Download - SUHARDIMAN G 621 06 022
i
ZONASI TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA
SUB DAS WALANAE HILIR
Oleh
SUHARDIMAN
G 621 06 022
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
ii
ZONASI TINGKAT KERAWANAN BANJIR DENGAN SISTEM
INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PADA
SUB DAS WALANAE HILIR
SKRIPSI
Oleh
SUHARDIMAN
G 621 06 022
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
iii
iv
Suhardiman. (G 621 06 022). “Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pada Sub Das Walanae Hilir” Dibawah Bimbingan, Dr. Suhardi, S.TP, MP dan Ir. Abdul Waris, MT
RINGKASAN Banjir merupakan bencana alam paling sering terjadi, baik dilihat dari
intensitasnya pada suatu tempat maupun jumlah lokasi kejadian dalam setahun yaitu sekitar 40% di antara bencana alam yang lain. Salah satu Sub DAS yang terdapat di bagian Hilir DAS Walanae yaitu Sub DAS Walanae Hilir. Sub DAS ini memilki luas sekitar 155.137,405 Ha yang bermuara pada DAS Walanae. Sub DAS ini merupakan Sub DAS yang stategis karena berdekatan dengan Sub DAS Walanae Tengah dan Sub DAS Cendrana yang merupakan pemasok air pada daerah bone, wajo dan soppeng.
Peta kerawanan banjir merupakan bagian dari sistem peringatan dini (early warning system) dari bahaya dan resiko banjir sehingga akibat dari bencana banjir dapat diperkirakan dan pada akhimya dapat diminimalkan. Peta tersebut diperoleh dengan menggunakan Teknik SIG (Sistem Informasi Geografis) berdasarkan metode analisis, penilaian, pembobotan dan proses tumpang susun (overlay) berdasarkan faktor meteorologi dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir
Dari peta kerawanan banjir didapat bahwa Sub DAS Walanae terdiri dari tiga kelas kerawanan banjir yaitu : kelas Kurang Rawan Banjir dengan luas 23.788,17 ha dengan persentase yaitu 15.33%, kelas Rawan Banjir dengan luas 85.602,92 ha dengan persentase yaitu 55.18%, kelas Sangat Rawan Banjir dengan luas 45.746,32 ha dengan persentase yaitu 29.49%. Kecamatan yang memiliki luas kelas kerawanan sangat rawan yang paling tinggi adalah kecamatan Cendrana dengan luas 8.443.33 ha dengan persentase yaitu 5.44% diikuti Kec. Duabaccoe dengan luas 6.984.59 ha dengan persentase yaitu 4.50%, dan Pammana dengan luas 6.566.46 ha dengan persentase yaitu 4.23% dari jumlah total wilayah Sub DAS Walanae Hilir. Daerah ini mempunyai daerah sangat rawan banjir yang luas dipengaruhi oleh faktor yaitu : kelas lereng yang umumnya datar (0 - 8%), Ketinggian 08 – 12,5 mdpl tekstur tanah dengan kriteria Sangat halus,, Penggunaan Lahan yang didominasi sawah, kebun campuran, tubuh air, tambak, merupakan daerah aliran sungai dan ketinggian lahan yang rendah. Saran yang dapat diberikan adalah, Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada penelitian lebih lanjut sebaiknya mengunakan wilayah cakupan yang lebih kecil dan diverifikasi dengan kejadian-kejadian banjir yang pernah terjadi.
Kata Kunci : Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir, Banjir, Walanae Hilir, Sistem Informasi Geografis, Peta Kerawanan Banjir
v
RIWAYAT HIDUP
Suhardiman, Lahir di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara
pada tanggal 12 Oktober 1988. Merupakan anak Ketujuh
dari Sembilan Bersaudara, dari pasangan Orang Tua Bapak
Usman Oce dan Ibu A. Hartini Ahmad.
Jalur pendidikan yang pernah ditempuh adalah sebagai berikut:
SD Inpres Paccerakkang Makassar, masuk tahun 1993 dan tamat tahun 2000.
SLTP Negeri 11 Makassar, masuk tahun 2000 dan tamat tahun 2003.
SMA Negeri 06 Makassar, masuk tahun 2003, dan tamat tahun 2006.
Melalui jalur seleksi SPMB, Penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian,
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,
Makassar. Masuk tahun 2006 dan lulus tahun 2012.
Selama penulis menempuh pendidikan S1 di Universitas Hasanuddin
pernah menjadi Asisten mata kuliah Dasar Ilmu Ukur Wilayah, Mekanisasi
Pertanian, Perbengkelan Pertanian, dan Mesin Budidaya Pertanian. Menjadi
anggota Agritec Study Club (TSC) dan menjadi pengurus HIMATEPA UH periode
2008/2009, Anggota UKM Bola Voli UNHAS dan aktif sebagai pengurus inti pada
Unit Kegiatan Mahasiswa RESIMEN MAHASISWA (MENWA) Satuan 701 Wolter
Monginsidi Universitas Hasanuddin periode 2007/2010.
vi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan akhir ini dengan baik.
Dengan selesainya laporan ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr. Suhardi, S.TP, MP dan Ir. Abdul Waris, MT sebagai dosen pembimbing
yang telah memberikan segala bentuk arahan mulai dari penyusunan
proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penyusunan laporan akhir ini.
2. Segenap Pegawai dan Staf Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-
DAS) Jeneberang–Walanae, Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya pada
divisi Seksi Monitoring dan Evaluasi DAS, Ibu Ir. Lely Mardawati D, MP,
Bapak Jamaluddin, S.Hut, dan Bapak Sulking Rifai S,Hut, atas kerjasamanya
selama penulis melakukan penelitian pada Sub Das Walanae Hilir.
3. Terima kasih kepada kanda Syahrul Belantara SP, Kanda Sulfian S.Si,
Sodara Rahmat STP, Sodara Zulkifli ZA, STP dan Sodari Mariana Ekha
Safitra Atas bimbingan, motivasi selama ini dan kerjasamanya selama penulis
melakukan penelitian dan menyusun laporan akhir ini.
4. Secara khusus Ayahanda Usman Oce dan Ibunda A. Hartini Ahmad, dan
saudara - saudaraku Terimakasih buat segala kasih sayang, pengorbanan
materi dan tenaga, nasehat-nasehat, teguran, dan perhatian yang sangat
tulus selama ini.
vii
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas
dari kesalahan karena keterbatasan yang dimiliki, oleh karena itu saran dan kritik
dibutuhkan untuk penyempurnaan skripsi ini selanjutnya. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi berkat bagi kita semua
amin ya Rabbal Alamin.
Makassar, Agustus 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii RINGKASAN ................................................................................................ iv RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Tujuan dan Kegunaan..................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banjir ............................................................................................. 3 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Banjir ....................................... 4
2.2.1 Curah Hujan ........................................................................... 4 2.2.2 Kelerengan (Kemiringan Lahan) ............................................ 6 2.2.3 Ketinggian (Elevasi) Lahan .................................................... 8 2.2.4 Testur Tanah ......................................................................... 9 2.2.5 Penggunaan Lahan ................................................................ 10
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................................... 11 2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ................................................... 12
2.4.1 Sistem lnformasi Geografis (SIG) .......................................... 12 2.4.1 Manajemen Basis Data .......................................................... 14
2.5 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ........................................... 15
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 18 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 18 3.3 Metode Penelitian ........................................................................... 19
3.3.1 Pengumpulan Informasi dan Data .......................................... 19 3.3.2 Analisis Data Curah Hujan ..................................................... 19 3.3.3 Analisis Citra Landsat ............................................................ 20 3.3.4 Analisis Peta Testur Tanah .................................................... 22 3.3.5 Membangun Basis Data ......................................................... 24 3.3.6 Menganalisis Data ................................................................. 24 3.3.6.1 Analisis Atribut ........................................................... 24 3.3.6.2 Analisis Keruangan .................................................... 26 3.3.7 Analisis Tingkat Kerawanan ................................................... 26 3.3.8 Menyajikan Hasil Analisis....................................................... 27
3.4 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 28
ix
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah .................................................................. 29 4.2 Parameter – Parameter Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir ............... 29
4.2.1 Faktor Curah Hujan ................................................................ 29 4.2.2 Faktor Lereng ......................................................................... 31 4.2.3 Faktor Ketinggian ................................................................... 32 4.2.4 Faktor Tekstur Tanah ............................................................. 33 4.2.5 Faktor Penggunaan Lahan .................................................... 35
4.3 Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) ....................................................... 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 40 5.2 Saran ................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman Tabel 1 Pemberian Skor Parameter Curah Hujan ...................................... 6
Tabel 2 Klasifikasikan Kemiringan Lereng ................................................ 7
Tabel 3 Pemberian Skor Parameter Kelerengan ........................................ 7
Tabel 4 Pemberian Skor Parameter Ketinggian ........................................ 8
Tabel 5 Pemberian Skor Parameter Tekstur Tanah ................................... 10
Tabel 6 Pemberian Skor Parameter Pengunaan Lahan ............................. 11
Tabel 7 Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah sub das walanae hilir .. 22
Tabel 8 Pembobotan Parameter-Parameter Banjir ..................................... 26
Tabel 9 Nilai Tingkat Kerawanan Kebanjiran.............................................. 27 Tabel 10 Curah Hujan Sub DAS Walanae Hilir ............................................ 30 Tabel 11 Kemiringan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ................................... 32 Tabel 12 Ketinggian Lahan Sub DAS Walanae Hilir ..................................... 33 Tabel 13 Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir ......................................... 35
Tabel 14 Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ................................. 36 Tabel 15 Nilai Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir ..... 37 Tabel 16 Rekapitulasi Tingkat Kerawanan Banjir ......................................... 39
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman Gambar 1 Diagram Alir Penelitian .............................................................. 28
Gambar 2 Peta Curah Hujan Tahunan Sub DAS Walanae Hilir ................. 30
Gambar 3 Peta Lereng Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae .................. 31
Gambar 4 Peta Ketinggian Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae ............ 32
Gambar 5 Peta Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir .............................. 34
Gambar 6 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir ...................... 35
Gambar 7 Peta Kerawanan Banjir Sub DAS Walanae Hilir .......................... 37
DAFTAR LAMPIRAN
xii
Nomor Judul Halaman
1. Peta Lokasi DAS Walanae ............................................................. 44
2. Peta Lokasi Sub DAS Walanae Hilir ................................................ 45
3. Peta Administrasi ............................................................................ 46
4. Peta Jenis Tanah ............................................................................ 46
5. Peta Penggunaan Lahan ................................................................ 47
6. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Bone ................................. 47
7. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo .................................. 48
8. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo .................................. 48
9. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Ajangale Tahun 2001 s/d 2010 ........................................... 49
10. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Amali Tahun 2001 s/d 2010 ................................................ 50
11. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Duo Boccoe Tahun 2001 s/d 2010 ..................................... 51
12. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Tellusiattinge Tahun 2001 s/d 2010 .................................... 52
13. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Tempe Tahun 2001 s/d 2010 ............................................. 53
14. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Paria/Majennang Tahun 2001 s/d 2010 .............................. 54
15. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun Sanreseng Ade Tahun 2001 s/d 2010 ............................... 55
16. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun BPP. Manyili / Paneki Tahun 2001 s/d 2010..................... 56
17. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan
Stasiun BPP Palaguna/Pammana Tahun 2001 s/d 2010 ................ 57
18. Nilai Curah Hujan Rata – Rata Tahun 2001 s/d Tahun 2010 .......... 58
19. Proses Analisis Citra Dengan Erdas ............................................... 59
20. Foto Dokumentasi Tempat Penelitihan Sungai Walanae Hilir ......... 62
21. Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir ............... 63
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banjir merupakan bencana alam paling sering terjadian, baik dilihat
dari intensitasnya pada suatu tempat maupun jumlah lokasi kejadian dalam
setahun yaitu sekitar 40% di antara bencana alam yang lain. Bahkan pada
tempat-tempat tertentu, banjir merupakan rutinitas tahunan. Lokasi
kejadiannya bisa perkotaan atau pedesaan, negara sedang berkembang
atau negara maju sekalipun (Suherlan, 2001).
Perbedaan diantara lokasi terjadinya banjir adalah dari segi dampak
terjadinya banjir. Dampak banjir pada wilayah perkotaan pada umumnya
adalah pemukiman sedangkan di pedesaan dampak dari banjir disamping
pemukiman juga daerah pertanian yang bisa berdampak terhadap
ketahanan pangan daerah tersebut dan secara nasional terlebih jika terjadi
secara besar-besaran pada suatu Negara (Suherlan, 2001).
Salah satu Sub DAS yang terdapat di bagian Hilir DAS Walanae yaitu
Sub DAS Walanae Hilir yang merupakan Sub DAS prioritas pertama. Sub
DAS ini memilki luas sekitar 155.137,41 ha yang bermuara pada DAS
Walanae. Sub DAS ini merupakan Sub DAS yang stategis karena
berdekatan dengan Sub DAS Walanae Tengah dan Sub DAS Cendrana
yang merupakan pemasok air pada daerah Bone, Wajo dan Soppeng
(BPDAS Jeneberang-Walanae, 2010).
Fenomena yang terjadi di Sub DAS Walanae Hilir sebagaimana yang
terlihat di lapangan adalah bahwa Sub Walanae Hilir banyak mengalami
kehilangan penutupan lahan dengan berbagai pola penggunaan lahan yang
berubah fungsi berdampak terjadinya banjir pada musim hujan. Sehingga di
2
butuhkan sebuah peta yang dapat membantu sebagai bahan informasi
dalam pencegahan banjir (Anonim, 2011a).
Peta kerawanan banjir merupakan bagian dari sistem peringatan dini
(early warning system) dari bahaya dan resiko banjir sehingga akibat dari
bencana banjir dapat diperkirakan dan pada akhimya dapat diminimalkan.
Peta tingkat kerawanan banjir yang baik adalah peta yang memiliki tingkat
akurasi yang tinggi. Peta tersebut diperoleh dengan menggunakan Teknik
SIG (Sistem Informasi Geografis) berdasarkan metode penilaian,
pembobotan dan proses tumpangsusun (overlay) berdasarkan faktor
meteorologi dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpengaruh
terhadap terjadinya banjir. Teknik SIG ini mempunyai kelebihan dalam hal
kecepatan pemrosesan, kemudahan dalam penyajian, lebih efektif dan
efisien serta akurat bila dibandingkan dengan pengerjaan secara manual.
berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu untuk melakukan
penelitian mengenai Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem
Informasi Geografis (SIG) Pada Sub Das Walanae Hilir
1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan memetakan daerah
rawan banjir pada daerah Sub DAS Walanae Hilir.
Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai lokasi
yang rawan terjadinya banjir pada sub DAS Walanae Hilir yang meliputi
Bone, Wajo dan Soppeng, sehingga upaya pencegahan atau
penanganannya dapat ditentukan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banjir
Menurut Richards, 1955 dalam Suherlan, 2001, Flood Estimation and
Control bahwa banjir memiliki dua arti yaitu (1) meluapnya air sungai
disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada
keadaan curah hujan yang tinggi dan (2) banjir merupakan genangan pada
daerah rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang.
Kerawanan banjir adalah keadaan yang menggambarkan mudah
atau tidaknya suatu daerah terkena banjir dengan didasarkan pada faktor-
faktor alam yang mempengaruhi banjir antara lain faktor meteorologi
(intensitas curah hujan, distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya hujan
berlangsung) dan karakteristik Daerah Aliran Sungai (kemiringan
lahan/kelerengan, Ketinggian Lahan, Testur tanah dan penggunaan lahan)
(Suherlan, 2001).
Pengendalian banjir adalah pencegahan limpasan air di atas
permukaan tanah, khususnya tanah tendah, dan pengurangan aliran dalam
saluran alami atau sungai selama dan sesudah hujan besar. Pengendalian
banjir ini merupakan salah satu fase masalah teknik yang terlibat di dalam
pengawetan tanah dan air (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 1992)
Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila dikelompokkan
maka akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh terhadap banjir, yaitu
elemen meteorologi, karakteristik fisik DAS dan manusia. Faktor meteorologi
yang berpengaruh menimbulkan banjir adalah intensitas curah hujan,
distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya hujan berlangsung.
4
Sedangkan karakteristik fisik DAS yang berpengaruh terhadap terjadinya
banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan, Ketinggian Lahan, penggunaan
lahan, dan testur tanah. Dan manusia berperan pada percepatan perubahan
karakteristik fisik DAS (Suherlan, 2001).
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Banjir
2.2.1 Curah Hujan
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu
daerah dalam waktu tertentu. Dalam perhitungan debit banjir
memerlukan data intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah
ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air
tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan I
dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan,
intensitas hujan yang tinggi umumnya terjadi dalam durasi yang
pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Penyebab utama banjir
adalah hujan deras yang turun di DAS. Tebal hujan yang tinggi yang
turun pada DAS lebih memungkinkan menjadi penyebab timbulnya
banjir daripada curah hujan yang turun pada DAS dengan tebal yang
rendah. Hal ini disebabkan curah hujan dengan tebal yang tinggi akan
lebih besar memberikan sumbangan debit air ke DAS dan apabila
daya tampung dari sungai terlampaui maka akan mengakibatkan banjir
(Loebis, 1992).
Curah hujan yang diperlukan untuk perancangan pengendalian
banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang
bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik yang tertentu biasa
disebut curah hujan wilayah/daerah. Penggunaan data curah hujan
5
sesaat pada keadaan hujan yang deras tidak dapat dibuat peta
sebarannya (peta Polygon Theissen) sebab kejadian hujan tidak
merata, tidak pada setiap tempat pengamatan terjadi hujan. Begitu
pula halnya tebal hujan pada puncak hujan selama satu bulan tidak
dapat digunakan menjadi data masukan, sebab puncak hujan pada
setiap tempat pengamatan waktunya tidak bersamaan.
Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang
dipengaruhi oleh sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon
ini merupakan pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik
menjadi poligon) dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk
semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah informasi yang terdapat
pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui (Aronoff,
1989 diacu dalam Primayuda 2006). Garis didefinisikan pada jarak
equidistan antara dua titik yang berdampingan (Barus, 2005).
Penggunaan peta Polygon Theissen pada puncak hujan
didasarkan pada alasan bahwa semakin tinggi tebal hujan dalam
periode yang pendek akan lebih memungkinkan terjadi banjir yakni
Polygon Theissen tahunan, hal ini disebabkan pada masalah banjir
tidak memperhatikan tebal hujan tahunan atau tebal hujan periode
yang panjang.
Daerah yang mempunyai tebal hujan yang tinggi maka daerah
tersebut akan lebih berpengaruh terhadap kejadian banjir.
Berdasarkan hal tersebut maka untuk pemberian skor ditentukan
aturan sebagai berikut yaitu : semakin tinggi tebal curah hujan maka
6
skor untuk tingkat kerawanan semakin tinggi. Pada Tabel 1 disusun
pemberian skor untuk parameter tebal curah hujan.
Tabel 1. Pemberian Skor Parameter Curah Hujan
No. Kelas Jumlah Curab Hujan
Skor (mm/tahun)
1 Sangat basah > 3.000 9
2 Basah 2.501 – 3.000 7
3 Sedang/lembab 2.001 – 2.500 5
4 Kering 1.501 – 2.000 3
5 Sangat kering < 1.500 1
Sumber: Primayuda (2006)
2.2.2 Kelerengan (Kemiringan Lahan)
Kelerengan atau kemiringan lahan merupakan perbandingan
persentase antara jarak vertikal (tinggi lahan) dengan jarak horizontal
(panjang lahan datar). Kelerengan merupakan parameter DAS yang
berpengaruh secara tidak langsung terhadap besar kecilnya kejadian
banjir. Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan
semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan
ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan
lahan yang kemiringannya rendah (landai), sehingga kemungkinan
terjadi penggenangan atau banjir pada daerah yang derajat kemiringan
lahannya tinggi semakin kecil. Semakin curam suatu DAS maka
semakin cepat air mengalir dari DAS tersebut dan semakin pendek
waktu pengakumulasian debit banjir di DAS tersebut (Richard, 1955
dalam Asriningrum dan Gunawan, 1998).
Kemiringan lereng, yaitu suatu derajat ketinggian permukaan
lahan yang juga akan mempengaruhi pada laju infiltrasi. Kemiringan
lereng tersebut di dapat dari Data DEM-SRTM. Data DEM-SRTM
7
digunakan untuk mengetahui kemiringan lereng. Kemiringan lereng
tersebut diklasifikasikan sebagai berikut pada table 2 :
Tabel 2. Klasifikasikan Kemiringan Lereng
Kelerengan keterangan
0-8 % merupakan daerah datar dan landai
8-15 % merupakan daerah bergelombang sampai berbukit
15-25 % merupakan daerah berbukit
25-40 % merupakan daerah berbukit sampai bergunung
>40 % merupakan daerah bergunung
Daerah yang berpotensi rawan banjir adalah daerah yang mempunyai
topografi datar sampai dengan daerah yang bertopografi landai
dengan kemiringan lereng antara 0-8 % (BPDAS Jeneberang-
Walanae, 2010).
Kemiringan lahan semakin tinggi maka air yang diteruskan
semakin tinggi. Air yang berada pada lahan tersebut akan diteruskan
ke tempat yang lebih rendah semakin cepat jika dibandingkan dengan
lahan yang kemiringannya rendah (landai). Dengan demikian, maka
semakin besar derajat kemiringan lahan maka skor untuk kerawanan
banjir semakin kecil. Pada Tabel 3 disusun pemberian skor untuk
parameter kemiringan lahan.
Tabel 3. Pemberian Skor Parameter Kelerengan
No. Kelas Kelerengan Skor
1. 0-8 % 9
2. 8-15 % 7
3. 15-25 % 5
4. 25-40 % 3
5. >40 % 1
Sumber: Utomo (2004)
8
2.2.3 Ketinggian (Elevasi) Lahan
Ketinggian (Elevasi) Lahan adalah ukuran ketinggian lokasi di
atas permukaan laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi
dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi
(>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang
sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan (Anonim,
2012b).
Ketinggian mempunyai pengaruh terhadap terjadinya banjir.
Berdasarkan sifat air yang mengalir mengikuti gaya gravitasi yaitu
mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Dimana daerah yang
mempunyai ketinggian yang lebih tinggi lebih berpotensi kecil untuk
terjadi banjir. Sedangkan daerah dengan ketinggian rendah lebih
berpotensi besar untuk terjadinya banjir. Pemberian skor pada kelas
ketinggian yang lebih tinggi lebih kecil daripada skor untuk kelas
ketinggian yang rendah. Pada Tabel 4 disusun pemberian skor untuk
parameter Parameter Ketinggian
Tabel 4. Pemberian Skor Parameter Ketinggian
No Kelas Skor
1 0 – 12,5 m 9
2 12,6 – 25 m 7
3 26 – 50 m 5
4 51 -75 m 3
5 76 – 100 m 1
6 >100 m 0
Sumber : Asep Purnama (2008)
9
2.2.4 Testur Tanah
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang
terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi
pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Badan Pertanahan
Nasional). dari ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir mempunyai
ukuran diameter paling besar yaitu 2 – 0.05 mm, debu dengan ukuran
0.05 – 0.002 mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm (penggolongan
berdasarkan USDA). keadaan tekstur tanah sangat berpengaruh
terhadap keadaan sifat2 tanah yang lain seperti struktur tanah,
permeabilitas tanah, porositas dan lain2 (Anonim, 2012c).
Tekstur merupakan sifat kasar-halusnya tanah dalam
percobaan yang ditentukan oleh perbandingan banyaknya zarah-zarah
tunggal tanah dari berbagai kelompok ukuran, terutama perbandingan
antara fraksi-fraksi lempung, debu, dan pasir berukuran 2 mm ke
bawah (Notohadipranoto, 1978).
Tanah dengan tekstur sangat halus memiliki peluang kejadian
banjir yang tinggi, sedangkan tekstur yang kasar memiliki peluang
kejadian banjir yang rendah. Hal ini disebabkan semakin halus tekstur
tanah menyebabkan air aliran permukaan yang berasal dari hujan
maupun luapan sungai sulit untuk meresap ke dalam tanah, sehingga
terjadi penggenangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian
skor untuk daerah yang memiliki tekstur tanah yang semakin halus
semakin tinggi. Pemberian skor untuk tingkat Tekstur Tanah dapat
dilihat pada Tabel 5.
10
Tabel 5. Pemberian Skor Parameter Tekstur Tanah
Sumber: Primayuda (2006)
2.2.5 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh
aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi.
Penggunaan lahan akan mempengaruhi kerawanan banjir suatu
daerah, penggunaan lahan akan berperan pada besarnya air limpasan
hasil dari hujan yang telah melebihi laju infiltrasi. Daerah yang banyak
ditumbuhi oleh pepohonan akan sulit sekali mengalirkan air limpasan,
hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan
dan lambatnya air limpasan mengalir disebabkan tertahan oleh akar
dan batang pohon. Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi maka
air hujan akan banyak diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang
ditempuh oleh limpasan untuk sampai ke sungai sehingga
kemungkinan banjir lebih kecil daripada daerah yang tidak ditanami
oleh vegetasi (Seyhan, 1995).
Lahan yang banyak ditanami oleh vegetasi maka air hujan akan
banyak diinfiltrasi dan lebih banyak waktu yang ditempuh oleh
limpasan untuk sampai ke sungai sehingga kemungkinan banjir lebih
kecil daripada daerah yang tidak ditanami oleh vegetasi. Pada Tabel 6
disusun penggunaan lahan yang ada.
No. Kelas Skor
1 Sangat halus 9
2 Halus 7
3 Sedang 5
4 Kasar 3
5 Sangat kasar 1
11
Tabel 6. Pemberian Skor Parameter Pengunaan Lahan
No. Kelas Skor
1 Tubuh Air (Danau dan Sungai) 9
2 Tambak 9
3 Sawah 8
4 Hutan Mangrove 7
5 Permukiman 6
7 Padang Rumput 5
8 Kebun campuran 3
9 Hutan 1
Sumber: Primayuda (2006)
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke
laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah
tangkapan air (catchmen area) yang merupakan suatu ekosistem dengan
komponen utama terdiri dari sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dari
sumber daya manusianya (Asdak, 2002).
Daerah Aliran Sungai adalah suatu sistem yang mengubah curah
hujan (input) ke dalam debit (output) di pelepasannya (outlet). DAS
merupakan sistem yang kompleks dan heterogen yang terdiri atas beberapa
sub sistem, dimana sub sistem tersebut dianggap homogeny
(Soemarto 1987).
Sebagai satu sistem hidrologi, DAS merupakan satu kawasan yang
dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa
sehingga aliran-aliran yang berasal dari kawasan tersebut keluar melalui
satu aliran tunggal (Linsley,et al., 1982).
Seyhan (1995) dalam (Suherlan, 2001) memberi batasan bahwa DAS
merupakan keseluruhan lahan dan perairan yang dibatasi oleh pemisah
12
topografi yang dengan sesuatu atau berbagai cara memberi sumbangan
debit kepada sungai yang ada. Dan menurut Webster (1976) dalam
(Suherlan, 2001), bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan
yang dibatasi oleh pemisah topografi (punggung bukit) yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atas permukaan
tanah ke sungai utama yang bermuara di laut.
Konsep DAS merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi.
Mengingat DAS yang besar pada dasarnya tersusun dari DAS-DAS yang
kecil, dan DAS yang kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil
lagi. Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang
dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun
batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di
wilayah tersebut member kontribusi aliran ke titik control (outlet)
(Suripin, 2004).
2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.4.1 Sistem lnformasi Geografis (SIG)
Sistem informasi Geografi adalah suatu sistem informasi
tentangpengumpulan dan pengolahan data serta penyampaian
informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun digital.
Data yang diperlukan merupakan data yang mengacu pada lokasi
geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data grafis dan data
atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis, dan poligon.
Sedangkan data atribut dapat berupa data kualitatif atau kuantitatif
yang mempunyai hubungan satu-satu dangan data grafisnya (Barus
dan Wiradisastra, 2000).
13
Menurut ESRI (1999), Sistem Informasi Geografis (SIG)
adalah suatu alat berbasis komputer untuk memetakan dan meneliti
hal-hal yang ada dan terjadi di muka bumi. Sistem Informasi
Geografis mengintegrasikan operasi database umum seperti query
dan analisa statistik dengan visualisasi yang unik dan manfaat
analisa mengenai ilmu bumi yang ditawarkan oleh peta. Kemampuan
ini menjadi penciri Sistem Informasi Geografis dari sistem informasi
lainnya, dan sangat berguna bagi suatu cakupan luas perusahaan
swasta dan pemerintah untuk menjelaskan peristiwa, meramalkan
hasil, dan strategi perencanaan. Menurut Barus dan Wiradisastra
(2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alat yang
handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG, data dipelihara
dalam bentuk digital. Sistem ini merupakan suatu sistem computer
untuk menangkap, mengatur, mengintegrasi, memanipulasi,
menganalisis dan menyajikan data yang bereferensi ke bumi.
Komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu:
perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan
pemakai.
Sistem informasi geografi (SIG) pada saat ini sudah
merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana
atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal
pemetaan sumberdaya. Dua dekade sebelum ini terjadi juga pada
Penginderaan Jauh (PJ) atau Remote Sensing, walaupun tidak
secepat kepopuleran SIG. Kedua teknologi tersebut merupakan
teknologi informasi atau lebih spesifik lagi teknologi informasi spasial
14
karena berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data spasial.
(Barus dan Wiradisastra, 2000).
2.4.2 Manajemen Basis Data
Data yang dihimpun pada basis data memungkinkan data
yang sangat banyak dan bervariasi jenisnya, yang sudah tentu
memerlukan sistem pengelolaan yang baik untuk memudahkan
pengguna dalam mengorganisasikan data. Manajemen basis data
merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk
mengorganisasikan dan mengelola himpunan data dengan
menggunakan program aplikasi tertentu untuk mengakses data
tersebut. Sistem Manajemen Basis Data dapat diartikan sebagai
program komputer yang digunakan untuk memasukkan, mengubah,
menghapus, memanipulasi dan memperoleh data atau informasi
secara praktis dan efisien (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Tahap awal dari membangun basis data adalah melakukan
pengerjaan automatisasi data. Pengautomatisasi data diagi menjadi
dua tahapan pengerjaan yaitu: proses digitasi dan memasukkan data
atribut ke dalam basis data.
1. Proses Digitasi
Pada tahap ini dilakukan konversi pada peta menjadi
format digital pada komputer dengan cara memasukkan data
spasial ke dalam basis data, pembuatan peta digital (coverage)
dilakukan dengan mendigitasi menggunakan software ArcGis
15
2. Mentransformasikan hasil digitasi ke dalam koordinat bumi
Setelah data spasial dapat digunakan maka dilakukan
pekerjaan utama yang dilaksanakan pada pengelolan basis data
yaitu mentransformasikan coverage hasil digitasi ke dalam
koordinat bumi sehingga dapat ditumpangsusunkan dengan
coverage lain.
Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan tentang
bagaimana mendefinisikan titik awal. Transformasi sistem
koordinat merupakan teknik transformasi meja digitizer atau layar
ke koordinat bumi sebenarnya atau koordinat geografi bumi
dengan persamaan transformasi. Peta digital hasil digitasi adalah
peta yang masih mempunyai koordinat digitizer atau koordinat
layar apabila peta tersebut didigit pada layar komputer. Supaya
peta mempunyai koordinat yang sesuai di lapangan maka
koordinat digitizer atau layar tersebut harus diubah menjadi
koordinat bumi sebenarnya yang bereferensi geograti. Caranya
adalah dengan mengganti koordinat TIC dengan koordinat bumi
sebenarnya menggunakan sistem proyeksi tertentu.
2.5 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh membahas pengumpulan informasi mengenai
suatu objek, kejadian (fenomena), atau area melalui analisis data yang
didapat dari pengamatan dengan menggunakan peralatan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi kontak langsung dengan objek, kejadian (fenomena),
atau area yang diamati. Dengan demikian bidang penginderaan jauh sering
mengunakan peralatan-peralatan yang berupa kamera, scanner, atau
16
sensor-sensor lain yang dibawa oleh wahana pengangkut (platform) yang
dapat bergerak cepat. Salah satu aktifitas di bidang penginderaan jauh yang
paling tua adalah pemotretan (foto) udara dengan menggunakan wahana
balon udara dan pesawat terbang. Aktifitas yang lain adalah perekaman data
unsur-unsur permukaan bumi dengan menggunakan wahana satelit (Barus
dan Wiradisastra, 2000).
Pada saat ini teknologi satelit penginderaan jauh beserta sensor-
sensor yang telah menyertainya telah maju sedemikian rupa sehingga
menyebabkan resolusi spasial setiap pixel data citra hasil perekaman
sensor-sensor yang bersangkutan dapat mencapai puluhan dan belasan
meter (untuk citra-citra Landsat dan Spot,misalnya), atau bahkan mencapai
satu (1) meter (untuk. citra IKONOS pankromatik, misalnya) di permukaan
bumi. Selain itu, proses perekaman data citra digital satelit ini dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien dalam waktu yang relatif singkat (Barus
dan Wiradisastra, 2000).
Sistem informasi geografi berkaitan dengan data bereferensi spasial.
Data masukan dari sistem informasi geografi dapat diperoleh dari berbagai
sumber antara lain:
1. Data lapangan. Data ini diperoleh dari pengukuran lapangan secara
langsung.
2. Data peta Informasi yang telah terekam pada peta kertas atau film.
3. Data citra penginderaan jauh.
Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara harus diinterpretasi
terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sedangkan citra
yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung
17
digunakan setelah diadakan konversi sebelumnya. Metode pemasukan data
yang dapat dilaksanakan adalah : digitasi peta pada meja digitizer atau pada
layar komputer (on-screen digitizing) dan import data dari aplikasi perangkat
lunak yang lain (Barus dan Wiradisastra, 2000).
18
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Walanae Hilir. pada DAS
Walanae di Kabupaten Bone, Wajo dan Soppeng yang berlangsung pada
bulan September 2011 sampai dengan Februari 2012 Lokasi penelitian
dilaksanakan di tiga wilayah mencakup sebagian Kabupaten Bone di bagian
hilir dengan luasan sekitar 55% dari keseluruhan Sub DAS Walanae Hilir,
sebagian Kabupaten Soppeng di bagian hilir dengan luasan sekitar 5% dan
sebagian Kabupaten Wajo di bagian hilir dengan luasan sekitar 40% dari
Sub DAS Walanae Hilir yang terletak di Hilir DAS Walanae.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, kompas,
Kamera, meteran. Scanner, Printer, Laptop dan Program Erdas Imagine 9.2,
ArcView 3.3, ArcGis 9, Microsoft Excel.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :
1. Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000 (Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian)
2. Peta Administrasi, skala 1:250.000 (BPDAS Jeneberang-Walanae)
3. Citra Landsat TM+7 Tahun 2010 dan Peta Penggunaan lahan 1:250.000
4. Peta Kelerengan, skala 1:250.000 (BPDAS Jeneberang-Walanae)
5. Data Curah Hujan Kab. Bone Meliputi kec. Cenrana, kec. Ajangale, kec.
Amalia, kec. Duaboccoe, kec. Tellusiattinge. Data Curah Hujan Kab. Wajo
Meliputi kec Tempe, Kec. Paria, Kec.Sanreseng, Kec. Paneka. Kec.
Pammana (BKMG Stasium Maros Baru Kab. Maros)
6. Peta Jenis Tanah, skala 1:250.000 (Jur. Ilmu Tanah, Pertanian UNHAS)
19
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian diringkas menjadi delapan tahapan pokok yaitu:
mengumpulkan informasi dan data, Analisis Data Curah Hujan, Analisis Citra
Landsat, Analisis Peta Testur Tanah membangun basis data, menganalisis
data, Analisis Tingkat Kerawanan dan menyajikan hasil analisis data berupa
peta.
3.3.1 Pengumpulan Informasi dan Data
a. Pengumpulan Informasi Biofisik Sub DAS Walanae Hilir, DAS
Walanae (Letak dan Luas Sub DAS Walanae Hilir)
b. Jenis Data :
1) Peta kemiringan lereng
2) Peta Ketinggian
3) Peta Administrasi Wilayah
4) Peta Rupa Bumi
3.3.2 Analisis Data Curah Hujan
1. Pengumpulan Data Hujan
Pencarian dilakukan di instansi yang terkait dengan data hujan, yaitu
BKMG Stasium Maros Baru Kab. Maros. Data curah hujan yang
terkumpul berupa data curah hujan tahunan (2001-2010) yang
meliputi: (1) jumlah curah hujan dan (2) bulan hujan. Data tersebut
berasal dari stasiun – stasiun penakar hujan yang ada di wilayah DAS
Walanae.
Nilai curah hujan rata-rata tahunan dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
……………………………………………. (1)
20
Keterangan:
X = Curah hujan rata-rata tahunan
Ri = Curah hujan tahunan untuk tahun ke-i
N = Jumlah tahun data curah hujan yang digunakan untuk membuat
peta curah hujan
2. Pembuatan peta curah hujan
Metode Poligon Thiessen mendefinisikan individu area yang
dipengaruhi oleh sekumpulan titik yang terdapat di sekitarnya. Poligon
ini merupakan pendekatan terhadap informasi titik yang diperluas (titik
menjadi poligon) dengan asumsi bahwa informasi yang terbaik untuk
semua lokasi yang tanpa pengamatan adalah informasi yang terdapat
pada titik terdekat dimana hasil pengamatannya diketahui, prosesnya
menggunakan ArcView 3.3 dengan extensions create Thissen
polygons – 2.6 dengan memesukkan titik koordinat ke dalam peta.
3.3.3 Analisis Citra Landsat
Pada penelitian ini digunakan citra Landsat TM+7 Propinsi Sulawesi
Selatan tahun 2010. Secara umum analisis dilakukan dengan bantuan
software Erdas Imagine 9.2. dengan tahapan sebagai berikut :
1. Koreksi Radiometri
Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya
sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan
faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek
atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang
terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi
21
menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil
karena proses serapan
2. Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi
Ground Control Points (GCP) atau titik-titik ikat yang mudah ditentukan
seperti percababangan sungai atau perpotongan jalan, dengan
menggunakan peta acuan penggunaan lahan yang sudah ada dalam
bentuk vector format SHP sebagai titik acuan untuk menentukan titik
ikat, Nilai akurasi GCP ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Error
(RMS-error). RMS-error menyatakan nilai kesalahan dari proses
koreksi geometrik. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai RMS-error
yang sangat kecil mendekati nol.
3. Pemotongan Image
Pemotongan Image bertujuan untuk membatasi citra yang akan di
analisis sesuai dengan besaran tempat yang akan di analisis agar
mudah dalam prosesnya.
4. Klasifikasi Citra Tak Terbimbing (unsupervised classification)
Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi
tidak terbimbing dengan metode klasifikasi kemiripan maksimum,
klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penggunaan
lahan. Klasifikasi ini dilakukan dengan meperbandingkan peta
penggunaan lahan yang sudah jadi dengan citra yang akan di
klasifikasi.
22
3.3.4 Analisis Peta Testur Tanah
Analisis peta testur tanah dilakukan untuk mempersiapkan peta tekstur
tanah. Peta tekstur tanah diperoleh dari analisis peta sebaran tanah dari
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas hasanuddin yang
berasal dari Bakosurtanal yang berupa peta vektor (shapefile).
Pembagian sebaran jenis tanah tersebut kemudian di analisis untuk
mendapatkan testur tanah dengan mengunakan buku kunci taksonomi
tanah, referensi buku lainnya dan literatur jurnal dan penelitihan. Pada
table 7 disusun Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah pada sub das
walanae hilir.
Tabel 7. Pembagian jenis tanah dan tekstur tanah sub das walanae hilir
No. Jenis Tanah Tekstur Tanah Deskripsi Tanah
1 Entisol Sangat Halus Tanah Entisol adalah tanah tanpa atau
dengan sedikit perkembangan dimana
sifat – sifatnya sebagian besar
ditentukan oleh bahan induknya
(Lopulisa, 2004).
Tekstur Tanah Lebih Halus dari pasir
halus berlempung (Sangat Halus) dan,
50 % atau lebih dari maktriksnya,
memiliki satu atau lebih sifat berikut
kroma (0) atau kroma (Soil Survey
Staff, 1999).
2 Inceptisol Kasar Tanah Inceptisol memiliki tekstur kasar
dengan kadar pasir 60 %, hanya
mempunyai horizon yang banyak
mengandung sultat masam (catday)
pH < 3,5 terdapat karatan. Tanah
Inceptisol umumnya memiliki horizon
23
kambik. Horizon kambik merupakan
indikasi lemah atau spodik.
(Hardjowigeno, 1992).
3 Regosol Kasar Regosol adalah tanah yang belum
banyak mengalami perkembangan
profilnya. Oleh karena itu tebal solum
tanahnya biasanya tidak melebihi 25
cm. Mengandung bahan yang belum
atau masih mengalami pelapukan.
Tanah ini berwarna kelabu, coklat,
atau coklat kekuningan. Tekstur tanah
biasanya kasar, yaitu pasir hingga
lempung berdebu, struktur remah,
konsistensi tanah lepas sampai
gembur dan pH 6-7. Makin tua tanah
maka semakin padat konsistensinya.
Umumya regosol belum membentuk
agregat, sehingga peka terhadap
erosi. Umumnya cukup mengandung
unsure P dan K yang masih segar dan
belum siapuntuk diserap tanaman,
tetapi kekurangan unsure N.
(Dharmawijaya, 1992)
4 Ultisol Sedang Untisol adalah tanah dengan horizon
argilik bersifat masam dengan
kejenuan basa rendah (Hardjowigeno,
1993).
umumnya berkembang dari bahan
induk tua Ultisol adalah Ultisol
umumnya mempunyai struktur sedang
hingga kuat, dengan bentuk gumpal
bersudut (Prasetyo et al. 2006)
24
3.3.5 Membangun Basis Data
Tahap awal dari membangun basis data adalah melakukan
pengerjaan automatisasi data. Pengautomatisasi data dibagi menjadi dua
tahapan pengerjaan yaitu :
1. Proses digitasi
Digitasi adalah konversi data analog kedalam format digital pada
komputer dengan cara memasukkan data spasial ke dalam basis
data, pembuatan peta digital (coverage) dilakukan dengan mendigitasi
citra yang telah dianalisis menjadi peta penggunaan lahan.
2. Mentransformasikan hasil digitasi ke dalam koordinat bumi.
Setelah data spasial dapat digunakan maka dilakukan pekerjaan
utama yang dilaksanakan pada pengelolan basis data yaitu
mentransformasikan coverage hasil digitasi ke dalam koordinat bumi
sehingga dapat ditumpangsusunkan dengan coverage lain.
3.3.6 Menganalisis Data
Proses menganalisis data dibagi menjadi dua yaitu: analisis atribut
dan analisis keruangan. Atributing adalah proses pemberian atribut atau
informasi pada suatu coverage. Pemberian atribut ini lebih mudah
dilakukan di ArcView, karena prosedurnya yang tidak terlalu rumit.
3.3.6.1 Analisis Atribut
Proses analisis atribut dibagi menjadi dua bagian yaitu klasifikasi
dan pengskoran dan pembobotan.
1. Klasifikasi dan Pengskoran
Klasifikasi yang dimaksud adalah pembagian kelas dari
masing-masing peta digital. Pengskoran dimaksudkan sebagai
25
pemberian skor terhadap masing-masing kelas. Menurut (Erlan
Suherlan, 2001) Pemberian skor ini didasarkan pada pengaruh kelas
tersebut terhadap besarnya banjir.
Adapun pemberian skor dilandasi beberapa filosofi, yaitu : 1)
wilayah dengan curah hujan tinggi memiliki kerentanan banjir lebih
tinggi, 2) kemiringan lereng yang landai memiliki kerentanan banjir
lebih tinggi dari lereng yang curam, 3) Tanah dengan tekstur sangat
halus memiliki peluang kejadian banjir yang tinggi, sedangkan tekstur
yang kasar memiliki peluang kejadian banjir yang rendah 4) bentuk
lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki kerentangan lebih
tinggi, 5) semakin dekat dengan sungai atau badan air, maka
kemungkinan terjadinya genangan atau banjir yang berasal dari
luapan sungai lebih besar, 6) Penggunaan lahan yang dianggap
rentan terhadap banjir adalah Penggunaan lahan yang lebih
berpengaruh pada air limpasan yang melebihi laju infiltrasi.
2. Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital
masing masing parameter yang berpengaruh terhadap banjir, dengan
didasarkan atas pertimbangan pengaruh masing-masing parameter
terhadap banjir.
Pembobotan dimaksudkan sebagai pemberian bobot pada
masing-masing peta tematik (parameter). Penentuan bobot untuk
masing-masing peta tematik didasarkan atas pertimbangan,
seberapa besar kemungkinan terjadi banjir dipengaruhi oleh setiap
26
parameter geografis yang akan digunakan dalam analisis SIG. yang
menghasilkan pembobotan seperti ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pembobotan Parameter-Parameter Banjir
No. Parameter Banjir Bobot (%)
I Curah hujan 30
2 Penggunaan Lahan 20
3 Kelerengan 20
4 Tekstur Tanah 20
5 Ketinggian Lahan 10
Sumber: Primayuda (2006)
3.3.6.2 Analisis Keruangan
Analisis keruangan dilakukan dengan menumpangsusunkan
peta-peta digital yang sebelumnya telah diberi skor dan bobot pada
masing-masing peta digital dilakukan dengan bantuan software ArcGis,
sehingga menghasilkan peta zonasi yang akan di analisis selanjutnya
untuk mengetahui tingkat kerawanan banjirnya.
Peta-peta digital yang akan ditumpangsusunkan adalah peta
curah hujan (Polygon Thiessen), peta kelerengan, peta Tekstur Tanah
dan peta penggunaan lahan.
3.3.7 Analisis Tingkat Kerawanan
Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total
penjumlahan skor lima parameter yang berpengaruh terhadap banjir
(curah hujan, kelerengan, Ketinggian Lahan, Tekstur Tanah dan
penggunaan lahan). Menurut Kingma, 1991 nilai kerawanan ditentukan,
dengan, menggunakan persamaan sebagai berikut:
𝐾 = 𝑊𝑖 𝑥 𝑋𝑖 𝑖=1 ..…………………………….……………...………… (2)
27
Keterangan :
K = Nilai kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas parameter ke-i
Nilai kerawanan suatu daerah terhadap banjir ditentukan dari total
penjumlahan skor masing-masing parameter banjir, daerah yang sangat
rawan terhadap banjir akan mempunyai skor total yang tinggi dan
sebaliknya daerah yang tidak rawan terhadap banjir akan mempunyai
total skor yang rendah. Tabel 9 menunjukkan tingkat kerawanan banjir
berdasarkan nilai kerawanan penjumlahan skor masing-masing parameter
banjir.
Tabel 9. Nilai Tingkat Kerawanan Kebanjiran
No. Tingkat Kerawanan Jumlah Nilai Semua
Kebanjiran Parameter
1. Sangat rawan banjir 6,75 – 9
2. Rawan banjir 4,5 – 6,75
3. Kurang rawan banjir 2,25 – 4,5
4. Tidak rawan banjir < 2,25
Asep Purnama (2008)
3.3.8 Menyajikan Hasil Analisis
Setelah didapat nilai kerawanan banjir maka peta tersebut
ditumpangsusunkan dengan peta administrasi daerah sehingga akan
didapatkan daerah cakupan banjir. Hasil analisis disajikan dalam bentuk
peta kerawanan banjir. Penyajian hasil dilakukan dengan bantuan
software ArcGis.
28
3.3.9 Diagram Alir Penelitian
Pengumpulan Data dan Analisis Faktor Daerah Rawan Banjir
Pembangunan Basis Data
Analisis Data
Penyajian Hasil Analisis
Gambar 1 : Diagram alir penelitian
1. Digitasi
2. Mentransformasikan
hasil digitasi ke dalam
koordinat bumi
Analisis Atribut:
Pengskoran dan Pembobotan
Analisis Keruangan
(Overlay)
Analisis Tingkat Kerawanan
dan Resiko Banjir
Peta Kerawan Banjir
Analisis Peta
Testur Tanah
1. Koreksi
Radiometri
2. Koreksi
Geometrik
3. Pemotongan
image citra
4. Klasifikasi Tidak
Terbimbing
Peta Tekstur
Tanah Peta Penutupan
Lahan
MULAI
Citra Landsat Data Curah Hujan
Peta Curah Hujan
Polygon Thissen
1. Pengumpulan
data Curah Hujan
2. Pembuatan Peta
Curah Hujan
Analisis Citra Analisis Data Curah
Hujan
Peta Sebaran Tanah
Analisis Testur
Tanah
1. Peta Kelas
Lereng
2. Peta
Administratif
3. Peta Ketinggian
- Peta Kelas Lereng - Peta Administratif - Peta Rupa Bumi - Peta Ketinggian
Pengumpulan Data
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Wilayah
Sub DAS Walanae Hilir merupakan Sub DAS bagian hilir dari sistem
DAS Walanae. Sub DAS Walanae Hilir mencakup tiga wilayah yaitu bagian
hulu Kabupaten Soppeng (Kecamatan Lilirilau), Wajo (Kecamatan Bola Solo,
Kecamatan Majauleng, Kecamatan Maningpajo, Kecamatan Pammana,
Kecamatan Penrang, Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Sajoanging,
Kecamatan Takkalala, Kecamatan Tanasitolo dan Kecamatan Tempe) dan
bagian hilir Kabupaten Bone (Kecamatan Ajangale, Kecamatan Amali,
Kecamatan Awangpone, Kecamatan Cendrana, Kecamatan Duaboccoe,
Kecamatan Tellusiattinge, dan Kecamatan Ulaweng). Luas DAS Walanae
yaitu 202.734,31 ha, dimana luas Sub DAS Walanae Hilir yaitu 155.137.41
ha. Secara geografis Sub DAS Walanae Hilir terletak antara 119059’01’’
sampai dengan 120023’34’’ BT dan 03058’61’’ sampai dengan 04029’68’’ LS.
4.2 Parameter – Parameter Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir
4.2.1 Faktor Curah Hujan
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah
dalam waktu tertentu. Dalam perhitungan debit banjir memerlukan data
intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah
hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut
terkonsentrasi. Salah satu penduga penyebab terjadinya Banjir yaitu
Curah hujan. Pada kawasan Sub DAS Walanae Hilir tingkat curah
hujan yang terjadi cukup tinggi. Hujan akan menimbulkan banjir jika
intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu yang relatif lama.
30
Gambar 2. Peta Curah Hujan Tahunan Sub DAS Walanae Hilir
Hampir seluruh wilayah di Sub DAS Walanae Hilir (63,12%)
mempunyai curah hujan (<1.500 mm/tahun atau Normal). Sedangkan
bagian hulu merupakan bagian Sub DAS Walanae Hilir yang masuk
kategori kering (curah hujan 1.501 – 2.000 mm/tahun) (Tabel 10).
Tabel 10. Curah Hujan Sub DAS Walanae Hilir
No. Kelas Curah Hujan Luas luas
(%) (mm/tahun) (ha)
1 Sangat basah > 3.000 - -
2 Basah 2.501 – 3.000 - -
3 Sedang/lembab 2.001 – 2.500 - -
4 Kering 1.501 – 2.000 97.915,73 63,12
5 Sangat kering < 1.500 57.221,67 36,88
155.137,41 100
Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.
31
4.2.2 Faktor Lereng
Kemiringan lahan atau kelas lereng di Sub DAS Walanae Hilir
dibagi lima kelas kemiringan, dimana kelas yang mendominasi adalah
kelas kemiringan lahan datar (8 – 15%). Kelas datar ini menyebar di
bagian hilir dan tengah Sub DAS Walanae Hilir. Sedangkan pada
bagian hulu lebih banyak terdapat lahan yang berombak dan
bergelombang. Pada daerah pegunungan kemiringan lahan berupa
lahan yang berbukit sampai terjal (Gambar 3).
Gambar 3. Peta Lereng Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae
Luas kelas kemiringan lahan datar (8 – 15%) adalah 89.833,98
ha dengan persentase 57,91%. Sedangkan kelas kemiringan dengan
luasan paling kecil adalah kelas kemiringan lahan berbukit curam/terjal
dengan luas 7,27 ha dengan persetase 0,005% (Tabel 11).
32
Tabel 11. Kemiringan Lahan Sub DAS Walanae Hilir
No Kelerengan Lereng
(%) Luas (ha)
Luas (%)
1 Flat 0 - 8 40.989,54 26,42
2 Very Gentle 08 - 15 89.833,98 57,91
3 Mod Steep 15 - 25 18.451,29 11,89
4 Very Steep 25 - 40 5.855,32 3,77
5 Extremely Steep > 40 7,27 0.005
Total 15.5137,41 100,00
Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.
4.2.3 Ketinggian
Pembagian kelas ketinggian di Sub DAS Walanae Hilir dibagi
menjadi enam kelas. Sub DAS Walanae Hilir didominasi oleh daerah
dengan ketinggian di atas 0 – 12.5 mdpl terutama di daerah aliran
sungai (Sungai Walanae) Hal ini dikarenakan daerah hilir merupakan
daerah yang dekat atau langsung berbatasan dengan laut. Sedangkan
pada bagian hulu ketinggian daerahnya adalah > 100 mdpl.
Gambar 4. Peta Ketinggian Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae
33
Luasan daerah yang mempunyai ketinggian 0m – 12,5 mdpl
adalah 57.481,18 ha dengan persentase 26,16%. ketinggian >100
mdpl adalah 37.972,50 ha dengan persentase 69,74%. Untuk kelas
ketinggian 12,5m – 25 mdpl adalah 28.380,83 ha dengan persentase
69,74%. (Tabel 12).
Tabel 12. Ketinggian Lahan Sub DAS Walanae Hilir
No Ketinggian Luas (ha)
Luas (%)
1 0m – 12,5m 57.481,18 26,16
2 12,5m – 25m 28.380,83 69,74
3 25m – 50m 10.296,72 3,10
4 50m -75m 8.277,89 0,99
5 75m – 100m 12.728,29 26,16
6 >100m 37.972,50 69,74
Total 155.137,40 100,00
Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.
4.2.4 Faktor Tekstur Tanah
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat kehalusan tanah yang
terjadi karena terdapatnya perbedaan komposisi kandungan fraksi
pasir, debu dan liat yang terkandung pada tanah (Badan Pertanahan
Nasional).
Dari Peta Tekstur Tanah (Gambar 5) dapat dilihat bahwa kelas
yang paling luas untuk tekstur tanah adalah kelas Sedang. Sebagian
besar kelas tekstur tanah sedang ini terdapat pada bagian tepi dan
hulu Sub DAS Walanae Hilir. pada bagian tengah dan hilir Sub DAS
Walanae Hilir umumnya mempunyai kelas tekstur tanah sangat halus.
34
Gambar 5. Peta Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir
Tekstur tanah Sub DAS Walanae Hilir umumnya adalah tekstur
tanah Sedang, dimana kelas tekstur tanah Sedang ini mempunyai
luasan 108.189,60 ha dengan persentase 69.74% dari seluruh luas
Sub DAS Walanae Hilir. Kelas tekstur tanah yang paling kecil
luasannya adalah kelas kasar dengan luas 6.358,63 ha dengan
persentase 4.10% (Tabel 13). Karena sifat kelas tekstur tanah sangat
halus ini yang menahan air luapan sungai meresap ke dalam tanah,
memberikan pengaruh bahwa banyak daerah di Sub DAS Walanae
Hilir susah menyerap air sehingga timbul penggenangan air dan
memperbesar kemungkinan terjadi banjir.
35
Tabel 13. Tekstur Tanah Sub DAS Walanae Hilir
No. Kelas Luas luas
(%) (ha)
1 Sangat halus 40.589,17 26,16
2 Halus - -
3 Sedang 108.189,60 69.74
4 Kasar 6.358,63 4,10
5 Sangat kasar - -
155.137,40 100,00
Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.
4.2.5 Penggunaan Lahan
Dalam penentuan indeks penggunaan lahan ini ditentukan dari
peta tata guna lahan, citra landsat TM+7 Bulan Februari Tahun 2010
dan keterangan tata guna lahan pada peta topografi RBI. Dari data
tersebut kemudian di buatlah peta penggunaan lahan. Pengunaan
lahan di sekitar kawasan Sub DAS Walanae Hilir diklasifikasikan
menjadi delapan kelas Penggunaan lahan yaitu dapat dilihat pada
Gambar 6 dan Tabel 14.
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir
36
Penggunaan lahan di Sub DAS Walanae Hilir didominasi oleh
Kebun campuran dengan luas 92.585,77 ha dengan persentase yaitu
59,68% kemudian Sawah dengan luas 52.170,00 ha dengan
persentase yaitu 33,63%. Penggunaan lahan berupa hutan yang
berperan dalam pencegahan banjir mempunyai luas 4.296,00 ha dan
persentase 2.77 %.
Tabel 14. Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir
No Tutupan Lahan Luas (ha)
Luas (%)
1 Pemukiman 378,07 0,24
2 Kebun Campuran 92.585,77 59,68
3 Sawah 52.170,00 33,63
4 Hutan 4.296,00 2,77
5 Tubuh Air 3.006,00 1,94
6 Hutan Magrove 540,10 0,35
7 Tegalan 365,47 0,24
8 Tambak 1.796,00 1,16
Total 155137,41 100,00
Sumber: Data Sekunder, setelah diolah dan Hasil Analisa SIG, 2012.
4.3 Tingkat Kerawanan Banjir (TKB)
Tingkat kerawanan banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan
(yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat pada setiap unit
lahan yang diperoleh berdasarkan nilai kerawanan banjir. Di banyak daerah
yang tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk (Tekstur Tanah),
atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air.
Ketika hujan lebat turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba
yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air.
Daerah rawan banjir adalah daerah yang dari segi fisik dan
klimatologis memiliki kemungkinan terjadi banjir dalam jangka waktu tertentu
dan berpotensi terhadap rusaknya alam.
37
Gambar 7. Peta Kerawanan Banjir Sub DAS Walanae Hilir
Dari peta kerawanan banjir yang dibuat berdasarkan peta – peta factor
penentu banjir didapat bahwa Sub DAS Walanae Hilir terdiri dari tiga kelas
kerawanan banjir yaitu : kelas Kurang Rawan Banjir dengan luas 23.788,17
ha dengan persentase yaitu 15.33%, kelas Rawan Banjir dengan luas
85.602,92 ha dengan persentase yaitu 55.18%, kelas Sangat Rawan Banjir
dengan luas 45.746,32 ha dengan persentase yaitu 29.49%. (Gambar. 7)
Tabel 15. Nilai Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir
No Tingkat Kerawanan Banjir Luas
(ha)
Luas
(%)
1 Tidak Rawan Banjir - -
2 Kurang Rawan Banjir 23.788,17 15,33
3 Rawan Banjir 85.602,92 55,18
4 Sangat Rawan Banjir 45.746,32 29,49
Total 155.137,41 100,00
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012
38
Kecamatan yang memiliki luas kelas kerawanan sangat rawan yang
paling tinggi adalah kecamatan Cendrana dengan luas 8.443.33 ha dengan
persentase yaitu 5.44% diikuti Kec. Duabaccoe dengan luas 6.984.59 ha
dengan persentase yaitu 4.50%, dan Pammana dengan luas 6.566.46 ha
dengan persentase yaitu 4.23% dari jumlah total wilayah Sub DAS Walanae
Hilir. Daerah ini mempunyai daerah sangat rawan banjir yang luas
dipengaruhi oleh faktor yaitu : kelas lereng yang umumnya datar (0 - 8%),
Ketinggian 08 – 12,5 mdpl tekstur tanah dengan kriteria Sangat halus,,
Penggunaan Lahan yang didominasi sawah, kebun campuran, tubuh air,
tambak, merupakan daerah aliran sungai dan ketinggian lahan yang rendah
(Lampiran 21)
Pemetaan daerah kerawanan banjir ini bertujuan untuk
mengidentifikasi daerah mana saja yang rawan untuk terjadinya banjir,
sehingga daerah tersebut dapat dianalisis untuk melakukan pencegahan dan
penanganan banjir. Untuk melakukan pencegahan dan penanganan banjir,
faktor yang dapat dilakukan perbaikan/perubahan adalah Penggunaan lahan
yang merupakan faktor manusia. Dimana Penggunaan lahan berupa
pemukiman, sawah, dan tanah terbuka memberikan pengaruh yang besar
untuk terjadinya banjir. Sedangkan faktor – faktor yang lain merupakan faktor
alam yang umumnya sulit untuk dilakukan perbaikan/perubahan. Penanganan
banjir di sub das walanae hilir dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan
di daerah hulu agar air kiriman dari hulu tidak langsung masuk ke hilir yang
dapat menyebabkan terjadinya banjir.
39
Tabel 16. Rekapitulasi Tingkat Kerawanan Banjir Pada Sub Das Walanae Hilir
No Tingkat Kerawanan Banjir
Kabupaten
Total
Bone Wajo Soppeng
Luas % Luas % Luas % Luas %
1 Kurang rawan banjir 18.825,57 12,13 1.195,78 0,77 3.766,82 2,43 23.788,17 15,33
2 Rawan banjir 29.968,82 19,32 54.343,05 35,03 1.291,05 0,83 85.602,92 55,18
3 Sangat Rawan Banjir 21.268,92 13,71 24.477,39 15,78 0,00 0,00 45.746,31 29,49
TOTAL SUB DAS WALANAE HILIR 155.137,41 100,00
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa secara deskriptif dan uraian-uraian yang
dikemukakan pada bab-bab terdahalu, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Secara Umum Wilayah pada Sub DAS Walanae Hilir, sudah berada
pada tingkat kerawanan banjir yang sangat tinggi.
2. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap Kerawanan banjir pada Sub
DAS Walanae Hilir adalah faktor ketinggian lahan yang rendah.
3. Penanganan banjir di sub das walanae hilir dapat dilakukan dengan
melakukan perbaikan di daerah hulu agar air kiriman dari hulu tidak
langsung masuk ke hilir yang dapat menyebabkan terjadinya banjir.
5.2. Saran
Untuk mendapatkan hasil yang optimal pada penelitian lebih lanjut
sebaiknya mengunakan wilayah cakupan yang lebih kecil dan diverifikasi
dengan kejadian-kejadian banjir yang pernah terjadi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011a. (Daerah Aliran Sungai (Das) Walanae, Sulawesi Selatan) http://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/das-Walanae.pdf. Tanggal diakses 15 November 2011.
Anonim, 2012b.http://mbojo.wordpress.com/2007/08/15/segitiga-tekstur/ Tanggal
diakses 24 Mei 2012. Anonim, 2012c.http://www.arsingtadda.com/bab-ii-faktor-penentu-kepekaan-
tanah-terhadap-longsor-dan-erosi.html. Tanggal Akses 27 Juli 2012 Asdak, 2002.Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. Asriningrum dan Gunawan, 1998. Zonasi Tingkat Kerentanan Banjir
Menggunakan Sistem Informasi Geografi (Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta). (Skripsi). Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Barus B, 2005. Kamus SIG (Sistem Informasi Geografis) dengan 128 Diagram.
Bogor: Studio Teknologi Informasi Spasial. Barus, B dan U.S. Wiradisastra, 2000. Sistem Informasi Geografis: Sarana
Manajemen Sumberdaya. Bogor: Lab Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
BPDAS Jeneberang-Walanae, 2010. Laporan Karakteristik DAS Jeneberang-
Walanae 2010, BPDAS Jeneberang-Walanae. Makassar Darmawijaya, 1992. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Hardjoamidjojo, S. dan Sukartaatmadja, S. 1992. Teknik Pengawetan Tanah dan
Air. JICA IPB. Bogor. Hardjoamidjojo, Sarwono, 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika
Pressindo, Jakarta Hardjowigeno, S, 1992. Ilmu Tanah. Edisi Ketiga. PT. Mediyatama Sarana
Perkasa, Jakarta Loebis, J, 1992. “Banjir Rencana Untuk Bangunan Air”. Departemen Pekerjaan
Umum Linsley, R.K., M.A Kohler and J.J.H Paulhus, 1982. Hydrology for Engineers.
McGraw-Hill.Inc. New York. Lopulisa, Christianto, 2004. Tanah – Tanah Utama Dunia, Cetakan 1, LEPHAS,
Makassar
42
Notohadipranoto, dan R.M. Tejoyuwono, 1978. Asas-Asas Pedologi. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prasetyo, B.H, 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah
Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Balai Penelitian Tanah, Jurnal Litbang Pertanian Bogor
Primayuda A, 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Resiko Banjir Menggunakan
Sistem Informasi Geografis: studi kasus Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur (skripsi). Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purnama A, 2008. Pemetaan Kawasan Rawan Banjir Di Daerah Aliran Sungai
Cisadane Menggunakan Sistem Informasi Geografis. (skripsi). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Seyhan, 1995. Dasar-dasar hidrologi, Universitas Gajah Mada. Soemarto, C.D, 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya. Soil Survey Staff, 1998. (keys to soil taxonomy) Kunci Taksomi Tanah. Edisi
Kedua Bahasa Indonesia, 1999. Pusat Penelitian Tanah Dan Agroklimat, Badan Penelitihan Dan Pengembangan Pertanian,
Suherlan, 2001. Zonasi Tingkat Kerentangan Banjir Kabupaten Bandung
Mengunakan System Informasi Geografis. (skripsi). Bogor Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan air. Penerbit Andi:
Yogyakarta. Utomo W. Y. 2004. Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir di DAS Kaligarang
Semarang dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (skripsi). Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
43
DAFTAR LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Peta Lokasi DAS Walanae
45
Lampiran 2. Peta Lokasi Sub DAS Walanae Hilir
46
Lampiran 3. Peta Administrasi Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae
Lampiran 4. Peta Jenis Tanah Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae
47
Lampiran 5. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Walanae Hilir, DAS Walanae
Lampiran 6. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Bone
48
Lampiran 7. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo
Lampiran 8. Peta RBI Sub DAS Walanae Hilir Kab. Wajo
49
Lampiran 9. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Ajangale Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Ajangale
Lintang : 04º 14' 03,3" LS Bujur : 120º 11' 09,5" BT Tinggi : 13 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agu Sep Okt Nov Des CH
2001 X X X X X X X X X X X X 0
2002 X X X X X X X X X X X X 0
2003 X X X X X X X X X X X X 0
2004 15 X 134 280 184 - 94 - - - 195 20 922
2005 38 42 210 252 680 25 126 24 - 175 120 19 1711
2006 30 64 40 87 235 367 3 - - - 13 121 960
2007 55 97 58 210 X 73 14 14 X 41 X 59 621
2008 35 23 82 314 592 96 140 63 9 210 173 74 1811
2009 X X X 185 169 35 156 X X X X X 545
2010 81 78 X 111 228 X 245 X X X X X 743
Max Curah hujan tahunan 7313
Max Jumlah tahun data curah hujan 7
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan
1044.71429
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
50
Lampiran 10. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Amali Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Amali
Lintang : 04º 24' 14,5" LS Bujur : 120º 06' 36,5" BT Tinggi : 125 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 X X X X X X X X X X X X 0
2002 X X X X X X X X X X X X 0
2003 X X X X X X X X X X X 306 306
2004 X 7 89 356 390 - 101 - - - X X 943
2005 67 40 121 246 1527 301 70 7 - 89 117 29 2614
2006 65 65 12 76 124 108 35 - 4 - 11 295 795
2007 77 113 192 362 X 136 29 66 X 84 X 236 1295
2008 52 91 84 308 332 121 126 147 38 107 X 92 1498
2009 X X 123 283 190 X 112 36 32 89 58 160 1083
2010 115 64 152 229 285 480 385 250 382 370 368 31 3111
Max Curah hujan tahunan 11645
Max Jumlah tahun data curah hujan 8
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan
1455.63
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
51
Lampiran 11. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Duo Boccoe Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Duo Boccoe
Lintang : 04º 19' 18,8" LS Bujur : 120º 15' 02,0" BT Tinggi : 19 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 X X X X X X X X X X X X 0
2002 X X X X X X X X X X X X 0
2003 X X X X X X X X X X X X 0
2004 X X 89 343 133 - 21 - 22 - 168 77 853
2005 45 44 224 258 489 62 127 31 - 90 100 110 1580
2006 37 72 53 101 263 293 32 16 - - 10 254 1131
2007 56 85 48 172 85 20 9 X 29 - 30 534
2008 97 26 111 225 568 212 162 128 172 100 38 104 1943
2009 166 61 286 142 142 169 36 - 17 193 1212
2010 8 33 443 718 643 811 439 1373 630 551 5 5654
Max Curah hujan tahunan 12907
Max Jumlah tahun data curah hujan 7
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1843.86
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
52
Lampiran 12. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Tellusiattinge Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Bone Stasium : Tellusiattinge
Lintang : 04º 23' 04,0" LS Bujur : 120º 14' 18,9" BT Tinggi : 52 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 245 x 84 x x x x x 59 x x x 388
2002 112 69 68 x x x x x x x x x 249
2003 x x x x x x x x x x 145 392 537
2004 158 150 34 447 142 69 92 - - - x x 1092
2005 71 79 200 281 624 66 114 52 - 82 226 134 1929
2006 43 93 39 178 149 265 66 13 - - 6 110 962
2007 106 200 36 165 x 85 17 118 x 13 x 68 808
2008 x 32 168 316 423 55 302 144 24 145 28 48 1685
2009 178 81 18 163 113 387 94 6 4 83 111 138 1376
2010 123 115 296 150 x 135 425 282 x x x 118 1644
Max Curah hujan tahunan 10670
Max Jumlah tahun data curah hujan 10
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1067
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
53
Lampiran 13. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Tempe Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Tempe
Lintang : 04º 08' 15,6" LS Bujur : 120º 02' 18,1" BT Tinggi : 58 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 x x x x x x x x x x x x 0
2002 x x x x x x x x x x x x 0
2003 x x x x x x x x x x x x 0
2004 x x x x x x x x x x x x 0
2005 x x x x x x x x x 171 138 100 409
2006 82 x 73 198 202 244 13 9 - - 102 138 1061
2007 199 97 167 86 224 387 105 67 47 146 55 65 1645
2008 86 50 36 141 190 236 155 131 90 250 392 127 1884
2009 136 33 162 116 167 9 105 4 17 51 70 30 900
2010 72 155 32 118 389 411 393 332 677 322 285 26 3212
Max Curah hujan tahunan 9111
Max Jumlah tahun data curah hujan 6
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1518.5
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
54
Lampiran 14. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Paria/Majennang Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Paria/Majennang
Lintang : 04º 01' 49,4" LS Bujur : 120º 07' 34,1" BT Tinggi : 99 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 268 67 144 316 247 401 92 40 223 137 193 109 2237
2002 271 66 233 300 407 267 13 x - - 179 158 1894
2003 95 56 262 410 189 490 229 87 250 67 113 x 2248
2004 152 26 60 212 287 15 122 - 27 - 98 27 1026
2005 23 85 182 112 451 66 213 75 16 223 103 91 1640
2006 33 85 44 69 340 246 49 - - - 150 152 1168
2007 60 46 173 230 430 54Q 208 84 78 173 273 x 1755
2008 72 70 245 207 219 315 315 112 85 165 272 94 2171
2009 63 17 78 239 109 20 128 - 44 44 176 52 970
2010 51 104 123 252 421 518 546 266 366 178 267 31 3123
Max Curah hujan tahunan 18232
Max Jumlah tahun data curah hujan 10
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1823.2
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
55
Lampiran 15. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun Sanreseng Ade Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : Sanreseng Ade
Lintang : 04º 13' 50,4" LS Bujur : 120º 15' 53,4" BT Tinggi : 10 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 x x x x x x x x x x x x 0
2002 x x x x x x x x x x x x 0
2003 x x x x x x x x x x x x 0
2004 x x x x x x x x x x x x 0
2005 x x x x x x x x x x x x 0
2006 110 x 62 93 x 599 40 7 4 - 19 170 1104
2007 53 58 102 234 346 451 196 110 41 118 235 142 2086
2008 103 41 260 221 383 321 258 145 162 229 206 141 2470
2009 123 7 152 290 88 91 138 18 80 42 85 1114
2010 135 89 238 171 389 227 366 288 585 158 180 25 2851
Max Curah hujan tahunan 9625
Max Jumlah tahun data curah hujan 5
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1925
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
56
Lampiran 16. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun BPP. Manyili / Paneki Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : BPP. Manyili / Paneki
Lintang : 04º 10' 44,2" LS Bujur : 120º 17' 05,6" BT Tinggi : 16 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 99 22 152 494 130 310 4 - 55 55 92 99 1512
2002 81 39 250 215 541 319 47 2 - - 64 66 1624
2003 46 132 122 423 267 146 190 102 100 36 136 332 2032
2004 103 30 24 299 226 33 75 16 28 158 30 1022
2005 60 89 133 166 370 73 246 19 24 253 113 115 1661
2006 15 57 4 100 215 490 25 7 - - 72 30 1015
2007 3 77 138 289 335 220 122 123 60 41 111 86 1605
2008 47 5 150 164 348 191 142 101 62 90 109 104 1513
2009 85 74 70 73 41 135 11 57 49 68 663
2010 45 44 134 87 303 358 124 123 230 34 87 4 1573
Max Curah hujan tahunan 14220
Max Jumlah tahun data curah hujan 10
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1422
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
57
Lampiran 17. Data Curah Hujan Bulanan dan Persepuluh Tahunan Stasiun BPP Palaguna/Pammana Tahun 2001 s/d 2010 Nama Propinsi : Sul - Sel Kabupaten : Wajo Stasium : BPP Palaguna/Pammana
Lintang : 04º 10' 44,2" LS Bujur : 120º 17' 05,6" BT Tinggi : 16 M
Tahun Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agus Sep Okto Nov Des CH
2001 134 93 31 130 101 171 21 36 95 114 147 145 1218
2002 137 7 249 14 5 32 273 717
2003 108 131 149 293 201 143 201 56 37 63 146 382 1910
2004 124 59 64 203 338 25 56 25 10 68 972
2005 14 117 121 151 474 44 76 31 128 105 127 1388
2006 88 71 26 173 199 255 7 26 152 167 1164
2007 143 54 86 203 256 267 93 43 25 81 73 28 1352
2008 32 42 237 153 129 259 181 181 51 156 391 107 1919
2009 131 45 41 151 127 5 0 0 8 37 66 80 691
2010 84 190 98 60 335 340 264 264 577 232 189 43 2676
Max Curah hujan tahunan 14007
Max Jumlah tahun data curah hujan 10
Curah hujan rata-rata tahunan = Mas curah hujan tahunan / Jumlah tahun data curah hujan 1400.7
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Maros, 2011
58
Lampiran 18. Nilai Curah Hujan Rata – Rata Tahun 2001 s/d Tahun 2010
NO NAMA STASIUN X Y CH TAHUNAN
RATA2
1 AJANGALE 120.1859722222 -4.23425 1044.714286
2 AMALI 120.1101388889 -4.404027778 1455.625
3 DUA BOCCOE 120.2505555556 -4.321888889 1843.857143
4 TELLUSIATTINGE 120.2385833333 -4.384444444 1067
5 TEMPE 120.0383611111 -4.137666667 1518.5
6 PARIA/MAJENNANG 120.1261388889 -4.030388889 1823.2
7 SANRESENG ADA 120.2648333333 -4.230666667 1925
8 BPP. MANYILI /
PENEKA 120.2848888889 -4.178944444 1422
9 BPP. PALAGUNA /
PAMMANA 120.0380277778 -4.17075 1400.7
Sumber : DataPromer Setelah Diolah, 2011
59
Lampiran 19. Proses Analisis Citra Dengan Erdas
a. Analisis Layer Stack
b. Analisis Koreksi Radiometri
60
c. Analisis Koreksi Geometri
d. Analisis Pemotongan Citra
61
e. Analisis Klasifikasi Tidak Terbimbing (unsupervised classification)
62
Lampiran 20. Foto Dokumentasi Tempat Penelitihan Sungai Walanae Hilir
63
Lampiran 21. Tingkat Kerawanan Banjir (TKB) Sub DAS Walanae Hilir
KABUPATEN KECAMATAN TINGKAT
KERAWANAN BANJIR
LUAS PERSENTASE
(Ha) (%)
Bone
Kec. Ajangale Kurang Rawan Banjir 0.26 0.00
Kec. Amali Kurang Rawan Banjir 10981.78 7.08
Kec. Awangpone Kurang Rawan Banjir 155.81 0.10
Kec. Duabaccoe Kurang Rawan Banjir 1420.41 0.92
Kec. Tellusiattinge Kurang Rawan Banjir 4504.95 2.90
Kec. Ulaweng Kurang Rawan Banjir 1762.37 1.14
Jumlah 18825.57 12.13
Kec. Ajangale Rawan Banjir 8158.65 5.26
Kec. Amali Rawan Banjir 1491.38 0.96
Kec. Awangpone Rawan Banjir 1143.11 0.74
Kec. Cendrana Rawan Banjir 5283.54 3.41
Kec. Duabaccoe Rawan Banjir 7749.45 5.00
Kec. Tellusiattinge Rawan Banjir 6070.54 3.91
Kec. Ulaweng Rawan Banjir 72.15 0.05
Jumlah 29968.82 19.32
Kec. Ajangale Sangat Rawan Banjir 3014.48 1.94
Kec. Cendrana Sangat Rawan Banjir 8443.33 5.44
Kec. Duabaccoe Sangat Rawan Banjir 6984.59 4.50
Kec. Tellusiattinge Sangat Rawan Banjir 2826.52 1.82
Jumlah 21268.92 13.71
Soppeng
Kec. Lilirilau Kurang Rawan Banjir 3766.82 2.43
Rawan Banjir 1291.05 0.83
Jumlah 5057.87 3.26
Wajo
Kec. Pammana Kurang Rawan Banjir 1166.71 0.75
Kec. Sabbangparu Kurang Rawan Banjir 29.07 0.02
Jumlah 1195.78 0.77
Kec. Bola Solo Rawan Banjir 13969.34 9.00
Kec. Majauleng Rawan Banjir 4758.07 3.07
Kec. Maniangpajo Rawan Banjir 44.49 0.03
Kec. Pammana Rawan Banjir 6753.44 4.35
Kec. Penrang Rawan Banjir 6943.33 4.48
Kec. Sabbangparu Rawan Banjir 264.66 0.17
Kec. Sajoanging Rawan Banjir 25.76 0.02
Kec. Takkalala Rawan Banjir 13215.38 8.52
Kec. Tanasitolo Rawan Banjir 5977.14 3.85
Kec. Tempe Rawan Banjir 2391.45 1.54
64
KABUPATEN KECAMATAN TINGKAT
KERAWANAN BANJIR
LUAS PERSENTASE
(Ha) (%)
Jumlah 54343.05 35.03
Kec. Bola Solo Sangat Rawan Banjir 3798.46 2.45
Kec. Majauleng Sangat Rawan Banjir 5162.49 3.33
Kec. Pammana Sangat Rawan Banjir 6566.46 4.23
Kec. Penrang Sangat Rawan Banjir 2233.71 1.44
Kec. Sabbangparu Sangat Rawan Banjir 1.82 0.00
Kec. Takkalala Sangat Rawan Banjir 3686.49 2.38
Kec. Tanasitolo Sangat Rawan Banjir 1221.57 0.79
Kec. Tempe Sangat Rawan Banjir 1806.39 1.16
Jumlah 24477.39 15.78
TOTAL 155137.41 100.00
Sumber: Hasil Analisa SIG, 2012