chitin & chitosan

Upload: reed-jones

Post on 10-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kitin merupakan polisakarida yang terbentuk dari β-(1,4) 2-asetamida-2-dioksi-β-D-glukosa. Sedangkan kitosan merupakan polimer linier yang terbentuk atas α-(1,4) 2-amino-2-dioksi-β-D-glukopiranosa

TRANSCRIPT

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama: Felisitas Nindi AriantiNIM: 11.70.0110Kelompok E2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG2014

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan rendemen kitin dan kitosan dapat dilihat Pada Tabel. 1. Tabel 1. Rendemen kitin dan kitosanKelPerlakuanRendemenKitin I (%)RendemenKitin II (%)RendemenKitosan (%)

E1kulit udang + HCL 0,75 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 40%3418,98715,333

E2kulit udang + HCL 0,75 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 40%1813,514

16,4

E3kulit udang + HCL 1 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 50%2114,28515,20

E4kulit udang + HCL 1 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 50%1414,70612

E5kulit udang + HCL 1,25 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 60%2214,70617,333

E6kulit udang + HCL 1,25 N + NaOH 3,5%N+ NaOH 60%2628,5718,5

Pada Tabel di atas menunjukkan hasil dari rendemen kitin dan kitosan dengan perlakuan berbeda, yaitu E1 dan E2 HCl 0,75 N; E3 dan E4 HCl 1 N; serta E5 dan E6 HCl 1,25 N. Rendemen kitin I yang memiliki hasil tertinggi adalah pada kelompok E1 yaitu sebesar 34%, sedangkan yang terkecil terdapat pada kelompok E4 yaitu 14%. Kemudian, rendemen kitin II yang paling tinggi terdapat pada kelompok E6 yaitu sebesar 28,571%; dan hasil yang terendah adalah pada kelompok E2 sebesar 13,514%. Sementara itu, rendemen kitosan terbesar terdapat pada kelompok E5 dengan hasil sebesar 17,333%; sedangkan hasil yang terkecil adalah pada kelompok E6 yaitu sebesar 8,5%.

2. PEMBAHASANChitin adalah biopolymer yang tersusun atas -1,-N-asetilglukosamin. Biopolimer tersebut dapat diekstrak dari dinding sel fungi, yeast, jamur, cangkang crustacean seperti kepiting, udang, dan bagian tengah cumi-cumi, tetapi sekarang udang dan cangkang kepiting yang dipertimbangkan menjadi sumber chitin komersial (Khorrami et al., 2012). Sedangkan menurut Visakh et al. (2012) chitin merupakan polimer dengan berat molekul yang tinggi terutama dengan struktur linear berdasarkan senyawa polisakarida yang mengandung kelompok acetamida yang spesifik -(1-4) (N-asetil-D-glukosamin). Ini dapat ditemukan didalam jaringan tanaman dan hewan, yang menjadi biodegradable. Chitin tinggi akan Kristal dan bergantung pada bentuk asal yang teridentifikasi sebagai , , chitin.

Chitin adalah polimer alami yang ditemukan di eksoskeleton hewan seperti udang. Setelah proses ekstraksi dalam industri, cangkang akan sangat berguna. Chitin adalah polisakarida dengan struktur poly N-acetyl glucosamine.

Gambar 1. Struktur Chitin(Viarsagh et al., 2010)Kitin merupakan polisakarida yang terbentuk dari -(1,4) 2-asetamida-2-dioksi--D-glukosa. Sedangkan kitosan merupakan polimer linier yang terbentuk atas -(1,4) 2-amino-2-dioksi--D-glukopiranosa (Dutta, 2004).

Chitosan adalah polisakarida linear yang tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-b-D-glukopiranosa. Kelompok asam amino dalam chitosan memiliki nilai pH 6,5. Dengan kata lain, chitosan ialah bioadesif dan muatan negatif dipermukaan seperti membrane mukosa. Chitosan meningkatkan transport kelarutan obat melewati permukaan epitel dan cocok dan biodegradable (Puvvada et al., 2012).

Gambar 2. Struktur chitosanSumber: Zikakis, 1984

Proses transformasi kitin menjadi kitosan pada prinsipnya dapat melalui hidrolisis dengan asam dan basa. Hidrolisis dalam suasana basa terdiri atas 2 metode,perlakuan secara homogen dan heterogen. Perlakuan secara heterogen dalam suasana basa kuat merupakan metode yang umum dilakukan dalam proses deasetilasi kitin menjadi kitosan (Ramadhan et al., 2010). Ekstraksi kitin terdiri dari dua tahap, demineralisasi dan deproteinasi, yang dapat dilakukan dengan dua metode kimia atau biologi. Metode kimia melibatkan asam dan basa, sedangkan metode biologi melibatkan mikroorganisme (Arbia, 2012). Untuk memperoleh kitin dan kitosan maka diperlukan beberapa tahap, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.

Proses demineralisasi diawali dengan pencucian limbah udang dan pengeringan. Lalu dilakukan pencucian dengan air panas 2 kali dan dikeringkan kembali. Hasil tersebut dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Serbuk diambil secukupnya dan dicampur dengan HCl dengan perbandingan 10:1 (100 ml pelarut: 10 gram kulit) untuk 0,75 N (kelompok 1 & 2); 1 N (kelompok 3 & 4) dan 1,25 N (kelompok 5 & 6). Menurut Aranaz et al. (2009), kitin dapat diekstrak melalui penambahan asam yang berguna untuk melarutkan kalsium karbonat. Nugroho (2011) juga berpendapat, bahwa tahap demineralisasi berguna untuk menghilangkan mineral-mineral dalam cangkang crustacea dengan menggunakan larutan HCl 1 M pada suhu kamar selama 3 jam. Selanjutnya, larutan tersebut diaduk 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Kemudian, sampel disaring dan dicuci hingga pH netral, serta dilakukan penimbangan berat basah. Lalu, dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan diukur berat kering.

Berikutnya adalah proses deproteinasi diawali dengan penimbangan tepung hasil demineralisasi kemudian pencampuran tepung dengan NaOH 3,5%. Menurut Nugroho (2011), deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terdapat pada cangkang crustacea. Sedangkan menurut Aranaz et al. (2009), setelah demineralisasi maka dilakukan ekstraksi menggunakan larutan alkali untuk melarutkan protein. Lalu ada proses depigmentasi yang berguna untuk memperoleh produk tanpa warna dengan cara menghilangkan astaxanthin. Namun pada praktikum yang dilakukan tidak ada proses depigmentasi. Langkah selanjutnya, sampel tersebut diaduk 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Setelah itu disaring dan didinginkan. Residu dicuci sampai pH netral dan ditimbang berat basahnya. Sampel dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan diukur berat kering. Azhar (2010) menyatakan, bahwa untuk mempercepat proses demineralisasi dan deproteinisasi maka dilakukan proses pemanasan dan penggilingan. Viarasagh et al. (2010) menyatakan bahwa larutan NaOH memiliki fungsi untuk menghilangkan protein.

Tahap selanjutnya adalah proses deasetilasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah kitin yang diperoleh dari proses sebelumnya ditambahkan dengan NaOH pada konsentrasi 40% (kelompok 1 & 2); 50% kelompok 3 & 4); 60% (kelompok 5 dan 6). Lalu, sampel diaduk 1 jam, didiamkan selama 30 menit, dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. Residu tersebut disaring dan dicuci sampai pH netral. Sebelum dioven pada suhu 70oC selama 24 jam, sampel ditimbang berat basahnya. Setelah pengeringan maka didapatkan kitosan. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Viarasagh et al (2010) bahwa pemanasan dilakukan pada suhu 130oC selama 90 menit, kemudian didinginkan dan dicuci hingga pH 7. Sedangkan Sofia (2010) mengatakan proses deasetilasi kitin dilakukan dengan melarutkan dalam larutan NaOH. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan derajat deasetilasi pada kitosan. Sementara itu Nugroho (2011), berpendapat, bahwa proses deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Pada proses deasetilasi terjadi pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asil dengan nitrogen pada kitin menjadi gugus amino. Ketika proses deasetilasi dengan menggunakan larutan NaOH konsentrasi tinggi, dalam larutannya NaOH akan terurai menjadi ion Na+ dan OH-. Ion hidroksil tersebut lalu bereaksi dengan karbon karbonil yang bersifat elektropositif. Produk akhir dari reaksi ini berupa kitosan dan garam natrium asetat sebagai hasil samping. Menurut Puvvada et al (2012) Chitosan akan berbentuk krim putih setelah proses diasetilasi.

Berdasarkan hasil percobaan rendemen kitin dan kitosan dengan perlakuan berbeda, yaitu E1 dan E2 HCl 0,75 N; E3 dan E4 HCl 1 N; serta E5 dan E6 HCl 1,25 N. Rendemen kitin I yang memiliki hasil tertinggi adalah pada kelompok E1 yaitu sebesar 34%, sedangkan yang terkecil terdapat pada kelompok E4 yaitu 14%. Kemudian, rendemen kitin II yang paling tinggi terdapat pada kelompok E6 yaitu sebesar 28,571%; dan hasil yang terendah adalah pada kelompok E2 sebesar 13,514%. Sementara itu, rendemen kitosan terbesar terdapat pada kelompok E5 dengan hasil sebesar 17,333%; sedangkan hasil yang terkecil adalah pada kelompok E6 yaitu sebesar 8,5%. Dapat disimpulkan bahwa rendemen dengan HCL 1 N lebih rendah dari rendemen HCL 0,75 N.

Chitin dan chitosan diaplikasikan pada industri farmasi yang membutuhkan tipe chitosan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan pasar (Puvvada et al., 2012). Chitin digunakan sebagai pengobatan alami yang cocok dan biodegradable, pembentuk karakteristik film, penghilang pewarna, antrimikroba, koagulasi dan masih banyak lagi (Khorrami et al., 2012). Di dalam aplikasi makanan chitosan digunakan sebagai pengawet alami untuk makanan karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba secara fisik maupun biologi (Lee et al., 2010).

3. KESIMPULAN Chitin adalah biopolymer yang tersusun atas -1,-N-asetilglukosamin. Chitin adalah polimer alami yang ditemukan di eksoskeleton hewan seperti udang. Chitosan adalah polisakarida linear yang tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-b-D-glukopiranosa. Tahap demineralisasi berguna untuk menghilangkan mineral-mineral dalam cangkang crustacea Larutan NaOH memiliki fungsi untuk menghilangkan protein. Chitosan akan berbentuk krim putih setelah proses diasetilasi. Chitosan digunakan sebagai pengawet alami untuk makanan karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Chitin digunakan sebagai pengobatan alami yang cocok dan biodegradable, pembentuk karakteristik film, penghilang pewarna, antrimikroba.

Semarang, 16 September 2014 Praktikan Asisten dosen Stella Gunawan Felisitas Nindi Arianti11.70.0110

4. DAFTAR PUSTAKAAranaz, Inmaculada et al. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology Vol. 3 No. 2. Bentham Science Publisher.

Arbia, Wassila, Leila Arbia, Lydia Adour, dan Abdeltif Amrane. (2012). Chitin Extraction from Crustacean Shells by Biological Methods A review. France.

Azhar, Minda et al. (2010). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Eksakta Vol. 1 tahun XI.

Dutta, Pradip Kumar, Joydeep Dutta, dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry, Properties, and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol. 63 Pg. 20-31.

Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, dan M. N. Hosseinpour. (2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217-223.

Lee, Woojin, Tai-Sun Shin, Sanghoon Ko & Hoon-il Oh. (2010). Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening. Journal of Food Science Vol. 75, Nr. 5, 2010.

Nugroho, Agung, Nanik Dwi Nurhayati, dan Budi Utami. (2011). Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan untuk Aplikasi Sensor Deteksi Logam Berat. Molekul Vol. 6 No. 2 Hl. 123-136.

Puvvada, Y.S., Saikishore V., & S. Sukhavasi. (2012). Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263.Sofia, Irwan, Pirman, dan Zulfiana Haris. (2010). Karakterisasi Fisiokimia dan Fungsional Kitosan yang Diperoleh dari Limbah Cangkang Udang Windu. Jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 9 No. 1 Hl. 11-18.

Viarsagh, M.S., M.n Janmaleki, Hamid R.F., & Jafar M. (2010). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of Paramedical Sciences (JPS) Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X.

Visakh, P.M., M. Monti, D. Punglia, M. Rallini, C. Santulli, F. Sarasini, S. Thomas, & J.M. Kenny. (2012). Mechanical and thermal properties of crab chitin reinforced carboxylated SBR composites. eXPRESS Polymer Letters Vol.6, No.5 (2012) 396409.

Zikakis, John P. (1984). Chitin, Chitosan, and Related Enzymes. Academic Press Inc. Florida.

5. LAMPIRAN5.1. Perhitungan