bab iv analisis pendapat imam syafi’i tentang hukum...

27
64 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM BERSENGGAMA DENGAN ISTERI YANG TELAH BERHENTI HAID DAN BELUM MANDI A. Tentang Larangan Bersenggama Di Waktu Haid Al-Syafi’i dalam kitabnya membahas masalah haid dengan diawali mengutif surat al-Baqarah ayat 222: Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. 1 Setelah mengutif ayat 222 surat al-Baqarah, kemudian al-Syafi’i mengatakan: 1 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz 1, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 129. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 54.

Upload: tranxuyen

Post on 23-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

64

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM BERSENGGAMA DENGAN ISTERI YANG TELAH BERHENTI HAID

DAN BELUM MANDI

A. Tentang Larangan Bersenggama Di Waktu Haid

Al-Syafi’i dalam kitabnya membahas masalah haid dengan diawali

mengutif surat al-Baqarah ayat 222:

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

1

Setelah mengutif ayat 222 surat al-Baqarah, kemudian al-Syafi’i

mengatakan:

1Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, juz 1, Beirut Libanon:

Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 129. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 54.

Page 2: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

65

2 Artinya: Allah 'Azza wa Jalla menerangkan bahwa wanita yang haid

itu tidak suci. Ia memerintahkan, bahwa tidak didekati wanita yang berhaid, sebelum ia suci. Dan tidak juga apabila ia suci, sebelum ia bersuci dengan air dan ada ia dari orang yang halal mengerjakan shalat. Tidak halal bagi seseorang yang isterinya berhaid, untuk bersetubuh, sebelum ia suci. Allah Ta'ala menjadikan tayammum itu bersuci, apabila tidak diperoleh air. Atau orang yang bertayammum itu sakit. Dan halal bagi wanita berhaid itu mengerjakan shalat dengan mandi, kalau ia memperoleh air. Atau dengan tayammum, kalau ia tidak memperoleh air. Tatkala Allah Ta'ala memerintahkan dengan menyingkiri dari wanita berhaid dan membolehkan sesudah suci dan bersuci dan Sunnah menunjukkan bahwa wanita yang ber-istihadlah boleh bershalat, maka yang demikian itu menunjukkan, bahwa suami wanita yang ber-istihadlah boleh mengenainya" insya Allah Ta'ala. Karena Allah menyuruh dengan menyingkiri mereka dan mereka itu tidak suci dan Ia membolehkan mendatangi mereka yang suci

Imam Syafi’i dalam melakukan pengambilan hukum meletakkan al-

Qur'an sebagai dasar utama dalam menetapkan suatu hukum. Dalam

kaitannya dengan larangan bersenggama diwaktu isteri haid, ia menganggap

larangan itu berdasarkan kepada al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 222.

2 Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, op. cit, hlm. 130

Page 3: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

66

Dalam mencermati ayat tersebut Imam Syafi’i menggunakan pijakan

al-Qur'an secara obyektif artinya karena al-Qur'an sudah menunjukkan secara

tegas bahwa wanita yang sedang haid itu tidak suci, oleh karena itu Allah

SWT melarang seorang suami hubungan badan dengan isterinya tersebut. Di

sini jelas bahwa al-Qur'an dijadikan muara dalam menyikapi wanita yang

sedang haid. Hal ini berarti pula bahwa Imam Syafi’i sangat mengutamakan

wahyu illahi dalam mewarnai istinbath hukumnya. Jika dihadapkan oleh

masalah yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur'an baik secara eksplisit

atau implisit maka Imam Syafi’i menggunakan landasan pijakannya yaitu as-

Sunnah meskipun kedudukan as-Sunnah itu sendiri hanya diriwayatkan oleh

satu orang (Hadits Ahad). Penggunaan Hadits Ahad bukanlah berarti Imam

Syafi’i menerima keseluruhan Hadits tanpa seleksi, melainkan setiap as-

Sunnah yang dijadikan landasan hukum selalu diseleksi dengan ketat.

Imam Syafi’i sangat mengutamakan pijakan al-Qur'an dan Hadits ini

bukan berarti ia mengeyampingkan sumber hukum lainnya. Dalam hal ini

metode istinbath hukumnya mengacu pada ijma’. Ijma’ sebagai produk

konsensus ulama mujtahidin sangat penting untuk dijadikan landasan

manakala al-Qur'an dan Hadits tidak menyebutkan tentang suatu peristiwa.

Demikian pula ia menggunakan qiyas sebagai sistem analogi yang didasarkan

pada adanya persamaan illat hukum. Namun dari keseluruhan sumber hukum

Islam ada salah satu bagian yang tidak pernah digunakan oleh Imam Syafi’i

yaitu metode istihsan. Dalam hal ini tampaknya Imam Syafi’i bersifat

konsisten dalam menerapkan hukum. Ia tidak mau menyimpangi sebuah

Page 4: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

67

ketentuan hukum yang sudah ada hanya karena adanya ketentuan hukum lain

yang hanya didasarkan oleh kepentingan yang bersifat sementara dan tidak

jelas.

Imam Syafi’i sebagai sosok ulama panutan dapat dikatakan sebagai

peletak batu pertama dalam menyusun kaidah-kaidah hukum Islam secara

komprehensip dan sistematis. Karena itu Muhammad ibn Ali ibn Atiyah

sebagaimana sikutif oleh seorang pakar Filsafat Hukum Islam Shobi

Mahmassani mengkonstatir, Imam Syafi’i adalah orang pertama yang

menyusun dalil-dalil hukum dan menulis karangan-karangan mengenai ushul

fiqh secara ilmiah, yaitu dalam risalahnya yang sudah terkenal.3 Seperti imam

mazhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam

tersendiri. Adapun langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut : “Asal adalah

Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia

melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila Hadits telah muttashil dan

sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadits

yang diutamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadits munqathi’ kecuali

yang diriwayatkan oleh Ibn al-Musayyab; pokok (al-ashl) tidak boleh

dianalogikan kepada pokok; bagi pokok tidak perlu dipertanyakan ‘mengapa’

dan ‘bagaimana’ (lima wa kaifa); ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ hanya

dipertanyakan kepada cabang (furu’).

3 Sobhi Mahmassani, Falsafatut Tasyri’ Fi al-Islam Muqoddimatun Filsafat Ilmu

Dirosatysy Syari’atil Islamiyyati ‘Ala Dhau’I Madzhabiha Mukhtalifati Wa Dhau’il Qowa-ni-nil haditsati, terj, Ahmad Soejono, Filsafat Hukum Dalam Islam Mukaddimah Dalam Mempelajari Syari’at (Hukum) Islam Di Bawah Sinar Madzhab-Madzhabnya Dan Hukum-Hukum Modern, Bandung: PT. Al-Maarif, 1976, hlm. 67-68.

Page 5: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

68

Ahmad Amin dalam kitab Dluha al-Islam,4 menjelaskan langkah-

langkah ijtihad Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafi’i , rujukan pokok adalah

Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur dalam Al-Qur’an

dan Sunnah, hukumnya ditentukan dengan cara qiyas. Sunnah digunakan

apabila sanadnya sahih. Ijmak lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna

yang diambil dari hadis adalah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal

(mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadits

munqathi’ ditolak kecuali jalur Ibn al-Musayyab. Al-ashl tidak boleh

diqiyaskan kepada al-ashl. Kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ tidak boleh

dipertanyakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah; keduanya dipertanyakan hanya

kepada al-furu’. Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar.

Dengan demikian, dalil hukum bagi Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an,

Sunnah, dan ijmak; sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah al-qiyas

dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya.

Ahmad Amin,5 menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat Imam

Syafi’i menjadi dua : qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah

pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul

jadid adalah pendapat Imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.

Muhammad Sya’ban Isma’il mengatakan,6 bahwa pada tahun 195 H.,

Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia

4 Ahmad Amin, Dluha al-Islam, Juz II, Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, tt,

,hlm. 235. 5 Ibid, hlm. 231. 6 Muhammad Sya’ban Ismail, al-Tasyri al-Islami: Mashadiruh Wa Ath-Waruh, Mesir:

Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1985, hlm. 337-338.

Page 6: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

69

belajar kepada ulama Irak dan mengambil pendapat ulama Irak yang

termasuk ahl al-ra’y.

Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i

dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad ibn Hanbal, al-Karabisi, al-

Za’farani, dan Abu Tsaur.Setelah tinggal di Irak, al-Syafi’i melakukan

perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir ia bertemu dengan

(dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik.

Imam Malik adalah penerus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahl-

al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah

beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian,

qaul qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yu; sedangkan

qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.

Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam

Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan

ulama Mesir yang tergolong ahlal-hadits.7 Kamil Musa mengatakan,8 bahwa

pendapat Imam Syafi’i yang didiktekan dan ditulis di Irak (195 H.) disebut

qaul qadim. Setelah itu Imam Syafi’i berangkat ke Hijaz dan kembali lagi ke

Irak pada tahun 198 H. dan tinggal di sana selama satu bulan; kemudian

melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H.

Pendapat Imam Syafi’i yang didiktekan kepada muridnya dan ditulis

di Mesir disebut qaul jadid. Adapun sebab timbulnya qaul jadid menurut

Kamil Musa adalah karena Imam Syafi’i mendapatkan hadis yang tidak ia

7 Ibid, hlm. 338. 8 Muhammad Kamil Musa, al-Madkhal Ila al-Tasyri al-Islami, Beirut: Mu’assasah al-

Risalah, 1989, hlm. 158.

Page 7: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

70

dapatkan di Irak dan Hijaz; dan ia menyaksikan adat dan kegiatan muamalat

yang berbeda dengan di Irak. Pendapat Imam Syafi’i yang termasuk qaul

jadid dikumpulkan dalam kitab al-Umm.

Menurut Mun’im A.Sirry,9 Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman

kekuasaan al-Amin. Pada waktu itu, Imam Syafi’i terlibat perdebatan dengan

para ahli fiqih rasional Irak. Di tengah perdebatan itulah, ia menulis buku

yang berjudul al-Hujjah yang secara komprehensif memuat sikapnya

terhadap berbagai persoalan yang berkembang.

Qaul jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang

dikemukakan selama ia tinggal di Mesir. Dalam banyak hal, qaul jadid

merupakan koreksi terhadap pendapat-pendapatnya yang ia kemukakan

sebelumnya. Qaul jadid Imam Syafi’i dimuat di antaranya dalam kitabnya,

al-Umm.

Menurut Mun’im A.Sirry, para ahli berkesimpulan bahwa munculnya

qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami Imam

Syafi’i; dari penemuan Hadits, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak

ia temui selama tinggal di Irak dan Hijaz. Atas dasar kesimpulan tersebut,

Mun’im A. Sirry menyimpulkan bahwa qaul jadid merupakan suatu refleksi

dari kehidupan sosial yang berbeda.

Salah satu kitab yang banyak menjelaskan tentang qaul qadim dan

qaul jadid adalah al-Muhadzdzab fi Figh al-Imam al-Syafi’i Radliya

Allah’anh karya Abi Ishaq Ibrahim Ibn’Ali ibn Yusuf al-Firuz Abadai al-

9 Mun’im A.Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,

1995, hlm. 106-107.

Page 8: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

71

Syirazi. Dalam kitab itu disebutkan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul qadim

dan qaul jadid. Secara lebih spesifik, Ahmad Nahrawi’Abd al-Salam, salah

satu ulama kelahiran Jakarta yang lama kuliah dan bekerja di Timur Tengah,

menulis buku dengan judul al-Imam al-Syafi’i fi Madzahib al-Qadim wa al-

Jadid (1994).10

B. Tentang Kapan Wanita Suci Dari Haid

Menurut Imam Syafi’i, seorang suami hendaknya menjauhi isteri yang

sedang haid. menjauhi di sini bukan berarti dengan cara mengasingkan isteri

melainkan menghindari dari segala sesuatu yang bisa mendorong

terangsangnya naluri birahi laki-laki. Bahwa kamu menyingkiri dari mereka.

Yakni: dari tempat berhaid. Adalah ayat itu mungkin bagi yang dikatakan oleh

sebahagian ahli ilmu tadi. Dan mungkin bahwa menyingkiri dari mereka itu,

ialah: menyingkiri dari semua tubuhnya. Sunnah Rasulullah s.a.w.

menunjukkan kepada menyingkiri dari yang di bawah sarung daripadanya dan

membolehkan yang lain dari itu.

Menurut imam Syafi’i, wanita yang sedang haid dalam status tidak

suci. Demikian pula wanita yang telah berhenti setelah haidh belum disebut

suci sebelum dia mandi. Jadi sebelum mandi suami dilarang bermubasyarah..

sebagaimana ia katakan dalam kitabnya sebagai berikut:

Allah menetapkan hukum atas orang berjunub, bahwa tidak mendekati shalat, sebelum mandi. Dan jelaslah, bahwa tiadalah masa untuk sucinya orang berjunub itu, selain mandi. Dan tiadalah masa untuk sucinya wanita berhaid, selain habis- nya haid, kemudian mandi, karena firman Allah 'Azza wa Jalla: sebelum suci. Dan yang demikian

10 Ibid, hlm. 485-486.

Page 9: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

72

itu, dengan berlalunya haid. Apabila ia telah bersuci, yakni dengan mandi, maka Sunnah menunjukkan bahwa sucinya wanita berhaid itu dengan mandi. Dan sunnah Rasulullah s.a.w.. menunjukkan kepada penjelasan yang ditunjukkan oleh Kitab Allah Ta'ala dari tidaknya bershalat wanita yang berhaid.11 Dengan demikian dalam perspektif Imam Syafi’i, seorang wanita

dikatakan telah suci manakala ketika berhenti dari haid kemudian wanita itu

telah mandi. Maka dalam kondisi seperti ini halal bermubasyarah dengan

istrinya. Barangkali tidak terlalu salah bila dikatakan Imam Syafii termasuk

sosok ulama yang sangat hati-hati dengan efek persetubuhan dalam keadaan

isteri haid. bagi imam Syafi’i mandi bagian penting untuk membersihkan

posisi vagina yang terkena darah juga kebersihan badan sesudah haid menjadi

bagian tak terpisah dari kesucian dan bersihnya wanita.

Pendapat Imam Syafi’i sangat relevan dengan dunia medis, kalau

dihubungkan dengan medis bahwa dalam pandangan medis, bersenggama

dengan istri yang sedang haid bisa menimbulkan bahaya pada orang yang

bersangkutan, bukan hanya menyentuh salah satu organ tubuh yang vital saja

melainkan pula berimbas pada seluruh struktur organ tubuh manusia bahkan

memiliki dampak negatif secara psikologis. Haid membahayakan kesehatan,

karena mengandung penyakit di sini tampaknya medis melihat darah haid

sebagai darah kotor.12

Dalam konteks ini ada baiknya bila mengutip pendapat H. Ali Akbar,

Laki-laki yang bersenggama dengan isteri yang sedang haid adalah laki-laki yang tidak mengerti efeknya, dan hanya memikirkan cara bagaimana melampiaskan nafsu seks yang tidak terkendalikan. Itulah sebabnya agama-

11 Ibid 12 Rahmad Rosadi, Islam Problema Sex, Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 62- 67.

Page 10: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

73

agama Samawi, Yahudi, Nasrani dan Islam melarang melakukan senggama sewaktu istri haid. 13

Ditinjau dari sudut medis, hubungan badan dengan isteri sedang haid

adalah sebab terpenting yang mengakibatkan rahim berbau busuk, di samping

mengakibatkan kemandulan. Inilah penyakit yang paling menyiksa wanita,

karena ia merasakan sakit yang luar biasa pada vagina, sementara temperature

tubuh naik di samping efek-efek lain yang cukup berbahaya sebagai akibat

dari pembusukan tersebut, dan yang paling parah menderita ialah mulut

rahim.14

Adapun bahaya yang mengancam pihak lelaki, antara lain radang

hebat yang menyerang organ-organ kelaminnya. Karena dengan persetubuhan

itu bibit-bibit penyakit masuk ke dalam saluran kencing, bahkan kadang-

kadang bisa masuk sampai ke kandung kencing dan saluran ginjal (ureter).

Bahkan radang tersebut kadang bisa mencapai kelenjar koper, prostate, anak

pelir, pelir dan saluran kandung kencing (uretra). Persetubuhan di waktu haid

mengancam lelaki dengan bahaya besar yang tidak ia inginkan dengan segala

akibatnya. Bahaya mana takkan terjadi andaikata kedua belah pihak tahu akan

akibat-akibatnya.15

Radang saluran kencing bukanlah perkara enteng, karena ia akan

menyeret penderita kepada berbagai macam bencana dengan segala akibatnya,

manakala benar-benar telah menjangkit saluran kencing itu. Pada waktu itu

13 H. Ali Akbar, Seksualitas Di Tinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1990,

hlm. 44-45. 14 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, terj. Anshari Umar

Sitanggal, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy Sifa’, tt, hlm. 157. 15 Ibid

Page 11: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

74

akan terjadi radang hebat hingga penderita tak bisa kencing dan menimbulkan

rasa sakit serta penderitaan. Radang ini biasanya dibarengi dengan keluarnya

cairan busuk yang cukup deras, yang bila telah parah nampak bercampur

darah. Hal ini tentu saja dibarengi pula dengan bermacam gangguan-gangguan

lainnya seperti demam, menggigil dan lain-lain.16

Jika pendapat Imam Syafi’i dipertahankan sebagai pendapat yang

benar dengan tidak melupakan aspek medis, maka akan mengurungkan niat

seorang suami besenggama dengan istri yang telah berhenti haid namun belum

mandi, mengingat Imam Syafi’i sebagai tokoh fiqih (faqih) yang menjadi

panutan masyarakat Indonesia. Dampaknya akan menumbuhkan sebuah kesan

bahwa telah terjadi suatu persesuaian antara fiqih dengan medis, akibat

selanjutnya akan muncul pula sebuah kesan bahwa fiqih itu rasional dan

dinamis.

Sehubungan dengan itu penulis lebih condong kepada pendapat yang

mengatakan bahwa bersenggama dengan istri yang haid sudah berhenti tapi

belum mandi diharamkan. Alasan condong pada pendapat tersebut, karena

berpijak pada suatu asumsi bahwa mencegah atau menutup terjadinya suatu

kemadharatan adalah lebih baik, meskipun dasar awalnya dibolehkan.

Dalam ushul fiqih, yang disebut saddudz dzari’ah:

16 Ibid, hlm. 58.

Page 12: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

75

17 Artinya : Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk

menolak kerusakan, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan.

Apabila suatu perbuatan yang bebas dari kerusakan dapat menjadi

jalan kepada kerusakan, hendaklah kita larang perbuatan itu. Telah masyhur

dalam kalangan ahli ushul bahwa yang berpegang kepada dasar saddudz

dzari’ah, hanyalah Malik sendiri. Menurut pentahqiqkan al-Qarafi, semua

mahdzab memegangi dasar saddudz dzari’ah, sama dengan maslahah

mursalah dan urf. Saddudz dzari’ah itu, adalah sesuatu perbuatan yang tidak

dicegah syara’ bila dipandang dapat mengakibatkan yang mengerjakannya

kepada suatu hukum yang terang dicegah syara’. Tegasnya mencegah suatu

hukum untuk menutup jalan sampai kepada yang dicegah, seperti: mencegah

orang minum seteguk minuman keras (minuman yang memabukkan) padahal

seteguk itu tidak memabukkan, untuk menutup jalan kepada minum banyak.

Malik dan Ahmad memegangi dasar saddudz dzari’ah. Fuqaha yang sedikit

memakainya ialah as-Syafi’i.18 Dzara’i ini, sebagaimana dipergunakan untuk

menolak kefasadan, dipergunakan juga untuk mencari kemanfaatan. Al-Qarafi

menerangkan bahwa; dzari’ah ini, sebagaimana wajib kita menutup, maka

wajib juga membukanya. Karenanya, ada dzari’ah yang dimakruhkan,

disunatkan dan dimubahkan. Dzari’ah adalah wasilah. Sebagaimana dzari’ah

kepada haram, diharamkan, maka wasilah kepada wajib, tentu diwajibkan,

seperti berjalan ke jum’at. Dalam pada itu, dalam mempergunakan dasar ini

17 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, edisi II, Cet. 2, Semarang: PT Pustaka Rizeki Putra, 2001, hlm. 220. lihat juga A. Hanafie MA, Ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya, 2001, hlm. 147.

18 Al-Iman Ibnu Qayim al-Jauziah, I’lamul Muwaqqiin, juz 3, Mesir: 1994, hlm. 119.

Page 13: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

76

tidak boleh berlebih lebihan karena orang yang terlalu mempergunakannya,

mungkin tidak akan mengerjakan sesuatu yang mubah atau mandub, atau

wajib, lantaran takut terjerumus ke dalam kedzaliman, seperti tidak mau

mengurusi harta anak yatim, karena takut mendapat tuduhan yang jelek dari

masyarakat.19

Di samping alasan di atas alasan lain penulis lebih mendukung

pendapat Imam Syafi’i adalah merujuk pada kaidah ushul fiqih yang berbunyi:

20

Artinya : “Menghindarai madzarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik masalah/kebaikan”.

C. Tentang Penafsiran Q.S Al-Baqarah Ayat 222

Dalam tafsir al-Azhar diterangkan bahwa menjauhi dan jangan

mendekati, yang dimaksud di sini bukanlah supaya laki-laki benar-benar

menjauh, sehingga sampai berpisah tempat. Al-Quran selalu memakai kata-

kata yang halus berkenaan dengan persetubuhan. Sebagai pernah kita lihat

seketika menerangkan keadaan suami-isteri seketika puasa. Di ujung ayat

Tuhan mengatakan, sebagai kita ketahui: "Itu adalah batas-batas Allah, maka

janganlah kamu dekati akan dia. Pendeknya, jagalah jangan sampai, karena

19 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit, hlm. 220-221. 20 H.Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh ( al-Qowaidul Fiqhiyyah), cet 4, Jakarta:

Kalam Mulia, 2001, hlm.39.

Page 14: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

77

berdekat-dekat juga, syahwat tidak tertahan, lalu dilangsungkan juga

persetubuhan. Padahal dia sedang dalam gangguan.21

Pendeknya janganlah sampai terjadi sebab-sebab yang akan membawa

bersetubuh pada waktu dia dalam berhaidh itu: "Maka apabila mereka telah

bersuci, maka bolehlah kamu menghampiri mereka sebagaimana yang telah

diperintahkan Allah kepada kamu." Disebut baru boleh didekati, setelah dia

bersih. Artinya darah haidh tidak keluar lagi, yaitu setelah berlaku enam atau

tujuh hari pada umumnya. Sebab ada juga yang berlebih sedikit ada ada juga

yang kurang. Maka apabila dia telah bersuci, yaitu mandi, bolehlah kamu

menghampiri dia, sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada kamu. Mula-

mula dikatakan apabila dia telah bersih; sebab bersih dari haidh itu bukanlah

atas kemauannya sendiri, sebagaimana dia berhaidhpun bukanlah diaturnya

sendiri.22

Kemudian dikatakan apabila dia telah bersuci, sebab pergi mandi

adalah atas kehendaknya sendiri. Maka kalau sudah bersih dan suci,

berbuatlah sebagaimana lazimnya suami-isteri, "dekatilah" dia.

"Sesungguhnya Allah suka kepada orang yang bertaubat." Yaitu memohon

ampun kepada Allah, karena barangkali pernah terlanjur bersetubuh ketika dia

dalam haidh, sebab hanya berdua saja yang tahu. "Dan suka (pula) kepada

orang-orang yang bersuci," (ayat 222).

Dengan jawaban ini tertolak kemusykilan bahwa di waktu haidh

perempuan itu adalah najis, tidak boleh didekati. Tempat tidurnya mesti

21 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz II, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2004, hlm. 260-261 22 Ibid

Page 15: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

78

dipisah jauh dan segala yang disentuhnya menjadi najis, sebagai peraturan

yang dipegang oleh Yahudi itu. Keadaan peribadi orang perempuan menurut

ayat ini, seketika dia berhaidh bukanlah najis, malahan (maaf) bercium-

ciuman tidak terlarang. Karena dia tidak najis. Cuma setubuh jangan, sebab di

waktu itu tengah ada pembersihan dalam rahimnya, buat sedia lagi menerima

sesudah haidh. Karena itu tunggulah wanita yang berhenti haid sampai

kemudian mandi.23

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut: Imam Ahmad

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi,

telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari §abit, dari Anas,

bahwa orang-orang Yahudi itu apabila ada seorang wanita dari mereka

mengalami haid, maka mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau pula

serumah dengan mereka. Ketika sahabat Nabi Saw. menanyakan masalah ini

kepadanya, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kalian men- jauhkan din dari wamta di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat.

Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:

23 Ibid

Page 16: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

79

Artinya: Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh).

Ketika berita tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi, maka

mereka mengatakan, "Apakah yang dikehendaki oleh lelaki ini (maksudnya

Nabi Saw.), tidak sekali-kali ia membiarkan suatu hal dari urusan kami,

melainkan ia pasti berbeda dengan kami mengenainya."

Kemudian datanglah Usaid ibnu Hudair dan Abbad ibnu Bisyr, lalu

keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi

mengatakan anu dan anu. Maka bolehkah kami bersetubuh dengan mereka

(wanita-wanita yang sedang haid)?" Mendengar itu roman muka Rasulullah

Saw. berubah hingga kami menduga bahwa beliau sangat marah terhadap

Usaid dan Abbad. Setelah itu keduanya pulang, dan mereka berpapasan

dengan hadiah yang akan diberikan kepada Rasulullah Saw. berupa air susu.

Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya untuk datang menghadap. Ketika

keduanya sampai di hadapan Rasulullah Saw., maka beliau memberinya

minum dari air susu itu. Maka keduanya mengerti bahwa Rasulullah Saw.

tidak marah terhadapnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu

Zaid ibnu Salamah. Firman Allah Swt.:

Artinya: Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, (Al-Baqarah; 222)

Page 17: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

80

Yang dimaksud ialah menjauhi farjinya, karena berdasarkan sabda

Rasulullah Saw. yang mengatakan:

Artinya: Lakukanlah segala sesuatu (dengan mereka) kecuali nikah (bersetubuh).

Karena itulah maka banyak kalangan ulama yang berpendapat bahwa

boleh menggauli istri dalam masa haidnya selain persetubuhan

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Musa

ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari

Ikrimah, dari salah seorang istri Nabi Saw.:

Artinya: Bahwa Nabi Saw. apabila menginginkan sesuatu dari istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau menutupi farjinya dengan kain.

Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami

Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Umar ibnu

Ganim), dari Abdur Rahman (yakni ibnu Jiyad), dari Imarah ibnu Garrab,

bahwa salah seorang bibinya pernah menceritakan kepadanya hadis berikut:

Bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah r,a.. "Salah seorang dari

kami mengalami haid, sedangkan dia dan suaminya tidak mempunyai ranjang

kecuali hanya satu buah ranjang." Siti Aisyah mengatakan, "Aku akan

menceritakan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah

Saw. Pada suatu hari Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku

Page 18: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

81

(menggilirnya), lalu beliau keluar ke mushalanya (masjid yang ada di dalam

rumah Siti Aisyah). Aku tidak ke mana-mana hingga mataku terasa

mengantuk, dan ternyata Nabi Saw, merasa kedinginan, lalu ia berkata,

'Mendekatlah kepadaku!' Aku menjawab, 'Aku sedang haid.' Nabi Saw.

bersabda, 'Bukalah kedua pahamu.' Maka aku membuka kedua pahaku, lalu

beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas kedua pahaku, dan aku

mendekapnya hingga ia merasa hangat dan tidur'."

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah

menceritakan kepada kami Ayyub, dari catatan Abu Qilabah yang

menceritakan hadis berikut:

Artinya: Bahwa Masruq memacu untanya menuju rumah Siti Aisyah, lalu ia berkata, "Semoga keselamatan terlimpah kepada Nabi dan keluarganya" Maka Siti Aisyah berkata, "Selamat datang, selamat datang." Mereka memberi izin kepadanya untuk menemui Siti Aisyah. Lalu Masruq masuk dan bertanya, "Sesungguhnya aku hendak menanyakan kepadamu tentang suatu masalah, tetapi aku malu mengutarakannya." Siti Aisyah menjawab, "Sesungguhnya aku adalah ibumu dan kamu adalah anakku." Masruq berkata, "Apakah yang boleh dilakukan oleh seorang lelaki terhadap istrinya yang sedang haid?" Siti Aisyah menjawabnya, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."

Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Humaid ibnu Mus'adah, dari Yazid

ibnu Zurai', dari Uyaynah ibnu Abdurrahman ibnu Jusyan, dari Marwan Al-

Page 19: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

82

Asfar, dari Masruq yang mengatakan, "Aku bertanya kcpada Siti Aisyah,

apakah yang dihalalkan bagi seorang lelaki terhadap istrinya apabila ia sedang

haid?" Siti Aisyah menjawab, "Segala sesuatu kecuali persetubuhan."

Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Mujahid., Al-

Hasan, dan Ikrimah.

Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Ibnu Abuz Zaidah,

dari Hajyaj, dari Maimun ibnu Mihran, dari Siti Aisyah r,a. yang pernah

mengatakan kepadanya, "(Kamu boleh melakukan segala sesuatu kepada

istrimu) pada bagian di atas kain sarungnya."

Menurut kami, seorang suami boleh tidur bersama istrinya yang

sedang haid, boleh pula makan bersamanya tanpa ada yang

memperselisihkannya. Siti Aisyah r.a. pernah menceritakan hadis berikut:

Artinya: Rasulullah Saw. pernah memerintahku agar aku mencuci kepalanya, sedangkan aku dalam keadaan berhaid. Dan beliau Saw. pernah bersandar di atas pangkuanku, sedangkan aku dalam keadaan haid, lalu Rasulullah Saw. membaca Al-Qur'an.

Di dalam kitab sahih disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang

menceritakan:

Page 20: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

83

Artinya: Aku pernah makan daging yang ada tulangnya ketika sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. meletakkan mulutnya di tempat bekas gigitanku, lalu. aku minum dan memberikan bekas minumanku kepadanya, maka beliau meletakkan mulutnya di tempat bekas aku meletakkan mulutku.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Jabir ibnu Subhi yang

mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalas Al-Hajri menceritakan hadis

berikut dari Siti Aisyah r.a.:

Artinya: Aku dan Rasulullah Saw. sering berada dalam satu selimut, sedangkan aku dalam keadaan berhaid yang deras. Maka jika tubuhnya terkena sesuatu (darah) dariku, beliau mencucinya tanpa melampaui bagian lainnya. Dan jika bajunya terkena sesuatu dariku, maka beliau mencuci bagian yang terkena tanpa melampaui bagian lainnya dan memakainya untuk salat.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, yaitu telah

menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jabbar, telah menceritakan kepada kami

Abdul Aziz (yakni Ibnu Muhammad), dari Abul Yaman, dari Ummu Zurrah,

dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan:

Artinya: Adalah aku bila sedang haid, maka aku turun dari kasur ke tikar.

Page 21: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

84

Dengan kata lain, ia tidak mendekat kepada Rasulullah, begitu pula

Rasulullah Saw., tidak mendekatinya hingga ia suci dari haidnya. Maka hadis

ini diinterpretasikan dengan pengertian sebagai tindakan preventif dan hati-

hati.

Ulama lainnya mengatakan bahwa sesungguhnya seorang istri

dihalalkan bagi suaminya dalam masa haidnya hanya pada bagian selain dari

anggota di bawah kain sarungnya, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab

Sahihain dari Maimunah bintil Haris Al-Hilaliyah yang telah menceritakan:

Artinya: Adalah Nabi Saw. apabila ingin menggauli salah seorang istrinya yang sedang haid, maka terlebih dahulu beliau memerinlahkan kepadanya untuk memakai kain sarung.

Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Imam Bukhari. Imam

Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hadis yang semisal dari Siti

Aisyah r.a.

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi serta Imam Ibnu

Majah meriwayatkan melalui hadis Al-Ala, dari Hizam ibnu Hakim, dari

pamannya (yaitu Abdullah ibnu Sa'd Al-Ansari), bahwa ia pernah bertanya

kepada Rasulullah Saw., "Apakah yang dihalalkan olehku terhadap istriku jika

ia sedang haid?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Bagian di atas kain

sarung."

Imam Abu Daud meriwayatkan pula dari Mu'az ibnu Jabal yang

menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang apa

Page 22: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

85

yang dihalalkan baginya terhadap istrinya yang sedang haid. Maka Rasulullah

Saw. bersabda:

Artinya: Bagian di atas kain sarung, tetapi menahan diri dari hal tersebut adalah lebih utama.

Hal ini semakna dengan riwayat dari Siti Aisyah seperti yang telah

disebutkan di atas, juga riwayat Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab serta

Syuraih.

Hadis-hadis di atas dan lain-lainnya yang serupa menipakan hujah bagi

orang-orang yang berpendapat bahwa dihalalkan bersenang-senang dengan

istri yang sedang haid pada bagian di atas kain sarungnya. Pendapat ini

menipakan salah satu dari dua pendapat di kalangan mazhab Syafii yang

dinilai rajih oleh kebanyakan ulama Irak dan lain-lainnya.

Kesimpulan pendapat mereka menyatakan bahwa daerah yang ada di

sekitar farji hukumnya haram, untuk menghindari hal-hal yang diharamkan

oleh Allah dan telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu bersetubuh pada

farjinya.

Kemudian orang yang melanggar hal tersebut, berarti dia telah berdosa

dan harus meminta ampun kepada Allah serta bertobat kepada-Nya.

Akan tetapi, apakah orang yang bersangkutan harus membayar kifarat

atau tidak. Maka jawabannya ada dua hal, salah satunya mengatakan harus.

Pendapat ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

dan kitab-kitab sunnah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. mengenai seseorang

Page 23: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

86

yang mendatangi istrinya yang sedang haid. Maka dia harus menyedekahkan

satu dinar atau setengah dinar.

Menurut lafaz Imam Turmuzi disebutkan seperti berikut:

Artinya: Apabila darah haid berupa merah, maka kifaratnya satu dinar; dan jika darah haid berupa kuning, maka kifaratnya setengah dinar.

Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah

Saw. menetapkan denda satu dinar apabila menyetubuhi wanita yang sedang

haid; dan jika disetubuhi darah telah berhenti darinya, sedangkan ia belum

mandi, maka kifaratnya adalah setengah dinar.

Pendapat kedua yang merupakan pendapat yang sahih adalah qaul

jadid dari mazhab Imam Syafi’i dan pendapat jumhur ulama menyebutkan

bahwa tidak ada kifarat dalam masalah ini, melainkan orang yang

bersangkutan, diharuskan beristigfar, meminta ampun kepada Allah Swt,

mengingat tidak ada hadis marfu' yang sahih menurut pendapat mereka.

Dalam pembahasan yang lalu telah diriwayatkan hadis mengenai ini secara

marfu'. Ada juga yang diriwayatkan secara mauquf, bahkan yang mauquf.

Inilah yang sahih menurut kebanyakan pendapat ulama hadis. Firman Allah

Swt.:

Artinya: Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. (Al-Baqarah: 222)

Ayat ini merupakan tafsir dari firman-Nya:

Page 24: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

87

Artinya: Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. (Al-Baqarah: 222)

Allah SWT. melarang mendekati mereka untuk bersetubuh selagi

mereka masih dalam masa haidnya. Makna yang terkandung dari kalimat ini

memberikan pengertian bahwa apabila darah haid telah berhenti, berarti boleh

digauli lagi.

Imam Abu Abdullah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal

mengatakan di dalam kitab At-Ta'ah-nya sehubungan dengan makna firman-

Nya:

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Kalakanlah, "Haid itu adalah suatu kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu. (Al-Baqarah: 222), hingga akhir ayat.

Bersuci menunjukkan boleh mendekatinya. Ketika Maimunah dan

Aisyah r.a. mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka bila mengalami

haid, maka ia memakai kain sarung dan masuk bersama Rasulullah Saw. di

dalam selimutnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sekali-kali beliau

menghendaki demikian melainkan ingin melakukan persetubuhan.

Makna ayat ini menganjurkan dan memberikan petunjuk tentang cara

menggauli mereka sesudah bersuci. Bahkan Ibnu Hazm berpendapat, wajib

melakukan jimak setelah tiap habis haid, karena berdasarkan firman-Nya:

Page 25: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

88

Artinya: Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian, (Al-Baqarah: 222)

Pendapat ini tidak mempunyai sandaran, mengingat masalahnya terjadi

dengan adanya perintah sesudah larangan. Sehubungan dengan masalah ini

banyak pendapat di kalangan ulama Usul yang mengomentarinya. Di antara

mereka ada yang mengatakan bahwa makna yang terkandung di dalam ayat ini

menunjukkan pengertian wajib, sama halnya dengan ayat yang mutlak.

Mereka berpendapat sama dengan yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dan

memerlukan jawaban yang sama pula dengannya.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini

menunjukkan ibahah (pembolehan), dan mereka menjadikan larangan yang

mendahuluinya merupakan qarinah (petunjuk) yang memalingkan makna ayat

dari pengertian wajib. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.

Pendapat yang kuat sesuai dengan makna yang terkandung di dalam

dalil ini mengatakan bahwa permasalahannya dikembalikan kepada hukum

sebelumnya, yakni kepada perintah sebelum ada larangan. Jika perintahnya

menunjukkan pengertian wajib, maka hukumnya wajib. Perihalnya sama

dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

Artinya: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang- orang musyrik itu. (At-Taubah: 5)

Atau menunjukkan makna mubah, maka hukumnya mubah pula.

Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

Page 26: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

89

Artinya: Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh berburu. (Al-Maidah: 2)

Firman Allah Swt.:

Artinya: Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al-Jumu'ah: 10)

Dalil-dalil di atas memperkuat pendapat ini. Imam Ghazali dan ulama

lainnya meriwayatkan pendapat ini, lalu dipilih oleh sebagian para Imam

Mutakhkhirin; pendapat inilah yang sahih.

Para ulama sepakat bahwa seorang wanita apabila masa haidnya telah

habis, tidak halal digauli suaminya sebelum mandi dengan air atau tayamum

jika bersuci dengan air tidak dapat dilakukannya karena uzur berikut dengan

segala persyaratannya. Kecuali Imam Abu Hanifah; ia mengatakan bahwa jika

darah haidnya baru terhenti lebih dari sepuluh hari yang merupakan batas

maksimal masa haid menurutnya, maka si wanita halal bagi suaminya begitu

darahnya terhenti, tidak perlu mandi terlebih dahulu

Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

Artinya: sebelum mereka bersuci. (Al-Baqarah: 222) Yakni suci dari darah haidnya.

Page 27: BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HUKUM ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai

90

Artinya: Apabila mereka telah suci. (Al-Baqarah: 222)

Yaitu bersuci dengan air. Demikian pula apa yang dikatakan oleh

Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Lais ibnu Sa'd

serta lain-lainnya.