WORKING PAPER
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT
EKONOMI ASEAN DAN PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan
Gunawan Wicaksono
Linda Nurliana
Pakasa Bary
Fenty Tri Suryani
Redianto Satyanugroho
September, 2015
WP/3/2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan
bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
ANALISIS DAYA SAING DAN STRATEGI INDUSTRI NASIONAL DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN
PERDAGANGAN BEBAS
Masagus M. Ridhwan, Gunawan Wicaksono, Linda Nurliana, Pakasa Bary, Fenty Tri Suryani, Redianto Satyanugroho1
Abstrak
Penelitian ini mengkaji kinerja perdagangan internasional Indonesia dan daya saing termasuk faktor pendukung yang berkontribusi terhadap kinerja perdagangan tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan, daya saing produk manufaktur domestik, khususnya yang berbasis teknologi menengah dan tinggi, relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers di ASEAN (Singapura, Malaysia dan Thailand) dan extra ASEAN khususnya Tiongkok. Sementara daya saing produk yang berbasis teknologi rendah hingga saat ini masih cukup baik meskipun ke depan akan semakin berkompetisi ketat dengan Vietnam khususnya. Struktur ekspor industri nasional juga masih sangat berorientasi resource based dengan nilai tambah rendah. Hasil studi ini juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan lemahnya daya saing dimaksud terutama berkaitan erat dengan faktor kapabilitas domestik khususnya masalah skill set dan ketenagakerjaan, logistik, kebijakan, dan institusi domestik yang kurang kondusif serta kurangnya dukungan akses pasar. Untuk itu, strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri yang berdaya saing tinggi. Hal itu dapat dicapai melalui peningkatan (upgrading) dan deepening industri, penciptaan nilai tambah domestik, serta
pewujudan Indonesia sebagai basis produksi (hub) yang berorientasi ekspor. Dengan demikian, rekomendasi strategi kebijakan (dengan semangat reformasi) yang perlu dilakukan meliputi aspek industri, investasi, dan perdagangan yang bertumpu pada tujuh aspek, yaitu i) faktor institusi dan leadership, ii) skema insentif trade and investment, iii) faktor sumber daya manusia (SDM) dan ketenagakerjaan, iv) infrastruktur, v) efisiensi teknis dan business services, vi) akses pembiayaan, serta vii) akses pasar.
Key word : ASEAN Economic Community, International Trade,
Industrial Policy
JEL Classification : O2, O57, L52
1 Adalah Peneliti Ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter (DKEM), Bank Indonesia. Pandangan dalam paper ini merupakan pandangan
penulis dan tidak merefleksikan pandangan DKEM atau Bank Indonesia. Penulis
menyampaikan penghargaan kepada Bpk. Solikin M. Juhro, Bpk. Yoga Affandi, Bpk. Reza Anglingkusumo, Ibu Titik Anas dan semua pihak yang memberikan bantuan/ dukungan
hingga dapat tersusunnya hasil studi ini.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara formal akan diimplementasikan
pada akhir tahun 2015 meskipun prosesnya telah dimulai sejak ditandatanganinya
The ASEAN Framework Agreement on Economic Cooperation oleh para pemimpin
ASEAN pada tahun 1992 (Kemenko, 2015). Dengan demikian, perdagangan bebas
sejatinya telah mulai diterapkan secara bertahap dan progresif oleh negara anggota
ASEAN melalui regional trade agreement (RTA) berbentuk ASEAN Free Trade Area
(AFTA). Berbeda dengan AFTA, MEA lebih bersifat komprehensif yang mencakup
empat pilar dengan tujuan untuk mentransformasi ASEAN menjadi pasar tunggal
dengan basis produksi yang terintegrasi, dalam suatu kawasan ekonomi yang
berdaya saing, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin merata, dan
terhubung dengan jaringan produksi global. Komitmen negara–negara ASEAN di
MEA tidak hanya terdiri atas liberalisasi, tetapi juga meliputi reformasi ekonomi,
fasilitasi, dan harmonisasi regulasi. Secara substansial penerapan MEA sebenarnya
sebagian besar telah tercapai, misalnya, melalui penghapusan tarif, fasilitasi
perdagangan, agenda integrasi pasar jasa, fasilitasi investasi, simplifikasi dan
harmonisasi framework kebijakan pasar modal, fasilitas tenaga kerja terampil, dan
lainnya. MEA 2015 bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan suatu langkah
penting bagi perkembangan perekonomian ASEAN yang semakin terintegrasi.
Bagi Indonesia implementasi MEA merupakan salah satu langkah strategis
yang dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat
yang sebesar–besarnya dari globalisasi ekonomi. Aspirasi multilateral, terutama
yang berkaitan dengan integrasi ekonomi kawasan, seperti MEA dan lainnya, selain
memberikan kesempatan/peluang pasar yang lebih luas, juga mengandung
sejumlah tantangan/permasalahan yang kompleks.
Dalam hal ini, pemberlakuan MEA selain meningkatkan perdagangan intra
regional ASEAN, juga akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan
investasi, produksi, dan perdagangan di kawasan. Dengan perdagangan yang akan
semakin meningkat, surplus atau defisit perdagangan yang terjadi bagi suatu negara
cenderung akan semakin dinamis dan multidimensi. Dalam konteks hubungan
dagang internasional itu tentu akan sangat relevan dengan tugas Bank Indonesia
dalam rangka stabilitas makroekonomi domestik, khususnya inflasi dan nilai tukar.
Defisit transaksi berjalan Indonesia yang telah terjadi sejak akhir tahun 2011
hingga periode berjalan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor
domestik: masalah struktural pada industri dan perdagangan, dan faktor eksternal:
shock global. Struktur ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh industri
pengolahan berbasis sumber daya alam (SDA) yang kinerjanya bergantung pada
harga komoditas. Berakhirnya commodity super cycle dan perlambatan ekonomi
dunia menyebabkan turunnya harga komoditas yang berdampak negatif terhadap
ekspor Indonesia.
Gambar 1. Alur Pikir Permasalahan dan Strategi
Selain itu, pangsa industri Indonesia semakin menurun pada 1–2 dekade
terakhir dan secara bersamaan rata–rata pertumbuhan ekonomi menjadi lebih
rendah jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Saat ini industri pengolahan
Indonesia sendiri umumnya didominasi oleh industri yang berorientasi domestik
dengan tingkat kandungan impor yang tinggi. Salah satu penyebabnya adalah
lemahnya kebijakan investasi dan kurangnya koneksi pada pasar global.
Indonesia sendiri mempunyai potensi yang jauh melebihi kinerja saat ini.
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah, mengalami bonus
demografi, dan mempunyai letak geografis yang strategis. Selain itu, Indonesia juga
dapat mengoptimalkan momentum the rise of Asia untuk ikut mengembangkan
ekonominya.
Dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas dan untuk mengoptimalkan
potensi Indonesia, transformasi ekonomi perlu dilakukan melalui peningkatan daya
saing industri di pasar global. Industri menjadi sentral dalam transformasi karena
industri merupakan lokomotif pertumbuhan menuju negara maju. Penyerapan
banyak tenaga kerja dapat menciptakan nilai tambah dalam perekonomian yang
pada akhirnya dapat menjadi sumber devisa secara fundamental.
Studi terkait MEA telah banyak dilakukan sebelumnya, baik dilakukan Bank
Indonesia maupun eksternal. Penelitian sebelumnya oleh Nugroho dan Yanfitri
(2011) yang menganalisis dampak liberalisasi di sektor barang, jasa, modal, dan
investasi menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia lemah sehingga terdapat
kemungkinan Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dari MEA. Salah satu studi
ERIA menyebutkan bahwa MEA akan memberikan manfaat bagi semua anggota
meskipun besarnya tidak sama. Indonesia tetap tumbuh, tetapi lebih rendah jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Survei yang dilakukan oleh BCG
(2014) menunjukkan bahwa perusahaan Indonesia cenderung memandang
pemberlakuan MEA sebagai ancaman, sedangkan perusahaan di Malaysia dan
Singapura lebih optimis dan memandang MEA sebagai peluang. Laporan AT&K
(2013) menyebutkan perusahaan lokal yang hanya berfokus pada pasar domestik
adalah perusahaan yang paling rentan terhadap MEA. Temuan tersebut
mengindikasikan bahwa perusahaan atau industri Indonesia cenderung
berorientasi domestik dan berdaya saing rendah di pasar global.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
melihat secara mendalam daya saing Indonesia dan kemudian merumuskan strategi
kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Secara khusus
kebijakan ekonomi dan perdagangan yang telah diambil harus senantiasa ditinjau
ulang dan dipertajam agar Indonesia sebagai anggota terbesar di ASEAN dapat
menarik manfaat dari MEA. Pendekatan yang digunakan pada tahap awal adalah
analisis daya saing (trade competitiveness diagnostics) yang mengukur kinerja
perdagangan internasional Indonesia dibandingkan peer countries–nya, dalam hal
ini dengan negara ASEAN lainnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang
berguna untuk mengukur daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat
persaingan yang tinggi sehingga negara yang memiliki daya saing tinggi di ekspor,
umumnya juga lebih unggul pada faktor domestik. Hal itu sejalan dengan hubungan
timbal balik antara perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif
menjadi eksportir dan akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari
pasar ekspor. Lebih lanjut, Reis dan Farole (2012) menyatakan bahwa hambatan
utama negara berkembang untuk bersaing dalam perdagangan internasional
umumnya bersifat behind the border, yaitu faktor internal dalam suatu negara
seperti logistik, bea cukai, pembiayaan, kondisi faktor produksi, dan kurangnya
kompetisi.
Studi mengenai perdagangan tidak akan terlepas dari studi mengenai industri
dan investasi mengingat eratnya hubungan ketiga hal ini dalam menentukan daya
saing suatu negara, terlebih dalam pola perdagangan global value chain (GVC) saat
ini. Studi tersebut selanjutnya akan menjadi masukan dalam merumuskan
kebijakan industri, perdagangan, dan investasi sebagai strategi nasional dalam
menyambut MEA 2015–2025.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: (a) menganalisis daya saing industri nasional
pada era perdagangan bebas dunia (termasuk MEA, dll), dan (b) menyusun strategi
industri nasional yang berdaya saing tinggi.
Selain dapat memberikan kontribusi pada literatur terkait yang ada
sebelumnya, kontribusi penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan (a)
asesment pada kinerja dan daya saing ekspor Indonesia secara komprehensif dan
menyeluruh (upstream ke downstream); serta (b) perumusan strategi nasional yang
khususnya berkaitan dengan peningkatan daya saing industri.
1.3 Batasan Penulisan
Penelitian ini mencakup analisis dan perumusan rekomendasi strategi
nasional terkait daya saing pada sektor industri manufaktur. Cakupan penelitian
tidak termasuk pada sektor jasa, seperti keuangan dan tenaga kerja, lalu lintas
modal, dan pilar keempat MEA berkaitan dengan integrasi pada ekonomi global.
1.4 Organisasi Penulisan
Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bab yang dimulai dengan Bab
1 mengenai pendahuluan dan tujuan dari penelitian ini, kemudian dilanjutkan
dengan Bab 2 yang berisi studi literatur yang pernah dilakukan. Pada Bab 3
diuraikan metode dan data yang digunakan dalam riset ini. Hasil empiris, analisis,
dan rekomendasi kebijakan yang berupa strategi nasional yang dapat ditempuh
untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam upaya menjadikan Indonesia
sebagai basis produksi dan investasi, terutama di kawasan ASEAN, akan diuraikan
pada Bab 4. Kajian ini ditutup pada Bab 5 yang berupa simpulan dan rekomendasi
penelitian lebih lanjut.
II. STUDI LITERATUR
BAB II – STUDI LITERAT
2.1 Sekilas tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Declaration of ASEAN Concord II pada Oktober 2003 untuk pertama kalinya
memperkenalkan konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community) atau MEA yang merupakan perwujudan pasar tunggal bagi negara–
negara anggota ASEAN. Selain itu, pembentukan MEA diharapkan mendorong
terwujudnya kesatuan basis produksi ASEAN yang didukung oleh aliran bebas
barang, jasa, tenaga kerja, dan modal (investasi). MEA diharapkan menjadi kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan yang merata,
dan terintegrasi dengan ekonomi global. Pasar tunggal ASEAN dapat menjadi
peluang bagi perekonomian Indonesia, dan negara-negara ASEAN lainnya, untuk
mendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.
Gambar 2. Pilar MEA
Dalam Cetak Biru MEA 2015 terdapat empat tujuan pilar utama MEA yang
ingin dicapai dan memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Pertama, pembentukan
pasar tunggal dan basis produksi. Tujuan ini akan menciptakan terjadinya aliran
bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, serta aliran modal yang lebih bebas
antarnegara di kawasan. Sebagai tahap awal disepakati dua belas sektor kerja
prioritas yang mewakili lebih dari 50% perdagangan intra-ASEAN, yaitu (1)
pengolahan agro, (2) industri berbasis karet, (3) industri berbasis kayu, (4)
penerbangan, (5) otomotif, (6) elektronik, (7) teknologi komunikasi informasi, (8)
perikanan, (9) kesehatan, (10) logistik, (11) tekstil, serta (12) pariwisata. Indonesia
menjadi negara koordinator untuk sektor otomotif dan industri berbasis kayu.
Tercapainya tujuan tersebut akan mentransformasikan berbagai keragaman
karakteristik di kawasan menjadi peluang bisnis yang dapat menjadikan ASEAN
lebih dinamis dan kuat dalam global supply chain. Terbentuknya pasar tunggal akan
memfasilitasi terbangunnya jejaring produksi di dalam kawasan dan meningkatkan
kapasitas ASEAN sebagai pusat produksi global atau bagian dari global supply
chain.Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap negara anggota ASEAN dituntut
untuk meliberalisasi atau membuka pasar domestiknya.
Kedua, kawasan ekonomi yang kompetitif. Tujuan itu merupakan prakondisi
yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian pasar tunggal dan basis produksi
internasional. Pencapaian tujuan kedua itu dilakukan melalui kerja sama di
berbagai bidang yang meliputi (i) pengembangan infrastruktur, seperti transformasi,
informasi, energi, pertambangan, dan keuangan; (ii) kebijakan persaingan; (iii)
pelindungan konsumen; (iv) hak kekayaan intelektual; (v) perpajakan; dan (vi) e–
commerce.
Ketiga, pembangunan ekonomi yang merata. Kawasan ASEAN memiliki
tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda sehingga berdampak pada kesiapan
dan kecepatan dari negara anggota masing–masing untuk melakukan liberalisasi.
ASEAN harus dapat menjamin manfaat integrasi ekonomi kawasan yang dapat
dirasakan seluruh anggota dan masyarakat ASEAN. Hal tersebut dilakukan melalui
pengembangan UMKM dan kerja sama serta bantuan teknis dalam rangka
mengurangi kesenjangan pembangunan di antara negara–negara anggota, terutama
antara negara ASEAN-5 dan Brunei, Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam.
Keempat, terintegrasinya perekonomian global. Dengan tercapainya ketiga tujuan
di atas diharapkan pasar ASEAN semakin menarik bagi penanaman modal asing
dan industri ASEAN dapat semakin kompetitif di global supply chain. Dalam upaya
pencapaian tujuan itu, dilakukan pendekatan yang koheren dalam hubungan
ekonomi eksternal ASEAN dengan mitra dagang seperti ASEAN+1 (ASEAN+Tiongkok,
ASEAN+India, ASEAN+Jepang) atau ASEAN++ (ASEAN+3, EAS) untuk memastikan
sentralitas dari ASEAN dan memperluas partisipasi ASEAN dalam global supply
chain.
Implementasi cetak biru MEA 2015 secara substansial telah tercapai.
Pencapaian scorecard MEA per 30 Juni 2015 mencapai 91,1% dan ditargetkan akan
mencapai 95% pada akhir tahun 2015. Untuk scorecard MEA Indonesia sendiri telah
mencapai 92,7%. Tingginya pencapaian scorecard MEA baik ASEAN dan Indonesia
mencerminkan bahwa ASEAN dan Indonesia secara konsisten telah memenuhi
komitmennya.
Dalam perjalanannya pada Cebu Declaration Januari 2007 pemimpin ASEAN
menyepakati untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi efektif per 1 Januari
2016 untuk sektor–sektor strategis tertentu. Batas waktu implementasi pasar
tunggal ASEAN makin dekat sehingga perlu dilakukan asesment pencapaian
komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam pembentukan MEA. Hasil
pengukuran gap analysis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia secara umum
menunjukkan bahwa upaya untuk mewujudkan aliran bebas perdagangan barang,
jasa, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih bebas telah
menunjukkan kemajuan yang cukup tinggi. Di antara pencapaian liberalisasi
tersebut adalah penurunan tarif impor hingga 0%, pemenuhan komitmen
liberalisasi foreign equity participation (FEP) untuk beberapa subsektor jasa,
penghapusan restriksi investasi dan pengembangan sistem informasi investasi,
penandatanganan mutual recognition agreement (MRA), dan liberalisasi aliran modal.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Sejumlah studi yang terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
khususnya yang mendalami pemetaan pasar barang, jasa, tenaga kerja, modal, dan
investasi di kawasan ASEAN-5 serta melakukan gap analysis terhadap pencapaian
proses liberalisasi yang mengacu pada cetak biru MEA dan pencapaian key
deliverables ASEAN secara keseluruhan, dapat diringkas pada Tabel 1.
Tabel 1. Studi Literatur
Penelitian Ringkasan Studi
Reis dan Farole (2012) –
“Trade competitiveness
diagnostic toolkit”
Framework analisis perdagangan internasional dengan
dua pendekatan:
1. Trade outcomes analysis: menganalisis kinerja
perdagangan dalam dimensi intensive, extensive,
quality, dan sustainability
2. Competitivenss diagnostics: menganalisis kinerja
faktor yang memengaruhi daya saing perdagangan –
akses pasar, macro–incentive framework, factor
conditions, trade promotion infrastructure
Reis dan Wrinkler (2012) –
“Export Competitiveness in
Indonesia’s Manufacturing
Sector”
Menganalisis kinerja ekspor dan determinan industri
manufaktur untuk sektor apparel, furnitur kayu, dan
komponen otomotif.
Indonesia memiliki peluang kedua untuk
mengembangkan industri manufaktur tradisional yang
menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini didorong
ketersediaan tenaga kerja dengan tingkat upah yang
lebih rendah dibandingkan Tiongkok, ukuran pasar
domestik, serta keterbukaan Indonesia di pasar dunia.
Policy actions yang harus diambil:
Jangka pendek: mengeksploitasi gap upah dengan
Tiongkok
Jangka menengah: memanfaatkan pasar domestik
dan potensi masuk ke Global Value Chain
Jangka panjang: persiapan saat keunggulan dari sisi
biaya tidak lagi berlaku
Dengan prioritas reformasi di: i) transportasi dan
logistik, ii) akses pembiayaan, iii) rigiditas pasar
tenaga kerja dan training, iv) inovasi, v) standar, vi)
collective actions, vii) transparansi dan predictability,
viii) SEZ.
Munandar, et al (2007) –
“Integrasi Ekonomi Regional,
Mobilitas Faktor Produksi
Serta Peran Otoritas Moneter”
Aplikasi pendekatan equal share relationship dengan
menggunakan database makroekonomi negara ASEAN
untuk mengetahui dampak kebijakan moneter terhadap
investasi.
Tabel 1. (lanjutan)
Penelitian Ringkasan Studi
Nugroho dan Yanfitri (2011) –
“Potensi Dampak
Pembentukan Pasar Tunggal
ASEAN terhadap
Perekonomian Indonesia”
Analisis kualitatif melakukan pemetaan kondisi pasar
barang, jasa, tenaga kerja, investasi di ASEAN dan
mengidentifikasi beberapa potensi dampak positif dan
negatif pasar tunggal terhadap perekonomian Indonesia.
Hasil Kajian lintas Satker
(2011) – “Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015: Proses
Harmonisasi di Tengah
Persaingan”
Analisis kualitatif dan kuantitatif mengenai dampak
implementasi integrasi ASEAN serta tantangan bagi
daya saing dan stabilitas makro Indonesia.
Anas, Narjoko, dan
Aswicahyono (2015) –
“Mapping of Indonesia
Potential on Trading
Manufacture Products: A
Regional Perspective”
Pemetaan daya saing dan potensi ekspor Indonesia
secara regional (daerah), khususnya sektor manufaktur,
antara lain dengan Regional Comparative Productivity
Advantage (RCPA). Selain itu, dilakukan FGD untuk
mengetahui penyebab performa ekspor dibawah
potensinya.
III. METODOLOGI DAN DATA
III–METODOLOGI DAN DATA
3.1 Analisis Daya Saing
Analisis daya saing (TCD) sebagian besar merujuk pada Trade
Competitiveness Diagnostic (Reis dan Farole, 2012) yang merupakan pendekatan
yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai posisi, performa, dan
kapabilitas sebuah negara pada pasar ekspor, serta faktor yang memengaruhi daya
saingnya. Aktivitas perdagangan merupakan lensa yang berguna untuk mengukur
daya saing. Pasar ekspor umumnya memiliki tingkat persaingan yang tinggi
sehingga negara yang berdaya saing tinggi pada ekspor umumnya juga lebih unggul
pada faktor domestiknya. Hal itu sejalan dengan hubungan timbal balik antara
perdagangan dan produktivitas. Pelaku usaha yang produktif menjadi eksportir dan
akan semakin produktif dengan adanya permintaan dari pasar ekspor.
Di era liberalisasi untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, kinerja
ekspor menjadi lebih penting daripada sebelumnya.. Ekspor tetap relevan sebagai
sumber utama penghasilan devisa, sarana untuk mencapai skala ekonomi dan
spesialisasi produksi, serta untuk mengakses teknologi baru. Secara tidak langsung
ekspor juga merupakan indikator efisiensi sektor industri saat menghadapi
kompetisi lebih ketat (akibat liberalisasi) dan lebih intensif (akibat penurunan biaya
transportasi). Sepanjang industri tetap menjadi mesin pertumbuhan, perubahan
struktural, serta pertumbuhan teknologi dan modernisasi, ekspor manufaktur yang
bertumbuh menjadi tanda bahwa mesin tersebut bekerja.
Analisis daya saing yang dilakukan terdiri atas dua komponen yang
umumnya dilakukan secara berurutan, yaitu sebagai berikut.
1. Analisis kinerja perdagangan (trade outcomes analysis) adalah kerangka untuk
memperoleh gambaran detail atas kinerja ekspor secara historis. Analisis itu
dilakukan melalui berbagai macam pendekatan serta pengolahan data sekunder.
2. Diagnostik daya saing (competitiveness diagnostics) adalah diagnostik yang
bertujuan untuk menganalisis daya saing, termasuk faktor–faktor yang
berkontribusi terhadap kinerja ekspor seperti pada tahap 1. Diagnostik
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (analisis data sekunder) dan kualitatif
melalui survei dan wawancara (FGD), seperti wawancara dengan perumus
kebijakan, pelaku usaha, akademisi, ahli perdagangan, dan lainnya.
Hasil dari dua analisis tersebut akan dielaborasi lebih lanjut untuk
perumusan rekomendasi kebijakan dan perumusan strategi nasional. Gambar
berikut mengilustrasikan kerangka kerja dari analisis daya saing (TCD).
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 3. Framework Analisis Daya Saing
3.1.1 Analisis Kinerja Perdagangan
Analisis kinerja perdagangan (trade outcome analysis) memberikan penilaian
kuantitatif dan kualitatif dari performa perdagangan dengan menggunakan
dekomposisi pertumbuhan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekspor dapat
terjadi karena empat dimensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4. Dimensi
Pertumbuhan Ekspor
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 4. Dimensi Pertumbuhan Ekspor
Dalam melakukan analisis kinerja perdagangan, terdapat empat faktor
utama, yaitu sebagai berikut.
1. Intensive Margin
Pertumbuhan ekspor dalam dimensi ini tercipta dengan menjual produk
yang sama pada pasar yang sama. Peningkatan intensive margin dapat tercipta
melalui spesialisasi, baik pada antarproduk (across) maupun dalam produk
(within). Dimensi ini secara umum mengevaluasi tingkat, pertumbuhan, dan
pangsa pasar ekspor yang terjadi saat ini (existing). Hasil analisis intensive
margin dapat menunjukkan posisi perdagangan Indonesia dibandingkan dengan
negara–negara peers–nya jika dilihat berdasarkan nilai atau volume ekspornya.
Ada beberapa indikator yang dianalisis seperti rasio nilai perdagangan terhadap
PDB, revealed comparative advantage (RCA) sektoral, trade intensity index, trade
complementary index.
2. Extensive Margin
Untuk negara berkembang, dimensi ini kritikal untuk mendorong ekspor
dan penciptaan lapangan kerja. Extensive margin berarti menjual produk baru
atau menjual produk yang ada saat ini (existing) ke pasar yang baru. Struktur
ekspor yang semakin terdiversifikasi akan mengurangi kerentanan akan
demand shocks dan pergerakan harga di luar negeri. Diversifikasi ekspor juga
penting sebagai indikasi arah pertumbuhan pada masa mendatang. Export
diversification melihat konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor
suatu negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk
dan pasar dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik
(sukses atau tidak).
3. Quality Margin
Dimensi ini mengevaluasi produk-produk ekspor berdasarkan kualitas
dan kecanggihannya. Produk yang mengandung nilai tambah lebih tinggi dari
sisi orisinalitas (ingenuity), skill, dan teknologi akan memiliki harga yang lebih
tinggi di pasar. Dengan demikian peningkatan (upgrading) kualitas produk
menjadi sumber yang pasti bagi pertumbuhan ekspor dan ekonomi. Dimensi ini
diukur dengan menganalisis teknologi, pendapatan, factor contents dari ekspor
untuk menentukan tingkat kecanggihan dan nilai produk, serta product space
untuk mengidentifikasi sektor tempat suatu negara memiliki atau kehilangan
keunggulan.
4. Sustainability Margin
Agar ekspor baru dapat bertahan dan memberikan pertumbuhan jangka
panjang, diperlukan daya tahan sebagian besar perusahaan yang dapat
memanfaatkan kesempatan dan mengatasi hambatan pada tahun-tahun awal.
Sustainability margin of new exporter mengevaluasi survival rate dari barang-
barang yang diekspor, baik barang baru maupun barang yang sudah lama
diekspor. Selain itu, pada tahap ini dilihat juga pertumbuhan dan survival rate
dari hubungan ekspor, intensitas faktor ekspor, dan perbandingan tingkat
endowment nasional. Bentuk partisipasi perusahaan dan survival pada sektor
ekspor membantu mengidentifikasi faktor utama (biaya entry, faktor, teknologi,
dan efisiensi) yang menjadi hambatan utama terhadap daya saing.
Analisis kinerja perdagangan dilakukan dengan 4 tahapan, yaitu sebagai
berikut.
a. Pemilihan peer countries bertujuan sebagai benchmark dari kinerja negara yang
diukur. Umumnya peer countries meliputi kombinasi antara negara tetangga,
negara dengan ukuran, pertumbuhan ekonomi, struktur yang sama, dan negara
kompetitor.
b. Pengumpulan dan kompilasi data, baik cross section maupun time series.
c. Analisis dan interpretasi.
d. Identifikasi tantangan utama pada daya saing.
3.1.2 Diagnostik Daya Saing
Dalam melakukan diagnostik daya saing, terdapat beberapa aspek yang
dianalisa, yaitu sebagai berikut.
1. Akses Pasar
Akses pasar merupakan sebuah konsep yang membahas kebijakan
perdagangan yang dapat memfasilitasi atau membatasi eksportir untuk masuk
dan menjaga daya saingnya di pasar. Dalam market access dilihat faktor–faktor
yang menghambat penjualan barang ekspor, seperti hambatan tarif dan
hambatan nontarif. Gambar 5 mengilustrasikan cakupan dari analisa market
access.
Sumber: Reis and Farole (2012)
Gambar 5. Cakupan Akses Pasar
2. Faktor Sisi Suplai
Faktor ini mencakup banyak hal, termasuk tata kelola dan macrofiscal,
kebijakan perdagangan dan domestik yang membentuk kerangka insentif bagi
pelaku usaha, serta faktor masukan (input) yang menentukan daya saing dari
sisi produksi.
3. Dukungan Promosi Perdagangan
Dukungan promosi perdagangan meliputi serangkaian intervensi oleh
pemerintah unuk mengatasi kegagalan pasar (market failures, seperti
coordination challenges, dan asymmetric information) dan kegagalan pemerintah
yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor seperti promosi ekspor, special
economic zones (SEZ), serta badan koordinasi industri dan standarisasi.
Masing–masing dimensi tersebut membentuk kinerja ekspor melalui
pengaruhnya terhadap perusahaan melalui jalur sebagai berikut:
a. biaya tetap (fixed cost), risiko produksi, dan export entry;
b. biaya faktor dan transaksi yang menentukan daya saing produksi dari tingkat
pabrik; dan
c. tingkat teknologi dan efisiensi dari sektor atau perusahaan.
3.1.3 Forum Diskusi Terpumpun (Focus Group Discussion (FGD))
Focus group discussion merupakan bagian penting dalam analisis TCD karena
menjadi sarana yang menghubungkan hasil benchmark data/kuantitatif yang telah
dilakukan dengan kondisi faktual yang terjadi. Secara garis besar FGD dilakukan
terhadap tiga kelompok, yaitu pelaku usaha, perumus kebijakan (pemerintah), dan
ahli dengan perincian sebagaimana tertera pada lampiran (Error! Reference source not
found.).
Selain kegiatan diskusi, juga terdapat kegiatan expert panel dalam
perumusan rekomendasi strategi nasional yang melibatkan kementerian terkait
(Kemendag, Kemenperin, dan Kemenko), panel ahli dan akademisi, serta kalangan
pengusaha (Apindo).
3.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berfrekuensi tahunan dari periode
tahun 2000 hingga 2014, tergantung ketersediaan data. Tabel di bawah ini
menunjukkan data–data yang digunakan secara umum serta sumber datanya.
Mengingat jenis data yang digunakan sangat beragam, detil penggunaan data akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis.
Tabel 2. Data
Variabel Sumber Data
Ekspor (per komoditas HS/SITC, per negara), Impor
(per komoditas HS/SITC, per negara, revealed
comparative advantage, konten teknologi ekspor,
product sophistication, tariff, non tariff barriers, dan
lain–lain.
World Integrated Trade
Solution (WITS), World
Bank.
Populasi, PDB, Suku bunga pinjaman riil, akses
pembiayaan, bandwidth internet, konsumsi listrik,
logistik, dan lain–lain
World Development
Indicators (WDI), World
Bank.
Lisensi teknologi, pelatihan formal, sertifikasi kualitas
internasional, dan lain–lain.
Enterprise Surveys,
World Bank.
Kemudahan berusaha, doing business index, waktu
untuk ekspor/impor, dan lain–lain.
Doing Business, World
Bank.
Global competitiveness World Economic Forum
IV. HASIL DAN ANALISIS
BAB IV – HASIL DAN ANALIS
4.1 Pemetaan Daya Saing Indonesia
Analisis daya saing yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak
tantangan atas kinerja ekspor dan daya saing Indonesia. Dari hasil analisis kinerja
perdagangan, tantangan utama Indonesia adalah dari aspek intensive margin serta
quality margin. Jika dilihat diagnostik daya saingnya, tantangan pada ekspor
tersebut terjadi karena kurangnya market access, incentive framework, factors
condition, serta trade promotion facilititation.
4.1.1. Analisis Kinerja Perdagangan
Dari hasil analisis kinerja perdagangan (Tabel 3), kinerja ekspor Indonesia
terlihat tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dan masuk
dalam klasifikasi negara low middle income country yang cenderung bersifat resource
based dan rendah nilai tambah. Vietnam terlihat mengalami peningkatan kinerja
ekspor secara tajam dalam dua dekade terakhir. Secara umum Indonesia memiliki
permasalahan dan terlihat mengalami penurunan kinerja pada keempat dimensi
ekspornya dengan isu utama pada intensive dan quality margin. Kelemahan ekspor
Indonesia mengindikasikan bahwa industri Indonesia cenderung semakin inward
oriented yang didukung dengan temuan analisis keterkaitan nilai tambah.
Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Kinerja Perdagangan
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Intensive Margin ↓↓ Keterbukaan perdagangan Indonesia turun
dibandingkan awal tahun 2000, dengan
pertumbuhan ekspor sebagian besar produk dan
pasar yang lebih rendah dari perdagangan dunia.
Extensive Margin ↓ Kinerja Indonesia secara umum hanya lebih baik
dari Filipina. Jumlah kematian produk Indonesia
tertinggi dengan produk yang bertahan umumnya
berbasis SDA atau primary products.
Tabel 3. (lanjutan)
Permasalahan Utama Ekspor Keterangan
Quality Margin ↓↓ Indonesia tertinggal pada ekspor produk high tech
dan sedikit unggul pada primary products. Selain
itu, bila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir,
terdapat indikasi pergeseran produk ekspor Indonesia
dari low dan hightech menjadi medtech dan resource–
based.
Sustainability Margin ↓ Durasi ekspor Indonesia hanya lebih baik dari Filipina
Keterangan:
↓ : sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : tertinggal dibandingkan peers
4.1.1.1 Intensive Margin
Intensive margin diukur dengan melakukan asesmen terhadap tingkat,
pertumbuhan, dan pangsa pasar yang mencerminkan struktur dan daya saing dari
basket ekspor yang telah ada. Berdasarkan data neraca perdagangan pada periode
tahun 2009–2013, secara rata-rata Indonesia masih mencatat surplus meskipun
dengan tingkat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan periode tahun 2004–
2008. Beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki tingkat
ekspor yang cukup tinggi hingga mencapai lebih dari 50% dari PDB-nya. Meskipun
demikian, impor yang tinggi turut membebani kinerja neraca perdagangan negara–
negara tersebut. Namun, Malaysia mampu mencatat surplus neraca perdagangan
hingga 15% dari PDB sepanjang tahun 2009–2013.
Gambar 6 menunjukkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara
relatif terhadap tingkat PDB per kapitanya. Indikator ini mengindikasikan seberapa
penting ekspor dan impor barang dan jasa dalam sebuah perekonomian atau
seberapa terintegrasi suatu perekonomian dengan dunia jika dibandingkan dengan
peers-nya. Tingkat keterbukaan Indonesia pada tahun 2009–2013 dibandingkan
tahun 2004–2008 menurun dari 60% ke 50%. Angka itu lebih rendah dibandingkan
peers seperti Vietnam (150%) dan Filipina (65%) yang juga mengalami tren
peningkatan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya (Vietnam dan India).
Sumber: WDI, WITS Worldbank, diolah
Gambar 6. Openness to Trade
Indikator lainnya adalah ekspor/kapita yang mengukur keberadaan suatu
ekonomi di pasar internasional. Negara yang memiliki nilai ekspor/kapita yang
tinggi mengindikasikan pendapatan ekspor dolar yang tinggi dari basis produksi
domestik yang terdiversifikasi dengan baik dan tidak berbasis SDA. Ekspor per
kapita Indonesia (Gambar 7) sesuai dengan karakteristik lower middle income, yang
jauh lebih rendah dari upper middle-high seperti Malaysia dan Singapura. Jika
dilihat dari indikator lainnya, yaitu share of merchandise trade (non oil and gas),
rasio Indonesia bahkan lebih rendah dibandingkan lower middle income countries
(Gambar 8).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 7. Ekspor per Kapita Gambar 8. Share of Merchandise Trade
Pertumbuhan ekspor dapat disebabkan oleh perubahan pada harga (export
value), volume ekspor (export volume), atau keduanya. Export value index merupakan
nilai ekspor (c.i.f) yang dikonversi ke dolar AS dan dinyatakan dalam persentase dari
rata-rata tahun dasar. Export volume index merupakan rasio antara export value
index dan unit value index-nya. Indikator ini (Gambar 9) merefleksikan indeks
perdagangan berdasarkan nilai dan volume perdagangan. Selama periode tahun
2009–2012, Tiongkok dan Vietnam menunjukkan pertumbuhan ekspor yang cukup
tinggi berdasarkan nilai dan volume ekspornya. Meskipun berdasarkan export
volume index, Indonesia berada pada posisi terakhir, tetapi nilai barang ekspor
Indonesia relatif moderat.
Jika dilihat dari pasar tujuan ekspornya, pasar ekspor Indonesia
terkonsentrasi ke Tiongkok dan Jepang dengan pangsa 20% dan 18% dari total
ekspor. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga menjadikan Tiongkok sebagai negara
tujuan ekspor utamanya dengan indeks intensitas perdagangan yang lebih tinggi
dibandingkan Indonesia.
Indikator trade intensity index (Gambar 10) menunjukkan tingkat intensitas
ekspor dari suatu negara ke negara mitra dagangnya. Indeks itu digunakan untuk
melihat apakah sebuah negara mengekspor lebih banyak ke mitra dagangnya
dibandingkan dengan ekspor dunia ke negara tersebut. Trade intensity index
menggunakan logika yang sama dengan RCA, tetapi untuk pasar bukan produk.
Jika trade intensity index > 100, hal itu mengindikasikan bahwa hubungan dagang
antara negara–𝑖 dan 𝑗 lebih intensif jika dibandingkan dengan rata–rata dunia (𝑤)
dengan negara-𝑗. Indonesia memiliki intensitas perdagangan yang tinggi ke Jepang
dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Pola itu relatif sama dengan
negara berkembang lainnya, kecuali Vietnam yang memiliki trade intensity yang
tinggi ke USA.
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 9. Export Value Index vs. Export Volume Index
Gambar 10. Trade Intensity Index to Japan
Trade complementarity index digunakan untuk melihat apakah profil ekspor
suatu negara sesuai dengan profil impor mitra dagangnya atau justru bersifat
komplementer. Nilai indeks yang tinggi mengindikasikan kedua negara
mendapatkan keuntungan dari hubungan perdagangannya. Berdasarkan trade
complementarity index Indonesia sepanjang periode tahun 2009–2012, semua
negara peers rata–rata memilki besaran indeks yang sama. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kebutuhan impor Indonesia dipenuhi dari profil–profil
ekspor dari negara–negara tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia
merupakan pasar ekspor bagi negara peers–nya. Sementara itu, trade
complementarity index Malaysia menunjukkan nilai yang rendah dengan Indonesia
dan Jerman, artinya produk ekspor Malaysia tidak sesuai dengan kebutuhan impor
Indonesia dan Jerman.
Indikator lainnya adalah orientasi pertumbuhan yang dapat dilihat dari
Orientasi Pertumbuhan Produk dan Pasar. Orientasi Pertumbuhan Produk
mengevaluasi potensi pertumbuhan ekspor dengan membandingkan compounded
annual growth rate (CAGR) dari produk ekspor utama suatu negara terhadap
pertumbuhan perdagangan dunia untuk produk tersebut. Negara dengan
pertumbuhan ekspor lebih tinggi daripada pertumbuhan dunia berarti mengalami
peningkatan pangsa di pasar dunia. Negara yang ekspor utamanya di sektor yang
memiliki pertumbuhan tinggi memiliki posisi yang baik untuk pertumbuhan ke
depan. Sementara itu, pertumbuhan di bawah pertumbuhan dunia
mengindikasikan adanya barrier yang menghambat pertumbuhan.
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 11. Pertumbuhan Produk Ekspor Indonesia
Gambar 12. Pertumbuhan Produk Ekspor Vietnam
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 13. Pertumbuhan Pasar
Ekspor Indonesia
Gambar 14. Pertumbuhan Pasar
Ekspor Vietnam
Gambar 11 memperlihatkan ekspor produk Indonesia yang umumnya
tumbuh lebih rendah dari perdagangan dunia (di bawah garis 45 derajat). Produk
Indonesia yang memiliki pangsa yang besar umumnya bersifatnya komoditas,
seperti mineral fuels. Untuk beberapa produk manufaktur, Indonesia meningkatkan
pangsanya dalam perdagangan dunia, tetapi porsinya masih kecil pada basket
ekspor Indonesia. Hal itu berbeda dengan Vietnam (Gambar 12) yang mengalami
peningkatan pasar untuk hampir semua produk unggulannya. Pertumbuhan ekspor
manufakturnya lebih besar dari pertumbuhan dunia dan merupakan produk
dominan pada basket ekspornya.
Orientasi Pertumbuhan Pasar mengevaluasi potensi pertumbuhan pasar
ekspor suatu negara dengan membandingkan CAGR dari ekspor ke suatu pasar
relatif terhadap pertumbuhan impor pasar tersebut dari rest of the world (ROW).
Gambar 13 memperlihatkan pertumbuhan ekspor Indonesia ke mitra dagangnya
lebih rendah dari pertumbuhan impor mitra dagang dari ROW. Pasar dimana
Indonesia meningkatkan pangsanya adalah Tiongkok dan India. Sementara Vietnam
(Gambar 14) justru meningkatkan pangsanya di hampir seluruh mitra dagangnya
dengan pangsa ekspor terbesar ke USA.
4.1.1.2 Extensive Margin
Extensive margin mengukur diversifikasi ekspor dari dua dimensi, yaitu
menjual produk baru atau menjual produk existing ke pasar yang baru. Ukuran
yang digunakan adalah konsentrasi dan variasi produk dan pasar dari ekspor suatu
negara, tingkat kesesuaian portofolio ekspor suatu negara dengan produk dan pasar
dunia yang berkembang, dan evolusi pasar dari ekspor spesifik (sukses atau tidak).
Dari sisi extensive margin, kinerja Indonesia relatif moderat dibandingkan
dengan peers meskipun dari beberapa ukuran, Indonesia tertinggal. Indikator
pertama menghitung jumlah mitra dagang dan produk yang diekspor suatu negara,
yang dihitung pada 6-digit HS level2. Dalam satu dekade (Lampiran–Gambar 49)
Indonesia mengalami peningkatan moderat dalam jumlah produknya sebesar 83,
sedangkan Vietnam bertambah signifikan sebesar 1024. Selain itu, hanya sebagian
kecil ekspor Indonesia yang ditujukan ke high income countries jika dibandingkan
dengan negara lain (Lampiran–Gambar 50).
Indikator lainnya adalah jangkauan ekspor. Pertumbuhan ekonomi
umumnya disertai dengan adanya produk baru dan kematangan ekonomi ditandai
dengan kemampuan negara tersebut untuk memelihara hubungan dagang.
Indikator jangkauan ekspor menginformasikan kelahiran, survival, dan kematian
produk serta nilai dan jumlah pasarnya. Tingkat kematian yang tinggi pada beragam
sektor mengindikasikan volatilitas ekonomi; sedangkan jika terkonsentrasi pada
beberapa industri, tingkat kematian itu mengindikasikan evolusi produksi domestik.
Gambar 15 memperlihatkan Error! Reference source not found.produk Indonesia
yang mencapai lebih dari 10 tujuan ekspor, pada tahun 2010 sebanyak 1.961
produk, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 2.099 produk. Jumlah itu
sekitar 50%–53% dari total 3.906 produk yang survive pada kurun waktu tahun
2010–2013. Angka tersebut memperlihatkan perbedaan yang jauh jika
dibandingkan dengan Tiongkok (Lampiran-Gambar 51), yaitu produk yang
mencapai lebih dari 10 pasar adalah sebanyak 4.123 (2010) dan meningkat menjadi
4.133 (2013) yaitu sekitar 87–88% dari total 4.687 produk yang survive. Selain itu,
tingkat kematian produk Indonesia cukup tinggi dibandingkan peers (Tabel 4)
2 Mitra dagang dihitung apabila telah terjadi ekspor minimal satu barang dengan nilai
minimum 10,000 USD dan jumlah produk dihitung apabila setidaknya dikirim ke satu
negara dengan nilai setidaknya 10,000 USD.
dengan surviving product bernilai tinggi adalah natural resources–based goods (Tabel
5).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 15. Jangkauan Ekspor Indonesia Tahun 2010–2013
Tabel 4. Perbandingan ASEAN
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Tabel 5. Top Surviving Product
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Indikator lainnya adalah Hummels-Klenov untuk produk dan pasar. Indikator
ini terdiri atas intensive margin (IM) dan extensive margin (EM). IM produk mengukur
apakah suatu negara big player pada produk yang diekspornya (pangsa suatu
negara pada produk yang diekspornya di perdagangan dunia) dan EM mengukur
seberapa penting barang yang diekspornya secara global (ekspor ragam portofolio
relatif terhadap semua ekspor dunia). Untuk Hummels-Klenov pasar, IM
mengindikasikan apakah suatu negara big player pada pasar ekspornya dan EM
mengukur seberapa penting pasar ekspornya secara global. Dalam satu dekade
Suriviving
Product
Product
Death
New
Product
Indonesia 3906 311 308
Malaysia 4168 241 247
Thailand 4455 132 217
Filipina 1990 403 887
Vietnam 3242 285 487
Cina 4687 99 59
India 4655 137 128
2010-2013 Top Surviving ProductPalm oil, other than crude
Coal other than anthracite & bituminous
Natural gas, liquefied
Natural gas, in gaseous state
Lignite
Paper & paperboard
Carbon paper
Original sculptures & statuary
Seats with wooden frames
Women's/girls' dresses
By Number
of Market
By Value
(Gambar 16 dan Gambar 17) Indonesia mengalami peningkatan moderat dan hanya
lebih baik dari Filipina dalam meningkatkan pangsanya di produk dan pasar ekspor-
nya. Vietnam terlihat signifikan meningkatkan prduk dan pasar yang bernilai secara
global (EM) dan Tiongkok terlihat paling berhasil meningkatkan perannya pada
produk dan pasar ekspornya (IM).
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 16. Hummels Klenov dari Segi Produk
Sumber: WITS Worldbank, diolah
Gambar 17. Hummels Klenov dari Segi Pasar
4.1.1.3 Quality Margin
Quality margin mengukur kinerja ekspor dari sisi kualitas, yang antara lain
dilakukan melalui analisis komponen teknologi, tingkat kecanggihan (product
sophistication), product space, serta relative quality. Klasifikasi produk ekspor
menurut komponen teknologi dimungkinkan menggunakan SITC 3 digit
berdasarkan Hatzichronoglou (1997) dan Lall (2000). Analisis product sophistication
(EXPY)3 merujuk pada Hausmann, Hwang, and Rodrik (2007). Lebih lanjut, product
space merujuk pada Hidalgo et al. (2007) yang memetakan koneksi antarproduk
berkeunggulan komparatif pada suatu negara.
Komponen teknologi dan kecanggihan yang rendah pada produk ekspor
Indonesia membuat margin kualitas produk ekspor Indonesia sangat terbatas,
khususnya jika dibandingkan dengan negara–negara peers. Indonesia tertinggal
pada ekspor produk high tech dan sedikit unggul pada primary products. Selain itu,
apabila dibandingkan selama 10–20 tahun terakhir, terdapat indikasi pergeseran
produk ekspor Indonesia dari low dan high tech menjadi med tech dan resource-
based. Sementara itu, Tiongkok beralih dari low tech menjadi high tech.
Produk ekspor Indonesia memiliki tingkat kecanggihan yang rendah jika
dibandingkan dengan peer countries. Tingkat kecanggihan produk ekspor di
Indonesia mengalami tren penurunan walaupun PDB per kapita secara konsisten
meningkat. Padahal, menurut Felipe (2010), pada umumnya kenaikan EXPY 10%
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.5%.
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 18. Perkembangan dan Pangsa Ekspor berdasarkan Komponen
Teknologi
EXPY diukur dari proporsi ekspor atas PRODY masing–masing produk dan PRODY
merupakan tingkat kecanggihan suatu produk yang diukur dari pendapatan per kapita
negara (pada PPP) pengekspor utama produk tersebut di dunia.
Sumber: WDI, WITS World Bank, diolah
Gambar 19. Tingkat Kecanggihan Produk Ekspor dan PDB Per Kapita
Melalui analisis product space4, terdapat indikasi bahwa product space
Indonesia semakin menjauh dari core-nya. Indonesia mengalami penurunan jumlah
produk berkeunggulan komparatif pada dense forest (mesin, elektronik, garmen,
tekstil, dan furnitur) yang banyak “diserap” oleh Tiongkok. Keunggulan komparatif
hilang pada elektronik, mesin, dan furnitur yang merupakan tendensi keunggulan
komparatif pada upper-middle countries. Hal itu menunjukkan risiko (lower) middle
income trap. Menurut Hidalgo et al (2007) daya saing rendah pada klaster industri
dengan proximity tinggi (dense forest) akan menyulitkan transisi ke income group
yang lebih tinggi. Sementara itu, Tiongkok mengalami kenaikan keunggulan
komparatif pada mesin dan elektronik yang kemudian mengindikasikan bahwa
Tiongkok juga “menyerap” keunggulan komparatif pada Jepang.
4Konsep product space mengacu pada Hidalgo et. al. (2007) yang dipetakan dengan product space explorer (http://www.chidalgo.com/productspace/data.htm) dan Cytoscape
(www.cytoscape.org). Data RCA dihitung menggunakan data ekspor UN Comtrade dari World
Integrated Trade Solution, World Bank.
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 20. Product Space Indonesia Tahun 2000 dan 2013
Tabel 6. Perubahan Product Space pada Beberapa Negara Lain
Negara Perubahan Product Space (2013 vs 2000)
Indonesia Garmen, mesin, dan elektronik turun
Jepang Mesin dan Elektronik turun
Thailand Penurunan garmen dan tekstil, namun machinery naik
Malaysia Penurunan furniture
Tiongkok Machinery dan Electronics naik
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space Explorer, sumber data
ekspor dari WITS.
Beberapa produk terindikasi masih berkualitas baik dibandingkan peers.
Produk dengan kualitas yang kompetitif sekaligus bernilai tinggi adalah alat berat.
Pada komoditas penyumbang nilai ekspor tertinggi, relative quality5 dari produk
Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah copper, natural rubber, tin,
gold, dan chemical wood pulp. Pada komoditas dengan unit price tertinggi, relative
5 Mengikuti Reis dan Farole (2012), relative quality diproksikan dari rasio unit price suatu
produk terhadap unit price peers pada percentile 90. Asumsinya adalah saat suplai
kompetitif, harga yang tinggi umumnya terkait dengan kualitas = diferensiasi produk yang
lebih tinggi. Kategori produk menggunakan HS 6 digit.
quality dari produk Indonesia yang tertinggi (dibandingkan peers) adalah crane
lorries, lifting machinery, dan tower cranes.
Lebih lanjut, pada gambar dibawah, dapat diketahui produk ekspor dengan
pangsa pasar tinggi, tetapi kualitas rendah, yaitu natural gas dan nickel. Copper
mempunyai pangsa pasar tinggi dengan kualitas tinggi. Selain itu, produk yang
mempunyai pangsa pasar rendah, tetapi kualitas tinggi adalah crane lorries dan
lifting machinery. Lebih lanjut, antara tahun 2010 ke 2013 terdapat peningkatan
pangsa pasar dan kualitas pada crane lorries, pesawat, dan natural gas. Sementara
itu, terdapat penurunan pangsa pasar pada tower crane.
Sumber: Perhitungan peneliti; sumber data ekspor dari WITS.
Gambar 21. Posisi Pangsa Pasar dan Relative Quality Produk Ekspor
4.1.1.4 Sustainability Margin
Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan
suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed
economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan
ketahanan hubungan produk-partner serta menjelaskan faktor–faktor yang
memengaruhi product birth dan extinction.
Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode
tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000. Selama
rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup hubungan
produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2% dengan jumlah
hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik dibandingkan
Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam, Thailand,
Tiongkok, dan India (Gambar 22).
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 22. Durasi Ekspor
Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang
berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada arus
perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan,
penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan
arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru
(introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau
diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export
growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan
menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.
Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat
terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk
ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang,
extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20% pertumbuhan ekspor
(Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah mature,
pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.
Dari Error! Reference source not found. (Lampiran) dapat dilihat keenam negara
menghadapi tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar
tradisional dengan kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya
hubungan produk–pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak
menunjukkan pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada
penjualan produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina
dan Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73% dan turun 9,15%). Namun, dapat
dilihat bahwa pertumbuhan Tiongkok relatif lebih baik karena IM tumbuh 105,04%
dan penurunan ekspor sebesar 4,97%. Dari dimensi EM, Vietnam tumbuh 2,73%,
lebih tinggi dibandingkan Indonesia sebesar 0,96%.
Indonesia Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013
Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran
perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak
tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk
tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya
adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk
berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara
diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik,
dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik
rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia
pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu
ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor
pendukungnya yang cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas
ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu
dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan lebih
bertahan lama.
0 0 0.96 0 -0.53-9.15
108.73
0.96
99.05
-10
10
30
50
70
90
110
-10
10
30
50
70
90
110
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
arke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
mar
kets
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
arke
ts
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
0 0 2.73 0 -0.09 -0.47
97.83
2.73
97.27
-10
10
30
50
70
90
-10
10
30
50
70
90
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
ark
ets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
ma
rke
ts
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
ark
ets
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intensive Margin
Extensive Margin
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 25. Export Relative to Endowment – Thailand 2013
4.1.2 Diagnostik Daya Saing
Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan
isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi domestik
yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi free trade
agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan dari hasil
FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah ketidakpastian
hukum.
Tabel 7. Ringkasan Diagnostik Daya Saing
Tantangan Utama Ekspor Indonesia
Keterangan
Akses Pasar ↓↓ Didominasi oleh non-tariff measures dari negara
maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan
negara kawasan.
Incentive Framework ↓↓ Kebijakan FDI Indonesia paling tertinggal
dibandingkan peers. Dari sisi kebijakan dan institusi
domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah
di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun terakhir.
Factors Condition ↓↓ Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi
logistik merupakan hambatan utama.
Trade and Invesment
Facilitation
↓ Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi
Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi
yang belum memenuhi standar internasional dengan
promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.
Keterangan:
↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers
↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers
4.1.2.1 Akses Pasar
Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff measures
yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan tujuan ekspor.
Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya menjadi peluang
bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi non-tariff measures,
seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers (TBT) yang berlaku
di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi eksportir dalam melakukan
penetrasi pasar.
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara
Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh
Indonesia berkisar antara 5%–10%. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti USA
dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5%. Amerika, Jepang,
Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi
untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5%–35%. Di Indonesia, tarif bea
masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-pertanian.
Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam memberlakukan tarif
bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian. Bilateral trade arrangement
antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor menyebabkan produk–produk
Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah. Jika dibandingkan
dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk yang berlaku di Indonesia dan
Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk produk–produk impor dari negara–
negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan non-tariff measures yang cukup tinggi,
terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh karena itu, respon yang krusial adalah
membentuk trade agreement dengan Eropa untuk mengeliminasi non-tariff
measures tersebut.
Tabel 8. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara
Sumber: WITS World Bank, diolah
Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam
menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara–
negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa
atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang
bersifat komplementer dengan Indonesia. Sebagai salah satu implikasi, berdasarkan
hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih memilih
melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara Vietnam
mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan berisiko
terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.
4.1.2.2 Incentive Framework
Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi
suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang
dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi
domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia
paling rendah dibandingkan peers (Gambar 27) karena hanya sektor pertambangan,
minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan terhadap investasi
asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi kebijakan dan institusi
domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan jika
dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun terakhir (Gambar 28)
meskipun terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2014 (peringkat 120). Beberapa
aspek jauh lebih rendah dari peers seperti starting a business, registering property,
enforcing contracts, dan paying taxes (Gambar 29).
Sumber: Doing Business, diolah
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 27. Ease of Establishment Index
Gambar 28. Ease of Doing Business
Sumber: Doing Business, diolah
Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia
4.1.2.3 Factor Conditions
Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik
menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers
lainnya.
Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum
terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan dengan
kondisi negara maju. Upah minimum yang terlalu tinggi menyebabkan PHK serta
pemindahan pabrik ke provinsi dengan UMR lebih rendah. Biaya pemecatan juga
sangat tinggi dibandingkan peers, yaitu sekitar 50 kali gaji mingguan. Selain itu,
terdapat beberapa implicit cost seperti banyaknya labor union yang menyulitkan
proses negosiasi, banyaknya demonstrasi, serta meningkatnya risiko operasional.
Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014)
menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50% lulusan SMA/setara dan 15%
lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70% pengusaha manufaktur
mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5% pekerja yang
memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD mengindikasikan
bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers pada tahun 2020.
MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled labor.
Sumber: World Development Indicators, diolah
Sumber: Global Competitiveness Index, WEF
Gambar 30. Upah Minimum dan
Produktivitas
Gambar 31. Biaya Pemecatan
Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan
daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index
dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih
rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati
peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor
relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan
akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.
Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan
harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional
dan compliance atas produk ekspor dan proses industri; (3) kurangnya penggunaan
lisensi teknologi; (4) listrik yang bermasalah; serta (5) regulasi tidak tepat sasaran.
Sumber: Doing Business, World Bank
Sumber: World Bank
Gambar 32. Upah Minimum dan
Produktivitas
Gambar 33. Logistic Performance Index
Sumber: Ookla Net Index
Sumber: Enterprise Surveys, World Bank
Gambar 34. Biaya Bulanan Internet Gambar 35. Persentase Perusahaan dengan Lisensi
Teknologi Asing
4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure
Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah
untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik)
dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor, termasuk
promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lembaga
koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi.
Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di
bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul lebih
banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industri/perusahaan Indonesia, yang
pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental, yaitu
inovasi.
a. Standar dan Sertifikasi
Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk
ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional
(bahkan mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya).
Berdasarkan data pada Sumber: WDI, diolah
Gambar 36, hanya 3% perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi
berkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya.
Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional
atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga
dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan industri
Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat memenuhi
standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya biaya
sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing.
Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut
sukar untuk ditransmisikan ke konsumen.
Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga
menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak
laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional
sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang
dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga
ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah
ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan berkontribusi
pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.
Sumber: WDI, diolah
Gambar 36. Internationally–Recognized Quality Certification
b. Inovasi
Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya
tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk
mencapai hal tersebut bergantung pada kapasitas inovasi dari sektor industri
masing–masing. Sumber: WDI, diolah
Gambar 37 dan Sumber: World Economic Forum GCI, diolah
Gambar 38 menunjukkan kesenjangan (gap) yang terjadi pada kapasitas
inovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun perusahaan. Alokasi
anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan industri di Indonesia masih
mengandalkan pembeli internasional untuk memberikan persyaratan spesifikasi
desain dan teknik sehingga hanya memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal
itu membatasi kemampuan potensial sektor industri untuk dapat menciptakan
inovasi dan bergabung pada Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses
replikasi produk pun tidak selamanya berhasil dilakukan oleh industri di
Indonesia karena persyaratan presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi
yang diperbolehkan. Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain
berhubungan erat dengan rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan.
Banyak perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah
nyaman dan tidak merasa perlu mengambil risiko untuk mendorong inovasi
desain industri. Walaupun demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha,
hanya sedikit industri yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain
beberapa produk untuk pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global
Value Chain (GVC).
Sumber: WDI, diolah
Gambar 37. Pengeluaran R&D (%
PDB)
Sumber: World Economic Forum GCI, diolah
Gambar 38. Kualitas dari
Lembaga Riset
Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih
tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan
3.7
5.2
4.4
5.1
3.4
4.1
3.2
4.34.0
4.3
5.2
3.63.9
3.3
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
China India Indonesia Malaysia Philippines Thailand Vietnam
2006-2007
2014-2015
keahlian teknis ataupun desain pada sektor–sektor industri masih tetap lemah.
Industri tekstil menjadi salah satu industri yang memiliki sekolah tinggi khusus
teknologi tekstil di Bandung (setara D4), selain terdapat institusi swasta yang
fokus pada pengembangan industri adibusana. Tahun 2015 ini Kementerian
Perindustrian meresmikan pendirian Akademi Komunitas Industri Tekstil dan
Produk Tekstil (TPT) di Solo Techno Park sebagai bentuk jawaban dari
peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut. Akademi Komunitas
Industri TPT ini merupakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi
sehingga dilengkapi sarana dan prasarana pendidikan berupa laboratorium,
workshop, dan teaching factory. Selain itu, akademi tersebut juga dilengkapi
dengan Lembaga Sertifikasi Profesi dan Tempat Uji Kompetensi. Harapannya
akademi industri TPT ini akan mulai beroperasi pada tahun akademik 2015.
Sementara itu, di sektor ICT (information-communication technology) baru
terdapat satu Pusat Pendidikan Khusus Elektronika dan Telematika di Surabaya.
Balai Diklat Industri (BDI) di Surabaya yang dikelola oleh Kementerian
Perindustrian juga menyediakan pendidikan dan pelatihan di bidang elektronika
dan garmen. Pada masa yang akan datang Kementerian Perindustrian bekerja
sama dengan universitas di Banten akan mendirikan Akademi Komunitas
Petrokimia Banten. Pendirian akademi tersebut merupakan sebuah jawaban atas
tantangan industri petrokimia terhadap kualitas sumber daya lokal yang
berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri
petrokimia nasional.
Masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan bagi
sektor industri disebabkan oleh masih kurangnya perhatian dari pemerintah
untuk inovasi dan juga masih minimnya inisiasi dari tingkat industri itu sendiri.
Namun, Pemerintah sudah terlihat mulai lebih agresif dan berinisiatif dalam
membangun pusat-pusat pelatihan dan pendidikan terlihat dari
ditandatanganinya beberapa nota kesepahaman pembangunan akademi atau
pusat inovasi di berbagai daerah.
c. Promosi Ekspor dan Investasi
Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk
menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA)
pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang
mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah
karena dapat melapor langsung ke Presiden dan posisi ketua institusinya sejajar
dengan menteri. Selain itu, juga terdapat agen promosi investasi pada tingkat
regional, khususnya pada sektor dan daerah tertentu. Berdasarkan Laporan
Global Investment Promotion Benchmarking (2009) yang mengukur kinerja
pelayanan dan online marketing investasi, Malaysia memiliki kinerja yang terbaik
disusul oleh Filipina dan Thailand, sedangkan kinerja Indonesia masih tergolong
tertinggal (Tabel 9).
Tabel 9. IPI Performance Score
Sumber: GIPB 2009 Summary Report (World Bank)
Sama halnya dengan promosi investasi, promosi ekspor juga sudah
mendapat perhatian khusus Pemerintah, yaitu melalui Direktorat Jenderal
Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) di bawah Kementerian Perdagangan.
DJPEN secara rutin menghadiri pameran perdagangan, forum–forum
internasional untuk mempromosikan sektor industri unggulan Indonesia, dan
juga berdialog dengan kementerian perdagangan negara lain. Dalam hal
pembiayaan perdagangan atau ekspor, kehadiran Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia atau Indonesia Eximbank membantu dalam penyediaan modal kerja,
jaminan, dan asuransi bagi eksportir.
Terkait FDI, penelitian menunjukkan bahwa saat ini Indonesia cenderung
lebih protektif dengan hambatan nontarif dan hambatan investasi yang lebih
tinggi dibandingkan peers (Patunru dan Rahardja, 2015). Hambatan tersebut
perlu dihilangkan, khususnya pada FDI yang berorientasi ekspor.
d. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
KEK merupakan kawasan yang dipersiapkan dan yang memiliki
keunggulan geoekonomi dan geostrategis serta berfungsi untuk menampung
kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di dalam KEK perlu dibangun
fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Pada setiap KEK disediakan
lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai
pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada
dalam KEK.
Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika
dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu,
pengembangan kawasan ekonomi/industri di Indonesia masih terbatas. Hal itu
disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut.
(1) Dukungan infrastruktur yang masih terbatas (energi, konektivitas, dll.).
Beberapa KEK yang didirikan berada jauh dari infrastruktur pendukungnya
seperti pelabuhan. Seyogianya, pendirian KEK dilakukan beserta dengan
pendirian infrastruktur pendukung.
(2) Kurangnya fungsi pemantauan (monitoring) dan pengelolaan yang efektif
akan manajemen kawasan serta relatif minimnya promosi zona ekonomi
tersebut.
Sumber: Economic Zones in The ASEAN (UNIDO)
Gambar 39. Gambaran Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan
4.1.3. Focus Group Discussion (FGD)
Kegiatan FGD merupakan sarana untuk mengonfirmasi hasil benchmark
data/kuantitatif (desk analysis) dengan kondisi yang terjadi sebenarnya di
lapangan. Dari hasil FGD terungkap tiga hal utama yang menjadi perhatian para
pelaku usaha, yakni terkait regulasi, kemampuan sumber daya manusia, dan
koordinasi. Berikut ini merupakan beberapa hambatan yang disarikan berdasarkan
hasil FGD.
a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum
Regulasi yang mendukung pengembangan sektor industri dan
perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung tidak
jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih antara
satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif tenaga
listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa ada
penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah tersebut.
b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik
multilateran maupun bilateral
Pelaku usaha mengharapkan adanya penambahan jumlah trade
agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan akses
pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain itu,
dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi
mengalami hambatan dalam implementasinya (menemui jalan buntu).
Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak
Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement
tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang
melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang
melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan
butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga
dibutuhkan lebih banyak upaya memperkenalkan dan mempermudah
pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut.
c. Kemampuan sumber daya manusia (SDM)
Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing dengan
negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada masa
lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan niat
Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan hi-
tech. Indonesia harus melakukan peningkatan keahlian (skill) pekerjanya sesuai
dengan kebutuhan industri. Selain itu, ketentuan tenaga kerja asing yang akan
bekerja di Indonesia juga seyogianya disusun lebih selektif dengan
mempertimbangkan kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja
domestik.
d. Aturan perpajakan
Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang
cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia.
Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan waktu
lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan.
e. Koordinasi Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Daerah (Pemda), maypun
dengan pelaku usaha
Kendala birokrasi dan koordinasi, baik antarkementerian maupun
pempus dan pemda, terutama dengan pelaku usaha masih menjadi kendala yang
signfikan dalam mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi. Proses
keberhasilan pengembangan sektor industri bergantung pada perencanaan dan
pengembangan sektor-sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah,
termasuk infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung penanganan dan
perkembangan sektor industri tersebut.
4.1.4. Analisis Keterkaitan Nilai Tambah
Analisa keterkaitan nilai tambah6 menggunakan pengkinian data terhadap
Asian I/O 2005 dengan menggunakan data tahun 2013 untuk melihat posisi
industri Indonesia di rantai nilai global. Hal itu terkait perubahan pola perdagangan
dunia dari semula berdasarkan trade in goods menjadi trade in task. Secara umum,
hasil analisis dekomposisi perdagangan (
Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai
Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).
) menunjukkan bahwa tiga negara yang paling kompetitif dalam ASEAN-5, terkait
rantai nilai global, adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Ukuran kompetitif tersebut diperoleh berdasarkan analisis daya saing
internal dan eksternal. Analisis daya saing internal menunjukkan bahwa Malaysia
dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign
value added atau memiliki produktivitas impor yang tinggi (kemampuan
mengekspor setelah mengimpor tinggi). Sementara itu, analisis daya saing eksternal
menunjukkan bahwa Malaysia, Thailand, dan Singapura tercatat sebagai negara
dengan skala ekspor terbesar. Perbandingan hasil antara tahun 2005, 2009, dan
2013 menunjukkan bahwa daya saing antarnegara tidak mengalami perubahan
yang signifikan.
Dari sisi investasi, (Error! Reference source not found.) dapat dilihat bentuk FDI
yang berbeda antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia
FDI mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di
Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja; dan
di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih
terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja
perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi industri
yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai dengan daya
saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih bertujuan
memasok permintaan domestik.
Sumber: Rakhman et al (2015)
Gambar 40. Daya Saing Internal dan Eksternal Negara ASEAN5
Tabel 10. Perbandingan Dampak FDI Negara ASEAN
ASEAN–5 Productivity Ratios
FDI Value/Foreign Affiliates
Export Value/Foreign Affiliates
Employment/Foreign Affiliates
Indonesia USD4.85 USD69.39 809.40
Vietnam USD10.80 USD107.81 896.36
Malaysia USD3.48 USD122.25 388.96
Thailand USD6.10 USD204.24 709.25
Sumber: ITC database
4.2 Pelajaran dari Negara Lain
“The right model for industrial policy is not that of an autonomous government
applying Pigovian taxes or subsidies (i.e. lump sum taxes or subsidies), but of
strategic collaboration between the private sector and the government with the aim
of uncovering where the most significant obstacles to restructuring lie and what type
of interventions aremost likely to remove them” (Dani Rodrik, Harvard University,
Industrial Policy in the Twenty First Century).
Dari studi yang dilakukan terhadap transformasi perekonomian beberapa
peer countries, dapat ditarik beberapa benang merah. Model pertumbuhan yang
diadopsi untuk keluar dari lower income country umumnya merupakan
pertumbuhan yang didorong industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Untuk
melakukan hal itu, struktur endowment perlu ditingkatkan melalui akumulasi
modal dan peningkatan tenaga kerja. Strategi yang dilakukan berfokus dengan
menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien dan sebagai
tempat berproduksi ekspor. Pertumbuhan itu dimotori oleh perusahaan swasta
dengan peran pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan usaha dan menyediakan
kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi dan mengganggu pasar. Untuk
mencapai hal tersebut, reformasi yang dilakukan berpusat pada keterbukaan
terhadap perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan kondisi
yang kondusif bagi investasi dan bisnis, serta reformasi industrial upgrading
bertahap sesuai dengan struktur endowment.
Sebagai gambaran, strategi industri yang telah dilakukan Tiongkok dan
beberapa negara lainnya, seperti Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan
Vietnam dibahas dalam penelitian ini. Namun, dalam bab ini hanya dijelaskan
2
strategi industri Tiongkok sementara negara-negara lainnya dijelaskan pada
lampiran.
4.2.1 Tiongkok
Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Tiongkok berhasil bertransformasi
dari perekonomian tertutup berbasis sumber daya alam dan agrikultur menjadi
negara dengan PDB riil terbesar di dunia pada tahun 2014 (PDB PPP) yang berbasis
manufaktur dan berorientasi ekspor. Reformasi di Tiongkok meliputi tiga aspek,
yaitu transformasi struktural, liberalisasi ekonomi, dan transisi institusi. Reformasi
yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mendorong partisipasi sektor
swasta (private sector-led growth).
Strategi reformasi Tiongkok berlangsung secara bertahap dimulai dari isu
sederhana yang bersifat mikro hingga ke isu kompleks yang bersifat makro. Strategi
tersebut terdiri atas (1) reformasi gradual yang berorientasi pasar, (2) keterbukaan
pada perdagangan dan investasi, dan (3) strategi industri yang bersifat comparative
advantage following (CAF). CAF adalah reformasi yang mengikuti alur learning and
innovation untuk mengeksplorasi comparative advantage.
Gambar 41. Reformasi Tiongkok
Proses reformasi dan keterbukaan terjadi secara bersamaan, saling terkait
dan menguatkan. Strategi pengembangan industri CAF pada dasarnya menegaskan
bahwa suatu negara tidak dapat tumbuh di luar tahapan pertumbuhannya (struktur
endowment yang dimilikinya) atau melakukan ekspor yang sektornya tidak memiliki
comparative advantage.
3
1. Strategi Industri Tiongkok
Untuk meningkatkan industrinya, strategi Tiongkok adalah meningkatkan
endowment structure. Terdapat dua endowment yaitu modal dan tenaga kerja. Modal
(capital) harus terakumulasi lebih cepat dari pertumbuhan tenaga kerja dan SDA.
Akumulasi modal dapat diperoleh melalui investasi asing dalam bentuk FDI. FDI
tidak hanya membawa akses pasar terkait produk dan pesanan, tetapi juga
memungkinkan terjadi transfer teknologi yang mendorong peningkatan struktur
tenaga kerja. Seiring pertumbuhan struktur endowment tersebut, struktur
industri/teknologi juga akan meningkat melalui proses belajar dan akumulasi
pengetahuan. Secara khusus relokasi tenaga kerja dan pertumbuhan human capital
akan tercipta pada sektor ketika harga telah terliberalisasi dan terdapat comparative
advantage. Secara bertahap industrial upgrading Tiongkok berlangsung seperti
paparan berikut.
a. 1986: Transformasi Tiongkok dari eksportir berbasis SDA menjadi eksportir
manufaktur labor intensive yang sesuai dengan comparative advantage Tiongkok
pada waktu itu, yaitu saat ekspor TPT melampaui ekspor minyak mentah.
b. 1995: Transformasi Tiongkok dari eksportir industri labor intensive menjadi
nontraditional labor intensive, yaitu saat ekspor mesin dan elektronik
melampaui TPT.
c. 2001: Transformasi Tiongkok menjadi eksportir produk baru yang memiliki
kecanggihan tinggi (high tech) yang didorong saat Tiongkok masuk sebagai
anggota WTO.
2. Reformasi institusi yang bertujuan untuk menyediakan kondisi ketika sektor
swasta dapat berproses dengan cepat dengan mengurangi dominasi dan kontrol
pemerintah. Hal itu dilakukan melalui manajemen mikro seperti mengganti
pertanian sifat kolektif menjadi sistem berbasis rumah tangga (household-
responsibility system), melakukan privatisasi terhadap SOE, dan melonggarkan
mekanisme alokasi sumber melalui non–state enterprises-TVE, serta membuat
kebijakan yang bersifat makro seperti merelaksasi kontrol pemerintah dalam
sistem harga komoditas dengan dual track price system, meliberalisasi harga,
dan melakukan relaksasi pada sistem nilai tukar.
3. Kebijakan investasi yang bertujuan mendorong investasi asing masuk untuk
membawa Tiongkok masuk ke pasar internasional, membangun SDM, serta
melakukan transfer ilmu pengetahuan. Strategi yang ditempuh adalah (1)
4
menyediakan kondisi bagi investor sehingga menjadikan Tiongkok sebagai basis
produksi ekspornya, (2) mendorong pengusaha lokal untuk melakukan joint
venture dengan investor asing dan melakukan ekspor, serta (3) menjadikan
Tiongkok sebagai bagian dari global supply chain dan pusat manufaktur. Untuk
mencapai strategi tersebut, program yang dilakukan adalah (a) menyelaraskan
regulasi untuk trade promotion dan preferential treatment untuk menarik FDI,
(b) memberikan otonomi dan tax assignment system pada pemerintah daerah
sehingga mendorong pemda untuk mereformasi daerahnya agar lebih terbuka
pada perdagangan dan investasi, (c) menyediakan insentif untuk FDI, ekspansi
ekspor, dan pertumbuhan sektor swasta, serta (d) memprioritaskan investasi
pada high-tech firms, managerial know-how, dan talent.
4. Kebijakan peningkatan human capital untuk mendorong pertumbuhan
endowment melalui learning and capital accumulation. Akumulasi kapital
dilakukan dengan kebijakan investasi di atas, sedangkan pertumbuhan human
capital dilakukan dengan berinvestasi pada sektor kesehatan dan pendidikan
(training, pertukaran pelajar, work-study training program, magang/vocational
training di negara lain) serta menyediakan kondisi learning process untuk sektor
swasta dengan melakukan liberalisasi harga dan mendorong relokasi tenaga
kerja dan human capital dari sektor publik ke swasta dan ekspor.
4.3 Strategi Kebijakan Nasional
Berdasarkan hasil analisis daya saing yang dilakukan, kurang optimalnya
kinerja perdagangan Indonesia berasal dari adanya berbagai permasalahan pada
faktor enablers (antara lain, SDM dan ketenagakerjaan), akses pasar, logistik dan
infrastruktur, serta kurangnya skema insentif. Untuk menjawab berbagai tantangan
tersebut, dilakukan formulasi strategi dengan menggunakan kerangka pikir seperti
pada Gambar 42. Untuk mencapai sasaran akhir yang berupa kesejahteraan sosial
dan stabilitas makroekonomi, diperlukan peningkatan daya saing ekonomi melalui
upgrading dan deepening industri, penciptaan nilai tambah, serta berorientasi
ekspor. Industri yang dimaksud adalah seluruh industri secara umum, baik yang
berbasis SDA, padat karya, teknologi menengah ataupun teknologi tinggi. Untuk itu,
diperlukan strategi kebijakan industri nasional yang mencakup tujuh elemen dasar,
yaitu (1) institusi dan leadership; (2) skema insentif perdagangan dan investasi; (3)
SDM dan ketenagakerjaan; (4) infrastruktur; (5) efisiensi teknis dan business
services; (6) akses pembiayaan; serta (7) akses pasar.
5
Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional
4.3.1 Institusi dan Leadership
Aspek institusi dan leadership menjadi aspek sentral yang akan
memengaruhi efektivitas implementasi strategi secara umum karena
kemampuannya dalam memengaruhi implementasi strategi pada kategori lain.
a. Koordinasi (antarsektor, pusat-daerah)
Diperlukan penguatan fungsi koordinasi antarsektor dan antardaerah yang
mencakup kelembagaan, sinkronisasi KPI (key performance indicators) institusi,
dan organisasi yang sejalan dengan pembangunan industri berdaya saing. Selain
itu, juga diperlukan sinergi perencanaan dan pengendalian kebijakan, regulasi,
anggaran, dan pengembangan wilayah (RTRW).
b. Trust dan collective actions
Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah (1) penyamaan visi dan persepsi
segenap elemen dalam mendukung pembangunan nasional; (2) karakter
leadership yang membangun kepercayaan publik serta mendorong kinerja aparat
yang akuntabel dan kredibel; serta(3) penegakan hukum yang adil dan konsisten.
c. Efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan
birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada
kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan
6
publik yang bersih dan tata kelola; (4) membangun mekanisme umpan balik
masyarakat; (5) kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik dan kerja sama pembangunan (a.l. kerja sama
antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur); serta (6)
pelayanan publik yang mendukung industri (call center, resource sharing, dan
konsultasi publik).
4.3.2 Skema Insentif Trade and Investment
a. Promosi Ekspor
Untuk memperbaiki promosi ekspor, diperlukan revitalisasi peran
Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara
profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan
permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik.
b. Fasilitasi Investasi
Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan
fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu satu
pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama dalam
pelayanan perizinan.
c. Kawasan industri
Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut
diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa
berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh
pemerintah untuk pengembangan kawasan industri (Kawasan Berikat
Nusantara/KBN) yang terintegrasi dengan dukungan konektivitas dan
infrastruktur.
d. Insentif fiskal
Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan
dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi industri
berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan yg
memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat dan
efisien.
e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif
7
Diperlukan upaya pengendalian inflasi secara lebih intensif dan
menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan bauran
kebijakan.
4.3.3 SDM dan Ketenagakerjaan
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah terkait
tenaga keraja antara lain adalah sebagai berikut.
a. Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (link and match)
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem pendidikan,
antara lain ialah (i) melakukan kebjakan pro dan insentif yang tinggi untuk
menjadi tenaga terampil (tamatan nonuniversitas), misalnya dengan gratis biaya
pendidikan D1, D2, D3 di bidang teknik; (ii) membangun paradigma positif
terhadap tenaga kerja terampil; (iii) mengarahkan talent pooling mulai dari
SMA/sederajat; (iv) mendorong hubungan universitas-industri dengan adopsi
kurikulum yang aplikatif dengan kebutuhan industri, termasuk magang; (v)
menyediakan beasiswa pascasarjana untuk pengembangan studi terkait industri
strategis (prioritas); (vi) meningkatkan kualitas pengajar dan laboratorium dan
fasilitas riset sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri daerah; serta
(vii) mempermudah izin utk pendirian universitas asing yang berkualitas
internasional, khususnya pada science, technology, math, and health (STEM–H).
b. Ketrampilan dan produktivitas pekerja
Keterampilan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, antara lain,
melalui (1) revitalisasi balai pelatihan tenaga kerja (mencakup kurikulum,
pengajar, dan fasilitas); (2) industri dipersyaratkan untuk mengalokasikan
anggaran bagi pelatihan karyawan; (3) peningkatan peran aktif industri/swasta
dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja melalui
program apprentice; (4) standardisasi kompetensi kerja nasional Indonesia untuk
industri dan jasa pendukung (transportasi, logistik, dan lain-lain); serta (5)
upaya mendorong karyawan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris aktif.
c. Kebijakan ketenagakerjaan
Kebijakan yang dapat dilakukan, antara lain adalah (1) pemberian insentif
bagi industri yang mengalokasikan anggaran untuk peningkatan keahlian tenaga
kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal dari pemerintah
pusat dan daerah; dan (3) regulasi khusus yang mempermudah pengadaan
tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan jangka waktu tertentu
8
4.3.4 Infrastruktur
Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24% PDB (ALFI, 2015)
dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi
lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya
logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai
lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia
cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani
melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi
perdagangan. Reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki
kinerja logistik.
a. Konektivitas (jalan, logistik, pelabuhan, dan customs)
Perbaikan konektivitas dapat ditempuh, antara lain, dengan (1)
pengalihan logistik dari jalan darat ke kereta dan angkutan laut (short sea
shipping) dengan menambah jumlah stasiun dan pelabuhan; (2) peningkatan
akses jalan dari kawasan industri ke pelabuhan untuk mempercepat waktu
tempuh dan menurunkan biaya transportasi; (3) pembangunan infrastruktur
(antara lain trans Java highway, perbaikan jalan, aerocity, logistics center,
fasilitas kargo udara, pengembangan kawasan pelabuhan, dan broadband);
serta (4) sistem informasi antarpenyedia logistik yang terintegrasi.
b. Energi dan utilitas
Untuk mendukung industri, diperlukan (1) kebijakan energi yang
mendukung peningkatan daya saing industri; dan (2) dukungan utilitas yang
sustainable.
c. Kebijakan fiskal bidang logistik
Kebijakan fiskal bidang logistik mencakupi (1) insentif perpajakan bagi
penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor; dan (2)
peningkatan moda transportasi logistik (kereta api dan kapal laut).
d. Regulasi pendukung
Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum
transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas
menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU,
regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi dan
harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki acuan
pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat aktivitas
9
bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan lebih memperoleh kepastian
hukum; (2) koordinasi antarsektor dalam pemeriksaan barang impor; dan (3)
Penerapan cash less payment untuk pengurusan customs clearance.
4.3.5 Efisiensi Teknis dan Business Services
a. Technological improvement
Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1)
revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsi/modifikasi dan
penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.
b. R&D dan inovasi
Untuk mendorong terciptanya proses research and development (RD) dan
inovasi, perlu dilakukan, antara lain (1) pendirian fasilitas RD oleh pemerintah
untuk dapat digunakan publik; (2) pemerintah (kemenristek) menyediakan
sistem informasi riset yang terintegrasi dari seluruh instansi (termasuk
universitas dan swasta); (3) insentif bagi instansi untuk pemanfaatan dan
pengembangan hasil riset oleh user (industri); (4) insentif fiskal bagi perusahaan
dengan alokasi anggaran research and development tinggi; serta (5) dorongan
bagi kalangan usaha dan industri untuk pengembangan networking untuk
inovasi dan adopsi teknologi.
c. Business services
Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan
kebijakan untuk mendorong/memberikan insentif bagi peningkatan business
service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).
d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Aspek terkait HAKI tidak terlepas dari pencapaian efisiensi teknis. Untuk
itu, kebijakan yang ada perlu mempermudah perolehan atas hak cipta/ paten
serta dalam tatanan implementasi secara umum perlu dilakukan penegakan
hukum yang tegas atas pelanggaran HAKI.
4.3.6 Akses Pembiayaan
a. Akses pembiayaan dan financial inclusion
Peningkatan akses pembiayaan dapat dilakukan, antara lain, melalui (1)
penguatan lembaga pembiayaan ekspor; (2) penyediaan skema pembiayaan
khusus untuk industri yang berorientasi ekspor; dan (3) peningkatan akses
pembiayaan bagi industri daerah yang strategis.
10
b. Modal ventura
Terkait modal ventura, perlu dibangun awareness (social responsibility)
bagi industri besar yang sukses untuk mengembangkan industri pemula, antara
lain, melalui pembiayaan ekuitas. Selain itu, kebijakan hendaknya mengurangi
hambatan masuknya modal ventura asing untuk meningkatkan alternatif
pendanaan.
c. Sumber pembiayaan jangka panjang
Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, industri perlu didorong
untuk masuk ke pasar modal dan obligasi.
4.3.7 Akses Pasar
a. Keikutsertaan pada trade agreement (TA) harus dilakukan secara strategis
1) Perlunya grand strategy dan positioning Indonesia terhadap TA
Kerja sama perdagangan (TA) berguna untuk memfasilitasi
perusahaan agar lebih kompetitif di pasar yang lebih besar, menarik FDI,
dan mendorong industrial upgrading (Laksono dan Situmorang, 2014). TA
juga dapat menjadi sarana untuk mengeliminasi tarif dan relaksasi non-tariff
measures. Hal itu akan menyebabkan harga input lebih murah (bahan
mentah dan capital goods) dan pengembangan akses pasar untuk ekspor
Indonesia lebih mudah.
Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, kerja sama
perdagangan Indonesia relatif tertinggal, baik dalam regional trading (Error!
Reference source not found.) maupun bilateral trading (Tabel 11). FTA Indonesia
sebagian besar dilakukan dalam regional trading system ASEAN dengan
bilateral FTA hanya dengan Jepang dan Pakistan (berbentuk PTA). Dalam
mega block trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional
comprehensive economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN
lainnya.
Tabel 11. Trade Agreement Negara ASEAN
Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam
ASEAN AFTA, ACFTA–Tiongkok, AKFTA–Korea, AJCEP– Jepang, AIFTA– India, AANZFTA– Australia New Zeland, dan RECP (dalam proses yang terdiri dari 10 ASEAN member states, Australia, Tiongkok,
India, Jepang, Korea, dan New Zealand)
7 Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial upgrading.
11
Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam
Jepang √ √ √ √ √
Pakistan √ √
Australia Konsultasi √ √
Chile JSG** √ √ √
India Akan negosiasi
√
New Zealand
√ √
Turki JSG √
Tabel 11. (lanjutan)
Mitra Indonesia Filipina Thailand Malaysia Vietnam
Korea Perundingan berhenti
√
Eropa Wacana √ √ √ Peru √
Tiongkok √ Tunisia,
Mesir JSG
TPP √ √ √
*) Tidak tersedia informasi **) Joint Study Group
Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading
12
2) Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pengusaha dalam proses FTA
Agar FTA dapat memberikan manfaat yang optimal, penyusunan FTA
harus dilakukan bersama dengan pengusaha. Hasil FGD dengan pelaku
usaha mengonfirmasi bahwa dukungan akses pasar Indonesia belum cukup
memadai, terutama pada beberapa negara besar tujuan ekspor (contoh
Eropa dan Amerika Serikat) khususnya bagi sektor yg cost sensitive seperti
TPT, cocoa dan lainnya. Untuk pasar Eropa saat ini produk tekstil Indonesia
masih menikmati skema generalised scheme of preferences (GSP8) walaupun
akan segera berakhir pada tahun 2017. Tanpa GSP harga produk Indonesia
akan lebih tinggi 10%–30%.
Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk
pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi
produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian
maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan
Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat,
inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi.
Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil
(standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan
minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi
dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN
(GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai
kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan
transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia.
3) Melakukan diseminasi manfaat FTA terhadap pengusaha
Pemanfaatan fasilitas FTA oleh pengusaha juga masih rendah. Sesuai
dengan kajian DInt (2015), meskipun tarif ATIGA sudah rendah (terutama
utk ASEAN6), utilisasinya masih rendah. Hal itu dapat disebabkan oleh
rendahnya pemahaman atas FTA dan rendahnya margin preference dan
prosedur utilisasi tarif ATIGA yang kompleks (costly).
b. Sertifikasi/Standardisasi
8 Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur,
perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet.
13
Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional
serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa
laboratorium uji berstandar internasional.
c. Sistem informasi/repository
Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang
lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.
d. Perluasan pasar dan sistem
Perluasan pasar ekspor nonkonvensional serta mendorong eksportir
untuk mengoptimalisasi sistem pengiriman barang dari free on board (FOB) ke
cost, insurance, and freight (CIF).
Sementara itu, terkait strategi substitusi impor dan bagaimana paket
kebijakan industri saat ini terkait strategi di atas karena tidak terlalu terkait dengan
pembahasan dalam riset ini, secara khusus dapat dilihat pada lampiran.
Menurut jangka waktu (timing) penerapan, strategi nasional dapat dibagi
menjadi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang. Detil atas hal ini
dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 44.
14
Gambar 44. Timeline Penerapan Strategi Nasional
JANGKA PENDEK
Faktor Institusi dan Leadership
Debirokratisasi, Penempatan sesuai kompetensi, Manajemen pemerintahan serta mekanisme umpan balik
SDM dan ketenagakerjaan
Gratis pendidikan D1/D2/D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training
untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA
Skema insentif trade & investment
Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk
industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien
Infrastruktur
Kebijakan energi yang mendukung, Insentif perpajakan, Sinkronisasi peraturan logistik, cash less customs
Akses pembiayaan
Penguatan lembaga pembiayaan & skema pembiayaan khusus untuk industri ekspor,
Bantuan teknis akses KUR, modal ventura asing
Akses pasar
Diseminasi manfaat FTA
JANGKA MENENGAH
Faktor Institusi dan Leadership Penyamaan visi/persepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar
daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta & masyarakat SDM dan ketenagakerjaan
Kurikulum beasiswa, pengajar & fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja
Skema insentif trade & investment
Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat–
daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran kebijakan untuk stabilitas makro
Infrastruktur Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable,
Koordinasi dalam barang impor
Technical efficiency Revitalisasi mesin, fasilitas R&D untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal untuk R&D, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider,
Mempermudah hak cipta /paten, Penegakan hukum
Akses pembiayaan Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk
ke pasar modal dan obligasi
Akses pasar Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional,
infrastruktur standarisasi
JANGKA PANJANG
Infrastruktur
Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur,
Peningkatan moda transportasi logistik Akses pasar
Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance & freight)
15
V. SIMPULAN
BAB V – KESIAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil analisis kinerja perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia
memiliki permasalahan dalam keempat dimensinya (extensive, intensive, quality
dan sustanaibility). Ekspor Indonesia cenderung mengalami kemunduran dari
seluruh aspek, terutama dari sisi kualitas yang saat ini berbasis pada resource
based dengan nilai tambah yang rendah serta intensitasyang semakin menurun.
Jika dibandingkan dengan negara kawasan, kinerja ekspor Indonesia tertinggal
dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Vietnam mencapai peningkatan
kinerja yang signifikan dalam satu dekade terakhir.
2. Diagnostik daya saing mengidentifikasi permasalahan melemahnya daya saing
Indonesia yang terutama bersumber dari tenaga kerja (skill set), tidak
kondusifnya lingkungan bisnis, dan rumitnya birokrasi terkait kebijakan dan
institusi domestik, biaya produksi dan logistik yang tinggi, serta lemahnya market
access (nonitariff measures dan FTA).
3. Hasil FGD mengonfirmasikan temuan dari Competitiveness Diagnostics yang
menjadi perhatian utama dunia usaha adalah regulasi dan kebijakan pemerintah,
kemampuan SDM, infrastruktur dan logistik, serta koordinasi dan aksi kolektif.
4. Berdasarkan permasalahan pada kinerja ekspor Indonesia, diindikasikan industri
Indonesia yang cenderung bersifat domestik (inward looking). Hal itu sejalan
dengan temuan analisis triangular trade (analisis keterkaitan nilai tambah/value
added linkages). Tiga negara yang paling kompetitif di antara ASEAN-5 dalam
rantai nilai global adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Malaysia dan
Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign
value added (FVA), atau memiliki produktivitas impor yang tinggi (kemampuan
mengekspor setelah mengimpor tinggi). Kemampuan Indonesia terlibat dalam
salah satu aktvitas di rantai nilai global akan lebih banyak ditentukan oleh
kemampuan daya saing Indonesia untuk menjadi location of choice pada berbagai
tahapan produksi. Analisis FDI menunjukkan bahwa FDI di Indonesia bersifat
mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik.
5. Studi terhadap strategi negara lain dalam mengembangkan industrinya
menunjukkan model pertumbuhan yang diadopsi saat bertransformasi dari lower
16
income country ke middle income country umumnya menggunakan strategi
pertumbuhan dengan tulang punggungnya adalah industri manufaktur
berorientasi ekspor. Kebijakan industri yang dilakukan adalah kebijakan yang
meningkatkan struktur endowment melalui akumulasi modal via investasi asing,
dan peningkatan human capital. Strategi yang ditempuh difokuskan pada
menjadikan negaranya sebagai basis produksi industri yang efisien yang
berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi dimotori oleh perusahaan swasta
dengan peran pemerintah sebagai fasilitator bagi kegiatan usaha dan penyediaan
kompetisi yang efektif tanpa menciptakan birokrasi berlebih dan seminimal
mungkin mengganggu mekanisme pasar. Untuk mencapai hal tersebut, strategi
yang ditempuh pada umumnya adalah melalui keterbukaan terhadap
perdagangan dan investasi, reformasi institusi untuk menciptakan kondisi yang
kondusif bagi investasi dan bisnis serta melakukan industrial upgrading bertahap
sesuai dengan endowment structure yang dimilikinya.
Berdasarkan hasil studi tersebut dapat direkomendasikan untuk agenda
penelitian terkait ke depan, yaitu sebagai berikut.
1. Penelitian analisis daya saing dan ketersediaan services pendukung manufaktur
(antara lain: jasa logistik, ICT services, dll).
2. Dengan lingkungan geografis kepulauan dan perbedaan gap pertumbuhan antar
daerah yang relatif tinggi, diperlukan penelitian terkait kebijakan industri yang
juga melihat aspek spasial dan local competitive advantage yang dimiliki berbagai
daerah di Indonesia.
3. Dengan mayoritas pola kehidupan masyarakatnya adalah agraris, diperlukan
penelitian terkait kebijakan pengembangan industri yang dikaitkan dengan
upaya mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan bagi beberapa komoditas
strategis tertentu. Membangun linkages industri bagi komoditas–komoditas
srategis tersebut akan membuka peluang yang lebih besar bagi tumbuhnya
agroindustri yang memanfaatkan komoditas dimaksud.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Sondang, 2014. ASEAN Economic Community 2015: Kesiapan Nasional
dalam Liberalisasi Perdagangan Barang dan Jasa dalam AEC 2015.
Anglingkusumo, R., Anugrah, D. F., Fridayanti, Y. dan Hendharto, H. S. (2014).
Perubahan Struktural dalam Perekonomian Global dan Dampaknya pada
Perekonomian Indonesia melalui Jalur Perdagangan. Working Paper No.
LHP/4/DKEM/2014, Bank Indonesia.
Bank Indonesia, 2014. Progress, Challenges, And Opportunities of the AEC 2015:
Indonesia’s Perspective. Presented on Indonesian Scholars International
Convention 2014 , Oxford, 25–26 October 2014.
Bosch, Peter et al, 2012. The Future of Manufacturing Opportunities to drive
economic growth A World Economic Forum Report in collaboration with
Deloitte Touche Tohmatsu Limited.
Cahyadi, G., Kursten, B., Weiss, M., Yang, G., “Singapore’s Economic
Transformation”, Global Urban Development Singapore Metropolitan Economic
Strategy Report, June 2004.
Chin, Vincent, Michael Meyer, Evelyn Tan, and Bernd Waltermann, 2014. Winning
in ASEAN How Companies Are Preparing for Economic Integration. Part of the
Winning with Growth series #bcgGrowth.
Civil Service College (CSS), “Trade Facilitation & Internationalisation”, March 2015,
Singapore.
Das, Sanchita Basu et al, 2013. The ASEAN Economic Community a Work in
Progress: Asian Development Bank.
Deloitte, 2014. The ABC of AEC to 2015 and beyond. Deloitte.
Departemen Perdagangan, 2011. Menuju ASEAN Economic Community 2015.
Farole, T. And Winkler, D., “Export Competitiveness in Indonesia’s Manufacturing
Sector”, The World Economic Forum, 2012.
Goh, A.L., “Towards an Innovation–Driven Economy through Industrial Policy–
Making: An Evolutionary Analysis of Singapore”, The Innovation Journal: The
Public Sector Innovation Journal, Volume 10(3), article 34, 2011.
Hatzichronoglou, T. (1997), “Revision of the High Technology Sector and Product
Classification”, OECD Science, Technology and Industry Working Papers,
1997/02, OECD Publishing.
Hausmann, R., J. Hwang, and D. Rodrik. 2007. “What You Export Matters.” Journal
of Economic Growth, Vol. 12, No. 1, pp. 1–25.
18
Hidalgo, C. A., Klinger, B., Barabasi, A. L., dan Hausmann, R. (2007). “The Product
Space Conditions the Development of Nations”, Science, Vol. 317 no. 5837 pp.
482–487.
Hosono, Akio (2013), “Industrial Strategy and Economic Transformation: Lessons of
Five Outstanding Cases”, Working paper prepared for JICA/IPD Africa Task
Force Meeting
Jin, N.K., “Singapore as a Financial Center: New Developments, Challenges, and
Prospect” in Financial Deregulation and Integration in East Asia, NBER–EASE,
Ed. by Ito, T. And Krueger, A.O., University of Chicago Press, January 1996,
http://www.nber.org/chapters/c8569
JWT, 2013. ASEAN Consumer Report.
Keliat, Makmur et. Al, 2013. Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi
Jasa ASEAN. ASEAN Study Center UI dan Kementerian Luar Negeri RI.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2015. Dampak ASEAN Economic
Community (AEC) terhadap Perekonomian & Perumusan Strategi Nasional
dalam Persiapan Menghadapi AEC.
Kohpaiboon, A. and N. Yamashita (2011), ‘FTAs and the Supply Chain in the Thai
Automotive Industry’, in Findlay, C. (ed.), ASEAN+1 FTAs and Global Value
Chains in East Asia. ERIA Research Project Report 2010–29, Jakarta: ERIA.
pp.321–362.
Lall, Sanjaya (2000), “The Technological Structure and Performance of Developing
Country Manufactured Exports, 1985–1998”. QEH Working Paper Series,
QEHWPS44.
Laksono, Riandy dan Rosa Situmorang, 2014. In Facing the Indonesia–European
Union Comprehensive Economic Partnership Agreement: Perspective from
Indonesia’s Business Sector. APINDO Policy Series Vol. P.001/DPN–EUKAJ–
I/2014.
Lin, Justin Yifu and Yan Wang, 2008. Tiongkok’s Integration with the World
Development as a Process of Learning and Industrial Upgrading. The World
Bank WPS4799.
Lin, J.Y. and Treichel, V., “Making Industrial Policy Work for Development” in
Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth, Jobs and
Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K., International
Labour Organization, Mei 2014.
Menon, S.V., “Governance, Leadership and Economic Growth in Singapore”, MPRA,
ICFAI Business School, Ahmedabad, August 2007.
Milberg, W., Jiang, X. And Gereffi, G., “Industrial Policy in the Era of Vertically
Specialized Industrialization” in Transforming Economies: Making Industrial
Policy Work for Growth, Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M,
Nubler, I. and Wright R.K., International Labour Organization, Mei 2014.
National Economic Advisory Council, 2010. New Economic Model for Malaysia.
19
Neng, W.W., “Pursuing Prosperity, Making a Living: Singapore’s Economic
Institutions and the Pursuit of Economic Development”, Civil Service College,
2015.
Nubler, I., “A Theory of Capabilities for Productive Transformation: Learning to Catch
Up”, in Transforming Economies: Making Industrial Policy Work for Growth,
Jobs and Development, edited by Xirinachs, J.M, Nubler, I. and Wright R.K.,
International Labour Organization, Mei 2014.
Nugroho, M. Noor dan Yanfitri, 2011. Potensi Dampak Pembentukan Pasar Tunggal
ASEAN terhadap Perekonomian Indonesia: OP
OECD, 2013. OECD Investment Policy Reviews: Malaysia 2013.
Patunru, Arianto A. dan Sjamsu Rahardja (2015), Trade protectionism in Indonesia:
Bad times and bad policy. Lowy Institute for International Policy.
Rakhman, R. N., R. Khasananda, H. Werdaningtyas, G. Wicaksono, R.
Anglingkusumo (2015), Analisa Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia
dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi
Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bank Indonesia.
Reis, José Guilherme dan Thomas Farole (2012), Trade competitiveness diagnostic
toolkit. Washington D.C.: The World Bank.
Robinson, J.A., “Industrial Policy and Development”, Harvard University,
Department of Government and IQSS, May 2009.
Rodrik, D., “Growth Strategies”, Harvard University, John F. Kennedy School of
Government, August 2004.
Warr, Peter (2011), Thailand’s Development Strategy and Growth Performance.
Working Paper No. 2011/02, UNU–WIDER.
World Economic Forum Report, “The Future of Manufacturing: Opportunities to
Drive Economic Growth”, in collaboration with Deloitte Touche Thmatsu Ltd.,
2012.
World Investment Report, 2012. Global Value Chains: Investment and Trade for
Development.
Yue, C.S., “Singapore Model of Industrial Policy – Past and Present”, Second LAEBA
Annual Meeting, Buenos Aires, Argentina, November 28–29, 2005.
Zhu, T., “Rethinking Import–substituting Industrialization: Development Strategies
and Institutions in Taiwan and Tiongkok”, Research Paper No.2006/76, UNU–
WIDER, July 2006.
Box 1. Summary Paket Kebijakan Ekonomi Tahun 2015
Serangkaian paket kebijakan (I s.d. VIII) dikeluarkan sejak awal September
2015 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
daya saing industri nasional dan perbaikan iklim investasi di dalam negeri. Paket–
paket kebijakan itu secara ringkas disajikan sebagai berikut.
1. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I dikeluarkan untuk mendorong kemudahan
investasi, efisiensi industri, kelancaran perdagangan dan logistik, serta
kepastian bahan baku dalam negeri
2. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II dimaksudkan untuk meningkatkan investasi
berupa deregulasi dan debirokratisasi peraturan untuk mempermudah
investasi, baik PMDN maupun PMA. Langkah–langkah yang ditempuh lebih
konkrit agar dapat langsung diimplementasikan, antara lain layanan investasi 3
jam, pengurusan yang lebih cepat terhadap tax allowance dan tax holiday,
penghapusan PPN transportasi, insentif di kawasan pusat logistik berikat,
pengurangan pajak deposito, dan perampingan izin kehutanan.
3. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi melalui penurunan harga bahan bakar untuk peningkatan daya beli,
penurunan harga bahan bakar industri untuk peningkatan daya saing,
perluasan wirausaha penerima KUR, serta penyederhanaan izin pertanahan.
4. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dimaksudkan untuk menjaga daya beli
masyarakat melalui formulasi upah buruh untuk peningkatan kesejahteraan
pekerja dan pemberian kredit modal kerja untuk UKM dalam rangka mendorong
ekspor serta perluasan kebijakan KUR.
5. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V dimaksudkan untuk lebih mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak untuk revaluasi aset,
penghapusan pajak berganda untuk real estate, properti dan infrastruktur, dan
deregulasi perbankan syariah.
6. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VI dilakukan melalui pemberian insentif berupa
tax allowance dan tax holiday untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
kepastian izin bagi investor di bidang pengelolaan sumber daya air, serta
penyederhanaan izin obat dan bahan bakunya.
7. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VII yang memberikan keringanan untuk industri
padat karya, termasuk di dalamnya keringanan pengenaan PPh Pasal 21 bagi
21
karyawan perusahaan s.d. penghasilan 50 juta rupiah per tahun yang lebih 50%
produknya dieskpor.
8. Paket Kebijakan Ekonomi Jilid VIII yang pada saat penulisan laporan ini masih
baru berupa rencana yang akan diarahkan bagi peningkatan kualitas produk
menghadapi daya saing pada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Secara umum apabila semua paket kebijakan itu dapat terlaksana dengan
baik segera dan sesuai dengan harapan, paket kebijakan tersebut akan sangat
bermanfaat dalam meningkatkan daya saing Indonesia dan memicu pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun, konteks paket kebijakan lebih
bersifat jangka pendek dan hulu (dalam rangkaian proses membuka usaha)
sehingga masih perlu dilengkapi dengan kebijakan lainnya yang bersifat jangka
panjang dan lebih bersifat hilir.
Paket kebijakan tersebut berpotensi untuk meningkatkan konsumsi,
memperbaiki iklim investasi, dan mendorong pengadaan infrastruktur. Peningkatan
konsumsi dapat tercapai melalui penurunan harga bahan bakar dan kebijakan
peningkatan kesejahteraan pekerja (penentuan upah minimum dan harga
rumah/rusunami untuk buruh). Peningkatan investasi dapat terjadi melalui
prosedur investasi yang semakin cepat, kepastian bahan baku industri, kemudahan
perizinan, insentif penempatan dana di dalam negeri, penurunan bunga KUR,
insentif revaluasi aset, insentif KEK, dan penyederhanaan impor bahan baku obat.
Infrastruktur sendiri dapat didorong melalui penghapusan PPN alat transportasi,
penghilangan pajak berganda dana investasi real estate, properti dan infrastruktur,
serta jaminan hukum bagi investor pengelola sumber daya air. Selain itu,
pembangunan kawasan logistik berikat diharapkan dapat mempermudah proses
distribusi barang, baik dari sisi input maupun output-nya. Namun, semua kebijakan
dimaksud tidak akan efektif apabila tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien. Untuk itu, dibutuhkan perangkat pelaksana yang tidak saja trampil, tetapi
juga punya integritas, bertanggung jawab dan berkinerja tinggi. Pengelolaan SDM
untuk memenuhi hal tersebut menjadi suatu keharusan di samping prinsip-prinsip
leadership yang berintegritas dan bertanggungjawab yang sangat diperlukan pada
semua lapisan birokrasi pemerintah.
22
Gambar 45. Ringkasan Analisis Daya Saing Industri Indonesia
Gambar 45 menjelaskan secara ringkas Analsis Daya Saing Industri
Indonesia dalam riset ini. Berdasarkan hal itu, dapat dilihat bahwa paket kebijakan
telah menyentuh beberapa aspek yang memengaruhi daya saing (misalnya dari sisi
infrastruktur, insentif investasi pada industri yang padat modal dan bernilai
tambah, serta kebijakan pengupahan). Namun, masih banyak yang dapat dilakukan
khususnya untuk perspektif jangka panjang, seperti pengembangan SDM dan yang
bersifat hilir seperti masalah lahan untuk industri. Secara ringkas beberapa usulan
rekomendasi kebijakan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pengembangan human capital,
2. Promosi ekspor/investasi, baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Integrated KEK dengan infrastruktur pendukung seperti sumber energi dan
sarana dan prasarana transportasi dengan berbagai moda transportasi.
4. Regulasi ketenagakerjaan yang juga memungkinkan free entry dan free exit yang
lebih mudah.
5. Regulasi terkait tenaga kerja asing (TKA) dalam rangka investasi dan
peningkatan nilai tambah industri yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi TK domestik.
6. Faktor leadership yang nyata dan bertanggung jawab serta memberikan contoh
yang mulia, jauh dari nilai-nilai tercela seperti korupsi, penggelapan, dan
ketidakefisienan.
23
7. Penentuan strategi dalam rangka free trade agreement (FTA) yang akan
menguntungkan secara agregat bagi Indonesia dan berdampak positif bagi daya
saing Indonesia di pasar ekspor.
8. Sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses baik oleh pengusaha,
birokrat, akademisi maupun masyarakat umum yang memuat informasi dan
persyaratan yang dibutuhkan untuk ekspor produk tertentu. Kenyataan bahwa
sebagian besar kesepakatan perdagangan intra-ASEAN dan FTA lainnya masih
belum banyak dimanfaatkan pengusaha Indonesia memberikan sinyal bahwa
informasi dan birokrasi bagi pemenuhan ketentuan ekspor itu masih rumit dan
memakan biaya. Selain sistem informasi harus terdapat kelembagaan yang
dapat memberikan bantuan, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah yang
berusaha memanfaatkan peluang pasar akibat kesepakatan perdagangan yang
telah dibuat.
9. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan semua insentif dan paket kebijakan
tersebut haruslah konsisten dan bukan hanya sebatas retorika sehingga akan
terdapat hasil nyata dari segala kemudahan yang semestinya diberikan melalui
berbagai paket kebijakan itu.
24
Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor
Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi
yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk
menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki
tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan
industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang
sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis,
serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2)
trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi
industri baru/infant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama
tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple
exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara dan
modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang
diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu
memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta
barang antara dan modal.
Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank
dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada
biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi
dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan
bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga
mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan
kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan
pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari yang
diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk mendukung
industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru makin
mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor (energi
dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara signifikan.
Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif (directly
unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif
menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan mengurangi
investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka panjang.
Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI menciptakan
pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus menyebabkan
menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.
25
Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan kembali,
khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh pesat.
Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan
merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah tidak
mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi kemampuan
teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah pada tahap
“matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin Amerika
melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan fiskal.
Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap melakukan SI
dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif dengan kinerja
ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan
pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan disiplin terhadap sektor
swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor) sebagai ganti dari subsidi
terhadap sektor swasta; (2) menghindari ketidakseimbangan eksternal dengan
promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang kompetitif; dan (3) berhasil melakukan
desain proteksi dan promosi ekspor yang mendorong proses pembelajaran teknologi
dan akumulasi pengetahuan.
Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga
menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada
tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI
di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif.
Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada
industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan,
sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di Indonesia
tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam perdagangan, SDM,
dan teknologi (Kim, 2004).
Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil
boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai
dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah memproduksi
sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa.
Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun
kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA. Kebijakan industri
itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan industri berat yang
justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia, yaitu industri
berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana Damayanthi, 2008).
26
Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang
minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank BUMN.
Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta
ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah
harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004). Pemerintah
kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan dan investasi
asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh
adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan diluncurkannya
berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di
dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor perbankan dan
keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah untuk
menjaga daya saing.
Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era
ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya,
seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura.
Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993)
nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980–
1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar pada tingkat 7%, tidak
terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya.
Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada
masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan
yang bersifat ideologis.
Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok nasionalis
menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki harga yang
relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk memperoleh
dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok kepentingan
yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an, ketika harga
minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih ‘mahal’….
Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih banyak
proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor industri tetap
tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi pada fase itu
berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah menetapkan
sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi yaitu industri
pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi
27
darat, industri telekomunikasi, sektor energi, industri rekayasa, industri mesin
pertanian, industri pertahanan, dan industri pendukung yang terkait.
Argumen waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan
diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam
jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan,
diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah
tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan pada industri-
industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan proteksi dan subsidi
terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada masa 1985-
1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri–industri berat.
Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi
secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan
pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di
Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain
yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja,
yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar
pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan pakaian
jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing
baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya yang berorientasi
ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem struktural yang
melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah sempitnya basis
produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak adanya
pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta
rendahnya produktivitas (Kim, 2004).
Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks,
lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi,
sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan pada
tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan suatu
proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung,
konsisten, dan koheren.
Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan
kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu
sebagai berikut.
28
1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan
kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi). Contohnya
pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan
teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea
setiap kebijakan industri selalu disertai dengan kebijakan SDM dan
pengembangan teknologi jangka panjang yang dikoordinasikan dalam framework
pembangunan berjangka 5 tahun.
2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan
perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking
yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan
merusak perkembangan sektor swasta.
3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM),
kegiatan riset dan pengembangan (R&D) swasta. Mengingat kebijakan industri
pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk
perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga
menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium
pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk
mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta.
4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).
Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan
UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan
pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di
Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang
menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia
sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM
umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan
menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan
antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply
yang cost effective.
Sumber:
Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons
from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea
Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency
(KOICA).
29
Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton
Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton
University Press.
Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam
Prespektif Ekonomi Politik. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 2
No.1 pp. 68–89.
30
Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral
1. Industri TPT
Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta yang
paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk pembangunan
nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi negara yang terlibat
dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya tetap yang rendah dan
penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis, ekspansi global industri
pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri pakaian merupakan salah
satu industri yang paling dilindungi dari semua industri, mulai dari subsidi
pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon) serta sejarah panjang kuota
berdasarkan general agreement on tariff and trade dalam MFA dan perjanjian
penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles and Clothing (ATC).
Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan
seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap
praproduksi (R&D dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan
jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan pekerjaan
banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan selalu terpapar
tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan ekonomi (economic
upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.
1. Assembly/Cut, Make and Trim (CMT)
Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau
merajut pakaian langsung dari benang.
2. Original Equipment Manufacturing (OEM)/Full Package/Free on Board (FOB)
Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi
termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik
hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang
diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.
3. Original Design Manufacturing (ODM)/Full Package With Design
Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk
produksi pakaian.
4. Original Brand Manufacturing (OBM)
Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri.
Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai
karena berbagai keuntungan, termasuk perjanjian perdagangan yang
menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.
31
Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor
lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan
industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di
suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari pemerintah
dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan merk agar dapat
mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk nasional.
Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal
tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di
beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami
dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The
Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial
pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan
banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade
Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan
pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFA/ATC membatasi ekspor ke
pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan
volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri
domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok
kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin
yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari
sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti
Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global
yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat
pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan
berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak
The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di negara-
negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang
mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi
berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup besar
pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan tajam
pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya
kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.
Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya
akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas
mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara
32
mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan
berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh
produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan
Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari negara-
negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika Serikat, Uni
Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia hanya terlihat
meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok menghadapi
tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat hingga 20% per
tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang dihasilkannya. Hal
itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu pergeseran produksi CMT ke
negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah, dan meningkatkan tekanan
kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan mutu terjadi secara cepat untuk
menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi dari Tiongkok ini merupakan
peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mencoba meningkatkan
pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi dapat ditempuh, yakni dengan cara
sebagai berikut.
1. Tingkatkan investasi pada pendidikan dan pelatihan (training)
Kesempatan untuk menjalani pendidikan dan training dapat membantu
mengatasi skill deficit yang dapat menghambat economic upgrading. Pendidikan
sebaiknya mencakup keahlian teknis maupun soft skills dalam area, seperti
manajemen, pengembangan produk, desain, dan riset pasar.
2. Menciptakan fungsi pemasaran (marketing) dan jejaring
Perusahaan dan pemerintah sebaiknya bekerja sama menciptakan organisasi
untuk memasarkan negara/kawasan dan menyelaraskan perusahaan dengan
organisasi internasional yang berhubungan dengan pengembangan standar,
industry advocacy, riset dan pengembangan, serta praktik terbaik.
3. Mempromosikan investasi langsung (FDI) atau joint ventures untuk
mengembangkan kemampuan vertikal (vertical capabilities)
Strategi ini sangat bagus, terutama bagi kawasan yang masih didominasi model
produksi perakitan atau CMT (cut, make, dan trim). Hal itu akan membantu
menciptakan backward linkages dan mengembangkan keahlian bukan di dalam
negara. Otoritas ekonomi harus menyediakan layanan satu pintu bagi investor
atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan perusahaan baru.
4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel
33
Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik,
dan teknologi informasi yang memungkinkan pemasok menjadi lebih
terintegrasi pada jaringan pembeli.
5. Mengembangkan full package capabilities
Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang dapat
menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan
pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas.
6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional dan
internasional
7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan
Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk
bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan
faktor tradisional lainnya.
8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir
Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar
pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda.
2. Industri Otomotif
Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi
pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal
dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC), yaitu
bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas dalam rantai
produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve, aktivitas yang
bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and development, serta
aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia masih terkendala
pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut. Saat dunia sudah
memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang dan Korea, Indonesia
sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain otomotif sendiri. Terkait
dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan Indonesia adalah
meningkatkan keunggulan komparatif pada parts dan components otomotif sehingga
secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah yang dihasilkan di Indonesia
akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula. Berdasarkan pendapat
Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi produksi dari komponen
otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari sisi biaya.
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk
mengembangkan industri ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
34
sebelumnya, beberapa hal krusial yang dilakukan oleh Thailand adalah (1) tidak
takut dalam memiliki tingkat integrasi yang tinggi dalam hal investasi dan
perdagangan; (2) mengembangkan infrastruktur secara terpusat, yang sangat
memberikan kenyamanan bagi investor, baik dari sisi regulasi, logistik, maupun
industri pendukung; (3) memastikan proses knowledge transfer dan learning by
doing berjalan secara maksimal; dan (4) memanfaatkan peran teknokrat dalam
pembangunan kawasan industri yang independen dari proses politik.
Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human
capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill
tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi
untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat
mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga
kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan
tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya
dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri membuka
cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih belum
mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan peraturan
pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga kerja
temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja
Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.
3. Industri Information and Communication Technology
Industri ICT di Indonesia memiliki potensi yang besar, Business monitoring
International (2015) memperkirakan industri ICT di Indonesia akan tumbuh rata-
rata 12,5% per tahunnya dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 trilliun rupiah
pada 2019. Untuk penjualan perangkat lunak diperkirakan akan mencapai lebih
dari 50 trilliun rupiah, sedangkan pada 2019 penjualan perangkat keras berupa
komputer pribadi dan jasa layanan IT masing-masing akan mencapai 100 trilliun
rupiah dan 80 trilliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga,
seperti Malaysia dan Singapura, porsi belanja IT per PDB Indonesia masih sangat
rendah, yaitu hanya sekitar 1,6%, sedangkan Malaysia dan Singapura masing-
masing sebesar 6,42% dan 6,37%.
Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain
yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga
35
biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat mahal. Oleh karena itu,
pemerintah berusaha untuk menggenjot pertumbuhan industri ICT dengan
meningkatkan infrastruktur layanan internet dengan program Indonesia Broadband
Plan 2014–2019. Pemerintah menargetkan seluruh penduduk di kota besar memiliki
akses ke internet, sedangkan untuk wilayah perdesaan ditargetkan 52%
penduduknya terjamah dengan layanan internet.
Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka
temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan
usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak memiliki
kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan
sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan
SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga pelaku usaha
membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang lebih sedikit
dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung ke dalam dunia
kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi hambatan bagi pelaku
usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka menjadi bertambah
seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha industri ICT di Indonesia
saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak perusahaan asing yang ikut
bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang
mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama, kegiatan magang bagi mahasiswa
perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman kerja mereka dapat meningkat dan
mempermudah mereka dalam beradaptasi dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan
perpajakan perlu dikaji kembali guna menghindari double tax. Untuk menciptakan
iklim persaingan usaha yang lebih baik, diperlukan kebijakan yang
memprioritaskan perusahaan lokal dalam mengikuti tender yang dilakukan oleh
perusahaan BUMN.
36
Box 4. Pelajaran Kebijakan Singapura, Korea Selatan, Thailand,
Malaysia, dan Vietnam
1. Singapura
Sejak mencapai pemerintahan sendiri pada 1959, Singapura menghadapi
berbagai ketidakpastian ekonomi dan gejolak perekonomian. Singapura memandang
penyediaan tenaga kerja dan perumahan yang layak merupakan dua masalah pokok
yang perlu segera dibenahi. Terkait penyediaan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan sustainable merupakan satu-satunya jawaban. Dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, beberapa tujuan kebijakan yang lain akan dapat
dipenuhi dengan lebih mudah. Pada tahun 1960 GDP/capita hanya SGD1,310
sementara saat ini 2014 SGD71,318, meningkat lebih dari lima puluh kali lipat.
Penghasilan pekerja dengan 44 jam kerja/seminggu pada 1960 sebesar SGD120,
sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi SGD3,770.
Sejak awal berdirinya, Singapura memiliki visi untuk menjadi bagian dari first
world economics dalam waktu 3–40 tahun. Kunci untuk mencapai itu disesuaikan
dengan keberadaan Singapura sebagai kota perdagangan tanpa sumber daya alam,
tetapi memanfaatkan economic dynamism, menawarkan high quality of life, serta
memiliki a strong national identity dan suatu konfigurasi kota global (global city).
Beberapa strategi utama yang dilakukan adalah (1) meningkatkan sumber
daya manusia; (2) mempromosikan kerja sama tim nasional (promoting national
teamwork); (3) berorientasi internasional; (4) menciptakan iklim kondusif untuk
inovasi; (5) mengembangkan klaster manufaktur dan jasa; (6) spearheading
economic redevelopment; (7) mempertahankan keunggulan daya saing internasional;
dan (8) mengurangi vulnerabilitas.
Pertumbuhan ekonomi Singapura tidak terlepas dari peran aktif EDB
(economic development board) yang bertugas mempersiapkan perkembangan
ekonomi untuk medium dan long term, yaitu menerapkan prinsip realignment,
redirecting, dan reorientation dilakukan secara fleksibel sesuai dengan
perkembangan zaman.
Tiga tahapan utama perkembangan ekonomi Singapura (CSS, 2015):
(1) 1950s–1970s: membangun ekonomi nasional;
(2) 1980s–1990s: refining strategies: deepening and diversifying engines of growth
(3) 1998–2000s: globalization and the challenges of sustainable, inclusive growth
37
Mendiang Perdana Menteri Lee pada 2012 (Neng, 2015) mengungkapkan
“Without growth, we have no chance of improving our collective being… Slow growth
will mean that new investments will be fewer, good jobs will be scarcer, and
unemployment will be higher. Enterprising and talented Singaporeans will be lured
away by the opportunities and the incomes they can earn in other leading cities. Low–
income workers will be hardest hit, just as they were each time our economy slowed
down in the last decade. Over time, our confidence will be dented. Thoughtful
Americans have told me that a major challenge for the US after years of slow growth
has been a profound loss of optimism. The same is true for Japan, and will be true of
Singapore too if ever our economy stagnates.” Hal utama yang perlu dibenahi bagi
Lee adalah menciptakan economic viability yang ditopang oleh struktur administratif
yang bersih dan efisien untuk melaksanakan kebijakan ekonomi (Menon, 2007).
Strategi Industri Singapura dapat dijelaskan dalam prinsip sebagai berikut
(CSS, 2015).
(1) Melihat dengan keterbatasan yang ada, yaitu negara kecil tanpa sumber daya
alam, tetapi memiliki lokasi geografi yang strategis. Oleh karena itu, filosofi
pengembangan ekonominya harus berdasarkan free market system dan outward
orientation didukung oleh pemerintahan yang menyediakan kerangka legislatif,
lingkungan yang stabil dan kondusif untuk bisnis, corporate governance yang
baik, kebijakan yang memfasilitasi bisnis, investasi dalam infrastruktur dan
tenaga kerja, serta kebijakan bagi pengembangan pemerataan kesempatan hidup
layak.
(2) Strategi industri meliputi bebarapa fase (Cahyadi dll., 2004; Yue, 2005, Neng,
2015)
a. 1965–1978: proses industrialisasi melalui strategi berorientasi ekspor dengan
menarik investor asing dan mengembangkan industri manufaktur dan sektor
keuangan. Perbaikan iklim tenaga kerja dan investasi serta menasionalisasi
perusahaan karena sektor swasta tidak mampu menyediakan kapital yang
cukup dan keahlian yang cukup, seperti Singapore Airlines, Nepture Orient
Lines, Development Bank of Singapore, dan Sembawang Shipyard.
b. 1979–1985: memperbarui penekanan pada penngembangan tenaga kerja
melalui pendidkan dan pelatihan. Mendorong otomatisasi industri,
mekanisasi, dan komputerisasi. Memberi insentif untuk beralih ke teknologi
dengan nilai tambah yang lebih besar dan kebijakan yang mendorong
penanaman modal dalam industri padat modal dan keahlian.
38
c. 1986–2000: memperdalam basis teknologi industri, mengembangkan klaster
industri, serta mempromosikan industri manufaktur dan jasa sebaai twin
pillars dari perekonomian Singapura. Regionalisasi atau mendorong
perusahaan-perusahaan di Singapura untuk melebarkan sayapnya ke
wilayah di sekitar Singapura, di antaranya memanfaatkan gold triangle: Riau–
Johor–Singapura.
d. 2000–sekarang: mengalihkan perhatian pada inovasi, pengetahuan, serta
riset dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menjadi bagian
penting dari pengembangan perekonomian Singapura pada masa yang akan
datang (Goh, 2005). Untuk itu, pelindungan hak properti intelektual
diterapkan dan didukung penerapannya dengan law enforcement yang kuat.
Oleh karena itu, fokus pada teknologi informasi harus dilakukan termasuk
web–based commercial strategies dan e–government initiatives. Agar
kemampuan entrepreneurship berkembang, kemampuan ini terus didorong
dan termasuk dalam bagian penting dalam penelitian dan pengembangan.
Terakhir, potensi manusia semakin dikembangkan, termasuk di dalamnya
change management agar performa perusahaan semakin baik.
(3) Pada tahun 2010 ada tiga prioritas utama yang ingin dicapai, yaitu sebagai
berikut.
a. Mendorong keahlian dalam setiap pekerjaan agar tingkat upah yang lebih
tinggi dapat dipertahankan. Perusahaan didorong agar berinovasi,
memperbaiki efisiensi dan membuat pekerjaan lebih baik, serta
meningkatkan keahlian pekerja pada semua tingkat. Sedapat mungkin
dihindari ketergantungan kepada tenaga kerja asing.
b. Memperdalam kemampuan perusahaan untuk menangkap peluang di Asia.
Perusahaan perlu menumbuhkan ekosistem bisnis yang beragam, tetapi kuat
menahan goncangan, mengomersialisasi R&D sebagai sumber
competitiveness, dan mengembangkan fasilitas berdasarkan pasar untuk
melebarkan pembiayaan internasional bank.
c. Membuat Singapura sebagai suatu distinctive global city and endearing home.
Hal itu dicapai melalui pendalaman keahlian dalam berbagai bidang, menarik
sumber daya manusia berpotensi tinggi dari luar negeri, dan membuat
Singapura sebagai a distinctive global city.
(4) Strategi utama dalam satu dekade ke depan untuk mencapai tiga prioritas utama
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Tumbuh melalui keahlian dan inovasi
39
b. Menjadi Global–Asia Hub untuk industri manufaktur dan jasa
c. Ekosistem perusahaan yang beragam
d. Inovasi yang tajam
e. Smart energy economy
f. Meningkatkan produktivitas tanah
g. Global city, endearing home
Pada prinsipnya Singapura telah menerapkan apa yang diperlukan bagi
suatu transformasi produktif yang berhasil (Nubler, 2014), yang ditopang oleh
kebijakan industri yang baik (Lin and Treichel, 2014) dan dengan memanfaatkan
keberadaan GVC yang semakin besar dalam ekonomi global saat ini (Milberg, Jiang
dan Gereffi, 2014).
2. Korea Selatan
Hanya dalam jangka waktu kurang lebih 60 tahun, Korea Selatan (Korsel)
berhasil melakukan transisi dari perekonomian tidak berkembang, bahkan
merupakan salah satu negara termiskin pada 1960an, menjadi negara maju.
Keberhasilan tersebut dikenal dengan sebutan “The Korean Miracle” dan merupakan
perkembangan ekonomi yang paling berhasil selama abad ke-20. Gross National
Income (GNI) per kapita meningkat dari 85 dolar AS pada tahun 1961 menjadi lebih
dari 20.000 dolar AS pada tahun 2006. Korsel menjadi negara dengan perekonomian
terbesar ke-13 pada tahun 2014. Perkembangan ekonomi Korsel patut diperhatikan
karena merupakan pembangunan dengan ekuitas, pengentasan kemiskinan yang
tergolong cepat, dan tanpa peningkatan kesenjangan (inequality) selama proses
transisi. Elemen-elemen yang menjadikan Korsel pemain utama dalam ekonomi
global adalah bantuan dari komunitas internasional, pengabdian masyarakat Korsel
untuk bekerja, usaha konsisten dari Pemerintah untuk membuka
perekonomiannya, dan upaya perusahaan untuk berinovasi dan meningkatkan daya
saing di pasar internasional.
40
Gambar 46. Transformasi Perekonomian Korea Selatan
Investasi pendidikan telah memainkan peran penting terhadap pertumbuhan
Korsel yang cepat dan berkelanjutan. Strategi pembangunan berfokus pada
pencapaian pertumbuhan produktivitas berkelanjutan dengan secara konsisten
meningkatkan nilai tambah dari output. Untuk mencapai hal itu, tenaga kerja yang
berpendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Sejak berakhirnya perang Korea sampai
dengan tahun 1960-an, Korsel mengadaptasikan kebijakan substitusi impor untuk
pembangunan ekonominya. Tujuan utama perekonomian pada periode itu adalah
meningkatkan lapangan pekerjaan dan memperbaiki neraca pembayaran. Korsel
mulai mempromosikan industri substitusi ekspor dan impor dimulai dengan
subsistensi pertanian (beras) dan padat karya, sektor manufaktur ringan (tekstil dan
sepeda). Perekonomian Korsel kala itu banyak bergantung pada bantuan dana asing,
salah satunya bantuan dari Amerika Serikat yang menyediakan bahan baku untuk
industri three white pada tahun 1950 di Korea berupa gula, benang katun, dan
tepung gandum. Akumulasi modal dan investasi dalam pendidikan dasar selama
periode itu memungkinkan pergeseran bertahap ke atas rantai nilai tambah menuju
komoditas yang lebih canggih. Kunci pergeseran itu adalah penggunaan teknologi
yang diperoleh melalui lisensi asing dan diadaptasi untuk produksi dalam negeri.
Pada awal tahun 1960-an, perekonomian Korea Selatan masih terjebak dalam
lingkaran kemiskinan. Untuk membebaskan diri dari jeratan kemiskinan,
Pemerintah Korsel mencanangkan Five–Year Economic Development Plan pada tahun
1962. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, Pemerintah membantu
perkembangan industri impor subsitusi yang memproduksi barang antara dasar,
seperti semen dan pupuk. Setelah itu, Pemerintah mempromosikan industri ekspor
1960s 1970s 1980s 1990s 2000s
Development Stage
Industrial Policy
Science & Technology (S&T) Policy
Factor-Driven Investment-Driven Innovation-Driven
Support Export Development
Expand export-orient light industries
Promote Heavy & Chemical Industries
(HCI)
Expand technology-intensive industries
Shift from Industry Targettingto R&D Support
Promote high-technology innovation
Provide Information Infrastructure and R&D
Support
Transition to Knowledge-Based Economy
Promote New Engines of Growth and Upgrade R&D
Scientific Infrastructure Setting Government
Research Institutes (GRI)
Technical and Vocation Schools
R&D Promotion Act Daedeok Science
Town KAIST:highly
qualified personnel
Scientific Institution Building
MOST/KIST S&T Promotion Act Five-Year
Economic Plan incl.S&T
R&D and Private Research Lab
Promotion National R&D Plan
(NRDP) Private Sector
Initiatives in R&D Promotion of
Industrial R&D
Leading Role in Strategic Area
Informatization E-Government GRI Restructuring U-I-G Linkages Enhancing univ-
research capability Promoting co-op
research Policy coordination
<New Challenges> Universities’
Leading Role Efficient National
Innovation Systems (NIS)
Regional Innovations System (RIS) and Innovation Clusters
Sources of Competition
cheap labormanufacturing capability innovative capability
CATCH - UP INNOVATIONStrategy
41
padat karya seperti tekstil dan plywood yang memiliki daya saing internasional
akibat dari biaya tenaga kerja murah dan mampu menyerap pengangguran maupun
pengangguran terselubung. Dalam rangka mendukung industri ekspor, langkah-
langkah mempromosikan ekspor secara luas diambil. Pinjaman dengan kebijakan
suku bunga rendah diberikan untuk membantu perusahaan-perusahaan ekspor
yang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai bentuk perlakuan pajak diferensial
diberlakukan kepada industri ekspor, seperti pembebasan pajak dan rabat tarif
pajak. Pemerintah juga fokus pada mobilisasi yang efisien dan alokasi sumber daya
investasi. Beberapa bank khusus didirikan untuk membiayai sektor–sektor strategis
terbelakang seperti UMKM dan konstruksi perumahan. Bersamaan dengan hal
tersebut, untuk mendorong masuknya arus modal asing, The Foreign Capital
Inducement Act disahkan pada tahun 1966 dan bank asing diperbolehkan untuk
membuka cabang sejak tahun 1967. Proses industrialisasi ekonomi Korsel yang
cepat dibawah bimbingan Pemerintah selama tahun 1960-an menunjukkan kinerja
yang mengesankan. Selama proses industrialisasi berorientasi pada pertumbuhan,
sejumlah besar modal asing perlu didorong karena dana simpanan domestik tidak
mencukupi untuk membiayai permintaan investasi yang sangat besar. Oleh karena
itu, jumlah uang beredar meningkat dengan cepat untuk membiayai berbagai proyek
pemerintah.
Pertengahan tahun 1970-an implementasi kebijakan industri yang tepat guna
oleh Pemerintah berdampak pada pergeseran ke pengembangan industri berat
(contoh bahan kimia, besi dan baja, otomotif, serta pembangunan kapal). Seiring
dengan industrial targeting, berbagai kebijakan diberlakukan untuk lebih
meningkatkan kemampuan teknologi bersamaan dengan memperbaiki akses ke dan
kualitas dari pelatihan teknis dan kejuruan. Tujuan mendorong HCI adalah untuk
mendorong industri pertahanan, mengejar Jepang dalam industri HCI, merespons
peningkatan proteksionisme dalam industri ringan, serta mencapai impor subsitusi
pada barang kapital. Investasi dalam sektor–sektor baru didukung oleh insentif
pajak dan keuangan serta pemberian bantuan pada grup perusahaan besar
(Chaebol). Suksesnya transformasi industri berat dan kimia ke sektor ekspor baru
mengakibatkan Korsel mampu mempertahankan laju pertumbuhan yang kuat
sepanjang tahun 1970. Namun, dalam melaksanakan rencana pembangunan
ekonomi yang ambisius dengan dana tabungan domestik yang tidak mencukupi,
perekonomian diwarnai dengan kekurangan dana yang cukup besar. Kesenjangan
investasi-tabungan ini dijembatani dengan mendorong masuknya dana asing atau
dengan meningkatkan pasokan uang. Sebagai konsekuensinya, utang luar negeri
42
terus menumpuk dan inflasi kronis tetap terjadi. Efek samping hal tersebut
menyebabkan pergeseran stance kebijakan pemerintah menuju strategi
pertumbuhan berorientasi stabilitas.
Awal tahun 1980-an, efek samping dari manajemen ekonomi berorientasi
pertumbuhan makin mencolok. Krisis minyak yang kedua dan kekacauan politik
dalam negeri memberikan dampak yang cukup berarti. Akibatnya, perekonomian
Korsel mengalami berbagai kesulitan selama tahun 1980 dan mencatat
pertumbuhan negatif pertama sejak Development Plan pertama kali dicanangkan
dan defisit transaksi neraca berjalan yang besar. Untuk mengatasi kesulitan itu,
Pemerintah melakukan langkah–langkah penyesuaian struktural untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi. Pertama, Pemerintah menggeser prioritas
kebijakan ekonomi dari pertumbuhan ke stabilitas dan secara aktif mendorong
penyesuaian investasi berganda dan likuidasi perusahaan-perusahaan bermasalah.
Bersamaan dengan kebijakan itu, pergeseran ke ekonomi yang lebih terbuka dan
deregulasi dilakukan secara bertahap, sebagai bagian dari langkah menuju private–
initiative pada manajemen ekonomi. Sayangnya, upaya tersebut tidak begitu
membuahkan hasil karena situasi ekonomi politik yang rentan. Meskipun demikian,
kebijakan moneter dan fiskal yang ketat serta kestabilan baru harga minyak
internasional, berkontribusi pada pembangunan dasar perekonomian Korsel yang
stabil. Namun, pertumbuhan ekonomi yang terus tinggi menyebabkan
ketidakstabilan harga baru. Selain peningkatan inflasi, upah juga mengalami
peningkatan.
Korsel terus menekuni manufaktur bernilai tambah tinggi pada tahun 1990-
an dengan mempromosikan inovasi teknologi tinggi. Kenaikan upah buruh domestik
dan apresiasi mata uang Won telah mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan
yang cukup besar, yang memicu serangkaian reformasi, termasuk reformasi pasar
keuangan. Bersamaan dengan pendirian infrastruktur informasi yang modern dan
lebih mudah diakses, ekspansi kemampuan pengembangan riset tetap dilakukan di
industri Korsel, yang pada akhirnya menarik minat tenaga kerja terampil yang
dihasilkan dari ekspansi pemerintah akan sistem pendidikan tinggi. Pasca-
terjadinya krisis keuangan pada pertengahan tahun 1990-an, upaya kebijakan
dilakukan untuk mentransformasi perekonomian Korsel menjadi ekonomi berbasis
pengetahuan yang memunculkan berbagai inovasi serta meningkatkan
produktivitas secara keseluruhansehingga dapat mempertahankan pertumbuhan
ekonomi. Banyak faktor yang berperan dalam perubahan ekonomi Korsel yang
43
cepat. Salah satu faktornya adalah pembangunan infrastruktur informasi dan
memanfaatkan potensi dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Thailand
Thailand berhasil menjadi “Detroit of Asia” dengan keunggulannya menjadi
pusat industri otomotif di ASEAN. Hal tersebut dicapai dari skill, teknologi, industri
pendukung, dan klaster melalui learning dan akumulasi kemampuan. Analisis
product space menunjukkan bahwa pada tahun 2013 yang dibandingkan dengan
tahun 2010, jumlah produk berkeunggulan komparatif untuk garmen di Thailand
berkurang.
Pencanangan untuk menjadi negara dengan keunggulan pada industri
otomotif sudah dilakukan sekurangnya sejak 3 dekade lalu. Pertumbuhan ekonomi
Thailand pada tahun 1980 hingga awal tahun 1990-an sangat tinggi. Hal itu
didorong oleh tingkat investasi yang sangat tinggi dengan 20% pertumbuhan jangka
panjang dikontribusikan oleh stok modal fisik (Warr, 2011). Terkait dengan hal itu,
Warr (2011) menjelaskan bahwa Thailand sejak beberapa dekade lalu tidak takut
untuk memiliki tingkat integrasi yang dalam pada sisi investasi dan perdagangan
dengan seluruh dunia.
Sumber: Perhitungan peneliti dengan Cytoscape dan Product Space
Explorer. Data ekspor dari WITS.
Gambar 47. Product Space Thailand tahun 2000 dan 2013
44
Sumber: Hosono (2013)
Gambar 48. Perkembangan Industri Otomotif di Thailand
Secara khusus pengembangan infrastruktur The Eastern Seaboard berperan
besar dalam perkembangan industri otomotif (Hosono, 2013). Infrastruktur tersebut
berperan sebagai export hub dan pusat industri padat teknologi. Infrastruktur
tersebut menjadi tempat bagi 14 lahan industri, yang menyerap 360.000 tenaga
kerja, serta 1.300 pabrik, dimana yang 516 di antaranya terkait dengan produksi
otomotif. Industri parts dan components tumbuh karena adanya mekanisme learning
dengan memanfaatkan investasi yang sangat tinggi.
Menurut JICA/JIBC (2008) beberapa hal yang menjadi kunci kesuksesan
pembangunan industri otomotif di Thailand adalah(1) peran serta teknokrat yang
berkemampuan tinggi dan independen dari politik; (2) mekanisme check and balance
serta proses politik yang transparan; dan (3) orientasi pembangunan yang terpusat
di sentral sehingga efisien jika ditinjau dari aspek spasial.
Namun, terdapat risiko dari desain pembangunan industri seperti di
Thailand. Walaupun kesuksesan mengalihkan keunggulan komparatif secara
langsung pada machinery sesuai dengan profil keunggulan komparatif pada high–
income country, terdapat risiko pada tenaga kerja, khususnya jika terdapat bonus
demografi. Terkait dengan itu, ERIA (2013) menyatakan bahwa salah satu problem
di Thailand adalah adanya human capital bottleneck pada sektor manufaktur.
45
4. Malaysia
Malaysia menerapkan strategi export–led development yang berhasil
membawanya bertransisi ke upper middle income country (GDP per kapita saat ini
USD10.800). Visi Malaysia pada tahun 2020 adalah menjadi high income countries
(GDP USD15.000/kapita) yang akan dicapai dengan menggerakkan perekonomian
naik ke high value chain dengan mempromosikan investasi di sektor high value
added dan jasa.
Strategi menjadi HIC dilakukan melalui program pemerintah yang disebut
Economic Transformation Programme dan berciri sebagai berikut.
a. Model pertumbuhan dimotori sektor swasta. Pemerintah memfasilitasi
lingkungan yang kondusif untuk tercapainya pertumbuhan sosial dan ekonomi
yang lebih kuat.
b. Pertumbuhan didorong dengan strategi dan reformasi yang market–friendly,
berpusat pada inovasi dan peningkatan nilai tambah, berfokus pada peningkatan
kualitas, standar dan produktivitas pada sektor keunggulan yang dimiliki
Malaysia.
c. Kebijakan utama berpusat pada liberalisasi pasar, meningkatkan kompetisi,
memberikan insentif untuk investasi, menghapuskan hambatan, dan
membiarkan sektor swasta “memimpin”.
Program yang dicanangkan Malaysia berpusat pada hal berikut.
1. Strategi industri dilakukan dengan menetapkan 12 National Key Economic Areas
(NKEAs) yang akan berkontribusi signifikan terhadap GNI9. Secara umum
strategi industri berpusat menjadikan industri berskala besar dan naik ke rantai
nilai yang lebih tinggi dengan menjadikan Malaysia sebagai hub produksi atau
jasa. Beberapa contoh strategi sektor tersebut adalah sebagaimana tampak pada
tabel di bawah.
9 i) minyak, gas, dan energi, ii) pendidikan, iii) pariwisata, iv) wholesale and retail, v)
electronics and electrical, vi) layanan kesehatan, vii) kelapa sawit, viii) communications content infrastructure, ix) agrikultur, x) business services, xi) greater Kuala Lumpur/Klang Valley dan
xi) jasa keuangan.
46
Tabel 12. Strategi Industri Malaysia
No. Sektor Strategi
1. Electronics and electrical
Bertujuan untuk 1) merevitalisasi industri, 2) mempercepat pertumbuhan pendapatan dan 3) mempersiapkan industri dalam merespon shock eksternal seperti global demand. Terdiri dari 5
cluster yaitu1) jasa/desain manufaktur, 2) advanced assembly, 3)
industrial/integrated electronics, 4) advanced materials, dan 5) wafer technology. Tujuan dari cluster adalah menggiring industri menuju
aktivitas yang bernilai tambah tinggi seperti desain, rakitan, packaging dan penyediaan total solusi
2. Minyak, gas, dan
energi
Bertujuan untuk mentransfromasi Malaysia menjadi pusat perdagangan dan penyimpanan minyak di regional serta memastikan ketahanan energi untuk pasar domestik. Beberapa project adalah 1)
mendukung investasi di industri Oil & Gas Services and Equipment,
2) mendukung perusahaan lokal untuk mengekspor jasa dan
produknya, 3) mengurangi ketergantungan pada proyek lokal, dan 4)
menarik MnCs untuk mendirikan operasinya di Malaysia dengan
bermitra dengan perusahan lokal.
3. Kelapa sawit dan
karet
Strategi yang dilakukan adalah mendorong industri untuk bergerak di rantai nilai dengan memproduksi produk makanan dan kesehatan yang bersifat high end dan mendorong produktivitas lahan untuk
mencapai supply chain kelapa sawit yang lebih efisien.
4. Pendidikan Bertujuan untuk membangun pendidikan di Malaysia dan memanfaatkan posisi dan akses Malaysia untuk menjadi regional education hub. Tujuan ini dicapai dengan meningkatkan partisipasi
swasta, menarik universitas luar negeri yang berkualitas untuk membuka cabang di Malaysia dan membangun cluster pendidikan
baru.
5. Pertanian Bertujuan untuk mentransformasi pertanian yang berskala kecil
menjadi industri agribisnis yang berskala besar. Strateginya adalah
kapitalisasi, berfokus pada pasar premium, menyelaraskan tujuan
ketahanan pangan dengan peningkatan GNI dan berpartisipasi di rantai regional value chain.
6. Health Care Strategi pengembangan sektor dengan mengundang investasi swasta
dalam industri produk farmasi, peralatan kesehatan, riset klinis, jasa perawatan lansia serta mendorong kolaborasi penyedia jasa
kesehatan pemerintah dan swasta.
7. Financial Services
Tujuan untuk mengembangkan industri keuangan dimana
hambatan utama adalah kurangnya skala dalam beberapa segmen
di industri perbankan, keterbatasan investor, produk dan mata uang
di pasar modal.
2. Peningkatan Human Capital, khususnya di high skill labor dilakukan dengan
meningkatkan kapasitas TK domestik melalui pelatihan, pendidikan kejuruan,
program universitas atau menarik talent dari luar negeri dengan menyediakan
insentif dan mempermudah fasilitas dan ketentuan imigrasi.
3. Pembangunan infrastruktur secara forward looking melalui pembangunan
broadband untuk mendukung sektor komunikasi, elektronik, keuangan, retail,
bisnis dan edukasi serta mendukung peningkatan infrastruktur, seperti jalan,
pelabuhan, dan airport untuk mendukung bisnis dan pergerakan orang dan
barang.
47
4. Perbaikan iklim usaha untuk mendukung program promote investment dengan
mendirikan lembaga PEMUDAH (unit khusus untuk memfasilitasi dunia usaha)
dan melakukan deregulasi untuk mengurangi biaya dan kerumitan serta
meningkatkan efisiensi kegiatan pemerintah untuk mendorong sektor swasta.
5. Vietnam
Pada tahun 1986 Vietnam menerapkan kebijakan Doi Moi (renovation) yang
bertujuan untuk mereformasi sistem ekonomi Vietnam yang sebelumya berbentuk
centrally–planned economy menjadi socialist–oriented market economy. Reformasi
tersebut dilakukan untuk mengintegrasikan Vietnam ke dalam perekonomian
global. Untuk mencapai visi tersebut, Vietnam memiliki strategi pembangunan per
sepuluh tahun (10-year socio-economic development strategy) yang kemudian
dipecah menjadi strategi pembangunan per lima tahun.
Vietnam memiliki visi untuk mempercepat proses industrialisasi dan
modernisasi serta membangun fondasi untuk menjadikan Vietnam sebagai negara
industri pada tahun 2020, sedangkan pada tahun 2025, Vietnam memiliki visi yang
jelas sehingga struktur sektor industri Vietnam telah terbentuk dengan baik. Sektor
industri akan menjadi sektor yang kompetitif, memiliki teknologi yang maju, dan
berpartisipasi dalam nilai rantai global serta secara fundamental memenuhi
persyaratan ekspor. Tenaga kerja Vietnam akan memiliki kualifikasi yang memenuhi
kebutuhan sistem produksi modern. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor
mencapai 85%–88% dan nilai produk industri hi-tech mencapai 45% dari PDB.
Visi Vietnam pada 2035 adalah sektor industri Vietnam akan terbangun
dengan didominasi oleh industri spesialis yang berteknologi tinggi dan produknya
memenuhi standar internasional, berpartisipasi secara mendalam di rantai nilai
global, dan berkompetisi secara adil dalam integrasi internasional. Tenaga kerjanya
profesional, disiplin, berproduktivitas tinggi, serta aktif dalam riset, desain, dan
manufaktur. Rasio ekspor industri terhadap total ekspor mencapai 90% dan nilai
produk industri hi–tech mencapai 50% dari PDB.
Kebijakan Doi Moi yang diambil oleh Vietnam memberikan citra positif bagi
Vietnam dalam hubungan perdagangan internasional. Pada tahun 1994 Amerika
Serikat mencabut embargonya terhadap Vietnam. Selain itu, pada tahun 2001
terbentuk perjanjian perdagangan bilateral antara Vietnam dan Amerika Serikat.
Vietnam terus membuka diri ke pasar perdagangan internasional dengan bergabung
48
menjadi anggota WTO pada tahun 2007. Vietnam juga telah menjadi anggota
perjanjian perdagangan negara-negara Asia Pasifik (TPP) pada tahun 2013. Penetrasi
Vietnam ke pasar internasional semakin dalam dengan rencana Vietnam untuk
membentuk free trade agreement antara Eropa dan Vietnam.
Perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Vietnam dengan
negara-negara lain memberikan banyak keuntungan bagi Vietnam, bukan hanya
meningkatkan daya saing produk Vietnam dengan menurunnya tarif, melainkan
juga meningkatkan daya tarik Vietnam bagi investor asing, khususnya investor-
investor dalam rantai nilai global (GVC). Chaponniere and Cling (2009) menyatakan
bahwa foreign direct investment merupakan kunci keberhasilan dalam export–led
growth strategy Vietnam. Selain itu, Cushman and Wakefield (2015) juga
menyatakan bahwa pada tahun 2014 Vietnam menempati urutan pertama sebagai
negara yang paling cocok untuk berinvestasi dalam sektor manufaktur.
Dalam 25 tahun terakhir industri Vietnam terus bertransformasi. Pada tahun
1990-1995 pemerintah Vietnam fokus dalam menggenjot pertumbuhan industri
berat, seperti industri semen dan baja untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam
pembangunan usai perang. Selain itu, Vietnam juga fokus dalam membangun
industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan domestik, khususnya industri
makanan dan minuman. Vietnam juga mengedepankan industri-industri yang
berbasis pada sumber daya alam, seperti industri pertambangan dan industri migas.
Pada periode tahun 1996 hingga tahun 2000 Vietnam mulai bertransformasi ke
industri manufaktur yang berorientasi ekspor, seperti industri tekstil, apparel, alas
kaki, dan kertas. Setelah tahun 2001 Vietnam mulai fokus dalam menggenjot sektor
industri hi-tech.
Untuk menggenjot masuknya foreign direct investment, pemerintah Vietnam
menerapkan beberapa insentif bagi investor, antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pajak penghasilan perusahaan yang rendah selama periode waktu tertentu.
2. Pengurangan atau penghapusan pajak penghasilan perusahaan.
3. Pengurangan atau penghapusan pajak impor untuk barang-barang impor
yang berupa aset tetap, bahan mentah, suplai, dan suku cadang.
4. Pengurangan atau penghapusan biaya sewa lahan.
49
Sumber: WITS World Bank, diolah
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 49. Jumlah Produk dan Pasar
Gambar 50. Pangsa Ekspor ke Negara Maju (2013)
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 51. Jangkauan Ekspor Tiongkok 2010–2013
50
Indonesia Malaysia
Thailand Vietnam
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 52. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013
0 0 0.96 0 -0.53-9.15
108.73
0.96
99.05
-10
10
30
50
70
90
110
-10
10
30
50
70
90
110
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
arke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
mar
kets
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
arke
ts
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
0 0 0.17 0 -0.3-20.01
120.14
0.17
99.83
-30
-10
10
30
50
70
90
110
130
-30
-10
10
30
50
70
90
110
130
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
ark
ets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
ma
rke
ts
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
ark
ets
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intensive Margin
0.01 0 1.01 0 -0.64-9.48
109.1
1.02
98.98
-10
10
30
50
70
90
110
-10
10
30
50
70
90
110
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
arke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
mar
kets
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
arke
ts
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intensive Margin
Extensive Margin
0 0 2.73 0 -0.09 -0.47
97.83
2.73
97.27
-10
10
30
50
70
90
-10
10
30
50
70
90
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
ark
ets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
ma
rke
ts
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
ark
ets
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intensive Margin
Extensive Margin
0.02 0 5.21 0 -12.87 -69.04
176.67
5.23
94.76
-70
-20
30
80
130
180
-70
-20
30
80
130
180
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
arke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
mar
kets
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
mar
kets
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
arke
ts
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
mar
kets
Intensive Margin
Extensive Margin
0 0 0.01 0 -0.08 -4.97
105.04
0.01
99.99
-10
10
30
50
70
90
110
-10
10
30
50
70
90
110
Cre
atio
n o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intr
od
uct
ion
of
old
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in o
ld m
ark
ets
Incr
eas
e o
f n
ew
pro
du
cts
in n
ew
ma
rke
ts
Ext
inct
ion
of
exp
ort
s o
fo
ld p
rod
uct
s in
old
ma
rke
ts
Fall
of
old
pro
du
cts
in o
ldm
ark
ets
Incr
eas
e o
f o
ld p
rod
uct
sin
old
ma
rke
ts
Intensive Margin
Extensive Margin
51
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 53. Export Relative to Endowment – Malaysia 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 54. Export Relative to Endowment – Philippines 2013
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 55. Export Relative to Endowment – Vietnam 2013
52
Sumber: WITS World Bank, diolah
Gambar 56. Export Relative to Endowment – Tiongkok 2013