1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kenyataannya, kebudayaan memang sifatnya kompleks. Wacana
tentang kompleksnya kebudayaan dapat dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem,
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2004:9-10).
Kebudayaan dapat dipilah-pilah menjadi tujuh unsur yang sangat kompleks, yaitu:
sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem sosial/kemasyarakatan, sistem
peralatan/teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi/kepercayaan, dan
kesenian (Koentjaraningrat, 2004:2-4).
Selanjutnya, (Koentjaraningrat, 2004:5-8) membedakan tiga wujud
kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, ide, gagasan, nilai,
norma dan peraturan (ideas/mentifact). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas tindakan yang berpola oleh manusia dalam masyarakat
(activities/socifact). Ketiga, wujud nyata kebudayaan sebagai benda hasil karya cipta
manusia disebut dengan artifacts.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut terkait satu dengan lainnya atau sebagai
unsur yang terintegrasi, serta memiliki sifat universal, yang artinya berbagai unsur itu
ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia. Semua unsur itu dapat
dipandang dari sudut ketiga wujud kebudayaan. Sistem bahasa misalnya, dalam hal
1
2
ini karya sastra baik lisan maupun tulisan, merupakan salah satu unsur kebudayaan
dapat dipandang sebagai ide, gagasan atau nilai. Sebagai aktifitas tindakan yang
berpola dan juga dapat berupa berbagai benda hasil karya manusia. Bahasa dan sastra,
baik lisan maupun tulisan menjadi medium untuk menuangkan berbagai aspek
kebudayaan sehingga menjadi kekayaan bagi pembaca dan penikmatnya.
Masing-masing daerah, suku, atau komunitas dalam suatu wilayah memiliki
pengetahuan tradisional. Secara empiris merupakan nilai yang diyakini oleh
komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam menjalin hubungan antara sesama
dan lingkungan alamnya. Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis , suku, ras,
dan agama, juga memiliki nilai kearifan lokal (local genius) yang telah teruji dan
terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan.
Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial
tersebut dijadikan acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat
beragama di Provinsi Bali, di antaranya: nilai kearifan Tri Hita Karana, Tri Kaya
Parisuda, Tatwam Asi, Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya, Bhineka
Tunggal Ika, Menyama Braya, Rwa Bhineda, dan ungkapan lainnya. Nilai-nilai
kearifan lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi
rujukan dan acuan dalam menjaga serta menciptakan relasi sosial yang harmonis.
Sistem pengetahuan lokal tersebut dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan yang
dinamis dan berkembang terus secara kontekstual sejalan dengan tuntutan serta
kebutuhan manusia yang semakin hiterogen dan kompleks (Wisnumurti, 2009:3).
3
Kekayaan, keberagaman kebudayaan daerah memiliki daya tarik untuk digali,
diangkat dan dipromosikan menjadi salah satu bentuk karya yang bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat pada umumnya. Kearifan lokal yang dimaksud, merupakan
pengetahuan lokal. Masyarakat dapat menggunakan pengetahuan lokal sebagai
pedoman untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan, menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, budaya, yang diekspresikan sebagai sebuah tradisi. Proses
regenerasi kearifan lokal dapat dilakukan melalui pelestarian sastra dan tradisi lisan
termasuk mitos, karya sastra sejarah, babad, ritual, atau dalam wujud ide/ gagasan,
penghayatan (mentifact) serta wujud fisik (artifact). Nilai kearifan lokal juga dapat
menjadi perekat bagi terwujudnya kerukunan umat beragama (Gunawan, 2008:2).
Cassirer (1987:165-169) banyak mengupas kaitan mitos dengan religi. Antara
mitos dan religi tidak ada perbedaan yang mendasar karena bersumber pada
fenomena yang sama dan bersifat manusiawi. Sepanjang perjalanan sejarah, religi
senantiasa berhubungan dan diresapi berbagai unsur mitos. Di lain pihak, Sumandiyo,
(2006:45) menyatakan bahwa mitos dalam bentuk yang paling kasar dan sederhana
pun mengandung beberapa motif dalam arti tertentu. Beberapa di antaranya
merupakan fakta yang tidak perlu disangsikan. Dengan berbagai macam alasan
manusia menganggapnya sebagai penampakan makna luhur, dari gejala alam semesta
dan keutamaan kehidupan manusia.
Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1985: 272) menyatakan bahwa
di balik tanda-tanda dalam komunikasi sehari-hari baik tertulis maupun lisan terdapat
makna misterius yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos. Dalam mitos terdapat
4
pola tiga dimensi, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Sebagai sesuatu yang unik,
mitos juga sebuah sistem pemaknaan tataran ke dua. Di dalam mitos, sebuah petanda
dapat memiliki beberapa penanda. Oleh karena itu, mitos sebagai tuturan yang
mengandung pesan, banyak ditemukan di dalam kehidupan, sebagai sebuah kearifan
tradisional yang dituturkan secara lisan (oral).
Apabila dikaitkan dengan religi serta julukan Bali sebagai pulau Dewata,
hampir setiap saat masyarakat melaksanakan ritual sesaji, baik untuk kepentingan
rumah tangga maupun dilaksanakan pada tempat-tempat yang disakralkan. Dalam
konsep Hindu hal itu merupakan implementasi dari sabda Weda yang berbunyi bahwa
“Tuhan ada dimana-mana”. Wacana tentang mitos berasal dari berbagai ide atau
gagasan, kisah, tindakan, serta merupakan hasil perpaduan tradisi budaya asli dengan
budaya yang datang berikutnya pada saat Bali belum mengenal tulisan. Seiring
dengan perjalanan waktu, ketika masyarakat Bali telah memiliki aksara, yaitu aksara
Pallawa dan Dewa Nagari, akhirnya kearifan tradisional, khususnya cerita rakyat
mulai dituliskan. Waktu terus berlanjut dari zaman kejayaan kerajaan Kediri, hingga
runtuhnya kerajaan Majapahit dan memasuki zaman Republik, terjadi ekspansi besar-
besaran terhadap ide-ide budaya baik dalam wujud mentifact dan artifact di Bali.
Fenomena tentang keberagaman masyarakat Bali dewasa ini terlihat dari
besarnya perhatian terhadap dunia spiritual, dengan mencari model-model kearifan
lokal yang dirasakan mampu untuk mengatasi berbagai krisis sosial masyarakat
modern. Masyarakat modern dirasakan seperti kehilangan makna hidup, tidak
mengetahui bagaimana mempertahankan hubungan dengan Tuhan, dengan sesama,
5
dan dengan alam lingkungan secara tepat seperti yang tertuang dalam konsep Tri Hita
Karana. Era globalisasi juga memunculkan berbagai gerakan spiritual sebagai reaksi
terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat profan.
Fenomena ini merupakan respon dari paradigma modern yang dikenal dengan
sebutan gerakan New-Age, yakni sebuah zaman yang ditandai dengan pengalihan
perhatian terhadap berbagai macam dunia spiritual (Nida, 2007:4).
Objek yang diteliti merupakan bagian dari sastra lisan, yakni mitos yang
populer dan berkembang di Jawa, tentang penguasa laut Selatan yang dikenal dengan
Ratu Kidul selanjutnya disingkat RK. Dalam budaya Jawa mitos tentang RK dipahami
oleh masyarakat merupakan sistem kosmografi dan kosmogoni alam pulau Jawa
dengan menjadikan RK sebagai ikon. Cerita tentang RK berkaitan erat dengan tradisi
keraton Yogyakarta dan Surakarta. Seiring dengan perjalanan waktu mitos RK juga
populer di Bali, bahkan telah diaktualisasikan dalam wujud artifact di beberapa
tempat pemujaan sepanjang pesisir Bali Selatan. Nama yang dilabelkan sebagai RK
berbeda-beda, akan tetapi secara umum mengarah kepada penguasa laut dan penguasa
sumber mata air. Sebagian besar hotel yang berdiri menghadap ke laut Selatan secara
khusus menyiapkan sebuah ruangan untuk tempat pemujaan RK.
Perpaduan tradisi budaya luar Bali terutama tradisi budaya dari masyarakat
Jawa dengan budaya asli Bali tanpa meninggalkan tradisi yang telah ada sebelumnya
(akulturasi) telah terjadi di Bali. Kondisi seperti itu tidak dapat dibendung, apalagi
Bali menjadi tujuan utama wisata dunia. Bali selalu menjadi tempat pilihan kegiatan-
kegiatan yang bertaraf internasional, sehingga sastra dan budaya lisan Bali menjadi
6
efektif sebagai bahan promosi. Oleh karena itu, dituntut perhatian pemerintah daerah
dalam pelestarian dan perlindungan terhadap kearifan lokal dengan berbagai tradisi
lisannya, termasuk mitos-mitos yang ada maupun yang sedang berkembang dan
berakulturasi.
Pemilihan objek mitos RK didasarkan atas pandangan yang menyatakan
bahwa sebuah mitos dapat muncul sebagai kearifan lokal, sedangkan kearifan lokal
itu sendiri merupakan pengetahuan lokal (local wisdom) yang tercipta dari hasil
adaptasi suatu komunitas tentang pengalaman hidup, yang dikomunikasikan dari
generasi ke generasi. Namun demikian, terdapat fenomena lain yang saat ini menjadi
perhatian banyak kalangan masyarakat adalah menjadikan RK sebagai sasuhunan.
Oleh karena itu, objek mitos RK yang diteliti merupakan bentuk sastra dan tradisi
lisan.
Wacana mitos tentang RK yang berkembang di Bali seolah-olah sengaja
‘dihidupkan’ karena dapat ‘menghidupi’. Sebuah mitos yang dikemas dalam bentuk
ritual ber-yadnya untuk pelestarian laut. Mitos tentang Ratu Penguasa Laut Selatan
memang melegenda. Hal ini dibuktikan bahwa wacananya sering diekspose melalui
media elektronik maupun cetak, sehingga para peminat dan pendukungnya pun
meluas ke segala profesi masyarakat. Mitos RK juga fenomenal, kontroversial, dan
misteri. Peranan media terutama elektronik dan media sosial lainnya juga menentukan
perkembangan wacana mitos RK di Bali. Pemilihan objek penelitian ini juga berawal
dari emosional dan keingintahuan peneliti, lalu berkembang menjadi rasa simpati dan
berupaya untuk menelusuri tentang fenomena yang terjadi.
7
Kefenomenalan mitos RK dapat mempengaruhi keyakinan spiritual sebagian
masyarakat di Bali hingga menyebar dalam wujud penghayatan dengan pendirian
beberapa pelinggih (tempat pemujaan), kamar suci, patung, lukisan, gedong, dan
memberikan ritual serta doa-doa sebagai ciri penanda keberadaannya di Bali Selatan.
Keunikan mitos RK di Bali Selatan disebut-sebut berkaitan dengan sejarah kebesaran
dan kejayaan leluhur Hindu di Nusantara serta keberadaan roh-roh orang suci, dewa-
dewi atau malaikat (Jawa) yang selama ini diyakini oleh masyarakat Hindu di Bali
sebagai penyelamat, pembawa berkah, kesejahteraan dan keharmonisan. Pemahaman
masyarakat di Bali tentang mitos RK kini berkembang menjadi kearifan lokal dalam
bentuk aktivitas ritual, seperti: meditasi, malukat, Mapakelem, Melasti,
nglarung(labuhan), petik laut, dan lainnya yang aktualisasinya mewujud dalam ritual
ber-yadnya terhadap laut.
Fenomena tentang keunikan mitos RK yang membumi dan melegenda itulah
menjadi dasar pertimbangan serta ketertarikan peneliti untuk menelitinya. Namun,
rujukan teoretis untuk pengkajiannya terbatas, karena di Bali belum ada yang
menelitinya. Oleh sebab itu, peneliti juga merasa perlu melakukan observasi dan
mencari rujukan ke tempat asal mitos tersebut. Ini dilakukan karena di Jawa, mitos
RK merupakan bagian dari tradisi sastra lisan yang disakralkan dalam bentuk
kepercayaan khususnya bagi Keraton Yogyakarta, Keraton Solo, dan menjadi
keyakinan masyarakat pesisir Selatan Jawa pada umumnya.
Terjadinya berbagai masalah sosial saat ini, sudah melampaui batas etika, dan
norma kehidupan, diduga masih ada kaitannya dengan pelaksanaan tradisi lisan dan
8
nilai-nilai yang terkandung dalam mitos RK. Hal ini mungkin merupakan implikasi
dari tidak terkendalinya sikap serta perilaku (pikiran, perkataan, dan perbuatan)
menurut konsep Hindu yang disebut Tri Kaya Parisuda. Konsep inilah yang perlu
dipakai acuan bagi masyarakat multikultur. Ketika manusia tidak lagi menghiraukan
etika dan norma yang berlaku secara turun temurun yang telah diwariskan oleh nenek
moyang (leluhur), terjadilah degradasi moral dan kesenjangan antara apa yang
menjadi harapan, cita-cita para leluhur di masa lalu, dengan apa yang dilakukan
generasi penerus.
Berdasarkan pola pikir tersebut dan dengan disertai penemuan berbagai
fenomena terhadap objek penelitian, diduga bahwa fenomena wacana mitos RK di
Pesisir Bali Selatan mengandung nasihat-nasihat yang bersifat implisit. Dalam hal ini,
diperlukan pemahaman dan pemaknaan yang sedalam-dalamnya, sehingga semua
menjadi jelas, dan dapat dipahami tidak saja oleh masyarakat penghayat, tetapi yang
terpenting oleh generasi muda sebagai penerus kehidupan bangsa. Selama ini para
generasi muda selalu menganggap bahwa mitos itu kuno, hanyalah ilusi, tahayul, dan
tidak perlu diperhitungkan dalam kehidupan modern. Namun, sesungguhnya mereka
berada, dikelilingi, bahkan melaksanakan berbagai macam mitos.
Menindaklanjuti ketertarikan tersebut, peneliti telah melakukan observasi
dan mewawancarai para informan tentang mitos RK di Bali Selatan melalui
penelusuran 12-an (duabelasan) Pura yang berada di pesisir Bali Selatan tidak
termasuk kamar suci yang ada di hotel Inna Grand Bali Beach Sanur. Peneliti juga
mempunyai alasan dalam pemilihan objek dengan mendasarkan pada beberapa
9
fenomena yang telah ditemukan. Dari fenomena itulah terinspirasi judul disertasi:
“Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan: Kajian
Wacana Naratif”. Bahwa informasi yang ada di masyarakat dalam bentuk wacana
perlu dikritisi kembali sesuai situasi, kondisi, sudut pandang, dan interpretasi para
penyimak, peminat serta penikmatnya. Temuan yang berupa fenomena itu
dideskripsikan, dianalisis, sehingga dapat dipahami wacana mitos RK di pesisir Bali
Selatan yang dimaksudkan oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan
pragmatis yang mengarah pada wacana kritis, menjadi dasar kajian analisis wacana
naratif. Hasilnya diharapkan dapat memberikan manfaat yang relevan bagi kehidupan
masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam teori kontemporer disebutkan, dominasi pikiran pun harus
direkonstruksi, sehingga sistem simbol termasuk simbol suku primitif dapat
dimanfaatkan dan diartikan. Manusia adalah entitas historis, keberadaannya
ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu: hubungan manusia
dengan alam sekitar, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia
dengan struktur dan institusi sosial, hubungan manusia dengan kebudayaan pada
ruang dan waktu tertentu, manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan
praktik, serta manusia dan kesadaran religius atau para religius (Ratna, 2010:351).
Kaitannya dengan wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan, dengan latar
ceritanya tergolong sastra yang bernuansa sejarah dan tidak asli dari daerah Bali,
10
bukan berarti diabaikan atau diremehkan kemunculannya. Justru yang diperlukan
adalah gerakan cepat tanggap dari masyarakat untuk pemahaman dan penanganannya.
Di zaman teknologi yang semakin canggih ini, ada kemungkinan mitos Ratu
Penguasa Pantai Selatan sengaja dihidupkan (diwacanakan) oleh komunitas tertentu,
dengan cara menampilkan kembali dalam wujud penghayatan yang disertai ritual.
Wacana itu lalu difragmentasi dengan memberikan makna yang baru sesuai dengan
situasi dan kondisi saat diwacanakan dan diteliti. Oleh karena itu, wacana mitos RK
‘dihidupkan’ karena ‘menghidupi’ masyarakat di tempat manapun wacana itu
berkembang.
Adapun rumusan masalah dari beberapa fenomena yang telah teridentifikasi,
dan diteliti sebagai berikut.
1) Bagaimanakah Struktur Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan?
2) Bagaimanakah Fungsi Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan?
3) Apakah Makna Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan?
4) Bagaimanakah Persepsi Masyarakat dan Implikasi Wacana Mitos RK
di Pesisir Bali Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian tentang wacana RK di Pesisir Bali Selatan merupakan penelitian
lapangan. Oleh karena itu, secara ideal harus melalui tahapan kegiatan penelitian,
seperti: pengumpulan data, pengolahan atau analisis data, dan penyajian hasil
11
penelitian. Dengan demikian, penelitian ini pun mempunyai tujuan, yaitu untuk
menggali dan menemukan prinsip-prinsip serta pemahaman baru wacana mitos RK di
pesisir Bali Selatan.
Penelitian ini juga bertujuan memberikan pemahaman analitis dari sudut
pandang wacana naratif. Cara ini dapat menunjukkan dan memberikan penekanan
bahwa di era modern ini keyakinan/kepercayaan terhadap mitos yang masih hidup
dan berkembang perlu dilestarikan. Wacana mitos RK yang melegenda dan bernuansa
mistik telah mendapat pengakuan kesakralannya dari komunitas tertentu. Hal ini
dapat menambah khasanah perbendaharaan sastra dan tradisi budaya di Bali
khususnya.
Pemahaman semacam itu diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman antara
pihak yang tidak melakukan penghayatan dengan pihak pendukung tradisi. Melalui
pengungkapan fungsi dan makna wacana mitos RK bagi kehidupan spiritual,
diharapkan agar berbagai pihak dapat memahami bahwa para pendukung telah
merasakan ada kekuatan (energi) tertentu di balik ritual yang dilaksanakan atas nama
mitos tersebut. Kekuatan-kekuatan itulah pada gilirannya menjadi aset yang berharga
sebagai bentuk pola pikir masyarakat untuk tidak melupakan dan meninggalkan
tradisi, sastra, dan sejarah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Dalam rangka mewujudkan tujuan umum seperti tersebut di atas, maka
dipandang perlu untuk melakukan fokus tujuan melalui tahapan penelitian sesuai
12
rumusan masalah, menjadi tujuan khusus. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Mengidentifikasi, mentranskripsi, dan mendeskripsikan struktur wacana
mitos RK di Pesisir Bali Selatan.
2) Mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi fungsi wacana
mitos RK di Pesisir Bali Selatan.
3) Menganalisis dan menginterpretasi makna wacana mitos RK di Pesisir
Bali Selatan.
4) Memahami dan menginterpretasi persepsi masyarakat dan implikasi
wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4. 1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan dunia ilmu wacana dan sastra, terutama tentang pemahaman
tanda, petanda, dan penanda dalam mitos. Kemudian, diperoleh gambaran struktur,
fungsi, dan makna terhadap fenomena yang terjadi dan dianggap masih misteri. Di
samping itu, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan, perlindungan, dan
revitalisasi/pemeliharaan tradisi sastra lisan nusantara. Akhirnya, dapat memperkaya
khazanah perpustakaan bahasa, sastra, dan budaya. Hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang berminat melakukan kajian
sejenis.
13
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai berikut.
1) Bermanfaat bagi perubahan sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat Bali
pada umumnya dalam memahami wacana mitos RK sebagai konsep kearifan
lokal tentang etika pengelolaan dan pelestarian sumber mata air, khususnya
laut. Dengan demikian, segala bentuk ritual penghormatan terhadap unsur-
unsur alam, seperti: laut, gunung, dan darat menjadi semakin penting
dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan
makhluk hidup.
2) Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat sebagai apresiasi bagi mahasiswa yang
berminat meneliti wacana dan sastra lisan.
3) Manfaat lain juga diharapkan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak terkait
dalam mengambil strategi serta kebijakan tentang tradisi dan sastra lisan di
Bali, melalui penyamaan persepsi, demi memahami keragaman budaya,
kearifan lokal, sastra dan agama, sebagai ciri masyarakat yang hiterogen.
4) Dapat dijadikan bahan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat
pada umumnya yang gemar mempelajari tradisi dan sastra lisan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Setelah tujuan dan manfaat ditentukan, maka dilakukan pembatasan ruang
lingkup penelitian. Hal ini penting agar kegiatan penelitian tidak melebar tanpa arah,
karena dapat mengaburkan fokus penelitian. Mely G.Tan (dalam Bungin, 2003:36),
14
menyebutkan beberapa dasar pertimbangan untuk menentukan batasan ruang lingkup
penelitian, seperti: maksud dan perhatian peneliti, bahan atau data yang ada tentang
masalah dan fenomena, serta penelitian lapangan yang sudah dilakukan. Oleh karena
itu, penelitian tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan, lokasi dan analisisnya
juga dibatasi sesuai ruang lingkup wilayah pesisir Bali Selatan (pesisir Gilimanuk
sampai Padangbai). Namun, tidak meliputi pulau-pulau di seberang laut Bali Selatan
dengan rumusan masalah sebagaimana disebutkan di atas.
Pemilihan lokasi penelitian lebih difokuskan pada wilayah pesisir Bali
Selatan, dari ujung Timur (pesisir Selatan Kabupaten Karangasem), yaitu pantai
Padangbai hingga ujung Barat (pesisir Selatan Kabupaten Jembrana), yaitu pantai
Gilimanuk. Oleh karena keterbatasan waktu penelitian, sehingga tidak meneliti pulau-
pulau di seberang laut seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan
pulau Menjangan. Ada ± 12-an (duabelasan) lokasi atau wilayah pesisir yang
mewacanakan RK dan berkaitan dengan ‘Pura’. Data yang tidak berkaitan dengan
Pura adalah kamar suci 327 dan Cottages 2401 hotel Inna Grand Bali Beach Sanur
selanjutnya, disingkat IGBB.
Pengambilan data dimulai dari hotel IGBB Sanur dan sekitarnya. Dari pesisir
Denpasar bagian Selatan, kemudian menuju pesisir Gianyar bagian Selatan,
Klungkung, Karangasem, lalu kembali di pesisir Badung bagian Selatan, Tabanan,
dan Jembrana. Dengan tidak disengaja peneliti mendapat informasi bahwa, wacana
mitos RK juga ada pada perbatasan Kabupaten Buleleng dengan Jembrana, yakni
pada areal hutan Pura Segara Rupek Desa Sumber Kelampok, Kecamatan Grokgak.
15
Waktu pengumpulan data penelitian dilakukan selama 6 (enam bulan), sejak Maret
2014 sampai Agustus 2014.
Data yang telah terkumpul berupa informasi, diklasifikasi, diidentifikasi,
ditranskripsi menjadi beberapa penggalan wacana. Kemudian, penggalan wacana
yang berupa persepsi masyarakat itu difragmentasi, serta direkonstruksi menjadi
teks/wacana yang utuh. Bentuk persepsi masyarakat dianalisis dan diinterpretasi
sesuai permasalahan yang dikaji dengan menggunakan metode serta teori yang
relevan untuk memperoleh temuan dan kesimpulan. Pada saat melakukan observasi
dengan menyusuri pesisir Bali Selatan, peneliti mewawancarai beberapa nara sumber
yakni; para pemangku Pura yang mengetahui tentang wacana mitos RK, beberapa
paranormal di Bali dan masyarakat nelayan yang bermukim di pesisir Bali Selatan.
Para informan dipandang mengetahui, dan memahami, sehingga dapat
menjelaskan asal usul wacana mitos RK hingga menjadi kepercayaan di Bali.
Sebelum memfokuskan penelitian di Bali, peneliti telah mencari informasi awal di
beberapa pesisir Selatan Jawa, sebagai tempat asal mitos RK yang sudah melegenda
seperti di daerah Sukabumi (pantai Pelabuhan Ratu), pantai Karang Hawu, pantai
Parangtritis dan Cepuri Parang Kusumo (Yogyakarta Selatan), Keraton Yogyakarta
dan Solo, (foto; 1,3,25,26,27,28) terlampir. Informasi yang diperoleh bervariasi, ada
yang memitoskan sebagai putri raja, seorang penari kerajaan, bidadari, dan penguasa
atau ratu makhluk halus, namun tidak membuatkan tempat pemujaan khusus seperti
yang ditemukan di Bali.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Sejumlah pustaka yang berkaitan dengan wacana mitos RK sebagai objek
bahasan sudah banyak beredar di Jawa. Terutama dalam bentuk buku yang isinya
tentang RK baik berupa versi mitosnya maupun kaitannya dengan silsilah raja-raja
penguasa tanah Jawa. Dari kerajaan Mataram Hindu, Pajajaran, Kediri, Majapahit,
sampai berdirinya kerajaan Mataram Islam, bahkan hingga zaman Republik. Semua
buku menceritakan RK di Jawa serta hubungannya dengan sejarah dan aktivitas para
penguasa. Pustaka yang mengulas tentang asal usul cerita dan mitos RK di Bali tidak
ditemukan, akan tetapi fenomenanya ada.
Sebagai referensi ditemukan sebuah tulisan ilmiah pada Fakultas Sastra
Universitas Udayana yang secara langsung masih berkaitan dan membicarakan
tentang cerita mitos RK akan tetapi lokasi penelitiannya di Solo. Oleh karena itu,
penelitian tentang wacana mitos RK yang dilakukan di Bali Selatan tergolong baru,
sehingga kajian pustaka yang dipakai acuan pun masih memerlukan rujukan dari
buku-buku sejarah peradaban Nusantara dan Bali masa lampau, terutama dalam
pembahasan substansinya. Beberapa pustaka yang menjadi acuan teoretis untuk
membahas wacana mitos RK di Bali Selatan adalah sebagai berikut.
16
17
Djoko Dwiyanto (2009) dalam bukunya Keraton Yogyakarta; ‘Sejarah,
Nasionalisme dan Teladan Perjuangan’ pada intinya menguraikan tentang sejarah
berdirinya Keraton Yogyakarta yang telah berurat dan berakar dalam jiwa para
pejuang, patriot dan pendiri negeri itu. Oleh karena itu, keagungan dan keanggunan
istana dihormati dan dikagumi oleh siapa saja, termasuk rakyat yang tinggal di
perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Warisan agung itu pada kenyataannya bisa
berperan dalam kancah tradisional dan internasional.
Keteladanan dan keutamaan yang telah diwariskan kepada generasi muda
tentu dapat digunakan sebagai sarana untuk memupuk semangat nasionalisme dewasa
ini. Keselarasan antara nilai modern dengan tradisional dapat berjalan serasi dan
seimbang demi kokohnya jati diri bangsa. Perjuangan raja Yogyakarta diuraikan
secara kronologis disertai contoh-contoh perilaku luhur yang pantas dijadikan kaca
benggala bagi bangsa.
Dalam buku ini juga disinggung pengakuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang mengatakan setiap raja di Jawa sejak berdirinya kerajaan Mataran di bawah
Panembahan Senopati dianggap sebagai ‘suami’ Kanjeng Ratu Kidul, dan Sri Sultan
menyebutnya dengan Eyang Roro Kidul. Diakui pula, bahwa beliau pernah mendapat
kesempatan berpuasa pada waktu bulan naik. Eyang Roro Kidul akan nampak sebagai
gadis yang amat cantik. Sebaliknya, apabila bulan menurun beliau tampil sebagai
wanita yang amat tua. Banyak hal yang sulit dipercayai oleh masyarakat awam, tetapi
menurut Sultan keberadaannya nyata. Wacana yang terdapat dalam buku ini
menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan
18
Surakarta merupakan harga mati terhadap mitos tersebut. Persoalannya, apakah
keyakinan seperti itu juga berlaku bagi masyarakat di Bali, sehingga relevansi buku
dengan penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman sekaligus acuan untuk
mengetahui dan memahami alasan berterimanya mitos RK di Bali Selatan.
K.H. Muhammad Sholikhin (2009) dalam bukunya, Kanjeng Ratu Kidul
Dalam Perspektif Islam Jawa, membahas tentang Ratu Kidul sebagai sosok yang
kontroversial, misterius tetapi dicari-cari orang. Kontroversi ini disebabkan karena
Ratu Kidul adalah makhluk halus yang hidup di alam gaib. Namun, bagi masyarakat
Jawa sosok beliau merupakan simbol yang hidup di tengah-tengah budaya.
Riwayat legendanya diteruskan dari generasi ke generasi seiring dengan
perkembangan sejarah dan budaya Jawa, sehingga terjadilah banyak persepsi dan
nama diberikan kepada tokoh RK yang umumnya diceritakan melalui cerita lisan. Di
dalam buku ini mitos RK dikatakan masih kontroversi dan misteri, tetapi masyarakat
pendukung di Bali memahami wacana mitos RK dalam bentuk keyakinan dengan
melaksanakan berbagai ritual sesaji dan membuatkan tempat pemujaan. Hal ini, yang
ditelusuri sehingga jelas fungsi dan makna implisit di balik kontroversinya keyakinan
terhadap mitos RK tersebut.
Kamajaya dan Hadidjaja (1979) dalam “Serat Centini” (Ensiklopedia
Kebudayaan Jawa) dituturkan dalam bahasa Indonesia yang isinya 112 tembang, dan
novel yang berjudul Centini sebanyak tiga jilid. Tembang 7 pada serat Centini secara
singkat menuturkan intrik cinta bawah laut dari Sultan Agung (cucu Panembahan
Senopati) pendiri kerajaan Mataram yang dikatakan mempunyai dua Keraton, yaitu:
19
Keraton Mataram dan Keraton Pantai Selatan Jawa. Penguasa Keraton Pantai Selatan
Jawa bukan Sultan, tetapi seorang perawan Ratu Kerajaan Maya, yaitu Ratu Kidul.
Beliau pernah bersumpah bahwa selaput daranya tidak akan robek sebelum dunia
masuk ke zaman Kali Yuga. Beliau akan memilih pengganti, seorang raja Islam yang
Agung dan tampan sebagai kekasihnya. Apabila kekasihnya itu meninggal nanti, ia
akan mengangkat dan mendampingi semua raja Kali Yuga hingga akhir zaman. Siapa
saja yang dimaksud raja-raja kali yuga? Sampai sekarang belum terjawab karena itu
hanya sebuah ramalan dan penafsiran dari karya sastra yang berkepanjangan.
Sudah tersurat bahwa raja-raja Kali Yuga itulah yang menjadi Sultan Wangsa
Mataram. Dikatakan juga bahwa di antara para Sultan, tidak ada yang lebih tergila-
gila kepada Ratu Kidul selain Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati). Akan
tetapi, kisah cinta mereka begitu menyilaukan dan jarang terjadi karena Ratu Kidul
‘bersifat udara’, sedangkan Sultan Agung ‘bersifat tanah’ sehingga setiap asmara
muncul harus disertai dengan perang. Wacana dalam serat Centini ini merupakan
salah satu bentuk pemaknaan dari karya puisi. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata
dalam baris puisi yang perlu ditafsir karena dianggap mengandung pesan khusus.
Serat Centini ini relevan digunakan sebagai acuan dan pedoman untuk
pemahaman makna kata-kata kias dalam paragraf wacana mitos RK di Bali Selatan.
Di samping itu perlu dilakukan pemahaman dari sisi filosofi dan teologi Hinduisme.
Tanpa penafsiran dan pemaknaan penikmat terhadap karya secara terus-menerus,
dikhawatirkan karya yang adiluhung pun menjadi tidak bemanfaat di masyarakat dan
lama kelamaan menjadi punah.
20
Djajeng Koesoema (1954), dalam “Serat Wedatama” yang berbentuk
macapat (puisi) berbahasa Jawa Kuna, dibuat dalam bentuk yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anjar Ani (1985) dengan judul
Menyingkap Serat Wedotomo terdiri atas 100 pada (bait). Namun, yang berkaitan
dengan Ratu Kidul adalah pada (bait) 18/4S sampai bait 21/7S. Isinya pertemuan
Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul di Kahyangan Dalepih saat melakukan tapa
sebelum beliau dinobatkan menjadi raja Mataram. Berkat anugrah Tuhan, seolah-olah
Panembahan Senopati dapat membaca dan memahami rahasia lautan. ‘Bahkan
seluruhnya sudah diselidiki, dimasukkan kedalam sanubari’, yang berarti
Panembahan Senopati benar-benar menguasai segalanya, pantaslah kemudian dapat
berkuasa dan menjadi raja sampai ke anak cucu.
Sementara itu, apa yang disebut dengan ‘Kanjeng Ratu Lautan Kidul datang
menghadap’, karena ‘merasa kalah wibawa dibanding Panembahan Senopati’.
Artinya, demikian hebat kekuasaan dan kekuatan Panembahan Senopati sehingga
Ratu Kidul mohon untuk diangkat sebagai ‘teman’ atau pengikut di dalam dunia gaib,
dan akan mengerjakan apa saja yang diperintahkan dan dibutuhkannya. Anugerah
Tuhan demikian besarnya sehingga keturunan Panembahan Senopati semua menjadi
pemimpin dan berwibawa, karena mengutamakan tiga syarat kehidupan, yaitu:
kedudukan, harta dan kepandaian.
Pernyataan di dalam serat Wedatama hampir dengan serat Centini, namun
dalam serat Wedatama lebih menekankan pada aspek mental dan etika pengendalian
diri, terutama sorotan terhadap prilaku kehidupan manusia pada zamannya. Relevansi
21
dengan penelitian ini bahwa, pesan dalam mitos RK bersifat implisit atau tersamar
sehingga memerlukan penafsiran secara terus menerus dari zaman ke zaman untuk
memahami makna yang tersirat. Semakin banyak penafsir pesan dalam mitos,
semakin kaya makna mitos RK.
Olthof,W.L. (2009) dalam Babad Tanah Jawa, diceritakan asal muasal tanah
Jawa dengan memuat silsilah raja-raja Jawa, seperti Nabi Adam, Dewa-dewi dalam
agama Hindu, tokoh-tokoh dalam Mahabharata, Cerita Panji masa Kediri, masa
kerajaan Pajajaran, masa Majapahit, hingga masa Demak yang dilanjutkan dengan
silsilah kerajaan Pajang, Mataram Islam, dan berakhir pada masa Kasunanan
Kartasura. Naskah Babad Tanah Jawa inipun telah banyak diterbitkan dalam berbagai
versi, namun peneliti merasa lebih cocok menggunakan karya Olthof yang terbaru,
karena dalam editan dan bahasa yang digunakan bisa dimengerti oleh semua pembaca
dari segala usia.
Dalam episode yang membicarakan berdirinya kerajaan Mataram Islam,
nama Rara Kidul, kadang juga disebut Nyai Kidul sebagai seseorang yang telah
memberikan inspirasi dan kekuatan rokhani kepada Panembahan Senopati sebagai
pendiri kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati mengasingkan diri ke pantai
Selatan bersemadi, untuk mengumpulkan seluruh energinya dalam upaya
mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan Utara (Pajang). Meditasinya
menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan beliau berjanji untuk membantunya.
Selama tiga hari tiga malam beliau mempelajari rahasia perang dan pemerintahan
serta intrik-intrik cinta di istana bawah laut. Akhirnya, muncul kembali dari laut
22
Parangkusumo (Yogyakarta Selatan). Sejak saat itulah, Ratu Kidul diinformasikan
berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa dan sesajian
dipersembahkan untuknya ditempat itu setiap tahun melalui perwakilan istana Solo
dan Yogyakarta.
Secara umum, buku Babad Tanah Jawa mengandung sejarah/silsilah raja-raja
penguasa di tanah Jawa, diselingi oleh mitos-mitos yang mengandung nasihat
tersamar. Kemudian, dikaitkan dengan ritual sesaji dan dikemas dalam bentuk cerita
sehingga menarik untuk dibaca. Relevansi dengan penelitian ini, merupakan
pemaknaan atas berbagai bentuk persepsi wacana RK di pesisir Bali selatan.
Sesungguhnya masyarakat diarahkan untuk selalu mengutamakan etika dalam
kehidupan, melakukan harmonisasi terhadap Tuhan sebagai pencipta, dengan alam
lingkungan, dan sesama manusia agar tercapai keseimbangan rokhani dan jasmani.
Untuk tujuan itulah, manusia mewujudkannya dalam berbagai bentuk ritual dan sesaji
sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Peter Carey (2007), dalam bukunya The Power of Prophecy (kekuatan
nujum), seorang peneliti dan dosen di Trinity College, Inggris. Buku ini memuat
biografi lengkap dari Pangeran Diponegoro (1785-1855) dengan sumber naskah
Babad Dipanagara (beraksara pegon) yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro di
Manado. Dalam pandangan Carey, Pangeran Diponegoro adalah seorang muslim
yang saleh, tetapi tetap dipengaruhi oleh kosmologi Jawa, sehingga mengobarkan
“perang suci” melawan Belanda (1825-1830), yang dikenal dengan perang Jawa
23
karena melibatkan seluruh wilayah Jawa. Menurut Suryadi (Kompas, 27 Oktober
2008, dalam Carey, 2007:146) buku tersebut merupakan kajian lebih luas dari
disertasi Carey, yang berjudul ”Pangeran Dipanegara and the Making of Java War,
1825-1830”, di Universitas Oxford pada November 1975, terdiri atas 12 bab.
Untuk menyusun buku tersebut, Peter Carey melakukan banyak hal, termasuk
napak tilas, mengikuti acara ritual mistis, bahkan melakukan meditasi, sehingga buku
tersebut ditulis selama hampir 30 (tiga puluh) tahun. Isi buku itu tidak khusus
menyoroti tentang kaitan Pangeran Diponegoro dengan Kanjeng Ratu Kidul. Dari 12
bab, hanya pada bab IV pembahasannya yang menarik terkait dengan Ratu Kidul.
Carey, mendiskripsikan perjalanan fisik dan spiritual atau ziarah lelana
Pangeran Diponegoro ke tempat tirakatnya di pantai Selatan. Dalam salah satu
momen ziarah, Carey mencatat adanya “pertemuan” antara Pangeran Diponegoro
dengan Kanjeng Ratu Kidul di Gua Langse. Di sanalah terdengar suara Sunan
Kalijaga, konon mengingatkannya akan datang bencana yang menghancurkan
Kasultanan Yogyakarta yang ditandai oleh kejatuhan tanah Jawa. Pangeran
Diponegoro menerima sinyal-sinyal mistis menyangkut peran historis yang akan
dilakoninya pada masa depan.
Ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro juga
melakukan meditasi di Cepuri Parangkusumo. Pada kesempatan tersebut beliau
memperoleh senjata berupa cundrik (keris kecil) dari Ratu Kidul, yang dikenal
dengan sebutan ‘Keris Surotaman’ sebagai pelengkap senjatanya yang lain. Sebelum
keris itu didapat terdengar suara tanpa wujud dari Kanjeng Ratu Kidul yang
24
mengingatkan agar Pangeran tidak menerima jabatan apapun dari Belanda. Setelah
suara hilang, jatuhlah sinar putih dari langit di depan Pangeran dan sinar itulah yang
membawa senjata cundrik tersebut. Pengakuan tersebut cukup mendasar karena
dalam Babad Diponegoro, beliau mengakui laku mistiknya. Salah satu pertemuan
spiritualnya dengan memohon restu dari Ratu Kidul dan Sultan Agung.
Selanjutnya, dimungkinkan pula bahwa selama aksi melawan Belanda,
Pangeran juga tetap berusaha menjalin kontak dengan Kanjeng Ratu kidul. Buku
Carey ini secara terang-terangan menyatakan tentang eksistensi Kanjeng Ratu Kidul.
Tetapi dalam penelitian ini lebih menekankan pada bentuk-bentuk wacana RK
sebagai sebuah gagasan/ide masyarakat pesisir Bali Selatan dalam meramu antara
mitos dengan fakta yang sedang terjadi. Hal ini memerlukan inspirasi agar
pemaknaannya jelas dan interpretasinya mendalam sesuai situasi dan kondisi zaman.
Bunga Perdana Putrianna Febrina (2012), dalam skripsinya yang berjudul,
“Fungsi Tari Bedhayang Ketawang di Keraton Surakarta”, menyatakan kemunculan
tari Bedhaya Ketawang yang dianggap ciptaan Kanjeng Ratu Kidul. Tarian mistis dan
keramat ini sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap Raja dengan Kanjeng Ratu
Kidul Kencanasari yang mempunyai arti penting bagi Keraton Surakarta Hadiningrat,
yaitu sebagai sarana legitimasi seorang raja. Tarian ini selalu dilaksanakan pada
puncak acara dalam rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan (peringatan
kenaikan tahta raja) sebagai tarian sakral yang merupakan pernyataan damai dan cinta
kasih Panembahan Senopati dan keturunannya (Dinasti Mataram) dengan Kanjeng
Ratu Kidul. Adapun fungsi tarian sakral tersebut antara lain sebagai sarana meditasi
25
Raja, lambang kebesaran Keraton Surakarta, legitimasi Raja, dan induk munculnya
tari Bedhaya yang lain.
Relevansi hasil penelitian Bunga, dengan penelitian ini adalah masyarakat di
Jawa pada umumnya dan khususnya di Sukabumi (Pelabuhan Ratu),Yogyakarta dan
Surakarta meyakini bahwa Kanjeng Ratu Kidul bukan tahayul, tetapi merupakan Ratu
segala makhluk halus yang menguasai tanah Jawa sehingga dijadikan ikon karena
membantu menjaga keselamatan raja, kerajaan dan keturunannya. Pemberian nama
Kencanasari terhadap RK di Solo senada dengan wacana dari informan 1 (Wirya)
bahwa RK sesungguhnya bernama asli Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari Sekaring
Jagat. Namun demikian, perbedaan penelitian ini, lebih memfokuskan pada aspek
kesastraannya tentang struktur, fungsi dan makna serta resepsi masyarakat terhadap
wacana mitos RK di Bali Selatan sudah menyatu dengan tradisi. Hal yang terpenting
adalah dapat memahami makna serta implikasi dari wacana tersebut terhadap
kehidupan masyarakat di Bali Selatan sebagai tempat tujuan penyebarannya.
2.2 Deskripsi Konsep
2.2.1 Folklor, Tradisi Lisan, Kearifan Lokal dan Sastra Lisan
Bouman (1992:29-30) mengatakan, bahwa folklor diadopsi dari bahasa
Jerman (volkskunde). Namun, secara etimologis leksikal, folklor(folklore) dianggap
berasal dari bahasa Inggris, dari akar kata folk (rakyat, bangsa, kolectivitas tertentu)
dan lore (adat istiadat, kebiasaan), karenanya lore adalah keseluruhan aktivitas
26
kelisanan dari folk. Jadi, folklore adalah kelisanan (orality) yang dipertentangkan
dengan keberaksaraan (literacy).
Folklor dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) folklor lisan (verbal
folklore); (2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklor bukan
lisan (nonverbal folklore). Ketiganya dapat dikenali melalui bentuk masing-masing,
yaitu: oral (mentifact), sosial (socifact), dan material (artifact). Folklor lisan terdiri
atas; ungkapan tradisional, nyanyian rakyat, bahasa rakyat, dan cerita rakyat
(mite/mitos, legende, sage). Folklor setengah lisan di antaranya: drama rakyat, tarian ,
upacara, adapt-istiadat, pesta rakyat.
Folklor bukan lisan di antaranya: material dan bukan material. Folklor
meliputi ketiga bentuk budaya tersebut. Folklor lisan dalam kaitannya dengan mitos
sebagai objek penelitian ini disamakan dengan sastra atau cerita lisan, sedangkan
folklor setengah lisan dan bukan lisan termasuk tradisi lisan. Jadi, objek penelitian
kelisanan berkaitan dengan sastra lisan dan tradisi lisan, bukan folklor, kecuali
memang bermaksud melakukan penelitian terhadap keseluruhan aktivitas kelisanan
tersebut (Ratna, 2011:104).
Kearifan lokal (local genius/local wisdom), merupakan pengetahuan lokal
yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup
yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal merupakan
pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam
suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, dan
diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
27
Jadi, kearifan lokal merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang
berakar dalam kebudayaan sebuah etnis, berisi gambaran tentang anggapan
masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kualitas lingkungan manusia serta
hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (Wisnumurti, 2009:2-3).
Pembicaraan selanjutnya adalah tradisi lisan dan sastra lisan. Secara definitif
tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan yang dilakukan dan hidup dalam masyarakat
secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra
yang dikemukakan secara lisan. Tradisi lisan membicarakan tradisinya, sedangkan
sastra lisan membicarakan masalah sastranya. Masyarakat lama sulit membedakan
ciri-ciri di antara keduanya.
Oleh karena itu, UNESCO memasukkan sastra lisan sebagai bagian tradisi
lisan yang meliputi, antara lain: sastra lisan, teknologi tradisional, pengetahuan
masyarakat di luar istana dan kota metropolitan. Unsur religi dan kepercayaan
masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, kesenian masyarakat di luar
pusat istana dan kota metropolitan, dan berbagai bentuk peraturan, norma, dan hukum
yang berfungsi untuk mengikat tradisi (Ratna:2011:105).
Ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut ke
mulut, sedangkan ciri lain di antaranya: (a) hidup dalam masyarakat tradisional; (b)
dianggap sebagai milik bersama masyarakat; (c) seolah-olah tidak ada pengarang
sehingga bebas disalin dan diresepsi; dan (d) umumnya terdiri atas beberapa versi.
Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan objek folklor akan termasuk di
dalamnya unsur tradisi dan mitosnya.
28
Relevansi penelitian ini terhadap mitos RK, berpengaruh terhadap wilayah
kajian yakni wacana sastra yang juga merupakan elemen dari budaya. Apabila
dikaitkan dengan pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan pragmatis, maka
kajian ini lebih difokuskan pada bidang sastra lisan mitos yang didukung oleh tradisi
lisan, seperti adanya artifact dan ritual. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis,
maka penekanan lebih terfokus pada peranan pembaca eksplisit, yaitu masyarakat
yang multikultur maupun pembaca implisit yang turut serta mendukung pelaksanaan
tradisi RK.
2.2.2 Konsep Persepsi
Istilah persepsi sering disebut dengan pandangan, gambaran atau tanggapan,
sebab dalam persepsi terdapat tanggapan seseorang mengenai suatu hal atau objek.
Kata persepsi berasal dari kata bahasa Inggris perception artinya penglihatan,
tanggapan daya memahami atau menanggapi sesuatu. Sedangkan dalam (KBBI)
persepsi dikatakan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan
atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.
Para ahli dan ilmuan yang mengemukakan pengertian persepsi diantaranya:
(a) Bimo Walgito tentang pengertian persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh
pengindraan yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat indera yang disebut sensoris; (b) Slamet (2010:102) menyatakan persepsi adalah
proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia
sehingga melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan
lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya yakni, penglihatan,
29
pendengaran, peraba, perasa, dan pemciuman; (c) Robbins (2003:97)
mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh individu melalui
pancaindera kemudian di analisa (diorganisir), diinterpretasi dan dievaluasi, sehingga
individu tersebut memperoleh makna.
Pengertian dan pemahaman tentang persepsi tersebut di atas sangat jelas
bahwa kata persepsi memiliki sifat subjektif karena tergantung pada kemampuan dan
keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh
individu yang satu dengan lainnya. Faktor yang mempengaruhi persepsi pada
dasarnya ada 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah yang
terdapat dalam diri individu mencakup beberapa hal, antara lain: fisiologis, perhatian,
minat, kebutuhan yang searah, suasana hati, pengalaman dan ingatan. Sedangkan
faktor eksternal merupakan karakterristik dari lingkungan dan objek-objek yang
terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang
seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseorang
merasakannya atau menerimanya. Beberapa faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi, antara lain: (a) ukuran dan penempatan dari objek atau stimulus; (b)
warna dari objek-objek; (c) keunikan dan kekontrasan stimulus; (d) intensitas dan
kekuatan dari stimulus; (e) motivasi atau gerakan. Diakses tanggal 29 November
2015 @belajarpsikologi.com.ads by Kliksaya.com ) oleh Haryanto, S.Pd via
Twitternya tanggal 8 Pebruari 2015.
Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu
pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterpretasian terhadap apa yang
30
dilihat, didengar, atau dirasakan oleh inderanya dalam bentuk sikap, pendapat, dan
tingkah laku yang disebut sebagai perilaku individu. Persepsi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah suatu pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat khususnya dari
ketiga kelompok masyarakat dalam menilai, memahami tentang wacana mitos RK di
Pesisir Bali Selatan.
2.2.3 Konsep Mitos
Mitos merupakan istilah yang dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu
dan dapat dijelaskan dengan menggunakan berbagai konsep yang berbeda-beda.
Istilah mitos telah digunakan oleh para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Untuk
mempermudah dalam uraian ini, mitos dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan
akar katanya, yaitu mite (myth) dan mitos (mythos). Secara leksikal ‘mite’ berarti
cerita tentang dewa, dan makhluk adikodrati lain yang di dalamnya terkandung
berbagai penafsiran, bahkan juga alam gaib. Dalam hal ini mite biasanya dibedakan
dengan fabel, dan legende (Danesi, 2012:167).
Menurut Noth (dalam Ratna, 2011:110) secara etimologis ‘mitos’ berarti kata,
ucapan, cerita tentang dewa-dewa. Namun, dalam perkembangan berikut mitos
diartikan sebagai wacana fiksional, dipertentangkan dengan logos (wacana rasional).
Pada zaman Yunani Kuno mitos dianggap sebagai cerita naratif yang dinamakan plot.
Mitos adalah prinsip struktur dasar dalam sastra yang memungkinkan hubungan
antara cerita dengan maknanya.
Pada akhirnya, baik mite maupun mitos, sebagai ilmu pengetahuan sering
disebut mitologi. Menurut Shipley (dalam Ratna, 2011:110) mitos lebih banyak
31
dibicarakan dalam bidang religi tetapi dibedakan dari masalah-masalah yang bukan
dalam bentuk tindakan. Eliade (1975:2-4) mengatakan, sebagai gejala dasar
kebudayaan, perubahan pandangan yang cukup mendasar terjadi sejak setengah abad
terakhir, para sarjana mulai melihat mitos dari sudut pandang yang berbeda.
Pada zaman pencerahan, mitos dianggap memiliki nilai negatif, tetapi
sekarang mitos dianggap sebagai cerita yang sesungguhnya, cerita yang memiliki
nilai-nilai sakral, patut dicontoh dan mengandung makna. Pengertian mitos di abad
modern seolah-olah kembali ke dalam pengertian semula pada zaman Yunani Kuno.
Mitos dipelajari karena gejala tersebut benar-benar ada dalam masyarakat dan masih
hidup.
Mitos merupakan model untuk bertindak, dan berfungsi memberikan makna
dan nilai bagi kehidupan. Penafsiran modern terhadap mitos tidak memandangnya
sebagai benar atau salah, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki insight (pemahaman)
puitis tentang realitas. Mitos juga dipandang dapat menyatakan simbolisme arketipe
yang terus menerus berulang disebabkan ketidaksadaran kolektif umat manusia.
Dengan kalimat lain, secara kosmogoni mitos selalu ingin membuktikan
hubungannya dengan realitas. Memahami mitos bukan semata-mata untuk
memahami sejarah masa lalu tetapi jauh lebih penting justru untuk memahami
kategori kehidupan masa kini (Ratna, 2011:111).
Mitos itu mulia, karena dapat membantu menentukan sikap, dihadapan
semesta yang tidak berhingga. Mitos menjelaskan dari mana, hendak menuju ke mana
eksistensi sebagai manusia, dan mitos juga dapat menjelaskan asal muasal peristiwa,
32
fenomena dunia serta dapat memandu kehidupan. Namun demikian, lahirnya
modernitas ternyata menyudutkan pola berpikir mitologis dan menggantikannya
dengan pola berpikir saintifik yang rindu akan penjelasan sebab akibat materialistik
dan mekanistik (Beerling, 1994:18).
Sesungguhnya modernitas itu kering, karena dapat mencabut manusia dari
keberagamannya dengan mengganti cerita yang indah menjadi penjelasan yang
menjemukan. Di dalam kekeringannya, modernitas kembali membutuhkan mitos,
bahkan modernitas perlu menjadi mitos baru sehingga terus bisa ditanggapi secara
kritis, karena mitos dapat memberikan sentuhan personal dan estetik pada sains dan
modernitas (Herusatoto, 2011:3-4). Oleh karena itu, alangkah baiknya modernitas
dengan sains dan rasionalitasnya perlu merangkul mitos secara sungguh-sungguh
karena dapat membuat eksistensi manusia menjadi layak untuk dijalani (Susanto,
1987:19).
Memahami mitos bukan semata-mata untuk memahami sejarah masa lalu,
tetapi yang lebih penting justru untuk memahami kategori kehidupan masa kini yang
dikaitkan dengan makna, teladan dan nilai-nilai secara keseluruhan yang dihasilkan.
Pada dasarnya pengertian mite dan mitos hampir sama, karena masyarakat sehari-
haripun percaya bahwa berbagai bentuk dongeng dan kepercayaan dapat memberikan
nilai-nilai pendidikan. Perbedaannya, fungsi mite terbatas pada bentuk pemahaman
dalam kaitannya dengan cerita khayal sebagai akibat tidak langsung.
Mitos memiliki akibat langsung terhadap keseluruhan tingkah laku individu
dan masyarakat pendukungnya. Keragaman mitos, yakni mitos yang sifatnya positif
33
merupakan energi kehidupan. Alam semesta menurut Barthes (1985:109) dipenuhi
oleh dugaan, saran, interpretasi, dalam pengertian yang lebih luas. Setiap objek,
dalam posisi yang tertutup, dengan sengaja dirahasiakan dapat berubah ke dalam
bentuk oral, kelisanan yang secara bebas dapat ditafsirkan sebab tidak ada hukum
yang melarangnya.
Pada dasarnya manusia hidup atas dasar mitos-mitos yang ada di
sekelilingnya. Artinya, segala sesuatu adalah mitos, manusia hidup dalam alam mitos,
bahkan dikendalikan oleh berbagai macam mitos. Dalam analisis Levi-Strauss
(2007:276-277), cenderung memanfaatkan model bahasa seperti dikembangkan oleh
Saussure, mitos sebagai langue (bahasa umum) dan parole (ucapan individual),
termasuk model diakronis dan sinkronis, sintagmatis, dan paradigmatis.
Mitos di abad ke-19 terbatas sebagai khayalan, sebagai langue dalam
kerangka sejarah masa lampau (diakronis), dalam konteks horizontal (sintagmatis).
Sebaliknya, dalam visi kontemporer mitos adalah langue sekaligus parole, bahwa
mitos yang dikondisikan melalui institusi social, tetapi dipahami dalam kehidupan
sekarang ini, bebas dari ikatan-ikatan masa lampau, lebih banyak bersifat sinkronis,
dengan pemahaman dilakukan secara horizontal sekaligus vertikal (sintagmatis dan
paradigmatis).
Menurut Barthes (1985:109-115), mitos adalah bahasa yang tercuri (stolen
language), teori dusta (lie theory), mitos adalah wacana bahasa yang digunakan.
Mitos tidak didefinisikan oleh objek, atau pesan, tetapi dengan cara bagaimana pesan
itu disampaikan atau diwacanakan. Oleh karena itu, mitos dianggap sebagai sistem
34
semiotik tingkat kedua sesudah bahasa, bahkan sebagai metabahasa. Akhirnya,
Barthes mengakui bahwa mitos tidak perlu disembunyikan, mitos harus diungkapkan,
sebagai demitologisasi sekaligus demitifikasi.
Walaupun mitos RK disakralkan dengan berbagai ritual, namun masih perlu
diungkap maknanya sehingga diketahui pesan apa yang ada di balik keyakinan dan
pelaksanaan ritual serta pendirian tempat-tempat pemujaannya di pesisir Bali selatan.
Tidak ada gejala alam yang tidak memerlukan interpretasi mitis, demikian juga mitos
dapat memperkuat tradisi, bahkan merupakan motor dalam proses berpikir.
Junus (1981:73-77), sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia, bentuk
mitos bermacam-macam. Mitos menimbulkan kecurigaan, benci, irihati, dendam,
juga sebaliknya cinta, percaya diri, bertanggung jawab, mempertebal kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Mitos akan melahirkan mitos-mitos baru, petanda
bahwa mitos tetap hidup dan dihidupkan oleh masyarakat pendukungnya.
Banyaknya deskripsi tentang konsep mitos, dalam penelitian ini berpedoman
kepada pengertian mitos Roland Barthes. Dengan demikian mitos RK di pesisir Bali
Selatan, dapat dipahami sebagai model untuk bertindak, atau sistem semiotik tingkat
kedua sesudah bahasa, sebab dalam implementasinya berfungsi menciptakan nilai-
nilai kehidupan bagi masyarakat. Kaitannya dengan kompleksitas kehidupan
masyarakat, diperlukan interpretasi terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan.
Artinya, dengan memahami makna mitos RK, timbul rasa percaya atau sebaliknya
terhadap fenomena yang sedang dan akan terjadi.
35
2.2.4 Konsep Ratu Kidul
Secara umum kata Ratu Kidul dipahami merupakan istilah yang diberikan
kepada penguasa samudra Indonesia bagian Selatan. Namun, secara etimologis terdiri
atas kata ‘Ratu dan Kidul’. Kata Ratu terbentuk dari ungkapan ‘tu’ yang bermakna
zat kesaktian, memiliki awalan yang menunjukkan kemuliaan ‘ra’ di depannya. Dari
perkataan tersebut muncul perkataan keratuan maksudnya keraton setelah mengalami
hukum sandisuara. Berdasarkan mekanisme ke luarnya ejaan dalam lisan Jawa kata
ratu memiliki asal yang sama dengan istilah datu, seperti ditunjukkan oleh kata
kedaton untuk menunjuk salah satu lokasi dalam istana utama dari sebuah keraton
(KBBI). Kata ratu-datu, kemudian disalin ke dalam huruf Pallawa dengan bahasa
Sanskerta sebagaimana diaplikasikan dalam berbagai prasasti Jawa. Kemudian,
didepan istilah ratu sering dilekatkan kata untuk memuliakan zat kesaktian yaitu
Sang, atau Sang Sri sehingga memunculkan istilah Sang Ratu/sang sri ratu
(Sholikhin, 2009:77-78).
Konsep ‘ratu’ dalam hal ini adalah sebuah jabatan semacam Presiden sehingga
sang ratu tidak harus perempuan, terkadang laki-laki, hanya secara kebetulan
kebanyakan perempuan. Selanjutnya, ‘Ratu’ berasal dari kata rat yang berarti bumi.
Tempat tinggalnya disebut ke-rat-on atau keraton (Soerjadiningrat, 1997:37-40). Kata
‘ratu’juga diartikan sebagai raja yang berjenis kelamin perempuan (queen),
sedangkan raja laki-laki disebut lord.
Dalam bahasa Jawa Kuna ‘ratu’ berasal dari kata ra, artinya terhormat dan tu
artinya seseorang atau orang. Jadi ratu artinya orang yang terhormat. Namun, dalam
36
falsafah Jawa pengertian ratu adalah orang yang memiliki kuasa mutlak, yang dalam
dirinya terpusat bhuwana alit (mikrokosmos) dan bhuwana agung (makrokosmos).
Ratu adalah sosok yang memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya. Kesakten sang
ratu diukur dari besar kecilnya monopoli kekuasaan dan kekuatan gaib yang
dimilikinya Mukhlisin dan Damarhuda (dalam Duija, 2004:53).
Kata kidul menunjukkan sebuah arah mata angin yang berasal dari lisan Jawa
artinya selatan. Istilah Ratu Kidul dalam khazanah tentang kekuasaan raja Jawa lebih
mungkin mengambil bentuk kepatronan (pendamping spiritual, atau pendamping
yang membantu secara sukarela dari alam halus). Seorang penguasa akan dapat
menjalankan tugas dan amanatnya jika mendapatkan pendampingan dari RK.
Dalam konsepsi spiritual Islam-Jawa termasuk dalam kelompok para malaikat
dan roh penjaga, yang mendapat tugas dari Tuhan ditujukan kepada manusia terpilih
yakni manusia yang dikehendaki Tuhan untuk menjalankan tugas dan tanggung
jawab di bumi. Deskripsi tersebut merupakan pesan spiritual kepada para penguasa di
tanah Jawa untuk senantiasa ngelmu (melaksanakan laku spiritual).
Dalam mitos Jawa, RK misalnya dinarasikan sebagai istri/ratu dari dunia maya
yang memberi kekuatan bagi raja-raja Mataram Islam mulai dari Panembahan
Senapati sampai Sultan Hamengku Buwono X yang berkedudukan di laut khususnya
bagian Selatan. Berbeda dengan di Bali, bahwa RK secara etimologi juga terdiri atas
dua kata ‘ratu’ dan ‘kidul’. Oleh masyarakat di Bali, kata ratu dipahami sebagai
sebutan untuk menghormati seseorang baik karena posisi, jabatan, maupun fungsi dan
tugasnya.
37
Sebutan ‘ratu’ berkembang sesuai gender, maka muncul kata ‘raja’ sebagai
pasangannya, sehingga ‘ratu’ diidentikkan dengan perempuan dan setiap perempuan
akan dipanggil ibu. Bahwa kodrat seorang ibu mempunyai kekuatan yang luar biasa
untuk memelihara anak dan keluarganya bahkan efeknya menyejahterakan
masyarakat. Dalam konsep Hindu dipahami sebagai Pradhana, maka munculah
konsep Purusa-Pradhana dan dewa-dewi.
Konsep purusa-pradhana dalam tradisi ber-yadnya diimplementasikan dengan
ritual nyegara-gunung. Tradisi ritual Nyegara-Gunung, merupakan prosesi terakhir
dari upacara ngaben. Gunung sebagai lambang purusa (laki-laki), sedangkan segara
(laut) sebagai lambang pradhana (perempuan) sehingga perpaduan atau penyatuan
keduanya menimbulkan kehidupan di darat. Oleh karena itulah, konsep
‘ratu’dipahami sebagai perempuan. Sedangkan kata ‘kidul’ yang berasal dari lisan
Jawa kuna, telah diadopsi menjadi kosa kata Bali yang juga berarti Selatan.
Hasil rekonstruksi beberapa bentuk persepsi masyarakat terhadap wacana
mitos RK di Pesisir Bali Selatan dapat dipahami sebagai ‘roh’ seseorang yang
dihormati karena jasa, pengabdian, kekuasaan, pengetahuan dan kekuatan gaib yang
dimilikinya. Roh-roh dimaksud telah mencapai alam sorga sehingga disebut sebagai
‘leluhur’. Kepada para leluhur itulah masyarakat mempercayakan diri, memohon
keselamatan, berkah, dan solusi atas segala permasalahan hidup di dunia. Untuk
memberikan penghormatan, roh-roh tersebut dibuatkan tempat pemujaan di Selatan
dekat sumber-sumber mata air atau dekat dengan laut. Dengan demikian, konsep Ratu
Kidul yang menjadi topik bahasan dalam penelitian ini adalah konsep kearifan lokal
38
masyarakat di Bali tentang kepercayaan terhadap adanya ‘roh’ penjaga dan penguasa
lautan yang diyakini dapat membantu manusia dalam mengatasi serta mencarikan
solusi atas segala permasalahan hidup yang dimuliakan dan dipuja di Selatan. Dari
semua persepsi para informan ada perkecualian yakni informasi di hutan Pura Segara
Rupek dalam bentuk ‘lingga’ juga diyakini sebagai wujud sakthi Dewa Siwa yaitu
Dewi Parwati yang bereinkarnasi menjadi RK.
2.2.5 Konsep Wacana Naratif
Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sanskerta), berarti kata-kata,
cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat. Secara kasar wacana
disejajarkan dengan utterance dan speech, ujaran atau ucapan, sebagai bahasa yang
sedang digunakan atau parole menurut pemahaman Saussure. Wacana selalu bersifat
orisinalitas, tidak ada tata bahasa wacana.
Definisi wacana hampir sama dengan teks, keduanya mempunyai ciri sebagai
satuan bahasa terlengkap, satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Realisasinya
berbentuk karangan yang utuh, seperti: paragraf, kalimat yang membawa makna
lengkap, buku, artikel, dan genre sastra yang lain (Ratna, 2010:243). Dalam
kehidupan praktis sehari-hari dan dalam ilmu sosial yang lebih dikenal adalah istilah
wacana atau diskursus, demikian juga dalam ilmu bahasa, tetapi dalam ilmu sastra
digunakan istilah teks.
Dalam perkembangan teori sastra kontemporer, kedua istilah tersebut
bersaing, namun yang lebih populer adalah wacana, karena dapat dimanifestasikan
dalam keberagaman aktivitas sosial, baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam
39
kehidupan formal. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk
informasi, membangun ilmu pengetahuan , meraih kekuasaan, alih teknologi, dan
sebagainya.
Wacana lahir dan dapat dimanfaatkan dalam masyarakat, ruang dan waktu
yang berbeda. Oleh karena itu, sebagaimana sejarah, wacana tidak bersifat universal,
doktrin yang dimanfaatkan oleh kelompok postrukturalisme untuk menolak narasi
besar. Wacana sekaligus berfungsi untuk membentuk objek dan subjek sehingga
diduga dalam perkembangan berikut istilah wacana akan mendominasi bukan saja
dalam pengertian umum tetapi juga sastra. Sebagai satuan gramatikal tertinggi,
wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan
syarat kewacaaan lainnya (Ratna, 2010:245).
Wacana menurut tujuannya dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Di
lihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan atas wacana prosa dan wacana
puisi. Di lihat dari penyampaian isinya wacana dibedakan menjadi: wacana naratif,
wacana eksposisi, wacana persuasif, dan wacana argumentasi.
Di dalam penelitian ini, digunakan wacana naratif yang sifatnya menguraikan
suatu rangkaian kejadian atau dengan cara menggambarkan peristiwa sehingga dapat
mencerminkan topik yang dibahas. Naratif atau narasi merupakan rangkaian
peristiwa, secara definitif dalam sebuah karya terkandung lebih dari satu peristiwa.
Naratif memiliki dua ciri, yaitu: kehadiran cerita dan penceritaan. Dalam sastra oral,
plot justru lahir pada saat diceritakan. Makna karya sastra dapat diungkapkan secara
maksimal dengan cara menganalisis wacana atau teks sebagai reproduksi pementasan.
40
Dalam sastra oral karya sastra tidak bisa dipahami semata-mata melalui teks, atau
melalui struktur naratif, sebab karya sastra selalu berubah setiap kali dipentaskan atau
ditampilkan (Ruth Finnegan,1977:28).
Sudaryat (2011:169) menyebutkan bahwa wacana naratif atau kisahan adalah
wacana yang isinya memaparkan terjadinya suatu peristiwa, baik rekaan maupun
kenyataan. Wacana narasi dapat bersifat faktual juga imajinatif. Dengan
mempertimbangkan hakikat wacana yaitu bentuk bahasa yang sedang digunakan,
maka penelitian pun dapat diperluas ke metode penelitian lapangan, seperti pada
objek penelitian yang dilakukan tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan.
Mitos RK dapat dianalisis melalui kajian wacana naratif dari aspek struktur,
fungsi, dan makna. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap unit
wacana, baik besar maupun kecil memiliki bentuk, sebagai struktur tertentu. Wacana
diciptakan dengan tujuan tertentu, positif atau negatif sebagai fungsi. Akhirnya,
wacana menampilkan makna sebagai hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan fungsi.
Apabila dikaitkan dengan sistem dasar komunikasi sastra, yaitu antara
pengarang, karya sastra dan pembaca, maka bentuk digali melalui kompetensi
pengarang, fungsi melalui karya, sedangkan makna melalui pembaca. Bentuk sebagai
artifact adalah hak pengarang, wakil pengarang untuk menyampaikan pesan-
pesannya, yang secara keseluruhan berupa aspek-aspek kebudayaan. Pertemuan
antara karya sastra dengan pembaca hingga pembaca dapat menghasilkan sesuatu
yang baru disebut makna (Ratna, 2010:247).
41
Bagi Barthes, makna adalah writerly, wacana adalah untuk ditulis, bukan
dibaca. Kaitannya dengan penelitian RK ini, maka konsep wacana naratif
dimaksudkan sebagai satuan gramatikal terlengkap dan tertinggi dari persepsi
masyarakat yang bersifat orisinil, dituliskan dan dinarasikan, sebab mempunyai
bentuk, fungsi, dan makna sehingga dapat disejajarkan dengan teks dalam ilmu sastra.
2.2.6 Konsep Spiritualitas
Pada dasarnya, spiritual mempunyai beberapa arti di luar dari konsep agama,
tetapi lebih menunjukkan tingkah laku, bahkan sering dihubungkan dengan faktor
kepribadian. Menurut kamus Webster (1963) kata ‘spirit’ berasal dari kata benda
‘spiritus’ (Latin) yang berarti nafas (breath) dan kata kerja ‘spirare’ yang berarti
bernafas. Sesuatu yang hidup sudah pasti memiliki nafas, yang artinya memiliki
spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat
kerohanian atau kejiawaan dibandingkan dengan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai
makna hidup dan tujuan hidup, sehingga merupakan bagian esensial dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Dalam pengertian yang lebih luas, spiritual
merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki
kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia dan bersifat
duniawi atau sementara (KBBI). Di dalam spiritual terdapat kepercayaan terhadap
kekuatan supernatural seperti halnya dalam agama, tetapi memiliki penekanan pada
pengalaman pribadi.
42
Spiritual dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih
tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang yang
bersifat indrawi. Seseorang dapat diketahui menjadi spiritual karena memiliki arah
tujuan dengan terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak.
Tujuannya untuk mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam
semesta serta menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra
yakni perasaan dan pikiran.
Disebutkan pula bahwa aspek spiritual memiliki dua proses. Pertama, proses
ke atas merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang
dengan Tuhan. Kedua, proses ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas
fisik seseorang akibat perubahan internal. Dalam konotasi lain, perubahan akan
timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri dan nilai-nilai
ketuhanan akan termanifestasi ke luar melalui pengalaman dan kemajuan diri.
Konsep spiritualitas dalam penelitian RK ini dipahami sebagai kesadaran diri
dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib. Spiritual dapat memberikan
jawaban siapa dan untuk apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran). Berbeda
halnya dengan religiusitas (agama) memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan
seseorang (perilaku dan tindakan). Oleh karena itu, seseorang bisa saja mengikuti
agama tertentu, namun harus tetap memiliki spiritualitas. Artinya, seseorang yang
agamanya sama, namun belum tentu memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang
sama. Demikian juga dengan keyakinan terhadap RK, khususnya bagi kelompok
43
paranormal dan penekun spiritual akan terjadi perbedaan pemahaman antara yang
spiritualis dan yang religius.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Wacana Naratologi
Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan
postrukturalisme. Wacana dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial, baik
dalam kehidupan praktis sehari-hari maupun kehidupan formal. Wacana adalah
kumunikasi verbal, percakapan, satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam
bentuk karangan atau laporan yang utuh, kemampuan atau prosedur berpikir secara
sistematis, kemampuan atau proses memeberikan pertimbangan berdasarkan akal
sehat, pertukaran ide secara verbal (KBBI).
Wacana juga diartikan sebagai cara tertentu untuk membicarakan dan
memahami dunia (aspek dunia) ini (M.Jorgensen dan L.J Phillips). Pengertian
wacana yang disampaikan M.Jorgensen, dapat digunakan sebagai pedoman untuk
menganalisis berbagai fenomena tentang wacana mitos RK yang terjadi di Bali
Selatan, seperti: adanya lukisan, patung, ‘palinggih’, artifact, doa/mantra dan dipuja
sebagai sasuhunan.
Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk informasi,
membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi dan sebagainya.
Wacana sekaligus berfungsi untuk membentuk objek dan subjek. Wacana lahir dan
dimanfaatkan dalam masyarakat, ruang dan waktu yang berbeda. Sejajar dengan
44
pendapat tersebut, Genett (1972:26-27) menjelaskan perbedaan antara wacana dengan
teks semata-mata sebagai perbedaan pragmatis, penggunaan secara luas disebut
wacana, sedangkan penggunaan secara sempit, dalam sastra disebut teks.
Istilah wacana naratif dengan pemahaman bahwa di dalamnya sudah
termasuk teks naratif. Shlomith Rimmon-Kenan (1983:1-5) menjelaskan bahwa
wacana naratif meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Dalam hal ini akan lebih
difokuskan pada wacana naratif fiksi. Narasi fiksi mensyaratkan: (a) proses
komunikasi, proses naratif sebagai pesan yang ditransmisikan oleh pengirim kepada
penerima; (b) struktur verbal medium yang digunakan untuk mentransmisikan pesan.
Bertolak dari pemahaman Genette tentang perbedaan wacana dan teks, maka
R. Kenan, membedakan antara story, text dan narration. Story menunjuk pada
peristiwa-peristiwa yang diabstraksikan dari disposisinya dalam teks dan
direkonstruksikan dalam orde kronologisnya bersama-sama dengan partisipan dalam
peristiwa tersebut (urutan kejadian). Untuk merekonstruksi wacana mitos RK diurut
berdasarkan ketuaan teks. Text, adalah wacana yang diucapkan atau ditulis. Oleh
karena itu, peristiwanya tidak kronologis atau seluruh narasi berada dalam perspektif
fokalisasi yang terlihat dari wacana masing-masing informan. Narration, adalah
tindak atau proses produksi yang mengimplikasikan seseorang baik dengan fakta
maupun fiksi yang mengucapkan atau menulis wacana (narrator). Tergantung sudut
pandang para informan dalam mengalurkan wacana RK.
Setiap unit wacana, baik besar maupun kecil memiliki bentuk sebagai struktur
tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan tertentu, positif atau negatif sebagai
45
fungsi. Wacana menampilkan makna sebagai hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan
fungsi. Oleh karena itu, struktur naratif meliputi lisan dan tulisan, sastra dan non
sastra (Ratna, 2010:244). Wacana dibicarakan dalam struktur naratif secara
keseluruhan melalui analisis dari keempat permasalahan wacana mitos RK, sedang
teks dibicarakan dalam struktur naratif teks meliputi; unsur instrinsik dan ekstrinsik.
Oleh sebab itu, teori wacana naratologi menjadi payung dan pedoman dalam
menganalisis keempat rumusan masalah penelitian ini.
2.3.2 Teori Semiotika.
Kelahiran strukturalisme yang kemudian disusul oleh semiotika sebagai akibat
stagnasi strukturalisme. Semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan
strukturalisme. Hubungan keduanya bersifat kompleks sekaligus ambigu (Ratna,
2010:96). Strukturalisme dan semiotika sesungguhnya merupakan dua teori yang
identik. Strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedang semiotika pada
tanda, namun dapat dioperasikan secara bersama-sama. Semiotika melalui intensitas
sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik.
Semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian
yang lebih luas sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi
dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan
manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda,
proses kehidupan menjadi lebih efisien. Manusia dapat berkomunikasi dengan
sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Manusia adalah homo semioticus.
46
Semiotika sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah
keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik tanda verbal maupun non verbal.
Meskipun demikian, untuk kepentingan praktis di satu pihak, dan hubungan yang erat
antara strukturalisme dan semiotika di pihak lain (Ratna, 2010:163). Dua ahli yang
hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama,
tetapi tidak saling mengenal, adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders
Peirce. Sassure ahli bahasa, sedangkan Peirce ahli filsafat dan logika yang juga
menekuni bidang kealaman dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi,
Peirce menggunakan istilah semiotika, dan dalam perkembangan selanjutnya istilah
semiotika yang lebih populer (Ratna, 2010:98).
Konsep-konsep Saussure terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang
memiliki dua sisi sebagai dikotomi, seperti: penanda dan petanda, parole dan langue,
sintagmatis dan paradigmatis, diakronik dan sinkronik. Konsep Saussure, bersisi
ganda yang ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan konsep Peirce, bersisi
tiga sebagai triadik, ditandai oleh dinamisme internal. Dari segi cara kerjanya
terdapat: (a) sintaksis semiotika; (b) semantik semiotika; (c) pragmatik semiotika.
Apabila dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda dibedakan sebagai berikut:
1) Representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum,
terdiri atas: (a) qualisigns, (b) sinsigns, tokens, (c) legisigns, types.
2) Object, yaitu apa yang diacu, terdiri atas : (a) ikon, (b) indeks, (c) simbol.
3) Interpretant, yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima terdiri
atas: (a) rheme, (b) dicisigns, dicent signs, (c) argument.
47
Dari ketiga faktor di atas yang paling menonjol dalam ulasan disertasi ini
adalah object, dan di antara elemen object yang terpenting ikon, sebab segala sesuatu
merupakan ikon dan segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain.
Artinya, ikonisitas selalu melibatkan indesikalitas dan simbolisasi dengan
mengutamakan dominasinya dalam sebuah teks sastra. Ciri-ciri ikonisitas, yaitu
persamaan dan kemiripan ternyata memberikan rasa aman dan dengan sendirinya
menimbulkan daya tarik (Ratna, 2010:101).
Menurut Aart van Zoest (1993:5-7) dikaitkan dengan bidang yang dikaji,
semiotika dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu: aliran semiotika komunikasi
(Umberto Eco), aliran semiotika konotatif (Roland Barthes), aliran semiotika
ekspansif (Julia Kristeva). Penggunaan teori semiotika dalam kaitannya dengan
penelitian ini adalah semiotika konotatif yang dipelopori oleh Roland Barthes, atas
dasar ciri-ciri denotasi dari mitos RK. Kemudian, diperoleh makna konotasinya, yaitu
arti pada bahasa sebagai model kedua. Tanda-tanda tanpa maksud langsung, tetapi
dikomunikasikan dan dimaknai, seperti contoh: terjadi tsunami, kerauhan, orang
hilang atau tenggelam terseret ombak, dinyatakan sebagai pertanda bahwa RK rawuh
(datang) merupakan salah satu bentuk indeks (hubungan tanda dan objek karena
sebab akibat) pada wacana mitos RK di pesisir Bali selatan.
Tanda dalam pengertian ini, yaitu object tentang apa yang diacu utamanya
menggunakan tanda yang berupa ikon (hubungan tanda dan objek karena serupa).
Misalnya, beredarnya foto atau lukisan RK ke luar dari ombak yang menggulung.
sedangkan berupa simbol (hubungan tanda dan objek karena kesepakatan), adanya
48
simbol negara melalui pemasangan bendera merah putih pada cotages 2401 Inna
Grand Bali Beach Sanur, tentu atas dasar kesepakatan manajemen hotel.
Teori semiotika dapat digunakan untuk menginterpretasi tanda, melalui
pemaknaan simbol-simbol, indeks dan ikon yang terdapat dalam wacana mitos RK.
Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus
pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang
dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan
proses komunikasi, karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan
pengirim dan penerima.
Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks
di mana tanda diciptakan dan tertanam. Sebuah tanda bisa memiliki arti sangat
banyak, atau sama sekali tidak berarti. Inilah kemudian disebut semiotika sosial.
Menurut salah seorang pelopor semiotika sosial Halliday (dalam Ratna, 2010:118-
119) semiotika diberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat
sebagai makrostruktur. Semiotika sosial mencoba memberikan penilaian pada gejala
di balik objek. Dalam hubungan ini istilah sosial disejajarkan dengan kebudayaan.
Implikasi pada hakikat teks sebagai gejala yang dinamis, dan ilmu tanda
dalam kaitannya dengan konteks, tanda tersebut difungsikan. Implikasi lebih jauh,
semiotika sosial sebagai ilmu, sedangkan teks dan konteks sebagai metode yang harus
dilakukan dalam proses analisis dan pemahaman. Halliday, juga mendeskripsikan tiga
model hubungan teks, yaitu: (a) medan, sebagai ciri-ciri semantik teks; (b) pelaku,
yaitu orang-orang yang terlibat; (c) sarana, yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh
49
bahasa. Pendapat Halliday, inilah kemudian disejajarkan dengan model lain, yaitu:
bentuk, fungsi, dan makna, dengan catatan bahwa, bentuk sejajar dengan sarana,
fungsi sejajar dengan pelaku, dan makna sejajar dengan medan teks. Secara analogi
teks bermakna dalam konteks sosial tertentu, konteks mendahului teks, reproduksi
makna bersifat sosial.
Dalam interaksi sosial pertukaran makna terlihat jelas, sebab dilakukan
sekaligus melalui tanda-tanda verbal dan nonverbal. Oleh karena itu, sesuai rumusan
masalah yang dikaji mengenai struktur dan fungsi wacana mitos RK di Bali Selatan
lebih tepat menggunakan teori semiotika sosial yang didukung oleh semiotika
konotatif. Sehingga pemahaman ikon, indeks, dan simbol yang muncul dari wacana
mitos RK di pesisir Bali Selatan dapat berimplikasi terhadap masyarakat pendukung.
2.3.3 Teori Mitos/Mitologi.
Roland Barthes, adalah penganut strukturalis dan pasca strukturalisme. Salah
satu bukunya Mythologies (1985) menguraikan model pemikiran Barthes. Teori
mitos yang dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi
budaya massa. Dalam buku tersebut Barthes membuat satu analisis dari fenomena-
fenomena budaya umum pada masyarakat. Mitos pada dasarnya ‘mendistorsi ‘ makna
dari sistem semiotik pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita
sebenarnya.
Menurut Barthes, mitos bersamaan dengan ideologi karena bekerja dengan
menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara ideologis. Mitos
menjadikan yang historis menjadi natural, sesuatu yang alamiah. Buku tersebut
50
merupakan satu bentuk praktek dalam bidang budaya dan kesusastraan dengan
menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mencari makna teks yang
tersembunyi, dimana lingkungan dari konotasi itu adalah ideologi (Susanto,
2011:103). Pengertian mitos tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian
sehari-hari seperti cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan yang dalam
bahasa Barthes, disebut ‘ tipe wicara’.
Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos. Satu mitos timbul untuk
sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain, digantikan oleh berbagai
mitos yang lain pula. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan
menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Kandungan makna
mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (mitos diperlawankan dengan
kebenaran). Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan
situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada di sekelilingnya. Melalui mitos
sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa tetapi
mungkin tidak untuk masa yang lain (Sobur, 2006:109).
Menurut Barthes, ada empat ciri mitos, antara lain: (1) distorsif, dimana
hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept
mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan
makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya (laut disimbolkan sebagai ibu);
(2) intensional, artinya mitos tidak ada begitu saja, tetapi sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu (wacana mitos
RK di pesisir Bali Selatan); (3) statement of fact, artinya mitos menaturalisasikan
51
pesan sehingga diterima sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi, sebagai sesuatu yang ada secara alami dalam nalar awam (RK adalah penguasa
lautan); (4) motivasional, artinya bahwa bentuk mitos mengandung motivasi,
misalnya mengaitkan RK dengan tsunami dapat memotivasi masyarakat yang berada
di pesisir selalu waspada. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap
berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya (Barthes,1985: 99).
Tanda-tanda tidak dipandang sebagai sesuatu yang polos dan murni tetapi
merupakan sesuatu yang rumit dalam satu usaha memeroses atau mereproduksi
ideologi. Dengan demikian, Barthes dapat dipandang sebagai seorang strukturalis
dengan menerapkan dan mengadopsi pemikiran dari Ferdinand de Saussure yang
ditarik ke persoalan semiologi, atau dipandang sebagai semiotik (Barthes,1985:109-
115).
Pemikiran Barthes tentang mitos tampaknya masih melanjutkan sesuatu yang
diandaikan oleh Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda
dengan petanda. Akan tetapi, yang dilakukan Barthes oleh sesungguhnya melampaui
apa yang dilakukan oleh Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah
pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure
mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, maka Barthes
menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi.
Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu yang dinyatakan sebagai
mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif
52
tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan konsep ini merupakan
sumbangan Barthes yang berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi
Saussure yang hanya berhenti pada penandaan lapis pertama atau pada tataran
denotatif semata (Ratna, 2011:112).
Untuk menginterpretasi makna wacana mitos RK di Bali Selatan digunakan
teori mitologi Roland Barthes sebagai pendukung teori semiotika dengan
pemahaman, untuk mencari makna teks harus melalui identifikasi, dan interpretasi
bentuk wacana mitos RK dari masing-masing informan. Berbagai persepsi wacana
para informan itu direkonstruksi, kemudian dilakukan interpretasi dan pemahaman
untuk mengetahui makna wacana RK di pesisir Bali Selatan.
2.3.4 Teori Resepsi
Teori semiotika dan resepsi berkembang pesat sesudah strukturalisme
mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaannya, teori
semiotika melalui intensitas sistem tanda memeberikan keseimbangan antara struktur
instrinsik dan ekstrinsik, sedang teori resepsi memberikan perhatian kepada pembaca.
Secara definitif resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan. Dalam arti luas didefinisikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga terjadi respons
dari pembaca (Ratna, 2010:165-167). Pengertian resepsi sangat dekat dengan konsep
persepsi. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sastra naratif maka teori
53
resepsi lebih tepat digunakan. Pemahaman individu terhadap sesuatu hal melalui
persepsi terlebih dahulu kemudian diinterpretasi agar dapat diresepsi.
Teori resepsi relevan dengan paradigma pascastrukturalis. Adanya keterlibatan
pembaca, hakikat multikultural dapat digali secara maksimal. Salah seorang tokoh
teori resepsi adalah Jausz. Ia murid dari Mukarovsky dan Felix Vodicka memberikan
argumentasi secara lebih mendalam dengan cara mengaitkannya pada unsur sejarah.
Menurut Jausz, nilai karya sastra terkandung dalam pertemuan antara masa
lampau karya sastra dengan kekinian masing-masing peneliti. Perhatian ditujukan
pada penerimaan pembaca sekaligus dengan aspek estetika dan proses
kesejarahannya. Istilah yang populer menurut Jausz sehubungan dengan resepsi sastra
adalah “horison harapan”. Jausz juga mempopulerkan ke dalam pemahaman
pembaca, pemahaman baru yang berbeda atas dasar pemahaman sebelumnya. Jausz
mencoba menghapus kelemahan formalisme yang mengabaikan sejarah, kelemahan
teori-teori berorientasi masyarakat yang mengabaikan peranan teks.
Oleh karena itu sejarah sastra bukanlah akumulasi periode, aliran, karya
sastra, dan pengarang, tetapi merupakan rangkaian tanggapan pembaca. Nilai karya
sastra tidak tetap, tidak universal, melainkan selalu berubah. Berbeda dengan Jausz,
pembaca yang dimaksudkan oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca
implisit, instansi pembaca yang diciptakan oleh teks.
Pembaca implisit seolah-olah merupakan model untuk menentukan sikap
dalam menghadapi suatu teks tertentu melalui pembaca yang sesungguhnya. Iser juga
mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, pembaca
54
secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Jausz berbeda dengan Iser yang
memberi perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungannya
dengan kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Konsep ruang
kosong mengandaikan teks bersifat terbuka (pembaca diarahkan oleh teks). Menurut
Culler, meskipun pembaca berbeda-beda, tetapi konvensi yang sama memungkinkan
untuk mengarahkan pada penafsiran yang relatif sama dan untuk memahaminya
dilakukan dengan cara mengembalikan pada keadaan yang disebut naturalisasi.
Dengan demikian, teori resepsi yang relevan digunakan untuk menganalisis
permasalahan nomor 4 (empat) adalah gabungan teori yang dikemukakan oleh Jausz
dan Iser bahwa, dengan mempersepsi dan meresepsi wacana mitos RK di pesisir Bali
Selatan dapat memberikan efek kepada masyarakat (pembaca implisit). Setelah mitos
RK dipersepsi dan diresepsi maka terjadi pemahaman baru yang berbeda dari
pemahaman sebelumnya. Persepsi itulah yang diistilahkan sebagai ‘Horison Harapan’
oleh Jausz. Sedangkan Iser, mengintroduksi ‘konsep ruang kosong’ yang secara
sengaja diciptakan bagi pembaca yang kreatif, oleh karena itu lebih menekankan pada
masyarakat pembaca yang implisit.
55
Bagan:1
2.4 Model Penelitian
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOS RATU KIDULDI PESISIR BALI SELATAN, KAJIAN WACANA NARATIF
FFungStruktur wacanamitos RK di PesisirBali Selatan
Fungsi wacana mitosRK di Pesisir BaliSelatan
Temuan
PendekatanPragmatis
IPOLEKSOSBUD
Deskripsi Konsep
T. W.NaratologiT. SemiotikaT. MitologiT. Resepsi
Makna wacanamitos RK di BaliSelatan
Persepsi masyarakat danimplikasi Wacana Mitos RKdi pesisir Bali Selatan
Mitos RatuKidul di Pesisir
Bali SelatanMetode dan Teknik
Budaya Bali dan Jawa
56
Keterangan Model Penelitian: Persepsi Masyarakat terhadap mitos RK di PesisirBali Selatan, Kajian Wacana Naratif
Keterangan Tanda-tanda:
= hubungan searah, sebagai bagian dari struktur yang lebih luas.
= hubungan dwiarah , menunjukkan saling mempengaruhi.
Penjelasan Bagan:
(1) Cassirer (1987:109), menyatakan kebudayaan adalah manifestasi fungsi simbolis.
Ia hidup dalam universum simbol yang mencakup penguasaan batas-batas ruang
dan waktu, seperti: bahasa, seni, religi, dan teknologi sebagai sistem simbol. Pola
pikir peneliti terhadap objek penelitian ini berawal dari konsep folklore sebagai
bentuk kelisanan yang merupakan sebagian kebudayaan kolektif termasuk di
dalamnya kearifan lokal, tradisi lisan dan sastra lisan. Sebagai bentuk kelisanan,
folklor tersebar dan diwariskan turun temurun secara tradisional dengan versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh berupa benda hasil karya
sebagai bukti dan alat bantu pengingat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini
walau difokuskan pada sastra lisan berupa wacana mitos, tetapi tidak dapat
dipisahkan dari pembicaraan masalah karya lainnya berupa benda (artifact).
Objek penelitian berupa tradisi dan sastra lisan diletakkan dalam suatu konteks
sosial budaya. Pedoman Dikti tentang (KTL, 2009-2014), tradisi sastra lisan itu
sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai bentuk
kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan, direvitalisasi, atau
karena alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.
57
(2) Dari sekian banyak tradisi dan sastra lisan yang tersebar di Bali baik yang berupa
legenda, fabel, dongeng, mitos dan lain-lain, maka pada kesempatan ini peneliti
mencoba mengkaji wacana mitos RK yang awalnya merupakan mitos asli dari
pulau Jawa. Setiap mitos merupakan cetusan kearifan lokal masyarakat pada
zamannya dari sebuah bentuk kelisanan. Dalam perjalanan waktu, mitos RK
dapat berubah menjadi keyakinan dari masyarakat di pesisir Bali Selatan. Mitos
RK selalu berkaitan dengan religi atau upacara ritual, dan pada akhirnya dapat
menjadi ideologi.
(3) Wacana mitos RK pada saat ini telah membumi, dan sering dibahas serta
dipromosikan melalui media elektronik, difilmkan dan beberapa kali diteliti di
Jawa serta dibukukan. Namun, untuk penelitian ini dibatasi hanya pada
permasalahan yang terkait dan terjadi di Bali. Pada saat meneliti wacana mitos
RK di Bali Selatan ada tiga faktor penting dan berpengaruh terhadap bentuk
wacana yang harus dapat diungkap, yaitu: faktor ontologis, mengapa mitos RK
menyebar dan berpengaruh di Bali. Faktor epistemologis, yaitu mempersempit
jarak subjek dan obyek untuk mendeskripsikan dan memahami struktur, fungsi,
dan makna wacana mitos RK di Bali Selatan. Faktor aksiologis, dengan penilaian
(evaluasi) seberapa besar manfaat dan pengaruh yang ditemukan atas objek, dan
implikasinya terhadap masyarakat di Bali, dalam kaitannya dengan keyakinan
dan ritual yang dilaksanakan.
(4) Keempat permasalahan yang telah ditetapkan dikaji dengan menggunakan
rancangan dan metode kualitatif dan pendekatan pragmatis. Teori yang
58
digunakan adalah teori-teori yang telah teruji kesahihannya, seperti: teori resepsi
dan teori postruktural antara lain; teori wacana naratologi, teori mitologi dan
teori semiotika khususnya semiotika sosial dan semiotika konotatif yang
berkaitan dengan objek penelitian. Teori mitos/mitologi Roland Barthes,
digunakan sebagai pedoman untuk memahami makna wacana mitos RK secara
lebih dominan sehingga dapat digunakan sebagai pendukung teori semiotika.
Dalam bahasa yang disampaikan berbentuk wacana, sering ditemukan berbagai
makna/pesan yang tersembunyi (bersifat konotatif).
(5) Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif-naratif, yang dimulai dari
pengolahan data, yakni: transkripsi, klasifikasi, reduksi, dan interpretasi.
Penyajian hasil dilakukan dengan cara informal, didukung oleh cara formal
sehingga data yang telah diolah dapat disajikan dan menghasilkan pemahaman
baru atau temuan.
59
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Dalam merancang sebuah penelitian yang pertama ditentukan adalah
paradigma. Secara umum paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan
mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan
manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam
penelitian ilmiah. Paradigma dan metodelogi dianggap sebagai komponen-komponen
yang secara inklusif mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran
tertentu sehingga berbeda dengan peneliti lain (Ratna, 2010:21). Jadi, paradigma dan
metodelogis merupakan jiwa dan semangat penelitian yang diarahkan oleh teori
dengan mempertimbangkan cara-cara yang sudah disepakati, yaitu metode dan
teknik.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan secara
filosofis ada empat faktor yang mempengaruhi, yaitu: faktor ontologis,
epistemologis, aksiologis, dan faktor metodelogis (Ratna, 2010:31). Metode kualitatif
memberi perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya. Dalam hubungan ini metode kualitatif dianggap sama dengan
metode pemahaman atau verstehen dan sesuai dengan namanya metode kualitatif
lebih mempertahankan hakikat nilai.
59
60
Selain itu aspek sosio kultural berperan dalam menentukan perkembangan bentuk
bahasa, maupun perubahan maknanya.
Dalam menentukan fungsi ada tiga faktor yang terkait, yakni: (1) ideasional,
isi pesan yang ingin disampaikan; (2) interpersonal, makna yang hadir dalam
peristiwa tuturan; dan (3) tekstual, bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang
merepresentasikan makna tuturan (Halliday, 1978:111). Dalam hubungannya dengan
kesastraan, bahwa sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni menggunakan bahasa
sebagai pemaparannya. Berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa dalam sastra
memiliki kekhasan yang merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yakni tebaran
kata yang digunakan merupakan hasil olahan dan ekspresi individual pengarangnya.
Karya sastra dapat kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen
yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang pesan dan keterbatasan
tulisan yang mewakili bunyi ujaran. Lapis atau strata makna dalam sastra mencakup:
(a) unit makna literal (tersurat); (b) dunia rekaan pengarang; (c) dunia dari titik
pandang tertentu dan pesan yang bersifat metafisis (Sudaryat, 2011:8). Model
penelitian yang bermaksud mengeksplorasi dan mengklasifikasi secara cermat dan
sistematis terhadap fenomena atau fakta sosial tertentu, yaitu dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang diamati terutama berupa informasi (Bungin,
2003:79).
Ciri terpenting metode kualitatif, antara lain: (1) memberikan perhatian utama
pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek; (2) lebih mengutamakan proses
dibanding dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah; (3) tidak ada jarak
61
antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument
utama, sehingga terjadi interaksi langsung; (4) desain dan kerangka penelitian bersifat
sementara sebab penelitian bersifat terbuka; (5) penelitian bersifat alamiah, terjadi
dalam konteks sosial budayanya masing-masing (Ratna, 2010:46-48).
Pendekatan yang dipandang relevan adalah pendekatan pragmatis, yaitu
pendekatan tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai
aneka fungsi bahasa. Melalui analisis wacana tidak hanya diketahui isi teks yang
terdapat pada wacana tetapi juga memahami pesan yang ingin disampaikan, mengapa
harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun serta dipahami. Dalam
analisis wacana memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di
balik teks atau di balik pilihan metode penelitian tertentu untuk menafsirkan teks.
Wacana juga memiliki kesatuan dan konteks yang eksis dalam kehidupan
sehari-hari contohnya, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan. Oleh karena itu
analisis wacana pada dasarnya merupakan analisis terhadap hubungan antara konteks-
konteks yang terdapat dalam teks dan bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat
atau ujaran yang membentuk wacana tersebut. Wacana mitos RK di Pesisir Bali
Selatan, apabila dipandang atas dasar kepercayaan masyarakat pendukung terhadap
makna keberadaan laut tepat menggunakan pendekatan pragmatis. Namun, wacana
mitos RK dengan versi-versinya yang disampaikan oleh para informan dalam
penelitian ini lebih tepat dianalisis dengan model wacana naratif terutama dalam
menganalisis struktur instrinsik dan ekstrinsik guna menemukan fungsi pada setiap
wacana.
62
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan merupakan penelitian
lapangan. Lokasi penelitian adalah pesisir pulau Bali bagian Selatan, dimulai dari
hotel Inna Grand Bali Beach (selanjutnya disingkat IGBB) Sanur dan sekitarnya.
Semula, hotel tersebut bernama Bali Beach (disingkat BB) merupakan hotel
berbintang dan tertua di Bali yang dibangun dari hasil pampasan perang Jepang
sebagai lokasi awal ditemukannya wacana mitos RK. Lokasi penelitian ini termasuk
wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
Pesisir Bali Selatan yang dimaksud adalah pesisir pantai dari Gilimanuk
sampai pesisir pantai Padangbai, akan tetapi tidak meliputi wilayah pesisir pulau di
seberang laut seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan dan pulau
Menjangan. Sedangkan data yang diperoleh secara kebetulan di hutan Pura Segara
Rupek sebenarnya tidak dapat dimasukkan dalam penelitian ini, karena masalah
lokasi, akan tetapi data tersebut juga menyinggung tentang RK. Sebagaimana alasan
pemilihan objek penelitian, demikian juga alasan pemilihan lokasi penelitian ini tidak
terlepas dari sumber data pertama yang ditemukan, tentang wacana mitos RK di
Pesisir Bali Selatan. Alasan pemilihan lokasi penelitian semata-mata ditentukan oleh
keterbatasan waktu, selain jarak lokasi mudah dijangkau, juga data primer yang
ditemukan lengkap (dapat mewakili). Data yang diperlukan sesuai dengan
permasalahan yang menjadi fokus kajian. Kronologis penyebaran mitos RK dapat
berkaitan dengan sejarah, maupun aspek lain dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbudaya. Pengambilan data dimulai dari hotel IGBB, tepatnya pada lantai III kamar
63
327 dan Cottages kamar 2401. Di tempat ini diperoleh data dan informasi awal, baru
kemudian dilanjutkan pada wilayah pesisir Bali bagian Selatan, yaitu dari pesisir
pantai Gilimanuk sampai pesisir pantai Padangbai.
Penetapan lokasi ini bertujuan untuk menemukan berbagai versi wacana RK.
Bentuk-bentuk wacana RK yang ditemukan dapat mewakili setiap kabupaten yang
wilayahnya memiliki pesisir Selatan. Hal penting juga dilakukan sebagai pembanding
adalah perolehan informasi dari tempat asal mitos RK, yakni pantai Pelabuhan Ratu,
pantai Karang Hawu, Parangtritis, Parang Kusumo, Keraton Yogyakarta dan Solo.
Model seperti ini didasari atas dugaan bahwa wacana mitos RK di Bali
Selatan juga memiliki versi berbeda bagi setiap penutur. Penentuan cara seperti ini
berdasarkan pertimbangan bahwa salah satu bukti tentang wacana mitos RK di pesisir
Bali bagian Selatan sesuai dengan nama tokoh yang dimitoskan, sama seperti di Jawa.
Penelitian ini dilaksanakan secara resmi setelah proposal disetujui, disertai dengan
surat ijin yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Namun
demikian, observasi dan pencarian informasi awal telah dilakukan sebelumnya
sebagai ciri penelitian lapangan.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Bungin (2003:18) menyebutkan bahwa jenis data terdiri atas data yang
bersifat kualitatif dan data yang bersifat kuantitatif. Dalam penelitian ini jenis data
yang digunakan bersifat kualitatif yaitu berupa narasi, deskripsi, dari elemen-elemen
64
wacana terkait dengan permasalahan, antara lain: struktur, fungsi serta makna juga
persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitos RK di Bali Selatan terhadap
masyarakat. Jadi, data kualitatif yang dimaksud adalah data yang diperoleh di
lapangan meliputi data verbal dan nonverbal melalui wawancara, dan observasi. Data
verbal berupa rangkaian kata, frase, kalimat, bahkan paragraf yang diinformasikan
oleh para informan dapat membentuk wacana/teks. Data nonverbal berupa foto
lukisan, kamar suci, palinggih, ritual, artifact dan atribut ritual lainnya juga
dideskripsikan atau dinarasikan sehingga membentuk wacana mitos RK di pesisir Bali
Selatan.
3.3.2 Sumber Data
Sumber data penelitian ini ada dua jenis, yakni: data primer dan data
sekunder. Sumber data primer berupa wacana mitos RK dengan versi dan persepsi
yang diinformasikan dan diceritakan oleh para penutur (verbal) dan non verbal
(lukisan, patung, lingga, palinggih, gedong/kamar suci, ritual, dan atribut RK
lainnya). Nara sumber atau informan adalah masyarakat penutur yang informasinya
didapat secara langsung melalui wawancara yakni, para pamangku dan nara sumber
lain di beberapa Pura pesisir Bali Selatan, dari berbagai profesi, seperti: nelayan,
paranormal, ilmuan, dan masyarakat umum yang dianggap memiliki pengetahuan
tentang wacana mitos RK di pesisir Bali bagian Selatan.
Pengetahuan yang dimaksud antara lain tentang cara pemahaman dan
persepsi atas wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Jadi, sumber data primer
(utama) adalah wacana-wacana atau tuturan yang sifatnya sepenggal-sepenggal,
65
disusun dan difragmentasi menjadi ‘teks’ yang diapresiasi oleh masyarakat
pendukung.
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk pengetahuan
teoretis dan empiris melalui studi kepustakaan yang masih relevan dengan
permasalahan penelitian, di antaranya berupa dokumen, buku, karya ilmiah dan
sebagainya. Selain buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian, juga
mengambil data dari sumber internet karena seringkali lebih variatif, asalkan dapat
memilah mana yang ilmiah dan mana yang tidak ilmiah.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Informan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini ditentukan melalui
teknik snowball sampling. Artinya, gumpalan bola salju yang menggelinding dan
bertambah dengan cepat (KBBI). Informan dipilih atas pertimbangan memiliki
pengetahuan dan pengalaman spiritual berkaitan dengan topik dan permasalahan yang
dikaji. Sebagai informan kunci, yakni Mangku Made Wirya adalah seorang pensiunan
hotel IGBB sekaligus mantan ‘Pamangku’ pada kamar 327 dan Cottages 2401. Dari
informan kunci ini ditemukan para informan lainnya dengan alamat tersebar di Bali.
Penentuan informan berikutnya melalui teknik purposive sampling. Kata
purposive berasal dari kata purposive (Inggris) yang berarti sengaja (Anggono dalam
Bungin, 2003:27). Informan dengan sengaja dipilih atas dasar informasi dari
informan pertama, karena dipandang mengetahui dan memahami informasi yang
66
diperlukan. Informan yang terpilih tidak terbatas sampai informasinya mencapai titik
jenuh. Para informan dimaksud dapat dilihat pada daftar terlampir.
Prinsif yang digunakan sehubungan dengan teknik tersebut adalah semakin
banyak informasi di lapangan, semakin banyak data yang diperoleh. Hal ini sesuai
dengan pandangan Koentjaraningrat (1990:89) yang menyatakan bahwa penentuan
besarnya jumlah subjek dalam penelitian kualitatif tidak mutlak, tetapi disesuaikan
dengan kebutuhan dan perkembangan di lapangan. Cara ini dipilih karena penelitian
kualitatif lebih mengarah pada penelitian proses daripada hasil.
Adapun penetapan informan dilakukan berdasarkan kriteria umum sebagai berikut.
1) Anggota masyarakat pendukung mitos RK di pesisir Bali Selatan, tersebar tidak
hanya masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dengan profesi sebagai nelayan,
akan tetapi juga masyarakat umum dari profesi lain terutama paranormal.
2) Memiliki wawasan yang memadai tentang wacana mitos RK sehingga dapat
memberi informasi sesuai pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
3) Dapat memberikan informasi sesuai kemampuan dan pengetahuan serta
pengalaman yang memadai dalam mengapresiasi wacana mitos RK.
4) Bersifat kooperatif sehingga dapat dijadikan mitra kerja di lapangan.
3.5 Instrumen Penelitian
Penetapan instrumen sebagai alat penjaringan data perlu dipersiapkan untuk
memudahkan proses pemerolehan data lapangan. Istrumen penelitian pada prinsifnya
disesuaikan dengan teknik pengumpulan data (data collection technique) yang
67
diterapkan di lapangan. Selanjutnya, data-data yang diperoleh peneliti dari melihat,
mendengar, bertanya, serta membaca, mengharuskan peneliti tanggap dan jeli
terhadap situasi serta kondisi lingkungan, mudah menyesuaikan diri, mendasarkan
diri atas pengalaman dan kemampuan yang dimiliki sehingga dapat memeroses data
dengan lebih cepat dan tepat.
Sebagai penunjang kegiatan penelitian diperlukan pula instrumen penelitian
yang lain seperti voice recorder, untuk merekam uraian verbal para informan terpilih,
HP (081558549902) untuk wawancara singkat jarak jauh dengan para informan,
camera digital untuk mendokumentasikan benda atau artifact dan kegiatan ritual
terkait dengan mitos RK. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah laptop untuk
operasional penelitian dan CD untuk menyimpan dokumen penelitian serta alat tulis
menulis untuk mencatat data yang diperoleh dari studi lapangan.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Setelah dilakukan penentuan informan, semua informasi (data) yang
diperoleh dalam bentuk persepsi dikumpulkan untuk dipilah dan ditranskripsi.
Data dikumpulkan dengan tiga teknik secara terpadu sebagai berikut.
1) Metode dan teknik wawancara mendalam (deep interview). Peneliti dan
informan sama-sama mengetahui (dalam batas-batas tertentu) tentang objek
yang dibicarakan dan tujuan wawancara pun dikemukakan. Wawancara
dilakukan terhadap lebih kurang dua puluhan informan (nara sumber) dari
berbagai profesi terutama para ‘pemangku’ maupun paranormal. Pelaksanaan
68
wawancara dilakukan setelah terlebih dahulu mengikuti persembahyangan
yang dipimpin oleh para ‘pemangku’ pada setiap Pura. Informan dari
paranormal dan profesi lain diwawancarai setelah terlebih dahulu
mengkonfirmasi kesiapan para nara sumber dan tujuan kedatangan peneliti.
Peneliti mengadakan dialog, bercakap-cakap secara natural,
mendiskusikan masalah yang relevan dengan penelitian. Peneliti bertindak
sebagai instrumen yang aktif dengan bekal pertanyaan substantif berupa
persoalan yang khas dan pertanyaan teoretis berkaitan dengan struktur, fungsi,
makna serta implikasi wacana mitos RK di Bali Selatan. Artinya kepada,
informan diajukan tiga topik pertanyaan yang bersifat ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Pedoman wawancara (daftar pertanyaan) hanya
sebagai rancangan awal dan bersifat terbuka serta dinamis karena peneliti
dapat memodifikasi pertanyaan-pertanyaan yang relevan sesuai dengan
kondisi informan dan situasi setempat. Tujuannya, untuk menggali pemikiran
konstruktif para informan yang menyangkut peristiwa, perhatian, peran serta,
kesan, yang terkait dengan wacana mitos RK juga aktivitas ritual, sehingga
dapat menggali dan mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang
kemungkinan ada atau tidaknya pergeseran budaya miliknya di masa
mendatang.
2) Metode dan teknik observasi partisipasi (participant observation), yaitu suatu
penyelidikan secara sistematis dengan menggunakan kemampuan indera
manusia, melalui pengamatan yang dilakukan terhadap artifact yang berkaitan
69
dengan mitos RK di pesisir Bali Selatan, terutama pada saat dilaksanakannya
aktivitas ritual tertentu. Pengamat atau peneliti berperan serta, artinya peneliti
lebih sering terlibat baik pasif maupun aktif dalam aktivitas ritual. Misalnya,
pada saat pelaksanaan ritual ‘larung’ 1 Suro di kamar suci 2401, juga pada
saat dilakukan ritual ‘Petik Laut’ di pantai Pengambengan, peneliti ikut
bergabung untuk mendapatkan informasi. Peneliti sengaja masuk ke dalam
wilayah penelitian dengan sikap dan perilaku yang simpatik, walaupun pada
akhirnya membawa sesaji dan mengikuti ritual khusus seperti ‘sungkeman’
demi mendapatkan informasi. Peneliti seakan-akan belum memahami, namun
dengan sikap reflektif berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang
dimiliki berusaha masuk secara berulang kali ke dalam aktivitas ritual.
Dengan cara ini peneliti berharap dapat menggali, menghayati dan mengkaji
nomena dari fenomena tentang mitos RK secara lebih mendalam.
3) Metode studi kepustakaan, yaitu melakukan pengumpulan data dan informasi
melalui beberapa perpustakaan untuk mendapatkan buku-buku, artikel, dan
dokumen terkait dengan penelitian yang dilakukan terutama tentang teori
wacana. Selain itu, data yang berasal dari internet juga membantu sebagai data
pendukung. Metode studi kepustakaan ini dilakukan, di toko buku maupun
perpustakaan formal guna mendapatkan buku-buku referensi yang masih
relevan dan berkaitan dengan objek penelitian. Pustaka-pustaka yang sifatnya
teoretis seperti yang disebutkan dalam tinjauan pustaka dan daftar pustaka
membantu dalam uraian dan analisis data.
70
Selain ketiga metode tersebut di atas juga digunakan metode atau
teknik rekam dan catat.Teknik rekam (recording) dilakukan untuk merekam
data berupa wacana dan informasi tentang mitos RK di Bali Selatan yang
dituturkan oleh para informan pada saat wawancara. Sesungguhnya, teknik
rekam dan catat sudah termasuk dalam teknik sebelumnya yaitu wawancara,
observasi, dan studi kepustakaan. Namun demikian, teknik ini juga diterapkan
pada saat mengambil data pada pelaksanaan upacara/ritual ruwatan
(malukat), labuhan, dan ritual lainnya yang masih berkaitan dengan wacana
mitos RK. Teknik catat diaplikasikan apabila peneliti menemukan data yang
relevan secara spontan dalam interaksi dengan masyarakat, sebagai informasi
tambahan selain yang ditargetkan sebelumnya pada saat berada di lapangan.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah sumber data primer dan sekunder terkumpul melalui wawancara,
observasi, studi kepustakaan dipandang cukup, langkah selanjutnya dilakukan
pemilihan, pemilahan dan pengolahan data. Data yang telah terkumpul, lalu dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif-interpretatif dan analisis wacana
naratif (Catatan perkuliahan tahun 2013).
Teknik analisis data di atas dapat digunakan secara simultan atau yang satu
mendahului yang lain dalam konteks triangulasi agar kesahihan data menjadi lebih
terjamin. Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini, terdiri atas tiga kegiatan
utama, yakni: penyajian data, reduksi data, verifikasi atau penarikan kesimpulan
71
merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, prosesnya
berbentuk siklus bukan linier. Adapun urutan tahapan pelaksanaan secara keseluruhan
dalam menganalisis data dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Transkripsi data, yaitu data ditranskripsi dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Data
yang sepenggal-sepenggal diperoleh dari informan berupa, kata, kalimat, dan
paragraf diidentifikasi, dan ditranskripsikan.
2) Translasi data, yaitu menerjemahkan data yang berupa kalimat ataupun paragraf
dari bahasa Bali (bahasa sumber) ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran)
dan dilanjutkan dengan kegiatan memfragmentasi data.
3) Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data menurut jenis dan
karakteristiknya. Wacana mitos RK yang terdiri atas beberapa bentuk persepsi
dan telah difragmentasi lalu diklasifikasi sehingga menjadi 2 (dua) versi. Versi
yang berkaitan dengan pemujaan RK sebagai reinkarnasi dewa-dewi penjaga
sumber mata air dan tradisi ritual untuk pelestarian dan perlindungan terhadap air
khususnya laut dan versi Kejawen di Bali.
4) Reduksi dan formulasi data, yaitu pemilahan dan pemilihan data dengan
menggabungkan kedua versi di atas, menghilangkan satu atau lebih data yang
sama jenis dan karakternya, sehingga menjadi teks mitos RK yang utuh.
5) Pemaknaan data secara komprehensif, tentang wacana mitos RK di pesisir Bali
Selatan yang sudah direduksi lalu dimaknai sesuai sudut pandang dan
pemahaman peneliti berdasarkan teori-teori yang relevan.
72
6) Interpretasi data, yaitu penafsiran terhadap data yang telah dimaknai. Data yang
telah dimaknai, lalu diinterpretasi untuk menemukan makna baru.
7) Deskripsi atau pemerian dan penjelasan hasil analisis data. Setelah data diolah,
diinterpretasi dan dimaknai, selanjutnya data itu dideskripsikan secara naratif.
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian
Sesuai dengan jenis data yang diteliti yakni data kualitatif, maka kajian dalam
penelitian ini disajikan secara deskriptif naratif berupa uraian verbal yang telah
ditranskripsikan. Kemudian, disusun secara sistematis bersama pemilahan bab per
bab, didasarkan atas urutan permasalahan yang diajukan. Masing-masing bab dalam
penelitian ini memiliki hubungan substansial. Artinya, hubungan satu bab dengan bab
lainnya adalah hubungan yang saling membangun. Penyajian hasil penelitian
dilakukan dengan menggabungkan teknik formal dan teknik informal. Teknik
informal adalah penyajian hasil analisis data secara deskriptif naratif.
Penyajian hasil analisis data dibagi menjadi delapan sampai sembilan bab
dengan berpedoman pada teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku di
kalangan akademik. Teknik formal adalah penyajian hasil analisis data dalam bentuk
gambar, bagan, diagram, foto-foto dan sejenisnya. Teknik penyajian secara formal ini
sebagai pendukung teknik penyajian secara informal.