ITIKAD BAIK PENGURUS Y AYASAN MENURUT UU YAYASANDALAM MENJALANKAN TUGASNYA PADA YAYASAN PENDIDIKAN TINGGI
Oleh :RIANA SUSMAYANTI
ABSTRACT
As asset organizer and ‘persona standi in judicio’ to a philantropic foundation,directors of higher-education foundation have important role in achieving the foundation’sobjectives. Therefore, it needs more comprehensive study on goodfaith indicator offoundation directors according to Foundation Legislation, and strong analysis and descriptiontowards implementation of director’s goodfaith in higher-education foundation in Malang.The study reveals that : 1) according to Foundation Legislation, performance indicator fordirector’s goodfaith are fiduciary duty, foundation statute and legislation, public regularityand moral ethics; 2) the indicators cannot be implemented strictly because they will obstructthe progress of the foundation itself.
Keyword : good faith, higher-education foundation, director, foundation legislationSebagai pengurus dan ‘persona standi in judicio’pada sebuah yayasan, Pengurus
Yayasan Pendidikan Tinggi memiliki peran penting dalam meraih tujuan yayasan. Olehkarena itu, perlu adanya penelitian dan analisa yang mendalam mengenai pelaksanaan itikadbaik pengurus yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang. Berdasarkan penelitian terhadapUU Yayasan dan implementasi di lapangan, tolak ukur itikad baik pengurus yayasan adalah‘fiduciary duty’’, Anggaran Dasar Yayasan dan UU Yayasan. Namun tolak ukur tersebuttidak dapat diterapkan secara kaku karena akan menghambat pencapaian tujuan yayasan itusendiri.
Kata kunci : Itikad Baik, yayasan pendidikan tinggi, Pengurus, UU Yayasan
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, tulisan inidimuat di Jurnal Penelitian dan Pengembangan Hukum, Arena Hukum, FakultasHukum Universitas Brawijaya, Malang, Nomor 1, Tahun 1, Januari 2008. ISSN 20126-0235
PENDAHULUAN
Undang-undang Dasar 1945 telah memberikan amanat pada pemerintah untuk
mencerdaskan ke-hidupan bangsa melalui jalur pendidikan1, namun dalam praktek-nya
kebutuhan akan pendidikan jauh melampaui kemampuan keuangan pemerintah untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan dengan harga semurah mungkin, namun
dengan kualitas setinggi mungkin.2 Hal ini memberikan pe-luang bagi yayasan atau badan
sosial lainnya untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam memberikan kesempatan bagi
semua warga negara untuk memperoleh pendidik-an yang sebaik-baiknya.
1 Pasal 31 (ayat 1,2,3 dan 4) UUD 19452 Kwik Kian Gie, Platform : Wahai Presiden Terpilih, Tolonglah Rakyat Dengan Tidak Menunda Agenda Kerja Ini !,
http://www.korwilpdip.org/17KWIK090604.htm, diakses 19 September 2005, hal. 7
Seperti pada bentuk yayasan lainnya, hukum perdata mensyarat-kan beberapa aspek
dalam mendiri-kan yayasan pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain :3 Aspek materiil
(pemisahan kekayaan, tujuan yang jelas, ada organisasi pengurus), dan aspek formil
(pendirian dalam akta otentik). Utrecht seperti dikutip oleh Moh. Soleh Djindang
menjelaskan yayasan sebagai tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaan
orang melainkan kekayaan badan hukum yang diberi tujuan tertentu. Yayasan menjadi badan
hukum tanpa anggota, tetapi memiliki pengurus (bestuur) yang mengurus kekayaan dan
penyelenggaraan tujuannya.4 Tidak dikenalnya anggota dalam yayasan erat hubungannya
dengan tujuan dan fungsi sosial yayasan. Menurut Rudhi Prasetya5, di dalam suatu yayasan
tidak perlu ada anggota, hanya harus ada pengurus yang bertanggungjawab terha-dap
pengelolaan yayasan.
Yayasan diwakili oleh Pengurus yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab
untuk itu, meskipun maksud dan tujuan dari yayasan itu ditetapkan oleh orang-orang yang
selanjutnya berdiri di luar yayasan tersebut.6 Ini dika-renakan Yayasan bukanlah milik
pendiri maupun pengurus, melain-kan keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang
yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan.7 Di sisi lain, kelangsungan
hidup yayasan bergantung pada dana. Harta yang dipisahkan oleh pendiri sebagai modal
awal, seringkali jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan deng-an tujuan sosial yang akan
dicapai, sehingga modal itu tidak selamanya cukup untuk membiayai operasional yayasan.
Secara finansial, kehidupan yayasan akan bergantung pada sumbangan donatur, bantuan dana
dari lembaga lain, maupun fasilitas dari pemerintah. Besarnya dana bantuan yang diperoleh
itu dapat membuka peluang untuk disalah-gunakan. Peran pengurus menjadi sangatlah vital,
karena yayasan sebagai badan hukum8 memerlukan pengurus yang bertindak untuk dan atas
nama yayasan, termasuk mengelola harta kekayaan yayasan dalam mencapai tujuan pendirian
yayasan tersebut.
Pada masa Orde Baru, keter-gantungan yayasan terhadap dana dan itikad baik
pengurusnya tersebut cenderung dijadikan alasan pembenar untuk melakukan penyelewengan
maksud dan tujuan yayasan. Hal ini tampak pada bidang usaha yayasan yang menyentuh hal-
3 Budi Untung et. al, Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Penerbit ANDI, Yagyakarta, 2002, hal. 17-194 Chidir Ali, Badan Hukum , Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 645 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 356 Chidir Ali, op. cit., hal. 657 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco, Bandung, 1993, hal. 1628 Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni,
Bandung, 2001, hal. 2.
hal yang sensitif.9 Sejumlah yayasan yang didirikan oleh kewenangan tertentu banyak
memanfaatkan fasilitas pemerintah, dalam bentuk monopoli, keringanan / pembebasan pajak,
preferensi berlebihan dalam pemberian order atau pekerjaan. Fasilitas tersebut antara lain
diberikan dalam bentuk :10 SK Menteri Keuangan No.333/KMK.011/ 1978, Keputusan
Presiden No. 90 / 1995, Keputusan Presiden Nomor 92 / 1996, dan Surat Menteri Keuangan
RI No. S-184/MK.04/1995. Pemberian berbagai fasilitas itu dilakukan melalui kebijakan
pemerintah maupun peraturan perundang-undangan sehingga tampak sah dan legal. Yayasan
menjadi sarana untuk menembus birokrasi dan ketatnya pengawasan teknis yang
menghambat kegiatan usaha. Lemahnya birokrasi dan pengawasan saat itu memungkinkan
yayasan untuk menghimpun dana melebihi peru-sahaan swasta maupun perusahaan besar
sekalipun.11 Michael R. J. Vatikiotis12 melihat bahwa pada akhirnya fasilitas yang diterima
yayasan tersebut ditujukan untuk mensejahterakan pengurus yayasan yang juga adalah orang
dekat pemerintah. Sebaliknya, dampak pemberian fasilitas ini sangat meru-gikan pihak lain
dari aspek pajak, pendapatan negara, keadilan (fair-ness), sehingga merusak sistem dunia
usaha atau perdagangan yang dibangun melalui regulasi serta kepatutan yang bersifat
umum.13
Saat itu, banyak Yayasan yang melakukan kegiatan usaha dengan orientasi laba,
membuat dokumen perusahaan, memiliki ijin usaha, dikenai pajak, menggaji pengurus dan
mencatat untung rugi dalam pembukuan. Anggaran Dasar yayasan bahkan menetapkan kedu-
dukan pendiri yang abadi, dapat diwariskan, mempunyai hak veto, dan lainnya.14 Belum
adanya undang-undang yayasan dan tidak banyak yuris-prudensi15 yang memutus mengenai
ya-yasan pada masa itu, menyebabkan per-tumbuhan yayasan di Indonesia bak jamur di
musim penghujan. Pada tahun 1996 sudah terdapat sekitar 3.413 yayasan di Indonesia dengan
total aset mencapai trilyunan rupiah.16 Bahkan banyak yayasan yang secara terang-terangan
9 Chatamarrasjid-1, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.3
10 Budi Untung, et. al, hal. v11 Chatamarrasjid-1, op. cit., hal. 512 Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto : Order, Development and Pressure for Change, Routledge,
London and New York, 1993, hal. 5113 Budi Untung, et. al, op. cit. hal. vi14 Ibid. hal. 7-815 Yurisprudensi yang mendukung kenyataan bahwa yayasan sebagai suatu badan hukum antara lain Putusan
Mahkamah Agung No. 152 K/Sip/1969, tanggal 26 November 1969 tentang Yayasan Sukapura dan Wakaf Sukapura,yurisprudensi Mahkamah Agung (Kep. No. 124/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973) tentang Yayasan Dana Pensiun HBM Indonesiadan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Juli 1975 No. 476/K/Sip/1975 tentang perubahan wakaf menjadiyayasan. (Lihat Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Republik IndonesiaNo. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 5 dan Chatamarrasjid Ais-2 , BadanHukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai suatu Badan Hukum Sosial), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.40
16 Chatamarrasjid-1, op. cit., hal. 3
menjadi holding company yang mendominasi kegiatan ekonomi melalui berbagai badan
usaha yang diciptakannya.17
Sebenarnya draft undang-undang mengenai yayasan telah tersimpan di Departemen
Kehakiman sejak tahun 1976, namun baru terealisasi setelah adanya peran International
Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intent (Memorandum of Economic and Financial
Policies Medium Term Strategy and Policies for 1999/2000 - 2000, tanggal 20 Januari 2000).
LoI ini mensyarat-kan pemberlakuan undang-undang mengenai yayasan sebagai salah satu
klausul yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia untuk menda-patkan bantuan
keuangan dari IMF. Penggalan LoI tersebut adalah :18
"…The Ministry of Law and Legislation will form a working group to make policyrecommendations and to draft legislation on foundations to be submitted to Parliament byend-April 2000. The legislation will require foundations to file public statement of activities,including audited accounts".19
Menindaklanjuti Letter of Intent tersebut, maka pada tanggal 6 Agustus 2001,
Pemerintah meng-undangkan Undang-undang Repub-lik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan. Berdasarkan pasal 11 ayat (1) UU No. 16 Tahun 200120, maka status badan
hukum yayasan yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het
Open Systeem van Rechts-personen) yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan
ditunjang yuris-prudensi, beralih pada sistem tertutup (de Gesloten systeem van
Rechtspersonen) sehingga yayasan menjadi badan hukum karena atau berdasarkan undang-
undang.21
Lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 ternyata tidak hanya berdampak positif pada
kepastian hukum, namun singkatnya waktu penyesuaian, beragamnya bentuk yayasan serta
belum ada peraturan pelaksana dari undang-undang ini, justru menjerat Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Organisasi Non-Politik (Ornop), yayasan-yayasan kecil dibawah bendera
agama, dan juga yayasan pendidikan.22
Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintahan Megawati Soekarno-putri
mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Beberapa
17 Budi Untung. et. al., hal. v18 Yappika : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, Sejarah Lahirnya UU Yayasan, www.dbyayasan.org/tentang/
lahirnya/asp.htm, diakses 19 April 200519 Menteri Hukum dan Perundang-undangan akan membentuk kelompok kerja untuk membuat kebijakan dan untuk
merancang perundang-undangan mengenai yayasan yang akan disahkan oleh Perlemen pada akhir bulan April 2000. Undang-undang tersebut mensyaratkan yayasan untuk membuat pernyataan publik mengenai kegiatan dan audit keuanganyayasan.(terjemahan oleh penulis)
20 Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 berbunyi : “Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirianYayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.”
21 Chatamarrasjid Ais-2, op. cit., hal. 2
ketentuan, penjelasan umum, dan penjelasan pasal dalam UU No. 16 Tahun 2001 diubah
untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan pemahaman yang
benar kepada masyarakat mengenai yayasan.23 Selanjutnya dalam tulisan ini UU No. 16
Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 disebut dengan UU Yayasan.
Guna lebih menjamin tercapainya tujuan Yayasan dan mengurangi ketergantungan
terha-dap sumbangan, UU Yayasan membuka peluang bagi Yayasan untuk membentuk
badan usaha yang melakukan kegiatan usaha.24 Me-mang tidak mustahil bila dari kegiatan
usaha itu yayasan menda-patkan keuntungan,25 namun keun-tungan itu semata-mata harus
diper-gunakan atau diperuntukkan bagi tujuan sosial dan kemanusiaan. Tujuan yayasan
diharapkan dapat lebih mudah tercapai karena adanya dukungan dana dari kegiatan usahanya,
sehingga kelangsungan hidup yayasan tidak lagi bergantung pada ada tidaknya sumbangan.
Penyelenggaraan jasa pendidikan secara komersil sebenarnya sangat bertolak
belakang dengan konsep ideal suatu yayasan pendidikan. Idealnya tujuan yayasan pendidikan
adalah untuk ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan masyarakat
adil dan makmur.26 Dimungkinkan-nya yayasan pendidikan memper-oleh keuntungan dari
pengelolaan institusi pendidikan swasta dan adanya kecenderungan yayasan pen-didikan
untuk melenceng dari tujuan semula, menunjukkan betapa pentingnya peran para pengurus
dalam mengelola suatu yayasan pendi-dikan. Sebagaimana diungkap-kan oleh Lord Acton:27
“Power tends to corrupt...,” bahwa kekuasaan itu rentan disalahgunakan, maka kewenangan
pengurus juga sanga rentan untuk diselewengkan. Oleh karena itu, UU Yayasan pada Pasal
35 ayat (2) mensyaratkan bahwa :
“Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untukkepentingan dan tujuan Yayasan.”
Beranjak dari uraian di atas, penulis merumuskan beberapa research question sebagai
berikut :
1. Apakah tolak ukur itikad baik menurut UU Yayasan sehingga dapat dikatakan bahwa
pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik ?
22 Yappika : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, loc. Cit23 UU No. 28 Tahun 2004 merubah Penjelasan Pasal 3, Substansi Pasal 5, 11, 12, 24, 32., 33, 34, 38, 44, 45, 46, 52, 58, 60,
68, 71, 72, menyisipkan Pasal 13 A, 72 A, 72 B, menghapus Pasal 25, 41, serta menghapus, mengganti, dan merubah frasetertentu pada Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2001.
24 Pasal 8 UU Yayasan : Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai denganmaksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yangberlaku.
25 Rochmat Soemitro, op. cit., hal. 16326 Rochmat Soemitro, loc. cit.27 Isrok, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana
Universitas Brawijaya Malang, 12 Oktober 2004, hal. 4
2. Apakah Pengurus Yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang pada prakteknya telah
menjalankan tugas sesuai dengan ukuran itikad baik menurut UU Yayasan ?
METODE PENELITIAN
Metode kualitatif28 dipilih karena fokus penelitian ini adalah kajian secara khusus
mengenai prinsip-prinsip itikad baik pengurus menurut UU Yayasan dan bagaimana
pelaksanaan itikad baik pengurus itu pada yayasan pendidikan tinggi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang bertujuan mengkaji secara
lebih mendalam tentang penerapan itikad baik pengurus dalam menjalankan tugasnya
menurut UU Yayasan pada yayasan pendidikan tinggi di kota Malang.
Berdasarkan observasi awal dan adanya ijin penelitian dari yayasan pendidikan yang
memenuhi kriteria tersebut, maka penulis menentukan 7 (tujuh) yayasan pendidikan tinggi
yang menjadi sampel dalam penelitian ini:Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia, Yayasan
Masjid Khadijah Malang, Yayasan Universitas Islam Malang, Yayasan STIBA, Yayasan
Pendidikan Sunan Giri, Yayasan Pradnya Paramita, dan Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka
Malang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tolak ukur itikad baik Pengurus ini penulis simpulkan berdasarkan kajian terhadap
pasal-pasal dalam UU Yayasan, khususnya yang berkaitan dengan Pengurus Yayasan.
Menurut penulis, Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila sesuai dengan fiduciary
duty, Anggaran Dasar dan UU Yayasan, serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan kesusilaan.
UU Yayasan pada Pasal 35 ayat (2) menekankan adanya itikad baik Pengurus dalam
kepengurusan Yayasan, yaitu : “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa diantara Yayasan dan Pengurus terdapat hubungan kepercayaan
(fiduciary relationship) yang menjadi dasar timbulnya fiduciary duty bagi Pengurus tersebut.
Hubungan fidusia (fiduciary relationship) melandasi terjadinya hubungan hukum dengan
standar perilaku yang mendasarkan dirinya pada nilai-nilai etika masyarakat. Pemberian
kepercayaan untuk mengemban fiduciary duty itu didasarkan pada fiduciary capacity dari
Pengurus tersebut.29 Hal ini menjadikan fiduciary duty sebagai tolak ukur pertama.
28 Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 1329 Munir Fuady, loc. cit.
Pengurus harus bona fide30 untuk kepentingan yayasan secara keseluruhan, sesuai
dengan tujuan dan maksud yayasan, serta bukan untuk kepentingan pribadi pengurus.31
Pengurus harus memiliki kualifikasi itikad baik yang ditekankan pada substantive specity32
standar perilaku. Hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan
Pengurus merupakan hubungan dimana Pengurus berkewajiban bertindak untuk kepentingan
Yayasan sebatas lingkup hubungan kepercayaan tersebut. Batasan ini dituangkan dalam
Anggaran Dasar Yayasan dan menjadikan tanggung jawab pengurus juga terbatas pada
Anggaran Dasar tersebut. 33 Inilah yang disebut dengan limited liability and duties (kewajiban
dan tanggung jawab yang terbatas). Berdasarkan UU Yayasan, Pengurus dilarang mengikat
Yayasan sebagai penjamin utang, mengalihkan Yayasan tanpa persetujuan Pembina, dan
membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.34
Adanya fiduciary relationship antara Yayasan dan Pengurus menjadikan Pengurus
sebagai pusat dari segala aspek dan kegiatan yayasan.35 Keberadaan Pengurus adalah demi
pencapaian kepentingan dan tujuan Yayasan, sehingga standar Pengurus dalam membuat
keputusan adalah untuk kepentingan Yayasan dan keputusan dibuat untuk tujuan yang benar
sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.36 Bila Pengurus meng-untungkan diri sendiri,
pihak ketiga atau merugikan Yayasan maka perbuatan itu memperlihatkan tidak adanya itikad
baik dari Pengurus tersebut.
Guna menjaga fiduciary duty dan fiduciary relatonship dan menghindari conflict of
interest, maka UU Yayasan melarang Pengurus untuk rangkap jabatan dan menerima
kompensasi yang dapat dinilai dengan uang. Mengenai rangkap jabatan, pengurus dilarang :
1) merangkap sebagai Anggota Direksi (Pengurus), Anggota Dewan Komisaris (Pengawas)
dari badan usaha yayasan, 37 2)Merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Ini dimaksudkan
untuk menghindari konflik internal Yayasan.38
Mengenai larangan rangkap jabatan tersebut, hal berbeda berlaku bagi Pendiri
Yayasan. UU Yayasan tidak melarang diangkatnya Pengurus dari Pendiri. Hal ini didasarkan
30 Menurut Black’s Law Dictionary, bona fide berarti in or with good faith, honestly, openly, and sincerely, without deceit orfraud,etc. Sedangkan PL Wery menyamakan istilah bona fide dengan itikad baik, yaitu para pihak dalam hubungan kepercayaanharus saling bertindak berdasarkan kepatutan, kejujuran, memperhitungkan kepentingan pihak lain dan memegangperkataannya dalam hubungan kepercayaan tersebut. Lihat Ridwan Khairandy, loc.cit
31 Chatamarasjid-2, op. cit., hal. 9532 Ridwan Khairandy, hal. 13833 Paal 37 ayat (2) UU Yayasan34 Pasal 37 ayat (1) UU Yayasan35 Chatamarasjid-1, op. cit., hal. 6336 Ibid., hal. 9637 Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan38 Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan
pada klausul Pendiri dapat diangkat sebagai Pembina,39 sehingga dimungkinkan ada pendiri
yang tidak diangkat sebagai Pembina. Pendiri yang tidak diangkat sebagai Pembina ini justru
dapat diangkat sebagai Pengurus. Keadaan ini bisa menimbulkan conflict of interest,
khususnya mengenai harta kekayaan Pendiri yang dipisahkan di awal pendirian yayasan. Bila
kemudian hari Pendiri yang menjadi Pengurus itu, atau ahli warisnya menghendaki untuk
mengambil kembali kekayaan yang dipisahkan tersebut, maka akan terjadi benturan antara
kepentingan pribadi Pengurus tersebut dan Yayasan.
Terhadap kemungkinan adanya conflict of interest tersebut, UU Yayasan telah
melarang Pengurus yang diangkat sebagai Pendiri untuk mendapatkan kembali harta
kekayaan yang dipisahkannya waktu pendirian yayasan dulu.40 Akibat adanya larangan untuk
mengalihkan atau membagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji,
upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pengurus,
maka Pendiri yang menjadi Pengurus, dan ahli warisnya, tidak dapat mengambil kembali
kekayaan yang telah dipisahkan tersebut. Demikian penting adanya pemisahan modal yang
nyata sedemikian rupa, sehingga orang yang menghendaki pemisahan itu (Pendiri) maupun
para ahli warisnya tidak lagi mempunyai kekuasaan atas kekaya-an yang dipisahkan itu.
Tindakan pemisahan tersebut menyebabkan Pendiri maupun ahli waris tidak dapat
mengambil kekayaan yang telah dipisahkan tersebut, tanpa diketahui orang lain, dan tanpa
adanya suatu penghalang.
Selanjutnya mengenai larangan menerima kompensasi yang dapat dinilai dengan
uang, Pengurus dilarang : 1) Menerima hasil kegiatan usaha yang diperoleh dari pendirian
badan usaha Yayasan, 2) Menerima gaji, upah, honorarium, maupun bentuk lain yang dapat
dinilai dengan uang.41
Kegiatan Yayasan adalah untuk sosial, kemanusiaan dan keagamaan, sehingga
kekayaan yayasan tidak boleh dipindah-tangankan pada siapa pun juga selain untuk tujuan
idiil dan sosial (tenzij de uit keringen een idieele of sociale strecking hebben).42 Bahwa untuk
mencapai tujuan yayasan itu pengelolaannya dapat diserahkan pada suatu badan hukum yang
telah ada maupun badan hukum baru guna keperluan pencapaian tujuan yayasan tersebut.43
39 Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan : Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalahorang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyaidedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan : Ketentuan dalam ayat inidimaksudkan bahwa Pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota Pembina dapat dicalonkan oleh Pengurusatau Pengawas
40 Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan41 Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan42 Rudhi Prasetya, op. cit., hal. 3643Chidir Ali, op.cit, hal.88-89 dan Chatamarasjid-1, op.cit., hal.19
Oleh karena itu kegiatan usaha Yayasan haruslah menunjang tercapainya maksud dan tujuan
Yayasan tersebut, bukan sebaliknya.44
Tolak ukur kedua adalah Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak
bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dan Anggaran Dasar. Disamping UU
Yayasan, kewenangan bertindak Pengurus dibatasi pula oleh maksud dan tujuan Yayasan di
dalam Anggaran Dasar. Anggaran Dasar hanya dapat diubah sesuai dengan aturan dalam
Anggaran Dasar itu sendiri. Jika ketentuan mengenai perubahan tersebut tidak diatur dalam
Anggaran Dasar, maka Undang-undang Yayasan mengatur mengenai perubahan Anggaran
Dasar ini.45
Berdasarkan Pasal 71 UU Yayasan, Yayasan yang telah ada sebelum UU Yayasan,
harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan.46 Yayasan yang telah
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan
kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat bahwa
Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan paling
lambat tanggal 6 Oktober 2008. Penyesuaian ini wajib diberitahukan kepada Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan
penyesuaian. Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan, tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat
dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan / pihak yang
berkepen-tingan. Pada saat UU Yayasan mulai berlaku, Anggaran Dasar Yayasan yang belum
disesuaikan dengan UU Yayasan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang Yayasan.47
Bila Anggaran Dasar Yayasan telah sesuai atau tidak bertentangan dengan UU
Yayasan, maka pengurus harus menjalankan tugas sesuai dengan Anggaran Dasar dan UU
Yayasan tersebut. Pelaksanaan tugas tersebut terkait dengan kewajiban dan hak pengurus,
sanksi terhadap pengurus, dan perkecualian-perkecualian yang membebaskan pengurus dari
tanggung jawab. Di satu sisi, pengurus berhak mendapatkan kembali biaya atau ongkos yang
dikeluarkannya dalam rangka menjalankan tugas Yayasan.48 Di sisi lain kewajiban-kewajiban
pengurus yang termaktub di dalam UU Yayasan adalah :
44 Pasal 3, Pasal 7, Pasal 8 UU Yayasan45 Chatamarasjid-3, op. cit, hal. 19446 Pasal 71 UU Yayasan47 Pasal 72 A UU Yayasan48 Pasal 6 UU Yayasan
a) Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap perbuatan hukum yang
dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan
hukum menurut Undang-undang Yayasan.49
b) Pengurus dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu pendirian kepada Menteri paling
lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu pendirian Yayasan yang
didirikan untuk jangka waktu tertentu.50
c) Pengurus menyampaikan pem-beritahuan tertulis mengenai penggantian Pengurus kepada
Menteri paling lambat 30 (tiga) puluh hari sejak tanggal penggantian tersebut.51
d) Pengurus mengemban asas persona standi in judicio52.
e) Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat
Pembina, bila Yayasan tidak lagi mempunyai Pembina.53
f) Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kepailitan yang
diakibatkan kesalahan / kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk
menutup kerugian akibat kepailitan tersebut.54
Terhadap pasal ini terbuka interpretasi bahwa tanggung jawab secara tanggung
renteng dilakukan oleh Pengurus hanya bila kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup
kerugian akibat kepailitan tersebut. Seharusnya klausul “dan kekayaan yayasan tidak cukup
untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut” dalam Pasal 39 ayat (1) dihapus sehingga
pasal ini mendukung ketentuan dalam pasal 35 ayat (5).55
Berdasarkan pasal 35 ayat (5) ini, maka anggota Pengurus yang terbukti bersalah atau
lalai mengakibatkan kepailitan yayasan, dibebani tanggung jawab secara tanggung renteng.
Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepailitan yayasan tersebut adalah suatu keadaan
dimana yayasan tersebut tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya (bangkrut)
berdasarkan putusan hakim.56 Dengan demikian, bila yayasan telah dinyatakan pailit berarti
kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan, sehingga klausul
“dan kekayaan … kepailitan tersebut” dalam Pasal 39 ayat (1) tidak diperlukan.
49 Pasal 13 A UU Yayasan : Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasanmemperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng
50 Pasal 16 UU Yayasan51 Pasal 33 UU Yayasan52 Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan : Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan
dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan53 Pasal 28 ayat (4) UU Yayasan54 Pasal 39 ayat (1) UU Yayasan : Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kerugian tersebut
55 Pasal 35 ayat (5) UU Yayasan
UU Yayasan juga memberikan beberapa perkecualian bagi Pengurus :
a) Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium bila Pengurus Yayasan tersebut bukan
pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas serta
melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. Penentuan mengenai
gaji, upah, atau honorarium ini ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan
kekayaan Yayasan dan dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar.57
b) Anggota Pengurus tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
Yayasan, bila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya.58
c) Organisasi yang terafiliasi dengan Pengurus dapat mengadakan perjanjian dengan Yayasan
dengan syarat perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan
Yayasan.59
Sebuah yayasan tidak dapat begitu saja dibubarkan bila pengurus melakukan
kesalahan atau kelalaian. Sangsi diberikan hanya karena pengurus terbukti menerima kontra
prestasi dari yayasan.60 Sangsi dalam UU Yayasan meliputi :
a) Anggota Pengurus yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan, tidak dapat
diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap.61
b) Anggota Pengurus yang menerima gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembali-kan uang, barang, atau
kekayaan Yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Tolak ukur ketiga adalah Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini dikarenakan tujuan yayasan
56 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 33657 Pasal 5 UU Yayasan : (2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran
Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium dalam hal Pengurus Yayasan : bukan pendiri Yayasan dan tidakterafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh; (3) Penentuanmengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaanYayasan
58 Pasal 39 ayat (2) UU Yayasan59 Pasal 38 UU Yayasan60 Pasal 70 UU Yayasan : Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Selain pidana penjara, anggota organ Yayasan tersebut juga dikenakan pidanatambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan Yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
61 Pasal 39 ayat (3) UU Yayasan
adalah sosial dan kemanusiaan, serta keberadaan yayasan ditujukan bagi sekelompok orang di
luar yayasan yang mendapat manfaat karena diberi bantuan atau sumbangan. Adanya manfaat
dalam kegiatan yayasan merupakan suatu keharusan, karena yayasan bersifat sosial dan idiil
dan kegiatannya ditujukan untuk tujuan sosial dan idiil itu sendiri.62 Pemilihan nama yayasan
harus dilakukan dengan cermat, karena Yayasan tidak boleh memakai nama yang
bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.63 Yayasan dapat dibubarkan
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.64
Hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus menjadi
dasar timbulnya fiduciary duty bagi Pengurus tersebut. Secara teoritis, fiduciary capacity
untuk mengemban fiduciary duty itu dapat dilihat dari fakta bahwa kekayaan yang diurus
tersebut bukanlah miliknya, namun suatu tanggungjawab yang dipercayakan kepadanya.
Kapasitas yang demikian seharusnya ada pada kriteria Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi.
Kriteria Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi adalah personal yang harus memiliki
itikad baik, bertindak berdasarkan kepatutan, kejujuran, dan tidak mengutamakan
kepentingan pribadi pengurus dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan pendidikan tinggi.
Pada umumnya Yayasan Pendidikan Tinggi di Malang memiliki tujuan utama mencerdaskan
kehidupan bangsa, namun latar belakang, visi dan misi Yayasan yang beragam, menyebabkan
kriteria dalam pemilihan Pengurus Yayasan menjadi berbeda-beda. Berdasarkan fakta
empirik, pertimbangan yang dijadikan dasar pengangkatan pengurus adalah : pengurus
diangkat dari pendiri atau personel yang terafiliasi65 dengan Pendiri (3 yayasan), memiliki
latar belakang profesi yang sama (1 yayasan), dan memiliki latar belakang organisasi yang
sama (3 yayasan). Pertimbangan yang menjadi dasar alasan Pengurus diangkat dari Pendiri
atau personel yang terafiliasi dengan Pendiri antara lain kurangnya proses kaderisasi66,
pendiri kurang dapat mempercayai orang lain untuk mengelola aset yayasan yang
berasal dari pendiri tersebut, kesulitan mencari orang dengan misi dan visi yang sama,
kesulitan mencari orang yang mau bekerja sungguh-sungguh dengan sukarela (tidak digaji)67,
dan pertimbangan bahwa mengangkat pengurus yang memiliki hubungan keluarga atau
62 Pasal 8 UU Yayasan63 Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan64 Pasal 62 UU Yayasan65 Terafiliasi adalah hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara
horizontal maupun vertikal. (Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Yayasan).66 Wawancara dengan Bpk. Fatah Ibrahim, Ketua Yayasan Masjid Khadijah, 22 Desember 2005 dan Bpk. Nur Rahman,
Bendahara Yayasan Masjid Khadijah, 23 Januari 200667 Hasil wawancara Ibu Muryati, Bendahara YPPI, 23 Februari 2006
kekerabatan dapat mempermudah pengelolaan institusi.68 Hal ini diakui memang berakibat
pada terhambatnya proses regenerasi, namun pertimbangan utamanya adalah lebih baik
bekerja sama dengan orang yang telah dikenal baik, sehingga dapat menjamin tercapainya
tujuan yayasan. Orang luar sebagai pengurus dikhawatirkan dapat mengkhianati kepercayaan,
menyalahgunakan kewenangan, atau mencari keuntungan dari yayasan pendidikan tinggi.
Selanjutnya, latar belakang profesi menjadi pertimbangan pengangkatan Pengurus.
Hal ini dikarenakan Yayasan pendidikan dikelola oleh pensiunan dari instansi tertentu,
sehingga personel pengurus telah dikenal baik dan juga memiliki ikatan serta loyal dengan
korps / institusi / instansi tempat bekerja sebelumnya.69 Loyalitas tersebut menjadi dasar
hubungan kepercaya-an (fiduciary relationship) antara Yayasan dan Pengurus. Berbeda
dengan dasar pertimbangan lainnya, Pengurus yang memiliki latar belakang organisasi yang
sama dianggap layak dipercaya mengemban fiduciary duty tersebut karena yayasan
pendidikan tinggi ini memang berlatar belakang organisasi keagamaan tertentu,70 antara lain
organisasi massa yang berbasis ahlusunnah waljama’ah, pesantren, dan ikatan pengajian
muslimah. Berdasarkan kriteria religiusitas, personel telah dikenal sebelumnya, dan kemauan
berjuang di jalur pendidikan tanpa imbalan, maka diharapkan pengurus dapat mewujudkan
maksud dan tujuan yayasan. Pada yayasan-yayasan ini hubungan kepercayaan (fiduciary
relationship) ini didasarkan pada motif keagamaan.
Mengenai UU Yayasan yang menetapkan larangan bagi Pengurus untuk merangkap
jabatan, telah berusaha diakomodasi oleh Yayasan Pendidikan Tinggi melalui Anggaran
Dasarnya. Berdasarkan fakta empirik, terdapat 4 (empat) yayasan yang Anggaran Dasarnya
melarang pengurus untuk rangkap jabatan, dan 3 (tiga) yayasan tidak mencantumkan
larangan tersebut. Dicantumkannya klausul larangan rangkap jabatan bagi pengurus di dalam
ketentuan Anggaran Dasar yayasan, bukan berarti penerapannya berjalan demikian. Hanya
ada 1 (satu) yayasan pendidikan tinggi yang menerapkan larangan rangkap jabatan tersebut,
namun tidak adanya pengurus yang rangkap jabatan ini bukan karena mematuhi larangan
tersebut, tetapi lebih karena para pengurus yang sebelumnya telah rangkap jabatan itu telah
pensiun atau meninggal dunia sehingga digantikan oleh pengurus baru. Pada 3 (tiga) yayasan
pendidikan lainnya penulis menemukan bahwa masih terjadi rangkap jabatan, yaitu pendiri
68 Wawancara dengan Bpk. Aji, Ketua STIMIK Pradnya Paramitha, 6 Mei 200669 Wawancara dengan Bpk. Toegino, Wakil Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka Malang, 1 Juni 200670 Wawancara dengan Bpk. Nur Rahman, Bendahara Yayasan Masjid Khadijah, 23 Januari 2006, Ibu Ida, Karyawan
Yayasan Universitas Islam Malang, 22 Februari 2006, dan Bpk. Ahmad Syafi’I, Ketua Sunan Yayasan Pendidikan Sunan Giri, 9Mei 2006.
menjabat sebagai pengurus yayasan, juga merangkap sebagai pengurus badan pekerja harian
(BPH) yayasan sekaligus menjadi pejabat struktural di pendidikan tinggi.
UU Yayasan memang menyatakan bahwa Pengurus Yayasan dapat membentuk badan
pelaksana harian71, dan banyak yayasan pendidikan tinggi lainnya yang menggunakan badan
pelaksana harian dengan personel yang sama dengan pengurus yayasan. Mengenai rangkap
jabatan pengurus yayasan sebagai pejabat struktural di perguruan tinggi seharusnya hal ini
tidak dibenarkan, karena UU Yayasan melarang pengurus yayasan untuk merangkap jabatan
pada badan usaha yayasan,72 dimana badan usaha pada yayasan pendidikan tinggi adalah
institusi perguruan tinggi swasta. Hal yang berbeda terjadi pada 3 (tiga) yayasan yang tidak
mencantumkan klausul larangan rangkap jabatan pada Anggaran Dasarnya. Pada yayasan
yang pertama, Anggaran Dasar tidak mencantumkan larangan rangkap jabatan, tetapi justru
tidak ada pengurus yayasan yang rangkap jabatan. Pengurus diangkat oleh Pembina dari
kalangan pemerhati pendidikan dan benar-benar dipisahkan dari struktur pejabat lembaga
perguruan tinggi. Yayasan ini menggunakan struktur yang sederhana tanpa adanya badan
pelaksana harian yayasan. Pada yayasan yang kedua, Anggaran Dasar tidak memuat larangan
rangkap jabatan, namun justru memperbolehkan pengurus yayasan merangkap sebagai badan
pelaksana harian yayasan. Pada yayasan yang ketiga, Anggaran Dasar yayasan tidak memuat
larangan rangkap jabatan, dimana pendiri duduk sebagai pengurus yang sekaligus pejabat
struktural perguruan tinggi.
Selanjutnya, kegiatan Yayasan adalah untuk sosial, kemanusiaan dan keagamaan,
sehingga kekayaan yayasan harus diperuntukkan bagi tujuan idiil dan sosial (tenzij de uit
keringen een idieele of sociale strecking hebben).73 Oleh karena itu kegiatan usaha Yayasan
harus menunjang maksud dan tujuan Yayasan tersebut.74 Larangan bagi pengurus untuk
memperoleh keuntungan materi seperti dikemukakan dalam UU Yayasan, menunjukkan
bahwa Pengurus adalah orang-orang yang beritikad baik dalam menjalankan tugasnya, suka
rela, tanpa pamrih dan tidak mengharapkan keuntungan materiil atas kerja kerasnya.
Ternyata dari penelitian penulis, hanya 1 (satu) Anggaran Dasar yayasan yang
mencantumkan larangan bagi Pengurus untuk menerima imbalan/keuntungan yang bersifat
materi dari yayasan. Anggaran Dasar lainnya yang tidak menyatakan secara tegas larangan
tersebut, memberi kesan bahwa ada Pengurus yang mendapat kontra prestasi dari yayasan
yang bersangkutan.
71 Pasal 35 ayat (3) UU Yayasan72 Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan73 Rudhi Prasetya, loc. Cit.74 Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 UU Yayasan
Pengurus pada dasarnya adalah pekerja sosial, sehingga tidak seharusnya memperoleh
kontra prestasi dari yayasan. Konsep ideal tersebut bertolakbelakang dengan kenyataan
bahwa orang bekerja untuk mendapatkan nafkah. Pada beberapa yayasan pendidikan tinggi
yang telah berubah menjadi perkumpulan, pengurus mendapat-kan kompensasi dengan
kesepakatan bila penerimaan mahasiswa rendah sehingga perkumpulan merugi, maka gaji
pengurus dipotong dan dipergunakan untuk membayar gaji pekerja harian.75 Mengenai hal
tersebut, pemberian kontra prestasi ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi dari
Pengurus dan yayasan itu sendiri. Donald Young menyatakan : The direction of a
philantropic foundation, as its operation are normally conducted, should be accepted as a
social obligation by people qualified for directorships. Now, I can readily imagine
foundations which are so large and require so much of the time of their directors that there
should be some compensation… So, I don’t think that this is a matter of black or white…76
Menurut penulis, bila seorang Pengurus tidak dapat lagi mengerjakan pekerjaan lain,
atau seluruh waktunya untuk yayasan, kiranya layak ia mendapat kompensasi. Oleh karena
UU Yayasan melarang pemberian kontra prestasi bagi Pengurus, maka jalan keluarnya adalah
dengan mengangkat pelaksana kegiatan atau Pengurus harian yang oleh UU Yayasan diberi
hak untuk menerima imbalan atau kontra prestasi. Bila Pengurus sekaligus adalah pelaksana
kegiatan atau Pengurus harian, maka ia berhak untuk menerima imbalan asal dia tidak
terafiliasi dengan pendiri dan organ yayasan lainnya. Pengurus bisa mendapat pengganti-an
biaya yang dikeluarkan karena melakukan pekerjaan untuk kepentingan yayasan.
Yayasan pendidikan tinggi di kota Malang telah berusaha menyesuaikan Anggaran
Dasarnya dengan UU Yayasan namun dunia pendidikan tinggi secara keseluruhan masih
menunggu diundangkannya Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan. RUU
tersebut dikhawatirkan akan mengubah fungsi yayasan pendidikan tinggi, sehingga yayasan
pendidikan tinggi harus berkali-kali mengubah Anggaran Dasar untuk menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi yang silih berganti. Menurut
penulis, beragamnya peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi yang harus
menjadi acuan bagi yayasan pendidikan tinggi justru akan membuat yayasan pendidikan
tinggi tersebut mencari lubang-lubang dan menyiasati secara tidak jujur pelaksanaan
peraturan tersebut. Yayasan pendidikan menjadi “tricky” dan penuh tipu daya, berusaha
berkelit dari aturan yang menghalangi pencapaian tujuan yayasan. Hal ini justru akan
menyelewengkan itikad baik pengurus dalam melakukan kepengurusan yayasan.
75 Wawancara Bpk Marno, karyawan Perkumpulan Keluarga Gajayana, 23 Februari 200676 Chatamarasjid-1, loc. cit.
Berdasarkan fakta empirik, yayasan pendidikan tinggi di Malang memberikan
keuntungan materiil kepada pengurus dalam bentuk tunjangan 1 (satu) yayasan, gaji 3 (tiga)
yayasan, ganti biaya operasional 2 (dua) yayasan, dan hanya 1 (satu) yayasan yang tidak
memberikan keuntungan materiil bagi pengurusnya. Pada yayasan pendidikan tinggi yang
memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya, meskipun UU Yayasan melarangnya, justru
yayasan pendidikan tinggi tersebut berkembang secara positif dan dapat memberikan jasa
pendidikan tinggi yang lebih baik bagi mahasiswanya dibandingkan dengan yayasan
pendidikan tinggi yang tidak memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya. Ternyata
pemberian kontra prestasi dapat menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan, sehingga
pengelolaan harta awal yayasan yang ditujukan untuk memajukan pendidikan77, dapat
tercapai. Pada yayasan pendidikan tinggi yang tidak memberikan kontra prestasi bagi
pengurusnya justru tidak berkembang sehingga tidak dapat memberikan jasa pendidikan
tinggi sebaik yayasan pendidikan tinggi yang memberikan kontra prestasi bagi pengurusnya.
Yayasan pendi-dikan tinggi yang tidak memberikan kompensasi bagi pengurus ternyata
bukan karena mematuhi UU Yayasan, tetapi lebih karena kesulitan pendanaan. Menurut
penulis, larangan rangkap jabatan dan pemberian kompensasi tidaklah mencerminkan
fiduciary duty. Asalkan tujuan yayasan tercapai dan selama pengurus berada dalam limited
liabity and duties serta dapat mencapai tujuan yayasan, maka itulah ukuran fiduciary duty
yang sebenarnya. Jadi, larangan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara kaku, karena pada
kenyataannya pengurus yang melanggar larangan tersebut justru berhasil mengelola harta
kekayaan yayasan sesuai dengan Teori Harta Kekayaan Bertujuan. Tercapainya maksud dan
tujuan yayasan pendidikan itulah yang menjadi esensi itikad baik pengurus. Itikad baik
pengurus yayasan akan tampak pada berhasilnya yayasan pendidikan tinggi itu melakukan
misinya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya Pengurus menja-lankan tugas dengan itikad baik bila tidak bertentangan
dengan Undang-undang Yayasan dan Anggaran Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
berlakunya UU Yayasan, maka Anggaran Dasar Yayasan tidak boleh bertentangan dengan
UU Yayasan tersebut. Berdasarkan Pasal 71 UU Yayasan, Yayasan yang telah ada sebelum
UU Yayasan, harus menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Yayasan.78 Ternyata
waktu pemberlakuan UU Yayasan yang masih 2 (dua) tahun mendatang, maka hanya 1 (satu)
yayasan pendidikan tinggi yang telah mengajukan permohonan pengesahan status badan
hukum yayasan pada Kanwil Hukum dan HAM di Surabaya.
77 Teori Harta Kekayaan Bertujuan
Akhirnya, Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik bila tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Pada yayasan pendidikan tinggi di Kota Malang,
tujuan yayasan adalah sosial dan kemanusiaan, yaitu memberikan pendidikan tinggi.
Pemilihan nama yayasan pendidikan tinggi dilakukan dengan cermat, karena Yayasan tidak
boleh memakai nama yang bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.79 Pada
yayasan pendidikan tinggi, pengurus yayasan pendidikan mempunyai kewajiban sosial dari
pilihan mereka sendiri untuk berkecimpung dalam dunia yayasan pendidikan yang didasarkan
karena panggilan hati nurani.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengurus dapat dikatakan menjalankan tugas dengan itikad baik bila sesuai dengan
fiduciary duty, Anggaran Dasar dan UU Yayasan, serta ketertiban umum dan kesusilaan.
Tetapi larangan rangkap jabatan dan pemberian kontra prestasi ternyata tidak dapat dijadikan
cerminan terlaksananya fiduciary duty. Berdasarkan fakta empirik, pengurus yayasan telah
terikat dengan limited liability and duties di dalam Anggaran Dasar dan UU Yayasan,
sehingga walau terjadi rangkap jabatan dan pengurus menerima kontra prestasi, namun
pengurus tetap mengemban fiduciary duty dan terbukti berhasil mencapai maksud dan tujuan
yayasan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan teori harta kekayaan bertujuan.
Oleh karena itu, penulis menyarankan perlu segera dibentuk peraturan pelaksana UU
Yayasan yang mengakomodasi kebutuhan beragam bentuk yayasan di Indonesia, khususnya
yayasan pendidikan tinggi, dan melakukan sosialisasi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKAAis, Chatamarrasjid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung-------, 2002, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis mengenai Yayasan sebagai suatu
Badan Hukum Sosial), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung-------, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, PT
Citra Aditya Bakti, BandungAli, Chidir, 1999, Badan Hukum, Penerbit Alumni, BandungArikunto, Suharsini, 1988, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
JakartaFord, Cf. HAJ; Austin, RP & Ramsay, IM, 1999, Ford’s Principles of Corporations Law, 9th
edition, Sydney, ButterworthsFuady, Munir, 2002, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
78 Pasal 71 UU Yayasan79 Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan menyatakan Yayasan tidak boleh memakai nama yang : telah dipakai secara sah oleh Yayasan
lain; atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Gie, Kwik Kian, 2005, Platform : Wahai PresidenTerpilih, Tolonglah Rakyat Dengan TidakMenunda Agenda Kerja Ini, www.korwilpdip.org/17KWIK090604.htm
Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung
Isrok, 2004, Politik, Kekuasaan dan Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Program StudiIlmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 12 Oktober 2004
Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana,Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta
Machdhoero, Ach. Mohyi, 1993, Metode Penelitian, UMM Press, MalangMaria, Titi, 2004, Liability Aspects of Corporate Group Structures : A Primer for Indonesian
Legal Practioners, PT. Tata Nusa, JakartaMoleong, Lexy J., 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, BandungPrasetya, Rudhi, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti,
BandungProdjodikoro, Wirjono, 1995, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur, BandungRahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, BandungRido, Ali, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, BandungSoedarmadji, 2002, Eksistensi Ajaran Itikad Baik dalam Suatu Perjanjian, Tesis, Program
Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Merdeka MalangSoekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, JakartaSoemitro, Rochmat, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, PT. Eresco,
BandungSoemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,
JakartaSudarsono, 1992, Kamus Hukum, Rineka Cipta, JakartaSuhardiadi, Arie Kusumastuti Maria, 2002, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, IndonesiaLegal Center Publishing, Jakarta
Suryabrata, Sumadi, 1995, Metodologi Penelitian, Rajagrafindo, JakartaUndang-undang Dasar 1945Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.Untung, Budi, et. al, 2002, Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Penerbit
ANDI, YagyakartaVatikiotis, Michael R. J., 1993, Indonesian Politics Under Soeharto : Order, Development
and Pressure for Change, Routledge, London and New YorkYappika : Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi, Sejarah Lahirnya UU Yayasan,
http://www.dbyayasan.org/tentang/lahirnya/asp.htm, diakses 19 April 2005