isi sa 2011

Upload: muhammad-nazmuddin

Post on 18-Jul-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Setelah seseorang terinfeksi kuman

tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan tes tuberkulin positif. WHO mendeklarasikan TB sebagai global emergency (National Foundation of Infectious Disease, 1999; WHO, 2007). WHO memperkirakan saat ini Indonesia merupakan negara penyumbang kasus tuberkulosis terbesar ke-3 di dunia, yang setiap tahunnya diperkirakan terdapat penderita tuberkulosis baru sebanyak 262.000 orang (44,9% dari 583.000 penderita tuberkulosis baru) dan 140.000 orang diperkirakan meninggal karena penyakit tuberkulosis. Angka kematian di Indonesia cukup tinggi, yaitu 140.000 per tahun (Dye et al., 1999) TB pada anak menjadi probem yang lebih sulit (Enarson, 2005). Umumnya pada anak gejala Tb berbeda dengan penderita TB dewasa, oleh karena mycobacterium tuberculosis lebih menyerang kelenjar, bukan struktur paru, sehingga gejala batuk minimal. TB pada anak lebih mudah berlanjut menjadi TB paru yang lebih parah, maupun TB ekstra pulmonal. Kontak dengan pasien dewasa TB BTA positif merupakan faktor utama penyebab infeksi TB anak (Soysal, 2005). Tingginya angka kejadian TB di Indonesia menyebabkan kontak antara pasien positif TB dan anak dalam lingkungan kesehariannya cukup tinggi. Salah satu pencegahan terhadap TB yang saat ini rutin dilakukan di Indonesia adalah imunisasi BCG. Pemebrian vaksin BCG terbukti mampu melindungia anak dengan odds ratio 0,60 (95%, CI= 0,43- 0,83, p=0,0003 terhadap infeksi TB pada anak yang kontak langsung dengan pasien TB BTA+ dibandingkan dengan anak yang tidak mendapatkan vaksin BCG (Soysal, 2005). Berdasarkan penelitian tersebut nampak bahwa vaksin

2

BCG dapat memberikan perlindungan pada anak terhadap infeksi TB, tetapi belum mencapai hasil yang maksimal. Vaksin BCG dilaporkan memberikan tingkatan perlindungan yang bervariasi dan jangka waktu perlindungan yang terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh British Medical Research Council pada tahun 1950-an menunjukkan bahwa vaksin BCG yang diberikan kepada anak hanya memberikan perlindungan sekitar 75% dalam kurun waktu 15 tahun (Hart dan Sutherland, 1977). BCG juga hanya memberikan kekebalan yang sifatnya sistemik sehingga hanya sedikit sel imun yang spesifik terhadap M. tuberculosis yang ditemukan di paru (Winslow et al., 2008; Cooper, 2009; Lindenstorm, 2009; Xing, 2009). Akibatnya BCG tidak memberikan perlindungan pada fase awal infeksi TB (Ronan, 2009). Beberapa mencetuskan penyebab kelemahan vaksinasi BCG lipid A tersebut bakteri

penulis

mengajukan

penggunaan

porphyromonas gingivalis sebagai substansi adjuvan ko-imunisasi dengan vaksin BCG yang diberikan per inhalasi. Lipid A pada Porphyromonas gingivalis memiliki sifat antigenik yang kuat. Antigenitas ini menyebabkan efek biologis dengan menginduksi proliferasi dan kinerja T cells. T berpotensi meningkatkan efikasi vaksin BCG melalui beberapa mekanisme imunomodulatornya (Casetti, 2008; Metha, 2007). Fungsi imunomodulator lipid A melalui autofagi, persentasi antigen, dan memori sel imun merupakan kunci mekanisme penggunaan bahan ini sebagai adjuvan yang dikombinasikan dengan vaksin BCG, dengan tujuan pertahanan tubuh individu terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis lebih baik apabila dibandingkan dengan vaksinasi BCG tanpa adjuvan.

1.2

Rumusan Masalah Bagaimanakah potensi penggunaan lipid A Porphyromonas gingivalis sebagai adjuvan pada vaksinasi BCG per inhalasi melalui aktivasi T cells?

3

1.3

Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum Menjelaskan potensi penggunaan adjuvan lipid A Porphyromonas gingivalis sebagai adjuvan pada vaksinasi BCG per inhalasi melalui aktivasi T cells.

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Menjelaskan cara kerja adjuvan lipid A Porphyromonas gingivalis. 2. Menjelaskan kemampuan adjuvan lipid A dalam mengaktivasi T cells. 3. Menjelaskan efek aktivasi T cells dalam modulasi sistem imun dan aplikasinya dengan BCG per inhalasi sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan efikasi vaksin BCG per inhalasi. 1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Keilmuan 1. Menambah pengetahuan mengenai prinsip kerja vaksin untuk penyakit TB 2. Informasi IPTEK hasil penelitian vaksin TB yang efektif 3. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi

1.4.2 Bagi Masyarakat 1. Produksi booster vaksin BCG baru yang efektif dan aman diharapkan dapat menurunkan prevalensi serta mencegah morbiditas dan mortalitas lebih lanjut akibat TB paru. 2. Menjadi masukan program dalam penanggulangan penyakit TB 3. Menunjang keberhasilan program pengendalian TB terutama di daerah endemis TB

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis (Mtb) merupakan bakteri basil, aerobik, dan

tidak membentuk spora. Dalam jaringan basil tuberkel adalah bakteri batang lurus dengan ukuran sekitar 0,4 3 m. Mtb tidak dapat dikelompokkan sebagai gram positif karena setelah diwarnai bakteri ini tidak dapat didekolorisasi oleh alkohol. Pewanaan teknik Ziehl-Neelsen digunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam. Media untuk membiakkan mikobakteri adalah media nonselektif dan media selektif yang berisi antibiotik. (Brooks et al, 2004). Basil tuberkel terdiri dari lipid, termasuk asam mikolat, bahan dari lilin, dan fosfatida. Muramil dipeptida yang diperkaya asam mikolat dapat menyebabkan nekrosis kaseosa. Beckman pada tahun 1994 menyebutkan pengenalan asam mikolat oleh CD4 dan CD8 (Brooks et al, 2004). Asam mikolat merupakan asam lemak rantai panjang yang bercabang dan hidroksil, dan menyusun sebagian besar dinding sel (Sieling, 1995). Lipid bertanggung jawab terhadap sifat tahan asam. Strain basil tuberkel yang virulen membentuk korda serpentin. Suatu faktor korda diyakini menghambat migrasi leukosit, menyebabkan granuloma kronik, dan bertindak sebagai ajuvan imunologi. Protein pada basil tuberkel menyebabkan reaksi dan sensitivitas tuberkulin serta menimbulkan pembentukan berbagai antibodi. Polisakarida juga berperan dalam hipersensitivitas tipe cepat dan bertindak sebagai antigen dalam reaksi serum orang yang terinfeksi (Brooks et al, 2004). 2.1.1 Patogenesis Tuberkulosis Manusia terpapar tuberkulosis setelah Mtb masuk ke dalam alveoli melalui droplet aerosol dimana makrofag merupakan sel pertama yang melakukan kontak dengan Mtb. Kemungkinan lain, Mtb pertama kali teringesti oleh pneumosit tipe 2 yang merupakan sel dengan jumlah lebih banyak dibandingkan makrofag. Akan tetapi, Mtb dapat menginfeksi dan tumbuh pada pneumosit secara ex vivo (Bermudez, 1996). Di samping itu, sel dendrit berperan penting pada infeksi awal

5

Mtb karena kemampuan pengenalan antigennya lebih baik dibandingkan makrofag (Tascon, 2000) dan dapat mengaktivasi sel T yang memiliki antigen spesifik terhadap Mtb (Bodnar, 2001). Tidak seperti makrofag, sel dendrit dapat bermigrasi sehingga sel ini berperan dalam penyebaran Mtb (Lipscomb, 2002). Proses fagositosis Mtb diawali kontak antara bakteri ini dengan manosa makrofag dan/atau reseptor komplemen (Schlesinger, 1993). Pengikatan dan pengambilan Mtb dapat ditingkatkan oleh surfaktan A dengan cara aktivitas up regulation pada reseptor manosa (Gaynor, 1995). Pada sisi lain, fagositosis Mtb dapat dihambat oleh surfaktan D, yang juga terletak di permukaan alveoli, dengan cara mengeblok residu oligosakarida manosil pada permukaan sel bakteri (Ferguson et al, 1999) dan bertujuan mencegah kontak bakteri ini dengan reseptor makrofag. Kolesterol pada membran plasma sel berperan dalam proses fagositosis dimana pelepasan steroid ini dari sel neutrofil manusia dapat menurunkan fagositosis dari Mycobacterium kansasii (Peyron, 2000). Toll-like receptor 2 (TLR2) juga berperan penting dalam fagositosis Mtb (Noss, 2001). Setelah masuk ke dalam makrofag pejamu, Mtb dan patogen lain mulai tinggal di vakuola endositosik yang disebut fagosom. Jika siklus maturasi fagosom terjadi, dengan kata lain fusi fagosom-lisosom, lingkungan host seperti pH asam, Reactive Oxygen Intermediates (ROI), enzim lisosomal dan peptida toksik dapat dilawan oleh bakteri ini. Reactive Nitrogen Intermediates (RNIs) yang diproduksi makrofag merupakan elemen utama aktivitas antimikroba (Nathan, 1991). Peran RNIs pada makrofag manusia dan potensinya melawan Mtb masih kontroversi, namun makrofag alveolar pada hampir semua penderita TB menunjukkan aktivitas iNOS (Nicholson, 1996). Berbagai cara dimiliki oleh patogen intraselular dalam melawan fagolisosom makrofag. Patogenitas yang dimiliki oleh Mtb menghambat fusi fagosom-lisosom, namun fagosom Mtb ini tidak bersifat asam. Hal ini berkaitan dengan ATP-ase proton yang dikeluarkan dari fagosom Mtb (Sturgill-Koszycki, 1994), tetapi penghambatan maturasi endosom belum jelas peranannya dalam pertahanan Mtb dalam makrofag.

6

Studi terbaru menemukan bahwa sinyal Ca2+ dapat terhambat ketika Mtb masuk ke makfrofag manusia, tetapi tidak ketika Mtb terbunuh atau antibodi yang mengopsonisasi Mtb terfagositosis. Hal ini berkaitan dengan traficcing yang terjadi pada endosom akhir, dengan kata lain pembentukan fagolisosom dapat terstimulasi oleh peningkatan Ca2+ sehingga dapat menstimulasi respon pejamu terhadap infeksi. Peningkatan Ca2+ yang terhambat dapat menolong Mtb menghindar dari mekanisme pertahanan host (Malik, 2000). Suatu postulat menyebutkan bahwa Mtb dapat bertahan hidup dalam tahap awal endosom dikarenakan menurunnya pertahanan imun sel T CD4. Ekspresi Major Histocompatibility Complex Class II (MHC-II) juga menurun saat pengenalan terhadap antigen pada makrofag setelah infeksi Mtb (Noss, 2001). Hal ini disebabkan induksi lipoprotein 19-kDa yang diyakini berinteraksi dengan TLR2 pada awal masuknya bakteri ke dalam makrofag. Patogenitas Mtb antara lain dorman di dalam makrofag sehingga dapat menghindar dari respon imun humoral dan selular. Enhanced Intracellular Survival (Eis) diyakini merupakan protein sekretori yang berperan dalam pertahanan bakteri di dalam makrofag. Secara in vitro protein Eis rekombinan dapat menghambat proliferasi sel T yang dimediasi Con A. Selain itu Eis mampu menghambat ERK1/2, jalur JAK, produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Interleukin-4 (Lella, 2007). Telah diketahui bahwa makrofag yang terinfeksi Mtb memproduksi kemokin yang dapat menarik monosit, limfosit, dan neutrofil yang tidak aktif, dimana agen-agen tersebut tidak dapat membunuh bakteri ini secara efisien (Fenton, 1996). Kemudian, granuloma fokal yang terdiri dari sel raksasa makrofag dan limfosit mulai terbentuk. Proses ini efektif menyebarkan infeksi Mtb. Selama imunitas selular berkembang, makrofag yang penuh dengan sel basil terbunuh dan hasilnya adalah terbentuknya perkejuan pada pusat granuloma yang dikelilingi fibroblas, limfosit, dan monosit (Dannenberg, 1994). Meskipun basil Mtb tidak dapat berkembang pada jaringan perkejuan karena pH yang asam, kadar oksigen yang rendah, dan timbulnya asam lemak yang toksik, Mtb dapat dorman dan hidup puluhan tahun dalam tubuh host.

7

Kemampuan imunitas selular host menentukan apakah infeksi Mtb dapat bertahan atau berkembang ke dalam stadium selanjutnya. Pada manusia dengan imunitas selular yang efisien infeksi ini dapat bertahan pada stadium itu saja sehingga granuloma hilang dan hanya meninggalkan jaringan fibrosis dan lesi kalsifikasi yang sedikit (Dannenberg, 1994). Sedangkan pada pasien yang infeksi awalnya tidak terkontrol atau sistem imunnya lemah karena obat imunosupresif, infeksi HIV, malnutrisi, penuaan, dan lain-lain, granuloma mulai mencair karena proses yang belum diketahui mekanismenya, sehingga granuloma ini menjadi medium kaya tempat berkembang biaknya Mtb. Dalam posisi ini, Mtb yang viabel dapat lolos dari granuloma dan menyebar ke dalam paru-paru (TB paru) dan ke jaringan lain melalui sirkulasi limfa dan darah (TB ekstraparu atau milier). Jika hal ini terjadi, pasien memerlukan terapi antibiotik untuk bertahan hidup (Dannenberg, 1994).

2.1.2 Respon Imun terhadap Mycobacterium tuberculosis Respon imun terhadap Mtb terutama adalah imunitas seluler yang melibatkan makrofag sebagai pembasmi sekaligus tempat tinggal kuman (Setiawati, 2004), sel T dan sitokin. Bila Mycobacterium tuberculosis dalam dosis infektif masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernafasan, maka basil tersebut akan ditangkap dan diproses oleh makrofag alveolar. Hal ini memicu lisosom dalam makrofag untuk mensekresikan lisozim untuk mencerna. Namun, kuman ini memiliki kelebihan dapat menghambat proses fagolisosom yang dilakukan oleh makrofag. Mtb memiliki kemampuan untuk merusak sel pejamu dan berpindah menuju sitosol bahkan keluar dari makrofag. Adanya jejas pada sel akan memicu terbentuknya radikal bebas sehingga memicu Hsp (Heat Shock Protein) sehingga melindungi sel tubuh yang rusak tersebut. Hsp yang bersifat antigen memicu makrofag sehingga mengenali keberadaan intracellular bacterial dan memicu terbentuknya protein yang melalui retikulum endoplasma. Selanjutnya dikirim ke badan golgi dengan vesikel transfer untuk memproduksi MHC-I. MHC-I adalah protein integral khusus yang dapat mengirimkan peptida antigen ke limfosit CD8+ yang menghasilkan cytotoxic T Lymphocyte (CTL)

8

(Mossman et al., 1986) yang dapat melisis sel secara langsung dengan cara memicu death receptor dalam sel seperti Fas (Restifo et al., 2001). Percobaan pada tikus menunjukkan binatang ini lebih mudah rentan terhadap Mtb karena adanya defek gen -2 mikroglobulin yang menyandi MHC kelas 1. Hal ini menunjukkan peranan dari sel CD8 sitotoksik yang dapat melepaskan patogen dari makrofag yang gagal membunuhnya, dan menyebabkan sel aktif lain dapat meng-uptake patogen tersebut. (Flynn, 1992) . Selain memicu CTL, makrofag yang telah teraktifkan juga akan menghasilkan produk berupa mediator meliputi interferon (IFN, IFN, IFN), Colony-Stimulating Factor (GM-CSF, M-CSF, G-CSF, dan lain-lain), Tumor Nekrosis Factor (TNF- ), Transforming Growth Factor (TGF-), Interleukin (IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12), dan lain-lain. Selain itu, akan merangsang proliferasi dan diferensiasi dari sel limfosit dan mensekresikan Antigen Presenting Cell yang akan memicu sel T untuk bekerja (Del Prete et al, 1991). Sel Th1, yang merupakan sumber utama dari IL-2, IFN, dan IL-12, memicu terjadinya aktivitas sel T sitotoksik dan hipersensitivitas (Mossman et al., 1986) yang memungkinkan untuk diarahkan kepada respon imun spesifik dalam perlawanan pada kuman (Heinzel et al., 1989). Percobaan pada tikus menunjukkan imunitas terhadap Mtb berhubungan dengan respon tipe 1, yang merupakan semua bentuk respon Th1 terhadap patogen dengan cara mengeluarkan sitokin-sitokin pada tempat yang terinfeksi Mtb (Mosmann, 1986). Keberadaan IL-2, IL-12 dan IFN- yang terbentuk melalui proses tersebut akan mengaktivasi NK-cell yang juga mampu untuk membunuh kuman tersebut. Seseorang yang mengalami defisit pada reseptor IL-2, IFN- dan IL-12 sangat rentan untuk terinfeksi Mtb. Hal ini menunjukkan kebutuhan absolut dari sel T-helper tipe 1 untuk imunitas pejamu (Flynn dan Chan, 2001). Pada umumnya bakteri akan terbunuh oleh IFN-. Peranan IFN- akan mengaktivasi induksi sintesis NO. Nitric Oxide (NO) adalah sinyal penting, berfungsi sebagai second messenger dan merupakan toksin yang langsung melawan patogen. TNF berperan sebagai pemicu keluarnya NO dari IFN- dan

9

Mtb memiliki induser keluarnya TNF. Hal tersebut ditunjukkan pada percobaan tikus yang diberi antibodi anti-TNF, yang telah dinetralisasi, sehingga menyebabkan penyebaran infeksi Mtb (Vidal, 1995). Strategi Mtb dalam menghindar dari fagosit antara lain dengan cara menghambat asidifikasi fagosom, memodifikasi vesikel intraselular yang traffic, dan memasukkan LAM ke dalam GPI (Glycosyl Phosphatidyl Inositol) membran sel. LAM merupakan GPI dengan struktur glikan yang tidak biasa dan berkemampuan memodifikasi fungsi makrofag termasuk respon terhadap IFN- serta dapat mempresentasikan antigen (Ilangumaran, 1995). 2.2 Vaksin BCG Bacille Calmette-Gurin (BCG) vaksin telah digunakan selama 80 tahun dan merupakan salah satu vaksin yang paling banyak digunakan saat ini. Efikasi vaksin BCG sebesar 60-80% terjadi di negara-negara Eropa Utara dan Amerika Utara sedangkan di negara tropis efikasinya sedikit bahkan nol persen. BCG mampu melawan meningitis TB pada anak, tetapi keefektifannya terhadap TB paru masih kurang. Vaksin BCG secara rata-rata dapat menurunkan risiko terkena TB paru hingga 50%, namun proteksi terhadap meningitis TB dan penyebarannya lebih tinggi daripada kasus TB paru (Colditz, 1994). BCG merupakan vaksin terhadap penyakit TBC yang berasal dari strain Mycobacterium bovis yang dilemahkan pada sapi serta telah kehilangan virulensi pada manusia. Vaksin ini pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh Albert Calmette dan Camille Gurin. Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia pada tahun 1921 (Fine, 1999) dan pada akhir 1940-an BCG telah diberikan dengan cara injeksi intradermal dan telah dipakai secara luas di dunia. Mekanisme kerja vaksin BCG dijelaskan sebagai berikut. Vaksin harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh Antigen Presenting Cell agar bersifat imunogenik, dan biasanya dipresentasikan oleh sel dendrit. Selanjutnya, APC masih dalam keadaan istirahat dan harus diaktifkan terlebih dahulu agar bisa memulai jalur imunoproliferatif (Nossal, 2008). BCG melalui antigennnya mengaktifkan jalur MHC kelas II sehingga menstimulasi sel T CD4 dan melalui

10

jalur MHC kelas I mengaktifkan sel T CD8. Jalur MHC kelas I yang menghasilkan sel T CD8 inilah yang menstimulasi imunitas terhadap Mtb (Kaufmann, 2005). Mekanisme protektif oleh sel T CD8 termasuk sel Th1 sitotoksik yang menghasilkan produksi sitokin-sitokin seperti TNF- dan IFN- (Kamath, 2004). Sel T yang terakumulasi pada orang yang telah divaksinasi BCG dan produksi awal sitokin oleh Th1 ini bersifat protektif terhadap infeksi Mtb. Konsekuensinya pertumbuhan Mtb akan dibatasi pada fase awal infeksi dan mencapai plateu pada kadar 10 kali lebih rendah (Mittrucker, 2007). Tes kulit tuberkulin harus selalu dilakukan sebelum pemberian BCG kecuali pada neonatus. BCG diberikan dengan satu dosis injeksi intradermal pada deltoide. Jika diberikan secara subkutan, maka terbentuk abses lokal yang memerlukan perawatan dengan antibiotik. Injeksi intradermal tersebut hanya membutuhkan dosis 0,1 mg. Pemberian intradermal terbukti lebih efisien untuk konversi tuberkulin (Fine et al., 1999). BCG menyebabkan rasa sakit, timbulnya jaringan parut pada tempat suntikan, dan timbulnya keloid besar. Jika BCG diberikan kepada pasien yang immunocompromised (misalnya, seorang bayi dengan SCID) dapat menyebabkan penyebaran infeksi dan mengancam jiwa (CDC, 1996). Vaksin BCG ini 80% efektif dalam mencegah tuberkulosis untuk jangka waktu 15 tahun, namun efek pelindungnya tampaknya berbeda-beda menurut keadaan geografis (WHO, 2010). Sebuah studi menyebutkan efikasi BCG tergantung pada keadaan geografis suatu wilayah. Uji klinis yang dilakukan di Inggris menunjukan efikasi BCG adalah 60% 80% terhadap pasien TB, dan semakin dekat dengan daerah khatulistiwa efikasi BCG semakin berkurang (Colditz, 1994). Durasi perlindungan BCG juga belum jelas diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa perlindungan BCG berkurang hingga 59% setelah 15 tahun dan berkurang hingga nol setelah 20 tahun (Aronson, 1948). Penelitian yang dilakukan oleh British Medical Research Council pada tahun 1950-an menunjukkan bahwa vaksin BCG yang diberikan kepada anak hanya memberikan perlindungan sekitar 75% dalam kurun waktu 15 tahun (Hart, 1967).

11

2.3

Bakteri Porphyromonas gingivalis

2. 3.1 Klasifikasi Phylum : Bacteroidetes Class : Bacteroidetes Orde : Bacteroisales Family : Porphyromonadaceae Genus : Porphyromonas Species : Porphyromonas gingivalis Strain : W83 2.3.2 Morfologi Porphyromonas merupakan bakteri anaerob gram negative, tidak berspora (non-spore forming), tak punya alat gerak (non-motile). Kebanyakan sel di dalam media (broth), berukuran kecil dari 0,5-0,8 hingga 1,0-1,5 m, tetapi terkadang ada yang lebih panjang 4-6 m, hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan bentuk. Permukaan koloni pada media darah, lembut (jarang keras), berkilauan, terlihat cembung, berbentuk circulair. Koloni dapat berubah dari menit ke meit hingga diameter 3,0 mm dan warnanya mulai menggelap dari tepi kearah pusat setelah 6-10 hari. Terkadang, koloni berubah menjadi hitam akibat prodksi yang berlebih dari protohaem. Temperature maximal untuk pertumbuhan adalah 370C. pertumbuhan yang signifikan dapat dipengaruuhi oleh adanya karbohidrat. Substrat nitrogenous seperti proteose peptone, trypticase dan ekstrak yeast dengan nyata dapat meningkatkan pertumbuhan. Produk fermentasi yang utama dari media yang terkandung substrat ini adalah n-butyric, propionic dan asam asetet dengan tingkat yang lebih rendah untuk isobutil, iso valeric,suksinat dan asam fenilasetat. 2.3.3 Penjelasan Spesies Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob gram negative yang tidak berspora (non-spore forming) dan tak punya alat gerak (non motile). Bakteri ini berbentuk coccobacilli dengan panjang 0,5 2 m. Koloni bakteri ini bila

12

terdapat pada agar darah tampak lembut, berkilauan dan terlihat cembung serta 12 mm di dalam garis tengah dan menggelap dari tepi koloni ke pusat diantara 4-8 hari. Koloni yang tak berpigmen kadang terjadi. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh adanya protein hydrolysates, seperti : trypticase, proteose peptone dan ekstrak yeast. Pertumbuhannya dapat ditingkatkan dengan adanya 0,5 0,8 % NaCl dalam darah. Produk fermentasi yaang utama adalah n-butirat dan asam asetat. Untuk tingkat yang lebih rendah juga diproduksi asam propionat, isobutirat, fenilasetat, dan isovaleric. Cysteine proteinases dan collagenases juga diproduksi. Dinding sel peptidoglycan mengandung lisin sebagai asam diamino. Kedua-duanya 3- hydroxylated fatty acid dan non-hydroxylated terdapat di dalamnya.Untuk nonhydroxylated terdiri atas sebagian besar iso-methyl yang bercabang, dengan iso-C15:0 asam yang mendominasi. 2.3.4 Patogenitas Faktor terpenting yang bisa menimbulkan penyakit gigi berlubang adalah plak. Plak merupakan massa bakteri yang melekat di permukaan gigi. Plak biasanya melekat pada permukaan gigi yang sulit terjangkau lidah atau sikat gigi, seperti pada celah antara dua gigi. Plak, yang merupakan massa bakteri, jika bertemu dengan gula dari makanan (karbohidrat) akan menghasilkan asam laktat. Asam inilah yang menyebabkan larutnya mineral dari permukaan gigi atau disebut dengan demineralisasi, sehingga gigi menjadi sensitif. Jika proses ini berjalan berulang-ulang akan menyebabkan gigi berlubang. Plak yang tidak terjangkau sikat akan bertambah tebal dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan kondisi di bawah permukaan plak menjadi kekurangan oksigen, sehingga menyebabkan tumbuhnya bakteri. Bakteri selanjutnya menimbulkan peradangan yang

mengakibatkan terjadinya destruksi jaringan (penyakit jaringan penyangga gigi).

13

Gambar 2.1 Bentuk bakteri Porphyromonas gingivalis dan infeksi pada gigi manusia. 2.4 T cells Sekelompok kecil jenis sel T limfosit manusia mengekspresikan T cell receptor ( TCR). Sel T memiliki fungsi efektor yang khas dengan sel T seperti sel NK dan NKT. Subset sel T di sebagian besar darah perifer pada manusia sehat mengekspresikan V9 V2 TCR yang mengenali metabolit terfosforilasi yang kecil yaitu fosfoantigen. Sel V1 T terutama terdapat di usus. Sel ini mengenali MICA/B dan CD1c terinduksi stress. Selanjutnya, sel T mengekspresikan berbagai varias sel NK dan reseptor yang bertanggung jawab pada fungsi efektor. Saat ini, sel T telah menjadi target imunoterapi melawan infeksi virus dan kanker. Pengertian akan factor yang memodulasi sel T akan menerangkan lebih jauh potensi sel ini. Sel T bersama dengan sel B dan sel T adalah turunan sel darah pada vertebrata yang menggunakan penyusunan ulang DNA somatis untuk membuat reseptor antigen sel ini. Struktur cell T receptor (TCR) dari sel T menunjukkan heterodimer yang terdiri atas rantai dan . Rantai tersebut dikode dalam lokus TCR terdiri atas segmen gen variable (V), diversitas (D, untuk TCR ), penghubung (J), dan konstan (C). lokus TCR pada manusia menunjukkan konfigurasi sederhana dibandingan dengan struktur kompleks dari lokus dan . Lokus TCR tersisip dalam lokus TCR dengan region V yang hamper sama (Arden et al, 1995; Porcelli, 1991).

14

Mekanisme kerja dalam membangun imunitas baik dalam respon cepat maupun invasi pathogen dan modulasi inflamasi jangka panjang diperankan oleh sel T. Induksi dengan pathogen yang umum, sel T menunjukkan percepatan respon imun (Girardi et al, 2002). Fungsi lain sel T adalah induksi hipermutasi immunoglobulin, perekrutan neutrofil pada tempat inflamasi dan stimulasi sel NK (Toth et al, 2004;Zheng et al, 2003; Smith et al, 2000). sel T memperkuta efek sistemik imun dengan menyerang makrofag (Dalton et al, 2004). Ekspresi yang tinggi pada gen yang berperan dalam fungsi sitolitik seperti granzim dan perforin membuat sel ini potensial dalam lisis sel (Krahenbuhl et al, 1992). Penelitian menggunakan hewan (mencit) menunjukkan peran besar sel T meskipun subset sel sel T pada manusia berbeda dengan mencit. Secara umum, sel T manusia memiliki karakter limfosit proinflamasi karana dapat memproduksi IFN- dan TNF- ketika diberikan stimulus (Garcia et al, 1997;Tsukaguchi et al, 1999). Peran sitolitik dimediasi oleh granzim, perforin, dan interaksi Fas-FasL (Gan et al, 1996;Ebert et al, 2006). Sel T terlibat dalam penyembuhan luka dengan memproduksi FGF9 dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi (Caccamo et al, 2006;Workalemahu et al, 2004).

15

BAB 3 METODE PENULISAN

3.1

Jenis Penulisan Penulisan studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Data dan

informasi diperoleh melalui buku, jurnal, dan literatur lain yang sesuai. 3.2 Fokus Penulisan Fokus penulisan karya tulis ini adalah: 1.) Menjelaskan cara kerja adjuvan lipid A Porphyromonas gingivalis, 2.) Menjelaskan kemampuan adjuvan lipid A dalam mengaktivasi T cells, 3.) Menjelaskan efek aktivasi T cells dalam modulasi sistem imun dan aplikasinya dengan vaksin BCG perinhalasi sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan efikasi vaksin BCG perinhalasi. 3.3 Sumber Data Sumber data penulisan karya tulis ini adalah data sekunder, bersumber dari jurnal, literatur buku, situs internet dan dokumen lain yang relevan dengan obyek penulisan bersangkutan. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan ini adalah dokumentasi, yaitu pengumpulan data dari dokumen, literatur atau arsip termasuk internet sesuai dengan masalah yang ditulis. 3.5 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan penafsiran berdasarkan fokus kajian, kemudian diseleksi dan diklasifikasikan menurut fokus penulisan, sehingga mampu menjelaskan dan menjawab permasalahan. Informasi dari data tersebut digunakan untuk penyusunan ulang materi kajian di dalam pembahasan.

16

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Kemampuan Aktivasi T cells oleh Lipid A Porphyromonas gingivalis T Cell merupakan salah satu dari tiga sel utama sel T yang memiliki peran penting dalam regulasi imun pada penyakit infeksi (Carlo, 2008). T Cell mampu meregulasi imunitas ketika tubuh terinfeksi bakteri intraseluler, diataranya infeksi bakteri mycobacterium. Respon awal yang cepat oleh sel ini pada infeksi mycobacterium memiliki peran vital dalam pencegahan infeksi (Carlo, 2008). T Cell dilaporkan merupakan sel yang mampu mengekspresikan IFN- paling poten diatara sel T limfosit lainnya (Yosikai, 2000).

Gambar 4.1 Peningkatan sel gd T di peritoneum se telah infeksi LPS atau lipid A yang berasal dari E. coli. Mencit C3H/HeN dan C3H/HeJ diinokulasi intraperitonium dengan LPS atau lipid A pada hari ke-0. A, Nonplastic-adherent PEC dari mencityang diinjeksi pada hari ke-3 ditandai dengan anti-TCR gd, antiTCR ab mAb, dan anti-CD3e mAb dan analisis dengan FACSCalibur. Analisis diatur pada limfositmenggunakan forward and side scatter gating dan pada CD31. Angka di setiap panel mengindikasikan persentasi sel gd T dalam populasi

17

limfosit. B, angka pasti sel gd T di kavum peritoneum setelah injeksi LPS atau lipid A. Angka dikalkulasikan dengan mengali persentase sel gd T dengan jumlah peritoneal nonadherent cells. Hasil ini didapat pada tiga penelitian berbeda. Nilai (values) adalah rata-rata 6 SD lima mencit dalam setiap kelompok. p, p , 0.05 vs the control group. pp, p , 0.01 vs the control group (Yosikai, 2000). T Cell meningkat pada pemberian vaksin BCG sebagai suatu aktivitas imun tubuh dalam menanggapi antigen dari vaksin BCG. Fungsi T Cell terkait dengan meningkatkan kemampuan sel-sel imun unutuk mengenali antigen, meningkatkan kemampuan memori, dan efek autofagi pada makrofag. Namun T Cell diaktifkan pula oleh beberapa golongan bakteri gram negatif. Mukono (2000) meneliti beberapa bakteri gram negative yang memiliki efek induksi T Cell, diantaranya adalah Eschericia coli, Salmonella minnesota dan Porphyromonas (Bacteroides) gingivalis. Kemampuan menginduksi T Cell dimiliki oleh bakteri-bakteri tersebut oleh karena struktur antigenic yang dimiliki pada dinding selnya. Dinding sel bakteri gram negative ini mengandung lipopolisakarida (LPS).

Gambar 4.2 Perbandingan aktivasi T Cell oleh induksi LPS Eschericia coli, Lipid A Eschericia coli, Salmonella minnesota dan Porphyromonas

(Bacteroides) gingivalis (Yosikai, 2000). LPS merupakan komplek glikolipid yang terdiri dari struktur hidrofilik polisakarida dan hidrofobik polisakarida yang disebut lipid A. Berdasarkan Rietschel (1992), Raetz, (1990), dan Morrison, (1987), lipid A merupkan struktur dari LPS yang memberika efek biologis. Mukono (2000) membandingkan efek

18

lipid A, maupun LPS pada bakteri-bakteri gram negative dengan membandingkan efek induksi proliferasi gd T cells pada mencit. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bakteri Porphyromonas (Bacteroides) gingivalis memberikan efek terbaik dalam menginduksi proliferasi gd T cells. . Lipid A bakteri ini dikenali oleh Toll Like Reseptor 4, dan memperkenalkannya ke system imun (Yosikai, 2000).

4.2 Induksi Autofagi Oleh T cells Autofagi merupakan salah satu modulasi yang mampu meningkatkan efekasi BCG (Mehta, 2007). Secara umum terdapat 3 jalur mekanisme utama dalam proses autofagi. Jalur mekanisme tersebut antara lain: 1. Microautophagy, merupakan mekanisme yang paling sederhana diantara yang lain. Komponen sitoplasma masuk ke dalam lisosom melalui mekanisme budding pada membran lisosom. 2. Chaperone-mediated autophagy (CMA). Pada mekanisme ini protein yang akan dilisis akan dibawa masuk oleh LAMP-2a transporter ke dalam

lisosom dengan bantuan chaperone sitosolik dan lisosomal HSC70.(Cuervo AM, 1996,2000). Protein yang dibawa CMA ini memiliki sinyal yang akan dikenali secara spesifik oleh protein transporter (Agarraberes,2001). 3. Macroautophage, merupakan mekanisme yang paling sering digunakan dalam mendegradasi komponen sitoplasma. Dalam prosesnya komponen sitoplasma yang akan didegradasi akan diselimuti oleh membran ganda membentuk sebuah vesikel yang disebut autophagosome kemudian

autophagosome ini akan berfusi dengan lisosom dan endosome untuk didegradasi baik membran vesikel maupun komponen sitoplasma tersebut (Ohsumi Y, 2001). 4.2.1 T cells merupakan inducer poten IFN , TNF- dan sitokin tipe Th 1 T cells yang aktif mampu menstimulasi pelepasan berbagai macam sitokin terutama sitokin tipe TH1, diantaranya IFN- dan TNF- (Khalili-Shirazi A, 1998). Dalam penelitian Yongchun Cui (2009), purifikasi T cells yang diinkubasi selama 48 jam dengan atau tanpa Lipid A, ada atau tidak ada

19

monocyte- derivate dendritic cell (mo-DC), positif atau negatif terhadap hambatan oleh antibodi, membuktikan bahwa T cells yang terinduksi monocyte- derivate dendritic cell (mo-DC) dengan kandungan Lipid A di dalamnya memproduksi sitokin jauh lebih besar daripada T cells yang tidak terinduksi mo-DC. Sitokin tipe Th1 (T Helper 1) yang dihasilkan juga lebih besar daripada sitokin tipe Th2 (T Helper 2) yaitu, IL-10, IL-5 dan IL-4. Peningkatan kadar IL-2 juga dapat diketahui melalui penelitian yang sama (Yongchun Cui, 2009). T cells juga merupakan sel yang paling paling poten menghasilkan IFN- diantara sel T lainnya.

Gambar 4.2 Induksi moDC yang mengandung Lipid A dalam produksi sitokin Th 1 oleh T cell

Gambar 4.3 Produksi IFN- respon terhadap -plus feeder (kotak hitam), dan feeder-only (kotak putih) pada sel yang diinfeksi beberapa jenis antigen mycobacterial (Rhodes, 2001).

20

Dalam penelitian Rhodes (2001), pemebrian -plus feeder dibandingkan yang tidak diberikan, nampak bahwa peningkatan IFN- lebih besar terjadi ketika -plus feeder ditambahkan pada vaksin mycobacterium yang diberikan pada hewan coba. Penelitian ini membuktikan bahwa T cells merupakan sel yang poten meningkatkan produksi IFN- . Dalam penelitian tersebut dibandingkan pula efek dari pemebrian -plus feeder pada beberapa jenis vaksin BCG, yaitu vaksin dari m.bovis dan m. Avium, serta rekombinan vaksin BCG Ag-85 dan ESAT-6. Penelitian tersebut melaporkan bahwa efek -plus feeder menghasilkan IFN- lebih baik pada vaksin naive m. bovine dan m. Avium (Rhodes, 2001). 4.2.2 Peran Autofagi dalam meningkatkan kemampuan Mengenali Antigen Vaksin. Sebagai immune inate (didapat) dalam merespon virus dan bakteri patogen, macroautophage berperan dalam menghambat replikasi patogen melalui tiga mekanisme: seperti pada Streptococcus grup A akan langsung dibawa oleh autophagosome dan dibawa menuju lisosom untuk dihidrolisis (Nakagawa,

2004). Apabila antigen adalah asam nukleat virus yang merupakan pathogen associated molecular patterns (PAMPS), akan dibawa oleh autophagosome dan dibawa menuju endosomal toll like receptors (TLR) (Lee HK, 2007), sedangkan untuk bakteri seperti M. tuberculose yang dapat menghindari hidrolisis oleh lisosom, autophagosome akan menyerang phagosome yang telah memfagosit M. tuberkulose sebelumnya (Gutiterez, 2004;Singh, 2006). Mekanisme Makroautophage dapat distimulasi oleh PAMPS, TLR (Delgado, 2008), dan sitokin seperti kelompok interferon (IFNs) dan kelompok Tumor Nekrosis Factor (TNF) (Gutiterez, 2004;Singh, 2006). Begitu pula dengan IFN yang dihasilkan oleh T cells. IFN yang dihasilkan oleh T cells ini akan menginduksi makroautophage dalam memproses antigen M.tuberculose dalam BCG sehingga dalam proses selanjutnya antigen ini dapat dipersentasikan antigen ini melalui MHC kelas II pada sel Antigen Presenting Cell (APC). Molekul vaksin BCG akan diendositosis oleh autophagosome dengan material membran APC yang kemudian akan berdifusi dengan lisosom membentuk autolysosomes. Antigen tersebut akan dihidrolisis oleh enzim yang

21

terdapat di dalam lisosom. Antigen M.tuberculose yang terkandung dalam vaksin BCG tersebut akan ditransportasikan menuju MHC class II containing compartment (MIIC) dengan bantuan LAMP-2a transporter. Di dalam MIIC , antigen akan diproses akan dipaparkan pada molekul MHC kelas II untuk menstimulasi sel limfosit CD4. Sel limfosit CD4 yang teraktivasi ini berikutnya akan dapat menginduksi mekanisme macroautophagy dan fusi autophagosomelysosome melalui sitokin IFN tipe II dan golongan keluarga TNF (IFN-g, TNF, TRAIL, and CD40L) (Lunemann, 2008).

Gambar 4.3 Mekanisme Autofagi pada imunitas inate dan adaptif (Lunemann, 2008) Efek yang diperoleh dari autofagi terprogram ini, antigen vaksin dapan mengalami interaksi dengan APC (Antigen Presenting Cell) misalnya Dendritic Cell (DC) (Yongchn Cui, 2009). Salah penyebab satu kegagalan dari vaksin BCG oleh karena antigen vaksin mengalami dormansi dalam makrofag, sehingga tidak dikenali oleh sistem imun. Autofagi pada makrofag yang dicetuskan melalui IFN dan TNF- mampu meningkatkan kontak antigen dengan sel-sel imunokompeten. 4.3 T cells Menginduksi maturasi Denritik Cell

22

Beberapa element memiliki pengaruh dalam respon terhadap imunitas dapatan dan imunitas seluler, Dendritic cell (DC) merupakan salah satu sel yang terpengaruh. DC memiliki peran pentingg dalam interaksi respon inflamasi dan imunitas sitemik (Banchereaun J, 1998; Steinman, 2007). DC memiliki kemampuan mengekspor antigen ke imunitas sentral melalui proses dinamik. Selama infeksi bakteri, ataupun produk mikroba, DC mengalami transformasi yang disebut maturasi, sehingga mampu memunculkan respon imun adaptif secara cepat. T cells memiliki kemampuan menginduksi maturasi DC. T cells memiliki peran bukan hanya pada inate immunity, tetapi juga pada adaptive immunity. Rekombinan HSP-60 yang digunakan sebagai booster pada vaksin BCG juga memiliki pengaruh dalam menginduksi T cells.

Gambar 4.4 Fungsi T cell. Antigen yang mengaktivasi T cell berefek pada peningkatan produksi sitokin, dan maturasi DC yang memiliki peran penting dalam respon imun cepat terhadap antigen (Casetti, 2008). DC yang diaktifkan oleh T cells mampu memproduksi sitokin, diantaranya adalah IL-15. IL-15 merupakan sitokin yang mampu mneginduksi T cells untuk meningkatkan lymphocyte differentiation, homeostasis dan peningkatan kemampuan CD8 memory T cells (Casetti, 2008). Penerima vaksin BCG yang diinduksi antigen yang mengaktifkan DC melaui T cells terbukti

23

mengalami peningkatan molekul kostimulasi, diantaranya CD25, CD40, CD80 dan CD86. Terbukti pula terjadi peningkatan sitokin proinflamasi misalnya TNF dan IFN- yang bersifat antimikroba dengan aktivasi makrofag (Casetti, 2008). Keuntungan dari penignkatan kedua sitokin ini pada saat menerima vaksin BCG adalah terjadi peningkatan autofagi dari makrofag yang terinduksi antigen vaksin yang umumnya mengurangi efikasi vaksin oleh karena antigen yang laten dalam makrofag sehingga tidak maksimal dikenali oleh sistem imun (Metha, 2007). Produksi TNF- melalui induksi T cell, mencetuskan polarisasi imunitas nave CD4 T cells ke arah Th1. DC yang diindukis oleh T cells terbukti pula memberikan efek CD8 yang lebih baik ketika dipapari oleh mycobacterial (Jacob, 2007). 4.4 Sel Dendritik Terinfeksi BCG Menginduksi Fungsi Memori Sentral Dan Efektor Sel T Berperan Dalam Peningkatan Efikasi BCG Sel T seperti jenis sel T lain memiliki varian yang heterogen. Sel V9V2 T merupakan jenis sel T pada varian manusia. Sel V9V2 T pada manusia merupakan sel yang heterogen. Heterogenitas ini diketahui dari penanda permukaan dan fungsi sel ini dalam tubuh manusia.+

Sel V9V2 T dengan

surface marker CD45RA CD27 (selanjutnya disebut sel CD45RA-CD27+) adalah sel V9V2 T yang berperan dalam pembentukan imunitas memori dan berada di nodus limfe manusia.

24

Gambar 4.5 Analisis tes flowsitometri terhadap perforin dan granzim pada sel V9V2 T V9V2 T terinduksi sel dendritik yang terinfeksi BCG maupun tanpa infeksi (Martino, 2007).

Gambar 4.6 Analisis tes flowsitometri molekul permukaan CD 27 E dan CD45RA pada se l V9V2 T terinduksi sel dendritik yang terinfeksi BCG dan tidak terinfeksi BCG. Tampak ekspresi molekul CD 27 positif dan CD45RA negatif (Martino, 2007). Penelitian tentang induksi sel V9V2 T oleh vaksinasi BCG diperantarai oleh sel dendritik. Sel dendritik merupakan sel yang berperan dalam imunitas non adaptif dan mempresentasikan antigen kepada sel T. Peran sel dendrit sebagal sel yang mempresentasikan antigen sangat poten dan penting dalam inisiasi imunitas adaptif pada manusia (Cella et al, 1997). Pada penelitian yang dilakukan oleh Martino et al (2007), sel dendritik terinfeksi BCG menginduksi sel V9V2 T CD45RA-CD27+ yang berperan dalam memori sentral di nodus limfe, namun juga memiliki ekspresi perforin yang tinggi. Perforin berperan dalam menginduksi efek sitotoksisitas spesifik sel T terhadap monosit terinfeksi BCG yang pada keadaan normal diperankan oleh sel V9V2 T CD45RA+ CD27- (sel T yang berperan di perifer) sel.

25

Penilaian terhadap pola diferensiasi sel V9V2 T yang diinduksi oleh sel dendritik terinfeksi BCG dilakukan dengan menandai CD45RA dan CD27 dari sel T setelah dikultur bersama sel dendritik yang terinfeksi BCG selama 6 hari. Seperti yang diharapkan, mayoritas sel V9V2 T yang dimurnikan menunjukkan fenotipe jenis CD45RA-CD27+, fenotipe yang berperan dalam pembentukan memori sentral. Pola diferensiasi sel dengan fenotipe CD45RA -CD27+ merupakan mayoritas diferensiasi sel V9V2 T pada kultur tersebut. Pada diferensiasi sel V9V2 T CD45RA-CD27+ yang diinduksi oleh sel dendrititk terinfeksi BCG, populasi sel ini dibedakan dalam dua golongan subset berdasarkan ekspresi perforin. Subset perforinhigh+ meliputi 55% dari populasi sel CD45RA-CD27+. Selain itu, penilaian dilakukan terhadap kadar granzyme, enzim yang berperan dalam fungsi sitoktoksitas sel ini ketika diinduksi sel dendritik terinfeksi BCG. Ekspresi granzim tampak meningkat pada populasi sel V9V2 T yang diinduksi sel dendritik dengan BCG (47%) dibandingkan populasi sel V9V2 T dengan sel dendritik yang tidak terinfeksi BCG.

Gambar 4.7 Hasil tes flowcytometri

molekul CCR7 dan CD62L pada sel

V9V2 T terinduksi BCG dengan perforin tinggi. Ekspresi CCR7 dan CD26L yang rendah menunjukkan efek homing ke nodus limfe yang rendah (A).

26

Identifikasi fenotipe sel V9V2 T diinduksi BCG menghasilkan hasil positif pada penandaan CD28. Pengidentifikasian sel V9V2 T terinduksi BCG (melalui sel dendritik) dengan penandaan surface marker CD26L dan CCR 7 yang merupakan homing receptor nodus limfe. Sel V9V2 T dengan perforin+ tidak mengekspresikan reseptor homing CD26L dan CCR 7 yang menunjukkan hasil yang berbeda dengan sel V9V2 T dengan perforin-. Selanjutnya, penelitian mengenai fenotipe sel V9V2 T dilakukan dengan mengukur eskpresi CD28. Seluruh populasi yang diinduksi BCG mengekspresikan CD28. Hal ini mengindikasikan fenotipe untuk sel V9V2 T yang diinduksi oleh sel dendritik yang terinfeksi BCG yaitu CD45RA-CD27+CD28+. Pemaparan di atas menunjukkan kerja sel V9V2 T yang diinduksi oleh BCG mengalami diferensiasi menjadi jenis sel V9V2 T yang dapat bekerja sebagai efektor terminal maupun dalam pembentukan sel adaptif tergantung pada ekspresi perforin dan homing receptor sel V9V2 T. Peran sel dendritik penting dalam mempresentasikan antigen ke sel ini. Modulasi kerja sel dendritik dan aktivasi sel V9V2 T diharapkan dapat meningkatkan efikasi vaksin BCG dalam membentuk imunitas adaptif, setidaknya melalui dua cara: meningkatkan efek autofagi antigen precenting cell (APC) terhadap bakteri dan meningkatkan pemaparan antigen dalam pembentukan imunitas adaptif di nodus limfa. 4.5 Sel V9V2 T Meningkatkan Efek Sitotoksik Monosit Terinfeksi BCG Peran Sel V9V2 T dengan fenotipe CD45RA - CD27 + CD28 + dalam meningkatkan akt ivitas imunitas non adapt if pent ing untuk meningkatkan presentasi ant igen M. Tb dalam membangun imunitas adapt if. Perforin berperan dalam akt ivitas ini sehingga peningkatan sel V9V2 T dengan ekspresi perforin t inggi berkorelasi dengan kemat ian monosit terinfeksi BCG Penelitian yang dilakukan Martino (2007) menunjukkan fungsi sel V9V2 T ini. Penelitian sel V9V2 T terhadap sel dendritik yang ditandai

27

dengan CFSE. CFSE digunakan sebagai indikator lisis sel. Setelah enam hari perlakukan, kadar CFSE tidak mengalami perubahan. Pemaparan sel V9V2 T terhadap sel dendritik yang terinfeksi BCG juga menunjukkan hasil yang sama. Sel THP-1 dengan infeksi BCG maupun tidak terinfeksi sebagai sel target dikultur bersama sel V9V2 T yang berasal dari kokultur dengan sel dendritik terinfeksi BCG maupun yang tidak terinfeksi BCG. Pemeriksaan terhadap label menunjukkan aktivitas sitotoksik sel V9V2 T yang berasal dari kokultur sel dendritik yang terinfeksi BCG meningkat pada sel THP-1 yang terinfeksi BCG maupun tidak terinfeksi. Penelitian dengan kultur monosit dan sel V9V2 T dengan teknik yang sama menunjukkan sel V9V2 T memiliki efek toksik terhadap sel monosit yang terinfeksi BCG. Kontrol dalam penelitian ini menunjukkan sel V9V2 T yang berasal dari kultur sel dendritik tidak terinfeksi BCG tidak memiliki efek sitotoksititas. Sel V9V2 T memiliki peran yang penting dalam imunitas adaptif maupun non adaptif. Hubungan kostimulasi antara sel V9V2 T dan sel dendritik telah dijelaskan. Sel dendritik menstimulasi diferensiasi sel V9V2 T dalam meningkatkan sitokin proinflamasi. Hubungan kostimulasi sel dendritik dengan sel V9V2 T juga ditunjukkan dengan diferensiasi sel V9V2 T yang memiliki efek sitotoksik meskipun secara fenotipe masih tergolong imatur. 4.6 Lipid A Porphyromonas gingivalis sebagai adjuvan vaksin BCG yang berpotensi peningkat efikasi vaksin BCG per inhalasi. Vaksin BCG terbukti memberikan perlindungan pada bayi/anak terhadap infeksi TB paru maupun TB ekstraparu misalnya miliary TB dan meningitis (Junior, 2009). Saat ini telah dikembangkan dengan berbagai variasi metode vaksin berdasarkan efikasi keberhasilan vaksin. Saat ini telah dikembangkan DNA-vaksin BCG, maupun sub-unit-vaksin BCG. Keberhasilan vaksin yang telah ada hanya 75% (Hart dan Sutherland, 1977). Dan efikasi dari vaksin BCG hanya berkisar 10-15 tahun setalah pemberian vaksin (Metha, 2007).

28

Adjuvan adalah agen tambahan dalam imunisasi maupun vaksin yang diharapkan dapat memberikan efek lebih dari vaksin dengan mekanisme imunomodulatornya. Beberapa contoh substansi yang telah didampingkan pada vaksin BCG, berupa imunomodulator protein, dan recombinan protein yang

memberiakn efek protektif pada antigen mycobacterium terbukti memberikan efek positif pada efikasi vaksin BCG (Metha, 2007). Rekombinan protein UreC menginduksi kematian terprogram dari sel sehingga menginduksi sel terinfeksi antigen vaksin BCG apoptosis, sehingga didapatkan antigen dalam bentuk apoptotic blebs. Antigen yang bebas dari sitoplasma sel akan berinteraksi dengan sel T dan didapatkan efek imunitas yang diharapkan. Adjuvan protein yang dikembangkan diantaranya adalah Mtb72F, Hybrid-1, dan Hy Vac-4. Ketiga protein tersebut meningkatkan proteksi terhadap infeksi tuberculosis ketika digunakan sebagai booster pada pemebrian primer. Proteksi meningkat oleh karena efek protein dalam meningkatkan efek CD8 dan CD4 T sel (Metha, 2007). T cells berperan dalam innate imunity dan adaptive immunity. T cells merupakan T sel yang berpotensi menjadi target imunomodulasi dan pada saat ini telah dikembangkan dalam penelitian klinik sebagai imunomodulator (Casetti, 2008). T cells meregulasi sistem imun melalui kaskade efek yang cukup komplek. T cells merupakan sel T yang matur paling awal diantara sel T lainnya, yaitu T cells. Pada infant T cells telah matur, hal ini sesuai dengan konsep pemerintah Indonesia yang menjadwalkan pemberian vaksinasi BCG pada usia bayi 1 bulan setelah kelahiran (Hayday, 2000; Setiawati et al, 2004). Sehingga saat diinduksi oleh lipid A bakteri porphyromonas gingivalis, kemampuan tanggap T cells telah cukup memadai. Diharapkan dari hal ini jalur aktivasi untuk meningkatkan efikasi vaksin BCG dapat tercapai. T cells merupakan sel T pertama yang bereaksi dengan agen infeksi. Sel ini dominan terdapat di mukosa saluran napas maupun pencernaan, kulit, dan juga dilaporkan terdapat pada splen. Aplikasi penggunaan lipid A bakteri ini adalah menyusunnya menjadi bahan rekombinan yang didamoingkan menjadi vaksin mukosa BCG yang diberikan per inhalasi. Penulis merekomendasikan vaksin

29

BCG per inhalasi oleh karena kelamahan vaksin BCG yang subkutan, selain oleh karena varian dari mycobacterium, agen infeksi, yang bervariasi, kecenderungan antigen vaksin laten di dalam makrifag sehingga minimal dipresentasikan, vaksin BCG yang selama ini digunakan dengan pemberian subkutan sedikit memberikan efek protektif pada paru, yang merupakan tempat utama infeksi TB. Pemebrian vaksin secara inhalasi dilaporkan memberikan efek yang lebih baik, oleh karena sasaran yang dituju utamanya adalah struktur mukosa saluran napas, sehingga vaksin terfokuskan pada paru, tudak seperti efek dari vaksinasi subkutan (Doherty, 2005). Pendampingan dengan adjuvan lipid A menjadi lebih sesuia ketika vaksin BCG diberikan per inhalasi. Hal ini sesuai predosposisi tempat T cells, salah satunya di struktur mukosa. Induksi lipid A akan memberikan efek yang lebih nyata daripada diberikan subkutan maupun intramuskular. Lipid A yang merupakan fragemen hidrofobik LPS bakteri Porphyromonas gingivalis mampu mengaktivasi T cells. Kemampuan aktivasi pada sel T jenis ini menjadikan Lipid A Porphyromonas gingivalis menjadi kandidat adjuvan pada vaksin. Berdasarkan uraian penulis pada sub bab sebelummnya mengenai potensi lipid A, dan efek yang didapatkan melalui aktivasi T cells. Efek yang mampu diperoleh dalam penggunaan booster Lipid A Porphyromonas gingivalis adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kemampuan APC (Antigen Presenting Cell) dalam mengenali antigen vaksin sehingga pemaparan pada sel imun untuk mengaktifkan imunitas dapatan meningkat. Proses peningkatan kemampuan pengenalan ini diperoleh melalui beberapa jalur. Pertama, T cells menghasilkan IFN- dan TNF- yang berperan dalam induksi autofagi. Autofagi merupakan salah satu mekanisme yang mampu meningkatkan efikasi vaksin BCG (Yongchun Cui, 2009). Peningkatan efikasi ini diperoleh oleh karena, saat terjadi autofagi antigen yang semula laten dalam sitoplasma sel dapat terbebas sehingga meningkatkan interaksinya pada APC sehingga regulasi imun yang dapat ditingkatkan. T cells juga berfungsi dalam induksi maturasi sel DC. Semakin cepat sel DC menjadi mature, efek vaksin yang diperoleh

30

meningkat pula oleh karena meningkatnya antigen-immunocompeten cell exposure. Sitokin yang dihasilkan dalam induksi T cells, diataranya TNF- dan IFN- mampu meningkatkan polaritas T helper naive menjadi T helper 1 yang merupakan imunitas yang dominan bekerja pada infeksi Mycobacterium tuberculosis (Casetti, 2008) 2. Meningkatan kemampuan memori oleh imun. Aktivasi sel T pada manusia melalui induksi sel dendritik yang terinfeksi BCG menstimulasi diferensiasi sel T dengan fenotipe yang khas yaitu CD45RA-CD27+ CD28+. Sel ini khas karena memiliki fungsi ganda sebagai sel efektor (sitotoksik sel) pada sel CD45RA-CD27+ CD28+ pada populasi dengan ekspresi perforin tinggi. Fungsi kedua sebagai memori sentral didapatkan pada populasi sel CD45RA-CD27+ CD28+ dengan ekspresi perforin yang rendah ditandai dengan ekspresi surface marker CCR7 dan CD27 yang merupakan homing receptor di nodus limfe. Mekanisme homing ini berperan dalam membangun imunitas adaptif. Peningkatan proliferasi sel T melalui LpA diharapkan mampu meningkatkan mekanisme ganda sel ini. Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri anaerob gram negatif. Bakteri ini non motil ini dilaporkan digunakan sebagai vaksin yang mencegah penyakit periodontal (penyakit penyangga gigi yang disebabkan infeksi bakteri golongan Porphyromonas gingivalis (Gonzales, 2006). LPS pada Porphyromonas gingivalis juga terbukti mampu meningkatkan proliferasi DC sehingga

pemaparan antigen pada sel yang mempresentasikan antigen ini meningkat (Mahanoda, 2006). Pada dasarnya kemampuan induksi T cells dapat terjadi dengan hanya mensintesis vaksin yang mengandung LPS bakteri Porphyromonas gingivalis. Namun berdasarkan anlisis Mukono (2000) penggunaan fragmen LPS berupa Lipid A, bagian hidrofobik, mampu meningkatkan respon lebih baik dalam induksi T cells. Lipid A disintesis menjadi vaksin mukosa per-inhalasi yang dikombinasi dengan BGC inhalasi. Lipid A dipisahkan dari bakteri dengan metode yang sesuai dengan metode Ogawa 1993 (Ogawa, 2002), Pemilihan metode inhalasi terkait

31

efikasi vaksin BCG yang lebih baik dengan metode ini dan dominasi tempat T cells yang diaktifkan lipid, yaitu di mukosa saluran napas. Pemeberian vaksin intranasal ini juga bermaksud menspesifikan efek yang didapat dari induksi imunitas, yaitu hanya terlokalisasi pada saluran napas, sehingga efek imunitas dapatan dominan pada saluran napas yang merupakan tempat kontak utama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Keuntungan pemebrian vaksin intra-nasal, efek induksi sistemik juga dapat diperoleh (Holmgrem, 2005). Pemebrian Lipid A yang didampingkan dengan vaksin BCG yang diberikan pada usia bayi 1 bulan menjadi suatu keunggulan penggunaan adjuvan ini, oleh karena T cells merupakan sel T yang telah matur diantara sel T lainnya pada usia sangat dini (Hayday, 2000; Saysol, 2005).

32

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan 1. Lipid A Porphyromonas gingivalis berpotensi dikembangkan menjadi adjuvan vaksin BCG 2. Lipid A Porphyromonas gingivalis sebagai adjuvan vaksin BCG mampu mengaktivasi T cells dengan fenotipe yang memberikan efek modulasi imunitas innate dan adaptif sehingga berpotensi meningkatkan efikasi vaksin BCG. 3. Peningkatan imunitas innate oleh T cells melalui mekanisme induksi sel dendritik yang terinfeksi BCG sehingga menghasilkan diferensiasi sel T yang mengekspresikan IFN- dan sitokin Th1 yang menginduksi autofagi pada makrofag. sel T yang aktif akan menginduksi maturasi dendritik sel. Kedua efek innate imunity ini meningkatkan pengenalan antigen pada sel imunokompeten. 4. Peningkatan imunitas adaptif oleh T cells melalui mekanisme induksi sel dendritik yang terinfeksi BCG menginduksi diferensiasi sel T yang memiliki fungsi homing ke nodus limfe dan membangun sistem imun adaptif yang jangka panjang. 5. sel T merupakan sel T yang talah matur pada usia dini dan banyak terdapat dominan pada struktur mukosa saluran napas. Aplikasi penggunaan adjuvan lipid A yang menginduksi sel T adalah sebagai vaksin mukosa yang didampingkan pada BCG per inhalasi.

5.2 Saran 1. Diperlukan penelitian secara langsung efek lipid A Porphyromonas gingivalis yang mampu mengaktivasi T cells dalam meningkatkan efikasi vaksin BCG pada manusia. 2. Diperlukan penelitian lebih mendalam mengenai karakteristik antigen lipid A bakteri Porphyromonas gingivalis, dan diteliti metode pemebrian

33

terbaik antigen lipid A Porphyromonas gingivalis sebagai adjuvan vaksin BCG.

DAFTAR PUSTAKA

Agarraberes FA, Dice JF,2001. A molecular chaperone complex at the lysosomal membrane is required for protein translocation. J Cell Sci; 114 (Part 13): 24912499. Arden B, Clark SP, Kabelitz D, Mak TW: Human T-cell receptor variable gene segment families. Immunogenetics 1995; 42: 455500. Arden B, Clark SP, Kabelitz D, Mak TW: Human T-cell receptor variable gene segment families. Immunogenetics 1995; 42: 455500. Banchereaun J, Steinman R. 1998. Dendritic cells and the control of immunity. Nature.392:245-252. Bermudez L. E., Goodman J. 1996. Mycobacterium Tuberculosis Invades and Replicates within Type II Alveolar Cells. Infect. Immun. 64:14001406. Bodnar K. A., Serbina N.V., Flynn J.L. 2001. Fate of Mycobacterium tuberculosis within Murine Dendritic Cells. Infect. Immun. 69:800 809 Brooks G.F., Butel J.S., Morse S.A. 2004. Jawetz, Melnick, & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran 23th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 325-8, 379, 431-2. Caccamo N, Battistini L, Bonneville M, et al: CXCR5 identifies a subset of V.9Vd2 T cells which secrete IL4 and IL-10 and help B cells for antibody production. J Immunol 2006; 177: 52905295. Caccamo N, Battistini L, Bonneville M, et al: CXCR5 identifies a subset of V.9Vd2 T cells which secrete IL4 and IL-10 and help B cells for antibody production. J Immunol 2006; 177: 52905295. Carloa , Paola Di, Amelia Romanob, Mario Melisc, Luisa Abbagnatoa, Nadia Caccamod, Serena Meravigliad dan Francesco Dieli. 2009. An overview of the role of T cells in controlling tuberculosis infection in a pediatric population. Journal of Pediatric Infectious Diseases 4: 221228 221. Casetti1, Rita, Angelo Martino. 2008. The Plasticity of T Cells: Innate Immunity, Antigen Presentation and New Immunotherapy. Immunology. 5:30.

34

CDC. 1996. Peran Vaksin BCG dalam Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis di Amerika Serikat: Sebuah Pernyataan Bersama Dewan Penasehat untuk Penghapusan TBC dan Komite Penasehat Praktek Imunisasi. MMWR Recomm Rep 45 (RR-4): 1 -18. PMID 8.602.127. CDC. 2009. Basic TB Facts. Diakses dari: http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm Colditz G.A., Brewer T.F., Berkey C.S., Wilson M.E., Burdick E., Fineberg H.V., Mosteller F. 1994. Efficacy of BCG Vaccine in the Prevention of Tuberculosis. JAMA; 271:698-702. Cuervo AM, Dice JF, 2000.Unique properties of lamp2a compared to other lamp2 isoforms. Cuervo AM, Dice JF,1996. A receptor for the selective uptake and degradation of proteins by Dalton JE, Howell G, Pearson J, et al: Fas-Fas ligand interactions are essential for the binding to and killing of activated macrophages by .d T cells. J Immunol 2004; 173: 36603667. Dalton JE, Howell G, Pearson J, et al: Fas-Fas ligand interactions are essential for the binding to and killing of activated macrophages by .d T cells. J Immunol 2004; 173: 36603667. Dannenberg A.M. Jr., Rook J.A. 1994. Pathogenesis of Pulmonary Tuberculosis: An Interplay of Tissue-Damaging and MacrophageActivating Immune Responses. Dual Mechanisms that Control Bacillary Multiplication, p. 45983. In B. R. Bloom (ed.), Tuberculosis: Pathogenesis, Protection, and Control. American Society for Microbiology, Washington, D.C. Doherty, T. Mark dan Peter Andersen. Vaccines for Tuberculosis: Novel Concepts and Recent Progress. Clinical Microbiology Reviews. 2005. 18 (4): 687-702. Ebert LM, Meuter S, Moser B: Homing and function of human skin .d T cells and NK cells: relevance for tumor surveillance. J Immunol 2006; 176: 43314336. Ebert LM, Meuter S, Moser B: Homing and function of human skin .d T cells and NK cells: relevance for tumor surveillance. J Immunol 2006; 176: 43314336. Enarson, P. M., D. A. Enarson, R. Gie. Management Of Tuberculosis In Children In Low-Income Countries. Int J Tuberc Lung Dis . 2005, 9(12):12991304. Fenton M. J., Vermeulen M.W. 1996. Immunopathology of Tuberculosis: Roles of Macrophages and Monocytes. Infect. Immun. 64:683690. Fine P.E.M., Carneiro I.A.M., Milstein J.B., Clements C.J. 1999. Masalah yang Berkaitan dengan Penggunaan dalam Program Imunisasi BCG. Geneva: WHO. Flynn J.L., Chan J. 2001. Immunology of Tuberculosis. AnnuRev tuberculosis Immunol;19:93129.

35

Flynn J.L., Goldstein M.M., Triebold K.J., Koller B., Bloom B.R. 1992. Major Histo Compatibility Complex Class I-Restricted T Cells are Required for Resistance To Mycobacterium Tuberculosis Infection. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 89:1201317. Forbes E.K., Sander C., Ronan E.O., McShane H., Hill A.V., et al. 2008. Multifunctional, High-Level Cytokine-Producing Th1 Cells in The Lung, but Not Spleen, Correlate with Protection Against Mycobacterium Tuberculosis Aerosol Challenge in Mice. J Immunol 181: 495564. Gan YH, Malkovsky M: Mechanisms of simian .d T cell cytotoxicity against tumor and immunodeficiency virus-infected cells. Immunol Lett 1996; 49: 191196. Gan YH, Malkovsky M: Mechanisms of simian .d T cell cytotoxicity against tumor and immunodeficiency virus-infected cells. Immunol Lett 1996; 49: 191196. Garcia VE, Sieling PA, Gong J, et al: Single-cell cytokine analysis of .d T cell responses to nonpeptide mycobacterial antigens. J Immunol 1997; 159: 13281335. Gaynor C.D., McCormack F.X., Voelker D.R., McGowan S.E., Schlesinger L.S. 1995. Pulmonary Surfactant Protein A Mediates Enhanced Phagocytosis of Mycobacterium Tuberculosis by A Direct Interaction with Human Macrophages. J. Immunol. 155:53435351. Girardi M, Lewis J, Glusac E, et al: Resident skin-specific .d T cells provide local, nonredundant regulation of cutaneous inflammation. J Exp Med 2002; 195: 855867. Gutierrez MG, Master SS, Singh SB, Taylor GA, Colombo MI, Deretic V, 2004. Autophagy is a defense mechanism inhibiting BCG and Mycobacterium tuberculosis survival in infected Hayday, Adrian C, Scott Roberts, Dan Elizabeth Ramsburg . Gamma-delta T Cells and the Regulation of Mucosal Immune Responses. Am J Respir Crit Care Med. 2000, Vol 162.: 161S163. Holmgren, Jan dan Cecil Czerkinsky. 2005. Mucosal Immunity and Vaccines. Nature Medicine. 11 (4): s45-s51. Ilangumaran S., Arni S., Poincelet M., Theler J.M., Brennan P.J., et al. 1995. Integration of Mycobacterial Lipoarabinomannans into Glycosylphosphatidylinositol-Rich Domains of Lymphomonocytic Cell Plasma Membranes. J. Immunol. 155:133442. J Cell Sci; 113 (Part 24): 44414450. Jacobs, Nathalie, Jacques Boniver, Pascale Hubert and Philippe Delvenne. 2007. Dendritic Cells: More Than Just Adaptive Immunity Inducers? Current Immunology Reviews, 2007, 3, 17-22 17. Jung Y.J., Ryan L., LaCourse R., North R.J. 2005. Properties and Protective Value of The Secondary Versus Primary T Helper Type 1 Response to Airborne Mycobacterium Tuberculosis Infection in Mice. J Exp Med 201: 191524. Junior, Arioldo Carvalho Vasconcelos, Joo Alves de Arajo-Filho, Ediane

36

Batista da Silva ,Eduardo Martins de Sousa, Andr Kipnis, Ana Paula Junqueira-Kipnis. Limitations of the BCG vaccine and new prophylaxis strategies against human tuberculosis. Einstein. 2009; 7(3 Pt 1):383-9. Kamath A.B., Woodworth J., Xiong X., Taylor C., Weng Y., Behar S.M. 2004. J Exp Med 200:14791489. Khalili-Shirazi A, Gregson NA, Londei M SummersL, Hughes RA, 1998. J Neurol Sci; 158:154-163 Krahenbuhl O, Gattesco S, Tschopp J: Murine Thy-1+ dendritic epidermal T cell lines express granule-associated perforin and a family of granzyme molecules. Immunobiology 1992; 184: 392401. Lella R.K., Sharma C. 2007. Eis (Enhanced Intracellular Survival) Protein of Mycobacteriumtuberculosis Disturbs The Cross Regulation of Tcells. The Journ Of Bio Chem; 282(26): 18671-18675. Malik Z. A., Denning G.M., Kusner D.J. 2000. Inhibition of Ca2 Signaling by Mycobacterium Tuberculosis is Associated with Reduced Phagosome-Lysosome Fusion and Increased Survival within Human Macrophages. J. Exp. Med. 191:287302. Martino, A., R. Casetti, A. Sacchi, F. Poccia. 2007. Central Memory V9V2 T Lympochytes Primed and Expanded by Bacillus Calmette-Gurin-Infected Dendritic Cells Kill MycobacterualInfected Monocytes. J. Immunol.179:3057-3064 Mehta, Abhinav Rajeev K. Tyagi, Amit Goyal, Kapil Khatri, Prem N. Gupta dan S. P. Vyas. 2007. Vaccination strategies for tuberculosis. CURRENT SCIENCE. 93: 11. Mittrucker H.W., Steinhoff U., Kohler A., Krause M., Lazar D., et al. 2007. Poor Correlation between BCG Vaccination-Induced T Cell Responses And Protection Against Tuberculosis. Proc Natl Acad Sci U S A 104: 124349. Morrison, D. C., and J. L. Ryan. 1987. Endotoxins and disease mechanisms. Annu. Rev. Med. 38:417. Nakagawa I, Amano A, Mizushima N, Yamamoto A, Yamaguchi H, Kamimoto T et al, 2004. Nathan C. F., Hibbs J.J.B. 1991. Role of Nitric Oxide Synthesis in Macrophage Antimicrobial Activity. Curr. Opin. Immunol. 3:65. National Foundation of Infectious Disease. 1999. Tuberculosis: A Global Emergency. Diakses dari: http://www.nfid.org/factsheets/tb.shtml Noss E. H., Pai R.K., Sellati T.J., Radolf J.D., Belisle J., Golenbock D.T., Boom W.H., Harding C.V. 2001. Toll-Like Receptor 2-Dependent Inhibition of Macrophage Class II MHC Expression and Antigen Processing by 19-kDa Lipoprotein of Mycobacterium Tuberculosis. J. Immunol. 167:910918. Nossal G.J.V. 2008. Vaccine. Dalam: Fundamental Immunology 6th Edition. Editor: Paul, W.E. Washington D.C: Lippincott Williams & Wilkins. Ogawa, Tomohiko et al.2002. Cell activation by Porphyromonas gingivalis

37

lipid A molecule through Tolllike receptor 4 and myeloid differentiation factor 88dependent signaling pathway. Int. Immunol.14 (11): 1325-1332. doi: 10.1093/intimm/dxf097. Ohsumi Y,2001. Molecular dissection of autophagy: two ubiquitin-like systems. Nat Rev Mol Cell Peyron P., Bordier C., NDiaye E.N., Maridonneau-Parini I. 2000. Nonopsonic Phagocytosis of Mycobacterium Kansasii by Human Neutrophils Depends on Cholesterol and is Mediated by CR3 Associated with Glycosylphosphatidylinositol-Anchored Proteins. J. Immunol. 165:51865191. Porcelli S, Brenner MB, Band H: Biology of the human .d T-cell receptor. Immunol Rev 1991; 120: 137183. Raetz, C. R. 1990. Biochemistry of endotoxins. Annu. Rev. Biochem. 59:129. Rhodes, Shelley G. R. Glyn Hewinson dan H. Martin Vordermeier. Antigen Rocognition and Immunomodulation by Gamma-Delta T Cells in Bovine Tuberculosis. 2001. J Immunol;166;5604-5610. Rietschel, E. T., and H. Brade. 1992. Bacterial endotoxins. Sci. Am. 267:54. Schlesinger L. S. 1993. Macrophage Phagocytosis of Virulent but Not Attenuated Strains of Mycobacterium Tuberculosis is Mediated by Mannose Receptors in Addition to Complement Receptors. J. Immunol. 150:292030. Setiawati L., et al. 2004. Tuberkulosis Milier pada Anak. Dalam TB Update III 2003. h. 85. Sieling P.A., Chatterjee D., Porcelli S.A., Prigozy T.I., Mazzaccaro R.J., et al. 1995. CD1-Restricted T Cell Recognition of Microbial Lipoglycan Antigens. Science 269:22730. Smith AL, Hayday AC: An a T-cell-independent immunoprotective response towards gut coccidia is supported by .d cells. Immunology 2000; 101: 325332. Smith AL, Hayday AC: An a T-cell-independent immunoprotective response towards gut coccidia is supported by .d cells. Immunology 2000; 101: 325332. Soysal,Ahmet, Kerry A Millington, Mustafa Bakir, Davinder Dosanjh, Yasemin Aslan, Jonathan J Deeks, Serpil Efe, Imogen Staveley, Katie Ewer, Ajit Lalvani. Effect of BCG Vaccination on Risk of Mycobacterium Tuberculosis Infection In Children With Household Tuberculosis Contact: A Prospective Community-Based Study. Lancet, 2005: 366: 144351. Steinman RM, Banchereau J. 2007. Taking dendritic cells into medicine. Nature.;449:419-426 Toth B,Alexander M,Daniel T,et al:The role of .d T cells in the regulation of neutrophil-mediated tissue damage after thermal injury. J Leukoc Biol 2004; 76: 545552.

38

Toth B,Alexander M,Daniel T,et al:The role of .d T cells in the regulation of neutrophil-mediated tissue damage after thermal injury. J Leukoc Biol 2004; 76: 545552. Tsukaguchi K, de Lange B, Boom WH: Differential regulation of IFN-., TNF-a, and IL-10 production by CD4(+) a TCR+ T cells and vd2(+) .d T cells in response to monocytes infected with Mycobacterium tuberculosis-H37Ra. Cell Immunol 1999; 194: 1220. Tsukaguchi K, de Lange B, Boom WH: Differential regulation of IFN-., TNF-a, and IL-10 production by CD4(+) a TCR+ T cells and vd2(+) .d T cells in response to monocytes infected with Mycobacterium tuberculosis-H37Ra. Cell Immunol 1999; 194: 1220. Vidal S., Tremblay M.L., Govoni G., Gauthier S., Sebastiani G., et al. 1995. The Ity/Lsh/Bcg Locus: Natural Resistance to Infection with Intracellular Parasites is Abrogated by Disruption of The Nramp1 Gene. J. Exp. Med. 182:65566. Vordermeier H.M., Villarreal-Ramos B., Cockle P.J., Macaulay M., Rhodes S.G., et al. 2009. Viral Booster Vaccines Improve BCGinduced Protection Against Bovine Tuberculosis. Infect Immun 77: 336473. Wang J., Thorson L., Stokes R.W., Santosuosso M., Huygen K., et al. 2004. Single Mucosal, But Not Parenteral, Immunization with Recombinant Adenoviral-Based Vaccine Provides Potent Protection from Pulmonary Tuberculosis. J Immunol 173: 635765. Workalemahu G, Foerster M, Kroegel C: Expression and synthesis of fibroblast growth factor-9 in human .d T-lymphocytes. Response to isopentenyl pyrophosphate and TGF-1/IL-15. J Leukoc Biol 2004; 75: 657663. Workalemahu G, Foerster M, Kroegel C: Expression and synthesis of fibroblast growth factor-9 in human .d T-lymphocytes. Response to isopentenyl pyrophosphate and TGF-1/IL-15. J Leukoc Biol 2004; 75: 657663. Yongchun Cui, Lei Kang, Lianxian Cui, Wei He, 2009. Human T cell recognition of lipid A is predominately presented by CD Ib or CD Ic on dendritic cells. Biology Direct 4:47 Yoshikai, Yasunobu Osamu Takeuchi, Shizuo Akira, Yuji Nimura dan Hitoshi Nishimura, Junji Washizu, Tomohiko Ogawa, Yasuji Mokuno, Tetsuya Matsuguchi, Manabu Takano. 2000. Expression of Toll-Like Receptor 2 on gd TEscherichia coli Infection in Mice Cells Bearing Invariant V g6/Vd1 Induced by gd T Cells in Bovine Tuberculosis Antigen Recognition and Immunomodulation. J Immunol; 165;931-940. Zheng B, Marinova E, Han J, et al: Cutting edge: .d T cells provide help to B cells with altered clonotypes and are capable of inducing Ig gene hypermutation. J Immunol 2003; 171: 49794983.

39

BIODATA PENULIS

Nama NIM Tempat/Tanggal Lahir Pendidikan Alamat Karya tulis

: Christo Darius Juneditya : 010810570 : Palembang, 7 Juni 1991 : Semester 5 Fakultas Kedokteran Unair : Jl Dharmahusada I surabaya : Pemanfaatan Esculoesin A dan Lycopien dalam Buah Tomat sebagai Upaya Preventif dan Kuantatif terhadap aAherosklerosis

Nama NIM Tempat/Tanggal Lahir Pendidikan Alamat Email Karya Tulis

: Atina Yustisia Lestari : 010810533 : Sawahlunto, 3 April 1990 : Semester V Fakultas Kedokteran Unair : Jl. Kalikepiting Jaya 1 No. 17a Surabaya : [email protected] : 1. Potensi Buah Kurma sebagai metode Pengobatan Baru pada Kanker Servik. 2. Potensi Pemeriksaan Telomerase

dengan Metode TRAP (Telomeric Repeat Amplification Protocol) dalam Deteksi Dini Kanker Servik. 3. Potensi Ekstrak Bunga Delima (Punica Granatum) PPAR-Alpha dengan dan Menginduksi PPAR-Gamma

40

sebagai

Metode

Pengobatan

Baru

Diabetes Melitus Tipe 2. 4. Potensi penggunaan Dinding Sel dalam

Bifidobacterium

bifidum

Memodulasi Aktivitas Sel T Regulator sebagai Terapi Adjuvan asma Kronik. 5. Vaksin Adjuvan Dinding bifidum Sel dengan

Bifidobacterium

memodulasi sel T Regulator sebagai preventif terhadap atherosklerosis. 6. Sistem Pemantau Komplikasi Penyakit Akibat Hipertensi Melalui Alat Deteksi Gelang Automatik Hipertensi dan

Software Interaktif. 7. Aktivitas Antimikroba daun Acacia nilotica sebagai antimikroba thypi dan pada MDR-

Salmonella

Salmonella thypi. 8. Pengujian Aktivitas Sekret Belatung Sebagai Penginduksi Penyembuhan

Luka Yang Terinfeksi Mrsa