z bedah luka bakar paramitha

25
Referat Ilmu Bedah Umum LUKA BAKAR Oleh : Paramitha Kusuma 1102008188 Pembimbing : dr. Abdullah Hasan Sp.B KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO PERIODE 26 NOVEMBER 2 FEBRUARI 2013

Upload: andri-adma-wijaya

Post on 28-Dec-2015

55 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Referat Ilmu Bedah Umum

LUKA BAKAR

Oleh :

Paramitha Kusuma

1102008188

Pembimbing :

dr. Abdullah Hasan Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO

PERIODE 26 NOVEMBER – 2 FEBRUARI 2013

Page 2: z Bedah Luka Bakar Paramitha

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien 500.000 per tahun

di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat api . Jumlah luka bakar serius menurun di

Amerika Serikat karena peningkatan pencegahan seperti detektorasap, regulasi suhu air dan

berhenti merokok. Namun masih ada sekitar 3500 kematian dari kebakaran area permukiman

setiap tahun. Sekitar 75% dari kematian tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama

transportasi awal. Kematian yang terkait dengan luka bakar adalah terkait dengan usia pasien,

persentase dari permukaan tubuh yang terbakar, dan adanya atau tidak adanya trauma inhalasi

asap. Menurut model ini, pasien dengan luka bakar yang mencakup lebih dari 40% dari

permukaan tubuh dan cedera inhalasi asap, diperkirakan memiliki resiko kematian dari 33%.

Pasien luka bakar yang selamat akan mendapat jaringan parut, infeksi, kehilangan tulang dan

massa otot, penyembuhan luka yang buruk, ketidakseimbangan hormone dan kegagalan

fungsi paru-paru, hati atau ginjal. Kehilangan jaringan kulit menyebabkan regulasi panas dan

penyembuhan luka menjadi lebih sulit,. Luka bakar kecil juga menyebabkan morbiditas yang

signifikan, seperti hilangnya fungsi tangan atau kecacatan pada wajah. Pasien juga sering

mengalami masalah sequel psikologis termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan

depresi.

Page 3: z Bedah Luka Bakar Paramitha

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan

kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka

bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang

memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak

langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.

Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat

menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi

menjadi:

Paparan api

o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan

menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar

pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki

kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh

atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.

o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.

Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.

Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti

solder besi atau peralatan masak.

Scalds (air panas)

Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama

waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang

disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.

Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama

lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka

umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan

garis yang menandai permukaan cairan.

Uap panas

Page 4: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap

panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta

dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat

menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.

Gas panas

Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan

nafas akibat edema.

Aliran listrik

Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya

luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan

membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.

Zat kimia (asam atau basa)

Radiasi

Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

KLASIFIKASI LUKA BAKAR

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,

adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh,

baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah

yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah

terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat

kedalaman luka bakar.

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar

derajat I, II, atau III:

Derajat I

Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk

dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari

dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan

timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar

derajat I adalah sunburn.

Page 5: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat

epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut

misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.

Dengan adanya jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3

minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat

dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.

Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul

edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi

full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

Derajat III

Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan

yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi

Page 6: z Bedah Luka Bakar Paramitha

dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit

harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula,

karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak

intak.

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan

pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan

mempengaruhi berat luka bakar.

Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya

kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar

menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak,

permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma

meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat

menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon

terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi

metabolisme.

Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya

meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan

dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan

luas luka bakar, yaitu:

Page 7: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak

tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung

pada pasien dengan derajat luka II atau III.

Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa

Pada dewasa digunakan „rumus 9‟, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,

pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha

kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya

1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh

yang terbakar pada orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak

jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas

permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus

10-15-20 untuk anak.

Page 8: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Metode Lund dan Browder

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala

pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak.

Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat

menggunakan „Rumus 9‟ dan disesuaikan dengan usia:

o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan

lengan persentasenya sama dengan dewasa.

o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan

turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Page 9: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected by

burns in children.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR

1. Luka bakar berat (major burn)

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun

b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama

c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum

d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka

bakar

e. Luka bakar listrik tegangan tinggi

f. Disertai trauma lainnya

g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)

a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang

dari 10 %

b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,

dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

Page 10: z Bedah Luka Bakar Paramitha

c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai

muka, tangan, kaki, dan perineum

3. Luka bakar ringan

a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa

b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki,

dan perineum

PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler

yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya

ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema

dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan

berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan

kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang

terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat

III.

Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih

bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala

yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah

menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal

terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah,

dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap.

Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala

sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat

hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda

keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang

berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta

penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya

diuresis.

Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium

yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi

Page 11: z Bedah Luka Bakar Paramitha

karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal,

pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi

pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman

saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini

biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai

antibiotik.

Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari

kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram

negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin

lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi

pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman

memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan

granulasi membentuk nanah.

Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan

nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan

perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka

bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis

pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga

jaringan yang didarahinya nanti.

Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan

terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka

bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram

negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat

menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin

kuman yang menyebar di darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan

meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang

masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal

rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang

nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh

sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang

atau hilang.

Page 12: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus

menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat

menurun karena kekurangan ion kalium.

Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan

terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala

tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein

menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan

infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga

yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot

skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan

menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut

penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah

sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis

luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.

FASE PADA LUKA BAKAR

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok

Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas

yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di

dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti

keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.

2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut

Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)

dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan

dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah

yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)

3. Fase lanjut

Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.

Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,

Page 13: z Bedah Luka Bakar Paramitha

kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur

tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis

Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat

pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis

beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.

2. Zona statis

Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah

ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan

leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan

permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24

jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.

3. Zona hiperemi

Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa

banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang

diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi

zona kedua bahkan zona pertama.

INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR

Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap

bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%

2. Luka bakar derajat II > 10%

3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,

genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah

kosmetik dan kecacatan fungsi

4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas

5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya,

atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya

6. Adanya trauma inhalasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Page 14: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah

2. Urinalisis

3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit

4. Analisis gas darah

5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS

6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR

Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah

mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi

sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau

kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak

dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau

banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada

trakeostomi.

Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak

dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar

menimbulkan kecurigaan adanya jejas „tersembunyi‟. Oleh karena itu, setelah

mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas

lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat

untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat

penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan

radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi

adanya kemungkinan trauma tumpul.

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari

luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah

mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang

mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:

1. Intubasi

Page 15: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi

obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas

pemelliharaan jalan nafas.

2. Krikotiroidotomi

Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan

morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space,

memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan

pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.

3. Pemberian oksigen 100%

Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas

yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar

karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas

yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.

4. Perawatan jalan nafas

5. Penghisapan sekret (secara berkala)

6. Pemberian terapi inhalasi

Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas

dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya

menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila

perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat

(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan

steroid (masih kontroversial)

7. Bilasan bronkoalveolar

8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi

9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan

seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak

terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi

dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan

komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta

meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan

dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan

Page 16: z Bedah Luka Bakar Paramitha

sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat

mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam

persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.

Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara

untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

Cara Evans

1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam

2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam

3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam

Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam

16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama.

Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Cara Baxter

Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL

Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam

16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama.

Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak

dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi

dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung

10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini

dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.

Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah

terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam

dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan „maintenance‟ 5-20

mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada

juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam

merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar

Page 17: z Bedah Luka Bakar Paramitha

dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone,

dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar

1. Eksisi dini

Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement)

yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera

termis. Dasar dari tindakan ini adalah:

a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya

jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih

lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar

umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat

mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses

penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar,

semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.

b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi –

komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang

melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya

mediator-mediator inflamasi.

c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis

yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah

keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan

meningkatkan resiko kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan menghambat

pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin

sulit.

Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan

melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam

dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting”

(dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi

mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini

ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3

minggu.

- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.

- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.

Page 18: z Bedah Luka Bakar Paramitha

- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.

Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.

Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.

Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis

demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun

alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang

digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau

Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom)

digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini

tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil

perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan eksisi

atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah

dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah

didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari

teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit

ditentukan.

Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan

fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full

thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada

teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan

dan kerugian dari teknik ini adalah:

- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint

yang lebih mudah ditentukan

- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf

superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi

2. Skin grafting

Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini

adalah:

a. Menghentikan evaporate heat loss

b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu

c. Melindungi jaringan yang terbuka

Page 19: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar

pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang

berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh

lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor

autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara

autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin graft.

Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai

donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor tersebut dapat

direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan

perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess

grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang akan dilakukan

grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor

sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin „dermatome‟

ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan

pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.

Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi

luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi,

sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan

sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan

kulit donor dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:

- Kulit donor setipis mungkin

- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting),

hal ini dapat dilakukan dengan cara :

o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)

o Drainase yang baik

o Gunakan kasa adsorben

PROGNOSIS

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya

permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor

letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan

kecepatan penyembuhan.

Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar

antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan

kontraktur.

Page 20: z Bedah Luka Bakar Paramitha

KOMPLIKASI

Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction

Syndrome (MODS),dan Sepsis

Pendahuluan

SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai

stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi

autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.

Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi

(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh

karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara

berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik,

menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan

fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan

berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien

luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS

keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa

SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.

Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,

inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang

digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society

of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut

selama beberapa hari, yaitu:

- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)

- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2 < 32

mmHg)

- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm

3) atau

dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).

Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur

darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan

MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.

Page 21: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ

pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa

intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan

sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan

bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

Patofisiologi

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam

beberapa tahap.

Tahap I

Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau

trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-

inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada

proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah

pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor

Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor

(CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,

makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti

prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas,

oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin

mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi

kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)

jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

Tahap II

Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon

lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan

(Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan

melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis

reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut

TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut

menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine

production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini

berlangsung hingga homeostasis terjaga.

Tahap III

Page 22: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi

reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi

dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin

merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif

regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas

mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang

mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak

dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),

ARDS, MODS, dan kematian.

MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar

dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan

timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.

Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan

penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan

disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier

berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami

translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi

oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian

antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap

kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin

yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien

dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus

yang dapat memperberat keadaan.

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu

SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem

autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke

ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular

Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan

sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang

meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis.

Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim

imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.

Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya

dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki

Page 23: z Bedah Luka Bakar Paramitha

toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi;

namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul

mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu

bentuk respon sistemik.

Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase

akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas

tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi

sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang

ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini

dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat

imunosupresif.

Tatalaksana

Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah

perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.

Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama

pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini

bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan

mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan

antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu

keseimbangan flora usus.

Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis

harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi

dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka

bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin

grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup

(mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier

terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses

penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan

memperberat stres metabolisme.

Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap

tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat

saat pemberian serta efek sampingnya.

Page 24: z Bedah Luka Bakar Paramitha

Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan

leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway

pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna.

Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat,

sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan

(ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.

Komplikasi

Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi

pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan

pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia,

Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated

intravascular coagulation (DIC)

Page 25: z Bedah Luka Bakar Paramitha

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku

ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.

2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.

3. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn

DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz‟s principal surgery. 8th

ed. USA: The

McGraw-Hill Companies; 2007.

4. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F, Hirshon JM,

Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com. 28 Agusuts

2009.

5. Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari

http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 30 Agustus 2009.