Download - LP RDS
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
LAPORAN PENDAHULUAN
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)
A. Defenisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001). Gangguan ini
biasanya dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau penyakit membran
hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.
B. Etiologi
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut
juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang
disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur.
C. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang
disebut surfaktan.Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas
disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan
mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein
(10%).Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak
terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps
paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat
asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane
hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran
darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
25
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode
perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi,
IUGR dan kehamilan kembar.
D. Tanda dan Gejala
Gejala utama Gawat napas / distress respirasi pada neonatus yaitu :
Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per menit)
Sianosis sentral pada suhu kamar yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
Grunting : suara merintih saat ekspirasi
Pernapasan cuping hidung
Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
PemeriksaanSkor
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang dengan 02
Sianosis menetap walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan udara masuk
Tidak ada udara masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan stetoskop
Dapat didengar tanpa alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat
E. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan
Pemeriksaan KegunaanKultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemiaAnalisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basaGlukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat
menyebabkan atau memperberat takipneaRontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafasDarah rutin dan hitung jenis Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
Neutropenia menunjukkan infeksi bakteriTrombositopenia menunjukkan adanya sepsis
Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigenSumber: Hermansen
F. Komplikasi
26
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS
yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau
adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan
invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler
terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan
ventilasi mekanik.
4 PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan
RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang
tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak
dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
G. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
27
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga patensi jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau
menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir
tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama
terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri
tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan
merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup
Bayi jangan diberi minum
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.
- Suhu aksiler <> 39˚C
- Air ketuban bercampur mekonium
- Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>
18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam:
- Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan
antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis
28
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
- Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan
tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap .
Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan
ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi
tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan
Gangguan nafas ringan
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya.
Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan
pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
Fenobarbital
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik.
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia,
didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan )
29
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Riwayat maternal
- Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
- Kondisi seperti perdarahan placenta
- Tipe dan lamanya persalinan
- Stress fetal atau intrapartus
Status infant saat lahir
- Prematur, umur kehamilan
- Apgar score, apakah terjadi aspiksia
- Bayi prematur yang lahir melalui operasi caesar
Cardiovaskular
- Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
- Murmur sistolik
- Denyut jantung dalam batas normal
Integumen
- Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
- Pitting edema pada tangan dan kaki
- Mottling
Neurologis
- Immobilitas, kelemahan, flaciditas
- Penurunan suhu tubuh
- Pulmonary
- Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x )
- Nafas grunting
- Nasal flaring
- Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal
- Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase
desaturasi hemoglobin
- Penurunan suara nafas, crakles, episode apnea
Status Behavioral
30
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
- Lethargy
Study Diagnostik
- Seri rontqen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma
dengan overdistensi duktus alveolar
- Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
Data laboratorium
- Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk
janin yang mempunyai predisposisi RDS)
Lecitin/Sphingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan
maturitas paru
Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Tingkat phosphatydylinositol
- Analisa Gas Darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg,
saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45
- Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar
yang rusak
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi surfaktan
dan ketidakstabilan alveolar.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang
tepat.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
menghisap, penurunan motilitas usus.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible
dan insensible
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan
perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak
pada kulit.
C. Implementasi Keperawatan
31
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
1. Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi surfaktan
dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola
nafas efektif.
KH: - Jalan nafas bersih
- Frekuensi jantung 100-140 x/i
- Pernapasan 40-60 x/i
- Takipneu atau apneu tidak ada
- Sianosis tidak ada
Intervensi
a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang
dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’
R: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher
R: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda
distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres
pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang
endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
R: memastikan bahwa jalan napas bersih
f. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
R: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
R: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen
R: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan :
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa
sputum, cyanosis.
32
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R:Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam
bernafas
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R:Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan
dapat meningkatkan fremitus
c. Catat karakteristik dari suara nafas
R:Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial
dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
d. Catat karakteristik dari batuk
R:Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari
jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
e. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R:Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction
bila ada indikasi
R:Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan
atelektasis dan infeksi paru
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R:Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
h. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R:Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
i. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R:Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
j. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada
indikasi
33
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
R:Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot
pernafasan
k. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik R:Diberikan
untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan
ventilasi
3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang
tepat.
Tindakan :
Independen
a. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
R:Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha
nafas
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan
wheezing
R:Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena
peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi
atau adanya mukus pada jalan nafas
c. Kaji adanya cyanosis
R:Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah
vasokontriksi.
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
R:Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
R:Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
f. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
R:Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang
sesuai
g. Berikan pencegahan IPPB
R:Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
34
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
h. Review X-ray dada
R:Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
i. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant
R:Untuk mencegah ARDS
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Intervensi Rasional
a. Berikan infus D 10% W sekitar 65 – 80 ml/kg bb/ hari
R: Untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral
b. Pasang selang nasogastrik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan jika
diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung
R:Pilihan ini dilakukan jika masukan sudah tidak mungkin dilakukan.
c. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- Injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
- Letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selang tidak akan
memproduksi gelembung
R: Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernafasan
d. Berikan makanan sesuai dengan prosedur berikut :
- Elevasikan kepala bayi
- Berikan ASI atau susu formula dengan prinsip gravitasi dengan ketinggian 6– 8
inchi dari kepala bayi
- Berikan makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurapkan bayi setelah makan sekitar 1 jam
R: Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energi bayi
e. Berikan TPN jika diindikasikan
R: TPN merupakan metode alternatif untuk mempertahankan nutrisi jika bowel sounds
tidak ada dan infants berada pada stadium akut.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible
dan insensible
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
35
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Intervensi Rasional
a. Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari
R: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan
b. Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output, penggunaan
pemanas dan jumlah feedings
R: Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan
penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan
c. Pertahankan tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan.
R:Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.
d. Monitor intake cairan dan output dengan cara :
- Timbang berat badan bayi setiap 8 jam
- Timbang popok bayi untuk menentukan urine output
- Tentukan jumlah BAB
- Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hari
R:Catatan intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak seimbangan
cairan sebagai dasar untuk penggantian cairan
e. Lakukan pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam
R:Peningkatan tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya dehidrasi
dan potensial ketidakseimbangan elektrolit
6. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan
perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
Tujuan : Meminimalkan kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung bounding
antara orangtua dan infant
Intervensi Rasional
a. Kaji respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan
koping mekanisme
R:Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang
efektif
b. Bantu orangtua mengungkapkan perasaannya secara verbal tentang kondisi sakit
anaknya, perawatan yang lama pada unit intensive, prosedur dan pengobatan
infant.
R: Membuat orangtua bebas mengekpresikan perasaannya sehingga membantu
menjalin rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan
36
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
c. Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembangan infant
R: Informasi dapat mengurangi kecemasan
d. Bila mungkin, anjurkan orangtua untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam
perawatan anaknya
R: Memfasilitasi proses bounding
e. Rujuk pasien pada perawat keluarga atau komunitas
R: Rujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu
orangtua menghadapi keadaan sakit kronis pada anaknya.
7. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan
lemak pada kulit.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu
tubuh tetap normal.
Kriteria Evaluasi :
- Suhu 37 °C
- Bayi tidak kedinginan
Intervensi dan Rasional :
a. Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
b. Atur suhu incubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
c. Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi
DAFTAR PUSTAKA
Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS), diakses pada tanggal 10 September 2011 <http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-keperawatan-pasien-respiratory-distress-syndrome-rds.html>
Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.
37
REGINA MASLI PUTRI 220110215035
Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
Kosim.M.S., 2010.Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus Sebagai Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Komprehensif). Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP Semarang
Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome.Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.
Surasmi,Asrining,dkk.2003.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
Suriadi dan Yuliani, R. 2001.Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV Sagung Seto
Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat Darurat Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal. 151-153.
38