1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang untuk
pertama kali diungkapkan pada awal tahun 1981, dengan ciri-ciri imunosupresi
yang sangat menonjol dengan manifestasi klinik yang beragam termasuk infeksi
oportunistik, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) yang terutama
menginfeksi sel limfosit T CD4+. Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling
banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat.
HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga Retrovirus yang ditandai oleh
suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul lipid dari sel induk yang
mengelilingi sebuah pusat protein RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan
enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Bartlett dan Gallant,
2007).
Virus ini akan menyerang limfosit T helper (CD4+), yang menyebabkan
hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain
yang mempunyai protein CD4+ pada permukaannya seperti makrofag dan monosit
juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4+ dalam tubuh
manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan
7
2
dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga ini meningkatkan probabilitas
seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik (Levinson, 2012).
2.1.2 Struktur genomik HIV
Human Immunodeficiency Virus termasuk virus RNA positif yang berkapsul,
dari famili Retroviridae. Diameternya sekitar 100 nm dan mengandung dua
salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan
kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein
permukaan gp120 (Weiss, 2003).
Diantara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu
juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse
transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan
DNA polimerase yang khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom
RNA menjadi salinan rantai ganda DNA yang selanjutnya diintegrasikan pada
DNA sel penjamu. Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan
spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural
dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel
penjamu) (Weiss, 2003).
Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti
virus memasuki sitoplasma sel yang terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda
dengan RT. Penyalinan dimungkinkan dengan aktivitas RNAse H dari RT,
sehingga rantai RNA dapat dipecah menjadi campuran DNA (-) dan RNA (+).
Baru kemudian campuran ini berubah menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA
hasil salinan akan memasuki inti sel yang terinfeksi dan menyatu dengan
3
kromosom sel penjamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut mengalami
penyatuan dengan kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan
dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang disebut long terminal repeats
(LTR) pada ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi
sinyal yang diperlukan untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari
penjamu. Selain itu juga protein integrase berperan dalam proses ini. Setelah
DNA penjamu terintegrasi dengan materi genetik virus, akan terjadi proses
transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu atau
beberapa mRNA. mRNA yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.
Gambar 2.1 Struktur Human Immunodeficiency Virus (Weiss , 2003)
4
2.1.3 Perjalanan infeksi HIV
Menurut Kelly (2004) fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam tiga
fase, yaitu : fase infeksi akut, kronik dan laten.
1. Fase Infeksi Akut
Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang
bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium
tinggi dan ekspansi virus pada respon imun yang spesifik. Proses replikasi
tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan
menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi
akut. Diperkirakan 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami
sindroma infeksi akut selama 3 minggu setelah terinfeksi virus dengan
gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia,
letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan
berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf meskipun
paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Fase ini terjadi
penurunan limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti
kenaikan limfosit T, meskipun demikian tidak ada antibodi spesifik HIV
yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini. Selama masa infeksi
akut, HIV mereplikasikan dirinya secara terus-menerus, sehingga
mencapai level 100 juta kopi HIV RNA/ml. HIV tersebut mempunyai
topisme pada berbagai sel target, terutama pada sel-sel yang mampu
mengekspresi CD4+, yaitu:
1. Sistem saraf : astrosit, mikroglia, dan oligodendroglia
5
2. Sirkulasi sistemik : limfosit T, limfosit B, monosit dan makrofag
3. Kulit : sel langerhans, fibroblas dan dendritik
Terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ yang
terdapat pada sel limfosit T pada awal infeksi, interaksi tersebut
menyebabkan terjadinya ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak
sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada
membran sel target. Proses internalisasi HIVpada membran sel target juga
memerlukan peran glikoprotein 41 (gp41) yang terdapat pada selubung
virus. Gp41 tersebut berperan dalam proses fusi membran virus dengan
membran sel target. Peran gp41 tersebut menyebabkan seluruh komponen
inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai
dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Mamidi dkk,
2002; Karn, 2007; Husein dkk, 2010).
2. Fase infeksi laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai
memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian
besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar
limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T
CD4+ menurun hingga sekitar 200-500 sel/mm
3. Fase ini berlangsung rata-
rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah
terinfeksi akan muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada
6
malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada
mukosa dan kulit yang berulang. Gejala-gejala tersebut merupakan awal
tanda munculnya infeksi oportunistik (Mamidi dkk, 2002; Karn, 2007;
Husein dkk, 2010).
3. Fase infeksi kronik
Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan
di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun.
Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3.
Penurunan ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin
rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan penyakit
semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS (Mamidi dkk, 2002;
Karn, 2007; Husein dkk, 2010).
Gambar 2.2 CD4+, viral load dan perjalanan HIV (Bennett, 2011)
7
2.2 Fungsi Kognitif pada HIV
2.2.1 Pengertian fungsi kognitif
Pengertian kognitif menurut behavioral neurology, adalah suatu proses
dimana semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah,
disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna
sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris
tersebut (Filley, 2005)
Konsep yang paling banyak dianut, bahwa fungsi kognitif mencakup lima
domain, yaitu:
1. Perhatian (atensi)
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak
dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas
limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus
spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi
merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang
lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi
kognitif lain seperti memori, bahasa, dan fungsi eksekutif (Levy, 2007).
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar
yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Didapatkan gangguan
bahasa, maka pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif
akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan (Levy, 2007).
8
3. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian
informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang
berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi
memori (Levy, 2007; Griffin dan Gerhardstein, 2010)
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional
seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal :
lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan
dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan
berperan paling dominan (Griffin dan Gerhardstein, 2010).
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara
berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh
korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal yang berhubungan
dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit
frontal-subkortikal terputus. Lezak’s membagi fungsi eksekutif menjadi 4
komponen yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive
action (bertujuan), effective performance (pelaksanaan yang efektif).
Seandainya ada gangguan fungsi eksekutif, maka gejala yang muncul
sesuai keempat komponen di atas (Barkley, 2011).
9
2.2.2 Anatomi fungsional fungsi kognitif
Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam
menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik.
Struktur limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus
subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan
korpus mamillare. Alveus, fimbria, fornik, traktus mammilotalamikus, dan striae
terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini. (Waxman, 2007).
Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi,
fungsi neuroendokrin, dan aktifitas otonom. Berikut ini merupakan bagian dari
sistem limbik :
1. Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan
predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada
hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang,
pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan
darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior merupakan
struktur limbik terluas, berfungsi pada afektif, kognitif, otonom, perilaku
dan motorik
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan
septal nuclei. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.
10
6. Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi
dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido,
dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka
panjang.
7. Talamus, merupakan kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon
membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi talamus sebagai pusat
hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Talamus
merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak atau sebagai stasiun
relay ke korteks serebri.
8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan
pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur kebahagiaan.
10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen
asosiasi (Markam, 2003; Devinsky dkk, 2004).
Lobus otak yang berperan dalam kognitif adalah
1. Lobus frontal
Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa,
memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan sintesis.
Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem
limbik karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan
adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.
2. Lobus parietalis
11
Berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan visuospasial. Korteks
ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, taktil) dari area
asosiasi sekunder. Lobus ini menerima input dari berbagai modalitas
sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk
asosiasi sensori (cross modal association), sehingga manusia dapat
menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat
atau pegang.
3. Lobus temporalis
Berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori,
kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.
4. Lobus oksipitalis
Berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori, dan bahasa.
(Markam, 2003)
2.2.3 Faktor risiko terjadinya gangguan kognitif
Beberapa kondisi atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif, antara lain :
1. Usia
Meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai
dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degeneratif)
(Valcour dkk, 2011).
2. Pendidikan
Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi,
berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Valcour dkk, 2011).
12
3. Genetik
Termasuk faktor genetik adalah faktor bawaan, jenis kelamin dan ras.
Penyakit genetik yang berhubungan dengan gangguan kognitif
diantaranya Huntington, Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne
Muscular Distrofi, dan sindroma Down (Valcour dkk, 2011).
4. Berbagai penyebab yang dapat mempengaruhi perkembangan otak
pada masa prenatal dan pasca natal.
5. Cedera kepala
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan kognitif, biasanya
jenis cedera kepala tertutup. Gangguan kognitif yang dapat timbul
pada cedera kepala antara lain amnesia anterograd dan retrograd,
fungsi memori, gangguan kemampuan konstruksi, fungsi bahasa,
persepsi, kemampuan motorik dan kemampuan psikiatri.
6. Obat-obat toksik atau napza (narkotika, psikotropika dan zat aditif)
Beberapa zat toksik yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif antara lain karbonmonoksida, logam berat, alkohol, obat-
obatan (seperti kokain, mariyuana, halusinogen, amfetamin)
(Cicconetti dkk, 2004).
7. Infeksi susunan saraf pusat
Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis maupun
abses otak dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif
(Cicconetti dkk, 2004).
8. Epilepsi
13
Frekuensi dan variasi gangguan kognitif yang terlihat pada penderita
epilepsi cukup tinggi, dan dampak psikologis maupun sosial juga
tinggi. Obat-obat epilepsi sendiri dapat menimbulkan efek samping
berupa gangguan kognitif (Valcour dkk, 2011).
9. Penyakit serebrovaskular
Gangguan kognitif yang timbul pada penyakit serebrovaskular dapat
menjadi awal terjadinya demensia vaskular (Cicconetti dkk, 2004).
10. Tumor otak
Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat
menimbulkan satu atau kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala-
gejala yang dapat timbul antara lain afasia, disorientasi, kesulitan
membaca, menulis, atau berhitung, kebingungan, dan gejala psikiatri.
Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor (Cicconetti dkk,
2004).
11. Nutrisi
Zat gizi yang diperlukan untuk perkembangan otak bukan hanya zat
gizi makro tetapi juga zat gizi mikro (Clifford dan Ances, 2013).
12. Hormon tiroid
Defisit atau kelebihan hormon tiroid selama perkembangan dapat
berefek buruk pada fungsi neurologi. Karena laju produksi sel-sel
pada berbagai regio otak berbeda-beda waktunya, maka periode kritis
aksi hormon tiroid pada proliferasi sel berbagai regio otak tertentu
berbeda-beda pula (Clifford dan Ances, 2013).
14
13. Stimulasi
Semakin banyak stimulasi yang diterima seseorang di lingkungan
rumah maupun yang formal akan mempengaruhi fungsi kognitif
(Richardson dkk, 2002).
14. Stres
Selain aksi emosional, orang seringkali menunjukkan gangguan
kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stresor yang serius,
akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis
(Clifford dan Ances, 2013).
15. ARV (Anti Retroviral)
Penggunaan ARV (Anti Retroviral) memperlihatkan angka harapan
hidup pada penderita HIV/AIDS meningkat. Obat tersebut
menyebabkan peningkatan supresi virus dalam peredaran darah
sistemik. Gangguan fungsi kognitif pada penderita HIV-AIDS
menunjukkan penurunan sejak penggunaan ARV. Perubahan
patofisiologi di otak pada penderita dengan HIV associated
neurocognitive disorders (HAND) dapat berkurang setelah
penggunaan ARV (Borjabad dkk, 2011).
16. Merokok
Merokok dapat menyebabkan gangguan kognitif, terutama fungsi
memori. Nikotin dalam rokok merupakan zat neurotoksik (Ronchi
dkk, 2002).
17. Diabetes melitus
15
Kerusakan pembuluh darah otak karena komplikasi penyakit DM
sering menyebabkan infark lakunar, yang dapat menimbulkan
gangguan kognitif (Cicconetti dkk, 2004).
18. Penyakit parkinson
Penyakit parkinson dapat menyebabkan demensia Lewy Body.
19. Gangguan psikiatri
Penderita dengan gangguan psikiatri dapat terjadi pseudo demensia
dan sulit dinilai fungsi kognitifnya (Richardson dkk, 2002).
2.2.4 Manifestasi gangguan kognitif pada penderita HIV
Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek
bahasa, memori, emosi, visuospasial dan kognisi.
1. Gangguan bahasa : gangguan bahasa yang terjadi pada demensia
terutama tampak pada kemiskinan kosa kata. Pasien tak dapat
menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan padanya
(confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi menyebutkan nama
benda dalam satu kategori (category naming), misalnya disuruh
menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori. Sering
adanya diskrepansi antara penamaan konfrontasi dan penamaan
kategori dipakai untuk mencurigai adanya demensia dini. Misalnya
orang dengan cepat dapat menyebutkan nama benda dalam satu
kategori, ini didasarkan karena adanya abstraksinya mulai menurun
(Valcour dkk, 2011)
16
2. Gangguan memori : gangguan mengingat sering merupakan gejala
yang pertama timbul pada demensia dini. Tahap awal yang terganggu
adalah memori barunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja
dikerjakan. Lambat laun memori lama juga terganggu. Dalam klinik
neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung
lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall (Clifford dan
Ances, 2013), yaitu :
1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus
dan recall hanya beberapa detik. Dibutuhkan pemusatan perhatian
untuk mengingat (attention) disini.
2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu
beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.
3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun
bahkan seusia hidup.
3. Gangguan emosi : efek langsung yang paling umum dari penyakit
pada otak pada personality adalah emosi yang tumpul, disinhibition,
kecemasan yang berkurang atau euforia ringan, dan menurunnya
sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan,
depresi dan hipersensitif (Valcour dkk, 2011).
4. Gangguan visuospasial : gangguan juga sering timbul dini pada
demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan
malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat dan orang).
Secara objektif gangguan visuospasial ini dapat ditentukan dengan
17
meminta pasien mengkopi gambar atau menyusun balok-balok sesuai
bentuk tertentu (Valcour dkk, 2011).
5. Gangguan kognisi (cognition) : fungsi ini yang paling sering
terganggu pada pasien demensia, terutama daya abstraksinya. Ia selalu
berpikir konkrit, sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa dan
daya persamaan (similarities) mengalami penurunan (Clifford dan
Ances, 2013).
2.2.5 Klasifikasi gangguan neurokognitif pada infeksi HIV
Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak
yang terkena bisa terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV-associated
neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia (HAD) atau
AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan asymptomatic
neurocognitive impairment (ANI). Gejala gangguan neurologik tersebut dapat
diprediksi dengan jumlah limfosit T CD4+
pada penderita, jadi penderita dengan
CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/µL mengalami gangguan
neurokognitif berupa MND atau ANI. HAD terjadi pada penderita yang sudah
dalam fase AIDS (Levy, 2007).
Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah
lupa), gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik
(tremor, ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu
individu dengan individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa
minggu atau dalam beberapa bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana
terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit komorbiditas seperti cedera kepala
18
atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau MND menentukan
prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral (Skiest, 2002;
Levy, 2007).
Gejala klinis dan hasil laboratorium yang menuntun ke arah diagnosis HAD
atau demensia HIV adalah (Boisse dkk, 2008) :
1. Serologi HIV positif
2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori
dan perlambatan mental.
3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat
difus, perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas
hiperrefleksia, hipertonia dan dijumpainya release sign.
4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairment pada dua jenis pemeriksaan
yaitu : fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal.
5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokus.
6. Pemeriksaan radiologi : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi
fokal.
7. Tidak dijumpai penyakit psikiatri mayor dan intoksikasi.
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis dan lain-lain.
9. Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif.
Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan
kognitif/motor minor terkait HIV/MND adalah :
Probable (harus ada semua gejala di bawah ini) :
19
1. Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang didapat, dipastikan oleh
anamnesis yang dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologi.
2. Mild impairment dari aktivitas sehari-hari.
3. Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV.
4. Tidak disebabkan etiologi lain.
Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) :
1. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi
lain dan penyebab dari (1) tidak pasti.
2. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak
dapat ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit.
Kriteria MND :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2
domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0
standar deviasi di bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok
berdasarkan tes neuropsikologik yang terstandarisasi. Penilaian
neuropsikologi harus termasuk kemampuan : verbal/bahasa,
atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran,
mengingat), perseptual kompleks-performa motorik, kemampuan
motorik.
2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan
keterlibatan fungsional sehari-hari (paling sedikit satu dibawah ini) :
a. Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam
bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.
20
b. Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut
telah mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari
gejala tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi
sosial.
3. Gangguan kognitif didapatnya paling sedikit 1 bulan.
4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau
demensia HIV.
5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf
pusat, neoplasma, penyakit serebrovaskular, penyakit neurologi yang
telah ada, gangguan psikiatri, atau ketergantungan berat substansi
tertentu).
Kriteria diagnosis ANI :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2
domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0
standar deviasi di bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok
berdasarkan tes neuropsikologi yang terstandarisasi.
2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional sehari-
hari.
3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia.
4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI.
2.2.6 Patogenesis gangguan kognitif pada penderita HIV
Infeksi HIV dimulai dengan pengikatan gp120 pada selubung HIV dengan
reseptor CD4+ pada permukaan sel limfosit yang diperkuat oleh koreseptor
21
kemokin CCR5/CXCR4. Inti virus memasuki sel setelah terjadi fusi membran
virus dengan membran sel limfosit. Siklus reproduksi diawali dengan transkripsi
virus RNA oleh enzim reverse transcriptase menjadi double-stranded DNA
(dsDNA) sebagai provirus. Provirus memasuki nukleus dan berintergrasi dengan
mediator enzim integrase. Provirus tidak aktif dalam beberapa bulan/tahun tanpa
memproduksi virion disebut sebagai fase laten. Provirus teraktivasi oleh antigen,
sitokin atau faktor lain yang memicu nuclear factor kB (NF-kB) aktif dan
berikatan pada 5’long terminal repeats (LTR). Transkripsi DNA menjadi RNA
dan polipeptida yang dipecah oleh enzim protease membentuk virus baru yang
siap menginfeksi sel target berikutnya. Virus HIV bersifat highly neurotropic
sehingga tahap awal sudah menyerang susunan saraf tepi dan pusat (Nasronudin,
2007; Valcour dkk, 2010).
Target utama infeksi HIV pada susunan saraf pusat (SSP) adalah monosit-
makrofag, mikroglia dan astrosit. Virus HIV menginfiltrasi SSP dengan melewati
sawar darah otak bersama monosit melalui mekanisme Trojan Horse. Monosit
yang terinfeksi berdiferensiasi di dalam SSP menjadi mikroglia (perivascular
microglia) dan makrofag, serta bertindak sebagai antigen presenting cell bagi
limfosit T sehingga limfosit T dapat mengenal dan mengekspresikan reseptor
CD4+ pada permukaannya (Ghafouri dkk, 2006; Sugianto, 2008)
HIV melakukan penetrasi dengan cepat ke dalam SSP setelah infeksi perifer
dan kemudian menetap secara primer dalam makrofag perivaskular dan mikroglia.
Aktivasi makrofag dan mikroglia melepaskan protein virus HIV (gp120, tat, vpr)
dan mediator kimia yang bersifat neurotoksik antara lain quinolinic acid dan
22
excitotoxic amino acid (EAAs) seperti glutamat dan L-sistein, asam arakhidonat,
platelet activating factor (PAF), nitric oxide (NO) dan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α). Mediator kimia tersebut menimbulkan gangguan sawar darah otak
yang memudahkan masuknya virus HIV ke SSP. Stimulasi reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) menyebabkan meningkatnya pelepasan Ca2+
intraseluler dan
glutamat. Konsentrasi glutamat otak dan neurotoksin lainnya meningkat dan
menyebabkan kematian neuron (Kaul dan Lipton, 2006; Ghafouri dkk, 2006).
Kerusakan neuron terjadi akibat mekanisme langsung melalui interaksi
protein virus seperti gp 120, tat dan vpr yang dihasilkan oleh sel-sel terinfeksi dan
mekanisme tidak langsung akibat proses inflamasi dari aktivasi monosit,
makrofag dan astrosit. Substansi-substansi ini menginduksi neuronal injury dan
apoptosis yang menyebabkan terjadinya demensia sehingga dengan semakin
meningkatnya survival pada infeksi HIV/AIDS maka prevalensi demensia akan
meningkat sebagai penyakit yang menegaskan AIDS (Kaul dan Lipton, 2006).
2.2.7 Pemeriksaan penunjang gangguan kognitif pada penderita HIV
Pemeriksaan laboratorium gangguan kognitif pada HIV hanya skrining untuk
menyingkirkan secara efektif etiologi infeksi dan metabolik lain. Anemia yang
berhubungan dengan infeksi HIV-1 dikatakan sebagai prediktor awal risiko tinggi
gangguan neuropsikologis (Valcour dkk, 2010).
Pemeriksaan rutin liquor cerebrospinalis (LCS) pada pasien HAD
menunjukkan gangguan tidak spesifik berupa peningkatan protein ringan dan
pleositosis. Teknik imaging dapat mengidentifikasi abnormalitas otak pasien HIV
yang menderita gangguan kognitif. Penelitian menggunakan Computed
23
Tomography (CT) sken dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan
peningkatan ruang sulkus dan ventrikuler, berkurangnya volume substansia alba
dan substansia grisea dan abnormalitas sinyal area subkortikal dan kortikal,
terutama pada kasus lanjut (Reynolds dkk, 2008).
Gambaran neuropatologi yang berhubungan dengan HAD adalah
multinucleated giant cell. Makrofag dan mikroglia terinfeksi dan tidak terinfeksi
bergabung bersama membentuk multinucleated giant cells yang merupakan
gambaran yang paling spesifik pada HAD (Reynolds dkk, 2008).
2.2.8 Penilaian gangguan kognitif pada penderita HIV
Perangkat sederhana untuk mengetahui penurunan fungsi kognitif antara lain
dengan Mini Mental State Examination (MMSE). Salah satu pemeriksaan fungsi
kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. MMSE berisi 11 item
pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori
jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik
(Folstein, 1975; Setyopranoto dkk, 2000). Montreal Cognitive Assesment
digunakan untuk mengetahui adanya mild cognitive impairment. MoCA terdiri
dari 30 poin yang akan diujikan dengan menilai beberapa domain kognitif, yaitu :
1. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin), phonemic
fluency test (1 poin), dan two item verbal abtraction (1 poin).
2. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan
menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin).
3. Bahasa : menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak; 3 poin).
mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin).
24
4. Delayed Recall: menyebutkan 5 kata (5 poin), menyebutkan kembali
setelah 5 menit (5 poin).
5. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin),
digit fordward and backward (masing-masing 1 poin)
6. Abstraksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)
7. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari dan tempat
(masing-masing 1 poin).
Tes MoCA telah menunjukkan MoCA dapat menjadi instrumen yang
menjanjikan untuk mendeteksi Mild Cognitive Impairment (MCI) pada awal
penyakit Alzheimer (AD) yang dibandingkan dengan pemeriksaan terkenal
MMSE. Menurut studi validasi (Nasreddine dkk, 2005), sensitifitas dan
spesifisitas dari MoCA untuk mendeteksi MCI (n=94 subyek) adalah masing-
masing 90% dan 87% dibandingkan dengan 18% dan 100% untuk MMSE. Sejak
MoCA dapat digunakan untuk menilai beberapa domain kognitif telah diteliti
sebagai alat untuk mendeteksi gangguan kognitif yang berguna pada penyakit
neurologis lainnya, seperti penyakit parkinson (5 penelitian yang menunjukkan
keunggulan MoCA atas MMSE), gangguan kognitif pada penyakit pembuluh
darah otak, penyakit Hutington, metastasis serebri, tumor otak primer, multipel
skerosis, cedera kepala, serta kondisi lain seperti pada depresi, skizofrenia dan
penyakit hati kronik berat (Nasreddine dkk, 2005).
Tes validasi MoCA telah dilakukan di Indonesia, dari hasil penelitian ini
didapatkan nilai kappa total diantara 2 dokter adalah 0,820. Didapatkan bahwa tes
MoCA versi Indonesia (MOCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi
25
transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun dokter
umum (Husein dkk, 2010).
Perangkat skrining lain yaitu International HIV Dementia Scale (IHDS),
merupakan skala pemeriksaan yang singkat namun sensitif untuk menentukan
penderita HIV yang berisiko mengalami demensia. Skala ini memfokuskan pada
pemeriksaan kecepatan motorik dan psikomotor sehingga mudah digunakan pada
budaya yang berbeda. IHDS dikerjakan dalam waktu 2-3 menit dan tidak
membutuhkan instrumen khusus selain stopwatch (Singh dkk, 2008).
2.3 Limfosit T CD4+
2.3.1 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan HIV
Mekanisme utama dalam infektivitas HIV melalui perlekatan selubung
glikoprotein virus (gp120) pada molekul CD4+
yang bertindak sebagai reseptor
dengan afinitas sangat tinggi pada permukaan sel-sel inang. Molekul-molekul
CD4+ sangat banyak terdapat pada permukaan sel T terutama pada sel-sel T
helper. Namun sel-sel seperti monosit atau makrofag dapat diinfeksi oleh HIV
oleh karena fagositosis kompleks virus-antibodi atau melalui molekul CD4+ yang
dimiliki oleh sel bersangkutan. Kerusakan sel limfosit T CD4+ sebagai penyebab
turunnya fungsi sistem imun, virus merusak sel dengan replikasi, bertunas
merusak membran sel, ikatan glikoprotein (gp120) pada sel terinfeksi dengan
limfosit T CD4+ membentuk fusi sel-sel menjadi sinsitium. Sel terinfeksi dirusak
oleh T sitolik sel NK, gp120 bebas berikatan dengan limfosit T CD4+ pada sel
sehat menyebabkan respon autoimun.
26
Molekul CD4+
berperan penting dalam proses patogenesis AIDS, dan CD4+
berperan pula dalam sitolisis oleh infeksi HIV. Kerusakan sel oleh HIV
tergantung pada molekul CD4+ yang ada pada permukaan sel tersebut, sedangkan
sel yang paling banyak memiliki molekul CD4+ adalah limfosit. HIV memasuki
sel melalui 3 tahap, yaitu perlekatan, penggabungan, dan masuk ke dalam sel
(gambar 2).
Nilai normal CD4+ adalah 500-1200 sel/µl, digunakan untuk mengetahui
sistem imun dari pasien dan untuk penentuan terapi serta profilaksis patogen
oportunistik pada penderita HIV.
Gambar 2.3 Cara virus HIV memasuki sel. (Duri, 2012)
2.3.2 Hubungan limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif pada
Penderita HIV
Suatu penelitian kohort prosfektif menyatakan bahwa kadar plasma HIV
RNA dan angka CD4+ yang dinilai sebelum terapi ARV dapat memprediksi HAD.
27
Penekanan replikasi HIV secara efektif dapat menurunkan insiden demensia
(Childs dkk, 1999). Penelitian lain dengan metode kasus kontrol mengidentifikasi
faktor resiko gangguan neurokognitif pada penderita HIV antara lain tingkat
pendidikan rendah (˂6 tahun), angka limfosit T CD4+ rendah dan penularan secara
seksual berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan IDU. Penderita HIV dengan
kondisi imunosupresi berat berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kognitif
dan terapi ARV mencegah gangguan kognitif pada penderita HIV (Ronchi dkk,
2002).
Hubungan antara CD4+ rendah dengan timbulnya komplikasi neurologi telah
ditegaskan sebelum era penggunaan ARV. Proses neuropatologi yang mendasari
hubungan ini belum dimengerti dengan baik, namun dikatakan bahwa kondisi
imunokompromais mempermudah masuknya virus dan terjadinya kerusakan pada
otak. Rekomendasi pemberian ARV pada individu dengan angka CD4+ ≤200
sel/mm3 dan pertimbangan untuk memulai ARV jika limfosit T CD4+ ≤350
sel/mm3 menyebabkan marker imunokompromais yang ditandai dengan angka
limfosit T CD4+ rendah menjadi jarang dijumpai (Valcour dkk, 2006).
Terapi kombinasi ARV dapat memperbaiki kemampuan neurokognitif
penderita HIV namun pemulihan tidak terjadi pada semua individu yang
mendapat terapi. Gangguan neurokognitif lebih sering terjadi pada penderita
dengan limfosit T CD4+ ≤200 sel/µl (73,1%) dibandingkan limfosit T CD4
+ ˃200
sel/µl (52,6%) (Moreno dkk, 2008).