Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Pulau Jawa yang bercorak agraris menempatkan tanah sebagai persoalan

utama dan penting. Sejak masa pemerintahan tradisional kerajaan-kerajaan di Jawa

sampai dengan masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Jawa, persoalan

tanah dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah sangat menonjol. Permasalahan

tanah yang berkaitan dengan kedudukan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat

Jawa mulai muncul sejak abad ke-19. Di setiap masa tersebut, banyak pihak sangat

berkepentingan terhadap pemilikan tanah. Dalam catatan sejarah ditemukan adanya

usaha negara untuk mengatur kebijakan-kebijakan tentang pertanahan di wilayah-

wilayah yang dikuasainya. Pada salah satu faktor ini terlihat pola atau bentuk

penguasaan tanah pada masyarakat Jawa dalam tata kelola oleh negara. Karena itu,

penelitian sejarah sosial dan politik kolonial di Jawa terkait persoalan tanah sangat

diperlukan sebab pemerintah kolonial Belanda turut mewariskan pola, struktur, dan

kelembagaan tetap berlaku pada sistem pemerintahan negara sampai sekarang ini.1

1 A.A. Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

2

Pada bidang politik tata pemerintahan tradisional di pulau Jawa, otoritas

kekuasaan tertinggi ada pada seorang raja atau sultan. Para penguasa tinggi

berikutnya di bawah raja adalah para keturunan dan keluarga raja. Setelah itu, para

penguasa dari kaum bangsawan sampai kepada para pejabat kerajaan di tingkat

desa. Pada tata pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan negara dipimpin

oleh seorang gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia dan Buitenzorg. Pada

satuan administrasi kolonial Hindia Belanda di tingkat keresidenan (residentie),

pemerintahan kolonial dijalankan oleh seorang residen (resident). Pada satuan

administrasi kolonial di bawah keresidenan dikelola oleh seorang asisten residen

(assistent-resident), dan berikutnya oleh para kontrolir (controleur) di daerah. Pada

periode kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil menegakkan tata

pemerintahan baru di wilayah jajahan di pulau Jawa. Pemerintah Hindia Belanda

menjalankan sistem “pemerintahan tidak langsung” (indirect rule) dengan tujuan

memanfaatkan tata pemerintahan negara yang efektif untuk mempertahankan

hegemoni dan tata tenteram masyarakatnya (rust en orde).2 Karena itu, pemerintah

kolonial Hindia Belanda tetap mempertahankan otoritas tradisional, yang telah

ditaklukkan dan dikuasainya itu, untuk memberikan kesempatan kepada para

penguasa lokal tradisional tetap memerintah di daerahnya masing-masing. Dengan

demikian, pemerintah kolonial Hindia Belanda mempertahankan formasi tata kuasa

pemerintahan tetap berada dalam pengawasan dan pengelolaan administrator

birokrasi, yang kedudukannya didominasi oleh golongan aristokrat.3

2 Agung, Peralihan Sistem, 3. 3 Agung, Peralihan Sistem, 185.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

3

Tata pemerintahan negara seperti ini kenyataannya membentuk dua pola

pemerintahan, yaitu pemerintahan Bumiputera (Inheemsch-bestuur) dipimpin oleh

seorang raja (didudukkan setara dengan jabatan bupati) dan pemerintahan sipil

kolonial Belanda (Nederlandsch-bestuur) dipimpin oleh seorang gubernur jenderal.

Menurut Onghokham, pemerintahan kolonial Hindia Belanda sangat bergantung

pada peran Binnenlandsch Bestuur atau para ambtenaar (pegawai negeri sipil

kolonial), khususnya yang berkewarganegaraan Eropaa atau Belanda daripada dari

kaum Bumiputera.4 Meskipun demikian, peran pamong praja (ambtenaar) dari

kaum Bumiputera di kemudian hari mendapat posisi dan peranan yang penting juga.

Melalui keberadaan para pamong praja Bumiputera itu, pemerintah Hindia Belanda

beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-

pabrik gula, penggilingan-penggilingan beras, dan industri komoditi dagang swasta

lainnya. Dengan konteks yang demikian, bukan hanya pemerintah Hindia Belanda

yang menerima keuntungan dari pemberlakuan sistem pemerintahan tidak

langsung, melainkan juga para penguasa tradisional, yaitu para pamong praja

Bumiputera. Para pamong praja justru mendapat dukungan kekuatan kolonial baik

untuk supremasi kekuasaan di daerahnya maupun untuk kedudukan dan jabatan

formal dari pemerintah kolonial.

Kwee Hui Kian berargumen bahwa terdapat pola relasi kekuasaan antara

pemerintah kolonial Hindia Belanda (dan di era sebelumnya oleh Verenigde Oost-

Indische Compagnie/VOC) dengan raja-raja Jawa. Sebelum para penjajah yang

adalah “orang asing” itu tiba, raja-raja dan para bangsawan Jawa telah terjebak ke

4 Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 2014), 58-62.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

4

dalam politik persaingan kekuasaan atau perang suksesi kepemimpinan. Ketika

para penjajah asing ini tiba di Jawa, mereka menjadi pihak yang dapat diandalkan

untuk menjadi mitra dalam usaha menyingkirkan kekuasaan raja atau bangsawan

lainnya. Bahkan pada suatu masa, “orang-orang asing” ini ingin dijadikan sebagai

“raja” dalam konstelasi politik persaingan kekuasaan di Jawa, yaitu sejak masa

peralihan dari Inggris tahun 1816 dan terus diendapkan pada masa Perang Jawa atau

disebut juga Perang Diponegoro (1825-1830).5 Tabiat seperti itu dipahami dengan

sangat baik oleh pemerintah kolonial Belanda bahwa masyarakat tradisional mudah

bertengkar dan terpecah belah, dan kekerasan sudah menjadi endemik, karena itu

“orang-orang asing” (strangers) sangat diperlukan untuk menengahi perselisihan di

antara penguasa-penguasa Jawa.6 Pada konteks sosial-politik seperti itu, pemerintah

kolonial Belanda menerapkan politik “pemerintahan tidak langsung” untuk

mengontrol kekuasaan raja-raja Jawa, dan mengendalikan stabilitas sosial di tengah

masyarakat Jawa, serta dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan monopoli

perkebunan untuk kepentingan ekonomi komersialnya. Meskipun pemberlakuan

tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda diterapkan secara indirect rule di

wilayah-wilayah jajahannya, sesungguhnya pemerintah kolonial Belanda sedang

5 Kwee Hui Kian, "How Strangers Became Kings" dalam Indonesia & the Malay World 36,

no. 105, 2008: 293-307. Academic Search Complete, EBSCOhost (accessed March 13, 2017). Misalkan, dalam suksesi pemerintahan antara Raja Amangkurat III (1703-1708) melawan Pangeran Puger yang didukung oleh VOC, sehingga Raja Amangkurat III menjalani pembuangan, dan Pangeran Puger kemudian menjadi Paku Buwana I (1704-1719). Pertentangan berlanjut antara Pangeran Mangkubumi berlawanan dengan Raja Paku Buwana III yang mendapat dukungan VOC. Kemudian, adapula perjanjian Giyanti dan perjanjian Salatiga yang membuat keterpisahan antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih. Purwadi dan Endang Waryanti, Perjanjian Giyanti: Strategi Politik Teritorial untuk mewujudkan perdamaian di Kraton Mataram (Yogyakarta: Laras Media Prima, 2015); Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), 326.

6 Kian, How Strangers, 326.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

5

menerapkan juga kekuasaan yang sentralistik. Dalam hal ini, peran gubernur

jenderal di Hindia Belanda sangatlah sentral dan utama, setidaknya kewenangan

mutlaknya sebelum tahun 1854.

Pada konteks sistem pemerintahan di Hindia Belanda seperti ini, kekuasaan

kolonial Belanda merasuk lebih dalam pada persoalan penguasaan tanah di koloni-

koloni Jawa. Segala sesuatu cepat berubah pada dasawarsa pertama abad ke-19.

Memasuki abad ke-19 pengaruh kolonial di dalam bidang politik, sosial, dan

ekonomi merambah ke pulau Jawa, ketika pemerintah kolonial Belanda mulai

membuka lahan-lahan perkebunan (secara khusus mula-mula perkebunan kopi).7

Pulau Jawa sejak saat itu terlibat dalam konflik segitiga antara Belanda, Inggris,

dan Prancis. Zaman perubahan itu mulai dengan tibanya Herman Willem Daendels

(1808-1811) di Jawa, yang diangkat menjadi gubernur jenderal oleh raja Belanda

Louis Bonaparte, yang sangat dipengaruhi Prancis. Kebijakan Daendels terkait

dengan penguasaan tanah di Jawa adalah menciptakan praktik kerja paksa, atau

lebih tepat jika dapat dikatakan merampas hak raja-raja Jawa untuk kepentingan

pemerintah kolonial, dan yang mewajibkan penduduk Jawa melakukan kerja rodi

untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.8 Di samping itu, karena ingin secara

cepat merangsang pengembangan koloni-koloni dan upaya menghadapi kesulitan

keuangan negeri Belanda, Daendels juga menjual hak atas tanah-tanah koloni

kepada para pengusaha dari Cina.9

7 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jakarta:

Gramedia, 2008), 74. 8 Kees Zandvliet, The Dutch Encounter With Asia 1600-1950 (Amsterdam: Waanders

Publishers Zwolle, 2002), 87. 9 Lombard, Nusa Jawa, 74.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

6

Kemudian, kekuasaan tertinggi di Jawa beralih kepada Kerajaan Inggris

Raya, yang dipimpin oleh Sir Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur letnan

sejak tahun 1811-1816. Raffles mempunyai gagasan untuk mengembangkan sistem

sewa tanah (landrent), seperti yang diterapkan di Benggala, India. Karena tanah

dianggap sebagai milik pemerintah, berdasarkan hukum kuno bahwa “semua tanah

adalah milik penguasa (raja)”, setiap petani harus membayar pajak dalam bentuk

pembayaran uang sewa sesuai dengan luas tanah garapan yang disewanya. Raffles

juga mendukung pembentukan tanah-tanah pribadi yang luas dan memberikan hak

kepada koleganya untuk memiliki lahan secara luas.10

Kemudian, setelah merebut kembali kekuasaan dari Inggris, Belanda

mengutus beberapa gubernur jenderal, salah satunya seorang yang berpengaruh,

yaitu Johannes van den Bosch (1830-1833). Kebijakan Bosch adalah menerapkan

sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel). Sistem ini memungkinkan eksploitasi

pedesaan Jawa secara maksimal dan membuktikan bahwa koloni dapat memberikan

hasil lebih bagi negeri Belanda. Setiap desa harus menyisihkan seperlima (1/5) dari

lahan subur untuk pemerintah kolonial dan setiap petani dewasa harus meluangkan

seperlima (1/5) dari waktu kerjanya. Dengan sistem bonus dan insentif yang cerdik,

van den Bosch berhasil mengerahkan para bupati di Jawa untuk mengawasi

penanaman, panen, dan pengangkutannya.11 Bosch hanya memerlukan sejumlah

kecil pegawai negeri kolonial (ambtenaar) Belanda untuk mengawasi kelancaran

seluruh sistem, dan kebijakan ini terus dilanjutkan sampai dengan tahun 1870.

10 Lombard, Nusa Jawa, 75. 11 Lombard, Nusa Jawa, 75.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

7

Namun, sejak tahun 1870 terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintah

kolonial Belanda. Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) mulai ditinggalkan dan

digantikan oleh sistem perkebunan swasta, maka sejak saat itu terbuka lebar

peluang modal swasta dari Eropa di daerah jajahan Hindia Belanda, sekaligus

memberikan jaminan perlindungan kepentingan desa-desa dan pertanian tradisional

yang menjadi sumber kehidupan penduduk Bumiputera. Pada tahun 1877,

perkebunan karet mulai ditanami dan dibudidayakan secara luas di Jawa Barat.

Bukan hanya perkebunan melainkan juga usaha pertambangan telah mulai

dikembangkan lebih dulu untuk mengeksploitasi minyak bumi di wilayah Cirebon

sejak tahun 1868.

Sejak memasuki abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda mulai mewarnai

kebijakan kolonialnya dengan corak “Politik Etis” (Etische Politiek) yang bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan penduduk pulau Jawa. Pemerintah

kolonial Hindia Belanda mengupayakan peningkatan fasilitas kesehatan,

transportasi, dan pendidikan bagi penduduk Bumiputera di Jawa. Pada masa itu

kemajuan penduduk Bumiputera lebih diutamakan, baik dalam taraf kemakmuran

ekonomi dan kesejahteraan sosial, maupun dalam hak-hak politiknya.12 Hukum

didayagunakan bukan hanya untuk kepentingan perekonomian swasta, melainkan

juga untuk kepentingan penduduk Bumiputera di daerah jajahan. Itulah era baru

kebijakan kolonial dalam konteks penguasaan dan kepemilikan tanah di pulau Jawa

dan wilayah luar pulau Jawa.

12 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: HuMa-

Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, 2014), 3.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

8

2. Identifikasi Masalah

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dalam

dinamika sosial, politik, dan ekonomi dalam kebijakan pemerintah kolonial

Belanda pasca pemberlakuan sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) sesudah

tahun 1870 adalah: (1) perundang-undangan yang mengatur tata pemerintahan

daerah jajahan, khususnya di Hindia Belanda (Timur), salah satu koloni negeri

Belanda; dan (2) perundang-undangan tentang pertanahan atau agraria di Hindia

Belanda, khususnya di pulau Jawa dan Madura.

Untuk perundang-undangan yang pertama, perubahan ditandai dengan

disahkannya Undang-undang Dasar (Grondwet) baru di negeri Belanda pada tahun

1848 (disebut selanjutnya dengan Grondwet 1848), yang dilengkapi kemudian

dengan perundang-undangan tentang tata pemerintahan di Hindia Belanda, dengan

nama Het Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie pada

tahun 1854 (disebut selanjutnya dengan Regeringsreglement 1854). Baik Grondwet

1848 maupun Regeringsreglement 1854, telah menjadi penanda perubahan bahwa

Hindia Belanda berubah dari “negara kekuasaan” (machtsstaat) menjadi “negara

hukum” (rechtsstaat).13 Perubahan itu dengan maksud untuk membatasi dan

mengontrol kekuasaan eksekutif (dalam hal ini gubernur jenderal) dan para

administrator atau pegawai negeri kolonial, yang sepanjang periode sebelum tahun

1850 peranannya tercatat sangat besar. Dengan kata lain, akan ada pengurangan

petugas pegawai negeri kolonial (ambtenaar) dan digantikan dengan membebaskan

13 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 68.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

9

peluang swasta untuk menggarap kegiatan ekonominya di tanah jajahan. Undang-

undang dan peraturan pemerintah ini tidak hanya untuk mengontrol para pegawai

negeri kolonial dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga untuk

membuka kemungkinan berkembangnya sektor non-pemerintah di Hindia Belanda.

Pengembangan sektor swasta ini dipercaya akan mendorong berkembangnya

kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Bumiputera, termasuk dalam

pengaturan kehidupan beragama oleh negara.

Untuk perundang-undangan yang kedua, perubahan dimulai dengan

Rancangan Undang-undang tentang Pertanian (cultuurwet). Rancangan undang-

undang ini dimaksudkan untuk mengatur tata guna tanah-tanah pertanian dan

sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan perusahaan perkebunan.

Meskipun pada akhirnya RUU ini ditolak oleh Parlemen di negeri Belanda, akan

tetapi untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi Eropa dan

kepentingan sosial masyarakat Bumiputera, maka disahkan Undang-undang

Agraria (selanjutnya disebut dengan Agrarisch Wet 1870), yang disahkan tanggal 9

April 1870. Perundang-undangan ini menyatakan bahwa untuk tanah-tanah yang

tidak digarap oleh masyarakat Bumiputera, maka tanah-tanah tersebut haruslah

dipandang sebagai bagian kawasan kekuasaan dan kepemilikan negara. Begitupula

dalam Agrarisch Besluit pada tahun 1875 menyatakan bahwa tanah-tanah yang

tidak dapat dibuktikan adanya hak milik (eigendom) tanah itu adalah milik negara.

Meskipun demikian, Agrarisch Wet 1870 membuka kesempatan kepada masyarakat

Bumiputera untuk mengubah hak atas tanahnya dari hak garap atau hak untuk

menempati, serta menguasai (gebruiksrecht atau bezitsrecht) menjadi hak milik

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

10

(eigendom) menurut hukum Eropa.14 Selain itu, undang-undang ini memberikan

jaminan kepastian untuk penggunaan tanah-tanah untuk perkebunan swasta dengan

prinsip hukum hak guna usaha (erfpacht) dalam jangka waktu tertentu.

Dari kedua faktor berlakunya perundang-undangan tersebut di atas, maka

telah terbuka jalan ke arah penggunaan tanah secara aktif oleh perusahaan-

perusahaan perkebunan maupun pihak swasta lainnya. Pada masa-masa inilah

perkembangan cepat terjadi pada sektor pertanian dan perkebunan swasta, terutama

pada budidaya tanaman tebu dan kopi, yang telah membantu mengembangkan

ekonomi komersial dan implikasi yang menyertainya dalam masyarakat pedesaan.

Namun demikian, hal tersebut nantinya tidak hanya menimbulkan persoalan relasi

antara tuan tanah dan penggarap, tetapi juga menandai munculnya masalah-masalah

penguasaan tanah bukan hanya oleh negara melainkan juga oleh pihak swasta.15

Batasan tahun periode tesis ini ditandai pada tahun 1920-an, dalam rangka

pemberlakuan kebijakan kolonial tentang desentralisasi pemerintahan di Hindia

Belanda sejak tahun 1903 (De Wet Houdende Decentralisatie in Nederlandsch

Indie atau disingkat Decentralisatie Wet 1903), salah satunya dalam perkembangan

berikutnya peran Dewan Kabupaten (regentschapsraad) semakin signifikan dalam

konteks pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Dewan Kabupaten ini kemudian

memiliki peluang besar dalam pengembangan kegiatan di bidang kesehatan, sosial,

dan pendidikan, di samping kegiatan-kegiatan serupa yang telah lebih dahulu

diselenggarakan oleh Zending.

14 Wignjosoebroto, Dari Hukum, 76-77. 15 Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad

XIX” dalam Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola penguasaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 35.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

11

Komunitas Kristen di Jawa bagian Barat baru berkembang di abad ke-19.

Komunitas Kristen bertumbuh tidak dalam ruang hampa, tetapi berada dalam situasi

dan kondisi zaman yang berkelindan dengannya sebagai konteks. Karena itu,

konteks sosial, politik, ekonomi yang tersirat dalam kebijakan-kebijakan kolonial

pemerintah Hindia Belanda, tentu memengaruhi juga komunitas Kristen di Jawa

Barat. Dalam hal ini terkait dengan tata hubungan pemerintah Hindia Belanda

dengan Zending terhadap pemberlakuan regulasi tata pemerintahan di Jawa Barat

dan tentang peluang kepemilikan tanah di Jawa Barat. Mengenai tata hubungan

yang terjadi di antara Zending dan pemerintah Hindia Belanda dapat ditelusuri dari

sikap dan pandangan para zendeling terhadap kebijakan pemerintah kolonial,

maupun pada sikap dan reaksi dari para pamong praja Bumiputera yang menjadi

representasi pemerintah kolonial. Meskipun relasi keduanya diwarnai penilaian

baik positif maupun negatif satu terhadap yang lain, tetapi persinggungan keduanya

akan tampak dalam pengimplementasian perundang-undangan yang berlaku di

Hindia Belanda dari perspektif Zending dan para zendeling di Jawa Barat.

Periode 1870-an sampai dengan 1920-an, menjadi periode penting ketika

Zending memfokuskan kegiatan misinya di bidang sosial-ekonomi bagi masyarakat

Bumiputera Kristen. Mulai tahun 1877, Nederlandsche Zendingsvereeninging

(selanjutnya disingkat dengan NZV) membeli petak-petak sawah di berbagai

tempat supaya anggota jemaat bisa bertani.16 Pada tahun 1882 J. Verhoeven

mendirikan desa Cideres di tanah yang telah dibelinya dan menjadi milik bersama

16 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-

1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 20.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

12

orang Kristen setempat. Kepemilikan tanah ini sangat rumit dan diurus bertahun-

tahun sampai mendapat pengakuan hak milik (eigendom) dari negara. Di tempat

yang berbeda, S. van Eendenburg mendirikan desa dan perkebunan Pangharepan

tahun 1888, dengan konstruksi hukum yang lain, yaitu tanah desa itu diperoleh dari

pemerintah dengan hak guna usaha (erfpacht). Tahun 1902 Zending mendirikan

desa Palalangon yang ditujukan bagi sejumlah keluarga Kristen dari Pangharepan

dan jemaat Cianjur untuk tinggal menetap di tanah yang menjadi hak milik

perseorangan bagi penduduk desa tersebut. Kemudian, desa Kristen terakhir yang

dibangun melalui prakarsa A. Vermeer, NZV memperoleh tanah di dekat

Haurgeulis untuk menjadi desa Rehoboth-Tamiang pada tahun 1912, yang didirikan

di atas tanah pemerintah yang diserahkan kepada Zending di Jawa Barat.

Komunitas Kristen di desa-desa di Jawa Barat tersebut merupakan upaya

NZV untuk mengatasi kehidupan orang-orang Bumiputera Kristen yang terkucilkan

dari masyarakat adatnya (Sunda). Mereka dikumpulkan di desa-desa tersebut untuk

membebaskan diri dari tekanan masyarakat dan kepala-kepala desa tempat asal

mereka. Namun, ketika mereka berada dalam desa-desa Kristen tersebut mereka

memiliki pola hidup bermasyarakat yang baru berdasarkan ketentuan yang berlaku

pada saat itu. Mereka dapat mengatur kehidupan komunitas secara mandiri, terlepas

dari kekuasaan pemimpin-pemimpin desa yang terlalu terikat pada tata adat

kebiasaan dan tata keagamaan yang non-Kristen, yang tidak mentolerir kehadiran

penganut agama lain di desa tersebut.17 Namun demikian, menurut J. Verhoeven,

17 Koernia Atje Soejana, Benih yang Tumbuh II: Suatu survey mengenai Gereja Kristen

Pasundan (Bandung dan Jakarta: GKP dan DGI, 1974), 35.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

13

kebijakan untuk membangun desa-desa Kristen bukan sebagai metode pekabaran

Injil, melainkan akibat yang tidak terhindarkan dari kegiatan Zending bagi

masyarakat Bumiputera di Jawa Barat. Orang-orang Sunda yang telah menjadi

Kristen mengalami penolakan dalam interaksi sosialnya dengan masyarakat Sunda

dan dihambat oleh para pamong praja Bumiputera yang berkuasa di desa asalnya.18

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penelitian

dalam tesis ini dikonstruksi melalui dua pertanyaan penelitian, yang diajukan untuk

ditelusuri dan ditelisik lebih mendalam bagi kepentingan wacana dan wawasan,

serta pengetahuan akademis. Pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam tesis ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola hubungan pada tata pemerintahan kolonial Hindia

Belanda, yaitu pada sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule)

dan desentralisasi pemerintahan kolonial, yang bersinggungan langsung

dengan keberadaan Komunitas Kristen di desa-desa di wilayah Jawa

Barat, yang direpresentasikan oleh para zendeling?

2. Dengan beberapa kebijakan-kebijakan kolonial Hindia Belanda tentang

tata pemerintahan kolonial (Regeringsreglement 1854), asas

kepemilikan tanah (Agrarisch Wet 1870), dan desentralisasi tata

pemerintahan di Hindia Belanda (Decentralisatie Wet 1903), dan

18 Koernia Atje Soejana, “Pekabaran Injil di Gereja Kristen Pasundan” dalam Koernia Atje

Soejana, Merenda Potensi Mandiri dalam Misi: Buku Kenangan HUT ke-65 GKP (Bandung: GKP, 1999), 79.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

14

melalui peranan yang signifikan Dewan Kabupaten (Regentschapsraad)

tahun 1920, apa dampak dan pengaruh kebijakan-kebijakan kolonial

tersebut dalam pengadaan, usaha kepemilikan, dan pengelolaan tanah-

tanah yang dipakai untuk persawahan, perkebunan, dan pembentukan

desa-desa Kristen bagi Komunitas Kristen di Jawa Barat pada periode

tahun 1870-1920?

4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab dua persoalan yang

dirumuskan di atas, yaitu:

1. Mendeskripsikan pola relasi sosial-politik yang berkembang di Jawa

Barat pada periode 1870-1920, baik dari sikap para zendeling maupun

keputusan Zending, dalam menyikapi tata pemerintahan kolonial Hindia

Belanda.

2. Memaparkan arsip-arsip Zending yang menggambarkan persinggungan

langsung dengan kebijakan-kebijakan kolonial Hindia Belanda pada

periode 1870-1920, khususnya dalam penguasan dan kepemilikan tanah

di desa-desa Kristen di Jawa Barat.

5. Signifikansi Penelitian

Dari karya-karya tulis yang ditemukan dan dibaca, peneliti memahami

bahwa kajian mengenai sejarah kolonial di Hindia Belanda, terkait penguasaan dan

pemilikan tanah dalam kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sudah

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

15

banyak diteliti topik tentang Reformasi Agraria (Land Reform) dan pembaruan

hukum nasional pasca dekolonisasi hukum-hukum kolonial. Pada kaitan topik yang

pertama, terbentuknya struktur sosial dan/atau diferensiasi sosial di Jawa telah

dilihat dan dikaji oleh beberapa peneliti sosial dan sejarah dalam konteks

penguasaan sumber daya produksi, dalam hal ini persoalan tanah sebagai

konsekuensi penguasaan tanah di koloni-koloni milik Belanda. Kajian-kajian

seperti ini dapat ditemukan baik dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah oleh

S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi,19 Land Reform & Gerakan Agraria

Indonesia oleh Noer Fauzi Rachman,20 maupun dalam buku Hukum Agraria dan

Masyarakat di Indonesia oleh Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono.21 Pada

kaitan topik yang kedua, pembentukan hukum di Indonesia masih terus melakukan

upaya dekolonisasi dan juga dekonstruksi untuk dapat lepas dari pengaruh tata

hukum kolonial dengan tata hukum lokal, sehingga terbangun hukum pemerintahan

yang berkeindonesiaan. Kajian-kajian seperti ini dapat ditemukan baik dalam buku

Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional22 maupun buku Desentralisasi dalam

Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda23, keduanya dituliskan oleh

SoetandyoWignjosoebroto.

19 S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola

penguasaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 20 Noer Fauzi Rachman, Land Reform & Gerakan Agraria Indonesia (Yogyakarta: Insist

Press, 2017). 21 Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indoensia

(Jakarta: HuMa-Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, 2010). 22 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: HuMa-

Jakarta, Van Vollenhoeven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, 2014). 23 Soetandyo Wignjosoebroto, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia

Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia 1900-1940 (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

16

Karena itu, penelusuran dan penulisan sejarah gereja dan misi Kristen di

Indonesia, khususnya di Jawa Barat, dalam bingkai optik fokus penelitian pada

kepemilikan tanah dan keberadaan komunitas Kristen Bumiputera, serta relasi

sosial-politik yang terbentuk pada konteks saat itu, masih perlu dituliskan sebagai

salah satu bagian dari historiografi Gereja-gereja di Indonesia. Terlebih ada urgensi

dan signifikansi, terutama soal aset-aset tak bergerak (dhi. tanah) yang dilimpahkan

oleh Zending kepada Gereja-gereja di Indonesia. Tanggung jawab pengurusan

sertifikat kepemilikan hak tanah masih terus bersinggungan dengan pemerintahan

di masa kini, dengan pola dan dasar hukum yang tidak begitu berubah pada zaman

kolonial lalu, yaitu penguasa atau pemerintah sipil masih memiliki kewenangan

tinggi dalam pengurusan penguasaan dan pemilikan tanah Gereja-gereja di

Indonesia, khususnya di Jawa Barat (dhi. Gereja Kristen Pasundan disingkat dengan

GKP). Dengan demikian, penelitian dan historiografi ini diajukan dalam ranah

akademis.

6. Metode Penelitian

Penelitian tesis ini adalah sebuah historiografi, yaitu metode untuk

melakukan penelitian sejarah atau metode untuk mengumpulkan dan menganalisis

bukti sejarah.24 Dari segi topiknya, maka penelitian ini merupakan kajian sejarah

sosial-politik dan keagamaan.25 Penelitian sejarah sosial-politik berorientasi bukan

hanya pada objek masalah pemerintahan dan kenegaraan saja, melainkan juga pada

24 W. Lawrence Neuwan, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif (Jakarta: Indeks, 2016), 526. 25 A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012), 24.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

17

objek sejarah kekuasaan (history of power) pada umumnya, seperti dalam konteks

sejarah konstitusi dan institusi.26 Sedangkan, penelitian sejarah sosial keagamaan

meneliti bukan dari sudut pandang normatifnya, melainkan dari sudut pandang

empirisnya, yaitu pada satu dimensi konsekuensi sosial dari komunitas keagamaan

yang terbentuk.27 Ketika keduanya dijadikan penelitian pada tesis ini, maka yang

hendak dituliskan adalah keterkaitan konteks sosial politik pemerintahan negara

(kolonial) terhadap perkembangan komunitas keagamaan dalam suatu masyarakat

tradisional yang terdampak langsung dari pemberlakuan kebijakan-kebijakan

publik negara, seperti peraturan pemerintah atau perundang-undangan pada periode

tertentu di Hindia Belanda.

Penerapan teori dalam konteks penelitian sejarah seperti ini digunakan

sebagai poin akhir penelitian.28 Dengan kata lain, proses penelitian diterapkan

secara induktif yang berlangsung mulai dari data, lalu ke tema-tema umum,

kemudian menuju poin-poin tertentu. Karena itu, penelitian dimulai dengan

mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, lalu membentuk informasi ini

menjadi kategori atau tema tertentu, yang kemudian dikembangkan menjadi pola

atau generalisasi yang dapat diperbandingkan dengan data dan literatur lainnya

yang ditemukan berkesesuaian dengan topik. Hal ini justru akan merepresentasikan

pemikiran atau pandangan baru yang saling berhubungan atau bagian yang

terhubung dengan keseluruhan.29

26 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 176. 27 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 161. 28 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan

Campuran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), 87. 29 Creswell, Research Design, 87.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

18

Dalam penelitian sejarah, pertama-tama dilakukan adalah mencari dan

mengumpulkan data (bentuk jamak; datum-bentuk tunggal)30, informasi, atau bukti

sebagai sumber, melalui kerja bibliografi secara ekstensif.31 Pengumpulan data

dilakukan dengan pencarian pada indeks, katalog, dan karya referensi dari

perpustakaan atau lembaga pengarsipan sejarah menggunakan teknik studi

kepustakaan (library research). Hal ini dilakukan untuk mencari sejumlah sumber

di berbagai perpustakaan, mengunjungi berbagai perpustakaan penelitian khusus,

dan perpustakaan arsip nasional. Semua literatur, baik buku maupun artikel, dibuat

perincian catatan, membuat daftar pustaka dengan kutipan lengkap, menyusun data,

dan mengembangkan berkas sesuai dengan tema dan fokus penelitian. Dalam

konteks penelitian sejarah semua proses ini dinamakan dengan Heuristik atau

mencari dokumen atau sumber.32

Metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran terhadap

arsip-arsip kolonial dan arsip-arsip Zending, serta bahan-bahan pustaka yang

menjadi sumber primer. Kemudian, sumber-sumber primer tersebut diseleksi dan

diverifikasi agar berkesesuaian dan berkaitan langsung dengan substansi penelitian

ini. Dokumen dan arsip yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah:

a. Het Reglement op Het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie, Edisi

Kedua, menurut catatan H.J. Bool, Kepala Pengawai Negeri Hindia Belanda

– Zalt-Bommel: Joh. Noman & Zoon tahun terbit 1876.

b. De Koloniale Agrarische Wet - Rotterdam: Nijgh & Van Ditmar tahun 1870.

30 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 73. 31 Neuwan, Metodologi Penelitian, 523. 32 Daliman, Metode Penelitian, 28. Ch. V. Langlois dan Ch. Seignobos, Introduction to the

Study of History (Yogyakarta: Indoliterasi, 2015), 25-26.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

19

c. Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa

Barat 1858-1963 – Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

d. Th. van den End, De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-

1963 – Een Bronnenpublicatie, 1991.

e. S. Coolsma, De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie – Utrecht:

C.H.E. Breijer, 1901.

f. S. Coolsma, Twaalf Voorlezingen over West Java: Het land, de bewoners

en de arbeid der nederlandsche zendingsvereeniging – Rotterdam: D. van

Sij & Zoon, 1879.

g. M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III West Java: Als Zendingsterrein

der Nederlandsche Zendingsvereeniging.

h. H.J. Rooseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche

Zendingsvereeniging – Rotterdam: D. van Sijn & Zoon, 1908.

i. Hendrik Kraemer, From Missionfield to Independent Church – The Hague:

Boekencentrum, 1958.

j. Archief van de Raad voor de Zending der NHK (ARvdZ).

k. Orgaan der Nederlandsche Zendingsvereeniging (ONZV).

Tahap terakhir dari metode ini adalah menggabungkan bukti/dokumen, konsep, dan

sintesis untuk menjadi penulisan laporan penelitian. Melalui interpretasi dari

penetapan makna dan keterhubungan data dan fakta yang telah diverifikasi, maka

dilanjutkan pada penyajian sintesis yang disusun dalam penulisan sejarah.33 Dengan

33 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 156.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

20

demikian, tesis ini adalah bentuk penulisan sejarah yang komprehensif tentang

catatan historis keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Barat dalam merespons

konteks kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.

7. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penelitian tesis ini akan dituliskan ke dalam susunan

yang terdiri dari lima bab.

Pada Bab I adalah Pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang

permasalahan topik penelitian, identifikasi masalah secara spesifik, dengan

dilengkapi pertanyaan-pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan terkait dengan penulisan

sejarah kolonial dan sejarah gereja dan misi Kristen di Jawa Barat.

Pada Bab II akan dipaparkan tentang pemberlakuan kebijakan-kebijakan

yang berlangsung di Hindia Belanda, yang memengaruhi dan menjadi konteks

sosial, politik, dan tata pemerintahan pada tahun antara 1850-an sampai dengan

1920-an. Pada bab ini juga akan dipaparkan konstruksi kebijakan pada masa

pemerintahan Hindia Belanda sebelum tahun 1850-an.

Pada Bab III akan dipaparkan tentang pembentukan desa-desa Kristen di

Jawa Barat pada kisaran tahun 1882 sampai dengan 1912. Pada bab ini juga akan

dipaparkan tentang badan Zending sebagai pihak yang bertanggung jawab dan

berkiprah dalam pekabaran Injil yang mula-mula hanya di wilayah Priangan dan

kemudian di seluruh pulau Jawa bagian Barat sejak tahun 1863.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan · 2020. 10. 6. · beserta administratornya dapat masuk ke perkebunan-perkebunan swasta, pabrik-pabrik gula, penggilingan-penggilingan

21

Pada Bab IV akan dipaparkan tentang tinjauan terhadap kebijakan kolonial

Hindia Belanda terhadap pemberlakuannya pada komunitas Kristen di Jawa Barat.

Tinjuan ini hendak mengemukakan respons Zending terhadap politik liberalisasi

dan swastanisasi kebijakan kolonial Hindia Belanda terkait kepemilikan tanah, dan

dalam kaitan sikap dan relasi para zendeling NZV dengan para ambtenaar.

Pada Bab V akan menjadi bab penutup dari serangkaian hasil penelitian

dengan kesimpulan dan rekomendasi akademis.


Top Related