konsep muraqabah dan implikasinya dalam kehidupan...
TRANSCRIPT
KONSEP MURAQABAH DAN IMPLIKASINYA
DALAM KEHIDUPAN KONTEMPORER
(Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah
Karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh:
PUJI WASTUTI
NIM. 111 10 072
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 1435 H/ 2014 M
MOTTO
-
Artinya:”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah SWT. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah SWT hati menjadi tenteram.”(Q. S
Al Ra’d: 28).
☺Sesuatu yang datang dari hati pasti akan sampai ke hati☺
Jadi, lakukanlah segalanya dengan hati.
Puji Wastuti
PERSEMBAHAN
Dengan penuh ketulusan dan rasa syukur yang mendalam kepada-Mu
ya Rabb, maka skripsi yang penulis susun ini dipersembahkan kepada:
Allah SWT dan Rasulullah SAW, sebagai sedikit bukti pengabdian
hamba pada agama-Mu yakni al Din al Islam.
Mamakku tercinta (Ibu Nasiyem) dan bapakku tercinta (Bapak M.
Riva’i. Alm.), yang senantiasa memberikan semangat, dukungan,
nasihat, kasih sayang serta do’a sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Meskipun kini bapak telah
tiada. Namun engkau selalu abadi dihati putrimu tercinta ini.
Terimakasih mamak, bapak. Pengorbanan mamak dan bapak hanya
Allah SWT yang dapat membalasnya.
Kakak-kakak dan mbak-mbakku, kang Luji, kang Parno, yuk Ilah,
kak Agus, yuk Sri, mbak Pur, kak Yana, kak Eko. Dan seluruh mbak
dan kakak iparku, keponakan-keponakanku, yang tidak mungkin
penulis sebut satu persatu. Yang telah memberikan semangat,
motivasi, dukungan batin dan lahir hingga sekarang dan selamanya
kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
Syaikhi murobbi rukhina Romo Kyai As’ad Haris Nasuton F dan
Ibunda Nyai Fatihah Ulfah Imam Fauzi beserta seluruh ahlul bait
beliau yang senantiasa dengan tulus ikhlas mendidik kerohanianku
dan motivasi spiritual hingga sekarang.
Teman-temanku seperjuangan dan seluruh dewan Asatidz wa al
Asatidzah beserta seluruh keluarga besar Pondok Pesantren al Manar
KATA PENGANTAR
Al HamduLillahi Rabbi al „Alamina. Segala puji bagi Allah SWT. Rasa
syukur tiada hentinya penulis haturkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia
rahmat, taufiq, hidayah, inayah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Meskipun belum sempurna
keberadaannya. Dan dalam wujud yang sangat sederhana. Shalawat dan salam
selalu tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, Nabi akhiruzzaman.
Pemimpin umat sepanjang zaman. Yang telah menuntun umatnya dari zaman
kejahilan (ketidaktahuan) menuju zaman kezakiahan (kecerdasan). Dari zaman
kekufuran menuju zaman keIslaman.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat
diselesaikan tanpa dukungan, bantuan, dan do‟a dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga.
2. Bapak Rasimin. S.Pd. I, M. Pd. Selaku Ketua Program Studi PAI.
3. Bapak M. Gufron, M. Ag. Selaku pembimbing yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak/ibu Dosen dan seluruh karyawan STAIN Salatiga yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis.
5. Al Mukarrom Romo Kyai As‟ad Haris Nasution F, Romo Kyai Kholid Ulfi F,
Romo Kyai Taufiqurrahman, Romo Kyai Fatkhurrahman, Romo Kyai
Muhsinun al Hafidz, Ibunda Nyai Fatihah Imam Fauzi, Ibunda Nyai Chusnul
Halimah, dan saudara-saudariku ustadz-ustadzah PondokPesantren al Manar
yang telah berjuang bersama dalam agama Allah SWT dan meraih Ridho-Nya.
Serta mbak-mbak dan kang-kang keluarga besar Pondok Pesantren al Manar,
Bener, Tengaran, Semarang.
6. Mamak dan Bapakkku tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah
mendukung, membantu dan mendo‟akanku dalam menyelesaikan studi di
STAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan kesabaran serta
memotivasi diriku. Serta seluruh keluarga besarku.
7. Para pengasuh, pengurus dan santriwan santriyati Pondok Pesantren al Manar
Bener, Tengaran, Semarang.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini.
Atas jasa-jasa dan amal kebaikan beliau di atas, penulis mendo‟akan semoga
Allah SWT yang Maha Segalanya menerima amal beliau dan memberikan balasan
yang jauh lebih baik. ( ).
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan yang penulis miliki. Tiada
kalimat yang penulis sampaikan kecuali kalimat al HamduLillahi Rabbi al
„Alamina. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan barakah baik dalam agama, di
dunia sampai di akhirat. Amin.
ABSTRAK
Puji Wastuti. 2014. Konsep Muraqabah dan Implikasinya dalam Kehidupan
Kontemporer (Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah Karya al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad). Skripsi. Jurusan Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam Negeri Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Gufron, M.Ag.
Kata kunci: Konsep Muraqabah.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa al Sayyid Abdullah bin
Alwi al Haddad merupakan seorang ulama‟ salaf, merasa sangat penting sebuah
pribadi yang memiliki keimanan yang kuat, jiwa mawas diri (muraqabah) dan
mendalam yang harus dimiliki oleh setiap hamba dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji
bagaimana konsep muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
dalam kitab Risalatun al Muawanah. Pertanyaan yang akan dijawab melalui
penelitian ini adalah: 1) Bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun
al Muawanah? 2) Bagaimana pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al
Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah? 3)
Bagaimana implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah
dalam kehidupan sehari-hari?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kepustakaan. Metode penelitian yang
digunakan yaitu dengan jenis penelitian kepustakaan (Library Research),
sedangkan sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Risalatun al
Muawanah dan sumber sekundernya adalah buku-buku lain yang bersangkutan
dan relevan dengan penelitian.
Adapun teknis analisis data menggunakan metode Deduktif dan metode
Induktif dan temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Konsep Muraqabah
menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad ini sangat dibutuhkan bagi diri
sendiri dan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Karakter pemikiran beliau
dapat digolongkan dalam corak praktis yang tetap berpegang teguh dengan al
Qur‟an dan al Hadis. Kecenderungan lain dalam pemikiran beliau adalah
mengetengahkan nilai-nilai ke-Islaman yang bernafaskan ke-tasawuf-an. Segala
amal perbuatan akan dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Amal manusia
seluruhnya akan menjadi saksi. Dengan mengoptimalkan memiliki jiwa selalu
diawasi (muraqabah) oleh-Nya, Konsep beliau berusaha membuat dasar atau
pondasi diri yang kuatakan keimanan yang religius melalui pembinaan individu
dalam segala aktivitas kehidupan. Dari sini diharapkan akan terwujud sebuah
pribadi yang memiliki akhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur dan berkeimanan
yang kuat.
DAFTAR ISI
1. JUDUL............................................................................................... i
2. LOGO STAIN................................................................................... ii
3. PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... iii
4. PENGESAHAN KELULUSAN...................................................... iv
5. PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN....................................... v
6. MOTTO............................................................................................... vi
7. PERSEMBAHAN............................................................................. vii
8. KATA PENGANTAR...................................................................... ix
9. ABSTRAK......................................................................................... xi
10. DAFTAR ISI.................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................9
C. Tujuan Penelitian..................................................................................9
D. Kegunaan Penelitian............................................................................10
E. Penegasan Istilah................................................................................. 12
F. Metode Penelitian............................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan Skripsi.............................................................. 17
BAB II. BIOGRAFI AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL
HADDAD
A. Riwayat Hidup al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad................... 19
B. Pendidikan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.......................... 34
C. Pengajaran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.......................... 37
D. Karya-karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad........................ 43
BAB III. DESKRIPSI PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN
ALWI AL HADDAD
A. Latar Belakang Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah................... 45
B. Sistematika Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah........................ 46
C. Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah............................................ 47
D. Pengertian Konsep Muraqabah........................................................... 71
E. Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep
Muraqabah dalam Kitab Risalatun al Muawanah.............................. 76
BAB IV. ANALISIS PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN
ALWI AL HADDAD TENTANG KONSEP MURAQABAH
A. Analisis Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad.............................................................................................. 84
B. Implikasi Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad dalam kehidupan kontemporer............................................. 95
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 113
B. Saran.................................................................................................. 117
C. Penutup.............................................................................................. 117
11. DAFTAR PUSTAKA
12. LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya hingga
menjadikannya Rahmatan lil „Alamin. Rasulullah SAW pembawa
kesempurnaannya di dunia ini. Tidak heran jika hal itu sangat menjadi
topik utama dalam kehidupan ini. Menjadi awal dan dasar kehidupan
seseorang untuk menjadi bahagia di dunia dan akhirat.
Dasar utama dalam Islam adalah mengakui keberadaan-Nya dan
para utusannya. Dengan mengakui bahwa:” Aku mengakui, bahwa tiada
Ilah selain Allah SWT, tunggal Maha sendiri-Nya, tiada sekutu bagi-Nya,
demikian tinggi Dia dengan ketinggian yang Maha Agung. Dia
menciptakan seluruh langit dan bumi serta segala apa yang ada diantara
keduanya dalam kurun wangsa waktu enam periode hari, kemudian Dia
bersemayam di Arasy al Rahman.” (Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut
Islam, 1990: 27).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Al Hadiid: 3-4:
--
-
Artinya:”Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia-lah yang Menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia Bersemayam di atas Arasy.
Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari
dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kesana.” (Q. S.
Al Hadid: 3-4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Selain itu terdapat juga dalam Q. S. Al Ikhlas: 1-4:
-------
Artinya:”Katakanlah (Muhammad),“Dia-lah Allah SWT, Yang Maha Esa.
Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah SWT) tidak beranak dan
tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q. S. Al Ikhlas: 1-4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Surat al Ikhlas menetapkan keesaan Allah SWT secara murni dan
menafikan segala macam kemusyrikan terhadap-Nya. Wajar jika Rasul
SAW menilai surat ini sebagai “sepertiga al Qur‟an”. Maha Benar Allah
SWT dalam segala firman-Nya. (Tafsir al-Qur‟an al-Karim M. Quraish
Shihab, 1997: 674).
Kemudian, membenarkan pula bahwa:”Aku membenarkan bahwa
Muhammad adalah seorang hamba-Nya dan utusan-Nya, diutus dengan
benar menjadi saksi, dan menyampaikan kabar penghiburan dan
pertakutan, serta mengajak kepada agama Allah SWT dengan ijin-Nya,
seraya dengan lampu yang cemerlang.” (Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Islam, 1990: 27).
Hal tersebut dijelaskan dalam al Qur‟an surat al Saba‟ ayat 28
yaitu:
- Artinya:”Dan Kami tidak Mengutus engkau (Muhammad), melainkan
kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Q. S. Al Saba‟: 28). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Sebagaimana firman Allah Q. S. Al Ahzab ayat 21:
- Artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun
hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al Ahzaab: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam
digital).
Sebagai seorang manusia, terutama umat muslim, wajib kita
mengetahui dan memahami hal tersebut. Bahwa Allah SWT itu benar
keEsaan-Nya. Tetapi jika kita hanya meyakini saja, hal itu belum cukup.
Seperti seorang remaja putra mencintai seorang remaja putri. Tidak cukup
hanya sekedar perkataan saja, tetapi butuh pembuktian untuk mencintai
karena-Nya.
Maka sudah seharusnya di dalam kehidupan sehari-hari sebagai
hamba Allah SWT, manusia membuktikan dan mengamalkan
keyakinannya tersebut baik secara dzahiriyah maupun bathiniyah agar
menjadi Insan al Kamiil. Untuk itu, perlu pemahaman lebih spesifik dan
mendalam jika seseorang itu mengakui keberadaan-Nya yaitu salah
satunya dengan cara Muraqabah.
Aktivitas muraqabah (disebut juga dengan istilah kontemplasi dan
meditasi) ini dimulai dengan mengulang-ulang dzikir kepada Allah SWT,
seperti “Allah hadirii” atau Allah ma‟ii” (Allah SWT bersamaku). Lafadz-
lafadz dzikir itu dapat diucapkan dengan suara keras maupun suara lembut
atau dalam hati, tergantung pada pilihan, kebiasaan, dan kepuasan orang
yang melaksanakannya. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301)
Tidak ada seseorang yang lebih baik agamanya, lebih lurus
jalannya, dan lebih jelas manhaj-nya dari orang yang tunduk pada hukum
Rabb-nya (Tuhan-nya), taat kepada Tuhan-nya, dan menjauhi setiap yang
diharamkan oleh Allah SWT, selalu taat kepada perintah Rabb-nya dan
sunnah Nabi-Nya, selalu berusaha dalam ketaatan kepada Tuhan-pencipta-
nya, dan kemudian mengikuti agama yang terbaik, yaitu agama Ibrahim
AS, agama Islam, agama yang toleran dan mudah. (Tafsir Muyassar, 2008:
446).
Dalam al-qur‟an Q. S. An Nisa‟ ayat 125, Allah berfirman:
- Artinya:”Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
dengan ikhlas berserah diri kepada Allah SWT, sedang dia mengerjakan
kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah SWT telah
Memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).” (Q. S. An Nisa‟: 125).
(Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Jika nasehat tersebut tetap tidak dapat menghentikan tindakannya,
berilah seseorang itu pengertian tentang kematian yang sudah semakin
dekat. Salah satunya dengan cara muraqabah. (Al Sayyid Abdullah bin
Alwi al Haddad, tt: 24).
Muraqabah termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam
ajaran tasawuf. Maqam berasal dari bahasa Arab yaitu artinya
kedudukan, posisi, ranking, derajat. (Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
1998: 1786). Maqam atau maqamat (tingkatan sufi) muraqabah terletak
pada tingkatan ketiga dari empat tingkatan dalam derajat maqamat yaitu al
Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010: 31-34).
Secara istilah, muraqabah merupakan sikap mawas diri dalam
rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Sikap ini biasanya
dilakukan oleh sufi yang sudah sampai pada tingkat mengetahui dan
meyakini bahwa Allah SWT menguasai dan menguasai seluruh hati dan
perasaannya. Kesadaran itu akan mendorong sufi untuk selalu bersikap
mawas diri terhadap segala bisikan tercela yang dapat memalingkannya
dari mengingat Allah SWT. Namun, orang awam pun berhak untuk
memiliki sikap mawas diri, karena hal itu penting untuk dirinya.
(Ensiklopedi Islam, 1994: 301)
Muraqabah mempunyai beberapa tingkatan: pertama, menjaga hati,
perasaan dan pikiran, karena Allah SWT menguasai semua itu; kedua,
menjaga yang benar (haqq) dengan kebenaran (haq) dalam keadaan
fana‟(pemusnahan keterbatasan individu) dan kemudian mengikuti teladan
Nabi Muhammad SAW dalam semua perbuatan, akhlak, dan budi pekerti
(adab) nya; dan ketiga, selalu bersikap mawas diri terhadap Allah SWT
dan selalu memohon kepada-Nya agar Ia menjaganya dalam keadaan
tersebut (keadaan muraqabah) sebab Allah SWT telah memberikan
anugerah kepada orang-orang pilihan-Nya dan orang-orang baik yang
tidak merasa berat dalam menjalani keadaan tersebut. Hal itu disebabkan
karena Allah SWT-lah pada hakikatnya yang menguasai semua urusan
mereka. Tingkatan ketiga ini merupakan derajat orang-orang sufi yang
telah mencapai puncak tertinggi dari muraqabah. (Ensiklopedi Islam,
1994: 301).
Dalam kitab ini dijelaskan tentang ajakan kepada umat Islam untuk
memperkuat iman dan keyakinan, dan menjelaskan cara keduanya itu
menjadi semakin kuat. Dengan keyakinan yang kuat, hal-hal ukhrawi yang
tidak nampak seolah-olah kelihatan, sehingga selalu melihat diri kita -
diakhirat menghadap Allah SWT -sikap mawas diri- yang disertai rasa
takut (khauf) dan berharap (roja'), juga menjelaskan bagaimana
berhubungan dengan Allah SWT maupun kepada sesama manusia. Kita
akan selalu mencintai Allah SWT dan menjadikan semua hidup kita untuk
mengabdi kepada-Nya, menjalankan hal-hal yang baik, dan meninggalkan
hal-hal yang buruk.
Karakteristik pemikiran memperkuat keimanan menurut al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab ini dapat digolongkan dalam
corak pemikiran praktis yang tetap berpegang teguh pada al Qur‟an dan al
Hadis. Kecenderungan lain yang beliau sampaikan dalam kitab ini adalah
lebih mengedepankan ritual ataupun praktek ibadah sehari-hari yang
sangat mudah untuk dipelajari. Lebih mengutamakan pembelajaran dari
diri sendiri, bukan orang lain. Menjadikan diri berintrospeksi dalam
beamal dan melakukan ibadah sehari-hari. Disinilah letak keistimewaan
kitab beliau.
Mengingat zaman sekarang yang semakin maju akan ilmu
teknologi, perkembangan dunia modern yang semakin mengedepankan
IPTEK daripada IMTAQ. Disinilah letak pentingnya ilmu Agama untuk
membentengi diri dari bahaya dan gangguan dari luar dan dari dalam.
Terutama tantangan hidup melawan hawa nafsu yang tidak terkendali.
Sikap pribadi dalam menjaga diri sendiri sangat penting. Karena
penjagaan terhadap perilaku tidak baik yang terutama adalah diri sendiri
yaitu bersikap mawas diri dalam segala hal.
Merespon pentingnya sikap mawas diri yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai cermin pribadi seorang muslim sejati
dan melihat betapa penting pula sebagai seorang mukallaf untuk
menambah keimanan dan kedekatan kepada sang Pencipta. Maka al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad menyusun sebuah risalah (kitab
kecil) yang berisi tentang Muraqabah yang harus diketahui oleh setiap
umat muslim yang hendak ingin selalu berada dalam naungan-Nya dan
dapat bersikap mawas diri dimana pun dan kapan pun berada. Karena
dengan memiliki sikap mawas diri kepada Allah SWT. Akan semakin
dekat pula kepada-Nya. Untuk itu, beliau berpesan dan berharap dapat
menjadi bahan renungan dan ingatan serta pengamalan. Beliau juga selalu
mengawali pembahasan dengan kalimat wa alaika (Hendaklah Anda...)
dengan tujuan untuk mengajak diri sendiri dan saudara beliau dan untuk
seluruh kaum muslimin yang membaca risalah ini. Dan beliau berharap
dengan adanya risalah ini semoga dapat memberikan kemanfaatan dan
keberkahan bagi siapa saja. ( al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 9-
12).
Begitu mulianya akhlak beliau dan begitu memperhatikan tentang
masa depan akhlak. Beliau lebih mengutamakan rasa saling mengingatkan.
Karena dengan mengingatkan orang lain, maka secara tidak langsung juga
mengingatkan diri sendiri. Subhanallah.
Muraqabah berbeda dengan Muqarabah. Dua kata yang hampir
sama. Tetapi, jelas perbedaannya. Muraqabah adalah sikap mawas diri atas
semua perbuatan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Sedangkan
Muqarabah adalah cara seorang hamba untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Dengan dasar ini pula, penulis hendak membahas
lebih dalam tentang Muraqabah agar pembaca yang budiman dapat
memahami secara mendalam tentang Muraqabah. Agar tidak salah
penafsiran dan pemahaman tentang dua kata yang hampir sama yaitu
Muraqabah dan Muqarabah.
Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji, mendalami
dan membahas tentang pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
melalui sebagian dari karya-karya beliau yang sudah merakyat ditanah air
Indonesia. Penulis akan membahas tentang konsep muraqabah dalam
sebuah kitab yang merupakan hasil dari sebagian karya beliau, sebagai
seorang ulama sufi yang terkemuka. Yaitu kitab Risalatun al Muawanah
yang secara langsung memuat tentang muraqabah. Untuk itu, maka penulis
berusaha untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: KONSEP
MURAQABAH DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN
KONTEMPORER (Telaah atas Kitab Risalatun al Muawanah Karya al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad).
Penulis akan berusaha mengulas tentang konsep muraqabah dalam
kitab Risalatun al Muawanah dan bagaimana implikasinya dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Semoga dapat memberikan kontribusi dan
kemanfaatan serta keberkahan terutama bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca yang budiman yang selalu dalam naungan-Nya. Dimanapun dan
kapanpun berada. Amin.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al
Muawanah?
2. Bagaimanakah pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al Haddad
tentang Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah?
3. Bagaimanakah implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al
Muawanah dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al
Muawanah.
2. Mengetahui pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang
Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah.
3. Mengetahui implikasi Konsep Muraqabah dalam kitab Risalatun al
Muawanah dalam kehidupan sehari-hari.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
berupa pengetahuan tentang konsep muraqabah dan bermanfaat
sebagai kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dunia
pendidikan Islam.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep
muraqabah untuk selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam
bersikap dan berperilaku di alam kehidupan sehari-hari.
b. Bagi Lembaga Pendidikan
I. Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan terutama pendidikan Islam,
termasuk para pendidik yang ada di dalamnya dan penentu
kebijakan dalam lembaga pendidikan serta pemerintah secara
umum.
II. Dapat menjadi bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam
dunia pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada
di Indonesia terutama pendidikan Islam (seperti Madrasah
Diniyah, Pondok Pesantren) sebagai solusi terhadap
permasalahan pendidikan yang ada. Terutama pendidikan diri,
dalam beramal setiap hari.
c. Bagi Ilmu Pengetahuan
I. Menambah khazanah keilmuan tentang konsep muraqabah
yang terdapat dalam kitab Risalatun al-Muawanah sehingga
mengetahui betapa Maha Kuasa Allah SWT yang Maha
Segalanya. Dan dapat meningkatkan pengetahuan tentang
kajian mengenai cara bersikap mawas diri( Muraqabah)
kepada Allah SWT. Dan juga tentang disiplin ilmu Tauhid
Islam, sehingga dapat diketahui bagaimana seorang mukallaf
untuk menambah keimanan agar semakin dekat kepada Allah
SWT. Dengan demikian seorang mukallaf akan berusaha
menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Agar bisa selamat di
dunia dan juga di akhiratnya.
II. Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan terutama ilmu
pendidikan Islam tentang ke-tasawuf-an, sehingga dapat
memperkaya dan menambah wawasan dibidang tersebut
khusunya dan bidang ilmu pengetahuan yang lain pada
umumnya.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalah pahaman
dalam mengartikan atau memahami tujuan dari skripsi yang dimaksudkan,
maka penulis kemukakan pengertian dan penugasan judul proposal ini
sebagai berikut:
1. Konsep
Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses atau apa pun
yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 588).
Selain pengertian tersebut, ada juga yang mengartikan bahwa konsep
adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran.
(Ensiklopedi Indonesia, 1991: 1856). Dengan demikian, sebuah konsep
akan membingkai atau menyusun sebuah penjelasan tentang suatu hal
atau perkara yang diteliti.
2. Muraqabah
Muraqabah adalah yaitu kontrol atau pengawasan.
(Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1998: 1680). Selain itu,
muraqabah juga merupakan termasuk salah satu maqam (tingkatan
sufi) dalam ajaran tasawuf. Secara istilah, muraqabah adalah sikap
mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari perbuatan dosa.
(Ensiklopedi Islam, 1994: 301).
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan ini tergolong jenis
penelitian pustaka (Library Research ), karena semua yang digali
adalah bersumber dari pustaka (Sutrisno Hadi, 1981: 3). Dan yang
dijadikan objek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil
dari pemikiran.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang penulis gunakan adalah:
a. Sumber data primer
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(Library Research), dan data yang diperoleh bersumber dari
literatur. Maka, sumber data primer adalah sumber yang langsung
berkaitan dengan penelitian yaitu kitab Risalatun al Muawanah
karangan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad.
b. Sumber data sekunder
Yaitu sumber data yang berhubungan dan berkaitan serta
melengkapi sumber-sumber data primer dalam penelitian ini.
Adapun yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah
kitab Risalatun al Muawanah karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, buku terjemahan kitab Risalatun al Muawanah oleh
Moch. Munawwir az Zahidiy, buku Ensiklopedi Islam, buku
Metodologi Penelitian Filsafat karya Anton Bakker dan Achmad
Charis Zubair, buku Prosedur Penelitian karya Suharsimi
Arikunto, buku Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam karya
Dja‟far Soedjarwo dan buku-buku lain yang berkaitan dengan
pembahasan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam
penelitian ini adalah dengan mencari dan mengumpulkan buku yang
menjadi sumber data primer yaitu kitab Risalatun al Muawanah
karangan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dan buku-buku lain
yang mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini seperti buku
Ensiklopedi Islam, buku Prosedur Penelitian karya Suharsimi
Arikunto, dan buku lain yang relevan. Setelah data terkumpul maka
dilakukan penelaahan serta sistematis dalam hubungannya dengan
penelitian yang diteliti, sehingga diperoleh data atau informasi untuk
bahan penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan 3 ( tiga) cara, yaitu:
a. Analisis isi (Content Analysis)
Neuman menyebutkan:“ Content analysis is a technique for
gathering and analyzing the content of text.” (Neuman, 2003: 310).
Yaitu analisis dari teks, bukan hanya tulisan atau gambar saja,
melainkan juga ide, tema, pesan, arti, maupun simbol-simbol yang
terdapat dalam teks, baik dalam bentuk tulisan (seperti buku,
majalah, surat kabar, iklan, surat resmi, lirik lagu, puisi, dan
sebagainya), maupun dari gambar (misalnya film, foto, lukisan),
atau pidato. Dengan teknik analisis ini, penulis akan menganalisis
terhadap makna atau pun isi yang terkandung dalam pemikiran al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang konsep muraqabah
dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Metode Deskriptif
Menurut Gay (1976), metode penelitian deskriptif adalah kegiatan
yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis
atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu
yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Selain itu ada
juga yang mengartikan metode deskriptif adalah metode penelitian
untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian.
Tujuannya untuk mengetahui bagaimana cara mencapai tujuan
yang diinginkan. (Mahi. M. Hikmat, 2011: 44-45). Metode ini
dapat digunakan dalam berbagai masalah yang ada. (Sevilla at.all,
1993: 73). Dengan cara penulis menjelaskan isi atau kandungan
yang terdapat dalam kitab Risalatun al Muawanah tersebut lebih
khususnya membahas tentang muraqabah dan hal yang sedang
dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi pandangan tokoh
yang bersangkutan.
c. Metode Deduktif
Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang umum,
peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta dan
peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang
bersikap khusus (Hadi, 1990: 26). Dengan cara, mengetahui pola
pemikiran yang bersifat umum kepada penarikan pola pemikiran
yang bersifat khusus. Maka penulis akan membahas dari
keseluruhan dari berbagai pendapat atau pandangan yang bersifat
umum lalu membahas masalah yang dimaksudkan secara terperinci
atau bersifat khusus. Metode ini penulis gunakan untuk
menganalisis data tentang konsep yang akan dibahas yaitu konsep
muraqabah.
d. Metode Induktif
Yaitu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus,
peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta dan
peristiwa yang konkret tersebut ditarik dalam generalisasi yang
bersikap umum. (Hadi, 1990: 26). Metode ini penulis gunakan
untuk menganalisis mengetahui fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa
yang khusus kemudian ditarik kesimpulan menjadi umum. Yaitu
dengan cara menganalisis data tentang konsep muraqabah menurut
pengarang kitab yaitu al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad yang
tertuang dalam kitab karangan beliau yaitu kitab Risalatun al
Muawanah. Yang merupakan salah satu karya beliau yang
fonumental.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini yang penulis maksudkan
adalah sistematika penyusunan secara terinci dari bab ke bab yang lain.
Sehingga skripsi ini dapat dipahami secara baik dan benar serta
memahamkan bagi pembacanya.
Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi
secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Bagian ini memuat bagian awal skripsi yang memuat halaman judul,
notasi Dinas, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian
tulisan, halaman motto, halaman persembahan, halaman pengantar,
halaman abstrak dan daftar isi.
2. Bagian utama
Pada bagian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I: Bab ini merupakan bab pemuka atau bab pendahuluan.
Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, dan
sistematika penulisan skripsi.
Bab II: Dalam bab ini membahas tentang riwayat hidup al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad, meliputi biografi al Sayyid Abdullah bin
Alwi al Haddad, setting sosio kultural, pendidikan, karir akademik, dan
karya-karya tulisan beliau.
Bab III: Bab tiga ini membahas tentang Latar Belakang Penulisan
Kitab Risalatun al Muawanah, Sistematika Penulisan Kitab Risalatun
al Muawanah, Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah, Pengertian
Konsep Muraqabah, dan pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad tentang Konsep Muraqabah dalam Kitab Risalatun al
Muawanah.
Bab IV: Pada bab ini berisi tentang pembahasan yaitu membahas
bagaimana Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, menguraikan signifikansi pemikiran dan bagaimana Implikasi
Konsep Muraqabah dalam kehidupan sehari-hari untuk bersikap mawas
diri dalam setiap tindakan, guna menjadi insan yang sejati dalam
pandangan manusia terutama dihadapan Allah SWT.
Bab V: Bab ini merupakan bab terakhir yang terdiri dari
kesimpulan, saran-saran dan penutup.
3. Bagian akhir skripsi ini berisi penutup, menguraikan kesimpulan dan
saran, daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat hidup
penulis.
BAB II
BIOGRAFI AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
E. Riwayat Hidup al Sayyid Abdullah Bin Alwi al Haddad
Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dilahirkan pada hari Isnain
5 Safar 1044 H di Subair (sebuah perkampungan di pinggir bandar Tarim–
Hadramaut, Yaman). Nama asli beliau adalah Abdullah bin Alwi bin
Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin
Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin
Ahmad al Faqih bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin
Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin
Muhammad bin Ali bin Jaafar al Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali
Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan juga putra Fathimah
binti Rasulullah Muhammad SAW. Di masa kecilnya beliau dijangkiti
penyakit campak, lalu beliau buta karenanya. Akan tetapi Allah SWT telah
menggantikan untuknya cahaya pada hatinya untuk melihat, serta
kebersihan jiwanya.
(http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-
bin-alwi-al.html).
Imam al Haddad tumbuh dalam penjagaan kedua ibu bapaknya.
Ayahnya bernama Habib Alwi bin Muhammad al Haddad, seorang yang
sholeh lagi dikenali dengan ketaqwaanya. Seorang yang tergolong dalam
golongan al ‟Arifin. Imam al Haddad sendiri pernah berkata:
“Sesungguhnya ayahku ini suci dan mensucikan”.
Tidak lama setelah itu, sakit menimpa ayahanda Imam al Haddad
sehingga beliau wafat pada malam Isnain awal bulan rajab setelah
mengucap kalimah . Setelah 5 hari ayahanda Imam al Haddad
meninggal dunia, Ibunya yang bernama Syarifah Salma binti Idrus bin
Ahmad al Habshee, seorang wanita solehah. Ibu beliau Syarifah Salma
sakit selama lebih kurang 20 hari, lalu kemudian meninggal dunia setelah
mengucap syahadah pada hari Rabu 24 Rajab 1072 H, bertepatan pada
waktu Dhuha.
Berkata Imam al Haddad :
“Aku memuji dan bersyukur kepada Allah SWT, oleh karena mereka
berdua (yakni kedua ibu bapaknya) meninggal dunia dalam keadaan yang
diridhai, di zaman yang penuh dengan fitnah, sementara mereka berdua
telah wafat dalam keadaan yang baik dan memberikan berita gembira,
yaitu keselamatan”.
Imam al Haddad tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang
baik, dimasa kecilnya beliau menyibukkan diri untuk menghafal Al
Qur‟an, dan bermujahadah untuk mencari ilmu, sehingga berjaya
mendahului rekan-rekannya. Bahkan dengan kegigihannya dalam mencari
ilmu, beliau berjaya mendahului sebagian guru-guru beliau, sehingga
sebagian daripada mereka menjadi murid setelah sebelumnya menjadi
guru.
Salah seorang daripada mereka adalah Sheikh Bajubair, dimana
Imam al Haddad telah berguru kepada Syeikh Bajubair dalam ilmu Fiqh,
dan telah belajar kitab al Minhaj (kitab Fiqh madzhab Imam Syafi‟i).
Syeikh Bajubair merantau ke negeri India, setelah beberapa lama berada di
sana, lalu kemudian beliau kembali ke Hadramaut dan belajar kepada
Imam al Haddad kitab Ihya‟ „Ulumuddin. Hal ini menunjukkan akan
keluasan ilmu Imam al Haddad yang di berikan oleh Allah SWT
kepadanya sesuai dengan firman-Nya:
-
Artinya:”Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami Berikan rahmat kepadanya dari sisi
Kami, dan yang telah Kami Ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (Q.
S. Al Kahfi: 65). ( Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dalam al Qur‟an Allah SWT berfirman, mengingatkan agar
manusia memiliki ketakwaan dan rasa takut kepada Allah SWT. Yaitu:
-
Artinya:”Dan bertakwalah kepada Allah, Allah Memberikan pengajaran
kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q. S. Al
Baqarah: 282). ( Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Imam al Haddad mempunyai 3 orang saudara, mereka adalah:
Omar, Ali, dan Hamid. Beliau sering menulis surat kepada mereka yang
dipenuhi dengan nasihat-nasihat dan pengajaran-pengajaran. Akan tetapi,
surat-menyurat beliau kepada Hamid (saudaranya) lebih sering, hal ini
mungkin disebabkan oleh karena jauhnya jarak antara mereka berdua, oleh
karena beliau (Habib Hamid) tinggal di India dan meninggal dunia di sana
pada 1107 H. Dari isi kandungan surat-surat itu tampak satu pertalian
hubungan persaudaraan yang menggambarkan akan kesungguhan kasih
sayang dan kecintaan di antara mereka.
Imam al Haddad mempunyai 6 orang anak lelaki, mereka adalah:
Hasan, Alwi, Muhammad, Salim, Husain, dan Zain. Beliau seorang ayah
yang penyayang terhadap anak-anaknya, beliau memberikan gelaran-
gelaran terhadap mereka. Seperti gelaran Ameer (pemimpin) untuk
Husain, Sholeh (orang yang banyak amal ibadahnya) untuk Alwi, Hakim
(sifat bijaksana) untuk Hasan, dan sheikh (guru besar) untuk Zain. Berkata
Imam al Haddad tentang anaknya Muhammad:
“Sesungguhnya anakku Muhammad telah mendapat derajat wilayah yang
sempurna”.
Sehingga dengan demikian beliau dipilih untuk menggantikan
ayahandanya di dalam perhubungan antara kabilah-kabilah untuk
mendamaikan antara puak-puak yang berselisih. Puak-puak adalah
kelompok, golongan, atau gerombolan (Kamus Bahasa Indonesia Online).
Contohnya beliau berjaya memadamkan api peperangan antara 2 kabilah
yang berselisih, dengan menikah dengan kabilah al Bakatsir (keluarga
Bakatsir) demi mempererat hubungan antara kabilah-kabilah yang
bersenjata. Beliau meninggal dunia di Dzamar.
Adapun Hasan dan Alwi dikenali dengan keilmuannya, dan mereka
menggantikan kedudukan ayahanda mereka dalam tugas mengajar ilmu-
ilmu, dan memberi makan fakir miskin, menerima tamu-tamu asing
ataupun tamu-tamu khas yang datang dari luar. Imam al Haddad pernah
berdoa untuk anaknya Hasan:“Hasan (artinya yang baik) semoga Allah
membaikkan di belakangmu.” Dengan doa itu beliau mempunyai dzuriat
yang baik dan banyak dari kalangan ulama. Dzuriat adalah anak cucu atau
keturunan. Hasan meninggal dunia di Tarim pada tahun 1188 H, adapaun
Alwi meninggal dunia di Mekkah setelah menunaikan ibadah haji, dan di
kebumikan berhampiran dengan kubur Siti Khadijah R.A pada tahun 1153
H.
Zain telah berhijrah ke Iraq setelah ayahandanya meninggal dunia,
beliau sangat dihormati di negeri itu disebabkan oleh karena pengaruh
ayahandanya yang begitu luas sehingga ke negeri Iraq. Beliau meninggal
dunia di negeri Oman bertepatan dengan perkampungan Sheer, pada tahun
1157 H. Adapun Salim, beliau menetap di negeri Misyqash dan
mempunyai dzuriat di sana, lalu kemudian kembali ke kampung
halamannya Tarim dan meninggal dunia di sana pada tahun 1165 H.
Sementara Husain, sakit menimpa beliau, lalu beliau meninggal dunia
karena sakit.
Dzuriyat Imam al Haddad tersebar di serata dunia, baik di
Hadramaut (tanah airnya) ataupun di negara lain, seperti Saudi Arabiya,
Negara-negara teluk, Malaysia, Indonesia, Singapura, India, dan lain-lain.
Sebagaimana dikatakan bahwa: Allah SWT telah memberi keberkatan
kepada Imam al Haddad melalui anak muridnya, anak keturunannya dan
kitab-kitabnya. Semoga Allah SWT mengekalkan dan memelihara
keberkatan ini pada kitab-kitab dan keturunannya, serta memelihara
mereka untuk berjalan mengikut datuk mereka, dan menjadikan mereka
sebaik-baik penerus kepada pendahulu mereka. Berkata Imam al
Haddad:“Kami akan berjalan di atas landasan dan garisan Nabi
Muhammad SAW, dan landasan para salaf (pendahulu kami) segala upaya
kami. Sungguh yang ternampak dari kami adalah penyebaran ilmu, bukan
untuk menampakkan perkara yang lain.”
Firman Allah SWT:
- Artinya:”Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang
mengikuti mereka dalam keimanan, Kami Pertemukan mereka dengan
anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit
pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa
yang dikerjakannya.) (Q. S. Ath Thur: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam
digital).
Imam al Haddad mempunyai akhlak dan budi pekerti yang luhur
sebagaimana perkara itu menjadi pujian kepada Rasulullah SAW. Firman
Allah SWT:
-
Artinya:” Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang
luhur.” (Q. S. Al Qalam: 4). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Beliau suka memberi maaf kepada siapa yang bersalah, suka
menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah kemungkaran, sebagai
tanda meneladani penghulu seluruh manusia Rasulullah SAW yang telah
di firmankan oleh Allah SWT:
-
Artinya:” Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q. S. Al
Ahzab: 21). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Imam al Syili berkata (dalam kitab al Masyra‟ al Rawiy): Beliau
(Imam al Haddad) mempunyai sifat lemah-lembut, pemaaf, membalas
dengan kebaikan, tidak besifat pendendam, dan bersifat bersih hati kepada
orang yang bersikap kasar kepadanya. Dengan demikian beliau menjadi
contoh yang baik dalam perkataan dan perbuatannya, dan teladan yang
agung dalam akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW. Beliau mempunyai
semangat yang tinggi, keazaman (keinginan) yang kuat dalam berpegang
teguh kepada agama. Beliau seorang yang bersifat pemurah, ringan dalam
memberi, sangat menghormati tamu. Beliau berkata:“Sesungguhnya aku
ingin berada dalam segala keadaan dimana tiada dalam perasaanku hasad
dan dengki kepada seorangpun.”
Beliau seorang yang bersifat zuhud, dan tidak mengharapkan
pemberian dari siapapun. Sesorang datang kepada Rasulullah SAW, lalu
berkata: Ya Rasulullah! Tunjukkan kepadaku satu amalan yang bila aku
lakukan, aku di cintai Allah SWT dan di cintai manusia, Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya:”Hidup dalam keadaan zuhud akan dunia, maka Allah sayang
kepadamu, dan hidup dalam keadaan zuhud akan apa yang di miliki oleh
manusia, maka manusia akan sayang kepadamu.” (H. R. Ibnu Majah dan
lainnya dengan jalan hadis yang baik). (Terjemah dari buku 40 Untaian
Mutiara Hadis karya A. Mustofa dan M. Burhanudin, 1999: 189-190).
Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran bahwa Allah SWT
akan menyukai hamba-Nya apabila dia mau meninggalkan urusan dunia
(zuhud). Maksudnya, dia berusaha memperoleh materi sebagai sarana
hidupnya, hanya sekadarnya saja yang sudah jelas halalnya. Maka, hatinya
sama sekali tidak terpaut dengan kelezatan duniawi. Tetapi dunia dijadikan
sarana menuju ridha-Nya. (40 Untaian Mutiara Hadis, 1999: 189-190).
Imam al Haddad berkata:“Tiga perkara anugerah dari Allah SWT
untuk kami yaitu sedikit dalam kecenderungan kepada dunia, sedikit dalam
kepedulian kepadanya, dan sedikit dalam ketergantungan kepada manusia.
Harta kami dan apa yang kami miliki adalah untuk kami berikan kepada
fakir miskin dan orang-yang memerlukan bantuan.”
Beliau seorang penyabar, mampu menahan marah, tidak
mendendam, pemaaf akan kesalahan orang lain. Beliau berkata:“Adapun
kesalahan-kesalahan atas hak-hak kami, kami sudah memaafkan, akan
tetapi dosa-dosa atas hak-hak Allah SWT maka kami tak dapat
membiarkannya. Kami mendengar bahwa ada orang-orang yang makan
makanan kami, akan tetapi mereka memaki kami di belakang, kami tidak
tersentuh sedikitpun, dan kami tidak marah akan sikap mereka itu, bahkan
kami mendoakan mereka.”
Beliau juga seorang penyantun kepada siapa yang tidak sopan
kepadanya. Satu hari seorang ayah memberikan kepada anaknya sebilah
pisau, lalu berkata:“Bawalah pisau ini kepada al Haddad (tukang besi), dan
katakan kepadanya: Ayahku berpesan untuk kamu menajamkan pisau ini.
Anak itu tidak mengetahui akan al Haddad (tukang besi) itu, yang dia tahu
adalah Imam Abdullah yang bergelar al Haddad.”
Maka anak itu datang membawa sebilah pisau kepada Imam al
Haddad, sementara beliau sedang berada dalam majlis, lalu anak itu
berkata:“Ayahku berpesan agar kamu menajamkan pisau ini. Maka Imam
al Haddad mengambil pisau itu, seraya berkata:“Datanglah kamu esok
hari, kamu akan dapati pisau ini sudah diasah dan tajam.”
Anak itu pun pergi, dan Imam al Haddad menyuruh salah seorang
untuk membawa pisau itu kepada al Haddad (tukang besi) untuk
menajamkannya. Oleh karena yang demikian beliau dikenali sebagai
Haddadu al Quluub (penajam hati).
Al Sayyid Abdullah bin alwi al Haddad tinggal di sebuah tempat
bernama al Hawi. Al Hawi adalah sebuah kawasan yang berjiran dengan
bandar Tarim, Imam al Haddad menetap di sana ( Al Hawi) pada tahun
1099 H. Sayyid Muhammad bin Ahmad al Syathiri, sejarawan dari
Hadramaut, berkata:”Sesungguhnya Habib Abdullah al Haddad
mendirikan al Hawi semata-mata untuk mempunyai tapak yang berdiri
sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta para pengikutnya, dan tidak
tertakluk kepada pentadbiran Qadi Tarim pada masa itu. Pentadbiran yaitu
memikirkan sesuatu atau menimbang ( ). (Kamus Arab Indonesia, 1990:
124). Ia merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang
baik daripada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan
kejahatan dari tempat itu.” Dengan demikian al Hawi menjadi kawasan
yang selamat lagi dihormati.
Imam al Haddad membangun rumahnya di al Hawi pada tahun
1074 H, lalu berpindah pada tahun 1099 H. Beliau membangun masjidnya
berhampiran dengan rumahnya, dan mengajar di sana selepas solat asar
setiap hari, dan pagi hari kamis dan isnin, serta Hadrah pada setiap malam
Jum‟at selepas shalat Isya‟. Maka dengan berbagai aktivitas, al Hawi
menjadi tumpuan kepada para ulama‟, dan orang-orang soleh, serta tempat
perlindungan bagi kaum fakir miskin, dan merupakan tempat selamat,
aman, dan tenteram.
Pada tahun 1079 H, Imam al Haddad telah berangkat untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah sampai di Mekkah, ramai penduduk
Mekkah yang menyambut kedatangan Imam al Haddad, dan beliau tinggal
di rumah Syeikh Husain Ba Fadal, beliaulah yang melayan sendiri kepada
Imam al Haddad. Imam al Haddad menceritakan keberadaannya dirumah
Syeikh Husain Ba Fadal, beliau berkata:“Sesungguhnya Syeikh Husain
berkata: Aku mempunyai dua lautan di mana aku mengambil dari
keduanya, yang pertama adalah lautan zahir, yaitu Sheikh Ahmad al
Qusyasyi, yang kedua: lautan batin, yaitu Syeikh Muhammad bin Alwi al
Seggaf. Dan Allah SWT telah mengumpulkan kedua lautan itu padamu
untukku.”
Pada tahun itu, wuquf di Arafah jatuh pada hari Jum‟at, ramai
penduduk Mekkah pada saat itu yang datang kepadanya. Ketika beliau
sedang duduk di sebelah Hijir Isma‟il beliau didatangi oleh Syarif
Barakaat bin Muhammad, lalu meminta doa kepadanya agar permintaanya
dikabulkan oleh Allah SWT (tanpa memberitahu apakah hajatnya itu),
maka Imam al Haddad mendoakan untuknya. Ketika Syarif Barakaat
pergi, Imam al Haddad bertanya:“Siapakah dia itu? Beliau diberitahu kalau
dia adalah salah seorang besar di Mekkah. Lalu Imam al Haddad
berkata:“Dia meminta untuk menjadi raja di Mekkah, dan Allah SWT
telah mengabulkan permintaanya.” Syarif Barakaat dilantik menjadi
pemimpin di Hijaz pada tahun 1082 H.
Pada hari Jum‟at 1 Muharram 1080 H, bertepatan dengan
masuknya waktu solat fajar, Imam al Haddad telah di pelawa untuk
menjadi Imam pada shalat subuh di masjidil haram di Mekkah. Beliau
membaca surah al Sajadah dan surat al Insan.
Imam al Haddad melangsungkan perjalanannya menuju kota
Madinah al Munawwarah. Telah diceritakan bahwa, beliau tidak tidur
dalam perjalanan beliau menuju kota Madinah kecuali sedikit sekali,
disebabkan kerinduan yang mendalam di dalam hatinya. Beliau
mengungkapkan akan kerinduannya itu dalam syairnya:
Artinya:”Sungguh kami merasakan kenikmatan dimana kami tidak meraza
nikmat dengan tidur, Ketika kemurnian cinta telah menyatu dengan ruh”.
Ketika beliau menghampiri kota Madinah, beliau dapat mencium
bau wangi serta merasakan adanya cahaya yang bersinar. Beliau
mengungkapkan dalam syairnya:
Artinya:” Ketika kami sampai di Thaibah (Madinah), kami mencium bau
sangat wangi, mengalahkan wangian-wangian anbar. Cahaya menyinari
segala penjuru, cahaya itu bersinar melalui kubur sebaik-baik manusia.
Bersamaan dengan waktu fajar, kami sampai ke Madinah, sungguh indah
pagi itu bagi kami dengan kebahagiaan”.
Sejarah menyebutkan bahwa Imam al Haddad tidak tidur di waktu
malam untuk beribadah kecuali sedikit saja. Yang demikian itu adalah
untuk meneladani Rasulullah SAW yang diperintahkan oleh Allah SWT:
- - -
Artinya:” Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk
shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (Q. S . al Muzammil: 1-
2). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Allah SWT juga telah memuji mereka yang menghidupkan malam
dengan ibadah kepadaNya. Firman Allah SWT :
---
Artinya:” mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. dan pada akhir
malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). (Q. S. Adz Dzariat: 17-18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Imam al Haddad berkata:“Kami telah melaksanakan segala sunnah
Nabi SAW, dan tiada satu sunnah yang kami tinggalkan.”
Sebagai membenarkan akan ucapannya itu, beliau pada akhir
umurnya memanjangkan rambutnya hingga bahunya, karena rambut
Rasulullah SAW adalah demikian. Beliau, al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, sebagai bukti sebagian dari mengikuti sunnah Rasulullah SAW
dengan menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah SAW.
Sayyid Abdullah al Haddad pengarang ratib al Haddad kembali ke
Rahmatullah pada malam Selasa tanggal 7 Zulkaedah 1132 H, dalam usia
lebih kurang delapan puluh sembilan tahun (89 tahun). Empat puluh hari
sebelum ia meninggal dikala sakitnya pada akhir bulan Ramadhan, dia
sudah menjelaskan kejadian-kejadian yang akan datang pada dirinya.
Putranya yang bernama Hasan yang merawat beliau ketika sakit. Habib
Hasan menceritakan bahwa:“Sesungguhnya Imam al Haddad dalam
sakitnya banyak mengulangi hadis yang terakhir dalam Shahih al
Bukhari.” Yaitu:
Artinya:” Dua kalimat ringan dilisan, berat di timbangan, di senangi oleh
yang Maha Pengasih. Maha Suci Allah SWT segala puji bagi-Nya, Maha
Suci Allah SWT yang Maha Agung.” (Terjemah Shahih Bukhari).
Beliau meninggal dunia pada 1/3 malam yang pertama, tak seorang
pun yang mengetahui berita kewafatannya kecuali di waktu pagi. Keadaan
menjadi sangat memilukan ramai pengikutnya. Berduyun-duyun manusia
datang untuk menghadiri pengebumiannya.
Habib Hasan, putranya dan Habib Omar bin Hamid adalah orang
yang menangani pemandiannya. Shalat jenazah diimamkan oleh Habib
Alwi, putranya dan dihadiri oleh lebih kurang dua puluh ribu (20. 000)
orang. Beliau dikebumikan bersamaan dengan terbenamnya matahari, oleh
karena terlalu ramai manusia yang menghadiri jenazahnya.
Semoga Allah SWT mencucuri rahmat-Nya ke atas Imam al
Haddad, mengangkat derajatnya, memberikan keberkatan akan
peninggalan-peninggalannya. Amin.
Ramai ulama‟-ulama‟ yang memuji kepada Imam al Haddad kerana
kedudukannya, baik para ulama‟ yang hidup di era beliau atau setelahnya.
Di antara pujian ulama‟ di zaman Imam al Haddad adalah Salah
seorang guru beliau, yaitu Habib Abdurrahman bin Syeikh Maula „Aidid
berkata bila menyambut kedatangan Imam al Haddad: ” ”
(Selamat datang wahai penghulu kepada sekalian jema‟ah). Terkadang
menyebut:“ ” (Ketua kabilah atau kepala suku), sebagai satu
sebutan yang mengandungi penghormatan serta pujian.”
Habib Omar bin Abdurrahman al Attas berkata:“Seorang Sayyid
Abdullah al Haddad adalah merupakan satu Ummah.”
Di riwayatkan bahwa Mufti negeri Syam di zaman Imam al
Haddad berkata:“Tiada di atas muka bumi di zaman ini yang lebih „alim
daripada Abdullah al Haddad.”
Murid terulung Imam al Haddad yaitu Habib Ahmad bin Zain al
Habsyi berkata:”Sesungguhnya Imam al Haddad telah sampai kedudukan
mujtahid (yang layak memberi ijtihad) dalam ilmu-ilmu islam, iman, dan
ihsan. Beliau adalah seorang Mujaddid (pembaharu) ilmu-ilmu ini di
zaman ini.”
Adapun pujian para ulama‟ setelah Imam al Haddad seperti Habib
Ali bin Muhammad bin Husin al Habsyi:
Artinya:” Dengan futuuh (di bukakan pintu-pintu ilmu), Irsyad (petunjuk),
dan Imdad (kelebihan) adalah tonggak utama akan kaedah-kaedah guru
kami Imam al-Haddad kepada beliau telah terkumpul rahasia dan sifat
mulia para salaf, maka beliau adalah khalifah kepada mereka semua yang
berjalan dalam jalan mulia ini setelah beliau, telah mengambil dari
sinaran ilmu beliau yang sangat terang.” (Terjemah dari http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-
imam-abdullah-bin-alwi-al.html).
Habib Muhammad bin Ahmad al Syathiri (Semoga Allah
merahmatinya), berkata:“Sangat jarang sekali buku-buku di zaman Imam
al Haddad yang tersebar sepertimana tersebarnya tulisan-tulisan dan
karangan-karangan Imam al Haddad. Karya-karya beliau telah dicetak
berulang kali, dan telah diterjemahkan de dalam beberapa bahasa, dan
ramai yang telah mengambil manfaat darinya.”
Al marhum Syeikh Hasanain Makhluf (dulu sebagai mufti Mesir)
berkata mengenai karya Imam al Haddad “ ”:“Sesungguhnya
beliau (Imam al Haddad) seorang penulis yang sangat jelas urainnya,
tinggi tata bahasanya, teliti pembahasannya di dalam menyebutkan ayat-
ayat al Qur‟an dan hadis-hadis Nabi, serta kata-kata para ulama‟, sehingga
dapat menghilangkan prasangka dan keraguan didalam hati dan jiwa
daripada segala kesamaran, serta dapat menjadi penawar kepada segala
permasalahan, sehingga tidak memberi ruang kepada pembicara untuk
berbicara, dan tidak ada jawaban lagi bagi orang yang bertanya.”
(http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-
bin-alwi-al.html
Mustafa al Badawi telah menulis kitab tentang Imam al Haddad
bertajuk “ ” (Imam al Haddad pembaharu abad
ke 12). Penulis memetik sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Daud:
Artinya:”Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk Ummat ini pada
setiap seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama ini untuk
mereka.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya
dari Sulaiman bin Daud al Mahri Hurairah).
http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&Vi
ew=Page&PageID=615&PageNo=1&BookID=3.
F. Pendidikan al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, beliau mendapat pendidikan
agama dari ulama‟ Sayyid Muhammad bin Alawi Ba‟ Alawi, kemudian
berpindah belajar di Yaman menyempurnakan ke Mekkah dan Madinah.
Tatkala ditanya orang tentang guru-gurunya, terutama ia mempelajari ilmu
tasawuf dan tarikat, ia menjawab ia tidak dapat menyebutkan seorang demi
seorang karena jumlahnya lebih dari seratus orang.
Bagaimanapun juga di antara guru-guru beliau yang terpenting
ialah :
1. Sayyid bin Abdur Rahman bin Muhammad bin Akil al Saqqaf kerana
daripadanya ia mendapat Khirqah Sufi. Al Saqqaf ialah seorang tokoh
sufi yang terkenal dalam Mahzab Mulamatiyyah.
2. Sayyid Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Syeikh Aidid.
3. Sayyid Umar bin Abdur Rahman al Attas, inilah gurunya yang
terpenting menurut keterangan sejarah. Sayyid Umar al Attas seorang
daripada tokoh tarikat yang dianggap luar biasa dalam ilmu hakikat. Al
Haddad sendiri menyebut nama tokoh tarikat ini dengan penuh hormat
sebagai gurunya dan beliau menerangkan bahwa darinya ia beroleh
ajaran tarikat zikir yang sempurna serta beroleh khirqah yang terakhir.
Khirqah diartikan sebagai kain perca. (Kamus Arab Indonesia, 1990:
116). Kain perca berarti sesuatu yang masih berantakan. Jadi khirqah
yaitu kebingungan.
Abdullah bin Umar Ba Ubaid menerangkan bahwa Sayyid Umar al
Attas adalah seorang wali yang tidak dapat disaingi pengetahuannya. Ia
seorang Qutub dalam zamannya, sesudah gurunya Abu Bakar bin Salim.
Dia (Sayyid Umar al Attas) seorang yang kashaf. Tarikat dan Ratibnya
termasyhur dan tidak dapat mempengaruhi tarikat dan ratib muridnya al
Haddad.
Sayyid Umar al Attas tidak meninggalkan karangan-karangan,
tetapi murid-muridnya yang banyak itu menyampaikan ajarannya itu dari
mulut kemulut dan menyebut dalam kitab-kitab karangan mereka.
Di antara murid-muridnya ialah lsa bin Muhammad al Habasyi di
Khanfar, Hadramaut, Yaman, Syeikh Ali bin Abdullah al Baras, di
Quraibah, Do‟an, Hadramaut dan lain-lain. Semuanya terkenal dalam
bidang tasawuf.
Di antara murid-muridnya yang ramai dan terkenal adalah al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad yang sangat dicintainya. Beliau
kemudian menjadi tokoh besar dalam tarikat dan seorang pengarang yang
ternama. Ia terkenal sebagai orang yang Abid. Setiap hari ia mengelilingi
kota Tarim untuk sembahyang sunnat dalam tiap-tiap masjid.
Dalam kitab Masyru‟ul Rawi disebutkan bahwa ia seorang yang
melimpah-limpah ilmunya, ahli yang mempertemukan hakikat dan syariat.
Sejak kecil ia telah menghafal al Qu‟ran. Seorang yang bersungguh-
sungguh dalam membersihkan dirinya dan mengumpulkan ilmu
pengetahuannya dari ulama‟ terkenal yang semasa dengan dia seorang
mujaddid yang terkenal ijtihad-ijtihadnya dalam persoalan ibadah. Seorang
yang bersungguh-sungguh menghidupkan ilmu dalam amal dan oleh
kerana itu dikenal orang di Timur dan di Barat. Beliau banyak melahirkan
murid-murid yang shaleh, yang tersiar keseluruh pelusuk bumi dari zaman
ke zaman.
Ia pernah mengunjungi Mekkah dan Madinah dalam tahun 1080 H
dan salah seorang gurunya di Mekkah ialah Sayyid Muhammad bin Alawi
al Saqqaf Ba‟ Alawi, yang keturunannya sambung menyambung sampai
kepada Ja‟far al Sadiq anak Imam Baqir anak Imam Ali Zainal Abidin
anak Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah binti Rasulullah
SAW). Oleh itu pada akhir ratibnya dibacakan fatihah untuk dihadiahkan
pada gurunya Sayyid Muhammad bin Alawi Ba‟ Alawi.
Telah dicatatkan bahwa, jumlah bilangan guru-guru Imam al-
Haddad melebihi 140 guru, beliau telah mengambil ilmu dan bertalaqi
pada mereka. Bertalaqi berasal dari bahasa Arab yaitu –- yang
artinya bertemu atau berjumpa. (Kamus Bahasa Arab-Indonesia, 1990:
400). Terutama sekali adalah: Habib Abdurrahman bin Syeikh Maula
„Aidid, Habib Omar bin Abdurrahman al „Attas, Habib Sahl bin
Muhammad Ba Hasan, Habib Aqil bin Abdurrahman bin Aqil al Seggaf,
dan juga Habib Muhammad bin Alwi al Seggaf ( yang tinggal di Mekkah)
dan lain-lain.
G. Pengajaran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
Al Sayyid Abdillah bin Alwi al Haddad, beliau adalah keturunan
Idris al Azhar bin Idris al Akbar bin „Abdullah al Kamil bin Hasan al
Mutsanna bin Hasan, putera kepada Sayyidina „Ali bin Abi Thalib dan
Sayyidah Fathimah al Zahra‟ binti Rasulullah SAW. Menghafal al Quran
ketika berusia 10 tahun dan menjadi imam sholat tarawikh di
Masjidilharam. Belajar di Madrasah al Falah dan tamat pada tahun 1346
H. Kemudian menjadi tenaga pengajar di madrasah tersebut. Mengajar di
halaqahnya di Masjidilharam berdekatan dengan Bab as Salam selama 40
tahun. Juga dilantik menjadi juru nikah di Mekah. Beliau juga
meriwayatkan ilmu, ijazah dan sanad daripada ulama keluarga Ba‟Alawi
(ahlul bait yang bernasabkan kepada „Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin
Isa al Muhajir bin Muhammad bin „Ali al Uraidhi bin Ja‟far ash Shodiq
bin Muhammad al Baqir bin „Ali Zainal „Abidin bin Hussin al Sibth putera
kepada Sayyidina „Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al Zahra‟
binti Rasulullah SAW, antaranya: al Habib „Aydrus bin Salim al Bar; al
Habib Abu Bakar al Bar; al-Habib Abdur Rahman bin Ubaidullah as
Seggaf ; al Habib Alwi bin Thohir al Haddad; al Habib Musthofa al
Muhdhor; al Habib Muhammad bin Hadi as Seggaf; al Habib Umar bin
Sumaith; al Habib Salim bin Hafidz; al Habib Ali bin „Ali al Habsyi; al
Habib Alwi bin Muhammad al Haddad; al Habib Ali bin „Abdur Rahman
al Habsyi dan al Habib Abu Bakar as Seggaf. Beliau juga meriwayatkan
ilmu, sanad dan ijazah daripada para ulama terkenal di zamannya, seperti:
al Imam al Muhaddits Muhammad „Abdul Hayy al Kittani; asy Syarif
„Abdul Hafiz al Fasi; Syaikh Muhammad Zahid al Kauthari; Syaikh Yusuf
bin Ismail an Nabhani; Syaikh Muhammad Bakhit al Muti‟i; Syaikh
Salamah al „Azzami; asy Syarif Ahmad bin Ma‟mun al Balghiti; Syaikh al
Muhaddits Muhammad Ilyas al Kandahlawi; Syaikh al Muarrikh al
Yamani Muhammad Zabarah, pengarang Nail al Wator; al Imam al
Muhaddits al Musnid Muhammad „Abdul Baqi al Ayyubi al Madani;
Syaikh Abu al Khair al Maidani ad Dimasyqi; Syaikh al Mursyid
Muhammad Abu al Nasr Khalaf al Hims dan al Imam al Mursyid asy
Syarif Ahmad as Sanusi al Mujahid. Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
telah mengumpulkan sanad-sanad beliau dalam kitab al „Uqud al
Lu‟luiyyah bi Asanid al „Alawiyyah; dan fatwa-fatwa beliau di dalam
kitab Majmu al Fatawa wa al Rasail. Adapun murid beliau, tidak terhingga
banyaknya. Ramai di kalangan ulama Nusantara yang belajar kepada
beliau di Mekah. Oleh kerana itulah nama beliau tidak asing lagi di
Nusantara. Pujian ulama kepada beliau diantaranya:
1. Kata Imam al Akbar Dr. „Abdul Halim Mahmud, Syaikhul al Azhar:
“Sesungguhnya Allah telah menyinari wajahnya di atas
kesungguhannya yang kuat terhadap sunnah Rasulullah SAW dalam
memikul, memberi kefahaman, pengajaran, pentarbiyahan dan
sebagainya jalan menuju Allah”.
2. Syaikh „Abdul „Aziz bin Baz juga pernah memuji Sayyid Alwi
sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Ahmad al Haribi (Pemantau
Majlis Pengajian di Masjidil Haram):
“Pada suatu hari Syeikh Abdul Aziz bin Baz berhenti di dalam majelis
pengajian Sayyid „Alawi al Maliki dan mendengar pengajaran Sayyid
Alwi beberapa ketika. Apabila dia berpaling, Syeikh Ahmad al Haribi
bertanya pendapat Syaikh „Abdul „Aziz Bin Baz tentang pengajaran
Sayyid „Alwi al Maliki dan dia berkata: MasyaAllah! MasyaAllah.
(menunjukkan ta‟jub terhadap ilmu Sayyid Alwi dan pengi‟tirafan
keatas ketinggian ilmunya).
3. Syaikh Muhammad Said al Yamani pernah berkata kepada ayahnya
Sayyid „Abbas al Maliki:
"Sesungguhnya anakmu Alwi akan menjadi perhiasan Masjidilharam."
4. Syeikh Umar Khayyath berkata:
“Ketika kami berada di dewan rumah Syeikh Ali ibn Hussin al Maliki
di dalam satu majlis, Sayyid Alwi datang, lalu Sayyid Ali al Maliki
berkata: “Sesungguhnya anaku ini, Alwi, merupakan orang yang
mendapat anugerah dan ilham, di dalam percakapannya penuh dengan
keindahan dan keelokkan, dia juga merupakan orang yang dikasihi
ramai, semua orang suka mendengar pengajarannya dan aku adalah
orang yang pertama suka mendengar kalamnya.”
(http://profildzurriahnabi.blogspot.com/2013/10/manaqib-sayyid-alawi-
bin-abbas-al-maliki.html).
Sayyid Alwi al Haddad mengembara ke berbagai negara, antaranya
Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Di negara-
negara yang pernah beliau singgah, beliau berdakwah dan mengajar. Di
Jakarta, Sayyid Alwi al Haddad pernah mengajar di Madrasah Jam'iyah al
Khair yang diasaskan oleh keturunan “Sayyid” di Indonesia. Madrasah
Jam'iyah al Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem pendidikan
modern yang pertama di Indonesia, Sayyid Alwi al Haddad pula termasuk
salah seorang guru yang pertama sekolah itu diasaskan. Bahkan beliau
ialah Wakil Mudir sekolah itu. Mudirnya ialah Sayyid Umar bin Saqaf as-
Saqaf. Para guru didatangkan dari berbagai negara. Antara mereka ialah
Ustaz Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as
Surkati yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam'iyah al Khair
tahun 1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al Maghribi yang berasal
dari Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah.
Selain mengajar di Jakarta beliau juga pernah mengajar di Bogor dan
tempat-tempat lain di Jawa. Muridnya sangat ramai. Murid-murid utama
Imam al Haddad adalah terdiri dari ahli keluarganya sendiri, terutama
anak-anak beliau.
Antara tokoh dan ulama besar yang pernah menjadi murid al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad ialah:
1. Sayyid Alwi bin Syaikh Bi al Faqih al Alawi
2. Sayyid Alwi bin Abbas al Maliki
3. Sayyid Salim Ali Jindan
4. Sayyid Abu Bakar al Habsyi
5. Sayyid Muhammad bin Ahmad al Haddad
6. Sayyid Abdullah bin Abdul Qadir Bi al Faqih
7. Sayyid Husein bin Abdullah bin Husein al Attas
8. Syeikh Hasan Muhammad al Masyath al Makki
9. Kiyai Haji Abdullah bin Nuh
http://wasiatnasehat.blogspot.com/2009/01/habib-alwi-bin-thohir-al-haddad-
mufti.html. 13 Agustus 2014.
Beliau mengajarkan kepada umat manusia di dunia ini terangkum
dalam beberapa kata-kata hikmah yang mengandung nasihat dalam
menjalani hidup ini.
Kata-kata Hikmah Imam al Haddad yaitu:
1. Orang yang tidur boleh dikejutkan, orang yang lalai boleh di ingatkan,
barang siapa yang tiada bermanfaat untuknya bila dikejutkan atau
diingatkan maka sesungguhnya dia itu adalah orang mati dan kamu
tidak dapat memperdengarkan kepada orang yang sudah berada dalam
kubur.
2. Kami tiada mendapati segala kebaikan melainkan berada dalam ilmu,
kalau bukan kerana ilmu maka seorang hamba tidak kenal akan
Tuhannya, dan tidak tahu bagaimana menyembah kepada-Nya.
3. Ketaatan yang shohih akan terpelihara dengan memelihara 3 dasar:
a. Cinta kepada Tuhan, yaitu dengan bertafakkur akan tanda-tanda
kebesaran Allah SWT dan nikmat yang telah diberikan, serta
membiasakan diri dalam berdzikir.
b. Meninggalkan semua yang menyibukkan diri dari mengingat Allah
SWT. Yang demikian itu dapat dicapai dengan meninggalkan segala
dosa dan bercampur dengan manusia kecuali sebatas keperluan
sahaja, yaitu apa-apa yang bila dilakukan akan mendatangkan
pahala, dan bila ditinggalkan akan mendatangkan dosa.
c. Melazimkan diri berada di dalam apa-apa yang dapat mendekatkan
diri kepada-Nya. Kesempurnaanya adalah meninggalkan segala yang
haram, melakukan segala yang wajib, memperbanyak amalan yang
sunnah. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW tentunya akan
mengikuti sunnah-sunnah beliau, agar menjadi umatnya yang hakiki.
Kelak akan mendapatkan syafaat (pertolongan) di hari kiamat nanti.
Syafaatnya akan menyelamatkan umatnya.
(http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-
abdullah-bin-alwi-al.html).
H. Karya-karya al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
Keistimewaan karya-karya Imam al Haddad adalah mudah
difahami oleh semua kalangan, mengikut kefahaman masing-masing.
Sehingga buku-buku beliau telah dicetak beberapa kali dan sudah
diterjemahkan kepada beberapa bahasa.
Al Haddad selain dari seorang tarikat. Tarikat berasal dari bahasa
Arab yaitu artinya meninggalkan atau membiarkan
maksudnya meninggalkan keduniawian yang tidak bermanfaat. (Kamus
Arab Indonesia, 1990: 77). Beliau juga seorang penyair. Apabila
mengucapkan syairnya niscaya mempesonakan. Beliau juga seorang
pengarang yang utama. Tulisannya sungguh mengharukan dan memikat
hati. Di antara kitab-kitab karangan beliau ialah: an Nasa‟ih al Diniyyah,
Sabilu al Adzkar, al Da‟watu al Ittihaful Sa‟ il, Risalatun al Mu‟awanah,
al Fusulu al Ilmiyyah, Risalatun al Murid, Risalatun al Muzakarah dan
yang terpenting kitabu al Majmu‟ yang terdiri empat juzu‟ berisi wasiat
dan masalah-masalah hukum terpenting, dan pada akhirnya ditutup dengan
kumpulan sajak-sajak yang indah bernama Durru al Manzum. Selain itu
karangan beliau juga berupa Hasyiyah Faidh al Khabir „ala Syarah
Manzhumah Ushulu al Tafsir, Fathu al Qarib al Mujib „ala Tahdzib al
Targhib wa al Tarhib, al Mawa‟izh al Diniyyah, al Iqd al Munazhzham fi
Aqsam al Wahy al Mu‟azhzham, Risalah al Manhal al Lathif fi Ahkam al
Hadis al Dha‟if, Nail al Muram Ta‟liq „ala Umdah al Ahkam, Syarah
Bulughu al Maram, dan kumpulan syair. Riwayat hidup, syair, dan
pendapat Sayyid Alwi al Maliki telah dikumpulkan oleh anaknya, Sayyid
Muhammad al Maliki dalam kitab khusus bernama Asyhaf Dzawi al
Himam al „Aliyyah biraf‟i Asanid Walidi al Saniyyah.
Banyak orang berpendapat bahwa ilmu Sayyid Abdullah al Haddad
tidak tersimpan dalam karangannya tetapi tersimpan dalam kepribadian
dan ihwalnya, tersimpan dalam syair dan sajaknya. Diriwayatkan bahwa
beliau telah mendapat ilham menyusunnya pada suatu malam dalam bulan
Ramadan yang dikatakan bertepatan dengan malam Lailatul Qadr. Zikir-
zikir mempunyai fadhilah yang sangat besar sekali, siapa yang
mengamalkannya akan mendapat banyak berkat antaranya mendapat
Husnul khatimah. Waktu membacanya adalah selepas sembahyang Isyak
dan sunnah ba‟diyahnya. Tetapi pada bulan Ramadhan hendaklah dibaca
sebelum sembahyang Isyak selepas sunnah qabliyahnya.
(http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sayyid-abdullah-al-haddad-1044-
1132-h.html).
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL
HADDAD DALAM KITAB RISALATUN AL MUAWANAH
A. Latar Belakang Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah
Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dalam menyusun kitab
tersebut memiliki berbagai alasan, tujuan, dan latar belakang dari
penulisan tersebut. Beliau mengatakan bahwa alasan yang mendorong
beliau untuk menulis risalah ini adalah untuk melaksanakan perintah
agung, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan berusaha meraih janji
yang mulia yaitu untuk memperoleh janji yang benar (al Wa‟ddu al
Shaadiqu) yang dijanjikan bagi mereka yang menyeru kepada jalan
kebaikan dan menyebarkan ilmu.
Seperti yang Allah SWT janjikan dalam firman-Nya:
- Artinya:” Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”(Q. S. Ali Imran: 104). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Beliau juga memohon ampun kepada Allah SWT, karena
sebenarnya beliau tidak hendak mengatakan bahwa dorongan beliau
menyusun risalah ini semata-mata karena tujuan-tujuan keagamaan yang
baik. Sebab beliau mengetahui, masih adanya keinginan-keinginan
tersembunyi, nafsu yang merajalela, dan cinta dunia di dalam hati beliau.
Dan beliau tidak membebaskan diri dari kesalahan, karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahmat oleh Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang.
Dengan kearifannya, beliau mengatakan pula bahwa hamba yang
fakir, hamba yang mengaku akan kekurangan dan kelalaian, yang berharap
akan ampunan Tuhannya Yangkuasa.
B. Sistematika Penulisan Kitab Risalatun al Muawanah
Kitab Risalatun al Muawanah karya al sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad adalah salah satu kitab Tauhid yang dikarang oleh para „ulama.
Sistematika penyusunannya hampir sama dengan kitab yang lain. Yaitu
dengan sistem tematik, yang sistem penulisannya dari satu bab ke bab
yang lain. Penyusunannya dimulai dengan:
1. Muqadimah berupa pengenalan yaitu berisi tentang pengenalan dengan
pengarang.
2. Khutbah atau penyampaian kitab.
3. Bab selanjutnya pembahasan isi kitab Risalatun al Muawanah. Dan
diakhiri dengan do‟a.
Beliau dalam menyusun kitab ini, mengatakan bahwa Islam adalah
agama yang istimewa, hingga Allah Ta‟ala pun telah mengistimewakan
agama Islam. Kitab risalah ini beliau susun berkat pertolongan dan
kekuasaan Allah SWT, dan sebuah wasiat yang dengan kemurahan dan
rahmat Allah SWT, insya Allah bermanfaat.
C. Pokok Isi Kitab Risalatun al Muawanah
Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, dalam menyusun kitab
ini, lebih menekankan pada ke-Tasawuf-an. Segala amal perbuatan yang
dilakukan ditujukan untuk menambah keimanan dan ketaqwaan kepada-
Nya. Agar semakin dekat kepada Allah SWT. Lebih utamanya, beliau
membahas tentang peribadatan yang ditujukan untuk menggapai esensi
ma‟rifatullah.
Pokok isi kitab Risalatun al Muawanah terdiri dari 32 pembahasan.
Diantaranya yaitu:
1. Keyakinan
Keyakinan ialah ungkapan tentang kekuatan dan keteguhan iman
yang sudah mendarah daging dan menyatu dalam hati, laksana sebuah
gunung yang menjulang tinggi. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa:
“ Jika terbuka mata hatiku, makin bertambahlah keyakinanku.”
Karena, bila keyakinan itu sudah kokoh dan telah menguasai hati,
maka segala sesuatu yang gaib tiba-tiba dapat terlihat dengan jelas. (Ali
bin Abi thalib).
Sebab-sebab teguhnya keyakinan:
a. Memperhatikan dengan hati dan mendengarkan dengan telinga akan
ayat-ayat al Qur‟an dan hadis-hadis Nabi SAW yang menunjukkan
kebesaran dan kesempurnaan Allah SWT. Dan yang menunjukkan
pada kebenaran para rasul dan kesempurnaan mereka.
b. Memperhatikan segala ciptaan Allah SWT yang indah dan
menakjubkan, baik yang ada di langit maupun di bumi.
c. Bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amalan dan tetap
didasari iman dan takwa.
Hal yang diperoleh dari keyakinan yaitu kekuatan batin,
ketenangan jiwa, perlindungan Allah SWT, cita-cita untuk selalu taat
kepada-Nya, serta upaya maksimal untuk mendapat ridha-Nya.
2. Niat
Niat adalah ungkapan tentang suatu keinginan yang mendorong
untuk berkehendak, beramal dan berbicara. Selain itu, niat adalah
ungkapan tentang suatu maksud dan kebulatan tekad untuk
melaksanakan sesuatu. Memperbaiki dan menuluskan niat sebelum
beramal adalah sendi utama segala amal. Baik buruknya amal, selalu
tergantung pada niatnya.
Artinya:” Segala perbuatan tergantung pada niat dan setiap orang
akan memperoleh pahala menurut niatnya.” (H. R. Bukhari dan
Muslim). ( Kitab al Arbain al Nawawi, tt: 6).
Oleh karena itu, janganlah berbicara, bekerja dan berkehendak
serta beramal suatu perbuatab tanpa didasari dengan niat untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT serta senantiasa mengharap
pahala-Nya. Lakukan segala amal perbuatan dengan niat yang benar
dan tepat. Dengan demikian, Allah SWT pasti memberikan anugerah
dan kemuliaan bagi yang mengamalkannya.
3. Muraqabah
Muraqabah adalah mawas diri kepada Allah SWT. Allah SWT
selalu mengawasi setiap gerak-gerik manusia. Bagi-Nya tak ada sesuatu
yang rahasia dan samar. Sekecil apa pun makhluk di bumi ini, tak akan
lepas dari pengawasan-Nya. Karena, atas keagungan Allah SWT, para
utusan-Nya (malaikat), selalu mengawasi, mencatat segala bentuk amal
manusia. Seperti terdapat dalam firman-Nya:
--
Atinya:”(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang
satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada
suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat
pengawas yang selalu siap (mencatat).”(Q. S. Qaaf: 17-18) (Terjemah
al Qur‟an al Kalam digital).
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang
paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah juga termasuk
maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:” Ihsan adalah pengabdian kepada Allah SWT seakan-akan
engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim dari Umar). (Kitab al
Arba‟in al Nawawi, 676 H: 8).
Jika tidak mampu menjadikan batin lebih baik dari lahir, maka
setidaknya jadikan keduanya sama baiknya. Dengan demikian hal
tersebut sudah bagian dari mengikuti perintah Allah SWT, menjauhi
larangan-Nya, mengagungkan-Nya dan bersungguh-sungguh mencari
ridha-Nya, baik dalam kesendirian maupun kebersamaan dengan orang
banyak. Dan ini adalah langkah pertama yang dilakukan seorang hamba
menuju makrifat Allah SWT.
4. Mengisi Waktu
Mengisi waktu dengan segala aktivitas ibadah hingga tak ada
waktu sedikit pun, baik siang maupun malam, kecuali untuk mengabdi
kepada Allah SWT. Dengan demikian akan tampak keberkahan waktu,
memperoleh faedah umur dan senantiasa menghadapkan diri pada-Nya.
Demikian pula sediakan waktu khusus untuk mengerjakan kebiasaan
sehari-hari, seperti makan, minum, dan mencari nafkah.
Hujjatu al Islam, Imam al Ghazali mengatakan bahwa:
“Hendaklah engkau membagi waktumu, mengatur wiridmu dan
menetapkan waktumu dengan segala aktivitas yang tidak akan engkau
langgar dan janganlah engkau terpengaruh dengan hal lain dalam
masalah waktu ini. Barangsiapa menelantarkan dirinya dari aktivitas,
maka ia laksana orang yang tersesat di jalan, bermaksud untuk
menyibukkan diri, tetapi ia sendiri selalu menyia-nyiakan waktunya.
Ketahuilah, waktu itu adalah umurmu dan umur adalah modal untuk
investasi (ibadahmu). Dengan umur itu pula engkau dapat memperoleh
kenikmatan abadi di sisi Allah SWT. Setiap nafasmu bagaikan mutiara
yang tak ternilai harganya, dan bila hilang percuma engkau tak
mungkin mampu mengembalikannya.”
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan sehari-hari diantaranya:
1) Shalat witir
2) Shalat Dhuha
3) Shalat Awabin
4) Shalat Sunnah Malam
5) Membaca al Qur‟an
6) Mempelajari Ilmu yang bermanfaat
7) Dan aktivitas lainnya yang bermanfaat
5. Zikir
Firman Allah SWT:
–
Artinya:”Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan Ingat
kepadamu.”(Q. S. Al Baqarah: 152). (Terjemah al Qur‟an al Kalam
digital).
Zikir yang paling baik adalah dengan menghadirkan makna zikir di
dalam hati, misalnya dengan menghayati kesucian Allah SWT ketika
membaca lafadz Subhanallah, dan ke-Esa-an-Nya ketika melafadzkan
lafadz Laa ilaa Ha Illallah.
Selain lafadz tersebut, bershalawat pun dianjurkan oleh Rasulullah
SAW. Yaitu:
Artinya:”Barangsiapa membaca shalawat atas diriku sekali, maka
Allah SWT akan bershalawat padanya sepuluh kali.” (H. R. Ahmad dan
Muslim dari Abi Hurairah). (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad,
tt:59).
6. Tafakur
Ber-tafakur (merenungkan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT)
setiap siang dan malam sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan,
baik satu jam atau beberapa jam adalah hal yang utama juga.
Waktu yang terbaik untuk ber-tafakur, ialah di tengah malam.
Lebih utama disertai dengan shalat sunnah malam (Tahajjud dan yang
lainnya). Kebaikan hidup di dunia dan keutuhan agama tergantung pada
kesempurnaan tafakurnya.
--- Artinya:”Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT)
bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka
apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q. S. Adz Dzariat: 20-21).
(Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Tafakur yang pantas dipikirkan yaitu:
a. Tentang ciptaan dan kekuasaan Allah SWT.
b. Merenungkan anugerah yang Allah SWT berikan.
c. Merenungkan keluasan Ilmu Allah SWT.
d. Merenungkan kekurangan-kekurangan dalam ibadah dan berbagai
pelanggaran yang dikerjakan.
e. Merenungkan kehidupan dunia, dan segala kesibukan dan
kehancuran yang berlangsung dengan cepat. Pikirkan juga tentang
kematian.
Terpenting adalah larangan ber-tafakur memikirkan Zat Allah
SWT. Karena manusia tidak akan pernah mampu memikirkannya.
Pikirkan saja tentang segala apa yang diciptakan Allah SWT.
7. Al Qur‟an, Hadis, Bid‟ah, dan Ulama
Hidup dengan berpegang teguh pada al Qur‟an dan Hadis, karena
keduanya adalah inti agama, dan petunjuk jalan yang lurus. Maka,
hidup akan beruntung dan selamat serta mendapatkan hidayah dan
selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Jadikan keduanya sebagai hakim serta mempunyai hak dalam
memerintah. Kembalikan segala permasalahan pada keduanya,
sebagaimana yang diwasiatkan Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah
SWT:
- Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah SWT dan
taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di
antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah SWT (al Quran) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian.
Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Q. S. An Nisa‟: 59). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Mereka (Ulil Amri) berhak untuk dipatuhi selama pemegang
kekuasaan berpegang pada Kitab Allah SWT dan Sunnah Rasul.
Apabila tidak sesuai dengan keduanya, maka boleh untuk tidak
mematuhinya.
Dalam mengamalkan bid‟ah (hal yang dianggap baru), tetapi masih
dalam batas norma agama yang lurus, tetap diperbolehkan. Serta
mematuhi dan mengikuti hal yang baik, apa yang disampaikan oleh
para ulama.
8. Pelurusan Akidah
Seorang hamba, jika telah mampu menggunakan pemahaman yang
lurus dan benar tentang al Qur‟an dan hadis yang menguraikan
keimanan, sejarah kaum salaf, para sahabat dan tabi‟in, maka seorang
hamba tersebut akan mengetahui dan dapat membuktikan kebenaran
Ahlu al Sunnah wa al Jama‟ah (Asy „ariyah) yang dinisbatkan pada
Abu Hasan al Asy‟ary. Kebenaran akan sesuai di setiap masa dan
tempat. Wajib bagi orang beriman menjaga aqidahnya dan mengikuti
para ulama yang agung dan berpegang teguh dalam ilmunya, akidah
yang jelas terhindar dari syubhat atau keraguan. Hal ini sesuai dengan
akidah Imam Ghazali yang telah dijelaskan pada bab Qawaid al Aqaid,
pasal pertama dan ketiga dalam kitab Ihya Ulumuddin.
9. Ibadah Fardhu dan Sunnah
Selalu menjaga kewajiban, menjauhi setiap larangan serta
memperbanyak ibadah sunnah karena Allah SWT. Jika itu semua sudah
dilaksanakan, maka akan mencapai tempat yang paling dekat di sisi
Allah SWT dan akan diselimuti dengan selubung mahabbah (kecintaan)
oleh-Nya.
10. Menuntut Ilmu
Tak akan dapat menjalankan ketaatan yang difardhukan Allah
SWT, menjauhi kemaksiatan yang diharamkan Allah SWT, apalagi
ibadah sunnah yang berfungsi mendekatkan diri kepada Allah SWT,
kecuali dengan ilmu. Karena itu tuntutlah ilmu!
Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sebagaimana dalam sabda
Rasulullah SAW:
Artinya:”Menuntut ilmu itu wajib atas semua orang Islam.” (H. R.
Baihaqi). (Kitab Sunan Ibnu Majah, Juz 1, halaman 98).
Dengan ilmu, maka akan dapat mengetahui hal yang wajib, sunnah
dan haram. Maka menuntut ilmu dan mengamalkan wajib hukumya.
Karena begitu besar peranan ilmu, dengan mengamalkan ilmu maka
akan diperoleh kebahagiaan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap muslim yaitu ilmu yang
menjelaskan tentang ketentuan yang diwajibkan oleh Allah SWT dan
keharaman yang diharamkan-Nya.
11. Kebersihan
Selalu menjaga kebersihan lahir dan batin, sesungguhnya orang
yang sempurna kebersihan jiwa dan hatinya laksana malaikat yang
berbentuk manusia.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Dari Abu Malik al Haris bin Ashim al Asy‟ari R. A. berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Membersihkan diri adalah separuh dari
keimanan.” (H. R. Muslim). (al Arba‟in al Nawawi, tt: 18).
Kebersihan terdiri dari dua yaitu:
a. Kebersihan Batin
Kebersihan batin dapat dilakukan dengan membersihkan hati
dari akhlak-akhlak yang tercela. Seperti sombong, riya‟, hasud,
dengki, cinta keduniaan dan lain-lain. Serta menghiasinya dengan
budi pekerti yang terpuji, seperti tawadhu‟, mempunyai rasa malu,
ikhlas, dermawan, dan sifat terpuji lainnya. Agar memperoleh
akhlaqul karimah telah disampaikan oleh Imam al Ghazali dalam
kitabnya Ihya „Ulumuddin juz II.
b. Kebersihan Zahir
Kebersihan zahir dapat diperoleh dengan meninggalkan segala
yang bertentangan dengan agama dan menjalankan segala sesuatu
yang sesuai dengan tuntuan syariat Islam. Yang termasuk dalam
kategori kebersihan zahir yaitu menghilangkan segala kotoran di
dalam tubuh, bersuci dari hadas dan najis. Dan kotoran-kotoran lain
yang ada di tubuh.
12. Aktivitas Sehari-hari
Orang yang mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan adat
kebiasaan, yang sesuai dengan Adab Nabawiah ( Perilaku seperti Nabi
SAW), ia akan mendapatkan beberapa keuntungan dari Allah SWT,
antara lain terhindar dari amal-amal yang tidak diridhai-Nya, jauh dari
budi pekerti yang rendah dan mendapatkan kemaslahatan serta
kemanfaatan di dunia dan akhirat.
Imam al Ghazali dalam karyanya, kitab al Arbain al Nawawi,
setelah menganjurkan untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW serta
mengingatkan rahasia yang terkandung di dalamnya, beliau berkata:
“Ini semua adalah dalam perkara adat kebiasaan, sedangkan dalam
perkara ibadah, maka saya tidak menemukan alasan bagi orang yang
meninggalkan sunnah kecuali kufur yang tersembunyi atau kebodohan
yang jelas. Ingatlah itu!” (Imam al Ghazali).
Disunnahkan juga dalam mengawali segala aktivitas seperti makan,
minum, berpakaian, berjalan, duduk, buang hajat, tidur, bekerja dan
aktivitas lainnya dengan membaca basmalah ( ) agar
pahalanya tidak terputus. Meskipun setiap aktivitas tersebut memiliki
do‟a masing-masing. Minimal dengan membaca basmalah.
13. I‟tikaf
I‟tikaf berarti duduk di dalam masjid dengan tujuan memakmurkan
masjid. Sebagai insan yang mulia, selalu duduk di dalam masjid dengan
niat i‟tikaf, karena masjid adalah rumah Allah SWT dan tempat yang
paling dicintai-Nya, adalah salah satu ciri orang yang beriman.
Seperti dalam firman Allah SWT:
-
Artinya:”Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(Q. S. At
Taubah: 18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dalam memasuki masjid sunnah dengan mendahulukan kaki kanan
dan ketika keluar sunnah dengan menggunakan kaki kiri. Apabila tidak
sempat untuk shalat Tahiyyatul Masjid, maka sunnah membaca lafadz
dibawah ini sebanyak empat kali. Lafadz tersebut sebagai berikut:
Artinya:”Maha suci Allah SWT, segala puji bagi Allah SWT, dan tiada
Tuhan selain Allah SWT, Allah Maha Besar.” (Al Sayyid Abdullah bin
Alwi al Haddad, tt: 111).
14. Adzan, Iqamah dan Shalat
Adzan adalah seruan, yaitu ajakan untuk menunaikan kewajiban
shalat fardhu. Adzan bukan hanya seruan tanda masuk waktu shalat
tetapi benar-benar seruan atau panggilan untuk menunaikannya. Ketika
mendengarkan adzan, jawablah adzan itu sama dengan yang diucapkan
muadzin, kecuali pada kalimat Hayya „alash Shalah dan Hayya „alal
Falah, maka jawablah dengan kalimat:
Artinya:”Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan Allah
SWT.” (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 113).
Pada shalat shubuh, ketika muadzin menyeru Ash-shalatu
khairumminannaum, maka jawablah dengan kalimat:
Artinya:”Benar dan baguslah ucapanmu dan dalam hal ini aku pun
termasuk orang yang menjadi saksi.” (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, tt: 113).
Rasulullah SAW mengatakan bahwa do‟a antara adzan dan iqamah
tidak akan tertolak. Terdapat dalam hadis yaitu:
Artinya: Dari Abu Iyas yaitu Muawiyah bin Qurrah dari Anas bin
Malik R. A. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:”Tidaklah tertolak
do‟a antara adzan dan iqamat.” (H. R. Tirmidzi dan Nasai). (Terjemah
Sunan Abi Daud, 1992: 353-354).
Jadi, perbanyaklah berdo‟a pada waktu tersebut. Mengenai hal
shalat, dalam hal ini adalah shalat fardhu (shalat 5 waktu), dianjurkan
untuk shalat di awal waktu. Sehingga ketika muadzin menyerukan
adzan, sebagai umat muslim sudah berada di dalam masjid dan dalam
keadaan berwudhu. Tetapi ketika tidak mampu seperti hal tersebut,
minimal ketika adzan diserukan hendaklah sudah siap untuk shalat.
Shalat sangat diutamakan untuk berjama‟ah dengan istiqomah
(tetap). Karena pahala yang diperolehnya sangat besar dibandingkan
dengan shalat sendirian. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar R. A., dia telah berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:”Shalat berjama‟ah itu lebih
baik (utama) daripada mendirikan shalat secara sendirian sebanyak 27
derajat.” (H. R. Muslim). (Hadis-hadis Muttafaq „Alaih, 2003: 330).
15. Zakat
Zakat berarti tumbuh, subur, suci. Wajib bagi umat muslim untuk
mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang
ditanggung nafkahnya, kewajiban ini jika mampu melaksanakannya.
Beberapa manfaat yang diperoleh dari mengeluarkan zakat ketiaka
di dunia antara lain, bertambahnya rezeki, umur, terhindar dari Su-ul
Khatimah (Kematian yang buruk, terpeliharanya kesehatan, hartanya
menjadi barakah an lainnya).
16. Puasa
Puasa berarti menahan. Secara istilah puasa berarti menahan segala
sesuatu yang dapat membatalkan puasa dari mulai terbit matahri hingga
terbenam matahari.
Dalam al Qur‟an Alah SWT berfirman:
- Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.”(Q. S. Al Baqarah: 183). (Terjemah al Qur‟an al
Kalam digital).
Dalam bulan puasa, terdapat segudang pahala yang telah
dipersiapkan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya yang berusaha
meraihnya. Diantaranya amal yang dapat meraihnya adalah melakukan
ibadah wajib dengan baik dan sempurna dan ibadah sunnah lainnya.
Seperti shalat tarawih, shalat witir, shalat sunnah malam lainnya.
Setelah lepas dari bulan ramadhan tersebut, telah dipersiapkan pula
amal pada bulan syawal. Allah SWT benar-benar Maha Pemurah.
Hanya saja hamba-Nya yang kurang merespon ke-Murahan-Nya.
17. Haji
Menunaikan rukun Islam yang ke-5 ini adalah wajib hukumnya
bagi yang mampu. Baik dari segi zahir maupun batinnnya. Jangan
menunda kemampuan dan kesempatan yang Allah SWT berikan untuk
berkunjung ke tanah suci Mekkah. Sebelum melaksanakan haji, perlu
mempelajari beberapa kewajiban sunnah dan zikir yang berkaitan
dengannya. Pelajari pula yang berkaitan dengan Ka‟bah, keringanan-
keringanan di perjalanan dan zikir-zikir yang digunakan di dalamnya.
18. Shalat Istikharah, Nazar, Sumpah dan Saksi
Shalat istikharah digunakan untuk memperoleh hidayah Allah SWT
dalam melakukan hal yang masih diragukan. Karena musyawarah
adalah kata yang diambil dari makna tersirat shalat istikharah. Dengan
bermusyawarah, dengan orang yang dapat dipercaya dan seagama,
ketika akan melaksanakan hal-hal yang penting, seperti pergi jauh atau
menikah, dan jika isyaratnya sesuai dengan pikiran dan hati, maka
shalatlah sunnah dua rakaat dengan niat shalat istikharah lalu berdo‟a
kepada Allah SWT dengan do‟a yang sudah lazim dilakukan pada shlat
istikharah.
Selain hal tersebut, manusia pernah tersirat jika telah melakukan
sesuatu dan berhasil, maka dia berjanji akan melakukan hal yang lain
lagi. Hal ini bisa dinamakan nazar. Karena nazar adalah janji. Dan janji
harus ditepati. Bersegeralah untuk melakukannya. Jangan membiasakan
diri untuk bernazar karena kadang-kadang syaithan menipu untuk
melanggarnya. Berhati-hatilah.
Sebagai manusia, janganlah bersumpah atau menjadi saksi semata-
mata karena dugaan walaupun ternyata benar, apalagi yang didasarkan
pada keraguan. Berhati-hatilah terhadap sumpah palsu yang dapat
menyebabkan hancurnya beberapa daerah dan tempat serta
mencelupkan pelakunya ke dalam liang jahannam. Janganlah menjadi
saksi palsu karena saksi palsu termasuk dalam golongan dosa-dosa yang
terbesar. Rasulullah SAW menyamakannya dengan syirik. Syirik
adalah perbuatan menyekutukan Allah SWT (menduakan-Nya).
19. Wara‟
Wara‟ yaitu menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan syubhat
(perkara yang tidak diketahui halal dan haramnya). Wara‟ merupakan
senjata sakti penjunjung agama. Wara‟ inilah yang menjadi ciri ulama
yang mengamalkan ilmunya. Ketahuilah bahwa orang yang
memperoleh sesuatu yang haram atau syubhat, maka sedikitlah ia
mendapatkan taufiq, pertolongan Allah SWT untuk beramal shaleh.
Jika ia beramala shaleh, ia tidak terlepas dari penyakit batin, dalam
setiap amaliyah seperti sombong (ujub) dan pamer (riya‟).
Sikap wara‟ tidak hanya diprioritaskan pada makanan, pakaian dan
perilaku saja. Bahkan sebaliknya, sikap ini seharusnya dicerminkan
dalam segala aspek kehidupan.
20. Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar
Amar ma‟ruf nahi munkar yaitu memerintah ke arah kebaikan dan
mencegah diri dari kemungkaran. Karena hal itu merupakan sendi
pokok agama dan karena itu pula Allah SWT menurunkan al Qur‟an
dan mengutus para Rasul-Nya. Para ulama memutuskan bahwa amar
ma‟ruf nahi munkar hukumnya wajib. Hal ini didasarkan pada al
Qur‟an yaitu:
-
Artinya:”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma‟ruf, dan
mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Q. S. Ali Imran: 104). (Terjemah al Qur‟an al Kalam
digital).
Ma‟ruf ialah segala perbuatan yang baik untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, sedangkan mungkar ialah segala perbuatan yang
menjauhkan diri dari Allah SWT.
Hukum amar ma‟ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Yaitu
apabila sudah ada sebagian disuatu daerah tersebut yang beramar
ma‟ruf nahi munkar maka sudah gugur kewajiban penduduk daerah
tersebut untuk beramar ma‟ruf nahi munkar. Namun pahala hanya
diprioritaskan kepada yang menyerukan dan mengerjakannya.
21. Adil
Berlaku adil kepada rakyat yang terkhusus dan umum. Pelihara dan
jaga mereka dengan seksama. Rakyat khusus disini yang dimaksudkan
adalah anggota badan yang tujuh yaitu lidah, telinga, mata, perut,
kemaluan, tangan dan kaki. Sedangkan rakyat umum disini adalah
orang-orang yang berada dalam kekuasaan dan tanggungjawabmu,
yaitu anak, istri dan hamba sahayamu. Karena Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan.” (Q. S. An Nahl: 90). (Terjemah al Qur‟an al
Kalam digital).
22. Berbakti kepada Kedua Orangtua
Selalu berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib hukumnya
dan durhaka kepada keduanya tergolong dosa besar. Maha Besar Allah
SWT dengan firman-Nya:
- Artinya:”Dan Tuhan-mu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.”
(Q. S. Al Isra‟:23). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Sebagai seorang anak, hendaklah mencari keridhaan mereka dan
mengerjakan perintah-perintah mereka selama tidak bernilai maksiat,
menjauhi larangan mereka selama tidak melarang ketaatan yang wajib
serta mementingkan kepentingan mereka di atas kepentingan pribadi.
Itulah wujud ketaatan dan berbakti seorang anak kepada kedua orang
tuanya.
23. Silaturrahmi
Bersilaturrahmi kepada keluarga yang paling dekat, kemudian yang
lainnya, juga kepada tetangga yang paling dekat dengan pintu rumah,
kemudian yang lainnya. Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan tetangga jauh.”(Q. S. An Nisa‟: 36). (Terjemah al Qur‟an al
Kalam digital).
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat,
hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang
bukan muslim. Silaturrahmi dan berbuat baik kepada tetangga tidak
akan mencapai kesempurnaan, kecuali dengan menahan gangguan
terhadap mereka, sabar menerima gangguan mereka dan berbuat baik
sekuat tenaga terhadap mereka.
24. Cinta dan Benci Karena Allah
Cinta dan benci karena Allah SWT, karena sikap inilah yang
menjadi tali pengikat keimanan. Apabila mencintai seorang hamba
yang taat disebabkan oleh kepatuhan yang ia kerjakan dan membenci
kepada pelaku kemaksiatan dikarenakan oleh kemaksiatan yang ia
jalani tanpa adanya tujuan lain, maka hal itu benar-benar termasuk
dalam golongan orang yang cinta karena Allah SWT dan benci karena
Allah SWT. Sebaliknya, jika didalam hati tidak ada rasa cinta kepada
ahli kebajikan karena kebajikan yang mereka kerjakan dan tidak
membenci pelaku kemungkaran karena kemungkaran mereka, maka
ketahuilah bahwa tingkat keimanan tersebut masih lemah.
25. Ketulusan Hati
Rasa ketulusan hati datangnya dari hati nurani yang terdalam.
Tidak ada rasa pamrih atau pun meminta balasan. Bertulus hati terhadap
setiap muslim dengan maksud agar tidak menyembunyikan sesuatu
darinya yang dapat menunjukkan jalan kebaikan dan menjauhkannya
dari kejelekan. Bersikap tulus dapat juga dilakukan kepada sesama
muslim dalam setiap kehadirannya dan ketidakhadirannya. Jangan
melebihkan rasa tulus yang ada dalam ucapan dengan perasaan
sebenarnya yang ada dalam hati.
26. Tobat atau Taubat
Salah satu sifat terpuji adalah bertaubat kepada-Nya. Dari setiap
dosa kecil atau dosa besar, nyata atau tersembunyi. Karena taubat
merupakan langkah awal seorang hamba menuju jalan Allah SWT dan
taubat pun merupakan dasar dari setiap maqam di sisi Allah SWT, serta
Allah SWT pun mencintai orang-orang yang bertaubat. Maha
Pengampun Allah SWT dengan firman-Nya:
- Artinya:”Sungguh, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai
orang yang menyucikan diri.” (Q. S. Al Baqarah: 222). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
Taubat tidak akan sah jika tidak diikuti dengan meninggalkan dosa
tersebut, menyesalinya dan membulatkan tekad untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut selama hidupnya. Dan berusaha untuk berbuat baik
selalu.
27. Sabar
Sabar merupakan sendi dasar yang harus dimiliki selama hidup
setiap manusia. Karena termasuk akhlak yang mulia dan keutamaan
yang agung. Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Q. S. Al Baqarah: 153). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
Sabar terdiri atas empat bagian, yaitu:
1) Sabar mengerjakan ketaatan
2) Sabar akan kemaksiatan
3) Mengingat-ingat dosa yang telah lalu
4) Sabar atas sesuatu yang tidak diinginkan (datang dari Allah SWT
dan sesama makhluk)
Selain itu, sabar juga harus dilakukan untuk bersabar dari syahwat
yaitu keinginan dan kesenangan dunia yang bersifat sementara.
28. Bersyukur
Sebagai hamba Allah SWT, bersyukur adalah hal yang wajib
karena atas nikmat yang diberikan secara lahir maupun batin serta yang
berhubungan dengan agama dan dunia. Jumlahnya tak ternilai. Manusia
tak akan sanggup untuk menghitungnya. Syukuri nikmat Allah SWT
semaksimal mungkin, kemudian mengakui ketidakmampuan dalam
melaksanakan syukur sesuai yang diwajibkan adalah hal yang bisa
hamba lakukan untuk-Nya. Sebagai hamba yang merasa bahwa Allah
SWT selalu berada dalam hatinya.
Bersyukur akan mengekalkan nikmat dan mengundang nikmat-
nikmat yang lain. Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan
menambah (nikmat) kepadamu.” (Q. S. Ibrahim: 7). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
29. Zuhud
Zuhud berarti tidak tergiur dengan keduniaan. Karena hal itu
merupakan kebahagiaan sejati, penerang inayah dan sebagai tanda
kewalian.
Sumber zuhud ialah kesadaran hati akan kehinaan dan kerendahan
dunia. Dan bahwa seandainya dunia di sisi Allah SWT berharga walau
hanya senilai sayap seekor nyamuk, pasti Allah SWT tidak akan
memberi minum pada orang-orang kafir walaupun hanya setetes.
Orang yang menggali kepentingan dunianya melebihi
keperluannya, maka secara tidak sadar ia telah mendekatkan dirinya
pada kebinasaan. Hasil secara batin yang diperoleh dari kesadaran hati
ialah meninggalkan kecenderungan pada dunia, sedangkan secara lahir
ialah kemampuan diri untuk tidak berhura-hura dan menuruti hawa
nafsu.
Derajat zuhud yang paling rendah ialah tidak mengerjakan
kemaksiatan dan tidak meninggalkan ketaatan. Sedangkan derajat yang
tertinggi ialah tidak mau mengambil sesuatu pun yang ada di dunia ini
kecuali ia telah yakin bahwa pengambilannya itu lebih baik di sisi Allah
SWT daripada meninggalkannya.
Tanda-tanda orang zuhud ialah:
1) Tidak merasa gembira bila memperoleh sesuatu dan tidak merasa
sedih bila kehilangannya.
2) Tidak pernah menyibukkan diri untuk mendapatkan dunia dan
bersenang-senang di dalamnya dengan mengabaikan pendekatan
dirinya pada Allah SWT.
Jika tidak mampu berzuhud, maka paling tidak mengakui diri
sendiri masih cinta dan serakah terhadap dunia, sedangkan pencarian
dan pengejaran kesenangan di dalamnya tidak merupakan dosa kecuali
jika memperolehnya dari jalan yang diharamkan.
30. Tawakkal
Barangsiapa bertawakal dan pasrah kepada Allah SWT, maka ia
akan dicukupi, ditolong dan selalu dikasihi-Nya. Tawakal tumbuh dari
buah tauhid yang mantap dan sudah mendarah daging dalam hati dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang
yang bertawakal.” (Q. S. Ali Imran: 159). (Terjemah al Qur‟an al
Kalam digital).
Inti tawakal kepada Allah SWT sadarnya hati bahwa segala sesuatu
berada di tangan-Nya, baik yang bermanfaat, bermudharat, yang
menyusahkan serta yang membahagiakan. Sangat meyakini bahwa
seandainya seluruh makhluk dikumpulkan untuk memberi kemanfaatan
ataupun kemudharatan, maka mereka sedikit pun tidak akan mampu
melaksanakannya kecuali dengan adanya ketetapan dan ketentuan dari
Allah SWT.
31. Rela dengan Ketentuan Allah SWT
Kerelaan merupakan hasil dari mahabbah (kecintaan) dan makrifat
yang paling mulia. Orang yang cinta sudah sewajarnya rela dengan
tindakan kekasihnya, manis atau pahit baginya sama saja.
Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:
Artinya:”Barangsiapa tidak ridha dengan qadha-Ku dan tidak sabar
atas cobaan-Ku, maka carilah Tuhan selain-Ku.” (H. R. Ibnu Hibban,
Thabrani, Abu Daud dan Ibnu Asakir).
Wajib bagi orang yang beriman untuk mengetahui dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah SWT yang memberi
segala sesuatu yang ada di bumi ini. Baik dari segi petunjuk dan
kesesatan, kesusahan dan kebahagiaan, mendekatkan dan menjauhkan,
memberi dan menahan, memberi mudharat dan manfaat. Jika semuanya
telah diketahui dan beriman kepada-Nya, maka wajib bagi orang yang
beriman untuk tidak menentang secara lahir dan batin, atau dengan
perkataan yang bersifat memprotes Allah SWT.
32. Wasiat-wasiat Allah
Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Adam AS berupa empat
perkara yang dapat mengumpulkan kebaikan bagi Nabi Adam AS dan
anak cucu Nabi Adam AS, yaitu:
1) Perkara yang bersangkutan dengan Allah SWT yaitu bersikap tulus
kepada Allah SWT dan jangan menyekutukan Allah SWT dengan
sesuatu pun.
2) Perkara yang bersangkutan dengan diri sendiri yaitu amal perbuatan.
Maka Allah SWT akan membalasnya.
3) Perkara yang berkaitan antara Allah SWT dengan hamba-Nya.
Dengan selalu berdo‟a dan sudah menjadi kewajban-Nya untuk
mengabulkannya.
4) Perkara yang berurusan antara hamba dengan hamba. Maka
bergaullah dengan mereka.
Dalam shuhuf Ibrahim AS disebutkan bahwa wajib bagi orang
berakal mengendalikan lisannya dari perkataan yang tidak berfaedah,
peka terhadap zamandan bersungguh-sungguh dalam mencapai
tujuannya. Selain itu, wajib pula membagi waktunya menjadi empat
bagian, yaitu:
1) Waktu untuk bermunajat kepada Allah SWT.
2) Waktu untuk mengoreksi diri sendiri.
3) Waktu untuk berkunjung kepada sahabat-sahabatnya agar dapat
saling memberi nasihat kepadanya, bersilaturrahmi, agar Obor
(lampu) kekeluargaan tidak redup. Karena keluarga adalah penerang
dalam jalannya kehidupan di dunia.
4) Waktu untuk mencurahkan kecenderungan diri dalam menikmati
keindahan dunia secukupnya.
D. Pengertian Konsep Muraqabah
1. Pengertian Konsep
Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, proses atau apa pun
yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 588).
Selain pengertian tersebut, ada juga yang mengartikan bahwa konsep
adalah pokok pertama yang mendasari keseluruhan pemikiran.
(Ensiklopedi Indonesia, 1991: 1856). Jadi, konsep akan membingkai
atau menyusun sebuah penjelasan tentang suatu hal atau perkara yang
diteliti. Dalam hal ini, penulis akan membahas tentang konsep
muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah karya al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad.
2. Pengertian Muraqabah
Muraqabah adalah yaitu kontrol atau pengawasan. (Kamus
Kontemporer Arab Indonesia, 1998: 1680). Selain itu, muraqabah juga
merupakan termasuk salah satu maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran
tasawuf. Maqam atau maqamat (tingkatan sufi) muraqabah terletak
pada tingkatan ketiga dari empat tingkatan dalam derajat maqamat yaitu
al Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010: 31-34). Secara istilah, muraqabah
adalah sikap mawas diri dalam rangka menghindarkan diri dari
perbuatan dosa. (Ensiklopedi Islam, 1994: 301).
Dalam buku Menembus Tirai Kesendirian-Nya halaman 83,
Media Zainul Bahri mengatakan bahwa muraqabah berarti menjaga (al
Qusyairi, Risalah Qusyairiyah) atau mengamati tujuan. Sedangkan
secara terminologis berarti melestarikan pengamatan kepada Allah
SWT dengan hatinya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83).
Tentu jelas berbeda dengan Muqarabah. Dua kata yang hampir
sama. Tetapi, jelas perbedaannya. Muraqabah adalah sikap mawas diri
atas semua perbuatan kita sebagai manusia ciptaan Allah SWT.
Sedangkan Muqarabah adalah cara seorang hamba untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Muqarabah adalah mendekatkan
diri. Berasal dari wazan berupa isim masdar, yaitu
mendekatkan. Sedangkan kata Muraqabah adalah mawas diri. Berasal
dari wazan berupa isim masdar juga, memiliki arti me-
kan yaitu mengontrol diri atau mawas diri. (Kitab al Amsilatu al
Tashrifiyah).
Muraqabah dari bahasa Arab. Secara harfiah berarti awas-
mengawasi. Dalam istilah Tasawuf menurut Imam al Qusyairy:
“Muraqabah ialah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa
Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh
gerak-gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati diketahui
Allah.”
Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah, Imam al Qusyairy, berkata
bahwa:
“Muraqabah ialah, bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan
selalu melihatnya.”
Dalam bagian lain pada kitab Risalah Qusyairiyyah:
“Barangsiapa yang muraqabah dengan Allah SWT dalam hatinya
maka akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota
tubuhnya.”
Kalimat ini mengandung maksud bahwa orang yang selalu ber
muraqabah kepada Allah SWT, pasti ia tidak mengerjakan dosa lagi,
karena Allah SWT telah menjauhkannya dari perbuatan dosa. Berbeda
dengan orang munafik, ia takut diawasi orang lain, jadi kalau tidak
dilihat orang maka ia berani berbuat dosa.
Seorang ahli Tasawuf Nasrabazdy berkata, dalam kitab Risalah
Qusyairiyyah. Bahwa:
“Adapun Harapan baik itu, adalah menggerakkan kamu supaya
berbuat amal sholeh, Khauf (takut) dan menjauhkan kamu dari maksiat.
Adapun muraqabah, adalah membawa kamu ke jalan yang benar.”
Nasrabazdy bermaksud bahwa muraqabah akan menuntun kita
ke jalan yang benar dan menjauhkan dari dosa karena selalu merasa
diawasi Allah.
Tingkatan Muraqabah yaitu:
1. Muraqabatul Qalbi, kalbunya selalu waspada dan selalu
diperingatkan agar tidak keluar dari kebersamaannya dengan
Allah SWT.
2. Muraqabatul Ruhi, Kewaspadaan dan peringatan terhadap Ruh,
agar selalu dalam pengawasan dan pengintaian Allah SWT.
3. Muraqabatus Sirri, kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir
agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki
perilakunya.
Dalam hadist sebuah Qudsi Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Hai hambaku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku
penuhi pula perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu,
maka engkau itu berada di tempat jauh dari Ku. Dimana kamu berada
karena kehendak-Ku (Allah SWT) maka engkau itu berada di dekat
Aku. Maka pilihlah mana yang lebih baik pada.”
(http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/18/muroqobah-
kepada-allah/... 13 Agustus 2014).
Berkaitan dengan hal itu, Allah SWT berfirman di dalam al
Qur'an Surat Qaf ayat 16-18
----
-
Artinya:” Dan sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dan
Mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya. (Ingatlah) ketika dua malaikat
mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang
lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan
ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (Q. S.
Qaaf: 16-18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Jadi jelaslah dengan muraqabah yang kuat seorang hamba tidak
akan berani melanggar perintah Allah SWT dan lalai dari mengerjakan
sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah SWT karena yakin
bahwasanya seluruh perbuatan baik buruk mereka akan dicatat oleh
malaikat raqib dan atid yang pada nantinya akan dimintakan
pertanggungjawabannya.
Seorang hamba yang telah muraqabah akan selalu mensyukuri
nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya dan bersabar atas
segala bencana dan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
Wuquf qolbi adalah jalan menuju Allah SWT yang paling dekat
setelah jalan muraqabah dengan menghadapkan mata hati pada hakikat
ruh insan. Karena ruh insan pada awalnya mempunyai keterkaitan
dengan badan dari arah hati.
Seseorang yang wuquf qalbi harus mengosongkan dulu semua
pemikiran-pemikiran, kemudian melemaskan seluruh kekuatannya atau
tenaganya dan penginderaannya dari semua alat penginderaan. Lalu
melepaskan nafsunya dalam proses menggerakkan organ tubuh. Setelah
itu, pandangan mata hatinya berhadap kepada hakikat hati. Apabila
tawajjuhnya meningkat kepada hakikat hati, maka bertambah pulalah
makrifatullahnya kepada Tuhan Yang Maha Suci.
Tawajjuh adalah penggerakan pandangan mata hati (Sirajudin
Thalibin). Dalam Sirajudin Thalibin disebutkan, siapa yang
menghadapkan (tawajjuh) pandangan hatinya kepada ruhnya sendiri,
niscaya terbuka untuknya apa yang ada pada “Hidlarat keTuhanan”
dari segala rahasia. Maka ia akan sampai kepada makrifat Tuhannya
dengan makrifat syuhudi (penyaksian). Karena hakikat ruh-
kemanusiaan adalah seperti cermin untuk Hidlarat Ketuhanan, yang,
padanya terdapat “Quwwatu al „Aqliyah” (kekuatan pikiran murni)
yang merupakan Jauhar Illahi. Siapa yang terbuka baginya Jauhar itu,
dia dapat melihat semua rahasia sifat-sifat Allah SWT, rahasia nama-
nama-Nya dan rahasia Dzat-Nya dengan tersisihnya bayangan, dan dia
melihat pula semua keadaan pikiran penginderaan. Seorang hamba
benar-benar menghadirkan Allah SWT dalam hidupnya. Sehingga
segala hal yang dilakukan adalah untuk meraih ridha-Nya.
(http://ilmunursejati.blogspot.com/2013/03/muroqobah-dan-wuquf-
qolbi.html).
E. Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad tentang Konsep
Muraqabah dalam Kitab Risalatun al Muawanah
Salah satu karya beliau yang terkenal di dunia pendidikan terutama
pendidikan pondok pesantren adalah tentang Tauhid. Berbicara tentang
tauhid, beliau sangat bijaksana dalam menulis isi kitab dan cara
menyampaikannya sangat mudah dipahami. Salah satunya adalah tentang
mawas diri. Tertulis dalam kitab beliau, yaitu:
Dalam hal ini, al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
menyampaikan dengan kata atau kalimat ” ”. Maksudnya beliau
mengingatkan kepada saudara sesama muslim khususnya dan juga kepada
diri sendiri bahwa kita sebagai umat muslim wajib bermuraqabah kepada
Allah SWT. Dalam gerakan, keadaan diam, melirik, melihat, keinginan
dan seluruh keadaan apa pun, wajib merasa bahwa Allah SWT selalu
mengawasi setiap hamba-Nya. Jika seseorang telah melakukan hal
demikian, maka ia akan berada dalam tingkatan muraqabah. Muraqabah
termasuk dalam tingkatan ihsan. Bertempat di tempat yang tinggi, derajat
yang luhur (tinggi).
Abdullah al Murta‟isy (w. 328 H), seperti dikutip dalam al
Qusyairi, menjelaskan bahwa muraqabah adalah menjaga atas batin
sendiri karena adanya kesadaran Yang Ghaib dalam setiap pandangan dan
ucapan. Dan Ibn „Atha‟ menyebut muraqabah kepada Allah SWT setiap
waktu merupakan ibadah yang paling baik. Sementara Jalaludin Rumi
menganggap muraqabah sebagai tirai pelindung dari emosi, pikiran, nafsu
dan perbuatan yang tidak baik.
Menurut al Sarraj, muraqabah merupakan hal yang mulia. Dalam
pandangan al Sarraj, muraqabah adalah adanya pengetahuan dan
keyakinan dari sang hamba kepada sang Khaliq bahwa Allah SWT
mengawasi apa-apa yang ada dihatinya dan siratan batinnya. Allah SWT
juga mengawasi bisikan-bisikan tercela yang menyibukkan (menjauhkan)
hati dari mengingat Allah SWT. Jadi muraqabah menurut al Sarraj adalah
kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah SWT senantiasa
mengawasinya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83-84).
Menurut al Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabah terbagi
menjadi tiga tingkatan. Yaitu:
1. Tingkatan Ibtida‟(memulai). Kelompok ini sebagaimana yang disebut
oleh Hasan Ibn „Ali al Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya
senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah SWT selalu
mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin.
2. Ibn „Atha mengatakan bahwa:” Sebaik-baik kalian adalah yang
senantiasa mengawasi Yang Haq dan Yang Haq di dalam fana‟ kepada
selain yang haq dan senantiasa mengikuti Nabi Muhammad SAW
dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memiliki
kesadaran penuh bahwa sebaik-baik pengawasan adalah pengawasan
Allah SWT, tidak sedikit pun terbersit adanya pengawasan yang lain
dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
3. Tingkatan hal al Kubara (orang-orang agung). Yakni mereka yang
senantiasa mengawasi Allah SWT dan meminta kepada-Nya untuk
mereka dalam bermuraqabah. Allah SWT sendiri sudah menjamin
secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak
mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang
selain diri-Nya dan hanya Allah SWT saja yang melindungi mereka.
Pada tingkatan pertama menurut al Sarraj, sama artinya dengan
sebuah kepasrahan kepada kehendak Allah SWT dan yakin bahwa Allah
SWT ada di mana-mana dan Ia mengetahui semua pikiran, perasaan dan
perbuatan sang hamba. Karenanya ia yakin bahwa Allah SWT adalah
Pengawas segala sesuatu.
Sedangkan pada tingkatan kedua dan ketiga berarti konsentrasi hati
sang hamba hanya kepada Allah SWT sepanjang hidupnya. Hingga ia
merasa Allah SWT menjadi teman, pelindung dan sumber seluruh
hidupnya.
Pada tingkatan ketiga ini terlihat seorang hamba yang aktif
mengawasi Allah SWT dalam arti mengingat Allah SWT dan melihat-Nya
dengan mata batin yang bersih dan terang. Untuk bisa melihat Allah SWT
secara rohani, tentu bukan perkara biasa dan dapat dicapai setiap orang,
maka menurut al Sarraj hanya orang-orang yang sudah berada pada
tingkatan hal al Kubara ini yang dapat melakukannya. (Media Zainul
Bahri, 2005: 85-86).
Mawas diri kepada Allah SWT hendaklah dilakukan dalam setiap
aktivitas. Sadar bahwa Allah SWT selalu berada didekat manusia. Allah
SWT selalu mengetahui dan mengawasi segala gerak gerik manusia. Bagi-
Nya tak ada sesuatu yang rahasia dan samar. Makhluk sekecil apa pun
yang ada di bumi dan langit tak akan pernah lepas dari pengawasan-Nya.
Allah SWT senantiasa mengetahui apa yang manusia bicarakan, baik
bersuara keras maupun lirih. Dimana saja manusia berada, Allah SWT
selalu bersama manusia, dan Dialah Yang Maha Kuasa. (Al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 23).
Sebagaimana Hadits Nabi SAW:
Artinya:”Dari Abu Dzar bin Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman
Muadz bin Jabal Radhiallahu Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam beliau bersabda,“Bertakwalah kepada Allah di mana pun
engkau berada. Iringilah kejelakan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
tersebut akan menghapuskannya. Dan bergaul-lah dengan manusia
dengan akhlak yang baik”. (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan).
( Hadis al Arba‟in al Nawawi, 676 H: 15).
Sabda beliau, Nabi SAW:“Bertakwalah kepada Allah” adalah fi‟il
„amr (kata perintah) dari kata al Taqwa. Takwa adalah membuat
perlindungan dari siksa Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-
perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah yang disebut
takwa. Dan ini adalah batasan yang terbaik untuk mengartikan kata
“takwa”.
(Bertakwalah kepada Allah SWT di mana pun engkau berada),
yakni di tempat mana pun engkau berada. Engkau tidak hanya bertakwa
kepada Allah SWT di tempat yang disana orang-orang melihatmu saja.
Seperti bertakwa hanya saat berada di masjid, kantor, rumah dan jalanan
saja. Bertakwa juga tidak hanya di bulan ramadhan, tapi juga di waktu-
waktu yang lain karena semua waktu adalah milik Allah SWT. Dan tidak
hanya bertakwa kepada-Nya di tempat-tempat yang engkau tidak dilihat
oleh seorang pun, karena Allah SWT senantiasa melihatmu, di tempat
manapun engkau berada. Oleh karena itu, bertakwalah di manapun engkau
berada.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Dari Abi Dzar Jundub bin Junadah dan Abi „Abdurrahman
Mu‟adz bin Jabal R. A. Rasulullah SAW, beliau bersabda: Bertakwalah
kamu kepada Allah SWT dimanapun kamu berada. Dan iringilah
perbuatan yang tidak baik (kesalahan) dengan perbuatan yang baik.
Niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia
dengan budi pekerti yang baik.” (H. R. Tirmidzi). (al Arba‟in al Nawawi,
tt: 15).
Nabi SAW memerintahkan dan mewasiatkan untuk terus menerus
dalam ketaqwaan dimanapun hamba itu berada, pada setiap waktu dan
pada setiap tempat, dan pada setiap keadaan baik senang ataupun susah.
(http://darussalam-online.com/khutbah-jumat/bertakwalah-engkau-
dimanapun-engkau-berada/).
Petunjuk, pertolongan dan penjagaan Allah SWT hanya tercurah
kepada umat manusia jika manusia tersebut tergolong orang-orang yang
berbuat baik. Manusia hendaklah memiliki rasa malu kepada Allah SWT.
Mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta
beribadah kepada-Nya seakan-akan melihat-Nya. Dan apabila manusia
tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah SWT selalu melihat.
Artinya:”Iman ada tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang
lebih. Yang paling utama adalah ucapan‟LAA ILAAHA ILLALLAH‟ dan
paling rendah adalah membuang benda yang mengganggu perjalanan,
sedangkan malu adalah cabang dari Iman.” (H. R. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah R. A). (Kitab Shahih Bukhari Juz 1 halaman 11 dan
Shahih Muslim Juz 1 halaman 36).
Seorang hamba akan hancur moralnya jika sudah tidak memiliki
rasa malu. (Na‟udzubillahi min Dzalik artinya aku berlindung kepada
Allah SWT dari hal tersebut). Karena telah disebutkan dalam hadis
tersebut bahwa malu adalah cabang atau bagian dari iman. Jika sifat malu
sudah lepas dari diri seorang hamba, maka dia akan bertindak sekehendak
hatinya dan nafsunya tanpa mengindahkan peraturan atau hukum yang
telah ditetapkan dalam agama oleh Allah SWT. Malu kepada Allah SWT
dengan sebenar-benarnya adalah senantiasa menjaga kepala dan anggota
badannya, menjaga perut serta segala isinya dan senantiasa mengingat
maut serta kehancuran tubuh sesudahnya.
Sebagai contoh rasa malu yang sudah tidak terjaga yaitu seseorang
yang berasal dari suatu rumah tangga. Ia sudah tidak memiliki rasa malu,
dengan mudah ia akan melakukan pelanggaran seperti membuka auratnya,
berpakaian mandi keluar masuk rumahnya.
Padahal sifat malu adalah suatu keimanan, jika malunya sudah
berkurang tentu kurang sempurna imannya. Peranan malu memang besar
pengaruhnya terhadap iman karena sedikit banyaknya dari suatu
pelanggaran hukum Allah SWT juga bergantung sifat malunya.
Jika seseorang memiliki rasa malu, tentu ia merasa bahwa Allah
SWT selalu mengawasinya dalam setiap langkahnya. Ia akan bersemangat
melakukan hal yang bermanfaat dan baik untuk dirinya terutama dan untuk
orang lain.
Al Sayyid Abdullah bin al Haddad menyampaikan bahwa jika di
dalam hati manusia timbul rasa malas (tidak bersemangat dalam kebaikan),
pada ketaatan dan cenderung untuk mengerjakan kemaksiatan, katakan
pada nafsu:
”Hai nafsu! Sesungguhnya Allah SWT selalu mendengarmu, melihatmu,
dan mengetahui segala rahasia dan bisikanmu.”
Jika belum dapat menuruti nasihat tersebut karena kurangnya
dalam memahami keagungan Allah SWT, maka peringatkan kepadanya
kembali akan dua malaikat yang selalu mencatat kebajikan dan kejelekan,
yaitu Raqib dan Atid. Dijelaskan dalam al Qur‟an surat Qaaf ayat 17-18
yaitu:
- -–
Artinya:”Ketika dua malaikat yang mencatat amal duduk di sebelah kanan
dan di sebelah kiri. Tidaklah perkataan yang dikeluarkan seseorang
melainkan di sisinya dua malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q. S.
Qaaf: 17-18). (Terjemah al qur‟an al Kalam digital).
Ingatlah selalu bahwa kedua malaikat pencatat amal manusia selalu
menghampiri dan mengawasi.
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN AL SAYYID ABDULLAH BIN ALWI AL
HADDAD TENTANG KONSEP MURAQABAH
C. Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad
Uswatun hasanah terbaik di dunia ini, tidak lain dan tidak bukan
adalah sebaik-baik umat, pendidik sepanjang zaman, sebagai pendidik
kepribadian, terutama rohani. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi
Akhiru al Zaman. Tidak ada Nabi setelah beliau. Keimanan beliau tidak
perlu diragukan lagi. Tetapi, beliau tetap terus berusaha menambah
keimanan setiap hari, walaupun kehidupan akhirat beliau telah dijamin
masuk surga. Itulah keistimewaan beliau. Tidak mau berpangku tangan.
Hingga seorang pewaris beliau, al Sayyid Abdullah Bin Alwi al Haddad,
berusaha mengikuti jejak mulia beliau.
Rasulullah SAW memberikan contoh utama, yang terbaik dalam
bermunajat kepada Allah SWT, terutama dalam hal beramal, agar apa yang
diamalkan, segala sesuatunya karena Allah SWT. Karena segala sesuatu
yang dilakukan oleh manusia selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Dalam buku The Islam Way halaman 83-84, Nabiel F Almusawa
mengatakan bahwa pengawasan melekat (waskat) adalah istilah yang
sering didengung-dengungkan oleh para petinggi negara dan para
pimpinan instansi pemerintah dari atas sampai ke tingkat bawah.
Pengawasan melekat juga sebagai satu-satunya cara (the only path) yang
menurut mereka paling ampuh bagi sembuhnya korupsi, kolusi, dan
nepotisme di bumi pertiwi. (Nabiel F. Almusawa, 2008: 83-84).
Islam adalah agama yang universal (syamiil), integral (kaamil), dan
menyempurnakan (mutakaamil) bagi semua sistem yang ada. Allah SWT,
Rabb al „Izzah jauh-jauh hari telah memberikan konsep-Nya yang paling
sempurna untuk mengawasi berbagai penyimpangan manusia. Konsep
inilah yang dinamakan muraqabah. (Nabiel F. Almusawa, 2008: 84).
Muraqabah adalah pengawasan melekat yang sebenarnya.
Muraqabah merupakan sistem pengawasan bagi individu bukan hanya
sebatas dalam kaitannya dengan aspek materi dan keduniaan belaka,
melainkan jauh menembus batas dan bertemu dengan nilai-nilai keabadian
dan kekuatan yang berada di luar kemanusiaan dan kealaman itu sendiri.
(Nabiel F. Almusawa, 2008: 84).
Pengawasan itu tidak akan sukses melainkan dengan pengawasan
yang baik dan uswah yang baik pula. Seseorang yang berperilaku tidak
baik akan mempengaruhi perilaku yang lain pula. Pengaruh yang baik itu
akan diperoleh dengan pengamatan mata terus menerus, lalu semua mata
mengagumi sopan santunnya atau perilaku yang baik. Di saat itulah orang
akan mengambil pelajaran, mereka akan mengikuti jejaknya, dengan
penuh kecintaan yang tulus (murni). Bukan itu saja, bahkan supaya
pengikutnya itu bisa mendapatkan keutamaan yang besar, maka orang
yang diikutinya harus memiliki kelebihan dan kejujuran yang tinggi.
(Masy‟ari, 2008: 17).
Firman Allah SWT tentang konsep pengawasan (Muraqabah)
secara umum terdapat dalam surat al Fajr ayat 14 yaitu:
- Artinya:”Sungguh, Tuhan-mu benar-benar mengawasi.” (Q. S. Al Fajr:
14). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Dengan demikian, tugas menjadi seorang pengawas adalah dimulai
dari diri sendiri. Bukan dimulai dari orang lain. Bukan dititik beratkan
pada seseorang. Atau pada orang lain. Apalagi menitik beratkan pada
instansi atau lembaga. Melainkan diri pribadi masing-masing. Jika setiap
hamba memiliki jiwa pengawasan terhadap diri sendiri dengan kuat dan
mendalam, tentu akan mudah kehidupan di dunia ini untuk dijalani. Tidak
memerlukan benda yang disebut dengan Kamera CCTV untuk mengawasi
sesuatu yang dicurigai.
Pola pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab
Risalatun al Muawanah beliau menyampaikan bahwa bersikap mawas diri
(Muraqabah) hendaklah dilakukan dalam setiap aktivitas. Allah SWT
selalu mengawasi dan selalu berada dekat dengan hamba-Nya. Allah SWT
mengetahui segala gerak-gerik dan perilaku hamba-Nya. Bagi-Nya tidak
ada yang bersifat rahasia dan samar. Makhluk sekecil apapun yang ada di
bumi dan langit tidak akan pernah lepas dari pengawasan-Nya.
Manusia baru dikatakan malu dan mawas diri kepada Allah SWT
jika apa yang disampaikan oleh Allah SWT dan para utusan-Nya dapat
mencegah hati dan nafsunya dari segala aktivitas yang tidak diridhai-Nya
dan mendorong untuk taat kepada-Nya. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, tt: 24).
Sebagai salah satu contoh nasihat yang disampaikan oleh al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad dalam bukunya yaitu:
“Hai nafsu! Tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat setelah kematian.
Dan tidak ada lagi tempat setelah dunia ini, kecuali surga atau neraka.
Pilihlah mana yang engkau sukai! Jika engkau taat kepada Allah SWT,
maka kebahagiaan, keridhaan dan kekekalan di dalam surga yang luaslah
yang engkau terima. Bahkan engkau pun akan memperoleh nikmat
terbesar yaitu melihat-Nya. Jika engkau bermaksiat, tentu kehinaan,
murka dan siksa nerakalah yang pasti engkau terima.”
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang
paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah termasuk pada
maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:”Ihsan adalah pengabdian pada Allah SWT seakan-akan engkau
melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.” (H. R. Muslim dari Umar). (al Nawawi, 676 H: 8).
Setiap mukmin wajib percaya bahwa tidak ada sesuatu yang
tersembunyi bagi Allah SWT, baik yang ada di langit maupun di bumi. Dia
mengetahui dan mengawasi segala aktivitas makhluk-Nya. Kepercayaan
atau ideologi tersebut akan tumbuh subur jika ia seolah-olah berhadapan
dengan Allah SWT dan berpengaruh dalam setiap langkah kehidupannya
dan ia akan malu jika tidak beribadah. (Al Sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad, tt: 25).
Iman atau percaya kepada hisab (pemeriksaan amal) di hari
penunjukan amal terbesar (hari kiamat) menyebabkan penyegeraan
pemeriksaan diri dan persiapan.
Allah SWT berfirman:
-
Artinya:”Dan Kami akan Memasang timbangan yang tepat pada hari
Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya
seberat biji sawi, pasti Kami Mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah
Kami yang Membuat perhitungan.” (Q. S. Al Anbiya‟: 47). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
Allah SWT berfirnan dalam al Qur‟an yaitu:
-
Artinya:”Ketahuilah bahwa Allah Mengetahui apa yang ada dalam
hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (Q. S. Al Baqarah: 235). (Terjemah
al Qur‟an al Kalam digital).
Siapa yang memeriksa diri sendiri atas saat-saat dan pikiran-pikiran
yang terlintas di hatinya, niscaya ringanlah penyesalannya di hari kiamat
dan siapa yang tidak memeriksa dirinya, kekallah penyesalannya dan
banyak perhentiannya di padang mahsyar pada hari kiamat. (Imam al
Ghazali, 2007: 437-438).
Mempersiapkan diri untuk berada dalam naungan-Nya melalui
enam tingkatan. Enam diantaranya yaitu:
1) Penetapan syarat. Akal adalah pedagang di jalan akhirat dan sekutunya
adalah hati, karena dengan bantuannya ia bisa mencapai tujuan. Akal
menugaskan pekerjaan tersebut kepadanya (hati) dan menetapkan syarat
kepadanya serta membimbingnya ke jalan keberuntungan dan
menetapkan pikiran itu atasnya.
2) Pengawasan. Apabila hati tersebut seperti sekutu yang berkhianat, maka
tidak ada jalan untuk mengabaikannya sesaat supaya ia tidak berkhianat
sehingga merusak modal di samping keuntungan. Jika begitu harus
selalu diawasi diamnya, gerakan-gerakannya, dan saat-saatnya.
Allah SWT berfirman:
- Artinya:” Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasimu.” (Q.
S. An Nisa‟: 1). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Al Murta‟syi berkata:
“Pengawasan itu maksudnya memperhatikan rahasia dengan
memperhatikan yang ghaib bersama setiap waktu dan kata.”
3) Pemeriksaan diri setelah beramal. Manusia hendaknya memeriksa diri
sendiri (introspeksi) dalam setiap amaliahnya. Sebagaimana firman
Allah SWT:
- Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah
SWT. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(Q. S. Al Hasyr: 18). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
4) Penghukuman. Menghukum setiap anggota badan bila membangkang
atau melakukan hal yang diluar norma sebagai peringatan dengan
mengekang syahwatnya. Agar berada dalam jalan yang lurus.
5) Mujahadah (Bersungguh-sungguh dalam Berjuang Melawan Nafsu).
6) Menegur Diri. Sesuai dengan firman Allah SWT:
- Artinya:”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang Mukmin.”(Q. S. Adz
Dzariat: 55). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Konsep pengawasan yang diberikan Islam mencakup semua sisi
kemanusiaan, baik pada aspek lebar (mencakup semua orang Mukmin),
panjang (dari sejak ia baligh sampai matinya), dan dalam (dari perkataan,
perbuatan sampai pada kata hatinya). Oleh karena itu, Islam sangat
membenci sesuatu yang buruk, bahkan jangankan yang buruk, yang tidak
bermanfaat sekalipun hendaknya dihindari. Pelanggaran-pelanggaran yang
besar selalu dimulai oleh kesalahan-kesalahan kecil dan seseorang hanya
akan menjadi besar jika ia terbiasa mendisiplinkan dirinya untuk tidak
memberikan toleransi kesalahan-kesalahan kecil. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Anas RA yaitu:
“Sesungguhnya kalian terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang
kalian anggap halus bagaikan sehelai rambut, padahal kami di masa Nabi
SAW menganggap perbuatan-perbuatan itu sebagai dosa besar yang
membinasakan (Al Muhlikat).” (H. R. Bukhari, 11/283; Ahmad, 157).
(Nabiel F. Almusawa, 2008: 86-87).
Dengan demikian, muraqabah merupakan termasuk salah satu
maqam (tingkatan sufi) dalam ajaran tasawuf. Maqam atau maqamat
(tingkatan sufi) muraqabah terletak pada tingkatan ketiga dari empat
tingkatan dalam derajat maqamat yaitu al Haqiqah. (Dahlan Tamrin, 2010:
31-34).
Seseorang akan dapat merasakan kenikmatan berdekatan dengan-
Nya jika ia telah bermuraqabah dan diikuti juga dengan muhasabah.
Muhasabah adalah bahasa Arab. Arti muhasabah adalah introspeksi,
mawas, atau meneliti diri. Yakni menghitung-hitung perbuatan pada setiap
tahun, setiap bulan, setiap hari, bahkan setiap saat. Oleh karena itu,
muhasabah tidak harus dilakukan pada akhir tahun atau akhir bulan.
Namun, perlu juga dilakukan setiap hari. (Amin Syukur, 2006: 83-84).
Muhasabah diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
-
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah
Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(Q. S. Al Hasyr:18).
(Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Muhasabah dapat dilakukan secara umum maupun khusus.
Muhasabah secara umum yaitu dapat tentang umur, harta, kesempatan dan
waktu. Secara khusus dapat dilakukan hal apa saja berkaitan dengan-Nya.
Dalam buku Tasawuf Irfani, maqamat terdiri dari empat maqam
yaitu:
1. Maqam al Syari‟ah terdiri dari al Taubah, al Taqwa, dan al istiqamah.
2. Maqam al Tariqah terdiri dari al Ikhlas, al Shidqu dan al Tuma‟ninah.
3. Maqam al Haqiqah terdiri dari al Musyahadah dan al Muraqabah.
4. Maqam al Ma‟rifah terdiri dari al Ridha, al Mahabbah dan al Ittihad.
Muraqabah terdapat pada maqamat ketiga dari empat maqamat
yang ada. Yaitu maqam al Haqiqah. Allah SWT memberikan hamba-Nya
dua penglihatan, yaitu penglihatan melalui mata kepala (al Bashar) dan
penglihatan melalui mata hati (al Bashirah). Mata kepala melihat yang
kasat mata, tampak jelas hanya berdasar pada perkiraan, berbeda dengan
mata hati yang melihat makna yang halus berdasarkan cahaya ke-Allah-an.
Muraqabah (al Muraqabah) adalah sebuah istilah tasawuf yang
mengambil isyarat dari ayat al Qur‟an surat al Ahzab ayat 52 yaitu:
- Artinya:”Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Q. S. Al Ahzab: 52).
(Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Muraqabah secara lughawy (bahasa) diartikan dengan
kelanggengan dalam memperhatikan tujuan (al Maqsud), sedangkan secara
istilahi adalah kesadaran hati seseorang bahwa dia senantiasa diawasi oleh
Allah SWT baik perbuatan lahiriah maupun kondisi batinnya.
Pandangan ini sebagaimana disebutkan dalam Kitab Mau‟idzah al
Mu‟minin oleh Muhammad Jamal al Din al Qasimy, yang menjelaskan
hakikat muraqabah, bahwa muraqabah ialah kesadaran pengawasan oleh
Dzat yang menjaga dirinya, selalu menaruh perhatian kepada-Nya. Kondisi
ini telah menjadi kondisi batin seseorang akibat buah dari ma‟rifat kepada-
Nya serta menghasilkan berbagai amalan lahiriah dan kondisi batiniah
dalam beramal.
Dari hakikat muraqabah di atas ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1) Pengawasan oleh Allah SWT. Seorang hamba menyadari bahwa Allah
SWT selalu mengawasi dirinya. Pengawasan tidak hanya dari hal-hal
yang bersifat lahiriah saja melainkan dari segi batiniah bahkan sampai
yang terlintas di dalam hati juga diketahui. Allah SWT berfirman:
- Artinya:”Kecuali jika Allah Menghendaki. Sungguh, Dia Mengetahui
yang terang dan yang tersembunyi.”(Q. S. Al A‟la: 7). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
2) Selalu menaruh perhatian kepada Allah SWT. Karena selalu diawasi
oleh Allah SWT, maka dia berusaha (mujahadah) terus menerus untuk
menaruh perhatian kepada Allah SWT.
3) Kondisi batin. Setelah menaruh perhatian kepada pengawasan al Haqq
maka dia selalu menjaga kondisi batinnya agar tetap stabil walaupun
dihadapkan dengan ujian dan tantangan.
4) Buah ma‟rifah (kenal) kepada al Haqq. Kesadaran bahwa dirinya
senantiasa merasa diawasi oleh-Nya sebagai buah dari ma‟rifah (kenal)
nya dengan al Haqq. Seorang yang kenal al Haqq melalui dua jalan,
pertama yaitu dengan jalan bi al Burhan (melalui keterangan) yang
diberikan oleh Allah SWT melalui kitab suci-Nya atau dengan
memikirkan alam semesta. Kedua dengan jalan bi al „Iyan (melalui
lubuk hati yang paling dalam).
5) Membuahkan amaliah lahiriah dan kondisi batiniah dalam beramal
yang baik dan bahkan memilih yang lebih baik. (Dahlan tamrin, tt: 53-
65).
Para ulama tasawuf menyimpulkan bahwa hati atau qalbu
merupakan tempat terhujamnya niat, sedangkan niat merupakan ruh al
„Amal, yakni jiwa dari berbagai amaliah atau aktivitas yang dilakukan
setiap hari. Bagi setiap orang yang beramal memperoleh nilai sesuai
dengan apa yang diniatkannya. (Asep Usman Ismail, 2011: 172).
Syari‟ah Islam tidak hanya mengatur pekerjaan lahiriah yang
berhubungan dengan gerakan fisik (al Jawarih), tetapi juga mengandung
pekerjaan hati, seperti sikap membenarkan (Tashdiq), ikhlas, mengenal
Allah SWT (Ma‟rifah), kerelaan (al Ridha), cinta (al Hubb), penyerahan
(al Tafwidh), dan merasakan pengawasan Allah SWT (al Muraqabah).
Semua perbuatan hati itu meskipun lembut dan tersembunyi tetapi
berhubungan langsung dengan Allah SWT Yang Maha Mengawasi segala
rahasia. (Asep Usman Ismail, 2011: 172).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka membuat hati
selalu mengingat-Nya dan senantiasa menghadirkan hati selalu dalam
naungan-Nya dalam setiap aktivitas sehari-hari merupakan langkah
menuju Ridha-Nya di dunia hingga akhirat. Dengan mengoptimalkan diri
sendiri, konsep ini berusaha membuat dasar keimanan seseorang yang
berakhlak mulia melalui pembiasaan yang dilakukan setiap detiknya.
Maka, diharapkan akan terwujud sebuah kehidupan yang aman, tenteram
dan damai dalam segala aktivitas, serta memiliki akhlak yang baik dan
mulia.
D. Implikasi Konsep Muraqabah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi
al Haddad dalam Kehidupan Kontemporer
Allah SWT menyatakan bahwa orang yang sepi dari petunjuk dan
cahaya itu sebagai bangkai orang mati sedangkan orang yang berhasil
dapat petunjuk dinamakan hidup. Maksud yang hakiki dengan demikian
itu tidak lain, di dalam kehidupan dunia ini manusia itu wajib mempunyai
missi mengEsakan Allah SWT, mengetahui-Nya, bertindak demi
pelayanan-Nya, ikhlas karena Allah SWT semata, merasakan kelezatan
dengan jalan mengingat-Nya perendahan diri justru karena
mengagungkan-Nya, tunduk terhadap segala perintah-Nya, kembali
kepada-Nya dan Islam karena Allah SWT. Apabila yang demikian itu
berhasil dicapai oleh seorang hamba dia berarti hidup, bahkan dia berhasil
di dunia dan akhirat. (Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam, 1990:
28).
Pribadi yang berakhlak, memiliki integritas dan berkarakter hanya
akan tumbuh dan berkembang pada diri manusia yang senantiasa
mendengar suara nurani, memiliki rasa malu dan memiliki rasa tanggung
jawab. Nabi Muhammad SAW pun diutus oleh Allah SWT dengan tujuan
utama mengembangkan dan menyempurnakan setiap manusia menjadi
pribadi yang berakhlak al Karimah (berakhlak mulia). (Asep Usman
Ismail, 2011: 181).
Seseorang yang memiliki pribadi yang mulia, tentu ia akan
mengingat Allah SWT. Dimanapun dan kapanpun ia berada tentu ia akan
mengingat-Nya. Jika seorang hamba tidak mengingat-Nya (melupakan-
Nya) maka akan dilupakan Allah SWT. Seorang hamba yang dilupakan
Allah SWT maka akan mengalami dehumanisasi (tercabut dari akar-akar
kemanusiaannya). Hamba yang melupakan Allah SWT adalah hamba yang
berani berani hidup tanpa kedalaman iman, ketajaman berpikir, kepekaan
intuisi, kekokohan keyakinan, keluasan wawasan dan keteguhan sikap.
(Asep Usman Ismail, 2011: 63).
Perbuatan seseorang yang melupakan Allah SWT merupakan
kemungkaran kepada-Nya. Kemungkaran dan kemaksiatan yang dilakukan
oleh kebanyakan orang dewasa ini baik yang tersembunyi maupun yang
dilakukan secara terbuka dengan terang-terangan sudah dijadikan sebagai
suatu trend dan kebanggaan, sehingga hampir tiap hari kita disajikan
informasi oleh berbagai media baik surat kabar maupun media televisi
sebagai menu konsumsi kita sehari-hari masyarakat tentang banyaknya
orang-orang yang berurusan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan karena
terlibat masalah hukum baik karena kasus korupsi, suap,pembunuhan,
pemerkosaan, pelecehan seksual, pencurian, perampokan, pelanggaran
HAM, perselingkuhan, perbuatan asusila kasus narkoba serta beragam
kasus lainnya. Semua hal tersebut menggambarkan tindakan yang tidak
bermoral. Tindakan yang menunjukkan gambaran perbuatan maksiat dan
kemungkaran yang dimurkai. Perbuatan tersebut termasuk dzalim terhadap
orang lain maupun dzalim terhadap diri sendiri.
Apa-apa yang dikemukakan diatas adalah berkaitan dengan
kemaksiatan dan kemungkaran dalam hubungan sosial antar manusia yang
dalam Islam dikenal dengan sebutan muamalah, yaitu hubungan yang
berkaitan dengan hak antar sesama manusia yang juga populer dengan
istilah Hablum min al Naas (Hubungan antar sesama manusia). Namun
sebenarnya kemaksiatan dan kemungkaran yang dilakukan oleh
kebanyakan manusia juga terkait dengan hubungan manusia dengan Allah
SWT sebagai Sang Khaliq.
Dimana manusia banyak yang telah mengingkari ketaatan mereka
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, karena mereka enggan melaksanakan
perintah-perintah seperti enggan dan malas sholat fardu apalagi shalat
sunah, mereka juga rajin dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran
larangan seperti meminum minuman keras (khamr). Memakan makanan
yang haram dan lain-lain sebagainya. Na‟udzu billahi min dzalik.
Beragam pelanggaran perintah dan larangan yang disyari‟atkan
yang dilakukan oleh kebanyakan manusia tiada lain adalah sebagai akibat
dari menurutkan hawa nafsu yang tidak terkendali karena ajakan dan
godaan syaitan yang memanupalasi neraka itu sebagai hal yang indah dan
manis sedangkan surga digambarkannya sebagai hal yang pahit dan tidak
menarik.
Sesungguhnya pelanggaran yang dilakukan kebanyakan orang-
orang itu dengan berbagai perbuatan kemaksiatan dan kemungkaran dapat
disamakan dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang suka
melakukan pelanggaran aturan lalu lintas di jalan raya. Apabila di
persimpangan empat terdapat polisi lalu lintas yang bertugas mengatur dan
mengawasi kelancaran lalu lintas, maka orang-orang akan takut melakukan
pelanggaran dan mereka berbuat tertib. Tetapi bila tidak ditemui adanya
petugas polusi lalu lintas, maka orang-orang menjadi tidak tertib dan
banyak terjadi pelanggaran, disebabkan adanya anggapan mereka bahwa
tidak sedang dalam pengawasan pihak polisi lalu lintas, sehingga boleh
saja mereka berbuat semaunya sendiri melanggar ketentuan berlalu lintas.
”Peduli amat dengan aturan-aturan lali lintas.” Begitu kemungkinan yang
terbersit dalam hati. Hal tersebut sangat perlu dijaga karena amal yang
besar berasal dari hal yang sedikit. Jadi sangat perlu bersikap hati-hati dan
mawas diri tentunya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh manusia atas ketentuan yang
disyari‟atkan oleh agama seperti yang diatur dalam al Qur‟an dan al
Sunnah tiada lain disebabkan kebanyakan manusia itu tidak sadar dan lupa
bahwa sebenarnya mereka berada dalam suatu pengawasan yang dilakukan
oleh zat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat serta Maha
Mendengar. Sehingga seharusnya setiap individu wajib mempunyai
pengetahuan tentang pengawasan langsung terus menerus yang dilakukan
terhadap dirinya agar timbul rasa takut dalam dirinya untuk melanggar
ketentuan syari‟at. Dan sebagai seorang hamba seharusnya memiliki
keyakinan bahwa Allah Yang Maha Mengetahui selalu mengawasi dirinya.
(http://musnijaprie-alpasery.blogspot.com/2012/01/jadilah-orang-yang-
selalu-muraqabah.html. Diakses: 30 September 2014).
Allah SWT hadir, dekat, selalu mengawasi dan terlibat sepenuhnya
dalam kehidupan manusia sebagaimana disebutkan dalam al Qur‟an yaitu:
-
Artinya:”Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus
menerus Mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (Q.
S. Al Baqarah: 255). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Wajib bagi seorang hamba untuk selalu bermuraqabah kepada
Allah SWT dalam segala gerak dan diam, pada setiap kedipan mata dan
pada setiap kehendak, gurisan hati, dalam segala keadaan dan kesadaran
akan kedekatan-Nya dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia selalu
melihat diri seorang hamba dan mengetahui segala ihwal dan tidak ada
yang tersembunyi bagi-Nya segala sesuatu yang ada pada diri seorang
hamba meskipun hanya sebesar zarrah (biji sawi) baik itu di bumi maupun
di langit. Dan jikalaupun seorang hamba tersebut mengeraskan suara
ataupun melembutkannya maka sesungguhnya Dia Maha mengetahui
segala sesuatu yang sangat samar dan tersembunyi. Dan Dia selalu
bersama hamba-Nya di mana saja dia berada dengan ilmu-Nya dan
peliputan-Nya Jika hamba tersebut termasuk orang yang bagus, maka
malulah kepada Tuhan-Nya dengan sebenar-benarnya malu dan
bersungguh-sungguhlah agar Ia tidak melihat seorang hamba tersebut pada
tempat yang sekiranya Dia melarang, Dan berusahalah selalu Ia mendapati
seorang hamba ketika Ia memerintahkan sesuatu. Dan sembahlah Ia
seakan-akan engkau melihat-Nya dan manakala engkau jumpai dirimu
merasa malas mengerjakan ketaatan kepada-Nya atau condong kepada
bermaksiat kepada-Nya maka ingatlah bahwa sesungguhnya Allah SWT
mendengarmu dan melihatmu dan mengetahui rahasiamu dan
ketersembunyianmu.
http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobah-
kepada.html. 13 Agustus 2014.
Urgensi lainnya dari sifat muraqabah ini adalah rasa kedekatan
kepada Allah SWT. Dalam al Qur‟an pun Allah pernah mengatakan
bahwa:“Dan Kami lebih dekat padanya dari pada urat lehernya sendiri.”
Sehingga dari sini pula akan timbul kecintaan yang membara untuk
bertemu dengan-Nya. Ia pun akan memandang dunia hanya sebagai ladang
untuk memetik hasilnya di akhirat, untuk bertemu dengan Sang Kekasih,
yaitu Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
Artinya:“Barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah SWT,
maka Allah SWT pun akan merindukan pertemuannya dengan diri-Nya.
Dan barang siapa yang tidak menyukai pertemuan dengan Allah SWT,
maka Allah SWT pun tidak menyukai pertemuan dengannya” (HR.
Bukhari).
Seseorang yang telah memiliki jiwa mawas diri, tentu ia telah
memiliki rasa malu yang mendalam. Menurut penuturan Imam Ibnul
Qoyyim rahimahullah, al Haya‟ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat
(kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan
sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan
pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu
hati maka akan makin sempurna rasa malunya.
Seseorang yang telah memiliki jiwa merasa malu kepada Allah
SWT, tentu ia telah taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Hal tersebut dapat disebut sebagai takwa. Ia telah
melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda mengingatkan agar
tidak berbuat sesuka hatinya. Yaitu dalam Sunan Abu Daud 4164:
:
Artinya: Dari Abu Mas'ud ia berkata:”Rasulullah SAW
bersabda:”Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari
perkataan kenabian adalah Jika kamu tidak malu maka berbuatlah
sesukamu.”(H. R. Abu Daud).
Rasa malu sangat wajib dimiliki oleh setiap manusia, agar setiap
manusia tidak melakukan perbuatan diluar norma atau aturan. Baik negara
maupun agama.
Dalam sebuah buku berjudul Merambah Jalan Shufi Menuju Surga
Ilahi halaman 6, al Sayyid Bakri al Makki mengatakan bahwa takwa itu
hakikatnya menggapai kebahagiaan, sedangkan melangkah bersama nafsu
angkara murka adalah biang malapetaka yang dalam. Maksud kalimat
tersebut yaitu pada hakikatnya takwa itu merupakan sarana menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Banyak sekali definisi takwa yang
dikemukakan para ahli, antara lain:
1) Takwa ialah melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi
segala yang dilarang-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah dengan
cara mensyiarkan agama Allah SWT dan mencintai-Nya dengan penuh
keikhlasan.
2) Takwa adalah ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT semata.
3) Barang siapa yang ingin takwanya diterima, tinggalkanlah maksiat dan
perbuatan dosa.
Syeikh Nashrinadzi berkata:”Barang siapa yang bertakwa dengan
sesungguhnya, maka ia akan senantiasa merindukan akhirat.” Karena
Allah SWT berfirman dalam al Qur‟an, yaitu:
-
Artinya:”Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (Q. S. Al A‟la: 17). (Terjemah al
Qur‟an al Kalam digital).
Allah SWT menyampaikan kepada manusia sekaligus bertanya
tentang kehidupan yang hakiki (sebenarnya). Tiadalah kehidupan dunia ini
adalah kesibukannya, melainkan main-main dan senda gurau. Mengenai
amal taat dan hal-hal yang menjadi sarananya, maka hal itu termasuk
perkara akhirat. Kampung akhirat (negeri akhirat), di dalam suatu qiraat
(bacaan) adalah surga. Hal tersebut lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Yaitu orang-orang yang takut berbuat kemusyrikan
(menyekutukan Allah SWT). Lalu Allah SWT bertanya kepada hamba-
Nya dengan lafadz “ ”, maksudnya yaitu maka tidakkah kamu
memahaminya? Dengan memakai ya‟ dan ta‟, hal itu kemudian
mendorong hamba-Nya untuk beriman. Dalam hal ialah beriman dalam
memahami kehidupan yang hakiki. Yaitu kehidupan akhirat. Surga
ataukah neraka yang didapatkan oleh seorang hamba. Tergantung amal dan
perbuatannya masing-masing. (Tafsir Jalalain surat al An‟am ayat 32,
2005: 519).
Sebagai contoh pelaksanaan memiliki rasa malu sebagai wujud
ketaatan menuju pada muraqabah, yaitu berpakaian yang rapi dan sopan,
memiliki jiwa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, meskipun di
ruangan yang sepi, tidak ada orang selain dirinya, maka ia akan tetap
menjaga diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. Itulah sebagian wujud
seseorang yang memiliki rasa malu pada Allah SWT.
Allah SWT dapat mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini,
baik yang nyata, maupun yang tidak nyata. Allah SWT mengetahui setiap
perbuatan manusia. Allah SWT mengetahui jumlah manusia. Allah SWT
mengetahui jumlah seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini. Allah
SWT mengetahui segala sesuatu. Sesuai dengan firman-Nya:
-
Artinya:”Ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.
S. Al Baqarah: 231). (Terjemah al Qur‟an al Kalam digital).
Jadi, seorang hamba tidak akan bisa menutupi segala amal
perbuatannya dari yang Maha Mengetahui. (M. Sumitro, 2011 :52).
Sungguh mengherankan orang-orang yang menggunakan akal dan
pikiran mereka untuk lari dan melepaskan diri dari Allah SWT yang selalu
ada bersama mereka. Allah SWT mengetahui semua yang mereka
kerjakan. Tidak ada satu rahasia pun yang tersembunyi dari-Nya. Allah
SWT mengetahui sesuatu yang jatuh di kegelapan malam dan sesuatu yang
ada di kedalaman laut. Allah SWT adalah Dzat yang Maha Dekat dengan
hamba-Nya, bahkan lebih dekat dari urat leher.
Bagaimana pun usaha seorang hamba untuk menjauh dari-Nya agar
bisa bebas bertindak sesuatu sesuka hati, maka tidak akan bisa untuk
melakukannya. Walaupun pergi ke luar angkasa yang tidak pernah
ditempuh manusia, namun disana tetap berada di bawah kekuasaan-Nya.
Selama sesuatu itu adalah makhluk, maka hal tersebut masih berada di
bawah kendali-Nya. (Pakih Sati, 2011: 43).
Apabila hal tersebut (nasihat) belum berhasil membangkitkan
semangat untuk taat kepada-Nya disebabkan karena sedikitnya makrifat
kepada-Nya akan kebesaran Allah SWT, maka ingatlah akan adanya dua
malaikat yang sangat mulia yang keduanya mencatat kebaikan dan
keburukan amal. Malaikat tersebut ialah malaikat Raqib dan malaikat
„Atid. Apabila yang demikian itu masih belum memberikan efek, maka
langkah selanjutnya adalah ingatlah akan dekatnya maut atau kematian
dimana maut adalah sesuatu yang paling dekat diantara yang terdekat yang
selalu menanti diri dan takutlah akan hal yang demikian. Apabila
ketakutan yang demikian ini belum juga berhasil menggerakkan diri
seseorang tersebut untuk taat kepada Allah SWT maka peringatkanlah
dirinya dengan janji-janji Allah SWT yang akan diberikan kepada orang
yang taat kepada-Nya dari beberapa pahala yang sangat besar dan ingatlah
juga akan janji-Nya yang disediakan bagi orang-orang yang durhaka
kepada-Nya dari beberapa adzab yang sangat menyakitkan dan katakanlah
kepada dia (nafsu):
“Wahai nafsu, tidak ada sesuatu setelah kehidupan dunia kecuali surga
atau neraka., maka pilihlah untuk diri sendiri jika taat maka akibatnya
adalah keselamatan dan keridhaan dari Allah SWT dan abadi dalam
kenikmatan surga dan memandang kepada wajah Tuhan yang Maha
Mulia. Dan jika tidak taat maka bermaksiatlah kepada Allah SWT maka
akhir yang akan ia dapatkan adalah kehinaan dan kemarahan dari Allah
SWT dan tinggal abadi di dalam neraka.”
Jika yang demikian ini telah dilakukan maka akan hilanglah
keinginan nafsu untuk berdiam diri tidak melakukan taat kepada
Tuhannya. Maka sesungguhnya yang demikian ini merupakan obat yang
sangat bermanfaat bagi hati yang mengalami sakit . Selanjutnya jika hati
telah sadar bahwa Allah SWT selalu melihat maka hati akan merasa malu
untuk berlawanan dengan kehendak-Nya dan hati akan membimbing untuk
taat kepada-Nya dan yang demikian ini hati telah mulai bermuraqabah
kepada-Nya. Dan ketahuilah sesungguhnya muraqabah adalah termasuk
maqamat atau kedudukan yang sangat mulia dan termasuk kedudukan
yang tinggi dan setinggi-tingginya derajat dan muraqabah adalah maqam
ihsan dimana Rasulullah SAW telah memberi isyarat dalam sabdanya
bahwa:
Artinya:“Al Ihsan adalah apabila engkau menyembah-Nya seakan-akan
engkau melihat-Nya. Dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Ia melihatmu.” (H. R. Muslim). (Kitab al
Arba‟in al Nawawi, 676 H: 8).
Dunia peribadatan sangat erat kaitan hubungannya dengan perihal
hati. Keimanan seseorang akan semakin bertambah apabila orang tersebut
juga menghitung-hitung atau mengingat-ingat apa yang telah diperbuatnya
pada masa lalu. Sudahkah lebih banyak mengenai kebaikan amalnya atau
justru sebaliknya. Hal ini yang disebut sebagai muhasabah yang
merupakan bagian dari amal perbuatan mulia berkaitan dengan
muraqabah.
Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah a
Husaini al Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma‟ani:” Setiap perbuatan manusia
yang telah dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk
persiapan diakhirat kelak. Karena hidup didunia bagaikan satu hari dan
keesokan harinya merupakan hari akhirat, merugilah manusia yang tidak
mengetahui tujuan utamanya.” Hal tersebut merupakan bagian dari sikap
muhasabah.
Jika kita berfikir tujuan utama manusia hidup didunia ialah
mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu akhirat, lalu
sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan manifestasi
kecintaan kita kepada Allah Swt?. Cermin yang paling baik adalah masa
lalu, setiap individu memiliki masa lalu yang baik atau pun buruk, dan
sebaik-baik manusia adalah selalu mengevaluasi dengan bermuhasabah
diri dalam setiap perbuatan yang telah ia lakukan. Sebagaimana pesan
Sahabat Nabi Amirul Mukminin Umar bin Khattab:
Artinya:” Evaluasilah (Hisablah) dirimu sebelum kalian dihisab
dihadapan Allah kelak.”
Pentingnya setiap individu menghisab dirinya sendiri untuk selalu
mengintrospeksi tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang hamba
Allah Swt. yang segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawabannya
diakherat kelak. Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil
hikmah dari apa yang telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih
baik. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang hari ini, tahun
ini lebih baik dari hari dan tahun yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi
siapa yang hari dan tahun ini sama hari dan tahun kemarin maka dia orang
yang tertipu, dan siapa yang hari dan tahun ini lebih buruk dairpada hari
dan tahun kemarin maka dialah orang yang terlaknat.” Untuk itu, takwa
harus senantiasa menjadi bekal dan perhiasan kita setiap tahun, ada
baiknya kita melihat kembali jalan untuk menuju takwa. Para ulama
menyatakan setidaknya ada lima jalan yang patut kita renungkan
mengawali tahun ini dalam menggapai ketakwaan.
(http://pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article
&id=1247:muhasabah-diri-menggapai-masa
depan&catid=4:hikmah&Itemid=59.
Muhasabah merupakan menganalisis terus-menerus atas hati
berikut keadaannya yang selalu berubah. Selama muhasabah, orang yang
merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan
paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu
hingga Hari Kebangkitan (Yaumul Ba‟as). (Amatullah Armstrong, 1996:
188).
Selain hal tersebut, muhasabah dapat juga dilakukan untuk
memikirkan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada
seluruh makhluk-Nya, termasuk diri pribadi masing-masing. Nikmat yang
Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya tidak terhitung jumlahnya.
Bahkan dunia daan seisinya pun tidak mampu menandingi karunia-Nya.
Dalam hati setiap manusia yang memiliki jiwa tersebut tentunya telah
mengingat Allah SWT sepanjang waktu dan keimanannya pun telah
bertambah. (Syeikh al Imam Abdullah ba Alawi al Haddad, 1999: 71).
Seorang hamba jika memiliki jiwa dan sikap muhasabah, maka ia
akan senantiasa terjaga sikap dan perilkunya dalam kehidupan sehari-hari.
Segala amal perbuatannya selalu ia sandarkan dengan amal yang telah lalu.
Akankah lebih baik atau sebaliknya. Setiap hamba yang beriman akan
yakin dan percaya bahwa bagi Allah SWT tidak ada sesuatupun yang
tersembunyi baik di langit maupun yang di bumi dan mereka mengetahui
bahwa Allah SWT selalu menyertainya di mana saja, dan tidak ada yang
tersembunyi bagi Allah SWT dari segala gerak dan diamnya seorang
hamba. Akan tetapi buah yang sedemikian ini akan dapat diperoleh dengan
jalan mula-mula ia tidak melakukan amal perbuatan antara ia dengan Allah
SWT yang menyebabkan ia malu apabila amal ada orang shaleh melihat
apa yang ia lakukan tersebut. Dan yang demikian ini adalah perbuatan
yang mulia, dan dibalik semuanya adalah lebih mulia lagi, sampai seorang
hamba hingga pada akhir umurnya tenggelam ke dalam Hadratu Allah
SWT (kehadapan Allah SWT) dan dia hilang atau fana dari yang selain
Allah SWT. Dan sungguh baginya telah hilang pandangannya akan semua
makhluk dikarenakan terpananya pandangannya kepada kebesaran Allah
yang Maha Haq. Dan ia telah benar keyakinannya dihadapan Sang Raja
yang maha kuasa. Dan wajib untuknya untuk selalu memperbaiki al Din
(Agama), memperbagus batiniah agar lebih baik daripada lahiriah. Yang
demikian itu dikarenakan bahwa yang bathiniah adalah tempat Allah SWT
melihat seorang hamba sedangkan lahiriah adalah tempat yang dilihat
makhluk. Dan apa yang dijelaskan Allah SWT di dalam kitabnya yang
mulia (al Qur‟an) tentang masalah lahir dan bathin, maka Allah SWT lebih
awal menyebutkan kata bathin daripada lahir berarti bathin lebih utama
sebagaimana do‟a Rasulullah SAW:
Artinya:“Ya Allah SWT jadikanlah batiniahku lebih baik dari lahiriahku,
dan jadikanlah lahiriahku beramal shaleh.” (Kitab Risalatun al
Muawanah, hlm. 6. Baris ke 20 dari atas).
Apabila bagus batiniah, maka akan bagus juga keadaan lahiriah,
tidak boleh tidak. Karena sesungguhnya yang lahir selamanya mengikuti
yang bathin dalam hal baik dan buruknya. Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya:“Sesungguhnya di dalam jasad (tubuh) ada segumpal darah
(daging), apabila ia baik maka baiklah seluruh jasad tersebut, dan apabila
ia buruk maka akan buruklah seluruh jasad. Ketahuilah sesungguhnya dia
adalah hati.” (H. R. Bukhari dan Muslim). (Kitab al Arba‟in al Nawawi,
676 H: 10).
Ketahuilah apabila ada seseorang yang mengaku atau
mendakwakan bahwa kondisi batinnya telah bagus akan tetapi lahiriahnya
rusak dengan meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT, maka apa yang
ia dakwakan tersebut adalah bohong belaka. Dan barang siapa yang
bersungguh-sungguh memperbaiki atau membaguskan lahiriahnya dengan
mempercantik penampilannya, pembicaraannya, demikian juga
mempercantik gerak geriknya, dan cara duduknya, dan cara berdirinya,
dan cara ia berjalan, akan tetapi ia membiarkan bathiniahnya dalam
keadaan yang buruk dengan akhlak yang buruk pula serta dengan tabiat
yang kotor, maka ketahuilah bahwa ia termasuk min ahli al Tashannu‟
(orang yang suka di buat-buat dalam hal tingkah lakunya) dan termasuk
orang yang riya‟ dan orang yang termasuk berpaling dari Tuhannya.
Terdapat pesan tentang muraqabah bagi seluruh umat manusia terutama
umat muslim yaitu:
“Maka takutlah wahai saudaraku jika engkau menutupi atau
menyembunyikan sesuatu apabila orang banyak mengetahuinya niscaya
engkau akan malu. Sebagian orang arifiin berkata Seorang Sufi belum
termasuk golongan para Sufi hingga seandainya seluruh isi hatinya
ditaruh dalam sebuah nampan dan di perlihatkan di tengah pasar maka ia
tidaklah malu jika semua orang melihat isinya. Jika engkau tidak mampu
membuat bathinmu lebih baik daripada lahiriahmu, maka usahakan agar
keduanya sama antara lahir dan bathinnya, maka apa yang engkau
lakukan adalah hal melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya dan dalam mengagungkan-Nya, dan usahamu mencari keridhaan-
Nya, semua itu dalam keadaan sama (antara lahir dan batinnya).
Apa yang disampaikan ini adalah langkah awal bagi orang yang
melangkah jalan ma‟rifat yang al Khas (khusus), maka ketahuilah yang
demikian itu semoga Allah selalu memberi taufiq (pertolongan) kepada
hamba-Nya yang memiliki keinginan bermujahadah (sungguh-sungguh)
dalam menggapai Ridha-Nya.
http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobah-
kepada.html. Diakses: 13 Agustus 2014.
Dalam buku Menembus Tirai Kesendirian-Nya halaman 83, Media
Zainul Bahri mengatakan bahwa seorang hamba hanya akan sampai pada
muraqabah ini dengan cara setelah sepenuhnya melakukan perhitungan
dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau,
memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di jalan benar,
memperbaiki hubungannya dengan Allah SWT sepenuh hati, menjaga diri
agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah SWT, taat kepada-Nya
dalam segala kondisi. Baru, setelah ini semua dilakukan, Allah SWT akan
melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya. (Media Zainul Bahri,
2005: 83).
Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat di ambil pemahaman
bahwa muraqabah adalah kegiatan pengawasan terhadap diri sendiri yang
sedang berjalan atau sedang dilakukan dan amal tersebut (muhasabah)
akan berlanjut hingga waktu yang akan datang (besok). Muraqabah ini
berkaitan dengan hal yang berasal dari diri kita tetapi sifatnya masih belum
kita lakukan (Eksternal). Sedangkan muhasabah adalah hal atau kegiatan
yang dilakukan untuk introspeksi diri mengenai amal perbuatan yang telah
dilakukan pada masa atau waktu yang telah lalu. Yaitu berkaitan dengan
hal yang telah kita perbuat dari diri kita (Internal).
Demikian beberapa implikasi mengenai muraqabah. Semoga
seluruh umat di bumi ini dapat mengamalkannya dengan baik. Meskipun
belum maksimal dan sempurna, setidaknya sebagai seorang hamba telah
membuktikan usahanya kepada Sang Khaliq dalam meraih ridha-Nya.
Amin.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan penelitian penulis, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bagaimana sistematika penulisan dalam kitab Risalatun al Muawanah.
Kitab Risalatun al Muawanah karya al sayyid Abdullah bin Alwi al
Haddad adalah salah satu kitab Tauhid yang dikarang oleh para „ulama.
Sistematika penyusunannya hampir sama dengan kitab yang lain. Yaitu
dengan sistem tematik, yang sistem penulisannya dari satu bab ke bab
yang lain. Penyusunannya dimulai dengan:
1) Muqadimah berupa pengenalan yaitu berisi tentang pengenalan
dengan pengarang.
2) Khutbah atau penyampaian kitab.
3) Bab selanjutnya pembahasan isi kitab Risalatun al Muawanah yang
terdiri dari 32 bab. Dan diakhiri dengan do‟a.
2. Bagaimana pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi bin al Haddad
tentang konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al Muawanah.
Pemikiran al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam kitab
Risalatun al Muawanah beliau menyampaikan bahwa bersikap mawas
diri (Muraqabah) hendaklah dilakukan dalam setiap aktivitas. Allah
SWT selalu mengawasi dan selalu berada dekat dengan hamba-Nya.
Allah SWT mengetahui segala gerak-gerik dan perilaku hamba-Nya.
Bagi-Nya tidak ada yang bersifat rahasia dan samar. Makhluk sekecil
apapun yang ada di bumi dan langit tidak akan pernah lepas dari
pengawasan-Nya.
Manusia baru dikatakan malu dan mawas diri kepada Allah SWT
jika apa yang disampaikan oleh Allah SWT dan para utusan-Nya dapat
mencegah hati dan nafsunya dari segala aktivitas yang tidak diridhai-
Nya dan mendorong untuk taat kepada-Nya. (Al Sayyid Abdullah bin
Alwi al Haddad, tt: 24).
Sebagai salah satu contoh nasihat yang disampaikan oleh al Sayyid
Abdullah bin Alwi al Haddad dalam bukunya yaitu:
“Hai nafsu! Tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat setelah
kematian. Dan tidak ada lagi tempat setelah dunia ini, kecuali surga
atau neraka. Pilihlah mana yang engkau sukai! Jika engkau taat
kepada Allah SWT, maka kebahagiaan, keridhaan dan kekekalan di
dalam surga yang luaslah yang engkau terima. Bahkan engkau pun
akan memperoleh nikmat terbesar yaitu melihat-Nya. Jika engkau
bermaksiat, tentu kehinaan, murka dan siksa nerakalah yang pasti
engkau terima.”
Muraqabah termasuk dalam kedudukan terpuji, pangkat yang
paling mulia dan derajat yang paling tinggi. Muraqabah termasuk pada
maqam ihsan seperti yang disabdakan Rasulullah SAW:
Artinya:”Ihsan adalah pengabdian pada Allah SWT seakan-akan
engkau melihat-Nya. Walaupun engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim). (Kitab al Arba‟in al
Nawawi, 676 H: 8).
Setiap mukmin wajib percaya bahwa tidak ada sesuatu yang
tersembunyi bagi Allah SWT, baik yang ada di langit maupun di bumi.
Dia mengetahui dan mengawasi segala aktivitas makhluk-Nya.
Kepercayaan atau ideologi tersebut akan tumbuh subur jika ia seolah-
olah berhadapan dengan Allah SWT dan berpengaruh dalam setiap
langkah kehidupannya dan ia akan malu jika tidak beribadah. (Al
Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad, tt: 25).
3. Bagaimana implikasi konsep muraqabah dalam kitab Risalatun al
Muawanah menurut al Sayyid Abdullah bin Alwi al Haddad dalam
kehidupan kontemporer.
Konsep muraqabah yang disampaikan oleh al Sayyid Abdullah bin
alwi al Haddad dalam menuju ma‟rifat dan ridha-Nya tertuju pada
keimanan seseorang. Dari diri pribadi masing-masing, bukan orang lain.
Muraqabah dapat dilakukan dengan sepenuhnya melakukan
perhitungan (muhasabah) dengan dirinya sendiri mengenai apa yang
telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini,
tetap teguh di jalan benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah
SWT sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat
kepada Allah SWT, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,
setelah ini semua dilakukan, Allah SWT akan melihat perbuatannya dan
mendengar perkataannya. (Media Zainul Bahri, 2005: 83).
Dari penjelasan beliau, implikasi muraqabah dapat diterapkan
dalam segala aktivitas kehidupan dengan cara menghadirkan Allah
SWT disetiap detak jantung pribadi masing-masing. Kapanpun dan
dimanapun seorang hamba itu berada. Sehingga, jika disuatu tempat
tanpa ada Kamera CCTV pun sudah aman.
Dalam dunia kelembagaan, baik lembaga pendidikan maupun
lembaga negara, hal ini (sikap ber-muraqabah) sangat perlu diterapkan.
Karena jika setiap manusia telah memiliki jiwa dan sikap tersebut,
maka akan dengan mudah proses kehidupan ini berlangsung. Sejatinya,
pengawasan selalu berada dalam lubuk hati nuraninya, dalam setiap
tindakannya.
Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat
menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga
mampu mengantarkannya pada derajat seorang mukmin sejati.
Demikian pula sebaliknya, tanpa adanya sikap seperti ini, akan
membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah SWT,
meskipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya sangat tinggi. Inilah
urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim.
Selain hal tersebut, mengevaluasi diri, mengingat-ingat janji diri,
punya kesungguhan diri, selalu merasa diawasi Allah dan memberikan
hukuman terhadap diri kita sendiri. Jika lima hal ini kita jadikan bekal,
insya Allah menjalani hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi
tahun kita akan selalu mendapatinya dengan indah dan selalu meningkat
kualitas diri kita, semoga menjadi insan yang mulia baik lahir maupun
batinnya, insya Allah.
B. Saran
Bersikap diri untuk selalu mawas diri yakni muraqabah (selalu
merasa diawasi oleh Allah SWT) adalah hal yang sangat penting dalam
menjalani aktivitas kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, hendaknya
setiap diri pribadi memiliki jiwa tersebut dalam segala hal. Hendaknya
bersungguh-sungguh dalam bersikap mawas diri (muraqabah) dimanapun
dan kapanpun berada, berusaha demi meraih ridha-Nya. Agar tergolong
menjadi umat yang memiliki kesempurnaan iman dan mendapatkan
kemenangan yang hakiki.
C. Kata Penutup
Subhanallah, wa al Hamdulillah, segala puji dan ucapan syukur
hanya untuk Engkau ya Ilahi Rabbi, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia kepada seluruh makhluk di dunia ini, khususnya kepada penulis
dalam menyusun skripsi ini yang sangat sederhana dengan segala
keterbatasannya. Akhirnya, berkah taufiq dan hidayah-Mu, skripsi ini
hadir dihadapan para pembaca yang Engkau rahmati. Walaupun dengan
segala kekurangan yang ada, semoga tetap dapat memberikan kontribusi
dan kemanfaatan serta keberkahan bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Imam. 2007. Ringkasan IHYA‟ ULUMUDDIN. Jakarta: Pustaka
Amani.
Al Kaaf, Abdullah Zakiy. 1999. Memperkokoh Akidah Islamiyah (Dalam
Perspektif Ahlussunah Waljamaah). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Al Makki, As Sayyid Bakri. 1995. Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi.
Bandung: Sinar Baru Al Gesindo.
Al Mutaqi, Muhammad Ilzam Syah. 2013. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut
Hasyim Asy‟ari dalam Kitab Adab al Ta‟lim wa al Muta‟allim. Skripsi
tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
Al Qarni, „Aidh. 2008. Tafsir Muyassar. Jakarta Timur: Qisthi Press.
...................................................Al Qur‟an al Kalam digital. Penerbit: Diponegoro.
Ali, Atabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998. Kamus Kontemporer Arab
Indonesia. Jogjakarta: Multi Karya Grafika.
Al Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin al Suyuti. 2005. Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul Ayat Juz 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Al Munzdiry, Hafizh. 1992. Terjemahan Sunan Abu Daud. Semarang: CV Asy
Syifa.
Almusawa, Nabiel F. 2008. The Islam Way: 25 Solusi Islam untuk Permasalahan
Masyarakat Modern. Bandung: Arkhan Publishing.
An Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi. 1998. Risalah
Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pustaka Amani.
Al Nawawi. 676 H. Kitab al Arbai‟n al Nawawi. Penerbit: Toko Kitab Salsayla.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Armstrong, Amatullah. 1996. KUNCI MEMASUKI DUNIA TASAWUF. Bandung:
MIZAN.
Ash-Shieddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. 2000. Tafsir al-Qur‟anul Majid
an-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Az-Zahidiy, Moch. Munawwir. 2007. Terjemahan Risalatul Muawanah.
Surabaya: Mutiara.
Bahri, Media Zainul. 2005. Menembus Tirai kesendirian-Nya. Jakarta: Prenada
Media.
Bakker Anton, Achmad Charis Zubair. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Birri, Maftuh Basthul. 2009. MANAQIB 50 WALI AGUNG. Lirboyo.
Hikmat, Mahi. M. 2011. Metode Penelitian: Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi
dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ismail, Asep Usman. 2011. Pengembangan Diri Menjadi Pribadi Mulia. Jakarta:
PT Alex Media Komputindo.
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa.
Yogyakarta: TrustMedia.
Mahalli, Ahmad Mudjab. 2003. Hadis-hadis Muttafaq „Alaih Bagian Ibadah.
Jakarta Timur: Prenada Media.
Penyusun, Dewan Redaksi. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Permendiknas No. 46 Tahun 2009. 2010. Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan EYD Terbaru. Yogyakarta: Pustaka Timur.
Prasetyo, Bambang & Lina Miftahul Jannah. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif.
Jakarta: Rajawali Press.
Mustofa, A dan M. Burhanudin.1999. 40 Untaian Mutiara Hadis. Bandung: CV
PUSTAKA SETIA.
Quraish Shihab, M. 1997. Tafsir al Qur‟an al Karim. Bandung: Hidayah.
Rumidi, Sukandar. 2004. METODOLOGI PENELITIAN PETUNJUK PRAKTIS
UNTUK PENELITI PEMULA. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Salatiga, STAIN. 2008. PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI DAN TUGAS AKHIR.
Salatiga: STAIN.
Sati, Pakih. 2011. SYARAH AL HIKAM Kalimat-kalimat Menakjubkan IBNU
„ATHA‟ILLAH dan Tafsir Motivasinya. Jogjakarta: Diva Press.
Sati, Pakih. 2013. Orang-Orang yang diLaknat Malaikat. Jogjakarta: Diva Press.
Soedjarwo, Dja‟far. 1990. Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam. Surabaya:
al Ikhlas.
Sultoni, Ahmad. 2007. Sang Maha-Segalanya Mencintai Sang Mahasiswa.
Salatiga: STAIN Salatiga press.
Sumitro, M dkk. 2011. Aqidah Akhlak. Jakarta: Listafariska Putra.
Syukur, Amin. 2006. Tasawuf Bagi Orang Awam. Yogyakarta: LPK-2 dan Suara
Merdeka.
Tamrin, Dahlan. 2010. Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN-
MALIKI PRESS.
Wirartha, I Made. 2006. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan
Tesis. Yogyakarta: ANDI.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung.
Zainuddin, Ahmad dan Maman Abd. Djaliel. 1999. PENYEJUK HATI PENAWAR
JIWA. Bandung: Pustaka Setia.
Zed, Mestika. 2004. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Zuhri, Muhammad. 1982. Kelengkapan Hadits Qudsi. Semarang: CV. Toha Putra.
...................................................... HADIS ARBA‟IN dan Terjemahannya. Penerbit:
Media Insani.
http://artidankeutamaandibaliksurahal-ikhlas.blogspot.com/ Diakses: 26 Maret
2014. Pukul: 11.00 WIB.
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/sayyid-abdullah-al-haddad-1044-1132-
h.html. Diakses: 26 Maret 14. Lt. 2. Pukul 12.30 WIB.
http://profildzurriahnabi.blogspot.com/2013/10/manaqib-sayyid-alawi-bin-abbas-
al-maliki.html, Diakses: 26 Maret 14. Lt 2. Pukul 12.30 WIB.
http://www.darulmurtadza.com/2011/12/riwayat-hidup-imam-abdullah-bin-alwi-
al.html. Diakses: 10 April 2014. Perpus Lt. 2. Pukul: 09.40 WIB.
http://sufiroad.blogspot.com/2013/04/risalah-al-muawanah-muroqobah-
kepada.html. (Diakses: 13 agustus 2014).
http://wasiatnasehat.blogspot.com/2009/01/habib-alwi-bin-thohir-al-haddad-
mufti.html. (Diakses: 13 Agustus 14).
http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/18/muroqobah-kepada-
allah/...(Diakses: 13 Agustus 2014).
http://darussalam-online.com/khutbah-jumat/bertakwalah-engkau-dimanapun-
engkau-berada/Diakses: 21 Agustus 2014.
http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Pa
ge&PageID=615&PageNo=1&BookID=3. Diakses: 08 September 2014.
http://pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12
47:muhasabah-diri-menggapai-masadepan&catid=4:hikmah&Itemid=59.
Diakses: 29 September 2014. Perpus. Lt.2.
DAFTAR NILAI SKK (SURAT KETERANGAN KEGIATAN)
NAMA : Puji Wastuti PROGDI : Tarbiyah PAI
NIM : 111 10 072 PA : Dra. Siti Farikhah, M. Si.
No Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan Keterangan Nilai
1. OPAK STAIN Salatiga tahun 2010
“Optimalisasi Nalar Kritis
Mahasiswa: Upaya Mengawal
Perubahan Bangsa ke Arah yang
Lebih Baik”
25-27 Agustus
2010
Peserta 3
2. User Education (Pendidikan
Pemakai)
UPT Perpustakaan STAIN Salatiga
20-25 September
2010
Peserta 3
3. Basic Training(LK1) HMI 2010
“Mewujudkan Mahasiswa Islami
yang Ideal Demi Terwujudnya Kader
yang Militan”
22-24 Oktober
2010
Peserta 3
4. PAB (Penerimaan Anggota Baru)
ITTAQO STAIN Salatiga
30 Oktober 2010 Peserta 3
5. PAB JQH dengan tema “CERDAS
DAN MULIA DENGAN AL-
QUR‟AN”
13 Nopember 2010 Peserta 3
6. Tafsir Tematik surat Al-A‟raf 96-100
dan Ar-Rum 41-42 dengan tema
“INDONESIA MENANGIS
DARAH”
29 Nopember 2010 Peserta 3
7. Dauroh Mar‟atus Sholihah (DMS) 18 Desember 2010 Peserta 3
dengan tema “Let‟s be a SMILE
moslemah”
8. NATIONAL WORKSHOP OF
ENTRPRENEURSHIP AND BASIC
COOPERATION 2010
19 Desember 2010 Peserta 6
9. PUBLIC HEARING SENAT
MAHASISWA (SEMA) dengan
tema”Optimalisasi Demokrasi
Kampus Sebagai Upaya Integrity
Oriented”
09 Maret 2011 Peserta 3
10. Communicative English Club(CEC)
dengan tema”Heal the World with
Voluntary Service”
19 Maret 2011 Peserta 3
11. Pemilihan Muslimah Teladan
Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
Darul Amal dengan tema” Muslimah
Membangun Peradaban, Why not?”
10 Mei 2011 Juara 3 3
12. Seminar Keperempuanan Senat
Mahasiswa (SEMA) dengan tema
“Menumbuhkan kembali Jiwa
Kekartinian dalam Ranah Kampus”
17 Mei 2011 Peserta 3
13. Seminar Regional Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) Darul Amal dengan
tema” Berani Kaya Berani Taqwa”
21 Mei 2011 Peserta 4
14. Seminar Nasional Pendidikan
“ Realisasi Pendidikan Karakter
Bangsa Dalam Kurikulum
Pendidikan Nasional”
20 Juni 2011 Peserta 6
15. Seminar Nasional “Pilar-Pilar
Penanggulangan Korupsi di
22 Juni 2011 Peserta 6
Indonesia Perspektif Agama, Budaya
dan Negara”
16. Praktikum Baca Tulis Al- Qur‟an
(BTA)
22 Juni 2011 Peserta 2
17. Lomba Qira‟atul Kutub Sulamun al
Munajah Pondok Pesantren Putri al
Manar
07 Juli 2011 Juara 3 3
18. Lomba Khitobah Kelas V Madin
Putri al Manar
09 Juli 2011 Juara 1 3
19. Lomba Tahfidz Surat Yaasin, al
Mulk, dan al Waqi‟ah Pondok
Pesantren Putri al Manar
10 Juli 2011 Juara 2 3
20. Lomba Cerdas Cermat (CCIA)
Pondok Pesantren Putra Putri al
Manar
14 Juli 2011 Peserta 3
21. Praktikum Kepramukaan STAIN
Salatiga
22-27 Juli 2011 Peserta 3
22. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah (PKTI)
HMJ Tarbiyah dengan tema” Karya
Tulis Ilmiah Sebagai Salah Satu
Langkah Membangun Ilmiah
Mahasiswa”
11 Oktober 2011 Peserta 3
23. Workshop Nasional 2 Hari dengan
tema” Bisa Ngomong Inggris, Kuasai
500 Kosakata, Kuasai Grammar”
oleh “English In Melody Firda Says”
11 Desember 2011 Peserta 6
24. Pelatihan Shalat Khusyu‟ Biro
Konsultasi Psikologi „TAZKIA‟
29 Januari 2012 Peserta 3
25. Seminar Nasional Entrepreneurship
2012 Kopma Fatawa dengan tema”
21 April 2012 Peserta 6
Tren Bisnis Berbasis Multimedia dan
Teknologi Informatika sebagai
Wujud Pasar Modern”
26. Milad X LDK Amal STAIN Salatiga
dalam Agenda Lomba Khitobah,
Sabtu, 12 Mei 2012
12 Mei 2012 Peserta 3
27. Bedah Buku Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dengan Judul” Sang
Maha-Segalanya Mencintai sang
Maha-siswa”
14 Mei 2012 Peserta 2
28. Bedah Buku Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) Darul Amal STAIN
Salatiga dengan Judul” Dari Minder
Jadi Super”
17 Mei 2012 Peserta 2
29. Dauroh Mar‟atus Sholihah (DMS)
LDK”Darul Amal” STAIN Salatiga
dengan tema” UNBREAKABLE
MUSLIMAH”
26 Mei 2012 Peserta 3
30. Seminar Nasional Pendidikan HMJ
Tarbiyah dengan tema “Pendidikan
Multikultural sebagai Pilar Karakter
Bangsa”
29 Mei 2012 Peserta 6
31. Lomba Cerdas Cermat (CCIA) Antar
Kamar Pondok Pesantren Putra Putri
al Manar
09 Juli 2012 Juara 2 3
32. Lomba MISS BEAUTY Pondok
Pesantren Putri al Manar
11 Juli 2012 Juara 1 3
33. Lomba Qira‟atul Kutub Fathul Qarib
Kelas V Madin Putri al Manar
17 Juli 2012 Juara 1 3
34. Panitia Pondok Pesantren Putra Putri 21 Juli 2012 Keamanan 3
al Manar Pondok
35. Praktikum Mata Kuliah Fiqh
”Perawatan Jenazah”
17 September 2012 Peserta 3
36. Seminar Nasional Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dengan
tema “Kepemimpinan dan Masa
Depan Bangsa”
23 Februari 2013 Peserta 4
37. Seminar Nasional dengan tema
”HIV/AIDS BUKAN KUTUKAN
DARI TUHAN”
13 Maret 2013 Peserta 6
38. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah (PKTI)
HMJ Tarbiyah dengan tema “ Karya
Ilmiah sebagai Wujud Pelaksanaan
Tridarma Perguruan Tinggi”
16 Maret 2013 Peserta 3
39. Public Hearing dengan
tema”Optimalisasi Kinerja Lembaga
Melalui Kritik dan Saran
Mahasiswa” oleh Senat Mahasiswa
(SEMA)
25 Maret 2013 Peserta 3
40. Seminar Pendidikan HMJ Tarbiyah
dengan tema “ Menimbang Mutu dan
Kualitas Pendidikan di Indonesia”
02 Mei 2013 Peserta 3
41. Seminar Nasional Politik oleh
SEMA dengan tema “ Peran Nyata
Mahasiswa dalam Menyikapi
Perpolitikan Indonesia”
13 Juni 2013 Peserta 6
42. Lomba Cerdas Cermat (CCIA)
Pondok Pesantren Putra Putri al
Manar
16 Juli 2013 Peserta 3
43. Panitia Pondok Pesantren Putra Putri 21 Juni 2013 Keamanan 3