i
PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH
DI ACEH DAN KELANTAN
OLEH:
KHAMAMI
NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032
PEMBIMBING:
PROF. DR. M. ATHO MUDZHAR, MSPD
PROF. DR. MASYKURI ABDILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan kekuatan
dan bimbingan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi yang
berjudul Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan. Shalawat dan
salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat,
dan para pengikutnya.
Tema disertasi ini terinspirasi oleh perdebatan di kalangan umat
Islam tentang syariat Islam yang menjadi hukum negara. Ada sebagian
kalangan yang berpendapat bahwa syariat Islam harus menjadi hukum
negara dan ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa syariat Islam
tidak menjadi hukum negara. Perdebatan ini melahirkan pro-kontra yang
berkepanjangan di sejumlah negeri Muslim. Indonesia dan Malaysia sebagai
Negara Muslim menghadapi problematika dalam memberlakukan syariat
Islam ke dalam sistem hukum negara.
Perdebatan yang panjang sejak Indonesia merdeka telah mencapai
kompromi bahwa agama menjadi bagian penting dalam sistem hukum
negara. Dalam posisi yang demikian ini, sejumlah perundang-undangan yang
berkaitan dengan agama (Islam) disahkan, yang mengatur Peradilan Agama,
Hukum Perkawinan, Perbankan Syariah, Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Pengelolaan Zakat, dll.
Perdebatan yang panjang sejak Malaysia merdeka telah mencapai
kompromi bahwa Islam menjadi agama resmi negara, meskipun agama-
agama lain diakui. Dalam posisi yang demikian ini, sejumlah perundang-
undangan yang berkaitan dengan Islam disahkan, yang mengatur Mahkamah
Syariah, Hukum Keluarga, Perbankan Syariah, Hukum Jinayah, dll.
Aceh (Indonesia) dan Kelantan (Malaysia) merupakan daerah yang
paling progesif dalam upaya pelaksanaan syariat Islam. Karakter
masyarakatnya yang relijius telah mendukung pelaksanaan syariat Islam.
Ditambah lagi dengan kekuatan politik dan masyarakatnya yang menjadikan
Aceh dan Kelantan memiliki momentum dalam pelaksanaan syariat Islam.
Penyelesaian konflik di Aceh di masa reformasi (1998-sekarang)
telah menjadikan semangat baru untuk melaksanakan syariat Islam. Tak
heran, jika Aceh telah melaksanakan sebagian syariat Islam di bidang
hukum jinayah. Sejumlah Undang-undang dan Peraturan Daerah/Qanun
telah disahkan untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam, terutama
pelanggaran akidah, ibadah, syiar Islam, khamar, maisir, khalwat,
pelanggaran zakat, dan baitul mal.
Peralihan kekuasaan di Kelantan (1990-sekarang) telah menjadikan
Kelantan berjuang melaksanakan syariat Islam secara ka>ffah. Kekuatan
iv
politik yang dimiliki di Kelantan (PAS) dan kekuatan sosial masyarakatnya
telah berhasil dimobilisasi sebagai daya dorong pelaksanaan syariat Islam.
Usaha keras untuk melaksanakan h}udu>d di Kelantan pun hingga kini terus
berkobar di kalangan politisi dan masyarakat.
Atas dasar itu, disertasi ini menemukan hubungan yang kuat antara
hukum jinayah dan penguasa. Dalam arti, bahwa pemberlakuan hukum
jinayah ke dalam sistem hukum negara ditentukan oleh model interaksi
kehendak politik hokum nasional, Pemerintahan Daerah, partai politik, dan
masyarakat. Dari segi materi hukum, pemberlakuan hukum jinayah Aceh
dan Kelantan ditentukan oleh tingkat pemberlakuan qis}a>s}, h}udu>d dan ta’zi>r. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis banyak mengucapkan terima
kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memberikan kontribusi,
baik berupa pemikiran, saran, dan dukungan, di antaranya kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD selaku promotor I dan Prof. Dr.
Masykuri Abdillah selaku promotor II yang banyak memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis dengan tekun, teliti, sabar, dan
ikhlas dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini dari semua aspek.
Keduanya juga terbuka memberikan kesempatan kepada penulis untuk
berdiskusi dan berdialog dalam setiap kesempatan.
2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang banyak menuangkan kebijakan-kebijakan
strategis dalam memajukan iklim akademis yang dapat penulis rasakan
selama belajar.
3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengimprovisasi
kebijakan-kebijakan baru, utamanya dalam peningkatan dan
pengembangan metode riset yang berkualitas dan bertaraf Internasional,
secara khusus beliau juga banyak memberikan arahan dan perbaikan
dalam penulisan ini.
4. Tim Penjamin Mutu Internal Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengevaluasi dan memberikan
masukan dalam proses penulisan ini melalui tahapan-tahapan Work in
Progress (WIP), sebagai bagian dari pengayaan substansi penelitian.
5. Segenap Guru Besar dan para dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan mata kuliah selama
penulis menjadi mahasiswa Program Doktoral di Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga tercatat sebagai amal ibadah.
Penulis juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya serta
ucapkan terima kasih kepada semua pihak, civitas akademika, rekan-rekan
kuliah, serta teman-teman diskusi, baik dalam perkuliahan maupun di luar
v
kampus, dan forum ilmiah yang banyak membantu penulis, baik langsung
ataupun tidak dalam penuntaskan disertasi ini.
Tak lupa, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istriku,
Encum Miftafriyah yang telah memberikan support dan perhatian tulus
hingga kuliah Doktoral terselesaikan. Kepada anak-anaku, Arya Zilfakham,
Bayu Ahmad Zilfakham, dan Ahraz Nik Safir Zilfakham, penulis merasakan
banyak waktu yang terbagi dalam membimbing-mendidik dan
menyelesaikan studi Doktoral ini.
Disertasi ini adalah karya manusia yang banyak kekurangan dan
kelemahan. Penulis menyadari kelemahan data, informasi, dan analisis
dalam disertasi ini. Oleh karenanya, dengan senang hati penulis
mengharapkan masukan, saran, kritik dan kontribusi konstruktif lainnya dari
pembaca dan pemerhati untuk kesempurnaan disertasi ini. Semoga Allah
Swt senantiasa memberikan keberkahan dan bimbingan kepada kita semua,
agar menjadi hamba yang selalu mengabdi dan bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya. Akhirnya, semoga karya ini bermanfaat kepada semua pihak,
amin.
Tangerang Selatan, 7 Mei 2014 M/ Rajab 1435 H
Yang Membuat Pernyataan
Khamami
vi
vii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda-tangan dibawah ini:
Nama : Khamami
NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032
Tempat Tugas : Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat Rumah : Vila Inti Persada, Jalan Alam Indah, Blok C6 No. 36
Pamulang Timur, Pamulang, Kota Tangerang Selatan
Banten
menyatakan dengan sebenarnya, bahwa disertasi dengan Judul:
‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ adalah karya penulis
sendiri, bukan hasil jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya atau atas petunjuk para pembimbing. Jika dikemudian hari
terbukti tidak benar, maka sepenuhnya akan menjadi tanggung-jawab
penulis dan bersedia gelar dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini, saya
buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 8 April 2014
Yang Membuat Pernyataan
Khamami
viii
ix
PERSETUJUAN PROMOTOR
Setelah diadakan pembimbingan, disertasi dengan judul: ‚Pemberlakuan
Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ yang ditulis oleh:
Nama :Khamami
NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032
Konsentrasi : Syariah
telah melalui work in progress I, II, III, dan IV serta telah diperbaiki sesuai
dengan saran-saran pembimbing dan disetujui untuk diajukan dalam sidang
terbuka (Ujian Promosi).
Jakarta, 4 April 2014
Promotor I:
Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD
x
PERSETUJUAN PROMOTOR
Setelah diadakan pembimbingan, disertasi dengan judul: ‚Pemberlakuan
Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ yang ditulis oleh:
Nama :Khamami
NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032
Konsentrasi : Syariah
telah melalui work in progress I, II, III, dan IV serta telah diperbaiki sesuai
dengan saran-saran pembimbing dan disetujui untuk diajukan dalam sidang
terbuka (Ujian Promosi).
Jakarta, 7 April 2014
Promotor II:
Prof. Dr. Masykuri Abdillah
xi
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI
Disertasi dengan Judul: ‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan
Kelantan‛ yang ditulis oleh Khamami, NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032 telah
LULUS dalam Ujian Pendahuluan (tertutup) pada hari Selasa, 29 April
2014, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran dan komentar para
Dewan Penguji, sehingga disertasi ini dapat diajukan ke sidang Promosi
Doktor (Ujian Terbuka).
Jakarta, 7 Mei 2014
DEWAN PENGUJI,
1. Prof. Dr. Suwito, MA
(Ketua sidang/merangkap Penguji) Tanggal……………………….
2. Prof. Dr. A. Ghani Abdullah
(Penguji 1) Tanggal……………………….
3. Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo
Penguji 2 Tanggal……………………….
4. Prof. Soedijarto, MA
Penguji 3 Tanggal……………………….
5. Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD
Pembimbing/merangkap Penguji 1 Tanggal……………………….
6. Prof. Dr. Masykuri Abdillah
Pembimbing/merangkap Penguji 2 Tanggal……………………….
xii
xiii
ABSTRAK
Khamami, NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032, Judul Disertasi:
‚PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN‛
Studi ini menemukan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Aceh
dan Kelantan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan
ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu kehendak politik pemberlakuan hukum
jinayah dan materi hukum jinayah. Dari segi kehendak politik, persamaan
dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan
oleh model interaksi antara kehendak politik hukum nasional, kehendak
politik Pemerintahan Daerah, respon partai politik, dan respon masyarakat.
Dari segi materi hukum, persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum
jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh tingkat pemberlakuan qis}a>s}, h}udu>d dan ta‘zi>r.
Temuan tentang besarnya peranan kehendak politik penguasa ini
mendukung teori Mahfudh MD (2006) yang menyatakan bahwa hukum
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
berinteraksi dan saling bersaing. Teori Mahfudh ini masih bersifat umum
karena studi ini justru menemukan bahwa politik itupun masih bervariasi,
yakni politik hukum nasional dan politik Pemerintahan Daerah atau bahkan
saling bertentangan antara keduanya. Studi ini juga mendukung teori M.B.
Hooker (2013) yang menyatakan bahwa pemberlakuan hukum (syariah)
selalu merupakan konstestasi politik di level Pusat dan Daerah karena
syariat Islam pada dasarnya bersifat ideologis, yang selalu dinegosiasikan
baik secara rasional maupun tidak rasional. Studi ini memodifikasi temuan Kikue Hamayotsu (2003) yang
menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam semata-mata merupakan
insentif politik (political insentive) dari elit penguasa untuk mengelola
sistem patronase kepada pemilih Muslim, tetapi justru merupakan hasil
interaksi antara kehendak politik politik hukum nasional, kehendak politik
Pemerintahan Daerah, respon partai politik dan masyarakat. Studi ini juga
memodifikasi temuan M. Buehler (2008) yang menyatakan bahwa
pemberlakuan syariat Islam di Aceh hanya merupakan akumulasi politik
kekuasaan yang dimainkan oleh elit lokal, tetapi justru merupakan kehendak
politik elit Pusat. Studi ini juga memodifikasi temuan Much. Nur Ichwan
(2007) dan Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad (2009) yang menyatakan
bahwa pemberlakuan syariat Islam semata-mata hanya merupakan upaya
Pemerintahan Negara untuk menyelesaikan konflik di daerah, melainkan
hasil interaksi antara kehendak politik hukum nasional dan kehendak politik
Pemerintahan Daerah, respon partai politik dan respon masyarakat ketika
xiv
daerah itu berstatus negara bagian dalam sistem federasi atau berstatus
otonomi khusus dalam sistem negara kesatuan.
Dari segi materi hukum, studi ini mendukung temuan Mohammad
Hashim Kamali yang menyatakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan
mengadopsi fikih konvensional. Studi ini menemukan bahwa hukum jinayah
yang diberlakukan di Kelantan mengadopsi pendapat empat mazhab, yaitu
Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hambali. Sebaliknya, studi ini berbeda dengan
temuan Mohd. Said bin Mohd. Ishak yang menyatakan bahwa hukum
jinayah yang diberlakukan di Kelantan hanya mengacu pada mazhab Syafi‘i.
Terkait peranan gerakan radikalisme, studi ini membantah pendapat
Ira M. Lapidus (1997), Peter G. Riddel (2005), Robin Bush (2008), dan
Haedar Nashir (2009) yang menyatakan bahwa perjuangan pemberlakuan
syariat Islam merupakan fenomena gerakan radikalisme Islam dan jalan
kekerasan, melainkan dengan perjuangan politik secara damai.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan
metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik,
pendekatan fikih, pendekatan sejarah, dan pendekatan sosiologi. Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perbandingan dengan
membandingkan kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah dan materi
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, observasi,
dan wawancara. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap informan di Aceh dan
Kelantan, seperti IAIN Ar-Raniry, Dinas Syariat Islam, Majelis
Permusyawaratan Ulama, ulama dayah (pesantren), anggota DPRA Partai
Demokrat, Partai Aceh, anggota DUN PAS, UMNO, dan PKR, Mahkamah
Syar’iyyah Kelantan, Mufti Kelantan, dan masyarakat akar rumput dari
kalangan Muslim dan Non-Muslim.
Data lainnya bersumber dari dokumen, literatur, dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Aceh dan Kelantan, seperti
Enakmen Kanun Jinayah Syariah (I) 1983 Negeri Kelantan, Draft Enakmen
Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan, UU No. 44 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus NAD dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, Perda No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat
Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No. 10 Tahun 2002
Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang
Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam,
Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7
Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang
Baitul Mal, dan Draft Qanun Jinayah 2009.
xv
ABSTRACT
Khamami (13.08.3.00.0.01.01.0032) 2014. The Jinayat Law Enforcement in
Aceh and Kelantan
This study found that the enforcement of jinayat law in Aceh and
Kelantan shares similarities and also differences. These similarities and
differences can be seen from two aspects namely political will of jinayat
enforcement and the substance of jinayat law. From the side of political will,
jinayat enforcement both in Aceh and in Kelantan are defined by the
interaction model among national law politics, local governance politics,
response of political parties and response of the people. In term of the legal
matter, the similarities and the differences of jinayat enforcement in Aceh
and Kelantan are determined by the degree of enforcement of qis}a>s}, h}udu>d,
and ta‘zi>r. In term of the role of political will in the jinayat enforcement, this
study supports Mahfudh MD’s theory (2006) which states that the law is the
crystallization of political wills that interact and compete one another. This
theory is too broad thus this study finding adds to the theory that there is a
variety of politics between state governance and local governance which can
be contradictory between the two. This study also support the theories of
MB. Hooker which state that the law is the result of political contestation at
both local and national levels which means that the shariah Islam, being
essentially ideological, is always negotiable rationally or irrationally.
This study modifies the findings of Kikue Hamayotsu (2003) who
mention that the formalization of Islamic law is merely a political incentive
from the ruling elites to manage the patronage system to the Muslim voters.
This study finds that this formalization is as the result of interaction among
the political will of the national law, local governance, political parties and
the public response. This study also modifies the findings of M. Buehler
(2008) which state that the imposition of Islamic law in Aceh is simply an
accumulation of political power played by local elites. Instead, this study
finds that the imposition is the political will of the central elites. In
addition, this also modifies the finding of Much. NurIchwan (2007) and
Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad (2009) who state that the imposition of
Islamic law is solely a central government effort to resolve the conflict in
the region. This study finds that it is the result of the interaction among the
political will of national law, local governance, the responses of political
parties and public response within the status of the region as the federation
system or special autonomy.
In terms of the legal matter, this study supports the findings of
Mohammad Hashim Kamali stating that jinayat enforcement in Kelantan is
xvi
adopting conventional law. This study finds that jinayat law enacted in
Kelantan adopted the opinion of the four scholars, the Maliki, Hanafi,
Shafi'i, and Hanbali. Conversely, this study is in contrast to the findings of
Mohd. Said bin Mohd. Isaac jinayat stating that the law enacted in Kelantan
only refers toShafi’i.
In term of the radicalism role, this study refutes the theories of Ira
M. Lapidus (1997), Peter G. Riddell (2005), Robin Bush (2008), and
HaedarNasir (2009) stating that the struggle towards Islamic law
enforcement is a phenomenon of Islamic radicalism and violence. Instead,
this study finds that the law enforcement is done by peaceful political
struggle.
This study is a field research with qualitative method. This study
used hermeneutic approach, fikih approach, historical approach, and
sociological. Comparative analysis is employed in this study by comparing
the political will as well as jinayat law matters in Aceh and Kelantan.
The data for this study were gained by documentation, observation,
and interviews. The primary data used in this study were derived from
observation and depth interviews with informants in Aceh and Kelantan,
such as from IAIN Ar-Raniry, Department of Islamic Sharia, the Islamic
Scholars Council, Dayah schools (boarding), DPRA members of the
Democratic Party, Aceh party, DUN members of PAS, UMNO, and PKR,
the Shar’iyyah Court of Kelantan, Kelantan Mufti, and grassroots
community of Muslims and Non-Muslims.
Other data were derived from documentations, literatures, and
legislations related to Aceh and Kelantan, such as Enakmen Kanun Jenayah
Sharia (I) 1983 State of Kelantan, Bill of Enakmen Kanun Jenayah Sharia
(II) 1993 State of Kelantan; Law No. 44 Year 1999 on the Implementation
of Aceh Privileges; Law No. 18 of 2001 on Special Autonomy for Aceh;
Law No. 11 Year 2006 on Aceh Governance; Regulation No. 5 Year 2000 on
the Enacment of Islamic law in Aceh province; Qanun No.10 Year 2002
Concerning the Shari'a Courts; Qanun No.11 of 2002 on the
Implementation of Islamic Law in the Fields of Belief, Worship, and
Islamic Preaching; Qanun No.12 of 2003 on Khamr; Qanun No. 13 of 2003
on Gambling; Qanun No.14 Year 2003 on Seclusion; Qanun No. 7 Year 2004
Concerning Zakat; Qanun No. 10 Year 2007 on the Baitul Mal; and Bill of
Qanun Jinayah 2009.
xvii
ملخص
تنفيذ األحكام اجلنائية :، عنوان رسالة الدكتوراه13.08.3.00.0.01.01.0032: مخامي، رقم التسجيل. (ماليزيا)وكالنتان (إندونيسيا) يف أتشيو (التنفيذ اجلنائي)
أثبتت ىذه الدراسة وجود تشاهبات واختالفات بت التنفيذ اجلنائي بــــأتشيو وكالنتان اليت تتمثل يف إرادة جوه التشاهبات واالختالفات من حيث إرادة السياسة الوطنية أما و .سياسة األحكام الوطنية ومواد األحكام اجلنائية
واحلكومة احمللية واالستجابة لألحزاب السياسية واالستجابة الوطنيةمنوذج التفاعل بت إرادة سياسة األحكام حيددىاحيددىا مستوى تنفيذ القصاص، واحلدود، ووجوه التشاهبات واالختالفات من حيث ادلواد اجلنائية. للمجتمع
. والتعزير
نتيجة أو اليت صرحت أن القانون Mahfud MD‛(2006)“ نظرية حمفوظ وأيدت ىذه الدراسة عامة ألهنا عبارة عن تظل ىذه النظرية ولكن. بلورة من اإلرادات السياسية اليت يتفاعل ويتنافس بعضها بعضا
وىكذا أيدت . سياسة األحكام الوطنية وسياسة واحلكومة احمللية بل السياسة ادلتعارضة بينهما منها السياسة ادلختلفةاليت صرحت أن تنفيذ الشريعة ال يزال متأثرا بالتنافس السياسي ىف (2013)ىوكر . ب.ىذه الدراسة نظرية م
ادلستوى ادلركزي واحمللي ألن الشريعة ىي اإليديولوجية أصال ويكون دائما على التفاوضات منطقيا أو غت منطقي
Kikue“وبرىنت ىذه الدراسة أن ما أشار إليو الدراسات السابقة من دراسة كيكو محايوتسو
Hamayotsu”( 2003) اليت قالت إمنا إضفاء الشريعة اإلسالمية على القانون من احلوافز السياسية من ”M. Buehler“بوحلت . م حيث النخبة السياسية إلدارة نظام احملسوبية حنو ادلنتخب ادلسلم، ودراسة
اليت ذكرت أن تنفيذ الشريعة اإلسالمية يف أتشيو جمرد التاكم السياسي للنخبة احمللية، ودراسة حممد نور (2008)اليت استنتجت أن تنفيذ الشريعة اإلسالمية ليس إال جهود (2009)وقمر الزمن بوستامان أمحد (2007)إخوان
وإن تنفيذ الشريعة اإلسالمية نتيجة من التفاعل بت إرادة السياسة . سياسة احلكومة ادلركزية دلعاجلة الصراع يف احملليةاألحكام الوطنية وإرادة السياسة احلكومة احمللية واالستجابة لألحزاب السياسية واالستجابة للمجتمع دلا كانت والية
. ما يف حالة الدولة عند نظام االحتاد أو يف حالة احلكم الذايت اخلاص عند نظام الدولة الوحدوية
أما من حيث ادلواد اجلنائية فأيدت ىذه الدراسة ما برزه حممد ىشيم كمايل من خالل حبثو أن التنفيذ وأن األحكام اجلنائية اليت عقدت يف كالنتان تطبق على أربعة .الفقو التقليدي اجلنائي الذي عقد يف كالنتان يتبت
. مذاىب ىي ادلذىب ادلالكي، وادلذىب احلنفي، وادلذىب الشافعي، وادلذىب احلنبلي
xviii
وفيتت ريدل Ira M. Lapidus” (1997)“تعارضت ىذه الدراسة ما يذىب إليو إيراء لفيدوس“Peter G. Riddel” (2005) وروبت بوش“Robin Bush” (2008) وحيدرنصت“Haedar
Nashir” (2009) أن نضال تطبيق الشريعة اإلسالمية عبارة عن ظاىرة حركة تطرف اإلسالم إنو غت صحيح. بل ىو نضال السياسة السليمة
ىذه الدراسة حبث ميداين يستخدم الطريقة النوعية، وادلدخل التفستي، وادلدخل الفقهي، وادلدخل . وادلدخل االجتماعي، وحتليل ادلقارنة بت اإلرادة السياسية للتنفيذ اجلنائي وادلواد اجلنائية يف أتشيو وكالنتان التارخيي،
كما يستخدم طريقة التوثيق وادلالحظة وادلقابلة جلمع البيانات األساسية ادلأخوذة من ادلخربين بأتشيو واجمللس الوطت للمديرين يف الشريعة وكالنتان الذين ىم يشتغلون يف ادلعهد الرانتي العايل اإلسالمي احلكومي،
من احلزب الدديوقراطي اإلسالمية، وجملس الشورى للعلماء، وعلماء ادلعاىد اإلسالمية، وأعضاء جملس النواب أتشيووحزب أتشيو، وأعضاء جملس الدعوة الوطنية وأعضاء وحدة األحزاب اإلسالمية ادلاليزية، ومنظمة ماليو الوطنية
. ادلتحدة، وحزب عدالة الرعية، واحملكمة الشرعية كالنتان، ومفىت كالنتان، واجملتمع اإلسالمي واجملتمع الال إسالمي
. أما البيانات األساسية اليت صدرت من ادلالحظة وادلقابلة فهي مأخوذة من التشريعات ادلتعلقة بأتشيو كالنتان، والقانون 1983 سنة 2 كالنتان، والقانون اجلنائي رقم 1983 سنة 1وكالنتان مثل القانون اجلنائي رقم
عن احلكم الذايت اخلاص بدولة أتشيو 2001 سنة 18 عن تنفيذ ادلزية ألتشيو، والقانون رقم 1999 سنة 44رقم عن تنفيذ 2000 سنة 5رقم عن حكومة أتشيو، والنظام احمللي2006 سنة 11دار السالم والقانون رقم
عن احملكمة الشريعة ، والقانون 2002 سنة 10الشريعة اإلسالمية يف حمافظة والية أتشيو اخلاصة، والقانون رقم عن تنفيذ الشريعة اإلسالمية يف جمال العقائد، والعبادة، والشعار اإلسالمي، والقانون رقم 2002 سنة 11رقم عن 2003 سنة 14 عن ادليسر، والقانون رقم 2003 سنة 13 عن اخلمر، والقانون رقم 2003 سنة 12
عن بيت ادلال، ومشروع 2007 سنة 10 عن توظيف الزكاة، والقانون رقم 2004 سنة 7اخللوة، والقانون رقم . 2009القانون اجلنائي سنة
xix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
i
ii
SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN PROMOTOR
iii
vii
PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI
ABSTRAK
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAFTAR TABEL
DAFTAR MATRIK
GLOSARIUM
ix
xi
ixx
xxi
xxiii
xxiv
xxvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
F. Metodologi Penelitian
G. Sistematika Pembahasan
1
12
12
13
13
18
22
BAB II RELASI SYARIAH, NEGARA, DAN DEMOKRASI
A. Relasi Syariah dengan Negara
B. Relasi Demokrasi dan Gerakan Pemberlakuan Syariah
C. Relasi Syariah, Politik dan Sosial
D. Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum dan Politik
Negara-negara Muslim
23
34
42
51
BAB III AKAR PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI .
...............INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Sejarah Aceh dan Kelantan
B. Kondisi Sosio-Budaya, dan Politik Aceh dan Kelantan
C. Pemberlakuan Hukum Jinayah di Masa Kerajaan Islam
D. Hukum Jinayah dalam Politik Hukum Kolonial
65
73
112
120
xx
E. Perjuangan Pemberlakuan Hukum Jinayah Paska
Kemerdekaaan
F. Posisi Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum Nasional
128
136
BAB IV KEHENDAK POLITIK DAN RESPON
MASYARAKAT TERHADAP PEMBERLAKUAN
HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN
A. Kehendak Politik Hukum Nasional dalam
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh .dan Kelantan
B. Kehendak Politik Pemerintahan Daerah dalam
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh .dan Kelantan
C. Respon Partai Politik dalam Pemberlakuan Hukum
Jinayah di Aceh .dan Kelantan
D. Respon Masyarakat terhadap Pemberlakuan Hukum
Jinayah di Aceh dan Kelantan
E. Mobilisasi Perjuangan dalam Pemberlakuan Hukum
Jinayah di Aceh dan Kelantan
151
164
178
186
199
BAB V MATERI PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI
............ACEH DAN KELANTAN
A. Materi Pemberlakuan H}udu>d di Aceh dan Kelantan
B. Materi Pemberlakuan Ta’zi>r di Aceh dan Kelantan
C. Materi Perluasan Pemberlakuan H}udu>d dan Qis}a>s di
Aceh dan Kelantan
D. Materi Perluasan Pemberlakuan Ta‘zi>r di Aceh dan
Kelantan
213
219
231
244
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
251
259
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
261
285
291
xxi
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB - LATIN
1.Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
Huruf Arab Huruf Latin
ḍ ض a ا
ẓ ظ b ب
ع t ت
Gh غ th ث
F ف j ج
Q ق {h ح
K ك kh خ
L ل d د
M م dh ذ
N ن r ر
W و z ز
H ه s س
Y ي sh ش
ṭ ط ṣ ص
2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang
_ _ = a ا _ _ = a>
___ = i __ = ى i>
<u = ___ و u = _و_
4. Diftong 5. Pembauran
و ا __ = aw ال = al
ي ا __ = ay الش = al-sh
-wa al = وال
3. Keterangan Tambahan
a. Kata sandang ال (alif lām ) al- ditransliterasikan dengan al-, contohnya,
al-jizyah dan al-dhimmah. Kata sandang ini, menggunakan huruf kecil
kecuali, jika berada di awal kalimat.
xxii
b. Dalam bentuk tashdid atau shiddah, dilambangkan dengan huruf ganda,
misalnya, al-mawaddah.
c. Kata-kata yang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan penulisan turabian style (Chicago Manual of Style),
seperti, al-Kita>b, al-Furqa>n, dan al-Qur‘a>n. d. Ta Marbu>t}ah [ ,yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah , [ ة
atau dummah, ditulis menjadi [ h ] dan al-, seperti, [ ألاطفال روضة ][
rawḍah al-aṭfa>l ], ta‘ marbut}ah yang mati (harakat sukun ), ditulis (
h), seperti [ البالغة ][ al-bala>ghah ], tanwin, un, an, in, [ _ ][ _ ],[ _ ],
seperti, [ * [t}ab‘an ] [ طبعا] atau ,[qa>din] [ ااض
DAFTAR TABEL
xxiii
Tabel 1. Daftar Negara-negara Muslim di Dunia
Tabel 2. Jumlah Penduduk Aceh 2010
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelantan 2010
xxiv
DAFTAR MATRIK
Matrik 1.
Matrik 2.
Matrik 3.
Matrik 4.
Matrik 5.
Matrik 6.
Posisi Fraksi-fraksi dalam Pembahasan Amandemen
UUD 1945 di Sidang MPR (2000, 2001, 2002)
Daftar Perbandingan Kehendak Politik hukum nasional
dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan
Kelantan
Daftar Perbandingan Kehendak Politik Pemerintahan
Daerah dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh
dan Kelantan
Daftar Perbandingan Respon Partai Politik
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Daftar Perbandingan Respon Masyarakat dalam
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Daftar Perbandingan Mobilisasi Pemberlakuan Hukum
Jinayah di Aceh dan Kelantan
Matrik 7.
Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khamar di Aceh
dan Kelantan
Matrik 8. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Zina di Aceh dan
Kelantan
Matrik 9. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khalwat di Aceh
dan Kelantan
Matrik 10. Rancangan Perbandingan Hukum H}udu>d di Aceh dan
Kelantan
Matrik 11. Rancangan Perbandingan Hukum Khamar di Aceh dan
Kelantan
Matrik 12. Rancangan Perbandingan Hukum Zina di Aceh dan
Kelantan
Matrik 13. Rancangan Perbandingan Hukum Qadhaf di Aceh dan
Kelantan
Matrik 14. Rancangan Perbandingan Hukum Sariqah, H}ira>bah, dan
Irtida>d di Kelantan
Matrik 15. Rancangan Perbandingan Hukum Qis}a>s} dan Diyat di
Aceh dan Kelantan
Matrik 16. Rancangan Perbandingan Hukum Ta‘zi>r di Aceh dan
Kelantan
Matrik 17. Rancangan Perbandingan Hukum Liwa>t} dan
Musa>h}aqah di Aceh dan Kelantan
Matrik 18. Dafar Perbandingan Kehendak Politik Pemberlakuan
Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
Matrik 19.
Daftar Perbandingan Respon dan Mobilisasi
Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan
xxv
Matrik 20. Daftar Perbandingan Materi Hukum H}udu>d dan Qis}a>s} yang Diberlakukan dan Diperjuangkan di Aceh dan
Kelantan
xxvi
xxvii
GLOSARIUM
APU : Angkatan Perpaduan Ummah
Berjasa : Partai Barisan Jemaah Islamiyah
BKPRMI : Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia
BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie DAP : Democratic Action Party
DDI : Dewan Dakwah Islam
DIA : Daerah Istimewa Aceh
DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRDGR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong
DUN : Dewan Undangan Negeri
FPI : Front Pembela Islam
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
HTI : Hizbut Tahrir Indonesia
HUDA : Himpunan Ulama Dayah Aceh
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
Inpres : Instruksi Presiden
IS : Indische Staatregeling
ISA : Internal Security Act
KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
KHI : Kompilasi Hukum Islam
KIAS : Kolej Islam Antarbangsa Sultan Ismail Petra
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
Magera : Majelis Gerakan Negara
Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia
MCA : Malaysian Chinese Association
MIC : Malaysian Indian Congress MMI : Majelis Mujahidin Indonesia
MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat
MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
MUNA : Majelis Ulama Nasional Aceh
NAD : Nanggroe Aceh Darussalam
NEGARA : Partai Negara Serawak
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
xxviii
PAN : Partai Amanat Nasional
PAS : Partai Islam se-Malaysia
Partai Golkar : Partai Golongkan Karya
PBB : Partai Bulan Bintang
PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PDU : Partai Daulat Umat
PDKB : Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan
PK : Partai Keadilan
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PKR : Partai Keadilan Rakyat
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
PNU : Partai Nahdlatul Umat
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia
PUI : Partai Umat Islam
RIR : Resolutie der Indische Regeering
R.R : Regeerningsreglement
Perda : Peraturan Daerah
Peperda : Penguasa Perang Daerah
Perti : Persatuan Tarbiyah Islam
PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh
SIRA : Sentral Informasi Referendum Aceh
TPM : Tim Pembela Muslim
UIN : Universitas Islam Negeri
UMNO : United Malays National Organization
UUD : Undang-undang Dasar
WH : Wilayatul Hisbah
xxix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama mayoritas di Asia Tenggara. Hal ini
dibuktikan dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, Malaysia dan
Brunei Darussalam yang mewakili hampir 40 persen populasi di Asia
Tenggara. Tiga negara ini merupakan negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Adapun Singapura, Thailand, Filiphina,
Burma, Vietnam, Kambojia, Laos, dan Tomor Leste merupakan negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama lainnya, seperti Budha,
Katolik, dan Protestan.1
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sebagian penduduk Muslim Indonesia dan Malaysia memiliki
kecenderungan untuk memberlakukan hukum-hukum syariat secara
komprehensif. Kecenderungan ini merupakan wujud dari pemahaman
mereka untuk menjalankan seluruh kewajiban agama di dalam sistem
negara.2 Mereka meyakini bahwa Islam tidak terpisahkan dari negara,
sehingga negara berkewajiban memberlakukan syariat Islam sebagai
hukum nasional secara keseluruhan.3
Kecenderungan ini terbentuk oleh memori kolektif tentang
keberlakuan syariat Islam di sejumlah kerajaan Islam. Dalam sejarahnya,
Kesultanan Melaka (1405-1511) dan Kesultanan Aceh Darussalam
(1496-1903) telah memberlakukan syariat Islam secara menyeluruh, yang
meliputi hukum keluarga dan hukum pidana/hukum jinayah (qis}a>s},
1Greg Fealy dan Virginia Hooker (ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: A
Contemporary Sourcebook (Singapura, ISEAS, 2006), 6. Robert W. Hefner, ‚Islam di
Era Negara Bangsa: Kebangkitan Politik dan Agama Muslim Asia Tenggara‛ dalam
Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (ed.), Islam di Era Negara Bangsa: Kebangkitan Politik dan Agama Muslim Asia Tenggara, penerjemah Imron Rosyidi
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5. 2L. Carl Brown, Religion and State: the Muslim Approach to Politics (New
York: Columbia University, 2000), 178. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1999), 188. Lihat Ali> Ali> Mans}u>r, Muqa>rana>t bayna al-Shari>‘at al-Isla>miyyah wa al-Qa>nu>n al-Wad} ‘iyyah (Beirut: Dar al-Fath}, 1970), 18.
3Pernyataan Politik dan Dukungan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang
dikeluarkan tanggal 20 Desember 2000 di Yogyakarta yang kemudian dimuat di Risalah Mujahidin, "Rakyat Aceh Darussalam Dikhianati Durahman Wahid" Edisi 02/23
Ramadhan 1412 H/21 Desember 2000 M, 1-2.
2
h}udu>d, ta‘zi>r).4 Dengan kata lain, sebelum para penjajah Barat datang ke
kepulauan Indonesia dan Malaysia, syariat Islam telah diberlakukan.
Keadaan ini berubah setelah politik kolonial yang meminggirkan hukum
jinayah dalam sistem hukum di Indonesia dan Malaysia.5 Hingga
sekarang, posisi pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia
tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena tidak memenuhi
unsur totalitas syariat Islam.
Respon yang muncul sejak Indonesia dan Malaysia terbebas dari
kolonialisme adalah perdebatan di kalangan elit dan masyarakat tentang
4Ulama-ulama fikih berbeda pendapat tentang qis}a>s}, h>}udu>d, ta‘zi>r
dalamjina>ya>h. Al-Ma>wardi> dan Taqiy al-Di>n Abi> Bakr ibn Muh}ammad al-Husayni>, Abi>
Yah}ya> Zaka>ria> al-Ans}a>ri>, dan Abu al-Wali>d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn
Ah}mad ibn Rushd al-Qurt}ubi>, membahas bab jina>ya>h dengan hanya menyebut soal
pembunuhan, yang dibedakan dengan h}udu>d. Lihat Al-Ma>wardi> dalam al-Ah}ka>m al-S}ult}a>ni>yah wa al-Wila>ya>t al-Di>ni>yah, (Iskandariyah: Dar Ibn Khaldun, tt.), 227-246.
Taqy al-Di>n Abi> Bakr ibn Muh}ammad al-Husayni>, Kifa>yat al-Akhya>r fi> Gha>yat al-Ikhtis}a>r (Semarang: Toha Putera, t.th.). Abi> Yah}ya> Zaka>ria> al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b bi Sharh} Minhaj al-T}ulla>b (Semarang: Toha Putra, t.th.). Abu al-Wali>d Muh}ammad ibn
Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rushd al-Qurt}ubi>, Bida>yat al-Mujtahid fi Niha>yat al-Muqtas}id (Beirut: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah, ttp.). Adapun ulama-ulama
fikih, seperti Muhammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Qa>dir ‘Awdah menyebut jari>mah dibagi tiga, yaitu h}udu>d, qis}>}as} dan diya>t, dan ta’zi>r. Ada tujuh macam jari>mah h}udu>d,
yaitu zina, qadhaf, minum khamr, pencurian, h}ira>bah, riddah, al-baghy
(pemberontakan). Qis}a>s}} dan diyat dibagi dalam dua kategori: pembunuhan dan melukai
yang dapat dihukum qis}a>s} dan diyat. Adapunta’zi>r merupakan jari>mah yang diancam
dengan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah. Lihat Muhammad Abu> Zahrah
al-Jari>mah wa al-‚Uqu>bah fi>> al-Fiqh al-Isla>mi > (Kairo: Mat}ba’ah al-Madani>, 1998), 19.
‘Abd al-Qa>dir Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>rana>t bi> al-Qa>nu>n al-Wad’i}>, Juz 1, cetakan keempatbelas (Beirut: al-Ris>alah, 1998), 40-51.
5M.B. Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani
Abdul Rahim, dkk. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia, 1991). Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia (Malang, Bayumedia, 2005), 28. A. Hasjmy,
Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 70. Al Yasa’ Abubakar,
Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (BandaAceh: Dinas Syariat Islam, 2006), 114. Mahmood Zuhdi Abd. Majid,
Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cetakan kedua (Kuala Lumpur: Universiti
Malaya, 2004), 46-47. Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia:
Setakat Manakah Pelaksanaannya?‛ dalam Zulkifli Hasan (ed.), Hudud di Malaysia: Cabaran Pelaksanaan (Kualalumpur: ABIM, 2013), 98. Ahmad Mohamed Ibrahim dan
Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 47. Mohd Nik Mohd Salleh,
‚Kelantan in Transaction: 1891-1910‛ dalam WR Roff, Kelantan: Religion, Society, Politic in Malay State (Kuala Lumpur: tp. tth), 23. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), 12. Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), 177.
3
pemberlakukan syariat Islam di dalam sistem hukum negara. Formasi
awal negara yang terbentuk di Indonesia dan Malaysia memperlihatkan
betapa syariat Islam menjadi perdebatan serius dalam konstelasi politik
nasional. Di periode awal penyusunan Konstitusi Indonesia (1945) dan
Konstitusi Malaysia (1957), telah terjadi perdebatan tentang syariat
Islam. Di Indonesia, Piagam Jakarta telah diperdebatkan oleh para
pendiri bangsa Indonesia dalam menyusun dasar negara. Para pendiri
bangsa kemudian menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu
‚dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛.6
Di Malaysia, Konstitusi Malaysia awalnya terjadi perdebatan dalam
menyusun hubungan agama dan etnik. Konstitusi Malaysia 1957
akhirnya mementahkan keinginan untuk menyamakan hak warga negara
yang berasal dari Cina dan India dan sebaliknya justru memberikan
kedudukan istimewa bagi Islam, para sultan, dan kaum Muslim Melayu.7
Kedudukan istimewa ini telah memberikan ruang dalam memberlakukan
syariat Islam dalam skala tertentu.
Periode-periode selanjutnya di Indonesia dan Malaysia
menunjukkan fluktuasi pemberlakuan syariat Islam. Peristiwa penting
dan menentukan dalam pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya
diawali dari perubahan politik di Indonesia dan Malaysia. Arus transisi
politik dari otoritarianisme ke demokrasi pada 1998 menyebabkan
perubahan yang cukup signifikan terhadap perjuangan syariat Islam di
Indonesia.8 Di Malaysia, menguatnya kelompok oposisi, PAS di
Kelantan pada 1990 dengan kemenangan yang meyakinkan pada Pemilu
19909 telah memberikan stimulus bagi perjuangan pemberlakuan syariat
Islam secara menyeluruh.
6Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in
Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), 85. Nadirsyah Hossein, Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2007), 59. Adnan
Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, cetakan ketiga (Jakarta: Graffiti, 2009), 11. Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 88-91. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 155-158. Ahmad Syafi’i
Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), 109.
7John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim:
Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), 167. 8Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam garis Keras di
Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), 3-4. Lihat pula Arskal Salim, ‚Challenging The Secular State…‛, 2.
9Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan, Imbasan 20 Tahun (Kota
Bharu, 2010), 3. Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan
4
Di Indonesia, setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998,
tuntutan terhadap pemberlakuan syariat Islam semakin besar. Sejumlah
kelompok Islam menyerukan tuntutan pemberlakuan syariat Islam secara
total. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),
Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah,10
dan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) menuntut pemberlakuan syariat Islam sebagai solusi atas sejumlah
persoalan bangsa. Partai-partai Islam, seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga
memperjuangkan formalisasi syariat Islam melalui usul perubahan
konstitusi.11
Partai-partai politik yang berjuang mengembalikan Piagam
Jakarta dalam proses amandemen konstitusi di era reformasi pun
mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Islam seperti FPI, HTI,
dan MMI.12
Kecenderungan politik ini sesungguhnya berbeda dengan masa
sebelumnya. Jika pada masa awal kemerdekaan, Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islam) memiliki kesamaan
pandangan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam sidang-sidang
Majelis Konsituante, maka pada era reformasi, orientasinya berubah. NU
dan Muhammadiyah dan juga PKB dan PAN dalam rangkaian
amandemen konstitusi 2000-2002 jutsru mengambil posisi yang tidak
sama dengan PPP dan PBB yang berjuang untuk mengembalikan Piagam
Jakarta.13
Di parlemen, hanya PPP dan PBB yang bersuara untuk
mengembalikan Piagam Jakarta dalam amandemen konstitusi 2000-2002.
Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan,
1995), 84-92. 10
Erich Kolig, ‚Radical Islam, Islamic Fervor, and Political Sentiments in
Central Java, Indonesia, dalam European Journal of East Asian Studies, (2005): 64-65,
dspace.library.uu.nl/ diakses 12 Pebruari 2012. 11
Formal artinya sesuai dengan peraturan yang sah; dengan demikian
formalisasi berarti pengundangan peraturan melalui negara. Formalisasi syariah artinya
pengundangan syariat Islam oleh negara ke dalam hukum nasional. Lihat Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 244. 12
Satya Arinanto, ‚Piagam Jakarta dan Cita-cita Negara Islam‛ dalam
Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA (eds.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No (Jakarta:
Paramadina, 2001), 57. 13
Nadirsyah Hosen, ‚Shari’a and Constitutional Reform…‛, 93. Arskal Salim,
‚Challenging the Secular State…‛, 87-88. Arskal Salim dan Azyumardi Azra,‛The
State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Polititcs‛ dalam Arskal Salim
dan Azyumardi Azra (eds.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapura:
ISEAS, 2003), 1-2.
5
Dalam praktiknya, perjuangan formalisasi syariat Islam secara
total pun tidak berhasil.14
Konstitusi tidak berhasil diubah sebagaimana
yang pernah tertuang dalam Piagam Jakarta. Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tetap
menggunakan Pancasila sebagai dasar negara tanpa ada sedikitpun
perubahan. Perubahan hanya dilakukan pada batang tubuh UUD NRI
Tahun 1945, bukan pada pembukaan.
Berpijak pada kegagalan perjuangan pemberlakuan syariat Islam
dalam kancah politik nasional, maka terjadi perubahan strategi. Strategi
yang dilakukan adalah formalisasi peraturan daerah dengan jalan
mendekat kepada penguasa daerah (gubernur, bupati atau walikota) dan
DPRD untuk membuat beberapa bentuk peraturan hukum yang aspiratif
terhadap Islam.15
Strategi ini merupakan upaya yang dilakukan oleh
sejumlah kelompok Islam untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan
daerah agar melakukan Islamisasi produk hukum pada level daerah.
Aceh merupakan daerah yang paling meyakinkan dalam
formalisasi syariat Islam.16
Dalam periode akhir konflik Aceh,
diberlakukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berorientasi
kepada syariat Islam. Di antaranya adalah UU No. 44 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus NAD, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan
Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12
Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang
Maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun
2004 Tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh dan Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul
14
Meskipun Indonesia tidak memberlakukan syariat Islam secara total, tetapi
ada beberapa regulasi yang mengatur tentang Islam, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1
Tahun 1991, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang-
undang No. 17 Th. 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 15
Khamami Zada, ‚Perda Syariat: Proyek Syariatisasi Islam yang sedang
Berlangsung,‛ dalam Tashwirul Afkar, Edisi 20, (2006): 14-15. Lihat pula Syamsurijal
Adhan dan Subair Umam, Perdaisasi Syariat Islam di Bulukumba,‛ dalam Tashwirul Afkar, Edisi 20, (2006): 56-77.
16 Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛,
dalam Burhanuddin (ed.), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: JIL dan
TAF, 2003) 96-99. Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 132-140. Arskal Salim,
‚Shari’a in Indonesia’s Current Transition: An Upadate‛ dalam Azyumardi Azra dan
Arskal (eds.), ‚Sharia and Politics in Modern Indonesia…‛, 213-234.
6
Mal.17
Sejumlah produk perundang-undangan di atas merupakan wujud
dari keistimewaan Aceh untuk memberlakukan syariat Islam, termasuk
hukum jinayah.
Keistimewaan Aceh untuk memberlakukan hukum jinayah
ternyata tidak memuaskan sejumlah kalangan masyarakat karena hukum
jinayah yang diberlakukan sebatas khamar, maisir, dan khalwat. Karena
itulah, usaha untuk memperluas cakupan pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh pun dilakukan. Dalam pembahasan di DPRA, 14 September 2009
disepakati untuk memasukkan hukum rajam dalam Rancangan Qanun
Jinayah. Kelompok yang setuju dengan hukuman rajam dalam Rancangan
Qanun Jinayah merujuk pada sejarah Kesultanan Aceh yang telah
memberlakukan hukuman rajam. Hukuman rajam telah diberlakukan
sejak zaman Islam awal dan telah diberlakukan di sejumlah Negara
Muslim. Karena itulah, Pansus memasukkan hukuman rajam dalam
Rancangan Qanun Jinayah. Sebaliknya, wakil dari Pemerintah Aceh
berpendirian tidak memasukkan rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah.
Pemerintah Aceh berprinsip bahwa pelaksanaan hukum jinayah
dilaksanakan secara bertahap. Sebaliknya, fraksi-fraksi DPRA tetap
ngotot memasukkan pasal rajam dan mengesahkan Rancangan Qanun
Jinayah.18
Akibatnya, Qanun Jinayah yang ditetapkan DPRA tidak
17
Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan undang-
undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah. Lihat Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 442. UU No.11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, pasal 7 menyebutkan Qanun Aceh adalah peraturan perundang-
undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Menurut UU No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat 21 disebutkan
bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: UUD
NRI Tahun 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis
peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam
hierarki perundang-undangan Indonesia dan dipersamakan dengan Perda. Lihat Jum
Anggriani, ‚Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme
Pengawasannya‛, dalam Jurnal Hukum Nomor 3 Volume, (2011): 327, http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/11%20Jum%20Anggriani.pdf
diakses diakses 12 Pebruari 2014. 18
Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda
Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di
Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda
Aceh, 18 Juni 2012.
7
disetujui Gubernur Propinsi NAD, Irwandi Yusuf sehingga hukuman
rajam tidak dapat diberlakukan di Aceh.19
Formalisasi syariat Islam di Aceh yang terjadi sejak masa
Reformasi seringkali dianalisis sebagai strategi politik nasional agar
Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).20
Syariat Islam merupakan solusi atas konflik antara
Pemerintahan Negara RI dengan rakyat Aceh sejak masa pemberontakan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Aceh hingga Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).21
Keistimewaan Aceh untuk memberlakukan syariat
Islam dalam UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
NAD, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
merupakan solusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat dalam membangun
perdamaian di Aceh. Dampak positif yang ditimbulkan adalah rakyat
Aceh memandang Pemerintah Negara RI serius menyelesaikan
permasalahan konflik di Aceh.22
Adapun di Malaysia, khususnya di Kelantan, terjadi
perkembangan menarik setelah PAS memenangkan daerah pemilihan
Kelantan pada 1990.23
Kepemimpinan PAS di Kelantan di bawah
Menteri Besar Nik Abdul Aziz Nik Mat semakin nampak dengan
berbagai kebijakannya yang aspiratif terhadap Islam. Pada awal
kepemimpinannya, Pemerintah Kelantan memindahkan rekening bank
19
Bandingkan dengan sejarah pemberlakukan hukum jinayah di Aceh di masa
kerajaan Islam. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 119-120.
20Lihat bantahan Michelle Ann Miller dalam, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam
Law: A Serious Response to Acehnese Separatism?,‛ dalam Asian Ethnicity, 5, 3,
(2004):335,http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1463136042000259789?journa
lCode=caet20#preview diakses 22 Oktokber 2009. Lihat pula Taufik Adnan Amal dan
Sjamsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…,‛ 96-99. 21
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…,‛
96-99. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah, dan
Kebudayaannya‛ dalam Islamil Suny (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1980). Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam
Law…,‛ 4. M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws in Indonesian Districts: An
Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ South East Asia Research, 16, 2, (2008): 255-285,
http://columbiauniversity.net/cu/weai/faculty/articles/Buehler.pdf diakses 7 Juli 2009. 22
Much. Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’aization: Central Governmental
and Regional Discourse of Shari’a Implementation in Aceh‛ dalam R. Michael Feener
dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia (Cambridge:
Harward Law School, 2007), 214-215. 23
Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia (Singapura: Thomson, 2004), 123-124.
8
dari bank konvensional ke bank Islam, memberantas tempat-tempat
maksiat dan perjudian, penjualan minuman keras diatur secara ketat,
yang hanya diperuntukkan bagi non-Muslim, menertibkan tempat
hiburan dan salon yang mengarah pada praktik seksual, melarang
Makyong dan Menora24
yang mengandung unsur khurafat,
memperkenalkan gadai Islam (al-rahn),25
melarang wanita bekerja malam
di perusahaan kilang, melarang wanita mengikuti lomba qiraat al-
Qur’an,26
pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan dalam
majlis-majlis, organisasi nasyid wanita hanya dibolehkan bagi wanita
yang berumur 15 tahun ke bawah, menghancurkan seluruh tempat yang
diduga tempat berlangsungnya perbuatan-perbuatan maksiat,
menghalangi segala bentuk iklan yang menampilkan gambar-gambar
wanita, dan mengatur berbagai tempat potong rambut yang selama ini
diduga keras sebagai tempat berlangsungnya pelacuran dan minuman
keras.27
Langkah penting yang dilakukan Pemerintahan Kelantan adalah
mengesahkan Enakmen Jenayah Syariah II Kelantan Tahun 1993 yang
dimaksudkan untuk menggantikan Enakmen Kanun Jenayah Syariah
1985 Kelantan.28
Pada awalnya, Pemerintahan Kelantan membentuk
24
Makyong merupakan drama, tarian, nyanyian, dan unsur-unsur komedi yang
bercerita tentang dewa-dewi yang disampaikan melalui mulut, hanya menggunakan
ingatan tanpa dialog tertulis. Menora merupakan dramatari masyarakat Siam yang
berkembang dalam kalangan masyarakat Siam di Segenting Kra, yaitu di wilayah
Pitchaburi, Surat Thani, Phatthalung, Nakhon Sithammarat dan Kelantan serta Kedah.
Lihat M.C. ff. Sheppard, ‚Makyong‛, The Straits Time Annual For 1960, Singapore,
15. Mohamad Nazri, dkk., ‚Repertoire Cerita Menora: Dokumentasi Berasaskan Cerita
Lisan Masyarakat Siam di Bukit Yong, Kelantan‛ dalam Jurnal Melayu (5) (2010): 128, http://journalarticle.ukm.my/3022/1/01ADNAN_JUSOH.pdf diakses 22 Pebruari 2014. Hamidah bt. Yaacob, ‚Hiburan Tradisional Kelantan‛ dalam Beberapa Aspek Warisan Kelantan, ed. Khoo Kay Kim (Kuala Lumpur: Jabatan Sejarah Universiti Malaysia,
1982), 57-58. 25
Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun di Bawah
Teraju Ulama: Catatan Perkembangan Pentadbiran Kerajaan Negeri Kelantan selama 2
Dekad‛ dalam 20 Tahun Pentadbiran Membangun Bersama Islam Kerajaan Kelantan,
36-41. 26
Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1995),
106. Lihat pula Berita Harian 5 Desember 1990 yang menyebut Majelis Perbandaran
Kota Bharu telah mengeluarkan arahan supaya menghentikan judi. 27
Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah (II) 1993
Negeri Kelantan (Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam)‛, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, 67.
28Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di sejumlah Negara Bagian
di Malaysia adalah Enakmen, sedangkan peraturan perundang-undangan yang
9
Komite Khusus yang membuat draft Undang-undang Hudud dan Qisas.
Anggotanya terdiri dari Tun Mohamad Salleh Abbas (Mantan Ketua
Hakim Negara Malaysia), M. Daud al-Iraqi, Wakil Mufti, Mohamad
Sukhri bin Mohamed, dan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty. Tun
Mohamad Salleh diangkat sebagai konsultan agar draft Undang-undang
Hudud dan Qisas sesuai dengan asas pembuatan perundang-undangan di
Malaysia karena pengalamannya sebagai Ketua Hakim Negara Malaysia.
Beberapa kali rapat dilaksanakan dan juga mengundang Menteri Besar,
Nik Aziz Nik Mat. Studi Banding juga dilaksanakan di Iran, Mesir, dan
Mesir. Daud bin Muhamad pergi ke Iran, M. Daud al-Iraqi pergi ke
Nigeria, dan Abdul Halim pergi ke Mesir29
Argumen yang digunakan untuk merevisi Enakmen Kanun
Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 adalah karena undang-undang
jinayah yang dilaksanakan di Malaysia pada umumnya dan Kelantan
pada khususnya adalah undang-undang ciptaan manusia (al-ahka>m al-wad}‘i>yah) dan merupakan warisan penjajah. Kondisi ini berbeda dengan
masa sebelum dijajah, ketika Tanah Melayu melaksanakan Undang-
undang Islam secara keseluruhan. Usaha ini dilakukan untuk
mengembalikan undang-undang Islam agar dapat dilaksanakan di
Kelantan.30
Sebagaimana Enakmen Kanun Jenayah Syariah di negeri-negeri
lain,31
Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1984 tidak mengadopsi
hukuman yang sesuai dengan syariah, melainkan mengacu pada Akta
Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) Malaysia 1984 bahwa
hukuman maksimum yang boleh dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah
diberlakukan di Negara Federal adalah Akta. Berikut ini adalah perundang-undangan
jinayah yang diberlakukan di Malaysia: Enakmen Kanun Jinayah di sejumlah negeri di
Malaysia, seperti Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan, 1985, Enakmen Kanun
Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan
Kesalahan Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992,
Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri
Sembilan, 1992, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002. Enakmen Jenayah
Syariah (Selangor) 1995, Akta Jenayah Syariah (Wilayah Persekutuan) 1997. Lihat
Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cetakan
kedua (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), 77-81. 29
Wawancara dengan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty, salah seorang anggota
Komite Khusus yang mempersiapkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II pada 19
Oktokber 2011 di Kota Bharu. 30
Tim Penyelidik, Program PAS Negeri Kelantan 1990 (Kota Bharu: Badan
Perlindungan PAS Negeri Kelantan, 2000), 13. 31
Zulkifli Hasan, ‚Isu Undang-Undang Jenayah Islam di Malaysia dan Sejauh
Manakah Perlaksanaannya‛, Makalah, tidak diterbitkan. Lihat pula Mahmood Zuhdi
Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 77-81.
10
adalah denda RM 5.000,00 atau penjara 3 tahun atau 6 kali cambuk atau
kombinasi di antara hukuman-hukuman itu.32
Sebaliknya, Enakmen
Jenayah Syariah II Kelantan Tahun 1993 berisi hukum-hukum qis}a>s}, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad yang hukumannya
disesuaikan dengan syariat Islam. Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II)
Kelantan Tahun 1993 merupakan undang-undang hukum h}udu>d pertama
di Asia Tenggara yang mengadopsi syariat Islam setelah masa
kemerdekaan.
Pengundangan Enakmen Jenayah di Kelantan setelah PAS
menang di Pemilu 1990 sesuai dengan komitmen politik PAS33
untuk
mengimplementasikan syariat Islam sebagai sistem hukum Malaysia,
baik di level negara pusat maupun negara bagian.34
PAS dengan lantang
meminta syariah menggantikan sistem hukum Malaysia yang berasas
Inggris.35
PAS pun berjuang memberlakukan hukum jinayah dalam
Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan Tahun 1993.36
Dalam praktiknya, Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II)
Kelantan Tahun 1993 tidak dapat diimplementasikan karena ditolak oleh
Pemerintah Federal. Argumen yang dibangun Pemerintah Federal adalah
karena Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993 bertentangan
dengan Konstitusi dan Akta Mahkamah Syariah 1984. 37
Jika Enakmen
Jenayah ingin diberlakukan di Kelantan, maka Konstitusi Malaysia harus
terlebih dahulu diamandemen dan Akta Mahkamah Syariah 1984 direvisi
sehingga memungkinkan penerapan hukuman h}udu>d dan qis}a>s} di
Kelantan. Para politisi PAS sebenarnya telah menyadari sulitnya
32
Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993 telah disahkan oleh
Jemaah Ulama Jabatan Agama Islam Negeri dan Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK)
dan mufti negeri hingga akhirnya Dewan Perundangan Negeri pada 25 Nopember 1993
mengesahkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II)Tahun 1993. Lihat Mohammad
Hashim Kamali, Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu (Selangor, Ilmiah Publisher, 2003), 35-36.
33John L. Esposito dan John O. Voll, ‚Demokrasi di Negara-negara Muslim…‛,
181. 34
Peter G. Riddell, ‚Islamization and Partial Shari’a in Malaysia‛, dalam Paul
Marshal (ed.), Radical Islam’s Rules: The Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law, (New York: Freedom House, 2005), 144.
35Zainah Anwar, Kebangkitan Islam di Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1990), 2.
36Kikue Hamayotsu, ‚Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia
and Indonesia in Comparative Perspective,‛ dalam Pacific Affairs, University of British
Columbia, 75, 3 (2002): 362, http://www.jstor.org/stable/4127290 diakses 7 Juli 2009. 37
Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan (Konstitusi Malaysia).
Lihat Perlembagaan Persekutuan, (Selangor: Internatinal Law Book Services, 2009).
11
melakukan amandemen konstitusi,38
tetapi komitmen untuk
memberlakukan syariat Islam tetap dijalankan, meski tidak disetujui oleh
Pemerintah Federal yang dipimpin UMNO.
Berpijak pada paparan di atas, gerakan pemberlakuan syariat
Islam dalam sistem hukum negara sesungguhnya dapat dilihat dari sudut
sosial dan politik. Kikue Hamayotsu, Michelle Ann Miller, Ma. Theresa
R. Milallos, M.B. Hooker dan Virginia Hooker, M. Nur Ichwan, M.
Buelher, mengajukan tesis bahwa pemberlakuan syariat Islam di dalam
sistem hukum negara merupakan alat konsolidasi untuk kepentingan
meraih kekuasaan politik.39
Sebaliknya, menurut Ira M. Lapidus, Peter G.
Riddel, Robin Bush, dan Haedar Nashir, pemberlakuan syariat Islam
merupakan respon gerakan radikalisme Islam terhadap modernitas,40
yang dibingkai dalam sistem keagamaan untuk melaksanakan ajaran
Islam dalam bentuk perilaku sosial.41
Dalam posisi ini, hubungan yang kuat antara hukum, negara, dan
masyarakat42
sesungguhnya tidak dapat dihindarkan dalam menganalisis
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Studi ini
memfokuskan pada posisi hukum yang berada pada siklus hubungan
timbal balik antara kekuatan politik dan kekuatan sosial. Studi ini
membandingkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan,
38
MB. Hooker dan Virginia Hooker, ‚Sharia as a Symbol of Islamist
Ideologies‛, dalam Greg Fealy dan Virginia Hooker (eds.), ‚Voices of Islam in Souteast Asia…‛, 177-178.
39Kikue Hamayotsu, ‚Politics of Syariah Reform‛ dalam Virginia Hooker dan
Norani Othman (eds.), Islam, Society, and Politics (Singapura: ISEAS, 2003), 66-70.
Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law…‛, 351. Ma. Theresa R.
Milallos, ‚Muslim Veil as Politics: Political Autonomy, Women and Shari’a Islam in
Aceh‛, dalam Cont Islam 1, Springer Science + Business Media B.V. (2007), 289–301, http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11562-007-0028-5#page-1 diakses 7 Juli
2009. Much. Nur Ichwan ‚The Politics of Shari’aization…‛, 214-215. M. Buehler, ‚The
Rise of Shari'a by-laws…‛, 255-285. 40
Ira M. Lapidus, ‚Islamic Revival and Modernity: The Contemporary
Movements and the Historical Paradigms‛ dalam the Economic and Social History of the Orient, Vol. 40, No. 4 (1997), 1, http://www.jstor.org/stable/3632403 diakses 7 Juli
2009. Peter G. Riddell, ‚Islamization and Partial Shari’a in Malaysia‛, dalam Paul
Marshal (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 144. Robin Bush ‚Regional Shari’a
Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?‛ dalam Greg Fealy and Sally (ed.),
White Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies, 2008), 174-191. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2009), 80-82.
41Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010), 1-2. 42
Ihsan Imtiyaz, Muslim Laws, Politics, and Society in Modern Nation States, (England: Asghate Publishing Limited, 2005), 9.
12
dari aspek kehendak politik beserta respon/gerakan masyarakat dan
materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam penelitian ini, di antaranya mengenai kedudukan Non-
Muslim dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan,
kedudukan perempuan dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan
Kelantan, pengaruh mazhab fikih dalam materi hukum jinayah yang
diberlakukan di Aceh dan Kelantan, perbandingan pemberlakuan hukum
jinayah di Aceh dan Kelantan dari aspek kehendak politik dan materi
hukum, pengaruh kelompok Islam dalam pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan, dan konflik di kalangan masyarakat dalam
memberlakukan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Dari daftar
masalah tersebut, penelitian ini memilih salah satu tema, yaitu
bagaimana perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan
Kelantan dari segi kehendak politik dan meteri hukum.
Rumusan masalah tersebut diturunkan ke dalam beberapa
pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimanakah kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan serta respon masyarakat terhadapnya? Apa
persamaan dan perbedaannya?
2. Bagaimanakah materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan
Kelantan? Apa persamaan dan perbedaannya?
Berdasarkan luasnya penelitian ini, maka perlu dilakukan
pembatasan. Penelitian ini dibatasi pada wilayah Aceh dan Kelantan di
tingkat propinsi. Penelitian ini juga dibatasi pada periode 1993-2013 di
Kelantan dan periode 1999-2013 di Aceh.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Secara
khusus, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengungkap persamaan dan perbedaaan kehendak politik dan respon
masyarakat terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan
Kelantan.
2. Mengungkap persamaan dan perbedaaan materi hukum jinayah yang
diberlakukan di Aceh dan Kelantan.
13
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini mengungkap persamaan dan
perbedaan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
Penelitian terhadap persamaan dan perbedaan motivasi politik dalam
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan telah dikaji oleh
peneliti lain. Adapun persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum
jinayah dari aspek kehendak politik dan materi pemberlakuan hukum
jinayah di Aceh dan Kelantan belum dikaji oleh peneliti lain. Penelitian
ini mengungkap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan
sebagai kehendak politik negara yang dipengaruhi oleh orientasi politik,
aspirasi dan gerakan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan
negara (pemerintah dan legislatif) yang telah mengakomodasi sebagian
pemberlakuan hukum jinayah (h}udu>d dan ta‘zi}r) di Aceh dan Kelantan
dan menolak sebagian pemberlakuan hukum jinayah (h}udu>d dan qis}a>s}) di
Aceh dan Kelantan.
Secara pragmatis, penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
posisi negara dalam mengakomodasi pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan. Penelitian ini dapat digunakan untuk memetakan
materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan dalam
hubungannya dengan pendapat-pendapat ulama fikih. Penelitian ini juga
dapat memetakan kelompok-kelompok masyarakat dalam merespon
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Pemberlakuan syariat Islam di negara-bangsa mengalami
dinamika yang tajam. Perjuangannya pun tidak lepas dari motif-motif
politik dan agama yang melatarbelakanginya dan juga direspon oleh
negara dalam suasana politik yang dinamis. Dari sudut pandang politik,
pemberlakuan syariat Islam oleh negara seringkali dipandang memiliki
muatan politik yang kuat. Taufik Adnan Amal dan Samsurizal
Panggabean dalam buku Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (2004) mencatat bahwa penerapan syariat Islam memiliki akar
yang kuat dalam persoalan-persoalan politik. Dalam kasus Indonesia,
pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, telah ditafsirkan sebagian daerah
sebagai pemberian otonomi untuk menerapkan syariat dalam peraturan
daerah. Beberapa partai politik berbasis Islam telah memanfaatkan isu
14
penerapan syariat untuk menjaring dukungan politik,43
untuk
mendapatkan simpati politik dari rakyat yang mayoritas beragama Islam.
Dalam praktik politik di daerah, pemberlakuan syariat Islam
dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk membangun konsolidasi
kekuatan politik. M. Buehler dalam artikel yang berjudul ‚The Rise of
Shari'a by-laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing
Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ menunjukkan
bahwa formalisasi syariat Islam di daerah merupakan alat konsolidasi
kekuasaan politik para penguasa lokal, terutama untuk mengeksplorasi
sumber finansial dalam membangun dan memelihara jaringan dengan
para broker kekuasaan. Buehler justru tidak menemukan gerakan
konservatisme dalam pemberlakuan syariat Islam di daerah. Ia justru
melihat adanya akumulasi politik kekuasaan yang dimainkan oleh elit
lokal untuk meraih panggung kekuasaan politik setelah diperkenalkannya
pemilihan langsung. Kondisi inilah yang menjadikan para elit politik
sekarang ini harus bekerja keras untuk mendapatkan suara rakyat secara
langsung. Dalam pola inilah, syariat Islam di daerah dimanfaakan oleh
elit politik lokal sebagai mesin politik untuk mendapatkan suara
politik.44
Adapun dalam perspektif politik negara di Indonesia, syariat
Islam dijadikan sebagai komoditas politik untuk menyelesaikan konflik
politik di daerah. Much. Nur Ichwan dalam artikel yang berjudul ‚The
Politics of Shari’aization: Central Governmental and Regional Discourse
of Shari’a Implementation in Aceh‛ menemukan bahwa pemberlakuan
syariat Islam di Aceh tidak dapat dipisahkan dari upaya negara melalui
pendekatan agama (religious approach) untuk menyelesaikan
permasalahan Aceh agar tetap tergabung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dengan diberlakukan syariat Islam di Aceh,
rakyat Aceh memandang negara serius menyelesaikan permasalahan
konflik di Aceh. Bersamaan dengan pendekatan militer dan politik,
pendekatan ini dipandang Ichwan terbukti berhasil. Pendekatan negara
ini sesungguhnya merefleksikan politik syari’atisasi45
yang dimainkan
oleh elit-elit pusat.
Selaras dengan pemikiran di atas, Michelle Ann Miller dalam
artikel yang berjudul ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law: A Serious
Response to Acehnese Separatism?,‛ memandang bahwa pemberlakuan
syariat Islam di Aceh sejatinya telah gagal merespon tuntutan rakyat
43
Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004), 176-177.
44M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws…‛ 255-285.
45Much.Nur Ichwan dalam ‚The Politics of Shari’aization…‛, 214-215.
15
Aceh atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Keputusan pemerintah
untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh mengandung arti bahwa
rakyat Aceh harus menunggu lama untuk mendapatkan keadilan atas
berbagai persoalan yang dihadapi rakyat Aceh, terutama infrastruktur
negara yang tidak berfungsi, budaya politik yang korup, dan tuntutan
keadilan terhadap pelanggaran HAM.46
Dalam kasus Kelantan, Kikue Hamayotsu menemukan bahwa
formalisasi syariat Islam di Malaysia merupakan political insentive dari
elit penguasa untuk mengelola sistem patronase yang berbasis pada
legitimasi politik.47
Analisis yang berkembang di Malaysia48
menyebutkan bahwa formalisasi hukum jinayah di Kelantan dan
Trengganu dalam bentuk Enakmen Kanun Jenayah merupakan praktik
politisasi PAS dalam menarik simpati masyarakat Muslim. MB. Hooker
dan Virginia Hooker pun menyebut Enakmen Kanun Jenayah Syariah
sangat penting nilainya bagi PAS sebagai simbol komitmen PAS
terhadap pemberlakuan syariat Islam. Ini juga menegaskan kepada publik
bahwa PAS merupakan partai yang lebih islami daripada UMNO.49
Sementara di Aceh, pemberlakuan syariah melalui Perda/Qanun
merupakan konstestasi politik antara Pusat dan Daerah yang selalu
dinegosiasikan.50
Dari sudut gerakan radikalisme, Haedar Nashir dalam buku
Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia telah
berhasil memetakan proses dan strategi gerakan Islam radikal dalam
memberlakukan syariat Islam di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat.
Dalam studinya, gerakan Islam syariat di sejumlah daerah tampil dengan
karakter legal-formal, doktriner, dan militan. Strategi yang digunakan
untuk memberlakukan syariat Islam adalah mobilisasi dan konsolidasi
gerakan dengan memaksimalkan saluran-saluran konvensional, seperti
46
Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law…‛, 351. 47The political insentive membantu koordinasi antara Pemerintah Federal di
satu sisi dan di sisi lain koordinasi otoritas keagamaan pusat dan aktor-aktor
masyarakat. Kikue Hamayotsu, ‚Politics of Syariah Reform‛, dalam Virginia Hooker
dan Norani Othman (eds.), Islam, Society…‛, 66-70. 48
Mohammad Hashim Kamali berhasil memotret perdebatan Perdana Menteri
Mahathir Muhammad dengan Presiden PAS, Abdul Hadi Awang tentang Rancangan
Enakmen Jenayah di Kelantan dan Trengganu dalam Mohammad Hashim Kamali, Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu, (Selangor, Ilmiah Publisher, 2003), 8-9.
49MB. Hooker dan Virginia Hooker, ‚Shari’a as a Symbol of Islamist
Ideologies…‛, 177-178. 50
M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Studia Islamika, Volume
20 Nomor 2 (2013): 209.
16
tabligh akbar, pengajian, seminar, debat publik, publikasi media,
penerbitan, pengembangan jaringan dengan organisasi Islam di daerah,
desakan politik, dan kerjasama dengan pemerintah.51
Pemberlakuan
syariat Islam dalam perspektif ini memiliki keterkaitan dengan gerakan
radikalisme.
Berbeda pandangan Nashir, Ma. Theresa R. Milallos dalam artikel
yang berjudul ‚Muslim Veil as Politics: Political Autonomy, Women and
Shari’a Islam in Aceh,‛ memandang bahwa pemberlakuan syariat Islam
tidak bisa dilihat sebagai kebangkitan Islam atau manifestasi dari
radikalisasi Islam, meskipun di Aceh, Islam memiliki makna politik yang
kuat, terutama dengan sejarah pemberontakan Darul Islam. Syariat Islam
sebagai proyek politik di Aceh justru memiliki implikasi yang kuat
dengan relasi gender karena banyak mengatur tentang perempuan.52
Dalam aspek lainnya, pemberlakuan syariat Islam telah
mengembalikan otoritas ulama yang telah lama digantikan oleh otoritas
lain (pemerintah). Tim Lindsey, MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy
Kingsley dalam artikel yang berjudul ‚Sharia Revival in Aceh‛
menemukan bahwa kebangkitan syariah di Aceh telah meningkatkan
otoritas para ulama di Aceh berkompetesi dengan otoritas sekular. Para
ulama mendapatkan keuntungan dari pemberlakuan Qanun Syariat dan
didirikannya institusi-institusi agama, termasuk Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU). Dalam situasi seperti ini, ternyata
masyarakat Aceh tidak berorientasi pada paham Wahabi, sehingga para
ulamanya tidak menuntut pendirian Negara Islam.53
Sebaliknya, dalam
artikel yang berjudul ‚Submision to Allah? The Kelantan Syariah
Criminal Code (II), 1993‛, M.B. Hooker justru mengkritik formalisasi
hukum jinayah di Kelantan yang kurang memperhatikan legal drafting,
argumen rasional, dan implikasi sosiologis di Kelantan.54
Adapun penelitian yang secara spesifik membahas hukum jinayah
di Aceh dan Kelantan belum begitu banyak. Dari sudut pandang materi
hukum yang diberlakukan, Mohammad Hashim Kamali dalam buku
Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu menemukan bahwa
51
Haedar Nashir, ‚Gerakan Islam Syariat…‛, 80-82. 52
Ma. Theresa R. Milallos, ‚Muslim Veil as Politics…,‛ 289–301. 53
Tim Lindsey, MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley ‚Sharia Revival
in Aceh‛ dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia (Cambridge: Harward Law School, 2007), 253-254.
54M.B. Hooker, ‚Submission to Allah? The Kelantan Shari’ah Criminal Code
(II), 1993‛, dalam Virginia Hooker dan Norani Othman (eds.), ‚Islam, Society, and Politics‛, 95-96.
17
pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dan Trengganu mengadopsi
fikih konvensional.55
Temuan Hashim Kamali sebanding lurus dengan
kesimpulan Mohd. Said bin Mohd. Ishak dalam kajian disertasinya yang
berjudul ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri
Kelantan (Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam)‛ bahwa Enakmen
Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan mengacu pada
ketentuan tindak pidana h}udu>d yang dikemukakan ulama fikih,
khususnya mazhab Syafi’i. Pasal-pasal yang terdapat di dalam Enakmen
Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan selain mempunyai
banyak sisi persamaannya, juga dijumpai perbedaan yang mendasar
dengan ketentuan yang termuat dalam fikih. Dalam Enakmen Kanun
Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan tidak dimasukkan al-baghy, meskipun di dalam fikih diatur dalam h}udu>d. Demikian juga Enakmen
hanya membatasi alat bukti dengan saksi, pengakuan dan qari>nah.
Berbeda dengan fikih yang menggunakan sumpah, saksi, dan sumpah
penggugat, al-qasa>mah dan an-nuku>l (penolakan bersumpah dari pihak
tergugat) sebagai alat bukti.56
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah
sarjana, Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad telah berhasil mengkaji
perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
Dalam buku yang berjudul Islamic Law in Southeast Asia: a Study of Its Applicattion in Kelantan and Aceh, Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad
menemukan persamaan dan perbedaan pelaksanaan h}udu>d di Aceh dan
Kelantan. Persamaannya adalah di Aceh dan Kelantan, syariat Islam
pernah dilaksanakan di masa Kesultanan Islam dengan peran ulama yang
begitu besar dalam melaksanakan syariat Islam melalui pondok
(Kelantan) atau dayah (Aceh). Sayangnya, pelaksanaan syariat Islam di
Aceh dan Kelantan terhambat oleh Pemerintah Kolonial (Belanda dan
Inggris). Aspek persamaan lainnya adalah pelaksanaan syariat Islam di
Aceh dan Kelantan telah menjadi isu politik yang kuat di kalangan elit.
Bagi PAS di Kelantan, pelaksanaan syariat Islam telah diadopsi sebagai
strategi untuk meraih suara rakyat, sedangkan elit politik di tingkat
nasional telah menjadikan isu syariat Islam di Aceh sebagai strategi
55
Ada beberapa isu yang disoroti Hashim Kamali, yaitu hubungan Enakmen
Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan dengan Konstitusi Malaysia,
kedudukan non-Muslim, dan rincian tentang permasalahan yang terdapat dalam h}udu>d
yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan. Lihat
Mohammad Hashim Kamali, ‚Hukuman dalam Undang-undang Islam…‛, 30-69. 56
Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah…‛, 67.
18
untuk menyelesaikan konflik dan juga untuk memenangkan pemilu
nasional dan lokal di Aceh.57
Perbedaannya adalah di Kelantan, h}udu>d diperkenalkan setelah
PAS memenangkan daerah pemilihan Kelantan pada Pemilu 1990,
sedangkan di Aceh, sejak Indonesia merdeka, perjuangan memberlakukan
syariat Islam sudah dimulai. Syariat Islam di Aceh telah menjadi solusi
konflik antara negara (Indonesia) dan rakyat Aceh dengan memberikan
otonomi khusus. Perbedaan lainnya adalah cara-cara untuk
memperjuangkan syariat Islam di Kelantan lebih damai, tidak seperti di
Aceh. Di Kelantan, konflik terjadi sebatas dalam arena panggung politik
yang tidak berimplikasi ke rakyat, sedangkan di Aceh terjadi konflik
antara TNI dengan Darul Islam (DI). Perbedaan yang tak kalah penting
lainnya adalah di Kelantan, syariat Islam dijadikan oleh PAS sebagai
srategi untuk meraih suara politik dan menekan partai penguasa
(UMNO) sehingga negara menolak pelaksanaan syariat Islam (h}udu>d). Di
Aceh, isu syariat Islam dipandang oleh Negara sebagai alat
menyelesaikan konflik dan juga meraih dukungan politik.58
Penelitian yang telah dilakukan Kamaruzzaman Busttaman-
Ahmad di atas difokuskan pada sejarah dan motivasi politik
pemberlakuan h}udu>d di Aceh dan Kelantan. Penelitian Kamaruzzaman
Busttaman-Ahmad di atas belum komprehensif mengkaji pemberlakuan
hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad
tidak mengkaji aspek kehendak politik, respon partai politik dan
masyarakat, mobilisasi massa, dan materi hukum jinayah di Aceh dan
Kelantan. Karena itulah, penulis bermaksud mengisi kekosongan
penelitian tentang perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh
dan Kelantan yang meliputi kehendak politik beserta respon dan gerakan
masyarakat dan materi hukum jinayah yang telah diberlakukan dan yang
diperjuangkan untuk diberlakukan.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan
metode kualitatif.59
Penelitian ini merupakan socio-legal research yang
57
Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad, Islamic Law in Southeast Asia: a Sudy of Its Applicattion in Kelantan and Aceh (Chiang Mai: Asian Muslim Action Network,
2009), 45-46. 58
Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad, ‚Islamic Law in Southeast Asia…‛, 46-
47. 59
Lihat Noong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000), 341. Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metodologi Penelitian
(Jakarta: UI Press, 2006), 73-76. Joseph A. Maxwell, Qualitative Research Design an
19
menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dengan kata lain, hukum
tidak hanya dilihat dari materi hukumnya saja, tetapi juga dilihat dari
proses pembentukannya dalam kehidupan sosial dan politik.60
Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dalam
penelitian ini dibagi dalam dua aspek, yaitu kehendak politik
pemberlakuan hukum jinayah dan materi pemberlakuan hukum jinayah.
Terkait aspek pemberlakuan hukum jinayah di atas, penelitian ini
menggunakan pendekatan hermeneutik, pendekatan fikih, pendekatan
sejarah, dan pendekatan sosiologi. Pendekatan hermeneutik digunakan
untuk menganalisis kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan dengan cara menafsirkan pernyataan-pernyataan
pemerintah, partai politik, dan mayarakat di Aceh dan Kelantan.61
Pendekatan sejarah digunakan untuk menganalisis latar belakang
pemberlakuan hukum jinayah dengan cara menyusun kronologi
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pendekatan
sosiologi digunakan untuk menganlisis perilaku kelompok masyarakat
dalam melakukan mobilisasi perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan. Pendekatan fikih digunakan untuk menganalisis
materi hukum yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan yang
dibandingkan dengan pendapat-pendapat ulama fikih.
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. 62
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hasil pengamatan di Aceh dan Kelantan dan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan di Aceh dan Kelantan. Informan di
Interactive Approach (London, Sage Publication, 2005). Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cetakan keempatbelas (Jakarta: Gramedia, 1997).
60Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal
System of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden University
Press, 2010), 21. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ketiga (Jakarta:
Prenada, 2007), 87. 61
Sebagai filsafat atau teori interpretasi makna, pendekatan hermeneutika ini
menggunakan teori hermeneutis untuk mengungkap apa yang dipikirkan pengarang.
Lihat Jose Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik, penerjemah Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2003), vii-viii. Adapun dalam hermeneutika hukum, teks hukum selalu tertanam dalam
sejarah dan digerakkan secara politik sehingga tidak akan ada kemungkinan untuk
memandang hukum hanya sebagai produk nalar dan argumen, tetapi harus menafsirkan
sesuai dengan kategori-kategori materialistis, seperti kekuasaan, hubungan sosial, dan
gender. Lihat Gerald L. Bruns, ‚Hukum dan Bahasa: Hermeneutika Teks Hukum dalam
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, penerjemah M.
Khozin (Bandung: Nusa Media, 2008), 41-42. 62
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007),
12. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2004),
157.
20
Aceh berasal dari Perguruan Tinggi Islam, seperti IAIN Ar-Raniry, dari
pemerintah daerah (Dinas Syariat Islam), Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU), ulama dayah (pesantren), dan dari partai politik (anggota
DPRA Partai Demokrat dan Partai Aceh), dan masyarakat bawah
(grassroot) dari kalangan Muslim dan Non-Muslim. Wawancara
mendalam juga dilakukan di Kelantan kepada anggota DUN (Dewan
Undangan Negeri) PAS, UMNO, dan Partai Keadilan, Ketua Mahkamah
Syar’ah Kelantan, Mufti Kelantan, dan masyarakat bawah (grassroot) dari kalangan Muslim dan Non-Muslim Kelantan.Wawancara mendalam
dilaksanakan dalam beberapa kurun waktu, yaitu pada 20-22 September
2010 (Banda Aceh), 12-22 Oktokber 2011 (Kelantan dan Trengganu), 18-
22 Juni 2012 (Banda Aceh), 13-16 Nopember 2012 (Banda Aceh), 23-15
Nopember 2012 (Bireuen), dan 27-29 Agustus 2013 (Bireuen).
Data sekunder penelitian ini diperoleh dari dokumen, peraturan
perundang-undangan, literatur, pemberitaan atau kepustakaan lain yang
terkait dengan topik penelitian, terutama yang berkaitan dengan
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Dokumen peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Enakmen Kanun Jinayah Syariah (I) 1983 Negeri Kelantan, Draft
Enakmen Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan versi yang
disahkan Dewan Undangan Negeri Kelantan,63
UU No. 44 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus NAD dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, Perda No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan
Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No. 10 Tahun
2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar
Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun
2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat,
Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 10
Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, dan Draft Qanun Jinayah 2009 versi
yang disahkan DPRD Aceh.64
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi,
observasi, dan wawancara. Metode dokumentasi dilakukan untuk
menelusuri data yang termuat dalam dokumen, seperti perundang-
undangan, arsip, dan surat resmi, berita surat kabar, dan literatur yang
terkait dengan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Metode observasi
63
Rancangan Enakmen Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan telah
disahkan oleh Dewan Undangan Negeri Kelantan pada 25 Nopember 1993. 64
Rancangan Qanun Jinayah 2009 telah disahkan oleh DPRD Aceh pada 14
September 2009.
21
dilakukan dengan mengamati perilaku masyarakat dalam merespon
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Metode wawancara
dilakukan untuk mendalami informasi dari pemerintah, partai politik
(legislatif), akademisi, ulama, hakim, grassroot (masyarakat bawah), dan
ormas Islam tentang pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
perbandingan. Studi ini membandingkan hukum suatu negara dengan
hukum negara lain.65
Jerome Hall berpendapat bahwa perbandingan
hukum (comparative law) sebagai metode dilakukan dengan
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dengan
melihat konteks sosial, fungsi hukum, dan institusi sosial di
masyarakat.66
Studi ini membandingkan pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan dari dua aspek, yaitu kehendak politik dan materi
hukum jinayah. Dari aspek kehendak politik, studi ini menganalisis
kehendak politik hukum nasional dan Pemerintahan Daerah, respon
partai politik dan masyarakat, mobilisasi perjuangan di Aceh dan
Kelantan. Dari aspek materi hukum, studi menganalisis materi hukum
jinayah di Aceh dan Kelantan, yang meliputi qis}a>s}, h}udu>d, dan ta‘zi>r. Pemilihan Aceh sebagai lokasi penelitian didasarkan pada
beberapa alasan. Pertama, dalam sejarahnya Aceh telah memberlakukan
hukum jinayah di masa Kesultanan Aceh Darussalam (1496-1903).
Kedua, dalam sejarahnya sejak masa Muhammad Daud Beureueh
(DI/TII) hingga Hasan Tiro (GAM), terdapat gerakan pemberontakan
kepada Pemerintahan Negara Republik Indonesia (RI). Ketiga, hukum
jinayah telah diberlakukan di Aceh dalam kerangka sistem hukum
nasional setelah mendapatkan otonomi khusus.
Pemilihan Kelantan sebagai lokasi penelitian didasarkan pada
beberapa alasan. Pertama, Kelantan merupakan negara bagian di
Malaysia yang dikuasai PAS hingga Pemilu 2013. PAS inilah yang
bersemangat memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan.
Kedua, Kelantan merupakan negara bagian di Malaysia yang pertama
kali mengundangkan hukum jinayah, yang meliputi h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r sebagai revisi atas pemberlakuan hukum jinayah sebelumnya yang
tidak sesuai dengan hukum syariat (imam mazhab). Ketiga, di Kelantan
terdapat gerakan perluasan pemberlakuan hukum jinayah, baik oleh
Pemerintah Kelantan maupun masyarakat Kelantan.
65
Peter Mahmud Marzuki, ‚Penelitian Hukum‛, 133. Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007) 257-258. 66
Jerome Hall, Comparative Law and Social Theory (New York: Louisiana
State University Press, 1963), 5-10.
22
F. Sistematika Pembahasan
Disertasi ini terdiri dari enam bab, termasuk bab penutup yang
terangkai secara korelatif antara satu dengan yang lainnya. Komposisi
masing-masing bab tersistematisasi ke dalam daftar isi.
Bab Pertama berjudul Pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua berjudul Relasi Syariah, Negara, dan Demokrasi yang
berisi kajian teoritik tentang relasi syariah dan negara, dan relasi
demokrasi dan gerakan pemberlakuan syariah, relasi syariah, politik, dan
sosial, dan hukum jinayah dalam sistem hukum dan politik negara-negara
muslim. Kajian teoritik ini dimaksudkan untuk menjelaskan teori-teori
pemberlakuan syariat Islam dalam hubungannya dengan negara (politik)
dan masyarakat (sosial).
Bab Ketiga berjudul Akar Pemberlakuan Hukum Jinayah di
Indonesia dan Malaysia yang berisi sejarah Aceh dan Kelantan, kondisi
sosio-budaya Aceh dan Kelantan, dan kondisi politik di Aceh dan
Kelantan. Bab ini juga mengurai sejarah pemberlakuan hukum jinayah di
masa kerajaan Islam yang meliputi wilayah Aceh, Banten, Banjar,
Melaka, Pahang, Kelantan, Perak, dan Trengganu. Politik hukum
kolonial terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan
Malaysia juga dibahas, khususnya kebijakan penjajah Belanda
(Indonesia) dan penjajah Inggris (Malaysia). Bab ini diperkaya dengan
pembahasan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan
Malaysia paska kemerdekaan dan posisi hukum jinayah dalam sistem
hukum negara.
Bab Keempat berjudul Kehendak Politik Pemberlakuan Hukum
Jinayah di Aceh dan Kelantan yang berisi kehendak politik hukum
nasional dan kehendak politik Pemerintahan Daerah dalam pemberlakuan
hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Bab ini juga mengurai respon
partai politik dan masyarakat dalam pemberlakuan hukum jinayah di
Aceh dan Kelantan, baik masyarakat grassroot (bawah) maupun elit serta
mobilisasi yang dilakukan masyarakat dalam perjuangan pemberlakuan
hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pembahasan bab ini dimaksudkan
untuk menjelaskan tarik-menarik kepentingan politik hukum nasional
dan Pemerintahan Daerah dalam pemberlakuan hukum jinayah serta
respon yang disuarakan partai politik dan masyarakat terhadap kebijakan
negara dan Pemerintahan Daerah tersebut.
Bab Kelima berjudul Materi Pemberlakuan Hukum Jinayah di
Aceh dan Kelantan yang berisi materi h}udu>d dan ta‘zi>r yang telah
23
diberlakukan di Aceh dan Kelantan dan materi h}udu>d, qis}a>s,} dan ta‘zi>r yang sedang diperjuangkan di Aceh dan Kelantan. Pembahasan materi
hukum jinayah yang telah diberlakukan dan sedang diperjuangkan di
Aceh dan Kelantan ini dikaitkan dengan pendapat ulama-ulama fikih,
terutama untuk melihat pengaruh ulama-ulama fikih terhadap materi
pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.
Bab Keenam berjudul Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.