Download - Kumpulan Log Book Pendidikan Agama
MAKALAH PRA UAS
PENDIDIKAN AGAMA
Bagaimana Mengembangkan Prinsip–Prinsip Dialog
Budha Katholik di Los Angeles untuk dapat Membangun
Komunikasi dan Sikap Saling Menghormati Antar umat
Beragama
KELAS E
Oleh Kelompok 3:
1. Anita Puspa / 32090536
2. Andre / 37090182
3. Aikyo Joya Natayo / 31090270
4. Tiomsar Michael / 34090431
5. Denny Irawan / 33090155
6. Eko Saputera / 30080510
LOGBOOK 3 / KELOMPOK
Kelompok 3 / kelas E
Nama Anggota / NIM : 1.Anita Puspa / 32090536
2.Andre / 37090182
3.Aikyo Joya Natayo / 31090270
4.Tiomsar Michael / 34090431
5.Denny Irawan / 33090155
6.Eko Saputera / 30080510
Topik : Bagaimana Mengembangkan Prinsip–Prinsip Dialog Budha Katholik di Los
Angeles untuk dapat Membangun Komunikasi dan Sikap Saling Menghormati
Antarumat Beragama
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada era globalisasi, manusia semakin terekspos dengan keberagaman kehidupan
social. Terpaan hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya tidak terbatas hanya pada
mereka yang memiliki latar belakangbudaya yang sam, melainkan juga mereka yang berasal
dari lingkup budaya berbeda. Globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknoligi
informasi menuntut manusia selaku makhluk social untuk mampu berinteraksi dengan
pemikiran yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Kemajuan internet maupun peralatan
teknologi yang kian canggih menjadikan batas antara negara atau budaya satu dengan yang
lainnya tidak jelas (dunia tanpa batas). Hal ini kiranya tidak dijadikan sebagai hambatan
ataupun ancaman dalam proses interaksi antar personal. Globalisasi justru merupakan
tantangan dimana manusia harus bisa mengembangkan dirinya melalui adaptasi sosial yang
bervariasi tanpa harus kehilangan teoriti budaya dan identitas masing-masing.
Bangsa Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam budaya, suku, ras, dan salah
satunya adalah agama. Keanekaragaman agama yang merupakan bagian dari karakter negara
multikulturalis / pluralis ini pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang sama. Tujuan tersebut
antara lain adalah untuk hidup damai dan rukun dengan mencapai toleransi yang positif.
Namun demikian, menemukan persamaan antar agama ternyata lebih sulit daripada
mendeteksi perbedaannya. Hal ini semakin nyata ketika memasuki era globalisasi yang
merobohkan isolasi-isolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Kalaupun dahulu mungkin
kehidupan beragama relative lebih tentram karena terisolasi, tidaklah demikian dengan zaman
globalisasi ini. Semakin mudahnya interaksi antar manusia di era globalisasi memunculkan
tantangan tersendiri bagi umat beragama untuk menghadapi insan-insan beragama lain.
Agama merupakan suatu anugerah dari Tuhan, diperuntukkan bagi kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia. Pluralitas kehidupan keberagamaan adalah sebuah kenyataan
yang harus disadari untuk saling melengkapi dan memperkaya pengalaman kehidupan,
membangun kasih sayang, persaudaraan, dan penghargaan sesame (bukan justru sebagai
musibah atau malapetaka).
Semua agama tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul
dengan agama lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna
kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu.
Mengembangkan pluralisme agama melalui dialog adalah mengusahakan bagaimana
seharusnya setiap agama mengatasi kebenaran mutlaknya, saat berjumpa dengan agama-
agama lain serta mencari titik temu sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber
masalah (problem maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial (problem
solver) dan sejauh mana agama memberi ruang secara partikularitas atau keunikan dari
masing-masing agama. Sehingga keunikan tersebut tetap dapat dipertahankan dan dapat
dikomunikasikan; bukan untuk diperbandingkan dan bukan berarti juga mencampuradukan.
Sehingga tercipta keterbukaan, perdamaian dan toleransi yang positif.
Dalam toleransi positif, kita menerima prinsip saling menghormati dan memahami
perbedaan antar agama-agama yang ada di dalam negara. Namun bukan berarti semua agama
dianggap sama karena masyarakat Indonesia dan individu-individu menolak kompromi
theologis atau aqidah.
Dalam rangka mencapai kerukunan dan kedamaian hidup antar umat beragama yang
dikenal dengan sebutan interfaith dialogue. Interfaith dialogue merupakan salah satu cara
untuk mengurangi kesalahpahaman yang kerap terjadi menyangkut keyakinan agama.
Interfaith dialogue menekankan usaha komunikasi antar umat beragama karena dipercaya
komunikasi yang baik akan menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai, dan
menghormati, serta toleransi antara yang satu dengan yang lainnya.
Dialog adalah satu pilihan yang logis dan etis, adanya dialog memungkinkan terjadinya
saling melengkapi antara pendapat yang berbeda. Dialog berasal dari bahasa Yunani “dia-
logos”. Artinya bicara antar dua pihak, atau dwiwicara. Lawannya adalah monolog yang
berarti bicara sendiri. Arti sesungguhnya adalah percakapan antra dua orang (atau lebih) dalam
mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Dialog yang semacam itu
membutuhkan suatu sikap yang terbuka, bersifat hormat-menghormati, sikap yang melepaskan
segala prasangka mengenai agama lain, sikap mencari yang baik dari agama lain. Sikap itu
dapat dinamakan sikap dialogis.
Tidak bisa dipungkiri, akibat faktor-faktor sejarah dan moral yang begitu kompleks
antara agama-agama, budaya, bangsa dan peradaban dan kemampuan untuk menerima
perbedaan dan kemauan untuk mencari titik temu adalah suatu yang sulit.
B. Definisi Operasional Judul
Variabel Independen
Arti Dialog: Dialog, asal kata prancis dialogue, secara harafiah berarti pembicaraan
antar beberapa orang, pembicaraan yg dilakukan oleh seseorang (lembaga, golongan,
dsb) yg kedudukan atau pengetahuannya sama atau seimbang, spt antara mahasiswa
dan mahasiswa, antara guru dan guru, pembicaraan yg dilakukan oleh seseorang
(lembaga, golongan, dsb) yg kedudukannya lebih rendah dng seseorang (lembaga,
golongan, dsb) yg kedudukannya lebih tinggi, spt antara buruh dan majikan, antara
mahasiswa dan menteri
Arti antar agama : antar agama dalam bahasa Inggris adalah interfaith yang artinya
jarak di sela-sela dua kepercayaan atau lebih. Di tengah dua agama.
Arti Interfaith dialogue : suatu bentuk komunikasi dan bagian penting untuk
terbentuknya masyarakat komunikatif, apalagi terhadap masyarakat yang plural dengan
agama yang plural. Untuk itu, perlu dibentuk forum komunikasi, ruang publik yang
demokratis, bebas dari dominasi dan hegemoni satu pihak, di mana pelaku-pelaku
kesadaran yang terbuka, matang, dan kritis dapat berperan dan mengambil bagian
dalam komunikasi yang interaktif.
Variabel Dependen
Arti komunikasi : suatu hubungan atau kontak dengan seseorang atau lebih, pengiriman
dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yg
dimaksud dapat dipahami, komunikasi yg komunikan dan komunikatornya pada satu
saat bergantian memberikan informasi
Arti saling menghormati : suatu sikap saling menghargai (takzim, khidmat),
menjunjung tinggi, mengakui dan menaati (tt aturan, perjanjian), perbuatan yg
menandakan rasa khidmat, menaruh hormat kpd seseorang atau lembaga
Arti judul sesungguhnya
Arti judul Bagaimana mengembangkan prinsip – prinsip interfaith dialogue antar
Budha dan Katholik untuk membangun komunikasi dan sikap saling menghormati
antar umat beragama:
Kami ingin mengetahui bagaimana cara membuka luas ,menjadikan besar, maju dan
sempurna sebuah prinsip – prinsip dialog antar Buddha dan Katholik yang pernah
terjadi di Los angeles untuk membangun komunikasi atau kontak dengan komunitas
agama lain serta sikap saling menghormati dan menghargai antar umat beragama lain.
C. Kerangka Berpikir
Membangun kerukunan kehidupan beragama
Variabel Independen : Interfaith Dialog ( Dialog Antargama)
Variabel Dependen:Membangun komunikasi dan sikap
saling menghormati antar umat beragama
Indikator : 1. Interaksi kooperatif dan positif antara orang-orang yang berbeda agama2. Konsentrasi pada kesamaan antar agama3. Pemahaman nilai-nilai ajaran masing-masing agama
Indikator :1. Hubungan atau kontak antara seseorang atau lebih yang saling memberikan informasi2. Saling menghargai dan menjunjung tinggi3. Perbuatan yang menandakan rasa khidmat
D. Rumusan Masalah dan Hipotesis
Rumusan masalah dalam topik ini adalah Bagaimana mengembangkan prinsip – prinsip dialog
Budha Katholik di Los Angeles untuk dapat meningkatkan komunikasi dan sikap saling
menghormati antar umat beragama?
Hipotesis dalam topik ini adalah :
Ha : Prinsip – prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan komunikasi
antar umat beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama
H0: Prinsip – prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles tidak dapat meningkatkan
komunikasi antar umat beragama sehingga tidak tercipta kerukunan hidup beragama
BAB II
REFLEKSI DAN ANALISIS KONDISI
A. Refleksi Kondisi
1. Berdasar Literatur
a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)
1) Berdasar Literatur Pokok
Dialog formal/dialog antar agama sangat diperlukan dalam Gereja
Katolik oleh kepemimpinan tercerahkan dari Paus. Pada awal tahun 1964,
dalam surat ensiklik pertama nya, ecclesiam Suam, Paus Paulus VI telah
menekankan perlunya dialog antar-agama, suatu sikap yang lebih ditekankan
dalam Nostra Aetate yang sepenuhnya didedikasikan untuk subjek yang
ditunjukkan oleh judul. Nostra Aetate yang menetapkan panggung untuk awal
dari dialog antaragama. Keputusan ini memulai perubahan fundamental dalam
cara Gereja dilihat dari agama lain. Untuk pertama kalinya, mendorong dialog
dengan mereka.
Pada tahun 1969 Keuskupan Agung Katolik di Los Angeles dengan
masyarakat agama lain mendirikan Council of Southern California dan pada
tahun 1971 mereka bergabung dengan komunitas Buddha. 3 tahun berikutnya,
Keuskupan Agung membentuk Komisi Ekumenis dan Antar Negeri untuk
mengkoordinasikan dan meningkatkan komunitas Katholik dengan komunitas
agama lain. Melalui Komisi dan Dewan Interreligious satu-satu pertukaran
dimulai antara Katolik dan Buddha. Beberapa sorotan dari pertukaran seperti
perayaan multireligius kunjungan 1987 dari Paus Yohanes Paulus II di Little
Tokyo (Nostra Aetate Alive) . Ini merupakan sejarah Los Angeles dalam
kerjasama agama Budha-Katolik Dialog, yang dimulai 16 Februari 1989.
Komunitas Buddhisme melihat interfaith dialogue yang dilakukan
sebagai kesempatan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati
terhadap Buddhisme dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu umat
Buddha terjun ke masyarakat luas. Dialog ini diadakan oleh Organisasi Dewan
Sangha Buddha dan Kantor Katolik Ekumenis dan Urusan antaragama. Dialog
ini membentuk sebagai seorang pejabat dan kelompok inti. Kelompok inti
dirancang untuk menampung sekitar delapan perwakilan dari umat Buddha dan
delapan perwakilan dari umat Katolik Roma. Rapat yang akan diadakan setiap
enam sampai delapan minggu yang diadakan selalu berputar antara di lokasi
umat Buddha dan Katholik. Dari awal, panitia mengakui bahwa ini adalah
dialog antar agama yang bersifat sangat awal dengan kebutuhan yang besar atas
kesabaran dan kesederhanaan untuk saling mengenal satu sama lain. Dan
mereka menyadari telah menjadi tangan pertama yang memiliki karunia untuk
memberikan satu sama lain pemahaman akan dua agama yang berbeda.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Akhir-akhir ini, interfaith dialogue dan interaksi antara umat Buddha
dengan pemeluk agama lainnya sering dilakukan. Mereka mulai saling
menghargai dan memahami kepercayaan mereka masing – masing. Hal ini
digambarkan dengan pertemuan Dalai Lama dengan Paus. Pada suatu
pertemuan yang dilaksanakan di Assisi, Italia dimana Sri Paus mengundang
semua pemimpin-pemimpin agama di dunia. Sekitar 150 wakil agama hadir.
Dalai Lama duduk dekat Sri Paus dan diberi kehormatan untuk memberikan
pidato yang pertama. Pemimpin-pemimpin agama yang lain juga menunjukkan
penghargaan yang tertinggi terhadap Buddhisme. Pada konferensi itu, mereka
mendiskusikan topik yang umum pada setiap agama, seperti moralitas, cinta
dan kasih sayang. Orang-orang yang sangat bersemangat dengan kerja sama,
keserasian dan penghargaan yang setara yang dirasakan oleh para pemimpin
agama yang berlainan. Dialog antar Budha dan katholik mengharapkan adanya
kemajuan materi dan kemajuan spiritual.
3) Berdasar nilai / ajaran agama
a) Nilai / ajaran agama Buddha
Dalam Tripitaka Dhammapada BAB VIII (SAHASSA VAGGA): 100.
“Daripada seribu syair yang tidak berarti, lebih baik sebait syair yang
penuh arti, yang dapat membuat si pendengar menjadi tenang.”
b) Nilai / ajaran Agama Hindu
Dalam Bab Wak, sloka: 118
“Yang patut dikatakan itu hendaklah sesuatu yang membawa kebaikan, hal
itu janganlah digembar-gemborkan; berkeinginan disebut pandai bicara;
sebab kata-kata itu jika berkepanjangan, ada yang menyebabkan senang
ada yang menimbulkan kebenaran; tak baik hal serupa itu.”
c) Nilai / ajaran agama Islam
Dalam Qur’an Surat Al-Kaafiruun: 1-6
1. Katakanlah (Muhammad), ”Wahai orang-orang kafir!
2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
3. dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah,
4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
d) Nilai / ajaran agama Kristen
Dalam Alkitab (Efesus 4:2-3)
"Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.
Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah
memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera"
e) Nilai / ajaran agama Katolik
Dalam Alkitab (Korintus 5:4)
“Bilamana kita berkumpul dalam Roh, kamu bersama-sama dengan aku,
dengan kuasa Yesus, Tuhan kita,”
f) Nilai / ajaran agama Khonghucu
Lun Gi (Sabda Suci) di kitab Su Si (Kitab Yang Empat): Jilid XII ayat 5
Dengan sedih Suma Giu berkata, “Orang lain mempunyai saudara, namun
aku sebatang kara”. (2) Cu He berkata, “Apa yang Siang pernah dengar,
demikian: ‘Mati hidup adalah firman, kaya mulia adalah pada Tuhan YME.
Seorang Kuncu selalu sikap sungguh-sungguh, maka tiada khilaf. Kepada
orang lain bersikap hormat dan selalu susila. Di empat penjuru lautan,
semuanya saudara’. Mengapakah seorang Kuncu / susilawan merana
karena tidak mempunyai saudara?”
b. Berkait Variabel Dependen (Komunikasi antar umat beragama)
1) Berdasar Literatur Pokok
Mengacu pada Hindu dan Buddha, Paus menyatakan bahwa Gereja
Katolik sangat menjunjung tinggi perilaku dan ajaran kepercayaan mereka
walaupun berbeda dalam banyak hal dari apa yang mereka percayai. Komentar
dari Francis Kardinal Arinze, Presiden Dewan Kepausan Vatikan untuk Dialog
antar agama, yang menyebutkan bahwa salah satu gerakan yang paling ramah
dari Gereja adalah surat yang dikirim kepada masyarakat Buddhis yaitu Francis
Kardinal menunjukkan ketertarikannya pada "Pesta Hari Raya Waisak." Waisak
adalah hari di mana umat Buddha memperingati kelahiran, Pencerahan, dan
kematian Sang Buddha. Sesuai dengan semangat pendirinya, umat Buddhis
telah terkenal sepanjang sejarah untuk saling toleransi pada keyakinan dan
nilai-nilai yang berbeda. Tetapi beliau mengingatkan kita bahwa hal ini masih
tidak cukup. Kardinal menunjukkan juga bahwa “masyarakat majemuk di mana
kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita sebenarnya
diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita layaknya
mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang menasehati
kita: “kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan dengan kebaikan,
menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta menaklukkan pembohong
dengan kebenaran."
Meskipun benar bahwa banyak yang telah dicapai dengan cara dialog
antar agama, namun masih ada batu sandungan yang tetap signifikan selama ini.
Salah satu hambatan yang paling bertahan sampai dialog adalah kepercayaan
oleh anggota dari berbagai agama, yang dengan berpartisipasi di dalamnya
mereka bisa mengorbankan kepercayaan mereka sendiri. Untuk penganut
Buddha, imannya ada untuk berdialog dengan agama lain. Alasannya adalah
bahwa Buddhisme bukan suatu sistem dogma, ataupun doktrin "keselamatan"
sebagai istilah yang umumnya dipahami dalam agama teistik. Sang Buddha
menasihati murid-muridnya untuk tidak mengambil keyakinan dengan begitu
saja. Sebaliknya, mereka harus mendengarkan, dan kemudian memeriksa ajaran
untuk diri mereka sendiri, sehingga mereka mungkin yakin akan kebenarannya.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Interfaith Dialogue antara Buddha dan Katholik yang terjadi di Los
angeles juga menghasilkan dampak positif pada negara – negara lain.
Contohnya di Seoul, Korea, Para seniman Buddha dan Katolik mengadakan
pameran natal bersama untuk memperingati Hari Raya Natal dan meningkatkan
kerukunan dan kerjasama antara kedua agama. Masing-masing terdiri dari 12
seniman Katolik dan 11 seniman Buddha memamerkan sebuah lukisan atau
patung di galeri seni Katolik di Kuil Bubryunsa, Seoul, pada 8-15 Desember.
Joseph Choi Jong-tae, Ketua Asosiasi Seniman Katolik Korea, mengatakan
kepada UCA News 8 Desember, pameran bersama itu digelar untuk
memperingati kelahiran Yesus Kristus dan untuk meningkatkan kerukunan
antaragama antara para seniman Katolik dan Buddha."Jika kita fanatik terhadap
agama kita masing-masing, konflik antara agama-agama akan jadi makin
parah," kata Choi, dosen kehormatan di Seoul National University.
Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr
John Chang Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye)
menyampaikan ucapan selamat. "Hari Raya Natal hampir tiba dan pameran ini
adalah untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus," kata Yang Mulia Bubjang,
pemimpin sekte Buddha terbesar di negara itu. "Hari Raya Natal juga
merupakan ajang pertemuan para seniman dari kedua agama. Agama-agama
menunjukkan jalan hidup kepada umatnya dan umat hendaknya bersatu dalam
semangat agama mereka masing-masing. Agama-agama juga membuka jalan
terberkati kepada umatnya. Inilah cara merayakan Hari Raya Natal." Biksu itu
mengatakan, kegiatan-kegiatan antaragama yang terus berkelanjutan
mendorong dia "untuk belajar dari dan memahami satu sama lain." Bagi dia,
dialog antaragama bisa terwujud hanya "jika kita kritis terhadap tradisi agama
kita masing-masing." Uskup Chang, pembimbing rohani Asosiasi Seniman
Katolik Korea, berharap agar "pameran-pameran ini akan terus berlanjut dari
tahun ke tahun untuk membantu meningkatkan persaudaraan dan saling
pengertian di antara agama-agama."
Sejumlah karya seni pada pameran itu mencerminkan tema-tema
religius, seperti Roh Kudus, Salib, kelahiran Kristus, dan gambar-gambar
Buddha. Pameran itu dibuka untuk umum secara gratis. Seorang mahasiswa
seni yang sedang mengunjungi pameran itu mengatakan, ia terkejut melihat
para seniman Buddha dan Katolik mengadakan pameran bersama. Namun ia
senang melihat seni Katolik dan Buddha berada dalam satu tempat. Salah
seorang seniman Buddha yang mengikuti pameran itu, mengatakan "Kami
berasal dari agama yang berbeda, tapi kami punya kemauan baik untuk
mengadakan pameran bersama ini karena ini membantu kami memahami
budaya satu sama lain."
3) Berdasar Nilai / Ajaran Agama
a) Nilai / ajaran agama Buddha
Dalam Dhammapada BAB XIV (BUDDHA VAGGA): 185.
“Tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak menyakiti makhluk lain,
melatih pengendalian diri dan tingkah laku, hidup tenang di tempat sunyi,
mengembangkan ketenangan batin, inilah Ajaran para Buddha.”
b) Nilai / ajaran agama Hindu
Dalam Sloka dalam Rig Weda, X.19.4
Dia berseru kepada kita semua, "Wahai umat manusia, satu-kanlah
pikiranmu untuk mencapai satu tujuan dan satukan-lah hatimu, satukan
pikiranmu dengan sesama, dan semuanya tinggal dalam pergaulan yang
harmonis."
c) Nilai / ajaran agama Islam
Dalam Qur’an Surat Al-Baqarah: 148
”Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu
berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.”
d) Nilai / ajaran agama Kristen
Dalam Alkitab (Yoh 17:14)
“Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci
mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari
dunia”
e) Nilai / ajaran agama Katolik
Dalam Alkitab (Yakobus 2:22)
“Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan
oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna”
f) Nilai / ajaran agama Khonghucu
Lun Gi (Sabda Suci) dalam kitab Su Si (Kitab Yang Empat) : Jilid XV
ayat24
Cu Khong bertanya, “Adakah suatu kata yang boleh menjadi pedoman
sepanjang hidup?” Nabi bersabda, "Itulah Tepa Sarira! Apa yang diri
sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain.”
B. Analisis Kondisi
1. Berdasar Literatur Pokok
a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)
1) Berdasar Literatur Pokok
Pada tahun – tahun awal berdirinya agama katholik , Buddha dan Katholik telah
hidup di antara satu sama lain . Kemungkinan kecil pada abad pertama,
komunitas kecil Katholik ada di India. Proses penyebaran agama katholik
dimulai pada awal era modern ketika Eropa melakukan perjalanan eksplorasi,
ekspansi kekuasaan komersial dan kolonial di Asia serta mulai mengatur
panggung untuk pertemuan besar pertama antara agama yang sekarang biasa
disebut interfaith dialogue atau dialog antar agama. Para penjelajah Eropa
tersebut merasa selain mencari target ekspansi tetapi juga sebagai misionaris
yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari misi untuk menyebarkan
Injil Tuhan. Tetapi lambat laun apa yang dilakukan mereka tidak bercermin
pada pertemuan bersar pertama antar agama pada awalnya. Mereka mulai
membawa kata Allah ke Asia dan menetapkan struktur kekuasaan dan dominasi
Eropa atas masyarakat baik yang berumat Buddha, Hindu dan anggota agama-
agama lainnya. Hal ini bukan suasana yang dipupuk oleh dialog antar agama
yang sejati. Hal ini mulai membuat sebagian orang merasa tidak adanya rasa
saling memahami dengan perbedaan antar agama yang ada.
Sebuah kota di Negara Amerika yang dinamai dengan nama kota yang
paling suci "Queen of Angels" atau biasa kita dengar Los Angeles, agama
Buddha dan Katholik hidup berdampingan. Hal ini disebabkan oleh adanya
gelombang imigrasi yang besar dari negara – negara di benua Asia ke Los
Angeles yang kebetulan bertepatan dengan sikap keterbukaan baru terhadap
agama-agama lain dalam Katholik. Sikap tersebut secara resmi diumumkan
dengan dikeluarkannya putusan yang bernama "Nostra Aetate" yaitu Deklarasi
Agama Non-Kristen yang berasal dari Vatikan pada tahun 1965. Nostra Aetate
ini adalah Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan
Kristen yang berisi mengenai segala pernyataan yang berhubungan antara
agama katholik dan agama lainnya sehingga tidak terjadi pertikaian. Dengan
diumumkannya putusan Nostra Aetate, mereka juga mulai menyiapkan
panggung untuk dialog antar agama yang baru.
Ketika Buddhisme mulai dikembangkan, situasi unik mulai terjadi juga
di Los Angeles. Semua sekolah utama dengan etnis dan tradisi didasari dengan
basis Buddhisme meskipun masing-masing dengan bahasa sendiri dan adat
istiadat yang memang sudah ada dari awal di sini. Keragaman besar tersebut
yang mulai timbul dalam agama Buddha merangsang dialog antar Buddha dan
Katholik. Setelah melalui proses panjang seperti yang sudah dijelaskan
berdasarkan literatur pokok diatas, Pada tanggal 16 Februati 1989 Dialog antar
agama Buddha dan Katholik pertama kali diadakan di Los angeles. Dialog
tersebut diadakan oleh organisasi Dewan Sangha Buddhis dan Komisi
Ekumenis dan Antar Negeri Pimpinan Buddhisme di Los Angeles setuju untuk
melakukan interfaith dialogue meskipun beliau diliputi perasaan keengganan.
Kegalauan pemikiran pemimpin Buddha adalah banyak orang yang ingin
beragama Buddha tapi mereka dipenuhi rasa takut akan masa – masa kolonial
yang mengharuskan mereka beragama katholik. Namun demikian, beberapa
pemimpin Buddha telah mengembangkan hubungan persahabatan dengan
pemimpin dari kelompok agama lain, terutama dengan Katolik Roma dan
mampu meredakan kekhawatiran rekan-rekan mereka. Komunitas Buddhisme
sendiri pun melihat interfaith dialogue yang dilakukan sebagai kesempatan
untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati terhadap Buddhisme
dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu umat Buddha terjun ke
masyarakat luas. Ada juga tradisi Buddhisme dalam perjalanan sejarah untuk
bekerja kelompok dengan agama lain. Karena inti dari Buddhisme adalah untuk
meninggalkan segala bentuk ciri yang bersifat tidak mengkritik atau mengutuk
agama lain. Sang Buddha sendiri sering mengunjungi pusat-pusat agama lain,
dan pengikut agama Buddha sering didorong untuk belajar dan pengalaman
yang berbeda sistem agama atau filsafat. Di antara umat Katolik, pedoman
Nostra Aetate memulai perubahan fundamental dalam cara Gereja yaitu umat
Katolik telah menjadi bersemangat untuk mengeksplorasi dan belajar tentang
agama lain. Hal ini mempengaruhi Dialog antar dua agama tersebut sehingga
dialog menjadi tepat waktu.
Di dalam Interfaith Dialogue yang dilakukan di Los Angeles, Paus
menyatakan bahwa apa yang menyatukan kita (antar umat beragama) lebih
besar daripada apa yang dapat memisahkan kita dimana kita dapat bekerjasama
atau saling mendukung tanpa adanya konflik serta kesalahpahaman. Alfred
Rabbi Wolf mempercayai bahwa ajaran Buddha sebagai ajaran yang universal
dalam arti bahwa hal itu berkaitan dengan kondisi dasar manusia. Dan
dinyatakan pula bahwa semua orang adalah Buddha walaupun tidak beragama
Buddha atas dasar ajarannya yang universal.
Berkaitan dengan masalah penderitaan, Paus mengingatkan kita, "Orbis
Stat dum volvitur inti." ("Salib tetap konstan sementara dunia berubah").
Penelitian ini mencari jawaban atas pertanyaan yang membingungkan: mengapa
Tuhan mengijinkan adanya kejahatan di dunia? Sementara bagi umat beragama
Buddha, pertanyaannya bukan bagaimana Tuhan mengijinkan hal tersebut
melainkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi realitas kejahatan yang
terjadi di dunia.
Sesuai dengan semangat pendirinya, umat Buddhis telah terkenal
sepanjang sejarah untuk saling toleransi pada keyakinan dan nilai-nilai yang
berbeda. Tetapi beliau mengingatkan kita bahwa hal ini masih tidak
cukup.Komentar dari Francis Kardinal Arinze, Presiden Dewan Kepausan
Vatikan untuk Dialog antar agama menunjukkan juga bahwa “masyarakat
majemuk di mana kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita
sebenarnya diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita
layaknya mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang
menasehati kita: “kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan
dengan kebaikan, menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta
menaklukkan pembohong dengan kebenaran."
Tidak hanya masalah yang terjadi di Los Angles, masalah yang dihadapi
kebanyakan orang adalah mengganggap agama hanya sistem kepercayaan yang
berpusat pada Tuhan sang pencipta. Sebenarnya sistem kepercayaan adalah
definisi terbatas dari agama, dan tidak semua pemuka agama akan
mendefinisikannya dengan cara yang sama. Tetapi, itu adalah sistem
kepercayaan yang bertujuan untuk menolong orang dalam kehidupan ini dan
yang akan datang, dan untuk memajukan kemanusiaan.
Sekarang terdapat banyak interaksi antara agama-agama di dunia dan
banyak hal yang dapat digotong-royongkan. Sebagai contoh banyak terdapat
interaksi antara umat Buddha dan Katholik. Umat Kristen Katolik dan
sebagainya belajar teknik-teknik konsentrasi dan meditasi dari Buddhisme.
Banyak pendeta-pendeta Kristen, pastur-pastur, rahib, dan suster datang ke
Dharmasala, India, untuk belajar teknik-teknik konsentrasi dan meditasi dan
bagaimana mengembangkan cinta dengan tujuan untuk membawanya ke tradisi
agama mereka. Beberapa umat Buddha telah mengajar di seminar-seminar
(sekolah tinggi) Katolik. Dalam agama Katholik, dikatakan bahwa kita harus
mencintai setiap orang, tetapi tidak dikatakan bagaimana melakukannya,
Buddhisme sarat kaya akan teknik-teknik mengembangkan cinta kasih.
Tingkatan yang paling tinggi dalam agama Katholik adalah terbuka untuk
mempelajari teknik-teknik ini dari agama Buddha. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka semua akan menjadi Buddhis, karena tak seorangpun yang dapat
mengubah orang lain. Teknik-teknik ini dapat diadaptasikan dalam agama
mereka sendiri untuk membantu mereka menjadi umat Kristiani yang lebih
baik. Demikian juga, umat Buddhis tertarik dalam beberapa hal dari kekristenan
terutama yang berhubungan dengan pelayanan sosial. Beberapa tradisi Kristiani
menekankan pada pastur dan susternya untuk terlibat dalam pengajaran, dalam
pekerjaan dari rumah-rumah sakit, merawat orang-orang jompo, dan lain-lain.
Walaupun beberapa dari layanan masyarakat ini telah berkembang di beberapa
negara Buddhis, namun hal ini belumlah berkembang di semua negara Buddhis
karena alasan-alasan sosial dan geografis. Ini adalah sesuatu yang baru yang
dapat dipelajari oleh umat Buddha dari orang-orang Kristiani. Dalai Lama juga
sangat terbuka dalam hal ini. Bukan berarti bahwa umat Buddha akan menjadi
Kristiani. Tetapi, ada aspek-aspek tertentu dari pengalaman Kristiani yang dapat
dipelajari umat Buddha. Dan ada hal-hal lain dari pengalaman umat Buddha
yang dapat dipelajari oleh umat kristiani juga. Dengan cara ini, interfaith
dialogue diantara Buddha dan Katholik didasari oleh penghargaan yang tinggi
terhadap satu dengan lainnya.
Pameran natal bersama yang diadakan para seniman Buddha dan
Katholik di Seoul, Korea. Pameran bersama itu memiliki nilai karena
ketegangan antaragama bisa mereda lewat kontak berkelanjutan di kalangan
para seniman dari agama-agama berbeda, katanya. Choi mengonfirmasikan
bahwa para seniman dari kedua agama berencana untuk terus menggelar
pameran bersama guna meningkatkan kerukunan antaragama. Pameran ini
merupakan kelanjutan dari pameran bersama tahun lalu untuk memperingati
Hari Raya Waisak (hari kelahiran Buddha).
Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr
John Chang Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye)
menyampaikan ucapan selamat. Yang Mulia Bubjang menekankan pentingnya
kerukunan antaragama. Ia menyebut semua agama "rekan," bukan "saingan atau
musuh." Dijelaskan bahwa kerjasama antaragama itu perlu "demi
pengembangan sosial berkelanjutan, seperti penyelesaian secara damai
perselisihan antarbangsa, dan penanganan krisis lingkungan hidup."
Meski harus diakui pula, dialog antar-agama juga belum membuahkan
hasil yang memuaskan. Kerap masih ada sekelompok yang melampaui batas
dan mencederai dialog yang selama ini dibangun. Bagaimana seharusnya dialog
dibangun?
Dialog antar agama saat ini dikatakan masih belum bisa berjalan dengan
efektif. Ini harus terus dimaksimalkan. Dialog antar-agama yang selama ini di-
adakan, hanya dilakukan dan dihadiri oleh tokoh yang itu-itu saja. Mestinya di-
alog diikuti oleh tokoh lainnya agar dialog tak hanya dalam tataran wacana saja.
Ini berarti dialog tak hanya terbatas dilakukan oleh para pemuka agama
saja. Dialog juga mestinya dilakukan para guru atau kalangan pelajar yang
memiliki keyakinan berbeda sehingga akan membantu kesalingpahaman di an-
tara pemeluk agama yang berbeda.
Dengan pemahaman untuk saling menghargai dan toleransi yang tak
hanya dimengerti oleh para pemuka agama saja, tentu langkah toleransi juga
akan semakin mudah untuk dilakukan. Intinya, dialog antar-agama mestinya
juga mencapai akar rumput.
Diperlukan langkah yang lebih konkret dan praktis. Dengan demikian
dialog ini tak hanya berhenti dalam sebuah wacana saja. Ini bisa dilakukan den-
gan melakukan perkemahan bersama, misalnya. Dalam kegiatan tersebut dapat
menjadi sebuah pelatihan atau percontohan. Bahkan, dapat menjadi pelajaran
bagi para pemeluk agama yang berbeda untuk mengatasi berbagai masalah dan
perbedaan. Ini juga bisa dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat beragama
pada skala yang lebih besar.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Dialog Membangun Peradaban
Program Bilateral Interfaith Dialogue dilaksanakan 12-14 Oktober 2008
di Beirut, Lebanon. Temanya, ”Promoting Interfaith Dialogue among Plural So-
ciety”.
Dialog ini terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Beirut, dan Dar
El Fatwa Lebanon di bawah pengawasan Perdana Menteri HE Mr Fuad Sin-
iora.
Pertemuan antartokoh agama ini memberi inspirasi bagi bangsa ini un-
tuk saling belajar bagaimana memahami berbagai sekte dan aliran keagamaan.
Dan yang penting bagaimana perbedaan bisa melahirkan tata hidup yang
berdampingan dalam suasana damai dan saling menghormati.
Indonesia dan Lebanon
Dari pengalaman dialog antaragama di Indonesia, bisa dipetik beberapa
hal positif. Dalam 10 tahun terakhir, ada perkembangan positif terkait keruku-
nan umat beragama. Salah satu faktor penting adalah adanya komunikasi lebih
intensif antarpemuka agama. Di Indonesia, hal ini didukung identitas nasional,
Pancasila, sebagai komponen pemersatu bangsa yang majemuk.
Meningkatnya peran pemuka agama dalam mencegah konflik dapat dili-
hat melalui berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk
di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Forum ini selain membahas tentang
agama juga hal-hal aktual terkait kesejahteraan umat beragama.
Belajar dari fenomena agama di Lebanon, bisa dilihat umat beragama
yang umumnya menghargai proses dialog dan berkomitmen untuk hidup damai
berdampingan. Artinya, meski ada konflik, bukan disebabkan perbedaan agama
yang terdiri dari 18 sekte. Konflik terjadi sebagai bagian pertentangan politik.
Semasa perang saudara (1975- 1990), tak ada perusakan rumah ibadah.
Sistem pembagian kekuasaan berdasarkan sekte agama diakui merupakan salah
satu faktor yang melemahkan persatuan nasional Lebanon. Hal ini diperparah
pengaruh konflik regional yang memengaruhi situasi domestik Lebanon.
Ada hal-hal yang menjadi perhatian, antara lain perkawinan lintas
agama dan penyebaran agama di Indonesia. Diakui, dua hal itu sering menim-
bulkan gesekan antarumat beragama. Meski demikian, Pemerintah Indonesia
mencoba meminimalkan gesekan itu melalui berbagai peraturan. Sementara
dari Lebanon menyampaikan berbagai cara untuk mempererat hubungan an-
tarumat beragama melalui pendidikan dan kegiatan keagamaan, termasuk pene-
tapan hari besar keagamaan yang diperingati bersama Muslim dan Kristen.
Pengalaman Indonesia dan Lebanon dalam menciptakan kerukunan an-
tarumat beragama ada kesamaan dan perbedaan. Dari sana kedua negara bisa
belajar bagaimana membangun komunikasi antartokoh agama dalam mencip-
takan perdamaian.
Peran tokoh agama penting bagi terciptanya kerukunan di antara
pemeluknya. Peran mereka juga penting dalam menciptakan kesadaran umat
beragama mencintai bangsanya.
Peran agama
Peran agama amat penting sebagai penyeimbang dua poros utama, ne-
gara dan pasar. Itu dikatakan karena selama ini agama sering terjebak per-
mainan negara dan terjerumus logika pasar kapitalisme yang kerap mence-
lakakan. Peran agama harus dikembalikan sebagai penyeimbang dua kekuatan
itu. Itulah yang dimaksud upaya merenda habitus baru bangsa dan merumuskan
kultur bangsa yang beradab.
Orientasi hidup beragama tidak sekadar mencari kerukunan antaragama
satu dan lain setelah itu everything is over. Justru setelah kerukunan agama
berlanjut, hal itu menjadi modal bangsa untuk membangun dan mencari kese-
imbangan di antara posisi negara dan pasar, antara perancang kebijakan politik
dan pelaku ekonomi. Jadi masalahnya adalah bagaimana kerukunan hidup be-
ragama bisa menjadi modal dasar untuk membangun cara pandang, merasa, dan
perilaku sesuai kemanusiaan dan keadilan.
Agama akan menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan akan
represi negara maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Agama tidak menjadi
orientasi hidup, tetapi untuk menjadikan hidup lebih berorientasi pada kemanu-
siaan.
Hingga kini, kita menghadapi masalah: agama masih sering dijadikan
instrumen kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang
membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluknya.
Sebab, ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan komod-
itas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat sempit.
Orientasi beragama bukan untuk mengembangkan keadaban publik, tetapi lebih
pada bentuk lahiriah saja.
b. Berkait Variabel Dependen (Komunikasi antar umat beragama)
1) Berdasar Literatur Pokok
Menurut Alfred bahwa kita (antar umat beragama) sudah siap untuk
saling berpelukan dan menyatakan dalam hal ini kita sudah hormat pada
ajarannya masing-masing. Kita semua sama dalam hal menderita dan nantinya
akan mengalami akhir dari penderitaan yaitu kebebasan. Dalai Lama telah
menempatkan itu: "Saya tertarik tidak dalam mengkonversi orang lain untuk
Buddhisme tetapi bagaimana kita umat Buddha dapat berkontribusi untuk
manusia, sesuai dengan ide-ide kita sendiri." Dan Alfred selalu berfikir bahwa
jika kita sudah berdialog sejak tiga puluh tahun yang lalu untuk mulai berbicara
satu sama lain, maka kita harus melanjutkannya dengan saling mendukung satu
sama lain.
Dalai lama mengatakan bahwa sangat baik dengan adanya berbagai
macam agama di dunia ini. Seperti halnya satu jenis makanan tidak akan
menarik bagi semua orang, satu agama atau kepercayaan tidak akan
memuaskan kebutuhan setiap orang. Oleh karena itu, sangatah baik terdapat
berbagai macam agama di dunia.tetapi terkadang tidak semua orang memiliki
pemahaman seperti Dalai lama. Orang – orang mulai mempunyai pemikiran
jahat untuk mengekspansi kepercayaan orang lain dan memaksakan agamanya
sendiri pada orang lain. Konflik agama juga sering terjadi akibat dipolitisasinya
agama untuk kepentingan tertentu. Agama tidak dijadikan sebagai pedoman
hidup, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang justru bertentangan
dengan norma agama itu sendiri. Penyebab terjadinya konflik agama, yakni
terkait dengan ketidakadilan, diskriminasi perlakuan, dan kesenjangan sosial.
pemerintah harus mengambil solusi untuk menyelesaikan atau mengatasi
penyebab terjadinya konflik agama tersebut. Misalnya pemerintah harus
intensif melakukan dialog antaragama. Namun dialog antar agama bukannya
mencari persamaan seperti yang selama ini sering dilakukan, melainkan justru
harus mencari perbedaan guna mendorong terciptanya kehidupan antar agama
yang damai. Tentu saja, jika dialog tersebut mendiskusikan metafisik dan
teologi, akan terdapat perbedaan-perbedaan. Tidak ada jalan untuk menyatukan
perbedaan-perbedaan itu. Tetapi hal itu tidak berarti dalam setiap dialog harus
mendebatkan masalah tersebut dengan sikap seolah-olah "Ayahku lebih kuat
daripada Ayahmu," itu adalah sifat kekanak-kanakan dan dapat memicu konflik.
Lebih baik untuk melihat segala sesuatunya dengan sewajarnya.
Semua agama di dunia adalah untuk mencari kemajuan perdamaian
dunia dan untuk membuat hidup menjadi lebih baik dengan jalan mengajarkan
kepada orang-orang untuk mengikuti tingkah laku yang etis. Dengan cara ini,
orang-orang tidak menjadi terperangkap pada sisi material dari kehidupan dan
hidup mereka dapat diseimbangkan antara kemajuan material dan spritual. Jika
semua agama saling bekerja sama untuk memajukan situasi dunia, saya percaya
semua konfik agama dapat dihindari. Dialog antar Budha dan katholik
mengharapkan adanya kemajuan materi dan kemajuan spiritual.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Dahulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dan pesantren, be-
berapa guru ngaji pernah memberikan nasehat agar selalu memegang teguh aki-
dah Islam sebagai sebuah agama yang saya percayai semenjak lahir.
Guru saya mengatakan bahwa agama Islam-lah yang paling benar. Hal
ini tercermin dari sabda Tuhan (sesungguhnya agama yang diridhoi oleh Allah
hanyalah Islam). Dari ungkapan Tuhan ini, maka konsekuensi logisnya adalah
“agama di luar Islam adalah agama yang salah”.
Wejangan guru ngaji saya dahulu itu selalu teringat dan menempel
dalam benak pikiran. Saya sadar bahwa ungkapan guru ngaji saya tersebut
sebenarnya benar karena memang membela dan memegang teguh agama seba-
gai sesuatu yang kita yakini kebenarannya agar tegak di bumi ini merupakan se-
buah kewajiban pemeluk agama, apa pun agamanya.
Akan tetapi, tanpa di sadari, sikap ekslusif beragama mulai tumbuh
terutama pada mereka yang mempunyai keyakinan yang berbeda dengan saya.
Kondisi seperti itu sedikit demi sedikit berubah ketika saya melanjutkan studi
ke jenjang yang lebih tinggi yakni strata satu. Saat itu saya mulai banyak berke-
nalan dengan masyarakat yang lebih luas yang tentunya berbeda–tidak hanya
budaya, ras, warna kulit bahkan agama sekalipun.
Pergaulan yang luas itu ternyata merubah cara pandang yang sebelum-
nya ekslusif kemudian mau tidak mau harus bersikap inklusif dan sadar akan
keberagaman (plural) terlebih ketika tinggal satu rumah dengan warna-warni
keyakinan agama. Dari sini-lah saya mulai sadar bahwa komunikasi antar bu-
daya dan agama dapat membuat kita lebih arif dalam bersikap.
Kisah itu mungkin juga dialami oleh sebagian dari kita bahwa ketika
berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, atu-
ran-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk dapat memahami
komunikasi mereka jika kita birsikap sangat etnosentrik yakni sikap cara me-
mandang segala sesuatu dengan pandangan kelompoknya sendiri sebagai pusat
segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya. Itu-lah kira-kira sikap yang dianut oleh saya dan guru ngaji saya
dahulu.
Dengan kondisi alam yang terus mengalami penyempitan akibat terus
bertambahnya jumlah penduduk, maka yang dahulu kita saling jauh, dikemu-
dian hari kita akan saling berdekatan atau mungkin bertetangga. Dengan kon-
disi tersebut, maka kebutuhan akan komunikasi yang inklusif sangat urgen. Se-
bagai sarana untuk membina kerukunan beragama dan bermasyarakat.
Karena itu sebagai solusinya adalah dalam hal ini para penganut agama
dan kalangan elite agama harus bijak di dalam upaya menafsirkan doktrin
agama dan kitab suci masing-masing. Para penganut dan elite agama hendaknya
lebih menonjolkan ajaran-ajaran yang humanis dan menafsirkan ulang ayat-ayat
yang terkesan mengajarkan permusuhan menjadi lemah lembut.
Sosialisasi pentingnya membina persaudaraan antar agama saat ini
menurut hemat saya masih berkutat ditingkat juru dakwah agama saja, dan ku-
rang merembes pada kalangan “akar rumput” (masyarakat luas).
Di sini-lah hendaknya para juru dakwah agama harus pandai mengko-
munikasikan cara beragama yang santun kepada masyarakat luas. ”Jalur
eceran”(baca: Masyarakar bawah) meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla ini
juga harus mendapatkan distribusi yang cukup terhadap wawasan pentingnya
hidup rukun antar umat beragama.
Para juru dakwah agama sekarang harus mulai rajin mengkampanyekan
pentingnya pengetahuan akan agama lain di luar agama yang diyakininya.
Pengetahuan ini tidak hanya terbatas di kalangan elit agama saja akan tetapi
juga harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat
awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama
lain dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam bentu pengajian umum, dan
acara-acara kemasyarakatan lainnya.
Menumbuhkan minat studi agama di luar keyakinan agama yang kita
anut bisa menjadi solusi untuk dapat saling memahami dan tentunya bersikap
adil dalam bersikap. Karena menurut saya munculnya klaim kebenaran ekslusif
itu di picu oleh pola pemahaman terhadap agama dan para penganut agama
lainnya yang terkadang kurang faham bahkan keliru.
Di antara penyebabnya adalah adanya uraian bias yang disuarakan oleh
para “elite agama” dalam menyuarakan dan men-doktrin-kan bahwa hanya pada
agama yang dianutnya-lah satu-satunya jalan kebenaran–dan agama lainnya se-
bagai jalan yang menyimpang.
Kunci untuk meraih kerukunan beragama yang harmonis menurut saya
adalah menambah intensitas komunikasi tidak hanya bagi mereka yang berbeda
budaya saja tetapi juga keyakinan agama agar kedamaian membumi dinegeri
kita tercinta ini.
Diagram Batang Hasil Kuesioner - Hindu
0
2
4
6
8
10
12
1 2 a. b. c. d. e. f. 3. a. b. c. d. e. f.
Pertanyaan
Ju
mla
h O
ran
g Y
an
g
Men
jaw
ab
Ya
Tidak
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
ya
tidak
2. Berdasar Hasil Peninjauan Lapangan
a. Agama Buddha
b. Agama Hindu
c. Agama Islam
d. Agama Kristen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1302468
1012
HASIL KUESIONER - KRISTEN
YATIDAK
PERTANYAAN
PERS
ENTA
SE
1 2a 2b 2c 3a 3b 3c0
20
40
60
80
100
YaTidak
e. Agama Katolik
f. Agama Khonghucu
1 2a 2b 2c 2d 2e 2f 3a 3b 3c 3d 3e 3f0
2
4
6
8
10
Grafik Diagram Batang Hasil Kuesioner - Khonghucu
Ya
Tidak
Pertanyaan
Jum
lah
Resp
onde
n ya
ng M
en-
jaw
ab
3. Berdasar Nilai / Ajaran Agama
Bila ditinjau dari ayat-ayat ajaran dari kitab suci masing-masing agama, tersirat menge-
nai perspektif masing-masing agama berkait dengan variable independen tentang pentingnya
interfaith dialog dalam membangun komunikasi antar umat beragama.
Menurut ajaran agama Islam, tersirat mengenai perspektif tentang substansi dialog antar umat
beragama dalam Qur’an Surat (QS) Al-Kafirun ayat 1-6 yang dapat dipahami bahwa memban-
gun interfaith dialog adalah suatu tindakan yang sangat dianjurkan untuk menciptakan per-
damaian antarumat beragama.
Nilai atau ajaran agama Kristen dan Katolik mengenai perpektif pentingnya membangun dia-
log dalam Efesus 4:2-3 dan serta ayat yang serupa terdapat pula dalam Yoh 17:14 yang dapat
dipahami bahwa dalam ajaran agama Kristen dan agama Katolik mengajarkan bahwa harus
berbuat baik kepada semua orang, tanpa memilih-milih siapapun orang tersebut.
Nilai atau ajaran agama Hindu juga mengajarkan pentingnya perspektif dialog seperti tertuang
dalam Bhagawagitta Sloka: 118 yang dapat dipahami bahwa untuk menciptakan atau mem-
bangun komunikasi serta saling menghormati maka setiap manusia harus dapat menyesuaikan
lebih dulu dirinya dengan orang lain baik dari pikiran maupun hati masing-masing orang
karena dengan banyaknya perbedaan yang mempermudah perselisihan untuk mencapai sebuah
keharmonisan akan sangat sulit.
Dalam nilai atau ajaran agama Buddha terdapat ajran tentang pentingnya perspektif dialog
dalam kitab suci Dhammapada BAB VIII (SAHASSA VAGGA): 100 yang pemahamannya
adalah bahwa dialog yang kita tuturkan adalah tentang kebaikan ataupun kabar menyenangkan
sehingga dialog tersebut memiliki arti mendalam bagi pendengarnya.
Dalam nilai ajaran agama Khonghucu terdapat ajaran tentang pentingnya perspektif dialog
dalam kitab suci Lun Gi (Sabda Suci) di kitab Su Si (Kitab Yang Empat): Jilid XII ayat 5 yang
pemahamannya adalah menggunakan 5 kebajikan sebagai landasan dalam bertingkah laku un-
tuk mencapai kerukunan dengan sesama manusia. Dengan kebajikan kita berbuat cinta kasih
dengan sesama manusia agar tercapai kerukunan antar umat beragama.
Dalam kaitan dengan variable dependen yaitu bagaimana mengembangkan prinsip-
prinsip dialog Buddha-Katolik di Los Angeles untuk meningkatkan komunikasi dan dapat sal-
ing menghormati antarumat beragama, perspektif nilai atau ajaran setiap agama mengarahkan
kepada pentingnya dialog antaragama,
Menurut ajaran agama Islam, tersirat mengenai perspektif tentang substansi komunikasi be-
ragama dalam QS Al-Baqarah ayat 148 yang dapat dijelaskan bahwa tidak boleh memaksakan
umat lain untuk menganut ajaran agama Islam serta sebaliknya, dan dijelaskan pula bahwa kita
harus saling bersikap baik, berkomunikasi baik, dan saling menhormati kepada umat beragama
lain.
Nilai atau ajaran agama Kristen dan Katolik mengenai perpektif pentingnya membangun dia-
log dalam Korintus 5:4 serta ayat yang serupa terdapat pula dalam Yakobus 2:22 yang dapat
dipahami bahwa dalam ajaran agama Kristen dan agama Katolik mengajarkan apabila kita da-
pat berkumpul bersama-sama dengan orang-orang yang berpikiran jernih, kita dapat meng-
hasilkan sesuatu yang baik pula, tanpa ada prasangka buruk, tanpa ada perpecahan, melainkan
untuk mempererat persaudaraan dalam Roh Kudus, tidak menutup agama apapun.
Nilai atau ajaran agama Hindu juga mengajarkan pentingnya perspektif dialog seperti tertuang
dalam kitab Sarassamuccaya Sloka: X.19.4 yang dapat dipahami bahwa untuk menciptakan
atau membangun komunikasi serta saling menghormati maka setiap manusia harus dapat
menyesuaikan lebih dulu dirinya dengan orang lain baik dari pikiran maupun hati masing-mas-
ing orang karena dengan banyaknya perbedaan yang mempermudah perselisihan untuk menca-
pai sebuah keharmonisan akan sangat sulit.
Dalam nilai atau ajaran agama Buddha terdapat ajran tentang pentingnya perspektif dialog
dalam kitab suci Dhammapada BAB XIV (BUDDHA VAGGA): 185 yang pemahamannya
adalah dengan menenangkan diri akan diri sendiri otomatis kita akan lebih memiliki etika
dalam berkomunikasi antar umat beragama yang berguna untuk menunjang nilai agama Budha
itu sendiri sehingga kita tidak perlu mencari kesalahan orang lain dan hanya hidup tenang
tanpa ada dendam sehingga dapat meningkatkan komunikasi antar umat beragama.
Dalam nilai ajaran agama Khonghucu terdapat ajaran tentang pentingnya perspektif dialog
dalam Lun Gi (Sabda Suci) dalam kitab Su Si (Kitab Yang Empat) : Jilid XV ayat 24 yang
pemahamannya adalah satya dan tepa sarira, yang berarti apa yang kita tidak inginkan terjadi
dengan kita, janganlah kita berikan atau lakukan kepada oranglain. Ini pun berlaku dalam hal
melakukan komunikasi dengan sesama, janganlah kita berbicara yang tidak baik seperti meny-
inggung orang lain, menjelek-jelekan orang lain, membicarakan hal yang tidak benar/ fitnah,
dan sebagainya.
C. Langkah dan Pemecahan Masalah
Interfaith Dialogue yang sudah sering diadakan oleh beberapa pemeluk agama
menghasilkan sikap yang nyata seperti sikap pemahaman, simpati dan saling menghormati.
Tetapi karena masyarakat kita adalah masyarakat yang dinamis, Interfaith Dialogue yang
dilaksanakan tetap memiliki berbagai kekurangan. Maka cara yang dilakukan untuk
meningkatkan Interfaith Dialogue sebagai berikut :
Saling menerima dan saling menghargai antarumat beragama dan menyadari
keberadaan dalam semangat multikultur
Lebih banyak mencari persamaan daripada mencari perbedaan di antara pemahaman
agama masing – masing
Memilih topik – topik dialog antar agama yang tidak memiliki unsur SARA dan yang
tidak memancing konflik atau sebagainya. Kedepannya dialog perlu diintensifkan dan
berkesinambungan
Mulai membuat layanan sosial ditengah – tengah komunitas agama yang berbeda
Melaksanakan interfaith dialogue dengan tulus tanpa maksud untuk mempolitisi agama
tertentu ( kepentingan tertentu )
Peran pemerintah juga penting di dalam peningkatan interfaith Dialogue ini dengan
cara mengadakan interfaith dialogue minimal setahun sekali untuk menjaga tali
silaturahmi antar pemeluk agama lain
Pemerintah hendaknya memenuhi kewajiban dalam menyediakan sarana dan
prasarana, termasuk dana dialog yang memadai melalui APBN/APBD secara tetap
setiap tahunnya
Ikut serta dalam acara atau hari besar keagamaan lain
Mengadakan acara kebersamaan dengan pemeluk agama lain
Menguatkan kemampuan menghayati, mendalami dan melaksanakan ajaran agama
yang diyakini dalam kehidupan sehari-hari (yang dimulai dari dirinya sendiri)
Umat harus dapat lebih memahami keberadaan agama pihak lain (jangan terlalu egois)
Perlu mengembangkan bentuk dialog antarumat beragama dari dialog tematis menuju
dialog karya untuk lebih mempercepat pemerataan pelaksanaan dialog
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil analisis / penelaahan terhadap literatur pokok maupun literatur
pengembangan dapat disimpulkan bahwa kelompok kami menerima Ha yakni Prinsip –
prinsip dialog agama Buddha dan Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan
komunikasi antar umat beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama.
Berdasarkan hasil peninjauan lapangan menyatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat
mendukung adanya interfaith dialogue yang diyakini dapat meningkatkan komunikasi
antar umat beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama.
Berdasar nilai / ajaran agama, di dalam kitab suci masing-masing ajaran agama,
ternyata juga terdapat kutipan-kutipan yang juga mendukung adanya interfaith
dialogue, dan juga terdapat anjuran untuk menjalin komunikasi dengan lebih baik
kepada pemeluk agama lain.
DAFTAR PUSTAKA
www. Wikipedia.org
www.pemkomedan.go.id
www. buddhistzone.com
http://mirifica.net
www.christianpost.co.id
http://www.tabloiddiplomasi.org
http://infopublik.depkominfo.go.id
http://isyraq.wordpress.com
http://ciimpusmeong.blogspot.com
www. Wikipedia.org
www.pemkomedan.go.id
www. buddhistzone.com
http://mirifica.net
www.christianpost.co.id
http://www.tabloiddiplomasi.org
http://infopublik.depkominfo.go.id
http://isyraq.wordpress.com
http://ciimpusmeong.blogspot.com
http://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/dialog-membangun-peradaban/
http://www.knowledge-leader.net/2011/09/memahami-komunikasi-beragama/