bab ii adab murid terhadap guru dalam kitab...
TRANSCRIPT
BAB II
ADAB MURID TERHADAP GURU
DALAM KITAB IHYA ‘ULUMUDDIN
A. Ihya ‘Ulumuddin Sebagai Karya Monumental
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111M) lahir di kota Thuss dalam
wilayah Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H/1058 M. Abu Hamid itu saudaranya
Abdul Futuh, Ahmad bin Muhammad adalah putera seorang penenun di kota
Thuss itu.1 Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z), kata
ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, pekerjaan ayah ghazali
adalah memintal benang wol, sedangkan al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari
kota Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali yang terakhir inilah yang
banyak dipakai.2
Dia adalah tokoh pemikir Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam”
(Hujjatul Islam),”Hiasan Agama”, (Zainuddin), “Samudra yang menghanyutkan”,
(Bahrun Mughriq) dan lain-lain.3 Hal ini disebabkan pemikiran-pemikirannya
yang sangat mendalam dan mempunyai dampak yang besar atas kehidupan
intelektual dunia Islam. Selain itu beliau juga berusaha mengembalikan madzha–
madzhab yang muncul pada masanya dimana mereka di pengaruhi oleh aliran
Mu’tazilah dan filsafat Yunani untuk pada ajaran Islam yang murni di lapangan
aqidah diajarkannya faham Asy’ari, sedang dilapangan akhlaq diperkuatnya ilmu
tasawuf.4
1 Yoesoef Sou’yb, Pemikiran Islam Merombak Dunia, (Jakarta : Madju, 1984), hlm.169 2 Poerwantana, Ahmadi, dan Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : C.V Rosda,
1988), hlm.166 3 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1998), hlm.9 4 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksra, 1975), hlm.38
14
Beliau keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga raja saljuk
yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz.5
Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh, ia termasuk orang yang miskin
dengan usahanya bertenun wol, namun ia termasuk orang yang mengikuti majlis
para ulama dan pecinta ilmu.6 Apabila ia mendengar uraian para ulama itu, maka
ayah al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya memohon kepada Allah SWT.
Kiranya ia dianugrahi seorang putra yang pandai dan berilmu.7
Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah ( karunia atas
doanya), ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih anak-anak.8 Ketika
ayahnya meninggal, berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu
diasuh dan disempurnakan pendidikannya seterusnya. Sahabatnya segera
melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali kedua anak itu dididik dan di sekolahkan,
setelah harta pustaka peninggalan ayahnya habis, mereka dinasehati agar
meneruskan sekolah semampunya.9 Menurut satu riwayat disebutkan, bahwa
teman ayah al-Ghazali itu bernama Ahmad bin muhammad al-Razikani, seorang
sufi besar. Dari guru tersebut al-Ghazali mempelajari fiqih, riwayat para wali dan
kehidupan spiritual mereka. Selain itu, al-ghazali belajar menghafal syair-syair
mahabbah (cinta) kepada Allah, al-Qur’an dan sunnah.10
Dan pada masa itu juga. Al-Ghazali dan saudaranya berguru pada seorang
ustad bernama Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam
5 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta : Bumi aksar, 1991), hlm.
9 6 M.Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta : C.V Pedoman Ilmu jaya,
1989), hlm.22 7 Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Terj. H. Ismail Y’akub, (Jkarta : C.V Faizan, 1994), hlm. 24
8 Zinuddin dkk, Op-cit, hlm. 7 9 H. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Gravindo persada,
2001), hlm 81 10 Ruswan Thoyib, dan Darmuin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Konteporer, (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 84
15
Haraimain.11 Dialah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi
pada dirinya setelah itu dia melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi di Jurjan
dan dia belajar pada syhaik Abul Qosim bin Ismail bin Masadat al-Jurjani (404 -
477 H), seorang ulama dari madzhab Syafi’i dan ahli Hadits dan ahli Sastra,
rumahnya tempat berkumpul dan berdiskusi oleh para sarjana di kota Jurjan.12
Kemudian melanjutkan lagi ke Nisyabur dengan gurunya yang bernama al-
Juwaini. Ia adalah seorang Imam Harauman yang ditunjuk sebagai guru hukum
Islam pada Madrasah Nizamiyah di Bagdad yang didirikan oleh gubenur Nizam
al-Mulk, yakni seorang negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus sebagai
pemprakarsa pendirian lembaga pendidikan madrasah. Dengan gurunya ini pula ia
tinggal hingga imam Haraumain wafat, sebagaimana diungkapkan H.A.R Gibb,
dan J.H. Kramers: “that he was aducated at Tus and at Naisabur, especially
under al-Djuwaini, the Imam al-Huraimain, With whom he remained until the
Imam’s death in 478 H/ 1085 M.13 Pada masa ini, disamping belajar al-Ghazali
menjadi asiten al-Juwayni.14
Diantara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali pada Imam Haraimain
adalah teologi, hukum Islam, fisafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-
ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan
pemikirannya di kemudian hari.15 Imam al-Ghazali memang orang yang cerdas
dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang
jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang
11 M. Bahri Ghazali, O-pcit, hlm. 23 12 Yoesuf Su’yb,Op-Cit, hlm. 196 13 H.A.R Gibb, dan J.H. Krames, Shoerter Encylopedia of Islam,(London : Luzac d ca, 1961),
hlm. 13 14 Hasan Asri, Nukilat Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan al-Ghazali, (Yogyakarta :
P T Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 13 15 H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : logos, 1995), hlm 150
16
yang memiliki ilmu yang sangat luas “lautan dalam nan menggelamkan (Bahrul
Mughrib)”. 16
Selama menjadi guru di sekolah Nizdamah di Bagdad ia dapat
mengerjakan tugasnya dengan hasil yang sangat baik, selama di Bagdad ia
mengajar hukum agama. Selain itu juga menuluis buku-buku kontroversial
tentang bantahan-bantahan terhadap pemikiran-pemikiran golongan-golongan
Bathiniyah, Ismailiyah, golongan Filsafat dan lain-lain.17 Aliran Bathiniyah
(aliran Hassyasyin), telah melakukan pembunuhan terhadap wasir besar Nizam
Al-Mulk dan Sultan Malik Shah bin Alep Arselam pada tahun 485/1092. Trgedi
itu mendorong al-Ghazali mendalami pokok-pkok pikiran aliran bathiniyah dan
menjadi bahan baginya pada masa belakangan untuk mengecam aliran bathiniyah
itu. 18 Al-Ghazali hidup pada akhir abad ke IV H, di mana pada abad tersebut
berkembang para pemikir, muncul beberapa golongan, muncul perselisihan
ma’rifat, jalan pemikiran para mufakkir yang berbeda-beda, banyaknya para
mutakallimin di bidang aqaidah ushuluddin, berbagai mazhab agama dan
munculnya perbedaan pada cara beribadah dan tujuannya. Dari sinilah al-Ghazali
tertarik untuk menyelidiki pendapat dan pemikiran mereka.19
Munculnya perbedaan-perbedaan di atas, telah menyebabkan al-Ghazali
mengalami keraguan di berbagai hal. Ketika gejolak keraguan al-Ghazali telah
mencapai puncak, kesehatannya mulai terganggu sehingga tidak dapat
memberikan kuliah karena tidak dapat berbicara, dan ini dideritanya selama enam
bulan lamanya. Para tabib menasehatinya supaya melawat guna memperoleh
16 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Isalam, Op-Cit, hlm. 83 17 Ahmad Hanfi, Pengatar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 135 18 Yoesoef Sou’yb, Op-cit, hlm. 170 19 Departemen Agama R. I., Ensiklopedi Islam di Indonesia, (IAIN Jakarta : Proyek
Peningkatan sarana dan Prasarana), 1993, hlm. 306.
17
kesegaran jiwa kembali. Kewajiban mengajar pada perguruan tinggi Nizhamiyah
itu dipindahkan nya ke saudaranya Abul FutuhnAhmad bin Muhammad.20
Dalam kegelapan dan keraguan tersebut, dalam posisi antara api uap dan
cahaya yang tampil dari balik cakrawala, al-Ghazali berlindung kepada Allah
untuk memohon pertolongan, mencari keimanan, mendampakan keyakinan dan
kedamian, akhirnya doanyapun dikabulkan oleh Allah. Dia memperlihatkan
kepada al-Ghazali rahasia yang memudahkan al-Ghazali untuk berpaling
meninggalkan pangkat, harta, dan temannya.
Al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad dengan dalih untuk melaksanakan
Ibadah Haji, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik dari penguasa
(khalifah) maupun sahabat dosen se-Universitasnya. Di Damaskus inilah ia mula-
mula melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beiktikaf,
menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak, dan budi perkertinya, selalu
berpikir tentang Allah SWT. Dari situ kemudian pergi ke Yerussalam. Di sinipun
beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Maqdis. Kemudian sesudah itu, beliau
pergi ke-Mesir dn seterusnya ke-Mekah dan ke-Madinah untuk menunaikan
Ibadah Haji.21
Dalam pengasingan itu al-ghazali ber’itikad di sudut menara masjid Al-
Muwawi dengan memakai baju jelek. Disini Al-Ghazali mengurangi makan,
minum, pergaulan dan mulai menyusun kitab “Ihya ‘Ulumuddin”.22 Dan
dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
Syam, Yarussalam, Hajzz dan Thus, dan yang berisi paduan yang indah antara
20 Yoesoef Sou’yb, Op-Cit, hlm., 171. 21Al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali; sebuah Otobiografi Intelektual; Penerj.Achmad
Khudori Saleh, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 59 22 Thaha Abd Al-Baqi Surur, Alam Pemikiran Al-Ghazali, Penj : LPMI, (Solo : CV Pustaka
Mantiq, 1993), hlm. 40
18
figih, tasawuf, dan filsafat, bukan saja terkenal dikalangan kaum muslim, tetapi
juga dikalangan dunia barat dan luar Islam.
Kitab Ihya’ Ulumuddin ini merupakan kitab yang paling banyak
membahas tentang etika, dan menjelaskan dengan tegas pentingnya seorang syaih
atau “pembimbing moral” sebagai figur sentral.23
Kitab Ihya ‘Ulumuddin itu, oleh al-Ghazali dibagi menjadi empat jilid, di
mana masing-masing jilid itu terdiri dari beberapa bab. Adapun empat itu adalah
sebagai berikut:
Jilid pertama tentang peribadatan (rubu’ ibadah) yang terdiri dari sepuluh
bab yaitu : Kitab Ilmu, kitab kaidah-kaidah ‘iktikad (aqodah), kitab rahasia
(hikma) bersuci, kitab hikmah sholat, kitab hikmah zakat, kitab hikmah shiam,
kitab hikmah haji, kitab adab (kesopanan) membaca Al-Qur’an, kitab dzikir dan
do’a, dan kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.
Jilid kedua tentang pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan) yang
terdiri dari sepeluh bab yaitu: Kitab adab makan, kitab adab perkawinan, kitab
hukum berusaha (bekerja), kitab halal dan haram, kitab adab berteman dan
bergaul dengan berbagai golongan manusia, kitab ‘uzlah (mengasingkan diri),
kitab adab musafir (berjalan jauh), kitab mendengar dan merasa, kitab amar
ma’ruf dan nahi munkar, dan kitab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq)
kenabian.
Jilid ketiga tentang perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat)
yang terdiri dari sepuluh bab yaitu : Kitab menguraikan keajaiban hati, kitab
latihan diri (jiwa), kitab hawa nafsu perut dan kemaluan, kitab bahaya lidah, kitab
bahaya marah, dengki dan dendam, kitab tercelany dunia, kitab tercelanya harta
23 M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, penj : Hamzah,
(Bandung : Mizan, 2002), hlm. 30
19
dan kikir, kitab tercelanya sifat mencari kemegahan dan mencari muka, kitab
tercelanya sifat takabur dan mengherani diri, dan kitab tercelanya sifat tertipu
dengan kesenangan dunia.
Jilid keempat tentang perbuatan yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat)
yang terdiri dari sepuluh bab yaitu : Kitab taubat, kitab sabar dan syukur, kitab
fakir dan zuhud, kitab tauhid dan tawakal, kitab cinta kasih, rindu, jihad hati dan
rela, kitab niat, benar dan ikhlas, kitab muraqabah dan menghitung amalan, kitab
memikirkan hal diri (tafakkur), dan kitab ingat mati.24
Adapun dalam kitab ilmu ini terdiri dari tujuh bab yaitu
1. Tentang kelebihan ilmu, mengajar dan belajar.
2. Tentang ilmu fardu a’in dan yang fardu kifayah, menerangkan batas ilmu
fiqih, memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu dunia dan ilmu akhirat.
3. Tentang apa, yang dihitung oleh orang awwam, termasuk sebahagian dari
ilmu agama, pada hal tidak. Juga menerangkan jenis ilmu yang tercela dan
kadarnya
4. Tentang bahaya perdebatan dan menyebabkan kesibukan manusia dengan
berselisih dan bertengkar
5. Tentang adab pelajar dan pengajar
6. Tentang bahya ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama
dunia dan ulama akhirat
7. Tentang akal, kelebihan akal, bahagia-bahagia akal dan hadits-hadits yang
membicarakan tentang akal.
Pada bab kelima yaitu adab pelajar dan pengajar, dijelaskan beberapa
tugas yang harus dilaksanakannya demi keberhasilan dalam belaja, adapun
keretria yang harus dimiliki oleh pelajar ini ada sepuluh yaitu:
1. Mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
24 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddiin Juz I, (Indonesia : Toha Putra, t.th), hlm. 27
20
2. Seorang pelajar hendaknya mengurangkan hubungan dengan duniawi,
menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halamannya.
3. Seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan
menentang gurunga.
4. Seorang pelajar pada tingkat permulaan, hendahnya menjaga diri dari
pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan.
5. Seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu
pengetahuan yang terpuji.
6. Seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan
serentak.
7. Tidak mencempelungkan diri kedalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan
sebelum menyempurnakannya.
8. Seorang pelajatr hendaknya mengetahui sebab untuk dapat mengethui ilmu
pengetahuan tersebut.
9. Tujuan belajar adalah untuk menghiasi kebatinannya dan mencantikkan sifat
keutamaannya.
10. Harus mengetahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya.
Dan al-Ghazali kembali ketanah kelahirannya (thuss), disana ia
membangun sekolah untuk para fuqoha’ dan sebuah biara untuk para
mutasawifin. Dan di kota Thuss itu beliau wafat pada tahun 505 H/1111 M, dalam
usia lima puluh empat tahun.
B. Al-Ghazali Perhatiannya terhadap Adab/Akhlak
Al-Ghazali adalah seorang tokoh pendidikan, dan akhlak berada pada
poros pemikiran al-Ghazali. Di mana al-Ghazali lebih menekankan nilai etis
ketimbang nilai intlektual dari ilmu pengetahuan. Karena itu tidaklah
21
mengherankan kalau dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus
untuk pembahasan dan pembiasaannya.25
Menurut pandangan al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifat)
tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrat) untuk baik dan buruk, bukan pula
pengamalan (fi’il), yang baik dan buruk, malainkan kemampuan jiwa.26
“Akhlah berarti suatu kemampuan (jiwa), yang menghasilkan perbuatan
atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika
kemampuan sedemikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik-yaitu amal
yang terpuji menurut akal dan syariat, maka ini disebut akhlak yang baik. Jika
amal-amal yang tercelahlah yang mucul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu
dinamakan akhlak yang buruk”.27
Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan memberi
contoh, latihan dan pembiasaan (driil) kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat
pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama
Islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan
berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan.28
Dari pengertian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa hakikat akhlak
menurut al-Ghazali harus memenuhi dua syarat:
1. Perbuatan ini harus konstan yaitu dilakukan berulang kali kontinyu dalm
bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
2. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud
reflektif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran yakni bukan karena
25 yaitu kitab riyadhat al-nafs wa-tahadzib al-aklaq wa-mu’alajat amra’dh; bab tentang
pembinanan jiwa, pembiana akhlak, dan [engobatan penyakit-penyakit hati, Hasan Asri, Nukilan,op.Cit., hlm. 85
26 Muhammad Abu Quasem, Etika Al-Ghazali ; Etika Majemuk di dalam Islam, (Bandung ; Pustaka, 1997), hlm. 81
27 Al-Ghazali, Ihya ’Ulumuddin Jilid III, (Indonesia : Toha Putra, t.th), hlm 52 28 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 106
22
adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain atau pengaruh-
pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.29
Al-Ghazali menegaskan lebih konkrit bahwa induk dan pokok akhlak itu
ada empat, yaitu hikmah, syaja’ah, iffah dan adil. Hikmah adalah keadaan jiwa
yang dapat mengetahui kebenaran dari kesalahan semua perbuatan ikhtiariyah
(perbuatan yang dilakukan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Adil berarti
keadaan dan kekuatan jiwa yang dapat menuntut dan mengendalikan amarah dan
syahwat kearah hikmah. Syaja’ah yaitu keadan kekuatan amarah yang harus
tunduk kepada akal, sedangkan iffah adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan
pendidikan, akal dan agama.30
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa akhlak menurut
pandangan al-Ghazali, bukan perbuatan baik atau buruk dan kekuatan dan
kekuasaan baik atau buruk, tetapi akhlak merupakan keadaan jiwa yang mampu
mempersiapkan dan memunculkan tingkah laku yang baik.
Akhlah menurut al-Ghazali, ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : akhlak
baik dan buruk. Akhlak baik adalah perbuatan yang menurut dengan akal dan
syra’, dan akhlak yang baik adalah akhlak (tingkah laku) yang dipegang oleh
Rasulullah.
Akal menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh
pengetahuan, atau tempat pengetahuan (yang mengetahui). Jika ditinjau dari
dzatnya, akal merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui dan mengenal
dirinya sendiri serta hal-hal diluar dirinya, sedangkan ditinjau dari objeknya akal
yaitu kebenaran-kebenaran atau ukuran-ukuran yang dapat mendapatkan ilmu-
ilmu.31 Kalau standar akhlak adalah akal dan syara’, maka syara’ berfungsi
29 Ibid, Hlm. 104 30 Ihya’ III, Op-Cit, hlm. 53 31 Sid Basil, Al-Ghzali Mencari Ma’rifat, Terj. Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Panjimas,
1990), Hlm. 85
23
menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu akhlak baik pasti
direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan;
“Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan akhlak itu
adalah nifaq (sifat orang munafik).32
Akhlak buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan jelek,
sebagaimana diungkapkan oleh al-ghazali yang telah dikutip oleh Drs. Ruswan
Thayib, M.A dan Drs. Darmuin, M.Ag :
“Aklak yang jahat adalah racun yang membunuh, membinasakan, yang memecahkan kepala (memusingkan kepala), Perbuatan-perbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata, kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan semesta Alam dan memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan syaitan.”33
Dari ungkapan al-Ghazali tersebut dapat dilihat bahwa akhlak yang jelek
adalah perbuatan yang menyimpang akal dan jauh dari syara’, akhlak yang jelek
atau keji merupakan penyakit jiwa. Jadi akhlak seseorang yang tercela ini dalam
hatinya terkena penyakit, dan yang menyebabkan itu terjadi karena bibit syaitan
yang ditanamkan dalam hati manusia. Sehingga dengan bibit itu manusia akan
terseret dan terbujuk untuk mengikuti hawa nafsunya.
Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar
mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk
hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah
SWT kepada kedua orang tua. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang
belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk
rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebiasaan dan
menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan
bahagia, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan kedua orang tuanya,
32 Loc.Cit, hlm. 67
33 Ruswan Thayib, M.A dan Drs. Darmuin, Op-Cit, hlm. 90
24
gurunya serta pendidikannya ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya.
Tetapi jika dihabiskan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti
halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa,
dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tua, walinya atau siapa saja yang
yang bertanggung jawab atas pendidikannya.34
Apabila anak dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi
pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat
positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan di akhirat. Kedua orang tuanya
atau semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh
pahalanya. Sebaliknya jika anak sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan
keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan
pengajarannya, yakni sebagai mana halnya seorang yang memelihara binatang,
maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang
dosanya yang utama tentulah dipikul kedua orang (orang tua, pendidik) yang
bertangung jawab untuk memelihara dan mengasuh. 35
Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain,
maka persiapan dan pembinaan akhlaknya haruslah dilakukan sendiri mungkin
sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti dirawat
dan disusui oleh wanita baik-baik.36
Usia yang paling rawan pada prilaku anak adalah masa remaja, oleh
karena itu al-Ghazali menyarankan untuk menjaga waktu-waktu senggang dengan
kesibukan yang bermanfaat, sebagai pendidik berkewajiban menganjurkan anak
didiknya untuk membiasakan membaca, khususnya membaca al-Qur’an dan
34 Loc.Cit 35 Jamaluddin Al-Qosimi, Bimbingan Untuk Mecapai Tingkat Mukmin, Ringkasan Dari Ihya
‘Uluuddin,Terj. Mohammad Abdi Rothomy, (Bandung : CV Diponegoro, 1983), hlm. 534 36 Hasan Asri, Op-Cit, hlm. 82
25
karangan-karangan agama, sehingga ia memperoleh bantuan untuk melewatkan
waktu senggang.
Adapun pemikiran al-ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak
adalah sebagai berikut:
1. Akhlak Terhadap Allah
مظيع لظلم كرباهللا ان الش ركشالت ينياب عظهي وهنه وان الباذ قال لقمو
37 )13: القمان (
Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar. (QS Luqman : 13)
Ayat tersebut mengisaratkan bagaimana seharusnya para orang tua
mendidik anaknya untuk mengesahkan penciptaannya dan menegak prinsip
tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya, kemudian hendaklah anak
diajarkan salat sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan
pencipta.
يابني اقم الصلوة وأمر باملعروف وانه عن املنكر واصبر على ما اصابك ان ذلك
38 ) 17: لقمان ( من عز م االمور Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah ). (QS Luqman : 17)
Supaya anak mengetahui bagaimana caranya taat dan tidak
menyekutukannya. Seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka
37 Soenarno, Al-qur’an danTerjemahnya, (Semarang : CV Asy-Syifa , 1992), hlm. 654 38 Op-Cit, hlm. 655
26
hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan sholat, juga mulai
diperintah berpuasa beberapa hari dibulan Ramadan.39
Untuk membentuk jiwa keagamaan anak, meskipun anak yang belum
mencapai tamyiz, anak bisa diperkenalkan aktivitas-aktivitas keagamaan
seperti anak diajak pergi ke masjid, wudhu, bersahur dan buka puasa. Semua
aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh setiap keluarga dalam kehidupan
keseharian.
Ibadah tersebut ditanamkan sejak pertumbuhannya. Sehingga ketika
anak tumbuh dewasa, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati
Allah, melaksanakan hal-Nya, bersandar kepada-Nya, dan berserah diri
kepada-Nya. Disamping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani,
kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan d dalam ibadah-
ibadah ini.40
2. Akhlak Terhadap Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang telah bersusah payah menjaga,
memelihara, dan mendidik kita, lantaran itu tidak patut dan wajib kita
menjaga diri jangan sampai terunjuk satu perangai yang kurang baik atau
terlanjur satu perkataan yang kurang manis terhadap ibu bapak.41
اما يبلغن عندك الكبر احدهما اوكالهما فالتقل لهما اف وال تنهرهما وقل لهما 42 ) 32: االسرأ ( قوال كريما
Kalau salah seorang dari pada mereka itu atau keduanya telah tua, maka janganlah engkau berkata (perkataan menunjukkan kebencian
39 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati; Menbentuk Akhlak Mulia ; Penj. Muhammad al-
Baqir, (Bandung : Karisma,2001), Cet.IX, hlm. 110 40 Abdullah Nashihul Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Amani, 1995),
hlm.153 41 A.Hasan, Kesopanan Tinggi, (Bandung : Diponegoro, 1993), hlm. 12 42 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op-Cit, hlm. 427
27
seperti) “Ah” dan janganlah engkau hadapkan kepada mereka itu yang kasar, tetap hendaklah engkau berkata kepada mereka itu perkataan yang mulia. (Bani Israil : 23 )
Sebagai seorang anak yang saleh, apabila orang tua sedang memberi
nasehat, maka hendaknya didengarkan dengan sebaik-baiknya, lekas dan
cepatlah datang, jika mereka memanggil dengan penuh kesopanan dan rendah
hati dihadapan keduanya
43 ) 24: االسرأ ( 000000واحفض لهما جناح الذل من الرحمة
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sanyang. (Al-Isra’ ; 24)
Al-Ghazali mengatakan hendaknya anak haruslah dididik untuk selalu
taat kepada orang tua, gurunya serta yang bertanggung jawab siapa saja yang
lebih tua dari padanya, dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak
bercanda atau bersendau gurau dihadapan mereka.44
3. Akhlak Ketika Makan
Hendaknya anak dibiasakan makan disertai niat agar mendapat
kekuatan untuk taat dan beribadah kepada Allah SWT. Sebelum makan
hendaknya diperintah untuk mencuci kedua tangannya, karena Rasulluh
SAW. Sebelum makan beliau berwudhu untuk menghilangkan kefakiran dan
berwudhu setelah makan untuk menghilangkan gangguan setan. Makanlah
diawali dengan membaca basmalah dan menggunakan tangan yang kanan,
awali dan diakhiri dengan memakan garam. Dan kecilkan suapan dan
perbanguskan kunyahannya.45 Dan perhaluslah kenyahan, makanlah dari arah
43 Ibid, Hlm. 428 44 Al-Ghazali, Op-Cit, hlm. 110 45 Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, (Bandung : Mizan, 1997), Cet.I, hlm. 126
28
pinggir-pinggir piring, tidak makan dari atasnya,46 janganlah mengulurkan
tangan pada suapan yang lain sebelum menelan suapan pertama dan jangan
mencela makanan.
Makanlah makanan yang dekat letaknya, kecuali buah-buahan,
janganlah meniup makanan yang panas, karena hal itu dilarang.47
bersihkanlah sisa makan dijari-jejari dengan melumatinya, lalu membaca
hamdalah, sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Allah SWT.
4. Akhlak Ketika Minum
Sebelum minum periksalah tempat air (gelas), kemudian membaca
basmalah setelah itu mengucapkan hamdalah, minumlah seteguk, jangan
mengumpulkan air di dalam mulud yang kemudian diminum sekaligus,
janganlah bernafas di dalam gelas.
5. Akhlak Terhadap Lingkungan
Apabila anda bertemu dengan kawan maupun musuhmu ucapkanlah
salam terlebih dahulu dan hadapilah dengan wajah yang menunjukkan
kegembiraan dan kerelaan serta penuh kesopanan dan ketengan, jangan
sekali-kali menampakkan sikap angkuh, sombong dan merasa tinggi diri.48
Jenguklah apabila ia sakit dengan membawa oleh-oleh kesukaannya, dan
ucapkanlah selamat jika ia sukses meraih cita-citanya.
6. Akhlak Dalam Berpakaian
Hendaklnya diajarkan kepadanya agar menyukai pakaian yang putih-
putih saja, bukan yang berwarna ataupun yang terbuat dari sutra, sebab kedua
46 Imam Al-Ghazali, Kaidah-kaidah Sufistik Keluar dari Kemelut Tipu Daya, (Surabaya :
Risalah Gusti, 1997), hlm. 49-50 47 Op-Cit, hlm. 127 48 Jamaluddin Al-Qosimi, Op-Cit, Hlm. 387
29
jenis jenis pakain tersebut seperti itu hanya untuk perempuan atau yang
berlagak kebanci-bancian, dan karennya, laki-laki tidak pantas
mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaklnya diulang-ulang, bahkan
jika melihat seorang anak laki-laki mengenakan baju berwarna atau terbuat
dari sutra, maka sebaiknya si ayah mengecamnya dan menengaskan lagi
bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya.49 Dan anak hendaknya
diajarkan pula untuk tidak suka pada kemewahan yang mengakibatkan pada
pemborosan. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazalai yang dikutib oleh
Zainuddin, sebagai berikut:
Jangan digemari berhias yang tidak sepatutnys stsu apa saja yang menimbulkan keborosan. Jikalau ini dilakukan, pasti usia anak itu nantinya akan dihabiskan saja pada waktu besarnya, dan dengan demikian akan rusaklah jiwanya sepanjang masa dan tahan menderita, serta ingin berkecimpung dalam kenikmatan saja, sekalipun kehormatan dan haknya akan dilarang.50
C. Pemikiran al-Ghazali tentang Adab Murid terhadap Guru
Dalam proses pendidikan yang berlangsunng, tidak lepas dari interaction
education (hubungan antara murid dengan guru). Di mana seorang murid itu
dalam menuntut ilmu bukan mencari lembaga tetapi mencari guru, mengapa?
Karena seorang murid ini akan mengabdi kepada gurunya. Hubungan yang
terjalin antara murid dengan guru selalu intim, sebagaimana murid menghormati
gurunya seperti seorang ayah dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi
yang tidak langsung berkaitan dengan pendidikannya secara formal.
Hubungan yang terjalin antara murid dan gurunya ini, akan memberi
pengaruh sikap dan kepribadian murid dalam kesehariannya, dan berhasil atau
tidaknya dalam mencapai cita-cita yang akan dicapainya dan manfaat atau
tidaknya ilmu yang diprolehnya selama belajar selama bersama syaihnya. Oleh
49 Mengobati Op-Cit, Hlm. 105 50 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 110-111
30
karena itu al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin nya, adab murid
terhadap guru yang harus dimilikinya, supaya apa yang dicita-citakan oleh murid
akan berhasil dengan baik, dan adab murid terhadap guru antara lain:
ان ال يتكرب على العلم وال يتأمر على املعلم . 1
Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.51
Seorang murid hendaklah mendengarkan dengan baik semua nasehat-
nasehat gurunya dan mengindahkannya atau melaksanakan dalam kehidupan
sehari yakni tindak tanduknya ketika dalam menuntut ilmu supaya ilmu itu
mendekat tidak menjauh demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat .
Alangkah baiknya seorang pelajar ini, mematuhi dan melaksanakan segala
nasehat, perintah atau perkataan gurunya. Nasehat yang diberikannya bermanfaat
bagi murid untuk mencapai apa yang dicita-citakannya.
ن يستنكف فال ينبغى لطالب العلم أن يتكرب على املعلم و من تكربه على املعلم ا .2
عن االستفادة إالمن املرموقني املشهورين
Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar keahliannya.52
Dalam menuntut ilmu, janganlah memandang siapa yang
menyampaikannya (guru) apakah ia terkenal atau tidak, karena ilmu pengetahuan
itu bagaikan barang yang hilang dari tangan seorang mu’min, yang harus
dipungut atau dicarinya dimana saja diperolehnya. Dan hendaklah mengucapkan
rasa terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya. Sebagaimana
ungkapkan syair sebagai berikut:
51 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, (Indonesia: Toha Putra, t.th), hlm. 50 52Loc-Cit
31
Pengetahuan adalah perjuangan
Bagi pemuda yang bercita-cita tinggi
Seumpamanya banjir itu adalah perjuangan
Bagi sesuatu tempat tinggi…..….53
فال ينال العلم إال با لتوا ضع وإلقإالسمع . 3
Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.54
Sebagaimana seorang murid dalam menuntut ilmu, janganlah sifat tamak
dalam (menginginkan sesuatu yang belum semestinya), sebab hanya akan
menghasilkan dirinya hina. Dan menjaga sesuatu yang mengakibatkan ilmu
beserta ahlinya menjadi hina, akan tetapi hendaklah tawaduk (rendah hati), karena
dengan tawaduk ilmu itu akan melekat dalam hati sehingga manusia yang
beradab/bermoral.
و به التقي اىل املعاىل يرتقى # ان التوا ضع من خصال املتقى
Sesungguhnya sikap tawaduk (rendah hati) adalah sebagian dari sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan tawaduk akan semakin baik derajatnya menuju keluhuran.55
Selain tawaduk, hendaklah murid mendengarkan keterangan guru dengan
penuh perhatian, supaya dapat menyerap seluruh yang disampaikan guru. Tiada
yang menolong kepada pemahaman selain dengan mempergunakan pendengaran
dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Meskipun keterangan itu sudah pernah
didengar seribu kali, hendaknya keterangan tersebut didengarkan seperti ia
mendengarkan pertama kali.
53 Loc,Cit 54Loc-Cit 55 Syaik Az-Zarnuji, Penj: Noor Anfa Shiddiq,Terjemah Ta’limMuta’lim, (Surabaya : Al-
Hidayah, t.th), hlm. 14
32
Dalam hal ini al-Ghazali mengibaratkan seorang murid bagaikan tanah
kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah keseluruhan bahagiannya dan
meratalah keseluruhannya air hujan itu.56
57ومهما أشار عليه املعلم بطريق يف التعلم فليقلده وليدع رأيه . 4
“Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri.”
Seorang pelajar hendaklah mentaati apa yang menjadi keputusan gurunya
dalam meneىtukan kurikulum, jangan mengikuti pendapat dan kehendaknya
sendiri, karena guru lebih tahu tingkatan-tingkatan pengetahuan yang harus
diberikan kepadamu. Dari uraian di atas menimbulkan beberapa adab yang sejalan
dengan uraian tersebut yang telah disebutkan dalam karangan beliau dalam kitab
Bidayatul Bidayah yaitu : Jangan bertanya jika belum minta izin lebih dahulu.58
59 ) 43: النحل ( فسئلوا أهل الذكر إن كنتم ال تعلمون
Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu. (Q.S. An-Nahl : ayat 43)
Izin seorang pelajar terhadap gurunya dalam bertanya sesuatu sangat
penting karena di mana seorang guru jelas lebih tahu letak penyampaian ilmu
yang harus diselesaikan lebih jelasnya menjaga kesopanan. Bertanya tentang soal
yang belum sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah,
maka khaidir melarang Musa bertanya.
56 Al-Ghazali, Loc-Cit. 57 Loc-Cit. 58Al-Ghazali, Syaih Muhammad Nawawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah, (Semarang : Al-
Alawiyah,t.th), hlm. 88 59 Soenarjo, Op-Cit., hlm.408
33
Seabagaimana ungkapan al-Ghazali sebagai berikut:
Tinggalkan bertanya sebelum waktunya ! guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkatan mana pun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.60
Hal di atas jelaslah bahwa seorang pelajar harus sopan dan tidak boleh
melontarkan pertanyaanatau perkataan yang belum minta izin terhadap gurunya
atau tiba-tiba berbicara dan bertanya.
Dari itu tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya, guru lebih tahu tentang
keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum
waktunya untuk bertanya. Hal ini sebagaimana diungkapkan nahi mungkar
kepada Nabi Musa As dalam surat Al-Kahf;ayat 70
61) 70: الكهف ( فإن اتبعتنى فال تسئلنى عن شيئ حتىاحدث لك منه ذكرا
Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang ssesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti. ( QS.Al-Kahfi : 70 )
وينبغى أن يتوا ضع ملعلمه ويطلب ا لثواب و ا لشراف . 5
Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat kepadanya.62
Seorang pelajar hendaknya mendengarkan keterangan gurunya,
mengharapkan pahala dari guru yakni mengharapkan keridha’an guru dengan
tidak banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang baik.63
60 Ihya ‘Ulumuddin, Op-Cit, Hlm. 51 61 Sonarjo, Op-Cit., hlm. 454 62 Loc-Cit. 63 Bidayah,op-cit, Hlm. 89
34
Karena kondisi guru kurang enak lebih mempengaruhi cara bicara dan
penyampaian seorang guru sehingga percakapan antara keduanya harus melihat
kondisi keduanya tersebut seperti ungkapan Hasyim.
ان يتصرب علي جفوة تصدر من الشيخ او سؤ خلقه ال يصده ذلك
Seorang pelajar supaya sabar atas keras hati (kemarahan) yang keluar dari guru/jelek budi pekertinya dan jangan mencengah keluar kemarahan tersebut.
Sebagaimana perkataan Ali R.A. : “Hak dari seorang yang berilmu, ialah
jangan engkau banyak bertanya! jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan
engkau minta, bila dia malas.”64
Kemarahan seorang atau rasa kurang enak kondisi guru tersebut kelihatan
dari cara bicara dan paras wajahnya, maka kondisi seperti itu seorang pelajar
harus dapat memahami diri dari bertanya, memberikan solusi apabila lagi
mencengah dan melarang guru untuk tidak marah. Seorang guru dimanapun tetap
akan ingat tugas guru diatas mempunyai tujuan untuk menghargai dan
menghormati dengan dihadapan mendapat ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
karena seorang guru mepunyai tugas menyampaikan ilmu
6. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam
terlebih dahulu.65
Menghormati guru merupakan salah satu sifat terpuji bahwa kewajiban
seorang pelajar terhadap guru untuk mencari kerelaan gurunya dalam
memberi ilmunya, seperti dalam kitab adabul’alimi wal muta’alim.
66ان جيلس ام ما الشيخ باألدب كأن حيثو على ركبتيه او جيلس كالتشهد
64 Ihya ‘Ulumuddin, Loc-Cit. 65 Bidayah, op-cit., hlm. 88
35
Pelajar hendaknya duduk didepan guru dengan sopan (adab) seperti pelajar memenuhi (meliputi dan merapatkan) pada kedua lututnya atau pelajar duduk seperti duduk takhiyat.
7. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru.67
Hubungan antara murid dengan guru dalam proses pendidikan yang
berlangsung ini memang harus terjalin dengan baik, tetapi ada batas-
batasannya untuk menjaga kesopanan murid terhadap ilmu,dan gurunya.
68وكذا قلت او كذا قال فال ن كذا اوخطرىل ا واذ ذاكر شيئا فال يقول ه
dan ketika guru berfikir sesuatu maka pelajar tidak boleh bicara, yaitu seperti aku berbicara atau seperti ini berpikir bagiku atau seperti fulan berkata.
Berbicara ditengah-tengah waktu guru berbicara atau berpikir sesuatu
itu merupakan tindakan yang kurang tepat, karena akan menghilangkan
konsentrasi berpikir guru.
8. Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang
kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid,
sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam
tindakannya.69
Dalam belajar murid tidak boleh su’dhan guru mengenai tindakan yang
kelihatan munkar, su’udhan ini akan mengkibatkan ilmu yang akan diterima
tidak sampai, sebab su’udhan merupakan penyakit hati, maka dari itu murid
tidak boleh su’udhan terhadap gurunya, karena tidak tahu rahasia dibalik itu,
seperti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khidir, yang telah
66 Syeih Hasyim As’ary, Adabul ‘alimi Wal Muta’alim, (Jombang : Malitabah Turots alislam,
1415), Bidayah,Op-Cit, hlm.34 67 Bidayah, loc-cit. 68Op-Cit, hlm. 37 69 Bidayah, loc-cit
36
membunuh anak kecil. Oleh karena itu salah satu seoran sufi melukiskan
kewajiban murid terhadap gurunya dalam sajak sebagai berikut:
Engkau laksana mayat terlentang
Didepan gurumu terletak membentang
Dicuci dibalik laksana batang
Janganlah engkau berani menentang
Perintahnya jangan engkau elakkan
Meskipun haram seakan-akan
Tunduk dan taat diperntahkan
Engkau pasti ia cintakan
Biar semua perbuatannya
Meskipunbrlaianan dengan syara’nya
Kebenaran nanti akan nyatanya
Bagimu akan jelas putus asa
Pada akhirnya ia terasa
Pada akhirnya jelaslah sudah
Tampak padanya secara mudah
Kekuasaan Allah tidak tertadah
Ilmunya luas tidak termudah.70
9. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan
konsekuen pada guru.
Sabar merupakan kunci dari keberhasilan mencapai cita-cita, maka
murid hendak bersabar menghadapi pelajaran yang dihadapinya, janganlah
kamu sibuk dengan ilmu yang lain sebelum kamu dapat menguasai dengan
baik ilmu yang pertama tadi. 71 Hal ini tercermin pada firman Allah dalam
70 H.Aboe Bakar Ajheh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo : Ramadhani, 1984),
hlm. 309 71 Ahmad Sjalaby, Op-Cit, hlm. 313
37
surat kahfi ayat 67-68, yang mengisahkan Nabi Musa yang tidak bersabar
menghadapi Nabi Khaidir.
و كيف تصبر على ما لم تحط به خبرا . ل انك لن تستطيع معي صبرا قا
72) 68 -67: الكهف ( Dia menjawab : “Sesungguhnya kamu (musa) sekali-kali tidak akan sanggup bersamarku. Dan bagaimana kamu sabar atas sesuatu, yang belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu. ( QS. Alkahfi : 67-68)
Tetapi Nabi Musa tidak sabar untuk menunggu atau menghadapi
pngalamannya bersama Nabi Khaidir, selalu ia bertanya sampai Nabi Khaidir
berkata:
73) 70: الكهف ( عن شيئ حتىاحدث لك منه ذكرافإن اتبعتنى فال تسئلنى
Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kamu nanti. ( Q.S. Al-Kahfi : 70)
Sikap Nabi Musa syaiknya (gurunya), selalu bertanya apa yang
diperbuat oleh Nabi Khaidir.
Salah satu prinsip dasar dalam hubungan ini adalah rasa hormat seorang
murid kepada gurunya, dan rasa seorang guru terhadap muridnya prinsip ini sama
pentingnya dalam sistem pendidikan sufi maupun non sufi . 74
Bagi al-Ghazali, ibadah merupakan ibadah internal, bila ingin
menanyakan sesuatu, murid harus terlebih dahulu meminta izin dari gurunya,
karena hal ini adalah bagian dari manifestasi signifikansi yang lebih tinggi
72 Soenarjo, Op-Cit. 73 Op-Cit 74 Hasan Asri, Op-Cit, Hlm 116
38
dikalangan sufi, karena seorang murid sangat tergantung pada guru untuk
kemajuannya.
Pola hubungan guru murid guru diatas masih cukup relevan untuk
diaplikasukn dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan
tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas guru dan murid, juga dapat
mendorong terciptanya akhlak yang mulia dikalangan pelajar khususnya, dan
pendidikan lain pada umumnya.
Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa maksud
dari pengajaran dan pendidikan bukanlah belum mengetahui tetapi maksudnya
adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhillah
(keutamaan), mempersiapkan mereka untuk sesuatu kehidupan yang suci
seluruhnya ikhlas dan jujur. 75
Jika hubungan antara anak dan orang tua, murid dan gurunya, tidak terjadi
atau jarang, maka kemungkinan besar pengajaran dan tujuan pendidikan tidak
akan berhasil. Dengan inilah para orang tua dan pendidikan harus memperhatikan
dengan seksama sarana-sarana dan cara yang positif agar ia mencintai anak-anak
dan anak-anak mencintai mereka, saling membantu dan berkasih sanyang
sesamanya.
Dan apabila adab murid tersebut ada diri murid maka dia akan mencapai
apa yang dicita-citakan, tetapi apabila dalam hatinya tidak ada, maka ia tidak akan
berhasil meskipun kelihatannya berhasil, hal ini dapat dilihat pada tingkah
lakunya sehari-hari.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adab murid terhadap guru itu
masih kondisional dengan proses belajar mengajar dimasa sekarang meskipun ada
juga yang tidak kondisional apabila diterapkan di dalam proses belajar mengajar
75 M.Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami A.Gani
dan Djohar Bahri (Jakrta : Bulan Bintang , 1993), Cet I, Hlm. 1
39
pada saat sekarang. Adapun yang masih kondisional dalam proses belajar
mengajar di masa sekarang adalah : a. Seorang Pelajar itu jangan menyombong
dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.b. Tidaklah layak seorang pelajar
menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong
terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar
keahliannya. c. Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri
dan penuh perhatian.d. Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya
hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri. e. Seharusnya seorang
pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan
berkhitmat kepadanya. f. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan
menyampaikan salam terlebih dahulu. g. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara
oleh guru, h. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran
dan konsekuen pada guru. i. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru. j.
Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya
mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih
mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya. Adab-adab
tersebut, masih kondisional dalam proses belajar mengajar di masa sekarang,
karena akan membantu dalam keberahasilan belajar murid untuk mencapai cita-
citanya.
Adapun adab murid terhadap guru yang tidak sesuai / tidak kondisional
dimasa sekarang adalah : a. Seorang pelajar tidak boleh banyak bertanya kepada
gurunya sebelum waktunya. Adab ini sudah tidak kondisional lagi digunakan
dalam proses belajar mengajar, sebab dimasa sekarang informasi tidak hanya
diperoleh dari guru saja tapi bisa juga dari alat elektronika seperti radio, teletisi
atau yang lain.
---------------------------