bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 matematika sd...

32
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Matematika SD 2.1.1.1 Hakikat Matematika Bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara deduktif; ilmu tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi disebut matematika (Heruman, 2014: 1).Matematika merupakan ilmu universal yang didalamnya meliputi ide, gagasan, dan konsep abstrak yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan matematika berbanding lurus dengan perkembangan sains dan teknologi (Wahyudi, 2012: 7). Ada pula yang menyebutkan ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur dalam menyelesaikan masalah bilangan disebut matematika (Poerwadarminta, W. J. S. 1985:637). Berdasarkan teori yang telah dikemukakan matematika adalah simbol ilmu yang universal yang mengandung kegiatan pola dan hubungan, mengembangkan kreatifitas, intuisi dan penemuan guna menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan bilangan matematika. Ebbut dan Straker (Kudsiah, 2013: 1) menyebutkan kegiatan penelusuaran pola dan hubungan, kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; dan kegiatan pemecahan masalah disebut matematika. Penyelesaian masalah merupakan tujuan dari matematika. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi, yang berisi tentang tujuan Matematika agar mampu : 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

Upload: lamquynh

Post on 02-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Matematika SD

2.1.1.1 Hakikat Matematika

Bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara

deduktif; ilmu tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi disebut

matematika (Heruman, 2014: 1).Matematika merupakan ilmu universal yang

didalamnya meliputi ide, gagasan, dan konsep abstrak yang tidak bisa dilepaskan

dari kehidupan manusia sehari-hari. Perkembangan matematika berbanding lurus

dengan perkembangan sains dan teknologi (Wahyudi, 2012: 7). Ada pula yang

menyebutkan ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antar bilangan dan

prosedur dalam menyelesaikan masalah bilangan disebut matematika

(Poerwadarminta, W. J. S. 1985:637).

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan matematika adalah simbol ilmu

yang universal yang mengandung kegiatan pola dan hubungan, mengembangkan

kreatifitas, intuisi dan penemuan guna menyelesaikan permasalahan yang

berhubungan dengan bilangan matematika. Ebbut dan Straker (Kudsiah, 2013: 1)

menyebutkan kegiatan penelusuaran pola dan hubungan, kreatifitas yang

memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; dan kegiatan pemecahan masalah

disebut matematika. Penyelesaian masalah merupakan tujuan dari matematika. Hal

ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi, yang

berisi tentang tujuan Matematika agar mampu :

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan

tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

10

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika, menyelesaikan model dengan menafsirkan

solusi yang diperoleh.

Secara khusus, memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar

konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, menggunakan penalaran pada

pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun

bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, memecahkan masalah

yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,

menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, mengomunikasikan

gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan

atau masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam

kehidupan sehari-hari merupakan tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar

(Ahmad Susanto, 2013: 190).

Ilmu yang tidak jauh dari kenyataan kehidupan manusia disebut dengan

matematika (Supratmono Catur, 2009:5). Menunjukkan bahwa matematika

menjadi ilmu yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya ilmu

matematika diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan dalam

mendapatkan dan mengolah informasi. Selain itu dengan adanya tujuan

pembelajaran maka pembelajaran akah lebih terarah dan focus. Ilmu matematika

mulai dikenalkan sejak jenjang SD yang memperkenalkan suatu konsep dasar

bersifat konkrit yang dapat tertanam sehingga dapat bermanfaat untuk

kehidupannya sehari-hari. Selain itu siswa dapat aktif terlibat dalam proses belajar

dan kesempatan mengemukakan ide-ide dalam proses belajar, melatih karakteristik

siswa dan belajar dari kegiatan yang bersifat konkrit ke abstrak (Ali, 2009: 166).

Tujuan matematika selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam

belajar matematika diajarkan pembelajaran yang realistik dengan kehidupan sehari-

hari, sehinga ilmunya dapat pula diterapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Selain itu juga bermaksud agar siswa memperoleh pengetahuan dan pengalamannya

secara langsung. Hal tersebut sesuai dengan tahap perkembangan anak usia SD

11

yang masih membutuhkan hal-hal yang konkrit dan abstrak dalam mengkonstruk

sebuah pengetahuannya sendiri. Dengan penanaman kosep dan pengetahuan yang

kuat akan mempermudah siswa dalam memahami sebuah permasalahan

matematika dan mencari penyelesaian permasalahan matematika.

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika SD

Belajar merupakan suatu proses penyusunan pengetahuan siswa yang

meliputi kegiatan dimana konsep disusun melalui pikiran dan tindakan (Rusman,

2013: 202). Belajar merupakan suatu proses membangun konsep-konsep dan

pengetahuan seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah

dilaluinya. Belajar dan pembelajaran merupakan dua kegiatan yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun

meliputi unsur-unsur manusiawi (siswa dan guru), material (buku, papan tulis,

kapur, dan alat belajar), fasilitas (ruang kelas, audio visual), dan proses yang saling

berkaitan untuk mencapai tujuan.

Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup

belajar. Pembelajaran sebagai proses yang disengaja yang menyebabkan siswa

belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi

tertentu. Pembelajaran sebagai hasil dari memori, kognisi, dan metakognisi yang

dapat mempengaruhi tingkat pemahaman siswa (Huda, 2013: 2). Dalam penelitian

ini pembelajaran matematika berkaitan dengan Kompetensi Dasar yang sudah

ditetapkan. Piaget (Dahar, 2011: 134) anak usia SD adalah anak yang berada pada

usia sekitar 7 sampai 12 tahun. Anak usia sekitar ini masih berpikir pada tahap

operasi konkrit artinya siswa siswa SD belum berpikir formal. Ciri-ciri anak-

anak pada tahap ini dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda

konkrit, belum dapat berpikir deduktif, berpikir secara transitif.

Pemeblajaran Matematika SD dapat digambarkan bahwa seorang guru

harus mampu untuk menghubungkan antara usia anak SD dengan matematika yang

masing-masing mempunyai karakter berbeda. Matematika menggunakan bahasa

simbol yang lebih sulit dipahami oleh anak usia SD. Pembelajaran matematika SD

akan lebih mudah diajarkan dengan memperhatikan tahap berpikir anak SD.

12

Pembelajaran matematika dimulai dari hal kongkrit kemudian hal abstrak dan dari

masalah mudah kemudian masalah yang bersifat sulit (Suhendri, 2011).

Membelajarkan siswa dengan hal-hal yang bersifat konkrit akan membantu siswa

dalam pemahaman ilmu matematika, salah satu caranya dengan memberikan

contoh-contoh yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Belajar matematika merangsang rasa ingin tahu, mendorong kreativitas dan

melengkapi siswa dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan di luar

sekolah (Paseleng, 2015).Ilmu matematika merupakan ilmu yang umum yang

diperlukan untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi dalam berbagai

bidang yang mempengaruhi perkembangan teknoligi. Selain itu, dengan kehidupan

usia anak SD yang masih memerlukan contoh-contoh yang nyata dalam

pemahaman sebuah ilmu. Dengan menggunakan contoh-contoh yang nyata akan

mempermudah pemahaman kosep dasar matematika yang dapat menumbuhkan

kemampuan atau ketrampilan dalam diri siswa. Kemampuan atau keterampilan

yang diperoleh siswa tentunya diharapkan dapat berguna untuk menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan matematika.

2.1.1.3 Kompetensi Dasar Matematika

Kompetensi dasar yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah KD

Matematika semester II kelas IV SD, yaitu KD 3.9 Menjelaskan dan menentukan

keliling dan luas daerah persegi, persegipanjang, dan segitiga dan 4.9

Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling dan luas daerah persegi,

persegipanjang, dan segitiga. Kompetensi Dasar 3.9 dengan indikator:

1. Pengukuran bangun datar untuk menentukan keliling dan luas bangun datar

persegi, persegi panjang dan segitiga

2. Menggunakan rumus untuk menentukan keliling dan luas bangun datar

Kompetensi Dasar 4.9 dengan indikator:

1. Memecahkan permasalahan yang melibatkan keliling dan luas daerah

persegi.

13

2. Memecahkan permasalahan yang melibatkan keliling dan luas daerah

persegipanjang.

3. Memecahkan permasalahan yang melibatkan keliling dan luas daerah

segitiga.

4. Menyajikan penyelesaian permasalahan yang melibatkan keliling dan luas

daerah (persegi, persegipanjang, segitiga).

Kompetensi Dasar di atas dapat di pecahkan dengan pemecahan masalah

matematika, namun dalam pemecahannya bergantung terhadap kemampuan dari

siswa itu sendiri terhadap permasalahan yang harus di pecahkan.

2.1.1.4 Kemampuan Pemecahan Masalah

Kecakapan atau potensi yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan

permasalahan dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari disebut

kemampuan pemecahan masalah (Gunantara dkk, 2014: 5). Polya (Gunantara dkk,

2014:4) kemampuan pemecahan masalah merupakan proses yang ditempuh oleh

seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu

tidak lagi menjadi masalah baginya. Usaha mencari jalan keluar dari kesulitan guna

mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai (Masbied,

2011: 9).

Berdasarkan uraian diatas kemampuan pemecahan masalah adalah potensi

atau usaha yang dimiliki siswa dengan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

sampai masalah tersebut tidak menjadi masalah melalui tindakan yang bertahap dan

sistematis. Kemampuan pemecahan masalah matematika berarti kemampuan siswa

dalam menyelesaikan permasalahan matematika berdasarkan langkah-langkah

penyelesaiannya. Matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah

menentukan dan masalah membuktikan (Kadir, 2010: 36). Dalam hal ini terlihat

konsep pengetahuan dan kemampuan siswa tentang sebuah ilmu yang didapat untuk

digunakan sebagai suatu sumber dalam mencari sebuah penyelesaian masalah.

Proses umum dalam pemecahan masalah tidak bergantung pada topik

permasalahan yang diberikan, melainkan suatu proses yang menuntun siswa untuk

memperoleh konsep dan keterampilan dari apa yang dipelajari.Terdapat 4 langkah

14

dalam proses pemecahan masalah agar siswa lebih terarah dalam menyelesaikan

masalah matematika, yaitu :

1. Understanding the problem (Polya, 1973:5-6). Memahami istilah yang

digunakan dalam masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa

yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup, syarat apa saja

yang harus dipenuhi dalam masalah tersebut.

2. Devising plan (Polya, 1973:5-6). Menemukan hubungan antara data yang

diperoleh dengan hal-hal yang belum diketahui serta mencari solusi ataupun

strategi pemecahan masalah.

3. Carrying out the plan (Polya, 1973:5-6). Menjalankan rencana guna

menemukan solusi, memeriksa setiap langkah untuk membuktikan apakah

cara itu benar.

4. Looking back (Polya, 1973:5-6). Melakukan evaluasi terhadap solusi yang

didapat.

Langkah diatas merupakan usaha yang dapat dilakukan siswa dalam

menyelesaikan sebuah permasalahan. Dalam langkah-langkah tersebut

mencerminkan kemampuan diri seorang siswa dalam melakukan pemecahan

sebuah masalah. Di setiap langkah yang menumbuhkan kemampuan siswa dalam

hal berpikir tingkat tinggi. Seseorang dianggap sebagai pemecah masalah yang baik

apabila mempunyai tahapan berpikir tingkat tinggi setelah evaluasi dan

keterampilan yang menjadi tahapan berpikir yang dikembangkan (Sukmadinata dan

As’ari, 2006: 2). Dengan langkah mengamti, menganalisis, mencipta ataupun

dengan mengevaluasi termasuk dalam tahapan berpikir tingkat tinggi.

Pengalaman siswa dalam melakukan langkah pemecahan diharapkan dapat di

ingat dan di konstruk menjadi pengetahuan yang dapat di terapkan siswa dalam

situasi permasalahan yang baru atau nyata dalam kehidupannya. Untuk

mengembangkan siswa dalam pemecahan masalah dapat digunakan strategi

pemecahan masalah. Pertama waktu yang digunakan dalam pemecahan masalah,

yaitu waktu memahami masalah, mengeksplorasi masalah dan menyelesaikan

masalah. Kedua perencanaan, merupakan perencanaan pembelajaran secara

sitematis dan uraian materi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ketiga sumber

15

yang dibutuhkan, sebagai guru ini terlihat dalam kemampuan guru dalam

menggunakan sumber-sumber belajar atau alat yang digunakan dalam

pembelajaran. Dan keempat manjemen kelas, pengelolaan atau rancangan guru

dalam mengatur pembelajaran kelas yang baik.

Dengan terlaksannya seluruh strategi dapat menjamin keoptimalan

kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah memberikan

keuntungan bahwa dalam pembelajaran membelajarkan siswa dengan

permasalahan yang relevan dan nyata, proses pembelajaran yang mebiasakan siswa

berfikir untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan yang dapat diterapkan

dalam dunia sekolah maupun masyarakat, serta strategi pemecahan yang

mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir tingkat tinggi. Masalah

memampukan siswa untuk menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh

kembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa,

serta meningkatkan kepercayaan dirinya (Trianto, 2007).

Adapun yang menjadi kendala dalam pembelajaran yang membelajarkan

siswa dengan kemampuan pemecahan masalah yaitu, pertama sulit menentukan

permasalahan yang seuai dengan tingkat perkembangan anak, kedua membutuhkan

waktu yang cukup lama dalam proses penyelesaian pemecahan masalah.

2.1.1.5 Pemecaham Masalah Matematika

Belajar matematika pada umumnya soalnya yang dijumpai dianggap

bukanlah masalah. Soal disebut masalah tergantung pada pengetahuan/ kemampuan

yang dimiliki penjawab (Widjajanti, 2009). Suatu persoalan itu merupakan masalah

bagi seseorang jika: pertama, persoalan itu tidak dikenalnya. Kedua, siswa harus

mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya;

terlepas daripada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga,

sesuatu itu merupakan pemecahan masalah baginya, bila ia ada niat untuk

menyelesaikannya (Ruseffendi, 1991a). Hakikat pemecahan masalah adalah

melakukan operasi prosedural urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis

sebagai seorang pemula memecahkan masalah (Wena, 2013:52).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas kemampuan pemecahan masalah

matematika adalah proses kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah

16

matematika berdasarkan prosedur atau langkah-langkah yang benar sampai tidak

lagi menjadi masalah. Masalah yang dihadapkan dapat berbagai bentuk, salah

satunya soal cerita dalam matematika. Pemecahan masalah matematika sebagai

kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin,

mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan

membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur(Sumarmo,1994). Untuk

prosedur yang benar harus dipikirkan secara mendalam, sehingga pemecahan

masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan

sistematis. Hal ini melatih siswa untuk berfikir tingkat tinggi. Terdapat 4 indikator

yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematika menurut Polya

(2012:4) sebagai berikut:

1) Memahami permasalahan

2) Merancang suatu strategi penyelesaian masalah

3) Melaksanakan strategi atau perhitungan

4) Meninjau kembali

Adapaun penjelasan dari empat indicator pemecahan masalah tersebut yang

digunakan dalam landasan matematika sebagai berikut. Pertama pemahaman

terhadap soal, siswa harus memahami kondisi soal atau masalah yang diberikan.

Kondisi siswa yang paham terhadap soal dapat ditunjukkan siswa dalam

mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan beserta jawabanya seperti berikut : Siswa

harus memahami permaslahan pada soal atau memahami soal, data atau informasi

apa yang dapat diketahui dari soal, apa inti permasalahan dari soal yang

memerlukan pemecahan, adakah dalam soal itu rumus-rumus, gambar, grafik, tabel

atau tanda-tanda khusus, adakah syarat-syarat penting yang perlu diperhatikan

dalam soal. Kedua penentuan perencanaan penyelesaian. Siswa harus dapat

memikirkan langkah-langkah atau strategi apa saja yang penting dan saling

menunjang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, siswa harus

mencari konsep-konsep atau teori-teori yang saling menunjang dan mencari rumus

rumus yang diperlukan. Ketiga implementasi perencanaan. Siswa telah siap

melakukan perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan termasuk

konsep dan rumus atau persamaan yang sesuai. Siswa mulai memasukkan data-data

17

hingga menjurus ke rencana pemecahannya kemudian melaksanakan langkah-

langkah rencana untuk menyelesaikan permasalahan. Keempat meninjau kembali,

siswa harus berusaha mngecek ulang dan menelaah kembali dengan teliti setiap

langkah pemecahan yang dilakukannya.

Selain itu ada 4 tahap dalam melakukan pemecahan masalah matematika

menurut Santrock (2003), yaitu:

1. Menemukan dan menggambarkan masalah yang sedang dihadapi.

2. Membangun strategi pemecahan masalah yang baik.

3. Mengevaluasi solusi yang sudah diperoleh.

4. Memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi dalam jangka

waktu yang lebih lama.

Tahap pertama, dengan membuat garis bersar permasalahan yang diasjikan

dengan detail sehingga paham akan permasalahan yang dihadapi. Kedua, membuat

suatu perncanaan untuk memecahkan permasalahan, perencanaan bisa dibuat lebih

dari 1 rencana. Baik cara atau urutan dalam pemecahan. Ketiga, melakukan evaluasi

solusi yang digunakan sudah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi atau

belum. Keempat, menjabarkan kembali permasalahan secara detail dan

penyelesaiannya secara detail dan runtut.

Dari uraian diatas dapat dijabarkan bahwa dalam pemecahan masalah

matematika dapat dilakukan dengan pertama, memahami masalah yang disajikan.

Kedua, membuat perencanaan pemecahan. Ketiga menerapkan perencanaan.

Keempat, membuat evaluasi atas pemecahan yang didapat.

Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika diperlukan

adanya alat ukur. Penilaian dilakukan tidak hanya dalam menyelesaikan sebuah alat

ukur, tetapi penilaian juga dilakuakan saat proses penyelesaian. Hasil yang dicapai

oleh seseorang siswa setelah melakukan usaha sehingga adanya perubahan atau

peningkatan yang lebih baik di bandingkan sebelumnya (Juniati, 2017). Adapun

kriteria yang dinilai saat proses penyelesaian yaitu sikap dan keterampilan.

Kemampuan pemecahan masalah matematika tidak hanya dinilai dari hasil ahirnya

saja, melainkan melalui sikap dan keterampilan selama proses pemecahan masalah

matematika.

18

Domain dalam sikap yaitu kemampuan obyek berkenaan dengan persaan,

emosi, sikap penerimaan terhdap proses pembelajaran. Sedangkan dalam domain

keterampilan berkenaan dengan kemampuan siswa dalam mengikuti langkah

bekerja dalam proses pembelajaran. Sedangkan dalam domain kognitif berkaitan

dengan hasil ahirnya, berkaitan dengan kemampuan berpikir, memperoleh

pengetahun, mengolah pengetahuan, dan menerapkan pengetahuan. Secara

sederhana dapat dikatakan domain kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir

pengetahuannya. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Bloom terdapat tingkatan

dalam belajar kognitif yaitu mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasikan

(C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Domain

psikomotor menurut TIM pekerti UNS (2007) berkaitan dengan gerakan otot yang

terpadu untuk menyelesaikan tugas.Hal tersebut sesuai dengan kriteria penilaian

Kurikulum 2013 yang menyajikan data atau gambaran dalam perkembangan belajar

siswa. Sehinga guru dapat memberikan perlakuan sesuai dengan perkembangan

belajar siswa. The real teacher simply directs and creates a learning plan that can

accommodate that character can appear (Indasari,2018). Pernyataan tersebut

menggambarkan sebagai berikut: guru yang sebenarnya hanya mengarahkan dan

menciptakan rencana pembelajaran yang bisa mengakomodasi karakter itu yang

bisa muncul.

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang dikembangkan dengan

penyempurnaan pola piker yang bertujuan untuk menyiapkan manusia agar

memilliki kemampuan hidup sebagai warga negara yang beriman, kreatif, produktif

dan mempu berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Kurikulum 2013 yang

berusaha menciptakan manusia membangun pengetahuan melalui metode meneliti

yang mengaktifkan seluruh domain. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah,

yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan (Astuti, 2015). Pola pembelajaran yang

berpusat kepada siswa yang mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual,

social, pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi

baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Siswa sebagai pusat pembelajaran

menjadikan ketertarikan , pegalaman dan gaya belajar sebagai fokus menciptakan

pembelajaran yang aktif (Harris, 2013).

19

Terdapat banyak kemungkina yang terjadi dalam setiap pembelajaran. Salah

satunya adalah tidak sesuainya kemampuan yang dimiliki dalam pemecahan

masalah matematika dengan standar kelulusan minimal. Untuk itu diberikan sebuah

pengayaan atau bimbingan yang dapat dilakukan untuk menolong. Namun dalam

penilaian proses kemampuan pemecahan masalah juga harus didasarkan pada jenis

kompetensi yang menyeluruh yaitu afektif, kognitif dan psikomotor.

2.1.2 Model Problem Based Learning

2.1.2.1 Pengertian Model Problem Based Learning

Model pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai

konteks untuk para peserta didik belajar berpikir kritis dan keterampilan

memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan disebut model Problem

Based Learning(Shoimin, 2014:130). Penggunaan berbagai macam kecerdasan

yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata,

kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleks adalah

pembelajaran berbasis masalah (Tan, 2003). Masalah ini digunakan untuk

memadukan rasa ingin tahu, kemampuan analisis dan inisiatif pemecahan atas

materi pembelajaran. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan diatas, Finkle

dan Torp (Shoimin, 2014:130) menyatakan :

PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem

pengajaran yang mengembangkan secara simultan strategi

pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan

keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam

peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang

tidak terstruktur dengan baik.

Model pembelajaran yang melatih dan mengembangkan kemampuan

untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari

kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi

disebut model Problem Based Learning (Slameto, 2015:407). Selain itu,

pembelajaran yang membelajarkan peserta didik pada masalah autentik, peserta

didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan

20

keterampilan yang lebih tinggi, inkuiri dan memandirikan peserta didik disebut

pembelajaran bermasis masalah (Arends, 2007).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas Problem Based Learning adalah

model pembelajaran yang merangsang kemauan berpikir tingkat tinggi siswa untuk

menggunakan berbagai macam kecerdasan dalam pembelajarannya dengan

menyajikan permasalahan nyata, kemudian siswa dituntut untuk dapat berpikir

srcara kritis untuk memecahkan masalah sehingga siswa dapat mengkonstruk

pengetahuan dan pembelajaran sendiri yang lebih bermakna. Model pembelajaran

inovatif yang diawali dengan pemberian masalah atau topik masalah kepada siswa

di mana masalah tersebut dialami dalam kehidupan sehari-hari siswa dan siswa

bekerja sama dengan kelompok untuk menyelesaikan masalah tersebut dan

menemukan pengetahuan baru (Virginia, 2016). Dengan kriteria usia anak SD yang

masih dalam dunia konkrit, model ini dapat digunakan dalam pembelajaran yang

memberikan pembelajaran dengan sebuah permasalahan nyata yang sering terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. PBL dapat membantu individu menjadi ahli dalam

materi, dan pemecah masalah yang baik (Son, 2017). Selain itu dengan pemberian

sebuah masalah dalam pembelajarannya akan membuat siswa menjadi lebih

tertantang untuk menganalisi dan melakukan hal-hal baru untuk mengatasi

permasalahan.

Sesuai dengan pola perkembangan anak SD yang suka dengan mencoba-

coba. Model ini juga mengajarikan siswa dalam mengasah kemampuan berpikirnya.

Melalui pendekatan PBL siswa belajar melalui aktivitas pemecahan masalah yang

dapat mengasah keterampilan berpikir siswa (Rahmadina, 2015). Dalam

pembelajaran ini siswa secara tidak langsung di tuntut untuk berpikir tingkat tinggi,

siswa harus menganalisi sebuah permasalahan, mengumpulkan informasi atau data

yang mendukung permasalahan kemudian mencari suatu penyelesaian yang sesuai.

Penyelesaian atau solusi yang ditemukan juga merupakan kemampuan berpikirnya

dalam menciptakan sebuah penyelesaian.

Model problem based learning merupakan model pembelajaran berbasis

kurikulum 2013 yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Pembelajaran ini termasuk pembelajaran yang aktif, pembelajaran aktif akan lebih

21

tertanam dalam diri siswa. Dalam hal ini guru tidak hanya sekedar memberikan

pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan

dalam benaknya (Mustalimah, 2016). Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013

Tentang standar proses, model pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi

Kurikulum 2013 yaitu salah satunya model Problem Based Learning (PBL).Selain

itu pembelajaran ini memberikan pengalaman belajar siswa dengan pembelajaran

sebuah permasalahan dalam belajarnya yang melatih siswa dalam berpikir kritis

yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Berpikir kritis itu sendiri adalah tujuan

pendidikan (Halpern, 2003).

2.1.2.2 Karakteristik Model Problem Based Learning

Problem Based Learning pembelajaran berdasarkan masalah yang

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara rasional, analitik dan

mampu menghasilkan suatu pemecahan yang dapat menyelesaika permasalahannya

secara tepat. Berikut merupakan kelebihan-kelebihan Problem Based Learning:

1) Realistik dengan kehidupan siswa (Trianto, 2012:96-97). Pembelajaran

akan realistic artinya bersifat nyata, memebelajarkan siswa untuk berpikir

secara nyata dan tidak imajinatif meskipun dunia anak SD masih dalam taraf

imajinasi. Seperti permasalahan yang diberikan bersifat nyata dalam

kehidupan sehari-hari.

2) Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa (Trianto, 2012:96-97).

Pembelajaran sesuai dengan taraf pekembangan anak yang masih penuh

dengan rasa ingin tahu.

3) Memupuk sifat inquiri siswa (Trianto, 2012:96-97). Pembelajaran lebih

menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar, dimana siswa didorong

untuk dapat mengembangkan rasa keingintahuannya. Siswa berusaha

mencari sendiri pengetahuannya melalui sumber apapun kemudian meneliti.

4) Retensi konsep jadi kuat (Trianto, 2012:96-97). Dengan pengalaman

pembelajaran yang berpusat pada siswa, konsep yang ditemukan sendiri

oleh siswa akan lebih kuat dibandingkan hanya dengan mendengarkan

22

penjelasan dari guru. Dengan kata kata lain konsep yang dibangun siswa

sendiri akan lebih melekat dalam diri siswa.

5) Memupuk kemampuan problem solving (Trianto, 2012:96-97). Pemberian

masalah serta dengan rasa ingin tahu siswa, akan mendorong siswa untuk

mencari tahu penyebab dan penyelesaian masalah yang sesuai.

Sedangkan kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning yaitu

sebagai berikut:

1) Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks (Trianto,

2012:96-97). Pembelajaran ini membutuhkan persiapan matang,

menyeluruh dan menjadi satu kesatuan yang utuh antara alat yang

dibutuhkan dengan permasalahan yang diberikan, dan konsep

pembelajarannya. Terutama dalam mempersiapkan permasalahan yang

sesuai dan mudah untuk dipahami oleh siswa.

2) Sulitnya mencari problem yang relevan (Trianto, 2012:96-97).

Pembelajaran ini masih dirasa sulit dalam memberikan permasalahan yang

di kembangkan haruslah yang mudah dipahami siswa. Pemberian masalah

yang tidak sesuai akan memnimbulkan miskonsepsi terhadap siswa.

Problem yang diberikan lebih baik bersifat nyata, artinya permasalahan

yang yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

3) Sering terjadi miskonsepsi (Trianto, 2012:96-97). Dalam pembelajaran ini

miskonsepsi sering terjadi disaat pemberian masalah dan konsep yang

dimiliki siswa sendiri berbeda. Atau sering terjadinya salah pemahaman

terhadap permasalahan yang diberikan.

4) Komsumsi waktu yang cukup dalam proses penyelidikan (Trianto, 2012:96-

97). Pembelajaran ini memerlukan waktu cukup lama, karena dalam proses

pembelajaran telibat rasa ingin tahu yang membutuhkan waktu lama untuk

penyelidikan tentang masalah dan solusi yang tepat. Dalam penyelididkan

tentunya tidak hanya melakukan satu solusi, melainkan melakukan berbagai

cara. Dari ini waktu yang diperlukan sangatlah panjang.

23

2.1.2.3 Langkah-Langkah Model Problem Based learning

Saat proses pembelajaran, diperlukan adanya langkah-langkah yang

tepat agar pemebelajaran dapat berjalan secara optimal. Langkah-langkah

yang tepat juga sangat menentukan keberhasilan suatu model pembelajaan.

Penerapan model Problem Based Learning terdiri atas lima langkah utama,

yang pertama orientasi siswa pada masalah, kedua mengorganisasi siswa

untuk belajar, ketiga membimbing penyelidikan individual dan kelompok,

keempat mengembangkan dan menyajikan hasil karya, kelima menganalisis

dan mengevaluasi proses pemecahan masalah(Hosnan,2014:301).

Tabel 2.1

Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning

Tahap Perlakuan Guru

Tahap 1

Orientasi siswa

kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang

dibutuhkan, memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas

pemecahan masalah yang dipilihnya

Tahap 2

Mengorganisasi

siwa untuk

belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas

belajar tugas belajar yang berhubungan dengan masalh tersebut

Tahap 3

Membimbing

penyelidikan

individual

maupun

kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan dan

pemecahanmasalah

Tahap 4

Mengembangkan

dan menyajikan

hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya

yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka

untuk berbagi tugas dengan temannya

Tahap 5

Menganalisis

dan

mengevaluasi

proses

pemecahan

masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi

terhadap penyelidikan mereka atau proses-proses yang mereka

gunakan

Adapun penjelasan secara merinci langkah-langkah yang diperlukan untuk

mengimplementasikan PBL dalam pembelajaran sebagai berikut:

24

Tahap 1. Mengorientasikan siswa pada masalah.Dalam hal ini pembelajaran

dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan

dilakukan. Tahapan ini sangat penting dalam penggunaan PBL, dimana guru harus

menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa dan guru sendiri. Di

samping proses yang akan berlangsung, penting juga untuk menjelaskan bagaimana

guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini penting untuk memberikan

motivasi agar siswa dapat mengikuti dalam pembelajaran yang dilakukan dengan

baik.

Tahap 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar.Pemecahan suatu masalah yang

membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota mendorong siswa untuk belajar

berkolaborasi. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan

membentuk kelompok-kelompok siswa yang masing-masing kelompok akan

memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan

siswa dalam konteks ini seperti kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi

antar anggota, komunikasi yang efektif. Hal penting yang dilakukan guru adalah

memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga

kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran. Selanjutnya guru dan siswa

menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik dan tugas-tugas penyelidikan..

Tahap 3. Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.Pada fase ini guru

membantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, siswa

diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis

informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa diajarkan

untuk menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai

untuk masalah yang dihadapinya, siswa juga perlu diajarkan apa dan bagaimana

etika penyelidikan yang benar.

Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.Hasil karya yang

dimaksud lebih dari sekedar laporan tertulis, melainkan kemampuan menerangkan

apa yang ditulis dalam presentasi.

Tahap 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.Fase

terakhir PBL ini melibatkan kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk membantu

siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun

25

keterampilan investigasi dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan.

Selama fase ini, guru meminta siswa untuk merekonstruksikan pikiran dan kegiatan

mereka selama berbagai fase pelajaran. Tantangan utama bagi guru dalam tahap ini

adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan

penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian

terhadap permasalahan tersebut.

Secara operasional kegiatan guru dan siswa menurut Agus Suprijono (2009)

selama proses pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut.

Tabel 2.2

Prosedur pelaksanaan pembelajaran menggunakan Model Problem Based

Learning

Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan Aktivitas Siswa

Guru menjelaskan tujuan

pembelajaran dan sarana atau

logistik yang dibutuhkan, dan

memotivasi siswa untuk terlibat

dalam aktivitas pemecahan masalah

nyata yang dipilih atau ditentukan.

Mengorientasikan peserta

didik terhadap masalah

Siswa menyimak tujuan

pembelajaran yang harus

diketahui dan dipahami

oleh siswa, sehingga siswa

dapat terlibat dalam

aktivitas pemecahan

masalah.

Guru mengorganisasi siswa dengan

meminta siswa membentuk

kelompok dengan jumlah anggota 4

atau 5 secara heterogen.

Mengorganisasi peserta

didik untuk belajar

Siswa membentuk

kelompok beranggotakan

4 atau 5 orang.

1.Guru membagikan (Lembar

Diskusi Siswa) LDS pada tiap

kelompok.

2.Guru menjelaskan tata cara

pengisian LDS.

3.Guru meminta kelompok

berdiskusi.

4.Guru mendorong siswa untuk

mengumpulkan informasi yang

sesuai dengan permasalahan.

Membimbing

penyelidikan individual

maupun kelompok

1.Siswa mendengarkan

tatacara pengisian LDS.

2. Siswa berdiskusi

dengan kelompoknya

(dengan bimbingan guru)

Guru membantu siswa untuk

berbagi tugas dan menyiapkan karya

yang sesuai sebagai hasil

pemecahan masalah.

Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Siswa menyampaikan

hasil karya kelompok di

depan kelas sebagai hasil

pemecahan masalah.

Guru bersama siswa melakukan

refleksi dan evaluasi terhadap proses

pemecahan masalah.

Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Siswa dibantu guru

melakukan evaluasi

terhadap proses

pemecahan masalah yang

dilakukan.

26

Berdasar teori diatas penulis menggunakan langkah-langkah model

Problem Based Learning dengan adanya sedikit modifikasi yaitu, pertama

pemberian masalah dan kebutuhan yang dibutuhkan, kedua mengorganisasikan

siswa dalam belajar kelompok(membentuk kelompok), ketiga membimbing siswa

dalam pemfokusan masalah dan mendorong siswa untuk mencari informasi

sebanyak-banyaknya berkaitan dengan masalah, keempat membimbing pemecahan

masalah melalui kelompok belajar, kelima menyajikan pemecahan masalah dan

mengevaluasi terhadap solusi atau pemecahan masalah(hasil kerja siswa) sesuai

dengan permasalahanya.

Penerapan dalam pembelajaran matematika diawali dengan pemberian

pertanyaan yang menjadi sebuah masalah yang harus dipecahkan, membentuk

kelompok belajar. Dengan bekerja bersama tim, siswa akan mampu belajar

sesungguhnya dengan mengatasi hal-hal yang diberikan kepada mereka (Rini,

2015). Kemudian guru mengkerucutkan permasalahan kepada siswa diikuti dengan

mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, kemudian

mendampingi dan memberikan aturan dalam kerja kelompok siswa untuk

menemukan penyelesaian masalah yang harus disajikan siswa, tahap terahir dengan

menyajikan dan menilai penyelesaian yang dilakukan sudah tepat atau perlu untuk

berbaikan.

Model ini termasuk dalam kurikulum 2013 yang sangat baik. Pembelajaran

yang hebat, dimulai dari masalah (Tan, 2003). Model ini mengarahkan atau

membelajarkan siswa untuk berpikir tingkat tinggi, siswa diminta untuk

menganalisis permasalahan, mengumpulkan informasi hinngga menciptakan

penyelesaian terhadap permasalahan yang diberikan. Pembelajaran model ini

berpusat terhadap siswa, dalam penerapannya pembelajarannya siswa bekerja

dengan mencari dan mengolah informasi sendiri. Siswa menjadi peran utama dalam

pembelajaran dan guru hanya sebagai fasilitator. Siswa tidak dipandang sebagai

obyek dan guru sebagai subyek. Siswa dan guru menjadi rekan (Purba, 2015).

Mengajarkan siswa untuk mandiri dalam belajar dan mengkonstruk

pengetahuannya. Selain itu dalam pembelajaran ini memberikan kesempatan

27

kepada siswa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan dan

keterampilan yang dimiliki.

2.1.2 Model Problem Solving

1.1.2.1 Pengertian Model Problem Solving

Suatu cara menyajikan pelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari

dan memecahkan suatu masalah atau persoalan dalam rangka pencapaian tujuan

pengajaran disebut metode pemecahan masalah (Problem Solving) (Hamdani,

2011:84). Hal tersebut sama dengan mencari atau menemukan cara peneyelesaian

permasalahan (Slameto, 2015).Model pemecahan masalah (Problem Solving)

merupakan model dalam kegiatan pembelajaran dengan melatih siswa menghadapi

berbagai masalah, baik masalah pribadi maupun masalah kelompok untuk

dipecahkan sendiri atau secara bersama.sama. Orientasi pembelajarannya adalah

investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah

(Hamdani, 2011:84). Problem solving merupakan suatu cara untuk menemukan

jalan yang sesuai dalam rangka pencapaian tujuan ketika tujuan tersebut belum

dapat tercapai (Santrock, 2003). Ada pula yang menjelaskan metode yang

dilakukan dengan cara langsung menghadapi masalah, mengetahui dengan sejelas-

jelasnya dan menemukan kesukaran-kesukarannya sehingga dapat dipecahkan

disebut problem solving (Abdul Kadir Munsyi, 1981).

Dari teori diatas model Problem Solving merupakan pembelajaran yang

menyajikan masalah dan mendorong siswa untuk mencari cara penyelesaian

permasalahan baik secara kelompok maupun sendiri. Ini menajdi satu cara dalam

pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk mencari dan memecahkan

permasalahan untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran. Solusi dari

permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar artinya

siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis (Mawardi dan Mariati, 2016). Siswa

diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan

pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.

Model problem solving merupakan model dalam kurikulum 2013 yang

menekankan pembelajaran berpusat pada siswa. Maksudnya adalah dengan

28

pembelajaran aktif yang dilakukan siswa, bukan gurunya. Model ini melatih siswa

dalam kemampuan menganalisis permasalahan, mengumpulkan informasi dan

menciptakan penyelesaian permasalahan. Problem Solving merupakan cara

mengajar yang merangsang seseorang untuk menganalisa dan melakukan sintesa

dalam kesatuan struktur atau situasi di mana masalah itu berada, atas inisiatif sendiri

(Widyawati, 2015). Hal itu menunjukkan bahwa model problem solving melatih

siswa untuk berpikir tingkat tinggi dengan tahap-tahap kemampuan pembelajaran

diatas. Selain itu model ini sangat mendukung dan sesuai dengan pola

perkembangan anak usia SD yang masih suka dalam mencoba-coba. Dengan

adanya masalah siswa tertantang untuk mencoba-coba mencari berbagai solusi

dalam menyelesaiakan permasalahan yang disajikan.

1.1.2.2 Karakteristik Model Problem Solving

Problem Solving membelajarkan, melatih dan mengembangkan

kemampuan untuk mennyelesaikan maslaah dalam kehidupan nyata. Berikut

merupakan kelebihan-kelebihan Problem Solving:

a. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan (Asyirint, 2010 : 69).

Pembelajaran mengajarkan siswa untuk mengkonstruk pengetahuannya

sendiri.

b. Berpikir dan bertindak kreatif (Asyirint, 2010 : 69). Pembelajaran

dengan melatih siswa untuk berfikir penyelesaian masalah dan tindakan

yang diambil untuk menyelesaikan masalah.

c. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis(Asyirint, 2010 :

69). Masalah yang diberikan berupa masalah dalam kehidupa sehari-

hari, penyelesaianya secara procedural dan sistematis.

d. Mengidentifikasi dan melakukan penelitian (Asyirint, 2010 : 69).

Pembelajaran ini melatih siswa untuk mengumpulkan banyak informasi,

mengelola dan menganalisis untuk menyelesaikan masalah.

e. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan (Asyirint, 2010 : 69).

Setelah memperoleh informasi yang mendukung, pembelajaran ini

mengajarkan siswa untuk mengungkapkan hasil analisa dan menilai

pemecahan masalah.

29

f. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat (Asyirint, 2010 :

69). Pembelajaran ini mengajarkan siswa untuk berpikir secara kritis

dalam mencari penyelesaian masalah secara tepat.

g. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,

khususnya dunia kerja kehidupan sehari-hari siswa itu sendiri (Asyirint,

2010 : 69). Dengan pembelajaran yang membelajarakn dengan

permasalahan yang nyata, dan menemukan sendiri penyelesaian yang

tepat dan sistematis akan mudah dipahami siswa dan diingat siswa

sampai di kehidupan sehari-harinya.

Problem Solving terdapat pula kelemahan. Berikut merupakan

kelemahan model Problem Solving:

a. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan model ini.

(Asyirint, 2010 : 69). Tidak semua materi pembelajaran dapat diajarkan

dengan model pembelejaran ini, karena tidak semua pelajaran dengan

menganalisis permasalahan, kemudian menemukan pola atau solusi

yang dibutuhkan.

b. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan

model pembelajaran yang lain (Asyirint, 2010 : 69). Dalam

pembelejaran ini melakukan kegiatan menganalisa sebuah

permasalahan sehingga seringkali membutuhkan waktu yang lama

dibandingkan menggunakan model pembelajaran lain.

1.1.2.3 Langkah-langkah Model Problem Solving

Pelaksanaan medel pembelajaran Problem Solving memiliki beberapa

langkah sebagai berikut:

a. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan (Asyirint, 2010).

Masalah itu harus tumbuh dari siswa sesuai taraf kemampuannya.

b. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah tersebut (Asyirint, 2010). Mengumpulkan

berbagai informasi yang mendukung untuk melakukan

penyelesaian masalah.

30

c. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut (Asyirint,

2010). Dugaan sementara ini tentu saja didasarkan kepada data

yang diproleh pada langkah sebelumnya.

d. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut (Asyirint, 2010).

Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah

sehingga betul-betul yakin sehingga jawaban tersebut betul-betul

cocok dan mencocokkan dengan dugaan jawaban.

e. Menarik kesimpulan (Asyirint, 2010). Menyimpulkan

penyelesaian masalah yang tepat.

Selain langkah diatas, terdapat enam tahap dalam pemecahan masalah

menurut Wena (2011:56) yaitu, pertama identifikasi permasalahan

(identification the problem), kedua representasi permasalahan (representation

of the problem), ketiga perencanaan pemecahan (planning the solution),

keempat menerapkan/mengimplementasi perencanaan (execute the plan),

kelima menilai perencanaan (evaluate the plan), keenam menilai hasil

pemecahan (evaluate the solution).

Sintaks Model Pembelajaran Problem Solving

Sintak pembelajaran langsung terdiri dari 6 tahap, yaitu sebagai berikut.

1. Merumuskan masalah. Kemampuan yang diperlukan adalah

mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas.

2. Menelaah masalah. Kemampuan yang diperlukan adalah

menggunakan pengetahuan untuk memperinci, menganalisis

masalah dari berbagai sudut.

3. Merumuskan hipotesis. Kemampuan yang diperlukan adalah

berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat dan

alternatif penyelesaian.

4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan

pembuktian hipotesis. Kemampuan yang diperlukan adalah

kecakapan mencari dan menyusun data. Menyajikan data dalam

bentuk diagram, gambar atau tabel.

31

5. Pembuktian hipotesis. Kemampuan yang diperlukan adalah

kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan

menghubung-hubungkan dan menghitung, serta keterampilan

mengambil keputusan dan kesimpulan.

6. Menentukan Pilihan Penyelesaian. Kemampuan yang diperlukan

adalah kecakapan membuat alternatif penyelesaian, kecakapan

menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan

terjadi pada setiap pilihan.

Secara operasional kegiatan guru dan siswa menurut Wena (2013)

selama proses pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut.

Tabel 2.3

Prosedur pelaksanaan pembelajaran menggunakan Model

Problem Solving

Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan Aktivitas Siswa

Memberi permasalahan

pada siswa

Identifikasi

Permasalahan

Memahami permasalahan.

Membimbing siswa

dalam

melakukan identifikasi

permasalahan

Melakukan identifikasi

terhadap masalah yang

dihadapi

Membantu siswa untuk

merumuskan dan

memahami masalah

secara

benar

Penyajian

Permasalahan

Merumuskan dan

pengenalan permasalahan

Membimbing siswa

melakukan perencanaan

pemecahan masalah

Perencanaan

Pemecahan

Melakukan perencanaan

pemecahan masalah

Membimbing siswa

menerapkan perencanaan

yang telah dibuat

Menerapkan/

mengimplementasikan

perencanaan

Menerapkan rencana

pemecahan masalah

Membimbing siswa

dalam

melakukan penilaian

terhadap perencanaan

pemecahan masalah

Menilai Perencanaan

Melakukan penilaian

terhadap perencanaan

pemecahan masalah

Membimbing siswa

melakukan penilaian

terhadap hasil pemecahan

masalah

Menilai Hasil

Pemecahan

Melakukan penilaian

terhadap pemecahan

masalah

32

Berdasar teori diatas dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan

perbedaan langkah menurut kedua ahli. Persamaannya yaitu sama-sam diawali

dengan pengenalan identifikasi permasalahan, namun perbedaanya ahli Wena

terdapat evaluasi terhadap langkah pemecahan sedangkan menurut ahli Asyirint

langkah tersebut tidak ada. Untuk itu penulis menggunakan langkah-langkah model

Problem Solving dengan menggabungkan keduanya dan terdapat sedikit modifikasi

yaitu 1) pemberian maslah, 2) mencari informasi tentang masalah, 3) membuat

hipotesis pemecahan atau dugaan perencanaan pemecahan masalah 4)

membuktikan pemecahan masalah dan menyajikan pemecahan masalah,

5)kesimpulan.

Penerapan model Problem Solving dalam pembelajaran matematika dengan

pemberian permasalahan diawali dengan memberikan pertanyaan yang merangsang

siswa untuk melakukan sebuah penyelesain secara sistematis dan tepat. Kelebihan

dari pembelajaran ini berawal dari masalah. Karena, siswa di tuntut mampu mencari

jalan keluar terhadap situasi yang dihadapi (Mawardi dan Mariati, 2016). Kemudian

diikuti dengan penyelidikan atau menganalisa permasalahan untuk menemukan

penyelesaian yang tepat, berlanjut dengan informasi dan data yang di dapat

digunakan untuk membuktikan penyelesaian yang dilakukan sudah efisien atau

belum, dan diahiri dengan penarikan kesimpulan dari proses pemecahan masalah.

1.1.3 Analisis Perbedaan dan Persamaan Model Problem Based Learning

dan Problem Solving

Model pemebelajaran berbasis masalah sangat membantu dalam

membentuk pola berpikir kritis siswa. Model pembelajaran Problem Based

Learning dan Problem Solving sama-sama membelajarakan siswa dengan

permasalahan. Permasalahan digunakan untuk melatih siswa untuk berpikir

menyelesaikan sebuah permasalahan hingga permasalahan tersebut tidak lagi

menjadi masalah. Diharapkan dengan model berbasis masalah dapat membantu

siswa terampil dalam menyelesaikan masalah yang berguna bagi kehidupan yang

akan datang. Penerapan dalam model ini guru sama-sama bertugas sebagai

fasilitator, siswa yang aktif dalam pembelajaran penyelesaian masalah.

33

Problem Based Learning dan Problem Solving meskipun sama-sama

membelajarkan siswa dengan permasalahan, terdapat potensi perbedaan diantara

model Problem Based Learning dan Problem Solving. Penyelesaian masalah dalam

model Problem Based Learning memerlukan tindakan penelitian mengenai

permasalahan yang diberikan (mengembangkan kemampuan siswa untuk

menyelesaikan masalah), sedangkan model Problem Solving permasalahan yang

diberikan dapat diselesaikan hanya dengan diskusi atau dengan kata lain model

Problem Solving menekankan pada mencari atau menemukan cara penyelesaian

masalah.

Model pembelajaran Problem Solving dan Problem Based Learning dapat

menjadi model yang membelajarkan siswa dalam pemecahan sebuah masalah.

Salah satunya masalah dalam matematika yang erat hubungannya dengan

kehidupan nyata. Denga adanya model ini dapat membentuk dan mengkonstruk

pengetahuan dan pengalaman siswa dalam menemukan sebuah solusi atau

pemecahan masalah. Sebagai contoh ketika seseorang ingin membeli sebidang

tanah denganukuran 12m x30m dan harga Rp 300.000,/meter. Sebelum mengetahui

berapa yang harus dibayar untuk membeli tanah tersebut, orang itu harus bisa

mengukur luas tanah yang ingin dibeli kemudian bagaimana cara mencari luasnya

dan hasil ahirnya dengan perhitungan luas dengan harga per-meternya. Sehingga

solusi atau pemecahan masalah sehari-hari tersebut dapat ditemukan. Dengan

bantuan model Problem Solving dan Problem Based Learning siswa terlatih untuk

melakukan penyelidikan atau analisis untuk memecahkan masalah. Pengalaman ini

membawa siswa lebih kritis dan kreatif untuk menemukan solusi pemecahan

masalah yang nantinya berguna dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian ini menggunakan model pembelajaran problem based learning

dan problem solving. Penelitian eksperimen dengan menggunakan model Problem

Based Learning sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, selain itu model

Problem Solving sudah pernah dijadikan penelitian eksperimen oleh peneliti

sebelumnya. Penelitian dituliskan dalan bentuk jurnal ilmiah dalam table. Berikut

34

disajikan tabel penelitian eksperimen yang menggunakan model pembelajaran

problem based learning dan problem solving :

Tabel 2.4

Analisis Data Kajian Hasil Penelitian

Nama

Peneliti Judul Hasil penelitian

Ani (2012) Pengaruh Pembelajaran

Berbasis Masalah

Terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah

Matematis

Dengan menggunakan model Berbasis Masalah

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis yang menunjukkan bahwa PBL

memberi pengaruh signifikan terhadap KPS

siswa ditinjau secara keseluruhan, pada masing-

masing kategori KAM (tinggi, sedang, rendah),

maupun pada masing-masing level sekolah

(atas, tengah)

Nurliana, H.

R., Santoso,

N. B., & Siadi,

K. (2012)

Pengaruh Penerapan

Metode Predict-Observe-

Explain Dengan

Pendekatan Creative

Problem Solving

Dalam menggunakan model Problem Solving

menunjukkan bahwa model Creative Problem

Solving pada pencapaian kompetensi hidrolisis

berpengaruh pada hasil belajar siswa

Wigar, A. F.

(2012)

Efektivitas Penggunaan

Model Problem Based

Learning (Pbl) Dalam

Pembelajaran Matematika

Pada Siswa Kelas V Sd

Semester Ii Desa Depok

Tahun Ajaran 2011/2012

Dengan menggunakan Model Problem Based

Learning (PBL) dalam Pembelajaran

Matematika yang menunjukan bahwa hasil post

tes pada kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol setelah dilakukan uji-t menunjukkan

signifikansi 0,003 karena signifikansi lebih kecil

dari 0,05 maka terdapat perbedaan efektivitas

antara pembelajaran Matematika yang

dilaksanakan menggunakan model Problem

Based Learning (PBL) dengan model

pembelajaran konvensional pada siswa kelas V

SD

Mawardi dan

Mariati (2016)

Komparasi Model

Pembelajaran Discovery

Learning Dan Problem

Solving Ditinjau Dari

Hasil Belajar Ipa Pada

Siswa Kelas 3 Sd Di

Gugus Diponegoro -

Tengaran

Hasil uji t skor postes menunjukkan t hitung

3,417 dan t tabel 2,021 dengan signifikansi

0,001 serta t hitung gain score sebesar 2,129 dan

t tabel 2,021 dengan signifikansi 0,039. Karena

nilai signifikansi < 0,05 dan t hitung < t tabel

maka HO ditolak, Ha diterima, artinya ada

perbedaan hasil belajar yang signifikan dalam

penerapan model pembelajaran DL pada siswa

kelas 3 SD di gugus Diponegoro.

35

Tabel 2.4

Lanjutan Analisis Data Kajian Hasil Penelitian

Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian

Novita (2012) Exploring Primary

Student's Problem-

Solving Ability By

Doing Tasks Like Pisa's

Question.

Dengan menggunakan model Problem-Solving

Ability berbantuan Doing Tasks Like PISA's

Question menunjukkan bahwa tugas pemecahan

masalah matematika yang telah dikembangkan

memiliki potensi efek dalam mengeksplorasi

kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa sekolah dasar. Hal ini ditunjukkan dari

hasil kerja mereka dalam memecahkan masalah

dimana semua indikator kompetensi pemecahan

masalah telah terbilang cukup baik. Selain itu,

berdasarkan hasil wawancara dari beberapa

siswa, diketahui bahwa mereka suka melakukan

tugas seperti itu karena bisa meningkatkan

kemampuan berpikir, kreativitas dan berfikir

mereka.

Pricilla Anindyta

(2014)

Pengaruh Problem

Based Learning

Terhadap

Keterampilan

Berpikir Kritis Dan

Regulasi Diri Siswa

Kelas V

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)

terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis

siswa yang signifikan antara kelas yang diajar

dengan menggunakan problem based leaning

dan kelas yang diajar dengan menggunakan

pembelajaran ekspositori, dengan nilai sig.

0,040; (2) terdapat perbedaan regulasi diri siswa

yang signifikan antara kelas yang diajar de-ngan

menggunakan problem based learning dan kelas

yang diajar dengan menggunakan pembelajaran

ekspositori, dengan nilai sig. 0,005; (3)

penerapan problem based learning berpengaruh

secara positif dan signifikan terhadap

keterampilan berpikir kritis dan regulasi diri

siswa, dengan nilai sig 0,021

Gusti Ayu Dwi

Lisa Novita .,

Drs. Dewa

Nyoman

Sudana,M.Pd. .,

Putu Nanci

Riastini, S.Pd.,

M.Pd. (2014)

Pengaruh Model

Pembelajaran Pbl

Terhadap

Keterampilan Proses

Sains Siswa Kelas V

Sd Di Gugus Iv

Diponegoro

Kecamatan Mendoyo

Dari rata-rata hasil post-test keterampilan proses

sains, diketahui bahwa kelompok eksperimen

berada pada kategori sangat tinggi dengan M =

21,44 dan kelompok kontrol berada pada

kategori sedang dengan M = 13,04. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa model pembelajaran

Problem Based Learning (PBL) berpengaruh

terhadap keterampilan proses sains siswa kelas

V SD di gugus IV Diponegoro Kecamatan

Mendoyo tahun ajaran 2013/2014.

36

Tabel 2.4

Lanjutan Analisis Data Kajian Hasil Penelitian

Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian

Amir,

Mohammad

Faizal (2015)

Pengaruh

Pembelajaran

Kontekstual

Terhadap

Kemampuan

Pemecahan Masalah

Matematika Siswa

Sekolah Dasar

Hal ini menunjukkan ada pengaruh

pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa SD.

Sementara itu hasil rumus eta-squared diperoleh

0,944. Hal ini menunjukkan pembelajaran

kontekstual memiliki tingkat pengaruh besar

terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa

SD.

Kadek Rahayu Puspadewi (2012)

Pengaruh Model

Pembelajaran Ikrar

Berorientasi Kearifan

Lokal Dan

Kecerdasan Logis

Matematis Terhadap

Kemampuan

Pemecahan Masalah

Matematika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada

pengaruh positif penerapan model pembelajaran

IKRAR berorientasi kearifan lokal terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa, (2) tidak terdapat interaksi antara model

pembelajaran dan kecerdasan logis matematis

terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa.

Ilham Handika,

Muhammad Nur

Wangid (2013)

Pengaruh

Pembelajaran

Berbasis Masalah

Terhadap

Penguasaan Konsep

Dan Keterampilan

Proses Sains Siswa

Kelas V

Hasil penelitian adalah sebagai berikut. (1)

Pembelajaran berbasis masalah berpengaruh

signifikan dan lebih baik dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional terhadap

penguasaan konsep sains siswa SD

(Sig.=0.000,p<0.05). (2) Pembelajaran berbasis

masalah berpengaruh signifikan dan lebih baik

dibandingkan dengan pem-belajaran

konvensional terhadap keterampilan proses

sains siswa SD (Sig.=0.000,p<0.05)

Eni Purwaaktari,

(2016)

Pengaruh Model

Collaborative

Learning Terhadap

Kemampuan

Pemecahan Masalah

Matematika Dan

Sikap Sosial Siswa

Kelas V Sd Jarakan

Sewon Bantul

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)

terdapat pengaruh positif dan signifikan

penggunaan model collaborative learning

terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa, (2) terdapat pengaruh positif

dan signifikan penggunaan model col-

laborative learning terhadap sikap sosial siswa,

dan (3) terdapat pengaruh positif dan signifikan

penggunaan model collaborative learning

terhadap kemampuan pemecahan masalah

matematika dan sikap sosial siswa yang diteliti.

37

Tabel 2.4

Lanjutan Analisis Data Kajian Hasil Penelitian

Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian

Anisaunnafi’ah,

Rifka (2015)

Pengaruh Model

Problem Based

Learning Terhadap

Motivasi Belajar Ilmu

Pengetahuan Sosial

Pada Siswa Kelas Iv

Sd Negeri Grojogan

Tamanan

Banguntapan Bantul

Hasil penelitian menunjukkan terdapat

pengaruh model Problem Based Learning

terhadap motivasi belajar IPS. Rata-rata skor

pretest skala motivasi belajar kelompok

eksperimen yaitu 75,57, sedangkan rata-rata

pretest kelas kontrol yaitu 75, 26. Rata-rata

skor posttest skala motivasi belajar pada kelas

eksperimen yaitu 87,57, sedangkan rata-rata

skor posttest skala motivasi kelas kontrol yaitu

78,77. Dari data tersebut, terlihat rata-rata skor

posttest kelas eksperimen lebih besar daripada

kelas kontrol. Selain itu, hasil pengkategorian

rata-rata posttest skala motivasi belajar kelas

eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol,

kelas eksperimen dengan kategori tinggi

sedangkan kelas kontrol dengan kategori

sedang.

Ristiasari, T.,

Priyono, B., &

Sukaesih, S

(2012)

Model Pembelajaran

Problem Solving

Dengan Mind

Mapping Terhadap

Kemampuan Berpikir

Kritis Siswa

Hasil penelitian meliputi hasil tes kemampuan

berpikir kritis siswa, aktivitas siswa,

keterlaksanaan model pembelajaran problem

solving dengan mind mapping, tanggapan

siswa terhadap proses pembelajaran, serta

tanggapan guru terhadap pembelajaran. Hasil

penelitian diperoleh peningkatan tes

kemampuan berpikir kritis siswa kelas

eksperimen sebesar 0,40 (sedang) sedangkan

untuk kelas kontrol sebesar 0,23 (rendah)

Muchlis , Effie Efrida (2012)

Pengaruh Pendekatan

Pendidikan

Matematika Realistik

Indonesia (Pmri)

Terhadap

Perkembangan

Kemampuan

Pemecahan Masalah

Siswa Kelas Ii Sd

Kartika 1.10 Padang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa yang belajar dengan pendekatan PMRI

lebih baik secara signifikan dari pada siswa

yang belajar dengan pendekatan konvensional,

terjadi perkembangan kemampuan pemecahan

masalah ditunjukkan dengan kemampuan siswa

menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, dan

usaha yang dilakukan guru untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

dengan membuat perangkat pembelajaran

berbasis PMRI dan melatih siswa untuk

menyelesaikan masalah tidak rutin.

38

Tabel 2.4

Lanjutan Analisis Data Kajian Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang disajikan dalam tabel diatas, maka dapat

diketahui bahwa model pembelajaran Problem Based Learning dapat berpengaruh

dan efektiv dalam pemecahan masalah matematika, berpikir kritis, penguasaan

konsep dan keterampilan proses, serta motivasi belajar siswa SD. Sedangkan

dengan model pembelajaran Problem Solving juga berpengaruh terhadap hasil

belajar, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis siswa SD.

Pada table diatas tidak hanya membahas penggunaan model problem based

learning dan problem solving saja yang dapat berpengaruh dalam penelitian

kemampuan pemecahan masalah matematika, melainkan dalam penelitian

kemampuan pemecahan masalah juga dapat dilakukan menggunakan model

kontekstual, creative problem solving, pendekatan matematika realistic Indonesia,

model IKRAR berorientasi kearifan local dan kolaborative learning. Oleh karena

itu, untuk memperkaya rujukan penelitian selanjutnya peneliti memiliki gagasan

baru yang belum diteliti dengan penggunaan model problem based learning dan

Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian

I Nym. Budiana,

Dw. Nym.

Sudana, Ign. I

Wyn. Suwatra

(2013)

Pengaruh Model

Creative Problem

Solving (Cps)

Terhadap

Kemampuan Berpikir

Kritis Siswapada

Mata Pelajaran Ipa

Siswa Kelas V Sd

Hasil analisis data menunjukkan bahwa

kemampuan berpikir kritis kelompok siswa

yang belajar dengan menggunakan model

creative problem solving berada pada

kualifikasi baik (M=33,45; SD=4,76),

sedangkan kemampuan berpikir kritis kelompok

siswa yang belajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional berada pada

kualifikasi cukup (M=27,5; SD=6,477). Hasil

uji-t menunjukkan terdapat perbedaan yang

signifikan antara kemampuan berpikir kritis

kelompok siswa yang belajar dengan

menggunakan model creative problem solving

dan kemampuan berpikir kritis kelompok siswa

yang belajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional (thitung=3,42>

ttabel=2,021; db=40). Hal ini berarti bahwa

kemampuan berpikir kritis siswa yang

dibelajarkan dengan model CPS lebih baik

daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang

dibelajarkan dengan model konvensional.

39

problem solving terhadap kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran

matematika.

Peneliti menggunakan model yang sama-sama berbasis masalah untuk

diketahui perbedaan pengaruh antar penggunaan model dalam kemampuan

pemecahan masalah. Karena, penggunaan model dalam proses pembelajaran

mempengaruhi dalam hasil berlajar siswa. Dengan penelitian ini diharpkan dapat

menambah pengetahuan penggunaan model yang efektif dalam proses

pembelajaran untuk mencapai tujuannya.

2.3 Kerangka Pikir

Model pembelajaran Problem Based Learning dan Problem Solving

didasarkan oleh beberapa alasan, antara lain pembelajaran problem based learning

dan problem solving dapat berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah

siswa khususnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas IV SD.

Pembelajaran menggunakan model problem based learning dan problem solving

merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan memberika sebuah permasalahan

yang harus dipecahkan atau mencari solusi pemecahan yang tepat. Model ini sesuai

dengan pembelajaran matematika yang menyajikan permasalahan-permasalahan

untuk menemukan pemecahannya.

Model Problem based learning yang membelajarkan siswa dengan sebuah

permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari, siswa diorganisasi dalam

kelompok belajar, siswa mengumpulkan berbagai informasi yang mendukung

untuk penyelesaian sebuah masalah, setelah mendapat informasi atau data siswa

membentuk sebuah perencanaan penyelesaian, kemudian perencanaan yang

ditemukan diterapkan dalam penyelesaian masalah dan dievaluasi tepat atau tidak

solusi pemecahan masalah yang ditemukan untuk menyelesaikan masalah. Selain

itu model pembelajaran problem solving yang memberikan sebuah permasalahan

untuk dicari penyelesaiannya. Dalam pembelajarannya siswa diberikan

permasalahan, kemudian diminta untuk menganalisis permasalahan dan

perencanaan penyelesaian masalah, dari perencanaan penyelesaian yang ditemukan

40

kemudian diterapkan dalam permasalahan untuk selanjutnya dievaluasi sudah tepat

atau tidak dalam penyelesaian yang digunakan untuk memecahkan permasalahan.

Pembelajaran menggunakan model berbasis masalah ini adalah siswa dapat

menerapkan penyelesaian permasalahan dalam kehidupannya sehari-hari karena

permasalahan yang di munculkan dalam pembelajaran ini masalah nyata. Selain itu

pembelajaran ini akan mengembangkan kemampuan menganalisis, mengkonstruk

dan membentuk pengetahuannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan tujuan

pembelajaran dengan model ini yang erat kaitannya seberapa besar pengaruh

penerapan model terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa

kelas IV SD.

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka, hasil penelitian yang relevan dan kerangka

berpikir yang telah diuraikan diatas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan

sebagai berikut.

H0 : Tidak ada perbedaan pengaruh terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa kelas IV SD pembelajaran

menggunakan problem based learning dan model problem

solving.

Ha : Ada perbedaan pengaruh yang terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa kelas IV SD pembelajaran

menggunakan problem based learning dan model problem

solving