Analisis Lanskap
Kajian Negara Indonesia
Laporan Final
6 September 2010
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
2
Analisis Lanskap – Kajian Negara Indonesia
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................. 4
1. Pendahuluan .......................................................................................................... 6 2. Analisis Lanskap Proses Kajian Negara ................................................................. 8
3. Situasi Gizi di Indonesia ..................................................................................... 10 Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia ..................................................... 10
Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia ........................................................ 13 Pemberian Makanan pada Kehamlan dan Anak dan Anak Usia Dini di Indonesia 16
4. Temuan pada Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis ................................ 22 Persepsi permasalahan ......................................................................................... 22 Kebijakan mengenai gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan ............................. 24
Koordinasi Gizi ................................................................................................... 26 Sumber Daya Manusia bagi Gizi ......................................................................... 27
Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan ............................................................. 29 System Informasi Gizi ......................................................................................... 30
Ringkasan Temuan .............................................................................................. 31 5. Rekomendasi ....................................................................................................... 32
Tujuan Keseluruhan............................................................................................. 32 Koordinasi Gizi dan Pertanggungjawaban ........................................................... 32
Anggaran dan Pembiayaan .................................................................................. 33 Perencanaan dan desain Program ......................................................................... 34
Sumber Daya Manusia ......................................................................................... 35 Pengadaan Jasa .................................................................................................... 37
Sistem Informasi Gizi .......................................................................................... 37 6. Langkah Berikutnya ........................................................................................... 40
Lampiran 1. Metodology Kajian Negara .................................................................. 42 Lampiran 2. Program Gizi Indonesia berorientasi pengentasan kemiskinan ................
Klaster 1 – Bantuan Sosial dan Program Perlindungan ............................................. Program Raskin ..................................................................................................
Transfer Uang Tunai ............................................................................................ Asuransi Kesehatan .............................................................................................
Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat ...................................................... PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) ..........................
PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai untuk Kesehatan dan Generasi Cerdas) .... Pemberdayaan Usaha Micro dan Kecil ............................................................117
Lampiran 3. Rangka Kerja Kebijakan dan Program Intervensi Gizi Esensial................ Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan dari WFP ..........................
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
3
Gambar dan Tabel
Gambar 1: Penempatan waktu kegagalan pertumbuhan anak balita di negara sedang
berkembang ............................................................................................................... 6 Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF ................................................. 8
Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan
Kapasitas ................................................................................................................. 10
Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia ........................... 11 Gambar 5: Stunting dan penyiaan (wasting) berdasarkan Propinsi di Indonesia
(Riskesdas 2007) ..................................................................................................... 12 Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia ............................................. 20
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
4
Ringkasan Eksekutif
Meski pendapatan nasional brutto telah tumbuh kelipatan lima sejak tahun delapan
puluhan, kemajuan dalam nutrisi telah terbatas pada 37% anak Indonesia yang masih
menderita stunting. Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya untuk
suatu pengkajian yang memadai mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah di dalam
administrasi desentralisasi yang baru, Badan Perencanaan Nasional dan Kementrian
Kesehatan Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk melaksanakan proses
Pengkajian Negara Analisis Lanskap agar mengkaji “kesiapan” mereka untuk
bertindak untuk mempercepat pengurangan kehamilan dan kurang gizi.
Suatu analisis situasi gizi mengungkapkan bahwa meskipun prevalensi anak kurang
bobot telah berkurang di Indonesia dan telah dicapainya Tujuan Pembangunan Jangka
Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium untuk pengurangan kelaparan,
Indonesia tetap mempunyai permasalahan serius mengenai stunting dan wasting pada
anak muda. Masih terdapat banyak kehamilan kurang gizi, yang berkontribusi
terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tinggi demikian pula yang menderita
stunting. Cakupan program gizi yang ada mungkin wajar untuk beberapa kegiatan,
namun cakupan lebih besar perlu dicapai terhadap intervensi nutrisi esensial yang
lebih preventif yang dapat membantu pengurangan kehamilan kurang gizi dan kurang
gizi itu sendiri, termasuk promosi dan memberikan nasihat mengenai pemberian asi
dan pemberian makanan komplementer, pemberian suplemen zat besi-folat kepada
ibu, menghilangkan penyakit cacingan dari ibu dan anak, pemberian suplemen protein
dan energi kepada ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan zat seng, dan
cakupan fortifikasi makanan dan program fortifikasi di tempat tinggal.
Temuan dari Pengkajian Negara adalah bahwa meskipun komitmen untuk bertindak
bagi gizi cukup kuat, kemampuan untuk bertindak bagi gizi masih perlu diperkuat.
Komitmen kuat yang ada untuk bertindak bagi gizi adalah salah arah dalam berupaya
untuk mengatasi permasalahan gizi yang akut daripada meletakkan sistem dan
intervensi pada tempatnya untuk mencegah anak dan ibu kekurangan gizi, yang
sebagian besar karena yang hal yang disebutkan terakhir itu secara umum tidak
dipandang sebagai suatu permasalahan. Komitmen untuk mengatasi permasalahan
mengenai stunting makin tumbuh pada tingkat nasional, namun di tingkat propinsi
dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan, permasalahan
gizi masih besar disamakan dengan gizi buruk dan/atau kepada kurangnya makanan.
Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan mengatur tujuan dan
sasaran adalah lemah atau bahkan tidak ada di semua tingkatan. Kemampuan untuk
bertindak bagi gizi perlu diperkuat kalau pengurangan stunting harus tercapai.
Pengadaan jasa sebagian besar berkisar mengenai pemantauan pertumbuhan anak dan
salah arah terhadap balita daripada terpusat pada anak dibawah usia dua tahun dimana
intervensi gizi dapat mempunyai efek yang lebih besar. Prioritas kurang diberikan
kepada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat kepada ibu
mengenai anak usia dini dan anak muda daripada memberikan fungsi penyembuhan
dalam mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Koordinasi antar sector mengenai
pelaksanaan perlu diperkuat. Meskipun ahli gizi yang cukup banyak sedang diberikan
pelatihan, kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka kurang
mendapatkan pekerjaan di dalam sistem tersebut, dan terutama dalam pelaksanaan
pemberian jasa. Sedikit ataupun samasekali tidak terjadinya pelatihan mengenai gizi
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
5
ditempat kerja. Penggunaan data pemantauan untuk membuat keputusan atau data
evaluasi untuk belajar dari pengalaman program adalah hal yang tidak biasa.
Rekomendasi dibuat mengenai bidang : Koordinasi dan Tanggungjawab Gizi;
Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Disain Program; Sumber Daya Manusia;
Pengadaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Sebagai ringkasan, prioritas harus
diberikan untuk menciptakan mekanisme yang mempromosikan pengembangan
Rencana Tindakan Gizi yang seirama di tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan
rencana nasional, keputusan dan arah kebijakan, demikian pula untuk
mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk pengawasan dan
pemantauan pelaksanaannya. Agar meningkatkan pembiayaan yang efektif,
pengarahan dan insentif harus diberikan kepada kabupaten agar diprioritaskan pada
intervensi berdasarkan pembuktian terhadap kelompok rawan pra-hamil, ibu hamil
dan menyusui dan anak dibawah usia dua tahun. Ukuran panjangnya anak dibawah
usia dua tahun dan anemia dalam kehamilan harus diberikan tekanan dan prioritas
yang meningkat untuk mengukur keefektifan gizi demikian juga program pengentasan
kemiskinan pada semua tingkatan. Secara bersamaan dengan hal ini, deskripsi
pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arahan program baru (misalnya,
pengukuran stunting dan kesehatan/anemia kehamilan) bagi semua staf yang terlibat
di dalam gizi di semua tingkatan dalam system. Suatu peta sumber daya manusia bagi
ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dikembangkan agar dapat
mengindentifikasi kesenjangan dalam penugasan serta kompetensi, dan
mengembangkan rencana nasional untuk suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar
kompetensi gizi bagi sukarelawan, perawat dan bidan, dan untuk memberikan
pemutakhiran teknis bagi dokter dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan ini, skala
pelaksanaan (sesuai tergantung kondisi lokal), dari paket Intervensi Gizi Esensial
(ENI) harus secara progresif dilaksanakan dimulai dengan beberapa kabupaten dan
propinsi dan secara bertahap memperluas sehingga dalam waktu lima tahun sebagian
besar ibu dan anak tercakup oleh ENI sebagai suatu kelanjutan perawatan dari masa
pre-konsepsi, konsepsi sampai usia dua tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi
harus dimodifikasi untuk mencerminkan fokus program baru dan indikator yang
terkait.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
6
1. Pendahuluan
Sementara ekonomi Indonesia telah tumbuh secara mengesankan selama empat
dekade, tingkat kurang gizi anak meskipun berkurang, masih tetap bertahan tinggi.
Pendapatan Nasional Bruto telah tumbuh lima kali lipat sejak tahun delapan puluhan,
tetapi tingkat anak kurang bobot sedikit lebih dari separoh pada periode yang sama,
dan 18% anak Indonesia masih mengalami hal ini. Mungkin aspek yang sangat
menghawatirkan dalam hal ini, bahwa 37% anak Indonesia masih mengalami stunting.
Stunting pada anak diterima secara luas sebagai salah satu alat prediksi mengenai
modal sumber daya manusia, mempengaruhi kinerja akademik potensial dan
kemampuan memperoleh pendapatan sebagai suatu bangsa1.
Stunting sama juga disebabkan oleh defisiensi dalam lingkungan intra-uterin dari
janin demikian juga kesehatan dan gizi anak selama kehidupan pasca natal dini.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini, di Negara yang terkena oleh kurang
gizi dalam kehamilan dan anak, kegagalan pertumbuhan panjangnya sudah dapat
ditentukan pada saat kelahiran dan terjadi setiap sejak kelahiran sampai usia dua
tahun2. Setelah usia dua tahun, anak dari semua Negara mempunyai pertumbuhan
yang sama, sedemikian pada ukuran tinggi pada usia dua tahun banyak menentukan
tingginya nanti pada saat dewasa3.
Gambar 1: Penempatan waktu gagal-tumbuh pada anak balita
di negara sedang berkembang
Pada dekade terakhir Indonesia telah diubah dari pemerintahan yang paling
sentralistik menjadi pemerintah yang paling terdesentralisasi di dunia. Desentralisasi
telah tercapai dengan beberapa urutan peraturan yang diberlakukan di tahun 2001 dan
dialihkannya tanggungjawab penyampaian pelayanan umum kepada kabupaten atau
pemerintahan daerah. Undang-undang desentralisasi Indonesia tahun 1999
1 Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell M, Richter L, Sachdev HS for the Maternal and Child Undernutrition Study Group (2008) Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet 37: 340-357 2 Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. 2010 Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 125(3):e473-80. 3 Cole T. 2000. Secular trends in growth. Proc. Nut Soc. 59:317-324.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
7
memperkenankan pembagian propinsi, kabupaten dan kabupaten kota menjadi unit
yang lebih kecil demi kepentingan penyampaian pelayanan yang lebih baik, distribusi
sumber daya yang lebih merata dan pemerintahan yang lebih terwakili. Dengan
adanya desentralisasi jumlah kabupaten telah dilaporkan meningkat dari 292 dalam
tahun 1998 sampai 497 pada awal tahun 2009 dan masih terus meningkat. Area
kompetensi yang dipertahankan pada tingkat pusat termasuk Urusan Luar Negeri,
Pertahanan, Fiskal dan Moneter, Peradilan dan Agama. Untuk yang lain termasuk
Kesehatan, Pertanian dan Pendidikan, peranan pemerintahan di tingkat pusat terbatas
pada pengaturan standard dan norma, pemantauan dan evaluasi dan pengendalian,
sementara pemerintah propinsi mempunyai peran pengawasan dan pemberian
fasilitas4.
Selanjutnya terlihat bahwa kurangnya perbaikan terhadap kurang gizi anak sejak
perputaran abad, yang terkait awalnya dengan krisis ekonomi, telah dihubungkan
dengan makin hancurnya kemampuan pemberian pelayanan dalam program gizi yang
disebabkan oleh desentralisasi. Antara tahun 1995 dan 2006, jumlah penyedia
kesehatan seperti dokter dan spesialis, bidan dan perawat telah meningkat secara
signifikan namun fokusnya terhadap peningkatan jumlah pekerja, dengan kurangnya
perhatian terhadap kualitas. Hasil awal dari laporan WHO/RI mengenai kajian rumah
sakit terhadap kualitas perawatan anak yang dilakukan di enam propinsi5
menunjukkan bahwa prosentase standard keberhasilan kasus pengelolaan kurang gizi
adalah rerata 30% atau kurang dari 60%, merupakan suatu angka jelas yang secara
kuat menyarankan dibutuhkannya perbaikan. Hasil terendah diamati di Jawa Timur
(23%) dan keberhasilan tertinggi dicapai di NTT (43%). Suatu analisis kausal
mengenai angka ini dibutuhkan untuk mengungkapkan sejauh mana dan sifat dari
defisiensi tersebut, demikian pula untuk mengkaji pengetahuan dan praktik terhadap
perawatan gizi oleh ahli kesehatan dan gizi professional di masyarakat.
Sebagaimana pemerintahan kabupaten berupaya untuk menyamakan keterampilan
sumber daya manusianya dengan kekuasaan yang baru diperoleh, demikian pula
perencana dan pembuat keputusan ditingkat pusat dan propinsi menghadapi tantangan
baru dalam koordinasi, pemantauan dan standardisasi. Hasil akhir adalah bahwa
kurangnya kapasitas gizi pada tingkat kabupaten digabung dengan tantangan untuk
koordinasi dan kepemimpinan pada tingkat pusat dan propinsi telah berakibat
hancurnya program gizi secara umum.6
Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya pengkajian yang memadai
mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah dalam administrasi desentralisasi yang
baru, Badan Perencanaan Nasional dan Departemen Kesehatan Republic Indonesia
telah memutuskan untuk menjalankan proses Analisis Lanskap Pengkajian Negara
yang telah dikembangkan oleh PBB dan badan internasional lainnya dibawah
4 Suwandi M 2001. Pendekatan Top down dibandingkan bottom up approaches terhadap desentralisasi (pengalaman Indonesian). Jakarta: Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. 5 Kajian dilakukan di tiga rumah sakit masing di Jambi, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, NTT, Maluku Utara dan Kalimantan Tengah. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan kasus diare, demam dan batuk/sulit bernapas adalah dibawah 60% (WHO, 2009. Laporan kajian rumah sakit mengenai kualitas perawatan kesehatan anak di 6 propinsi, Februariy) 6 Friedman J, Heywood PF, Marks G, Saaday F, Choi Y. 2006.Desentralisasi Sektor Kesehatan dan Program Gizi Indonesia: Peluang dan Tantangan. Report No. 39690-IND. Washington: World Bank.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
8
kepemimpinan WHO7. Kajian Negara tersebut (CA) mempunyai sasaran untuk
membantu negara untuk mengkaji “kesiapan” mereka bertindak untuk mempercepat
pengurangan kurang gizi kehamilan dan anak. Kesiapan diakui sebagai fungsi
“komitmen” dan “kapasitas” dan dipengaruhi faktor yang beroperasi pada semua
tingkatan penyebab seperti tertera pada Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF
(UNICEF Nutrition Conceptual Framework – Lihat Gambar 2 dibawah). Komitmen
dapat diukur dengan adanya kebijakan dan besarnya sumber daya yang diterapkan
pada masalah tersebut, sedangkan kapasitas tercermin pada tingkat dasarnya dalam
arti kecukupan dalam penyampaian pelayanan.
Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF
2. Proses Analisis Lanskap Kajian Negara (CA)
Tujuan keseluruhan dari CA adalah untuk membantu menciptakan kapasitas dan
komitmen lebih besar untuk meningkatkan situasi gizi agar mempercepat
berkurangnya kurang gizi anak dan dalam kehamilan. Untuk tujuan ini, dengan
dukungan yang diberikan badan PBB terutama yang terlibat, suatu tim nasional telah
dibentuk dengan perwakilan dari Kementrian Kesehatan demikian juga dari
BAPPENAS bersama dengan perwakilan tingkat propinsi dari kantor dinas
perencanaan dan kesehatan dari tiga propinsi dimana CA dilakukan. Inisiatif
Mikronutrien, Helen Keller International, dan institusi akademis termasuk Universitas
Indonesia juga terlibat. Metodologi secara penuh bersama dengan kuestioner, jadwal
wawancara dan orang yang diwawancarai terdapat dalam Lampiran 1, dan prosesnya
diringkas lebih lanjut disini.
7 Nishida, N Shrimpton R, Darnton-Hill I 2009. Analisis Lanskap terhadap kesiapan Negara untuk mempercepat aksi dalam gizi. SCN News 37: 4-9. Geneva: SCN.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
9
Panduan rasional keseluruhan proses CA diturunkan dari pengertian yang disetujui
pada Sesi ke 35 UN Standing Committee on Nutrition.8. Telah diakui bahwa sasaran
efektif terhadap ibu dan anak dari masa konsepsi sampai usia dua tahun ( ‘jendela
kesempatan’) dari suatu perangkat intervensi yang datang dari Lancet Nutrition Series
(LNS)9 mengenai bagaimana untuk mempercepat pengurangan kurang gizi anak dan
dalam masa kehamilan dapat mencegah paling sedikit seperempat kematian anak
dibawah usia 36 bulan dan mengurangi prevalensi stunting sebesar sepertiga pada
masa jangka pendek.
Metodologi pengkajian yang digunakan untuk CA Indonesia bersifat kualitatif.
Kuesioner yang diturunkan dari yang disediakan oleh WHO Geneva diterjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia dan selanjutnya disempurnakan oleh tim nasional untuk
memenuhi persyaratan Indonesia bagi pembuatan keputusan pada tingkat nasional,
propinsi dan kabupaten. Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat
pusat termasuk pejabat dari kementerian yang terkait dengan perencanaan, kesehatan,
urusan dalam negeri, industri, pertanian, pendidikan, kesejahteraan sosial, demikian
juga perwakilan dari parlemen, badan donor, lembaga swadaya masyarakat
internasional dan nasional serta unversitas. Tim wawancara nasional telah dibagi
untuk mengunjungi tiga propinsi, dan termasuk anggota yang datang dari kantor
dalam negeri propinsi, kesehatan, pertanian, berbagai kantor negara lainnya dan LSM.
Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat propinsi sama dengan tingkat
nasional, namun pada tingkat kabupaten, kepala pusat kesehatan dan ahli gizi
demikian juga bidan desa dan kader posyandu juga termasuk.
Penempatan waktu berbagai kegiatan Analisis Lanskap adalah sebagai berikut:
11 – 13 Maret: Persiapan logistic berbagai kunjungan lapangan demikian pula
pelatihan pewawancara dalam penggunaan kuesioner;
13 Maret: Peluncuran Nasional dari Analisis Lanskap Kajian Negara;
15 Maret: Peluncuran tingkat propinsi dan wawancara dengan pemangku
kepentingan di Aceh, Jawa Tengah dan NTT;
16 – 18 Maret: Pertemuan dan wawancara dengan pemangku kepentingan
tingkat Kabupaten di Aceh Timur, Aceh Besar, Kota Semarang, Banyumas,
Sikka dan Belu;
19 Maret: Sesi umpan balik tingkat propinsi;
22 – 23 Maret: Wawancara tingkat nasional;
24 Maret: Konsolidasi hasil wawancara dari tingkat kabupaten, propinsi dan
nasional;
25 Maret: Pengembangan konsep temuan dan rekomendasi;
26 Maret: Presentasi dan diskusi mengenai konsep temuan dan rekomendasi
dengan pemangku kepentingan tingkat nasional.
Langkah pertama dalam analisis kuesioner adalah untuk meringkas tanggapan dari
wawancara tingkat nasional, propinsi dan kabpaten dengan menggunakan judul yang
mengelompokkan berbagai pertanyaan. Suatu matriks analitik, yang diturunkan dari
8 SCN 2008. Rekomendasi dari Sesi 35th : "MEMPERCEPAT PENGURANGAN KURANG GIZI MASA KEHAMILAN DAN ANAK" tersedia pada http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed 09/07/09) 9 The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
10
yang digunakan dalam Kajian Negara lainnya10
, menunjukkan berbagai indikator
mengenai “komitmen” demikian pula “kapasitas” untuk dapat bertindak, juga
digunakan untuk membantu lebih lanjut dalam meringkas hasil kuesioner. Matriks ini
termasuk empat unsur sistem nutrisi/gizi seperti diusulkan dalam Lancet Nutrition
Series (LNS)11
(lihat Gambar 3 dibawah), dimana “Komitmen untuk Bertindak”
terkait dengan Pengurusan dan Fungsi Sumber Daya dan ”Kapasitas untuk
Bertindak” terkait dengan fungsi Kapasitas dan Penyediaan Pelayanan.
C
OM
MIT
TM
EN
TC
AP
AC
ITY
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan Kapasitas
Tidak semua empat fungsi ini beroperasi secara penuh pada semua tingkatan. Fungsi
Penyediaan Pelayanan hanya terdapat pada tingkat kabupaten, dimana Pengurusan
dan fungsi Kapasitas lebih dilaksanakan pada tingkat nasional dan propinsi. Sumber
daya pada dasarnya penting diterapkan pada semua tingkat, meskipun
pengendaliannya di Indonesia sekarang secara dominan terdapat pada tingkat
kabupaten.
3. Situasi Gizi di Indonesia12
Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia Situasi gizi anak di Indonesia, seperti terukur oleh bobot kurang, telah membaik
secara signifikan. Di tahun 1989 prevalensinya 31% dan data terakhir dari 200713
menunjukkan angka sekarang adalah 18.4%. Ini adalah suatu penurunan hampir 13%
10 Chopra M, Pelletier D, Witten C, Dietrich M. 2009. Assessing countries’ readiness: Methodology for in-depth country assessment. SCN News 37:17-22 11 Morris SS, Cogill B, Uauy R, et al Effective international action against undernutrition: why has it proven so difficult and what can be done to accelerate progress? Lancet. 371(9612):608-21. 12 Data tersedia dari yang terkini digunakan dalam seluruh pembahasan ini, yang di sebagian besar
kasus berasal dari survaiRiskesdas 2007. 13
1989 data dari Susenas dan data 2007 dari Riskesdas, semua dalam standard WHO.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
11
selama 18 tahun; sekitar 0.7% poin per tahun. Seperti terlihat pada Gambar 4
mengenai prevalensi bobot kurang dibawah ini, penurunan khusus ditandai pada tahun
1990an, dimana saat itu telah turun (jatuh) sekitar 10%. Namun, terjadi suatu periode
stagnasi, meski terdapat sedikit kenaikan prevalensi antara tahun 2000 dan 2005.
Antara tahun 2005 dan 2007 terdapat penurunan cepat yang sedikit lebih dari 6% poin.
Penurunan dramatis bobot kurang ini dapat mencerminkan suatu pengurangan
sesungguhnya dalam prevalensi bobot kurang atau perbedaan dalam metodologi
survai antara Susenas 2005 dan Riskesdas 2007, meski kedua survai tersebut
menggunakan rangka pengambilan sampel yang sama. Sasaran MDG sebesar 18.5%
telah tercapai oleh RISKESDAS di tahun 2007 oleh karena sasarannya adalah
pengurangan 50% dari 37.5 % bobot kurang di tahun 1989. Sasaran rencana
pembangunan jangka menengah juga telah tercapai.
Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia
Sebagai kontras, kurang gizi anak terukur oleh penderita stunting dan wasting anak
tetap, menjadi suatu permasalahan yang signifkan. Data perwakilan mengenai
stunting anak terbatas, dengan Susenas 1995 yang melaporkan prevalensi stunting
sebesar 46.9% berdasarkan acuan pertumbuhan NCHS. Dalam tahun 2007,
RISKESDAS menemukan 36.8% dari semua anak balita di Indonesia mengalami
stunting dengan menggunakan standard pertumbuhan WHO sebagai acuan dan
selanjutnya 13.6% mengalami wasting. Data nasional ini mencerminkan variasi
propinsi yang signifikan sebagamana ditunjukkan pada Gambar 5 dibawah ini untuk
stunting dan wasting berdasarkan Propinsi.
Trend in Underweight Prevalence of Under Five Children
6,37,2
11,610,5
8,17,5
6,3
8,0 8,3 8,6 8,8
5,4
31,2
28,3
20,019,0
18,317,1
19,8 19,3 19,2 19,6 19,2
13,0
37,5
35,5
31,6
29,5
26,4
24,6
26,127,3 27,5
28,2 28,0
18,4 2018,5
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2009 2012 2015
Pe
rce
nt
Severe Maln. Moderate Maln Malnourished Target
Target RPJM 2009
Target MDG 2015
Source : Susenas(1989-2005), Riskesdas 2007 (WHO standard)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
12
Gambar 5: Stunting dan wasting berdasarkan propinsi di Indonesia (Riskesdas 2007)
Stunting and Wasting by Province in Indonesia (Riskesdas 2007)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Aceh
N S
umatra
W S
umatra
Riau
Jambi
S S
umatra
Bengkulu
Lampung
Bangka
Kepulauan R
iau
DK
I Jakarta
W Java
C Java
DI Y
ogyakarta
E Java
Banten
Bali
W N
usa Tenggara
E N
usa Tenggara
W K
alimantan
C K
alimantan
S K
alimantan
E K
alimantan
N S
ulawesi
C S
ulawesi
S S
ulawesi
SE
Sulaw
esi
Gorontalo
W S
ulawesi
Maluku
N M
aluku
W P
apua
Papua
%
Stunting
Wasting
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
13
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah propinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi
mengenai stunting di Indonesia dengan angka 46.7%, dan terdapat Sembilan propinsi
dengan prevalensi stunting melebihi 40%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai
“sangat tinggi”. Tingkat wasting juga tinggi, oleh karena prevalensinya lebih dari
15%, dianggap situasi darurat denga persyaratan untuk program pemberian makanan
suplemen. Delapanbelas dari 33 propinsi di Indonesia mempunyai prevalensi wasting
diatas 15%. Lebih lajut secara nasional, 6.2% anak menderita wasting ini sangat
serius yang meletakkan mereka pada risiko tinggi kematian.
Penyakit pada anak tetap menjadi masalah yang berpengaruh terhadap status gizi di
Indonesia. Diare dan ARI tetap menjadi penyebab utama kematian anak usia dini dan
anak balita.14
Prevalensi penyakit ini juga tinggi. 11% dan 31% anak telah menderita
ARI dan demam dalam dua minggu mengawali DHS 2007 dan hanya untuk 65.9%
dilakukan perawatan atau diperoleh saran dari suatu fasilitas atau penyedia kesehatan.
13.7% dari anak menderita diare dalam dua minggu sebelum DHS dan 60.9% telah
menerima suatu bentuk rehydrasi oral. Tingkat imunisasi juga rendah – hanya 46.2%
anak berusia 12-23 bulan ditemukan telah lengkap vaksinasinya (Riskesdas 2007).
Kelihatan kecenderungan bahwa tingkat tinggi penyakit infeksi akan berkontribusi
terhadap tingkat tingginya wasting pada anak muda, dan kemungkinan besar
merupakan cerminan praktik pemberian makan kepada anak yang kurang baik dan
kondisi higiene yang didiskusikan lebih lanjut.
Dengan demikian secara keseluruhan, sementara prevalensi bobot kurang telah dapat
dikurangi di Indonesia dan Pembangunan Jangka Menengah dan Tujuan
Pembangunan Milenium telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan
stunting dan wasting yang serius, dengan hampir dua lipat prebedaan prevalensi yang
terlihat diantara propinsi. Tingkat stunting dan wasting diikuti oleh tingginya tingkat
penyakit infeksi diantara anak balita.
Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia WHO mencatat bahwa bobot anak pada saat lahir terpengaruh secara langsung oleh
tingkat kesehatan dan gizi ibu secara umum sebelum dan selama kehamilan15
, dan
bahwa kelahiran prematur adalah penyebab utama bobot kurang pada kelahiran di
masyarakat industri, di negara sedang berkembang hal ini secara predominan
disebabkan oleh hambatan pertumbuhan intra-uterin16
. Riskesdas 2007 data
menunjukkan bahwa 13.6% ibu mempunyai defisiensi energi kronis sebagaimana
dapat terukur dari lingkaran lengan bagian atas yang <23.5 cm. Hal ini merupakan
penurunan prevalensi dari tingkat tahun 2003 sebesar 16.7%. Namun, prevalensi tetap
lebih besar dari 15% di delapan propinsi. Menurut WHO17
, suatu prevalensi antara
10-19% dianggap sebagai prevalensi menengah yang menunjukkan situasi gizi yang
buruk.
14 Riskesdas 2007 15
Kramer M 1987. Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis.
Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737 16 Villar J and Belizan JM. 1982. The relative contribution of prematurity and foetal growth retardation
to low birth weight in developing and developed societies. Am J Obstetrics & Gynaecology 143: 793-
798 17 Physical status: the use and interpretation of anthropometry. Report of a WHO Expert Committee.
Technical Report Series No. 854. 1995. URL:
http://www.who.int/childgrowth/publications/physical_status/en/index.html. (accessed 17 June 2010)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
14
Data mengenai bobot diwaktu lahir meskipun terbatas tentu menunjukkan adanya
suatu permasalahan. Meskipun hanya separoh bayi ditimbang pada saat kelahiran,
11.5% dari jumlah tersebut mempunyai bobot kelahiran dibawah 2.5kg18
. Meskipun
data dari DHS 2007 menunjukkan proporsi lebih rendah bobot lahir anak (5.5%),
kelihatannya sekitar 35% dari bobot anak baru lahir telah dikumpulkan dari kartu
kesehatan anak selama DHS, sementara kartu tersebut digunakan sebagai sumber
informasi sekitar 50% anak selama Riskesdas 2007.
Dapat dicatat bahwa menurut DHS 2007 lebih dari 90% ibu telah dipantau berat
badannya selama masa kehamilan, meskipun tidak jelas bila dukungan tertentu dan
nashat diberikan untuk memastikan bahwa ibu memperoleh peningkatan bobot yang
cukup selama masa kehamilan. Total penambahan bobot selama masa kehamilan
ditemukan kurang memadai disekitar 80% ibu dalam study berdasarkan populasi di
pedesaan di Jawa Tengah19
, yang menunjukkan bahwa lebih banyak dapat dilakukan
untuk meningkatkan penambahan bobot. Percobaan pemberian makanan suplemen
selama masa kehamilan di Jawa, selain meningkatkan bobot kelahiran, seterusnya
menuju kepada pengurangan 20% penderita stunting pada anak balita20
.
Meskipun perwakilan data anemia secara nasional pada kaum ibu terbatas dan diberi
tanggal, anemia masih menjadi permasalahan. Survai Kesehatan Rumah Tangga
Nasional di tahun 2001 menunjukkan bahwa 27.9% dari ibu dalam masa reproduktif
dan 40.1% ibu hamil menderita anemia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa di
perkotaan 19.7% ibu dalam masa reproduktif menderita anemia, dan 24.5% menderita
anemia diwaktu masa kehamilan. Terdapat pembuktian lain bahwa status zat besi
adalah terbatas, sedemikian sehingga selama waktu krisis financial 1997/8 kaum ibu
adalah yang pertama untuk menunjukkan tanda kurang gizi sebagaimana tercermin
pada peningkatan penderita wasting dan tingkat anemia yang terkait dengan
pengurangan konsumsi makanan berkualitas tinggi21
. Suatu studi yang terkini telah
mengusulkan bahwa 20% dari kematian neonatal di Indonesia dapat disebabkan oleh
kekurangan suplemen zat besi dan asam folat selama masa kehamilan22
.
Banyak informasi terdapat mengenai praktik kesehatan kehamilan selama masa
kehamilan dan sekitar waktu kelahiran, yang jauh dari keterbatasan dalam kontennya.
Riskesdas 2007 telah melaporkan bahwa 84.5% kaum ibu telah menerima suatu
pemeriksaan kehamilan, dan bahkan di pedesaan dan diantara lingkungan yang
ekonominya paling buruk, hampir 80% kaum ibu mendapatkan pemeriksaan
kehamilan. 97.1% dari kaum ibu ini melaporkan menerima tiga atau lebih intervensi
selama kunjungan mereka. Mayoritas kaum ibu menerima pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan ketinggian fundal, imunisasi tetanus toxoid dan pengukuran bobot.
Namun hanya 33.8% menerima tes hemoglobin dan hanya 36.4% mendapatkan tes
urine. DHS 2007 juga mempunyai data mengenai jenis rawatan ibu hamil selama
18 Riskesdas 2007 19 Winkvist A, Stenlund H, Hakimi M, Nurdiati DS, and Dibley MJ. 2002. Weight-gain patterns from prepregnancy until delivery among women in Central Java, Indonesia. Am J Clin Nutr 75:1072–7. 20 Kusin JA, Kardjati S, Houtkooper JM, Renqvist UH. 1992. Energy supplementation during pregnancy and postnatal growth. Lancet 340(8820):623-6. 21 Block SA , Kiess L, Webb P, Kosen S, et al. 2004. Macro shocks and micro-outcomes: child nutrition during Indonesias crisis. Ecn Hum Biol 2(1):21-24. 22Titaley CR, Dibley MJ, Roberts CL, Hall J & Aghod K 2009. Iron and folic acid supplements and reduced early neonatal deaths in Indonesia. Bull World Health Organ 87: 1–23.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
15
masa kehamilan: 93.3% dari kaum ibu menerima ANC dari penyedia yang terlatih
dan 75.3% kaum ibu mendapatkan kunjungan ANC yang pertama, kurang dari empat
bulan, dengan hasil bahwa rerata selama kehamilan dari kunjungan pertama
berlangsung 2.7 bulan. 81.5% kaum ibu mendapatkan total lebih dari empat kali
kunjungan dan hanya 4.2% kaum ibu tidak mendapatkan kunjungan. 46.1% dari
kaum ibu melaksanakan kelahiran dalam fasilitas kesehatan, mayoritas dalam fasilitas
pribadi, dan 53% kaum ibu melaksanakan kelahiran di rumah. 79.4% kelahiran
dibantu oleh penyedia yang terampil, mayoritas oleh seorang perawat, bidan atau
bidan desa. Namun demikian mortalitas kehamilan ibu tetap tinggi di Indonesia dan
tidak makin baik.
Meski cakupan ANC yang tinggi terhadap perawatan anemia selam masa kehamilan,
rupanya tidak begitu efektif. Meskipun sebagian kaum ibu menerma suplemen,
mereka tidak mengkonsumsi jumlah yang cukup. Riskesdas 2007 telah temukan
bahwa 92.2% kaum ibu menerima suplemen zat besi dan asam folat selama kehamilan
yang terakhir yang sedikit berbeda dari DHS 2007 yang melaporkan bahwa hanya
79.3% kaum ibu telah menerima suplemen zat besi selama masa kehamilan. Lebih
penting lagi adalah bahwa Riskesdas melaporkan bahwa hanya 29.2% kaum ibu telah
mengkonsumsi 90+ tablet selama masa kehamilan yang terakhir sesuai yang
direkomendasikan23,
Kesuburan di Indonesia telah jatuh pada 2.6 kelahiran per ibu meski tetap lebih tinggi
secara signifikan di beberapa propinsi seperti NTT dan Maluku. Usia menengah pada
kelahiran pertama adalah 21.5 tahun dengan sedikit variasi, meskipun hal ini sedikit
lebih rendah di daerah pedesaan (20.6 yrs), diantara mereka tanpa pendidkan (19.6
tahun) dan mereka dari tingkat kekayan terendah (20.7 yrs). Sebagai akibat,
prosentase remaja yang telah mulai mempunyai anak (15-19 tahun) secara relatif
rendah pada tingkat 8.5%. Tingkat kesuburan yang rendah paling tidak disebabkan
pada fakta bahwa 61% dari ibu yang saat ini telah menikah sedang menggunakan
suatu bentuk keluarga berencana (57.4% menggunakan metode modern) pada saat
koleksi data24
dengan kebutuhan yang tak terpenuhi terhadap keluarga berencana
hanya sebesar 9.1% diantara ibu yang saat ini telah menikah.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun terbatasnya informasi yang tersedia, terdapat
cukup banyak kurang gizi masa kehamilan yang kemungkinan cenderung
berkontribusi terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tingkat tinggi demikian
juga untuk stunting. Sementara kelihatan bahwa kaum ibu mendapatkan rawat
kesehatan yang wajar selama masa kehamilan dan kelahiran jika diukur dalam istilah
penempatan waktu kunjungan pertama, frekwensi kunjungan dan kelahiran oleh
petugas terampil, intervensi berorientasi nutrisi/gizi dapat diperbaiki. Kunjungan lebih
awal dalam trimester pertama lebih menjadi pilihan, demikian pula tes darah lebih dan
tes urine dilakukan untuk identifikasi faktor risiko seperti anemia dan infeksi urine.
Juga terlalu sedikit kaum ibu mengkonsumsi jumlah tablet zat folat yang disyaratkan
dalam kehamilan untuk melindungi terhadap anemia.
23 Riskesdas 2007 24
DHS 2007
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
16
Pemberian makanan pada Ibu dan Anak usia dini dan Anak muda di
Indonesia Praktik pemberian makanan anak usia dini dan anak muda di Indonesia adalah jauh
dari kecukupan. Menurut DHS 2007, hanya 32.4% anak usia kurang dari enam bulan
diberi asi eksklusif. Hal ini merpakan net pengurangan dari tingkat 40% di tahun 2002
dan tentunya disebabkan oleh peningkatan tajam dari praktik pemberian makanan
dengan botol dari 17% sampai 28% dantara anak dibawah usia enam bulan selama
periode yang sama. Data Susenas menunjukkan kecenderungan yang sama mengenai
praktik pemberian asi. Dalam propinsi yang keadaannya paling buruk (misalnya,
Kepulauan Riau, Jakarta dan Bali) pemberian asi eksklusif bermanfaat kepada kurang
dari 15% anak. Oleh karena susu ibu adalah sumber optimal nutrisi untuk anak, hal ini
meletakkan anak kepada posisi sangat tidak beruntung secara nutrisi dan untuk
pencegahan penyakit. Sebagai tambahan adalah fakta bahwa hanya 43.9% anak mulai
makan asi dalam satu jam setelah kelahiran dan 64.6% menerima makanan pre-lakteal.
Anak muda di Indonesia juga menerima makanan pelengkap terlalu dini: pada usia 4-
5 bulan lebih dari separoh (52.9%) menerima makanan bentuk padat atau semi padat,
dan dibawah dua bulan, 33.4% menerima formula untuk anak. Pemberian makanan
pelengkap harus dimulai dari sekitar enam bulan dan anak harus menerima tiga atau
lebih kelompok makanan suatu jumlah minimum menurut kelompok usia selain asi.
Data DHS 2007 menunjukkan bahwa hanya 52.5% diberi makanan secara optimal
dengan cara ini.
Area utama kelemahan pada anak usia dini dan anak muda adalah frekwensi
pemberian makanan (hanya 67% menawarkan makanan pelengkap minimum per
kelompok usia per hari sebagai tambahan selain asi) tetapi hanya 75% mengkonsumsi
jumlah kelompok makanan yang cukup, misalnya, diet yang diversifikasi.25
Praktik
pemberian makanan yang buruk: pemberian asi kurang cukup, penggunaan formula
anak secara berlebihan, pemberian makanan pelengkap secara dini dan kualitas buruk
dan frekwensi pemberian makanan pelengkap setelah enam bulan, tidak disangsikan
lagi adalah berkontribusi kepada wasting dan stunting. Praktik pemberian makanan
secara buruk juga berkontribusi terhadap kekurangan atau defisiensi mikronutrien.
Hanya 87.4% dan 69.7% dari anak usia 6-35 bulan dilaporkan menerima vitamin A
dan makanan kaya akan zat besi dalam 24 jam terakhir, menurut DHS (2007).
Sedikit data tersedia mengenai konsumsi makanan bagi ibu hamil kecuali data DHS
2007, yang melaporkan bahwa sekitar 75% kaum ibu dengan anak dibawah usia tiga
tahun telah menyantap daging atau ikan dalam 24 jam terakhir ini; konsumsi makanan
kaya zat besi adalah serupa.
Rekomendasi nasional untuk konsumsi karbohidrat dan protein, diterbitkan tahun
2004 untuk penduduk secara umum oleh National Workshop on Food and Nutrition
VIII (WKNPG), adalah untuk sebanyak 2,000 kilo-kalori per kapita per hari untuk
karbohidrat dan 52 gram per kapita per hari untuk protein. Pada tingkat nasional
1,735 kilokalori dari karbohidrat dan 55.5 gram protein dikonsumsi per hari
perkapita26
. Hanya Jawa Timur yang memenuhi rekomendasi nasional untuk
konsumsi karbohidrat pada tingkat propinsi. Namun, semua kecuali enam propinsi
25 DHS 2007 Table 14.5, page 176 26
Riskesdas 2007
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
17
memenuhi atau melebihi persyaratan nasional untuk protein, yang menunjukkan,
secara umum, suatu lingkungan makanan yang aman untuk kaum ibu dan anak.
Konsumsi buah-buahan dan sayuran dianggap tidak mencukupi untuk penduduk
secara umum. Riskesdas telah temukan 93.6% penduduk tidak konsumsi buah-
buahan dan sayuran yang ‘mencukupi’, misalnya, mereka mengkonsumsikan kurang
dari lima porsi sehari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan dan
sayuran tentu dibawah 400 g per hari yang direkomendasikan oleh WHO27
untuk
pencegahan penyakit kronis yang terkait diet atau kebiasaan yang dimakan seperti
obesitas, diabetes, penyakit kardio-vaskular dan kanker.
Sebagai kesimpulan, praktik pemberian makanan untuk kaum ibu hamil dan anak usia
dini serta anak muda secara umum buruk, dengan pemberian asi eksklusif bertingkat
rendah dalam enam bulan pertama dan pemberian makanan pelengkap yang kurang
memadai diantara anak muda. Sementara konsumsi makanan dari penduduk secara
umum sangat cukup dari perspektif kuantitatif, tapi secara kualitatif buruk. Praktik
pemberian makanan yang buruk, termasuk jumlah makanan padat-nutrien diantara
kaum ibu dan anaknya berkontribsi terhadap konsumsi diet karena kekurangan
mikronutrien.
Gizi dan Program terkait Gizi di Indonesia Gizi adalah komponen penting dari program pemerintah Pusat. Total anggaran untuk
gizi komunitas masyarakat adalah Rupiah 244 milyar (sekitar US$ 26 juta) dari
pemerintah Pusat dan tambahan Rp 148 milyar tersedia dari pendanaan khusus
termasuk pinjaman. 60% dari pendanaan ini dipertahankan di tingkat Pusat dan
sisanya disediakan bagi propinsi sebagai anggaran de-sentralisasi berdasarkan jumlah
penduduk dan prevalensi bobot kurang.28
Pada tingkat kabupaten, pendanaan untuk gizi datang dari pendanaan kabupaten
(APBD II), kantor kesehatan propinsi – dari anggaran propinsi (APBD II) dan
pendanaan peralihan dari tingkat pusat (APBN) – dan hibah khusus. Proposal
diajukan untuk kegiatan dimana pendanaan dibutuhkan tetapi process pembahasan
dari proposal tersebut sangat panjang dan berbelit dan kegiatan gizi dapat saja
dihilangkan dari perencanaan kabupaen karena keterbatasan anggaran atau apabila
perwakilan Kantor Kesehatan Kabupaten tidak dapat membenarkannya kepada
pembuat keputusan mengenai anggaran kabupaten – Bappeda, DPRD dan Kantor
Kesehatan Kabupaten. Suatu proses serupa juga terjadi pada tingkat propinsi.
Sejak desentralisasi diadopsi di tahun 1999, tanggungjawab untuk pemberian
pelayanan kesehatan umum telah berpindah pada tingkat kabupaten. Namun Standard
Pelayanan Umum (SPM) telah diterbitkan dibawah Peraturan Departemen Dalam
Negeri mengenai Panduan Teknis dalam Memformulasikan dan Menetapkan Standard
Pelayanan Minimum yang diperuntukkan Departemen Pemerintah. SPM memastikan
bahwa pemerintah daerah menyediakan pelayanan dasar dan memastikan konsistensi
antar kabupaten. Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 mengenai Standard
Pelayanan Minimum Wajib mensyaratkan pelayanan dasar berikut ini dan
27 WHO, 2002. Diet, Nutrition and the prevention of chronic diseases. Report of a joint WHO/FAO
expert consultation. Geneva. 28 Pangaribuan R. 2010 Deskripsi Penyampaian Sistem Kesehatan dan Kebijakan Gizi, Program dan
Inisiatif dalam Persiapan Analisis Lanskap. Laporan disiapkan untuk UNICEF Jakarta
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
18
mensyaratkan pihak yang berwenang setempat untuk memantau apakah standard
tersebut dipenuhi.
Cakupan ANC untuk ibu hamil (sedikitnya empat kunjungan), termasuk
suplemen zat besi dan asam folat: 95% pada tahun 2015
Cakupan pelayanan kesehatan postpartum, termasuk suplemen vitamin A :
90% pada tahun 2015
Imunisasi anak universal: 100% pada tahun 2010
Cakupan pelayanan kesehatan anak usia dini, termasuk suplemen vitamin A :
sasaran 90% pada tahun 2010
Cakupan pelayanan kesehatan anak, termasuk suplemen vitamin A dan untuk
pertumbuhan dan pemantauan perkembangan: sasaran 90% pada tahun 2010
Cakupan pemberian makanan suplemen dari anak usia 6-24 bulan dari
keluarga miskin: 100% pada tahun 2010
Cakupan perawatan anak yang gizi sangat buruk: 100% by 2010
Berdasarkan SPM diatas dan tradisi intervensi gizi di Indonesia, intervensi utama
yang dilaksanakan untuk menjawab kurang gizi tingkat tinggi adalah pemantauan
pertumbuhan berdasarkan komunitas (dibanding fasilitas) di pos kesehatan –
posyandu. Kebijakannya adalah bahwa semua anak balita harus secara teratur
ditimbang di posyandu, lebih baik sekali sebulan29
, bahwa bobot gambarkan pada
“Kartu Menuju Sehat atau KMS” gambar pertumbuhan atau gambar di buku KIA
(kesehatan ibu dan anak) dan bahwa ibu dari anak yang menderita makin lemah harus
diberi nasihat. Sebagai tambahan, anak dari keluarga miskin diberikan makanan
suplemen di posyandu dalam bentuk makanan fortifikasi bagi usia 6-11 bulan dan
biskuit fortifikasi untuk yang berusia 12-23 bulan. Jika seorang anak belum
meningkat bobotnya dalam dua bulan berturut-turut atau telah jatuh dibawah – 3SD
(jatuh dibawah garis merah) anak tersebut harus dirujuk ke fasilitas kesehatan
setempat. Fasilitas kesehatan tersebut harus menyediakan pemeriksaan lebih lanjut,
termasuk kajian bobot-tinggi untuk memastikan kurang gizi buruk akut dan
pemeriksaan kesehatan. Berdasarkan kepada hasilnya, anak tersebut harus diberikan
perawatan : apakah dengan pemberian makanan suplemen atau pemberian makanan
terapi.
Namun dalam kenyataannya, di tahun 2007 hanya 45.4% anak balita ditimbang
sedikitnya 4 kali dalam enam bulan sebelumnya30
. Di beberapa propinsi seperti NTT
dan Yogyakarta prosentase lebih tinggi (misalnya, diatas 65%) tetapi di lainnya
seperti Sumatera Utara dan Jambi adalah 30% atau kurang. 25.5% anak balita tidak
ditimbang dalam enam bulan terakhir. Selanjutnya, telah diamati bahwa sedikit sekali
kaum ibu yang anaknya gagal dalam pertumbuhan menerima pemberian nasihat. Pada
tingkat terbaiknya, pendekatan pemantauan berdasarkan komunitas adalah lebih
menyembuhkan daripada pencegahan. Sebagaimana dipraktikkan di Indonesia, fokus
terbesar pada masalah menimbang dan tidak mengenai intervensi pencegahan dan
dukungan yang dimaksudkan untuk sebenarnya menjawab masalah kurang gizi.
29 According to the Nutrition Plan of Action at Central Level (Rencana aksi pembinaan gizi masyarakat,
2010-2014), 80% of all preschoolers are to be weighed at Posyandu. 30
Riskesdas 2007
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
19
Suatu intervensi utama lainnya adalah suplemen vitamin A. Dibawah desentralisasi,
semua kabupaten diharapkan untuk mengadakan pasokan suplemen vitamin A yang
memadai untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post partum. Suplemen untuk anak
dimaksudkan untuk didistribusikan melalui posyandu di bulan Februari dan Agustus
dengan kegiatan mobilisasi dan sosialisasi yang diperlukan untuk dilaksanakan
sebelum distribusi untuk memberi semangat agar hadir pada hari distribusi. Anak
yang tidak hadir akan dilanjutkan kegiatannya ke rumahnya. Menurut DHS 2007
hanya 68.5% dilaporkan menerima kapsul vitamin A dalam enam bulan terakhir.
Riskesdas 2007 telah melaporkan angka yang serupa of 71.5%. Kaum ibu menerima
suplemen vitamin A setelah melahirkan selama kunjungan post partum atau ketika
mereka membawa anak baru lahir mereka untuk imunisasi. Namun, DHS 2007
temukan bahwa hanya 44.6% kaum ibu yang telah menerima suplemen.
Intervensi utama gizi masa kehamilan adalah suplemen zat besi dan asam folat untuk
ibu hamil. Namun sebagaimana dilaporkan diatas, hanya sekitar 30% kaum ibu
menerima 90+ tablet sebagaimana dimaksudkan; pemenuhan tidak direkam.
Beberapa intervensi lainnya yang terkait dengan kesehatan masa kehamilan dan
kesehatan anak memberi dampak terhadap status gizi, seperti juga, misalnya, akses ke
air dan sanitasi dan keamanan makanan. Indonesia juga mengoperasikan beberapa
program pengentasan kemiskinan utama yang dapat diharapkan untuk mempunyai
dampak yang signifikan terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan. Misalnya,
suatu program yang bernama RASKIN mendistribusikan beras subsidi kepada kaum
miskin dan suatu program transfer uang tunai bersyarat (PKH – Program Keluarga
Harapan) mempunyai sasaran untuk mengurangi mortalitas masa kehamilan dan anak
dengan menyediakan transfer uang tunai kepada keluarga dengan syarat mengakses
pelayanan seperti perawatan antenatal dan postnatal, suplemen zat besi kehamilan,
bantuan kelahiran, imunisasi anak, pemantauan pertumbuhan dan pemberian
suplemen vitamin A. PKH juga bekerjasama dengan program lain Generasi PNPM
yang menyediakan hibah block kepada orang pedesaan untuk membantu mereka
meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Suatu deskripsi
lebih lengkap mengenai program pengentasan kemiskinan yang berorientasi kepada
gizi terdapat dalam Lampiran 2.
Di tahun 2008 suatu analisis utama oleh Lancet31
telah identifikasi 14 intervensi layak
dan efektif dimana terdapat cukup bukti dalam pelaksanaan di semua 36 negara
dengan 90% anak penderita stunting, termasuk Indonesia. Lancet juga telah
identifikasi 10 intervensi lanjut, dimana terdapat cukup bukti untuk pelaksanaan
dalam konteks spesifik dan situasional. Tabel 1 berikut ini meringkas cakupan di
Indonesia dari ‘intervensi gizi esensial’. Analisis lebih rinci yang menunjukkan
kebjakan dan legislasi kini untuk setiap intervensi tersebut, termasuk dalam Lampiran
3. Data menunjukkan bahwa terdapat beberapa promosi dan pemberian nasihat
mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap, suplemen zat besi folat
bagi kaum ibu, perawatan penyakit cacingan pada ibu dan anak, suplemen protein dan
energi pada ibu hamil miskin, perawatan penyakit diare dengan zat seng, dan cakupan
yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program fortifikasi di rumah.
31 The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
20
Lancet merekomendasikan suatu suplemen zat besi folat dan suplemen mikronutrien
ganda, tanpa menunjukkan yang mana untuk dipergunakan di dalam paket
intervensinya. Kebijakan nasional Indonesia adalah untuk menyediakan suplemen zat
besi folat kepada semua ibu hamil, tetapi mikronutrien ganda di program pilotkan
kepada dua propinsi. Percobaan dari mikronutrien ganda tersebut dibandingkan
dengan suplemen zat besi folat yang dijalankan di Indonesia telah menunjukkan
seefektif sebagaimana zat besi folat tersebut dalam memperbaiki status anemia 32
dan
untuk mengurangi mortalitas anak usia dini 90-hari hampir sebesar 20%
dibandingkan suplemen zat besi folat33
. Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia
Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan di semua 36 negara
Intervensi
Cakupan
terkini di
Indonesia
Acuan dan Catatan
Hasil masa kehamilan dan
kelahiran
Suplemen zat besi folat 29.2% DHS 2007- 90+ hari
Suplemen mikronutrien masa
kehamilan 0%
Kebijakan di Indonesia adalah untuk memberikan zat besi folat selam kehamilan. MNS sedang di proyek pilotkan di dua propinsi dengan dukungan UNICEF.
Yodium masa kehamilan melalui
garam beryodium 62.8%
Riskesdas – jumlah rumahtangga
yang konsumsi garam beryodium cukup (titrasi)
Intervensi untuk mengurangi
konsumsi tembakau dan polusi udara
dalam Gedung
97%
DHS - % kaum ibu yang tidak gunakan tembakau. Namun 87.8% pria gunakan tembakau. Data mengenai polusi udara dalam Gedung tidak tersedia (N/A)
Bayi baru lahir
Promosi pemberian asi (pemberian
nasihat untuk individual dan
kelompok)
N/A
Anak usia dini dan anak
Promosi pemberian asi (pemberian
nasihat untuk individual dan
kelompok)
N/A
Komunikasi perobahan perilaku untuk
pemberi makanan pelengkap yang
lebih baik
N/A
Zat Seng dalam pengelolaan diare N/A Hal ini adalah kebijakan namun
data tidak tersedia mengenai cakupan.
Suplementasi Vitamin A 68.5% - 71.5%. DHS 2007 dan Riskesdas 2007
Garam beryodium universal 62.8% Riskesdas – jumlah rumah tangga
32 Sunawang, Utomo B, Hidayat A, Kusharisupeni, Subarkah. 2009. Preventing low birthweight through maternal multiple micronutrient supplementation: a cluster-randomized, controlled trial in Indramayu, West Java. Food Nutr Bull. 30 (4 Suppl):S488-95 33 Supplementation with Multiple Micronutrients Intervention Trial (SUMMIT) Study Group, Shankar AH, Jahari AB, Sebayang SK, Aditiawarman, Apriatni M, Harefa B, Muadz H, Soesbandoro SD, Tjiong R, Fachry A, Shankar AV, Atmarita, Prihatini S, Sofia G. 2008. Effect of maternal multiple micronutrient supplementation on fetal loss and infant death in Indonesia: a double-blind cluster-randomised trial. Lancet. 371(9608):215-27.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
21
yang konsumsi cukup garam beryodium (titrasi)
Cuci tangan atau intervensi hygiene 23.2% dan
71.1%
Riskesdas - % penduduk usia lebih
dari 10 tahun dengan perilaku yang benar dalam mencuci tangan dan buang air besar
Perawatan kurang gizi buruk akut N/A
Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan
dalam konteks spesifik dan situasional
Hasil masa kehamilan dan
kelahiran
Suplemen energi dan protein yang
seimbang pada masa kehamilan** 0% Bukan kebijakan di Indonesia
Perawatan cacingan pada masa
kehamilan 0%
Kebijakan Indonesia tidak memperkenankan perawatan cacingan secara massal dalam masa kehamilan.
Suplemen calcium masa kehamilan N/A Tidak ada kebijakan meski terdapat adanya beberapa pelaksanaan
Intermittent preventative treatment of
malaria* N/A
Planned in the new Mid-Term Development Plan but not yet implemented
Kelambu yang diberi insektisida* 2.3%
DHS - % ibu hamil yang tidur dibawah kelambu yang diberi insektisida tidur semalam sebelum survai
Bayi baru lahir
Suplemen vitamin A neonatal 0% Belum menjadi rekomendasi WHO dan tidak ada kebijakan di
Indonesia
Penjepitan usus ari-ari (korda
umbilicus) 0% Tidak ada kebijakan di Indonesia
Anak usia dini dan anak
Program transfer tunai bersyarat
(dengan pendidikan nutrisi)** 0.1%
Di tahun 2009 program transfer tunai bersyarat mencakup 72,000
rumah tangga.
Perawatan Cacingan*** 0%
Kebijakan nasional merekomendasikan perawatan cacingan untuk anak usia dua sampai lima tahun dan anak usia sekolah tergantung dari prevalensinya::
>50% -- perawatan cacingan massal 2x/tahun 20 – 50% -- perawatan cacingan massal 1x/tahun <20% -- perawatan cacingan tersasar Namun, data cakupan, jarang ada.
Program fortifikasi dan
suplementasi*** 100%
Fortifikasi tepung terigu dengan zat
besi adalah wajib di Indonesia dan mendekati 100% dari semua tepung terigu difortifikasi meskipun tidak diketahui berapa banyak tepung terigu yang dikonsumsikan anak.
Kelambu yang diberi insektisida* 3.3%
DHS - % anak balita yang tidur
dibawah kelambu yang diberi insektisida semalaman sebelum survai.
*Di area dengan keberadaan malaria
** Untuk kaum ibu dan anak dari keluarga miskin
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
22
*** Di area dengan keberadaan infestasi cacing tinggi dan/atau anemia
Sebagai kesimpulan meskipun prevalensi anak berbobot kurang telah dikurangi di
Indonesia dan Pembangunan Jamgka Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium
telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan yang serius dengan stunting
dan wasting pada anak muda. Terdapat banyak kurang gizi pada masa kehamilan yang
cenderung berkontribusi terhadap bobot kurang pada kelahiran yang relatif cukup
tinggi demikian juga untuk stunting. Cakupan program menunjukkan bahwa cakupan
lebih tinggi perlu dicapai mengenai intervensi gizi esensial yang dapat membantu
mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak, termasuk promosi
dan pemberian nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap,
suplementasi zat besi folat bagi kaum ibu, perawatan cacingan kaum ibu dan anak,
suplementasi protein dan energi bagi ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan
zat seng, dan cakupan yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program
fortifikasi di rumah.
4. Temuan dari Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis 34
Persepsi permasalahan Persepsi umum di propinsi dan kabupaten adalah bahwa masalah gizi berupa penyakit
wasting yang buruk. Sedikit sekali pengakuan mengenai stunting atau kurang gizi
masa kehamilan sebagai permasalahan. Pada tingkat nasional terdapat lebih besar
serta meluasnya tumbuhnya pengertian mengenai permasalahan stunting. Pada tingkat
sub-nasional, stunting yang mempunyai status kecil umumnya disebabkan karena
masalah genetika karena mempengaruhi sebagian besar penduduk.
Persepsi in dapat dimengerti: selama dua dekade terakhir, kesadaran dan advokasi
mengenai gizi terutama telah terfokus kepada penyakit wasting buruk. Advokasi
secara nasional di tahun 1998 selama krisis ekonomi Asia telah berdampak terhadap
program lanjutan mengenai pengelolaan kurang gizi akut pada semua tingkat. Konsep
ini telah dimajukan selama bertahun-tahun sebagaimana tercermin dalam kebijakan
dan strategi gizi yang ada sekarang: Keputusan Presiden No. 741 yang terbit tahun
2008, yang memberikan panduan mengenai standard pelayanan kesehatan minimum35
(SPM) untuk dicapai di tahun 2015, yang memberikan rehabilitasi 100% anak yang
menderita bobot kurang yang serius sebagai salah satu sasaran gizi utama bagi
kabupaten. Panduan ini tercermin dalam tujuan dari program kesehatan dan gizi
sekarang ini dari beberapa propinsi (RPJMD 2009-2013) demikian sehingg NTT yang
terdapat tujuan mengenai eliminasi kelaparan serius. Dalam kaitan terhadap gizi masa
kehamilan, Keputusan No. 741 merekomendasikan bahwa 95% dari ibu hamil untuk
dicakup dengan 4 kali kunjungan perawatan antenatal, termasuk 90+ tablet zat besi
folat. SPM tidak termasuk persyaratan untuk pencegahan kurang gizi anak dan masa
34 Temuan terkait terutama pada tiga propinsi yang dikunjungi yang meskipun memberikan bahasan
representative dari tiga lingkungan dan situasi berbeda, tidak dapat dipandang sebagai mewakili
diversitas sepenuhnya dari Indonesia. 35 SPM adalah acuan yang digunakan untuk definisikan sasaran perencanaan program pada tingkat
kabupaten dan kota.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
23
kehamilan secara umum seperti pemberian nasihat mengenai pemberian makanan
anak usia dini atau gizi selama masa kehamilan.
Terdapat suatu perjanjian pada tingkat nasional bahwa ketersediaan makanan
bukanlah suatu penyebab utama dari kurang gizi, meskipun banyak orang berpikir
bahwa kemiskinan menghambat akses terhadap makanan cukup, berkualitas di
beberapa komunitas masyarakat. Atlas Keamanan Makanan dan Kerawanan Indonesia
menunjukkan bahwa ketersediaan makanan36
adalah sebenarnya hanya suatu defisit di
Papua, Maluku, Riau, Jambi, Bangka Belitung, West Sumatera dan Kalimantan
Tengah. Sebaliknya ketika akses diperhitungkan, disebabkan kemiskinan atau kurang
infrastruktur misalnya, kerawanan terhadap keamanan pangan meningkat secara
signifikan. Secara keseluruhan, dengan mengambil ketersediaan makanan, akses dan
pemanfaatan diperhitungkan, analisis tersebut telah identifikasi 100 kabupaten, dari
346 dimana terdapat data, sebagaimana menjadi prioritas tinggi (prioritas 1, 2 dan 3).
100 kabupaten ini adalah rumah bagi sejumlah 25 juta penduduk. 20 kabupaten
prioritas 1 terkonsentrasi di Papua, NTT dan Papua Barat. Sehingga, sementara orang
sering menyatakan penyebab kurang gizi karena keamanan pangan, terutama pada
tingkat kabupaten, dalam kenyataan, akses pangan disebabkan kemiskinan adalah
lebih sering kali menjadi penyebabnya, daripada defisit sebenarnya pada ketersediaan
pangan. Suatu diskusi lebih rinci mengenai Keamanan Pangan dan pengawasannya
dijelaskan dalam Lampiran 4.
Defisiensi mikronutrien tidak begitu dikenal baik oleh responden diluar tingkat
nasional. Hal ini memberi dampak, misalnya, terhadap alokasi anggaran kabupaten
untuk membeli kapsul vitamin A untuk anak muda. Namun, meskipun hal ini tidak
disebutkan secara khusus sebagai permasalahan gizi utama oleh yang diwawancarai,
defisiensi zat besi diakui sebagai kepentingan umum oleh beberapa pemangku
kepentingan pada tingkat sub nasional/propinsi. Selama Kajian Negara (CA), tablet
zat besi/asam folat ditemukan di sebagian besar puskesmas yang dikunjungi.
Misalnya, di propinsi Aceh, semua puskesmas dan posyandu yang dikunjungi selama
LA sudah mempunyai stok tablet zat besi folat. Di tingkat puskesmas, makanan
suplemen mikronutrien fortifikasi juga ditemukan. Defisiensi yodium telah diberikan
sedikit perhatian selama beberapa tahun terakhir diluar tingkat nasional yang
kemungkinan besar masyarakat menganggap bahwa Indonesia telah mencapai tingkat
garam beryodium universal. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa suatu estimasi
sebesar 92% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. Namun, hanya 63%
mengkonsumsi garam beryodium yang cukup (>15ppm yodium).
Obesitas tidak dipandang sebagai suatu permasalahan pada tingkat manapun yang
mencerminkan fakta bahwa bobot lebih dan obesitas hanya muncul baru-baru ini di
Indonesia. Sementara, dalam Rencana Nasional mengenai Pangan dan Gizi (2006-
2010), terdapat pilar mengenai perbaikan berkehidupan sehat yang termasuk kegiatan
untuk membahas bobot lebih dan obesitas. Pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan
komponen tersebut terbatas.
36 As measured by ratio of per capita normative consumption to net cereal production. Map 2.1. Page
35. GOI and WFP. A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia, 2009
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
24
Kebijakan gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan Kegiatan gizi difokuskan kepada pemantauan pertumbuhan (untuk identifikasi gagal
tumbuh), perawatan kurang gizi atau Gizi Buruk, dan, terhadap yang kurang dari itu,
yaitu mengenai pemberian makanan suplemen. Temuan ini diharapkan untuk
memberi panduan yang disediakan oleh Keputusan Presiden No 741 yang disebutkan
diatas mengenai standard minimal untuk pelayanan kesehatan (SPM); hanya terdapat
daftar suplemen mikronutrien, pemantauan pertumbuhan, pemberian makanan
suplemen dan perawatan anak berkesehatan sangat buruk sebagai pelayanan dasar
bagi gizi.
Salah satu pelayanan dasar yang disyaratkan adalah cakupan pelayanan kesehatan,
termasuk suplementasi vitamin A dan pemantauan pertumbuhan dan pengembangan.
Data yang digunakan untuk melaporkan indicator ini (misalnya, proporsi anak yang
menerima pelayanan kesehatan) tidak perlu untuk mencerminkan pelaksanaan semua
komponen. Agar dapat menghitung cakupan pelayanan kesehatan anak balita (anak
usia 12-59 bulan), seorang hanya perlu mengukur jumlah total anak yang telah
menghadiri pemantauan pertumbuhan paling tidak delapan kali selama suatu waktu
tertentu di satu area dan membagi angka tersebut oleh total jumlah bayi yang lahir
selama periode yang sama. Dengan demikian, pelaksanaan terbatas (atau tidak sama
sekali) dari beberapa intervensi gizi seperti pendidikan gizi atau pemberian nasihat
dapat disebabkan kepada kenyataan bahwa tidak perlu secara khusus melaporkannya.
Jika tidak diukur ataupun dilaporkan, bisa dianggap sebagai tidak esensial atau perlu
untuk dilaksanakan.
Departemen Kesehatan (DepKes)) adalah penanggungjawab tunggal bagi
suplementasi mikronutrien (misalnya, zat besi folat untuk ibu hamil dan suplementasi
vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post-partum) dan pemberian makanan
pelengkap. Namun DepKes membagi tanggung jawab untuk intervensi gizi lainnya
yang terkait bersama kementerian lainnya sebagai berikut: fortifikasi makanan –
Departemen Dalam Negeri/DepDagri, BPOM, MoI); pendidikan gizi -MoE, MONE,
MWE dan lainnya; promosi asi eksklusif – Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak serta Program Pangan - DepDagri dan Departemen Sosial.
Posyandu itu sendiri dibawah Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian, banyak
“kegiatan gizi” dilaksanakan atau dikendalikan diluar sektor kesehatan dan aspek
penentuan sasaran, pelaksanaan dan koordinasi mungkin tidak terjadi secara optimal
agar mencapai hasil gizi yang terbaik.
Konsep “paket intervensi” dan suatu “kelanjutan perawatan” dari konsepsi sampai
usia dua tahun tidak begitu dimengerti dengan baik meski fakta bahwa standard
minimum dan panduan teknis merupakan upaya yang berharga untuk menyediakan
panduan dan pengetahuan demikian di arah itu. Panduan tersebut memberikan
indikasi pelayanan kesehatan untuk diberikan selam masa kehamilan, periode
neonatal, tahun pertama kehidupan dan periode dari 12-59 bulan. Ha ini mempunyai
kecenderungan bahwa rasio untuk standard minimum dan panduan teknis tidak
dimengerti secara penuh oleh pengguna potensial. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
tidak dilaksanakan sepenuhnya, meskipun kebijakan, protokol, buku petunjuk dan
panduan untuk pelaksanaan intervensi gizi sudah tersedia di struktur kesehatan seperti
puskesmas, Terdapat upaya baru untuk memasukkan kelanjutan perawatan untuk ibu
dan anak kedalam ‘Buku KIA’, yang digunakan di posyandu dan puskesmas, tetapi
kelihatannya penggunaan buku tersebut tidak optimal.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
25
Suatu hambatan lainnya terhadap pelaksanaan paket intervensi gizi efektif melalui
konsep lanjutan perawatan kelihatannya adalah kurangnya kesadaran dari penyedia
kesehatan mengenai pentingnya dan keefektifannya. (Sumber daya manusia akan
didiskusikan di seksi lain)
Anak yang menderita penyakit wasting sangat buruk atau bahkan anak yang sangat
berbobot kurang. Sebagai contoh, pemberian makanan suplemen diberikan untuk
suatu periode waktu tertentu, biasanya 90 hari, tanpa memperhatikan apakah status
gizi anak sudah cukup meningkat atau tidak. Kelihatan juga sedikit sekali pengertian
mengenai perbedaan dalam pentingnya, penyebabnya serta perawatan dari bobot
kurang dan penyakit wasting yang buruk.
Rencana Nasional untuk Pembangunan 2010-2014 (RPJMN) terfokus kepada stunting
dan paket Intervensi Gizi Esensial dari Lancet Nutrition Series. Meskipun rencana
propinsi dan kabupaten seharusnya mengacu pada RPJMN ketika mendefinisikan
rencana mereka sendiri, terdapat putus hubungan antara proses perencanaan pada
tingkat pusat dan tingkat sub-nasional. Sebagai kelanjutannya, meskipun beberapa
sasaran didefinisikan di dalam RPJMN yang baru atau bahkan di dalam Keputusan
Menteri baru ini No. 741 mengenai SPM dan Keputusan Menteri No. 838 di dalam
panduan teknis, dengan dinyatakannya periode perencanaan yang berbeda antara
pusat (2010-2014) dan tingkat sub-nasional (2009-2013 untuk NTT; 2007-2012 untuk
Aceh; 2008-2013 untuk Jawa Tengah), sasaran dan indicator yang terpasang pada
tingkat pusat, propinsi atau kabupaten mungkin berbeda. Misalnya, dalam RPJMN
yang kini, satu tujuannya adalah mengurangi bobot kurang dari 18% sampai kurang
dari 15% di tahun 2015. Di dalam RPJMD NTT, sasarannya adalah untuk mencapai
13% di tahun 2013, sementara kurang dari 15% di tahun 2012 di RPJMD Aceh.
Selanjutnya, RPJMD Jawa Tengah tidak termasuk sasaran untuk bobot kurang dan
memfokus hanya kepada pengurangan penyakit wasting buruk sampai kurang dari
0.82% . Contoh lainnya terkait dengan panduan teknis mengenai pelaksanaan
standard pelayanan kesehatan minimum. Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa
95% ibu hamil akan menerima empat kali kunjungan antenatal sampai pada tahun
2015. Oleh karena hal ini termasuk suplementasi zat besi folat, seorang dapat
menganggap bahwa cakupan suplemen juga akan diatur pada 95%. Sementara,
sasaran NTT untuk cakupan zat besi folat adalah 90% pada tahun 201337
dimana
sasarannya diatur pada 85%38
di Aceh dan 80% di Jawa Tengah39
.
Rencana Aksi Nasional untuk Pangan dan Gizi (RANPG) selama periode lima tahun
2011-2015 kini dalam pengembangan. Hal ini akan didasarkan pada RPJMN Nasional
yang sebenarnya pada tingkat national maupun propinsi. Tujuan utamanya adalah
untuk mengurangi stunting sebesar lima persen dalam lima tahun yang berikutnya
(dari 37% sampai 32%).
Dengan jelas, telah ada banyak komitmen politis mengenai gizi pada tingkat nasional
di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana terbukti dalam dokumen
kebijakan seperti RPJMN yang kini berlaku. Rencana program gizi dan terkait gizi
pada tingkat kabupaten juga ditemukan sebagai bagian dari Rencana Propinsi Jangka
Menengah Daerah (RPJMD 2009-2013 dari propinsi NTT, RPJMD 2007-2012 dari
37 RPJMD NTT 2009-2013 38 RPJMD Aceh 2008-2012, Bab II 39
Rencana Strategi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2008-2013
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
26
propinsi Aceh, RPJMD 2008-2013 Jawa Tengah)termasuk kesehatan, pendidikan dan
pertanian. Namun, meski adanya rencana nasional dan propinsi, program gizi skala
besar pada tingkat propinsi dan kabupaten pada Rencana Strategi Kesehatan (Renstra)
tidak dibiayai dengan cukup.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurangnya
pengetahuan mengenai perencana sektor mengenai penyebab dan implikasi dari
kurang gizi dan pentingnya sebagai penentu tentu dapat menjadi hambatan.
Pemeriksaan semua program yang terkait gizi di-negara sendiri juga menunjukkan
bahwa banyak kegiatan terkait gizi yang dijalankan oleh sektor non-kesehatan.
Misalnya, sector pendidikan mendistribusikan pangan kepada anak pra-sekolah
sebagai bagian dari program pengembangan perawatan anak usia dini (PAUD). Badan
Keamanan Pangan mempunyai program pemberian pangan pelengkap di beberapa
tapak proyeknya di NTT. Makanan kecil di sekolah (PMT-AS) disediakan untuk
meningkatkan pendaftaran dan mencegah putus sekolah dari perempuan khususnya,
dan meningkatkan proses pembelajaran. Terdapat komitmen kuat dari pemerintah
nasional untuk meningkatkan cakupan dan dampak dari program ini.
Program seperti program transfer tunai tak bersyarat (PKH) dan program pro-miskin
lainnya mempunyai potensial untuk memperbaiki gizi secara signifikan. Program ini
dapat menjadi sangat synergik dengan intervensi gizi langsung, apabila dilaksanakan
dalam cara terkoordinasi, dengan tujuan dan indikator yang umum. Namun, apabila
terjadi pemutusan hubungan dapat terjadi risiko menghamburkan sumber daya
keuangan yang dapat digunakan lebih efektif jika sasaran diarahkan kepada akar
penyebab permasalahan gizi di negaranya. Misalnya, jika program RASKIN bisa
lebih diarahkan kesasaran kepada mereka dengan ketersediaan pangan nyata dan
permasalahan akses , beberapa kurang gizi yang disebabkan oleh kerawanan pangan,
dapat dibahas. Dengan cara serupa, jika program transfer tunai bersyarat mewajibkan
keluarga untuk mengakses pelayanan dan mempraktikkan perilaku yang telah
diidentifikasikan sebagai intervensi esensial oleh RANPG, dan bila sistem telah
terpasang untuk menjamin kondisi yang perlu terpenuhi sebelum transfer tunai
dilakukan, cakupan intervensi esensial tentu akan meningkat secara signifikan. Pada
saat yang sama, DepKes harus berkolaborasi dengan program PKH untuk menjamin
bahwa pelayanan yang disyaratkan dalam PKH tersedia dengan kualitas yang tinggi di
area program.
Koordinasi Gizi Terdapat perasaan kuat dan meluas bahwa koordinasi mempunyai kekurangan dalam
memperbaiki gizi lintas sektor, didalam sektor, di semua tingkat pemerintahan, dan di
PBB. Pada tingkat pemerintah, mungkin hal ini disebabkan kenyataan bahwa gizi
dibawah urusan kesehatan dan telah diberikan prioritas lebih rendah dalam istilah
koordinasi. Pada tingkat nasional koordinasi dibutuhkan untuk pengembangan strategi
dan kebijakan, sementara pada tingkat sub-nasional (kabupaten dan sub-kabupaten)
koordinasi dibutuhkan untuk pelaksanaan.
Pada tingkat pusat, BAPPENAS memberikan banyak upaya untuk menjamin
koordinasi program kesehatan dan gizi melalui pendirian Direktorat Kesehatan dan
Gizi yang mengawasi kegiatan dibawah kerjasama UNICEF-RI.Terdapat juga suatu
Dewan Keamanan Pangan yang diketuai oleh Presiden Republic Indonesia (RI)
dengan menteri dari kementerian terkait sebagai anggota. Suatu Badan serupa terdapat
pada tingkat sub-nasional yang diketuai oleh Gubernur dan Bupati. Selanjutnya,
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
27
beberapa Task Force/Komite telah diciptakan untuk maksud memperbaiki koordinasi.
Demikian juga, terdapat task force gizi dibawah Dewan Keamanan Pangan pada
tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Namun, kelihatannya bahwa tidak terdapat
suatu definisi yang jelas mengenai peranan dan tanggungjawab diantara berbagai
badan ini. Ketidak adanya suatu rencana kerja menciptakan suatu tantangan yang
membatasi efisiensinya. Hal ini berkontras terhadap kolaborasi baik antara pemerintah
local dan LSM/LSMI yang bekerja dalam kegiatan nutrisi pada semua tingkat.
Pada tingkat kabupaten, dirasakan adanya vakum dalam kepemimpinan gizi lokal dan
pemerintahan. Meskipun upaya yang berbeda telah dibuat, kelihatannya terdapat
mekanisme koordinasi yang tidak kuat untuk meningkatkan koordinasi kegiatan dari
sektor dan mitra yang menuju kepada fragmentasi kegiatan dan akibat. Misalnya,
meskipun 79.4% kelahiran dibantu oleh petugas kelahiran yang terampil, inisiasi dini
pemberian asi eksklusif dipraktikkan oleh kaum ibu dalam 44% kasus. Selanjutnya,
hanya 45% dari ibu post-partum yang menerima kapsul vitamin A selama 42 hari
pertama setelah melahirkan.
Meskipun DepKes dilihat mempunyai peranan utama dalam gizi, pertanyaan telah
dikemukakan apakah harus atau tidak menjadi koordinatornya. Hal ini mungkin
karena kenyataan bahwa masalah gizi masih dipandang oleh banyak orang sebagai hal
yang terkait dengan kekurangan pangan. Dari perspektif ini, kementerian lainnya
(misalnya Kementerian Pertanian berwenang terhadap keamanan pangan) dilihat
sebagai yang mempunyai peran lebih besar untuk dimainkan dengan demikian
menghilangkan wewenang relative dari Departemen Kesehatan sebagai koordinator.
Hal ini juga sering sulit untuk satu sector untuk ‘mengkordinasikan’ yang lain; peran
ini mungkin perlu diambil oleh seseorang ‘diatas’ sektor secara individual.
Rencana Aksi Pangan daGizi propinsi atau kabupaten tidak terdapat disetiap propinsi
dan kabupaten; demikian pula tidak adanya sasaran gizi yang konsisten dalam
Rencana yang ada. Terdapat pengecualian: di propinsi NTT demikian juga di
Kabupaten Belu, kegiatan gizi dan sasaran terdapat rencana strategis kesehatan yang
mencakup periode 2009-2013; Program propinsi Aceh mengenai gizi mempunyai
sasaran gizi seperti dapat disebutkan yaitu pengurangan prevalensi bobot kurang dan
perbaikan pemberian asi eksklusif. Rencana strategis propinsi Jawa Tengah
mempunyai sasaran untuk pengurangan IDD, anemia diantara ibu hamil dan
postpartum, wasting sangat buruk, dan kurang gizi energi diantara ibu hamil. Terdapat
kecenderungan bahwa upaya untuk memperbaiki gizi melalui kemitraan yang sedang
berlangsung antara UNICEF, badan lainnya dan LSM dengan Pemerintah dalam
propinsi ini (dan di beberapa kabupaten) telah terjadi dampak terhadap perencanaan
dan anggaran untuk gizi.
Sumber Daya Manusia untuk Gizi Meski data menyarankan bahwa sejumlah ahli gizi yang cukup dilatih di Indonesia,
mereka tidak dipekerjakan ataupun di tugaskan secara efektif, terutama ‘di lapangan’ :
dengan demikian hanya 30% puskesmas atau pusat kesehatan mempunyai ahli gizi
Diploma 3-tahun (D3). Sebagian besar ahli gizi dilatih oleh salah satu dari 33
Akademi Gizi yang terakreditasi yang tersebar diseluruh negeri dan diawasi oleh
Pemerintah. Berdasarkan tahunan, lebih dari seribu ahli gizi lulus dari akademi ini.
Sebagai tambahan terhadap lulusan Akademi, dokter dapat juga menjalankan
pelatihan Gizi (2-4 tahun tambahan terhadap kurikulumnya) untuk menjadi ahli gizi
klinik atau ahli diet komunitas. Setelah pelatihan pra-layanan, ahli gizi dan ahli diet
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
28
melamar pekerjaan kemana saja yang diinginkan. Seperti di Negara lain, sebagian
besar memilih bekerja di daerah perkotaan karena kondisi kehidupan yang lebih baik
di daerah itu. Sebagai konsekwensinya, distribusi ahli gizi tidak merata di Indonesia.
Di tahun 2007, terdapat 1.7 ahli gizi per puskesmas di Yogyakarta sementara di Papua
dan NTT, rasio adalah masing 0.2 dan 0.5 berturutan per puskesmas. Selanjutnya,
sebagaimana ditunjukkan oleh Bank Dunia40
, pendekatan sebenarnya untuk alokasi
staf pada tingkat kabupaten berdasarkan standard nasional untuk menentukan anggota
staf yang tidak harus cocok dengan kebutuhan yang ketat.
Ahli gizi sering kali bertanggungjawab atas program lain. Tentunya bahwa kurangnya
kejelasan deskripsi pekerjaannya (Deskripsi pekerjaan untuk ahli gizi di puskesmas
dikembangkan lebih dari satu dekade yang lalu) menuju kepada ahli gizi yang
mempunyai kesulitan dalam menterjemahkan pekerjaan mereka atau memprioritaskan
tanggungjawab mereka. Lebih lanjut, meskipun beberapa kegiatan gizi akan
dilaksanakan pada tingkat kabupaten sebagaimana ditunjukkan oleh SPM, patut
dicatat bahwa ahli gizi jarang disebut bertanggungjawab atas pelaksanaan intervensi
gizi, yang justeru sebaliknya yang terjadi pada bidan dan dokter. Bahkan, praktiknya
adalah untuk merujuk kepada ahli gizi hanya bila menghadapi masalah yang terkait
dengan rehabilitasi anak yang menderita kurang gizi buruk, untuk pemberian
makanan suplemen bagi anak dari keluarga miskin, dan pengelolaan pengadaan
pasokan gizi. Tidak disebutkan perlunya untuk merujuk kepada ahli gizi untuk
meminta nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap atau
untuk suplemen mikronutrien bagi anak dan ibu.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa professional kesehatan lainnya seperti bidan dan
perawat mempunyai lebih banyak tanggungjawab dalam istilah intervensi gizi
meskipun mereka mungkin kurang dalam pengetahuan dan keahlian teknis yang
relevan. Misalnya, kurikulum pelatihan pra-layanan untuk bidan di Aceh termasuk 12
jam yang didedikasikan pada “gizi anak yang seimbang” (usia pra dan sekolah).
Sebagai tambahan, enam jam dihabiskan pada perawatan post-partum, yang temasuk
pemberian asi eksklusif, gizi umum, suplementasi vitamin A, dan hygiene bayi. Hal
ini adalah pelatihan yang tidak memadai, meskipun menuju kepada pertanyaan
mengenai gunanya merekrut ahli gizi di lapangan atau menugaskan ahli gizi sama
bertanggungjawab terhadap program. Tentu juga menjelaskan mengapa Petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten sering berjuang untuk meyakinkan Bupati untuk
mempekerjakan ahli gizi.
Dengan ditambahkannya kepada permasalahan dengan penugasan ahli gizi, adalah
tantangan bagi ahli gizi yang kurang cukup berkualifikasi meski diantara yang sudah
terlatih. Kualitas pelatihan gizi pra-layanan (D3) tidak konsisten di semua Akademi.
Terdapat beberapa yang masih menggunakan kurikulum 1997 yang menekankan teori
dibandingkan kurikulum 2003 yang mempunyai komponen lebih kuat pada praktik.
Di tahun 2009, kurikulum telah dimutakhirkan tetapi masih belum secara konsisten
digunakan untuk pelatihan pra-layanan. Berdasarkan pembahasan kurikulum Akademi
Gizi di Aceh, kelihatannya tidak terdapat komponen khusus mengenai praktik
pemberian makanan anak usia dini dan anak muda ataupun gizi masa kehamilan.
Sebenarnya, sekitar 70% isi dari kurikulum Akademi telah distandardisasi, yang
40 World Bank/GoI, 2009. Indonesia’s doctors, midwives and nurses: Current stock, increasing needs,
future challenges and options. January, World Bank, Jakarta, Indonesia.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
29
menyisakan pengenalan topik baru seperti praktik pemberian makanan anak usia dini
dan anak muda kepada diskresi setiap institusi untuk memenuhi yang tinggal 30%.
Pusat pelatihan propinsi Aceh untuk pekerja kesehatan akan menjadi yang pertama
untuk menambahkan IYCF kedalam kurikulum gizi. Selain Akademi, terdapat
institusi swasta yang dapat melaksanakan kurikulum baru. Kualitas dari latihan pra-
layanan di dalam institusi ini bervariasi, meski belum pernah dilakukan pengkajian.
Selanjutnya, sebagai contoh mengenai kualitas pelatihan ahli gizi, meskipun
puskesmas mempunyai seorang ahli gizi, prevalensi kurang gizi mungkin masih
menjadi perhatian dan hal ini, meski kuantitasnya stafnya memadai. Misalnya, di kota
Semarang sebagian besar puskesmas (14/18) mempunyai seorang ahli gizi, tetapi
indikator gizi masih buruk, misalnya 38% menderita stunting.
Akhirnya, seperti dijelaskan diatas, faktor lain seperti pengetahuan terbatas mengenai
gizi diantara professional kesehatan lainnya dan distribusi ahli gizi secara geografis
tidak merata juga berkontribusi kepada kurangnya sumber daya manusia yang cukup
berkualifikasi dalam bidang gizi, khsusnya didaerah terpencil.
Selain kelemahan yang dijelaskan dalam pelatihan pra-layanan, Kajian Negara juga
temukan bahwa pelatihan dalam-layanan (in-service) mengenai gizi tidak mencukupi.
Sebagian besar staf yang diwawancarai selama CA mengakui bahwa mereka tidak
menerima pelatihan dalam-layanan selama dua tahun terakhir.
Terdapat semangat diantara pejabat kabupaten yang berwenang untuk lebih banyak
kelibatan relawan masyarakat. Lebih dari dua juta relawan atau “kader” yang
melayani 260.000 posyandu di 480 kabupaten. Kader adalah anggota organisasi PKK
(Pemberdayaan Keluarga untuk Kesejahteraan), yaitu organisasi perempuan yang
terkenal di Indonesia. Kemampuan dan kompetensi dari relawan ini bervariasi dan
tergantung terhadap perhatian dari pemerintah setempat untuk pelathan dan pelathan
kembali.
Kurangnya pemantauan dan pengawasan juga membahayakan motivasi sumber daya
manusia dan kualitas pelayanan. Akhirnya, mengenai professional kesehatan lainnya
seperti bidan dan perawat, proses akreditasi ahli gizi mungkin tidak seiring dengan
kemandirian standard internasional, kredibilitas dan keterbukaan terhadap publik,
yang juga berdampak terhadap kualitas anggota staf.
Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan Seperti disorot dalam bagian sebelumnya mengenai gizi dan program/kegiatan terkait
gizi, terdapat sumber daya yang signifikan dialokasikan untuk gizi dan kegiatan
terkait gizi pada tingkat Pusat, termasuk pengentasan kemiskinan dan program
jaringan keselamatan. Namun, sebagian besar sumber daya ini bukan dibawah
wewenang Departemen Kesehatan.
Banyak sumber pembiayaan tersedia untuk kegiatan terkait pangan dan gizi pada
tingkat kabupaten tetapi rumit karena keterbatasan dan kendala waktu. Sebagai
tambahan, proses kompleks antara alokasi anggaran, persetujuan dan pelaksanaan
karena pembatasan birokrasi serta seleksi skala prioritas seringkali menghambat
pelaksanaan intervensi gizi.
Meski adanya potensial dalam ketersediaan dana, sangat sedikit pendanaan yang
kenyataanya menjadi termasuk dalam anggaran gizi pada tingkat sub-nasional dan apa
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
30
yang ada kemungkinan tidak memadai bagi sasaran gizi yang termasuk dalam rencana
kerja Propinsi dan Kabupaten. Misalnya, di kabpaten Belu di propinsi NTT, salah
satu tujuan rencana kerja adalah untuk mengurangi prevalensi kurang gizi dari 40% di
tahun 2008 sampai 20% di tahun 2012, namun hanya 18% dari anggaran kesehatan
kabupaten yang digunakan untuk kegiatan gizi. Selanjutnya, khususnya pada tingkat
lebih rendah, sebagian besar anggaran digunakan untuk administrasi (gaji) dan
infrastruktur, dengan dana sangat terbatas untuk kegiatan program: di NTT 70% dari
anggaran 2009 (APBD II)digunakan untuk gaji dan tunjangan—sisanya 30%
digunakan untuk semua sektor dengan 8% kepada kesehatan dan separohnya untuk
infrastruktur. Dalam anggaran salah satu kabupaten di propinsi Aceh, dari total Rp
53.120.000.000 yang digunakan untuk kesehatan, hanya 0.2% adalah untuk gizi.
Alokasi rendah untuk gizi jelas terhubung kepada persepsi bahwa gizi bukan menjadi
masalah utama. Selanjutnya, lebih dari 65% (dari 0.2% ini) dialokasikan untuk
pangan bagi Wanita hamil dan anak balita dan kepada rehabilitasi anak yang
kesehatannya sangat buruk. Suatu alokasi rendah untuk gizi juga telah diamati di Kota
Semarang di Jawa Tengah, dimana gizi hanya mencakup 2% dari total anggaran
kesehatan. Sebagian besar dana dibelanjakan pada pemberian makanan suplemen dan
perawatan penyakit wasting buruk. Di kabupaten Banyumas, anggaran kabupaten teah
menderita suatu pemotongan efektif sebesar 70% disebabkan oleh peningkatan
mendadak posisi gaji, karena anggota staf yang sebelumnya bersifat honorer,
kemudian diangkat menjadi pegawai tetap dengan gaji resmi. Hal ini hampir tidak
menyisakan anggaran untuk program kesehatan dan gizi. Putus hubungan tersebut
antara perencanaan dan persetujuan anggaran dan alokasi diamati pada semua tingkat.
Terdapat suatu budaya umum dengan perencanaan berdasar anggaran dari pada
perencanaan berdasar cakupan/hasil.
Ketersediaan pembiayaan tidak dialokasikan kepada intervensi yang paling efektif.
Perencanaan, anggaran dan pembiayaan program dan kegiatan gizi sejalan dengan
persepsi permasalahan gizi demikian juga dengan isi kebijakan, strategi dan panduan
yang ada untuk menjawab situasi dan proses perencanaan saat kini. Dengan
diberikannya pengertian yang makin tumbuh dan meluas mengenai gizi (termasuk
masalah stunting pada tingkat nasional) hal ini juga menjelaskan mengapa lebih
banyak sunber daya dialokasikan pada tingkat nasional daripada tingkat sub-nasional
mengenai gizi dan kegiatan terkait gizi, termasuk pengentasan kemiskinan yang
utama dan program jaringan keselamatan. Hal ini juga menyoroti putus hubungan
dengan kegiatan gizi pada tingkat Kabupaten. Program gizi seperti untuk vitamin A
dipandang menjadi tanggungjawab tingkat Pusat. Sebagai konsekwensinya, anggaran
untuk pengadaan kapsul vitamin A tidak selalu dimasukan dalam anggaran sub-
nasional. Demikian juga dimana mitra pembangunan yang mendanai berbagai
program gizi, dana tidak selalu dibelanjakan pada intervensi yang paling efektif.
Sistem Informasi Gizi Jumlah besar data tersedia, termasuk yang berasal dari laporan rutin dan survai
nasional. Namun, informasi mengenai indikator dasar tertentu tidak tersedia secara
teratur, demikian juga data tersedia tidak selalu lengkap dan akurat (misalnya, data
anemia ibu hamil tidak secara teratur dikumpulkan ataupun dilaporkan).
Data SKDN (S=anak balita yang ada di posyandu, K=bagi yang mempunyai kartu
pertumbuhan, D=bagi yang datang untuk ditimbang bulan sebelumnya, dan N=bagi
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
31
yang tumbuh) dikumpulkan secara rutin di tingkat posyandu dan dikirim keatas.
Meskipun jumlah banyak waktu staf yang kelihatannya dihabiskan untuk
mengumpulkan informasi ini dan melaporkannya ke atas, jarang sekali digunakan
untuk program peningkatan, menentukan sasaran, evaluasi, dsb. Satu alasan adalah
bahwa denominator seringkali tidak dilaporkan bersam numerator. Hal lain adalah
bahwa tidak terdapat pemicu untuk tindakan (misalnya, mengambil tindakan jika
prevalensi melebihi x%) dan hal ini tidak jelas tindakan apa harus diambil
berdasarkan data.
Data mengenai pemberian asi, konsumsi garam beryodium, suplementasi vitamin A
dan status gizi diantara “keluarga sadar gizi” dikumpulkan melalui Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi atau SKPG (Sistem pengawasan pangan dan gizi).
Data mengenai suplemen zat besi/folat pada ibu hamil juga dikumpulkan. Perangkat
data ini dikirimkan ke Puskesmas berdasarkan setiap bulan. Namun, hal ini tidak jelas
mengenai bagaimana semua data digunakan untuk pembuatan keputusan dan/atau
dalam pembahasan pengawasan.
Data survai digunakan secara cukup baik untk advokasi pada tingkat nasional dan
propinsi. Sebagai contoh, dengan diberikan prevalensi stunting tinggi seperti
ditunjukkan oleh Riskesdas 2007 dan dengan diberikannya dampak yang diakui
mengenai pemgembangan, pemerintah telah memutuskan untuk membahas masalah
ini selama lima tahun berikut ini. Sedemikian, pengurangan prevalensi stunting telah
menjadi sasaran penting dari RPJMN 2010-2015 dan tujuan utama dari Perencanaan
Nasional mengenai Pangan dan Gizi 2011-2015.
SPM dimaksudkan menuntun kabupaten mengenai intervensi dasar apa yang mereka
harus sediakan dan untuk memberikan sasaran yang harus mereka capai dan laporkan.
Untuk bagian besarnya, indikator SPM tidak dgunakan untk pemantauan. Namun ,
terdapat pengecualian. Di Jawa Tengah, SPM dipergunakan secara penuh. Hal ini
termasuk indikator mengenai (i) Kasus kurang gizi buruk yang akut yang dirawat, (ii)
cakupan distribusi dan penggunaan MP-ASI, (iii) cakupan vitamin A, dan (iv)
cakupan zat besi / folat. Namun, keterbatasan dalam pemantauan hanya empat
indikator ini adalah bahwa penekanan program nutrisi kabupaten adalah hanya
mengenai intervensi yang terkait.
Terdapat jumlah program evaluasi yang kurang memadai; terdapat data yang kurang
memadai untuk menunjukkan apakah upaya yang dilakukan mendapatkan dampak
yang diharapkan – misalnya suplemen zat besi folat yang sedang dikonsumsikan dan
bila demikian, apakah hal ini memperbaiki status zat besi pada ibu hamil atau apakah
fortifikasi tepung terigu mengkontribusikan terhadap peningkatan status mikronutrien.
Pembiayaan untuk pemantauan dan evaluasi adalah tugas dan tanggungjawab
pemerintah setempat yang berwenang terhadap anggaran. Kelihatannya prioritas
rendah diberikan terhadap pengawasan, pemantauan dan evaluasi program gizi.
Ringkasan Temuan Komitmen untuk bertindak bagi gizi cukup kuat, tetapi salah arah dalam mencoba
untuk mengatasi masalah gizi akut dari pada meletakkan system dan intervensi untuk
mencegah anak dan kaum ibu terhadap penyakit kurang gizi. Komitmen untuk
mengatasi masalah stunting makin bertumbuh pada tingkat nasional, tetapi pada
tingkat propinsi dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan,
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
32
permasalahan gizi dipersamakan dengan gizi buruk dan/atau terhadap kurang
makanan. Di beberapa kabupaten (misalnya, di Aceh dan Jawa Tengah) gizi tidak lagi
dipandang sebagai masalah yang berat. Banyak sumber daya kelihatannya dikeluarkan
terhadap distribusi pangan disebabkan kebingungan mengenai sejauh mana
ketersediaan pangan dan untuk menjawab kemiskinan. Dalam realitas distribusi
pangan mungkin merupakan intervensi yang biasa karena secara politis tidak popular,
daripada menjawab masalah aktual kemiskinan, ketersediaan pangan dan gizi.
Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan pengaturan tujuan
dan sasaran adalah lemah atau tidak ada samasekali pada tingkat nasional.
Kapasitas untuk bertindak bagi kebutuhan gizi perlu diperkuat. Penyediaan pelayanan
sebagian besar berkisar sekitar pemantauan pertumbuhan anak dan disalah arahkan
kepada anak balita daripada terfokus kepada anak usia dibawah dua tahun dimana
intervensi gizi dapat mempunyai efek lebih besar.Prioritas lebih rendah diberikan
pada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat pada kaum ibu
mengenai pemberian makanan pada anak daripada fungsi penyembuhan dalam
mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Ketika pemberian nasihat (counseling),
hal ini dilakukan oleh kader posyandu berdasarkan komunitas terlatih minimal.
Perhatian terhadap gizi masa kehamilan terbatas pada distribusi tablet zat besi/folat
dengan sedikit prioritas atau promosi. Koordinasi antar sector mengenai pelaksanaan
perlu untuk diperkuat. Meskipun ahli gizi berjumlah cukup sedang dilatih,
kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka tidak cukup dipekerjakan
dalam system, dan khususnya dalam pelaksanaan pelayanan. Sedikit ataupun tidak
terjadinya pelatihan ditempat pelayanan dibidang gizi. Penggunaan data pemantauan
untuk membuat keputusan atau data evaluasi untuk belajar dari pengalaman program
adalah hal yang biasa.
5. Rekomendasi41
Tujuan Keseluruhan
Untuk mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak dan
berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 1, 4, 5,
dan 6.
Bagian pertama dbawah menyampaikan rekomendasi yang dapat diprioritaskan dalam
pelaksanaan selama beberapa tahun berikutnya. Rekomendasi lainnya yang dapat juga
dilaksanakan tetapi tidak dianggap sebagai prioritas juga disarankan dalam bagian
kedua. Rekomendasi dengan huruf ditebalkan dianggap sebagai inovasi. Untuk semua
rekomendasi, suatu rangka waktu disarankan.
Rekomendasi yang disarankan untuk diproritaskan pada Jangka Menengah
Koordinasi Gizi & Tanggungjawab
41 Rekomendasi diprioritaskan dibawah setiap judul sehingga yang diberikan terlebih dahulu (dalam
huruf tebal) adalah yang terpenting, dan harusdipertimbangkan untuk pelaksanaan segera. (Dalam
kasus Sumber Daya manusia, dua yang pertama diprioritaskan.) Rekomendasi kedua dan ketiga juga
penting, dan harus dilaksanakaneSecond and thir di jangka menengah atau jangka panjang.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
33
1. Pada tingkat Sub-nasional: Harmonisasikan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di
tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan rencana nasional, keputusan dan
panduan, serta mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk
mengawasi dan memantau pelaksanaannya.
Hal ini melengkapi struktur desemtralisasi mengenai pembuatan
keputusan di Propinsis dan Kabupaten, sementara pada saat yang
sama mempertahankan penyatuan tujuan dan strategi keseluruhan
yang dipresentasikan dalam Rencana Nasional. Masukan antar
sector dibutuhkan untuk mencerminkan dan mengorganisir masukan
dari berbagai pemangku kepentingan dalam keamanan gizi.
2. Pada tingkat Nasional : Menetujui Peraturan Pemerintah, yang memberlakukan
prinsip Hukum Internasional pada Pemasaran Pengganti ASI dan mengembangkan
suatu mekanisme untuk pemantauan dan penegakan.
Pengendalian pemasaran pengganti asi membutuhkan upaya nasional
karena pentingnya masalah dan lingkup sumber daya yang
disalurkan kedalam pemasaran formula instan dan pengganti
lainnya. Rekomendasi ini menarik perhatian terhadap penurunan
yang menghawatirkan pada tingkat EBF, dan mendorong perlunya
mendefinisikan cara untuk memantau dan menegakkan Peraturan.
Anggaran dan Pembiayaan
1. Pada semua tingkat: Meningkatkan keefektifan biaya pembiayaan dengan
memilih intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan
pre-hamil, hamil dan ibu menyusui serta anak dibawah usia dua tahum.
Data mutakhir dari kalkulasi Bank Dunia42
megenai biaya gizi efektif dan
intervensi kesehatan dapat tentunya digunakan sebagai acuan untuk hal
tersebut. Selanjutnya, dana penyerta tingkat Pusat dengan panduan yang
jelas dan wajib mengenai bagaimana untuk menggunakannya.
Dalam teta mengikuti strategi Lancet Nutrition Series,hal ini adalah
untuk mendukung pembuat keputusan setempat yang ingin ‘melakukan
hal yang benar’ dan berhenti membayar untuk intervensi lain yang
tanpa bukti keefektifan. Dengan menentukan sasaran kepada
kelompokrawan (misalnya, ibu pra-hamil, hamil dan menyusui, serta
anak dibawah usia dua ahun) akan meningkatkan dampak pembiayaan
oleh karena kelompok ini adalah yang paling tertinggi tingkat kurang
gizinya..
2. Pada tingkat pusat: Bekerja dengan DepKes dan BAPPENAS untuk
mengatur panduan untuk kalkulasi proporsi anggaran yang didedikasikan
kepada nutrisi berdasarkan definisi baru ‘Indeks Kurang Gizi Masa
Kehamilan dan Anak’ (misalnya, menggunakan stunting dan anemia pada ib
hamil sebagai indikator).
Rekomendasi ini mengakui bahwa masalah utama membiayai
intervensi terkait gizi adalah tanpa kehadiran atau kurangnya sumber
daya financial yang cukup, tetapi alokasinya di tingkat Propinsi dan
42 Horton, S., Shekar, M., McDonald, C., Mahal, A., brooks, J.K. 2010. Scaling up nutrition: What will
it cost? The World Bank. Washington, D.C., USA.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
34
Kabupaten. Pengembangan suatu ‘indeks’, dengan menggunakan nilai
bagi dua indicator kunci, akan memperkenankan pemerintah setempat
untuk membuat keputusan yang diinformasikan mengenai dimana
untuk mengalokasikan dana ke area dengan kebutuhan terbesar untuk
dampak yang terbesar. Hal ini juga memfokus perhatian pada masalah
stunting dan anemia yang saat ini menerima pengakuan yang tidak
cukup.
Perencanaan dan Disain Program
1. Pada semua tingkat: Mengukur panjang semua anak <2 tahun usia setiap
enam bulan selama bulan distribusi vitamin A; Mengukur anemia pada ibu
hamil sebagai bagian dari ANC; Melanjutkan mengukur bobot anak sebagai
kegiatan regular dari posyandu tetapi memprioritaskan menimbang anak
dibawah usia dua tahun.
Panjang tidak perlu diukur sesering bobot oleh karena inkremen
perobahan adalah kurang dan kurang begitu terlihat pada dasar dari
bulan ke buan. Acara pengukuran komunitas harus dilakukan secara
periodic (setiap enam bulan) yang membuatnya layak ubagi suatu tim
terlatih dar puskesmas untuk melakukan pengukuran dan mengurangi
ketidak telitian. Jika terdapat sosialisasi sebelumnya, ini harus
termask semua anak, terutama karena akan dihubungkan dengan
distribusi vitamin A. Datanya akan memeberikan bukti yang kat
mengenai sukses dari intervensi berdasarkan komunitas yang
ditujukan kepada pengurangan stunting.
Anemia dalam kehamilan adalah indkator status gizi ibu, aksesnya
kepada perawatan kesehatan berkualitas (misalnya, infeksi antar-arus
sepertiinfeksi saluran urine, tuberkulosis, parasite usus-perut, atau
malaria dapat juga menyebabkan anemia), dan statusnya dalam
keluarga dan komunitas sebagai cerminan bagaimana baiknya ia
dirawat. Hal ini harus dilakukan pada setiap kehamilan.
Penimbangan anak dapat berlanjut sebagai suatu bagian yang
popular dan penting dari kegiatan posyandu tetapi kader harus
memusatkan perhatian pada anak <2 tahun usia karena ini adalah
usia dimana sebagian besar gagal tumbuh terjadi.
2. Pada tingkat Nasional: Sasaran program gizi terhadap semua ibu hamil dan
anak usia dini dan anak usia 0 – 2 tahun agar dapat (i) fokus pada ‘jendela
kesempatan’, (ii) menggunakan lebih sedikit sumber daya secara lebih efisien,
dan (iii) meningkatkan waktu pemberian nasihat kepada ibu dan anak muda
dan ibu hamil.
Pergeseran menentukan sasaran pada anak usia dibawah dua tahun
dan ibu hamil selama masa kehamilan akan membebaskan waktu
pengukuran anak yang lebih tua (dimana potensial dampak gizi adalah
kurang) dan memperkenankan petugas kesehatan untuk memfokus
lebih banyak terhadap pengajaran dan pemberian nasihat ibu
danperempuan, terutama ibu hami dan bagi mereka yang
merencanakan kehamilan, di Puskesmas dan posyandu.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
35
3. Pada semua tingkat: Mengembangkan materi advokasi untuk anggota sector non-
kesehatan mengenai pentingnya gizi untuk pengembangan aspek sosial, ekonomi,
kognitif, dan pengembangan fisik. DepKes/DepDagri untuk mengembangkan
bahan advokasi gizi untuk mempengaruhi kampanye Bupati yang ikut pilkada.
Terdapat banyak sector non-kesehatan yang terkibat dalam gizi tetapi
tidak semua terinformasi dengan lenkap mengenai dampak intervensi
berdasar bukti, atau penting sepenuhnya dari perbaikan gizi.
Selanjutnya, Bupati kadang terkendala oleh janji kampanye untuk
mendukung kegiatan yang diluar gizi. Dengan memastikan bahwa
tujuan nutris menjadi bagian dari kampanye Bupati, terdapat lebih
besar kemungkinan bahwa tujuan ini akan dikejar setelah pemilihan.
Sumber Daya Manusia
1. Pemutakhiran deskripsi pekerjaan yang ada dan termasuk arah program baru
(misalnya pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk
semua staf yang terkibat dalam gizi disetiap kementerian/departemen.
Deskripsi pekerjaan, dimana adanya, sudah kedaluarsa dan tidak
selalu mencerminkan ketrampilan dan praktik yang perlu dalam
lingkungan yang berubah-ubah. Pengaturan pekerjaan ahli gizi adalah
untuk memenuhi tujuan gizi baru dan intervensi diperlukan.
2. Mengembankan suatu peta sumber daya manusia untuk ahli gizi dan petugas
kesehatan lainnya agar dapat identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi.
Peta ini untuk digunakan bagi advokasi dengan pembuat keputusan tingkat senior.
(misalya, Presiden, Gubernur, Bupati) dan Kementerian (misalnya, PAN).
Gunakanlah pet sumber daya ini untuk mengembangkan rencana nasional untuk
suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi Relawan,
Perawat dan Bidan, dan untuk menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter
dalam ilmu pengetahuan gizi.
Sebagaiman disebutkan dalam Kajian Negara (CA), banyak posisi gizi
di Kabupaten tidak diisi oleh ahli gizi yang berkualifikasi (D3).
Dengan mengetahui bahwa sumber daya dibutuhkan adalah langkah
pertama dalam mengisi kesenjangan tersebut. Sementara kesenjangan
geografis sedang dikaji, upaya harus dilakukan untuk memastikan
kesenjangan kompetensijuga. Semua pekerja/petugas keseatan harus
dimasukkan dalam kajian ini.
3. Insentif harus diperluas yang sekarang ditawarkan kepada dokter untuk juga
termasuk ahli gizi yang bekerja di area yang tak terlayani.
Anggota staf perlu insentif untuk bekerja di lingkungan yang lebih
menantang; hal ini diakui dalam penempatan dokter. Dalam mengakui
pentingnya gizi bagi kesehatan dan pengembangan, insentif yang sama
perlu untuk menarik dan mempertahankan staf gizi yang berkualitas di
area yang bertantangan, yang seringkali menjadi yang paling
membutuhkan.
4. Mendirikan persyaratan dan prosedur akreditasi (termasuk kualifikasi pelatihan
untuk ahli gizi disemua tingkat) untuk dikenal dan dilaksanakan oleh Asosiasi
Ahli Gizi (PERSAGI) dengan pengakuan dari asosiasi professional lainnya.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
36
Hal ini menghubungkan deskripsi pekerjaan yang direvisi dan
dimutakhirkan (disebutkan diatas) sebagai cara untuk meningkakan
profil professional dari ahli gizi dan standardisasi pengetahuan dan
kinerja merekasekitar intervensi berdasar bukti yang di gariskan
didalam literaturnya.
5. Akademi dan Universitas Gizi agar menstandardisasi dan memutakhirkan
kurikulumnya, kompetensi dan akreditasi untuk pra-layanan dan pelatihan dalam
layanan terhadap ahli gizi kesehatan umum, termasuk penekanan program baru
mengenai stunting dan nutrisi masa kehamilan; menambahkan atau memperkuat
gizi pada pelatihan pra-layanan mengenai gizi kepada semua Dokter, Bidan,
Perawat;
Pendidikan gizi perlu dimutakhirkan dan diperluas untuk memasukkan
konsep baru dan riset baru ini dalam pelatihan pra-layanan dari
semua prefesional kesehatan dangizi; lembaga akademis juga penting
dalam menyediakan pelatihan dalam-layanan.
6. Menjamin penyediaan kelanjutan perawatan kesehatan dan gizi dari konsepsi
sampai usia dua tahun, melalui penyampaian layanan berdasar fasilitas
terorganisir secara baik, jangkauan secara periodic dan berdasar komunitas.43
.
Stuntingadalah contoh sempurna dari suatu hasil gizi yang tak
dikehendaki yang setara hasilnya dengan defisiensi dalam kehidupan
intra-uterin dan kondisi post-natal. Gagal dalam mendekati
permasalahan dari kelanjutan perspektif perawatan tidak akan
mengurangi stunting yang nyata dari sifat bertahannya selama decade
yang lalu yang mencerminkan pendekatan yang memberi sasaran pada
anak ketika mereka sudah menderita stunting; tidak ada perhatian
yang diberikan kepada penyebab intra-uterin dari permaslahannya.
Selanjutnya, jika ibu hamil menjadi sasaran dalam trimester pertama,
perhatian harus diberikan kepada perempuan muda sebelum dia
menjadi hamil, (dan terhadap perempuan muda yang pertumbuhannya
sendiri harus dilindungi dari kehamilan yang prematur).
Sistem Informasi Gizi
1. Pemutakhiran SPM untuk mencerminkan fokus program baru dan indicator
relevan.
Indikator standard harus sejalan dengan tujuan program terkini jika
kemajuan harus dibuat dan diukur menuju kepada tujuan baru
seperti stunting dan gizi masa kehamilan..
2. NIS untuk mengukur indikator yang terdaftar di Rencana Aksi Pangan dan Gizi
yang dapat digunakan untuk mengkaji kinerja dan untuk pengawasan.
Indikator harus diukur dan digunakan dalam pembuatan keputusan
lebih besar daripada yang dipraktikkan saat ini. Pengukuran
keluaran dan hasil praktik dilapangan akan memperkenankan
43 Kerber KJ, de Graft-Johnson JE, Bhutta ZA, Okong P, Starrs A, Lawn JE. 2007 Continuum of care for maternal, newborn, and child health: from slogan to service delivery. Lancet 370: 1358–69
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
37
pengawas untuk identifikasi individual dan fasilitas yang melakukan
pekerjaan berkualitas tinggi. Fasilitas ini akan memenuhi syarat
bagi hadiah kinerja. Bagi mereka yang tidak berkinerja baik dapat
diarahkan untuk berpartisipasi dalam kelas pendidikan yang
berkelanjutan untuk meningkakan ketrampilan, pengetahuan, dan
praktk..
Rekomendasi yang disarankan untuk diprioritaskan pada jangka panjang
Penyediaan Pelayanan
1. Pelaksananaan dengan skala (sebagaimana sesuai tergantung kondisi lokal), paket
Intervensi Gizi Esensial (ENI) yang sasaran efektifnya adalah terhadap ibu dan anak
sejak dari konsepsi sampai usia dua tahun.
Pemaketan intervensi kunci menjamin bahwa semua komponen yang
perlu untuk suatu kehidupan yang sehat dan bergizi sedang disediakan
pada waktu yang sama dan dalam tempat yang sama dengan cara
yang dapat menuju kepada hasil terbaik. Pelaksanaan intervensi
individual secara terpisah dan tempat yang berbeda (misalnya,
memberikan Vitamin A tanpa memberikan tablet untuk penyakit
cacingan) adalah sia-sia demikian juga tidak efektif oleh karena
keduanya tidak akan seefektif bila dipergunakan sendiri masing-
masing. Pelaksanaan paket ini dapat mencegah paling tidak
seperempat kematian anak dibawah usia 36 bulan, dan mengurangi
prevalensi stunting sebesar sepertiga dalam jangka pendek44
45
.
Sistem Informasi Gizi
1. Sebagai tujuan jangka lebih panjang, menciptakan kelompok kerja, diketuai oleh
BPS, untuk mempertimbangkan berapa jumlah survai nasional (misalnya
RISKESDAS, DHS, IFLS) dapat dikurangi dan dirasionalisasikan.
Kegiatan survai sangat mahal meski biayanya seringkali dibesarkan
bila dipergunakan untuk keputusan kritis dalam focus program
pembuatan keputusan, sasaran terhadap penduduk, dan sebagainya.
Namun terdapat juga sejumlah besar survai nasional yang
mengumpulkan data yang kadangkala bersifat duplikasi. Hal ini
harus dirasionalisasikan sehingga hanya satu atau dua survai
dibutuhkan untuk menyediakan semua informasi yang dibutuhkan
pembuat keputusan untuk meningkatkan kinerja program. Langkah
pertama dalam melakukan hal ini adalah untuk mendefinisikan
keputusan sebenarnya yang perlu diambil, data yang diperlukan
untuk membuat keputusan, sumber data tersebut, dan metode
pengumpulannya.
Rekomendasi lainnya yang dapat dilaksanakan pada jangka menengah
44 The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 31/03/10) 45 SCN 2008. Recommendations from the SCN 35th Session: "ACCELERATING THE REDUCTION OF MATERNAL AND CHILD UNDERNUTRITION" Available at http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed 09/07/0)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
38
Koordinasi & Tanggungjawab Gizi
1. Pada tingkat Nasional: Menciptakan mekanisme koordinasi tingkat nasional untuk
mengawasi dan koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional
dengan mengubah nama dari Dewan Keamanan Pangan Nasional menjadi Dewan
Pangan dan Gizi Nasional, atau menciptakan suatu badan baru dengan tanggung
jawab koordinasi gizi nasional.
Dengan menambahkan kata “…dan Gizi”, Keamanan Pangan
dikenal sebagai bagian vital dari tujuan lebih besar dari Keamanan
Gizi. Dewan kemudian diberi mandat untuk melaksanakan Rencana
Pangan dan Gizi Nasional, yang mempunyai sasaran mencapai
Keamanan Gizi melalui berbagai pendekatan, yang satunya adalah
Keamanan Pangan. Dewan ini dengan demikian akan memenuhi
peran yang sangat diperlukan yaitu mengkoordinasikan tindakan
keamanan nutrisi yang keberadaannya kini sangat dipertanyakan.
NB, jika lingkup dari Dewan diperluas untuk memasukkan juga
keamanan gizi, mungkin perlu untuk menempatkan Dewan dibawah
kantor Presiden untuk diketahui karena lingkupnya yang lebih besar.
Perencanaan dan Desain Program
1. Pada tingkat Nasional: Mengembangkan dan melaksanakan strategi untuk
menjangkau perempuan pra-hamil dalam kelompok usia 18-24 tahun dengan
paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan bekerja bersama staf yang terlibat
dalam keluarga berencana dan tokoh agama komunitas selama kunjungan
pra-perkawinan, dsb. Mendirikan suatu pengawasan atau sistem pemantauan
untuk memantau cakupan perempuan pra-hamil dengan paket ini. Trimester pertama sekarang dikenal sebagai suatu kunci kepentingan
untuk pertumbuhan janin dalam panjangnya dan pertumbuhan otak,
dan status mikronutrien sekitar konsepsi adalah kunci untuk mencegah
terjadinya beberapa cacat pada kelahiran. Dengan demikian untuk
memastikan bahwa protein, energi dan mikronutrien mereka cukup
dan bahwa mereka terbebas dari penyakit yang bersaing terhadap
nutrien pada trimester pertama, mereka perlu dijangkau sebelum
menjadi hamil atau sedini mungkin setelah konsepsi.
2. Pada tingkat Nasional: Memperkuat program fortifikasi pangan nasional dengan
memutakhirkan standard fortifkas untuk gandum, membuat fortifikasi minyak
menjadi wajib, dan memperbaiki penegakan undang-undang fortifikasi garam.
Program fortifikasi pangan nasional merupakan cara efektif, biaya
efektif dan cara penting untuk menambah status mikronutrien dari
penduduk yang mengkonsumsi kendaraan pengan. Hal ini dapat
meningkatkan konsumsi dari kaum perempuan sebelum mereka
menjadi hamil, pada anak dibawah umur dan pada kaum pria; semua
kelompok yang umumnya bukan sasaran atau dapat terjangkau oleh
intervensi mikronutrien lainnya seperti suplementasi. Keefektifan
program fortifikasi tepung terigu perlu ditingkatkan dengan
pemutakhiran SNI sejalan dengan rekomendasi WHO secara global,
fortifikasi minyak sedang terjadi tetapi membutuhkan untuk dibuat
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
39
wajib agar mendapatkan dampak optimal terhadap kesehatan umum
dan penegakan hokum fortifikasi garam untuk menjamin semua garam
diberi yodium dan sistem jaminan mutu ditingkatkan.
Sumber Daya Manusia
1. Menggunakan keberhasilan tinggi untuk mengurangi stunting, anemia dalam
kehamilan, dan perbaikan pada pemberian asi secara dini dan eksklusif sebagai
dasar bagi tambahan hadiah kinerja kepada puskesmas dan posyandu.
Insentif kinerja dapat dalam bentuk hadiah financial ataunon-finansial.
Jika dihadiahkan kepada fasilitas yang berkinerja baik (bukan
terhadap individu) hal ini dapat menyemangati kerja tim yang lebih
baik, efisiensi, dan pelayanan komunitas.
Rekomendasi lain yang dapat dilaksanakan di jangka panjang
Anggaran dan Pembiayaan
1. Pada semua tingkat: Melaksanakan proses untuk identifikasi cara untuk
memperkuat program pengentasan kemiskinan bagi dampak yang ditingkatkan
terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan.
Dibawah naungan “Tim Nasional untuk Mempercepat Pengentasan
Kemiskinan” (TNP2K), diketuai oleh Wakil Presiden, inisiasi proses
untuk membahas setiap program pengentasan kemiskinan untuk
identifikasi bagaimana hal itu dapat diadaptasi untuk berkontribusi
terhadap peningkatan dalam prioritas dan intervensi utrisi yang
sejalan dengan Rencana Pembangunan Jamgka Menengah Nasional
dan Rencana Pangan dan Gizi Nasional. Melaksanakan perobahan ini
melalui TNP2K pada tingkat propinsi dan kabupaten. Bilamana belum
juga, untuk memasukkan indikator gizi seperti prevalensi stunting anak
sebagai indikator dampak pada program sebagai adanya pengakuan
dekatnya hubungan antara kemiskinan dengan gizi anak.
Perencanaa dan Desain Program
1. Memfokus tujuan program pemberian makanan pada peningkatan pendaftaran
sekolah dan retensi, dan, jika sumber daya merupakan factor yang membatasi,
memprioritaskan program pada sekolah menengah pertama di area yang lebih miskin
sebagai insentif untuk perempuan tetap disekolah..
Anak usia sekolah bukanlah yang paling rawan gizi; sehingga mereka
tidak mendapat manfaat secara signifikan dari program pemberian
makanan di sekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat
menyediakan insentif, dalam keadaan tertentu, untuk meningkatkan
pendaftaran sekolah dan retensi anak di sekolah. Dimana hal ini
menjadi kepentingan besar adalah pada anak perempuan dibawah
umur yangakan ditekan untuk berhenti sekolah secara prematur,
khususnya dalam keluarga yang tidak mempunyai keadaan financial
yang mencukupi.Dalam kasus demikian, pangan menjadi lebih kepada
suplemen ekonomi dan bukan yang bersifat nutrisi saja, meskipun
dampak gizi akan terasa jika perempuan tetap disekolah lebih lama
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
40
oleh karena hal ini terkait dengan usia perkawinan nanti, dan usia
selanjutnay (melebihi anak dibawah umur) pada kehamilan yang
pertama.
Sumber Daya Manusia
1.Menyediakan bantuan teknis dalam pengembangan modul pembelajaran jarak jauh
untuk pelatihan dalam layanan dari staf gizi yang terkait dengan akreditasi dan
hadiah kinerja untuk selesainya pelatihan secara sukses dan pencapaian nilai yang
lebih tinggi.
Pembelajaran jarak jauh dengan pemberian hadiah memberikan cara
yang lebih murah untuk mempertahankan pelatihan dan pengetahuan
staf dilapangan. Teknik baru yang menjamin kerahasiaan dan
memantau partisipasi memperkenankan kursus untuk dilakukan secara
tidak mahal dalam lingkungan aman.
6. Langkah Berikutnya
Mendapatkan persetujuan final dari laporan LA dari DepKes pada tingkat
Pusat dan, khususnya, dari Departemen Gizi Masyarakat.
Terjemahan dari laporan LA dalam Bahasa Indonesia
Mendesain dan mencetak laporan LA dalam dua bahasa (Inggris dan
Bahasa Indonesia)
Mengatur pertemuan di DepKes pada tingkat Pusat antar semua
departemen terkait terutama Komunitas Gizi, Kesehatan Masa Kehamilan
dan Kesehatan Anak untuk diseminasikan laporan LA. Pertemuan ini dapat
diorganisir oleh Direktur General Kesehatan Masyarakat di DepKes.
Disseminasi laporan LA oleh DepKes/Bappenas pada tingkat Pusat kepada
semua mitra yang relevan termasuk donor, kementerian, badan PBB, LSM,
dsb.
Integrasi rekomendasi prioritas dalam Rencana Aksi Pangan dan Gizi
Nasional 2011-2015. Hal ini dapat dilakukan melalui proses
pengembangan rencana Nasional yang akan berlanut sampai Desember
210. Selanjutnya, dengan menggunakan rekomendasi prioritas dari
Analisis Lanskap Kajian Negara, mengidentifikasi aksi jangka pendek
yang dapat dilaksanakan untuk 2011, dan kegiatan lebih lama yang akan
membutuhkan undang-undang dan peraturan baru, dsb.
Mempresentasikan hasil Anaisis Lanskap Kajian Negara pada tingkat
propinsi. Menggunakan kesempatan ini untuk mulai proses harmonisasi
mengenai tujuan dan sasaran atara tingkat nasional dan sub-nasional
demikian juga untuk advokasi lebih banyak anggaran nutrisi pada tingkat
sub-nasional.
Menginisiasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional di satu
(atau dua) kabupaten disetiap tiga propinsi dan selanjutnya
menyempurnakan dan memfokus sistem posyandu mengikuti
rekomendasinya. Hal ini akan termasuk Bidan dan Kader yang bekerja
lebih banyak dengan kelompok ibu yang menyiapkan mereka untuk
menjadi hamil tanpa anemia, dsb. Hal ini akan termasuk melengkapi
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
41
puskesmas untuk melakukan pengukuran yang perlu dan bekerja terhadap
prosedur, dsb, mengembangkan materi IEC, dsb.
Sebagai ringkasan, rekomendasi dibuat mengenai area : Kordinasi Gizi &
Tanggungjawab; Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Desain Program;
Sumber Daya Manusia; Penyediaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Prioritas harus
diberikan untuk menciptakan Mekanisme yang mempromosikan pengembangan
Rencan Aksi Pangan dan Gizi yang harmonis pada tingkat Propinsi dan Kabupaten
berdasarkan rencana, keputusan dan panduan nasional, demikian pula untuk
mengembangkan Mekanisme koordinasi antar sector untuk mengawasi dan memantau
pelaksanaannya. Agar meningkatkan efektif biaya dalam pembiayaan, panduan dan
insentif harus disediakan kepada kabupaten agar mereka dapat memberi prioritas pada
intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan pra-hamil, ibu
hamil dan menyusui dan anak usia dibawah dua tahun. Panjang anak dibawah dua
tahun dan anemia masa kehamilan harus diberikan penekanan yang meningkat dan
diprioritaskan untuk pengukuran keefektifan dari program gizi dan pengentasan
kemiskinan pada semua tingkat. Secara bersamaan terhadap pekerjaan ini, deskripsi
pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arah program baru (misalnya,
pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk semua staf yang
terlibat dalam gizi pada semua tingkat dalam sistem. Suatu peta sumber daya manusia
untuk ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dekembangkan agar dapat
identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi, dan mengembangkan rencana
nasional untukpendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi relawan,
perawat dan bidan, serta menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter dalam bidang
ilmu pengetahuan gizi. Secara bersamaan dengan hal ini pelaksanaan pada skala
(sebagaimana sesuai tergantung kondisi local), dari paket Intervensi Gizi Esensial
(ENI) harus secara progresif dilaksanakan mulai di beberapa kabupaten dan propinsi
dan secara bertahap meluas sehingga dalam lima tahun sebagian kaum ibu dan anak
tercakup oleh ENI sebagai perawatan kelanjutan dari sejak konsepsi sampai usia dua
tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi harus dimodifikasi untuk mencerminkan
fokus program baru dan indikator yang relevan.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
42
Lampiran 1. Metodologi Kajian Negara
Lingkup Kajian Negara dari analisis lanskap
Visi Keselurhan: Pemerintah dan petugas kesehatan Kabupaten yang berwenang mempunyai komitmen dan kapasitas untuk menjamin cakupan tinggi intervensi gizi efektif agar mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak. Intervensi gizi efektif adalah yang diidentifikasi oleh Lancet Nutrition Series. Komitmen dan kapasitas pemerintah kabupaten akan dijamin panduan dari tingkat Pusat ke pemerintah dan pejabat kesehatan kabupaten mengenai intervensi gizi efektif dan membangun kapasitas mereka untuk melaksanakan perencanaan mikro untuk mencapai cakupan tinggi dan pelaksanaan berkualitas. Pemerintah dan pejabat kesehatan propinsi akan menyediakan pengawasan dan dukungan jaminan kualitas. Intervensi gizi efektif akan dilaksanakan melalui sistem kesehatan yang ada dan akan didukung oleh dan secara sinergi dengan kebijakan dan inisiatif nasional mengenai kesehatan, gizi, pengembangan pertanian, pengentasan kemiskinan dan jaringan keselamatan, yang secara berhasil disebarkan pada tingkat setempat. Pada semua tingkat, Kajian Negara (CA) akan focus pada mengidentifikasi kelemahan dan kesempatan untuk memperbaiki tujuh tantangan yang teridentifikasi oleh Lancet Series berikut ini:
1. Meletakkan gizi di agenda nasional, 2. Melakukan hal yang benar, 3. Tidak melakukan hal yang salah, 4. Melakukan hal berdasarkan skala, 5. Menjangkau kepada yang membutuhkan, 6. Menggunakan data bagi pembuatan keputusan untuk gizi, 7. Membangun kapasitas strategi dan operasional.
Pada tingkat kabupaten, Kajian Negara (CA) akan focus pada berikut ini:
1. Bagaimana untuk meningkatkan kapasitas kabupaten terhadap rencana mikro dan melaksanakan intervensi gizi esensial
2. Bagaimana kebijakan dan panduan nasional disampaikan kepada dan digunakan oleh kabupaten
3. Bagaimana pelaksanaan kabupaten mengenai intervensi gizi esensial dapat difasilitasi dan didukung oleh pejabat propinsi yang berwenang
4. Bagaimana Mekanisme pembiayaan dan sumber daya dapat lebih baik diakses untuk meningkatkan cakupan dan kualitas intervensi gizi esensial
5. Bagaimana program dan inisiatif nasional termasuk jaringan keselamatan dan program pro-miskin dapat menjadi lebih sinergi dengan dan lebih mendukung pelaksanaan kabupaten terhadap intervensi gizi esensial.
6. Data apa yang dibutuhkan dan bagaimana dapat lebih baik digunakannya pada tingkat kabupaten untuk memfasiltasi pelaksanaan berkualitas pada cakupan yang tinggi dari intervensi gizi esensial.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
43
Daftar anggota tim untuk kajian Negara (CA) disetiap propinsi dan kabupaten
Propinsi Aceh Propinsi Jawa Tengah Propinsi NTT
Roger Shrimpton Stephen Atwood Karen Codling
Sonia Blaney (UNICEF) Anna Winoto (UNICEF) Ninik Sukotjo (UNICEF)
Rufina Pardosi (UNICEF) Armunanto (UNICEF) Helena S Ndolu (UNICEF)
Rachmi Untoro (Ahli MoH) Ineu (MoH) Dini Latief (Ahli MoH )
Darmiati (Bappeda) Yazid (PHO) Henny Tomasoa (PHO)
Setyawati, SKM, MPH Budi Setiana (Bappeda) Djoese (Bappeda)
Arifin Ahmad (Poltekkes Gizi) Diah Utari (FKM-UI) Maria Catharina (WFP)
Sugeng Irianto (WHO) Elviyanti Martini (HKI) Rosnani (konsultan local)
Eko Prihastono (MoH) Yosi Tresnawati (Bappenas) Eman Sumarna (MoH)
Mardewi (FKM-UI) Bariadi (MoH) Ichwan Arbie (MoH)
Wawancara Kabupaten
Aceh Besar Aceh Timur Kota Semarang Banyumas Sikka Belu
Roger Sonia Anna Steve Rosnani Karen Codling
Rufina Setyawati Elvi Armunanto Helena Ninik
Arifin Darmiati Yazid Budi Setiana Henny Djoese
Mardewi Eko Ineu Arbie Maria
Bariadi
Wawancara Propinsi Wawancara Propinsi Wawancara Propinsi
Rachmi Untoro Yosi Dini Latief
Sugeng Diah Eman Sumarna
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
44
Jadwal pelaksanaan “Landscape Analysis” atau
Kajian dan Analisa Pemetaan Program Gizi dan Program Terkait Lainnya
11 s/d 26 Maret 2010
Hari pertama: Jakarta, 11 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Intercontinental Hotel
08.30 – 08.35 Sambutan Depkes DR Minarto, Direktur Bina Gizi Masyarakat
08.35 – 08.50 Latar belakang
Pengalaman pelaksanaan LA di negara lain
Roger Shrimpton, UNICEF
08.50 – 09.10 Rencana pelaksanaan Landscape Analysis di
Indonesia
DR Minarto, Direktur Bina
Gizi Masyarakat
09.10 – 09.30 Metodologi
Analisa/pelaporan
Roger Shrimpton, UNICEF
09.30 – 10.00 Hasil telaah awal Rosnani Pangaribuan
10.00 – 10.30 Diskusi/Tanya jawab
10.30 – 10.45 Rehat kopi
10.45 – 11.00 Pembagian kelompok (berdasarkan daerah)
11.00 – 11.45 Review kuesioner 1 & 2 (diskusi kelompok)
11.45 – 12.15 Diskusi pleno International team
12.15 – 13.15 Makan siang
13.15 – 14.00 Review kuesioner 3 & 4 (diskusi kelompok)
14.00 – 14.30 Diskusi pleno International team
14.30 – 15.15 Review kuesioner 5 & 6 (diskusi kelompok)
15.15 – 15.30 Rehat kopi
15.30 – 16.00 Diskusi pleno International team
16.00 – 17.00 Finalisasi kuesioner
Hari ke-2: Jakarta, 12 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental
08.30 – 09.00 Registrasi
09.00 – 09.05 Sambutan UNICEF Kepala Perwakilan UNICEF
Indonesia
09.05 – 09.20 Pengarahan dan pembukaan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat,
Depkes
09.20 – 09.35 Prioritas program gizi dalam RPJMN 2010-
2014
Deputi SDM dan
Kebudayaan, Bappenas
09.35 – 09.45 Kebijakan program gizi di Indonesia Direktur Bina Gizi
Masyarakat, Depkes
09.45 – 10.15 Latar belakang dan pengalaman
pelaksanaan Landscape Analysis di negara lain
Roger Shrimpton
UNICEF
10.15 –10.30 Rehat kopi
10.30 – 11.15 Diskusi & tanya jawab Moderator: Direktur Bina
Gizi Masyarakat
11.15 – 11.30 Penutupan Direktur Bina Gizi
Masyarakat
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
45
11.30 – 13.00 Makan siang
13.00 – 17.00 Review kuesioner
Hari ke-3: Jakarta, 13 Maret 2010
Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental
08.30 – 09.30 Pelaksanaan pengumpulan data di lapangan
Rosnani Pangaribuan
09.30 – 12.00 Praktek wawancara Ninik Sukotjo
12.00 – 13.00 Makan siang
13.00 – 17.00 Persiapan akhir untuk kunjungan lapangan
Anna Winoto
Hari ke-4-10: Kunjungan Lapangan, 14 – 20 Maret 2010
Hari ke-4
(14 Maret)
Perjalanan tim ke propinsi terpilih
Hari ke-5
(15 Maret)
Pertemuan propinsi dengan seluruh
stakeholders (termasuk kabupaten) untuk mempresentasikan tujuan kajian;
dilanjutkan dengan wawancara kepada
stakeholder di tingkat propinsi
Propinsi
Hari ke-6
(16 Maret)
Perjalanan ke Kabupaten
Hari ke-7 - 8
(17-18 Maret)
Pelaksanaan Wawancara di tingkat
Kabupaten; dan konsolidasi hasil wawancara- hari terakhir
Kabupaten
Hari ke-9
(19 Maret)
Perjalanan kembali ke Propinsi;
Pertemuan Propinsi untuk diseminasi draft hasil kajian
Propinsi
Hari 10
(20 Maret)
Perjalanan tim Pusat ke Jakarta
Hari ke-12 - 16: Jakarta, 22 – 26 Maret 2010
Hari 12-13 (22-23 Maret)
Wawancara Stakeholders di tingkat Pusat
Tim akan berkumpul di kantor UNICEF pada pukul 08.00
setiap pagi sebelum
melaksanakan wawancara (Alamat: Wisma Metropolitan
II Lt. 12)
Hari 14
(24 Maret)
Konsolidasi hasil wawancara/kajian di
tiga propinsi di tingkat pusat, penyusunan kesimpulan dan
rekomendasi awal oleh tim kecil
Kantor UNICEF
Wisma Metropolitan II Lt. 12
Hari 15
(25 Maret)
Tim Kecil menyusun draft awal dan
presentasi power point
Kantor UNICEF
Wisma Metropolitan II Lt. 12
Hari 16
(26 Maret)
Diseminasi hasil Kajian dan Analisa
Pemetaan Program Gizi dan Program
Terkait Lainnya yang dihadiri oleh seluruh tim Pusat dan Propinsi dan
Kabupaten terpilih
Jasmine Room,
Intercontinental Hotel
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
46
LA interviews Schedule at Central Level
22 March 20010
23 March 2010
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
47
List of interviewees
Aceh province, Aceh Timur and Aceh Besar Districts
No Name Title Institution Remarks
1 Jamil Rusaleh Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial
Dinas Sosial Aceh Province
2 Khairani Staf Pelayanan Anak Dinas Sosial Aceh Province
3 dr. Hasnani Kasie KIA dan Gizi Dinas Kesehatan Aceh Province
4 drg. Efi Syafrida Kabid Pembinaan Kesehatan Dinas Kesehatan Aceh Province
5 dr.Yani Kepala Dinas Dinas Kesehatan Aceh Province
6 Azhari Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Aceh Province
7 M. Yunus Ilyas, SE, M.Si Sekretaris Fraksi Komisi F DPRA Province
8 Nasir Kabid Industri Kimia Agro Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi & UKM Aceh
Province
9 Dewi Mutia Kasie Kimia Afro Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi & UKM Aceh
Province
10 Isnaidi Kasie Logam Mesin Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi & UKM Aceh
Province
11 Parabi Kabid Anak Badan Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Aceh
Province
12 M. Nur Kabid Ketahanan Pangan Mukim
dan Gampong
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Province
13 Ellya Kasubbid Motivasi dan Swadaya Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Province
14 Buchari Kasubbid Pengembangan Sumber
Daya Tradisi dan Budaya
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Aceh
Province
15 Aripin Ahmad Kajur Gizi Poltekes Aceh Poltekes NAD Province
16 Ir. Rusli Kepala Bidang Konsumsi &
Keamaanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan Aceh Province
17 Cut Sumarni Kepala Bidang Distribusi Badan Ketahanan Pangan Aceh Province
18 Erisna Bagian Keanekaragaman Konsumsi
Pangan
Badan Ketahanan Pangan Aceh Province
19 Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Aceh Besar District Aceh Besar
20 Sekretaris Dinas Pertanian Aceh Besar District Aceh Besar
21 Kasie Tanaman Pangan Dinas Pertanian Aceh Besar District Aceh Besar
22 Kepala Bidang Penguatan
Kelembagaan Masyarakat
Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Gampong Aceh Besar
District Aceh Besar
23 Kepala Badan Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
District Aceh Besar
24 Kabid Ketahanan Pangan Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
District Aceh Besar
25 Sekretaris Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Aceh Besar
District Aceh Besar
26 Kepala Bappeda Aceh Besar District Aceh Besar
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
48
27 Hasanudin Kasubbid Pengembangan SDM &
Keistimewaan Aceh
Bappeda Aceh Besar District Aceh Besar
28 Kepala Dinas Dinas Kesehatan Aceh Besar District Aceh Besar
29 Program Officer KIA Dinas Kesehatan Aceh Besar District Aceh Besar
30 Program Officer P2P Dinas Kesehatan Aceh Besar District Aceh Besar
31 Komisi E DPRK Aceh Besar District Aceh Besar
32 Kepala Puskesmas Puskesmas Indrapuri District Aceh Besar
33 Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Indrapuri District Aceh Besar
34 Bidan Koordinator Puskesmas Indrapuri District Aceh Besar
35 Bidan Desa Puskesmas Indrapuri District Aceh Besar
36 Kader Posyandu Puskesmas Indrapuri District Aceh Besar
37 Kepala Puskesmas Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
District Aceh Besar
38 Tenaga Pelaksana Gizi Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
District Aceh Besar
39 Bidan Desa Lheu Blang Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
District Aceh Besar
40 Kader Posyandu Lheu Blang Puskesmas Darul Imarah Aceh
Besar
District Aceh Besar
41 Kepala bidang BPMG (Badan
Pemberdayaan Masyarakat
Gampong)
Kantor BPM-PKS District Aceh Timur
42 DPRK, Komisi E Kantor DPRK District Aceh Timur
43 Dr Hambali, Agustina and
Marlita
Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan
Koordinator
Puskesmas Bireum Bayeun District Aceh Timur
44 Bupati Aceh Timur dan
Bpk. Syanfanmur
Bupati dan Sekretaris Kantor Bupati Distritc Aceh Timur
45 Ir. Irham, MT Kepala Bappeda Kantor Bappeda District AcehTimur
46 Bidan Desa dan Kader Posyandu of Desa Alue Buloh District Aceh Timur
47 Ayubi, SKM dan Amir,
SKM
Kepala Dinas Kesehatan, Kepala
Bidang Pelayanan Kesehatan
Dinas Kesehatan District Aceh Timur
48 Kabid Hortikultura Dinas Pertanian District Aceh Timur
49 Badan Ketahanan Pangan Kantor Ketahanan Pangan District Aceh Timur
50 BPM-PKS Kepala Pemberdayaan
Masy, Perempuan & Keluarga
Sejahtera
Kantor BPM-PKS District Aceh Timur
51
Bidan Desa dan Kader Posyandu Camar Laut-Desa Blang
Qlumpang
District Aceh Timur
52
Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan
Koordinator
Puskesmas Idi Rayeuk District Aceh Timur
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
49
Central Java province, Kota Semarang and Banyumas district
No Name, Title Institution Remarks
1 Bambang Setyobudi (Kabid), Dwi Arminingsih (staf), Ratna Widyarini (staf)Bidang Kesra Province
2 Dr. Mardiyatmo, SP RAD (Kepala Dinas) Dinas Kesehatan Province
3 Dr. Retno Budiastuti (Kasubdit Yankes) Dinas Kesehatan Province
4 Dr. Djoko Mardijanto, Mkes (Kabid. P2PL) Dinas Kesehatan Province
5 Dr. Yuswanti (Kasie Kesga Gizi) Dinas Kesehatan Province
6 Achmad Syaifudin (Ka.Perencanaan) Dinas Kesehatan Province
7 Dr. Messy Widiastuti, MARS (Komisi E) DPRD Province
8 Ir. Suyatno, Mkes (Wadek III, staf Jur. Gizi) FKM Undip bagian gizi Province
9 Ir. Basuki Sigit (Ka. Jur) Poltekkes Gizi Province
10 Surati Dinas Pendidikan Province
11 Drs. Ali Yahya, MPd Bapermas Province
12 Mery Zuliana (anggota Pokja IV) PKK Province
13 Munawir, SH (Bid. Kemandirian Pangan, bid. Ketersediaan Pangan)Badan Ketahanan Pangan Province
14 Hari Sutjahyo (Sie. Industri Kimia Bid. Industri Agro Kimia dan Hasil Hutan)Dinas Perindag Province
15 F. Himawan E.W. (Kasie. Pengembangan SDM & Kelembagaan)Dinas Pertanian Province
16 Moch Junaedi (Kasie. Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial)Dinas Sosial Province
17 Dra. Diana Susilowati (Kasubid. Perlindungan Anak bid. Kesejahteraan dan Perlindungan Anak)BP3AKB Province
18 Dyah Siti Sundari (Diklat) BKKBN Province
19 Hernowo Budi Luhur (Kabid Perencanaan Sosbud)Bidang Sosbud Kota Semarang
20 Dr. Tatik Suyarti (Kadinkes) Dinas Kesehatan Kota Semarang
21 Dr Susi Herawati (Kasubdit Kesga) Dinas Kesehatan Kota Semarang
22 Dr Widoyono (Kabid P2ML) Dinas Kesehatan Kota Semarang
23 Purwanti (Kasie Gizi) Dinas Kesehatan Kota Semarang
24 Drg Lusi Suryani (Kasie Perencanaan Subbag) Dinas Kesehatan Kota Semarang
25 Tenaga Gizi Puskesmas Pandanaran Kota Semarang
26 Retno (bidan) Posyandu Setialsulu Kota Semarang
27 Ismoyowati, Ani (kader) Posyandu Setiasulu Kota Semarang
28 Kepala Puskesmas Puskesmas Srondol Kota Semarang
29 Bidan Puskesmas Srondol Kota Semarang
30 Ahli gizi Puskesmas Srondol Kota Semarang
31 Drs Hidayatullah (Kasie TS SD) Dinas Pendidikan Kota Semarang
32 Dra. Hayu & Lilik Haryanto Bapermas Kota Semarang
33 Dra. Wijayanti (Pokja IV) TP PKK Kota Semarang
34 S. Kiswanti (Kasie Konsumen & Ketahanan Pangan) & Diana Hidayati (staff)Badan Ketahanan Pangan Kota Semarang
35 Agus Guntoro (Seksi Agro Kimia & Hasil Hutan) Dinas Perindag Kota Semarang
36 Ir Komara Irawati (Kasie Agroindustri Pangan & Hortikultura)Dinas Pertanian Kota Semarang
37 Dra Dahlia Gombiarti MSI (Kabid PMKS) Dinas Sosial Kota Semarang
38 Mardjoko (Bupati) Bupati Kab Banyumas
39 Ir Wahyu Budi Saptono M.Si (Kepala) Bappeda Kab Banyumas
40 Ir Achmad Wahyudi (Kabid Pemb.) Bappeda Kab Banyumas
41 Bagus Abimanyu (Kasubid Kesmas) Bappeda Kab Banyumas
42 dr Widayanto (Kadinkes) Dinas Kesehatan Kab Banyumas
43 dr Supraptini (Kabid Yankes) Dinas Kesehatan Kab Banyumas
44 Baharudin SKM (Seksi Gizi) Dinas Kesehatan Kab Banyumas
45 Suwanseno (Kasie Palawija) Dinas Pertanian Kab Banyumas
46 Puji Rahardjo (Seksi pengendalian mutu) Dinas Pendidikan Kab Banyumas
47 Suwarno (Kasie Bappeluh) Badan Ketahanan Pangan Kab Banyumas
48 Suharyanto (Bidang kelembagaan) Bapermades Kab Banyumas
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
50
NTT province, Sikka and Belu districts No Title Institution Remarks
1 Representative DPRD Province
2 Representative Dinas Sosial Province
3 Representative Badan Ketahanan Pangan and Penyuluhan Province
4 Representative BPMPD Province
5 Representative AusAid - AIPMNH project Province
6 Representative Bappeda Province
7 Representative Lembage Perlindungan Anak Province
8 Representative Dinas Kesehatan Province
9 Representative Dinas Pendidikan, Permuda and Olahraga Province
10 Representative Dinas Perindustrian and Perdagangan Province
11 Representative Dinas Pertanian and Perkebunan Province
12 Representative Biro Pemberdayaan Perempuan Province
13 Bupati Kabupaten District Sikka
14 Representative DPRD District Sikka
13 Head of Office BAPPEDA SIKKA Sikka District
14 Head of social politic unit Sikka District
15 Head of survey Sikka District
16 Vice Bupati District Government of Sikka Sikka District
18 Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Sikka District
Community Empowerment
19 Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (BP2&KB) Sikka District
20 Kepala of Family planning unit Women Empowerment and Family Planning Sikka District
21 Kepala of family welfare unit Sikka District
22 Kepala of women empowerment and child protection Sikka District
23 Staff of planning section Education Sikka District
24 Kepala Trade and Industry Sikka District
25 Secretary Social and work force Sikka District
26 Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Sikka District
27 Kepala District Health Office Sikka District
28 Staff of Puskesmas Puskesmas Waipare Sikka District
29 Village Midwife and BF Counselor Village Midwife Post of Geliting - Puskesmas Waipare Sikka District
30 Acting head of Puskesmas Puskesmas Kopeta Sikka District
31 Village Midwife and BF Counselor Village Midwife Post of Nangamarang - Puskesmas Kopeta Sikka District
32 Bupati District Government of Belu Belu District
33 Representative Dinas Sosial Belu District
34 Representative Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Belu District
35 Representative BPMPD Belu District
36 Representative LSM Lokal (PPSE and Yaspem) Belu District
37 Representative Bappeda Belu District
38 Representative Lembaga Perlindungan Anak Belu District
39 Representative Dinas Kesehatan Belu District
40 Representative Dinas Pendidikan, Pemuda and Olahraga Belu District
41 Representative Dinas Perindustrian and Perdagangan Belu District
42 Representative Dinas Pertanian and Perkebunan Belu District
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
51
Questionnaires
Preface
Overview of the Landscape Country Assessment Tool
The Landscape Analysis Country Assessment Tool consists of eight main
questionnaires and checklists for assessing commitment and capacity to accelerate
actions to reduce maternal and child undernutrition at national and various sub-
national levels. In Indonesia, only questionnaires 1 to 6 were used for the country
assessment. Questionnaire 2 was used for the NGOs interviews instead of
questionnaires 7 and 8.
Core package of questionnaires and checklists includes:
Level Existing tools:
National 1. Semi-structured interview tool for national level stakeholders
(government agencies and other stakeholders such as UN
agencies, donors and NGOs)
Regional /
Provincial
2. Semi-structured interview tool for provincial level stakeholders
(provincial government agencies and regional based NGOs and
other organizations)
District 3. Semi-structured interview tool for district level management staff
Facility 4. Semi-structured interview tool for the facility manager and
nutrition responsible
5. Facility checklist
6. Structured questionnaire for health workers in posyandu,
puskesmas and polindes
Field 7. Semi-structured interview tool for manager of implementing
NGOs
8. Semi-structured interview tool for nutrition coordinator in NGOs
The original tools were have been developed by the Medical Research Council of
Cape Town, South Africa for the WHO Department of Nutrition for Health and
Development and adapted throughout the first six Landscape Assessments in
Madagascar, Burkina Faso, Ghana, Guatemala, Peru and South Africa. Each of these
countries has further enhanced the tools, adapting them to their respective national
situations. A major revamp was done by the South African country team to allow a
nation-wide large scale assessment where a total of almost 1,000 questionnaires were
completed. To facilitate computer based analysis of this amount of questionnaires,
coding fields were added. Due to the high focus on nutrition and HIV in South Africa,
an additional set of tools were developed for use in the ARV clinics (Forms 9 and 10).
Preparations
As part of the preparations for the Landscape Analysis Country Assessment, the
country team has reviewed the tools, select which ones to use and adapt them to the
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
52
national situation. The country team also determined the scope of the assessment,
including scheduling interviews and planning field visits. The Word document
questionnaires can be obtained from WHO Department of Nutrition for Health and
Development, by contacting [email protected].
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
53
Form 1. Pemangku Kepentingan Tingkat Pusat
Wawancara semi terstruktur untuk instansi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain (misalnya: Badan-badan PBB, Donor, LSM) di tingkat pusat
ID:___
Diisi oleh:
Kode
Nasional:
Kode
Instansi:
Kode
Responden: Nama: Jabatan:
Kode
Nama: Jabatan:
Kode
Nama: Jabatan:
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
ID:___
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
54
Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi
1.1 Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Indonesia?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
1.2 Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan
ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Jelaskan alasan anda:
1.3 Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
1.4 Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan skala
program gizi (atau yang terkait masalah gizi)? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
55
1.5 Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat digunakan untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi 2.1 Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal koordinasi
program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
4. Kode
5. Kode
2.2 Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam hal
koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling
utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
4. Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
56
5. Kode
Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi 3.1 Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan
dengan program yang terkati dengan gizi?
Kode
3.2 Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai tingkatan sebagai berikut:
Tingkat Tindakan dan dukungan Kode
Nasional
Propinsi
Komunitas
3.3 Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
3.4 Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk
ditingkatkan skala programnya?
Kode
3.5 Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi atau
terkait gizi ?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
57
Bagian 4. Anggaran dan pendanaan 4.1 Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk program
gizi atau yang terkait dengan gizi?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
4.2 Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan untuk
program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
4.3 Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi
anda?
1 %
Kode
2 %
Kode
3 %
Kode
4 %
Kode
5 %
Kode
4.4 Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi?
Jelaskan alasannya.
Kode
4.5 Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
anggaran/pendanaan tersebut?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
58
Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi 5.1 Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi di
instansi anda?
Kode
5.2 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di
bidang gizi di Indonesia?
Kode
5.3 Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
5.3.1 Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat Purna waktu Kode Paruh waktu Kode
Propinsi
5.3.2 Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
5.4 Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk program
gizi di Indonesia?
Kode
5.5 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di Indonesia?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
59
5.4 Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah diikuti
oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat Jumlah staf yang dilatih Topik Pelatihan Kode
Internasional
Nasional
5.5 Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam dua
tahun terakhir, mengapa?
Kode
Bagian 6. Sistem Informasi Gizi
6.1 Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin?
Kode
6.2 Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas?
Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll.
Kode
6.3 Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda
menyebarluaskan hasil tersebut?
Kode
Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan 7.1 Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen;
wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di propinsi anda?
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
60
1. Kode
2.
3.
7.2 Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan
imbas dari krisis itu?
Kode
Bagian 8. Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam) 8.1 Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam?
1. Kode
2.
3.
8.2 Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan & gizi)
Kode
Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala 9.1 Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan
kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda?
Kode
9.2 Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
(MDG) dalam program gizi ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
61
9.3 Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam
upaya ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
9.4 Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
9.5 Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit untuk
peningkatan cakupan program gizi?
1. Kode
2. Kode
3. Kode
9.6 Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam
meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu?
Kode
Bagian 10. Pertanyaan penutup 10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan dalam rangka mempercepat
penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)? Jangan mengarahkan (Prompt) ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat (1, 2, 3) Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
62
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, pergantian staf yang sering)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak)
Lain-lain
10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di Indonesia?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
63
Form 2. Pemangku Kepentingan Tingkat Propinsi
Wawancara semi terstruktur untuk instansi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain (misalnya: Badan-badan PBB, Donor, LSM) di tingkat propinsi
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Instansi:
Kode
Responden: Nama: Jabatan:
Kode
Nama: Jabatan:
Kode
Nama:
Jabatan:
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
64
Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi
1.1 Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Propinsi
anda? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
1.2 Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan
ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional atau propinsi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Jelaskan alasan anda:
1.3 Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini?
(Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
1.4 Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan
skala program gizi (atau yang terkait masalah gizi) di propinsi anda? (Tuliskan berdasarkan
urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
65
1.5 Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat
digunakan untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari
yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi 2.1 Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal
koordinasi program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
4. Kode
5. Kode
2.2 Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam
hal koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang
paling utama)
1. Kode
2. Kode
3. Kode
4. Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
66
5. Kode
Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi 3.1 Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan
dengan program yang terkati dengan gizi?
Kode
3.2 Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai tingkatan sebagai berikut:
Tingkat Tindakan dan dukungan Kode
Propinsi
Kabupaten/ Kota
Komunitas
3.3 Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
3.4 Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk
ditingkatkan skala programnya?
Kode
3.5 Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi
atau terkait gizi ?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
67
Bagian 4. Anggaran dan pendanaan 4.1 Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk
programgizi atau yang terkait dengan gizi?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
4.2 Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan
untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda?
Tahun ini:
Kode
Tahun lalu:
Kode
4.3 Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi
anda?
1 %
Kode
2 %
Kode
3 %
Kode
4 %
Kode
5 %
Kode
4.4 Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi di
propinsi anda Jelaskan alasannya.
Kode
4.5 Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
anggaran/pendanaan tersebut?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
68
Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi 5.1 Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi
di instansi anda?
Kode
5.2 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di
bidang gizi di Indonesia?
Kode
5.3 Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
5.3.1 Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat Purna waktu Kode Paruh waktu Kode
Propinsi
5.3.2 Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
5.4 Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk
program gizi di seluruh propinsi anda?
Kode
5.5 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di propinsi anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
69
5.4 Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah
diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat Jumlah staf yang dilatih Topik Pelatihan Kode
Internasional
Nasional
propinsi
5.5 Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam
dua tahun terakhir, mengapa?
Kode
Bagian 6. Sistem Informasi Gizi
6.1 Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin?
Kode
6.2 Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas?
Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll.
Kode
6.3 Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda
menyebarluaskan hasil tersebut ke tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota dan pemangku kepentingan yang lain di bidang gizi?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
70
Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan 7.1 Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen;
wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di propinsi anda?
1. Kode
2.
3.
7.2 Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan
imbas dari krisis itu?
Kode
Bagian 8. Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam) 8.1 Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam?
1. Kode
2.
3.
8.2 Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan & gizi)
Kode
Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala 9.1 Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan
kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
71
9.2 Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium (MDG) dalam program gizi ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
9.3 Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam upaya ini?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
9.4 Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
Bila ya, jelaskan:
9.5 Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit
untuk peningkatan cakupan program gizi?
1. Kode
2. Kode
3. Kode
9.6 Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam
meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
72
Bagian 10. Pertanyaan penutup 10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan propinsi dalam rangka
mempercepat penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)? Jangan mengarahkan (Prompt) ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat (1, 2, 3) Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, pergantian staf yang sering)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak)
Lain-lain
10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di propinsi anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
73
Form 3. Staf Manajemen di tingkat Kabupaten/ Kota
Wawancara semi terstruktur
ID:___
Dilengkapi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten:
Kode
Dinas di kabupaten: 1 Dinas Kesehatan
2 Dinas Pertanian 3 Badan Ketahanan Pangan 4 Bappeda 5 6 7 8 9
77 Lain-lain:
Kode
Responden: 1 Kepala
2 Program officer bagian gizi 3 Program officer Kesehatan Ibu dan Anak 4 Pekerja kesehatan masyarakat 5 Relawan/ pendamping non profesi 77 Lain-lain: _____________________________
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
74
Bagian 1 Kegiatan dan Program Gizi
1.1 Apa saja kegiatan utama yang paling penting di bidang gizi yang tercakup dalam
rencana aksi kabupaten saat ini?
Kode
1.2 Apa saja kegiatan gizi berbasis masyarakat yang dipromosikan untuk dilaksanakan di
kabupaten anda? Bacakan satu persatu di bawah ini dan tanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan
1.2.1 Gizi ibu: Kode
1.2.2 Pemberian ASI:
Kode
1.2.3 Pemberian MP ASI:
Kode
1.2.4 Pencegahan kekurangan gizi mikro:
Kode
1.2.5 Penurunan prevalensi anak pendek (stunting) Kode
1.2.5 Identifikasi dan manajemen gizi buruk dan gizi kurang:
1.2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Diare pada anak:
1.2.7 Pemberian ASI oleh ibu yang menderita HIV/AIDS:
1.2.8 Pola makan dan kegiatan fisik (olah raga) untuk mencegah kelebihan berat badan:
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
75
1.2.9 Pencegahann kecacingan pada anak dan ibu hamil (PHBS, dan program pencegahan kecacingan
1.2.11 Pencegahan malaria pada anak-anak dan ibu hamil (mis, intermittent treatment, distribusi kelambu)
1.2.12 Pencegahan penyakit menular untuk balita dan ibu (WUS?) (mis. Imunisasi)
1.2.13 Keluarga Berencana
1.2.14 Lain-lain
1.3 Sebutkan tiga kelompok (pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen; wilayah
tertentu, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di kabupaten anda?
1. Kode
2.
3.
1.4 Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah pusat, propinsi/ kabupaten
untuk meringankan imbas dari krisis di kabupaten anda?
Kode
1.5 Dengan cara apa kabupaten memberlakukan Kode Internasional Pemasaran PASI
(Produk Pengganti ASI) atau International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes?
Kode
1.6 Berapa jumlah fasilitas kesehatan di kabupaten anda yang mendapatkan sertifikat
Rumah Sakit Sayang Bayi atau Baby-Friendly Hospital Initiative (BFHI)?
Kode
1.7 Berapa jumlah fasilitas kesehatan yang dalam proses -menjadi Rumah Sakit Sayang
Bayi?
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
76
Kode
1.8 Menurut anda, apakah pesan-pesan gizi yang dikomunikasikan di tingkat
masyarakat?
Bila Ya, bagaimana pesan-
pesan itu dikomunikasikan?
Kode
1.8.1 Penurunan Anemia Ibu 1
Ya
0
Tdk
1.8.2 Pemberian ASI eksklusif 1
Ya
0
Tdk
1.8.3 Pemberian MP ASI yang
optimal 1
Ya
0
Tdk
1.8.4 Suplementasi Zink untuk
penanganan diare 1
Ya
0
Tdk
1.8.5 Suplementasi Vitamin A
untuk balita 1
Ya
0
Tdk
1.8.6 Suplementasi Vitamin A
untuk ibu nifas 1
Ya
0
Tidak
1.8.7 Konsumsi garam
beryodium 1
Ya
0
Tdk
1.8.8 Penurunan angka anak
pendek 1
Ya
0
Tdk
1.8.9 Penanganan gizi buruk dan
gizi kurang 1
Ya
0
Tdk
1.8.1
0
Pencegahan dan perawatan
diare pada anak 1
Ya
0
Tdk
1.8.1
1
Pemberian ASI dalam
konteks HIV/AIDS 1
Ya
0
Tdk
1.8.1
2
Pola makan sehat dan
kegiatan fisik/olah raga
untuk mencegah kelebihan
berat badan
1
Ya
0
Tdk
1.8.1
3 Lain-lain: _____________
1
Ya
0
Tdk
Bagian 2. Tanggung Jawab dan Koordinasi 2.1 Dalam tim kabupaten/ Kota, siapa yang memiliki tanggung jawab utama untuk program
gizi? Kode
1 Kepala Dinas 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
2 Kepala bidang ____________________
3 Kepala Seksi _____________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
77 Lain-lain:______________________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
77
77 Lain-lain:______________________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
2.2 Pelatihan apakah yang telah diikuti oleh penanggung jawab utama (di atas) yang
berkaitan dengan gizi ?
Kode
2.3 Bila ada, tanggung jawab terkait non-gizi apakah yang dimiliki oleh orang tersebut?
Kode
2.3 Dalam kalangan pemerintah, apakah ada pihak lain yang mengurus masalah gizi di kabupaten anda? Siapa? Sebutkan kegiatan gizi yang telah mereka laksanakan
Kode
2.4 Bagaimana kegiatan gizi dikoordinasikan di kabupaten? Bagaimana susunan
kelembagaan yang ada dan seberapa sering pertemuan/ rapat diselenggarakan?
Kode
2.5 Siapa yang menyusun dan mengembangkan rencana dan strategi gizi di kabupaten,
dan apakah ini sudah disusun?
Kode
Bagian 3. Anggaran dan Pendanaan 3.1 Dapatkan anda memperkirakan berapa anggaran tahunan di instansi anda yang
dialokasikan untuk program gizi ini?
Tahun ini:
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
78
Tahun lalu:
Kode
3.2 Menurut perkiraan, jumlah yang dianggarkan ini berapa persen dari keseluruhan total
anggaran?
Tahun ini: % Kode
Tahun lalu: % Kode
3.3 Sumber pendanaan kegiatan gizi apa dan dari mana saja yang diimplementasikan oleh
instansi anda untuk kegiatan gizi?
1 %
Kode
2 %
Kode
3 %
Kode
4 %
Kode
5 %
Kode
3.4 Menurut pendapat anda, apakah terdapat cukup pendanaan untuk menangani
keadaan gizi di kabupaten anda? Jelaskan alasan anda.
Kode
3.5 Bila tidak, apakah anda mempunyai rencana atau gagasan untuk meningkatkan
pendanaan?
Kode
Bagian 4. Sumber daya manusia untuk Gizi 4.1 Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi
di instansi anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
79
4.2 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di bidang gizi di Indonesia?
Kode
4.3 Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak tahu
Kode
4.3.1 Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf
paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda?
Tingkat Purna waktu Kode Paruh waktu Kode
Propinsi
4.3.2 Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi?
Kode
4.4 Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk
program gizi di seluruh propinsi anda?
Kode
4.5 Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di propinsi anda?
Kode
4.6 Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah
diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi?
Tingkat Jumlah staf yang dilatih Topik Pelatihan Kode
Internasional
Nasional
propinsi
4.7 Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam
dua tahun terakhir, mengapa?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
80
Bagian 5. Pelatihan 5.1 Pelatihan mengenai gizi apa saja yang telah ada / dilaksanakan di kabupaten anda
dalam dua tahun terakhir?
A. Pelatihan (Judul, organisasi penyelenggara)
B. Partisipan (jumlah peserta dan asal instansi) Kode
5.2 Bagaimana pelatihan dipantau dan ditindaklanjuti? Gali juga informasi mengenai
keberadaan pelatihan penyegaran dan pelatihan di lokasi.
Uraikan:
Kode
Bagian 6. Sistem Manajemen Informasi 6.1 Data/laporan gizi paling penting apakah yang secara rutin dikumpulkan di tingkat
kabupaten/kota?
Kode
6.2 Bagaimana anda menggunakan laporan ini?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
81
6.3 Apakah anda pernah menerima umpan balik mengenai laporan gizi yang anda kirimkan
ke tingkat propinsi atau nasional ?
1 Ya
0 Tidak
99 Tidak Tahu
Kode
6.4 Bila ya, apakah umpan balik tersebut berguna? Dan bagaimana anda menggunakan umpan balik ini?
Kode
Bagian 7. Sistem Manajemen, Supervisi dan dukungan 7.1 Seberapa sering orang yang bertanggung jawab atas gizi mengunjungi fasilitas
kesehatan dan/atau masyarakat untuk memberikan dukungan program gizi?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Tidak terlalu sering
Kode
7.2 Dalam kaitannya dengan kegiatan gizi, bagaimana caranya pemerintah daerah
berkomunikasi
7.2.1 dengan Mitra (pemerintah dan non pemerintah) di kabupaten:
Kode
7.2.2 dengan kantor di tingkat propinsi dan di pusat
Kode
7.3 Dukungan apa yang telah diterima oleh kabupaten anda selama dua tahun terakhir
agar tim gizi mampu melaksanakan pembuatan program, perencanaan gizi dan implementasinya?
Untuk pelatihan, dukungan anggaran, penelitian dan kunjungan lapangan, gali lebih dalam.
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
82
Bagian 8. Pertanyaan Penutup
8.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan kabupaten dalam rangka
mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat (1, 2, 3) Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, minimalnya pergantian staf)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan eksternal yang lebih banyak)
Lain-lain
8.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang
lebih baik mengenai situasi gizi di kabupaten anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
83
Form 4. Manajer Fasilitas Kesehatan dan Pengelola dan Penanggung jawab Program Gizi
Wawancara Kelompok semi terstruktur
ID:___
Dilengkapi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Pusat Kesehatan Masyarakat
77 Lain-lain:
Kode
Unit:
1 Unit Rawat Jalan
2 Unit bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
4 Rawat Inap
5 Management
77 Lain-lain:
Kode
Responden :
1) Manajer
Fasilitas
1 Ada 0
Tidak ada
Kode
2) Penanggung
jawab program
gizi
Hadir:
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh
0
Tidak ada
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
84
Gizi/Pembantu Ahli Gizi
8 Petugas kesehatan masyarakat
(Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77 Lain-
lain:________________________
1.1 Kegiatan utama terkait gizi apa saja yang dilaksanakan di puskesmas ini?
Kode
1.2 Apakah puskesmas anda melaksanakan kegiatan gizi berikut ini di masyarakat? (Bacakan/tanyakan sesuai list di bawah ini)
Kode
1.2.1. Suplementasi tablet besi folat bagi ibu
hamil 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.2. Suplementasi multivitamin dan
mineral bagi ibu hamil 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.3. Suplementasi tablet kalsium bagi Ibu
hamil 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.4. Promosi Pemberian ASI 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.5. Promosi pemberian makanan
pendamping ASI lokal 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.6. Suplementasi kapsul Vitamin A bagi
balita 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.7. Suplementasi Vitamin A bagi ibu
nifas 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.8. Suplementasi tabur gizi (Vitalita/Mix
Met/Taburia) untuk balita 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.9. Distribusi makanan tambahan (mis.
bubur/biskuit berfortifikasi, dll) untuk balita 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.10. Distribusi makanan tambahan (mis
Mie berfortifikasi) untuk ibu hamil 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.11. Suplementasi tablet zink untuk balita
(bagian dari penanganan diare) 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.12. Promosi garam beryodium 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.13. Promosi dan pemantauan tumbuh
kembang anak 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
Bagian 1 Kegiatan Gizi dan Pengintegrasian ke Program Lain
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
85
1.2.14. Penanganan gizi kurang pada balita 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.15. Penanganan gizi buruk pada balita 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.16. Penyuluhan/promosi pemberian
makan bagi anak sakit 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.17. Promosi cuci tangan dengan sabun 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.18. Promosi Pemberian tablet cacing
(untuk anak dan ibu hamil) 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.19. Promosi kelambu berobat 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.20. Pengobatan malaria pada saat
kehamilan 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.21. Pemberian ASI dalam konteks`
HIV/AIDS 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.22.Pola hidup sehat dan gizi seimbang
untuk mencegah kelebihan berat badan 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.23 Keluarga Berencana 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.2.24. Lain-lain:
__________________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tdk Tahu
1.3 Bagaimana gizi diintegrasikan ke program atau kegiatan pelayanan kesehatan dasar? Untuk menggali lebih dalam: Bagaimana gizi diintegrasikan ke dalam MTBS (Management Terpadu Balita
Sakit), Kesehatan ibu, kesehatan remaja, HIV/AIDS dll.
Kode
1.4 Jelaskan bagaimana penyuluhan dan konseling gizi dijalankan di puskesmas ini.
Untuk menggali lebih dalam: Siapa yang bertanggung jawab, kapan dan dimana kegiatan itu dilangsungkan.
materi yang diberikan
Kode
1.5 Bagaimana pendapat bapak/ibu terhadap program dan pelayanan gizi di puskesmas
ini?
Kode
1.6 Siapa yang biasanya memberikan pelayanan gizi di fasilitas kesehatan ini? (Jangan dibacakan list di bawah ini)
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
86
1. Kepala Puskesmas 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
2. Dokter/Dokter Gizi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
3. Perawat 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
4. Perawat pembantu 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
5. Bidan 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
6. Ahli gizi/ ahli diet 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
7. Penyuluh / Petugas Gizi /Pembantu
Ahli Gizi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
8. Petugas program lain 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
9. Petugas kesehatan masyarakat 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
10. Relawan/ Honorer 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
11. Petugas administrasi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
77. Lain-
lain:________________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
87
Bagian 2. Pelatihan, Bahan dan Sumber daya 2.1 Di puskesmas ini, siapa saja yang telah mendapatkan menerima pelatihan terkait
gizi dua tahun terakhir? (Jangan Bacakan List di bawah ini)
Kod
e
1. Kepala Puskesmas 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
2. Dokter/Dokter Gigi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
3. Perawat 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
4. Perawat pembantu 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
5. Bidan 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
6. Ahli gizi/ ahli diet 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
7. Penyuluh / Petugas Gizi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
8. Petugas program lain 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
9. Pekerja kesehatan masyarakat 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
10. Relawan/ penyuluh non profesi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
11. Petugas administrasi 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
77. Lain-
lain:________________________ 1
Ya
0
Tdk
99
Tidak Tahu
2.2 Berapa banyak dari staf di atas yang telah menerima pelatihan gizi itu masih bekerja di sini?
1
Semua
2
Sebagian
besar
3
Beberapa
4
Tdk ada
77
Lain-lain
99 Tdk tahu
Kode
2.3 Untuk masing-masing bidang berikut, apakah ada dari staf puskesman yang telah
menerima pelatihan dan /atau memberikan pelatihan ke pihak lainnya?
Kode
2.3.1 Gizi ibu 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.2 Konseling Pemberian
ASI 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.3
Pelatihan (dukungan
dan manajemen
Pemberian ASI)
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.4 Konseling pemberian
MP-ASI 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.5 Suplementasi Zink
untuk penanganan diare 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
88
2.3.6 Suplementasi Kapsul
Vitamin A bagi balita 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.7 Suplementasi Kapsul
Vitamin A bagi bufas 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.8
Pemberian tabur gizi
(vitalita/Mix
Me/Taburia) untuk
balita
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.9
Pemberian tablet multi-
vitamin dan mineral
untuk bumil dan bufas
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.10
Pemantauan dan
promosi tumbuh
kembang
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.11 Penanganan gizi kurang 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.12 Penanganan Gizi buruk 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.13
Pencegahan dan
perawatan untuk anak
diare
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.14 Pemberian ASI dalam konteks Konseling HIV/ AIDS
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.15
Kegiatan fisik dan
makan sehat untuk
mencegah kelebihan
berat badan.
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.16 Pencegahan
Kecacingan 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.17
Pencegahan Penyakit
Menular lainnya.
Sebutkan___________
__
___________________
_
1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.3.18 Keluarga Berencana
2.3.19 Pencegahan Malaria
pada ibu hamil
2.3.20 Lain-lain:
__________________ 1
Menerima
2
Memberi
3
Keduanya
0
Tidak sama
sekali
2.4 Apakah ada pemantauan atau tindak lanjut dari kegiatan pelatihan gizi yang dilakukan
dalam dua tahun terakhir di puskesmas ini.
1
Ya
0
Tdk
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
89
Bila Ya, jelaskan:
Bagian 3. Dukungan Masyarakat 3.1 Bagaimana puskesmas bekerjasama/melibatkan dengan masyarakat untuk
meningkatkan: (Dibacakan Satu Persatu) Pertanyaan untuk menggali: peran kader, suami, dukun, tokoh agama/ masyarakat dll.
3.1.1 Gizi Ibu Kode
3.1.2 Pemberian ASI:
Kode
3.1.3 Pemberian Makanan Pendamping ASI lokal
Kode
3.1.4 Pencegahan Kekurangan Gizi Mikro (misalnya Vitamin A
untuk balita dan Ibu Nifas, supplementasi multivitamin & mineral
untuk Ibu Hamil, tabur gizi balita, garam beryodium):
Kode
3.1.5 Identifikasi dan penanganan gizi kurang Kode
3.1.6 Pengidentifikasian dan penanganan gizi buruk Kode
3.1.7 Pencegahan dan perawatan balita diare Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
90
3.1.8 Pemberian ASI (Menyusui) dalam konteks HIV/AIDS Kode
3.1.9 Pola hidup sehat (Kegiatan fisik dan gizi seimbang) untuk
mencegah kelebihan berat badan
Kode
3.1.10 Pencegahan Kecacingan Kode
3.1.11 Pencegahan Malaria (Pengobatan, dan distribusi kelambu)
3.1.12 Pemberian Imunisasi
3.1.13 Keluarga Berencana
Lain-Lain, Sebutkan:
3.2 Selain posyandu, apakah ada kegiatan sosmob (mobilisasi masyarakat) terkait gizi
yang sudah diprakarsai oleh puskesmas dalam dua tahun terakhir?
Kode
3.3 Menurut pendapat bapak/ibu, bagaimana agar masyarakat dapat mendukung
pemberian ASI (eksklusif dilanjutkan hingga dua tahun dengan makanan pendamping) secara lebih baik? Pertanyaan untuk menggali: peran relawan, suami, Bidan, pemuka masyarakat, tokoh agama dll.
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
91
Bagian 4. Dukungan 4.1 Seberapa sering pertemuan/rapat formal diadakan dengan staf gizi kabupaten?
1
Setiap hari
2
Setiap
minggu
3
Setiap bulan
4
Jarang
5
Tidak
Pernah
Kode
4.2 Seberapa sering pertemuan/rapat diadakan dengan staf gizi propinsi setahun terakhir?
1
Setiap hari
2
Setiap
minggu
3
Setiap bulan
4
Jarang
5
Tidak
Pernah
Kode
4.3 Apakah anda merasa bahwa anda menerima dukungan yang memadai dari staf gizi di
tingkat kabupaten dalam setahun terakhir?
1
Ya
0
Tdk
Kode
4.3a Bila Ya, jelaskan:
Kode
4.3b Bila tidak, berikan alasan dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
/ memperbaiki keadaan ini. Berikan contoh spesifiknya.
Kode
Bagian 5. Pengelolaan program Gizi 5.1 Siapa yang mengelola program gizi di puskesmas ini?
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
92
8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77. Lain-lain:________________________
5.2 Sebutkan porsi waktu yang dihabiskan untuk memberikan konseling/penyuluhan gizi
dalam sebulan terakhir?
Proporsi: %
99
Tidak
tahu
Kode
5.4 Apakah Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas ini memiliki latar belakang pendidikan
formal gizi?
1
Ya
0
Tdk
Kode
5.5 Apakah Tenaga Pengelola Gizi di Puskesmas ini pernah menerima pelatihan mengenai gizi dalam dua tahun terakhir?
1
Ya
0
Tdk
Kode
5.4 Bila ya, pelatihan gizi apakah yang dia ikuti?
Kode
Bagian 6. Rujukan dan konseling Gizi 6.1 Siapa yang melaksanakan konseling/penyuluhan di fasilitas kesehatan ini?
1
Staf terlatih dalam
gizi
2
Staf tidak secara
resmi terlatih dalam
gizi
99
Tidak tahu
Kode
Bila jawabannya 1 atau 2, sebutkan:
6.2 Apakah ada ruang yang dikhususkan untuk konseling gizi ?
1 0 Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
93
Ya Tdk
6.3 Apakah ada hari khusus di tiap minggu atau bulan dimana pelayanan konseling gizi
dapat dilakukan dengan memesan waktu?
1
Ya
0
Tdk
Kode
6.4 Berapa jumlah rata-rata pasien per bulan yang mendapatkan konseling gizi?
Kode
6.5 Kasus apa yang paling umum dirujuk?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
94
Bagian 7. Pertanyaan Penutup 7.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan puskesmas dalam rangka
mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara.
Peringkat (1, 2, 3) Kode
Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang
lebih baik, minimnya rotasi staf)
Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan
atau trainer yang lebih baik)
Persediaan barang (obat dan sistem supply yang lebih baik)
Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)
Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar,
pendanaan yang lebih banyak)
Lain-lain
7.2 Apakah ada hal lain yang menurut pendapat anda ingin anda sampaikan ke kami agar
kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di puskesmas anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
95
Formulir 5 Daftar Tilik Puskesmas ID:___
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Puskesmas
77 Lain-lain:
Kode
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Bagian Rawat Inap
3 Unit bersalin/ kebidanan
4 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Kode
Responden:
1 Kepala Puskesmas
2 Dokter/Dokter Gigi
3 Perawat
4 Perawat pembantu
5 Bidan
6 Ahli gizi/ Ahli Diet
7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi
8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian)
9 Relawan/ Honorer
10 Petugas administrasi/ karyawan
77 Lain-lain:________________________
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
96
Bagian 1. Ketersediaan Bahan Program Gizi Minta petugas untuk menunjukkan Buku/Pedoman Bahan Program Gizi
Bahan / Buku
Ketersediaan
Keterangan Kode
1.1 Pedoman/Protap Suplementasi
Tablet Besi Folat bagi Ibu 1
Ya
0
Tdk
1.2
Pedoman/Protap Suplementasi
Multivitamin dan Mineral bagi
Ibu Hamil
1
Ya
0
Tdk
1.3 Pedoman/Protap Suplementasi
Kalsium bagi Ibu 1
Ya
0
Tdk
1.4 Pedoman/Protap Konseling
Menyusui/ASI 1
Ya
0
Tdk
1.5 10 langkah Keberhasilan
Menyusui 1
Ya
0
Tdk
1.6 Pedoman/Protap Penyuluhan
tentang MP ASI 1
Ya
0
Tdk
1.7 Pedoman/Protap Suplementasi vitamin A bagi Balita
1
Ya
0
Tdk
1.8 Pedoman/Protap Suplementasi
vitamin A bagi Bufas
1.9
Pedoman/Protap Suplementasi
Zink bagi anak (Reguler atau
Selama Diare)
1
Ya
0
Tdk
1.10
Pedoman/Protap Pemantauan
dan Promosi Tumbuh
Kembang Anak
1
Ya
0
Tdk
1.11 Pedoman/Protap Penanganan Gizi Kurang
1
Ya
0
Tdk
1.12 Pedoman/Protap Penanganan Gizi Buruk
1
Ya
0
Tdk
1.13 Register/Laporan Penanganan Gizi Buruk
1
Ya
0
Tdk
1.14 Pedoman/Protap Pemberikan
Makan Anak Sakit 1
Ya
0
Tdk
1.15 Manual MTBS Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS)
1.16
Pedoman/Protap Pemberian
Makan Bayi dalam Konteks
HIV/AIDS
1
Ya
0
Tdk
1.17 Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS)
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
97
1.18
Laporan Informasi Kesehatan
Bulanan
1
Ya
0
Tdk
1.19 Lain-lain:
___________________ 1
Ya
0
Tdk
Bagian 2. Ketersediaan Bahan KIE Gizi (Poster/Lembar
Balik/Pamflet) ** Minta Petugas untuk menunjukkan KIE
Materi/Bahan
Ketersediaan Keterangan Kode
2.1 Gizi selama kehamilan 1
Ya 0
Tdk
2.2 Anemia pada WUS dan Ibu
Hamil 1
Ya
0
Tdk
2.3 Pemberian ASI Ekslusif 1
Ya 0
Tdk
2.4 Pemberian MP ASI yang Optimal 1
Ya
0
Tdk
2.5 Suplementasi Vitamin A bagi
Balita 1
Ya 0
Tdk
2.6 Suplementasi Vitamin A bagi Bufas 1
Ya
0
Tdk
2.7 Suplementasi Zink bagi Balita (secara reguler dan pada saat diare)
1 Ya
0 Tdk
2.8 Pemberian tabur gizi (vitalita/mix- me/taburia) untuk balita
1 Ya
0 Tdk
2.9 Konsumsi garam beryodium 1
Ya 0
Tdk
2.10 Penanganan/Manajemen Gizi Kurang
1 Ya
0 Tdk
2.11 Penanganan/Manajemen Gizi Buruk 1
Ya
0
Tdk
2.12 Pemberian Makan bagi Anak Sakit 1
Ya 0
Tdk
2.13 Cuci Tangan dengan Sabun 1
Ya
0
Tdk
2.14 Pemberian Obat Cacing (ibu hamil dan anak)
1 Ya
0 Tdk
2.15 Penggunaan kelambu berobat 1
Ya
0
Tdk
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
98
2.16 Pemberian ASI dalam Konteks
HIV/AIDS 1
Ya 0
Tdk
2.17
Kegiatan Fisik dan Makan Sehat
untuk mencegah Kelebihan Berat
Badan
1
Ya
0
Tdk
2.18 Panduan Pangan dan Materi
Pendidikan Gizi yang lainnya. 1
Ya 0
Tdk
2.19 Keluarga Berencana 1
Ya 0
Tdk
2.20 Buku KIA 1
Ya 0
Tdk
2.21 Imunisasi 1
Ya 0
Tdk
2.22 Lain-lain :
____________________ 1
Ya 0
Tdk
Bagian 3. Ketersediaan Obat-obatan dan Barang / Pasokan
lain
Barang
Ketersediaan
Keterangan(misal jenis, dosis,
jumlah tidak cukup, tanggal
kedaluwarsa, disimpan/ ditempatkan atau di secara tepat
dan memadai) Kode
3.1 Tablet Besi Folat 1
Ya
0
Tdk
3.2 Tablet Multivitamin dan Mineral
untuk bumil/bufas 1
Ya
0
Tdk
3.3 Tablet Kalsium 1
Ya
0
Tdk
3.4
Tabur Gizi: (Vitalita/Mixme/Taburia)untuk Balita
3.5 Kapsul Vitamin A 100,000IU 1
Ya
0
Tdk
3.6 Kapsul Vitamin A 200,000IU 1
Ya
0
Tdk
3.7 Tablet Zink 1
Ya
0
Tdk
3.8 Timbangan Bayi yang masih berfungsi 1
Ya
0
Tdk
3.9 Timbangan Orang Dewasa yang masih berfungsi
1
Ya
0
Tdk
3.10 Papan ukur panjang badan 1
Ya
0
Tdk
3.11 Papan ukur tinggi badan 1
Ya
0
Tdk
3.12 KMS/Buku KIA 1
Ya
0
Tdk
3.13 Pita LILA 1
Ya
0
Tdk
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
99
3.14 Makanan terapeutik F-75 (Formula untuk Pemula)
1
Ya
0
Tdk
3.15 Makanan Terapeutik F-100 (Catch-up formula)
1
Ya
0
Tdk
3.16
Makanan Terapeutik Siap Pakai (Ready-to-Use Therapuetic Food -RUTF)/Plumpy Nut
1
Ya
0
Tdk
3.17 Bubur/Biskuit pabrikan (MP-ASI) 1
Ya
0
Tdk
3.18
Paket Makanan Tambahan
(misalnya paket makanan untuk
dibawa pulang)
1
Ya
0
Tdk
3.19 Larutan Rehidrasi Oralit (Oral
Rehydration Solution -ORS) 1
Ya
0
Tdk
3.20 Lain-lain: __________________ 1
Ya
0
Tdk
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
100
Form 6A. Petugas Kesehatan (Bidan Desa)
Kuesioner Wawancara Terstruktur bagi yang memberikan pelayanan kepada Ibu hamil atau anak-anak
ID:___
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Pos Kesehatan Desa
6 Klinik bersalin/ Polindes
7 Posyandu
77 Lain-lain:
Kode
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Klinik bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Kode
Responden:
1. Bidan Desa
77. Lain-lain:________________________:
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
101
Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan
1.1 Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan
dibacakan):
Kode
1.1.1 Gizi ibu 1
Ya
0
Tdk
1.1.2 Penyuluhan tentang Pemberian ASI
(Menyusui) 1
Ya
0
Tdk
1.1.3 Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi) 1
Ya
0
Tdk
1.1.4 Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI 1
Ya
0
Tdk
1.1.5 Suplementasi Zink untuk Penanganan
Diare. 1
Ya
0
Tdk
1.1.6 Suplementasi Vitamin A bagi Balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.7 Suplementasi Vitamin A bagi bufas 1
Ya
0
Tdk
1.1.8 Pemberian tabur gizi
(Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.9 Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk
ibu hamil 1
Ya
0
Tdk
1.1.10 Pemantauan dan Promosi Tumbuh
Kembang 1
Ya
0
Tdk
1.1.11 Penanganan gizi kurang 1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Penanganan gizi buruk 1
Ya
0
Tdk
1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.14 Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks Konseling HIV/AIDS
1
Ya
0
Tdk
1.1.15 Kegiatan fisik dan makan sehat untuk
mencegah kelebihan berat badan 1
Ya
0
Tdk
1.1.16 Pencegahan Kecacingann dan Pemberian
Obat Cacing 1
Ya
0
Tdk
1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular 1
Ya
0
Tdk
1.1.18 Pelayanan KB 1
Ya
0
Tdk
1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria 1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Lain-lain: __________________ 1
Ya
0
Tdk
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
102
Bagian 2. Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi
2.1 Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari
sesuai jawaban
1
Tidak
ada
2
Zat Besi
Folat
3
Kalsium
4
Multiple
vitamin dan
minera
5
Lainnya,
________
99
Tidak
tahu
Kode
2.2 Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari
sesuai jawaban
1
Dalam waktu 1 jam
2
Dalam waktu 6 jam
3
Dalam waktu 24 jam
4
Setelah ibu pulih
99
Tidak tahu
Kode
2.3 Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari
sesuai jawaban
1 Pada usia 4-6
bulan
2 Pada usia 6
bulan
3 Pada usia 8
bulan
4 Ketika gigi
anak sudah tumbuh
99 Tidak tahu
Kode
2.4 Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A?
1 Setiap bulan sampai usia 6
bulan.
2 Setiap
enam bulan sejak lahir
3 Setiap enam
bulan sejak bayi usia 6 bulan
sampai berusia lima tahun
4 Sekali
setahun
5 Ketika sakit
99 Tidak tahu
Kode
Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah.
2.5 Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari
sejak lahir sampai berusia 5 tahun.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.7 Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.8 Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. `
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
103
2.9 Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong?
1 Segera
2 Setelah satu
menit
3 Setelah tiga
menit
4 Setelah satu jam
99 Tidak tahu
Kode
Bagian 3. Implementasi Program
OBSERVASI PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG
DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA
(BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT
Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI 4.1 Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
4.2 Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV
untuk pemberian makan bayinya?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
4.3 Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/
pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tdk Tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok
Dukungan 5.1 Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat?
1 Ya
0 Tdk
99 Tdk Tahu
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
104
5.2 Seberapa sering mereka bertemu?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
Bagian 6. Saran Perbaikan
6.1 Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan?
Kode
6.2 Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan?
1 Ya
0 Tidak
Kode
Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:
Bagian 7. Dukungan/ Bantuan 7.1 Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan
dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit,
informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)
Kode
7.2 Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi?
1 Ya, kadang-kadang
2 Ya, selalu
0 Tidak pernah
Kode
7.3 Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di
wilayah kerja anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
105
Form 6B. Petugas Kesehatan (Kader)
ID:___
Diisi oleh:
Kode
Propinsi:
Kode
Kabupaten/Kota:
Kode
Fasilitas Kesehatan:
1 Pos Kesehatan Desa
6 Klinik bersalin/ Polindes
7 Posyandu
77 Lain-lain:
Kode
Unit:
1 Bagian Rawat Jalan
2 Klinik bersalin/ kebidanan
3 Bangsal Anak
77 Lain-lain:
Kode
Responden:
1. Bidan Desa
77. Lain-lain:________________________:
Kode
Tanggal
kunjungan
Tgl Bln Thn
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
106
Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan
1.1 Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan
dibacakan):
Kode
1.1.1 Gizi ibu 1
Ya
0
Tdk
1.1.2 Penyuluhan tentang Pemberian ASI
(Menyusui) 1
Ya
0
Tdk
1.1.3 Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi) 1
Ya
0
Tdk
1.1.4 Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI 1
Ya
0
Tdk
1.1.5 Suplementasi Zink untuk Penanganan
Diare. 1
Ya
0
Tdk
1.1.6 Suplementasi Vitamin A bagi Balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.7 Suplementasi Vitamin A bagi bufas 1
Ya
0
Tdk
1.1.8 Pemberian tabur gizi
(Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.9 Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk
ibu hamil 1
Ya
0
Tdk
1.1.10 Pemantauan dan Promosi Tumbuh
Kembang 1
Ya
0
Tdk
1.1.11 Penanganan gizi kurang 1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Penanganan gizi buruk 1
Ya
0
Tdk
1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita 1
Ya
0
Tdk
1.1.14 Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks Konseling HIV/AIDS
1
Ya
0
Tdk
1.1.15 Kegiatan fisik dan makan sehat untuk
mencegah kelebihan berat badan 1
Ya
0
Tdk
1.1.16 Pencegahan Kecacingann dan Pemberian
Obat Cacing 1
Ya
0
Tdk
1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular 1
Ya
0
Tdk
1.1.18 Pelayanan KB 1
Ya
0
Tdk
1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria 1
Ya
0
Tdk
1.1.12 Lain-lain: __________________ 1
Ya
0
Tdk
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
107
Bagian 2. Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi
2.1 Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari
sesuai jawaban
1
Tidak
ada
2
Zat Besi
Folat
3
Kalsium
4
Multiple
vitamin dan
minera
5
Lainnya,
________
99
Tidak
tahu
Kode
2.2 Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari
sesuai jawaban
1 Dalam waktu 1
jam
2 Dalam waktu 6
jam
3 Dalam waktu
24 jam
4 Setelah ibu
pulih
99 Tidak tahu
Kode
2.3 Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari
sesuai jawaban
1 Pada usia 4-6
bulan
2 Pada usia 6
bulan
3 Pada usia 8
bulan
4 Ketika gigi anak sudah
tumbuh
99 Tidak tahu
Kode
2.4 Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A?
1 Setiap bulan
sampai usia 6 bulan.
2 Setiap
enam bulan sejak lahir
3 Setiap enam
bulan sejak bayi usia 6 bulan
sampai berusia lima tahun
4 Sekali
setahun
5 Ketika sakit
99 Tidak tahu
Kode
Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah.
2.5 Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari
sejak lahir sampai berusia 5 tahun.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.7 Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya.
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
2.8 Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk
mengganti cairan tubuh yang hilang. `
1 Benar
2 Salah
99 Tdk Tahu
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
108
2.9 Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur
berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan.
1
Benar
2
Salah
99
Tdk Tahu
Kode
2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong?
1 Segera
2 Setelah satu
menit
3 Setelah tiga
menit
4 Setelah satu jam
99 Tidak tahu
Kode
Bagian 3. Implementasi Program
OBSERVASI PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG
DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA
(BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT
Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI 4.1 Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
4.2 Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV
untuk pemberian makan bayinya?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
4.3 Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/
pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi?
1 Ya
0 Tidak
99 Tdk Tahu
Kode
Bila ya, jelaskan.
Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok
Dukungan 5.1 Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat?
1 Ya
0 Tdk
99 Tdk Tahu
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
109
5.2 Seberapa sering mereka bertemu?
1 Setiap hari
2 Setiap minggu
3 Setiap bulan
4 Kurang sering
5 Tidak
pernah
99 Tdk tahu
Kode
Bagian 6. Saran Perbaikan
6.1 Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan?
Kode
6.2 Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan?
1 Ya
0 Tidak
Kode
Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:
Bagian 7. Dukungan/ Bantuan 7.1 Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan
dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit,
informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)
Kode
7.2 Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi?
1 Ya, kadang-kadang
2 Ya, selalu
0 Tidak pernah
Kode
7.3 Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di
wilayah kerja anda?
Kode
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
110
Lampiran 2. Program pengentasan kemiskinan berorientasi
gizi Indonesia
Terdapat beberapa metoda yang digunakan untuk mengidentifkasi kemiskinan
Indonesia. Salah satu sistem yang paling umum dipergunakan adalah sebagai berikut.
Pada tahun 2005 pemerintah Pusat, dibantu oleh BPS, telah mengadakan sensus untuk
memetakan keluarga miskin di daerah kota dan pedesaan. Sensus tersebut dinamakan
Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Rumah tangga dikategorikan oleh 14
kriteria. Sekali diidentifikasikan sebagai miskin, rumah tangga tersebut menerima
Kartu Kompensasi Energi (Kartu Kompensasi –KKB). Pada saat yang sama,
beberapa program termasuk proses dimana rumah tangga miskin dididentifikasi oleh
yang berwenang dipedesaan berdasarkan pada 14 krteria yang sama (lihat dibawah).
Sekali diidentifkasi oleh pedesaan, daftar tersebut dibahas dan diverifikasi oleh
petugas BPS setempat. Kantor BPS setempat tersebutlah yang menyetujui daftar final
dari penerima terhadap program manapun. Jumlah dan daftar yang miskin yang
dibangkitkan oleh proses ”bawah keatas” dipergunakan terutama oleh program
pengentasan kemiskinan untuk mengidentifkasi penerima dan peserta terhadap
program.
Sebagai tambahan, Survai Sosial Ekonomi (Susenas) tahunan mengukur tingkat
kemiskinan. Data ini digunakan oleh pemerintah nasional dan badan internasional
untuk pemantauan tingkat kemiskinan di Indonesia dan mengembangkan startegi
makro sosial dan ekonomi.
Garis kemiskinan pendapatan nasional sekitar PPP US$1.55. Tingkat kemiskinan
Indonesia telah berangsur menurun sejak krisis politik dan social di tahun 1990an.
Kenaikan besar telah dilihat antara tahun 1993 dan 1998 disebabkan Krisis Finansial
Asia dan perobahan mengenai bagaimana kemiskinan diukur. Sejak itu telah menurun
lagi sampai tingkat 14.18% di tahun 2009 yang hampir ekivalen dengan tingkat
sebelum/pra krisis sebesar 13.7% pada tahun 1993. Penurunan yang terjadi teratur
Kecenderungan Tingkat Kemiskinan, 1976-2009
Jmlh Miskin Miskin
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
111
kecuali suatu kenaikan kecil antara tahun 2005 dan 2006 sebagai akibat kenaikan
harga beras pada bulan Februari 2005 akibat pelarangan46
impor beras. Namun,
dengan adanya 32 juta penduduk dalam kemiskinan, Indonesia masih mempunyai
beban kemiskinan yang besar. Sebagai tambahan, bagian besar penduduk
terkelompok (terklaster) sedikit diatas garis kemiskinan nasional. Data Susenas 2006
menunjuka bahwa hanya 16.7% hidup dibawah garis kemiskinan nasional dengan
pendapatan PPP US$1.55 per hari, sebanyak 49% hidup dibawah PPP US$2 per hari
yang berarti bahwa kerawanan terhadap kemiskinan sangat tinggi di Indonesia dan
bahwa program pengentasan kemiskinana sungguh perlu menentukan sasaran
terhadap yang miskin dan mendekati miskin.
Program pengentasan kemiskinan Indonesia dapat dibagi dalam tiga klaster: i. Program bantuan social dan perlindungan. Hal ini menyediakan pangan pokok,
perumahan, bantuan kesehatan dan pendidikan bagi rumah tangga yang menjadi sasaran. Klaster ini termasuk program seperti Program pola pangan dari paket pakan
bersubsidi (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pola asuransi kesehatan
dan program transfer tunai tak bersyarat (BLT) dan bersyarat (PKH). Setiap tahun Biro Pusat Statistik (BPS) memverifikasi dan memutakhrkan data rumah tangga
sasaran. Pada tahun 2007 terdapat 19.1 juta rumah tangga sasaran; pada tahun 2008
dan 2009 sasaran masing jatuh menjadi 18.5 juta dan 17.1 juta rumah tangga.
ii. Program pemberdayaan masyarakat. Hal ini pada dasarnya adalah program berdasarkan masyarakat, yang disediakan melalui Program Nasional untuk
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini memberikan hibah blok kepada
dewan masyarakat pada tingkat desa untuk dipergunakan bagi investasi produktif. PNPM Mandiri adalah Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat. Hal
itu adalah seperangkat program dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan
kapasitas masyarakat miskin dan untuk mempercepat keberhasilan dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Kelompok program PNPM juga termasuk PNPM
Kota dan PNPM Pedesaan.
iii. Pemberdayaan kegiatan ekonomi mikro dan kecil. Hal ini memberikan kredit
mikro kepada kreditor berukuran kecil dan menengah.
Sejak 2005 program ini dilaksanakan dibawah Strategi Nasional mengenai
Pengentasan Kemiskinan (SNPK) yang membentuk dasar bagi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. SNPK mencerminkan suatu
pergeseran paradigma dasar dalam mengenal yang miskin sebagai asset social yang
hanya harus dipenuhi dan yang harus diberdayakan dan bukan sebagai penerima pasif.
Strategi tersebut juga bertujuan untuk koordinasi lebih baik diantara berbagai program
pengentasan kemiskinan bagi peningkatan efisiensi dan keefektifan. Berdasarkan
SNPK, pada tahun 2005, Tim Nasional untuk Koordinasi Pengentasan Kemiskinan
(TKPK) telah didirikan didalam Kantor Koordinasi Kementerian untuk Kesejahteraan
Masyarakat (Menkokestra). TKPK terdiri atas 22 kementerian dan kepala lembaga
Pusat dengan program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. TKPK pada
awalnya diketuai oleh Menteri Koordinator untuk Kesejahteraan Masyarakat tetapi
sejak bulan Februari 2010, Wakil Presiden menjadi ketua dan tim nasional koordinasi
diberi nama baru yaitu Team Nasional untuk Mempercepat Pengentasan Kemiskinan
(TNP2K). TNP2K dikelola harian oleh suatu sekretariat. Peran dari TNP2K adalah
untuk memonitor pelaksanaan dari kebijakan pengentasan kemiskinan dan untuk
46 Meski harga bahan bakar meningkat secara signifikan dalam bulan Oktober 2005, tingkat kemiskinan
tidak naik karena program transfer uang tunai tidak bersyarat (lihat dibawah dalam dokumen).
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
112
memperkuat koordinasi dalam kebijakan dan pada tingkat program. Badan serupa
telah didirikan juga pada tingkat propinsi dan local (kabupaten/kota).
Sebagai tambahan terhadap upaya Indonesia untuk pengentasan kemiskinan, dibawah
Undang-undang Jaminan Sosial, pemerintah mempertimbangkan suatu sistem
pencakupan asuransi kesehatan universal yang bersifat wajib dan dalam pensiun yang
akan datang dan mekanisme jaminan sosial yang lain. Proses untuk memastikan
cakupan asuransi kesehatan universal sudah dimulai.
Klaster 1 – Program Bantuan Sosial dan Perlindungan
Program Raskin47
Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan untuk membantu
rumahtangga miskin agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan mengurangi beban
keuangan dengan menyediakan beras subsidi. Hal tersebut didirikan di tahun 1997
disaat Krisis Finansial Asia untuk menahan efek peningkatan harga dan kesempatan
kerja yang makin menurun. Pada waktu yang bersamaan program memungkinkan
pemerintah untuk membeli beras surplus agar mempertahankan stok penyangga untuk
dipergunakan diwaktu darurat. Pada tahun 2007 biaya total program adalah Rp 6.28
triliun (sekitar US$ 690 juta). Dibawah program, rumahtangga miskin dimaksudkan
untuk menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga subsidi Rp 1,000 per kg.
Badan Logistik Negara (Bulog) bertanggunjawab atas distribusi beras kepada titik
distribusi, sementara pemerintah daerah setempat bertanggungjawab untuk
mendistribusikan beras kepada rumahtangga miskin di titik distribusi. Dianggap
bahwa program menyediakan beras bersubsidi kepada rumahtangga miskin, dan dapat
diharapkan bahwa program Raskin dapat berkontribusi terhadap pencegahan kurang
gizi dari kaum ibu dan anak. Strategi dapat efektif mencapai tujuan ini jika kaum ibu
dan anak dalam rumahtangga miskin dalam keadaan kurang pangan karena
ketidakmampuan untuk membeli pangan yang cukup karena kemiskinan. Pada
kenyataan kelihatannya bahwa program Raskin secara luas dilihat tidak efektif
sebagai jaringan keselamatan dan tidak efisien dalam penggunaa sumber daya.
Beberapa masalah yang menjadi perhatian adalah :
Meskipun jumlah sasaran penerima meningkat setiap tahun, tapi masih lebih
rendah dari jumlah total rumahtangga miskin (RTM). Sebagai akibat,
pemerintah setempat mempunyai kesulitan dalam mendistribusikan beras
sebagaimana mestinya karena jumlahnya tidak cukup. Sebagai tanggapan,
beberapa RTM tidak menerima beras samasekali, semua penerima mendapat
jumlah yang kurang dari semestinya atau berasnya disdistribusikan kepada
semua tanpa fokus samasekali terhadap yang miskin. Dengan demikian, data
Susenas menunjukkan bahwa rumahtangga miskin (tingkat 1 dan 2 dari lima
bagian) berjumlah 53% dari total penerima; misalnya terdapat 53% kebocoran
ke rumahtangga non-miskin.
Data Survai Sosio ekonomi Rumahtangga (BPS) dimaksudkan untuk
dipergunakan untuk verifikasi rumahtangga miskin pada tingkat desa melalui
pertemuan desa untuk memfinalkan daftar penerima. Proses dalam melakukan
ini bervariasi dan tidal transparan, menciptakan peluang bagi korupsi dan
berkontribusi kepada salah sasaran.
47
The Effectiveness of the Raskin Program. SMERU Research Institute. February 2008
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
113
Penerima seringkali membayar lebih dari Rp 1,000/kg karena mereka diminta
membayar untuk biaya transportasi, dsb. Hal ini disebabkan karena anggaran
nasional untuk program hanya mencakup biaya transportasi beras ke Pusat
distribusi primer. Pemerintah daerah setempat harus mencakup biaya
pendistribusian beras dari Pusat pendistribusian primer ke sekonder dan untuk
administrasi local.
Akhirnya program kelihatannya sangat tidak efisien; dalam tahun 2003, hanya
18% anggaran Raskin telah bermanfaat bagi rumahtangga miskin, 52%
bermanfaat bagi rumahtangga non-miskin dan 30% digunakan untuk biaya
operasional dan keuntungan bagi Bulog. Dalam tahun yang sama, hal itu
hanya berharga Rp2,790/kg bagi Bulog untuk mengadakan beras sementara
mereka menjualnya kepada pemerintah dengan harga lebih sampai
Rp3,343/kg.
Dengan mengesampingkan kelemahan ini, suatu peluang baru telah muncul bagi
Raskin untuk memanfaatkan gizi; dalam tahun 2009, ADB dan Pemerintah Jepang
telah menyetujui hibah sebesar US$ 2 juta untuk fortifikasi pangan di Indonesia.
Hibah tersebut akan digunakan untuk mengkaji kelayakan, biaya dan dampak dalam
memberikan beras berfortifikasi zat besi melalui Raskin. Apabila beras Raskin dapat
difortifikasi, dan dapat dijadikan sasaran sebagaimana dimaksud terhadap yang
miskin dan ketidak-jaminan pangan, hal ini akan menjadi cara yang sangat biaya
efektif untuk meningkatkan konsumsi zat besi pada segmen masyarakat yang paling
rawan.
Transfer Uang Tunai Pada bulan Oktober 2005, pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar sebesar
85% untuk menjaga anggaran nasional. Agar dapat menghilangkan dampak kepada
yang miskin, suatu program transfer uang tunai tidak bersyarat kepada keluarga
miskin dan yang mendekati miskin (Bantuan Tunai Langsung – BLT) telah dimulai.
Dalam ronde pertama pola tersebut sejumlah 60 juta penduduk dalam 15.5
rumahtangga (28% populasi) menjadi sasaran dan pada ronde kedua, pada bulan Mei
2008 ketika harga gas dinaikkan lagi, sebesar 33.3%, sasaran telah diperluas kepada
70 juta penduduk dalam 19.2 juta rumahtangga. Hibah sebesar Rp 100,000 per bulan
(US$ 10) disediakan; dalam ronde pertama diberikan dari Oktober 2005 sampai Maret
2006 dimana setelah itu ditunda. Masyarakat yang miskin awalnya diidentifikasi oleh
yang berwenang setempat dan diklasifikasikan pada tingkat ekonomi dengan dasar 14
kriteria yang dikembangkan oleh Pusat Biro Statistik (BPS)48
. Yang berwenang
didesa menyediakan dafter rumahtangga miskin dan rumahtangga tersebut kemudian
dikunjungi oleh enumerator BPS untuk membantu mereka mengisi formulir kajian.
Formulir dibahas oleh kantor BPS local dan suatu daftar final dihasilkan. Daftar yang
disetujui diberikan kepada Kantor Pos yang menerbitkan kartu keberhakan dan
menyediakan transfer uang tunai dalam lumsum triwulan kepada rumahtangga miskin.
Dalam tahun pertama, 2005, pemerintah telah mengalokasikan 4.6 triliun untuk
program tersebut (US$ 500 juta). Dananya diambil dari potngan bagian dari subsidi
gas, yang kepentingannya adalah untuk mentransfer subsidi gas tersebut kedalam
subsidi rumahtangga. Suatu evaluasi, yang dikoordinasikan oleh Universitas
48 Kriteria termasuk hal seperti ukuran rumah, bahan lantai dan dinding rumah, akses kepada air dan
sanitasi, sumber cahaya, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, berapa kali per minggu
keluarga membeli daging/ayam/susu, berapa kali per hari keluarga makan dan memiliki asset khusus.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
114
Indonesia,49
telah menemukan bahwa 90% penerima menggunakan transfer untuk
membeli beras, sedikit dibawah 80% dari Pengadaan minyak dan sekitar 40%
mengenai pembayaran kembali hutang dan biaya kesehatan. Hanya 5%
menggunakannya untuk membeli bahan bakar bensin. Meskipun program dianggap
berhasil dalam arti telah dapat menahan peningkatan kemiskinan yang bila tidak dapat
meningkat, program di konversikan kedalam suatu program transfer uang tunai
bersyarat untuk memberdayakan komunitas miskin.
Transfer uang tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan – PKH) dimulai di tahun
2007 dengan sasaran rumahtangga yang sama dengan BLT tetapi dengan kriteria
tambahan untuk memenuhi syarat. Tujuan dari PKH adalah untuk (i) mengurangi
kematian kehamilan, (ii) mengurangi kematian anak, (iii) memastikan cakupan
universal pendidikan dasar, (iv) mengurangi pemburuhan anak dan mendorong anak
untuk bersekolah. Rumahtangga yang memenuhi syarat harus ada seorang ibu hamil,
anak berusia 0-6 tahun atau anak sekolah dasar atau berusia sekolah menengah atas
(6-17). Transfer uang tunai diberikan kepada rumahtangga dengan syarat bahwa
mereka dapat memenuhi 12 syarat dibawah ini. Dana diberikan kepada kaum ibu
(atau ibu dewasa lain) di rumahtangga setiap tiga bulan. Penerima dapat berpartisipasi
selama maksimum 6 tahun dan terdapat sertifikasi kembali mengenai dipenuhi syarat
setiap 3 tahun. PKH dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (DepSos) dan akan
berlangsung sampai tahun 2015 sejalan dengan TPM (MDG). Program PKH telah
dilaksanakan di 7 propinsi sebagai pilot (percontohan). Sejak itu telah diperluas dan
pada tahun 2009 telah mencakup total 720,000 rumahtangga.
Indikator kesehatan:
Indikator untuk ibu hamil: (i) empat kunjungan rawatan prenatal selama kehamilan,
(ii) konsumsi suplemen zat besi selama kehamilan, (iii) mendapatkan kehamilan yang
dibantu oleh professional yang terlatih, (iv) dua four prenatal care visits during
pregnancy, (ii) take iron supplements during pregnancy, (iii) have a delivery assisted
by a trained professional, (iv) dua kunjungan rawatan pos-natal;
Indikator untuk anak balita: (v) imunisasi anak lengkap, (vi) pemantauan
pertumbuhan bulanan anak dibawah 3 dan triwulanan kemudian (1-6 tahun), (vii)
peningkatan bobot bulanan anak, (viii) vitamin A setiap enam bulan untuk anak balita.
Indikator Pendidikan: (i) semua anak berusia 6-12 terdaftar di sekolah dasar, (ii) minimum tingkat kehadiran
85% untuk semua anak berusia sekolah dasar, (iii) semua anak usia 13-15 terdaftar di
sekolah menengah pertama, (iv) minimum tingkat kehadiran 85% untuk semua anak
berusia sekolah menengah pertama.
Masalah yang dialami dengan program termasuk pemilihan penerima, khususnya
kesalahan menentukan sasaran (inklusif) dan transparansi proses pemilihan,
koordinasi antar badan terkait dengan pengaturan financial dan aliran infromasi,
kurangnya sosialisasi dan kurangnya pemantauan dan verifiksi. Terdapat juga masalah
dengan kekurangan pelatihan dari fasilitator dan beban kerja mereka, dan masalah
49 Widjaja. An Economic and Social Review on Indonesian Direct Cash Transfer Program to Poor
Families Year 2005.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
115
dengan sistem pembayaran.50
Secara keseluruhan program dianggap berhasil dan
beberapa peningkatan yang konkrit telah terukur seperti tercatat dibawah ini.
Asuransi Kesehatan51
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk menyediakan
seluruh penduduk Indonesia dengan cakupan asuransi kesehatan melalui pola asuransi
kesehatan masyarakat wajib. Secara prinsip hal ini seharusnya berkontribusi cukup
signifikan untuk meningkatkan status gizi dalam hal harus memastikan akses terhadap
layanan kesehatan esensial termasuk rawatan antenatal, rawatan kelahiran, suplemen
mikro-nutrien, rawatan penyakit anak dan layanan pencegahan serta pemberian advis
mengenai gizi. Sebagai tambahan terhadap memastikan cakupan asuransi bagi semua,
ketidakefisien dalam sistem kesehatan dan keseluruhan kualitas rendahnya
penyediaan layanan perlu dibahas agar meningkatkan pasokan layanan kesehatan
dasar. Pendanaan kesehatan sejak desentralisasi telah menjadi lebih rumit dan
pemberian layanan kesehatan makin buruk. Sebagai akibat, separoh dari semua
pengeluaran kesehatan adalah pribadi, sebagian besar dari kantong sendiri (OOP) dan
separoh dari yang sakit mencari layanan kesehatan dari penyedia swasta.
Gar dapat memberi asuransi kesehatan untuk semua, pemerintah telah mendirikan
Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Health Insurance for Poor Population) atau
Askeskin pada tahun 2004 dan telah memperluaskannya kedalam Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Health Insurance for the Population) atau Jamkesmas pada tahun 2008.
Sementara pegawai negeri dan pertanggungannya tercakup dibawah program askes
dan Jamsostek mencakup karyawan sektor swasta dalam perusahaan dengan 10 atau
lebih karyawan. Susenas 2007 menunjukkan bahwa 26% dari penduduk tercakup
asuransi kesehatan, mayoritasnya oleh Jamkesmas (14.3%). Hal ini berarti bahwa
73.9% tetap belum terasuransi. Pemerintah memperkirakan bahwa pada tahun 2008,
proporsi yang tercakup telah meningat sampai 48% sebagian besar karena perluasan
dari Jamkesmas. Visi pemerintah adalah cakupan untuk yang miskin akan didanai
oleh pemerintah dan pendanaan untuk sisa penduduk akan melalui suatu pola
kontribusi. Legislasi mempertimbangkan pembawa asuransi kesehatan yang ada yang
berkonversi menjadi status non-keuntungan dan semua pembawa menyatu dibawah
suatu sistem wajib yang universal dan dibawah dewan jaminan social nasional.
Masalahnya adalah bagaimana pemerintah akan identifikasi tambahan ruang fiskal
untuk mendanai cakupan bagi yang mi9skin (sekitar 70 juta orang) dan bagaimana
sektor informal yang sangat besar terdiri dari 60 juta orang akan dicakup oleh karena
sulit sekali mengidentifikasi mereka dan akan sulit untuk mendapatkan kontribusi dari
segmen dari populasi ini.
Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri (Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat) PNPN Mandiri telah diluncurkan bulan April 2007. Hali ini telah terbentuk dengan
penyatuan dua program pendekatan pembangunan yang digerakkan masyarakat,
Program Pembangunan Kecamatan (KDP) dan Program Pengentasan Kemiskinan
Kota (UPP), yang telah dimulai di tahun 1998 dan 1999. Dalam PNPM Mandiri dua
50 Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga
Harapan. July 2009. ADB 51
Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. World Bank, 2009
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
116
program ini telah diskalakan, pada tahun 2009 semua sub-kabupaten di Negara telah
tercakup (6,408 sub-kabupaten).
Tujuan umum dari PNPM Mandiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dari
komunitas miskin. Tujuan spesifik termasuk (i) peningatan partisipasi anggota
masyarakat, (ii) meningkatkan kapasitas institusi masyarakat, (iii) meningkatkan
kapasitas pemerintah local untuk menyediakan layanan masyarakat, (iv)
meningkatkan sinergi diantara komunitas, pemerintah lokal dan pemangku
kepentingan pro-miskin, (v) meningkatkan kapasitas dan kemampuan komunitas dan
pemerintah local dan (vi) meningkatkan inovasi dan penggunaan teknologi, informasi
dan komunikasi yang diapresiasi dalam pembangunan komunitas.
Program PNPM Mandiri dapat dikategorikan kedalam : PNPM Inti dan PNPM
Pendukung. Program PNPM Inti terdiri atas program pemberdayaan berdasar
masyarakat dan kegiatan seperti PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan,
PNPM Mandiri untuk area Terbelakang, PNPM Mandiri untuk Infrastruktur pedesaan,
dan PNPM Mandiri untuk Infrastruktur Sosio-Ekonomi Pedesaan. Program PNPM
pendukung terdiri atas pemberdayaan komunitas khusus, berdasar sector, berdasar
regional yang dirancang untuk mendukung pengentasan kemiskinan yang terkait
keberhasilan sasaran spesifik seperti PNPM Generasi, PNPM Hijau, dan PNPM
Inisiatif Pembangunan Agribisnis Kecil (SADI).
Komponen kegiatan PNPM Mandiri termasuk (i) pembangunan komunitas, (ii)
memperkuat pemerintahan lokal dan kemitraan, (iii) hibah blok komunitas dan, (iv)
bantuan teknis untuk pengelolaan program dan pembangunan. PNPM Mandiri bekerja
dengan menyediakan Hibah Blok Komunitas kepada kelompok komunitas miskin
termasuk kelompok kaum perempuan. Kelompok komunitas telah atau diberdayakan
dan didukung oleh hampir 40,000 fasilitator. Program direncanakan untuk berlanjut
sampai 2015, batas berlakunya TPM.(MDG).
Sebagian besar sumber dana PNPM Mandiri dating dari Anggaran tahunan
pemerintah (APBN), dana daerah (APBD), swasta/kontribusi komunitas dan juga
hibah atau pinjaman dari berbagai donor.
PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai Masyarakat untuk Kesehatan dan
Generasi Cerdas) Seperti telah dicatat diatas, PNPM Generasi adalah program komponen dari PNPM
Mandiri. Hal ini disebutkan disini karena kontribusi spesifiknya terhadap tujuan
kesehatan dan pendidikan dan sinergik dengan PKH. PNPM Generasi bertujuan untuk
meningkatkan akses rumahtangga miskin kepada layanan kesehatan dan pendidikan.
Melalui PNPM Generasi, komunitas local dapat membangun infrastruktur atau
membeli peralatan untuk memungkinkan mereka mengakses kepada layanan dasar
misalnya membangun pusat kesehatan komunitas, membeli peralatan standard,
renovasi fasilitas, membangun jembatan atau jalanan. Program membangun
berdasarkan pengalaman Proyek Pembangunan Kecamatan (Kecamatan Development
Project (KDP) dan dilaksanakan sebagai bagian dari PNPM Mandiri. Program
mencakup 3.1 million penerima atau 8.4% dari total orang miskin di Indonesia.
Dibawah program ini, komunitas miskin mengidentifikasi sendiri masalah dan
mencari solusi untuk memenuhi 12 kondisi yang sama dari PKH. Partisipasi
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
117
komunitas dalam PNPM Generasi adalah bersyarat dibawah komitmen mereka untuk
memenuhi 12 syarat tersebut. Semua desa yang berpartisipasi menerima fasilitas atau
bantuan teknis dalam bentuk fasilitator dan pelatihan, dan hibah blok pedesaan rerata
sebesar US$ 8,400. Dengan dibantu oleh fasilitator, komunitas mengikuti silus
sosialisasi, perencaan desa, pelaksanaan desa dan pengukuran kinerja. Satu siklus
mengambil waktu 12 bulan dengan pelaksanaan desa selama 9 bulan. Dalam tahun
pertama operasi, 2007, 56% dana dipergunakan untuk kegiatan pendidikan dibanding
44% untuk kegiatan kesehatan. Fi dalam kegiatan kesehatan, dana digunakan sebagai
berikut: pemberian makanan suplemen bagi bobot kurang dan anak kurang makan
(40%), bantuan finansial untuk perempuan hamil dan kaum ibu untuk dapat akses
kepada layanan kesehatan (30%), infrastruktur (13%), fasilitas dan peralatan (11%),
sosialisasi dan pelatihan (3%) dan insentif untuk petugas kesehatan (3%). Suatu
evaluasi oleh Bank Dunia telah menemukan perbaikan dalam pencakupan layanan
kesehatan, khususnya partisipasi dalam cakupan imunisasi. Evaluasi juga mencatat
perbaikan dalam anak bobot kurang dibawah 3% (25% sebelumnya dan 21% setelah
di Jakarta).52
Sudah jelas bahwa PKH dan Mandiri Generasi mempunyai potensial yang signifikan
untuk berkontribusi terhadap perbaikan dalam gizi, dan beberapa hasil di area ini telah
dilaporkan. Namun sebagaimana dilaksanakan saat ini, proporsi signifikan dari upaya
telah diperuntukkan intervensi yaitu bukan yang paling efektif dalam mengurangi
kurang gizi dalam masa kehamilan dan anak seperti meningkatkan partisipasi dalam
program menimbang bobot bulanan dan program pemberian pangan suplemen.
Kondisi PKH sejalan dengan strategi nasional untuk gizi dalam arti bahwa juga
termasuk focus terhadap kesehatan kehamilan dan pada anak muda (pemantauan
pertumbuhan ditentukan hanya menjadi bulanan bagi anak dibawah 1 tahun misalnya)
tetapi dapat diberikan tekanan lebih yang ditempatkan pada perbaikan gizi pada masa
kehamilan dan memperkuat layanan gizi anak (seperti pemberian asi eksklusif dan
advis pemberian makan pelengkap, atau suplemen vitamin A) daripada pemantauan
pertumbuhan misalnya.
Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil Kredit Usaha Rakyat (Kredit Untuk Rakyat – KUR) menyediakan kredit lunak untuk
membangun usaha mikro dan kecil. Kredit tersebut menggunakan dana umum yang
dikelola bank tetapi dijamin oleh pemerintah. Sejak peluncurannya di bulan
November 2007, sampai 2008, program telah menyediakan Rp13 triliun (US$1,417
juta) sampai 1.7 juta penerima kredit (kreditor).
52 Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga
Harapan. July 2009. ADB. Kelihatannya dampak ini telah dihasilkan melalui kombinasi PKH dan
PNPM Generasi.
Lampiranx 3. Intervensi Gizi Esensial, Kebijakan dan rangka kerja Program
Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan di 36 negara Intervensi Kebijakan / legislasi Panduan pendukung Sasaran Status pelaksanaan Cakupan
Kini di
Indonesia
Acuan dan
Catatan
Hasil masa
kehamilan dan
kelahiran
Suplementasi
Besi folate
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Rencana Aksi mengenai
Gizi Komunitas (2010-
2014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
85% (2014) Nasional 29.2% DHS 2007- 90+
hari
Suplementasi
calcium masa
kehamilan
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Tidak dilaksanakan Tidak
tersedia
Multi Suplemen
mikronutrien
pada masa
kehamilan
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Sub-nasional;
Percontohan di
propinsi NTB dan
NTT
Lombok
Tengah:
84,5%
(2008)
dan 71,1%
(2009)
kaum ibu
telah
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
119
menerima
tablet
MMN
Yodium masa
kehamilan
melalui garam
beryodium
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Kep No: JM 03 03/BV/2195/09
Intervensi dipercepat
garam tak beryodium
2009
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (2010-
2014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Panduan pemantauan
garam beryodium di
komunitas 2001
90% (2014) Nasional 62.8% Riskesdas – jmlh
rumahtangga
mengkonsumsi
cukup garam
beryodium (metodologi titrasi)
Intervensi untuk
mengurangi konsumsi
tembakau dan
polusi dalam
ruang
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi 2006-2010
Majelis Ulama (MUI),
2010 Fatwa melarang
semua muslim merokok
di tempat umum
Menkeu No 2003/PMK
001/2008 Pajak Rokok
Tambahan
Peraturan Kesehatan No
36, bab 113, 114,115 mengenai keamanan
bahan adiktif
Tidak tersedia Tidak tersedia Sub-nasional 97% DHS - % kaum
perempuan yang tidak menggunakan
tembakau. Namun
pada 87.8% pria
yang menggunakan
tembakau. Data
mengenai polusi
dalam ruang tidak
tersedia
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
120
Bayi baru lahir
Promosi ASI
eksklusif
(individual dan
pemberian
advis)
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard Layanan
Kesehatan Minimum
2008
KepMen mengenai pemberian ASI eksklusif
KepMen mengenai
pemasaran pengganti
ASI
Peraturan BPOM
mengenai pemberian
label
Peraturan Kesehatan No
36, bab 128, 129, 200
mengenai EBF 2010
Kep Supervisi dari Kode
Internasional 2009 Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (2010-
2014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
Strategi nasional dalam
meningkatkan
pemberian ASI
eksklusif dan pemberian
makan pelengkap 2010
Bahan pemberian advis mengenai inisiasi dini
dari pemberian ASI
eksklusif 2009
Kode dalam pemberian
label susu formula 2003
80% (2014)
Nasional Data tak
tersedia
mengenai
cakupan
layanan
pemberian
advis IYCF
Pada
tahun
2007,
32% anak
0-6 bulan
diberi ASI
eksklusif;
41% anak
6-23 bulan
menerima
pemberian makan
pelengkap
tepat
waktu dan
sesuai
Anak muda
dan anak
N/A
Promosi ASI
eksklusif
(individual dan
pemberian advis
kelompok)
Seperti diatas Seperti diatas Seperti diatas Seperti diatas Seperti
diatas
Seperti diatas
Perobahan Perilaku
Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi
Panduan operasional untuk kesadaran gizi
Tidak ada Nasional Tidak tersedia
Sasaran nasional hanya tersedia
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
121
komunikasi
untuk
pemberian
makanan
pelengkap yang
lebih baik
2006-2010
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007 Buku panduan strategi
IEC untuk program
kesadaran gizi keluarga
2007
untuk distribusi
makanan
pelengkap
fortifikasi
komersial untuk
anak pada keluarga
miskin
Zat Seng (Zinc)
dalam
pengelolaan
diare
Departemen Kesehatan
RI dalam Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor: 1216 /
MENKES / SK /XI /
2001 tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Diare edisi ke-5, tahun
2007
Panduan sedang
dikembangkan.
Tidak ada Nasional Tidak
tersedia
Suplementasi
Vitamin A
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard Layanan
Kesehatan Minimum
2008
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (2010-
2014)
Panduan operasional
untuk kesadaran gizi
keluarga di desa siaga
(KepMenKes:
747/MOH/SK/VI/2007)
Buku panduan
Konseling untuk
mencapai kesadaran gizi
keluarga 2007
Panduan pengelolaan
suplementasi vit A
2009
85% (6-59
bulan anak,
2014)
Nasional 68.5% -
71.5%.
DHS 2007 dan
Riskesdas 2007
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
122
Garam
beryodium
universal
Seperti diatas mengenai
yodium masa kehamilan
melalui garam
beryodium
Seperti diatas mengenai
yodium masa kehamilan
melalui garam
beryodium
90% Nasional 62,8% Riskesdas – jmlh
rumahtangga
mengkonsumsi
cukup garam
beryodium (titrasi)
Cuci tangan
atau intervensi
higiene
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010 Standard Layanan
Kesehatan Minimum
2008
Kep No
852/MOH/SK/IX/2008
Kep Nasional (2008)
mengenai Sanitasi
berbasis Masyarakat
Tidak ada panduan 100% Nasional 23.2% dan
71.1%
Riskesdas - %
penduduk lebih
dari usia 10 tahun dengan perilaku
benar dalam
mencuci tangan
dan buang air besar
Perawatan
kurang gizi
sangat akut
Rencana Aksi Nasional
untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Standard Layanan
Kesehatan Minimum 2008
Tindakan aksi nasional
untuk pencegahan dan
intervensi kurang gizi
sangat buruk 2005-2009
Rencana aksi mengenai
Gizi Komunitas (2010-
2014)
Panduan untuk skrining
kurang gizi buruk 2009
Pengelolaan kurang gizi
buruk 2009
Buku pemantauan untuk pengelolaan kurang gizi
buruk 2009
100% of anak
dengan Gizi
buruk (2014)
Nasional Tidak
tersedia
Kebijakan panduan
nasional kini
sedang
dimutakhirkan
Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan dalam konteks spesifik, situasional
Hasil masa kehamilan dan kelahiran
Suplemen
energi dan
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Belum
dilaksanakan
0% Pemberian makanan
suplemen ibu hamil
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
123
protein
seimbang masa
kehamilan **
akan diawali di
tahun 2010
Pengobatan
cacingan pada
ibu hamil
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Tidak
dilaksanakan
Tidak tersedia No policy or
program, yet
Suplementasi
calcium masa
kehamilan
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Tidak wajib
dilaksanakan
Tidak tersedia Dilaksanakan tidak
konsisten karena
tidak diamanatkan oleh kebijakan atau
program nasional
Perawatan
bertahap
pencegahan
penyakit
malaria*
Rencana Pembangunan
Jangka Menegah 2010-
2014
Panduan Pengelolaan
Kasus Malaria di
Indonesia, CDC MOH
2009
Tidak tersedia Tidak tersedia
Kelambu
beroleskan
insektisida*
Rencana Pembangunan
Jangka Menegah 2010-
2014
KepMen no.
293/MENKES/SK/IV/2
009
Mengapa perlu gunakan
kelambu ITN, CDC
MOH 2008 (Booklet)
ITN Kelambu CDC,
MOH 2007
80% ( total
penduduk)
2.3% DHS - % ibu hamil
yang tidur dibawah
kelambu teroles
insektisida semalam
sebelum survai
Bayi baru lahir
Suiplementasi Vitamin A
Neonatal
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Tidak dilaksanakan
Tidak tersedia Belum rekomendasi WHO
Pengkleman tali
pusar tertunda
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak
dispesifikasikan
dalam APN
Anak muda
dan anak
Program
transfer uang
tunai bersyarat
(dengan
Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Sub-nasional Tidak tersedia Dilaksanakan di area
terpilih, tetapi data
cakupan tidak
tersedia.
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
124
pendidikan
gizi)**
Perawatan
cacingan***
Tidak ada pada ibu
hamil dan anak balita
Tidak ada Tidak tersedia Sub-national Tidak tersedia Jarangnya data
mengenai prevalensi
membatasi
pelaksanaan
kebijakan/program
ini
Program fortifikasi dan
suplementasi zat
besi***
Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi
2006-2010
Kep No
1452/MOH/SK/X/2003
Fortifikasi tepung terigu
Tidak ada Semua tepung terigu
Nasional 100% Fortifikasi tepung terigu dengan zat
besi adalah wajib di
Indonesia dan
hampir 100% semua
tepung terigu
difortifikasi
meskipun tidak
diketahui berapa
banyak tepung terigu
anak muda
mengkonsumsi.
Kelambu beroleskan
insektisida*
Seperti diatas Seperti diatas 3.3% DHS - % anak balita yang tidur dibawah
kelambu teroles
insektisida semalam
sebelum survai
*Area terjangkit malaria
** Untuk ibu dan anak dari keluarga miskin
*** Area dengan tinggi terjangkitnya cacing dan/atau anemia
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
125
Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan
WFP
Merupakan kebutuhan yang terus menerus bagi Pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan dalam menentukan sasaran secara geografis dari area yang lebih rawan
bagi intervensi terkait pangan dan keamanan gizi. Pada tahun 2003 Dewan Keamanan
Pangan (FSC), yang diketuai oleh Presiden Indonesia, yang Sekretariatnya adalah
Badan Keamanan Pangan (FSA), telah berkolaborasi dengan WFP untuk
mengembangkan Atlas Kerawanan Pangan Nasional (FIA) untuk Indonesia. FIA
pertama dikembangkan dan diluncurkan di tahun 2005 dan mencakup 265 kecamatan
dipedesaan di 30 propinsi. Lebih dari US $32 juta dialokasikan oleh Pemerintah kepada
100million were allocated by the Government to 100 kecamatan yang diidentifikasikan
sebagai rawan pangan dan intervensi mulai pada tahun 2006-2007. Atlas ke dua, dengan
judul baru “Atlas Keamanan dan Kerawanan Pangan (FSVA)” yang mencakup 346
kecamatan dipedesaan di 32 propinsi, telah ditandatangani oleh Presiden Indonesia pada
bulan Maret 2010 dan akan diluncurkan pada bulan Mei 2010, dan telah diitegrasikan
secara penuh kedalam rencana kerja dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. WFP
telah menyediakan dukungan teknis dan finansial terhadap pengembangan dan
pelaksanaan FIA dan FSVA sejak tahun 2003.
Seperti FIA 2005, FSVA 2009 berlaku sebagai ialat penting bagi pembuat keputusan
dalam menentukan sasaran dan mengembangkan rekomendasi untuk menanggapi
terhadap kerawanan pangan pada tingkat propinsi dan kabupaten..
FSVA telah menganalisa 13 indikator yang terkait keamanan pangan, berdasarkan data
sekunder yang diterbitkan secara resmi di periode 2004-2007, dan mengembangkan 9
komposit untuk menurunkan suatu Indeks Keamanan Pangan Komposit yang
memperkenankan FSVA untuk menjawab tiga pertanyaan kunci yang terkait keamanan
pangan dan kerawanannya: Dimana kerawanan lebih tinggi terhadap kerawanan pangan
(berdasarkan propinsi, kecamatan); Terdapat Berapa banyak (estimasi penduduk);
dan Mengapa lebih tinggi kerawanannya (penyebab dasar utama kerawanan pangan)?
Indikator yang digunakan dalam Indeks Keamanan Pangan Komposit menyediakan
informasi mengenai tiga pilar keamanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses
pangan rumahtangga dan pemanfaatan pangan individual, seperti ditunjukkan dibawah
ini.
Food Availability Food and Livelihoods
Access
Food Utilization
Konsumsi normative per
kapita sampai rasio
ketersediaan neto ‘beras +
jagung + singkong + ubi’
Prosentase masyarakat
dibawah garis kemiskinan
Harapan hidup pada
kelahiran
Prosentase pedesaan
dengan perhubungan
kurang cukup dari
kendaraan roda empat
Anak berbobot kurang
Prosentase rumahtangga
tanpa akses terhadap tenaga
Buta huruf jenis perempuan
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia
126
listrik
Prosentase rumahtangga
tanpa akses terhadap air
minum yang lebih baik
Prosenase rumahtangga
yang bertempat tinggal
lebih dari 5 km dari
fasilitas kesehatan
Catatan. Untuk pemanfaatan pangan, data pada indikator langsung seperti konsumsi
pangan, tidak tersedia pada tingkat kecamatan. Dengan demikian, indikator tidak
langsung yang mungkin terpengaruh pemanfaatan pangan, atau dapat mempengaruhi
pemanfaatan pangan, dan dimana data tersedia pada tingkat kecamatan, dipergunakan.
Dalam kenyataannya, tidak ada indikator yang digunakan dibawah pemanfaatan pangan
dapat dikatakan menjadi indikator untuk pemanfaatan pangan; melainkan merupakan
indikator kerawanan terhadap pangan dan bahkan untuk keamanan gizi.
Dengan menggunakan indeks komposit, 346 kecamatan yang mempunyai perangkat
data lengkap, diurutkan dan dipetakan. Diantaranya, 100 diranking sebagai Prioritas 1
(30 kecamatan), Prioritas 2 (30 kecamatan) dan Prioritas 3 (40 kecamatan) dengan total
perkiraan 25 juta penduduk. Sisa 246 kecamatan diklasifikasikan sebagai Prioritas 4-6.
Perhatian lebih tinggi harus diberikan kepada kecamatan Prioritas 1-3 dalam membahas
keamanan dan kerawanan pangan.
FSVA menyediakan alat informasi bagi pembuat keputusan untuk secara cepat
mengidentifikasi area paling rawan dimana investasi dalam layanan yang berbeda,
pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang terkait keamanan pangan
akan lebih besar dampaknya terhadap penghidupan, keamanan pangan dan gizi
masyarakat.