bab 2 tinjauan pustaka 2.1 tinjauan umum...
TRANSCRIPT
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Virus
Virus adalah suatu partikel yang mengandung bahan genetik berupa DNA
atau RNA yang diselubungi oleh protein yang disebut kapsid dan pada beberapa
virus juga ada komponen lain, misalnya lemak. Satuan dasar virus disebut virion.
Virus hanya dapat memperbanyak diri jika berada di dalam suatu sel inang yang
sesuai. Jika berada di luar sistem selular, virus tidak mampu memperbanyak diri
karena tidak mempunyai sistem enzim yang dapat digunakan untuk sintesis
partikel virus yang baru. Oleh karena itu, virus disebut sebagai parasit obligat dan
seringkali juga dianggap sebagai batas antara jasad hidup dan jasad mati.
Diameter virus bervariasi dari 200-300nm sehingga ukurannya lebih kecil
dari sel prokaryot yang paling kecil. Pada awalnya virus diklasifikasikan
berdasarkan atas inang yang ditumpanginya, sehingga ada tiga kelompok virus
yaitu :
1. Virus hewan
2. Virus tumbuhan
3. virus bakteri (bakteriofag)
Sedangkan sistem klasifikasi Baltimore, membagi virus berdasarkan mekanisme
produksi mRNA. Virus harus memproduksi mRNA dari genom mereka untuk
memproduksi protein dan bereplikasi, namun berbagai macam mekanisme
berbeda digunakan untuk memenuhi hal tersebut. Genom viral mungkin single-
standed (ss) atau double-stranded (ds), RNA atau DNA, menggunakan atau tidak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
9
menggunakan reverse transcriptase (RT). Pada dasarnya klasifikasi ini dibagi
menjadi 7 kelompok (Van Regenmortel, 2004; Mayo, 1999; de Villiers et.al.,
2004).
Tabel 2.1 Klasifikasi virus berdasarkan sistem klasifikasi Baltimore
No. Klasifikasi Contoh virus
I. Virus dsDNA Adenovirus,
Herpesvirus,Poxvirus
II. Virus ssDNA (+) sense DNA Parvovirus
III. Virus dsRNA Reovirus
IV. Virus (+) ssRNA (+) sense RNA Picornavirus, Togavirus
V. Virus (-) ssRNA (-) sense RNA Orthomyxovirus,
Rhabdovirus
VI. Virus ssRNA-RT (+) sense RNA dengan DNA
intermediate pada siklus hidup
Retrovirus
VII. Virus dsDNA-RT Hepadnavirus
Bahan genetik virus ada yang berupa molekul DNA dan ada yang berupa
RNA. Molekul DNA dan RNA tersebut ada yang berupa molekul untai-tunggal
(single stranded) dan ada yang berupa molekul untai ganda (double stranded).
Ekspresi genetik virus dilakukan dengan menggunakan sistem enzim yang ada
didalam sel inang. Meskipun virus bersifat parasit, namun perkembangan dalam
genetika molekular telah memungkinkan eksploitasi virus untuk kepentingan-
kepentingan praktis. Bahan genetik virus tertentu telah dipelajari secara rinci dan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
10
dimanipulasi untuk digunakan dalam eksperimen genetik (rekayasa genetik)
(Yuwono, 2005)
2.2 Tinjauan Tentang Avian Influenza
2.2.1 Struktur virus avian influenza
Virus influenza merupakan virus RNA bersegmen dan memiliki envelope,
termasuk dalam family Orthomyxoviridae. Virus influenza diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu influenza A, B, dan C (Rahardjo dan Nidom, 2004). Virus
influenza A memiliki kemampuan untuk menginfeksi mamalia dan unggas,
sedangkan virus influenza B dan C hanya menginfeksi manusia. Virus influenza A
sampai saat ini telah diketahui mempunyai 16 protein Hemaglutinin (HA) (H1-
H16) dan 9 macam protein Neuraminidase (NA) (N1-N9) (Horimoto dan
Kawaoka, 2001). Virus avian influenza memiliki delapan gen yang terdiri dari gen
Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA) yang merupakan gen eksternal, gen
Matiks (M), Nukleoprotein (NP), Polymerase A (PA), Polymerase B2 (PB2) dan
gen Non-struktural (NS) yang merupakan gen internal. Kedelapan gen ini masing-
masing mempunyai Open Reading Frame (ORF), sehingga proses ekspresi
proteinnya tidak tergantung satu sama lainnya (Nidom, 2005). Gen HA dan NA
memiliki peranan terhadap proses masuknya virus ke dalam sel melalui
perlengkatan reseptor asam sialik pada sel hospes, dan memberikan fasilitas
penggabungan antara virus dengan membran sel. Selain itu, determinan antigenik
utama menentukan kunci terhadap vaksin influenza (Vines et al, 1998).
Berdasarkan bentuknya virus avian influenza atau virus influenza A
subtipe H5N1 memiliki bentuk spherical dengan diameter 100-200 nm dan terdiri
atas 8 segmen atau gen dengan untai tunggal RNA negatif. Virus avian influenza
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
11
memiliki mRNA yang bersifat monosistronik yang mengkode 10 protein. Genome
RNA dari virus flu burung terdiri atas gen nukleoprotein (NP) dan 3 subunit RNA
polimerase kompleks (PA, PB1, dan PB2) yang memiliki peranan penting di
dalam proses replikasi dan bergabung bersama dengan komplek ribonukleoprotein
(RNP). Bagian dalam kapsul terdiri atas protein Matriks (M1) dan chanel ion
protein M2 dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Selain itu, juga terdapat
protein non-struktural yaitu protein NS2 dan NS1. Protein NS2 memiliki peranan
yang penting dalam mengambil RNP (Ribonucleoprotein complex) dari nukleus
dan berinteraksi dengan protein M1. Protein NS1 memiliki berbagai peranan
antara lain mengatur pemisahaan dan pengambilan bahan-bahan yang dibutuhkan
dari nukleus menuju mRNA seluler dan memiliki peranan yang penting dalam
menstimulasi terjadinya translasi untuk umpan balik terhadap aktifitas interferon
pada hospes. Untuk protein HA dan NA yang terletak pada permukaan virus
memiliki peranan dalam proses: 1) perlekatan, 2) penggabungan dan masuk ke
dalam sel hospes, 3) perkembangbiakan virus dari sel hospes yang terinfeksi oleh
virus flu burung. Selain itu, protein HA dan NA merupakan dua protein yang
bertanggungjawab secara langsung terhadap mekanisme netralisasi antibodi oleh
respon imun yang dihasilkan oleh hospes yang terinfeksi oleh virus H5N1
(Suzuki, 2005).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
12
Gambar 2.1 Morfologi virus avian influenza subtipe H5N1 terdiri dari 8 segmen (Neumann et al, 2009)
2.2.2 Penularan virus avian influenza
Pada awalnya avian influenza hanya ditemukan pada burung-burung liar,
namun saat ini sudah ditemukan pada ayam, puyuh, itik, kalkun, dan babi. Virus
avian influenza dapat terbawa dalam saluran gastrointestinal burung liar ke
seluruh dunia. Penularan secara langsung dapat terjadi karena adanya kontak
langsung dengan kotoran secara oral atau melalui saluran pernafasan. Udara yang
kotor bercampur dengan feses kering ayam yang terjangkit avian influenza akan
terhirup oleh ayam lain dan manusia yang hidup di lokasi peternakan, seperti
pekerja kandang dan peternak (Soejoedono dkk, 2006).
Resiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terutama terjadi
kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran. Sebuah penelitian
menemukan bahwa virus AI H5N1 dapat disebarkan melalui burung yang
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
13
bermigrasi di daerah Asia Tenggara (Whittaker, 2001). Manusia jarang terpapar
virus AI sehingga manusia memiliki imunitas yang lebih sedikit dibanding unggas
atau hewan lain. Hal ini menyebabkan virus AI menjadi ganas apabila terjadi
penularan terhadap manusia dan dapat menyebabkan pandemik.
2.2.3 Patogenisitas virus avian influenza
Berdasarkan patogenisitasnya virus AI dibagi menjadi dua yaitu virus AI
yang sangat pathogen atau HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan virus
AI yang tidak pathogen atau LPAI (Low Patoghenic Avian Influenza). Virus
dikategorikan HPAI apabila virus tersebut memiliki kemampuan menimbulkan
mortalitas sebesar 75% pada ayam 4-8 minggu yang diinfeksi secara intavena.
Virus AI juga dikategorikan HPAI jika isolat tersebut dapat membunuh 1-5 ekor
ayam walaupun tidak termasuk subtipe H5 atau H7. Kategori lain yang dipakai
yaitu jika tejadi pertumbuhan virus dalam kultur sel dengan pembentukan CPE
atau plaque tanpa menggunakan tripsin. Virus LPAI bereplikasi terutama di dalam
usus dan organ respirasi yang selanjutnya dapat dikeluarkan melalui feses burung
yang terinfeksi, sehingga transmisi virus melalui rute faecal-contaminated-water-
oral yang merupakan mekanisme penularan virus diantara burung air. Infeksi oleh
virus HPAI konsentrasi tinggi yang bereplikasi secara sistemik pada unggas yang
juga dikeluarkan melalui feses. Namun virus HPAI akan ditransmisikan diantara
spesies unggas melalui rute nasal dan oral yang kontak dengan material yang
terkontaminasi virus (Horimoto and Kawaoka, 2005)
Virus LPAI menyebabkan infeksi lokal di dalam saluran pernafasan atau
saluran pencernakan yang akan menimbulkan infeksi sedang/asimptomatik. Ayam
yang terinfeksi virus HPAI menimbulkan gejala klinis umum seperti swelling
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
14
endotel dari pembuluh darah kecil, hemorraghi dan thrombosis. Virus HPAI dapat
bereplikasi dengan efisien di dalam sel endotel pembuluh darah dan sel parenkim
perivaskular sehingga dapat menimbulkan infeksi sistemik (Horimoto and
Kawaoka, 2005).
2.2.4 Epidemiologi virus avian influenza
Kasus avian influenza pada ayam diyakini muncul pertama kali pada bulan
Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Kasus tersebut cepat meluas ke berbagai daerah di Jawa Tengah,
Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Bali, dan
beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2003, wilayah yang
terjangkit penyakit tersebut mencakup 9 propinsi, yang terdiri dari 51
kabupaten/kota dan jumlah ayam/unggas yang mati mencapai 4,13 juta ekor. Jenis
unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, pedaging, ayam bibit, ayam
buras, ayam arab, itik, entog, burung puyuh, burung merpati, burung perkutut, dan
burung merak. Sampai dengan bulan Desember 2004, jumlah kumulatif kasus
kematian ternak unggas akibat virus avian influenza mencapai 6,27 juta ekor yang
berasal dari 16 propinsi yang mencakup 100 kabupaten/kota. Angka kematian
akibat virus avian influenza pada ternak unggas terutama ditemukan di Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung dengan jumlah kematian masing-
masing lebih dari satu juta ekor. Sekitar bulan Februari 2005 terjadi perluasan
kasus avian influenza ke daerah baru, yaitu Sulawesi Selatan dan selanjutnya
menyebar ke Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat, dan terakhir telah di
laporkan juga di Nangroe Aceh Darussalam. Jumlah kematian unggas akibat
serangan virus avian influenza sejak bulan Agustus 2003 sampai dengan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
15
November 2005 diperkirakan telah mencapai 10,45 juta ekor. Jumlah kematian
unggas pada tahun 2005 cenderung menurun drastis dibandingkan dengan tahun
2003 maupun tahun 2004, walaupun daerah yang terserang cenderung lebih luas
(Rahardjo dan Nidom,2004)
Gambar 2.2 Daerah endemis virus avian influenza Subtipe H5N1 di Seluruh Indonesia (Sumber WHO, 2009)
2.2.5 Vaksinasi H5N1
Kebutuhan vaksin avian influenza untuk peternakan domestik mengalami
peningkatan. Ini disebabkan adanya kebijakan penggunaan vaksin untuk
peternakan dan merupakan keputusan yang penting yang dikeluarkan oleh dinas
peternakan seperti Thailand dan Vietnam yang merupakan negara pengeskpor
untuk unggas. Vaksin yang baik adalah vaksin yang mampu melindungi dari
infeksi, memiliki kesamaan antara antigen yang digunakan pada vaksin dengan
strain yang sedang bersirkulasi dan mampu mengurangi jumlah virus dibawah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
16
tingkat yang memiliki kemampuan untuk menular pada organisme lain.
Sebaliknya vaksin yang tidak baik adalah vaksin yang tidak memiliki kemampuan
untuk mencegah infeksi dan gejala klinis yang muncul namun tidak mampu
mencegah terjadinya ekspresi virus pada tingkat yang mampu menularkan virus
pada organisme lain. Selain itu, vaksin yang tidak baik memicu penyebaran virus
pada peternakan yang tidak terdeteksi atau silent virus, pada pasar yang menjual
unggas hidup dan memicu terjadinya penularan. China dan Indonesia mengadopsi
vaksinasi pada peternakan untuk mengendalikan virus avian influenza dan
Vietnam telah lebih dulu mencoba vaksin pada peternakan namun yang menjadi
permasalahaan adalah di Indonesia, virus avian influenza menyerang pada unggas
dan babi. Sedangkan di China, virus avian influenza terdeteksi pada unggas yang
sehat di pasar unggas hidup. Ini memberikan gambaran bahwa beberapa vaksin
memiliki kualitas yang kurang optimal dan kemungkinan terjadi ko-infeksi
dengan agen penyakit lainnya. Strategi vaksin juga digunakan di Meksiko tahun
1980 dan vaksin yang digunakan adalah vaksin H5N2. Vaksin H5N2 mampu
mereduksi timbulnya infeksi namun tidak mampu mengeliminasi virus H5N2 dan
memberikan kontribusi terhadap penyebaran virus secara luas di Amerika Tengah
dan menyebabkan terjadinya antigenic drift (Webster et al, 1992).
Sejak 24 Januari 2004, Dirjen Produksi Peternakan menetapkan penyakit
avian influenza (AI) pada hewan dan unggas berstatus wabah. Pada awal
terjadinya wabah tahun 2003, banyak vaksin ilegal asal China yang beredar.
Vaksin ini mengandung virus AI dengan yang berbagai macam tipe dan terkadang
tidak jelas tipe virus AI yang terkandung di dalamnya. Efektifitas vaksin ini di
lapangan juga bermacam-macam. OIE meragukan kualitas dari beberapa vaksin
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
17
produksi China. Tetapi laporan FAO (Food and Agriculture Organization) dari
Vietnam menunjukkan bahwa vaksin China sudah memberikan dampak pada
pengendalian wabah AI pada unggas. Untuk saat ini vaksin avian influenza yang
digunakan di lapangan dan diuji coba di laboratorium meliputi vaksin inaktif,
vaksin konvensional dengan menggunakan virus utuh, vaksin inaktif dengan
menggunakan teknologi reverse genetik, vaksin sub unit dengan menggunakan
baculovirus dan mengekspresikan antigen H5 secara secara invitro, vaksin
rekombinan dengan menggunakan fowl pox virus secara invivo, virus ND, vektor
virus infectious laryngotracheitis dan DNA vaksin. Vaksin-vaksin tersebut
memiliki kemampuan untuk melindungi dan mengeliminasi virus avian influenza.
Selain itu juga, memiliki kemampuan untuk mereduksi virus yang dikeluarkan
setelah diuji tantang (Harder and Warner, 2006). Di Indonesia terdapat 2 jenis
vaksin AI untuk menangani virus flu burung yaitu vaksin homolog dan vaksin
heterolog. Vaksin homolog inaktif pada umumnya digunakan untuk
mengendalikan wabah AI di Indonesia pada tahun awal ditemukannya wabah
penyakit ini. Vaksin semacam ini juga sudah diproduksi di Indonesia dan peternak
unggas di lapangan umumnya menyatakan bahwa efektifitas vaksin ini cukup
baik, ditinjau dari pemeriksaan serologis sebelum dan sesudah vaksinasi dan juga
daya proteksinya terhadap serangan penyakit AI. Vaksin homolog ini
mengandung virus mati dengan tipe H5N1, yaitu tipe yang sama dengan penyebab
wabah AI di Indonesia. Bibit virus untuk pembuatan vaksin ini juga berasal dari
isolat lokal virus penyebab wabah AI di Indonesia. Vaksin heterolog adalah
vaksin inaktif dengan kandungan virus AI dari tipe yang berbeda dari virus
penyebab wabah AI di Indonesia. Vaksin heterolog yang telah beredar adalah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
18
vaksin yang mengandung tipe virus H5N2, vaksin inaktif yang mengandung tipe
virus H5N9 dan sebagainya (Harder and Warner, 2006; Nidom, 2005;
Jamalludin, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti
Laboratorium Avian Influenza Universitas Airlangga (Vienansyah 2010, Mutti dan
Rizkyawan 2011) menunjukan bahwa titer antibodi pada ayam baik broiler dan
layer dengan hasil uji Heamaglutinasi Inhibisi lebih dari 27 mampu menetralisasi
virus berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji netralisasi baik
dengan menggunakan kultur sel maupun dengan menggunakan TAB (telur ayam
berembrio). Selain itu juga ditemukan bahwa tidak adanya kesesuaian antara
antibodi protektif dari vaksin H5N1 terhadap infeksi virus flu burung pada
unggas (OIE menetapkan antibodi protektif terhadap vaksin H5N1 23 berdasarkan
hasil uji Haemaglutinasi Inhibisi). Terjadinya kesenjangan antara pengujian
secara serologis maupun dengan pengujian secara netralisasi terhadap virus H5N1
membutuhkan kajian yang lebih mendalam dari sudut pandang yang berbeda
misalnya proteomik sehingga memberikan solusi terhadap vaksin H5N1 dan
memotong penyebaran virus avian influenza di Indonesia.
Saat ini masih belum banyak dilakukan vaksinasi H5N1 pada manusia.
Sebagai upaya pencegahan, WHO merekomendasikan untuk orang-orang yang
mempunyai risiko tinggi kontak dengan unggas atau orang yang terinfeksi, dapat
diberikan terapi profilaksis dengan 75 mg oseltamivir sekali sehari, selama 7
sampai 10 hari (WHO, 2005).
Beberapa negara lain yang juga tengah mengembangkan vaksin H5N1
antara lain adalah Jepang, China, Hongaria,dan lain-lain. (WHO, 2005). Menurut
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
19
penelitian Koopmans (2004) Lebih dari 56% dari infeksi H7 yang dilaporkan
muncul sebelum vaksinasi dan program pengobatan. Setelah 19 orang telah
didiagnosa menderita infeksi, semua pekerja menerima vaksinasi influenza virus
dan pengobatan dengan oseltamivir.
Vaksin yang saat ini dikembangkan adalah vaksin yang dibuat dengan
modifikasi molekuler yang lebih efektif. Selain memungkinkan pengembangan
vaksin dengan pendekatan berbasis peptida akan memiliki keuntungan untuk
menghindari penggunaan virus influenza hidup yang berbahaya selama produksi
massal. Salah satu penelitian menemukan bahwa peptida urutan DTVQIIKLL
hadir dalam protein PB2 dari virus H5N1, diperkirakan akan mengikat HLA-A26
yang dibatasi reseptor sel sistem kekebalan tubuh permukaan. Oleh karena itu,
peptida terikat mungkin mampu merangsang perlindungan dari sitotoksik limfosit
T. kemudian dikonfirmasi dalam penelitian laboratorium, dan vaksin yang efektif
dikembangkan untuk individu mengekspresikan HLA-A26 reseptor. Karena PB2
memiliki laju mutasi jauh lebih rendah dari H dan N, sehingga dapat mengatasi
masalah pada pembuatan vaksin dengan virus utuh (Gillis, 2005).
2.2.6 Spesifisitas reseptor virus avian influenza
Virus avian influenza memiliki afinitas yang tinggi terhadap asam sialid
α2-3 dan memiliki jumlah yang banyak di jaringan epitel daerah endodermik
(usus dan paru-paru) pada unggas yang merupakan target dari virus avian
influenza. Hal ini berbeda dengan virus influenza yang berasal dari manusia yaitu
lebih banyak memiliki residu α 2-6 yang lebih predominan pada sel epitel pada
saluran pernafasan manusia. Perbedaan reseptor menyebabkan terhambatnya
penularan virus flu burung dari unggas ke manusia. Namun berdasarkan beberapa
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
20
hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa sel epitel bersilia pada
trakea manusia memiliki reseptor virus avian influenza dari unggas dalam jumlah
yang sedikit. Hal sebaliknya juga terdapat pada ayam, memiliki reseptor yang
berasal dari virus influenza dari manusia (α 2-6) (Beare dan Webster 1991;
Harder and Warner,2006).
Pada babi dan unggas air kedua reseptor yaitu α 2-3 dan α 2-6 memiliki
densitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan lain sehingga memberikan
kesempatan pada kedua hewan tersebut untuk terjadinya mixing vessel antara
virus flu burung dengan virus influenza yang menginfeksi pada manusia
(H1N1,H3N2).
2.2.7 Siklus infeksi virus avian influenza
Infeksi virus diawali dengan terjadinya perlekatan protein HA virus ke
reseptor asam sialat sel host (Swyne, 2008). Pengikatan virus influenza ke
reseptor akan diikuti dengan endositosis melalui celah yang dilapisi clathrin dan
vesikel. Fusi antara virus dengan membrane sel berlangsung pada kompartemen
endosomal yang selanjutnya akan memicu transfer nukleokapsid virus ke dalam
sitoplasma untuk bermigrasi ke dalam inti sel tempat transkripsi dan replikasi
RNA virus. Pada awal replikasi, virus memerlukan pH asam dari endosom melalui
pompa proton sel ( Cross et al., 2001). Bagian dalam virus juga mengalami
penurunan pH menjadi asam dengan bantuan M2 (protein membrane integral)
yang menyebakan ion H+ masuk ke dalam virion sehingga memicu perubahan
konformasi protein HA yang menyebabkan domain fusi pada protein HA menjadi
aktif. Suasana asam di dalam virus juga memicu nukleokapsid virus berdisosiasi
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
21
dari protein matriks virus (M1) sehingga segmen gen virus dapat masuk ke dalam
inti sel tempat replikasi dan transkripsi RNA virus berlangsung (Swyne, 2008).
Pada proses transkripsi RNA virus akan terbentuk mRNA yang
selanjutnya dikeluarkan dari inti sel menuju sitoplasma untuk proses translasi
membentuk protein virus. Protein virus yang terbentuk (early protein viral) yang
diperlukan untuk proses replikasi dan transkripsi di dalam inti sel akan ditransport
kembali ke dalam inti sel (Neumann et al., 2009).
Gambar 2. 3. Siklus infeksi virus avian influenza (dikutip dari Neumann et al., 2009)
Pada akhir siklus infeksi virus influenza, protein M1 dan NS2 membantu
keluarnya ribonukleoprotein virus (vRNP) baru terbentuk dari inti sel menuju
sitoplasma, sedangkan PB1-F2 akan berasosiasi dengan mitokondria (Neumann et
al, 2009). Virus influenza baru hasil replikasi dalam sel host selanjutnya akan
dirakit dan keluar dari sel host melalui proses budding pada bagian apical
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
22
membrane plasma sel yang terpolarisasi (sel epitel paru dari host terinfeksi). Hal
ini memiliki peran penting pada patogenesis serta tissue tropism virus karena virus
yang budding dari permukaan dalam sel cenderung menyebabkan penyakit
sistemik, sedangkan virus influenza yang budding dari permukaan external sel
pada umumnya memiliki tissue tropism yang terbatas (Swyne, 2008).
2.2.8 Replikasi virus avian influenza
Genoma virus influenza A berisi delapan segmen virus (vRNA) untai
negatif. Selama siklus replikasi virus, genoma vRNA mengalami transkripsi
menjadi untai positif mRNA dan RNA komplementer (cRNA) dalam inti sel.
Mekanisme ini yang membedakan dengan virus RNA lainnya. Sebagai promoter
sintesis mRNA diletakkan pada bagian struktur untai ganda RNA yang dibentuk
dari urutan ujung 5’ dan 3’ dari segmen genoma vRNA (Honda et al, 2002;
Mikulasova et al, 2000)
Selama replikasi, virus influenza memerlukan aktivitas glikoprotein
permukaan yaitu protein HA dan NA. Glikoprotein HA bertanggung jawab untuk
berikatan dengan asam sialat yang terletak pada glikokonjugat permukaan sel, dan
glikoprotein NA yang berfungsi dalam aktivitas enzimatis terhadap pelepasan
asam sialat dari glikokonjugat sel dan juga dalam sintesis protein untuk
memfasilitasi virion baru dalam budding sel (Kobasa et al, 2001).
Setelah berikatan dengan reseptor tropism cell, virus influenza A akan
masuk ke dalam sel melalui proses endositosis. Adanya pH yang rendah pada
endosom akan menginduksi perubahan konformasi dalam protein HA
menghasilkan fusi antara membran virus dengan membran endosom. Di dalam
endosom, saluran proton M2 terbuka dan RNP akan keluar ke sitoplasma. Proses
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
23
ini dapat berlangsung beberapa saat. Berdasarkan pengamatan di laboratorium,
dalam waktu 10 menit, proses endositosis sudah berlangsung 50%. Proses
endositosis ini berlangsung sampai semua genoma RNA virus ke luar dan masuk
ke dalam sitoplasma (Horimoto and Kawaoka, 2001; Raharjo dan Nidom, 2004).
Proses selanjutnya genoma RNA akan masuk ke dalam inti sel dan
megalami transkripsi, guna mengubah bentuk polaritas negatif (-) menjadi
polaritas positif (+). Sebagian genoma keluar kembali masuk sitoplasma
mengambil cap RNA sel inang dan poli A guna melakukan translasi untuk
menghasilkan berbagai protein termasuk protein selubung yang selanjutnya
digunakan oleh virus baru. Protein tersebut meliputi protein hemaglutinin (HA),
neuraminidase (NA), matriks (M) dan non struktural (NS) (Horimoto and
Kawaoka, 2001; Raharjo dan Nidom, 2004).
Genoma RNA sebanyak delapan segmen yang berada dalam inti sel
melakukan replikasi. Setelah melakukan replikasi dalam inti sel, kedelapan
segmen RNA ini akan dibungkus dengan protein HA, NA, M dan NS. Untuk
keperluan pelepasan (budding) virus akan terjadi penempelan pada reseptor di
permukaan luar sel yang akan dilakukan oleh protein NA. Proses replikasi virus
ini dapat berlangsung selama dua jam sejak terjadinya penempelan virus influenza
pada reseptor sel (Horimoto dan Kawaoka, 2001; Raharjo dan Nidom, 2004).
2.2.9 Transmisi virus avian influenza A pada manusia
Menurut WHO (2007), infeksi virus AI H5N1penularan ke manusia dapat
terjadi melalui penularan dari unggas ke manusia, mungkin dari lingkungan ke
manusia dan penularan dari manusia ke manusia secara terbatas. Sedangkan
menurut Knipe (2007) transmisi virus AI dari manusia ke manusia belum pernah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
24
dilaporkan. Pada umumnya virus AI tidak bereplikasi secara efisien pada manusia,
sehingga transmisi langsung virus AI ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan
virus AI ke manusia memerlukan paparan jumlah virus yang banyak untuk
menimbulkan tingkat replikasi virus yang cukup pada manusia. Kemampuan
pertumbuhan virus AI yang terbatas pada manusia diperkirakan sebagai barier
munculnya pandemik virus AI melalui transmisi langsung dari unggas ke manusia
(Horimoto and Kawaoka, 2005)
Kasus infeksi virus AI di Hongkong tahun 1997 telah terjadi penularan
langsung dari ayam ke manusia. Berdasarkan dari hasil analisisnya ternyata
delapan segmen virus tersebut berasal dari virus unggas dan masih terikat ke
reseptor unggas SA α-2,3. Kemudian diketahui juga bahwa donor gen HA virus
tersebut adalah A/goose/Guangdong/I/96 (H5N1) masih bersirkulasi di Cina
(Lipatov, 2004). Berdasarkan studi epidemiologi menunjukkan bahwa transmisi
langsung virus dari burung dan kejadian transmisi dari manusia ke manusia hanya
terjadi pada beberapa kasus saja, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa virus
masih belum beradaptasi penuh pada host manusia (Horimoto and Kawaoka,
2005).
Pada tahun 2002 terjadi kasus infeksi H5N1 lain di Hongkong yang
menunjukkan bahwa terjadi mutasi antigenic drift yang bersifat highly pathogenic
pada bebek serta unggas air lain. Hal ini terus berlanjut pada awal tahun 2003
dimana virus H5N1 telah menginfeksi satu keluarga di Hongkong yang
mengakibatkan kematian pada tiga orang dalam satu keluarga ( Horimoto and
Kawaoka, 2005).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
25
Virus AI tidak menyebabkan infeksi persisten atau laten pada manusia,
tetapi virus influenza dipertahankan pada populasi manusia melalui penyebaran
langsung dari manusia ke manusia selama infeksi akut (Knipe, 2007). Namun
demikian penularan virus AI H5N1 ke manusia dikhawatirkan dapat memicu
terjadinya pandemic influenza, apalagi bila penularan tersebut disertai dengan
perubahan spesifitas reseptor yang mengarah SA α-2,6 (Mansfield, 2006)
Pada prinsipnya flu pandemik terjadi ketika suatu virus influenza dari
unggas memiliki protein permukaan HA yang tidak dapat dieliminasi oleh respon
imun tubuh manusia (Nichol et al.2000). Beberapa kemungkinan terjadinya
penularan H5N1 pada manusia dan terjadinya flu pandemik, karena terjadi
penularan antar manusia. Kemungkinan pertama menggunakan peran babi
sebagai hewan perantara atau “mixing vessel”. Tubuh babi akan terinfeksi oleh
dua macam virus influenza yang berbeda, virus avian influenza dan virus human
influenza, kemudian terjadi penataan ulang dari keduanya pada saat melakukan
replikasi pada tubuh babi. Hasil replikasinya berupa sebuah virus dengan protein
permukaan HA dari virus human influenza sedangkan genoma lainnya berasal dari
virus avian influenza. Pada saat terjadi wabah Spanish flu, terjadi perubahan
spesifitas reseptor virus avian influenza H1N1 selama replikasi dalam tubuh babi,
sehingga virus menjadi teradaptasi dalam tubuh babi dan tidak memerlukan virus
human influenza untuk menginfeksi manusia.
Kemugkinan lainnya terjadi penularan langsung pada tubuh manusia. Pada
kejadian wabah di Hong Kong pada tahun 1997 dan Vietnam, Thailand dan
Kamboja pada tahun 2004 dan 2005, menunjukkan model baru penularan dari
unggas ke tubuh manusia. Mekanisme yang dimungkinkan adalah terjadinya
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
26
penataan ulang antara virus avian influenza dengan virus human influenza pada
tubuh manusia tersebut, kemudian virus avian influenza ini memiliki gen HA dari
virus human influenza. Mekanisme lain yaitu terjadinya adaptasi virus avian
influenza pada tubuh manusia (Nichol et al.,2000).
2. 3 Tinjauan Tentang Protein Virus
Protein adalah senyawa kompleks yang memiliki berat molekul tinggi
yang merupakan polimer dari asam amino yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, serta fosfor. Virus influenza A termasuk virus avian influenza
subtipe H5N1 memiliki 10 protein yang terdiri dari dua protein eksternal (HA dan
NA) dan delapan protein internal (PA, PB1, PB2, M1, M2, NS1, NS2, dan NP).
Protein tersebut berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk
hidup dan virus.
2.3.1. Protein hemaglutinin (HA)
Protein HA merupakan protein utama pada virus influenza A dan B,
sedangkan pada virus Influenza C berupa Hemaglutinin-esterase (HE) yang
merupakan protein homolog dengan protein HA (Suzuki, 2002). Protein HA
disintesis sebagai polimer 580-585 asam amino, kemudian mengalami modifikasi
pasca translasi berupa glikosilasi pada posisi 5-7 saat transit di reticulum
endoplasmic dan sitoplasma sebelum ke membrane sel (Knipe, 2007). Selanjutnya
protein HA akan dipecah menjadi dua bagian oleh suatu signal peptidase yang
memiliki 20 asam amino. Kedua bagian protein HA ini terdiri dari protein HA1
yang terdiri dari 320 asam amino dan protein HA2 yang terdiri dari 220 asam
amino. Protein HA1 yang akan berikatan dengan reseptor pada sel tropisma dan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
27
merupakaan target utama untuk respon imun, sedangkan protein HA2 sebagai
protein jangkar (anchor) pada envelope dan berfungsi sebagai perantara terjadinya
fusi antara envelope dan membran endosomal sel (Suzuki, 2002). Pembelahan HA
merupakan penentu awal untuk fusi virus dengan membran endosomal serta
infektivitas virus (Neumann and Kawaoka, 2006).
Meskipun virulensi virus influenza A ini merupakan poligenik, tetapi
protein HA mempunyai peran penting. Pada awal infeksi akan berikatan dengan
reseptor sel dan melepaskan protein ribonukleoprotein. Aktivasi proteolitik post
translasi dari perkusor HA (HA0) menjadi HA1 dan HA2 oleh protease inang
akan menghasilkan bagian fusogenik di bagian terminal HA2 yang akan
memfasilitasi fusi antara envelope virus dengan membran endosomal. Oleh karena
itu, aktivasi proteolitik molekul HA merupakan hal yang penting untuk
infektivitas dan penyebaran virus ke seluruh tubuh (Suzuki, 2002).
Protein HA dari virus avian influenza yang avirulen biasanya dipecah
secara terbatas oleh protease beberapa sel, sehingga virus hanya menyebabkan
infeksi yang bersifat lokal pada saluran pernafasan atau pencernakan saja dan sifat
infeksinya ringan atau asimptomatik. Sebaliknya protein HA dari virus avian
influenza yang virulen dapat dipecah oleh protease sel inang dalam jumlah dan
jangkauan yang lebih luas sehingga mampu menimbulkan penyakit sistemik dan
mematikan pada ayam (Horimoto and Kawaoka, 2001).
Pada gen HA terdapat suatu region yang disebut cleavage site yaitu suatu
region dimana pada bagian tersebut terjadi pembelahan gen HA saat infeksi virus
AI ke sel inang. Secara struktur berdasarkan jumlah asam amino yang menyusun
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
28
tempat pembelahan gen HA maka hal ini akan membedakan virus influenza yang
avirulen dan virulen. Virus AI yang avirulen biasanya mempunyai satu basic
amino acid yaitu arginin (R) yang terdapat pada tempat pembelahan, sedangkan
untuk virus yang virulen mempunyai beberapa basic amino acid yang terletak
dekat tempat pembelahan. Pada umumnya virus influenza mempunyai asam
amino arginin (R) pada ujung karboksil protein HA1 dan glisin pada ujung amino
protein HA2 yang diikuti oleh asam amino lisin (L) (Horimoto and Kawaoka,
2001).
2.3.2 Protein neuraminidase (NA)
Gen NA (Neuraminidase) mengekspresikan protein NA yang merupakan
protein membran berupa tetramer tipe II dengan aktivitas sialidase yang
membelah residu asam sialat dari glikokonjugat sel inang dan HA, sehingga NA
dikenal sebagai enzim penghancur reseptor. Aktivitas sialidase ini sangat penting
untuk pelepasan progeni virion dari permukaan sel inang dengan tujuan untuk
mencegah agregasi progeni virus berkenaan dengan aktivitas pengikatan HA virus
dengan glikoprotein virus yang lain. Maka aktivitas pengikatan reseptor HA virus
dengan aktivitas penghancuran reseptor NA harus dalam keadaan seimbang agar
replikasi virus influenza A berjalan efisien (Hughes, 2001). Gen NA mempunyai
urutan serta panjang yang bervariasi tergantung dari virusnya. Jika terjadi
pemendekan sekuen NA maka aktivitas pelepasan virus menjadi kurang efisien
(Horimoto and Kawaoka, 2001). Namun pada penelitian Korteweg (2008) virus
AI subtipe H5N1 yang diisolasi pada wabah tahun 1997 di Hongkong ditemukan
telah terjadi delesi 19 asam amino pada gen NA (stalk NA) yang menyebabkan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
29
virus tersebut dapat beradaptasi sehingga menular dari unggas air ke unggas
domestik. Hal ini juga sesuai dengan penyataan Swyne (2008) bahwa delesi pada
region stalk NA merupakan tanda adaptasi virus AI pada unggas. Delesi tersebut
juga menimbulkan penurunan aktivitas NA dengan membuat perubahan pada
protein HA yang akan menurunkan afinitas pengikatan ke asam sialat melalui
penambahan tempat glikolisasi dekat dengan reseptor binding site. Menurut
Hughes (2001) mutasi gen NA virus akan meningkatkan kemampuan virus
Influenza A beradaptasi pada lingkungan baru. Seperti yang dinyatakan Horimoto
dan Kawaoka (2001) ketika virus influenza asal unggas yang memiliki gen NA
dari subtipe N2 dikenalkan ke populasi manusia ternyata aktivitas pembelahan
SAα-2,6 meningkat, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi adaptasi NA virus
ke spesifitas reseptor SAα-2,6 dari HA manusia.
Fungsi lain dari protein NA yaitu dapat membantu proses masuknya virus
influenza ke dalam sel target pada saluran pernafasan melalui aktivitas degradasi
mucus (Matrosovich, 2004). Peranan NA pada saat infeksi virus influenza sangat
penting. Menurut Knipe (2007), protein NA juga berperanan untuk mengeluarkan
asam sialat dari lapisan musin sehingga memudahkan virus influenza mencapai
permukaan sel epitel. Protein NA juga berpengaruh terhadap host restriction virus
influenza karena aktivitas NA dari virus influenza asal unggas lebih resisten
terhadap pengaruh pH rendah didalam saluran pencernakan bagian atas dibanding
virus asal manusia atau babi. Disebutkan pula bahwa aktivitas NA dapat
mempengaruhi patogenitas virus karena jika terjadi kehilangan rantai karbohidrat
pada posisi 146 dari NA akan menyebabkan protein NA lebih mudah terikat ke
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
30
plasminogen (suatu prekusor plasmin) sehingga hal tersebut dapat membantu
pembelahan HA dan berefek terhadap peningkatan patogenitas virus.
NA merupakan glikoprotein utama kedua serta protein membran integral II
dari virus influenza A dengan ujung N-nya berorientasi ke bagian dalam virus.
Antibodi yang mengarah terhadap NA biasanya tidak dinetralisasi, tetapi
imunisasi dengan aktivitas enzimatik protein NA diperlukan untuk mengeluarkan
asam sialat dan akhirnya mengeluarkan asam sialat dari karbohidrat yang terdapat
pada glikoprotein virus sehingga tidak terjadi agregasi antar virus (Swyne, 2008).
2.3.3 Protein matriks (M1 dan M2)
Virus Influenza pada RNA segmen 7 yang bisistronik, mengkode protein
M1 dan M2. Protein M1 merupakan komponen mayor dari virion yang termasuk
dalam rangkaian di dalam amplop dan terlibat dalam pembentukan virus baru.
Protein matrik memiliki bentuk tetramer dan memiliki aktifitas chanel ion H+ dan
akan teraktifasi oleh pH yang rendah dalam endosom, terjadinya pengasaman di
dalam virion akan memberikan fasilitas terhadap pelepasan virus di dalam sel
hospes. Protein M1 berada pada envelope dan berfungsi sebagai
perkembangbiakan dan pertunasan virus. Selain protein HA dan NA juga terdapat
protein M2 yang tergabung dalam virion. Protein M2 merupakan protein integral
membran yang merupakan saluran ion dari sambungan RNA yang memfasilitasi
migrasi RNP virus di dalam sel (Webster et al, 1992).
Selain protein M1 dan M2, juga terdapat protein NP (nukleoprotein) dan 3
subunit polimerase yaitu (PB1,PB2 dan PA). Keempat protein tersebut
membentuk sebuah komplek RNP (ribonukleoprotein) yang berfungsi dalam
replikasi RNA dan transkripsi. Protein NS2 berada di virion dan memiliki
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
31
peranan yang penting dalam pengeluaran RNP (ribonukleoprotein) melalui
interaksi dengan protein M1(Webster et al, 1992).
2.3.4 Protein non struktural (NS1 dan NS2)
RNA segmen 8 mengkodekan dua protein nonstruktural yaitu NS1 dan
NS2. mRNA NS1 colinear dengan vRNA, sedangkan mRNA NS2 adalah
diperoleh dari splicing. Protein ini, khususnya NS1, jumlahnya banyak dalam sel
yang terinfeksi (NS1 terutama terdapat dalam inti, NS2 terutama terdapat dalam
sitoplasma) tetapi tidak masuk dalam progeni virion. Kedua protein berfungsi
dalam replikasi virus, tetapi fungsinya belum sepenuhnya didefinisikan. NS2
muncul untuk sintesis NS. Protein NS1 merupakan protein nonstruktural virus
Influenza A dan memiliki fungsi yang bermacam-macam meliputi pengaturan
pemisahaan dan pengeluaran nukleus dari mRNA seluler yang merupakan hasil
rangsangan translasi (Webster et al, 1992).
2.3.5 Protein polymerase basic (PB1 dan PB2)
Protein PB1 dikodekan oleh RNA segmen 2, berfungsi dalam RNA
polimerase sebagai protein yang bertanggung jawab untuk pemanjangan virus
mRNA dan untuk perpanjangan untuk template RNA dan sintesis vRNA. Protein
PB1 ada dalam inti sel yang terinfeksi.
Protein PB2 dikodekan oleh RNA segmen 1. Protein ini adalah protein
kompleks yang membantu RNA aktivitas polimerase. Protein ini berfungsi selama
transkripsi mRNA virus sebagai protein yang mengikat 5 ' mRNA sel inang
sebagai transkripsi mRNA virus primer. Protein PB2 berperan pada proses sintetis
RNA, yaitu, sintesis template full-length dan vRNA, sejak proses ini tidak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
32
memerlukan primer karena disintesis protein PB2 sehingga virus bermigrasi ke
inti sel terinfeksi (Webster et al, 1992).
2.3.6 Protein polymerase A (PA)
Protein PA dikode oleh RNA segmen 3. Letak dari protein ini ada di
dalam inti sel yang terinfeksi dan merupakan RNA polimerase kompleks bersama
dengan PB1 dan PB2 namun perannya dalam sintesis RNA virus tidak diketahui.
Fungsi protein PA adalah berikatan dengan RNA dan protein polimerase dan
membentuk komponen utama virus (Webster et al, 1992)
2.3.7 Protein nukleoprotein (NP)
NP dikode oleh RNA segmen 5. Protein NP masuk ke dalam inti sel yang
terinfeksi, di mana ia mengikat RNA virus. NP berperan dalam pertukaran RNA
polimerase virus pada proses sintesis mRNA untuk cRNA dan sintesis vRNA.
Dalam jumlah yang banyak NP disintesis dalam sel yang terinfeksi dan
merupakan protein yang banyak di virion virus influenza. NP juga merupakan
target utama respon imun dari sitotoksik T-sel (Webster et al, 1992).
2.4. Mutasi Virus Influenza A
Virus influenza mengalami evolusi secara terus menerus, terutama pada
glikoprotein permukaan. Variabilitas pada virus merupakan hasil dari akumulasi
perubahan molekuler dari delapan segmen RNA yang dapat terjadi melalui
mekanisme mutasi titik (antigenic drift) dan reassortment gen (antigenic shift)
(Webster, 1992). Mutasi yang meliputi substitusi, delesi, dan insersi adalah salah
satu mekanisme yang paling penting yang menyebabkan variasi dalam virus
influenza. Enzim polymerase virus ini tidak memiliki proofreading sehingga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
33
diperkirakan berperan dalam kesalahan replikasi sekitar 1 basa dalam setiap 104
basa (Metreveli, 2006).
Antigenic drift merupakan mutasi yang dialami oleh virus influenza A
yang berjalan lambat. Antigenic drift terjadi karena perubahan kecil pada gen HA
dan NA yang disebabkan akumulasi mutasi titik secara random dan hal ini
merupakan penyebab terjadinya masa interpandemik serta permasalahan ketika
produksi vaksin dilakukan secara massal. Sedangkan antigenic shift merupakan
hasil reassortment antara virus Influenza A yang berasal dari unggas (H5N1) dan
virus Influenza dari manusia (H3N2, H1N1) sehingga menimbulkan perubahan
pada gen HA dan tidak dikenali oleh respon imun manusia. Virus hasil
reassortment antara virus yang berasal dari unggas dan manusia memiliki
kemampuan untuk menyebar secara cepat dan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Treanor, 2004; Knipe, 2007). Namun perlu diketahui
bahwa kapan mutasi terjadi pada virus yang menyebabkan virus menjadi lebih
virulen tidak dapat diprediksi dan biasanya mutasi bisa segera terjadi setelah virus
menular dari inang alaminya (Knipe, 2007).
Dari analisis filogenetik diperoleh bahwa semua subtipe virus Influenza A
terdapat pada spesies unggas, sehingga semua virus influenza A pada mamalia
berasal dari unggas. Pada level nukleotida dan asam amino tingkat evolusi virus
avian influenza sangat rendah. Kenyataannya, dalam tubuh unggas air liar virus
influenza tampak dalam tahap evolusi. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi
optimal virus tersebut pada host alaminya. Sehingga substitusi asam amino
mungkin tidak memberikan keuntungan seleksi. Maka, walaupun mutasi terjadi
dengan frekuensi yang sama hal tersebut tidak menimbulkan perubahan asam
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
34
amino. Sebaliknya, semua segmen gen dari unggas peliharaan dan mamalia terus
mengakumulasi substitusi asam amino (Knipe, 2007).
Untuk virus influenza A, tingkat evolusinya berbeda diantara segmen yang
dimiliki. Hal ini mungkin menunjukkan perbedaan dalam seleksi tekanan host.
Sebagai contoh, tingkat evolusi gen HA dari virus H3 lebih cepat dibanding gen
PB2, PB1, PA, NP, dan M1. Terjadi rasio silent mutation yaitu total perubahan
berbeda secara signifikan diantara gen-gen yang berbeda. Untuk gen HA virus H3
manusia hanya 57% dari semua perubahan yang terjadi merupakan silent mutation
sedangkan untuk gen PB2 lebih dari 90%. Variasi mutasi yang terjadi pada gen
HA mungkin terseleksi karena mutasi pada gen HA dapat menyebabkan virus
mampu menghindar dari respon imun host. Sebaliknya gen PB2 pengaruh tekanan
respon imun hanya sedikit (Knipe, 2007).
2.4.1. Antigenic drift dan antigenic shift
Antigenic drift adalah perubahan kecil dari virus yang kontinyu dan gradual
melalui akumulasi mutasi spontan yang terjadi di tempat pengikatan antibodi pada
HA, NA atau keduanya yang dapat meniadakan pengikatan antibodi (Treanor,
2004; CDC, 2005).
Enzim polymerase virus influenza tidak mempunyai kemampuan proof
reading sehingga diperkirakan berperan dalam kesalahan replikasi yaitu sekitar 1
basa dalam setiap 104 basa. Hal inilah yang mengakibatkan seringnya terjadi
mutasi pada virus influenza. Mutasi yang meliputi subsitusi, delesi dan insersi
adalah salah satu mekanisme yang paling penting dalam menyebabkan variasi
pada virus influenza. (Holland et al., 1982; Stainhauer dan Holland, 1987).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
35
Mutasi titik dapat terjadi pada berbagai posisi tertentu dari nukleotida
genom penyandi dua glikoprotein permukaan virus influenza yaitu HA dan NA.
Pada mamalia, antigenic drift sebagai akibat dari seleksi positif dari mutan
spontan oleh antibodi penetralisir. Perubahan kecil dan gradual dari virus yang
sering terjadi ini menimbulkan strain virus baru yang mungkin tidak dikenali oleh
antibodi dari strain virus influenza sebelumnya pada tubuh manusia (CDC, 2004;
Kamps et al., 2006, Knipe et al., 2007).
Frekuensi mutasi pada asam amino HA dan NA dari virus influenza
manusia kurang dari 1 % pertahun. Meski begitu, antigenic drift dapat
menghasilkan varian atau strain baru dan dapat menimbulkan epidemik serta
bertahan hinggga 2-5 tahun sebelum digantikan oleh strain atau varian baru
(Knipe et al., 2007). Proses yang terjadi adalah sebagai berikut : seseorang yang
terinfeksi dengan strain virus influenza tertentu akan memproduksi antibodi untuk
melawan virus tersebut dan ketika strain baru muncul maka antibodi yang
digunakan untuk melawan virus influenza sebelumnya tidak lagi mengenali virus
yang baru. Itulah sebabnya kenapa seseorang bisa terkena flu lebih dari sekali.
Strain baru dari virus influenza sebagai hasil dari antigenic drift ini dapat
menyebabkan epidemi yang muncul setiap 1-2 tahun sekali. Hal ini yang menjadi
dasar vaksinasi influenza harus diperbarui setiap tahun (CDC, 2004).
Contoh kasus dari hasil antigenic drift virus influenza adalah perubahan
susunan 13 asam amino dari subunit HA1 virus influenza A/Fujian/411/2002 bila
dibandingkan dengan strain H3 sebelumnya yakni A/Panama/2007/99. Perubahan
ini mempengaruhi pengikatan antibodi dengan HA, dimana pada penelitian
didapatkan data kadar antibodi yang meningkat bila diuji dengan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
36
A/Panama/2007/99 akan menurun hingga seperempat titer ketika diuji dengan
A/Fujian/411/2002 (Treanor, 2004).
Antigenic shift adalah perubahan yang besar dan drastis, yang dapat terjadi
pada virus influenza A, menghasilkan virus influenza A subtipe baru yang dapat
menginfeksi manusia dan memiliki protein HA dan atau kombinasi protein HA
dan NA yang belum pernah dijumpai sebelumnya pada populasi manusia dalam
jangka waktu yang lama (CDC, 2004).
Pandemi merupakan kejadian langka yang muncul setiap 10-50 tahun. Pada
abad ke-20, sudah terjadi 5 kali pandemi influenza A; Spanish flu (1918-1919)
yang menelan korban jiwa lebih dari 50 juta orang, Asian flu (1957), Hong Kong
flu (1968), Russian flu (1977) dan yang terbaru adalah Swine flu (2009) (Neumann
et al., 2009; Novel S-OIV investigation team, 2009).
Terdapat tiga cara terjadinya antigenic shift, yaitu : 1) Terjadi reassortment
– subtipe virus baru yang muncul merupakan reassortant dari infeksi ganda,
sehingga kedelapan segmen RNA dari masing-masing virus akan melakukan
reassortment. Virus yang melakukan reassortment biasanya berasal dari spesies
inang yang berbeda bukan dari spesies inang yang sama, misalnya antara virus
manusia dengan virus avian. Mekanisme yang terjadi adalah sebagai berikut :
unggas air akan “memberikan” virus influenza A strain avian ke inang perantara
seperti babi atau ayam. Manusia juga “memberikan” virus influenza A strain
manusia ke inang perantara yang sama. Jika kedua jenis virus ini menginfeksi sel
yang sama maka proses reassortment akan terjadi. Virus baru ini menyebar dari
inang perantara tersebut ke manusia kembali. 2) Virus influenza A strain avian,
tanpa mengalami perubahan dapat “melompat” langsung dari unggas air / burung
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
37
ke manusia. Strain yang baru dapat berevolusi sehingga bisa menyebar antar
manusia. 3) Virus influenza A strain avian, tanpa mengalami perubahan dapat
“melompat” langsung dari unggas air / burung ke inang perantara seperti babi lalu
ke manusia (Kamps et al, 2006).
Antigenic shift dapat menghasilkan subtipe virus influenza A yang baru.
Jika subtipe baru ini ‘dikenalkan’ pada populasi manusia atau jika manusia tidak
atau sedikit memiliki proteksi terhadap virus baru ini, dan jika virus ini dapat
dengan mudah menyebar antar manusia, maka pandemi dunia akan terjadi (CDC,
2005).
Antigenic shift umumnya disebabkan oleh reassortment, seringkali antara
virus manusia dan virus avian. Melalui analisis filogenetik, virus influenza yang
menyebabkan Spanish flu disebabkan oleh ‘pengenalan’ virus avian pada populasi
manusia. Demikian pula dengan pandemik influenza tahun 1957 dan 1968,
keduanya merupakan hasil reassortment dari virus manusia dan virus avian (Guan
et al., 2004).
2.5 Tinjauan tentang Monyet (Macaca fascicularis)
Monyet mempunyai nama umum yang sangat bervariasi, misalnya kera
ekor panjang atau monyet, monyet pemakan kepiting (Cynomolgus macaque).
Macaca mulata monyet yang berasal dari India dan monyet ekor babi (Macaca
nemestrina) dari Asia Tenggara, tetapi nama ilmiahnya adalah Macaca
fascicularis (Nidom, 2010; Gardner, 2008). Hewan ini termasuk ordo primatas,
famili cercopithecidae, genus macaca, spesies Macaca fascicularis. Bentuk fisik
secara umum memiliki panjang tubuh dewasa 38-55 cm, ekor lebih panjang dari
tubuhnya sekitar 40-65 cm, dengan berat badan monyet jantan 5-9 kilogram,
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
38
monyet betina 3-6 kilogram. Monyet merupakan hewan social yang berkelompok,
omnivora fakultatif dan mencapai umur dewasa untuk betina sekitar lima sampai
enam bulan (Nidom, 2010).
Gambar 2. 4 Monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis)(koleksi foto AIRC-Unair)
Macaca merupakan hewan primata yang banyak digunakan sebagai model
untuk penelitian biomedik selama lebih dari 70 tahun guna meneliti penyakit-
penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan prion.
Melalui studi eksperimental pada macaca, maka para peneliti dapat mengamati
tentang mekanisme patogenik serta pendekatan vaksin dan pengobatan baru
berbagai penyakit karena dianggap macaca memiliki kedekatan dengan manusia.
Keunggulan lain dari macaca sebagai hewan coba adalah karena bersifat
omnivora, mudah beradaptasi pada lingkungan yang beragam (Gardner, 2008).
Kemiripan genetik dan fisiologis antara manusia dan hewan primata maka
macaca merupakan hewan model yang memiliki respon sangat dekat dengan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
39
manusia terhadap infeksi virus influenza dibanding hewan mamalia lain seperti
mencit dan ferret. Oleh karena itu hewan primata banyak digunakan untuk
penelitian infeksi virus influenza yang Highly pathogenic seperti virus avian
influenza H5N1. Primata sangat peka terhadap infeksi sejumlah virus influenza A
yang tidak beradaptasi pada manusia seperti H1N1 pandemi 2009, virus pandemi
1918, H3N2 dan H5N1. Infeksi pada rhesus macaca secara intranasal dengan
virus PR8 tidak nampak gejala infeksi seperti demam, anoreksia atau gejala
pernafasan, hanya menampakkan gejala leucopenia serta netralisasi antibodi
terhadap virus yang diinfeksikan pada hari ke sepuluh. Lain halnya jika virus
diinokulasikan langsung ke dalam trakea akan menunjukkan gejala serta symptom
yang sama seperti infeksi influenza paling tidak selama dua hari setelah infeksi.
Sedangkan macaca yang diinfeksikan dengan virus HPAI H5N1 akan
menunjukkan gejala demam dua hari setelah infeksi serta menunjukkan gejala
seperti batuk, anoreksia, dan cyanosis perifer (Bouvier, 2010).
2.6 Tinjauan tentang ayam (Gallus gallus)
Ayam merupakan host virus influenza A (H5N1), sehingga ayam dapat
digunakan sebagai hewan coba infeksi virus H5N1 untuk mendapatkan gambaran
klinis maupun patogenisitas infeksi virus H5N1. Menurut Haga dan Horimoto
(2010), dalam bidang penelitian veteriner host alami dapat digunakan sebagai
hewan coba penelitian infeksi secara eksperimental.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
40
Gambar 2.5 Ayam (Gallus gallus)(koleksi foto AIRC-Unair)
Infeksi virus HPAI pada ayam akan menimbulkan gejala berupa swelling
endotel pembuluh darah, kongesti yang bersifat sistemik, hemoragi, infiltrasi sel
mononuclear di pervaskular dan thrombosis. Virus HPAI akan bereplikasi secara
efisien di dalam endotel pembuluh darah, dan sel parenkim perivaskuler sehingga
dapat menimbulkan gejala infeksi sistemik. Infeksi virus HPAI dosis tinggi akan
menyebabkan replikasi virus secara sistemik pada unggas yang akan dikeluarkan
melalui feses (shedding virus). Sebaliknya infeksi pada ayam dengan virus LPAI
terutama akan bereplikasi dalam usus dan organ respirasi selanjutnya akan
dikeluarkan melalui feses unggas yang terinfeksi. Virus akan ditransmisikan
melalui rute fecal-contaminated water oral ke unggas yang lain (Haga and
Horimoto, 2010)
2.7 Tinjauan tentang Ferret (Mustela putorius)
Ferret adalah mamalia dari jenis Mustela putorius furo. Ferret jantan lebih
besar dibanding dengan ferret betina. Mereka biasanya memiliki warna coklat,
bulu hitam, putih, atau campuran. Mereka memiliki panjang rata-rata 20 inci (51
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
41
cm) termasuk 5 inci (13 cm) ekor, berat sekitar 1,5-4 kg (0,7-2 kg), dan berumur
antara 7 sampai 10 tahun.
Gambar 2.6 Ferret (Mustela pustorius)(koleksi foto AIRC-Unair)
Taksonomi dari ferret adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum:
Chordata, Class: Mammalia, Order: Carnivora, Family: Mustelidae, Genus:
Mustela, Species: Mustela putorius, Subspecies: Mustela pustorius furo.
Ferret menjadi hewan coba untuk influenza sejak tahun 1933 dimana terjadi
kasus influenza yang disebabkan rhinitis. Sejak saat itu ferret digunakan sebagai
hewan coba untuk mempelajari berbagai aspek infeksi virus influenza pada
manusia. Menurut Maher (2004) ferret telah terbukti menjadi hewan coba yang
baik untuk mempelajari influenza karena alasan sebagai berikut: 1) Infeksi
influenza pada ferret memiliki tanda-tanda klinis, patogenesis, dan imunitas
menyerupai pada manusia. 2) Virus influenza tipe A dan B pada manusia secara
alami dapat menginfeksi ferret, sehingga dapat diamati interaksi penularan, infeksi
penyakit, dan variasi urutan asam amino dalam glikoprotein dari virus influenza.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
42
3) Ferret memiliki karakteristik fisik lainnya yang menjadikannya hewan coba
yang ideal untuk menguraikan manifestasi dari penyakit.
Ferret diyakini menjadi hewan coba yang baik untuk penelitian virus HPAI
karena transmisi langsung dari virus HPAI H5N1 dari unggas ke manusia. Hal ini
diamati pada kasus di Hong Kong pada tahun 1997 dimana virus yang diisolasi
dari manusia dievaluasi pada ferret ternyata memiliki kemampuan untuk meniru
dan menyebabkan penyakit di ferret. Tahun 1997 wild type H5N1 pada manusia
virus dari Hong Kong yang sangat virulen pada ferret , tidak seperti patogenitas
diferensial dihasilkan pada tikus. Wildtype tahun 2004 virus H5N1 manusia dari
Vietnam dan Thailand menyebabkan penyakit yang fatal bagi ferret saat
diinokulasi intranasal. Gejala yang tampak adalah demam tinggi, penurunan berat
badan, anoreksia, lesu ekstrim, dan diare yang diamati (Haga and Horimoto,
2010).
2.8 SDS PAGE
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel
Electrophoresis) merupakan salah satu teknik pemisahan protein berdasarkan
massa molekul relatifnya (Da atau kDa) dalam suatu medan listrik. Teknik ini
dapat digunakan untuk menentukan massa molekul relatif suatu protein,
penentuan kemurnian suatu protein, penentuan konsentrasi protein, penentuan
adanya proteolisis dan deteksi adanya modifikasi pada protein.
Protein yang akan dipisahkan terlebih dahulu direaksikan dengan SDS,
suatu detergen anionic yang mampu mendenaturasi struktur sekunder dan tersier
tanpa ikatan disulfida protein, serta memberikan muatan negatif terhadap masing-
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI
43
masing protein. Protein dengan berat molekul yang sama akan mengalami migrasi
gel jika struktur tersiernya berbeda. Dengan adanya SDS, protein akan berada
dalam bentuk liniernya sehingga pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan berat
molekulnya.
Ketika dialiri suatu medan listrik, protein yang bermuatan negatif akan
bermigrasi sepanjang gel menuju kutub positif. Protein akan mempunyai
pergerakan yang berbeda sesuai berat molekulnya, protein yang lebih kecil akan
lebih mudah melewati pori gel sehingga terletak pada bagian bawah gel
sedangkan protein yang lebih besar relatif bermigrasi lebih lama sehingga terletak
pada bagian atas. Untuk mengetahui hasil pemisahan protein maka setelah proses
elektroforesis gel harus diwarnai dengan larutan pewarna (Bollag, 1996).
2.9 Western Blot
Western blot adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk
mendeteksi protein spesifik dari sampel suatu jaringan tertentu. Sebelumnya
protein pada sampel dipisahkan menggunakan gel electrophoresis. Kemudian
hasil electrophoresis di transfer ke membran nitrocellulos atau PVDF, dimana
probe digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk protein target tertentu.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Tesis DETEKSI MUTASI SHEDDING ..... RATNANI SRI HAYATI