bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · 5 terasa kasar. tangkai daun berwarna ungu, dan...
Post on 12-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Melastoma
Klasifikasi Melastoma menurut Hartesz yang terdapat pada ITIS (Integrate
Taxonomic Information System), dimasukan ke dalam Kingdom Plantae,
Subkingdom Tracheobionta, Divisi Magnoliophyta (Angiosperm), Kelas
Magnoliopsida, Subkelas Rosidae, Ordo Myrtales, Famili Melastomataceae,
Genus Melastoma.
Tumbuhan Melastoma dikenal di Inggris dengan nama Strait rhododendron,
di Jawa dengan nama Kluruk atau Senggani, di Sunda dikenal dengan nama
Harendong dan di Malaysia dikenal dengan nama Sendudok (Tjitrosoedirdjo
1991). Melastoma merupakan tumbuhan asli Asia, dengan distribusi yang luas di
Asia tropik, pada daerah lembab di India dan terus ke Thailand masuk ke
semenanjung Malaysia dan seluruh wilayah Indonesia (Tjitrosoedirdjo 1991),
Cina, Taiwan, Australia dan pulau-pulau di Laut Pasifik Selatan (Valkenburg &
Bunyapraphatsara 2002).
Di Asia Tenggara terdapat 22 spesies Melastoma (Valkenburg &
Bunyapraphatsara 2002), dua diantaranya adalah Melastoma affine dan
Melastoma malabathricum. Melastoma malabathricum dan M. polyanthum
sinonim dengan M. affine (Tjitrosoedirdjo 1991; Valkenburg & Bunyapraphatsara
2002), namun menurut Backer & Brink (1963) M. affine dapat dibedakan
berdasarkan terbentuknya bulu pada daun dan batangnya.
Melastoma affine D. Don merupakan tumbuhan perdu atau semak tahunan,
beranting, tingginya biasanya kira-kira 3 – 4 m, tetapi sangat bervariasi dalam
ukuran dan sering berbunga ketika masih kecil, perakaran dalam dan menyebar,
dapat tumbuh hingga 1650 m dpl (di atas permukaan laut) di tempat terbuka.
Bagian batang yang muda ditumbuhi daun. Batang berbentuk persegi, berwarna
kemerah-merahan dan ditutupi oleh bulu dan sisik. Daun berhadapan berbentuk
lanset agak sempit dan meruncing pada kedua ujungnya, panjangnya bervariasi
mulai dari 1 – 5 inci dan lebarnya ¼ – 2 inci, dengan 3 tulang daun sangat jelas
(Gambar 1a dan 1b). Bagian permukaan bawah daun diselimuti oleh bulu yang
5
terasa kasar. Tangkai daun berwarna ungu, dan bunga berwarna ungu muda,
bunga muncul pendek pada ujung ranting, setiap 2 – 3 inci. Kaliks berwarna hijau
dan ditutupi dengan sisik dengan lima sepal sedikit kemerah-merahan, lima petal
berubah-ubah dari ungu terang sampai gelap dan kadang-kadang bervariasi
dengan petal warna putih. Bunganya mempunyai sepuluh stamen, lima
diantaranya lebih panjang dari yang lainnya dengan tangkai warna kuning dan
kepala ungu, lima yang lainnya berkepala kuning terang (Gambar 1c). Stamen
mempunyai panjang filamen 4 – 8 mm, dan panjang anter 6 – 9 mm. Kotak biji
ditutupi dengan buah berdaging dan jika sudah tua isinya berwarna ungu.
Berkembangbiak dengan biji, berbiji banyak dan disimpan dalam kapsul yang
bewarna keungu-unguan (Gambar 1d) (Backer & Brink 1963; Henderson 1967;
Soedarman & Rifai 1975).
1 cm 1 cm
(a) (b)
(d)(c)
1 cm 1 cm
Gambar 1 Morfologi tumbuhan M. affine. (a) bentuk dan permukaan atas daun (b)
warna batang dan kedudukan daun (c) bentuk dan warna bunga, dan (d) bentuk buah.
6
Tumbuhan M. malabathricum L. berbeda dibandingkan dengan M. affine.
Perbedaan tersebut terlihat dari bunganya yang berwarna ungu kebiruan (Gambar
2a), batang mudanya berwarna hijau dan ditutupi bulu yang panjang dan terasa
lembut, dan tidak bersisik (Gambar 2b). Kedua permukaan daun M.
malabathricum ditutupi oleh bulu yang panjang dan lembut (Gambar 2c). Stamen
pada bunga panjang dengan panjang anter kurang lebih 1 cm. Tanaman ini hidup
pada ketinggian 1200 – 1400 m dpl (Backer & Brink 1963). Tumbuhan ini tidak
berbiji, dan berkembangbiak dengan cara vegetatif.
(a) (c) (b)
1 cm 1 cm 1 cm
Gambar 2 Morfologi tumbuhan M. malabathricum. (a) bentuk dan warna bunga,
(b) warna batang dan kedudukan daun, dan (c) bentuk dan permukaan atas daun.
2.2 Melastoma sebagai Akumulator Al
Pada umumnya tumbuhan yang dapat mengakumulasi Al (contoh
Brachiaria ruziziensis), Al diakumulasi lebih besar di dalam akar dibandingkan di
pucuk (Osaki et al. 1997). Pada Melastoma (M. malabathricum), Al di akumulasi
di daun dan akar. Pada daun muda akumulasi Al adalah 8.0 mg/g bahan kering,
pada daun dewasa meningkat menjadi 9.2 mg/g, dan pada daun tua lebih
meningkat lagi mencapai 14.4 mg/g, sedangkan di akar sebanyak 10.1 mg/g
(Watanabe et al. 1998). Jadi pada tumbuhan Melastoma, Al lebih banyak
diakumulasi di daun tua dibandingkan di akar.
Aluminium di daun Melastoma diakumulasi dalam bentuk monomerik Al
dan komplek Al-oksalat, dan di akar dalam bentuk komplek Al-sitrat melalui
7
mekanisme spesifik detoksifikasi Al secara internal (Watanabe et al. 1998;
Watanabe & Osaki 2002).
2.3 Perbanyakan Tumbuhan secara In Vitro
Kultur jaringan adalah suatu metode yang digunakan untuk menumbuhkan
jaringan pada kondisi steril (Bhojwani & Razdan 1983), sehingga bagian-bagian
tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh
kembali (Gunawan 1992; George & Sherrington 1984). Menurut George (1993)
kultur jaringan tanaman terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kultur
unorganized tissue yang terdiri atas beberapa sistem kultur seperti kultur kalus,
kultur suspensi, kultur protoplas, dan kultur anther; dan kultur organized tissue
yang terdiri atas kultur meristem, shoot tip, node culture, kultur embrio, dan
kultur akar.
Mikropropagasi dapat diinisiasi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun,
batang, akar, polen, dan embrio (Acquaah 2005). Mikropropagasi merupakan
contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk
beberapa jenis tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif (Pierik 1987).
Secara umum mikropropagasi in vitro dapat diartikan sebagai usaha
menumbuhkan bagian tanaman secara aseptik, dan memperbanyak hingga
menghasilkan tanaman sempurna. Tujuan pokok penerapan mikropropagasi
adalah memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat
(Gunawan 1992).
Jalur yang baik untuk mikropropagasi secara in vitro adalah dengan
menggunakan perbanyakan tunas aksilar, karena dapat mempertahankan
karakteristik tanaman tanpa memasuki fase kalus (Altman 1998). Terdapat
beberapa tahap dalam mikropropagasi yaitu (1) sterilisasi eksplan, (2)
perbanyakan eksplan atau tunas, (3) pengakaran dari eksplan yang tumbuh, dan
(4) proses aklimasi dari tumbuhan yang lengkap (Gamborg & Phillips 1995;
George & Sherrington 1984). Media untuk perbanyakan tunas dan perakaran
dapat sama atau berbeda. Untuk tumbuhan berkayu, pengakaran dapat diinduksi
dengan mengurangi konsentrasi unsur makro dan mikro menjadi setengahnya.
8
Pada tahap aklimasi, tanaman utuh ditanam di tanah dalam pot di rumah kaca
yang kemudian dapat dipindahkan ke lapang.
Murashige adalah orang yang pertama kali bekerja pada perbanyakan
beberapa spesies secara in vitro. Metode ini dijadikan dasar bagi Wickson dan
Thimann untuk bekerja pada mata tunas aksilar dan terminal yang dapat diinduksi
dengan menggunakan medium yang mengandung sitokinin. Mata tunas aksilar
atau terminal tersebut kemudian tumbuh menjadi batang dan akar, sehingga
terbentuk plantlet (Bhojwani & Razdan 1983).
Suksesnya kultur jaringan tumbuhan in vitro sebagai alat perbanyakan
ditentukan oleh media kultur (George & Sherrington 1984). Media kultur
mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk pertumbuhan
dan perkembangannya, seperti garam mineral (unsur makro dan minor), gula,
vitamin, zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin), dan asam amino (George &
Sherrington 1984; Acquaah 2005). Terdapat bermacam-macam media kultur
seperti media MS (Murashige & Skoog, 1962) atau media Linsmaier & Skoog
(1965) yang menggunakan senyawa-senyawa garam yang lebih luas, media B5
(Gamborg et al. 1968), N6 (Chu 1978), NN (Nitsch & Nitsch, 1969), dan media
turunan-turunan lainnya yang digunakan lebih luas untuk banyak spesies. Media
DKW (Driver & Kuniyuki Walnut) dan WPM (Woody Plant Medium) digunakan
secara luas untuk kultur spesies berkayu (Gamborg & Phillips 1995). Unsur-unsur
makro media MS merupakan dasar dari pengembangan media-media lainnya.
Pada kasus-kasus tertentu, pemakaian konsentrasi unsur-unsur makro lebih rendah
dari pada konsentrasi yang terdapat pada media MS terbukti lebih baik (Gunawan
1992).
Pada beberapa tumbuhan ordo Myrtales sering menggunaan media MS.
Media MS yang memiliki unsur nitrat dan ammonium tinggi pada tumbuhan pear
dapat meningkatkan jumlah tunas (Bell & Reed 2002), dan pada tumbuhan apple
dapat mempertinggi tunas (Welander 1985).
Pucuk yang mengandung meristem dan jaringan-jaringan di bawahnya lebih
mudah diisolasi. Tujuan praktis dari kultur pucuk adalah untuk memperbanyak
vegetatif tanaman (Gunawan 1992). Pada tumbuhan hutan yang hidup di daerah
kering kultur pucuk merupakan alternatif pengganti biji dalam rangka
9
perbanyakan tanaman secara in vitro (Roy et al. 1996). Pada tanaman Eucalyptus
gandis peningkatan perkembangan pucuk sejalan dengan meningkatnya
penambahan sitokinin (BAP) (Wachiba 1997).
Setiap pucuk yang ditemukan pada aksilar daun, sama seperti pucuk
terminal dapat ditumbuhkan pada suatu medium nutrisi. Pucuk tersebut akan
tumbuh menjadi tunas dan daun kemudian tumbuh akar. Kultur pucuk terminal
tidak menggunakan penambahan sitokinin (Pierik 1987).
2.4 Antibiotik sebagai Agen Seleksi
Agen seleksi di dalam rekayasa genetika digunakan untuk memisahkan
organisme transgenik dan non-transgenik. Beberapa agen seleksi yang sering
digunakan adalah antibiotik, herbisida, substrat analog, atau senyawa lain yang
konsentrasinya tinggi (Altman 1998). Jenis agen seleksi yang digunakan
tergantung pada gen penanda seleksi (Amirhusin 2004), dan tergantung spesies
tumbuhan yang akan ditransformasikan (Altman 1998). Penanda seleksi terdapat
dua jenis yaitu penanda seleksi yang dapat divisualisasikan seperti gen Lac Z dan
GUS, dan penanda seleksi yang menyebabkan kematian pada kondisi selektif
seperti antibiotik dan herbisida (Altman 1998; Yuwono 2006).
Gen penanda seleksi antibiotik diketahui sebagai gen seleksi pertama dan
yang umum digunakan dalam bioteknologi (Acquaah 2004; CBI 2001). Penanda
seleksi antibiotik banyak digunakan dalam perakitan tumbuhan transgenik karena
(a) mempunyai efisiensi yang tinggi, dan (b) keterbatasan penggunaan penanda
yang lain (contoh penanda antimetabolik) (Stewart & Mentewab 2005).
Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh suatu organisme dan
dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan organisme lain (Glick &
Pasternak 1998). Penggunaan gen penanda resisten antibiotik yang spesifik akan
menghasilkan sel-sel yang mengandung gen resistensi antibiotik saja yang dapat
hidup di media yang mengandung agen seleksi. Resistensi terhadap agen seleksi
dapat terjadi melalui salah satu dari tiga macam mekanisme yaitu (1) detoksifikasi
oleh enzim, (2) pengurangan afinitas suatu target terhadap agen seleksi, dan (3)
ekspresi berlebih suatu target tipe alami (Altman 1998; Yuwono 2006).
10
Antibiotik yang sering digunakan sebagai agen seleksi adalah kanamisin dan
higromisin. Gen npt2 atau gen aphA2 atau aph (3’)II menyandi neomycin
phosphotransferase (NPTII) yang dapat mendetoksifikasi kelompok antibiotik
aminoglikosida, kanamisin dan genetisin. Gen npt2 atau gen aphA2 atau aph
(3’)II diisolasi dari transposom Tn5. Gen aph (3’) IV menyandi hygromycin
phosphotransferase (HPT) yang dapat mendetoksifikasi antibiotik higromisin B.
Gen aph (3’) IV diisolasi dari E. coli (Altman 1998).
Melastoma adalah tumbuhan yang tidak toleran terhadap antibiotik
kanamisin dan higromisin. Hal ini dikarenakan tumbuhan tersebut tidak memiliki
gen npt2 atau gen aphA2 atau aph (3’)II dan aph (3’) IV, sehingga proses
metabolismenya terhambat dan tumbuhan akan mati (Braun & Bennett 2001).
Konsentrasi antibiotik kanamisin yang sering digunakan pada spesies tumbuhan
dikotil adalah antara 25 sampai 100 mg/l. Beberapa spesies tumbuhan monokotil
(Lolium multiflorum, Triticum monococcum, Symphytum officinale, atau Triticum
aestivum) memperlihatkan derajat ketidaksensitifan yang tinggi terhadap
kanamisin (Altman 1998). Untuk higromisin, konsentrasi yang digunakan lebih
rendah dari kanamisin, karena higromisin lebih beracun dan sel tumbuhan lebih
sensitif terhadap higromisin dibandingkan kanamisin (Chawla 2002).
Setiap tanaman mempunyai batas toleransi yang berbeda-beda terhadap
kanamisin dan higromisin. Pada perakitan tembakau transgenik konsentrasi
kanamisin yang digunakan adalah 25 mg/l (Chaidamsari et al. 2006), kopi
robuska 50 mg/l (Siswanto et al. 2003), tebu 100 mg/l (Fitranty at al. 2003).
Seleksi terhadap padi transgenik menggunakan konsentrasi higromisin 50 mg/l
(Rahmawati 2006), kopi robuska 25 mg/l (Siswanto et al. 2003), dan A. thaliana
20 mg/l (Altman 1998).
top related