PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Oleh
Nama : Lina Puspita Yuniati NIM : 2150401503 Prodi : Sastra Indonesia Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang
Panitia Ujian Skripsi.
Semarang, 15 Agustus 2005
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Drs. Teguh Supriyanto, M. Hum NIP 131813650 NIP 131876214
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
pada hari : Rabu
tanggal : 31 Agustus 2005
Panitia Ujian Skripsi Ketua, Sekretaris, Prof. Dr. Rustono Drs. Agus Yuwono, M.Si NIP 131281222 NIP 132049997 Penguji I, Penguji II, Penguji III, Drs. M. Doyin, M.Si Drs. Teguh Supriyanto., M.Hum Drs. Agus Nuryatin., M.Hum NIP 132106367 NIP 131876214 NIP 131813650
i
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 2 Agustus 2005
Lina Puspita Yuniati
i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
Kesempatan untuk sukses di setiap kondisi selalu dapat diukur oleh seberapa besar
kepercayaan anda pada diri sendiri. (Robert Collier)
Ujian bagi seseorang yang sukses bukanlah pada kemampuannya untuk mencegah
munculnya masalah, tetapi pada waktu menghadapi dan menyelesaikan setiap
kesulitan saat masalah itu terjadi. (David J. Schwartz)
Persembahan:
Untuk kedua orang tuaku, kakakku, serta
adikku tercinta.
ii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi ini disusun untuk menyelesaikan Studi Strata I yang merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi
ini tidak mungkin terwujud tanpa bimbingan dan dorongan serta keterlibatannya
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada.
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menuntut ilmu di UNNES;
2. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah menyetujui dan memberi izin
kepada penulis untuk menyusun skripsi ini;
3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan
kemudahan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini;
4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan pengetahuan kepada penulis;
5. Drs. Agus Nuryatin, M. Hum sebagai pembimbing I dan Drs. Teguh
Supriyanto, M. Hum sebagai pembimbing II yang senantiasa memberikan
motivasi, kesabaran, ketelitian dan bimbingan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini;
6. teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2001 yang telah memberikan
semangat kepada penulis selama menyusun skripsi;
7. kakakku Mbak Yuni dan adikku Budi atas persaudaraan, kebersamaan,
dukungan, semangat, dan perjuangan kita bersama-sama menuntut ilmu di
kota Atlas ini;
8. warga Kos Kinanthi I D tercinta atas semangat dan kebersamaannya;
9. teman-teman karibku Fatya, Cay2, Ti2k, Lelis, atas dukungan dan
persahabatannya;
iii
10. UPT Perpustakaan Universitas Negeri Semarang, Kombat 202 Jurusan Sastra
Indonesia yang telah menyediakan buku-buku untuk penyusunan skripsi ini;
11. rental komputer God Bless yang telah membantu penulis dalam menyusun
skripsi ini;
12. semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang turut
membantu dalam proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Meskipun
demikian, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semarang, Agustus 2005
Penulis
iv
SARI
Yuniati, Lina Puspita. 2005. Pandangan Dunia Pengarang Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami, Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Agus Nuryatin, M. Hum, Pembimbing II: Drs. Teguh Supriyanto, M. Hum.
Kata kunci: pendekatan sosiologi, strukturalisme genetik, metode dialektik
Novel Saman karya Ayu Utami sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik, karena mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu, dari pengkajian novel Saman ini dapat diketahui pandangan dunia pengarang. Pemilihan novel Saman di samping berdasarkan faktor tersebut, juga didasarkan pada belum pernah dilakukannya pengkajian novel Saman dari segi sosiologi khususnya menggunakan teori Strukturalisme Genetik.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana struktur novel Saman karya Ayu Utami, (2) bagaimana lingkungan sosial Ayu Utami, (3) bagaimana lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami, (4) bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman karya Ayu Utami. Berkaitan dengan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur novel Saman karya Ayu Utami, lingkungan sosial Ayu Utami, lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman karya Ayu Utami.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik. Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah struktur novel Saman karya Ayu Utami, lingkungan sosial Ayu Utami, lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami, dan pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman karya Ayu Utami, yang diterbitkan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, pada tahun 1998. Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan menggunakan model dialektik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur novel Saman terdiri atas tokoh dan penokohan, yakni dengan tokoh utama Saman. Saman digambarkan sebagai tokoh yang religius, mempunyai solidaritas tinggi, ekonomis, suka bekerja keras, pemikir, optimis, dan percaya kepada hal-hal gaib. Alur dalam novel Saman dibagi menjadi dua yaitu alur utama dan alur bawahan. Alur utama merujuk pada penceritaan tokoh Saman, sedangkan alur bawahan yaitu alur yang merujuk pada penceritaan tokoh Laila. Latar cerita pada novel Saman terjadi di New York, Pabrik kilang minyak di lepas pantai laut Cina Selatan, Pulau Matak, Perabumulih, sebuah gereja, Lubukrantau, ruang penyekapan, rumah sakit, dan terjadi pada tahun 1962 sampai 1996. Adapun tema dalam novel Saman adalah perjuangan Saman dalam membela penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Dilihat dari lingkungan sosial pengarangnya, Ayu Utami merupakan pengarang novel sekaligus aktivis. Sebelum menulis novel ia aktif sebagai wartawan di majalah
v
Matra, Forum Keadilan dan D&R. Sekarang ini Ayu Utami masih aktif dalam bidang jurnalis di Komunitas Utan Kayu sebagai redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Dilihat dari lingkungan sosialnya, novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru yang terjadi pada tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an terjadi peristiwa unjuk rasa yang dilakukan oleh ratusan petani atau buruh. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman ini terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Berdasarkan Solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik ini dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi tersebut sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
Berdasarkan hasil analisis di atas, saran yang penulis sampaikan antara lain penelitian novel Saman dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca, teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra lainnya, dan novel Saman hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan dengan menggunakan teori yang lain.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... i
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... ii
PERNYATAAN............................................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv
PRAKATA....................................................................................................... v
SARI................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORETIS............................................................. 8
2.1 Sosiologi Sastra...................................................................... 8
2.2 Struktur Novel........................................................................ 13
2.3 Strukturalisme Genetik........................................................... 16
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 28
3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................ 28
3.2 Sasaran Penelitian .................................................................. 28
3.3 Teknik Analisis Data.............................................................. 29
BAB IV STRUKTUR NOVEL, LINGKUNGAN SOSIAL PENGARANG,
LINGKUNGAN SOSIAL NOVEL, DAN PANDANGAN DUNIA
PENGARANG YANG TEREFLEKSI DALAM SAMAN
KARYA AYU UTAMI................................................................. 30
4.1 Struktur Novel Saman............................................................. 31
vii
4.1.1 Tokoh dan Penokohan.................................................. 30
4.1.2 Latar ............................................................................. 42
4.1.3 Alur .............................................................................. 49
4.1.4 Tema............................................................................. 51
4.2 Lingkungan Sosial Ayu Utami............................................... 52
4.3 Lingkungan Sosial Novel Saman ........................................... 58
4.4 Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman ................ 63
BAB V PENUTUP..................................................................................... 77
5.1 Simpulan ................................................................................ 77
5.2 Saran....................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80
LAMPIRAN..................................................................................................... 82
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Sinopsis Novel Saman Karya Ayu Utami .................................. 82
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman manusia, baik dari aspek
manusia yang memanfaatkannya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek
penciptanya, mengekspresikan pengalaman batinya ke dalam karya sastra. Ditinjau
dari segi penciptanya (pengarang dalam sastra tulis dan pawang atau pelipur lara
dalam sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai
kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam
karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-
peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-
tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia dalam berbagai kehidupannya. Karya
sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya (Zulfahnur dkk
1996: 254). Dikatakan oleh Abrams (dalam Pradopo 1995: 254) bahwa karya sastra
itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh
keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan
masyarakat saat novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari
kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru,
yang terjadi pada tahun 1990-an (http://www.forum.webqaul.com). Pemerintahan
pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik
baru yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes
1
2
beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan,
pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia (http://www.geoticies.com). Novel
Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi
di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi
masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan
tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini
mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-
wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka
menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani, penduduk Sei
Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh. Pada
masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang
memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan
dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat
keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan
tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi
penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan (http://.geoticies.com). Tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka
hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan
adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM
dianggap sebagai gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa
rezim Soeharto, LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”,
dan “pengkhianat bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan
LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat
3
yang kritis terhadap pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu
dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan
rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah selalu mencurigai aktivis LSM.
Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-
aktivis LSM (http://www.kompas.com).
Selain itu novel Saman juga bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda
bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus
menyaksikan penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat
militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi
aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual
dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel Saman antara
lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka muda, berpendidikan dan berkarir.
Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai pengalaman-
pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka dalam
mendefinisikan seksualitas perempuan (http://www.forum.webqaul.com).
Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang
dianggap kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi
politik, intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang
mengkritik novel tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam
membicarakan persoalan seks. Banyak pula yang memujinya karena penggambaran
novel tersebut apa adanya, polos, tanpa kepura-puraan.
4
Di tengah kontroversi itu, Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan
Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai
fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di
New York. Pada tahun 2000, novel Saman mendapatkan penghargaan bergengsi dari
negeri Belanda yaitu Penghargaan Prince Clause Award. Suatu penghargaan yang
diberikan kepada orang-orang dari dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang
kebudayaan dan pembangunan. Novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda dengan judul Samans Missie, yang diluncurkan di Amsterdam pada 9 April
2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai
pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta.
Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap “kebangkitan” pengarang
wanita dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah
memberi kepercayaan diri kepada pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-
karya mereka, tetapi secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya
terbentang antara pengarang dengan pembacanya.
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan
menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia. Ia
mengaku sejak kecil memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh, eksotis.
Bagi Ayu Utami dunia tulis menulis bukan hal yang baru. Sebelum menjadi penulis
novel, ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R.
Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan pers. Kini ia bekerja
5
di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah
pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi. Baginya menulis novel
merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa yang masih
muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka, diantaranya
Sapardi Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman
sepanjang pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal karya-karya
Ondaatje, Salman Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh cara bercerita
sealiran dengan Saman. Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur
itu, kini hadir dalam sebuah novel Indonesia.
Menurut Faruk, apa yang dilakukan oleh Ayu adalah keberanian melakukan
aksentuasi terhadap sesuatu yang tadinya bermakna tabu. “Ini juga patut dihargai, ia
telah mengaksentuasikan sesuatu nilai yang tadinya sangat tabu dikatakan oleh kaum
perempuan” (http://www.kompas.com).
Sepengetahuan penulis, novel Saman karya ayu Utami telah dikaji oleh:
Sutimah(2001) mahasiswa UNNES berjudul “Gaya Bahasa Novel Saman Karya Ayu
Utami: Sebuah Kajian Stilistika” yang memfokuskan pada estetika Saman dan
keterkaitan bahasa dengan unsur tema, sudut pandang, latar, dan penokohan. Dengan
demikian diperoleh fungsi gaya bahasa dalam Saman. Alur tidak dapat dirunut
keberadaannya karena alur yang digunakan dalam Saman sangat variatif.
Kevariatifan ini disebabkan oleh pilihan kata yang sangat komplek dan penggunaan
kalimat yang banyak mengalami penyimpangan kaidah ketatabahasaan. Ning Ediati
(2002) mahasiswa UNNES, berjudul “Tokoh Utama Novel Saman Karya Ayu Utami
6
Tinjauan Psikologis” yang memfokuskan pada penokohan tokoh utama secara fisik
dan tipe psikologis yang paling dominan pada tokoh Saman. Nas Haryati (2002)
dalam Jurnal Bahasa dan seni, berjudul “Beberapa Pilihan Kata pada novel Saman
Karya Ayu Utami” yang memfokuskan pada wujud penggunaan bahasa atau pilihan
kata pada novel Saman dan efek yang ditimbulkan oleh adanya pilihan kata tersebut.
Sofaningrum (2003) mahasiswa UNNES berjudul “Bentuk-bentuk Penyimpangan
Sosial dalam Novel Saman Karya Ayu Utami” yang memfokuskan pada bentuk-
bentuk penyimpangan sosial yang memunculkan dalam novel Saman, serta korelasi
antara penyimpangan sosial yang terefleksi dalam realita kehidupan.
Dari beberapa penelitian tersebut pada dasarnya novel Saman diteliti dari segi
bahasa dan strukturnya saja. Namun dari segi sosiologi khususnya menggunakan
teori Strukturalisme Genetik belum pernah ada yang meneliti. Novel Saman karya
Ayu Utami sangat menarik dan perlu dikaji, karena novel Saman mempunyai
hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan dengan lingkungan
sosial pengarang. Oleh karena itu dari pengkajian novel Saman ini dapat diketahui
pandangan dunia pengarang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur novel Saman karya Ayu Utami?
2. Bagaimana lingkungan sosial Ayu Utami?
3. Bagaimana lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami?
7
4. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman karya
Ayu Utami?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:
1. struktur novel Saman karya Ayu Utami.
2. lingkungan sosial Ayu Utami.
3. lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami.
4. pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman karya Ayu
Utami.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu sastra,
khususnya dalam bidang karya sastra yang berbentuk novel, lebih-lebih dalam
penerapan teori sastra. Selain itu penelitian novel Saman dengan menggunakan teori
Strukturalisme Genetik belum pernah dilakukan, maka secara praktis penelitian ini
bermanfaat untuk membantu pembaca dalam memahami novel Saman.
8
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial (Damono 1978: 6). Seperti
halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di
dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono
1978: 6).
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan
pendekatan sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra (Damono 1978: 2). Menurut
Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap
sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan
cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra
untuk membicarakan sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra
sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah
analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang
mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya
sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
8
9
terhadap masyarakat bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya
sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri yang merupakan
anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya
dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya (Semi 1993:
73).
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia
merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang
merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia
untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie
2000: 117).
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan)
merupakan refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu
masyarakat yang melingkupi penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat
lepas darinya.
Wellek dan Warren (dalam Damono 1978: 3) mengemukakan tiga klasifikasi
yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi
sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
2. Sosiologi karya sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya sastra, tujuan
atau amanat, dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan
berkaitan dengan masalah sosial.
10
3. Sosiologi pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra terhadap pembaca.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda
dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt
dalam eseinya yang berjudul “Literatur Society” (dalam Damono 1978: 3-4) yang
membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubungannya dengan posisi sosial
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang
terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata
pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat
secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan:
sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c)
masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan
masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya
sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama
mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering
mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre
sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh
masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-
11
cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang
harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa
jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra
dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan
yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur
adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus
menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono 1978: 3-4).
Selain itu Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengemukakan ada tiga
perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa satra tersebut diciptakan;
2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya
atau peristiwa sejarah.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 111) hubungan sastra dengan masyarakat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi
pengarang, dan situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi,
produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang
terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan
masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial sastra.
12
Menurut Goldmann (Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai struktur
bermakna itu akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu
melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Sehingga karya sastra tidak akan dapat
dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks
sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra
menjadi pincang. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan
kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterkaitan
pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi
Goldmann merupakan hubungan genetik. Oleh karena itu, muncullah teori yang
disebut dengan Strukturalisme Genetik.
Strukturalisme Genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial
yang kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, Strukturalisme Genetik tetap
mengedepankan juga aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap
dianggap penting bagi pemahamah karya sastra (Endraswara 2003: 60).
Dalam skripsi ini digunakan klasifikasi yang kedua dari Wellek dan Warren,
yaitu sosiologi karya sastra. Dalam klasifikasi sosiologi karya sastra ini akan dibahas
mengenai masalah-masalah sosial dan dalam kaitannya dengan isi karya sastra,
tujuan, amanat dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra. Jadi, dalam sosiologi
karya sastra yang menjadi pokok bahasan adalah karya sastra itu sendiri. Pendekatan
sosiologi karya sastra akan mengkaji karya sastra yang isinya bersifat sosial. Hal ini
dikarenakan sastra sebagai hasil seorang pengarang tidak bisa lepas dari kehidupan
sosial suatu masyarakat.
13
2.2 Struktur Novel
Menurut Fananie (2000: 83) unsur intrinsik adalah struktur formal karya
sastra yang dapat disebut sebagai elemen-elemen atau unsur-unsur yang membentuk
karya sastra. Unsur-unsur tersebut secara utuh membangun karya sastra fiksi dari
dalam, unsur-unsur intrinsik yang paling pokok terdiri dari: (1) tokoh dan
penokohan, (2) latar, (3) alur, dan (4) tema.
(1) Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 2000: 165)
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakannya.
Menurut Sayuti (1996: 47) ditinjau dari segi keterlibatannya dalam
keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Tokoh sentral atau tokoh utama
Tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam
peristiwa atau tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh sentral atau tokoh
utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat
dengan makna atau tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan
tokoh lain, dan (3) tokoh itu paling memerlukan waktu penceritaan.
b. Tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan)
Tokoh bawahan merupakan tokoh yang mengambil bagian kecil dalam
peristiwa suatu cerita atau tokoh yang sedikit diceritakan.
14
Penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya
maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya,
adat istiadatnya, dan sebagainya (Suharianto 1982: 31).
Dalam penokohan, dikenal ada dua cara atau metode yang digunakan
pengarang untuk menggambarkan tokoh cerita (Sayuti 1996: 57-59) antara lain:
a. Metode diskursif atau metode analitik
Metode ini digunakan pengarang dengan menyebutkan secara langsung
masing-masing kualitas tokoh-tokohnya.
b. Metode dramatis atau metode tidak langsung
Metode ini digunakan pengarang dengan memberikan tokoh-tokohnya
untuk menyatakan diri mereka sendiri. Metode ini dapat dilakukan dari beberapa
teknik antara lain: (1) teknik pemberian nama, (2) teknik cakapan, (3) teknik
pikiran tokoh, (4) teknik arus kesadaran, (5) teknik lukisan persoalan tokoh, (6)
teknik perbuatan tokoh, (7) teknik pandangan seorang atau banyak tokoh
terhadap tokoh lain, (8) teknik lukisan fisik, dan (9) teknik pelukisan latar.
(2) Latar
Abrams (dalam Nurgiyantoro 2000: 216) yang menyebut latar sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Menurut Sayuti (1996: 80), deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat
dikategorikan dalam tiga bagian, yakni:
a. Latar tempat
Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi.
15
b. Latar waktu
Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis dalam plot.
Dengan jelasnya saat kejadian akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut. Secara
jelas pula rangakian peristiwa yang tidak mungkin terjadi terlepas dari perjalanan
waktu dapat ditinjau dari jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu
yang melatarbelakanginya.
c. Latar sosial
Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan Hakikat seorang atau
beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.
(3) Alur
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah
plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut alur, yakni cara pengarang
menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab
akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh (Suharianto 1982:
28).
Menurut Zulfahnur, dkk (1996: 27), berdasarkan fungsinya alur dibagi atas:
a. Alur utama
Alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa pokok
atau utama.
b. Alur bawahan (subplot)
Alur bawahan adalah alur yang berisi kejadian-kejadian kecil menunjang
peristiwa-peristiwa pokok, sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai
ilustrasi alur utama.
16
(4) Tema
Tema berasal dari kata “thema” (Inggris) ide menjadi pokok suatu
pembicaraan, atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan omensional yang amat
penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu pengarang dapat membayangkan
dalam fantasinya bagaimana cerita akan dibangun dan berakhir. Dengan adanya tema
pengarang mempunyai pedoman dalam ceritanya pada sasaran. Jadi tema adalah ide
sentral yang mendasari suatu cerita (Zulfahnur 1996: 24).
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa pendekatan Strukturalisme Genetik
mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila peneliti
sendiri tidak melupakan tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun
karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari
sepenuhnya bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan
memanfaatkan faktor imajinasi (Jabrohim 1994: 82-83).
2.3 Strukturalisme Genetik
Strukturalisme Genetik (genetik structuralism) adalah cabang penelitian
sastra secara struktural yang tak murni. Strukturalisme genetik ini merupakan
penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya (Endraswara
2003: 55).
Semula, peletak dasar strukturalisme Genetik adalah Taine. Bagi dia, karya
sastra sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan
atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.
17
Strukturalisme Genetik muncul sebagai reaksi atas “stukturalisme murni”
yang mengabaikan latar belakang sejarah dan latar belakang sastra yang lain. Hal ini
diakui pertama kali oleh Juhl (Teeuw 1988: 173) bahwa penafsiran model
strukturalisme murni atau strukturalisme klasik kurang berhasil (Endraswara 2003:
55-56).
Dari pandangan ini, tampaknya murid utama George Lukacs, dalam apa yang
dikenal sebagai kritik sastra marxis aliran “neo-Hegelian”, Lucien Goldmann,
kritikus asal Rumania adalah satu-satunya tokoh yang ikut mengembangkan
Strukturalisme Genetik. Goldmann berusaha mengulas struktur sebuah teks sastra
dengan tujuan mengetahui sampai sejauh mana teks itu mewujudkan struktur
pemikiran (atau “visi dunia”, world vision) dari kelompok atau kelas sosial dari
mana pengarang berasal.
Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini mempunyai segi-segi yang bermanfaat
dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri tidak melupakan atau tetap
memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, di samping
memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa karya
sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi
(Jabrohim 1994: 82).
Pendapat di atas sesuai dengan pendapat Endraswara (2003: 56) yang
menyatakan bahwa studi Strukturalisme Genetik memiliki dua kerangka besar.
Pertama hubungan antara makna suatu unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya
18
sastra yang sama, dan kedua hubungan tersebut membentuk suatu jaringan yang
saling mengikat.
Strukturalisme Genetik tidak begitu saja dari struktur dan pandangan dunia
pengarang. Pandangan dunia pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar
belakang kehidupan pengarang. Hal itulah yang memberikan kekuatan hasil analisis
novel dengan pendekatan sosiologi sastra. pendekata sosiologi sastra secara
singkatnya adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai cermin
kehidupan masyarakat. Pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Jelaslah
bahwa pendekatan sosiologi sastra terutama dengan metode Strukturalisme Genetik
sangat erat hubungannya dengan pengarang.
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia
merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok
dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia
untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya (Fananie
2000: 117).
Strukturalisme Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan
bahwa karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu yang statis dan lahir yang
sendirinya melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategori pikiran subjek
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara
subjek itu dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu pemahaman
mengenai Strukturalisme Genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan-
pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor itulah yang
19
memberikan kepaduan pada struktur karya sastra itu (Goldmann dalam Faruk
1999: 13).
Ada dua kelompok karya sastra menurut Goldmann (dalam Jabrohim 1994:
82), yaitu karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang utama dan karya sastra yang
dihasilkan oleh pengarang kelas dua. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang
utama adalah karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau
kelas sosial tertentu. Sedangkan, karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang kelas
dua adalah karya sastra yang isinya sekedar reproduksi segi permukaan realitas dan
kesadaran kolektif. Untuk penelitian sastra yang mengungkapkan pendekatan
Strukturalisme Genetik oleh Goldmann disarankan menggunakan karya sastra
ciptaan pengarang utama, karena sastra yang dihasilkannya merupakan karya agung
(master peace) yang di dalamnya mempunyai tokoh problematik (problematic hero)
atau mempunyai wira yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai
yang sahih (autthentic value).
Menurut Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai
struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu
melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat ditanyakan
bahwa Strukturalisme Genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan
antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau
ideologi yang diekspresikannya. Keterkaitan pandangan dunia penulis dengan ruang
dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya
disebut sebagai Strukturalisme Genetik. Pada bagian lain, Goldmann mengemukakan
20
bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai
hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.
Sebagai sebuah analisis Strukturalisme Genetik didasarkan faktor kesejarahan
karena tanpa menghubungkan dengan fakta-fakta kesejarahan pada suatu objek
kolektif di mana suatu karya diciptakan, tidak seorang pun akan mampu memahami
secara komprehensif pandangan dunia atau hakikat dari yang dipelajari (Goldmann
dalam Fananie 2000: 120).
Pandangan dunia, yang bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra
adalah abstraksi. Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra.
Oleh karena itu pandangan dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili
kelas sosialnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya
(unsur genetik) dari latar belakang sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia
penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut bagi Goldmann merupakan
hubungan genetik. Karenanya disebut Strukturalisme Genetik. Dalam kaitannya ini,
karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara 2003: 57).
Atas dasar hal-hal tersebut, Goldmann (dalam Endraswara 2003: 57)
memberikan rumusan penelitian Strukturalisme Genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1)
penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan; (2) karya
sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang bernilai sastra yaitu karya yang
mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu
keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian
dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial. Secara sederhana, kerja
21
penelitian Strukturalisme Genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah antara
lain:
1. Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam
jalinan keseluruhan.
Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
pandang yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik
(kesatuan dan koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan
menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang
sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan
dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Untuk sampai pada
World view yang merupakan pandangan dunia pengarang memang bukan perjalanan
mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian bukan terletak pada
analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu kemudian
dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan
mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal
tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi sendiri
(Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).
Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik
terlebih dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari
pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh problematik
dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan
memunculkan adanya pandangan dunia pengarang akan dimunculkan melalui tokoh
22
problematik (problematic hero). Tokoh problematik (problematik hero) adalah tokoh
yang mempunyai wira bermasalah yang berhadapan dengan kondisi sosial yang
memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang sahih (authentic value).
Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari
pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik
dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari
komunitas tertentu.
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti
berkenaan dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan
karsa masyarakat. Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang sebagai
karya yang tersusun secara teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib. Hasil
budaya tersebut dapat berupa kemahiran teknik, pikiran, gagasan, kebiasaan-
kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Kata kebudayaan
mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka
mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia,
sedang manusia merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari
beberapa pengertian sosial budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup
pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan
yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai makhluk sosial.
23
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia
berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan
politik itu sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran
kelas (Damono 1978: 42).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk karya sastra yang
diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999: 55) sekolah dan
latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang
dikerjakan oleh sastrawan.
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa
munculnya karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan
dirinya, menaruh minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup,
dan kehidupan melalui karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra berbeda
dengan rumusan sejarah. Dalam sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan
merupakan peramuan antara pengamatan dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi,
kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan yang telah diwarnai oleh pandangan-
pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan
karya-karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik
secara individual (pengarang) maupun secara kolektif. Hal tersebut menyebabkan
secara sadar atau tidak sadar bahwa dalam menciptakan karya sastra baik sedikit
ataupun banyak dipengaruhi oleh pemikiran perasaan dan pengalaman hidupnya,
salah satunya yaitu bahwa latar belakang sosial budaya pengarang akan
mempengaruhi penciptaan karya sastra yang ditulisnya.
24
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial
budaya pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang
merupakan bagian dari komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya
pengarang akan dapat mempengaruhi karya sastranya. Pengarang bukan hanya
penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok masyarakat, tetapi juga menyalurkan
reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan mengeluarkan pikirannya tentang
satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya pengarang akan
memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia pengarang
terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan
kelompok sosial masyarakat pengarang.
3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra
saat diciptakan oleh pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena
itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Sebuah
karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam
Jabrohim 1994: 78).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165)
dianggap sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam
semesta dan kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin
dalam karya sastra terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat
historis.
25
Johnson (dalam Faruk 1999: 45-46) menyimpulkan bahwa novel
mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan
sosial. Dengan demikian, karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk menuliskan
kembali kehidupan dalam bentuk cerita.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110) mengemukakan hubungan
antara sastra erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan
perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan secara
keseluruhan kehidupan zaman tertentu secara nyata dan menyeluruh.
Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak
dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan yang menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks
seluas-luasnya dan tidak hanya menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya sastra
adalah hasil dari pengaruh timbal balik antara faktor-faktor sosial kultural dan
merupakan objek kultural yang rumit.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap
proses penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau strukturnya.
Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan
melahirkan suatu warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim 1994:
64).
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan
yang pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada
masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang
hidup pada suatu zaman, sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota
26
masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari
lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya sebagai realitas
sosial (Semi 1989: 73).
Semi (1989: 53) menyatakan bahwa karya sastra merupakan suatu fenomena
sosial yang terkait dengan penulis, pembaca, dan kehidupan manusia. Karya sastra
sebagai fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptanya saja, tetapi juga
pada hakikat karya sastra itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa reaksi sosial
seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya mendorong ia menulis
karya sastra. Oleh karena itu, mempelajari karya sastra berarti mempelajari
kehidupan sosial. Hal itu bermakna bahwa kajian karya sastra terkait dengan kajian
manusia, kajian tentang kehidupan.
Untuk lebih jelasnya, dalam melakukan penelitian dengan menggunakan
metode Strukturalisme Genetik dapat kita ikuti langkah-langkah yang ditawarkan
oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman (dalam Jabrohim
2001: 64-65). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya
untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan
yang padu dan holistik.
b. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra
dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan
dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
27
c. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode
pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik
untuk selanjutnya mencapai premis general.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini dapat dilakukan dari pemahaman bahwa karya sastra
diciptakan tidak hanya dari imajinasi dan pribadi pengarang, tetapi juga dari
peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sehingga karya sastra dapat dikatakan
sebagai cermin rekaman budaya masyarakat. Pemahaman dapat dibuktikan dengan
mengunakan teori Strukturalisme Genetik. Karena Strukturalisme Genetik tidak
hanya memandang karya sastra berdasarkan unsur intrinsik saja tetapi juga unsur
ekstrinsik. Unsur ekstrinsik dari sebuah novel diperoleh dari peristiwa sosial
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan
pendekatan sosiologi sastra.
Berdasarkan uraian di atas maka pendekatan dalam penelitian ini
menggunakan sosiologi dalam sastra, merupakan pendekatan terhadap karya sastra
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang terdapat dalam karya
sastra. Pendekatan sosiologis digunakan dalam menganalisis novel Saman, karena
karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan
dengan lingkungan atau zaman pada saat novel ditulis.
3.2 Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian dalam skripsi ini adalah struktur novel Saman, lingkungan
sosial pengarang, lingkungan sosial novel, dan pandangan dunia pengarang yang
28
29
terefleksi dalam novel Saman karya Ayu Utami, yang diterbitkan oleh penerbit
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta pada tahun 1998.
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini yaitu dengan
menggunakan model dialektik. Secara sederhana, pelaksanaan analisis dialektik
diawali dengan mengkaji unsur intrinsik novel dalam jalinan keseluruhannya,
kemudian megkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena pengarang merupakan
bagian dari komunitas tertentu, kemudian mengkaji latar belakang sosial dan sejarah
yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Endraswara
2003: 62).
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membaca novel Saman karya Ayu Utami secara berulang-ulang dari awal
sampai akhir cerita.
2. Mengkaji struktur novel Saman karya Ayu Utami.
3. Mengkaji lingkungan sosial Ayu Utami.
4. Mengkaji lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami.
5. Menghubungkan antara struktur novel Saman karya Ayu Utami, lingkungan
sosial Ayu Utami, dan lingkungan sosial novel Saman karya Ayu Utami. Dari
proses tersebut diperoleh pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam
novel Saman melalui tokoh problematik yang ada dalam novel tersebut.
6. Menarik simpulan dari permasalahan yang telah dikaji dalam novel Saman karya
Ayu Utami.
30
BAB IV
STRUKTUR NOVEL, LINGKUNGAN SOSIAL PENGARANG,
LINGKUNGAN SOSIAL NOVEL, DAN PANDANGAN DUNIA
PENGARANG YANG TEREFLEKSI DALAM SAMAN KARYA AYU UTAMI
Pada bab II di atas, telah dijelaskan mengenai teori-teori yang digunakan
untuk menganalisis novel Saman. Sedangkan pada bab IV ini akan dijelaskan
mengenai unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Saman, yang nantinya
dari pengkajian unsur-unsur intrinsik ini akan ditemukan tokoh problematik yang
terdapat dalam novel. Setelah pengkajian Unsur-unsur intrinsik akan diteruskan
dengan penjelasan mengenai lingkungan sosial Ayu Utami yang merupakan
pengarang novel Saman. Penjelasan ini dilakukan supaya dapat diketahui apakah
lingkungan sosial Ayu Utami dapat mempengaruhi dalam penulisan novel Saman.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai lingkungan sosial novel. Hal ini
dilakukan supaya dapat diketahui mengenai isi cerita yang terdapat dalam novel
Saman. Setelah dilakukan penjelasan-penjelasan di atas, diteruskan dengan
penjelasan mengenai pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel
Saman. Hal ini dilakukan dengan cara menghubung-hubungkan antara unsur
intrinsik, lingkungan sosial Ayu Utami, dan lingkungan sosial novel Saman. Dari
proses menghubung-hubungkan ini akan ditemukan tokoh problematik yang terdapat
dalam novel. Dengan adanya tokoh problematik ini, dapat dilihat pandangan dunia
pengarang yang terefleksi dalam novel Saman, yaitu dengan melihat solusi-solusi apa
yang diberikan oleh pengarang pada waktu tokoh problematik mengalami suatu
30
31
masalah dan berusaha untuk lepas dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu.
4.1 Struktur Novel Saman
Struktur yang akan diuraikan pada bab ini adalah struktur yang berupa unsur-
unsur intrinsik yang membangun dalam novel Saman. Unsur-unsur intrinsik ini
terdiri atas tokoh dan penokohan, latar, alur, dan tema.
4.1.1 Tokoh dan Penokohan
4.1.1.1 Tokoh
Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh dalam
novel Saman dapat dibedakan menjadi dua, yakni tokoh utama dan tokoh bawahan.
Seorang tokoh dapat dikatakan sebagai tokoh utama dalam sebuah novel ditentukan
paling tidak dengan tiga cara yaitu (1) tokoh itu paling banyak memerlukan waktu
penceritaan, (2) tokoh itu paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3)
tokoh itu paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sedangkan seorang tokoh
dapat dikatakan sebagai tokoh bawahan dalam sebuah novel, apabila (1) tokoh itu
mengalami sedikit permasalahan, (2) tokoh itu sedikit berhubungan dengan tokoh
lain, dan (3) tokoh itu sedikit memerlukan waktu penceritaan.
Tokoh utama dalam novel Saman adalah Saman atau Wisanggeni. Tokoh
Saman ditentukan sebagai tokoh utama karena tokoh Saman paling banyak
berhubungan dengan tokoh lain, tokoh Saman mengalami banyak permasalahan, dan
tokoh Saman merupakan tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
Sedangkan tokoh bawahan dalam novel Saman adalah Laila Gagarina, Yasmin
Moningka, Shakuntala, Sihar Situmorang, Cok, Rosano, Upi, Toni, Iman, Hasyim
32
Ali, Romo Dru, Ibu Wis, Pak Sarbini, Teki Kosasih atau Kongtek, Astuti, Ichsan,
Rogam, Anson, Nasri, Mak Argani, Totem Phallus, Petugas PT ALM, Suster
Marietta, Hensel, Gretel, Pak Agus, Timin, Mintoraharjo, Mei Yin, Abby Chan,
Araya, Lukas Hadi Prasetyo, Mayasak Yuly Kristanto, Diyanti Munawar, Romo
Martin, Tulin Nababan, Benjamin Silberman, Nodmi, Ruth, Er, dan Tamar. Tokoh-
tokoh tersebut ditentukan sebagai tokoh bawahan, karena tokoh tersebut mengalami
sedikit permasalahan, sedikit berhubungan dengan tokoh lain, dan sedikit
memerlukan waktu penceritaan. Adanya tokoh bawahan tersebut dalam sebuah cerita
bertujuan sebagai pendukung tokoh utama.
4.1.1.2 Penokohan
Kajian mengenai penokohan yang terdapat dalam novel Saman ini, hanya
akan memfokuskan pada penokohan tokoh utama, yaitu Saman. Karena tokoh Saman
adalah tokoh yang paling banyak mengalami permasalahan dalam cerita.
Wisanggeni lahir di Yogyakarta. Ketika berumur empat tahun, Wis pindah ke
Perabumilih di sebuah kota minyak yang berada di tengah Sumatra Selatan yang
masih sunyi saat itu.
Saat tinggal di Perabumulih Bapak Wis melarang Wis bermain di belakang
kebun. Mendengar larangan itu Wis mematuhinya. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
Karena Wis tidak pernah melanggar pagar pring apus yang dipasang bapaknya di halaman belakang. Ia hanya bermain-main di lahan yang mereka tanami singkong serta sayuran. Juga rumpun tebu di pojok kiri kanan. (Saman, hlm: 46)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Wisanggeni mempunyai sifat sangat
patuh kepada orang tuanya. Pengarang secara langsung mengungkapkan penokohan
33
Wisanggeni yaitu penggambaran tokoh Wisanggeni yang tidak pernah melanggar
perintah Bapaknya untuk tidak melewati pagar pring apus.
Saman dulunya bernama Wisanggeni juga digambarkan sebagai seorang
yang religius. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra kekemasan memanggil nama mereka satu per satu. Juga namanya: Athanasius Wisanggeni. (Saman, hlm: 40)
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa Wis tokoh secara langsung yang
tampak pada kutipan di atas adalah pengungkapan pada tokoh Wis yang sudah
dewasa, dan ia menetapkan diri untuk masuk seminari. Kutipan lain yang
menunjukkan bahwa Saman sebagai seorang tokoh yang religius, dapat kita lihat
pada kutipan berikut.
Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkup mencium ubin katedral yang dingin. Mereka mengucapkan kaulnya. Pada mereka telah dikenakan stola dan kasula. Sejak hari itu, orang-orang memanggil mereka pater. Dan namanya menjadi Pater Wisanggeni, atau Romo Wis. (Saman, hlm: 40)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Wisanggeni adalah seorang nasrani.
Wisanggeni kemudian menjadi seorang pastor setelah mengucapkan sumpah pada
misa pentahbisan dan mengubah namanya menjadi Pater Wisanggeni atau Romo
Wis.
Maafkan saya, datang siang-siang begini,” kemudian dia agak tergagap. Rumah itu tampak kosong, dan perempuan itu enggan menerima orang asing. “Saya pastor baru di daerah ini.” “Bukan mau mengajar agama.” “Cuma mau menegok. Waktu kecil saya tinggal di sini.” “Kira-kira sepuluh tahun lamanya.” (Saman, hlm: 59)
34
Penokohan Wisanggeni sebagai seorang yang santun dan religius dapat
dilihat pada kutipan di atas. Wis sebagai seorang pastor yang baru saja bertugas.
Selain itu Wis juga digambarkan sebagai seorang yang sopan dan memiliki tingkat
kepedulian sosial yang tinggi.
Penokohan Wis sebagai seorang yang santun, religius, dan berpendidikan,
diungkapkan lebih jelas pada kutipan di bawah ini.
“Terima kasih banyak. Romo masih ingat saya?” Keduanya pernah bertemu kira-kira empat tahun lalu. Ketika itu ia baru saja menamatkan pendidikan teologinya di Driyarkara, dan belajar di Institut Pertanian Bogor. Ia sengaja mengunjungi pastor pertapa itu untuk menceritakan suatu kisah aneh pada masa kecilnya, suatu pengalaman yang tidak ia bagikan kepada pater maupun frater yang lain. Bahkan tidak pada ayahnya. (Saman, hlm: 41-42)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui mengenai penggambaran tokoh
Wisanggeni selain sebagai seorang pastor, ia juga termasuk orang yang terdidik.
Dalam peristiwa itu disampaikan mengenai status pendidikan Wisanggeni sebelum
menjadi seorang pastor.
Penggambaran lain mengenai Wisanggeni yang merupakan sebagai tokoh
yang religius, tampak pada kutipan berikut.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan cuma mengabulkan harapannya Uskup menugaskan dia sebagai pastor paroki parid, yang melayani kota kecil Perabumulih dan Karang Endah, wilayah Keuskupan Palembang. (Saman, hlm: 57)
Pada diri Wissanggeni mempunyai yaitu mempunyai kepercayaan yang kuat
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-ciri itu juga terlihat jelas dari statusnya sebagai
seorang pastor. Sebagai seorang pastor Wisanggeni berkewajiban menjalankan tugas-
tugas kepastorannya, seperti melayani umat di daerah yang terpencil. Selain itu
35
terlihat juga dari perkataan dan perbuatannya dalam segala peristiwa yang
melibatkan dirinya.
Saat malam, Wis suka berdoa diam-diam agar Tuhan tetap memelihara perkebunan itu, sambil ia menatap ujung-ujung hutan karet, tempat binatang-binatang yang paling rendah tersangkut. Juga burung-burung yang beristirahat. Bunyi hutan malam-malam. (Saman, hlm: 87)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Wis merupakan orang
yang religius. Wis selalu berdo’a meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa pada saat
malam hari, karena pada malam harilah sesuai dengan ajaran agama para
pemeluknya dianjurkan untuk berdo’a agar lebih khusuk dan lebih dekat dengan
Tuhan.
Penokohan tokoh Saman dalam novel Saman selain terdapat penokohan
mengenai tokoh Saman sebagai seorang yang religius, Saman juga digambarkan
sebagai seorang yang mempunyai rasa sosial yang tinggi, hal ini dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini.
Malam harinya, Wis di kamar tidur pastoran, kegelisahan membolak-balik tubuhnya di ranjang seperti orang mematangkan ikan di penggorengan. Ia telah melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia saksikan keterbelakangan serperti tadi siang. (Saman, hlm: 73)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Wis digambarkan sebagai tokoh yang
memiliki rasa sosial yang tinggi. Hal ini diungkapkan jelas pada kutipan di atas yang
mengungkapkan tokoh Wis tidak bisa tidur karena melihat kesengsaraan yang terjadi
di sekitarnya.
Saman sebagai tokoh yang mempunyai rasa sosial tinggi terhadap tokoh lain
dapat dilihat pada kutipan berikut.
36
Bisa cuma tiga tahun, bisa juga tiga belas tahun, tergantung pasal apa yang digunakan. Kriminal atau subversif. Menyadari itu, tiba-tiba Yasmin menangis. Aku memeluknya, hendak menangkapnya. Ia terus menangis, pilu bagaikan anak kecil, sehingga aku mendekapnya erat. (Saman, hlm: 177)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Saman adalah tokoh yang
mempunyai rasa sosial tinggi. Ia berusaha untuk meringankan penderitaan yang
dialami orang lain, seperti usahanya untuk menenangkan Yasmin sedang menangis
karena melihat keadaan dirinya.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa, datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah Koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. (Saman, hlm: 92-93)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Saman berusaha untuk
membangun lembaga sosial yang dimaksudkan untuk melawan kesewenang-
wenangan yang dilakukan oleh kelompok sosial yang lebih kuat terhadap kelompok
lebih kecil dan lemah. Saman berusaha supaya dusun Lubukrantau tidak digusur.
Usahanya akhirnya berhasil, tetapi hanya untuk beberapa saat saja.
Selain itu, Saman juga digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai rasa
sosial terhadap nasib sekelompok penduduk dan berusaha untuk mengurangi
penderitaan itu. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
37
Semakin aku terlibat dalam penderitaanmu, semakin aku ingin bersamamu. Dan Wis selalu kembali ke sana. Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib gadis itu. Terutama ketika ia tiba suatu hari, ada keributan di dusun. (Saman, hlm: 79)
Kutipan di atas menggambarkan sifat Saman sebagai seorang yang
mempunyai rasa sosial yang tinggi terhadap nasib sekelompok penduduk desa yang
tinggal di daerah perkebunan. Rasa ingin mengurangi penderitaan seorang gadis yang
mengalami sakit jiwa inilah yang menjadikan Wis ingin mengunjungi desa tersebut.
Penggambaran tokoh Saman sebagai seorang tokoh yang mempunyai rasa
sosial tinggi dapat diketahui pula pada kutipan di bawah ini.
Ada perasaan lega jika ia sedang disiksa untuk mengakui di mana Anson, Sebab berarti pemuda itu belum tertangkap. Dan ketika kembali dalam selnya sendirian, ia berharap supaya teman-temannya tidak tertangkap. Tapi ia tidak bisa lagi berdoa untuk itu. Setelah semua kepedihan itu, agaknya Tuhan memang tak menyelematkan mereka. Tak mau, aku tak sanggup. Atau di memang tidak ada. Ia amat kesepian. (Saman, hlm: 106)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Saman memiliki rasa
sosial yang tinggi. Saman merasa lega kalau dirinya masih disiksa. Ini memandakan
kalau teman-temannya belum tertangkap. Ia berharap teman-temanya jangan sampai
tertangkap. Harapannya ini menunjukkan kalau dirinya memiliki solidaritas yang
tinggi.
Sambil mencampur ammonia ke dalam tangki penampungan. Wis menawarkan kerja sama di lahan keluarga Argani yang luasnya dua hektar. Empat bulan ia telah mempelajari perkebunan itu. (Saman, hlm: 83)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Saman mempunyai rasa sosial yang
tinggi, yaitu ia berusaha untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh penduduk
Lubukrantau yang disebabkan oleh beratnya beban kebutuhan yang dialami oleh
38
penduduk Lubukrantau. Usahanya yaitu dengan cara Saman menawarkan kerja sama
dengan keluarga Argani untuk memperbaiki kebun karetnya. Dengan kerja sama ini
diharapkan penderitaan yang dialami oleh penduduk Lubukrantau dapat diatasi,
karena dengan kerja sama merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi
masalah sosial.
Saman, selain digambarkan sebagai seorang tokoh yang mempunyai sifat
religius, rasa sosial tinggi, ia juga digambarkan sebagai seorang yang percaya
terhadap hal-hal gaib. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Malam kira-kira pukul satu. Wis terbangun oleh bulu tengkuknya yang menegang. Kulit leher dan bahunya mengerisut seperti tersentuh dingin. Rambut-rambut halus di sana berdiri, seperti pada seekor kucing yang siaga di awal perkelahian, sehingga sentuhan paling lembutpun terasa oleh bulu yang telah menjadi waspada, yang akan memberitahukan padanya bahaya dalam gerakanya yang paling mula. Ia mendengar langkah-langkah. (Saman, hlm: 55) Mbah putri masih terkulai pada lantai. Wis tercengung, sebab ia tetap mendengar sedu bayi dari belakang tengkuknya. Dan menjadi begitu gelisah. Sebab adik masih hidup meskipun sudah mati. (Saman, hlm: 56)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Saman merupakan tokoh
yang percaya pada hal-hal gaib. Hal ini tampak pada kemampuannya merasakan
kehadiran yang gaib atau tidak kasat mata. Wis percaya kalau adiknya masih hidup
walaupun sudah meninggal.
Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada tenaga menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia bayangkan orang yang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah keropos oleh api, lalu berlari di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. (Saman, hlm: 108-109)
39
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Saman percaya kalau ada sesuatu yang
masuk ke dalam tubuhnya, sehingga ia merasakan tenaga yang lebih dari dalam
tubuhnya yang telah menjadi kurus.
Saman juga digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai sifat ekonomis.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis begitu terima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya. (Saman, hlm: 82-83)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Saman mempunyai sifat ekonomis,
yaitu mempertimbangkan rugi laba terhadap apa yang ia kerjakan. Saman mampu
memperkirakan jumlah uang yang dipakai untuk modal usahanya.
Saman digambarkan sebagai seorang yang mau bekerja keras. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Mak Argani, ibu gadis itu, serta dua abangnya menyilakan dengan agak bingung. Sisa siang itu Wis membawa gerobak, berkeliling dusun mengangkuti bongkah-bongkah batako yang tergeletak dari rumah-rumah transmigran yang ditinggalkan. Jika tak ada yang melihatnya, dia juga mencungkili batu yang masih menempel pada tembok serta papan dari pintu yang yang masih bisa digunakan. (Saman, hlm: 74)
Keduannya mulai dengan menggali jugangan untuk kakus kira-kira sedalam satu setengah meter, menanam pasak dan menutup sebagian permukaannya dengan papan pijakan, serta membikin sekat bambu. Hanya itu yang mereka selesaikan saat petang naik dari timur. Esoknya, Wis hampir tidak sanggup bangkit. Seluruh ototnya seakan berpilin kaku, sebab meski ia belajar menyupir traktor dan membiak tanaman di institut pertanian, ia tidak pernah sungguh-sungguh membuka lahan. (Saman, hlm: 74)
40
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Saman adalah seorang
yang mempunyai semangat bekerja keras, yaitu bekerja dari siang sampai sore
meskipun pekerjaan yang dilakukannya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan
statusnya. Pekerjaan ini biasa dilakukan oleh pekerja kasar, tetapi Wis mau
melakukannya. Hal ini yang menunjukkan adanya semangat bekerja keras yang
mencerminkan Saman sebagai manusia yang mempunyai sifat ekonomis.
Saman juga digambarkan sebagai manusia yang menyukai keindahan alam.
Hal ini tampak pada kutipan-kutipan berikut.
Yang paling dekat adalah rumpun-rumpun pisang dan bambu betung yang begitu tuanya sehingga merunduk membikin lorong satu dengan yang lain. (Saman, hlm: 47)
Saat malam, Wis suka berdoa diam-diam agar Tuhan tetap memelihara perkebunan itu, sambil ia menatap ujung-ujung hutan karet, tempat binatang-binatang yang paling rendah tersangkut. Juga burung-burung yang beristirahat. Bunyi hutan malam-malam. (Saman, hlm: 87)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Saman seorang yang
senang menikmati keindahan alam sekitarnya, yaitu dengan menatap ujung-ujung
pohon karet, memandang bintang-bintang, dan juga burung-burung yang beristirahat
pada malam hari.
Saman sebagai tokoh utama juga mempunyai sifat sebagai seorang pemikir.
Maksudnya ia selalu memikirkan atau melakukan pertimbangan kepada apa yang
akan ia lakukan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, Tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan.
(Saman, hlm: 42)
41
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Saman adalah seorang yang optimis
dalam menentukan harapan hidupnya dan melakukan pertimbangan-pertimbangan
pada keputusan yang diambilnya.
Saman mampu memberikan semangat kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut.
“Jangan sampai tertangkap, Anson. Aku akan mencarimu begitu aku keluar.” Meskipun ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kelak; apa yang akan terjadi pada Anson juga orang-orang yang ditahan, ibu-ibu selama ia hanya berbaring di rumah sakit. (Saman, hlm: 110)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui kalau Saman mampu
memberikan semangat kepada Anson agar jangan sampai tertangkap, Saman
menjanjikan kepada Anson bahwa ia akan mencarinya begitu ia keluar dari penjara
meskipun ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ia keluar dari penjara.
Hari itu Nasri membantunya sementara Anson dan Mak Argani menakik di kebun. Wis menunjukkan rancangan yang ia gambar di atas selembar kertas minyak. Kerangkeng itu akan terdiri dari tiga bagian utama. Sebidang halaman terbuka pada cahaya dan air hujan yang ditutup pagar kawat. Sebuah bilik dari tembok dengan jendela dan ventilasi yang sehat. Serta sebuah WC dan tempat mandi yang terpisah dari kamar. (Saman, hlm: 75)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Saman adalah sebagai
manusia pemikir. Ini ditunjukkan dengan adanya tindakan Wisanggeni yang
merencanakan pembangunan sebuah kerangkeng untuk Upi. Wisanggeni membuat
rancangan sebuah gambaran. Konsep bangunannya juga menggunakan konsep
pembangunan rumah sakit, yaitu dengan mempertimbangkan penerangan sinar
matahari yang cukup, sirkulasi udara yang memadai, dan sanitasi yang baik.
42
4.1.2 Latar
Latar yang terdapat dalam novel Saman dapat dideskripsikan menjadi tiga
bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a. Latar tempat
Latar tempat yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami antara lain:
(1) Di New York
Latar ini dapat dilihat ketika Laila sedang menunggu Sihar. Selain itu di kota
inilah penceritaan mengenai Shakuntala ketika tinggal di New york dan
mengeksplorasi tari. Di New York juga menjadi latar tempat ketika Saman melarikan
diri setelah dituduh kalau dirinya menjadi dalang kerusuhan di Perabumulih.
Melewati perjalanan dari Pekanbaru, Medan dan akhirnya Saman berhasil juga
sampai di New York . Penggambaran situasi New York dapat digambarkan pada
kutipan berikut.
Di taman ini hewan bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu damai? (Saman, hlm: 2)
Badannya menggigil. New York di bulan Mei memang masih dingin. Tapi ia pucat bagai cicak, yang tak hidup di kota ini. (Saman, hlm: 117) Kemudian aku mengerti bahwa New York bukan negeri raksasa. Tapi aku tidak kecewa, sebab aku telah amat jauh dari ayahku. Kutahu New York adalah kota yang menakjubkan begitu aku masuk ke dalam kereta bawah tanah. Metro. Aku menyebutnya memedi trowongan sebab suaranya begitu menakutkan dan menjalar-jalar dalam lorong yang hitam diantara akar-akar bangunan. (Saman, hlm: 140)
43
(2) Di Pabrik Kilang Minyak di Lepas Pantai Laut Cina Selatan
Latar ini digunakan dalam penceritaan mengenai awal pertemuan Laila dan
Sihar di sebuah Rig. Penggambaran latar ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Dari ketinggian dan kejauhan, sebuah rig nampak seperti kotak perak di tengah laut lapis lazuli. Helikopter terbang mendekat dan air yang semula nampak tenang sebetulnya terbentuk dari permukaan yang bergolak, kalem namun perkasa, seperti menyembunyikan kekuatan yang dalam. (Saman, hlm: 7)
(3) Di Pulau Matak
Latar ini digunakan ketika Sihar dan Laila sedang berbincang-bincang
mengenai Rosano. Pengambaran latar ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Itu adalah pengalaman pertamanya bekerja sebagai insinyur, dan ia tidak menginginkan yang kedua. Perempuan itu juga menyimpan marah pada Rosano, yang menasehati agar dia dan Toni tidak ikut campur. “Kalian ke sini Cuma untuk mengerjakan company profile yang kami pesan. Tak perlu menjadi wartawan, “ujarnya sebelum heli berangkat ke pelabuhan Matak, sebab mereka berdua bertanya-tanya bagaimana musibah itu bisa sampai terjadi. (Saman, hlm: 17)
(4) Di Perabumulih
Latar ini digunakan dalam penceritaan mengenai pertemuan antara Sihar,
Laila dan Saman. Di tempat ini Laila bertujuan menemui Saman untuk melaporkan
kejadian kecelakaan yang terjadi di kilang minyak. Penggambaran tentang
Perabumulih dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Saya lalu teringat, kami sedang diperjalanan ke rumah keluarga Hasyim Ali, disusun Talangrajung, menjelang sungai Lematang. Berangkat pukul tiga pagi dari Perabumulih. Sihar kelelahan karena di kantor cabang seismoclypse di kota itu ia mesti menyelesaikan beberapa pekerjaan yang membuatnya tak tidur semalam. Saya tak tahu jalan, sehingga kami terpaksa berhenti. Kini, selarit matahari mengejutkan mata saya. (Saman, hlm: 31)
44
(5) Di sebuah Gereja
Latar ini dapat dilihat pada saat upacara misa pentahbisan Wisanggeni
menjadi Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Penggambaran sebuah gereja dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.
Terang yang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang berjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayanganpun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin yang dinyalakan koster sebelum misa pentahbisan dimulai.
(Saman, hlm: 40)
(6) Di Lubukrantau
Latar ini dapat dilihat pada saat penceritaan mengenai Wisanggeni yang
memilih untuk tinggal di Lubukrantau, yang bertujuan untuk meringankan
penderitaan para warga transmigrasi Sei Kumbang terutama meringankan
penderitaan si gadis yang bernama Upi. Kutipan di bawah ini adalah penggambaran
mengenai latar Lubukrantau.
Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tinggal Upi itu adalah salah satu desa daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cucakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka. (Saman, hlm: 73-74)
(7) Di Ruang Penyekapan
Latar ini digunakan ketika penceritaan Saman yang disekap oleh orang-
orang PT Anugrah Lahan Makmur, karena Saman dianggap telah mempengaruhi
warga Sei Kumbang supaya tidak mau melepaskan tanahnya untuk dijadikan kebun
kelapa sawit. Penggambaran mengenai latar ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
ini.
45
Ngilu sekujur badannya. Tangannya sulit digerakkan seperti telah lama terbujur kaku, meski tak lagi terbelenggu. Waktu pupil matanya telah menyesuaikan kadar cahaya, ia melihat sebuah ruangan empat kali empat meter. Ada sebuah pintu dan dua celah angin yang tinggi, tetapi di luar gelap. Warna malam. Dan ia hanya mengenakan cawat yang terasa bukan miliknya. (Saman, hlm: 102)
(8) Di Rumah Sakit
Latar ini dapat kita lihat pada saat penceritaan mengenai tokoh Saman yang
sedang dirawat di rumah sakit, setelah berhasil diselamatkan oleh Anson dan kawan-
kawannya dari tempat penyekapan. Selama Saman berada di dalam penyekapan
Saman mengalami luka parah akibat penyiksaan yang dilakukan oleh orang-orang PT
Anugrah Lahan Makmur. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Jangan sampai tertangkap, Anson. Aku akan mencarimu begitu aku keluar.” Meskipun ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kelak; apa yang akan terjadi pada Anson juga orang-orang yang ditahan, ibu-ibu selama ia hanya berbaring di rumah sakit. (Saman, hlm: 110)
b. Latar Waktu
Latar waktu sangat penting dalam sebuah cerita. Sebagaimana latar tempat
yang digambarkan secara jelas dalam novel Saman, maka latar waktu pun
digambarkan secara jelas dalam novel ini. Artinya setiap situasi latar tempat selalu
ada latar waktu yang menyertainya. Latar waktu yang terdapat dalam novel Saman
antara lain:
(1) Central Park, 28 Mei 1996
Latar waktu ini terjadi pada saat Laila menunggu Sihar di Central Park.
(2) Laut Cina Selatan Februari 1993
Latar waktu ini mengisahkan tentang awal pertemuan antara Laila dan Sihar
di sebuah Rig.
46
(3) Pulau Matak, esok harinya
Latar waktu ini menceritakan tentang perbincangan antara Laila dengan Sihar
yang merasa kesal dengan perbuatan yang dilakukan oleh Rosano yang telah
menewaskan Hasyim Ali, karena peristiwa kecelakaan yang terjadi di Rig tempat ia
bekerja.
(4) Pukul dua belas
Latar waktu ini terjadi pada saat Laila sedang menanti kedatangan Sihar di
New York.
(5) Perabumulih, 1993
Latar ini menceritakan tentang pertemuan antara Sihar, Laila dan Saman.
(6) Pukul Tiga
Latar ini menceritakan tentang penantian Laila di sebuah taman di New York
untuk menunggu Sihar.
(7) 1983. Dia belum memakai nama itu: Saman
Latar waktu ini menceritakan kejadian tentang upacara pengangkatan Saman
menjadi pastor.
(8) 1984
Latar ini menceritakan tentang Saman yang menjadi pastor dan ditugaskan di
Perabumulih.
(9) 1990. Sesuatu terjadi pada Upi.
Latar ini menceritakan tentang pertemuan antara warga Sei Kumbang dengan
orang-orang PT ALM sampai pada penceritaan Saman yang disekap oleh orang-
47
orang PT ALM dan penceritaan mengenai Saman yang lolos dari sekapan berkat
bantuan Anson dan teman-temannya.
(10) New York, 28 Mei 1996
Latar ini menceritakan tentang kehidupan tokoh yang bernama Shakuntala
dan penceritaan Cok, Laila, dan Yasmin.
(11) Perabumulih, 11 Desember 1990
Latar ini menceritakan tentang Saman yang menyurati ayahnya.
(12) New York, 7 Mei 1994
Latar ini menceritakan tentang surat-suratan antara Yasmin dan Saman yang
terjadi dari tanggal 7 Mei sampai 21 Juni 1994. Ada juga catatan harian Saman yang
bertanggal 16 April sampai 10 Mei 1994.
Latar waktu yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami disusun
tidak secara kronologis atau berurutan, namun latar waktu dalam novel Saman yang
melingkupi sebuah cerita berlangsung selama tiga puluh empat tahun yaitu dari tahun
1962 sampai 1996. Pada tahun 1962 adalah tahun kelahiran Saman. Sedangkan tahun
1996 adalah ketika Laila sedang menunggu Sihar di taman.
c. Latar Sosial
Latar sosial yang terdapat dalam novel Saman dapat terlihat dari asal
keluarga Laila, seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
Laila Gagarina, dari nama panjangnya orang Indonesia bisa menduga bahwa ia lahir dari orang tua Minang setelah tahun enam puluhan. Ayahnya pasti mengagumi Yuri Gagarin. Ibunya wanita Sunda yang selalu merasa sepertiga dibanding dua pertiga terhadap Jawa. Laila percaya bahwa logat Batak yang keras mengandung suatu kualitas kejujuran dan keberanian. (Saman, hlm: 12)
48
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa suku-suku yang ada di
Indonesia menampilkan ciri-ciri orang atau watak yang berbeda pula. Misalnya orang
Jawa yang terkenal mempunyai sifat lembut, sedangkan orang Batak yang terkenal
mempunyai sifat keras. Hal tersebut yang mendasari perilaku Laila.
Pada kisah Shakuntala, latar kehidupan yang mewarnai pribadinya adalah
kehidupan orang-orang New York. Kehidupan New York yang bebas sedikit banyak
akan mempengaruhi kehidupannya.
Maka, di pentas ramai itu ia pun menjadi seorang ledek: melenggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng. Gandrung. Si penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh itu bukan miliknya lagi. Seperti seorang istri yang tidak memiliki badannya. Karena itu aku selalu kembali ke ruang di dalam diriku sendiri, di mana penari dan penabuh bermain sendiri-sendiri. (Saman, hlm: 126) Kutipan di atas selain dapat diketahui profesi Shakuntala, juga dapat untuk
mengetahui latar sosial yang membangun pribadi Shakuntala.
Selain itu ketika Wis dewasa kehidupan gereja juga mewarnai kehidupan
Wisanggeni. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Namun, lebih dari itu bagi Wis, Romo Daru yang banyak menghabiskan waktunya di persemedian Ordo Karmel di lereng gunung sindangreret dikenal karena kesanggupan khusus. Roh Kudus memberinya satu dari tujuh karunia; yaitu mata untuk berhubungan dengan dunia yang tak nampak serta iman sebiji sawi untuk mengusir roh-roh jahat. Wisanggeni menghampiri Romo Daru dengan hati-hati, tetapi lelaki tua itu memberikan salam sebelum Wis sempat menyapa. Anak muda itu jadi agak tersipu. (Saman, hlm: 41)
Kemudian ketika Saman mendapat tugas untuk membimbing umat di
Perabumulih dan ia tinggal di Lubukrantau. Selama ia tinggal di sana, kehidupan
rakyat kecil menjadi akrab ia geluti. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
49
Wis pun tercengung. Dia Cuma bisa termenung mendengarnya. Ia menatap perempuan muda dalam kandang itu, namun segera membuang muka karena tak tahan melihat penyiksaan. Tapi dunia yang hadir mengepung mereka di sana membuatnya tersadar. Dusun itu rumpang. Sekitar seratus rumah petak tiga kali enam meter berserakan di daerah itu. Namun lebih dari sepertiganya telah ditinggalkan. (Saman, hlm: 72)
4.1.3 Alur
Alur cerita yang terdapat dalam novel Saman dapat dibagi menjadi dua alur,
yaitu alur utama dan alur tambahan.
a. Alur utama
Berdasarkan pengertiannya alur utama adalah alur yang berisi cerita pokok.
Alur utama yang terdapat dalam novel Saman antara lain:
(1) Masa kecil Wisanggeni (halaman 44-57)
(2) Upacara pentahbisan Wisanggeni menjadi pastor (halaman 40-43)
(3) Penempatan Wisanggeni di Perabumulih (halaman 57-64)
(4) Pertemuan Saman dengan Upi di Lubukrantau (halaman 64-79)
(5) Keterlibatan Saman dengan penduduk transmigrasi Sei Kumbang (halaman 79-
101)
(6) Penangkapan Wisanggeni (halaman 1001-109)
(7) Pelarian Wisanggeni (halaman 109-113)
(8) Penggantian nama Wisanggeni menjadi Saman (halaman 113-114)
(9) Pelarian Saman ke New York (halaman 175-178)
(10) Saman dan Yasmin surat-suratan (halaman 165-195)
Alur utama yang terdapat dalam novel Saman di atas merupakan alur yang
menceritakan mengenai cerita pokok dari novel Saman. Ditentukan sebagai alur
50
utama, karena cerita-cerita tersebut merupakan inti novel Saman yaitu ceritanya
merujuk pada tokoh Saman. Penceritaan tokoh Saman dari kecil sampai dewasa,
yang akhirnya ia menjadi seorang pastor dan terlibat dengan penduduk transmigrasi
Sei Kumbang. Akhirnya ia menjadi buron, karena dituduh sebagai dalang kekacauan
yang terjadi di Lubukrantau dan berhasil melarikan diri ke New York dengan
bantuan teman-temannya.
b. Alur bawahan
Pengertian alur bawahan adalah kejadian-kejadian kecil yang menunjang
peristiwa-peristiwa pokok. Berdasarkan pengertiannya, dapat diketahui bahwa alur
bawahan yang terdapat dalam novel Saman antara lain:
(1) Pertemuan Laila dengan Sihar (halaman 7-23)
(2) Laila dan Saman bertemu Sihar (halaman 31-36)
(3) Penantian Laila di taman (halaman 1-6)
(4) Lanjutan penantian Laila (halaman 23-30)
(5) Lanjutan penantian Laila (halaman 37-39)
(6) Cerita Shakuntala tentang penantian Laila (halaman 115-155) dan diselingi
dengan surat-surat Saman kepada Bapaknya (halaman 156-164)
Alur bawahan yang terdapat dalam novel Saman ada enam bagian yaitu
diawali dengan penceritaan mengenai pertemuan Laila dengan Sihar sampai
penceritaan Shakuntala tentang penantian Laila. Peristiwa tersebut merupakan alur
tambahan, karena peristiwa ini merupakan cerita yang menunjang peristiwa-peristiwa
pokok. Selain itu alur tambahan ini ceritanya merujuk pada tokoh Laila. Tokoh Laila
mendukung dalam penceritaan tokoh Saman. Hal ini dapat dilihat pada saat Laila dan
51
Sihar pergi ke Perabumulih untuk menemui Saman dalam rangka pencarian keadilan
tentang kasus yang dilakukan oleh Rosano. Mereka saling bekerja sama mencari akal
supaya Rosano dapat dimasukkan ke penjara. Dengan berbagai cara akhirnya mereka
berhasil menjebloskankan Rosano ke penjara.
4.1.4 Tema
Tema dari novel Saman adalah perjuangan Saman dalam membela penduduk
transmigrasi Sei Kumbang. Dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor,
Saman harus menyaksikan penderitaan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum penguasa Sei Kumbang
melalui aparat militer. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran
petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas,
memperkosa, bahkan membunuh. Keadaan ini membuat Saman terpaksa
menanggalkan jubah kepastorannya dan bersama teman-temannya mendirikan
sebuah LSM yang menangani masalah perkebunan.
Saman berusaha untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh penduduk
transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan sewenang-wenang aparat militer dengan
berbagai cara. Akan tetapi, keterlibatan Saman tersebut membuat dirinya mendapat
berbagai fitnah yang dilontarkan oleh aparat militer. Para aparat militer menuduh
Saman telah mengajarkan ajaran yang beraliran kiri, yang membuat mereka akan
menangkap Saman. Berkat bantuan teman-temannya Saman berhasil lolos dari
kejaran aparat militer dan ia melarikan diri ke New York. Meskipun berada di New
York, Saman mencari informasi mengenai keadaan di tanah air, yang saat itu terjadi
52
kerusuhan-kerusuhan terutama di Medan. Saman dan teman-temannya berusaha
membuat suatu usaha yang sedikit banyak bisa membantu membiayai beberapa
orang Lubukrantau yang sekarang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai
pekerjaan.
4.2 Lingkungan Sosial Ayu Utami
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami merupakan anak
bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari
Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat
dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia
sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia
akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah,
sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah
SMP adalah orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-
anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami
bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah
sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh
orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh
menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di
Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan
SMU di Tarakanita Jakarta (http://www.cyberman.cbn.net.id).
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang
tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya
meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya
53
membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal
membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab
sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi
buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-
satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab ditulis oleh
orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat
menyurat. Wajarlah kalau dalam novel Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab
(http://www.yoogee.com).
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis
beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota
(http://cyberman.net.id). Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil
memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami mempunyai bakat melukis. Ia sering
memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak
pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk
mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami
ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu
ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra
Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak
ingin memberatkan orang tuanya, selai lebih murah dibandingkan dengan kuliah di
luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI (http://www.yoogee.com).
Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah.
Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada
kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak ada
54
gunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan
pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga
mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa
diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat
ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan
Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina
tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi
wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R
(http://www.yoogee.com).
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan
berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti
pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya
dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R,
karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan
redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat
itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara
terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat
menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat
utamnya adalah menjadi wartawan professional. Akan tetapi pada masa Orde Baru
sekitar tahun 1993-1994, ia akhirnya terbawa arus menjadi aktivis yang
memperjuangkan kebebasan pers (http://www.cyberman.cbn.net.id).
Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung.
Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di Aliansi
55
Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian
menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk
berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan
penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak
curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami
cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak
pernah tercium oleh pihak aparat (http:cyberman.cbn.net.id).
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC
selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu
Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya
sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan
berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami
melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis
moneter (http://www.yoogee.com).
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari
pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan
dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-
persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang
lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam
pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk
diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika
membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia
takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah
56
novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan
seks secara terbuka (http:cyberman.cbn.net.id).
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi
semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks
yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan
perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks
sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu
keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena
apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi.
Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi
(http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang
sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya
dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus
berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak
mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan
mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami
suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak. Entah kenapa seperti itu,
sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang
military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang
bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi
bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinan
57
karena citra laki-laki ganteng yang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang
yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-
orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat.
Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti
itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci
sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang
bergaya militer (http:cyberman.cbn.net.id).
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku
Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang
menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan.
Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam
kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah
perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya,
membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau
mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia
menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin
menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan
seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam
pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan.
Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka
menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres.
Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan
58
seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan
yang dialami oleh perempuan (http:cyberman.cbn.net.id).
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu
sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan
menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima
keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk
menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk Indonesia
sekarang kan sudah padat sekali (http:cyberman.cbn.net.id).
4.3 Lingkungan Sosial Novel Saman
Novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel
tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat
Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun
1990-an (http://www.forum.webqaul.com). Pemerintah pada waktu itu di bawah
kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru yang
memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa
kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuan, pendekatan
keamanan, dan hak azasi manusia (http://www.geoticies.com).
Saman menceritakan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang
terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan pesoalan peka
bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit
(http://www.dind-online.com). Akan tetapi masyarakat merasa tidak setuju dengan
adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di Sei Kumbang
59
melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan
tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani
penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan
membunuh. Pada novel ini juga diceritakan mengenai kerusuhan yang disebabkan
unjuk rasa yang memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menaggapi protes dan
perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi
aparat keamanan atau militer yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka
hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akan
tetapi LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka,
pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-
aktivis LSM.
Selain itu novel Saman juga menceritakan mengenai perjuangan seorang
pemuda bernama Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor
harus menyaksikan penderitaan penduduk desa yang ditindas oleh negara melalui
aparat militernya. Saman akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan
menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan
seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan dalam novel itu
antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin, merupakan empat sekawan. Mereka
muda, berpendidikan, dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar
cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-
pertanyaan mereka dalam mendefinisikan seksualitas perempuan
(http://www.forum.webqaul.com).
60
Novel Saman berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum
hawa. Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita
itu sendiri. Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka,
mereka berani menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi
perempuan ternyata ditampilkan dengan cukup memikat bahkan mengejutkan
(http://www.kompas.com).
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban.,
ia hanya asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang
Tuhan, agama, negara, hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu
generasi yang terlahir dan besar selama Orde Baru, yang dibuai dengan kelimpahan
materi atau informasi dan hegemoni pembangunanisme (http://www.dind-
online.com).
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja
yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah
keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan
peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka
(http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas.
Jika laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya,
perempuan sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia
ingin terjun ke sektor publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka
mengungkapkan hasratnya dan tentu saja tidak ada orang yang akan
mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi dengan
61
perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan
menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut inilah yang
kemudian terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama
dengan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan
pemberontakan hak seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman
merangkum persoalan seks dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya,
dan semua didefinisikan secara vulgar (http://www.kompas.com).
Seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata
mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami
oleh perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak
yang kalah. Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada
tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu
kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan seksual, ataupun norma
masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual perempuan. Shakuntala dan
teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memililiki peran mereka. Tiga
diantaranya empat karakter perempuan belum menikah pada usia tiga puluhan dan
peran mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati pendidikan dan
bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak hanya
berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka
masing-masing (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum
pria. Dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi oleh
Yasmin dan Cok. Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya.
62
Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan
mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman
mengakui “Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan
sebagai petualangan.” Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh
Shakuntala dan teman-temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi perempuan
Indonesia di tahun 1990-an, yang tercermin dalam novel Saman. Contoh adalah Upi,
gadis Lubukrantau yang menderita kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan
masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas
kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-orang seperti Upi, dan juga tidak
ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja
memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum yang melarang
perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami dengan cara menampilkan
tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor. Saman bukan hanya tidak
memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk
Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan yaitu
Shakuntala, Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka sampai
saat mereka berumur tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan mengenai
pencarian identitas diri mereka sebagai perempuan, konflik batin mereka tentang
masalah seksual dan juga norma masyarakat yang tidak mereka setujui. Selain kisah
keempat perempuan tersebut, juga diceritakan mengenai perjuangan Saman dalam
membantu masyarakat Lubukrantau, masalah politik dan sosial di masa Orde Baru,
iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada bagian surealistis yang
63
menceritakan masa lalu Saman di Perabumulih (http://www.qlen.hlc.
unimelb.edu.au).
4.4 Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman
Penelitian Strukturalisme Genetik merupakan penelitian yang memandang
karya sastra itu dari dua sudut yaitu intrinsik dan ektrinsik. Studi diawali dari bagian
unsur intrinsik sebagai data dasarnya. Dari pengkajian unsur intrinsik ini akan dapat
menemukan tokoh problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang
terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang.
Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari
pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik
dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman.
Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang
mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh
lainnya. Melalui masalah-masalah inilah pengarang memberikan solusi atas
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah
diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat
masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan
kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan
keputusan yang diberikan oleh Uskup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah
ini.
64
Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan. (Saman, hlm: 42) Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Saman di atas pengarang
memunculkan tokoh yang bernama Romo Daru sebagai seorang pastor senior yang
banyak menghabiskan waktunya di persemedian. Romo Daru berusaha melobi Bapak
Uskup supaya Saman dapat ditugaskan di Perabumulih sesuai dengan keinginan
Saman. Berkat usaha Romo Daru, akhirnya Saman ditugaskan sebagai Pastor Paroki
Parid yang melayani kota kecil di Perabumilih dan Karang Endah wilayah keuskupan
Palembang. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan Cuma mengabulkan harapannya. Uskup menugaskan dia sebagai Pastor Paroki Parid, yang melayani kota kecil. Perabumulih dan Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja. Barangkali Romo Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk berterimakasih atau konfirmasi). (Saman, hlm: 57) Pemunculan tokoh Romo Daru yang berkedudukan sebagai pastor senior di
atas, merupakan gambaran kehidupan pengarang. Dalam menulis cerita, pengarang
cenderung menulis tentang pastor dan suster. Cerita-cerita yang pengarang tulis agak
religius. Pengarang menggunakan kata-kata dalam bidang agama seperti Romo,
Uskup, Pastor. Kata-kata tersebut merupakan istilah yang terdapat dalam agama
Katolik. Pengarang bisa secara jelas menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan
agama Katolik. Hal ini merupakan gambaran kehidupan pengarang, yaitu pengarang
65
menganut kepercayaan agama Katolik. Sebagai penganut agama Katolik, pengarang
masih menyisakan waktunya untuk membaca Alkitab yang merupakan satu-satunya
buku yang ia baca dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab sudah menjadi
bagian dari dirinya dan ditulis oleh orang dengan gaya masing-masing ada yang
berbentuk buku, puisi, bahkan surat menyurat. Jadi, wajarlah kalau dalam novel
Saman terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.
Setelah melakukan perjalanan jauh menuju tempat tugasnya Saman
beristirahat. Di kamar tidur kepastoran Saman mengalami kegelisahan. Ia telah
melihat kesengsaraan di balik kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan
keterbelakangan yang dialami oleh Upi. Upi adalah anak dari salah satu transmigrasi
Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau yang mengalami kelainan jiwa dan
kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan melindungi
gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk merawat orang-orang
seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng di sebuah tempat yang
dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya
atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan mereka.
Permasalahan di atas merupakan permasalahan yang dihadapi oleh kaum
perempuan. Adanya ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada tahun
1990-an yang tercermin dalam novel Saman yang dimunculkan melalui tokoh yang
bernama Upi. Keadaan ini dikritik oleh pengarang dengan cara menampilkan tokoh
Saman sebagai seorang yang peduli pada penderitaan. Saman berusaha untuk
menyelematkan Upi dengan membuatkan rumah perlindungan yang lebih bagus bagi
Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta izin kepada Mak Argani yang
66
merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang lebih baik untuk tempat
tinggal Upi (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au). Saman diperbolehkan untuk
membangun tempat tinggal Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan
membangun tempat tinggal yang lebih baik, Saman berharap dapat lebih
meringankan penderitaan Upi. Saman begitu memikirkan keselamatan Upi. Sampai-
sampai ia memilih untuk tinggal lebih lama bersama penduduk transmigrasi Sei
Kumbang. Dengan bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei Kumbang
Saman bisa selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini.
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor kepala, Pater Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan cuma-cuma. Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di Lubukrantau, dusun tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut dan cicakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka.
(Saman, hlm: 73-74)
Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada
penduduk transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena
harga karet mereka terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orang-
orang tidak bisa lagi menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman berusaha
untuk memperbaiki keadaan petani di Lubukrantau.
67
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi masalah yang
dihadapi oleh Saman adalah dengan cara memunculkan tokoh Pater Wastenberg, Pak
Sarbini, dan Sudoyo. Pater Wastenberg adalah pastor kepala di gereja tempat Saman
diangkat menjadi pastor. Pastor Wastenberg memberikan kesempatan kepada Saman
untuk melakukan rencana memperbaiki keadaan petani penduduk transmigrasi Sei
Kumbang. Walaupun awalnya Pater Wastenberg tidak setuju atas keputusan Saman
untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap telah menyepelekan pelajaran gereja. Ia
kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan kewajiban itu. Ia lebih sering pergi
ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang daripada melayani dan memelihara iman
umat di sana. Akan tetapi setelah mendengar alasan-alasan yang diucapkan Saman,
Pater Wastenberg akhirnya menyetujui akan keputusan yang diambil oleh Saman.
Bahkan Pater Wastenberg berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman
pekerjaan kategorial di perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan kepada pemuda itu. Apa yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu pekerjaan kategorial di perkebunan. (Saman, hlm: 82)
Pengarang selain memunculkan tokoh Peter Wastenberg sebagai tokoh yang
memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Saman, pengarang juga
memunculkan tokoh yang bernama Pak Sarbini. Pak Sarbini adalah teman lampau
ayah Saman yang kini menjadi tengkulak karet Sukasari di kawasan transmigrasi
68
Jawa yang letaknya bersebelahan dengan transmigrasi Sei Kumbang. Saman
membutuhkan jaringan yang berpengalaman dengan jalur jual beli dan pengolahan
getah lateks. Semua itu Saman dapatkan dari Pak Sarbini. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini.
… Esoknya ia juga menghubungi Pak Sarbini. Teman lampau ayahnya itu kini juga menjadi tengkulak karet di Sukasari, kawasan transmigrasi Jawa yang letaknya bersebelahan dengan Sei Kumbang yang dihuni transmigran lokal. Lelaki itu keturunan buruh Jawa yang dibawa Belanda ke perkebunan karet Deli tahun 1930-an. Dia ikut pendidikan bintara, namun kemudian bertugas dalam Bimas desa-desa transmigrasi. Pak Sarbini begitu berpengalaman dengan jalur jual-beli dan pengolahan getah lateks. Wis membutuhkan jaringan itu. (Saman, hlm: 83)
Selain itu pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang
merupakan orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan
Saman yaitu dengan memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam juta
rupiah. Dengan pemberian modal tersebut Saman bisa menjalankan rencananya
untuk memperbaiki pertanian penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal, sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya. (Saman, hlm: 83) Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-njerit senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya. (Saman, hlm: 83)
Setelah semuanya terkumpul Saman menawarkan kerja sama dengan
keluarga Argani yang luasnya dua hektar. Mereka menyetujui rencana Saman.
69
Keesokan harinya Saman bersama keluarga Argani mulai memperbaiki lahan,
memusnahkan tanaman yang sudah tidak bisa diselamatkan, dan menanami kembali
dengan pohon karet yang baru. Berkat bantuan mereka perkebunan karet penduduk
transmigrasi Sei Kumbang ini menjadi lebih baik. Hal ini tampak pada kutipan di
bawah ini.
Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda yang mereka enam tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang dimakan kapang. Bibit-bibit PR dan BPM itu sebagian dibeli Wis dan dibiakannya sendiri. Sebelumnya, ketika sebagian pohon-pohon belum siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele dan tumbuhan tumpang sari. Lalu berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-bundel smoked sheet yang diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu cukup mendapatkan pasarnya. (Saman, hlm: 87)
Ketika kebun karet milik penduduk Sei Kumbang sudah mulai membaik.
Saman memenuhi permintaan Pater Wastenberg untuk membantunya di Perabumulih
setiap satu pekan dalam sebulan. Saat Saman kembali ke Lubukrantau terjadi
peristiwa yang menimpa Upi. Dua lelaki menjebol pintu rumah Upi dan memperkosa
gadis yang kini telah berumur dua puluh satu tahun dan mereka juga menghancurkan
menara kincir yang dulu dibangun sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap.
Anson yang merupakan kakak Upi merasa yakin bahwa pemerkosaan dan perobohan
menara kincir itu adalah sebagai salah satu bentuk teror dari orang-orang yang
hendak merebut lahan penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Orang-orang itu sengaja
melakukannya untuk mengancam penduduk transmigrasi Sei Kumbang agar mau
menyerahkan kebun mereka untuk dijadikan kebun kelapa sawit, karena ada sebagian
penduduk Sei Kumbang yang tidak menyetujui usul tersebut. Saman berusaha
membantu untuk membebaskan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan
70
sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Akan
tetapi Saman malah dituduh sebagai orang yang telah mengkristenkan orang-orang
Lubukrantau dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.
Melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha
melalui PT ALM, akhirnya Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman
memutuskan untuk pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret
desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman
juga mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai
menulis serta mengirim wartawan ke lahan transmigrasi Sei Kumbang, orang-orang
yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi bolak-balik dengan membawa blanko
kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita. Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda, berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. (Saman, hlm: 92-93) Usaha yang dilakukan oleh Saman untuk mengatasi permasalahan di atas
merupakan gambaran dari kegiatan pengarang yang memiliki profesi sebagai
wartawan. Kegiatan yang dilakukan oleh Saman seperti memotret desa, dan
mengumpulkan data-data di atas merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang
wartawan ketika ia akan menulis berita. Pengarang bisa menceritakan secara jelas
tentang kegiatan seorang wartawan. Sebelum menjadi penulis novel, pengarang
pernah menjadi wartawati di majalah Matra dan Forum. Ia juga menjadi salah satu
71
pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Pengarang lebih banyak menulis esei serta
reportase dari pada menulis fiksi. Pengarang juga pernah menjadi wartawan di
majalah khusus trend pria. Bahkan ia sudah mengisi kolom tetap, sketsa, di SK
Berita Buana, yang isinya berupa renungan tentang berbagai soal politik.
Menurutnya menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasi bahasa Indonesia,
bahasa yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Seorang wartawan dituntut untuk memperhitungkan publik baik latar belakang,
pengetahuan, maupun tingkat emosionalnya. Ditambah lagi wartawan bisa keluar
dari fakta yang menurut pengarang dilematis. Jadi sulit untuk bisa mengembangkan
bahasa yang eksploratif (http://www.rnw.ni.com).
Usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha
penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun. Akan tetapi
orang-orang tersebut menggunakan cara lain supaya penduduk transmigrasi Sei
Kumbang mau melepaskan tanahnya. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan
cara menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Aparat militer
melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Mereka meneror, menindas,
memperkosa, bahkan membunuh.
Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-
temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi
protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan
dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil
lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa
72
untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman
sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya.
Permasalahan mengenai penindasan yang dilakukan oleh aparat militer pada
penduduk Sei Kumbang di atas merupakan gambaran atau cerminan dari peristiwa
yang terjadi pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada waktu
novel tersebut ditulis (http://www.forum.webqaul.com). Pada masa Orde Baru ini
muncul konflik persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Peristiwa
itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan diubahnya kebun karet
menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan itu, hal ini
membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang
yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan
kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang
dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi permasalahan yang
sedang dihadapi oleh Saman yaitu dengan cara memunculkan tokoh yang bernama
Anson. Anson berhasil melarikan Saman dari ruang penyekapan dan
mengantarkannya ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat untuk menjalani
perawatan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya, yang meninggalkan dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia bayangkan pada orangyang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah kropos oleh api, lalu di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai pada pintu terakhir. (Saman, hlm: 108-109)
73
Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orang-orang yang menyelidiki dirinya mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawannya, dan dia sendiri, serta gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana, ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur. (Saman, hlm: 110) Pada saat Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi,
karena Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di Lubukrantau,
tiba-tiba Yasmin datang menemui Saman. Yasmin membujuk Saman untuk
melarikan diri ke luar negeri. Saman merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk
menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya ia menyetujui usul itu, karena menurutnya
semakin lama menunda keputusan, semakin sulit untuk keluar dari negeri ini dan
menghindari kejaran polisi.
Untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya
untuk melakukan pelarian ke luar negeri, pengarang memberikan solusi yaitu dengan
memunculkan tokoh yang bernama Yasmin dan Cok. Yasmin dan Cok membantu
Saman melarikan diri dari kejaran polisi dengan mengirimnya ke New York. Mereka
melarikan Saman keluar dari Medan dengan cara melakukan penyamaran pada diri
Saman. Yasmin telah menyiapkan segala hal dengan rapi. Walaupun proses pelarian
ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan Cok dapat melampaui rintangan itu dan
berhasil melarikan Saman ke New York.
Perempuan dalam novel Saman seperti Yasmin dan Cok di atas adalah
cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1990-an. Jaman sudah semakin
berkembang, perempuan Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Mereka mempunyai kepercayaan diri dan pengetahuan luas, sehingga peran mereka
tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka merupakan perempuan yang sudah tidak
74
terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai laki-laki malah ditolong dan
dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan persembunyian ke luar
negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memilih
peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan belum menikah pada usia
tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati
pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang
tidak hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian
mereka masing-masing (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au). Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini.
Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia biasa bekerja. (Saman, hlm: 175) Selain itu, pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok,
Shakuntala dan Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini, merupakan
gambaran dari pengarang yang sampai sekarang belum menikah, bahkan ia
memutuskan untuk tidak menikah. Pengarang ingin menghimbau atau mengajak atau
sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan
tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan
masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan
hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri
75
bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar pernikahan. Usaha yang ingin
disampaikan pengarang dapat dilihat dari pemunculan tokoh dalam novel Saman
seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat melakukan hubungan seksual dengan
sejumlah laki-laki dan diantara mereka belum ada ikatan pernikahan. Selain itu,
Yasmin sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan
seksual dengan tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini
tampak pada kutipan di bawah ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar, selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya. Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku terlelap. (Saman, hlm: 177) Usaha yang dilakukan Yasmin dan Cok dalam usahanya melarikan Saman ke
luar negeri untuk menghindari kejaran polisi di atas, merupakan gambaran dari
kegiatan yang pernah dilakukan oleh pengarang. Pengarang pernah menjadi aktivis
yang memperjuangkan kebebasan pers. Awalnya pengarang tidak berniat untuk
menjadi seorang aktivis. Akan tetapi pengarang merasa tersentuh setelah ia melihat
keadaan teman-temannya yang terlibat secara langsung di Aliansi Jurnalistik
Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian dari kejaran polisi.
Pada saat itu pengarang berkedudukan hanya sebagai kurir atau penghubung yang
bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan. Dengan penampilannya ia
memang bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga
akan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis, sosoknya cukup bersih dan
rapi. Hasilnya, sepak terjangnya sebagai seorang aktivis tidak pernah tercium oleh
pihak aparat.
76
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh
problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel
Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang
dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk
menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu
pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal
ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada
tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini sesuai
dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
77
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari analisis novel Saman karya Ayu Utami di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Stuktur novel Saman karya Ayu Utami ini terdiri atas tokoh dan penokohan yakni
dengan tokoh utama Saman. Saman digambarkan sebagai tokoh yang religius,
santun, berpendidikan, religius, mempunyai rasa sosial tinggi, ekonomis, suka
bekerja keras, pemikir, optimis, dan percaya kepada hal-hal gaib. Alur dalam
novel Saman dibagi menjadi dua yaitu alur utama dan alur bawahan. Alur utama
yaitu alur yang merujuk pada penceritaan tokoh Saman, sedangkan alur bawahan
yaitu alur yang merujuk pada penceritaan tokoh Laila. Latar cerita pada novel
Saman terjadi di New York, Pabrik kilang minyak di lepas pantai laut Cina
selatan, Pulau Matak, Perabumulih, sebuah gereja, Lubukrantau, ruang
penyekapan, rumah sakit, dan terjadi pada tahun 1962 sampai 1996. Adapun
tema dalam novel Saman adalah perjuangan Saman dalam membela penduduk
transmigrasi Sei Kumbang.
2. Dilihat dari lingkungan sosial pengarangnya, Ayu Utami merupakan pengarang
novel sekaligus aktivis. Sebelum menulis novel ia aktif sebagai wartawan di
majalah Matra, Forum Keadilan dan D&R. Sekarang ini Ayu Utami masih aktif
dalam bidang jurnalis di Komunitas Utan Kayu sebagai redaktur Jurnal
Kebudayaan Kalam.
77
78
3. Dilihat dari lingkungan sosialnya, novel Saman merupakan penggambaran
kehidupan masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru yang
terjadi pada tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an terjadi peristiwa unjuk rasa yang
dilakukan oleh ratusan petani atau buruh. Mereka menuntut keadilan dari
pemerintah. Melihat ketidakadilan yang dialami oleh para buruh atau masyarakat
tani ini, membukakan hati para aktivis yang bergabung dalam LSM-LSM turut
berunjuk rasa. Saat terjadi unjuk rasa, pengunjuk rasa tidak diberondong dengan
senjata api, tetapi banyak dari pemimpin-pemimpin unjuk rasa itu ada yang
diculik, diinterogasi, bahkan dianiaya oleh aparat keamanan.
4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman ini terlihat dari
solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi oleh
tokoh problematik. Tokoh problematik dalam novel Saman yaitu tokoh yang
bernama Saman. Berdasarkan Solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh
problematik ini dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yaitu
pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk
transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan
bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin
menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari
pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik.
Pemberian solusi-solusi tersebut sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial
pengarang.
79
5.2 Saran
1. Penelitian novel Saman karya Ayu Utami dengan menggunakan teori
Strukturalisme Genetik ini hendaknya dapat bermanfaat bagi pembaca.
2. Teori Strukturalisme Genetik ini dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra
lainnya.
3. Novel Saman karya Ayu Utami hendaknya dapat dikaji atau dikembangkan
dengan menggunakan teori yang lain.
80
DAFTAR PUSTAKA
Apa Siapa. 2003. http://www.pdart.co.id (19 Mei 2005). Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Yogyakarta: Rineka Cipta. Ayu Utami, Apa Arti Istilah Parasit Lajang?. 2003.
http://nizamzakaria.diaryland.com (12 April 2005). Ayu Utami, Saya Tidak Akan Menikah. 2004. http:cyberment.cbn.net.id (12 April
2005). Ayu Utami Tak Mampir di Kedai. http://www. pantau.or.id (29 Agustus 2004). Bayang-bayang Perempuan Pengarang. http://www.kompas.com (28 Agustus 2004). Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Depdikbud. Dari Jaman Siti Nurbaya Sampai Jaman Shakuntala. 2001.
http://www.glen.hcl.unimelb.edu.au (29 Agustus 2004). Ediati, Ning. 2002. Tokoh Utama Novel Saman Karya Ayu Utami. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang, Semarang. Endraswara, Suwardi: 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta. Muhammadiyah University
Press. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. In Bed With Ayu Utami. 2003. http://randurini.blogspot.com (12 April 2005). Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Kesusastraan Indonesia. http://www.yoogee.com (28 Agustus 2004).
80
81
S, Nas Haryati. 2002. Beberapa Pilihan Kata pada Novel Saman Karya Ayu Utami. Semarang: Penerbitan UPT UNNES PRESS.
LSM sebagai Kekuatan Sosial Baru.2004. http://www. kompas. Mendobrak Mitos Usang Tentang Perempuan. http://www.kompas.com (28 Agustus
2004). NH. Dini Hingga Ayu Utami. 1998. http://www.dind-online.com (28 Agustus 2004) Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Perempuan Perlu Pahami Seks. http://www.forum webqaul.com (29 Agustus 2004) Sinopsis. http://www.kompas.com (28 Agustus 2004) Skripsi Ngarto Februana. http://www.geoticies.com (30 Agustus 2004). Sofaningrum. 2003. Bentuk-bentuk Penyimpangan Sosial dalam novel Saman Karya
Ayu Utami. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta. Tanggapan Masyarakat. http://www.qlen.hlc.unimelb,edu.au (28 Agustus 2004). Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ___________. 2003. Si Parasit Lajang Seks, Sketsa dan Cerita. Jakarta: Gagas
Media. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori kesusastraan (diindonesiakan oleh
Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia. Yati, Lili Suherma. 2004. Novel Bulan Mati di Javasche Oranje Syahid Samurai, dan
Peluru di Matamu Karya Afirah Afrah Amatullah: Kajian Strukturalisme Genetik. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.
SINOPSIS NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
Wis itulah panggilan akrab dari seorang anak lelaki yang mempunyai
nama panjang Wisanggeni. Wis lahir di Muntilan Yogyakarta. Wis termasuk anak
yang beruntung karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim ibunya
dan hidup. Dua adiknya tidak pernah lahir. Mereka mengalami suatu peristiwa
aneh yang hanya diketahui oleh Wis dan pengalaman ini terjadi pada masa
kecilnya. Ayahnya bernama Sudoyo, bekerja sebagai pegawai Bank Rakyat
Indonesia dan sebagai mantri kesehatan di Yogyakarta. Ibunya masih keturunan
raden ayu.
Pada waktu Wis berumur empat tahun, ayahnya dipindahkan ke
Perabumulih yaitu sebuah kota minyak di tengah Sumatra Selatan yang sunyi
pada masa itu, hanya ada satu bioskop dan bank yang usianya belum panjang. Di
Perabumulih ayah bekerja sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia.
Beberapa tahun kemudian Wis dan ayahnya pindah ke Jakarta. Wis
melanjutkan sekolah dengan mengambil pendidikan teologi dan belajar di Institut
Pertanian Bogor. Setelah Wis dan ayahnya pindah di Jakarta. Setelah Wis
menamatkan pendidikannya, maka diadakan upacara pengangkatan Wis sebagai
pastor dan ia mendapatkan julukan Pastor Wisanggeni atau Romo Wis. Setelah
misa, ada acara pesta di balai pastoran untuk merayakan adanya pastor baru. Di
acara itu Wis bertemu dengan Romo Daru dan Wis meminta kepada Romo Daru
agar dirinya ditugaskan di Perabumulih.
82
83
Permintaan Wis dikabulkan yaitu Uskup memberi tugas kepada Wis
sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil Perabumulih dan Karang
Endah di Palembang. Wis segera menuju ke kota itu. Setelah sampai di
Perabumulih, ia menemukan perubahan-perubahan yang terjadi di kota itu,
diantaranya rumah Wis telah dihuni oleh orang lain. Wis mendatangi rumahnya
yang dulu dan berkenalan dengan penghuni rumahnya yang sekarang. Ketika di
sana Wis mengalami kejadian-kejadian aneh lagi seperti yang pernah ia alami
pada waktu kecil.
Di Perabumulih Wis bertemu dengan seorang gadis yang cacat dan
mempunyai keterbelakangan mental. Gadis itu bernama Upi. Upi adalah anak
seorang transmigrasi Sei Kumbang yang tinggal di Lubukrantau. Karena
perlakuannya dianggap membahayakan orang lain, maka keluarganya
memutuskan untuk mengurung dan mengrangkeng Upi di sebuah bilik yang
terbuat dari kayu dan bambu yang kondisinya sudah tidak sehat. Wis tidak
berdaya melihat gadis di dalam kerangkeng itu. Akhirnya Wis memutuskan untuk
membangun tempat yang lebih sehat dan menyenangkan Upi.
Wis merasa semakin ia mengetahui penderitaan rakyat Lubukrantau
semakin ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari mereka, yang membuatnya
ingin lebih lama tinggal dan ingin memperbaiki penderitaan yang dialami oleh
petani di sana. Berkat izin dari Bapak Uskup dan modal dari ayahnya, maka ia
mengadakan rapat dengan keluarga Mak Argani dan membicarakan tentang
rencananya untuk membangun pengolahan sederhana atau rumah asap di dusun
84
itu sambil memperbaiki kebun. Usul itu disetujui oleh keluarga Argani. Akhirnya
mereka membersihkan kebun.
Wis kembali ke Perabumulih selama dua minggu. Ketika Wis kembali ke
Lubukrantau, Wis dikejutkan oleh kejadian yang telah menimpa Upi gadis cacat
dan gila itu telah diperkosa oleh orang-orang yang hendak merebut lahan mereka
dengan cara menjebol rumah baru Upi.
Beberapa tahun yang lalu empat orang lelaki datang ke wilayah
transmigrasi Sei Kumbang yang mengaku bahwa mereka menjalankan tugas dari
Gubernur tentang lokasi transmigrasi Sei Kumbang yang semula perkebunan karet
akan diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Para penduduk tidak sepakat untuk
menganti kebunya dengan kelapa sawit. Melihat keadaan ini Wis dan penduduk
mengadakan rapat yang bertempat di rumah asap. Pada rapat ini menghasilkan
kesepakatan supaya penduduk jangan sesekali mau menandatangani pada
lembaran kosong yang diberikan oleh pihak perusahaan PT Anugrah Lahan
Makmur (ALM).
Tiga minggu kemudian, empat orang itu datang lagi dan menyuruh para
penduduk untuk menyetujui usulnya. Namun Wis dan penduduk tidak menyetujui
usul itu. Empat orang itu akhirnya pergi sambil menahan marah. Perbuatan Wis
ini membuat pihak perusahaan menjadi marah dan memberikan tuduhan-tuduhan
yang tidak benar kepada Wis, seperti dirinya yang dituduh telah mengkristenkan
orang Lubukrantau dan mengajari Argani berburu dan maka babi hutan.
Melihat keadaan ini, akhirnya Wis pergi ke Palembang, Lampung dan
Jakarta dalam rangka mengumpulkan data, untuk mempertahankan perkebunan di
85
trasmigrasi. Usaha Wis tidak sia-sia karena penggusuran dusun jadi tertunda
sampai setahun. Orang-orang tersebut mengunakan cara lain supaya dapat
menggusur dusun itu yaitu dengan cara merobohkan pohon-pohon karet,
menghanguskan tanggul yang tersisa, meneror dusun itu, ternak mulai hilang satu
persatu, merusak rumah kincir, memperkosa Upi dan membakar rumah pada
penduduk.
Wis bermaksud menyelamatkan Upi tetapi orang-orang itu menangkap
Wis dan dimasukkan ke dalam penjara. Selama di dalam penjara Wis selalu
disiksa. Pada saat Wis mulai putus asa dengan keadaan yang menimpanya, Anson
dan pemuda Lubukrantau menyelamatkan Wis dan membawa kabur Wis dari
penjara. Wis keluar dari penjara dalam keadaan yang tidak berdaya. Wis tidak
mau dipulangkan ke Perabumulih, ia meminta diantar ke rumah suster-suster
Boronous yang berada di Lahat. Di sana Wis dirawat oleh suster Marietta selama
kurang lebih tiga bulan. Dalam masa penyembuhan Wis membaca tuduhan-
tuduhan terhadap dirinya melalui surat kabar. Setelah sembuh Wis pergi ke
sebuah tempat yang hanya diketahui oleh lima orang suster dan satu dokter.
Dalam persembunyiannya, tak lama setelah peristiwa itu, Wis mengganti kartu
identitasnya dengan mengganti namanya menjadi Saman.
Tak lama kemudian Saman menulis surat untuk ayahnya. Ia menyatakan
bahwa ia menyesal karena tidak bisa memberi ayah keturunan karena dirinya
menjadi seorang pastor. Ia bercerita tentang rumah asap yang dibangunnya dengan
modal awal dari ayahnya, memohon restu kepada ayahnya untuk tetap tinggal di
Perabumulih, dan ia memohon maaf karena dirinya memutuskan untuk keluar dari
86
kepastoran. Karena Saman dan beberapa temannya ingin mendirikan sebuah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi perkebunan guna
membantu orang Lubukrantau yang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak
mempunyai pekerjaan. Akhirnya berkat bantuan Cok dan Yasmin, Saman dapat
melarikan diri ke New York. Kini Saman telah mengganti penampilannya dan
muncul sebagai aktivis perburuhan dan mengelola LSM.