1
Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi
Pendidikan di Minangkabau Abad XVII – Awal
Abad XX
OLEH: NINA WONSELA
NIM: 2113022100003
Diajukan Kepada Program Pascasarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
Di Dalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017
i
Kata Pengantar
Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan setiap manusia, yang telah memberikan anugerahnya-Nya untuk menetapkan hati, raga dan pikiran penulis agar fokus dan tidak melalaikan kewajiban agama, kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya kumandangkan untuk pemimpin para nabi dan rasul, Muhammad SAW, nabi yang teguh menyebarkan agama Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara. Dari keyakinan sampai pada peradaban.
Tidak terasa, setelah melewati saat-saat kerja keras, akhirnya tesis selesai disusun. Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami dalam menyusun tesis ini. Membaca kembali sejarah para datuk-datuk Minangkabau, adalah suatu kesenangan tersendiri, sampai-sampai hampir lupa bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian yang membuat saya untuk segera mengasingkan diri sejenak dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu untuk menyusun dan melewati fase-fase ujian hingga tahap akhir.
Saran serta kritik selalu saya tunggu untuk perbaikan kerja saya. Tidak bisa dipungkiri, dalam menyusun suatu sajian bacaan sejarah yang bermutu akan selalu diikuti oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis, analitis dan argumentatif.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara lain:
1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag yang telah memberikan nasehat-nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu baik dan inspiratif. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa
ii
menempatkan posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang baik.
2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah, M.Ag, Dr Halid, M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adip Misbahul Islam, M.Hum sebagai sekretaris, Prof. Oman Fathurahman, M.Hum, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA sebagai penguji dan Dr. Ujang Toyib, Dr. Jajad Burhanuddin, M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir.
3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada dosen pembimbing saya Prof. Dr. M. Dien Madjid yang tidak jemu menuntun saya dan memberikan arahan-arahan sumber serta analisa serta memberikan dorongan semangat agar tetap istiqomah menyelesaikan tesis ini.
4. Rangkaian kata terima kasih saya alamatkan pula pada sahabat-sahabat seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan pertama pendahulu saya. Kalian adalah teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah, dan rekan dialog yang tepat dan menggugah jiwa.
5. Terimakasih kepada suami tercinta, Afrizal yang tidak jemu mendampingi saya menyusun tesis, bahkan ketika malam sudah larut. Juga kepada anak-anak, Yordan yang sulung, Marsela Hingis kedua, Daffa Malderama ketiga, dan bungsu Galas Maharani, kalian adalah sumber kekuatan dan hidup ibu, nak. Semoga kalian mendapatkan apa yang kalian impikan dan cita-citakan. Amin.
6. Terimakasih pula kepada orang tua, ayah Raf Darnys dan almarhumah ibu Syafrida, yang telah mengajarkan saya untuk selalu sabar dan bekerja keras sejak kecil. Semoga kalian diberi kesehatan, kelapangan rezeki serta limpahan anugerah dari Allah SWT.
7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kehendak dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua
iii
mendapat kesenangan, kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap hari-hari dalam hidup ini. Amin.
Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi inspirasi terutama untuk menggugah jiwa dan ingatan kesejarahan, betapa agung dan mulianya hasil karya para generasi pendahulu.
Wasalam
Depok, 13 Oktober 2017
Nina Wonsela
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nina Wonsela
NIM : 2113022100003
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 27 Januari 1970
Jurusan : Magister Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “ Kontribusi
Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan Islam di Minangkabau
Abad XVII – Awal Abad XX” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan
– kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan
dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.
Depok, 13 Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,
Nina Wonsela NIM. 2113022100003
v
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Nina Wonsela
NIM : 2113022100003
Program Studi : Magister Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Judul Tesis :Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi
Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII – Awal
Abad XX.
Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah dan diterima sebagai
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
(M.Hum) Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Panitia Sidang Munaqosah
Ketua Sidang (Dr. Halid, M.Ag)
NIP:
Sekretaris Sidang (DR. M. Adib Misbachul Islam,
M.Hum) NIP:
Penguji I
(Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum)
NIP: Tanggal : 13 Oktober 2017
Penguji II
(Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA) NIP: Tanggal :13 Oktober 2017
Pembimbing I
(Prof. Dr. M. Dien Madjid ) NIP: 194907061971091001 Tanggal :.13 Oktober 2017
vi
Abstrak
Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu tipologi masyarakat yang terlibat dalam proses perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangannya ke depan. Muncul dan berkembangnya paham Paderi, ikut merombak tatanan lama masyarakat di sana yang sebelumnya hidup dalam suasana yang dipenuhi dengan unsur kriminalitas seperti merebaknya sabung ayam dan perjudian. Kaum Paderi terlibat persengketaan yang serius dengan kaum adat yang kemudian dibantu oleh kolonial Belanda hingga memuncak pada pecahnya Perang Paderi (1821-1838). Meskipun pasukan Paderi berhasil dikalahkan tentara Belanda, para ulama mereka masih menempati posisi yang tinggi di tengah masyarakat. Terbukti dari beberapa latar keluarga ulama generasi kemudian, seperti Syekh Ahmad Khatib dan Haji Rasul, adalah para ulama yang berpaham Paderi. Dimulai dari keberangkatan Syekh Ahmad Khatib ke Mekkah maka pembaruan di Minagkabau sudah mulai dilakukan. Murid-murid Syekh Ahmad Khatib-lah yang belakangan banyak berperan dalam pembaruan pendidikan Islam di Minangkabau seperti Haji Rasul, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad dan lain-lain. Ada tiga pertanyaan yang disampaikan sebagai rumusan masalah yakni; 1) Bagaimana keadaan sosial di Minangkabau pada abad 19 ?; 2) bagaimana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau ?; 3) ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat pengaruh dari ajaran Paderi ? Penelitian ini menekankan pada penelitian sejarah sosial. Pada bagian kerangka teori, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi, dengan melihat pada fenomena perubahan sosial. Hadirnya paham Paderi membawa serta pada perubahan di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir belakangan, dibangun oleh para ulama yang berlatarbelakang keilmuan dan ajaran Paderi, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti pola-pola dakwah dan pengajaran kaum Paderi masa awal.
vii
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab Huruf Latin
tidak اdilambangkan
b ب
t ت
ث
j ج
ح
kh خ
d د
ذ r ر
z ز
s س
sy ش
ص
ض
ط
ظ
‘ ع
g غ
f ف
q ق
k ك
l ل
m م
n ن
w و
h ه
ء
y ي
viii
Vokal Pendek _____ = a كتب kataba _____ = i سئل su ila _____ = u يذھب ya habu
Vokal Panjang qala قال a = ... ا qila قيل i = اي u yaqulu = يقول Diftong ي ا = kaifa كيف و ا = aula حول
Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987- Nomor: 0543 b/u/1987.
ix
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL .................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI ................ ABSTRAKSI ................................................................................................ PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ......................................... DAFTAR ISI ................................................................................................ BAB I: PEDAHULUAN ..............................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... C. Penelitian Terdahulu ......................................................................... D. Kerangka Teori .,............................................................................... E. Metode Penelitian ............................................................................. F. Sistematika Penulisan........................................................................
BAB II: MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII..................................
A. Keadaan Sosial Masyarakat ............................................................. B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau ....................... C. Surau: Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial ................
BAB III: MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU .......................
A. Interaksi dengan Dunia Luar ............................................................ B. Aktivitas Belanda dan Inggris .......................................................... C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan .......................................
BAB IV: KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU ...........................................................................
A. Munculnya Golongan Paderi ............................................................ B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi …………………………………. C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi ...................................... D. Ulama Terkenal di Masa Paderi .......................................................
BAB V: KONTRIBUSI PADERI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI MINANGKABAU ........................................................
A. Kemunculan Kaum Mudo ................................................................ B. Pembaruan Lembaga Pendidikan ..................................................... C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial .................................
i iv v vi vii ix 1 1 12 15 17 20 23 25 25 36 45 53 53 59 72 81 81 92 104 113 124 124 134 146
x
BAB VI: KESIMPULAN ............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
161 164
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nusantara menyimpan beragam khazanah masa lalu yang menantang
untuk diungkap. Jajaran pulau-pulau yang diikat oleh sabuk akuatik
merupakan cangkang dari banyak cerita-cerita masa lampau, yang di satu sisi
masih melokal dan belum banyak ditelaah para sejarawan. Di mana ada
manusia bermukim, maka di situ pula wawasan sejarah dibina, dikelola dan
disimpan sebagai memori kolektif bagi generasi masa depan. Akan selalu
ada yang bisa dituai dari timbunan kisah orang lampau. Satu wilayah yang
memiliki anyaman cerita yang unik ini adalah Minangkabau.
Minangkabau merupakan satu daerah yag terbentuk dari dinamika
zaman yang panjang. Kota wilayah yang menyelimuti kaki Bukit Barisan ini,
menjadi persemayaman orang-orang besar yang berkontribusi penting dalam
kelahiran bangsa Indonesia. Satu yang unik dari wilayah ini adalah
perkembangan corak keberislamannya yang tertempa dengan kuat, sehingga
tidak ayal wilayah ini begitu kental dengan nuansa Islam, sampai-sampai
muncul istilah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Terkaitnya
deretan kata tersebut tentu bukanlan muncul begitu saja, melainkan adalah
tampilan dari geliat manusia dalam memaknai perkembangan zamannya.
2
Dalam sejarah, Minangkabau dikenal sebagai wilayah penghasil lada
dan emas. Daerah ini juga tersohor sebagai penghasil tenun dan kerajinan
tangan lainnya. Perdagangan emas dan lada sudah dilakukan sejaka tahun
1347 sampai 1665, antara pedagang Minangkabau dengan pedagang Aceh.
Di kemudian waktu perdagangan ini juga terjalin dengan para pedagang
Inggris dan Belanda. Hasil pernigaan dua komoditas itu nantinya
mengundang bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan upaya monopoli guna
menangguk keuntungan yang labih banyak.
Pusat pemerintahan Minangkabau terletak di Pagaruyung, namun Raja
Pagaruyung hanya dipandang sebagai simbol pemersatu. Penguasa
sesungguhnya atas tanah Mianangkabau adalah para penghulu adat. Balai
adat yang diisi oleh para penghulu bertugas memutuskan sesuatu, yang
berimplikasi pada kebijakan politik yang dijalankan atas negeri (desa)
masing-masing. Para penghulu ini bukanlah wakil raja atas suatu daerah,
melainkan adalah pemimpin yang ditunjuk sesuai “sakato alam” atau
konsensus masyarakat. Kepemimpinan sombolik Raja Pagaruyung di
samping sebagai lambang, juga dianggap sebagai pengikat adat, yang dalam
praktiknya dibantu oleh Basa Ampek Balai, yang di dalamnya ada Datuk
Bandaro Sungai Tarab (Ketua Adat), Tuan Makhudum di Sumanik (menteri
kerajaan atau rantau), Tuan Kadi di Padang Ganding (menteri urusan
agama), dan Tuan Gadang di Batipuh (menteri keamanan).
Melihat keadaan di atas, Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang
dihormati sekitar awal abad ke 19, mulai mengadakan peletakan dasar-dasar
pemurnian ajaran Islam. Ia menyeru untuk kembali mempelajari al-Qur’an
dan hadis. Sayangnya, pendekatan persuasif yang dilakukan oleh Tuaku
Koto Tuo tidak sepenuhnya diikuti oleh murid-muridnya yang memiliki
3
pandangan radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang ulama yang juga
berpengaruh dan memiliki banyak murid di wilayah Luhak Agam.1
Sementara itu, sekitar tahun 1803, telah datang dari Mekkah tiga orang
haji yeng bernama Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII
Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Sebelumnya saat di Mekkah,
mereka menjadi saksi atas bagaimana kaum Wahabi melakukan pembaruan
Islam dengan membasmi aktivitas maupun pemahaman yang dianggap
bid’ah (bidat). Oleh gerakan tersebut, mereka seakan memperoleh ilham dan
inspirasi untuk melakukan aktvitas serupa di Minangkabau. Haji Miskin
dengan bantuan seorang penghulu bernama Kuncir bergelar Datuk Batuah,
melarang sabung ayam di Pandai Sikat. Seruan itu ditanggapi dingin oleh
penduduk di sana, keadaan yang membuat Haji Miskin semakin marah. Pada
suatu malam, ia membakar balai yang sering dijadikan adu ayam. Kaum
Adat pun marah dan mengejar Haji Miskin. Haji Miskin lari dan mendapat
perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Pertikain pun semakin meluas, antara
pengikut Haji Miskin dan kaum Adat terlibat perkelahian di dekat Balai
Panjang di Kota Lawas.2
Masuknya Islam ke Minangkabau tercatat sekitar abad ke 16, tepatnya
setelah kejatuhan Malaka. Dalam perkembangannya, ajaran Islam mulai
bercampur baur (sinkretisme) dengan tradisi setempat dan proses ini berjalan
dengan lama. Hal inilah yang kemudian tercermin dalam pepatah adat
basandi syara, syara basandi kitabullah. Dapat dijelaskan bahwa Islam di
sana menerima penyesuaian terhadap struktur dan landasan kultural
masyarakat Minangkabau yang matrilinealistik, di mana sistem hak waris
1 Taufik Abdullah dkk, ed, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991) hlm. 154-155. 2 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme
(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 90-91.
4
terdapat dari garis ibu. Di akhir abad ke 18, situasi peradatan di
Minangkabau mengalami perluasan makna, bahkan mulai bersentuhan
dengan hal-hal yang sebenarnya tidak diperkenankan ajaran agama seperti
perjudian, adu ayam, minum-minuman keras dan madat.3 Berbagai penyakit
masyarakat itu nyatanya mendapat dukungan dari raja, para bangsawan serta
penghulu. Dengan begitu, adat yang diagungkan semakin jauh dari ajaran
Islam, dan menjadi sesuatu yeng menggelisahkan kaum ulama.4
Adat dan Islam di Minangkabau adalah dua hal yang telah saling
berbicara sejak lama. Dialogisasi ini tentu saja banyak menyebabkan dampak
yang signifikan terhadap perkembangan masyarakat, khusunya mengenai
pemahaman agama. Sekitar abad 19, terjadi gerakan perubahan besar di
jantung keagamaan orang Minang, yakni dengan adanya program pemurnian
agama yang dimotori oleh tiga haji sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya. Mereka melancarkan pembaruan dengan membatasi gerak adat
Minang yang meskipun sudah ada unsur Islam di dalamnya, namun dianggap
belum menampilkan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.
Dalam keadaan itu, pesona adat Minang dihadapkan pada pilihan yang sulit,
antara eksis di bawah dominasi Islam (dengan tidak diketahui pengikut 3 haji
tersebut) atau tumpas diberangus.
Perang Paderi yang terjadi pada medio pertama abad 19, merupakan
titik kulminasi dari desakan orang Minang manghapuskan kuasa Belanda.
Perang ini dimotori oleh orang-orang Paderi. Istilah “Paderi” sendiri berasal
dari kata Portugis yang merujuk pada sosok ahli agama yang mengenakan
busana putih. Orang-orang yang tergabung dalam perang ini mengenakan
3 William Marsden menyebutkan bahwa perjudian dan sabung ayam merupakan
permainan favorit yang bisa ditemukan hampir di seluruh belahan Sumatera. Lebih lanjut lihat William Marsden, Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999)
4 Taufik Abdullah, Sejarah Umat ..., hlm. 155.
5
pakaian serba putih sebagai simbolisasi bahwa perang tersebut adalah perang
di jalan Allah dan untuk membela agama Islam. Kelompok Paderi ini
mengambil warna putih sebagai antitesa terhadap kelompok adat yang
mengenakan busana hitam.5 Jika dilihat dari seragam saja, sudah terasa ada
perbedaan cara pandang yang besar akan penghayatan Islam di tengah orang
Minang. Sebagai catatan kelompok adat itupun juga sebagian besar
beragama Islam, hanya saja mereka lebih mengedepankan aturan adat dalam
menyelesaikan masalah mereka, ketimbang menggunakan ajaran-ajaran
muamalat dalam Islam.
Sebenarnya, di dalam adat Minangkabau pun banyak unsur-unsur Islam
yang dapat ditemukan, sebelum kedatangan tiga haji dari Mekkah. Sebagai
contoh adalah persyaratan pembentukan nagari, yang salah satunya adalah
memiliki masjid. Suatu nagari harus memiliki kelengkapan: satu berlabuh
(punya jalan), kedua bertapian, ketiga berbalai, keempat bermesjid dan
kelima bergelanggang. Nagari hendaknya memiliki jalan yang bisa dilewati
untuk keluar masuk nagari tersebut. Kemudian, suatu nagari harus memiliki
sumber air untuk minum, mandi dan kebutuhan lain-lain. Balai atau yang
disebut juga balai adat adalah sekumpulan orang yang ditunjuk sebagai
dewan penghulu yang bertugas mengadakan musyawarah atau memutuskan
perkara yang terkait kepentingan sosial. Masjid yang layak digunakna
adalah masjid yang bisa menampung jamaah shalat Jumat yang biasanya
dipimpin oleh khatib, imam atau bilal. Yang dimaksud dengan gelanggang
adalah lapangan luas yang digunakan untuk kepentingan orang banyak.
5 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 89.
6
Lapangan ini biasanya digunakan untuk melepas penat dan tempat bermain-
main bagi para muda-mudi.6
Kedatangan ajaran Paderi menimbulkan gempita di tengah masyarakat
Minangkabau. Kaum beradat memandang Paderi sebagai salah satu
ancaman, mengingat pola dakwahnya yang menghalalkan kekerasan.
Serangan-serangan ofensif yang dialamatkan pada masyarakat adat begitu
membekas, hingga menyebabkan kebencian mereka terhadap kelompok
tersebut. Namun, dalam babakan sejarah nasional, kebencian terhadap
mereka direalisasikan dalam cara yang justru bertentangan dengan eksistensi
mereka, yakni dengan menjadi rekan Belanda dalam menghadapi tentara
Paderi kelak.7 Keadaan yang menyebabakan perubahan posisi dalam
percaturan politik Minangkabau, di mana Paderi yang tadinya datang sebagai
ancaman, saat itu menjelma menjadi sosok heroistik yang menentang
dominasi Belanda yang disokong beberapa kaum adat.
Paham Wahabisme, sebagaimana yang dianut oleh 3 haji di atas,
merujuk pada suatu aliran keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia
sekitar akhir abad ke 18. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab yang menemukan momentum
perkembangannya setelah dirinya bersatu dengan Muhammad bin Saud dari
Dirayah, Nejed, seorang kepala suku lokal. Keduanya kemudian bersatu
melapangkan dakwah Wahabi ke seantero wilayah Arabia bahkan hingga
menentang keberadaan pemerintahan Usmani yang saat itu menjadi penguasa
atas Haramain dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Puncak keemasan aliran
keagamaan ini adalah saat menjungkalkan kedudukan Syarif Mekkah, lantas
6 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra
Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 32. 7 Sartono, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 94.
7
menjadi penguasa atas wilayah-wilayah penting di sekitar Hijaz sekitar
medio kedua abad 18.
Ajaran Wahabisme bermula dari semacam romantisme menghadirkan
kembali konsep ajaran Islam Nabi Muhammad pada abad ke 7. Mereka
menganggap bahwa model keberislaman di waktu itu sudah jauh
menyimpang, dan harus segera dimurnikan sesuai dengan asalnya.
Penegasan ketuhanan mereka begitu radikal, hingga mengharamkan untuk
menyembah dan percaya kepada selain Allah. Mereka begitu mengharamkan
perbuatan musyrik (menyekutukan Tuhan) dan penyembahan berhala. Dua
dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Ekspresi ritual Islam lokal
semacam tarekat-tarekat dan ajaran kesufian mereka tolak. Tidak berhenti
sampai situ, pengikut Wahabi bahkan menghancurkan makam-makam tokoh-
tokoh Islam yang semula dianggap suci dan ramai dikunjungi peziarah.
Pohon-pohon yang dikeramatkan ditumbangkan. Mereka dikenal
memaksakan ajaran mereka, dan jika menolak maka akan diseret pada
hukuman-hukuman tertentu.8
Adat matrialistik dan pelegalan perbuatan-perbuatan yang melanggar
agama, sebagaimana yang telah disebutkan, merupakan sebagian dari yang
ingin dirubah oleh ketiga haji tersebut. Oleh sebab terjadi penolakan yang
keras dari masyarakat adat, para pengikut Wahabi tersebut akhirnya
melancarkan serangan-serangan yang berakibat pada pebunuhan mereka
yang tidak sepakat dengan gerakan orang Paderi. Oleh sebab penyebarannya
yang begitu masif, kelompok Paderi berhasil menancapkan pengaruhnya di
beberapa wilayah termasuk Empat Angkat, IV Kota, Candung dan Kota Tua.
8 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,
1990) hlm. 140-142.
8
Tuanku Nan Renceh bersama dengan ketujuh ulama kawannya, seperti
disebutkan di atas, membentuk persekutuan untuk memperkuat posisinya.
Mereka dikenal sebagai Harimau Nan Selapan, julukan ini merujuk pada
cara-cara dakwah mereka yang keras. Kelompok ini mendatangi Tuanko
Koto Tuo untuk memintanya menjadi pemimpin. Tuanku Koto Tuo
sebenarnya amat bersimpati dengan kelompok ulama ini, hanya saja ia
keberatan jika cara-cara yang keras dan kasar dilakukan dalam berdakwah.
Hal ini juga yang membuatnya menolak ajakan bergabung mereka.
Kedudukan pimpinan mereka akhirnya dijabat oleh Tuanku Mensiangan.
Kaum Adat pun mulai bersiap menyongsong pangikut Paderi. Mereka
sengaja mengadakan semacam perayaan yang didalamanya diadakan sabung
ayam besar-besaran di Kampung Batabuh, dekat Sungai Puar. Tuanku Koto
Tuo yang mengetahui aksi itu begitu mengecamnya, namun murid-muridnya
bergerak menuju lokasi dan pecahlah pertempuran di Batipuh. Pertempuran
ini membuat kaum adat dan kaum Paderi terlibat dalam kebencian yang kian
mendalam dan di antaranya telah terjalin kebulatan tekad untuk saling
menahan pengaruh dari lawan-lawannya.9
Beberapa buku yang menjelaskan tentang seputar Perang Paderi, banyak
menyorot hal ini dalam konteks anti-kolonialisme atau pertentangan adat dan
agama serta mengenyampingkan perubahan kultur Minangkabau. Jikapun
ada, maka sifatnya hanyalah sebagai pelengkap dan tidak dianalisa secara
eksplanatif dan mendalam.10 Maksud penulis adalah ingin menghadirkan
dampak kedatangan purifikasi Islam Paderi terhadap kelangsungan budaya
9 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-92. 10 Beberapa yang bisa disebutkan seperti Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny,
Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984).
9
Minangkabau, dengan melihat pada beberapa produk budaya yang berubah
dan disinyalir mendapat pengaruh dari pemaham Islam Paderi.
Paham Wahabi, sebagaimana yang diprakatekkan di wilayah asalnya,
sepertinya memiliki perbedaan corak dengan yang ada di Minangkabau.
Belakangan paham ini menjelma menjadi gelora rakyat melawan kedudukan
Belanda. Sebagian kelompok adat pun, bergabung dengan Belanda sebagai
bagian dari kelanjutan resistensi mereka terhadap meruyaknya golongan
Paderi. Jadi, peta yang didapatkan adalah orang Paderi berhadapan dengan
Belanda yang disokong pula oleh kaum adat. Pertikaian ini mengerucut pada
upaya kaum Paderi mengusir penjajah. Upaya yang tidak berhasil
dilaksanakan hingga masa akhir perlawanan Paderi pada 28 Desember 1838
ini, ditandai dengan mundurnya pasukan Paderi pimpinan Haji Muhammad
Saleh dan Tuanku Tambusai.11
Kontak dagang rakyat Minangkabau dengan VOC terjadi sekitar awal
abad ke 17. Saat itu, para pedagang Belanda, bersama dengan pedagang
asing lainnya, banyak yang berlalu-lalang di pesisir pantai Sumatera Barat,
seperti di Tiku, untuk mendapatkan emas dan dari pedalaman Minangkabau.
Posisi mereka belumlah bisa dikatakan sebagai penguasa atau penjajah,
karena kehadiran mereka adalah murni berdagang.12
Penulis melihat gerakan purifikasi agama di Minangkabau membawa
dampak baru bagi perkembangan pendidikan Islam di sana. Persentuhan
ketiga haji Paderi di atas dengan pusat-pusat perkumpulan umat Muslim di
dunia, membawa wacana baru bagi cita keberagamaan di sana. Sebagian
masyarakat, termasuk ulama yang berafiliasi kepada mereka, paling tidak
11 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 119. 12 Mardjani Martamin dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera
Barat (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983) hlm. 23 dan 26 – 27.
10
mendapatkan suatu bahan berpikir baru yang menjadi landasan mereka untuk
melakukan suatu perbuatan. Ketika membicarakan Wahabi di Minangkabau,
memang tidak seharusnya melulu dibawa pada kasus pertentangan adat
dengan agama, namun bisa pula ditinjau dari sudut persentuhannya dengan
sendi-sendi masyarakat yang vital, umpamanya saja pendidikan.
Beberapa tokoh ulama pembaharu Minangkabau, sebagian ada yang
terinspirasi dari gerakan Paderi. Mereka memang tidak lagi melakukan
perlawanan terhadap Belanda dan kaum adat, namun lebih mencurahkan
perhatiannya terhadap perkembangan agama Islam, salah satunya adalah
Syekh Ahmad Khatib. Menurut Agus Salim, Syaikh Ahmad Khatib, yang
lahir sekitar tahun 1855, adalah seorang anak hakim Paderi, yang memiliki
latar belakang keluarga yang taat beragama juga beradat Minangkabau. Ia
berkesempatan menimba ilmu di Mekkah dan memutuskan untuk tidak
kembali lagi ke kampungnya. Meskipun demikian, ia tetap membina
hubungan yang baik dengan jemaah haji dari Nusantara, termasuk dari
Minangkabau. Bahkan, beberapa muridnya asal Minangkabau, banyak yang
menjadi tokoh-tokoh agama yang berpengaruh di kemudian waktu. Beberapa
yang bisa disebutkan adalah Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Syaikh
Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli,
dan dari Jawa ialah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hashim Asyari.13
Hamka menegaskan bahwa meskipun gerakan Paderi tidak sampai
membuat suatu negara Islam, namun pengaruhnya masih terasa hingga masa
berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan polarisasi Islam yang kian menguat di
sanubari rakyat Minangkabau. Mereka tidak lantas bersedia berganti agama
13 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,
1980) hlm. 38-39.
11
menjadi Kristen sebagaimana yang terjadi di Tanah Batak setelah kalahnya
Si Simangaradja XII.
Suatu keyakinan yang mempercayai bahwa perang Paderi merupakan
puncak dari pertikaian kaum agama dan kaum adat tidak seluruhnya tepat.
Pendapat itu sebenarnya adalah propaganda yang dilancarkan kolonial agar
persatuan di kalangan orang Minangkabau terpecah belah. Yang menjadi
sasaran Paderi hanya perbaikan akhlak masyarakat, yang sebelum tahun
kedatangan Haji Miskin tahun 1803, sudah sangat jauh dari ajaran Islam.
Kekalahan kaum Paderi pada 1838 dari Kompeni tidak lantas diratapi
oleh para simpatisan Paderi. Sebaliknya, muncul gelora baru di kalangan
para pelajar agama untuk menuntut ilmu agama, bahkan sampai ke kiblat
dunia Islam, yakni Mekkah. Jika kemudian sekolah Raja didirikan Belanda
adalah untuk keturunan bangsawan Minangkabau, maka keturunan ulama
dan pejuang Paderi, atau orang yang tidak langsung terlibat dalam gerakan
Paderi, memilih untuk menyekolahkan anaknya ke Mekkah. 14
Penulis tertarik untuk mendudukkan dampak dari munculnya gerakan
pemurnian Islam di Minangkabau dalam masalah pendidikan. Alasan utama
yang dikedepankan adalah ketertarikan peneliti untuk mengungkap sejauh
mana jejak-jejak pengaruh purfikasi Islam ini mewarnai geliat pendidikan
Minangkabau, khususnya di masa-masa modern awal. Melalui studi terhadap
ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pendidikan dalam kurun waktu
tersebut, harapannya akan didapat suatu telaah baru mengenai sejarah
pendidikan Di Minangkabau, yang disinyalir memiliki koneksi dengan
ajaran-ajaran Paderi.
14 Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa
tahun) hlm. 7 – 8.
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembaruan di Minangkabau ditinjau dari segi pendidikan, memang
merupakan tema yang masih sangat luas. Oleh sebab itu, hal itu
membutuhkan beberapa pembatasan yang nantinya bisa menjadi suatu
tampilan yang mewakili perbincangan mengenai tema itu. Peneliti
mengartikan pembaruan pendidikan ke dalam beberapa kata, yakni ulama
dan jaringannya serta lembaga pendidikan, yang disinyalir mempunyai corak
ajaran-ajaran kaum Paderi. Ulama merupakan suatu jenis profesi dalam
masyarakat yang mempunyai otoritas dalam bidang agama. Ismuha
mengungkapkan bahwa terjadi penyempitan makna ulama jika ditinjau dari
bahasa asalnya. Ulama merupakan jamak dari kata alim, yang berarti orang
berilmu. Di masa kini, ulama hanya diperuntukkan bagi orang yang
mempunyai pengetahuan tentang agama Islam.15
Dalam tesis ini, penulis menyebut kelompok ulama di Minangkabau
yang mengadakan pembaruan dengan istilah kaum Paderi. Paderi sendiri
adalah penyebutan bagi orang yang baik dan teguh memegang ajaran agama.
Adapaun pengertian gerakan Paderi di Minangkabau adalah gerakan yang
dimotori orang-orang saleh untuk membenahi lunturnya akhlak terpuji di
sekitar mereka serta menghapuskan sistem matriarkat (sistem keluarga yang
condong ke garis ibu).16
Dalam Encyclopaedie van Nederlansch-Indie, dijelaskan bahwa Padri
adalah sebuah sekte Muslim kuat yang ada di dataran tinggi Padang.
Penganut Paderi dikenal sebagai umat Mohammadanisme (Islam) yang taat
dan lurus. Mereka melakukan pemantauan yang ketat terhadap lembaga-
15 Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976) hlm. 1. 16 B. J. O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan
Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1973) hlm. 4.
13
lembaga adat Minangkabau dan berusaha dengan kekuatannya untuk
menertibkan orang-orang yang jauh dari hukum Islam untuk kembali
menaati ajaran agamanya itu.17
Hamka meyakini bahwa terbitnya gerakan Paderi di Minangkabau
adalah membawa ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab atau yang
dikenal dengan Wahabi yang berasal dari Saudi Arabia. Di Minangkabau,
Haji Miskin, salah satu penyebarnya yang datang pada 1803, terinspirasi dari
ajaran Wahabi untuk memberantas praktek-praktek menyimpang masyarakat
seperti sabung ayam, minum tuak dicampur dengan darah kerbau, perang
batu di antara satu suku atau kampung dengan suku atau kampung lainnya,
serta berbagai kebiasaan lain yang dianggap merugikan dan menyalahi ajaran
Islam.18
B. J. O. Schrieke berkeyakinan berbeda dengan Hamka. Ia berketetapan
bahwa kaum Paderi Minangkabau tidaklah terpengaruh ajaran Paderi. Tidak
semua orang Muslim yang melakukan ajaran agama Islam dengan ketat dan
tekun dianggap Wahabi. Kepercayaan Schrieke bersumber dari
pembacaannya akan ceritera Djalaloeddin dan memori dari Tuanku Laras
yang didapatkannya dari Bataviaasch Genootschap di bagian Naskah
Melayu. Dalam dua naskah itu tidak ditemukan keterangan bahwa terbitnya
gerakan Paderi adalah sejak diperkenalkan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik
dan Haji Piobang yang datang dari Mekkah yang memang saat itu di Mekkah
sendiri sudah kental dengan nuansa ajaran Wahabi.
Kemudian, sejauh pembacaan Schrieke, tidak ditemukan praktek-
praktek ekstrem Wahabi dalam beberapa pandangan orang Paderi. Dalam
17 Entri “Padri’s” dalam P. A. Van der Lith dkk, Encyclopaedie van Nederlandsch-
Indie, Jilid 3 (Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896) hlm. 168. 18 Hamka, Muhammadiyah …, hlm. 7.
14
kasus penghormatan akan Nabi Muhammad SAW misalnya, kaum Paderi
tidak melakukan pelarangan sebagaimana yang dilakukan penganut Wahabi.
Begitu pula dalam ritual pemujaan (pengkeramatan) para orang suci yang
sudah mengakar di Minangkabau, tidak lantas dilarang oleh kaum Paderi.
Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Mekkah adalah sebaliknya, yakni
ritual semacam itu mengalami pelarangan dan dianggap keliru. Jadi, tidak
tepat jika dikatakan kaum Paderi adalah juga kaum Wahabi.19
Adapaun lembaga pendidikan yang dimaksud, adalah lembaga
pendidikan yang dimaknai sebagai tempat memperoleh pengajaran agama.
Dalam konteks Minangkabau, lembaga pendidikan yang dibahas bukan
hanya yang dikatakan sebagai sekolah modern semata, namun juga lembaga
pendidikan tradisional lainnya, seperti surau yang didalamnya tempat orang
mengaji, yang guru-gurunya ditengarai mendapat pengaruh pemikiran dari
gerakan Paderi. Termasuk dalam hal ini, akan dibahas tentang sistem
pendidikannya, kurikulum, aktivitas belajar serta kitab atau buku apa yang
dikaji di dalamnya.
Kemudian, pembatasan selanjutnya adalah mengenai waktu dari tema
yang diangkat. Peneliti mempersempit cakupan waktu hanya berkisar pada
abad ke XIX hingga awal XX. Di abad tersebut banyak terjadi peristiwa-
peristiwa yang menjadi momen penting dalam pembaruan pendidikan
Minangkabau. Wacana mengenai persinggungan adat dengan agama,
dikotomi pendidikan Belanda dengan pribumi serta aktivitas intelektual yang
dilakukan beberapa cerdik pandai di sana menjadi beberapa pembahasan
yang bisa ditemui pada kurun waktu ini.
19 Schrieke, Pergolakan Agama …, hlm. 17 – 18.
15
Untuk mempermudah pembahasan nantinya, maka masalah-masalah
tersebut akan dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan, yakni:
1. Bagaimana keadaan setting sosial Minangkabau pada abad XIX?
2. Bagaiamana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya
pembaruan Islam di Minangkabau?
3. Ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat
pengaruh dari ajaran Paderi?
C. Penelitian Terdahulu
Beberapa buku serta tulisan yang ditemukan mengenai modernisasi
Islam sudah cukup banyak. Namun, jika sampai pada tema mengenai
modernisasi Islam dalam konteks Minangkabau, agaknya belum begitu
banyak dijumpai. Mengenai modernisasi Islam, salah satu buku yang
mengupas tema tersebut adalah buku yang ditulis oleh Harun Nasution
dengan judul Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya.20 Buku ini
menitikberatkan pembahasan mengenai konsep modernisasi serta pengaruh
modernisasi Islam secara global. Dalam pembahasan lainnya, buku ini
melihat bahwa munculnya Timur Tengah sebagai salah satu kekuatan
intelektual di dunia modern, adalah respon dari pengaruh agama Katolik
yang beberapa dasawarsa belakangan sedang mengalami perkembangan
yang pesat. Buku ini membantu penulis dalam memahami perkembangan
Islam modern, utamnya ketika mnyinggung tradisi pribumi. Disebutkan pula,
meskipun gejolak modernisasi dimulai di dunia Barat, namun auranya
terbawa sampai ke belahan dunia Muslim. Buku ini tentu saja berbeda
dengan pembahasan peneliti, yang meneropong modernisasi Islam dalam
skup geografis, hanya di wilayah Minangkabau saja.
20 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986).
16
Masuk dan perkembangan kaum Paderi dalam babakan sejarah
Nusantara, merupakan salah satu fase penting terbitnya modernisme Islam di
Minangkabau. Mengangkat Perang Paderi sebagai suatu even masa lalu
yang menabalkan peran kaum puritan Islam sebagai aktor-aktor pembebas
dari belenggu adat dan kolonialisme Belanda, menjadi suatu keharusan untuk
dimunculkan. Terdapat buku yang dieditori oleh Sartono Kartodirdjo, yang
isinya antara lain mengupas Perang Paderi. Buku ini berjudul “Sejarah
Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme” terbit pada 1973. Buku ini
berisikan tentang beberapa perang heroik yang mempunyai pengaruh
signifikan dalam perkembangan sejarah bangsa. Perang-perang seperti
Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Jagaraga di Bali, Perang Paderi dan lain-
lain, adalah beberapa momen heroik yang kedudukannya vital sebagai
wahana memupuk patriotisme dan kecintaan terhadap negeri.21 Sayangnya,
Perang Paderi dalam buku ini lebih banyak ditekankan pada aspek militer
dan perang sebagai solusi, sedikit menempatkan perbincangan mengenai
persinggungan adat dan agama, serta dampak-dampak perang Paderi dalam
bidang pendidikan.
Literatur lain yang membahas tentang persinggungan kaum Paderi
dengan kolonial Belanda adalah ditulis oleh Elizabeth E. Graves, berjudul
The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth
Century. Di dalam buku ini dipaparkan mengenai keadaan kaum Paderi
setelah melewati fase perang terbuka dengan pasukan kolonial serta reaksi
mereka terhadap semakin mengakarnya kedudukan Belanda di Minangkabau
bahkan di sebagian besar wilayah Sumatera, terhitung sejak tahun 1837.
Disampaikan pula mengenai rekruitmen tenaga pribumi untuk mengisi
21 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme
(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973)
17
struktur birokrasi kolonial.22 Mengenai pengaruh ajaran Paderi terhadap
perkembangan pendidikan di Minangkabau, agaknya belum banyak disentuh
di buku ini.
Christine Dobbin, sarjana asing lainnya, juga menyorot aspek perang
Paderi dalam karyanya yang berjudul “Kebangkitan Islam dalam Ekonomi
Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1781-1847.” Dobbin melihat
terjadinya perang Paderi melalui aspek ekonomi, bahkan ia berkeyakinan
bahwa aspek enonomilah yang mendasari berlangsungnya pertikaian
tersebut. Baik kaum Paderi maupun pemerintah, terlibat dalam perlombaan
akan penguasaan komoditas-komoditas dagang unggulan seperti yang bisa
ditemukan di lembah subur Mandailing atau tambang emas di Rao. Perang
yang berlangsung antara keduanya, tidak lebih hanyalah “perang
perdagangan”, bukan semata-mata reaksi atas kedatangan Belanda atau
dilandasi perang keagamaan.23 Kajian ini turut memperkaya khazanah
kesejarahan Perang Paderi, mengingat di masa – masa sebelumnya, tulisan
mengenai perang Paderi banyak yang menerbitkan anti-kolonialisme an sich
sebagai latar belakang terjadinya perang ini.
D. Kerangka Teori
Pengaruh dari kemunculan gerakan Paderi menimbulkan dampak yang
signifikan bagi kelangsungan masyarakat Minangkabau setelahnya. Hampir
setiap sendi kehidupan masyarakat, mengalami perubahan atau setidaknya
terdapat percampuran pengaruh Paderi. Islam kemudian menjelma menjadi
22 Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The
Nineteenth Century (Singapore: Equinox Publishing, 2010) hlm. 11. 23 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah:
Sumatera Tengah 1781-1847 (Jakarta: INIS, 1992).
18
faktor elemental pembentuk adat, bahkan mampu bersinergi dengannya. Di
pihak lain, Islam ditampilkan pada ranah pendidikan sebagai salah satu alat
yang memperkenalkan orang Minangkabau pada ajaran Islam berbasiskan
pada komodernan.
Memang terdapat kesulitan ketika mendudukkan paham Paderi sebagai
pemicu lahirnya modernitas. Di satu sisi, Paderi mengajak pada puritanisme
yang sebagian besar menginduk pada ajaran murni Islam, namun di satu sisi
ajaran Paderi tampil sebagai pembebas adat Minangkabau dari belenggu
kegiatan-kegiatan negatif masyarakat, yang sebelumnya sudah diakui sebagai
bagian dari adat. Namun, terlepas dari kebingungan itu, Paderi melakukan
perubahan dalam keseharian Minangkabau, khususnya mengenai dunia
pendidikan di sana. Beberapa tokoh pembaharu Paderi, mendapatkan
pengaruh dari pemikiran ulama-ulama Paderi. Satu yang telah disebutkan
adalah Syekh Ahmad Khatib.
Tesis ini agaknya cocok jika ditinjau dari segi sejarah intelektual. Jika
mendudukkan antara pengaruh ajaran Paderi terhadap modernitas pendidikan
di Minangkabau, maka salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan
menelisik geneologi keilmuan, termasuk juga ideologi dan penghayatan para
pelakunya. Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa ketika membicarakan
sejarah intelektual, maka akan bersinggungan dengan seberapa jauh formasi
ide atau ideologi menentukan atau mempengaruhi keadaan lokasi sosial.24
Gagasan, apakah nyatanya mampu merubah, memberi pengaruh atau bahkan
sekedar hidup dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial.
Peneliti tertarik untuk membicarakan masalah tema yang dipilih dalam
konteks hubungan sosial. Perubahan format pemikiran, lembaga pendidikan
24 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1990) hlm. 180.
19
bahkan kurikulum di Minangkabau pada abad ke 19, ada kaitannya dengan
beredarnya ajaran Paderi di masyarakat. Paham mereka seperti mendapat
momentum untuk tampil sebagai senyawa yang merubah kegelisahan sosial
akibat maraknya kegiatan penyakit masyarakat (perjudian dan sabung ayam)
yang disponsori oleh kaum adat. Ajaran Paderi berfungsi membenahi
keadaan masyarakat itu, di antaranya dengan pendidikan. Setelah masa
perang fisik berakhir, ide-ide Paderi disemai bahkan dilembagakan menjadi
sekolah-sekolah agama yang mempunyai reputasi baik di mata masyarakat.
Fenomena tersebut adalah satu fragmen dari perubahan sosial di
Minangkabau. Perubahan sosial sendiri memiliki tiga pemaknaan: 1)
perubahan sosial adalah berubahnya sistem sosial, yakni perubahan pada
struktur, kultur dan interaksi sosial; 2) merujuk pada penjelasan Charles R.
Harper, perubahan sosial berarti menyoroti perubahan struktur sosial; 3)
perubahan sosial berhubungan dengan transformasi dalam pengorganisasian
masyarakat.25 Meskipun ketiganya mengutarakan maksud yang berbeda,
namun ada suatu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni
kedudukan perubahan dari satu fase ke fase yang lain.
Perubahan sosial yang nantinya digunakan sebagai pisau analisa, adalah
disesuaikan dengan masalah pendidikan. Sebagai sampel atas uji tersebut,
maka akan dipaparkan beberapa kasus perubahan sosial yang tercermin
dalam diri ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pembelajaran. Ulama,
meskipun pengkajiannya terkesan individual, namun yang dikemukakan
adalah kedudukan mereka sebagai sentrum di tengah masyarakatnya. Ulama
adalah termasuk elit yang memiliki kapasitas sebagai salah satu elemen
pengatur umat, khususnya dalam hal sosio-keagamaan. Media yang
25 Yusron Razak, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008) hlm. 180-183.
20
digunakannya pun melalui metode pembelajaran, baik itu ceramah, seruan,
anjuran atau temu-temu ilmiah secara berkala.
E. Metode Penelitian
Penelitian mengenai dampak gerakan Paderi terhadap modernisasi
pendidikan di Minangkabau ini, adalah suatu model penelitian sejarah.
Dengan demikian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian sejarah. Metode ini terdiri dari empat langkah kerja, yakni
pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi dan penulisan
sejarah atau historiografi.
Pengumpulan sumber merupakan aktivitas pertama yang dilakukan
dalam penelitian ini. penulis mendatangi beberapa perpustakaan, termasuk
perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Utama,
keduanya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk
mendapatkan referensi terkait. Termasuk pula tempat yang penulis datangi
adalah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang terletak di kawasan
Kemang dan Perpustakaan Nasional RI di Salemba, keduanya di Jakarta. Di
kedua tempat terakhir, terdapat beberapa sumber primer yang bisa diakses.
Sumber primer yang sudah didapat antara lain adalah Tambo Minang.
Belum jelas betul, kapan Tambo Minang ditulis. Sumber ini berisikan
tentang penjelasan sejarah, masyarakat serta hukum yang ada di
Minangkabau, yang tercipta sudah sejak masa yang lama. Bahkan
disebutkan, Iskandar Zulkarnain adalah leluhur masyarakat Minangkabau.
Tambo ini penting untuk memberi informasi seputar sejarah sosial kehidupan
21
masyarakat Minangkabau, termasuk di dalamnya asal-usul hukum yang
berlaku.26
Dalam penelitian sejarah, terdapat dua macam sumber, yakni sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer diartikan sebagai sumber-
sumber tertulis ataupun lisan, yang diproduksi pada kurun waktu objek
penelitian. Oleh karena penelitian yang dipilih berkisar pada abad 19, maka
sumber-sumbernya adalah diproduksi pada waktu tersebut. Kelihatannya
sumber lisan tidak diutamakan dalam laporan ini mengingat informan pada
abad tersebut, sangat sulit untuk dijumpai. Sumber tertulis adalah yang
paling mungkin didapatkan, materinya berbentuk dokumen-dokumen, arsip,
majalah, buku, brosur, catatan harian, serta materi-materi tertulis lainnya
yang sezaman. Sedangkan sumber sekunder merujuk pada materi-materi
tertulis, dari pelbagai media penulisan, yang diproduksi bukan pada kurun
objek penelitian, termasuk di dalamnya adalah laporan penelitian atau buku-
buku relevan yang diterbitkan pada masa kini.27
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan kritik sumber terhadap
sumber-sumber tersebut. Dalam metode sejarah, terdapat dua macam kritik
sumber, kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk
mengidentifikasi keaslian sumber, yakni dengan melihat jenis kertas, model
tulisan, cap stempel, dan hal-hal lain yang menyangkut kondisi fisik sumber.
Jika telah dibuktikan bahwa sumber tersebut telah memenuhi syarat bahwa
itu diproduksi ketika masa objek penelitian berlangsung, maka bisa
ditetapkan sebagai sumber yang otentik. Kemudian, kritik internal ditujukan
pada informasi yang tertulis dalam sumber tersebut, apakan yang disebutkan
26 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Departemen P dan K, 1994) hlm. 96 – 97 dan 120 – 121. 27 M.Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:
Prenada, 2013) hlm. 219.
22
di dalamnya adalah informasi yang bernas atau bersumberkan pada suatu
rujukan yang bisa dipercaya, ataukah tidak.28
Selanjutnya, berdasarkan sumber-sumber yang sudah terkumpul, maka
akan dilakukan pembacaan kembali (interpertrasi) atasnya. Interpretasi
dalam kajian sejarah bertopang pada hasil analisa-analisa yang dilakukan
atas sumber, kemudian sampai pada penetapan uraian kritis atasnya, baik
berupa sanggahan, pemberian keterangan, atau memberi keketapan kembali
(pengakuan) atas sumber itu. Termasuk ke dalam interpretasi, adalah dengan
memberikan analisa-analisa mutakhir, yang bisa saja mematahkan atau
memberikan catatan kritis atau mengakui hasil-hasil penelitian yang lebih
dahulu dilakukan. Yang jelas, interpretasi ini merupakan corong untuk
menyuarakan suatu temuan baru dalam penelitian sejarah, meskipun temanya
bisa saja sudah terlebih dahulu diteliti para sarjana lain.
Historiografi menjadi destinasi terakhir dari proses penelitian sejarah.
Hasil-hasil penelaahan akan sumber-sumber dan hasil interpertasi tersebut
kemudian dituangkan ke dalam penulisan yang terstruktur dan diupayakan
kronologis, meskipun dalam prakteknya, bisa saja galur waktu yang diambil
bisa ke mencakup waktu yang lebih ke depan, atau ke belakang. Paling tidak
uraian yang ditampilkan memiliki narasi dan eksplanasi yang disesuaikan
batang utama kronologinya. Langkah historiografi dalam penelitian ini
adalah penulisan tesis ini sendiri.29
28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100;
lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112.
29 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
23
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama tesis ini adalah pendahuluan,
yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan
masalah, kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua dari tesis ini adalah memerikan tentang keadaan sosial di
Minangkabau sekitar abad ke 19. Termasuk dalam pembahasan ini adalah
penjelasan tentang kehidupan dan adat istiadat masyarakat Minangkabau,
masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau serta bagaimana cara
keberislaman orang Minangkabau. Dipaparkan pula mengenai keberadaan
institusi pendidikan dan ulama yang mempunyai pengaruh pada masa itu.
Selanjutnya, bab ketiga menerangkan tentang keberadaan pasukan
kolonial di Minangkabau. Diketahui, perpecahan antara kalangan Adat dan
Paderi, semakin menemukan bilah tajamnya, manakala bersinggungan
dengan kepentingan kolonial. Sebagai kelompok yang memiliki persediaan
senjata yang memadai, maka amat cocok jika kelompok Adat menjadikan
mereka sebagai sekutu untuk menghadapi kelompok Paderi. Di samping
Belanda, Inggris juga pernah bersinggungan dengan kaum Adat meskipun
tidak selama Belanda
Pada bab keempat membahas tentang aktivitas orang Paderi di
Minangkabau. Ikut dipaparkan pula mengenai kedatangan 3 orang haji dan
aktivitas mereka dalam menyemikan ideologi Paderi. Perang Paderi ikut
ditampilkan pula sebagai kontinuitas eksistensi gerakan ini. Dijelaskan juga
mengenai konsep pemikiran Wahabi, paham yang melahirkan gerakan
Paderi, serta integrasinya dengan pola keislaman orang Minangkabau.
24
Kemudian, seputar persinggungan kelompok Paderi dengan kolonial Belanda
juga turut ditampilkan.
Bab kelima, lebih mengerucut, menjelaskan tentang konstribusi paham
Paderi dalam modernisasi pendidikan di Minangkabau. Di dalamnya akan
dijelaskan mengenai ulama, lembaga pendidikan dan kurikulum serta pola
pengajaran di Minangkabau yang disinyalir mendapat pengaruh dari gerakan
Paderi. Perubahan sosial yang tampil di ranah pendidikan, akan menjadi
suatu kupasan yang bisa dijumpai dalam bab ini. Dijelaksan pula mengenai
kedudukan pendidikan Islam Minangkabau berhadapan dengan pendidikan
modern kolonial.
Bab terakhir berisikan tentang kesimpulan, yang merupakan jawaban
atas permasalahan yang dirumuskan di bab pertama, serta saran yang perlu
untuk disampaikan.
25
BAB II
MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII
A. Keadaan Sosial Masyarakat
Minangkabau merupakan suatu jajaran wilayah yang terletak di Pulau
Sumatera, tepatnya di Sumatera bagian Barat. Dewasa ini, sebagian besar
wilayah Minangkabau masuk dalam provinsi Sumatera Barat. Di masa
kolonial Belanda, yakni sekitar abad 19, wilayah Minangkabau beribukota di
Bukittinggi, yang sekaligus tercatat sebagai kota terbesar di pedalaman
Sumatera Barat. Kota ini terletak di Kabupaten Agam. Dalam tradisi
Minangkabau, Bukittinggi adalah bagian dari Luhak Agam, yang merupakan
salah satu dari “Luhak nan Tigo”. Bukittingi dalam pelafalan administrasi
kolonial, Bukittinggi disebut Fort de Kock, merujuk pada keberadaan
benteng (fort) di sana yang dibangun oleh Kapten Bauer pada 1825 di atas
Bukit Jirek. Nama de Kock sendiri berasal dari nama perwira Belanda
bernama Baron Hendrik Markus de Kock, yang pernah menjadi komandan
militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Benteng tersebut menempati posisi penting sebagai simbol kuasa
kolonial di sana. Dari benteng inilah serangan dilancarkan untuk
membendung pergerakan tentara Paderi yang datang dari sekitar Luhak
Agam. Setelah pasukan Paderi berhasil ditundukkan dan keadaan sosial telah
26
dipulihkan, pemerintah Belanda memberlakukan Tanam Paksa kopi, seperti
yang telah dilakukan Belanda di Priangan Jawa Barat.30 Bukittinggi
belakangan menjadi kota pengumpul kopi terbesar di pedalaman Sumatera
Barat. Untuk menyokong eksploitasi ekonominya, Belanda pun membentuk
pemerintahan sipil setempat, dengan berpedoman pada sistem kenegerian di
Minangkabau sebelumnya. Tuanku Laras, kepala kalarasan Kurai dan
Banuahampu adalah mitra Belanda dalam menguasai wilayah-wilayah
sekitarnya. Sampai abad 20, Bukittinggi masih menjadi ibukota Keresidenan
Padang Barat.31
Christine Dobbin menjelaskan bahwa pusat pemukiman orang
Minangkabau terdiri atas empat lembah di dataran tinggi. Keempatnya
berada dalam lingkup Bukit Barisan, di satu titiknya mempunyai lebar 50
mil, berbentuk dua deretan pegunungan yang terpisah. Mereka membentuk
wilayah yang lebih kecil yang lebarnya sekitar 18.000 mil persegi atau
sekitar 11 % dari tanah pulau itu. Lembah yang berada di ujung barat
memiliki ketinggian 3000 mdpl. Sedangkan lembah di ujung timur terhampar
hingga bertemu Selat Malaka, tingginya sekitar 1500 kaki. Semunya
memiliki kontur dasar yang lembab, berawa, sebagian terdiri dari telaga.
Sepertinya seluruh daerah itu dulunya pernah dilingkupi oleh telaga, atau
juga diisi air yang setiap periodenya mengalami penurunan.
Keempat lembah itu masing-masing dipisahkan oleh bukit-bukit
berbatu dan semuanya berdiri di dekat gunung berapi. Pada ketinggian 3000
mdpl, terdapat Lembah Agam yang terletak di kaki Gunung Singgalang.
Gunung Singgalang sendiri memiliki tinggi 9400 kaki. Di sebelah tenggara
30 Mengenai Tanam Paksa kopi di Priangan lebih lanjut lihat Jan Breman, Keuntungan
Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk (Jakarta: YOI, 2014)
31 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 1.
27
Lembah Agam terdapat Lembah Tanah Datar. Keduanya ditengahi oleh
kerucut puncak Gunung Merapi yang tingginya 9500 mdpl, dan menjadi titik
paling elok dari alam Minangkabau. Menurut sejarah, gunung tersebut
adalah pemukiman asal orang Minangkabau. Baru kemudian, orang
Minangkabau turun gunung mencari daerah yang memiliki kandungan air.
Turun perlahan-lahan dari Gunung Merapi, terhampar Lembah Singkarak-
Solok. Lembah ini sejajar dengan posisi Tanah Datar yang dipisahkan oleh
pegunungan rendah. Di dasar lembah, terdapat Danau Singkarak yang
berbentuk oval (bulat telur). Panjang danau ini sekitar 12,5 mil dengan lebar
maksinal 5 mil. Dari Danau ini mengalir suatu aliran air ke arah timur yang
nantinya akan bertemu dengan salah satu sungai terbesar di pantai Timur
Sumatera. Di lembah ini juga terdapat gunung berapi. Di sebelah Barat Laut
Lembah Singkarak-Solok berbatasan dengan Gunung Talang yang tingginya
kira-kira 4500 mdpl.32
Lembah keempat yang merupakan lembah terendah dari keempatnya
adalah Lima Puluh Kota. Lembah ini terdapat jauh di sebelah Timur sejajar
dengan Agam dan memiliki ketinggian 1500 mdpl. Lembah ini condong
pelan-pelan ke pantai timur. Di ujung tenggara, lembah ini bertetangga
dengan gunung berapi Sago yang memiliki tinggi 5000 kaki. Barisan-barisan
pegunungan inilah yang mempengaruhi terciptanya identitas sosial yang
saling berebeda. Meskipun terdapat faktor-faktor pembeda dari keempat
lembah itu, secara historis semuanya dianggap sebagai satu kesatuan oleh
orang Minangkabau. Lembah-lembah inilah yang merupakan tanah dan air
mereka. Cakupan keempat lembah inilah yang dinamakan alam
Minangkabau.
32 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Terj.
Liliad D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 3-4.
28
Semua yang berada di luar keempat lembah tersebut adalah daerah luar.
Di keempat lembah itu memang terdapat perbukitan kecil, yang diisi dengan
danau, sungai, gunung-gunung, yang terelatak di sebelah barat laut dan
tenggara, disebut rantau. Daerah rantau adalah wilayah terdepan pemukiman
orang Minangkabau. Rantau ditinggali pula oleh orang Minangkabau, namun
wilayahnya tidak semua yang termasuk dalam alam Minangkabau.33
Anthony Reid membenarkan pendapat Dobbin dengan menyatakan
bahwa wilayah yang termasuk dalam pusat berkumpulnya manusia di
Minangkabau adalah di Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Agam dan lembah
Solok di Selatan Danau Singkarak. Belakangan terjadi perpindahan
penduduk massif, tepatnya sejak berkecamuknya Perang Paderi, di mana
aktivitas kaum Paderi banyak berlalu-lalang di wilayah dataran tinggi. Kala
itu, masyarakat berbondong-bondong menuruni bukit dan berdiam di dataran
yang lebih rendah. Dampaknya, saat pemerintah kolonial melakukan suatu
sensus antara tahun 1852 dan 1890, didapati penduduk dataran tinggi naik
sebanyak empat kali, sedangkan dataran rendah membengkak menjadi 14
kali lipat.34
Orang Minangkabau merupakan entitas masyarakat yang terbentuk dari
budaya campuran. Mereka begitu dekat dengan tradisi hidup pegunungan
pedalaman seperti mencari gambir, rotan, kamper lantas mengantarkannya ke
hilir. Tapi mereka juga mempunyai tradisi maritim, khususnya mereka yang
berdiam di pesisir barat Sumatera. Tradisi lisan di sana banyak
mengkisahkan tentang kisah pengelana-pengelana, pelaut-pelaut dan orang-
orang jauh dari rumah secara puitis. Tidak seperti masyarakat kepulauan,
masyarakat model ini justru sulit dipastikan. Walaupun secara administratif
33 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 4-6. 34 Anthoni Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri
Maris (Jakarta: YOI, 2011)hlm. 51.
29
Minangkabau masuk dalam wilayah Sumatera Barat, namun ini sifatnya
arbitrer, karena ada bayang-bayang kolonial di balik pembentukannya.35
Kota Bukittinggi sebagai tempat berkumpulnya orang Minang, terletak
di simpang tiga yang menghubungkan Padang, Solok dan Padang Panjang di
sebelah Barat Daya; Payakumbuh di Timur Laut; dan Jurusan ke Bonjol,
Lubuk Sikaping dan Padang Sidempuan di Utara. Di kota ini juga terdapat
pula jalan kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dengan Padang
Panjang. Di Padang Panjang terdapat dua cabang rela, menuju Solok di
Selatan dan Padang ke arah Baratnya. Kedua kota ini terletak tinggi di atas
permukaan laut. Oleh karena itulah rel menuju ke Padang Panjang dan
Payakumbuh menggunakan rel gigi. Karena permukaan tanah Bukittinggi
tidak datar, menyebabkan pasar di sana terbagi dua, yakni Pasar Atas dan
Pasar Bawah. Kedua pasar tersebut dihubungkan dengan suatu jembatan
gantung yang dinamakan Jenjang 40, diperuntukan bagi pejalan kaki.
Kota Bukittinggi berbatasan dengan: Sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Tilatang Kamang/Kamang; Sebelah Selatan dengan Kecamatan
Banuhampu/Sungai Puar; Sebelah Barat dengan Kecamatan IV Koto;
Sebelah Timur dengan Kecamatan IV Angkat/Candung. Kota ini adalah kota
yang luas dibuktikan dengan adanya lima jorong, yakni Jorong Mandiangin,
Jorong Aur Birogo, Jorong Koto Selayan, Jorong Tigo Baleh dan Jorong
Guguk Panjang.
Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, masing-masing jorong itu
diperintah oleh seorang penghulu, dan kelimanya berada dalam
kepemimpinan seorang bergelar Tuanku Laras (Tuanku Lareh, bahasa
35 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan
Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. 6
30
Minangkabau). Selanjutnya, kelima jorong itu dibagi dua: 1) Tiga Baleh, Aur
Birugo dan Koto Selayan di bawah kepemimpinan seorang penghulu kepala;
2) Mandiangin dan Guguk Panjang diperintah pula seorang panghulu kepala.
Penghulu-penghulu tersebut tidak memperoleh gaji. Baru ketika jorong-
jorong itu mengalami pemekaran, dan ditetapkan bahwa masing-masing
dipimpin oleh seorang penghulu kepala, mereka mendapat gaji yang tetap.36
Mata pencaharian penduduk Minangkabau yang tinggal di pegunungan,
seperti Koto Gadang, adalah bertani sawah dan berladang, beternak, tukang
kayu dan tukang emas. Bertukang kayu bukanlah mata pencaharian pokok di
Koto Gadang, dan biasanya hanya digunakan di dalam nagari saja. Di masa
lampau, ketika orang ingin membangun rumah gadang, maka harus didahului
persetujuan keluarga se-paruik dan se-kaum. Kebulatan mufakat dari
pertemuan itu kemudian disampaikan kepada ninik mamak dan penghulu-
penghulu di kenegerian itu untuk meminta arahan menurut adat yang
berlaku. Penghulu-penghulu nagari nantinya akan menentukan banyak hal
menyangkut persiapan itu seperti kapan waktu yang tepat pergi ke rimba,
menebang dan mengolah kayu, membuat tonggak, mendirikan rumah, dan
lain-lain. nagari bertanggung jawab atas pembangunan rumah sampai pada
tahap diukir dan ditempati. Pemilik rumah hanya bertugas menyiapkan
makanan dan minuman saja.37
Dari uraian di atas, diketahui bahwa masyarakat Minangkabau
terbentuk dari adat yang bertumpu pada gotong-royong. Budaya saling
beramai-ramai membantu sanak saudara ini, tercermin dalam kalimat
sarayo-manyarayo38, atau tolong menolong. Kemudian, kedudukan orang
sekampung dan para memuka adat begitu dijunjung tinggi, sehingga masalah
36 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 5-6. 37 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23. 38 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24.
31
pendirian rumah saja hingga melibatkan orang banyak. Hal ini tidak bisa
dipungkiri mengingat dalam rumah gadang yang besar, bisa ditinggali orang
banyak, dan mungkin saja ada saudara yang ikut tinggal di dalamnya. Prosesi
pembangunan rumah menjadi pantulan kebudayaan kolektif masyarakat di
sana.
Rumah Gadang, kampung atau suku merupakan cerminan dari tradisi
kekerabatan matriarkat orang Minangkabau. Matriarkat atau garis keturunan
ibu begitu kental dalam budaya Minang, sehingga membentuk jalinan kuat
dalam masalah institusi-institusi adat, pewarisan juga residensi matrilokal
yang menjadi komponen penting dalam bangunan budaya mereka. Seorang
laki-laki yang menikah dengan anggota suku besar, akan tetap terikat dengan
rumah ibu mereka. Sebagian waktu dalam seharinya, akan dihabiskan untuk
mengunjungi keluarga ibu, mengolah ladang, bahkan memulihkan diri ketika
sakit, sampai pada dimakamkan di kuburan keluarga
Di mata orang Minang kedudukan suami tidak ubahnya seperti orang
yang datang dan pergi. Dalam salah satu ungkapan orang Minang disebutkan
“Urang sumando itu seperti langau di ekor kerbau, atau abu di atas tunggul
(angin berembus kencang, abu melayang).” Seorang pejabat kolonial
menggambarkan kehidupan lelaki yang melenggang di waktu pagi ke rumah
ibu mereka dan bermalam di tempat sang istri, tidak lebib seperti chassez-
croisez di lingkungan kampung. Chassez-croisez sendiri merujuk pada istilah
dalam tarian balet, ketika penari perempuan berganti tempat melewati
pasangannya.39
Adat di Minangkabau memang memiliki keragaman. Antara satu
nagari dengan nagari lainnya mungkin saja ada yang berbeda. Misalnya saja
39 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 8-9.
32
yang ditemukan di Koto Gadang, tidak sama dengan di tempat lainnya. Di
Koto Gadang perempuan yang berkampung di Koto Gadang diwajibkan
untuk tidak boleh meninggalkan tanah asalnya. Sejak lahir perempuan Koto
Gadang tidak diperkenankan menetap di tempat lain. kaum laki-laki Koto
Gadang yang sudah menikah dan kebetulan bekerja sebagai tukang emas
yang merantau ke Padang, Pariaman, Bandar Sepuluh, Bengkulu dan lain
sebagainya, tidak diperkenankan membawa istrinya ke tempatnya bermukim.
Biasanya mereka hanya pulang dua kali dalam setahun, yakni waktu hari
raya dan maulid Nabis SAW. Oleh sebab itulah banyak orang Koto Gadang
yang menikah lagi di perantauannya. Di Bengkulu misalnya, ditemukan ada
orang Koto Gadang yang menikah lagi di sana. Di suatu kampung yang
bernama Malboro (mungkin dekat benteng Malboro), terdapat orang-orang
yang mengaku adalah keturunan laki-laki asal Koto Gadang, kasus yang
sama juga ditemukan di Padang.
Adat di Koto Gadang tersebut, ternyata juga mengalami fase
perubahan, khususnya mengenai perempuan yang semula tidak diizinkan
meninggalkan kampungnya. Sekitar tahun 1860-1870, perempuan Koto
Gadang mulai yang ikut suami berdiam di rantau. Walaupun demikian, jika
mereka hamil, maka akan pulang ke Koto Gadang sampai ia melahirkan.
Belakangan tradisi hamil pulang ke kampung ini pun berubah.
Tidak salah kiranya jika mengalamatkan suku Minangkabau sebagai
salah satu suku bangsa yang menjunjung tinggi adat istiadatnya. Bahkan,
dalam setiap kampung atau nagari bisa dimungkinkan perubahan dalam
istiadat dilatarbelakangi oleh suatu momen yang mempertemukan dua orang
suku beda kampung yang terlibat dalam suatu masalah. Dahulu, pernah ada
perempuan Koto Gadang yang menikah dengan laki-laki dari nagari lain,
yakni dari Guguk dan Sianok dan kejadian serupa ditemukan lagi pada 1820.
33
Umumnya ketika itu, Orang Koto Gadang jarang yang mengambil menantu
dari Orang Sianok dan Guguk, dikarenakan perbedaan karakter
penduduknya.
Kaum lelaki Koto Gadang saat itu dikenal sebagai orang yang gemar
merantau dan menjalin perkawanan dengan orang dari tempat lain termasuk
orang Belanda. Perempuan Koto Gadang juga biasa bergaul dengan nyonya-
nyonya Belanda. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan dalam karakter
adat mereka. Orang Koto Gadang dikenal sebagai pribadi yang royal dalam
banyak hal. Mereka rela mengeluarkan biaya mahal untuk membeli barang-
barang rumah tangga dan pakaian yang mahal. Begitu juga dalam menjamu
tamunya, Orang Koto Gadang menyediakan makan dan minuman suguhan
bisa dikatakan berlebihan (lebih dari patut).
Di sisi lain, penghidupan Orang Sianok dan Guguk, selain bersawah
dan berkebun, adalah berdagang. Sifat seorang berdagang adalah penuh
perhitungan dan berhemat. Sifat ini dianggap berseberangan dengan
kebiasaan Orang Koto Gadang. Oleh sebab itu, dalam membina kehidupan
dianggap tidaklah cocok. Terlebih Orang Koto Gadang saat itu rata-rata
dikenal sebagai orang-orang berpendidikan sedangkan orang Sianok dan
Guguk tertinggal jauh dalam hal itu. Bukan hanya orang Koto Gadang saja
yang merasa tidak cocok dengan mengambil urang sumando dari kedua
nagari itu, begitu pula sebaliknya.40
Negeri Minangabau memang banyak petatah-petitih yang digunakan
sebagai ajaran hidup. Namun, menurut Snouck Hurgronje, bukan itu yang
menjadi sumber adat Minangkabau, melainkan adalah perkataan para kaum
adat. Hukum adat lebih cepat berubah ketimbang pepatah yang terjalin dari
40 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 27-28.
34
mulut ke mulut. Yang dimaksud kaum adat adalah orang-orang tua, orang-
orang terkemuka dalam suatu keluarga suku atau wilayah. Mereka akan
memberikan keterangan atas peristiwa tertentu dan ucapannya itulah yang
diartikan sebagai hukum adat. Tidak mungkin mereka akan memutarbalikkan
apa yang sudah diutarakan sebelumnya.41
Mengenai hukum pewarisan matrilineal, menurut Snouck Hurgronje,
keberadaan sudah ada jauh sebelum agama Islam datang ke Minangkabau.
Ketika hukum Islam sudah mulai diberlakukan, beberapa hukum pernikahan
pra Islam masih pula ditemukan. Susunan adat matrilineal sudah dianggap
orang Minangkabau sebagai faktor yang sangat berguna bagi kepentingan
umum, sehingga peraturan adat dalam banyak segi masih dipilih sebagai
peraturan bermasyarakat. Dalam setiap periodenya, sistem adat matrilineal di
Minangkabau mengalami perkembangan, sebagai konsekuensi dari
perubahan sosial di dalamnya.42
Hukum adat Minangkabau merupakan gabungan dari hukum lokal dan
hukum Islam. Dalam Tambo Minang dijelaskan bahwa syara (hukum Islam)
merupakan instrumen penting pembentuk hukum di Minangkabau.
Disebutkan pula bahwa undang-undang dalam masyarakat Minangkabau
tercipta sejak masa yang lama dan tetap adanya. Artinya diturunkan secara
generasi ke generasi agar masyarakat Minangkabau senantiasa berada dalam
keadaan bijaksana.43
Bagi sebagian pengamat Barat, sistem kekeluargaan Minangkabau
menjadi masalah unik untuk diriset. George Wilken, seorang peneliti,
41 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII (Jakarta: INIS,
1993) hlm. 13. 42 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan ..., hlm. 16-17. 43 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Departemen P dan K, 1994) hlm. 120 – 121.
35
menyerukan pada 1880 agar para periset menjadikan sistem keluarga di
Minangkabau dan Malaysia sebagai objek penelitian. Evelyn Blackwood
menyebutkan bahwa kasus Minangkabau menganggung asumsi-asumsi
universal mengenai kedudukan perempuan di dunia.44 Usaha-usaha kolonial
untuk menciptakan suatu “gambaran besar” mengenai budaya Minangkabau
masih terus digunakan dalam riset etnografi selama abad 20. Pelbagai bentuk
klise-klise kebudayaan, tabel-tabel keluarga yang rumit, hingga diagram
pola-pola pewarisan yang malang melintang masih menjadi rujukan hingga
sekarang. Dalam etnografi Minangkabau, matriarkat bisa dipandang sebagai
egalitarianisme gender yang tinggi derajatnya, ketimbang sekedar dianggap
sebagai pantulan cermin budaya maskulin yang menindas.45
Anggapan miring mengenai matriarkat di Minangkabau sebenarnya
diperhalus oleh keberadaan agama Islam. adat waris yang menyatakan bahwa
anak perempuan menerima semua harta tak bergerak dan pandangan
mengenai satu keluarga yang hidup bersama di mana seorang istri bisa
bersendiri dengan suami sepupunya, sama sekali tidak ditolerir oleh ajaran
Islam. sejak abad 18, pengamat asing dan reformis Islam telah
memperkirakan bahwa al-Qur’an tentu akan merombak sendi-sendi adat
yang bersifat matriarkat. Pada kenyataannya, itu sama sekali tidak terjadi.
Para pakar kerap melihat pada keberadaan keluarga inti dan harato pencarian
yang diperoleh dari hasil keringat laki-laki atau suami, dan menganggapnya
sebagai bukti rapuh dan mundurnya hukum adat. Dalam ketentuan adat
Minangkabau, harta tersebut sejatinya termasuk dalam harta keluarga besar
44 Evelyn Blackwood, Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran
Village (Lanham: Rowman & Littlefield, 2000) hlm. 9-10. 45 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 9-10.
36
matrilineal. Banyak penelitian tentang adat Minangkabau yang melihat
pertarungan antara adat dan agama, khususnya dalam urusan warisan.46
Dikatakan dalam Tambo Minang, bahwa dalam masyarakat
Minangkabau terdapat dua macam hakim, hakim adat dan hakim syara
(ulama). Antara hakim adat dan hakim syara hendaknya ada keselarasan
dalam bertindak. Keduanya tidak bisa saling memutuskan dengan tanpa
disertai musyawarah. Kedua hakim itu harus mempunyai pengetahuan
tentang adat dan hukum Islam. Hukum syara bersumber dari hadis dan dalil-
dalil agama (al-Quran). Darinya, hakim dapat mencari sandaran dalam
memutuskan sebuah perkara.47
Adat lokal sejatinya tidaklah mudah untuk tercerabut dan biasanya
mempunyai sisi kebal dan tahan banting terhadap perubahan. Perubahan
tentu saja ada, namun tidak sampai merubah sifat dasar atau ketentuan-
ketentuan yang dianggap wajib adanya. Adat Minangkabau mengalami
perjalanan sejarah yang dinamis. Masuknya kaum Wahabi yang diinisiai oleh
3 haji dari Mekkah agaknya menjadi tonggak yang penting adanya.
Kemudian, fase yang juga menyejarah, adalah tatkala adat Minang harus
bersinggungan dengan tata kelola masyarakat kolonial.48 Keduanya menjadi
pengaruh luar yang cukup menimbulkan pergulatan di jantung tradisi
Minang.
B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau
Islam merupakan salah satu agama besar yang memiliki akar sejarah
panjang di Minangkabau. Jika dirunut ke belakang, kemunculan agama ini,
jauh sebelum datangnya ketiga haji sebagaimana yang disinggung di atas.
46 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 11. 47 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 142 – 144. 48 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 12.
37
Proses konversi keyakinan yang terjadi di Minangkabau, tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan sebagian wilayah Minangkabau sendiri, terutama
pesisir, yang sejak masa yang lama menjadi persinggahan para saudagar
yang berniaga dengan penduduk lokal. Dari persentuhan ekonomi,
pembicaraan merambah ke pembahasan mengenai agama.
Mafri Amir menjelaskan bahwa pada abad ke 7 sudah ada pedagang
Arab asal Hadramaut yang berlabuh di bandar Minangkabau. Informasi ini
bisa diterima mengingat banyak dari pedagang Minangkabau yang saat itu
telah lalu lalang mengarungi Samudera Hindia sampai Cina jauh sebelum
kedatangan Islam. Namun, pegangan sejarah lain yang diyakini adalah
kedatangan Islam di Minangkabau terjadi pada abad 13, dengan menyisir
alur sungai di timur Sumatera hingga jauh ke pedalaman Minangkabau. Hal
ini bisa ditelusuri dari masa yang lebih awal. Datangnya Islam, sebagaimana
yang diyakini sejarawan, adalah di Pasai dan Perlak baru menuju Malaka.
Sampai di Malaka terbagi dua, sebagian melanjutkan ke pedalaman Malaya
hingga sampai ke Thailand dan Filipina, sebagian yang lain meneruskan ke
arah laut. Di laut Malaka, para pengamal Islam terbagi dua, yang satu
menuju timur Sumatera dan yang lain ke arah Indonesia bagian timur,
termasuk ke Maluku dan Sulawesi.
Berpijaknya Islam di Aceh membawa gelora baru bagi penduduk
Sumatera. Dari sini dakwah-dakwah Islam mulai dikumandangkan turun
hingga sampai ke pantai barat Sumatera, hingga sampai puncaknya, dari
abad 15 hingga 17, wilayah tersebut berada dalam kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam. Di sisi lain, pendapat yang mengatakan datangnya Islam
dari pantai barat Sumatera atau Pariaman masih merupakan suatu keraguan.
Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1699), tokoh yang dinisbatkan dalam
pendapat ini, sejatinya bukanlah pembawa Islam pertama ke Minangkabau.
38
Dia hanyalah seorang yang mengembangkan dakwah Islam dengan bertumpu
pada penyebaran Tarekat Syattariyah. Hal ini bisa dibuktikan dengan
Maharaja Pagaruyung Islam pertama, Sultan Maharaja Alif, sudah menjadi
Muslim sejak tahun 1581, sedangkan Syekh Burhanuddin baru datang dari
Aceh pada 1677. Syekh Burhanuddin sendiri pernah belajar Islam kepada
Taunku Madinah Sanur atau Syekh Abdul Arif. Atas nasehat gurunya ini,
Pono (nama remaja Burhanuddin) berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel
di Aceh, baru sepulang dari sana ia mengenakan gelar Syekh Burhanuddin,
nama yang diberikan Syekh Abdurrauf Singkel.49
Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan, salah satu even yang bisa
dijadikan pijakan kapan Islam datang ke Minangkabau adalah ketika
Minangkabau berada dalam kekuasaan Aceh Darussalam pada abad ke 16.
Sejak tahun 1513, yakni ketika Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah
berkuasa di pariaman, yang bertindak sebagai syahbandar Kerajaan Aceh di
sana di alam Minangkabau sudah banyak orang yang menganut Islam
mazhab Syiah sekte Karmatiyah. Salah satu pusat dakwah dan pengajaran
Islam saat itu adalah terletak di Ulakan yang sudah berdiri sejak tahun 1513.
Sekitar tahun 1700-an, Para juru dakwah tamatan Ulakan ini telah selesai
mengislamkan alam Minangkabau. Ajaran-ajaran Syiah di Minangkabau
perlahan sudah mengakar dalam tradisi Minangkabau yang terlihat pada
perayaan Tabut dan Upacara Basapah yang hingga tahun 1804, masih
dilakukan di makam Sultan Alif di Sumpur Kudus. Perkembangan tarekat
49 Mafri Amir, “Islam, Minangkabau dan Hamka” dalam
http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/ diunduh pada 2 Maret 2016, Pukul 8.00 WIB.
39
Syattariyah juga dimotori oleh para pendakwah beraliran Syiah, termasuk
Tarekat Syattariyah.50
Nama Syekh Burhanuddin, jika dikatakan sebagai penyebar Islam
pertama di Minangkabau, memang masih menjadi perdebatan di kalangan
sejarawan. Mangaradja Onggang Parlindungan menyebutkan bahwa dalam
sejarah Minangkabau paling tidak dikenal empat orang yang bernama Syekh
Burhanuddin. Yakni:
1. Panglima Burhanuddin al-Kamil, wafat di daerah Kuntu/Kampar di
Minangkabau Timur pada tahun 610 H/ (=1214 M)
2. Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah, saudara dari Sultan Aceh
pertama, Sultan Ali Mughayyat Syah. Ia menjadi Sultan Muda Aceh
Darussalam yang membawahi daerah Pariaman pada rentang tahun
1513-1530. Ia wafat di Aceh.
3. Iskandar Panah, cucu dari Laksamana Tuanku Burhanuddin Syaho.
Pada tahun 1580, ia mengislamkan Yang Dipertuan Raja Alam
Pagaruyung yang berganti gelar menjadi Sultan Alif. Ia berpulang di
Sungai Kampar pada tahun 1585.
4. Syekh Burhanuddin II, cucu dari cucu Laksamana Tuanku
Burhanuddin Syah yang mangkat di Ulakan pada tahun 1111 H atau
sekitar 1697 M.
Keempat nama Burhanuddin itu berjasa menyebarkan Islam di wilayah
Minangkabau. Menurut penuturan Onggang Parlindungan mereka membawa
paham Syiah masuk ke Minangkabau. Selain berdakwah mereka juga
berperan dalam perdagangan rempah-rempah Minangkabau yang dikirim ke
Aceh lantas kemudian ke Gujarat. Onggang Parlindungan percaya bahwa
50 Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm.
125.
40
penyebaran Islam di Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari apek
perdagangan rempah. Bahkan, ia beranggapan bahwa terbentuknya
kekuasaan Malaka yang kemudian diikuti oleh penanaman Islam mazhab
Syafii di sekitar Sungai Kampar di timur Minangkabau, juga untuk
mempermudah perdagangan rempah yang digalang Malaka.51
Untuk ketiga nama Burhanuddin sebelumnya memang belum banyak
diangkat dalam suatu kajian sejarah yang serius, sedangkan nama terakhir
merujuk pada nama Burhanuddin Ulakan sebagaimana yang diterangkan
sebelumnya. Untuk pelabelan Syiah sebagai mazhab yang disebarkan di
Minangkabau olehnya, tentu perlu dikaji lebih lanjut. Namun, jika melihat
adanya kesamaan tradisi Tabut yang hingga hari ini masih dilakukan di
Pariaman dengan pendapat yang mengatakan pernah eksisnya paham Syiah
Minangkabau tentu merupakan hipotesis yang bisa diyakini, sebelum
kemudian diadakan penelitian lebih mendalam. Terlebih dengan melihat
Ulakan yang juga terletak di wilayah Pariaman.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin banyak
bersendi pada ajaran tasawuf dan tarekat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
latar belakang keilmuannya yang dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel,
yang juga pakar dalam bidang tasawuf. Terdapat suatu suntingan naskah
berjudul Sejarah Ringkas Auliyaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan
yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau Versi Imam
Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib yang didapatkan dari Pakeh Sainun
yang mendapatkannya dari Nagari Ulakan, Pariaman, Padang. Naskah ini
ditulis dalam huruf Arab-Melayu. Naskah ini ditulis pada tahun 1993, jadi
merupakan naskah yang berumur sangat muda.
51 Mangaradja, Tuanku Rao ..., hlm. 679-680.
41
Dalam naskah ini diceritakan beberapa pengajaran sufi yang diterima
Syekh Burhanuddin dari Syekh Abdurrauf Singkel. Selama hampir 30 tahun,
diceritakan Burhanuddin menggembalakan ternak gurunya dan membuat
kolam ikan di sekitar masjid. Pada suatu hari, Syekh Abdurrauf Singkel
meminta seluruh muridnya untuk mengambil suatu kapuran di dalam tebat
(kolam) yang dipenuhi dengan kotoran manusia. Murid-murid Syekh
Abdurrauf ragu dan menimbang-nimbang perintah itu, namun tiba-tiba,
Burhanuddin segera masuk ke kolam dan menemukan kapuran itu lantas
membersihakannya dan memberikannya kepada gurunya.
Dalam cerita lain, Syekh Burhanuddin diarahkan gurunya untuk
bertafakur atau mengasingkan diri ke suatu gua batu di hulu Sungai Aceh
selama setahun. Selama di perjalanan, ia banyak menjumpai berbagai
rintangan seperti bertemu kawanan babi, ular besar, harimau dan hutan yang
dipenuhi duri-duri. Oleh karena kebulatan tekad dan berserah diri kepada
Tuhan, ia berhasil melewati halangan tersebut dan sampai ke tempat tujuan.
Dalam naskah itu diceritakan ujian akhir gurunya kepada Burhanuddin
adalah ia dititahkan untuk menemani kedua anak gurunya. Syekh
Burhanuddin sudah mafhum bahwa ujian kali ini adalah menahan syahwat
dan hawa nafsu. Anak Syekh burhanuddin memiliki wajah yang manis,
rupawan dan penurut. Di suatu kesempatan Syekh Burhanuddin tidak kuasa
menahan syahwatnya, lantas untuk menahan itu ia memukul kemaluannya
sendiri. Karena kejadian itulah Syekh Burhanuddin tidak mempunyai istri
dan anak di kemudian hari. Setelah melalui ujian itu ia diperintahkan
gurunya untuk menyebarkan Islam di kampung halamannya.52
52 Nova Sri Dewi dkk, “Alih Aksara dan Alih Bahasa Teks Sejarah Ringkas
Aliaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan Yang Mengembangkan Agama Islam DI Daerah Minangkabau Versi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib” dalam Jurnal
42
Sidi Ibrahim Boechari berpandangan bahwa penyebar Islam awal
berprofesi ganda, yakni muballigh (pendakwah) merangkap saudagar.
Mulanya, mereka memperkenalkan Islam kepada orang yang dekat
dengannya atau orang yang sudah menjadi sasarannya sejak awal. Tentu saja,
pergaulan mereka bertumpu pada kedekatan baik dilatarbelakangi motif
perdagangan maupun yang lainnya. Sistem semacam ini sudah berjalan sejak
masa yang lama. Metode ini tidak mengenal tempat dan waktu, dengan kata
lain terjadi ketika kesempatan itu ada.53
Para penyebar Islam generasi awal biasanya memiliki totalitas dalam
berdakwah. Cara dakwah yang dipilih mengedepankan metode yang mudah
diterima masyarakat luas. Tidak ada jadwal tertentu dalam melaksanakan
dakwah, mereka akan memaksimalkan kesempatan dan waktu yang dimiliki
apabila dianggap tepat untuk memperkenalkan Islam ke tengah penduduk
non-Muslim.
Rencana para muballigh (pendakwah atau penyebar) Islam bukan
hanya sebatas mengkonversi penduduk suatu wilayah, melainkan juga
membangun tempat ibadah (masjid). Setelah mendapat tempat untuk
berbicara, perhatian mereka akan tertuju pada bagaimana membangun masjid
sebagai sarana mendirikan shalat lima waktu sekaligus memperkuat
persatuan umat. Masjid juga digunakan sebagai tempat mengaji al-Qur’an
dan belajar agama Islam.54
Ajaran Syekh Burhanuddin tentang keislaman sedikit banyak
dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel. Merujuk pada penjelasan Bahasan dan Sastra, Vol. 2, No. 2. Maret 2014, Seri A; lihat http://ejournal.fip.unp.ac.id. Pada 2 Maret 2016 pukul 09.57 WIB.
53 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 69.
54 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 14.
43
Azyumardi Azra, meskipun Abdurrauf Singkel adalah sosok ulama yang
berkiprah dalam bidang tasawuf, namun model tasawufnya masihlah
bersintesa dengan hukum Islam. artinya, tasawuf yang diajarkan tidaklah
berseberangan dengan ketentuan dan ajaran Islam dari aspek syariatnya. Ia
adalah tipe ulama evolusioner dan bukan radikal. Hanya dengan
melaksanakan seluruh syariatnya (berupa ibadah ritual keseharian), para
penempuh jalan sufi dapat menyibak rahasia ilahi. Syekh Abdurrauf Singkel
juga dikenal karena tarekatnya, terutama tarekat Syattariyah.55
Sebelum masa menguatnya kedudukan Islam, biasanya dalam suatu
kampung atau nagari, orang yang paling dihormati dan termasuk dalam
jajaran pemimpin masyarakat adalah penghulu. Penghulu di sini memiliki
makna yang khusus, dan bertindak sebagai pemimpin tradisional. Kemudian,
sejak perkembangan Islam, terutama setelah pecahnya Perang Paderi,
kedudukan ulama semakin penting dan mengalami perluasan aktivitas.
Beberapa ulama mulai banyak yang ditunjuk sebagai pemimpin rakyat dan
suaranya amat menentukan dalam perjalanan kepemerintahan dalam suatu
nagari. Ulama adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur
pemerintahan nagari.
Dikatakan dalam Tambo Minang bahwa terdapat pusaka yang menjadi
pedoman bagi orang yang tinggal di alam (nagari). Pusaka ini berupa
peraturan-peraturan para raja saat mereka memerintah, para penghulu
pembuat hukum serta para ulama yang dengan nasehatnya memberi
penerangan terhadap masalah-masalah umat.56
55 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 254 – 255. 56 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 146.
44
Sebelum keberadaan tempat belajar agama yang layak (surau dan
sebagainya), agama Islam diajarkan dari keluarga ke keluarga. Sebuah
keluarga yang telah memeluk Islam, dari hari ke hari mempelajari Islam
dengan tekun. Mereka akan mencari satu di antara anggota keluarganya yang
dianggap lebih paham mengenai seluk beluk Islam dan memintanya untuk
mengajarkan kepada anggota keluarga lain yang belum mengerti. Tentu tidak
semua keluarga memiliki anggota keluarga yang paham tentang Islam. Jika
ditemukan keluarga yang di antara anggotanya tidak ada yang pengetahuan
Islamnya menonjol, maka mereka akan menggabungkan dengan rumah
tangga lain yang di dalamnya ada seseorang yang mengerti tentang Islam.
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan mengenai siapa yang
diwajibkan mengkaji Islam. Jika sebelumnya pendidikan agama tidak
mengenal umur, maka di kemudian hari hanya kalangan muda, baik anak-
anak maupun pemuda pemudi tanggung, yang didorong untuk mengkaji
Islam secara rutin. Guru menyampaikan ajaran Islam dengan model narasi,
sedangkan para murid menyimak dengan seksama.
Tema-tema pengajaran Islam di abad-abad awal perkembangan Islam
di Minangkabau biasanya berisi ajaran praktis. Beberapa tema yang
diajarkan adalah mengenai ketuhanan, keimanan serta masalah-masalah yang
berhubungan dengan ibadah. Saat itu, belum ditemukan pengkhususan dalam
ilmu agama. Besar kemungkinan sistem pendidikan halaqah sudah dimulai
di masa itu. Halaqah merupakan metode belajar di mana guru
menyampaikan materi di surau, masjid atau di rumahnya sendiri. Para murid
duduk mengelilingi sang guru dan menyimak ilmu yang disampaikan.57
57 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 70.
45
Dengan semakin kompleksnya peran ulama, maka membawa ulama
pada gelanggang perpolitikan di Minangkabau. Khatib, imam, qadi bahkan
banyak yang menduduki jabatan penting dalam balai nagari. Di samping itu,
tentunya masih ada kelompok ulama lain yang menyibukkan dirinya dalam
tugas aslinya, yakni sebagai pendidik dan pengajar agama. Surau-surau
menjadi sentra aktivitas ulama dan masyarakat setempat. Jika suatu surau
mempunyai ulama yang muridnya banyak dan terkenal karena kedalaman
ilmunya, maka dengan sendirinya prestis nagari tempat surau itu ada
terangkat derajatnya. Dengan kata lain popularitas ulama menyumbang
ketinggian martabat nagari satu atas nagari lainnya.58
Surau menjadi salah satu bahasan yang ideal untuk mengupas
bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau terbentuk. Ketika
membicarakan sejarah pendidikan tradisional di Minangkabau, memang
tidak hanya surau yang turut andil, namun alasan utama yang mendorong
penulis menyinggung surau sebagai lokus bangkitnya gairah intelektual
Islam di Minangkabau, adalah merunut pada jalur geneologisnya, yang
merupakan hasil dialektika dari islamisasi yang panjang.
C. Surau: Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial
Perkembangan surau sebagai salah satu lembaga pendidikan dan
penyebaran agama Islam tidak bisa lepas dari sosok Syekh Burhanuddin
Ulakan. Sepulangnya dari Aceh, ia mendirikan surau di kampungnya,
Ulakan, Pariaman.59 Di surau inilah Syekh Burhanuddin mendidik murid-
58 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 36-37. 59 Menurut penjelasan Muhammad Yunus, sebelum ke Ulakan, Syekh Burhanuddin
mengajar di tempat kelahirannya di Sintuk, baru kemudian ke Ulakan. Lihat Muhammad
46
muridnya yang kelak banyak yang menjadi ulama terkenal di
Minangkabau.60 Surau, seperti pesantren di Jawa, mempunyai peran vital
dalam perkembangan dan pengajaran Islam di Minangkabau. Oleh sebab itu,
membincang Islam di Minangkabau pada masa awal, amat berhubungan
dengan surau sebagai wahana belajar rakyat.
Surau merupakan istilah yang lazim dijumpai di kawasan Asia
Tenggara. Daerah yang paling banyak menggunakan istilah itu adalah
Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia dan Pattani
(Thailand Selatan). Di Aceh, surau lebih dikenal dengan sebutan rangkang
atau meunasah, dan di Jawa lazim dinamakan langgar atau pesantren. Surau
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia sebelum kemudian menerima
pembaruan di bidang metode dan teori pembelajaran dari luar negeri, yang
merupakan ekses dari perubahan zaman yang menuntut sistem tradisional
dan agraris berubah menjadi sistem modern dan industri yang salah satu
visinya adalah merubah negara berkembang lepas landas menjadi negara
maju.61
M.H.D. Nasir menyatakan bahwa Surau sejatinya merupakan bangunan
asli Minangkabau yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Biasanya surau
didirikan di atas tanah yang paling tinggi, atau paling tidak lebih tinggi dari
bangunan lain. salah satu surau yang paling tua diketahui, adalah pada tahun
1356, Raja Adityawarman mendirikan komplek surau Budha di sekitar Bukit
Gombak. Pada saat itu surau digunakan sebagai bangunan yang di dalamnya
diselenggarakan kepentingan kebudayaan dan adat. Tempat ini juga Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyyah, 2008) hlm. 13.
60 Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah (Jakarta: P2M, 1985) hlm. 156-167.
61 Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012, hlm. 256.
47
digunakan sebagai tempat upacara ritual Hindu-Budha. Tempat ini juga
dikenal sebagai tempat bermusyawarah mufakat dalam membahas masalah
adat dan sosial, serta mempelajari adat dan tradisi. Dengan demikian, dapat
diketahui, sebelum kedatangan Islam, surau sudah menduduki tempat yang
tinggi dalam pergaulan masyarakat Minangkabau pra-Islam.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, para penyebar Islam menemukan
surau sebagai sentrum penting di lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu,
para pendakwah tidak menerapkan cara-cara radikal dalam berdakwah,
melainkan menggunakan produk budaya yang ada sebagai media
mendekatkan diri dan mengenalkan Islam kepada penduduk. Bangunan surau
tidak lantas ditukar dengan masjid. Mereka memanfaatkan surau sebagai
panggung untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Di beberapa daerah
ditemukan pula masjid yang dibangun dekat surau, atau sebaliknya. Hal
tersebut dapat dijumpai di wilayah Pariaman, di mana jarak antara masjid
dan surau tidaklah jauh, hanya terpisah dua meter saja.62
Dilihat dari bentuk bangunannya, surau terbagi dalam dua bagian yakni
surau gadang (surau besar) dan surau ketek (surau kecil).63 Surau gadang
adalah surau yang menjadi pusat atau titik temu dari surau-surau kecil di
sekitarnya. Di salam surau ini secara berkala diselenggarakan pengajian yang
dipandu oleh seorang syekh yang murid-muridnya adalah para guru yang
berasal dari surau-surau kecil sekitar. Pemberian nama surau gadang
biasanya dinisbatkan oleh nama sang syekh yang beraktivitas di surau itu,
atau sering juga disamakan dengan daerah tempat surau gadang berdiri.
Beberapa contohnya adalah surau gadang Tanjung Medan di Ulakan, Surau
62 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di
Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012, hlm. 39.
63 Duski Samad, Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain) (Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001) hlm. 102.
48
Koto Tuo Ampek Angkek, Surau Inyiak Candung di Bukittinggi, Surau
Inyiak Jaho di Padang Panjang, Surau Inyiak Parabek dan banyak yang
lainnya. Pada akhirnya, beberapa surau gadang ini banyak berubah menjadi
masjid, madrasah/pesantren atau tempat pengajian.64 Daya tampungnya yang
luas membuat masyarakat tidak ragu untuk memfungsikannya menjadi lokus
belajarnya warga dari berbagai surau sekitar.
Surau ketek mempunyai beberapa model. Model pertama adalah surau
kecil ini didirikan oleh kelompok suku, idu, jorong kampung dan pedagang.
Surau jenis ini banyak tersebar di Sumatera Barat dan mempunyai posisi
yang penting dalam ritual keseharian masyarakat setempat. Surau ini
diramaikan oleh banyak kegiatan baik yang bersifat keagamaan seperti
mengaji al-Qur’an, wirid bersama dan zikir tarekat, maupun juga yang
bernuansa kemasyarakatan seperti tempat latihan pidato adat (penatihan) dan
tempat berlatih kesenian. Di area surau ini juga kerap dijadikan tempat
berlatih pencak silat. Model yang kedua adalah surau ketek yang didirikan di
sekitar (berdekatan) dengan surau gadang. Surau ini dihuni oleh para murid-
murid yang mengaji kepada syekh di surau gadang. Surau semacam itu bisa
dijumpai di Komplek Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan
Pariaman dan Surau Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh,
Komplek Surau Tarbiyah Islamiyah Candung Bukittinggi, Komplek Surau
Tuanku Koto Tuo Agam, Komplek Surau Jaho di Padang Panjang dan lain
sebagainya.65
Pada perkembangannya, hampir di setiap nagari di Minangkabau
terdapat masjid sebagai lokasi diselenggarakannya shalat Jumat, dan pada
tiap-tiap kampung dibangun langgar atau surau sebagai tempat mengaji dan
64 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 259. 65 Duski Samad, “ Surau Syekh Burhanuddin ...”, hlm. 103.
49
mendirikan shalat lima waktu. Menurut kebiasaan saat itu, anak yang telah
berumur tujuh tahun harus dipisahkan dengan ibunya. Anak-anak itu
menginap di surau sambil belajar al-Qur’an kepada guru agama setempat.
Tingkat pendidikan terendah pada saat itu adalah mempelajari al-Qur’an atau
dinamakan pula pengajian al-Qur’an.
Pada tingkat permulaan, sang guru akan mengulang-ulang menyebut
huruf Hijaiyah, yang setelah diikuti oleh murid-muridnya. Pembelajaran saat
itu dilakukan dengan duduk bersila dan belum menggunakan kelas-kelas.
Setelah mengerti dan pandai huruf Hijaiyah barulah naik ke belajar membaca
al-Qur’an. Di sela-sela mempelajari al-Qur’an, diajarkan pula pengetahuan
fiqih dasar, seperti tata cara berwudhu, salat dan sebagainya. Di lain waktu,
mereka juga diajarkan aqidah serta keimanan yang materinya berkisar pada
sifat dua puluh dan hukum akan yang tiga, yakni wajib, mustahil dan jaiz.
Pengetahuan akhlak, diberikan kepada murid melalui metode cerita,
seperti mengkisahkan para nabi, orang-orang soleh serta teladan yang
diberikan oleh guru pengajian sehari-hari, baik melalui perkataan, perbuatan
dan sikap. Dengan beberapa keterangan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa Pengajian al-Qur’an di surau mempunyai mata pelajaran
antar lain: 1) Membaca al-Qur’an (termasuk huruf hijaiyah); 2) ibadah,
seperti: berwudhu, shalat dan sebagainya; 3) keimanan (sifat dua puluh), dan;
4) akhlak dengan cerita-cerita.66
Sistem pengajaran Minangkabau lama adalah bersendi pada pengulang-
ulangan disertai dengan lagu pada mata pelajaran tertentu. Lagu inilah yang
menjadi penarik perhatian anak-anak untuk semangat belajar, meskipun
awalnya mereka tidak mengerti apa maksud dan makna dibalik lagu-lagu
66 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 30-31.
50
tersebut. Bahkan, dalam beberapa hal, materi pelajaran ada yang digubah
menjadi sajak, sebagai salah satu kesenian yang lazim ditemukan di surau.
Dalam sistem pendidikan ini, sang guru kerapkali keras mengajar dan tidak
segan memukul muridnya dengan rotan. Hal inilah yang membuat anak-anak
takut dan kecewa dalam belajar. Sesudah tahun 1900-an, tidak banyak lagi
dijumpai guru-guru yang membawa rotan.67
Setelah para murid menamatkan mengaji al-Qur’an, sebagian dari
mereka ada yang terjun ke masyarakat dan sebagian yang lain melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tingkatan ini disebut juga
pengajian kitab. Kitab yang digunakan untuk mengkaji ilmu gramatika Arab
(Sharaf) disebut Kitab Dhammun, kitab yang disusun menggunakan tulisan
tangan namun tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Setelah
menamatkan kitab tersebut, para murid mengkaji kitab nahwu yang berjudul
Al-Awamil. Setelah menyelsaikan kitab itu, murid diperkenalkan Kitab al-
Kalamu, yang mempunyai judul asli Kitab al-Jurumiyah. Kitab tersebut
banyak dikaji pula di pesantren, bahkan hingga hari ini. Dahulu kitab ini
masih ditulis tangan, namun sekarang sudah dicetak.68 Setelah murid
menyelesaikan Kitab al-Awamil, mereka akan mengkaji kitab tata bahasa
lainnya yang berjudul Kitab Syarh al-Awamil al-Mi’ah atau yang di
Sumatera lebih dikenal dengan nama Kitab Inna Awla.69
Untuk pelajaran fiqih, hampir di seluruh Minangkabau menggunakan
literatur yang sama, yakni kitab Minhaju al-Thalibin (pedoman bagi murid-
murid yang percaya). Kitab yang digunakan dalam pelajaran tafsir adalah
kitab Tafsir Jalalain, dan untuk pelajaran tauhid, para murid menelaah Kitab
Ushul Barahin karya al-Sanusi, yang di lingkungan pesantren Jawa lebih
67 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 35. 68 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ... , hlm. 43. 69 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 262-263.
51
dikenal dengan nama Durrat (mutiara), sedangkan di surau disebut juga
dengan Sifat-Sifat Dua Puluh. Dalam pengajaran tasawuf mengkaji kitab
Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.70
Selain tempat belajar, surau juga digunakan sebagai sarana
mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf. Beberapa tarekat yang
berkembang di Minangkabau seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah dan
Qadiriyah banyak yang memusatkan kegiatannya di surau. Tarekat sendiri
bisa diartikan sebagai persaudaraan sesama Muslim yang terbentuk sebagai
tanggapan atas kebutuhan masyarakat yang ingin mendekatkan diri kepada
Tuhan sedekat-dekatnya. Di dalam tarekat mereka diharuskan menjalankan
metode-metode zikir tertentu yang antara satu tarekat dengan tarekat lainnya
terdapat perbedaan. Biasanya, dalam kesempatan berkumpul, sang guru
tarekat (mursyid) juga memberikan ceramah seputar hukum-hukum Islam.
para pengamal tarekat sudah melebur dalam masyarakat Minangkabau pada
umumnya, sehingga hampir tidak ada perbedaan yang mencolok antara
anggota tarekat dan yang bukan.71
Sebagai salah satu tempat berkumpul masyarakat, surau juga beperan
dalam membina hubungan bersama. Kedudukan surau lebih multifungsi
ketimbang masjid. Beberapa kegiatan yang mensyaratkan berkumpulnya
orang banyak, umumnya seperti kegiatan-kegiatan sosial juga dilakukan di
surau. Rapat atau musyawarah kerap diadakan di surau. Hari-hari besar
keagamaan juga kerap diadakan di surau. Surau juga banyak digunakan
sebagai tempat tidur para murid dan tempat bermalam bagi musafir.72 Pada
70 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah,
Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992) hlm. 145-147.
71 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 257. 72 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau ...”, hlm. 39-40.
52
titik tersebut, surau berperan sebagai sarana yang ramah digunakan bagi
kepentingan yang lebih kompleks ketimbang masjid.
53
BAB III
MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU
A. Interaksi Dengan Dunia Luar
Perdagangan menjadi jalur yang menghubungkan tradisionalisme
Minangkabau dengan dunia luar. Di dalam perdagangan kontak antara
pembeli dan penjual terjadi, bahkan bisa mengarah pada hubungan yang
lebih intens. Konversi agama misalnya, merupakan salah satu perubahan
sosial yang terjadi berkat terbukanya kanal perniagaan. Alam Minangkabau
mempunyai modalitas untuk sekedar mengembangkan ekonomi, tetapi juga
menciptakan pergaulan yang kosmopolit, ramai dan beragam. Ini tercipta
berkat kesinambungan yang terjadi antara penduduk pedalaman dan pesisir,
sebelum kemudian merambah ke dunia yang lebih luas.
Masyarakat Minangkabau terbagi dalam dua bagian geografis yang
dalam beberapa hal bermata pencaharian berbeda. Mereka yang tinggal di
dataran tinggi, sejak lama mengandalkan pengelolaan sawah sebagai mata
pencahariannya. Beberapa profesi lain juga banyak dilakukan oleh mereka,
seperti menambang besi dan emas. Emas dan beras menjadi salah satu
komoditas pedalaman yang bernilai tinggi di pasaran, utamanya ketika sudah
mencapai pasar pantai. Di beberapa tempat di Minangkabau juga dikenal
54
sebagai pengrajin alat-alat yang berbahasan dasar besi dan emas. Dari segi
pemasaran, mereka memperluasnya hingga ke tataran pesisir.73
Anthoni Reid berpendapat bahwa yang melatarbelakangi banyaknya
penduduk yang menanam padi, dan tanaman lainnya, di wilayah dataran
tinggi di Asia Tenggara pada umumnya, adalah temuan bahwa dataran
rendah merupakan tempat yang tidak ramah dan mudah untuk bercocok
tanam. Banjir merupakan bahaya laten yang menghancurkan tanaman,
mengancam kehidupan ternak, kehidupan rumah tangga dan ketersediaan air
bersihnya. Hanya dengan memanfaatkan sistem irigasi dan drainase yang
terpadu untuk mengelola debit air yang besar, yang kemudian digunakan
untuk mengairi sawah dan langsung diturunkan ke dataran rendah. Hal ini
lebih efisien dilakukan ketimbang mencari sumber air lainnya.
Dibukanya pertanian menuntut perombakan ekologi yang total dan
membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Berbekal teknologi yang
sederhana dan tenaga kerja yang tersusun dari satuan keluarga kecil, lembah-
lembah di dataran tinggi dengan aliran sungai kecil namun permanen yang
mengalir dari anak-anak sungai terasa mudah digarap. Sementara itu, sudah
menjadi kebiasan bahwa pembukaan lahan pertanian yang berpindah-pindah
dengan sawah yang permanen dilakukan secara bersama-sama digunakan
oleh penduduk sejak lama.74 Menimbang Minangkabau abad 19, rasanya
kebiasan ini sudah perlahan ditinggalkan oleh sebab sawah sudah menjadi
kekayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.75
73 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri;
Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 34-36.
74 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 56.
75 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 24.
55
Pembukaan lahan nomaden, sepertinya sudah sedikit demi sedikit
ditinggalkan.
Pengolahan besi adalah salah satu industri kecil yang berkembang di
Minangkabau. Pada era sebelum kedatangan kolonial, orang Minangkabau
sudah terbiasa menggunakan senapan produk sendiri. Pandai-pandai besi
Minangkabau biasanya berkumpul dalam suatu kampung yang bernama
Salimpaung. Kampung ini memang sudah mempunyai reputasi sebagai
pembuat senapan. Di kampung lain, yakni di Lima Kaum, Sungai Puar, dan
Tanjung Alam juga memproduksi berbagai jenis senjata seperti senapan,
keris, pisau, anak panah dan tombak. Munculnya industri-industri skala kecil
ini tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bijih besi yang melimpah,
terutama yang lokasi produksinya berdekatan dengan Gunung Besi yang
terletak di sebelah barat Tanah Datar.76
Para penduduk dataran tinggi sudah mafhum bahwa orang di dataran
rendah, termasuk di pantai, membutuhkan pasokan bahan makanan. Hampir
setiap pagi, berduyun-duyun para pedagang pedalaman turun ke pasar-pasar
dataran rendah dengan membawa aneka sayuran seperti kol, cabai, tomat,
kopi dan pelbagai perabotan hasil kerajinan tangan seperti keranjang
anyaman, pot, periuk, hasil tenunan, sampai barang-barang perhiasan mereka
dagangkan di pasar-pasar daerah bawah. Kelangsungan daur hidup semacam
ini adalah bagian dari kebudayaan klasik Minangkabau, yang terbentuk sejak
lama.77
Masyarakat yang hidup di pesisir, pada umumnya tergabung dalam
kampung-kampung yang kecil. Satu kampung biasanya diisi oleh tidak lebih
76 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 49 dan 35. 77 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 8.
56
dari 50 rumah. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup sebagai
nelayan dengan mencari ikan di laut lepas dan muara sungai besar. Beberapa
hasil tangkapan diolah menjadi ikan asin, yang dipasarkan hingga ke wilayah
pedalaman. Kebun kelapa merupakan modal yang penting pula. Banyak
manfaat yang bisa dituai dari tanaman ini. Salah satu kekhasan lain dari
penduduk pesisir Minangkabau adalah menanam kapuk.78
J. Kathirithamby-Wells menyatakan bahwa hubungan hulu-hilir di
Sumatera, termasuk di Minangkabau, amat bergantung pada ketersediaan
jalur sungai sebagai alat penyambungnya. Orang di Sumatera sudah terbiasa
menggunakan sungai sebagai alat angkutan barang-barang dan manusia,
yang menuntut pengetahuan yang memadai tentang bagaimana sistem aliran
sungai bekerja. Aneka barang dagangan seperti hasil ukiran dan hasil
pertanian dialirkan ke pantai barat dan timur Sumatera. Hubungan yang
terjalin antara hulu-hilir sekaligus menjadi ajang pengenalan budaya serta
pelbagai bentuk kompromi yang merekatkan hubungan keduanya.79
Yang dikatakan sebagai penggerakan ekonomi di Minangkabau,
terutama saat memasuki abad XIX, adalah termasuk pula pada perpindahan
penduduk. Interaksi yang terbangun antara penduduk nagari pedalaman
dengan dunia luar, bisa dilihat dari tradisi merantau. Merantau mempunyai
makna “pergi ke rantau” atau pergi ke dunia di luar kampungnya, bisa juga
diartikan pergi ke luar nagari. Rantau (lokasi merantau) bisa dipilih di mana
saja, asalkan keluar dari nagari-nya, atau paling tidak ke tempat terdekat
seperti pasar, kota atau sekolah-sekolah agama di nagari-nya. Pada masa itu,
rantau yang jauh bisa mencapai pelabuhan-pelabuhan Riau dan Batavia.
78 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 73. 79 J. Kathirithamby-Wells, “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East
Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993 hlm. 78.
57
Bagi sebagian orang yang merantau, merantau sendiri diartikan sebagai
petualangan atau pengalaman mengunjungi daerah geografis di luar
pengetahuannya selama ini. Orang nagari yang gemar mengunjungi rantau,
secara sadar ia sudah perlahan melepaskan diri dari ikatan kehidupan
kampungnya, meninggalkan sanak saudara dan rumahnya untuk mencoba
keberuntungan. Sebagian besar konsep merantau ini adalah buah komunikasi
yang terjalin antara mamak (paman) dan kemenakan. Pada umumnya ikatan
di rantau dilatarbelakangi oleh kesamaan darah, nagari, suku yang menjelma
dalam mobilitas geografis tertentu. Keluarga-keluarga yang mempunyai
tradisi merantau banyak yang mempunyai saudara di luar nagari-nya, baik di
sekitar Sumatera Barat maupun di tempat lainnya yang lebih jauh, bahkan
menginjak abad XIX, banyak kota besar di Indonesia yang dijejaki orang
Minangkabau.80
J. Thomas Linblad mengatakan bahwa terbukanya gerbang ekonomi
Indonesia pada masa awal modern, tidak saja bergantung pada ketersediaan
komoditas, melainkan juga elemen lain seperti sumber daya manusia.
Bahkan lebih jauh, ketersediaan pasar-pasar luar negeri adalah suatu
kemungkinan baru, tergeraknya manusia melakukan perindahan wilayah,
utamanya dalam kasus kehidupan di luar Jawa, seperti Minangkabau.
Dorongan eksogen (keluar) menjadi mungkin terjadi manakala kawasan
tersebut sudah memahami arti melakukan tindakan ekonomi di luar
wilayahnya sendiri.81
Menimbang pada tradisi bujang (anak lelaki menjelang dewasa) yang
terbiasa tidur di surau bersama kawan-kawannya, sepertinya paham
merantau tidak sulit untuk dicarikan akar terjadinya. Sebagaimana telah
80 E.E, Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 39. 81 J. Thomas Lindblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai Tantangan
Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk (Jakarta: LP3ES, 2000) hlm. 334-335.
58
dipaparkan di bab sebelumnya, anak laki-laki yang beranjak besar sudah
terbiasa melepaskan diri dari perhatian orang tuanya, utamanya ketika waktu
malam. Mereka memilih tidur di surau, karena memang keadaan dan adat
sudah terbentuk demikian. Merantau diibaratkan adalah fase selanjutnya dari
upaya melepaskan diri pada rumah dan orang tua, bedanya kini dimaknai
secara lebih radikal, yakni meninggalkan kampung halamannya untuk
mencari peruntungan baru.
Ramainya perdagangan di pesisir pelabuhan-pelabuhan Pantai Barat,
mengundang para saudagar asing untuk mencoba keberuntungannya di sana.
Beberapa pedagang yang berasal dari Eropa mulai berbelanja di pasar-pasar
dekat pelabuhan. Pedagang Belanda merasa wilayah tempatnya berniaga ini
adalah salah satu destinasi yang menjanjikan untung melimpah, terlebih saat
mengetahui koneksi para pedagang hulu dengan hilir telah terbangun sejak
lama. Tentu akan sangat berharga, jika hubungan yang baik bukan hanya
dijalin dengan kelompok pedagang, melainkan dengan para penguasa lokal
yang mempunyai wewenang atas transaksi perniagaan di pasar tersebut.
Selain melakukan perniagaan sebagaimana biasa, Belanda mulai melirik
untuk berkongsi dengan orang Cina guna menghancurkan kedudukan orang-
orang Aceh yang sejak lama menjadi pialang di pelabuhan-pelabuhan di
Pantai Barat. Untuk diketahui, profesi pialang adalah profesi yang
menghubungkan para pedagang daerah (pemasok) dengan para pembeli di
pesisir. Orang Aceh mempunyai kedudukan kuat di bandar-bandar
Minangkabau mengingat mereka banyak yang telah menjalin hubungan
keluarga dengan para pialang asal Minangkabau, melalui jalur pernikahan.
Orang-orang Aceh ini tidak seidkit yang merupakan mantan para pejabat
atau seorang yang bekerja untuk Kesultanan Aceh. Di antara mereka ada
pula yang berprofesi sebagai pedagang.
59
Persaingan menjadi kenisacayaan yang tidak bisa diabaikan di kalangan
para pialang. Sudah sering terjadi persaingan antara sesama pedagang pantai,
pedagang antarpulau hingga pedagang pedalaman. Beberapa keluarga
pialang banyak yang menaruh kepercayaan ketika berbisinis dengan orang
Aceh, namun tidak sedikit di antara mereka yang tergiur dengan ajakan
Belanda, semata-mata untuk melancarkan bisnisnya sendiri dengan janji
akan dibantu oleh Belanda. Bagi sebagian keluarga, menjalin bisnis dengan
orang Aceh dirasa banyak mendatangkan keuntungan, namun seorang
pialang kaya asal Tiku pada saat itu mendukung diusirnya orang-orang Aceh
dengan alasan mengembalikan kendali perdagangan lada dan penetapan
harga-harganya kepada orang Minangkabau sendiri.82
Keberadaan jalur perdagangan yang menghubungkan Pantai Barat
Sumatera dengan Aceh ikut membuka peluang baru bagi penduduk
Minangkabau yang ingin berhaji. Pedir, salah satu bandar yang berada di
bawah kekuasaan Aceh Darussalam, adalah bandar yang kerap
memberangkatkan jamaah haji, termasuk yang berasal dai Minangkabau.83
Dari sini mereka berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji
sekaligus membuka kesempatan lain bagi para pelajar yang ingin melanjutan
pendidikannya ke Haramain.84
B. Aktivitas Belanda dan Inggris
Menginjak tanggal 20 Juli 1818, Thomas S. Raffles bersama dengan 13
perwakilan dari desa-desa yang berada di Lembah Solok dan perbukitan di
82 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 125. 83 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204. 84 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 214.
60
sekitarnya menandatangani suatu perjanjian. Para wakil desa menyerahkan
pengelolaan daerah pesisir kepada perusahaan Inggris. Mereka khawatir jika
hal ini tidak dilakukan, maka akan terjadi suatu keadaan yang tidak mereka
inginkan sebelumnya, yakni suatu perlakuan yang tidak adil dari perusahaan
Belanda kepada para pemimpin Melayu. Tidak lama lagi, Belanda akan
kembali mengambil alih tanah pesisir dari Inggris. Pelabuhan-pelabuhan di
sana sudah berada dibawah kuasa Inggris selama 23 tahun, dan sebelumnya
sudah 100 tahun di bawah kontrol Belanda.
Ketidakadilan yang dimaksud dalam perjanjian itu adalah menyangkut
perniagaan. Para ketua desa banyak yang tidak diuntungkan dengan langkah
politik Belanda, yang membuat keuntungan mereka semakin menipis.
Banyak dari mereka yang menyandarkan penghidupan dari pelabuhan
pesisir. Ketika Inggris berkuasa, mereka baru tersadar betapa banyak
permintaan luar negeri atas komoditas-komoditas alam Minangkabau,
sesuatu yang tidak mereka mengerti saat Belanda mengelola wilayah pesisir.
Melihat pada model berniaga orang Belanda sebelumnya, maka bukan tidak
mungkin kerugian sebelumnya bisa mereka alami kembali.
Ketika orang Inggris berada di Padang, perdagangan menjadi lebih
inklusif (terbuka). Arus keluar masuk barang meningkat 20 kali lipat
ketimbang masa Belanda terakhir. Orang Minangkabau mengatakan bahwa
Belanda semena-mena dalam menentukan harga. Kopi yang mereka tanam
secara sukarela, dihargai sesuai dengan keinginan Belanda. Konsekuensinya,
apabila para kepala rakyat berkeberatan dengan ketentuan itu, maka
pelabuhan-pelabuhan akan ditutup. Atas kejadian ini, mereka merasa ditipu
dan dipermainkan Belanda.85
85 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 17.
61
Kebijakan yang dilakukan Raffles ternyata tidak didukung oleh
atasannya. Bagaimanapun, Inggris harus menghormati kesepakatannya
dengan Belanda untuk menyerahkan pelimpahan kuasa pada waktunya atas
beberapa wilayah di Minangkabau. Orang-orang Belanda yang kini adalah
kepanjangtanganan dari Kerajaan Belanda pun mengambil alih pengelolaan
Pesisir Barat Minangkabau. Lima belas ketua adat dari daerah Tanah Datar
dan Singkarak-Solok amat gusar dengan kenyataan tersebut, dan berusaha
melakukan perjanjian lagi dengan Belanda, sesuatu yang sebenarnya tidak
mereka inginkan. Dengan perjanjian, mereka berpikir bahwa kepentingan
ekonomi mereka terjaga di mana kedua belah pihak saling menghormati hak
dan kewajibannya.
Langkah mereka menemui hasil, para wakil Tanah Datar dan Singkarak-
Solok, termasuk perwakilan kraton Pagarruyung dan Suruaso
menandatangani perjanjian dengan Belanda tertanggal 10 Februari 1821.
Kini, yang dijanjian kepada para pedagang jumlahnya lebih besar ketimbang
yang mereka tandatangani tahun 1818. Perjanjian ini juga melibatkan
bantuan militer Belanda atas seluruh wilayah Tanah Datar yang termasuk
wilayah inti Minangkabau. Sebagai konsinyasinya, Belanda mendapatkan
apa yang terekam dalam kata-kata berikut: “Kepada pemerintah Hindia
Belanda, penyerahan resmi dan tidak bersyarat, tanah-tanah Pagar Roeyong,
Soengi Tarap dan Soeroeassoe. Begitu pula sisa-sisa tanah Negara
Maninkabo.” Lahirnya perjanjian ini adalah dampak dari merosotnya
perekonomian internasional yang terjadi secara terus-menerus.86
Pada prakteknya, antara kerajaan Pagarruyung dengan nagari-nagari di
Alam Minangkabau tidak selalu mempunyai hubungan struktural-
administratif yang kuat. Pagarruyung tidak sepenuhnya mampu mengatur
86 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 18.
62
nagari-nagari, oleh karena para kepala nagari beserta dewan adatnya merasa
memiliki independensi dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka tetap
menghormati Raja Pagarruyung, hanya saja mereka tidak lantas menjalankan
semua yang diperintahkan sang Raja. Antara satu nagari dengan nagari
lainnya bisa saja mempunyai hukum dan peraturan yang berbeda-beda.87
Oleh sebab itulah mereka para kepala nagari bisa dengan bebas menjalin
kesepakatan dengan bangsa Eropa tanpa harus mengabarkan ke Pagaruyung.
Ketika merasa kedudukannya telah menguat, pemerintahan Kolonial di
Minangkabau mendirikan administrasi yang pucuk pimpinannya dijabat oleh
seorang gubernur yang berkedudukan di Markas Besar di Padang. Di bawah
gubernur terdapat residen “Padang Darat” (Padang Bovenlanden) yang
beribukota di Bukittinggi dan “Padang Dataran Rendah” (Padangsche
Benedenlanden) dengan ibukota di Padang. Yang pertama, sebagaimana
terdengar dari namanya, karesidenan ini membawahi wilayah yang
terbentang di daerah-daerah timur dari punggung perbukitan yang menengahi
kawasan pantai dan jantung Minangkabau (pedalaman). Pada tahun 1891,
wilayah karesidenan ini bertambah, membawahi negeri perbukitan di sebelah
utara yakni daerah yang terdapat di bagian utara Agam dan Tapanuli, yang
dalam pengertian orang Belanda disebut Ophir.
Setiap karesidenan terbagi ke dalam satuan administrasi yang disebut
Asisten Karesidenan. Di Padang Darat biasanya terdapat lima sampai
delapan, sedangkan di Padang Dataran Rendah mempunyai tiga sampai lima
asisten residen. Tingkat terbawah dari administrasi Belanda disebut
controleur atau kontrolir. Kontrolir bersinggungan langsung dengan kepala
laras dan kepala nagari, selain juga menjadi penghubung antara
87 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj.
Gusti Asnan dan Akiko Iwata (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm. 28.
63
pemerintahan lokal dengan pemerintahan Hindia Belanda. Wilayah seorang
kontrolir sama luasnya dengan wilayah seorang kepala laras yang
membawahi suatu distrik, jika distrik itu dianggap berkedudukan Penting.
Namun pada umumnya, seorang kontrolir membawahi beberapa kepala laras.
Kontrolir dibagi ke dalam tiga tingkatan, tergantung pada urgensi daerah
yang diperintahnya. Tugas dan perhatian utama seorang kontrolir ketika
masa perdana menjabat, adalah menjaga dan memajukan tanaman ekspor.
Oleh sebab kian kemari tugas administrasi Belanda semakin kompleks,
beberapa elit atau orang Minangkabau kebanyakan dipekerjakan sebagai
pembantu mereka.88
Untuk memperbesar keuntungan yang didapat, pemerintah kolonial
menerapkan kebijakan kerja paksa di Minangkabau. Mereka kerap
memerintahkan kepala rakyat untuk membawa kopi ke pesisir. Untuk
mempersingkat waktu pengiriman kopi dan kemudahan akses dari Padang
Darat ke Padang, menginjak tahun 1841, pemerintah membuat jalan raya
yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman di Minangkabau, terutama
daerah-daerah penghasil kopi dengan Padang. Pembangunan jalan yang
menghubungkan Padang ke Pariaman hingga menyentuh Mudik Pandang,
dengan menyisiri sepanjang Lembah Anai dan melewati beberapa tempat
seperti Gunung dan Batipuh (keduanya di Padang Panjang), juga melewati
Fort Van de Capellen dan Fort de Kock.
Memasuki akhir abad 19, sudah dibangun jalan dari Fort de Kock
menuju Pangkalan yang berada di Payakumbuh bagian timur. Dengan
berlayar menyisir Sungai Kampar kini orang bisa sampai di Bangkinang.
Selanjutnya, jalan bisa diteruskan melalui jalur darat hingga sampai ke Pekan
Baru. Jalan yang semakin baik semakin mempermudah mobilitas penduduk
88 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 94-95.
64
pedalaman ke Pantai Barat maupun Pantai Sumatera Timur, maupun
sebaliknya. Mereka yang melewati jalan ini kebanyakan adalah para
pedagang, baik pedagang yang menetap di suatu tempat maupun yang
keliling. Di pihak lain, akses jalan membuat semakin banyak pedagang Cina
dan pedagang Timur Asing yang menuju ke pedalaman Minangkabau.
Seiring dengan pembuatan jalan-jalan lainnya, kota-kota di Sumatera
Barat semakin berkembang. Dua di antara yang paling terkenal adalah
Padang dan Bukittinggi. Jalan raya yang semula hanya diperuntukkan bagi
jalur pengangkutan kopi dan militer, perlahan semakin bermanfaat untuk
rakyat pada umumnya. Perpindahan penduduk pedalaman, terutaman yang
nagari-nya terbelakang, semakin tinggi. Mereka banyak yang memilih
destinasi Padang dan Bukittinggi sebagai tempat menyambung hidup.
Akibatnya, penduduk lokal setempat terdesak dan larut dalam arena
kompetisi mencari peruntungan.
Terdapat satu nuansa positif dari urbanisasi ini, yakni terlepasnya suatu
kungkungan “dendam kemiskinan” yang diidap para pendatang ketika masih
di kampung. Dampaknya, di tempat barunya ini mereka terbiasa dengan pola
hidup yang keras dan ulet dan di kemudian waktu banyak di antara mereka
yang mendapatkan prestasi tinggi di kota tinggalnya. Kala itu, dikenal istilah
loods (ruangan besar untuk berjualan) orang Sianok, loods orang Balingka,
loods orang Sungai Puar dan loods-loods lainnya. Pasar di Bukittinggi justru
digerakkan oleh orang-orang yang berasal dari sekitar Bukittinggi, dan yang
aneh justru tidak ada istilah loods Bukittinggi, padahal mereka adalah
penduduk asli.89
89 Taufik Abdullah dkk, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Direktorat
Sejatah dan Nilai-Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1983/1984) hlm. 13-14.
65
Perbaikan ekonomi, dalam beberapa segi tertentu, dan kemudahan akses
dari daerah urban ke kota besar ikut mempengaruhi terbukanya pemikiran
orang Minangkabau. Termasuk dari perubahan ini adalah inovasi untuk
menyekolahkan anaknya sampai pendidikan tertinggi. Dalam suatu laporan
dikatakan bahwa ketika seorang ayah orang Minangkabau mengetahui
anaknya tidak mengikuti perkembangan di sekitarnya, maka si anak akan
dimarahi ayahnya dengan perkataan: “bak orang Kurai jolong ke Gadung
(Bukittinggi), diam di laut tidak asin, diam di bandar tidak meniru.” Maksud
dari ungkapan tersebut adalah padahal di nagari Kurai (Bukittinggi) sudah
dibangun Sekolah Melayu Rendah, Sekolah Raja, Sekolah Belanda, Sekolah
Pegawai Negeri dan lain sebagainya, namun masih saja orang yang
memandang rendah bersekolah, dikarenakan untuk apa pendidikan, padahal
sawah ninik mamak masih luas untuk bekal hidup.90
Untuk mengamankan posisinya dan kepentingan ekonominya,
pemerintah Belanda membangun garnisun dan benteng-benteng di beberapa
titik yang dianggap strategis. Walaupun Perang Paderi berhasil mereka
tumpas, namun serangan-serangan kecil masih saja mengganggu urusan
pemerintahan Belanda. Di samping Benteng Fort de Kock yang dibangun
pada 1827 di Bukittinggi, bangunan yang sama juga didirikan di
Padangpanjang. Seiring berjalannya waktu, Bukittinggi dan Padangpanjang
menjadi destinasi berkumpulnya manusia yang datang ke pasar-pasar di sana.
Di antara mereka ada yang memutuskan menetap. Fenomena tersebut adalah
hal lumrah yang ditemui di kota-kota baru bentukan pemerintah kolonial.
Tempat-tempat di mana garnisun dan benteng berdiri tersebut, menjadi
pusat perekonomian mikro warga sekitar yang mengkhususkan diri memasok
kebutuhan penghuni dua benteng itu. Beberapa barang pangan seperti beras,
90 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 14-15.
66
daging dan sayuran dipasarkan ke dalam benteng untuk memenuhi
kebutuhan militer. Para tukang kayu dan pengrajin-pengrajin arsitektural
juga didatangkan untuk membangun pemukiman-pemukiman baru. Pasar,
belakangan menjadi tempat yang kian ramai, karena menjadi salah satu
indikator kemajuan perekonomian kecil di era kolonial. Sepuluh tahun
berselang setelah pendirian Benteng Fort de Kock, yakni tahun 1837
merubah daerah benteng Fort de Kock dari semula pasar menjadi pusat
administrasi pemerintahan. Adapun Padangpanjang menjadi sentra
pengumpulan kopi sebelum diangkut ke Padangpanjang.91
Azizah Etek dkk mempunyai catatan tersendiri mengenai profesi orang
Minangkabau, khususnya yang berdiam di Kotogadang. Keahlian pandai
kayu sebenarnya tidak seluruhnya merupakan mata pencaharian pokok.
Awalnya bertukang kayu adalah keahlian digunakan di dalam nagari saja.
Dahulu, jika ada seorang yang ingin membangun rumah gadang, maka harus
didahului kesepakatan keluarga se-paruik dan se-kaum. Mufakat ini
kemudian dilaporkan kepada ninik-mamak dan penghulu-penghulu dalam
nagari supaya bisa diteruskan untuk meminta pertolongan warga untuk
mendirikannya sesuai ketetapan adat. Para penghululah yang kemudian
membagi tugas siapa saja yang pergi ke rimba, menebang dan mengolah
kayu, membuat pancang (tonggak), membangun rumah dan lain-lain. Nagari
bertanggung jawab selama pengerjaan rumah, mulai dari penyiapan bahan
material sampai pada siap dihuni. Pemilik rumah hanya menyediakan
makanan dan minuman.92
91 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum
Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 82.
92 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23.
67
Dalam membangun pelbagai bangunan-bangunan penting, Belanda
sudah tentu membutuhkan bantuan penduduk setempat. Para pandai kayu
yang dipekerjakan tentu saja telah terbiasa mengerjakan rumah-rumah
gadang serta bangunan lainnya di kampungnya. Menggunakan tenaga
mereka bisa saja dilakukan untuk membangun komunikasi yang lebih
intensif dengan masyarakat lokal, sehingga keharmonisan dan keakraban
dengan sendirinya tumbuh. Sebagaimana diketahui, tidak seluruh orang di
Minangkabau memerangi kedudukan Belanda, beberapa dari mereka justru
ada yang bersikap layaknya sahabat, tentunya dengan pelbagai motif yang
melatarbelakanginya. Koto Gadang misalnya, adalah suatu daerah yang
dikenal ketua-ketua adatnya dekat dengan Belanda.93
Kedudukan Belanda di Minangkabau sempat mengalami ancaman
ketika gerakan Paderi mulai melancarkan aksinya. M. C. Ricklefs
menyebutkan bahwa gerakan Paderi Minangkabau adalah gerakan awal umat
Islam terbesar di Indonesia. ketika Kompeni sibuk menguatkan kembali
skrup-skrup kekuasaannya, di waktu yang hampir bersamaan, di akar rumput
sedang terjadi perubahan sosial, agama dan politik yang sifatnya massif sejak
akhir abad ke 18 hingga awal abad 19. Bahkan, perubahan sosial di
Minangkabau ini, pada masa itu memiliki dampak yang lebih besar
ketimbang perubahan serupa yang terjadi di wilayah-wilayah Nusantara
lainnya.94
Hampir sama dengan kedatangan Belanda, kemunculan kaum Paderi
juga dalam beberapa hal adalah berkaitan dengan aspek perdagangan,
tepatnya sekitar tahun 1780-an di Agam.95 Salah satu tokoh penyebar paham
Paderi masa awal, Haji Miskin, memiliki kedekatan bisnis dengan Datuk
93 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24. 94 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213. 95 Rickelfs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213.
68
Batuah, penghulu di desa Pandai Sikat. Hal utama yang melatarbelakangi
akrabnya hubungan mereka adalah Haji Miskin kerap berbelanja kopi kepada
Datuk Batuah. Hubungan yang intens membuat Datuk Batuah sadar, ada
yang mesti dirubah dari perilaku menyimpang penduduknya. Oleh sebab itu
ia mengangkat Haji Miskin untuk merombak tatanan sosial Pandai Sikat
menjadi lebih agamis sesuai dengan anjuran Haji Miskin.96
Namun pada perkembangannya, gerakan Paderi menerbitkan dampak
lain yakni pertikaian antara kelompok adat dengan Paderi. Kelompok adat
dianggap para ulama Paderi sebagai sosok yang membiarkan perilaku
menyimpang masyarakat terjadi. Merekalah yang harus dimintai
pertanggungjawaban atas realitas sosial yang jauh dari apa yang dianjurkan
oleh agama. Sebaliknya, kelompok adat menganggap kelompok Paderi
sebagai sosok yang mengancam kedudukan mereka. Usaha pembaruan yang
dilakukan kaum Paderi selalu mendapat halangan dari kelompok adat.97
Akibat serangan kelompok Paderi yang sedemikian gencar dilakukan,
membuat beberapa penghulu mulai melirik bantuan Belanda. Pada bulan
Februari 1821, anggota kerajaan Pagarruyung yang berseberangan dengan
Paderi, menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda untuk menumpas
musuh mereka itu. Imbalannya, mereka harus menyerahkan daerah bawahan
mereka (Minangkabau) kepada Belanda. Anggota kerajaan nantinya sama
sekali tidak berhak atas penguasaan riil bawahannya lagi, dan sudah
berpindah ke tangan Belanda. Setelahnya, pasukan Belanda pun bersiap dan
96 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 203. 97 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme
(Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973) hlm. 90-91
69
meletuskan perang yang dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Perang
Paderi (1821-1838).98
Selain menggunakan taktik militer, Belanda juga dibantu oleh seorang
keturunan Arab bernama Said Sulaiman al-Jufri untuk melakukan diplomasi
perdamaian kepada Paderi. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan Arab yang
akrab dengan para pejabat kolonial yang bertugas di Sumatera Barat. Sejak
muda, Said Sulaiman sudah tinggal di Padang. Ia memiliki pengetahuan yang
mendalam mengenai agama Islam dan keadaan negeri-negeri di Alam
Minangkabau.
Said Sulaiman berkesimpulan bahwa perang yang terjadi antara Belanda
dan Paderi adalah karena masalah agama. Ia berpikir bahwa dirinya memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan perang ini, terlebih menimbang statusnya
sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, golongan yang amat dihormati di
dunia Islam. Ia mendiskusikan peran barunya ini dengan residen Belanda di
Padang. Sang residen menyetujui usulnya itu.
Ia memulai misi diplomasinya itu dengan mengunjungi benteng Bonjol.
Di sana ia disambut layaknya tamu kehormatan. Ia menghadap Tuanku
Imam Bonjol kemudian mengutarakan maksudnya agar pemimpin Paderi itu
mau berdamai dengan Belanda. Said Sulaiman juga mengatakan bahwa
sesungguhnya Belanda sama sekali tidak bermaksud melarang aktivitas umat
Muslim. Dengan santun, Tuanku Imam Bonjol menjawab:
Habib, Kami tahu cita-cita mulia Habib! Memang tidaklah perlu darah ini tertumpah banyak. Tetapi ucapan Belanda yang seperti itu, dahulu pun saudah kami dengar pula, ketika perjanjian damai di Masang! Padahal, jika saja niat baik itu memang ada, mengapa Kota Lawas yang jelas-jelas di bawah lindungan kami, mereka duduki dan tidak ada niat bagi mereka untuk menyerahkannya kembali?
98 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.
70
Mengapa di tempat-tempat yang sudah jelas masuk dalam wilayah kami, selalu diganggu dan dikepung? Dan lagi, jika benar Belanda hendak berdamai dengan kami, silahkan meninggalkan Luhak Agam! Karena itu masih termasuk wilayah kami. Katakanlah kepada Belanda, supaya mereka menghormati perjanjian yang telah sama-sama disepakati! Habib tentu paham bagaimana arti janji bagi orang Muslim! Kami merasa janji tersebut tidak pernah kami langgar!
Perkataan di atas membuat Said Sulaiman terkesima. Rupanya seorang
Imam Bonjol tidak begitu saja silau dengan kedudukannya sebagai keluarga
Rasulullah. Dengan malu ia tinggalkan Bonjol. Imam Bonjol dan para
pengikutnya melepas Said Sulaiman dengan kebesaran, seperti tamu agung
yang baru meninggalkan pertemuan. Keadaan yang tentu saja membuat Said
Sulaiman semakin tidak enak.
Said Sulaiman selanjutnya menuju Lintau untuk bertemu Tuanku
Pasaman. Ajakan berdamai Belanda disepakati oleh pemimpin Paderi di
sana. Singkat cerita, pada 29 Oktober 1825, dari Lintau dikirim satu delegasi
yang beranggotakan Tuanku Keramat di Buo sebagai kepala delegasi
sekaligus mewakili Tuanku Pasaman, Tuanku Bawah Tabing (Talawi),
Tuanku di Guguk di Limapuluh Koto dan Tuanku di Ujung yang mewakili
Tuanku Nan Renceh. Mereka diiringi pulaoleh 8 pemuda Paderi.
15 hari ke depan, selesailah pertemuan antara perwakilan Lintau dan
Belanda itu. Masing-masing pihak menyepakati beberapa poin yang
dianggap sama-sama memberi manfaat. Pertemuan itu memang tidak
dihadiri oleh seluruh pemimpin Paderi, namun Belanda menganggap dengan
begitu perlawanan Paderi berangsur-angsur bisa dilumpuhkan, karena dari
peristiwa ini akan terbit ketidaksamaan pendapat terkait posisi Belanda.
Dengan begitu, terbuka jalan bagi Belanda untuk melakukan politik pecah
belah. Kaum Paderi juga sudah mengakui kekuasaan Belanda atas Padang
serta benteng-bentengnya.
71
Di pihak lain, bagi Paderi, Belanda bersepakat untuk tidak mengganggu
wilayah di bawah pengaruh Paderi di beberapa wilayah seperti di Lintau,
Lima puluh Koto, Talawi dan Kamang. Belanda juga berjanji tidak akan
mengganggu aktivitas Muslim di sana.
Melihat keberhasilan perjanjian di atas, Said Sulaiman al-Jufri merasa
senang sekali. Langkahnya berbuah manis. Dalam beberapa kesempatan
selanjutnya, ia melakukan cara-cara serupa untuk mengajak Paderi berdamai
dengan Belanda. Lama kelamaan ia sampai mendapat gelar “Raja
Perdamaian.” Aktivitasnya ini tidak berjalan lama. Pada bulan April 1829,
dikabarkan bahwa ia tewas dibunuh di suatu surau di Lintau.99
Setelah perang tersebut berakhir, Belanda pun mulai mengakarkan
kekuasaannya atas Minangkabau. Mereka semakin memperbesar perbedaan
antara kaum adat dan kaum agama. Pemisahan ini dimasudkan untuk
mencegah agar fanatisme Islam tidak berkembang secara massif lagi. Di sisi
lain, perbedaan ini menyebabnya semakin meredupnya wibawa kaum
penghulu. Pihak kolonial sama sekali tidak tergerak untuk melibatkan pihak
kerajaan Pagarruyung untuk mengelola Minangkabau. Mereka hanya
menempatkan jabatan para kepala-kepala pemerintahan layaknya para bupati
di Jawa.100
Pemerintah kolonial ternyata juga tidak senang dengan potensi
kemakmuran yang dikumpulkan para keluarga di Minangkabau. Pada tahun
1853 Mereka pun menerbitkan suatu kebijakan untuk mendaftarkan seluruh
harto pusako yang sudah dikumpulkan oleh setiap keluarga di Minangkabau.
Dalam kitab undang-undang kolonial, hak kepemilikan disebut juga
99 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hlm. 127 –
129. 100 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.
72
eigendom, dan keberadaannya wajib diketahui oleh pemerintah kolonial.
Pendataan tersebut dilakukan oleh suatu kelompok kerja yang berkantor di
kantor gubernur. Mereka yang sudah mendaftarkan hartanya, kemudian
diberi bukti kepemilikan properti yang dinamakan eigendome-akte.101
C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan
Di sisi lain, Orang Minangkabau ternyata tidak seluruhnya melakukan
perlawanan layaknya kelompok Paderi. Di antara mereka justru ada yang
menganggap kehadiran kolonial membawa berkah tersendiri bagi
kehidupannya. Eizabeth E. Graves menyatakan bahwa salah satu tonggak
awal kesuksesan orang Minangkabau menjalani kehidupan, adalah ketika
mereka memberikan reaksi terhadap keberadaan kuasa kolonial pada abad
19.102 Setelah gerakan Paderi ditundukkan pada 1837, Belanda
memberlakukan kebijakan pendidikan dasar bagi penduduk Minangkabau
seperti membaca, menulis dan pengetahuan berhitung yang cukup.
Kemudian, mereka ditempatkan mengisi jawatan-jawatan birokrasi kolonial
yang semakin luas.
Sayangnya, kebijakan positif ini tidak dijalankan secara penuh. Masih
ada keraguan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah
dalam jumlah besar. Jikapun ada sekolah untuk rakyat, hanya diprakarsai
oleh orang per-orang pejabat Belanda, dan sekolahnyapun termasuk kategori
sekolah swasta. Sikap ini ditengarai karena masih adanya perlawanan parsial
dari kelompok-kelompok fanatik Islam (Paderi) yang menginginkan agar
101 Franz von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity; Continuity and Change
in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau West Sumatra (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979) hlm. 209-210.
102 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi.
73
kekuasaan Kristen Belanda harus pergi dari tanah Minangkabau. Beberapa
kelompok masyarakat juga belum banyak yang percaya terhadap sektor
pendidikan yang digarap pemerintah kolonial.
Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda bertujuan untuk
menciptakan kelas elit bumiputera yang terdidik yang berasal dari kelas
penguasa tradisional, seperti yang ditemukan di Jawa. Tidak semua keluarga
bangsawan Minangkabau setuju memasukkan anaknya ke sekolah ini. Hal ini
menciptakan kekosongan yang kemudian diisi oleh keluarga-keluarga biasa
yang berharap anaknya bisa masuk ke sekolah Belanda yang bukan berasal
dari kelompok pemnguasa lokal. Dengan demikian eksistensi sekolah
kolonial selama abad 19, lebih mengandalkan sokongan dari bawah
ketimbang bergantung pada pemerintah Belanda itu sendiri.103
Modernitas pendidikan a la kolonial membawa serta pada modernitas
gaya hidup. Pembangunan kota yang massif di Bukittinggi dan
Padangpanjang merubah wajah sebagian penduduknya menjadi bergaya
barat atau ke-eropa-eropa-an. Simbol-simbol modernitas yang terlihat dari
gaya hidup, gaya berpakaian, arsitektur rumah, menjadi kelaziman yang
mudah ditemui di kehidupan orang Minangkabau yang tinggal di dua kota
tersebut. Pakaian misalnya, saat itu begitu dekat dengan model busana orang
Eropa. Pemakaian celana panjang, kemeja dan jas merupakan gejala yang
ditemui dalam kehidupan masyarakat kota di masa Hindia Belanda.104 Untuk
wanita, tidak semudah kaum lelaki, melainkan membutuhkan proses
dialektika yang agak lama. Lambat laun, perempuan-perempuan
Minangkabau mulai ada yang mengenakan busana wanita Eropa, seperti
memakai rok, gaun dan blus.
103 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi. 104 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan (Jakarta:
Gramedia, 2008) hlm. 156.
74
Salah satu agen yang menghembuskan gaya hidup model Eropa adalah
para murid Sekolah Raja di Bukittinggi. Para murid sekolah ini mengenakan
busana seragam berupa pakaian rapi (dengan kemeja, celana panjang dan
dasi) dengan sepatu kulit. Dalam bergaul, mereka juga bersikap menjauhi
masyarakat luar dan menganggap diri paling mulia, karena terpelajar.
Mereka membentuk kelompok tersendiri dalam masyarakat. Dalam sehari-
hari, dikelompoknya mereka berbicara menggunakan bahasa Belanda. Ketika
mereka lulus sekolah, banyak di antara mereka yang bekerja di instansi-
instansi pemerintah Hindia Belanda, seperti menjadi jaksa.105
Budaya merantau, sebagaimana yang ditemukan dalam tradisi
Minangkabau, seperti menemukan pasangannya ketika disandingkan dengan
pendidikan. Merantau adalah pintu gerbang untuk meningkatkan
pengetahuan dan karir. Pada masa itu, dengan pendidikan, kehidupan bisa
berubah secara radikal dalam pergaulan masyarakat. Dengan berpendidikan,
jenjang karir akan bisa dikejar dan kedekatan dengan dunia orang-orang
Eropa bisa digapai.106 Ini merupakan keniscayaan yang dihadapi para elit
pribumi jika tidak ingin selalu berada di bawah strata orang Eropa.
Stratifikasi sosial yang selama ini menjadikan mereka sebagai warga negara
kelas tiga, perlahan-lahan bisa dipangkas, sehingga anak-anak mereka bisa
mencicipi bagaimana hidup “hampir setara” dengan orang-orang Eropa.
Peradaban Eropa dan Islam merupakan dua hal yang bersinggungan
dengan Minangkabau. Dari keduanyalah, kultur Minangkabau bisa
mempersiapkan diri untuk bersentuhan dengan unsur-unsur di luar garis
batas geografisnya. Tentu tidak sepenuhnya benar, jika disebutkan bahwa
105 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme ...”, hlm. 83. 106 Ulbe Bosma and Remco Raben, Being “Dutch” in The Indies; A History of
Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer (Athens, USA: Ohio University Press, 2008) hlm. 215.
75
peradaban Eropa menjadi perusak dari adat istiadat dan tradisi di
Minangkabau. Kenyataannya, melalui penerimaan akan realitas demikian,
orang-orang Minangkabau bisa menemukan jalan keluar untuk berjumpa
dengan pergaulan lain di luar wilayahnya, di kemudian hari. Hal yang sama
juga pernah dialami Minangkabau dalam sejarah107, misalnya saja saat orang
Minangkabau berjumpa dengan orang Arab.
H. Agus Salim, salah satu cendikiawan Minangkabau yang sempat
bersekolah di sekolah-sekolah kolonial, menyatakan bahwa tidak seluruhnya
unsur pendidikan Eropa baik untuk kalangan bumiputra. Meskipun ia
mendapatkan sertifikat dari sekolah Europese Lagere School (sekolah untuk
anak-anak Belanda) dan melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgerschool
(HBS) di Surabaya, lantas bekerja di instansi kolonial, tidak dianggapnya
sebagai kenikmatan hidup, melainkan adalah suatu fase hidup yang
dikatakannya “berlumpur”, atau penuh dengan kesusahan. Agus Salim,
sebagai sosok yang tidak sepakat dengan kehadiran kolonialisme di
Indonesia, tentu saja tidak sepaham dengan langkah kolonial yang hanya
menjadikan pendidikan sebagai alat mencetak orang-orang yang kemudian
bekerja bagi mereka lantas meninggalkan kewajiban memerdekakan
bangsanya.108
Sistem pendidikan kolonial yang berlaku di Indonesia mempunyai
karakteristik umum yang spesifik, yakni menerapkan jurang pemisah yang
lebar antara bangsa penjajah dan orang terjajah. Keduanya adalah dua
golongan masyarakat yang mempunyai strata sosial yang berbeda. Penduduk
Belanda dan Eropa akan lebih tinggi ketimbang orang Timur Asing (vreemde
107 P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political
Structure in Indonesia (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980) hlm. 117. 108 Mohamad Roem, “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”,
dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1981) hlm. 118-119.
76
oosterlingen) dan pribumi (inlander).109 Jika ditelusuri lebih lanjut,
pemikiran semacam itu tercipta dari pelaksanaan kebijakan Islam Politiek
yang digagas oleh C. Snouck Hurgronje. Ia menasehatkan pemerintah untuk
membuka sekolah-sekolah secara luas, agar kelompok menengah pribumi
mendapatkan pengajaran Barat yang modern.110
Frances Gouda menerangkan bahwa dalam sudut pandang orang Eropa,
termasuk Belanda, menjadi seperti mereka harus siap dengan perubahan
struktur berpikir dan berbudaya dan mengikuti layaknya gaya hidup mereka.
Orang Eropa terbiasa dengan sesuatu yang liberal (bebas) dan netral. Mereka
tidak akan mencampurkan kepentingan politik dan agama. “Ke-Belanda-an”
atau “menjadi Belanda” (Dutchness) berhubungan dengan aturan politik
yang dikendalikan oleh segi-segi akomodasi, kompromi dan kebijaksanaan
menerima pengaruh luar. Di satu sisi, orang Belanda erat terikat dengan
tanah asalnya, dengan pergaulan model Eropa. Namun, dalam konteks
kolonial, visi moral dan norma behavioral (perilaku) bertransformasi dalam
kontes lokal, tempat di mana kolonisasi itu berlangsung, kecuali pandangan
mereka akan kemulyaan Orang Kulit Putih dan superioritas berbudaya.111
Jika menghubungkan pendapat Gouda di atas dengan aspek pendidikan,
maka ditemukan suatu benang merah yang jelas dan tegas, yakni pendidikan
kolonial bertujuan membentuk pribadi Eropa yang berbeda dengan kultur
aslinya. Minangkabau adalah wilayah yang rapat dengan peraturan adat dan
109 Stratifikasi sosial ini berujung pada pembatasan hak-hak bernegara, sebagaimana
yang dialami oleh kelompok-kelompok Arab dan Timur Jauh. Hal yang sama juga dialami oleh penduduk pribumi, lihat Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian) (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016) hlm. 188.
110 Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 101.
111 Frances Gouda, Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942 (Singapore: Equinox Publishing, 2008) hlm. 18.
77
agama. khususnya agama, pihak Belanda tentu mempunyai alasan yang kuat
untuk melepaskan anak-anak didiknya dari pengaruh kehidupan religius di
sana, terlebih dalam kontestasi pengamalan ajaran Islam, kelompok Paderi
yang berseberangan dengan Belanda, memegang dominasi di Minangkabau.
Pemisahan dengan agama, memang menjadi proyek besar Belanda untuk
membaratkan orang-orang Minangkabau agar mereka tidak mudah
bergabung dan terperdaya untuk berontak terhadap supremasi kolonial.
Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan bagi kaum pribumi adalah
upaya Belanda memajukan intelektualitas yang bermuara pada pembentukan
negara kolonial yang kuat. Andrew Goss menyebutkan bahwa sejak akhir
1830-an, sebagian pemikir Belanda beralasan bahwa melalui riset tentang
aspek-aspek geografi, masyarakat dan lingkungan, orang-orang Belanda
dapat membentuk tata kelola politik yang sesuai dengan maket wilayah
koloni.112 Dengan kata lain majunya pendidikan di kolonial, termasuk pada
digalakkannya riset-riset berbagai ilmu alam dan ilmu sosial lainnya, adalah
untuk memperkuat kedudukan kolonial atas wilayah jajahan.
Muhammad Sabaruddin menerangkan hal yang berbeda terkait
penyelenggaraan pendidikan kolonial. Menginjak tahun 1831, tepatnya
ketika Van den Boss dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia, ditetapkan suatu keputusan bahwa sekolah gereja dipandang perlu
sebagai pion dari sekolah pemerintah Hindia Belanda di seluruh penjuru
tanah jajahan Hindia Belanda. Departemen yang mengurusi masalah agama
dan pendidikan dilebur menjadi satu. Diputuskan pula bahwa di setiap
karesidenan wajib memiliki satu sekolah Kristen.
112 Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai
Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina (Depok: Komunitas Bambu, 2014).
78
Apa yang ditetapkan Van den Boss di atas sesungguhnya terinspirasi
dari tindakan yang sudah dilakukan Van der Cappelen, pendahulunya, pada
tahun 1819. Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda berinisiatif
mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar kelak dapat
diperbantukan di kantor-kantor pemerintah. Dalam suatu surat edaran kepada
para bupati, Gubernur Jenderal menyatakan: “Dianggap penting utuk segera
mungkin menetapkan keputusan pemerintah yang menjamin semakin
luasnya kemampuan membaca dan menulis di kalangan penduduk pribumi,
agar mereka lebih mudah menaati undang-undang dan hukum negara”.113
Para ilmuwan Belanda melihat kebudayaan sastra Minangkabau adalah
suatu bahan telaah yang menarik untuk diungkap. Sejak abad 19, penelitian
dan penulisan dengan tema sastra Minangkabau sempat melahirkan beberapa
buku yang menandai perhatian pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan
Minangkabau. Jenis karya sastra yang menjadi perhatian utamanya adalah
jenis kaba. Kaba bisa diartikan sebagai cerita. Kaba berbeda dengan cerita
Melayu pada umumnya. Jika cerita Melayu ditampilkan menggunakan
bahasa prosa biasa, kaba disitulis dengan gaya bahasa prosa berima.
Beberapa karya kajian ilmuwan Belanda mengenai karya sastra
Minangkabau ini antara lain; 1) Chabar Mama’ si Hetong 1892, Leiden:
PWM Trap, kemudian C. Snouck Hurgronje menerbitkan De Chabar Mama’
si Hetong (Minangkabausche Vertallingen) dalam TBG 38; 2) Kaba si Ali
Amat, Een Minangkabausche Vertelling oleh C.A. van Ophuysen, Leiden:
PWM Trap, 1895; 3) Kaba si Umbuik Mudo, Een Minangkabausche
Vertellingen, Oleh C.A. van Ophuysen, Leiden, 1896; 4) “Mandjau Ari,
Minangkabausche Vertelling”, oleh J.L. van der Toorn dalam VBG 45, 1891;
113 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 148.
79
dan 5) Tjindoer Mata, Minangkabausche Legenda oleh J.L. van der Toorn,
dalam VBG 45.114
Perhatian para ilmuwan Belanda terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan mengenai aspek Minangkabau di atas, bukan tidak mungkin
ikut mendorong munculnya para sastrawan Minangkabau yang tersohor di
masa-masa berikutnya. Beberapa cendikiawan dan sastrawan asal
Minangkabau mempunyai perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan,
bukan hanya pengetahuan Islam melainkan juga pengetahuan umum.
Beberapa dampak yang bisa disebutkan dari majunya pendidikan di
Minangkabau adalah munculnya sastrawan yang karya-karya masih dibaca
hingga saat ini. di antara mereka ada menempuh pendidikan kolonial, atau
jika tidak, mereka bisa berbahasa Belanda dan bahasa Eropa lainnya. Marah
Rusli bin Abu Bakar misalnya, penulis roman Siti Nurbaya dan Memang
Jodoh, adalah seorang cendikiawan yang pernah bersekolah di Kweekschool
atau Sekolah Raja.115
Marah Rusli merupaka potret dari pelajar Minangkabau berhaluan barat
yang mempunyai perhatian yang besar terhadap budaya sastra Minangkabau.
Sastra Minangkabau merupakan satu dari beberapa budaya lama
Minangkabau yang masih bertahan menghadapi gempuran perubahan sosial
yang didengungkan kaum Paderi. Hampir di setiap keluarga tradisional di
Minangkabau, sejak sebelum masa Paderi, membudidayakan pengetahuan
sastra secara turun temurun atau dalam bahasa Minangkabau disebut kato-
kato (diwariskan secara oral). Bamisa atau bermisal, merupakan model sastra
114 Edwar Djamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) hlm. 4 dan 8.
115 Marah Rusli bin Abu Bakar termasuk sastrawan angkatan Balai Pustaka, yang lahir di Padang pada 7 Agustus 1889. Ia menceritakan kisah hidupnya yang tertuang dalam Novel Memang Jodoh, namun mengambil nama lain dalam karyanya itu, yakni Marah Hamli. Novel ini bisa dikatakan sebagai semiotobiografi Marah Rusli. Lihat Marah Rusli, Memang Jodoh (Bandung: Mizan, 2014) hlm. 22.
80
lain yang juga diungkapkan oleh orang tua kepada anak dan cucunya dari
generasi ke generasi.
Sastra bukan hanya dipandang sebagai keindahan bertutur atau sebatas
seni merangkai kata-kata, sebagaimana terekam dalam kaba. Bagi
masyarakat Minangkabau, sastra adalah instrumen pendidikan dini.
Mendendangkan kaba atau pantun yang dilakukan orang tua kepada anaknya
merupakan satu bagian dari proses pendidikan terhadap anak usia dini.
Sebelum si anak memasuki masa sekolah formal, biasanya anak-anak di
Minangkabau sudah mempunyai pengetahuan sastra Minangkabau yang
cukup, sehingga kelak nilai-nilainya dapat ia aplikasikan dalam
kehidupannya setelah dewasa.116
116 Wahyudi Rahmat, “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian
Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016, hlm. 238-239.
81
BAB IV
KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU
A. Munculnya Golongan Paderi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemunculan gerakan Paderi
yang terinspirasi dari gerakan Wahabi di Tanah Hijaz, adalah akibat dari
terbukanya jalur perdagangan antara Pantai Barat Sumatera ke pelabuhan-
pelabuhan di Nusantara maupun dunia. Sejak lama, bandar-bandar di pesisir
didatangi para saudagar regional Asia Tenggara dan dari mancanegara
seperti India, Cina, Arab dan Eropa. Dari sini orang Minangkabau
menginisiasi perjalanan ibadah haji ke Mekkah. Pertama, mereka menuju
pelabuhan Pedir, lantas kemudian berangkat ke Mekkah.117
Mereka yang menunaikan ibadah haji, sebagian ada yang ingin berlama-
lama di sana. Salah satu alasan utama mereka berdiam lebih lama di sana
adalah untuk belajar agama. Mekkah dan beberapa tempat lain di Timur
Tengah merupakan surga bagi para pelajar dari Nusantara. Di sana mereka
bisa berjumpa dengan para ulama yang tersohor dan memiliki keluasan ilmu.
Kedekatan dengan situs-situs peribadatan yang diagungkan umat Muslim
dunia, seperti Ka’bah dan Masjid Nabawi di Madinah, menambah
kekhusyuan mereka menambah ilmu sekaligus melapangkan jalan beribadah.
117 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi
(Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 204.
82
Pada medio abad 18, Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab,
digegerkan dengan munculnya gerakan yang memperjuangkan pemurnian
agama Islam. kelompok ini berpandangan bahwa kian kemari banyak umat
Muslim yang semakin melenceng dari pola kehidupan yang diajarkan al-
Quran dan hadis Nabi Muhammad. Peribadatan sudah tidak lagi murni dan
sesuai aturan, karena dianggap sudah membuat pembaruan-pembaruan yang
tidak ditemukan di masa Nabi SAW hidup. Oleh sebab itu, maka dianggap
perlu untuk mengadakan koreksi radikal untuk meluruskan pelbagai
kesalahan dalam beribadah dan berkehidupan yang disebutkan dalam korpus
agama (sumber hukum Islam utama, yakni al-Quran dan hadis).
Gerakan ini dinamakan Wahabi, dinamai demikian karena merujuk pada
pendirinya, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).118
Awalnya, gerakan ini hanya berkisar pada penyadaran suku-suku badui
pedalaman yang hidup saling terpisah di padang-padang pasir luas. Namun
oleh karena gerakannya yang disokong oleh kekerasan dan pemaksaan, maka
pengikutnya semakin banyak dan loyal. Gerakan ini semakin kuat manakala
pada tahun 1741, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menjalin kerjasama
dengan Muhammad bin Saud, seorang pemuka keluarga Saud yang
terpandang di Nejd. Gerakan ini semakin membesar dan merubah haluannya
dari semata-mata gerakan agama, kini diikuti pula dengan ambisi politik
penguasaan wilayah seluas-luasnya.
Gerakan ini sampai di Haramain, dan setelah beberapa kali terlibat
kontak senjata dengan pemimpin lokal yang berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani, mereka pun berhasil mengambil alih pemerintahan di sana.
Para ulama Wahabi segera mengadakan perubahan peraturan peribadatan
118 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah)
1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 104.
83
maupun muamalat (hubungan sosial) yang dianggap menyalahi ajaran Islam.
makam-makam tokoh-tokoh besar Islam banyak yang dibongkar dan dibuat
sebagaimana makam pada umumnya. Praktek-praktek peribadatan
diseragamkan, dan yang berbeda dengan mereka dilarang karena dianggap
bidat (melenceng dari ajaran Allah dan Rasul-Nya). Tanpa menghitung
waktu lama, keadaan di wilayah-wilayah bawahan Wahabi mengalami
perubahan cara peribadatan yang sistemik dan monolitik (sejenis).119
Di tengah perubahan sosial yang berlangsung dengan pesat itulah,
seorang Minang bernama Haji Miskin menyaksikan hampir penggal demi
penggal gerakan Wahabi. Ia begitu terkesima dan takjub dengan gerakan
yang digalang kelompok Wahabi dan bercita-cita untuk menerapkannya
nanti, tatkala akan kembali ke Minangkabau. Tiba waktu yang dinantikan.
Pada 1803, ia bersama dua haji lainnya bernama Haji Sumanik dan Haji
Piobang pun pulang ke tanah kelahirannya. Sebelum menuju Mekkah, ia
sempat terlibat dalam penyiaran dakwah Islam yang dimotori oleh Tuanku
Nan Tuo. Ingatan ini begitu membekas, sehingga berbekal ajaran Wahabi
yang dipelajarinya di Tanah Haram, ia merasa terpanggil kembali untuk
melakukan peruntungan kedua untuk menyadarkan masyarakatnya.120
Hamka menambahkan bahwa kejadian-kejadian yang terlihat di
Mekkah, membuat Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang itu begitu
terkesan dan bersemangat. Hal ini dikarenakan mereka segera mengingat
daerah asal mereka, Minangkabau, sebagai lahan yang tepat untuk
dikembangkannya ajaran Wahabi. Menurut mereka orang Minangkabau
hanya mengaku beragama Islam saja, tanpa tergerak untuk mengamalkan
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menganggap ajaran Wahabi
119 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204-205 120 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 206.
84
adalah ajaran Islam sejati yang sudah waktunya ditanamkan di
kampungnya.121
Tamar Djaja mengisahkan bahwa Haji Miskin berasal dari keluarga
yang hidupnya jauh dari kecukupan. Orang tuanya adalah petani sederhana.
Sejak kecil, ia sudah rajin mengkaji kitab-kitab berisikan hukum Islam
sembari bekerja. Disebutkan bahwa sebelum atau selepas belajar, Miskin
kecil membantu pengerjaan mengolah sawah di Kampung Kota Lawas.
Waktu senggangnya juga digunakan untuk membantu pengelolaan sawah
gurunya. Ia juga kerap membantu keluarga gurunya Sejak belia, ia lebih suka
hidup dan tinggal di surau.
Karena seringnya belajar, Miskin menjadi murid terpandai di surau.
Ketajaman pikirannya menyita perhatian guru-gurunya. Selapas shalat
subuh, Miskin kerap diperintahkan memijat kaki gurunya. Dari kedekatan
kecil semacam ini membuat gurunya iba pada Miskin yang hidupnya tidak
sejahtera itu. Sang guru pun bertekad akan menyeponsori pendidikan Miskin.
Sejak belia Miskin memang bercita-cita menjadi ulama yang akan
menciptakan pembaruan di kampungnya yang saat itu sudah disesaki dengan
tindak kriminalitas yang dilarang agama.122
Haji Miskin menyadari bahwa menggerakkan suatu perubahan tentu
didahului dengan memperkuat sendi-sendi perjuangan terlebih dahulu. Ia pun
memutuskan berniaga sebagai pintu gerbang mendekati para tokoh setempat.
Salah seorang tokoh masyarakat awal yang didekatinya adalah Datuk
Batuah, seorang penghulu dari Pandai Sikat. Pandai Sikat pada masa itu
terkenal karena tanaman akasia dan kopinya. Haji Miskin menjadi pelanggan
Datuk Batuah. Ketika keakraban sudah tumbuh, mulailah Haji Miskin
121 Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit Umminda, 1982) hlm. 15 122 Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1965) hlm. 364.
85
memperkenalkan konsepnya tentang pembaruan bermasyarakat dan
beragama sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Datuk Batuah
menaruh simpati pada Haji Miskin, dan ikut tergerak melakukan proyek
kemanusiaan itu.
Pandai Sikat menjadi lahan pertama persemian ajaran Paderi di tanah
Minangkabau. Oleh sebab ajaran ini disokong oleh penguasa lokal, maka
Haji Miskin merasa bahwa tugasnya ini sedikit ringan. Di Pandai Sikat,
boleh dikatan Haji Miskin “menggunakan seluruh tenaganya untuk
berkhotbah dan memperbaiki keadaan di distrik itu.” Sasaran utama
dakwahnya adalah di pasar, yang saat itu amat lekat dengan praktek-praktek
kriminalitas, seperti perjudian dan sabung ayam. Di sela-sela berkumpulnya
orang, juga didapati di antara mereka ada yang minum-minuman keras dan
menghisap candu. Sungguh pemandangan yang perlu diperbaiki segera,
mungkin demikian pikir Haji Miskin.
Awalnya, Haji Miskin menerapkan cara yang baik-baik untuk
mengingatkan agar masyarakat menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang
agama tersebut. Ia sering terlihat bekhutbah di titik-titik keramaian pasar,
tempat berkumpulnya para pengadu ayam, pemabuk dan pemadat. Lama-
kelamaan, ia pun berpindah haluan, dari sekedar dakwah lisan ke perbuatan.
Pada suatu ketika, ia pun membakar ajang adu ayam jago, yang selama ini
menjadi kebanggaan orang Pandai Sikat. Perbuatannya ini membuat marah
para orang-orang disekitarnya dan seketika keadaan berubah menjadi
perkelahian. Haji Miskin berhasil keluar dari kemelut itu lantas melarikan
diri ke Kota Lawas.123 Kawannya, Haji Sumanik bernasib sama, mendapat
perlawanan hebat dari masyarakatnya, sehingga ia memutuskan pindah ke
123 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 207.
86
Lintau. Hal berbeda dialami Haji Piobang yang tidak menemui halangan
yang berarti dalam dakwahnya.124
Mengenai sabung ayam yang menjadi sasaran orang Paderi, sebenarnya
ini memang termasuk ke dalam golongan penyakit masyarakat dilihat dari
hukum adat. Dalam Tambo Minang disebutkan bahwa: “pasal yang pertamo
halnyo menyambung ayam atau maadu burung atau kaliri, maadu lain-lain
binatang sijantu diluar dusun sudaronyo yang sarumah, maka ayam dan
burung atau kaliri ditangkap dan dibunuh.” Artinya: pasal pertama berisi
tentang mengadu ayam atau binatang lainnya, jika kelak diketahui, maka
binatang aduan itu akan disita (dibunuh).125
Haji Miskin melanjutkan pelariannya sampai di Kamang. Di sana ia
berjumpa dengan Tuanku nan Renceh (bergelar Macan dari Bukit Kemun126)
yang melindungi aktivitas dakwahnya. Dengan segera ajaran-ajaran Paderi
banyak diikuti oleh para warga di Empat Angkat, IV Kota, Candung dan
Kota Tua. Tuanku Nan Renceh juga tak tinggal diam, ia mengajak para
tuanku yang ada di Luhak Agam untuk membentuk suatu persekutuan
menghadapi kaum Adat. Ajakannya berhasil, sekumpulan ulama yang terdiri
dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku
Ladang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro dan
Tuanku Kapau. Oleh sebab tindakan dan ajakan dakwah mereka yang keras,
perkumpulan ulama itu kemudian dinamakan Harimau nan Salapan.127
Tuanku Nan Renceh terus memperluas pengaruh Paderi hingga ke
Tilatang, Matur dan Candung, namun tiga daerah ini melakukan perlawanan.
124 Hamka, Ayahku ..., hlm. 15. 125 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 87 dan 163. 126 De Redactie, “Oorsprong der Padaries; Eene Secte op de Weskust van Sumatra”,
dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1e jaargang, 1e deel, hlm. 15. 127 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme
(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 91.
87
Penduduk Luhak Limapuluh Kota secara umum telah berpindah menganut
paham Paderi. Di tempat lainnya, pasukan Paderi terlibat pertempuran yang
sengit dengan kaum Adat. Tuanku Koto Tuo, salah satu ulama yang
berpengaruh di Minangkabau saat itu, sampai-sampai turun melerai
pertempuran ini, namun usahanya sia-sia, kedua belah pihak masih saja
saling berebut kemenangan. Keduanya seperti telah mempunyai niat yang
bulat untuk saling mengalahkan.128
Pada dasarnya, kaum Wahabi bermazahab Hambali dan tetap mengakui
tiga mazahab utama lainnya. Oleh sebab itu, kaum Paderi di Minangkabau
tidak mempunyai agenda untuk mengganti mazhab Syafi’i yang telah lebih
dahulu diikuti penduduk dengan mazhab Hambali. Kaum Wahabi juga tidak
mempunyai tujuan untuk meminggirkan aliran sufisme, selama tidak
berpotensi merusak atau mengarahkan orang untuk menyimpang dari ajaran
agama. Untuk yang satu itu, terdapat perbedaan pemahaman dengan yang
dianut kaum Paderi. Kaum Paderi menunjukkan perangai ingin
memberangus ordo tarekat Syattariyah, suatu kelompok sufi yang banyak
dianut di Minangkabau.
Kebencian terhadap kelompok Syattariyah ditunjukannya dengan
membakar Kampung Paninjauan, suatu kampung yang terletak di desa Kapas
Kapas yang merupakan pusat Syattariyah tertua di dataran tinggi
Minangkabau dan didalamnya banyak bermukim para pelajar agama. Setelah
itu, rombongan pasukan Paderi berangkat ke Empat Angkat, dan segera
mengacungkan senjata kepada penduduk Koto Tuo, dan kampung-kampung
di sekitarnya. Peperangan dengan mereka berlangsung sekitar enam tahun.
Pada suatu hari, disetujuilah gencatan senjata oleh kedua belah pihak. Upaya
ini sebenarnya dilakukan sebagai media untuk membujuk Tuanku nan Tuo
128 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91.
88
agar mendukung gerakan Paderi. Namun sang ulama menyatakan tidak
menyetujui sepenuhnya apa yang dilakukan oleh mereka. Peperangan pun
kembali pecah hingga kampung Koto Tuo dan daerah-daerah sekitarnya
hancur, lalu kemudian dikuasai kelompok Paderi.129
Di Luhak Agam dan IV Kota, paham Paderi sudah mulai bersemi dan
banyak mendapat simpatisan. Hal ini terjadi berkat upaya gigih Tuanku nan
Renceh dan Tuanku Mensiangan. Wilayah-wilayah seperti Peninjauan,
Kapas-kapas, Batipuh, Gunung Raja, Ladang Lawas, melakukan perlawanan
tatkala pasukan Paderi datang. Keadaan yang berbeda terjadi di Lembah
Alahan Panjang. Di sini paham Paderi telah banyak dianut penduduknya.
Lembah ini terdiri atas banyak kampung seperti Padang Lawas, Jambak,
Koto, Lubuk Ambacang, Alai, Bonjol, Pasir, Mandari, Padang Sikaduduk,
Marapak, Caniago, Talang, Tanjung Bungo dan Padang Bubus. Di sebelah
timur lembah ini terdapat Bukit Terjadi, dan di kaki bukit sebelah barat bukit
ini terdapat kampung Bonjol, kampung yang dikemudian waktu menjadi
pusat komando Paderi di Minangkabau.
Kampung Bonjol dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi di
Alahan Panjang yang bernama Datuk Bandaro. Kampung ini kemudian
dibangun menjadi sebuah benteng pertahanan. Kepemimpinan Datuk
Bandaro tidak bertahan lama, ia berpulang akibat keracunan makanan.
Kedudukannya digantikan oleh Peto Syarif yang kemudian mendapat gelar
Tuanku Imam Bonjol. Penunjukkannya sebagai pemimpin Bonjol tidak
terlepas dari wasiat Datuk Bandaro.
Tuanku Bonjol dilahirkan dengan nama Muhammad Syahab pada tahun
1774. Ia merupakan putra dari Chatib Bajanuddin, seorang yang berasal dari
129 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 214.
89
suku Melayu yang tinggal di Kampung Bubus di Tanjung Bungo. Chatib
Bajanuddin menikah dengan Hamatun dari suku Koto. Muhammad Syahab
adalah anak pertama, ketiga adiknya adalah perempuan. Chatib Bajanuddin
dikenal sebagai pribadi yang alim dan guru agama yang rajin dan pandai.
Oleh sebab pembawaannya itu ia mendapat gelar Peto (Pendito).
Muhammad Syahab seperti melanjutkan kiprah sang ayah. Ia juga termashur
karena kedalaman ilmu agamanya. Dia pun memperoleh gelar Peto Syarif,
baru kemudian ia menyandang gelar Tuanku Mudo dan pada akhirnya
Tuanku Imam Bonjol.130
Ketika tentara Paderi sedang gencar melakukan persebaran dakwahnya,
di pesisir barat pantai Sumatera, Inggris juga sedang giat melebarkan
pengaruhnya. Mereka sudah membuka kantor dagang di Air Bangis, Padang
dan Pulau Cinkuk. Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles melawat ke
Padang pada tahun 1818. Keberadaan Inggris menerbitkan kegembiraan di
kalangan kaum Adat. Dua orang Tuanku dari Suruaso yang mewakili Raja
Minangkabau datang menghadap Raffles. Mereka bernama Tuanku Tangsir
Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Maksud kedatangan mereka adalah
meminta Inggris untuk membantu mengalahkan kaum Paderi.
Raffles tidak segera mengiyakan permintaan utusan Raja Minangkabau.
Ia membutuhkan waktu untuk melihat segala macam kemungkinan terkait
untung dan ruginya. Ia menyempatkan diri datang ke Padang Darat pada 18
Juli 1818. Dalam kunjungannya itu ia sempat bertemu dengan perwakilan
Paderi untuk bekerjasama. Maksud itu ditolak oleh kelompok Paderi. Raffles
memang sangat tertarik pada alam pedalaman Minangkabau yang subur itu.
Kesempatan yang tersedia kini hanyalah dengan menjalin kerjasama dan
mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Minangkabau.
130 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-93.
90
Upaya itu nyatanya tidak langsung tercapai, karena sesuai dengan
kesepakatan Traktat London, Inggris harus menyerahkan kembali wilayah
bawahan Belanda ke tangan Belanda. Kedudukan mereka di beberapa
wilayah di Pantai Barat Sumatera, semula adalah daerah yang dikuasai
Belanda. Pemerintah Belanda menunjuk James Du Puy sebagai Residen.
Setelah perpindahan kekuasaan itu, kaum adat pun datang kepadanya untuk
meminta bantuan mengalahkan kelompok Paderi.
Kota Padang yang dijadikan sebagai tempat pemerintahan residen,
sekaligus ditetapkan sebagai markas militer. Dari sini seluruh aliran serangan
ke kantong-kantong orang Paderi ditetapkan dan diberangkatkan. Sampai
dengan menyentuh abad 20, Padang juga ditetapkan sebagai pusat
perdagangan Belanda. Saat itu Padang sudah menjelma menjadi kota yang
dihuni oleh warga campuran, yakni sebagain warga asing dan yang lain
adalah pribumi. Sudah sejak lama kota ini dikunjungi oleh orang Eropa
lainnya, seperti Inggris, Prancis dan Portugis, baru belakangan orang Cina
mulai berdatangan.131
Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen du Puy bersama dengan Tuanku
Suruaso diikuti oleh 14 Penghulu yang mewakili Raja Minangkabau
mengadakan perjanjian. Seminggu berselang, yakni pada 18 Februari 1821,
pasukan Belanda sudah menguasai Simawang dengan kekuatan seratus orang
serdadu di bawah komando seorang Letnan dan diperkuat dengan dua
meriam. Sejak saat itu, kaum Adat mulai mundur dari medan perang. Kaum
Paderi menghadapi musuh baru, yakni pasukan Belanda. Kaum adat kembali
ke posisinya sebagai kepala adat, namun kini sudah menjadi boneka Belanda.
131 Mardanas Safwan, Sejarah Kota Padang (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan , Departemen P dan K, 1987) hlm. 2.
91
Sejak saat itu peristiwa yang dikatakan perang Paderi telah benar-benar
berlangsung.
Raja Pagaruyung sebagai penguasa yang berpengaruh di Minangkabau
nyatanya tidak mampu berbuat banyak memotong gerak pasukan Paderi. Hal
ini dikarenakan kedudukannya yang dianggap sebagai simbol belaka oleh
sebagian nagari (negeri). Pada umumnya nagari bebas untuk menentukan
adat istiadatnya sendiri di bawah pimpinan pengulu dari setiap suku.132 Hal
ini pula yang menyebabkan mudahnya pasukan Paderi memperluas wilayah
dominasinya, karena setiap nagari bisa saja memiliki pandangan politik yang
saling beragam. Raja Pagaruyung, pada kenyataannya, hanya bisa
menyaksikan dari jauh tanpa bisa melindungi mereka.
Masa kaum Paderi melawan Belanda bisa dibagi menjadi tiga masa.
Masa pertama berlangsung sejak tahun 1821 hingga 1825 yang ditandai
dengan semakin melebarnya perlawanan rakyat hampir di seluruh alam
Minangkabau. Masa kedua terjadi pada 1825 sampai 1830, yang poin
pentingnya adalah perang yang berhenti secara berangsur-angsur, oleh
karena pihak Paderi setuju untuk membuat perjanjian dengan Belanda. Ada
dua faktor utama yang melatarbelakangi surutnya perang yakni pasukan
Paderi yang semakin melemah dan keengganan Belanda untuk mengirim
kekuatan militer yang lebih besar ke Minangkabau. Di belahan Nusantara
lainnya, saat itu Belanda juga disibukkan dengan Perang Jawa yang digalang
oleh Pangeran Diponegoro. Masa ketiga berlangsung dari tahun 1830 sampai
dengan 1838. Pada rentang waktu ini ditandai dengan perlawanan yang
kembali ditingkatkan oleh kaum Paderi dan penyerbuan dalam jumlah yang
besar dari pihak Belanda. Perang ini diakhiri dengan tertangkapnya beberapa
132 Mhd. Nor, “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam
Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 63.
92
pemimpin Paderi133 yang berimbas pada semakin lemahnya daya tempur
pasukannya.
B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi
Pemahaman Islam kaum Paderi dekat dengan ajaran Wahabi. Hal ini
dikarenakan persinggungan antara para tokoh awal Paderi Minangkabau
yang sempat mencari ilmu dan menyaksikan gerakan Wahabi di sekitar
Haramain. Mereka merasa inilah ajaran Islam yang sesungguhnya dan perlu
untuk disebarluaskan di kampung halamannya.
Merebaknya ajaran Wahabi bertalian dengan gejolak dunia Islam abad
19 yang dimeriahkan oleh kemunculan cara pandang baru mengenai
pemaknaan Islam. Berbagai tradisi dan budaya yang menambah ajaran-
ajaran Islam sebagaimana yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad
dikatakan sebagai sumber kemunduran umat Islam. Ajaran tambahan itu
dipandang sebagai takhayul, bid’ah dan khurafat. Tiga istilah ini bersumbu
pada pandangan mengakomodir ekspresi budaya lokal, baik yang bersifat
transendental (ketuhanan) maupun syariat (hukum Islam) dalam hukum
Islam utama (bersumber dari al-Qur’an dan hadis).
Oleh sebab itu, munculnya agen-agen pembaharu Islam, seperti Haji
Miskin dan dua kawannya, dibutuhkan untuk memberantas praktek-praktek
ibadah yang tidak ditemukan landasan hukumnya dalam kanon umat Islam
(al-Qur’an dan hadis). Jika ini tidak dilakukan, kaum pembaharu Islam
133 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 93-94.
93
percaya bahwa umat Islam akan selamanya berada dalam keterbelakangan
ditambah pula akan semakin menderita oleh pendudukan kolonial Eropa.134
Bentuk ajaran Wahabi yang ditemukan dalam aktivitas Paderi memang
mempunyai perbedaan dengan yang ada di Tanah Arab. Terdapat
penyesuaian-penyesuaian tertentu, terutama dalam hal memperkenalkan
paham ini ke tengah masyarakat. Keadaan sosial antara yang terjadi di Tanah
Arab dengan Minangkabau juga melatarbelakangi perbedaan itu. Haji Miskin
harus menjadi pedagang dahulu untuk dekat dengan Datuk Bandaro
misalnya, merupakan salah satu kasus yang belum ditemukan kaum Wahabi
yang ada di Arabia.
Ajaran Wahabi semula adalah bagian dari aliran teologis Ahl al-sunnah
wal jama’ah. Pondasi-pondasi utama dari ajaran ini juga tidak jauh berbeda
dengan Islam sunni. Penolakan mereka pada tradisi Islam yang menurut
mereka tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis menjadi salah satu ciri
utama ajaran ini yang kemudian menjadi pembeda dari ajaran Ahl al-sunnah
dan jama’ah.
Di Arab, kaum Wahabi tidak menamakan dirinya sebagai Wahabi
melainkan menyebut diri mereka al-Muwahhidun atau ahl al-Tauhid. Nama
tersebut sekaligus menjadi identitas eksklusif mereka sebagai penganut
ajaran Tauhid yang benar menurut kelompok mereka. Inti ajaran Islam
adalah tauhid. Adapun tambahan-tambahan ritual ibadah lain di luar sumber
hukum Islam (al-Qur’an dan hadis) adalah syirik dan tertolak.135
134 Muhammad Dahlan M, “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”,
Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 2-3. 135 Hamid Algar, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis (Jakarta: Democracy Project,
2011) hlm. 19-21.
94
Penyebutan Wahabi juga erat kaitannya dengan salafi. Kedua istilah ini
berbeda secara redaksi namun mempunyai kesamaan pemaknaan, yakni
segolongan Muslim yang menjalankan ketentuan al-Quran dan Sunnah Nabi
SAW dengan pemahaman dan keimanan yang murni. Mereka menolak
inovasi beragama sebagaimana yang terdapat dalam komunitas Muslim
lainnya yang telah berlangsung sejak lama.
Sebenarnya, di dalam tubuh salafi terdapat dua kelompok, yakni yang
setuju penggunaan kekerasan dan tidak setuju kekerasan. Kekerasan dan
pemaksaan kepada kelompok Muslim lain dilakukan oleh mereka yang
meyakini jihad fisik adalah suatu upaya untuk merubah keadaan masyarakat
yang salah menurut mereka. Namun, sebagian yang lain menolak langkah
tersebut dan lebih memilih upaya penyadaran lainnya, seperti merangkul
para pemimpin Muslim dunia.136
Menurut Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787), pendiri ajaran
Wahabi terdapat tiga pondasi tauhid dalam ajarannya. Pertama, adalah tauhid
al-rububiyah yang bermakna pengakuan bahwa hanya Allah yang
mempunyai sifat ketuhanan (sifat rabb), penguasa serta pencipta dunia, yang
menghidupkan sekaligus yang mematikan. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-
sifat yang menerangkan tentang pembenaran nama-nama dan sifat-sifat yang
tersebut dalam al-Qur’an. Manusia tidak diperbolehkan menafsirkannya serta
menyematkan nama dan sifat tersebut kepada siapapun selain Allah. Dan
bentuk tauhid yang terakhir adalah tauhid al-ibadah, yakni seluruh bentuk
ibadah manusia dialamatkan kepada Allah.
136 Quintan Wiktorowicz, “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in
Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75. Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016.
95
Prinsip tauhid al-ibadah melandasi cara ekspresi keislaman kelompok
Wahabi. Pada titik ini akan ditemukan pemahaman mengenai kekufuran bagi
mereka yang berseberangan dengan ajaran Wahabi. Penganut Wahabi hanya
ingin melaksanakan perintah agama yang jelas termaktub dalam al-Qur’an
dan melepaskan diri dari tradisi-tradisi keislaman meskipun itu sudah
dilakukan selama berabad-abad seperti ziarah kubur, pembacaan maulid
Nabi, atau menyertakan nama orang-orang suci Islam dalam berdoa
(tawassul) dan lain sebagainya. Mereka tidak segan menyalahkan dan
mengkafirkan Muslim yang masih menjalankan tradisi seperti itu.137
Kaum Wahabi cenderung tertuju pada sebagian literatur yang
diyakininya benar. Biasanya mereka banyak bersandar pada kitab-kitab yang
ditulis oleh Ibnu Taimiyah (w. 1328), seorang sarjana Islam terkenal, atau
kepada kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Selain
dari dua ulama serta ulama Wahabi lainnya mereka tidak ingin menjadikan
pendapatnya sebagai rujukan. Hal ini pula yang mengindikasikan mereka
termasuk dalam golongan yang fanatik memegang ajarannya.
Kemudian, mereka berkeyakinan bahwa yang melakukan ritual
keislaman yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an adalah musyrik.
Mereka berpandangan bahwa kaum musyrik ini bukan hanya wajib
diingatkan, melainkan juga boleh diperangi. Membunuh mereka, mengambil
harta mereka serta menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai
budak adalah sesuatu yang dibenarkan. Kejadian itu pernah dialami oleh
umat Muslim di Karbala dan Thaif pada 1803 yang mendapat sebuan dari
137 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 46-47.
96
kaum Wahabi. Di tahun yang sama, Mekkah berhasil mereka kuasai lewat
perang, menyusul Madinah setahun berikutnya.138
Kaum Wahabi meyakini bahwa umat Muslim sudah diperdaya oleh hal-
hal yang menyesatkan. Sebab itu, mereka menyerukan kepada mereka untuk
memurnikan lagi ajaran mereka. Sudah saatnya mereka meninggalkan
aktivitas keagamaan yang dianggap kaum Wahabi sebagai bid’ah (praktek
baru dalam beragama) seperti membaca Barzanji (kitab maulid Nabi SAW),
zikir-zikir tarekat dan lain sebagainya. Kaum Wahabi bukan hanya
memerangi penyimpangan yang baru di temukan dalam masanya, tetapi juga
yang sudah ditradisikan sejak masa dahulu.139
Sebelum tersiarnya ajaran Wahabi ke seantero Semenanjung Arab,
masyarakat Hijaz hidup dalam pengamalan tradisi sebagaimana yang
disebutkan di atas. Bukan hanya pada hari besar Islam saja orang-orang
melakukan ziarah kubur, setiap minggu sekali, banyak kalangan yang
mengnjungi pemakaman Baqi’, tempat para sahabat Nabi SAW dikuburkan.
Para peziarah makam Nabi juga banyak yang melemparkan bunga-bunga
basah atau kering ke makam Nabi sebagai bentuk penghormatan.
Para penjaga makam Nabi SAW sesekali mengambil kembali bunga-
bunga peziarah dan lilin penerangan makam. Kemudian, mereka keluar dan
membagi-bagikan barang itu untuk para peziarah lainnya, terutama bagi
mereka yang datang dari tempat yang jauh. Muhammad Alwi al-Maliki,
seorang ulama Mekkah mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa tindakan itu
138 Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Routledge & Kegan
Paul Limited, 1949) hlm. 354. 139 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 48-51.
97
adalah mengambil kebaikan (tabarruk) dari pennggalan Nabi Muhammad.
Tabarruk adalah bentuk lain dari tawassul.140
Kondisi geografis dunia Arab yang terasing dari pantauan orang-orang
Eropa terutama Inggris, membuat penyemaian paham Wahhabi semakin
tidak terbendung. Inggris sebagai salah satu negara Eropa yang mempunyai
pengaruh kuat dalam perpolitikan Timur Tengah pada akhir abad 18 hingga
awal abad 19, tidak banyak melakukan korespondensi maupun kontak politik
dengan para penguasa dan ulama Wahhabi di Saudi Arabia. Para pejabat
Inggris di Timur Tengah dan India lebih banyak menuangkan perhatiannya
pada upaya penghentian aktivitas bajak laut di teluk Persia. Iklim politik
yang kondusif menjadi salah satu faktor kunci gencarnya persebaran ajaran
Wahhabi ke mancanegara.141
Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai pandangan yang sama
dengan Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam lain asal Mesir,
mengenai urgensi kebangkitan umat Islam. Mereka beranggapan bahwa
penting bagi umat Muslim untuk segera tersadar dan melibatkan diri dalam
kerja besar mematahkan dekadensi dan keterpurukan yang menimpa
masyarakat mereka. Usaha itu diperlukan agar umat Islam dapat mencicipi
kegemilangan masyarakat Islam di masa lalu. Upaya ini juga dibutuhkan
untuk mengimbangi bahkan mengalahkan kekuatan Barat yang di abad 18
dan 19 sudah mulai melingkupi dunia Islam.142
140 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah)
1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 99-100. 141 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid-
Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013, hlm. 27. 142 David Commins, “From Wahhabi to Salafi” dalam Bernard Heykel dkk, Saudi
Arabia in Transition; Insight on Political, Econimic and Religious Change (New York: Cambridge University Press, 2015) hlm. 152.
98
Keyakinan Tiga Haji Minang akan ajaran Wahabi, memang tidak
tumbuh begitu saja, melainkan adalah dampak dari keinginan mereka
berhaji. Sudah bukan rahasia lagi, banyak kaum Muslim Nusantara yang
mendambakan pergi ke Mekkah. Di samping itu, status haji di mata
msyarakat menempati posisi yang mulia. Mereka yang baru pulang berhaji,
kerap disebut sebagai pendeta Islam (ulama) yang bisa menjadi sandaran
masyarakatnya.143
Mereka seperti sudah sadar diri, sebagai pendatang baru, mereka tidak
mempunyai modal sosial apa-apa. Pengetahuan keislaman baru yang
dimilikinya tentu saja tidak lantas akan bisa didakwahkan dengan mulus dan
lancar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, status haji yang disandangnya
menjadi modal penting untuk mereka terjun ke masyarakat. Gelar haji
membuat mereka lebih nyaman dan dipercaya membicarakan masalah
agama.
Orang Paderi berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya
sumber hukum utama. Mereka mengkaji secara teliti rujukan utama Islam itu
dan mengamalkan segala perintah di dalam kitab itu. Mereka tidak
memberikan pemaknaan (tafsir) yang jauh dari apa yang tertulis dalam al-
Qur’an. Artinya, mereka benar-benar menjalankan perintah al-Qur’an
dengan tidak lagi menimbang apa maksudnya, karena berpotensi menyalahi
apa yang tertulis di dalamnya. Orang Paderi juga dikenal karena tekadnya
yang kuat.144
Gerakan pemurnian agama yang akan dilakukan, mendapatkan
perlawanan yang kuat dari kelompok tradisional. Untuk itu, mereka tentu
143 Jacob Vredenbregt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia” dalam
Murni Jamal dkk, ed, Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein (Jakarta: INIS, 1997) hlm. 6.
144 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 114-115 dan 124.
99
sudah menimbang dengan cermat bagaimana merumuskan langkah awal
yang efektif. Dengan mendekati beberapa tokoh agama, seperti Datuk
Batuah dan Tuanku nan Renceh145, tugas dakwah mereka bisa terlaksana
dengan lebih baik. Pengaruh dari tokoh-tokoh Islam lokal agaknya menjadi
gerbang pembuka tersiarnya paham yang mereka bawa ke seantero tanah
Minangkabau.
Di sebagian besar Sumatra, termasuk di Minangkabau, banyak guru
Islam tradisional yang dikenal karena kekeramatannya. Keramat di sini
dihubungkan pada kejadian-kejadian di luar nalar manusia biasa, dan erat
kaitannya dalam dunia mistik. Oleh Gottfried Simon mereka disebut The Old
Sorcerer (Penyihir Tua). Dengan keistimewaannya ini banyak orang yang
datang dan berguru padanya.146 Kelebihannya ini bukanlah dibuat-buat
semata, melainkan adalah pemberian (gift) dari Tuhan karena ketaatannya
dalam beribadah.147
Saat pertama datang ke Minangkabau, Tiga Guru Paderi dihadapkan
pada kebesaran nama para guru tua yang dikenal karena kekeramatannya.
Mereka membutuhkan pengaruh yang besar untuk mengimbangi popularitas
para guru tua, seperti halnya Tuanku Koto Tua. Oleh sebab itu, mereka perlu
menggalang kekuatan dengan mendekati ulama-ulama lainnya yang sepaham
dengan gagasan mereka agar pengaruh mereka kian mengakar.
Tentu tidak mudah untuk mengajak pengikut yang loyal kepada ajaran
Wahabi. Untuk itu, satu hal yang perlu ada di dalam pengikut Paderi adalah
fanatisme. Fanatisme orang Paderi, adalah suatu tekad yang kuat untuk
145 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan …, hlm. 90-91. 146 Gottfried Simon, The Progress and Arrest in Sumatra (London: Marshall Brothers
Ltd., tanpa tahun) hlm. 82-83. 147Raymound L.R. Archer, “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of
Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vo. XV, Part II, 1938, hlm. 91.
100
mencapai suatu tujuan. Tiga Haji Minangkabau memperoleh kesungguhan
tekad menyebarkan Wahabi sejak berada di Hijaz.148 Keyakinan ini pula
yang kemudian mereka tularkan kepada sesama ulama dan para pengikutnya.
Selanjutnya, kelompok Paderi memperlebar pengaruhnya. Mereka
berhasil mengajak beberapa wilayah di Minangkabau, seperti Alahan
Panjang, Lubuk Sikaping, Alahan Mati dan Kumpulan menjadi kampung
Paderi. Hukum Melayu (tradisional) yang telah dijalankan selama bertahun-
tahun diganti dengan hukum Paderi yang bersumber dari al-Qur’an, dengan
tanpa disertai penjelasan lebih lanjut, atau dengan kata lain sumber al-Qur’an
secara utuh dan tetap adanya.149
Pemukiman orang Paderi amatlah berbeda dengan kampung
Minangkabau pada umumnya. Di pemukiman mereka syariat Islam
dijalankan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Di Bonjol
misalnya, hukum Islam dianggap sebagai kemenangan yang dibanggakan
oleh orang Paderi. Di sana Imam Paderi beserta para dewannya berada, dan
dikelilingi oleh para pengikutnya. Banyak para simpatisan serta pengikut
yang memutuskan untuk membangun rumah di Bonjol agar dekat dengan
pemimpinnya. Akibatnya Bonjol yang semula kampung kecil perlahan
berubah menjadi wilayah dengan jumlah penduduk yang terus membesar.
Bahkan, Belanda yang memang tidak setuju dengan kedudukan kaum Paderi
menyebut kampung ini sebagai kampung yang penuh dengan keburukan,
karena posisinya sebagai pusat kaum Paderi di Minangkabau.150
Sumber lain menyebutkan bahwa tidak seluruhnya gerakan Paderi di
Minangkabau melakukan kekerasan untuk mencapai cita-citanya. Datuak
148 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 113. 149 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 123. 150 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 125.
101
Bandaro seorang kepala adat di Alahan Panjang misalnya, tidak langsung
membawa ajaran Paderi ke tengah masyarakatnya. Datuak Bandaro adalah
pengagum Haji Miskin dan teman dekat Tuanku Nan Renceh. Ia sepakat
kepada dua ulama itu untuk membangun tatanan masyarakat yang sesuai
dengan hukum Islam.
Suatu hari, sepulangnya dari suatu acara khotbah Haji Miskin di Agam,
Datuak Bandaro ingin sekali menerapkan hukum Islam secara penuh di
kampungnya. Namun begitu, ia sempat ragu karena salah satu tokoh
terpandang di sana, Raja Ampek Sila, membuat arena sabung ayam di dekat
masjid, bahkan pelaksanaannya kerap dilakukan saat orang melaksanakan
shalat Jumat. Keraguannya timbul setelah berpikir bahwa seruannya untuk
kembali mengamalkan Islam tentu saja tidak langsung mendapat tanggapan
positif masyarakatnya. Saat itu, ia belum siap untuk beradu fisik dengan para
pendukung Raja Ampek Sila atau orang-orang yang masih menjalankan
praktek sabung ayam lainnya.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk membangun
kampung sendiri. Kampung ini dikemudian hari dikenal dengan nama
Bonjol. Dari sini, Datuak Bandaro menjadi pelopor kaum adat yang
mendukung gerakan Paderi memerangi pelaku sabung ayam, peminum arak
dan penjudi. Kedudukannya masihlah dianggap sebagai pemangku adat.
Berbeda dengan pemangku adat lainnya di luhak Agam, Tanah Datar dan di
luhak nan bungsu Lima Puluh Kota yang justru menjadi lawan gerakan
Paderi, ia adalah segelintir kaum adat yang justru menginginkan agar hukum
Islam diterapkan secara penuh di Minangkabau.151
151 Safwan Razi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera
Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 92-93.
102
Pada prakteknya, terdapat kesamaan gerakan Paderi Minangkabau
dengan yang ada di Semenanjung Arab. Keduanya berjuang menggulingkan
tatanan masyarakat yang dianggapnya telah jauh melenceng dari ajaran Islam
yang sesungguhnya. Keduanya sama-sama menggunakan jalur kekerasan
sebagai upaya utama menanamkan gagasan dan pengaruhnya. Di
Semenanjung Arab, kaum Wahabi berusaha melepaskan Hijaz dari kuasa
Turki Usmani lewat perwakilan syarif Mekkah sekitar tahun 1924-1925,152
sedangkan di Minangkabau, kaum Paderi melawan ketimpangan sosial
akibat kontrol agama dan pemerintahan yang lemah yang mengakibatkan
maraknya praktek kemaksiatan, seperti sabung ayam dan berjudi. Gerakan
Paderi tampil untuk memberantas penyakit masyarakat itu dengan kekuatan
fisik.153
Meskipun begitu, terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua
kelompok di atas, terutama mengenai kontinuitas (kelanjutan)
perjuangannya. Kaum Wahabi mendapatkan kemenangannya tatkala berhasil
merebut Hijaz dari tangan syarif Mekkah dan menghilangkan pengaruh
Turki Usmani secara berngasur-angsur. Dengan perlahan mereka
membangun kekuatan politiknya sehingga menjadi penguasa atas
Semenanjung Arab.154 Di sisi lain, kaum Paderi segera mendapatkan lawan
lain, yakni kolonial Belanda yang juga mengupayakan dominasi politik atas
Minangkabau.
152 Syarif adalah semacam pimpinan di Mekkah yang juga membawahi sebagian
wilayah Semenanjung Arab dan bertanggung jawab di bawah pemerintahan Turki Usmani. Ketika syarif mmegang tampuk kepemimpinan di Hijaz, masa ini dikenal sebagai periode Nizam al-Asyraf, dan pada masa gerakan Paderi berlangsung di Semenanjung Arab memasuki periode kedua Nizam al-Asyraf yang berlangsung dari 1800 – 1925. lebih lanjut lihat Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 142 dan 156.
153 Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933 (New York: Cornell University, 1971) hlm. 5.
154 Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 156.
103
Menanggapi hal di atas, terjadi perubahan cara berpikir di kalangan
Paderi. Semula, gerakan mereka ditujukan untuk merubah tatanan
masyarakat yang menurutnya telah hancur akibat lemahnya kontrol
pemimpin dan agama ke arah masyarakat Islam di mana hukum Islam
dijalankan oleh masyarakatnya. Begitu datang pasukan kolonial, gerakan
mereka dengan cepat berubah menjadi perlawanan rakyat atas penjajah yang
terang-terang ingin memantapkan pengaruh politik di Minangkabau. Terlebih
mereka juga didukung oleh kaum adat yang menjadi lawan orang Paderi
sebelumnya.
Gerakan Wahhabi pada abad 19, sudah menjadi momok bagi suatu
kuasa kolonial di Asia. Bukan hanya di Sumatera Barat, di belahan dunia
lain, tokoh serta penggiat Wahhabi terlibat dalam aksi-aksi makar terhadap
kuasa kolonial di wilayahnya. Salah satu yang bisa diketahui adalah laporan
tentang ditangkapnya dua orang pebisnis India bernama Ahmad dan
Hashmadad Khan pada Juli 1869 oleh pemerintah kolonial Inggris di India.
Mereka adalah anggota dari Masyarakat Pebisnis Calcutta (Calcutta’s
Business Community). Keduanya dikirim dan dipenjara di Bihar dengan
tanpa prosedur hukum formal. Ahmad dan Hashmadad Khan dituduh telah
membiayai pemberontakan Wahhabi di pos pertahanan Inggris di barat laut
India.
Sekitar tahun 1860-an, di India, istilah “Wahhabi” merujuk pada aneka
ragam gerakan Muslim yang menyuarakan reformasi dan mengambil jalur
poitik sebagai corong partisipasi mereka dalam pergaulan antarelit India.
Belakangan, kaum Wahhabi di India dilabeli sebagai gerakan politik yang
mengancam kepentingan pemerintah Inggris di sana. Mereka dianggap
sebagai lini militer yang akan menggulingkan kuasa kerajaan Inggris di
negeri jajahannya itu. Hampir sama dengan yang ditemukan di
104
Minangkabau, Wahhabi di India dekat dengan paham fanatisme agama dan
anti-kolonialisme Eropa.155
C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi
Kedatangan kaum paderi ternyata berdampak pula pada pengajaran
agama dan ilmu pengetahuan lainnya di Minangkabau. Para sarjana yang
berasal dari Mekkah tidak hanya menyibukkan diri pada dakwah untuk
merubah moral dan perilaku buruk orang-orang di kampungnya, melainkan
juga menyempatkan diri membuka kelas guna mencetak generasi baru yang
terpelajar. Generasi inilah yang mereka jadikan manusia tercerahkan sesuai
dengan ajaran-ajaran yang didapat sang guru tatkala di Mekkah. Boleh
dikatakan masa ketika kaum Paderi berkuasa, harkat dan martabat ilmu-ilmu
agama semakin naik, bahkan mutunya tidak kalah dengan yang ditemukan di
Mekkah.
Masuknya pengaruh Paderi ke dalam jantung Minangkabau, lebih luas
bahkan dikatakan sebagai awal mula munculnya ortodoksi dalam Islam
Melayu.156 Wajah Islam Minangkabau adalah mewakili wajah Islam Melayu
yang mengalami pergesekan dengan pengaruh Wahabi. Tidak bisa dipungkiri
merebaknya paham Wahabi ikut merubah beberapa struktur keislaman di
tataran masyarakat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan nuansa romantisme
yang kuat, yakni menjadikan Minangkabau mendekati bentuk masyarakat
ideal sebagaimana yang ditemukan di Makkah ketika dipimpin oleh
kelompok Wahabi.
155 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi …”, hlm. 23-24. 156 Mohd Faizal bin Musa, “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam
Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010, hlm. 13.
105
Taufik Abdullah menerangkan bahwa kelompok Paderi menolak
keseimbangan antara adat dan agama. Kaum Paderi tidak hanya sekedar
“memurnikan ajaran agama” namun bertindak lebih jauh, menerapkan
konsep Wahabi ke dalam perangai dan perilaku kesehariannya. Mereka
melakukan pembaharuan hukum Islam yang semula berseberangan dengan
paham mereka, dan itulah yang mereka maksud sebagai harmoni yang
sebenarnya. Para milisi mereka tidak segan melawan hukum-hukum Islam
tradisional yang sejak lama dianut penduduk.157 Untuk menciptakan generasi
semacam itu, sudah barang tentu mereka membutuhkan tempat dan
kurikulum belajar yang memadai.
Bahasa Arab mulai diperkenalkan sebagai bahasa pengantar pendidikan
pada masa ini. Penguasaan terhadap bahasa membawa dampak pada
perubahan kurikulum model pengajaran lama. Jika dahulu pelajaran sharaf,
nahwu, fiqih dan tafsir dalam setiap tingkatan menggunakan satu macam
kitab, kini yang dikaji adalah berbagai macam kitab. Ilmu nahwu misalnya,
para murid akan mengkaji kitab-kitab seperti al-Jurumiyah, ‘Asymawi, Syekh
Khalid Azhari. Qathrun-Nada, Alfiyah (Ibnu Aqil), ‘Asymuni dan lain-lain.
Dalam kajian ilmu sharaf, kitab yang digunakan antara lain al-Kailani,
Taftazani dan yang lainnya. Pelajaran fiqih menggunakan kitah Fathul
Qarib, Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahab, al-Mahalli, bahkan terkadang
hingga mencapai kitab Tuhfah dan Nihayah. Sedangkan untuk ilmu tafsir,
menggunakan kitab Tafsir Jalalain, Baidlawi, Khazin dan sebagainya.
Oleh karena semakin populernya bahasa Arab sebagai bahasa
pengetahuan, membawa serta pada kenyataan semakin berkembang dan
beragamnya ilmu-ilmu agama yang dikaji di Minangkabau pada masa itu,
bahkan hingga mencapai dua belas jenis ilmu, antara lain:
157 Taufik Abdullah, Schools adn Politics …, hlm. 5.
106
1. Ilmu Nahwu
2. Ilmu Sharaf
3. Ilmu Fiqih
4. Ilmu Tafsir
5. Ilmu Tauhid
6. Ilmu Hadis
7. Ilmu Musthalah Hadis
8. Ilmu Mantiq (logika)
9. Ilmu Ma’ani
10. Ilmu Bayan
11. Ilmu Badi’
12. Ilmu Ushul Fiqih.158
Kemudian, perkembangan ilmu pengetahuan juga berdampak pada
kurikulum pengajaran keilmuan. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pada
masa transisi ini, setidaknya terdapat dua tingkat pendidikan yang ditempuh
oleh para murid yakni:
1. Pengajian al-Qur’an, yakni sebagaimana yang biasa dilakukan
sebelum tahun 1900
2. Pengajian Kitab, pengajian ini tersusun dari beberapa jenjang, yakni:
a. Mengaji ilmu nahwu, sharaf dan fiqih dengan mengacu pada
kitab; Al-Jurumiyah, Matan Bina’, Fathul Qarib dan
sebagainya
b. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, dengan menelaah
kitab-kitab seperti Sanusi, Syakh Khalid (Azhari, ‘Asymawi),
Kailani, Fathul Mu’in dan yang lainnya
158 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Mahmud
Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 51-52.
107
c. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, tafsir dan lain-lain
menggunakan kitab kitab berikut: Kifayatul ‘Awam (Ummul
Barahin), Ibnu ‘Aqil, Al-Mahalli, Tafsir Jalalain/Baidlawi
dan sebagainya. Di jenjang ini, para murid juga diajarkan
ilmu Mantiq atau logika, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan
yang lainnya dengan menggunakan kitab Sulam, Idlahul
Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, Ihya’ Ulumuddin dan lain
sebagainya
Di masa ini, kitab Dhammun dan al-Awamil yang ditulis dengan tangan
tidak digunakan lagi. Secara umum bahkan kitab-kitab yang di masa
sebelumnya banyak ditulis tangan, banyak yang sudah ditinggalkan,
mengingat pada masa itu mulai dikenal kitab-kitab hasil percetakan. Ini
merupakan perubahan yang signifikan dalam pendidikan di Minangkabau.
Pada awalnya, kitab-kitab yang dicetak itu dibawa dari Mekkah dan dari
Singapura. Selanjutnya, Toko Kitab Syekh Khalidi di Bukittinggi mulai
menjadi pemasok kitab-kitab percetakan yang didatangkan dari Mesir. Toko
kitab ini merupakan importir kitab dari Mesir yang pertama. Baru kemudian
diikuti oleh toko-toko kitab lainnya.
Masa ini ditandai dengan membajirnya kitab-kitab dari Mesir. Bahkan,
beberapa majalah Islam yang aktual dan membawa pengaruh baru bagi geliat
perkembangan umat Islam modern seperti Al-Manar, didatangkan pula dari
sana. Majalah itu dan yang lainnya banyak berkontribusi dalam
memodernisir pemikiran Islam di Nusantara. Aliran pemikiran baru di dunia
Islam itu dipelopori oleh pemikiran-pemikiran Syekh Jamaluddin al-Afghani,
Syekh Muhammad Abduh, Sayyid M. Rashid Ridha dan yang lainnya.159
159 Muhammad Yunus, Sejarah pendidikan ..., hlm. 53-54.
108
Adapun cara mengajarkan al-Qur’an pada masa Paderi ini adalah tidak
mengalamin perubahan dari yang ditemukan di masa sebelumnya. Masa ini
ditandai dengan semakin banyaknya qari-qari yang telah memahami ilmu
langgam yang khas sebagaimana yang ditemukan di dunia Arab. Di antara
para qari ada yang berguru hingga ke Mekkah selama beberapa tahun
lamanya. Pengajian-pengajian al-Qur’an tingkat lanjut, yang mencamtumkan
materi qira’ah, menjadi semakin banyak jumlahnya. Di antara para qari di
Minangkabau yang termashur adalah; H.M. Jamil, dari Padang Tarab,
Bukittingi; H.M. Rasyad dari Batuhampar, Payakumbuh; H. M. Arif dari
Padang; H. Rasyid Biaro dari Bukittinggi, dan lain sebagainya.160
Metode pengajaran kitab pada masa itu, terdiri dari dua macam yakni:
1. Untuk para murid yang termasuk kategori pemula (tingkat rendah),
maka pengajarannya bertumpu pada murid belajar seorang demi
seorang. Murid-murid yang rajin dan cerdas akan segera
menamatkan pengajiannya, sedangkan bagi murid yang malas dan
kurang pintar maka akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menyelesaikan tahapan ini, bahkan banyak di antara mereka yang
tidak tamat. Akibatnya banyak di antara mereka yang pulang dengan
tangan hampa.
Sedangkan untuk cara mengajarnya adalah dengan
membacakan matan kitab, seperti kitab al-Jurumiyah dalam bahasa
Arab, lantas menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atau bahasa
daerah setempat. Setelah itu barulah dipaparkan maksudnya. Pada
prakteknya, walaupun sang guru menerangkan penjelasannya dengan
panjang lebar, masih ada di antara murid yang tidak segera mengerti
160 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55.
109
maksudnya. Untuk itu, forum tanya jawab dibutuhkan untuk
mengurangi ketidakpahaman mereka.
Metode menghafal masih digunakan pada era ini. Bahkan
yang dihafal bukan hanya matan dan syara’ kitab melainkan sampai
pada penjelasan sang guru juga ikut dihapalkan. Oleh sebab itu
ketajaman otak serta kecepatan menangkap penjelasan merupakan
alat yang harus ada di diri para murid. Mereka yang serius dan rajin
tentu tidak akan kesulitan menghadapi pola itu, bahkan banyak di
antara mereka yang di kemudian hari menjadi ulama besar. biasanya,
setelah menjelaskan maksud dari kitab, langsung dilanjutkan pada
pembahasan kaidah-kaidah kata dan kalimat huruf Arabnya. Hal ini
dilakukan agar para murid terbiasa dalam mengaplikasikan gramatika
huruf Arab, mana saja yang termasuk isim, fi’il dan huruf.
Cara ini dianggap tepat untuk menumbuhkan perlombaan di
kalangan para murid. Dengan sendirinya akan tercipta persaingan
sehat untuk sedapat mungkin memperoleh banyak ilmu dari satu kali
majlis diselenggarakan. Mereka yang kurang rajin akan merasa malu
dengan kemajuan kawan-kawannya yang lain. Selepas jam belajar,
lazim dijumpai murid-murid yang kurang pandai berdiskusi dengan
murid yang dikenal pintar. Murid-murid pada jenjang ini hanya
belajar kepada guru bantu (guru tua) dan belum sampai berguru
kepada seorang Syekh atau guru besar.
2. Memasuki tingkat yang lebih tinggi, para murid diperkenalkan
dengan sistem pengajaran halaqah. Komposisi murid pada tingkat ini
adalah mereka yang telah menjadi guru-guru bantu dan murid yang
merasa sudah cukup persiapan mengikuti pelajaran yang lebih tinggi.
Kemudian, mereka menggabungkan diri membentuk lingkaran dan
110
menghadap guru besar atau syekh. Sang guru juga berada dalam
posisi duduk.
Guru dan para murid memegang kitab yang sama, misalnya saja kitab
al-Mahalli. Awalnya, sang guru membaca matan kitab dalam bahasa
Melayu atau bahasa daerah tertentu, sedangkan para murid menyimak
dengan penuh perhatian. Setelah itu, sang guru menjelaskan
kandungan matan, sesekali sang guru mengulang bacaan matan
hanya pada kalimat yang ia rasa perlu disampaikan kembali,
kemudian ia menjelaskan maksudnya. Setelah pembahasan satu pasal
dari kitab itu selesai, kemudian diteruskan dengan mengkaji kitab
yang lain, misalnya saja kitab Alfiyah Ibnu ‘Aqil yang merupakan
kitab Nahwu, menggunakan sistem pembelajaran yang ditemukan di
masa sebelumnya. Selanjutnya berjalan seterusnya, dan para murid
hanya menyimak atau mendengarkan saja.
Esoknya, kajian dengan pola seperti di atas diteruskan kembali
dengan materi selanjutnya. Dalam pertemuan ini tidak diperkenankan
lagi murid bertanya pelajaran yang telah lalu. Biasanya pengajian
semacam ini dimulai pagi hari, yakni pukul 08.00 sampai dengan
pukul 10.30 untuk tiga pelajaran. Kemudian pelajaran kitab dimulai
kembali pada malam hari setelah shalat Maghrib, yakni pukul 19.00
sampai dengan 21.30, dan membahas tiga pelajaran pula. Dengan
begitu, jumlah pelajaran dalam sehari adalah enam pelajaran.
Sejatinya sistem halaqah yang bertumpu pada guru yang menjelaskan
dan murid hanya menyimak, adalah sama dengan sistem perkuliahan
zaman sekarang. Hanya saja perbedaannya, jika pada halaqah para
murid hanya melihat kitab, sedangkan para mahasiswa kerap
mencatat penjelasan guru besar. Salah satu manfaat dari pengajaran
sistem halaqah adalah para pelajar diberi kesempatan lebih awal
111
untuk muthala’ah atau mempelajari pelajaran yang akan dipelajari
secara mandiri. Dengan begitu ketika sang Syekh menjabarkan
penjelasannya, sang murid diberi kesempatan mengakurkan
pemahamannya dengan penjelasan sang guru. Secara tidak langsung
sang murid diberikan kebebasan untuk menciptakan pemahamannya
sendiri, baru kemudian mencocokkan apakah yang dipahaminya itu
benar atau tidak.
Sistem pengajaran seperti ini membuat para murid harus memiliki
daya tangkap yang tajam mengenai penelaahan ilmu-ilmu agama.
Baik ketika memahami kitab secara pribadi dan ketika sang syekh
menuturkan penjelasannya. Mereka yang rajin mendawamkan pola
ini perlahan akan mencapai kepintarannya. Sistem ini memang tidak
lekas membuat seseorang pintar secara instan, melainkan memacu
mereka untuk setia dalam proses. Terlebih bagi mereka yang bertugas
sebagai guru bantu, maka akan semakin mengasah daya ingatnya.
Dalam jenjang-jenjang pendidikan di masa Paderi tidak dikenal
semacam ujian berkala. Untuk mengukur penguasaan murid senior bukan
dilihat dari ketika sudah menamatkan pengajian beberapa kitab kepada
Syekh, melainkan dengan melihat bagaimana kepandaiannya mengajar
sebagai guru bantu. Mereka bisa menyederhanakan pemahaman yang berasal
dari kitab-kitab yang sulit kepada para murid. Para murid pun akan dengan
sendirinya mengakui derajat kealiman guru bantunya, jika mereka merasa
mendapat pengetahuan baru yang berasal dari materi-materi yang belum
dipelajari, namun sudah mendapat gambaran dari lisan guru bantunya.161
161 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55.
112
Masa menjadi guru bantu tidaklah selamanya ditempuh para murid
senior. Jika merasa sudah cukup, di antara mereka ada yang pulang ke
kampung halamannya masing-masing kemudian mendirikan pengajiannya
sendiri. Sedikit banyak pola-pola pengajaran sebagaimana yang diketahuinya
dahulu, dipraktekkan kembali di majlis ilmu binaannya. Fenomena ini
semakin terasa penting tatkala mendiskusikannya sebagai lanjutan dari suatu
jejaring keilmuan di tanah Minangkabau.
Ijazah atau diploma tidaklah dijumpai di zaman itu. Seorang murid
dikatakan sudah mencapai ambang batas pencarian ilmu formalnya, adalah
ketika ia sudah mendapat pengakuan dari masyarakat. Oleh sebab itu,
mereka baru bisa dikatakan alim atau orang berilmu yang telah pantas
membagi ilmunya, ketika mereka sudah mulai mengabdikan diri sebagai
guru masyarakat. Ketika mereka melakoni profesi sebagai guru bantu, secara
tidak langsung mereka sudah berkecimpung dalam profesi itu. Namun,
pengakuan itu menjadi lebih nyata, manakala mereka sudah membuka
pengajian tersendiri, sehingga semakin memperkuat klaim keilmuannya.
Muhammad Yunus memperoleh informasi dari gurunya Syekh M. Thaib
Umar, sistem halaqah seperti itu berpotensi melahirkan setidaknya satu
ulama besar dari seratus orang. jika seratus orang menjadi satu ulama besar,
maka yang 99 lainnya menolong membeli minyak goreng. Di masa itu belum
dikenal semacam iuran bulanan atau semacamnya, melainkan sekedar biaya
membeli minyak sekitar 2 ½ sen per minggunya. Bisa dibayangkan pada
masa itu para murid sudah dibiasakan untuk mengerti keadaan satu sama
lain, suatu bagian kecil dari pelajaran mengasah empati mereka.
Para guru yang mengajar masa itu sama sekali tidak memungut upah
dari para muridnya, melainkan mengajar secara ikhlas, semata-mata karena
Allah. Mereka juga tidak mendapatkan gaji dari guru-guru yang lebih senior.
113
Guru-guru tersebut hanya mendapat jatah dari zakat padi atau zakat fitrah
setahun sekali dari murid-muridnya serta dari orang-orang kampung yang
tinggal di sekitar pengajian. Di waktu-waktu tertentu mereka juga mendapat
sedekah dari orang-orang dermawan. Rezeki para guru umumnya hanya
berasal dari zakat, sedekah dan hasil sawahnya, serta dari ikan-ikan yang
dipelihara di tebat (kolam) di sekitar suraunya.162
Tempat pendidikan Paderi mengikuti lokasi pemukiman Paderi itu
sendiri. Biasanya kampung yang dihuni orang Paderi terpisah dengan mereka
yang bukan penganut ajaran Paderi. Para guru Paderi akan mengajarkan
muridnya tanpa biaya apapun. Kebiasaan dan sikap orang Paderi berangsur-
angsur berubah dari ketika mereka sebelum masuk kelompok Paderi.
Perilaku mereka tidaklah sebebas seperti sebelumnya. Para ulama Paderi
mengajarkan kefanatikan (kesungguhan) dalam menjalankan ajaran Islam.163
D. Ulama Terkenal di Masa Paderi
Tidak bisa dipungkiri, terselenggaranya agenda-agenda kaum Paderi,
adalah berkat sosok ulama-ulamanya. Beberapa dari mereka menjadi amat
penting posisinya dalam wacana perkembangan wacana intelektual Islam di
Minangkabau. Ulama dengan surau atau pengajiannya menjadi tempat
tujuan yang paling tepat untuk mendalami ilmu agama. Kebesaran mereka
menjadi magnet yang menarik banyak murid dari seantero Minangkabau dan
sekitarnya untuk datang dan ikut larut dalam perbincangan tentang ilmu.
162 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 58-59. 163 A.V. Michiels, Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van
Sumatra (Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846) hlm. 17- 18.
114
Pada bagian yang lalu diterangkan bahwa salah satu karakteristik orang
Minangkabau adalah kesukaan akan merantau. Alasan merantau memanglah
beragam mulai dari untuk mencari pengalaman termasuk pula mencari ilmu.
Semakin meluasnya pengikut Paderi, tidak menutup kemungkinan, adalah
disokong oleh keinginan diri untuk keluar dari kampungnya dan
menggabungkan diri dalam barisan perang Paderi. Penundukan-penundukan
wilayah kaum Adat, tentu membutuhkan jumlah manusia yang tidak sedikit.
Bergabungnya beberapa orang ke dalam milisi Paderi menjadi wahana yang
tepat untuk menyalurkan keinginan merantau sebagian orang.
Jika membincangkan jalannya perang Paderi maka kita akan menjumpai
beberapa tokoh kunci yang menggagas perang ini. Jauh sebelum perang
terjadi, kelompok Paderi memperkuat basis gerakannya dengan
mempertalikan sejumlah ulama-ulama yang memiliki visi yang sama, lantas
diterjemahkan ke dalam gerakan dakwah nyata. Namun sayang sekali, nama-
nama mereka belum dilengkapi dengan biografi yang utuh, atau setidaknya
memadai, sehingga tokoh Paderi yang “seolah-olah paling penting” adalah
Tuanku Imam Bonjol. Selain dia sebenarnya banyak tokoh lain yang
berperan, salah satunya adalah Tuanku nan Renceh.
Suryadi, filolog Minangkabau, mencoba mengumpulkan kembali
informasi mengenai jati diri Tuanku nan Renceh yang terserak. Ia
mendapatkan salah satu sumber berharga mengenai siapa Tuanku nan
Renceh dari sumber lokal bernama Surat Keterangan Syekh Jalaluddin
(SKSJ) yang ditulis oleh Fakih Shagir, seorang ulama Paderi moderat. Teks
SKSJ sendiri kini tersimpan di Malaysia dan sudah ditelaah oleh E. Ulrich
Kratz dan Adriyetti Amir.164
164 Lengkapnya Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir, Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin
Karangan Fakih Shagir (Kuala Lumpur: DBP, 2002).
115
Menurut keterangan SKSJ yang ditulis sebelum tahun 1829, ketika
Tuanku nan Renceh masih muda, di darek (pedalaman Minangkabau)
terdapat ulama yang tersohor bernama Tuanku nan Tuo dari Koto Tuo,
Empat Angkat. Banyak orang yang berguru agama kepadanya. Mereka
berdatangan dari seluruh penjuru alam Minangkabau, satu di antara mereka
adalah Tuanku nan Renceh sendiri. Terdapat murid yang berumur sama
dengan Tuanku nan Renceh lainnya yang bernama Fakih Shagir. Amat
dimungkinkan kedua orang ini sempat berjumpa.
Beberapa tahun terakhir pada abad 18, Tuanku nan Renceh bersama
sahabatnya Fakih Shagir sudah menyibukkan diri dalam berdakwah.
Merujuk pada keterangan SKSJ, mereka “berhimpun ... dalam masjid Kota
Hambalau di nagari Canduang Kota Lawas”.165 Secara berkala mereka terus
memperluas wilayah dakwah mereka, hingga empat tahun lamanya sebelum
kemudian Haji Miskin, seorang penganjur paham Wahabi datang dari
Mekkah pada tahun 1803.166 Suryadi menyebutkan bahwa ketika itu umur
Tuanku nan Ranceh masih muda namun sudah giat berdakwah. Kira-kira
sejak tahun 1799, ia sudah memulai pekerjaannya itu, jauh sebelum Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang melancarkan gerakan Paderi.
Tuanku nan Ranceh dikenal memiliki sifat yang radikal dan militan.
Modal inilah yang membuat namanya kian diperhitungkan dalam tubuh
kaum Paderi. Menjadi bagian dari Paderi sudah menjadi tujuan hidupnya. Ia
memutuskan berjuang dengan sepenuh hati dalam kelompok itu. Sepertinya
ia begitu terinspirasi dengan cerita-cerita tiga haji dari Mekkah. Sudah
merupakan kelaziman dalam soal Islam, jika seseorang mendengar cerita
tentang Mekkah, ia menjadi cepat tergugah seakan memendam kerinduan
165 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm 23. 166 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 25.
116
mendalam untuk kesana. Perasaan itu justru lebih hebat menggelora
ketimbang tiga haji yang pernah mengunjungi Mekkah. Namun begitu, tidak
ada catatan-catatan yang menyebutkan Tuanku nan Renceh pernah ke
Mekkah. Kefanatikan Tuanku nan Renceh terbetik saat dia mendengar cerita
tentang Mekkah.
Menginjak awal tahun 1820, dirinya sudah menempati posisi sebagai
komandan perang Paderi yang membawahi lima nagari, yakni Kamang,
Bukik, Salo, Magek dan Kota Baru. Pasukan pimpinannya amat ditakuti,
hampir ketika ia menyerang suatu kampung, dengan segera ia memperoleh
kemenangan. Nagari yang diserang menjadi wilayah yang penuh
penderitaan. Tarup atau lumbung padi dan rumah dibakarnya, penduduk
yang menentang akan ditawan atau dibunuh.
Fakih Shagir menerangkan akan aksi brutal Tuanku nan Renceh dalam
suatu penyerbuan ke nagari Tilatang, dengan perkataan: “maka sampailah
habis nagari Tilatang dan banyaklah (orang) berpindah dalam nagari; dan
sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan
lalu kepada terjual, dan wanita dijadikannya gundi’nya (gundiknya).”
Mereka yang banyak melakukan tindakan sadis adalah para pengikut Tuanku
nan Renceh dari Salo, Magek dan Kota Baru. Oleh sebab itulah para lawan
kerap menghina mereka dengan sebutan “kerbau yang tiga kandang”.167
Sebutan itu muncul dari perilaku mereka yang menyerang seperti binatang.
Fakih Shagir juga menerangkan bahwa Tuanku nan Renceh memiliki
postur “kecil tubuhnya”.168 Kata renceh sendiri dalam bahasa Minangkabau
bermakna kecil, lincah dan bersemangat. Suryadi mengutip H. A. Steijn
Parve dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” dalam
167 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 37. 168 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 24.
117
Indisch Magajizn169, dikatakan bahwa Tuanku nan Renceh mempunyai tubuh
kecil, kurus, bertabiat berangasan serta mempunyai pancaran mata yang
berapi-api terpancar dari sikapnya yang keras hati dan radikal.170
Tuanku nan Renceh memfokuskan dakwahnya pada pembenahan
perangai dan perilaku masyarakat, yang dinilainya telah jauh menyimpang.
Ia juga merasa berkewajiban untuk membuat keluarga kerajaan Pagarruyung
sadar, bahwa kerja ini merupakan bagian dari kewajiban mereka. Hidup
anggota kerajaan juga dinilai telah jauh melenceng dari ajaran-ajaran Islam.
mengetahui sepak terjang Tuanku nan Renceh, sang raja, Raja Muning Syah,
bukannya merasa terancam, justru mendukung aktivitas Tuanku nan Renceh.
Ia memberi kesempatan baginya untuk menerapkan pemahamannya di
tengah masyarakat.171
Saat berhadapan dengan Belanda Tuanku nan Renceh termasuk dalam
komandan perang yang disegani lawan. Dalam beberapa kesempatan ia
mampu menciptakan peluang bahkan menyudutkan pasukan kolonial.
Namun dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sekitar 1825, ia mulai
169 H. A. Steijn Parve, “De secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam
Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4, hlm. 21-40. 170 Adapun mengenai pakaian Tuanku nan Renceh, Suryadi menerangkan bahwa ia
mengenakan pakaian seperti kaum Paderi lain. Bagaimana tatanan bentuk pakaian Paderi bisa dilihat dari deskripsi dalam: P. J. Veth, “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850, hlm. 21; Thomas Stamford Raffles, Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed) (Singapore: Oxford University Press: 1991 (cetak ulang)), hlm. 349-350. Bisa pula melihat sketsa vidual di; E. Francis, “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) 2 -1, 1839, hlm. 28-45, 90-111, 131-154, dan 141. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan seorang Paderi tampil dengan rambut yang dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu dikenakan sebagai “pakaian”, sorban dengan jubah panjang sampai bawah lutut berwarna putih. Mereka digambarkan pula membawa al-Qur’an yang disimpan di dalam tas merah yang digantungkan ke leher, namun tas ini biasanya disandang oleh ulama atau Panglima Paderi. Lihat Suryadi, “Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku nan Renceh” dalam http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html?m=11, diunduh pada Rabu, 31 Maret 2016, pukul 17.14 WIB.
171 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 218.
118
merasa perlu mengadakan pembaruan dalam perjuangan. Di saat yang
bersamaan Kolonel H.J.J.L. de Stuers, Residen Padang yang baru, menjajaki
kemungkinan perjanjian gencatan senjata dengan kaum Paderi. Sang Residen
menganggap sebenarnya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap
Paderi dilakukan secara tergesa-gesa dan alasan dasar melakukan hal itu
masih lemah. Berbeda dengan pendahulunya mantan residen Raff, ia justru
ingin mengadakan suatu kesepakatan pemeliharaan wilayah masing-masing.
Perjanjian tersebut dilakukan pada tanggal 15 November 1825
dilakukan di Padang. Dalam kesepakatan itu, utusan Tuanku nan Renceh
meminta agar Belanda segera meninggalkan pedalaman Minangkabau.
Permintaan itu tentu saja tidak bisa dipenuhi. Masa-masa setelah perjanjian
ini ditandai dengan penarikan sejumlah pasukan kolonial dari Minangkabau
dan di tempatkan ke Jawa untuk memperkuat pasukan yang bertugas dalam
perang Jawa. Pada September 1826, terdapat sekitar 682 pasukan Belanda di
seluruh Sumatera Tengah, dari jumlah tersebut kurang dari 300 personel
yang bertugas di pedalaman.172
Tuanku nan Renceh merupakan sosok yang penting dalam jajaran ulama
dan penghulu Paderi. Sifatnya yang loyal dan perangainya yang keras
merupakan modalnya menjadi salah satu pemimpin Paderi yang disegani.
Boleh dikatakan dirinyalah yang menjadi petunjuk jalan tersebarnya ajaran
Paderi di Minangkabau. Tiga orang Haji Paderi dari Mekkah tentu tidak bisa
berbuat banyak jika tidak menjalin kerjasama dengan para ulama dan
penghulu lokal Minang, seperti Tuanku nan Renceh ini.
Jika Tuanku nan Renceh adalah ulama yang banyak melibatkan diri
pada penguatan skrup-skrup kekuasaan Paderi di Minangkabau, maka Syekh
172 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 233-234.
119
Ahmad Khatib merupakan ulama generasi berikutnya yang lahir dari
keluarga Paderi, namun mengkhususkan diri pada pengembangan keilmuan
Islam bagi para ulama Minangkabau berikutnya. Syekh Ahmad Khatib,
meskipun tidak langsung terlibat dalam gerakan Paderi masa awal, namun
ayahnya dikenal sebagai seorang hakim yang beraliran Paderi. Ia juga
dikenal sebagai sosok yang berseberangan dengan kolonial.
Syekh Ahmad Khatib dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855.
Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang mempunyai latar belakang
agama dan adat yang kuat. Syekh Ahmad Khatib menuntut ilmu di sekolah
rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Untuk diketahui, sekolah
rendah dan sekolah guru adalah sekolah yang didirikan oleh Belanda.
Meskipun pernah mengenyam pendidikan Belanda, tidak lantas membuatnya
surut untuk memperbanyak ilmu-ilmu keislaman. Pada tahun 1876, ia
melanjutkan studi agamanya ke Mekkah, sampai ia memperoleh kedudukan
yang tinggi di sana, yakni sebagai imam mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Syekh Ahmad Khatib memutuskan untuk berdiam di Mekkah dan tidak
berencana kembali ke kampung halamannya. Meskipun begitu, ia tetap
menjalin relasi dengan para jamaah haji dan pelajar dari Nusantara yang
berada di Mekkah. Murid-muridnya di kemudian hari menjadi ulama-ulama
besar sekembalinya dari Mekkah. Di antara muridnya yang terkenal adalah
banyak yang menjadi ulama pembaharu di Minangkabau seperti Syekh
Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji
Abdullah Ahmad. Muridnya yang berasal dari Jawa adalah K.H. Ahmad
Dahlan pendiri Muhammadiyah. Muridnya yang lain dikemudian hari
dikenal karena berhasil mendirikan organisasi massa ulama yang berhaluan
tradisionalis, yakni Syeikh Sulaiman ar-Rasuli asal Candung, Bukittinggi
120
dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng dan Nahdhlatul
Ulama.173
Rini Rahman menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib merupakan
ulama pelopor utama dalam reformasi pendidikan di Minangkabau. Ia
memang tidak pernah kembali ke Nusantara, tetapi melalui para muridnya,
ide-ide tentang pembaruan Islam darinya diterjemahkan dengan signifikan,
terarah dan masif. Di antara muridnya yang berasal dari Minangkabau seperti
Muhammad Thaib Umar, Abdul Latif Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim
Musa Parabek, Agus Salim, Abdul Karim Amrullah, Daud Rasyidin dan
Sutan Darap Sulaiman mempunyai perhatian yang besar terhadap reformasi
peran surau dan modernisasi di bidang pendidikan. Khusus bagi surau,
mereka merubah kedudukan surau menjadi lembaga pendidikan yang dapat
bersaing dengan lembaga pendidikan Hindia Belanda.174
Ulama lainnya yang sezaman dengan Syekh Ahmad Khatib adalah
Syekh Tahir Jalaluddin. Syekh Muhammad Tahir bin Syekh Muhammad
atau Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin al-Falaki (1869-1956) lahir pada 7
November 1869, di Kota Tua Empat Angkat, Bukittinggi. Ia berasal dari
keluarga yang memiliki landasan tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang
kuat. Kakeknya adalah Tuanku nan Tuo, ulama terkenal yang merupakan
guru besar dari para pejuang Paderi. Semasa kecil ia sudah yatim. Ia dirawat
oleh bibi dari pihak ibunya sampai menjelang ia berangkat ke Mekkah pada
1881.
173 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,
1980) hlm. 38-39. 174 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di
Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 175; Lihat juga Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993) hlm. 87.
121
Di Mekkah ia tinggal bersama sepupu tuanya, Syekh Ahmad Khatib,
selama 12 tahun. Di tahun 1894, ia memutuskan untuk belajar di Universitas
Al-Azhar di Kairo Mesir. Di sini, Tahir banyak terpengaruh dengan paham
reformisme Muhammad Abduh dan berkawan akrab dengan Muhammad
Rashid Ridha, yang saat itu sudah menjadi editor al-Manar. Setelah lulus
dari Al-Azhar pada 1897, ia kembali ke Mekkah dan membantu Syekh
Ahmad Khatib membantu mengajar para murid dari Nusantara. Ia sempat
pula mengajar calon ulama besar seperti Jamil Jambek, Karim Amrullah dan
Abdullah Ahmad.175
Hampir sama dengan Syekh Ahmad Khatib, Syekh Tahir lebih berposisi
sebagai pemantik lahirnya generasi baru ulama Minangkabau.
Persinggungannya dengan intelektualitas Mesir, yakni ketika paham
reformasi Islam sedang digaungkan, ikut pula mempengaruhi cara pandang
Syekh Tahir, utamanya mengenai gerakan Islam modern. Jika melihat pada
genealogi keilmuannya ini, kemungkinan besar dari merekalah para murid
Nusantara di Mekkah mendapatkan wacana pembaruan Islam.
Meskipun Mekkah saat itu masih menyandang status sebagai salah satu
kiblat keulamaan di Timur Tengah, namun sepertinya bukan tempat yang
cocok untuk menularkan semangat reformisme Islam seperti yang disuarakan
Abduh dan para pengikutnya. Hal ini mengingat saat itu Mekkah sedang
dikuasai oleh Dinasti Saud yang mempunyai pandangan tradisionalisme
Islam yang lebih condong ke budaya Arab.
Hamka dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar pada tanggal 21 Januari 1958, mempunyai catatan
tersendiri mengenai kehadiran ulama Nusantara di Mekkah. Tujuan utama
175 Hafiz Zakariya, “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir
Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005, hlm. 51-52.
122
para ulama datang ke Mekkah adalah untuk menambah ilmu agama. Selain
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, terdapat nama besar lain seperti
Syekh Nawawi Bantam (Banten) dan lain-lain. Di sana mereka menelaah
kitab-kitab tafsir, hadis, fiqih dan lain-lain. Di antara mereka ada yang
pulang ke Indonesia, namun sejatinya mereka tidaklah membawa pembaruan
gagasan untuk kebangkitan, karena sejatinya di Mekkah sendiri masih
diliputi oleh suasana taqlid.176
Pemikiran tersebut tentu tidak seluruhnya benar. Meskipun beberapa
dari mereka tidak kembali ke Minangkabau, namun jangan lupa, sebagian
murid mereka banyak menjadi ulama berpengaruh di wilayahnya masing-
masing, termasuk di Minangkabau. Memang kekuasaan kolonial yang
menguat menyebabkan sistem-sistem sosio-masyarakat Minangkabau
mengalami perubahan, namun perubahan yang ada mampu didialogkan
menjadi sesuatu yang membangun diri dari para ulama generasi Paderi
maupun generasi setelahnya. Misalnya saja dalam kisah Syekh Ahmad
Khatib yang bersekolah di sekolah bentukan kolonial, tentu tidak terbersit
suatu perasaan memusuhi segala macam hal yang berkaitan dengan kolonial
secara membabi buta, akan ada hal lain yang disyukurinya. Mudahnya, yang
perlu dimusuhi adalah sistem kolonialnya, bukan ilmu pengetahuan yang
diperkenalkan oleh mereka.
Ketiga ulama tersebut di atas, adalah sebagian ulama yang membuka era
baru bagi wacana modern Islam di Minangkabau, termasuk di bidang
pendidikan. Murid mereka selanjutnya ada yang mendirikan lembaga
pendidikan yang meskipun tidak lagi sepenuhnya bernuansa paderi, namun
176 Taqlid diterjemahkan Hamka sebagai keadaan setelah kekalahan Kerajaan Saud
oleh seranagn komandas Pasha Mesir yang merupakan bawahan Kesultanan Turki Usmani, lihat Hamka, “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958 (Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun) hlm. 5.
123
tetap mempertahankan beberapa tradisi yang terdapat pada zaman itu. Di bab
selanjutnya akan dibahas secara lebih spesifik mengenai hal tersebut.
124
BAB V
KONTRIBUSI PADERI TERHADAP
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MINANGKABAU
A. Kemunculan Kaum Mudo
Keberadaan gerakan Paderi menimbulkan perubahan sosial yang
signifikan di Minangkabau. Distribusi pasukan-pasukan Paderi sempat
menerbitkan ketegangan antara kaum Paderi dengan kaum adat, serta kaum
Paderi dengan kelompok Islam lainnya, seperti para pengamal tarekat.
Namun, pertentangan itu kian surut, seiring dengan melemahnya kekuatan
Paderi yang terdesar oleh Belanda. Meskipun begitu, ulama-ulama
Minangkabau sebagian tetap mewarisi kedudukan yang penting di mata
masyarakat. Bahkan telah tersambung suatu jejaring ulama Minangkabau,
yang di antaranya diisi oleh ulama Paderi.
Sepeninggal Perang Paderi, suasana keberislaman tetap masih melekat
di hati orang Minangkabau, terutama yang bersimpati kepada ajaran Paderi.
Aktivitas berperang boleh surut, namun tidak mudah untuk menghapuskan
keyakinan orang Paderi untuk mencintai agamanya. H.A. Steijn Perve
menulis tentang suatu gambaran masyarakat Minangkabau tatkala masa
Paderi dengan judul “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra”,
meyakini bahwa takdir bahwa perang adalah jalan menuju surga amat kuat
dipegang oleh orang Paderi. Karena keyakinan itulah membuat peluru dan
125
senjata lawan tidaklah menjadi sesuatu untuk ditakutkan. Jika mereka mati
pun maka akan disambut di surga. Motivasi perang yang berlandaskan pada
keyakinan agama ini tentu saja tidak dijumpai di kalangan pasukan kolonial
Belanda, khususnya yang bukan Muslim.177
Keberadaan Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Tahir Jalaluddin di
Mekkah membawa citra baru bagi perkembangan keilmuan di Minangkabau.
Kedudukan mereka yang begitu dimulyakan, serta menjadi tujuan belajar
beberapa tokoh Islam Nusantara yang berpengaruh belakangan, tidak bisa
dipungkiri, adalah dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat menuju
Mekkah. Kala itu, Mekkah memang sudah dikenal sebagai pusat pendidikan
dan peribadatan Muslim sedunia. Sekembalinya dari Mekkah, banyak
alumninya yang berperan besar menata umat, seperti Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang yang menanamkan pengaruh Paderi.
Tidak bisa dipungkiri, keinginan ulama Minang generasi pasca-Paderi
untuk belajar ke Mekkah, tentu didorong oleh ingatan historis mengenai
ketiga haji itu. Memang diakui, model dakwah yang keras sebagaimana
yang dilakukan oleh mereka, sempat membuat panik kehidupan beragama di
Minangkabau. Namun terlepas dari itu, pengalaman belajar ke Mekkah itulah
yang justru menerbitkan keinginan di benak para pelajar Minangkabau untuk
datang dan belajar ke sana. Tersohornya Haji Miskin dan rekan-rekannya
adalah karena keilmuannya. Pengakuan itu semakin mengkristal karena
mereka telah belajar ke Mekkah, ke jantung berkumpulnya umat Islam dari
seluruh dunia. Ini yang menjadi prestis tersendiri.
177 H.A. Steijn Perve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra” dalam
Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) hlm. 159-160.
126
Merujuk pada keterangan Snouck Hurgronje yang menyebut ibadah haji
sebagai “Perayaan Mekkah”, dikatakan bahwa prosesi ritual haji memiliki
rangkaian yang tertib sejak masa Nabi Muhammad SAW. Haji bisa
dikatakan sebagai kompromi antara ajaran Nabi Muhammad dengan budaya-
budaya Arab pra-Islam. upacara-upacara (ibadah) yang dilakukan di
Mekkah, berkisar pada kegiatan berdoa yang mengandung penebusan dosa.
Snouck bahkan masih tidak mengerti, mengapa haji mesti ada dan apa
kaitannya dengan peribadatan dengan Tuhan. Hal ini diyakininya adalah
berada pada tataran alam gaib dan tidak bisa diselami oleh pikiran
manusia.178 Hubungan transendental antara hamba dan Tuhannya seperti
berada pada kedekatan yang sangat tatkala berada di Mekkah.
Beberapa murid dari Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Taher Jalaluddin,
yang kemudian berperan dalam perkembangan pendidikan dan intelektualitas
di Minangkabau adalah Syekh Muhammad Djmamil Djambek, Syekh
Muhammad Thaib bin Haji Umar Batu Sangkar, Haji Abdul Karim bin
Syekh Muhammad Amrullah Danau (Ayah Buya Hamka) dan Haji Abdullah
bin Haji Ahmad di Padang Panjang. Di antara mereka yang mempunyai
bakat cemerlang dalam dunia kepengarangan adalah Haji Abdullah bin
Ahmad. Dia menerbitkan majalah Islam bernama “Al-Munir”, yang
merupakan kelanjutan dari “Al-Imam.”179
178 C. Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989) hlm. 114. 179 Al-Imam adalah majalah Islam yang menjadi media tukar pemikiran para ulama-
ulama Nusantara. Majalah ini terbit berkat persahabatan seorang hartawan Arab Singapura bernama Syekh Muhammad bin Salim Alkalali dan Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin al-Azhari asal Minangkabau. Syekh Taher ini adalah yang di bab sebelumnya dikatakan menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo dan bersahabat dengan Muhammad Rashid Rida. Majalah ini pertama terbit tahun 1906 dan tidak terbit lagi tahun 1909. Dikatakan bahwa majalah ini tidak bisa bersaing dengan majalah-majalah serupa yang banyak terbit belakangan. Lihat. Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982) hlm. 96.98.
127
Salah satu produk perubahan yang lahir dari para ulama dari Mekkah itu
adalah ditularkannya ide-ide pembaruan Islam. pemikiran-pemikiran ulama
Muslim modern saat itu, seperti Seykh Jamaluddin al-Afghani, Syekh
Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rashid Ridha, telah ikut
menyadarkan para ulama Minangkabau tentang arti penting perubahan
mindset keberIslaman di tanah asalnya. Penerbitan majalah Islam dianggap
sebagai wahana efektif untuk mensosialisasikan pembaruan pemikiran
agama ke tengah masyarakat luas, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menerbitkan al-
Urwatul Wutsqa yang edisi pertamanya terbit pada 1884 di Paris.180
Setelah berpikir dan menimbang, Haji Abdullah Ahmad memutuskan
untuk pindah dari Padang Panjang ke Padang untuk memulai gagasannya itu.
Pada tanggal 1 April 1911, terbitlah nomor pertama majalah Al-Munir.
Disertakan bahwa susunan pengurus majalah ini adalah Haji Abdullah
Ahmad sebagai Pengarang, Haji Marah Muhammad bin Abdulhamid sebagai
Pengurus, Haji Sutan Jamaluddin Abubakar sebagai Ketua (Direksi),
pembantu-pembantunya antara lain: Haji Abdul Karim Amrullah Danau,
Muhammad Dahlan Sutan Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batu
Sangkar, Sutan Muhammad Salim Hoofdjaksa pensiun (Ayah Haji Agus
Salim).
Dalam kata pengantar edisi pertama Al-Munir dituliskan: “Al-Munir
berarti pelita, atau yang membawa cahaya. Al-Munir bermaksud memimpin
dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kita kepada agama
yang lurus dan i’tiqad yang betul. Al-Munir membawa damai dan sentausa
antara sesama manusia pada kehidupan dan supaya meneguhkan kehidupan
dan kesetiaan kepada pemerintah. Al-Munir sebagai penerangan dari gelap
180 Hamka, Ayahku ..., hlm. 94.
128
kesamaran, daripada kabut kejahilan kepada pengetahuan ilmu yakin yang
sebenarnya dan daripada sangka-sangka yang waham (meragukan) kepada
hakikat yang benar. Oleh karena itu Al-Munir ini, Insya Allah, akan menolak
beberapa tuduhan yang dituduhkan si penuduh pada agama kita yang bersih
ini, dan insyaallah akan memberi penerangan atas salah sangka setengah si
penyangka yang bahwa agama ini menghambat kemajuan atau menerbitkan
kemunduran ...” (dan seterusnya).”181
Hamka memberikan keterangan tersendiri terkait kata pengantar
tersebut. Menurutnya terlihat sudah jelas bahwa Al-Munir bertujuan
memberikan penjelasan terhadap hakikat agama, membersihkan keragu-
raguan (waham), melawan serangan yang tidak jelas, menyingkirkan
kebodohan tentang agama dan yang paling penting adalah menumbuhkan
persatuan dan kepercayaan. Termasuk pula adalah penegasan bahwa majalah
ini akan setia kepada pemerintah. Dalam masa itu, memperjelas kalimat
“kesetiaan pada pemerintah” adalah perlu, mengingat tingginya kecurigaan
pemerintah kolonial terhadap aktivitas dan gerak-gerik para orang pandai
pribumi. Jika tidak demikian, maka izin penerbitan majalah ini bisa saja
dicabut, apalagi terbitnya setelah tiga tahun kerusuhan di Kamang.182
Pindahnya Haji Abdullah Ahmad ke Padang, tidak bisa dipungkiri,
adalah karena saat itu Padang sudah menjadi kota besar yang ramai. A. Pruys
van Der Hoeven mengatakan Padang merupakan kota yang pantas dicintai.
Kota ini terletak tidak jauh dari pantai dan sungai. Banyak orang
menggunakan perahu untuk sampai ke padang, yang lain banyak pula yang
menyusuri Padang. Perahu besar dan kecil banyak ditambatkan di pinggir
kota. Kawasan pinggir ini disambungkan dengan jalan setapak berbatu
181 Hamka, Ayahku ..., hlm. 99-100. 182 Hamka, Ayahku ..., hlm. 100.
129
menuju kota. Di dalam kota tertata rapi kantor, kantor dagang, warung-
warung dan pecinan (chinesche wijk). Rumah-rumah di sana banyak
dibangun dari batu. Di sana terdapat lapangan yang dinamakan Lapangan
Michiels (Michielsplein). Sekali seminggu satu korps batalion memainkan
musik untuk menghibur orang Eropa di sana. Di Padang terdapat rumah-
rumah orang Melayu dan orang Nias.183
Mahmud Yunus menyebutkan bahwa sebelum Haji Abdullah Ahmad
bergerak di bidang jurnalistik, ia memulai karirnya sebagai guru di Surau
jembatan Besi Padang Panjang. Surau itu masih menggunakan sistem
pengajaran cara lama. Beberapa waktu berselang, ia memulai terobosannya,
yakni dengan mendirikan sekolah agama dengan menggunakan meja, bangku
dan papan tulis sebagai media belajar di sana. Langkahnya ini menuai
banyak kritik dan cacian, oleh karena dianggap menyimpang dari kewajaran.
Biasanya, kegiatan mengaji adalah dengan bersila mengelilingi sang guru,
dan bukan dengan berjajar rata, duduk di bangku serta menggunakan meja.
Itu sama saja dengan yang digunakan di sekolah Belanda.184
Pada masa itu, segala hal tentang Islam, amat lekat dengan identitas
kebangsaan. Orang yang beragama Islam, hampir selalu disebut sebagai
pribumi, baik ia orang Melayu, Jawa atau suku bangsa Nusantara lainnya.
Bahkan, orang Batak yang sebelumnya memiliki keyakinan Pelbegu, yang
memutuskan masuk Islam, ia sudah dianggap sebagai “orang yang punya
jiwa kebangsaan” dan telah menjadi “Orang Melayu”. Hal sama berlaku
183 A. Pruys van Der Hoeven, Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en
Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang (Rotterdam: H. Nijgh, 1864) hlm. 2- 3.
184 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 170.
130
tatkala banyak orang Cina yang masuk Islam di Sumatra, dengan sendirinya
mereka menyandang identitas sebagai Orang Melayu.185
Apa yang dilakukan Haji Abdullah Ahmad sejatinya berseberangan
dengan yang dipahami secara umum sebagai identitas orang Islam dan orang
Melayu. Meniru orang Belanda, dianggap sebagai kesalahan yang tidak bisa
ditolerir. Merubah kebiasaan pribumi masih dianggap tabu dan
dipersalahkan. Oleh sebab itu, perubahan hal yang sederhana seperti tata
ruang belajar dianggap sebagai melanggar adat dan kebiasaan baik yang
sudah ditetapkan oleh para generasi pendahulu. Dari kisah Haji Abdullah
Ahmad di atas, didapat suatu pemahaman bahwa dirinya adalah orang yang
visioner sejauh yang dia anggap baik maka ia akan melakukannya, termasuk
tatkala menerbitkan majalah Al-Manar.
Tidak bisa dipungkiri, meletupnya semangat jurnalisme awal adalah
geliat dari pencarian identitas kebangsaan. Dalam pada itu, Islam sudah
dianggap sebagai formula yang ampuh untuk menyokong gejolak pencarian
jati diri di kalangan para elit Minangkabau. Suasana semacam ini sebagian
tercipta dari ingatan historis mengenai gerakan Paderi yang telah
menorehkan pengaruh besar dalam cara pandang masyarakat mengenai
Islam. Identitas berbaju putih dan berserban di waktu kemudian menjelma
dalam semangat menyuarakan gagasan keIslaman, dan cara yang bisa
dilakukan adalah dengan menulis dalam majalah.
Para kaum pembaharu di Minang tersebut kerap disebut juga dengan
kaum muda. Kaum muda mendapatkan inspirasi pemikiran serta aktivitasnya
dengan para pendahulu yang sempat mengunjungi Mekkah. Mereka mulai
menyeponsori penghapusan bid’ah (sesuatu yang baru dalam pengalaman
185 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,
1980) hlm. 8.
131
agama, yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah SAW), dan mulai
mengenalkan peran akal, di samping iman, sebagai landasan ideologis
melakukan revolusi penghayatan agama. Dalam melancarkan dakwahnya,
mereka kerap menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Minangkabau.
Kaum muda menolak sikap taqlid (sekedar mengikuti begitu saja) dalam
beragama. Mereka sering memikirkan kembali bahkan jika perlu mengoreksi
ajaran-ajaran Islam yang telah berurat akar di masyarakat. Mereka mulai
mendengungkan pembukaan pintu ijtihad (menghasilkan hukum berdasarkan
akal dan ilmu pengetahuan) dalam menciptakan perubahan. Oleh sebab itu
menjadi ciri selanjutnya dari gerakan mereka adalah kesibukan mereka
dalam bidang penerbitan brosur buku-buku agama serta majalah-majalah di
berbagai kota, termasuk Padang dan Bukittinggi. Kemudian, di antara
mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi sosial yang
berkecimpung dalam bidang terkait.186
Sidi Ibrahim Boechari menyampaikan pendapat yang berbeda.
Menurutnya, kaum muda sudah dimulai sejak masa kedatangan tiga haji dari
Mekkah pada 1803. Mereka adalah kaum muda yang berseberangan dengan
paham Islam yang sebelumnya sudah dianut orang Minangkabau. Mereka
mengajak masyarakat Minangkabau untuk menjalankan ajaran al-Quran
seperti yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang saat itu sudah
ditertibkan untuk mengkaji ajaran Wahhabi. Paham mereka adalam simbol
gerak kaum muda menentang ajaran kaum tuo (ulama tradisional).187
Pembaruan yang ada di Minangkabau bersumber dari gerakan
revivalisme Islam dan bukan modernisme Islam. John L. Esposito
186 Taufik Abdullah, ed, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta:
Departemen P dan K, 1983-1984) hlm. 95. 187 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan
Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 61.
132
menyebutkan bahwa revivalisme Islam yang terjadi pada abad 18 dan 19,
sebagaimana yang dimotori oleh Wahabi, memberikan warisan penting bagi
terjadinya gerakan Islam abad 20. Berbeda dengan modernisme Islam,
revivalisme Islam muncul sebagai kritik atas kelemahan orang Islam internal
dibanding tanggapan atas hadirnya kolonialisme. Perpecahan dan
kemunduran umat Islam, oleh kalangan revivalis, bersumber dari
keengganan mereka untuk mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang
diajarkan ulama terdahulu. Masyarakat banyak melakukan perilaku
menyimpang yang jauh dari ketentuan Tuhan.
Keberhasilan dan anugerah Tuhan, hanya diturunkan bagi umat yang
benar-benar beriman kepada-Nya, demikian keyakinan revivalis. Termasuk
dianggap sebagai faktor penghambat kemajuan umat Islam adalah
merebaknya ajaran sufi yang mengajak para pengikutnya untuk
membelakangi dan meninggalkan urusan duniawi. Hal itu sama saja
mengembalikan umat ke masa-masa awal ketika Islam diperjuangkan oleh
Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaurrasyidin (para khalifah yang
cerdas).188 Meskipun pada tahap itu, kelompok revivalisme memiliki
kesamaan, namun mereka meminggirkan unsur kesufian dari gerakan
mereka. Hal ini bisa dilihat dari usaha pengurangan pengaruh tarekat di
Minangkabau oleh kelompok Paderi.
Dari uraian di atas diketahui bahwa meskipun gerakan revivalis
semacam Paderi di Minangkabau bertujuan untuk menyadarkan Muslim
untuk meninggalkan praktek-praktek bid’ah dan kembali pada ajaran Islam,
namun memiliki keterkaitan dengan perkembangan Islam di masa
setelahnya. Jika diperhatikan banyak dari kalangan ulama-ulama berikutnya
188 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,
1990) hlm. 55.
133
yang merupakan keturunan kelompok Paderi. Akar-akar pendidikan Paderi
tentu sempat mereka rasakan, khususnya dalam bidang agama. Generasi
kedua inilah yang merawat akar-akar tradisi Paderi untuk menumbuhkan
geliat pembaruan dalam wujud yang berbeda, dan mengalirkannya dalam
berbagai macam media, seperti penerbitan majalah, sekolah, maupun
mengenai bagaimana cara hidup yang sesuai dengan ajaran agama.
Meskipun ajaran-ajaran Paderi bersifat ortodoks dan cenderung pada
pemurnian Islam yang bertumpu pada penghayatan Islam di Mekkah, namun
pada prakteknya, di Minangkabau mengalami pergeseran perkembangan ke
arah yang lebih mutakhir. Penghayatan keIslaman di Minangkabau pada
masa setelah perang Paderi ikut merubah, seiring dengan perkembangan
zaman. Datangnya para pelajar dari Mekkah ikut meramaikan agenda-agenda
pendidikan masyarakat di sana. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut
belakangan berkembang menjadi sekolah Islam modern di Minangkabau.
Sidi Ibrahim Boechari mengatakan bahwa jika Haji Miskin, Haji
Sumanik dan Haji Piobang merupakan kaum mudo pertama, maka beberapa
waktu kemudian, setelah perang Paderi muncul kaum mudo kedua. Mereka
adalah anak dan cucu dari Jalaluddin Fakih Sangir, generasi terakhir dari
keluarga Paderi di Minangkabau. Jalaluddin sendiri adalah anak dari Tuanku
nan Renceh dan murid dari Tuanku nan Tuo. Di hari berikutnya ia bergelar
Tuanku Sami’. Dari Tuanku Sami’ inilah muncul apa yang dinamakan tiga
serangkai kedua yang juga bisa diartikan sebagai pelopor gerakan kaum
mudo kedua, yakni Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin dan Inyik
Agus Salim.189
189 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 61 – 62.
134
Pandangan Islam Modern atau Islam Modernis dipahamai sebagai
suatu gagasan keislaman yang berupaya memahami kembali nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan mempertimbangkan kondisi,
tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi masyarakat Muslim di
era kontemporer (kekinian atau mondial). Kurun waktu kontemporer
merujuk pada masa dimana iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sudah
berkembang dengan pesat.
Biasanya pandangan Islam Modenis tidak lagi mengindahkan konten-
konten khazanah intelektual Islam era klasik yang berkaitan dengan masalah
keagamaan dan kemasyarakatan. Islam modern mengedepankan upaya jalan
pintas (shortcut) yang cepat dalam mendudukkan hukum Islam dengan
realita kontekstual. Sifat dasar dari Islam Modernis adalah progresif dan
dinamis dalam merespon tuntutan dan kebutuhan di masa kontemporer.190
B. Pembaruan Lembaga Pendidikan Islam
Sekolah menjadi ajang tukar pengetahuan yang efektif. Pendidikan
menjadi tolok ukur kemajuan umat manusia. Namun, saat itu masyarakat
pribumi berada dalam posisi yang sulit. Hal ini dikarenakan tidak sembarang
orang bisa bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang berada di bawah
naungan pemerintah kolonial. Padahal sekolah model Eropa adalah salah
satu simbol modernitas di masa itu. Mereka yang bersekolah di sana, bukan
hanya mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan prestis karena
berkesempatan untuk sejajar dengan derajat orang Eropa.
190 Muhammad Munawwir, “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi
tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016, hlm. 112.
135
Taufik Abdullah melihat ketika perang Paderi sudah surut terjadi
beberapa perubahan sosial di tengah masyarakat. Pemerintah kolonial
mereorganisasi kepemimpinan nagari dan mengangkat tuanku laras, sebagai
kepala adat dan kepala pemerintahan yang membawahi suatu wilayah
federasi nagari. Para penduduk mulai digerakkan untuk kerja paksa atau
kerja wajib (heerendiensten). Mereka juga dibebani membayar pajak kepada
pemerintah. Hanya kaum penghulu saja yang tidak dianjurkan membayar
pajak. Sejak saat itu orang Minangkabau disibukkan dengan upaya-upaya
keluar dari tekanan tersebut. Mereka tidak ingin mengikuti perintah tuan-
tuan Belanda. Di sisi lain mereka tidak ingin pula sampai harus
meninggalkan ajaran-ajaran kaum adat dan Islam. Mulai saat itu masyarakat
Minangkabau seperti dibayangi oleh belenggu adat, Islam dan Barat.191
Apa yang dikatakan Taufik Abdullah memang harus ditanggapi dengan
kritis. Adat dan agama memang pernah terlibat dalam pertentangan serius
yang termanifestasi dalam pertentangan kaum Paderi dengan kaum Adat.
Namun pertentangan itu tidak sampai menyebabkan berkurangnya populasi
penganut Islam. bahkan mereka yang bertentang, baik antara orang Paderi,
orang Adat hingga para penganut tarekat adalah beragama Islam semuanya,
dan hanya berbeda cara pandang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu,
menyebut Islam sebagai belenggu masyarakat Minangkabau paska Paderi
merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan.
Sebagian kaum mudo banyak yang melebarkan sayap pembaruannya di
bidang pendidikan. Mereka merasa perlu untuk ikut membenahi pendidikan
umat Islam, yang sempat terganggu akibat adanya masa perang, sekaligus
untuk melanjutkan tradisi intelektualitas yang sempat terhenti.
191 Taufik Abdullah dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus;
Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. xxxvi.
136
Ketersambungan jaringan dengan Syekh Ahmad Khatib menyebabkan para
murid dari Mekkah ini merasa perlu untuk kembali dan mendirikan
perguruan kajian Islam yang bersifat tradisional maupun yang modern. Cita-
cita mereka adalah menghadirkan wahana belajar yang bisa diakses
masyarakat untuk memperteguh identitas pendidikan Islam yang bisa
menjawab tantangan zaman.
Salah satu ciri dari pendidikan Nusantara tradisional adalah tempat
belajar agama yang dilangsungkan di masjid.192 Dalam kasus Minangkabau,
tidak hanya masjid yang digunakan sebagai tempat pendidikan agama, tetapi
juga surau. Surau dianggap juga sebagai masjid kecil. Pemikiran untuk
menggantikan tempat belajar dari semula di masjid atau di surau ke kelas,
merupakan gagasan yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Ini
adalah salah satu fenomena yang memperteguh kaum mudo sebagai
pembaharu dalam pendidikan agama di Minangkabau.
Deliar Noer mengisahkan bahwa menginjak awal abad 20, sudah ada
upaya untuk meningkatkan martabat pendidikan Islam. Para sarjana Islam
Minangkabau mulai memasukkan unsur-unsur belajar modern, sebagaimana
yang dilakukan oleh Haji Latif Syakur. Haji Latif Syakur lahir di Air Mancur
dekat Padang pada 16 Agustus 1881. Ia sempat menuntut ilmu di Mekkah
sejak tahun 1888 hingga 1902. Sekembalinya dari Mekkah, ia sempat
menjadi parewa (preman) selama tiga tahun. Menginjak tahun 1906, ia
mengajar di Biaro (Kamang, Bukittinggi) dan telah menggunakan papan tulis
dan meja-meja untuk para muridnya.
Tahun 1912, ia mendirikan sekolah bernama at-Tarbiyah al-Hasanah di
Tengah Sawah, Bukittinggi. Di sekolah itu sudah menggunakan
192 KM. Akhiruddin, “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal Tarbiya,
Vol. I, No. 1, 2015, hlm. 195-196.
137
pembelajaran dalam kelas dan penggunaan meja. Meja yang digunakan
adalah meja rendah, dan para murid masih duduk di lantai. Baru pada tahun
1915, sekolah ini menggunakan meja tinggi dan bangku untuk duduk para
murid, sebagaimana yang ditemukan dalam sekolah-sekolah pemerintah
Belanda.193
Meskipun Haji Latif sudah memperkenalkan papan tulis dan meja
sebagai media belajar siswa, namun salah satu pioner lembaga pendidikan
berpengaruh yang menggunakan sistem modern dalam belajar adalah
Sekolah Adabiyah (Adabiyah School).194 Lembaga pendidikan ini didirikan
pada tahun 1909 di Padang oleh Haji Abdullah Ahmad, pendiri majalah
Islam Al-Munir. Bisa dikatakan ini merupakan madrasah (sekolah agama)
pertama di Minangkabau, bahkan Muhammad Yunus meyakini madrasah ini
adalah yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 1915, nama Adabiyah School diganti menjadi H.I.S.
(Hollands Inlandse School) Adabiyah. Adabiyah merupakan HIS pertama
yang memasukan kurikulum agama dalam rencana pelajarannya. Di
kemudian hari HIS Adabiyah berubah menjadi Sekolah Rakyat lantas di
waktu berikutnya menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama).195
Sejak tahun 1915, sekolah Adabiyah diambil alih pengelolaannya oleh
pemerintah kolonial. Oleh pemerintah namanya dirubah menjadi Hollandsch
Maleische School Adabiyah. Kepala sekolahnya pada saat itu dijabat oleh
orang Belanda. Mulai saat itu citra Adabiyah sebagai lembaga pendidikan
pembaruan Islam sedikit demi sedikit mulai berkurang. Palajaran agama
193 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52. 194 Deliar Noer juga menyebut Adabiyah sebagai sekolah pertama yang didirikan oleh
masyarakat dan berada di lingkungan Islam sebagai pembaruan atas sistem pendidikan model tradisional. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52.
195 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63.
138
mulai kurang diperhatikan. Sekolah ini pun dimasukkan ke dalam kategori
Sekolah rendah, dan alumni-alumninya pun belum mampu menjawab
tantangan zaman saat itu.196
Lembaga pendidikan yang sempat mengalami transformasi dari
pendidikan tradisional ke pendidikan modern lainnya adalah Surau Jembatan
Besi. Dalam pengajarannya, materi fiqih dan tafsir al-Quran menjadi
pelajaran yang diutamakan. Keberadaan Haji Abdullah Ahmad dan Haji
Rasul yang mengajar di surau ini sekembalinya mereka dari Mekkah pada
tahun 1904, ikut merubah kurikulum di sini. Saat itu penekanan pelajaran
dilakukan pada mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu alat, yang dikatakan
menjadi alat-alat perbekalan untuk menguasai ilmu-ilmu yang lainnya.
Tujuan penting lainnya adalah supaya murid bisa langsung mengkaji dari
sumber aslinya, yakni al-quran dan hadis.
Menginjak tahun 1916, lembaga pendidikan ini menggunakan sistem
murid belajar di kelas. Meskipun begitu para murid masih duduk di lantai.
Kelas yang tersedia baru berjumlah tiga ruangan, yakni untuk murid kelas
rendah, menengah dan tinggi. Di kemudian waktu, kelas rendah dipecah
menjadi empat kelas dan masing-masing dari mereka menamatkan waktu
standar penyelesaian studi selama setahun. Sedangkan untuk kelas menengah
dan tinggi dipecah menjadi kelas 5, 6, dan 7. Perubahan status dari surau
menjadi sekolah dengan kelas ikut pula merubah nama lembaga pendidikan
ini menjadi Sekolah Thawalib.197
H. M. Thaib Umar juga mendirikan madrasah yang sama dengan
Adabiyah di Batusangkar pada tahun 1909. Sayangnya sekolah yang ia bina
tidak berlangsung lama. Pada 1910, ia juga mendirikan madrasah di
196 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52. 197 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52-54.
139
Sungaiyang (suatu daerah di Bukittinggi) yang diberi nama Madras School.
Madras School hanya mempunyai satu ruangan kelas yang digunakan oleh
para murid senior untuk mengkaji kitab-kitab besar (kitab lanjutan) dan
masih menggunakan sistem halaqah (murid duduk bersila di hadapan guru
dan menyimak pembacaan dan keterangan guru mengenai kitab terkait).
Menginjak tahun 1913, Madras School sempat ditutup karena kekurangan
tempat. Pada tahun 1918, Mahmud Yunus membuka kembali Madras
School. Pada tahun 1923, Madras School berganti nama menjadi Diniyah
School dan kembali berganti nama menjadi Al-Jami’ah Islamiyah pada 1931
dan statusnya menjadi SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam) atau PGAP
(Pendidikan Guru Agama Pertama).
Pada tahun 1915, sekolah Diniyah School atau Madrasah Diniyah
didirikan pula oleh Zainuddin Labai Al-Yunusi di Padang Panjang.
Madrasah ini sempat mendapatkan reaksi positif dari masyarakat
Minangkabau. Di masa-masa setelahnya madrasah-madrasah dengan konsep
pembelajaran serupa semakin banyak didirikan di wilayah Minangkabau
lainnya dan di seantero Indonesia dalam cakupan yang lebih luas.198
Deliar Noer menyebut bahwa sosok Zainuddin Labai Al-Yunusi
merupakan sosok yang belajar menggunakan sistem otodidak. Ia tidak hanya
membatasi bacaannya pada teks atau buku yang berbahasa Arab dan Melayu,
melainkan juga bahasa Inggris dan Belanda. Berbagai macam disiplin ilmu ia
kaji mulai dari aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama. Sebelum mendirikan
sekolah, Labai sempat membantu Syekh Haji Abbas dalam pengajaran di
suatu lembaga pendidikan tradisional di Padang Jepang selama enam tahun.
Di Padang Panjang, ia juga sempat mengajar di Surau Jembatan Besi.
198 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63-65.
140
Di sekolah Diniyah yang didirikannya, Zainuddin Labai menggunakan
sistem belajar dalam kelas dan menggunakan kurikulum yang lebih teratur.
Ia juga memadukan antara kurikulum agama dan kurikulum pelajaran umum
seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi selain pelajaran agama. Ia
juga mendirikan suatu klub musik yang beranggotakan para murid-muridnya.
Sepeninggal Zainuddin Labai, sekolah ini dipimpin oleh saudara perempuan
sekaligus muridnya Rahma Al-Yunusiyah. Di Minangkabau Rahma dikenal
sebagai “Kartini-nya Orang Islam Yang Taat”.199
Sekolah Diniyah menjadikan Mesir sebagai kiblat penyelenggaraan
pendidikan agama. Untuk pendidikan umum, sekolah ini terpengaruh dengan
model pendidikan yang diterapkan oleh Mustafa Kemal Pasha, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha. Nuansa Mesir semakin kentara dengan pengkajian
kitab-kitab berbahasa Arab terbitan Mesir (Kairo) bagi pelajar tingkat atas.
Terdapat pendapat lain mengenai akhir dari sekolah ini. pada tahun 1924,
Zainuddin Labai meninggal dunia dan sejak itu sekolah Diniyah mengalami
kemunduran hingga pada tahun 1935 akhirnya ditutup.200
Madrasah-madrasah Minangkabau, di Nusantara muncul, selain sebagai
kelanjutan wacana intelektual, dianggap pula sebagai respon atas pendidikan
pemerintah Hindia Belanda. Dari lambaga-lembaga pendidikan ini kemudian
bersemi wacana gerakan pembaruan Islam yang mempunyai latar belakang
dan tujuan yang berbeda-beda. Merujuk pada pendapat Karel Steenbrink,
setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi lahirnya wacana perubahan
Islam di Indonesia, yaitu: 1) kesungguhan kembali pada al-quran dan hadis;
2) semangat nasionalisme melawan kolonial Belanda; 3) usaha yang kuat
dari internal umat Islam untuk memperkuat posisi di organisasi sosial,
199 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 47-48. 200 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di
Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 178-179.
141
politik, ekonomi dan budaya; 4) usaha serius meningkatkan pendidikan
Islam.201
Tidak benar jika dikatakan pendidikan Islam, khususnya di
Minangkabau, selama masa penjajahan Belanda mempunyai kualitas yang
rendah di banding masa ketika kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksis
(misal seperti Demak, Siak Sri Indrapura atau Banten).202 Antara masa
kerajaan Nusantara dan masa penjajahan Belanda mempunyai perbedaan
yang mencolok, dilatarbelakangi oleh kondisi politik, pendidikan dan budaya
di dua masa tersebut.
Memang, pada abad 19, Belanda sudah mulai menetapkan sekolah
Kristen sebagai salah satu agen perubahan sosial di wilayah yang diduduki
Belanda, namun hal ini tidak sampai mengganggu atau menghambat
perkembangan pendidikan Islam modern di Minangkabau. Gesekan-gesekan
dengan pemerintah Belanda mungkin saja pernah dialami oleh sekolah-
sekolah Islam modern, namun ini sama sekali tidak membuat kualitas
pendidikan Islam menjadi jatuh dan kurang diminati oleh masyarakat
Minangkabau. Justru lembaga pendidikan Islam modern menjadi saingan
terkuat bagi pendidikan model Barat sebagaimana yang dikelola oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Murni Djamal menyatakan bahwa menurut tradisi madrasah di
Minangkabau, kurikulum agama yang dikaji bertautan dengan fiqih (hukum),
tauhid (teologi) dan mistik (tasawwuf). Seorang siswa dikatakan mencapai
tingkat paham agama jika dari sekolah dasar, ia melanjutkan ke sekolah-
sekolah tingkatan lanjut dengan kurikulum yang menyediakan kajian yang
201 Nor Huda, Islam Nusantara (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 392. 202 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 149.
142
mendalam tentang ilmu agama. Sampai pada pertengahan abad 19, sudah ada
15 madrasah besar, dengan jumlah murid masing-masing antara seratus
sampai seribu orang.203
Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau adalah buah dari
menguatnya kolonialisme di sana. Sekolah pertama yang menggunakan
pendidikan Barat dibangun di Padang tahun 1825, dan hanya diperuntukkan
bagi anak-anak Belanda. Baru sekitar tahun 1843, sekolah untuk bumiputera
dibangun di Bukittinggi. Sekolah ini masuk dalam kategori Sekolah Rendah.
Di masa berikutnya, sekolah-sekolah serupa banyak didirikan di pusat-pusat
administrasi yang berdekatan dengan kebun kopi. Sekolah ini dibiayai dan
dikontrol oleh masing-masing nagari. Menginjak tahun 1870, pemerintah
kolonial mengadakan pembaruan pendidikan.
Tujuan utama didirikan sekolah-sekolah tersebut adalah melatih orang
pribumi menjadi pegawai sekaligus memberantas buta huruf. Sekolah model
Belanda ini berhasil menarik perhatian beberapa keluarga Minangkabau
untuk menyekolahkan anaknya di sana. Di akhir abad 19, semakin banyak
orang Minangkabau yang ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai. Hal
ini mendorong pemerintah Belanda untuk semakin banyak mendirikan
sekolah. Bahkan, banyak orang Minangkabau yang tidak mendapat tempat di
kota-kota Sumatera Barat, mendaftarkan diri untuk sekolah di Aceh.204
Ada perbedaan yang tegas antara pendidikan Islam modern dengan
pendidikan kolonial. Lulusan sekolah Islam Modern banyak yang berperan di
tengah masyarakat seperti aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan,
pendidikan agama, serta kerja-kerja lain umumnya bersifat sosial. Sedangkan
203 Murni Djamal, DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam Gerakan
Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20 (Jakarta: INIS, 2002) hlm. 53 204 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 66-67.
143
sekolah kolonial, ditujukan untuk menjadi pegawai-pegawai Belanda.
Terlihat, manfaat sekolah kolonial hanyalah mendapatkan status sosial yang
tinggi, karena menjadi pegawai, dan secara tidak langsung berpotensi
mengasingkan dirinya dari realitas sosial, meskipun tidak seluruhnya
dikatakan lulusan sekolah kolonial adalah akan mengabdi pada kepentingan
Belanda.
Sekolah Islam modern sejatinya lahir sebagai jawaban atas eksistensi
sekolah kolonial. Masuknya unsur-unsur pendidikan modern seperti
penggunaan bangku dan meja serta belajar di dalam kelas, dimaksudkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah Islam modern supaya tidak
sampai jauh tertinggal dari sekolah Belanda. Setidaknya kualitas lulusan
sekolah Islam Modern bisa menyamai lulusan sekolah model Belanda.
Lembaga pendidikan Islam menjadi lokus yang mengakomodir
kebutuhan ilmu agama orang Minangkabau. Majunya pendidikan Barat,
tidak selalu ditanggapi secara berlebihan sebagai indikator pertumbuhan
kemajuan di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam beberapa kasus,
masyarakat di Minangkabau masih ada yang memandang penting arti kajian
agama Islam bagi anaknya.
Elizabeth E. Graves menceritakan bahwa pernah terdengar kasus guru
Belanda yang bernama Evans berselisih paham dengan seorang penghulu
adat tentang pembacaan al-Qura’n. Sang guru yang juga berprofesi sebagai
misionaris itu menunjukkan keteguhannya dalam berpendapat, sehingga
membuat penghulu adat itu tersinggung. Setelah pertikaian itu, pada tahun
1828, sang penghulu adat kemudian mengajak anaknya yang kebetulah
bersekolah di sekolah tempat Evans mengajar.
144
Selanjutnya, Graves juga menyebutkan bahwa masyarakat yang
menginginkan anaknya besekolah di sekolah sekuler yang didirikan Belanda,
tidak selalu didorong oleh harapan bahwa sekolah sekuler menjanjikan
pendidikan yang lebih baik ketimbang sekolah lainnya. Pendidikan yang
ditawarkan sekolah Belanda juga tidak selalu dianggap penting dan berguna.
Beberapa dari mereka ada yang menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda
hanya karena segan dengan kedudukan Belanda.205
Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau sejatinya
merupakan refleksi dari kolonisasi Belanda. Gert Oostindie menegaskan
bahwa apa yang dikenal sebagai kolonialisasi Belanda melingkupi
administrasi, militer, pemahaman geografis, arsitektur, sosial dan kehidupan
berbudaya.206 Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan
kemampuan manusia dalam memahami dunia di mana ia hidup. Oleh sebab
itu pendidikan Belanda bagi masyarakat pribumi merupakan usaha untuk
menciptakan generasi pribumi yang mengerti struktur sosial, administrasi,
budaya serta hal-hal lain sesuai dengan cara pandang orang Belanda atau
orang Eropa.
Lembaga pendidikan Islam modern di Minangkabau juga merupakan
persemian gagasan Islam rasional. Dalam sejarahnya, wawasan Islam yang
berkembang di Minangkabau awalnya dekat dengan nuansa adat istiadat
yang bercampur dengan pemahaman yang berbeda, bahkan dikategorikan
menyalahi ajaran Islam yang sesungguhnya, dengan yang diperkenalkan Haji
Miskin dan kawan-kawan. Setelah didahului dengan konversi (penggantian)
205 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 152.
206 Gert Oostindie, “Migration and Its Legacies in the Dutch Coloial World” dalam Gert Oostindie, ed, Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present (Leiden: KITLV Press, 2008) hlm. 4.
145
pemahaman yang cukup tajam, yakni melalui jalan peperangan, perlahan
paham Islam paderi yang disemai di surau, kemudian mengalami
perkembangan di lembaga pendidikan Islam modern dan mulai terlihat
menjadi salah satu corak Islam modern yang berkembang di Minangkabau
ketika menyentuh awal abad 20.
Permurnian Islam yang ditanamkan Haji Miskin dan generasi-generasi
penerusnya memberatkan pada pengambilan al-Qur’an dan hadis sebagai dua
sumber utama yang terpercaya kebenarannya sebagai hukum Islam. Adapun
muatan hukum Adat istiadat Minangkabau yang diyakini sudah lama eksis
bukan merupakan sumber pengambilan hukum Islam. Jikapun ada beberapa
hukum Adat yang masih dipandang relevan sebagai pegangan dalam
menyelesaikan suatu permasalahan, kedudukannya pun harus berada di
bawah syara’ (hukum Islam). Hal tersebut terangkum dalam adagium adat
basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.
Masyarakat Minangkabau pra-Paderi sudah mengenal satuan hukum
yang menggabungkan hukum lokal dengan hukum Islam. Hukum adat
sendiri terbentuk dari pemahaman suatu masyarakat akan karakter, nilai,
alam serta kepercayaan akan ketuhanan dalam perspektif lokal.207
Pergumulan keduanya melahirkan suatu cara pandang baru yang kental
dengan muatan keminangkabauan sehingga bukan lagi disebut hukum Islam,
melainkan hukum adat Minangkabau, di mana hukum Islam termasuk di
dalamnya. Hal ini mendapat peneguhan mengingat sebagian besar rakyat
Minangkabau adalah Muslim. Dengan demikian hukum Minangkabau
dianggap sudah merefleksikan pandangan hidup dan pandangan agama orang
Minangkabau.
207 Agung Setiyawan, “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat
(‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012, hlm. 204.
146
Ketetapan di atas mengalami perubahan total ketika paham Paderi
masuk dan mengakar di Minangkabau. Wawasan hukum lokal yang
dianggap bertentangan dengan agama mulai dikikis dan digantikan dengan
hukum Islam yang diadopsi dari ajaran Wahhabi. Yang unik, pada
perkembangannya, nuansa hukum Wahhabi, sebagaimana yang ditemukan di
Arab Saudi, tidak serta merta mendominasi dan menjadi hukum baku
masyarakat Minangkabau berikutnya, sebagai pengganti hukum adat
Minangabau. Ajaran Wahhabi bercampur dengan sedikit hukum adat
Minangkabau, ditambah dengan penerimaan akan modernitas menjadi Islam
Modern Minangkabau yang menadi salah satu ekspresi Islam rasional.
C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial
Salah satu ciri dari masyarakat dinamis adalah pengalaman berjumpa
dengan perubahan. Perubahan ini selalu memiliki dua sisi mata uang, yakni
membawa kebaikan atau keburukan. Namun masalah baik dan buruk tentu
masih bisa diperdebatkan. Artinya hal itu hanyalah perbedaan sudut
pandang. Perubahan bisa datang dari dalam atau berasal dari luar. Yang
menjadi fokus dalam tesis ini adalah perubahan yang menyebabkan
bergesernya sendi-sendi sosial yang sebelumnya telah berdiri dengan tegap,
namun kemudian mengalami perubahan posisi. Perubahan sosial adalah
salah satu fenomena yang hampir pasti dijumpai dalam setiap masyarakat
untuk mendapatkan pencapaian-pencapain tertentu.
Perubahan sosial merupakan salah satu cabang pembahasan dari
sosiologi. Sejarah manusia hampir pasti bersinggungan dengan berbagai
bentuk perubahan yang tidak jarang bisa merubah jalur nasib serta kebiasaan
masyarakat tersebut. Hal demikian bisa dilihat di Minangkabau. Datangnya
147
pengaruh Wahabi menjelma menjadi suatu cara beragama yang baru dan
tidak ditemukan di masa sebelumnya. Bahkan kelompok penganutnya, yang
dinamakan kaum Paderi, menjadi aktor dalam berbagai macam bentuk
pembaruan di kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya dalam bidang
agama dan sosial.
Fenomena perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau sekitar abad
18 sejatinya merupakan dampak dari merebaknya paham anti-kolonialisme
di wilayah-wilayah Islam yang dijajah bangsa Eropa. Kabar mengenai
pendudukan serta ancaman penaklukkan Eropa merebak begitu pesat di
Minangkabau sehingga sebagian masyarakatnya rela menyisihkan waktu
menghalau penjajah Barat. Besar kemungkinan, melalui cerita turun temurun
dari generasi Haji Miskin sampai dengan generasi Tuanku Imam Bonjol,
keburukan dari paham anti-kolonialisme sudah dimengerti oleh kaum Paderi.
Di bawah penjajahan bangsa-bangsa Eropa, umumnya, masyarakat
Muslim mengalami penderitaan yang mendalam. Mereka merasakan
kemerosotan dan kemunduran hampir di semua bidang kehidupan manusia,
terutama di bidang politik, ekonomi, pendidikan serta ilmu pengetahuan.
Kondisi ini menyebabkan umat Islam semakin terkucil dari pergaulan dunia
karena dianggap sebagai kaum marginal (pinggiran) yang jauh dari
kesejahteraan. Pemahaman ini yang membakar semangat kaum Paderi untuk
mempersiapkan diri, menata penduduk Minangkabau untuk satu tujuan,
yakni hijrah dari penyakit sosial lantas begitu datang ancaman dari musuh
yang sudah mengintai dari wilayah pesisir atau wilayah tetangga
Minangkabau, mereka sudah siap untuk mempertahankan tanah dan
airnya.208
208 Muhammad Dahlan M., “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”,
Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 1-2.
148
Keberadaan kaum Paderi bisa dikatakan merupakan jawaban atas
merebaknya sikap abai terhadap tertatanya kehidupan sosio-keagamaan yang
baik. Menjamurnya penyakit-penyakit sosial seperti sabung ayam, perjudian
dan berbagai tindak kriminal lainnya, seakan menjadi bahan bakar
meledaknya gerakan Paderi. Di tambah lagi dengan absennya para pejabat
terkait yang ternyata tidak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut,
semakin membawa kehidupan masyarakat kepada kemunduran. Tidak bisa
dipungkiri awal kedatangan Haji Miskin dan dua kawannya adalah untuk
membenahi masalah sosial ini.209
Namun, dalam perkembangannya kaum Paderi telah melakukan
perubahan lain yang tidak kalah radikal. Peminggiran kaum tarekat atau
kelompok-kelompok sufi seperti persaudaraan Syatariyyah dan
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tindakan yang menyebabkan
perpecahan dalam tubuh umat Islam Minangkabau sendiri. Kebencian kaum
tasawuf terhadap sebenarnya berawal dari perbedaan cara pandang mengenai
konsep berdakwah, namun pada titik ini belum terbersit adanya api
permusuhan di antara mereka, sebagaimana terlihat dari perbedaan cara
pandang berdakwah Tuanku Koto Tuo dan Tuanku nan Renceh.210 Pertikaian
ini seperti bara dalam sekam yang belakangan ikut menyebabkan surutnya
gerakan Paderi.
Kehadiran kolonialisme Belanda di pedalaman Minangkabau ikut
memutar roda perubahan sosial di Minangkabau. Secara sistematis mereka
berhasil menundukkan gerakan Paderi pada sekitar tahun 1840-an.211 Setelah
209 Steijn Parve, “Kaum Padari ...”, hlm. 174. 210 Sartono Kartodirdjo,ed, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91. 211 Sejak ditetapkannya Plakat Panjang dianggap sebagai masa-masa akhir surutnya
gerakan Paderi. Plakat Panjang adalah semacam deklarasi panjang antara penduduk Minangkabau dengan pemerintah kolonial yang berkaitan dengan penenanam kopi,
149
itu, mereka mulai membangun kota-kota di Minangkabau menjadi pusat-
pusat perkumpulan manusia yang modern dengan mengacu pada model kota
Eropa. Hal ini bisa disaksikan di Padang dan Bukittinggi. Arus migrasi
manusia yang semakin lancar mengalir, perlahan menimbulkan gaya hidup
baru, yakni model masyarakat kota dan model masyarakat desa. Keduanya
menjadi indikator adanya Modernitas a la Barat dan penjagaan akan
kehidupan tradisional khas Minangkabau.
Salah satu dampak perubahan sosial keberadaan Paderi adalah
bergesernya peran surau. Semula, surau menjadi pusat aktivitas keagamaan
penduduk, namun kemudian mengalami perluasan fungsi. Rizqi Handayani
menyebutkan bahwa tatkala Paderi menguasai suatu wilayah di
Minangkabau, mereka menjadikan surau, mereka menjadikan surau sebagai
tempat menyusun konsep, strategi perang, tempat beristirahat serta tempat
tinggal bagi para tuanku dan ulama. Gerakan Paderi inilah yang
menyebabkan peran surau semakin surut, khususnya di bidang pengajaran,
selain karena hambatan yang berasal dari merebaknya pendidikan kolonial.
Sebagian surau dewasa ini sudah ada yang roboh dan hilang. Sebagian yang
lain hanya dihidupkan oleh kalangan tradisionalis, seperti para pengamal
tarekat, ziarah bersama atau membaca al-Quran secara bersama-sama dan
lain sebagainya. Surau yang kemudian dikelola oleh kaum mudo bertumpu
pada pengembangan masyarakat yang berorientasi pada kegiatan sosial,
seperti memperingati hari-hari besar atau juga pengadaan panti asuhan.212
pemerintah desa yang tidak dapat dinggangu kepentingan kolonial dan pihak kolonial berjanji menghormati adat. Lihat Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 364.
212 Rizqi Handayani, “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013, hlm. 90; lihat juga Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) hlm. 143-149.
150
Dalam kehidupan masyarakat tradisional, surau dianggap sebagai salah
satu tempat belajar ilmu agama. Fungsinya yang kian meluas di kemudian
hari merupakan dampak dari berubahnya latar dan sistem sosial di
sekitarnya. Bisa dikatakan imbas dari masuknya ajaran Paderi ikut pula
membawa perubahan di beberapa instrumen penting masyarakat, termasuk
surau. Di kemudian hari, keberadaan model belajar di kelas, merupakan
wajah baru dalam sistem pendidikan orang Minangkabau yang ditemui
ketika pengaruh sistem pendidikan modern dianggap sebagai suatu
pembaruan yang perlu diadakan.
Rini Rahman membenarkan bahwa pada pembaruan atau modernisasi di
Minangkabau pada abad 20, khususnya di bidang pendidikan, lebih banyak
terkonsentrasi di surau yang di masa sebelumnya sudah berkembang dengan
baik. Dari rumah ibadah yang merangkap lembaga pendidikan ini, para
pemuda yang mempunyai bekal pengetahuan agama yang cukup melanjutkan
studinya hingga ke Mekkah, lalu kembali lagi ke surau asalnya untuk
menyebarkan ilmu yang didapatnya di tanah rantau. Fenomena ini
berkembang dikarenakan surau mempunyai relasi yang terbuka dengan
masyarakat luas.213
Sudah menjadi pemandangan umum dijumpai perang selalu
menghadapkan dua atau banyak kelompok yang saling bertarung. Di antara
pertarungan mereka, terdapat sekumpulan masyarakat yang tergerak untuk
memilih satu dari kubu-kubu yang ada. Jika tidak maka keamanannya akan
terancam oleh pihak-pihak yang berperang itu. Terbelahnya masyarakat
Minangkabau ke dalam kubu-kubu yang ada, yakni Paderi dan Adat, atau
213 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di
Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 74; lebih lanjut lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib) (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995) hlm. 64.
151
belakangan Paderi dan kolonial, ikut menyebabkan arus perpindahan
penduduk yang juga massif.
Perang berintikan pada pergerakan pasukan yang terus menerus.
Pasukan akan selalu melakukan mode bertahan dan menyerang. Secara tidak
langsung, orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berpindah dari satu
wilayah ke wilayah lainnya, untuk kepentingan strategi perang. Banyaknya
perpindahan-perindahan yang terjadi menyebabkan perpindahan penduduk
yang juga berhubungan dengan tradisi merantau masyarakat Minangkabau.
Orang Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang suka merantau.
Meskipun dalam prakteknya merantau dipahami sebagai perpindahan
seseorang dari suatu tempat ke tempat lain, namun maksud dan tujuan
merantau bisa saja berbeda. Tsuyoshi Kato menyebutkan bahwa setidaknya
ada tiga jenis merantau, yakni merantau untuk pemekaran nagari, merantau
keliling dan merantau Cino. Merantau pemekaran nagari merujuk pada
perpindahan geografis untuk mendirikan suatu perkampungan baru.
Merantau keliling dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan baik
yang sudah menikah maupun yang belum. Biasanya motif merantau mereka
beragam, adat amat berkaitan dengan dorongan pribadi, seperti mendapatkan
penghasilan yang lebih baik, mencari pengalaman atau sekedar memenuhi
hasrat saja. Mereka yang melakukan perantauan jenis ini biasanya berprofesi
sebagai pedagang, guru, pegawai kantor dan pengrajin. Mereka tetap
menjaga hubungan baik dengan kampung asal, bahkan secara berkala masih
sempat pulang. Perpindahan mereka membentuk pola melingkar antara
daerah merantau dengan kampung asal. Merantau seperti ini tidak bersifat
permanen.
152
Adapun merantau Cino adalah pola merantau dari satu atau sebagian
anggota keluarga inti ke luar daerahnya. Misalnya saja sang suami merantau
terlebih dahulu, baru disusul oleh istri dan anak-anaknya. Bisa pula mereka
berpindah seluruhnya sekaligus. Termasuk pula dalam jenis ini adalah
seorang bujangan yang merantau ia pulang untuk menikah di kampungnya,
lalu membawa serta istrinya ke tempat perantauan semula. Secara psikologis
perantau jenis ini merasa amat dekat dengan kampung halaman, namun
kesempatan untuk pulang tidaklah selebar orang yang merantau keliling.
Mobilitas mereka bersifat semi permanen.214
Mochtar Naim mempunyai pandangan yang berbeda dengan Tsuyoshi
Kato tentang konsep merantau. Menurutnya, orang Minangkabau memahami
kata “rantau” bukan sebagi tempat bermukim, namun sebagai alat (bukan
sebagai tujuan) untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh
keududukannya di kampung halamannya. Rantau dianggap sebagai seuatu
yang menjanjikan harapan akan perubahan hidup ke arah yang lebih baik.
Harapan ini selalu tertuju dalam konteks sosial dan bukan politik. Merantau
dilakukan untuk mengembangkan diri dan mendapatkan kehidupan sosial
ekonomi yang semakin sesuai harapan. Dengan begitu, tujuan orang
merantau berkaitan dengan tiga hal yakni mencari harta atau penghidupan
(menjadi pedagang), mencari ilmu (belajar) dan mencari pengalaman.215
Merantau menjadi indikator kesuksesan orang Minangkabau. Banyak
orang Minangkabau meyakini, dengan merantau, mereka bisa mendapatkan
hasil pendapatan yang melimpah sehingga dapat memenuhi kebutuhan
sekunder bahkan tersiernya. Namun hal itu tetap tidak bisa tanpa melalui
214 Tsuyoshi Kato, Adat Mianangkabau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005) hlm. 13-14. 215 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1984) hlm. 3 dan 295.
153
proses yang waktunya relatif, tergantung pada keuletan dan kepandaian
berdagang atau berbisnis si orang Minang. Proses tetap tidak bisa diabaikan
dalam mencapai suatu cita-cita.
Oleh sebab itu, bagi seorang perantau baru, biasanya ia membutuhkan
mentor yang mengajarinya bagaimana hidup dan bertahan hidup di
lingkungan baru di luar kampungnya. Kebanyakan mentornya ini berasal dari
keluarganya sendiri yang lebih dahulu merantau dan berhasil mencicipi hasil
kerjanya. Si mentor akan dengan sabar membimbing anak didiknya supaya
kelak dapat mandiri dalam memilih dan mengembangkan karirnya.
Dalam filosofi orang Minangkabau diyakini bahwa seorang
Minangkabau tidak bisa dikatakan sukses dalam kehidupan apabila ia belum
berhasil memberi jalan bagi kesuksesan tiga orang Minangkabau lainnya.
Ajaran ini merupakan pantulan dari sikap kekeluargaan di tanah asal yang
kemudian tetap di pegang teguh di perantauan. Filosofi ini pula yang menjadi
semangat kesadaran kolektif bagi suku bangsa Minangkabau untuk bersama-
sama menjemput perbaikan nasib di negeri orang lain.216
Tradisi merantau seakan memperoleh momentumnya ketika peristiwa
Paderi berlangsung. Orang-orang yang tergerak untuk bergabung dengan
tentara Paderi maka ia harus siap meninggalkan kampung halamannya, baik
untuk memperdalam agama atau untuk ikut berperang. Alasan menambah
ilmu pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana yang diungkapkan Mochtar
Naim di atas, kelihatannya tepat untuk melatarbelakangi anggapan bahwa
peripndahan penduduk di masa Paderi juga berhubungan dengan kepentingan
tersebut.
216 Hafiz Rahman, “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The
Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016, hlm. 16.
154
Semakin semaraknya sekolah di Minangkabau, tidak bisa dipungkiri
adalah buah dari gesekan kepentingan kaum Paderi dengan kolonial Belanda.
Paderi ingin memperkuat posisinya di tengah masyarakat Minangkabau
melalui jalur pendidikan dan kegiatan yang bernuansa sosial. Peran dari para
ulama menjadi kian penting, karena sejak masa sebelum Paderi sosok ulama
adalah orang yang dimulyakan di tengah masyarakat. Beberapa ulama
modern masa awal juga berasal dari keluarga Paderi, seperti Syekh Ahmad
Khatib dan Haji Rasul.
Bisa dikatakan, perubahan sosial terutama di bidang pendidikan di
Minangkabau adalah dampak dari keberadaan kaum Paderi. Sewaktu awal
mereka datang-pun sudah serius mengalami berbagai macam masalah sosial,
dan ketika kedudukan mereka mulai mapan, dan para ulama Paderi semakin
dianggap sebagai sosok yang berpengaruh, maka dengan sendirinya model-
model perubahan di bidang pendidikan berlangsung.217
Setelah berguru di beberapa madrasah, para sarjana Islam Minangkabau
ada yang kembali ke kampungnya, sebagian yang lain memilih pergi menjadi
guru agama di kampung lain. Guru agama seperti yang belakangan disebut
dinamai juga orang urang sekak. Dia merasa terpanggil untuk datang ke
beberapa tempat yang dahulu pernah memberinya sesuatu, sehingga tercipta
hubungan timbal balik dengan masyarakat di sana. Urang sekak ini biasa
diminta msyarakat menjadi pemimpin dalam ritual-ritual agama.
Oleh karena ia tidak hanya terikat dalam satu nagari saja, ia juga kerap
dijadikan sebagai simpul komunikasi antarnagari. Biasanya, masyarakat
yang dibinanya akan menyisihkan sebagian hartanya untuk keperluan hidup
urang sekak, seperti makanan atau keperluan-keperluan lain. Di lihat dari
217 Mengenai masalah perubahan pendidikan di masa Paderi lihat di bab sebelumnya,
atau lihat di Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 51-58.
155
sudut agama, keberadaan urang sekak adalah penting demi tersalurnya ajaran
agama kepada masyarakat kaitannya dengan hubungan antarsesama dan
untuk kepentingan adat.218
Tradisi merantau masyarakat Minangkabau juga diartikan sebagai upaya
untuk bepergian ke luar daerah. Para ulama paska perang Paderi yang
memutuskan untuk belajar di Mekkah, adalah bisa dianggap sebagai tokoh-
tokoh perubahan di bidang pendidikan. Memang, mereka tidak secara
langsung turun berperan di masyarakat Minangkabau. Murid-murid mereka
yang justru turut andil dalam perubahan di bidang pendidikan. Jika saja
mereka tidak belajar sampai Mekkah lantas bertemu dengan wacana
Modernisme Islam sebagaimana yang dikampanyekan Muhammad Abduh
dan lain-lain, maka perjalanan sejarah bisa saja berubah.
Perang Paderi mempunyai dampak yang luas tidak hanya di dataran
tinggi Minangkabau namun juga menyentuh wilayah Asahan. Perang Paderi
menyebabkan munculnya gelombang perpindahan etnis Mandailing ke
Kisaran, wilayah yang masih masuk wilayah Asahan. Kekisruhan perang
menyebabkan sebagian etnis Mandailing mencari pemukiman yang aman ke
Asahan dengan menempuh rute Mandailing-Angkola-Padang Lawas-Kota
Pinang. Jalur ini kemudian dikenal sebagai jalur perantauan Sumatera Timur.
Awal munculnya migrasi ini terjadi pada 1835.
Migrasi Mandailing merupakan salah satu wajah lain dari perubahan
sosial yang didorong oleh aktivitas kaum Paderi. Berbeda dengan motivasi
orang Minangkabau yang melakukan perantauan, selain karena didorong
oleh keinginan memperbaiki nasib dan keinginan untuk mendalami ajaran
agama, perpindahan orang Mandailing pada masa awal, terhitung sejak 1835,
218 Murni Djamal, Abdul Karim …, hlm. 53.
156
didorong oleh ketakutan terhadap serangan orang Paderi. Pada gelombang-
gelombang berikutnya, barulah diketahui bahwa perpindahan orang
Mandailing didorong oleh keinginan mendapatkan penghidupan yang lebih
layak di Asahan.219
Perubahan sosial yang ditorehkan kaum Paderi lebih tampak di bidang
pemikiran ketimbang aplikasinya di penyelenggaraan pendidikan dalam
artian fisik. Berseminya pendidikan Islam modern di Minangkabau berakar
dari munculnya perubahan sosial yang terjadi berkat aktivitas kaum Paderi
dan semakin menemukan momentumnya ketika Perang Paderi berlangsung.
Saat itu, terlihat, orang Minangkabau yang berada di sisi Tuanku Imam
Bonjol dan para panglimanya adalah golongan yang berusaha
mempertahankan bumi Minangkabau dari ancaman kolonial Belanda.
Barisan ini adalah benteng kokoh yang menyuarakan pembebesan dari
ancaman penjajahan.
Paska surutnya perang Paderi, para penyemai ajaran Paderi merubah
pola dakwah mereka yang semula banyak bertumpu pada gerakan massa,
bahkan beberapa terlibat dalam perilaku kekerasan dengan kaum Adat atau
kolonial Belanda, menjadi lebih defensif, yakni melalui lembaga-lembaga
pendidikan. Di sisi lain, munculnya nuansa baru dari kaum Paderi tersebut
berbarengan dengan maraknya fenomena perubahan sosial lainnya yang
ditunjukkan lewat gejolak merantau penduduk pendalaman ke wilayah
pesisir Minangkabau atau ke wilayah-wilayah lainnya.
Perkembangan Islam modern di Minangkabau tidak berlangsung secara
cepat dan masif. Di beberapa segi pemikiran, pandangan ini kerap
219 Norma Yanni Hasibuan, “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten
Asahan” , tesis belum diterbitkan (Medan: Universitas Negeri Medan, 2014) Tanpa halaman.
157
menimbulkan kersahan tersendiri di kalangan para ulama Minangkabau,
khususnya mereka yang berasal dari kelompok tradisional. Salah satu
episode pertentangan pemikiran kaum pembaharu dengan golongan
tradisional terjadi pada kasus ketidaksepahaman Haji Abdul Karim Amrullah
terhadap paham dan pengamalan tarekat Naqshabandiyah.
Haji Abdul Karim Amrullah menilai terdapat beberapa ekspresi
peribadatan yang salah dalam ritual tarekat Naqshabandiyah. Kritiknya ini
begitu keras disuarakan. Suara keras ini menjadi salah satu wujud
pemberontakan Haji Abdul Karim Amrullah terhadap kesalahan-kesalahan
yang sudah mengendap di ruang publik Minangkabau selama berabad-abad.
Ia tidak lagi menimbang kedudukan ayahnya yang termasuk dalam
kelompok pengamal tarekat ini. Perbedaan cara pandang antara ayah dan
anak tersebut tidak sampai membawa pertentangan dalam skala luas.
Sebaliknya, sang ayah merasa bangga terhadap anaknya karena berhasil
merumuskan kritik yang disertai dengan alasan yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan. Wujud pertanggungjawaban Haji Abdul Karim
Amrullah disuarakannya melalui dua kitab yang ditulisnya mengenai
pembantahan terhadap tarekat Naqshabandiyah yakni: Izhaar Asaathir al-
Mulhidin fi Tasyabbuhihim bi al-Muhtadin (terbit 1908), dan Qathi’u Riqab
al-Mulhidin fi Aqaid al-Mufsidin (terbit 1914).220
Islam modernis yang embrionya berasal dari pemahaman kaum Paderi
begitu mengakar di Minangkabau. Paham ini pada perkembangannya tidak
hanya menyentuh aspek pendidikan, melainkan aspek kebudayaan
Minangkabau. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah adanya variasi
pandangan tentang harato pusako (harta pusaka). Sebelum berseminya
220 Zulmuqim, “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of
Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El-Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015, hlm. 157.
158
paham Paderi, jamak dimengerti bahwa kepemilikan harato pusako ada di
tangan keluarga garis ibu (matrilineal), namun seiring dengan terbukanya
wawasan masyarakat oleh ajaran paderi, memunculkan persepsi lain bahwa
keluarga ayah (patrilineal) juga berkesempatan memiliki harato pusako,
karena hal tersebut sesuai dengan yang digariskan oleh aturan agama Islam
yakni keluarga laki-laki baik ayah, anak maupun kakek juga berhak
mendapat bagian dari suatu warisan.221
Safwan Rozi mengatakan bahwa dampak dari akhir perang Paderi
terlihat dari adanya negoisasi antara doktrin agama dengan adat
Minangkabau yang sudah dianggap sebagai pola perilaku ideal. Adat
mengalami kodifikasi, di sisi lain, agama sebagai suatu sistem keyakinan dan
kepercayaan diperkuat. Meskipun gerakan Paderi tidak berhasil merubah
struktur sosial, kultural dan politik di Minangkabau, bahkan tidak mampu
menciptakan solusi atas terjadinya konflik antara agama dan adat, namun
perkembangan lain dapat diikuti, yakni mengenai semakin lebarnya ruang
penetrasi ajaran agama dalam sistem kemasyarakatan orang Minangkabau.222
Kedudukan harato pusako yang condong di tangan keluarga ibu
sebenarnya tidak tepat jika disederhanakan bahwa “perempuan lebih kuat di
banding laki-laki”. Seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu
Minangkabau maka dirinya sudah mendapatkan bekal penghidupan dari
keluarga si ibu. Sedangkan dari ayah orang Minangkabau, ia mendapatkan
perlindungan selain juga penghidupan dari penghasilan ayah dan ibunya.
Perlindungan yang lebih besar juga ditunjukkan oleh keluarga dari garis ibu,
seperti dari pamannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak
221 Silvia Rosa, “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan
Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan (Universitas Gadjah Mada, 2014) hlm. 500.
222 Safwan Rozi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833)”, dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 87-88.
159
seorang Minangkabau telah lahir dalam kondisi tercukupi penghidupannya,
sehingga kelak jika ia menginginkan sesuatu, orang tuanya tidak perlu
bersusah payah lagi dalam mewujudkannya.223
Harato pusako mencakup harta yang berbentuk tanah dan bukan tanah.
Tanah yang dimaksud adalah mencakup sebidang tanah, apa yang tumbuh di
atasnya, apa yang terkandung di dalamnya dan apa yang terdapat di atasnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan harta bukan tanah adalah harta yang tidak
bergerak seperti rumah, bangunan tempat usaha keluarga dan harta yang
bergerak seperti pakaian, keris, penghulu serta adat gelar kebesaran.
Tanah menduduki tempat yang tinggi dalam harato pusako. Bagi
masyarakat Minangkabau tanah merupakan salah satu simbol unsur institusi
adat matrilineal, penentu martabat serta kedudukan seseorang dalam suku,
petunjuk status bahwa seseorang adalah penduduk asli atau tidak asli yang
merupakan latar belakang menentukan pewarisan hak-hak kebesaran
negeri.224
Adat di Minangkabau tidak begitu saja lekang atau musnah paska
perang Paderi. Pemikiran-pemikiran para ulama Paderi belakangan ikut
mewarnai gempita keagamaan di tanah Minangkabau. Dari merekalah bibit-
bibit modernisme Islam dikembangkan melalui sekolah-sekolah agama yang
bentuknya baru dan mempunyai perbedaan dengan tradisi pengajaran Islam
di masa sebelumnya, seperti tercermin dalam perubahan fungsi surau
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
223 Kustiniyati Mochtar, “Cuplikan Riwayat Hidup Agus Salim Si Manusia Bebas”,
dalam Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1996) hlm. 33.
224 Iza Hanifuddin, “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016, hlm. 13; lihat juga A. M. Datuk Maruhum dkk, Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua (Djakarta: Poesaka Aseli, 1954) hlm. 41.
160
Pemikiran Paderi mempunyai arti dalam perkembangan pendidikan
Islam Minangkabau berikutnya. Jika saja tidak terjadi revolusi sosial yang
dicetuskan oleh kaum Paderi, maka besar kemungkinan tradisi pengajaran
Islam akan langsung berhadapan dengan model pendidikan kolonial Belanda.
Masyarakat Minangkabau seperti berada di persimpangan jalan, untuk
memilih pendidikan Islam yang tradisional atau pendidikan Barat yang
diperkenalkan Belanda.
Dengan adanya ulama Paderi berikut pengajian yang dipimpinnya, maka
masyarakat Minangkabau mempunyai alternatif untuk menjembatani
kekhawatiran mereka dalam menyekolahkan anak-anaknya. Masuk ke
pengajian kaum Paderi atau yang gurunya pernah belajar dan terinspirasi
dengan ulama Paderi menjadi suatu kebanggaan tersendiri, karena dengan
melibatkan anaknya dalam sekolah tersebut, membuktikan bahwa orang
tuanya mempunyai harapan besar agar si anak menjadi seorang ulama besar
yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat, layaknya ditunjukkan oleh
para ulama Paderi terdahulu. Perasaan ini tentu tidak ditemukan dalam
sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti Sekolah Raja di Bukittinggi.
161
BAB VI
KESIMPULAN
Memasuki abad 19, masyarakat Minangkabau dikejutkan oleh pelbagai
peristiwa penting yang mengubah jalur sejarahnya. Kedatangan pengaruh
Paderi membawa pembaruan terhadap kehidupan sosio-keagamaan di sana.
Kaum Paderi hadir untuk memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti
sabung ayam, perjudian dan lain-lain dan mengajak kepada masyarakat
untuk bersama membina kehidupan Islam yang lebih baik.
Cara-cara dakwah kaum Paderi bahkan sempat mendapat restu dari Raja
Pagaruyung, selaku pemegang otoritas tertinggi di dataran tinggi
Minangkabau. Meskipun begitu, metode dakwah yang dilakukan tidak
sepenuhnya disetujui oleh kelompok ulama lainnya. Tuanku Koto Tuo
merupakan ulama termashur Minangkabau yang sebenarnya mendukung
gerakan pembaruan kaum Paderi, namun ia tidak setuju dengan cara-caranya
yang keras.
Kaum Paderi menganut model pemikiran agama yang terinspirasi dari
paham Wahabi yang ada di Saudi Arabia. Dakwah yang mereka lakukan
adalah untuk memurnikan ajaran Islam (purifikasi) dari hal-hal yang tidak
diajarkan oleh Al-Quran maupun hadis. Mereka juga melakukan penertiban
bagi masyarakat yang masih gemar melakukan perbuatan kriminal seperti
162
menyabung ayam dan perjudian. Untuk membuat jera mereka sampai
melakukan tindakan yang keras, yakni dengan memerangi mereka. Mereka
juga memusuhi kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang sebelumnya telah
eksis di Minangkabau, seperti tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, yang
dianggap tidak sepaham dengan agenda yang mereka lakukan.
Paska perang Paderi, masyarakat Minangkabau dihadapkan pada
penataan kehidupan yang baru dan berlainan dengan masa sebelumnya.
Menguatnya pengaruh kolonial membawa serta pada pembangunan-
pembangunan kota serta perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat,
sedangkan pemasarannya menjadi urusan Belanda. Perkembangan kota-kota
juga merangsang para penduduk untuk merantau, guna mendapatkan
penghidupan serta pengalaman yang lebih baik.
Merantau sendiri, merupakan tradisi yang sebelumnya sudah hidup di
Minangkabau. Namun, sejak berlangsungnya perang Paderi serta
menguatnya posisi kolonial, merantau menjadi semakin populer dan seakan
menemukan momentumnya. Ketika perang Paderi misalnya, banyak orang
yang bergabung ke dalam barisan Paderi. Mereka bukan hanya menuntut
ilmu pada ulama Paderi, melainkan juga ikut berperang melawan kolonial.
Minangkabau awal abad ke 20, ditandai dengan munculnya lembaga-
lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan oleh para ulama yang
sebelumnya berasal dari kalangan Paderi. Yang dikatakan sebagai lembaga
pendidikan modern adalah model pendidikan yang telah memasukkan unsur-
unsur modern di dalam sistem belajar mengajarnya, seperti penggunaan
bangku dan meja, papan tulis serta para murid belajar di dalam kelas dan
bukan lagi di surau. Beberapa lembaga pendidikan yang menjadi pioner
pembaruan adalah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad,
163
Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Haji Rasul, Madras School yang
didirikan H. M. Thaib Umar dan lain-lain.
164
Daftar Pustaka
A. Buku Abdullah, Taufik dkk. ed, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991. ___________________. peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984. ______________. dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada
Putus; Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, 2010.
______________. Hools adn Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), New York: Cornell University, 1971.
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Algar, Hamid, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Democracy Project, 2011.
Andoni, Yudhi. “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014.
Azra, Azyumardi. “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P2M, 1985.
_______________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007.
_______________. Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.
Benda-Beckmann, Franz von. Property in Social Continuity; Continuity and Change in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau West Sumatra, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979.
Blackwood, Evelyn. Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran Village, Lanham: Rowman & Littlefield, 2000.
165
Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun.
Bosma, Ulbe dkk. Being “Dutch” in The Indies; A History of Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer, Athens, USA: Ohio University Press, 2008.
Breman, Jan. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk, Jakarta: YOI, 2014.
Brockelmann, Carl. History of The Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949.
Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995.
De Jong, P.E. de Josselin. Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political Structure in Indonesia, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980.
Djaja, Tamar, Pusaka Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1965. Djamal, Murni. DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam
Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20, Jakarta: INIS, 2002.
Djamaris, Edwar. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Depok: Komunitas Bambu, 2008.
_______________. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1992.
Esposito, John L. Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Etek, Azizah dkk. Koto Gadang Masa Kolonial, Yogyakarta: LKiS, 2007. Goss, Andrew. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda
Sampai Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina, Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 2006.
166
Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942, Singapore: Equinox Publishing, 2008.
Graves, Elizabeth E. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
________________. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century, Singapore: Equinox Publishing, 2010.
Guritno, Sri, peny. Tambo Minang, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1994.
Hadler, Jeffrey. Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian, Jakarta: Freedom Institute, 2010.
Hamka. “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958, Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun.
______. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa tahun.
_______. Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. ______. Ayahku, Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982. Heykel, Bernard dkk. Saudi Arabia in Transition; Insight on Political,
Econimic and Religious Change, New York: Cambridge University Press, 2015.
Hoeven, A. Pruys van Der. Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang, Rotterdam: H. Nijgh, 1864.
Huda, Nor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Arruz Media, 2007.
Hurgronje, C. Snouck. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993.
_________________. Perayaan Mekkah, Jakarta: INIS, 1989. Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: LIPI, 1976. Jamal, Murni dkk, ed. Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah
Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein, Jakarta: INIS, 1997.
167
Kartodirdjo, Sartono. ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme, Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973.
Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj. Gusti Asnan dan Akiko Iwata, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Kratz, Ulrich dkk. Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Shagir, Kuala Lumpur: DBP, 2002.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 1995. Lindblad, J. Thomas. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai
Tantangan Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk, Jakarta: LP3ES, 2000.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2008.
Madjid, M. Dien dkk. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta: Prenada, 2013.
Marsden, William. Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Martamin, Mardjani dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Barat, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
Maruhum, A. M. Datuk dkk. Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua, Djakarta: Poesaka Aseli, 1954.
Michiels, A.V. Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van Sumatra, Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846.
Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.
Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian), Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016.
Oostindie, Gert, ed. Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present, Leiden: KITLV Press, 2008.
168
Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao, Yogyakarta: LKiS, 2007. Parve, H.A. Steijn. “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra”
dalam Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Raffles, Thomas Stamford. Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed), Singapore: Oxford University Press: 1991.
Razak, Yusron. ed, Sosiologi Sebuah Pengantar, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Reid, Anthoni. Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris, Jakarta: YOI, 2011.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995.
Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam, jilid I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Roem, Mohamad. “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”, dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1981.
Rusli, Marah. Memang Jodoh, Bandung: Mizan, 2014. Safwan, Mardanas. Sejarah Kota Padang, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, 1987.
Samad, Duski. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain), Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001.
Simon, Gottfried. The Progress and Arrest in Sumatra, London: Marshall Brothers Ltd., tanpa tahun.
Schrieke, B. J. O. Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja, Jakarta: Bhratara, 1973.
Van der Lith, P. A. dkk. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid 3, Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925, Ciputat: Logos, 1999.
169
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008.
B. Jurnal, Tesis dan Disertasi Akhiruddin, KM. “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal
Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2015.
Archer, Raymound L.R. “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. XV, Part II, 1938.
Francis, E. “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) 2 -1, 1839,
Handayani, Rizqi. “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013.
Hanifuddin, Iza. “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016.
Hasibuan, Norma Yanni. “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten Asahan”, tesis belum diterbitkan, Medan: Universitas Negeri Medan, 2014.
M, Muhammad Dahlan. “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”, dalam Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015.
Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012.
Munawwir, Muhammad. “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, dalam Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016.
Musa, Mohd Faizal bin. “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010.
Nasir, M.H.D. “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012.
170
Nor, Mhd. “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014.
Parve, H.A. Steijn. “De Secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4.
Rahman, Hafiz. “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016.
Rahman, Rini. “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015.
Rahmat, Wahyudi. “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016.
Razi, Safwan. “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012.
Rosa, Silvia. “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan, Universitas Gadjah Mada, 2014.
Sabaruddin, Muhammad. “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013.
Setiyawan, Agung. “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012,
Stephens, Julia. “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid-Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013.
Veth, P. J. “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850.
Wells, J. Kathirithamby. “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993.
Wiktorowicz, Quintan. “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75.
171
Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016.
Zakariya, Hafiz. “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005.
Zulmuqim. “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El-Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015.
C. Internet http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-
bukan.html?m=11, http://ejournal.fip.unp.ac.id. http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/