bab iv analisis pendapat shahrur tentang...
TRANSCRIPT
60
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT SHAHRUR TENTANG MEKANISME
AUL DAN RADD DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Analisis Pemikiran Shahrur Tentang Hukum Kewarisan Islam
Dari uraian bab sebelumnya dapat dilihat bahwa al-Islam salih li kuli
zaman wa makan menjadi konsep kunci bagi Shahrur untuk melakukan
konstruksi baru dalam pemikiran keislaman.
Dibanding dengan pemikir muslim lain, Shahrur adalah sosok pemikir
radikal. Dia membuang hampir seluruh peninggalan tradisi fiqih dan mengajak
seluruh kaum muslimin memiliki komitmen pada diri mereka untuk
memikirkan berbagai permasalahan yang kurang dikembangkan dalam fiqh
tradisional, Shahrur menekankan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat at-
Tanzil al-Hakim seperti ayat-ayat tentang pembagian harta waris.
Shahrur menawarkan konsep baru dalam menafsirkan ayat-ayat hukum
seperti, pandangan bahwa perkataan Nabi bukanlah wahyu, Ijma' bukanlah
konsensus ulama' yang sudah meninggal dunia, melainkan konsensus para
ulama' yang masih hidup, dan Qiyas (analogi) yang berarti mengajukan bukti-
bukti materi bukan menganologikan sesuatu yang ada saat ini dangan sesuatu
yang telah tiada, dengan berinteraksi dengan al-Qur'an atas dasar ini, maka
akan mampu menyelesaikan problematika yang berkembang dalam Islam.
61
Dalam rekonstruksi pemikiran keislamannya, Shahrur menggunakan
pendekatan linguistik,1 karena yang dikaji adalah teks Al-Qur'an. 2 Sebagai
seorang saintis, tipikal keilmuan yang mengedepankan sifat empiris, rasional
dan ilmiah sangat mewarnai landasan metodologis pemikirannya. Adapun
metode yang digunakan dapat disimpulkan paling tidak Shahrur menggunakan
dua macam metode inti dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an khususnya
tentang ayat-ayat pembagian harta waris yaitu:
1. Analisis Linguistik (Linguistikal Analysis)
Metode ini dalam bahasa Shahrur disebut sebagai al-Manhaj at-
Tarikhi al-Ilm fi Dirasah al-Lughawiyyah (metode historis ilmiah studi
bahasa). Metode ini diaplikasikan Shahrur dengan mencari makna kata
dengan menganalisis hubungan suatu kata dengan kata lain yang
berdekatan atau berlawanan (cross examination) sebab menurut Shahrur
kata itu tidak mempunyai sinonim.
Berkaitan dengan metode pertama ini, Shahrur menerapkan teori
linguistic yang pernah dikemukakan oleh al-Jurjani yaitu:
1) Terdapat kesesuaian antara bahasa dan pemikiran,
2) Pemikiran manusia tentang aturan kebahasaaan tidaklah berkembang
sempurna sekaligus tetapi tumbuh dan sempurna sejalan dengan
problematika yang dihadapi oleh pemikiran manusia dan,
1 Linguistik yaitu penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan, tujuan utamanya adalah
mempelajari bahasa (hubungan suatu bahasa dengan bahasa lain) lihat Departemen P&K, ensiklopedia umum, proyek pengembangan perpustakaan Jawa Tengah 1984, hlm. 633.
2 Muhammad In'm Esha, M. Syahrur, Teori Batas, dalam A. Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003, hlm. 304.
62
3) Tidaklah terdapat sinonim dalam bahasa arab.
Disamping al-Jurjani, metode Shahrur juga dipengaruhi oleh
pemikiran Ibn Faris, yaitu:
1) Bahasa itu beraturan
2) Bahasa muncul secara bersama dan strukturnya tBahasa muncul secara
bersama dan strukturnya terkait dengan jabatannya dalam bahasa dan,
3) Terdapat kesesuaian antara bahasa dan pemikiran, karena bahasa itu
berkembang terus.3
Analisis linguistik ini dalam prakteknya digabungkan oleh Shahrur
dengan metode tematik (dalam bahasa Shahrur adalah at-Tartil) yaitu
dengan mengumpulkan sejumlah ayat dan kemudian secara intrateks dan
interteks, ayat-ayat tersebut dianalisis secara kebahasaaan. Metode
penggabungan ayat ini oleh Sahiron Syamsuddin disebut dengan metode
intratekstualitas.4
Selanjutnya dengan berdasarkan dari metode linguistiknya "kata
adalah ekspresi dari makna", maka Shahrur dalam mengumpulkan ayat-
ayat yang berserakan dengan menggunakan pendekatan sematik,5 dengan
analisa paradigmatik dan sintagmatis. Analisa sintagmatis adalah
memahami makna teks dengan mengaitkannya pada konsep-konsep lain
yang berdekatan atau berlawanan sedang analisis sintagmatis adalah
3 Muhammad In'm Esha, Pembacaan Kontemporer Al-Qur'an: Studi Terhadap Pemikiran Muhammad Shahrur dalam Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, STAIN Ponorogo, Vol. 4, No. 1, Januari 2004, hlm. 35-36.
4 Sahiron Syamsuddin, (ed), Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Qur'an, dalam Studi Al-Qur'an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002, hlm. 137.
5 Semantik adalah Ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Dalam filologi istilah ini menunjukkan pada studi histories berorientasi empiris, tentang perubahan-perubahan makna dalam perkataan (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 981)
63
memahami makna teks dalam kaitannya dengan hubungan linier kata-kata
disekelilingnya.6
2. Penerapan Ilmu-ilmu Eksakta Modern
Metode ini diakui Shahrur sendiri dalam bukunya "Nahw Usul
Jadidah al-Fiqh al-Islami," dia memaparkan sebagai berikut:
"Sesungguhnya ilmu-ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu eksakta mempunyai hubungan dengan pemahaman dan aplikasi ayat-ayat tentang pembagian harta waris, dalam mengaplikasikan dan memahami ayat-ayat waris disamping dengan menggunakan teori matematika klasik, kami juga menggunakan teknik analitik (al-handasah at-Tahliliyah), matematika analitik (at-Tahlil ar-Riyadi) dan teori himpunan dalam matematika modern."7
Metode ini bisa disebut dengan metaforik saintifik yang diadopsi
dari ilmu-ilmu eksakta modern seperti matematika analitik, teknik analitik
dan teori himpunan), disamping itu Shahrur juga memperhatikan
perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam memperkuat penafsirannya,
sebelumnya Shahrur melihat beberapa problem dalam penafsiran
konvensional diantaranya terdapat problem epistemologi yaitu bahwa
penafsiran konvensional terhadap ayat-ayat waris masih terpaku pada
penerapan teori matematika klasik (al-amaliyyat al-hisabiyyah al-arba')
yang terfokus pada proses penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian. Disamping itu juga terdapat problem sosial politik dimana
tradisi patriakhis dan politik sangat mempengaruhi pada penafsiran
6 Sahiron Syamsuddin, op.cit., hlm. 138. 7 Muhammad Shahrur, Metodologi fiqh Islam Kontempoprer, terj. Sahiron Syamsuddin,
yogyakarta: elsaq press, 2004, hlm.180
64
konvensional, akibatnya wanita hampir selalu merupakan pihak yang
diperlakukan secara kurang adil. Selain itu hukum waris konvensional
menekankan perhatiannya pada bagian-bagian individu bukan bagian
kelompok.8
Lebih lanjut Shahrur menyatakan bahwa hukum waris telah
dijelaskan dalam ayat-ayat at-Tanzil al-Hakim (al-Qur’an), namun hukum
ini telah diterapkan oleh masyarakat muslim berdasarkan pemahaman para
ahli fiqih yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya lokal pada abad-abad
pertama Islam (diluar ketentuan dari ayat-ayat Al-Qur'an) yang termuat
dalam buku-buku faraidl. Berkaitan dengan tetapnya teks dan bergeraknya
kandungan makna, dari sini Shahrur menegaskan bahwa hendaknya
dibedakan antara ayat-ayat waris dalam at-Tanzil dengan ilmu faraid
dalam tradisi fiqh, dengan kata lain ayat-ayat waris dalam at-Tanzil adalah
satu hal sementara ilmu faraidl dalam tradisi tidak tetap tetapi mengalami
proses.9 Oleh karena itu pembacaan ulang terhadap ayat-ayat at-Tanzil
perlu dilakukan.
Untuk mengatasi problem-problem tersebut, Shahrur menawarkan
metode baru dalam menafsirkan ayat-ayat waris yaitu dengan menerapkan
ilmu eksakta seperti matematika analitik, teknik analitik dan teori
himpunan disamping matematika klasik masih tetap dipergunakan serta
menafsirkan ulang ayat-ayat waris.
8 Ibid., hlm. 221 9 Ibid.
65
Dari sini dapat dilihat bahwa Shahrur menggunakan metode
dekonstruktif dalam melakukan penelitian terhadap pemikiran keislaman
dan memulai suatu penelitian baru dengan perspektif baru pula. Terkait
dengan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat At-Tanzil tentang pembagian
waris. Shahrur tidak terikat dengan perspektif, nalar sosial ataupun nalar
politik masa lalu yang menganut pola pikir patriakhis dalam memahami
makna ayat-ayat waris dan konsep sisa harta waris (asabah) dan hubungan
darah garis ibu.
Jika diselidiki secara mendalam tentang dasar utama dari hukum
Islam, ternyata faraidl yang telah berkembang sampai saat ini terdiri dari
dua unsur:
Pertama; hukum adat dan kebiasaan yang berlaku dikalangan
suku-suku arab sebelum Islam dan membiarkan dasar-dasar hukum adat
Arab tetap berlaku kecuali diubah secara tegas oleh ketentuan dalam Al-
Qur'an.
Kedua; peraturan-peraturan dalam Al-Qur'an yang membawa
perubahan yang tegas kepada adat-adat masyarakat arab zaman jahiliyah.10
Dengan datangnya Islam, bangsa Arab kemudian menyesuaikan
hukum adat mereka, apabila ada bagian hukum adat yang bertentangan
dengan Al-Qur'an maka akan diubah sedangkan selebihnya masih dipakai.
Apa yang bertentangan atau tidak bertentangan itu tergantung pula dari
10 Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam,
Jakarta: Widjaya, 1984, hlm. 49.
66
penafsiran mereka yang dipengaruhi oleh pikiran patrilineal masyarakat
Arab.
Hal tersebut bisa dilihat bahwa faraidl yang telah berkembang saat
ini masih tetap bertahan kepada asas hukum adat Arab, yang masih
mementingkan konsep 'Asabah (ahli waris garis bapak lebih utama dari
ahli waris garis ibu) meskipun sudah menganggap kelompok dzawil
furudh, satu pembaharuan dari ketentuan Al-Qur'an yang lebih baik dari
sistem ashabah bangsa Arab jahiliyah dan menempatkan kelompok dzawil
furudh lebih utama dari ashabah, namun pada hakekatnya dalam ilmu
faraidl tetap bertahan kepada 'ashabah sebagai ahli waris utama.11
Hal ini tentu saja berbeda dengan pemikiran Shahrur tentang
hukum waris dengan metode dekonstruktif, ia menekankan pembacaan
ulang terhadap ayat-ayat waris dan melakukan pembongkaran besar-
besaran terhadap seluruh peninggalan tradisi fiqih dan meletakkan dasar-
dasar baru fiqh yang sesuai dengan Al-Qur'an.
Dengan adanya perbedaan cara berpikir maka produk hukum yang
dihasilkan juga berbeda. Dalam ilmu faraidl yang kita pahami sekarang,
mengelompokkan ahli waris kedalam tiga kelompok keutamaan, yaitu:
1. Kelompok dzawil furudh yaitu ahli waris yang bagiannya telah
ditentukan dalam Al-Qur'an.
2. Kelompok 'Ashabah yaitu (kata ashabah berasal dari kata 'ushbah
pengertian 'ushbah menurut masyarakat Arab yang patrilineal masih
11 Ibid., hlm. 339.
67
tetap dipertahankan yaitu yang berarti ahli waris di garis bapak lebih
utama dari ahli waris garis ibu) ahli waris yang menerima bagian sisa
kecil dari harta waris.
3. Kelompok dzawil arhman yaitu ahli waris dari garis ibu.12
Sedangkan Shahrur dalam kajiannya terhadap ayat-ayat waris
mengemukakan bahwa ahli waris adalah orang yang telah disebutkan serta
bagiannya telah ditetapkan dalam ayat-ayat waris, kemudian Shahrur
membagi ahli waris kedalam dua kelompok:
- Kelompok pertama yaitu kelompok keluarga yang menduduki posisi
utama dalam pembagian waris yaitu generasi terdekat penerima waris
yang terdiri dari keluarga menurut garis cabang (furu' anak-anak
kebawah), keluarga menurut garis ushul (kedua orang tua keatas) dan
suami atau istri.
- Kelompok kedua yaitu kategori saudara laki-laki/ perempuan
kedudukan saudara dalam waris adalah sama baik dari ibu atau dari
bapak.13
Dari ketentuan tersebut dapat kita lihat bahwa Shahrur tidak
mengakui adanya kelompok 'ashabah dan kelompok dzawil arham dan
serta pihak paman baik dari ibu atau bapak, anak laki-laki paman dan
seterusnya yang tidak disebut secara eksplisit dalam ayat waris adalah
pihak yang tidak berhak memperoleh bagian harta waris.
12 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Waris dalam Syari'at
Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 67. 13 Muhammad Shahrur, op.cit., hlm. 296.
68
Berkaitan dengan teori ketidakadaan sinonimitas dalam linguistik
Arab, diaplikasikan oleh Shahrur dalam seluruh karyanya, terkait dengan
kajiannya tentang ayat-ayat waris, Shahrur membedakan nuansa makna
kata seperti kata walad (pluralnya adalah awlad) menurut Shahrur tidak
sama persis artinya dengan kata dhakar (yang berarti jenis kelamin laki-
laki baik sudah dewasa atau masih anak-anak) dan berbeda pula maknanya
dengan kata Ibn (yang berarti hanya anak laki-laki).Menurut Shahrur kata
awlad yang merupakan bentuk jama dari kata walad mengandung
pengertian maskulin (anak laki-laki) dan juga feminin (anak perempuan),
karena dalam bahasa Arab tidak dijumpai bentuk feminin pada kata al-
walad, pemaknaan kata walad yang berarti hanya anak laki-laki saja
merupakan pemaksaan yang menyalahi salah satu keistimewaan bahasa
Arab yang memiliki kosa kata berbentuk maskulin yang sekaligus
mengandung arti feminin.14
Kata walad juga mencakup pengertian seluruh manusia yang hidup
di bumi, oleh karena itu prinsip waris mencakup seluruh kemungkinan
kasus pewarisan yang dialami oleh seluruh penduduk bumi dan berlaku
bagi setiap insan yang dilahirkan, dari sini Shahrur menegaskan bahwa
firman Allah: لادكمفي أو الله وصيكمي adalah wasiat Allah yang menjelaskan
bagian laki-laki dan perempuan dalam kondisi bersama-sama yaitu
bergabungnya dua jenis kelamin bukan dalam kondisi sendirian (misalnya
laki-laki dan perempuan, ibu dan bapak, saudara laki-laki dan saudara
14 Ibid., hlm. 234.
69
perempuan, duda dan janda) untuk kasus yang ada hanya anak laki-laki
saja atau hanya ada anak perempuan saja yang hanya dimiliki orang
tuanya, maka pembagian diantara mereka adalah sama rata, sehingga tidak
akan didapati setengah (1/2) bagian sisa jika membagi ½ bagian untuk
satu-satunya anak perempuan yang dimiliki orang tuanya atau 1/3 bagian
sisa jika membagi 2/3 bagian untuk dua perempuan atau lebih yang tidak
memiliki atau bersama-sama dengan saudaranya laki-laki padahal dalam
ayat yang tidak disebutkan siapa saja yang berhak menerimanya.
Disamping dalam struktur kata Shahrur juga membedakan nuansa
makna kata antara struktur kalimat seperti:
bagi seorang anak laki-laki bagian semisal) للذكر مثـل حـظ الـأنثيين (1bagian dua anak perempuan) dengan struktur kalimat lain, seperti.
ى (2 bagi seorang anak laki-laki dua kali lipat bagian) للذ آرمثال حظ األ نثseorang anak perempuan) atau nuansa makna kata dari
ـ (3 bagi seorang anak laki-laki bagian semisal) الـأنثيين ىللذكر مثل حظdua bagian untuk dua anak perempuan)
Untuk struktur kalimat pertama terdapat penggandaan jumlah
perempuan, pada kondisi terdapat variabel pengikut (tabi') dan variabel
peubah yaitu jumlah perempuan yang bernilai 1, 2 atau lebih sampai tak
terhingga, disini Shahrur menyatakan bahwa seakan-akan Allah
menyatakan "perhatikan bagian yang telah kalian tentukan untuk dua
perempuan lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki" karena
dilihat dari logika teoritis dan aplikasi ilmiah manapun tidak masuk akal
mengetahui dan menentukan semisal sesuatu (bagian laki-laki) sebelum
mengetahui dan menentukan batasan sesuatu yang dimisalkan tersebut,
70
disini berarti bahwa perempuan adalah dasar atau titik tolak dalam
penentuan bagian masing-masing pihak.15 Dari sini dapat dilihat bahwa
Shahrur menggunakan cabang dari ilmu eksakta modern yaitu variabel
pengikut dan variabel peubah dalam menafsirkan ayat-ayat waris.
Dalam matematika konsep variabel pengikut dan variabel peubah
digambarkan dengan rumus persamaan fungsi y = f (x), nilai dipengaruhi
oleh nilai x, disini y adalah variabel pengikut dan x adalah sebagai
variabel peubah, nilai y dipengaruhi oleh nilai x, apabila nilai x mengalami
perubahan maka nilai y juga ikut berubah.16
Dengan menggunakan metode dari ilmu-ilmu eksakta modern
dalam menafsirkan ayat-ayat waris, Shahrur menyimbolkan laki-laki
dengan (y) sebagai variabel pengikut dan perempuan dengan simbol (x)
sebagai variabel peubah, penyebutan laki-laki lebih dahulu daripada
perempuan dalam ayat نيـظ الـأنثيللذكر مثـل ح karena posisinya adalah
sebagai variabel pengikut, sedangkan perempuan disebut dengan jumlah
satu, dua sampai tak terhingga (1, 2, …~) karena posisinya adalah sebagai
variabel peubah, karena sebagai variabel peubah, posisi perempuan dalam
hal ini adalah dasar dalam perhitungan waris, jika hanya pihak perempuan
yang disebut dalam ayat maka secara otomatis menyertakan pihak laki-laki
sebagai kebalikannya seperti penyebutan ibu (al umm) tanpa penyebutan
15 Ibid., hlm. 236. 16 Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Matematika dan Peradaban Manusia:
Referensi dan Petunjuk Lengkap untuk Matematika, Proyek Pengembangan Sistem dan Standart Perbukuan Dasar dan Menengah, 2003, hlm. 260-261.
71
bapak dalam ayat ه الثلـثفلأم اهوأب رثهوو لدو له كني لم 17 فإن Dalam hal ini
bagian laki-laki yang berposisi sebagai variabel pengikut (y) ditetapkan
batasannya setelah bagian perempuan ditetapkan, karena sebagai variabel
pengikut nilai y berubah dan berganti sesuai dengan perubahan bagian
perempuan (x), jadi nilai laki-laki tidak selamanya tetap dengan dua kali
perempuan
Untuk sistem penyelesaian pembagian harta waris, Shahrur
menekankan wasiat dan hutang sebagai dasar pembagian, keberadaan
wasiat dan hutang akan menangguhkan pembagian harta waris hal ini
berdasarkan pada firman Allah SWT ـنيد ـا أووصـي بهة يصيد وعب من
Dalam kondisi ketika wasiat dan hutang belum mencakup harta
keseluruhan maka sisa harta (setelah ditunaikannya wasiat dan
dibayarkannya hutang) dibagikan untuk suami atau istri (jika ada) sisa
hasil dari suami atau istri dibagikan kepada ibu-bapak (jika ada), disini
Shahrur memahami bahwa firman Allah مما تـرك (Qs. An-Nisa': 11) (dari
harta yang ditinggalkannya) yang berarti bahwa ada bagian lain yang harus
ditunaikan sebelum bagian ibu-bapak diberikan yaitu bagian suami atau
istri (jika ada), dengan demikian bagian ibu-bapak diberikan setelah harta
17 Karena hukum waris diturunkan untuk menjelaskan bagian untuk laki-laki dan
perempuan dalam kondisi bersama-sama bukan dalam kondisi sendirian. Disamping itu dalam prinsip-prinsip pembacaan kontemporer Shahrur menyatakan bahwa at-Tanzil al-Hakim memiliki tingkatan tertinggi dalam hal kefasihan dan ia adalah satu-satunya kitab yang dalam seluruh ayat-ayatnya memperlihatkan batas pemisah antara pemanjangan (takwil), kalimat yang menjemukan dan peringkasan (ijaz) oleh karena itu kita harus mampu membaca apa yang tidak tersurat, seperti dalam ayat-ayat pembagian warisan yang tidak menyebutkan laki-laki. Lihat Muhammad Shahrur , Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Ahali Li-Thiba'at Wa al-Nasyr Wa al-Tauzi,l 2000, hlm. 190
72
dipotong bagian suami atau istri sisa hasil setelah bagian untuk ibu-bapak
seluruhnya diberikan kepada anak-anak baik laki-laki maupun perempuan
sesuai dengan jumlah mereka.18
Lebih lanjut menurut Shahrur untuk ketentuan bagian waris
saudara ditetapkan ketika tidak ada garis cabang dan asal (pada kondisi
kalalah), karena sebagai ahli waris yang menduduki peringkat kedua,
keberadaan ahli waris kelompok pertama akan menghalangi saudara
mendapatkan harta waris. Berdasarkan ayat 12 surat an-Nisa' Allah
menetapkan bagian waris saudara pada kondisi kalalah dan
menetapkannya dalam ayat waris bagi suami-istri maka ketentuan
tersebut berlaku ketika ada suami atau istri, bukan ketika suami atau istri
tidak ada dan ketentuan bagian tersebut merupakan batas maksimal untuk
saudara karena sisa setelah bagian saudara, adalah merupakan bagian
suami atau istri. Dengan analisis linguistiknya Shahrur menyatakan
bahwa firman Allah ـارضم ـرغي dalam surat an-Nisa': 12, (memberi
madlarat pada ahli waris), kata mudarr berasal dari kata kerja darra yang
memiliki tiga pengertian; pertama, ad-durr (bahaya) lawan kata dari an-
naf (manfaat), kedua ad-durr berasal dari kata ad-darrah yang berarti
istri kedua, ketiga, ad-durr yang memiliki pengertian terbebani oleh
kesulitan, dalam pengertian ini menurut Shahrur ad-durr adalah bahaya
lawan kata dari an-naf (manfaat) dalam arti jika sisa harta setelah
bagian saudara diberikan kepada orang lain yang tidak disebut dalam ayat
18 Muhammad Shahrur, op cit., hlm. 263.
73
waris, maka akan terjadi bahaya besar (darur kabir) bagi suami atau istri
yang lebih berhak mewarisinya karena suami atau istri adalah pewaris
paling asasi dan paling dekat (al-aqrab).19 Hal ini berbeda dengan para
ahli tafsir, menurut ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan "memberi
madlarat kepada ahli waris" adalah tindakan-tindakan seperti berwasiat
lebih dari sepertiga harta peninggalan dan berwasiat dengan maksud
mengurangi harta warisan, sekalipun kurang dari sepertiga.20
Lebih lanjut menurut Shahrur jika dalam kondisi ketika tidak ada
suami atau istri, furu' dan usul, maka seluruh harta diwariskan kepada
saudara berdasarkan atas ketentuan dalam ayat 176 surat an-Nisa' warisan
tersebut tidak berpindah kepada anak-anak mereka.
B. Aplikasi Penyelesaian Pembagian Harta Waris Tanpa 'Aul dan Radd
Menurut Shahrur
Dalam bab-bab sebelumnya penulis sudah memaparkan mengenai
konsep umum tentang kewarisan dimana terjadi perbedaan pendapat mengenai
masalah ‘aul dan radd.
Mekanisme 'aul ditempuh apabila dalam penyelesaian pembagian
waris terjadi jumlah bagian ashabul furudh melebihi dari jumlah harta yang
akan dibagi, masalah ini belum muncul pada masa Rasulullah dan Abu Bakar,
'aul merupakan masalah yang ijtihadi, ini ditempuh sebagai konsekwensi tidak
adanya petunjuk nash yang sharih baik dari al-Qur'an maupun al-Hadis yang
disepakati oleh para fuqaha. Sedang mekanisme radd ditempuh apabila dalam
19 Ibid., hlm. 389. 20 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-2,
1992, hlm. 231.
74
penyelesaian pembagian waris terjadi jumlah bagian-bagian ashhabul furudh
kurang dari jumlah harta yang akan dibagi, sedang ahli waris yang ashabah
tidak ada, yang dijadikan landasan hukum penerimaan radd oleh mayoritas
ulama adalah surat al-anfal ayat 75, pada kenyataannya ayat tersebut ditujukan
kepada ahli waris dzawil arham. Dalam pembahasan fiqh mawaris dzawil
arham digunakan untuk menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam
ahli waris ash-habul furudh dan ashabah, bahkan ada yang mengatakan bahwa
mereka bukan ahli waris, sebagai mana yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya bahwa ayat-ayat waris dalam at-Tanzil al-hakim menurut Shahrur
hanya berada pada tiga tempat yaitu ayat 11, 12, 176 surat an-Nisa’ dan
ketentuan ahli waris serta bagiannya adalah mereka yang disebut dalam ketiga
ayat tersebut. Shahrur tidak mengakui adanya kelompok ashabah dan
kelompok dzawil arham serta pihak paman, sebagaimana para ahli faraid
memahaminya.
Dalam hal ini menurut shahrur bahwa mekanisme ‘aul dan radd
terlahir dari pemaksaan empat pola perhitungan klasik (al-amaliyat al-
hisabiyyah al-arba’) yang terfokus pada penjumlahan, pengurangan, perkalian
dan pembagian, karena tidak masuk akal bahwa Allah menetapkan bagi
hamba-Nya sebuah hukum yang bersifat kekal namun hukum tersebut tidak
memiliki ketelitian sehingga membutuhkan jalan keluar berupa ‘aul dan radd.
Apa yang dikatakan shahrur di atas adalah sebuah realitas yang harus kita
terima dengan jujur, satu keinginan Shahrur adalah ingin membuat fiqh
75
menjadi dinamis, maka dia menekankan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat
dalam at-Tanzil al-Hakim.
Berikut ini akan dikemukakan contoh kasus pembagian waris serta
aplikasi penyelesaiannya.
Contoh kasus ‘aul :
Seorang wafat meninggalkan ahli waris suami, ibu dan dua anak
perempuan, harta yang ditinggalkan setelah ditunaikan wasiat dan dibayarkan
hutang adalah sebesar Rp. 39.000.000 maka bagian masing-masing adalah
sebagai berikut :
Ahli waris Fard Dari Am.12 penerimaan
Suami ¼ 3 3/12 x Rp.39.000.000 = Rp. 9.750.000
Ibu 1/6 2 2/12 x Rp.39.000.000 = Rp. 6.5000.000
2 anak pr 2/3 8 8/12 x Rp.26.000.000 = Rp. 26.000.000
Jumlah = Rp. 42.250.000
Dengan demikian terjadi kekurangan harta sebesar Rp. 3.250.000, maka
penerimaan masing-masing ahli waris harus dikurangi secara proporsional
dengan mekanisme ‘aul yaitu menaikkan angka penyebut yang semula 12
dinaikkan sebesar angka pembilangnya yaitu 13, dengan demikian bagian
masing-masing ashhabul furudh menjadi ;
Suami 3/13 x Rp.39.000.000 = Rp. 9.000.000
Ibu 2/13 x Rp. 39.000.000 = Rp. 6.000.000
2 anak pr 8/13 x Rp. 39.000.000 = Rp. 24.000.000
Jumlah = Rp.39.000.000
76
Adapun penyelesaian menurut Shahrur adalah sebagai berikut :
- Suami mendapat seperempat dari harta waris yaitu,
41 x Rp. 39.000.000 = Rp. 9.750.000
Sisa harta pertama sebesar Rp. 29.250.000
- Ibu mendapat seperenam dari sisa harta pertama yaitu,
61 x Rp. 29.250.000 = Rp. 4.875.000
Sisa harta kedua sebesar Rp. 24.375.00
- Dua anak perempuan mendapat sisa harta setelah
Diambil oleh suami dan ibu yaitu sebesar = Rp. 24.375.000
Jumlah = Rp. 39.000.000
Contoh kasus Radd
Seorang wafat meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ibu dan
seorang anak perempuan, harta yang ditinggalkan pewaris setelah ditunaikan
wasiat dan dibayarkan hutang adalah sebesar Rp. 36.000.000, maka bagian
masing- masing ahli waris adalah sebagai berikut :
Ahli waris Fard Dari Am. 6 Penerimaan
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp. 36.000.000 = Rp. 6.000.000
anak pr ½ 3 3/6 x Rp. 36.000.000 = Rp. 18.000.000
Jumlah = Rp.24.000.000
Dengan demikian terdapat kelebihan harta sebesar Rp. 12.000.000, maka sisa
harta tersebut dikembalikan kepada ashhabul furudh dengan mekanisme radd
yaitu dengan cara menurunkan angka penyebut yaitu 6 diturunkan sebesar
angka pembilangnya yaitu 4, dengan demikian bagian masing-masing ahli
waris menjadi
77
Ibu ¼ x 36.000.000 = Rp. 9.000.000
Seorang anak pr ¾ x 36.000.000 = Rp. 27.000.000
Jumlah = Rp. 36.000.000
Adapun penyelesaian menurut Shahrur adalah sebagai berikut :
Ibu mendapat 61 dari harta yaitu,
61 x Rp. 36.000.000 = Rp. 6.000.000
Menyisakan harta sebesar Rp. 30.000.000
Seorang anak perempuan mendapat sisa harta
Setelah diambil oleh ibu yaitu sebesar = Rp. 30.000.000
Jumlah Rp. 36.000.000
Dari beberapa uraian dan contoh kasus yang telah penulis paparkan
didapati bahwa penyelesaian pembagian waris menurut Shahrur tidak terdapat
selisih lebih ataupun selisih kurang dari harta yang akan dibagikan karena
harta sudah terbagi secara keseluruhan, dengan demikian penyelesaian dengan
mekanisme 'aul dan radd didalam perhitungan waris tidak perlu digunakan.
Shahrur menawarkan metode baru dalam menafsirkan ayat-ayat waris
salah satunya dengan penerapan ilmu eksakta modern disamping matematika
klasik masih tetap digunakan, dengan menggunakan konsep variabel pe'ubah
dan pengikut dalam menafsirkan ayat waris Shahrur menyimbolkan laki-laki
sebagai variabel pengikut (y) dan perempuan sebagai variabel peubah (x),
karena sebagai variabel pengikut nilai y selalu berubah sesuai dengan
78
perubahan nilai x (perempuan), jadi nilai laki-laki tidak selamanya tetap
dengan dua kali bagian perempuan.
Dalam teori batasnya Shahrur bahwa ketentuan surat an-Nisa' ayat 11
adalah merupakan ayat yang menyebutkan batas maksimal dan batas minimal
sekaligus dimana dalam batas hukum ini ditetapkan batas maksimal laki-laki
dua kali perempuan dan batas minimal perempuan adalah setengah(0,5) laki-
laki dan ijtihad bergerak diantaranya dengan melihat keterlibatan
perempuan.21 Dalam hal ini dapat digambarkan sebagai berikut yang
dirumuskan dengan perubahan variabel x (perempuan);
- Jika terdiri dari dua perempuan maka bagi seorang laki-laki bagian yang
sama dengan bagian 2 perempuan yaitu 1/2 bagian untuk 2 perempuan dan
½ bagian sisanya merupakan bagian laki-laki. Kriteria ini berlaku pada
segala kasus dimana jumlah perempuan dua kali dari jumlah laki-laki, ini
adalah batas pertama hukum waris yaitu; نيظ الأنثيللذكر مثل ح
- Jika perempuan lebih dari dua sampai tak terhingga, maka bagian yang
diperoleh adalah 2/3 dan 1/3 sisanya merupakan bagian laki-laki. Kriteria
ini berlaku pada segala kasus dimana jumlah perempuan lebih besar dua
kali dari jumlah laki-laki. Ketentuan ini merupakan batas kedua hukum
waris yaitu; كا ترثلثا م نن فلهق اثنتيفو اءنس كن فإن
- Jika perempuan itu sendiri maka bagian yang diperoleh ½ dan ½ bagian
sisanya merupakan bagian laki-laki, kriteria ini berlaku pada segala kasus
21 Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah al-Muasirah, Damaskus: al-ahali
li Thiba'at wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990, hlm. 630
79
dimana jumlah perempuan sama dengan jumlah laki-laki dan ketentuan ini
merupakan batas ketiga hukum waris yaitu; ة فلهاحدكانت و إنفوا النص
Ketentuan bagian waris tersebut ditetapkan pada kondisi
bergabungnya dua jenis kelamin, karena sesungguhnya ayat-ayat waris
diturunkan pada kondisi bergabungnya dua jenis kelamin bukan dalam kondisi
sendirian, misalnya laki-laki dan perempuan, ibu dan bapak, saudara laki-laki
dan saudara perempuan, janda atau duda. Adapun pada kondisi waris sejenis
seperti pewaris hanya meninggalkan anak laki-laki saja tanpa anak perempuan
atau sebaliknya, maka penyelesaiannya cukup dibagi sama rata diantara
mereka, jika menganggap hukum ini berlaku dalam kondisi individual (satu
jenis kelamin saja) maka akan didapati setengah(1/2) bagian sisa jika
membagi setengah (1/2) bagian untuk satu-satunya anak perempuan yang
dimiliki orang tuanya, dan juga akan didapati sepertiga(1/3) bagian sisa jika
membagi dua pertiga (2/3) bagian untuk dua perempuan atau lebih yang tidak
bersama dengan saudaranya laki-laki, padahal dalam ayat tidak disebutkan
siapa saja yang berhak menerimanya.
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa bagian laki-laki tidak
selamanya tetap dengan dua kali bagian perempuan. Munculnya teori batas
(limit) dan penerapan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang ditawarkan
Shahrur akan membawa warna baru dalam penafsiran al-Qur'an oleh karena
itu menurut penulis dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
maka semua itu bisa dipergunakan sebagai alat bantu dalam memahami ayat-
ayat waris.