Transcript
Page 1: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

GLOBALISASI

Globalisasi menjadi satu kata yang nyaring terdengar di seluruh dunia pada abad

21 ini. Pro–kontra pun mewarnai perjalanan globalisasi sebagai sebuah

fenomena perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif,

dan mempengaruhi banyak orang (lintas wilayah - lintas negara) yang

mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita. Dunia memang berubah dan

globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world) seolah tanpa batas.

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi yang memudahkan

pertukaran informasi, globalisasi makin tidak dapat dihindari, suka tidak suka

globalisasi akan terus berjalan. Pertukaran ide makin instan, tidak hanya ide

dalam artian ideologi, tetapi juga ide pertukaran manusia, ide pertukaran

ekonomi, ide pertukaran materi, yang semua terjadi makin mudah dan cepat.

Bahkan transaksi keuangan lintas-benua semakin dimungkinkan. Dalam hitungan

detik, sejumlah uang dengan nominal sangat besar dapat menyeberang benua.

Dengan menguasai kapital, kita bisa melakukan apa saja dengan waktu sangat

cepat dan cara sangat mudah.

Ini dibuktikan dengan data dari Laporan Pembangunan Manusia UNDP (1999)

yang memperlihatkan negara-negara industri –mempunyai capital besar- saat ini

memegang 97% dari total jumlah paten diseluruh dunia. Sumber yang sama

mengungkapkan adanya jurang perbedaan pendapatan antara orang terkaya

kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata pendapatan

nasional perkepala- meningkat dari 30 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun

1960 menjadi 74 orang miskin untuk 1 orang kaya ditahun 1977. Dari data

tersebut memperlihatkan bahwa ada persoalan dengan globalisasi.

1 | P a g e

Page 2: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Beragam pertanyaan bisa dimunculkan terkait dengan hal tersebut. Apa dan

bagaimana sesungguhnya globalisasi –secara khusus globalisasi ekonomi karena

terkait dengan kapital-, dampaknya terhadap masyarakat, dan kedaulatan

berbangsa dan bernegara menarik untuk didiskusikan dan dikritisi. Pertanyaan

lebih khusus selanjutnya terkait dengan peran negara. Apakah globlisasi ini

mengubah atau menggeser peran negara dalam pengelolaan ekonomi? Dan

sejauhmana pergeseran itu terjadi?

Globalisasi adalah pasar yang mengglobal atau kapitalisme global. Pasar adalah

nama lain dari kapitalisme dan kapitalisme global adalah perubahan nama dari

kapitalisme internasional, karena kapitalisme secara kuantitatif telah membesar

secara luar biasa. Kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak,

terintegrasi dan menyatu, menggantikan ekonomi nasional dan regional.

Globalisasi semacam ini mengandung dua ciri utama, yaitu :

1. Multilateralisme, kekuasaan badan-badan antar pemerintah dan

koherensi atau kerjasama erat diantara World Bank-IMF-WTO.

2. Transnasionalisasi, menguatnya monopoli dan konsentarsi modal dan

kekuasaan ekonomi kepada korporasi besar dunia atau trans national

corporation (TNC) atau multi national corporation (NMC).

Pengertian globalisasi tersebut berujung pada prinsip dan paham ekonomi neo-

liberal, yang digagas dan dikembangkan oleh teori kontemporer Negara yang

menjadi salah satu prespektif dalam mainstream theories on state, yaitu

neoliberal prespective dikembangkan oleh Albert Fislow. Pokok pandangan dari

neoliberalisme bahwa kebebasan individu dapat berjalan sepenuhnya dengan

campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi.

Pandangan ini mengadung beberapa poin, yaitu:

2 | P a g e

Page 3: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

1. Aturan pasar yang membebaskan perusahaan dari setiap keterikatan

yang dipaksakan pemerintah,

2. Memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial,

3. Deregulasi untuk mendukukung pasar pasar bebas,

4. Privatisasi ekonomi,

5. Menghapus konsep barang-barang publik atau komunitas, dan

6. Membuka ekonomi nasional untuk perdagangan internasioanal dan

investasi asing.

Teori neo-liberal yang meminimalkan peran negara dalam pengelolaan ekonomi

terlahir dari sejarah panjang pemikiran-pemikran yang digagas dan

dikembangkan para pemikir dan ilmuwan politik sekaligus ekonom. Ini berbeda

dengan teori kontemporer lain dengan prespektif struktural yang menekankan

pada cara negara menyediakan infrastruktur dan suprastruktur bagi ekonomi

dikembangkan oleh Gramsci dan Poulantzas.

Bicara tentang globalisasi ekonomi tidak bisa terlepas dari pasar bebas yang kini

telah menjadi ideology dunia bagaikan agama. Agar globalisasi berjalan lebih

cepat, mesin-mesin globalisasi -seperti IMF, Bank Dunia, ADB- semakin diperkuat

perannya dan dibangun system secara seragam untuk diberlakukan di seluruh

dunia. Proses integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam system global inilah

yang disebut globalisasi. Keampuhan pasar bebas dihembuskan oleh para ahli

ekonomi dengan landasan teorinya. Penelitian-penelitian juga dilakukan untuk

melegitimasi bahwa segala kebijakan populis yang memberi proteksi kepada

rakyat hanyalah berakibat pada pemborosan belanja Negara (inefisiensi).

Bagi kelompok pro- globalisasi, bisa menggunakan data-data pendukung untuk

menyatakan bahwa perusahaan multinasional asing (MNC) mempunyai

perananan yang semakin penting terhadap perkembangan ekonomi nasional

suatu Negara, terutama peran dalam peningkatan produksi dan membuka

3 | P a g e

Page 4: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

lapangan pekerjaan baru. Namun itu tidak terjadi di semua Negara. Di Jerman

dan Prancis misalnya, perusahaan asing memberikan kontribusi yang hampir

sama dengan perusahaan domestik nasional. Bahkan di Jepang sebagai Negara

dengan kekuatan ekonomi terbesar ke dua di dunia, perusahaan asing masih

sangat sedikit dan hanya mempekerjakan 0.8% dari jumlah total lapangan kerja

di Jepang.

Data-data tersebut semakin mengukuhkan pandangan kelompok pro- globalisasi

bahwa korporasi global (MNC) tidak berdampak buruk tetapi justru mempunyai

peranan penting dalam ekonomi nasional. Pernyataan itu semakin diperkuat

dengan berbagai kebijakan, program dan aksi positif MNC untuk pengembangan

perusahaan dan tanggung jawab social (corporate social responsibility). Soal gaji

misalnya, perusahaan asing membayar pegawainya lebih tinggi dibandingkan gaji

rata-rata nasional.6 Perusahaan asing juga menciptakan lapangan pekerjaan

lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis. Di Amerika contohnya,

jumlah lapangan kerja yang diciptakan perusahaan asing mencapai 1.4% per

tahun dari 1989 s/d 1996, sedang perusahaan domestic hanya 0,8%. Selain itu

perusahaan asing tidak segan mengeluarkan biaya di bidang reseach and

development (R&D) di negara di mana mereka menanamkan investasinya.7 Data

lain menyebutkan perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak

dibandingkan perusahaan domestic.8 Namun data lain dari Laporan

Pembangunan Manusia UNDP (1999) menunjukkan hal yang berbeda. Pada

tahun 1977 terdapat pelebaran jurang perbedaan pendapatan antara orang

terkaya kelima di dunia dan termiskin kelima di dunia -diukur dari rata-rata

pendapatan nasional perkepala. Kondisi ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya

dan semata-mata hanya karena takdir Tuhan tetapi karena ada grand design

yang sengaja dibuat oleh manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pasar bebas yang menjadi idiologi baru

disuntikkan oleh lembaga-lembaga keuangan multi nasional -di bawah kendali

4 | P a g e

Page 5: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

World Bank dan IMF- kepada negara miskin dan berkembang sebagai resep

untuk ‘membangun‘ Negara Selatan. Resepnya adalah proses privatisasi sector-

sektor kebijakan public, termasuk listrik, air dan perumahan. Hasil privatisasi bisa

diduga, antara lain peningkatan pengganguran, turunnya nilai pendapatan riil

dan pajak perusahaan, setengah juta orang kehilangan pekerjaan, gaji golongan

termiskin turun 20 persen, dan kenaikan harga air dan listrik (Bond, 2001).

Inilah yang sering disebut oleh kelompok penentang globalisasi sebagai jaman

penjajahan baru -seringkali disebut neo kolonialisme- dimana penjajahan bukan

bersifat fisik tapi penjajahan pada teori dan ideologi.

Catatan di atas memperlihatkan karakteristik utama globalisasi yaitu paradoks –

bahkan kontradiksi- globalisasi, yang membuka peluang bagi perusahaan

multinasional untuk berperan besar dalam perekonomian nasional sekaligus

melahirkan ancaman bagi Negara dan rakyat. Ancaman terhadap perdamaian

dan keamanan global, kemiskinan gobal, lingkungan global dan migrasi masal

adalah ruang-ruang yang menyediakan berbagai fakta paradoksial dan

problematika globalisasi.

Dalam sebuah buku tentang Globalisasi karangan Friedman yang kemudian

dikutip oleh penulis independent Wigrantoro Roes Setyadi dianalisakan bahwa

Globalisasi, ujar Friedman tidak hanya sekedar sebuah fenomena dan bukan pula

sebuah trend yang akan lewat begitu saja. Lebih serius dari itu, Friedman

melihatnya sebagai sebuah sistem yang muncul menggantikan gerakan

internasional sebelumnya, Perang Dingin antara paham kapitalis yang didukung

Amerika di blok barat dan paham komunis yang didukung oleh Uni Sovyet di blok

timur.

Jika dalam Perang Dingin alasan utamanya adalah perbedaan ideologi, dunia

seolah dibagi menjadi blok barat dan blok timur, blok kapitalis dan blok sosialis –

komunis, sementara mereka yang tidak termasuk ke dalam dua blOk tersebut

5 | P a g e

Page 6: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

menamakan dirinya blok dunia ketiga, maka dalam globalisasi terjadi integrasi

kapital, teknologi, dan informasi melewati batas – batas negara. Wujudnya,

globalisasi mendorong runtuhnya sekat – sekat ideologi politik antar negara,

antar blok, dan menjadikan dunia sebagai pasar tunggal, yang oleh Al Gore(1998)

disebutnya sebagai global village.

Mereka yang gagap terhadap perubahan sistem baru (globalisasi) ini dalam

banyak kasus mengalami hambatan dalam pengembangan diri yang

menjadikannya semakin tertinggal dari negara – negara yang relatif siap

menghadapi arus globalisasi.

Misalnya saja, coba kita bayangkan bersama, jika suatu pagi, tiba – tiba seorang

eksekutif tidak tahu lagi isi berita pagi yang dibacanya di koran atau ditontonnya

di TV, di kantor menjadi tambah tidak mengerti ketika bisnis investasi yang sudah

ditekuninya sekian tahun tiba – tiba tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Menghubungi rekannya di kantor pemerintah, jawabannya sungguh di luar

dugaan, “..terjadi perubahan kebijakan karena desakan lembaga keuangan

internasional..”

Kejadian yang sebenarnya secara pelan berlangsung tetapi tidak dirasakannya,

dan baru terasa ketika segala sesuatu harus berubah.

Menurut Mas Wigrantoro, Friedman menguraikan bahwa pada titik tertentu

globalisasi akan mempengaruhi substansi kebijakan domestik dan mendesak

pemerintah suatu negara untuk memperbaiki hubunggannya dengan lembaga –

lembaga internasional. Pada saat itulah, karena sebagian besar bisnis di negara –

negara sedang membangun sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan regulasi

pemerintah, dampak globalisasi baru dirasakan oleh kalangan bisnis setempat.

Tidak hanya dalam kalangan dunia pebisnis, ternyata Friedman juga jeli melihat

6 | P a g e

Page 7: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

tekanan yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap budaya lokal, demografi,

tradisi dan harmoni masyarakat. Digambarkan pula bagaimana masyarakat

tertentu merasa dijahili oleh pelaku globalisasi, dan dalam konteks ini, solusi

keseimbangan adalah solusi terbaik yang ditawarkan menurut Friedman. Solusi

ini diajukan dengan pemikiran dasar bahwa globalisasi tidak dapat dicegah, yang

dapat dilakukan adalah bagaimana mengimbangi laju globalisasi sehingga

masyarakat tradisional tidak semakin terpuruk.

Globalisasi tidak hanya integrasi kapital, teknologi dan informasi,tapi lebih dari

itu. Globalisasi bias meningkat sebagai fenomena perubahan geopolitik melalui

desakan – desakan ekonomi internasional, yang pada gilirannya memunculkan

kompleksitas tidak hanya pada elite politik, namun juga berdampak pada pelaku

ekonomiyang berada di posisi perintisnya.

Seperti halnya telah says jelaskan sebelumnya bhawa dalam globalisasi, ideologi

politik menjadi tidakterlalu penting, ia digantkan oleh kepentingan ekonomi.

Dimana jika pada masa perang dingin dan atau era sebelumnya kolonisasi

bersifat fisik, suatu negara menjajah negara lain, dalam globalisasi penjajahan

secar fisik sudah tidak trendi, alasan perluasan bisnis, penyebaran investasi, atau

pengembangan pasar menjadi alasan sah penjajahan ekonomi oleh suatu bangsa

terhadap bangsa lain. Fenomena McDonald, Coca Cola, Internet, dan berbagai

merek dagang terkenal di dunia lainnya yang berhasil di pasar internasional

dapat kita lihat sebagai bukti nyata sarat kebenaran tanpa suara.

Dari sisi pelaku, jika di masa lalu penjajahan dilakukan oleh negara atas negara

(meski dalam kasus penjajahan Belanda atas Indonesia diawali oleh VOC sebagai

misi dagang Kerajaan Belanda) dalam globalisasi “penjajahan ekonomi”dilakukan

oleh Korporasi sebagai pelaku dominan. Keputusan investasi korporasi

internasional, dalam banyak hal mempengaruhi nasib (regulasi dan kebijakan)

suatu bangsa. Kasus perebutan hak pengolahan minyak di ladang Cepu misalnya,

7 | P a g e

Page 8: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

merupakan keputusan manajemen Exxon (suatu raksasa perusahaan minyak

Amerika) yang berdampak pada kebijakan perminyakan Indonesia. Pelaku lain

yang sempat mendominasi halaman utama media cetak internasional di tahun

1997-98 berkaitan dengan globalisasi adalah George Soros. Soros terkenal

sebagai investor keuangan yang piawai dan disebut sebagai telah menggoyang

atau bahkan meruntuhkan perekonomian banyak negara di Asia – termasuk

Indonesia – karena keputusannya dalam berbisnis valuta asing di berbagai pasar

saham internasional. Bill Gates dapat dikatakan sebagai pendorong globalisasi

dengan produk teknologi informasi Microsoft, sehingga menjadi monopoli dunia

dalam industri piranti lunak sistem operasi komputer, di sisi lain Bill menikmati

hasil jerih payahnya sebagai individu terkaya di dunia.

Jika kita melihat contoh-contoh mereka yang berhasil dengan globalisasi, seakan-

akan dengan adanya globalisasi, setiap orang jadi memiliki peluang yang sama

untuk berhasil dan menuai rupiah atau dollar dalam ekonomi internasional. Jika

berpikir secara ideal, bias saja globalisasi menjadi penolong bagi rakyat miskin

dunia. Namun, sayang sungguh sayang, alih-alih menolong, yang ada globalisasi

hanya semakin memarjinalkan kaum beruang dan pekerja karena ternyata dalam

globalisasi ada satu syarat penting yang tidak boleh kita lupakan dalam setiap

tindakan. Yakni adanya Potensi diri untuk menguasai dan bersaing dengan pihak

lain.

Dengan kata lain, dalam globalisasi, jika tak merasa cukup modal, jangan berani

untuk maju jika tak ingin hancur.

Globalisasi bagaikan karta karun hasil perkembangan informasi tehnologi yang

memungkinkan melihat seluruh wajah dunia dalam satu layar lebar, termasuk

implementasi pasar bebas dan paham neoliberal di berbagai Negara. Pasar bebas

sebagai ideology dari sudut pandang neoliberal dengan ‘The Washington

8 | P a g e

Page 9: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Consensus’-nya melihat bahwa peran negara haruslah dibuat sekecil-kecilnya,

karena swasta dapat melakukan apapun yang dilakukan oleh individu.

Globalisasi dengan neo-liberalnya telah merubah peran dan kewenangan Negara

di di underdevelop and developing society. Peran pembuat regulator ekonomi

tidak lagi dipegang oleh Negara tetapi pasar. Kekuasaan negara dan kebijakan

ekonomi nasional menjadi tidak lagi memiliki signifikansi dan efektivitas.13

Namun kondisi berbeda terjadi di Negara maju sebagai pelopor pasar bebas.

Sejarah menunjukkan bahwa di Negara maju peran negara sangat penting untuk

mencapai kemajuan pembangunan yang dicapainya saat ini (World Bank 1987,

Shafaeddin 1998, Chang 2001). Ini dikarenakan para kapitalis sangat tergantung

pada kekuasaan negara untuk menyokong kekuasaan ekonominya, memperkuat

hak kepemilikannya, serta mengatur tata sosial dan kondisi-kondisi yang

menguntungkan bagi proses ekspansi dan akumulai capital (Wood, 2005). Tanpa

dukungan kekuasaan negara, kekuasaan ekonomi akan terjatuh dalam stagnasi.

Tanpa intervensi negara (melalui sumberdaya dan aparatus kekuasaannya),

ekspansi dan akumulasi kapital tak mungkin berlangsung secara besar-besaran.

Lebih-lebih dalam era imperialisme, di mana pemenuhan kebutuhan dalam

negeri sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri, keterlibatan negara,

terutama AS, sangat jelas terlihat.

Double standard dipakai oleh Negara-negara maju yang mempunyai power dan

capital. Tidak mengherankan kalau Chang (2001) menyebutkan bahwa promosi

liberalisasi dari negara-negara maju itu adalah untuk ‘menendang tangga’

(kicking away the ladder) supaya negara-negara berkembang tidak bisa memakai

tangga itu untuk ‘mengejar’ ketertinggalannya. Dengan demikian Negara maju

dapat terus mendikte dan mengexploitasi sumber daya yang ada di Negara

berkembang dengan beragam kemasan. Negara ini akan tetap menjadi miskin

bahkan bisa bertambah semakin miskin dan selalu tergantung. Dan melahirkan

9 | P a g e

Page 10: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

neo kolonialisme dimana penjajahan bukan bersifat fisik tapi penjajahan pada

teori dan ideologi.

10 | P a g e

Page 11: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

REALIS MEMANDANG

GLOBALISASI

Diawali dengan sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang

Dunia I dan II, realisme muncul sebagai arus utama pendekatan hubungan

internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan kaum idealis, terutama

pembahasan tentang ‘perang’. Pendekatan pemikir Idealis dinilai lemah karena

terlalu meremehkan ‘power,’ dan terlalu menyanjung tinggi rasionalitas manusia,

bahkan meyakini bahwa negara bangsa telah mencacah sekian besar

kepentingan bersama demi mengatasi ‘momok’ perang. Debat-debat mengenai

permasalahan power, rasionalitas, kepentingan bersama dan perang, mulai

muncul pada masa generasi baru realism (E.H. Carr, H.J. Morgenthau, Reinhold

Niebuhr, Frederick Schuman, George Kennan, dkk.) di akhir 1930-an, dimana

mereka menekankan pada kemaha-luasan ‘power’ dan pertarungan alami-politik

antar bangsa.

Sebenarnya pemikiran mereka sudah diawali sejak jaman Thucydides (The

Melian Dialogue 460-406BC), N. Machiavelli (1496-1527), T. Hobbes (1588-1679)

dan J.J. Rosseau (1712-78), yang disebut classic-realism. Realisme klasik

menawarkan konsep raison d’etat (state excuse), dimana negara memiliki dalih

untuk melindungi negaranya ; Sebagaimana doktrin militer pre-emptative strike

AS pasca containment Perang Dingin. Hal ini muncul dari asumsi bahwa

lingkungan internasional tidak ada yang ‘superior,’ tidak ada satu-satunya

kekuatan yang lebih tinggi yang dapat mengatur seluruh penduduk dunia.

Sementara tiap negara akan selalu berusaha memaksimalkan kepentingan

nasionalnya masing-masing. Kondisi dunia yang anarki ini menjadikan ‘Balance of

11 | P a g e

Page 12: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Power’ sedemikian penting untuk dijaga, tentunya dengan kode etik hukum

internasional (versi Barat) sebagai konsensusnya. Untuk itu, Meinecke

mengatakan, negara perlu menguatkan dan menyehatkan dirinya sebagai

langkah pertama. Tetapi Machavelli juga menyarankan agar jangan sampai

negara mengorbankan kepentingannya sendiri dalam memenuhi etika

internasional karena sesungguhnya realisme memandang prinsip moral universal

itu tidak ada, meski di tataran domestik, realis masih mengharapkan adanya

etika politik yang menjamin kekuatan internal negara. ‘Raison d’etat’ inilah yang

akhirnya menjadi prekursor standar ganda.

Dalam realis, negara dianggap sebagai aktor utama dan satu-satunya yang

legitimate dalam melakukan hubungan antar bangsa, dan peran negarawan

menjadi luar biasa penting dalam rekomendasi para pemikir realis.

Di dalam wacana realisme klasik maupun modern terdapat kesepahaman akan

segitiga ‘Tripel S’, yaitu ‘Statism’, ’Survival’, dan ‘Self-help’.

Statism adalah fokus dari realisme, dimana terdapat dua ‘klaim’ yang dinamis

dalam kestatisan hubungan antar bangsa. Pertama, secara teori, dalam world

politics, negara adalah aktor utama dan seluruh aktor yang lainnya tidak memiliki

tingkat signifikansi yang sebanding dengan state. Kedua, ‘kedaulatan’ negara

menjadi penanda adanya komunitas politik mandiri, di mana ia memiliki otoritas

hukum di wilayah tersebut. Intinya statism di sini lebih berat melihat Negara

sebagai satu-satunya actor dalam dunia Internasional dan dalam proses

Hubungan Internasional.

Survival, tujuan utama pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam

mempertahankan kehidupan masyarakat, ini adalah kepentingan nasional

terbesar yang harus disadari setiap pemimpin politik. Pemimpin politik ini jua-lah

yang akan menentukan sikap negaranya dalam pandangannya atas keamanan

internasional serta kerja sama, apakah offensive atau deffensive. Dan

12 | P a g e

Page 13: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

kepentingan ekonomi, budaya, serta yang lain hanyalah dianggap sebagai bagian

dari ‘low politics’. Dalam rangka menyelenggarakan keamanan negara itu pula,

pemimpin harus memberlakukan kode etik yang digunakan untuk menghukumi

tindakan seseorang/sebuah institusi, yaitu berdasarkan akibat yang

ditimbulkannya, bukan berdasarkan pada benar-tidaknya tindakan tersebut.

Jikalau-pun ada sebuah moral universal, bagi politikus realis, hal ini hanya

berlaku pada komunitas tertentu saja. Kesimpulannya, survival adalah hal yang

hakiki dalam dunia Internasional dan dalam proses hubungan internasional, di

mana setiap Negara hars bertahan dengan arus gelombang di dunia

internasional.

Self-help, pemikir realis berasumsi bahwa tidak akan ada satu negara pun di

dunia ini yang berani menjamin eksistensi kita secara struktural baik ditingkat

domestik maupun internasional (dilema keamanan – meski tidak semua konflik

yang terjadi, baik domestik maupun internasional disebabkan oleh security

dilemma, akan tetapi secara historis lebih banyak disebabkan oleh negara

‘predator’). Dalam politik internasional tidaklah mungkin ada jalinan

persahabatan, kepercayaan, dan kehormatan yang logikanya akan mengurangi

power gain sebuah state. Yang terjadi hanyalah kondisi ketidakpastian yang

disebabkan tiadanya pemerintahan global. Sebagaimana yang pernah

diungkapkan oleh salah satu pemikir realis, bahwa tidak ada teman atau musuh

yang abadi, yang ada hanya kepentingan nasional. Karena itu apa yang akan kita

dapatkan adalah hasil jerih payah kita sendiri. Siapa yang menabur benih, maka

dia akan menuainya kembali.

Singkatnya, paradigm realis itu meyakini bahwa actor satu-satunya dalam dunia

internasional adalah Negara dimana cara pandangnya terhadap dunia bersifat

anarkis yang menganggap bahwa perang dan damai adalah suatu fenomena

dunia yang bersifat wajar yang berangkat dari individu-individu yang membentuk

Negara tersebut yang kemudian oleh orang-orang realis meyakini bahwa

13 | P a g e

Page 14: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

perdamaian akan terkontrol dengan adanya balance of power yang bertugas

sebagai penyeimbangan keadaan dunia internasional dimana agenda

internasional yaitu hanya memusatkan perhatian pada kekuasaan dan proses

politik internasionalnya dipusatkan pada targetan untuk mewujudkan

kepentingan nasional.

Muncul kemudian kasus ‘Globalisasi’ baik bnerupa fenomena dari realitas social

dunia internasional dan atau merupakan suatu keadaan yang dibentuk baik itu

oleh Negara atau individu.

Jika memakai kacamata realis, globalisasi adalah suatu keadaan bentukan dari

oknum atau actor Negara tertentu yang tentunya ada peranan kepentingan

nasional Negara tersebut untuk diwujudkan. Jika kita melihat suatu hal secara

realism aka kita akan melihat bagaimana Negara tersebut menentukan

kebijakannya akan suatu hal.

Secara realis, menurut saya, globalisasi adalah hal yang wajar berupa bentukan

real dari kegiatan sebuah Negara untuk memperluas kekuasaannya. Jika

berbicara tentang realis, kita kan berbicara tentang bagaimana fenomena dunia

internasional ini sangat keras dimana setiap Negara akan mengusahakan setiap

kegiatan pun untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, salah satunya dengan

cara globalisasi ini. Globalisasi di sini adalah suatu proses yang bertugas sebagai

pembawa nilai-nilai tertentu dari suatu Negara asal nilai tersebut untuk dipahami

atau dilaksanakan dan malah keberhasilan terbesar akan dicapai jika nilai

tersebut berkuasa di Negara tujuan. Namun, kita harus membatasi apa yang kita

lihat hanya dalam konteks Negara nya yang berperan.

Jika mengambil contoh konkret dalam bidang teknologi misalnya, secara kasat

mata, sebagai warga Negara Indonesia yang senantiasa menjalani kehidupan di

tanah air kita yang tercinta ini, sangat jelas bahwa globalisasi teknologi yang

terjadi di bangsa kita ini dari Jepang. Apa pun merk dagang dan organisasi yang

14 | P a g e

Page 15: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

berada di balik alat teknologi tersebut, tapi kita hanya melihat bahwa Jepang lah

yang melebarkan sayapnya di negri kita ini.

Hal ini jika dipandang secara Realis. Namun, secara sadar, tentunya ada banya

organisasi transnasional, MNC, dan berbagai macam komunitas lain yang

bergerak, dan tidak sangat umum hubungan yang terbentuk hanya lintas

kegiatan kenegaraan saja. Ada banyak komponen ternyata di dalamnya. Dalam

bidang klebudayaan misalnya, pendidikan, ekonomi, atau bahkan yang lebih

buruk jika gaya hidup sudah bisa di-globalisasikan dan juga komponen inti di

dalamnya misalnya agama.

Jika kita sudah aware dengan hal seperti ini, maka kita tidak lagi memandang

globalisasi itu secara realis, tapi kita sudah mengganti kaca mata kita tanpa sadar

dengan kacamata liberalis untuk mengiris lagi helai demi helai globalisasi di dunia

internasional.

15 | P a g e

Page 16: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Liberalis memandang

globalisasi

Ensiklopedi Britannica 2001 deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa kata

liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara etimologis berarti

falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara

dalam melindungi hak-hak warganya. Makna senada juga terdapat dalam

Wikipedia.

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi

Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik.

Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam

kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari

falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman

renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang

menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja.

Secara paradigm, jika dirunut dari sejarah berdirinya paradigm liberalis,

paradigm ini baru popular setelah Perang Dunia I. Jika melihat sesuatu dengan

cara pandang liberalis, ada nilai yang kita lihat, bahwa ternyata suatu hal itu bisa

berdampak ke berbagai aspek yang merupakan komponen dari bagian umum

tersebut. Selain itu, melihat sesuatu secara liberalis pun hamper bias dikatakan

bahwa kita juga melihat suatu hal menurut tatanan idealnya.

16 | P a g e

Page 17: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Jika kita tinjau dengan pendekatan historis, paradigm ini baru muncul setelah

meletusnya Perang Dunia I dimana Negara-negara di dunia kemudian menyadari

akan indahnya sebuah perdamaian. Negara-negara yang ada di dunia kemudian

menyadari bahwa dibutuhkannya suatu lembaga legal yang bertaraf

internasional yang menaungi Negara-negara yang berdaulat dalam satu wadah

untuk menuju pada sebuah tujuan internasional yakni terwujudnya perdamaian

dunia dan kesejahteraan yang merata.

Ternyata ada banyak komponen dalam sebuah Negara, baik organisasi domestic

Negara tersebut, organisasi formalnya yang diakui secara legal oleh Negara yang

bersangkutan, atau bahkan individu yang merupakan unsure terkecil pembentuk

Negara. Dalam liberalis, mereka semua adalah actor, jadi tidak seperti realis yang

hanya menganggap bahwa actor utama dalam dunia internasional itu hanya

Negara. Ada banyak aspek yang diperhatikan.

Paradigma ini yang kemudian akan kita jadikan kacamata untuk melihat

fenomena globalisasi di dunia internasional sekarang ini.

Bebicara tentang liberalis, maka kita akan berbicara tentang kebebasan, tanpa

sekat, dan dimana setiap pihak memiliki kesetaraan dalam mengusahakan apa

yang mereka bias usahakan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang

mengikat mereka untuk tidak sewenang-wenang. Begitu pun jiks kits berbicsrs

tentsang globalisasi, tidak ada sekat territorial yang memisahkan sehingga secara

umum kita juga bias bilang kebebasan.

Dalam melihat fenomena globalisasi dengan kacamata liberalis, ternyata

globalisasi itu tidak hanya pada ruang lingkup Negara saja. Ada banyak hal

ternyata yang telah diglobalisasikan dalam dunia internasional sekarang ini.

17 | P a g e

Page 18: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Misalnya saja ideology, gaya hidup, pendidikan, dan bahkan yang paling parah

agama.

Contoh Konkret misalnya adalah gaya hidup hedonism yang banyak dianut oleh

kaum muda kita sekarang ini. Tanpa sadar, mereka telah terkurung dalam

hegemoni barat yang mereka yakini bagus dan paling terdepan dalam peradaban

yang lagi lagi tanpa sadar ternyata ini semua adalah hasil permainan media yang

menyihir mind set kita untuk tidak berpikir lagi secara independen. Dalam hal

pendidikan misalnya maraknya sistem pendidikan yang berbasis internasional

yang di anut oleh sekolah-sekolah negeri di kota kita sekarang ini. Tanpa sadar ;

lagi ; kita sebenarnya belum siap untuk hal tersebut, baik dari tenaga pengajar

dan sarana dan prasarana yang mendukung. Tapi kita dipaksakan untuk ikut

dalam keadaan seperti ini,, karena kita tidak punya piluihan lagi. Itulah

globalisasi.

18 | P a g e

Page 19: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Marxist Approach

Memandang Globalisasi

Karl Marx tentulah bukan nama yang asing termasuk pemikirannya tentang

konsep negara yang berangkat dari pemikiran konflik kelas;kaum borjuis dan

proletar mengenai pembagian pendapatan dan pengharapannya tentang

kebersammaan, tokoh lainnya ialah Hobson dengan pemahaman tentang

kapitalisme sebagai penjajahan baru; Imprealisme, Lenin dengan pemahamannya

tentang kapitalism sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari serta Luxemburg

tentang revolusi sebagai satu-satunya cara untuk memakanai tranpormasi

masyarakat. Dari semua tokoh diatas sangatlah jelas mengutarakan pemahaman

yang kritis tentang bagaiman sistem kapitalisme itu bekerja dan memnjadi

sebuah babak penjajahan baru dalam tatanan masyarakat global karena mau

tidak mau faktor ekonomi memang telah menjadi sebuah faktor utama dalam

upaya untuk mengembngkan negara masing-masing.

Marx melihat bahwa pada masa dia mengamati tentang fenomena ekonomi

dunia, perekonomian merupakan tempat eksploitasi manusia dan perbedaan

19 | P a g e

Page 20: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

kelas. Marx mengambil pendapat Zero Sum dari merkantilisme dan memakainya

pada hubungan kelas selain negara. Sehingga pada tahun 1847 Fredrich Engels

dan Karl Marx mengumandangkan perlawanan tanpa kompromi terhadap sistem

kapitalisme yang dikenal dengan “Manifesto komunis”. Mereka berfikir bahwa

melalui perlawanan ini kaum tertindas, terutama proletariat (kaum buruh) harus

mendapat perlakuan adil, dengan menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas

(classless society), bahkan tanpa negara (stateless society) dengan pandangan

dasar bahwa kekayaan serta sarana produksi tidak boleh berada dalam

kekuasaan kaum minoritas atas kaum kelas atas secara pribadi tetapi harus

menjadi hak semua masyarakat secara kolektif. Artinya setiap individu dapat

memperoleh apa yang menjadi haknya bukan berdasarkan capital yang dimiliki,

jasa yang telah diberi atau berdasarkan status sosialnya, tetapi berdasarkan

kebutuhannya.

Ada sepuluh alasan yang membuat paham marxisme menjadi begitu

kental dan dapat diterima oleh kaum buruh, adapun alasan-alasan itu adalah :

1. Marxisme menyediakan sebuah perspektif strategis untuk memenangkan

perjuangan kelas, menyukseskan kemerdekaan nasional dan mendirikan

solidaritas kelas pekerja internasional. Marxisme menggabungkan tiga

elemen esensial guna memperdalam pemahaman revolusioner untuk

terlibat dalam perjuangan kelas yaitu:

a. Perbandingan sejarah pengalaman perjuangan di negara-negara yang

berbeda dan juga pengalaman waktu yang berbeda dalam negara yang

sama.

b. Marxisme yang berdasarkan pada konsepsi materialis tentang sejarah,

memberi dasar pada hubungan dialektik antara organisasi ekonomi,

perjuangan kelas, negara, ideologi politik dan organisasi dalam

menentukan arah sejarah. Marxisme menolak pandangan mekanis

tentang sejarah sebagai ditentukan oleh “ide-ide” atau oleh “para elite”

20 | P a g e

Page 21: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

c. Marxisme menyediakan analisis kelas yang canggih tentang kekuatan-

kekuatan sosial dan perjuangan, yang menentukan besaran skala dan

perubahan jangka-panjang. Ia menolak penafsiran borjuis tentang

sejarah, yang berpusat pada “individu” (Manusia Agung) atau “teori

elite” tentang sejarah. Marxisme tidak menolak pentingnya

kepemimpinan, namun mereka setuju bahwa “kepemimpinan” adalah

produk gerakan sosial dan pengetahuan lahir dari pengalaman kelas.

2. Marxisme menyediakan kunci untuk memahami dasar-dasar dari seluruh

produksi, distribusi dan nilai-kerja. Mengenai basis pemusatan kerja

(centrality of labor), Marxisme menyediakan sebuah dasar teori dan praktek

untuk memahami mengapa perjuangan kelas menjadi kekuatan penggerak

kemajuan sejarah.

3. Marxisme menyediakan kritik yang sangat lengkap terhadap neoliberalisme

dan alternatif ekonomi dan politik yang sangat jernih dan koheren.

Marxisme juga menyediakan kritik yang jernih tentang privatisasi dan

pembelaan mengenai kepemilikan publik, menolak pembayaran utang luar

negeri dan pembelaan tentang pentingnya investasi dalam pasar lokal,

watak kelas dari program penyesuaian struktural dan alternatif bagi

sosialisasi sektor-sektor strategis dalam ekonomi (energi, kelistrikan,

keuangan, perdagangan luar negeri, dsb).

4. Marxisme menegaskan tentang keuntungan praktek dan moral dari

solidaritas kelas melawan “solusi-solusi” individualistik terhadap

permasalahan-permasalahan struktural seperti upah, kesehatan dan

keamanan kerja. Walaupun sering dikecualikan, sejarah menunjukkan

bahwa banyak kemenangan diraih kelas pekerja melalui organisasi kolektif.

5. Marxisme menyediakan basis material bagi pembanguan solidaritas

internasional dan mengungkap kesalahan-kesalahan sejarah tentang

kolaborasi kelas antara serikat buruh Amerika Serikat dan negara imperialis

serta perusahaan-perusahaan multinasional. Poin Marxis bagi

21 | P a g e

Page 22: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

internasionalisasi kapital sebagai pembentukan basis material dan

kebutuhan bagi kelas pekerja untuk mengorganisasikan diri secara lintas

batas nasional sebagai basis bagi kesamaan program dan anti-imperialisme.

6. Marxisme menyediakan pemahaman yang jernih tentang hubungan kelas,

jender, ekologi dan kebangsaan (nation). Marxisme mengakui ketimpangan

dalam kelas (antara ras dan jender) dan juga ketimpangan dan perbedaan

kelas dalam jender, etnik dan kelompok-kelompok rasial. Marxisme

mengombinasikan perjuangan kelas melawan kapital dan kekaisaran dengan

sebuah perjuangan sosial dalam kelas pekerja untuk jender, ras dan

persamaan etnik.

7. Marxisme menyediakan satu-satunya pemahaman yang jernih dan

menyeluruh tentang imperialisme: bagaimana sistem ini beroperasi, apa

tuntutan-tuntutannya dan konsekuensi-konsekuensinya yang

menghancurkan bagi bangsa tertindas. Teori Marxis tentang imperialisme

secara tegas menolak investasi asing, perdagangan bebas dan neo-

kolonialisme dalam bentuk NAFTA, ALCA dan Plan Colombia melalui

pengungkapan peran sentral negara-negara imperialis dalam

mengonsentrasikan keuntungan dan mengontrol pasar.

8. Marxisme menjelaskan mengapa kelas pekerja memainkan peran utama

dalam perjuangan melawan penghisapan kapital melalui titik dimana

mereka berperan utama dalam produksi dan distribusi. Jika kelas pekerja

menutup pabrik-pabrik, bank-bank, sarana transportasi, sistem energi dan

kelistrikan, pasti ekonomi tidak berfungsi; keuntungan kapitalis menurun

hingga akhirnya bangkrut.

9. Perspektif Marxis tentang masa depan alternatif yakni masyarakat sosialis,

didasarkan pada pengalaman praktek mengenai produksi sosial, perjuangan

kolektif dan kemenangan transisional, yang memperluas kekuasaan

pengambilan keputusan kelas pekerja. Kaum Marxis tidak “bermimpi”

tentang masyarakat masa depan. Mereka juga tidak mengusung sosialisme

22 | P a g e

Page 23: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

sebagai sebuah “utopia.” Bagi kaum Marxis, sosialisme ditunjukkan dalam

solidaritas sehari-harinya (everyday solidarity), membagi pengalaman

kemenangan kolektif dan pemajuan sosialisasi pelayanan-pelayanan sosial.

Sosialisme, kepemilikan bersama, tidak “berakhir pada dirinya sendiri” tetapi

bermakna bagi kebebasan individu yang seluas-luasnya, jaminan sosial dan

waktu luang yang tersedia banyak untuk belajar, bermain dan memperkaya

pengalaman personal. Tujuan akhir sosialisme adalah sebuah “Manusia

Baru” yang memiliki kebebasan personal yang mengasyikkan dan dalam

prakteknya memiliki tanggung jawab sosial.

10. Marxisme juga menyediakan baik sejarah negatif maupun sejarah positif. Sisi

negatif “Marxisme” adalah ia dibangun di atas landasan abstrak ekspresi

metafisika “Hegelian,” yang “tak pernah menyentuh bumi” yang tidak

memiliki analisis yang konkret dan terpisah dari perjuangan kelas. Padahal

Marxisme bersifat historis dan empiris, dimana teori digunakan untuk

memahami sejarah yang konkret dan pengalaman-pengalaman

kontemporer.

Jika berbicara tentang Marxist Approach, kita akan lebih banyak berbicara dari

segi ekonominya, dari segi kebebasan hak yang notabenenya dimiliki oleh para

kaum buruh, dan bagaimana keadaan ekonomi itu pun sangat berpengaruh

terhadap hubungan negara-negara dalam dunia internasional, dalam

menentukan politik luar negeri suatu negara, dan dalam menentukan politik

internasionalnya.

Pemahaman tentang Marxist ternyata masih terlalu umum, pandangannya

mengenai fenomena ekonomi sekarang ini terlalu luas. Muncullah kemudian

pemikir-pemikir yang merupakan pengikut Marxist namun lebih mengkhususkan

pembahasannya pada spesialisasi tertentu seperti halnya Immanuel Wallerstein

23 | P a g e

Page 24: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

dengan teori sistem dunianya, Antonio Gramscis dengan Gramscismnya, tak

ketinggalan Frankfurt School dengan Mazhab Frankfurtnya mengenai Critical

Theory. Masih banyak juga teori lain yang mengikuti pendekatan marxist dalam

penjabarannya namun merupakan pengembangannya yang berangkat dari

pendekatan Marxist seperti teori Constructivism.

Untuk selanjutnya lebih baik kita menganalisis mengenai World System Theory

yang dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein. Wallerstein mengkategorikan

dunia sebagai sistem yang mengatur proses pendistribusian sumberdaya dari

pinggiran ke inti. Dalam pemetaannya kemudian, dikembangkan bahwa negara –

negara yang berada di kelas inti memiliki jenis negara industri dan menganut

paham demokratis dan pinggiran adalah kelompok negara-negara berkembang

atau kasarnya negara terbelakang yang mengekspor bahan baku. Kemudian

dikenal juga istilah pasar yang merupakan daerah eksploitasi dari negara inti ke

negara pinggiran.

Adapun definisi Wallerstein untuk menjelaskan World System sendiri saya kutip

dari wikipedia.org adalah sebagai berikut :

"... sebuah sistem sosial, yang memiliki batas-batas, struktur, anggota

kelompok, pengesahan aturan, dan koherensi. kehidupan yang terdiri dari

konflik yang memaksa terus bersama dengan ketegangan dan merobek

selain itu karena setiap kelompok berusaha untuk selalu remold ke para

keuntungan. Ia memiliki karakteristik sebuah organisme, yang belum

memiliki kehidupan yang lebih dari span-nya di beberapa karakteristik

mengubah menghormati dan tetap stabil dalam lain. Satu yang dapat

menetapkan sebagai struktur di waktu yang berbeda dalam kuat atau

lemah dari segi logika internal yang berfungsi. "[1]

Dunia ini telah tersistem oleh sebuah aturan tata kerja pemasaran bahan baku

yang kemudian akan dikembangkan dalam perkembangan ekonomi dunia.

24 | P a g e

Page 25: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa dalam World System Theory

diyakini ada yang disebut negara inti dan negara pinggiran. Negara pinggiran di

sini adalah negara yang sebenarnya kaya akan sumberdaya alam, namun tidak

memiliki cukup sarana untuk mengolahnya menjadi barang jadi untuk kemudian

dijual dengan harga yang lebih murah. Jadi, negara-negara pinggiran tidak

memiliki pilihan lain selain memasarkan produk bahan baku atau bahan

mentahnya untuk dibawa ke pasar dunia dengan target pasar negara inti. Negara

inti pun sebenarnya sebaliknya, miskin akan sumberdaya alam, namun cukup

memiliki kapabilitas yang besar dalam memanfaatkan potensi apa yang

dimilikinya. Mereka sadar bahwa mereka kuat dalam pembangunannya yang

kemudian akan berdampak bagus pula pada perkembangan teknologinya dalam

hal ini sarana dan prasarana untuk mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.

Sangat sederhana sebenarnya. Negara inti membeli bahan baku dari negara

pinggiran dengan harga yang lumyan murah ; sebut saja membeli rotan Rp 500,-.

Bahan baku atau rotan ini pun kemudian diolah menjadi kursi rotan yang indah

atau barang jadi dengan nilai jual sangat tinggi misalnya Rp 10.000,- yang

kemudian dibawa kembali ke kelompok negara pinggiran untuk menjadi

konsumsi barang pinggiran.

Konsep seperti ini lah yang kemudian dipakai oleh beberapa perusahaan –

perusaan MNC dalam globalisasi sekarang ini. Sebut saja misalnya perusahaan

Nike, Aqua, Unilever, Coca Cola Company, dll.

Globalisasi ditinjau dari kacamata World System Theory sangat jelas dapat

tergambarkan secara gambling. Dunia yang berkelas-kelas, dan kelas-kelas yang

dijelaskan dalam World System Theory memiliki keterikatan yang sangat kuat.

Kemudian kita akan membahas masalah Gramscism, sebuah teori yang juga

dikembangkan dengan pendekatan Marxist, yang dikemukakan oleh pemikir kiri

25 | P a g e

Page 26: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

yang terkenal dengan konsep Hegemony nya, Antonio Gramsci. Jika Wallerstein

dengan Teori sistem dunianya tadi lebih banyak berbicara tentang keadaan kelas

yang ada di dunia akibat potensi sumberdaya dan kemampuan mengolah

sumberdayanya, maka jika kita berbicara tentang Gramsci, kita akan lebih banyak

berbicara tentang hegemoni yang dikeluarkan oleh negara terhadap warganya

dan kaitannya dengan ekonomi. Berbicara tentang Gramsci maka kita akan

berbicara tentang hegemoni, jika mengingat masalah hegemoni, maka globalisasi

adalah suatu sistem yang sangat berkaitan dan mengakar tenang perluasan

sesuatu melintasi sekat teritorial dengan cara terkuatnya melalui hegemony.

Untuk melihat fenomena Globalisasi dengan kacamata gramscis, saya akan lebih

banyak berbicara tentang media. Mengingat media adalh pihak yang sangat

berperan besar dalam proses pendistribusian informasi dari pihak yang bertugas

mencari informasi kepada masyarakat yang bersifat menerima informasi. Sarana

TV adalah sarana paling mutakhir dalam penyebaran hegemony, dan globalisasi

serta pengaruhnya pun paling banyak disebarkan lewat TV. Persepsi tentang

kuatnya ekonomi negara-negara utara, negara-negara barat kepada kita

sehingga kita meyakini dengan percaya bahwa mereka memang kuat itu pun

disebarkan lewat TV. No Alternative, kata Margareth thetcher mungkin.

Begitulah Globalisasi dalam bidang ekonomi disebarkan lewat media televisi,

produk-produk Globalisasi bisa dikenal oleh saudara-saudara kita di daerah

pelosok yang kemudian melunturkan budaya nasional yang selama ini kita

junjung tinggi, mematikan pasar tradisional, dan tentu saja menyukseskan dan

memberi keuntungan yang semakin banyak bagi mereka yang sebenarnya telah

untung banyak dan tanpa sadar telah membodoho kita yang menjadi

pengkonsumsi barang produk kapitalis itu. Sempat miris juga hati ini ketika ingat

kembali pengalaman yang kudapatkan saat berlibur ke Sinjai, kampung

halamanku, ketika semua rumah keluarga yang saya dan keluarga kunjungi

menyuduhkan Coca Cola, Fanta, dan Sprite, betul-betul tidak ada alternatif lain.

26 | P a g e

Page 27: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Ingatan ini kemudian terbawa kembali pada suatu ketika berdiskusi dengan

seorang teman tentang keprihatinan kami mengenai gambar-gambar yang

beredar di internet, dimana di wilayah Afrika, di kampung pengungsian, anak-

anak kecilnya disuguhkan minuman Coca Cola yang jika diperhatikan dengan

seksama, sangat kontras dengan kulit gosong dan kehidupan sosial yang sedang

mereka alami. Hegemoni Globalisasi betul-betul telah menggila dipelosok

belahan dunia mana pun.

Kemudian masuk pada Critical Theory. Critical Theory adalah gabungan dari

beberapa teori dari beberapa pemikir yang cukup terkenal tentang apa yang

mereka pahami dan mereka analisa dari fenomena sekitar mereka. Inti yang saya

pahami dari Critical theory adalah sebuah teori yang akan selalu mengkritik dan

tidak memiliki solusi karena mereka sadar bahwa pada umumnya segala sesuatu

itu memiliki peluang untuk dikritik jadi tidak ada penyelesaian akhir.

Muncul kemudian persoalan ketika menganalisis Globalisasi dengan pisau Critical

Theory. Globalisasi adalah sebuah fenomena yang sedang berlangsung dalam

kehidupan keseharian kita sekarang ini, dan secara Critical Theory, tentu

Globalisasi memiliki peluang untuk dikritik. Kritik untuk Globalisasi mungkin

banyak keluar dari pemikir-pemikir anti-Globalisasi. Secara Critical Theory,

Globalisasi adalah suatu sistem yang kembali tidak berjalan pada tataran

idealnya, sebenarnya, dengan tidak adanya sekat teritorial yang kemudian

menyebabkan kebebasan dalam segala hal, diharapkan terjadinya emansipasi

dalam berbagai hal. Adanya partisipasi aktif dari setiap pihak. Tidak seperti apa

yang terjadi sekarang ini, dimana pihak yang kaya akan semakin kaya dan pihak

yang kalah akan semakin bobrok. Sebenarnya, diharapkan agar pihak yang

memiliki potensi lebih dapat membimbing pihak yang ada di level sedikit di

bawah untuk kemudian bisa sama-sama bersaing dalam dunia internasional

27 | P a g e

Page 28: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

sehingga terciptanya kesetaraan dunia dan kesejahteraan dalam berbagai

bidang.

Susah memang, apa yang baru saja saya kritik tentang Globalisasi dan

Kapitalisme yang sedang berlaku sekarang ini terdengar sangat ideal, tapi

begitulah Critical Theory, akan selalu mengkritik setiap fenomena yang ada di

dunia.

PENUTUP

Globalisasi adalah suatu fenomena sosial yang jika ditinjau dengan kaca mata

Grand Theory dalam Ilmu Hubungan Internasional misalnya Realis, Liberalis, dan

Marxist Approach adalah sebuah rekayasa dari pihak tertentu dan untuk

kepentingan tertentu.

Globalisasi tidak dapat dicegah, apalagi dihentikan, proses itu tengah

berlangsung sekarang, kita hanya bisa menjaga diri sendiri dengan meng-filter

setiap hal yang mungkin saja berdampak pada diri kita.

Tetap sederhana.

28 | P a g e

Page 29: Globalisasi Dalam Tiga Paradigma

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hubungan InternasionalUniversitas Hasanuddin Makassar

Nur Utaminingsih

29 | P a g e


Top Related