i
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA
TAJUK DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Annisa Sabilla
21114024
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
ii
iii
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA
TAJUK DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Annisa Sabilla
21114024
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
iv
H. M. Yusuf Khummaini, M.H
Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Annisa Sabilla
NIM : 21114024
Judul : PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, September 2018
Pembimbing,
M. Yusuf Khummaini, M.H
NIP. 19810508 200312 1003
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYRI’AH Jl. Nakula Sadewa V No. 9Telp (0298) 3419400 Fax. 323423Salatiga5022
Website:www.iainsalatiga.ac.id Email:[email protected]
v
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Oleh:
Annisa Sabilla
NIM 21114024
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum
Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,
pada tanggal 19 September 20186dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
Ketua Penguji : Muh. Hafidz, M.Ag.
Sekretaris Penguji : H. M. Yusuf Khummaini, M.H.
Penguji I : Drs. Machfudz, M.Ag.
Penguji II : Yahya S.Ag., M.H.I.
Salatiga, 19 September 2018
Dekan Fakultas Syariah IAIN
Salatiga,
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag
NIP. 19670115 199803 2 002
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Annisa Sabilla
NIM : 21114024
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
DALAM BINGKAI HUKUM PERKAWINAN
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, September
2018
Yang menyatakan,
Annisa Sabilla
NIM: 21114024
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Rahasia keberhasilan adalah kerja keras dan belajar dari
pengalaman
PERSEMBAHAN
Untuk Kedua Orang Tua Tercintaku
viii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah
diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa‟at
beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana dalam Hukum Islam, Fakultas Syariah, Jurusan
Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga yang
berjudul: “Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam Bingkai
Hukum Perkawinan”.
Pada penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta
dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan
dengan baik. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma‟mun, S.H.I. M.Si., selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini, M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Bapak Ibu Dosen Syariah IAIN Salatiga.
ix
6. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.
7. Teman-teman Hukum Keluarga Islam angkatan tahun 2014.
8.
Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain
hanya memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang
akan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal
„aalamiin. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
kekurangannya, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat
bermanfaat, khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.
Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Salatiga, September
2018
Penulis
x
ABSTRAK
Sabilla, Annisa. 2018. Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam
Bingkai Hukum Perkawinan. Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam.
Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: H. M. Yusuf Khummaini, M.H
Kata Kunci: Waktu, Pernikahan dan Hukum Perkawinan.
Pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia
bagi yang mampu untuk berkeluarga. Setiap orang yang ingin melangsungkan
pernikahan sudah pasti menginginkan kelancaran dalam prosesi akad nikah serta
kelancaran dalam kehidupan rumah tangganya kelak. Dalam hal ini penulis
mengambil sampel di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Bagi
sebagian masyarakat Desa Tajuk penggunaan perhitungan weton dalam
pernikahan menjadi salah satu hal yang wajib. Pertanyaan utama yang ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana praktik penentuan waktu
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?; Apakah
faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan dan perhitungan waktu
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang? Bagaimana
praktik perhitungan waktu pernikahan dalam perspektif hukum perkawinan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan
penelitian doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data sekunder.
Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-norma hukum positif
yang diketahui dan berakhir pada penemuan asas-asas hukum yang menjadi
pangkal tolak pencarian asas adalah norma-norma hukum positif. Atau
singkatnya, metode pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang meneliti
data sekunder di bidang hukum yang ada sebagai data kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, praktik pernikahan di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang adalah dengan menggunakan
perhitungan weton dalam menentukan apakah kedua calon mempelai pengantin
berjodoh atau tidak. Jika berdasarkan hasil perhitungan weton ternyata berjodoh,
maka langkah selanjutnya adalah menentukan hari, tanggal, bulan dan jam
dilaksanakannya akad juga dengan menggunakan perhitungan weton. Faktor-
faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan dan perhitungan waktu
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang adalah alasan
tidak melangggar ajaran agama, alasan panggilan adat, alasan kewajiban dan
pertimbangan neptu, alasan keselamatan, alasan peristiwa yang pernah terjadi dan
alasan pelestarian ke generasi. Adat yang selama ini terbentuk ternyata dapat
sesuai dan terserap dalam hukum perkawinan di Indonesia, seperti dalam Undang-
Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, ini
menunjukkan bahwa adat istiadat yang ada di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang sudah selaras dengan apa yang menjadi hukum perkawinan
di Indonesia.
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................ i
LEMBAR BERLOGO ................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. iv
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 4
D. Kegunaan Penelitian.............................................................. 4
E. Penegasan Istilah ................................................................... 5
F. Telaah Pustaka ...................................................................... 6
G. Metode Penelitian.................................................................. 10
H. Sistematika Penulisan............................................................ 14
BAB II TRADISI DALAM PERKAWINAN
A. Perkawinan ........................................................................... 16
a. Pengertian Perkawinan .................................................... 16
b. Dasar Hukum Perkawinan............................................... 17
c. Hukum Perkawinan ......................................................... 17
d. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ................................. 18
e. Tujun Perkawinan ........................................................... 22
f. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia ............ 24
xii
B. „Urf ........................................................................................ 34
a. Pengertian „Urf .................................................................. 34
b. Landasan Hukum „Urf....................................................... 36
c. Kaidah-Kaidah „Urf ........................................................... 39
d. Macam-Macam „Urf.......................................................... 39
e. Syarat-Syarat „Urf ............................................................. 41
C. Tathayyur Dalam Islam......................................................... 42
BAB III TRADISI PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................... 49
a. Letak Geografis ............................................................... 49
b. Demografi ....................................................................... 51
B. Praktik Penentuan dan Perhitungan Waktu Pernikahan di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ................. 54
C. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Praktik Penentuan dan
Perhitungan Waktu Dalam Pernikahan yang Dilakukan di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ................. 65
BAB IV TRADISI PERNIKAHAN DALAM HUKUM PERKAWINAN
A. Analisis Pandangan Hukum Perkawinan Terhadap Praktik
Pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang ............................................................................... 68
B. Analisis Landasan Hukum Islam Terhadap Praktik Pernikahan di
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ........ 75
C. Analisis Motif Yang Mendasari Masyarakat Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Dalam Menjalankan
Praktik Perhitungan Weton Untuk Menentukan Waktu
Pernikahan ............................................................................. 79
xiii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 83
B. Saran ...................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa
pulau dan tersebar di seluruh nusantara dengan berbagai suku.
Keanekaragaman kebudayaan serta suku bangsa menjadi ciri khas yang
menonjol bagi Indonesia sendiri. Masing-masing suku bangsa itu mempunyai
cara hidup yang berbeda-beda, sehingga tiap-tiap suku bangsa mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2002:180). Menurut Sir Edward
Burnett Tylor, kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral adat dan berbagai
kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat (Pujileksono, 2015:24).
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, perkawinan merupakan hal yang
dianggap sakral, karena perkawinan bukan hanya kepentingan dua orang
anggota pasangan saja tetapi melibatkan dua keluarga asal dan masyarakat.
Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
2
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007:13).
Pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh
manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Banyak sekali hikmah yang
dapat diambil dari sebuah pernikahan. Selain sunnatullah yang telah
digariskan ketentuannya, pernikahan juga dapat membuat kehidupan
seseorang menjadi lebih terang, tenang, tenteram, dan bahagia. Perkawinan
adalah sebagai perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda,
memberikan kasih sayang, perhatian dan kepedulian antara lelaki dan
perempuan (BP4, 2009: 1).
Orientasi yang dibangun Islam melalui pernikahan adalah lebih mulia
dari sekedar membangun kesuksesan rumah tangga, dalam arti lancarnya
urusan-urusan rumah tangga. Islam memandang perkawinan sebagai
kehormatan guna menjaga keutuhan nilai-nilai beragama dalam tatanan
rumah tangga sehingga tercapai keberkahan di dunia dan akhirat (Ulfatmi,
2011: 197).
Setiap orang yang ingin melangsungkan perkawinan sudah pasti
menginginkan kelancaran dalam prosesi akad nikah serta kelancaran dalam
kehidupan rumah tangganya kelak. Untuk itu, tak heran banyak orang yang
3
memikirkan masak-masak mengenai tanggal baik saat di berlangsungkannya
akad nikah.
Bagi seorang muslim, ada baiknya juga untuk mengetahui hari baik
melangsungkan pernikahan sesuai dengan pandangan Islam. Meskipun tidak
dipungkiri banyak di kalangan masyarakat yang menggunakan perhitungan
hari baik menurut adat istiadatnya masing-masing. Hal tersebut sah-sah saja
mengingat pandangan Islam mengenai hari baik di dalam melaksanakan
prosesi akad nikah, seringkali memiliki keselarasan dengan pandangan hari
baik yang di tentukan adat.
Dalam hal ini penulis mengambil sampel di Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang. Praktik perhitungan weton dalam penentuan
waktu pernikahan masih dilakukan oleh sebagian masyarakat. Dengan
mengotak-atik hitungan pada tanggal lahir seseorang yang hendak
melangsungkan pernikahan maka akan ditemukan hasilnya. Apakah anaknya
apabila menikah pada hari, tanggal, bulan, dan jam tertentu akan bernasib
beruntung atau bernasib kurang baik.
Bagi sebagian masyarakat Desa Tajuk penggunaan perhitungan weton
dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang wajib. Oleh karena itu
mengetahui neptu weton kedua calon mempelai pengantin sangatlah penting.
Kekentalan tradisi masyarakat Desa Tajuk tersebut begitu kuat, menjadikan
proses Islamisasi tersebut menampilkan corak dan ragam dari sistem
keyakinan dan berbagai ekspresi keagamaan yang unik.
4
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berusaha menengahkan
permasalahan dengan mengkaji lebih lanjut, yang penulis tuangkan ke dalam
penelitian dengan judul “Penentuan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Dalam
Bingkai Hukum Perkawinan”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana praktik penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
2. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan waktu
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
3. Bagaimana praktik perhitungan waktu pernikahan dalam perspektif
hukum perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik penentuan waktu pernikahan di
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan
waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang.
3. Untuk mengetahui bagaimana praktik perhitungan waktu pernikahan
dalam perspektif hukum perkawinan.
D. Manfaat penelitian
1. Secara Teoritis
5
a. Dapat menambah pengetahuan tentang keunikan tradisi penentuan
waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang.
b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum, serta
berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang
hukum pernikahan, baik pada masa kini maupun masa yang akan
datang.
2. Secara Praktis
Penelitian ini bermafaat untuk mendapatkan gelar sarjana bagi penulis.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan di atas, perlu disajikan penegasan untuk
memberi pemahaman dan batasan istilah yang ada supaya tidak ada kesalahan
pemaknaan terhadap konsep kunci dalam penelitian ini.
1. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
2. Bingkai. Yang dimaksud bingkai dalam penelitian ini adalah kaca mata
sudut pandang.
3. Hukum Perkawinan adalah sebuah peraturan hukum yang mengatur
tentang pelaksanaan pernikahan yang berlaku di Indonesia, yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Hukum perkawinan ini berupa ikatan hidup
6
antara perempuan dan laki-laki demi mewujudkan sebuah keluarga yang
teratur yang telah dikukuhkan pada hukum formal.
F. Tinjauan Pustaka
Mengenai tema pembahasan dalam penelitian in terdapat beberapa
penelitian terdahulu yang sama. Adapun tujuan penelusuran terhadap
penelitian terdahulu ialah untuk melihat persamaan dan perbedaan sebagai
bahan perbandingan dan landasan dalam penelitian ini. Adapun penelitian
terdahulu ialah:
1. Skripsi dengan judul “Tradisi Perhitungan Weton Sebagai Syarat
Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Pesahangan
Kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap)” karya Kukuh Imam Santosa
Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Purwokerto
Tahun 2016. Pada skripsi ini terdapat dua rumusan masalah sebagai
berikut:
1) Bagaimana tradisi masyarakat Desa Pesahangan dalam
menentukan calon pasangan perkawinan dengan menggunakan
hitungan weton?
2) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap tradisi masayrakat
Desa Pesahangan dalam menentukan calon pasangan dengan
menggunakan hitungan weton?
7
Adapun hasil penelitian dalam rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Salah satu cara yang digunakan masyarkat desa pesahangan dalam
memmilih pasangan dengan menggabungkan kedua jumlah neptu
antara calon pengantin laki – laki dan wanita lalu di hitung jika
sudah sampai lima maka kembali lagi dari satu, demikan
seterusnya hingga habis samapai jumlah penggabungan bilangan
neptu kedua calon pengantin. Dengan patokan:
a. Sri berarti menunjukan baik yaitu dalam perjodohan selalu
mendapatkan rezki banyak dan selamat rumah tangganya.
b. Lungguh berarti salah satu dari suami atau istri akan
mendapatkan jabatan yang terhormat dan mulia.
c. Dunia berati rumah tangganya bahagia, kekayaan (rizki) yang
melimpah ruah.
d. Lara berarti gangguan sangat berat yang berakibat menderita
suami istri.
e. Pati berarti sangat menderita dalam rumah tangga dan sering
terdapat kematian dalam angota keluarganya.
Jika perhitungan habis di antara lara dan pati maka perjodohan
atau pernikahan kedua calon pengantin tersebut harus dibatalkan.
Namun hal itu hanya dilakukan dari pihak laki – laki saja dan dari
pihak wanita mengikuti.
8
Bagi sebagian masyarakat desa Pesahangan penggunaan
perhitungan weton dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang
wajib. Oleh karena itu mengetahui neptu weton kedua calon
pengantin sangatlah penting. Kekentalan tradisi masyarakat
Pesahangan tersebut begitu kuat, menjadikan proses Islamisasi
tersebut menampilkan corak dan ragam dari sistem keyakinan dan
berbagai ekspresi keagamaan yang unik.
2) Penetapan hukum weton dengan menggunakan „urf sebenarnya
mengembalikan hukum sesuatu pada hukum asalnya. Hal ini
sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi: “Pada dasarnya
hukum segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang
mengharamkannya”. Namun karena penggunaan weton pada
kasus perkawinan tidak murni urusan mu‟amalah, melainkan
terselip urusan keyakinan, maka tidak tepat jika menggunakan
kaidah di atas. Alternatif lain adalah kaidah yang dirumuskan oleh
kalangan hanafiyyah: “Pada dasarnya hukum segala sesuatu
adalah haram, hingga ada dalil yang membolehkannya”.
2. Skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat Jawa Mengenai Penentuan
Hari Perkawinan di Desa Margosari Kecamatan Pagelaran Utara
Kabupaten Pringsewu” karya Yuliana Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pengetahuan Universitas Lampung 2017. Pada skripsi ini terdapat satu
rumusan masalah, yaitu bagaimanakah persepsi masyarakat Jawa
9
mengenai penentuan hari perkawinan di Desa Margosari Kecamatan
Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah tersebut adalah Penentuan
Hari Perkawinan adalah tata cara yang digunakan masyarakat Jawa untuk
menentukan hari perkawinan, bagi masyarakat yang percaya perhitungan
ini sangat penting untuk dilakukan apabila seseorang akan
melangsungkan perkawinan. Dalam penentuan hari perkawinan ini
dilakukan dengan menghitung hari kelahiran kedua calon mempelai untuk
mengetahui kecocokan dari kedua calon mempelai sebelum hari
perkawinan ditetapkan. Perhitungan ini dilakukan oleh keluarga mempelai
perempuan bersama dengan tokoh adat atau seseorang yang dianggap
paham dengan penentuan hari perkawinan tersebut. Perhitungan ini sangat
penting untuk dilakukan karena dimaksudkan sebagai usaha yang
dilakukan oleh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa agar rumah
tangganya dapat berjalan dengan baik. Hal ini karena dalam perhitungan
tersebut memiliki tujuan yang menjadi sebuah doa dan harapan dengan
mencari hari yang baik untuk melangsungkan perkawinan dengan
memilih hari yang tepat sehingga perkawinan tersebut awet, bahagia,
tentram, damai, selamat, mudah rezekinya dan selalu diberikan kesehatan
untuk seluruh keluarganya. Tidak ada syarat khusus untuk melakukan
perhitungan tersebut yang jelas keluarga melibatkan keluarga besar dan
dilakukan oleh orang yang paham mengenai perhitungan tersebut.
10
Dari beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, terdapat
perbedaan dengan skripsi yang akan penulis kerjakan. Adapun perbedaan
tersebut terletak pada rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah praktik pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang?
2. Bagaimanakah landasan pernikahan yang dilakukan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
3. Bagaimanakah pandangan hukum perkawinan terhadap praktik
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi
yang diperoleh langsung dari responden dan mengamati secara langsung
tugas-tugas responden (Kriyantono, 2008:106).
Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan penelitian
doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data sekunder.
Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-norma hukum
positif yang diketahui dan berakhir pada penemuan asas-asas hukum yang
menjadi pangkal tolak pencarian asas adalah norma-norma hukum positif
(Ali, 2010:25). Atau singkatnya, metode pendekatan yuridis normatif
11
adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di bidang hukum yang ada
sebagai data kepustakaan.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat
perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini
hanya sebagai pendukung. Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan
mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari
informasi tentang penentuan waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang yang akan dijadikan bahan analisis serta
untuk melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat dan sesepuh desa
guna menggali keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui
statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terfokus di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena di
Desa Tajuk masih menjalankan tradisi penentuan waktu pernikahan.
4. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek peneliti
dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung dari subyek sebagai sumber informasi yang dicari. (Azwar,
2007 : 91). Dalam hal ini keterangan diperoleh dari tokoh adat yaitu
Mbah Wage.
12
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitian. (Azwar, 2007:
91). Dalam memperoleh data sekunder biasanya berwujud data
dokumentasi atau laporan yang tersedia. Peneliti menggunakan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang (UU) No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai sumber resmi serta buku-
buku yang membahas mengenai pernikahan.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah kegiatan mengamati dan mencermati serta
melakukan pencatatan data atau informasi yang sesuai dengan konteks
penelitian (Hikmat, 2011: 73).
b. Wawancara
Adalah Teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab
lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak
yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancarai
(Fathoni, 2011:105). Dalam metode ini peneliti menggunakan metode
wawancara terbuka, artinya pertanyaan-pertanyaan yang peneliti
kemukakan dapat di tambah atau dikurangi menyesuaikan situasi dan
kondisi saat pelaksanaan tanpa mengganggu kelancaran jalannya
wawancara dan akan membawa hasil yang akurat. Metode ini
13
digunakan untuk memperoleh informasi tentang praktik pernikahan di
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis
dengan mengggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan
hasil penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum
tentang pernikahan, kemudian mengemukakan kenyataan yang bersifat
khusus dari hasil penelitian terhadap tradisi penentuan waktu pernikahan
di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Hasil penelitian
kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian. Maka fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan
pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan
menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dengan tujuan untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Menurut
Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik
dan teori (Moleong, 2009:330).
Teknik triangulasi yang digunakan penulis yaitu pemeriksaan
melalui sumber. Triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan
14
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif
(Moleong, 2009:330).
Untuk mendapatkan data yang akurat serta seperti yang diinginkan
penulis maka penulis akan membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, membandingkan keadaan dan persepektif
masyarakat sekitar, tokoh masyarakat dan sesepuh desa.
8. Tahap-Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap yang peneliti lakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik penelitian,
mencari informasi tentang tradisi penentuan waktu pernikahan di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
b. Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan
untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada
informan dan melakukan observasi.
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut
dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada
objek yang akan diteliti.
15
d. Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul dan
dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka yang
dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian tersebut
sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan.
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam proposal ini mendapat gambaran yang jelas, maka
sistematika penulisan ini akan dipaparkan dalam 5 bab.
Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Adapun bab dua berupa landasan teori yang membahas mengenai
perkawinan yang meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan,
hukum perkawinan, tujuan perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, tata
cara perkawinan di Indonesia. Selain itu, pada bab ini juga membahas urf dan
Tathayyur dalam Islam.
Bab tiga berisi uraian data dan temuan yang diperoleh dari penelitian
yang disajikan dalam tiga sub bab, yaitu: gambaran umum Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, praktik penentuan dan perhitungan
waktu pernikahan serta faktor-faktor yang mendorong masyarakat Desa Tajuk
dalam melestarikan tradisi tersebut.
Pada bab keempat memuat mengenai analisis terhadap hasil penelitian
pada bab 3.
16
Dan yang terakhir ialah bab lima yang memuat kesimpulan serta
saran-saran yang diajukan.
17
BAB II
TRADISI DALAM PERKAWINAN
A. Gambaran Umum Perkawinan
1. Definisi Perkawinan
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( النكاح ), ada pula
yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan
nikah dan perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah
perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan
perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan
hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja (Sudarsono, 1997: 62).
Perkawinan adalah:
لى ع ل م ت ش م ال ر و ه ش م ال د ق ع ال ن ع ة ار ب ع ط و ر الش و ان ك ر ال
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum
atas rukun-rukun dan syarat-syarat (al-Syafi‟i, tt: 36).
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi‟i, Hanafi,
Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan
perkawinan pada:
ااه ن ع م و أ ج ي و ز ت و أ اح ك ن ا ظ ف ل ب ء ط و ك ل م ن م ض ت ي ذ ق ع
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk
berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali
dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa
dengan kedua kata tersebut (al-Jaziri, 1986)
18
2. Dasar Hukum Perkawinan
a. QS Ar-Ruum ayat 21:
ج و ا ل ي ه ا لت س ك ن و ا ا ز و اجا ك م ا ن ف س من ل ك م خ ل ق ا ن ايت و م ن مو دةو ب ي ن ك م ع ل
لايتلق و مي ت ف كر و ن و ر ح ة،ا نف ذل ك
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum : 21)
b. Hadits Nabi Muhammad SAW:
ص الله ر س و ل ق ال البيهقى، فىرواية س لم و و الله ع ل ي و ف ق د لى ا لع ب د ت ز وج ا ذ ا :
ا لب اق ى النص ف فى الله ي ن ،ف ل ي تق الد م ل ن ص ف ت ك اس
Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW
bersabda, “Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia
telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah
dia bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya.
3. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan menurut pandangan Islam yaitu sebagai
berikut:
a. Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga
bisa menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya)
sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia
mampu membayar mahar dan mampu nafkah kepada calon
isterinya.
19
b. Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
c. Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk
berkawin dan ini merupakan hukum asal perkawinan.
d. Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah
batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada
isteri.
e. Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi
nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak
punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia
menikah (Aminnudin, 2008).
4. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat
yang harus di penuhi. Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi
untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan
(peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan (Ghozali,
2010: 45-46).
Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau
tidaknya sesuatu itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syar‟i dan ia berada diluar hukum itu sendiri
yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun tidak ada. Dalam syari‟ah
rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu
20
transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa
rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum,
tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan
sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada
diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang
memenuhi rukun dan syarat (Dewi, 2005:49-50).
a. Rukun Nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan;
2) Adanya wali dari pihak wanita;
3) Adanya dua orang saksi;
4) Sighat akad nikah (Ghozali, 2010: 46).
Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat:
a) Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam:
(1) Wali dari pihak perempuan;
(2) Mahar (mas kawin);
(3) Calon pengantin laki-laki;
(4) Calon pengantin perempuan;
(5) Sighat aqad nikah (Ghozali, 2010: 48).
b) Imam Syafi‟i mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam:
(1) Calon pengantin laki-laki;
(2) Calon pengantin perempuan;
(3) Wali;
(4) Dua orang saksi;
(5) Sighat akad nikah (Ghozali, 2010: 48).
c) Menurut ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d) Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat:
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada
empat karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan di gabung satu rukun:
21
(1) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan;
(2) Adanya wali;
(3) Adanya dua orang saksi;
(4) Dilakukan dengan sighat tertentu (Ghozali, 2010:48).
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah
dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua:
1) Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjadiknnya istri (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8);
2) Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi (Ghozali, 2010:49).
c. Syarat-Syarat Rukun Nikah
1) Syarat-syarat kedua mempelai
a) Calon mempelai laki-laki
Syari‟at Islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama
yaitu:
(1) Calon suami beragama Islam;
(2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki;
(3) Orangnya diketahui dan tertentu;
(4) Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri;
(5) Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istri halal baginya;
(6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu (UU
RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1);
(7) Tidak sedang melakukan ihram;
(8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istri;
(9) Tidak sedang mempunyai istri empat. (UU RI No. 1
Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1) (Ghozali, 2010: 50).
b) Syarat bagi mempelai perempuan yaitu:
(1) Beragama Islam.
22
(2) Terang bahwa ia wanita
(3) Wanita itu tentu orangnya
(4) Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal
8)
(5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak
masih dalam iddah
(6) Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6
Ayat 1)
(7) Tidak dalam ihram haji atau umrah (Ghozali, 2010: 55).
2) Syarat-syarat ijab kabul
Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan
yang diawali oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai
pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri
dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Kabul adalah
pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab
calon pengantin perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan
berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang
memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas
ijab perempuan (Dewi, 2005:63).
Perkawinan wajib ijab dan kabul dilakukan dengan lisan,
inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa
difahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan
atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki
atau wakilnya. Menurut pendapat Hanafi boleh juga dilakukan
oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh
23
pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu
telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah
atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab
kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah.
Demikian menurut Asy-Syafi‟i dan Hambali. Sedangkan Hanafi
membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur‟an
misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan
sebagainya, bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan
(Ghozali, 2010:56).
3) Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal,
dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah (Sudarsiono, 1992:
602).
4) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan
mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah (Sudarsono,
1992: 604).
5. Tujuan Perkawinan
Menurut (Khoiruddin Nasution, 2005 : 37-38) setidaknya
terdapat 5 tujuan pernikahan, yaitu sebagai berikut:
a. Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
24
Tujuan ini dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan-
tujuan lain dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan-tujuan
lain adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini.
Dengan tercapainya tujuan reproduksi, tujuan memenuhi
kebutuhan biologis, tujuan menjaga diri, dan ibadah, dengan
sendirinya insya Allah tercapai pula ketenangan, cinta dan kasih
sayang. Inilah yang dimaksud dengan tujuan lain sebagai
pelengkap untuk mencapai tujuan pokok atau utama.
b. Reproduksi/regenerasi
Tujuan yang kedua ini untuk mengembangbiakan ummat
manusia (reproduksi) di muka bumi dapat dilihat dalam beberapa
ayat dan hadis di bawah ini:
1) Al-Syura (42): 11 “Manusia dan binatang diciptakan secara
berpasangan dari jenisnya sendiri agar berkembang biak”.
2) Al-Nisa‟ (4): 1. “Allah menciptakan kamu dari seorang diri,
kemudian daripadanya menciptakan isterinya dan dari
keduanya mengemabangbiakan manusia laki-laki dan
perempuan”.
3) Hadis Nabi yang memerintahkan untuk menikah dengan
pasangan yang penuh kasih dan subur (produktif).
c. Pemenuhan kebutuhan biologis
Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dlihat
dalam beberapa ayat:
25
1) Surat al-Baqarah (2): 187: “Dihalalkan pada malam hari puasa
bercampur dengan isteri-isterimu, mereka pakaian bagimu dan
kamu pakaian bagi mereka”.
2) Surat al-Baqarah (2): 223:” Isteri-isterimu seperti tanah tempat
kamu becocok tanam, datangilah tempat bercocok tanam itu
bagaimana saja kamu mau”
d. Menjaga kehormatan
Tujuan keempat dari perkawinan ialah untuk menjaga
kehormatan. Dimaksud dengan kehormatan ialah kehormtan diri
sendiri, anak dan keluarga.
e. Ibadah
Tujuan perkawinan yang kelima ialah untuk mengabdi dan
beribadah kepada Allah.
6. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan di Indonesia
a. Proses Peminangan
Peminangan merupakan langkah awal menuju gerbang
pernikahan. Diadakannya peminangan (khitbah) merupakan tanda
akan segera dilaksanakannya sebuah perkawinan. Dalam kompilasi
Hukum Islam Bab I Pasal I huruf a. memberi pengertian bahwa
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita. Peminangan
dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
26
pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Dalam pasal 12 KHI menjelaskan, pada prinsipnya,
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih
perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.
Selain itu ada beberapa ketentuan dalam peminangan. Diantaranya:
1) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa
iddah raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang;
2) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang
pria lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita;
3) Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.
4) Dalam peminangan, laki-laki yang meminang dapat melihat
wanita yang dipinangnya. Melihat wanita yang dipinang
hukumnya sunnah, karena dengan melihat akan dapat diketahui
identitas maupun pribadi wanita yang akan dinikahi. Namun
pada prinsipnya, peminangan belum berakibat hokum, maka
diantara mereka yang telah bertunangan tetap dilarang untuk
berkhalwat (berdua-duaan dalam tempat sepi).
27
b. Proses Pemberitahuan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau
Kantor Catatan Sipil (KCS)
Proses pemberitahuan ke Kantor Urusan Agama (KUA)
atau Kantor Catatan Sipil (KCS) dilakukan 10 (sepuluh) hari
sebelum pelaksanaan perkawinan. Apabila peminangan telah
diterima oleh pihak wanita dan dipastikan akan segera
dilangsungkan pernikahan, maka hal selanjutnya yang harus
dilakukan adalah melakukan pemberitahuan ke kantor KUA
minimal 10 hari sebelum perkawinan itu dilaksanakan (Bab II Pasal
3 ayat (1) KHI). Pemberitahuan dapat dilakukan baik secara lisan
maupun tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau
wakilnya (Bab II Pasal 4 KHI). Bagi orang yang beragama Islam
mendatangi Kantor Urusan Agama dan bagi orang non-Islam
mendatangi Kantor Catatan Sipil.
Hal-hal yang perlu dicatat dalam pemberitahuan tersebut
meliputi: nama, umur, agama, pekerjaan, dan tempat kediaman
calon mempelai. Apabila salah seorang atau kedua calon mempelai
pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
Sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai, Pegawai
Pencatat menanyakan kepada kedua calon mempelai, sebagaimana
diatur dalam pasal 17 KHI:
28
1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di
hadapan dua saksi nikah;
2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan;
3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna
rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat
yang dapat dimengerti.
Disamping hal tersebut usia mempelai perlu di perhatikan
ketika akan melangsungkan akad perkawinan. pasal 7 UU No. 1
Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur Sembilan belas
tahun dan pihak wanita mencapai umur enam belas tahun.”
Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam KHI pasal 15
ayat (1) didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga perkawinan. ini sejalan dengan prinsip yang
diletakkan oleh Undang- Undang Perkawinan bahwa calon suami
istri harus telah masak jiwa raganya agar dapat mewujudkan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
menddapat keturunan yang baik dan sehat.oleh sebab itu harus
dicegah adanya perkawinan antar suami istri yang masih dibawah
umur.
29
c. Pengumuman kepada Publik oleh Pegawai Pencatat Nikah dan
Pengecekan Berkas-Berkas
Setelah selesai pemberitahuan itu, calon mempelai
menunggu pengumuman yang dikeluarkan oleh PegawaI Pencatat
Nikah yang memuat hari, tanggal, jam, dan tempat dilangsungkan
perkawinan. Pengumuman tersebut biasanya ditempelkan pada
Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8 PP No. 9 tahun
1975). Maksud pengumuman tersebut untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-
keberatan bagi dilangsungkannya perkawinan apabila yang
demikian itu diketahuinya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
d. Pelaksanaan Akad Nikah
Menurut ketentuan PP No.9 tahun 1975 pasal 10,
“perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.”
Tata cara pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut ketentuan
agama dan kepercayaannya, dan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa syarat-syarat
ijab qobul dalam akad nikah adalah:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
30
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;
3) Menggunakan kata-kata : nikah atau tazwij atau terjemah dari
kata-kata nikah atau tazwij;
4) Antara ijab dan qobul bersambungan;
5) Antara ijab dan qobul jelas maksudnya;
6) Tidak dalam ihram haji atau umrah;
7) Majlis ijab qobul tersebut harus dihadiri minimal oleh 4
(empat) orang yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali
dari mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi
Dalam KHI Pasal 27: “Ijab qobul antara wali dan calon
mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu”.
Dan dalam pasal 28 pun disebutkan “Akad nikah dilaksanakan
sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan, wali
nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.” Apabila diwakilkan,
sebelum ijab harus ada akad wakalah, yaitu penyerahan hak untuk
menikahkan calon mempelai wanita, dari wali kepada wakil yang
ditunjuk.
Dalam pelaksanaan akad nikah disunahkan adanya khutbah
Nikah yang bermanfaat untuk menambah kekhidmatan suatu akad
yang dinamakan mitsaqan ghalidhan. Juga memberi informasi
tentang hikmah perkawinan.
Dalam pasal 29 ayat (1) disebutkan jika sudah diucapkan
kalimat ijab atau penyerahan, maka mempelai laki- laki
31
mengucapkan qabul(penerimaan) dan ijab tersebut dilakukan secara
pribadi. Jika karena suatu hal, calon mempelai pria tidak bisa hadir
secara pribadi, maka ucapan qobul dapat diwakilkan kepada pria
lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang
tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu
adalah untuk mempelai pria. Namun apabila calon mempelai
wanita keberatan atas wakil tersebut, maka akad nikah tidak dapat
dilangsungkan (KHI Pasal 29 ayat (3)).
Setelah akad nikah disahkan oleh para saksi, prosesi akad
nikah ditutup dengan doa agar kedua mempelai diberi berkah dan
mendapat ridho dari Allah swt dalam mengarungi bahtera rumah
tangga. Langkah selanjutnya adalah kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh
Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan
dengan kedua saksi dan wali. Berdasarkan pasal 11 dengan bukti
penandatanganan yang sudah dilaksanakan maka perkawinan
tersebut telah tercatat secara resmi, sedangkan dalam pasal 6 ayat
(2) perkawinan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum.
e. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu
upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi
martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi sebagai
32
perlindungan bagi wanita dalam kehidupan berumah tangga. Dalam
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) dinyatakan
bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sedangkan dalam KHI Pasal 5 ayat (1)
menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dalam pasal 6
ayat (1) disebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan dalam pasal
5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dan dalam ayat lanjutannya
yakni pasal 6 ayat (2) juga disebutkan bahwa perkawinan yang
dilakukan di luar Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Secara terperinci, PP No. 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2
menjelaskan tentang pencatatan perkawinan sebagai berikut:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Catatan Sipil sebagaimana yang dimaksud dalam
33
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Setelah perkawinan tersebut sudah dicatat dan dinyatakan
sah secara agama dan hukum, maka kedua mempelai mendapatkan
akta nikah. Dengan adanya akta nikah tersebut, suami istri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan. Selain itu, fungsi akta nikah tersebut juga sebagai
“jaminan hukum” apabila salah satu pasangan tidak menjalankan
kewajibannya baik sebagai istri maupun suami, maka dapat
mengajukan perkara ke pengadilan. Akta nikah juga berguna untuk
membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Upaya hukum
tidak dapat dilakukan apabila perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan akta niikah. Oleh karena itu, KHI pasal 7 ayat (1)
menegaskan bahwa “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Adapun Akta Nikah memuat:
1) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/ kepercayaan,
pekerjaan dan tempat kediaman suami istri; Apabila seseorang
atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau
suami terdahulu.
34
2) Nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman
orang tua mereka;
3) Izin kawin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4),
dan (5) undang-undang;
4) Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 (2) UU;
5) Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 UU;
6) Persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU;
7) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/ Pangab bagi
Angkatan Bersenjata;
8) Perjanjian perkawinan apabila ada;
9) Nama, umar, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama
Islam;
10) Nama, umur, agama/ kepecayaan, pekerjaan dan tempat tinggal
kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam akta nikah
dilampirkan naskah perjanjian perkawinan (taklik talak/
penggantungan talak), yaitu teks yang dibaca suami setelah akad
nikah sebagai perjanjian kesetiaannya terhadap istri. KHI Pasal 46
menegaskan:
1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-
betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.
35
Supaya talak sungguh-sunggu jatuh, istri harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib
diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik
talak sudah diperjanjikan, tidak dapat dicabut kembali.
4) Akta nikah dan salinannya tersebut, sebagaimana diatur dalam
PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 11 ayat (1) dan (2) ditandatangani
oleh kedua mempelai sesaat setelah dilangsungkannya akad
nikah. Setelah itu, diikuti penandatanganan oleh kedua saksi
dan pegawai pencatat yang menghadiri akad nikah, lalu wali
nikah atau yang mewakili.
B. ‘Urf
1. Pengertian „Urf
Dari segi etimologi al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf „ain, ra‟ dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul
kata ma‟rifah (yang dikenal), ta‟rif (definisi), kata ma‟ruf (yang dikenal
sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan yang baik). Adapun dari segi
terminologi, kata „urf mengandung makna:
Seuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka
mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di
antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal
dengan pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi,
dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya
dalam pengertian lain (Dahlan, 2011:208).
Dalam istilah fuqaha „urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini
kita mengetahui bahwa „urf dalam sesuatu perkara tidak bisa terwujud
36
kecuali apabila „urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada
perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai „urf tersebut
selalu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur
pembentukan „urf ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan
hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-menerus atau sering-
seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan
perseoranagan.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasi dari kalangan Hanafi,
Ibnu Abidin, Al-Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim
dalam kitab Al-Sybah wa al-Nazhair berpendapat bahwa „urf sama
dengan adat, tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian
Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara
adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional. Sedangkan „urf ialah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam
perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas daripada
„urf. Adat mencakup seluruh jenis „urf. Tetapi tidaak sebaliknya.
Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan,
berpakaian, tidur dan sebagainya dinamakan adat, tidak dikatakan „urf.
Tetapi, dari sisi yang lain, „urf lebih umum daripada adat, sebab adat
hanya menyangkut perbuatan, sedangkan „urf menyanggkut perbuatan
dan ucapan sekaligus (Suwarjin, 2012: 148-149).
37
Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu sesuatu yang
harus dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada
kemiripannya dengaan ijma‟. Namun antara keduanya terdapat
beberapa perbedaaan yang diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟ harus diterima semua
pihak. Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah
dilakukan dan dikenal oleh sebagian orang saja.
b. Ijma‟ ialah kesepakatan (penerimaan) diantara orang-orang tertentu,
yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan
kesepakatan ataupun penolakannya. Sedangkan „urf atau adat yang
mengakui ialah seluruh lapisan manusia baik mujtahid atau bukan.
c. „Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya
orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟
tidak akan mengalami perubahan (Syarifudin, 2011: 389).
2. Landasan Hukum „Urf
„Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara‟
tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara
kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti „urf tidak
mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syari‟at
Islam. Mengenai kehujjahan „urf menurut pendapat kalangan ulama
ushul fiqh, diantaranya:
38
a. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa „urf adalah
hujjah untuk menetapkan hukum Islam. Alasan mereka ialah
berdasarkan firman Allah dalam surat al A‟rof ayat 199:
ع ن ا لج اى ل ي و ا ع ر ض ب ا لع ر ف و أم ر خ ذ ا لع ف و
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang
mengerjakan yang ma‟ruf serta berpalinglah daripada
orang-orang yang bodoh.
Ayat ini bermaksud bahwa „urf ialah kebiasaan manusia dan
apa-apa yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini,
bersighat „am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk
mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka
urf dianggap oleh syara‟ sebagai dalil hukum.
Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya
sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk
kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syari‟at
Islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al
Qur‟an ataupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil al qur‟an tersebut, ulama Hanafiyah
dan Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:
ع ن د الله ح س ن ناف ه و ل م و ن ح س س م ار ا ه ا لم
Sesuatu yang dianggap baik oleh umat Islam, termasuk
suatu hal yang baik pula menurut Allah.
39
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik
bagi orang Islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di
dalamnya termasuk juga „urf yang baik. Yang mana berdasarkan
dalil-dalil tersebut, „urf yang baik adalah suatu hal yang baik di
hadapan Allah.
b. Golongan Syafi‟iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap
„urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar‟i. Golongan Imam Syafi‟i
tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk
menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Maka dengan hal itu, secara
otomatis golongan Imam Syafi‟ juga menolak menggunakan „urf
sebagai sumber hukum Islam. Penolakannya itu tercermin dari
perkataannya sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia
telah membuat hukum” (Umam, 2000: 166).
Bahkan dalam kitab „Risalah‟-nya, beliau menyatakan
dengan tegas sebagai berikut, yang artinya:
Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan
sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun
pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik
(istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan
istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak
mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya
(Umam, 2000: 167).
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari
40
penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah
dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits,
di antaranya:
1) Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
ل ك م ي ت ع ل ي ك م ن ع م ت و ر ض ل ك م د ي ن ك م و أ ت م ت م ل ت ا ل ي و م أ ك
د ي نا ا لا س لا م
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
2) Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
ءو ى دىو ر ح ة.... ت ب ي انال ك لش ي ا لك ت اب و ن زل ن اع ل ي ك
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur‟an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi‟i
menolak adanya sumber hukum dari „urf, karena beliau
menganggap bahwa „urf merupakan penetapan suatu hukum yang
tidak berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur‟an,
Hadits, Ijma‟ dan Qiyas.
3. Kaidah-Kaidah „Urf
a. ة ا ل ع اد ة م كم
(Adat itu dapat dijadikan hukum)
41
b. ك ن ة ن ة و ال م م ب ت غ ي ال ز م ك لا ي ن ك ر ت غ ي ر الح
(Tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman
dan tempat)
c. ر طا ر و ط ش ا ل م ش ع ر و ف ع ر فا ك ا ل م
(Yang baik itu menjadi „urf, sebagaimana yang disyaratkan itu
menjadi syarat)
d. ال ثاب ت ب االناص ا لثاب ت ب ال ع ر ف ك
(Yang ditetapkan melalui „urf sama dengaan yangg ditetapkan
melalaui nash (nash atau hadist) (Umam, 1998: 168).
4. Macam-Macam „Urf
Ditinjau dari jangkauannya, „urf dibagi menjadi:
a. Al- „Urf al-Amm (Adat kebiasaan umum)
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.
Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harta tertentu,
tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya
dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar
sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket
masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang
digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya
saja.
42
b. Al-„Urf al-Khashsh (Adat kebiasaan khusus)
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu
masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan
masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk
menunjukkan pengertian luas tanah 10 x 10 meter. Demikian juga
kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat
bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi (Dahlan, 2011:210).
Menurut Syafe‟i (2007:128) ditinjau dari segi ketentuan
hukumnya, „urf terbagi menjadi dua yaitu:
a. Al-„Urf ash-Shahih („Urf yang absah)
Yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan dalil syara‟ , tidak menghalalkan yang
haram dan tidak juga membatalkan yang wajib. Seperti adanya
saling pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan,
pembagian mas kawin (mahar) yang didahulukan dan yang
diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya
kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya.
Juga tentang sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon
suami) kepada calom istri, berupa perhiasaan, pakaian, atau apa saja,
dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.
43
b. Al-„Urf al-Fasid („Urf yang rusak/salah)
Yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi
bertentangan dengan syara‟, atau menghalalkan yang haram dan
membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian diantara
manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara
kelahiran anak. Juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi.
5. Syarat-Syarat „Urf
Sebagian besar ulama yang menggunakan „urf sebagai hujjah,
memberikan syarat-syarat tertentu dalam menggunakan al-urf sebagai
sumber hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan al-Quran atau As-Sunnah. Jika
bertentangan, seperti kebiasaan orang minum khamr, riba, berjudi,
dan jual beli gharar (ada penipuan) dan yang lainnya maka tidak
boleh diterapkan.
b. Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam muamalat
mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam
tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal itu tidak dapat
dijadikan sumber hukum.
c. Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap
adat tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagai mahar
dan menunda sebagainya, namun kedua calon suami istri sepakat
untuk membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat,
maka yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh
44
kedua belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan
yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.
d. Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu
berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggalkan orang sebelum
permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang
baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009:170).
C. Tathayyur Dalam Islam
“At-Tathayyur” secara bahasa, adalah mashdar dari (kata) ت ط ير
(Tathayyara) asal mulanya diambil dari kata انطير (Ath-Thairu) (yang berarti
burung), karena bangsa Arab (sebelum datangnya Islam) menentukan nasib
sial dan nasib baik dengan menggunakan burung-burung, melalui cara yang
telah mereka ketahui, yaitu dengan melepaskan seekor burung, kemudian
dilihat apakah burung tersebut terbang ke kanan, ke kiri, ataukah terbang ke
arah yang mendekati (kanan atau kiri). Jika (burung tersebut) terbang ke arah
kanan dia pun berangkat (maju), (dan jika) terbang ke arah kiri, maka dia pun
mundur (menahan diri untuk berangkat).
Adapun (“At-Tathayyur”) dalam istilah (syari‟at) adalah merasa
bernasib sial disebabkan karena sesuatu yang dilihat atau didengar, atau
karena sesuatu yang diketahui (selain dari yang dilihat atau didengar)
(Utsaimin, tt: 348).
Beberapa contohnya:
Berikut ini beberapa contoh “At-Tathayyur” berdasarkan beberapa sebabnya:
45
1. Karena sesuatu yang dilihat
Misal: Seseorang melihat seekor burung, kemudian dia merasa dirinya
akan mendapatkan kesialan karena (menurut anggapannya) burung
tersebut membawa sial.
2. Karena sesuatu yang didengar
Misal: Seseorang telah berniat (melakukan) sebuah urusan, lalu dia
mendengar seseorang mengatakan kepada orang lain (selain dirinya): “Hai
si Rugi” atau “Wahai Orang Gagal”, kemudian dia merasa akan bernasib
sial (mendapatkan kerugian atau kegagalan karena omongan orang tadi).
3. Karena sesuatu yang diketahui
Misal: Merasa sial dengan beberapa hari tertentu, bulan-bulan tertentu,
atau tahun-tahun tertentu. Contoh yang (ketiga) ini adalah sesuatu yang
tidak bisa dilihat dan tidak bisa didengar.
Salah satu contoh perbuatan manusia yang termasuk dalam
tathayyur adalah dalam penentuan waktu pernikahan. Menikah merupakan
salah satu fenomena yang senantiasa diharapkan oleh setiap manusia yang
berakal dan berjiwa sehat. Biasanya pada masyarakat Jawa sebelum
melangsungkan sebuah pernikahan dilakukan penentuan hari pernikahan,
diawali dengan pihak laki-laki akan mengirimkan orang yang dipercaya
sebagai perwakilan untuk bertemu dengan pihak perempuan guna
memberitahukan bahwa pihak laki-laki telah siap untuk melangsungkan
pernikahan, sehingga hari pernikahan dapat segera ditentukan. Penentuan
hari pernikahan dilakukan oleh pihak perempuan dibantu oleh sesepuh
46
atau tokoh adat. Setelah pihak perempuan melakukan penentuan hari
pernikahan akan diberitahukan kepada kerabat atau keluarga laki-laki
dengan berganti pihak perempuan akan datang berkunjung pada keluarga
laki-laki. Pada pernikahan orang Jawa dilakukan perhitungan dengan
menggunakan sistem pengetahuan orang Jawa berdasarkan perhitungan
weton, yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai. Masyarakat
percaya bahwa menikah pada jam-jam tertentu akan berpengaruh pada
kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Sebagai penganut agama Islam yang taat terkait pernikahan,
mencari tanggal dan hari yang baik untuk menikah memang penting.
Sebab pernikahan merupakan suatu acara sakral demi menghindari segala
hal buruk atau hal-hal yang tidak kita inginkan. Ini tentu sangat berbeda
dari orang Jawa yang lebih ke titen. Muslim yang taat tentu menggunakan
hadits untuk menentukan tanggal, hari dan bulan pernikahan. Menikah di
bulan, hari dan tanggal yang baik dipercaya bakal membawa banyak
kebaikan juga bagi pasangan suami dan istri serta kedua keluarga. Jadi,
itulah kepentingan dari mencari hari baik.
Sebenarnya semua hari itu baik selama tidak ditemukan adanya
larangan dalam syariat, jadi mau kapan saja mengadakan hajatan, semua
tanggal dan hari itu baik. Kecuali memang ada dalilnya, dalam hukum
Islam, kita dilarang keras untuk menghukumi tanggal atau hari sial. Kabar
baiknya, tidak ada satu dalil yang dijumpai tentang tanggal atau hari sial
47
yang memang perlu dijauhi untuk mengadakan suatu acara sakral atau
hajatan lainnya.
Banyak orang memilih hari atau tanggal tertentu karena
menganggapnya paling baik, sedangkan ada hari dan tanggal yang mereka
anggap sebagai hari sial, hal ini sebaiknya dijauhi. Seperti yang
disabdakan oleh Rasulullah bahwa hal menganggap suatu hari adalah hari
atau tanggal sial maka itu disebut sebagai sebuah kesyirikan. Satu contoh
yang bisa diambil tentang thiyaroh yang syirik adalah keyakinan sial akan
bulan Syuro atau Muharam oleh masyarakat Jawa. Banyak yang akan
menjauhi bulan Syuro saat mencari hari baik untuk menikah. Mereka
berpantang untuk mengadakan hajatan dalam bentuk apapun karena ada
anggapan bulan Syuro bisa mendatangkan celaka. Padahal menurut
Rasulullah saw adalah perbuatan tersebut adalah sebuah hal syirik.
Namun untuk masalah bulan baik yang bisa dipertimbangkan
ketika akan menikah menurut Islam adalah bulan Syawal. Selain bulan
Syawal, hari baik untuk menikah menurut Islam adalah pada bulan
Ramadhan. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah dan
istrinya menikah tepat di bulan Syawal dan di bulan yang sama jugalah
mereka memasuki nikah. Disunnahkan juga oleh sayyidah Aisyah bahwa
bulan Syawal merupakan bulan baik untuk pernikahan, sedangkan
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa bulan Ramadhan hari baik untuk
menikah menurut Islam. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah
ra:
48
“Rasulullah saw menikahiku pada bulan Syawal dan mengadakan
malam pertama dengan aku di bulan Syawal. Manakah istri beliau
yang lebih mendapatkan perhatian selain aku?” Salah seorang
perawi mengatakan, “aisyah menyukai jikalau suami melakukan
malam pertama di bulan Syawal.” (HR. Muslim, An-Nasa‟i, dan
yang lain).
Tidak disarankan untuk meyakini hal-hal yang berbau ramalan
karena takdir, dan nasib seseorang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan bulan jodoh, tanggal nikah, weton dan lain-lainnya. Rasulullah saw
sendiri sudah bersabda bahwa siapa yang datang ke peramal dan
menanyakan hal-hal yang berhubungan tentang masa depan, nasib dan
sebagainya, sholat orang tersebut selama 40 hari tidak akan diterima. Nabi
muhammad saw bersabda yang artinya “barang siapa yang mendatangi
peramal, kemudian bertanya tentang sesuatu hal, maka shalatnya tidak
akan diterima selama 40 hari.” (HR. Ahmad, Muslim)
“At-Tathayyur” dapat meniadakan “At-Tauhid” dari dua sisi.
Pertama, pelaku “At-Tathayyur” telah menghilangkan tawakkalnya
kepada Allah SWT, serta bersandar kepada selain Allah SWT. Padahal
Allah SWT adalah satu-satunya tempat bergantung. Sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Ikhlas ayat ke-2 (yang artinya): “Allah adalah
Rabb yang bergantung kepadanya segala sesuatu.” (Al-Ikhlas: 2). Dan
perintah Allah SWT: “Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah (hanya)
kepada-Nya.” (Hud: 123)
Kedua, pelaku “At-Tathayyur” sesungguhnya bergantung kepada
sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya sebuah dugaan
dan khayalannya saja (yang tidak layak untuk dijadikan tempat
49
bergantung). Karena antara sesuatu yang dijadikan tathayyur dengan
kejadian yang menimpanya tidak memiliki hubungan apa-apa (terkhusus
hubungan sebab akibat). Bagaimana bisa belok kanannya burung menjadi
penentu nasib baiknya seseorang, hal ini jelas dapat merusak Tauhid
seseorang, karena dapat memalingkan tawakkal kita kepada selain Allah
SWT, ketika umat Islam dituntut untuk beribadah dan beristi‟anah
(meminta pertolongan) hanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman
(yang artinya): “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 4). Dan kita
pun dituntut untuk bertawakkal hanya kepada Allah SWT saja,
sebagaimana disebutkan pada surat Hud ayat ke-123 di atas. Sehingga
tawakkal adalah sebuah ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain
Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan oleh sahabat yang mulia „Abdullah bin
Mas‟ud r.a dalam kelanjutan riwayat hadits di atas, bahwa “At-Tathayyur”
atau “Ath-Thiyarah” dapat dihilangkan dengan “tawakkal” kepada Allah
SWT saja. Bergantung hanya kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, serta mengiringinya dengan
usaha. Sehingga apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan,
kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita yakini bahwa itu semua
merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah saw telah mengajarkan kepada kita (umat Islam) sebuah do‟a:
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah
50
kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad). Dengan mengetahui
perkara tersebut, kita berharap bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi
suatu keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Al-Qur ‟an maupun
Al-Hadits,
51
BAB III
TRADISI PERNIKAHAN DI DESA TAJUK
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
a. Batas administrasi
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang secara
Geografis terletak pada 110º14‟54,75” sampai dengan 110º39‟3”
Bujur Timur dan 7º3‟57” sampai dengan 7º30‟ Lintang Selatan.
Secara administratif, letak Geografis Desa Tajuk dibatasi oleh empat
desa. Di sisi barat, Desa Tajuk berbatasan dengan Desa Batur, di sisi
selatan berbatasan dengan Desa Ngaglik Kecamatan Ampel
Kabupaten Boyolali, sementara di sisi timur berbatasan dengan Desa
Jetak dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Samirono.
b. Luas wilayah
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
mempunyai luas keseluruhan sebesar 1235,89 Ha. Terbagi 543 Ha
lahan pertanian atau tegal (ladang), 60 Ha pemukiman, perkantoran
1,5 Ha, lapangan 0,9 Ha, tanah kas desa atau bengkok 32,7 Ha.
Secara administrasi, Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang terdiri dari 11 dusun, 4 RW dan 35 RT.
52
Tabel 3.1 Luas wilayah Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang menurut dusun
No Dusun Luas (Ha)
1 Pulihan 7
2 Puyang 4
3 Kaliajeng 7
4 Banaran 5
5 Ngroto 4
6 Macanan 5
7 Cingklok 5
8 Tajuk 7
9 Sokowolu 7
10 Gedong 4
11 Ngaduman 5
Jumlah 60
c. Topografis
Ketinggian wilayah Desa Tajuk berada pada kisaran antara
1.200 – 1.450 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan ketinggian
terendah berada di Dusun Banaran dan tertinggi di Dusun Ngaduman.
d. Penggunaan lahan dan iklim
Wilayah Desa Tajuk memiliki iklim tropis dengan curah
hujan rata-rata 180 mm/tahun, suhu udara berkisar antara 20 derajat
C, kecepatan angin 0,37-0,71 knot, dan kelembapan udara 38,5-98%.
53
2. Demografi
a. Kependudukan
Dari data statistik yang diperoleh penulis saat melakukan
penelitian pada tanggal 9 Agustus 2018, jumlah keseluruhan warga
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang adalah 4.534
jiwa, yang terdiri dari 1.099 Kepala Keluarga (KK). Adapun
rinciannya adalah 2.233 warga berjenis kelamin laki-laki dan 2.301
berjenis kelamin perempuan. Sehingga kalau digambarkan dalam
bentuk tablel adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2
Tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
No
Dusun
Jumlah KK
Jumlah
Penduduk
Total
Lk Pr
1 Pulihan 148 256 350 606
2 Puyang 69 175 200 375
3 Kaliajeng 109 200 250 450
4 Banaran 90 185 225 410
5 Ngroto 68 119 176 245
6 Macanan 102 159 186 335
7 Cingklok 92 145 161 306
8 Tajuk 119 200 265 465
9 Sokowolu 147 270 304 574
54
10 Gedong 67 125 163 288
11 Ngaduman 94 200 220 420
Jumlah 1.009 2.233 2.301 4.534
Sumber Data: Monografi Desa Tajuk Agustus 2018
Dari semua jumlah penduduk Desa Tajuk yang berjumlah
4.534 jiwa itu mendiami area yang dibagi dalam 11 dusun, 4 RW dan
35 RT. Jumlah penduduk tersebut belum termasuk mereka yang masih
di bawah umur 5 tahun (balita), atau dengan kata lain jumlah ini
hanya meliputi mereka yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar
(SD) hingga manula. Dengan demikian, data statistik yang ada di
Desa Tajuk tersebut merupakan data yang bersifat relatif, yang masih
saja bisa berubah-ubah.
b. Agama
Dari data statistik warga Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang yang berjumlah 4.534 jiwa, 3.382 orang
beragama Islam dan 1.152 orang beragama Kristen. Sehingga kalau
digambarkan dalam bentuk tablel adalah sebagai berikut:
Tabel 3.3
Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang Tahun 2018
No Agama Jumlah
1 Islam 3.382
2 Kristen 1.152
Sumber Data: Monografi Desa Tajuk Agustus 2018
55
Dalam konteks sosio-religius, mayoritas warga masyarakat
Desa Tajuk memeluk Agama Islam. Mereka yang mayoritas Islam
sudah membentuk kultur dan budaya dengan ciri khas dan karakter
masing-masing kelompok. Seperti masyarakat Desa Tajuk ini, ia telah
membentuk pola hidup masyarakat yang mempertahankan kultur
organisme yang cukup kuat. Dalam menjalani kehidupan beragama
sebagai umat Islam, sebagian masyarakat Tajuk megikuti aliran Ahlus
Sunnah Wal Jamaah yang menganut mazhab Syafi‟i dan sebagian
lainnya menganut Islam kejawen.
c. Sosial budaya
Suatu kondidi sosial budaya masyarakat akan sangat
berpengaruh terhadap sebuah tradisi kebudayaan di dalam wilayah
tersebut, yaitu apakah budaya tersebut akan tetap dijalankan, ataukah
sudah mulai ditinggalkan karena masuknya budaya-budaya lain yang
mempengaruhi tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
setempat. Walaupun proses sebuah penerimaan budaya luar tidak
selalu dilewati dengan jalan mudah dan langsung diterima oleh
masyarakat, akan tetapi bila perubahan dapat menerima kedudukan
tradisi dan budaya luar, maka dengan sendirinya budaya luar itu akan
diikuti dan dijalankan oleh masyarakat setempat.
Begitu juga sebaliknya, sebuah budaya yang sudah ada sejak
nenek moyang mereka terdahulu, akan sangat sulit untuk ditinggalkan
atau diganti budaya lain. Kalaupun bisa, proses perubahan pun akan
56
terasa sulit dan memakan waktu yang sangat lama, karena harus
melewati banyak tantangan untuk merubahnya dengan kebudayaan-
kebudayaan yang baru. Terkadang suatu masyarakat untuk
mempertahankan dan memperjuangkan suatu kebudayaan yang telah
ada sejak leluhur mereka terdahulu, harus mengorbankan harta dan
benda, agar budaya tersebut tetap lestari ataupun tetap ada hingga
akhir hayat mereka.
Masyarakat Desa Tajuk bisa dikategorikan sebagai masyarakat
yang peduli akan kebudayaan yang ditinggalkan leluhur mereka. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai tradisi yang nenek moyang tinggalkan
di Desa Tajuk yang sampai saat ini masih dijalankan oleh sebagian
kelompok, seperti tradisi penentuan waktu pernikahan, tradisi
larangan melaksakan hajat di bulan-bulan tertentu, dan lain
sebagainya.
B. Praktik Penentuan dan Perhitungan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
1. Penentuan Jodoh
Mencari kecocokan jodoh yang tepat dan sesuai selera memang
menjadi dambaan semua orang. Baik laki-laki maupun perempuan pasti
menginginkan pasangan hidup terbaik. Di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang terdapat sebuah adat berupa perhitungan weton
untuk mengetahui apakah kedua calon mempelai berjodoh atau tidak.
57
Masing-masing calon mempelai pengantin akan dihitung neptu kelahiran
dan kemudian dijumlahkan. Jika menunjukkan hasil yang sedikit, berarti
tidak jodoh. Sebaiknya rencana awal untuk menikah dibatalkan, karena
jika nekat menikah akan menimbulkan mara bahaya bagi kedua calon
pengantin.
Nilai minimal dari jumlah neptu kedua calon mempelai yang
diyakini baik adalah 25. Artinya, jika jumlah nilai neptu kedua calon
mempelai lebih dari 25, entah ganjil ataupun genap maka dinilai jodoh.
Adapun jumlah nilai neptu yang paling baik dari kedua calon mempelai
pengantin adalah 27 yang berarti tibo ratu. Akan tetapi, ada pengecualian
jumlah nilai neptu dari kedua calon mempelai pengantin yang nilainya
kurang dari 25 yang dinilai jodoh, yaitu apabila neptu tersebut berjumlah
22 dan 24. Artinya jika jumlah neptu kedua calon mempelai selain angka
22, 24, dan 25 ke atas berarti tidak berjodoh (wawancara dengan Mbah
Wage pada hari Kamis tanggal 9 Agustus 2018 pukul 12.12 WIB di Desa
Tajuk).
Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan nilai neptu dari
masing-masing hari dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 3.4
Neptu Hari Nasional dan Hari Pasaran
Hari Neptu Pasaran Neptu
Senin 4 Legi 5
Selasa 3 Pahing 9
58
Rabu 6 Pon 7
Kamis 8 Wage 4
Jum’at 6 Kliwon 8
Sabtu 9
Minggu 5
Berdasarkan tabel 3.4 di atas, penulis akan memberikan sebuah
contoh kasus. Misalnya, Bagus dan Cantik hendak melangsungkan
pernikahan. Bagus lahir pada hari Selasa Kliwon sedangkan Cantik lahir
pada hari Sabtu Wage. Maka neptu dari kedua calon mempelai
dijumlahkan untuk mengetahui jodoh atau tidak.
Perhitungannya adalah sebagai berikut. Hari Selasa mempunyai
nilai neptu 3 dan Kliwon mempunya nilai neptu 8. Jika ditambahkan akan
berjumlah 11. Sementara itu, hari Sabtu mempunyai nilai neptu 9 dan
Wage mempunyai nilai neptu 4. Jika ditambahkan akan berjumlah 13.
Kemudian, jumlah neptu dari masing-masing calon mempelai pengantin
ditambahkan. Maka, 11 + 13 = 24. Menurut keterangan dari Mbah Wage
di atas, meskipun jumlah neptu 24 lebih sedikit dari 25, tetapi mendapat
pengecualian karena diyakini baik untuk menikah, sehingga Bagus dan
Cantik berjodoh.
2. Penentuan Hari, Tanggal dan Bulan Pernikahan
Kemampuan orang Jawa dalam membaca tanda-tandan jaman
diwariskan secara turun termurun. Ramalan, petungan, dan keberuntungan
59
nasib manusia mengacu kepada perubahan musim, siklus alam, suara hati
dan bisikan gaib. Bagi masyarakat Jawa, kelahiran, kematian,jodoh, dan
rejeki adalah takdir Tuhan. Namun demikian manusia tetap diberi
kewenangan untuk berikhtiar.
Seperti halnya dalam menentukan hari, tanggal dan bulan
pernikahan, orang Jawa mempunyai perhitungan yang unik, tak terkecuali
masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Untuk
menghindari mala petaka di kemudian hari, masyarakat Desa Tajuk tidak
akan melaksanakan akad pernikahan pada saat-saat tertentu.
Ketika penulis melakukan wawancara dengan Mbah Wage,
setidaknya ada tiga saat dimana masyarakat Desa Tajuk dilarang untuk
menikah, yaitu sebagai berikut:
a. Hari meninggalnya orang tua, baik orang tua laki-laki maupun orang
tua perempuan;
b. Naas calon mempelai pengantin laki-laki dan perempuan;
c. Minggu Pahing, Selasa Wage, Rabu Legi, Kamis Pon dan Sabtu
Kliwon, karena hari-hari itu tidak ada dalam tanggalan. Maksudnya
tanggal 1 Syuro tidak pernah dan tidak akan pernah jatuh pada hari-
hari itu;
d. Sementara bulan-bulan yang tidak boleh melaksanakan akad
pernikahan adalah tanggal 1 Syuro, karena ini lahirnya tahun baru
Islam dan bulan selo karena bulan ini tidak baik untuk pelaksanaan
kegiatan perkawinan, namun baik untuk mbeguru/mencari ilmu
60
(Wawancara dengan Mbah Wage pada hari Kamis tanggal 9 Agustus
2018 pukul 12.30 WIB di Desa Tajuk).
3. Penentuan Waktu Pernikahan
Setelah diketahui kedua calon mempelai pengantin mempunyai
kecocokan berdasarkan perhitungan weton (berjodoh), langkah
selanjutnya yaitu menentukan hari, bulan dan jam dilaksanakannya akad.
Pada pembahasan di atas sudah dijelaskan bagaimana cara menentukan
hari dan bulan yang diyakini akan mendatangkan kebaikan dan
keselamatan.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan kepada Mbah
Wage, waktu yang baik untuk melangsungkan akad pernikahan berbeda-
beda, meskipun harinya sama. Berikut ini adalah gambar tabel yang
digunakan oleh Mbah Wage dalam menentukan waktu dilaksanakannya
akad suatu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang.
Gambar 3.1
Penentuan Waktu Pernikahan Menggunakan Perhitungan Weton
61
Sumber Gambar: Mbah Wage
Penentuan waktu pernikahan dengan menggunakan perhitungan
aboge di atas ditulis tangan oleh sesepuh Desa Tajuk yang tak lain adalah
kakek Mbah Wage yang sudah lama meninggal. Mbah Wage sebagai cucu
mendapat kepercayaan dari masyarakat Desa Tajuk untuk menjadi tokoh
adat menggantikan kakeknya yang sudah meninggal. Ketika penulis
bertanya tentang bagaimana cara membaca gambar tabel tersebut, Mbah
Wage memberikan keterangan sebagai berikut:
Angka pada bagian atas mulai dari 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3, 4
dan 5 menunjukkan jam dilaksanakannya akad pernikahan. Jam tersebut
berlaku 24 jam. Adapun angka pada bagian kiri mulai dari 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 17, dan 18 adalah menunjukkan hasil penjumlahan
nilai dari hari-hari nasional seperti Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum‟at,
Sabtu, dan Minggu dengan nilai dari hari-hari pasaran seperti Wage,
62
Kliwon, Legi, Pahing dan Pon (wawancara dengan Mbah wage pada hari
Kamis tanggal 9 Agustus 2018 pukul 13.00 WIB di Desa Tajuk).
Jika digambarkan dalam sebuah tabel, maka hasil penjumlahan
neptu dari hari-hari nasional dengan hari pasaran adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5
Penjumlahan Neptu Dari Hari-Hari Nasional Dengan Hari Pasaran
Hari/Weton Pahing Pon Wage Legi Kliwon
Senin 13 11 8 9 12
Selasa 12 10 7 8 11
Rabu 16 14 11 12 15
Kamis 17 15 12 13 16
Jum’at 15 13 10 11 14
Sabtu 18 16 13 14 17
Minggu 14 16 9 10 13
Sementara itu simbol-simbol yang ada di dalam gambar tabel di
atas juga mempunyai makna yang berbeda-beda sebagai berikut:
a. Simbol (-) berarti sae atau selamat. Maksudnya, jika kedua calon
mempelai pengantin akan memperoleh keselamatan dan kebahagian
jika memilih melangsungkan akan pada jam yang ditandai dengan
simbol (x) tersebut.
b. Simbol (o) berarti padang atau terang. Maksudnya, kedua calon
mempelai tidak akan mendapatkan keburukan jika memilih jam yang
ditandai dengan simbol (o) tersebut.
63
c. Simbol (●) berarti peteng atau gelap. Maksudnya, kehidupan rumah
tangga dari kedua calon mempelai pengantin tidak akan bahagia jika
memilih melaksanakan akad pada jam yang ditandai dengan simbol
(●) tersebut. Untuk itu, sebaiknya simbol (●) tidak dipilih oleh kedua
calon mempelai pengantin.
d. Simbol (m) berarti mati atau sirik. Maksudnya, kedua calon
mempelai akan mendapatkan kesialan dan keburukan jika
melaksanakan akad pada jam yang ditandai dengan simbol (m)
tersebut. Bahkan, kesialan terburuk adalah kedua calon mempelai
pengantin akan mati atau meninggal. Sebaiknya, memilih jam untuk
melangsungkan akad pada simbol (m) dijauhi.
e. Simbol (x) berarti sri rejeki. Maksudnya, rezeki yang melimpah ruah
akan didapatkan oleh kedua calon mempelai pengantin jika
melakukan akad nikah pada jam yang ditandai dengan simbol (x)
tersebut.
Adapun untuk mengetahui hari dan jam dilaksanakannya akad
apakah baik atau tidak adalah dengan merujuk pada tabel 3.5 di atas,
kemudian dicocokkan dengan gambar 3.1. Misalnya, Toni dan Tini akan
menikah pada hari Senin Pahing. Pada tabel 3.5 jumlah neptu Senin
Pahing adalah 13. Setelah itu, angka 13 tersebut dicocokkan dengan
gambar 3.1 untuk memilih waktu yang diinginkan untuk melaksanakan
akad. Sebaiknya, pemilihan waktu menghindari simbol (m) dan simbol
(●). Berdasarkan gambar 3.1 di atas, waktu yang diyakini baik adalah jam
64
6, 7, 8 yang ditandai dengan simbol (-), jam 11, 12 yang ditandai dengan
simbol (o) dan jam 1 atau 2 yang ditandai dengan simbol (x). Selanjutnya,
kedua calon mempelai pengantin bebas memilih jam yang dikehendaki
untuk melaksanakan akad nikah, boleh di waktu siang ataupun malam hari
yang diyakini akan membawa kebaikan dalam rumah tangganya kelak.
Setelah menentukan waktu dilaksanakannya akad pernikahan,
pihak keluarga calon mempelai pengantin perempuan mengundang
pegawai KUA Kecamatan Getasan untuk datang ke rumah. Permasalahan
baru muncul ketika pihak pegawai KUA datang terlambat untuk
menikahkan kedua calon mempelai. Jika terjadi hal demikian, maka kedua
calon mempelai pengantin akan dinikahkan secara siri terlebih dahulu oleh
keluarga, kemudiaan dinikahkan secara resmi dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah. Akan tetapi sejauh ini belum pernah terjadi hal demikian, karena
koordinasi yang baik antara pihak keluarga calon mempelai pengantin
dengan KUA Kecamatan Getasan.
4. Rangkain upacara pernikahan di Desa Tajuk
Setelah menentukan hari, tanggal, bulan dan jam untuk melakukan
akad, maka tibalah pada rangkaian acara pernikahan. Adapun rangkaian
acara pernikahan yang biasa dilakukan masyarakat Desa Tajuk adalah
sebagai berikut:
a. Upacara ijab
Sebagai prosesi pertama pada acara ini adalah pelaksanaan ijab yang
melibatkan pihak penghulu dari KUA. Setelah acara ini berjalan
65
dengan lancar dan dianggap sah, maka kedua mempelai resmi menjadi
suami istri.
b. Upacara panggih
Setelah upacara ijab selasai, kemudian dilanjutkan dengan upacara
panggih yang meliputi:
1) Liron kembar mayang atau saling menukar kembar mayang dengan
makna dan tujuan bersatu cipta, rasa, dan karsa demi kebahagiaan
dan keselamatan.
2) Gantal atau lempar sirih, mempunyai makna agar semua godaan
hilang karena lemparan itu.
3) Ngidak endhog atau pengantin laki-laki menginjak telur ayam
kemudian dibersihkan atau dicuci kakinya oleh pengantin
perempuan, hal itu mempunyai makna bahawa seksual kedua
mempelai sudah pecah pamornya.
4) Minum air kelapa yang menjadi lambang air suci, air hidup, air
mani dan dilanjutkan dengan dikepyok bunga warna warni dengan
harapan keluarga mereka dapat berkembang segala-galanya dan
bahagia lahir batin.
5) Sindur, yaitu menyampirkan kain (sindur) ke pundak pengantin
dan menuntun pasangan pengantin ke kursi pelaminan dengan
harapan keduanya pantang menyerah dan siap menghadapi
tantangan hidup.
66
6) Setelah upacara panggih, kedua mempelai diantar duduk ke sasana
rinengga. Kemudian acarapun dilanjutkan.
7) Timbangan yaitu kedua mempelai duduk di pangkuan ayah
pengantin perempuan sebagai simboh bahwa sang ayah mengukur
keseimbangan masing-masing pengantin.
8) Kacar kucur, dijalankan dengan cara pengantin laki-laki
mengucurkan penghasilan kepada pengantin perempuan berupa
uang receh beserta kelengkapannya. Hal itu mempunyai makna
bahwa sang laki-laki bertanggung jawab memberi nafkah kepada
keluarga.
9) Dulangan, kedua mempelai saling menyuapi. Hal itu mengandung
laku perpaduan kasih pasangan laki-laki dan perempuan, sebagai
simbol seksual. Namun, ada juga yang memaknai lain, yaitu tutur
adilinuwih atau seribu nasihat yang adiluhung yang dilambangkan
dengan sembilan tumpeng.
c. Upacara bubak kawak
Upacara ini khusus dilakukan untuk keluarga yang baru pertama kali
menikahkan anak perempuan sulungnya, yang ditandai dengan
membagi-bagikan harta benda berupa uang receh, beras kuning, umbi-
umbian, dan lain-lain.
d. Tumplak punjen
Numplak berarti menumpahkan, sedangkan punjen berarti berbeda
beban di atas bahu. Jadi, makna dari tumplak punjen adalah lepas
67
sudah darma orang tua kepada anaknya. Tata cara ini dilakukan pada
keluarga yang tidak akan bermenantu lagi atau semua anaknya sudah
menikah.
e. Sungkeman
Sungkeman dilakukan sebagai ungkapan bakti kepada orang tua
sekaligus meminta doa restu.
f. Kirab
Kirab adalah istilah yang digunakan untuk pengantin yang
meninggalkan tempat duduknya untuk berganti busana (wawancara
dengan Mbah wage pada hari Kamis tanggal 9 Agustus 2018 pukul
13.10 WIB di Desa Tajuk)
C. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Praktik Penentuan dan
Perhitungan Waktu Pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang
Masyarakat Jawa telah tersebar ke hampir seluruh wilayah di
Indonesia dengan membawa kebudayaan yang mereka miliki. Salah satu
kebudayaannya adalah dalam pelaksanaan pernikahan yang membedakan
dengan kebudayaan lainnya. Pernikahan merupakan sebuah upacara
penyatuan jiwa yang mengikat lahir dan batin seorang pria dan wanita yang
bersifat sakral, sehingga diharapkan hanya sekali terjadi dalam kehidupan
seseorang.
Untuk menyambut hari pernikahan tersebut dipersiapkan sebaik
mungkin, bahkan dalam menentukan hari pernikahnya harus diperhitungan
68
dengan baik, karena pada umumnya masyarakat Jawa sangat percaya akan
adanya hari baik dalam pelaksaan pernikahan yang akan berpengaruh dengan
keberlangsungan pernikahan tersebut.
Dalam penentuan hari pernikahan pada masyarakat Jawa biasanya
dilakukan oleh pihak mempelai perempuan bersama tokoh adat atau sesepuh
yang dipercaya. Penentukan hari tersebut dilakukan dengan menghitung hari
kelahiran kedua mempelai untuk melihat kecocokan dari kedua mempelai.
Apabila dalam perhitungan tersebut diperoleh hasil yang cocok maka hari
pernikahan dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan keluarga.
Masyarakat Jawa percaya dengan melakukan penentuan hari
pernikahan yang tepat untuk melangsungkan pernikahan maka pernikahan
tersebut dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun, bahkan
dapat membawa pernikahan tersebut pada kebahagiaan. Begitu juga
sebaliknya apabila dalam melakukan penentuan hari pernikahan tidak tepat
maka dapat terjadi hal yang tidak diingiinkan dalam pernikahan tersebut
seperti sulitnya mencari rezeki, tidak bahagia dalam rumah tangga, tidak
tentram rumah tangganya, bahkan menimbulkan kematian dalam keluarga.
Di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, pada saat
ini masih ada sebagian masyarakat yang menggunakan perhitungan weton
dalam penentuan waktu pernikahan. Dasar keyakinan masyarakat Desa Tajuk
menggunakan perhitungan weton dalam kegiatan perkawinan adalah sebagai
berikut:
a. Alasan tidak melangggar ajaran agama;
69
b. Alasan panggilan adat;
c. Alasan kewajiban dan pertimbangan neptu;
d. Alasan keselamatan;
e. Alasan peristiwa yang pernah terjadi;
f. Alasan pelestarian ke generasi (Wawancara dengan Mbah Wage pada
hari Kamis tanggal 9 Agustus 2018 pukul 13.10 WIB di Desa Tajuk).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan terhadap
perhitungan weton dalam kegiatan perkawinan di Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang sebagaimana diungkapkan oleh salah satu
warga yang bernama Mbak Ida adalah sebagai berikut:
a. Faktor keselamatan. Orang-orang terdahulu yang melaksanakan akad
pernikahan dengan menggunakan perhitungan weton terbukti bahagia
dan jauh dari mala petaka. Sebaliknya, masyarakat yang tidak
menggunakan perhitungan weton dalam penentuan waktu pernikahannya
banyak yang tidak bahagia, cerai, dan sering sakit-sakitan/tertimpa
musibah.
b. Kemantapan dalam hati. Dengan menggunakan perhitungan weton,
masyarakat akan merasa lebih optimis dalam mengarungi bahtera rumah
tangganya.
c. Pelestarian Tradisi. Tradisi perhitungan weton dalam penentuan waktu
pernikahan sudah lama dilakukan masyarakat Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang. Ketaatan kepada pemuka
masyarakat/orang tua menjadi salah satu kunci masih dipraktikkannya
70
perhitungan weton dalam penentuan waktu pernikahan sampai pada saat
ini. (Wawancara dengan Mbak Ida pada hari Kamis tanggal 9 Agustus
2018 pukul 11.30 WIB di Desa Tajuk).
71
BAB VI
TRADISI PERNIKAHAN DALAM HUKUM PERKAWINAN
A. Analisis Pandangan Hukum Perkawinan Terhadap Praktik Pernikahan
di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Pernikahan dalam keyakianan masyarakat Desa Tajuk adalah sebuah
akad yang mempertemukan kedua pasang manusia untuk menjadi sebuah
keluarga dalam upacara yang sakral dan agung. Pemahaman masyarakat Desa
Tajuk akan makna sebuah pernikahan tersebut adalah sesuai dengan makna
dan arti pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pemahaman masyarakat tersebut juga sudah sesuai dengan definisi nikah
dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan
bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan nikah seperti yang terdapat dalam Undang-Undang
Perkawinan maupun juga dalam Kompilasi Hukum Islam adalah untuk
melaksanakan sebuah ibadah dan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan akan sebuah pernikahan yang agung tersebut juga berusaha
72
diaplikasikan oleh masyarakat Desa Tajuk dalam penentuan waktu
pernikahan yang akan mereka laksanakan.
Penentuan waktu pernikahan tersebut dihitung oleh tokoh adat
setempat yang dituakan. Masyarakat Desa Tajuk akan memilih hari dan jam
pernikahan yang mereka anggap baik, yaitu seperti simbol (-) yang berarti sae
atau selamat, simbol (x) yang berarti sri rejeki yaitu rezeki yang lancar, dan
simbol (o) yang berarti padang atau terang, yaitu boleh memilih hari dan jam
yang telah tertera dalam rumus penentuan waktu pernikahan dalam aboge.
Adapun hari dan jam yang masyarakat Desa Tajuk tinggalkan dalam
menentukan hari dan jam pernikahan adalah ketika perhitungan yang
dilakukan tokoh adat setempat jatuh pada dua simbol, yaitu simbol (●) dan
simbol (m). Simbol (●) berarti peteng atau gelap, yaitu berarti jika menikah
di hari dan jam pada waktu tersebut maka pernikahan tersebut tidak akan
bahagia. Sedangkan simbol (m) adalah mati (sirik), yang berarti bahwa kedua
mempelai akan meninggal jika menikah pada hari dan jam tersebut. Maka
bisa dilihat dari hal-hal di atas bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Tajuk
berusaha menerapkan apa yang yang menjadi tujuan nikah, baik seperti yang
terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Hadis maupun dalam hukum perkawinan di
Indonesia.
Penggunaan sistem perhitungan weton dalam menentukan waktu
pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang merupakan salah satu usaha dalam mencari
keselamatan dalam pernikahan, mengandung doa dan harapan kebaikan.
73
Dengan begitu, konsep perhitungan weton tersebut tidak lain hanyalah sebuah
ikhtiar untuk memperoleh keselamatan, yang dirasa mampu memberikan
pengaruh baik terhadap kondisi jiwa, memberikan kemantapan untuk
bertindak, dan perasaan aman dari gangguan yang bersifat gaib. Setidaknya
itulah alasan masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang dalam melakukan perhitungan weton dalam menentukan waktu
pernikahan.
Sampai di sini dapat penulis katakan, dengan adanya konsep
perhitungan weton dalam menentukan waktu pernikahan, masyarakat Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang mayoritas beragama
Islam, tetap meyakini bahwa segala kebaikan hanya berasal dari Allah swt.
Begitu pula berbagai musibah yang menimpa manusia juga tidak luput dari
takdir Allah swt. Manusia hanya berusaha melakukan yang terbaik bagi
dirinya dan orang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan pemaknaan
terhadap konteks agama yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan.
Ketika hal tersebut dikaitkan dengan konsep „urf yang diakui sebagai
salah satu element pembentuk hukum, maka konsep perhitungan weton dalam
menentukan waktu pernikahan yang dilakukan masyarakat Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang harus sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan, bahwa tradisi atau adat istiadat dapat diberlakukan dan mendapat
legitimasi syara‟ jika memenuhi syarat-syarat-syarat di bawah ini. Jika salah
satu syaratnya tidak terpenuhi, maka tradisi tersebut tidak dapat dijadikan
landasan hukum م ك ح م ر ي غ) ).
74
Pertama, tradisi tersebut harus bersifat konstan dan mendominasi di
daerah tersebut ا( ب ان غ و ا أ د ر ط م ف ر ع ان ن ى ك ي ن أ ). Yang dimaksud ittirad di
sini adalah sifat konstan yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan
ghalib di sini berarti parameter yang digunakan adalah asumsi masyarakat
mayoritas, dan dikembalikan kepada pelaku tradisi atau adat istiadat itu
sendiri (Qadir, 1997:218-2019).
Konsep perhitungan weton pun demikian, ia merupakan pedoman
yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi sampai saat ini
dengan kaidah-kaidah yang sama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
informan bahwa perhitungan weton untuk menentukan waktu pernikahan
merupakan tradisi yang dipraktikkan masyarakat Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang.
Kedua, tradisi „urf „am (universal) / اام ع ف ر ع ان ن ى ك ي ن أ , dalam
syarat kedua ini, para ulama‟ khilaf, sebagian ulama Hanafiyyah (seperti Ibnu
Nujaim dan Ibnu Abidin) dan sebagian ulama‟ Syafi‟iyyah (seperti Ibnu Hajr
Al Haitami) mensyaratkan „urf harus bersifat umum, maka „urf khas menurut
mereka tidak dianggap/ghairu mu‟tabar. Jumhur Malikiyyah, sebagian
Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah tidak menganggapnya sebagai syarat, artinya „urf
khas dapat diberlakukan sebagaimana „urf ahli madinah yang juga salah satu
hukum syara‟ walaupun itu adalah urf khas (Ahmad, 1996:93-94).
Menurut penulis, tidak disyaratkan „urf harus „am dikarenakan melihat
definisi „urf yaitu segala sesuatu (ucapan atau perbuatan, baik ataupun jelek
menurut syara‟) yang telah menjadi tradisi mayoritas suatu kelompok, berlaku
75
di seluruh daerah atau sebagian dan baik berlaku di setiap masa atau pada
masa tertentu.
Ketiga, menurut Ahmad (1996:97) tradisi yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan nas yang ada, baik dari al-kitab maupun al-sunnah:
ت ى س و أ اب ت ك ه ا م ي ع ر اش ص و ف ر ع ان ف ان خ ي ل ن أ
Artinya, adat tersebut berupa adat shahih, sehingga tidak akan menganulir
seluruh aspek substansial nash. Maka bila seluruh isi substantif nash tidak
dianulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nas karena masih
terdapat beberapa unsur nas yang tidak tereliminasi, sebagaimana keberadaan
perhitungan weton dalam menentukan waktu pernikahan itu sendiri bahwa
tidak ditemukan dalil yang mendukung keberlangsungannya dan tidak ada
pula dalil yang melarangnya, kecuali apabila dalam praktik perhitungan
weton tersebut terdapat unsur syirik yang tidak dapat ditolerir agama Islam.
Keempat, menurut Qadir (1997:225) tradisi yang diakui adalah tradisi
yang berlaku saat berlangsungnya tasarruf:
ف ر تص ان اء ش إو ذ ى ا ع م ائ ق و ا أ د ى ج ى م ف ر ع ان ن ى ك ي ن أ
Jika menghendaki menjadikan „urf sebagai hukum dalam suatu
masalah, maka harus dapat dipastikan bahwa „urf tersebut yang mendominasi
ketika tasarruf itu berlangsung, baik tasarruf itu melalui ucapan ataupun
perbuatan, dikarenakan dengan tidak adanya penjelasan bagi perkara-perkara
yang bersifat „urfiyyah akan menimbulkan pergeseran makna di kemudian
hari (Ahmad,1996: 99).
76
Ketika seseorang menyebut perhitungan weton untuk menentukan
waktu pernikahan dengan menjumlahkan neptu, maka tidak bisa ditafsirkan
kepada hal lain karena tradisi itu yang berlaku di masyarakat. Dari sini dapat
dimengerti jika ada orang tua berwasiat kepada anak-anaknya kalau menikah
maka harus menggunakan hitungan aboge agar diberikan keselamatan dalam
menyelenggarakan hajat pernikahan. Maka istilah perhitungan weton tidak
bisa ditafsirkan ke hitungan yang lain karena itulah tradisi yang berlaku di
masyarakat.
Kelima, Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo (2005:285) menjelaskan
bahwa agar „urf diakui sebagai salah satu element pembentuk hukum, maka
dalam „urf tidak boleh terdapat ucapan atau perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai substansial adat/ ه ف ل خ ح ب ي ر ص ت ه ض ار ع ي ل ن أ
Sebagaimana salah satu kaidah fiqh:
ه ف ل ى خ ه ص ع ا و إر ت ب ث ي دكر , ل ن و ذ ب ف ر ع ان ب ت ب ث ا ي م
Segala hal yang ditetapkan oleh adat tanpa disebutkan, maka tidak
dapat dilegalisasi bila dilakukan kebalikannya.
Semisal ada tradisi pembayaran penyewaan diperbolehkan hanya
dengan uang muka dan sisanya di kemudian hari, akan tetapi sang pemilik
mensyaratkan harus melunasinya di awal transaksi, maka tradisi tersebut
tidak berlaku dengan adanya aksi perlawanan. Begitu pula dengan tradisi
perhitungan weton untuk menentukan waktu pernikahan, ia bukanlah suatu
tradisi yang harus dilakukan oleh semua orang ketika hendak melaksanakan
pernikahan, meskipun perhitungan weton tersebut sudah menjadi suatu norma
77
di kalangan masyarakat. Segala bentuk usaha yang dipercaya berakibat baik
terhadap pernikahan adalah diperbolehkan, jadi tidak harus mengikuti praktik
perhitungan weton seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Syarat terakhir yaitu tradisi yang berlaku haruslah mempunyai sifat
mengikat/ ه ف ر ع ان ن ى ك ي ن أ ام ز م (Ahmad, 1996: 102). Oleh karena adanya
syarat ini, maka muncullah kaidah-kaidah berikut ini:
ت م ك ح م ة اد ع ن ا
Adat atau tradisi dapat dijadikan landasan hukum (Yasin, 1997:266)
ا ط ر ش ط و ر ش م ا ن ا ك ف ر ع ف و ر ع م ن ا
Tradisi yang berlaku dihukumi sebagaimana syarat (Al-Burnu, 1994:251)
م ه ى ي ب ط و ر ش م ان ك ار ج انت ه ي ب ف و ر ع م ن ا
Tradisi di kalangan pedagang dihukumi sebagaimana syarat yang berlaku di
kalangan mereka (Al-Burnu, 1994:251).
Adanya kaidah-kaidah di atas memberi pengertian bahwa dalam suatu
tradisi menyimpan suatu sifat atau hukum mengikat. Andaikan tidak
mempunyai hukum mengikat maka tentunya tidak dapat dijadikan landasan
hukum. Misalnya jika terdapat perselisihan antara kedua mempelai suami
isteri tentang kadar nafkah yang menjadi hak isteri, maka bagi sang suami
hanya berkewajiban memberinya nafkah sesuai dengan tradisi yang berlaku di
daerah tersebut dan sang isteri harus menerimanya.
78
Dalam konsep perhitungan weton, terkadang terdapat perbedaan
pendapat antar masing-masing keluarga pihak calon pengantin, dimana kedua
pihak keluarga sama-sama mencari hari baik dengan perhitungan weton yang
sama. Dalam hal perbedaan pendapat ini, maka pada umumnya yang
digunakan adalah sistem perhitungan weton oleh pihak keluarga calon
pengantin perempuan. Sebab, budaya di masyarakat Jawa (termasuk di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang) hajatan pesta perkawinan
dan upacara ijab qabul dilaksanakan di rumah pengantin perempuan.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa penggunaan sistem
perhitungan weton untuk mencari hari dan jam yang baik dalam pernikahan
yang ada di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang termasuk
„urf shahih yang boleh untuk dijalankan selama tidak menyebabkan kepada
perbuatan syirik. Karena „urf shahih merupakan sesuatu yang telah saling
diketahui mayoritas masyarakat, baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang
mendapatkan legitimasi dari syar‟i dengan adanya dalil-dalil pendukungnya,
atau yang tidak mendapatkan legitimasi dari syar‟i akan tetapi tidak
melepaskan segi maslahat dan tidak mengandung mafsadah.
B. Analisis Landasan Hukum Islam Terhadap Praktik Pernikahan di Desa
Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Menikah merupakan salah satu fenomena yang senantiasa diharapkan
oleh setiap manusia yang berakal dan berjiwa sehat. Biasanya pada
masyarakat Jawa sebelum melangsungkan sebuah pernikahan dilakukan
79
penentuan hari pernikahan, diawali dengan pihak laki-laki akan mengirimkan
orang yang dipercaya sebagai perwakilan untuk bertemu dengan pihak
perempuan guna memberitahukan bahwa pihak laki-laki telah siap untuk
melangsungkan pernikahan, sehingga hari pernikahan dapat segera
ditentukan. Penentuan hari pernikahan dilakukan oleh pihak perempuan
dibantu oleh sesepuh atau tokoh adat. Setelah pihak perempuan melakukan
penentuan hari pernikahan akan diberitahukan kepada kerabat atau keluarga
laki-laki dengan berganti pihak perempuan akan datang berkunjung pada
keluarga laki-laki. Pada pernikahan orang Jawa dilakukan perhitungan dengan
menggunakan sistem pengetahuan orang Jawa berdasarkan perhitungan
weton, yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai.
Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang adalah salah
satu desa yang sebagian masyarakatnya sampai saat ini masih percaya dengan
perhitungan weton dalam menentukan apakah kedua calon mempelai itu
berjodoh atau tidak. Jika ternyata hasil perhitungan tidak jodoh, maka rencana
untuk melangsungkan pernikahan tersebut dibatalkan. Sebaliknya, jika
perhitungan weton menunjukkan hasil yang baik (jodoh) maka penentuan hari
pernikahan segera ditentukan. Kemudian langkah terakhir yaitu menentukan
waktu (jam) pernikahan. Masyarakat Desa Tajuk percaya bahwa menikah
pada jam-jam tertentu akan berpengaruh pada kehidupan mereka di masa
yang akan datang.
Bagi sebagian masyarakat Desa Tajuk penggunaan perhitungan weton
dalam pernikahan menjadi salah satu hal yang wajib. Oleh karena itu
80
mengetahui neptu weton kedua calon pengantin sangatlah penting.
Kekentalan tradisi masyarakat Tajuk tersebut begitu kuat, menjadikan proses
Islamisasi tersebut menampilkan corak dan ragam dari sistem keyakinan dan
berbagai ekspresi keagamaan yang unik.
Dalam hierarki masadir al-ahkam dalam Islam, kita mengenal
beberapa metode istinbat hukum, baik yang disepakati (muttafaq „alaih)
maupun diperdebatkan (mukhtalaf fih). Al-Quran, sunah, ijma‟ dan qiyas
adalah yang disepakati. Sedangkan yang tidak disepakati bermacam-macam,
salah satunya „urf (kebiasaan/adat istiadat). ‟Urf sendiri legal diterapkan
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Perhitungan weton
merupakan bagian dari kebiasaan masyarakat Tajuk yang sangat mungkin
untuk dianalisis dari kacamata „urf tersebut.
Penetapan hukum weton dengan menggunakan „urf sebenarnya
mengembalikan hukum sesuatu pada hukum asalnya. Hal ini sesuai dengan
sebuah kaidah yang berbunyi:
يم ر ح ى انت ه ع م ي ن انذ ل ذ ى ي حت ت الإباح ياء ش ل في ا م ص ال
Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil
yang mengharamkannya.
Namun karena penggunaan weton pada kasus perkawinan tidak murni
urusan mu‟amalah, melainkan terselip urusan keyakinan, maka tidak tepat
jika menggunakan kaidah di atas. Alternatif lain adalah kaidah yang
dirumuskan oleh kalangan Hanafiyyah:
ت باح ى الإ ه ع م ي ن انذ ل ذ ى ي ت ح م ي ر ح انت اء ي ش في ال م ص ل ا
81
Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah haram, hingga ada dalil
yang membolehkannya.
Bila pernikahan terjadi berdasarkan hitungan weton, pernikahan
tersebut tetap sah selama rukun dan syarat dalam Kompilasi Hukum Islam
terpenuhi. Penggunanan perhitungan weton ini diperbolehkan selama tidak
ada unsur syirik, akan tetapi jika tidak digunakan juga tidak menjadi masalah.
Apapun hukumnya, jika dilihat dari sudut pandang sosial, hitung weton untuk
perkawinan bisa dipahami sebagai keinginan orang tua untuk memilihkan
pasangan hidup terbaik bagi anak.
C. Analisis Motif Yang Mendasari Masyarakat Desa Tajuk Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang Dalam Menjalankan Praktik Perhitungan
Weton Untuk Menentukan Waktu Pernikahan
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ada tiga faktor yang
melatarbelakangi penggunaan perhitungan weton dalam penentuan waktu
pernikahan, yaitu sebagai berikut:
1. Keselamatan
Sebagian masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pernikahan
itu sedikit banyak ada kaitannya dengan perhitungan weton. Ketika salah
dalam memilih hari dan jam pernikahan maka diyakini akan
menimbulkan ketidakberuntungan bagi kedua calon pengantin.
82
Sebaliknya, dengan mencari hari baik sesuai pedoman yang nenek
moyang ajarkan berarti telah melakukan upaya untuk memperoleh
keberuntungan dan keselamatan.
Penggunaan perhitungan weton dalam penentuan hari dan jam
pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
merupakan salah satu upaya mencari keselamatan dalam melaksanakan
perkawinan. Mereka percaya bahwa semua hajat dalam pesta perkawinan
akan mendapat kemudahan dan keberuntungan, baik keberuntungan pada
saat melaksanakan hajat pernikahan, berumah tangga, rezeki, maupun
keberuntungan lain bagi kedua mempelai terkait kehidupan rumah
tangga.
2. Psikologis
Sebagian masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang memiliki alasan tersendiri menggunakan sistem perhitungan
weton dalam menentukan hari pernikahan yaitu untuk memperoleh
kemantapan dan rasa aman terhadap berbagai macam mara bahaya.
Meskipun dengan mengikuti perhitungan weton dalam penentuan waktu
pernikahan juga bukan sebuah jaminan memperoleh kehidupan yang
bahagia dalam rumah tangga, setidaknya dengan memakai perhitungan
weton tersebut dapat menimbulkan fikiran positif terhadap psikologi
seseorang, yaitu rasa mantap dalam melaksanakan hajat pernikahan.
Karena dalam konsep perhitungan weton terkandung harapan agar
pernikahan dilingkupi keberuntungan-keberuntungan dan keselamatan.
83
Sehingga sebagian masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang percaya bahwa perhitungan weton dalam
penentuan waktu pernikahan tersebut dapat memberikan dampak rasa
optimis terhadap psikologi.
3. Pelestarian Tradisi
Aspek perhitungan weton sebagai salah satu instrumen dalam
pernikahan masyarakat Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang sudah menjadi tradisidan adat istiadat yang telah lama hidup.
Adat yang berlaku dalam ranah kehidupan sosial memiliki andil dan
pengaruh terhadap keyakinan masyarakat terhadap perhitungan weton
dalam prosesi pernikahan. Begitu pentingnya pernikahan dalam
kehidupan maka diberlakukan berbagai macam aturan yang lambat laun
kemudian menjadi tradisi. Melaksanakan adat merupakan bagian
penghormatan terhadap leluhu, dan tradisi yang dipraktikkan hari ini
tidak lain merupakan praktik masa lalu yang menjadi kesepakatan para
orang tua. Pelaksanaa adat pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan
legalitas secara sosial.
Adat istiadat secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya,
keyakinan dan pengetahuan yang dijadikan pedoman dalam kehidupan
masyarakat. Pernikahan tidak hanya menyangkut masalah individu, tetapi
juga sosial. Hal ini dikarenakan pernikahan tidak akan mungkin
terlaksana tanpa adanya bantuan kerja sama dari kerabat calon kedua
mempelai. Dengan demikian maka hal ini tidak hanya menjadi identitas
84
bagi komunitas tetapi diadakan dalam rangkan melestarikan adat istiadat
yang di dalamnya memang terdapat syarat makna
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Praktik pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang adalah dengan menggunakan perhitungan weton dalam
menentukan apakah kedua calon mempelai pengantin berjodoh atau
tidak. Jika berdasarkan hasil perhitungan weton ternyata berjodoh, maka
langkah selanjutnya adalah menentukan hari, tanggal, bulan dan jam
dilaksanakannya akad juga dengan menggunakan perhitungan weton.
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi praktik penentuan dan perhitungan
waktu pernikahan di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang adalah alasan tidak melangggar ajaran agama, alasan
panggilan adat, alasan kewajiban dan pertimbangan neptu, alasan
keselamatan, alasan peristiwa yang pernah terjadi dan alasan pelestarian
ke generasi.
3. Rangkaian acara pra nikah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tajuk
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang di atas merupakan sebuah
kearifan lokal yang menjadi warisan leluhur. Adat yang selama ini
terbentuk ternyata dapat sesuai dan terserap dalam hukum perkawinan di
Indonesia, seperti dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa adat istiadat
yang ada di Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang sudah
86
selaras dengan apa yang menjadi hukum perkawinan di Indonesia. Selain
itu kekayaan makna yang terkandung dalam setiap prosesi yang
dilaksanakan menunjukkan betapa hukum dan aturan yang mereka buat
dan warisi memang benar-benar bertujuan untuk mencapai apa yang
menjadi pesan Tuhan.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Untuk melestarikan perhitungan Jawa sebagai warisan budaya,
maka penggunaan perhitungan Jawa dalam kegiatan perkawinan layak
dipergunakan sebagai bahan untuk menentukan hari baik dalam
pelaksanaan kegiatan perkawinan serta menentukan baik buruknya
perjodohan. Pada dasarnya maksud dari perhitungan Jawa pada kegiatan
perkawinan pada dasarnya baik, namun masyarakat diharapkan harus
lebih bijak dalam menyikapi perhitungan Jawa tersebut. Masalah-
masalah yang muncul dalam perkawinan bukan semata-mata karena
kesalahan dari perhitungan Jawanya, namun ada banyak faktor yang
mendasari hal tersebut. Selain untuk melestarikan adat yang ada dalam
masyarakat hal itu juga bertujuan agar kegiatan perkawinan yang
dilaksanakan bisa berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang
diharapkan.
2. Bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam perhitungan Jawa
Agar penentuan hari pelaksanaan kegiatan perkawinan dan
perjodohan bisa tepat maka harus benar-benar teliti dalam melakukan
87
perhitungan. Memperhatikan neptu dari kedua calon mempelai pengantin
serta hari-hari yang dilarang untuk melaksanakan akad perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Adil bin Abd Qadir. 1997. Al-„urf. Cet I. Makkah. Al- Maktabah al-Makkiyah.
Al-Burnu, Muhammad Sidqi bin Ahmad. 1994. Al-Wajiz fi Idah al-Qowaid. Cet
III. Riyadh: Al-Maktabah al Taubah.
Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi‟i.
tt. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha
Keluarga.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah. Beirut: Dar al-
Fikr.
Al-Mubariki, Ahmad bin Ali Sir. 1996. Al-urf. Riyadh: t.p.
Ali, Zainuddin. 2010. Metodologi penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Aminuddin. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Penasihat dan Pelestarian Perkawinan (BP4). 2009. Buku Panduan
Keluarga Muslim. Semarang.
Basyir, Azhar, Ahmad. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Jogjakarta: UII Press.
Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Bumi Aksara.
Dewi, Gemala dkk. 2005. Hukum Perikatan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fathoni, Abdurrahmat. 2011. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta.
Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada
Media.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Penelitian Reseach. Yogyakarta: Yayasan
Penelitian Fakultas Psikologi UGM.
Hikmat, Mahi. 2011. Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi Dan
88
Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo. 2005. Formulasi Nalar Fiqh. Cet II. Surabya:
Khalista.
Moloeng, Lexy, J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda
Karya.
Pujileksono, Sugeng. 2015. Pengantar Antropologi Memahami Realita Sosial
Budaya. Malang: Intrans Publishing.
Sudarsono. 1922. Pokok-Pokok hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Syarifudin, Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Ulfatmi. 2011. Keluarga Sakinah dalam Persepektif Islam. Kementerian Agama
RI.
Umam, Chaerul. 1998. Ushul Fiqh-1. Bandung: CV Pustaka Setia.
Umam, Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqh 1. Bandung: CV Pustaka Setia.
Yasin, Moh Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam Sasak. UIN Malang Press.
https://fadhlihsan.wordpress.com/2011/02/08/apa-itu-at-tathayyur/