....................................................................................33
TABEL 5 JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI EFEK
DARI PENYAKIT FILARIASIS ......................................................................... 33
TABEL 6. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
DEMAM BERULANG DISERTAI PEMBENGKAKAN PENYAKIT
FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................... 33
TABEL 7. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
PENCARIAN PENGOBATAN PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN
KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................................................................... 34
TABEL 8. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
PENGETAHUAN POPM PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA
UTARA TAHUN 2017 ......................................................................................... 34
TABEL 9. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
SUMBER INFORMASI POPM PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN
KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................................................................... 34
TABEL 10. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI SIKAP
TENTANG PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA
TAHUN 2017 ........................................................................................................ 35
TABEL 11. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
KETERLIBATAN DALAM POPM PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN
KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................................................................... 36
TABEL 12. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
MACAM OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM PENYAKIT
FILARIASIS KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2017................................... 36
TABEL 13. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN UNTUK MINUM
OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM PENYAKIT FILARIASIS
KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2017 ......................................................... 37
TABEL 14. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI CARA
MEMINUM OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM PENYAKIT
FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................... 37
TABEL 15. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
WAKTU MINUM OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM PENYAKIT
FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ....................... 38
TABEL 16. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN MENGENAI
ALASAN TIDAK MINUM OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM
PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 .. 38
TABEL 17 JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN TENTANG EFEK
SAMPING SETELAH MINUM OBAT YANG DIBERIKAN DALAM POPM
PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 .. 39
TABEL 18. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN TENTANG
CACING YANG KELUAR SETELAH MINUM OBAT YANG DIBERIKAN
DALAM POPM PENYAKIT FILARIASIS KABUPATEN KOLAKA UTARA
TAHUN 2017 ........................................................................................................ 39
TABEL 19. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN TENTANG
ALASAN TIDAK IKUT DALAM POPM PENYAKIT FILARIASIS
KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 .............................................. 40
TABEL 20. PEMBERITAHUAN SEBELUM PELAKSANAAN POPM
FILARIASIS DI KABUPATEN KOLAKA UTARA .......................................... 40
TABEL 21. UPAYA YANG DILAKUKAN DI DALAM RUMAH UNTUK
MENGHINDARI GIGITAN NYAMUK PADA WAKTU MALAM HARI DI
KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 .............................................. 41
TABEL 22. UPAYA YANG DILAKUKAN DI LUAR RUMAH UNTUK
MENGHINDARI GIGITAN NYAMUK PADA WAKTU MALAM HARI DI
KABUPATEN BOMBANA TAHUN 2017 ......................................................... 41
TABEL 23. JUMLAH RESPONDEN BERDASARKAN HASIL
PEMERIKSAAN KLINIS .................................................................................... 42
TABEL 24. JUMLAH RESPONDEN BERDASARKAN HASIL
PEMERIKSAAN MIKROSKOP .......................................................................... 43
TABEL 25. JUMLAH DAN PERSENTASE RESPONDEN YANG POSITIF
KECACINGAN KABUPATEN KOLAKA UTARA TAHUN 2017 ................. 43
TABEL 26. JUMLAH ANAK SD HASIL PEMERIKSAAN GEN BRUGIA
MALAYI KABUPATEN KOLAKA UTARA ....................................................... 43
TABEL 27. JUMLAH VEKTOR (NYAMUK) YANG BERHASIL
DITANGKAP DALAM DUA PERIODE PENANGKAPAN ............................. 45
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1. PETA PLOTTING RUMAH RESPONDEN KOLAKA UTARA,
ATAS (DESA LATALI) DAN BAWAH (DESA
PAKUE)...................................................................................... 32
GAMBAR 2. ZONA PENYANGGA TEMPAT POTENSIAL PERINDUKAN
NYAMUK DI DESA LATALI DAN DESA
PAKUE.............................................................................................. 46
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 TIM MELAKUKAN WAWANCARA
KAP....................................................... 63
LAMPIRAN 2 TIM MELAKUKAN SURVEI DARAH
JARI........................................................ 63
LAMPIRAN 3 TIM MELAKUKAN SURVEY
VEKTOR............................................................. 64
LAMPIRAN 4 SURVEI
LINGKUNGAN................................................................................ 64
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. latar belakang
Dalam resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 199, filariasis yang
dikategorikan sebagai neglected diseases (penyakit yang terabaikan) menjadi masalah
kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia 6. Indonesia adalah salah satu dari 53 negara
di dunia yang merupakan negara endemis filariasis, dan satu-satunya negara di dunia dengan
ditemukannya tiga spesies cacing filaria yang ada pada manusia yaitu: Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori 7.
Tahun 2000 WHO mendeklarasikan global eliminasi filariasis pada tahun 2020. Di
Indonesia program eliminasi filariasis telah dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada
tanggal 8 April 2002 di Sumatera Selatan. Sejak pencanangan tersebut, Menteri Kesehatan
mengeluarkan Keputusan Nomor: 157/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yaitu Penatalaksanaan Kasus Kronis
Filariasis. Tahun 2005 dikeluarkan Keputusan Nomor: 1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang
Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) 7
Sampai akhir tahun 2016, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 239
kabupaten/ kota endemis filariasis. Dari 236 kabupaten/kota yang endemis filariasis tersebut,
55 kabupaten/kota telah melakukan pemberian obat pencegahan massal filariasis (POPM)
selama 5 tahun berturut-turut (5 putaran). Sisanya sebanyak 181 kabupaten/kota akan
melaksanakan POPM sampai dengan tahun 2020, dengan jumlah penduduk sebesar 76 juta
jiwa. Kabupaten/kota yang melaksanakan POPM, pada tahun ketiga dilakukan evaluasi yang
berupa pre-survei dengan melaksanakan survei darah jari guna mengetahui ada tidaknya
mikrofilaria dalam darah. Selanjutnya setelah 5 tahun POPM dilakukan evaluasi dengan
survei kajian penularan/TAS-1 dengan menggunakan rapid diagnostic test/RDT 1. RDT yang
digunakan adalah brugia rapid testTM untuk parasit Brugia malayi dan/atau Brugia timori
6789 ., dan immunochromatographic test (ICT) untuk parasit Wuchereria bancrofti.
Brugia rapid test digunakan untuk mendiagnosis ada tidaknya antibodi B. malayi/B.
timori, sedangkan ICT untuk mendiagnosis ada tidaknya antigen W. bancrofti. Dari hasil
TAS-1 tsb akan diketahui apakah di kabupaten/kota tersebut masih terjadi penularan
filariasis atau masih dikategorikan sebagai daerah endemis. Terhadap daerah yang masih
terjadi penularan filariasis akan dilakukan POPM ulang selama 2 putaran (2 tahun) 123. Untuk
hasil TAS-1 dengan nilai di bawah nilai cut-off maka kabupaten/kota tersebut dinyatakan
lulus TAS. Selama 2 tahun setelah dinyatakan lulus, kabupaten/kota melaksanakan surveilans
filariasis. Setelah 2 tahun masa surveilans, dilakukan evaluasi (TAS-2). Dua tahun kemudian
dilakukan lagi evaluasi (TAS-3). Jika dalam 2 periode masa surveilans dapat dilalui dengan
status lulus TAS, maka kabupaten/kota tsb disertifikasi dengan status filariasis telah
tereliminasi. Dari status terakhir per tahun 2015, terdapat 29 kabupaten/kota yang telah lulus
Transmission Assesment Survey (TAS) dan 22 kabupaten/kota gagal TAS baik TAS1, TAS2
atau TAS3.
Pada tahun 2015, Menteri Kesehatan mencanangkan Bulan Eliminasi Kaki Gajah
(Belkaga). Sebelumnya pada tahun 2014 3, Menkes mengeluarkan Permenkes No. 94 Tahun
2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Dengan berlakunya Permenkes ini, maka
Kepmenkes No. 1582/2005 dan Kepmenkes No. 893/2007 dinyatakan tidak berlaku.
Salah satu kabupaten yang telah mendapat sertifikat eliminasi filariasis adalah
Kabupaten Kolaka Utara. Kolaka Utara telah memperoleh sertifikat eliminasi filariasis pada
tahn 2017. POPM tahun pertama dilakukan pada tahun 2005 dan terakhir dilakukan pada
tahun 2010. TAS-1 dilakukan pada tahun 2011, kemudian dilanjutkan TAS-2 pada tahun
2014 dan TAS-3 pada tahun 2016. Dari seluruh rangkaian kegiatan TAS itu semuanya
dinyatakan lulus. Dengan sertifikat eliminasi filariasis tersebut Kabupaten Kolaka Utara
Telah dinyatakan berhasil dalam pengendalian filariasis di wilayahnya.
Banyaknya kabupaten/kota yang gagal TAS menimbulkan kendala bagi
kabupaten/kota karena besarnya sumber daya yang diperlukan (biaya operasional dan
dukungan SDM), dan belum seluruh kabupaten/kota yang endemis filariasis melaksanakan
POPM filariasis secara menyeluruh (minimal 65% dari total populasi).
Berdasarkan hal tersebut maka, perlu dilakukan studi secara menyeluruh untuk
mengidentifikasi berbagai aspek terkait keberhasilan eliminasi filariasis di Kolaka
Utara. Dengan harapan hasil studi tersebut, dapat menjadi masukan bagi daerah lain
yang belum berhasil.
Studi tersebut meliputi aspek endemisitas, keberadaan vektor, cakupan
pengobatan massal dan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait filariasis
serta manajemen pengendalian yang telah dilakukan.
I.2. Dasar pemikiran
Banyak faktor adanya kegagalan kabupaten/kota untuk lulus TAS. Salah satu aspek
kegagalan tersebut adalah cakupan POPM yang belum mencapai target yang ditentukan. Dari
hasil kajian yang dilakukan Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI;
persentase cakupan pengobatan massal pada tahun 2009 mencapai 59,48%. Persentase
cakupan ini masih jauh di bawah target yang ditetapkan WHO (minimal 65% dari total
populasi atau 85% dari total sasaran) 4. Rendahnya cakupan POPM antara lain terbatasnya
sumber daya yang tersedia, tingginya biaya operasional kegiatan POPM, dan penolakan
masyarakat dengan adanya reaksi pengobatan seperti demam, mual, muntah, pusing, sakit
sendi dan badan 45 Namun kegagalan TAS tidak hanya dari aspek manajemen POPM yang
diterapkan. Aspek lain yang terkait dengan lingkungan (masih adanya reservoar dan vektor
penyakit), perilaku masyarakat, faktor sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah, dan
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kabupaten/kota terkait dengan pengedalian
filariasis; yang perlu diketahui secara lebih mendalam dan komprehensif.
Salah satu keberhasilan POPM di Kabupaten Alor adalah meningkatnya KAP
(Knowledge, Attitudes, and Practice) penduduk. Semula 54% penduduk yang mendengar dan
mengetahui filariasis, menjadi 89% penduduk yang tahu filariasis setelah dilaksanakan
sosialisasi. Meningkatnya KAP penduduk tentang POPM filariasis berdampak dengan
meningkatnya cakupan penduduk yang makan obat sebesar 80% 10. Studi yang dilaksanakan
oleh Sekar Tuti dkk pada tahun 2006 di Pulau Alor menunjukkan bahwa selama 5 tahun
POPM di 9 desa, mf rate turun dari 2,1%--3% menjadi 0% 11. Demikian juga hasil studi yang
dilakukan oleh Clare Huppatz pada 5 negara di Pasifik menemukan bahwa pelaksanaan
POPM selama 5 tahun berturut-turut dapat menurunkan antigenaemia di bawah 1% 12. Di
India filariasis endemik di 17 negara bagian dan 6 union territories dengan 553 juta
penduduk berisiko terinfeksi filariasis. Umumnya India endemis W. bancrofti, hanya 2%
yang endemis B. malayi yaitu di negara bagian Kerala, Tamil Nadu, Andhra Pradesh, Orissa,
Madhya Pradesh, Assam dan Benggala Barat. Pada tahun 2007, dari 250 kabupaten endemik,
cakupan pengobatan massal adalah 82% dari 518 juta penduduk, dan setahun kemudian
meningkat menjadi 85,92%. Meningkatnya angka cakupan pengobatan massal dikarenakan
kampanye pengendalian dan pencegahan filariasis yang merupakan Kebijakan Kesehatan
Nasional Tahun 2000 dalam upaya eliminasi filariasis tahun 2015 13. Secara fenomenal,
Tiongkok berhasil melaksanakan eliminasi filariasis pada tahun 2006 dengan menggunakan
fortifikasi garam dapur dengan DEC. Keberhasilan program eliminasi filariasis tersebut
karena merupakan program prioritas di 864 kabupaten/kota, sebagai upaya yang
berkelanjutan sejak tahun 1949, adanya kerja sama yang erat antar instansi yang terkait,
partisipasi aktif masyarakat di wilayah endemis, dan tingginya intensitas kampanye
pengendalian dan pencegahan 14. Keberhasilan Tiongkok ini dapat dijadikan contoh atas
adanya partisipasi aktif masyarakat dan kampanye pengendalian dan pencegahan
filariasis.
Dari pengalaman Tiongkok dan hasil keempat studi tersebut di atas, tampak bahwa
keberhasilan pelaksanaan eliminasi filariasis terjadi jika adanya kebijakan pemerintah daerah
untuk menjadikan eliminasi filariasis sebagai program prioritas, adanya kontinuitas POPM,
dan promosi kesehatan yang intensif. Berdasarkan hal tersebut, bagaimana dengan
Indonesia?. Dimana letak kegagalan dan keberhasilan kabupaten/kota dalam pelaksanaan
eliminasi filariasis yang telah berlangsung sejak tahun 2002. Faktor kegagalan dan
keberhasilan inilah yang akan dicari dalam studi ini dengan melibatkan berbagai unit/instansi
yang berada di lingkup Badan Litbangkes.
I.3 Tujuan penelitian
2.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan menganalisis program eliminasi filariasis di kabupaten/kota yang telah
melaksanakan POPM.
2.2. Tujuan Khusus
2.2.2. Diketahui dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi filariasis dari hasil
analisis aspek epidemiologi (host, agent, lingkungan).
2.2.3. Diketahuinya dan dianalisis kegagalan dan keberhasilan eliminasi filariasis dari hasil
analisis aspek manajemen.
2.2.4. Didapatkannya masukan yang signifikan untuk perbaikan eliminasi filariasis di
Indonesia.
I.4. Manfaat penelitian
Hasil dari studi ini diharapkan dapat dijadikan dasar atau acuan dalam hal pengembangan
model eliminasi filariasis yang dapat diterapkan oleh pelaksana program dalam
penanggulangan filariasis.
Untuk melaksanakan program penanggulangan filariasis, telah ditetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Dalam Permenkes
tersebut, penyelenggaraan penanggulangan filariasis dilaksanakan oleh Pemerintah, dalam hal
ini Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran serta
masyarakat. Penanggulangan filariasis dilaksanakan dengan empat pokok kegiatan yaitu (1)
surveilans kesehatan (penemuan penderita, survei data dasar prevalensi mikrofilaria, survei
evaluasi prevalensi mikrofilaria, dan survei evaluasi penularan); (2) penanganan penderita;
(3) pengendalian faktor risiko melalui pemberian obat pencegah massal (POPM); dan (4)
komunikasi, informasi, dan edukasi.
BAB II
Metode penelitian
II. 1. Kerangka konsep
Keterangan Diagram
1. Keberhasilan kabupaten/kota dalam eliminasi filariasis didasari oleh lulus tidaknya saat
dilakukan evaluasi (TAS). Pelaksanaan TAS dilakukan setelah POPM dilakukan selama
5 putaran (5 tahun) berturut-turut tanpa terputus. Pernyataan lulus TAS jika jumlah
sampel anak usia sekolah (kelas 1 dan 2 atau berumur 6-7 tahun) yang diperiksa
antibodi/antigen lebih rendah dari nilai cut-off kritis yang ditetapkan. Sedangkan yang
gagal TAS adalah sebaliknya (di atas nilai cut-off kritis yang ditetapkan).
2. Untuk menuju tercapainya eliminasi filariasis, secara garis besar ada 6 faktor yang perlu
dilakukan pengamatan dan pelaksanaan. Ke enam faktor tersebut adalah reservoir,
vektor, lingkungan fisik, pemberian obat pencegah, perilaku masyarakat, dan manajemen
pengendalian.
3. Jika digunakan model pendekatan berdasarkan teori H.L Blum, keberhasilan eliminasi
dipengaruhi atas faktor lingkungan, perilaku, pelayanan, dan genetik. Enam faktor dalam
diagram kerangka konsep dapat dikelompokkan sebagai faktor lingkungan (vektor,
reservoar, lingkungan fisik), perilaku (perilaku masyarakat), pelayanan (pemberian obat
pencegah dan manajemen pengendalian), sedangkan faktor genetik kontribusinya kecil
dan dapat diabaikan.
II.2.Waktu, Tempat/Lokasi, Pelaksana & Penanggung Jawab, dan Sumber Biaya.
Waktu: Studi akan dilakukan pada tahun 2017 selama 10 (sepuluh) bulan dimulai dari bulan
Februari sampai dengan November 2017.
Tempat/Lokasi studi adalah kabupaten/kota yang gagal dan lulus pre-TAS dan TAS yaitu di
kabupaten/kota Pidie, Aceh Jaya, Nias, Labuhan Batu, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Agam,
Limapuluh Kota, Bangka Barat, Belitung, Kuantan Senggigi, Pelalawan, Tangerang, Subang,
Kotawaringin Barat, Hulu Sungai Utara, Enrekang, Donggala, Bombana, Kolaka Utara,
Buton, Tidore Kepulauan, Merauke, dan Boven Digul 15. Pemilihan lokasi sampel
berdasarkan hasil pre TAS dan TAS yang dilaksanakan Subdit P2 Filariasis tahun 2016. Ke
24 kabupaten (lokasi penelitian) adalah wilayah endemis B. malayi zoonotic dan non-
zoonotic, serta W. bancrofti.
Pelaksana dan Penanggung Jawab adalah satuan kerja yang berada di bawah Badan
Litbangkes, yaitu Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Puslitbang Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan, Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Loka
Litbang Biomedis Aceh, Loka Litbang P2B2 Baturaja, Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balai
Besar Litbang Vektor dan Reservoar Penyakit, Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, Balai
Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Balai Litbang P2B2 Donggala, Loka Litbang P2B2
Waikabubak, dan Balai Litbang Biomedis Papua.
Sumber Biaya studi berasal dari dana APBN pada DIPA Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat, Loka Litbang Biomedis Aceh, Loka Litbang P2B2 Baturaja, Loka Litbang P2B2
Ciamis, Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Balai Litbang
P2B2 Donggala, dan Loka Litbang P2B2 Waikabubak. Selain bersumber dari DIPA 7 satuan
kerja tersebut di atas, salah satu kegiatan yaitu untuk pelaksanaan TAS di 24 kabupaten/kota
bersumber dari DIPA Ditjen P2P, Kemenkes RI. Untuk kegiatan TAS ini pelaksana adalah
Subdit P2 Filariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonosis, Ditjen P2P.
Berikut Tabel 1 yang menggambarkan lokasi, pelaksana dan sumber biaya studi multisenter
ini.
Tabel 1Lokasi, Status Endemisitas, Pelaksana dan Sumber Anggaran
Studi Multisenter Filariasis 2017
No Provinsi Kabupaten
Status
Pelaksana Sumber
Anggaran Endemisitas Pasca
POPM
1
Aceh
Pidie Wb TAS-1 Loka Litbang
Biomedis Aceh
Loka Litbang
Biomedis Aceh 2 Aceh Jaya
Wb Pre-
TAS
3 Sumut
Nias Bm TAS-1 Puslitbang
UKM, BTDK,
SDPK, dan
HKK.
Puslitbang
UKM
4 Labuhan Batu Bm TAS-2
5
Sumbar
Limapuluh
Kota
Bm TAS-3
6 Agam Bm TAS-1
7 Pesisir Selatan Bm TAS-1 Balai Litbang
P2B2
Banjarnegara
Balai Litbang
P2B2
Banjarnegara 8 Pasaman Barat Bm TAS-1
9
Riau
Kuantan
Senggigi
Bm TAS-1
Loka Litbang
P2B2 Baturaja
Loka Litbang
P2B2 Baturaja 10 Pelalawan Bm TAS-2
11 Babel
Bangka Barat Bm TAS-3
12 Belitung Bm TAS-3
13 Banten Tangerang Wb TAS-2 Balai Litbang
P2B2 Ciamis
Balai Litbang
P2B2 Ciamis 14 Jabar Subang Wb TAS-1
15 Kalteng
Kotawaringin
Barat
Bm TAS-3 Balai Litbang
P2B2 Tanah
Bumbu
Balai Litbang
P2B2 Tanah
Bumbu 16
Kalsel Hulu Sungai
Utara Bm TAS-1
17 Sulteng Donggala Bm TAS-1 Balai Litbang
P2B2 Donggala
Balai Litbang
P2B2 Donggala 18 Sulsel Enrekang Bm TAS-3
19
Sultra
Bombana Bm TAS-3 Loka Litbang
P2B2
Waikabubak
Loka Litbang
P2B2
Waikabubak 20 Kolaka Utara Bm TAS-3
21 Buton Bm TAS-1
BB Litbang VRP
Salatiga
Puslitbang
UKM
22 Papua
Merauke Wb TAS-1 Balai Litbang
Biomedis Papua
23 Boven Digul Wb TAS-1 Puslitbang
UKM, BTDK,
SDPK, dan
HKK.
24 Malut Tidore
Kepulauan Wb TAS-1
Keterangan: Bm = Brugia malayi.
Wb = Wuchereria bancrofti.
II.3. Jenis Studi
Jenis studi adalah potong lintang (cross sectional).
II.4. Populasi, Sampel, dan Lokasi.
II.4.1. Transmission Assesment Survey (TAS).
Transmission Assessment Survey (TAS) atau Survei Kajian Penularan adalah salah satu
langkah penentuan evaluasi keberhasilan POPM untuk menuju eliminasi filariasis.
Merupakan survei potong lintang mengumpulkan data pada waktu yang ditetapkan. Disain
survei tergantung pada jenis parasit dan vektor, rasio angka partisipasi masuk sekolah,
besaran populasi anak usia 6-7 tahun atau kelas 1 dan 2, dan jumlah sekolah atau daerah
pencacahan. Tujuan dari TAS ini adalah untuk mengukur apakah di daerah tersebut pasca
POPM dapat mempertahankan prevalensi infeksi di tingkatan yang aman, dalam pengertian
tidak terjadi lagi penularan baru meskipun POPM telah dihentikan.
Populasi: anak sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) kelas 1 dan 2 di kabupaten/kota
lokasi studi.
Sampel: Pemilihan sampel dilakukan secara klaster dengan menggunakan survey sample
builder (SSB) 616. SSB adalah suatu perangkat yang dirancang untuk membantu pelaksanaan
TAS. Program SSB digunakan untuk mengotomatisasi perhitungan guna menentukan strategi
survei yang tepat. Dibuat dengan disain survei yang fleksibel agar sesuai dengan situasi lokal
yang tergantung dengan tingkat sekolah dasar, ukuran populasi, jumlah sekolah atau daerah
pencacahan, dan siswa yang dipilih. Dalam SSB tersebut sudah diperhitungkan tingkat
absensi 15%. Dari seluruh SD/MI di kabupaten/kota dipilih secara random (acak) sebanyak
30 SD/MI sesuai dengan standar yang telah ditentukan WHO. Dalam daftar random pada
SSB mencantumkan juga 5 SD/MI cadangan yang bisa diikutsertakan dalam survey
berdasarkan urutan yang dipilih. Total sampel antara 1.524-1.552 anak. Dari setiap SD/MI
tersebut diambil sampel anak-anak kelas 1 dan 2 untuk diambil darah jari guna mengetahui
antibodi/antigen dengan rapid diagnostic test. Untuk subyek yang positif antibodi (lemah),
pengambilan dilakukan satu kali lagi.
Kriteria Sampel
Inklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang sakit.
Lokasi: Lokasi pada SD/MI yang terpilih sebagai sampel (30 SD/MI) di setiap kabupaten.
II.4.2 Survei Darah Jari (SDJ)
SDJ yaitu pengambilan darah jari untuk mengetahui ada tidaknya mikrofilaria di dalam
darah. Spesimen darah dilihat dengan mikroskop. Waktu pengambilan malam hari untuk
daerah endemis Brugia malayi dan Wuchereria bancrofti.
Populasi: masyarakat di sekitar tempat berdomisilinya anak SD/MI yang positif tes
antibodi/antigen, dan/atau masyarakat yang berdomisili di sentinel area dan spot area.
Catatan: Untuk kegiatan poin nomor 1 ini dilaksanakan oleh tim dari Subdit P2 Filariasis dan Kecacingan, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonosis, Ditjen P2 P.
Sampel: Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi satu proporsi dengan
pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) dari Stanley Lemeshow et.al
(1997):
n=[Z2 1-2. P(1-P)]/d2
Ket. n = jumlah sampel. Z2 1-2 = 1,960 (tingkat kepercayaan 95%). P=0,28. d = 0,05.
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel setiap desa/kelurahan adalah:
n = 1,96x1,96x0,28(1-0,28)/0,05 x 0,05 = 309,78 orang, dibulatkan menjadi 310 orang.
Jumlah 310 orang terdapat pada l.k. 70--100 rumah tangga (1 rumah tangga 4,5 orang) per
lokasi (desa/kelurahan). Total sampel untuk setiap kabupaten adalah 620 orang di 2 desa.
Subyek yang diambil darah adalah penduduk yang berusia 5 tahun ke atas, termasuk anak
SD/MI yang positif antibodi/antigen dan 10% yang negatif antibodi/antigen
Kriteria Sampel:
Inklusi: penduduk usia 5 tahun ke atas, terutama anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI yang positif
hasil test antibodi/antigen.
Eksklusi: penduduk yang sakit kronis (TBC, kusta, gangguan jiwa), ibu hamil (trimester
kedua ke atas), dan lansia tua (di atas 70 tahun).
Lokasi: Lokasi dipilih pada 2 desa/kelurahan di setiap kabupaten/kota. Pemilihan lokasi
tersebut berdasarkan lokasi dengan jumlah anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI yang positif
terbanyak dan/atau sentinel dan spot area. Khusus untuk kabupaten endemis Brugia agar
dipilih lokasi yang terdapat keberadaan primata liar (Presbytis cristatus/lutung dan Macaca
fascicularis/monyet ekor panjang).
Dari hasil TAS yang dilakukan pada tahun 2016 akan diperoleh kabupaten yang anak-
anak SD/MI positif dan kabupaten yang anak-anak SD/MI semua negatif. Jika semua
hasil TAS negatif, maka dipilih desa sentinel/spot. Berikut Tabel 2 di bawah ini yang
menggambarkan hasil TAS 2016 tsb.
Catatan: tahun 2017 saat penelitian dilaksanakan, anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI tersebut telah duduk di kelas 2 dan 3.
Tabel 2 Hasil Pre-TAS/TAS Tahun 2016 dan Lokasi Pengumpulan Data
No Provin
si Kabupaten
Hasil Pre-
TAS/TAS Lokasi Puldat
Positif Negatif Desa Pertama Desa Kedua
1
Aceh
Pidie 0 1.824 Buloh Reubaa (**)
Payapi Kunyet
(**)
2 Aceh Jaya (*) 5 548 Ligan Lhok Bot
3 Sumut
Nias 0 1.585 Lolofaoso (**) Tugala Gawu (**)
4 Labuhan Batu 0 1.590 Hiligeo Alfa (**) Siringo-ringo (**)
5
Sumbar
Limapuluh Kota 0 1.621 Batu Puyuang (**) Pakan Raba-a
(**)
6 Agam 3 1.692 Pasir Tiku Sungai Jaring
7 Pesisir Selatan 0 1.644 Talok Kasai (**) Koto Pulai (**)
8 Pasaman Barat 1 1.621 Ujung Gading Katiagan (**)
9 Riau
Kuantan Senggigi 11 1.772 Sukadamai Cerenti Subur
10 Pelalawan 17 1.559 Tanjung Air Hitam Lubuk Keranji
11 Babel
Bangka Barat 0 1.611 Air Gantang (**) Tanjung Niur (**)
12 Belitung 0 1.590 Suak Gual (**) Kembiri (**)
13 Banten
Tangerang 0 1.692 Rajeg (**)
Sepatan Timur
(**)
14 Jabar
Subang 0 1.694
Curug Rendeng
(**) Ranca Hilir (**)
15 Kalteng
Kotawaringin
Barat
4 1.544 Sungai Bakau Dawak
16 Kalsel
Hulu Sungai
Utara 0 1.573 Lok Bangkai (**) Banjang (**)
17 Sulteng Donggala 2 1.699 Banawa Dampelas
18 Sulsel Enrekang 0 1.610 Potokulin (**) Buntubarana (**)
19
Sultra
Bombana 0 1.524 Lanto Wonua (**) Lampalo (**)
20 Kolaka Utara 0 1.464 Salulotong Latali
21 Buton 0 1.476 Bonelalo (**) Lasalimu (**)
22 Papua
Merauke 0 1.587 Tanah Miring (**) Kudamati (**)
23 Boven Digul 16 1.288 Manggelum Aifo
24 Malut Tidore Kepulauan 0 1.444 Mareku (**) Ome (**)
Keterangan: (*) = Pre-TAS, positif hasil SDJ.
(**) = desa sentinel/spot.
II.4.3. Stool Survey (StS)
StS yaitu pemeriksaan tinja pada anak-anak SD/MI. Tujuannya adalah untuk mengetahui
apakah kemungkinan adanya reaksi silang brugia rapid diagnostic test yang positif dengan
kejadian infeksi kecacingan perut. Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode langsung.
Populasi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 di kabupaten lokasi penelitian.
Sampel: Jumlah sampel sebanyak 10% dari total sampel TAS yaitu 150-160 anak termasuk
anak yang positif antibodi/antigen. Subyek yang diambil faeces adalah anak SD/MI yang
positif dan negatif antibodi/antigen.
Kriteria Sampel:
Inklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang positif dan negatif test antibodi/antigen.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang sakit (diare).
Lokasi: SD/MI pada anak yang positif/negatif dan/atau pada SD/MI di sentine/spot area yang
dilakukan TAS di setiap kabupaten.
II.4.4 Deteksi DNA Brugia malayi
Deteksi DNA Brugia malayi adalah pemeriksaan ada tidaknya jejak keberadaan fragmen
mikrofilaria Brugia malayi di dalam darah. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
teknik polymerase chain reaction (PCR).
Populasi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 di kabupaten lokasi penelitian.
Sampel: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang positif/negatif hasil tes antibodi. Jumlah sampel 15-
20 per kabupaten. Subyek diambil darah jari sebanyak 150—200 µl, dimasukkan ke tabung
microtainer dan sebagian diteteskan ke kertas Whattman filter. Darah yang ada di tabung
microtainer dan kertas Whattman filter akan diperiksa dengan metode polymerase chain
reaction (PCR).
Kriteria Sampel:
Inklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang positif/negatif hasil tes antibodi.
Eksklusi: anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang tidak datang/hadir di sekolah karena sakit atau ijin
ada keperluan lainnya.
Lokasi: SD/MI pada anak yang positif/negatif dan/atau pada SD/MI di sentine/spot area yang
dilakukan TAS di setiap kabupaten.
II.4.5. KAP Survey Filariasis
KAP survey filariasis yaitu survei untuk mengetahui aspek pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat terkait dengan program eliminasi filariasis (penyebab penyakit, pengobatan, dan
pencegahan).
Populasi: masyarakat di sekitar tempat berdomisilinya anak SD/MI yang positif tes
antibodi/antigen dan atau masyarakat yang berdomisili di sentinel dan spot area.
Sampel: Jumlah sampel sebanyak 200 orang pada 70—100 rumah tangga yang berusia 15
tahun ke atas. Total sampel 400 orang per kabupaten. Subyek akan diwawancarai dengan
kuesioner terstruktur yang telah dikembangkan oleh WHO.
Kriteria Sampel:
Inklusi: penduduk usia 15 tahun ke atas.
Eksklusi: penduduk yang kesulitan dalam berkomunikasi (tuna wicara dan tuna rungu), dan
lansia dementia.
Lokasi: Lokasi sesuai dengan lokasi tempat pelaksanaan SDJ.
Catatan: tahun 2017 saat penelitian dilaksanakan, anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI tersebut telah duduk di kelas 2 dan 3.
Catatan: tahun 2017 saat penelitian dilaksanakan, anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI tersebut telah duduk di kelas 2 dan 3.
II.4.6 Focus Group Discussion (FGD) -- Modifikasi
FGD (modifikasi) adalah salah satu metode pengumpulan data secara kualitatif untuk
mengetahui sampai seberapa jauh informan (stake holder) mengetahui masalah yang terkait
dengan program eliminasi filariasis.
Populasi:
Para pejabat di tingkat kabupaten dan kecamatan (lintas program dan lintas sektor).
Kriteria Sampel:
Inklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di kabupaten dan kecamatan yang berada di
bawah kordinasi asisten kesejahteraan rakyat (tingkat kabupaten) dan kepala seksi
kesejahteraan rakyat (tingkat kecamatan).
Eksklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di kabupaten dan kecamatan yang berada di
bawah kordinasi asisten kesejahteraan rakyat (tingkat kabupaten) dan kepala seksi
kesejahteraan rakyat (tingkat kecamatan) yang tidak terkait dengan program pengendalian
penyakit menular.
Para pejabat lintas program dan sektor (informan) yang menjadi sampel dalam FGD ini
berjumlah 10—12 orang per tingkatan.
II.4.7. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Wawancara mendalam ditujukan kepada informan yang terdiri atas para pejabat lintas
program dan sektor di tingkat provinsi, penduduk yang minum obat dan yang tidak minum
obat, dan tokoh masyarakat yang ada di desa/kelurahan dan kecamatan lokasi penelitian.
Kriteria Sampel:
Pejabat lintas program dan sektor tingkat provinsi:
Inklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di provinsi yang berada di bawah kordinasi
deputi kesejahteraan rakyat (tingkat provinsi).
Eksklusi: Para pejabat lintas program dan sektor di provinsi yang berada di bawah kordinasi
deputi kesejahteraan rakyat (tingkat provinsi) yang tidak terkait dengan program
pengendalian penyakit menular.
Penduduk yang minum dan tidak minum obat:
Inklusi: penduduk yang minum dan tidak minum obat berusia dewasa (15 tahun ke atas).
Eksklusi: penduduk yang minum dan tidak minum obat berusia dewasa (15 tahun ke atas)
yang berdomisili di bawah 1 tahun di desa lokasi penelitian.
Tokoh masyarakat:
Inklusi: tokoh masyarakat formal dan informal yang telah menetap 3 tahun lebih di desa
tersebut.
Eksklusi: tokoh masyarakat formal dan informal yang telah menetap 3 tahun lebih di desa
tersebut yang tidak bersedia diwawancarai.
Untuk wawancara mendalam jumlah informan berkisar 10—12 orang.
Lokasi: Lokasi adalah desa/kelurahan tempat pelaksanaan SDJ. Di setiap kabupaten akan
dilaksanakan pada 2 desa/kelurahan.
II.4.8. Survei Vektor (Nyamuk).
Survei vektor (nyamuk) dilakukan untuk melihat spesies nyamuk yang mengandung larva L1,
L2 dan L3. Pelaksanaannya 2 kali, dengan selang waktu 1 bulan, pada 3 titik/lokasi di setiap
kabupaten/kota selama 2 malam berturut-turut. Dimulai sore hari pukul 17 sampai esok hari
pukul 6. Metode yang digunakan adalah modifikasi human landing collection dalam
kelambu, umpan hewan reservoir, dan light trap collection sepanjang malam.
Selain survei vektor, juga dilakukan survei habitat vektor. Dalam survei ini dilakukan
pengamatan dan pencatatan habitat vektor filariasis yang meliputi type breeding site,
pengamatan flora dan fauna (naungan dan kepadatan flora), kondisi ekologi (tanaman air,
lumut, ganggang), dan keberadaan hewan air predator, jarak dari rumah penduduk,
penggunaan lahan, dan total larva yang ditemukan per spesies.
Kriteria Sampel:
Inklusi: Titik lokasi tempat penangkapan dengan kondisi ekologi yang mendukung
keberadaan vektor (ada kobakan air yang tergenang, kelompok tumbuhan yang hidup di air,
semak belukar, hutan sekunder atau tersier).
Eksklusi: Titik lokasi tempat penangkapan dengan kondisi ekologi yang tidak menunjukkan
keberadaan vektor.
Lokasi: Lokasi adalah desa/kelurahan tempat pelaksanaan SDJ, dipilih pada 3-4 titik
wilayah/desa. Untuk setiap kabupaten ada 2 desa/kelurahan yang menjadi tempat pelaksanaan
pengumpulan vektor.
4.1.1. Survei Darah Reservoar (Kucing, Lutung dan Monyet Ekor Panjang).
Pengumpulan darah reservoar (kucing, monyet ekor panjang, dan lutung/monyet daun)
dilakukan di kabupaten/kota yang endemis Brugia malayi. Tujuannya adalah untuk melihat
ada tidaknya mikrofilaria dalam darah reservoar. Pemilihan kucing/monyet ekor
panjang/lutung (peliharaan dan liar) dilakukan secara purposif. Jumlah sampel sebanyak 100
ekor di setiap kabupaten yang tersebar di setiap titik pengambilan.
Kriteria Sampel:
Kucing:
Inklusi: Kucing rumah (Felis catus) atau kucing liar (Felis silvestris) yang berumur minimum
6 bulan dan dipelihara di/berasal dari desa lokasi penelitian.
Eksklusi: Kucing rumah (Felis catus) atau kucing liar (Felis silvestris) yang sakit berat.
Lutung:
Inklusi: Lutung (Presbitys cristatus) yang berumur minimum 6 bulan dan dipelihara
di/berasal dari sekitar desa lokasi penelitian yang berjarak maksimum 5 km.
Eksklusi: Lutung (Presbitys cristatus) yang berumur minimum 6 bulan dan dipelihara
di/berasal dari sekitar desa lokasi penelitian yang berjarak maksimum 5 km yang sakit berat.
Monyet Ekor Panjang:
Inklusi: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berumur minimum 6 bulan dan
dipelihara di/berasal dari sekitar desa lokasi penelitian yang berjarak maksimum 5 km.
Eksklusi: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang berumur minimum 6 bulan dan
dipelihara di/berasal dari sekitar desa lokasi penelitian yang berjarak maksimum 5 km yang
sakit berat.
Lokasi: Lokasi adalah desa/kelurahan tempat pelaksanaan SDJ (2 desa/kelurahan di setiap
kabupaten).
4.1.2. Survei Lingkungan
Survei lingkungan adalah pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan lingkungan
biologis dari vektor dan reservoar pada daerah tempat pelaksanaan studi.
Sampel: Jumlah sampel sebanyak 70—100 bangunan rumah di tempat pelaksanaan SDJ.
Kriteria Sampel:
Inklusi: Lingkungan bangunan rumah responden yang terpilih dalam survei KAP.
Eksklusi: Lingkungan bangunan umum (sekolah, kantor, gedung pertemuan, pos keamanan,
rumah kosong, masjid/mushalla/gereja).
Lokasi: Lingkungan rumah penduduk tempat pelaksanaan SDJ pada 2 desa/kelurahan di
setiap kabupaten.
II.6. Bahan dan Cara Pengumpulan Data
6.1.1Transmission Assesment Survey (TAS).
a. Tim TAS terdiri atas (1) pengawas utama yaitu petugas yang sudah menerima
pelatihan TAS dan atau memiliki pengalaman mengikuti survei TAS sebagai supervisor;
(2) kordinator lapangan yang bertugas melakukan kordinasi dengan pihak sekolah dan
melakukan penyuluhan kesehatan; (3) pendaftar yaitu petugas yang mencatat dan
mendaftar anak-anak yang dipilih sebagai sampel untuk diambil darahnya; (4)
pengambil darah yaitu petugas yang akan mengambil sampel darah; (5) pembaca hasil
tes yaitu petugas yang khusus memonitor dan membaca hasil tes cepat antibodi/antigen
termasuk memonitor waktu (pengelola timer).
b. Di lokasi kegiatan (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah), pengawas utama akan memberi
penjelasan singkat kepada kepala sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan
pemeriksaan TAS. Selanjutnya didiskusikan tempat terbaik untuk pengambilan darah,
sebaiknya di ruangan terpisah untuk mencegah murid merasa takut melihat proses
pengambilan darah.
c. Kordinator lapangan memberi penjelasan singkat kepada murid (subyek penelitian)
tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. Penjelasan tersebut mengenai risiko terhadap
subyek penelitian, meskipun kegiatan ini merupakan bagian dari suatu kegiatan rutin
program filariasis. Risiko yang dihadapi adalah risiko minimal yang dapat menyebabkan
kecemasan dan ketidaknyamanan. Jarang sekali terjadi infeksi atau perdarahan kecuali
pada beberapa individu tertentu. Dari hal ini subyek akan memperoleh manfaat karena
bagi subyek yang hasil pengujiannya positif akan diberi pemeriksaan dan tindakan
pengobatan lanjutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Tim TAS menyiapkan meja yang berpermukaan rata untuk mengatur alat yang
dibutuhkan dan membaca hasil-hasil tes. Anggota tim yang telah ditentukan sebagai
pengambil darah dan pembaca tes siap di posisi masing-masing.
e. Pendaftar mengisi data demografis (nama, jenis kelamin, umur, alamat) untuk setiap
murid yang terpilih sebagai subyek penelitian di formulir yang telah disediakan.
Pendaftar memasukkan setiap data dari murid yang menolak atau tidak mendapat ijin dan
menuliskan jumlah murid yang absen dalam formulir serta mengisikan nama subyek dan
nomor kode spesimen pada formulir.
f. Pengambil darah menuliskan nama dan nomor kode spesimen pada perangkat kit
diagnostik yang digunakan. Lakukan pengambilan darah jari pada subyek sebanyak 35
μl. Berikut Lampiran 1.1 prosedur pengujian untuk brugia rapid test dan Lampiran
1.2 untuk prosedur pengujian filaria test strip.
g. Hasil yang diperoleh berupa jumlah anak/murid SD/MI yang positif dan negatif
diinformasikan ke Tim Pelaksana Riset Filariasis. Data dan informasi anak/murid SD/MI
positif antibodi/antigen yang disampaikan adalah: nama SD/MI, nama anak, umur,
alamat (dusun/RT, desa/kelurahan, kecamatan), dan nama orang tua/wali.
6.1.2. Survei Darah Jari (SDJ) dan Survei KAP-Lingkungan (SKAP-L).
a. Tim SDJ dan SKAP-L terdiri atas (1) pemeriksa gejala klinis yaitu petugas yang akan
melakukan anamnesa kepada subyek penelitian terkait dengan gejala klinis yang dirasakan
saat ini atau yang pernah dirasakan subyek setahun terakhir, pemeriksa gejala klinis juga
merangkap sebagai ketua tim; (2) pewawancara yang bertugas melakukan wawancara
kepada subyek penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan yang melakukan
survei pengamatan lingkungan; (3) pendaftar yaitu petugas yang mencatat dan mendaftar
subyek penelitian yang dipilih sebagai sampel untuk diambil darahnya dan diwawacarai;
(4) pengambil darah yaitu petugas yang akan mengambil sampel darah; (5) pemroses
spesimen yaitu petugas yang memproses spesimen sejak spesimen diteteskan pada slaid
sampai diperiksa; (6) pemberi bahan kontak yaitu petugas yang membagikan bahan
kontak kepada subyek penelitian yang telah selesai diambil darah jari dan wawancara.
b. Tim melakukan wawancara dan survei lingkungan ke masing-masing rumah responden
yang dilakukan pada siang hari. Pemilihan rumah responden dilakukan dengan dimulai
dari rumah penderita (positif antibodi atau positif mikrofilaria) sebagai titik pusat.
Selanjutnya dipilih rumah yang berdekatan di sekeliling rumah penderita secara
melingkar.
c. Tim mengisi formulir identitas rumah tangga yang berisikan nama-nama anggota rumah
tangga. Untuk pengisian formulir ini, dapat ditanyakan kepada kepala rumah tangga atau
salah seorang anggota rumah tangga yang berusia dewasa. Formulir ini diberikan kepada
responden/subyek penelitian untuk dibawa ke tempat pengambilan darah jari sebagai bukti
bahwa rumah tangga tersebut telah dilakukan wawancara. Terlampir formulir identitas
rumah tangga pada Lampiran 2.1.a.
d. Wawancara dilakukan pada responden yang berusia di atas 15 tahun ke atas. Proses
wawancara berlangsung antara 10—15 menit. Terlampir daftar pertanyaan (kuesioner)
pada Lampiran 2.5.
e. Sebelum melakukan wawancara, pewawancara akan menyodorkan formulir persetujuan
setelah penjelasan (PSP) kepada responden/subyek penelitian untuk dibaca dan
ditandatangani responden jika responden setuju. Formulir PSP terlampir pada Lampiran
2.2.a. Jika responden tidak dapat atau kesulitan membaca, pewawancara akan
membacakan PSP.
f. Setelah selesai wawancara, dilakukan survei lingkungan pada rumah responden.
g. Setelah dilakukan wawancara ke seluruh subyek penelitian (responden), tim melakukan
persiapan tempat untuk pengambilan darah jari.
h. Tim menyiapkan tempat yang cukup lapang. Di tempat pengambilan darah hendaknya
disediakan kursi secukupnya untuk subyek duduk menunggu giliran serta minimal 4 buah
meja untuk menaruh berbagai peralatan pengambil darah dan bahan-bahan.
i. Subyek penelitian (responden) yang telah datang di tempat pengambilan darah, mendaftar
ke meja petugas pendaftar dengan menyerahkan formulir identitas rumah tangga. Petugas
pendaftar akan mendaftar subyek penelitian pada formulir yang disediakan. Terlampir
pada Lampiran 2.1.b.
j. Subyek penelitian (responden) beralih ke tempat pemeriksaan klinis. Oleh ketua tim,
sebagai pemeriksa gejala klinis, diberikan penjelasan singkat kepada subyek penelitian
tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. Penjelasan tersebut mengenai risiko terhadap
subyek penelitian. Risiko yang dihadapi adalah risiko minimal yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan (rasa sakit pada ujung jari) namun jarang sekali terjadi infeksi atau
perdarahan kecuali pada beberapa individu tertentu. Dari hal ini subyek akan memperoleh
manfaat karena bagi subyek yang hasil pengujiannya positif akan dilakukan pemeriksaan
dan tindakan pengobatan lanjutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksa gejala
klinis akan melakukan anamnesa kepada subyek penelitian. Gejala klinis yang ditemukan
dan yang pernah dirasakan subyek penelitian dalam setahun terakhir dicatat dalam
formulir yang telah disiapkan. Terlampir pedoman penetapan gejala klinis pada Lampiran
2.3. dan formulir pencatatan pada Lampiran 2.4.
k. Selanjutnya subyek penelitian akan diambil darah jari sebanyak 60 μl untuk sediaan apus
tebal oleh petugas pengambil darah. Sediaan darah yang ada pada kaca slaid akan
diproses oleh pemroses spesimen sampai sedian darah diperiksa dan disimpan pada kotak
slaid. Terlampir prosedur pengambilan dan pemrosesan sedian darah pada Lampiran 2.6.
l. Setelah selesai diambil darah jari, subyek penelitian beralih ke meja petugas pemberi
bahan kontak. Petugas pemberi bahan kontak akan memberikan bahan kontak kepada
subyek. Subyek menandatangani tanda terima bahan kontak. Terlampir form tanda terima
bahan kontak pada Lampiran 2.7.
m. Proses pengambilan darah jari selesai, subyek kembali ke tempat tinggal.
n. Proses pewarnaan sediaan darah dan pemeriksaan dilakukan oleh tim. Bagi subyek
penelitian yang hasil pemeriksaan darah jarinya positif, dirujuk ke Puskesmas untuk
diberikan pengobatan dengan DEC dan albendazol sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
o. Hasil pemeriksaan slaid yang positif dan 10% dari slaid yang negatif dikirim ke Tim
Teknis (Laboratorium Parasitologi, Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan)
untuk dilakukan pemeriksaan silang (cross check).
p. Data hasil pemeriksaan klinis, pemeriksaan sediaan darah, dan wawancara dientri oleh
tim.
6.1.3. Stool Survey (StS)
a. Tim StS terdiri atas (1) pemeriksa gejala klinis yaitu petugas yang akan melakukan
anamnesa kepada subyek penelitian terkait dengan gejala klinis yang dirasakan subyek,
pemeriksa gejala klinis juga merangkap sebagai ketua tim; (2) pengumpul dan
pemeriksa spesimen yaitu petugas yang akan mengampulkan dan memeriksa spesimen
tinja; (3) pendaftar yaitu petugas yang mencatat, mendaftar dan memberikan bahan
kontak kepada subyek penelitian (anak-anak) yang dipilih sebagai sampel untuk
menyerahkan tinjanya; (4) penghubung adalah petugas yang melakukan kordinasi dengan
pihak sekolah dan melakukan penyuluhan kesehatan kepada subyek penelitian. b. Sehari sebelum pengumpulan spesimen, ketua tim memberikan penjelasan singkat kepada
kepala sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan survei. Selanjutnya petugas
pendaftar melakukan pendaftaran dan pencatatan nama murid SD/MI yang terpilih
sebagai sampel yang akan menyerahkan spesimen tinja. Proses selanjutnya adalah
membagikan pot tempat spesimen tinja disertai keterangan cara pengambilan,
pengemasan, dan waktu penyerahan. Saat penyerahan pot, kepada murid SD/MI dijelaskan
maksud dan tujuan pemeriksaan spesimen tinja dan manfaat yang diterima dari kegiatan
yang dilakukan. Terlampir form daftar murid SD/MI yang terpilih sebagai sampel pada
Lampiran 3.1. dan formulir persetujuan setelah penjelasan (PSP) pada Lampiran
2.2.b.
c. Hari kedua; murid SD/MI yang terpilih sebagai sampel menyerahkan pot yang telah terisi
spesimen tinja kepada tim. Saat penyerahan spesimen tinja, dilakukan pemeriksaan klinis
oleh petugas pemeriksa gejala klinis. Terlampir pedoman pemeriksaan klinis kecacingan
pada Lampiran 3.2.
d. Setelah pemeriksaan klinis subyek penelitian menerima bahan kontak dari petugas
pendaftar. Subyek menandatangani tanda terima bahan kontak. Terlampir form tanda
terima bahan kontak pada Lampiran 2.7.
e. Pemeriksaan spesimen tinja dilakukan langsung di lapangan. Bagi subyek penelitian yang
hasil pemeriksaan tinja positif, dirujuk ke Puskesmas untuk diberikan pengobatan dengan
albendazol sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Hasil pemeriksaan spesimen tinja yang positif dikirim ke Tim Teknis (Laboratorium
Parasitologi, Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan) untuk dilakukan
pemeriksaan silang (cross check).
g. Terlampir prosedur penanganan dan pemeriksaan spesimen tinja pada Lampiran 3.3. dan
form pencatatan hasil pemeriksaan tinja pada Lampiran 3.4.
6.1.4. Deteksi DNA Brugia malayi
a. Tim Deteksi DNA Brugia malayi (DDB) terdiri atas (1) pengambil darah yaitu petugas
yang akan mengambil sampel darah jari murid SD/MI yang positif/negatif antibodi brugia;
(2) pendaftar yaitu petugas yang mencatat, mendaftar dan memberikan bahan kontak
kepada subyek studi (anak-anak) yang dipilih sebagai sampel.
b. Tim DDB akan mendatangi SD/MI tempat anak-anak yang positif/negatif antibodi.
c. Sebelum pengumpulan spesimen, tim memberikan penjelasan singkat kepada kepala
sekolah dan guru-guru tentang maksud dan tujuan pengambilan darah pada siang hari.
Selanjutnya petugas pendaftar melakukan pendaftaran dan pencatatan nama murid SD/MI
yang terpilih sebagai sampel.
d. Subyek studi diambil darah jari sebanyak 150—200 µl dimasukkan ke tabung microtainer
dan sebagian diteteskan ke kertas Whattman filter. Darah yang ada di tabung vacutainer
dan kertas Whattman akan diperiksa dengan metode polymerase chain reaction (PCR).
e. Spesimen darah tersebut dikirim ke Laboratorium Nasional Badan Litbangkes di Jakarta.
f. Terlampir form tanda terima bahan kontak pada Lampiran 2.7, formulir persetujuan
setelah penjelasan (PSP) pada Lampiran 2.2.c. dan form daftar murid SD/MI yang
diambil darah jari pada Lampiran 4.1.
6.1.5. Focus Group Discussion (FGD)
a. Tim Focus Group Discussion (FGD) terdiri atas (1) moderator merangkap sebagai ketua
tim, (2) asisten moderator, dan (3) notulis. b. Sehari sebelum pelaksanaan, tim FGD mendatangi lokasi pelaksanaan FGD dan
melakukan kordinasi dengan instansi setempat terkait persiapan pelaksanaan meliputi
tempat FGD, penataan ruangan, dan lain hal yang diperlukan agar pelaksanaan FGD dapat
berjalan baik tanpa kendala.
c. Sebelum pelaksanaan FGD, ketua tim memberikan penjelasan kepada para peserta tentang
maksud dan tujuan FGD. Selanjutnya salah seorang wakil peserta menandatangani PSP.
Terlampir formulir PSP pada Lampiran 2.2.d, panduan ringkas FGD pada Lampiran 5.1,
dan daftar pertanyaan yang diajukan saat FGD pada Lampiran 5.2.
6.1.6. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
a. Tim Wawancara Mendalam terdiri atas (1) pewawancara, dan (2) pencatat (notulis). b. Tim Wawancara akan mendatangi informan di tempat masing-masing.
c. Sebelum pelaksanaan wawancara mendalam, pewawancara memberikan penjelasan
tentang maksud dan tujuan wawancara mendalam. Informan diminta untuk membaca dan
menandatangani PSP. Terlampir formulir PSP pada Lampiran 2.2.e, panduan
pengumpulan data manajemen pada Lampiran 6.1, matriks informasi esensial pada
Lampiran 6.2. dan panduan ringkas wawancara mendalam pada Lampiran 6.3.
6.1.7. Survei Vektor (Nyamuk).
a. Tim Survei Vektor (Nyamuk) berjumlah 4 (empat) orang dan dibantu tenaga lokal
sebanyak 8 (delapan) orang. Salah seorang dari empat peneliti tersebut menjadi ketua tim/
kordinator.
b. Sehari sebelum pelaksanaan survei, ketua tim/kordinator mendatangi lokasi
penangkapan vektor untuk menentukan lokasi penangkapan dan lokasi survei habitat
vektor serta melakukan kordinasi dengan aparat desa/kelurahan setempat.
c. Identifikasi nyamuk dilakukan di lapangan.
d. Dua sampai empat spesies yang tertangkap dan diperkirakan sebagai vektor potensial
dikirim ke Laboratorium Entomologi Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat dan
Laboratorium Entomologi Balai/Loka Litbangkes yang mampu untuk diperiksa dengan
teknik PCR guna menentukan besarnya infectivity rate vector. Pemeriksaan dilakukan
secara pooling berdasarkan spesies dan lokasi. Untuk efisiensi pemeriksaan PCR maka
hanya nyamuk betina parous yang akan diperiksa keberadaan cacing filarianya.
e. Hasil identifikasi nyamuk dicatat dalam form yang telah disiapkan.
f. Panduan teknis survei vektor dan form survei habitat dapat dilihat pada Lampiran 7.1.
dan 7.2.
6.1.8. Survei Lingkungan
a. Survei Lingkungan dilakukan oleh 1 orang peneliti sebagai pengamat lingkungan.
b. Pengamat lingkungan akan mendatangi setiap rumah yang akan menjadi sampel
pengamatan. Selain membawa form pencatatan, perlengkapan lain yang digunakan adalah
kamera pada telepon genggam atau gadget guna merekam situasi dan kondisi yang
ditemukan.
c. Hasil pengamatan dicatat peneliti dalam form pencatatan pengamatan lingkungan pada
Lampiran 9.1.
II.7. Alur kegiatan
Berikut di bawah ini alur kegiatan penelitian.
TRANSMISSION ASESSMENT SURVEY
Populasi Sampel Murid SD/MI kelas 1 & 2 per kab/kota
Klaster/Sekolah 30--40 SD/MI di setiap kab/kota
yang lulus/gagal TAS.
Kabupaten/Kota Masa Surveilans (Pasca Lulus TAS-1/TAS-2)
Kabupaten/Kota Pasca POPM (5 thn atau 7 thn)
Daerah B. malayi: Pemilihan lokasi Stool Survey dan Deteksi DNA B. malayi
Dari 30--40 SD/MI yang dilakukan TAS, pilih: SD/MI yg murid kelas 1 dan 2-nya, ada dan banyak yg positif. Minimal 4 SD/MI. Jika kab/kota tsb tidak ada hasil TAS positif, pilih: SD/MI pada daerah sentinel dan/atau daerah spot atau SD/MI yang berdekatan dengan daerah sentinel dan/atau daerah spot. Minimal 4 SD/MI.
Stool Survey: Sampel 150—160 anak SD/MI kelas 1 dan 2 (10%
Keterangan: = dilaksanakan oleh Subdit Filariasis dan Kecacingan, Di
Penjelasan diagram
1. Secara garis besar ada 5 faktor utama dalam pelaksanaan eliminasi filariasis, yaitu sumber
daya manusia yang kapasitas dan kapabilitas terkait filariasis cukup baik kompetensinya;
sistem logistik yang memadai; pelaksanaan promosi kesehatan yang tepat sasaran,
melibatkan lintas sektor dan upaya kesehatan sekolah yang kontinu dan terencana; adanya
kebijakan dan peraturan yang mendukung kegiatan eliminasi; dan tersedianya anggaran
operasional yang memadai.
2. Kegiatan eliminasi filariasis ditujukan ke segenap masyarakat yang berdomisili di
kabupaten/kota.
3. Dalam studi ini sasaran penelitian (subyek studi) adalah anak SD/MI, tokoh masyarakat,
anggota masyarakat termasuk orang tua anak SD/MI, lingkungan, vektor dan reservoar
penyakit.
4. Pada diagram di atas, tampak tergambar urutan tahapan pelaksanaan studi yang dimulai
dari TAS, pemeriksaan hasil SDJ secara mikroskopis, stool survey, wawancara ke
masyarakat, RTD ke stake holder, survei lingkungan, penangkapan vektor, dan
pemeriksaan reservoar.
Berikut matriks di bawah ini yang menggambarkan kerangka kegiatan pada masing-masing
lokasi penelitian.
No Kab/Kota Endemis
SDJ
+
KAP
SF
StS Indepth
+ FGD
Gen
Bm Vektor Reservoar Lingk
1 Aceh Jaya Bm √ -- √ -- √ k + p √
2 Pidie Wb √ -- √ -- √ -- √
3 Nias Bm √ √ √ √ √ k + p √
4 Labuhan
Batu
Bm √ √ √ √ √ k + p √
5 Agam Bm √ √ √ √ √ k + p √
6 Limapuluh
Kota
Bm √ √ √ √ √ k + p √
7 Pasaman
Barat
Bm √ √ √ √ √ k + p √
8 Pesisir
Selatan
Bm √ √ √ √ √ k + p √
9 Kuantan
Senggigi
Bm √ √ √ √ √ k + p √
10 Pelalawan Bm √ √ √ √ √ k + p √
11 Bangka Barat Bm √ √ √ √ √ k + p √
12 Belitung Bm √ √ √ √ √ k + p √
13 Kota
Tangerang
Wb √ -- √ -- √ -- √
Catatan: tahun 2017 saat penelitian dilaksanakan, anak-anak kelas 1 dan 2 SD/MI tersebut telah duduk di kelas 2 dan 3.
14 Subang Wb √ -- √ -- √ -- √
15 Kotawaringin
Barat
Bm √ √ √ √ √ k + p √
16 Hulu Sungai
Utara
Bm √ √ √ √ √ k + p √
17 Donggala Bm √ √ √ √ √ -- √
18 Enrekang Bm √ √ √ √ √ -- √
19 Bombana Bm √ √ √ √ √ -- √
20 Kolaka Utara Bm √ √ √ √ √ -- √
21 Buton Bm √ √ √ √ √ -- √
22 Tidore Wb √ -- √ -- √ -- √
23 Merauke Wb √ -- √ -- √ -- √
24 Boven Digul Wb √ -- √ -- √ -- √
Keterangan:
√ = dilaksanakan.
-- = tidak dilaksanakan.
k + p = dilakukan pengambilan darah pada kucing dan primata.
Berikut di bawah ini matriks pengumpulan data
Matriks Pengumpulan Data
No Tujuan
Puldata
Cara Pengumpulan
Data
Responden/Sampel Lokasi
1 Survei Darah Jari (SDJ)
Mengetahui ada
tidaknya mikrofilaria di
dalam darah
Pengambilan darah
jari
Penduduk usia 5
tahun ke atas
di 2 atau 3 titik
lokasi pada 2
desa di
kabupaten/kota
terpilih
2 Deteksi DNA B. Malayi
Mengetahui ada
tidaknya jejak
keberadaan fragmen
mikrofilaria Brugia
malayi di dalam darah.
Pengambilan darah
jari
10% dari total TAS
yaitu 150-160 anak
SD/MI yang positif
dan negatif uji
antibodi
Pada daerah
yang positif dan
atau sentinel dan
spot area di
kabupaten yang
endemis brugia
3 Stool Survey
Untuk mengetahui
kemungkinan adanya
reaksi silang brugia
rapid test yang positif
dengan kejadian infeksi
kecacingan perut.
Pengambilan dan
pemeriksaan tinja
10% dari total TAS
yaitu 150-160 anak
SD/MI yang positif
dan negatif uji
antibodi
Pada daerah
yang positif dan
atau sentinel dan
spot area di
kabupaten
yang endemis
brugia
4 KAP tentang Filariasis
Untuk mengetahui
aspek pengetahuan,
sikap dan perilaku
masyarakat terkait
dengan program
filariasis
Wawancara dengan
kuesioner terstuktur
ART umur 15 tahun
ke atas
Sesuai dengan
lokasi SDJ
5 Focus Group Discussion (FGD)
Untuk mengetahui
sampai seberapa jauh
informasi tentang
masalah yang terkait
dengan program
eliminasi filariasis
FGD Para pejabat lintas
program dan sektor
tingkat kabupaten
dan kecamatan.
Sesuai dengan
lokasi SDJ
No Tujuan
Puldata
Cara Pengumpulan
Data
Responden/Sampel Lokasi
6 Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Untuk mengetahui
pengetahuan tokoh
masyarakat (toma)
formal dan informal
tentang filariasis
Wawancara
Mendalam
Pejabat lintas
program dan sektor
tingkat provinsi,
tokoh masyarakat
(Toma), dan
penduduk yang
minum dan tidak
minum obat
Sesuai dengan
lokasi SDJ. Di 2
desa/kelurahan
setiap kabupaten
7 Survei Vektor
Untuk mengetahui ada
tidaknya larva L1, L2
dan L3 pada spesies
nyamuk yang dicurigai
sebagai vektor
Koleksi nyamuk Nyamuk Sesuai dengan
lokasi SDJ. Di 2
desa/kelurahan
setiap
kabupaten/kota
8 Survei Darah Reservoar
Mengetahui ada
tidaknya mikrofilaria
dalam darah reservoar
Pengambilan darah
kucing dan primata
Kucing dan primata
liar dan peliharaan
Di 2-3 titik
lokasi di 2 desa
setiap
kabupaten
terpilih.
9 Survey Lingkungan
Untuk mengetahui
informasi yang terkait
dengan lingkungan
biologis dari vektor dan
reservoir
Observasi Lingkungan rumah
penduduk
Sesuai dengan
lokasi SDJ. Di
2-3 titik lokasi
pada 2
desa/kelurahan
setiap kabupaten
II.8. Definisi Operasional
8.1. Kabupaten/Kota Gagal TAS adalah kabupaten/kota yang dalam pelaksanaan
TAS tidak lulus TAS baik TAS-1, TAS-2 dan TAS-3 dikarenakan dari jumlah
sampel anak SD/MI kelas 1 dan 2 yang positif antibodi/antigen di atas nilai cut off
yang ditetapkan.
8.2. Kabupaten/Kota Lulus TAS adalah kabupaten/kota yang dalam pelaksanaan
TAS lulus TAS baik TAS-1, TAS-2 dan TAS-3 dikarenakan dari jumlah sampel anak
SD/MI kelas 1 dan 2 yang positif antibodi/antigen di bawah nilai cut off yang
ditetapkan.
8.3.Sentinel area adalah wilayah (desa/kelurahan) yang terpilih pada saat survei
pemetaan sebelum pelaksanaan POPM.
8.4.Spot area adalah wilayah (desa/kelurahan) yang dicurigai masih terjadinya penularan
filariasis (cakupan POPM rendah, faktor epidemiologi mendukung).
II. 9. Manajemen Dan Analisis Data
9.1. Manajeme
n Data
Data dan informasi yang diperoleh diedit, coding dan dientri langsung di lapangan
dengan program yang telah disiapkan. Entri data dilakukan oleh tim pengumpul data
dan sebagian oleh pihak ketiga. Selanjutnya data dikirim via internet atau secara
langsung dengan menyimpan dalam flash disk.
9.2. Analisis
Data:
Data kuantitatif yang sudah bersih akan dilakukan analisis secara deskriptif dan
bivariat. Data kualitatif dari hasil RTD dan wawancara mendalam akan dilakukan
pengkajian untuk diperoleh kesimpulan di setiap variabel yang dikaji.
II.10. Pertimbangan Izin
Permintaan ijin dilakukan kepada Kementerian Dalam Negeri. Tembusan surat
ijin disampaikan ke pemerintah kabupaten/kota dan dinas kesehatan kabupaten/kota
tempat pelaksanaan studi.
Studi ini melibatkan manusia dan hewan sebagai subyek studi/penelitian. Untuk
melindungi subyek studi maka akan dimintakan pertimbangan etik penelitian (ethical
clearance) ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan.
9.3.
II.11. Jadual Kegiatan
No Kegiatan Jan-
Mart
Apr--
Jun
Juli Agus
t
Sep
t
Ok
t
No
v
Des
1 Persiapan XXX
2 Uji Coba Kuesioner
dan Persiapan
Daerah Penelitian
XXX
3 Pelatihan X
4 Puldat Tahap I (SDJ,
Sosbud, Manajemen)
X X
5 Puldat Tahap II
(Stool Survey,
Deteksi Gen B.
malayi, Entomologi
dan Reservoar)
X X
6 Supervisi X X X
7 Analisis Data X
8 Pelaporan &
Diseminasi
X X
Urutan Pelaksanaan Kegiatan Secara skematis rangkaian kegiatan studi adalah sbb:
Persiapan: + Pengembangan studi protokol dan kuesioner + surat menyurat + Pengusulan bahan lab dan perlengkapan lapangan kepada Panitia Pengadaan untuk dilakukan tender . + Rapat-rapat intern Tim Teknis dengan Tim Pengarah dan Tim Pakar. + Penyusunan instrumen form puldat. + Pengadaan ATK dan penggandaan form puldat. + Pengecekan peralatan yang akan digunakan di laboratorium dan lapangan. + Penyusunan detil rencana kegiatan dan rencana anggaran + Pengajuan ijin etik ke Komisi Etik Penelitian Badan Litbangkes + Pengajuan ijin penelitian ke Kemendagri + Pengajuan ijin penangkapan lutung & monyet (hewan yang dilindungi) ke Kemenhut dan LH. + Pengajuan permintaan daftar lokasi studi ke Ditjen P2P (hasil TAS dan/atau daerah sentinel di kab/kota). + Pemantauan proses kelengkapan administrasi penelitian (SP3 dan SK). + Penyusunan laporan triwulan I
Waktu: Januari— Maret 2017
Luaran
* Studi Protokol * Rencana kegiatan dan rencana anggaran * Surat ijin etik penelitian * Surat ijin pelaksanaan studi dari Kemendagri, * Surat ijin penangkapan hewan * SP3 * SK Tim Peneliti * Catatan rinci kegiatan di log- book penelitian * Dokumen pertanggung- jawaban keuangan. * Dokumen pengadaan. * Daftar wilayah/lokasi Studi (hasil TAS dan/atau daerah sentinel) * Laporan Triwulan I
Ujicoba Kuesioner dan Persiapan Daerah Studi: + Ujicoba kuesioner di Kab. Musi Rawas. + Persiapan daerah/sosialisasi studi di 24 kab/kota. Waktu: Bulan April—Juni 2017
Luaran
* Laporan hasil persiapan Daerah. * Laporan perjalanan dinas persiapan daerah. * Kuesioner dan form yang sudah diperbaiki pasca ujicoba. * Laporan perjalanan dinas Ujicoba. * Catatan rinci kegiatan di log- book studi. * Dokumen pertanggung jawaban keuangan
Waktu: Bulan Juli 2017
Luaran
* Laporan pelatihan * Laporan Triwulan II. * Catatan rinci kegiatan di log-book penelitian * Dokumen pertanggung- jawaban keuangan
Pelatihan + Pelatihan PJT Prov, PJT Kab/Kota, dan Tim Puldat di Jakarta. + Penyusunan laporan triwulan II.
Pelaksanaan Pengumpulan Data Tahap Pertama dan Kedua: + Puldat SDJ, sosbud, kebijakan, stool survei, deteksi gen, entomologi, reservoar, dan lingkungan. + Kompilasi data hasil puldat + Pengolahan dan analisis data.
Waktu: Bulan Juli—September 2017
Luaran
* Laporan hasil puldat. * Data hasil puldat. * Catatan rinci kegiatan di log-book Studi.
II.12. Organisasi
Susunan organisasi studi adalah sbb:
a. Tim pengarah (Pusat dan daerah) dan pakar terdiri atas pejabat eselon I dan II Badan
Litbangkes dan Ditjen P2P, pejabat eselon III di lingkungan Puslitbang UKM dan Dit.
P2TVZ, kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten, dan pakar (Profesor/Profesor
Riset/Doktor).
b. Tim Teknis terdiri atas peneliti dan praktisi yang berpengalaman di bidang epidemiologi,
biomedis, entomologi, lingkungan, sosial & budaya, biostatistik, manajemen data, dan
manajemen & administrasi keuangan dari Puslitbang di lingkungan Badan Litbangkes dan
Ditjen Pengendalian Penyakit.
c. PJT Provinsi: Peneliti Senior Puslitbang/Balai Besar Litbang/Balai Litbang/Loka Litbang.
d. PJT Kabupaten/Kota: Peneliti Puslitbang/Balai Besar Litbang/Balai Litbang/Loka
Litbang.
e. PJO Provinsi: Penanggung jawab program pengendalian dan pencegahan filariasis dinas
kesehatan provinsi.
f. PJO Kabupaten: Penanggung jawab program pengendalian dan pencegahan filariasis dinas
kesehatan kabupaten.
g. Tim Pengumpul Data yang akan mengumpulkan data/informasi dalam SDJ, sosial—
budaya (wawancara dan FGD), dan kebijakan (wawancara mendalam di institusi
kesehatan), stool survei, deteksi DNA B. malayi, survei entomologi dan reservoar.
BAB III
HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Kolaka utara merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan undang-undang nomor 29 tahun 2003 tentang
pembentukan kabupaten Bombana, kabupaten Wakatobi, dan kabupaten Kolaka utara.
Kolaka Utara membentang dari Utara ke Selatan pada bujur 120°45’00’’ sampai 120°30’13’’
BT dan lintang 02°00’00’’ sampai 03°30’00’’ Lintang selatan. Kabupaten ini sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur (Provinsi Sulawesi Selatan), sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Kolaka dan Konawe Utara (Provinsi Sulawesi Tenggara),
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara), sebelah
barat berbatasan dengan pantai timur teluk Bone.
Kabupaten ini terdiri dari wilayah daratan seluas ±3.391,67 km, disertai pulau-pulau
kecil dengan pemandangan indah. Selain itu juga, memiliki wilayah perairan laut
membentang sepanjang teluk Bone, seluas ± 12.376 km2. Secara administratif, wilayah
pemerintahan Kabupaten Kolaka Utara terdiri dari 15 Kecamatan, 6 Kelurahan, 127 desa
dengan wilayah seluas kurang lebih 3. 391,6 km2.
Topografi wilayah Kabupaten Kolaka Utara umumnya terdiri dari gunung dan bukit
yang memanjang dari utara ke selatan. Diantara Gunung dan bukit terbentang dataran-dataran
yang merupakan daerah potensial untuk pengembangan sektor pertanian. Kabupaten ini
memiliki ketinggian umumnya dibawah 1000 mdpl dan berada di sekitar daerah katulistiwa
sehingga daerah ini beriklim tropis.
Gambaran Umum Pengendalian Filariasis di Daerah Penelitian
Pengendalian filariasis di Kabupaten Kolaka Utara di mulai sejak tahun 2005
dan berakhir di tahun 2010. Namun, berdasarkan penelusuran data cakupan
pengobatan tidak ditemukan data cakupan pengobatan dari tahun 2005 hingga 2007.
Selanjutnya, dilakukan TAS (Transmission Assesment Survey) TAS merupakan
survei penilaian penularan filariasis pada anak sekolah. Survei penularan ini
dilakukan pada murid SD usia 6-7 tahun dengan pengambilan darah. Jika Survei
Penilaian Penularan (TAS) hasilnya didapatkan microfilaria <1 atau antigen < 2%
berati tidak terjadi transmisi baru, maka Kabupaten tersebut bisa menghentikan
POPM17
Tabel 29. Cakupan POPM di Kabupaten Kolaka Utara
No Tahun Cakupan POPM
1 2005 -
2 2006 -
3 2007 -
4 2008 90,5%
5 2009 90,5 %
6 2010 68 %
Sumber: Dinkes Kolaka Utara
Dari tabel 1 cakupan POPM terlihat bahwa POPM di Kabupaten Kolaka Utara
dimulai sejak tahun 2005 hingga 2010. Cakupan POPM tahun 2005, 2006, 2007 tidak
diketahui, sedangkan cakupan tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 90,5% dan
terjadi penurunan cakupan pada tahun 2010 menjadi 68%. Berdasarkan Permenkes RI
No. 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, angka 68 % sudah memenuhi
kriteria daerah yang siap dievaluasi TAS.
Dengan demikian, setelah POPM tahun 2010 dihentikan, dilanjutkan kegiatan
TAS untuk mengevaluasi dan mengetahui apakah masih ada transmisi penularan filariasis
di daerah tersebut. Kegiatan TAS 1 dilakukan pada tahun 2011, tidak ditemukan anak
yang positif dan dinyatakan lulus. Kegiatan TAS 2 dilakukan pada tahun 2014,
ditemukan 15 anak yang positif, dan dinyatakan lulus. Kegiatan TAS 3 dilakukan pada
tahun 2016, tidak ditemukan kasus positif. Berdasarkan hasil TAS tersebut, maka pada
tahun 2017 Kabupaten Kolaka Utara sudah menerima sertifikat bebas filariasis.
2. Gambaran Jumlah & Karakteristik Subyek Penelitian/Sampel
Berikut Tabel 2 disajikan jumlah responden/subyek penelitian/sampel yang
dikumpulkan dalam studi ini.
Tabel 30. Jumlah Responden/Subyek Penelitian/Sampel Berdasarkan Jenis Data/Informasi Yang Dikumpulkan Kabupaten Bombana Tahun 2017.
No Jenis
Data/Informasi
Jumlah Res/
SP/Sampel
Keterangan
1 TAS * 1485 Subyek Penelitian (SP) adalah anak SD kelas
1 dan 2 (thn 2016)
2 Survei KAP 653 Desa Latali 337 dan Desa Pakue 316
3 Pemeriksaan Klinis 620 Desa Latali 310 dan Desa Pakue 310
4 Survei Darah Jari 620 Desa Latali 310 dan Desa Pakue 310
5 Stool Survey
156 SP sama dengan subyek penelitian pada TAS
(saat puldat anak duduk di kelas 2 dan 3 (thn
2017)
6 Deteksi Gen Bm 20 SP sama dengan SP TAS (saat puldat anak
duduk di kelas 2 dan 3 (thn 2017)
8 Studi Kualitatif
16 Informan adalah Kepala Dinas kesehatan,
Kabid, Kasie, Pemegang Program, Kepala
Puskesmas, Kader, Kepala Desa, Tokoh
Agama, Penderita kronis.
* = Pengumpulan data dilakukan oleh Ditjen P2 pada tahun 2016.
Pada Tabel 2 menunjukkan jumlah responden dari masing-masing kegiatan
tidak sama. Responden KAP, SDJ dan Pemeriksaan Klinis idealnya sama. Namun
dalam kenyataan di lapangan jumlah responden KAP lebih banyak dibandingkan
dengan responden SDJ atau pemeriksaan klinis. Hal ini dikarenakan terdapat
responden yang bersedia diwawancara pada siang hari, namun pada malam hari tidak
bersedia diambil darah jari.
Gambaran karakteristik responden/subyek penelitian kegiatan survey KAP
ditampilkan 6 variabel yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, lama tinggal,
pekerjaan, dan keikutsertaan dalam POPM. Berikut Tabel 3. di bawah ini menyajikan
karakterisitik responden/subyek penelitian di Kabupaten Kolaka Utara
Tabel 31. Karakteristik Responden Survei KAP Kabupaten Kolaka Utara Tahun
2017
n % n % n %
1 Jenis kelaminLaki-laki 171 50,7% 139 44,0% 310 47,5%
Perempuan 166 49,3% 177 56,0% 343 52,5%
Jumlah 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
2 Kelompok umur< 15 TAHUN 93 27,6% 81 25,6% 174 26,6%
15-24 TAHUN 49 14,5% 51 16,1% 100 15,3%
25-34 TAHUN 54 16,0% 60 19,0% 114 17,5%
35-44 TAHUN 73 21,7% 59 18,7% 132 20,2%
45-54 TAHUN 39 11,6% 43 13,6% 82 12,6%
55-64 TAHUN 17 5,0% 15 4,7% 32 4,9%
>= 65 TAHUN 12 3,6% 7 2,2% 19 2,9%
Jumlah 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
3 Status kawin
Belum Kawin 140 41,5% 141 44,6% 281 43,0%
Kawin 179 53,1% 162 51,3% 341 52,2%
Cerai Hidup 8 2,4% 7 2,2% 15 2,3%
Cerai Mati 10 3,0% 6 1,9% 16 2,5%
Jumlah 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
4 Tingkat pendidikan
Tidak pernah sekolah 6 2,0% 5 1,8% 11 1,9%
Tidak tamat SD 41 13,9% 29 10,6% 70 12,3%
Tamat SD/MI 84 28,6% 63 23,1% 147 25,9%
Tamat SLTP/MTs 52 17,7% 59 21,6% 111 19,6%
Tamat SLTA/MA 69 23,5% 67 24,5% 136 24,0%
Tamat D1/D2/D3 9 3,1% 17 6,2% 26 4,6%
Tamat Perguruan Tinggi 33 11,2% 33 12,1% 66 11,6%
Jumlah 294 100,0% 273 100,0% 567 100,0%
5 Pekerjaan Utama
Tidak bekerja 35 11,9% 16 5,9% 51 9,0%
Sekolah 68 23,1% 61 22,3% 129 22,8%
Ibu Rumah Tangga 80 27,2% 67 24,5% 147 25,9%
PNS/TNI/POLRI 21 7,1% 26 9,5% 47 8,3%
Pegawai Swasta 12 4,1% 15 5,5% 27 4,8%
Wiraswasta/Pedagang 16 5,4% 24 8,8% 40 7,1%
Nelayan 10 3,4% 0 0,0% 10 1,8%
Petani 41 13,9% 47 17,2% 88 15,5%
Buruh Tani 1 0,3% 1 ,4% 2 0,4%
Lainnya 10 3,4% 16 5,9% 26 4,6%
Jumlah 294 100,0% 273 100,0% 567 100,0%
No Karakteristik DESA LATALI (N=337) DESA PAKUE (N=316) Jumlah
Tabel 3 menunjukkan bahwa responden KAP paling banyak ditemui ber jenis
kelamin perempuan sebesar 52,5 % dan sisanya adalah laki-laki. Sedangkan
kelompok umur yang paling banyak pada umur dibawah 15 tahun dan lebih banyak
lebih banyak dijumpai penduduk dengan status sudah pernah kawin. Variabel tingkat
pendidikan paling banyak dijumpai pada penduduk di dua desa yang tamat SD/MI
sebesar 25,9%. Pekerjaan utama paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar
25,9%.
Dari gambaran karakteristik responden di atas, berikut ditampilkan hasil
plotting rumah responden berdasarkan penentuan titik geo-spasial.
3. Gambaran Pengetahuan Responden Tentang Filariasis.
Pada penelitian ini sebelum dilakukan pemeriksaan klinis dan pengambilan darah
jari terhadap responden, terlebih dahulu dilakukan wawancara pengetahuan masyarakat
tentang penyebab, efek, dan pengobatan filariasis. Tabel 4 dibawah, menampilkan
responden yang mengetahui penyebab penyakit kaki gajah (elephantiasis)/ filariasis.
Sebanyak 18,4 % responden di dua desa sudah mengetahui bahwa penyakit filariasis
ditularkan
oleh nyamuk dan 13,2 % sudah mengetahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh
cacing. Namun, masih terdapat 8,0 % responden beranggapan bahwa penyakit kaki
gajah disebabkan karena melanggar pantangan. Akibat dari kaki gajah, responden paling
banyak mengetahui bahwa kaki gajah menyebabkan kaki atau tangan membesar sebesar
56,2% dan tidak menimbulkan gejala dan akibat pada tubuh 14,2% (Tabel 5).
Pengetahuan masyarakat tentang sanak famili atau tetangga yang pernah mengalami
demam berulang disertai pembengkakan kelenjar pada lipat paha, hanya di desa Pakue
sebesar 0,4 %. (Tabel 6)
Variabel
DESA
LATALI
(N=244)
DESA
PAKUE
(N=235) Jumlah
Gambar 4. Peta plotting rumah responden di Kabupaten Bombana. Atas untuk Desa Lantawonua dan Bawah untuk Desa Margaja.
gambar 1. Peta plotting rumah responden Kabupaten Kolaka utara, atas (Desa Latali) dan bawah (Desa Pakue)
Tabel 32. Jumlah dan Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab penyakit filariasis di Kabupaten Kolaka Utara tahun 2017
Tabel 33 Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Efek Dari Penyakit filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel
DESA
LATALI
(N=244)
DESA
PAKUE
(N=235) Jumlah
N % n % N %
a. Menyebabkan kaki atau tangan
membesar 124 50,8% 145 61,7% 269 56,2%
b. Tidak menimbulkan gejala dan akibat
pada tubuh 25 10,2% 43 18,3% 68 14,2%
c. Menyebabkan demam & tubuh
lemah/sakit-sakit 13 5,3% 31 13,2% 44 9,2%
d. Menimbulkan pembengkakan pada
lipat paha/ketiak 7 2,9% 30 12,8% 37 7,7%
e. buah dada/skrotum 6 2,5% 14 6,0% 20 4,2%
f. Lainnya, sebutkan 27 11,1% 0 0,0% 27 5,6%
Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Demam Berulang Disertai Pembengkakan Penyakit filariasis Kabupaten Kolaka Utara tahun 2017
N % N % N %
a. Penyakit yang disebabkan oleh cacing 16 6,6% 47 20,0% 63 13,2%
b. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk 24 9,8% 64 27,2% 88 18,4%
c. Penyakit keturunan 4 1,6% 8 3,4% 12 2,5%
d. Penyakit akibat gangguan makhluk halus 0 ,0% 3 1,3% 3 ,6%
e. Penyakit karena melanggar pantangan 1 0,4% 3 1,3% 4 8,0%
f. Lainnya 53 21,7% 2 0,9% 55 11,5%
Variabel
Desa Latali DesaPakue
Jumlah
n % n % N %
Apakah ada
dari antara
sanak
famili/tetangga
[NAMA] yang
pernah
mengalami
demam
berulang
disertai
pembengkakan
kelenjar pada
Ya 0 0,0% 1 0,4% 478 99,8%
Tidak 244 100,0% 235 100,0% 464 100,0%
Pada tabel 7 menunjukkan bahwa dalam hal pencarian pengobatan 100% responden di
dua desa mencari pengobatan ke petugas kesehatan, sedangkan pengetahuan
responden tentang POPM lebih banyak yang menyatakan tidak mengetahui sebesar
80,2% dan yang mengetahui sebesar 14,6 % (tabel 8). Sumber informasi tentang
pelaksanaan POPM tersebut, paling banyak diperoleh dari petugas kesehatan/ guru
91,4% dan teman/tetangga/sanak keluarga 30,0 %. (tabel 9)
Tabel 35. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pencarian Pengobatan Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara tahun 2017
Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Pengetahuan POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara tahun 2017
Tabel 37. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sumber Informasi POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali
Desa Pakue Jumlah
N % N % n %
lipat paha
Mencari pengobatan deSa Latali desa pakue Jumlah
n % n % N %
a. Petugas kesehatan 1 100,0% 0 0,0% 1 100,0%
b. Dukun 0 0,0% 1 100,0% 1 100,0%
c. Beli obat sendiri/beli di
warung 0 0,0% 1 100,0% 1 100,0%
d. Pengobatan tradisional 0 0,0% 1 100,0% 1 100,0%
e. Lainnya 0 0,0% 1 100,0% 1 100,0%
Variabel desa pakue desa latali jumlah
N % n % N %
Ya, mengetahui 19 7,8% 51 21,7% 70 14,6%
Tidak
mengetahui 209 85,7% 175 74,5% 384 80,2%
Lupa 16 6,6% 9 3,8% 25 5,2%
Total 244 100,0% 235 100,0% 479 100,0%
n % n % n %Setuju 39 16,0% 45 19,1% 84 17,5%
Ragu-
ragu98 40,2% 104 44,3% 202 42,2%
Tidak
setuju107 43,9% 86 36,6% 193 40,3%
Setuju 61 25,0% 66 28,1% 127 26,5%
Ragu-
ragu117 48,0% 109 46,4% 226 47,2%
Tidak
setuju66 27,0% 60 25,5% 126 26,3%
Setuju 121 49,6% 108 46,0% 229 47,8%
Ragu-
ragu72 29,5% 90 38,3% 162 33,8%
Tidak
setuju51 20,9% 37 15,7% 88 18,4%
Setuju 68 27,9% 71 30,2% 139 29,0%
Ragu-
ragu116 47,5% 116 49,4% 232 48,4%
Tidak
setuju60 24,6% 48 20,4% 108 22,5%
Setuju 36 14,8% 37 15,7% 73 15,2%
Ragu-
ragu134 54,9% 135 57,4% 269 56,2%
Tidak
setuju74 30,3% 63 26,8% 137 28,6%
Setuju 40 16,4% 34 14,5% 74 15,4%
Ragu-
ragu122 50,0% 111 47,2% 233 48,6%
Tidak
setuju82 33,6% 90 38,3% 172 35,9%
Setuju 43 17,6% 40 17,0% 83 17,3%
Ragu-
ragu103 42,2% 104 44,3% 207 43,2%
Tidak
setuju96 40,2% 91 38,7% 189 39,5%
Setuju 52 21,3% 37 15,7% 89 18,6%
Ragu-
ragu92 37,7% 99 42,1% 191 39,9%
Tidak
setuju100 41,0% 99 42,1% 199 41,5%
Setuju 153 62,7% 124 52,8% 277 57,8%
Ragu-
ragu52 21,3% 73 31,1% 125 26,1%
Tidak
setuju39 16,0% 38 16,2% 77 16,1%
Setuju 160 65,6% 145 61,7% 305 63,7%
Ragu-
ragu47 19,3% 54 23,0% 101 21,1%
Tidak
setuju37 15,2% 36 15,3% 73 15,2%
3
4
5
6
7
8
9
10
SIKAP
VARIABELNO DESA LATALI DESA PAKUE JUMLAH
1
2
Minum obat filariasis akan ada efek sampingnya
Jika tidak minum obat filariasis yakin tidak akan
tertular
Jika minum obat filariasis akan menyebabkan
kaki/tangan membengkak
Minum obat filariasis karena disuruh
orangtua/keluarga/kepala desa/tokoh
masyarakat/kader kesehatan desa
Minum obat filariasis karena segan kepada kepala
desa/tokoh masyarakat/kader kesehatan desa
Minum obat filariasis kita akan sehat
DESA LATALI (N=244) DESA PAKUE (N=235) Jumlah
Penyakit filariasis dapat dicegah dengan tidak
minum obat filariasis
Penyakit filariasis dapat dicegah dengan hanya tidur
menggunakan kelambu
Jika minum obat filariasis harus ada
pemberitahuan terlebih dahulu
Minum obat filariasis karena kesadaran sendiri
a. Petugas kesehatan/Guru 18 94,7% 46 90,2% 64 91,4%
b. Teman/tetangga/sanak keluarga 4 21,1% 17 33,3% 21 30,0%
c. Membaca papan pengumuman di
balai desa 3 15,8% 11 21,6% 14 20,0%
d. Membaca dari selebaran/suratkabar 2 10,5% 9 17,6% 11 15,7%
e. Mendengar pengumuman dari
tempat ibadah 4 21,1% 16 31,4% 20 28,6%
f. Mendengar dari radio/televisi 4 21,1% 15 29,4% 19 27,1%
g. Lainnya 19
100,0
% 51 100,0% 70
100,0
%
4. Gambaran Sikap Responden Tentang Filariasis.
Sikap responden terkait pelaksanaan POPM di dua desa cukup mendukung, hal ini
terlihat sebanyak 40,3 % responden tidak setuju apabila pencegahan dengan tidak minum
obat. Terkait penggunaan kelambu, paling banyak responden ragu-ragu ( 47,2%) apakah
filariasis dapat dicegah hanya dengan menggunakan kelambu. Dalam hal POPM, responden
sangat setuju sebesar 47,8% Jika minum obat filariasis harus ada pemberitahuan terlebih
dahulu. Terkait efek samping minum obat, responden paling banyak rag-ragu sebesar 56,2 %
dan sebanyak 29 % setuju jika minum obat filariasis ada efek sampingnya. Sikap responden
dalam minum obat cukup bagus, sebanyak 57,8% responden setuju jika minum obat filariasis
kita akan sehat dan sebanyak 63,7% setuju, jika minum obat filariasis karena kesadaran
sendiri (tabel 10)
Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Sikap Tentang Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
5. Gambaran Perilaku Responden Tentang POPM Filariasis
Keikutsertaan responden dalam POPM filariasis cukup rendah, tabel 11
menunjukkan bahwa 85,9 % responden di dua desa tersebut tidak pernah ikut dalam
kegiatan minum obat POPM filariasis yang dilakukan sejak tahun 2005 hingga 2010.
Dari 92 responden yang pernah ikut POPM filariasis 43,5% menjawab meminum 3
macam obat yang diberikan, 13 % meminum 2 macam obat, 8,7% meminum 1
macam obat dan 2,2% menjawab lupa (tabel 12).
Tabel 13 menunjukan bahwa dari 92 orang yang mendapat obat POPM
filariasis sebanyak 85,8% responden meminum semua obat dan 10,4% tidak
meminum obat.
Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Keterlibatan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua
(N=328)
Desa
Margajaya
(N=320)
Jumlah
N % n % N %
Pernah ikut POPM Filariasis
Pernah 33 9,8% 59 18,7% 92 14,1%
Tidak pernah 304 90,2% 257 81,3% 561 85,9%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
Tabel 40. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Macam Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
N % n % N %
Macam obat yang diberikan
petugas
1 macam 1 3,0% 7 11,9% 8 8,7%
2 macam 7 21,2% 5 8,5% 12 13,0%
3 macam 18 54,5% 22 37,3% 40 43,5%
4 macam 1 3,0% 23 39,0% 24 26,1%
>4 macam 5 15,2% 1 1,7% 6 6,5%
Lupa 1 3,0% 1 1,7% 2 2,2%
Total 33 100,0% 59 100,0% 92 100,0%
Tabel 41. Jumlah dan Persentase Responden Untuk Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel
Desa
Lantawonua
Desa
Margajaya
Jumlah
N % N % n %
Responden meminum semua obat
tersebut?
Ya, diminum semua 9 75,0% 82 87,2% 91 85,8%
Ya, tidak diminum semua 0 0,0% 4 4,3% 4 3,8%
Tidak minum obat 3 25,0% 8 8,5% 11 10,4%
12 100,0% 94 100,0% 106 100,0%
Tabel 14 menunjukkan dari 95 responden di dua desa tersebut mengaku paling
banyak tidak meminum obat di hadapan petugas maupun kader kesehatan dan 95,8%
meminum obat filariasis di rumahnya masing-masing. Waktu meminum obat paling
banyak dilakukan pada malam hari sebesar 52,6%, dan lainnya dilakukan pada pagi,
siang, mapun sore hari (Tabel 15). Alasan 11 responden yang menerima obat POPM
filariasis namun tidak minum adalah karena lupa sebesar 36,4%; kemudian takut efek
samping sebesar 45,5%; dan menjawab lainnya sebesar 27,3% (Tabel 16).
.
Tabel 42. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Cara Meminum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
n % N % N %
Bagaimana cara minum obat tersebut?
Diminum di hadapan petugas/guru 2 6,5% 10 16,9% 12 13,3%
Diminum di hadapan kader kesehatan 2 6,5% 0 0,0% 2 2,2%
Diminum sendiri di rumah 72 87,1% 48 81,4% 75 83,3%
0 0,0% 1 1,7% 1 1,1%
Tabel 43. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Waktu Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
n % n % N %
Kapan obat tersebut diminum?
Pagi 1 2,3% 9 15,3% 10 11,1%
Siang 4 12,9% 20 33,9% 24 26,7%
Sore 3 9,7% 3 5,1% 6 6,7%
Malam 23 74,2% 27 45,8% 50 55,6%
31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Tabel 44. Jumlah dan Persentase Responden Mengenai Alasan Tidak Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
N % N % n %
Alasan Tidak Minum Obat
a. Lupa Ya 0 0,0%
0 0,0%
Tidak 2 100,0%
2 100,0%
Total 2 100,0%
2 100,0%
b. Sibuk bekerja Ya 0 0,0%
0 0,0%
Tidak 2 100,0%
2 100,0%
Total 2 100,0%
2 100,0%
c. Takut efk samping obat Ya 2 100,0%
2 100,0%
Tidak 0 0,0%
0 0,0%
Total 2 100,0%
2 100,0%
d. Lainnya Ya 0 0,0%
0 0,0%
Tidak 2 100,0%
2 100,0%
Total 2 100,0%
2 100,0%
Efek samping yang dirasakan setelah minum obat filariasis ditunjukkn pada
tabel 17, terdapat 26,7% responden mengaku mengalami pusing/ sakit kepala, 1,1%
panas/demam, mengantuk 8,9% ( tabel 18). Selanjutnya, responden yang mengaku
terdapat cacing yang keluar setelah minum obat POPM filariasis hanya 7,8 %
responden sedangkan sebanyak 80 % reponden mengaku tidak ada cacing yang keluar
(tabel 18). Responden yang tidak ikut kegiatan POPM mempunyai alasan malas
sebesar 0,7%, 0,95% pernah mendengar jika minum obat malah menjadi sakit, 1,8%
tidak tahu manfaatnya dan 2,0% merasa sehat jadi tidak perlu minum obat (tabel 19).
Tabel 20 menunjukkan bahwa 84,8% rsponden mengaku tidak mengetahui adanya
pemberitahuan sebelum pelaksanaan POPM filariasis.
Tabel 45 Jumlah dan Persentase Responden Tentang Efek Samping Setelah Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Tabel 46. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Cacing Yang Keluar Setelah Minum Obat Yang Diberikan Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
n % n % N %
Setelah minum obat yang diberikan ada
cacing yang keluar dari mulut atau
keluar sewaktu buang air besar?
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
n % N % N %
a.Pusing/sakit
kepala
Ya 8 25,8% 16 27,1% 24 26,7%
Tidak 23 74,2% 43 72,9% 66 73,3%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
b. Panas/demam Ya 1 3,2% 0 0,0% 1 1,1%
Tidak 30 96,8% 59 100,0% 89 98,9%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
c.Badan
sakit/nyeri/linu
Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
d. Perut mulas/sakit Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
e. Muntah Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
f. Nafas sesak Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
g. Jantung berdebar-
debar
Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
h. Mengantuk Ya 7 22,6% 1 1,7% 8 8,9%
Tidak 24 77,4% 58 98,3% 82 91,1%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
i. Lainnya Ya 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Ada 5 16,1% 2 3,4% 7 7,8%
Tidak ada 25 80,6% 47 79,7% 72 80,0%
Tidak tahu 1 3,2% 7 11,9% 8 8,9%
Lupa 0 0,0% 3 5,1% 3 3,3%
Total 31 100,0% 59 100,0% 90 100,0%
Tabel 47. Jumlah dan Persentase Responden Tentang Alasan Tidak Ikut Dalam POPM Penyakit Filariasis Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue
Jumlah
N % n % N %
Alasan tidak ikut/ tidak mau ikut/ tidak minum
obat pencegah filariasis
a. Malas (kurang berminat) Ya 3 1,0% 1 0,4% 4 0,7%
Tidak 303 99,0% 256 99,6% 559 99,3%
Total 306 100,0% 257 100,0% 563 100,0%
b. Pernah mendengar, jika
minum obat malah jadi sakit
Ya 4 1,3% 1 0,4% 5 0,9%
Tidak 302 98,7% 256 99,6% 558 99,1%
Total 306 100,0% 257 100,0% 563 100,0%
c. Tidak tahu faedah/manfaat
sebenarnya
Ya 7 2,3% 3 1,2% 10 1,8%
Tidak 299 97,7% 254 98,8% 553 98,2%
Total 306 100,0% 257 100,0% 563 100,0%
d. Merasa sehat, jadi tidak perlu
minum obat
Ya 7 2,3% 4 16,8% 11 2,0%
Tidak 299 97,7% 253 98,4% 552 98,0%
Total 306 100,0% 257 100,0% 563 100,0%
e. Lainnya Ya 51 16,7% 38 14,8% 89 15,8%
Tidak 255 83,3% 219 85,2% 474 84,2%
Total 306 100,0% 257 100,0% 563 100,0%
Tabel 48. Pemberitahuan Sebelum Pelaksanaan POPM filariasis di Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue Jumlah
N % N % N %
Apakah ada pemberitahuan
sebelum pengobatan
pencegahan penyakit kaki gajah
(filariasis) secara massal
Ya 39 11,6% 60 19,0% 99 15,2%
Tidak 298 88,4% 256 81,0% 554 84,8%
Total Ya 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
Pada tabel 21 menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan responden untuk
menghindari gigitan nyamuk pada waktu malam hari di dalam rumah paling banyak
adalah ketika pada malam hari tidur di dalam kelambu sebesar 88,5% dan
menggunakan obat nyamuk bakar 80,2%. Selanjutnya, upaya responden yang
dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk pada malam hari di luar rumah, paling
banyak responden yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang serta
kaus kaki sebesar 72,3% dan memakai obat gososk anti nyamuk atau minyak sereh
sebesar 58,3% (tabel 22)
Tabel 49. Upaya Yang Dilakukan Di Dalam Rumah Untuk Menghindari Gigitan Nyamuk Pada Waktu Malam Hari di Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue Jumlah
n % n % N %
a. Malam tidur pakai
kelambu
Ya 319 94,7% 259 82,0% 578 88,5%
Tidak 18 5,3% 57 18,0% 75 11,5%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
b. Memakai obat gosok
anti nyamuk
Ya 161 47,8% 150 47,5% 311 47,6%
Tidak 176 52,2% 166 52,5% 342 52,4%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
c. Menggunakan obat
nyamuk bakar
Ya 263 78,0% 261 82,6% 524 80,2%
Tidak 74 22,0% 55 17,4% 129 19,8%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
d. Menyemprot kamar
tidur dengan obat
nyamuk semprot
Ya 58 17,2% 67 21,2% 125 19,1%
Tidak 279 82,8% 249 78,8% 528 80,9%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
e. Lainnya Ya 21 6,2% 10 3,2% 31 4,7%
Tidak 316 93,8% 306 96,8% 622 95,3%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
Tabel 50. Upaya Yang Dilakukan Di Luar Rumah Untuk Menghindari Gigitan Nyamuk Pada Waktu Malam Hari di Kabupaten Bombana Tahun 2017
Variabel Desa Latali Desa Pakue Jumlah
n % n % N %
a. Memakai obat gosok
anti nyamuk atau
minyak sereh
Ya 198 58,8% 183 57,9% 381 58,3%
Tidak 139 41,2% 133 42,1% 272 41,7%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
b. Menggunakan baju
lengan panjang dan
celana panjang serta
kaus kaki
Ya 254 75,4% 218 69,0% 472 72,3%
Tidak 83 24,6% 98 31,0% 181 27,7%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
c. Membakar sampah
sehingga menimbulkan
asap
Ya 75 22,3% 61 19,3% 136 20,8%
Tidak 262 77,7% 255 80,7% 517 79,2%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
d. Lainnya Ya 12 3,6% 1 0,3% 13 ,2,0%
Tidak 325 96,4% 315 99,7% 640 98,0%
Total 337 100,0% 316 100,0% 653 100,0%
6. Gambaran Status Endemisitas Daerah Penelitian
Dari pemeriksaan klinis yang dilakukan dalam penelitian ini tidak ditemukan
orang yang menunjukkan kasus kronis filariasis (Tabel 23).
Tabel 51. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Klinis
Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
No Gejala Klinis Jumlah Jumlah
Diperiksa Persentase
1 Demam filaria 0 620 0,0%
2 Kasus Kronis
Elefantiasis 0 620 0,0%
3 Retrograde
Limphangitis 0 620 0,0%
4 Lymphadenitis 0 620 0,0%
5 Early Lymphodema 0 620 0,0%
6 Filarial Abscess 0 620 0,0%
7 Elefantiasis 0 620 0,0%
8 Hydro-cele 0 620 0,0%
9 Tidak ada gejala klinis 620 620 100%
Berikut Tabel 24 di bawah ini memperlihatkan hasil pemeriksaan mikroskop
untuk mendeteksi adanya mikrofilaria dari survei darah jari (SDJ) pada masyarakat di
Desa Latali dan Desa Pakue. Hasil pemeriksaan darah jari menunjukkan tidak ada
hasil yang positif, dari total 620 sampel sediaan darah jari tidak ditemukan
mikrofilaria dalam darah.
Tabel 52. Jumlah Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskop
Survei Darah Jari Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
No Desa Hasil
Jumlah Positif Mf Negatif Mf
1 Desa Latali 0 310 310
2 Desa Pakue 0 310 310
Jumlah 0 620 620
7. Gambaran Status Infeksi Kecacingan
Pengumpulan data untuk pengambilan tinja (stool) dilakukan di 6 Sekolah dasar
terpilih. Tabel 25 dibawah ini menunjukkan bahwa dari 156 anak SD kelas 2 dan kelas 3
yang diperiksa, terdapat 6 % anak di SDN Labipi dan 12,5 % anak di SDN 1 Lawata
yang mengandung cacing Trichuris trichuria dan 33% anak di SDN Lawata mengandung
cacing lainnya.
Tabel 53. Jumlah dan Persentase Responden yang Positif Kecacingan Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
No Sekolah Dasar/
Madrasah Ibtidaiyah
Jumlah
Sampel
Hasil
Positif
Al
Positif
Tt
Positif
Ad/Na
Positif
Cacing
Lainnya
1 SDN Majapahit 41 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
2 SDN To’lemo 19 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
3 SDN Labipi 9 0 (0%) 3 (6%) 0 (0%) 0 (0%)
4 SDN 1 Pakue 39 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
5 SDN 1 Lawata
24 0 (0%) 3
(12,5%)
0 (0%) 8 (33%)
6 SDN 1 Mataleuno B 24 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 156 0 (0%) 3 (2%) 0 (0%) 0 (0%)
Keterangan: Al = Ascaris lumbricoides; Tt = Trichuris trichiura; Ad/Na = Ancylostoma
duodenale/Necato Americanus.
Gambaran Deteksi Gen Brugia malayi
Untuk melihat apakah anak SD yang telah dilakukan TAS, meski hasilnya
positif atau negatif, terdapat fragmen dari B. malayi; maka dilakukan pengambilan
darah jari pada anak-anak SD yang juga menjadi subyek penelitian untuk stool survey.
Spesimen yang diperiksa menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR).
Hasil PCR ditampilkan pada tabel 26, dimana dari 21 sampel yang diperiksa
kesemuanya menunjukkan hasil negatif.
Tabel 54. Jumlah Anak SD Hasil Pemeriksaan Gen Brugia malayi Kabupaten Kolaka Utara
No SD/MI Hasil
Positif Negatif
8. Gambaran Hasil Survei Vektor
Pelaksanaan penangkapan vektor dilakukan selama 2 malam berturut-turut,
dan kemuadian satu bulan setelah penangkapan pertama dilakukan kembali
penangkapan kedua di tempat yang sama dengan tempat penangkapan pertama. Tabel
27 Menunjukkan bahwa Genus Culex mendominasi hasil tangkapan. Spesies yang
paling banyak di Desa Pakue adalah adalah Culex vishnui sebanyak 913 ekor,
demikian juga di Desa Latali Culex vishnui tertangkap sebanyak 834 ekor.
Sedangkan hasil deteksi mikrofilaria pada nyamuk dengan menggunakan PCR tidak
ditemukan adanya nyamuk yang terdeteksi gen mikrofilaria.
1 SDN Majapahit 0 11
2 SDN To’lemo 0 8
3 SDN Labipi 0 2
4 SDN 1 Pakue
5 SDN 1 Lawata
6 SDN 1 Mataleuno B
Jumlah 0 21
Tabel 55. Jumlah Vektor (Nyamuk) yang Berhasil Ditangkap Dalam Dua Periode
Penangkapan Kabupaten Kolaka Utara Tahun 2017
No Desa Genus Spesies Total
Aedes Aedes albolineatus 1
Aedes albopictus 7
Anopheles Anopheles barbirostris 1
Armigeres Armigeres kuchingensis 3
armigeres subalbatus 2
1 Latali Culex Culex annulus 6
Culex gellidus 5
Culex quinquefasciatus 236
Culex tritaenyorhinchus 14
Culex vishnui 834
Aedes Aedes aegypti 19
Aedes albolineata 2
Aedes albopictus 2
Aedes vexans 22
Anopheles Anopheles indefinitus 44
2 Pakue Anopheles subpictus 82
Anopheles vagus 9
Culex Culex gellidus 16
Culex quinquefasciatus 465
Culex tritaenyorhinchus 78
Culex vishnui 913
Total 2761
9. Gambaran Hasil Survei Lingkungan
Berikut di bawah ini hasil plotting penetapan titik geo-spasial habitat vektor di
Desa Latali dan Desa Pakue dengan zona penyangga 1 km dari plotting titik
koordinat habitat vektor.
gambar 2. Zona Penyangga Tempat Potensial Perindukan Nyamuk di Desa Latali dan Desa Pakue
Berdasarkan gambar hasil plotting tersebut di atas, terlihat bahwa rumah responden di
lokasi penelitian berada pada radius kurang dari 1 kilometer dari habitat potensial nyamuk.
Dari hasil buffer titik koordinat, terlihat bahwa di desa Latali dan desa Pakue berada tidak
jauh dari genangan air yang bisa menjadi habitat potensial nyamuk.
Di Desa Latali maupun desa Pakue, jenis habitat didominasi oleh sawah dengan
persentase masing-masing sebesar 45 % dan 60 %, sedangkan habitat yang paling sedikit
dijumpai di Desa Latali adalah lubang galian sebesar 20 % dan di desa Pakue habitat tepi
sungai dengan persentase sebesar 6,7%.
10. Gambaran Hasil Kualitatif
Proses Eliminasi Filariasis Di Tingkat Kabupaten
Dalam melakukan indepth interview kendala yang dihadapi oleh tim adanya
recall bias dan susahnya mencari responden yang berkompeten untuk menjawab
terkait dengan eliminasi filariasis. Dalam menggali ingatan responden cukup susah,
karena mengingat bahwa proses POPM filariasis dan pra POPM filariasis dilakukan
terakhir tujuh tahun yang lampau. Demikian juga, dengan para pejabat/beberapa tokoh
kunci program filariasis di Kabupaten kolaka utara yang beberapa sudah pindah
tugas, maupun purna tugas
Kebijakan berkaitan dengan eliminasi filariasis di Kabupaten ini bermula dari
kebijakan pemerintah pusat yang memberikan pengobatan massal filariasis untuk
kabupaten ini, meskipun pada jadwalnya seharusnya baru mendapat pengobatan pada
tahun 2010.
“...Kalau kebijakan pemerintah pusat yang saya rasakan pada waktu itu karena dia
mau memberi yang bukan pada jadwalnya, harusnya saya katanya kabupaten kolut
harusnya mendapat transferan obat di tahun 2010...”
Untuk pelaksanaan TAS seluruh kebijakan dan pelaksanaannya langsung dari
pusat. Hampir semua informan menyebutkan bahwa pemerintah daerah sangat
mendukung pengobatan filariasis.
“...Jadi kalau kebijakan pemerintah pada waktu itu karena apa namanya itu lansung
booming muncul di permukaan karena kita kabupaten baru ada...”
Tidak ada disharmoni antara peraturan pusat dengan daerah. Tantangan yang
dihadapi hanya berasal dari penerimaan masyarakat.
“...Kalau pertentangan antara kebijakan pemerintah daerah dengan itu tidak ada.
Tetapi yang kami hadapi itu adalah masyarakatnya...”
Terkait dengan kecukupan Sumber Daya Manusia, terpenuhi karena adanya
tenaga yang direkrut untuk membantu pelaksanaan pembagian obat. Namun, tenaga
mikroskopis yang mampu melakukan pemeriksaan filariasis di Kabupaten jumlah
masih sangat kurang.
Pemberdayaan masyarakat melibatkan tenaga aparat desa dan kader yang
berasal dari desa setempat yang membantu dalam membagikan obat. Aspek
anggaran, pelaksanaan eliminasi berasal dari APBD dan DHS ADB (Decentralized
Health Service Asian Development Bank). DHS merupakan proyek yang dibiayai
oleh lembaga donor multilateral yaitu ADB. Anggaran TAS bersumber dari
Kementerian pusat. Untuk tata kelola anggaran tidak ada disharmoni antara
pemerintah pusat dan daerah, hanya saja kendala yang dihadapi terkait keterbatasan
anggaran banyaknya program yang harus dibiayai.
“...Tidaklah,pak karena kita memang mengalami keterbatasan anggaran jadi
tidaklah sesuai...”
“...Masalahnya kalo kemarin-kemarin saya kasih masuk anggarannya tetap cuma
dikasih perjalanan sekian. Makanya kalau ada kegiatan TAS saya kan ada anggaran
dari pusat juga makanya sebelum pelaksanaan saya konfirmasi ke pusat”
Untuk mengatasi keterbatasan anggaran, jalan keluarnya adalah beberapa
kegiatan dilakukakan dalam waktu bersamaan dan mengurangi jumlah kunjungan
lapangan.
Aspek sarana prasarana, kendala yang dihadapi adalah sarana transportasi dan
peningkatan laboratorium. Sehingga dibutuhkan dukungan dari kemenkes pusat
khususnya di bidang peningkatan kapasitas SDM untuk laboratorium.
‘...ya sebenarnya kalo dikatakan cukup tidaklah...memenuhi syarat saja tidak. Tapi
mau diapakan namanya saja daerah baru...”
Pencanangan POPM melibatkan lintas sektor, dalam hal ini semua satuan
kerja pemerintah daerah yang berada di Kolaka utara dikutsertakan. selain itu,
melibatkan kepala desa yang membantu mobilisasi masyarakat. Pada kegiatan TAS
kerjasama lintas sektor yang dilakukan adalah dengan melibatkan sekolah-sekolah
lokasi kegiatan untuk meminta bantuan guru menangani murid saat dilakukan
pemeriksaan.
“...Karena mereka pada waktu pencanangan langsung dipanggil kadisnya langsung
disuruh minum obat di situ supaya meyakinkan staf-stafnya karena obat ini saya
bawa ke SKPD juga dan pak kadisnya harus minum pas pencanangan kan
dicanangkan tahun pertama...”
Proses Eliminasi Filariasis Di Tingkat Puskesmas
Pelaksanaan eliminasi filariasis di tingkat puskesmas diperoleh dari dinas kesehatan yang
kemudian ditindak lanjuti oleh pukesmas hingga ke desa.
“...Biasanya kalo dari itu ada tindaklanjut dari instruksi bupati, makanya dinas bikin surat
untuk puskesmas memanggil program untuk pelatihan. Sampai situ puskesmas bersurat ke
desa...”
Dukungan pemerintah pada kegiatan eliminasi terlihat pada pencanangan kegiatan oleh
camat dan adanya reklame atau spanduk tentang pembagian obat.
“...Ada waktu itu pencanangan orang camat dengan orang dinas...”
Semua informan menyebutkan bahwa jumlah SDM dalam kegiatan eliminasi tercukupi
karena dibantu oleh tenaga puskesmas dan kader. Untuk koordinasi melibatkan aparat desa
yang berperan dalam mensosialisasikan kegiatan kepada masyarakat.
“...cukup, dibantu kader dan bidan desa...tidak ada maksudnya tersalurkan semua
obatnya...”
Semua informan menyebutkan adanya anggaran untuk kegiatan eliminasi berupa
insentif atau transport tetapi mereka tidak tahu tentang jumlah dan sumber dananya.
“ ...Ada, kabupaten yang tangani, kayaknya anggaran dari pusat. Besar wawktu itu, lebih 10
juta.Lainnya dengan gajinya,intensifnya, lain kepala puskesmas...”
Dari segi sarana dan prasarana yang menjadi kendala adalah trasnportasi sehingga
beberapa lokasi harus ditempuh dengan berjalan kaki selama berjam-jam. Namun, jumlah
obat tersedia dengan cukup karena diminta sesuai data sasaran.
“...Satu kendala saya waktu di Latali, satu desa, desa Taranggek, saya jalan kaki dari jam 7
sampai jam 12, padahal dekat Cuma 4 kilo, tapi mendaki terus...”
Koordinasi lintas sektor dimulai dengan surat yang berasal dari dinas Kabupaten
yang diteruskan hingga ke tingkat desa. Tenaga yang dilibatkan adalah tenaga puskesmas
dibantu oleh kader, aparat desa dan babinsa berperan dalam pengumpulan massa/ masyarakat
untuk ikut dalam pengobatan.
“...Kepala desa dan aparat untuk mengumpulkan massa, biasa kalo pelayanan begitu kita
melibatkan babinsa, karena mereka betul-betul turun ke rumah-rumah...”
Proses Eliminasi Filariasis di Tingkat Kader Kesehatan
Hampir semua semua informan kader adalah penduduk asli desa dan menyatakan
bahwa tidak ada bahasa atau istilah lokal/ daerah untuk kaki gajah. Semua informan juga
menjawab bahwa mereka tidak tahu apakah desa mereka termasuk wilayah endemis filariasis
atau bukan.
“...Kurang tahu...”
Hampir semua informan menyebutkan bahwa filariasis bukan penyakit yang menular
namun bisa disembuhkan dengan diobati dan apabila sudah parah penyakit ini berbahaya
bahkan dapat menyebabkan kematian. Hanya satu informan yang mengetahui bahwa penyakit
filariasis ditularkan oleh nyamuk.
“...Insyaallah bisa, berbahaya kan kalau seumpama kita sudah terkena kalau dibiarkan bisa
parah jadi berbahaya bisa kalau sudah parah, misalnya kalau kena alat vital / kelamin
sampai bengkak bisa menyebabkan kematian...”
Semua informan menyebutkan bahwa di wilayah mereka pernah ada pengobatan
massal. Pelaksanaan pembagian obat melibatkan kader yang berperan dalam mempersiapkan
dan membagikan obat ke masyarakat. Semua informan kader menyebutkan bahwa di wilayah
mereka pernah dilaksanakan pengobatan massal tetapi tidak mengetahui dengan pasti berapa
lama pengobatan berlangsung.
“...Pernah 3 kali, 2006 selanjutnya...”.
Pembengkalan diberikan sebelum melakukan pembagian obat. Masyarakat diberikan
penyuluhan agar bersedia terlibat dalam pengobatan massal. Aparatur desa membantu
mesosialisasikan kegiatan dimesjid termasuk membantu mengumpulkan penduduk. Adapun
kendala yang dihadapi adalah penerimaan masyakarat yang kurang menerima karena reaksi
pengobatan.
“...Kayaknya ada bilang terlalu banyak obatnya. Ada yang makan, ada yang sebagian makan,
ada yang makan semua...”
Peran tokoh agama/ tokoh masyarakat dalam pelaksanaan POPM
Menurut tokoh masyarakat tidak ada istilah lokal untuk menyebut kaki gajah.
Tokoh masyarakat kurang mengetahui tentang penyakit kaki gajah. Mereka tidak
mengetahui tetang penyakit kaki gajah, gejala yang ditimbulkannya, dan tidak
mengetahui proses penularan dan status endemis daerahnya. Berdasarkan keterangan
toko masyarakat bahwa dulu pernah dilakukan pengobatan massal tetapi lupa tepatnya
tahun berapa.
Tokoh masyarakat mengaku terlibat dalam pengobaatan massal filariasis pada
waktu itu. Keterlibatan mereka hanya sebatas memberikan informasi akan
diadakannya pengobatan massal. Informasi tentang POPM biasa disampaikan melalui
pengumuman di mesjid dan tempat ibadah lainnya. Ketika ada pembagian obat massal
dengan cara mengumpulkan warga, biasanya Puskesmas akan melibatkan tokoh
masyarakat dalam hal ini bapak desa dan tokoh agama
“...Ya... memfasilitasi untuk mengumpulkan masyarakat, masyarakat dikumpulkan di
gedung dan kalaupun tidak datang dikunjungi ke rumahnya...”
“...Gampang kalau disini pak..karena setiap jumatan diumumkan. Kalau beberapa hari lagi
baru jumatan berarti kami umumkan lewat kepala dusun. Gampang di sini pak”
Dalam pelaksanaan pengobatan massal tidak ditemui kendala oleh tokoh
masyarakat. Pengobatan massal filariasis pada waktu itu juga tidak bertentangan
dengan nilai atau tatanan adat di wilayah Kabupaten Kolaka Utara. Sedikit hambatan
yang dialami oleh mereka adalah warga yang menolak untuk minum.
“...Kalau hambatan pada intinya masyarakat ingin berobat mengantisipasi itu penyakit. Tapi
hambatan itu ada yang tidak minum obat itu...”
Akan tetapi setelah diberi penjelasan masyarakat sangat antusias untuk
meminum obat tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Survei KAP
Secara demografi responden yang paling banyak diwawancarai adalah perempuan
dan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Distribusi pekerjaan dan jenis kelamin yang
diperoleh berkaitan dengan pelaksanaan wawancara yang dilakukan pada pagi dan siang
hari, sehingga laki-laki dan bekerja jarang ditemui pada saat wawancara. Tingkat
pendidikan paling rendah adalah tidak pernah sekolah, Tingkat pendidikan tertinggi
adalah tamat perguruan tinggi. Namun, relatif pendidikan rendah karena didominasi oleh
responden yang tamat SD. Hal ini sangat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang
penyakit filariasis. Hal ini didukung oleh pernyataan Santoso dkk yang menyatakan
bahwa rendahnya tingkat pendidikan responden dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit kaki gajah18. .
Hal ini sesuai dengan fakta yang ditemukan pada hasil penelitian ini bahwa
Pengetahuan reponden tentang filariasis masih kurang, hal ini terlihat dengan masih
banyaknya responden yang tidak mengetahui penyebab filariasis dan masih terdapat
responden yang beranggapan bahwa filariasis disebabkan karena melanggar pantangan.
Sama halnya, dengan pengetahuan masyarakat tentang efek filariasis, jawaban yang
paling dominan adalah hanya pada beberapa gejala klinis yang umum terlihat seperti
pembesaran kaki atau tangan.
Fakta ini terlihat pada tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga
berdampak pada pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Azhari (2008) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang
rendah mempengaruhi masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami pengetahuan
filariasis dengan baik19
Hal yang paling mengejutkan adalah pengetahuan masyarakat tentang adanya
pelaksanaan POPM di daerah mereka masih sangat rendah. Hal ini kemungkinan karena
adanya recall bias mengakibatkan responden lupa karena kegiatan POPM terakhir
dilaksanakan pada tahun 2010. Namun, paling banyak responden (91,4%) yang mengaku
bahwa mereka memperoleh informasi pelaksanaan POPM dari petugas kesehatan.
Sikap respoden terkait pelaksanaan POPM cukup mendukung. Akan tetapi,
perilaku responden kurang memuaskan. Hal ini diindikasikan dengan lebih banyak
responden ( 85,9%) yang tidak mengikuti POPM dibanding yang mengikuti dan
responden yang mengaku mengikuti POPM masih ada 10,4 % yang tidak minum obat
dengan alasan takut efek samping. Obat yang diperoleh responden tersebut hanya 13,3%
responden yang minum di hadapan petugas, yang lainnya lebih banyak ( 83,3 %) yang di
bawah pulang dan diminum sendiri di rumah. Pada umumnya, obat tersebut diminum
pada malam hari. Pemilihan waktu minum obat pada malam hari, kemungkinan untuk
mengurangi efek samping. Menurut pengakuan responden efek samping yang dirasakan
setelah meminum obat POPM, paling banyak ( 26,7%) yang merasakan pusing atau sakit
kepala.
Hal ini disebabkan karena pengetahuan masyarakat yang masih rendah sehingga
tidak menunjukan perilaku yang positif terhadap pengobatan. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Azhari (2008), yang menyatakan bahwa Kurangnya pengetahan masyarakat
tentang bahaya filariasis, menolak memakan obat yang diberikan pada program
pengobatan massal, alasannya karena obat tersebut mengandung rasa yang kurang enak
dan mempunyai efek samping seperti mual,pusing dan lain-lain, sebagian masyarakat
mengganggap bahwa penyakit ini merupakan penyakit keturuanan dan ada juga yang
beranggapan bahwa penyakit ini karena mistik dan lainnya 19
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
seseorang. Semakin baik perilaku seseorang maka diharapkan semakin positif sikap yang
ditunjukkan terhadap suatu hal tersebut. Dan sikap itu akan ditunjukan dalam bentuk
perilaku positif pula. Dalam pengobatan massal adakalanya masyarakat takut terhadap
efek samping obat dan lain sebagainya sehingga menolak untuk meminum obat, hal ini
merupakan bagian dari tingkat pengetahuan rendah 20
2. Pemeriksaan klinis filariasis
Berdasarkan pemeriksaan klinis di dua lokasi tersebut tidak ditemukan responden
dengan 6 gejala klinis filariasis, Yaitu demam filariasis, kasus kronis, elefantiasis,
retrograde, limphangitis, lymphadenitis, early lymphodema, filarial abses, elefantiasis,
hidrocele. Gejala klinis filariasis merupakan manifestasi seseorang yang sudah terinfeksi
cacing filaria, Cacing filaria tersebut bisa masih hidup atau sudah mati. Munculnya
gejala klinis tersebut bertahap sesuai dengan tingkat peradangan yang ditimbulkan oleh
cacing filaria tersebut21
Gejala klinis yang akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang
disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah
dan bisa sembuh menimbulkan parut. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia
malayi dan Brugia timori sedangkan infeksi Wuchereria bancrofti sering terjadi
peradangan buah pelir21
3. Survei darah jari
Diagnosa filariasis umumnya melalui identifikasi mikrofilaria secara mikroskopis.
Menggunakan bantuan pewarnaan Giemsa sediaan darah apus tipis dan tebal serta gold
standar yang disebut SDJ (Sediaan Darah Jari) dengan mengambil darah dari kapiler
ujung jari22
Hasil pemeriksaan darah jari di dua desa tersebut, menunjukkan bahwa dari 620
reponden yang diperiksa tidak satupun orang yang positif mikrofilaria (mf rate 0%).
Suatu daerah dinyatakan endemis filariasis jika mf rate ≥ 1 %. Dengan demikian,
Kabupaten Kolaka Utara dapat dikatakan bukan merupakan daerah endemis lagi. Hal ini
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 94 tahun 2014 ,
tentang penanggulangan filariasis yang menyatakan bahwa apabila mf rate ≥ 1 % di salah
satu atau lebih lokasi survei( desa), maka kabupaten tersebut dinyatakan sebagai
kabupaten /kota endemis 1
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Giati (2008) di
Kabupaten Kunjang, bahwa hasil pengambilan SDJ yang dilanjutkan dengan analisis di
laboratorium ditemukan bahwa semua sampel menunjukkan hasil negatif sehingga
perhitungan mf rate 0%. Dengan demikian, Kabupaten Kunjang merupakan daerah non
endemis filariasis.23
4. Stool survey
Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya cacing ke
dalam tubuh manusia. Infeksi cacing ini melalui tanah Beberapa jenis cacing yang sering
ditemukan menginfeksi manusia adalah Trichuris trichuria, Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale24
Hasil survei di 6 sekolah dasar di Kolaka Utara, diperoleh positif infeksi
kecacingan di dua SD yaitu SD Lawata dan SD Labipi. Di SD Lawata sebesar 12,5 %
anak yang mengandng Trichuris trihuria dan 33% anak mengangdung jenis cacing
lainnya, sedangkan di SD Labipi 6% anak mengandung cacing Trichuris trichuria.
Kombinasi Obat DEC dan albendazol dalam kegiatam POPM berdampak pada
infeksi kecacingan sehingga diharapkan program eliminasi filariasis dapat menurunkan
prevalensi kecacingan25.
Infeksi kecacingan biasanya berhubungan dengan lingkungan yang kumuh. Di
Indonesia daerah dengan insidenn Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuaraI tinggi
salah satunya, di daerah kumuh di Jakarta. Tidak hanya faktor lingkungan yang
mempengaruhi kejadian kecacingan, jumlah anggota keluarga juga memiliki hubungan
yang signifikan dengan infeksi kecacingan24.
5. Deteksi Gen Bm
Hasil deteksi gen Brugia malayi pada 21 anak di lokasi penelitian tidak ditemukan
jejak fragmen Brugia malayi sehingga hasilnya semua negatif. Hal ini sesuai dengan
pemeriksaan TAS 2016, dimana tidak ditemukan positif Brugia malayi pada anak
sekolah.
Sasaran survei TAS adalah anak sekolah berumur 6-7 tahun dengan
menggunakan rapid test, baik pengujian antigen maupun antibodi. Hasil TAS ini
digunakan untuk menetapkan suatu kabupaten telah mengalami eliminasi filariasis.21
6. Survei vektor
Nyamuk hasil survei vektor setelah diidentifikasi diketahui spesies nyamuk yang
paling dominan adalah Culex vishnui sebanyak 1. 747 ekor dan yang paling sedikit
jumlahnya adalah Anopheles barbirostris sebanyak 1 ekor. Semua spesies nyamuk yang
telah diidentifikasi dilakukan pembedahan ovarium untuk melihat umur nyamuk dan rata-
rata umur nyamuk paling banyak berumur dibawah 3 hari. Apabila dihubungkan dengan
proses penularan filariasis maka nyamuk tersebut tergolong masih muda sehingga belum
mampu menularkan cacing filaria karena semakin panjang umur nyamuk semakin besar
potensi nyamuk tersebut sebagai vektor26
Dari spesies genus nyamuk yang ditemukan di lokasi tersebut Aedes, Anopheles,
Armigeres dan culex diketahui telah menjadi vektor di daerah lain. Hal ini didukung
oleh pernyataan 27 yang menyatakan bahwa filariasis ditularkan oleh nyamuk vektor baik
dari genus Aedes, Anopheles, Armigeres Culex dan Mansonia. Salah satu jenis nyamuk
yang telah menjadi vektor filariasis adalah Anopheles barbirostris. Nyamuk ini telah
terbukti sebagai vektor filariasis yang disebakan oleh Brugia malayi di kawasan
sulawesi28
7. Survei lingkungan
Keberadaan nyamuk sangat erat kaitannya dengan tempat perkembangbiakan
nyamuk atau disebut sebagai habitat. Habitat nyamuk sangat penting bagi
kerberlangsungan hidup nyamuk karena fase aquatik nyamuk berlangung di habitat
perkembangbiakan nyamuk. Perbedaan lokasi serta beragam jenis tempat perindukan
nyamuk sangat berpengaruh terhadap jumlah individu nyamuk yang ditemukan29.
Beranekaragam habitat perkembangbiakan nyamuk adalah persawahan, saluran
irigasi, kolam ikan, kebun kangkung, genangan air hujan, rawa, saluran air, jejak kaki
binatang, tepi sungai, bekas galian, muara/ air payau30.
Di desa Latali dan Pakue, jenis habitat didominasi oleh sawah dengan persentase
masing-masing sebesar 45% dan 60%, sedangkan habitat yang paling sedikit dijumpai di
desa Latali adalah lubang galian sebesar 20% dan Pakue berupa habitat tepi sungai
dengan persentase sebesar 6,7%.
8. Wawancara mendalam studi kualitatif
Program eliminasi filariasis yang menjadi agenda utama nasional untuk
memutuskan rantai penularan filariasis pada penduduk di Kabupaten atau kota adalah
melaksanakan kegiatan pemberian obat pencegahan secara massal.
Kebijakan Pelaksanaan eliminasi filariasis di Kabupaten Kolaka Utara, diawali
dari kebijakan pemerintah pusat yang memberikan pengobatan massal filariasis untuk
Kabupaten ini. Pelaksanaan pengobatan ini tidak sesuai dengan jadwal pengobatan yaitu
pada tahun 2010. Selanjutnya, dari Dinas Kesehatan Kabupaten yang kemudian
ditindaklanjuti oleh puskesmas hingga ke tingkat desa.
Demikian pula, dengan pelaksanaan TAS seluruh kebijakan dan pelaksanaannya
langsung dari pusat. Pemerintah daerah cukup mendukung kegiatan eliminasi ini. Hal ini
terbukti dengan dilakukan pencanangan dan sosialisasi yang melibatkan satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) di Kabupaten tersebut.
Perencanaan kegiatan POPM di Kolaka utara dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten dan dilakukan oleh puskesmas. Terkait sumber daya manusia, kebutuhan
tenaga terpenuhi karena adanya tenaga yang direkrut untuk membantu pelaksanaan
pembagian obat. Namun, tenaga mikroskopis untuk pemeriksaan survei darah jari
jumlahnya masih sangat kurang. Hasil ini sebanding denga hasil analisis SWOT
(Strenght, Weakness, Oppurtunity, Threath) di tingkat pusat yang menyatakan bahwa
tenaga terlatih di daerah masih kurang31
Pemberdayaan masyarakat dilakukan di tingkat desa melibatkan kader yang
sangat berperan dalam pembagian obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ipa dkk (2014) bahwa pengobatan filariasis di Kabupaten Bandung melibatkan
kader dalam pendistribusian obat didampingi oleh Puskesmas sebagai supervisor
puskesmas. Kader dalam program filariasis merupakan sumber daya yang sangat penting
dan merupakan perpanjangan tangan puskesmas. 31.
Kebutuhan SDM tidak hanya pada saat pengobatan berlangsung tetapi sangat
dibutuhkan juga pada saat sweeping masyarakat yang tidak datang pada saat pengobatan
berlangsung. Untuk mengatasi hal tersebut dibantu oleh aparat desa dan Babinsa dari TNI
yang juga berperan dalam pengumpulan massa/ masyarakat untuk ikut kegiatan
pengobatan.
Pengetahuan kader dan tokoh masyarakat dalam hal ini kepala desa tentang
penyebab, penularan, gejala dan pengobatan filariasis masih kurang. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Hapsari dan Santoso (2012) di Kecamatan
Madang Suku III, bahwa pengetahuan kader dan tokoh masyrakat tentang penyebab,
gejala dan pengobatan filariasis masih kurang32
Anggaran untuk pelaksanaan POPM berasal dari APBD dan DHS ABD
(Decentralized Health Service Asian Development Bank), serta anggaran TAS bersumber
dari kementerian. Kendala yang dihadapi terkait anggaran adalah keterbatasan anggaran
karena banyaknya program. Untuk menyiasiatinya beberapa kegiatan dilakukan dalam
waktu bersamaan dan mengurangi jumlah kunjungan lapangan. Penggunaan anggaran
APBD, merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah dalam kegiatan
eliminasi filariasis. Karena dengan berjalannya otonomi daerah dan desentralisasi maka
kegiatan pengobatan massal filariasis diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah, tetapi
obat tetap disediakan oleh pemerintah pusat33
Aspek sarana prasarana yang menjadi substansi dalam kegiatan pengobatan
adalah obat. Ketersediaan obat yang digunakan untuk pengobatan ini cukup. Kendala
yang dihadapi adalah berbagai lokasi ditempuh dengan berjalan kaki dan membutuhkan
waktu yang sangat lama untuk sampai ke tujuan.
Secara epidemiologis dapat dikatakan bahwa penularan filariasis melibatkan
banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia
sebagai inang dan nyamuk dewasa sebagai vektor serta lingkungan fisik, biologis dan
sosial (faktor sosial dan perilaku penduduk setepat34
Oleh karena itu, manusia sedapat mungkin harus mampu menghindarkan diri dari
gigitan nyamuk agar manusia tidak mengambil peran sebagai hospes cacing filariasis.
Hasil yang diperoleh pada penelitian di Kolaka Utara terlihat bahwa responden masih
memiliki pengetahuan yang minim tentang penyebab dan dampak dari filariasis. Padahal
pengetahuan yang sangat baik akan menyadarkan individu dan menguatkan sikap serta
praktik yang dilakukan3536. Hal ini terlihat pada hasil penelitian bahwa dengan
pengetahuan yang minim, responden memiliki sikap yang cukup baik terhadap POPM
namun perilakunya kurang. Hal ini terlihat, lebih banyak masyarakat yang tidak
mengikuti POPM. Bahkan, masih ada responden yang mengikuti POPM namun obatnya
tidak diminum karena takut efek samping. Hal ini kemungkinan disebabkan karena,
informasi tentang POPM tidak tersampaikan dengan baik di masyarakat. Seperti kader
yang membantu pada saat POPM, seharusnya memiliki pengetahuan tentang filariasis
yang lebih dari masyarakat pada umumnya. Namun, para kader masih beranggapan salah
satunya bahwa filariasis tidak menular, filariasis dapat sembuh dengan minum obat dan
juga mereka tidak mengetahui tingkat endemisitas daerah mereka.
Sebelum dilakukan pengambilan darah jari, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan klinis terhadap responden . Namun, tidak ditemukan responden dengan
gejala klinis yang telah ditetapkan pada saat pemeriksaan tersebut. Selanjutnya,
Berdasarkan pemeriksaan darah jari, tidak ditemukan cacing filariasis pada semua
responden yang diperiksa. Begitu pula dengan deteksi gen Brugia malayi yang dilakukan
pada anak SD kelas 2 dan kelas 3, tidak juga ditemukan fragmen gen Brugia malayi.
Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh
terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik mencakup
antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, suhu dan kelembaban. Dengan demikian
lingkungan fisik dapat menciptakan habitat perkembangbiakan nyamuk34. Habitat
tersebut berupa air tergenang, sawah, rawa35. Pada lingkungan tersebut ditemukan
nyamuk dengan berbagai genus dan salah satu spesies yang telah terkonfirmasi sebagai
vektor filariasis di kawasan sulawesi. Namun, tidak juga ditemukan cacing filariasis pada
nyamuk- nyamuk tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka, meskipun pengetahuan masyarakat tentang
filariasis dan POPM filariasis sangat minim. Tetapi, karena tidak ditemukan lagi
responden yang mengandung cacing filaria dan nyamuk yang mengandung cacing filaria
maka daerah ini bisa dinyatakan tidak ada lagi proses penularan filariasis.
Kelemahan dari penelitian ini adalah, pada saat pengumpulan data Pengetahuan
sikap dan perilaku, masyarakat diharuskan untuk mengingat kembali kejadian yang
sudah lampau sehingga terjadi recall bias sangat mungkin. Survei vektor dilakukan pada
saat musim kemarau sehingga populasi nyamuk yang diperoleh tidak terlalu padat.
Ketersediaan data cakupan pengobatan sulit ditelusuri, karena data tersebut tidak
tersedia di penanggungjawab program filariasis Dinas Kabupaten Kolaka Utara. Serta,
untuk wawancara mendalam terkait pelaksanaan eliminasi filariasis, sangat sulit
menemui infoman yang saat itu terlibat kegiatan eliminasi filariasis. Seperti, tokoh
masyarakat dan tokoh agama, pada saat pengumpulan data berlangsung tidak berada di
lokasi penelitian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa keberhasilan eliminasi filariasis di
Kabupaten Kolaka Utara dimulai sejak pelaksanaan POPM 2005 dan pelaksanaan TAS yang
dilaksanakan sebanyak 3 kali. Secara epidemiologi, keberhasilan ini dipengaruhi oleh tidak
ditemukan agen maupun host definitif dari penyakit filariasis dan juga tidak ditemukan
nyamuk yang mengandung cacing filariasis, walaupun lingkungan masih tersedia habitat
perkembangbiakan nyamuk. Keberhasilan ini juga didukung oleh aspek manajemen yang
dilakukan dari tingkat dinas kesehatan kabupaten, puskesmas dan tingkat pemerintah desa.
Dengan Kader dan petugas puskesmas sebagai pelaksana utama dan perencanaan logistik
obat dan anggaran dikerjakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara.
V.2. saran
Dinas Kesehatan Kolaka Utara agar tetap waspada sehingga tidak terjadi penularan
kembali. Upaya ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi tentang filariasis yang
tepat dan mudah dipahami oleh masyarakat setempat.
BAB VI
DAFTAR RUJUKAN
1. Ditjen P2PL KKR. Data endemisitas filariasis di Indonesia sampai dengan bulan Juli
2014. 2014.
2. Subdit filariasis dan Kecacingan K kesehatan. Rencana Pre TAS kabupaten/Kota.
2012.
3. Kesehatan K. Peraturan Keshetan menteri no 94/2014 penanggulangan filariasis. 2015.
4. Filariasis di Indonesia. Bul jendela Epidemiol. 1.
5. Anorital, Aris Hadi Indiarto rita MD. Laporan kajian pengaruh upaya pengobatan
massal filariasis terhadap pengendalian penyakit kecacingan.
6. Organization WH. Global programme to eliminate, Monitoring and epidemiological
asssesment of mass drug administration. 2011.
7. Ditjen PP dan PL DR. Pedoman Program eliminasi di Indonesia. 2009.
8. N. rahmah et al. Invection, d sensitivity of rapid dipstick tes(Brugia rappid) in
detection of Brugia malayi. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95:601–4.
9. Et R noordin. Homologs of Brugia malayi diagnostic antigen BmR1 are present in
other filarial parasites but induce different humoral immune responses. Filarial J.
2004;3:10.
10. Tania Supali. Keberhasilan Program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, Nusa
tenggara Timur. Bul Jendela Epidemiol. 2010;1 Juli.
11. Sekar Tuti, Prijanto Sismadi RE dan PM. situasi Filariasis di Pulau Alor pada tahun
2006. Bul Penelitoan Kesehat. 2010;13 no 1.
12. clare huppatz, Corine Capuano, Kevin Palmer PMK and DND. Lesson from the pacific
Programme to eliminate Lymphatic Filariasis: a case Study of 5 Countries. 2009.
13. S Sabesan, P Vanamail, KHK Raju PJ. Lymphatic filariasis in India: Epidemiology
and control measures. J Post Grad Med. 2010;56:232–8.
14. sun de-jian DX dan D ji-hui. The History of the elimination of lymphatic filariasis in
china. In: Infectious Diseases of Poverty. 2013.
15. Subdit filariasis dan Kecacingan K kesehatan. Rencana Pre TAS Kabupaten/ Kota
tahun 2017. Jakarta; 2016.
16. WHO. Slide Training in Monitoring and Epidemiological assesment mass Drug
administration For Elimination Filariasis. 2016.
17. Assessment T, Sebagai S, Satu S, Eliminasi LP. Transmission assessment survey
sebagai salah satu langkah penentuan eliminasi filariasis. Kesehat Masy Andalas.
2014;(94):85–92.
18. Santoso, Saikhu A, Taviv Y., Yuliani R.D. MR dan S. KEPATUHAN
MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI
KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008. Bul Penelit Kesehat. 2010;38 no
4:192–204.
19. Azhari. Partisipasi masyarakat petani dalam pencegahan penyakit filariasis di
Kabupaten Asahan tahun 2007. 2008.
20. Dewi K. Gambaran faktor-faktor predisposisi dan prakti minum obat pada pengobatan
filariasis di 7 RW Kelurahan Bakti Jaya Depok tahun 2009. 2009.
21. kementerian kesehatan RI. peraturan Kesehatan republik indonesia nomor 94 tahun
2014 tentang penanggulangan filarisis. 2016.
22. Riandi umar dan wahono. Filariasis penyakit yang terabaikan. In: Mengenal filariasis
penyakit tropis yang terabaikan di Jawa barat. 2014. p. 8.
23. Giati Suprihatin. lapon SDJ pogram elimnai filaria di kedii jawa timur. Bul Hum
media. 2008;3 no 4.
24. Widyasari A. demam filariasis, kasus kronis, elefantiasis, retrograde, limphangitis,
lymphadenitis, early lymphodema, filarial abses, elefantiasis, hidrocele. In: Skripsi.
2012.
25. Anorital DR dan P. Studi Kajian Upaya Pemberian Obat Pencegah Masal Filariasis
Terhadap Pengendalian Penyakit Infeksi Kecacingan. J Biotek Medisiana Indones.
2016;5 no 2:95–103.
26. Nasrin. FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN
BANGKA BARAT. 2008.
27. Puji A E dan Ipa Mara. epidemiologi filariasis. In: Mengenal filariasis penyakit tropis
yang terabaikan di Jawa barat. 2014. p. 19.
28. Triwibowo Ambar Garjito*, Jastal**, Rosmini**, Hayani Anastasia** YS, Labatjo**
Y. FILARIASIS DAN BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN.
2013;V(2):54–65.
29. Ningsih Nopia Welmi. KEANEKARAGAMAN PHYTOTHELMATA DAN LARVA
NYAMUK YANG MENDIAMINYA PADA HABITAT YANG BERBEDA DI
DESA TAMAN SARI, KECAMATAN GEDONG TATAAN, KABUPATEN
PESAWARAN, LAMPUNG. 2016.
30. Arsin AA. MALARIA di Indonesia tinjauan aspek epidemiologi. 2012.
31. Ipa M, Astuti EP, Ruliansyah A, Wahono T, Hakim L. GAMBARAN SURVEILANS
FILARIASIS DI KABUPATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT. Ekol
Kesehat. 2014;13.
32. Hapsari N dan Santoso. ELIMINASI FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN
MADANG SUKU III KABUPATEN OKU TIMUR Nungki Hapsari dan Santoso
Kabupaten Oku Timur belum sampai keputusan World Health Organization Dinas
Kesehatan maupun Puskesmas. Pembang Mns. 2012;6(3).
33. Ompusunggu S, sekar tuti armedy roni hasugian. Endemisitas filariasis dengan lama
pengobatan massal berbeda. Maj Kedokt indon. 2008;58 nomor 1.
34. Yanelza S, Hotnida S, Irpan PR. BIONOMIK NYAMUK MANSONIA DAN
ANOPHELES DI DESA KARYA MAKMUR , KABUPATEN OKU TIMUR
Mosquito Bionomic of Mansonia and Anopheles in Karya Makmur Village , East
OKU Regency melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria
sebagai agen penyak. Ekol Kesehat. 2012;11:158–66.
35. Juriastuti A, Kartika M, Djaja M susanna D. DI KELURAHAN JATI SAMPURNA.
Makara Kesehat. 2010;14(1):31–6.
36. Suharjo. PENGETAHUAN SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TENTANG
MALARIA DI DAERAH ENDEMIS KALIMANTAN SELATAN. Media Litbangkes.
2015;25:23–32.
LAMPIRAN
1. Tim melakukan wawancara KAP
Lampiran 6 1
2. Tim melakukan survei darah jari
gbrGGam
3.Tim melakukan survei vektor
lampiran 6 3
4. Survei lingkungan
lampiran 6 4