Download - Kumpulan Cerpen Dan Puisi
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 1
www.wulanyadi.blogspot.com
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 2
www.wulanyadi.blogspot.com
Catatan:
�آ� ا � �� ���� ��و���� ا� و� Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah Swt. yang
telah melimpahkan rahmatNya kepada penulis sehingga dimudahkan
dalam membuat eBook ini.
e-Book yang Anda baca saat ini merupakan karya perdana penulis. Isi
dalam e-Book ini asli hasil karya sendiri yang berbentuk sastra, yaitu
cerpen dan puisi. Hal itu dikarenakan penulis memang menggemari
dunia sastra dan kuliah di jurusan sastra Indonesia dan Daerah.
e-Book ini silakan Anda download dan sebarkan kepada siapa saja.
Dengan catatan jangan mengubah isi di dalamnya.
Terima kasih. Semoga bermanfaat.
Penulis: Suryadi Abdillah H.
Hp : 085750418286
Facebook: [email protected]
Laman : www.wulanyadi.blogspot.com
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 3
www.wulanyadi.blogspot.com
Daftar Isi
Catatan ..................................................................................................................... 2
Puisi: Serba Salah .................................................................................................... 4
Cerpen: Benih Cinta yang Berbunga ....................................................................... 5
Puisi: Lonceng di Tengah Samudra ....................................................................... 12
Cerpen: Ahh! .......................................................................................................... 13
Cerpen: Si Begul dan Motor Baru ......................................................................... 17
Puisi: Kasih ............................................................................................................ 26
Cerpen: Tak Sia-Sia ............................................................................................... 27
Cerpen: Dilema Besar ............................................................................................ 35
Puisi: Bacalah......................................................................................................... 46
Cerpen: Terlahir Kembar ....................................................................................... 47
Puisi: Gerimis......................................................................................................... 52
Tentang Penulis ...................................................................................................... 53
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 4
www.wulanyadi.blogspot.com
“Serba Salah”“Serba Salah”“Serba Salah”“Serba Salah”
L elah jika terus sepert in i
M uak, m enyesakkan
K upendam , akan m enyakitkanku
K uungkap, kau akan tersakiti
A ku harus bagaim ana?
A pa yang harus kulakukan?
Saat kucoba ju jur untuk hubungan kita
K au caci aku akibat keju juranku
N am un, saat kum em ilih diam m em endam
K au caci aku akibat tak ju jur padam u
A ku harus bagaim ana?
A palagi yang harus kulakukan?
A ku m erasa, sem ua m enjadi serba salah
H al itu terus saja berulang, m elangkah m engiringi k ita
Sam pai kapan? E ntahlah!
D an kin i kum asih terdiam
D an kau m asih saja m encaci
O leh: Suryadi
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 5
www.wulanyadi.blogspot.com
BENIH CINTA YANG BERBUNGA
Oleh Suryadi Abdillah
Di sebuah rumah yang tidak terlalu megah. Namun tertata rapi, tamannya indah dan
terawat, ruangannya tersusun teratur. Rumah yang minimalis namun bernilai tinggi. Di
ruang tamu, ada sofa leter L. Berwarna cokelat muda, meja kaca, dan sebuah televisi
berukuran 32’ menghiasi rungan itu. Ada tiga orang yang sedang duduk di sofa itu. Dua
orang perempuan dan satu laki-laki berkacamata. Pak Anto, Ibu Ani, dan bersama putri
kesayangan mereka, Erni. Pak Anto duduk bersebelahan dengan istrinya. Sedangkan Erni
duduk di sisi sofa yang lain, menghadap televisi. Ia begitu asyik menikmati acara yang
ditayangkan di televisi.
Keluarga ini masih diselimuti kebahagiaan karena anak semata wayangnya, yaitu
Erni baru saja menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi ternama di
Indonesia. Ia kini telah menyandang gelar S.Pd., tepatnya Erni Mayasari, S.Pd.
“Erni, Bapak ingin bicara penting padamu,” kata Pak Anto mengawali pembicaraan pagi
itu. Erni sedikit terkejut karena Pak Anto ingin membicarakan hal yang penting padanya.
Tidak biasanya.
“Iya Pa, ada apa? Erni matikan televisi dulu.”
Ia bangkit dari tempat duduknya. Mematikan televisi. Kemudian ia duduk dekat dengan
kedua orang tuanya.
Pak Andi menghela nafas lalu berbicara,
“Nak, umurmu kini bapak rasa sudah dewasa, sudah saatnya kamu mencari pendamping
hidup.”
Erni terdiam mendengarkan kata-kata Papanya. Ia tidak menyangka bahwa topik
pembicaraan pagi itu mengenai masa depannya. Tentang seorang pendamping hidupnya.
Ia menundukkan kepalanya. Ia berfikir sejenak. Suasana hening beberapa saat.
“Papa sama Mama sudah rindu ingin menimang cucu Er,” kata Bu Ani ikut dalam
pembicaraan.
“Erni ikut apa kata Papa sama Mama,” jawab Erni.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 6
www.wulanyadi.blogspot.com
“Apa kamu sudah punya pilihan, nak?” tanya Pak Anto pada puterinya.
“Papa sama Mama tahu Erni selama ini tidak mau berpacaran, itu karena Erni ingin fokus
dulu pada pendidikan Erni,” jawab Erni menjelaskan.
Memang Erni adalah cewek idola di kampusnya. Tak hanya itu, dulu saat di bangku SMP
dan SMK, dia juga merupakan idola. Selain cerdas, ia cantik, dan berpostur tinggi.
Mungkin orang-orang menyebut itu dengan kata seksi.
“Jika Papa sama Mama yang memilihkanmu bagaimana?”
“Jika itu terbaik untuk keluarga, baik untuk papa sama mama, khususnya masa depan
Erni, berarti baik juga untuk Erni, Pa.”
Pak Anto dan Bu Ani berpandangan. Mereka tersenyum bahagia mendengar kata-kata
putrinya yang begitu santun dan hormat pada mereka.
***
Beberapa hari kemudian.....
Erni hari itu hendak pergi berbelanja ke Supermarket Mitra. Ia pergi menggunakan
sepeda motor mio barunya. Melaju dengan kecepatan sedang. Melesat di jalan raya.
Menerebos waktu. Meninggalkan puing-puing waktu yang berlalu. Memang letak super
market yang di tujunya tidak terlalu jauh, hanya 1 km dari rumahnya. Sesampainya, ia
langsung mencari barang-barang yang diperlukannya. Ia tidak perlu bingung menentukan
posisi benda-benda yang ingin dibelinya, karena ia sudah sering berbelanja di
supermarket ini. Ia tersenyum ketika berada di sebuah rak buku. Ia teringat dulu waktu
bertemu Heru, orang yang membuat hatinya bergetar, orang yang pernah membuat
jantungnya berdegup kencang, kala itu. Kejadiannya sekitar setengah tahun yang lalu.
Waktu itu Erni buru-buru mencari sebuah buku untuk leteratur skripsinya. Karena
tergesa-gesa ia menabrak seseorang yang sedang memilih-milih buku di rak itu. Di rak
yang persis kini ada di hadapannya. Dan orang itu adalah Heru. Buku-buku yang di
pegang Heru jatuh ke lantai. Karena merasa itu kesalahannya, Erni langsung merapikan
buku yang jatuh sambil meminta maaf. “Ia tidak apa-apa mba, lain kali hati-hati,” kata
Heru kala itu. Setelah itu mereka berkenalan.
Ia kembali tersenyum.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 7
www.wulanyadi.blogspot.com
“Sekarang dia di mana ya? Apakah ia juga memiliki perasaan yang sama, seperti apa
yang aku rasakan kepadanya? Rasa yang sama, yaitu jatuh cinta pada pandangan
pertama? Ah, bodohnya aku! Kenapa dulu waktu bertemu dengannya aku tidak meminta
nomor HPnya,” bisiknya dalam hati.
“Ah, kalau jodoh tidak akan kemana,” Erni mencoba menghibur hatinya.
Ia kemudian melanjutkan mencari barang-barang yang akan dibelinya.
***
“Silakan duduk, ada angin apa ini? Tumben kau datang ke tempat ku?
“Ah, memangnya aku tidak boleh menyambangi sahabat lama,” jawab Pak Anton.
Siang itu sepulangnya dari kantor, Pak Anton singgah di rumah sahabat lamanya. Pak
Budi. Mereka bersahabat sejak SMP.
“Aku tidak ingin berbasa-basi, Bud. Kedatanganku ini yang pertama-tama ingin
menyambung silaturahim dan yang ke dua aku ingin menagih janjimu dulu. Kau bilang
mau menjodohkan anak kita.”
“Ha,ha,ha, masih ingat saja kau To!”
“Aku serius, Bud!”
“Ya,ya,ya, aku mengerti To. Aku sebagai kepala keluarga sih setuju-setuju saja. Tadi
malam aku dan istriku juga membahas ini. Tapi, yang menjalani semua kan anak kita.
Jadi, saya harus bertanya dulu sama Ahmad. La, memangnya kamu sudah menanyakan
hal ini sama anakmu? Si,,,,,
“Erni!” jawab Pak Anto melihat Pak Budi kesulitan menyebutkan nama anaknya.
“Ya! Si Erni. Apa sudah kau tanyakan?”
“Tidak mungkin aku ke rumahmu kalau aku tidak meminta izin dulu kepada puteriku. Ia
sudah setuju jika aku yang mencarikan ia pendamping hidup. Dengan catatan harus baik
untuk keluarga dan terlebih lagi untuk masa depannya. Nah, aku rasa anakmu memenuhi
syarat itu!”
Pak Budi hanya tersenyum mendengar penjelasan sahabatnya itu.
“Begini saja, Si Ahmad belum pulang dari kantornya. Aku harus membicarakan ini dulu
dengan dia. Insya Allah jika dia setuju, dua hari ke depan aku akan datang ke rumahmu.”
“Baiklah kalau begitu. Saya pamit langsung pulang ni,” ucap Pak Anto meminta diri.
“Loh, kok buru-buru. Tehnya saja belum habis tu.”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 8
www.wulanyadi.blogspot.com
Pak Anto hanya tersenyum. Bangkit dari tempat duduknya. Mereka kemudian
bersalaman.
“Hati-hati!” pesan Pak Budi pada sahabatnya sesaat setelah deru mesin mobil Pak Anto
berbunyi. Kemudian bergerak maju dan menghilang di tikungan ujung jalan.
***
Malam harinya Pak Budi langsung menceritakan perihal kedatangan Pak Anto siang itu.
Ia menceritakan semua pada Ahmad. Ahmad hanya terdiam. Ia tak bisa berkata, lidahnya
kelu. Ia bingung. Ia bingung karena di hatinya telah terlukis satu wajah. Pesona gadis
yang berhasil mencuri hatinya, hanya saja ia tak tahu di mana gadis itu kini. Dan ia juga
tidak pernah mengungkapkan isi hatinya. Karena itu pertemuan pertamanya, dan tak
pernah bertemu lagi setelahnya.
“Bagaimana nak? Apa kau setuju?”
Ahmad terkejut, namun ia kembali hanya diam. Ia tidak bisa menjawab. Tertunduk beku.
“Apa kamu sudah punya pilihan?” tanya Pak Budi menyelidiki.
Ahmad hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia berkata,
“Papa sendiri tahu bahwa selama ini Ahmad tidak berani berpacaran karena Ahmad ingin
sukses meniti karir dulu. Tapi, jika ini menurut Bapak baik untuk keluarga, baik untuk
Ahmad ke depannya, Ahmad setuju Pa.”
“Tidak ada seorang bapak yang ingin mencelakakan anaknya, Ahmad. Kecuali orang tua
yang berhati binatang. Bahkan mungkin lebih rendah dari binatang. Banyak contoh
kasusnya di televisi. Ada seorang Bapak yang tega menjual anaknya, membunuh,
memperkosa, dan ada yang tega melindas kaki anaknya di rel kereta api. Nah, tentu papa
begini juga karena masa depanmu. Baiklah, karena Papa sama Mamamu telah setuju dan
Papa rasa kau pun menyetujui, berarti lusa kita akan pergi ke rumah Pak Anton untuk
melamar.”
“Ah? Secepat itu pa?” Ahmad terkejut mendengar penjelasan Pak Budi.
“Lebih cepat lebih baik” jawab Pak Budi.
“Ah, Papa kayak JK aja, he,he,he.”
Mereka lalu tertawa.
***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 9
www.wulanyadi.blogspot.com
Dua hari setelah kepergian Pak Anto ke rumah sahabat lamanya, yaitu Pak Budi. Kini
Pak Anto, Bu Eni, dan putri mereka Erni telah duduk di ruang tamu. Mereka menanti
kedatangan keluarga Pak Budi. Tampak kegelisahan yang terpancar dari wajah cantik
Erni. Mungkin ia belum siap melihat calon pendamping hidupnya. Namun ia berusaha
menenangkan diri. Ia mngambil majalah yang ada di bawah meja kaca ruang tamu. Lalu
membacanya. Membuka lembar demi lembar. Namun belum bisa menepis ketegangan
hatinya.
“Namanya siapa Pa?” tanya Erni di sela-sela membaca majalah pada Bapaknya yang
sedari tadi sesekali melihat jam di pergelangan tangannya.
Sambil tersenyum Pak Anto menjawab,
“Namanya Ahmad!”
“Hah? Ahmad? Seperti apa orangnya? Mungkinkah ia sama dengan pria yang ku damba
tempo hari? Kenapa Ahmad sih? Kenapa bukan kau Heru yang datang melamarku? Ah,
sudahlah mungkin Heru bukan jodohku!” Erni menggumam dalam hati.
Erni kembali terbayang pertemuannya tempo hari dengan Heru. Ia tersenyum sendiri.
Namun lamunannya buyar seiring terdengar deru suara mobil memasuki gerbang
rumahnya. Sebuah mobil Xenia berwarna biru. Tidak salah, itulah mobil Pak Budi dan
keluarganya.
Pak Anto dan Bu Eni menyambut dengan hangat calon besan mereka. Mempersilakannya
masuk.
Kini sofa leter L itu di isi oleh tujuh orang. Pak Anto dan istrinya, Pak Budi, istri dan
anaknya, Ahmad. Serta dua orang saksi atas pertunangan itu.
“Loh, Erninya kemana?” tanya Pak Budi setelah pandangannya mencari-cari sosok Erni
namun tidak ia temukan.
“Oh, tadi ada. Mungkin dia masuk ke kamarnya.” Jawab Pak Anto.
Siang itu terjadilah acara pertunangan antara Ahmad dan Erni. Kebahagiaan kembali
menyelimuti kediaman Pak Anto. Alangkah bahagianya Erni setelah ia tahu bahwa
ternyata calon pendamping hidupnya adalah Heru. Ya, ternyata ia bernama lengkap
Ahmad Heru. Begitu juga Heru ia sangat bahagia atas pertunangan itu. Orang yang ia
damba kini telah menjadi miliknya. Impiannya tergapai. Seminggu kemudian mereka
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 10
www.wulanyadi.blogspot.com
menikah dan pergi berbulan madu ke suatu tempat, yaitu Pantai Pasir Putih yang terletak
di pantai utara pulau Kalimantan Barat.
***
Cahaya bulan gemerlap terpancar di permukaan pantai. Hamparan pasir sedikit terlihat
kelap-kelip terkena sinarnya. Di sanalah Heru dan Erni duduk berdua. Menikmati deru
ombak yang menyapa pelan. Erni bersandar pada dada Heru. Romantis terasa. Indah tak
terlukiskan kata.
“Cinta,” bisik Heru pelan pada Erni yang terdiam di pelukannya.
“Iya cinta, ada apa?”
“Lihatlah langit” pinta Heru sambil menunjuk pada satu titik di langit.
Erni mendongakkan kepalanya, mengikuti arah yang Heru tunjukkan. Menatap kosong.
Diam. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati. Lama ia menatap kosong. Karena tak
menemukan jawaban atas apa yang ia lihat, ia menatap mata Heru sayup. Sorotan
matanya mengisyaratkan ia tak mengerti dengan apa yang Heru maksudkan. Heru bisa
mengerti itu. Lalu ia berkata padanya,
“Lihatlah langit,” Heru mengulangi lagi permintaannya.
“Betapa indahnya ciptaanNya. Bulan, bintang, bersatu menghiasi malam,” lanjutnya,
“Tapi tahukah kau cinta, masih banyak lagi ciptaanNya yang lebih indah. Seperti kau
yang kini ada di pelukanku. Kau yang bersemayam di hatiku. Jauh lebih indah ku rasa”
Erni hanya tersenyum, lalu berkata,
“Gombal!”
Lalu mereka tertawa lirih bersama. “he,he.”
Malam kian larut. Namun semakin indah. Bulan semakin terang tersenyum di antara
awan yang berlalu. Bintang-bintang juga masih terlihat tersenyum. Mereka semakin
hanyut menikmati tanda-tanda kebesaranNya. Angin pantai berhembus, sedikit
menggerakkan rambut Erni yang panjang hitam terurai. Heru merebahkan badannya ke
hamparan pasir. Beberapa saat kemudian Erni mengikuti. Ia kembali menempatkan
sandaran kepalanya di dada Heru. Keindahan tercipta. Kehangatan mereka rasa. Malam
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 11
www.wulanyadi.blogspot.com
itu mereka mencoba menghitung bintang. Hal yang mustahil memang. Tapi itulah cinta,
hal mustahil akan tersulap hingga terlihat menjadi hal yang nyata.
Mereka berlibur selama satu minggu di pantai itu. Di setiap waktu yang mereka lalui
berdua tidak pernah lepas dari aura kebahagiaan, keceriaan, kesenangan, kemesraan, dan
canda tawa.Tidak lupa pula mereka selalu berdoa untuk pernikahan mereka ini, supaya
dikaruniai seorang anak yang berbakti dan berguna untuk agama dan negara. Benih cinta
dua sejoli ini memang telah berbunga. Mewangi ke penjuru dunia. Membius semua jiwa.
Bunga cinta yang selalu menghembuskan kebahagiaan semata. Kekal selamaya, hingga
akhir hayat mereka. ***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 12
www.wulanyadi.blogspot.com
LONCENG DI TENGAH SAMUDERA
Oleh: Suryadi Abdillah H.
Usiamu senja penuh karat Ternoda garam lautan kehidupan Namun gema suaramu tetap membahana Menerobos penjuru dunia Tak ternoda, tak terhalang debur gelombang yang menerjang Kau teriak menggemakan perbaikan! Mengalahkan, mengikis karang-karang kebuntuan! Kau hancurkan kebekuan kelamnya malam dengan lengkingan loncengmu Dikala semua tak peduli dengan itu, disaat semua tertidur pulas terbius malam Hitam akan berguguran menjadi terang, Dengan sekali gema. Dengan sekali goncangan. Dahsyat memang. Itulah loncengmu yang terus bergetar dan menggema walau usia yang tak lagi muda. Teruslah bermakna Teruslah kau menggema Nelayan-nelayan kecil, kerdil, yang bengal itu, kau pandu jalan mereka! Tak lelah walau nelayan-nalayan itu terus saja salah Kau menggema dan teruslah menggema Semua telinga mendengarmu, walau terkadang tak begitu Lonceng di tengah samudera, kini usiamu senja kian berkarat Tertiup angin-angin yang kejam Membuat parasmu tak lagi menawan namun bijak tak terlawan Kau bak perawan kehidupan yang didamba semua insan Lonceng teruslah menggema hingga rantai yang menggantungimu lepas, putus, dan kau tenggelam! Kau akan hilang! Biarkan itu! Gemamu akan selalu dihatiku.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 13
www.wulanyadi.blogspot.com
“AHHH!”
Oleh Suryadi Abdillah
Bulan Januari seperti saat ini hujan kerap mengguyur kota Pontianak. Mungkin ada
benarnya juga sebuah selogan yang mengatakan, bahwa nama bulan Januari itu berasal
dari singkatan ‘hujan turun setiap hari’. Ya, begitu juga pagi ini hujan kira-kira mulai
pukul 18.28 WIB kemarin, masih terlihat terus merintikkan butiran-butiran air dari langit.
Belum juga reda. Padahal pagi ini aku harus melaksanakan tugas rutinku, yaitu
mengantar Ibu pergi ke pasar Flamboyan. Membeli sayuran dan lauk-pauk untuk mengisi
emperan warungnya.
“Kita pergi tidak, Bu?” tanyaku pada Ibu yang terlihat masih berdiri di depan pintu
warungnya, menyaksikan ritik hujan yang berjatuhan membasahi bumi.
“Kita tunggu 15 menit lagi. Jika masih belum juga reda, ya terpaksa kita harus menerobos
hujan. Daripada hari ini tidak ada yang dijual,” jawab Ibu setelah memalingkan wajahnya
ke arahku yang masih duduk di beranda rumah.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Ibu. Aku segera bangkit dari tempat duduk.
Bergegas masuk ke dalam rumah. Kukeluarkan motor vega keluaran 2004 dari dalam
rumah ke beranda. Kutatap sejenak jarum indikator minyaknya. “Oh, masih
cukup,”fikirku. Lalu kubunyikan mesinnya. Ia harus pemanasan terlebih dahulu sebelum
berpacu di tengah guyuran hujan yang akan membuatnya “menggigil” kedinginan. Tidak
boleh kalah dengan para olahragawan, yang selalu pemanasan sebelum bertanding.
Sepuluh menit berlalu, namun belum juga ada tanda-tanda bahwa hujan telah
‘puas’menyirami bumi.
“Memang hujan model seperti ini lama berhentinya,” gumamku dalam hati.
Aku melihat Ibu berjalan mengambil jaket yang tergantung di sebuah paku, yang biasa ia
kenakan. Mungkin nama sejatinya ‘kostum khusus ke pasar’.
Aku sudah bisa menebak itu. Pasti kami akan berangkat menerobos hujan.
“Mantelnya mana?” tanya Ibu.
“Kemarin dipinjam teman, Bu. Tapi belum dikembalikan,” jawabku.
“Kamu tidak apa-apa jika hujan-hujanan mengantar Ibu?”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 14
www.wulanyadi.blogspot.com
“Justru segar, Bu! Kan pagi-pagi mandi air hujan. Lebih barokah karena hujannya
langsung dari langit, he,,he,,”
“Ya sudah kalau begitu. Ayo kita berangkat,” ajak Ibu.
Rintik hujan langsung menyerbu tubuhku sesaat setelah motor kukeluarkan ke halaman
rumah. Sejuk kurasa.
“Sudah, Bu?” tanyaku memastikan apakah Ibu telah siap pergi, yang kini berada di
boncengan motorku.
‘Iya!” jawabnya singkat.
***
“Lampu jangan lupa dinyalakan, Rul. Nanti kita ditilang polisi,” perintah Ibu ditengah
perjalanan.
Dengan buru-buru aku mendorong sakelar lampu menggunakan jempol tangan kanan.
“Iya,ya, sekarang kan wajib menyalakan lampu di siang hari, tapi ini kan masih pagi?
Ah, siang saja wajib apalagi pagi, he,,he,,” aku tertawa sendiri dalam hati.
Memang jalan juga masih remang-remang. Selain karena hujan, lampu jalan raya ini
sudah beberapa hari ini tidak dinyalakan. Mungkin PLN lagi ‘pengiritan’. Tapi masih
mendingan mematikannya pagi hari. Daripada pengiritan dengan cara mematikan lampu
warga tentu merugikan banyak pihak. Pelajar susah belajar. Salon tidak berkutik tanpa
listrik, dan banyak lagi masalah yang timbul karena dirugikan PLN. Ah,,,mudah-
mudahan kerisis listrik di Pontianak segera teratasi.
Motor vegaku terus melaju. Menerobos hujan. Jaket yang kukenakan telah basah.
Semakin dingin kurasa, karena angin pagi hadir mengimbangi laju motor. Jalan A. Yani
kini yang kulalui. Putaran gas motor yang dari tadi kupertahankan kini perlahan ku
lepaskan. Motor pun bergerak perlahan, seiring genangan air yang beberapa meter
membentuk kolam di hadapanku.
“Huhh, jalan selebar ini saja banjir apalagi jalan yang sempit! ” keluhku.
Ibu hanya terdim mendengar keluahanku. Mungkin ia terbius udara pagi. Mungkin juga
karena Ibu telah terbiasa menghadapi banjir seperti ini.
Setelah melewati banjir yang untungnya tidak terlalu dalam.motor kembali kupaksa
melaju. Menarik gasnya. Terus menyesuaikan laju. Belok kiri. Kini Jalan Veteran yang
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 15
www.wulanyadi.blogspot.com
kulalui. Baru saja aku merasa lega karena telah melewati banjir. Tapi kini aku harus
berhadapan lagi dengan banjir.
“Ternyata Veteran tidak mau kalah saing dengan A.Yani,” keluhku.
Beberapa saat melaju kini aku terhenti lagi. Tepatnya terpaksa berhenti. Bukan karena
banjir seperti sebelumnya. Melainkan simbol merah menyala ‘memelototi’ semua
pengendaara yang ada di hadapannyalah yang memaksaku.
“Huhhh,” kembali aku mendesah kesal.
“Pagi-pagi seperti ini pengatur waktu lampu lalu lintas 90 detik. Tidakkah Bapak yang
bertugas menyesuaikan? Kapan waktu kepadatan terjadi? Jika seperti ini tentu rawan
saling mendahului. Jika empat arah ini sedang tidak terlalu ramai, lantas semua
menerobos karena tak kuat terlalu lama menunggu tentu berbhaya,” gumamku dalam
hati.
***
“Huhh, akhirnya sampai juga,” gumamku setelah motor memasuki halaman parkir.
Seperti biasa dan memang menjadi pemandangan setiap hariku di pasar Flamboyan ini,
yaitu pedagang ramai berjualan disepanjang Jalan Pahlawan. Mengakibatkan jalan
menjadi sempit. Ya, tidak ada perubahan, selalu seperti ini. Kita harus berjalan penuh
kehati-hatian. Berjalan mencari sayur dan lauk-pauk yang dijual di sepanjang jalan. Suara
“jeritan” klakson pengendara yang berlalu di jalan ini menemani kita berbelanja. Yang
seolah-olah berteriak, “menyingkir semua! Aku mau lewat! Awas tertabrak! Ini jalan
bukan tempat jualan!” setiap di pagi hari selalu seperti ini. Tidak perduli derasnya hujan
seperti pagi ini.
“Huhh!” lagi-lagi aku mengeluh sambil mengusap air hujan yang membasahi muka.
“Ibu kemana, perasaan tadi berada di sebelahku?” aku terkejut karena Ibu hilang dari
pandanganku.
Aku terus mencari-cari sosok Ibu di antara keramaian orang dan terbatasnya pandangan
oleh hujan. Mungkin tadi aku terlalu khusyuk melihat-lihat para penjual yang menjajakan
dagangannya disepanjang jalan ini, hingga aku tak melihat Ibu yang beranjak pergi, tapi
kemana?
“Huhh!” lagi-lagi aku mengeluh. Mataku terus mencari sosoknya di keramaian.
“Ibu kemana?” fikirku.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 16
www.wulanyadi.blogspot.com
“Seharusnya aku menemani Ibu, menjaganya, tapi kemana Ibu?!” jeritku dalam hati.
Dalam kegalauan hati, keramaian, kebisingan pengendara yang melintas di jalan yang
kulalui, tidak juga aku menemukan. Terus berjalan. Tidak memperdulikan orang
disekelilingku. Melewati motor-motor yang terpakir sembarang tempat. Melewati becak
yang terparkir tak teratur.Ibu, aku harus menemukannya. Tapi kemana?
Tiba-tiaba,,,,,,DUAAARRRR!!!!!!!!
Aku melihat orang berlari berkumpul pada satu titik. Ternyata sebuah oplet berwarna
putih bernomor KB 2010 JN, menabrak seseorang pembeli. Orang-orang yang berada
disekitar kejadian panik. Mereka membentuk lingkaran. Menutupi sosok yang terkapar.
“Dia meniggal!” teriak salah satu dari mereka.
Tentu saja aku semakin kalut. Takut. Bingung. Aku penasaran.
“jangan-jangan itu Ibu!” gumamku.
“Huhh!” lagi-lagi aku mengeluh.
“Aku yang salah, maafkan aku, Bu! Seharusnya aku menjagamu!”
Dengan tergesa-gesa aku menerobos kerumunan orang-orang yang menutupi padanganku
dari sosok itu. Namun,,,,,
“Huhhh!” kembali aku mengeluh.
Aku terpana. Terdiam. Gelap kurasa. Pandanganku kosong.
“Huhh! Mungkinkah ini?”
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Sosok yang terbaring dengan darah yang
terus mengalir dari luka di badannya ini, ternyata mirip denganku. Sungguh sama. Tak
ada beda sedikitpun. Baju yang ia kenakan pun sama.tinggi badanya pun sama.
“Huhh! Jalan Pahlawan! Kau menumbangkan pahlawan! Pahlawan seorang Ibu.***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 17
www.wulanyadi.blogspot.com
SI BEGUL DAN MOTOR BARU Oleh: Suryadi
ada suatu hari Si Begul girang bukan kepalang, apa sebab? Dia “ditimpa durian
runtuh” alias “dapat rejeki nomplok”, bagaimana itu terjadi? Dia mendapatkan
hadiah motor dari sang Ayah atas kesuksesannya lulus sekolah. Ya, Si Begul baru
saja lulus SMA walaupun prestasinya di sekolah sangat buruk. Mungkin itulah yang
membuat Ayahnya berinisiatif memberinya hadiah istimewa. Sebuah sepeda motor
Thunder keluaran terbaru yang memang selama ini diimpikan Begul.
Otomatis si Begul tersenyum tanpa henti. Ya, dia
begitu gembira. Apa lagi motor barunya itu akan
menjadi modal awalnya untuk “menggaet” pujaan
hatinya, Lela. Gadis cantik yang selama ini
dikaguminya, hanya saja tidak ada modal penyokong
kepercayaan dirinya. Prestasi rendah dan keuangan juga pasrah. Otomatis kepercayaan
dirinya “melempem” alias “layu” alias “lemah”. Akan tetapi kini tentu berbeda.
“Yes!” teriaknya kegirangan.
Sore itu, tatkala matahari mulai condong ke arah barat, Begul pergi menikmati
jalan sore tentunya sambil mencoba tunggangan barunya. Semakin lengkaplah
kebahagiaan Begul, ia kini tidak lagi jalan kaki menyusuri jalan yang ia lalui sekarang
ini seperti hari-hari sebelumnya, ditambah lagi banyak cewek yang sedang joging
meliriknya sambil tersenyum. Begul pun hanya tersenyum manis membalasnya. “Yes!’
teriaknya lagi, seolah-olah ia yakin Lela pun akan terpikat padanya seperti para gadis
yang tersenyum padanya.
Setelah lama berkeliling menyusuri jalan aspal yang berliku, Begul pun berhenti
di sebuah warung kopi yang berseberangan dengan sebuah mini market. Warkop ini
merupakan tempat dulu biasa Begul berhenti sepulang sekolah untuk minum es sebagai
penghapus dahaga. Akan tetapi kali ini ia tidak memesan teh es seperti biasanya,
mungkin karena ia tidak dahaga dan keletihan seperti biasanya.
“Teh hangat segelas, Bang!”
P
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 18
www.wulanyadi.blogspot.com
“Tumben!” celetuk pemilik Warkop.
Sambil menuangkan air panas ke dalam gelas yang berisi teh, pemilik Warkop bertanya
pada si Begul,
“Wah, motor baru ya, Gul?”
“Iya, hadiah dari Ayah atas kelulusanku. Ah, tapi dari mana Abang tahu itu motor baru?”
tanya Begul sambil tersenyum girang.
“Loh, motor baru yang pasti masih kinclong dan lihat, platnya saja masih berwarna
merah begitu, KB 512 XX he, he, he!”
Begul hanya tersenyum mendengar jawaban pemilik warkop itu.
“Begul, hati-hati sekarang ini banyak curanmor!”
“Curanmor itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.
“Pencurian sepeda motor. Ah, kamu ini lulus SMA tapi curanmor saja tidak tahu.”
“O, pencurian sepeda motor!” ungkap Begul mengulangi seolah-olah lupa dengan
sindiran Bang Warkop.
“Beberapa hari yang lalu di depan mini market itu ada yang kehilangan sepeda motor.
Padahal baru ditinggal berbelanja sebentar sama yang punya dan motor itu dalam kondisi
telah dikunci stang.”
“Lihat saja poster yang dipajang polisi itu! Ya, walaupun himbauan itu terpasang setelah
semua terjadi tapi apa salahnya mengingatkan agar tidak terulang lagi,” sambung Bang
Warkop.
Begul kemudian membaca poster yang dimaksud Bang Warkop tadi.
“PARKIRLAH KENDARAAN ANDA DI TEMPAT YANG AMAN DAN G UNAKAN
KUNCI GANDA.”
“Kunci ganda itu apa, Bang?” tanya Begul tak mengerti.
“Kunci ganda itu maksudnya kunci tambahan selain kunci kontak atau kunci stang.
Misalnya diberi alarm atau ada letak kunci rahasianya. Yang jelas harus lebih dari satu
kunci.”
“O,” kata Begul sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Sasarannya selalu motor yang bagus, Gul!”
“Wah, berarti motorku terancam. Wah, gawat!” pikir Begul.
***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 19
www.wulanyadi.blogspot.com
Sesampainya di rumah, Begul langsung memasukkan motornya ke dalam rumah.
Ia tidak mau jadi bagian dari kisah korban curanmor. Ia teringat pesan Bang Warkop dan
poster yang berisikan pesan polisi tadi sore itu.
Ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar. Di kamarnya yang sempit itu, ia
berpikir keras mencari akal agar motornya aman dari tindakan kriminal tak bertanggung
jawab para curanmor.
“Hemm, bagaimana kalau diberi alarm saja,” pikirnya.
“Ah, tapi pasti perlu dana banyak.”
“Huhh!” keluhnya.
“Minta uang pada Ayah, tidak mungkin. Syukur-syukur sudah dibelikan motor.”
Gerutunya dalam hati.
Lama Begul berpikir di dalam kamarnya. Lama ia memaksakan IQ-
nya yang rendah untuk mengeluarkan energi sebagai pemberi cahaya pada
lampu idenya. Lama ia memaksakan itu. Mungkin ia lupa bahwa pemerintah
akan menaikkan tarif dasar listrik atau TDL. Namun tidaklah sia-sia, karena
lampu idenya memberikan solusi juga.
“Ahaaa!” teriak Begul penuh kemenangan karena merasa idenya cukup cemerlang.
Malam itu juga Begul melancarkan aksi untuk mewujudkan ide cemerlangnya. Ia
keluarkan motor yang telah ia “kandangkan” di dalam rumah.
“Mau kemana, Gul?”
“Mau ke tempat Datuk Marijan, Yah!”
“Hei, ada perlu apa kau ke sana malam-malam begini?”
Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban dari Si Begul karena ia dan motor barunya
telah melesat jauh dalam kegelapan, kini hanya terlihat nyala merah lampu belakangnya
saja dan mulai hilang ditikungan jalan.
***
Ruangan itu cukup gelap, berukuran 3x3 m2. Ada meja persegi panjang yang
dihiasi taplak meja dari kain hitam. Hanya remang-remang cahaya lilin saja sebagai
penerangnya. Seketika baru memasuki ruangan, semerbak bau kemenyan akan
menyerang hidung, cukup menyengat. Ada tanah liat yang berbentuk mangkuk kecil yang
berisi bara api, di sanalah kemenyan-kemenyan itu dibakar. Ada keris berdiri tegak di
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 20
www.wulanyadi.blogspot.com
antara asbak kemenyan dan mangkuk yang berisi air. Di ujung meja ada mangkuk besar
yang berisi bunga tujuh rupa. Sosok tua yang memiliki kumis lebat dan berpakaian serba
hitam tengah duduk bersila di hadapan Begul yang dibatasi meja. Dialah Datuk Marijan
si dukun sakti yang berasal dari Kabupaten Ketapang itu.
“Begini Tuk, e...e...mak...sud....”
“Saya sudah tahu maksud kedatanganmu anak muda,” kata Datuk Marijan memotong
pembicaraan Begul.
“Tidak salah lagi,” pikir Begul. Orang yang ia tuju benar-benar hebat. Buktinya sebelum
Begul menceritakan maksud kedatangannya saja, dukun itu telah mengetahuinya. Kali ini
juga Begul membuktikan sendiri kehebatannya karena selama ini ia hanya mendengar
cerita dari teman-temannya di sekolah saja tentang dukun sakti itu.
“Berapa lama kamu memiliki motor itu?”
“E...e...belum ge...nap seha...ri, Tuk,” jawab Begul terbata-bata.
“Jadi, kamu mau saya apakan motormu itu?”
“Ah, tadi katanya sudah tahu, gimana sih nih dukun?!” gerutu Begul dalam hati.
“E...e...begi...ni Datuk, saya mau motor saya jangan terlihat menarik atau kelihatan bagus
di mata orang kecuali oleh keluarga saya.
“Ha, ha, ha, perkara mudah itu!” kata dukun menyombongkan diri sambil mengelus-elus
kumis hitamnya. Ia lalu memejamkan mata, mulutnya mulai komat-kamit membaca
mantra sambil menaburi kemenyan di atas bara dalam mangkuk tanah liat di hadapannya.
Angin mulai berhembus tak beraturan. Membuat bulu kuduk Begul berdiri, ia menggigil
karena merinding tapi ia hanya diam menatap ulah dukun di hadapannya. Air dalam
mangkuk juga mulai bergoyang-goyang menciptakan riak-riak kecil.
Datuk Marijan lalu menaburkan bunga tujuh rupa ke dalam mangkuk itu. Kemudian
mulutnya kembali komat-kamit membaca mantra. Sekitar lima menit kemudian...,
“Buurrrrrr!” bunyi semburan Datuk Marijan ke arah mangkuk sambil diikuti gerakan
kedua telapak tangannya seolah memberikan tenaga megis ke dalam mangkuk yang berisi
air dan kembang tujuh rupa itu.
Air itu lalu ia masukkan ke dalam botol bekas air mineral, tidak lupa sambil komat-kamit
tentunya.
Lalu botol itu ia serahkan pada Begul. Seraya memberikan resep,
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 21
www.wulanyadi.blogspot.com
“Besok pagi, sebelum matahari terlihat atau menyembul dari arah timur kamu harus
memandikan motormu menggunakan air itu.”
“Baik, Datuk.”
“Jika kamu telat, akibatnya akan fatal,” ancam dukun.
“Baik, Datuk.”
Seusai registrasi, Begul langsung pulang ke rumahnya. Tentu kali ini senyumnya semakin
merekah penuh kebanggaan karena ide cemerlangnya berhasil ia wujudkan.
***
“Kukuruyuuukkk,” teriak ayam jago membangunkan Begul dari buaian
mimpinya. Ia mencoba membuka jendela kamarnya untuk memastikan apakah matahari
telah menyembul atau belum. Menyadari hari telah mulai pagi Begul bergegas mengambil
botol yang ia dapatkan dari Datuk Marijan tadi malam.
Dengan langkah penuh kemenangan Begul menghampiri motor barunya.
“Aduuuh, bagaimana cara mencucinya?” pikir Begul.
“Apakah air ini dicampurkan ke dalam ember yang berisi air atau sekadar dilapkan saja?”
gerutunya.
Akhirnya Begul hanya memerciki motornya dengan air mineral dari Datuk Marijan.
Setelah selesai prosesi ritualnya, ia kemudian menjemur motornya, sambil menanti
munculnya sang surya.
“E...e...rajinnya anak Ayah, pagi-pagi sudah memandikan motor, tapi jangan lupa
mandikan juga orangnya,” celetuk Ayah Begul sepulang dari masjid dekat rumahnya.
Begul hanya tersenyum manis membalas pujian sang Ayah.
***
Sore harinya Begul memulai aksinya lagi berkeliling menggunakan motor
barunya. Satu, dua, tiga, cewek yang sedang joging ia lalui namun kali ini berbeda dari
harinya kemarin. Gadis-gadis itu hanya menantap Begul keheranan. Ada juga yang
melihatnya tersenyum, hanya saja senyum memperolok. Mungkin mereka berpikir tak
sesuai dengan dandanan si pemakai yang berpakaian rapi, minyak rambut yang begitu
mengkilap, dan sepatu. Tentu hal ini mengecewakan hati Begul. Ada apa dengan dirinya?
Mengapa belum genap dua hari ia memiliki motor baru, para gadis-gadis yang semula
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 22
www.wulanyadi.blogspot.com
senyum padanya kini berubah. Ada apa ini? Tanya itu terus berkecamuk dalam benak
Begul, sampai akhirnya ia berhenti di tempat kemarin, warung kopi.
Bang Warkop juga menatap Begul keheranan. Begul pun semakin bertanya-tanya ada apa
sebenarnya ini? Belum sempat ia memesan minuman dan mempertanyakan keheranannya
ia telah dikejutkan oleh suara Bang Warkop.
“Motor siapa yang kau pakai, Gul?”
“Motor saya ‘lah, Bang!”
“Eh, Motor baru yang kemarin kemana?”
Begul mengerutkan keningnya karena semakin bingung dengan semua itu. Bukankah
motor yang ia kenakan adalah motornya yang kemarin? Ah, ada apa ini?
“Kau jual atau tukar tambah, Gul?”
Begul semakin tak mengerti dan diam membisu.
“Hanya karena takut curanmor motor barumu kau jual? Sayanglah, Gul, Gul!?”
Begul hari itu tidak jadi memasan minuman, ia langsung bergegas pulang ke rumahnya
membawa sejuta tanya. Akan tetapi dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Lela
pujaan hatinya. Tentu ia langsung memasang gaya sambil menghampiri gadis yang
sedang joging itu.
“Hai, Lela,” sapa Begul memulai aksinya dari atas motor.
“Ikut Abang yok!”
Namun Lela tidak mengubris ajakan Begul ia tetap berlari kecil tanpa menoleh sedikit
pun.
“Ayolah Lela, sambil mencoba motor baru Abang!” rayu Begul.
“Huh, motor jelek begitu! Nggak level!” kata Lela.
“Ini motor baru kok, lihat saja masih kinclong, dan platnya saja masih berwarna merah!
Motor ini baru dibelikan kemarin sama Ayah.”
“Matamu buta, Ya!” olok Lela.
Uh, betapa sakit dan pilunya hati Begul. Ia tidak habis pikir gadis pujaan hatinya pun
memperoloknya. Gagal sudah harapannya, pupus bersama kebingungannya. Kini yang
tersisa hanyalah gejolak tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa mereka semua
memperolok motor barunya? Begul tetap tak menemukan jawaban atas tanya itu.
Mungkin IQ-nya yang rendah tak mampu menuntunnya pada sebuah jawaban yang jelas.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 23
www.wulanyadi.blogspot.com
Mungkin juga otaknya tak secemerlang saat ia menemukan ide untuk membuat motornya
aman dari tindakan tak bertanggung jawab para curanmor. “Jika membeli kunci ganda
aku tak mampu, ah, aku minta bantuan Datuk Marijan saja. Aku minta ajian supaya
motorku tak terlihat menarik dihadapan orang-orang yang berniat jahat mencuri motorku.
Bukankah Datuk Marijan terkenal sakti.”
***
Kini Begul terbaring pilu di dalam kamarnya yang sempit. Harapannya pada
motor barunya sebagai sarana memikat hati Lela gagal sudah. Ia tatap lekat-lekat flapon
rumahnya walau pun pandangannya kosong tak bermakna. Sepertinya ia telah putus asa
untuk memaksakan IQ-nya yang rendah untuk ‘membedah’ segala tanya yang
berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Apa lagi masalah Si Begul kalau bukan mengenai
motor barunya yang kini tidak bermutu di hadapan orang-orang.
“Ah, tapi mengapa kata Ayah motorku tetap bagus dan tidak berubah sedikit pun.”
“Ah, Ibu juga mengatakan motorku semakin terlihat kinclong, semenjak aku pulang dari
rumah Datuk Marijan.”
“Ah, jadi mengapa orang-orang mengatakan motorku jelek? Apa alasan mereka?
Keluargaku atau mereka yang salah lihat?”
“Ah, pusing!” pikir Begul.
Bagul kemudian berhenti sejenak dari kegiatan “peneletian” penyebab dalam
tanya yang ‘meracuni’ hati dan pikirannya. Ia menerawang lagi langit-langit kamarnya.
Berpindah dari satu objek pandangan ke objek yang lain. Selesai memandang kedua cicak
yang sedang bermesraan di flapon kamarnya yang sempit ia beralih ke pentilasi, lalu
jendela, kemudian berpindah pada meja belajarnya yang dihiasi tumpukan buku.
“Huhh”, hembus napasnya berat.
Ia lalu menatap lemari usang yang berdiri tegap di hadapannya. Ia pandangi guratan-
guratan tua di wajah pintunya. Ya, lemari itu terlihat kusam. Warna catnya saja sudah
memudar. Ia pandangi dari bawah sampai ke atas lemari itu. Sampai akhirnya ia berhenti
dan berfokus pada satu objek benda. Benda itu “terduduk” indah di atas lemari itu.
Bentuknya lonjong dan memiliki guratan-guratan namun bukanlah guratan tanda
penuaan. Ada label melingkar di pucuk benda itu, mungkin itu adalah “pakaiannya”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 24
www.wulanyadi.blogspot.com
karena hanya itulah penutup tubuhnya. Lama Begul tertegun menatap benda itu. Sampai
akhirnya ia tersenyum sendiri. Matanya berbianar-binar bercahaya seolah-olah ia
menemukan intan permata yang lama terpendam di dasar bumi.
“Ahaaa,” teriaknya kegirangan.
“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang!” gumam Begul sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Ia lalu bangkit dari pembaringannya. Ia gapai benda yang mampu mengantarkan IQ-nya
yang rendah itu pada sebuah jawaban yang jelas dan tepat. Ia pandangi dan genggam
dengan erat.
“Ya, ya, ya. Aku tahu sekarang, kamulah penyebabnya!” geram Begul.
“Akan kubakar kau! Kaulah pembawa sialku!”
“Botol jahanam!” teriak begul sambil memabanting botol air mineral yang ia dapatkan
dari Datuk Marijan tempo hari.
“Ah, haruskah aku membakarnya? Mempersalahkannya? Apa botol ini memang benar-
benar bersalah dan pantas dipersalahkan?”
“Ah! Datuk sialan itulah yang salah! Dia yang telah memberiku ramuan dalam botol ini!”
“Ya, sialan dukun itu! Dialah penyebab semua ini! Akan kubakar rumah
perdukunannya!” geram Begul sambil meremas botol yang ia gegam kembali.
“Ah, pantaskah itu kulakukan? Apakah dia benar-benar penyebab semua ini? Apakah
Datuk Marijan pantas dipersalahkan?”
“Bukan!” teriak batinnya.
“Ya! Dia tidak pantas dipersalahkan! Lalu siapa yang bersalah?”
Begul kemudian merebahkan badannya kembali, “Lalu siapa yang bersalah?” tanya
Begul lagi pada dirinya.
“Aku!”
“Ya, akulah yang bersalah! Akulah yang meminta Datuk Marijan memberiku ramuan
agar motorku aman dari tindakan jahanam para curanmor!”
“Ah, tapi itu aku lakukan karena bajingan curanmor yang selalu meresahkan masyarakat!
Bajingan! Sampah masyarakat mereka! Kalau bukan karena mereka tidak mungkin aku
sebodoh ini? Sampai meminta ajian pada Datuk Marijan! Ya, merekalah yang pantas
dipersalahkan dan diberantas! Musnahkan saja mereka, agar tidak ada yang harus
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 25
www.wulanyadi.blogspot.com
bersusah payah mencari akal untuk mengamankan kendaraan mereka! Jika para curanmor
musnah, pemilik kendaraan bermotor tentu akan tenang dan tidak resah!”
“Lalu siapakah yang dapat memusnahkan mereka? Polisi? Ah, yang kutahu polisi hanya
memajang poster saja! Aku? Apa dayaku? Mungkinkah Masyarakat? Lalu dengan cara
apa? Apa masyarakat ramai-ramai datang pada Datuk Marijan meminta ajian
keselamatan? Ah, itu sama saja dengan pembodohan masal! Ah, ke kantor polisi saja!
Tuntut kinerja polisi untuk memaksimal memberantas pelaku bejat para curanmor itu!
Mungkinkah itu akhirnya akan berhasil mengantarkan kata “aman” dan “ketenangan” di
hati masyarakat? Ah, atau Pencipta mereka saja, tentu akan lebih bijak mengatasi semua
ini!?” Celoteh Begul sambil tersenyum sendiri dalam kamarnya yang sempit.
“Ah, aku berdoa saja pada Pencipta mereka, agar mereka para curanmor disadarkan dan
kembali pada fitrah kemanusiaan dan aku berdoa agar Datuk Marijan tidak mengamalkan
ilmu kesesatan! Yang terpenting aku harus berdoa untuk keselamatan jiwaku, keluargaku,
dan tentunya kesalamatan motor baruku. Kurasa itu adalah solusi yang tepat untukku
lakukan! Segala sesuatu yang kumiliki saat ini hanyalah titipan dari-Nya. Harta tidaklah
abadi dan kubawa mati. Aku lahir tidak membawa apa-apa, tentu aku kembali tidak
membawa apa-apa pula kecuali tiga perkara ilmu yang bermanfaat, amal jariah, dan doa
anak yang soleh. Setidaknya itulah pesan guru agamaku diwaktu SMA! Motor baruku
suatu saat akan musnah karena dia tidaklah kekal.”
Begitulah kisah Begul dan motor barunya. Akhirnya Begul tersadarkan bahwa
segala sesuatu harus diserahkan dan dipasrahkan kepada Sang Pencipta karena itu jauh
lebih aman dan menenangkan. Namun satu pesan Begul, “Jangan hanya berdoa tapi
berusahalah, asalkan jangan berusaha mendatangi orang-orang seperti Datuk Marijan
karena itu hanya perbuatan yang sia-sia, kesyirikan, dan kebodohan yang nyata.” ***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 26
www.wulanyadi.blogspot.com
Kasih Kasih, Saat hatimu tersadar hanya ada bayangku Dikala ragamu mulai merasa aku ada Kasih, Bahwa semua itu akan menyadarkanmu Bahwa mungkin aku tak selamanya ada Bayangan ragaku dalam jiwa dan hatimu akan musnah Seiring waktu datang merengkuh nafas ragaku Kasih, Aku dan dirimu tidaklah kekal Akan tetapi, ketahuilah! Saat nafas masih berirama Saat jasad masih mampu bergerak Saat jantung masih berdenyut berirama Biarlah kita saling mengisi dan melengkapi Tanpa Tanpa Tanpa ada yang tersakiti Kita akan jadikan semua ini berarti Dari kini, mulai kini, esok, dan kita mati! Olah: Suryadi
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 27
www.wulanyadi.blogspot.com
“TAK SIA-SIA” Oleh: Suryadi Abdillah H.
Saat kuterdiam seperti ini. Merenungi semua yang telah terlewati. Tidak ada yang
lebih mengesankan batinku, tidak ada yang bisa membuat senyumku mengembang, dan
tidak ada yang membuat lidahku sepontan berucap syukur pada-Nya, kecuali bayang
perjuanganku menjadi mahasiswa, menjadi orang yang menuntut ilmu di dunia
pendidikan yang lebih tinggi seperti saat ini.
Setelah kelulusanku, tidak ada lagi harapan orang tuaku untuk menyekolahkanku
di perguruan tinggi. Tidak ada. Bahkan terbesit dalam benak mereka juga kurasa tidak.
Yah, maklumlah selain keduanya tidak mengenyam dunia pendidikan di usia muda,
keterbatasan biaya juga yang semakin memupuskan harapan, mengikat hati untuk tidak
bermimpi yang lebih tinggi.
Sebelum pengumuman kelulusan pun, telah jauh-jauh hari keduanya memberiku
sebuah pesan ‘keramat’, yaitu “Setelah lulus nanti kamu langsung kerja ya. Bantu Ayah
dan Ibu mengurus kebun sawit. Bila perlu nanti dengan ijazah SMA kamu itu, tentu bisa
menjadi modal untuk melamar kerja sebagai mandor di perusahan sawit tempat Ibumu
bekerja.” Itulah pesan yang selalu ‘dinyanyikan’ keduanya saat kami bercengkrama.
Aku paham atas sikap mereka yang sepereti itu. Aku bisa memaklumi mereka.
Dan tidak ada yang dapat kuperbuat selain mengiyakan dan menganggukkan kepala
sebagai bentuk persetujuan dan penghormatanku pada mereka.
Bukan kuputus asa! Bukan! Tidak juga karena aku tak punya harapan dan mimpi
seperti orang kebanyakan. Aku hanya sadar akan diri, bemimpi tentu hak setiap orang.
Berharap tentu lumrah saja untuk jiwa yang bernyawa. Tapi jati diri ini yang semakin
mendukung diri untuk tidak mampu mengelak dari suratan takdir. Diri yang masih belum
memenuhi standar hidup layak, membuat siluet gambar mimpi yang baru remang-remang
terkoyak. Dan hilang tak membekas.
‘Kejarlah cita-citamu setinggi langit,’ semboyan itulah yang selalu dilontarkan
guru untuk menyemangati murid-muridnya untuk mengejar cita-cita, hanya saja teman-
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 28
www.wulanyadi.blogspot.com
teman selalu menambahkan kata-kata, “tapi jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan
sakit!” dan jika guru telah selesai menorehkan ilmu di tiap-tiap otak siswanya, kemudian
kembali ke kantor untuk sekadar minum air putih sebagai penyegar tenggorokannya yang
kering, maka selanjutnya murid-murid akan berteriak, “kejarlah ilmu setinggi langit, tapi
jangan tinggi-tinggi karena jika terjatuh akan sakit”. Kontan saja sekelas gaduh oleh
tawa.
Mungkin gurauan itulah yang telah terekam dalam otakku, dan menjadikan aku
berpikir ada benarnya juga. Jika aku ingin mengejar cita-cita menjadi seorang pendidik,
tapi ekonomi keluarga saja masih di bawah standar hidup layak, bagaimana aku bisa ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan pastinya bagaimana aku bisa menggapai cita-
cita itu! Bukankah itu impian yang terlampau tinggi bagiku? Kalau tidak gila maka akan
setres! Ya, bisa saja seperti kebanyakan pejabat yang tidak terpilih akhirnya ‘ngedrop’
kejiwaannya karena bisa saja mimpinya terlampau tinggi untuk ia raih. Tak sesuai dengan
potensi diri dan kelayakan diri. Aku tidak ingin merasakan sakit, karena ngotot meraih
mimpi yang tak sesuai. Itulah yang membuatku semakin layu dan takluk pada apa saja
yang terjadi dan yang dikehendaki.
Setelah pengumuman kelulusan itu, bukan main senangnya hati. Aku lulus! Itu
yang membuat aku, orang tuaku, keluargaku, dan teman-temanku bangga kepadaku.
Memang aku tergolong pendiam di kelas. Tidak nakal, tidak usil dengan sesama, dan
tidak juga suka membolos seperti teman-temanku kala itu. Apalagi melawan guru, seperti
kebanyakan temanku dan kini harus menerima karma tak lulus ujian. Tak ada keburukan
yang akan kita peroleh kecuali dari tingkah laku kita sendiri. Itulah pesan Ayah kala
menasihatiku. Jadi, walaupun standar nilai kelulusan rendah, tinggi, maupun sedang, tapi
jika kita tidak menghormati sumber ilmu, tidak akan diridhoi oleh yang empunya ilmu,
dan sudah bisa dipastikan kelulusan hanyalah sebuah angan belaka.
Aku memang tak pernah juara. Bukan karena aku bodoh! Melainkan karena aku
malas belajar. Tak ada orang bodoh di dunia ini. Semua terlahir dengan kelebihan dan
kekurangan. Sungguh mustahil manusia yang derajatnya lebih sempurna dibandingkan
dengan mahluk yang tercipta lainya namun ditakdirkan bodoh. Dilahirkan untuk bodoh.
Tidak! Kurasa tidak. Mustahil pula kelebihan yang ditakdirkan untuk seseorang itu
kebodohan. Kelebihan “bodoh”. Tak logis! Kebanyakan manusia itu malas. Dan itu
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 29
www.wulanyadi.blogspot.com
kurasakan bersemayam dalam diri ini. Aku tak ingin munafik. Aku tak ingin sok, tapi
jujur kuakui di bangku SMA aku malas. Malas untuk belajar.
Kesadaran akan potensi diri saat beberapa hari menjelang ujian. Ketekunan
belajar meningkat 180. Dan hasilnya aku lulus dengan menduduki peringkat tiga. Yah,
setidaknya ada peningkatan. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang hari ini
lebih baik dari harinya yang kemarin!
Acara syukuran pun diselenggarakan di rumahku. Jangan terbayang masakan
lezat. Jangan pula terbayang minuman segar seperti es teler, apalagi ala restoran. Wah,
sangat berbeda. Mungkin disebut syukuran ala kadarnya.
***
“Bakri! Sapa Ayah pagi itu.
“Suami kakakmu yang sekarang bekerja di perusahaan sawit sebagai asisten kantor,
kemarin mengatakan di sana ada lowongan pekerjaan. Nah, daripada kamu menganggur
seperti teman-temanmu yang putus sekolah itu, tentu alangkah lebih baik jika kamu
ajukan saja lamaran ke sana,” sambung Ayah di sela menghirup kopinya.
“Bakri sih terserah Ayah dan Ibu. Jika meridhoi Bakri bekerja di sana, ya Bakri akan
jalani itu.”
“Loh, ya pasti orang tua ridho. Bukankah Ayah dan Ibu jauh-jauh hari sudah mengatakan,
kamu harus langsung kerja.”
“Oh ya Ayah, Bakri lupa cerita, kemarin waktu Bakri mengambil ijazah di sekolah, kata
kepala sekolah, Pemda Ketapang membuka peluang beasiswa. Ada tiga program, yaitu
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sama Matematika. Biaya pendaftarannya Rp 300.000.
Pesannya sih peluang ini jangan sampai di lewatkan. Dan ada lima teman Bakri yang
sudah siap pergi.”
“Beasiswa apa?” tanya Ayah tak mengerti.
“Beasiswa kuliah di Universitas Tanjungpura, Yah! Jika Bakri lulus tes ini, nanti
kuliahnya dibiayai pemerintah.”
Pembicaraan pagi itu cukup singkat karena Ayah harus segera pergi bekerja. Sikap Ayah
dan Ibu juga tidak berubah, tetap tak mengerti. Ya, mungkin mereka benar-benar tidak
punya mimpi untuk anaknya ini.
***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 30
www.wulanyadi.blogspot.com
Keesokan harinya, tepatnya hari Minggu, pamanku yang bekerja di perusahaan
PT HSL sebagai mandor karyawan pulang ke kampungku. Pamanku Jhoni memang dua
minggu sekali pulang. Demikian juga kakakku pulang bersama suaminya. Suaminya
bekerja di Perusahaan yang sama dengan paman Jhoni, hanya saja yang membedakanya
adalah lokasi tempat bekerjanya. Suami kakakku bekerja di bidang harves it sebagai
asistennya. Jadi dua minggu sekali di rumahku selalu ramai, karena semua keluarga
berkumpul.
Setiap dua minggu sekali gelak tawa selalu membahana. Paman Jhonilah yang
selalu membuat semua tertawa, memang pamanku yang satu ini pandai sekali melucu.
Apalagi setelah bertemu paman Sahti semakin seru mereka bercerita lucu-lucu. Yang
membuat suasana menjadi ceria.
“Bu apa betul katanya Bakri mau kuliah?”tanya kakakku sambil membantu Ibu di dapur
menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga.
“Ia, cuma Ibu masih bigung mengenai biayanya, kamu tahu sendiri perekonomian Ibumu
ini. Adikmu, Haerul, terkadang pergi ke sekolah saja tidak dikasih uang jajan, bukan
karena pelit tapi memang Ibu tidak ada simpanan uang”
“Bagaimana dengan Bakri, Bu?”
“Adikmu bilang dia mau tes saja dulu. Nanti kalau lulus tes beasiswa di Ketapang berarti
dia kuliah di Pontianak dan dibiayai pemerintah. Sebenarnya Ayah sama Ibu mau dia
bekerja saja, tapi adikmu itu sudah diberi pesan sama kepala sekolah untuk mengikuti tes
itu, peluang besar katanya. Ah, entalah Ibu tidak mengerti!”
“Ya sudah nanti saya yang bicara langsung sama dia.”
Setelah mengganti pakaian aku bergegas ke dapur untuk membantu Ibu. Aku lihat
Kak Tina juga sudah dari tadi nampak membantu Ibu.
“Bakri bisa bantu apa nih?!” tegurku sambil mendekati Kak Tina yang sedang meracik
bumbu.
“Parutkan Ibu kelapa,” jawab Ibuku sambil memberikan kelapa yang sudah siap untuk
diparut.
“Bakri, kakak dengar katanya kamu mau kuliah?”tanya kakakku sambil memandangku
penuh selidik.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 31
www.wulanyadi.blogspot.com
“Bakri memang mau kuliah, pas sekarang ini juga ada tes beasiswa dari Pemda Ketapang.
Siapa tahu Bakri lulus tesnya. Selama ini Ayah sama Ibu selalu bilang tidak ada biaya
untuk kuliah, jadi Bakri harus langsung kerja. Nah, mungkin ini sebuah jawaban atas
keputus-asaan itu!”
“Iya, kakak tahu. Coba sekarang kamu pikir, seandainya kamu lulus tes terus kuliah di
Pontianak. Biaya perbulannya saja berapa? Biaya untuk kamu makan di sana berapa,
belum masalah lainnya. Seandainya mengirim uang juga lewat siapa? Lewat mana?
Pontianak jauh dari sini tentu semua memberatkan Ibu. Kamu tahu sendiri pendapatan
Ibu perbulannya. Ayah juga sudah tua, sudah saatnya istirahat dan kamu yang mencari
nafkah.”
“Apa kamu yakin akan lulus tes?” tanyanya sinis.
“Insya Allah,” jawabku tegas.
“Bukan kakak bermaksud meremehkanmu, atau meragukan akan niatmu. Tapi, coba
kamu pikir berapa dana yang akan kamu butuhkan untuk pergi ke Ketapang hanya
sekadar untuk tes beasiswa. Dari sini ke Ketapang itu jauh! Mendaftar saja memakan
biaya banyak. Biaya perjalanan kamu berapa? Makan dan menginap di sana berapa?
Belum lagi kamu pergi pakai apa? Itupun belum pasti lulus. Bukankah kamu tahu, ayah
dan ibu ekonominya susah. Mau dapat uang dari mana? Kakak? Kakak sekarang sudah
bersuami, sudah punya anak, jadi biaya hidup kakak sudah dibagi-bagi.”
“Kak, Bakri yakin selama ada keinginan pasti akan ada jalan. Kenapa juga kita harus
berpikir negatif? Bakri yakin akan lulus. Mengenai biaya, itu masalah belakang. Toh, Ibu
bisa pinjam ke tetangga. Iyakan Bu? ” ungkapku sambil menatap Ibu yang hanya terdiam.
Namun sebelum Ibu menjawab, Kak Tina langsung saja menyambar dengan kata-kata
pedasnya.
“Apa? Pinjam uang? Heh, kamu pikir pinjam uang itu gampang! Siapa yang akan mau
memberi pinjaman pada keluarga kita? Tak ada yang bisa menjadi jaminan kelak Ibu bisa
membayar hutang. Kita semua di sini orang susah. Sudahlah, batalkan niatmu!”
“Ada apa Bakri? Kenapa pagi-pagi begini sudah disidang?” tanya pamanku Jhoni. Entah
berapa lama ia mendengarkan perdebatan pagi itu.
“Si Bakri itu mau ikut tes beasiswa di Ketapang. Padahal dia tahu Ibu tidak akan sanggup
membiayai semuanya. Dia itu hanya bermodal nekad saja,” kata Kak Tina menimpali.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 32
www.wulanyadi.blogspot.com
“Loh! Itu bagus! Kenapa harus dilarang. Berapa biaya pendaftarannya, Bakri?”
“Rp.300.000, Paman,” jawabku singkat.
“Kapan kamu berangkat?”
“Bakri pergi sama teman-teman, mereka juga ikut tes dan pergi hari Selasa. Pendaftaran
terakhir hari Kamis, hari Sabtunya tes.”
“Bu, Tina, masalah biaya dan kendaraan Bakri biar saya yang urus. Kalian jangan
mengekangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Saya berani berkata
begini karena pernah mengalami yang namanya kuliah. Dan betapa menyesalnya kini
karena kuliah waktu itu tidak sampai selesai. Dan kamu Bakri, jangan kecewakan semua.
Dari tekad dan niatmu itu buatlah semua menjadi bangga. Kamu yakinkan diri bahwa
dalam niat yang baik akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”
Lega kurasa. Bahagia karena setidaknya ada harapan untuk ikut tes. Hati yang
semula tak mampu bermimpi karena lingkungan yang tak berpihak pada diri. Kini,
cahaya harapan itu mulai memercikkan setitik harapan.
***
“Huh, ramai sekali pesertanya. Bahasa Indonesia saja sekitar 600 orang, padahal yang
dipilih hanya 40 orang,” keluhku pagi itu. Pagi yang cerah sebagai penentu awal kuliah.
Akankah? Entahlah! Yang jelas dalam tes ini akan kukerahkan seluruh kemampuan
terbaikku.
Bel pun berbunyi. Setiap peserta masuk ke ruangan masing-masing. Peserta tes
dari tiga mata pelajaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika sekitar
900 orang. Padahal dalam tes itu ‘kursi kosong’ untuk beasiswa hanya 120 kursi. Dengan
perincian masing-masing mata pelajaran 40 orang. Aku lihat peserta yang di depan,
belakang, samping kiri, dan kanan tidak ada yang kukenal sehingga tidak ada peluang
untuk bertanya seperti di bangku SMA. “Ah, aku pasti bisa!” teriakku dalam hati
meyakinkan diri.
Dengan penuh ketelitian dan pemikiran yang mendalam aku ‘lahap’ setiap butir
soal bahasa Indonesia. Meskipun peserta yang begitu banyak dan tentunya
pengetahuanku selaku orang desa pasti berbeda dengan mereka yang berasal dari kota,
tapi aku tetap yakin dengan potensi diri. Semangat ’45 kukobarkan waktu itu. Hingga
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 33
www.wulanyadi.blogspot.com
tanpa terasa bel yang ketiga kalinya berbunyi. Sebagai peringatan waktu tinggal 10 menit
lagi.
“Huh, akhirnya selesai juga,” pikirku.
Bel tanda waktu habis pun berbunyi. Satu demi satu peserta keluar ruangan.
Mencari teman masing-masing dan sibuk membahas soal yang baru saja dikerjakan. Jika
jawaban yang dipilih mayoritas banyak pemilihnya, hati akan sedikit lega karena
setidaknya itulah jawaban yang tepat.
Semua akkhirnya pulang ke tempat masing-masing. Tentu dengan sejuta
pengharapan. Begitu juga aku. Tekad dan harapanku terus saja mengalir dalam setiap
langkah dan doa. Tiga hari lagi pengumuman kelulusan akan disampaikan. Huh, tidak
sabar rasanya.
Pada hari Senin, aku memutuskan untuk pulang kampung, karena persediaan
keuanganku sudah semakin menipis. Kebetulan juga ada seorang teman yang ingin
pulang. Sambil berpamitan kepada ketiga temanku, Aku memberikan nomor telpon
tetanggaku.
“Nanti kalau pengumuman keluar, lihatkan namaku , jika tertera langsung hubungi nomor
itu!” pintaku pada seorang teman.
***
Hari ini aku tidak memutuskan untuk pergi. Aku meutuskan untuk tinggal di
rumah. Ya, itu aku lakukan karena hari ini adalah hari Rabu. Hari inilah pengumuman
kelulusan akan disampaikan Pemda Ketapang.
Sesekali aku menanyakan ke tetangga apakah ada telpon masuk atau tidak yang
memberitahukan mengenai pengumuman. “Belum ada,”begitulah jawabnya.
Aku semakin gelisah. Lulus atau tidak. Apa temanku melihatkan atau tidak. Ditengah
penantianku telpon berdering. Dengan segera aku menghampiri Pak Ari, nama
tetanggaku itu. “Halo ini siapa?” tanya Pak Ari.
Tanpa bisa mendengar suara siapa yang diseberang sana, aku hanya bisa menatap Pak Ari
yang masih khusuk menyimak suara yang didengarnya.
“Oh, ini ada. Dia sudah menunggu dari tadi.” Jawab Pak Ari.
‘Serrrrr!’ darahku mengalir deras. Langsung kuambil gagang hanpon yang diberikan Pak
Ari.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 34
www.wulanyadi.blogspot.com
“Halo, Bakri selamat kamu lulus!” teriak di seberang sana.
“Kamu serius aku lulus! Coba kamu cek sekali lagi! Apa betul itu namaku!” pintaku
masih belum yakin.
“Iya, kamu lulus. Tertera secara jelas diurutan nomor 17 atas nama Umar Bakri dengan
nomor peserta 302, itu nomor kamukan?”
“Alhamdulillah, ya itu nomorku! Terima kasih atas informasinya,” ucapku seraya
mematikan hanpon.
“AKU LULUS!” teriakku dalam tangis haru. Rasa tak percaya segalanya tak sia-sia!
Keluargaku yang semula tidak mendukung akhirnya merespon positiv atas
kelulusanku. Acara syukuran pun diselenggarakan lagi. Semua hanyut dalam
kebahagiaan. Terutama Ibu dan Ayah, mereka sangat bangga padaku. Ya, aku lulus pada
urutan 17 dari 600 pendaftar. Dari lima teman yang sama-sama mengikuti tes ini hanya
aku dan seorang teman yang mengikuti tes bahasa Inggrislah yang lulus. Terima kasih
keluargaku, terima kasih Ya Allah, mimpi itu ternyata tidak sia-sia. Hore! tidak lama lagi
aku akan menyandang gelar mahasiswa. “Aku akan datang untukmu Universitas
Tanjungpura! Akan kugali semua ilmu yang kau tanam di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan! Aku datang sebagai Mahasiswa Ikatan Dinas Kabupaten Ketapang! Aku
cinta bahasa Indonesia!”***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 35
www.wulanyadi.blogspot.com
DILEMA BESAR
OLEH: SURYADI
Jika situasi seperti ini yang ditemui Rani, ia akan sedih. Karena memori-memori
masa lalu bersama Danu mantan kekasihnya seketika menyerang pikirannya. Linangan
air matanya tidak akan terbendung. Nafasnya yang semula lancar terasa bak jalan tol,
akan langsung tersendat-sendat. Seketika itu pilu hatinya. Muram pula rona mukanya. Ia
akan begitu. Selalu. Entah sampai kapan bayang semu itu akan terus saja
menghantuinya.
Pernah ia mencoba pergi ke psikiater. Usaha ini ia lakukan atas dasar saran dari
orang-orang terdekatnya. Ayahnya, Ibu, Adik-adiknya, dan Ratu sahabat sejak kecilnya.
Saran itu diberikan karena semua usaha mereka untuk membantu menghilangkan beban
dalam pikiran Rani tidak juga berhasil. Akan tetapi, lagi-lagi usaha ini pun gagal.
Bahkan, psikiater itu kualahan tak mampu lagi berdebat dengan pasiennya, yaitu Rani.
Bayang masa lalu itu terus saja mengikuti Rani. Sontak terpapar dalam benaknya jika
kejadian-kejadian yang dilaluinya persis sama seperti masa lalunya.
“Coba kamu berusaha membuka hati untuk orang lain, Ran, agar bayanganmu bersama
Danu tergantikan,” saran Ratu padanya sore itu.
“Aku telah mencoba itu, tapi tetap saja aku tidak mampu. Bayangannya telah berkarat di
dasar jiwaku, Ratu,” jawab Rani.
“Hmm, yah......aku tak punya solusi lagi. Ke psikiater sudah, berdoa sudah, ini-itu
sudah,” keluh ratu.
“Aku ingin, Ratu, sangat ingin terlepas dari belenggu masa lalu ini. Mencoba membuka
lembaran baru, tapi aku sendiri tidak tahu kenapa semua terasa sulit untuk aku lakukan.
Banyang Danu selalu saja hadir,” Rani behenti sejenak lalu berkata lagi,
“Andaikan kau jadi aku, Ratu. Andai kau mengalami seperti apa yang kurasa. Berat Ratu,
berat! Beban ini sangatlah berat, membelenggu hati dan pikiran. Membuat segalanya
menjadi buram dan kelam. Kini semakin membuat hati dan pikiranku tak lagi sempurna,
tak lagi aku mampu menjernihkan suasana, hanya kesedihan dan kepedihan saja yang
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 36
www.wulanyadi.blogspot.com
kerap ada dan kurasa. Perih, sangatlah perih, Ratu. Mungkinkah sahabatmu ini telah gila,
Ratu! Ya, apa aku gila! Aku gila!?”
“Kau tidak gila sahabatku, kau hanya tidak mampu melepas belenggu masalalumu, itu
saja. Rani, tidak ada masalah di dunia ini yang tidak memiliki jalan keluar. Asalkan saja
kita mau berusaha. Bukankah beban hidup kita, kesusahan, penderitaan, semua itu
diberikan oleh Tuhan sesuai dengan kemampuan kita, itu hanyalah sebagai ujian hidup.
Jika kita mampu melewatinya maka kita akan naik kelas, derajat kita akan bertambah,
Rani. Seperti halnya dulu sewaktu kita SMA, oleh Dinas Pendidikan kita diberi ujian.
Ujian yang dibuat tentu sesuai dengan kita, kelas XII SMA bukan untuk anak SD.
Hasilnya kita lulus, dapat ijazah dan sekarang kita naik derajat bukan lagi menjadi siswa
tapi menjadi mahasiswa, itu logikanya, Rani.”
“Ah, buktinya aku tidak bisa mengatasi semua ini! Tuhan tidak adil padaku, mengambil
Danu dan sekarang menyisakan kepiluan yang tak berujung untukku.”
“Rani, itulah yang membuatmu tidak dapat terlepas dari keadaan ini. Kau melemahkan
dirimu sendiri. Yang terpenting adalah adanya tekad dan kemauan dari hati, dari diri
sendiri, Rani! Coba kau pikir, walaupun berjuta orang menghendaki kita untuk berubah,
mereka semua mendesak dan memaksa kita untuk berubah, tapi jika dalam diri kita, hati
kita belum mau berubah, ya semua itu akan sia-sia. Seperti contoh kasusmu saat ini,
semua usaha telah kami coba sarankan untukmu. Ya, memang kau jalankan semua, tapi
sekarang lihat apakah ada hasilnya? Tidak kan?”
Mata Rani berkaca-kaca. Ia sedih dan menangis. Suasana senyap sejenak tanpa kata
hanya sendu isakan tangis Rani yang memilukan hati.
“Maafkan aku, Ran. Aku tidak bermaksud membuka ingatanmu dengannya. Aku hanya
ingin kau menyadarkan dirimu sendiri, mengintrospeksi diri dan memikirkan semua ini.
Ingat sahabatku, pasti ada jalan keluarnya dan aku akan selalu ada, siap menemani dan
membantumu. Kau pasti bisa terlepas dari dilema ini.”
“Tidak mengapa, Ratu. Justru aku berterima kasih padamu, kau mau membantuku,”
jawab Rani sambil menyeka air matanya.
Mereka lalu berpelukan. Pelukan seorang sahabat yang saling menyayangi dengan
sepenuh hati. Pelukan beraromakan rasa persahabatan yang sejati.
“Terima kasih, ya, Ratu.”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 37
www.wulanyadi.blogspot.com
“Sudahlah,” jawab Ratu singkat.
Mereka lalu beranjak pergi dari taman itu.
***
Rani termenung dalam kesendiriannya. Meratapi langkah demi langkah yang telah ia
lewati bersama Danu. Ia mencoba mengulang lagi. Mencoba mengoreksi diri seperti
permintaan sahabatnya, Ratu. Terkadang terbesit di hatinya untuk mengakhiri saja
hidupnya tapi ia belum siap untuk mati.
Ia teringat kejadian seminggu yang lalu....
Danu memaksanya untuk menemuinya di sebuah taman yang tidak jauh dari kampusnya.
Saat itu sore hari saat mentari mulai bersembunyi di ufuk barat.
“Aku tidak bisa, Danu. malam ini aku ada kuliah.” Kata Rani mengawali pembicaraan via
telpon sore itu.
“Tolong Rani. Ini penting. Ini tentang kita, hubungan kita.”
“Iya, tapi tidak bisakah ditunda nanti malam setelah perkuliahan selesai?”
“Tolonglah Rani, sekali ini saja!”
“Iya, tapi apakah aku harus meninggalkan perkuliahan, bukankah kau yang selama ini
menasihatiku untuk serius kuliah jangan sekali-kali membolos? Danu, bukan aku tidak
menghargai permintaanmu, bukan juga aku tidak ingin berkorban untukmu, untuk
hubungan kita, tapi aku benar-benar tidak bisa. Mata kuliah malam ini kelompok aku
yang tampil untuk mempresentasikan makalah, jadi aku harap kamu mengerti, Danu.”
“Baiklah, aku bisa mengerti.”
“Maafkan aku, Danu.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang bersalah, mungkin waktuku saja
yang tidak tepat untuk meminta kehadiranmu. Selamat kuliah semoga penampilan
kelompokmu tidak mengecewakanmu,” kata Danu sambil menutup pembicaraan sore itu.
Rani masih termenung.....ia membuka lagi kepingan memorinya.....
Saat itu kira-kira pukul 20.00 WIB sesaat setelah ia keluar dari ruang kuliahnya. Tasnya
bergetar karena pengaruh dari getar HP yang ada di dalamnya. Ia belum sepat mengubah
profil HP-nya dari modus diam.
‘4 pesan’ tertulis di layar HP-nya.
Ternyata semua SMS yang masuk dari Danu, kekasihnya.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 38
www.wulanyadi.blogspot.com
“Aku sudah di depan rumahmu. Pulang pukul berapa?” demikian bunyi keempat sms itu.
Belum sempat ia membalas, 1 pesan lagi masuk di HP-nya.
Ia buka dan baca dengan suara lirih,
“Tolong sekarang ke ruangan Ibu, penting. Terima kasih.” Ternyata SMS itu dari Dosen
yang akan memberikan mata kuliah esok hari. Dengan segera Rani menyusuri lorong
kampus yang remang-remang karena kurangnya pencahayaan menuju ruang dosen.
Sesampainya di ruangan yang ia tuju,
“Tok! Tok! Tok!” teriak pintu karena ketukan tulang jari tengah Rani.
“Masuk,” sahut seorang Ibu dari dalam.
“Silakan duduk, Rani,” kata Ibu itu sambil memperbaiki letak kacamatanya.
“Begini Rani, besok Ibu akan keluar kota untuk mengadakan penyuluhan ke beberapa
sekolah mengenai kurikulum yang baru. Jadi, Ibu harap kalian besok diskusi di kelas,”
kata Ibu itu sambil mencari-cari sesuatu di meja kerjanya.
“Kamu fotokopi buku ini dan bagi menjadi delapan kelompok sesuai dengan jumlah bab
buku ini.”
“Baik, Bu!” jawab Rani singkat seraya memohon diri.
Dengan mengendarai sepeda motornya ia bergegas menuju “WS Fotokopi”
langganannya. “Saya ambil besok siang saja,” pesan Rani sebelum berlalu dari tempat
itu.
Entah berapa lama Danu menunggu di beranda rumah Rani. Ia hanya ditemani semilir
angin dari rerumputan dan suara jangkrik di halaman rumah Rani. Sesekali saja batuknya
menimpali jangkrik, “Uhuk, uhuk, uhuk,”
Hampir saja Danu melangkah pergi jika saja lampu motor Rani tidak “memelototi’-nya.
Ia duduk kembali di kursi kayu yang telah lapuk sebagian tungkainya itu sambil
mengelus dada.
“Maafkan aku Danu, kau pasti telah lama menungguku.”
Danu hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang tidak ceria dan pandangan yang
menimbulkan tanda tanya.
“Kamu kenapa Danu, kamu sakit?”
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit terkena flu dan batuk.”
“Sebenarnya ada apa, Danu?”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 39
www.wulanyadi.blogspot.com
“Ah, tak perlu menanyakan itu!” ungkap Danu bernada kesal.
“Kamu kemana saja? Bukankah kuliahmu hanya 2 sks saja! Semestinya pukul 20.00
kamu keluar ‘kan?”
“Iya, tapi...”
“AH, smsku saja tak kamu balas! Tidakkah kamu berpikir Rani? Aku menunggumu
disini tanpa kepastian. Tidak sempatkah dirimu sekali saja membalas sms agar aku disini
menunggu tenang. Kamu sendiri yang sering bilang menunggu adalah sesuatu yang
membosankan tapi kamu biarkan aku larut dalam kesendirian. ”
“Bukankah aku tadi sudah minta maaf?”
“Iya, tapi jawab dulu!”
“Danu, tadi Ibu Susi, dosen mata kuliah Seminar memintaku menemuinya. Beliau besok
tidak bisa masuk kuliah, jadi Ibu memintaku memotokopi buku untuk didiskusikan.”
“Ah, berapa lama kamu menghadap Ibu? Apakah berjam-jam hingga kamu tidak sempat
memberi aku kabar?”
“Aku membaca sms-mu sesaat setelah keluar kelas. Akan tetapi saat aku hendak
membalas sms-mu ada sms dari Ibu memintaku menemuinya dengan segera. Setelah dari
ruangan Ibu aku langsung ke Ws Fotokopi. Ah, sudahlah kenapa kita harus bertengkar,
sebenarnya ada apa Danu?”
“Maafkan aku tadi memarahimu. Aku takut kehilangan kamu, Rani. Aku ingin selalu
bersamamu. Aku tak sanggup jauh darimu.”
“Ah, mulai menggombal lagi?” kata Rini sambil tersenyum malu.
“Aku serius Rani.”
“Ia aku tahu, tapi tak biasanya kamu begini.”
“Aku sangat mencintaimu Rani.”
“Ia aku juga mencintaimu.”
“Jika umur kita panjang, maukah kau menikah denganku Rani?”
“Ha,ha,ha kuliah saja belum selesai, Danu?”
“Aku tidak mengajakmu menikah sekarang!”
“Ya, ya, maafkan aku. Jika memang kita ditakdirkan untuk bersama tentu semua itu akan
terlaksana dengan sendirinya, kita tunggu waktunya saja.”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 40
www.wulanyadi.blogspot.com
“Rani,“ panggil Danu sambil menatap lekat mata kekasinya itu. Rani hanya diam beku
melihat tatapan itu.
“Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku hanya ingin bersamamu mengarungi bahtera
kehidupan ini,” sambung Danu.
“Ia, aku juga.”
“Aku ingin kamu berjanji padaku bahwa tidak akan berpaling dariku dan
menghianatiku,”
“Ah! Perlukah itu? Apa kau ragu terhadapku, Danu?”
“Aku hanya ingin kau berjanji.”
“Tapi...”
“Tapi apa, Rani?”
“Tapi kau juga harus janji padaku!”
“Kita berjanji tidak akan saling menghianati!” kata Rani dan Danu bersama sambil jari
kelingking mereka saling mengait sebagai sebuah simbol perjanjian sejati. Malam pun
kian larut membuat mereka semakin hanyut bersama semilir angin yang dingin.
Salahku, kenapa dulu aku terlalu mencintainya. Memberi segalanya. Cinta, karena cinta,
alasan cinta. Kini racun cinta itu bersarang di jiwanya. Mengapa dia sebodoh itu.
Ah, menyesali masa lalu tidaklah berguna. Bukankah pelajaran yang paling berharga
adalah masa lalu? Jika kita terbebani masa lalu, tentu berat langkah kita untuk menggapai
masa depan!
“Huhhh,” keluhnya.
Ia tarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan matanya.
Ia mencoba menenangkan dirinya. Rileks dengan menikmati semilir angin yang bergerak
pelan menerpa wajahnya. Terus saja ia memejamkan matanya. Menyerap ke dalam
hatinya, membiarkan kesejukan mengalir sendu menuju relung-relung hatinya yang
terdalam. Mengisi rongga-rongga bayang masa lalu dengan kesejukan alam.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 41
www.wulanyadi.blogspot.com
“Huhhh,” bisiknya pelan.
“Ternyata ini hasilnya? Seminggu kebersamaan kita yang begitu indah ternyata hanya
sebuah penghabisan yang terencana. Mengapa tak kusadari. Bodoh! Aku bodoh!
Kehangatan yang kau berikan ternyata bertujuan.”
Rani masih saja tersandar di kursi beranda rumahnya kemudian memejamkan matanya.
Memorinya menerawang jauh ke belakang. Membuka slide demi slide kenangan bersama
mantan kekasihnya. Masih merupakan bagian dari kepingan memori seminggu yang lalu.
Ya, seminggu yang lalu mereka bercengkrama di sebuah taman. Taman yang indah penuh
dengan bunga-bunga. Ada kursi panjang berwarna putih di tengah taman itu. Di sanalah
mereka duduk bercengkrama dan mesra.
Sambil Danu membelai rambut Rani yang bersandar di pundaknya ia berkata, “Rani aku
mencintaimu.”
“Ia aku tahu dan aku juga mencintaimu,” jawab Rani.
“Rani, aku tidak ingin kebersamaan kita ini berlalu tanpa arti. Aku ingin kita mengisinya
dengan hal-hal yang berarti. Mengisinya dengan sesuatu yang membuat kita sulit untuk
melupakan.”
Rani hanya terdiam mendengarkan ocehan kekasihnya itu.
“Rani jika suatu saat aku pergi, relakah dirimu?”
“Apa maksudmu, Danu?”
“Aku takut kehilanganmu, Rani. Aku tak bisa jauh darimu. Tapi....,”kata-kata Danu
terhenti seiring batuk yang mendesak keluar dari rongga tenggorokannya. “Huk, huk,
huk!”
“Tapi,” sambung Danu, “Segalanya pasti terjadi.”
“Aku semakin tak mengerti, Danu. Ada apa denganmu?”
“Ah, sudahlah lupakan, Rani. Aku ingin hari ini kita habiskan dengan kebersaman yang
indah.”
“Danu,” tiba-tiba saja bibir manisnya menyebut nama itu.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 42
www.wulanyadi.blogspot.com
Sekelebat bayang danu terlintas di benaknya. Hingga tanpa ia sadari nama itu mengalir
begitu saja keluar dari bibirnya mengikuti bisikan alam. Bisikan angin yang penuh
ketenangan dan kesejukan.
“Danu, ingatkah kau. Di kursi ini kita selalu bercanda, dan menghabiskan waktu bersama.
Merencanakan kebahagiaan masa depan kita. Dengan gaya bahasamu yang lembut, kau
hipnotis aku dengan rayumu. Kau peluk aku dan katakan cinta. Kita bercerita tentang
banyak hal. Tentang bintang, tentang kita, tentang hayalan rumah tangga kita, dan tentang
cinta kita. Hingga larut malam. Ingatkah kau, Danu? Tapi............,” kata-katanya terputus.
Lalu ia berucap lagi,
“Danu, mengapa begitu cepat kepergianmu? Tidakkah kau rasakan dahsyatnya rindu ini.
Akankah kau rasakan kepiluan ini? Sepinya hati ini? Cinta yang kau tinggal ini
membelengguku! Tahukah kau itu, Danu!”
Matanya masih terpejam. Ia masih menikmati belaian angin malam itu. Hanya butiran air
menerobos ruang kecil dari sela matanya yang terpejam. Namun, angin yang menerpa
wajahnya kini mulai tak beraturan. Angin yang meniup wajah manisnya tak lagi
menyapanya lembut. Harum wewangian mulai hadir dalam kesendiriannya. Semerbak
menusuk hidung. Belaian angin itu kini menyapa bulu tengkuknya. Namun ia tetap
tenang. Matanya masih terpejam.
“Danu!” panggilnya.
“Aku tahu kau ada di sini. Aku bisa rasakan itu. Danu, aku hilang tanpamu! Aku tak
berdaya tanpa hadirmu, Danu!” seketika itu Rani mengeluarkan segala beban dalam
hatinya.
Air matanya kini semakin deras bercucuran. Ingatan-ingatannya mulai terprogram
kembali. Sementara alam sekitarnya kini hening. Tanpa lengkingan jangkrik yang sedari
tadi menemaninya. Tanpa semilir angin yang menghembuskan kesejukan dan
ketenangan. Sunyi kini ia rasa. Namun wewangian itu belum sirna.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 43
www.wulanyadi.blogspot.com
“Danu!” bisiknya lagi.
“Dulu kau berjanji tidak akan meninggalkanku, tapi apa!? Kau biarkan aku sendiri. Kau
tinggalkan aku bersama sejuta janji manismu. Mana semua janjimu itu, Danu! Aku hilang
tanpamu, Danu. Bara semangatku ikut sirna bersamamu,” ratap Rani di sela isakan
tangisnya.
Rani masih memejamkan matanya. Ia tidak ingin membuka matanya. Karena ia tidak
mau sosok Danu yang kini hadir lagi di hati dan fikirannya sirna. Ia tetap terpejam dan
merasakan hadirnya.
“Bukalah matamu, Rani!” bisikan itu tiba-tiba menggema di relung hatinya. Tapi Rani
belum membuka matanya. Ia belum yakin atas bisikan hatinya. Ia masih terpejam kaku.
Ia masih terdiam.
“Buka atau aku akan pergi!” bisikan itu kini memaksanya.
Dalam hati Rani, ia sangat ingin membuka matanya. Hanya saja ia tidak ingin kecewa,
jika membuka mata bisikan lembut itu sirna. Jika bisikan itu muncul lagi, untuk yang ke
tiga kali, aku akan menuruti. Bisik Rani dalam hatinya.
Lama Rani terdiam menunggu bisikan itu hadir lagi. Lama ia terdiam menunggu. Namun
bisikan itu tak kunjung hadir. Harum wewangian itu perlahan menghilang. Angin malam
itu kini mulai membelainya lagi. Suara jangkrik dari semak-semak yang terhampar di
halaman rumahnya kini mulai terdengar bernyanyi. Sepertinya alam yang terdiam
ketakutan kini mulai bergairah lagi.
Dengan perlahan tapi pasti Rani membuka kelopak matanya yang telah basah oleh air
mata kesedihan dan kepiluan rindu. Remang-remang cahaya lampu yang tempias dari
penerang beranda rumahnya perlahan terlihat. Semak-semak bergoyang mengikuti alunan
nyanyian jangkrik juga perlahan terlihat oleh mata manisnya. Matanya mencoba mencari-
cari sosok yang ia rindui. Tapi tidak ia temukan.
“Danu....,”panggilnya pelan.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 44
www.wulanyadi.blogspot.com
Panggilannya tak ada yang menjawab. Semakin pilulah hatinya. Ia hanya bisa menangisi
semua. Batinnya hanya bisa meratapi semua dilema besar yang bersemayam di dalam
jiwanya. Entah sampai kapan.
***
“Hai, Ran!” sapa Ratu pagi itu.
Rani hanya membalas dengan senyum sapaan sahabat sejak kecilnya itu.
“Kamu kenapa, Rani? Ada apa cerita sama aku,” pinta Ratu.
Namun Rani lagi-lagi hanya tersenyum. Senyum yang terlihat bukan tanda keceriaan.
Hanya senyum yang hampa.
Ratu berpikir sejenak. Ia menerka-nerka dalam hatinya, ada apa dengan sahabat karibnya
ini.
“Tadi malam kamu mimpi apa sih, Rani? Sampai-sampai pagi ini kamu jadi begini!”
Kali ini Rani tidak tersenyum. Tapi pandangannya kosong. Entah apa yang
dipikirkannya.
“Rani!” panggil Ratu. Ia sedikit khawatir pada sahabatnya itu yang semakin berubah.
“Rani, badan kamu panas. Kamu sakit, ya?”
Rani hanya menggeleng. Namun tatapan matanya masih kosong tak bermakna.
Ah, bodohnya aku. Kenapa harus bertanya dia sakit atau tidak. Toh badannya panas.
Berarti itu tanda bahwa dia sakit. Gerutu Ratu dalam hati.
“Kamu harus kubawa ke dokter, Ran! Kamu sakit!”
Sekali lagi Rani hanya menjawab dengan gelengan. Seolah-olah mengatakan, “Aku tidak
sakit.”
“Tapi badan kamu panas, Ran!”
Tiba-tiba Rani menangis. Air matanya mulai mengalir di pipinya. Menghanyutkan
kosmetik yang ia kenakan. Tangisan yang tertahan. Ia menangis tanpa suara. Hanya air
matanya saja yang terus mengalir.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 45
www.wulanyadi.blogspot.com
Hal itu tentu membuat Ratu semakin bertanya-tanya dalam hati. Ada apa
gerangan dengan sahabatnya itu. Ia mulai panik. Ia semakin bertambah bingung. Hendak
meminta tolong, tapi pada siapa? Karena di taman itu hanya ada mereka berdua.
“Rani, ada apa denganmu? Jangan membuat aku bingung, Ran!” desak Ratu dengan nada
suara yang mulai meninggi.
Namun Rani seolah-olah tak mendengar lagi. Ia masih tersandar di kursi taman itu.
Tatapannya masih kosong. Namun kucuran air matanya terus saja mengikis kosmetik di
pipinya.
Ratu terus menerka-nerka. Ada apa! Ada apa ini? Ia lalu bergerak lebih dekat pada
sahabatnya itu. Ia jongkok di hadapan sahabatnya. Menatap lekat-lekat bola mata yang
sayu tersebut.
“Rani lihat, aku! Lihat! Jika kau masih menganggapku sebagai sahabatmu, cerita! Apa
masalahmu! Aku akan membantumu semampuku, Rani! Bentak Ratu yang sudah hilang
akal. Ia tak punya cara lagi selain memaksa dengan cara itu.
Rani hanya menggelengkan kembali kepalanya. Entah itu pertanda ia tidak ingin
menjawab bahwa ia tidak punya masalah atau karena ia tidak mau bercerita.
“Huhhh,” keluh Ratu. Sambil mondar-mandir mencari akal.
“Ada apa sih?” gumamnya sendiri.
Ia kembali lagi mendekati sahabatnya yang masih terdiam dalam tangisan itu.
“Rani, apa gunanya kau menyuruh aku untuk datang ke taman ini, jika hanya
menyaksikan kesedihanmu saja. Tanpa kau beri aku penjelasan ada apa, masalah apa
yang sedang menderamu! Tapi kau hanya menangis dan menangis. Aku bingung Rani!
Aku harus bagaimana lagi! Apa semua ini karena aku! Apa salahku, Rani?”
“Aku hamil oleh Andi pacarmu!”
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 46
www.wulanyadi.blogspot.com
Bacalah! Dunia berbicara kepada kita melalui angin Terkadang ia berbisik manja Mendesah merayu Dan membawa kita kepangkuan mimpi Namun terkadang sebaliknya Dunia berbicara kepada kita melalui alam Saat ia marah segalanya akan dimusnahkan Lahar ia muntahkan Angin ia semburkan, jadilah puting beliung! Saat ia gerah, air ia luapkan, jadilah banjir! Bacalah semua tanda itu! Dengan membaca kau akan mengerti kawan Dengan membaca engkau akan tahu, dan merasa kawan Andai kawan tak mampu membaca, rasakanlah lembutnya belaian mereka Oleh: Suryadi
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 47
www.wulanyadi.blogspot.com
TERLAHIR KEMBAR
aktu terus berlalu sehari 24 jam. Orang sukses memiliki waktu 24 jam, sama lama
waktunya dengan orang yang gagal. Gagal dalam apa saja, membangun rumah
tangga yang bahagia, membangun kekayaan, membangun rumah, semua sama,
sehari 24 jam. Orang pintar memiliki waktu yang sama dengan orang bodoh. Waktu
berlalu acuh, tak perduli. Detik demi detik ia jalani tak henti. Tak perduli kemiskinan
masih menyelimuti kehidupan. Ia acuh, tak pula bangga dengan orang-orang yang sukses.
Waktu hanyalah waktu. Waktu adalah wadah persaingan. Bodoh vs pintar. Cerdas vs
tolol. Suka vs duka. Lahir vs mati. Apakah hari ini sukses, apakah waktu ini diisi dengan
kesenangan, kesedihan? Semua itu bergantung pada mahluk yang melaluinya. Waktu
akan terus acuh. Berlalu meninggalkanmu tanpa peduli dan takkan pernah kembali.
Siang itu cuaca sedikit mendung. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi
melambai-lambai awan hitam yang berkejaran. Mendung tak berarti hujan. Namun di
sebuah gubuk reot: dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, atap yang terbuat
dari anyaman daun kelapa, dan tiang-tiang rumah yang terbuat dari bambu mulai lapuk.
Rumah itu telah sedikit condong dan kini gerimis mulai berjatuhan di atapnya. Di
dalamnya ada sebuah tikar pandan kusam. Di sanalah seorang Ibu muda berjuang
menantang maut. Ia mengaduh kesakitan. Menjertit. Menjambak rambut siapa saja yang
berada di dekatnya. Dukun bayi sibuk mendeteksi di tempat tugasnya. Sambil terus
memberi semangat pada Ibu muda, Ibu Rima.
“Ayo Rima, tekan terus! Ya, begitu. Bagus! Terus, ya sedikit lagi!”
Dan akupun terlahir ke dunia. Tanpa tangisan, tanpa senyum, dan tanpa kata-kata.
Hanya detak jantung yang terus berdenyut memompa darah. Dug, detug, dug, ....
Si dukun bayi tersenyum bangga. Ibu Rima kini memiliki seorang putera. Dia adalah
anak keduanya setelah sebelumnya mendapatkan seorang anak wanita yang kini telah
berumur dua tahun.
“Dukun, kenapa perutku masih terasa mulas? Aku seperti ingin buang air besar!”
“Oh, itu karena ari-ari bayimu belum di...”
W
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 48
www.wulanyadi.blogspot.com
Belum sempat dukun bayi memberikan penjelasan, sebuah kepala kembali muncul di
pintu sebelumnya. Tanpa banyak kata si dukun bayi langsung memberi instruksi,
“Coba ngeden lagi seperti tadi!”
“Ya, bagus! Sedikit lagi!”
Mungkin karena sudah sebelumnya ada yang melewati jalan itu, si jabang bayi
yang kedua ini berlalu tanpa hambatan. Hanya sekali tekan, ia langsung keluar. Sama
seperti bayi sebelumnya, yaitu aku, bayi ini juga tidak menangis, tidak pula tersenyum,
apalagi tertawa. Akan tetapi yang unik adalah seketika itu ia langsung mengulum jempol
kaki kananku.
“Selamat Bu Rima, Anda mendapatkan anak kembar!”
Ibu Rima hanya tersenyum tanpa kata. Ia hanya memegangi kepalanya. Nafasnya masih
tersendat-sendat. Mungkin ia kelelahan. Namun tetap tersirat sebuah kebahagiaan dari
raut mukanya.
Tidak disangka, badan Bu Rima yang begitu kecil ternyata menampung dua buah
manusia di dalam perutnya. Perut sebesar itu ternyata menampung dua mahluk hidup
yang berwujud manusia. Tinggi badan Bu Rima hanyalah 143 cm, berat badan 40 kg,
badannya kurus seperti tak terurus. Rambutnya panjang tak pernah dikramas. Kulitnya
hitam, meyatu, melapisi tulang-tulangnya, tanpa banyak lemak. Kurus dan mengharukan.
Sangat kekurangan gizi. Apalagi ia seorang Ibu muda yang mengandung. Miris.
Keadaan bayi yang dilahirkan pun sehat. Hanya saja kedua bayi kembar yang bak
pinang dibelah dua itu bertumbuh kecil-kecil: sebesar botol minuman anggur “cap orang
tua” yang berwarna hijau. Tidak dapat diperkirakan berapa berat masing-masing karena
di dalam gubuk bambu itu tidak memiliki fasilitas timbangan. Jangankan timbangan bayi,
timbangan untuk ikan asin saja tidak ada. Si dukun bayi? Ah, apalagi dia. Namanya saja
dukun, tidak perlu pakai alat kedokteran cukup memakai teknik-teknik yang diwariskan
para leluhur saja. Dapat mengeluarkan bayi dari tempat prenatalnya saja, si dukun sudah
bernapas lega. Kini ia duduk menggulung daun sirih untuk menyumpal mulutnya.
Sedangkan suami Bu Rima, Pak Surya tersenyum bangga di dekat kedua bayinya.
Wajar ia bangga karena ia hebat dapat memperjuangkan dua bibit unggulnya di antara
sekian ribu bibit. Bibit itu adalah aku dan saudara kembarku. Padahal ia juga kekurangan
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 49
www.wulanyadi.blogspot.com
gizi. Badannya kurus kering. Kulitnya hangus terbakar matahari. Namun, bibit unggulnya
berjhasil lolos. kedua nya berhasil menerobos. Dahsyat.
Penduduk ramai berdatangan. Entah tersiar berita dari mana di gubuk reot itu
berhasil melahirkan dua bocah kembar dan sehat. Kedua bayi yang lahir di tengah
keluarga miskin. Rumah gubuk. Keluarga yang terkadang sehari bisa makan sekali saja
sudah sangat bersyukur.
“Mana-mana bayinya?!”
“Duh, lucunya!”
“Ih, gemes aku lihatnya!”
“Kok badannya sebesar botol gitu?”
“Memangnya kamu tidak lihat Ibunya tuh!”
“Ibu-Ibu sekalian, tolong jangan berebut dan ribut begitu. Rumah ini sempit. Kasihan Bu
Rima nanti kepanasan,” kata Dukun Bayi.
“Lah, kan gerimis, Bu?”
“Iya, itu kan di luar. Lah, kalian berebutan masuk begitu. Coba budayakan antri satu-satu
lihatnya.”
“Ih, kapan aku punya anak kembar ya?”
“Mudah-mudahan bayi yang kukandung ini juga kembar,” kata Ibu yang sedang hamil
empat bulan.
“Ah, aku mau minta resep sama Bu Rima, bagaimana cara mencetak anak kembar,” kata
yang baru menikah.
“Jangan tanya Bu Rima, tapi sama Pak Surya. Itu lebih tepat! Ha, ha, ha,”celetuk suami
suami yang juga mulai berdatangan.
***
Sore hari, saat bayang pohon-pohon kelapa yang tingi menjulang mulai condong
ke arah timur. Di subuah gubuk kecil, namanya berugak (tempat bersantai bersama
keluarga). Brugak adalah sebuah gubuk kecil, yang berbentuk rumah panggung. Seperti
gubuk-gubuk yang ada di persawahan. Sebagai tempat beristirahat, bercengkrama dengan
sanak keluarga, minum teh, minum kopi, dan makan ubi bersama. Tampak dua orang
manusia yang tak memiliki usia muda sedang bercengkrama.
“Cucuku mau diberi nama apa ya, Nek?” tanya laki-laki berambut putih itu.
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 50
www.wulanyadi.blogspot.com
“Diberi nama seperti pendekar-pendekar yang di film layar tancap itu saja!” saran Ibu-Ibu
tua yang sedang asyik meracik daun sirihnya.
“Film apa?”
“Kamandanu!”
“Brama kumbara!?”
“Tur-tur ular itu lo!”
“Hah? Tutur Tinular maksudmu?”
“ Iya itu, ah apalah namanya!”
“Ya, berarti Kamandanu saja sama Tong Bajil!”
“Huss, aku tidak setuju! Masak cucuku diberi nama Tong Bajil, itukan nama penjahat!
Mai Shin saja!”
“Mai Shin katamu? itu kan cewek! Lah, cucu kita dua-duanya laki-laki.”
“Walaupun cucu kita lahir di pedesaan begini, nama harus tetap kota, supaya cucu kita ini
jadi orang kaya. Tidak susah seperti nenek dan kakeknya ini.”
“Lalu, mau diberi nama apa?”
“Nah, itu! Beri nama ‘Lalu Kembar’ saja!”
“Huss, Lalu itu kan untuk gelar bangsawan. Seperti Lalu Gede, Lalu Karnadi, Lalu
Arisandi. Lah, kita keserempet bangsawan saja tidak.”
“Tapi, aku setuju nama Kembar-nya. Nah, lebih bagusnya Kembara saja. Bagaimana
menurutmu, Bu?”
“Ya, bagus itu. Lalu bagaimana kita membedakan keduanya?”
“Pusing aku, Bu! Kita tanya Bapaknya saja, siapa tahu sudah punya nama untuk anaknya
itu.”
“Surya, Surya!” panggil lelaki tua itu.
***
Prosesi pemotongan rambut dan pemberian nama berlangsung khidmat. Seorang
tokoh agama di desaku, Desa Rempek, Pak Muhrim namanya, beliaulah yang memimpin
berlangsungnya acara pemotongan rambut itu. Berapa kambing yang di potong untuk
akiqahnya. Di benak Pak Surya ada empat kambing. Di benak Bu Rima tak ada kambing.
Akan tetapi dalam pikirannya hanyalah uang. Uang dan uang. Bukan berarti Ibuku matre.
Bukan. Melainkan untuk mendapatkan empat ekor kambing tentu memerlukan uang, nah
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 51
www.wulanyadi.blogspot.com
itu yang menjadi pemikirannya. Padahal badannya belum terlalu pulih setelah persalinan
bayi kembarnya itu. Kepalanya saja masih menyisakan nyeri yang tak dapat dirasa siapa
pun kecuali dirinya.
Lalu apa nama yang Ayah berikan untuk kedua putranya? Aku diberi nama Dedy
Kembara dan Adikku bernama Dendy Kembara. Dedy dan Dendy sebagai nama yang
dipungut dari perkotaan. Nama keren, entah darimana Ayahku tahu itu nama keren untuk
anaknya. Entah darimana ilham datang hingga akhirnya nama itu ia tahu mencirikan
nama orang kota. Mungkinkah dari Pak Kasim, tetangganya yang memiliki dua istri: di
desa dan kota. Pak Kasim adalah sopir truk carteran untuk mengangkut barang-barang
penjual yang berdagang setiap hari Selasa. Ya, di kampungku hari pasarnya adalah setiap
hari Selasa.
Mungkinkah wangsit dari televisi? Di gubuk reot ini tidak ada televisi. Jangankan
televisi hitam putih, televisi rusak saja tidak ada walaupun Ayah berprofesi ganda,
sebagai tukang servis elektronik, yaitu tape dan radio selain itu ia tidak memiliki
wawasan dan profesi sebagi nelayan, itu pun hanya memiliki keahlian berenang
menggunakan dua buah kelapa kering dan keahlian memancing. Itu saja. Belakangan
kuketahui ternyata nama itu ia sadap dari nama penyiar radio.
Jika Ayah pergi memancing ke laut, bisa seminggu baru ia pulang ke rumah.
Terkadang membawa hasil yang lumayan banyak. Terkadang hanya membawa badannya
yang kurus hitam . Nama Kembara itu, tentu ilham dari orang tuannya.***
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 52
www.wulanyadi.blogspot.com
Gerimis
Gerimis senja di garis khatulistiwa
Leburkan debu-debu jalanan
Padat, mengendap
Kapuas keruh, kian mengeruh
Aku mengaduh, merengkuh
Bumi khatulistiwa kian menua
Seiring senja, bersama cinta
Bicaralah dengan cinta untuk cinta
Kumpulan cerpen dan puisi, karya: Abdillah 53
www.wulanyadi.blogspot.com
Tentang Penulis
Nama lengkapnya adalah Suryadi
Abdillah Hissolihin. Ttl: Lombok
Barat, 8 Januari 1988. Saat ini
masih kuliah di FKIP Untan
(Universitas Tanjungpura)
Pontianak, angkatan 2007.
Program Studi Bahasa dan Sastra
indonesia dan Daerah.
Kota asalnya adalah Air Upas City
Kabupaten Ketapang Kalbar. Cita-
citanya ingin menjadi penulis terkenal dan menjadi seorang guru yang
profesional.
e-Book yang Anda baca saat ini merupakan hasil karyanya yang
pertama. Anda sangat beruntung mendapatkan semua ini gratis!
Dan Anda diizinkan untuk menyebarluaskannya dengan catatan
tanpa mengubah isi e-Book ini.
Kritik dan saran dapat Anda berikan di:
www. wulanyadi.blogspot.com
jangan lupa buka, www.DuniaDownload.com