langkah kumpulan cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · seperti surga yang tenggelam dalam dimensi...
TRANSCRIPT
1
2
LANGKAH – LANGKAH KECIL
Kumpulan Cerpen
© Marcelinus I. A. Uwong, 2010
3
Tawamu 1
Kekasih 2
Tiba 5
Detak-Detak 10
Surat Untuk Kekasih 11
Untuk Sesuatu Yang Bernama Kenangan 13
Jakarta Hari Ini 14
Suara-Suara 15
Satu Dosa 17
Bayang-Bayang 19
Kematian Sang Waktu 20
1
Tawamu..
Asap itu kau tarik dalam menyentuh paru‐parumu. Refleks alam bawah sadarmu menikmati
sensasi yang hanya kau mengerti sendiri. Kau begitu menikmati keterpautanmu, saat tak kau sadari
ia telah mencuri separuh dari nafas rapuhmu. Nikmat bagimu. Siksa bagiku.
Batang rokok itu masih separuh jalan menuju abu yang bakal penuhi asbak di depanmu. Kau
belum sadar kalau kabut tipis yang bukan berasal dari aktivitas gunung berapi itu telah menyesakkan
orang yang hampir megap‐megap di sampingmu. Aku.
Aku melirik pada setiap senti uang yang sedang kau bakar itu. Bukan pada harga per
batangnya aku perihatin, melainkan pada efek sampingnya yang bukan seribu‐dua ribu perak.
Terpancar sinar kemenangan di matamu. Kau terpuaskan. Aku diracuni.
Semakin aku mengamati, semakin aku kau cemari. Dengan bangga kuraih sebatang yang
masih tergolek bersama yang lain di bungkus kertas itu. Kau menatapku diam. Tak percaya pada
indra penglihatanmu. Saking tak percayanya hingga mulutmu pun sedikit menganga. Dengan senyum
kemenangan yang diaduk bersama setetes kesombongan dan sesendok keingintahuan, ku sulut
batang rokok yang kini telah berada di selangkangan jemariku. Kuperlihatkan rangkaian prosesi
layaknya seorang profesionalis yang sedang mencandu di hadapanmu. Perlahan tapi pasti ku sedot
asap yang semenit lalu sempat membuat mata perih dan perut mual itu.
Sang waktu merangkak. Seolah ingin merekam setiap detik dari momen yang bakal tak
terulang untuk kedua kali atau berkali‐kali lainnya. Semua mata tertuju pada kuncup bibirku…..
OHOOOKKKHHHH…OOHHHOOOKKKKHHHH!!!!
OEEEEKKKKKHHH…..!!!! PUIHHHH!!!!
OHHOOOOKKKKHHHHOEEEEKKKKHHHGGHGG……CUIHHH!!!!
Pupil membesar. Nafas terengah. Sesak dan pahit terangkum satu.
Baru mau mulai, asap itu sudah langsung ingin membunuhku. Kau tertawa. Puas. Dengan
gigi kuning yang tentu bukan dari emas asli... Minggu, 15 Februari 2009
2
Kekasih
Putih. Semua putih. Seolah bumi enggan merajut warna dari dunia yang semakin tua dan
rapuh. Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu.
Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan kata, membungkus satu ‐ norma dan dosa. Tanpa batas.
Tanpa sekat. Hanya putih. Dan sepi yang bersembunyi di balik wajah sucinya.
Duniamu terlalu kelabu bagiku. Atau mungkin duniaku yang terlalu putih darimu?
Sudah lama kau tidak datang. Mungkin kau bosan. Sebab duniaku tidak seperti duniamu
yang terlalu banyak kata. Yang bergelimangan warna dan suara. Duniaku adalah dunia sepi. Tak
perlu merangkai kata untuk bisa kau mengerti. Namun semua bisa dimengerti dengan komunikasi
yang tak mampu kau artikan. Mungkin berada di sini terlalu asing bagimu. Memang, di sinilah
tempat pengasingan bagi kami yang tak mampu kalian terima di duniamu. Di sinilah surga baru kami
yang sempat kalian rebut saat kami masih bersama kalian dulu.
Rasanya baru kemarin saat kau mulai terinfeksi oleh ketidakwarasan duniamu itu. Kau mulai
menggila bersama yang lain dalam deru sang waktu. Bahkan bahasamu tak dapat ku pahami saat itu.
Aku kecewa. Sungguh. Terlebih ketika kau bilang kau tidak mengenaliku lagi. Saat itulah seluruh
duniaku rebah dalam senyum palsumu. Saat itulah benteng kewarasan itu runtuh di pangkuan
takdirmu.
Tahukah kau, aku masih menyimpan setiap bekas dari berkas yang pernah kita lalui bersama
dulu? Bahkan aku masih mengingat setiap syair yang pernah menemani malam‐malam sepimu itu.
Tak mampukah kau kembalikan kewarasan yang sempat terenggut darimu itu? Tak mampukah kau
kembalikan rasa yang sempat ada dalam sukmamu itu?
Engkaulah sepi yang tak membuatku merasa sendiri. Seperti dewi malam yang tawarkan
mimpi meski hanya ada dalam ilusi. Engkaulah rindu yang tak pernah buatku merasa ragu. Takut
kalau hari esok sang pagi tak kembali dari kuil di batas cakrawala. Engkaulah syair dalam lagu‐lagu
rinduku. Tercipta ada tanpa peduli pada usia dan logika. Engkaulah satu‐satunya alasan mengapa
aku harus ada. Mengapa aku perlu ada.
Kemanakah kau, wahai kekasihku? Kau tahu, diluar telah tak aman lagi bagiku. Di luar terlalu
banyak kegilaan yang tak mampu diterima oleh akal sehatku. Itulah alasan mengapa aku lebih
memilih untuk tinggal di dunia putih ini dari pada di duniamu yang begitu banyak warna. Itulah
sebab mengapa aku lebih memilih terisolasi dari duniamu yang semakin hari semakin tak kumengerti
dari pada menjadi bagian dari kegilaan yang bahkan tak layak untuk ku renungi.
3
Perlahan jiwa lelaki separuh baya itu seolah di tarik oleh sebuah kekuatan magis yang
hampir menghentikan sisa‐sisa dari goresan nafasnya. Ia tersedot dalam kenangan masa lalu yang
kini hanya mampu dijadikannya sebagai sebuah senandung rindu. Di rasakannya tangan halus yang
lama tak dirasakannya namun tak pernah dilupakannya itu memoles wajah yang sudah lama
menanggalkan kekuatannya. Ia membelakangi kekasihnya itu seiring dengan berlalunya sang senja
yang meninggalkan jejak‐jejak mentari di tumpukan awan yang tak lagi menguning. Ia tak
memandang wajah yang terlalu lama di kenalnya itu. Membiarkan mereka menyatu di depan
tembok putih dengan bayang yang saling berpaut dihadapannya. Ia tak mau. Ia tak sanggup.
Perlahan usapan mesra itu merambat, mula‐mula di antara sela‐sela rambut yang kian
menjarak, kemudian merayap ke mata, hidung, mulut, lama di leher, lalu perlahan menuju dada,
seolah ingin merengkuh setiap nafas yang berada di dalamnya, kemudian terus ke bawah….
Ia merasakan sebuah pertemuan kembali dengan orang yang dikasihinya itu. Orang yang
telah membuat hidupnya berarti sekaligus menghancurkan setiap arti dari hidup itu sendiri. Ia
tersenyum dalam gelap yang semakin menggenggam kepingan memorinya itu.
Tiba‐tiba batas yang menghubungkan antara dunia dan surganya itu terbuka.
Ia terjerembab kaget saat melihat orang ketiga, keempat, dan kelima di ruangan itu
mendapatinya yang sedang berada dalam keintiman bersama orang terkasihnya itu. Cepat‐cepat ia
menghardik semua orang di hadapannya. Ia berteriak, menangis, mengancam, sesekali tertawa. Ia
terjebak dalam kebingungan. Antara kesenangan dan kerinduan. Antara masa kini dan halusinasi
yang kian kuasai imajinya. Memang begitulah seharusnya ia bertingkah di dunia yang di huninya kini.
Tanpa aturan. Tanpa privasi. Ia bebas melakukan kehendaknya sebebas dan sesanggup yang ia
mampu. Tanpa harus malu. Tanpa harus takut. Sebab malu hanyalah alasan yang membentengi
antara kegilaan dan normalitas. Dan ketakukan hanyalah media yang menjembatani antara
kerapuhan dan kesombongan.
Dan kini benteng itu telah hancur. Jembatan itu telah hanyut oleh cinta yang tak mampu di bendung
sungai di jiwanya.
Oh, sayang… Ke manakah engkau? Mengapa kau berbaring di lantai kamar mandi yang
dingin itu? Bangunlah, katakanlah sesuatu padaku. Bentaklah aku. Makilah aku. Jangan kau diam saja
di sana. Dan apa yang kau genggam di jemari cantikmu itu? Oh, tidak…. Jangan siksa aku dengan
kehilangan akan engkau. Jangan bunuh aku dengan racun cintamu tanpa kau sebagai penawarnya..
Kemudian ia mulai menjerit..
Kenangan itu tak mau pergi dari memorinya. Menghadirkan ilusi‐ilusi palsu dalam hari‐
harinya. Selain itu tak ada lagi yang mampu diingatnya. Hanya kata mati, obat, dan overdosis yang
4
selalu membayangi tiap derap langkahnya. Ia bahkan telah tidak mengerti akan arti dari kata‐kata
itu. Atau mungkin tidak mau mengerti.
Orang‐orang yang berpakaian serba putih itu kemudian meringkusnya. Pakaiannya terlihat
kusut. Sebelah tangannya masih berada di balik celana putihnya saat itu. Ia tak mendapati kehadiran
kekasihnya lagi. Ia mengerang. Mengumpat. Meludah. Menyalahkan orang‐orang yang telah
merusak pertemuannya dengan sang idamannya itu. Namun ia tak berdaya. Tangan‐tangan kokoh
itu telah membelenggunya. Menghempaskannya ke atas ranjang dengan kaki dan tangan yang
terikat. Ia hanya bisa menyumpah. Memaki dengan segenap kosa kata kotor yang diketahuinya.
Sampai saat seorang yang lain datang dari balik pintu yang memisahkannya dengan dunia luar.
Manusia yang paling dibencinya itu mengeluarkan besi runcing kecil dari sakunya, menancapkannya
ke dalam cairan kuning dalam botol kecil yang di pegang oleh tangannya yang lain, kemudian
menancapkannya menembus pori‐pori yang telah lekang oleh jaman itu.
Ia merasakan sensasi yang lain. Jiwanya seolah ingin pergi meninggalkan raganya. Semakin ia
paksa untuk tinggal, semakin melayang ia menembus batas ruang sang waktu.
“Ia lupa minum obat hari ini.” Kata salah satu suara dalam ruangan yang mulai kabur itu.
“Mungkin ia kembali berhalusinasi akan kedatangan kekasihnya yang meninggal setahun yang lalu
akibat overdosis. Seharusnya sejam yang lalu aku memberikannya obat. Aku hmmmm….” kata‐kata
itu menghantarkan kepergiannya menuju kedamaian yang sementara.
Di dinding itu masih berdiri ia yang tersenyum..
Gelap…
Jakarta, 14 Februari 2009
5
Tiba
Namaku Tiba. Entah mengapa aku dinamakan demikian. Mungkin karena aku tercipta dari cinta yang
menemukan jalannya dengan tiba‐tiba. Mungkin pula sebagai sambutan ketibaanku di dunia yang
tak tertebak atau malah telah lama terduga. Tak menutup kemungkinan juga kalau nama itu berasal
dari minimnya kosa kata yang ada di benak orang tuaku saat ia menciptakan aku. Tak ada yang tahu.
Tak ada yang mau tahu. Tidak oleh ku. Tidak juga oleh orang tuaku..
***
Mengapa nama menjadi sangat penting? Bukankah tanpa nama kita telah saling mengenal?
Bukankah nama hanya menjadi alasan buat kita semakin terkotak dan semakin merenggang?
Aku tak tahu sudah berapa lama orang tuaku mengandungku. Yang ku tahu adalah bahwa aku tak
sabar untuk segera lahir di dunia. Aku tak sabar untuk menjadi sebuah bentuk. Terekstrak ke dalam
sebuah wujud. Tak hanya imaji, melainkan juga sebuah pribadi. Aku enggan terukurung dalam rahim
orang tua yang mengandungku itu. Aku enggan hanya ia yang mendengar teriakan‐teriakanku.
Meskipun kadang ia mampu mengenyahkan suara‐suaraku dalam kepalanya itu. Aku tahu sebentar
lagi aku bakal lahir. Hanya tinggal menunggu waktu. Waktu saat ia lengah. Waktu saat ia lelah.
Waktu saat aku tak mampu lebih lama lagi dikandungnya di dalam rahimnya. Waktu itu adalah
waktu “Tiba” muncul di benaknya. Entah dari mana asalnya. Aku tak tahu. Ia juga menolak untuk
mencari tahu. Maka malam itu, lahirlah aku di atas ranjang putih dihadapannya. Ku nodai setiap
carik yang mampu menampung tubuh mungilku di sana. Ku teriaki semua yang ingin ku katakan
padanya tanpa harus menunggu terlalu lama. Ia tersenyum. Mengecupku dengan penuh daya imaji.
Kemudian menamaiku. Tiba..
6
***
Lelaki itu tak puas‐puasnya mendandaniku seharian setelah kelahiranku. Ia mengenalkanku pada
banyak hal. Pada hal‐hal itu pula aku dikenalkannya. Suatu hari ia berkata padaku:
“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?”
Aku tak mampu menjawab. Sebab esensi ku di sini adalah sebuah wajah dari mimpi itu sendiri.
Bagaimana aku mampu bermimpi lagi? Maka aku pun hanya diam. Dan diamku mengundangnya
untuk kembali berbicara:
“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?”
Pertanyaan yang sama. Maka aku pun kembali diam.
Lantas ia melanjutkan:
“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?”
“Ini telah melewati batas diamku.”pikirku. Maka aku pun menjawabnya:
“Mimpiku adalah terlahir di dunia ini. Dan kau telah mewujudkannya. Aku yakin, kau tahu itu.
Namun mengapa pertanyaan yang sama itu kau tanyakan berulang kali padaku? Aku pikir kita adalah
satu. Pikiranmu adalah pikiranku. Dan pikiranku adalah pikiranmu juga. Mengapa kau masih
bertanya?”
Tapi ia hanya kembali berkata:
“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?”
Aku lelah menjawabnya. Mimpiku adalah menjadi diriku. Mimpiku adalah menjadi pribadi utuh
seperti dirinya. Hanya itu. Titik.
Seharian itu ia hanya bertanya hal yang sama padaku. Kini aku yang bingung. Kini aku yang muak
padanya. Mungkinkah hal yang sama ia rasakan saat aku masih berada dalam kandungannya dulu?
Merasakan muak padaku saat pertanyaanku menuntutnya setiap saat: “kapankah kau
melahirkanku?” seharian itu ia terus bertanya. Seharian itu pula aku mendiamkannya.
7
Kadang pada kesempatan lain ia berkata:
“Tiba, semalam aku tak bermimpi. Sebenarnya bukan hanya tadi malam saja, melainkan sudah entah
berapa malam. Kemanakah perginya semua impian dari cita‐cita ku itu dulu? Sudah lama aku hanya
menjadi boneka. Dikendalikan oleh janji dan mimpi orang lain. Diselimuti bayang‐bayang orang‐
orang yang terlalu berharap banyak padaku. Aku merasa terbebani. Sungguh. Lihatlah kini.. Bukan
hanya mimpiku yang pergi. Bahkan bayanganku sendiri pun entah di mana kini.”
Lalu seharian itu aku hanya akan mendengarnya berbicara tentang mimpi, janji dan bayang‐bayang
masa lalunya. Sepertinya ia tersekap dalam dunia ilusi yang diciptakannya sendiri. Sebuah dimensi
asing yang tercipta dari banyak mimpi dan imaji yang bersenyawa menjadi bayang‐bayang maya,
tanpa pernah nyata.
Aku tak terganggu. Sedikit pun tidak. Tapi sekali lagi aku hanya diam. Sebab aku bukan guru. Dan
keluhannya pun telah lama ku dengar saat aku terkandung di dalam imajinya. Tinggal menunggu
waktu untuk mencurahkan semuanya pada sang bayang. Pada teman. Pada aku..
Ada saat di mana aku bertukar pikiran dengannya. Ada saat di mana aku harus bertengkar
dengannya. Aku marah setiap kali memperhatikan kerapuhannya. Aku sedih setiap kali memikirkan
kesendiriannya. Kadang ia tertawa keras saat kesedihan melanda hatinya. Kadang ia menangis
tersedu saat kebahagiaan merubuhkan benteng dukanya. Hanya aku yang tahu itu. Hanya aku yang
mau tahu tentang itu.
Aku terlahir di sebuah titik. Pada sebuah kesadaran akan rapuhnya sehelai jiwa tanpa mimpi dan hak
pribadi. Beberapa hari ini ia tak lagi menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Mungkin ia telah
menemukan jawabannya. Atau mungkin ia tak peduli sama sekali dengan jawabannya? Ia adalah pria
yang ku kenal. Dalam rahimnya aku berkembang. Aku tahu, kadang Ia tak butuh penjelasan untuk
apa yang dilakukannya. Ia tak butuh sebuah alasan untuk melakukan hal yang diinginkannya.
Bukankah amatlah melelahkan kalau kita harus mendapatkan sebuah alasan hanya untuk melakukan
8
sebuah tindakan? Ia akan diam kalau ia ingin diam. Ia akan bicara kalau ia ingin berbicara. Bahkan
tertawa kalau itu yang diinginkannya. Hanya melakukannya. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Hanya
melakukannya.
Orang‐orang mengganggapnya gila. Orang‐orang bahkan mengejekku saat berada di genggamannya.
Memangnya mereka tahu apa tentang arti gila? Jaminan apa yang mampu membuktikan kalau
bukan mereka yang gila? Kami memang berbeda. Tapi tidak gila. Apakah karena kami berbeda,
lantas kami layak dicap gila? Tidak. Sama sekali tidak.
Kadang ia berbicara denganku. Kadang aku yang bercanda dengannya. Bukankah bercakap masih
berada dalam sebuah batas wajar dalam sebuah esensi komunikasi? Aku ingin memaki mereka.
Namun ia mencegahku. Kepengecutannya mematahkan semua keberanian yang ia tumbuhkan
dalam benakku. Yah.. Aku tercipta dari dirinya. Namun kami adalah dua pribadi berbeda. Ia perasa.
Aku pemikir. Ia tak lagi punya mimpi. Tapi aku adalah seorang pelacur mimpi. Namun aku tak pernah
menjadi beban baginya. Apalagi menjadi sebuah ancaman. Sebab untuk itulah aku diciptakan. Untuk
itulah aku dilahirkan. Untuk melengkapi bagian yang tak ada di dalam dirinya..
Hari itu ia bercerita banyak tentang diriku. Pada benda. Pada bayang. Pada manusia di sekitarnya. Ia
lelah hanya hidup di antara batas kenyataan dan mimpi maya. Ia lelah berada di dalam dunia yang
tak pasti keberadaannya. Dunia yang tak ia ketahui batasannya. Ia bercerita padaku bahwa ia ingin
terbang. Seperti burung yang bisa bebas melayang. Bergerak tak tentu arah, namun tahu kemana
harus melangkah. Maka ia pun berjalan ke puncak bangunan itu. Di rasakannya hembusan angin
membelai tubuh kurusnya. Di biarkannya sang angin membawa semua kenangannya. Tapi tetap ia
biarkan angannya berada pada kendalinya. Lalu ia pun terbang…
***
9
Ku rasakan tubuh mungilku di angkat oleh salah satu tangan di situ. Aku ingin berteriak. Namun aku
tercipta dalam rupa kata. Bukan suara. Sekeras‐kerasnya aku mengguncang tubuhku, yang terlihat
hanyalah sebuah buku merah dengan coretan aneh di sekujur tubuhnya. Maka aku pun pasrah.
Dalam pasrah aku menyumblim kembali ke rahim dulu aku berasal..
Rupanya ia telah menungguku. Saat ini adalah pertama kalinya ia menatap ku dalam wujud rupa.
Pertama kalinya dengan matanya sendiri, bukan dalam imaji dimana aku terciri. Mungkin karena kini
jiwanya telah terpisah dari raga yang memisah imajinya. Aneh… Ada perasaan seperti ingin
menangis, sekaligus juga terbahak‐bahak pada saat yang bersamaan. Ia tersenyum menatapku.
Senyum tulus seorang pemimpi. Senyum polos seorang pencari. Perlahan ku rasakan cahayaku mulai
meredup. Perlahan mataku mulai sayu. Aku tahu. Kini ia tak membutuhkanku lagi. Ia kini telah
bebas. Ia telah menggapai mimpinya. Maka ia pun mengucapkan kalimat terakhirnya: “Tiba, kini aku
telah menggapai mimpiku. Biarlah mimpi menggapaimu, sebagaimana dulu ia menemukanmu…”
Aku tak mengerti maksud kata‐katanya. Bahkan mungkin ia pun tidak. Namun kata‐kata itu
mengantar kepergianku. Entah berapa lama. Entah berapa waktu aku akan bertahan. Tapi aku yakin,
tak lama lagi aku bakal lahir kembali. Mungkin tidak sebagai Tiba. Mungkin sebagai pribadi lain yang
tiba‐tiba ada. Meski berbeda dalam nama, tapi dalam esensi aku akan tetap sama. Aku akan tetap
menjadi sebuah suara. Yang lahir dari semua mimpi tanpa pusara. Dengan imaji yang memberiku
sebuah rupa. Sebuah jiwa. Dalam raga kata. Tiba..
Jakarta, 29 September 2009
10
Detak Detak….
…………….
Kutaruh tangan di dada
Dugdug…dugdug…dugdug…
Tersentak sebuah detakan
Makin lama makin cepat
Seperti ingin melompat
Dugdug…dugdug…dugdug…
Bagaimana tidak?
Kau berdiri tepat di depanku
Entah marah,
Entah bergairah…
Kupelankan langkah,
sambil berbalik menjauhimu
waktu melambat
badan terasa lebih berat
satu langkah kuambil…
sambil merencanakan seribu langkah yang lain
Tidak…
kau mengejarku..
sekuat tenaga aku berlari
dari belakang kau menggertak:
gukguk…gukguk….gukguk…
Jakarta, 10 April 2010
11
Surat Untuk Kekasih
Kekasih, pandanglah malam. Sadarkah kau, kalau ia membuat kita menjadi satu? Bahkan
dalam genggamnya kita mampu bebas dari ilusi yang bernama waktu. Hanya saja mungkin kita
terlalu lemah untuk menyingkap tirai yang membatasi jarak rengkuh kita. Kau dan aku.
Kekasih, malam ini aku kembali menebak. Seperti pada malam‐malam sebelumnya. Dimana
imajiku mencoba meraba‐raba dalam gelap. Berusaha menemukan setapak yang mungkin mampu
membuat kita selangkah lebih dekat. Hanya agar aku mampu melenyapkan bayangmu yang semakin
menyatu dengan bayanganku. Hanya agar aku mampu memisahkan rupamu dari sekian banyak
wajah yang pernah kutemui.
Tahu kah kau kalau aku begitu memikirkanmu? Diantara begitu banyak malam yang pernah
kukelabui, tak satupun yang pernah jadi persinggahan dari mimpi‐mimpiku. Tak mengertikah kau?
Bahkan malamku pun ku gadaikan hanya untuk memikirkanmu.
Kasih, ini kah arti rindu? Saat semua bayang terlelap, namun jiwamu sendiri bahkan tak
mampu diam sejenak? Sedetikpun tidak. Lalu ketika pagi kembali, hatimu tetap berada dalam dunia
lain yang bernama mimpi. Apakah kau ingin tahu, sampai di mana batas lelahku? Apakah kau ingin
mengerti, seberapa dalam aku membutuhkanmu? Aku tidak.
Di dalam hatiku ada sebuah bara. Yang kujaga agar tak padam, juga tak ingin sampai
melahap separuh jiwaku. Namun ketika kau datang, kau segera menyulut bara itu hingga membakar
seluruh jiwaku. Sesegera kau memadamkannya hingga meluluhkan sejuta impianku. Dan tahu kah
kau, apa yang tersisa? Hanya abu dan debu. Yang serupa bayang‐bayang dari masa lalu.
Oh kasih, kau membuatku terus bergulat dengan diriku. Dalam pergumulan antara rasa dan
logika yang selalu ingin menang sendiri. Terkadang rasa meruntuhkan bendung yang telah lama
membeku di muara hasratku. Membiarkan bayanganmu menguasai hati dan pikiranku. Namun
segera setelahnya sang logika membangun kembali semuanya itu, hanya demi mempertahankan diri
12
dari kerusakan yang lebih parah lagi. Aku lelah. Dan kau tahu, sumber dari semua penyebabnya?
Kau.
Kekasih, semalam aku bermimpi. Dalam mimpiku aku kembali bermimpi. Entah berapa
banyak aku memimpikan mimpi. Namun tak ada rupamu di sana. Bahkan bayanganmu pun tidak.
Apakah aku telah kehilangan jejak rupamu? Apakah bahkan dalam mimpi pun kita tak diijinkan untuk
bersatu?
Kasih... Aku hanya berharap kau menyisakan sebuah ruang di hatimu untukku. Tak perlu
terlalu luas. Nanti kita bisa saling membias. Tapi juga jangan terlalu sempit. Nanti kita bisa saling
menjepit. Sebab aku juga ingin pernah kau pikirkan. Sebab aku juga ingin pernah kau kenangkan. Tak
perlu selamanya. Pernah saja sudah cukup lama.
Kekasih, entah berapa banyak surat yang telah kutuliskan untukmu. Seperti entah berapa
banyak malam yang telah kulewatkan untuk memburu bayanganmu. Entah… Namun kau harus tahu,
ada rindu yang ku titipkan di setiap lipatannya. Ada cinta yang ku tinggalkan di setiap celah noda
tintanya. Cintaku, seperti malam. Yang berharap menemukanmu dalam gelapku. Yang tak puas‐
puasnya memikirkanmu dari cakrawala berkilauku.
Kekasih… Hah, aku bahkan memanggilmu kekasih. Sering aku kembali dalam permenungan:
salahkah aku karena rasa ini? Tak ada yang tahu. Aku pun enggan mencari tahu. Namun sekali lagi,
cobalah pandangi malam. Lihat, kita begitu dekat. Singkaplah tirai itu. Ya. Begitu. Ah… tidak.
Ternyata dibalik tirai itu hanya ada jarak…
Maafkan aku, yang bahkan tak tahu cara menulis sebuah surat untukmu..
Jakarta, 16 April 2010
13
Untuk Sesuatu Yang Bernama Kenangan
Diammu…
Keheningan diantara kita telah mengkhianati sekian banyak suara. Sama seperti keterkejutanku yang
seketika menghapus sekian banyak kata. Tak serapuh nafasmu. Setumpuk kenangan mengembalikan
waktu pada setiap titik temu. Saat kita semakin terbatasi oleh jarak yang tak kasat mata. Saat kita
seolah tak diijinkan menghargai satu detik dari sekian banyak hari yang bahkan belum pernah
sempat untuk kita maknai. Lantas kembali kita berandai. Berharap mampu memanipulasi jarak yang
bernama waktu. Berharap dapat bangun dari mimpi yang mungkin suatu saat mampu untuk
dikelabui. Bukan maksudku menolak pintamu. Apalagi untuk berpikir mengabaikan suara‐suara
terakhirmu. Namun rapuhku lebih rapuh dari nafasmu. Dan lelahku tak selelah lelahmu. Sedemikian
lelahkah kau hingga tak mampu menunggu lebih lama lagi? Masih ada begitu banyak tanya yang
belum sempat kau jawab. Masih ada begitu banyak cinta yang belum sempat kau kecap. Tak cukup
diammu menjawab semua. Tak cukup mimpi hanya menjadi alasan sebagai tempat dimana kita bisa
bertemu dan mendekat. Inikah jalan yang harus kita tempuh untuk bisa keluar dari sebuah titik
tunggu? Saat semua duka merebak, kemudian hilang dan segera terlupa? Kembali kenangan
mengembalikanmu. Dari setiap rindu. Dari setiap sakitmu. Sampai pada diammu. Takdir seperti
mempermainkan kita. Disatu titik saat kita hendak dipertemukan, pada titik itu juga kita segera
dipisahkan. Padamu telah kuisyaratkan rinduku, kuharap kau mendengar teriakanku. Ijinkan aku.
Untuk dapat selalu mengembalikanmu. Pada sesuatu yang bernama kenangan. Satu‐satunya tempat
di mana kita bisa berangan dan sejalan. Maafkan aku atas semua rindumu. Atas segala lelahmu. Atau
atas segala doa‐doa malammu. Untuk sesuatu yang bernama kenangan. Kutitipkan tetes‐tetes
rinduku. Biarkan ini menjadi pelukku yang terakhir untukmu. Sampai takdir tak lagi jadi halangan
buat kita untuk terus menunggu.
Tunggu aku…
Ruteng, 9 Mei 2010
14
Jakarta Hari Ini
Cuaca mendung. Awan menggantung. Mungkin tanda sebentar lagi akan turun hujan. Langit
berawan semakin remang, lampu‐lampu taman jadi semain terang. Burung‐burung pun telah
beranjak pulang kembali ke sarang. Sekali lagi, malam hanya butuh waktu untuk menang. Sedang
aku kembali menjadi sosok yang asing. Yang hanya punya rumah untuk pulang. Tapi tak punya jiwa
untuk kujadikan sarang. Kesombongan telah mengikatku dengan benang‐benang emasnya.
Kerapuhan telah membentengiku dengan tulang‐tulang kerasnya. Dan aku aman berada diantaranya
– setidaknya hingga saat ini. Kuberharap hari ini memang akan benar‐benar turun hujan.
Dari siang udara begitu panas. Sisa‐sisanya masih tertahan dalam partikel‐partikel udara
senja. Mungkin hujan akan sedikit menyejukkan hari ini. Atau bahkan hati ini. Perbedaan tekanan
udara menimbulkan sepoi angin yang hangat di kulit. Udara memberat. Membuat badan malas
bergerak. Hanya imajiku yang tak pernah berhenti merangkak. Mencoba menggapai setiap ruang
dalam dimensi yang remang tapi ada. Mencoba menemukan sosok dalam memori yang asing tapi
pernah nyata. Mungkin aku akan bertemu denganmu. Dalam dimensi yang hanya tahu kau dan aku.
Dunia di mana kepalsuan tertawan dalam jeruji‐jeruji magis yang tak kasat mata. Dunia saat
kepedihan terpasung dalam ruang‐ruang kosong yang meski hanya sementara. Aku rindu…
Mentari pucat telah kembali menggantung di langit‐langit kota. Bayang‐bayang jadi semakin
tak punya rupa. Sedang kepalsuan lalu‐lalang mencari tempat persembunyian untuk sementara
waktu. Termasuk aku. Dunia berubah. Gelap. Seperti semua bayang yang menjadi satu. Suhu tak lagi
jadi yang paling penting. Kemudian malam sekali lagi membuka suara…
Di luar hujan turun…
Semua basah
Kecuali aku…
Jakarta, 27 februari 2010
15
Suara-Suara
Sang waktu seolah semakin menjaga jarak. Mimpi‐mimpi yang semula berarak lantas
menjadi suara‐suara yang saling teriak. Cobalah kau dengar teriakkannya. Tak punya makna. Tak
punya jiwa. Bahkan kata pun tak mampu memenjarakannya. Bukankah pepatah mengatakan air
beriak tanda tak dalam? Dengarkanlah sekali lagi teriakan itu. Tanpa makna. Tanpa judul untuk
dapat diberi nama. Tapi aneh.. Aku tetap saja tenggelam dalam riakkannya.
Kehampaan tak pernah dangkal. Kekosongan menimbulkan riak‐riak suara yang saling teriak.
Yang membungkam norma dan kesucian. Yang kemudian melahirkan kembali makna kesucian.
Dalam dosa yang bakal menghantarmu menuju keabadian. Menenggelamkanmu ke dalam api yang
abadi. Yang tak akan padam. Tak hanya jiwa. Ragamu juga.
Suara 1: Hidup adalah sebuah kutukan takdir. Sekali dadu dilempar, maka takdirmu telah ditetapkan.
Jadi untuk apa berusaha keras, jika sebenarnya takdir yang bakal memilihmu? Kau tak mampu
memilih takdirmu. Sekeras apa pun kau berusaha, takdirlah yang bakal memilihmu. Kecuali jika kau
bermain curang.
Suara 2: Lupakanlah. Lihat, jalanmu masih panjang. Semua yang ada hanyalah sementara. Segala
sesuatunya hanyalah pinjaman. Bukan milikmu. Hidup. Cita‐cita. Bahkan waktu. Relakanlah.
Suara 3: Tak mudah untuk terus terbang. Sama tak mudahnya untuk terus berbaring. Ketika terbang,
kenyataan memaksamu mengepakan sayapmu. Hingga kau lelah hanya demi tiba di tujuanmu.
Ketika kau berbaring, kau mulai merangkai mimpi‐mimpi mu. Cita‐cita. Tujuan hidupmu. Tapi
bagaimana bisa kau gapai semua itu jika kau tidak terbang? Sebagaimana kau bisa terus terbang
tanpa sedikitpun berbaring? Bangunlah. Mulailah dengan terbang.
Suara 4: Apakah kau sadar? Bumi sedang berakselerasi. Detik‐detik seperti semakin cepat. Angka‐
angka pada jam seolah bergerak merapat. Mungkinkah benar, bumi sedang dipercepat? Ataukah
malah kau yang semakin melambat? Bumi sedang berputar. Kau seperti terjebak diantara sentripetal
dan sentrifugal yang semakin lama semakin kuat. Satu langkah yang salah, kau akan hancur oleh
16
putaran bumi itu sendiri. Oleh dunia materi. Namun satu langkah yang lain mampu membuatmu
terpental menjauh inti materi. Menjadi serupa dengan angkasa. Menjadi sendiri. Seperti orang suci,
yang tak mampu diterima surga itu sendiri, juga tak mampu berada di bumi tempat ia dibenci. Hanya
sendiri.
Suara 5: masih ingatkah kau akan cinta? apakah salah jika aku mencintai? Ataukah salah karena aku
mencintai orang yang salah? Tak bisakah itu dibenarkan? Lalu bagaimana dengan kebenaran itu
sendiri? Apakah salah mencari pembenaran dari semua kesalahan yang tercipta dengan sendirinya
ataupun dalam semua kesengajaannya? Aku hanya cinta. titik..
Suara 6: jadi, apakah yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa sendiri, sedangkan kalian selalu
menggema dalam kepalaku? Aku tak pernah sendiri. Mungkin karena kalian. Atau karena
ketakutanku? Entah.. Dan dosa? Mungkinkah manusia bisa bebas dari dosa, sedangkan dirinya
tercipta dari dosa itu sendiri? Jangan bicara cinta dulu jika kau belum melenyapkan sisi gelapmu itu
sendiri.
“……”
Mengapa hening? Kemanakah kalian?
Suara 7: sudah.. cukup.. mari kita semua tidur..
…..
Jkt….
17
Satu Dosa
“Aku berdosa”
“Tidak. Itu bukan dosa. Itu cinta.”
“Justru karena itulah aku berdosa.”
“Tidak. Itu hanya cinta. Titik.”
“Aku terlalu mencintaimu. Itu dosa.”
“…”
“Aku bahagia setiap kali berada bersama denganmu. Memang, kadang rasanya
seperti sendiri. Tapi bukan berarti sepi. Kita membicarakan banyak hal.
Kita mempertanyakan banyak tanya. Apakah kau mengerti? Bahkan dalam diam
kita mampu bicara. Tak hanya dengan kata. Juga tidak dengan suara. Tapi
dengan cinta. Dan kau tahu? Itu dosa.”
“Aku tak mengerti. Bagaimana cinta bisa berubah menjadi dosa? Bukankah cinta adalah rasa yang paling suci
dalam diri manusia? Memang, kadang-kadang cinta kita penuh dengan nafsu. Tapi cinta tetap cinta. Nafsu tak
menjadikannya berdosa.”
“Hah.. Kau sendiri yang mengucapkannya. Itu nafsu. Bukan cinta. Sungguh,
aku berdosa. Terlalu lama aku menutup diri dari dunia. Kau tahu? Aku lelah
membangun tembok tanpa batas hanya untuk membatasi kita dari dunia. Kita.
Itu adalah kau dan aku. Dan kau tahu mengapa? Itu karena aku tak ingin kau
tercemari dunia yang semakin hari semakin sakit. Itu karena aku terlalu
mencintaimu. Dan sekali lagi, itu dosa.
Kita tak mampu terpisah. Setidaknya tidak oleh kekuatan dunia. Sudah lama
aku berpikir, kalau kita mungkin bukan berasal dari dunia. Dunia tak
seirama dengan kita. Kadang ia terlalu cepat. Kadang kita meninggalkannya
jauh di belakang. Mungkin kita berasal dari suatu tempat tanpa waktu. Dari
sebuah dimensi sekali pakai. Tidak ada hari kemarin. Tidak ada hari esok.
Yang ada hanyalah hari ini. Tapi entah bagaimana, kita tiba-tiba bisa
berada di dunia ini. Mungkin..”
“Apakah kau menyalahkanku? Apakah kau ingin berpisah denganku? Jangan terus menyalahkan dirimu. Akulah
penyebab semua dosamu itu. Atau cinta yang kau akui sebagai dosa itu. Kalau kau mau, aku bisa pergi. Aku
takkan menjadi bebanmu lagi.”
18
“Tidak. Bukankah telah kukatakan, kalau kita tak mampu dipisahkan?
Setidaknya tidak dengan kekuatan dunia. Sekalipun bisa, kau pikir aku mampu
tenang setelah kau pergi? Kau kira aku bakal menikmati kesendirianku
setelah suara-suaramu angkat kaki dari memoriku? Dan apakah kau kira aku
bakal memanggul sendiri dosa yang sebenarnya telah kita sepakati bersama
itu? Tidak. Aku takkan membiarkanmu pergi. Aku masih membutuhkanmu. Aku
masih mau mendengar bisikan-bisikan malammu. Dan yang terpenting, aku masih
mencintaimu. Meskipun itu menjadikanku berdosa.“
“Kau tahu? Kadang dosa bisa lebih suci dari semua norma yang ada. Keikhlasanmu mencintaiku lebih suci dari
pada harus menuruti norma dan mengkhianati dirimu sendiri. Dosamu adalah dosaku juga. Dan harus kukatakan
berapa kali? Itu bukan dosa. Itu hanya cinta.”
“Hmmm... Mungkin... Itu bukan dosa. Sekalipun dosa, aku tak mampu
mengkhianati diriku hanya demi mematuhi norma atau omong kosong
lainnya seperti itu.
Sekali pun mampu,
aku tak mau.
Sebut aku sombong,
panggil aku egois.
Aku tak peduli.
Terima kasih,
sekali lagi kau
mematahkan rasa
tidak percayaku.
Mungkin karena
itulah aku tak
mampu meninggalkanmu.
Mungkin
karena itulah
aku begitu mencintaimu.
Entah mengapa,
sekali pun harus berdosa,
aku ingin tetap selalu
mencintaimu,
Diriku…” Jakarta, 26 March 2010
19
Bayang-Bayang
Kurentangkan tangan. Mencoba mendekap gelap yang mungkin mampu melindungiku.
Semakin rapat, semakin kurasakan detak jantungku. Malam semakin beranjak malam. Gelap dan
gelap saling menyantap. Bayang‐bayang saling tuduh, sebelum semuanya terperangkap, kemudian
lenyap tanpa jejak. Hingga tinggal aku. Satu dimensi seolah lenyap, entah sampai kapan. Semakin
kurasakan detakanku, semakin tersamar ruang di sekelilingku. Aku seperti terperangkap dalam aku.
Terjebak dalam ilusi yang ku ciptakan sendiri. Terperangkap dalam imajinasi‐imajinasi magis di mana
aku terciri. Aku terjebak dalam pergumulan yang tak pernah habis antara aku dan aku. Di satu titik,
aku yang satu memegang kendali. Namun di titik yang lain, aku yang lain kembali mengambil alih.
Aku ingin keluar. Entah aku yang mana. Tapi tak ada pintu. Atau lubang lain dimana aku bisa pergi.
Gelap telah melahap semua jejak. Tak ada yang tersisa. Kemudian ketakutan datang. Detakkan itu
terhenti. Tentu, aku kaget – entah aku yang mana. Semua tiba‐tiba diam. Apakah gelap juga
menyantap semua suara? Tiba‐tiba, jari‐jarinya membelaiku. Sekuat tenaga aku berlari. Tapi tak
mampu kemana‐mana. Semuanya telah lenyap tersantap. Sekuat tenaga aku berteriak. Tapi tak ada
satu suara yang mampu menyalak. Bukankah telah kukatakan, kalau ia juga menyantap semua
suara? Gelap mendapatiku. Aku tertangkap. Kemudian menjadi satu seperti gelap itu sendiri.
Malam tak mampu jadi lebih malam lagi. Cahaya pagi mencerai‐beraikan gelap tanpa
menghilangkan jejak‐jejaknya. Bayang‐bayang yang semula terperangkap, langsung terserak
kemudian bersembunyi di belakang wujud setiap benda. Sekali lagi, aku yang lain menang.
Sedangkan yang lainnya lagi hanya bisa pasrah dengan hanya menjadi sebuah bayang…
Jakarta, 19 April 2010
20
Kematian Sang Waktu
Aku melihat sebuah lorong
Di ujungnya berdiri putra sulung sang waktu
Dari jauh, terlihat sebuah benda tertancap tepat di jantungnya
Pisaukah? Atau belati?
Entah…
Sepertinya tak ada beda
Lantas aku mendekatinya, sekedar untuk mencari tahu, meski tahu kalau ia sudah tak mampu
Kemudian ia memandangku
Tatapannya membuatku merasa rendah, sekaligus malu
Apakah karena pesonanya?
Ataukah karena memang demikian kehendak surga?
Siapakah yang tega membunuhnya?
Mengingat kehebatan sang waktu, tentu pelakunya adalah orang yang begitu hebat
Sang waktu menatapku
Lalu membawaku kembali ke masa lalu..
Dari jauh aku melihat putra sulung sang waktu
Seorang yang seperti kukenal berdiri di sampingnya
Ia tak memegang pisau
Atau belati
Ah…
Tak ada bedanya..
Mengapa sang waktu membawaku kemari?
Aku hanya simpati, bukan peduli
Entah ia akan hidup ataukah bakal mati
21
Sekali lagi kukatakan, aku tak peduli.
Tapi sang waktu memaksaku kembali ke masa lalu
Di ujung lorong berdiri putra sulung sang waktu
Bersama dengannya berdiri seorang yang sepertinya sudah ku kenal itu
Iakah orang yang mampu membunuh sang waktu?
Aku hampir tak percaya
Seorang manusia yang lemah itu berhasil membunuhnya?
Tatapannya sayu
Seperti kembang rapuh, yang enggan mekar tapi menolak untuk layu
Dibaliknya sebuah senyum sombong mengembang membentuk mata pisau cantik, seolah tak sabar menancapkannya pada dada, tempat nafas ada tersembunyi
Senyum itu adalah senyum manja,
Yang nyaris tak kasat mata
Senyum itu adalah senyum hangat,
Yang dalam semangat mudanya membara tapi tak mampu melakukan apa‐apa
Senyum itu adalah senyum pengkianatan
Dengan kesombongan yang bersembunyi di balik gigi‐gigi rapinya, tak hanya palsu, juga nafsu
Senyum itu adalah senyum sepi
Yang tak pernah puas mencari meski ia sendiri tak tahu apa yang ia cari
Sebuah simpul yang ia atas namakan kebebasan, namun ia sendiri terkurung dalam suara‐suara sepi yang menggema dalam ruang‐ruang mimpi yang tak pernah pagi
Senyum yang semu,
Seperti serdadu yang disuruh perang, tapi tak mampu menang
Tidak…
Bukan tak mampu..
Mungkin lebih karena tidak peduli
22
Sebuah senyum kalah
Senyum dusta,
yang membawa orang‐orang disekitarnya menuju siksa
Senyum dosa,
Yang membuatnya terlihat seperti dewa, tetapi moksanya sendiri adalah duka
Ah…
Terlalu banyak palsu
Terlalu banyak nafsu…
Kemudian aku melihat sebuah lorong
Di ujungnya berdiri putra sulung sang waktu
Dari jauh, terlihat sebuah benda tertancap tepat di jantungnya
Entah pisau
Atau belati
Yang pasti tak ada bedanya
Aku melihat pembunuh itu tersenyum
Sebuah senyum kalah
Sebuah senyum malu
Sebuah senyum yang sudah ku kenal lama
Senyum itu….
Tidak..
Aku telah membunuhnya…
Jakarta, 5 februari 2010