konsep pendidikan ruhani dalam tarekatrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · kh....
TRANSCRIPT
KONSEP PENDIDIKAN RUHANI DALAM TAREKAT
QADIRIYYAH WAN NAQSABANDIYAH PERSPEKTIF KH.
MUHAMMAD SHIDDIQ AL-SHALIHI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh :
Muhammad Ziyan Naufal
11150110000086
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ABSTRAK
Muhammad Ziyan Naufal (11150110000086). KONSEP PENDIDIKAN
RUHANI DALAM TAREKAT QADIRIYYAH WAN NAQSABANDIYAH
PERSPEKTIF KH. MUHAMMAD SHIDDIQ AL-SHALIHI.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan masalah mengenai perlunya
peningkatan kualitas ruhani dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui jalur
tarekat untuk membersihkan ruhani dari penyakit-penyakitnya yang menyebabkan
rusaknya seorang al-Insan dalam kehidupannya. Sehingga peneliti bertujuan untuk
mengetahui konsep pendidikan ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah Perspektif KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah riset pustaka (Library
research). Penulis menggunakan teknik dokumentasi untuk mendapatkan data yang
diperlukan dalam penelitian ini. Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, maka
penulis ingin melihat bagaimana penggambaran seseorang yang mempunyai
keterkaitan dengan masalah ini yaitu key informan. Penulis berusaha untuk mencari
informan dan menjadikan sebagai data sekunder dalam penelitian.
KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi menekankan cara tazkiyat al-nafs
(pensucian ruhani dari nafsu syahwat dan nafsu ghadab) dan tasyfiyat al-qalb
(pensucian hati dari kecintaan dunia dan hal-hal duniawi yang sifatnya sementara,
dan kehawatiran atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya, kecintaan
kepada Allah semata) terhadap muridnya dalam pendidikan ruhani melalui Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah. Dengan menggunakan cara tersebut serta
mujahadah yang serius dan istiqamah, seseorang akan mampu bersih dari penyakit
dan krisis ruhani, terlebih hingga wushul ilallah.
Kata kunci: Pendidikan; Ruhani; Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah; KH.
Muhammad Shiddiq al-Shalihi.
viii
ABSTRACT
Muhammad Ziyan Naufal (11150110000086). SPIRITUALISM EDUCATION
CONCEPT IN TAREKAT QADIRIYYAH WAN NAQSABANDIYAH ON KH.
MUHAMMAD SHIDDIQ AL-SHALIHI PERSPECTIVE.
This research is based on the problem regarding the need to improve the
quality of the spirit by drawing closer to Allah through the path of the order to
cleanse the spirit from its diseases that cause damage to an al-Insan in his life. This
research is aimed to examine Spiritualism Education Concept in Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah on KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi
Perspective.
The method used in this research is library research. The Authors used
documentation technique to get the data needed in this study. In accordance with
the objectives of this study, the authors want to see how the description of someone
who has a connection with this problem is key informants. The author tried to find
informants and make secondary data in research.
KH. Muhammad Shiddiq al-Salihi emphasized the way of tazkiyat al-nafs
(spiritual purification of lust and lust of ghadab) and tasyfiyat al-qalb (purification
of the heart of worldly love and temporal matters of a temporary nature, and concern
for sadness, and stabilizing in its place love of Allah only) towards his students in
spiritual education through the Tariqa Qadiriyyah wan Naqsabandiyah. By using
this method as well as serious mujahada and istiqama, one will be able to be free
from illness and spiritual crisis, especially to wushul ilallah.
Keywords: Education; Spiritualism; Tariqa Qadiriyyah wan Naqsabandiyah; KH.
Muhammad Shiddiq al-Shalihi.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahiim,
Alhamdulillah, penulis panjatkan berjuta-juta puji dan syukur kepada Dzat
yang Mahacinta, Dzat yang Mahasetia, Dzat yang Mahapengasih, dan Dzat yang
Mahapenyayang yang telah memberikaan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada manusia citra Ilahi insan al-
Kamil, habib Allah, Rasulullah Muhammad saw., yang tidak ada satu makhluk pun
yang dapat menandingi kesempurnaan kejadiannya, dan tak ada seorang atau pun
suatu makhluk pun yang dapat menandingi rasa kasih-sayang dan setianya kepada
umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui banyak
kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan dan dorongan serta penghargaan
dari berbagai pihak, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar
sarjana program Strata 1 (S1), Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, dengan berbagai macam bentuk kerendahan hati, dan
berbagai macam bentuk penghargaan, penulis menyampaikan syukur yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung dan mengarahkan
baik dari segi materil maupun moril. Untuk itu tak ada kata-kata yang dapat penulis
berikan kepada para pihak yang membantu kecuali kata terimakasih yang sedalam-
dalamnya, yang dihaturkan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
x
2. Ibu Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membina, membimbing penulis
selama belajar di Fakultas Tarbiyah ini.
3. Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag. dan Bapak Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., selaku
ketua jurusan dan sekretaris jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu
penulis dalam hal proses kuliah dan administrasi.
4. Abinda KH. Dr. Akhmad Sodiq, M.A., yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada
penulis.
6. Orang tua ruhani penulis, Kanjeng Syaikh Abdul Qadil al-Jilani r.a., Mbah KH.
Muhammad Shiddiq al-Shalihi, KH. Affandi Shiddiq, KH. Dr. Akhmad Sodiq,
dan jajaran masayikh wal shohibul majlis dzikr wat ta’lim Mihrobbul
Muhibbin, yang setia membimbing penulis tetap berada dalam jalan keridhaan
Allah swt..
7. Orang tua kandung penulis, almarhum ayahanda M. Yamin dan almarhumah
ibunda Atun Nahdiawati, yang telah banyak berjasa dalam kehidupan penulis.
8. Keluarga besar SAEFTA family yang telah banyak memberikan bantuan, baik
materi maupun moril, terkhusus miminda Hj. Saefunah, pamanda M. Luthfi
Ubaidillah, pamanda Abdul Aziz, serta bibinda Raudhotul Jannah.
9. Sahabat-sahabati PMII Rayon PAI (Maya, Dhilla, Nazi, Novi, Thoriq, Tajudin,
dll.), keluarga besar Bani al-Buloghiyah (Aufa, Amar, Apif, Zaenal, Ramadhan,
Rifki, Balyan, Halimah, Luthfi, dll.), keluarga besar FORSILA BPC, rencang-
rencang seperaliyahan Wong Dewek (Hasbi, Ahza, Syamsu, dan Sandi), teman-
teman KKN Kenduri 29 (Rixza & Harlie), dan teman-teman PAI 15 yang telah
mewarnai cakrawala pemikirian penulis.
xi
Penulis teramat sadar akan penelitian yang telah penulis susun ini masih
banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis nantikan. Atas semua itu penulis hanya
dapat memanjatkan do’a kepada Allah swt., semoga amal baiknya diterima oleh
Allah dan mendapatkan balasan yang setimpal.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis, dan pembaca pada umumnya.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq,
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Januari 2020
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................... ix
Daftar Isi .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 9
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 10
D. Rumusan Masalah .............................................................................. 10
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 11
F. Manfaat Penelitian .............................................................................. 11
BAB II KAJIAN TEORI ........................................................................... 12
A. Pendidikan Ruhani ............................................................................. 12
1. Devinis Pendidikan Ruhani .......................................................... 12
2. Tujuan Pendidikan Ruhani ........................................................... 16
B. Tarekat ................................................................................................. 18
1. Devinisi Tarekat ............................................................................. 18
2. Sejarah Tarekat .............................................................................. 21
3. Ciri-ciri Tarekat ............................................................................. 23
4. Tujuan Tarekat .............................................................................. 24
5. Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyyah KH. Muhammad
Shiddiq Al-Shalihi ......................................................................... 26
C. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................ 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 34
A. Objek dan Waktu Penelitian .............................................................. 34
B. Metode Penelitian ................................................................................ 34
C. Sumber Data ........................................................................................ 35
D. Teknik Analisis Data ........................................................................... 35
E. Fokus Penelitian .................................................................................. 35
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 37
A. Biografi KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi .................................. 37
1. Riwayat Hidup ............................................................................... 37
2. Latar Belakang Pendidikan .......................................................... 38
3. Jalur Tarekat ................................................................................. 40
4. Karya Tulis .................................................................................... 43
xiii
B. Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyah 45
1. Kesempurnaan Suluk .................................................................. 45
2. Adab .............................................................................................. 46
3. Dzikir ............................................................................................. 47
4. Muraqqabah ................................................................................. 48
C. Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyah
Perspektif KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi ............................. 49
1. Tazkiyat Al-Nafs ............................................................................. 50
2. Tasyfiyat Al-Qalb ............................................................................ 54
3. Implementasi Zuhud dalam Kehidupan KH. Muhammad
Shiddiq Al-Shalihi .......................................................................... 56
BAB V PENUTUP .................................................................................... 61
A. Kesimpulan ....................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 64
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf
berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi.
Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
A ا
Ś ث
ḥ ح
Kh خ
Ź ذ
Sy ش
Ṣ ص
ḍ ض
ṭ ط
Ť ظ
᾽ ع
Ģ غ
xv
H ة
2. Vokal
Vocal Tunggul
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
A
I
U
3. Mȃdd (Panjang)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
Ᾱ ا
Ῑ ي
Ṹ و
4. Tȃ’ marbȗtah
Tȃ’ marbȗtah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tȃ’ marbȗtah mati ditransliterasinya adalah /h/.
Kalau pada satu kata yang akhirnya katanya adalah Tȃ’ marbȗtah diikuti
oleh kata yang digunakan oleh kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka Tȃ’ marbȗtah itu ditransliterasikan dengan /h/. contoh:
.Wahdat al-wujứd atau Wahdatul wujứd = وحدة الوجود
xvi
5. Syaddah (Tasydḭd)
Syaddah/tasydid di transliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh : rabbanả, al-ḫaqq, ảduwwun.
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan
huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung.
Contoh: al - zalzalah (az zalzalah)
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh: al - syamsu (bukan asy – syamsu)
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kita, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti a;if, contoh: akaltu, ȗitya.
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh:
ta’kulȗna atau syai’un.
8. Huruf Kapital
Huruf capital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh: القرآن = al-Qur’an,
al-Madinatul Munawwarah = المدي نة المن ورة
.al-Mas’ȗdi = المسعودي
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Allah swt.
berfirman dalam surat As-Sajadah ayat 7-9, yaitu:
نس ن من طي )د وب ۥ ٱلذى أحسن كل شىء خلقه ۥ جعل نسله ث (٧أ خلق ٱل م ن ماء مهي )
وجعل لكم ٱلسمع سوٮه ون فخ فيه من ر وحهۦث (٨من سل لةدة وٱلبص ر ما تشكرون ) وٱلف
(٩ قليلا
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya
ruh (ciptaan)-Nya dan dia menjadi bagi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati (tetapi kamu sedikit sekali bersyukur).” (Q.S. As-
Sajadah [32]: 7-9).1
Demikianlah Allah swt. menjadikan manusia berupa makhluk yang
sempurna, dan dengan proses yang sempurna pula. Penciptaan manusia berbeda
dari seluruh makhluk lainnya. Allah swt. menciptakan manusia dengan
kemampuan khusus yang lebih berkecenderungan untuk mencari dan menyembah
Allah swt.. Manusia pun mampu rindu akan keutamaan yang mengantarkannya
pada peringkat tertinggi dari kesempurnaan manusiawi. Selebihnya, manusia sama
halnya dengan hewan yang mempunyai karakteristik fisik dan emosi untuk
mempertahankan diri.2
Berbeda dengan hewan, di dalam diri manusia terdapat dua unsur pokok,
yaitu jasmani dan ruhani. Unsur jasmani berupa fisik manusia seperti mata, hidung,
tangan, telinga, dan alat indra lainnya yang memungkinkan manusia untuk
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Penstabilan
Mushaf, 2007), hlm. 415.
2 Erhahamwilda, Konseling Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 6.
2
melakukan aktivitas seperti bergerak, bernafas, mencerna makanan dan lain
sebagainya. Sedangkan unsur ruhani merupakan kemampuan ruhaniah yang
kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Ruh pada manusia merupakan kemampuan memahami
pesan/ajaran/konsep yang secara ringkas disebut kesadaran. Kesadaran itu bisa
berupa: (1) Kesadaran Intelektual-Rasional (benar-salah), (2) Kesadaran Ethic-
Moral (baik/buruk, jujur/khianat), (3) Kesadaran aesthetic-artistic (indah/jelek,
cantik/buruk rupa), (4) Kesadaran Religius-Transcendental (ritual-saclar). Jadi
manusia pada awalnya makhluk biologis setelah ditiupkan ruh menjadi makhluk
biologis dan spiritual.3
Pengalaman keberagamaan (spriritual) adalah pengalaman yang unik dan
otentik. Setiap orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal keberagamaan,
sehingga ia menjadi bagian yang sangat erat dan mempengaruhi kepribadian
seseorang. Meskipun demikian, dalam kehidupan modern saat ini yang orientasi
kehidupan lebih menekankan pada aspek fisik-material, telah menjadikan aspek
keberagamaan dan spiritualitas terpojok ke wilayah pinggiran. Modernisasi di
segala bidang sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi melahirkan sikap
hidup yang materialistis, hedonis, konsumtif, mekanis, dan individualistis.
Akibatnya manusia modern banyak kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan,
dan kedamaian.4
Sesuai penjelasan di atas, manusia juga dapat terkena penyakit, baik
penyakit biologis ataupun penyakit ruhani. Penyakit biologi yang hanya
berhubungan dengan kondisi fisik belaka hanya akan mengurangin fungsi dari
tubuh kita. Sedangan penyakit ruhani dapat menyebabkan hilangnya derajat
seseorang, baik di sisi Allah atau pun lingkungan sekitar. Seperti halnya disebutkan
oleh Gus Ali dalam berita yang di muat oleh NU online, bahwasnya salah satu ciri
orang yang mengidap penyakit ruhani adalah tidak adanya cinta kepada sesama
manusia.5 Dampak terbesar dari penyakit hati juga mempengaruhi kestabilan
3 Erhahamwilda, Ibid, hlm. 24.
4 Achmad Husen, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Spiritualisme Islam: Tasawuf, (UNJ:
Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 10 No. 1, 2014), hlm. 6. 5 https://www.nu.or.id/post/read/106630/empat-tanda-orang-mengidap-penyakit-hati-menurut-gus-ali (diakses pada 27 Oktober 2019, pukul 02.09 WIB)
3
kehidupan, dengan sifat tamak dan cinta dunia seseorang akan melakukan korupsi,
akibatnya akan fatal karena menganggu ekonomi negara.6 Dengan sifat dusta
seseorang akan berbohong demi kepentingan pribadinya, terlebih menyebarkan
berita hoax dan itu akan mempengaruhi kestabilan keamanan negara. Semua itu
disebabkan oleh ruhani seseorang yang terserang penyakit.
Kasus korupsi di Indonesia telah menjamur, dari pejabat nasional pusat
damapi pejabat di daerah terpencil. Kasus korupsi e-KTP sudah menjadi rahasia
umum di Indonesia, Setya Novanto, mantan ketua DPR RI adalah dalang dibalik
kasus korupsi tersebut. Setya Novanto terbukti mengintervensi proses
penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP. Novanto pun
divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider
3 bulan kurungan.7
Selain yang penulis sebutkan di atas, media sosial pun menjadi kena tulah
dan jalan dari segelintir orang yang mengalami krisis ruhani tersebut. Fitnah atau
hoax telah menjamur di Indonesia khususnya lewat media sosial. Seorang pelajar
inisial MPA (18) terpaksa harus berurusan dengan aparat kepolisian Resor
Sukabumi Kota, Jabar. MPA membagikan informasi palsu dan ujaran kebencian.
Akibat perbuatannya itu MPA terancam hukuman penjara selama 6 tahun dan
denda Rp 1 miliar.8
Contoh lain dari kasus dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang sejatinya
menjadi garda terdepan dapat memperbaiki akhlak dan moral siswa tetapi sejauh
ini masih tercemar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Banyaknya
kasus kenakalan remaja menjadi bukti dari kurangnya pendidikan ruhani dalam
dunia pendidikan. Berita yang dinyatakan situs resmi divisi humas POLRI
menyebutkan bahwa 23 orang pelajar di Cirebon membawa senjata tajam
diamankan oleh polisi ketika tawuran.9 Selain tawuran, kenakalan remaja lainnya
6 Muhammad Hilmi, dkk. Konsep Hati Menurut Al-Ghazali, (Jurnal Reflektika Vol. 11 No.
11, Januari 2016)
7 https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-setya-novanto-divonis-15-tahun-penjara (diakses pada 3 Oktober 2019, pukul 20.21 WIB)
8 https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3896238/sebar-informasi-hoax-di-medsos-pelajar-di-sukabumi-ditangkap?_ga=2.63552047.1693848176.1570108590-808556038.1570108590 (diakses pada 3 Oktober 2019. Pukul 20.36 WIB) 9 https://humas.polri.go.id/2019/11/25/kabid-humas-polda-jabar-23-orang-pelajar-
diamankan-ketika-akan-tawuran/ (diakses pada 1 Desember 2019, pukul 14.49 WIB)
4
pun menjadi suatu hal yang menyeramkan baik dari orang tua, pihak sekolah,
bahkan msyarakat umum, KPAI menyebutkan dua orang siswa SMP di Depok,
APW (13) dan ARS (13) menjadi begal sepeda motor, keduanya membegal tukang
ojek yang dinyatakan sebab lingkunan pergaulan.10 Selain kenakalan remaja, dunia
pendidikan pun telah tercemari kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah siswa
oleh oknum guru di salah satu sekolah menengah di Kabupaten Pasaman, Sumatera
Barat, yang mengajar seni dan budaya. Terduga pelaku berstatus guru PNS
(Pegawai Negeri Sipil) sejak tahun 2000.11
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi gerbang utama dalam
memperbaiki ruhani. Tetapi dalam kenyataanya ikut tertular krisis ruhani.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asep Kurniawan bahwa sisi lain pendidikan,
belakangan ini telah terjadi penurunan respect siswa terhadap guru. Dimana siswa
tidak lagi menganggap guru sebagai panutan, seorang yang memberikan ilmu dan
pengetahuan yang patut dihormati dan disegani. Seperti yang terjadi pada januari
2010 seorang siswa berani menikam gurunya sendiri dengan senjata tajam. Siswa
tersebut merasa tersinggung karena sang guru menasihati di depan teman-
temannya oleh perbuatannya yang merugikan siswa lain.12
Permasalahan ini semakin terbukti ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dengan dominasi rasionalisme, empirisisme dan positivisme ternyata
membawa manusia kepada kehidupan modern, zaman ketika sekularisme menjadi
mentalitas dan spiritualitas menjadi suatu yang terlupakan bagi kehidupan modern.
Maka tak berlebihan, jika Seyyed Hossein Nasr mengatakan lahirnya keadaan ini
sebagai The Plight of Modern Men, nestapa orang-orang modern. Sebagai
akibatnya, persoalan baru yang juga tampak di tengah-tengah umat manusia
sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Artinya bahwa hilangnya pengetahuan
tentang hakikat alam semesta dalam kehidupan manusia, yang telah dianulir oleh
rasionalitas kemudian menjadi akar dari krisis spiritual. Sebagai akibatnya,
10 https://www.kpai.go.id/berita/kpai-prihatin-dua-bocah-smp-depok-jadi-begal (diakses
pada 1 Desember 2019, pukul 15.02 WIB)
11 https://www.kpai.go.id/berita/kpai-usut-kasus-dugaan-kekerasan-seksual-oknum-guru-
terhadap-siswa-di-pasaman (diakses pada 1 Desember 2019, pukul 15.08 WIB) 12 Asep Kurniawan, Peran Tasawuf dalam Pembinaan Akhlak di Dunia Pemdidikan di
Tengah Krisis Spiritualitas Masyarakat Modern, (Vol.2; Jurnal Yaqzhan, 2016), hlm. 89-91.
5
manusia mengalami kehampaan, disorientasi, ketidakbahagiaan dan akhirnya
bunuh diri.13
Masih banyak kasus lainnya yang tidak bisa penulis jabarkan satu persatu.
Semua itu disebabkan kurangnya pendidikan ruhani seseorang. Untuk
membentengi diri dari pengaruh hidup kotor tersebut, setiap manusia harus mampu
memahami potensi dirinya, baik secara lahiriyah maupun spiritual. Karena dengan
mengetahui potensi dirinya, seseorang akan dapat menilai kualitas yang dimiliki
oleh dirinya. Kondisi demikian, pendidikan islam adalah jalan pilihan untuk
mengatasi masalah seperti di atas melalui tarekat atau pendidikan ruhani seseorang.
Pendidikan Islam merupakan pengembangan pemikiran, penataan sosial,
prilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta
bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia, sehingga mampu meraih tujuan
hidup sekaligus mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah
tergambar secara integratif (utuh) dalam sebuah konsep akidah yang wajib diimani
agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya pada prilaku
normatif, yang mengacu pada Syari’at Islam yang murni. Prilaku itu adalah
penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia
itu sendiri, baik yang dilakukan secara individu ataupun kolektif.14
Pendidikan Islam secara sederhana adalah pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam yang bertujuan untuk menjadikan muslim yang lebih baik dengan
spesifikasinya tersendiri karena kesuksesan pendidikan anak didik dapat terwujud
jika anak mendapatkan porsi pendidikan yang paling esensial dalam hidupnya.
Pendidikan yang lebih dibutuhkan anak sejak usia dini adalah pendidikan ruhani.
Aspek ruhani mesti mendapatkan prioritas pertama yang harus dididik terlebih
dahulu oleh orang tua, karena aspek ruhiyah memiliki peran yang sangat dominan
dalam memompa ghirah dan semangat untuk belajar selanjutnya. Aspek
kemanusian yang lain akan mengikuti jika ruhani (kejiwaan) diwarnai
terlebihdahulu dengan nilai-nilai yang benar dan cara yang tepat. Aspek yang lain
13 Ahmad Sidqi, Wajah Tasawuf di Era Modern antara Tangtangan dan Jawaban,
(Universitas Azzahra Jakarta: Jurnal Epistemé, Vol. 10, No. 1, Juni 2015)
14 M. Ali Hasan dan Mukti Ali, KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM, (Jakarta:
PEDOMAN ILMU JAYA, 2003), hlm. 69.
6
(fikriyah, jasadiyah dan ijtimaiyyah) akan mengimbangi jiwa yang baik dan akan
terbawa arus kebaikan yang bersumber dari ruh.15
Ruh (nyawa atau jiwa), yang telah kita makna sebagai sesuatu yang
merupakan urusan Allah, dan makhluk ciptaan-Nya yang hanya memiliki
eksistensi ruhaniah semata serta merupakan salah satu rahasia Allah, adalah “alat
kehidupan” bagi setiap makhluk. Jika akal dapat mengendalikan jiwa (nafsu) sesuai
dengan ajaran sajaran Sang Pencipta, akan tenanglah jasad dan ruh sehingga
manusia akan merasakan kebahagiaan yang hakiki atau ketentraman dan
ketenangan.16 Adapun yang dimaksud pendidikan Islam di sini lebih spesifik ke
pendidikan ruhani dan akhlak manusia melalui tarekat.
Tarekat adalah salah satu hal yang mempunyai peran penting dalam agama
Islam. Sudah turun temurun tarekat tidak terkikis zaman, dan tidak ada satu pun
yang sanggup dengan cepat dan teliti dalam hal pendidikan ruhani. Tarekat pula
lah sebagai suatu wadah umat Islam dalam pencapaian pendidikan ruhaniyah
sampai wushul ilallah, yaitu sampai ke hadirat Allah swt..
Wushul ilallah dapat diperoleh dengan menjajaki beberapa tahapan, salah
satunya yaitu dengan cara menyeimbangkan antara habulum minallah (hubungan
manusia dengan Tuhannya), hambulm minan nas (hubungan manusia dengan
manusia), dan hablum minal ‘alam (hubungan manusia dengan alam), ketiga aspek
ini dibahas dalam ajaran tasawuf. Seperti yang dikatakan oleh Kausar Azhar Noer,
bahwa tasawuf adalah sebagai jalan spiritual menuju Allah, yang bersumber dari
Al-Qur’an dan sunnah, berintikan akhlak mulia, mendekatkan manusia pada Allah,
tetap setia pada syari’at, menekankan keseimbangan antara aspek-aspek lahiriah
dan batiniyah, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, berpihak kepada orang-
orang lemah dan tertindas.17 Yang itu bisa didapatkan hanya dengan melalui
pendidikan tarekat.
15 Saifudin Zuhri, Tarbiyah Ruhiyah (Pendidikan Ruhani) Bagi Anak Didik Dalam
Perspektif Pemikiran Pendidikan Islam, (Jurnal As Sibyan, Vol. 2 No. 1, 2019), hlm. 40. 16 M. Amir Langko, Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam, (Jurnal Ekspose,
Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014)
17 Kausar Azhar Noer, Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2003), hlm. 4.
7
Indonesia sebagai salah satu negara yang menampung muslim terbanyak,
dan di Indonesia pula terdapat banyak tarekat, ada tarekat yang dilabeli sesat dan
tidak sesat. JATMAN (Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah)
menampung dari sekian banyaknya tarekat yang ada di Indonesia mu’tabarah
(tidak sesat), yaitu tarekat yang tak lepas dari doktrinn Al-Qur’an dan Hadits.
Tarekat-tarekat mu’tabarah yang dinaungi JATMAN kurang lebihnya terdapat 44
tarekat mu’tabarah. Penulis di disini hanya ingin mengambil satu dari sekian
banyaknya tarekat mu’tabarah, yaitu Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah,
dimana masyarakat Indonesia biasa menyingkatnya dengan TQN.
Terdapat banyak cabang dalam TQN di Indonesia, salah satunya TQN
yang di usung oleh KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi Kudus - Jawa Tengah,
yang mempunyai cabang di Ciputat, Tangerang Selatan yang diasuh oleh Dr. KH.
Ahmad Shodiq MA. Penulis di sini ingin meneliti sebuah doktrin yang diusung
TQN di berbagai zaman yang akan dibagi sesuai teori perkembangan generasi.
Sebuah organisasi bisa menjadi besar ditentukan oleh kesungguhan
seorang pemimpin dalam mengembangkannya. Hal ini juga terjadi pada Tarekat
Qadiriyah wan Naqsabandiyah Piji Kudus yang didirikan oleh Kyai haji
Muhammad Shiddiq. Kepemimpinan Kyai Shiddiq selanjutnya diteruskan oleh
putera-puteranya, yaitu Kyai Haji Abdul Lathif Shiddiq, Kyai Haji Affandi
Shiddiq, dan Kyai Haji Muchtar Amin Shiddiq. Walau pada masa awal
pendiriannya tahun 1972 tarekat ini hanya diikuti oleh sekitar 200 murid sekarang
tahun 2015 diikuti belasan ribu muridin-muridat.18
Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah, di Indonesia sudah sejak abad ke
19 M, tentu bukan jangka waktu yang pendek sampai saat ini 2019. Sudah banyak
generasi yang merasakan dari pengaruh dari TQN. Di era yang serba mudah
dengan berbagai pengaruh ini, penulis akan menjabarkan TQN dari berbagai
kondisi di steiap zamannya. Hal ini penulis bagi dalam beberapa zaman yang
dibagi sesuai teori perbedaan generasi, itulah gambaran umum dari arti kata
“multizaman” yang tertera dalam judul tulisan ini.
18 Ma’mun Mu’min, Sejarah Perkembangan Pendidikan Tasawuf: Studi Tariqah Qadiriyah
wa Naqsabandiyah di Kudus Jawa Tengah, (Kudus: Jurnal QUALITY STAIN Kudus, 2016), hlm.
373.
8
Tarekat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah sebagai lembaga spiritual telah
melakukan revolusi spiritual, dengan memperbarui aktivitas untuk melakukan
ritual dengan ajarannya untuk mengisi kekosongan jiwa jamaahnya. Kekayaan
materi yang mewarnai kehidupan ini dianggap sebagai suatu yang penting asalkan
manusia mempunyai kekuatan untuk menggunakan kekayaan sebagai penopang
hidup dalam masyarakat. Sebaliknya kekayaan hatilah yang menjadi penopangnya
untuk mengendalikan hawan nafsu seseorang. Seorang sufi merupakan orang yang
kaya hati tetapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup. Pada zaman modern ini
berbagai krisis menimpa kehidupan manusia mulai dari krisis sosial, krisis
struktural, dan krisis spiritual. Dampak dari krisis sosial, struktural dan spiritual
serta modernisasi menjadi salah satu pemicu tumbuhnya hasrat pada spiritualisme
yang sangat digemari yang mengembalikan nilai kemanusiaan pada dimensi
fitrahnya. Tarekat dalam Islam merupakan kegiatan spiritual yang menjadi
primadona bagi masyarakat. Fenomena meningkatnya kegairahan masyarakat pada
spiritualisme, tarekat di posisikan sebagai media terapi atau pengobatan serta
sebagai media untuk meningkatkan spiritualisme bagi para korban krisis
modernitas.19
Dalam hal ini penulis ingin mengangkat judul Konsep Pendidikan Ruhani
dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah Perspektif K.H. Muhammad
Shidiq Al-Shalihi, karena penulis percaya tarekat sebagai salah satu metode
pendidikan ruhani masih tetap eksis sampai saat ini. Bukan hanya itu, penulis juga
mempunyai keyakinan bahwa tarekat merupakan hal penting dan banyak
memberikan sumbangsih terhadap ruhaniyah dan akhlak seseorang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membahas judul
penelitian ini dengan, “Konsep Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah
wan Naqsabandiyah Perspektif K.H. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi”.
19 Jainudin, Pendidikan Karakuter Dan Pergeseran Sosiopsikologis Penganut Aliran
Tarekat Qadiriyyahwannaqsabandiyah Surabaya, (JOEIS: Journal of Islamic Education Studies,
Vol. 1 No. 2, Desember 2016)
9
B. Identifikasi Masalah
Berdaasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Banyaknya penyimpangan agama dan sosial yang diakibatkan
kurangnya pendidikan ruhani.
2. Terjadinya tidak saling mencintai sesama manusia yang mengakibatkan
perpecahan umat manusia.
3. Banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang disebabkan oleh
kurangnya pendidikan ruhani dalam diri.
4. Beredarnya berita hoax yang disebabkan kurangnya pendidikan ruhani
pada seseorang.
5. Kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya yang hanya
mengandalkan guru disekolah sebagai pendidik utama.
6. Kurangnya respect siswa terhadap gurunya yang disebabkan oleh krisis
moral.
7. Kehidupan modern menjadi penghambat dalam spiritual seseorang.
8. Kurangnya pendidikan ruhani sejak usia dini.
9. Banyaknya krisis ruhani yang diakibatkan kurangnya pendidikan
ruhani.
10. Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah KH. Muhammad Shiddiq Al-
Shalihi untuk mencegah krisis ruhani.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, agar pembahasan tidak samapi
keluar jalur dan dapat mencapai tujuan yang dapat diinginkan, maka penelitian
ini dibatasi hanya pada pembahasan tentang “Konsep Pendidikan Ruhani
dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah Perspektif K.H. Muhammad
Shiddiq Al-Shalihi”.
10
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah?
2. Bagaimana pemikiran K.H. Muhammd Shiddiq Al-Shalihi tentang pendidikan
ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalah yang telah di sebutkan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah “Untuk mengetahui pemikiran KH. Muhammad Shiddiq Al-
Shalihi tentang pendidikan ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah.”
F. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca
terlebih terhadap penulis, adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dan penulis dalam
memahami pendidikan ruhani, khususnya dalam Tarekat Qadiriyyah
wan Naqsabandiyah menurut KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi.
2. Dapat memberikan wawasan bagi pembaca dan penulis dalam
pencegahan krisis ruhani melalui Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah menurut KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Ruhani
1. Definisi Pendidikan Ruhani
Manusia tidak hanya membutuhkan pendidikan fisik saja untuk
melangsungkan kebutuhan hidupnya, melainkan manusia pun
membutuhkan pendidikan ruhani sebagai jalan untuk membina dunia psikis
dan sosial (ruhaniyah). Dunia ruhani/ spiritual manusia adalah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia yang tentunya
memerlukan proses pembinaan, bimbingan, dan pendidikan.
Untuk mengetahui secara terperinci antara pendidikan dan ruhani,
maka akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Pendidikan
Pendidikan dari segi bahasa dapat diartikan perbuatan (hal, cara, dan
sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin, dan
sebagainya.20 Dalam bahasa Arab, pendidikan pada umumnya
menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan.
Adapun pengertian dari segi istilah, bahwa pendidikan adalah
merupakan usaha atau proses yang ditunjukan untuk membina kualitas
sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan peranannya dalam
kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian pendidikan
pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya
secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan
demikian akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.21
20 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), cet II, hlm. 250.
21 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.
338.
12
Menurut UU SISIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan pada
dasarnya berarti usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan
merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan.22 Dalam hal ini, manusia tidak hanya membutuhkan pendidikan
secara lahiriyah/ fisik saja, melainkan manusia pun membutuhan
pendidikan yang berkaitan dengan jiwa atau ruhaninya.
b. Ruhani
Al-Ghazali menyebutkan ada dua makna ruh, yaitu: pertama,
sejenis sesuatu yang halus yang bersumber pada lubang jasmani, lalu
menyebar melalui pembuluh darah yang merasuk ke seluruh anggota tubuh.
Peredaran roh pada tubuh dan limpahan cahaya kehidupan, perasaan,
penglihatan, pendengaran, dan penciumannya, pada seluruh anggota tubuh
seperti limpahan cahaya lampu yang diedarkan di setiap sudut rumah.
Sesungguhnya lampu itu tidak sampai pada suatu pagian rumah, melainkan
ia menerangi dengan cahaya itu. Kehidupan ini seperti cahaya yang tampak
pada dinding ruangan, sedangkan roh adalah seperti lampunya. Pergerakan
roh di dalam tubuh itu seperti gerakan lampau di sekeliling rumah yang
digerakkan oleh penggerak lampu itu. Makna kedua, (sesuatu) yang halus,
yang mengetahui, yang menyerap, dari manusia. Ia yang telah kami uraikan
dalam salah satu dari makna hati dan itulah yang dikehendaki oleh Allah
swt. dengan firman-Nya: :Qul al-rûh min amrirabbi” (QS. al-Isrâ [17]: 85).
22 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 204.
13
Roh adalah persoalan yang mengagumkan, bersifat ketuhanan (rabbâni) di
mana mayoritas akal tidak mampu memahami hakikatnya.23
Hakikat pengertian ruh adalah degradasi eksistensi jiwa-Nya, Dzat-
Nya, sifat-sifat-Nya, dan Nur-Nya dari yang tak berhingga kehalusan-Nya
menjadi yang berhingga dan berdimensi. Pengertian ini identik dengan zat
yang memiliki kemuliaan dan kehalusan akhlak/ sifat yang tinggi.24 Masalah
ruh dan hakikatnya telah menjadi bahan pemikiran para filosof dan cerdik
cendekia semenjak zaman lampau. Karena, dengan jelas dapat ditangkap
bahwa di dalam tubuh manusia yang hidup ada sesuatu selain tubuh ini.
Dengannya, manusia menjadi dapat menangkap pemahaman dan dengan
ketiadaannya maka tubu manusia menjadi kehilangan kontrol dan
kemampuan untuk menangkap pemahaman. Dengan itu diketahui bahwa di
dalam tubuh manusia ada sesuatu selain anggita tubuh yang tampak dan
tidak tampak. Karena, ditemukan dengan jelas bahwa ketika tubuh mayat
dibedah, tidak ada suatu anggota tubuh bagian dalamnya yang hilang, yang
ada saat ia masih hidup.25
Jika akal manusia tidak mampu memahami hakikat ruh dan cara
perhubungannya dengan tubuh, bagaimana ruh itu lepas dari tubuh, dan
bagaimana pula kelanjutan setelah ruh itu lepas dari tuuh, dan bagimana ruh
adalah masalah Allah. Artinya, ia merpakan satu eksistensi yang dimliakan
Allah, namun hanya Allah swt-lah yang mengetahui hakikatnya.
Di dalam pandangan Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah,
terdapat dua istilah, yaitu nafs (jiwa) dan lathifah (kelembutan) yang
bersifat ketuhanan (rabbaniyat). Lathifah ini sebelum bersatu dengan badan
jasmani manusia disebut dengan al-ruh, dan jiwa adalah ruh yang telah
masuk dan bersatu dengan jasad yang menimbulkan potensi kesadaran
(ego). Jiwa yang diciptakan oleh Allah sebelum bersatunya dengan jasad
23 Akhmad Shodiq, Prophetic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak
Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: KENCANA, 2018), hlm. 13.
24 Azhari Aziz Samudra dan Setia Budi, Eksistensi Rohani Manusia, (Jakarta: Yayasan
Majels Ta’lim HDH, 2004), hlm. 91.
25 Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm.
67.
14
bersifat suci, bersih dan cenderung mendekat kepada Allah mengetahui
akan Tuhannya. Akan tetapi, setelah ruh tersebut bersatu dengan jassad
akhirnya ia melihat (mengetahui) yang selain Allah, dan oleh karena itu
terhalangnya ia dari Allah karena sibuknya dengan yang selain Allah itu.
Itulah sebabnya sehingga ia perlu dididik, dilatih, dan dibersihkan agar
dapat melihat, mengetahui, dan berdekatan dengan Allah swt..
Ruh yang masuk dan bersatu dengan jasad manusia memiliki
lapisan-lapisan kelembutan (lathaif), sehingga dapat dikatakan bahwa tujuh
lathaif yang ada pada diri manusia itu adalah al-nafs atau jiwa. Jadi jiwa
menurut pandangan Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah memiliki
tujuh lapisan berddasarkan nilai kelembutannya, yaitu 1) nafsul ammarah
2) nafsul lawwamah 3) nafsul mulhimah 4) nafsul muthmainnah 5) nafsur
radiyah 6) nafsul mardiyah 7) nafsul kamilah.26
Ruh adalah lapisan hati yang menikmati titik pandang cahaya-
cahaya Allah, yang pada bagian itu Allah memperhatikan perwujudan-Nya
tanpa tabir penutup. Hati adalah kulit kerang darn ruh adalah mutiara. Ruh
berusaha menarik hati (qalb) kepada Alla, sementara nafs berusaha
menjerumuskan hati. Banyak kaum sufi berpendapat bahwa ruh adalah
esensi manusia. Dan bahwa ruh adalah milik Allah, karena Al-Qur’an
mengatakan: “Ruh adalah urusan Tuhanku (QS. Al-Israa [17]: 85). Ruh
membentuk diri dalam kehidupan manusia mengambil tempat di hati. Yakni
ketika tentara kasih sayang, yang merupakan kekuatan ruh kesatuan
mengusir pasukan nafs dari hati. Pada saat itu, jiwa sufi berhubungan
dengan alam kesatuan dan terpisah dari dunia keanekaragaman.27
Islam mempunyai sistem pendidikan rohani sendiri. Pada sistem ini,
seseorang mesti bekerja dengan hati dan rohnya. Ketika upaya secara konsisten dan
kontinu telah dilaksanakan melalui hati dan roh sebagai prinsif fundamental,
aturan-aturuan dan disiplin dari para ahli rohani Islam, maka kemampuan,
26 Kharisudin Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hlm. 141.
27 Salahuddin, “Teori dan Struktur Lathaif dalam Tasawuf”, (Jauhar: Jurnal Pemikiran
Islam Kontekstual, 2003), hlm. 251.
15
kapabalitas, dan potensi hati dan roh akan dapat dihidupkan, dipersiapkan serta
diaktifkan. Seseorang yang hati dan ruhnya telah dihidupkan, dipersiapkan dan
diaktifkan melalui pendidikan ruhani, akan dikenal sebagai seorang rohaniis. Hasil
dan keuntungan dari pendidikan rohani tanpa batas. Dampaknya akan dapat
diterima dan dirasakan di dunia dan di akhirat nanti.28
Dalam Pendidikan Islam, pendidikan ruhani merupakan aspek
penting. Pendidikan ini memungkinkan potensi ruhani untuk berkembang
dan mempunyai pengalaman-pengalaman transendental yang
menjadikannya terus menyempurnakan diri sejalan dengan totalitas potensi
yang dimiliki, dengan tetap bersandar pada kaidah-kaidah yang kuat dan
dasar-dasar agama yang kokoh; yang berperan sebagai penguat dan
pengokoh relasi antara seorang muslim dengan Allah swt.. Bahwasanya
melalui pendidikan ruhaniyahlah seseorang dapat merubah sikap, moral,
serta akhlak dalam kehidupannya. Hanya melalui pendidikan inilah
seseorang dapat mengaplikasikan tiga tugas pokok diciptakannya manusia
oleh Allah swt. yaitu hablumminallah, hablumminanas, dan
hablumminalalam.
2. Tujuan Pendidikan Ruhani
Pendidikan memiliki tujuan dan fungsi sangat mulia, yaitu memanusiakan
manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih berperan sebagai manusia, lebih
mengetahui serta memahamai nilai-nilai dan hakikat sebagai manusia. Hal ini
menjadi penting, karena jika manusia tidak mengetahui dan memahamai nilai-nilai
kemanusiaan, maka akan jatuh ke dalamsifat-sifat hewan atau binatang.29
Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan
diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin
yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan
manusia), baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis)
28 M. Akmansyah, Tujuan Pendidikan Rohani Perspektif Pendidikan Sufistik, (Jurnal
Ijtima’iyah Vol. 9 No. 1, Februari 2016), hlm. 93.
29 M. Saekun Muchith, Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan, (Stain Kudus: Jurnal
ADDIN, Vol. 10, No.1, Februari 2016), hlm. 167.
16
berada dalam garis mukmin-muslim-muhsin dengan perangkat komponen,
variabel, dan parameternya masing-masing yang secara kualitatif bersifat
kompetitif.
Menurut Al-Ghazali, tujuan umum pendidikan Islam adalah tercermin
dalam dua segi, yaitu insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di
akherat. Kebahagiaan dunia-akherat dalam pandangannya adalah menempatkan
kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih
mempunyai nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Menurut Akmansyah tujuan pendidikan rohani jangka panjang (final goal)
adalah mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Sehingga pendidikan dalam
prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian
pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam. Sedangkan tujuan pendidikan jangka
pendeknya adalah terwujudnya kemampuan manusia melaksanakan tugas-tugas
keduniaan dengan baik sebagai bekal menuju kehidupan yang kekal di akhirat.
Selain itu, tujuan pendidikan rohani yang diharapkan adalah untuk mencari,
membina dan mengembangkan hubungan individual-vertikal yang harmonis;
sampai (wushūl) kepada Allah dengan kesetiaan hanya kepada-Nya semata,
melaksanakan moralitas Islam yang diteladani oleh Nabi saw. berdasarkan pada
cita-cita ideal dalam al-Qur’an. 30
Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimensi kehidupan dunia
ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal
kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai mendorong manusia berusaha
keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan,
sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan
duniawi atau materi yang dimiliki. Keseimbangan dan keserasian antara
kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tanggal terhadap pengaruh-
pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda
30 M. Akmansyah, OpCit, hlm. 106.
17
ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual,
sosial, kultural, ekonomi, maupun kehidupan pribadi manusia.
B. Tarekat
1. Definisi Tarekat
Dalam dunia Islam, tarekat adalah bukan suatu yang baru. Tarekat
berasal dari bahasa Arab, thariqah, jamaknya tara’iq. Secara etimologi,
tarekat berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3)
madzhab, aliran, haluan, (al-madzhab); (4) keadaan (al-halah); (5) pohon
kurma yang tinggi (an-nakhlah at-tawilah); (6) tinggi tempat berteduh,
tongkat payung (‘amud al-mizallah); (7) yang mulia, terkemuka dari kaum
(syarif fi asy-syay’).31
Secara terminologi, tarekat bermakna pengamalan ajaran-ajaran
islam yang teliti dan rasa hati-hati kemudia mengamalkan amalan-amalan
yang dianjurkan disertai mengamalkan ibadah dan riyadlah. Menjauhi hal
yang samar (syubhat) dan hal yang tidak pasti hukumnya ialah sebuah
bentuk konkret dari rasa kehati-hatian tersebut. Adapun permisalan dari
amalan yang dianjurkan adalah seperti shalat sunah rawatib, shalat tarawih,
shalat tahajud dan amalan anjuran lainnya. Kemudian lidahnya basah akan
dzikrullah beristigfar, bertahlil, puasa daud ialah perumpaan dari
riyadhah.32
Seseorang muslim yang mendalami tasawuf, bertarekat adalah
langkah awal praktek yang dilakukan. Seseorang dengan bertarekat akan
mengenal apa saja yang berhubungan dengan hawa nafsu dan
karakteristiknya, yang bertujuan untuk menghindari hal keji dan
mengamalkan kebajikan. Oleh sebab itu, begitu pentingnya bertarekat bagi
seluruh pemeluk agama islam yang ingin hatinya bersih akan hal-hal yang
31 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 305.
32 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006),
hlm. 97.
18
bersifat materi melalui dzikrullah (ingat kepada Allah swt.), muraqabah
(mendekatkan diri), ma’rifah (mengenal), dan muhasabah (introspeksi)
kepada Allah swt..
Dalam kalangan sufi, tarekat adalah sistem dalam rangka
mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela
dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dzikir
dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan
bersatu secara ruhiah dengan Tuhan. Jalan tarekat itu anatara lain terus-
menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.33
Rosihon Anwar mengutip perkataan Asy-Syekh Muhammad Amin
Al-Kurdy mengemukakan definisi tarekat, yaitu:34
ينبغى ئمها والبعد عن التساهل فيما ل الطريقة هي العلم بلشريعة والخذ بعزا التساهل فيه.
“Tarekat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.”
نهيات ظ قدر الطاقة.ناا وامتثال الوامر اللهية ب اهراا وبط الطريقة هي اجتباب الم
“Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupan, baik larangan dan perintah yang nyata
maupun yang tidan (bathin).”
Menurut Saifulloh Aziz yang mengutip Syekh Zainuddin bin Ali dalam
Kitab Nadhom “Hidayatul Adzkiya ‘Ila Thoriqil Auliya’”, bahwa tarekat juga
mempunyai pengertian:35
ب ت لا وطريقة أخذ بحوط كالورع ۞ وعزيمة كريضة مت
33 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 270. 34 Rosihon Anwar, Opcit, hlm.
35 Moh. Saifulloh Al-Aziz Senali, Tashawwuf & Jalan Hidup Para Wali, (Gresik: Putra
Pelajar, 2000), hlm. 32.
19
“Tarekat adalah menjalankan amal yang lebih berhati-hati dan tidak
memilih kemurahan (keringanan) syara’ seperti sifat wara’ serta
ketetapan hati yang kuat seperti latihan-latihan jiwa.”
Menurut Harun Nasution, tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi
besar. Mereka mendirikan organusasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran
tasawuf gurunya sehingga timbulah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat
pusat kegiatan yang disebut ribat (disebut juga zawiyah, khanaqah, atau pekir). Ini
merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran
tasawuf walinya, ajaran tasawuf syekhnya.36
Menurut Dr. Akhmad Sodiq, M.A., ilmu tarekat menurut Ibn Arabi
–sebagaimana dikutip Kiyai Shiddiq- adalah warisan para nabi yang
diwariskan secara turun-temurun hingga sampai kepada pewaris terbaik
(Nabi Muhammad saw.). Tarekat merupakan ilmu yang Allah wahyukan
kepada para rasul dan nabinya sebelum Nabi Muhammad saw.. Ia
merupakan ruh syariat dan agama-agama.37 Ilmu tarekat juga mempunyai
pengertian yang bertujuan memperbaiki akhlak manusia, yang seperti yang
dikatakan oleh Abdul Hadi, dalam bukunya yang berjudul Kebangkitan
Kaum Sufi Kontemporer, ia berkata bahwa tarekat adalah “ilmu tentang cara
untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela kemudian mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji agar mendapatkan posisi yang dekat dengan
Allah ‘azza wa jall.”38
Ilmu tassawuf menerangkan bahwa syari’at adalah sebuah
peraturan, tarekat ialah pengemalan, lalu hakikat yaitu sebuah pencapaian
yang kemudian ma’rifat adalah tujuan finalnya.39
36 Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam dalam Orientasi
Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama
Islam/IAIN, Jakarta: Ditbinbaga Depag RI, 1968, hlm. 24.
37 Akhmad Sodiq, Mursyid TQN Kontemporer KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi Kudus,
(Yogyakarta: Samudra Biru, 2016), hlm. 90.
38 Abdul Hadi, MA., Kebangkitan Kaum Sufi Kontemporer Indonesia: JATMAN, (Kendal:
Pustaka Amanah, 2018), hlm. 30.
39 Moh. Saifullah Al-Aziz Senali, OpCit, hlm. 32-33.
20
Dari berbagai aspek pendidikan, tarekat adalah sebuah sistem
pendidikan yang memiliki unsur-unsur pendidikan di dalamnya, seperti
mursyid yang berlaku sebagai pendidik, murid atau pengikut sebagai siswa,
dan ilmu tarekat merupakan materi pelajarannya. Di dalam tarekat pun
terdapat metode, teknik, dan tujuannya tersendiri sebagaimana sebuah
pendidikan yang tersetruktur. Dan juga di dalam tarekat ada tata tertib yang
harus dipatuhi.
Sejatinya pendidikan dalam tarekat adalah pendidikan jiwa. Para
ahli tarekat berkeyakinan, bahwa hakikat manusia adalah jiwanya. Dialah
raja dalam tubuhnya. Sehingga apa saja yang dilakukan oleh anggota
tubuhnya adalah atas perintah jiwanya, apabila jiwanya jahat maka jeleklah
perbuatan yang dilakukan oleh anggota tubuhnya, demikian pula
sebaliknya. Dengan demikian, maka mendidik jiwa berarti telah medidik
hakikat manusia, dan akan berdampak pada seluruh totalitas
kemanusiannya.40
Dengan kata lain, penulis bisa menyimpulkan bahwa tarekat adalah
sebuah wadah atau lembaga pendidikan ruhani, di mana seseorang dididik
untuk menuju Allah dengan cara membersihkan diri dari sifat tercela dan
menggantinya dengan sifat terpuji.
2. Sejarah Tarekat
Apa yang disebut tarekat pada mulanya adalah sikap zuhud para
sahabat atau generasi awal muslim yang ingin menjalankan syariat-syariat
secara konsisten.
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mulai-mulai
timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Harun Nasution
menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnya
40 Kharisudin Aqib, OpCit, hlm. 153.
21
dikatakan sesat, tasawuf berkembang dalam dunia Islam, tetapi perkembangannya
melalui tarekat.41
Menurut Dr. Kamil Mustafa Asy-Syibli dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem tarekat itu Syekh Abdul Qadir Al-Jilani [w. 561 H/1166
M] di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di Mesir dengan Tarekat Rifa’iyah, dan
Jalaluddi Ar-Rumi [w. 672 H/1273 M] di Parsi.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu
Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa,
di antaranya tarekat Yasafiyah yang didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi [w. 562
H/1169 M], tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abdul Khalik Al-
Ghuzdawani [w. 617 H/1220 M], tarekat Naqsabandiyah yang didirikan oleh
Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari [w. 1389 M] di
Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khalwati [w. 1397
M].42
Di daerah Mesopotamia masih banyak tarekat yang muncul dalam periode
ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun Al-Junaid. Tarekat-tarekat ini
antara lain adalah:
1. Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Muhyiddin Abdul Qadir
Al-Jilani ra. [471 H/1078 M].
2. Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan oleh Syekh Ahmad Asy-Syadzili
[593-656 H/1196-1258 M].
3. Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i
[1106-1182 M].
Tarekat yang tergolong kepada grup Qadiriyah ini cukup banyak dan
tersebar ke seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan
kepada Umar bin Al-Farid [1234 M] yang kemudia mengilhami tarekat Sanusiyah
[Muhammad bin Ali As-Sanusi, 1787-1859 M] melalui tarekat Idrisiyah [Ahmad
41 Harun Nasution, Opcit, hlm. 24.
42 M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2008),
hlm. 209.
22
bin Idris] di Afrika Utara merupakan grup Qadiriyah yang masuk ke India melalui
Muhammad Al-Ghawath [1517 M] yang kemudian dikenal dengan tarekat Al-
Ghawathiyah atau Al-Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi
[1041 H/1631 M].43
Di Indonesia pun tarekat berkembang dan dibedakan menjadi dua jenis,
ada yang berjenis Tarekat Mu’tabarah dan Tarekat Ghairu Mu’tabarah. Hal ini
dibedakan dikarenakan untuk melindungi dari label “sesat”. Tarekat-tarekat yang
ajarannya sesuai dengan doktrin Islam (Al-Qur’an dan As-Sunah) dilabeli sebagai
Tarekat Mu’tabarah. Sebaliknya, tarekat yang ajarannya kurang sesuai dengan
doktrin Islam dikelompokan sebagai Tarekat Ghairu Mu’tabarah.
Untuk menghindari dari berbagai penyimpangan-penyimpangan,
dibentuklah satu badan federasi yang bernama Pucuk Pimpinan Jam’iyah Ahlit
Thoriqoh Mu’tabaroh pada tahun 1957 yang kemudian berganti nama menjadi
Jam’iyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyin pada tahun 1979.
Organisasi ini dipimpin oleh Kyai ternama dari pesantren-pesantren besar seperti
Kyai Baidlawi, Kyai Ma’sum, dan Kyai Hafiz, dan yang saat ini sedang menjabat
adalah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.
3. Ciri-ciri Tarekat
Menurut ketentuan tarikat pada umumnya, bahwa seorang Syekh sangat
menentukan terhadap muridnya. Keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat
mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena tarikat itu merupakan
jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang
menjalankan tarikat itu harus menjalankan syariat dan si murid harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut44:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
43 M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ibid, hlm 209.
44 Abuddin Nata, OpCit, hlm. 270.
23
2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak
dan gurunya; dan melakukan perintahnya dan meninggalkan
larangannya.
3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai
kesempurnaan yang hakiki.
4. Berbuat dan mengisi waktu efisien mungkin dengan segala wirid dan
doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqamat
(stasiun) yang lebih tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat
menodai amal.
Ciri-ciri tarikat tersebut merupakan ciri yang pada umumnya dianut
setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya berbeda-beda.
Dengan ciri-ciri di atas, tidak mengherankan bahwa tarikat itu
sebenarnya ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang dapat menghasilkan pancaran
nur Tuhan ke dalam hari murid-muridnya, sehingga dengan nur itu
terbukalah baginya segala sesuatu yang ghhaib daripada ucapan-ucapa
nabinya dan rahasia-rahasia Tuhannya. Ilmu ini dilakukan dengan cara
riadah/ latihan dan mujahadah.
4. Tujuan Tarekat
Diantara banyaknya tujuan tarekat yang hendak dicapai, beberapa diantaranya
adalah45:
1. Dengan mengamalkan tarekat berarti mengadakan latihan (riyadhah)
dan berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-
sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Hal itu
dilakukan melalui perbaikan budi pekerti dalam berbagai seginya.
2. Selalu dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah Dzat Yang
Mahabesar dan Mahakuasa atas segalanya dengan melalui jalan
45 Moh. Saifulloh Al-Aziz, OpCit, hlm. 39.
24
mengamalkan wirid dan dzikir disertai tafakur yang dilakukan secara
terus-menerus.
3. Berawal dari hal ini nantinya akan timbul perasaan takut kepada Allah
sehingga timbul pula dalam diri seseorang itu suatu usaha untuk
menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat
menyebabkan lupa kepada Allah.
4. Jika hal itu semua dapat diilakukan dengan penuh ikhlas dan ketaatan
kepada Allah, maka tidaklah mustahil akan dapat dicapai suatu
tingkatan makrifat, sehingga dapat diketahui segala rahasia dibalik tabir
cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang benderang.
5. Akhirnya dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari
hidup ini.
Kegunaan tarekat berikut wirid-wirid yang ada di dalamnya adalah
untuk mencerahkan hati (al-qalb) sehingga mudah bagi seseorang untuk
musyahadah. Musyahadah merupakan kenikmatan agung dan tujuan akhir
bagi para pemikir (al-uqala). Ia merupakan jalan untuk samapai kepada
Hadrah al-Bariy dengan perantara syekh yang sempurna.46
Dapat disimpulkan bahwa tujuan tarekat adalah menyingkirkan yang
selain Allah swt. itu sendir, dan pengharapan ridha Allah untuk kehidupan, baik
di dunia dan di akhirat. Sama sekli tidak ada tujuan negatif yang terselip di
dalamnya sehingga dapat menggelincirkan umat Islam jatuh ke dalam kesesatan.
Sebagaimana yang sering dituduhkan oleh beberapa orang yang belum mengetahui
tentang Ilmu Tarekat. Karena ilmu ini bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis.
5. Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyyah KH. Muhammad Shiddiq Al-
Shalihi
Ada berbagai macam tarekat di dunia khusunya di Indonesia, salah
satunya adalah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah. Tarekat ini di
Indonesia tergolong dalam jenis tarekat mu’tabarah yang melalui
46 Akhmad Sodiq, Mursyid ..., OpCit, hlm. 90.
25
JATMAN, sudah lulus verifikasi dari label sesat, dikarenakan tarekat ini
selalu memgang teguh Al-Qu’an dan Sunnah.
Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah atau yang sering disingkat
dengan TQN, adalah penggabungan dari dua tarekat besar; yaitu Tarekat
Qadiriyyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dan Tarekat
Naqsabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Baha’uddin An-Naqshabandi.
Tarekat ini didirikan oleh seorang ulama besar yang berasal dari
Nusantara, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878 M), tinggal di
Mekah yang menjadi Imam Besar Masjidil Haram yang didirika pada tahun
1857 M. Inti ajaran dari gabungan kedua tarekat besar ini untuk diajarkan
kepada murid-murid khususnya yang berasal dari Nusantara; yaitu atas
dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat
saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya. Tarekat
Qadiriyyah menekankan ajaran dzikirnya dengan menggunakan metode
jahr (bersuara), sedangkan Tarekat Naqsabandiyyah menekankan ajaran
dzikirnya dengan menggunakan metode sirri (diam), atau dzikir lathifah.
Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai
derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan
efisien.47
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Nusantara
melalui jalur para murid dan khalifah syekh Ahmad Khatib Sambas.
Khalifah-khalifah yang terkenal diantaranya ialah Syekh Abdul Karim dari
Banten, Syekh Talhah dari Cirebon dan Syekh Ahmad Hasbullah dari
Madura.
a. Ajaran Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyah
Ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu ajaran tentang
kesempurnaan suluk, adab para murid, zikir, dan muraqabah. Keempat
ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan dalam kehidupan
47 Mu’min, Ma’mun, Sejarah Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyyah Piji Kudus,
(Kudus: Fikrah STAIN KUDUS, 2014), hlm. 364.
26
para pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Ajaran-ajaran
tersebut juga membentuk identitas diri yang membedakan antara pengkut
tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran-ajaran yang bersifat teknis,
seperti tata cara berzikir, muraqabah, dan bentuk-bentuk upacara ritualnya.48
Dari beberapa pokok ajaran Tarekat Qadiryyah wan
Naqsabandiyyah diantaranya:
1. Kesempurnaan Suluk
Keyakinan yang ditekankan oleh taekat ini adalah sesungguhnya
kesempurnaan siluk (mendekatkan diri pada Allah dengan penambahan
jalan kesufian) ialah bila dalam tiga dimensi keimanan (Islam, Iman, dan
Ihsan).
Ketiga hal ini biasa juga dinamai dengan syari’at, tarekat, dan
hakikat. Syari’at merupakan dimensi peraturan-peraturan di ajaran Islam.
Itu termasuk ketentuan yang telah ditetapkan Allah swt lewat RasulNya
Muhammad saw. baik hal yang dilarang maupun hal yang diperintahNya.
Sedang kan tarekat ialah suatu dimensi dalam melaksanakan syariat
tersebut, melalui penghayatan akan pengalaman syari’at itulah, sebab itu
muslim akan memperoleh legitnya iman yang disebut ma’rifat.
Syekh Abdul Qadir Al-jilani yang menekankan sendiri prinsip
kesempurnaan suluk, bisa kita pahami bahwa beliau adalah seorang sufi,
wali, faqih, ulama besar dalam islam.
2. Adab Murid-Mursyid
Dengan mencontoh adab para sahabat akan Nabi saw dalam hal
mu’asyarah (pergaulan) melestarikan sunnah (tradisi) nya pada masa Nabi saw.
Murid diposisikan sebagai para sahabat dan Mursyid dicontohkan sebagaimana
halnya Nabi saw dalam hal irsyad (bimbingan) dan ta’lim (pengajaran). Begitu
indahnya hubungan sahabat dan Nabi saw. kala itu. Saling menyayangi, saling
mengasihi, dan hal positif lainnya yang sebagaimana mestinya pendidikan terjadi.
48 Kharisudin Aqib, Al-Hikmah..., opcit, hlm.60.
27
Dengan semestinya murid hormat akan mursyid baik lahir dan batinnya,
yang mana mana mesti percaya dengan segenap hati bahwa mursyidnya akan
mengantarkan pada apa yang dimaksudnya. Inilah beberapa sekurang-kurangnya
adab akan mursyidnya.
1) Seyogyanya murid selalu berperasangka baik akan mursyidnya.
2) Seyogyanya murid tak sekalipun menduduki tempat duduk sang
mursyid.
3) Seyogyanya murid tidak dipakainya benda yang milik mursyidnya.
4) Seyogyanya murid menyegarkan apa yang disuruh mursyidnya.
5) Seyogyanya murid enggan memberi usul yang mana ia belum terlalu
menguasainya.
6) Murid tidak menanyakan akan kemana bila mursyid lewat di depannya.
7) Murid tidak akan menikahi janda dari mursyidnya.
8) Melawan mursyid (dalam kebijakan) sama halnya melawan Allah swt..
Ibn Arabi pun mengatakan bahwa murid yang membangkan mursyidnya
telah hancur adabnya akan Rasulullah saw.. Dalam nasab kerohanian agar sampai
kehadirat Allah swt.. Al-Qur’an menjelaskan bahwa bilamana orang yang beriman
menyodorkan pertanyaan suatu hal terhadap Rasulullah saw. akan hal yang
bilamana diterangkan justru membuat suka bagi mereka.
س لوا عنها حي ء إن ت بد لكم تسؤكم وإن ت شيا ي أي ها ٱلذين ءامنوا ل تس لوا عن أ عنها غفور حليم ) ي ن زل ٱلقرءان ت بد لكم عفا ٱلل (٠١١ وٱلل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu dan jika kamu menyanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan kamu tentang
hal-hal itu. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun.” (Q.S. Al-
Maidah [5]: 101)
Sebab itu, semestinya dalam tarekat adab harus dirawat oleh seorang
murid. Murid tidak berdiskusi di belakang, menyanggah, atau mempertanyakan
28
pesan mursyidnya. Hal ini dimaksudkan agara diperolehnya keberkahan oleh sang
murid dari sang mursyid agar meningkatnya maqam-nya.49
3. Dzikir
Dzikir bermakna aktivitas lisan maupun hati (batin yang selaras
dengan apa yang telah didapat dari bai’at mursyidnya). Tarekat Qadiriyyah
wan Naqsabandiyyah mengajarkan dua macam cara berdzikir, yaitu:
1) Dzikir nafi isbat adalah dzikrullah melalui kalimat “la illaha illallah”.
Dzikrullah adalah inti dari ajaran Tarekat Qadiriyyah yang diamalkan
dengan lantang (jahr).
2) Dzikir ismu dzat, yaitu dzikrullah dengan menyebutkan kalimat “Allah”
secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut melalui dzikir
lathifah yang merupakan karakteristik dari Tarekat Naqsabandiyyah.50
Selain hubungan secara vertikal habluminallah (hubungan hamba
dengan Tuhannya), tarekat juga mengajarkan hubungan secara
horizontal antar sesama makhluk, yaitu habluminannas (hungan sesama
manusia) dan hablum minal ‘alam (hubungan hamba dengan alam).
4. Muraqabah (Upaya Mendekatkan Diri Kepada Allah swt.)
Untuk bisa melakukan muraqabah yang dibutuhkan adalah sebuah
kesadaran. Kesadaran bahwa ia sedan dan selalu dipandang oleh Allah swt..
Ketika Allah memandang diri kita, Allah memandang dengan pandangan-
Nya yang mewakili ekspresi dari asma’ (nama-nama-Nya), af’al (ketentuan-
Nya), dan sifat-Nya.
Agar seseorang siap untuk dipandang, Allah memberikan kepada
hambaNya isti’dadul ‘abdi (kesiapan untuk dipandang) yang membutuhkan
beberapa tahapan ikhtiar atau proses. Ketika seseorang hamba tidak siap
untuk bisa menerima cahaya pandangan Allah maka ia bisa terbakar.
49 Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: Lkis
Yogyakarta, 2008), hlm. 67-69.
50 Ahmad Iza Maulana, “Meniti Jalan Menuju Ridha Allah”,
http:/santriblarah.blogspot.com/2013/04/tarekat-muktabaroh-qodiriah-wa.html, (diakses pada 28
September 2019, pukul 20.02 WIB)
29
Sebaliknya, ketika seseorang hamba sudah siap dipandang oleh dan
menerima cahaya Allah maka ia siapkan cermin yang bersih untuk
memantulkan cahaya Allah dan itulah yang disebut Nurun ‘ala Nuurin
(Cahaya di atas cahaya).
Hanya di dalam tarekat kita bisa mengetahui kesanggupan dalam
proses muraqabah karena dibantu dengan sang mursyid.
b. KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi
KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi, lahir dari pasangan Ibu Nyai
Qomari dan Kyai Muhammad Juraimi Abdullah di Kudus pada tahun 1918
di desa Piji Dawe Kudus, Jawa Tengah. Beliau wafat pada Sabtu 5 ramadlan
1431 H./ 14 Agustus 2010 di usianya yang ke 92 tahun.51
Beliau telah menjalankan pendidikannya di pondok pesantren
Tasywiqutthullab (sekarang Tasywiqutthullab Salafiyah) Kudus, kemudian
menlanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Tebuireng Jombang yang saat itu diampu langsung oleh Hadratussyaikh
KH. Hasyim Asy’ari.52
Ketika mondok di Tebuireng, beliau selalu menimba ilmu kepada
Kyai-kyai besar di sekita Jombang. Pada saat inilah beliau bai’at littarbiyah
Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah kepada Hadratussyaikh KH.
Romli Tamim hingga sempurna bai’at tuju lathifah hingga mendapat
khirqah bil lisan sebagai bentuk pengangkatannya sebagai mursyid.53
Kyai Shiddiq adalah termasuk mursyid yang produktif menulis kitab
dalam bahasa arab, diantaranya; Tulisan yang paling monumentalnya
adalah Nalil al-Amani fi Dzikr Manaqib al-Qutb al-Rabbani al-Syaikh Abdil
Qadir al-Jilani Radhiyallahu ‘anh merupakan syarah dari kitab Lujjain al-
51 Akhmad Shidiq, Mursyid ..., Opcit, hlm. 31.
52 Akhmad Sodiq, Ibid, hlm. 9. 53 Akhmad Sodiq, Ibid, hlm. 13.
30
Dani fi Manaqib al-Qutb al-Rabbaniy al-Syaikh Abdil Qadir al-Jilani
Radhiyallahu ‘anh karya al-Sayyid al-Syaikh Ja’far bin Hasan al-Barzanji.54
54 Akhmad Sodiq, Ibid, hlm. 27.
31
C. Hasil Penelitian Relevan
1. Luqman Abdullah (12410031, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), dalam skripsinya yang berjudul
“Kontribusi Tarekat Naqsabandiyah Terhadap Pendidikan Agama Islam
Dan Perubahan Perilaku Sosial (Studi Kasus Jamaah Tarekat
Naqsabandiyah di Dukuh Tompe Kelurahan Karangnongko Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali)”.55
Adapun persamaan dan perbedaannya sebagai berikut:
Persamaannya, membahas kontribusi tarekat terhadap pendidikan Islam,
walaupun pembahasannya tidak semua sama. Kemudian persamaan
berikutnya, yaitu menggunakan penelitian kualitatif.
Perbedaannya, walaupun menggunakan penelitian kualitatif, di sini Luqman
menggunakan metode induktif. Sedangkan penulis menggunakan metode
deskriptif.
2. Mutiah (143111057, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Surakarta,
2018) dalam skripsinya yang berjudul “Nila-nilai Pendidikan Agama Islam
Pada Amalan Tarekat Qodiriyah Wa Naqsabandiyah”.56
Adapun persamaan dan perbedaannya adalah sebagai berikut:
Persamaannya, yaitu menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif.
Perbedaannya, yaitu hanya sebatas judul dan sedikit banyak
pembahasannya.
3. Ajar Joyo Kumoro (11114050, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN
Salatiga, 2018) dalam skripsinya yang berjudul “Tarekat Sebagai
Pendekatan Pendidikan Agama Islam Pada Lanjut Usia”.57
Adapun persamaan dan perbedaannya adalah:
55 Luqman Abdullah, Kontribusi Tarekat Naqsabandiyah terhadap Pendidikan Agama
Islam dan Perubahan Perilaku Sosial, skripsi, (Yogyakarta: FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2016)
56 Mutiah, Nilai-nilai Pendidikan Islam Pada Amalan Tarekat Qoriyah Wa Naqsabandiyah,
skripsi, (Surakarta: FITK IAIN Surakarta, 2018).
57 Ajar Joyo Kumoro, Tarekat Sebagai Pendekatan Pendidikan Agama Islam Pada Lanjut
Usia, skripsi, (Salatiga: FITK IAIN Salatiga, 2018).
32
Persamaannya, yaitu sedikit sama dalam pembahasan dan menggunakan
penelitian kualitatif.
Perbedaannya adalah, Ajar menggunakan penelitian kualitatif dengan
metode lapangan (field research).
4. Ahmad Zaenurrohman Wakhid (11411021, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) dalam skripsinya yang
berjudul “Tarekat Sebagai Model Pendidikan Agama Islam Pada Lanjut
Usia (Studi Metode dan Materi Tarekat Qadiriyyah Wa
Naqsabandiyyah)”.58
Adapun persamaan dan perbedaannya adalah:
Persamaan, yaitu menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
pustaka.
Perbedaannya, yaitu sedikit banyak dalam pembahasan dan judul.
5. Arifin (109011000189, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), dalam skripsinya yang berjudul “Pendidikan
Berbasis Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren
Suryalaya: Analisis Peran KH. A. Shohibul Tajul ‘Arifin”.59
Adapun persamaan dan perbedaanya adalah:
Persamaan, yaitu menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif.
Perbedaannya, yaitu sekadar judul dan sedikit banyak dalam
pembahasannya.
58 Ahmad Zaenurrohman Wakhid, Tarekat Sebagai Model Pendidikan Agama Islam Pada
Lanjut Usia, skripsi, (Yogyakarta: FITK UIN Yogyakarta, 2015). 59 Arifin, Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok Pesantren
Suryalaya, skripsi, (Ciputat: FITK UIN Jakarta, 2014).
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah Konsep Pendidikan
Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah Perspektif KH.
Muhammad Shiddiq Al-Shalihi.
Adapun waktu penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan terhitung
dari bulan November 2019 sampai bulan Febuari 2020.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. “Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang di tujukan
untuk mendeskripsikan dan menganilisis fenomena, peristiwa, aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual
maupun kelompok.”60
Skripsi ini penulis menggunakan metode deskriprif analisis yang
menggunakan tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library
Research). Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber
data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman, “Sumber data penelitian
kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang
bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti:
dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan
lain sebagainya”.61
60 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), cet. 31, hlm. 60. 61 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada Press, 2006), hlm. 80.
35
C. Sumber Data
a. Sumber Primer : Buku biografi Mursyid TQN Kontemporer K.H.
Muhammad Shiddiq Al-Shalihi Kudus: Mengurai Pokok-pokok
Persoalan Tarekat.
b. Sumber Sekunder : ialah buku-buku yang berkaitan dengan masalah
penelitian, jurnal-jurnal terkait, serta buku – buku tentang pendidikan
akhlak.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengatagorikannya, sehingga
diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin
dijawab.62
Dari data – data yang terkumpul akan dibahas dengan metode
deskriptif analisis, yaitu metode pembahasan masalah dengan cara
memaparkan atau menguraikan masalah secara teoritis, untuk kemudian
menganalisisnya dalam rangka mendapatkan kesimpulan yang tepat.
Metode penarikan kesimpulan dipakai pola deduktif maupun
induktif. Metode deduktif adalah cara penarikan kesimpulan yang dimulai
dari masalah yang bersifat khusus, sedangkan induktif adalah metode
penarikan kesimpulan yang dimulai dari fakta – fakta yang bersifat khusu
ditarik pada kesimpulan yang bersifat umum
E. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat
umum.”63
62 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), hlm. 209 63 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), hlm.287
36
Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan
apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam
penulisan ini, yaitu mengenai konsep pendidikan ruhani dalam Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah perspektif KH. Muhammad Shiddiq al-
Shalihi.
Dengan demikian dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji
tentang konsep pendidikan ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah perspektif KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi.
37
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Biografi KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi
1. Riwayat Hidup
KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi terlahir di Kudus, Jawa Tengah
pada tahun 1918. Tepatnya di desa Piji Dawe lereng Gunung Muria.
Mbah Shiddiq terlahir dari pasangan Ibu Nyai Qomari dan Kyai
Muhammad Juraimi Abdullah.64
Gambar 4.1
Foto KH. Muhammad Shiddiq Al-Ashalihi
Mbah Shiddiq adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah yang sangat produktif dalam bidang sosial, beliau
mengabdikan dirinya untuk tanah air yang dipijaknya. Beliau sempat
menjadi kepala daerah dan anggota legislatif kabupaten Kudus.65 Beliau
sukses memegang amanahnya untuk pembangunan kota Kudus.
64 Akhmad Sodiq, Mursyid TQN Kontemporer K.H. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi Kudus,
(Yogyakartaa: Samudra Biru, 2016), hlm. 9.
65 Ma’mun Mun’im, Sejarah Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyyah Piji Kudus, Kudus:
Fikrah STAIN KUDUS, 2014, hlm. 372.
38
Selain sukses dalam bidang sosial, Mbah Shiddiq juga sukses dalam
dunia tarekat yang dirintis di Kudus tahun 1975. Kini cabang Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah hasil besutan beliau memiliki cabang
di beberapa daerah, seperti di Pasuruan yang diasuh oleh KH. Asnawi
Fauzan, di Kabupaten Pati diasuh oleh KH. Noor Jusno, KH. Affandi
dari Tuban, dan di Ciputat Tangerang Selatan yang diasuh oleh KH. Dr.
Akhmad Sodiq, M.A..66 Kini Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah
Mbah Shiddiq diwariskan kepada putranya KH. Affandi Shiddiq.
KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi merupakan seorang mursyid
yang tak hentinya dalam melantukan dzikir kepada Allah swt.. Di akhir
hayatnya, Mbah selalu melantunkan dzikir yang tak hentinya beliau
lantunkan. Bahkan, malam hari pun beliau kadang tak suka tidur, beliau
seringkali berdialog dengan seseorang tetapi tidak ada yang
mengetahuinya. Pada saat menemui tamu pun beliau tetap melantunkan
dzikirnya dan sesekali mengucap kalimat thayibah. Satu tahun sebelum
kepergiannya, beliau tidak lagi berkata-kata, kecuali berdzikir.
Mbah Shiddiq wafat pada hari sabtu 5 Ramadhan 1431 H/ 14
Agustus 2010. Beliau meninggalan tujuh orang putra-putri yaitu:
Mu’ainah, Abdul Latif, Ahmad Kamal, Masnuni, Afandi, Amin Kurdi,
dan Zainul Arifin.67
2. Latar Belakang Pendidikan
Di Desa Piji Dawe, Mbah Shiddiq dididik oleh ayah dan ibunya
sebelum kemudian melanjutkan mondok di Pesantren Tasywiqutthullab
–sekarang menjadi Tasywiqutthullab Salafiyah (TBS) Kudus.
Mbah Shiddiq adalah santri yang sederhana, cerdan dan sangat
tekun. Dengan ilmu yang didapatnya di podokk tersebut, kemampuan
Mbah Shiddiq melebihi kemampuan santri lainnya. Atas prestasinya
tersebut, Mbah Shiddiq sudah dipercaya oleh Gurunya untuk mengajar
66 Ma’mun Mun’im, ibid. hlm. 372.
67 Akhmad Sodiq, Mursyid ..., Opcit, hlm. 31.
39
pada penyajian kitab kuning di Masjid Menara Kudus sejak beliau masih
menjadi santri TBS. Namun, beliau tidak sampai tamat nyantri di TBS
ini, dikarenakan secara tiba-tiba beliau diminta menyudahkan
pendidikannya tersebut dan diamanahkan untuk melanjutkan
mondoknya di Tebuireng, Jombang.68
Setelah beliau mondok di TBS selama lima tahun, kemudian beliau
melanjutkan mondoknya di Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, yang
dibawahi langsung oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy-‘Ari. Di
bawah kepemimpinan Hadratussyaikh beliau menamatkan
pendidikannya di pesantren yang merupakan rujukan ulama di
zamannya yang sekaligus menjadi nadi pergerakan dan perjuangan
bangsa Indonesia dalam menentang penjajah.
Selama proses pendidikannya di Tebuireng, Mbah Shiddiq selalu
menimba ilmu kepada Kyai-kyai masyhur di sekitar Jombang. Pada saat
ini beliau bai’at littarbiyah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah
kepada Hadratussyaikh KH. Romli Tamim hingga sempurna bai’at
tujuh lathifah hingga mendapat khirqah bil lisan sebagai bentuk
pengangkatannya sebagai mursyid.69
Setamat nyantri di Tebuireng (tanggal 15 Sya’ban 1357 H./1938)
Mbah Shiddiq diharuskan mengabdikan ilmunya di daerah Penjaringan
Surabaya, dalam rangka penugasan pondok, sebagaimana lazimnya bagi
santri yang sudah memumpuni. Beliau memelopori di desa
pengabdiannya degan mendirikan madrasah ibtida’iyah dengan
dukungan masyarakat setempat.70
Demi mendapatkan berkah lebih, Mbah Shiddiq juga
menyempatkan diri untuk mengaji tarekat kepada KH. Mushlih bin
Abdurrahman Mranggen. Beliau pun mendapatkan khirqah dan ijazah
mursyid. Dengan demikian beliau memiliki dua sanad tarekat
68 Akhmad Sodiq, ibid, hlm. 12.
69 Akhmad Sodiq, ibid, hlm. 13.
70 Akhmad Sodiq, ibid, hlm. 13.
40
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah, yaitu melalui jalur Kyai Romli Tamim
Jombang dan Kyai Mushlih Mranggen.71
3. Jalur Tarekat
Dalam jalur tarekatnya, beliau mendapatkan silsilah Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah yang muttashil (yang tak terputus)
sampai Rasulullah saw. bahkan Allah swt. melalui malaikat Jibril.
Berikut adalah silsilah jalur tarekat Mbah Shiddiq yang sekarang,
diwarisakn pada putranya, yaitu KH. Affandi Shiddiq:72
No. Jalur Sayyidina Abu Bakar
Ash-Shiddiq Jalur Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib
1 Allah SWT.
2 Aminul Wahyi Sayyidina Jibril AS.
3 Sayyidil Mursalin Muhammad SAW.
4 Shiddiqil 'Adhom Abu Bakar
Ash-Shiddiq Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
5 Shohabil Jalil Salman Al-Farisy Imam Sayyidina Husain Bin Ali Bin
Abi Thalib
6 Sayyid Qasim Bin Muhammad
bin Abi Bakar Ash-Shiddiq Imam Zainal Abidin
7 Ruhaniyah Syaikh Imam Ja'far
Ash-Shodiq Imam Muhammad Al-Baqir
8 Ruhaniyah Syaikh Yazid Al-
Busthomi Imam Ja'far Ash-Shodiq
9 Syaikh Abil Hasan Ali Bin Ja'far
Al-Kharqani Imam Musa Al-Kadhim
71 Akhmad Sodiq, ibid, hlm. 18.
72 Akhmad Sodiq, Khususyiah, (Ciputat: Mihrobbul Muhibbin, tt), hlm. 28.
41
10 Syaikh Ali Fadli Bin Muhammad
At-Thusy
Imam Abil Hasan Ali Bin Musa Ar-
Ridho
11 Sayikh Abil Khowajih Abi
Ya'kub Yusuf Al-Hamdani
Syaikh Abi Mahfudz Ma'ruf Bin
Fairuz Al-Kharkhi
12 Syaikh Abdil Kholiq Al-
Ghajduwany
Syaikh Abil Hasan Syirri Asy-
Syaqathi
13 Syaikh Arif Royuwukari Syaikh Abil Qosim Junaid Al-
Baghdadi
14 Syaikh Khowajih Anjiz
Faghnawi
Syaikh Abi Bakar Dalaf Bin Jahdar
Asy-Syibli
15 Syaikh Khowajih Annasaj
Arromaitami Syaikh Abdil Wahid At-Tamimy
16 Syaikh Khowajih Babas Simasyi Syaikh Abil Faroj Ath-Thurtusy
17 Syaikh Sayyid Amir Kullal Bin
Sayyid Hamzah Abil Hasan Ali Al-Hakkari
18
Syaikh Imam Thoriqoh
Muhammad Bahauddin Bin
Muhammad
Syaikh Sa'id Al-Mubarok
19 Syaikh 'Alauddin Al-'Athor Syaikh Quthbul 'Alam Sayyid Abdul
Qadir Al-Jilany
20 Syaikh Ya'qub Bin Usman Syaikh Sayyid Abdul Aziz
21
Syaikh Nashiruddin Abdillah
Bin Syihabuddin Mahmud Al-
Ahrar
Syaikh Muhammad Al-Hattaq
22 Syaikh Maulana Zahid Al-
Badhasi Al-Wahsyary Syaikh Syamsuddin
42
23 Syaikh Darwis Muhammad
Assamarqandy Syaikh Syarofuddin
24 Syaikh Maulana Howajiqi Al-
Amkany Syaikh Zainuddin
25 Syaikh Muayyiddin Muhammad
Baqi Billah Syaikh Nuruddin
26 Syaikh Urwatil Wustqo Syaikh Waliyuddin
27 Syaikh Saifuddin Syaikh Hisamuddin
28 Syaikh Nurul Badwany Syaikh Yahya
29 Syaikh Madzhar Anwar
Syamsuddin Syaikh Abi Bakar
30 Syaikh Abdillah Addahlawy Syaikh Abdir Rohim
31 Syaikh Maulana Kholid An-
Naqsyabandy Syaikh Usman
32 Syaikh Khon Affandy Syaikh Kamaluddin
33 Syaikh Abdil Fattah
34 Syaikh Murod
35 Syaikh Syamsuddin
36 Syaikh Ahmad Khatib Sambas
37 Syaikh Al-Waqti Abdul Karim Banten
38 Syaikh Ahmad Hasbullah Madura
39 Syaikh Kholil Rejoso Peterongan Jombang
40 Syaikh Romo Kyai Romli Tamim Jombang
41 Romo Kyai Muhammad Shiddiq As-Sholihi Piji Dawe Kudus
43
42 Kyai Afandi Bin Muhammad Shiddiq As-Sholihi Piji Dawe Kudus
Tabel 4.1
Dalam silsilahnya tarekatnya, jalur yang ditempuh Mbah Shiddiq
adalah valid, karena tak putus sampai Allah swt..
4. Karya Tulis
Mbah Shiddiq adalah tergolong Kyai yang sangat produktif dalam
menciptakan karya tulis. Di tengah kesibukan membimbing jam’iyah
thariqah-nya, Mbah Shiddiq masih sempat meluangkan waktunya untuk
menulis beberapa kitab dan risalah khususnya tentang persoalan tasawuf
dan tarekat. Kitab-kitab beliau ditulis menggunakan bahasa Arab. Kitab-
kitab beliau pun tak disebar secara bebas, hanya seseorang yang telah
diijazahkan dan mendapat izin dari beliau saja yang dapat mendalami
dan mengamalkannya. Kecuali kitab-kitab yang berkaitan dengan
masalah khilfiyah (Fiqh) yang diperkenankan diterjemahkan dan
dierdarkan secara luas di seputar Kudus. Beberapa kitab dan risalah
karya Mbah Shiddiq antara lain73:
a. Nail al-Amānī fī Dzikr Manāqib al-Quthb al-Rabbāniy Sayyidinā al-
Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailāni r.a
Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lujjain al-Dani fi
Manaqib al-Qutb al-Rabbaniy al-Syaikh ‘Abdil Qodir al-Jilani
karya al-Sayyid al-Syaikh Ja’far bin Hasan al-Barrzanji adalah
sebuah karya masterpiece dari Mbah Shiddiq. Kitab ini ditulis oleh
beliau dengan menggunakan tangannya sendiri dan merupakan
pembahasan mendetail terhadap setiap persoalan yang ada di dalam
kitab manaqib tersebut, sehingga isinya syarat lengkap mengenai
dunia tasawuf dan tarekat. Kitab ini juga termasuk yang tidak
diedarkan secara luas, beliau hanya mengizinkan membaca dan
mengamalkan bagi mereka yang sudah mendapat ijazah dan
73 Akhamd Sodiq, Mursyid ..., OpCit, hlm. 67.
44
menjalani riyadlah yang sudah ditentukan, demi mengambil
manfaat dan menjaga kehati-hatian beliau dalam keilmuan
tarekatnya.
b. Risālat al-Iqyān fī Dzikr Silsilat Ahl al-‘Irfān wa Bayān Mabna
A’māl Thārāyiq Ahl al-‘Iyān
Kitab ini berisi tentang silsilah tarekat Mbah Shiddiq serta
beberapa penjelasan mengenai tasawuf dan tarekat. Kitab ini hanya
diperkenankan bagi mereka yang sudah mendapat ijazah khusus dari
beliau, bahkan kitab ini tidak diperkenankan untuk diterjemahkan
atau dinukil meski hanya sebagian saja
c. Fī Bayān Dzikr Ba’dl al-Ta’rīfāt
Karya Mbah Shiddiq selanjutnya adalah risalah yang
menyajikan semacam kamus kecil yang menerangkan istilah-istilah
kunci dalam pembahasan tasawuf dan tarekat.
d. Al-Risālat al-Hāqqah fī Bayān anna Kalimat Lā Ilāha Illa Allāh lil
Fidā’ wa al-‘Atāqah
Risalah ini menjelaskan argumentasi tentang keabsahan
amaliah dzikir ataqah dan dzikir fida’ beserta tatacara
mengamalkannya.
e. Risālat Kasyf al-Mudlmarāt fī Dzikr Bayān mā Yanfa’ lil Amwāt
Kitab ini telah beredar luas dan sudah diterjemahkan oleh
Ibnu Chayatun Ma’ruf dengan judul Menyingkap Rahasia yang
Tersembunyi diterbitkan sendiri oleh Yayasan Mambaul Falah Piji
Dawe Kudus Jawa Tengah, sesuai dengan nama pondok pesantren
Mbah Shiddiq. Kitab ini membahas mengenai ‘ataqah, sampai
tidaknya pahala kepada yang sudah mati, hal yang bermanfaat untuk
mayat, talqin, dan ha-hal yang berkaitan dengan amaliah untuk
orang yang meninggal.74
74 Akhmad Sodiq, ibid, hlm. 71.
45
Sebenarnya masih terdapat banyak karya lain yang ditulis oleh Mbah
Shiddiq, tetapi hanya yang diizinkan saja yang dapat mengatahui dan
mengamalkannya. Demi menjaga kehati-hatian beliau dalam ilmu
tarekatnya agar tidak jatih kepada orang yang salah.
B. Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyah
Tak bisa dipungkiri bahwa Majelis Dzikir wa Ta’lim Mihrobul
Muhibbin merupakan salah satu dari majelis Tarekat Qadiriyah wan
Naqsyabandiyah cabang dari Kudus. Maka segala format yang ada di
dalamnya berada dalam naungan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pernyataan diatas semakin kuat dengan ditegaskan oleh khalifah TQN
Ciputat yang sekaligus Dewan Pembina Majelis Dzikir wa Ta’lim
Mihrobul Muhibbin Dr. Akhmad Sodiq, M.A :
“Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu sudah bisa jadi nama
(model), sistem pun sistem Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jadi
metode pendidikannya, formatnya, materinya semua standar Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dan ulama-ulamanya.”75
Adapun unsur-unsur utama dalam Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah adalah sebagai berikut:
1. Kesempurnaan Suluk
Keyakinan yang sangat ditekankan oleh Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ialah sesungguhnya kesempurnaan suluk (mendekatkan
diri pada Allah dengan penambahan jalan kesufian).76 Namun ketiganya
seringkali diistilahkan dengan sebutan yang amat terkenal yaitu istilah
syari’at, tarekat, dan hakikat.77
Syari’at merupakan dimensi peraturan-peraturan di ajaran Islam. Itu
termasuk ketentuan yang telah ditetapkan Allah swt lewat RasulNya
Muhammad saw. baik hal yang dilarang maupun hal yang diperintahNya.
75 Wawancara dengan Akhmad Sodiq, tanggal 26 November 2019 di Rumah Narasumber 76 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 7,8,9, (Jakarta : Panji Masyarakat, 1984), h. 78 77 Kharisudin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), h. 61
46
Sedang kan tarekat ialah suatu dimensi dalam melaksanakan syariat
tersebut, melalui penghayatan akan pengalaman syari’at itulah, sebab itu
muslim akan memperoleh legitnya iman yang disebut ma’rifat.78
Kesempurnaan suluk adalah prinsip utama pendiri Tarekat
Qadiriyah, yakni Syekh Abdul Qasir Al-Jailani. Wajar adanya, karena
beliau ialah seorang suffi sunni sekaligus seorang ulama fiqih dari madzhab
Hambali.79
2. Adab
Kitab yang teramat populer di mazhab sunni dan dijadikan referensi
utama para ulama kalangan tarekat (termasuk pula Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah) yakni Tanwir Al-Qulub fi Mu’ammalati ‘allam Al-Guyub,
karya Muhammad Amin Al-Kurdi dan kitab Al-Anwar Al-Qudsiyah, karya
seorang sufi terkenal, Syekh Abd. Wahhab Sya’rani, disamping kitab karya
pendiri Tarekat Qadiriyah sendiri, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang
berjudul Gunyah li Talibi Al-Haq. Ketiga kitab ini menguraikan panjang
lebar akan adab bagi murid betapa pentingnya adab dan ini merupakan unsur
ajaran utama yang ada di dalam mazhab tasawuf.80
Ibnu Arabi pun mengatakan bahwa murid yang membangkang
mursyidnya telah hancur adabnya akan Rasulullah saw. Dalam nasab
kerohanian agar sampai kehadirat Allah swt. Al-Qur’an menjelaskan bahwa
bilamana orang yang beriman menyodorkan pertanyaan suatu hal terhadap
Rasulullah saw akan hal yang bilamana diterangkan justru membuat sukar
bagi mereka.
سئ لوا عن ها حي ت ياء إن ت بد لكم تسؤكم و إن ش يي ها الذين ءامن وا ل تسئ لوا عن أ غفور حليم عن ها قلى و الل ي ن زل القرأن ت بد لكم عفا الل
78 Op.Cit., h. 78 79 Op.Cit., h. 65 80 Kharisudin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), h. 67
47
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
diwaktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan kamu tentang hal-hal itu. Allah maha
pengampun lagi maha penyantun.” (Q.S. Al-Maidah:101)81
Sebab itu, semestinya dalam tarekat adab dirawat oleh seorang
murid. Murid tidak berdiskusi dibelakang, menyanggah, atau
mempertanyakan pesan mursyidnya. Hal ini dimaksudkan agar
diperolehnya keberkahan oleh murid dari sang mursyid agar meningkatnya
maqamnya.82
3. Dzikir
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ialah tergolong tarekat
dzikir. Sebenarnya menurut para ahli tarekat, bahwasannya tarekat sebagai
sebuah metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ialah salah satu bentuk
penghambaan yang khas bagi seseorang, maka dari itu ia dapat
mengupayakan bermacam-macam. Sedangkan bentuk dan jenisnya sesuai
akan keahlian dan kecenderungan masing-masing orang. Hanya saja hal
yang dituntut dalam bertarekat ialah keistiqamahannya, sebab dengan
istiqamahlah seseorang akan memperoleh karunia Allah secara
memuaskan.83
Dzikir bermakna aktivitas lidah ataupun hati (batin) yang selaras
dengan apa yang telah dibai’at mursyidnya. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah mengajarkan dua macam dzikir, yaitu:
1) Dzikir nafi isbat ialah dzikrullah melalui kalimat “la illaha illallah”.
Dzikrullah merupakan inti ajaran tarekat Qadiriah yang diamalkan dengan
lantang (jahr).
81 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 7,8,9, (Jakarta : Panji Masyarakat, 1984), h. 78 82 Sokhi Huda, Tashawuf Kultural : Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: Lkis
yogyakart, 2008), h. 67-69. 83 Kharisudin, OpCit, h. 75-76
48
2) Dzikir ismu dzat yaitu dzikrullah dengan menyebutkan kalimat (Allah)
secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut melalui dzikir
lathifah yang merupakan karakteristik dari tarekat Naqsyabandiyah.84
4. Muraqqabah
Dzikir mempunyai hal yang berbeda dengan muraqqabah terutama
pada obyek pemusatan konsentrasinya. Jikalau dzikir mempunyai perhatian
akan simbol, yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqqabah
terjaganya kesadaran akan makna, sifat, qudrat dan iradatnya Allah. Selain
itu, dalam segi media pun mempunyai perbedaan, yakni bila dzikir
menggunakan lidah (baik fisik maupun batin) sedangkan muraqabbah
bermediakan imajinasi dan daya khayali.
Muraqabbah bukanlah ritual yang dibuat-buat sufi semata, namun
Allah lebih dahulu menerangkan dalam QS. An-Nisa : 1
با ا ن الل ع ل يك م ر ق ي “sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan atas diri kamu
semua.”
Tujuan akhir dari muraqabbah ialah agar sesorang menjadi
mu’min yang sesungguhnya, seorang hamba yang ihsan, beribadah dengah
penuh kesadaran akan Allah mengawasinya, sebagaimana Rasulullah saw
bersabda:
ا نك ت ر اه ف ا ن ل ا ل حس ان ت ر اه ف ا نه ي ر اك ا ن ت عب د الل ك “Ihsan ialah bila engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya, sekalipun engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Ia melihatmu” (H.R. Muslim).85
84 Ahmad iza Maulana, “ Meninti Jalan Menuju Ridha Ilahi” (On-line), tersedia di :
http:/santriblarah.blogspot.com/2013/04/tarekat-muktabaroh-qodiriah-wa.html (28 adaesember
2016). 85 Kharisudin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), h. 75-76
49
C. Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah Wan Naqsabandiyah
Perspektif KH. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi
“... Pada suatu hari, Nabi Muhammad saw. tampak berada di depan
orang-orang. Lalu maikat Jibril datang kepada beliau seraya
bertanya, ‘Apakah iman itu?’ Nabi menjawab, ‘Iman adalah enkau
beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, dan
engkau beriman dengan kebangkitan.’ Jibril bertanya, ‘Apakah
Islam itu?’ Nabi menjawab, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mengerjakan shalat fardu, dan
berpuasa Ramadhan.’ Jibril bertanya, ‘Apakah ihsan itu?’ Nabi
menjawab, ‘engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu. ...“. (H.R. Bukhari)86
Di dalam hadis tersebut Rasulullah saw. mengkategorikan ajaran
Islam dalam tiga aspek, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Iman adalah kategori
yang berkaitan dengan ilmu tauhid, Islam sebagai ilmu syari’at, dan ihsan
adalah ajaran yang dikategorikan sebagai penyempurna dari kedua kategori
lainnya.
Dalam kaitannya dengan judul di atas penulis hanya akan
mendeskripsikan perihal Ihsan yang kaitannya sangat erat dengan
pendidikan ruhani yang akan disempitkan dalam inti ajaran Tarekat
Qadiriyyah wan Naqsabandiyah, yaitu kesempurnaan suluk, adab para
murid, dzikir, dan muraqabah.87 Dalam lelaku tarekatnya KH. Muhammad
Shiddiq al-Shalihi sebagai seoang mursyid memberikan bimbingan kepada
muridnya untuk melakukan tazkiyah al-nafs (dhohiriyah) dan tashfiyah al-
nafs (batiniyah). Dalam kontek penyucian batin (tazkiyat al-nafs),
hukumnya adalah wajib ain.88 Di bawah ini adalah pemaparan penulis
terkait pemikiran dan konsep pendidikan ruhani yang diusung oleh KH.
Muhammad Shiddiq al-Shalihi:
86 Imam al-Bukhari dan Abu Hasan al-Sindy, Shahih al-Bukhari Bihasyiyat al-Imam as-
Sindi, (Beirut: Dar al-Kotob al-ilmiyah, 1971), hlm. 31-32.
87 Kharisudin Aqib, Al-Hikmah (Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyyah wan
Naqsabandiyah), (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hlm.60.
88 Muhammad Shiddiq, Risālat al-Iqyān fī Dzikr Silsilat Ahl al-‘Irfān wa Bayān Mabna
A’māl Thārāyiq Ahl al-‘Iyān. Tt., Tp. hlm. 285
50
1. Tazkiyat Al-Nafs
Tzkiyat al-nafs atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
penyucian jiwa.89 Dalam hal ini Mbah Shiddiq mengartikan tazkiyat al-
nafs sebagai pensucian nafsu syahwat dari berbagai kecenderungan cinta
dunia (hub al-dunya) dan kenikmatan fisiologis (laszaszat al-jasadiyah
seperti kenikmatan makan, minum, kawin, dll); maupun pensucian nafsu
ghadab dari emosi yang tak terkendali oleh rasional yang bijak..90
Ada banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya
bagaimana menjaga kesucia jiwa, diantaranya terdapat pada surat asy-
Syams:
ها ) ها )ف (٧ون فس وما سوٮ ها ق (٨ألهمها فجورها وت قوٮ لح من زكٮ د أف ها ) (٩) (١٠وقد خاب من دسٮ
“Demi jiwa dan kesempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kepasikan ddan
ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu (spiritualisasi). Dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotori jiwanya.”
Dalam ayat lain, yaitu al-Qur’an surat al-‘Ala, yang berbunyi:
لح من ت زكى ) (١٥)وذكر ٱسم رب هۦ فصلى (٤١قد أف “Sungguh beruntunglah orang yang berusaha membersihkan
jiwanya, dan selalu mengingat nama Tuhannya serta
melaksanakan shalat.” 91
Bersihnya jiwa (nafs) akan berpengaruh pada hati, karena
perumpamaan hati sama dengan cermin, sesungguhnya selama cermin
itu jernih dan bersih dari kotoran, ia dapat digunakan untuk
mencerminkan/ memantulkan sesuatu. Namun apabila permukaannya
telah dipenuhi kotoran, maka tidak akan ada fungsinya. Apabila
kekuasaan kalbu telah lumpuh secara total, maka setanlah yang
menguasainya, lalu sifat-sifat yang terpuji berbalik menjadi sifat-sifat
89 Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, tanwir al-Qulub fi Muamalatil Guyub, hlm. 466-475.
90 Akhmad Sodiq, Mursyid ..., OpCit, hlm. 79.
91 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah Penstabilan
Mushaf, 2007), hlm. 531.
51
yang tercela.92 Sebelum hal itu terjadi, setiap manusia sangat perlu
membersihkan, mensucikan hatinya dari sifat-sifat tercela dengan
sarana-sarana tazkiyat al-nafs, dalam rangka pembentukan akhlakul
karimah, penge,balian jiwa ke fitrah, penyeimbang lahir dan batin,
pensucian akal. Dengan demikian, jiwa akan mendekat kepada Allah
dan menyelamatkan diri dari siksa neraka.
Proses tazkiyat al-nafs dan tashfiyat al-qalb haruslah dilakukan
melalui mujahadah yang serius dan istiqamah. Mujahadah menurut para
ahli tarekat adalah menekan dorongan nafsu atau perang melawan
nafsu.93 Setidaknya ada tiga mujahadah yang harus dibiasakan oleh
seorang murid dibawah bimbingan seorang guru mursyid yaitu: belajar
secara bertahap untuk menyedikitkan bicara, makan, dan tidur.
Menyedikitkan bicara berarti seseorang harus membaca al-Qur’an dan
sedikit bicara yang tak penting. Dengan menyedikitkan makan berarti
seseorang harus memperbanyak puasa sunnah dan kuat menahan lapar.
Dan dengan menyedikitkan tidur, berarti seseorang harus kuat akan
bangun malam dan memperbanyak ibadah di malam hari demi
mendekatkan diri pada Allah swt..
Tazkiyat al-nafs memiliki modelnya, diantaranya:
a. Al-Ju’ (lapar)
Imam Qusyairi menjelaskan, bahwa lapar merupakan bagian
dari sifat-sifat ulama dan salah satu sendi perjuangan. Orang-orang
yang menempuh jalan menuju Allah berangsur-angsur dapat
mengembalikan lapar pada posisinya di dalam diri mereka sehingga
mereka mampu menghindari makanan. Oleh karena itu, mereka
92 Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj. dari Ihya Ulumuddin oleh Bahru Abu
Bakar, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2014), hlm. 256-257.
93 Fahrudin, Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Kedekatan dengan Allah,
Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 2016, hlm. 69.
52
telah menemukan sumber-sumber kebijaksanaan dengan cara
melaparkan diri.94
Menurut Mbah Shiddiq al-ju’ atau lapar adalah sokoguru
mujahadah (arkan al-mujahadah) yang dengannya mengalir
sumber-sumber hikmah bagi ahli suluk. Keadaan lapar ini
merupakan keadaan ahli hakikat. Mannfaat lapar pun dapat
mengurangu dan memutihkan darah dalam al-qalb. Putihnya darah
ini adalah cahayanya. Dengan cahaya itu dapat menghancurkan
lemak al-qalb, kehancuran lemak itu melembutkan al-qalb.
Kelembutannya itu akan menjadi kunci bagi mukasyafah, sedangkan
kerasnya hati adalah hijabnya. Nabi Isa a.s. pernah mengatakan
kepada para pengikutnya, “Wahai golongan Khawariy, laprkanlah
perut kalian semoga hati kalian melihat Tuhan kalian.” Jadi jelas
manfaat lapar bagi ruhani adalah hal yang jelas dapat terlihat
langsung melalui latihan ruhani.95
b. Dawam Wudhu
Wudhu adalah nur dan dosa akan berguguran pada saat
seseorang berwudlu. Para ulama mengatakan bahwa seseorang yang
dawam wudlu akan meluaskan rezekinya. Oleh karena itu Imam
Abu Hanifah menyatakan tidak sah bersuci dengan air musta’mal
meskipun lebih dari dua kullah, disebabkan banyaknya guguran
dosa di dalamnya.96
انهمن جدد الوضوء جدد الله إيم“Barangsiapa yang memperbarui wudhunya, maka Allah akan
memperbarui imannya.” (HR. Ibnu Majah)
الوضوء على الوضوء نور على نور“Jika seseorang mempunyai wudhu dan ia wudhu lagi, itu seperti
cahaya di atas cahaya.” (HR. Ibnu Majah)
94 Abul Qasim Abdul Karim hawazin dan al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah,
terj. dari Ar-Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf oleh: Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani,
2013), hlm. 192.
95 Muhammad Shiddiq, Nail al-Amānī fī Dzikr Manāqib al-Quthb al-Rabbāniy Sayyidinā
al-Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailāni, Tt. Tp., hlm. 45
96 Akhmad Sodiq, Opcit, hlm. 101.
53
Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, bahwa dengan
wudhu seseorang akan mendapat keutamaan. Disebutkan dalam
kitab Sirrul Asraah karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, bahwa
wudhu akan menghindarkan seseorang dari sifat buruk, seperti
sombong, dengki, iri, ujub, menggungjing, dusta, dan khianat.97
c. Khalwah
Khalwah menurt Mbah Shiddiq adalah menyendirinya hati
dari manusia. Dikatakan oleh sebagian ulama tarekat khalwah
adalah pembicaraan rahasia (muhadatsat al-sirri) bersama al-Haqq.
Adapun uzlah adalah menyendirinya hati besama Allah (billah).
Khalwah merupakan salah satu kebiasaan Nabi Muhammad saw.
saat memulai perjalanan ruhaniyahnya. Nabi khalwah di gua Hira
hingga akhirnya datang perintah untuk berdakwah.98
Menurut Mbah Shiddiq, bahwa manfaat dari uzlah yakni ada
empat, yaitu: (1) menyingkap penutup hati (al-ghuta’), (2)
menurunkan rahmat, (3) meluruskan mahabbah, dan (4) lisan benar
saat berbicara.99
d. Dzikir
Imam Qusyairi pernah mengatakan, bahwa zikir adalah
rukun bagi seseorang yang dalam perjalanan menuju al-Haqq,
bahkan keberadaannya merupakan tiang. Tidak akan sampai
seseorang menuju Allah kecuali dengan melanggengkan zikir.100
Mbah Shiddiq menerangkan dalam persoalan dzikir, bahwa
dzikir merupakan rukun yang terpenting dalam tarekat bahkan ia
adalah sokoguru ilmu tarekat. Tidak mungkin seseorang bisa wushul
kepada Allah kecuali dengan membiasakan berdzikir. Sebegitu
97 Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, The Secret of Secret, terj. dari Sirrul Asrar wa Mazhharul
Anwar fima Yahtaju ilaihi al-Abrar, oleh: Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta: TUROS, 2015), hlm. 141.
98 Muhammad Shiddiq, Nail al-Amānī..., OpCit. hlm. 56.
99 Ibid, hlm. 42.
100 Abul Qasim Abdul Karim hawazin dan al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah ..., OpCit,
hlm. 318.
54
agungnya dzikir, hingga dikatakan bahwa ia lebih agung dan lebih
besar dari shalat. Karena meskipun shalat itu merupakan sebaik-
baiknya ibadah, tetap ada waktu-waktu tertentu yang kita tidak
diperkenankan melakukannya. Berbeda dengan dzikir yang
diperkenankan pada setiap waktu. Oleh sebab itu para ulama tarekat
mengatakan barang siapa diberikan istiqamah dalam dzikir maka ia
telah mendapat hamparan dunia kewalian (wilayah). Dalam al-
Qur’an, Allah memberi perintah dzikir lebih banyak dari perintah
ibadah yang lainnya.101
2. Tashfiyat Al-Qalb
Tashfiyat al-Qulub adalah membersihkan atau menghapus hati dari
kecintaan dunia dan hal-hal duniawi yang sifatnya sementara, dan
kehawatiran atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya,
kecintaan kepada Allah semata.102 Tashfiyat al-Qalb dalam penjelasan
Mbah Shiddid proses penyucian hati dari kenikmatan ruhani. Seperti,
seseorang untuk gila prestasi dan prestise, senang terkenal dan senang
dipuji, beribadah karena mencari pahala dan surga, bukan semata-mata
karena Allah.103
Proses tazkiyat al-nafs dan tashfiyat al-qalb harus dilakukan melalu
mujahadah (perang melawan hawa nafsu), yang sangat serius dan
istiqamah. Setidaknya ada tiga mujahadah dasar yang harus dibiasakan
oleh seorang murid dibawah bimbingan seorang guru mursyid.
Pembersihan-pembersihan hati baik dari sifat buruk dan
membiasakan sifat baik adalah salah satu bentuk dari mujahadah
seorang murid atas lelaku pendidikan ruhaninya. Proses pembersihan
diri dari sifat buruk disebut juga dengan takhalli. Pembersihan ini
101 Akhmad Sodiq, OpCit, hlm. 107.
102 Jamaludin dan Solihah Sari Rahayu, Hubungan Fiqih Kalam dan Tasawuf: Dalam
Pandangan Tarekat Qadiriah wa Naqsabandiyah Suryalaya Tasikmalaya, (Wonosobo: CV.
Mangku Bumi Media, 2019), hlm. 86.
103 Akhmad Sodiq, OpCit, hlm. 79.
55
menghilangkan sifat-sifat buruk dalam diri seseorang, seperti sifat
dengki (hasad), sombong (kibr), beribadah karena selain Allah (riya’),
yang bersumber pada sifat cinta dunia (hubb al-dunya), dan berbagai
sifat-sifat buruk yang merupakan cabangnya. Adapun yang dimaksud
dengan membiasakan sifat diri denga sifat-sifat baik disebut dengan
tahalli yaitu internalisasi nilai-nilai posiitif setelah membersihkan
dirinya dari sifat-sifat buruk.
Takhalli dan tahalli inilah yang sering disebut oleh ulama akhlak
dengan istilah riyadah. Menurut Ibn Sina, riyadah ditunjukkan untuk
mendapatkan tiga tujuan. Tujuan pertama, berkaitan dengan urusan-
urusan eksternal, yakni membuang segala kesibukan yang menyebabkan
kelalaian. Kedua, berhubungan dengan penyiapan kekuatan-kekuatan
internal serta menghilangkan kekacauan-kekacauan ruhani yang
diistilahkan dengan “menundukkan nafsu al-ammarah oleh nafsu al-
muthmainnah”. Ketiga, berkaitan dengan perubahan-perubahan
kualitatif di dalam ruh yang diistilahkan dengan “pelembutan relung hati
terdalam.”104
Ujung proses dari takhalli dan tahalli ini adalah tajalli yakni
nampaknya keagungan-keagungan dalam batin mutashawif atas
limphan faidl al-rabbani dari Allah. Inilah level madzaqat yang
mengantarkannya pada inkisyaf hingga wushul. Mereka yang sudah
sampai pada level ini adalah para waliyullah yang dadanya menjadi
kuburan rahasia Allah, yang dipernuhi mahabbah dan ma’rifat. Lebih
jauh lagi, Mbah Shiddiq, metode penyucian dan penjernihan hati itu
sebenarnya banyak sekali hingga dikatakan “jalan menuju Allah itu
sebanyak nafas makhluk.”105
104 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 154.
105 Akhmad Sodiq, OpCit, hlm. 81.
56
3. Implementasi Zuhud dalam Kehidupan KH. Muhammad Shiddiq
Al-Shalihi
Konsep tazkiyat al-nafs merupakan bagian dari cara pengendalian
hawa nafsu bagi seseorang yang mendalami dunia tarekat. Imam al-
Ghazali menjelaskan dalam proses pengekarang hawa nafsu salah
satunya adalah dengan zuhud.106
Yunus ibn Maysarah memaknai konsep zuhud itu dengan
pandangan, bahwa zuhud bukanlah mengharamkan yang halal dan
menolak harta, tetapi zuhud terhadap dunia ialah engkau lebih yakin dan
percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada
padamu dan keadaan serta sikapmu tidak berubah baik sewaktu tertimpa
musibah atau tidak. Zuhud terhadap dunia, apabila pemuji dan
pencacian terhadapmu kau anggap sama derajatnya.107
Zuhud menurut Suyyan al-Tsauri adalah perbuatan hati yang
dilakukan sesuai dengan keridhaan Allah dan menutup sikap panjang
angan-angan. Zuhud bukan dilakukan dengan menyantap makanan
buruk ataupun dengan memakai jubah.108 Zuhud secara inti adalah tidak
cinta dunia (hubb al-dunya).
Imam al-Syadzili pernah mengatakan, bahwa meninggalkan dunia
yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan
berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah dengan
sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.109
Dalam kitab Mukasyafah al-Qulub, Imam al-Ghazali menjelaskan
makna zuhud berdasarkan firman Allah swt. kepada Nabi Muhammad
saw.,:
106 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 271.
107 Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa Imam Al-Ghazali, Imam Ibnu rajab al-Hambali, Ibnu
Qayyim al-jauziyah, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 86. 108 Muhammad Fethullah Gulen, tasawuf untuk Semua: Menapaki Bulat-bulat Zamrud
Kalbu Melalui Istilah-istilah dalam Praktik Sufisme, (Jakarta: Republika, 2014), hlm. 94.
109 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 74.
57
“Allah swt. berfirman ketika Nabi saw. melakukan mi’raj, “Wahai
Ahmad, jika engkau ingin menjadi orang yang paling wara’,
berlaku zuhudlah di dunia dan cintailah akhirat.” Nabi saw.
bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku berlaku zuhud di
dunia?” Allah menjawab, “Ambillah dari keduniaan itu sekadar
memenuhi keperluan makan, minum, dan pakaian. Janganlah
menyimpannya untuk hari esok dan biasakanlah berdzikir kepada-
Ku.” Nabi saw. bertanya lagi, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara
aku membiasakan berdzikir kepada-Mu?”Allah menjawab,
“Dengan mengasingkan diri dari manusia. Gantilah tidurmu
dengan shalat dan (gantilah juga) makanmu dengan lapar.”
Nabi saw. bersabda,”Zuhud di dunia dapat menenangkan hati dan
badan. Cinta kepadanya dapat memperbanyak emosi dan
kesedihan. Cinta kepada keduniaan merupakan induk setiap
kesalahan, dan zuhud dari dunia merupakan induk setiap kebaikan
dan taat.”110
Mengenai penjelasan zuhud di atas, Mbah Shiddiq menerapkan
dalam kehidupannya. Konsep zuhud yang kental menjadikan beliau
sebagai ulama yang berkharismatik yang sangat sederhana dalam jabatan
dunia yang dipegangnya.
KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi terlahir dari keluarga dan
berlatar belakang sebagai nahdliyin, sejak muda ditanami dan dididik
sebagai seorang yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan
kultur NU yang demikian ketat. Sebab itu Mbah Shiddiq terlahir sebagai
Kyai NU yang cukup militan. Hal ini terbukti ketika tahun 1952 terjadi
konflik antara kelompok modernis dengan tradisionalis dalam tubuh
partai Masyumi, dengan tegas beliau membela dan bergabung dengan
kelompok tradisionalis NU (partai NU).111
110 Imam al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulu: Bening Hati dengan Ilmu Tasawuf Imam al-
Ghazali, terj. dari Mukasyafah al-Qulub; al-Muqarrib ila Hadhrah al-Ghuyub fi ‘Ilmi al-
Tashawwuf, oleh: Abu Hamida al-Faqir, (Bandung: Penerbit Marja’, 2003), hlm. 27.
111 Ma’mun Mun’im, Pergumulan Tarekat dan Politik: Peranan Kyai Haji Muhammad
Shiddiq dalam Tarekat dan Politik di Kudus, Kudus: Fikrah STAIN KUDUS, 2014, hlm. 177.
58
Gambar 4.2
Foto KH. Muhammad Shiddiq Al-Ashalihi
Karakter politik Mbah Shiddiq juga tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh guru-gurunya yang merupakan tokoh utama NU yang
demikian gigih memperjuangkan Islam melalui NU, namun pada
kondisi tertentu terkadang demikian akomodatif terhadap kebijakan
penguasa Orde Baru, seperti dalam kasus penetapan asas tunggal
Pancasila, dimana NU menerima dengan mudah ide asas tunggal
tersebut.
Ilmu tarekat yang Mbah Shiddiq dalami dari guru-gurunya yang
sekaligus beliau-beliau pun dekat dengan dunia politik kekuasaan. Tentu
saja pengalaman para mursyid tarekat tersebut dan peranan politik
praktis guru-gurunya dalam belantara politik nasional telah mengilhami
dan memberikan kesan tersendiri terhadap sikap politik Mbah
Shiddiq.112
Pembagian Kudus Kulon dan Kudus Wetan yang dilakukan Hindia
Belanda bertahan dan dilembagakan sampai sekarang, di mana Kudus
Kulon telah menjadi simbol bagi kaum santri dengan status sosial kaum
menengah ke atas sebagai pedagang kaya-raya, sementara Kudus Wetan
112 Ma’mun Mun’im, ibid, hlm. 177.
59
telah menjadi simbol bagi kaum abangan dengan status sosial kaum
menengah ke bawah sebagai petani dan buruh pabrik. Tarekat
Qodiriyyah Kholidiyah Kwanaran Kudus, dengan tokoh KH. Sya’roni
Ahmadi, lahir sebagai representasi perkumpulan organisasi kaum santri
dan pengusaha kaya, dan Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah Piji,
dengan tokoh KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi, lahir sebagai
representasi perkumpulan organisasi kaum petani dan buruh pabrik yang
miskin.
Menyikapi latar belakang di atas, Mbah Shiddiq menyadari betul
posisinya berada di tengah-tengah “kepungan” pengaruh Kyai-kyai
Kudus Kulon yang demikian besar, sehingga untuk melestarikan posisi
tawarnya di hadapan para pengikutnya kekuasaan dan jabatan dipilihnya
dengan kekuasaan dan jabatan sebagai anggota DPRD Kabupaten
Kudus dapat mempertahankan kharismanya tengah-tengah pengikutnya.
Bila dihubungkan dengan posisi Mbah Shiddiq sebagai pemimpin
agama dan perananya dalam politik, Mbah Shiddiq termasuk kyai
integrated, yaitu kyai yang memposisikan agama dan politik demikian
sangat dekat atau kyai yang mengintegrasikan kuasa agama dengan
kuasa politik.113 Dengan masuknya Mbah Shiddiq dalam dunia politik,
beliau mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar.untuk dirinya
terlebih terhadap tanah air yang dipijaknya.
Selain menjalankan amar ma’ruf nahi munkar atas seizin Allah,
Mbah Shiddiq terpilih menjadi kepala Desa Piji Dawe Kudus. Jabatan
ini beliau emban hingga 25 tahun lamanya, sebelum akhirnya menjadi
anggota DPRD Kudus selama tiga periode. Saat menjabat sebagai
kepala desa Piji inilah beliau mengatakan, “Aku lurah ora luru dunya,
aku arep ngislamna desa,” (aku lurah, bukan mencari dunia, aku mau
mengislamkan desa).114 Dengan perkataan seperti itu beliau dengan
113 Ma’mun Mun’im, ibid, hlm. 177.
114 Akhmad Sodiq, Mursyid ..., OpCit, hlm. 16.
60
tegas membuktikan bahwa beliau tidak hubb al-dunya yang dalam artian
beliau menerapkan konsep zuhud dalam kehidupannya.
Masuknya Mbah Shiddiq ke dalam dunia politik, tidak terlepas dari
sikap zuhud yang beliau jalani. Mbah Shiddiq membantah dengan keras
pada istilah “politik adalah sesuatu yang kotor” dengan prestasi yang
beliau dapat. Belaiu mencontohkan bahwa dengan zuhud terhidar dari
haus jabatan, dengan zuhud akan terhindar dari curang dan melakukan
hal-hal kotor, dan dengan zuhud akan terhindar dari penyakit atau krisis
ruhani. Keberhasilan beliau memakai konsep zuhud dengan sempurna,
menjadi bukti bahwa beliau adalah mursyid yang sukses dalam dunia
dan akhirat. Beliau sukses mengemban amanahnya untuk sosial tetapi
beliau pun tak melupakan lelaku tarekatnya.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan hasil penelitian mengenai Konsep
Pendidikan Ruhani dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah
perspektif KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi merupakan mursyid dari
Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah di desa Piji Dawe, Kudus Jawa
Tengah. Beliau mendalami Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah
melalui jalur yang muttashil (tak putus) samapai Rasulullah saw. sehingga
dijaga betul sanad keilmuannya.
Dalam Tarekat Qadiriyyah wan Naqsabandiyah, doktrin dasar
dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui tazkiyat al-nafs dan
tasshfiyat al-qalb. Mbah Shiddiq mengartikan tazkiyat al-nafs sebagai
pensucian nafsu syahwat dari berbagai kecenderunagn cinta dunia (hubb al-
dunya) dan kenikmatan fisiologis (laszaszat al-jasadiyah seperti
kenikmatan makan, minum, kawin, dll); maupun pensucian nafsu ghadab
dari emosi yang tak terkendali oleh rsional yang bijak. Adapun yang
dimaksud dengan tashfiyat al-qalb yakni proses pensucian hati dari
kenikmatan ruhani (ladzdzat al-bathiniyah) seperti kecenderungan
seseorang untuk gila prestasi, senang karena dipuji, beribadah hanya
sekadar mencari pahala dan surga, dan bahkan semata-mata bukan karena
Allah.
Tidak hanya mengajarkan konsep ilmu tarekatnya, beliau pun
mengiplementasikan ilmunya dalam kehidupannya. Betapa ‘arif-nya beliau
di sela-sela kesibukan beliau mendidik para murid dalam laku tarekatnya,
beliau menyempatkan dirinya untuk mengabdi kepada tanah airnya. Dengan
konsep zuhud yang dipegang teguhnya beliau berhasil menjadi dewan
62
pemerintahan yang sukses dalam mengemban jabatan. Beliau dengan ikhlas
menerapkan amar ma’ruf nahi munkar di daerahnya demi berdakwah
menyebarkan Islam yang sesungguhnya. Demikian adalah pendidikan
ruhani yang dijelaskan KH. Muhammad Shiddiq al-Shalihi bagi para
pencari jalan keridhaan Allah swt..
B. Saran
Kita ketahui bahwa yang menciptakan baik buruknya manusia
adalah bukan pendidikan yang bersifat fisik semata, melainkan pendidikan
ruhani yang akan menciptakan manusia yang kamil. Bagi para penjajak jalan
keridhaan Allah, proses tazkiyat al-nafs dan tazkiyat al-qalb sangat
dibutuhkan. Dalam proses pensucian hati tersebut seseorang harus melalui
mujahadah yang sangat serius dan istiqamah agar sampainya tujuan
seseorang tersebut yaitu wushul illah.
Perlunya proses tazkiyat al-nafs dalam diri seseorang, untuk
membersihkan diri dari kotoran-kotorang nafsyu syahwat yang merusak
diri. Adapun proses tazkiyat al-qalb dalam mensucikan batin dari perasaan
dan sifat-sifat yang akan menjerumuskan pada cinta dunia (hubb al-dunya).
Dengan proses pensucian hati tersebut, seseorang akan terhindar dari
berbagai penyakit hati yang akan mengotori diri karena dapat merusak dan
berakibat pada perilaku yang buruk. Dan perlu kita ketahui bahwa wushul
hanya akan terjadi pada seseorang yang sudah suci dari berbagai kotoran
yang ada pada dirinya.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Luqman, Kontribusi Tarekat Naqsabandiyah terhadap Pendidikan
Agama Islam dan Perubahan Perilaku Sosial, skripsi, (Yogyakarta: FITK
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016)
Akmansyah, M., Tujuan Pendidikan Rohani Perspektif Pendidikan Sufistik, (Jurnal
Ijtima’iyah Vol. 9 No. 1, Februari 2016)
Al-Bukhari, Imam dan Abu Hasan al-Sindy, Shahih al-Bukhari Bihasyiyat al-Imam
as-Sindi, (Beirut: Dar al-Kotob al-ilmiyah, 1971)
Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub: Bening Hati dengan Ilmu Tasawuf Imam al-
Ghazali, terj. dari Mukasyafah al-Qulub; al-Muqarrib ila Hadhrah al-
Ghuyub fi ‘Ilmi al-Tashawwuf, oleh: Abu Hamida al-Faqir, (Bandung:
Penerbit Marja’, 2003)
_______, Ringkasan Ihya Ulumuddin, terj. dari Ihya Ulumuddin oleh Bahru Abu
Bakar, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2014)
Al-Jilani, Syaikh Abdul Qodir, The Secret of Secret, terj. dari Sirrul Asrar wa
Mazhharul Anwar fima Yahtaju ilaihi al-Abrar, oleh: Fuad Syaifudin
Nur, (Jakarta: TUROS, 2015)
Al-Kurdi, Syekh Muhammad Amin, tanwir al-Qulub fi Muamalatil Guyub,
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia)
Aqib, Kharisudin, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998)
Arifin, Pendidikan Berbasis Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah Pondok
Pesantren Suryalaya, skripsi, (Ciputat: FITK UIN Jakarta, 2014)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lajnah
Penstabilan Mushaf, 2007)
Erhahamwilda, Konseling Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009)
Fahrudin, Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Kedekatan dengan
Allah, Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 2016
64
Faridh, Ahmad, Pembersih Jiwa Imam Al-Ghazali, Imam Ibnu rajab al-Hambali,
Ibnu Qayyim al-jauziyah, (Bandung: Pustaka, 2000)
Gulen, Muhammad Fethullah, tasawuf untuk Semua: Menapaki Bulat-bulat
Zamrud Kalbu Melalui Istilah-istilah dalam Praktik Sufisme, (Jakarta:
Republika, 2014)
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2013)
Hadi, Abdul, Kebangkitan Kaum Sufi Kontemporer Indonesia: JATMAN, (Kendal:
Pustaka Amanah, 2018)
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 7,8,9, (Jakarta : Panji Masyarakat, 1984)
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM, (Jakarta:
PEDOMAN ILMU JAYA, 2003)
Hawazin, Abul Qasim Abdul Karim dan al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah
Qusyairiyah, terj. dari Ar-Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf
oleh: Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 2013)
Hilmi, Muhammad, dkk. Konsep Hati Menurut Al-Ghazali, (Jurnal Reflektika Vol.
11 No. 11, Januari 2016)
https://humas.polri.go.id/2019/11/25/kabid-humas-polda-jabar-23-orang-pelajar-diamankan-
ketika-akan-tawuran/ (diakses pada 1 Desember 2019, pukul 14.49 WIB)
https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-setya-novanto-divonis-
15-tahun-penjara (diakses pada 3 Oktober 2019, pukul 20.21 WIB)
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3896238/sebar-informasi-hoax-di-medsos-pelajar-di-
sukabumi-ditangkap?_ga=2.63552047.1693848176.1570108590-
808556038.1570108590 (diakses pada 3 Oktober 2019. Pukul 20.36 WIB)
https://www.kpai.go.id/berita/kpai-prihatin-dua-bocah-smp-depok-jadi-begal (diakses pada 1
Desember 2019, pukul 15.02 WIB)
https://www.kpai.go.id/berita/kpai-usut-kasus-dugaan-kekerasan-seksual-oknum-guru-terhadap-
siswa-di-pasaman (diakses pada 1 Desember 2019, pukul 15.08 WIB)
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: Lkis
Yogyakarta, 2008)
65
Husen, Achmad, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Spiritualisme Islam: Tasawuf,
(UNJ: Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 10 No. 1, 2014)
Jainudin, Pendidikan Karakuter Dan Pergeseran Sosiopsikologis Penganut Aliran
Tarekat Qadiriyyahwannaqsabandiyah Surabaya, (JOEIS: Journal of
Islamic Education Studies, Vol. 1 No. 2, Desember 2016)
Jamaludin dan Solihah Sari Rahayu, Hubungan Fiqih Kalam dan Tasawuf: Dalam
Pandangan Tarekat Qadiriah wa Naqsabandiyah Suryalaya
Tasikmalaya, (Wonosobo: CV. Mangku Bumi Media, 2019)
KH., U . Maman, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada Press, 2006)
Kumoro, Ajar Joyo, Tarekat Sebagai Pendekatan Pendidikan Agama Islam Pada
Lanjut Usia, skripsi, (Salatiga: FITK IAIN Salatiga, 2018)
Kurniawan, Asep, Peran Tasawuf dalam Pembinaan Akhlak di Dunia Pemdidikan
di Tengah Krisis Spiritualitas Masyarakat Modern, (Vol.2; Jurnal
Yaqzhan, 2016)
Langko, M. Amir, Metode Pendidikan Rohani Menurut Agama Islam, (Jurnal
Ekspose, Vol. XXIII, No. 1, Juni 2014)
Mahmud, Ali Abdul Halim, Pendidikan Ruhani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
Maulana, Ahmad Iza, “Meniti Jalan Menuju Ridha Allah”,
http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/tarekat-muktabaroh-qodiriah-
wa.html, (diakses pada 28 September 2019, pukul 20.02 WIB)
Muchith, M. Saekun, Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan, (Stain Kudus: Jurnal
ADDIN, Vol. 10, No.1, Februari 2016)
Mulyati, Sri, Mengenal dan Memahami tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2005)
Mun’im, Ma’mun, Pergumulan Tarekat dan Politik: Peranan Kyai Haji Muhammad
Shiddiq dalam Tarekat dan Politik di Kudus, Kudus: Fikrah STAIN
KUDUS, 2014.
66
_______, Sejarah Perkembangan Pendidikan Tasawuf: Studi Tariqah Qadiriyah wa
Naqsabandiyah di Kudus Jawa Tengah, (Kudus: Jurnal QUALITY STAIN
Kudus, 2016)
_______, Sejarah Tarekat Qodiriyyah Wan Naqsabandiyyah Piji Kudus, (Kudus:
Fikrah STAIN KUDUS, 2014)
Mutiah, Nilai-nilai Pendidikan Islam Pada Amalan Tarekat Qoriyah Wa
Naqsabandiyah, skripsi, (Surakarta: FITK IAIN Surakarta, 2018)
Nasution, Harun, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam dalam Orientasi
Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN, Jakarta: Ditbinbaga Depag RI,
1968
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014)
_________, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Noer, Kausar Azhar, Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2003)
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991)
Salahuddin, “Teori dan Struktur Lathaif dalam Tasawuf”, (Jauhar: Jurnal
Pemikiran Islam Kontekstual, 2003)
Samudra, Azhari Aziz dan Setia Budi, Eksistensi Rohani Manusia, (Jakarta:
Yayasan Majels Ta’lim HDH, 2004)
Senali, Moh. Saifullah Al-Aziz, Tasawuf & Jalan Hidup Para Wali, (Gresik:
PUTRA PELAJAR, 2000)
Shiddiq, Muhammad, Risālat al-Iqyān fī Dzikr Silsilat Ahl al-‘Irfān wa Bayān
Mabna A’māl Thārāyiq Ahl al-‘Iyān. Tt., Tp
_________, Nail al-Amānī fī Dzikr Manāqib al-Quthb al-Rabbāniy Sayyidinā al-
Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailāni, Tt., Tp.
67
Sidqi, Ahmad, Wajah Tasawuf di Era Modern antara Tangtangan dan Jawaban,
(Universitas Azzahra Jakarta: Jurnal Epistemé, Vol. 10, No. 1, Juni
2015)
Siroj, Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2006)
Sodiq, Akhmad, Khususyiah, (Ciputat: Mihrobbul Muhibbin, tt)
_________, Mursyid TQN Kontemporer K.H. Muhammad Shiddiq Al-Shalihi
Kudus, (Yogyakartaa: Samudra Biru, 2016)
_________, Prophetic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak
Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: KENCANA, 2018)
Solihin, M. dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia,
2008)
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed
Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011)
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998)
Wakhid, Ahmad Zaenurrohman, Tarekat Sebagai Model Pendidikan Agama Islam
Pada Lanjut Usia, skripsi, (Yogyakarta: FITK UIN Yogyakarta, 2015)
Zuhri, Saifudin, Tarbiyah Ruhiyah (Pendidikan Ruhani) Bagi Anak Didik Dalam
Perspektif Pemikiran Pendidikan Islam, (Jurnal As Sibyan, Vol. 2 No. 1,
2019)
68
69
70
71
72
73