j u r n a l i l m u s o s i a l & h u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan...

46
Jurnal Ilmu Sosial & Humaniora Universitas Islam Lamongan Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Upload: truongkhuong

Post on 23-Jun-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Page 2: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 1 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

EFEKTIVITAS PELATIHAN DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI TUTOR TUTORIAL TATAP

MUKA PADA UNIVERSITAS TERBUKA (KASUS: TUTOR PADA UNIVERSITAS TERBUKA

DI PROVINSI ACEH)

Malta, S.T., M.Si *)

*)

Dosen pada FMIPA Universitas Terbuka dpk. UPBJJ-UT Banda Aceh

[email protected]

ABSTRAK

Melalui pelatihan diharapkan kompetensi tutor dapat meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan sistem

pelatihan yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kompetensi tutor. Rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka pada

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor

tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh? Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember

2010 pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial tatap muka Universitas

Terbuka di provinsi Aceh tahun 2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu sebanyak 237 orang. Sampel penelitian

dipilih dari tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor, yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah

sebanyak 13 orang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif korelasional. Untuk menguji hipotesis

yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk kategori rendah; (2)

tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah; (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus diperhatikan dalam upaya

meningkatkan kompetensi tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor, strategi penyampaian oleh instruktur,

interaksi dengan peserta, dan penggunaan media.

Kata Kunci: efektivitas, pelatihan, kompetensi, dan tutor

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh

(PTTJJ) mempunyai karakteristik yang unik, yang

membedakannya dari perguruan tinggi tatap muka.

Perbedaan tersebut menyangkut berbagai aspek, satu di

antaranya adalah dalam sistem pembelajaran. Jika

perguruan tinggi tatap muka lebih menekankan

pembelajaran dalam bentuk tatap muka, maka sesuai

dengan hakikatnya, PTTJJ melakukan pembelajaran

dengan jarak jauh. Sistem pembelajaran jarak jauh

didukung oleh berbagai komponen, salah satu

diantaranya tutorial.

Tutorial merupakan salah satu komponen

penting dalam penyelenggaraan PTTJJ. Mahasiswa

yang belajar dengan sistem jarak jauh dituntut untuk

mampu mandiri dalam menyelesaikan segala masalah

belajar yang dihadapinya. Bahan-bahan tercetak berupa

modul serta surat-surat melalui media massa

merupakan teman akrab yang setia mendampingi

mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Namun, para mahasiswa ini tidak jarang menghadapi

kesepian dan kejenuhan, rasa terisolasi dan rasa

kesendirian yang kadang-kadang menurunkan

semangat belajar dan akhirnya mengarah kepada drop

out. Hasil berbagai penelitian yang berkaitan dengan

tingginya angka drop-out mengungkapkan bahwa

mahasiswa yang belajar dengan sistem jarak jauh

umumnya menghadapi dua jenis masalah, yaitu (1)

masalah yang berkaitan dengan pencapaian dan

pemerolehan kemampuan dan (2) masalah yang

berkaitan dengan motivasi belajar (Flinck & Flinck,

1990). Untuk mengatasi masalah ini PTTJJ

mengembangkan sarana komunikasi/interaksi dua arah,

yaitu antara mahasiswa dengan tutor/pengurus.

Interaksi/komunikasi tersebut pada umumnya

diwujudkan dalam bentuk tutorial.

Peran tutor sangat penting dalam pelaksanaan

tutorial. Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh

(PTTJJ) harus memiliki tenaga akademik dengan

kualifikasi dan kuantitas yang memadai untuk

mengembangkan dan mengelola program tutorial.

Kualifikasi dan kemampuan tutor perlu terus

ditingkatkan, sehingga setiap tutor mampu

menjalankan fungsinya secara optimal.

Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi

tutor adalah dengan mengadakan pelatihan bagi tutor.

Melalui pelatihan dapat ditingkatkan kompetensi dari

aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Universitas

Terbuka di Provinsi Aceh telah melaksanakan

pelatihan dengan maksud meningkatkan kompetensi

tutor dalam mengembangkan dan mengelola program

tutorial; tetapi dalam kenyataannya kompetensi tutor

masih rendah (Mariana dkk, 2009).

Oleh karena itu perlu diupayakan

pengembangan sistem pelatihan dalam upaya

meningkatkan kompetensi tutor dalam

mengembangkan dan mengelola program tutorial.

Upaya-upaya dalam mengembangkan sistem pelatihan

tutor dapat dilakukan terlebih dahulu dengan

mengetahui sejauhmana tingkat efektivitas pelatihan

tutor yang pernah dilakukan dan mengkaji apa saja

aspek-aspek pelatihan yang berhubungan dengan

tingkat kompetensi tutor.

Seberapa efektif pelatihan dalam meningkatkan

kompetensi tutor dan apa saja aspek-aspek dalam

pelatihan yang berhubungan dengan tingkat

Page 3: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 2 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

kompetensi tutor menjadi masalah menarik untuk

diteliti dan menjadi alasan penelitian ini.

Bertitik tolak dari latar belakang yang

dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah: (1) Sejaumanakah tingkat

efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka pada

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh?

(2) Sejauhmanakah tingkat kompetensi tutor tutorial

tatap muka pada Universitas Terbuka di Provinsi

Aceh? (3) Sejauhmanakah hubungan antara pelatihan

dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap muka

pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh?

Berdasarkan rumusan masalah; tujuan penelitian

adalah: (1) Mengetahui tingkat efektivitas pelatihan

tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di

Provinsi Aceh. (2) Mengetahui tingkat kompetensi

tutor tutorial tatap muka pada Universitas Terbuka di

Provinsi Aceh. (3) Mengetahui hubungan antara

pelatihan dengan tingkat kompetensi tutor tutorial tatap

muka pada Universitas Terbuka di Provinsi Aceh.

Tinjauan Pustaka

Efektivitas

Menurut Danfur (2009) efektivitas adalah suatu

ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai; semakin

besar presentase target yang dicapai, makin tinggi

efektivitasnya. Suatu program/kerja disebut efektif jika

pencapaian target output seharusnya > output realisasi,

yang diukur dengan cara membandingkan output

seharusnya dengan output realisasi.

Arifin (2009) mendefinisikan efektivitas adalah

melakukan hal yang benar pada saat yang tepat untuk

jangka waktu yang panjang. Efektivitas adalah sebagai

ukuran suksesnya organisasi, sebagai kemampuan

organisasi untuk mencapai segala keperluannya,

organisasi harus mampu menyusun dan

mengorganisasikan sumber daya untuk mencapai

tujuan.

Berdasarkan pengertian-pengertian efektivitas

tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah

suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target

(kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai,

yang dijalankan dengan prosedur yang benar dengan

mengoptimalkan sumber daya yang ada, serta target

tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu.

Pelatihan

Menurut Nitisemito (Kristina, 2009) pelatihan

adalah suatu kegiatan dari organisasi yang bermaksud

untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap,

tingkah laku, ketrampilan dan pengetahuan dari para

anggota organisasi yang sesuai dengan keinginan

organisasi yang bersangkutan. Menurut Simamora

(Kristina, 2009) pelatihan adalah proses sistematik

pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah

guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional.

Menurut Armstrong (Kristina, 2009) training is

a planned process to modify attitude, knowledge or

skill behavior through learning experience to achieve

effective peformance in an activity or of activities.

Pelatihan, dengan demikian, merupakan suatu usaha

untuk meningkatkan tanggung jawab mencapai tujuan

organisasi. Pelatihan merupakan proses keterampilan

kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena

itu dalam pelatihan seharusnya diciptakan di suatu

lingkungan dimana para karyawan dapat memperoleh

atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian,

pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan

dengan pekerjaan, sehingga dapat mendorong mereka

untuk dapat bekerja lebih baik supaya dihasilkan output

yang diharapkan.

Berdasarkan pendapat diatas mengenai tujuan

pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya

pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan

sesuai dengan kompetensinya, dapat menggunakan

keahliannya sesuai dengan perubahan teknologi,

karyawan akan lebih berorientasi pada pengembangan

organisasi, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk

pengembangan karir, sehingga adanya pelatihan

diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi

setiap karyawan.

Kompetensi

Syah (2002) menyatakan bahwa pengertian

dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan

atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai

―kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu

tugas‖ atau sebagai ―memiliki keterampilan yang

disyaratkan‖. Kata kompetensi dipilih untuk

menunjukkan tekanan pada ―kemampuan

mendemonstrasikan pengetahuan‖ (Suparno, 2001).

National Council of State Boards of Nursing

Inc., (Shellabear, 2002) menyatakan bahwa kompetensi

adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat

interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan

(psychomotor skills) yang diharapkan dalam

menjalankan suatu peran.

Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai

penerapan dari pengetahuan, kemampuan, dan

karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja

yang menonjol (Stone dan Beiber, 1997).

Menurut Spencer dan Spencer (1993),

kompetensi merupakan karakteristik mendasar

seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang

terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang

ditentukan dalam suatu pekerjaan atau suatu situasi

tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja

(hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang

beragam. Tingkat kompetensi seseorang, dengan

demikian dapat digunakan untuk memprediksi bahwa

seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya

dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan

cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir,

menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan

lama dalam jangka panjang.

Kompetensi dalam penelitian ini adalah

kemampuan tutor dalam melaksanakan kegiatan

tutorial sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Tutorial

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)

mendefinisikan tutorial sebagai: (1) pembimbingan

kelas oleh seorang pengajar (tutor) untuk seorang

mahasiswa atau sekelompok kecil mahasiswa, atau (2)

pengajaran tambahan melalui tutor. Sedangkan tutor

Page 4: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 3 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

didefinisikan sebagai (1) orang yang memberi pelajaran

kepada seseorang atau sejumlah kecil siswa ( di rumah,

bukan di sekolah), atau (2) dosen yang membimbing

sejumlah mahasiswa di pelajarannya.

Bertitik tolak dari definisi tersebut, dilihat dari

aktivitasnya, tutorial berarti mengajar orang lain atau

memberikan bantuan belajar kepada seseorang.

Bantuan belajar tersebut dapat diberikan oleh orang

yang lebih tua atau yang sebaya. Kegiatan tutorial

melibatkan orang yang mengajar/memberi bantuan

yang disebut tutor dan orang yang belajar atau yang

diberi bantuan belajar (tutee). Terdapat bahan/sumber

belajar di antara tutor dan tutee, yang merupakan

sumber ilmu yang dikaji oleh tutee bersama tutor.

Selanjutnya, di antara tutor dan tutee terjadi interaksi

atau komunikasi, dan inilah yang merupakan inti dari

tutorial.

Menurut Wardani (2000), pada Pendidikan

Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh (PTTJJ) sangat

diperlukan pengelolaan tutorial secara serius dan

berkesinambungan; diperlukan perencanaan yang

cermat dan evaluasi yang rutin untuk pengembangan

program tutorial.

Kerangka Berpikir

Penelitian ini ingin mengetahui tingkat

efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh. Efektivitas

pelatihan diduga berhubungan dengan tingkat

kompetensi tutor. Hubungan antar peubah penelitian

disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Efektivitas Pelatihan

Tutor

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan kerangka

berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis

penelitian adalah: terdapat hubungan antara efektivitas

pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap muka

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh.

METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah semua tutor tutorial

tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh tahun

2009 yang telah mendapatkan pelatihan, yaitu

sebanyak 237 orang. Sampel penelitian dipilih dari

tutor pada daerah yang paling banyak terdapat tutor,

yaitu Aceh Timur sebanyak 66 orang dan Aceh Tengah

sebanyak 13 orang.

Rancangan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak

dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif korelasional yang dilaksanakan

untuk melihat hubungan antara peubah-peubah

penelitian dan menguji hipotesis yang telah

dirumuskan sebelumnya. Penelitian terdiri dari peubah

bebas yaitu efektivitas pelatihan (X); dan peubah

terikat yaitu kompetensi tutor (Y).

Untuk mengetahui adanya hubungan dilakukan

uji statistik menggunakan korelasi Rank Spearman dan

untuk menjelaskan substansi hasil uji statistik

digunakan pendekatan kualitatif.

Definisi Operasional

Definisi operasional dalam kegiatan penelitian

ditetapkan untuk mencegah terjadinya kesalahan arah

terhadap konsep yang telah ditetapkan, dengan

demikian pengukuran terhadap peubah dapat dilakukan

secara jelas dan terukur. Definisi operasional dalam

penelitian ini adalah:

Efektivitas Pelatihan Tutor (X)

1. Materi (X1) adalah tingkat kecukupan dan

kesesuaian materi pelatihan.

2. Waktu (X2) adalah tingkat kecukupan jumlah jam

pelatihan.

3. Instruktur (X3) adalah tingkat kualitas instruktur

pelatihan.

Kompetensi Tutor (Y)

Kompetensi Tutor adalah tingkat pemahaman

dan penerapan responden terhadap konsep tutorial,

Rancangan Aktivitas Tutorial (RAT) / Satuan Aktivitas

Tutorial (SAT), dan model-model tutorial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efektivitas Pelatihan Tutor

Indikator efektivitas pelatihan tutor yang diukur

dalam penelitian ini adalah: (1) materi, (2) waktu,

dan (3) instruktur. Deskripsi selengkapnya, disajikan

pada Tabel 1.

Materi

Peubah materi yang diukur dalam penelitian ini

adalah cakupan materi, sistematika penyajian materi,

manfaat materi yang dirasakan oleh tutor, dan

kemutakhiran materi.

Tabel 1. Deskripsi Efektivitas Pelatihan Tutor

No Efektivitas Pelatihan

(X)

Kategori Persen

1 Materi Rendah

Sedang

Tinggi

41,8

44,3

13,9

2 Waktu Rendah

Sedang

Tinggi

49,4

25,3

25,3

3 Instruktur Rendah

Sedang

Tinggi

41,8

26,6

31,6

Keterangan: n = 79

Karakteristik

Tutor

Pelatihan

(X)

Kompetensi

Tutor

(Y)

Page 5: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 4 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Cakupan materi pelatihan diberikan berdasarkan

arahan materi yang telah ditetapkan Pusat

Pengembangan Instruksional Universitas Terbuka

(PPI-UT), meliputi: Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ),

Peta Konsep, Perencanaan Tutorial, Pengembangan

Model Tutorial, Pelaksanaan Tutorial, Pemberian dan

Penilaian Tugas, Pengembangan Bahan Presentasi, dan

Pemanfaatan Sumber Belajar. Persentase tutor yang

merasa puas dengan cakupan materi yang diberikan

pada pelaksanaan pelatihan adalah 58,2 %.. Tutor yang

merasa puas menyebutkan bahwa materi yang

disampaikan sudah runut melingkupi sistem

pembelajaran di UT yang harus dipahami tutor serta

konsep/praktek tutorial yang ideal. Sedangkan tutor

yang merasa kurang puas dengan cakupan materi,

menyebutkan bahwa materi yang disampaikan belum

mengakomodir konsep tutorial yang sesuai dengan

karakteristik mahasiswa UT yang sebagian besar

berusia di atas usia ideal peserta didik pendidikan strata

satu.

Sistematika penyajian materi memperhatikan

prinsip alur: sederhana ke rumit dan sedikit ke banyak.

Pada saat pelatihan, pemberian materi didahului

dengan konsep dan kemudian diikuti contoh. Sebagian

besar (62,3 %) tutor merasa puas dengan sistematika

penyajian materi dan menyebutkan bahwa sistematika

yang disajikan dalam pelatihan, memudahkan untuk

memahami materi. Tutor yang merasa kurang puas

dengan sistematika penyajian materi, menyebutkan

bahwa penyajian materi tidak dilakukan secara

konsisten, terkadang dimulai dengan konsep tetapi

sering juga penyajian materi belum dijelaskan

konsepnya tetapi sudah langsung dimulai dengan

pemecahan kasus oleh peserta pelatihan.

Lima puluh sembilan persen tutor menyebutkan

bahwa materi pelatihan bermanfaat dan relevan dengan

kebutuhan sebagai tutor dalam pelaksanaan tutorial

tatap muka. Tutor menyebutkan bahwa materi

pelatihan menambah wawasan tentang bagaimana

hakekat sesungguhnya konsep pendidikan jarak jauh

yang merupakan ‗jiwa‘ pelaksanaan tutorial.

Semua pokok bahasan utama materi berdasarkan

arahan materi dari PPI-UT, yang selalu up to date dan

berdasarkan masukan pustaka mutakhir. Delapan puluh

dua persen tutor mengakui kemutakhiran materi yang

disajikan pada pelatihan tutor.

Waktu

Peubah waktu yang diukur dalam penelitian ini

adalah tingkat kecukupan jumlah jam pelatihan. Total

jumlah jam pelatihan adalah 40 jam pelatihan dan satu

jam pelatihan setara dengan 45 menit.

Empat puluh sembilan persen tutor

menyebutkan bahwa jumlah jam pelatihan tidak cukup,

mengingat banyaknya materi yang disajikan pada saat

pelatihan. Menurut Woolfolk (1993) tidak ada

ketentuan baku jumlah jam untuk suatu pelatihan,

penentuan jumlah jam pelatihan disesuaikan dengan

karakteristik peserta, kerumitan materi, dan tujuan

yang ingin dicapai; namun penelitian Iskandar (2008)

menemukan bahwa jumlah jam pelatihan di bawah 100

jam tidak signifikan untuk meningkatkan kemampuan

peserta didik yang berada pada level pemula. Tutor

tutorial tatap muka Universitas Terbuka di Provinsi

Aceh Aceh termasuk pada level pemula dalam hal

pemahaman tentang konsep tutorial, walaupun telah

bertahun-tahun melakukan kegiatan tutorial tetapi

masih ‗konsisten‘ dengan cara-cara belajar pada

perkuliahan tatap muka.

Instruktur

Peubah instruktur yang diukur dalam penelitian

ini adalah strategi penyampaian oleh instruktur, rasio

latihan/praktek dengan teori, interaksi dengan peserta,

dan penggunaan media.

Strategi penyampaian materi oleh instruktur

disesuaikan dengan tujuan pelatihan dan karakteristik

peserta pelatihan. Salah satu tujuan pelatihan adalah

mengupayakan para tutor supaya mampu menerapkan

konsep pelaksanaan tutorial, sehingga instruktur ketika

menyampaikan materi secara langsung

mempraktekkan/ menggunakan konsep tutorial supaya

peserta dapat memahami konsep yang dimaksud seperti

membagi para peserta pelatihan dalam beberapa

kelompok diskusi (diskusi kelompok adalah salah satu

model dalam tutorial).

Disamping itu, strategi penyampaian juga

menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa.

Peserta pelatihan terdiri dari orang dewasa sehingga

strategi penyampaian materi oleh instruktur

mengadopsi sistem pendidikan orang dewasa yang

berorientasi kebutuhan peserta didik bukan berorientasi

subject matter. Enam puluh sembilan persen tutor

peserta pelatihan menyatakan puas terhadap strategi

penyampaian materi oleh instruktur.

Rasio teori dengan latihan/praktek pada saat

pelatihan tutor berkisar 60:40. Instruktur

menyampaikan teori terlalu lama dan latihan di

kertas/bahan kerja tentang hal yang sudah dijelaskan

hanya sedikit, di akhir sesi. Banyaknya materi yang

akan disampaikan dan sedikitnya waktu menjadi

kendala untuk membuat rasio yang proporsional/ideal.

Sembilan puluh empat persen tutor peserta

pelatihan menyatakan kurang dan tidak puas dengan

rasio antara penyampaian teori dengan latihan/praktek

dan mengusulkan supaya dijadwalkan waktu yang

cukup untuk latihan/praktek dalam pelaksanaan

pelatihan tutor, supaya dapat dipahami dengan baik

setiap item materi pelatihan.

Interaksi instruktur dengan peserta pelatihan

tutor sangat intens. Susunan kursi dan meja diruangan

pelatihan dibuat sedemikian rupa sehingga peserta

dengan mudah dapat berinteraksi dengan instruktur,

peserta tidak merasa sebagai murid yang sedang diajari

oleh guru tetapi instruktur adalah sebagai fasilitator

untuk membantu peserta dalam proses pembelajaran.

Instruktur menerapkan konsep diskusi dalam

penyampaian materi dan tidak seperti ceret yang

menuangkan air ke dalam gelas. Lima puluh delapan

persen peserta pelatihan merasa puas dengan tingkat

interaksi antara instruktur dan peserta.

Instruktur masih kurang dari sisi penggunaan

media dalam kegiatan pelatihan tutor. Beberapa pokok

bahasan menggunakan power point, tetapi tidak semua

Page 6: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 5 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

materi secara keseluruhan. Padahal media, seperti:

tampilan CD interaktif, tampilan tiga dimensi, adalah

salah satu alat untuk mendukung proses pembelajaran

kepada peserta didik dapat berlangsung secara efektif.

Delapan puluh tujuh persen tutor peserta pelatihan

tidak/kurang puas terhadap penggunaan media oleh

instruktur dalam kegiatan pelatihan tutor.

Kompetensi Tutor

Kompetensi Tutor yang diukur dalam penelitian

ini adalah tingkat pemahaman dan penerapan tutor

terhadap konsep tutorial, RAT/SAT, dan model-model

tutorial. Sebagian besar tutor (45,6 %) yang telah

mendapatkan pelatihan tidak memahami konsep

tutorial/model-model tutorial, tidak memahami

RAT/SAT secara komprehensif, tidak menerapkan

konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial serta tidak

menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial.

Lebih dari 40 % tutor yang telah mendapatkan

pelatihan kurang memahami konsep tutorial/model-

model tutorial dan RAT/SAT, tidak konsisten

menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan

tutorial. Hanya 13,9 % dari tutor yang telah

mendapatkan pelatihan yang memahami dengan baik

konsep tutorial/model-model tutorial, RAT/SAT dan

menerapkan konsep tutorial dalam pelaksanaan tutorial

serta menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial.

Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor

Tutorial Tatap Muka Universitas Terbuka di

Provinsi Aceh

Terdapat sembilan sub peubah yang digunakan

dalam penelitian ini untuk melihat korelasi pelatihan

dengan kompetensi tutor Universitas Terbuka di

Provinsi Aceh. Sembilan peubah yang dimaksud

adalah: cakupan materi, sistematika penyajian materi,

manfaat materi yang dirasakan oleh tutor,

kemutakhiran materi, waktu, strategi penyampaian oleh

instruktur, rasio latihan/praktek dengan teori, interaksi

dengan peserta, dan penggunaan media. Korelasi sub

peubah pelatihan dengan kompetensi tutor tutorial tatap

muka Universitas Terbuka di Provinsi Aceh, disajikan

pada Tabel 2.

Manfaat materi yang dirasakan oleh tutor

berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi =

0,939) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya

semakin bermanfaat materi pelatihan bagi tutor maka

semakin tinggi tingkat kompetensi tutor. Hal ini sejalan

dengan pendapat Rogers (1995) yang menyebutkan

bahwa materi ajar/pelatihan harus punya relevansi

dengan kebutuhan klien.

Tabel 2. Korelasi Pelatihan dengan Kompetensi Tutor

No Sub Peubah Koefisien

korelasi

1 Cakupan materi 0,055

2 Sistematika penyajian materi 0,037

3 Manfaat materi yang dirasakan oleh

tutor 0,939 **

4 Kemutakhiran materi 0,212

5 Waktu 0,092

6 Strategi penyampaian oleh instruktur 0,765 **

7 Rasio latihan/praktek dengan teori 0,334

8 Interaksi dengan peserta 0,865 **

9 Penggunaan media 0,431 **

Keterangan tabel:

n = 79

** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01

Tutor tutorial tatap muka Universitas Terbuka di

Provinsi Aceh punya latar belakang dan pengalaman

dalam pendidikan sistem tatap muka, sehingga dalam

melakukan kegiatan tutorial sistem pembelajaran yang

dilakukan mengikut kepada sistem belajar tatap muka.

Pelatihan tutor yang dilakukan dengan pemaparan

tentang materi sistem belajar jarak jauh dan konsep

tutorial, telah membuka wawasan tutor dan mengubah

sistem pembelajaran yang dilakukan pada kegiatan

tutorial mengikut kepada konsep pendidikan jarak jauh.

Strategi penyampaian oleh instruktur

berhubungan positif sangat nyata (koefisien korelasi =

0,765) dengan tingkat kompetensi tutor, artinya

semakin baik strategi penyampaian oleh instruktur

dalam pelatihan tutor maka semakin tinggi tingkat

kompetensi tutor. Pada pelaksanaan pelatihan tutor,

instruktur dalam menyampaikan materi pelatihan

memperhatikan aspek karakteristik peserta pelatihan

dan berorientasi kepada peserta sebagai subjek. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa instruktur harus

punya inovasi dalam menyampaikan materi kepada

peserta pelatihan supaya tujuan pelatihan dapat dicapai

secara optimal serta Universitas Terbuka harus

berupaya untuk mengembangkan kompetensi instruktur

supaya kreatif dalam menemukan inovasi dalam

pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Winkel

(1986) yang menyebutkan bahwa inovasi dalam sistem

pembelajaran adalah bagian dari strategi dalam proses

belajar mengajar yang akan menentukan hasil belajar.

Interaksi dengan peserta berhubungan positif

sangat nyata (koefisien korelasi = 0,865) dengan

tingkat kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat

interaksi instruktur dengan peserta dalam pelatihan

tutor maka semakin meningkat kompetensi tutor.

Melalui interaksi, peserta pelatihan dapat menyatakan

secara eksplisit materi yang belum dimengerti atau

segala sesuatu yang menjadi kendala dalam penerapan

konsep tutorial selama ini dan melalui interaksi juga,

Page 7: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 6 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

instruktur dapat mengetahui apa yang menjadi

masalah/kebutuhan tutor dalam pelaksanaan tutorial

sehingga hal tersebut dapat didiskusikan. Hasil

penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian oleh

Ningkeula (2008) bahwa faktor interaksi selama

pelatihan mempengaruhi hasil belajar peserta pelatihan.

Penggunaan media berhubungan positif sangat

nyata (koefisien korelasi = 0,431) dengan tingkat

kompetensi tutor, artinya semakin tinggi tingkat

penggunaan media dalam pelatihan tutor menjadikan

kompetensi tutor makin tinggi. Media merupakan salah

satu alat bantu dalam proses pembelajaran, melalui

media dapat diberikan ilustrasi dan penjelasan

tambahan. Media juga dapat menambah daya tarik dan

semangat peserta untuk mencermati materi pelatihan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Hasibuan (1994) yang

menyatakan bahwa tingkat kesulitan materi bahan ajar

dapat diminimalkan dengan bantuan media yang

interaktif. Hal penelitian ini menunjukkan bahwa

instruktur bersama Universitas Terbuka harus

merancang suatu media pendukung/tambahan dalam

kegiatan pelatihan tutor, dan tidak hanya

mengandalkan power point versi teks.

KESIMPULAN / REKOMENDASI

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Tingkat

efektivitas pelatihan tutor tutorial tatap muka

Universitas Terbuka di Provinsi Aceh termasuk

kategori rendah, pelatihan yang dilakukan belum secara

signifikan dapat meningkatkan kompetensi tutor. (2)

Tingkat kompetensi tutor termasuk kategori rendah,

sebagian besar (86,1 %) tutor yang telah mendapatkan

pelatihan kurang memahami konsep tutorial/model-

model tutorial, kurang memahami RAT/SAT secara

komprehensif, dan belum menerapkan konsep tutorial

secara total dalam pelaksanaan tutorial serta belum

menggunakan RAT/SAT dalam kegiatan tutorial secara

konsisten. (3) Aspek-aspek pelatihan yang harus

diperhatikan dalam upaya meningkatkan kompetensi

tutor adalah kesesuaian materi dengan kebutuhan tutor,

strategi penyampaian oleh instruktur, interaksi dengan

peserta, dan penggunaan media.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan,

disarankan beberapa hal sebagai berikut: (1) Materi

pelatihan harus dikembangkan dengan contoh-contoh

yang aktual dan mutakhir dan tidak hanya

mengandalkan materi pokok dari Pusat Pengembangan

Instruksional Universitas Terbuka. (2) Universitas

Terbuka sebaiknya secara konsisten dan berkala selalu

mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotorik instruktur pelatihan tutor. (3) Pelatihan

seyogyanya berorientasi klien/peserta didik sebagai

subjek dan bukan berorientasi subject matter.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. (2009). Efektivitas Usaha Anggota Koperasi

yang Peduli Lingkungan.

http://www.smecda.com.

Balai Pustaka. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta.

Danfur. (2009). Definisi Efektivitas.

http://dansite.wordpress.com.

Flinck, R. & Flinck, A. W. (1990). Handbook for

Tutor. Colombo: Department of Distance

Education.

Hasibuan, S. (1994). Kebutuhan Pelatihan dan

Beberapa Aspek Makro Pelatihan,

Permasalahan Ekonomi, 540, 10.

Iskandar S. (2008). Hubungan Pendidikan dan

Pelatihan Terhadap Kompetensi Pegawai Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Kota

Lhokseumawe. Jurnal Studi Pembangunan

USU. http://repository.usu.ac.id.

Kristina, N.N. (2009). Mengembangkan Program

Pelatihan. http://simkesugm06. wordpress.com.

Mariana, dkk. (2009). Kompetensi Tutor

Melaksanakan Tutorial Tatap Muka Pada

Program S1 PGSD di UPBJJ-UT Banda Aceh.

Laporan Hasil Penelitian.

Ningkeula, I. (2008). Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan

dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Sikap

Peserta Pelatihan Pada Balai Pelatihan dan

Pengembangan KB Surabaya, Jurnal Personnel

Management. http://garuda.dikti.go.id.

Rogers, E.M. (1995). Diffusion of Innovations. New

York: The Free Press.

Shellabear, S. (2002). Competency Profiling:

Definition and Implementation [abstrak].

Training Journal. August 2002.

Spencer, L.M dan Spencer S.M. (1993). Competence at

Work: Models for Superior Performance. New

York: John Wiley & Sons, Inc.

Stone, B.B dan Bieber S. (1997). Competencies: A

New Language for Our Work. Journal of

Extension 35 (1).

http://www.joe.org/joe/1997february/iwl.sht.ml.

Suparno, S. (2001). Membangun Kompetensi Belajar.

Jakarta: Depdiknas.

Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan

Pendekatan Baru. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Wardani, IGAK. (2000). Program Tutorial dalam

Sistem Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak

Jauh. Jurnal PTJJ, 1(2), 41-52.

Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pengajaran. Jakarta:

Penerbit PT. Gramedia.

Woolfolk, W.S. (1993). Educational Psychology.

Needham Heigts, Boston, MA: Pearson

Education Inc., dan Allyn and Bacon

Page 8: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 7 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Homeschooling: Another Perspective in Global Education

Uzlifatul Masruroh Isnawati *) [email protected]

Islamic University of Lamongan

Abstract

Regarding the flaw and the criticism towards formal schools, due to the different

learners‘ need, different views on school policy, or even the questions about the facts

on how schools are no longer ―comfort zone‖ place for children.Thus the idea of

home schooling is worth to consider. Instead going to a regular school, parents were

home schooled their children regarding the benefits they take into account.

Considering the learners and parents preference, home schooling is worth to consider

as an alternative choice in educational ―market‖ and policy in our country. It is

important to see this paradigm objectively and proportionally as the education takes

role in this globalization era.

A. Brief History

According to Wikipedia, the free encyclopedia,

homeschooling , also called home education, home

learning , or homeshool is the education of children at

home, typically by parents or professional tutors, rather

than in a public or private school. Home schooling may

also refer to instruction in the home under the

supervision of correspondence schools or umbrella

schools. Although prior to the introduction of of

compulsory school attendance laws, most childhood

education occured within the family or community,

home schooling in the modern sense is an alternative

in developed countries to formal education.

Historically, this education model became a hot

issue in 1964 when John Caldwell Holt, an American

educator published a book entitled ― How children

failed which criticized traditional schools. The book was

based on a theory he had developed as a teacher—that

the academic failure of school children was caused by

pressure placed on children in schools. Holt began

making appearances on Major TV talk shows and

writing book for Life Magazine. In his follo-up work,

How children learn , in 1967, he tried to demonstrate the

learning process of children and why he believed school

short circuits this process.

They asserted that formal school before ages 8-

12 not only lacked of the anticipated effectiveness, but

was actually harmful for children. The Moores began to

publish their view that formal schooling was damaging

young children academically, socially, mentally, and

even psysiologically. They presented evidence that

childhood problem or disorder such as juvenile

delinquency, nearsightedness increased enrollment of

students in special education classes and behavioral

problems were the result of increasingly enrollment of

the students. Further, the Moores cited studies

demonstrating that orphans who were given surrogate

mothers were measurably more intelligent , with

superior long term effect—eventhough the mothers

were mentally retarded teenagers—and that illiterate

tribal mothers in Africa produced children who were

socially and emotionally more advanced than typical

western children, by western standards of

measurements.

The primary assertion was the bound and

emotional development made at home with parents

during these years produced critical long term results

that were cut short by enrollment in schools, and could

neither be replaced nor afterward corrected in an

institutional setting. Recognizing a necessity for early

out-of-home care for some children particularly special

needs and attrractively impoverished children, and

children from exceptionally inferior homes—they

maintained that the vast majority of children are far

better situated at home – even with mediocre parents –

than with the most gifted and motivated teachers in a

school setting (assuming that the child has a gifted and

motivated teacher). They described the difference as

follows: ― This is like saying, if you can help a child by

taking him off the cold street and housing him in a

warm tent, then warm tents should be provided for all

children – when obviously most children already have

even more secure housing‖.

B. Home schooling in Indonesia

The development of home schooling in Indonesia

has not been known precisely since there is no research

regarding this specifically . The term home schooling is,

thus a relatively new in Indonesia. However, home

schooling will no longer be a new program if it is is

viewed as a concept as of learning process taking place

out of formal school. It is due to the very fact, that

according to Dr. Seto Mulyadi, some famous historical

figures Ki Hajar Dewantara and Buya Hamka practiced

and experienced this education model. Meanwhile

another world-wide figure experienced homeschooling

is Thomas Alfa Edison and Bill Gates.

In addition, we probably also familiar with the

terms long distance learning like e-learning, or SMU or

open University (universitas terbuka), Ppendidikan

Kejar (Kelompok Belajar) Paket A dan Paket B can also

be classified into home schooling. Basically home

Page 9: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 8 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

schooling is an alternative education which emphasizes

flexible curricullum in teaching (Kompas, 29/8/2005)

In line with those figures, Helen Ongko (50), a

mother who home schooled her child. She even had to

travel to Singapore and Malaysia attending seminars on

home schooling. ―we were facing economic srisis at that

time, so we had much time at home. It seemed to be

enjoyable teaching and studying together with the

children, ― explained Helen who started teaching her

kids in 2000 ( Kompas, 13/3/2005).

Meanwhile, Danang Sasongko, the Secretary

General of Homeschooling Association and Alternative

Education (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan

Alternatif or Asah Pena) says that unlike in some

developed countries , home schooling is relatively a

new trend in Indonesia. He further explains that there

are three types home schooling (henceforth HS). First,

single homeschooling (HS tunggal). It is initiated by a

single family and carried it at home. Secondly,

compound homeschooling (HS majemuk) which

comprises two families. The last is community

homeschooling (HS Komunitas). This community

model is created using tutorial teaching method. Kak

Seto and Neno Warisman are two out of some people

establishing and chairing this type of homeschooling.

Accordingly, based on articel 7 of the Indonesian

Education law (Undang-undang No. 20/2003) gives

parents the right to select how to educate their children.

In May 2007 the Department of Education published a

manual detailing the requirements for home schooling.

The manual suggests home schools to register and

require testing at certain levels, but currently there is no

enforcement of these requirements. Home schoolers are

not automatically awarded high school diplomas, so to

passing into university may be difficult.

In other words, in national education, based on

section 1 of national education system act of 2003, the

department of national education categorizes home

schooling as informal education. Although government

does not set up the content standard and the process of

informal education, the output and outcome are equal to

that of formal education (formal school) and non-formal

after the learners pass the final-exam using national

standard (section 27, chapter 2).

C. Benefits and Drawbacks of Home schooling

Regarding of its controversy, home schooling

has shown some benefits for the learners. In terms of

parents‘ concern, it is obvious that parents assurely

observe how the the child learns and progresses at any

subject matter they learn. Children who learn quickly

will not be held back just because the rest of the class

does not progress as fast as they do. A child who has

problem keeping up with a class that go beyond other

students will not be put under pressure of falling behind

or feeling undesired for holding the rest of the class

back. In a conventional classroom, a child might have

to wait days or even a week grades and feedback on

projects, test papers, assignments, and many more.

Home schooling offers child‘s immediate feedback so

they know which one is appropriate or not. Immediate

feedback is one of the advantages of homeschooling

which makes learning becomes more effective.

Further, parents are more confortable and focus

on the child‘s learning. Through home schooling , thus

they are able to focus on the educational subjects that

are more beneficial to their child‘s knowledge and

future prospect. Knowing that their children in safe and

comfort environment, parents do not have reasons to

show their anxiety about the negative and unfavourable

environment on their children such as verbal

agressiveness.

Since more than 1 million kids who are educated

at home know that it has a long going for it, students

who are home schooled may benefit from the one-one

attention. For instance, if you don‘t understand

something in math, the whole class won‘t be moving on

without you – you might be the whole class ! and if you

really excell at something , you can keep learning more

at your own pace.

Students who are homeschooled also may get out

in their communities more than other kids their age.

They may get to experience hands-on education at

museums, libraries, business, marinas, and other

community resources. They also might volunteer or

participate in ―service learning‖ where they take on

local projects.

Home schooling gives students lots of

advantages – such as more flexibility than local schools

to focus on specific subjects needed for a future career.

So, if one attends local school and know or have a

chance to meet a home-schooled student, children can

learn a lot from each other.

However, home schooling is not as simple as

sitting down with mom or dad and opening whichever

book you feel like. Laws, regulation, and requirements

vary across different countries, and it‘s up to home

schoolers to comply with local regulations. So, home

schooling can be a lot of works for parents; They need

to know what the law requires them to teach, resrach

sources on those subject (and learn more about the

subjects if there are gaps in their knowledge), and then

do the actual teaching.

It‘s not just the parents who need to do more

work when it comes to home schooling: often the

students do too. As home-schooled kids become teens

and old enough to guide their learning, they may be left

more on their own to find resources and find resources

and do their own research. (it may be challenging at the

time, but working independently like this can put home-

schooled kids ahead of the game when it comes to

preparing for their upper level of education or in college

life).

A kid who‘s home schooled may not have the

convenience of some school facilities, such as a

gymnasium, science lab, or art studio. These may be

less important for little kids, who can do their science

projects in the kitchen or have art class outdoors. But

when it comes to teaching teens, home-schooling

parents may need to find a way around such limitations.

Some parents who home school their kids form groups

so their students can join together for art classes or

group learning activities, like field trips. And some

Page 10: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 9 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

public schools let home-schooled kids participate in

certain classes or extracurricullar activities. Sharing

lesson time can be good for home-schooled students for

another reason: It provides social interaction that they

might not have if they‘re not part of class.

D. Notabled Home schooled Individuals

Regardless the drawbacks of home schooling

might bring about, numerous historical and public

figures were home-eduvated. They are, Abraham

Lincoln (1808-1865) the 16th president of United

States, received very little schooling, but was an avid

reader and taught himself how to read, write, and do

arithematics. Andrew Wyeth (1917) an American realist

painter was taken out of school at vey young age

because of illness; he then received an art education

from his parents. Bode Miller (1977), an American

alpine skier, was home-schooled by his parents until he

was ten. Che Guevara (1928), left-wing guerrilla leader

in Cuba, Africa, and Bolivia and prison commandant

and national bank president in cuba, born in Argentina,

was educated at home mainly by his mother, until the

age of 13.

E. Some Points to Ponder

There at least three important points to consider

about home schooling. First, students‘ social

development although one-one instruction greatly

contribute on students, but some potential probles might

appear. Parents concern for what skills being taught or

exposed in school setting. They assurely the children

learn value which meet to their perspective, but not

other. Some experts regard this kind of protection as

unrealistic and potentially harmful to the child.

Due to the fact that children grow up in the real

world—a world made up of the diversity views oxposed

by different people. Interaction with peers from diverse

background prepare the students how to communicate

and to survive with his/her capacity. On the other hand,

formal schools allow the students to do so. In fact,

formal schools allow young people to learn to navigate

the sometimes-troubled water which caused by the

social diversity.

Meanwhile many experts also believe that the

ability to interact with people outside the family circle is

necessary for success and happiness in life. Students

naturally gain interactive skill in the classroom,

playgrounds, and cafetaria of formal schools did. Unless

parents whom home schooling their kids make

significance efforts to create social situations for

interaction with children outside the family, therefore

parents run the risk of stunting their children‘s

development of the social skill necessary towards the

complex society.

Secondly, due to the sustainability of continuing the

study. Home schooling results on better students‘

academic performance. It is gained from one-one

attention. Besides, many parents who promote home

schooling have teaching preparation or experience.

Nevertheless, students might face difficulties in

their future education endeavors if home schooling is

not aligned with formal school curricullum. Home

schooled students sometimes returned to their former

formal school settings, and many of these students plan

to attend the college or university level. Preparing for

college admission is a significant chore that you should

take into account when you consider home schooling.

This risk should be recognized by the parents to

anticipate.

And the third is about the social concerns. In a

broad sense, home schooling may reduce the democratic

value. As we can see that democratic requires harmony

within the diverse society. In short, people have to know

how to deal with others who might be different from

them. When learning takes place in isolation, early

learners do not experience. The democratic environment

will work only if the cooperative and team working run

and remain the differences. Peer engagement allows

favourable democratic life.

F. Conclusion and Recommendation

Several valid arguments support homeschooling

under the ideal circumtances. Learning at home allos

one-on-one instruction that is not possibly happened at

formal schools. Although professional educators devote

their careers to their students, they can not equally meet

to the kind of unconditional commitmtnt to long-term

development of a child provided by most parents. Those

who are willing to invest the great personal effort on

their children‘s education can be adequately effective in

homeschooling their children.

Regardless on homeshooling controversy, one

thing for sure—homeschooling is not for everyone. It is

a matter of choice and ―taste‖ for parents. It also

requires personal commitment between both parents and

the children as the learners. And when the commitment

is made, the society remains expects that it is including

a commitment to teach the students live in a bigger

world. For parents who choose home shcooling their

children, they are to provide opportunity for the students

to have social interaction for their children.

References:

Brown, J. Home Schooling: Its Advantages

www.homeschoolingcatalog.com accessed on

February,10, 2013

Houston, P.D. 2008 Should you Homeschool Your

Child? Microsoft Corporation: Microsoft ®

Encharta ®

http:/en. Wikipidia .org/wiki/hpmeschooling#colomn-

one#

http:/www.perspectifbaru.com/wawancara/570

Kompas Cyber media, 29/9/2005. Rumah kelasku, dunia

sekolahku

Quinn. S. 2008. The Common Advantages of Home

schooling. www.associatedco ntent.com/

user/16759/styephnie-quinn.html, accessed on

March, 24, 2013.

Simbolon, P.S. 2007. Home schooling: Sebuah

Pendidikan Alternatif. http:/pormadi

.wordpress.com/author/pormadi, accessed on

April, 15, 2013

Page 11: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 10 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Pembinaan Profesionalisme Guru Dalam Perspektif Teoretis Dan Praktis

Fathurrahman *)

*) Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan Email : [email protected]

Abstrak

Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai

profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan

tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru.

Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru

profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses

dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat

dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran

Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah

memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah

tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi

guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3)

kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian.

Kata Kunci : Pembinaan profesionalisme guru, teoriti dan praktis

A. Pendahuluan

Termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa

pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan

manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang

beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan

mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.

Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan

nasional tersebut perlu keterlibatan berbagai komponen

pemangku kepentingan (stakeholder) dan berbagai

upaya implementasinya. Hal tersebut dilakukan agar

pengembangan pendidikan, khususnya di sekolah dapat

dilakukan dengan baik dan optimal sehingga

memberikan peluang yang sangat besar untuk

keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan.

Komponen yang paling penting dalam upaya

pencapaian tujuan pendidikan adalah pendidik dan

tenaga kependidikan utamanya guru sebagai pendidik.

Komponen ini dianggap paling penting karena

merupakan ujung tombak pelaksanaan suatu program

pendidikan yang dilakukan pada kegiatan pembelajaran

di kelas. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya kualitas guru

sangat mempengaruhi tinggi rendahnya keberhasilan

tujuan pembelajaran. Artinya bahwa suatu kegiatan

pembelajaran akan berjalan dengan baik dan optimal

untuk mencapai tujuan yang diharapkan jika guru

memiliki kompetensi dan performansi pada bidang yang

diajarkannya. Sebaliknya, kegiatan pembelajaran tidak

akan berhasil dengan baik jika guru tidak memiliki

kompetensi dan performansi untuk mengelola

pembelajaran secara baik dan benar.

Di antara kompetensi yang diharapkan dikuasai

oleh seorang guru menurut Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah kompetensi

pedagogik. Kompetensi pedagogik salah satunya adalah

dalam hal melaksanakan pembelajaran sesuai

kurikulum. Guru adalah pendidik profesional dengan

tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi

peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah. Guru harus memiliki kualifikasi akademik

minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV),

menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial

dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat

jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga

profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa

profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber

penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,

kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar

mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan

profesi. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk

selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan

ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Permasalahannya adalah apakah konsepsi

teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada

guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas

praksis di ruang-ruang pembelajaran?

Page 12: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 11 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Tulisan ini akan mengkaji dari perspektif teoretis

dan praksis mengenai profesionalisme guru dengan

tujuan: 1) Menelaah perspektif teoretis peningkatan

profesionalisme guru, 2) Merumuskan strategi

pembinaan dan pemberdayaan profesionalisme guru

dalam perspektif praksis, dan 3) Praksis pembinaan dan

pengembangan profesional guru melalui supervisi.

Rumusan tujuan tersebut dalam rangka sinkronisasi

pembinaan profesionalitas guru antara perspektif

teoretis dan praksis sebagai upaya mewujudkan

profesionalisme guru.

B. Peningkatan Profesionalisme Guru dalam

Perspektif Teoritis

Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia

semakin dituntut untuk memenuhi terwujudnya

profesionalisme dan kebutuhan global. Tuntutan ini

menjadi sangat berat ketika kita melihat kondisi

pendidikan Indonesia saat ini. Rendahnya kualitas

pendidikan tersebut sebagai akibat dari kualifikasi dan

kompetensi tenaga pendidik yang masih rendah pula.

Keadaan seperti ini masih berlangsung paling tidak

sampai saat ini, data yang menyedihkan berdasar hasil

the Trends in International Mathematics and Science

Studies (TIMSS) dan Progress in International Reading

Literacy Studies (PIRLS) 2011, yang

diselenggarakan the International Association for the

Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan

dipublikasikan pada 11 Desember 2012, selayaknya

membangunkan kita semua, termasuk para pengambil

kebijakan di bidang pendidikan, akan risiko yang akan

dihadapi bangsa ini bila pendidikan tidak ditangani

dengan tepat.

Secara rata-rata, kemampuan siswa-siswa

Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca

sangat mencemaskan. Siswa kelas delapan menempati

urutan ke-38 dari 42 negara untuk matematika dengan

rata-rata 386 dan urutan ke-40 untuk sains dengan

ratarata 406. Tingkat Penalaran TIMSS, yang

diselenggarakan empat tahun sekali, didesain untuk

menilai dua dimensi, yaitu penguasaan siswa atas materi

ajar (konten) dan proses berpikir siswa.Assessment kelas

delapan untuk matematika meliputi bilangan, aljabar,

geometri, serta data dan peluang. Adapun sains meliputi

biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi. Proses berpikir

yang dinilai dalam matematika dan sains terdiri

dari knowing (mengetahui), applying (menerapkan),

dan reasoning (bernalar).

Dalam ketiga assessment tersebut, pencapaian

siswa dibagi berdasarkan empat patokan dengan

mengacu ke rata-rata yang diperoleh, yaitu low

international benchmark (400),intermediate

benchmark (475), high international benchmark (550),

dan advanced international benchmark (625).

Hasil TIMSS 2011 untuk matematika

menunjukkan tidak ada siswa Indonesia yang

mencapaiadvanced international benchmark, 2% siswa

mencapai high international benchmark (turun dari 4%

di 2007), 15% mencapai intermediate benchmark (turun

dari 19% di 2007), dan 43% mencapai low international

benchmark (turun dari 48% di 2007). Dengan demikian,

57% siswa kelas delapan kita bahkan belum berhasil

mencapai low international benchmark, yang

menggambarkan tingkat berpikir terendah di saat siswa

baru sampai pada tahap menyelesaikan masalah-

masalah sederhana dengan mengikuti prosedur yang

telah biasa digunakan. Tingkat pencapaian tertinggi,

yaitu advanced international benchmark, antara lain,

meliputi kemampuan memanfaatkan informasi dari

berbagai sumber, mengambil kesimpulan dan

melakukan generalisasi, dan menyelesaikan masalah-

masalah yang membutuhkan beberapa tahapan

penyelesaian.

Untuk sains, tidak ada siswa kita yang mencapai

advanced international benchmark, 3% siswa

mencapai high international benchmark (turun dari 4%

di 2007), 19% mencapai intermediate benchmark (turun

dari 27% di 2007), dan 54% mencapai low international

benchmark (turun dari 65% di 2007). Artinya, 46%

siswa belum berhasil mencapai kategori terendah

tersebut, yang menggambarkan pengenalan siswa akan

fakta-fakta dasar di bidang sains dan kemampuan

menginterpretasi diagram yang sederhana, melengkapi

tabel sederhana dan mengaplikasikan pengetahuan-

pengetahuan dasar ke dalam situasi nyata.

Advanced international benchmark, antara lain,

menggambarkan kemampuan siswa dalam

mengomunikasikan konsep-konsep yang abstrak dan

kompleks di bidang sains serta mengombinasikan

informasi dari berbagai sumber untuk menyelesaikan

masalahmasalah dan mengambil kesimpulan.

Pencapaian siswa kelas empat dalam membaca relatif

lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian siswa

kelas delapan dalam matematika dan sains. Tidak ada

siswa kita yang mencapai advanced international

benchmark, 4% mencapai high international

benchmark (naik dari 2% di 2006), 28%

mencapai intermediate bench mark (naik dari 19% di

2006), dan 66% mencapai low international

benchmark (naik dari 54% di 2007). Artinya, 34% siswa

masih belum mampu menemukan hal-hal spesifik

ataupun informasi yang sesungguhnya telah dinyatakan

secara eksplisit dalam teks yang diberikan. Menelaah

capaian prestasi yang rendah tersebut tentunya sebagai

dampak dari sistem pembelajaran yang belum optimal

dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas,

kualifikasi dan kompetensi guru, yang cenderung

unqualified, underqualified, dan mismath.

Diberlakukannya UU Guru-Dosen dan SNP yang

mensyaratkan guru harus S-1, merupakan titik tolak

upaya pemberdayaan dan pengembangan untuk

meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru harus

dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu,

pemberlakuan Otoda dan otonomi pendidikan adalah

instrumen penting untuk menyokong dan meretas

persoalan yang sangat kompleks ketika menyangkut

kompetensi profesi guru.

Dalam bingkai ini, munculnya UU nomor 14

tahun 2005 tentang Guru-Dosen dan Peraturan

Mendiknas nomor 11 tahun 2005 serta SNP (Standar

Nasional Pendidikan) merupakan upaya pemerintah

untuk meningkatkan profesionalisme dan

memprofesikan guru. Dengan asumsi bahwa guru

Page 13: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 12 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

sebagai profesi yang profesional dengan segala

kompetensi yang harus dimiliki, akan dapat

meningkatkan kualitas pembelajaran, output, maupun

outcome. Hal ini akan menjadi kenyataan apabila kita

menjalankan amanah dalam perundangan tersebut yang

mengatakan bahwa ‖Pendidik dan Tenaga

Kependidikan harus memiliki kualifikasi akademik dan

kompetensi (pedagogik, kepribadian, profesional,

sosial) sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan

rohani, serta memilik kemampuan untuk mewujudkan

tujuan pendidikan nasional (Paulina, 2006).

Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama

agar suatu pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi

menurut Macionis (1987: 498), yakni landasan

pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru

memang bukan sekedar pekerjaan atau mata

pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis,

tetapi juga pengetahuan teoretik (Rosidi, 2007).

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen menetapkan bahwa kompetensi guru

meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi

profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan

mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi

kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian

yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa

serta menjadi teladan peserta didik.

Kompetensi profesional menunjuk pada

kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas

dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk

kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi

secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama

guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat

sekitar. Tampaknya, kendati syarat kualifikasi

pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya

seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada

cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran,

atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau

norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan

bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang

diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga

profesional.

Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan

pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-

regulated training and practice). Kalau kebanyakan

orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak

demikian dengan kerja profesional. Pekerjaan

profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang

bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Karena itu,

sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan, baik

yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau instansi

yang mempekerjakan, maupun yang diselenggarakan

oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk

sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional.

Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-

lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan sanksi

hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa

sertifikasi terkait.

Pasal 42 Undang-undang Undang-undang Nomor

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tampak sudah

sejalan dengan prinsip profesionalisme menurut tinjauan

teoretik akademik. Berkenaan dengan organisasi

profesi, ditegaskan sebagai berikut:

Organisasi profesi guru mempunyai

kewenangan:

a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;

b. memberikan bantuan hukum kepada guru;

c. memberikan perlindungan profesi guru;

d. melakukan pembinaan dan pengembangan

profesi guru; dan

e. memajukan pendidikan nasional.

Namun demikian, bila yang dimaksudkan adalah

pengaturan praktik kependidikan secara otonom oleh

guru, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum

sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam

pengawasan ketat para atasan, serta tidak memiliki

derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya

profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang

berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi

kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak

mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan

penilaian seorang guru bidang studi.

Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga

ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat

daripada kepada pamrih pribadi (community rather than

self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga

dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain

(altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat

ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi.

Kecintaan pada bidang pekerjaan dan pengabdian

kepada masyarakat merupakan salah satu landasan etika

pekerjaan profesional. Walaupun secara praktik boleh

saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik

profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial

tinggi.

Untuk memecahkan permasalahan belum

terpenuhinya sebagian aspek persyaratan

keprofesionalan guru, diperlukan suatu sistem

pembinaan professional guru secara berkesinambungan.

Dalam pasal 39 ayat (2) UU SISDIKNAS dinyatakan

bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang

bertugas merencanakan dan melaksanakan proses

pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan

pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan

penelitian dan pengabdian kepada msyarakat, terutama

bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tersuratnya

sebutan professional untuk tenaga pendidik (guru),

menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan

professional oleh guru. Surya (2005)

merekomendasikan hal yang harus dilaksanakan dalam

rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan

professional sebagai berikut: (1) Pemerintah harus ada

kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan

posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan

memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan

martabatnya. Penataan kembali berbagai perundang-

undangan dan produk hokum yang berkaitan dengan

pendidikan, agar lebih sesuai dengan tuntutan yang

berkembang. Dalam penataan ini dapat dilakukan

perbaikan perundang-undangan yang telah ada, dan

menghasilkan produk baru termasuk undang-undang

khusus tentang guru. (2) Mewujudkan suatu sistem

Page 14: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 13 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya

dalam satu institusi yang meiliki kewenangan nasional

secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik.

Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara

lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan,

dan pengembangan berada dalam satu sistem

pengelolaan tunggal yang professional dan proporsional.

Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser

menjadi pengelolaan yang lebih bersifat

―pemberdayaan‖ dengan suatu mobilitas yang terbuka

baik secara vertical maupun horizontal sesuai dengan

kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan

berbagai variable individual. (3) Pembenahan sistem

pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional

untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas professional

guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dilihat dari

posisi dan perannya, guru memerlukan kompetensi

pribadi dan profesi agar mampu mampu melaksanakan

proses pendidikan secara mendasar. Oleh karena itu

pendidikan dan latihan guru hendaknya lebih

berorientasi pada pembentukan dan pemberdayaan

kepribadian guru professional, lingkungan kehidupan

pendidikan, dinamika adaptasi yang tinggi,

pengembangan dedikasi kependidikan, dsb. Pendidikan

guru pada masa kini harus menggunakan strategi yang

lebih mengarah pada pembentukan kepribadian dan

kompetensi, memiliki ketrkaitan dengan lingkungan dan

kebutuhan. (4) Pengembangan satu sistem remunerasi

(gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil,

bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian

rupa sehingga merangsang para guru melakukan

tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan

kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi

UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan

kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru

harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan

berbagai variable yang saling terkait yaitu: (1) jenjang

pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat

pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja,

(5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7)

kepangkatan.

Rekomendasi tersebut mengisyaratkan bahwa

dalam usaha mereposisi guru ke posisi jabatan

professional harus dilakukan melalui manajemen

terpadu yang melibatkan berbagai unsur dan

memperhatikan berbagai variabel yang berpengaruh,

serta dilakukan secara berkelanjutan. Sejalan dengan hal

tersebut, maka dalam membina profesionalisme guru

juga harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan

berbagai komponen baik komponen struktural maupun

non-struktural dan dilaksanakan secara berkelanjutan.

Arah pembinaan guru ditekankan kepada pencapaian

kemampuan dan keterampilan. melaksanakan

pembelajaran yang meliputi penggunaan: 1) open-ended

inquiry, 2) collaborative learning, 3) active

participation during lecture, 4) in cooperation of

relevan material and 5) integration of the laboratory

experiences with the lectur material (Wagner, 2001).

Komponen-komponen tersebut merupakan

indikator keprofesionalan guru yang menjadi tolok ukur

keberhasilan proses pembinaan. Membina

profesionalisme guru berarti praktek professional dari

supervisor dan organisasi profesi untuk membantu guru

mencapai indicator tersebut di atas. Guru yang

menunjukkan indikator-indikator seperti di tersebut di

atas dalam melaksanakan pembelajaran diharapkan akan

menjadi jaminan mutu pendidikan (education quality

assurance). Manejemen pembinaan professional guru

dilakukan dengan pendekatan TQM yang mendudukan

setiap orang sebagai manajer dalam posisinya dan

semua komponen terlibat di dalamnya (Sallis, 1993).

Berdasarkan prinsip TQM, dalam pelaksanaan

pembinaan professional guru diarahkan harus terjadi

tarnsformasi budaya dari budaya tradisional ke budaya

mutu (cultural change), serta proses

perbaikan/peningkatan dilaksanakan secara

berkesinambungan (continuous improvement). Sebagai

contoh program penataran guru untuk kemampuan guru

dalam menguasai bahan ajar (content) seharusnya

dilaksanakan secara terencana dengan tujuan yang jelas

dan metode sesuai. Apabila kigiatan penataran ini

dilakukan asal tugas penyelenggaraan selesai tiadka

akan berdampak pada peningkatan kemampuan guru-

guru tersebut.

Dalam kaitan ini budaya ―asal selesai‖

seharusnya diubah kepada budaya ―penyelenggaraan

berkualitas‖ Seperti telah diuraikan di bagian

Pendahuluan makalah ini, untuk membina

profesionalisme guru telah tersedia berbagai lembaga

atau organisasi profesi baik di tingkat pusat maupun

daerah. Lembaga/organisasi tersebut dipersiapkan Pusat

dan Daerah untuk membantu para guru dalam

meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar.

Komponen-komponen tersebut dapat dibagai menjadi

dua kategori yaitu, kategori structural dan kategori non-

struktural. Komponen Pembina yang termasuk kategori

strukutral antara lain Kepala Sekolah, Pengawas,

LPMP, PPPG. Sedangkan yang termasuk kategori non-

struktural antara lain MGMP, KKG, dan PGRI.

C. Strategi Pembinaan dan Pemberdayaan

Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis

Meskipun guru telah mendapatkan sertifikasi

sebagai guru profesional pasca uji portofolio atau

pendidikan dan latihan profesional guru sebagai

implementasi UU Guru dan Dosen, yang dapat

diasumsikan mereka telah memiliki kecakapan kognitif,

afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai

akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka

guru dituntut untuk terus menerus berupaya

meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja

(2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi

tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif,

afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting

adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan

peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam

mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected

to put their knowledge to work to demonstrate they can

do the job. Finally, professional are expected to engage

in a life long commitment to self improvement. Self

improvement is the will-grow competency area.

Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk

Page 15: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 14 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi

seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus

menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri

dalam rangka meningkatkan kompetensi. Peningkatan

kompetensi atas dorongan komitmen diri diharapkan

akan mampu meningkatkan keefektifan kinerjanya di

sekolah. Komitmen untuk meningkatkan kefektifan

kinerja sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan

program, yaitu program pembelajaran yang diharapkan

mampu menghasilkan output dan outcome yang

mencapai standar. Jika guru memiliki komitmen untuk

mengembangkan kompetensi diri secara terus menerus,

maka proses-proses perencanaan, pengembangan,

penerapan, pengelolaan, dan penilaian program

pembelajaran diyakini akan dapat dilakukan sesuai

dengan tuntutan kekinian. Penjelasan di atas

mengindikasikan, bahwa komitmen diri dan strategi-

strategi manajemen sangat dibutuhkan dalam rangka

memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya.

Sinergi antara komitmen guru dan strategi manajemen

akan melahirkan proses kolaborasi yang efektif untuk

meningkatkan kompetensi.

Pada saat ini, guru dihadapkan pada perubahan

paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat

physical asset menuju paradigma knowledge based

competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut

efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru,

karena guru merupakan agen perubahan dan agen

pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan

memiliki keunggulan kompetitif.

Pemantapan sumber daya guru sebagai

intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan

dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian

yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka

terhadap arah perubahan yang terjadi. Strategi

pemberdayaan merupakan salah satu cara

pengembangan guru melalui employee involvement.

Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2002), dapat

dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya

kepala sekolah untuk meberikanwewenang dan

tanggung jawab yang proporsional, menciptakan kondisi

saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan

tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah

memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan

guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala

sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam

mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara

proporsional. Upaya ini, pada satu sisi merupakan

proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk

mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru

secara berkelanjutan.

Untuk menjamin keberhasilan proses

pemberdayaan guru, dapat digunakan model

pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003)

dengan paradigma-paradigma desire, trust, confident,

credibility, accountability, communication. Paradigma

desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a)

memberi kesempatan kepada guru untuk

mengidentifikasi permasalahan yang sedang

berkembang, (b) memperkecil directive personality dan

memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong

terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali

strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d)

menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk

melakukan self-control.

Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah

untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk

berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b)

menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang

mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan

kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi

bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d)

menghargai perbedaan pandangan dan mengakui

kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan

akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk

meningkatkan kinerja.

Paradigma Confident merupakan upaya kepala

sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang

dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan

mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c)

memperluas tugas dan membangun jaringan dengan

sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal

job instruction dan mendorong munculnya win-win

solution.

Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan

paradigma credibility, adalah (a) memandang guru

sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat

standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c)

mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada

guru lain untuk melakukan perubahan secara

partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam

mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan

tujuan dan penetapan prioritas.

Paradigma accountability merupakan upaya

kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training

dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas

yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c)

melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran

kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru

dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e)

menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.

Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah

untuk (a) menetapkan kebijakan open door

communication, (b) menyediakan waktu untuk

memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah

secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk

cross-training.

Di samping enam paradigma pemberdayaan guru

tersebut, faktor lingkungan sekolah juga sangat

menentukan pelaksanaan program pemberdayaan.

Caudron (dalam Wahibur Rokhman, 2003)

menganjurkan enam hal penting untuk membangun

lingkungan sekolah yang kondusif bagi pelaksanaan

program pemberdayaan. Enam hal tersebut, adalah (1)

work teams and information sharing, (2) training and

resources, (3) measurement and feedback, (4)

reinforcement, (5) responsibility, dan (6) flexibility

procedure.

Membentuk work teams and information sharing

sangat penting bagi sekolah, karena di dalam tim

terdapat peluang yang besar terjadinya sharing

knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala

sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan

unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada

Page 16: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 15 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

yang lain dalam meningkatkan kompetensi. Sharing

knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala

sekolah terjadi melalui proses-proses komunikasi

terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja mereka

serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka

hadapi seiring dengan perkembangan pendidikan.

Pemberdayaan training and resources sangat

penting untuk menunjang peningkatan profesionalisme

guru. Training team memiliki peran penting untuk

menjaga kekompakan dalam penyelesaian berbagai

masalah di sekolah. Hal ini penting, karena

pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuan-

tujuan independent empowering, tetapi juga

interdependent empowering. Namun, training sangat

membutuhkan penyediaan fasilitas da sumber daya lain

yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan

kompetensinya. Measurement sangat dibutuhkan untuk

memperoleh data ada atau tidaknya peningkatan dan

kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak

bisa dilepaskan dari konsep standar. Hasil pengukuran

yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi

sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan

oleh guru. Namun pasca pengukuran memerlukan

adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena

feedback akan memberi peluang bagi guru untuk

menampilkan kinerja yang lebih baik.

Dukungan manajemen dengan pemberian

reinforcement secara terus menerus akan mendukung

dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia

(termasuk guru) merasa respektif terhadap penghargaan

yang diterima atas prestasi yang dicapainya. Kepala

sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian

yang baik atas prestasi kerja yang bisa dicapai oleh

guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas

prestasi yang dicapai guru di sekolah. Memberikan

kepercayaan kepada para guru untuk melakukan

pekerjaan yang sesuai akan membangun responsibility

guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya.

Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas

dan inovasi mereka yang pada akhirnya akan

meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian

wewenang memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal

meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai akibat

dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan

keberadaanya di sekolah. Dengan demikian, guru akan

mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya

untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.

Flexibility procedure sangat dibutuhkan di

sekolah, karena sangat memudahkan dalam

pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan

mendukung sekolah dalam melakukan penyesuaian

terhadap perubahan-perubahan zaman seiring dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Di samping itu, akan memberi peluang pula bagi guru

untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan

kompetensi, sehingga lebih siap dalam berkompetisi.

D. Pembinaan dan Pengembangan Profesionalisme

Guru melalui Supervisi

Fase vital dalam pembinaan dan pengembangan

profesionalisme guru adalah supervisi. kepala sekolah

berfungsi sebagai supervisor pengajaran di sekolah.

Kepala sekolah bertanggung jawab mengkoordinasikan

semua program pengajaran. Para guru mengharapkan

agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar

waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pengajaran.

Oleh sebab itu, kepala sekolah hendaknya memiliki

kompetensi kepemimpinan pengajaran dalam

melaksanakan tugasnya sebagai supervisor. Dia

hendaknya memiliki pemahaman tentang cara yang

tepat dalam melaksanakan supervisi.

Fungsi supervisi pendidikan adalah sebagai

layanan atau bantuan kepada guru untuk

mengembangkan situasi belajar mengajar. Konsep

supervisi sebenarnya diarahkan kepada pembinaan.

Artinya kepala sekolah, guru dan para personel lainnya

di sekolah diberi fasilitas untuk meningkatkan

kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokok dan

fungsinya. Menurut Anwar dan Sagala (2009)

Supervisor mempunyai fungsi-fungsi utama, antara lain:

a. Menetapkan masalah yang betul-betul mendesak

untuk ditanggulangi.

b. Menyelenggarakan inspeksi, yaitu sebelum

memberikan pelayanan kepada guru, supervisor

lebih dulu perlu mengadakan inspeksi sebagai usaha

mensurvai seluruh sistem yang ada.

c. Memberikan solusi terhadap hasil inspeksi yang

telah di survai.

d. Penilaian

e. Latihan, dan

f. Pembinaan atau pengembangan.

Di lihat dari fungsi yang telah ada, tampak jelas

peranan supervisi pendidikan. Peranan supervisi dapat

dikemukakan oleh berbagai pendapat para ahli yang

menyimpulkan tetang tugas dan fungsi supervisor:

a. Koordinator, sebagai koordinator supervisor dapat

mengkoordinasi program-program belajar mengajar,

tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang

berbeda-beda diantara guru-guru.

b. Konsultan, sebagai konsultan supervisor dapat

memberikan bantuan, bersama mengkonsultasikan

masalah yang dialami guru baik secara individual

maupun secara kelompok.

c. Pemimpin kelompok, supervisor dapat memimpin

sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi

kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum,

materi pelajaran dan kebutuhan profesional guru

secara bersama-sama.

d. Evaluator, supervisor dapat membantu guru dalam

menilai hasil dan proses belajar, dapat menilai

kurikulum yang sedang dikembangkan.

Konsepsi umum pendidikan mengenal supervisi

sebagai salah satu usaha menstimulir, mengkoordinir

dan membimbing secarr kontinyu pertumbuhan guru-

guru di sekolah baik secara individual maupun secara

kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam

mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan

demikian mereka dapat menstmulir dan membimbing

pertumbuan tiap-tiap peserta secara kontinyu, serta

mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat

demokrasi modern. Wilem Mantja (2002)

mendefinisikan bahwa, supervisi diartikan sebagai

kegiatan supervisor (jabatan resmi) yang dilakukan

untuk perbaikan proses belajar mengajar (PBM). Ada

Page 17: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 16 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

dua tujuan (tujuan ganda) yang harus diwujudkan oleh

supervisi, yaitu; perbaikan (guru -murid) dan

peningkatan mutu pendidikan. Willem Mantja

memandang supervisi sebagai kegiatan untuk perbaikan

(guru murid) dan peningkatan mutu pendidikan

Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan

pendekatan supervisi pengembangan (developmental

supervision). Pendekatan tersebut bertolak dari

kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah

proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara

kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dan

siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban

untuk memhamami semua karakteristik siswa.

Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan

supervisi pada para guru, hendaknya guru diperhatikan

sebagai individu, karena adanya perbedaanpernedaan

individual guru dalam perkembangan manusiawinya.

Perlakuan seperti itu sangat diperlukan, lebih-lebih guru

dituntut untuk terlibat secara langsung dalam

peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi

perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan

karakteristik guru. Pendekatan tersebut erat kaitannya

dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam

menjalankan tugas keprofesionalan,nyaitu komitmen

dan kemampuan berpikir abstraks.

Komitmen guru merupakan banyaknya waktu

dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut

bagi siswa dan menunjang profesinya. Komitmen

diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi

atas tiga kategori, kepedulian terhadap diri sendiri,

terhadap siswa, dan terhadap profesionalisasi.

Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan

kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu

mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu

siswa belajar secara efektif, dan mampu

mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih

memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa.

Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas

kognitif.

Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas

kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan

profesional, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang,

dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut

membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang

dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi

direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki

kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas

kognitif rendah, (2) supervisi kolaboratif diperuntukkan

bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan

kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi

nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki

kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif

tinggi. Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi

pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting,

demonstrating, directing, standardizing, reinforcing.

Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk

mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran,

menetapkan prangkat standar untuk perbaikan

pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai

dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak,

bahwa dalam supervisi direktif, tanggung jawab

cenderung lebih banyak pada kepala sekolah

dibandingkan

dengan tanggung jawab guru. Dalam supervisi

kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah

listening, clarifying, pressenting, problem solving,

negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut

mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru

berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya

mendengarkan persepsi guru tentang masalah

pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi

guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan

masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif

pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk

diterapkan dalam pembelajaran. Beranjak dari

pemahaman kepala sekolah, bahwa guru adalah mampu

berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang

lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat

dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening,

clarifying, encouraging, pressenting, negotiating,

accomodating teacher-initiated.

Tindakan-tindakan tersebut bertolak dari premis,

bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh

pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru

tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri.

Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah

upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman

belajar siswa di kelas. Peranan kepala sekolah adalah

mendengarkan, tidak memberi pertimbangan,

membangkitkan kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi

pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih

menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh

informasi dengan tujuan membuka komunikasi dalam

pertemuan supervisi mereka. Peranan kepala sekolah

dalam menjalankan supervisi seperti itu akan membuat

persepsi guru menjadi positif.

E. Kesimpulan

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga

profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen mendefinisikan bahwa

profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber

penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,

kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar

mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan

profesi. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk

selalu mengembangkan diri sejalan dengan kemajuan

ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen, wacana mengenai

profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia.

Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga

faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru,

sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga

faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir

berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru

profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang

dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan

produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan

kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan

dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan

profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia.

Page 18: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 17 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah

tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh

tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan

profesi.

Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan

dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki

kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat

jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi

profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi

kepribadian.

Permasalahannya adalah apakah konsepsi

teoretis profesionalisme guru yang disematkan pada

guru yang telah bersertifikasi itu linear dengan realitas

praksis di ruang-ruang pembelajaran.

Program sertifikasi guru merupakan upaya

pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru

berkualitas. Guru berkualitas yang terbukti dari hasil

sertifikasi dijadikan dasar untuk memberikan tunjangan

profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi

dikategorikan sebagai guru yang profesional. Untuk

menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring

dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan

profesionalisme secara berkesinambungan. Secara

preskriptif, dukungan kompetensi manajemen, strategi

pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian

tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis

alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.

Dukungan kompetensi manajemen diperankan

oleh kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah.

Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan

merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi

teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik,

bahwa guru yang harus berkembang secara profesional,

pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya

secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi

manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi

pengembangan tidak lebih dari sekadar fasilitas dan

pijakan bagi guru untuk meningkatkan komitmen.

Daftar Pustaka

Macionis, John J. 1987. Sociology. Englewood Cliffs,

New Jersey: Pentice-Hall. Inc

Mantja, W. 2002. Manajemen pendidikan dan supervisi

pengajaran. Malang: Wineka Media.

McIntosh, J. E. 2005. Valuing the collaborative nature

of professional learning communities. Tersedia

pada

http://www.nipissingu.ca/oar/PDFS/V82E.pdf.

Rosidi, Sakban. 2008, Penelitian Tindakan, Praksis

Pendidik Profesional. Makalah

Seminar dan Lokakarya Nasional, Kerjasama Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa

Timur dan PP Un-Nur Malang, tanggal 25 Mei

2008.

Saiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesional Guru dan

Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta

Sallis, E. (1993), Total Quality Management in

Education, London: Kogan Page Limited

Surya Dharma. 2003. Pengembangan SDM berbasis

kompetensi. Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma

baru manajemen sumber daya manusia. 105-

120. Yogyakarta: Amara Book.

Surya, M. (2005), Profesi Guru Dalam Kenyataan dan

Harapan, Makalah Semiloka Nasional

Profesionalisasi Pendidik dan Tenaga

Kependidikan, , Bandung, FIP-UPI

Wagner E (2001), Development and Evaluation of a

Standards-Based Approach to Instruction in

General Chemistry, Elektronic Journal of

Science Education Vol. 6 No. 1

Wahibur Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan

komitmen: Upaya mencapai kesuksesan

organisasi dalam menghadapi persaingan global.

Dalam Usmara, A (Ed.): Paradigma baru

manajemen sumber daya manusia. 121-133.

Yogyakarta: Amara Book.

Page 19: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 18 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Posisi Dan Fungsi Teori Dalam Penelitian Kualitatif

Madekhan *) *) Dosen Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Lamongan

Abstract

There is a growing interest on qualitative methodology as evidence by an increasing number of qualitative research

design employed in social science researches. In qualitative inquiry process, the role of theory in the field of social

science and where it situates in the research framework has always created a challenge for the researchers. However,

inconclusive and differing opinions have so far been documented about the position and function of theory in qualitative

research. The purpose of this paper is to build a general perspective in terms of the position and function of theory in

qualitative research methodology applicable to social science research. Review of literatures on these issues were

presented and discussed. As a result, mostly argue that theory in qualitative research is not in terms of testifying the

validity or accuracy, event or experience in real-life cannot always or necessarily be based on theory, yet the

significant role of theory in literature review is an undeniable fact. Here, theory is a road guidance in qualitative

research.

Key Words: qualitative, social research, position and function of theory.

I. PENGERTIAN PENELITIAN KUALITATIF

Setiap penelitian bermaksud untuk menemukan

atau mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan itu

adakalanya berupa teori, yang merupakan penjelasan

terhadap gejala-gejala, dan adakalanya berupa

knowledge yang merupakan konsep-konsep atau pola-

pola regulasi yang terdapat di alam ini. Selain itu,

penelitian juga bermaksud untuk menemukan

pengetahuan yang berupa strategi-strategi untuk

pemecahan suatu masalah. Pada dasarnya penelitian

kualitatif dapat digunakan untuk ketiga maksud tersebut

(Bahar, 2011).

Untuk menggali ragam pengetahuan yang

disebut di atas, penelitian kualitatif mempunyai caranya

sendiri, yang berbeda dari penelitian kuantitatif. Jika

penelitian kuantitatif bertolak dari suatu teori dan

kemudian bermaksud untuk mengujinya, maka dalam

penelitian kualitatif tidak demikian halnya. Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bertolak dari

ketidaktahuan, artinya peneliti belum memiliki

pengetahuan tentang obyek yang diteliti, termasuk jenis

data dan kategori-kategori yang mungkin ditemukan.

Karena itu, penelitian kualitatif tidak menggunakan

teori yang sudah ada sebagai dasar pengembangan

teoritiknya.

Penelitian kualitatif berangkat dari suatu

komitmen untuk memperoleh data secara alamiah:

peneliti beranggapan bahwa pemerolehan pengetahuan

secara sistematik harus berada dalam suasana alamiah

ketimbang dalam suasana artifisial atau buatan seperti

eksperiman (Marshall dan Rossman (1989). Lebih

sistematis dikemukakan Bryman (1988, hal 61-69)

bahwa penelitian kualitatif memiliki 6 kriteria,

sebagaimana dalam tabel 1 berikut:1

Tabel 1. Kriteria Penelitian Kualitatif

1 dalam Silverman 1993 hal 23-25

1 Melihat melalui mata dari ... atau menurut

perspektif subjek.

2 Menggambarkan detail-detail kebiasaan di

dalam kehidupan sehari-hari;

3 Memahami tindakan dan makna dalam

konteks sosialnya.

4 Menekankan waktu dan proses

5 Lebih terbuka dan desain penelitiannya

relatif tidak terstruktur,

6 Menghindari konsep dan teori pada tahap

permulaan.

Bila mengacu Tabel 1 di atas maka Penelitian

kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan

pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif

subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar

fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain

itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan

gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai

bahan pembahasan hasil penelitian.

Terdapat perbedaan mendasar antara peran

landasan teori dalam penelitian kuantitatif dengan

penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif,

penelitian berangkat dari teori menuju data, dan

berakhir pada penerimaan atau penolakan terhadap teori

yang digunakan. Sedangkan dalam penelitian kualitatif

peneliti bertolak dari data yang sarat dengan konteks,

memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas,

dan berakhir dengan suatu teori.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur

statistik atau bentuk hitungan lainnya, secara umum

tujuan penelitian kualitatif adalah untuk ―menemukan‖.

Menemukan berarti sebelumnya belum pernah ada atau

belum diketahui. Bisa dikatakan bahwa pendekatan

kualitatif lebih menekankan pada esensi dari fenomena

yang diteliti. Kebenaran dari hasil analisis penelitian

kualitatif lebih bersifat ideographik, tidak dapat

digeneralisasi. Hasil analisis penelitian kualitatif

naturalistik lebih bersifat membangun, mengembangkan

Page 20: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 19 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

maupun menemukan teori-teori sosial. Dengan metode

kualitatif, maka peneliti dapat menemukan pemahaman

yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang

kompleks, memahami interaksi dalam situasi sosial

tersebut sehingga dapat ditemukan hipotesis, pola

hubungan yang akhirnya dapat dikembangkan menjadi

teori.

II. PENGERTIAN TEORI

Teori adalah seperangkat dalil mengenai

hubungan antara berbagai konsep. Dalam penelitian

kualitatif, teori yang sudah ada memiliki kegunaan yang

cukup penting, teori dalam penelitian kualitatif

digunakan secara lebih longgar, teori memungkinkan

dan membantu untuk memahami apa yang sudah

diketahui secara intuitif pada saat pertama, tetapi

bersifat jamak untuk berubah sebagaimana teori sosial

berubah. Pada umumnya teori bagi penelitian kualitatif

berguna sebagai sumber inspirasi dan pembanding

(Bahar, 2011).

Kedudukan teori sendiri dalam penelitian

hendaknya dipahami dari keterkaitannya dengan

kedudukan hipotesis, metode dan metodologi. Pada

tabel 1 di bawah ini, Silverman (1993, hal 1) dengan

jelas menggambarkan kedudukan teori di tengah tiga

konsep dasar dalam penelitian.

Tabel 2. Konsep Dasar dalam Penelitian

KONSEP

PENGERTIAN

RELEVANSI

Teori Serangkaian konsep

penjelas

Sesuai

Kegunaan

Hypotesis Pernyataan/proposisi

yang bisa diuji

Validitas

Metodologi Pendekatan umum

untuk mengkaji topik

penelitian

Sesuai

Kegunaan

Metode Suatu teknik

penelitian tertentu.

Harus

sebangun

dengan teori,

hipotesis dan

metodologi

Sebagaimana pada tabel 2, teori menyediakan

serangkaian konsep penjelas (explanatory concepts).

Tanpa sebuah teori, tidak akan terlaksana penelitian. Di

dalam penelitian sosial, contoh teori adalah

fungsionalisme (yang mengkaji fungsi-fungsi pranata

sosial), behaviorisme (yang melihat semua perilaku

dalam kerangka stimulus dan respon), dan interaksi

simbolik (yang memusatkan bagaimana kita

mengkaitkan makna-makna simbolis dengan relasi-

relasi interpersonal.

Dengan demikian teori merupakan sumber

tenaga bagi penelitian, dimana seiring perkembangan

zaman, teori dikembangkan dan dimodifikasi oleh

berbagai penelitian. Di sini diyakini bahwa ketika

didayagunakan teori tidak pernah salah, namun hanya

dalam pemahaman lebih ataupun kurang berguna

Silverman (1993, hal 2).2

Dalam penelitian kualitatif, karena

permasalahan yang dibawa oleh peneliti bersifat

sementara, maka teori yang digunakan dalam penelitian

kualitatif juga bersifat sementara, dan akan berkembang

setelah peneliti memasuki lapangan atau dalam konteks

sosial. Dalam kaitannya dengan teori, penelitian

kualitatif bersifat menemukan teori.

III. TEORI BAGI PENELITI

KUALITATIF

Dari sisi kememadaian, dalam penelitian

kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus

dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di

bandingkan penelitian kuantitatif karena harus

disesuaikan dengan fenomena yang berkembang di

lapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau

menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih

luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik.

Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai

bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih

luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif

dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam,

namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti

kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki

tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam

menyusun instrument dan sebagai panduan dalam

menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi.

Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data

berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan, dan

dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti

kualitatif harus bersifat ―perspektif emic‖ artinya

memperoleh data bukan ―sebagai seharusnya‖, bukan

berdasarkan apa yang dipikirkan oleh peneliti tetapi

berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi

dilapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan

oleh partisipan/sumber data.

Oleh karena itu penelitian kualitatif jauh lebih

sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti kualitatif

harus berbekal teori yang luas sehingga mampu menjadi

―human instrument‖ yang baik. Penelitian kualitatif jauh

lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian

kuantitatif karena data yang terkumpul bersifat

subyektif dan instrument sebagai alat pengumpul data

adalah peneliti itu sendiri.

Dengan kebutuhan akan teori yang memadai,

maka untuk dapat menjadi instrument penelitian yang

baik, peneliti kualitatif dituntut untuk memiliki

wawasan yang luas, baik wawasan teoritis maupun

wawasan yang berkaitan dengan konteks sosial yang

diteliti yang berupa nilai, budaya, keyakinan, hukum,

adat-istiadat yang terjadi dan berkembang pada konteks

sosial tersebut. Bila peneliti tidak memiliki wawasan

yang luas, maka peneliti akan sulit membuka pertanyaan

pada sumber data, sulit memahami apa yang terjadi,

tidak akan mampu memahami analisis secara induktif

terhadap data yang diperoleh, padahal pendekatan

2 David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage Publication,

London, 1993

Page 21: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 20 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

induktif memberikan panekanan pada pemahaman yang

kompresif atau ―holistik" mengenai situasi sosial yang

ditelaah. Artinya, kehidupan sosial dipandang sebagai

pelibatan serangkaian peristiwa yang saling berpautan,

yang perlu untuk digambarkan secara lengkap oleh

peneliti kualitatif.

IV. POSISI DAN FUNGSI TEORI DALAM

PENELITIAN KUALITATIF

Menurut J.W Creswell (1998), peneliti kualitatif

perlu menyadari perlunya dan tata cara penggunaan

perspektif teori di dalam kajiannya. Ilmu-ilmu sosial

memberikan penjelasan, prediksi dan generalisasi

tentang bagaimana aspek-aspek kehidupan manusia

berperan. Teori-teori tersebut mungkin diajukan oleh

peneliti pada filosofis yang abstrak dan luas ataupun

tingkat yang lebih konkrit dan substansial. Pertanyaan

pokoknya, antara lain adalah: haruskah sebuah

kacamata teori tertentu membingkai penelitian tersebut

sehingga melahirkan pertanyaan penelitian dan

menyarankan sudut pandang di dalamnya?

Yang jelas, bagaimanapun juga memang ada

baiknya seorang peneliti untuk mempertimbangkan

sebuah teori digunakan dalam penelitiannya. Pengertian

membingkai di sini tidak lain adalah menggunakan

sebuah teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan

temuan penelitian dan bukan untuk menentukan

variabel-variabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk

membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan

bahwa pada dasarnya penggunaan tersebut berada pada

garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses

penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut

sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi

penelitian kualitatif3.

Sementara Bahar (2011), menyatakan bahwa posisi

teori pada pendekatan kualitatif harus diletakkan sesuai

dengan maksud penelitian yang dikerjakan. Pertama,

untuk penelitian yang bermaksud menemukan teori dari

dasar, paling tidak ada tiga aspek fungsi teori yang

dapat dimanfaatkan;

a. Konsep-konsep yang ditemukan pada teori terdahulu

dapat "dipinjam" sementara (sampai ditemukan

konsep yang sebenarnya dari kancah) untuk

merumuskan masalah, membangun kerangka

berpikir, dan menyusun bahan wawancara;

b. Ketika peneliti sudah menemukan kategori-kategori

dari data yang dikumpulkan, ia perlu memeriksa

apakah sistem kategori serupa telah ada sebelumnya.

Jika ya, maka peneliti perlu memahami tentang apa

saja yang dikatakan oleh peneliti lain tentang

kategori tersebut. Hal ini dilakukan hanya untuk

perbandingan saja, bukan untuk mengikutinya; dan

c. Proposisi teoritik yang ditemukan dalam penelitian

kualitatif (yang memiliki hubungan dengan teori

yang sudah dikenal) merupakan sumbangan baru

untuk memperluas teori yang sudah ada. Demikian

pula, jika ternyata teori yang ditemukan identik

dengan teori yang sudah ada, maka teori yang ada

3 Lebih jelas karya John W. Cresswell ini bisa dibaca pada saduran

dengan judul Desain dan Model Penelitian Kualitatif oleh Dr.

M. Djauzi Moedzakir, M.A, UNM, Malang, 2010

dapat dijadikan sebagai pengabsahan dari temuan

baru itu.

Kedua, untuk penelitian yang bermaksud memperluas

teori yang sudah ada, teori tersebut bermanfaat bagi

peneliti pada tiga hal berikut;

a. Penelitian dapat dimulai dari teori terdahulu tersebut

dengan merujuk kerangka umum teori itu. Dengan

kata lain, kerangka teoritik yang sudah ada bisa

digunakan untuk menginterpretasi dan mendekati

data. Namun demikian, penelitian yang sekarang

harus dikembangkan secara tersendiri dan terlepas

dari teori sebelumnya. Dengan demikian, penelitian

dapat dengan bebas memilih data yang

dikumpulkan, sehingga memungkinkan teori

awalnya dapat diubah, ditambah, atau dimodifikasi;

b. Teori yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk

menyusun sejumlah pertanyaan atau menjadi

pedoman dalam pengamatan/wawancara untuk

mengumpul data awal; dan

c. Jika temuan penelitian sekarang berbeda dari teori

yang sudah ada, maka peneliti dapat menjelaskan

bagaimana dan mengapa temuannya berbeda dengan

teori yang ada.

Peneliti kualitatif dituntut mampu

mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan

teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih

berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti

memiliki teori dan memahami permasalahan yang

diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat

sementara. Oleh karena itu landasan teori yang

dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi

bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut

untuk melakukan ―grounded research‖, yaitu

menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di

lapangan.

Ada dua bentuk perangkat yang digunakan dalam

merancang kerangka konseptual sebagai panduan kerja

dalam penelitian kualitatif. Kedua perangkat dimaksud

adalah ―paradigma alamiah‖ (naturalistic paradigm) dan

pola pengembangan pengetahuan dalam ―bidang ilmu‖

yang diteliti. Pada dasarnya kedua perangkat ini bersifat

saling melengkapi, di mana paradigma alamiah

mengarahkan kegiatan penelitian, dari mana dimulai

dan ke mana arahnya, serta bagaimana cara atau proses

kerjanya, sedangkan bidang ilmu mempertegas obyek

material atau substansi yang layak diteliti. Pandangan

mendasar yang menjadi asumsi paradigma alamiah

adalah bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada pola-

pola interaksi atau perilaku tertentu yang terjadi secara

ajeg. Jika peneliti dapat mendeteksi dan menemukan

pola-pola itu, maka ia dapat menyusunnya menjadi

suatu teori. Inilah yang dimaksudkan dalam grounded

theory bahwa penelitian kualitatif merupakan satu upaya

untuk membangun teori dari dasar. Jadi, teori itu

sesungguhnya ditemukan dari masyarakat melalui

penelitian yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian

kualitatif sama sekali tidak bermaksud untuk menguji

teori, dan bahkan tidak bertolak dari variabel-variabel

yang direduksi dari suatu teori. Sungguh tidak relevan

Page 22: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 21 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

jika penelitian kualitatif dimulai dengan teori atau

konsep/variabel yang digunakan teori sebelumnya,

karena akan menghambat pengembangan rumusan teori

baru.

Sejalan dengan asumsi di atas, peneliti kualitatif

tidak membawa konsep-konsep yang diperoleh dari

teori (yang sudah ada) ke lapangan, melainkan berusaha

memahami dan memaknai fenomena sesuai dengan

pemahaman dan pemaknaan yang diberikan oleh subyek

yang diteliti. Ini sangat prinsip dalam penelitian

kualitatif. Strategi ini disebut dengan pendekatan emik,

yaitu suatu prinsip pemaknaan fenomena berdasarkan

pemahaman "orang dalam", dengan menggunakan

ukuran-ukuran yang ditemukan di lapangan. Dasar

pijakan penelitian ini ialah adanya interaksi simbolik

dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir

berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan

cara mencari makna semantis universal dari gejala yang

sedang diteliti. Bertolak dari prinsip paradigma alamiah,

proses data kualitatif selalu menggunakan metode

berpikir induktif. Prinsip pokok teknik analisa ini ialah

mengolah dan menganalisa data menjadi data yang

sistematik, teratur, terstruktur dan mempunyai makna.

Tujuan akhir penelitian kualitatif ialah menghasilkan

pengertian-pengertian, konsep-konsep dan atau

pembangunan suatu teori baru. Perangkat yang kedua

adalah pola pengembangan ilmu sosial, yang pada

mulanya metode-metode kualitatif muncul dari

penelitian-penelitian antropologi, etnologi, serta aliran

fenomenologi dan aliran idealisme. Karena metode-

metode ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu sosial

lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.

Ada dua istilah yang sering dipakai dalam

penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual.

Istilah kerangka teoritis banyak dipakai dalam penelitian

kuantitatif, tidak pada penelitian kualitatif, sedangkan

istilah kerangka konseptual lebih tepat digunakan pada

penelitian kualitatif. Dasar pertimbangannya adalah,

bahwa penelitian kuantitatif menggunakan deduksi logis

dari suatu teori untuk perumusan hipotesis, sedangkan

penelitian kualitatif lebih pada upaya pembentukan

konsep-konsep dari data lapangan menuju pemahaman

terhadap fenomena atau terbentuknya suatu teori.

Pada hakikatnya, kerangka konseptual adalah suatu

rancangan yang dapat menegaskan tentang dimensi-

dimensi kajian utama penelitian serta mengungkap

tentang perkiraan hubungan-hubungan antara dimensi-

dimensi tersebut. Atas dasar itu, kerangka konseptual

merupakan panduan bagi peneliti dalam proses

penelitiannya, baik memutuskan karakeristik data yang

harus dikumpulkan, strategi dalam melakukan

kategorisasi, maupun dalam penemuan relasi antara

kategori.

Kapan waktu yang paling tepat melakukan

perancangan kerangka konseptual dalam penelitian

kualitatif? Ini menjadi diskusi yang tidak berujung di

kalangan ahli kualitatif. Jika dilakukan dari awal,

mungkin sekali membuat ketidakbebasan bagi peneliti

untuk menemukan fenomena yang asli, karena

pikirannya telah terfokus untuk memperhatikan hanya

pada fokus khusus. Hal ini merupakan pengebirian

karakter penelitian kualitatif. Tetapi jika kerangka

konseptual dirancang belakangan, dapat mengakibatkan

pengumpulan data serampangan dan bisa jadi

menghadirkan data yang melimpah-ruah.

Diskusi yang tidak pernah selesai ini menjadi faktor

munculnya berbagai pola perancangan kerangka

konseptual di kalangan peneliti kualitatif. Ahli

antropologi dan fenomenologi berpendapat, realitas

sosial itu cukup kompleks, karena itu peta-peta

konseptual yang konvensional akan menjadi kendala.

Sebab, latar, fenomena-fenomena, dan pelaku-pelaku

yang paling bermakna tidak akan dapat diramalkan

sebelum penelitian lapangan. Jadi, kerangka konseptual

seharusnya muncul secara empiris di lapangan sewaktu

penelitian berjalan.

Tidak semua penelitian harus menghasilkan teori.

Sebagian dari hasil penelitian itu tidak dimungkinkan

untuk dilanjutkan ke perumusan teori, dan karena itu

harus dihentikan sampai pada penemuan formulasi-

formulasi konseptual dan tema-tema budaya. Penelitian

yang sampai pada penemuan tema-tema seperti itu juga

cukup penting, sebab tema-tema yang memuat

keterangan deskriptif itu dapat disusun secara sistematis

ke dalam bentuk konsepsi -konsepsi dekriptif yang kaya

dengan definisi, informasi, dan atau abstraksi dari

gejala-gejala sosial. Atas dasar itu, seorang peneliti

kualiatif tidak mesti memaksakan diri untuk

menemukan ―teori‖ dari kancah, bahkan ia dapat saja

merancang sebuah penelitian yang hanya sampai pada

penemuan tema-tema untuk disusun ke dalam

pengetahuan deskriptif yang bersifat informatif.

Akhirnya, perumusan teori dimulai dengan

mereduksi jumlah kategori-kategori sekaligus

memperbaiki rumusan dan integrasinya. Modifikasi

rumusan semakin minimal, sekaligus isi data dapat terus

semakin diperbanyak. Atribut terori yang tersusun dari

hasil penafsiran/pemaknaan dilengkapi terus dengan

data baru, dirumuskan kembali dalam arti diperluas

cakupannya sekaligus dipersempit kategorinya. Jika hal

itu sudah tercapai dan peneliti telah merasa yakin akan

hasilnya, pada saat itu peneliti sudah dapat

mempublikasikan hasil penelitiannya.

V. KESIMPULAN

Dasar penelitian kualitatif berada di seputar upaya

memperoleh data secara alamiah. Bagaimana peneliti

berupaya memperoleh pengetahuan secara sistematik

dalam suasana alamiah, tidak artifisial atau buatan. Atas

sifatnya demikian, maka teori dalam penelitian

kualitatif, memiliki kegunaan yang cukup penting. Teori

dalam penelitian kualitatif digunakan untuk

memungkinkan dan membantu peneliti kualitatif

memahami apa yang sudah diketahui secara intuitif

pada saat pertama, tetapi pada fase berikutnya bisa

berubah sebagaimana teori sosial berubah.

Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau

menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih

luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik.

Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai

bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih

luas dan mendalam. Oleh karena itu penelitian kualitatif

jauh lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena

Page 23: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 22 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

peneliti kualitatif harus berbekal teori yang luas

sehingga mampu menjadi ―human instrument‖ yang

baik. Penelitian kualitatif jauh lebih sulit bila

dibandingkan dengan penelitian kuantitatif karena data

yang terkumpul bersifat subyektif dan instrument

sebagai alat pengumpul data adalah peneliti itu sendiri.

Fungsi dan posisi sebuah teori dalam pengertian

sederhana adalah bingkai dari sebuah penelitian

kualitatif. Di sini tidak lain adalah menggunakan sebuah

teori ilmu tertentu untuk menginterpretasikan temuan

penelitian dan bukan untuk menentukan variabel-

variabel yang perlu ditemukan, apalagi untuk

membuktikan kebenaran sebuah teori. Dapat dikatakan

bahwa pada dasarnya, fungsi dan posisi teori berada

pada garis yang kontimum dari awal hingga akhir proses

penelitian, tinggal pada posisi mana pada garis tersebut

sebuah teori akan digunakan di masing-masing tradisi

penelitian kualitatif.

Akhrinya, sebagaimana ditemukan dalam beberapa

literatur metode penelitian (Moleong, 1999; Creswell,

2002, Lindloft, 1995), menyebutkan bahwa metode

penelitian kualitatif lebih bersifat induktif. Artinya

langkah penelitian yang harus didahulukan adalah data

berdasarkan fakta, gejala, fenomena, realitas yang

menjadi tema, kemudian diolah, diproses, sehingga

akhir penelitian dapat menjadi proposisi, model atau

bahkan teori. Hampir semua disepakati bahwa teori

pada penelitian kualitatif bukan untuk diuji keabsahan,

kebenaran atau kesalahannya, melainkan sebagai

―guidance‖ atau ―petunjuk jalan‖ saja.

Daftar Bacaan :

Bahar, Hartati, Teori dalam Penelitian Kualitatif,

http://tatikbahar.blogspot.com/2011/01/teori-

dalam-penelitian-kualitatif.html, diakses

November 2012.

David, Silverman, Interpreting Qualitative Data, Sage

Publication, London, 1993.

Gempur Santoso, Fundamental Metodologi Penelitian

Kuantitatif dan Kualitatif, Cetakan pertama:

Juli 2005, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,

2005.

Moedzakir, Djauzi, M.A, Desain dan Model Penelitian

Kualitatif, Universitas Negeri Malang, 2010

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif,

Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.

Purwoko, Bambang, Penelitian Kualitatif, Bahan Kuliah

S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah,

Universitas Gajah Mada, 2008.

Siregar, Parluhutan. Teori dan Kerangka Konseptual,

http://google.or.id//teori dalam penelitian

kualitatif.htm. di akses September 2008

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan

R&D, Alfabeta, Bandung, 2006

Widoyoko, EP, Analisis Kualitatif Dalam Penelitian

Sosial, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian

FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo,

2007

Page 24: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 23 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Mengintegrasikan Soft Skill dalam Pembelajaran Interaktif (Sebuah telaah kritis atas artikel ilmiah : Integrating Soft Skills Through

Active Learning In The Management Classroom)

Rusydan*) *)Dosen FKIP Unisla Lamonggan

Abstrak : Penerapan active learning yang merupakan suatu ide yang cemerlang

untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penerapan atribut soft skill di ruang

kelas di Indonesia, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi

kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan

berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan

yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre

learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre

learning). Lulusan Perguruan Tinggi kita dihadapkan pada kenyataan dan

problematika masyarakat yang memerlukan ketangguhan kompetensi personal

tinggi. Oleh karenanya diperlukan suasana pembelajaran di kelas yang

berorientasi pada pengembangan soft skill mahasiswa.

Kata kunci : Integrasi, soft skill, pembelajaran interaktif

A. Pendahuluan

Permasalahan Pendidikan di Indonesia saat

ini diungkapkan oleh Muchlas Samani dalam

bukunya Menggagas Pendidikan Bermakna bahwa

Pendidikan kita tampaknya terlalu teoritik, seperti

di awang-awang, tidak membumi, dan

memisahkan siswa dari kehidupan sehari-hari.

Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana

mengahadapi kehidupan nyata di masyarakat.

Lulusan perguruan tinggi hanya memiliki ijazah,

namun tidak memiliki kompetensi. Akibatnya,

mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi

dalam dunia kerja. Sorotan tersebut terutama

ditujukan kepada lulusan dari perguruan tinggi.

Terdapat jurang yang lebar/gap (mismatch) antara

lulusan di perguruan tinggi dengan dunia kerja

yang memberikan pekerjaan.

Menurut survei yang diterbitkan National

Association of Colleges and Employers (NACE) di

Amerika Serikat pada tahun 2002 dari hasil jajak

pendapat 457 pengusaha, bahwa Indeks Prestasi

(IP) hanya menempati urutan ke 17 dari 20 kualitas

yang dianggap penting dari seorang lulusan

universitas. Kualitas yang ada di peringkat atas

justru merupakan kemampuan yang tidak terlihat

(intengible) namun sangat diperlukan, seperti

kemampuan berkomunikasi, integritas dan

bekerjasama. Kemampuan tersebut dikenal dengan

istilah soft skill.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka

tulisan ini bermaksud untuk menelaah kritis atas

artikel jurnal berjudul Integrating Soft Skills

Through Active Learning In The Management

Classroom. Sebuah artikel hasil penelitian yang

dilakukan oleh Chynette Nealy University of

Houston-Downtown dimuat dalam Journal of

College Teaching & Learning Volume 2, Number 4

April 2005.

Telaah kritis jurnal ini akan mengambil

fokus teori yang digunakan, Kedua, telaah akan

difokuskan pada metode, baik metode pelaksanaan

training maupun metode analisa data. Dan yang

terakhir telaah akan mengulas sumbangan apa yang

dapat diberikan dari artikel ini baik dalam konteks

pengembangan ilmu maupun tataran praktis.

B. Gambaran umum jurnal

Kemampuan untuk menggunakan

interpersonal skill merupakan hal yang sangat

esensial dalam dunia kerja. Interpersonal skill,

yang dianggap sebagai soft skill menunjuk pada

kemampuan komunikasi, mendengarkan,

penyelesaian masalah kelompok, hubungan antar

budaya dan customer service. Beberapa penelitian

telah dilakukan untuk membuktikan pentingnya

interpersonal skill dalam dunia bisnis dan industri.

Dan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

soft skill menempati urutan teratas sebagai

kemampuan yang dicari pada setiap pencari kerja.

Data dari NACE pada job outlook 2000

menunjuk pada tiga top soft skill yang paling

dibutuhkan yakni komunikasi verbal (4,61),

teamwork (4,61) dan interpersonal (4,54). Hasil

tersebut digunakan sebagai feedback dari dunia

bisnis dan industri yang sering merasa kecewa

dengan para sarjana atau lulusan yang dianggap

kurang memiliki kemampuan tersebut. Data

tersebut digunakan oleh para instruktur manajemen

Page 25: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 24 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

untuk memodifikasi kurikulum dan teknik

pengajaran untuk mempersiapkan pemimpin bisnis

masa depan dengan keterampilan yang dibutuhkan

di dunia kerja pada abad 21.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji

active learning dan hubungannya dengan

perkembangan soft skill dan mengukur signifikansi

pengajaran dari para instruktur manajemen pada

mahasiswa tahun pertama dan atau mahasiswa

nontradisional. Yang kedua adalah menyediakan

strategi belajar yang dapat diadaptasi di kelas

dalam kuliah manajemen.

Penelitian ini menggunakan populasi

sebagai partisipasi yang menjadi sampel adalah 20

orang mahasiswa suatu universitas urban yang

berasal dari 70 orang mahasiswa di dua kelas

manajemen. Terdiri dari 13 orang wanita dan 3

orang pria. 8 orang African American, 12 orang

Hispanic. Berusia antara 25 sampai dengan 45

tahun. 5 orang tidak bekerja, 9 orang bekerja part

time dan 6 orang bekerja full time.

Tahapan Program penlitian terdiri dari 3

tahap. Pertama mahasiswa di beri kuliah dan

diskusi tentang soft skill yang dibutuhkan dalam

berbagai kondisi dan kepemimpinan. Ke dua diberi

ujian tentang soft skill yang dibutuhkan pada dunia

bisnis saat ini. Yang terakhir dibagi dalam 6

kelompok dan diberi tugas berupa studi kasus

tentang 3 hal yakni (a) Communicaton and

technology, partisipan diminta untuk menganalisa

permasalahan yang berkait dengan komunikasi dan

teknologi, seperti mengevaluasi jon application,

membuat resume, memberikan peringatan dan

pengumuman kepada karyawan, memimpin rapat,

interview dan sebagainya. Tujuannya agar para

partisipan tersebut memiliki keterampilan

komunikasi baik personal maupun kelompok. (b)

Human relations, partisipan diminta untuk

menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan

hambatan karena kesadaran budaya yang rendah

dan diskriminasi. Tujuannya agar partisipan

memiliki keterampilan mendengarkan dan

memahami perbedaan budaya. (c) Records and

information management, partisipan dihadapkan

pada tantangan etik, dan diminta untuk

mengembangkan kode etik berkaitan dengan

komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab

dan kesadaran social. Tujuannya agar partisipan

mampu mengembangkan kesadaran etik tentang

soft skill yang dikembangkan diantaranya

mengartikulasikan ide-ide, berfikir kritis, dan etika

kerja yang merefleksikan tanggung jawab.

Data dianalisa berdasarkan hasil laporan

dari para partisipan baik secara lisan maupun

tulisan, dan diresumekan secara deskriptif.

Laporan tersebut berisi pengalaman partisipan

menerapkan teori dalam praktek kerjanya dan

menunjukkan bahwa partisipan telah mampu

mendemonstrasikan pengetahuan dan

mengaplikasikan soft skil yang dibutuhkan dalam

manajemen dan berpengaruh positif terhadap

perilaku organisasi. Partisipan juga mampu

menggunakan pendekatan pengambilan keputusan

yang rasional serta mengembangkan rencana dan

kelompok kerja yang kolaboratif. Di bawah ini

adalah daftar soft skill yang dapat diidentisikasi

dan dikembangkan oleh partisipan selama

pelaksanaan kegiatan active learning:

a. Mendapatkan kepercayaan diri

b. Meningkatkan kemampuan komunikasi baik

lisan maupun tulisan

c. Keinginan yang besar untuk menerima ide dari

orang lain

d. Respek yang tinggi khususnya dari mahasiswa

tradisional

e. Mendapatkan kredibilitas berdasarkan

pengalaman kerja

f. Mahasiswa menghargai seniornya karena

pengalaman hidupnya

g. Mendapatkan pengalaman dan pemahaman

tentang budaya lain

h. Belajar mengenai aspek negatif dari stereotip

i. Belajar bahwa active learning informatif dan

menyenangkan

j. Berteman dengan yang lain meskipun orang

tersebut kurang aktif di kelas

k. Mengatasi rasa malu

l. Belajar tentang teknologi dan aplikasinya

m. Belajar untuk tidak setuju tanpa rasa marah.

n. Mendapatkan kepercayaan bahwa tujuan dapat

dicapai melalui pembimbingan baik oleh

instruktur maupun sejawat.

o. Mengenali pentingnya organisasi dan hubungan

antar karyawan

Proses yang telah dilalui oleh partisipan

memberikan banyak keuntungan diantaranya

partisipan belajar untuk beradaptasi dan

menemukan metodenya sendiri untuk memahami

materi perkuliahan. Beberapa implikasi yang dapat

diambil dari penelitian tersebut adalah:

a. Meneruskan penelitian tentang efektifitas active

learning

b. Para instruktur diharapkan selalu

mengeksplorasi kesempatan untuk

mengintegrasikan active learning dalam

aktifitas perkuliahan.

c. Kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk

mengidentifikasikan soft skill dan kemampuan

lain yang dibutuhkan oleh para karyawan.

Page 26: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 25 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

d. Struktur organisasi yang flat dan meningkatkan

populasi mahasiswa menuntut adanya

perubahan strategi mengajar yang masih

tradisional dan up date kurikulum.

Penelitian ini dilandasi oleh hasil-hasil

penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain, yakni :

1. Mishel and Bernstein (1994) yang menyatakan

bahwa transformasi pada angkatan kerja yang

berhubungan erat dengan perubahan-perubahan

diantaranya mahasiswa non tradisional yang

memasuki dunia perguruan tinggi. Berdasarkan

data Departemen Pendidikan AS menunjukkan

bahwa setengah dari mahasiswa tahun pertama

berusia diatas 24 tahun, dan sepertiganya

berusia di atas 35 tahun.

2. Kebutuhan untuk memperkecil skill gap dengan

meningkatkan kemampuan para pekerja agar

memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia

kerja yang global, kompetitif dan berteknologi.

Keadaan tersebut membutuhkan transformasi

metode pengajaran. Menurut Fink (1999) an

Black (2002) untuk menjawab hal tersebut para

pengajar perlu mengubah pengajaran yang

bersifat tradisional ke model pembelajaran yang

adaptif yang berfokus pada pendekatan yang

terintegrasi dan lebih melibatkan siswa.

3. Allen (2000) menyatakan bahwa materi

perkuliahan harus mengandung aktivitas

pembelajaran yang bervariasi sehingga

mahasiswa dapat berperan dalam budaya

akademik dan memperkaya kehidupannya

melalui proses sharing dengan para

pengajarnya.

4. Giezkowski (1992) menyatakan bahwa

instruktur yang mampu menyesuaikan diri

dengan mahasiswa yang sudah matang (mature

students) mengalami peningkatan dalam proses

pengajaran dan kelasnya menjadi sangat

dinamis, sebab mahasiswa tersebut cenderung

lebih fokusdalam menerapkan apa yang

dipelajari, lebih bermotivasi, dan menunjukkan

perilaku yang unggul. Pengalaman hidupnya

memperkaya diskusi di kelas serta mendorong

baik mahasiswa maupun pengajarnya untuk

membandingkan antara teori dan realita.

5. Bean (1996), Sutherland and Bonwell (1996)

dan Silberman (1996) active learning

direkomendasikan untuk memperluas

pemahaman dan interpersonal skill seperti

komunikasi, penyelesaian masalah dan team

work.

6. Lucas (1997) mengatakan bahwa active

learning merupakan pendekatan simulasi atau

game yang memiliki 4 karakteristik yakni (a)

mencari arti dan pemahaman, (b) fokus pada

tanggung jawab siswa, (c) menekankan pada

keterampilan dan pengetahuan, (d) pendekatan

terhadap kurikulum yang menempatkan lulusan

pada setting sosial dan karir yang lebih luas.

C. Telaah Kritis

1. Topik Artikel

Topik artikel ini sangat menarik,

mengingat bahasan mengenai soft skill saat ini

sedang hangat dibicarakan. Jumlah lapangan

pekerjaan dan pelamar kerja yang tidak sebanding

membuat persaingan menjadi ketat. Tatapi

kenyataannya banyaknya pelamar kerja tidak

diimbangi dengan kualitas individual yang

dibutuhkan oleh dunia kerja.

Berdasarkan laporan World Compettivenes

Yerabook (2004), tingkat daya saing Sumber Daya

Manusia Indonesia di limgkungan regoional

ASEAN berada paling bawah. Misalnya Singapura

berada di peringkat 2, Malaysia peringkat 16,

Thailand peringkat 29 dan Filipina 52. Para

pelamar kerja khususnya lulusan perguruan tinggi

yang diharapkan memiliki kualitas personal yang

unggul ternyata kurang tangguh, tidak jujur, cepat

bosan, tidak bisa bekerja teamwork, sampai minim

kemampuan berkomunikasi lisan dan menulis

laporan dengan baik.

Hal ini tidak terlepas dari peran PT yang

idealnya sebagai pusat pengajaran, selama ini

hanya menekankan pengajaran pada keahlian dan

keterampilan fisik (hard skill) Padahal waktu

terjun di DU/DI banyak aspek soft kill seperti

kemampuan berkomunikasi yang baik, kejujuran,

etos kerja tinggi, tahan banting dan aspek-aspek

lain yang tidak di ajarkan tetapi sangat berperan

dalam DU/DI tersebut.

Soft Skill didefinisikan sebagai ―personal

and interpersonal behaviors that develop and

maximize human performance (e.g. coaching, team

building, decision making, initiative). Menurut

Patrick S. O'Brien dalam bukunya Making College

Count, soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7

area yang disebut Winning Characteristics, yaitu,

communication skills, organizational skills,

leadership, logic, effort, group skills, dan ethics.

Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat

wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan

itu, disebut soft skill.

Dan survei dari National Association of

College and Employee (NACE), USA (2002),

kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting

seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah

kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas,

kemampuan bekerja sama, kemampuan

interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif,

Page 27: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 26 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

kemampuan beradaptasi, daya analitik,

kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi,

berorientasi pada detail, kepemimpinan,

kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks

prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan

kemampuan berwirausaha.

2. Teori yang digunakan

Penelitian ini didasari pada hasil-hasil

penelitian yang telah dilaksanakan oleh para

peneliti terdahulu, diantaranya adanya kebutuhan

praktis akan metode pembelajaran yang

menjembatani antara kebutuhan dunia usaha dan

pelaksanaan pengajaran di PT. Ketidakseimbangan

pendidikan di ruang kuliah yang lebih bertumpu

pada hard skill, tentu saja perlu segera diatasi,

antara lain dengan memberikan bobot lebih kepada

pengembangan soft skill. Implementasi soft skill

tersebut dapat dilakukan baik melalui kurikulum

maupun kegiatan ekstrakurikuler.

Penerapan active learning yang digagas oleh Bean

(1996), Sutherland and Bonwell (1996) dan

Silberman (1996) merupakan suatu ide yang

cemerlang untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Penerapan atribut soft skill di ruang kelas di

Indonesia, misalnya, lebih banyak lagi tugas

presentasi, diskusi kelompok, sampai role play.

Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan

berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting

sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar

bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher

centre learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa

belajar dengan baik (student centre learning).

3. Sumbangan bagi dunia pendidikan

Artikel ini memiliki sumbangan yang

cukup signifikan bagi perkembangan dunia

pendidikan. Penelitian di Eropa menyebutkan,

kesuksesan seseorang di dunia usaha 80%

ditentukan oleh kemampuan softskill dan 20%

kemampuan hardskill. Akan tetapi, didalam sistem

pendidikan saat ini seperti di paparkan dalam

Rakerwil Pimpinan PTS tahun 2006 bahwa 10 %

adalah soft skills sedangkan 90 % adalah hard

skills. Model pendidikan tinggi pada umumnya

masih fokus pada keterampilan teknis (hard skill)

90 persen di bandingkan pengembangan

kemampuan lunak (Soft skills) yaitu 10 persen.

Sementara itu, National Association Of College

and Employers (NACE) pada tahun 2005

melaporkan bahwa pada umumnya para pengguna

lulusan membutuhkan keahlian kerja berupa soft

skill 82 persen dan hard skill 18 persen. Oleh

karena itu dibutuhkan adaptasi kurikulum untuk

meningkatkan hasil belajar siswa yang berorientasi

pada soft skill.

4. Kelemahan artikel

Kelemahan dari artikel penelitian ini

diantaranya adalah tidak mendasarkan pada teori-

teori tentang soft skill. Meskipun proses

pembelajaran merupakan penekanan pada

penelitian ini tetapi soft skill sebagai out come dari

penelitian ini tetap harus dianalisa secara

mendalam.

Metodologi yang digunakan hanya bersifat

deskriptif, sehingga tidak dapat disimpulkan

apakah memang ada perbedaan yang signifikan

antara kemampuan sebelum dan sesudah

penelitian. Akan lebih baik bila didesain dengan

eksperimen dan digunakan kelompok control.

Dengan demikian maka sample dapat diperbanyak

dan lebih melibatkan banyak unsur budaya.

Partisipan adalah orang African American

dan Hispanic, tidak ada satupun orang Amerika

asli, hal ini tentunya akan membawa dampak

strereotip dan prejudice yang sangat tidak

diharapkan.

D. Penutup

Kesimpulan

Dari uraian yang telah disampaikan, maka

dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama artikel

jurnal internasional yang berjudul Integrating Soft

Skills Through Active Learning In The

Management Classroom yang dilakukan oleh

Chynette Nealy University of Houston-Downtown

dimuat dalam Journal of College Teaching &

Learning Volume 2, Number 4 April 2005 sangat

menarik untuk dijadikan kajian.

Kondisi masyarakat di Indonesia

khususnya angkatan kerjanya yang memiliki

kualitas personal rendah, dapat menjadi cermin

bahwa soft skill yang merupakan salah satu aspek

penting dari kualitas personal seseorang masih

belum mendapat perhatian. Dunia pendidikan

khususnya perguruan tinggi mestinya mampu

merespon kondisi ini dengan merevisi kurikulum

pendidikannya berikut pada metode pembelajaran

agar kondisi pembelajaran di kelas dapat

menstimulasi munculnya kemampuan soft skil.

Proses integrasi materi soft skill dalam mata

kuliah dan praktek pengelolaan kelas menjadi

keniscayaan bagi pendidik dalam memimpin

pembelajaran yang pada gilirannya akan mampu

menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang

kompeten dibidangnya serta tangguh dalam

menghadapi dinamika masyarakat global.

Page 28: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 27 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

DAFTAR RUJUKAN

As‘ad, M. 1986. Psikologi Industri. Yogyakarta:

Liberti

Daft, R.I. 1986.Organization: A Micro/Macro

Approach. Glenview, Illinois: Scot,

Foresman and Company.

Hughes, R.J. & Kapoor J.R. 1976. Business.

Boston: Houghton Mifflin Company.

Luthan, F. 1985. Organizational Behavior(4th ed),

Singapore: Mc Graw Hill Book Company.

Moore, G.W.1983. Developing and Evaluating

Educational Research. Toronto: Little

Brown & Company (Canada) Limited.

Owens, R.G. 1991. Organizational Behaviourin

Education (4th ed). London: Prentice Hall

International Inc.

Santoso, Slamet. Integrasi Soft Skill Mahasiwa di

Perkuliahan;Langkah letih Pengembangan

dan Pendekatan Pendidikan di PT.

(slametsantoso.multiply.com/journal/item/

6 - 124k. diakses tanggal 26 Oktober 2008)

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi

Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif

Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.

Page 29: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 28 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Upaya Meningkatkan Produktivitas Menulis Melalui Strategi Pembelajaran Berbasis

Masalah Untuk Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan

Abd. Ghofur*

*)Tenaga Pengajar di STKIP PGRI Lamongan

Abstrak

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui Strategi Pembelajaran Berbasis

Masalah dapat meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa di STKIP PGRI Lamongan.Untuk mencapai

tujuan tersebut dilakukan observasi terkait tingkat produktivitas menulis mahasiswa. Hasil observasi

menunjukan bahwa tingkat produktivitas menulis mahasiswa masih minim, walaupun ada, itupun masih

banyak unsur copy paste. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan terhadap kelas tersebut.

Tindakan penelitian dengan strategi pembelajaran berbasis masalah ini dilakukan dalam dua siklus. Siklus

yang pertama kelas dibuat dalam bentuk kelompok. Hasil siklus pertama cukup baik, cuma masih belum

merata untuk masing-masing individu. Hasil evaluasi dan refleksi menunjukan perlu tindakan pada siklus

kedua. Pada tahapan ini hasil evaluasi menunjukan bahwa masing-masing individu mampu membuat karya

tulis orisinil sesuai masalah yang dikaji.

Kata Kunci: Produktivitas Menulis, Strategi pembelajaran berbasis masalah.

PENDAHULUAN

Menulis penting bagi kehidupan manusia.

Sebab menulis merupakan proses berpikir, kegiatan

berkomunikasi, serta merupakan kemampuan yang

perlu dimiliki seorang pembelajar, terutama

mahasiswa (Yuningtyas, 2010).

Kemampuan menulis memiliki peran penting

dalam keberhasilan mahasiswa untuk menyelesaikan

studinya. Beberapa pembelajaran dalam perkuliahan,

menuntut mahasiswa dapat menghasilkan sebuah

tulisan. Bahkan, di akhir masa studinya, mahasiswa

harus membuat laporan penelitian. Namun, aktivitas

menulis di kalangan mahasiswa dapat dikatakan

belum berjalan baik. Hal ini disebabkan menulis

dianggap kegiatan yang sulit dan kurangnya

kesadaran membaca di kalangan mahasiswa untuk

meningkatkan kualitas tulisan mereka (Yuningtyas,

2010).

Ini bukan perkara biasa. Sayang, tak semua

orang menganggap penting hal ini. Akademisi tak

terampil berkarya tulis, sungguh sebuah ironi. Harus

ada upaya luar biasa yang mesti dilakukan agar

budaya baca tulis marak di masyarakat kampus.

Produktivitas dalam berkarya tulis idealnya menjadi

ciri khas dari kehidupan masyarakat ilmiah di

lingkungan kampus.

Dalam konteks kekinian, tidak perlu malu

mengakui, kaum intelektual Indonesia belum

produktif berkarya tulis. Di Malaysia, rata-rata per

tahun terbit sekitar 6.000 sampai 7.000 judul buku

baru. Sementara di Indonesia baru terbit sekitar

4.000 sampai 5.000 judul buku baru (Sapa'at, 2012).

Ironisnya, hal ini tidak sebanding dengan

jumlah penduduk Indonesia yang lebih besar 10 kali

lipat dari jumlah penduduk Malaysia. Idealnya,

60.000 judul buku baru setiap tahunnya muncul di

pasaran, buah pemikiran dari 61.889 dosen

berkualifikasi magister dan 12.081 dosen

berkualifikasi doktor di PTN dan PTS seluruh

Indonesia. Dengan perhitungan seperti itu, untuk

mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia

harus menulis satu buku setiap tahunnya (Sapa'at,

2012).

Bagaimana dengan produktivitas menulis para

mahasiswa di Indonesia? Hampir bernasib sama

dengan para dosennya, memprihatinkan. Prof.

Alwasilah dalam sebuah penelitian yang dilakukan

terhadap 16 responden etnografis (mahasiswa S1,

S2, S3) di kampus Bloomington, Indiana, Amerika

Serikat, mayoritas responden menilai bahwa

pendidikan nasional Indonesia tidak membekali

mahasiswa dengan kemampuan menulis paper

(75%), tidak mengajari kemampuan berpikir kritis

(68%), dan menulis paper merupakan tugas

akademik yang paling sulit (75%) (Sapa'at, 2012).

Kondisi ini menuntut keprihatinan, lantaran

pegiat pendidikan yang seharusnya giat menelurkan

karya tulis sepertinya dalam kondisi mlempem.

Memang kondisi ini tidak bisa dilihat dari sudut

pandang sepihak saja. Namun butuh kajian yang

sistematis untuk bisa menggenjot produktivitas

menulis dikalangan pegiat pendidikan, khususnya

para mahasiswa.

Mengacu pada latar belakang masalah diatas,

rumusan masalah penelitian tersebut yakni apakah

Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dapat

meningkatkan produktivitas menulis Mahasiswa

STKIP PGRI Lamongan?.

Adapun tujuan penelitian ini adalah

mengetahui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah

dapat meningkatkan produktivitas menulis

Mahasiswa STKIP PGRI Lamongan.

Page 30: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 29 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Menurut Rusydiawan (2011) Produktivitas

dapat digambarkan dalam dua pengertian yaitu

secara teknis dan financial. Pengertian produktivitas

secara teknis adalah pengefesiensian produksi

terutama dalam pemakaian ilmu dan teknologi.

Sedangkan pengertian produktivitas secara financial

adalah pengukuran produktivitas atas output dan

input yang telah dikuantifikasi. Suatu perusahaan

industry merupakan unit proses yang mengolah

sumber daya (input) menjadi output dengan suatu

transformasi tertentu. Dalam proses inilah terjadi

penambahan nilai lebih dibandingkan sebelum

proses, sehingga produktivitas dapat diukur

berdasarkan pengukuran berikut:

Produktivitas = Output yang dihasilkan / Input

yang dipergunakan; Pencapaian Tujuan /

Penggunaan sumber-sumber daya; Efektivitas

pelaksanaan tugas / Efisiensi penggunaan sumber

daya; Efektivitas / Efisiensi.

KAJIAN TEORI

Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah

(SPBM) dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas

pembelajaran yang menekankan kepada proses

penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.

Terdapat tiga ciri utama dari SPBM. Pertama, SPBM

merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya

dalam implementasinya SPBM ada sejumlah

kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa. SPBM

tidak mengharapkan siswa hanya sekedar

mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal

materi pelajaran, akan tetapi melalui SPBM siswa

aktif berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah

data, dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas

pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan

masalah. SPBM menempatkan masalah sebagai kata

kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa

masalah maka tidak mungkin ada proses

pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah

dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir

secara ilmiah. Berfikir dengan menggunakan metode

ilmiah adalah proses berfikir deduktif dan induktif.

Proses berfikir ini dilakukan secara sistematis dan

empiris. Sistematis artinya berfikir ilmiah dilakukan

melalui tahapan-tahapan tertentu: sedangkan empiris

artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada

data dan fakta yang jelas, (Sanjaya, 2008).

Arends (Hipni, 2011) menyatakan bahwa

model pembelajaran berdasarkan masalah adalah

model pembelajaran dengan pendekatan

pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga

siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri,

menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih

tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan

meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model ini

bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata

sebagai sesuatu dan meningkatkan keterampilan

berpikirkritis dan menyelesaikan masalah, serta

mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting.

Pendekatan pembelajaran Berbasis Masalah

ini mengutamakan proses belajar dimana tugas

dosen harus memfokuskan diri untuk membantu

mahasiswa mencapai keterampilan mengarahkan

diri. Pembelajaran berdasarkan masalah

penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih

tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah,

termasuk bagaimana belajar (Nurhayati Abbas

dalam Hipni, 2011). Dosen dalam model

pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai

penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog,

membantu menemukan masalah dan pemberi

fasilitas penelitian. Selain itu dosen menyiapkan

dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan

pertumbuhan inquiri dan intelektual mahasiswa.

Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat

terjadi jika dosen dapat menciptakan lingkungan

kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran

gagasan. Pembelajaran berdasarkan masalah juga

dapat meningkatkan pertumbuhan dan

perkembangan aktivitas belajar mahasiswa, baik

secara individual maupun secara kelompok. Di sini

guru berperan sebagai pemberi rangsangan,

pembimbing kegiatan siswa, dan penentun arah

belajar siswa (Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011).

Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan

model pembelajaran berbasis masalah adalah

menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa

sebagai hasil penyelidikan mereka. Penilaian proses

dapat digunakan untuk menilai pekerjaan siswa

tersebut, penilaian itu antara lain asesmen kenerja,

asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses

bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa

merencanakan pemecahan masalah melihat

bagaimana siswa menunjukkan pengetahuan dan

keterampilan. Karena kebanyakan problema dalam

kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai

perkembangan jaman dan konteks/lingkungannya,

maka perlu dikembangkan model pembelajaran yang

memungkinkan siswa secara aktif mengembangkan

kemampuannya untuk belajar (Learning how to

learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut

diharapkan siswa akan mudah beradaptasi

(Nurhayati Abbas dalam Hipni, 2011).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada mahasiswa

semester V Prodi Pendidikan Ekonomi dan PPKn

STKIP PGRI Lamongan. Proses penelitian ini

dilaksanakan selama 3 bulan dimulai pada bulan

November 2012 sampai dengan Januari 2013. Dalam

prakteknya penelitian ini terbagi dalam dua siklus.

Sebagai langkah awal peneliti melakukan

Page 31: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 30 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

pengumpulan data yang obyektif, sehingga data

yang dihasilkan bukan sekedar asumsi atau data

yang bersifat subyektif. Pada siklus pertama dimulai

pada minggu pertama bulan November 2012 sampai

minggu pertama bulan Desember 2012. Kemudian

dilanjutkan dengan siklus kedua dengan konsep dan

format yang hampir sama dengan siklus pertama,

cuma ada beberapa hal yang membedakanya. Pada

siklus kedua ini konsep dan pelaksanaan sudah

mulai matang karena peneliti sudah mengantongi

data dan informasi terkait objek yang menjadi

penelitian, sehingga bisa dijadikan acuan. Sikluss

kedua ini dilaksanakan pada minggu keempat bulan

Desember 2012 sampai minggu kedua bulan Januari

2013. Setiap siklus memuat perencanaan atau revisi

perencanaan, pelaksanaan tindakan dan observasi,

evaluasi dan diakhiri dengan refleksi.

Pada siklus pertama membutuhkan waktu

yang relatif lama, hal ini dikarenakan Perencanaan

yang ada pada siklus pertama memuat secara umum

seluruh siklus. Perencanaan atau revisi perencanaan

pada siklus kedua membutuhkan waktu yang relatif

lebih singkat.

Adapun skema siklus dapat dilihat

sebagaimana bagan dibawah ini.

Gambar 1: Pelaksanaan Penelitian Tindakan

Pada siklus satu terdiri dari tiga tindakan yaitu

tindakan pertama, kedua, dan ketiga. Ketiga

tindakan pada siklus satu dilaksanakan setiap jam

mata kuliah strategi belajar mengajar baik di dalam

kelas maupun di luar kelas. Kemudian pelaksanaan

tindakan observasi bersamaan dengan pelaksanaan

siklus. Sedangkan evaluasi dilaksanakan dua kali.

Untuk melengkapi siklus pertama dilakukan refleksi

sebagai bahan renungan atas segala aktivitas yang

telah dilaksanakan pada siklus pertama.

Pada siklus pertama dibuat dalam bentuk

kelompok berdasar asumsi-asumsi peneliti dan hasil

pengamatan serta wawancara lepas dengan beberapa

mahasiswa yang menjadi sasaran penelitian. Hasil

pengumpulan data awal terkait kemampuan

mahasiswa, kemudian peneliti membuat daftar

kelompok sesuai kemampuan siswa yang dengan

sistim heterogen, sehingga dalam setiap kelompok

saling melengkapi antara personil masing-masing

kelompok. Peneliti membagi kelas yang berjumlah

21 mahasiswa menjadi 4 kelompok.

Pada siklus kedua mahasiswa dianggap sudah

mumpuni dan mandiri dalam membuat karya tulis

menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis

Masalah dengan sistim individu.

Observasi yang dilakukan selama proses

pembelajaran menggunakan Strategi Pembelajaran

Berbasis Masalah pada tahapan pertama yang

menggunakan sistim kelompok adalah dengan

mengamati interaksi antar anggota tiap kelompok

dalam berbagi peran menyelesaikan tugas. Beberapa

hal yang menjadi bahan observasi adalah 1)

Sistematika Tulisan, 2) Penggunaan tata bahasa, 3)

Substansi tulisan dengan masalah, 4) Orisinilitas

tulisan. Beberapa kriteria yang menjadi bahan

observasi karena menjadi tolok ukur pelaksanaan

pembelajaran tahap selanjutnya.

Observasi pada tahapan kedua menggunakan

sistim individu, komponen pengamatan sama dengan

yang ada pada sistem kelompok. Pada tahapan ini

diharapkan menjadi tolok ukur peningkatan

produktivitas mahasiswa dalam menulis karya tulis

menggunakan Strategi Pembelajaran Berbasis

Masalah.

Evaluasi ini dilakukan sebagai wujud

penilaian dan koreksi dari metode yang dipakai.

Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan tes dan

form penilaian yang sudah dimodifikasi peneliti. Hal

ini dilakukan sebagi pedoman dan acuan seberapa

efektif pembelajaran menggunakan metode ini.

Evaluasi ini dilakukan dua kali, Evaluasi pertama

dilakukan setelah berakhirnya siklus pertama,

sedangkan evaluasi kedua dilaksanakan pada siklus

kedua.

Refleksi penelitian dilakukan dalam rangka

untuk melihat lebih detail pelaksanaan selama proses

tindakan pembelajaran, segala tindakan yang sudah

dirancang dan dilaksanakan apakah sudah berjalan

secara efektif dan optimal apa belum, sehingga bisa

dirumuskan beberapa strategi yang lebih tepat dalam

proses tindakan selanjutnya. Refleksi ini dilakukan

setelah berakhirnya siklus kesatu, tepatnya setelah

selesai proses evaluasi pertama. Secara umum

refleksi ini dilakukan untuk melihat produktivitas

SIKLUS 2

SIKLUS 1

Perencanaan Ulang

Penggalian Data

Awal

Tindakan dan observasi

Perencanaan Umum

Tindakan dan observasi

Evaluasi 1

Refleksi

Evaluasi 2

Penyusunan Laporan

Page 32: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 31 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

karya tulis mahasiswa menggunakan strategi

pembelajaran berbasis masalah.

Beberapa instrumen penelitian yang

digunakan dalam rangka mengumpulkan data untuk

menjawab rumusan masalah adalah; (1) Instrumen

Pengamatan, (2) Instrumen Angket sebelum dan

sesudah pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus pertama, mahasiswa dibuat dalam

bentuk kelompok. Setiap kelompok mendapatkan

materi tentang teknik menulis dan

pengembangannya. Namun sebelum pembelajaran

dimulai, mereka diberikan angket untuk mengetahui

kondisi awal mahasiswa. Hasil pemberian angket

diketahui bahwa 80% dari seluruh mahasiswa belum

pernah membuat karya tulis. Kemudian 85%

mahasiswa kesulitan untuk membuat karya tulis.

Lalu, 30% yang mengetahui penggunaan kosa kata

dan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selama empat kali pertemuan dalam

melakukan tindakan, ada beberapa perkembangan

yang cukup signifikan. Hasil observasi menunjukan

bahwa 85% mahasiswa mampu membuat karya tulis

sederhana dengan Strategi belajar berbasis masalah.

Setelah dirasa cukup melakukan tindakan, langkah

berikutnya adalah melakukan evaluasi. Hasil

evaluasi menunjukan bahwa mahasiswa yang

tergabung dalam kelompok mampu membuat karya

tulis sederhana sesuai kriteria yang diharapkan.

Langkah berikutnya adalah melakukan refleksi,

dimana hasilnya adalah melakukan tindakan lagi

dalam siklus kedua. Sebab, secara kelompok mereka

mampu membuat karya tulis, namun secara individu

belum terbukti.

Siklus kedua, mahasiswa sudah melakukan

kegiatan secara individu. Mereka diberikan tindakan

sama seperti pada siklus pertama. Hasil observasi

yang dilakukan saat tindakan berlangsung cukup

signifikan. Tercatat, ada 80% mahasiswa mampu

membuat karya tulis sederhana secara mandiri dan

orisinil. Setelah melakukan tiga kali tindakan,

hasilnya cukup memuaskan. Pada tahap evaluasi,

para mahasiswa 90% sudah mampu

mengembangkan dan membuat karya tulis.

Setidaknya, dalam dua siklus, mereka telah

menghasilkan dua kali karya tulis. Sehingga

intensitas menulis akan terus dilakukan untuk

meningkatkan produktivitas menulis mereka.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil tindakan dan observasi

dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi

belajar berbasis masalah mampu meningkatkan

produktivitas menulis mahasiswa. Hal ini didasarkan

pada tingkat keberhasilan mahasiswa menghasilkan

karya tulis. Sebab, sebelumnya mereka kesulitan

membuat karya tulis, walaupun ada, lebih pada copy

paste.

Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus.

Sebab, pada siklus pertama hasilnya belum

menyeluruh. Sebab, pada siklus pertama dilakukan

dalam bentuk kelompok. Pada siklus yang kedua,

para mahasiswa telah mampu membuat karya tulis

secara mandiri dan orisinil. Sehingga

kesimpulannya, strategi belajar berbasis masalah

mampu mengupayakan peningkatan produktivitas

menulis mahasiswa yang mengambil mata kuliah

Media Pembelajaran semester V Prodi Ekonomi dan

PPKn STKIP PGRI Lamongan.

DAFTAR PUSTAKA

Hipni. Rohman. 2011. Strategi Pembelajaran

Berbasis Masalah [online]

(http://hipni.blogspot.com/2011/09/strategi-

pembelajaran-berbasis-masalah.htm , diakses

tanggal 03 Januari 2013)

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Sapa'at. Asep. 2012. Akademisi Miskin Karya Tulis,

Tanya Mengapa?, [online]

(http://www.kesekolah.com/artikel-dan-

berita/berita/akademisi-miskin-karya-tulis-

tanya-mengapa.html, diakses tanggal 26

Desember 2012)

Sopa, Ikhwan. 2012. Definisi Produktivitas, [online]

(http://produktivitas.qacomm.com/blog/definisi

Kelompok

Kriteria

Sis

tem

ati

ka

Tu

lisa

n

Pen

gg

un

aa

n

tata

ba

ha

sa

Su

bst

an

si

tuli

san

den

ga

n

ma

sala

h

Ori

sin

ilit

as

tuli

san

Satu 80 85 76 80

Dua 79 82 74 75

Tiga 85 75 80 86

Empat 87 90 78 88

Lima 95 87 80 80

Tabel 1. Hasil Evaluasi Siklus I

Page 33: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 32 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

-produktivitas.html, diakses tanggal 26

Desember 2012)

Yuningtyas, A. F. 2010. Pengaruh penerapan

strategis sisnacalisting terhadap kemampuan

menulis artikel mahasiswa. Skripsi prodi

bahasa dan sastra Indonesia jurusan sastra

indonesia fakultas sastra Universitas Negeri

Malang: diterbitkan.

Rusydiawan, Imaniar. 2011. Meningkatkan

Produktivitas Produksi dengan Optimalisasi

Sistem Infrastruktur TI Menggunakan Metoda

IT Balanced Scorecard. Thesis Magister

Teknik Elektro, Universitas Mercu Buana:

diterbitkan.

Page 34: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 33 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Jatmiko Winarno *)

*) Dosen Fakultas Hukum Unisla

ABSTRAKSI

Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta dilindungi karena

dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi keberadaannya.

Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak.

Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa Negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Perlindungan terhadap anak menjadi penting karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Pengangkatan anak tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata hanya

mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga, tepatnya

pada Pasal 280 sampai Pasal 289.

Mengingat meningkatnya kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak dan kultur budaya masyarakat telah

lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatsbald 1917

No.129 yang isinya mengatur secara khusus mengenai lembaga pengangkatan anak yang termuat dalam Bab II pasal 5

sampai dengan pasal 15 yang lebih dikenal dengan istilah adopsi.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan yaitu Bagaimana syarat dan tata

cara pengangkatan anak? Dan Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak?

Kata kunci : anak angkat, akibat hukum

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanat sekaligus karunia dari

Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga serta

dilindungi karena dalam diri seorang anak melekat

harkat, martabat dan hak sebagai manusia yang

harus dijunjung tinggi keberadaannya.

Perlindungan hak asasi anak merupakan bagian dari

hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan

Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak.

Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan

orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera. Perlindungan terhadap anak menjadi

penting karena anak adalah tunas, potensi, dan

generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan

sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun

1979 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.6

Tahun 1983 disamping menjadi pedoman bagi

hakim-hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi di seluruh Indonesia dalam hal menerima,

memeriksa dan memutus permohonan pengesahan

pengangkatan anak juga merupakan produk hukum

yang dibentuk guna melengkapi peraturan

perundang-undangan yang tidak mencukupi dalam

hal pengaturan mengenai pengangkatan anak.

Selain itu pada kenyataannya, cara pemeriksaan

maupun bentuk serta isi pertimbangan dalam

putusan Pengadilan Negeri di bidang pengangkatan

anak menunjukkan adanya kesalahan-kesalahan

yang kurang menguntungkan. Padahal sangat

diharapkan dari putusan-putusan semacam itu

merupakan faktor yang determinan (menentukan).

Permohonan pengangkatan anak berdasarkan

Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983

dibedakan antara:

1. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

antar-WNI (Domestic Adoption);

2. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

WNA oleh orang tua angkat WNI (Intercountry

Adoption); dan

3. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

WNI oleh orang tua angkat WNA (Intercountry

Adoption).

Page 35: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 34 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Sedangkan putusan terhadap permohonan

tersebut menurut Surat Edaran Mahkamah Agung

No.6 Tahun 1983 dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Penetapan : dalam hal pengangkatan anak

tersebut terjadi antar-WNI(Domestic

Adoption).

2. Putusan : dalam hal anak yang diangkat oleh

orang tua angkat WNI berstatus WNA atau

dalam hal anak yang diangkat tersebut

berstatus WNI diangkat oleh orang tua angkat

WNA (Intercountry Adoption).

Mengenai akibat hukum pengangkatan anak di

Pengadilan Negeri, Surat Edaran Mahkamah Agung

No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak

menyatakan bahwa isi putusan dalam pertimbangan

hukum hendaknya jangan dilupakan hukum apa

yang diterapkan. Pada umumnya dalam hal ini

diterapkan hukum dari pihak yang mengangkat,

kadang-kadang diperlukan perhatian juga terhadap

adanya segi-segi dari hukum antargolongan yang

disebabkan oleh perbedaan suku atau golongan,

mungkin peleburan.

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mngetahui bagaimana syarat dan tata

cara pengangkatan anak.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum

pengangkatan anak.

II. Kajian Teori

Pengertian pengangkatan anak ada bermacam-

macam, masing-masing pakar mengemukakan

pendapatnya sendiri-sendiri bedasarkan ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam hukum adat, agama

dan kepercayaan dari pihak-pihak yang

bersangkutan.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata kita hingga kini tidak mengenal adanya

lembaga pengangkatan anak (di negara asalnya

telah terjadi perkembangan bahwa B.W. Nederland

sekarang telah mengenal lembaga adoptie)4. Karena

Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang

perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan

untuk mengadakan keturunan.5 Selain dalam hukum

adat, pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad

1917 No.129, khususnya Bab II. Di dalam

Staatsblad tersebut pengangkatan anak dikenal

dengan istilah adopsi.

Adapun Hal yang menjadi latar belakang

diaturnya lembaga pengangkatan anak (adopsi)

dalam Hukum Perdata Barat adalah Kitab Undang-

undang Hukum Perdata diberlakukan pula untuk

golongan Tionghoa dimana masyarakat mengenal

adanya pengangkatan anak (adopsi). Menurut

tradisi mereka, dalam keluarga harus ada anak laki-

4 Soetojo Prawirohamijojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga

(Personen En Familie-Recht), Surabaya : Airlangga

University Press, hal. 194. 5 Ali Afandi, 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum

Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, hal.149.

laki untuk melanjutkan keturunan dalam garis

keturunan lurus laki-laki. Karena, hanya anak yang

wajib memelihara kuburan dan sembahyang abu

untuk nenek moyang. Oleh karena itu, jika tidak

ada keturunan laki-laki maka seyogyanya

mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya

sendiri.6 Oleh sebab itu, diaturlah kctentuan

mengenai pengangkatan anak (adopsi) yang berlaku

bagi masyarakat dalam Staatsblad 1917 No.129

khususnya Bab II.

Pengertian pengangkatan anak tidak ditemukan

dalam pasal-pasal Staatsblad tersebut untuk

mengetahui pengertian pengangkatan anak dapat

dibaca dalam pasal-pasalnya, antara lain Pasal 5

yang menyatakan sebagai berikut :

1. Apabila seorang laki-laki, beristri atau telah

pernah beristri, tidak mempunyai keturunan

laki-laki dalam garis laki-laki, baik keturunan

karena kelahiran, maupun keturunan karena

pengangkatan, maka bolehlah ia mengangkat

seorang laki-laki sebagai anaknya.

2. Pengangkatan yang demikian harus dilakukan

oleh si orang laki-laki tersebut bersama-sama

dengan istrinya, atau jika dilakukannya setelah

perkawinannya bubar, oleh dia sendiri.

3. Apabila kepada seorang perempuan janda,

yang tidak telah kawin lagi. oleh suaminya

yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan

seorang keturunan sebagaimana termaksud

dalam ayat kesatu pasal ini, maka boleh pun ia

mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.

Jika sementara itu si suami yang telah

meninggal dunia, dengan surat wasiat telah

menyatakan tak menghendaki pengangkatan

anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun

tak boleh dilakukannya.

Ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai

calon orang tua angkat. Sedangkan anak angkat

dapat diketahui dari Pasal 6 Staatsblad 1917

No.129 yang menyatakan sebagai berikut : Yang

boleh diangkat hanya orang-orang Tionghoa laki-

laki yang tak beristri pun tak beranak, dan tidak

telah diangkat oleh orang lain.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut

pengertian pengangkatan anak (adopsi) berdasarkan

Staatsblad 1917 No.129 adalah pengangkatan anak

Tionghoa laki-laki oleh seorang laki-laki beristri

atau pernah beristri atau seorang janda cerai mati,

tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis

baik karena kelahiran maupun keturunan karena

pengangkatan, yang berakibat hukum anak yang

diangkat mendapat nama keluarga yang

mengangkat, berkedudukan sebagai anak sah, putus

segala hubungan perdata dengan keluarga asalnya,

tidak mewaris dari keluarga sedarah asalnya dan

mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang

mengangkatnya.

6 Soetojo Prawiroharridjojo, Op cit, hal. 194.

Page 36: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 35 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Tujuan Pengangkatan Anak Hakikat dari suatu perkawinan adalah

bertujuan membentuk keluarga yang kekal dan

bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam masyarakat suatu keluarga dianggap sebagai

keluarga yang lengkap apabila keluarga tersebut

terdiri dari suami, istri dan anak. Namun pada

kenyataannya banyak keluarga yang tidak lengkap

atau dengan kata lain tidak memiliki anak. Hal

tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, mungkin

karena belum mempunyai anak atau bahkan karena

pasangan suami istri tersebut memang tidak dapat

memiliki anak. Berdasarkan hal tersebut, maka

pengangkatan anak merupakan salah satu jalan

keluar dari permasalahan tersebut.

Imam Sudiyat dalam bukunya mengatakan

bahwa pengangkatan anak tidak hanya dilakukan

oleh keluarga yang tidak memiliki anak, tetapi tidak

jarang pengangkatan anak juga dilakukan oleh

keluarga yang sudah mempunyai anak. Dari hal

tersebut diketahui bahwa bukan hanya pasangan

suami istri yang tidak rnempunyai anak saja yang

dapat melakukan pengangkatan anak, namun

mereka yang telah mempunyai anak pun dapat pula

melakukan pengangkatan anak.7

Pasal 5 ayat (1) Staatsblad 1917 No.129

mengatakan bahwa, "Bila seorang laki-laki yang

kawin atau pernah kawin, tidak mempunyai

keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki

naik karena perhubungan darah maupun karena

pengangkatan anak, dapat mengangkat seorang

sebagai anak laki-lakinya. Dari ketentuan pasal

tersebut, jelaslah bahwa yang mendorong seorang

untuk mengangkat anak (mengadopsi) adalah

karena tidak mempunyai anak laki-laki dalam

keluarganya.

Hal tersebut disebabkan Staatsblad tersebut

menganut filosofi dan budaya masyarakat

keturunan Tionghoa yang didasarkan adat istiadat

dan kepercayaan mereka. Pengangkatan anak laki-

laki dimaksudkan untuk melanjutkan pemujaan

kepada leluhur yang hanya dapat dilakukan oleh

seorang anak laki-laki. Selain itu, pengangkatan

anak laki-laki juga untuk mempertahankan garis

keturunan karena masyarakat yang menganut

sistem kekeluargaan patrilineal. Sehingga apabila

mereka tidak mempunyai seorang anak laki-laki

mereka akan berusaha mendapatkannya dengan

jalan mengangkat anak laki-laki.

Dalam hukunn adat, tujuan dari

pengangkalan anak tersebut dibedakan dari masing-

masing daerah. Hal tersebut didasarkan pada sistem

kekeluargaan yang dikenal dalam masyarakat

Indonesia yaitu, patrilineal, matrilineal dan

parental. Namun demikian, bukan berarti hal

tersebut tidak menunjukan adanya persamaan

diantara sistem kekeluargaan satu dengan sistem

kekeluargaan yang lain. Sifat kesamaan dalam

hukum adat tetaplah sama.

7 Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat dan Sketsa, Yogyakarta:

Liberty, hal. 102.

Isti Sulistyorini berpendapat bahwa tujuan

pengangkatan anak sangat bervariasi, antara lain:

1. Karena tidak mempunyai anak.

2. Karena belas kasihan.

3. Karena hanya mempunyai anak laki-laki maka

diangkatlah anak perempuan dan sebaliknya.

4. Sebagai upaya memancing agar segera

mempunyai anak karena, lama tidak

mengandung.

5. Untuk mempererat tali persaudaraan.

6. Untuk menambah/membantu dalam usaha.

7. Karena unsur budaya.8

Motivasi yang beragam tersebut disebabkan

karena keberagaman suku, adat dan kebiasaan di

Indonesia.

Terlaksananya proses pengangkatan anak

tersebut tidak terlepas dari para pihak baik orang

tua kandung maupun orang tua angkat. Para pihak

mempunyai latar belakang yang mendasari

pelaksanaan pengangkatan anak tersebut.

Ikut sertanya orang tua kandung dalam

pelaksanaan pengangkatan anak antara lain

disebabkan oleh:

a. Merasa tidak mampu untuk membesarkan

anaknya;

b. Melihat adanya kesempatan untuk

meringankan beban oleh karena ada yang ingin

mengangkat anak;

c. Adanya imbalan pada persetujuan anak

kandungnya diangkat oleh orang tua angkat;

d. Nasib atau pandangan orang lain

disekelilingnya;

e. Ingin anaknya tertolong material selanjutnya;

f. Masih mempunyai anak lainnya;

g. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk

membesarkan anaknya sendiri;

h. Merasa bertanggung jawab atas masa depan

anaknya;

i. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya

karena hubungan yang tidak sah.9

Pada mulanya pengangkatan anak

mengandung maksud untuk memenuhi kebuluhan

dan kepentingan orang tua yang mengangkat anak

yang antara lain untuk memperoleh anak dalam hal

orang tua angkat tersebut tidak mempunyai anak.

Namun dengan berkembangnya pengetahuan

masyarakat, pengangkatan anak dilaksanakan

dengan maksud dan tujuan tidak lagi semata-mata

untuk kepentingan orang tua angkat lagi tetapi demi

kesejahteraan dan masa depan anak.

Ketentuan mengenai pengangkatan anak yang

terdapat dalam Surat Edaran Mahkamat Agung

No.6 Tahun 1933 Tentang Penyempurnaan Surat

Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979, Surat

Keputusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengangkatan Anak,

Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang

Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah

8 Isti Sulistyorini, Loc.Cit. 9 Arif Gosida. 1985. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta:

Akademika, hal. 26.

Page 37: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 36 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak menunjukkan kesungguhan

untuk mewujudkan pelaksanaan pengangkatan anak

yang didasarkan pada tujuan kesejahteraan anak.

Pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.61

Tahun 1983, perwujudan pengangkatan anak

dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

anak tercermin dari proses pemeriksaan terhadapan

pengangkatan anak tersebut. Dalam hal tersebut,

hakim-hakim pengadilan harus memperoleh

gambaran yang benar tentang motivasi

pengangkatan anak, hak dari pihak yang akan

melepaskan anak maupun pihak yang akan

mengangkat anak.

Apabila diketahui ada alasan dari para orang

tua angkat dalam pelaksanaan pengangkatan anak

tersebut yang menyebabkan berkurangnya jaminan

kesejahteraan terhadap calon anak angkat, maka

dapat dijadikan alasan bagi hakim untuk menolak

pengangkatan anak tersebut.

Pengangkatan anak yang didasarkan pada

pengutamaan kesejahteraan anak ini didorong oleh

keinginan mewujudkan hak-hak anak seperti yang

tertuang dalam "Declaration of the Right of The

Child" (Deklarasi Hak-Hak Anak) yang ditetapkan

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada

tanggal 20 November 1959.

Tujuan pengangkatan anak berdasarkan

peraturan perundang-undangan dipertegas dengan

ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang No.23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 2

Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Dalam peraturan

perundang-undangan tersebut dijelaskan bahwa

pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk

kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan

berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan unian diatas maka dapat

disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak ada

bermacam-macam. Tujuan pengangkatan anak

(adopsi) bagi orang Tionghoa sebagaimana diatur

dalam Staatsblad 1917 No.129 adalah untuk

meneruskan keturunan laki-laki. Tujuan

pcngangkatan anak menurut hukum Adat bersifat

variatif. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak

bertujuan sebagai suatu amal yang baik. Sedangkan

pengangkatan anak menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku bertujuan untuk

kepentingan yang terbaik bagi anak.

Macam- macam Pengangkatan Anak Musthofa Sy. dalam bukunya

mengelompokan pengangkatan anak berdasarkan

beberapa kategori, diantaranya kewarganegaraan

orang tua angkat, status perkawinan calon orang tua

angkat, keberadaan anak yang akan diangkat dan

akibat hukum pengangkatan anak.

Dilihat dari kewarganegaraan orang tua

angkat, pengangkatan anak dibedakan menjadi dua

macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga

Negara Indonesia (domestic adoption) dan

pengangkatan anak internasional (intercountry

adoption). Domestic adoption adalah pengangkatan

anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI

terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry

adoption adalah pengangkatan anak, yang

dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap

anak angkat WNA atau pengangkatan anak yang

dilakukan oleh orang tua angkat WNA terhadap

anak angkat WNI.10

Dilihat dari status perkawinan calon orang

tua angkat, pengangkatan anak dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang

dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus

belum kawin (single parent adoption),

pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon

orang tua angkat berstatus kawin dan pengangkatan

anak yang dilakukan oleh janda atau duda

(posthurrus adoption).11

Dilihat dari keberadaan anak yang akan

diangkat, pengangkatan anak dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang

dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada

dalam kekuasaan orang tua kandung atau orang tua

asal (private adoption), pengangkatan anak yang

dilakukan terhadap calon anak angkat yang berada

dalam organisasi social (non private adoption) dan

anak angkat yang tidak berada dalam kekuasaan

orang tua asal maupun organisasi sosial misalnya

anak yang ditemukan karena dibuang oleh

orangtuanya.12

Dilihat dari akibat hukum pengangkatan

anak, dalam kepustakaan hukum biasanya

membedakan pengangkatan anak menjadi dua

macam, yaitu pengangkatan anak berakibat hukum

sempurna (adoption plena) dan pengangkatan arak

berakibat hukum terbatas (adoption minus plena).13

Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari

akibat hukumnya, maka pengertian pengangkatan

anak (adopsi) berdasarkan Staatsblad 1917 No.

1129 dapat dimasukan ke dalam pengangkatan anak

berakibat hukum sempuma (adoption plena).

Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum

adat bersifat variatif, sehingga pengangkatan anak

menurut hukum adat ada yang termasuk

pengangkatan anak berakibat hukum sempurna

(adoption plena) dan ada pula vang termasuk

pengangkatan anak berakibat hukum terbatas

(adoption minus plena). Sedangkan pengangkatan

anak menurut hukum Islam dan peraturan

perundang-undang yang berlaku dapat dimasukan

ke dalam pengangkatan anak berakibat hukum

terbatas (adoption minus plena).

Dasar Hukum Pengangkatan Anak Pengangkatan anak melibatkan peran

pengadilan diatur dalam Pasal 9 ayat (1)

10 Musthofa Sy., Op.cit. hal. 42. 11 Ibid 12 Ibid 13 Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983, Sendi-

sendi Hukum Perdata International, Jakarta: Rajawali, hal.

44-45.

Page 38: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 37 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Staatsblad 1917 No.l29. pengadilan mempunyai

kewenangan untuk memberi izin pengangkatan

anak bagi janda cerai mati apabila izin dari

keluarga mendiang suaminya tidak diperoleh izin

pengadilan itu harus disebutkan dalam akta

pengangkatan anak.

Ketentuan yang membolehkan janda cerai

mati untuk melakukan pengangkatan anak adalah

pengecualiaan dengan beberapa syarat

sebagrimana Pasal 5 ayat (3) Staatsblad tersebut

mengatur. Syarat lain bagi jauda perlu

mendapatkan kata sepakat dari saudara laki-laki

yang telah dewasa dan ayah mendiang suaminya

lebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 8

ayat (4). Apabila izin dari keluarga mendiang

suaminya tidak diperoleh, maka izin dapat

diperoleh melalui izin pengadilan.

Pengangkatan anak golongan Tionghoa

hanya untuk laki-laki, sehingga menutup peluang

pengangkatan anak perempuan melalui notaris.

Keinginan WNI keturunan Tionghoa untuk

melakukan pengangkatan terhadap anak

perempuan tidak tertampung oleh lembaga

tersebut dan notaris menolak terhadap

pengangkatan anak yang demikian. Demikian pula

pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon

orang tua angkat yang belum menikah. Untuk bisa

melakukan pengangkatan anak yang demikian Itu

harus ditempuh melalui putusan pengadilan.

Putusan-putusan pengadilan telah mengisi

kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam

perkembangan lembaga pengangkatan anak.

Pengangkatan anak melalui pengadilan akan

memberikan perlindungan kepentingan anak dan

kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan European

Convention on the Adoption of Children

(Konvensi Adopsi Den Haaag Tahun 1965) yang

menetapkan bahwa penetapan atau putusan

pengadilan merupakan syarat esensial bagi sahnya

pengangkatan anak.

Dalam perkembangannya, permohonan

pengangkatan anak melalui pengadilan semakin

banyak. Semula hanya dikenal pengangkatan anak

menurut Staatsblad 1917 Mo. 129 dan hukum adat

namun kemudian berdasarkan Peraturan

Pemerintah Rl No.7 Tahun 1977 Tentang

Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil

memungkinkan pengangkatan anak untuk

memperoleh tunjangan anak. Selain itu,

berdasarkan Pasal 2 Undang-undanp, No.62 Tahun

1958 banyak terjadi pengangkatan anak warga

negara asing yang belurn berumur 5 (lima) tahun

oleh warga Negara Indonesia.14

Jumlah permohonan pengangkatan anak yang

diajukan ke Pengadilan Negeri terus bertambah,

baik yang dikumulasikan dengan gugatan perdata

maupun diajukan dalam permohonan khusus. Hal

ini menunjukan pergeseran variasi motif

pengangkatan anak dan kebutuhan pengangkatan

14 Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata

Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hal. 36-37

anak dalam masyarakat makin bertambah dan

untuk memperoleh kepastian hukum hanya dapat

dilakukan melalui putusan pengadilan.15

Dalam perkembangannya, khusus mengenai

pengangkatan anak WNI oleh orang tua angkat

WNA melalui notaris, Menteri Kehakiman dengan

Surat edaran No.THA 1/1/2 tanggal 24 Februari

1978 melarang notaris membuatkan akta

pengangkatan anak dan pengangkatan anak

tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui

Pengadilan Negeri. Atas keluarnya surat edaran

tersebut, Menteri Sosial menindaklanjuti dengan

Surat Edaran No.Huk 3-1-58.78 tanggal 7

Desember 1978. Selanjutnya Mahkamah Agung

RI memberikan petunjuk mengenai pengangkatan

anak antar-negara (intercountry adoption) dengan

Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979

tanggal 7 April 1979.16

Berdasarkan SEMA Ko.6 Tahun 1983

Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah

Agung No.2 Tahun 1979, pengangkatan anak yang

dilakukan oleh golongan Tionghoa melalui notaris

tidak dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan.17

Demikian pula berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 7 Tahun 1977, anak angkat dapat diajukan

untuk mendapat tunjangan anak bagi Pegawai

Negeri Sipil, maka banyak permohonan

pengangkatan anak yang diajukan ke Pengadilan

Negeri.18

Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun

1983 membedakan pengangkatan anak menjadi 3

(tiga) macam, yaitu:

a. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

antar-WNI (domestic adoption).

b. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

WNA oleh orang tua angkat WNl (intercountry

adoption).

c. Permohonan pengesahan/pengangkatan anak

WNI oleh orang tua angkat WNA (intercountry

adoption).

Dengan belakunya Surat Edaran Mahkamah

Agung No.5 Tahun 1983 maka Surat Edaran

Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979 dianggap

tidak berlaku lagi.

Pengadilan yang dimaksud untuk

pengangkatan anak pada saat itu adalah

Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat

pertama di lingkungan Peradilan Umum. Peradilan

Unnnn adalah salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada

umumnya.

Kekuasaan Peradilan Umum

dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri sebagai

15 Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak Kewenangan

Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, hal. 55. 16 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 260. 17 Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum,

Beberapa Yurisprudensi Perdata yang penting serta

Hubungan Ketentuan Hukum Acara Perdata, Mahkamah

Agung RI, Jakarta, hal. 551. 18 Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan

Anak dan Masalahnya, Semarang Dahara Prize, hal. 23-28.

Page 39: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 38 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi

sebagai pengadilan tingkat banding, Pengadilan

Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara pidana dan perdata di

tingkat pertama. Berdasarkan ketentuan tersebut

dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Negeri

sebagai peradilan umum, bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan segala

perkara pidana dan perdata di tingkat pertama,

kecuali peraturan perundang-undangan

memberikan kewenangan secara khusus kepada

pengadilan lain (attributie van rechismacht), yaitu

Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan

Pengadilan Tala Usaha Negara.

Kewenangan terhndap perkara pengangkatan

anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan

lain pada saat itu, oleh karenanya semua perkara

yang berkaitan pengangkatan anak menjadi

kewenangan Pengadilan Negeri.

III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

A. Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Anak

Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus

yang mengharuskan pengangkatan anak dilakukan

dengan penetapan dari pengadilan. Hal tersebut

karena penetapan pengadilan tersebut hanya

berfungsi untuk menguatkan pengangkatan anak

yang dilakukan dan untuk lebih memberikan

jaminan hukum pengangkatan anak adalah sah

apabila dilakukan menurut ketentuan hukum adat,

hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing

pihak yang bersangkutan.

Sah atau tidaknya pengangkatan anak

tersebut tergantung pada dipenuhi atau tidaknya

syarat-syarat dan tata cara dalam melakukan

pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu dalam hal

harus adanya persetujuan dari masing-masing

pihak, baik pihak yang mengangkat anak ataupun

pihak yang akan melepaskan anak tersebut. Jika

tidak ada persetujuan dari salah satu pihak, maka

pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak sah.

Menurut hukum adat, syarat dan tata cara

pengangkatan anak pada umumnya dilaksanakan

dengan beberapa cara. Cara tersebut sangat

bergantung pada tujuan dan akibat hukum dari

dilakukannya perbuatan pengangkatan anak

tersebut, yaitu:19

1. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan Tunai

Pengangkatan anak dalam cara ini

dilakukan olch masyarakat yang yang

menganut perbuatan hukum pengangkatan

anak sebagai perbuatan hukum untuk

menjadikan anak orang lain sebagai anak

kandung. Anak angkat pada masyarakat ini

selain dimasukan ke dalam ikatan somah

(rumah tangga) orang tua angkatnya, ia juga

19 Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek hukumnya

Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI September

2007, MA RI, Jakarta, hal.63.

secara sosial dimasukkan pula ke dalam ikatan

kekerabatan orang tua angkatnya. Selain itu

anak angkat menduduki posisi sebagai ahli

waris dari orang tua angkatnya baik terhadap

harta benda yang bersifat materiil maupun

untuk benda-benda imateriil (gelar-gelar adat

dan kebangsaan).

Secara terang berarti bahwa

pengangkatan anak itu dilaksanakan dengan

sepengetahuan dan dihadapan kepala

persekutuan (kepala adat) dengan melakukan

upacara-upacara adat. Hal ini dilakukan dengan

maksud agar khalayak ramai dapat mengetahui

bahwa telah terjadi tindakan untuk

memutuskan hubungan hukum antara anak

angkat itu dengan orang tua kandungnya

sendiri dan memasukan anak angkat tersebut

ke dalam ikatan hak dan kewajiban orang tua

angkat dan kerabat angkatnya.

Hal tersebut terdapat dalam

pengangkatan anak di Bali. Di Bali pemutusan

hubungan hukum antara anak angkat itu

dengan orang tua kandungnya ditandai dengan

adanya upacara pembakaran seutas benang

(tali) hingga putus. Sedangkan di daerah

Pasemah (Sumatera Selatan), pengangkatan

anak dilakukan secara terang dihadapan orang

sedusun (laman dusun).

Sedangkan yang dimaksud dengan

secara tunai adalah pengangkatan anak tersebut

harus disertai dengan pemberian atau

pembayaran adat, berupa benda-benda magis,

uang atau pakaian. Pengangkatan anak

dianggap telah selesai dengan adanya

pemberian-pemberian tersebut. Pada saat itu

juga anak angkat beralih bubungan hukumnya

dari orang tua kandungnya kepada orang tua

angkatnya. Pengangkatan anak selesai seketika

itu juga dan tidak mungkin ditarik kembali

(eenmalig).20

Prinsip terang ini juga terdapat di Bali

melalui pembayaran adat berupa 1000 (seribu)

kepeng. Sedangkan di Jawa Timur terdapat

satu lembaga yang menyatakan pengangkatan

anak itu suatu perbuatan kontan, yaitu dengan

pembayaran mata uang sejumlah rong wang

segobang (17 ½ sen) kepada orang tua

kandung sebagai sarana magis untuk memutus

ikatan anak dengan orang tua kandungnya.21

2. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang Dan

Tunai

Pengangkatan anak yang tidak bertujuan

untuk menjadikan anak angkat sebagai anak

kandung tidak harus dilakukan secara terang

dan tunai. Di Jawa, pengangkatan anak pada

umumnya tidak memutus pertalian kerabat

antara anak angkat itu dengan orang tua

kandungnya. Sifat pengangkatan anak pada

20 Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat,

Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 33 21 Imam Sudiyat, Op.cit. hal. 103.

Page 40: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 39 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

masyarakat ini umumnya hanya untuk

memasukan anak angkat itu ke dalam

kehidupan rumah tangga orang tua angkatnya

saja. Anak angkat dalam hal ini tidak

berkedudukan sebagai anak kandung dengan

fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua

angkatnya. Anak angkat yang diangkat pada

umumnya adalah keponakannya sendiri, baik

laki-laki atau perempuan. Dasar pengangkatan

anak seperti ini adalah untuk:

a. Untuk memperkuat pertalian orang tua

anak yang diangkat;

b. Kadang-kadang oleh sebab belas kasihan,

jadi pengangkatan anak untuk menolong

anak angkat tersebut;

c. Berhubungan dengan kepercayaan, jika

mengangkat anak akan mendapat anak

sendiri;

d. Mungkin pula untuk mendapat laki-laki di

rumah yang dapat membantu pekerjaan

orang tua angkat sehari-hari.22

Pada bentuk pengangkatan anak pada

masyarakat di atas, perbuatan hukum

pengangkatan anak itu tidak dilakukan secara

terang dan tunai. Bahwa hal tersebut tidak

harus dilakukan di hadapan dan sepengetahuan

kepala adat untuk keabsahannya. Selain itu

tidak ada keharusan untuk melakukan

pemberian-pemberian atau pembayaran adat

kepada orang tua kandung dari anak angkat

tersebut.

Pengangkatan anak pada masyarakat ini

tidak memutus hubungan hukum hukum antara

anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Sehingga ia tetap akan bertindak sebagai ahli

waris dari orang tua kandungnya. Sementara

itu anak angkat juga berhak memperoleh

bagian dari harta gono-gini orang tua

angkatnya sebagai anggota rumah tangga dari

orang tua angkatnya.

Akibat dari tidak dilakukannya

pengangkatan anak secara terang dan tunai

maka pada mayarakat ini sering terjadi keragu-

raguan apakah anak tersebut telah diangkat

sebagai anak dari orang tua angkatnya

sehingga mempunyai hak-hak tertentu terhadap

harta peninggalan orang tua angkatnya kelak,

atau anak tesebut hanya sebagai anak yang

dipelihara saja sehingga tidak mempunyai hak-

hak tersebut. Meskipun demikian, Soepomo

dalam bukunya mengatakan, bahwa :

Bagaimanapun juga dengan mengambil anak

sebagai anak angkat dan memelihara anak itu

hingga menjadi orang dewasa yang kuat gawe,

maka timbul dan berkembanglah hubungan

rumah tangga (gezinsverhouding) antara bapak

dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di

lain pihak. Hubungan rumah tangga ini

menimbulkan hak-hak dan kewajiban antara

22 Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta:

Pradnya Paramita, hal. 102.

kedua belah pihak, yang mempunyai k

konsekuensi terhadap harta benda rumah

tangga tersebut.23

3. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai Saja

Secara terbatas perbutan pengangkatan

anak yang hanya dilakukan secara tunai saja

dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh pada masyarakat suku Rejang

(Bengkulu), seorang ayah yang karena

perkawinannya tidak berhak atas seorang anak

pun yang lahir dari perkawinannya. Hal

tersebut disebabkan karena si ayah tersebut

hanya mampu membayar kurang dari setengah

uang adat (pelapik) yang disyaratkan oleh

pihak keluarga istrinya pada saat

perkawinannya. Maka secara adat semua anak

yang lahir dari perkawinannya akan masuk

klan (tobo) ibunya dan si ayah tidak berhak

untuk itu. Meskipun demikian, hukum adat

daerah tersebut masih memberi kesempatan

kepada si ayah untuk mengambil seorang anak

dari perkawinannya itu untuk dimasukan ke

dalam klan-nya sendiri. Agar dapat melakukan

hal tersebut, si ayah harus melakukan

pembayaran uang adat yang disebut dengan

uang pedaut kepada istrinya.

Adanya pemberian uang pedaut dari si

ayah kepada keluarga istrinya yang berakibat si

ayah dapat memasukan anak itu ke dalam

klannya itu dan pada saat bersamaan

memutuskan hubungan hukum anak Itu dengan

ibunya (istrinya) dan kerabat ibunya itu

dipandang sebagai suatu perbuatan

pengangkatan anak pula. Hanya saja pada

bentuk pengangkatan anak semacam ini tidak

perlu dilakukan secara terang yang harus

dilakukan dengan upacara-upacara adat dan

dengan bantuan oleh kepala persekutuan

(pasirah) sehingga semua orang lain

mengetahuinya. Hal tersebut disebabkan

karena hanya terjadi pergeseran hubungan

hukum terhadap orang-orang yang telah hidup

sekeluarga (serumah tangga) tersebut.24

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat

diketahui bahwa pengangkatan anak

berdasarkan hukum adat dapat dilakukan

secara terang yang berarti wajib dilakukan

dengan upacara-upacara adat dan dengan

bantuan kepala adat dan tunai yaitu dengan

pembayaran adat berupa sejumlah uang atau

benda-benda yang mempunyai nilai magis oleh

keluarga yang mengangkat anak bagi keluarga

kandung dari anak yang diangkat. Selain itu

pengangkatan anak berdasarkan hukum adat

juga dapat dilakukan tidak secara terang dan

tunai serta dapat pula dilakukan hanya secara

tunai saja.

23 Ibid 24 Abdullah Siddik,1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta: Dalai

Pustaka, hal. 232.

Page 41: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 40 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Sedangkan Staatsblad 1917 No. 129

menentukan bahwa pihak-pihak yang dapat

melakukan pengangkatan anak (adopsi) adalah:

a. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah

kawin tapi tidak mempunyai keturunan

laki-laki, baik karena hubungan darah

maupun dari pengangkatan anak.

b. Dilakukan oleh suami istri secara bersama-

sama dan apabila perkawinan telah bubar,

maka dapat dilakukan oleh pihak suami

sendiri.

c. Jika suami meninggal lebih dahulu tanpa

meninggalkan keturunan laki-laki, maka

janda yang tidak kawin lagi dapat

mengadopsi anak laki-laki sebagai

anaknya (adoptie posthuum). Adopsi oleh

janda dilarang jika suami dalam wasiatnya

menyatakan bahwa ia tidak menghendaki

adopsi oleh jandanya.

Staatsblad 1917 No. 129 menentukan

bahwa adopsi hanya dapat dilakukan terhadap

seorang laki-laki dari golongan Tionghoa yang

tidak kawin dan tidak mempunyai anak serta

belum diadopsi oleh orang lain.

Selain itu harus diperhatikan perbedaan

usia antara anak yang akan diadopsi dengan

orang tua angkatnya. Perbedaan umur tersebut

adalah paling sedikit 18 (Jelapan belas) tahun

lebih muda dari usia suami dan paling sedikit

15 (lima belas) tahun lebih muda dari usia istri

atau janda yang mengadopsinya.

Jika yang diadopsi itu seorang anak dari

keluarga sedarah, misalnya dari saudara pihak

laki-laki atau wanita akan mengadopsi anak

laki-laki dari pamannya, maka hal ini tidak

diperkenankan.

Berdasarkan Stoatsblad 1917 No.129

adopsi juga harus dilakukan dengan adanya

kata sepakat dari kedua belah pihak, yaitu baik

pihak yang melepaskan anak dan pihak orang

tua angkat. Untuk lebih jelasnya kata sepakat

dalam melakukan adopsi tersebut harus

dilakukan dengan cara seperti tersebut dibawah

ini:

1. Antara suami istri yang hendak

mengangkat anak harus ada kesepakatan.

Hal ini berarti bahwa seorang laki-laki

yang telah beristri tidak dapat mengadopsi

anak bila istrinya tidak memberikan

kesepakatan dan menolak untuk ikut serta

menandatangani akta notaris.

2. a. Jika yang diangkat itu anak sah, maka

harus ada kata sepakat dari bapak dan

ibu kandungnya. Kalau salah satu dari

mereka sudah meninggal maka harus

ada kata sepakat dari pihak orang tua

yang masih hidup baik itu bapak

ataupun ibunya. Namun dalam hal

pihak ibu kandung yang masih hidup

dan kemudian dia kawin lagi atau jika

kedua orang tua dari anak telah

meninggal dunia, maka harus ada kata

sepakal dari pihak wali anak angkat

atau dari Balai Harta Peninggalan.

b. Jika yang diaugkat tersebut anak luar

kawin, maka harus ada kata sepakat

dari orang tua yang mcngakuinya.

Bila salah satu dari orang tua yang

mengakuinya tersebut telah

meninggal, maka harus ada kata

sepakat dari atau ibunya yang masih

hidup. Dalam hal orang tua tersebut

tidak lagi mengakui atau keduanya

mengakui tapi sudah meninggal, maka

harus ada kata sepakat dari walinya

atau dari Balai Harta Peninggalan.

3. Jika yang akan diadopsi telah mencapai

umur 15 tahun, maka anak yang

bersangkutan harus memberikan juga

kesepakatannya.

4. Bila adopsi dilakukan oleh seorang janda

maka diperlukan kesepakatan dari saudara

ipar laki-laki yang telah dewasa

(meederjarig) dan ayah mendiang

suaminya. Jika mereka tidak ada lagi atau

orang-orang tersebut tidak bertempat

tinggal di Indonesia, maka diperlukan

kesepakatan dari dua anggota laki-laki

sedarah yang telah dewasa dan bertempat

tinggal di Indonesia dari pihak ayah suami

sampai dengan derajat keempat.

Jika tidak diperoleh kesepakatan

(toestemming) dari sanak keluarga yang

dimaksud oleh pasal 8 ayat (4), karena mereka

bukan ayah atau wali dari anak yang diangkat

atau tidak ada sanak keluarga laki-laki sampai

dengan derajat keempat, maka kesepakatan

tersebut dapat digantikan dengan kuasa dari

hakim (Pengadilan Negeri) di tempat tinggal

sang janda. Keputusan pengadilan yang

diberikan atas permohonan janda tersebut tak

dapat diajukan banding ataupun kasasi.

Staatsblad 1917 No.129 juga menentukan

bahwa adopsi hanya dapat dilakukan dengan

akta notaris. Jika yang berkepentingan tidak

dapat menghadap sendiri di muka notaris,

maka boleh diwakili oleh seorang kuasa yang

diangkat dengan akte notaris yang khusus

dibuat untuk keperluan itu.

Semua Kesepakatan yang diperlukan

dapat diberikan dengan menggunakan akta

notrris tersendiri, kecuali ayah atau wali dari

sang anak yang akan menyerahkan anak itu

untuk diadopsi. Setiap orang yang

berkepentingan berhak meminta pada Catatan

Sipil agar diberi catatan mengenai adopsi itu di

pinggir akta kelahirannya. Tetapi, tanpa adanya

catatan adopsi tersebut tidak dapat digunakan

untuk menentang keabsahan adopsi. Dengan

kata lain, tidak ada akibat hukumnya apabila

catatan adopsi tersebut tidak dibuatkan.

Adopsi berdasarkan Staatsblad 1917 No.

129 tidak dapat dibatalkan atas dasar

kesepakatan bersama. Sedangkan adopsi anak

Page 42: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 41 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

perempuan dan adopsi dengan cara lain

daripada akta notaris adalah batal demi hukum.

Adopsi dapat dinyakan batal apabila

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat (2) dan (3)

pasal 10.

Untuk pengangkatan anak yang

dimintakan pengesahannya ke Pengadilan

Negeri maka harus dilakukan menurut

ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung

No.6 Tahun 1983 Tentang penyempurnaan

Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun

1979.

Syarat dan bentuk surat permohonan

dalam pengangkatan anak tersebut menurut

Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun

1983 adalah sebagai berikut:

1. Permohonan tersebut diajukan dengan cara

lisan dengan hukum acara yang berlaku di

Pengadilan Negeri maupun dengan cara

tertulis dengan menggunakan surat

permohonan.

2. Dapat diajukan oleh pemohon sendiri atau

kuasanya. Namun demikian, meskipun

pemohon memakai seorang kuasa, dia

wajib hadir dalam pemeriksaan sidang di

Pengadilan Negeri.

3. Surat permohonan tersebut dibubuhi

materai secukupnya.

4. Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan

Negeri yang daerah hukumnya meliputi

tempat tinggal domisili dari anak yang

diangkat tersebut.

Di dalam surat permohonan tersebut harus

memuat:

1. Motivasi yang dijadikan dasar diajukannya

permohonan pengangkatan anak tersebut.

2. Penjelasan mengenai tujuan pengangkatan

anak, yaitu terutama untuk kepentingan

calon anak angkat yang bersangkutan

serta adanya gambaran mengenai

kemungkinan hari depan anak tersebut

setelah pengangkatan anak terjadi.

Surat Edaran Mahkamah Agung No.6

Tahun 1983 menentukan bahwa pengangkatan

anak antar Warga Negara Indonesia dapat

dilakukan baik terhadap pihak-pihak di luar

panti asuhan atau yayasan sosial (private

adoption) maupun terhadap anak-anak yang

berada dalam panti asuhan atau yayasan sosial.

Dalam hal anak yang akan diangkat

tersebut berada dalam panti asuhan atau

yayasan sosial, maka Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang

Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah

Agung No.2 Tahun 1979 menentukan bahwa

surat permohonan pengangkatan anak tersebut

harus dilampiri dengan surat izin tertulis dari

menteri sosial. Dalam surat izin tersebut hanya

menyatakan bahwa yayasan atau organisasi

sosial yang bersangkutan telah diijinkan

bergerak dibidang pengangkatan anak serta

bagi calon anak angkat harus mempunyai izin

tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang

ditunjuk yang menyatakan bahwa anak tersebul

telah diizinkan untuk diserahkan sebagai anak

angkat.

Untuk pengangkatan anak secara umum

yang dilakukan melalui yayasan atau rumah

sakit, dilaluikan sebagai berikut:

Seorang, yang bermaksud melakukan

pengangkatan anak mengajukan permohonan

pengangkatan anak kepada yayasan, panti

asuhan atau rumah sakit biasanya ada syarat-

syarat yang harus dipenuhi. Karena undang-

undang yang khusus mengenai pengangkatan

anak belum ada, maka yang dipakai sebagai

pedoman adalah Surat Keputusan Menteri

Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang

mengatur mengenai tata cara pengangkatan

anak dari yayasan atau rumah sakit yaitu

dengan cara diajukan permohonan dari pihak

yang ingin mengangkat anak yang isinya antara

lain identitas dari orang mengangkat baik itu

merupakan pasangan suami istri, janda atau

duda atau bahkan orang yang masih berstatus

lajang, pekerjaan dan alamat tempat tinggal.

Dalam permohonan tersebut harus disertai

alasan-alasan dan tujuan dari perbuatan

pengangkatan anak.

Demikian juga identitas dari anak yang

akan diangkat (nama, umur, tempat asil atau

tempat tinggal harus dicantumkan). Apabila

anak tersebut masih mempunyai orang tua

kandung maka dibuatkan surat persetujuan

yang ditandatangani oleh lurah dan camat.

Andaikata anak yang diangkat sudah tidak

mempunyai orang tua atau saudara-saudara

maka yang berwenang adalah yayasan atau

rumah sakit yang mengasuh anak tersebut.

Khusus bagi pengangkatan anak antar

Warga Negara Indonesia yang dilakukan

terhadap anak-anak yang berada dalam panti

asuhan atau yayasan sosial maka

pelaksanaannya didasarkan menurut ketentuan

yang berlaku dalam Surat Keputusan Menteri

Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Surat Keputusan Menteri Sosial No. 13

Tahun 1993 menentukan tata cara permohonan

untuk mendapat izin pengangkatan anak antar

Warga Negara Indonesia yaitu sebagai beikut:

1. Mengajukan pemohonan untuk

mendapatkan ijin pengangkatan anak

secara tertulis diatas kertas bermaterai

cukup kepada Kepala Kantor Wilayah

Departemen Sosial Provinsi dimana

yayasan atau organisasi sosial tersebut

berada.

2. Tembusan dari surat permohonan tersebut

disampaikan kepada Menteri Sosial

melalui Direktorat Jenderal Bina

Kesejahteraan Sosial.

Page 43: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 42 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

3. Kemudian diadakan penelaahan dan

penelitian atas perrnohonan yang diajukan

kepada Kantor Wilayah Departemen

Sosial dibantu oleh Tim Pertimbangan

Pengangkatan Anak Provinsi.

4. Berdasarkan laporan sosial dari pekerja

sosial tersebut maka kepala sektor provinsi

yang akan menentukan diterima atau

ditolaknya permohonan pengangkatan

anak tersebut apabila ditolak maka harus

disebutkan alasan-alasannya. Selain itu, di

dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No.

13 Tahun 1993 tersebut juga menentukan

bahwa umur orang tua angkat minimal 30

tahun dan maksimal 45 tahun dan mereka

harus telah menikah minimal 5 tahun.

Akan tetapi Surat Keputusan Menteri

Sosial No. 13 Tahun 1993 memberikan

pengecualian dalam hal pasangan suami isteri

tersebut telah dinyatakan dengan surat

keterangan dokter bahwa mereka tidak

mungkin mempunyai anak atau melahirkan

anak. Sehingga berkaitan dengan hal tersebut

maka mereka dapat melakukan pengangkatan

anak walaupun usia perkawinannya belum

mencapai 5 tahun.

Mengenai selisih umur antara orang tua

angkat dengan anak angkat tidak diatur dalam

Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun

1993. Hal tersebut diatur dalam Surat

Keputusan Menteri Sosial No.41 Tahun 1984

yaitu selisih umurnya minimal 20 tahun.

Sedangkan alasan yang digunakan untuk

mengangkat anak yang berasal dari panti

asuhan atau yayasan sosial menurut Surat

Keputusan Menten Sosial No.41 Tahun 1984

adalah sebagai berikut:

1. Tidak mungkin mempunyai anak.

2. Belum mempunyai anak.

3. Hanya mempunyai anak kandung seorang.

4. Mempunyai seorang anak angkat dan tidak

mempunyai anak kandung.

Selanjutnya dalam Surat Keputusan

Menteri Sosial No.13 Tahun 1993 alasan

bahwa hanya mempunyai seorang anak angkat

dan tidak mempunyai anak kandmg tidak dapat

dijadikan sebagai alasan untuk dapat

dilakukannya pengangkatan anak.

Selain alasan-alasan tersebut, calon orang

tua angkat juga harus mampu dalam hal

ekonomi dan sosial. Hal tersebut bertujuan

tidak lain untuk kesejahteraan dan kepentingan

calon anak angkat.

Lebih jauh lagi ketentuan-ketentuan yang

terdapat di dalam Surat Keputusan Menteri

Sosial No.13 Tahun 1993 bersifat melengkapi

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983.

Hal tersebut antara lain dalam hal minimal usia

perkawinan calon orang tua angkat untuk

melakukan pengangkatan anak adalah 5 tahun,

sementara hal tersebut tidak diatur dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983.

Mengenai batas usia calon orang tua

angkat, di dalam Surat Kepulusan Menteri

Sosial No. 13 Tahun 1993 menentukan

maksimal 45 tahun dan minimal 30 tahun. Hal

tersebut bertujuan agar anak angkat dapat

dipelihara dan dididik oleh calon orang tua

angkatnya sampai dewasa. Selain itu Surat

Kepatusan Menteri Sosial No. 13 Tahun 1993

juga mengatur mengenai selisih usia antara

anak angkat dengan calon orang tua angkat,

yaitu 20 tahun. Kedua hal tersebut juga tidak

diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung

No. 6 Tahun 1983.

Ketentuan mengenai syarat-syarat

pengangkatan anak kemudian diubah dengan

dibentuknya Peraturan Pemerintah No.54

Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak. Dengan berlakunya

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah

tersebut, maka peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pelaksanaan

pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan Peraturan

Pemerintah tersebut.

Akibat Hukum Pengangkatan Anak Hingga saat ini, peraturan perundang-

undangan yang secara khusus mengatur mengenai

pengangkatan anak belum ada, begitu pula hingga

saat ini belum ada pengatnran yang pasti mengenai

akibat hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak.

Dalam ketentuan-ketentuan pengangkatan

anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.

6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat

Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979

maupun Surat Keputusan Menteri Sosial

No.41/HUR/NEP/VII/1984 maupun

penyempurnaannya yaitu Surat Keputusan Menteri

Sosial No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk

Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak disebutkan

mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak.

Namun demikian di dalam pasal 39 ayat (2)

Undang-undang No.23 Tahun 2003 Tentang

Perlindungan Anak jo. Pasal 4 Peraturan

Pemerinlah No.54 Tahon 2007 dinyatakan bahwa,

"Pengangkatan anak berdasarkan tidak memutuskan

hubungan darah antara anak dengan orang tua

kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku bagi

anak yang bersangkutan". Dari ketentuan tersebut

dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukannya

pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah

antara anak angkat dengan orang tua Kandungnya.

Sedangkan pengangkatrn anak (adopsi)

menurut Staatsblad 1917 No. 129 menimbulkan

akibat hukum bahwa anak yang diangkat oleh

suami istri sebagai anak mereka, dianggap sebagai

anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri

tersebut.

Hubungan peidata antara orang tua dengan

sanak keluarganya di satu pihak dengan anak

Page 44: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 43 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

tersebut di lain pihak menjadi putus, dengan

perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila

anak yang diadopsi itu mempunyai nama keluarga

lain, karena hukum akan memperbolehkan nama

keluarga dari ayah yang mengadopsi.

Jika seorang suami mengadopsi anak setelah

perkawinan bubar, maka anak tersebut dianggap

lahir dari perkawinan pria tersebut yang telah bubar

karena kematian istrinya. Maksud ketentuan

tersebut adalah anak itu harus dianggap telah

dilahirkan dari suatu perkawinan fiktif, yaitu

perkawinan antara ayahnya dengan seorang wanita

yang sesungguhnya tidak ada, yang telah bubar

karena istri telah meninggal dunia.

Beberapa pakar berpendapat bahwa maksud

dari ketentuan tersebut adalah bahwa adopsi oleh

seorang suami setelah perkawinan bubar hanya

mempunyai akibat hukum terhadap dia sendiri dan

sanak keluarganya akan tetapi tidak terhadap bekas

istri atau sanak keluarganya.

Lain halnya jika seorang janda mengadopsi

anak setelah suaminya meninggal dunia, maka anak

yang diadopsi hanya dapat dianggap sebagai ahli

waris suami dari ibu angkatnya jika suami tidak

memberikan ketentuan-ketentuan atau harta

peninggalannya di dalam wasiatnya, maka hal ini

berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam wasiat

suami yang telah meninggal dunia tidak dapat

diganggu gugat oleh anak angkat. Dengan demikian

maka anak angkat tidak mempunyai legitime portie

atas warisan suami dari ibu angkatnya.

Selain itu, pasal 13 ayat (1) memerintahkan

apabila seorang suami meninggal dunia dengan

meninggalkan istri yang berwenang untuk

mengadopsi, maka Balai Harta Peninggalan wajib

mengambil tindakan-tindakan yang perlu dan

mendesak untuk menyelamatkan dan mengurus

harta peninggalannya yang akan jatuh pada anak

yang diadopsi.

Sedangkan hak-hak pihak ketiga yang dapat

dipengaruhi oleh adopsi ini tetap ditangguhkan

sampai dengan dilakukannya adopsi. Tenggang

waktu penangguhan itu selambat-lambatnya selama

yang dimaksud oleh pasal 12 ayat (3) yaitu satu

bulan.

Adopsi yang telah dilakukan dalam jangka

waktu enam bulan setelah meninggalnya suami atau

janda dalam tenggang waktu itu telah meminta izin

dari hakim seperti yang dimaksud dalam pasal 9.

lalu dalam waktu satu bulan setelah izin atau kuasa

itu diperoleh, ia baru menggunakan haknya.

Apabila seorang janda yang melakukan

adopsi, maka anak tersebut dianggap sebagai anak

yang lahir dari janda tersebut dengan suaminya

yang telah meninggal. Dari pengertian tersebut

anak angkat akan mendapatkan bagian warisan

almarhum ayah angkatnya sejauh tidak ditentukan

lain dalam surat wasiat almarhum semasa hidupnya

dan sejauh adopsi tersebut dilakukan dalam jangka

waktu 6 bulan terhitung mulai saat meninggalnya

almarhum.

Kemudian Pasal 14 Staatsblud 1917 No. 129

menjelaskan bahwa, adopsi berakibat putusnya

hubungan hukum antara anak yang diadopsi dengan

orang tuanya sendiri, kecuali:

1. Mengenai larangan kawin yang berdasar atas

suatu tali kekeluargaan.

2. Mengenai peraturan hukum pidana yang

berdasar pada tali kekeluargaan.

3. Mengenai ganti rugi biaya-biaya perkara dan

sandera.

4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi.

5. Mengenai bertindak sebagai saksi.

Ditinjau dari hukum adat, pengangkatan anak

tidak selalu mengakibatkan terputusnya hubungan

perdata dengan orang tua kandung. Meskipun pada

umumnya dengan terjadinya pengangkatan anak,

orang tua angkat akan menggantikan kedudukan

orang tua kandung. Sehingga tanggung jawab orang

tua kandung akan beralih kepada orang tua

angkat.25

Pada dasarnya akibat hukum yang timbul dari

pengangkatan anak itu tidak terlepas hubungannya

dengan tata cara pengangkatan anak yang telah

dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan

oleh B. Bastian Tafal bahwa : Pengangkatan anak

yang dilakukan tanpa disertai dengan upacara-

upacara khusus dan tanpa surat-surat, maka

pengangkatan anak seperti ini tidak memutus

pertalian keluarga antara anak yang diangkat

dengan orang tua kandungnya. Meskipun secara

lahiriah hubungan anak itu terputus dengan orang

tua kandungnya karena dimasukan ke dalam

keluarga orang yang mengangkatnya, tetapi secara

batiniah hubungan antara anak dengan orang tua

kandungnya tetap ada. Kemudian dengan saudara

angkat timbul hubungan seperti layaknya saudara

kandung dan dengan keluarga atau kerabat dari

orang tua angkatnya dianggap sebagai sanak

keluarganya sendiri. Selanjutnya dalam upacara

perkawinan bagi anak angkat perempuan, maka

yang menjadi wali nikahnya adalah orang tua

kandungnya atau saudara laki-laki sekandung dari

anak angkat tersebut.26

Dalam hal hubungan dengan orang tua

kandungya tidak terputus, maka hak dan kewajiban

anak angkat masih bercabang dua yaitu terhadap

orang tua angkat maupun terhadap orang tua

kandung. Hal ini mempunyai konsekuensi lebih

lanjut bahwa anak angkat yang tidak terputus

hubungannya dengan orang tua kandung akan

menerima warisan baik dari orang tua kandung

maupun dari orang tua angkat. Keadaan seperti ini

biasanya terjadi pada masyarakat parental. Akan

tetapi sesuai dengan keanekaragaman sistem hukum

pengangkatan anak di berbagai daerah di Indonesia,

maka pandangan masyarakat dalam hubungannya

dengan kedudukan anak angkatpun beraneka ragam

25

Isti Sulistyowati, Loc. Cit. 26 B. Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian

Hari, Jakarta : Rajawali Press, hal. 85.

Page 45: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 44 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

pula. Kadang anak angkat mendapat warisan dari

orang tua angkat berupa harta asal dan harta

bersama, tetapi terkadang hanya harta bersama

saja.27

Sedangkan pengangkatan anak menurut

Hukum Islam pada dasarnya diperbolehkan tapi

semata-mata hanya didasarkan pada tujuan untuk

membantu anak-anak terlantar dan hal itu tidak

membawa akibat hukum apapun. Hal ini

disebabkan karena dalam hukum Islam ada

larangan pengangkatan anak dalam pengertian

adopsi yaitu pemberian status kepada anak sama

dengan status anak kandung. :

Pengangkatan anak menurut Agama Islam

tidak membawa akibat hukum dalam hak hubungan

darah, perwalian dan pewarisan dengan orang tua

kandungnya. Anak angkat tetap memakai nama

orang tua kandungnya dan tetap menjadi ahli waris

dari orang tua kandungnya.28

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya tidak ada ketentuan khusus

yang mengharuskan pengangkatan anak

dilakukan dengan penetapan dari pengadilan.

Hal tersebut karena penetapan pengadilan

tersebut hanya berfungsi untuk menguatkan

pengangkatan anak yang dilakukan dan untuk

lebih memberikan jaminan hukum

pengangkatan anak adalah sah apabila

dilakukan menurut ketentuan hukum adat,

hukum agama dan kepercayaan dari masing-

masing pihak yang bersangkutan. Sah atau

tidaknya pengangkatan anak tersebut

tergantung pada dipenuhi atau tidaknya syarat-

syarat dan tata cara dalam melakukan

pengangkatan anak. Sebagai contoh yaitu

dalam hal harus adanya persetujuan dari

masing-masing pihak, baik pihak yang

mengangkat anak ataupun pihak yang akan

melepaskan anak tersebut. Jika tidak ada

persetujuan dari salah satu pihak, maka

pengangkatan anak tersebnt dianggap tidak

sah.

Menurut hukum adat, syarat dan tata cara

pengangkatan anak pada umumnya

dilaksanakan dengan beberapa cara. Cara

tersebut sangat bergantung pada tujuan dan

akibat hukum dari dilakukannya perbuatan

pengangkatan anak tersebut, yaitu:

a. Pengangkatan Anak Secara Terang Dan

Tunai

b. Pengangkatan Anak Tidak Secara Terang

Dan Tunai

c. Pengangkatan Anak Hanya Secara Tunai

Saja

2. Akibat hukum pengangkatan anak menurut

menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6

Tahun 1983 Surat Keputusan Menteri Sosial

27 Isti Sulistyorini, Loc. Cit. Hal. 27 28 M. Budiarto, Op.cit, hal. 2.

No. 13 Tahun 1993 Tentang petunjuk

Pelaksanaan Pengangkatan Anak, tidak

disebutkan mengenai akibat hukum dari

pengangkatan anak. Namun demikian di dalam

pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.23 Tahun

2003 Tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 4

Peraturan Pemerinlah No.54 Tahon 2007

dinyatakan bahwa, "Pengangkatan anak

berdasarkan tidak memutuskan hubungan

darah antara anak dengan orang tua

kandungnya berdasarkan hukum yang berlaku

bagi anak yang bersangkutan". Dari ketentuan

tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan

dilakukannya pengangkatan anak tidak

memutus hubungan darah antara anak angkat

dengan orang tua Kandungnya. Sedangkan

pengangkatrn anak (adopsi) menurut Staatsblad

1917 No. 129 menimbulkan akibat hukum

bahwa anak yang diangkat oleh suami istri

sebagai anak mereka, dianggap sebagai anak

yang dilahirkan dari perkawinan suami istri

tersebut.

B. Saran 1. Hakim Pengadilan Negeri hendaknya

memperhatikan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan

pengangkatan anak khususnya Undang-

undang No.3 Tahun 2006.

2. Para pihak yang terlibat dalam

pengangkatan anak hendaknya mengetahui

akibat hukum dari pengangkatan anak di

Pengadilan Negeri Sehingga diharapkan para

pihak dapat mengetahui kedudukan dan

hubungan hukum antara anak angkat dengan

orang tua angkat maupun anak angkat dengan

orang tua kandungnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abdul Manar, 2005, Penerapan Hukum Acara perdata

di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada

Media.

Abdullah Siddik.1980, Hukum Adat Rejang, Jakarta:

Balai Pustaka.

Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Keluarga

Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta.

Amir Martosedono, 1999, Tanya Jawab Pengangkatan

Anak dan Masalahnya, Semarang: Dahara Prize.

Arif Gosida, 1985, Masalah Perlidungan Anak, Jakarta:

Akademika.

A. Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum

Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Bastian Tafal, 1989, Pengangkatan Anak Menurut

Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya

Dikemudian Hari, Jakarta: Rajawali Press.

Page 46: J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 0 ... · yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat

J u r n a l I l m u S o s i a l & H u m a n i o r a h a l | 45 Universitas Islam Lamongan

Volume 1 No. 2 Tahun 2013 ISSN : 2302-3562

Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat,

Jakarta: Prajnya Paramita.

Djaja Meliala, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di

Indonesia, Bandung: Tarsito.

Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Dan Sketsa,

Lamongan: Liberty.

Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum

Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006

Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga

Sistem Hukum, Bina Aksara Jakarta .

M. Budiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari

Segi Hukum, Jakarta: Akademika Presindo.

M. Yahya Harahap, 1990, Kedudukan Kewenangan dan

Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini.

M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata,

Jakarta: Sinar Grafika.

Musthofa Sy., 2008, Pengangkatan Anak

Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta:

Kencana.

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, 1983,

Sendi-sendi Hukum Perdata International, Jakarta:

Rajawali.

Retno Wulan S., 1979, Wanita Dan Hukum, Bandung:

Alumni.

Satria Effendi M. Zein, 2004, Problematika Hukum

Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana.

Soepomo 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,

Jakarta: Pradnya Paramita.

Soerjono Soekamto, 1992, Intisari Hukum Keluarga,

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan

Keluarga (Personen En Familie.-Recht), Surabaya:

Airlangga University Press.

Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata

Indonesia, Lamongan: Liberty.

Surojo Wignodipuro, 1982. Pengantar dan Asas-asas

Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung.

Zakaria Ahmad Al-Barry, 2004, Hukum Anak-Anak

Dalam Islam (Saduran, Dra. Chadijah Nasution),

Jakarta: Bulan Bintang.

Afdol, 2007, Pengangkatan Anak dan Aspek Hukumnya

Menurut Hukum Adat, Suara Uldilag Vol.3 No.XI

September 2007.

H. Sarmin, 2007, Hukum Formil dan Materil Penetapan

Pengaesahan / Pengangkatan Anak Pada

Peradilan Agama, Suara Uldilag Vol. I No XI

September 2007.

Isti Sulistyorini, 1997, Adopsi Menurut Staatsblad 1917

No. 129 Dan Kaitannya Dengan Pengangkatan

Anak Menurut Hukum Adat, PENA, Jurnal Ilmu

pengetahuan Dan Teknologi: V (9).

M. Karsayuda, 2007, Pengangkatan Anak dari

Keluarga Non-muslim di Pengadilan Agama,

Suara Undilag Vol.3 No.XI September 2007.

Muslich Mauzi, 1984, Beberapa Bentuk Pengangkatan

Anak Di Indonesia Menurut Hukum Islam,

Walisongo, Edisi II Mei 1984.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

Staatblad No.l29 Tahun 1917;

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

Undang-undang No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak;

Undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Umum;

Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama;

Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia;

Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak;

Undang-undang No.4 'l'ahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman;

Undang-undang No.8 Tahun 2004 Tentang Perubahan

Atas Undang-undang No.2 Tahun 1985 Tentang

Peradilan Umum;

Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama;

Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun

1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;

Surat Keputusan Menteri Sosial No.13 Tahun

1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pengangkatan Anak;

Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979;

Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983

Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah

Agung No.2 Tahun 1979;