langkah kumpulan cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · seperti surga yang tenggelam dalam dimensi...

25

Upload: others

Post on 12-Sep-2019

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

1  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

2  

 

 

 

 

LANGKAH – LANGKAH KECIL 

Kumpulan Cerpen 

 

 

 

 

© Marcelinus I. A. Uwong, 2010 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

3  

Tawamu 1

Kekasih 2

Tiba 5

Detak-Detak 10

Surat Untuk Kekasih 11

Untuk Sesuatu Yang Bernama Kenangan 13

Jakarta Hari Ini 14

Suara-Suara 15

Satu Dosa 17

Bayang-Bayang 19

Kematian Sang Waktu 20

 

Page 4: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

1  

Tawamu..

Asap  itu kau tarik dalam menyentuh paru‐parumu. Refleks alam bawah sadarmu menikmati 

sensasi yang hanya kau mengerti sendiri. Kau begitu menikmati keterpautanmu, saat tak kau sadari 

ia telah mencuri separuh dari nafas rapuhmu. Nikmat bagimu. Siksa bagiku.  

Batang rokok itu masih separuh jalan menuju abu yang bakal penuhi asbak di depanmu. Kau 

belum sadar kalau kabut tipis yang bukan berasal dari aktivitas gunung berapi itu telah menyesakkan 

orang yang hampir megap‐megap di sampingmu. Aku.  

Aku  melirik  pada  setiap  senti  uang  yang  sedang  kau  bakar  itu.  Bukan  pada  harga  per 

batangnya  aku  perihatin,  melainkan  pada  efek  sampingnya  yang  bukan  seribu‐dua  ribu  perak. 

Terpancar sinar kemenangan di matamu. Kau terpuaskan. Aku diracuni.  

Semakin aku mengamati,  semakin aku  kau  cemari.   Dengan bangga  kuraih  sebatang  yang 

masih  tergolek bersama  yang  lain di bungkus  kertas  itu. Kau menatapku diam.  Tak percaya pada 

indra penglihatanmu. Saking tak percayanya hingga mulutmu pun sedikit menganga. Dengan senyum 

kemenangan  yang  diaduk  bersama  setetes  kesombongan  dan  sesendok  keingintahuan,  ku  sulut 

batang  rokok  yang  kini  telah  berada  di  selangkangan  jemariku.  Kuperlihatkan  rangkaian  prosesi 

layaknya seorang profesionalis yang sedang mencandu di hadapanmu. Perlahan tapi pasti ku sedot 

asap yang semenit lalu sempat membuat mata perih dan perut mual itu.  

Sang  waktu merangkak.  Seolah  ingin merekam  setiap  detik  dari momen  yang  bakal  tak 

terulang untuk kedua kali atau berkali‐kali lainnya. Semua mata tertuju pada kuncup bibirku…..    

OHOOOKKKHHHH…OOHHHOOOKKKKHHHH!!!! 

OEEEEKKKKKHHH…..!!!! PUIHHHH!!!! 

OHHOOOOKKKKHHHHOEEEEKKKKHHHGGHGG……CUIHHH!!!! 

Pupil membesar. Nafas terengah. Sesak dan pahit terangkum satu.  

 Baru mau mulai, asap  itu  sudah  langsung  ingin membunuhku. Kau  tertawa. Puas. Dengan 

gigi kuning yang tentu bukan dari emas asli...                     Minggu, 15 Februari 2009 

Page 5: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

2  

Kekasih

Putih. Semua putih. Seolah bumi enggan merajut warna dari dunia yang  semakin  tua dan 

rapuh. Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. 

Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan kata, membungkus satu ‐ norma dan dosa. Tanpa batas. 

Tanpa sekat. Hanya putih. Dan sepi yang bersembunyi di balik wajah sucinya.  

Duniamu terlalu kelabu bagiku. Atau mungkin duniaku yang terlalu putih darimu?  

Sudah  lama  kau  tidak  datang. Mungkin  kau  bosan.  Sebab  duniaku  tidak  seperti  duniamu 

yang  terlalu  banyak  kata.  Yang  bergelimangan warna  dan  suara. Duniaku  adalah  dunia  sepi.  Tak 

perlu merangkai kata untuk bisa kau mengerti. Namun semua bisa dimengerti dengan komunikasi 

yang  tak mampu  kau  artikan. Mungkin  berada  di  sini  terlalu  asing  bagimu. Memang,  di  sinilah 

tempat pengasingan bagi kami yang tak mampu kalian terima di duniamu. Di sinilah surga baru kami 

yang sempat kalian rebut saat kami masih bersama kalian dulu.   

Rasanya baru kemarin saat kau mulai terinfeksi oleh ketidakwarasan duniamu itu. Kau mulai 

menggila bersama yang lain dalam deru sang waktu. Bahkan bahasamu tak dapat ku pahami saat itu. 

Aku  kecewa.  Sungguh.  Terlebih  ketika  kau  bilang  kau  tidak mengenaliku  lagi.  Saat  itulah  seluruh 

duniaku  rebah  dalam  senyum  palsumu.  Saat  itulah  benteng  kewarasan  itu  runtuh  di  pangkuan 

takdirmu.  

Tahukah kau, aku masih menyimpan setiap bekas dari berkas yang pernah kita lalui bersama 

dulu? Bahkan aku masih mengingat setiap syair yang pernah menemani malam‐malam sepimu  itu. 

Tak mampukah kau kembalikan kewarasan yang sempat terenggut darimu  itu? Tak mampukah kau 

kembalikan rasa yang sempat ada dalam sukmamu itu?  

Engkaulah  sepi  yang  tak membuatku merasa  sendiri.  Seperti  dewi malam  yang  tawarkan 

mimpi meski hanya ada dalam  ilusi. Engkaulah  rindu  yang  tak pernah buatku merasa  ragu. Takut 

kalau hari esok sang pagi tak kembali dari kuil di batas cakrawala. Engkaulah syair dalam  lagu‐lagu 

rinduku. Tercipta ada  tanpa peduli pada usia dan  logika. Engkaulah  satu‐satunya alasan mengapa 

aku harus ada. Mengapa aku perlu ada.  

Kemanakah kau, wahai kekasihku? Kau tahu, diluar telah tak aman lagi bagiku. Di luar terlalu 

banyak  kegilaan  yang  tak mampu  diterima  oleh  akal  sehatku.  Itulah  alasan mengapa  aku  lebih 

memilih  untuk  tinggal  di  dunia  putih  ini  dari  pada  di  duniamu  yang  begitu  banyak warna.  Itulah 

sebab mengapa aku lebih memilih terisolasi dari duniamu yang semakin hari semakin tak kumengerti 

dari pada menjadi bagian dari kegilaan yang bahkan tak layak untuk ku renungi.   

 

Page 6: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

3  

Perlahan  jiwa  lelaki  separuh  baya  itu  seolah  di  tarik  oleh  sebuah  kekuatan magis  yang 

hampir menghentikan sisa‐sisa dari goresan nafasnya.  Ia  tersedot dalam kenangan masa  lalu yang 

kini hanya mampu dijadikannya sebagai sebuah senandung rindu. Di rasakannya tangan halus yang 

lama  tak  dirasakannya  namun  tak  pernah  dilupakannya  itu  memoles  wajah  yang  sudah  lama 

menanggalkan kekuatannya.  Ia membelakangi kekasihnya  itu seiring dengan berlalunya sang senja 

yang  meninggalkan  jejak‐jejak  mentari  di  tumpukan  awan  yang  tak  lagi  menguning.  Ia  tak 

memandang  wajah  yang  terlalu  lama  di  kenalnya  itu.  Membiarkan  mereka  menyatu  di  depan 

tembok putih dengan bayang yang saling berpaut dihadapannya. Ia tak mau. Ia tak sanggup.  

Perlahan  usapan  mesra  itu  merambat,  mula‐mula  di  antara  sela‐sela  rambut  yang  kian 

menjarak,  kemudian merayap  ke mata, hidung, mulut,  lama di  leher,  lalu perlahan menuju dada, 

seolah ingin merengkuh setiap nafas yang berada di dalamnya, kemudian terus ke bawah…. 

Ia merasakan  sebuah  pertemuan  kembali  dengan  orang  yang  dikasihinya  itu. Orang  yang 

telah  membuat  hidupnya  berarti  sekaligus  menghancurkan  setiap  arti  dari  hidup  itu  sendiri.  Ia 

tersenyum dalam gelap yang semakin menggenggam kepingan memorinya itu.  

Tiba‐tiba batas yang menghubungkan antara dunia dan surganya itu terbuka.  

Ia  terjerembab  kaget  saat  melihat  orang  ketiga,  keempat,  dan  kelima  di  ruangan  itu 

mendapatinya yang sedang berada dalam keintiman bersama orang terkasihnya  itu. Cepat‐cepat  ia 

menghardik semua orang di hadapannya.  Ia berteriak, menangis, mengancam, sesekali  tertawa.  Ia 

terjebak  dalam  kebingungan. Antara  kesenangan  dan  kerinduan. Antara masa  kini  dan  halusinasi 

yang kian kuasai imajinya. Memang begitulah seharusnya ia bertingkah di dunia yang di huninya kini. 

Tanpa  aturan.  Tanpa  privasi.  Ia  bebas melakukan  kehendaknya  sebebas  dan  sesanggup  yang  ia 

mampu.  Tanpa  harus malu.  Tanpa  harus  takut.  Sebab malu  hanyalah  alasan  yang membentengi 

antara  kegilaan  dan  normalitas.  Dan  ketakukan  hanyalah  media  yang  menjembatani  antara 

kerapuhan dan kesombongan.  

Dan kini benteng itu telah hancur. Jembatan itu telah hanyut oleh cinta yang tak mampu di bendung 

sungai di jiwanya.  

Oh,  sayang…  Ke manakah  engkau? Mengapa  kau  berbaring  di  lantai  kamar mandi  yang 

dingin itu? Bangunlah, katakanlah sesuatu padaku. Bentaklah aku. Makilah aku. Jangan kau diam saja 

di  sana. Dan apa yang kau genggam di  jemari  cantikmu  itu? Oh,  tidak….  Jangan  siksa aku dengan 

kehilangan akan engkau. Jangan bunuh aku dengan racun cintamu tanpa kau sebagai penawarnya.. 

Kemudian ia mulai menjerit.. 

 

 Kenangan  itu  tak mau  pergi  dari memorinya. Menghadirkan  ilusi‐ilusi  palsu  dalam  hari‐

harinya. Selain  itu tak ada  lagi yang mampu diingatnya. Hanya kata mati, obat, dan overdosis yang 

Page 7: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

4  

selalu membayangi  tiap derap  langkahnya.  Ia bahkan  telah  tidak mengerti akan arti dari kata‐kata 

itu. Atau mungkin tidak mau mengerti.  

Orang‐orang yang berpakaian  serba putih  itu kemudian meringkusnya. Pakaiannya  terlihat 

kusut. Sebelah tangannya masih berada di balik celana putihnya saat itu. Ia tak mendapati kehadiran 

kekasihnya  lagi.  Ia  mengerang.  Mengumpat.  Meludah.  Menyalahkan  orang‐orang  yang  telah 

merusak pertemuannya dengan sang  idamannya  itu. Namun  ia  tak berdaya. Tangan‐tangan kokoh 

itu  telah  membelenggunya.  Menghempaskannya  ke  atas  ranjang  dengan  kaki  dan  tangan  yang 

terikat.  Ia  hanya  bisa menyumpah. Memaki  dengan  segenap  kosa  kata  kotor  yang  diketahuinya. 

Sampai  saat  seorang  yang  lain  datang  dari  balik  pintu  yang memisahkannya  dengan  dunia  luar. 

Manusia yang paling dibencinya itu mengeluarkan besi runcing kecil dari sakunya, menancapkannya 

ke  dalam  cairan  kuning  dalam  botol  kecil  yang  di  pegang  oleh  tangannya  yang  lain,  kemudian 

menancapkannya menembus pori‐pori yang telah lekang oleh jaman itu.  

 

Ia merasakan sensasi yang lain. Jiwanya seolah ingin pergi meninggalkan raganya. Semakin ia 

paksa untuk tinggal, semakin melayang ia menembus batas ruang sang waktu. 

“Ia  lupa minum obat hari  ini.” Kata  salah  satu  suara dalam  ruangan yang mulai kabur  itu. 

“Mungkin  ia   kembali berhalusinasi akan kedatangan kekasihnya yang meninggal setahun yang  lalu 

akibat overdosis. Seharusnya sejam yang  lalu aku memberikannya obat. Aku hmmmm….” kata‐kata 

itu menghantarkan kepergiannya menuju kedamaian yang sementara. 

 

Di dinding itu masih berdiri ia yang tersenyum.. 

 

Gelap… 

 

                     Jakarta, 14 Februari 2009 

 

   

 

 

 

 

Page 8: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

5  

Tiba

Namaku Tiba. Entah mengapa aku dinamakan demikian. Mungkin karena aku tercipta dari cinta yang 

menemukan  jalannya dengan  tiba‐tiba. Mungkin pula  sebagai  sambutan ketibaanku di dunia yang 

tak tertebak atau malah telah lama terduga. Tak menutup kemungkinan juga kalau nama itu berasal 

dari minimnya kosa kata yang ada di benak orang tuaku saat ia menciptakan aku. Tak ada yang tahu. 

Tak ada yang mau tahu. Tidak oleh ku. Tidak juga oleh orang tuaku.. 

 

*** 

 

Mengapa  nama  menjadi  sangat  penting?  Bukankah  tanpa  nama  kita  telah  saling  mengenal? 

Bukankah nama hanya menjadi alasan buat kita semakin terkotak dan semakin merenggang?   

 

Aku tak  tahu sudah berapa  lama orang tuaku mengandungku. Yang ku  tahu adalah bahwa aku tak 

sabar untuk segera lahir di dunia. Aku tak sabar untuk menjadi sebuah bentuk. Terekstrak ke dalam 

sebuah wujud. Tak hanya imaji, melainkan juga sebuah pribadi. Aku enggan terukurung dalam rahim 

orang  tua  yang  mengandungku  itu.  Aku  enggan  hanya  ia  yang  mendengar  teriakan‐teriakanku. 

Meskipun kadang  ia mampu mengenyahkan suara‐suaraku dalam kepalanya  itu. Aku tahu sebentar 

lagi  aku  bakal  lahir.  Hanya  tinggal menunggu waktu. Waktu  saat  ia  lengah. Waktu  saat  ia  lelah. 

Waktu  saat  aku  tak mampu  lebih  lama  lagi  dikandungnya  di  dalam  rahimnya. Waktu  itu  adalah 

waktu “Tiba” muncul di benaknya. Entah dari mana asalnya. Aku  tak  tahu.  Ia  juga menolak untuk 

mencari  tahu. Maka malam  itu,  lahirlah  aku di  atas  ranjang putih dihadapannya. Ku nodai  setiap 

carik  yang mampu menampung  tubuh mungilku  di  sana.  Ku  teriaki  semua  yang  ingin  ku  katakan 

padanya tanpa harus menunggu terlalu lama. Ia tersenyum. Mengecupku dengan penuh daya imaji. 

Kemudian menamaiku. Tiba.. 

 

Page 9: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

6  

*** 

 

Lelaki  itu  tak  puas‐puasnya mendandaniku  seharian  setelah  kelahiranku.  Ia mengenalkanku  pada 

banyak hal. Pada hal‐hal itu pula aku dikenalkannya. Suatu hari ia berkata padaku:  

“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?” 

Aku  tak mampu menjawab.  Sebab  esensi  ku  di  sini  adalah  sebuah wajah  dari mimpi  itu  sendiri. 

Bagaimana  aku mampu  bermimpi  lagi? Maka  aku  pun  hanya  diam. Dan  diamku mengundangnya 

untuk kembali berbicara:  

“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?” 

Pertanyaan yang sama. Maka aku pun kembali diam.  

Lantas ia melanjutkan:  

“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?” 

“Ini telah melewati batas diamku.”pikirku. Maka aku pun menjawabnya:  

“Mimpiku  adalah  terlahir  di  dunia  ini.  Dan  kau  telah mewujudkannya.  Aku  yakin,  kau  tahu  itu. 

Namun mengapa pertanyaan yang sama itu kau tanyakan berulang kali padaku? Aku pikir kita adalah 

satu.  Pikiranmu  adalah  pikiranku.  Dan  pikiranku  adalah  pikiranmu  juga.  Mengapa  kau  masih 

bertanya?” 

Tapi ia hanya kembali berkata:  

“Tiba, apakah yang menjadi mimpimu?” 

Aku  lelah menjawabnya. Mimpiku  adalah menjadi  diriku. Mimpiku  adalah menjadi  pribadi  utuh 

seperti dirinya. Hanya itu. Titik.  

Seharian  itu  ia hanya bertanya hal yang  sama padaku. Kini aku yang bingung. Kini aku yang muak 

padanya. Mungkinkah hal yang sama  ia rasakan saat aku masih berada dalam kandungannya dulu? 

Merasakan  muak  padaku  saat  pertanyaanku  menuntutnya  setiap  saat:    “kapankah  kau 

melahirkanku?” seharian itu ia terus bertanya. Seharian itu pula aku mendiamkannya. 

 

Page 10: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

7  

Kadang pada kesempatan lain ia berkata:  

“Tiba, semalam aku tak bermimpi. Sebenarnya bukan hanya tadi malam saja, melainkan sudah entah 

berapa malam. Kemanakah perginya semua impian dari cita‐cita ku itu dulu? Sudah lama aku hanya 

menjadi  boneka.  Dikendalikan  oleh  janji  dan mimpi  orang  lain.  Diselimuti  bayang‐bayang  orang‐

orang yang  terlalu berharap banyak padaku. Aku merasa  terbebani. Sungguh. Lihatlah kini.. Bukan 

hanya mimpiku yang pergi. Bahkan bayanganku sendiri pun entah di mana kini.” 

Lalu seharian  itu aku hanya akan mendengarnya berbicara tentang mimpi, janji dan bayang‐bayang 

masa  lalunya. Sepertinya  ia  tersekap dalam dunia  ilusi yang diciptakannya sendiri. Sebuah dimensi 

asing  yang  tercipta dari banyak mimpi dan  imaji  yang bersenyawa menjadi bayang‐bayang maya, 

tanpa pernah nyata.  

Aku  tak  terganggu. Sedikit pun  tidak. Tapi sekali  lagi aku hanya diam. Sebab aku bukan guru. Dan 

keluhannya pun  telah  lama  ku dengar  saat  aku  terkandung di dalam  imajinya.  Tinggal menunggu 

waktu untuk mencurahkan semuanya pada sang bayang. Pada teman. Pada aku.. 

 

Ada  saat  di  mana  aku  bertukar  pikiran  dengannya.  Ada  saat  di  mana  aku  harus  bertengkar 

dengannya. Aku marah setiap kali memperhatikan kerapuhannya. Aku sedih setiap kali memikirkan 

kesendiriannya.  Kadang  ia  tertawa  keras  saat  kesedihan  melanda  hatinya.  Kadang  ia  menangis 

tersedu saat kebahagiaan merubuhkan benteng dukanya. Hanya aku yang tahu itu. Hanya aku yang 

mau tahu tentang itu. 

 

Aku terlahir di sebuah titik. Pada sebuah kesadaran akan rapuhnya sehelai jiwa tanpa mimpi dan hak 

pribadi. Beberapa hari  ini  ia tak  lagi menanyakan pertanyaan yang sama padaku. Mungkin  ia telah 

menemukan jawabannya. Atau mungkin ia tak peduli sama sekali dengan jawabannya? Ia adalah pria 

yang ku kenal. Dalam rahimnya aku berkembang. Aku  tahu, kadang  Ia  tak butuh penjelasan untuk 

apa  yang  dilakukannya.  Ia  tak  butuh  sebuah  alasan  untuk  melakukan  hal  yang  diinginkannya. 

Bukankah amatlah melelahkan kalau kita harus mendapatkan sebuah alasan hanya untuk melakukan 

Page 11: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

8  

sebuah tindakan?  Ia akan diam kalau  ia  ingin diam.  Ia akan bicara kalau  ia  ingin berbicara. Bahkan 

tertawa kalau itu yang diinginkannya. Hanya melakukannya. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Hanya 

melakukannya.  

 

Orang‐orang mengganggapnya gila. Orang‐orang bahkan mengejekku saat berada di genggamannya. 

Memangnya mereka  tahu  apa  tentang  arti  gila?  Jaminan  apa  yang mampu membuktikan  kalau 

bukan mereka  yang  gila?  Kami memang  berbeda.  Tapi  tidak  gila.  Apakah  karena  kami  berbeda, 

lantas kami layak dicap gila? Tidak. Sama sekali tidak.  

 

Kadang  ia berbicara denganku. Kadang  aku  yang bercanda dengannya. Bukankah bercakap masih 

berada  dalam  sebuah  batas wajar  dalam  sebuah  esensi  komunikasi?  Aku  ingin memaki mereka. 

Namun  ia  mencegahku.  Kepengecutannya  mematahkan  semua  keberanian  yang  ia  tumbuhkan 

dalam benakku. Yah.. Aku tercipta dari dirinya. Namun kami adalah dua pribadi berbeda. Ia perasa. 

Aku pemikir. Ia tak lagi punya mimpi. Tapi aku adalah seorang pelacur mimpi. Namun aku tak pernah 

menjadi beban baginya. Apalagi menjadi sebuah ancaman. Sebab untuk itulah aku diciptakan. Untuk 

itulah aku dilahirkan. Untuk melengkapi bagian yang tak ada di dalam dirinya.. 

 

Hari itu ia bercerita banyak tentang diriku. Pada benda. Pada bayang. Pada manusia di sekitarnya. Ia 

lelah hanya hidup di antara batas kenyataan dan mimpi maya. Ia  lelah berada di dalam dunia yang 

tak pasti keberadaannya. Dunia yang tak  ia ketahui batasannya.  Ia bercerita padaku bahwa  ia  ingin 

terbang. Seperti burung yang bisa bebas melayang. Bergerak  tak  tentu arah, namun  tahu kemana 

harus melangkah. Maka  ia pun berjalan  ke puncak bangunan  itu. Di  rasakannya hembusan  angin 

membelai tubuh kurusnya. Di biarkannya sang angin membawa semua kenangannya. Tapi tetap  ia 

biarkan angannya berada pada kendalinya. Lalu ia pun terbang… 

 

*** 

Page 12: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

9  

   

Ku rasakan tubuh mungilku di angkat oleh salah satu tangan di situ. Aku ingin berteriak. Namun aku 

tercipta dalam  rupa kata. Bukan suara. Sekeras‐kerasnya aku mengguncang  tubuhku, yang  terlihat 

hanyalah  sebuah  buku merah  dengan  coretan  aneh  di  sekujur  tubuhnya. Maka  aku  pun  pasrah. 

Dalam pasrah aku menyumblim kembali ke rahim dulu aku berasal..  

 

Rupanya  ia  telah menungguku. Saat  ini adalah pertama kalinya  ia menatap ku dalam wujud  rupa. 

Pertama kalinya dengan matanya sendiri, bukan dalam imaji dimana aku terciri. Mungkin karena kini 

jiwanya  telah  terpisah  dari  raga  yang  memisah  imajinya.  Aneh…  Ada  perasaan  seperti  ingin 

menangis,  sekaligus  juga  terbahak‐bahak  pada  saat  yang  bersamaan.  Ia  tersenyum  menatapku. 

Senyum tulus seorang pemimpi. Senyum polos seorang pencari. Perlahan ku rasakan cahayaku mulai 

meredup.  Perlahan mataku mulai  sayu.  Aku  tahu.  Kini  ia  tak membutuhkanku  lagi.  Ia  kini  telah 

bebas. Ia telah menggapai mimpinya. Maka ia pun mengucapkan kalimat terakhirnya: “Tiba, kini aku 

telah menggapai mimpiku.  Biarlah mimpi menggapaimu,  sebagaimana  dulu  ia menemukanmu…” 

Aku  tak  mengerti  maksud  kata‐katanya.  Bahkan  mungkin  ia  pun  tidak.  Namun  kata‐kata  itu 

mengantar kepergianku. Entah berapa lama. Entah berapa waktu aku akan bertahan. Tapi aku yakin, 

tak lama lagi aku bakal lahir kembali. Mungkin tidak sebagai Tiba. Mungkin sebagai pribadi lain yang 

tiba‐tiba ada. Meski berbeda dalam nama, tapi dalam esensi aku akan tetap sama. Aku akan tetap 

menjadi  sebuah  suara. Yang  lahir dari  semua mimpi  tanpa pusara. Dengan  imaji yang memberiku 

sebuah rupa. Sebuah jiwa. Dalam raga kata. Tiba.. 

 

Jakarta, 29 September 2009  

 

 

 

Page 13: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

10  

Detak Detak….

……………. 

Kutaruh tangan di dada 

Dugdug…dugdug…dugdug… 

Tersentak sebuah detakan 

Makin lama makin cepat 

Seperti ingin melompat  

Dugdug…dugdug…dugdug… 

Bagaimana tidak? 

Kau berdiri tepat di depanku 

Entah marah,  

Entah bergairah… 

Kupelankan langkah,  

sambil berbalik menjauhimu 

waktu melambat 

badan terasa lebih berat 

satu langkah kuambil… 

sambil merencanakan seribu langkah yang lain 

Tidak… 

kau mengejarku.. 

sekuat tenaga aku berlari 

dari belakang kau menggertak: 

gukguk…gukguk….gukguk… 

 

Jakarta, 10 April 2010  

Page 14: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

11  

Surat Untuk Kekasih

Kekasih,  pandanglah malam.  Sadarkah  kau,  kalau  ia membuat  kita menjadi  satu?  Bahkan 

dalam  genggamnya  kita mampu  bebas  dari  ilusi    yang  bernama waktu. Hanya  saja mungkin  kita 

terlalu lemah untuk menyingkap tirai yang membatasi jarak rengkuh kita. Kau dan aku.  

Kekasih, malam ini aku kembali menebak. Seperti pada malam‐malam sebelumnya. Dimana 

imajiku mencoba meraba‐raba dalam gelap. Berusaha menemukan  setapak yang mungkin mampu 

membuat kita selangkah lebih dekat. Hanya agar aku mampu melenyapkan bayangmu yang semakin 

menyatu  dengan  bayanganku.  Hanya  agar  aku mampu memisahkan  rupamu  dari  sekian  banyak 

wajah yang pernah kutemui.  

Tahu kah kau kalau aku begitu memikirkanmu? Diantara begitu banyak malam yang pernah 

kukelabui,  tak satupun yang pernah  jadi persinggahan dari mimpi‐mimpiku. Tak mengertikah kau? 

Bahkan malamku pun ku gadaikan hanya untuk memikirkanmu.     

Kasih,  ini  kah  arti  rindu?  Saat  semua  bayang  terlelap,  namun  jiwamu  sendiri  bahkan  tak 

mampu diam sejenak? Sedetikpun tidak. Lalu ketika pagi kembali, hatimu tetap berada dalam dunia 

lain yang bernama mimpi. Apakah kau  ingin tahu, sampai di mana batas  lelahku? Apakah kau  ingin 

mengerti, seberapa dalam aku membutuhkanmu? Aku tidak. 

Di  dalam  hatiku  ada  sebuah  bara.  Yang  kujaga  agar  tak  padam,  juga  tak  ingin  sampai 

melahap separuh jiwaku. Namun ketika kau datang, kau segera menyulut bara itu hingga membakar 

seluruh  jiwaku. Sesegera kau memadamkannya hingga meluluhkan  sejuta  impianku. Dan  tahu kah 

kau, apa yang tersisa? Hanya abu dan debu. Yang serupa bayang‐bayang dari masa lalu. 

Oh kasih, kau membuatku terus bergulat dengan diriku. Dalam pergumulan antara rasa dan 

logika  yang  selalu  ingin menang  sendiri.  Terkadang  rasa meruntuhkan  bendung  yang  telah  lama 

membeku  di  muara  hasratku.  Membiarkan  bayanganmu  menguasai  hati  dan  pikiranku.  Namun 

segera setelahnya sang logika membangun kembali semuanya itu, hanya demi mempertahankan diri 

Page 15: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

12  

dari kerusakan yang  lebih parah  lagi. Aku  lelah. Dan kau  tahu,  sumber dari  semua penyebabnya? 

Kau. 

Kekasih,  semalam  aku  bermimpi.  Dalam  mimpiku  aku  kembali  bermimpi.  Entah  berapa 

banyak aku memimpikan mimpi. Namun  tak ada  rupamu di  sana. Bahkan bayanganmu pun  tidak. 

Apakah aku telah kehilangan jejak rupamu? Apakah bahkan dalam mimpi pun kita tak diijinkan untuk 

bersatu? 

Kasih... Aku  hanya  berharap  kau menyisakan  sebuah  ruang  di  hatimu  untukku.  Tak  perlu 

terlalu  luas. Nanti kita bisa  saling membias. Tapi  juga  jangan  terlalu  sempit. Nanti kita bisa  saling 

menjepit. Sebab aku juga ingin pernah kau pikirkan. Sebab aku juga ingin pernah kau kenangkan. Tak 

perlu selamanya. Pernah saja sudah cukup lama. 

Kekasih, entah berapa banyak  surat  yang  telah  kutuliskan untukmu.  Seperti entah berapa 

banyak malam yang telah kulewatkan untuk memburu bayanganmu. Entah… Namun kau harus tahu, 

ada  rindu yang ku  titipkan di  setiap  lipatannya. Ada cinta yang ku  tinggalkan di  setiap celah noda 

tintanya.  Cintaku,  seperti malam.  Yang  berharap menemukanmu  dalam  gelapku.  Yang  tak  puas‐

puasnya memikirkanmu dari cakrawala berkilauku. 

Kekasih… Hah, aku bahkan memanggilmu kekasih. Sering aku kembali dalam permenungan: 

salahkah aku karena rasa ini? Tak ada yang tahu. Aku pun enggan mencari tahu. Namun sekali  lagi, 

cobalah  pandangi  malam.  Lihat,  kita  begitu  dekat.  Singkaplah  tirai  itu.  Ya.  Begitu.  Ah…  tidak. 

Ternyata dibalik tirai itu hanya ada jarak…  

 

Maafkan aku, yang bahkan tak tahu cara menulis sebuah surat untukmu.. 

 

 

Jakarta, 16 April 2010 

 

 

Page 16: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

13  

Untuk Sesuatu Yang Bernama Kenangan

Diammu…    

Keheningan diantara kita telah mengkhianati sekian banyak suara. Sama seperti keterkejutanku yang 

seketika menghapus sekian banyak kata. Tak serapuh nafasmu. Setumpuk kenangan mengembalikan 

waktu pada setiap titik temu. Saat kita semakin terbatasi oleh  jarak yang tak kasat mata. Saat kita 

seolah  tak  diijinkan menghargai  satu  detik  dari  sekian  banyak  hari  yang  bahkan  belum  pernah 

sempat untuk kita maknai. Lantas kembali kita berandai. Berharap mampu memanipulasi jarak yang 

bernama  waktu.  Berharap  dapat  bangun  dari  mimpi  yang  mungkin  suatu  saat  mampu  untuk 

dikelabui.  Bukan  maksudku  menolak  pintamu.  Apalagi  untuk  berpikir  mengabaikan  suara‐suara 

terakhirmu. Namun rapuhku lebih rapuh dari nafasmu. Dan lelahku tak selelah lelahmu. Sedemikian 

lelahkah  kau hingga  tak mampu menunggu  lebih  lama  lagi? Masih  ada begitu banyak  tanya  yang 

belum sempat kau jawab. Masih ada begitu banyak cinta yang belum sempat kau kecap. Tak cukup 

diammu menjawab semua. Tak cukup mimpi hanya menjadi alasan sebagai tempat dimana kita bisa 

bertemu  dan mendekat.  Inikah  jalan  yang  harus  kita  tempuh  untuk  bisa  keluar  dari  sebuah  titik 

tunggu?  Saat  semua  duka  merebak,  kemudian  hilang  dan  segera  terlupa?  Kembali  kenangan 

mengembalikanmu.  Dari  setiap  rindu.  Dari  setiap  sakitmu.  Sampai  pada  diammu.  Takdir  seperti 

mempermainkan  kita.  Disatu  titik  saat  kita  hendak  dipertemukan,  pada  titik  itu  juga  kita  segera 

dipisahkan.  Padamu  telah  kuisyaratkan  rinduku,  kuharap  kau mendengar  teriakanku.  Ijinkan  aku. 

Untuk dapat selalu mengembalikanmu. Pada sesuatu yang bernama kenangan. Satu‐satunya tempat 

di mana kita bisa berangan dan sejalan. Maafkan aku atas semua rindumu. Atas segala lelahmu. Atau 

atas  segala  doa‐doa  malammu.  Untuk  sesuatu  yang  bernama  kenangan.  Kutitipkan  tetes‐tetes 

rinduku. Biarkan  ini menjadi pelukku  yang  terakhir untukmu.  Sampai  takdir  tak  lagi  jadi halangan 

buat kita untuk terus menunggu.  

 

Tunggu aku… 

 

 

Ruteng, 9 Mei 2010 

 

 

 

 

Page 17: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

14  

Jakarta Hari Ini

Cuaca mendung. Awan menggantung. Mungkin tanda sebentar lagi akan turun hujan. Langit 

berawan  semakin  remang,  lampu‐lampu  taman  jadi  semain  terang.  Burung‐burung  pun  telah 

beranjak pulang kembali ke  sarang. Sekali  lagi, malam hanya butuh waktu untuk menang. Sedang 

aku kembali menjadi sosok yang asing. Yang hanya punya rumah untuk pulang. Tapi tak punya jiwa 

untuk  kujadikan  sarang.  Kesombongan  telah  mengikatku  dengan  benang‐benang  emasnya. 

Kerapuhan telah membentengiku dengan tulang‐tulang kerasnya. Dan aku aman berada diantaranya 

– setidaknya hingga saat ini. Kuberharap hari ini memang akan benar‐benar turun hujan.  

Dari  siang  udara  begitu  panas.  Sisa‐sisanya masih  tertahan  dalam  partikel‐partikel  udara 

senja. Mungkin hujan akan  sedikit menyejukkan hari  ini. Atau bahkan hati  ini. Perbedaan  tekanan 

udara menimbulkan  sepoi  angin  yang  hangat  di  kulit.  Udara memberat. Membuat  badan malas 

bergerak. Hanya  imajiku  yang  tak pernah berhenti merangkak. Mencoba menggapai  setiap  ruang 

dalam dimensi yang  remang  tapi ada. Mencoba menemukan  sosok dalam memori yang asing  tapi 

pernah nyata. Mungkin aku akan bertemu denganmu. Dalam dimensi yang hanya tahu kau dan aku. 

Dunia  di  mana  kepalsuan  tertawan  dalam  jeruji‐jeruji  magis  yang  tak  kasat  mata.  Dunia  saat 

kepedihan terpasung dalam ruang‐ruang kosong yang meski hanya sementara. Aku rindu… 

Mentari pucat telah kembali menggantung di langit‐langit kota. Bayang‐bayang jadi semakin 

tak  punya  rupa.  Sedang  kepalsuan  lalu‐lalang mencari  tempat  persembunyian  untuk  sementara 

waktu. Termasuk aku. Dunia berubah. Gelap. Seperti semua bayang yang menjadi satu. Suhu tak lagi 

jadi yang paling penting. Kemudian malam sekali lagi membuka suara… 

 

Di luar hujan turun… 

 

Semua basah 

 

Kecuali aku… 

 

Jakarta, 27 februari 2010 

 

 

 

 

Page 18: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

15  

Suara-Suara

Sang  waktu  seolah  semakin  menjaga  jarak.  Mimpi‐mimpi  yang  semula  berarak  lantas 

menjadi  suara‐suara  yang  saling  teriak.  Cobalah  kau  dengar  teriakkannya.  Tak  punya makna.  Tak 

punya  jiwa.  Bahkan  kata  pun  tak mampu memenjarakannya.  Bukankah  pepatah mengatakan  air 

beriak  tanda  tak  dalam?  Dengarkanlah  sekali  lagi  teriakan  itu.  Tanpa makna.  Tanpa  judul  untuk 

dapat diberi nama. Tapi aneh..  Aku tetap saja tenggelam dalam riakkannya. 

Kehampaan tak pernah dangkal. Kekosongan menimbulkan riak‐riak suara yang saling teriak. 

Yang  membungkam  norma  dan  kesucian.  Yang  kemudian  melahirkan  kembali  makna  kesucian. 

Dalam dosa yang bakal menghantarmu menuju keabadian. Menenggelamkanmu ke dalam api yang 

abadi. Yang tak akan padam. Tak hanya jiwa. Ragamu juga. 

Suara 1: Hidup adalah sebuah kutukan takdir. Sekali dadu dilempar, maka takdirmu telah ditetapkan. 

Jadi  untuk  apa  berusaha  keras,  jika  sebenarnya  takdir  yang  bakal memilihmu?  Kau  tak mampu 

memilih takdirmu. Sekeras apa pun kau berusaha, takdirlah yang bakal memilihmu. Kecuali jika kau 

bermain curang.  

Suara 2:  Lupakanlah.  Lihat,  jalanmu masih panjang.  Semua  yang  ada hanyalah  sementara.  Segala 

sesuatunya hanyalah pinjaman. Bukan milikmu. Hidup. Cita‐cita. Bahkan waktu. Relakanlah. 

Suara 3: Tak mudah untuk terus terbang. Sama tak mudahnya untuk terus berbaring. Ketika terbang, 

kenyataan  memaksamu  mengepakan  sayapmu.  Hingga  kau  lelah  hanya  demi  tiba  di  tujuanmu. 

Ketika  kau  berbaring,  kau  mulai  merangkai  mimpi‐mimpi  mu.  Cita‐cita.  Tujuan  hidupmu.  Tapi 

bagaimana bisa  kau  gapai  semua  itu  jika  kau  tidak  terbang?  Sebagaimana  kau bisa  terus  terbang 

tanpa sedikitpun berbaring? Bangunlah. Mulailah dengan terbang.  

Suara 4: Apakah kau  sadar? Bumi  sedang berakselerasi. Detik‐detik  seperti  semakin cepat. Angka‐

angka  pada  jam  seolah  bergerak merapat. Mungkinkah  benar,  bumi  sedang  dipercepat? Ataukah 

malah kau yang semakin melambat? Bumi sedang berputar. Kau seperti terjebak diantara sentripetal 

dan  sentrifugal  yang  semakin  lama  semakin  kuat.  Satu  langkah  yang  salah,  kau  akan hancur oleh 

Page 19: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

16  

putaran bumi  itu  sendiri. Oleh dunia materi. Namun  satu  langkah  yang  lain mampu membuatmu 

terpental menjauh inti materi. Menjadi serupa dengan angkasa. Menjadi sendiri. Seperti orang suci, 

yang tak mampu diterima surga itu sendiri, juga tak mampu berada di bumi tempat ia dibenci. Hanya 

sendiri. 

Suara 5: masih ingatkah kau akan cinta? apakah salah jika aku mencintai? Ataukah salah karena aku 

mencintai  orang  yang  salah?  Tak  bisakah  itu  dibenarkan?  Lalu  bagaimana  dengan  kebenaran  itu 

sendiri? Apakah salah mencari pembenaran dari semua kesalahan yang tercipta dengan sendirinya 

ataupun dalam semua kesengajaannya? Aku hanya cinta. titik.. 

Suara 6:  jadi,  apakah  yang harus  kulakukan? Bagaimana  aku bisa  sendiri,  sedangkan  kalian  selalu 

menggema  dalam  kepalaku?  Aku  tak  pernah  sendiri.  Mungkin  karena  kalian.  Atau  karena 

ketakutanku?  Entah..  Dan  dosa?  Mungkinkah  manusia  bisa  bebas  dari  dosa,  sedangkan  dirinya 

tercipta dari dosa itu sendiri? Jangan bicara cinta dulu jika kau belum melenyapkan sisi gelapmu itu 

sendiri. 

“……” 

Mengapa hening? Kemanakah kalian?  

Suara 7: sudah.. cukup.. mari kita semua tidur.. 

….. 

 

Jkt…. 

 

 

 

 

 

 

Page 20: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

17  

Satu Dosa

“Aku berdosa”

“Tidak. Itu bukan dosa. Itu cinta.”

“Justru karena itulah aku berdosa.”

“Tidak. Itu hanya cinta. Titik.”

“Aku terlalu mencintaimu. Itu dosa.”

“…”

“Aku bahagia setiap kali berada bersama denganmu. Memang, kadang rasanya

seperti sendiri. Tapi bukan berarti sepi. Kita membicarakan banyak hal.

Kita mempertanyakan banyak tanya. Apakah kau mengerti? Bahkan dalam diam

kita mampu bicara. Tak hanya dengan kata. Juga tidak dengan suara. Tapi

dengan cinta. Dan kau tahu? Itu dosa.”

“Aku tak mengerti. Bagaimana cinta bisa berubah menjadi dosa? Bukankah cinta adalah rasa yang paling suci

dalam diri manusia? Memang, kadang-kadang cinta kita penuh dengan nafsu. Tapi cinta tetap cinta. Nafsu tak

menjadikannya berdosa.”

“Hah.. Kau sendiri yang mengucapkannya. Itu nafsu. Bukan cinta. Sungguh,

aku berdosa. Terlalu lama aku menutup diri dari dunia. Kau tahu? Aku lelah

membangun tembok tanpa batas hanya untuk membatasi kita dari dunia. Kita.

Itu adalah kau dan aku. Dan kau tahu mengapa? Itu karena aku tak ingin kau

tercemari dunia yang semakin hari semakin sakit. Itu karena aku terlalu

mencintaimu. Dan sekali lagi, itu dosa.

Kita tak mampu terpisah. Setidaknya tidak oleh kekuatan dunia. Sudah lama

aku berpikir, kalau kita mungkin bukan berasal dari dunia. Dunia tak

seirama dengan kita. Kadang ia terlalu cepat. Kadang kita meninggalkannya

jauh di belakang. Mungkin kita berasal dari suatu tempat tanpa waktu. Dari

sebuah dimensi sekali pakai. Tidak ada hari kemarin. Tidak ada hari esok.

Yang ada hanyalah hari ini. Tapi entah bagaimana, kita tiba-tiba bisa

berada di dunia ini. Mungkin..”

“Apakah kau menyalahkanku? Apakah kau ingin berpisah denganku? Jangan terus menyalahkan dirimu. Akulah

penyebab semua dosamu itu. Atau cinta yang kau akui sebagai dosa itu. Kalau kau mau, aku bisa pergi. Aku

takkan menjadi bebanmu lagi.”

Page 21: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

18  

“Tidak. Bukankah telah kukatakan, kalau kita tak mampu dipisahkan?

Setidaknya tidak dengan kekuatan dunia. Sekalipun bisa, kau pikir aku mampu

tenang setelah kau pergi? Kau kira aku bakal menikmati kesendirianku

setelah suara-suaramu angkat kaki dari memoriku? Dan apakah kau kira aku

bakal memanggul sendiri dosa yang sebenarnya telah kita sepakati bersama

itu? Tidak. Aku takkan membiarkanmu pergi. Aku masih membutuhkanmu. Aku

masih mau mendengar bisikan-bisikan malammu. Dan yang terpenting, aku masih

mencintaimu. Meskipun itu menjadikanku berdosa.“

“Kau tahu? Kadang dosa bisa lebih suci dari semua norma yang ada. Keikhlasanmu mencintaiku lebih suci dari

pada harus menuruti norma dan mengkhianati dirimu sendiri. Dosamu adalah dosaku juga. Dan harus kukatakan

berapa kali? Itu bukan dosa. Itu hanya cinta.”

“Hmmm... Mungkin... Itu bukan dosa. Sekalipun dosa, aku tak mampu

mengkhianati diriku hanya demi mematuhi norma atau omong kosong

lainnya seperti itu.

Sekali pun mampu,

aku tak mau.

Sebut aku sombong,

panggil aku egois.

Aku tak peduli.

Terima kasih,

sekali lagi kau

mematahkan rasa

tidak percayaku.

Mungkin karena

itulah aku tak

mampu meninggalkanmu.

Mungkin

karena itulah

aku begitu mencintaimu.

Entah mengapa,

sekali pun harus berdosa,

aku ingin tetap selalu

mencintaimu,

Diriku…” Jakarta, 26 March 2010

Page 22: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

19  

Bayang-Bayang

Kurentangkan  tangan.  Mencoba  mendekap  gelap  yang  mungkin  mampu  melindungiku. 

Semakin  rapat,  semakin  kurasakan  detak  jantungku. Malam  semakin  beranjak malam. Gelap  dan 

gelap saling menyantap. Bayang‐bayang saling  tuduh, sebelum  semuanya  terperangkap, kemudian 

lenyap  tanpa  jejak. Hingga  tinggal aku. Satu dimensi  seolah  lenyap, entah  sampai kapan. Semakin 

kurasakan detakanku, semakin tersamar ruang di sekelilingku. Aku seperti terperangkap dalam aku. 

Terjebak dalam ilusi yang ku ciptakan sendiri. Terperangkap dalam imajinasi‐imajinasi magis di mana 

aku terciri. Aku terjebak dalam pergumulan yang tak pernah habis antara aku dan aku. Di satu titik, 

aku yang satu memegang kendali. Namun di  titik yang  lain, aku yang  lain kembali mengambil alih. 

Aku  ingin keluar. Entah aku yang mana. Tapi tak ada pintu. Atau  lubang  lain dimana aku bisa pergi. 

Gelap  telah melahap semua  jejak. Tak ada yang  tersisa. Kemudian ketakutan datang. Detakkan  itu 

terhenti.  Tentu,  aku  kaget  –  entah  aku  yang  mana.  Semua  tiba‐tiba  diam.  Apakah  gelap  juga 

menyantap  semua  suara?  Tiba‐tiba,  jari‐jarinya membelaiku.  Sekuat  tenaga  aku  berlari.  Tapi  tak 

mampu kemana‐mana. Semuanya telah lenyap tersantap. Sekuat tenaga aku berteriak. Tapi tak ada 

satu  suara  yang mampu menyalak.  Bukankah  telah  kukatakan,  kalau  ia  juga menyantap  semua 

suara? Gelap mendapatiku. Aku tertangkap. Kemudian menjadi satu seperti gelap itu sendiri.  

Malam  tak  mampu  jadi  lebih  malam  lagi.  Cahaya  pagi  mencerai‐beraikan  gelap  tanpa 

menghilangkan  jejak‐jejaknya.  Bayang‐bayang  yang  semula  terperangkap,  langsung  terserak 

kemudian  bersembunyi  di  belakang  wujud  setiap  benda.  Sekali  lagi,  aku  yang  lain  menang. 

Sedangkan yang lainnya lagi hanya bisa pasrah dengan hanya menjadi sebuah bayang…    

      

    Jakarta, 19 April 2010 

 

 

 

Page 23: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

20  

Kematian Sang Waktu

Aku melihat sebuah lorong 

Di ujungnya berdiri putra sulung sang waktu 

Dari jauh, terlihat sebuah benda tertancap tepat di jantungnya 

Pisaukah? Atau belati? 

Entah… 

Sepertinya tak ada beda 

Lantas aku mendekatinya, sekedar  untuk mencari tahu, meski tahu kalau ia sudah tak mampu 

Kemudian ia memandangku 

Tatapannya membuatku merasa rendah, sekaligus malu 

Apakah karena pesonanya? 

Ataukah karena memang demikian kehendak surga? 

Siapakah yang tega membunuhnya? 

Mengingat kehebatan sang waktu, tentu pelakunya adalah orang yang begitu hebat 

Sang waktu menatapku 

Lalu membawaku kembali ke masa lalu.. 

Dari jauh aku melihat putra sulung sang waktu 

Seorang yang seperti kukenal berdiri di sampingnya 

Ia tak memegang pisau 

Atau belati 

Ah… 

Tak ada bedanya.. 

Mengapa sang waktu membawaku kemari? 

Aku hanya simpati, bukan peduli 

Entah ia akan hidup ataukah bakal mati 

Page 24: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

21  

Sekali lagi kukatakan, aku tak peduli. 

Tapi sang waktu memaksaku kembali ke masa lalu 

Di  ujung lorong berdiri putra sulung sang waktu 

Bersama dengannya berdiri seorang yang sepertinya sudah ku kenal itu 

Iakah orang yang mampu membunuh sang waktu? 

Aku hampir tak percaya 

Seorang manusia yang lemah itu berhasil membunuhnya? 

Tatapannya sayu 

Seperti kembang rapuh, yang enggan mekar tapi menolak untuk layu 

Dibaliknya sebuah senyum sombong mengembang membentuk mata pisau cantik, seolah tak sabar menancapkannya pada dada, tempat nafas ada tersembunyi 

Senyum itu adalah senyum manja,  

Yang nyaris tak kasat mata 

Senyum itu adalah senyum hangat, 

Yang dalam semangat mudanya membara tapi tak mampu melakukan apa‐apa 

Senyum itu adalah senyum pengkianatan 

Dengan kesombongan yang bersembunyi di balik gigi‐gigi rapinya, tak hanya palsu, juga nafsu 

Senyum itu adalah senyum sepi 

Yang tak pernah puas mencari meski ia sendiri tak tahu apa yang ia cari 

Sebuah simpul yang ia atas namakan kebebasan, namun ia sendiri terkurung dalam suara‐suara sepi yang menggema dalam ruang‐ruang mimpi yang  tak pernah pagi 

Senyum yang semu,  

Seperti serdadu yang disuruh perang, tapi tak mampu menang 

Tidak… 

Bukan tak mampu.. 

Mungkin lebih karena tidak peduli 

Page 25: LANGKAH Kumpulan Cerpen - sim.smpn1lamongan.sch.id · Seperti surga yang tenggelam dalam dimensi yang sanggup terengkuh oleh ruang dan waktu. Tanpa spasi yang menceraikan kata dengan

22  

Sebuah senyum kalah 

Senyum dusta,  

yang membawa orang‐orang disekitarnya menuju siksa 

Senyum dosa,  

Yang membuatnya terlihat seperti dewa, tetapi moksanya sendiri adalah duka 

 

Ah… 

Terlalu banyak palsu 

Terlalu banyak nafsu… 

Kemudian aku melihat sebuah lorong 

Di ujungnya berdiri putra sulung sang waktu 

Dari jauh, terlihat sebuah benda tertancap tepat di jantungnya 

Entah pisau 

Atau belati 

Yang pasti tak ada bedanya 

Aku melihat pembunuh itu tersenyum 

Sebuah senyum kalah 

Sebuah senyum malu 

Sebuah senyum yang sudah ku kenal lama 

Senyum itu…. 

  

Tidak.. 

Aku telah membunuhnya… 

    Jakarta, 5 februari 2010