Download - Jenis Kelamin Dan Gender
Bab 8. Jenis Kelamin dan Gender
Bahan acuan yang sering digunakan untuk mengawali suatu pembahasan mengenai
masalah jenis kelamin dan gender ialah buku ahli antropologi Margaret Mead mengenai
seksualitas dan temperamen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965). Mengapa
hasil penelitian Mead dianggap sedemikian penting? Karena Mead mengemukakan bahwa
dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat dikenal pembedaan kepribadian laki-laki dan
perempuan. Dalam klasifikasi tersebut (lihat Macionis, 1996) perempuan umumnya dikaitkan
dengan ciri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka
menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan
mempunyai seksualitas feminin. Laki-laki, di pihak lain, dikaitkan dengan ciri kepribadian
keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal di pegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli
yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut ternyata tidak
berlaku bagi ketiga kelompok etnik tersebut (lihat Mead, 1965), Menurut Mead, kepribadian
kaum perempuan maupun laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung ke arah sifat tolong-
menolong, tidak agresif dan penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain; di sana tidak
dijumpal seksualitas kuat maupun dorongan kuat ke arah kekuasaan. Pada suku
Mundugumor, dl pihak lain, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk
berkepribadian agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas kuat sedangkan kepribadian
yang mengarah ke sifat keibuan dan watak melindungi hampir tidak nampak. Sedangkan
pada suku etnik Arapesh, menurut temuan Mead, dijumpai keadaan yang bertentangan
dengan masyarakat Barat, karena dl sana kaum perempuan justru bersifat menguasai
sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang bertanggung jawab. Dari
temuannya di lapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian dengan jenis
kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan tidak
tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan
kepribadian antarmasyarakat maupun antarindividu, menurut Mead, merupakan hasil proses
sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
JENIS KELAMIN DAN GENDER
Hasil penelitian Mead tersebut mengantarkan kita ke pembahasan mengenai seks dan
gender. Apa yang dimaksudkan dengan kedua konsep tersebut, dan apa perbedaannya?
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh Iaki-Iaki dan perempuan. Sebagaimana dikenaI
Moore dan Sinclair (1995:117): “Sex refers to the biological differences between men and
women , the result of differences in the choromosomes of the embryo.” Definisi konsep seks
tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan kromosom pada janin.
Dengan demikian, manakala kita berbicara mengenai perbedaan jenis keIamin maka kita akan
membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara kaum laki-laki dan
perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ
reproduksi dan fungsinya,pada suara, pada bulu badan dan sebagainya. Sebagaimana
dikemukakan oIeh Kerstan (1995) , jenis keIamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir
sehingga tidak dapat diubah. Contoh yang diberikannya: hanya perempuanlah yang dapat
melahirkan; hanya laki-Iakilah yanq dapat menjadikan seorang perempuan hamil.
Gender
Apa bedanya dengan konsep gender yang digunakan oleh sejumlah ilmuwan sosial?.
Menurut definisi (Giddens, 1989:158), konsep gender menyangkut “the psychoIogical, social
and cultural differences between males and females”--perbedaan psikologis, sosial dan
budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai
the siqnificance a society attaches to biological categories of female and male”--arti penting
yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan
Lasswell dan Lasswell (1987:51) mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and
awareness, whether conscious or unconscious,that belonqs to one sex and not to the other ”--
pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang
tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain.
Kalau Giddens menekankan pada perbedaan psikologis , sosial dan budaya antara
laki-laki dan perempuan , maka ahli menekankan pada perbedaan yang dikonstruksikan
secara sosial (Moore dan Sinclair, 1995),perbedaan budaya,perilaku , kegiatan , sikap
(Macionis, 1996),perbedaan perilaku (Horton dan Hunt, 1984:152), tau pada perbedaan
pengetahuan dan kesadaran seseorang (Laswell dan Laswell). Dari berbagai perumusan
tersebut kita dapat melihat bahwa konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis
antara perempuan dan laiki-laki, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya
yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Contoh menqenai perbedean gender ini dapat kita lihat, antara lain, pada suku
Chambuli yang dipelajari Margaret Mead. Mead menemukan bahwa perbedaan psikologis
antara laki-laki dan perempuan pada suku Chambuli berlawanan dengan apa yang biasanya
dijumpai pada masyarakat Barat. Kaum laki-laki Chambuli bersifat pemalu bila berhadapan
dengan orang laki-laki lebih tua dalam keluarganya, seperti orang tua atau kakaknya.
Perasaan mereka sangat peka; bilamana perasaan mereka tersinggung mereka akan cenderung
mengundurkan diri dari klannya dan pindah ke tempat tinggal kerabat dari klan lain, Ciri lain
kaum laki-laki Chambuli ialah bahwa mereka pada umumnya merupakan seniman yang
menguasai berbagai cabang kesenian seperti seni tari, seni rupa, seni rias, seni musik, dan
seni pertunjukan den menganggap kesenian sebagai bagian terpenting delam hidupnya.
GENDER DAN SOSIALISASI
We are born male or female, but we learn to be masculine or feminine (Laswell dan Laswell,
1982:31)
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkani
dipelajari melalul sosialisasi. Oleh sebab itu, menurutnya, gender dapat berubah. Contoh
yang diberi-kannya: baik laki-laki maupun perempuan dapat bekerja sebagal guru, buruh dan
insinyur, dan dapat mengasuh anak dan merawat orang usia lanjut. Proses sosialisasi yang
membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dalam sosiologi dinamakan sosialisasi
gender (gender socialization). Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya (lihat
Bab 3), maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga,
kelompok bermain, sekolah, dan media massa.
Keluarga Sebagai Agen Sosialiasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun
berawal pada keluarga. Keluargalah yang mula-mula mengajarkan seorang anak laki-laki
untuk menganut sifat maskulin, dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin.
Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), yaitu proses pembelajaran femininitas
dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini, seseorang mempelajari peran gender (gender
role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah berawal semenjak
seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir, bayi perempuan sering sudah diberi busana yang jenis
dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan bayi laki-laki, dan
perbedaan jenis busana dan warnanya semakin mencolok manakala usia mereka bertambah.
Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda; oleh orang tua dan kerabat lain bayi
laki-laki sering diperlakukan Ieblh kasar daripada bayi perempuan. Korner mengemukakan,
misalnya, bahwa dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan cenderung diangkat dan
ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong di kala menangis daripada
bayi laki-laki (lihat, antara lain, Korner, dalam Lasswell dan Lasswell, 1987). Dalam
berkomunikasi Iisan dengan seorang bayi sang Ibu, bapak, kerabat lain maupun orang dewasa
sering memperlakukan bayi perempuan secara berbeda dengan bayi , bayi laki-laki,
milsalnya, diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan
diberi julukan feminin seperti cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah
mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin (sex-
differentiated toys atau gender-typed toys. Lihat Giddens, 1989 dan Moore dan Sinclair,
1995). Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun
boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengen boneka yang
diberikan kepada bayi perempuan. Kalau bayi perempuan diberi boneka yang
menggambarkan seorang perempuan cantik ataupun seekor hewan halus seperti kelinci dan
bebek, maka bayi laki-laki diberi boneka yang menggambarkan seorang laki-laki gagah atau
seekor hewan buas seperti macan dan beruang. Dengan semakin meningkatnya usia anak,
jenis mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Anak perempuan
diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti perlengkapan memasak dan
menjahit, sedangkan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat
berat, alat pertukangan atau senjata.
Buku ceritera kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi gender.
Selain menggarisbawahi peran gender, buku-buku demikian sering menonjolkan tokoh laki-
laki yang penuh ambisi, sedangkan perempuan yang berstatus sebagal gadis, istri ataupun ibu
diberi peran sebagai tokoh pembantu yang Iebih pasif. Dalam berbagal ceritera kanak-kanak
perempuan diberi peran antagonis, seperti ratu ataupun ibu tiri yang jahat, atau sebagai nenek
sihir.
Kesadaran akan adanya sosialiasi gender melalui pola asuh anak ini telah
menimbulkan keinginan untuk menerapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis (yang oleh
Giddens disebut non sexist child-rearing). Namun dalam praktik terbukti bahwa ide semacam
mi tidak nriidah diiaksanakan.
Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana telah kita lihat dalam Bab 3, kelompok bermain merupakan agen
sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Di bidang
sosialisasi gender pun, keiompok bermain menjalankan peran cukup besar. Dijumpainya
segregasi menurut jenis --Kelamin anak perempuan bermain dengan anak perempuan, dan
anak laki-laki bermain dengan anak
laki--laki-rnerupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identilas gender. pola
segregasi menurut seks yang bermula di usia prasekolah ini cenderung bertahan di kIa anak-
anak memasuki sekolah, dan bahkan sering dapat herlanjut sarnpai jenjang pe.ndidikan
tinggi.
Di kala berada dalam kelompok bermain laki-laki seorang anak laki-laki cenderung
memainkan jenis permainan yang Iebih menekankankan pada segi persaingan, kekuatan fisik
dan keberanian sedangkan dalam kelompok bermain prerempuan anak perempuam cenderung
memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama Setelah anak -anak
berusia ramaja dan mulai memperhatikan lawan jenis, mereka pun mulai belajar berbagai
teknik untuk menghadapi lawan jenis mereka, Remaja laki-laki belajar dri teman-temannya
bahwa laki-laki horus senantiasa berani dan
agresif terhdap perempuani serta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat“merebut”
dan “menaklukkan” mereka, Anak perempuan, di pihak lain, dididik oleh sesamanya bahwa
pemempuan harus cenderung pasif, bertahan, mampu mempertahankan kehormatannya
seraya mempertahankan haknya untuk memilih siapa di antara para pria yang mendekatinya
pantas mendapat perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, keiompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi
anggota yang tidak menaati aturannya. Seorang anak aki-iaki yang rnemilih untuk bermain
dengan mainan anak perempuan don berkumpul dengan mereka, misalnya, cenderung dicap
“sissy” atau “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan
yang berorientasi pada permainan anak iaki-iaki dan bermain dengan mereka, yang dapat
dicap sebagai “tomboy.”
Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender rnelaui
media utamanya,yaitu kurikulum, formal. Dalam mata pIajaran prakarya, misalnya, ada
sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran
berbeda. Siswi, misalnya, dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan
ekonomi rumah tangga sedangkan siswa diminta mempelajari keterampilan di bidang teknik
pertukangan. Dalam mata pelajaran olahraga siswa mungkin diminta mempelajari jenis
olahraga yang berbeda dengan siswi.
Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalul buku teks yang
digunakan. Ada, misalnya, buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan
kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian.
Pun ada buku pelajaran olahraga dan kesehatan yang dalam mengajarkan berbagai olahraga
mengabaikan olahragawati dengan hanya menonjolkan gambar olahragawan.
Bentuk pembelajaran lain berlangsung melalui apa yang oleh Moore dan Sinclair
(1995, dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum): para guru sering
mempelakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku dan sikap yang ditolerir bila
dilakukan siswa, misalnya, ada yang tidak dapat ditolerir bila dilakukan oleh siswi.
Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis kelamin sering terjadi
manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu. Siswi sering
dikelompokkan ke bidang ilmu soslal dan humaniora, sedangkan siswa cenderung
dikelompokkan ke bidang ilmu pengetahuan alam. Segregasi yang berawal dri jenjang
pendidikan menengah ini cenderung berlanjut ke jenjang pendidikan tinggi.
Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya denagn buku ceritera untuk kanak-kanak dan remaja Serta buku
palajaran di sekolah, maka media massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik
melalui pemberitaan nya , kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasanq
di dalammnya. Media massa, baik media cetak maupun elektronlk, sering memuat iklan yang
menunjang stereotip gender (gender-stereutyped advertisirtg). iklan yang mempromosikarn
berbagai produk keperluan rumah tangga sepertl zat pembersih lantai, pembasmi serangga,
sabun cuci, tapal gigii, bumbu masak, minyak goreng, bakmi cepat saji, misalnya, cenderung
menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu,
sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yanq merupakan simbol status dan
kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan
yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak , namun iklan demikian
sering menekankanpada jenis pekerjaan yang cenderung di peran kan oleherempuan dan
menempati posisi rendah dalam organisasi, seprti misalnya peran sebagai, resepsionis,
pramugari,sekretaris, atau kasir dan bukan pada jabatan ber status tinggi sepeti misalnya
presiden direktur bank atu kapten penerbarng.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuanqkan persamaan gender telah
rnulai rnembawa dampak pada dunia periklanan. berbagai iklan di media masa kini sudah
mulai menampilkan kepekaan denqan jalan menghindari stereotip gender dan menonjolkan
persamaan peran gender. Meskipun dernikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum
mampu rnenanggulangi praktik pemuatan klan yang mengandung stereotip gender.
GENDER DAN STRATIFIKASI
Macionis (1996:245-246) mendefinislkan stratfikasi gender (gender stratification)
sebagai “the unequal distribution of wealth, power, and privilege between the two sexes”--
sebagai ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antara laki-laki
dan perempuan. Menurut Macionis, ketimpangan ini dijumpal di berbagai bidang: di dunia
kerja, dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga, di bidang pendidikan, dan di bidang
politik. Selain itu, perempuan pun Iebih cenderung menjadi korban kekerasan laki-laki
daripada sebaliknya.
Adanya stratifikasi gender telah mendorong Iahirnya gerakan sosial di kalangan kaum
perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerak ,ini
dinarnakan feminisme, yang mnuru Giddens (1989:181) telah bermula di Perancis pada abad
18 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Amerika, Afrika dan Asia.
di bidang politik, gerakan ini terpusat pada pejoangan persamaan hak pilih dengan laki-laki
dan telah menghasilkan diberikannya persamaan hal pilih di banyak negara.
Gender dan Pendidikan
Dalam berbagal masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan
bahkan melarang keikut sertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada nilai yang
mengemuka-kan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan
ke dapur juga “ ada yang mengatakan bahwa perempuan harus menempuh pendidikan yang
oleh orang tuanya di anggap “ sesuai dengan kodrat perempuan,” dan ada yang berpandangan
bahwa scorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi” perawan tua.”
Atas dasar nilai dan aturan demikian, ada masyarakat yang mengizinkan percmpuan
bersekolah tetapi hanya Sampal jcnjang pendidikan tertentu saja atau dalam jenis atau jalur
pcndidikan tertentu saja; pun ada masyarakat yang sama sekali tidak rnembenarkan anak
gadisnya untuk bersekolah. Sebagal akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalan
banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan
formal. Prestasi akademik ataupun motivasi belajar sering bukan merupakan penghambat
partisipasi pcrempuan, karena siswa berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikannya
ke jenjang lebih tinggi.
Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang rmelanda masyarakat dunia sejak awal abad
yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan jenis pendidikan pun
mcningkat dengan pesat pula, baik angka absolutnya maupun proporsi perempuan
dibandingkari dengan laki-laki. Mcskipun demikian hingga kini kesenjangan, kesempatan
pendidikan antara laki-laki masih tetap menandal dunia pendidikan, dan pendidikan bagi
semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan di lapangan.
Gender dan Pekerjaan.
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan perempuan, maka yang
dibayangkan mungkin hanyalah jenis pekeriaan yang dijumpai di ranah publik: pekerjaan di
tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang
sering melupakan bahwa di rumahnya pun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan
yang menghasilkan dana. Ada yang menawarkan berbagai jenis jasa; ada yang melakukan
per-dagangan eceran; pun ada yang memproduksl atau memproses hasil pertanian, kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan maupun produk lain untuk dipasarkan.
Di samping Itu, sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan
perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan jasa bagi sesama anggota
keluarga termasuk suami, merupakan suatu pekejaan produktif. Jenis pekerjaan ini menyita
banyak waktu dan tenaga dan menguntungkan suami, keluarga serta masyarakat, namun tidak
diberi imbalan materi dan umumnya dianggap sebagai pekerjaan yang rendah.
Bagaimana kedudukan perempuan di ranah publik? Berbagal penelitian terhadap
angka partisipasi perempuan dalam angkatan keja umumnya mengidentifikasikan berbagai
bentuk kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan. Kesenjangan apa sajakah yang ditemukan di lapangan Moore dan Sinclair (1995)
mengidentiuikasikan dua macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan keja: segregasi
vertikal dan segregasi horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerja
perempuan pada jenjang rendah dalarn organisasi, sepcrti misalnya jabatan pramuniaga,
pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari, sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-
kanak, perawat, kasir dan sebagainya. Segregasi, horizontal, di pihak lain, mengacu pada
kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenis pokerjaan yang berheda
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-lakj. Adanya segroqasi vertikal
memberikan kesan hahwa dalam tangga jabatan seakan-akan ada Suatu “langit-lanqit kaca”
(glass ceiling) yang nienghalangi mobilitas koum porempuan ke jenjangn jabatan lebih tinggi.
Adanya Segregasi horizontal pun memberi kesan seakan-akan dalam pasar kerja ada jenis
pekerjarn tertentu yang relatif tertutup bagi kaum perempuan, Seperti misalnya di bidang
ilmu penge-tahuan alam dan teknologi..
Salah satu masalah yang dihadapi kaurn perempuan di berbagai masyarakat ialah
adanya diskriminasi terhadap perempuan (sex discrimination ) di bidang pckcrjaan. Kasus
ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik.pun ada
masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti
dalam hal rekrutmen,pelatihan,magang, atau pemutusan hubungan kerja
Suatu bentuk deskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah deskriminasi
terhadap orang hamil (pregnancy discrimination). Diskriminasi terhadap orang hamil tersebut
dapat membentuk penolakan untuk memperkerjakannya,pemutusan hubungan
kerja,keharusan cuti dan sanksi lain.
Semakin meningkatnya tingkat pendidikan penduduk di seluruh dunia telah
niengakibatkan bcrkurangnya kesenjangan antara kedudukan laki-lakr dan perempuan di
bidang pekerjaan. Narnun bilamana, jumlah perempuan dalam penduduk dijadikan patokan
untuk mengukur kesenjangan, maka kesenjangan yang dijumpai dalam angkatan kerja masih
sangat lebar.
Gender dan Penghasilan
Kesenjangan apa yang dijumpal pekerja perempuan dalam bldang penghasilan?
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja, apa pun jenis kelaminnya, menerima upah yang
sama untuk pekerjaan sama (equal pay for equal work). Namun di berbagai masyarakat lain
pekerja laki-laki memperoleh uah lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan walaupun
pekerjaan yang diakukan sama. Gejala semacam ini dinamakan diskriminasi upah
berdasarkan jenis kelarnin (sex-based wage discrimination).
Dalam struktur okupasi kita menjumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang
umumnya hanya dikerjakan perempuan, dan berada di bawah subordinasi pejabat laki-laki.
Macionis mencatat bahwa menurut data Departemen Tenaga Kerja A.S. 80% dan pekerjaan
yang dinamakannya pekerjaan kerah merah jambu (pink-collar jobs) seperti pekerjaan
sekretaris, juru tik, dan stenograf dipegang oleh perempuan. Masalah yang dihadapi para
pekerja perempuan ini ialah bahwa upah yang mereka terima dinilai terlalu rendah, yang
mengakibatkan bahwa mereka sering terjerat dalam apa yang oleh Moore dan Sinclair (1995)
dinamakan perangkap kemiskinan (poverty trap).
GENDER DAN KEKUASAAN
How many women holding positions of power, prestige, and initiative? (Roszak and –
Roszak,1969)
Gender dan Potitik
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Kalau selama beberapa dasawarsa kita
telah menyaksikan keikutsertaan kaum perempuan di negara kita dalam pemilihan umum
untuk memilh anggota DPR, anggota DPRD Tingkat 1 dan DPRD Tingkat 11, maupun
dalam pemilihan untuk memilih kepala desa, maka kita tentu tidak membayangkan bahwa di
masa lain kaum perempuan kita tidak mcrnpunyai hak pilih. Namun kita perlu ingat hahwa
salah satu ketidak –samaan hak di bidang politik yang hingga kini masih dialamii kaum
perempuan dalam banyak masyarakat ialah tidak dimilikinya hak memilih dan dipilih.
Berkat perjuangan mereka semenjak pertengahan abad ke 19,maka semenjak 1983
barulah kaum perempuan di berbagai negara Barat mulal meraih hak pllih. Data yang
disajikan Giddens, (1989: 180), misalnya, menunjukkan bahwa antara tahun 1893 dan 1928
hak pilih diraih kaum perempuan di 18 negara di Eropa, Amerika utara serta di Australia dan
Selandian Baru. Mulai tahun 1929 hak pilih mulal diraih pula di sejumlah Negara di
kawasan Asia, Afrika dan Amerika latin.Dari data tersebut nampak pula bahwa di sejumlah
Negara Eropa seperti Prancis,Yugoslavia dan yunani kaum perempuan baru mengenal hak
pilih setelah berakhiraya perang dunia 11
Masih relative terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah public yang berhasil diraih
kaum perempuan,seperti misalnya dibidang eksekutif,legeslatif dan yudikatif di tingkat
lokal,regional maupun nasional sering dijadikan indikasi mengenai besarnya kesenjangan
antara peraih status perempuan dan laki-laki dibidang politik
Gender dan keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami
dan istri.hal ini tidak mengherankaan,karena dalam masyarakat masih banyak dianut
pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di rumah dan di belakang
suaminya. kaijan terhadap pembagian kekuasaan antara suami dan istri telah melahirkan
konsep keluarga simetris dan keluarga asimetris (symmetrical family, asymmetrical family)
dari Willmott dan Young, dalam mana konsep pertama mengacu pada kekuasaan seimbang
dan konsep kedua pada kekuasaan tidak seimbang.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan
kekuasaan suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara ialah dengan merinci pekerjaan
rumah tangga apa saja dilakukan oleh siapa. Menurut Moore dan Sinclair (1995:50), kegiatan
yang digunakan sebagai ukuran ialah kegiatan berbelanja, menyiaprapkan makan malam,
mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika, memperbaiki peralatan
rumah tangga, dan mendidik anak untuk berdisiplin. Cara lain ialah dengan mengkaji siapa
yang berwenang mengambil keputusan dalam berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah
tangga: suami atau istri. Konsep Pahl (1989) untuk mengacu pada bebagai pola kekuasaan
mengelola keuangan rumah tangga ialah konsep wiki control, wife controlled pooling,
husband controlled pooling, dan husband control Kutub ekstrem dalam kontinuum ini wife
control, mengacu pada situaSi yang di dalamnya pongendalian keuangan sepenuhnya berada
pada istri, sedangka pada kutub ekstrem lainnya husband control, pengendalian keuangan
sepenuhnya barada pada suami. Dari hasil berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa
kebanyakan pekerjaan rumah tangga dilakukan perempuan dan kekuasaan pengelolaan
keuangan cenderung pada laki-laki.Moore dan sinclairmenyimpulkan bahwa dalam banyak
keluarga peran pria daalam rumah tangga masih tetap dominant.
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Dalam interaksinya dengan laki-laki,kaum perempuan sering mengalami berbagai
bentuk kekerasan.kekekerasan tersebut dapat berbentuk hubungan seks secara
paksa,kekerasan fisik ataupun pelecehan secara lisan.adaa yang berbentuk
perkosaan,kekerasan sewaktu kencan,kekerasan dalam rumah tangga,kekerasan terhadap
mitra intim,dan pelecehan seks.
Perkosaan
Kejaahatan berupa perkosaan seakan-akan telah menjadi bagian terhadan keehidupan
sehari-hari kita.dalam media massa hampir kita menemui berita mengenai beerbagai
perkosaan yang dialami warga masyarakat kita. ada berita tentang pemerkosaan diluar negeri
terhadap tenaga kerja perempuan asal Indonesia;tentang penumpang taksi yang diperkosa
supir taksi dan temannya;tentang penghuni rumah yang diperkosa perampok ; tentang anak
perempuan di bawah umur yang diperkosa laki-laki usia lanjut ; tentang perempuan yang di
perkosa sejumlah laki-laki secara berganti (gang rape)pada waktu terjadi kerusuhan 14 mei
1998 di Jakarta kota.perkosaan tidak pula dilakukan terhadap seseorang yang berjenis
kelamin sama ; misalnya sodomi secara paksa oleh seorang laki-laki dewasa terhadap laki-
laki lain, terutama yang berusia muda atau masih di bawah umur.
Moore dan sinclair (1995) menyajikan beberapa fakta mengenai perkosaan. Menurut
data mereka perkosaan sering dilakukan terhadap perempuan berusia muda, oleh orang yang
telah dikenal korban seperti tetangga, teman kencan, pacar, atau kerabat Fakta lain ialah
bahwa perkosan sering terjadi di dalam rumah korban sendiri. Dikernukakan pula bahwa
peristiwa perkosaan jarang dilaporkan ke pihak berwajib. Karena perkosaan jarang
dilaporkan atau didiagnosis, maka American Medical Association menganggap perkosaan
sebagai epidemi kekerasan yang sunyi (silent-violent epidemic).
Mengapa perkosaan jarang dilaporkan kepada pihak yang berwajib? menurut Gidden
(1989) perkosaan sering tidak diaporkan karena sang korban ingin secepat mungkin
melupakan
kejadian yang telah mempermalukannya itu. Selain itu sang korban mungkin pula tidak mau
mengadu karma tidak bersedia menjalani pemeriksaan medik, pemeriksaan oleh polisi, dan
pemeriksaan oleh hakim dan pengacara di pengadilan yang menurut pendapatnya akan
semakin mempermalukannya. keengganan korban untuk menempuh jalur hukum pun terjadi
karena karma dalam pengadilan harus dibuktikan secara hukum bahwa ia memang diperkosa,
dan dalam proses pemeriksaan di pengadilan ía mungkin harus menjawab pertanyaan
mengenal kehidupan pribadinya.
Kekerasan Domestik
Dalarn kehidupan sehari-hari, hanyak orang--baik perempuan maupun Iaki-laki---
mengalami kekerasan di tangan orang yang dekat dengun mereka: orang tua, kakak-adik,atau
suami.dalam literatur kekerasan jenis ini dinamakan kekerasan domestic ( domestic violence).
The family violence prevention fund and the trauma foundation (1994) merumuskan
kekerasan domestic sebagai “tindakan ataupun ancaman tindakan pelecehan fisik, seks,
psikologis ataupun ekonomis oleh seseorang terhadap orang lain yang menjadi ataupun
pernah menjadi mitra intim nya .” Dari perumusan ini nampak bahwa ruang lingkup
kekerasan domestik cukup luas, karena tidak terbatas pada tindakan saja tetapi mencakup
pula berbagi bentuk pelecehan lain . Dampak kekerasan domestic pun beraneka ragam ;
pelecehan psikologis dapat berakibat gangguan emosi pada korban, tetapi pelecehan fisik
dapat berakibat cedera fisik yang memerlukan perawatan medik intensif , dan bahkan maut .
Mengingat bahwa korban kekerasan sering terjadi atas mitra intim, maka centres for
Disease for Disease control (1999) memperkenalkan konsep kekerasan terhadap mitra intim
(intimate partner violence).center for disease control pun mengamati bahwa kekerasan sering
terjadi waktu kedua orang yang belum terikat hubungan pernikahan sedang kencan (dating
violence). Apabila kita membanding ketiga konsep , maka nampak bahwa dalam hal bentuk
ketiga jenis kekerasan tersebut tidak banyak berbeda ialah penekanannya; kekerasan
domestik maupun kekerasan terhadap mitra intim menekan berlansung antara orang
berhubungan intim namun belum terikat hubungan pernikahan.
Karena dalam ranah domestik maupun kekuasaan perempuan cenderung lebih kecil
daripada laki-laki, maka korban kekerasan domestik,kekerasan terhadap mitra intim
kekerasan waktu kencan cenderung terjadi atas perempuan. Dalam sejumlah rumah tangga,
misalnya, dijumpai suami yang sering memukul istri. Dan yang cenderung menjadi korban
kekerasan dalam kencan biasanya kaum perempuan.
Pihak berwajib biasanya enggan turun tangan dalam kasus kekerasan domestik,
dengan alasan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga. Disamping itu para istri yang
menjadikorban kekerasan (batterd wifes) pun sering tidak melakukan pengaduan ke pihak
berwajib karena berbagai alasan. Ada yang takut pada orang telah mencederainya sehingga
tidak berani mengadu, ada yang takut kehilangan jaminan ekonomi yang di berikan suami,
ada yang tidak dapat meninggalkan anak-anaknya, dan ada pula yang rasa harga diri
sedemikian rendah sehingga menganggap bahwa penganiayaan yang di deritanya merupakan
hukuman atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Pelecehan Seks
Anda mungkin pernah menyaksikan bagaimana seorang atau beberapa orang laki-laki
menggoda seorang perempuan di tempat umum dengan mengucapkan kata-kata tmdak
senonoh atau melakukan gerakan yang merupakan simbol hubungan seks. Bukan rahasia lagi
bahwa ada laki-laki, yang memanfaatkan kepadatan penumpang di kendaraan umum seperti
bis kota atau kereta api serta gerak laju kendaraan untuk dengan sengaja menempelkan
tubuhnya ke tubuh penumpang perempuan yang tidak dikenalnya atau meyentuh atau meraba
tubuhnya. Berbagai bentuk penlakuan tidak menyenangkan terhadap seseorang, terutama
kaum pe-rempuan ini dinamakan pelecehan seks (sexual harrassnient), yang oleh Macionic
(1996:261) didefenisikan sebagai “Komentar, iSyarat, atau kontek fisik yang bersifat seks,
diulang-uIang, dan tidak dikehendaki.”
Tindakan semacam ini banyak dialami perempuan di tempat kerja. Salah satu bentuk
pelecehan seksual ialah ajakan untuk huhungan Intim oleh atasan agar seorang karyawati
dapat naik pangkat atau jabatan, Pelecehan lain, di tempat kerja dapat berbentuk
rangkulan ,pegangan, atau ciuman. Berbagai tragedy fatal telah terjadi, misalnya, sebagai
akibat pelecehan seksual yang dialami rekan kerjaperempuan kita di luar negeri. Bentuk
pelecehan lebih ringan yang di lakukan atasan atau rekan kerja ialah godaan atau lelucon
porno yang di tunjukkan pada seorang karyawati.
PENJELASAN
Sebagaiman ketimpangan gender ini dijelaskan? Adanya ketimpançjan dalam
pembagian kekayaan, kekuascan, dan privilese antar laki-laki dan perempuan yang
menguntungkan kaum laki-laki ini oleh sejumlah ahli dikaitkan clengan dominasi laki-laki
terhadap perempuan (male domnination). Suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki
mendominasi perempuan oleh McIonis (1996:261) dinamakan patriarki (patriarchy).
Sedangkan menurutnya bentuk sebaliknya dalam mana perempuan mendominasi laki-laki,
dinamakan matriaki (matriarchy).
Mengapa dalam banyak masyarakat dijumpai dominasi, laki-laki? Menurut sjumlah
laki-laki? Menurut bentuk bentuk sebalik nya, dalam mna perempuan mendoinasi laki-laki ,
di namakan matriaki (matriarchy) bahwa keunggulan suatu jenis kelamin merupakan
pembawaan sejak lahir (lihat Macionis, 1996:261). Menurut Horton and Hunt (1984:152)
seksisme merupakan keyakinan atau kebijaksanaan mengenai keunggulan laki-laki atau
ketimpangan seks, serta penerimaan terhadap stereotip peran seks tanpa mempertanyakannya.
Namun penjeIasan yang disebutkan di atas hanya merupakan sebagian dari berbagai
teori sosial yang berupaya menjelaskan mengapa antara kaum laki-laki dan perempuan
dijumpai perbedaan, ketimpangan dan dominasi. Di bidang teori sosial kini dijumpai sudut
pandang feminis, yang berupaya memahami kehidupan sosial dan pengalaman manusia
melaiui sudut pandang perempuan (lihat Lengermann dan Niebrugge-BrantleY, 1992).
Lengermann dan Niebrugge-brantley mengemukakan bahwa pemikiran feminis telah ada
sejak tahun 1600 dan merupakan Iandasan bagi pemikiran feminis masa kini. Menurut
mereka, pemikiran fesimis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: jawaban
terhadap pertanyaan mengenai situasi perempuan (“what about the women?”) dengan jalan
menggambarkan situasi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan jawaban terhadap
pertanyaan mengapa kaum perempuan berada dalam situasi demikin (‘why is women’s
situation as it is?”). Melalui pertanyaan-pertanyaan demikian, para ilmuan feminis berupaya
menguraikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, ketimpanganantara
perempuan dan laki-laki dan penindasan laki-laki terhadap perernpuan, untuk kemudian
berupaya menjelaskan faktor-faktor yang mendasari perbedaan, ketimpangan, dan penindasan
tersebut melalui berbagai teori.
Teori feminis yang berkembang adalah, antara lain, teori untuk menjelaskan
perbedaan gender. Ada teori yang menjelaskan perbedaan gender sebagai perbedaan biologis
antara Iaki-Iaki dan perempuan; ada yang mengaitkannya dengan institusi dalam masyarakat;
dan ada pula mengaitkannyn dengan perbedaan sosial-psikologis. Untuk menjelaskan
ketimpangan gender muncul teori ferninisme liberal dan teori feminism Marxis. Sedangkan
dominasi gender di nba dicoba dijelaskan oleh teori psikoanalisa feminis, teori feminism
radikal ,teori feminism sosialis, dan teori
feminisme gelombang ke tiga (lihat Lengermann dan Niebrugge-brantley,1992).
RINGKASAN
Bahan acuan yang digunakan untuk mengenai masalah jenis kelamin dan gender ialah
buku Margaret Mead mengenai seksualitas dan temperamen di tiga kelompok etnik di Papua
limur Laut. Dari temuannya di Iapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian
dengan jenis kelamin ini Mead menyinpulkan bahwa kepribadian laki—laki dan perempuan
tidak tergantug pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan.
Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun antar individu, menurut Mead, merupakan
hasil proses sosialisasi, terutama polo asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan.
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan bologis antar perempuan
dan laki-laki pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Manakala kita berbicara
mengenai perbedaan jenis kelamin maka kita membahas perbedaan biologis antar kaum laki-
laki dan perempuan. Jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak
dapat dubah.
Konsep gender menyangkut perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki
dan perempuan--arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan
perempuan. Gender mengacu pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar atau pun
tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam
jenis kelamin lain. Konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan
masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
Gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak
dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu gender dapat
berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi dirii dan aspirasi dalam sosiologi
dinamakan sosialisasi gender.
Sosalsasi gender berawal pada keluarga. Melalui proses pembelajarair gender
sescorang mempelajari peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengani jenis
kelarninnya. Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender
alah mainan, dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Buku cenitera
kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi gender.
Kesadaran akan adanya sosialisasi gender melalui poa asuh anak ini telah
menimbulkan keinginan untuk menenapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis. Namun
dalam praktik terbukti bahwa ide semacam ni tidak mudah dilaksanakan.
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk
prilaku dan sikap kanak-kanak. Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain menerapkan
kontrol soal bagi anggota yang tidak menaati aturannya.
Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui
media utamanya, yaitu kurikulum formal, Pernbelajaran gender di sekolih dapat pula
berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Bentuk pembelajaran lain berlangsung
melalui kurikulum terselubung, para guru sering memperlakukan siswi secara berbeda
dengan siswa. Pemisahan yang mengarah ke segrasi menurut Jenis kelamin sering terjadi
manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu.
Media massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik melalui
pemberitannya,
maupun melalui lklan yang dipasang di dalamnya. Media masa serinq memuat iklan yang
menunjanq stereotip gender.
stratifikasi gender-—ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan,dan
privilese
antara laki-laki dan perempuan—dijumpaipai di berbagai bidang kehidupan. Adanya
stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan feminisme yang bertujuan membela dan
memperluas hak-hak kaum perempuan.
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tetentu dalam masyarakat dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan
bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal Sebagai akibat
ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat durnpu dijumpai
ketimpangan partisipasi dalam pendidikan formal.
Orang sering melupakan bahwa di rumahnya pun perempuan sering
melakukanberbagai kegiatan yang menghasilkan dana.
Sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang
dilakukan perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan Jasa bagi sesama
anggota keluarga termasuk suaml, merupakan suatu pekerjaan produktif.
Dalam angkatan kerja mengidentifikasikan dua macam segregasi jenis kelamin:
segregasi vertikal, yaitu terkonsentrasinya pekerjaan perempuan pada jenjang rendah dalam
organisasi, dan segregasi horizontal, yaitu terkonsentrasrnya pekerja perempuan di jenis
pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerjaan laki-laki. Adanya
segregasi vertikal memberikan kesan seakan-akan ada suatu “langit-langit kaca” yang
menghalangi mobilitas kaum perempuan. Adanya segregasi horizontal pun memberi kesan
seakan-akan dalam pasar kerja ada jenis. pekerjaan tertentu yang relatif tertutup bagi kaum
perempuan.
Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan di berbagai masyarakat ialah
adanya diskriminasi terhadap perempuan di bidang pekerjaan. Suatu bentuk diskriminasi
yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil. Di berbagai
masyarakat pekerja laki-laki memperoleh upah Iebih tinggi daripada upah pekerja perempuan
walaupun pekerjaan yang diIakuan sama--suatu gejala yang dinamakan diskriminasi upah
berdasarkan jenis kelamin.
Dalam struktur okupasi dijumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang umumnya
hanya dikerJakan perempuan, dan berada di bawah subordinasi pejabat laki-laki. Pekerjaan
yang dipegang oleh perempuan seperti pekerjaan sekretaris, juru tik, dan stenograf
dinamakan pekerjaan kerah merah jambu. Upah para pekerja perempuan ini dinilai terlalu
rendah sehingga mereka sering terjerat datam perangkap kemiskinan.
Di masa lalu kaum perempuan tidak mempunyai hak pilih. Hingga kini kaum perempuan
dalam banyak masyarakat lalah tidak m emiliki hak memilih dan dipilih. Masih relatit
terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah publik yang berhasil dirah kaum perempuan sering
dijadikan indikasi mengenai besarnya kesenjangan antara peraihan status prempuan dan laki-
laki di bidang politik.
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kedkuasaan suami
dan istri. Kajian terhadap pembagian kekuasaan antara suami dan Istri telah meIahirkan
konsep keluarga simetris, yang mengacu pada kekuasaan seimbang, dan keluarga asimetris,
yang mengacu pada kekuasaan tidak seimbang.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembaqian kerja dan
kekuasaan suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara lalah dengan merinci pekerjaan
rumah tanggaapa saja dilakukan oleh siapa. Untuk mengacu pada berbagai pola kekuasaan
mengelola keuangan rumah tengga dijumpal konsep wife control, wife controlled pooling,
husband controlled pooling, dan husband control. Dalam banyak keluarga peran pria dalam
rumah tangga masih tetap dominan.
dalam interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai
bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut dapat berbentuk hubungan seks secera paksa,
kekerasan fisik ataupun pelecehan secara lisan.
Kejahatan berupa perkosaan tidak hanya dilakukan terhadap seseoranq yang berjenis
kelamin berbeda, tetapi dapat pula dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelarnin sama.
Perkosaan sering dilakukan terhadap perempuan berusia muda oleh orang yang telah dikenal
korban seperti tetangga teman kencan pacar atau kerabat perkosaan serinq terjadi di dalam
rumah korban sendiri perkosaan jarang dilaporkan ke pihak berwajib.
Banyak orang mengalami kekerasan domestik, yaitu kekerasan di tangan orang yang
dekat dengan rnereka. Kekerasan terhadap mitra intim merupakan bentuk kekerasan dalam
mana korban kekerasan terdiri atas mitra intim Kekerasan yang terjadi antara dua orang yang
berkencan dan belum terikat hubungan pernikahan dinamakan kekerasan waktu kencan.
Kekerasan terhadap mitra intim maupun kekerasan waktu kencan cenderung terdiri atas
perempuan.
Pihak berwajib biasanya enggan turun tangan dalarn kasus kekerasan domestik. Para
istri
yang menjadi korban kekerasan pun sering tidak melakukan pengaduan ke pihak berwajib.
Berbagai bentuk perlakuan tidak menyenangkan terhadap seseorang, terutama kaum
perempuan, dinamakan pelecehan seks, Tindakan semacam ini banyak dalami perempuan di
tempat kerja.
Ketimpangan dalarn pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antara laki-laki
dan perempuan yang menguntungkan kaum laki-laki dikaitkan dengan dominasi laki-laki
terhadap perempuan. Bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan
dinamakan patriarki sedangkan bentuk dalam mana perempuan mendominasi laki-laki
dinamakan matriarki.
Salah satu faktor yang dianggap meridasari dominasi laki-laki dan patriarki ialah
seksisme,
yaitu keyakinan hahwa keunggulan suatu Jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir.
Di bidang teori sosial dijumpai pemikiran feminis, yatu upaya memahami kehidupan
social dan manusia melalui sudut pandang perempuan. Pemikiran fesimis dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori besa:Jawaban terhadap pertannyaan mengenai situasi
perempuan dengan jalan menggambarkan situasi perempuan di bandingkan dengan laki-
laki,dan jawaban terhadap pertanyaanmengapa kaum perempuan berada dalm situasi
demikian. Melalui pertanyaan-pertanyaandemikian,para ilmuan pisimis berupaya
menguraikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,ketimpangan antara laki-laki dan
perempuandan penindasan laki-laki terhadap perempuan,untuk kemudian berupaya
menjelaskan factor-faktoryang mendasari perbedaan ,ketimpangan dan penindasan tersebut
melalui berbagai teori.
KONSEP PENTING
Feminism:gerakan social di kalangan kaum perempuan yang bertujuan membela dan
memperluas hak-hak kaum perempuan (giddens)
Gender:
Perbedaan pisikologis,social dan budaya antara laki-laki dan perempuan (giddens).
Arti pentingyang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan
(macionis).(1996:240).
Pengetahuan dan kesadaran,baik secara sadar maupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong
dalam suatujenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain (lasswell dan lasswell).
Gender-stereotyped adverstising:iklan yang menunjang stereotip gender
Keluarga asimetris (asymmetrical family):keluarga dengan kekuasaan tidak seimbang antara
kekuasaan suami dan istri (dari willmott dan young).
Kekerasan domestic:tindakan ataupun ancaman tindakan pelecehan fisik,seks,psikologis
ataupun ekonomis oleh seseorangterhadap orang lain yang menjadi ataupun pernah menjadi
mitra intimnya (the family violence prefention fund the trauma foun-dation).
Matriarki (matriarchy) suatu bentuk organisasi sosial dalam mana perempuan mendominasi
laki-laki (Macionis).
Patriarki (patriarchy) suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi
perempuan (Macionis)
Pelecehan seks (sexual harrasment) : komentar , isyarat , atau kontak fisik yang bersifat
seks ,diulang00ulang dan tidak dikehendaki(Macionis)
Pembelajaran gender (gender learning) : yaitu proses pembelajaran femininitas dan
maskulinitas yang berlangsung sejak dini
Peran gender (gender role): peran seseorang yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan
jenis kelaminnya
Segregasi horizontal:terkonsentrasinya pekerjaan perempuan di jenis pekerjaan yang berbeda
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki (Moore and Sinclair)
Segregasi vertikal:terkonsentrasinya pekerjaan perempuan pada jenjang rendah dalam
organisasi (Moore and Sinclair)
Seks,jenis kelamin
Konsep perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki , sebagai hasil perbedaan dalam
kromosom janin(Moore and Sinclair)
Sebagaimana dikemukakan oleh jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir
sehingga tidak dapat diubah (Kerstian)
Seksisme (sexism)
Keyakinan bahwa keunggulan sutau jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir
(Macionis)
Keyakinan atau kebijaksanaan mengenai keunggulan laki-laki atau ketimpangan seks ,serta
penerimaan terhadap stereotip peran seks tanpa mempertanyakannya (Horton dan Hunt)
Sex-differentiated toys atau gender-typed toys: mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin
untuk memperkuat identitas gender
Sosialisasi gender (gender socialization): proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan
aspirasi gender
Strasifikasi gender (gender stratification): ketimpangan dalam pembagian kekayaan,
kekuasaan dan priviliase antara laki-laki dan perempuan (Macionis)