direktorat jenderal hukum dan perjanjian internasional ...pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/opinio...
Post on 27-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 19 Januari – April 2016
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
2016
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 19 Januari — April 2016
Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Sejak Oktober 2009
Penanggung Jawab
Ferry Adamhar, SH, LL.M
Dr. iur. Damos Dumoli Agusman
Redaktur Pelaksana
M. Ichsan
Redaktur
Sudarsono, S.H., MM; Zainul Idris Yunus, S.E.; Mandala Sukarto Purba, S.H.;
Fajar Yusuf, S.H., LL.M;
Editor
Nenda Inasa Fadhilah, S.H., LL.M.; Ronald Eberhard, SH, LLM; Aloysius Selwas
Taborat, SH, LLM; Anditya Hutama Putra, SH; Ahmad Almauddy Amri, S.H.,
LL.M., M.Sc, Ph.D.; Maria Ayu Prabha Ardhanastri, S.H.; Dyan Radin Swastika,
S.H.
Disain Grafis
Asep Hermawan S.H; Andre Bramantya, S.H.; Citra Yudha Nur Fatihah S.H.;
Muhammad Abdul Hayyil Al Ayyubi, S.H. M.Par.
Sekretariat
Maisaroh, S.Sos; Tasunah; Eddy Aswandi, S.Ip.; Karsim, S.E.
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: opiniojuris@kemlu.go.id
Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan
analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi
Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
v
DAFTAR ISI
Daftar Isi ..................................................................................................... v
Pengantar Redaksi ...................................................................................... vi
ASEAN Economic Community Impact for Indonesia
Ariawan Gunadi ......................................................................................... 44
Tinjauan Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam
Pertimbangan Indonesia pada Pembentukan ASEAN Political-
Security Communitty
Najamuddin Khairur Rijal ......................................................................... 51
Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan
Internasional dan Badan Pembersih Sampah Antariksa (Space
Debris)
Sofian Ardi ................................................................................................... 8
Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar Di Indonesia
Rika Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa…..…………………………..15
Resensi Buku
The Oxford Handbook of The History of International Law
Eka An Aqimuddin………………………………………………116
GLOSSARY .............................................................................................. 108
TENTANG PENULIS………………………………………………………….111
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
vi
PENGANTAR REDAKSI
Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi diseminasi informasi
terkait isu-isu hukum dan perjanjian internasional, Direktorat Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional telah menerbitkan Jurnal Hukum
dan Perjanjian Internasional yang diberi nama “Jurnal Opinio Juris”.
Dalam Jurnal Opinio Juris edisi 19, redaksi memutuskan untuk
meningkatkan keragaman artikel dalam Jurnal Opinio Juris Volume
19. Lima penulis mengangkat berbagai aspek, seperti Tinjauan
Konstruktivisme Politik-Hukum Internasional dalam Pertimbangan
Indonesia pada Pembentukan ASEAN Political-Security Community
oleh Najamuddin Khairur Rijal, Urgensi Dibentuknya Badan
Peradilan Khusus Lingkungan Internasional dan Badan Pembersih
Sampah Antariksa (Space Debris) oleh Sofian Ardi, ASEAN
Economic Community Impact for Indonesia oleh Ariawan Gunadi,
Perlindungan Hukum Merek Tidak Terdaftar di Indonesia oleh Rika
Ratna Permata dan Muthia Khairunnisa. Kolom resensi diisi oleh Eka
An Aqimuddin atas buku berjudul The Oxford Handbook of The
History of International Law.
Dalam kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak
mengucapkan terima kasih kepada para anggota redaksi terdahulu
yang telah mendapat penugasan baru di beberapa Perwakilan RI atas
dedikasinya dalam memajukan Opinio Juris. Redaksi juga mengajak
para pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan
masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa
mendatang melalui email opiniojuris@kemlu.go.id.
Untuk memudahkan para pembaca setia Opinio Juris, Redaksi
telah memuat Opinio Juris yang pernah terbit terdahulu pada
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
vii
Perpustakaan Hukum Digital (e-library) Kemlu yang dapat di akses
melalui http://pustakahpi.kemlu.go.id/. Pada kesempatan ini, Redaksi
Opinio Juris secara terus menerus mengajak para pembaca untuk turut
menyumbangkan tulisan, memberikan saran dan masukannya demi
peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang.
Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap semoga jurnal ini
dapat bermanfaat serta menjadi sarana dalam menyebarluaskan
informasi dan wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan
perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan
luar negeri.
Terima kasih dan selamat membaca.
Redaksi Opinio Juris
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
8
ASEAN ECONOMIC COMMUNITY IMPACT
FOR INDONESIA
Dr. Ariawan Gunadi, SH., M.H.
Abstrak
Memasuki masa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yaitu dengan
adanya satu pasar tunggal ASEAN dimana pergerakan barang dan jasa
semakin bebas di kawasan ASEAN. Hal ini dapat mengakibatkan semakin
ketatnya persaingan antar individu antar negara. Sehingga masyarakat
Indonesia pun harus dipersiapkan menghadapi persaingan ini. Hal-hal
yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas persaingan
masyarakatnya, yaitu dengan dibuatnya pelatihan-pelatihan kerja yang
memadai dengan peraturan perundang-undangan yang mendukung,
memfasilitasi tempat pelatihan kerja, memberikan tenaga pelatihan yang
berkualitas, membangun kerjasama pelatihan antar negara dan harus ada
koordinasi antara kementerian dan lembaga-lembaga yang ada. Menjaga
kesejahteraan masyarakatnya memang menjadi tanggung jawab
pemerintah, namun bukan hanya pemerintah tapi masyarakat itu sendiri
harus ikut berpartisipasi. Perlu adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai
pentingnya daya saing menghadapi MEA ini, dan masyarakat disadarkan
bahwa mereka harus mempersiapkan diri agar tidak kalah bersaing dengan
tenaga kerja asing dari negara lain. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut
harus dengan meningkatkan upaya komprehensif ekstensifikasi dan
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
9
intensifikasi Balai Latihan Kerja. Gerakan kewirausahaan nasional juga
perlu ditingkatkan gaungnya dan diikuti dengan program intensif
khususnya bagi gerakan kewirausahaan di sektor pendidikan (Perguruan
Tinggi-Akademisi), Usaha Kecil Menengah (UKM) dan kelompok industri
lainnya untuk memperbaiki standar, kualitas, dan desain produk, serta
kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan produk.
Keywords: ASEAN Economic Community, AEC, Human Resource,
Indonesia, ASEAN, Small and Medium Enterprises, Challenges of
Globalization
A. Introduction
ASEAN Economic Community (AEC) is an agenda of international
economic integration of the member countries of ASEAN (Indonesia,
Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, the Philippines, Thailand, Laos,
Myanmar and Vietnam), which aims to reduce obstacles to the Southeast
Asian regional trade in goods and services as well as foreign investment.
AEC 2015 will form a regional economic integration by reducing trade
transaction costs; improve trade and business facilities, as well as improving
the competitiveness of Micro, Small and Medium Enterprises. This will
create a free market in Southeast Asia, which would also boost
competitiveness among its members.
Future implementation of the AEC in 2016 remains a big question for
ASEAN widely and Indonesia are narrow, but it is inevitable globalization
continue to ask countries to open up to one another the depletion boundaries
between countries unstoppable due to technological advances and the needs
of an increasingly globalized international community then inevitably ready
or not all elements of the nation must be prepared. Because if Indonesia
itself less competitive than other member states in 2015, the AEC will
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
10
actually bring harm to Indonesia. For example, unemployment will increase
because Indonesian laborers will have to compete with other laborers from
other countries which are more. On the other hand, most Indonesian laborers
aren’t equipped with the proper skills nor certification to be recognized at
regional level. Therefore Indonesia must be ready and able to compete with
other countries members, to establish the readiness of course, requires a
variety of business to be done.
B. The Existence of Indonesia in the ASEAN Economic Community
2015
1. Asean Economic Community 2015
ASEAN has a vision to transform the region of Southeast Asia into a
stable, prosperous and competitive region supported by a balanced
economic development, poverty reduction and socio-economic disparities
between Member States.1 Areas of cooperation AEC include human
resource development and capacity building, recognition professional
qualifications, consulting more closely at the macro-economic policy and
financial measures trade financing, improvement of infrastructure and
communications connectivity, the development of electronic transactions
through e-ASEAN, integrating industry in throughout the region to promote
regional resources, and increasing involvement of the private sector to build
the AEC.2
In order to support the establishment of AEC member countries have
agreed to establish the ASEAN Free Trade Area (AFTA), which begins with
1Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm 2Hadi Soesastro dan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, (Jakarta : Centre For
Strategic And International Studies Indonesia, 2007) hal.139
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
11
a commitment to lowering tariff in goods between zero to five percent. To
achieve the commitment of ASEAN Single Market in 2015, the situation
would be improved by efforts to eliminate tariff (up to zero percent).3 The
one and only ASEAN Market is not only refers to the concept of ASEAN
as a single market, but also as a single production base will require
liberalization of capital and skilled labor.4
After a wave of economic crisis hit most parts of East and Southeast
Asia in the late 1990s, there was appearing calculations and analysis to be
more responsive to the possible negative impact of economic liberalization.
The incident has been reinforcing the legitimacy of alternative economic
actors are more stable and "resilient" that had been have not be calculated
theoretically within the paradigm of international relations, namely the SME
sector. Trends in the development of SMEs in ASEAN, as well as the
ASEAN economic integration cannot be separated from the influence of
China Factor which was later adopted also by South Korea.5
Attempts to create competitiveness through competition law and policy,
has been formed through the ASEAN Secretariat has resulted in a number
of actions. Over time, the ASEAN Expert Group on Competition (AEGC)
has handled structural ASEAN duties and has initiated the implementation
of competition law across the region, namely Indonesia and Thailand
(1999), Singapore and Vietnam (2004) and Malaysia (2012), while five
other countries still in drafting stage.
3Ariawan Gunadi dan SerianWijatno, Perdagangan Bebas dalam Perspektif Hukum
Perdagangan Internasional, (Jakarta : PT. Grasindo, 2014) hal.39 4Zainuddin Djafar, Moon Young Ju dan Anissa Farha Mariana, Peran Strategis
Indonesia dalam Pembentukan ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI,
UKM Regional, Implikasi Liberalisasi Perdagangan, Realitas Piagam ASEAN dan Esensi
Kompetisi Regional, (Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press), 2012), hal. 132 5Denis Hew, Roadmap to an Asean Economic Community (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2005) hal. 42
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
12
2. Labor Market Competition
In the case of Indonesia entering the ASEAN Economic Community
(AEC), some of the earliest issue includes labor competition and its
relevance to the philosophical concept of AEC. It was an agenda of
economic integration of ASEAN countries which aims to eliminate,
minimize barriers in economic activity across the region, for example trade
in goods, services and investment. The creation of AEC single market
allows the country to sell goods and services easily to other countries across
Southeast Asia so the competition will be intense. Trade and services will
be unified and integrated in a common market. This means that businesses
in Indonesia, especially for professionals who wish to expand their
operations in ASEAN or opening branches in other ASEAN countries must
understand the intricate employment law and permits to set up the
employment service.
Based on data from the Population Division of the United Nations (UN)
number population in ASEAN countries reached 633.1 million in 2015 with
Indonesia's population reached 237,641,326 inhabitants by the year 2010
alone so that Indonesia is the country with the largest population in the
ASEAN region.6 It can be an opportunity and a challenge for Indonesia in
facing the ASEAN single market in 2015, the Government of Indonesia is
required to produce a variety of regulations and policies appropriate for the
purpose of ASEAN and National Objectives can be achieved in tandem.
AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be disastrous.
AEC could be disastrous if the national services and products unable to
compete. With free trade, we were able to increase exports but we must also
6Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003, 2006, 2009
dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
13
be aware of the risks of competition (competition risk) that came up with
the number of imported goods will flow in large quantities to Indonesia,
which will threaten the local industry to compete with the products of our
foreign much higher quality. This in turn will increase the trade deficit for
Indonesia. As one of the founding members of ASEAN Indonesian, the
government should make efforts to improve the performance of government
agencies and non-government that already exist in the face of economic
integration through the AEC.7
Sector Small and Medium Enterprises (SMEs) has already received
attention in efforts to improve the economic competitiveness of Indonesia
since the beginning of the 1998 financial crisis. History demonstrated that
global financial crisis hardly impacted the Indonesian SME sector compared
to banking or infrastructure sector which heavily depended upon foreign
loans. It is why that SMEs deserves get a larger portion for development and
more opportunities to compete in regional and international level in
particular. AEC in 2016 will broadly impact the nations that relied on
traditional market while revolutionizing commerce on trade and services. It
is only fair that the Indonesian government rethink harder about integrating
its national economy into Southeast Asia international standards or even
offering it as alternative for young generation with short term training. As
such, we can refer to the successful European economic model through the
European Union.8 Hopefully by doing so, Indonesia can successfully
7Dodi Mantra, Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah
Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015, (Bekasi : Mantra Press, 2011) hal. 97 8GeorgetaIlie New Trends in European Companies’ Business Models, Romanian
Statistical Review nr. 12 / 2013
http://www.revistadestatis-tica.ro/wpcontent/uploads/2014/04/RRS_12_2013_A2_ en.pdf
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
14
achieve the goals of AEC while enhancing national defense and protect the
national interest.9
3. ASEAN Economic Community Goal
ASEAN leaders have now embarked the Southeast Asian association to
the next step of economic development, which will also ultimately bring the
Southeast Asian peoples closer. They have engaged since 2007 towards the
integration of ASEAN into an ASEAN Economic Community based on 4
economic pillars:10
a) Single Market and Production Base: the region as a whole shall become
a single market, while the and production base to produce and
commercialize goods and services anywhere in ASEAN.
b) Competitive Economic Region: the region must emphasize on the
competitiveness of its production and capacity for export, as well as the
free competition inside of its frontiers.
c) Equitable Economic Development: to receive the benefits of the AEC,
the people and businesses of ASEAN must be engaged into the
integration process of the AEC.
d) ASEAN’s integration into the globalized economy: ASEAN must not be
isolated but an integrated part of the global economy.
Through the implementation of these 4 pillars for economic integration,
stability, competitiveness and dynamism, ASEAN is bound to realize the
9C.P.F.Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, (Jakarta : Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) Lipi, 2010) hal. 40 10Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
15
principles of an Economic Community, inspired by the model of the
European Union.
After the entry into force of the AEC, trade and services will converge
and integrate into a common market. This means that businesses in
Indonesia, especially businesses who wish to expand their business in
ASEAN or dealing with businesses in other ASEAN countries must
understand the applicable business law in force in member countries,
including competition law.
4. The role of the Government of Indonesia Facing AEC
1. Indonesia Welfare State
Indonesia is a legal state characterized by the welfare state as in
paragraph 4th preamble of Indonesian National Constitution of 1945 (“NRI
1945”) states as follows: "The Government of the State of Indonesia was
formed to protect the entire Indonesian nation and the entire homeland of
Indonesia and to promote the general welfare, educate life of the nation, and
participate in implementing world order based on freedom, lasting peace
and social justice ". Paragraph 4 of the preamble NRI 1945 above imply
that, by adopting the task of the state in organizing the general welfare, the
establishment of various regulations in the Republic of Indonesia became
very important; the role of the state in charge of social welfare in the field
of legal, social, political, economic, cultural, environment, defense, security
and social justice organized through the establishment of state regulations.
In a welfare state, the government's job is not only limited to execute the
laws made by the legislature. As a matter of fact, the government is
burdened with the obligation to hold a public interest or social welfare
efforts, which includes implementing the authority tointervene in public life,
within the limits permitted by law. As such, the intervention could be
implemented by increasing the capacity of the people to participate in the
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
16
legal, social, political, economic, culture, the environment, defense and
security as well as social justice.
There are two reasons to maintain and develop the welfare state concept
in AEC as an international trade fever: 1) most country still intervenes in
the welfare affairs, but while still maintaining a democratic system in their
varieties. Welfare state demonstrates the involvement of the state in various
aspects of community life since people have long surrendered their rights in
return for protection. As result government tends to develop bureaucracy
and complex government affairs due to the enormous amount of citizens.
Ultimately the involvement of the people in the government will be
increasingly difficult (even to oversee the functioning leader or choose their
representatives who will sit in parliament on central or regional level). 11 2)
Government affairs in modern countries seems inevitably expanding at a
great speed.
Modern state government has entered so much of the life of society,
ranging from constitutional rights, nuclear issues, defense and security,
welfare and even personal information privacy. Free trade may bring a
promise of prosperity and wealth, but also risks the breach of implicit
exploitation or national security breach as the cost of liberal flow of
information. Even major countries such as China and Australia have been
actively filtering information in order to maintaining positive image for
economic purposes.12
11 Charles P. Kindleberger, Government and International Trade, Essays in International
Finance No. 129, July 1978, https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf 12 Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the Halfhearted
Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55,
http://www.orizonturi.ucdc.ro/arhiva/2013_KHE_PDF_Vol_5_SI_1/KHE_Vol_5_SIss_1
_48to55.pdf
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
17
2. Role of Government
In the new mass society, the role of government - which is a set of
institutions that hold a monopoly on the use of the organized forces of affairs
at home and abroad - forced changes. State as an organized political society
requires a certain degree of stability in the social system to maintain balance.
To achieve this, it is not only necessary to adjust demands and supply, which
is being promoted by various groups in the governance of social and
economic order, but also required the creation of a focused on the conditions
of social welfare demanded by the new doctrine of equality. Thus the
government as a tool of the state, is increasingly forced to accept
responsibility for the creation and distribution of positive wealth. In this
way, nearly all government in the world, has become a big organization,
both in its scope, as well as in the number of employees required to develop
its responsibilities, however, along with the growing number of civil
servants, also means increasing numbers of people (these employees) which
can be a victim of the regime's suppression through arbitrary manners.13
In connection with the purpose of the state of Indonesia, as stated in the
preamble of NRI 1945, experts said that the purpose of the State as it reflects
the type of state welfare laws. Welfare State theory laws is a mix between
the concept of the Rule of law and the welfare state into a more condensed
form of state law.14 State law is the State as the law is the basic rule and the
holding power in all its forms is done under the rule of law. While the
concept of the welfare state considers the state or the government does not
merely as guard security or public order, instead if advocates that the
executive, legislative and judicative bearers of authority bears the
13Miriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan, (Jakarta :Gramedia, 1982), hal. 77-79 14Philipus. M. Hadjon,Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-Hak Asasi
Manusia, (Jakarta : Media Pratama, 1996) hal. 72
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
18
responsibility of realizing social justice, general welfare and the welfare of
the people.15
3. Challenges of Globalization
Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be
reinforced with internal reinforcement, the quality of human resources that
have global competitiveness must be improved. The government's role in
preparing it is essential, especially in the face of ASEAN single market in
2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial. For
generations present and future and put the well-being and the livelihood and
welfare of the people as the center of the ASEAN community building
process. The regional cooperation provides an opportunity for Indonesia.
However, these opportunities can be exploited if Indonesia is able to meet
various requirements, including the ability of the state to prepare for the
ASEAN single market competition. If Indonesia is not prepared for the
single market, then it is very possible that the state will become a marketing
target of other ASEAN countries. The ability to compete will deteriorate
and opportunities for domestic businesses to compete regional level will be
very hard since small and medium-sized businesses often does not have
adequate requirement to start up. Baier and Bergstrand stated that human
resources is a long term strategy to defeat free trade competition. His
statement asserts that leaders will have the ultimate responsibility to
15Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths, (Cataylst Trust,
2002) hal. 37
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
19
determine the company's human resources as competitive advantage amid
rapid technological sophistication.16
Labor is among the sensitive sector being proposed in AEC, it is small
wonder that industrial owners need to improve their skills or their
competitive advantage in order to adjust and compete in the professional
community. Increased skills (skills upgrading) is a joint responsibility for
the government, professional institution and business. It is predicted that the
enactment of AEC 2015 will create free flow, whether implicitly or in
droves, of skilled labor between countries. Therefore, the concept of
services liberalization through reduction or barriers, should focus on the
movement of individual service providers, especially foreign workers who
provide specific expertise and comes to consumer countries. Boediono
commented “on the existence of foreign worker who are attracted by
numberous job opportunities that required specified advanced skills, with
flexibility on employment relationship in Indonesia"17 Based on the
understanding, despite the abundant laborers in Indonesia, most of them are
unskilled or at least being used as nominee figures in companies that are
actually run by foreigners in management level or owner. In many case, a
skilled workforce will provide a boon to consumer services as countries
have already agreed upon standards for various priority areas. Our current
national legislation has yet to accomodate the applicability of the foreign
16 Scott L. Baier and Jeffrey H. Bergstand, “Do free trade agreements actually increase
members' international trade?” Journal of International Economics Volume 71, Issue 1, 8
March 2007, Pages 72–95 17 Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing, Kabar 24.com,
http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20-tahun-lagi-indonesia-kebanjiran-
pekerja-asing, 20 Desember 2010.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
20
worker must comply with the provisions of legislation in force in
Indonesia.18
4. Efforts in Improving the Quality of Human Resources
With the acceleration of the qualified human resources, AEC member
states require various steps to dominate the regional economy in ASEAN
region especially in economic trade. Knowledge, development, and
localization of resources is a sound step in optimizing the competitiveness
of Indonesia. Emerging economic societies, higher education and
professional is in dire need of the knowledge of the AEC application among
Indonesia. The simple nature of economic trade is Indonesia should be
developed in order to cope with the electronic advances, especially the
government. Even so, there are several issues to be settled for AEC state
members:
a) Policy should be disseminated about AEC, for all levels of society;
b) Each district or city government shall enforce socialization at the district
and village level;
c) University should pursue a curriculum that is suited to AEC standards
to generate qualified graduates;
d) The government should pursue efforts to disseminate information
regarding applicable knowledge of AEC;
e) The government should create policies that enforce AEC for all related
stakeholders and apply sanction for offenders.
18Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta :Visimedia,
2010), hal. 4
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
21
Facilities supporting human resources needs to be put forward to
facilitate the government's desire to achieve the goal in the AEC competition
and so did the desire of its own for the advancement of human resources in
Indonesia. The facilities for the acceleration of human resource quality
comprises of:
a) The Government will facilitate a job training and other skills training
such as (research, technological development, innovation, etc).
b) Provide faculty or qualified trainers.
c) Establish a training cooperation with other countries, and provide
facilities to add science scholarships abroad.
d) Facilitate physical such as providing funds for the survival of human
resources quality improvement.
Facing AEC, Indonesians should keep in mind to conform to Article 28C
paragraph (1) Constitution NRI 1945 stating that "everyone has the right to
develop themselves through the fulfillment of basic needs, is entitled to
education and to benefit from science and technology, arts and culture, in
order to improve the quality of life and for the welfare of mankind." For that
reason, every Indonesians should be provided with the right to develop
themselves, to get an education in order to improve the quality of life and
well-being. This is in line with the objectives of AEC which was to empower
local employment, raise business efficiency and reserve domestic rights to
upgrade the skills or the quality of life to prosper. So it can compete with
skilled labor that goes into Indonesia without having to be a spectator or the
injured party in their own country. On the other hand, Labor Law have
mandated vocational training to the work force. It simply aimed to direct,
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
22
provide, improve, and develop job competence in order to improve the
capability, productivity, and prosperity.19
Job training carried out with regard to labor market needs and the
business world should be declared mandatory both inside and outside the
employment relationship. Workers has the right to obtain a proof of work
competence after following vocational training organized by vocational
training institutions at government, private, cooperation between higher
education entity-industry or even internal training in the workplace. The
recognition of work competence certification may also be followed
withpractical tuition for experienced practitioners or consultants. Job
competence is set out by a national body of certifications. From a regulatory
perspective, article 18 of the Labor Law stipulated the provision of job
competence certification as well as the formation of National Profession
Association. Furthermore, the provisions of Article 20 paragraph (1) and (2)
of Labor Law mandates the development of a national vocational training
system which is the hallmark of implementation of vocational training in all
areas and/ or sectors to support the improvement of job training in order to
manpower development. In addition, provisions concerning the form,
mechanism and institutional system of national job training are
supplemented by Government Regulation No. 31 Year 2006 on the National
Vocational Training System. Overall, the Labor Law mandates the
establishment national professional certification in order to provide
competency certification for workers. Job competence certification is the
process of awarding the certificates of competence are carried out
systematically and objectively through competency test referring to the
standards of competence Indonesian national and/or international.
19Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2009) hal. 27
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
23
The Ministry of Manpower and Transmigration Ministry which is in
charge of representing the government in creating a productive, competitive
and prosperous labor and community. Vocational Training is a program
under the auspices of Agency for Research, Development and Information
Sector Employment Issues, specifically under the Ministry of Manpower
and Transmigration. The program is directly related to the development of
human resources (HR), but the program has yet to receive any important
role in the development of national labor due to many obstacles.
The various solutions to overcome the obstacles in the provision of
training and job skills in Indonesia, as follows:
a) The Ministry of Education and Culture should work hand in hand with
the Ministry of Manpower and Transmigration in order to prevent the
frequent duplication of training;
b) Ministries/agencies and private agencies should conduct substantial
training with substance along with industries to generate real values for
graduates;
c) The Ministry of Manpower and Transmigration should create laws that
regulate clearly about the training, at least at government level
regulation as guidelines for;
d) Training Center Unit Technical Center of the Ministry of Manpower and
Transmigration, which concerns vocational, equipment and materials,
instructors, and the proportion of the budget plays a vocal point for the
implementation of the regional potential job skills training;
e) Job skills training program should be harmonized with productivity
improvement programs to create not only qualified human resource, but
also skillful worker that is attentive to the developing market.;
f) The development of productivity in the service requires a relatively large
area to be followed by an increase in service capacity (institutions,
instructors, methodology);
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
24
The company and the workforce should focus at job skills training for
workers as part of an investment and a necessity.
D. Indonesia's Readiness for AEC2015
1. Public Awareness
Despite the dominant role in improving the quality, it does not mean the
entire responsibility lies with the government. On the contrary, the
awareness from the impact of AEC will be felt directly by the community,
and may generate a separate independent responsibility to participate in
building the national economy. Labor issues will undoubtly become an
important issue since Indonesia enjoys one of the highest growing rate but
inadequate skills or specifications. A research by Amiti et. al. even
identified that only 10% of the workers have high school education and this
phenomenon actually inhibits country aiming to become a production base
since the cost became higher due to training employees or importing
trainers.
The flow of capital and investment from outside has limited dredge
crops and educated workforce into a spectator in his own country. For that,
it would be wise to consider Indonesian agricultural sector as Indonesia’s
main commodity in the AEC by way of strengthening the inter-regional
connectivity to be a part in the ASEAN level, and then at the global level.
In addition, every region should develop its unique and comparative
advantage, technological innovation and preparation of supporting
infrastructure in order to improve competitiveness, harmonization of
procedures, regulations, and standards that lead to improved quality and
food safety (referring to the AEC Blueprint), and socializing AEC down to
the grass-root level of society. Other issues to be addressed would be
intellectual property rights in ASEAN level, since the level of legal certainty
has never reached a convincing level. For example, Inter IKEA System B.V
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
25
lost a dispute with IKEA owned by PT Ratania Khatulistiwa and Ferrari
from Italia vs Ferrari Indonesia owned by PT. Bali Nirwana Garment. Both
cases lost due to the first to file principle as accorded in Article 61 paragraph
(2) (a), Law No. 15 Year 2001 on Trademark, whereas registered trademarks
which have been left dormant by its owner maybe delisted from the General
List of Trademark. Indonesia has yet to adopt a universal famous brand
standard in its intellectual property rights law, so legal standards deserved
more attention to create better advantage in regional level.
Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region.
It is also a heterogeneous country with various types of tribes, languages
and customs that spread from Sabang to Merauke. The state has a developed
good economic strength and highest growth in the world (4.5%) after the
People's Republic of China (PRC) and India. Such potency shall be a
necessary capital to prepare the people of Indonesia towards AEC 2015.
2. Strategic Recommendations for Indonesia
Strategic recommendations to prepare Indonesia faced AEC 2015 in an
effort to improve the quality of human resources needs support from various
stakeholders through a comprehensive effort expansion and intensification
Training Center to cover the still low labor competitiveness, the Institute for
Standardization Profession in Indonesia, which reached 78 needs to be
optimized through the adoption of international standards (ASEAN) applies.
Entrepreneurship movement national also necessary to increase noise and is
followed by an intensive program, especially for the movement of
entrepreneurship in the education sector (Universities-Academics), Small
and Medium Enterprises (SMEs) and industry groups to improve standards,
quality, and product design, as well as creativity and innovation in
developing the product.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
26
Ministry of Commerce in an effort to respond to the challenges of
globalization narrowly been preparing themselves for the effort to achieve
consumer protection and secure the domestic market by establishing the
Directorate General of Standardization and Consumer Protection through
the Minister of Trade No. 31 year 2010 has been enhanced with the
regulations of the Minister of Trade No. 57 Year 2012 on the Organization
and Administration of the Ministry of Trade with the mission of improving
the competitiveness of exports, increasing supervision and consumer
protection, and acts as the manager of policy and implementation of
development programs at once on trade security in the country.
Broadly speaking, the chances of Indonesia to meet AEC include
obtaining a potential market share of the world, as a Country of investment
opportunities as exporting countries, the liberalization of trade in ASEAN,
the demographic bonus is great, service sector which is open, and capital
flows more smoothly and continuously. While the challenges to be faced,
among others, the rate of increase in exports and imports more competitive,
increase in the rate of inflation, the negative impact of capital flows more
broadly, their similarities export products featured so as to be more creative
to find and manage superior products and the economic development level
is still diverse.
E. Conclusion
AEC 2015 is a program for ASEAN countries to improve economic
quality. AEC 2015 could be a blessing for Indonesia but at the same to be
disastrous. AEC could be disastrous if our agricultural products unable to
compete. State Government of Indonesia that protect the entire Indonesian
nation and the entire homeland of Indonesia and to promote the general
welfare, educating the nation, and participate in implementing world order
based on freedom, lasting peace and social justice. Paragraph 4 of the
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
27
preamble NRI 1945 above imply that, by adopting the task of the state in
organizing the general welfare, the establishment of various regulations in
the Republic of Indonesia is very important, the role of the state in charge
of social welfare in various fields as well as social justice organized through
the establishment of rules State. So that Indonesian workers are also
included in the government's responsibility to pay attention to well-being
that in this case the readiness to face competition from foreign labor.
Indonesia's readiness to face the challenges of globalization should be
prepared with internal reinforcement; the quality of human resources that
have global competitiveness must be improved. The government's role in
preparing it are essential especially in the face of ASEAN single market in
2015, as an agreement to ensure sustainable development is beneficial.
Indonesia is a country with the largest population in the ASEAN region.
A strategic recommendation to prepare to face AEC 2015 Indonesia needs
support from various stakeholders through a comprehensive effort
expansion and intensification Training Center. Profession Standards
Institution in Indonesia needs to be optimized through the adoption of
international standards (ASEAN) applies. Entrepreneurship movement
National also necessary to increase noise and is followed by an intensive
program, especially for the movement of entrepreneurship in the education
sector (Universities-Academics), Small and Medium Enterprises (SMEs)
and industry groups to improve standards, quality, and product design, as
well as creativity and innovation in developing the product.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
28
BIBLIOGRAPHY
Amiti Mary and, Donal R. Davis Trade, Firms, and Wages: Theory and
Evidence, Review of Economic Studies, Volume 79, Issue 1 Pp. 1-36
Anonymous. Ferrari menggugat Ferrari.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol 22297/ ferrari-
menggugat-ferrari, 15 Juni 2009.
Arifin, Sjamsul,et.all., Kerjasama Perdagangan Internasional : Peluang
dan Tantangan bagi Indonesia, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007
Asean Economic Community Blueprint, www.asean.org
Asean Vision 2020, http://www.asean.org/1814.htm
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Indikator Sosial Budaya 2003,
2006, 2009 dan 2012, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
www.bps.go.id/tab_sub/view.php/tabel
Baier, Scott L. and Jeffrey H. Bergstand, Do Free Trade Agreements
Actually Increase Members' International Trade? Journal of International
Economics Volume 71, Issue 1, 8 March 2007.
Ioana Bianca Berna, The China-ASEAN Free Trade Area. Transferring the
Halfhearted Evidence, Knowledge Horizons-Economics. Vol 5:1, pp 48-55,
http://www.orizonturi. ucdc.ro/arhiva/ 2013 _KHE_PDF_Vol_5_SI_1/
KHE_Vol_5_SIss_1_48to55.pdf
Bhagwati, J., The World Trading System at Risk, Hertfordshire : Harvester
Wheatsheaf, 1991
Brotosusilo, Agus, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional
:Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
29
Dalam Negeri melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard,
Disertasi Universitas Indonesia, 2006
Djafar, Zainuddin,et.all,Peran Strategis Indonesia dalam Pembentukan
ASEAN dan Dinamikanya, Kajian Kebijakan Polugri RI, UKM
Regional, ImplikasiLiberalisasiPerdagangan, RealitasPiagam ASEAN
danEsensiKompetisi Regional, Jakarta : Universitas Indonesia (UI
Press), 2012
Gunadi, Ariawan danSerian Wijatno, Perdagangan Bebas dalam
Perspektif Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta : PT. Grasindo,
2014
Hew, Denis, Roadmap to an Asean Economic Community, Singapore :
Institute of Southeast Asian Studies, 2005
Hadjon, Philipus. M., Kedaulatan Rakyat, Negara HukumdanHak-
HakAsasiManusia, Jakarta : Media Pratama, 1996
Khakim, Abdul, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung
: PT. Citra Aditya Bakti, 2009
Kindleberger, Charles P., Government and International Trade, Essays in
International Finance No. 129, July 1978,
https://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E129.pdf
Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, Jakarta: Pustaka
Pelajar bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, 2010
Mantra, Dodi, et.all., Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat
Ekonomi Asean 2015, Bekasi : Mantra Press, 2011
Messi, Nawir, Kompetisi menuju pasar bebas Asean, Jakarta :Kompetisi
Edisi 42, 2013
Pitoyo, Whimbo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta
:Visimedia, 2010
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
30
Soesastro, Hadidan Clara Joewono, The Insklusif Regionalist, Jakarta :
Centre For Strategic And International Studies Indonesia, 2007
Spicker, Paul, Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths,
Cataylst Trust, 2002
Valenta, Elisa IKEA kehilangan merek dagang di Indonesia, CNN
Indonesia http://www.cnn indonesia.com /ekonomi/ 20160207165056-
92 -109451/ikea-kehilangan-merek-dagang-di-indonesia/, 7 Februari
2016
Aprilian Hermawan, 20 Tahun Lagi Indonesia Kebanjiran Pekerja Asing,
Kabar 24.com, http://kabar24.bisnis.com/read/20101220/79/15749/20-
tahun-lagi-indonesia-kebanjiran-pekerja-asing, 20 Desember 2010.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
31
TINJAUAN KONSTRUKTIVISME POLITIK-HUKUM
INTERNASIONAL DALAM PERTIMBANGAN INDONESIA PADA
PEMBENTUKAN ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY
Najamuddin Khairur Rijal, S.IP., M.Hub.Int.
Abstract
ASEAN Political-Security Community (APSC) is one of the three pillars
of ASEAN Community. It is a proposal suggested from Indonesia in ASEAN
Summit Conference 2003 in Bali. APSC is an ASEAN’s states cooperation
efforts to create common security, regional peace and stability. This study
analyze about what is Indonesia’s consideration to suggest formation of
APSC. That proposal not only because Indonesia has strategic national
interest or because Indonesia want revert to be center of ASEAN, but
according to constructivism of international political-law, Indonesia also
has idiographic, purposive, ethical and instrumental consideration.
Keywords: ASEAN; ASEAN Political-Security Community; Indonesia;
constructivism; politic; international law
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
32
Pendahuluan
ASEAN Political-Security Community (APSC) merupakan salah satu
dari tiga pilar ASEAN Community, selain ASEAN Economic Community
(AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). APSC merupakan
upaya kerja sama negara-negara ASEAN dalam mewujudkan keamanan
bersama, perdamaian dan lingkungan yang stabil untuk memajukan ASEAN
sebagai organisasi regional. Jika pembentukan pilar AEC diusulkan oleh
Singapura dan Thailand sebagai dua negara ASEAN yang perekonomiannya
tergolong cukup maju, maka APSC merupakan konsep yang diajukan oleh
Indonesia.20
Dalam pandangan Indonesia, ancaman terorisme dan implikasinya
terhadap ASEAN merupakan salah satu alasan yang mendorong mengapa
ASEAN perlu mengembangkan APSC, yang bertujuan untuk meningkatkan
kerja sama politik dan keamanan antar negara anggota ASEAN.21 Sekalipun
perlu ditegaskan, bahwa APSC bukan hanya memberikan perhatian
terhadap terorisme sebagai ancaman bersama, melainkan kerangka APSC
mencakup seluruh aspek politik-keamanan yang menjadi tantangan kerja
sama regional ASEAN, termasuk masalah demokrasi dan Hak Asasi
Manusia (HAM).
Selain itu, konsep komunitas politik-keamanan yang dicanangkan
Indonesia juga mengetengahkan pengembangan suatu lingkungan yang adil,
20 Konsep APSC yang diajukan Indonesia banyak diilhami oleh tulisan Rizal Sukma
berjudul “ The Future of ASEAN: Towards a Security Community”. Paper dipresentasikan
dalam seminar ASEAN Cooperation: Challenges and Prospects in the Current
International Situation. New York, 3 Juni 2003. Lihat dalam CPF. Luhulima, et al.,
Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan P2P LIPI, 2008), hal. 90. 21 Bambang Cipto, Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika,
Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 81.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
33
demokratis dan serasi (harmonious) serta penegakan hak-hak dan kewajiban
asasi manusia. Dengan mengetengahkan demokrasi dan HAM, Indonesia
memperluas keamanan komprehensif dari regime security (keamanan
negara dan pemerintahan) ke human security (keamanan manusia/warga
negara).22 Artinya, Indonesia ingin mendorong kerja sama politik-keamanan
tidak hanya berfokus pada upaya membangun hubungan damai antar negara
tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan di dalam negeri.23 Hal itu
menunjukkan bahwa Indonesia ingin menciptakan APSC yang tidak saja
state oriented tetapi juga people oriented. Mengingat ASEAN acapkali
dikritik sebagai organisasi regional yang hanya memberi ruang bagi
pemerintah (state oriented) tanpa keterlibatan warga negara Asia Tenggara.
Pertanyaan yang menarik kemudian adalah apa yang menjadi
pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan APSC sebagai salah
satu pilar ASEAN Community? Jawaban pertanyaan tersebut tentu bukanlah
sekadar memberikan argumen bahwa Indonesia memiliki kepentingan
strategis (national interest) dalam APSC ataupun karena Indonesia
berupaya kembali mengetengahkan dirinya sebagai center of ASEAN.
Namun lebih jauh dari itu, ada faktor-faktor dan pertimbangan yang
mendorong Indonesia menekankan pentingnya pembentukan APSC sebagai
kerangka kerja sama ASEAN guna menjadi organisasi regional yang kokoh
dan stabil. Tulisan ini selanjutnya berusaha menjawab pertanyaan di atas
dengan mendasarkan analisis pada pandangan perspektif konstruktivis
dalam politik-hukum internasional untuk menganalisis alasan atau
pertimbangan Indonesia mengusulkan pembentukan ASPC.
22 CPF. Luhulima, Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011), hal. 316. 23 CPF. Luhulima, et al., op.cit.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
34
Perspektif Konstruktivisme dalam Politik Hukum Internasional
Dalam studi politik-hukum internasional, terdapat tiga pendekatan
untuk melihat hubungan antara politik internasional dan hukum
internasional.24 Pertama adalah pendekatan realisme yang melihat politik
sebagai perjuangan untuk mencapai kekuasaan materiil di antara negara
berdaulat. Kedua, pendekatan liberal institusional yang diasosiasikan
sebagai kelompok rasionalis memaknai politik sebagai ladang permainan
strategis (strategic game) para aktor sebagai instrumen untuk
memaksimalkan keuntungan atau kepentingannya. Hukum internasional,
dalam pandangan ini, dipandang sebagai seperangkat aturan untuk
menyelesaikan masalah kerja sama dalam sebuah tatanan dunia yang anarki.
Ketiga, pendekatan konstruktivis yang menekankan bahwa politik
merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai
pusat struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang
terlegitimasi dan dapat dibenarkan.
Lebih lanjut, dalam pandangan konstruktivis, tindakan negara tidak
sepenuhnya hanya didasarkan pada motif-motif politik, ekonomi, dan
militer ataupun didasarkan pada maksimalisasi keuntungan di bawah
tatanan dunia yang anarki dengan pertimbangan untung rugi, melainkan
juga bagaimana aspek normatif, ideasional, dan identitas menjadi penting
dalam membentuk tindakan dan perilaku negara.25 Untuk itu, pandangan
24 Christian Reus-Smit, The Politics of International Law (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2004), hal 15. 25 Dalam Deni Meutia dan Yoga Suharman, Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan
Konstruktivisme Politik Hukum Internasional, Makalah, hal. 5-6. Dipresentasikan dalam
Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI
UMM pada 8-10 Oktober 2012.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
35
konstruktivis menawarkan tiga preposisi penting dalam kajian politik-
hukum internasional, sebagaimana dijelaskan Christian Reus-Smit.26
Pertama, dalam membentuk tindakan dan perilaku negara serta aktor
lainnya, struktur normatif dan ideasional dipandang sama pentingnya
dengan struktur material. Menurutnya, tindakan atau respons suatu negara
tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungan material, tetapi juga faktor
kepercayaan intersubjektif yang membentuk identitas aktor dan
kepentingannya.27 Kedua, untuk memahami perilaku negara dan aktor
lainnya, perlu memahami bagaimana kondisi identitas sosial mengonstruksi
kepentingan dan tindakan mereka. Ketiga, konstruktivis menekankan
pentingnya kekuatan konstitutif dari struktur normatif dan ideasional yang
muncul ketika terjadi praktek diskursus antara agen sosial yang saling
berpengetahuan sehingga mereka sama-sama sadar akan perlunya
perubahan-perubahan transformatif.28
Lebih lanjut, dalam konteks konstruktivisme politik-hukum
internasional, Reus-Smit mengajukan empat alasan atau faktor penentu
tindakan aktor dan proses terbentuknya institusi modern politik-hukum
internasional, yaitu idiographic, purposive, ethical dan instrumental.29
Pertama, pertimbangan idiographic, yakni ketika aktor menghadapi
pertanyaan ‘who am I?’ atau ‘who are we?’ atau mengenai identitas yang
dimiliki. Kedua, pertimbangan purposive, berhubungan dengan pertanyaan
26 Christian Reus-Smit, op.cit., hal 21-22. 27 Alexander Wendt, “Constructing International Politics,” 1995, International Security,
hal. 73; AlexanderWendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999) hal. 92-138; dan AlexanderWendt and Raymond Duvall,
“Institutions and International Order,” dalam Ernst-Otto Czempiel and James N. Rosenau
(eds.), Global Changes and Theoretical Challenges: Approaches to World Politics for the
1990s (Lexington: Lexington Books, 1989), hal. 60. Dikutip dalam ibid, hal. 22. 28 Alexander Wendt, “The Agent Structure Problem in International Relations Theory,”
1987, International Organization, dalam ibid. 29 Ibid, hal. 25
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
36
‘what do I want?’ atau ‘what do we want?’. Aspek ini berhubungan dengan
proses pembentukan kepentingan atau preferensi serta tujuan yang
diharapkan.
Ketiga, pertimbangan ethical, berhubungan dengan pertanyaan ‘how
should I act?’ atau ‘how should we act?’ yaitu berkaitan dengan norma dan
standar moral yang menuntun perilaku negara serta apa yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Keempat, pertimbangan instrumental
yang berkaitan dengan pertanyaan ‘how do I get what I want?’ atau ‘how do
we get what we want?’ yakni bagaimana negara bisa mendapatkan apa yang
ingin mereka capai. Elemen ini berkorelasi dengan metode atau instrumen
apa yang digunakan. Keempat elemen tersebut selanjutnya akan digunakan
untuk menjelaskan perilaku atau pertimbangan Indonesia dalam
mengusulkan kerangka APSC sebagai satu pilar dalam ASEAN
Community.
Sejarah Perkembangan APSC
Tujuan utama ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi ASEAN
di Bangkok ialah membentuk suatu wilayah politik dan keamanan bersama
dan dalam usaha itu mendamaikan persengketaan antar negara-negara di
Asia Tenggara.30 Persengketaan yang melibatkan negara-negara Asia
Tenggara pada waktu itu seperti sengketa perbatasan dan teritorial, konflik
etnis dan permusuhan yang memunculkan gerakan separatis,
pemberontakan komunis, prasangka agama serta ketakutan negara kecil
terhadap negara besar. Untuk itu, negara-negara Asia Tenggara berupaya
30 Berdasarkan Pasal 1 ASEAN Charter, terdapat 15 tujuan dari ASEAN yang menyangkut
aspek politik, keamanan, ekonomi ataupun sosial-budaya. Baca ASEAN Secretariat,
ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008), hal. 3-5.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
37
untuk mengelola persengketaan tersebut menuju pembentukan suatu tatanan
regional Asia Tenggara atas dasar sistem ekonomi dan sosial masing-
masing dan status quo teritorial.31
Jadi sesungguhnya, sejak awal dibentuknya, ASEAN sudah merupakan
komunitas keamanan (security community) karena semangat awal
didirikannya adalah guna menyelesaikan berbagai problem keamanan yang
lebih banyak menyangkut hubungan bilateral. Apalagi butir penting awal
pembentukan ASEAN sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Bangkok
ditujukan untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia
Tenggara.
Dalam perkembangannya, tahun 1971 ASEAN kemudian
melembagakan ASEAN sebagai suatu community of security interest
melalui Deklarasi Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) untuk
memperluas wilayah keamanan atau pembentukan wilayah penyangga
keamanan Asia Tenggara. Menurut Luhulima, deklarasi ZOPFAN sejatinya
adalah ekspresi dari ketidaksetujuan ASEAN untuk membolehkan negara-
negara besar, seperti China, Jepang, Uni Soviet dan Amerika Serikat
melibatkan diri secara tidak terbatas di wilayah Asia Tenggara.32
Dengan demikian, perhatian ASEAN terhadap masalah dan isu-isu
keamanan adalah merupakan perhatian utama. Sejak awal berdirinya
ASEAN, diperlukan suatu tatanan keamanan yang memungkinkan untuk
melangsungkan kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta
bidang lainnya. Untuk itu, dalam rangka mendukung dan mewujudkan
berbagai tujuan dan cita-cita ASEAN, negara-negara ASEAN kemudian
menyadari pentingnya kerangka legal formal dalam kerja sama keamanan.
31 CPF. Luhulima, op.cit., hal. 303. 32 Ibid, hal. 304.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
38
Maka lahirlah ide pembentukan komunitas keamanan ASEAN melalui
APSC.
Pembentukan APSC merupakan suatu upaya untuk mewujudkan Asia
Tenggara yang damai dan stabil. Ide pembentukan APSC pertama kali
muncul pada Konferensi Tingkat Tinggi (KKT) ke-9 di Bali tahun 2003. Ide
APSC tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar ASEAN Community.
Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) selanjutnya menandai
awal terbentuknya ASEAN Community yang berusaha diwujudkan pada
2020, kemudian dipercepat menjadi akhir tahun 2015.
Lebih lanjut, meskipun sebagai komunitas yang berarti negara-negara
ASEAN digiring dalam common identity, namun norma-norma kerja sama
APSC tetap berpegang teguh pada prinsip kedaulatan nasional, non-
intervensi, integritas teritorial, identitas nasional, prinsip non-kekerasan
dalam penyelesaian konflik, penolakan senjata nuklir dan senjata pemusnah
massal, serta menghindari perlombaan senjata (arms race) di kawasan Asia
Tenggara.33 Selain itu, komunitas keamanan juga harus tetap mencegah
terjadinya persengketaan antar sesama negara ASEAN dan antara negara
ASEAN dengan negara non-ASEAN, mencegah eskalasi konflik hingga
berujung pada konflik terbuka dan berupaya mencari langkah penyelesaian.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku ASEAN Selayang Pandang, bahwa
APSC bersifat terbuka, berdasarkan pendekatan keamanan komprehensif
dan tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan atau aliansi
militer maupun kebijakan luar negeri bersama (common foreign policy).
APSC juga mengacu kepada berbagai instrumen politik ASEAN yang telah
ada seperti ZOPFAN, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Negara-Negara
ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) dan
33 Ibid, hal. 324.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
39
Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Treaty on Southeast Asia
Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ), selain menaati Piagam PBB dan
prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.34
Elemen Konstruktivisme Indonesia dalam Pembentukan APSC
APSC merupakan konsep yang diajukan oleh Indonesia dalam Bali
Concord II yang menandai terbentuknya ASEAN Community. Dalam
pandangan konstruktivisme, terdapat empat faktor atau pertimbangan yang
mendasari perilaku Indonesia terkait usulan pembentukan APSC.
Bagaimana keempat faktor tersebut menjelaskan perilaku Indonesia dalam
kerangka konstruktivisme?
1. Faktor Idiography
Identitas Indonesia sebagai salah satu negara pendiri ASEAN selain
Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki peran penting dalam
perkembangan ASEAN. Terlebih, Indonesia pernah menjadi episentrum
ASEAN sehingga adanya APSC diharapkan mampu kembali
mengetengahkan posisi Indonesia yang perlu diperhitungkan dalam
kerangka kerja sama ASEAN.
Selain karena alasan di atas, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan dan negara terbesar di Asia Tenggara. Dengan
jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia serta keragaman etnis dan
budaya, Indonesia membutuhkan suatu situasi yang aman dan stabil untuk
memelihara keutuhan wilayah dan masyarakatnya. Situasi stabil tersebut
34 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang. Edisi ke-19 (Jakarta:
Sekretariat ASEAN, 2010), hal. 31-32.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
40
hanya dapat dicapai melalui kerja sama keamanan yang komprehensif.
Agenda keamanan dibutuhkan Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan
negara kesatuan yang multikultur tersebut.
Beberapa alasan lain mengapa Indonesia mengambil prakarsa
mengusulkan konsep APSC dikemukakan oleh Rizal Sukma.35 Pertama,
sejak reformasi 1998 yang membawa Indonesia menjadi negara demokrasi,
agenda demokrasi dan HAM menjadi isu utama dalam kehidupan berbangsa
yang ikut memengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga, sebagai
negara demokrasi yang mensyaratkan adanya penghargaan terhadap HAM,
Indonesia memandang perlunya ASEAN menyusun instrumen tersebut
guna lebih peduli pada komunitas masyarakat ASEAN (people oriented),
setelah selama ini lebih bersifat state oriented.
Kedua, pengalaman Indonesia dalam menghadapi kekerasan di Timor
Timur pada 1999 dan ketidakberdayaan ASEAN mengambil peran utama,
mendorong Australia lebih mendominasi dengan menempatkan pasukan
keamanan internasional. Hal ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi
ASEAN untuk lebih berperan dalam memelihara perdamaian regional tanpa
melibatkan negara di luar kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, Indonesia berpendapat bahwa setelah ASEAN Free Trade Area
(AFTA) mulai diimplementasikan serta disetujuinya usul Singapura tentang
ASEAN Economic Community, kerja sama ASEAN lebih banyak didominasi
oleh isu ekonomi. Sementara kerja sama di bidang politik-keamanan kurang
mendapat perhatian. Padahal keamanan merupakan prasyarat utama
terwujudnya regionalisme Asia Tenggara yang kondusif. Untuk itu, konsep
APSC diajukan Indonesia sebagai payung kerja sama keamanan ASEAN
menuju terwujudnya Komunitas ASEAN. Menurut Severino, harus diakui
35 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 90-92.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
41
pula bahwa selama ini Indonesia lebih menaruh perhatian terhadap masalah
politik-keamanan dalam ASEAN daripada masalah ekonomi. Hal itu karena
Indonesia menyadari merasa kalah bersaing di bidang ekonomi
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan
Malaysia.36
2. Faktor Purposive
Elemen purposive mengapa Indonesia berada di garda depan dalam
memajukan konsep APSC adalah menyangkut mengenai what do Indonesia
want? Indonesia mendorong kerja sama keamanan melalui APSC adalah
dalam upaya membangun hubungan damai antar negara anggota. Dengan
situasi damai selanjutnya memungkinkan setiap negara anggota dapat
mengembangkan kerja sama bilateral maupun multilateral serta
meneguhkan kohesivitas ASEAN.
Sasaran kerja sama keamanan dalam upaya menciptakan situasi damai
itu diarahkan pada upaya menangkal persengketaan di antara sesama negara
anggota maupun negara anggota dengan non-anggota, mencegah eskalasi
persengketaan itu menjadi konflik. Jika seandainya konflik tidak
terhindarkan, kerangka kerja sama APSC akan membatasi ruang lingkup
konflik tersebut sekecil mungkin dan perlu segara mengambil langkah-
langkah untuk mengatasinya. Pencegahan itu dilakukan dengan
pembangunan kepercayaan, diplomasi preventif, dan kerja sama dalam
masalah keamanan konvensional dan non-konvensional.37
36 Lihat Rodolfo C. Severino, Southeast Asian in Search of an ASEAN Community. Insights
from the Former ASEAN Secretary General (Singapura: ISEAS, 2006), khususnya Bab 7.
Dalam ibid, hal. 92. 37 Ibid, hal. 39.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
42
Lebih jauh dari itu, APSC diharapkan tidak hanya mengedepankan
hubungan damai antar negara tetapi juga hubungan damai di dalam negeri
masing-masing negara anggota. Untuk itu, demokrasi dan perlindungan
terhadap HAM dipandang Indonesia perlu dimajukan guna mencegah
terjadinya kekerasan di dalam negeri. Dengan mengetengahkan demokrasi
dan HAM, Indonesia memperluas konsep keamanan dari keamanan
pemerintahan (regime security) ke keamanan manusia (human security).
3. Faktor Ethical
Elemen ethical menjadi landasan norma moral yang menjadi
pertimbangan Indonesia dalam mengusulkan APSC. Transformasi ke
human security yang ditekankan dalam APSC melalui demokrasi dan HAM
sesungguhnya merupakan bagian integral dalam mengamankan kehidupan
bangsa-bangsa ASEAN. Menurut Hassan Wirajuda, nilai-nilai demokrasi
dan HAM perlu dibina karena nilai-nilai tersebut akan sangat mengurangi
sumber-sumber konflik baik antar negara maupun intra negara.38
Pengamanan hidup manusia (human security) dalam payung demokrasi dan
HAM akan sekaligus mengamankan kehidupan bangsa-bangsa ASEAN
karena keamanan manusia mencakup seluruh spektrum keamanan yang
sangat luas.
Lebih lanjut, kerangka komunitas keamanan yang diusulkan Indonesia
sesungguhnya tidaklah beranjak dari apa yang dipraktikkan selama ini oleh
ASEAN melalui prinsip ASEAN Way. Prinsip-prinsip tidak tertulis dalam
ASEAN Way itu adalah menentang kekerasan dan mengutamakan solusi
damai (pembuatan keputusan melalui konsensus), otonomi regional, prinsip
38 Dalam Lokakarya IV ASEAN Regional Mechanism on Human Rights di Jakarta pada 17
Juni 2008. Dalam CPF. Luhulima, op.cit., hal. 206.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
43
tidak mencampuri urusan negara lain (non-intervensi), menolak
pembentukan aliansi militer dan menekankan kerja sama bilateral
(penyelesaian konflik secara damai).39
Selain itu, APSC tetap berpegang pada norma-norma yang telah
disepakati bersama. Antara lain upaya confidence building measure (CBM),
preventive diplomacy dan conflict resolution. Serta, traktat-traktat yang
telah diterima bersama seperti Treaty of Amity and Cooperation (TAC),
Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) dan traktat Southeast
Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANWFZ).
4. Faktor Instrumental
Elemen terakhir pendekatan konstruktivis dalam politik-hukum
internasional adalah pertanyaan mengenai bagaimana mencapai apa yang
diinginkan. Dalam konteks ini, bagaimana mencapai harapan yang
Indonesia usulkan melalui pembentukan APSC. Draf yang diusulkan
Indonesia dalam APSC sesungguhnya lebih banyak mengandung ide
orisinal yang cukup radikal.40
Instrumen yang ditawarkan adalah perlunya pendefinisian prinsip non-
intervensi secara lebih fleksibel. Hal itu dimaksudkan agar negara anggota
lebih terbuka terhadap saran dan keterlibatan para anggota lainnya apabila
ada masalah yang bersifat lintas batas atau menimbulkan krisis
kemanusiaan. Selain itu, Indonesia mengusulkan perlunya mendirikan
39 Lebih lanjut baca Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast
Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order (Landon: Routledge, 2001), hal. 45. Baca
dalam Bambang Cipto, op.cit., hal. 23. 40 Dalam CPF. Luhulima, et al., op.cit., hal. 96.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
44
mekanisme regional perlindungan HAM agar ASEAN memajukan
demokrasi dan HAM.
Ide lainnya adalah perlunya pembentukan pasukan perdamaian regional
sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif
dalam pemeliharaan perdamaian dan post-conflict peace building. Indonesia
juga menambahkan perlunya suatu tata aturan pemeliharaan perdamaian
regional atau regional peace keeping arrangement serta pembentukan
lembaga-lembaga pendukung bagi upaya penyelesaian konflik.41 Selain itu,
Indonesia juga mengusulkan diadakannya kerja sama maritim tingkat
regional dan peningkatan kerja sama di bidang pertahanan serta ASEAN
Extradition Treaty.42
Namun kemudian, beberapa usul Indonesia yang diajukan di KTT Bali
tahun 2003 itu mendapat penentangan dari beberapa negara anggota
ASEAN karena dinilai melangkah terlalu jauh. Mengenai ide pembentukan
pasukan perdamaian dipandang terlalu premature. Kerangka APSC yang
akhirnya disetujui juga tidak secara eksplisit berbicara tentang komitmen
memajukan demokrasi dan HAM, sehingga tampak bahwa ASEAN tidak
mengalami pergeseran kerja sama politik-keamanan menjadi people
oriented.
Akan tetapi, dalam Vientiane Action Programme (VAP) pada 2004 yang
merumuskan rencana aksi APSC, sebagian usul awal Indonesia yang semula
ditolak berhasil dimasukkan kembali. VAP berhasil menyelipkan beberapa
butir tentang demokrasi dan HAM secara lebih terbuka. Serta adanya
kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama ASEAN dalam bidang
41 Ibid. Lihat juga CPF. Luhulima, op.cit., hal. 205. 42 Semua ide-ide yang dikemukakan di atas tertuang dalam makalah Rizal Sukma. Lihat
juga Mely Caballerro-Anthony, Regional Security in Southeast Asia (Singapura: ISEAS,
2005), hal. 270-272. Baca CPF. Luhulima, et al., op.cit.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
45
pertahanan dan keamanan maritim serta rencana untuk melibatkan ASEAN
dalam post-conflict peace building.43
Penutup
Secara teoritik, pendekatan konstruktivisme memberikan sudut pandang
alternatif dalam melihat realitas hubungan internasional dan politik-hukum
internasional. Pendekatan ini memandang bahwa usul pembentukan APSC
oleh Indonesia bukanlah semata-mata didasari oleh kepentingan material
dan pertimbangan untung rugi melainkan dapat dianalisis berdasarkan
elemen identitas, normatif-ideasional dan moral.
Dalam konteks pembentukan APSC, konstruktivisme memandang
bahwa terdapat empat elemen yang memberikan kerangka guna
menganalisis perilaku Indonesia sebagai peletak dasar ide pembentukan
APSC. Pertimbangan Indonesia didorong oleh elemen idiography
(identitas) bahwa Indonesia membutuhkan situasi yang aman dan stabil
guna memelihara keutuhan wilayah dan masyarakat yang multikultur.
Selain itu, karena sejak memasuki alam demokrasi pascareformasi 1998
Indonesia menyadari pentingnya pembangunan nilai-nilai demokrasi dan
penegakan HAM sebagai upaya mewujudkan perdamaian yang tidak hanya
berbasis negara tetapi juga masyarakat (people oriented).
Elemen identitas tersebut didukung oleh tujuan untuk mengembangkan
kerja sama bilateral maupun multilateral serta meneguhkan kohesivitas
ASEAN dengan adanya situasi yang aman dan stabil. Selain itu, dengan
adanya komunitas keamanan, berbagai persengketaan antar negara anggota
ASEAN dan dengan negara non-ASEAN dapat diselesaikan. Sebab, salah
43 Ibid, hal. 104-105. Untuk lebih lengkap mengenai kerangka kerjasama APSC yang telah
disepakati baca ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009).
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
46
satu tantangan utama ASEAN sejak awal berdirinya adalah adanya
sengketa-sengketa baik teritorial maupun sosial-budaya yang menghambat
kerja sama ASEAN.
Dalam upaya mewujudkan hal di atas, elemen ethical memberikan
kerangka moral berdasarkan prinsip ASEAN Way yang selama ini dipelihara
seperti prinsip non-intervensi, pembuatan keputusan melalui konsensus,
otonomi regional dan kedaulatan nasional serta penyelesaian konflik secara
damai tanpa kekerasan. Adapun elemen instrumental sebagai elemen
terakhir untuk melihat perilaku Indonesia, menyediakan cara untuk
mencapai tujuan yang diharapkan berdasarkan elemen moral yang ada.
Pembentukan APSC diwujudkan dengan terbukanya perhatian pada
masalah demokrasi dan HAM untuk menciptakan keamanan regional dan
domestik. Serta adanya kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama
ASEAN dalam bidang pertahanan dan keamanan maritim serta rencana
untuk melibatkan ASEAN dalam post-conflict peace building. Terakhir,
dalam upaya mewujudkan komunitas keamanan melalui APSC dan ASEAN
Community secara umum, negara anggota dan masyarakat ASEAN perlu
membangun we feeling (rasa kekitaan) yang terwujud melalui one identity,
one vision dan sense of community.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
47
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat. ASEAN Charter (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)
ASEAN Secretariat. ASEAN Political-Security Community Blueprint
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2009)
Cipto, Bambang. Hubungan Internasional Asia Tenggara: Teropong
terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007)
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. Edisi
ke-19 (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2010)
Luhulima, CPF., et al. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas
ASEAN 2015 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P
LIPI, 2008)
Luhulima, CPF. Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan P2P LIPI, 2011)
Meutia, Deni dan Yoga Suharman. Pembentukan Piagam ASEAN: Tinjauan
Konstruktivisme Politik Hukum Internasional. Makalah
dipresentasikan dalam Konvensi Nasional III Asosiasi Ilmu
Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di HI UMM pada 8-10
Oktober 2012.
Reus-Smit, Christian. The Politics of International Law (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2004)
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
48
URGENSI DIBENTUKNYA BADAN PERADILAN KHUSUS
LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN BADAN PEMBERSIH
SAMPAH ANTARIKSA (SPACE DEBRIS)
Sofian Ardi
Abstract44
Drastic changes in some elements of the environment caused by
human activities, organizations, public and private businesses, as well as
countries, has recently become a big concern of mankind and nations,
among others, global warming as a serious threat. Additionally,
international environmental law is a very broad subject that affects many
areas, such as labor, trade, energy, sovereignty, international fisheries law,
health, international treaty law, and human rights. While courts that exist
today is less able to handle effective international environmental problems
that occur. Therefore, a new special international judicial bodies are
needed, namely the International Environmental Court (IEC) and it is also
expected to have a jurisdiction that is not owned by a national court to
address the international environment damage. In addition, the problem of
space debris as results from the human activities in aerospace become a
44 Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung,
sofianardi31@gmail.com
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
49
serious concern in international environmental issue too. The absence of a
special body to handle space debris is an urgency in international legal
framework besides the need to set up an International Environmental Court.
Keywords: International Environmental, International Environmental
Court, Space Debris
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup
bersama dengan benda tak-hidup lainnya.45 Adalah suatu kenyataan bahwa
setiap bagian lingkungan hidup, menjadi bagian wilayah suatu negara atau
berada di bawah l ingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian
lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dari satu sama lain, membentuk satu kesatuan
tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.
Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh kegiatan manusia, organisasi bisnis, serta negara-negara, belakangan
ini menjadi perhatian besar umat manusia, serta menimbulkan reaksi keras
kelompok tertentu, terutama ekolog. Hakikat hukum lingkungan
internasional adalah meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat rendah ke
derajat yang lebih tinggi. Hukum internasional memerlukan pendekatan
yang representatif, yang mampu mengkaji masalah-masalah yang timbul
akibat kegiatan internasional yang beraspek lingkungan, baik lingkungan
hidup dalam porsi sebagai bagian wilayah suatu negara maupun sebagai
bagian satu kesatuan ekosistem bumi yang utuh, yang tersusun dalam
45 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.48
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
50
struktur sistem komponen yang saling terkait dan mempengaruhi.46
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan
dunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup,
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang
perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.47
Masyarakat internasional menyadari bahwa langkah-langkah segera
perlu diambil untuk melindungi planet bumi dengan mengingat keadaan
bumi sekarang ini. Pemanasan global sebagai salah satu ancaman paling
serius terhadap lingkungan saat ini dan mempengaruhi baik tanaman dan
hewan dengan penipisan ozon yang terus berlanjut. Keanekaragaman hayati
terus menurun karena banyak spesies tanaman dan hewan terancam punah
oleh eksploitasi dan kegiatan industrial manusia. Asam hujan, deforestasi,
polusi sumber daya air menimbulkan ancaman yang serius. Bahkan, bumi
sudah dianggap sebagai satu tubuh yang saling berhubungan di bawah
tekanan, dalam kondisi yang lemah, dan dengan kemampuan terbatas untuk
mempertahankan kerusakan yang terjadi.48
Selain itu, luar angkasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula
dengan lingkungan hidup yang juga merupakan sumber daya yang sangat
berguna; dengan meluncurkan Hobble, satelit dan lain sebagainya kita bisa
menggunakan televisi, GPS, mobile phone, ramalan cuaca, observasi, dan
lain sebagainya, karena itu kita perlu melestarikannya.49 Berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu
46 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional¸Reflika,
Bandung, hlm. 5. 47 J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999, hlm.3. 48 Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible
Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003, hlm 737 49 Sampah Benda di Luar Angkasa Sulit Di Atasi, diakses dari
http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716, pada tanggal 07 Juni 2015 pukul
20:30 WIB.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
51
pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain
pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampak-
dampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa
hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat
hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil
ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga
lingkungan di mana dia hidup.50
Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum sebagai
keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam
masyarakat, juga meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan
kaidah tersebut dalam kenyataan. Kemudian, hakikat dan karakter
lingkungan hidup demikian itu membutuhkan sistem hukum yang mampu
menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam pendekatan dan materinya
yang berfungsi melindungi dan meningkatkan kualitas fungsi dari setiap
komponen ekosistem. Dengan mengkaitkan pengertian hukum menurut
Mochtar Kusumaatmadja, sistem hukum yang dimaksud salah satunya
adalah lembaga peradilan di bidang hukum lingkungan yang berfungsi
untuk mewujudkan keseluruhan asas dan kaidah lingkungan hidup itu
sendiri.
Mengingat keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan sebelumnya
hanyalah merupakan awal dari daftar panjang masalah lingkungan global
yang membutuhkan solusi. Untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
dunia, kerjasama internasional tidak diragukan lagi sangat dibutuhkan.
Sejumlah ahli menyatakan bahwa pengadilan internasional untuk
lingkungan perlu dibuat karena pengadilan internasional yang ada tidak
cukup siap untuk berurusan dengan kerugian lingkungan yang besar seperti
sekarang ini dan yang perlu menjadi perhatian pula ialah terkait perlunya
50H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
52
suatu badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris)
sebagaimana disebutkan diatas.
B. PEMBAHASAN
1. Badan Peradilan yang Menangani Masalah Lingkungan
Internasional Saat Ini
Hukum Lingkungan Intenasional, disamping berkembang sebagai
cabang hukum yang berdiri sendiri, juga berkembang melalui cabang-
cabang hukum internasional khusus, seperti space law, law of the sea,
sebagai konsekuensi dari keberadaan bagian-bagian tertentu dari
lingkungan hidup sebagai bagian ruang lingkungan yang masuk kedalam
skup objek pengaturan cabang-cabang hukum tersebut.51 Dalam hukum laut
internasional, termasuk mengenai persoalan terhadap kewajiban negara
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, UNCLOS 1982
mengatur prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat formal dan
mengikat, salah satunya yaitu melalui ICJ (International Court of Justice).52
Yurisdiksi Mahkamah dapat dilaksanakan melalui salah satunya
berdasarkan statuta, bahwa yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa
yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan
dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau
konvensi-konvensi internasional yang berlaku.53 Yurisdiksi dari ICJ ini
dapat dikatakan sangat luas, sehingga segala persoalan lingkungan hidup,
karena belum memiliki badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, dapat
diserahkan untuk diselesaikan oleh ICJ.
51 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm.16 52 Lihat Pasal 287 UNCLOS 1982 53 Lihat Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
53
Dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional
bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan
bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional.
Dengan kata lain, Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif
terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara
terdapat 2 tugas Mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat
kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara
yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan
oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya, hanya negara sebagai
pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasiona
sehingga perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak
dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun
demikian berdasarkan Advisory Opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah
Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa
merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau
gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan
kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious
case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional
bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif.
Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat
melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan
cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian
perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas
dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan
Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional merupakan
organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui
Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan
kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini.
Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan
kasus-kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
54
dalam lima tahun terakhir ini telah menghadapi babak baru. Paling tidak
perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan
hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun
dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai
sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah
International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan
masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya
alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v.
Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia).
Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan
pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk The
Chamber of Environmental Dispute pada tanggal 19 Juli 1993. Namun
pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk
memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan
advisory opinion.
Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani
oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of
the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the
International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga
dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang
bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam
Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of
Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case, dan
beberapa kasus mengenai landas kontinen dan perbatasan.
Sengketa lingkungan internasional yang diselesaikan oleh lembaga
internasional di atas adalah sifatnya damai, tetapi belum ada proses
pengadilan internasional tentang kerusakan lingkungan oleh perang seperti
kehancuran lingkungan di Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia II
(1945), Perang Vietnam (1967-1975) yang menimbulkan kebutaan
penduduk dan rusaknya alam karena Amerika Serikat menggunakan gas
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
55
Agent Orange. Selain itu pula, Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk
I (1990-1991) yang menghancurkan ladang-ladang sumur minyak, serangan
militer Israel ke Lebanon (2006) yang mengakibatkan pencemaran Laut
Merah (Red Sea), dan agresi militer AS ke Irak sejak tanggal 20 Maret 2003
(Perang Teluk II) yang menimbulkan banyak korban warga sipil dan
kehancuran terhadap lingkungan hidup di Irak.54
2. Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus mengenai
Lingkungan Internasional
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan
pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk
menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya
perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global
melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin
berperannya Non-Governmental Organization (NGO), indigenous people,
asosiasi-asosiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut
adanya hak-hak yang sama. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang
nyata dimana batas-batas negara semakin menipis dan semakin
berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter
internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga
peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global
yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja.
Pada bulan Agustus 2002, United Nations Environment Programme
(UNEP) menjadi tuan rumah selama tiga hari dari World Summit on
Sustainable Development di Johannesburg bersama hakim-hakim dunia
54 Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Unpad Press, Bandung, 2011, hlm.46
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
56
terkemuka. Disana disimpulkan bahwa keadaan rapuh lingkungan global
saat ini memerlukan pengadilan, sebagai ‘primary guardian of the rule of
law’ untuk berani dan tanpa rasa takut menegakkan hukum lingkungan
nasional dan internasional. Kejahatan lingkungan seperti perdagangan ilegal
kayu, perdagangan spesies yang terancam punah, dan penanganan limbah
berbahaya telah didiskusikan. Saran yaitu mulai dari pelatihan program
untuk hakim domestik dan internasional dalam ilmu lingkungan dan
kebijakan untuk pembentukan pengadilan internasional untuk lingkungan
yang baru, telah didiskusikan pula sebagai solusi untuk masalah koordinasi
dan penegakkan yang sulit terhadap dari lebih dari lima ratus perjanjian oleh
badan peradilan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatnya
peradilan yang kuat untuk menerapkan hukum lingkungan adalah suatu
kebutuhan saat ini.55
Beberapa pendapat ahli menyatakan sebagai berikut, yaitu seperti: “…
supporters will need to show that existing international and national
judicial for are inadequate for resolution of international environmental
disputes”.56 Selain itu terdapat pula pendapat ahli lain, yaitu:
“… As evidence mounts that the planet is increasingly experiencing serious
environmental consequences caused by a history of human activity, a call
has been made to introduce a new international judicial body to the existing
international courts and tribunals: an International Environtmental Court
(IEC)… Advocates of the new court cite uncertain environmental
jurisdiction in existing courts and tribunal to address in the environmental
expertise of judges in the existing courts.”57
55 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.729 56 Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George
Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, hlm 333 57 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm 727
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
57
Dari kedua pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa terbukti saat ini
menunjukkan bahwa bumi ini semakin serius ancaman bahaya oleh kegiatan
manusia dan pengadilan nasional maupun internasional yang ada sudah
tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan
internasional sehingga dibutuhkan badan peradilan internasional tersendiri
yang baru, yaitu Mahkamah Lingkungan Internasional (International
Environmental Court atau IEC). Selain itu, memang diperlukannya pula
pembentukan suatu peradilan internasional khusus untuk memproses
sengketa lingkungan karena marak dari adanya pelanggaran atau kejahatan
terhadap lingkungan hidup, mengingat mahkamah atau pengadilan
internasional yang dapat menangani kasus-kasus lingkungan tersebut dinilai
sudah tidak memadai lagi.
Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan terbatas dalam
menegakkan aturan hukum lingkungan internasional terhadap negara-
negara yang melanggar telah menyebabkan panggilan untuk pembentukan
pengadilan lingkungan internasional atau International Environmental
Court (IEC) yang mampu mengeluarkan keputusan yang mengikat dan
dapat dilaksanakan terhadap negara-negara tersebut. Para ahli pendukung
dari pembentukan pengadilan baru ini, yang diperkirakan akan dibentuk
oleh perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara, perlu untuk
meyakinkan pemerintah negara-negara pada dua poin penting.58 Pertama,
ahli pendukung perlu menunjukkan bahwa forum peradilan internasional
dan nasional yang ada tidak memadai untuk penyelesaian sengketa
lingkungan hidup internasional. Kedua, harus menunjukkan bahwa jika
aspek forum peradilan yang ada tidak memadai, sehingga tidak dapat
diperbaiki untuk dapat memuaskan sesuai harapan, sementara pada saat
58 Sean D. Murphy, Loc.Cit.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
58
yang sama penciptaan pengadilan baru dibutuhkan untuk menghindari
kekurangan tersebut.
Para ahli pendukung pengadilan baru ini percaya beberapa isu saat ini
dalam hukum lingkungan internasional akan diselesaikan dengan
menciptakan International Environmental Court (IEC). Isu ini termasuk: (1)
kekurangan keahlian, kesadaran, dan sumber daya lingkungan; (2) masalah
efisiensi; (3) tidak adanya preseden yang jelas dalam hukum lingkungan
internasional; (4) masalah dengan aksesibilitas untuk beberapa entitas di
pengadilan saat ini; dan (5) kurangnya penegakan hukum dan yurisdiksi.59
Sejumlah ahli menyatakan bahwa dibentuknya pengadilan baru karena
terdapatnya ketidakpastian yurisdiksi lingkungan di pengadilan yang ada
saat ini untuk mengatasi kerusakan serius lingkungan internasional, dan
kekurangan dalam keahlian hakim di pengadilan dalam bidang lingkungan
internasional. Hukum lingkungan internasional adalah subjek yang sangat
luas yang mempengaruhi banyak bidang, seperti tenaga kerja, perdagangan,
energi, kedaulatan, hukum perikanan internasional, kesehatan, hukum
perjanjian internasional, dan hak asasi manusia. Sementara pengadilan yang
ada tidak menangani secara efektif dengan masalah lingkungan
internasional seperti diatas. Masalah pada pengadilan yang ada sekarang ini
yaitu60 termasuk kurangnya sumber daya, kesulitan untuk
mentransformasikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional, dan
kurangnya kesadaran. Masalah ini terutama terjadi pada negara-negara
berkembang. Selain itu tekanan lingkungan global, menunjukkan bahwa
pengenalan IEC sebagai badan hukum internasional dibenarkan dan
memang diperlukan. Segala kesulitan yang mengganggu pada pengadilan
59 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.739 60 Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal
International Law, Vol 31, 1992, hlm.52
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
59
internasional sekarang ini dapat diselesaikan atau minimum dapat diperbaiki
dengan menciptakan badan peradilan internasional yang baru.
Diluar perspektif lingkungan dalam hukum internasional, Indonesia saat
ini pun belum memiliki lembaga peradilan yang secara khusus menangani
perkara-perkara sengketa lingkungan. Dilihat dari permasalahan
sengketanya, isu-isu lingkungan merupakan permasalahan yang rumit
penanganannya. Hal itu bisa dilihat dari proses pembuktian maupun
kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan. Apalagi, jika sengketa
tersebut melibatkan entitas privat atau perusahaan di dalamnya. Sistem
peradilan lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal
yang spesifik mengenai persoalan tersebut. Selama ini, perkara yang
menyangkut soal lingkungan lebih sering masuk dalam ranah proses perdata
dan administrasi di pengadilan. Kendati demikian, dalam konteks peradilan,
masyarakat dapat mengujinya dalam sebuah wadah peradilan khusus
lingkungan, mengingat jumlah kasus mengenai isu-isu lingkungan yang
signifikan jumlahnya. Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari
usaha pemerintah dalam rangka menyediakan akses terhadap keadilan,
termasuk di dalamnya keadilan lingkungan bagi masyarakat. Dengan
dibentuknya pengadilan lingkungan diharapkan menjadi satu pemacu dalam
rangka menciptakan ruang untuk memperbaharui kebijakan lingkungan
hidup di Indonesia.
3. Urgensi Dibentuknya Badan Khusus Pembersih Sampah Antariksa
(Space Debris)
Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas
wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada
sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque
ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
60
demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.61
Menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra
yaitu darat, laut, dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah
daratan, dan wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah
negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Pasal I Paris Convention
for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui
kedaulatan negara penuh di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut
teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas
jaraknya secara vertikal (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan
adanya pengaturan tentang ruang angkasa.62
Dewasa ini frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin meningkat
dimana negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke
angkasa. Amerika Serikat dengan NASA-nya telah menciptakan pesawat
ulang-alik yang dapat membawa beberapa satelit sekaligus ke angkasa,
menempatkan di orbitnya, serta kembali ke bumi. Pesawat ulang-alik ini
dapat digunakan kembali untuk program peluncuran satelit berikutnya.
Soviet pun tidak kalah aktifnya dalam proyek ruang angkasanya. Proyek
Soyuz, Sputnik serta Cosmos-nya bukan hal yang asing lagi. Indonesia
dengan bantuan Amerika Serikat, telah meluncurkan satelit komunikasi
pertamanya, PALAPA A-1, pada tahun 1970an. Ini menandakan pula bahwa
Indonesia sejak tahun itu telah turut serta dalam era pemanfaatan ruang
angkasa.63
61 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung,
2011, hlm.137 62Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,
hlm 194 63 Huala Adolf., Op.Cit., hlm.143
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
61
Bukan hanya di bumi saja manusia membuat sampah dalam jumlah yang
besar, di luar angkasa manusia juga mengotorinya dengan sampah dengan
melihat tingginya frekuensi kegiatan keruangangkasaan manusia pada saat
ini. Berbagai benda yang diluncurkan manusia ke luar angkasa menjadi
benda tak berguna. Sampah antariksa adalah benda buatan yang mengitari
bumi selain satelit yang berfungsi. Sampah ini bisa berupa bekas roket
(rocket bodies), serpihan (debris) dan lain-lain. Jika dirata-ratakan, satu
sampah antariksa jatuh setiap hari sejak awal peluncuran satelit tahun 1957.
Kebanyakan sampah ini berupa pecahan roket atau satelit yang habis
terbakar di atmosfer. Hanya sepertiga dari 20 ribuan sampah yang jatuh
berukuran cukup besar sehingga mampu bertahan sampai ke permukaan
bumi. Benda-benda tersebut umumnya jatuh di daerah tak berpenduduk
sehingga tidak membahayakan.64
Kasus-kasus tabrakan antarsatelit di ruang angkasa atau satelit yang
sudah menjadi sampah dan dampak buruknya ke bumi harus menjadi
perhatian masyarakat internasional sebagai langkah antisipasi mekanisme
penyelesaian sengketa lingkungan internasional karena kegiatan itu
mengandung risiko tinggi bagi lingkungan dan manusia di bumi. Masalah
sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana
antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi.
Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat
akan jatuh ke permukaan bumi.
Contoh kasus jatuhnya sampah ruang angkasa ke permukaan bumi yaitu
jatuhnya sampah ruang angkasa (space debris) Cosmos 954 milik Uni
Soviet pada tahun 1979 yang menyadarkan masyarakat internasional untuk
diatur lebih lanjut dalam hukum internasional karena peristiwa itu dapat
menimpa siapa saja di dunia yang merugikan negara lain baik berupa
64 Sampah Antariksa, diakses dari http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-
antariksa-64, pada tanggal 08 Juni 2015 pukul 17:38 WIB.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
62
terjadinya kerusakan lingkungan hidup maupun korban manusia. Cosmos
954 jatuh di wilayah Nortwest Territories Provinces of Alberta dan
Saskatchewan Kanada yang menimbulkan kerugian bagi Kanada karena
adanya sampah radioaktif berbahaya yang merusak lingkungan dan harta
benda masyarakat di sekitar jatuhnya space debris tersebut.65 Pecahan
Cosmos 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500
partikel radioaktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari
ribuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki
sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm
x 15 mm x 10 mm, memiliki radiasi sampai 500 rontgen/jam dimana cukup
untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak
pertama.Ddata tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut
impacts) dari jatuhnya Cosmos 954, dan Kanada belum memperhitungkan
dampak tidak langsungnya (cronic impacts).66
Atas permasalahan tersebut perlu adanya implementasi yang nyata dari
prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang
angkasa termasuk oleh benda-benda ruang angkasa agar kelestarian
lingkungan tetap terjaga (sebagaimana diatur dalam Pasal IX Space Treaty).
Berbeda dengan bumi yang memiliki petugas kebersihan dan bagian daur
ulang sampah, sayangnya diluar angkasa tidak ada regu pembersih, sampah
dibiarkan mengorbit terus menerus di luar angkasa.
Walaupun telah terdapat hukum internasional yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban atas kerusakan yang diakibatkan oleh space objects
yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space
Objects 1972, namun tetap diperlukan adanya upaya pencegahan atas
kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh benda-benda ruang angkasa atau
65 Idris, Op.Cit., hlm. 130-131. 66 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 51.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
63
wahana antariksa. Akibat semakin bertambahnya populasi sampah antariksa
menyebabkan sulit ditemukannya lokasi jatuhnya sampah tersebut sehingga
perlu adanya upaya pencegahan dengan suatu mekanisme yang dilakukan
oleh manusia untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Negara
peluncur wahana antariksa harus melakukan pemantauan wahananya
tersebut, karena hanya negara peluncur yang mengetahui masa orbit dari
setiap space objects yang diluncurkannya. Negara peluncur harus terus-
menerus memantau keberadaan sampah antariksa dan memetakannya.
Upaya tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan mengirimkan misi yaitu
dengan membentuk Badan Pembersih Sampah Antariksa untuk
mengumpulkan sampah antariksa dan menghancurkannya menjadi serpihan
kecil sehingga mengurangi kebahayaannya. Terlebih penting yaitu adanya
kerja sama di antara negara-negara dalam mengurangi dampak lingkungan
akibat jatuhnya sampah antariksa yaitu dengan alih teknologi dan kontribusi
biaya dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang demi
terjaganya kelestarian lingkungan hidup di Bumi ini.
C. Penutup
Beberapa kasus lingkungan hidup khususnya yang dikategorikan
sebagai common heritage of mankind diharapkan akan lebih menjadi
perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan
reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian
kesempatan kepada Non-Governmental Organization (NGO) yang
mewakili lingkungan hidup untuk memiliki locus standi hingga kini belum
dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih kuatnya doktrin yang menyatakan
bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara dalam Mahkamah
Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut persoalan
sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah
Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of
Justice), World Bank dll.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
64
Pengadilan nasional dan internasional yang ada tidak memadai lagi
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional karena
bukti menunjukkan bahwa bumi ini makin seriusnya ancaman bahaya oleh
aktivitas manusia, sehingga diperlukan badan peradilan internasional baru,
yaitu Pengadilan Lingkungan Internasional (International Environmental
Court/IEC) dan pengadilan khusus itu diharapkan mempunyai yurisdiksi
yang tidak dimiliki oleh pengadilan nasional terhadap kerusakan lingkungan
internasional.
Manfaat lain dari dibentuknya sebuah IEC akan memberikan kepada
masyarakat internasional meliputi: aksesibilitas terhadap berbagai aktor;
pembentukan badan hukum lingkungan internasional yang konsisten;
keputusan yang lebih cepat dalam menangani masalah dan perselisihan;
biaya yang lebih rendah dari perkara sengketa lingkungan internasional; dan
penegakan perjanjian yang lebih baik dalam bidang lingkungan. Pengadilan
ini dapat lebih memungkinkan penggugat untuk membawa gugatannya
kepada entitas non-negara yang saat ini dilarang menjadi pihak dalam
hukum Internasional. Begitupun dengan dibentuknya badan khusus yang
menangani sampah ruang angkasa (space debris) menjadi suatu kebutuhan
mengingat dampak dari kegiatan keruangangkasaan manusia yang
meningkat menjadi perhatian serius bagi lingkungan maupun kehidupan
manusia di bumi. Dengan dibentuknya badan peradilan khusus lingkungan
internasional dan badan khusus menangani sampah ruang angkasa (space
debris) ini tentunya memperkuat kerangka hukum internasional di bidang
lingkungan sehingga upaya-upaya yang gencar digalakkan saat ini untuk
menjaga lingkungan hidup oleh banyak negara menjadi lebih kuat dan
melengkapi.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku
- Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Bandung:Keni Media, 2011
- Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional
Perspektif Bisnis Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2003
- Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Bandung:
Unpad Press, 2011
- J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta
, 1999
- Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: Alumni, 2003
- Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Jakarta: Djambatan, 1991
- Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara,
Fikahati Aneska, Jakarta, 2003
Artikel Ilmiah
- Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should
There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992
- Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International
Environmental Court”, George Washington Journal International
Law and Economy, Vol 32, 2000
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
66
- Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court :
Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law
Review, Vol 32, 2003
Website:
- http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-
antariksa-64
- http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
67
PERLINDUNGAN HUKUM MEREK TIDAK TERDAFTAR
DI INDONESIA
Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H. dan Muthia Khairunnisa S.H.
Abstract
A trademark performs as a sign that is capable of distinguishing the
goods or services of another, as a guarantee for qualification and it should
have a unique name. However, the trademark needs to be protected from
the other parties to use their mark without permission. Indonesia applies the
constitutive system, which is protect the first person to register their mark.
It means the law gives the protection only for the first person who register
their mark. Based on that they get an exclusive right and show that they are
the real mark owner. Sometimes the owner of the mark, such as UMKM
which is not registering their mark, because they do not know about the
registration and has a minimum capital. This situation also protects the bad
faith registration and gives the wrong protection. The trademark protection
mechanism in America does not use the registration system. America uses
the protection based on the use as a practical, which is should fullfilled the
requirements, like it should be used in commerce or intend to be used in
commerce. Indonesia should adopt the American protection system, which
is giving double protection, either by registration or by using that trademark
in practical. This is to minimize the disputes rising between the owner of the
mark with the other parties using the mark without permission.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
68
Keywords:
Well-known mark, unregistered mark, protection
PENDAHULUAN
Merek mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai badge of origin, a
piece of personal property, dan sebagai cultural resource. Merek sebagai
badge of origin, merupakan hak penting dalam perdagangan dan
memperlihatkan hubungan erat antara barang, jasa dan orang yang
mempunyai merek tersebut dengan asal barang, sedangkan personal
property, mempunyai arti bahwa merek merupakan aset bagi pemilik merek,
sehingga pemilik merek dapat menjual merek tersebut karena memiliki nilai
ekonomi, sedangkan merek sebagai cultural resource, yaitu merek dapat
dikaitkan dengan budaya suatu negara, misalnya Barbie sebuah produk
boneka yang merepresentasikan budaya Amerika.67
Menurut Abdul Kadir, merek mempunyai fungsi:68
1. Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang
dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya.
2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksi
cukup dengan menyebut mereknya.
3. Sebagai jaminan atas mutu barang.
67 Patricia Loughlan, Intellectual Property:Creative and Marketing Rights, Sydney, 1998,
hlm. 18. 68 Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung
:Citra Aditya, 2001, hlm. 32.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
69
4. Menunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan.
Menurut Cassavera, merek merupakan aset kondisional69, bahwa merek
harus menghasilkan manfaat berupa nilai finansial bagi para pemiliknya dan
merek harus selalu dikaitkan dengan suatu produk atau jasa. Dari hal
tersebut diatas maka produk atau jasa merupakan bentuk nyata dari suatu
merek.
Merek harus mempunyai kriteria tertentu yaitu:70
1. Sign;
2. Which can be represented graphically; and
3. Which is capable to distinguishing the goods and service of one
undertaking from those of undertakings.
Jadi merek harus mempunyai suatu tanda yang merepresentasikan secara
jelas seperti keadaan sebenarnya dan dapat membedakan bahwa barangnya
adalah berbeda dengan benda atau jasa lainnya.
Schachter mengemukakan bahwa Merek sebagai salah satu dari HKI
merupkaan tanda pembeda harus mempunyai single rational basis adalah
untuk menjaga keunikan sebuah merek, maka merek harus dilindungi
sebagai species of property. Ini mempunyai maksud bahwa pemilik merek
harus dilindungi ketika mereknya digunakan oleh pihak lain.
Hak yang diberikan pada Merek71, yaitu hak eksklusif guna mencegah
pihak ketiga tanpa izinnya untuk mempergunakan merek yang sama atau
69 Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta:Graha Ilmu, Cetakan
Pertama, 2009, hlm. 7. 70 Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York: Oxford University
Press, 2001, hlm. 760. 71 Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung:Alumni, Cetakan
ke III, hlm. 73.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
70
mirip dalam kegiatan perdagangan dan dalam hal demikian “a likelihood of
confusion shall be presumed”.
Fungsi merek menurut The Chicago School, adalah bahwa:72
“Trade mark serve two efficiency enhancing functions: first,
trademarks lessen consumer search cost by making product and
producers easier to identify in the market place, and second trademarks
encourage producers to invest in quality by ensuring that they, and not
their competitors, reap the reputation realted rewards of that
investment”.
Fungsi merek di atas akan menimbulkan perlindungan hukum terhadap
merek yang bersifat territorial. Perlindungan hukum terhadap pemilik merek
Indonesia merupakan suatu kewajiban apabila merek tersebut didaftarkan
dan ini merupakan perlindungan yang bersifat preventif. Prinsip ini dikenal
dalam hukum merek Indonesia sebagai sistem pendaftaran konstitutif, yaitu
bahwa pendaftaran memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek yang
sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila terjadi peniruan merek
miliknya oleh pihak lain tanpa izin.
Pendaftaran merek tersebut dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-
Undang Merek (UUM). Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa pendaftaran harus
diajukan oleh pemohon yang beritikad baik juga pendaftaran merek tidak
diperbolehkan mengandung hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa
yang dimohonkan pendaftrannya.
72 Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law Review, 2004,
hlm. 623.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
71
Dengan sistem pendaftaran merek konstitutif maka yang dilindungi
adalah pendaftaran pertama, tetapi pada kenyataannya pemilik merek tidak
mendaftarkan mereknya karena ketidaktahuan dan minimnya mereka akan
sistem pendaftaran yang menjadikan syarat mutlak bagi timbulnya hak,
sehingga pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya sering
dirugikan dan dipergunakan oleh pihak lain tanpa izin tetapi dia
mendaftarkan mereknya.
Kasus yang akan dibahas adalah pemilik merek Sinar Laut dengan
merek Sinar Laut Abadi dimana pemilik merek tidak mendaftarkan
mereknya sehingga didaftarkan oleh pihak lain dengan suatu itikad buruk.
Perbandingan yang akan diteliti adalah pengaturan pendaftaran merek di
Amerika Serikat dimana perlindungan merek diatur dalam Lanham Act,
yang mengartikan bahwa merek termasuk setiap kata, nama, simbol dan
kombinasi ketiganya yang dipergunakan oleh setiap orang, dimana orang
tersebut mempunai kehendak dan dipergunakan dalam perdagangan dan
didaftarkan agar mendapat perlindungan juga untuk membedakan bahwa
produk barang dan jasanya adalah berbeda dengan produk barang dan jasa
orang lain.
Merek di Amerika mempunyai fungsi sebagai sesuatu yang
mengindikasikan keaslian (indication of origin), sehingga merek
mempunyai fungsi sebagai jaminan terhadap barang dan jasa sehingga
konsumen yakin akan barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan merek
merupakan suatu upaya barang yang dibeli, juga dengan melalui iklan
merek merupakan suatu upaya untuk membentuk dan mempertahankan
permintaan pasar, sehingga pemilik merek harus melindungi investasinya
dari tindakan yang dilakukan pihak ketiga tanpa izin.
Hak merek diperoleh dibawah hukum Amerika dengan melalui
penggunaan. Pendaftaran di Amerika tidak diwajibkan untuk memperoleh
hak merek. Pendaftaran hanya memperoleh keuntungan prosedural
termasuk hak yang diperoleh, yaitu hak eksklusif bagi pemilik merek untuk
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
72
menggunakan merek diluar Amerika sebagai suatu yang tercantum dalam
pendaftaran. Aplikasi pendaftaran merek dapat diisi berdasarkan asas itikad
baik untuk menggunakan merek, dan tidak ada pemilik merek di Amerika
yang memperoleh pendaftaran tanpa pemakaian merek didalam
perdagangan antar negara yang berkaitan dengan barang dan jasa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk
meneliti beberapa permasalahan yang timbul, di antaranya:
1. Bagaimana sistem pendaftaran yang dianut di Amerika Serikat?
2. Sistem pendafataran yang bagaimana yang dapat diterapkan bagi
pemilik merek yang tidak mendaftarkan mereknya di Indonesia?
Dari penelitian ini diharapkan memperoleh kegunaan praktis, yaitu
untuk dapat memberikan masukan aspek hukum dan manfaat bagi
masyarakat luas, praktisi, juga aparat penegak hukum untuk mendapat
kepastian hukum dalam kasus-kasus yang timbul khususnya kasus merek
yang tidak terdaftar, dan mendorong terciptanya perlindungan hukum bagi
pemilik merek yang tidak terdaftar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Perlindungan Merek di Amerika Serikat
Merek sebagai salah satu wujud dari kekayaan intelektual memiliki
peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan
jasa dalam kegiatan perdagangan barang dan investasi. Merek dengan brand
image-nya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau
daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas
produk atau jasa dalam suasana perdagangan bebas. Oleh karena itu, merek
merupakan aset individu maupun perusahaan yang dapat menghasilkan
keuntungan besar, tentunya bila didayagunakan dengan memperhatikan
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
73
aspek bisnis dan proses manejemen yang baik. Demikian pentingnya
peranan merek ini, maka terhadapnya dilekatkan perlindungan hukum yakni
sebagai objek yang terhadapnya terkait hak-hak perorangan atau badan
hukum73
Perlindungan hukum menurut Bently and Sherman adalah ;74
a. Pendapat mengenai justifikasi kreatifitas masih menjadi perdebatan
dalam dunia HKI, namun sebuah pendapat yang penting memandang
perlindungan merek sebagai imbalan kreatifitas atas invensi. Dengan
demikian, hukum merek mendorong produksi akan produksi
produk-produk bermutu dan secara berlanjut menekan mereka yang
berharap dapat menjual barang-barang bermutu rendah dengan cara
memanfaatkan kelemahan konsumen untuk menilai mutu barang
secara cepat. Usaha untuk membenarkan perlindungan merek
dengan argumentasi kreatifitas adalah suatu hal yang lemah,
sebagian karena pada saat hubungan antara barang dengan merek
dipicu dan dikembangkan oleh pedagang, namun peran yang sama
besarnya justru diciptakan oleh konsumen dan masyarakat.
b. Informasi ini merupakan justifikasi utama perlindungan merek,
karena merek digunakan dalam kepentingan umum sehingga
meningkatkan pasokan informasi kepada konsumen dan dengan
demikian meningkatkan efisiensi pasar merek merupakan cara
singkat komunikasi informasi kepada pembeli dilakukan dalam
rangka membuat pilihan belanja. Dengan melindungi merek, lewat
pencegahan pemalsuan oleh pihak lain, maka akan menekan biaya
belanja dan pembuatan keputusan. Belanja dan pilihan dapat
73Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah disampaikan pada
seminar KI Dan Penegakan Hukumnya, yang diselenggarakan di Jakarta, 19 September
2001. 74http//:wordpress.com /tag/hak merek-Indonesian trademark-law-hki/
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
74
dilakukan secara lebih singkat, karena seorang konsumen akan yakin
merek yang dilihatnya memang berasal dari produsen yang
diperkirakannya. Peran iklan dalam dunia industri yang makin
dominan menjadikan perlindungan merek menjadi semakin penting.
c. Etis argumentasi utama perlindungan merek didasarkan pada
gagasan fairness atau keadilan (justice). Secara khusus prinsipnya
adalah seseorang tidak boleh menuai lebih dari yang ditanamnya.
Secara lebih khusus, bahwa dengan mengambil merek milik orang
lain, seseorang telah mengambil keuntungan dari nama baik
(goodwill) yang dihasilkan oleh pemilik merek yang asli. Kaitannya
ke lingkup yang lebih luas dari kegiatan perdagangan adalah
perlindungan dari persaingan curang dan pengayaan diri yang tidak
adil.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa merek mempunyai nilai ekonomis
sehingga diharuskan diberikan perlindungan agar tidak dimanfaatkan oleh
pihak lain tanpa izin dari pemilik merek.
Menurut Sunaryati Hartono, dengan adanya teori insentif yang
merupakan hasil dari teori reward maka akan merangsang para pihak untuk
mencipatakan karya-karya intelektual baru, lebih bervariasi sehingga akan
menghasilkan keuntungan.75
Pengertian merek menurut UUM Amerika Serikat adalah:
“A Trademark is a word, phrase, symbol, design, color, smell, sound,
or combination thereof that identifies and distinguishes the goods and
services of one party from those others.”
75Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta,
1982, hlm
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
75
(Merek adalah kata-kata, simbol, desain, wangi, suara atau kombinasi
dari kesemuanya yang dapat mengidentifikasi atau membedakan dengan
barang dan jasa lainnya).
Secara esensial bahwa merek mempunyai fungsi sebagai identifikasi
sumber bagi pihak konsumen yang menunjukan kualitas dan asal dari
barang dan jasa. Merek juga mempresentasikan itikad baik dari perusahaan
dan pihak konsumen juga menyadari dengan merek akan mengurangi biaya
pencarian dan sebagai kualitas dari suatu produk. Merek juga melindungi
bagi pihak konsumen agar tidak terjadi kekeliruan.
Sedangkan yang dimaksud dengan merek jasa adalah sama dengan
merek, kecuali merek itu mengidentifikasikan dan membedakan sumber
jasa daripada barang, sehingga istilah trade mark dan Mark menunjukan
kepada merek dan merek jasa.
Dibawah Hukum Common Law Amerika76, pemilik merek mempunyai
atau timbul hak merek dalam perdagangan tanpa pendaftaran yaitu
melainkan berdasarkan maksud dan penggunaannya dalam praktik. Menurut
definisi dari Bitlaw, the term common law marks indicate that the trademark
rights that are developed through use are not governed by statute. Instead,
common law trademark rights have been developed under judicially created
scheme of rights governed by state law.
Jadi, pendaftaran tidak menimbulkan enforceable rights, keuntungan
yang diperoleh dari hukum federal adalah perluasan hak diluar area
penggunaan, yaitu dalam pencarian insentif dari pendaftaran federal. Hal ini
sama dengan pengaturan TRIPs bahwa perlindungan hak merek tidak perlu
didaftarkan. Beberapa contoh yang dapat dianggap telah memperoleh
secondary meaning yaitu kasus Manchester Airport PLC v ClubClub
76Stuart Graham, Galen Hancock,Alan Marco, Amanda Fila Myers, The UPSTO
Trademark Case files Dataset: Description, Lessons and Insight, January 2013.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
76
Limited, Wembley National Stadium Limited v Bob Thomson. Dari kasus
tersebut telah digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa
sehingga dianggap telah memiliki secondary meaning.
Jadi, merek tidak perlu didaftarkan tetapi pemilik merek harus
membuktikan bahwa nama tersebut harus mempunyai secondary meaning
yang menjadi unsur pembeda, dan bukan hanya sebagai nama yang
memiliki fungsi penggambaran (descriptive).
Perlindungan merek di peroleh dengan penggunaan merek dalam
perdagangan barang dan jasa, selain itu juga merek dapat didaftarkan.
Ada 2 macam pendaftaran:
a. Pendaftaran merek Federal (A Federal Trade Mark Registration)
adalah pendaftaran yang diperuntukkan untuk merek yang
dipergunakan antar negara bagian atau perdagangan internasional.
Proses untuk pendaftaran merek federal adalah lebih banyak waktu
consuming dan lebih teliti daripada state registration. Juga
perlindungan yang diperoleh dari pendaftaran secara federal lebih
besar dari pada state registration. Setiap pemilik merek lebih
dianjurkan untuk mendaftar secara federal.
b. Pendaftaran merek negara bagian (State trademark Registration)
Bagaimanapun pendaftaran merek dalam pendaftaran Federal,
mempuyai beberapa keuntungan antara lain :77
a. A legal presumption of your ownership of the mark and your
exclusive right to use the mark nationwide on or in connection with
the goods/services listed in the registration (where as state
77 Protecting Your Trademark, Enhancing Your Right through Fedaral Registration, Basic
Facts about Trademarks, United States Paten and trade mark offices.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
77
registration only provides rights within the boders of that State, and
common law rights exist only for the spscific area where the mark is
used).
b. Public notice of your claim of ownership of the mark.
c. Listing in the USPTOs online database.
d. The ability to record the US registration with the US customs and
border Protection Service to prevent importation of infringing
foreign goods.
e. The right to use the federal registration symbol “R”.
f. The ability to bring an action concerning mark in federal court, and
g. The use of the US registration as a basis to obtain registration in
foreign countries.
Di Amerika Serikat mempunyai 50 negara bagian yang masing-masing
beroperasi secara paralel dengan atau lebih akurat dengan sistem
pendaftaran federal.
Menurut Hukum Common Law Amerika bahwa pemilik merek
mempunyai hak eksklusif untuk memberikan perlindungan dari pihak ketiga
yang tidak berhak untuk menggunakan merek yang sama atau hampir sama
dengan barang atau jasa yang akan menimbulkan kebingungan bagi
konsumen sebagai sumber asal. Hukum merek common law berasal dari
Pengadilan Inggris dalam Standforths case,78 dimana pengadilan Inggris
menemukan pedagang yang menjual inferior pakaian dengan merek milik
suatu pedagang yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan reputasi
merek tersebut, sejak itu pelanggaran dianggap sebagai perbuatan unfair
competition, maka tidak diperlukan lagi pendaftaran. Maka pendaftaran
78 Staurt Graham, Galen Hancock, alan Marco, Amanda Fila Myers, op cit, hlm 6.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
78
yang dilakukan oleh pihak terakhir akan bertanggung jawab terhadap merek
yang pertama jika menimbulkan kesalahpahaman dari penggunaan merek
yang sama atau hampir sama.
Sistem pendaftaran merek di Amerika dilakukan secara paralel dengan
sistem common law sejak abad 18. UU Merek Federal 1870 mengatur
tentang pendaftaran federal yang pertama. Supreme Court membatalkan UU
tahun 1879 unuk diterapkan kepada perdagangan antar negara sehingga
Kongres merespon dengan mengeluarkan UU merek tahun 1881 yang
mengatur perdagangan antar negara dan perdagangan dengan negara asing.
Kemudian terjadi perubahan pada tahun 1905. Lanham Act Tahun 1946
menetapkan sistem pendaftaran Merek US Federal yang modern untuk
memberikan perlindungan penggunaan merek dalam perdagangan dan
didaftarkan di UPSTO.
United States Patent and Trademark Office (UPSTO)79 merupakan
agency dalam Departemen Perdagangan yang mengeluarkan paten terhadap
inventor dan bisnis terhadap penemuannya dan pendaftaran merek bagi
produk dan identifikasi kekayaan intelektual. UPSTO memberikan prosedur
secara hukum untuk membantu pendaftaran dan untuk pertama kali
melakukan pendaftaran bagi merek jasa, merek sertifikasi dan merek
kolektif.
Lanham Act menentukan dua sistem pendaftaran yaitu 80:
a. Pendaftaran Prinsipal (Principal Register), merupakan pendaftaran
yang diperuntukan untuk semua hak yang diatur oleh Lanham Act.
79 United states Patent and Trade Mark office, En.m. Wikipedia.org/wiki/ United
states_Patn-and –Trademark-of. 80 ibid
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
79
b. Pendaftaran Tambahan (Supplemental Register), merupakan
pendaftaran bagi yang tidak dapat didaftarkan kepada principal.
Pengadilan menyatakan bahwa pendaftaran tidak menimbulkan hak
Merek, tetapi hanya menyatakan bahwa hak itu dapat diperoleh melalui
suatu penggunaan. Untuk melakukan pendaftaran setiap pemohon harus
mempunyai legal basis untuk setiap pencatatan atau filing. Basis utama
yaitu berdasarkan “use in commerce “dan “intent to use in commerce”.
Penggunaan sebagai dasar hukum bahwa setiap pemilik harus menyerahkan
suatu deklarasi atau pernyataan yang menyatakan tanggal dicatatkan (filing
date), merek juga dipergunakan dalam perdagangan bahwa kongres dapat
memberikan pengaturan perdagangan antara negara bagian dan
perdagangan dengan negara lain.
Pengertian use in commerce tercantum dalam Pasal 45 Lanham Act81
yaitu penggunaan merek secara itikad baik dalam perdagangan dan secara
spesifik, “A mark shall be deemed to be use in commerce.”
1. On goods when ,
a. It is placed in any manner on the goods or their containers or
the displays associated therewith or on the tags or labels affixed
thereto, or if the nature of the goods makes such placement
impracticable, then on documents associated with the goods or
their sale, and;
b. The goods are sold or transported in commerce, and;
2. On services when it is used or displayed in the sale or advertising of
sevices and the services are rendered in commerce, or the the
services are rendered in more than one state or in the United States
81 Mark P. Mc Kenna, Trademark Use and The Problem of Source, Mc Kenna Doc, 25-2-
2009, hlm 792
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
80
and foreign country and the person rendering the services is
engaged in commerce in connection with the services.
Dasar suatu kehendak untuk menggunakan atau intent to use, pemohon
diharuskan membuat suatu file yang menyatakan pernyataan berisi suatu
keiginan melaksanakan suatu merek dengan asas itikad baik.
Aplikasi dengan dasar suatu penggunaan merek dengan itikad baik tidak
dapat didaftarkan sampai: a. Merek itu benar-benar dipergunakan dalam
perdagangan, b. Pernyataan yang jelas yang akan mempengaruhi suatu
permohonan, c. Spesifikasi yang diajukan untuk permohonan aplikasi.82
Pemohon juga diharuskan untuk mempergunakan aplikasi utama (prior
application) atau pendaftaran di wilayah yurisdiksi asing sebagai dasar
filing aplikasi Amerika. Dalam hal ini diperlukan suatu file pernyataan
bahwa adanya kehendak untuk menggunakan merek dalam perdagangan di
Amerika. Aplikasi harus didaftarkan dengan tidak mempergunakan actual
use didalam perdagangan Amerika.
Perlindungan bagi merek tidak terdaftar di Amerika, Lanham Act
mengaturnya dalam Pasal 43(a), yaitu dapat dilakukan oleh negara federal
dengan mengambil tindakan berupa83:
a. Civil Action,
1. Any person who, on or in connection with any goods or services, or
any container for goods, uses in commerce any word, term name,
82 Pemohon mempunyia waktu 6 bulan untuk memperoleh filing pernyataan
penggunaan(statement of use) dan akan memperoleh pemberitahuan untuk penggunaan
selama 36 bulan( Notice of Allowance) 83 Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations, Cardozo Arts &
Entertainment volume 29:597 Tahun 2011, hlm 16.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
81
symbol, or device, or any combination thereof, or any false
designation of origin, which,
a. Is likely to cause confusion, or to cause mistake, or to deceive
affilation, connection, or association of such person, or as to the
origin, sponsorship, or approval of his or her goods, services, or
commercial activities by another person shall be liable in acivil
action by any person who believes that he or she is or likely to
be damaged by such act.
Supreme Court menyatakan bahwa sudah umum untuk memberikan
perlindungan terhadap yang tidak terdaftar.
Jadi, Amerika Serikat adalah negara yang menerapkan perlindungan
hukum merek tidak berdasarkan pendaftaran yang sesuai dengan TRIPs
yang juga tidak mensyaratkan pendaftaran, hal ini didasarkan bahwa pada
suatu kesadaran bahwa perlindungan diberikan berdasarkan pada maksud
dan praktik penggunaan. Dengan tidak mewajibkan pendaftaran maka
merek yang digunakan dapat diberikan perlindungan hukum.
2. Perlindungan Merek Tidak Terdaftar di Indonesia
Merek adalah tanda yang berupa gambar/nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau
jasa. Dari pengertian tersebut maka ada beberapa unsur yang harus dipenuhi
untuk merek, yaitu:
a. Merupakan suatu tanda,
b. Mempunyai daya pembeda,
c. Digunakan dalam perdagangan, dan
d. Digunakan pada barang atau jasa yang sejenis.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
82
Merek harus mempunyai daya pembeda dan sebuah merek yang tidak
memiliki daya pembeda secara spesifik (misalnya sebuah merek yang hanya
atau semata-mata menggambarkan produknya/merely descriptive) dapat
didaftarkan sebagai merek jika merek tersebut digunakan dalam jangka
waktu yang lama sehingga dianggap memiliki daya pembeda.
Merek merupakan suatu simbol yang menjelaskan 6 tingkatan, yaitu84:
a. Atribut produk, merek memberikan ingatan pada atribut-atribut
tertentu suatu produk, misalnya jika mendengar merek Guess maka
akan teringat pada jam.
b. Manfaat, atribut-atribut produk yang dapat diingat melaui merek
harus dapat diterjemahkan dalam bentuk manfaat baik secara
fungsional dan manfaat secara emosional, misalnya atribut kekuatan
kemasan produk menterjemahkan manfaat secara emosional yang
berhubungan dengan harga diri dan status.
c. Nilai, merek mencerminkan nilai yang dimiliki oleh produsen
sebuah produk, misalnya merek Sony mencerminkan produsen
elektronik yang mempunayi teknologi yang canggih dan moderen.
d. Budaya, merek mempresentasikan suatu budaya tertentu, misalnya
Mercedes mempersentasikan budaya Jerman yang teratur, efisien
dan berkualitas tinggi.
e. Kepribadian, merek dapat diproyeksikan pada suatu kepribadian
tertentu, misalnya Isuzu Panther yang diasosiakan dengan
kepribadian binatang panther yang kuat dan tahan lama.
84 Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Ager-ager Swallow Globe Brand –bola Dunia,
hlm 5.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
83
Akibat pemakaian sebuah merek yang terus menerus, para pelanggan
dapat membedakan merek itu dengan merek lain meskipun merek tersebut
tidak memiliki daya pembeda pada awal pemakaiannya. Jadi merek-merek
tersebut dapat didaftarkan.85
Teori hukum yang dapat memberikan perlindungan merek86 adalah teori
hukum berdasarkan fungsi kepentingan yang diutarakan oleh Jhering bahwa
suatu hukum bukanlah murni dari jiwa bangsa dimana yang sesuai dengan
jiwa bangsa hukum tersebut tumbuh dan berkembang jadi hukum yang ideal
apabila sesuai dengan jiwa bangsa dan mengandung unsur-unsur yang
sesuai dengan jiwa bangsa. Selain itu, teori keadilan John Rals, yang berakar
dari kritiknya terhadap Average Utilitianirisme milik John Stuart yang
berpendapat bahwa kita boleh diminta berkorban demi kepentingan umum,
tetapi tidak dapat dibenarkan apabila pengorbanan tersebut pertama-
pertama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam
masyarakat.
Mengenai jenis-jenis merek sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2
dan angka 3 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang merek, ada dua,
yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang
dipergunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan barang-barang sejenisnya lainnya. Sedangkan merek jasa adalah
merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa-jasa lainnya.
85 Eddy Damian,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni,2002, hlm 135. 86 Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di Indonesia,
Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol :XXII, no 2, juli 20015, hlm 46.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
84
Indonesia menganut sistem pendaftaran merek dengan sistim konstitutif,
pendaftaran merupakan suatu keharusan agar dapat memperoleh hak merek,
tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak atas merek kepada
pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek, seseorang tidak
akan diberikan perlindungan.
Menurut UUM Indonesia, hal-hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai
merek adalah:
a. Merek yang permohonannya diajukan atas dasar itikad tidak baik
(Pasal 4).
b. Merek yang bertentangan dengan moral, perundang-undangan dan
ketertiban umum (Pasal 5(a)).
c. Merek yang tidak memiliki daya pembeda (Pasal 5(b)).
d. Tanda-tanda yang telah menjadi milik umum (Pasal 5(c)).
Contohnya: tengkorak dan tulang belulang sebagai tanda bahaya.
e. Merek yang semata-mata menyampaikan keterangan yang
berhubungan dengan barang atau jasa (Pasal 5 (d)), misalnya batu
bata bahan bangunan untuk menggambarkan perusahaan konstruksi
yang khusus beroperasi dalam bidang bangunan dengan batu bata.
Standar untuk memenuhi kriteria pelanggaran merek adalah:
a. The strength of the mark;
b. The proximity of the goods;
c. The similarity of the marks;
d. Evidence of actual confusion;
e. Marketing channels used;
f. The type of goods and the degree of care likely to be excercised by
the purchaser;
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
85
g. Defendants intent in selecting the mark;
h. Likelihood of expansion of the product lines;
Pendaftaran menurut UU Merek memberikan hak eksklusif kepada
perusahaan pemilik merek guna mencegah pihak-pihak lain untuk
memasarkan produk-produk yang identik atau mirip dengan merek yang
dimilik oleh perusahaan bersangkutan dengan menggunakan merek yang
sama atau merek yang dapat membingungkan konsumen. Menurut Sudargo,
bahwa wajib pendaftaran lebih memberikan kepastian hukum. Sistem ini
diambil dari Konvensi Stockholm 1967, yang diratifikasi oleh Indonesia
pada 20 Desember 1979. Tujuan penggunaan sistem ini adalah untuk
memperkecil timbulnya perselisihan atas merek antara pemakai merek yang
tidak terdaftar dan pemilik merek yang sudah terdaftar.
Pendaftaran sejak Undang-Undang No 19 Tahun 1992 adalah sistem
konstitutif. Sistem ini memberikan perlindungan hanya pada pendaftar
pertama yang beritikad baik. Hal ini juga diatur dalam Pasal 4 UU No 15
Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar oleh
pemohon yang beritikad tidak baik. Permohonan Pendaftaran Merek yang
harus dipenuhi oleh pemilik merek yaitu, merek yang akan didaftarkan
harus memberikan contoh disertai dengan warna yang akan dipakai dalam
merek disertai penjelasan mengenai kelas barang dan atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya. Sistem pendaftaran deklaratif, adalah suatu
sistem dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai
pertama dari merek yang bersangkutan. Sistem ini dianut dalam UU No 21
tahun 1961. Dengan perkataan lain, bukan pendaftaran yang menciptakan
suatu hak atas merek, tetapi sebaliknya pemakaian pertamalah di Indonesia
yang menciptakan atau menimbulkan hak itu.
Sistem pendaftaran deklaratif pada UU No 21 Tahun 1961. Pada Pasal
2 ayat (1), menyebutkan:
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
86
“Hak khusus untuk memakai suatu merek guna membedakan barang-
barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan seseorang atau
suatu badan dari barang-barang orang lain atau badan lain kepada
barang siapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk
keperluan tersebut diatas di Indonesia.”
Menurut Yahya Harahap, penegakan hukum berdasarkan Pasal 2 diatas
mengandung konsepsi dualisme, satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran
pertama atau first to file principle, siapa pendaftar pertama dianggap
mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari pemilik merek
lainnya, sesuai dengan asas prior in filing, tetapi berbarengan dengan itu
ditegakkan doktrin pemakai pertama atau first to use system, apabila dapat
membuktikan bahwa dia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggap
pemilik paling unggul haknya jika seseorang dapat membuktikan
kedudukan yang utama pada asas prior user has a better right atau pemakai
pertama mempunyai hak yang lebih baik dari pendaftar pertama87.
Lingkup perlindungan hukum yang diberikan kepada pemilik merek,
meliputi:88
a. Melindungi penggunaan hak eksklusif merek, meliputi:
1) Mempergunakan tanda merek sebagai logo, label atau gambar dalam
surat menyurat, pada barang atau jasa, pada kemasan (packaging)
dalam advertensi atau promosi.
87 ASMA, perbedaan sistim pendaftaran deklarati dan sistim konstitutif 88 Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara uum dan Hukum Merek Di Indonesia
berdasarkan undang-Undang Nomor 19 tahun 1992, PT Citra Aditaya bakti,
Bandung,1996, hlm 182
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
87
2) Menikmati secara eksklusif manifestasi yang lahir dari merek,
meliputi goodwill atau well-known, reputasi tinggi, sumber asal,
sentuhan kulturan dan sentuhan keakraban.
b. Melindungi hak eksklusif mempergunakan merek sebagai alat eksploitasi
memperoleh keuntungan dalam perdagangan, meliputi:
1) memasarkan barang atau jasa dalam perdagangan nasional, regional,
dan global; dan,
2) menyimpan barang yang dilindungi hak merek, asal tidak
bertentangan dengan ketentuan monopoli dan spekulasi untuk
menaikkan harga.
Contoh pembatalan merek yang terjadi sengketa yaitu sengketa antar
keluarga terkait 51 merek yang mengandung nama Sinar Laut sampai pada
tahap putusan akhir .89
1. Gugatan dilayangkan oleh Idahyati Kusni dan anaknya Minardi
Aminnudin Kunardi, serta perusahaan merek Sinar Laut Abadi
dan PT Sinar Laut
Indahyati menggunakan nama Sinar Laut untuk nama toko yang
begerak di bidang perdagangan alat-alat teknik. Dalam
perkembangannya anak Indahyati menggunakan nama Sinar Laut
sebagai nama perusahaan. Anak kembarnya, Wartono Fachrudin
Kunardi dan Minardi Aminudin Kunardi mendirikan Sinar Laut
Sejahtea. Minardi juga membuat toko bernama Sinar Laut Perkakas,
sementara, Wartono bersama YuswadI Kunardi dan Karta Wiryadi
Munardi membentuk Sinar Laut Abadi. Pasca perpecahan Wartono
mendaftarkan Merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi,
89 M.hukumonline.com/berita/baca/14bf0421..diaksestgl 21 November 2015 jam 14.00
WIB lihat juga nasinal.kontan.co.id, kakak beradik berebut merek Sinar laut
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
88
Sinar Lautan Abadi, Sinar Laut Perkakas dan Sinar lautan Perkasa.
Merek tersebut terdaftar di 51 kelas barang. Idahyati dan Minardi
serta perusahaan mereka, PT Sinar Laut Abadi dan PT Sinar Laut,
menggugat Wartono dan PT Sinar Laut Mandiri (tergugat 1 dan
tergugat 2) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Gugatan yang
dilayangkan untuk membatalkan merek-merek tersebut yang
didaftarkan pada 30 April 2010.
2. Para Penggugat mendudukkan perusahaan Wartono, yaitu
Sinar Laut Mandiri sebagai Tergugat. Wartono digugat karena
memakai nama Sinar Laut yang diklaim Indahyati sebagai
sebagai miliknya sejak tahun 1976
Kuasa hukum dari Tergugat beranggapan bahwa Penggugat tak
berhak menggugat karena Penggugat bukan pemilik merek terdaftar
atas merek Sinar Laut, Sinar Lautan, Sinar Laut Abadi, Sinar Lautan
Abadi, dan Sinar Lautan Perkakas, sekalipun Penggugat merupakan
pemilik PT Sinar Laut dan PT Sinar Laut Abadi, namun itu adalah
nama badan hukum yang belum terdaftar sebagai merek. Saat ini
badan hukum baru akan didaftarkan di Direktorat Merek.
3. Penggugat sempat mengajukan masalah ini ke Mahkamah
Konstitusi, tetapi kandas.
4. Hakim menolak gugatan dari Indahyati, menyatakan ditolak
dan pendaftaran yang dilakukan oleh Indahyati sudah sesuai
dengan ketentuan dan dilakukan dengan itikad baik. Selain itu
majelis berpendapat dengan keterangan ahli Tommy Suryo,
bahwa suatu perusahaan tidak otomatis mendapatkan merek
sesuai dengan nama perusahaan tersebut menurut majelis,
nama perusahaan dan merek adalah dua hal yang harus
dibedakan.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
89
5. Yang berhak mendapatkan perlindungan adalah merek
terdaftar seperti halnya merek tergugat. Mengingat UU Merek
menganut stelsel konstitutif, apabila suatu perusahaan ingin
mendapatkan merek sesuai dengan namanya, maka perusahaan
tersebut harus melakukan pendaftaran. Selain itu, menurut
Kuasa hukum tergugat, untuk menentukan ada tidaknya itikad
baik suatu merek yang dijadikan pembanding harus merek
terkenal, sementara, nama badan hukum penggugat bukan
merek terkenal.
6. Penggugat tidak berhasil membuktikan bahwa mereka
memiliki merek Sinar Laut yang telah terdaftar di Direktorat
Merek Dirjen HKI. Karena itu, merek yang dimiliki tergugat
tidak termasuk merek yang pendaftarannya harus ditolak
seperti dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3 UUM.
Pasal 6 ayat 3 berisi:
Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek
tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama
badan hukum yang dimilki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis
dari yang berhak.
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional
maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak
berwenang.
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi
yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang resmi.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
90
7. Penggugat mengajukan kasasi atas kuasa hukum Ari Kanthy Sutomo
menyatakan pihaknya mengajukan kasasi ini karena hakim tidak melihat
itikad tidak baik dari Tergugat.
8. Tergugat telah mendaftarkan 51 merek dalam kelas barang 6, 7, 8 dan
35. Dengan modal sertifikat merek, Tergugat melayangkan somasi
kepada para penggugat terkait nama Sinar Laut untuk nama toko
mereka. Padahal toko Sinar Laut milik Indahyati sudah berdiri sejak
tahun 1976.
9. Menurut Ari, Penggugat tidak mempermasalahkan pendaftaran milik
Tergugat apabila mereka tetap bisa menggunakan Sinar Laut sebagai
nama toko. Namun kenyataannya memasang PT Sinar Laut saja
dipermasalahkan oleh Wartono.
10. Dalam perkara sebelumnya pihaknya telah menang dalam menghadapi
tergugat yang sama. Ini dapat dilihat dalam Putusan No 59/Merek/2008
jo Putusan MA No 140 K/Pddt.Sus/2009 jo 081 PK/Pd.Sus/2009 itu juga
Wartono beritikad tidak baik dalam mendaftarakan merek Sinar Laut
Perkakas, pembatalan diajukan Minardi dikabulkan hingga tahap
kasasi. Dengan merek Sinar Laut Abadi milik Tergugat, dengan
demikian, selaku pemilik merek berhak memonopoli penggunaan
merek.
11. Putusan No 18 /Merek/2010/ PNH.JKT.PST telah dinyatakan merek
Sinar Laut Abadi dan Sinar Laut Perkakas memiliki persamaan pada
pokoknya.
12. Ari berpendapat bahwa stelsel konstitutif, seharusnya tidak berlaku
mutlak. Apabila ada itikad tidak baik, maka pendaftaran merek bisa saja
dibatalkan. Pihak pengugat belum mendaftarkan merek Sinar Laut.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
91
13. Jadi permasalahannya apakah nama PT Sinar Laut Abadi yang tidak
digunakan sebagai merek dan tidak terdaftar dalam daftar umum Merek
dapat membatalkan merek Sinar Laut Abadi yang telah terdaftar.
14. Hasil berdasarkan Pasal 68 UUM yang berisi memberi kesempatan
kepada pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan pembatalan
merek.
15. Putusan No 18/Merek/2010/PN.JKT>PST telah dinyatakan merek Sinar
Laut.
Kesimpulannya adalah pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan
pembatalan merek dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 4 yang berisi
merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh
pemohon yang beritikad tidak baik.
Pasal 5 yang berisi merek tidak dapat terdaftar apabila merek tersebut
mengandung salah satu unsur dibawah ini:
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b. Tidak memilik daya pembeda.
c. Telah menjadi milik umum, atau
d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Serta Pasal 6 yang berisi permohonan harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal apabila merek tersebut:
a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang
dan/jasa yang sejenis.
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
merek pihak lain untuk barang dan jasa sejenis.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
92
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
indikasi georafis yang sudah dikenal.
Dari kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebaiknya perusahaan
mendaftarkan nama mereknya karena merek sangat penting bagi pencitraan
dan strategi pemasaran perusahaan, pemberian kontribusi terhadap citra, dan
reputasi terhadap produk dari sebuah perusahaan di mata konsumen. Citra
dan reputasi perusahaan untuk menciptakan kepercayaan merupakan dasar
dari untuk mendapatkan pembeli yang setia dan meningkatkan nama baik
perusahaan90.
Jadi, Indonesia memberikan perlindungan hukum semua berdasarkan
pendaftaran dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Dari hal tersebut
kepastian hukum baru tercapai setelah melalui masa pendaftaran dan masa
daluwarsa gugatan pembatalan yang memakan waktu lama dan biaya yang
biaya besar, sehingga hal ini justu menjadi penghambat iklim usaha di
Indonesia bagi masyarakat Indonesia sendiri yang notabene belum memiliki
pengetahuan tentang hukum dan kesadaran hukum yang baik91.
Jadi, dari uraian di atas maka merek seolah-olah dibagi merek terdaftar
dan merek tidak terdaftar karena dalam UUM yang diberikan perlindungan
hanya pada merek yang terdaftar sedangkan merek yang tidak terdaftar,
padahal penggunaan merek tanpa ijin oleh pihak ketiga menimbulkan
kerugian karena dia tidak mendaftarkan mereknya. Hal ini kita lihat
sebagian besar para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah terkadang
karena ketidaktahuan perlunya perlindungan tidak dipahami dan
90 World Intellectual Property Right for business Series, Membuat sebuah Merek.
Pengantar Merek Untuk usaha kecil dan Menengah hlm 4. 91 Sri Sayekti, Op. Cit hlm 50
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
93
kekurangan modal sehingga penggunaan merek yang telah lama dipakai
tetapi dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa ijin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlindungan hukum merek di Amerika tidak diberikan berdasarkan
pendaftaran tetapi melaui penggunaan yang didasarkan bahwa
penggunaan dalam praktik itu harus sesuai dengan persyaratan
bahwa merek tersebut harus use in commerce atau intend to use in
commerce.
2. Perlindungan merek yang berlaku di Indonesia hanya diberikan
hanya setelah pendaftaran, sehingga perlindungan hanya bersifat
perlindungan semu karena kepastian hukum hanya tercapai setelah
pendaftaran, juga pendaftar yang tidak baik pun dilindungi juga
dalam praktik memberikan perlindungan berdasarkan penggunaan
merek yang pertama.
Saran
Sistem perlindungan merek sebaiknya mengadopsi perlindungan merek
di Amerika, yaitu memberikan perlindungan berdasarkan dua sistem, yaitu
melalui perlindungan merek berdasarkan penggunaan juga pendaftaran.
Juga sebaiknya Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual melakukan
pemeriksaan yang lebih teliti terhadap setiap permohonan merek agar tidak
terjadi sengketa merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
pada keseluruhan.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
94
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. M. Ramli, HAKI Hak Kekayaan Atas Kepemilikan Intelektual Teori
Dasar Perlindungan Rahasia Dagang, Bandung: Mandar Madju,
2000
Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Bandung: Citra Aditya, 2001
Achmed Zen Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung:
Alumni, Cetakan ke III
Cassavera, Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Cetakan Pertama, 2009
Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, 2002
Jeremy Waldon, A Companion to Philoshopy of Law and Legal Theory,
United Kingdom: Wiley Blackwell Publishers Ltd, Second Edition,
2001
Kamil Idris, Intellectual Property: A Power Tool for Economic Growth,
WIPO
Lionel Bently, Bred Sherman, Intellectual Property Law, New York:
Oxford University Press, 2001
Patricia Loughlan, Intellectual Property: Creative and Marketing Rights,
Sydney, 1998
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi Pertama,
Jakarta: Granit, 2004
Soerjono Soekanto dan Sri Mammudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2005
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
95
Sudjana, Penerapan Itikad Baik Dalam Pendaftaran dan Penggunaan Merek
dihubungkan dengan pada Pokoknya atau Keseluruhan dengan
Merek Terkenal, dalam buku: Kompilasi Bisnis, Keni Media, 2012
Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung, Binacipta
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986
Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Barton Bee, “The Semiotic Analysis of Trade Mark Law”, UNCLA Law
Review
Cita Citrawinda, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, makalah
disampaikan pada Seminar KI dan Penegakan Hukumnya, Jakarta,
19 September 2001
Lee Ann. W. Lockridge, Abolishing State Trademark Registrations,
Cardozo Arts & Entertainment volume 29:597 Tahun 2011
Dina Tropika, Sengketa Merek Makanan Agar-Agar Swallow Globe Brand
Bola Dunia
Sri Sayekti, Tinjauan Yuridis Perlindungan Merek yang belum terdaftar di
Indonesia, Majalah Ilmiah Pawiyatan, Edisi Khusus, Vol: XXII, No
2, Juli 2015
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
96
BOOK REVIEW
Judul : The Oxford Handbook of The History of International Law
Editor : Bardo Fassbender and Anne Peters
Penerbit : Oxford Handbooks
Bahasa : Inggris
Jumlah halaman : 1272 halaman
Tahun penerbitan : 2012
Pembuat resensi : Eka An Aqimuddin
Sebagian besar buku teks hukum internasional
menjelaskan bahwa sejarah ide, konsep dan
norma yang tumbuh dan berkembang dalam
hukum internasional hingga saat ini bermula di
Barat (Eropa). Tidak hanya itu, aktor maupun
tokoh yang turut mengembangkan hukum
internasional juga diceritakan berasal dari
wilayah yang sama. Hal inilah yang
menimbulkan kritik dari sarjana hukum
internasional, khususnya yang berasal dari non-Eropa, bahwa sejarah
hukum internasional sangat Eropasentris. Oleh karena itu, butuh wacana
atau referensi pembanding untuk menyeimbangkan hegemoni Eropa
terhadap sejarah hukum internasional.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
97
Buku editan karya Bardo Fassbender dan Anne Peters ini muncul
dengan salah satu tujuan untuk mengatasi Eropasentrisme dalam catatan
sejarah hukum internasional. Menurut editor, sejarah hukum internasional
salah dan tidak lengkap. Karena hal itu seperti pengabaian, perusakan,
kekerasan, dan arogansi Barat terhadap budaya hukum non-Barat. (hlm.1)
Pendapat para editor tersebut ingin menegaskan bahwa sistem hukum non-
Barat sebenarnya telah mengatur hubungan internasional. Dalam tulisan F.
Sahli and A. El Ouazzani yang berjudul Africa North of the Sahara and
Arab Countries (hlm.405) menunjukkan bahwa salah satu sumbangan
hukum Islam terhadap hukum internasional adalah perlindungan terhadap
agama minoritas dan perlakuan terhadap tawanan perang. Hal inilah yang
dimaksud editor bahwa penulisan sejarah hukum internasional hanya
berasal dari Barat adalah sesuatu yang salah dan tidak lengkap. Dengan
demikian kompilasi tulisan dalam buku The Oxford Handbook of The
History of International Law ini menjadi penting untuk mengingatkan
bahwa penulisan sejarah hukum internasional tidak selalu kisah dari para
penjajah maupun pemenang. Namun juga beragam cerita pengalaman
hubungan luar negeri yang dilakukan komunitas otonom sepanjang sejarah
kehidupan manusia.
Pemilihan pendekatan “global history” ketimbang “universal history”
oleh editor dalam penulisan buku ini bukanlah tanpa alasan. Penulisan
sejarah hukum internasional dengan pendekatan global lebih melihat kepada
transfer, jaringan, hubungan dan kerja sama antar aktor dan wilayah
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
98
sehingga akan didapat potret hukum internasional yang lebih majemuk.
Selain itu, melalui pendekatan global, negara-bangsa bukanlah satu-satunya
objek dari penulisan sejarah. Pergerakan/perubahan dari para beragam aktor
itulah yang menjadi fokus penulisan (hlm.5-6)
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka editor membagi buku ini
menjadi 6 bagian. Bagian pertama buku ini membahas para pelaku (actor)
dalam hukum internasional. Oleh karena negara tidak menjadi satu-satunya
objek penulisan, maka selain negara, dalam bagian ini dibahas juga peran
organisasi internasional, pengadilan internasional dan masyarakat
internasional. Bagian selanjutnya diberi judul “Themes”. Isi tulisan dalam
bagian ini membahas konsep, ide dan norma yang berkembang dalam
hukum internasional seperti wilayah dan perbatasan, hukum perang dan
damai, hukum perdagangan internasional hingga pengaruh agama terhadap
hukum internasional.
Bagian ketiga dari buku ini membahas sejarah dan perkembangan
hukum internasional dari beragam wilayah. Judul bagian ketiga adalah
“Region”. Terdapat empat sub-bagian yang menceritakan sudut pandang
kewilayahan terhadap sejarah perkembangan hukum internasional yang
terdiri dari; Afrika dan Arab, Asia, Amerika dan Karibia serta Eropa.
Sedangkan satu sub-bagian lagi membahas tentang pergumulan
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
99
(encounters) antara hukum internasional dari perspektif non-Eropa dengan
Eropa.
Bagian keempat buku menggunakan judul “Interaction or Imposition”.
Ragam tulisan dalam bagian ini menjelaskan bagaimana hukum
internasional mengatur tentang hubungan internasional. Tidak hanya itu,
beberapa tulisan juga menceritakan bagaimana pengenaan hukum
internasional terhadap suatu peradaban dengan cara-cara kekerasan seperti
kolonialisme, penundukan hingga melalui pembagian antara masyarakat
beradab dengan tidak. Tentu saja dalam proses tersebut, Eropa (Barat) selalu
digambarkan sebagai protagonis atau pihak yang selalu unggul.
Bagian kelima membahas tentang metodologi dan teori dalam
membahas sejarah hukum internasional. Garis besar tulisan dalam bagian
ini menjelaskan tentang historiografi (periodisasi) hukum internasional itu
sendiri. Seperti apa yang ditulis oleh Oliver Diggelmann dalam The
Periodization of the History of International Law, penetapan periodisasi
dalam penulisan sejarah hukum internasional bukanlah tanpa masalah.
Meskipun dengan adanya periodisasi dalam penulisan sejarah hukum
internasional menjadi terbayangkan (imaginable), namun pemilihan
tersebut tidak merujuk kepada peristiwa aslinya. (hlm.739).
Salah satu periodisasi sejarah hukum internasional melihat bagaimana
penerimaan teori hukum klasik (ancient) dalam perkembangan hukum
internasional saat ini. Pada tulisan lain, isu yang diangkat adalah tentang
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
100
hukum internasional yang sangat Eropasentris atau sejarah pembagian
wilayah (regions) atau sub-wilayah (sub-regions) dalam hukum
internasional.
Bagian terakhir atau keenam dari buku ini membahas tokoh-tokoh yang
dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan hukum
internasional. Meskipun diulas secara singkat namun jumlah tokoh yang
dibahas cukup banyak yaitu 22 orang. Pengambilan tokoh-tokoh tersebut
mengikuti periodisasi tahun yakni dimulai dari tokoh yang berasal dari Abad
VIII (749-850 M) hingga tokoh yang berasal dari Abad XX.
Apabila membaca buku ini secara utuh, upaya editor untuk keluar sama
sekali dari jebakan Eropasentrisme penulisan sejarah hukum internasional
sulit dihindari. Beberapa bagian maupun tulisan dalam buku ini masih
menunjukkan bias tersebut meskipun dengan beberapa catatan kritis
didalamnya.
Dengan jumlah halaman 1.272 lembar, kontributor dalam buku ini
terdiri dari 63 sarjana lintas disiplin yang berasal dari lima wilayah geografis
dengan jumlah tulisan sebanyak 65 buah. Ironi muncul perihal kontributor
dalam buku ini, dimana 39 dari 63 sarjana yang menulis dalam buku ini
berasal dari Eropa. Asia diwakili oleh 7 orang, Afrika 3 orang, Amerika 13
orang serta Australia 1 orang. Lebih dari setengah kontributor merupakan
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
101
penulis dari Eropa. Tentu saja komposisi tersebut tidak bisa digeneralisasi
bahwa penulis Eropa akan cenderung membela Eropasentrisme, akan tetapi
fakta tersebut memberikan pembuktian bahwa narasi hukum internasional
memang sangat bias Eropa. Namun, dari awal editor telah menyadari
kekurangan tersebut dikarenakan sumber penulisan sejarah hukum
internasional di luar Eropa sangat jarang sehingga rujukan untuk
melengkapi tujuan penulisan buku ini, yakni keluar dari bias
Eropasentrisme, sangat terbatas. (hlm.2)
Dalam beberapa tulisan sarjana yang berasal dari Eropa memang terlihat
adanya kritisisme terhadap ide, konsep maupun norma hukum internasional
yang berkembang dari Eropa. Misalnya dalam tulisan Andrew Fitzmaurice
yang berjudul Discovery, Conquest, and Occupation of Territory, beliau
berhasil menunjukan tahapan pembenaran Eropa untuk melakukan
pendudukan terhadap wilayah yang berhasil ditemukan. Sedangkan kritik
dari sarjana non-Eropa dapat dibaca dalam tulisan Liliana Obregón
Tarazona yang berjudul The Civilized and the Uncivilized. Beliau kembali
menegaskan bagaimana Eropa membuat stratifikasi antara masyarakat
beradab/tidak beradab sehingga menjadi dasar pembenar bagi Eropa untuk
melakukan peradaban kepada masyarakat non-Eropa yang tidak beradab.
Tarazona mencontohkan bagaimana bangsa Spanyol menyebut bangsa
Indian sebagai masyarakat barbar. Dengan membuat label tersebut, bangsa
Spanyol seperti memiliki tugas untuk mengubah bangsa Indian menjadi
seperti bangsa Spanyol yang beradab. Dengan demikian, klasifikasi beradab
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
102
dan tidak beradab merupakan justifikasi imperialisme dan kolonialisme
yang dilakukan oleh Eropa sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-19 ke luar
wilayah Eropa.
Tentu saja peran dan sumbangan peradaban non-Eropa yang mengatur
relasi antarnegara sudah dikenal. Namun, menurut editor terjadi kesulitan
persoalan translasi konsep. Maksudnya, bisa jadi istilah atau norma yang
dikembangkan oleh masyarakat Eropa secara konseptual juga telah dikenal
oleh masyarakat non-Eropa akan tetapi dengan penekanan yang berbeda.
Contohnya adalah konsep Futuhat (penundukan) yang telah dikenal dalam
hukum Islam. Apakah Futuhat dapat disamakan dengan semangat
kolonialisme yang dilakukan masyarakat Eropa terhadap masyarakat yang
mereka temui dengan alasan untuk melakukan peradaban? (hlm.8) Atau
dalam konteks Indonesia, misalnya, apakah benar konsep wewengkon dan
ulayat serupa dengan konsep yurisdiksi teritorial dalam hukum internasional
(S.Wignjodipoero) atau dapatkah Prinsip Rukun diterjemahkan serupa
dengan prinsip mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dalam
hukum internasional (H. Adolf). Di sinilah saya kira dibutuhkan sumber-
sumber penulisan hukum internasional selain Eropa seperti yang dikeluhkan
oleh editor buku ini.
Ironi lain dalam buku ini juga terlihat dalam bagian pembahasan tokoh.
Hanya 2 dari 22 tokoh yang dibahas berasal dari luar Eropa. Pertama yaitu
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
103
Muhammad Al-Shaybani dari Irak yang dianggap sebagai bapak hukum
internasional Islam. Tokoh kedua yaitu Henry Wheaton, seorang hakim
yang juga pernah menjabat sebagai perwakilan diplomatik Amerika Serikat
di Denmark. Dengan hanya menceritakan 2 dari 22 tokoh di luar Eropa tentu
saja menimbulkan pertanyaan apakah tujuan buku ini untuk keluar dari bias
Eropasentrisme dalam penulisan sejarah hukum internasional dapat
terwujud?
Seperti yang telah dibahas di atas, tentu saja kita tidak dapat
mengeneralisasi bahwa semua penulis Eropa secara otomatis memiliki
pandangan Eropasentrisme. Pertanyaan yang sama sebenarnya juga dapat
diajukan, apakah penulis non-Eropa dapat dianggap akan membawa suara-
suara non-Eropa. Namun, setidaknya dalam pembahasan para tokoh
tersebut, editor telah memasukkan dua tokoh asal non-Eropa yang dianggap
memiliki pengaruh terhadap perkembangan internasional. Adanya
perwakilan tokoh dari luar Eropa setidaknya menegaskan bahwa ide, konsep
dan norma hukum internasional juga sudah dikenal dan dipraktikkan oleh
komunitas di luar Eropa meskipun dengan spirit dan kebutuhan yang
berbeda.
Buku ini secara umum sangat layak untuk dibaca sekaligus dikaji.
Dibaca sebagai sebuah asupan yang sangat bernas serta dikaji oleh karena
pembahasan sejarah hukum internasional di negeri ini masih sangat jarang.
Saya kira, apresiasi tinggi patut diberikan kepada dua editor buku ini yang
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
104
telah bekerja keras mengurai “benang kusut” dalam penulisan sejarah
hukum internasional. Meskipun belum sepenuhnya berhasil untuk
menghindar dari bias Eropasentrisme, setidaknya terbitnya buku ini
membuka cakrawala kita dalam mendalami hukum internasional. Namun,
perlu diingat pesan dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa dalam membaca
buku sejarah hukum internasional kita tidak harus menerima segalanya
tanpa pandangan kritis sebab tiap penulis memiliki preferensi pribadi,
pengaruh keagamaan dan politis. Pembacaan kritis tersebut kembali
ditegaskan oleh Martti Koskenniemi dalam tulisannya di buku ini, A History
of International Law Histories, bahwa apa yang kita pelajari sebagai sejarah
hukum internasional tergantung pada apa yang terlintas pertama kali di
pikiran kita tentang hukum internasional.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
105
GLOSSARY
Dyan Radin Swastika, S.H.
Single market: Jenis pasar yang mayoritas hambatan tarif dan non-tarifnya
telah ditiadakan, memiliki keseragaman peraturan hukum atas barang dan
jasa sekaligus kebebasan bergerak atas faktor produksi (modal dan buruh).
Vocational training: Pendidikan keterampilan
Common identity: identitas bersama yang dibagi antara individual,
komunitas maupun negara yang hendak dicapai dengan meminimalisasi bias
persepsi antar objek
Confidence building measure: langkah-langkah yang diambil untuk
mengurangi permusuhan dan kurangnya kepercayaan antar pihak dalam
situasi kritis
Preventive diplomacy: langkah yang diambil untuk mencegah sebuah
sengketa berkembang menjadi konflik terbuka dan membatasi dampak dari
konflik terkait
Conflict resolution: metode dan proses yang dilibatkan dalam memfasilitasi
proses perdamaian dalam konflik
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
106
Law is reason, free from passion.
Aristotle “
”
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
107
TENTANG PENULIS
Dr. Ariawan Gunadi, S.H. M.H.
Beliau lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia di tahun 2012 di bidang
ilmu hukum dagang internasional. Penulis saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas
Hukum Universitas Tarumanegara.
Najamuddin Khairur Rijal, S.Ip., M.Hub.Int.
Beliau adalah dosen pada Program Studi Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang telah menyelesaikan program
S2 Magister Hubungan Internasional di Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga Surabaya. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti pada
Malang-ASEAN Youth Community (Maycomm) UMM.
Sofian Ardi
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Internasional di Universitas
Padjajaran, Bandung. Aktif sebagai anggota ALSA serta LRD FH Unpad.
Eka An Aqimuddin, S.H., M.H.
Penulis adalah lulusan S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unpad. Saat ini beliau
bekerja sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
Dr. Rika Ratna Permata, S.H., M.H.
Beliau saat ini bekerja sebagai pengajar di Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran.
Muthia Khairunnisa, S.H.
Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tahun 2016 dengan
gelar Cum Laude. Pengalaman organisasi yang dimiliki antara lain adalah ALSA
FH Unpad dan Red Cross.
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
108
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian
internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki
dimensi hukum dan perjanjian internasional.
Ketentuan Penulisan:
1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi, catatan kaki, dan
daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Times New Roman ukuran
11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10;
2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;
3. Setiap naskah harus disertai abstraksi maksimal 1 halaman A4. Untuk tulisan dalam
bahasa Indonesia, abstraksi dibuat dalam bahasa Inggris dan untuk tulisan dalam
bahasa Inggris, abstraksi dibuat dalam bahasa Indonesia. Jumlah kata abstraksi sekitar
100 kata.
4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);
5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang dikirimkan
ke penerbit lain;
6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah
maksud dan isi tulisan;
7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan rekomendasi kepada
penulis tentang tulisan yang dikirim;
8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat penulis
(curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat,
dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi
finansial;
10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.
11. Keputusan untuk menerbitkan atau menolak penerbitan suatu naskah berada pada
redaksi dengan tidak dapat diganggu gugat.
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional
Kementerian Luar Negeri
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044
Email: opiniojuris@kemlu.go.id
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
top related