bab i pendahuluan a. latar belakang masalahscholar.unand.ac.id/35323/6/bab i (pendahuluan).pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Teknologi pada era modern ini terus berkembang. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Perkembangan teknologi memun-
culkan dampak terhadap gejala sosial di masyarakat. Dimana perkembangannya
berbanding lurus dengan perkembangan sosial masyarakat. Serta mempenga-ruhi
terhadap gaya hidup masyarakat.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan-aturan yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat, dan harus beriringan dengan perkembangan zaman.
Sehingga, aturan-aturan hukum yang diciptakan oleh penguasa harus mengatur
tata kehidupan masyarakat.
Aturan-aturan hukum yang ada, bukan hanya untuk mengatur suatu
masyarakat dalam suatu negara saja, tetapi juga mengatur kehidupan masyarakat
internasional dan mengatur suatu negara dengan negara lainnya. Sehingga,
Hukum Nasional suatu negara dan adanya Hukum Internasional dibagi dalam
berbagai bidang hukum. Dimana, bidang-bidang hukum tersebut semakin
berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Dimana salah satu
bidangnya ialah Hukum Laut. Karena tiga perempat (atau 3/4) dari bumi terdiri
atas lautan, dimana laut berfungsi untuk kehidupan manusia, yang mana fungsinya
antara lain sebagai:
2
1) sumber makanan bagi umat manusia; 2) jalan raya perdagangan; 3)
sarana untuk penaklukan; 4) tempat pertempuran-pertempuran; 5) tempat
bersenang-senang; dan 6) alat pemisah atau pemersatu bangsa.1
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka fungsi laut
telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang
berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.2 Oleh
sebabnya, antar negara terjadi kompetisi untuk melindungi wilayah lautannya
masing-masing, guna dapat memakmurkan negaranya dari hasil sumber daya laut
yang sangat menjanjikan dan untuk melindungi kedaulatan negaranya.
Pada Hukum Internasional yang berlaku dalam bidang kelautan pada saat
sekarang ini adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (yang
disingkat menjadi UNCLOS 1982 atau UNCLOS ke-III), yang mana merupakan
Perjanjian Internasional yang dirundingkan di Montego Bay, Jamaika pada
tanggal 10 Desember 1982. Konvensi ini merupakan perjanjian 119 negara
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang melahirkan ketentuan seperti
konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), asas Negara Kepulauan (Archipelago
State), menetapkan batas-batas baru bagi Laut Teritorial, Landasan Kontinen
Pelayaran, serta perikanan sebagai sumber makanan.3
Karena perkembangan teknologi dan perkembangan Hukum Laut yang
pesat, mengakibatkan saat ini yang berlayar di laut bukan hanya kapal-kapal atau
kapal selam yang dikendalikan oleh awak kapal, tetapi Unmanned Underwater
Vehicles (yang selanjutnya disingkat menjadi UUV). Salah satu dari UUV ialah
1 Dikdik Mohamad Sodik, 2016, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia,
Edisi Revisi, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 1. 2 Hasyim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, hlm. 1. 3 I Wayan Parthiana, 2014, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, Yrama
Widya, Bandung, hlm. 317.
3
Underwater Drone. Underwater Drone atau pesawat tanpa awak bawah air ini
adalah sebuah mesin yang dapat terbang atau berjalan dibawah air, serta
dikendalikan oleh pilot jarak jauh. Dimana pengaturan mengenai Underwater
Drone dalam Hukum Laut Internasional masih belum ada aturan yang mengikat
(Hard Law), dan hanya diatur dalam beberapa Resolusi Dewan Keamanan tentang
Drone atau Unmanned Aerial Vehicles (yang selanjutnya disingkat menjadi UAV)
di udara yang melewati lintas batas negara.4
Saat ini, ada beberapa negara yang menggunakan Underwater Drone, salah
satunya, yakni Amerika Serikat (AS).5 Dimana diketahui People’s Republic China
(PRC), menangkap sebuah Drone yang berwujud kapal selam mini di Laut China
Selatan6 yang sampai pada saat ini masih dalam konflik antar beberapa negara
disekitarnya.7 Peristiwa tersebut terjadi di Laut Cina Selatan sekitar 80 km barat
laut dari Subic Bay, Filipina.8 Underwater Drone tersebut diketahui milik
Amerika Serikat dari tulisan berbahasa inggris pada badannya.9 Dimana China
mengklaim secara sepihak Laut China Selatan, dengan dasar nine dash line dan
China menganggap UNCLOS 1982 bertentangan dengan hukum dalam negerinya,
dan bahkan China menganggap peraturan tersebut sebagai alat hegemoni barat
yang dirancang untuk memperlemah pengaruh China sebagai kekuatan dunia yang
4 Yoshita Singh dan Snehesh Alex, United Nations Resolution Calls for Regulation o f Drone
Strikes, http://www.rediff.com/news/report/united-nations-resolution-calls-for-regulation-of-drone-stri-
kes/20131219.htm, diakses pada tanggal 19 Februari 2018, pukul 15.38 WIB. 5 Julian Borger, Chinese Warship Seizes US Underwaterdrone in International Water,
https://www.theguardian.com/world/2016/dec/16/china-seizes-us-underwater-drone-south-china-sea,
diakses pada tanggal 19 Februari 2018, pukul 15.40 WIB. 6 George McLaire, Cina Menyita Drone AS di Laut China Selatan, http://www.bbc.com/indo-
nesia/dunia-38350445, diakses pada tanggal 19 Februari 2018. Pukul 15.49 WIB. 7 S. M. Barner, Perebutan Wilayah di Laut China Selatan, https://id.wikipedia.org/wiki/Pere-
butan_wilayah_di_Laut_China_Selatan, diakses pada tang-gal 19 Februari 2018, pukul 15.50 WIB. 8 Op. cit. diakses pada tanggal 19 Februari 2018, pukul 15.49 WIB. 9 Ibid. diakses pada tanggal 19 Februari 2018, pukul 16.19 WIB.
4
semakin luas.10 Dimana Amerika Serikat, yang melindungi kepentingannya dan
kepentingan sekutu-sekutunya di Laut China Selatan, mempertahankan kehadiran
militernya di kawasan tersebut. Pejabat Angkatan Laut AS berencana
meningkatkan jumlah armada Pasifik yang bertugas di luar negeri hingga sekitar
30 persen pada tahun 2021.11
Amerika Serikat berpendapat bahwa adanya Freedom of Navigation (FON)
di Laut China Selatan.12 Yang mana FON merupakan one of navigational right
dari suatu kapal dan merupakan hak partikular.13 FON ialah kebebasan untuk
bernavigasi dan legal untuk menggunakan laut dan ruang udara diatasnya dan
dijamin dalam Hukum Laut Internasional, serta di peruntukkan untuk semua
negara.14 Dimana FON juga merupakan hak bebas berlayar suatu kapal untuk
memasuki world’s ocean.15
FON yang juga merupakan hukum kebiasaan internasional, yang banyak
dimuat dalam berbagai konvensi-konvensi internasional seperti: 1) Geneva on the
Law of the Sea 1958, yang terdiri dari: (a) Convention on the Territorial Sea and
Contigious Zone; (b) Convention on the High Seas; dan (c) Continental Shelf
Convention, serta 2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Kemudian, Kasus terkait Freedom of Navigation (FON) yang pernah diselesaikan
10 Pete Cobus, Laut yang Disengketakan: Konflik dan Diplomasi di Laut, https://projects.-vo-
anews.com/south-china-sea/indonesian/, diakses pada tanggal 22 Februari 2018, pukul 13.49 WIB. 11 Ronald O’Rourke, Maritime Territorial and Exclusive Economic Zone (EEZ) Disputes
Involving China: Issues for Congress, https://www.fas.org/sgp/crs/row/R42784.pdf, diakses pada tanggal
22 Februari 2018, pukul 14.10 WIB. 12 Jonathan G. Odom, South China Sea and Freedom of Navigation, https://thediplomat.com/-
2016/03/south-china-sea-and-freedom-of-navigation/, diakses pada tanggal 22 Februari 2018, pukul 14.12
WIB. 13 Ibid. 14 Malcolm N. Shaw, 2008, International Law 6th Edition, Cambridge University Press, Cam-
bridge, hlm. 609. 15 Stuart Kaye, 2005, Freedom of Navigation, Surveillance and Security: Legal Issues Sor-
rounding the Collection of Intelligence from Beyond the Littoral, University of Wollongong Research
Online, Australia, hlm. 6.
5
di Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ) ialah Oil
Platfroms pada tahun 2003 (Islamic Republic of Iran v. United States of
America).16
Dalam UNCLOS 1982, wilayah kelautan terdiri dari Laut Territorial dan
Zona Tambahan. Laut Territorial memiliki lebar 12 mill dihitung dari garis
pangkal,17 sedangkan pada Konvensi sebelumnya lebar Laut Teritorial hanya 3
mil. Tidak pernah ditemukan kata sepakat pada pertemuan mengenai hukum laut
pada konvensi jenewa 1958 dan 1960 untuk menyepakati lebar Laut Teritorial
yang dikarenakan berbagai faktor seperti faktor pertahanan dan keamanan, sosial
dan ekonomi, serta kedaulatan negara pantai yang pada dahulunya negara pantai
cenderung merasa memiliki kedaulatan penuh atas wilayah lautnya dengan
sebebas-bebasnya sehingga tidak dapat di intervensi secara internasional,
sehingga belum banyak negara yang setuju adanya perubahan besar terhadap
hukum laut dengan mengacu pada prinsip Negara Kepulauan (Archipelago State)
pada saat itu.18
Prinsip Negara Kepulauan merupakan konsep yang mendatangkan suatu
kesatuan geografi dan politik yang hakiki terkait gugusan kepulauan oleh negara-
negara yang terdiri atas pulau-pulau, antara pulau terdapat selat, atau bahkan laut
sebagai pemisahnya. Namun laut tersebut tidak dianggap sebagai pemisah,
melainkan penghubung satu sama lain yang menyatukan kesatuan negara
kepulauan tersebut. Dimana Indonesia termasuk kedalam salah satu Negara
Kepulauan.
16 I.C.J Report, 2003, pp. 161, 182. 17 Pasal 3, United Convention on the Law of the Sea, 1982. 18 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, hlm. 177.
6
Namun pada saat perundingan UNCLOS 1982 sebagian besar negara
menerima perubahan lebar Laut Teritorial. Perubahan ini tidak dapat dipisahkan
dari perjuangan Dr. Ir Djuanda yang membawa konsepsi Negara Kepulauan pada
tanggal 10 Desember 1957 yang menyatakan bahwa batas teritorial Indonesia
lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik
terluar dari pulau-pulau negara Republik Indonesia yang ditentukan dengan
Undang-Undang.19 Kemudian dalam perundingan Konvensi tersebut
diperjuangkan pengakuan mengenai batas teritorial Indonesia secara Internasional.
Dahulunya, di Indonesia berlaku Territoriale Zee and Maritieme Kringen
Ordonantie (TZMKO). Produk hukum Hindia Belanda yang berlaku sejak tanggal
28 September 1938, namun baru efektif dijalan kan pada tahun 1939. TZMKO
menganut Hukum Kebiasaan Maritim Internasional yang sudah diterapkan di
Eropa. Dalam ketentuan TZMKO ini Indonesia hanya memiliki jarak territorial
sejauh 3 mil dari garis air rendah pulau-pulau. Ordonansi tahun 1039 ini tidak
menguntungkan kepentingan Indonesia sama sekali baik dari segi ekonomi,
politik dan keamanan, penegakan hukum, dan lain sebagainya, namun sebaliknya
mengancam pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia yang memiliki panjang
garis pantai mencapai 95.181 km, namun tidak disertai dengan jumlah personil
angkatan laut penjaga pertananan dan keamanan yang memadai.20
Setelah UNCLOS 1982 mulai berlaku (entry into force), mulailah disusun
Undang-Undang untuk meratifikasi Perjanjian Hukum Laut Internasional hingga
regulasi berbagai bidang dalam kelautan di Indonesia dimana sebagai negara
pantai memiliki hak untuk berdaulat. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi suatu
19 Ibid., hlm.15. 20 P. Joko Subagyo, 2013, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 5-6.
7
negara untuk menerapkan hukum nasional negaranya sendiri namun tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang bersifat internasional.21
Indonesia adalah surga perikanan dunia. Menurut data potensi sumber daya
perikanan yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015,
Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil ikan tangkap laut, setelah
China. Per tahunnya, produksi ikan yang dihasilkan mencapai 5 juta ton. Terdapat
11 zona sumber ikan tangkap di Indonesia, yang selama ini menjadi Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP). Daerah dengan produksi tertinggi yakni Laut
Jawa, Selat Karimata, Natuna, Laut Cina Selatan, Selat Makassar, Teluk Bone,
Laut Flores dan Laut Bali.22
Selain itu, Indonesia merupakan laut terluas kedua di dunia (setelah Kanada)
yang memiliki luas laut 7.900.000 km2, empat kali dari luas daratannya. Wilayah
ini meliputi Perairan Pedalaman (Laut Nusantara), Laut Territorial, dan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Bukan hanya ikan yang begitu banyaknya, tetapi juga
sumber daya alam yang berlimpah di Laut Indonesia. Setidaknya dalam
pemberitaan berbagai media massa ditemukan ratusan, bahkan ribuan kapal asing
yang sedang menjarah ikan di Indonesia.23
Indonesia juga dapat memanfaatkan sumber daya ikan di perairan Laut
Lepas (High Seas). Hal ini karena, posisi perairan Indonesia yang berhadapan
langsung dengan dua perairan internasional, yaitu Samudera Hindia dan Samudera
21 Morten Bergsmo, 2012, State Sovereignty and International Criminal Law, Editor, Ling Yan,
Torkel Opsahl Academic E-Publisher, Beijing, hlm. 21. 22 Darmawan A. D., Kekayaan Ikan Tangkap Laut Indonesia, 2016, http://katadata.co.id/info-
grafik/2016/04/15/kekayaan-ikan-tangkap-laut-indonesia, diakses pada tanggal 19 Februari 2018, 13.12
WIB. 23 Siregar F. R. P. R., Kebijakan Kementerian Kelautan Indonesia dalam Kasus Pencurian Ikan
oleh Nelayan Malaysia di Perairan Natuna Indonesia, 2016, http://repository.umy.ac.id.bit-
stream/handle/123456789/Jurnal%20Ilmiah.pdf?sequence=10&isAllowed=y, diakses pada tanggal 19
Februari 2018, pukul 12.59 WIB.
8
Pasifik. Yang tentu saja, pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Laut Lepas
oleh suatu Negara Pantai (Coastal State) didasarkan pada asas kebebasan pada
Laut Lepas.24
Karena Indonesia yang mempunyai wilayah laut yang cukup luas,
membutuhkan pengawasan yang ekstra dari pemerintah. Agar tidak adanya
pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh negara lain. Dewasa ini, kasus yang
banyak terjadi ialah Illegal Fishing yang dilakukan oleh beberapa nelayan
tetangga. Dikarenakan potensi perikanan Indonesia yang sangat besar dan posisi
Indonesia yang sangat strategis, yang diapit oleh dua perairan internasional.
Dimana dapat memudahkan masuknya kapal-kapal asing ke Indonesia.
Oleh karenanya, dibutuhkan pengawasan yang terus menerus terhadap
wilayah perairan Indonesia, agar tidak banyaknya pelanggaran yang terjadi.
Pengawasan dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang juga
bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut (TNI-AL), untuk menjaga kedaulatan Indonesia di laut. Dewasa
ini masih banyak terjadi pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh negara
tetangga, karena masih minimnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak terkait.
Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan teknologi untuk mendeteksi kapal-kapal
asing, keterbatasan armada di laut dan lainnya. Kemudian, dengan adanya Drone
di udara (UAV) ataupun Underwater Drone (UUV), dapat memudahkan
pengawasan pada perairan Indonesia yang sangat luas. Dimana saat ini Indonesia
24 M.I Tarigan, 2015, Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Data Ikan di Laut Lepas, Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum Vol.9 No.4: 543-576, hlm. 12.
9
dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya telah mengakuisisi Drone dari
China.25
Karena perkembangan teknologi yang pesat, dan menimbulkan pengaruh
terhadap perkembangan sosial masyarakat, sehingga adanya sebuah aturan hukum
yang mengaturnya. Agar tercipta suatu ketertiban pada masyarakat. Kemudian,
dibutuh suatu payung hukum nasional yang mengatur mengenai Underwater
Drone di Indonesia.
Namun dalam pengaturan dan penerapannya, tentu terdapat berbagai
kendala yang menimbulkan berbagai permasalahan dalam bidang kelautan. Atas
dasar permasalahan itulah menarik perhatian dan minat penulis untuk menulis
judul penelitian skripsi sebagai berikut : “PENERAPAN PRINSIP FREEDOM
OF NAVIGATION PADA PENGGUNAAN UNDERWATER DRONE
DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN HUKUM
LAUT INDONESIA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari uraian diatas, maka pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan Prinsip Freedom of Navigation dalam
penggunaan Underwater Drone dikaji dalam Hukum Laut Internasional
dan Hukum Laut Indonesia?
2. Bagaimana penerapan Prinsip Freedom of Navigation pada penggunaan
Underwater Drone dikaji dalam Hukum Laut Inter-nasional dan Hukum
25 Prashanth Parameswaran, New Indonesia Drones Spotlight. https://thediplomat.com/2018-
/02/new-indonesia-drones-spot-light-us-asean-maritime-security-initiative/, diakses pada tanggal 22
Februari 2018, pukul 18.15 WIB.
10
Laut Indonesia?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan Prinsip Freedom of
Navigation dalam penggunaan Underwater Drone dikaji dalam Hukum
Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia;
2. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Prinsip Freedom of
Navigation pada penggunaan Underwater Drone dikaji dalam Hukum
Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
dan secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala dan
berfikir penulis serta melatih kemampuan dalam melakukan penelitian
hukum dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.
b. Untuk memperdalam ilmu hukum, khususnya Hukum Internasional,
hasil ini bisa dijadikan bahan dan sumber literatur dalam mem-perluas
pengetahuan, khususnya mengenai pengaturan Prinsip Freedom of
Navigation, penggunaan Underwater Drone, dan penerapan prinsip
tersebut pada penggunaan Underwater Drone ditinjau dari Hukum
Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia.
c. Menerapkan ilmu teoritis yang didapatkan dibangku perkuliahan
11
dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
2. Manfaat praktis
Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Andalas.
E. METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan dari penelitian hukum ini maka digunakan metode-
metode penelitian guna mendapatkan suatu jawaban atas perumusan masalah
seperti yang telah diuraikan di atas menggunakan tahapan-tahapan untuk
mendapatkan kebenaran. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis
adalah metode penelitian hukum yurisdis normatif (normative legal research).26
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian yuridis normatif. Pada penelitian hukum yuridis normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang dapat mencakup
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.27 Pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian yang melibatkan studi kepustakaan untuk menemukan
inventarisasi hukum positif untuk menemukan asas-asas dan dasar-dasar
falsafah hukum positif, perbandingan, sejarah, serta penemuan hukum in
concreto menggunakan literatur, buku-buku referensi, dan lain
sebagainya28 atau pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari
teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah.
26 Bambang Sunggono, 1996, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 43. 27 Op. cit, hlm. 53. 28 Burhan Ashshofa, 2013, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 13-14.
12
Pendekatan normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau
cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.29
Pendekatan dalam penelitian hukum normatif yang digunakan
penulis mencakup:
a. Pendekatan sinkronisasi hukum; pendekatan yang merupakan
harmonisasi atau peleburan antara hukum yang lebih tinggi
dengan hukum dibawahnya agar adanya suatu kesatuan.30
b. Pendekatan kasus (case approach), dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan Perundang-undangan, pendekatan ini dilakukan
dengan menelaah semua Undang-undang, konvensi dan regulasi
yang berkaitan dengan isu yang penulis bahas.31
2. Jenis Data
Jenis data yang diperlukan oleh penulis yakni studi kepustakaan
yakni sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh langsung dari
29 Soerjono Soekanto, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 13-14. 30 Ibid, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm. 51. 31 Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 157-162.
13
lapangan yang berhubungan dengan apa yang diteliti. Data tersebut
didapatkan melalui penelitian melalui buku dan sumber hukum.32
a. Bahan hukum primer, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil
penelitian melalui buku-buku, instrumen-instrumen hukum, dan
bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penelitian
penulis. Bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
- United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
- International Maritime Organisations Convention 2014.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam
Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara
Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.
32 Roni Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 41-42.
14
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
1971 tentang Pemberian Izin Berlayar bagi Segala Kegia-tan
Kendaraan Asing dalam Wilayah Perairan Indonesia.
- Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor
PM 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian
Sistem Pesawat Udara tanpa Awak di Ruang Udara yang
Wilayah Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
data primer,seperti hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan
hukum, dan sebagainya.
c. Bahan hukum tersier atau penunjang,yakni bahan-bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer
dan sekunder. Contohnya Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Kamus English-Indonesia-English, Kamus Hukum,
Ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan
Dalam hal mendapatkan data primer, penulis melakukan teknik
pengumpulan data dengan cara study dokumen yang dilakukan
dibeberapa perpustakaan, diantaranya:
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
b. Perpustakaan Universitas Andalas;
15
c. Perpustakaan Umum Daerah Sumatera Barat.
4. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
penelitian, dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan cara
Editing, memeriksa dan meneliti data yang telah diperoleh apakah sudah
sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian, hal ini
dilakukan untuk menjamin data yang diperoleh itu agar dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Selanjutnya dalam
editing dilakukan pembetulan data yang keliru, menambahkan data yang
kurang dan melengkapi data yang belum lengkap.33
5. Analisis Data
Analisis data merupakan pengkajian terhadap hasil pengolahan
data, yang kemudian dituangkan dalam bentuk laporan baik perumusan-
perumusan atau kesimpulan-kesimpulan.
Metode yang digunakan dalam menganalisa data pada penelitian ini
adalah analisis kualitatif. Analisis Kualitatif merupakan suatu metode
yang mengkaji suatu hal ihwal tertentu secara mendalam dan rinci
dengan uraian-uraian kalimat tanpa menggunakan angka-angka. Analisis
dilakukan atas suatu yang telah ada, berdasarkan data yang telah masuk
dan diolah sedemikian rupa dengan meneliti kembali, sehingga analisis
dapat diuji kebenarannya. Kemudian dihubungkan dengan Peraturan
Perundang-undangan terkait pendapat pakar dan akhirnya ditarik
kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan.
33 Ibid, hlm 9.
16
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini,34 yaitu menguraikan isi
penulisan dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada Bab pendahuluan ini terdapat beberapa sub-bab yang akan
menjelaskan secara rinci isi dari mendahuluan, diantaranya adalah latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dari
penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan yang diterapkan.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pada tinjauan pustaka ini akan menguraikan teori dan konsep
hukum yang berasal dari buku-buku dan literatur-literatur yang relevan
dengan penerapan Prinsip Freedom of Navigation pada pengunaan
Underwater Drone ditinjau dari Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut
Indonesia.
BAB III PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dibahas mengenai penerapan prinsip Freedom
of Navigation pada penggunaan Underwater Drone ditinjau dari Hukum
Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia.
BAB IV PENUTUP
34 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 225.
17
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan, yang berisi
kesimpulan penulis dari keseluruhan materi yang telah diuraikan pada bab-
bab sebelumnya dan kemudian penulis mencoba memberikan saran-saran
atau rekomendasi yang dianggap perlu dari kesimpulan yang telah diuraikan
tersebut.