yusdeka reformatted b - ok !
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi, kami mengkompilasi tulisan-tulisan tersebut, baik berdasarkan abjad huruf pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan topik tertentu. Berikut ini adalah kumpulan tulisan dengan huruf pertama berhuruf “B”.TRANSCRIPT

Artikel Oleh Yusdeka
BBBB
Dikompilasi oleh FIW

1-2
Kata Pengantar
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis
produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah)
dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada
Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi,
kami mengkompilasi tulisan-tulisan tersebut, baik berdasarkan abjad huruf
pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan topik tertentu. Berikut ini
adalah kumpulan tulisan dengan huruf pertama berhuruf “B”.
Dalam pengkompilasian ini, kami berusaha untuk tidak menambah dengan
kata-kata kami sendiri. Yang kami lakukan adalah pengurangan dan
penyuntingan tampilan. Tujuan pengkompilasian ini tak lain adalah agar
memudahkan kami untuk membaca dan memahami tulisan-tulisan tersebut.
Hal ini disebabkan karena kebodohan kami untuk dapat memahami tulisan
yang Ustadz Yusdeka tulis. Untuk itu kami merasa perlu untuk menstrukturkan
dan mensistematisasikannya. Selain itu, kami menambahkan dengan uraian
kesimpulan atas apa yang menjadi materi pembahasan Ustadz Yusdeka.
Tulisan dari Ustadz Yusdeka demikian canggihnya, tidak heran jika disadari apa
yang Ustadz Yusdeka tulis pada hakekatnya adalah tulisan yang langsung
digerakkan oleh Allah SWT sendiri, sehingga kami terkadang menggap-
menggap dalam membaca. Bahkan setelah selesai membaca, kami terkadang
bertanya-tanya, apa yang telah kami baca tadi, mengingat kebodohan kami
dalam hal yang ditulis tersebut.
Setelah pengkompilasian ini tercapai kami berpendapat alangkah sayangnya
jika tulisan dari Ustadz Yusdeka yang sudah dikompilasi tersebut hanya untuk
kami konsumsi sendiri. Untuk itu, dalam format PDF, kami menaruhnya di
internet. Semoga dengan demikian semakin banyak pihak yang dapat turut
menikmati, dan harapan kami, dapat menemani Ustadz Yusdeka untuk
camping di pinggir surga.
(FIW)

1-3
Daftar Isi
Artikel 1 : Bisakah Kita Berbicara dengan Allah ............................................... 1-4
A. Pembahasan ................................................................................ 1-4
B. Kesimpulan ................................................................................ 1-61
Artikel 2 : Bagi Orang Yang Sudah Selesai ...................................................... 2-65
A. Pembahasan .............................................................................. 2-65
B. Kesimpulan ................................................................................ 2-72
Artikel 3 : Bahasa Ruhani ............................................................................... 3-74
A. Pembahasan .............................................................................. 3-74
B. Kesimpulan ................................................................................ 3-77
Artikel 4 : Benang Kesambungan dengan Allah ............................................. 4-78
A. Pembahasan .............................................................................. 4-78
B. Kesimpulan ................................................................................ 4-79
Artikel 5 : Bersatu .......................................................................................... 5-80
A. Pembahasan .............................................................................. 5-80
B. Kesimpulan ................................................................................ 5-97
Artikel 6 : Bohong Berbuah Bohong .............................................................. 6-99
A. Pembahasan .............................................................................. 6-99
B. Kesimpulan .............................................................................. 6-108

1-4
Artikel 1 :
Bisakah Kita Berbicara dengan Allah1
A. Pembahasan
1. Tanya
Saya bertemu dengan orang yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan
Allah. Apakah ini mungkin dilakukan? Mohon penjelasannya disertai
dalil Al-Qur'an & Hadits.
2. Jawaban
Memang dunia spiritual ini kadang-kadang terlihat aneh. Di satu sisi dia
seperti dimusuhi atau paling tidak dianggap nyleneh, terutama oleh
orang-orang yang tidak atau belum mereguk kenikmatan dunia spiritual
tersebut. Sementara itu di sisi lainnya dia malah mau dieksplorasi habis-
habisan oleh orang-orang yang sepertinya tengah mabok berat oleh
dahsyatnya realitas suasana dan rasa yang didapat dalam dunia spiritual
itu. Padahal bagi dua-duanya, baik bagi yang memusuhi atau tidak
menyukainya maupun bagi yang menyukainya, landasan berpijaknya
sama juga, itu-itu juga, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan ALLAH, AL
QUR’AN, NABI MUHAMMAD SAW, dan AL HADIST.
Sebelum kita memulai membedah sedikit masalah kalimat berbicara
dengan Allah di atas, saya ingin sampaikan sebuah pokok pemikiran
tentang keterbatasan ukuran pikiran manusia.
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
Bahwa sudah menjadi sebuah kebiasaan umum bagi hampir seluruh
manusia saat dia berbicara tentang sesuatu, maka sesuatu itu selalu
dibandingkannya atau disandingkannya dengan sesuatu yang sesuai
dengan kadar pikiran atau persepesi si manusia itu sendiri.
1 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/1629

1-5
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
Misalnya, saat kita ingin berbicara tentang sesuatu yang besar, maka
ukuran besar itu pertama kali kita bandingkan dengan ukuran besar
yang saat itu ada dikepala kita. Makanya besar menurut anak TK akan
sangat jauh berbeda dengan besar menurut seseorang yang bergelut
di dunia astronomi. Menurut anak TK, besar itu mungkin hanya seba-
tas besar dirinya sendiri. Yang lebih besar dari dirinya dia kategorikan
sebagai besar dan yang kecil dari tubuhnya disebutnya kecil. Sedang-
kan bagi seorang profesor anstronomi, ukurannya besarnya sudah
berubah menjadi besaran kosmos, besaran tahun cahaya. Dan dua-
duanya, baik anak TK itu maupun si astronomis, adalah benar. Tidak
ada yang salah.
Lalu diantara dua ekstrim tersebut, anak TK dan profesor astronomi
tersebut, ada diri kita sendiri. Di mana posisi kita ?
Tugas kita ini sebenarnya sederhana saja, yaitu untuk iqra, melihat,
membaca apakah ukuran-ukuran yang ada di dalam otak kita ini
berkembang atau tidak dari waktu ke waktu. Apakah ukuran besar
yang ada di dalam otak kita dari hanya sekedar ukuran besar menurut
anak TK telah berubah menjadi sebuah ukuran besar menurut anak
SD, atau SMP, atau SMA. Atau syukur-syukur ukuran besar kita itu
sudah bisa pula mendekati ukuran besar menurut seorang astrono-
mis. Amati sajalah pencapaian kita itu dan lalu sampaikanlah kepada
orang-orang tentang yang kita pahami. Tulislah, dan da’wahkanlah.
Tapi jangan paksa seorang anak TK untuk memahami apa-apa yang
kita capai itu. Begitu juga jangan paksakan pencapaian kita itu kepada
seorang profesor astronomi yang sudah kenyang makan asam garam
dunia dalam ukuran besaran makro kosmos. Karena kalau kita sudah
memaksa-maksa agar besar orang lain sama dengan besar menurut
kita, maka nanti kita sendiri juga yang akan sakit saat mana orang lain
itu tidak menerima apa-apa yang kita paksakan kepadanya.
Tentang masalah ukuran besar ini saja ternyata sudah sangat berbeda

1-6
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
dari orang ke orang. Belum lagi kalau mau kita ukur bagaimana suasa-
na dan rasa dari besar tersebut. Akan lebih bervariasi lagi. Misalnya
saat seseorang terbiasa memiliki uang di dalam tabungan rata-rata
selama hidupnya tidak lebih dari Rp. 50 juta, tatkala dia tiba-tiba
mendapatkan uang tak terduga-duga dari seseorang sebesar Rp 50
Milyar, maka ada suasana dan rasa wah, huh, hih, aha, yang mengalir
di dalam dadanya. Suasana dan rasa itu sangat mempengaruhinya
sehingga dia tidak kuat untuk menikmatinya sendiri. Lalu dia akan
berteriak, dia akan histeris, dia akan tertawa, dia akan gemetar, dia
akan menangis tapi sekaligus juga gembira, bahkan dia bisa lari
kesana kemari mengabarkan sebuah suasana dan rasa dari Rp 50
milyar itu.
Sehingga seringkali orang yang mendapatkan sesuatu yang jauh lebih
besar dari apa-apa yang dia punya saat ditanya dengan pertanyaan
yang aneh: Bagaimana rasanya mendapatkan uang sebesar itu ? Dan
jawabannya tentu saja tak kalah anehnya pula. Misalnya: Saya sung-
guh senang, saya tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata rasa bahagia
saya yang muncul, dan sebagainya. Walaupun begitu, ungkapannya
itu tidak akan bisa dirasakan oleh si penanya saat itu, apalagi kalau si
penanya saat itu punya uang RP. 500 milyar di dalam tabungannya.
Dan yakinlah bahwa ungkapan rasa bahagianya tadi itu tidak akan
utuh diterima oleh si penanya itu tadi. Sebab sebuah rasa saat ditulis
dalam bentuk huruf, kata, dan kalimat-kalimat tidak akan pernah bisa
mewakili rasa itu sendiri. Rasa itu tidak bisa ditransfer kepada orang
lain hanya dengan kata-kata dan kalimat-kalimat saja (untuk
sementara terima sajalah dulu pernyataan ini).
Dari contoh di atas, kita dapat ambil kesimpulan sementara bahwa
saat orang bergerak dari sebuah ukuran besar ke ukuran besar yang
lebih besar lagi, maka di situ akan ada sebuah proses di dalam dada
kita yang ukurannya bukan lagi besaran besar tapi sudah beralih
besaran suasana dan rasa. Setiap besaran itu ternyata juga ada

1-7
Keterbatasan Ukuran Pikiran Manusia
ukuran suasana dan rasanya.
Orang yang tadinya hanya terbiasa melihat besarnya Monas di Jakarta
dan rasanya pun sudah tidak ada lagi, saat dia dibawa menaiki mena-
ra Eifel di Paris, akan menerima pula besaran rasa menara Eifel buat
seketika yang melebihi besaran rasa Monas. Begitupun selanjutnya,
seseorang yang tadinya hanya melihat besarnya gunung Tangkuban
Perahu saat dibawa mendaki Pegunungan Everest, akan mendapat-
kan rasa yang lebih lagi dari saat dia mendaki gunung Tangkuban
Perahu tadi. Ya, ternyata ada pula rasa puncak Gunung Everest.
Sampai di sini sebuah pertanyaan sederhana, pertanyaan seorang
spiritualis, sudah boleh saya sampaikan kepada kita semua :
Saat kita mengucapkan “Allahu Akbar, Allah Maha Besar”,
lalu suasana dan rasa puncak seperti apa yang muncul
di dalam dada kita masing-masing ?
Sebab besar-Nya Allah adalah besar Yang Maha, maka suasana dan
rasanya juga haruslah suasana dan rasa yang ultimate. Cobalah bedakan
sejenak beda suasana dan rasanya tatkala kita menyebut : “Laut,
gunung, piring, gelas,” dengan menyebut nama, “Allah, Allah, Allah.”
Adakah bedanya ?
Kalau menyebut nama Allah
dengan menyebut nama benda-benda itu tadi tidak ada beda
suasana dan rasanya sedikit pun, barangkali saja memang kita
belum berhasil mendapatkan
suasana dan rasa berketuhanan yang kental
seperti yang dirasakan oleh Rasulullah SAW,
. . . atau paling tidak imbasan dari suasana dan rasa berketuhanan yang
Beliau alami dulu itu saja sebenarnya sudah cukuplah rasanya buat kita
yang bodoh ini. Ya, Rasulullah itu dulu, saat Beliau menyebut nama

1-8
Allah, berhasil mendapatkan realitas suasana dan rasa dari segala apa
yang beliau baca (iqra).
Saat Beliau dituntun oleh Jibril untuk membaca (iqra), bahwa
segala sesuatu di dunia ini ternyata bersandar kepada Allah,
dan Beliau berhasil memahami itu
(atau tepatnya didudukkan oleh Allah sendiri
dalam pemahaman itu),
lalu :
Beliau menyebut nama Allah, ayat-ayat Allah,
tiba-tiba saja ada realitas suasana dan rasa berketuhanan yang amat
sangat kuat mengalir di dalam dada Beliau,
. . . sebab Beliau telah berhasil menjadi penyaksi, syahid, atas realitas
itu tadi. Suasana dan rasa yang muncul itu begitu kuatnya :
• Dada Beliau menggigil, tubuh Beliau gemetar,
• Air mata Beliau tumpah ruah tak terbendung.
Untuk membahasakan suasana dan rasa yang Beliau dapatkan itu,
Beliau lalu dituntun oleh Jibril, sehingga :
. . . bahasa yang lahir dari tuntunan Jibril itu disebut
bahasa Tuhan.
Sebuah bahasa yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa murni seorang
manusia. Bahasa itu tidak dikotori sedikitpun oleh persepsi-persepsi
Beliau sebagai seorang manusia.
Hampir selama dua puluh tahunan Beliau memposisikan diri Beliau
sebagai seorang pengiqraa (seorang pembaca sejati dan paripurna).
Beliau selalu mendapatkan kepahaman, sekaligus suasana dan rasa dari
apa-apa yang Beliau Iqra itu.
Catatan: Janganlah kita kecilkan makna Iqraa Beliau itu hanya sebatas
membaca seperti kita membaca sebuah buku. Tidak, Beliau Iqra dengan

1-9
seluruh instrumen yang ada pada diri Beliau. Utuh bacaan Beliau itu.
Kalau makna Iqraa ini kita bonsai hanya menjadi membaca seperti kita
membaca buku, maka buku macam apakah yang dibaca oleh Rasulullah
ketika beliau diperintahkan oleh Malaikat Jibril untuk membaca
pertama kalinya ? Wong belum ada kitabnya.
Yang Beliau baca adalah
segala yang terlihat melalui mata dan
yang terdengar melalui telinga,
Beliau membaca apa saja yang bisa ditangkap :
•••• oleh lidah,
•••• oleh hidung,
•••• oleh kulit,
•••• oleh perut,
•••• oleh kelamin, dan
•••• oleh DADA Beliau.
Lalu Beliau paham, lalu Beliau mendapatkan
suasana dan rasa dari segala sesuatu yang Beliau
baca itu pada saat yang sama.
Jadi ada apa-apa yang Beliau baca itu ada RUANGANNYA yang di dalam-
nya ada kenyataan atau realitasnya, ada suasananya, dan ada pula
rasanya.
Karena Beliau adalah seorang Rasul, maka :
. . . kepahaman, suasana, dan rasa yang Beliau alami
atas segala sesuatu itu
bukanlah hanya untuk Beliau nikmati sendiri.

1-10
Beliau harus sampaikan semuanya itu kepada seluruh umat manusia.
Dan Beliau harus mengaktualisasikan semuanya itu dalam sebuah
kehidupan di dunia ini.
Untuk itu, semua kepahaman, suasana, dan rasa itu tadi haruslah
dituangkan, ditranslasikan ke dalam bentuk bahasa aksara dan suara,
bahasa manusia. Lalu, karena Beliau adalah seorang Arab, maka bahasa
yang paling pas untuk itu adalah aksara dan suara dalam bahasa Arab
pula. Bukan bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris, bukan bahasa
Persia ataupun Romawi. Semua itu gunanya adalah agar orang-orang
yang Beliau da’wahi itu bisa mengerti, paham, dan mendapatkan pula
suasana dan rasa yang telah Beliau dapatkan itu. Nanti kalau ada orang
yang mampu pula mendapatkan kepahaman, suasana dan rasa seperti
yang dialami oleh Rasulullah itu, walau satu ayat sekali pun, maka tiada
lain yang bisa dia katakan bahwa benar Muhammad ini adalah Rasulul-
lah. Ya, kita tinggal syahid, menyampaikan kesaksian kita atas kerasulan
Beliau, Muhammad SAW. Karena apa-apa yang Beliau sampaikan
ternyata semata-mata adalah sesuatu yang benar adanya. Benar ada
kepahaman, benar ada suasana dan rasa dari apa-apa yang Beliau
sampaikan itu.
Untuk proses translasi bahasa kepahaman, bahasa suasana dan rasa
(bahasa QALAM, bahasa KESADARAN) itu tadi menjadi bahasa Arab
tertulis, terjadi dengan dua cara, yaitu :
• Dengan bantuan murni Malaikat Jibril yang nantinya akan
menghasilkan kitab Al Qur’an, dan
• Dengan cara mentranslasikan bahasa itu melalui tindak-tanduk, kata-
kata ataupun ungkapan, akhlak dan perilaku Beliau sendiri yang
semuanya itu nantinya akan menjadi rangkaian Al Hadist.
Keduanya, Al Qur-an dan Al Hadist, inilah yang sampai kepada kita saat
ini sebagai sarana utama bagi kita untuk menilai diri kita sendiri, dan
syukur-syukur kita mau pula untuk menyampaikan seayat atau dua ayat
yang berhasil kita pahami dan kemudian kita dapatkan pula suasana
dan rasanya.

1-11
Sebenarnya banyak orang yang tidak sadar bahwa :
. . . hakikinya Al Qur’an dan Al Hadist itu juga adalah GAMBARAN
atau PROFILE tentang diri kita sendiri. Gambaran tentang
kepahaman, tentang suasana dan rasa yang ada di diri kita sendiri
dalam setiap tahapan kehidupan kita.
Cobalah amati dada dan otak kita untuk sesaat, maka saat itu pastilah
sama dengan bagian-bagian tertentu dari Al Qur’an ataupun Al Hadist :
• Misalnya, tatkala kita shalat, kita berdiri malas-malasan, kita riya, kita
tidak ingat Allah kecuali sedikit sekali, maka suasana dan rasa shalat
seperti itu ternyata ada. Al Qur’an menyatakan bahwa itulah tanda-
tanda atau profile seorang munafik (lihat An Nisaa, 4: 1422). Tatkala
kita bingung tentang diri kita dan alam semesta ini, hati kita terkunci
untuk memahami dan sekaligus mendapatkan suasana dan realitas
tentang diri kita dan alam semesta ini, maka itulah tanda-tanda orang
yang tercover (kafir), orang yang hatinya keras membatu, orang yang
jahil. Untuk itu Al Qur’an menyebutkan contoh orang-orang tertentu
dengan berbagai variasi kesadaran tertentu pula.
• Misalnya, ada Fir’aun dengan profile sebagai penguasa yang sombong
dan bengis. Ada Abu Lahab, ada Iblis, ada Jin dan sebagainya yang
mewakili profile makhluk Allah yang dekat dengan Murka Allah. Ada
pula Nabi-nabi, Rasul-Rasul, orang-orang shaleh, ada Muhammad
SAW, ada Isa AS, ada Ibrahim AS, ada Adam, dan sebagainya untuk
mewakili profile orang-orang yang dituntun oleh Allah dengan
Rahmat-Nya.
Jadi Al Qur’an itu memuat berbagai informasi, pengetahuan, suasana
dan rasa dari segala kemungkinan yang ada. Ada informasi tentang :
• berbagai Profile Tuhan dan profile segala ciptaan-Nya;
• berbagai kemungkinan profile umat manusia;
• berbagai kepahaman, suasana dan rasa dada umat manusia;
2 Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.

1-12
• berbagai pengetahuan dasar yang bisa dimiliki oleh umat manusia
untuk keperluan hidupnya;
• berbagai profile kehidupan dan peradaban sejak awal ketiadaan,
kemudian ada, dan kemudian kembali keketiadaan.
Ya, Rasulullah berhasil membaca itu semua, mendapatkan kepahaman-
nya, menerima suasana dan rasanya. Namun begitu :
. . . Beliau tidak larut, tidak terperangkap oleh ke semua rasa dan
suasana itu. Beliau berada DI ATAS semua yang Beliau baca itu.
Lalu Beliau diperintahkan Allah untuk menyampaikan semua itu kepada
seluruh umat manusia agar masing-masing manusia itu bisa memban-
dingkan dadanya, membandingkan otaknya sendiri dengan apa-apa
yang telah diperoleh oleh Rasulullah. Jadi tugas kita sebenarnya sudah
menjadi sangat sederhana sekali, yaitu untuk :
. . . membandingkan profile informasi tentang otak, tangan dan
lidah (peradaban), dan dada kita masing-masing dengan Al Qur’an
dan Al Hadist di setiap saat. Pada posisi profile makhluk yang
macam apa kita masing-masing berada pada suatu saat tertentu.
Apakah pada suatu saat kita berada :
a. Pada posisi profile pertama, yaitu profile :
1) orang yang bodoh, atau
2) orang yang buruk, atau
3) orang yang jahat, atau
4) orang yang durhaka, atau
5) orang yang munafik, atau
6) orang yang angkuh, atau
7) orang yang menjalankan maksiat, atau
8) orang lemah, atau
9) orang yang kafir, dan berbagai profile buruk lainnya,
yang kalau semuanya diringkas menjadi sebuah profile yang disebut
profile FUJUR.

1-13
b. Atau apakah pada suatu saat kita berada pada posisi profile kedua,
yaitu profile :
1) orang yang cerdas (ulul albab),
2) orang yang baik,
3) orang santun,
4) orang yang patuh,
5) orang yang dipercaya,
6) orang yang rendah hati,
7) orang yang memelihara dirinya dari maksiat,
8) orang yang kuat dan gagah,
9) orang beriman,
10) dan berbagai profile baik lainnya,
yang kalau semuanya dirangkum menjadi sebuah profile yang
disebut profile TAQWA.
Kesalahan umum kita umat Islam ini adalah :
. . . saat kita membaca barang seayat dua ayat Al Qur'an, maka
selalu saja mengarahkan ayat tersebut kepada orang lain. Ayat itu
bukannya kita bandingkan dengan profil diri kita sendiri.
Ya, Al Qur'an itu tidak kita bandingkan dengan profil dan suasana :
• dada kita,
• dengan otak kita,
• dengan tangan kita,
• dengan perkataan dan perbuatan kita sendiri.
Kita hampir selalu saja beranggapan bahwa :
. . . ajakan Al Qur'an untuk berbuat baik maupun
meninggalkan keburukan
adalah untuk orang lain.
Sebab kita sendiri merasa sudah sangat baik, sudah sesuai dengan
ayat yang kita sampaikan itu. Sedangkan orang lain belum.

1-14
Makanya orang lain yang kita tuju untuk kita ajak agar mereka mau
berbuat baik dan meninggalkan keburukan itu, bukannya diri kita
sendiri. Duh betapa sombongnya kita ini ya.
Padahal Allah sangat tidak suka, atau tepatnya sangat murka, dengan
kita yang berani-beraninya mengatakan kepada orang lain tentang
suatu kebaikan padahal kita sendiri belum berada dalam suasana dan
rasa ayat tentang ayat kebaikan itu.
Mari kita lanjut. Nah, profile Fujur ataupun Taqwa itu, di samping ada
bahasanya, ada pula suasana dan rasanya masing-masing. Dan pada
posisi profile yang manapun kita berada, maka saat itu pastilah kita
sama dengan Al Qur'an. Kita tengah menjalankan Al Qur'an juga
namanya. Tidak bisa tidak. Tapi pada FUJUR dan TAQWA itu berada
pada sisi yang saling bertolak belakang satu sama lainnya. Tegasnya,
orang kafir juga tengah sesuai atau menjalankan Al Qur'an sama baik
dan sempurnanya dengan orang yang beriman. Tapi dua-duanya sangat
berbeda dalam hal suasana dan rasanya. Sebab suasana dan rasa kafir
sangatlah berbeda dengan suasana dan rasa iman. Berbeda seperti
berbedanya siang dan malam, seperti berbedanya hidup dan mati,
seperti berbedanya air dan api, seperti berbedanya positif dan negatif.
Walaupun begitu, dua-duanya akan selalu ada sebagai pertanda bahwa
kita masih hidup di dunia ini. Dunia di mana segala sesuatunya berada
dalam suasana berpasang-pasangan. Terpolarisasi.
Cuma saja di tengah-tengah polaritas hidup yang aneh itu,
Muhammad SAW berhasil menemukan resep yang jitu agar
kita bisa ke luar saat mana kita di suatu saat terdorong
menuju polaritas FUJUR,
yang suasananya bisa dirasakan oleh dada kita berupa sempitnya
dada kita dan rasanya juga tidak enak. Beliau telah mewariskan
jalan ke luar itu bagi seluruh umat manusia. Jalan ke luar itu adalah
agar kita segera berlari ke sisi Allah,
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”.

1-15
Namun, adakalanya pula makna Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun ini
tidak kurang-kurangnya pula di antara kita ini ada yang mencoba me-
mahaminya dengan cara yang sulit-sulit atau lebih tepatnya dipersulit-
sulit sendiri. Sehingga ada yang mempersepsikannya seperti :
• kita ke luar masuk tubuh,
• kita tamasya rohani ke sana ke mari,
• kita berusaha meraga sukma,
• dan sebagainya.
Rame sekali. Padahal sebenarnya cukup bersikap :
• Aku tak mau merampas kehidupan-Nya
• Biarlah aku berserah untuk tiada
• Berada dalam diam dalam tiada
• Diam, diam, diam.
Ya,
selalulah berserah untuk menjadi tiada.
Dan biarkanlah Dia Sendiri yang menyatakan keberadaan-Nya,
Kehidupan-Nya, Kesibukan-Nya, Karep-Nya.
Sehingga akhirnya kita didudukan-Nya di posisi :
Al Anfal (8 : 17)
…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang
membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau
melempar, melainkan Allah-lah yang melempar.
Untuk melatih suasana dalam ayat yang sangat sederhana tapi sangat
dalam ini tiada lain adalah :
Selalulah lari ke Allah, meringkuklah segera di sisi-Nya.
Karena memang rumah kita yang hakiki adalah di sisi
Allah. Sebab kita ini memang berasal dari-Nya, dan
kepadanya jugalah memang kita ini seharusnya
kembali. Tidak kepada yang lain.
Cara
Melatih

1-16
Dan untuk mendapatkan suasana itupun sangat sederhana sekali, yaitu :
Shalatlah dengan khusyu !
Bahkan Nabi telah mengeluarkan pernyataan Beliau yang sangat
gamblang tentang shalat ini : “Ash shalatu mi’rajul mukminin”, Shalat
itu adalah mi’rajnya orang beriman.
Jadi saat shalat itu sebenarnya kita tengah merasakan suasana kede-
katan dengan Allah, berada di hadapan Wajah Allah, berbicara dengan
Allah. Dan, dengan sangat mengherankan sekali, seketika itu pula kita
akan dituntun-Nya untuk ke luar dari suasana dan rasa polaritas FUJUR
yang garing dan tidak enak.
Nah, orang yang ke luar atau tepatnya dikeluarkan oleh Allah dari
suasana dan rasa polaritas FUJUR itu akibat dari larinya dia ke Allah saat
mendapatkan suasana dan rasa Fujur itu, maka dengan seketika itu pula
dia akan merasakan suasana dan rasa polaritas TAQWA. Tidak bisa
tidak. Karena memang dalam kehidupan kita ini hanya ada dua sisi
suasana yang akan kita dapatkan, yaitu :
• Suasana dan rasa Taqwa di satu sisi, atau
• Suasana dan rasa Fujur di sisi yang lainnya.
Dalam kesempatan lain nanti, kita akan bahas pula tentang apa yang
harus kita lakukan saat kita sudah mendapatkan realitas suasana dan
rasa pulang ke rumah kita yang hakiki, yaitu di sisi Tuhan. Insyaallah.
Nah sekarang mari kita masuk dulu ke bagian lain untuk menjawab
pertanyaan di atas, yang kelihatannya cukup sederhana, tapi ternyata
membutuhkan jawaban yang alangkah sulitnya untuk dituliskan, yaitu
tentang bisakah kita berbicara dengan Allah ?
Begitu kita membaca kata berbicara, maka hampir dengan seketika itu
pula asosiasi kita akan beralih kepada cara berbicara kita diantara
sesama manusia. Di mana kalau manusia saling berbicara, maka ada
mulut, ada lidah, ada gigi geligi, ada aliran udara. Semua alat itu tadi
kita saling gerakkan dengan cara–cara tertentu sehingga menghasilkan

1-17
bunyi atau suara yang bisa kita tangkap dengan telinga kita. Setiap
suara atau bunyi akan bisa mewakili sebuah suasana atau rasa yang
sedang kita saling bicarakan dengan lawan berbicara kita.
Kalau berbicara seperti ini yang dimaksudkan dengan pertanyaan di
atas, maka saya berlindung kepada Allah dari pemahaman untuk
menyamakan cara berbicara Tuhan dengan cara berbicaranya manusia.
Saya dengan sangat rendah hati akan menyatakan bahwa :
Allah tidak mungkinlah berbicara dengan manusia
yang notabene adalah ciptaan-Nya
dengan memakai bahasa artikulasi manusia itu sendiri.
Sebab Dia adalah Sang Laisa kamistlihi syai’un. Dzat yang tidak akan
pernah sama dengan ciptaan-Nya tentang apapun juga.
Kalau rambu laisa kamistlihi syai’un ini tidak kita pakai, maka kita kem-
bali akan digiring kepada asosiasi tentang Tuhan yang sedang berbicara
kepada kita seperti yang sering kita lihat di film-film, terutama film
India, dan film-film Cina atau Indonesia yang berbicara tentang dewa-
dewi dari kahyangan. Misalnya, di saat kita butuh pertolongan, tiba-tiba
saja ada suara yang memberitahu kita jalan ke luar dari permasalahan
kita. Saat kita cari siapa yang berbicara itu, maka wujud yang berbicara
itu dibuat menjadi tidak ada. Lalu dikaranglah bahwa yang berbicara itu
tadi adalah Tuhan, atau Dewa-Dewi, atau Yesus, atau Budha, dan
sebagainya. Masak sih umat Islam akan memakai konsep seperti itu
pula ? Lalu bagaimana konsep Islam dalam memahami cara berbicara
Allah dengan manusia ? Dan bagaimana pula cara berbicara manusia
dengan Allah ?
Untuk itu kita ambil dulu beberapa ayat yang berbicara tentang itu.
Al ‘Alaq (96 : 4)
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan QALAM.”

1-18
Al ‘Alaq (96 : 5)
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Al-Baqarah (2 : 253)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata dan sebagiannya
Allah meninggikannya beberapa derajat.”
An-Nisa' (4 : 164)
“Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung.”
Luqman (31 : 12)
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu,
‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.’”
Al Baqarah (2 : 186)
“Ujiibu da’watad da’I idza da’aani, Aku menjawab panggilan orang
yang memanggil apabila ia memanggil-manggil-Ku.”
Cukup sebegini dulu ayat-ayat yang akan menjadi landasan berfikir kita.
Saya akan mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana : Saat kita dalam

1-19
shalat mengucapkan kalimat do’a “Rabbighfirli, ya Allah ampuni saya",
kira-kira jawaban Allah seperti apa ya ? Masak sih Allah nggak men-
jawabnya. Kalau Allah tidak menjawabnya, tidak meresponnya, maka
ayat 186 surat Al Baqarah di atas boleh tidak untuk kita coret saja ?
Padahal kita menyampaikan do’a kita itu kepada Dzat Yang Hidup, Allah.
Bukan kebatu, bukan ke benda mati.
Kalau kita tidak berhasil membaca, IQRA, jawaban dari Allah tentang
apa-apa yang kita bicarakan dengan Allah, maka boleh jadi kita ini
memang tengah duduk terpuruk sebagai anggota dari golongan orang
yang buta, orang yang tuli. Maksud buta dan tuli di sini bukanlah buta
mata dan tuli telinga kita, tapi hati kitalah yang telah buta dan tuli.
Sehingga kita tidak bisa lagi melihat dan mendengarkan Tuhan berbi-
cara menyambut dan mengabulkan do’a kita tadi. Itu baru satu do’a.
Lalu bagaimana dengan do’a-do’a yang lainnya, seperti “warhamni,
wajburni, warfa’ni, warzukni, wahdini, wa’aafini, wa’fu’anni”, begitu
juga dengan do’a sapu jagad “Rabbana atina fiddunya hasanah wafil
akhirati hasanah”, kira-kira jawaban Allah bagaimana pula agaknya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini, marilah
kita bongkar dulu frame berfikir kita yang sudah karatan berada di
dalam otak kita.
Allah menyatakan bahwa Aku menurut persangkaan hamba-hamba-Ku,
ana ‘inda zhanni abdi. Oleh sebab itu, marilah kita sejenak membuat
persangkaan-persangkaan baru kepada Allah. Kita ubah persangkaan
kita kepada Allah yang selama ini sudah berkarat di otak kita. Misalnya :
a. Bahwa Allah tidak akan pernah lagi berbicara dengan kita umat
manusia biasa ini, bukan Rasul, bukan Nabi.
b. Bahwa Allah telah selesai bekerja. Setelah menciptakan blue print
kehidupan seluruh alam semesta ciptaan-Nya (sunatullah),
1) Dia sudah tinggal istirahat saja di ‘Arasy memperhatikan seluruh
ciptaan-Nya berjalan sesuai dengan sunatullah itu.
2) Dia kemudian tinggal duduk saja, bersemayam saja di ‘Arasy.

1-20
Lalu persepsi kita melayang-layang liar untuk menyamakan duduk-Nya
Allah di ‘Arasy itu seperti duduknya raja diraja yang sangat berkuasa.
Apa-apa tinggal Dia perintahkan para Malaikat-Nya untuk mengerja-
kannya :
• Untuk menurunkan hujan tingggal Dia perintahkan malaikat.
• Untuk mencabut nyawa tinggal Dia perintahkan malaikat.
• Untuk mencatat perbuatan baik dan buruk kita tinggal dia
perintahkan malaikat, dan sebagainya.
Marilah kita berprasangka baru kepada Allah, atau syukur-syukur ini
bisa menjadi sebuah keyakinan (iman) kita yang baru kepada-Nya.
Dasar-dasarnya juga Al Qur'an kok. Yaitu, bahwa sebenarnya Allah
sangatlah SIBUK:
Ar Rahmaan (55 : 29)
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.
Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
Al Baqarah (2 : 255)
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya.
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melain-
kan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi.
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
Untuk memahami kemahasibukan Allah ini, maka prasangka kita
terhadap Wujud Allah juga haruslah kita ubah. Allah yang tadinya kita
sangka duduk manis di ‘Arasy mari kita ubah sejenak menjadi sebuah
kesadaran baru bahwa:

1-21
Al Fushilat (41 : 54), An Nissa’ (4 : 126)
“Dia Maha MELIPUTI segala sesuatu.”
Ya, Dia Maha Meliputi segala sesuatu, Dzat-Nya Maha Meliputi segala
sesuatu, Wujud-Nya Maha Meliputi segala sesuatu. Allah Maha Meliputi
segala sesuatu.
Ratusan tahun sejak wafatnya Rasulullah, ayat ini seperti terlupakan
oleh umat Islam. Setiap kita bertemu dengan ayat ini, maka :
. . . selalu saja pikiran kita dibawa kepada pemahaman bahwa
yang maha meliputi segala sesuatu itu :
• adalah sifat-Nya,
• adalah kekuasaan-Nya,
• adalah keperkasaan-Nya,
• adalah pengetahuan-Nya.
Selalu saja begitu !
Kita seperti orang yang mengalami trauma berat saat berhadapan
dengan ayat ini gara-gara ada sejarah tentang Al Halaj dan Syech Siti
Jenar. Akibatnya kita seperti umat yang jauh sekali dengan Tuhan, kita
seperti tidak punya tempat bergantung lagi sudah berbilang zaman. Kita
tidak punya alamat untuk berpegang teguh lagi di dalam keseharian
hidup kita. Kita seperti tidak punya tempat bersandar lagi dalam setiap
aktivitas kita. Padahal Allah menyatakan dengan tegas bahwa:
Al Hajj (22 : 78)
“Wa’tashimuu billah, berpegang teguhlah kepada Allah.”
Sehingga :
. . . kita sudah tidak bisa lagi memahami :
• bagaimana dekatnya Allah dengan kita,
• bagaimana Allah lebih dekat dari urat leher kita,

1-22
• bagaimana memahami wajah Allah yang tidak di barat dan tidak
di timur, ke mana saja kita menghadap maka di sana ada Wajah
Allah.
Mengurai Belenggu Fikiran
Buat sejenak jangan buat dulu pembatasan pola berfikir kita bahwa
Bercakap-cakap dengan Allah SWT itu hanya dilakukan oleh para nabi,
itupun tidak semua nabi. Hanya nabi tertentu yang disebutkan berca-
kap-cakap dengan Allah. Pembatasan seperti ini buang dululah sejenak.
Dasar ayat untuk menafikan kalimat di atas adalah ayat-ayat yang saya
kutipkan di atas. Coretlah dulu kalimat itu dengan tinta merah, sebentar
saja. Dan kalau nanti mau dipakai kembali ya silahkan saja.
Cara untuk membuang kalimat itu dari ingatan kita juga sederhana
saja :
a. Lihat dan amatilah sebatang pohon. Artinya alihkanlah kesadaran
kita kepada sebatang pohon. Amatilah batangnya, rantingnya, daun-
nya, buahnya. Kesadaran kita seperti mengalir begitu saja melalui
bagian-bagian pohon tersebut. Lakukanlah pengamatan terhadap
pohon itu secara berulang-ulang agak beberapa lama. Dan dengan
sangat mengejutkan kita sudah tidak ingat lagi dengan kalimat pem-
batasan pola berfikir seperti di atas.
b. Tahap berikutnya cobalah tubuh kita ini dirilekskan saja. Otak kita
rilek, mata kita rileks, dada kita rileks. Artinya tidak ada ketegangan
otot di tubuh, di kepala, di dada, di mata, dan di kening diantara
kedua mata kita. Contoh keadaan rileks yang sempurna adalah se-
perti sikap yang dilakukan oleh anak kecil, terutama bagi anak-anak
yang berusia antara 0 sampai dengan 2 atau 3 tahun. Tirulah rileks
mereka itu. Rileks sekali.
Begitu kita bisa bersikap rileks ini, maka hampir secara otomatis kita
akan terbebas dari kungkungan persepsi ketubuhan kita. Kita seperti
bisa melampaui tubuh kita. Kita akan merasakan bahwa kita tidak

1-23
lagi bentuk wujud yang hanya sekedar dibatasi oleh jaringan kulit
dan otot saja. Kita bisa begitu bebasnya bergerak seperti bebasnya
angin, Rih bergerak. Karena kita ini hakekatnya memang adalah Ar
Ruh, Sang Angin, Sang Sir. Saat kita mengamati dada dan otak kita,
maka keduanya akan terasa bergerak meluas tak terbatas. Lepas tak
terbatas menuju ruang tanpa batas. Seperti bergerak dan mengem-
bangnya alam semesta ini secara terus menerus dan tanpa henti.
Ya, kita akan mengamati sebatang pohon dan juga diri kita sendiri
dalam suasana hati dan pikiran yang rileks. Kita akan masuk ke suasana
ruangan otak dan dada kita yang besarannya menjadi begitu luas dan
tak terbatas.
Kemudian sadarilah, oo, ternyata aku ini adalah Sang Angin, Sang Sir.
Wujud yang sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh apapun juga. Akulah
Sang Angin yang bebas bergerak. Sang Angin tidak terpengaruh
sedikitpun dengan apa-apa yang dia amati. Karena Sang angin selalu
bergerak bebas, maka apa-apa yang dia jumpai, apa-apa yang dia
lewati, sudah tidak jadi pusat perhatiannya lagi. Saat dia melihat benda
apapun juga, semua itu dia lewati saja sambil lalu.
Sang Angin seperti berkata pada dirinya sendiri:
• “Laa, Laa, Laa ilaha.
• Aku akan lewati semuanya,
• Aku menganggap tidak penting lagi semua yang ku lalui ini,
• Aku akan nafikan apa-apa yang datang dan pergi,
• Aku tegaskan bahwa semua warna dan rupa hakikinya adalah tiada,
• Aku sedang menuju Wujud Hakiki tempat ku bergantung dan ber-
sandar.”
Saat semua bentuk, rupa dan warna sudah tiada, Sang Angin pun
menemukan :
• Wujud Sang Ada,
• Wujud tanpa rupa, tanpa warna. Kosong !
• Wujud yang meliputi segala apapun juga,
• Wujud yang menyelimuti segala sesuatu.

1-24
Sang Angin pun merunduk, bersimpuh, merendah di dalam liputan
kekosongan itu. Liputan Sang Ada …! Sang Muhith. Lalu Sang Angin
menegaskan pada Sang Ada, “Illallah, Illallah, Illallah, yang ada hanyalah
Engkau, Tuhanku, Allah, Allah, Allah. Laa ilaha illallah !”
Lalu Sang Anginpun tenteram duduk bersimpuh di rumahnya sendiri. Di
Rumah Angin, Sang Ada, Sang Muhith,
Sang Angin pun menyampaikan sembah kepada Sang Ada : “Laa ilaha
illallah…! Tidak ada apa-apa kecuali hanya Engkau Wahai Sang Muhith,
Wahai Sang Ada.”
Sang Angin kemudian mengerti bahwa Sang Muhith adalah Dzat :
• Sang Penghidupan.
• Sang Penggerak tumbuh hidup.
Lalu Sang Anginpun bersedia untuk tiada, bersedia untuk tiada dan
diam. Tiada, diam.
Berbicara Dengan Allah tentang Alam
Kalau kita sudah paham posisi duduk kita di hadapan Allah, dan paham
pula bahwa segala sesuatunya bersandar kepada Dzat Sang Penghi-
dupan, Sang Penggerak tumbuh hidup, Dzat Yang setiap waktu selalu
dalam kesibukan mengatur semua ciptaan-Nya, maka berbicara dengan
Allah adalah sebuah kegiatan yang niscaya saja sebenarnya.
Mari kita coba sejenak :
a. Pertama, kita ingin berbicara dengan Allah tentang apa yang terjadi
dengan 4 batang pohon tomat yang kita tanam dalam 4 pot yang
berbeda. Kalau bisa keempat batang pohon itu yang hampir sama
umur dan karakteristiknya. Taruhlah keempat pot pohon tomat itu
berdampingan di hadapan kita. Siapkan pula pupuk tanaman
secukupnya. Ambillah buku catatan, ballpoint, meteran, kalau perlu
kamera. Siap-siaplah, kita akan menjadi seorang penyaksi akan
kebenaran ayat berikut ini:

1-25
Ali Imran (3 : 190-191)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul albab
(orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata) Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka."
b. Selanjutnya, pandanglah Sang Muhith. Kalau kita sampai tidak sadar
dan tidak mampu memadang Wujud Sang Muhith INI, maka kita
namanya adalah orang yang kafir, covered, orang tertutup akan
keberadaan Wujud-Nya, Yang Nyata, Yang Ada.
Saat kita memandang Sang Muhith, kapan perlu, dan (lets me tell
you) memang ini sangatlah perlu, pujilah Dia dengan sangat rendah
hati, “Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka !” Tiga kali saja pujian
seperti ini kepada-Nya, akan sanggup merontokkan keangkuhan dan
kekerasan hati kita yang seberapapun kuatnya. Karena dengan
pujian itu berarti saat itu juga kita telah menyerah segala kesucian,
segala kehebatan, segala keangkuhan yang mungkin saja bersarang
di sudut-sudut dada kita kepada Sang Muhith, Sang Pemilik
kesucian, kengakuhan, kehebatan yang sebenarnya.
Karena kita memuji kepada Allah, Sang Maha Hidup, bukan kepada
batu atau benda mati, maka Jawaban Allah terhadap pujian kita ini
pastilah ada. Dia mendudukkan kita dalam posisi sikap pemujaan
kepada-Nya. Sikap pemujaan bukanlah dalam bentuk kata-kata
seperti puji-pujian, akan tetapi dalam bentuk laku dan karsa. Seperti
apa ? Ya, alami sajalah sendiri ! Derr.
c. Lalu pandanglah keempat pohon tomat di dalam pot yang ada di
depan kita. Ada tidak kesadaran kita muncul dengan pekat bahwa
ternyata pohon tomat itu hanya sekedar bersandar saja kepada

1-26
liputan Sang Muhith tanpa daya tanpa upaya. Kesadaran itu bukan
hanya dalam bentuk keilmuan lagi, tapi lebih dalam bentuk suasana
dan rasa. Ada ruangannya untuk kesadaran itu. Amatilah sampai
ketemu posisi duduk kita yang tepat dalam memandang pohon
tomat itu yang diliputi Sang Muhith.
d. Kalau sudah ketemu duduknya, maka amatilah tangan kita agak
sejenak dua jenak. Sadari pulalah bahwa ternyata tangan kita, tubuh
kita, dan penglihatan kita juga ternyata berada dalam liputan Sang
Muhith. Sebab tidak ada suatu apapun yang bisa luput dari liputan
Sang Muhith. Derr !
Sekarang nyatakanlah bahwa saya akan menjadi wakil Tuhan untuk
memanfa’atkan tangan saya ini dalam aktivitas yang akan saya
lakukan ini. “Bismillah, atas nama Sang Muhith, saya melakukan
aktivitas ini.”
Lalu mulailah berbicara dengan Sang Muhith:
• “Ya Allah, apa yang terjadi ya Allah,
• Kalau tomat di pot yang bertama ini tidak saya apa-apakan,
• Sedangkan pot yang kedua saya kasih pupuk sebanyak 2 mg,
• Tomat di pot ketiga saya kasih pupuk satu sendok teh, dan
• Pot yang keempat saya kasih pupuk 10 sendok makan ?”
Ukurlah tinggi batang tomat itu masing-masing, begitu juga lingkaran
batangnya, besar daunnya. Catatlah apa-apa yang terlihat. Lalu dengar-
kanlah dan lihatlah bagaimana jawaban Allah atas pertanyaan kita tadi
itu. Jawaban Allah begitu pasti, tidak pernah keliru, tidak pernah
meleset, begitu jelas.
Hari pertama, catatlah semua yang terjadi. Hari kedua dan hari-hari
berikutnya juga begitu. Catatlah semua perubahan yang terjadi. Misal-
nya, ukuran dan tinggi batangnya menjadi seperti apa, daun dan buah
di masing-masing pot menjadi seperti apa. Sampai kita temukan jawab-
an yang sangat jelas atas pertanyaan kita di atas atas perbedaan

1-27
perlakuan pemupukan kita terhadap ketiga batang tomat itu. Jawaban
Allah itu begitu jelas.
Nah,
. . . seperti itulah salah satu cara Tuhan berbicara dengan kita.
Bahasa Tuhan itu begitu jelas. Bahasa yang bisa dipahami oleh
seluruh umat manusia. Bahasa yang bukan berupa
rangkaian kata-kata, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat.
Ya, bahasa yang bukan aksara dan bukan pula bunyi. Sekarang terserah
kita saja mau membahasakannya. Mau mau dibahasakan ke dalam
bahasa Indonesia hayo, ke dalam bahasa Arab juga boleh, terserah kita.
Karena di awal aktivitas kita sudah berada di dalam sebuah kesadaran
bahwa pohon tomat itu hanyalah bersandar kepada Sang Muhith, dan
setiap perubahan yang terjadi terhadap batang tomat itu juga adalah
karena adanya daya dan gerak hidup dari Sang Muhith, maka dengan
mudah sekali kita akan bisa mentranslasi (menerjermahkan) jawaban
Tuhan itu ke dalam segala bahasa. Misalnya translasi yang sangat
sederhana seperti berikut ini:
“Hai Deka, kau perhatikanlah batang yang di pot kedua itu.
Kualirkan daya hidup-Ku melalui batang itu. Lihatlah, Tinggi dan
lingkaran batangnya Kujadikan sekian centi meter, daunnya Ku-
hijaukan, buahnya Kulebihkan dari batang yang tidak diberi pupuk
di pot yang pertama. Lalu perhatikan pulalah apa yang Kulakukan
terhadap batang tomat yang ada di pot ketiga. Betapa batang daun
dan buahnya Ku buat lebih baik lagi dari batang yang ada pot yang
pertama dan pot yang kedua. Kau laihat pula itu, batang yang ada
di pot keempat, batang daun, dan buahnya tidak bisa tumbuh lagi
dengan baik, karena kau telah memberikan pupuk terlalu berlebihan
ke dalam pot yang keempat itu. Tidakkah Aku ini Maha Mengatur
semua ciptaan-Ku ? Bukankah Aku ini Maha Hebat ? Tidakkah
semua yang Kulakukan itu sangat bermanfaat bagimu, sehingga

1-28
engkau bisa mendapatkan hasil yang optimum dari sebuah aktivitas
pertanian tomat ?”
Translasi-translasi seperti ini sangatlah pribadi sekali sifatnya. Dan
jawaban-jawaban Allah atas pertanyaan kita juga akan berkembang se-
demikian rupa di setiap saat. Hari ini kita mungkin kita baru bisa
mengerti jawaban Allah tentang batang, daun dan buah. Pada masa
mendatang, kalau kita tetap telaten bereksperiment, maka jawaban
Allah juga akan semakin detail. Sampai kita bisa mengerti tentang ilmu
genetika tomat, dan sebagainya.
Jawaban Allah pastilah selalu tersedia, dan baru pula. Karena
memang ilmu Allah tidak akan pernah habis-habisnya untuk
dicurahkan-Nya kepada kita semua, terutama untuk kita yang mau
dan bersedia membaca bahasa Tuhan di setiap sudut yang terlihat.
Sehingga tiada lain yang bisa kita ucapkan kepada Sang Muhith : “Tia-
dalah semua itu Engkau ciptakan dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
Peliharalah kami dari siksa dan nestapa apapun juga atas apa-apa yang
kami dapatkan hari ini !”
Jadi :
. . . bagi orang yang beriman,
setiap aktivitasnya akan disandarkannya
kepada Sang Muhith.
Ada aktivitas Allahnya di awal, di tengah, dan di akhir setiap proses
yang dilakukannya.
Sebab tiada suatu peristiwapun yang luput dari aktivitas Allah. Dengan
begini, maka ayat 190-191 surat Ali Imran itu sudah menjadi keseharian
kita saja. Kita tidak perlu lagi membuat ayat-ayat baru untuk menan-
dingi ayat ini. Karena ayat ini merupakan sebuah bahasa Tuhan yang
sangat esensial (mendasar) yang berhasil ditranslasikan menjadi bahasa
manusia (bahasa Arab) oleh manusia paripurna, Muhammad SAW.

1-29
Kalau kita coba-coba untuk menyatakan bahwa Tuhan berkata kepada-
Ku : “Hai Deka", dan seterusnya, seperti di atas, menjadi sebuah ayat
baru. Khan ayatnya akan menjadi aneh bagi kebanyakan orang.
Cukuplah translasi bahasa Tuhan itu hanya buat kita sendiri saja. Itu
untuk menyadarkan kita bahwa ternyata kita memang punya Tuhan
yang sangat aktif mengajari kita
terhadap apa-apa yang belum kita ketahui.
Dan kita sangat bisa berbicara dengan Tuhan dengan cara seperti ini
untuk berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Tanpa batas. Jawaban
Tuhanpun akan tanpa batas pula.
Jawaban Tuhan adalah segala ilmu yang telah berhasil, sedang, dan
yang akan dibaca oleh seluruh umat manusia di segala penjuru
dunia. Karena ilmu Tuhan memang tidak akan pernah obsolet. Ilmu
Allah akan selalu baru, up to date sepanjang masa.
Cuma saja, bagi bagi orang yang tercover, kafir, dia tidak mampu
menyandarkan segala aktivitasnya kepada kesibukan Sang Muhith. Ya,
dia tidak sadar sedikitpun realitas Sang Muhith, walau dia sendiri tahu
dan hafal bahwa ada Tuhan yang mengatur segala sesuatunya di dunia
ini. Dia hanya akan melihat batang-batang tomat itu tumbuh dan
bergerak dengan sendirinya. Dan setiap perbedaan pertumbuhan ba-
tang tomat itupun dia yakini hanyalah akibat dari pengaruh perbedaan
pemupukan semata-mata. Tidak lebih.
Berbicara dengan Allah tentang Diri Kita
Tentang diri kita sendiripun Allah ternyata punya bahasa yang sangat
jelas untuk bisa kita baca dan pahami. Sebelumnya, marilah kita lihat
dulu jargon-jargon umum yang sangat kental kita ucapkan dalam
kehidupan kita sehari-hari:

1-30
• Saat kita berbicara tentang sesuatu, atau melakukan perbuatan
tertentu, kita sering mengatakan: Segala yang baik adalah dari Allah,
dan yang buruk adalah dari dari kebodohan kita sendiri ?
• Saat kita ditimpa suatu musibah atau disinggahi hal-hal yang tidak
mengenakkan, kita sering berkata: Saya pasrah saja kepada Allah, ini
sudah merupakan kehendak Allah, kata kita mantap sekali (walau
sebenarnya kalimat itu lebih cocok untuk menghibur-hibur diri kita
sendiri karena saat itu kita merasa sudah tidak berdaya sama sekali).
Namun anehnya, begitu musibah itu sudah tidak kita rasakan lagi,
dan kita kemudian mendapatkan hal-hal yang mengembirakan, dapat
durian runtuh, maka kita biasanya lupa. Kita lebih banyak mengaku
bahwa: Semua itu adalah hasil usaha kita sendiri. Walaupun kita
sempat menyebutkan bahwa keberhasilan kita itu adalah atas
anugerah Tuhan juga, akan tetapi ungkapan kita itu lebih banyak
hanya karena basa-basi saja. Biar kita dianggap sebagai orang yang
beragama dan shaleh pula. Lebih mengarah ke jaim saja sebenarnya.
Dari dua hal ini sajalah dulu kita memahami tentang bagaimana cara
Allah berbicara dengan kita.
Untuk itu, marilah kita kembali menjadi Sang Angin, Sang Sir, Ar Ruh.
Dan marilah kita kembali menuju ke rumah kita, Rumah Angin, Sang
Muhith. Sebuah Ruangan yang di sana tidak boleh ada sesuatu wujud
dan rupa apapun juga selain Wujud dan Rupa Sang Muhith. Lalu
menghadaplah kepada Wujud Sang Muhith dan tegaskanlah:
• “Laa Ilaha illallah, tiada lagi wujud yang ada kecuali hanya Wujud
Engkau Wahai Allah, Sang Muhith.”
• “Laa Ilaha illallah”, dan diamlah sejenak di rumah kita yang hakiki ini.
Dari rumah kita ini, Rumah Angin, marilah kita kembali turun ke bumi.
Turun kembali ke tanah. Kita turun untuk mengamati bagaimana Sang
Muhith sangat sibuk mengatur saripati tanah yang sudah diemplek-
emplek-Nya menjadi sebuah bentuk yang sangat sempurna, diri
manusia :

1-31
• Pertama, marilah kita lihat dua bulatan kecil yang di dalamnya ada
lensa dan retina. Ya, mata…!
• Pandanglah Sang Muhith. Lihatlah bagaimana Dia meliputi mata itu
dengan pasti. Lalu cobalah tanyakan kepada Sang Muhith: apa yang
bisa kulakukan dengan dua bulatan kecil itu wahai Tuhanku ?
• Untuk mendengar jawaban Sang Muhith atas pertanyaan kita itu.
Cobalah sejenak lewati kedua bulatan kecil itu dengan penglihatan
kita. Arahkanlah penglihatan kita melewati kedua lensa mata itu
menuju alam yang ada di sekitar kita.
• Dan ternyata jawaban Sang Muhith kepada kita begitu pasti dan jelas.
Tidak perlu kata-kata dan kalimat lagi untuk menjelaskannya. Dia
menjelaskan apa yang kita tanyakan itu melalui jawaban-Nya yang
pasti, yaitu Jawaban Penglihatan. Sebuah jawaban yang bisa
ditangkap oleh seluruh umat manusia
• Sekarang terserah kita saja untuk mentranslasikan bahasa pengli-
hatan itu menjadi bahasa manusia berupa Bahasa yang ada bentuk-
nya, ada rupanya, dan ada warnanya.
• Untuk selanjutnya Sang Angin pun tinggal ikut saja mengalir bersama
aliran rasa melihat itu menuju apa saja yang bisa terlihat dengan
lensa mata ataupun dengan lensa-lensa bantuan lainnya seperti
mikroskop dan teleskop. Dan di setiap aliran rasa melihat itu, Sang
Muhith selalu berbicara dengan Sang Angin melalui bahasa-Nya yang
sangat jelas sekali. BAHASA RASA MELIHAT, dan bahasa itupun hanya
bisa ditangkap Sang Angin melalui lensa mata, bukan dengan mulut,
bukan dengan telinga, dan bukan pula dengan lidah dan kulit.
• Dari satu rasa melihat Sang Anginpun bergerak dan berenang menuju
rasa melihat lainnya yang nyaris tanpa batas. Dan semuanya itu
terjadi tepat di dalam liputan Sang Muhith.
• Di sini pulalah tempat Tuhan berkata-kata dengan kita dalam bahasa
rasa melihat untuk mengajari kita tentang apa-apa yang belum kita
ketahui. Seperti juga yang telah dialami oleh Qabil ketika dia diajari
oleh Allah tentang bagaimana caranya menguburkan mayat
saudaranya Habil melalui seekor burung gagak:

1-32
Yang Tercover dari Bahasa Tabir
Betapa kita ini sebenarnya hampir semuanya punya mata dan punya
telinga. Akan tetapi seringkali pula dengan mata dan telinga kita itu kita
tidak berhasil membaca bahasa Tuhan dengan telaten dan bersungguh-
sungguh. Sehingga apa-apa bahasa Tuhan yang mengaliri kedua mata
dan telinga kita itu tidak berhasil membuat kita tercerahkan. Tidak ada
ilmu yang kita dapatkan. Tidak ada kepahaman yang bisa kita ambil.
Misalnya, mata kita memang melihat, tapi melihat kita itu hanya saja
sama dengan melihatnya seekor sapi di tengah hamparan rumput. Kita
tidak sedikitpun tercerahkan. Sapi melihat rumput itu hanya sekedar
sebagai rumput untuk sekedar makanan pemenuhan kebutuhan
perutnya saja. Tidak lebih.
Padahal di sehelai rumput itu Tuhan sedang mengajarkan siapa saja
tentang berbagai jenis rumput dan penggunaannya,
• bagaimana agar rumput itu bisa tumbuh segar dan menghijau,
• bagaimana struktur genetikanya,
• bagaimana agar rumput itu memberikan hasil yang masksimum
terhadap pertumbuhan sapi dan susunya,
• bagaimana bio energi tersimpan di sana,
• dan, dan . . . !
Ah, itu baru satu tabir-Nya saja yang kita amati, di sehelai rumput.
Padahal tabir-Nya ada di setiap sudut yang terlihat dan nada yang
terdengar. Bagaimana kita juga sepertinya tercover dari perkataan
Tuhan yang dialirkan-Nya melalui tabir-Nya yang lain seperti
• di tabir seruling,
• di tabir gendang,
• di tabir piano,
• di tabir suara dan nada,
• di tabir bebunyian,
• di tabir tangis dan tawa manusia,
• di tabir lidah dan gendang suara orang-orang di sekitar kita,

1-33
• di tabir,
• di tabir Alam Semesta.
Kita seringkali mendengarkan aliran nada, irama, dan suara tabir-tabir
itu seperti sikap seekor kucing yang tanpa ekspresi mendengarkan
nyanyian Bimbo, atau bisa pula hanya seperti seekor ular cobra yang
meliuk liar kian kemari mendengarkan alunan terompet India. Semua
itu kita lakukan seperti tanpa pencerahan dan tanpa pemahaman baru
pula.
Beethoeven dan Kitaro adalah sedikit dari manusia-manusia yang
mampu menangkap keindahan bahasa Tuhan itu di tabir suara dan nada
ini dengan sangat baiknya, dan beliaupun mampu pula menerjemah-
kannya menjadi susunan tangga irama dan nada musik yang bisa
dinikmati oleh siapa saja.
Upss, ada yang menyela nih: musik dan nyanyian itu kan haram kata
hadist Nabi ! Untuk menjawab selaan ini sebenarnya capek juga.
Soalnya biasanya kalau sudah untuk hal-hal seperti ini pola berfikir
setiap orang akan sangat bervariasi sekali. Namun secara singkat saja,
menurut kepahaman saya sendiri,
. . . musik dan nyanyian itu netral saja sifatnya. Manfaatnya
tergantung kita saja sebenarnya.
Mau kita bawa ke mana guna musik dan nyanyian itu bagi kita. Mau kita
bawa sebagai alat yang melalaikan kita kepada Tuhan atau mau kita
jadikan sebagai alat untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Mau
kita jadikan sebagai alat kita untuk mengafirmasi diri kita menuju
kebaikan, kebahagiaan, kegembiraan, ataupun sebaliknya untuk
mengafirmasi diri kita menuju kesedihan, kegalauan, kesengsaraan, dan
kejatuhan kita, ya terserah kita saja.
Nah, haramnya musik dan nyanyian itu hakekatnya adalah ketika musik
dan nyanyian itu menyeret-nyeret kita kepada suasana lalai kepada
Tuhan dan mengafirmasi diri kita pula untuk sengsara, sulit, dan
suasana tidak baik lainnya. Ndak setuju, ya ndak apa-apa.

1-34
Yang pasti adalah bahwa Allah tanpa capek sedikitpun selalu berbicara
kepada seluruh umat manusia di setiap saat di setiap tabir yang bisa kita
lihat dan kita dengar. Mata dan telinga kitapun, sebagai alat untuk
membaca perkataan Tuhan di balik tabir, tidak pula buta dan tuli. Dan
apa yang dibicarakan Tuhan melalui tabir-Nya kepada kita dalam rangka
pengajaran-Nya kepada kita, kalau kita translasikan menjadi bahasa
manusia, juga hasilnya adalah sesuatu yang pasti-pasti saja, yaitu
penciptaan alat-alat dan benda-benda baru yang semuanya itu pasti
pula bermanfaat bagi kita sendiri. Hasil-hasil ini adalah sebagai salah
satu pertanda bahwa Dia memang adalah Al Khaalik, Sang Pencipta.
Misalnya, bahasa Allah di tabir angin, watashriifirriyaah (bahasa angin
yang dikisar-kisarkan Allah, lihat :
Al Baqarah (2 : 186)
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum
kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyim-
pannya.”,
Kalau kita mau mendengar dan membacanya (iqra) lalu mentransla-
sikannya ke dalam bahasa kita sendiri, akan membuahkan wujud balon
udara, pesawat terbang, helikopter, listrik tenaga angin. Sebuah pesa-
wat terbang bisa melayang diudara karena adanya perbedaan kisaran
angin yang dibelah oleh lembaran sayap pesawat terbang tersebut.
Di tabir angin, Allah juga tengah mengabarkan berita gembira kepada
kita tentang :
a. Bagaimana cara Dia mengalirkan rahmat-Nya bagi kehidupan kita
melalui hujan yang diturunkan-Nya - lihat :
Al A’raf (7 : 57)
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila
angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu

1-35
daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka
Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-
buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang
telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.”
b. Bagaimana cara-Nya dengan sangat mudah meluncurkan bahtera di
lautan :
Yunus (10 : 22)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.”
c. Bagaimana cara-Nya mengawinkan tumbuh-tumbuhan :
Al Hijr (15 : 22) :
“Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri
minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang
menyimpannya.”
d. Dan sebagainya.
Dan melalui tabir angin ini pula Allah
Di tabir angin pula Allah tengah memperingati kita agar kita berhati-hati
dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menghadapi cara-Nya
menghancurkan suatu negeri dengan mudahnya melalui kisaran angin
tornado, badai taufan, puting beliung, hurricane, dan sebagainya
Bahasa Allah di tabir petir, kalau kita translasikan dengan baik ternyata
telah melahirkan listrik dan berbagai cara untuk pembangkitan dan
penggunaannya. Dunia maya e-mail dan website adalah salah satu
manfaat yang bisa kita petik dari bahasa-Nya di tabir petir ini.

1-36
Sungguh Allah tidak pernah berhenti sedetikpun berbicara dengan kita
melalui tabir-tabir-Nya yang tak terbatas. Dan sebenarnya semua pem-
bicaraan-Nya itu Dia tujukan untuk Sang Angin yang bersedia untuk
turun ke dunia untuk menjadi wakil Allah untuk membangun dunia.
Karena semua itu memang untuk Sang Angin : Li Ulil Albab, Lil Muttaqin,
Liqaumiy yattaqun, Liqaumuy yatafakkarun. Untuk Lil Mukminin ! Yaitu,
orang-orang yang mampu berdialog dengan Tuhan melalui mata dan
telingannya. Karena Allah sebenarnya tengah berbicara kepada kita,
yang kalau ditranslasikan menjadi sebuah bahasa yang sederhana bisa
saja berbunyi : “Kau sadarilah wahai hamba-Ku, Akulah yang mengalir-
kan penglihatan itu melalui kedua matamu dan melewatkan pendengar-
an itu melalui kedua telingamu, sehingga engkau bisa melihat dan men-
dengar apa-apa yang ada disekitarmu. Kau lihatlah keindahan tetum-
buhan dan bebungaan yang bermekaran disentuh lembut oleh rona
cahaya matahar yang Ku-alirkani melalui kedua lensa matamu itu. Kau
dengar pulalah suara lembut kicauan burung-burung yang ditingkahi
desahan lembut nyanyian dedaunan yang Ku-alirkan melalui kedua
lobang telingamu itu.”
Sesekali, Sang Mukminin, Sang Angin mengaturkan sembah dan puji
kepada Sang Muhith: “Subhanaka, Benarlah Engkau Maha Suci.”
Lalu Sang Anginpun memandang dengan penuh takjub bagaimana diri-
nya yang hanya berupa seonggok sari pati tanah disujudkan dan disung-
kurkan oleh Sang Muhith dalam sebuah sikap pemujaan kepada-Nya.
Begitu juga, Sang Anginpun dengan terheran-heran saja menyaksikan
betapa tetesan cairan bening mengalir deras dari sudut bola matanya.
Itu, itu, itu semuanya, adalah tanda-tanda-Ku yang perlu, kau amati, kau
baca, kau lihat, kau dengar dan kau catat (terjemahkan ke dalam
bahasamu sendiri), sehingga kau beserta keturunanmu kelak bisa pula
mendapatkan manfaat dari kesemuanya itu. Karena semuanya itu
memang Aku ciptakan hanyalah untuk kebaikanmu semata. Tidakkah
Aku ini sangat hebat menurut hematmu wahai hamba-Ku ? Kalau tidak,

1-37
“Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukazzibaan”3, dengan cara yang bagai-
mana lagikah kiranya Aku ini harus membacakan bahasaKu untukmu
agar engkau tidak lagi mendustakan-Ku ?
Akan tetapi jawaban kita apa ? Duh Gusti,
. . . alih-alih kami ini mau mendengarkan bicara-Mu
di tabir-tabir-Mu itu,
kami malah sibuk sendiri-sendiri membela diri dan
kelompok kami masing-masing.
Sehingga mata dan telinga kita tidak dipakai lagi oleh Allah untuk
mengalirkan segenap ilmu dan pencerahan-Nya.
• Sunni dan berbagai turunannya hanya sibuk membela kesuniannya,
• Syi’ah dan berbagai sekte-sektenya hanya sibuk membela kesyi’ah-
annya,
• Salafi dengan pecah-pecahannya hanya sibuk membela kesalafi-
annya,
• Partai-partai hanya sibuk membela kepartaiannya,
• Hizb-hizb hanya sibuk membela kehizbannya,
• Tariqah-tariqah hanya sibuk membela ketariqahannya.
Sibuk, sibuk, sibuk ¡ Semua saling sibuk untuk membela baju dan jaket-
nya masing-masing. Malah untuk mendukung kesibukan-kesibukan kita
itu, kita pakai pula ayat-ayat al Qur’an dan al hadist dengan semangat
empat puluh lima. Maju tak gentar, membela . . . baju kita masing-
masing tentunya.
Oleh sebab itu :
. . . jangan salahkan siapa-siapa, tatkala ada orang lain yang mau
dan bersedia membaca perkataan Allah di tabir-Nya dan
memperoleh hasil yang sangat mampu pula membuat umat
manusia merasakan syurga di dunia ini.
3 Ar Rahmaan, sebanyak 31 kali !

1-38
Padahal umat islam selalu berdo’a “Rabbana aatina fiddunya hasanah”,
ya Allah berikanlah kami kebahagiaan, kemudahan (syurga) di dunia ini.
Akan tetapi begitu Allah berkata : Tuh, kemudahanmu, kebahagiaanmu
ada di tabir angin, di tabir listrik. Bacalah ! Eh malah kita asik dengan diri
kita sendiri.
Walaupun begitu, karena kasih dan sayang Allah saja, do’a kita untuk
mendapatkan kebahagiaan, kemudahan di dunia ini, ternyata masih
tetap dikabulkan-Nya. Kita masih diberi nikmat oleh Allah untuk bisa
menikmati kemudahan-kemudahan yang membahagiakan dalam hal
aktivitas keseharian kita seperti kegiatan transportasi, komunikasi,
pengobatan, dan sebagainya. Namun sayangnya,
. . . hampir kesemuanya itu kita dapatkan melalui tangan orang-
orang yang bukan muslim. Kita hanya menjadi pengekor saja.
Lalu, selain tidak dipakainya mata dan telinga kita oleh Allah untuk
berbicara, sehingga mata kita ini seakan-akan buta, apa lagi kekeliruan
kita ini sebenarnya ? Sampai-sampai kita umat islam ini dicap sebagai :
• umat yang berilmu pengetahuan rendahan, dan
• wajah yang bengis menakutkan pula ?
Padahal dulunya tidak begitu. Apa kita lagi yang buta sebenarnya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semua manusia ini, mari kita
lihat dulu sebuah ayat yang menyatakan tentang profil seorang manusia
yang dianggap sempurna:
As Sajdah (32 : 7-9)
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia men-
jadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur.”

1-39
Oopppss, sebagai alat kesempurnaan seorang manusia, di samping ada :
• dua bola mata tempat di mana Allah mengalirkan rasa melihat dari-
Nya, dan
• dua lobang telinga tempat di mana Allah mengalirkan rasa
mendengar dari-Nya, ternyata
• ada pula HATI (AF IDAH, FUAD), yang bisa dilewati oleh Sang Angin
(Ar Ruh).
Hati…! Di manakah letaknya, wujud macam apakah dia, dan bagaimana
pula sifatnya? Bahasa, perkataan, dan manfaat macam apakah
gerangan yang dialirkan Allah melaluinya? Dan seberapa pentingkah dia
bagi seorang manusia?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, banyak sekali buku yang
telah diterbitkan orang. Dan malah sudah sedemikian dalam dan
njlimetnya tentang hati ini dibahas, sehingga kadang-kadang itu bisa
membuat kita bingung. Namun sebagai tanda sumbangsih saya untuk
teman-teman di milis Dzikrulah ini, saya akan coba pula mengupasnya
sekalimat dua kalimat.
Membaca Hati
Saat yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tentang :
• di mana letak hati ini, dan
• bagaimana pula wujud, serta
• sifatnya,
adalah saat kita berada di tengah keramaian manusia.
Tempat di mana kita saling berinteraksi dengan berbagai macam karak-
ter dan profil manusia lainnya, serta masing-masingnya dengan berba-
gai kepentingan yang berbeda pula. Misalnya di jalan raya yang padat
dengan kendaraan, di tempat bekerja, di tempat ibadah, atau bahkan
saat kita hanya berduaan saja dengan pasangan kita (suami/istri).
Di tengah-tengah keramaian manusia itu, amatilah DADA kita dengan
seksama. Ya, amatilah dada kita sendiri. Karena di dada (sudur) inilah

1-40
hati ini berada. Kita tidak perlu mengurai lagi dada bagian yang mana,
hati yang mana, atau bagi yang sudah advance, pojok (lathaif, cakra)
bagian mana dari dada kita itu, atau apakah hati dalam pengertian
daging dan darah atau apa…! Tidak usahlah untuk sementara waktu kita
terlalu sibuk bertanya-tanya tentang dada kita ini. Pokoknya amati
sajalah dada kita.
Sambil mengamati dada kita itu, mulailah kita bergerak di tengah-
tengah keramaian manusia itu. Misalnya, bagi yang memiliki kendaraan,
mobil atau motor, bergeraklah di jalan raya agak ke tengah dengan
kecepatan sekitar 30-40 km/jam. Berkendaralah dengan tenang. Tidak
sampai dalam hitungan dua menitan, tiba-tiba akan terdengar klakson
kendaraan lain menyalak: “Diin-diinn.” Buat sejenak biarkan saja suara
klakson itu berlalu. Amati sajalah dada kita dengan seksama. Ada ilham
apa yang muncul di dalam dada kita itu. Dalam hitungan beberapa detik
kemudian klakson kendaraan dibelakang kita akan menyalak lebih
garang lagi: ”Diiiiinnnn, Diiiiinnnn”. Apa yang terjadi di dalam dada kita
??? Apa lagi kalau kemudian mobil yang di belakang kita itu menyalib
dari arah kiri sambil pengemudinya melotot dan membunyikan klakson-
nya lebih garang lagi, dan buntut mobilnya pun digoyangkannya hampir
menyentuh kendaraan kita. Apalagi kalau keadaan seperti di atas terjadi
berulang-ulang dengan kendaraan dan orang yang berbeda. Teruslah
amati dada kita dengan sangat seksama. Apa gerangan suasana dan
rasa yang muncul di dalamnya … ?
Mari kita berjalan mengamati dada kita itu. Suasana dan rasa yang
mulai mengalir di dalam dada kita itu hanya dua saja kemungkinannya.
a. Kemungkinan pertama, suasana ruang dada kita itu mulai terasa
sesak dan sempit. Suasana kesempitan dada itu kemudian diterus-
kan ke dalam otak kita untuk kemudian otak kita itu mengeluarkan
hormon dan enzim-enzim yang memacu nafas kita bergerak lebih
cepat dari biasanya, bahkan bisa pula tersengal-sengal seperti kita
sedang mendaki gunung yang tinggi. Darah kita mengalir dengan

1-41
tekanan yang lebih besar. Jantung kita berdegup dengan kebih ce-
pat. Muka kita mulai memerah, otot-otot kita juga mulai menegang.
Seiring dengan itu mulai pula mengalir rasa marah ke dalam dada
kita. Setiap orang akan mengerti apa itu marah. Rasa marah ter-
sebut tidak perlu didefinisikan lagi. Rasa marah itu begitu pas meng-
alir di dalam dada kita. Rasa marah itu kemudian membuat ruang
dada kita menjadi lebih sempit lagi. Kesempitan ruangan dada kita
itu diteruskan kembali ke otak untuk kemudian otak lebih mening-
katkan lagi sekresi hormon dan enzim yang mempengaruhi gerakan
nafas dan tekanan darah kita. Lalu semua itu lebih mempengaruhi
lagi gerak jantung, rona muka, dan otot-otot kita terutama otot
tangan, otot kaki, dan mulut beserta isinya. Hal tersebut akan meng-
alirkan rasa marah yang lebih besar lagi masuk ke dalam dada kita.
Kombinasi dan resonansi saling memperkuat antara suasana kesem-
pitan ruangan dada dengan rasa marah yang terus meningkat ini
dengan mudah akan menimbulkan tindakan-tindakan yang dikate-
gorikan sebagai tindakan yang buruk. Misalnya, apa saja yang ver-
ada di samping kita, bisa menerima muntahan rasa marah itu. Sum-
pah serapah dengan sangat mudahnya mengalir dari bibir dan lidah
kita. Seluruh isi kebun binatang bisa kita absen satu persatu dengan
semangat empat lima. Seorang ibu dengan anaknya yang ingin
menyeberang jalan bisa pula jadi alamat kita untuk menumpahkan
rasa marah itu, dengan kita membunyikan klakson mobil kita de-
ngan keras, sehingga sang ibu dan anaknya sampai meloncat kaget
tidak jadi menyeberang dengan jantung serasa hampir copot. Otot-
otot tangan dan kaki kita dengan mudahnya akan berkontraksi de-
ngan cepat sehingga gas kita tekan dengan lebih dalam dan stir kita
putar-putar dengan gagah berani menyalib kiri dan kanan untuk
mengejar pengendara mobil yang telah berani-beraninya menyalaki
kita tadi.
Dan kalau dua orang dengan suasana ruang dada yang sempit dan
sedang dialiri pula oleh rasa marah-marah, maka kejadian yang

1-42
muncul bisa lebih sadis dan lebih ganas dari pada bertemunya dua
ekor gorila jantan yang sedang memperebutkan seekor gorila
betina. Tangan dan kaki kedua orang itu bisa saling memukul dan
saling menendang dengan ganas, apa saja bisa menjadi senjata,
teriakan-teriakan keraspun saling membahana, mata saling melotot
tajam.
Dan anehnya, semua kejadian di atas seperti mengalir begitu saja
tanpa bisa kita cegah dan tahan sedikitpun. Kita seperti berada
disebuah perahu yang sedang di seret oleh arus yang sangat kuat.
Kita kehilangan kayuh. Kita kehilangan kemudi. Kita tidak bisa apa-
apa untuk ke luar dari seretan kuat arus rasa marah itu. Ada orang
lain yang coba-coba menasehati kitapun akan kecipratan rasa marah
kita pula. Kita seperti tidak mempan untuk ditolong oleh orang lain,
walau oleh oran yang paling dekat dengan kita selama ini. Mengaji
kita, shalat kita, puasa kita yang kita lakukan selama inipun seperti
tidak bisa membantu kita sedikitpun.
Duar, darah pun bisa tumpah ke jalanan, bahkan tidak jarang pula
bisa menimbulkan kematian. Lalu saat itulah baru muncul aliran
rasa menyesal masuk ke dalam dada kita. Begitu menyesal, maka
rasa marah di dalam dada kitapun hilang seketika. Digantikan oleh
rasa menyesal yang dalam.
Kita mulai sedikit sadar bahwa sebenarnya kita tidak ingin membu-
nuh orang tersebut, tapi semuanya tidak bisa kita tahan. Kita me-
ngatakan bahwa rasa marah kita sudah sampai kepuncaknya se-
hingga terjadilah pembunuhan itu. Tiba-tiba dada kita dialiri pula
oleh rasa takut, takut ditangkap, takut dipenjara, takut. Begitu rasa
takut itu mengalir ke dalam dada kita, maka rasa menyesal pun akan
lenyap pula dengan seketika.
Rasa takut itu mengalir ke dalam otak kita dan dari sana keluarlah
berbagai rencana untuk menutupi pembunuhan kita itu tadi. Kita
mulai beralibi, kita mulai berbohong, kita mulai merancang berbagai
rencana bohong. Kita bergerak dari satu kebohongan ke kebo-

1-43
hongan lainnya, dari satu alibi ke alibi lainnya. Semua kebohongan
itupun seperti mengalir begitu saja dengan lancar. Walaupun kita
tahu bahwa semua yang kita ucapkan itu adalah bohong, akan
tetapi kita juga seperti tidak bisa ke luar dari kebohongan itu. Kita
seperti ikut mengalir saja di atas arus kebohongan itu.
Begitu orang percaya dengan kebohongan kita, maka ada segurat
rasa senang muncul di dalam dada kita, sehingga rasa takut kita pun
hilang agak sesaat. Ini yang disebut dengan rasa senang berbohong.
Kalau sudah begini, maka kebohongan berikutnya akan muncul
dengan lebih meyakinkan dan lebih canggih lagi. Lalu hidup kita
akan bergerak dengan penuh kebohongan. Dan ternyata kebohong-
an itu pada akhirnya akan menuai rasa tersiksa pula, siksa akibat
berbohong.
Akan tetapi tatkala pembunuhan yang kita lakukan diketahui oleh
pihak yang berwajib, dan singkat kata kita divonis dengan hukuman
penjara (seumur hidup pula), maka hari-hari berikutnya dada kita
akan dialiri oleh rasa tersiksa, tersiksa, terus tersiksa. Dan tersiksa
inilah salah makna dari istilah NERAKA.
Jadi suasana ruang dada yang sempit
akan sangat mudah dialiri oleh rasa marah, rasa iri, rasa benci,
rasa takut, rasa menyesal, rasa senang dan bahagia yang semu
dan dangkal
(hanya guratan kecil saja).
Keadaan kita secara ketubuhan pun akan kelihatan dengan nyata.
Wajah kita tegang dan kaku, kening kita berkerut marut, mata kita
tidak ramah, kita mudah sekali melayangkan tangan memukul dan
menyiksa orang, tindakan kita tergesa-gesa, kita mudah berbohong.
Kebaikan kita pun lebih banyak dibuat-dibuat, JAIM.
b. Kemungkinan kedua, suasana ruang dada kita itu TETAP terasa
lapang. Suasana dada yang lapang itu akan mengalirkan impuls
listrik ke otak, sehingga otak mengeluarkan hormon dan enzim yang

1-44
sifatnya menimbulkan gelombang yang tenang di otak kita. Otak kita
menjadi rileks, yang menyebabkan nafas kita tetap mengalir dengan
tenang dan ringan, darah kita mengalir dengan tekanan yang
normal. Ruang dada yang luas, otak yang rileks, nafas yang ringan,
darah yang mengalir lancar dan tekanan yang normal, akan
menimbulkan rasa senang dan bahagia di dalam dada kita. Rasa
senang akan tambah memperluas suasana ruangan dada kita. Dan
dada yang bertambah luas akan tambah memperileks gelombang
otak kita, memperhalus gerakan nafas kita, dan membuat aliran
darah kita begitu sempurna.
Kalau sudah begini, maka saat kita disakiti, dijahili, dikerjain orang,
atau dijahati orang, kita hanya merasa terheran-heran saja. Lho, kok
tidak ada rasa marah yang masuk mengalir di dalam ada kita. Rasa
marah akibat dijahati orang lain itu sedemikian kecilnya tenggelam
di tengah-tengah keluasan ruangan dada kita.
Kita dengan mudah minggir ke tepi saat ada orang yang ingin duluan
dari kita saat kita berkendaraan. Kita dengan mudah akan berhenti
dan mempersilahkan seorang ibu dengan anaknya menyeberang
jalan dengan aman. Kita akan dengan mudah untuk tidak meng-
ganggu dan menyakiti orang lain. Kita juga akan patuh terhadap
aturan yang pada intinya adalah untuk membahagiakan kita dan
orang lain. Ya, yang ada adalah rasa kasih, sayang, dan bahagia yang
mengalir penuh di dalam dada kita. Syurga.
Dan anehnya, setiap rasa kasih dan sayang yang muncul di dalam
dada kita, akan lebih memperluas pula dada kita, akan menambah
pula rasa bahagia kita. Tidak hanya itu, setiap penglihatan dan
pendengaran kita akan dialiri pula oleh pencerahan-pencerahan
baru. Apapun yang kita lihat dengan mata dan yang kita dengar
dengan telinga akan menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga
bagi kita, baik untuk kepentingan kita maupun untuk orang banyak.
Setiap patah kata yang ke luar dari mulut kita akan mencerahkan
orang lain, dan setiap karya yang lahir dari tangan kita akan ver-

1-45
manfaat pula bagi orang lain. Kita pun akan mudah pula memahami
bahwa setiap orang yang kita temukan di dalam perjalanan hidup
kita sebenarnya adalah utusan Tuhan untuk kita. Misalnya saat kita
sedang berjalan disebuah jalan yang belum pernah kita lewati, tiba-
tiba ada anak kecil yang berkata kepada kita: “Pak, jangan lewat ke
sana, sebab di sana ular kobra yang besar, atau ada anjing galak.
Bukankah pada hakekatnya sang anak sedang diutus oleh Tuhan
untuk kita agar kita terhindar dari bahaya ?”
Kalau sudah begini, kita akan mampu melihat bahwa sebenarnya
setiap orang di dunia ini adalah laksana titik-titik kecil berbeda yang
saling dihubungkan oleh garis-garis kehidupan. Masing-masing titik
akan bermanfaat bagi titik-titik yang lainnya dalam membentuk
harmoni kehidupan. Seperti juga matahari, bulan, dan bintang-bintang
saling dihubungkan oleh garis kehidupannya pula.
Lalu dalam setiap jalan yang kita lalui di dalam kehidupan ini, kita
ditaruh oleh Allah dikemungkinan yang mana. Sebab Allah menga-
takan bahwa:
Al An’aam (6 : 125)
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah men-
jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.”
Dengan tegas di ayat ini, Allah mengatakan bahwa :
• Saat dada kita dialiri oleh suasana sempit dan sesak, maka saat itu
sebenarnya Allah sedang menghendaki kesesatan buat kita. Tegasnya,
kita sedang disesatkan Allah. Dan itu adalah penderitaan.
• Sebaliknya, saat dada kita dialiri oleh rasa lapang, maka saat itu
sebenarnya Allah sedang menghendaki kebaikan untuk kita. Kita

1-46
tengah ditunjuki oleh Allah untuk menjadi baik. Dan itu adalah kese-
nangan dan kebahagiaan.
Mengalirnya rasa sempit dan sesak didada kita itu diistilahkan oleh Al
Qur’an dengan sebutan: faal amaha fujuraha, diilhamkan dengan
kefujuran. Dan dialirinya dada kita dengan suasana kelapangan, disebut
Al Qur’an dengan faal amaha tawqaha, diilhamkan ketaqwaan.
Begitulah cara lain Allah berkata-kata dengan kita, yaitu melalui ilham,
melalui wahyu:
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Seperti juga Allah berkata-kata dengan lebah melalui wahyu:
An Nahal (16 : 68)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "’Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia’".
Oleh sebab itu,
. . . selalulah kita rajin-rajin mengamati dada kita
apakah dada kita ini sempit dan sesak atau lapang.
Sebab saat dada kita sempit, sebenarnya Allah tengah berkata kepada
kita yang kalau dibahasakan bisa seperti berikut ini :
“Wahai Deka, kau lihatlah dadamu, Iqra, bacalah bahasa-Ku di
dadamu. Saat dadamu itu sempit dan sesak, kamu hati-hatilah. Ka-
rena saat itu sebenarnya Aku tengah menyesatkanmu. Aku tengah
tidak suka kepadamu. Ku-ilhamkan kefujuran kepadamu. Dengan

1-47
dadamu sempit itu, kau akan kudorong untuk bergerak dari satu
keburukan ke keburukan yang lainnya tanpa kau sanggup meno-
laknya. Kau akan menjadi alat-Ku untuk merusak di permukaan
bumi ini. Kau tidak akan kuasa menolaknya. Karena Akulah yang
memiliki segala daya dan kehebatan.
Sebaliknya, saat dadamu Ku aliri dengan suasana LUAS dan LAPANG,
bersyukurlah. Karena saat itu sebenarnya Aku tengah menunjukimu.
Aku tengah sayang dan senang kepadamu. Makanya Ku-ilhamkan
kepadamu tentang ketaqwaan, keluasan dada. Sehingga engkau
akan terhedan-heran saja saat kau Ku-dorong bergerak dari sebuah
kebaikan ke kebaikan yang lainnya. Semua itu kau lalui tanpa bisa
kau tolak. Kau akan menjadi alat-Ku untuk membangun dan ver-
kreasi di permukaan bumi ini. Kau tidak akan susah untuk itu.
Karena semua daya untuk kebaikan itu Ku-berikan penuh buatmu.
Bukankah Aku ini Maha Hebat.”
Begitulah cara Allah berkata-kata dengan kita saat Dia menjawab do’a-
do’a kita. Langsung melalui Ilham. Misalnya saat kita berdoa di dalam
shalat: Rabbigfirlii, ya Allah ampunilah saya, maka dengan seketika itu
pula dada kita dilapangkan, dada kita didinginkan oleh Allah, sehingga
rasa bersalah kita hilang lenyap seketika dari dalam dada kita… Kalau
belum juga lapang, maka kita berdo’a lagi sampai dada kita itu
dilapangkan oleh Allah.
Selanjutnya kenapa Allah tidak suka kepada kita, kenapa kita disesatkan
oleh Allah ?
Dan apa pula makna dari :
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”

1-48
Disesatkan atau Dibaikkan Allah
Kalau kita hanya sepintas lalu saja :
. . . membaca ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa :
•••• Allah-lah yang menyesatkan kita dengan menyempitkan dada
kita, dan
•••• Allah pula yang menunjuki kita kepada kebaikan dengan cara
melapangkan dada kita,
kelihatannya kita akan dibawa kepada kedudukan pemikiran yang
FATALIS.
Padahal di ayat lain Allah juga memfasilitasi kita untuk bisa mengatur
diri kita sendiri. Seakan-akan Allah berlepas tangan dari apa-apa yang
kita lakukan.
Kita sendirilah yang akan menentukan apa-apa yang akan kita
lakukan, nanti Allah akan memenuhi tugas-Nya untuk memenuhi
apa-apa yang telah kita tetapkan itu.
Sebuah logika berfikir yang bercorak RASIONALIS yang kelihatannya
sangat bertolak belakang dengan logika berfikir FATALIS.
Bagaimana ini ? Ya tidak bagaimana-bagaimana ! Begitulah Allah. Dia
berkehendak semau-Nya saja. Karena memang Dia adalah AL JABBAR,
Sang Maha Berkehendak. Bahkan Dia juga menyatakan bahwa walau-
pun sesuatu sudah sangat baik menurut logika berfikir kita, akan tetapi
Allah menyatakan bahwa itu belum tentu baik menurut logika berfikir
Allah. Karena Allah memang punya logika berfikir sendiri. Dan logika
berfikir Allah itulah tetap yang terbaik dan yang akan terlaksana.
Untuk menjawab ini, marilah kita sejenak menengok apa yang disebut
dengan TAQDIR, yaitu berupa ketetapan yang sudah ditentukan oleh
Allah terhadap sesuatu. Taqdir ini tidak bisa dirobah oleh siapapun
kecuali dengan melalui taqdir lain pula. Jadi taqdir hanya bisa diubah

1-49
oleh taqdir pula. Artinya Allah sendirilah yang merubah-ubah taqdir-Nya
sendiri.
Misalnya taqdir api adalah panas membakar. Dan taqdir api ini hanya
bisa diubah ketika dia bertemu dengan taqdir Allah yang lainnya yaitu
air, sehingga panasnya api akan hilang ketika taqdir api bertemu dengan
taqdir air dengan QADAR (takaran) yang tepat. Atau bisa pula taqdir api
yang bisa membakar kulit manusia akan berubah tatkala taqdir api
tersebuat bertemu dengan dengan taqdir lainnya sehingga orang bisa
berjalan di atas bara api (fire walker).
Ketika kita berhadapan dengan taqdir ini, kita hanya bisa menerimanya
saja dengan sikap seorang FATALIS. Kita tidak bisa apa-apa ketika ver-
hadapan dengan sebuah taqdir, karena memang kekuatan, jangkauan,
dan dampaknya telah ditetapkan oleh Allah. Dan ketetapan Allah adalah
yang terbaik. Walaupun begitu, ternyata Allah juga memberikan fasilitas
yang luar bisa bagi kita agar kita bisa bergerak dari sebuah taqdir Allah
ke taqdir-Nya yang lainnya.
Di sinilah sangat luar biasa-Nya Allah. Kita nyaris saja diberikan-Nya
kesempatan yang tidak terbatas untuk memasuki wilayah taqdir-taqdir-
Nya yang memang tak terbatas pula.
Untuk bergerak dari satu taqdir ke taqdir yang lainnya itulah kita
diberikan-Nya sebuah kebebasan yang sangat besar. Kita bebas
memilih taqdir kita sesuai dengan logika-logika berfikir
(RASIONALITAS) yang kita miliki.
Logika berfikir yang bagaimanapun yang kita ambil, akan selalu mene-
mukan muaranya di sebuah taqdir yang tertentu pula. Artinya sebuah
logika berfikir yang kita lakukan atau RASIONALITAS, muaranya adalah
sebuah taqdir yang tidak bisa kita ubah atau FATALITAS. RASIONALITAS
berbuah FATALITAS. Begitu pula, FATALITAS membentuk RASIONA-
LITAS. Dua-duanya adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
sedikit pun. Kalau kita hanya memakai satu sisinya saja, RASIONALITAS

1-50
saja atau FATALITAS saja, maka kehidupan tidak akan berjalan, roda
peradaban akan berhenti berputar.
KUN, Allah telah meletakkan Sabda-Nya tentang tata cara-Nya sendiri
dalam memberikan petunjuk kepada setiap manusia tentang kebaikan
maupun tentang keburukan, faal amaha fujuraha wa taqwaha. Lalu
FAYAKUN, sebuah proses ajar mengajar Tuhan terhadap hamba-Nya
pun mengalir memenuhi cakrawala kehidupan manusia. Begitulah pro-
ses dari dulu sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Derr, proses ajar mengajar inilah nantinya yang akan membentuk jalur
taqdir kehidupan manusia tentang perilaku ketaqwaannya (kebaikan)
dan perilaku kefujurannya (keburukan) sendiri. Semua itu mau tidak
mau harus kita terima secara fatalistik. Lalu kita sendirilah yang seha-
rusnya bersikap secara rasionalistis terhadap jalur taqdir kebaikan atau
keburukan itu. Misalnya, saat kita ditaruh oleh Allah di jalur takdir
keburukan, kita bebas saja untuk bersikap apakah kita mau tetap dijalur
taqdir keburukan yang tengah mengaliri kita itu, atau kita mau berganti
jalur menuju taqdir kebaikan.
Misalnya, suatu saat dada kita terasa dialiri oleh rasa sempit, dada kita
sesak. Saat menghadapi sebuah kejadian atau masalah, dada kita sesak,
nafas kita tersengal-sengal seperti kita tengah mendaki gunung yang
tinggi, padahal saat itu kita tidak melakukan aktivitas fisik mendaki
gunung. Sedikit pemicu saja, bisa membuat kita marah yang tidak
terperikan. Raut wajah kita berubah menakutkan, sorot mata kita
begitu memancarkan rona kebengisan. Kalau sudah begitu, tidak ada
yang bisa membantu kita untuk merubahnya atau memperbaikinya.
Karena kita saat itu tengah masuk ke dalam taqdir Tuhan bahwa saat itu
Tuhan memang tengah menyesatkan kita.
Al Qur’an menyatakan:
Az Zukhruf (43 : 36)
"Barang siapa yg berpaling dari ingat dan sadar penuh kepada Yang
Maha Rahman (Allah), maka Kami adakan baginya syaitan (yang

1-51
menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman akrab (qarin)
yang selalu menyertainya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa :
. . . tatkala kita berpaling (ya’syuu)
dari ingat dan sadar penuh kepada Allah
(yang kemudian, entah kenapa, bagi sebagian besar tafsir atau
terjemahan kalimat ‘andzikrir Rahman ini diartikan sebagai: dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Rahman atau Al Qur’an),
maka seketika itu juga Allah akan
menaruh syetan ke dalam dada kita.
Syetan itulah yang akan menjadi teman akrab kita. Syetan itulah yang
akan menghimpit dada kita, yang akan membuat kita was-was, yang
membawa kita ke suasana ragu-ragu, yang akan menghalangi kita untuk
berbuat baik, yang akan menghasut-hasut kita agar berbuat FUJUR,
yang menutup (mengcover) kita dari perbuatan TAQWA.
Kalau sudah begitu, syetan akan selalu berkata : “Hayo… Deka, hayo…
Deka, hayo Deka, FUJUR-lah, tidak baiklah, marahlah, tidak khusyu’lah,
bencilah, irilah, berantemlah. Hayo Deka, janganlah TAQWA, janganlah
shalat dengan khusyu’, janganlah sabar, janganlah zakat, janganlah baik,
dan sebagainya.”
Dan luar biasanya, hasutan-hasutan syetan tersebut seperti mempunyai
daya hipnotis bagi kita, sehingga kita seperti tidak kuasa untuk meno-
laknya. Karena memang syetan atau iblis tersebut sudah mendapatkan
mandatnya dari Allah untuk menggoda manusia. Iblis mendapatkan
daya dan kekuatan dari Tuhan untuk menggoda manusia. Karena
setelah iblis tersebut disesatkan pula oleh Allah karena sesombong-
annya, setelah dia berkata ana khairuminhu terhadap Adam, dia pernah
berdo’a kepada Tuhan :
• (Ya rabbi…), fabi’idzdzatika laugwiyannhum ajma’in, wahai Tuhan
demi kekuasaan Engkau, beri saya daya untuk bisa menyesatkan
manusia semuanya.

1-52
• Illa ‘ibadaka minhumul mukhlashin, kecuali hamba-hamba-Mu yang
Engkau jadikan ikhlash.
Dari penafsiran singkat ayat-ayat Al Qur’an yang sangat mendasar ini,
sebenarnya sudah menjadi jelas bagi kita bahwa Fujur dan Taqwa
adalah dua taqdir Allah yang sudah ada dan mengalir sejak permulaaan
penciptaan. Fujur dan Taqwa itu akan bisa mengalir dan menyinggahi
siapapun juga, dan keduanya mempunyai ciri-ciri dan prosesnya
masing-masing pula.
• Saat kita dialiri oleh rasa Fujur, maka dada kita dibuat oleh Allah
menjadi sesak lagi sempit, seolah-olah kita sedang mendaki ke langit.
Itulah sebagai tanda-tanda bahwa kita saat itu sedang disesatkan
oleh Allah, kita sedang tidak disukai oleh Allah, kita sedang ditendang
oleh Allah. Kalau sudah begini, maka apa saja akan menjadi masalah
bagi kita. Kebaikan orang lain sekalipun bisa menjadi masalah besar
bagi kita. Jadilah kita bergerak dari sebuah masalah ke masalah yang
lainnya. Masalah berbuah masalah…
• Sebaliknya saat kita dialiri oleh rasa Taqwa, maka dada kita akan
dibuat lapang oleh Allah. Dada kita itu akan diluaskan, dilembutkan,
dicairkan, didinginkan oleh Allah. Karena memang dada kita itu
sedang dicahayai oleh Allah. Itulah tanda-tanda bahwa kita saat itu
sedang dituntun oleh Allah, kita tengah diberi petunjuk oleh Allah,
kita lagi disayang oleh Allah. Dan sebagai hasilnya, kita akan mampu
melihat hubungan yang utuh dari setiap titik masalah yang kita
hadapi menjadi sebuah harmoni kehidupan yang sangat mence-
ngangkan dan mengagumkan. Kita akan bergerak dari sebuah masa-
lah, lalu melihat solusinya, dan kemudian kita seperti dibukakan
begitu saja tentang berbagai titik solusi atau jalan ke luar yang
sebelumnya tidak terpikirkan oleh kita.
Nah, dialirinya dada kita oleh rasa fujur itu, penyebab utamanya
adalah :
• ketidaksadaran kita kepada Allah,
• ketercoveran kita dari Allah, Sang Muhith, Sang Maha Meliputi segala
apapun juga.

1-53
Begitu kita memandang segala sesuatu, dan saat itu kita tidak mampu
menyadari ADA Dzat Yang Meliputi segala sesuatu itu, maka seketika itu
juga kita sebenarnya tengah berteman dengan iblis. Karena iblis juga
tidak pernah mampu menyadari keberadaan Wujud Dzat Yang Maha
Meliputi segala sesuatu, termasuk meliputi wujud Nabi Adam. Sehingga
iblis lalu menyombongkan diri kepada wujud Nabi Adam. Walaupun iblis
sempat pula berkata, “Ya Rabbi, wahai Tuhan”, tapi arah kesadarannya
sebenarnya saat itu tidak tepat kepada Wajah Tuhan, wajhiya.
Jadi tanda utama bahwa kita tengah disesatkan oleh Allah,
bahwa kita sedang dialiri oleh Allah dengan rasa fujur,
adalah kita dialiri oleh rasa sombong terhadap sesama manusia,
bahkan juga terhadap alam semesta.
Persis seperti iblis terhadap Adam. Kesombongan itu pastilah membawa
kita kepada pembelaan atas :
• diri kita sendiri,
• atribut kita,
• baju kita,
• golongan kita,
• ilmu pengetahuan kita, atau bahkan
hanya sekedar persepsi kita sendiri.
Kita besarkan diri kita, kita mengaku diri kita sendiri lebih dari orang
lain. Sungguh, nikmat pengakuan ini sangatlah memabokkan. Kalau
dada kita sudah disempitkan Allah, rasa sombong juga sudah mengalir
di dalamnya, maka rasa-rasa negatif lainnya akan mengalir dengan mu-
dah seperti rasa marah. Ya, marah karena ada orang yang menggoyang
rasa kesombongan kita.
Untuk ke luar dari jeratan taqdir rasa Fujur ini bagaimana ??? Banyak
teori yang sudah beredar di mayarakat. Ada yang menyebut-nya :
• dengan cara meditasi,
• ada juga yang menyarankan agar kita melakukan berbagai aktifitas
fisik,

1-54
• dan sebagainya.
Banyak sekali memang teori yang sudah dikembangkan orang untuk kita
bisa ke luar dari berbagai rasa fujur. Dan semuanya itu ada manfaatnya,
paling tidak.
Untuk ke luar dari rasa marah saja, misalnya, milis kita ini sudah
kebanjiran berbagai masukan yang sangat bisa membantu kita. Kalau
diperhatikan dengan seksama, ada sebuah benang merah yang bisa kita
tarik dari sekian banyak masukan itu, bahwa saat dada kita dialiri Allah
dengan rasa marah, maka tugas kita sebenarnya hanyalah sederhana
saja, yaitu agar kita mau mengalihkan objek fikir atau objek kesadaran
kita dari wilayah rasa marah itu (dada dan objek kemarahan) menuju
kepada suatu objek fikir lain yang kita senangi atau wilayah kesadaran
kita yang bukan dada (sudur, qalbu).
Saat kita dialiri oleh rasa marah, alihkan saja kesadaran kita ke objek
fikir lain. Kita marah karena si A, lalu alihkanlah kesadaran kita kepada si
B yang kita senangi, maka marah kita akan perlahan menghilang dari
dada kita. Bisa juga kita melakukan aktivitas lain seperti mandi,
berwudhu, shalat, atau hanya sekedar pergi ke tempat yang luas. Tepi
pantai atau naik ke area pegunungan merupakan dua tempat yang
sangat favorit bagi setiap umat manusia untuk sekedar melapangkan
dada dan fikirannya.
Untuk hal mengalihkan kesadaran kita dari rasa marah ini akan kita
bahas di lain kesempatan dengan lebih praktis. Sebab menurut penga-
laman saya, apapun metodanya, kalau kita tidak mengikutsertakan
peran Allah dalam kesadaran kita, maka semuanya itu masih meru-
pakan cara-cara yang artificial. Sebab cara menyesaikan masalah kema-
rahan yang paling puncak (ultimate solution), ternyata hanya bisa
dengan bersandar kepada peran serta Tuhan dalam mengambil aliran
marah itu dari dalam dada kita.

1-55
Jadi berubahnya suasana dada kita dari sempit dan sesak menjadi
lapang dan nyaman bisa kita dapatkan hanya dan hanya jika kita
mau menyadari adanya peran serta Tuhan untuk itu.
Saat dada kita sempit, maka kita pandang Wujud Tuhan dengan tepat
(tidak musyrik, tidak terhalang oleh wujud lain apapun juga, dan tidak
ya’syu [berpaling] dari Wajah Allah sedikitpun), lalu saat itulah kita
segera berbicara dengan-Nya merendah-rendah:
• Ya Allah, dada saya kok sempit, sesak, nggak enak ya Allah ? .
• Ya Allah mohon Engkau ambil kesempitan dan rasa sesak di dada
saya ini. Sebab saya nggak kuat untuk berada dalam kesesakan dan
kesempitan dada ini ya Allah…
• Ya Allah mohon Engkau ganti suasana sempit dan sesak itu segera
menjadi suasana yang lapang, lega dan bahagia ya Allah.
Itulah kira-kira bahasa kita dengan Allah. Lalu kita tinggal menerima saja
dan membaca bahasa Allah tentang bagaimana cara Allah merespon
dan menjawab permohonan kita itu. Bacalah bahasa Allah di dalam
dada kita seperti yang telah kita uraikan sebelumnya.
Begitu sederhananya sebenarnya. Cuma saja, karena kita ini sudah
sangat terbiasa dengan kerumitan, kita kadangkala tidak mudah per-
caya begitu saja. Sebab kita :
. . . umat Islam ini tampaknya memang sudah mengeksploitasi
ajaran agama Islam ini sedemikian dalamnya, sedemikian detailnya,
malah sudah terlalu dalam dan detail (over exploited), sehingga kita
nyaris saja kehilangan esensi kesederhananaan dari ajaran Islam itu
sendiri yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Kita bukannya mencoba untuk memperluas ajaran Islam itu sendiri.
Misalnya dengan memperluas wawasan kita tentang Islam, atau me-
ningkatkan kualitas beragama kita sendiri walau hanya untuk beberapa
hal saja, misalnya dalam hal shalat dan zakat kita. Atau kalau mau lebih,
kita bisa pula berperan untuk hal-hal yang lebih universal lagi,
misalnya :

1-56
• Kita bersedia untuk menerima tugas sebagai alat Allah dalam
mengalirkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh umat manusia;
• Kita besedia untuk menjadi alat Allah dalam mengalirkan segenap
ilmu pengetahuan-Nya dan peran-Nya untuk membangun peradaban
umat manusia.
Paling tidak, peran sebagai alat Allah itu bisa kita lakukan untuk ling-
kungan di sekitar kita saja, sebenarnya sudah sangat lebih dari cukup.
Peran sebagai alat Allah dalam mengalirkan kasih sayang kepada sesa-
ma, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membangun peradaban
manusia inilah sebenarnya tugas hakiki dari setiap kita. Tugas-tugas
seperti inilah yang menjadikan sebab diutusnya kita di permukaan bumi
ini.
Jadi, pada hakekatnya :
. . . setiap kita ini adalah UTUSAN TUHAN untuk sesama kita.
Utusan Tuhan untuk menjalankan peran tertentu yang unik dan khas.
Cuma saja, saat kita berbicara tentang istilah Utusan Tuhan ini, maka
angan-angan atau persepsi kita selalu saja melambung tinggi, bahwa
yang bisa menjadi Utusan Tuhan itu hanyalah seorang NABI atau RASUL
Allah, tidak bisa tidak. Selalu saja kita batasi seperti itu, sehingga kita
seakan-akan membebankan tugas untuk menyampaikan ilham, wahyu,
pencerahan, yang selalu dialirkan Allah tiada henti di setiap saat itu
hanyalah kepada Rasul-Rasul Allah.
Seakan-akan kita ini tidak akan pernah lagi dialiri oleh ilham, wahyu,
pencerahan dari Allah. Kita persepsikan bahwa Allah telah berhenti
menurunkan ilham-Nya kepada umat manusia sesuai dengan
zamannya.
Maka akibatnya, akan ringan saja sikap kita saat kita tidak memberikan
manfaat sedikit pun bagi orang lain, bahkan juga bagi diri kita sendiri.
Padahal kalau kita mau mundur agak setarik dua tarikan nafas, kita akan
bisa menyadari bahwa :

1-57
. . . saat kita tidak bermanfaat lagi bagi orang lain ataupun diri kita
sendiri, maka sebenarnya saat itu
Allah sudah tidak sudi lagi memakai kita sebagai Alat-Nya untuk
mengalirkan Ar Rahman dan Ar Rahim-Nya, menebarkan segenap
Ilmu dan Peran-Nya yang positif dan membangun
kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita.
Sebaliknya,
. . . ketika kita tidak dipakai oleh Allah untuk mengalirkan
segenap kebaikan dan peran positif-Nya,
sebenarnya saat itu pula tengah dipakai oleh Allah
sebagai alat-Nya untuk Menyempitkan (Qaabidh),
Menghinakan (Mudzill), Merendahkan (Khaafidh),
Mematikan (Mumiitu), Memusnahkan (Mu’akhkhir),
Memberi derita (Dhaarr), dan berbagai aliran
penghancuran (negatif) lainnya
bagi orang lain di sekitar kita.
Apa saja peran yang kita lakukan, tiba-tiba saja akan menyakitkan orang
lain, atau mematikan orang lain, atau malah bisa pula melenyapkan
peradaban sebuah bangsa seperti yang telah dan sedang dilakukan oleh
tuan Bush, tuan Blair serta konco-konconya di Afganistan dan Irak.
Ya, tuan G.W Bush, Tony Blair beserta konco-konconya boleh jadi saat
ini mereka tengah menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah untuk
menghancurkan sebuah bangsa, karena Allah mau mengganti bangsa
atau umat itu dengan umat atau bangsa lain yang lebih baik. Seperti
juga peran-peran yang dulu pernah dijalankan mulai dari zaman Jengis
Khan sampai dengan zaman orang-orang seperti Hitler, Hirohito, Muso-
lini, Churchill, Rosevelt, Stalin. Di mana di zaman mereka-mereka itulah
telah menyebabkan puluhan juta orang meregang nyawa, yang kemu-

1-58
dian ternyata diganti oleh Allah dengan umat sesudahnya yang lebih
baik lagi.
An Nisaa’ (4 : 133).
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia,
dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah
Allah Maha Kuasa berbuat demikian.”
Dengan alternatif pemahaman seperti ini, maka kita akan mudah saja
memahami ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa Allah berkata-kata
dengan seorang manusia dengan cara mengutus seorang utusan-Nya.
Kepada sang utusan-Nya itu dialirkannya ilham, wahyu, pencerahan
sehingga sang utusan-Nya itu menjadi bahasa Allah untuk suatu kea-
daan atau masalah tertentu bagi kita.
Dan apa pula makna dari :
Asy Syuura (42:51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan,, mengutus seorang utusan lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”
Tugas kita sebenarnya sudah menjadi sangat sederhana sekali, yaitu
bagaimana caranya agar kita bisa memahami kata-kata Allah tersebut
agar kita bisa mendapatkan pelajaran dari itu. Sehingga akhirnya kita
hanyalah menjadi seorang penyaksi saja atas kesibukan Allah dalam
mengatur semua ciptaan-Nya.
Kita tinggal bersaksi (syahid) saja:
• Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan kualitas kebaikan
yang sangat sempurna seperti Rasulullah dalam membangun per-
adaban umat manusia…
• Ooo, ada ya orang yang dialiri oleh Allah dengan daya penghancuran
umat manusia yang memiriskan hati seperti Hitler, GW Bush, dan
sebagainya…

1-59
• Ooo, ada ya si A yang begini,si B yang begitu, si C yang dipakai Allah
sebagai alatnya untuk ini, si D untuk itu…
Dan di kekinian milis Dzikrullah ini pun kita hanya tinggal bersaksi saja :
• Aha, ada ya Pak Haji Slamet Utomo yang dialiri oleh Allah kepahaman
tentang makna sebenarnya dari ayat Sesungguh Dia (ALLAH) Maha
Meliputi segala sesuatu, yang sudah sekian abad tidak lagi bisa
dipahami oleh umat Islam.
• Aha, ada ya Abu Sangkan yang dibuat Allah sibuk menyampaikan
kesaksian Beliau tentang Dzikirullah dan Shalat Khusyu,
• Aha, ada ya si Deka yang begitu sibuk pula oleh Allah untuk
menyampaikan sekalimat dua kalimat hasil pelajarannya bersama Pak
Haji Slamet Utomo dan Pak Abu Sangkan.
• Aha..., ada ya Dodi Ide yang tengah dialiri oleh berbagai ide yang
mungkin bagi orang lain terpikirkan pun tidak.
• Aha, ada ya abang John Bandempo yang dialiri oleh Allah dengan
pemahaman tentang ayat-ayat Al Qur’an seperti itu, yang cukup
inspiring buat saya.
• Aha, ada ya bang Mardibros yang dialiri oleh Allah dengan kesibukan
memoderatori milis ini.
Dan akhirnya semua ooo, ooo, dan aha, aha tadi itu akan membentuk
logika berfikir kita sendiri, rasionalitas kita. Dan kita bebas saja bergerak
dari satu logika ke logika lainnya. Dan, setiap logika atau rasionalitas
yang kita pakai itu, didepan kita sudah ada pula taqdir yang menunggu
kita dengan pasti. Tinggal kita mau memilih logika berfikir yang
bagaimana untuk mendapatkan taqdir kita sendiri, untuk mendapatkan
peran atau destiny kita sendiri diantara sekian banyak peran yang
disediakan Allah buat kita.
Tegasnya kita :
. . . mau dan bersedia untuk menjadi alat Allah, utusan Allah untuk
peran yang mana dan yang bagaimana ?
Semua tergantung kepada kita saja.

1-60
Untuk itu, maka pintar-pintarlah kita membaca (iqraa) setiap perkataan
Allah yang disampaikan-Nya kepada kita. Karena pada hakekatnya Allah
sangat sibuk berkata-kata dengan kita setiap saat. Dia berkata dan
mengajari kita dengan alat-Nya berkata-kata, yaitu melalui :
a. Ilham, Wahyu, Pencerahan (Aha, Ooo, Yes) Yang Dialirkannya
Melalui Dada Kita
Sering-seringlah lihat dada kita untuk memahami apakah kita se-
dang disesatkan atau ditunjuki oleh Allah kearah kebaikan. Lihatlah
dada kita :
1) Saat dada kita sempit dan terasa sesak, maka saat itu sebe-
narnya Allah sedang menyesatkan kita, maka buru-burulah lari
ke Allah (innalillahi wainna ilaihi raji’un) untuk minta pertolong-
annya agar kesempitan dan kesesakan dada kita itu diangkat
oleh Allah dan diganti-Nya dengan meluaskan dan melapangkan
dada kita.
2) Saat dada kita dialiri oleh Allah dengan kelapangan, keluasan,
kedamaian, maka lari pulalah ke Allah untuk menyampaikan rasa
syukur kita, agar Allah kemudian menambah dan menambah
kelapangan dada dan kebahagiaan kita itu.
b. Tabir-tabir-Nya yang Sungguh Tak Terbatas di Alam Semesta ini
dan Juga di Dalam Diri Kita
Kuaklah tabir-tabir-Nya yang ada di depan kita, maka kita akan
menemukan bahwa tabir-tabirnya itu tidak ada satupun yang sia-sia.
Semua pastilah bermanfaat bagi kita. Sehingga begitu tabir-Nya
terkuak, maka dengan seketika itu pula akan melihat Wajah-Nya,
dan tidak ada kata lain lagi yang bisa kita ucapkan kecuali: SubhnaKA
faqina ‘adzaban naar, Sungguh Maha Suci Engkau ya Allah, dan
janganlah Engkau aliri saya dengan siksaan di dunia dan diakhirat.
c. Utusan-Utusan-Nya yang Dikirim-Nya Kepada Kita
Karena pada hakekatnya setiap orang yang ada di sekitar kita,
semua perkataannya, sikapnya, perilakunya, tatapan matanya sebe-

1-61
narnya adalah ayat-ayat Allah buat kita. Allah sedang mengajari kita
melalui utusan-utusan-Nya itu. Walau seorang anak kecil sekali pun,
hakekatnya adalah utusan Allah juga buat kita.
Dan utusan Allah yang paling puncak adalah Muhammad Rasululah
SAW. Beliau adalah masternya Utusan Allah, pamuncak Utusan
Allah, karena beliau memang adalah RASULULLAH. Utusan Allah
untuk semua manusia.
Sungguh, Allah adalah Sang Maha Sibuk mengajari kita setiap saat.
Al ‘Alaq (96 : 4)
“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan QALAM.”
Al ‘Alaq (96 : 5)
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Asy Syuura (42 : 51)
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Selamat membaca setiap bahasa Allah dan mendengarkan pula setiap
perkataan-Nya, yang dengan itulah kita semua kemudian bisa bebas
memilih peran kita masing-masing untuk mendapatkan destiny (taqdir)
kita.
B. Kesimpulan
1. Bercakap-cakap dengan Allah SWT itu hanya dilakukan oleh para nabi,
itupun tidak semua nabi. Hanya nabi tertentu yang disebutkan berca-
kap-cakap dengan Allah.

1-62
2. Selain para nabi dan rasul, ada juga sebagian orang yang diberikan
ilham oleh Allah SWT, sehingga seolah dia bercakap-cakap dengan Allah
SWT.
3. Orang biasa tidak mungkin bercakap-cakap dengan Allah SWT, terutama
di zaman setelah turunnya nabi terakhir, Muhammad SAW.
4. Bahasa Tuhan dalah sebuah bahasa yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa
murni seorang manusia. Bahasa itu tidak dikotori sedikitpun oleh
persepsi-persepsi seorang manusia. Bahasa inilah yang dituntunkan
Jibril kepada Nabi SAW di Gua Hiro.
5. Yang Beliau baca adalah segala yang terlihat melalui mata dan yang
terdengar melalui telinga. Beliau membaca apa saja yang bisa
ditangkap :
• oleh lidah,
• oleh hidung,
• oleh kulit,
• oleh perut,
• oleh kelamin, dan
• oleh DADA Beliau.
Lalu Beliau paham, lalu Beliau mendapatkan suasana dan rasa dari
segala sesuatu yang Beliau baca itu pada saat yang sama.
6. Kepahaman, suasana, dan rasa yang Beliau alami atas segala sesuatu itu
bukanlah hanya untuk Beliau nikmati sendiri. Beliau harus sampaikan
semuanya itu kepada seluruh umat manusia. Dan Beliau harus
mengaktualisasikan semuanya itu dalam sebuah kehidupan di dunia ini.
7. Setelah berhasil membaca itu semua, mendapatkan kepahaman-nya,
menerima suasana dan rasanya, Beliau tidak larut, tidak terperangkap
oleh ke semua rasa dan suasana itu. Beliau berada DI ATAS semua yang
Beliau baca itu. Lalu Beliau diperintahkan Allah untuk menyampaikan
semua itu kepada seluruh umat manusia.
8. Profile Fujur ataupun Taqwa itu, di samping ada bahasanya, ada pula
suasana dan rasanya masing-masing.

1-63
9. Muhammad SAW berhasil menemukan resep yang jitu agar kita bisa ke
luar saat mana kita di suatu saat terdorong menuju polaritas FUJUR
yang suasananya bisa dirasakan oleh dada kita berupa sempitnya dada
kita dan rasanya juga tidak enak. Beliau telah mewariskan jalan ke luar
itu bagi seluruh umat manusia. Jalan ke luar itu adalah agar kita segera
berlari ke sisi Allah, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”.
10. Untuk melatih suasana berserah untuk menjadi tiada dan membiar-
kanlah Dia Sendiri yang ‘bertindak’, maka selalulah lari ke Allah, mering-
kuklah segera di sisi-Nya. Karena memang rumah kita yang hakiki adalah
di sisi Allah. Sebab kita ini memang berasal dari-Nya, dan kepadanya
jugalah memang kita ini seharusnya kembali. Tidak kepada yang lain.
Dan untuk mendapatkan suasana itupun sangat sederhana sekali, yaitu
shalatlah dengan khusyu !
11. Jawaban Allah pastilah selalu tersedia, dan baru pula. Karena memang
ilmu Allah tidak akan pernah habis-habisnya untuk dicurahkan-Nya ke-
pada kita semua, terutama untuk kita yang mau dan bersedia membaca
bahasa Tuhan di setiap sudut yang terlihat. Jawaban Tuhan adalah
segala ilmu yang telah berhasil, sedang, dan yang akan dibaca oleh
seluruh umat manusia di segala penjuru dunia.
12. Bagi orang yang beriman, setiap aktivitasnya akan disandarkannya
kepada Sang Muhith. Ada aktivitas Allahnya di awal, di tengah, dan di
akhir setiap proses yang dilakukannya.
13. Kita ini bukannya mau mendengarkan bicara-Nya Allah di tabir-tabir-
Nya, tetapi kita malah sibuk sendiri-sendiri membela diri dan kelompok
masing-masing. Mata dan telinga kita tidak dipakai lagi oleh Allah untuk
mengalirkan segenap ilmu dan pencerahan-Nya.
14. Suasana ruang dada yang sempit akan sangat mudah dialiri oleh rasa
marah, rasa iri, rasa benci, rasa takut, rasa menyesal, rasa senang dan
bahagia yang semu dan dangkal (hanya guratan kecil saja).
15. Selalulah kita rajin-rajin mengamati dada kita apakah dada kita ini
sempit dan sesak atau lapang.

1-64
16. Untuk bergerak dari satu taqdir ke taqdir yang lainnya itulah kita
diberikan-Nya sebuah kebebasan yang sangat besar. Kita bebas memilih
taqdir kita sesuai dengan logika-logika berfikir (RASIONALITAS) yang kita
miliki.
17. Tatkala kita berpaling (ya’syuu) dari ingat dan sadar penuh kepada Allah
(yang kemudian, entah kenapa, bagi sebagian besar tafsir atau
terjemahan kalimat ‘andzikrir Rahman ini diartikan sebagai: dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Rahman atau Al Qur’an), maka seketika
itu juga Allah akan menaruh syetan ke dalam dada kita.
18. Tanda utama bahwa kita tengah disesatkan oleh Allah, bahwa kita
sedang dialiri oleh Allah dengan rasa fujur, adalah kita dialiri oleh rasa
sombong terhadap sesama manusia, bahkan juga terhadap alam
semesta.
19. Jadi berubahnya suasana dada kita dari sempit dan sesak menjadi
lapang dan nyaman bisa kita dapatkan hanya dan hanya jika kita mau
menyadari adanya peran serta Tuhan untuk itu.
20. Ketika kita tidak dipakai oleh Allah untuk mengalirkan segenap kebaikan
dan peran positif-Nya, sebenarnya saat itu pula tengah dipakai oleh
Allah sebagai alat-Nya untuk Menyempitkan (Qaabidh), Menghinakan
(Mudzill), Merendahkan (Khaafidh), Mematikan (Mumiitu), Memusnah-
kan (Mu’akhkhir), Memberi derita (Dhaarr), dan berbagai aliran
penghancuran (negatif) lainnya bagi orang lain di sekitar kita.
21. Dia berkata dan mengajari kita dengan alat-Nya berkata-kata, yaitu
melalui :
a. Ilham, wahyu, pencerahan (aha, ooo, yes) yang dialirkannya melalui
dada kita.
b. Tabir-tabir-Nya yang sungguh tak terbatas di alam semesta ini dan
juga di dalam diri kita.
c. Utusan-utusan-Nya yang dikirim-Nya kepada kita.

2-65
Artikel 2 :
Bagi Orang Yang Sudah Selesai4
A. Pembahasan
Barang siapa yang ingin melakukan AMAL SHALEH, maka syarat WAJIBNYA
adalah . . .
Dia Sudah Tidak Lagi :
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa dirinya.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang dari mana
asalnya.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang buat apa dia
ada.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang apa tugas-
nya.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang ke mana dia
akan kembali.
Dengan begitu, namanya :
. . . dia sudah SELESAI dengan dirinya sendiri.
Kalau dia belum SELESAI dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa dia SELESAI
dengan YANG LAIN ? Dan bagaimana bisa pula dia melakukan AMAL
SHALEH ? IMPOSSIBLE ! Karena dia akan MENJADI sibuk dengan dirinya
sendiri untuk selamanya. Kalau dia sudah SELESAI dengan dirinya,
Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang siapa ALLAH.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang di mana
ALLAH.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Zat ALLAH.
4 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/3042

2-66
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Wujud
ALLAH.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Sifat ALLAH.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang nama-nama
ALLAH.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Laa Ilaha
Illallah.
Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Allah.
Kalau dia belum SELESAI dengan ALLAH, bagaimana bisa dia SELESAI dengan
Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain ALLAH ? Dan bagaimana bisa pula dia
melakukan AMAL SHALEH ? IMPOSSIBLE ! Karena dia akan MENJADI sibuk
dengan Tuhan-Tuhan YANG LAIN Selain ALLAH itu untuk selamanya.
Kalau dia sudah SELESAI dengan ALLAH,
Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Muhammad
Rasulullah.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang tugas Beliau.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang akhlak
Beliau.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang syariat
Beliau.
Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Rasulullah.
Kalau dia belum SELESAI dengan Rasulullah, bagaimana bisa dia SELESAI
dengan orang-orang YANG LAIN Selain Rasulullah ? Dan bagaimana bisa
pula dia melakukan AMAL SHALEH ? IMPOSSIBLE ! Karena dia akan MEN-
JADI sibuk dengan orang-orang YANG LAIN Selain Rasulullah selamanya.

2-67
Agar
BISA SELESAI dengan diri sendiri,
dan
BISA pula SELESAI dengan Allah dan Rasulullah,
maka lakukanlah ibadah-ibadah:
Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (bagi yang mampu).
Karena semua ibadah itu tadi merupakan
fasilitas dan pintu pembuka agar seseorang bisa selalu INGAT
(DZIKIR) dan bisa pula berhadapan-hadapan dengan ALLAH.
Karena Rasulullah pun melakukan hal yang sama untuk membetulkan
positioning Beliau di hadapan Allah. Kalau sudah SELESAI dengan Allah dan
Rasulullah, maka namanya dia SUDAH BERSYAHADAT kepada Allah dan
Rasulullah. Artinya dia saat ini juga SUDAH BERSAKSI; Sudah Melihat; Sudah
Beriman; Sudah Yakin kepada Allah dan Rasulullah.
Lalu Dia Sudah Tidak Lagi:
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Qur'an.
• Bertanya, berbicara, berdiskusi, apalagi bertengkar tentang Al Hadits.
Dengan begitu, namanya dia sudah SELESAI dengan Al Qur'an dan Al
Hadits.
Dia tinggal hanya :
. . . membacanya berulangkali untuk mengkalibrasi apa-apa yang telah
dan yang akan dia lakukan di dalam hidupnya.
Karena Al Qur'an hanyalah kitab di mana Allah bercerita tentang Allah
SENDIRI dan segala Kemahahebatan-Nya terhadap semua ciptaan-Nya
(termasuk terhadap Malaikat dan Iblis). Sementara Al Hadits adalah kitab
yang berisikan "sebagian" Akhlak Rasulullah di tengah-tengah para Sahabat
Beliau dalam mencontohkan posisi Beliau sebagai seorang Hamba Allah.
NAMUN, barang siapapun yang sudah SELESAI dengan semua itu di atas,
dan dia juga sudah melakukan semua ibadah-ibadah itu dengan benar

2-68
sesuai yang dicontohkan Rasulullah, maka sebenarnya saat itu dia masih
BELUM ada apa-apanya.
Dia masih BELUM dianggap apa-apa oleh Allah. Saat itu seseorang itu baru
berada pada posisi segerombolan orang di garis START. Posisi orang yang
siap untuk berlari dan saling mendahului untuk berlomba-lomba melakukan
AMAL SHALEH. Posisi orang-orang yang belum berhak mereguk perjumpaan
dengan Allah. Lho..., kok begitu ?
Ya..., karena :
. . . orang yang berhak dan bisa
BERJUMPA dan MENJUMPAI Allah
hanya dan hanya
orang yang membawa AMAL SHALEHnya ke hadapan Allah.
Al Kahfi (18 : 110)
"Barangsiapa mengharap PERJUMPAAN dengan Tuhannya maka hendaklah
ia mengerjakan AMAL YANG SALEH."
Saat seseorang ingin menjumpai Allah, maka Allah akan bertanya: "Kau
membawa amal shaleh apa untuk datang kepada-Ku kali ini wahai hamba-
Ku?".
Saat seseorang tidak bisa menunjukkan Amal Shalehnya
ketika dia menghadap Allah, maka Allah akan berpaling:
"Menjauhlah kau dari-Ku, karena kau bukanlah Hamba-Ku".
Kalau sudah begini sungguh sangat memiriskan sekali akibatnya. Astagh-
firullah.
Akan tetapi :
1. Ketika seseorang datang merendah-rendah kepada Allah sambil ber-
kata, "Ya Allah, hari ini hamba menghadap Paduka hanya dengan
membawa amal shaleh yang sangat kecil dan remeh, yaitu hamba tadi

2-69
telah menyingkirkan sepotong DURI dari jalanan yang sering dilalui
orang."
Dengan lembut, Allahpun berkata kepada para malaikat dan kepada
para iblis: "Lihatlah wahai malaikat dan iblis. Dialah hamba-Ku, dialah
hamba-Ku yang memelihara orang lain agar tidak celaka, dialah Abdul
Muhaimin (hamba-Ku yang Memelihara). Itulah Amal Shaleh yang tidak
bisa kalian lakukan. Dan itu pulalah yang menyebabkan Aku meme-
rintahkan kalian untuk sujud menghormatinya. Karena dia adalah Abdul
Muhaimin, Ruh-Ku".
2. Adakalanya seseorang datang sambil merintih : "Ya Allah, sebelum
datang menghadap, tadi hamba membacakan Al Fatihah dan berharap
agar Paduka berkenan menyampaikannya kepada Ibunda hamba, dan
sudilah Paduka memberkati, merahmati, mengampuni Beliau, hanya
do'a kecil itu yang hamba bawa ketika hamba ingin berjumpa dengan
Paduka". Atau yang lebih dahsyat adalah, kalau dia langsung duduk
menyungkur di hadapan ibunya untuk minta maaf dan ridho ibunya, lalu
dia laporkan itu kepada Allah: "Ya Allah hamba datang menghadap
Paduka setelah tadi hamba minta maaf dan ridho dari ibunda hamba.
Karena maaf dan ridho Paduka kepada hamba adalah hanya dengan
sebab adanya maaf dan ridho ibu hamba kepada hamba, Ridha Allah fii
ridha walidayn. Sungguh syurga Paduka untuk hamba ada di telapak
kaki ibu hamba".
Dengan lembut, Allah berkata kepada malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh
kalian. Dialah hamba-Ku, dialah Abdul Rahim (hamba-Ku yang berke-
limpahan dengan Kasih dan Sayang-Ku), karena, dengan maaf dan ridha
dari ibunya itu, Aku telah masukkan dia kembali ke dalam suasana
Rahim ibunya. Akulah yang menciptakan dia di dalam rahim ibunya.
Rhido-Ku dan ridho ibunyalah yang menyebabkan dia bisa lahir kebumi
ini. Kalau saja ibunya tidak ridho dulu, maka Aku juga tidak bisa berbuat
apa-apa. Mungkin dia tidak akan lahir kedunia ini". Dan sekarang
sujudlah kalian kepadanya untuk menghormat. Karena dia adalah Abdul
Rahim, Ruh-Ku".

2-70
3. Di lain kesempatan seseorang datang untuk berjumpa dengan Allah
dengan merayu-rayu: "Ya Allah, kali ini hamba datang menghadap
setelah tadi terlebih dahulu hamba menunaikan perintah Paduka untuk
memberikan 10.000 rupiah kepada seorang bapak tua yang sedang
bersandar di sebuah pohon. Orang tua itu kelihatan letih. Mungkin dia
telah berjalan sekian lama membawa seperangkat peralatan "sol sepa-
tunya" mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang ingin memperbaiki
sepatunya yang robek. Saat hamba melihatnya, hamba lihat dada
hamba Paduka aliri dengan sebuah kehendak dan sekaligus daya untuk
menyampaikan sedikit rezki kepadanya. Dengan tersenyum dan meng-
ucapkan salam, lalu hamba tunaikan perintah paduka itu, walau hanya
10.000 rupiah saja". Dengan tegas lalu Allah kembali berkata kepada
malaikat dan iblis: "Lihatlah oleh kalian. Dialah hamba-Ku. Dialah Abdul
Razak, hamba-Ku yang bersedia menolong-Ku memberikan rezki kepada
si Fulan. Nanti si Fulan itu, ketika dia makan siang di sebuah warung nasi
seharga 5000 rupiah sepiring, dia akan memberikan tambahan 2.000
rupiah sebagai hadiah kepada si ibu tua penjaga warung nasi itu. Sebab
tadi pagi cucu si nenek tua itu, yang masih duduk di bangku taman
kanak-kanak, merengek-rengek kepada neneknya minta dibelikan dua
potong roti. Karena dia ingin memberikan roti yang sepotong lagi
kepada seorang temannya yang tidak pernah membawa bekal roti ke
sekolah. Karena temannya itu memang anak dari seorang bapak yang
kurang mampu. Kemaren anak itu, ketika melihat cucu si nenek makan
sepotong roti, dia ingin pula mencicipi sepotong roti seperti itu. Aku
tahu itu, sehingga Aku alirkan kehendak itu ke dalam dada hamba-Ku si
Abdul Razak itu. Dan dia memenuhi perintah-Ku itu. Lihatlah begitulah
cara-Ku memberi rezki dan sekaligus kebahagian kepada seorang anak
kecil yang memimpikan bisa makan sepotong roti besok pagi. Itulah
yang kalian tidak bisa lakukan, sehingga aku memerintahkan kalian
untuk segera sujud menghormat kepada hambaku itu. Karena dia
adalah Abdul Razak, Ruh-Ku".

2-71
Dengan bekal amal-amal shaleh kecil seperti itu,
• Allahpun berkenan menyambut kedatangan seseorang hamba-Nya
itu di hadapan-Nya.
• Allahpun berkenan menaikkan derajat hambanya itu ke tingkat yang
lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Proses perpindahan derajat itu akan sangat terasa sekali. Ada sebuah
tarikan halus, sangat halus sekali malah, yang membawa ruhani si hamba
naik membubung tinggi menuju ASSSIRR UL ASRARR. Rahasia di atas
Rahasia yang hanya Allah dan hambanya itu saja yang mengetahuinya.
Wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Wilayah sangat rahasia.
Dan setiap orang ternyata punya wilayah Rahasia di atas Rahasia itu, yang
untuk memasukinya sungguh tergantung dari AMAL SHALEH apa yang dia
bawa saat dia datang menghadap Allah untuk berjumpa dengan-Nya.
Kalau sudah begini, maka :
. . . kualitas suasana dan keadaan SHALAT si hamba itu
akan berlipat ganda dari kualitas yang sebelumnya.
• Shalat yang betul-betul ada rasa menghadap dan
komunikatifnya.
• Shalat yang dialogis antara Allah dengan hamba-Nya.
Kesukacitaan si hamba juga seketika akan meningkat ke level yang belum
pernah dia alami sebelumnya. Dan itulah yang menyebabkan IMAN si
hamba kepada Allah akan meningkat pula dengan sangat drastis. Itu pulalah
yang menyebabkan malaikat mau tidak mau kembali tersungkur bersujud
dan menghormat kepada si hamba Allah, Abdullah. Dan iblispun kembali
pula bersaksi atas ayat Allah bahwa dia tidak bisa berkutik apa-apa saat
berhadapan dengan hamba Allah yang Mukhlasin.
Sesaat sebelum Lebaran kemaren, sebelum aku datang menghadap Allah,
dengan terlebih dahulu bershalawat kepada Rasulullah dan keluarga Beliau,
kusampaikan sebaik kalimat pendek kepada Ustadz Abu Sangkan: "Pak
Abu..., saya mohon maaf dan ridhonya. Wassalam Yusdeka, Pupun & Ima".

2-72
Dan Beliau juga menjawabnya dengan sangat singkat: "Insyaa Allah sama-
sama. Semoga rahasia sirr menjadi pembuka kita dalam rahasia Allah". Aku
sampaikan hal yang sama kepada Bapak Haji Slamet Utomo, kepada Ibuku
H. Arni Burhan, kepada Bapakku H. Bustami Thaib, kepada ibu mertuaku H.
Suwarsih, dan tak lupa sebait do'a pendek kepada almarhum Ayahku Ali
Syarkawi, almarhum Bapak mertuaku H. Eman Sulaeman, almarhum Kakek-
ku H. Burhan St. Bandaro Putiah, dan almarhumah Nenekku H. Dayana
(yang sangat menyayangiku sampai Beliau meninggal tahun 2002 dalam
umur lebih dari 80 tahun). Kemudian kupeluk istriku Pupun Agusrini dan
anakku Karima sambil berbisik: "Maafkan dan ridhoi papa ya, Papa sudah
memaafkan dan meridhoi kalian terlebih dahulu."
Labbaik Allahumma labbaik, Ya Allah, hamba datang dengan bekal ucapan
maaf dan permintaan ridho dari orang-orang yang sangat hamba hormati
dan cintai.
Dan akhirnya akupun meninggalkan Ramadhan tahun ini dengan sebungkah
Rahasia di atas Rahasia, Assirr ul Asrarr, antara aku dan Allahku ketingkat
yang belum pernah kualami sebelumnya.
B. Kesimpulan
1. Agar BISA SELESAI dengan diri sendiri, dan BISA pula SELESAI dengan
Allah dan Rasulullah, maka lakukanlah ibadah-ibadah:
a. Shalat,
b. Zakat,
c. Puasa, dan
d. Haji (bagi yang mampu).
e. Karena semua ibadah itu tadi merupakan fasilitas dan pintu
pembuka agar seseorang bisa selalu INGAT (DZIKIR) dan bisa pula
berhadapan-hadapan dengan ALLAH.
2. Kalau sudah SELESAI dengan Al Qur'an dan Al Hadits, maka lakukan
kalibrasi apa-apa yang telah dan yang akan dilakukan di dalam hidup.
3. Barang siapapun yang sudah SELESAI dengan semua itu di atas, dan dia
juga sudah melakukan semua ibadah-ibadah itu dengan benar sesuai

2-73
yang dicontohkan Rasulullah, maka sebenarnya saat itu dia masih
BELUM ada apa-apanya. Dia masih BELUM dianggap apa-apa oleh Allah.
Saat itu seseorang itu baru berada pada posisi segerombolan orang di
garis START. Orang yang berhak dan bisa BERJUMPA dan MENJUMPAI
Allah hanya dan hanya orang yang membawa AMAL SHALEHnya ke
hadapan Allah.
4. Dengan bekal amal-amal shaleh yang sekalipun kecil, Allahpun berke-
nan menyambut kedatangan seseorang hamba-Nya itu di hadapan-Nya.
Allahpun berkenan menaikkan derajat hambanya itu ke tingkat yang
lebih tinggi dari yang sebelumnya.

3-74
Artikel 3 :
Bahasa Ruhani5
A. Pembahasan
Mungkin tidak banyak kita yang tahu bahwa Allah punya cara sendiri yang
sangat dahsyat untuk merestorasi kesadaran ruhani seseorang ataupun
suatu kaum ketika seseorang atau kaum itu telah lupa dengan keseja-
tiannya dan mereka juga telah lupa pula atau sudah tidak lagi menjalankan
tugas-tugas mereka, seperti yang seharusnya, sebagai seorang manusia
atau sekelompok umat yang berguna untuk hidup di muka bumi ini.
Sebab setiap orang diturunkan Allah ke muka bumi ini :
• bisa menggunakan seluruh jasmani dan ruhaninya untuk menjadi
berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri,
• tetapi juga bagi orang lain dan alam sekitar di mana dia berada.
Dan di dalam menjalankan tugas kebergunaannya itu,
. . . seseorang hanya diminta oleh Allah untuk menyadari bahwa
statusnya tetap hanyalah sebagai seorang hamba Allah yang sedang
memikul amanah Allah,
sedang menjalankan tugas-tugas dari Allah.
Tidak lebih . ., sehingga sampai kapanpun, dia :
. . . akan punya rasa sungkan yang amat sangat untuk menyatakan
pengakuannya : ”Ini aku lho, ini hebatku lho, ini kekuatanku lho,
ana khairun minhu (aku lebih baik dari dia lho), aku . . . !
1. Bagaimana dia akan bisa mengaku, ketika dia mau mengaku atas
kekuatan dan kehebatan yang dia punyai, dia segera menyadari bahwa
dia sedang berhadapan dengan Sang Maha Meliputi yang sedang
mengalirinya dengan daya yang membuat dia bisa kuat dan hebat,
sehingga dengan sangat malu diapun segera mengaku takluk kepada
Sanga Maha Meliputi : ”Laa haula wala quwwata illa billah, sungguh,
5 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/3393

3-75
tiada daya dan kekuatan yang hamba miliki kecuali sekedar yang
paduka turunkan kepada hamba...!".
2. Begitulah seterusnya. Ucapan-ucapan pengakuannya terhadap segala
peran Allah, Sang Maha Meliputi, mengalir dari bibirnya dengan santun.
Kadangkala ada sejumput pekat suasana takjub yang melanda batinnya,
sehingga diapun berkata dengan santun kepada Sang Maha Meli-
puti : ”Subhanallah, Subhanaka, subharabbial a'laa, subhanrabbial
adhiem, subhanakallahuma wabihamdika.” Derr.
3. Adakalanya ada suasana sukacita yang kental menyusup ke dalam
batinnya, sehingga diapun lalu bergegas mengucapkan : ”Alhamdulillah,
alhamdulillahirabbil `alamin . . .” tepat kepada Wajah Sang Maha Meli-
puti. Derr.
4. Ketika suasana kesendirian, yang tiada siapa-siapa dan tiada apa-apa,
menyinggahi batinnya, sehingga dia langsung berhadapan dengan
Wujud Yang Maha Meliputi segala sesuatu, maka saat itu dia diapun
terpekik histeris kepada Sang Maha Meliputi : ”Laa ilaha Illa Allah, Laa
ilaha Illa Allah, Laa ilaha Illa Allah, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta
inni kuntu minazzalimin." Derr.
5. Begitu juga ketika batinnya terangkat dan melayang menuju ruang
kosong, tanpa batas dan tak bertepi, diapun berkata dengan dada yang
bergemuruh dan kulit yang bergetar, ”Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar" kepada Sang Maha Meliputi Yang Memiliki Segala Keting-
gian dan Kebesaran. Derr.
6. Sebaliknya, ketika ada sebentuk keadaan dan suasana kering, gersang,
dan garing melanda batinnya, sebagai pertanda bahwa saat itu Sang
Maha Meliputi sedang tidak berkenan kepadanya, diapun duduk
bersimpuh bahkan sampai tersujud sambil berucap lirih kepada Sang
Maha Meliputi Yang Maha Dekat : "Astagfirullah, astagfirullah,
rabbigfirli, rabbigfirli." Derr.
7. Saat dia merasakan batinnya sedang menjerit minta tolong atas sesuatu
beban yang tidak bisa dia pikul sendirian, maka diapun bersegera ber-
pegangan teguh kepada Sang Maha Meliputi seraya ber-
doa : "Warhamni, wajburni, warfa'ni, wardzuqni, wahdini, wa'aa fini,
wa'fuanni." Dan berbagai do'a lainnyapun begitu santun ke luar dari

3-76
bibirnya, yang menandakan bahwa saat itu dia benar-benar telah
kehilangan tempat bergantung kepada apapun dan siapapun juga selain
daripada Allah, Sang Maha Meliputi. Derr, Derr, Derr.
Saat itu benar-benar terjadi :
. . . sebuah komunikasi timbal balik antara dia dengan Allahnya, ada
think-thank, ada proses ajar mengajar, ada informasi yang mengalir
antara yang membuka batin dengan yang dibuka batinnya,
sehingga :
. . . tidak ada lagi apa-apa dan siapa-siapa
yang membuatnya takut dan khawatir.
Laa khaufun `alaihim walaa hum yahzanun.
Ada proses bela membela antara Allah dengan dia. Ya, ada pembelaan yang
terus menerus dari Dzat Yang Maha meliputi terhadap diri dia yang diliputi,
karena dia telah bersedia menyerahkan dan meluruhkan keakuannya
kepada Dzat Yang Maha Meliputi.
Karena ada tempat bergantungnya ke Allah itu, dia seperti (seakan-akan)
jadi orang yang angkuh dan tak kenal takut. Misalnya saja Nabi Muham-
mad. Saat Beliau mau dibunuh oleh Tsalabah dengan sebuah pedang yang
sudah terhunus di leher Beliau, dan Tsalabah bertanya : "Siapa yang yang
akan membelamu dari tebasan pedang ini ya Muhammad ?". Dengan santai
dan rileks saja Nabi menjawab : "Allah !". Karena memang Nabi dibela oleh
Allah, maka seketika itu juga sebuah daya iman yang membuat lunglai
menyapa tubuh Tsalabah. Kalau dalam bahasa populernya sekarang,
barangkali jawaban Beliau itu sesederhana ini : "Allahku, INI lho", kata
Beliau dengan santai. Beliau hanya menunjukkan keberadaan Allah yang
Maha Meliputi segala sesuatu kepada Tsalabah. INI ! Seketika itu juga
Ruhani Tsalabah seperti ditarik menuju Sang Maha Meliputi. Batinnya
gemetar, tubuhnya gemetar, tangannya gemetar, sehingga pedangnyapun
jatuh ke tanah. Tsalabahpun kemudian menyatakan kesaksiannya terhadap
keberadaan Allah dan terhadap kerasulan Muhammad Saw.

3-77
Andaikan kita yang menghadapi hal seperti di atas, barangkali yang kita
lakukan adalah sebagai berikut :
1. Kalau kita merasa punya ilmu kebal, maka seketika itu juga kita akan
ingat ilmu kebal kita. Kita akan melakukan persiapan kilat agar ilmu
kebal kita itu muncul. Lalu kita akan menantang Tsalabah dengan
jumawa : "Hayooo, tebas, saya punya ilmu kebal kok".
2. Kalau kita merasa punya ilmu beladiri, maka kitapun akan mencari
kesempatan untuk melepaskan diri dari todongan pedang Tsalabah itu,
sambil mencari kesempatan untuk melumpuhkan dan mengalahkannya.
Ini mirip sekali dengan yang dilakukan Steven Siegel, atau James Bond,
dalam filem-filemnya.
3. Tapi kalau kita merasa tidak punya ilmu apa-apa, dan tidak punya siapa-
siapa pula untuk tempat bergantung dan berlindung, maka kita akan
menggigil ketakutan, kita akan terkencing-kencing dan gacar (mencret)
menahan rasa takut, kita akan memelas untuk minta diampuni oleh
Tsalabah. Beda sekali dengan yang dilakukan oleh Rasulullah ketika itu.
Beda sekali.
B. Kesimpulan
1. Dalam menjalankan tugasnya di muka bumi, seseorang hanya diminta
oleh Allah untuk menyadari bahwa statusnya tetap hanyalah sebagai
seorang hamba Allah yang sedang memikul amanah Allah, sedang
menjalankan tugas-tugas dari Allah.
2. Sampai kapanpun, diaakan punya rasa sungkan yang amat sangat untuk
menyatakan pengakuannya : ”Ini aku lho, ini hebatku lho, ini kekuatan-
ku lho.”
3. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, karena memiliki tempat bergantung,
yaitu Allah, tidak ada lagi apa-apa dan siapa-siapa yang membuatnya
takut dan khawatir.

4-78
Artikel 4 :
Benang Kesambungan dengan Allah6
A. Pembahasan
Dalam perjalanan seorang penempuh jalan menuju Allah, bisa akan
menemui suatu kondisi di mana dia merasakan adanya suatu energi dari
hati yang membumbung naik ke atas, menyambung dengan Allah. Dirasa-
kan sebagai semacam benang/tali yang menghubung langsung kepada
Allah.
1. Benang Spiritual
Apa sebenarnya fenomena ini ? Bagi seorang yang memahami berbagai
jenis aura yang meliputi tubuh manusia, maka fenomena ini bukanlah
hal yang aneh. Ini hanyalah wujud nyata dari terbukanya cakra spi-
ritual/kebijaksanaan/hikmah/enlightenment. Yang tentu saja ini bukan
hanya bagus. Tapi bagus sekali. Dengan tersingkapnya tutup/hijab yang
menutupi cakra yang berada di atas kepala ini, maka akan banyak sekali
kekayaan-kekekayaan rohani yang dicurahkan dari alam tingkat ting-
gi/alam ketuhanan. Berbagai pengetahuan dan pemahaman-pemaham-
an baru akan mengalir dengan sangat lancar dan melimpah-ruah.
2. Tadhorru'/Tawadhu'
Bagi yang ingin merasakan dan mengalami sendiri fenomena ini,
barangkali bisa mempraktekkan tips sederhana berikut. Kita praktekkan
saja dzikir yang diajarkan oleh alquran.
Allah mengatakan :
Al A'raf (7 : 205)
"Ingatlah Tuhanmu di dalam hatimu dengan tadhorru' lagi sembunyi-
sembunyi."
6 http://munggahterus.blogspot.com/2010/02/benang-kesambungan-dengan-allah.html

4-79
Kita diperintahkan dalam ayat ini untuk mengingat Allah di dalam hati
dengan tadhorru'/ merendahkan diri.
Nabi mengatakan : "Tidak ada seorang pun yang tawadhu'
kepada Allah kecuali dia diangkat oleh Allah." Jadi biasakan
saja sikap tawadhu'/tadhorru' ini.
Shalatlah dengan tawadhu'/tadhorru'. Rendahkan diri, tundukkan
kepala di hadapan Allah. Di luar shalat, bawa sikap ini ke mana saja.
Berjalan ke pasar/kantor/tempat kerja sambil kepala yang menunduk
langsung di hadapan Allah. Rasakan sepenuh jiwa dan raga akan
kehinaan diri ini di hadapan Beliau. Jiwai betul bahwa kita ini sangat
kecil dan remeh bahkan hingga tingkat merasa nol, kosong, tidak ada,
hilang musnah di hadapan Allah.
Asalkan dengan benar dan istiqomah kita melakukan tips ini. Pada
akhirnya, pada waktunya yang pas, dengan karunia dan kemurahan
Allah, tersingkaplah tabir/hijab yang menutupi cakra spiritual kita.
Benang kesambungan dengan Allah muncul dengan sangat terasa. Jalur
komunikasi antara hamba dengan Tuhannya terbuka dengan sangat
lebar. Kekayaan-kekayaan spiritual, ilham-ilham ilahi, mengucur dengan
lancar. Penerangan ketuhanan menyala di atas kepala dengan terang-
benderang, mencahayai hari-hari kita. Alhamdulillah.
B. Kesimpulan
1. Untuk dapat merasakan dan mengalami fenomena adanya benang
spiritual, yakni adanya Benang Kesambungan dengan Allah, maka ingat-
lah Tuhanmu di dalam hatimu dengan tawadhu'/tadhorru' (rendahkan
diri, tundukkan kepala di hadapan Allah) di mana saja.
2. Dengan munculnya benang kesambungan dengan Allah, maka keka-
yaan-kekayaan spiritual, ilham-ilham ilahi, mengucur dengan lancar.

5-80
Artikel 5 :
Bersatu7
A. Pembahasan
Kita mungkin pernah mendengar atau membaca ayat berikut ini:
As Shaaf (61 : 2-3)
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Namun tidak sedikit di antara kita yang bisa paham apa maksud dan tujuan
sebenarnya dari ayat tersebut diturunkan oleh Allah. Sekilas terlihat
muatan ayat ini hanya biasa-biasa saja. Orang beriman, saat dia ingin
berkata-kata, maka dia diminta oleh Allah untuk mengatakan sesuatu yang
pernah dia kerjakan dan perbuat. Wajar sekali ayatnya. Namun, kenapa
kebencian dan ketidaksukaan Allah sangat besar kalau kita mengatakan,
terutama kepada orang lain, sesuatu yang tidak pernah kita kerjakan dan
lakukan ? Mengerjakan atau melakukan macam apa yang diminta oleh Allah
kalau kita ingin berkata-kata dengan orang lain ?
• Saat kita ingin berkata-kata tentang shalat, zakat, puasa, misalnya, kita
sering membatin, ”Masak sih kita sebagai orang beriman belum pernah
melakukannya ? ”
• Saat kita ingin berkata-kata tentang iman, ihsan, taqwa, kita pikir,
”Masak sih kita sebagai orang beriman belum pernah jadi orang yang
beriman atau percaya ? ”
• Saat kita ingin berkata-kata tentang kasih sayang kepada keluarga, orang
tua, istri, anak, dan saudara-saudara, tetangga, anak yatim, fakir miskin,
”Masak sih kita sebagai orang beriman belum pernah menyayangi
mereka ?”
7 http://groups.yahoo.com/group/dzikrullah/message/2621 ? var=1&l=1

5-81
Kita juga sering merasa bahwa :
Kita telah melakukan apa-apa yang diperintahkan Allah dan Nabi, serta
meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah dan Nabi.
Dan itupun ditambah pula dengan banyaknya hafalan kita yang berasal
dari berbagai buku dan literatur
yang pernah kita baca tentang semua hal di atas.
Oleh sebab itu, dengan gagah berani kitapun mencoba berkata-kata kepada
khalayak umum bahwa shalat itu begini dan begitu, zakat ini begini dan
begitu, puasa ini adalah untuk meningkatkan ketaqwaan. Kemudian kita
banyak pula yang membahas baik secara lisan maupun tertulis tentang
serba-serbi taqwa, iman, ihsan, silaturrahim, ukhuwah, dan sebagainya.
Ramai sekali. Dunia perda'ian, dunia perustadzan, dunia perkiyaian, dan tak
terkecuali dunia perspiritualan, kemudian tumbuh marak sekali di tengah-
tengah masyarakat kita.
Namun yang menggelitik adalah, dengan semaraknya pengajian seperti itu,
kok :
. . . kelihatannya
kualitas hidup, kesukacitaan, dan kesabaran kita umat Islam ini
dalam menjalankan agama dan hidup bermasyarakat
bukannya bertambah baik, malah sebaliknya
ada kecenderungan menurun terus kualitasnya dari waktu ke waktu.
Ada apa ini gerangan ??
• Kemudian saya coba amati keadaan yang terjadi di beberapa tempat saat
khotbah Jum'at disampaikan. Hampir 90% jemaah berada dalam posisi
tidur sambil duduk. Sebagian lagi melamun entah ke mana. Sebagian lagi
gelisah menunggu khotbah selesai. Kata-kata khatib seperti tidak punya
daya apa-apa untuk menggugah kesadaran jama'ahnya. Kenapa ini
gerangan terjadi ?
• Di acara-acara pengajianpun, apa-apa yang telah disampaikan bertahun-
tahun oleh ustadz kita, kiyai kita, atau murobbi kita, seperti lewat begitu

5-82
saja dari telinga kanan untuk kemudian ke luar lagi dari telinga kiri kita,
sehingga hasil mengaji kita selama belasan bahkan puluhan tahun itupun
seperti tidak mampu memberikan kita hasil yang memadai kalau tidak
mau dikatakan hanya sekedar pas-pasan.
Beruntunglah suatu saat, setelah diajarkan oleh sahabat dan guru saya
Ustadz Abu Sangkan dan dipermatang oleh orang tua dan guru saya Pak
Haji Slamet Utomo, tentang cara membaca (iqraa), maka sedikit demi
sedikit saya mulai dipahamkan Allah tentang makna Iqraa seperti yang
diperintahkan oleh JIBRIL dulu kepada Nabi Muhammad SAW saat
menerima wahyu pertama di GUA HIRA.
Saat Nabi dipaksa oleh Jibril "Iqraa ya Muhammad..., baca ya Muhammad",
Nabi menjawab : "Ma ana bi qari, aku nggak bisa baca". Namun Jibril tetap
memaksa Beliau. Sampai-sampai Jibril dan Rasulullah seperti sedang ber-
bantah-bantahan tentang perintah membaca itu sampai tiga kali. Jibril me-
merintahkan ”Baca..!” namun Nabi menolaknya dengan mempertanyakan
apa yang harus Beliau baca. Wong saat itu nggak ada buku, nggak ada
huruf, nggak ada warna, nggak ada suara. Apalagi Beliau memang seorang
Ummi, seorang yang tidak bisa baca tulis huruf-huruf.
Jibril lalu memerintahkan Nabi membaca dengan nama Tuhan, "Iqraa bis
mirabbik, bacalah dengan nama Tuhanmu...". Akhirnya, karena Beliau
memang tahu bahwa nama Tuhan adalah Allah, maka Beliaupun membaca
"sesuatu" sambil menyebut nama Allah; Beliau mengamati "sesuatu" sambil
membaca nama Allah. "Allah...", dan Beliau bersikap waspada. "Allah..., dan
Beliau menunggu dengan sikap siap menerima "sesuatu" itu. Dan dengan
seketika itu pula sebuah prosespun terjadi di dalam diri Beliau seperti yang
diterangkan Allah dengan simple di dalam al Qur'an surat Az Zumar ayat 22-
23. Beliau lalu diajari Allah apa-apa yang sebelumnya tidak Beliau ketahui
tentang Islam.
Az Zumar (39 : 22-23).
"Maka apakah orang yang telah Allah lapangkan dada/hatinya untuk Islam
lalu dia (hidup) di atas cahaya dari Tuhan-nya, maka celakalah bagi yang

5-83
telah membatu hatinya dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam
kesesatan yang nyata”.
Allah, Dia telah menurunkan sebaik-baik perkataan kitab yang serupa,
sebagian ayatnya berulang-ulang, menjadi merinding karenanya kulit-kulit
orang-orang yang mereka takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi
lembut dan condong kulit-kulit mereka dan hati mereka kepada mengingat
Allah. Demikian itu adalah petunjuk Allah. Dia memberi petunjuk dengan itu
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan adapun siapa yang Allah sesatkan
dia maka tidak ada baginya dari pemberi petunjuk".
Mari kita runut . . .
. . . proses pengajaran Allah kepada Rasulullah tentang Islam . . .
. . . yang kemudian Beliau sampaikan kepada sahabat-sahabat Beliau saat
itu. Karena proses itu sama dan persis akan terjadi pula kepada orang-orang
beriman sebelum maupun sesudah generasi Beliau, sampai ke generasi kita
sekarang dan generasi yang akan datang.
1. Allah melapangkan, meluaskan, atau membuka dada Rasulullah.
2. Dada Beliau yang sudah lapang itu ditaruh oleh Allah di atas cahaya
Allah.
Dua langkah pertama ini tidak akan pernah terjadi (kecuali jika Allah
menghendakimya) bagi orang-orang yang tidak bersedia, tidak bersikap,
dan tidak ingin untuk memahami Islam. Dada orang yang seperti ini
suasana di dalamnya adalah gelap, keras, dan membatu, sehingga dada
tersebut tidak sedikitpun sadar dan ingat kepada Allah. Kalau sudah
membatu seperti ini, Allah menamakan dada tersebut dengan istilah
dada yang dimiliki oleh orang yang sesatnya sebenar-benarnya sesat.
3. Dada Rasulullah yang sudah super lapang dan sedang ditaruh Allah pula
di atas cahaya-Nya kemudian DIISI, DIOSMOSIS, DIALIRI, DISIBGAH oleh
Allah dengan perkataan-perkataan yang utuh tentang Islam. Utuh
seperti dalam sebuah kitab yang lengkap dan detail, yang ditaruh Allah
ke dalam dada Beliau. Kitab itu sama dari masa ke masa. Sama dari

5-84
masa lalu, sampai sekarang, maupun untuk masa yang akan datang.
Ha Mim..., `Ain Sin Qaf... (Asy Syura 1-2)8 DERR...,
. . . ada daya pengajaran
yang sangat hebat dan utuh seperti kitab
diturunkan (anzal) oleh Allah, dialirkan Allah,
diosmosiskan Allah sendiri ke dalam setiap
sel kulit, sisi-sisi tubuh, dan seluruh DNA Beliau.
Daya yang turun itulah kemudian mampu dibaca Beliau melalui dada Beliau
yang saat itu memang sedang luas tak berhingga dan sedang bergelimang
pula dengan cahaya Allah.
Oooo..., ternyata Daya Pengajaran seperti inilah yang diperintahkan oleh
Jibril untuk dibaca oleh Beliau. "Iqraa..., bacalah daya pengajaran dari
Allah", kata Jibril. Bukan kitab, bukan buku, bukan catatan, bukan huruf-
huruf, tetapi Daya Pengajaran. Daya pengajaran itu membawa dan memuat
pengertian yang utuh tentang Islam.
Daya Pengajaran dari Allah itulah yang disebut Allah
sebagai sebaik-baiknya perkataan-Nya.
Utuh kitab tentang Islam yang beliau terima. Dan secara berulang-ulang
pula Allah memberikan DERR..., DERR..., DERR..., itu selama masa kenabian
Beliau, sehingga tidak ada satu butir perkatan Beliaupun tentang Islam yang
tidak diawali dengan DERR itu.
1. Reaksi pertama saat Allah berkenan mengaliri Dada Beliau dengan Daya
Pengajaran itu adalah :
Kulit Beliau merinding, tubuh Beliau menggigil hebat seperti orang
kedinginan, sehingga menurut sejarah Beliau minta
diselimuti oleh Khadijah, istri Beliau.
8 Haa Miim. 'Ain Siin Qaaf.

5-85
Karena saat itu memang sedang ada Daya Pengajaran yang sangat
hebat yang langsung diturunkan oleh Allah kepada Beliau. Menggigilnya
kulit Beliau itu adalah karena saat itu Beliau menjadi begitu takluk, tidak
berkutik, dan tercekam hebat dengan Allah. Iman Beliau kepada Allah
pun menghujam dalam ke dalam dada Beliau. Sel-sel tubuh Beliau, DNA
Beliau, dan otak Beliaupun sedang dibasuh, dicelup, dimetamorfosis
oleh Allah agar paham secara utuh tentang Islam. Tidak ada bagian
tubuh dan jiwa Beliau yang tidak beriman kepada Allah.
2. Setelah Daya Pengajaran itu selesai ditaruh Allah ke dalam dada Beliau,
kemudian kulit dan dada Beliau yang tadinya merinding, bergetar, dan
bereaksi hebat, lalu . . . berubah menjadi TALINU..., tenang, lembut,
lunak, dan damai. Bukan hanya itu,
. . . kulit dan hati Beliau itu juga menjadi
condong kepada mengingat Allah, selalu ingin ke Allah,
selalu ingin mengajak ke Allah . . .
sehingga dalam keadaan apapun juga, baik saat berdiri, duduk, ataupun
tidur, saat bekerja, saat berkarya, saat menyabda, kulit dan hati Beliau
selalu condong kepada mengingat Allah, sehingga yang Beliau bicarakan
selalu tentang Allah.
Asy Syura (42 : 3)
”Kadzaa lika yuuhii ilaika wa ilalladzi na min qablika Allahul `aziizul
hakiim, demikianlah Dia mewahyukan kepadamu dan kepada orang-
orang yang dari sebelum kamu. Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana.”
3. Dzalika ! Proses seperti di atas kemudian ditegaskan kembali oleh Allah:
"Demikian itu adalah petunjuk Allah". Begitulah cara Allah menunjuki
orang-orang, siapapun, yang dikehendaki-Nya sepanjang masa, dari
zaman ke zaman.
4. Sedangkan bagi siapa-siapa yang Allah sesatkan dia, maka tidak ada
sesuatupun baginya dari sang pemberi petunjuk". Karena yang bisa
memberi petunjuk itu hanyalah Allah sendiri dengan proses seperti di

5-86
atas, sedangkan Allah tidak akan pernah berkenan memberi petunjuk
kepada mereka karena hati mereka keras membatu dari mengingat
Allah. Hatinya pun tidak akan pernah condong kepada Allah. Dia akan
sibuk dengan segala sesuatu yang akan menjauhkannya dari Allah.
Dari proses yang diterangkan Allah dalam ayat 22-23 surat Az Zumar di atas
menjadi jelaslah bahwa :
. . . untuk bisanya kita menerima Islam itu dengan SUKACITA dan UTUH
(KAFAH), haruslah terlebih dahulu ada
Daya Pengajaran Allah yang diturunkan Allah
langsung ke dalam dada kita.
Merinding jadinya kulit kita, bergetar dada kita akibat turunnya Daya
Pengajaran Allah itu. Lalu setelah itu muncul suasana tenang dan damai
yang menyelimuti dada kita.
Jadi..., bukan cukup hanya sekedar kita membaca dan
menghafal definisi-definisi dari kitab al Qur'an dan Al Hadits
yang tertulis dalam bahasa Arab, atau tafsir dan uraian dari
ulama-ulama penerus Rasulullah. Bukan.
Sebab setiap KATA di dalam Al Qur'an dan Al Hadits itu sekaligus BERSATU
dengan SUASANA dan KEADAANNYA. Suasana ini akan disimpan di dalam
otak kita untuk nanti direcall (dipanggil ulang) pada saat kita
membutuhkannya. Bahkan kadangkala pada saat-saat tertentu, suasana
yang sudah ada di dalam dada kita itu akan diperkuat Allah dengan daya
pengajaran yang sama tapi dengan kualitas dan intensitas yang lebih tinggi,
agar kita semakin paham dan mengerti tentang suasana yang telah kita
dapatkan sebelumnya. Penguatan itu bisa berulang-ulang seperti yang
dijelaskan oleh ayat di atas. DERR..., DERR..., DERR.......
Selanjutnya tinggal terserah kita.
1. Misalnya, saat kita ingin berkata-kata, berbicara, menulis, ceramah,
ataupun berkhotbah tentang sesuatu topik,

5-87
. . . kita tinggal merecall suasananya,
lalu dada kita dialiri lagi dengan suasananya,
kemudian kita menerjemahkan suasana dada kita itu
dengan kata-kata kita sendiri,
. . . atau bisa pula kita cari padanan kalimat-kalimatnya di dalam Al
Qur'an dan Al Hadits. Dan secara mencengangkan pastilah intisari dari
kata-kata yang kita pilih dalam bahasa kita itu akan sama dengan
muatan salah satu atau beberapa ayat Al Qur'an dan Al Hadits. Dan
kemudian, walaupun kita baru mendapatkan satu atau dua Daya
Pengajaran dari Allah tentang Islam, maka sampaikanlah satu atau dua
ayat itu. Insyaallah itu akan sangat bermanfaat bagi orang-orang yang
menerimanya.
2. Misalnya, pada suatu saat dada kita pernah dialiri oleh Allah dengan . . .
. . . suasana percaya yang sangat pekat kepada-Nya. Percaya kita itu
FULL..., PENUH..., UTUH ! Rasa percaya itu sampai mempengaruhi
kulit, seluruh tubuh, dan DNA kita. Rasa percaya kita itu tidak
hilang-hilang, tidak copot-copot. Rasanya seperti orang yang sedang
kasmaran. Kita benar-benar tidak berkutik, takluk, dan habis dari
segala pengakuan di hadapan Allah.
Bahkan :
a. Saat kita lagi capek, ngadunya ke Allah: "Ya Allah saya capek...".
b. Saat kita ngantuk dan ingin tidur, sambil merebahkan diri, kita
maunya ngomong ke Allah: "Ya Allah tubuh saya ingin tidur ya Allah,
saya siap kembali kepada-Mu", Lalu kita siapkan ruh kita untuk
kembali ke Allah: "Saya siap ya Allah. Allah...". Lalu kita lenyap
kembali ke Allah.
Begitu bangun tidur, bawaannya kita juga tetap saja condong ingin ke
Allah, sehingga kitapun inginnya berucap: "Makasih ya Allah, Engkau
telah hidupkan saya kembali setelah tadi mati beberapa saat". Untuk
hal tersulitpun, tatkala kita mendapatkan sebuah peristiwa yang tidak

5-88
sama dengan apa yang kita harapkan, kita dengan sangat lapang
berkata: "Ya Allah saya siap menerimanya ya Allah".
3. Bahkan saat Allah mengetok bumi dengan gempa bumi atau gunung
meletus yang meluluh lantakkan rumah, sawah, ladang, dan bahkan
memakan korban jiwa, kita masih bisa berkata tanpa rasa panik dan
takut: "Allah ya...". Lalu kitapun segera berdiri tegak: "Siap ya Allah...".
Dan dengan tergopoh-gopoh kita segera mengalirkan sebagian rezki kita
dan mengulurkan bantuan tenaga kita, tentu saja sesuai dengan
kemampuan kita, untuk membatu korban bencana yang membu-
tuhkannya. Kita segera beranjak melaksanakan tugas kepetugasan kita
di hadapan Allah. Bukan hanya sibuk membahasnya dengan mulut
berbusa-busa. Karena memang di setiap bencana yang datang menya-
pa, sebenarnya saat itulah orang beriman sedang MELIHAT ALLAH.
Sungguh..., setiap Allah MENYATA ke alam benda, maka benda-benda
akan hancur, gunung-gunung akan luluh lantak, bumi akan bergoncang,
manusia akan tiada, pingsan..., mati ! Sebab saat itu sebenarnya Allah
sedang menyata, sedang menyabda, sedang mengaku, sedang berkata
kepada kita semua : "Ini Aku..., Allah..., wahai semua ciptaan-Ku, kalian
sebenarnya tiada, semua FANA, kecuali hanya Aku yang KEKAL. Akulah
Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku, mengabdilah kepada-Ku,
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku".
Kalaulah kita masih saja tidak tercerahkan, tidak tersadarkan, dengan
peringatan seperti itu, maka Allah kembali bersabda dengan lembut:
"Fabiayyi alaa irabbikuma tukadzdzibaan”, maka yang manakah karunia
Tuhan kalian yang kalian dustakan ?" "Dengan cara apalagi Aku harus
menyadarkan kalian tentang Aku kalau tidak dengan shalat ??"
Akhirnya bagi orang yang beriman :
. . . apa-apa Allah, sedikit-sedikit Allah,
persis seperti orang kasmaran kepada kekasihnya.

5-89
Dan pastilah kemudian dia akan menjalankan Shalat dengan bersemangat.
Karena saat shalatlah orang beriman MELIHAT ALLAH. Karena saat shalat itu
Ruhani orang beriman melesat terbang kembali ke sisi Allah.
Suasana percaya penuh dan utuh kepada Allah seperti ini disebut juga
dalam bahasa arabnya dengan istilah IMAN kepada Allah. Rasa Iman kepada
Allah. Suasana RASA IMAN ini bisa kita recall kembali. Atau bisa pula pada
saat-saat tertentu Allah menurunkan kembali daya pengajaran-Nya ke
dalam dada kita tentang RASA IMAN itu untuk lebih memantapkan iman
kita kepada-Nya. DERR.
Maka setelah itu :
1. Saat kita berkata kepada orang-orang di sekitar kita: "Marilah kita
beriman kepada Allah...", kata-kata kita tentang :
IMAN itu telah BERSATU dengan SUASANA RASA IMAN
yang ada di dalam dada kita.
Sungguh..., sebuah KATA yang telah BERSATU dengan SUASANA atau
KEADAAN dari KATA itu, akan mempunyai daya yang sangat besar bagi
orang-orang yang kita tuju dengan kata itu. Terutama saat kita
berhadapan dengan orang-orang yang mau, ingin, dan bersedia
membuka dadanya untuk menerima pengajaran dari Allah sesuai
dengan proses di atas.
2. Sebaliknya, bagi orang-orang yang telah membatu hatinya dari meng-
ingat Allah, proses mengalirnya Daya Pengajaran dari Allah nan super
lembut tersebut di atas TETAP tidak akan pernah tertangkap sedikitpun
oleh dadanya. Dadanya tetap mati. Bahkan Allah tetap tidak berkenan
mengalirkan daya itu sedikitpun ke dalam dadanya, sehingga saat dia
mencoba untuk berkata tentang IMAN, maka rasa atau suasana IMAN
itu TIDAK ADA sedikitpun berada di dalam dadanya.
Malah sebaliknya, saat dia berkata: "Saya TIDAK PERCAYA...", maka
ucapan TIDAK PERCAYANYA itu UTUH dan BULAT. Karena ucapan tidak
percayanya itu persis sama dengan suasana tidak percaya yang ada di

5-90
dalam dadanya. Dan itu pasti sama pula dengan salah satu atau
beberapa ayat Al Qur'an dan Al Hadits.
Makanya ada ayat-ayat yang berkenaan dengan orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah. Misalnya ketika Al Qur'an bercerita tentang
ketidakpercayaan Fir'aun, Namrud, dan beberapa nama lainnya kepada
Allah. Kalau orang sudah begini, tidak ada yang bisa memberi petunjuk
baginya kecuali Allah sendiri. Tentu saja dengan cara Allah yang ekstrim
pula. Fir'aun baru bisa percaya kepada Allah pada detik-detik terakhir
hidupnya, saat dia mengalami siksaan ketika ditelan oleh lautan.
Keadaannya akan berbeda kalau kita berbicara tentang rasa MARAH
atau BENCI kita kepada seseorang yang pernah menyakiti dan
mengecewakan kita. Begitu kita berbicara : "Saya benar-benar
MARAaaHHH... kepada si A, Saya BENCI sekali kepadanya...". Dada kita
terisi penuh dan utuh dengan suasana rasa MARAH dan BENCI itu,
wajah kita menegang dan memerah, seluruh tubuh kita mengejang siap
untuk memuntahkan energi marah yang tercipta di setiap sel tubuh kita
kepada orang yang kita marahi dan benci itu. Andaikan orang yang kita
benci itu ada di depan kita saat itu, alangkah berbahayanya
keadaannya.
Sekarang menjadi jelaslah maksud surat As Shaaf 2-39 di atas,
. . . kalau kita ingin berbicara tentang sesuatu yang berkenaan dengan
Islam, maka seyogyanyalah, wajiblah kita sudah melakukannya terlebih
dahulu dengan utuh dan bulat. Artinya
saat kita melakukan aktifitas tersebut
bersamaan dengan itu
ada pula suasananya,
sehingga kata-kata yang akan kita ucapkan atau tuliskan setelah itu
adalah suasana jiwa kita sendiri yang telah bersatu dengan
kata-kata yang kita ucapkan atau tuliskan itu.
9 Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

5-91
Dan itu pasti akan mempengaruhi orang yang mendengarkannya atau yang
membaca kata-kata kita itu. Artinya omongan kita bisa nyambung.
Inspiring... Namun, tetap tidak akan begitu berpengaruh banyak terhadap
orang yang memang tidak bersedia membuka hatinya untuk menerima
Islam.
1. Ini bisa dimisalkan dengan penggunaan sebuah kata seperti GOLF. Bagi
seorang pegolf, saat dia berbicara tentang GOLF, maka suasana nikmat-
nya bermain golf bersatu dengan kata-kata yang ke luar dari mulutnya.
Dia bisa bercerita bagaimana mereka bisa kuat berjalan berkilo-kilo
selama berjam-jam, berpanas-berhujan, memukul, dan memasukkan
bola ke hole tanpa capek sedikitpun. Ceritanya bisa detail dan runut
sekali sampai ke hal terkecil sekalipun. Bagaimana rasanya saat bola
berhenti tipis di pinggir lobang, sehingga kalau ditiup sedikit saja bola
itu akan masuk. Tapi bola itu tidak boleh ditiup. Seperti yang pernah
diperlihatkan dalam sebuah iklan minuman beberapa waktu yang lalu.
Duh rasanya penasaran banget.
Kalau cerita tentang golf ini disampaikan kepada sesama pegolf, maka
ngomongnya seperti ada tali yang menyambungkan keduanya, sehingga
mereka bisa berbicara dan tertawa bersama-sama. Bahkan saat salah
seorang dikoreksi atau disalahkan oleh temannya dia bisa menerima
dengan tanpa ngedumel sedikitpun. Dan dia malah balik berkata:
"Besok saya akan lebih baik dari sekarang, awas kamu ya...", ucapnya
sambil tertawa. Suasananya begitu cair dan renyah sekali. Karena me-
reka berbicara golf sekaligus dengan merecall dan menikmati kembali
suasana rasa bermain golf itu di dadanya, sehingga yang muncul adalah
ukhuwah pegolf, atau suasana pertemanan ala komunitas pegolf. Sua-
sana yang tidak akan pernah bisa muncul ketika seorang pemain tenis
meja bercerita kepada pemain golf, tapi si petenis meja belum pernah
main golf apalagi menikmatinya, walau dia sering membaca buku golf,
sehingga pastilah omongan mereka nggak akan nyambung.
2. Contoh yang sama bisa kita amati pada suasana pertemanan ala para
pemancing. Suasananya cair, renyah. Peristiwa saling salah menyalah-

5-92
kan di antara merekapun bisa berjalan dengan aman-aman saja. Tidak
ada di antara mereka yang rebutan ikan. Tidak yang berantam gara-gara
senggolan pancing. Saat pancing mereka saling tersangkut, mereka
malah bisa saling tertawa lepas. Di antara mereka belum ada terdengar
yang saling berbunuh-bunuhan, kecuali membunuh ikan. Asyik sekali
mereka dalam memancing itu. Kalaulah ada yang melarang mereka
untuk pergi memancing, barulah mereka marah habis-habisan.
Begitu jugalah seharusnya yang terjadi di antara sesama umat Islam dalam
mewujudkan ukhuwah islamiyah, suasana pertemanan ala sesama umat
Islam. Namun sayangnya, saat kita berbicara tentang Islam, walau di antara
sesama umat Islam sekalipun, suasana renyah dan cair itu sudah jarang
sekali terjadi kalau tidak mau dikatakan tidak pernah lagi tercipta.
Ukhuwah Islamiyah yang sering didengung-dengungkan orang itu
sekarang sudah barang langka dan sangat sulit diwujudkan.
Karena dalam bergaul di antara sesama muslim, kita sudah begitu terbiasa
saling berbicara tentang sesuatu yang tidak atau belum pernah kita lakukan
dengan UTUH. Kita dengan sangat bersemangat bisa bercerita tentang
IMAN (percaya), misalnya, tapi sayangnya kita berbicara dengan tidah utuh.
Saat kita bercerita IMAN itu, tidak ada sedikitpun SUASANA IMAN yang
utuh terbentuk di dalam dada kita. Dada kita hambar saja. Dada kita datar-
datar saja. Bahkan ada sebentuk suara lirih yang sedang berkata di dalam
dada kita yang menolak apa-apa yang tengah kita katakan itu. "Aaaa...
kamu bohong ya..., kamu sendiri ragu ya...", kata suara lirih itu. Dan
biasanya kita tidak mempedulikan suara lirih itu dan tetap meneruskan
perkataan bohong kita itu.
Kalau di antara sesama umat Islam sendiri sudah saling berbicara secara
tidak utuh begini, maka itu alamat akan sangat membosankan sekali. Rasa
kantuk cepat sekali menyerang. Tidak ada rasa sambung, atau tali rahim
yang menghubungkan di antara sipembicara dan yang mendengarkannya.
Otak kita saling tolak menolak. Saat kita diberitahu oleh si penceramah
bahwa saat itu kita sedang tidak baik, tidak khusyuk, tidak bahagia, lalu
sipenceramah mengajak kita untuk bertaqwa, untuk khusyu sekarang juga.

5-93
Maka dada kita langsung berontak menolaknya. Kita ngedumel: "Wah si
penceramah ini asal bicara saja". Dada kita langsung tidak nyaman. Rasa
tidak nyaman itu utuh dan bulat menyelimuti tubuh dan dada kita, sehingga
akhirnya pada ceramah-ceramah yang akan datang dia tidak akan datang
kalau si penceramahnya adalah orang dulu yang pernah menasehatinya.
Yang muncul kemudian adalah rasa permusuhan, rasa bergolong-golongan
di antara sesama muslim.
Pantas saja Allah begitu benci kalau kita begitu. Karena ternyata saat kita
berbicara kepada orang lain tentang iman, sementara suasana rasa iman itu
tidak ada sama sekali, atau paling tidak belum utuh dan bulat tertanam di
dalam dada kita, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbicara bohong.
Seperti yang pernah dilakukan oleh seoran badwi di hadapan Rasulullah :
Al Hujuurat (49 : 14)
Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah
(kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah
tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”.
Orang Arab Badwi itu belum berada pada posisi orang yang bersedia untuk
diberi DERR oleh Allah.
Lalu,
• Mana bisa orang yang dadanya sedang gelisah bercerita tentang suasana
tenang.
• Mana bisa orang yang dadanya sedang dipenuhi rasa benci bercerita
tentang suasana kasih sayang.
• Mana bisa orang yang dadanya sedang kebingungan bercerita tentang
kepahaman.
• Mana bisa orang yang dadanya penuh dengan rasa dendam akan
bercerita tentang suasana saling memaafkan.
• Mana bisa orang yang dadanya penuh dengan rasa ingin merusak
berbicara tentang rahmat bagi semesta alam.

5-94
• Mana bisa orang yang suasana dadanya sedang penuh dengan rasa
keangkuhan: "Ana khairu minhu, aku lebih baik dari dia", akan berbicara
tentang persaudaraan Islam (ukhuwah islamiyah).
• Mana bisa orang yang suasana dadanya masih kotor dan mati, mau
bercerita tentang kemahasucian dan kemahalembutan Allah.
• Mana bisa orang akan bercerita tentang suasana syurgawi, sedang saat
itu dadanya sedang dipenuhi oleh suasana neraka.
• Mana bisa Dan DAYA yang dipancarkannya pun sungguh tidak enak dan
tidak nyaman.
Kalau kita masih saja begitu, kita berkata-kata tentang sesuatu tentang
kebaikan Islam yang belum kita lakukan secara utuh, itu malah bisa mene-
barkan benih-benih perpecahan dan rasa permusuhan di tengah-tengah
umat. Kita akan menyebarkan DAYA NEGATIF yang kalau diterima oleh
orang yang dadanya TIDAK LOS dan TIDAK KOSONG akan mempenga-
ruhinya untuk melakukan hal-hal yang negatif pula. Makanya, sebagai
akibatnya :
• Seringkali kita lihat orang yang lidahnya sedang menyebut ALLAHU
AKBAR, tapi matanya melotot menyeramkan, dia merusak lingkungan,
dia menyakiti bahkan sampai membunuh orang lain yang tak berdosa,
sehingga alih-alih dia mengharumkan nama Islam, dia malah membuat
citra Islam jatuh terpuruk sampai berada dititik nadir. Ini seperti susu
sebelanga dirusakkan oleh nila setitik. Duh, kasihan sekali Rasulullah yang
telah bersimbah keringat bercampur darah untuk mengharumkan Islam,
tapi umat Beliau sendiri malah melepehkannya. Rasulullah mengibarat-
kan ini seperti seekor babi melepehkan butir-butir mutiara dari mulut-
nya.
• Atau akibat lain yang paling ringan adalah apa-apa yang kita sampaikan
itu hanya akan jadi sampah pemikiran saja di dalam otak orang lain, yang
akan membuat ruwet pola pemikiran mereka. Keruwetan seperti itu
pulalah yang akan ditularkannya kepada orang lain. Ruwet berbuah
ruwet.

5-95
Sungguh dahsyat memang muatan ayat (As Shaaf 2-3)10
, ini yang memang
ditujukan Allah sebagai peringatan bagi orang BERIMAN untuk berkata-
kata. Kalau bagi orang yang tidak beriman, mau bicara apa saja sih ya
silahkan saja.
Namun ayat-ayat yang tegas tersebut janganlah jadi tembok penghalang
pula bagi kita untuk berkata-kata tentang Islam kepada sesama. Tidak
begitu. Itu namanya kita sedang ngambek atau "pundung" seperti anak
kecil. Ayat-ayat itu malah seharusnya tambah membuat kita bersemangat
untuk :
. . . minta dituntun oleh Allah, minta diajari oleh Allah, mohon
dimengertikan oleh Allah tentang Islam, minta didudukkan oleh Allah
di dalam kursi Islam yang utuh.
Karena memang yang tahu persis tentang Islam adalah Allah dan Rasulnya
saja. Ayat As Shaaf 2-3 itu seharusnya akan lebih menggugah kita untuk
tetap duduk kokoh menghadap kepada Allah untuk minta diajari-Nya, dan
dengan sabar kita akan menunggu DERR demi DERR dari-Nya. Sungguh,
Allah bersama orang yang SABAR.
Begitu juga, ayat-ayat ini janganlah dengan serta merta membuat kita
menjadi begitu bersemangat untuk "menilai" orang lain tatkala kita tidak
mampu menangkap makna-makna dari apa-apa yang dia ucapkan kepada
kita. Boleh jadi saat itu kitanya yang tengah lalai. Saat itu kita tengah tidak
berada pada posisi siap untuk menerima pengajaran yang pada hakekatnya
saat itu Allah lah yang sedang mengajari kita lewat lidah orang itu. Kita
tidak membuka otak kita, kita tidak mengosongkan cangkir kita, kita tidak
melepas keangkuhan kita, kita tidak membuka dada kita saat itu, sehingga
kitapun tidak dapat memetik manfaat dari apa-apa yang tengah diajarkan
oleh Allah kepada kita melalui lidah orang lain.
Jadi ayat-ayat ini :
• Bukan untuk menilai orang lain,
10 Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

5-96
• Bukan juga bukan sebagai dasar pema'afan buat diri kita saat kita tidak
mampu menangkap makna-makna dari ucapan orang lain kepada kita.
Tapi ayat ini lebih untuk menjadi peringatan kepada kita sendiri, agar :
. . . sebelum kita berkata-kata kepada orang lain tentang Islam,
sekali lagi tentang Islam, haruslah kita telah melakukan apa-apa yang
kita katakan itu secara utuh terlebih dahulu.
Karena untuk menerima Islam itu prosesnya ada tersendiri. Prosesnya unik,
yang bukan dari proses berfikir. Tapi dengan cara DERR.
Insyaallah, Shalat Center sedang membangun kembali rasa pertemanan ala
peshalat yang utuh itu. Yaitu, generasi peshalat yang cair dan renyah dalam
berislam, kemudian berhasil pula mengejawantahnya di tempat kerjanya,
berupa hasil fikir yang cemerlang, karya yang berbuah ranum, serta
manfaat berkah yang melimpah bagi sesama. Sebuah generasi yang mampu
hidup berkelimpahan karena mereka mampu untuk BERIMAN UTUH kepada
Allah, Dzat Yang Maha Berkelimpahan, sehingga akhirnya semua bisa ber-
saksi dengan utuh: "Asyhadu allailaha illallah, wa asyhadu anna muham-
madan rasulullah”.
Nah, nanti shalat yang seperti ini bisa dinamakan dengan nama apapun
juga, seperti :
. . . shalat yang dzauq, shalat holistik yang mengharmonisasikan kognisi,
afeksi, dan motorik.
Ah silahkan saja sebut dengan berbagai istilah itu. Saya jadi ingat istilah Pak
Haji Slamet Utomo untuk shalat seperti itu, yaitu :
. . . shalat yang dihayati.
Yang pasti 1.000 generasi pertama peshalat utuh itu telah diletupkan
dadanya oleh Allah, direstui oleh ustadz Abu Sangkan dan direstui pula
dengan do'a dari Pak Haji Slamet Utomo untuk bergerak ke pelosok-pelosok
Nusantara dan Dunia, untuk membumikan kembali SHALAT yang UTUH.
Sebuah mutiara yang nyaris tertutup oleh lumpur kegelapan hati kita.

5-97
B. Kesimpulan
1. Pertanyaan yang menggelitik : dengan semaraknya pengajian, mengapa
kelihatannya kualitas hidup, kesukacitaan, dan kesabaran kita umat
Islam ini dalam menjalankan agama dan hidup bermasyarakat bukannya
bertambah baik, malah sebaliknya ada kecenderungan menurun terus
kualitasnya dari waktu ke waktu ?
2. Proses pengajaran Allah kepada Rasulullah tentang Islam :
a. Allah melapangkan, meluaskan, atau membuka dada Rasulullah.
b. Dada Beliau yang sudah lapang itu ditaruh oleh Allah di atas cahaya
Allah.
c. Dada Rasulullah yang sudah super lapang dan sedang ditaruh Allah
pula di atas cahaya-Nya kemudian DIISI, DIOSMOSIS, DIALIRI,
DISIBGAH oleh Allah dengan perkataan-perkataan yang utuh
tentang Islam.
3. Tahap selanjutnya setelah daya pengajaran turun :
a. Kulit Beliau merinding, tubuh Beliau menggigil hebat seperti orang
kedinginan.
b. Setelah Daya Pengajaran itu selesai ditaruh Allah ke dalam dada
Beliau, kulit dan dada Beliau berubah menjadi TALINU, tenang,
lembut, lunak, dan damai.
c. Kulit dan hati Beliau itu juga menjadi condong kepada mengingat
Allah, selalu ingin ke Allah, selalu ingin mengajak ke Allah.
4. Begitulah cara Allah menunjuki orang-orang, siapapun, yang
dikehendaki-Nya sepanjang masa, dari zaman ke zaman.
5. Untuk bisanya kita menerima Islam itu dengan SUKACITA dan UTUH
(KAFAH), haruslah terlebih dahulu ada Daya Pengajaran Allah yang
diturunkan Allah langsung ke dalam dada kita. Jadi..., bukan cukup
hanya sekedar kita membaca dan menghafal definisi-definisi dari kitab
Al Qur'an dan Al Hadits yang tertulis dalam bahasa Arab, atau tafsir dan
uraian dari ulama-ulama penerus Rasulullah. Bukan.

5-98
6. Pemanfaatan suasana turunnya daya pengajaran tersebut, misalnya
saat kita ingin berkata-kata, berbicara, menulis, ceramah, ataupun
berkhotbah tentang sesuatu topik, kita tinggal merecall suasananya,
lalu dada kita dialiri lagi dengan suasananya, kemudian kita mener-
jemahkan suasana dada kita itu dengan kata-kata kita sendiri.
7. Kalau kita ingin berbicara tentang sesuatu yang berkenaan dengan
Islam, maka seyogyanyalah, wajiblah kita sudah melakukannya terlebih
dahulu dengan utuh dan bulat. Artinya saat kita melakukan aktifitas
tersebut bersamaan dengan itu ada pula suasananya, sehingga kata-
kata yang akan kita ucapkan atau tuliskan setelah itu adalah suasana
jiwa kita sendiri yang telah bersatu dengan kata-kata yang kita ucapkan
atau tuliskan itu.
8. Hendaknya kita minta dituntun oleh Allah, minta diajari oleh Allah,
mohon dimengertikan oleh Allah tentang Islam, minta didudukkan oleh
Allah di dalam kursi Islam yang utuh.

6-99
Artikel 6 :
Bohong Berbuah Bohong11
A. Pembahasan
1. Bohong
Sebenarnya, seringkali kita bingung sendiri bahwa kita ini kok sangat
mudah sekali berbohong dalam kehidupan kita. Akan tetapi sayangnya
kebingungan kita itu masih pada taraf pertanyaan bingung-bingungan
pula. Ya, bingung bohongan juga sebenarnya. Selama ini yang kita
namakan kebohongan itu masih terbatas hanya pada perbuatan dan
perkataan kita yang berhubungan dengan masalah-masalah muamalah
(hubungan kemanusiaan) sehari-hari saja. Misalnya, kita dengan sangat
mudah berbohong-bohongan dengan teman, dengan keluarga, dengan
istri / suami, dengan anak, dengan orang tua, dengan bawahan, dengan
atasan, dengan rakyat, dengan pemimpin, dan sebagainya. Bahkan kita
dengan sama mudahnya mampu pula untuk membohongi diri kita
sendiri, sehingga kadangkala kita bengong saja dibuatnya. “Kok bisa ya
tadi saya membohongi diri saya", gumam kita setengah nggak percaya.
Akan tetapi, kita sangat jarang sekali bisa menyadari bahwa :
. . . kita ini juga sebenarnya telah terlalu sering berbohong kepada
Allah saat kita melakukan ibadah atau sebuah syariat agama.
Tatkala kita tidak mampu menjadi saksi (syahid) dan sadar (dzikir) atas
ungkapan-ungkapan kita, atas gerakan-gerakan (penghormatan,
penyembahan, pemujaan) kita kepada Allah selama kita melakukan
ibadah tersebut, maka sebenarnya saat itu kita tengah berbohong.
Nggak bisa tidak. Bagaimana kita nggak berbohong namanya, misalnya
dalam shalat, coba.
Seyogyanya saat takbiratul ihram, sebelum membaca Allahu Akbar, kita
seharusnya terlebih dahulu benar-benar bersaksi dan sadar bahwa Allah
11 https://groups.yahoo.com/neo/groups/dzikrullah/conversations/messages/842

6-100
ternyata memang Maha Besar. Makanya kita sampaikan kesaksian kita
itu dengan sadar kepada Allah : "Allahu Akbar, ooo yaa, ternyata
Engkau memang Maha Besar, Ya Allah". Khan begitu yang namanya kita
bersaksi itu ? Dan Allah pastilah membalas, merespon, dan menjawab
kesaksian kita saat itu juga. Karena Allah memang sudah menjaminnya :
Al Baqarah (2 : 186)
“Ujiibu da’watad daa’a idza da’aanii,” Aku akan menjawab, merespon,
panggilan-pangilan, ungkapan-ungkapan, do’a-doa hamba-Ku apabila
dia memanggil-manggil-Ku, memuja-muja-Ku, berdo’a kepada-Ku."
Akan tetapi,
. . . kalau kita nggak menyaksikan kebesaran Allah, padahal saat itu
kita tengah mengatakan Allahu Akbar, itu khan namanya kita saat
itu sedang NGELINDUR atau paling tidak tengah BERBOHONG ketika
membaca takbiratul ihram itu.
Dan, akibat dari tidak mampunya kita menyaksikan kebesaran Allah saat
itu, maka yang seketika itu juga kita akan menyaksikan yang selain
Wajah-Nya. Otomatis saja sebenarnya. Begitu selesai mengucapkan
Allahu Akbar, maka seketika itu juga BUBAR semuanya. Kita seperti
ditarik-tarik dan didorong-dorong ke sana kemari oleh berbagai file
fikiran yang ada di dalam memori otak kita.
Makanya kita cenderung untuk ingin buru-buru untuk
menyelesaikan shalat kita.
Capek mengembara ke sana kemari soalnya.
Untuk membuktikan bahwa apakah kita ini sedang ngelindur dan ber-
bohong atau tidak saat kita mengucapkan sesuatu pujaan penghormat-
an kepada Allah itu gampang saja sebenarnya. Mari kita bedah masalah
ini sedikit dengan mengambil analogi yang sangat dekat dengan
kehidupan kita sendiri, yaitu saat kita berbicara tentang cinta misalnya.

6-101
Ketika kita mencintai seseorang, maka untuk mengungkapkan cinta kita
kepada orang yang kita cintai itu, apakah itu cukup kita lakukan dengan
cara mengucapkan kalimat “I Love You” saja, ataukah seharusnya kita
lakukan dengan cara memberikan cinta itu sendiri kepadanya dan lalu
ungkapan ”I Love You” itu kemudian mengalir ringan dari mulut kita ?
Bahkan tanpa ungkapan I Love You itu sendiripun, kita dan sang kekasih
yang kita cintai itupun dapat pula saling merasakan bahwa SIKAP dan
KESADARAN kita memang bersesuaian dengan realitas cinta itu sendiri,
walau tanpa kata-kata. Dan yang terpenting sebenarnya adalah
bagaimana RESPON, JAWABAN, dari orang yang kita cintai itu atas
ungkapan dan pemberian rasa cinta kita kepadanya. Respon cinta pasti
pulalah cinta. Kalau ungkapan cinta kita itu tidak berbalas, atau malah
dibalas dengan benci, maka saat itu pula cinta kita disebut sebagai cinta
bertepuk sebelah tangan. Nggak enak !
Hal ini akan sangat berbeda ketika kita bertemu dengan seseorang atau
banyak orang dijalanan, lalu kita mengucapkan “I Love You, I Love You,
Saya cinta kamu. ” kepada mereka. Padahal saat itu rasa cinta kepada
orang tersebut tidak ada di dalam dada kita.
Maka suasananya persis sama dengan ungkapan seekor burung BEO
yang pintar berbicara.
Misalnya, “Selamat pagi bang, selamat pagi bang, selamat pagi bang.",
kata sang burung BEO nyerocos terus walau saat itu hari sedang tengah
hari bolong, bahkan pada tengah malam sekalipun. Begitu juga sapaan
dia dengan ucapan ‘bang” itu dia tujukan kepada siapapun juga, kepada
perempuan, anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan binatang
sekalipun dia sapa dengan ungkapan “bang” itu.
Ya, si burung BEO mengucapkan selamat pagi kepada abangnya itu
tanpa dia berada dalam kesadaran dan kesaksian tentang suasana pagi
hari itu dan abangnya itu sendiri. Inikan ngelindur dan berbohong
namanya.

6-102
Nah, saat mulai shalat ketika mengucapkan “Allahu Akbar” saja kita
sudah berbohong. Seperti burung BEO itulah. Belum lagi setelah itu.
Misalnya, saat saya baca "Inni wajjahtu wajhia, hanief.", kuhadapkan
"wajahku kepada Wajah Dia, lurus. dst", eee :
• kita malah menghadap ke sajadah,
• kita malah menghadap ke arti bacaan shalat, atau malah
• kita sedang menghadap ke masalah-masalah lain yang muncul silih
berganti di hadapan kita.
Lha, bohong dan ngelindur lagi kita kepada-Nya !
Belum lagi saat kita mengucapkan do’a: "iyyaKA. na' budu wa iyyaKA
nasta'in.”. Saat membacanya khan seharusnya kita langsung tunduk dan
tawadhu’ TEPAT ke Wajah-Nya. Bukan ke mana-mana lagi. Makanya
dalam kalimat itu ada KA, Engkau, Mu ! Ada “barangnya” gitu lho.
Artinya sebelum kita mengucapkan do’a itu sudah sepantasnya kita
bersaksi dan sadar dulu: “Ooo, ya, ke INI saya harus menyembah, dan
ke INI pula saya harus minta pertolongan”.
Lha, kalau tentang Allah sendiri kita belum tahu, maka saat kita
mengucapkan KA ini, kita harus mengarahkan kesadaran dan kesaksian
kita ke mana ? Makanya KA kita selama ini, saat kita menyembah dan
minta dituntun itu kadang-kadang adalah pekerjaan kita, adalah ma-
salah-masalah kita yang sedang in, adalah atribut-atribut kemanusian
lainnya, seperti patung, gambar, jabatan, harta benda, dan lain
sebagainya. Pikiran kita liar, lari ke mana-mana, selama shalat itu kita
lakukan. Maka jadilah kita ini bohong lagi kepada Allah !
Begitu juga, saat kita mengucapkan "subhanallah, subhanarabiyal a’la,
subhanarabbiyal adhim, dsb". Kita ini khan seharusnya benar-benar
telah dan sedang MENYAKSIKAN KEMAHASUCIAN ALLAH, KETINGGIAN
ALLAH dulu, lalu barulah setelah itu kita teguhkan kesaksian kita itu
dengan ungkapan tasbih di atas dan dengan sikap PENYEMBAHAN pula
(rukuk dan sujud). Lha wong kita saat itu belum menyaksikan kemaha-
sucian Allah dan ketinggian Allah, lalu tiba-tiba saja kita bertasbih ! Lalu
menyembah dan memuja siapa kita saat itu ? Lhaaaa, khan berbohong

6-103
dan ngelindur seperti burung BEO lagi kita saat itu namanya. Ya nggak,
ya nggak ? Makanya Allah menegor perilaku kita itu dalam ayat berikut:
Al Baqarah (2 : 165)
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah.”
Selanjutnya, saat kita menghantarkan do’a: “Rabbana lakal hamdu,
Wahai Tuhanku, milik-MU mu segala pujaan ini.” Dan do’a-do’a: “Rab-
bigfirli, warhamni, wajburni, warfa’ni, wardzuqni, wahdini, wa’afini,
wa’fuanni, serta do’a-do’a yang lainnya, kita arahkan dan sampaikan ke
mana MUATAN do’a itu selama ini ? Kita sampaikan nggak do’a itu
kepada yang kita anggap MU itu. Dan MU itu memba-lasnya nggak
muatan do’a kita itu dengan muatan yang lebih dahsyat.
Misalnya, saat kita menyerahkan segala pujaan kepada “MU” itu, maka
setelah itu PLONG nggak dada kita ini dari rasa sesak akibat pengaruh
rasa sombong untuk ingin dipuja dan puji orang lain. Lalu adakah pula
muncul :
• rasa diampuni,
• rasa dikasihi,
• rasa ditutupi ke’aiban,
• rasa rasa diangkat kedudukan,
• rasa dilimpahi ide-ide untuk mengais rizki,
• rasa dilimpahi informasi atau pentunjuk,
• rasa disehatkan,
• rasa dimaafkan,
oleh Allah setelah kita mengaturkan do’a kepada “MU” itu ? Kalau
“MU” ini belum pas, maka muatan balasan dari “MU” itu juga nggak
akan ada. Kita bertepuk sebelah tangan lagi jadinya.
Yang paling dahsyat adalah saat kita harus mengungkapkan kesaksian
kita atas Allah dan Muhammad SAW. "Asyhadualla ilaha illa Allah, wa
asyhadu anna Muhammadar Rasulullah". Khan seharusnya kita benar-

6-104
benar menyaksikan Allah dulu baru kita ungkapkan kesaksian kita itu.
Begitu juga saat kita harus bersaksi terhadap Rasulullah, bersaksi
macam apa yang harus kita lakukan ? Apakah kita harus membayangkan
wajah Rasulullah, penderitaan Rasulullah, atau bagaimana ? Salah-salah
kita bisa sama saja dengan orang yang memuja wajah “XYZ” dalam
beribadahnya.
Kalau di sebuah sidang pengadilan, yang namanya bersaksi itu, ya kita
haruslah mengetahui persis tentang apa-apa yang akan kita ungkapkan
dalam persaksian itu. Lha, dalam bersyahadah itu, yang seharusnya saat
kita bersyahadat itu kesadaran kita langsung tertuju kepada Allah: Ya
Allah benar ya Allah hanya Engkau alamat saya menyembah, dan benar
ya Allah. Muhammmad SAW adalah Rasulmu, karena apa-apa yang
Beliau sampaikan saya buktikan kebenarannya !, eeee, kesadaran kita
yang muncul saat kita bersyahadat itu malah pikiran liar ke sana kemari.
Bohong dan ngelindur lagi kita dalam bersyahadat itu !
Dalam mengucapkan salam pun begitu. "Assalamu alaikum, warah-
matullahi wabarakatuh !", itu artinya khan adalah bahwa saat salam itu
kita ungkapkan, seharusnya kita menebarkan kepada orang-orang di
sekeliling kita tentang keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah yang
telah kita dapatkan saat kita shalat itu. Lha apanya yang akan ditebar-
kan wong salam kita itu kebanyakan juga KOSONG SAJA, nggak ada
MUATANNYA.
Khan salam itu seharusnya begini: "Nih pak, nih dik, nih nak, nih sahab-
atku ada keselamatan nih, ada rahmat nih, ada barakah nih dari Allah
buat mu ('alaikum, 'alaikum, alaikum, buat semua). Ada muatannya gitu
lho ! Kalau nggak ya kita berbohong dan ngelindur lagi itu namanya saat
kita mengucapkan salam itu.
Bayangkan, untuk sebuah perbuatan SHALAT yang kita lakukan dari hari
ke hari, waktu ke waktu, isinya nyaris bohong dan ngelindur melulu.
Dari sikap ke sikap, bacaan ke bacaan kita nggak ubahnya dengan
seekor burung BEO. Lha, bagaimana kita bisa menjadi baik saat kita
menjalani hidup ini ?

6-105
Jangankan suasana yang susah dalam shalat seperti di atas, untuk hal
yang sederhana saja kita belum tentu lebih baik dari seekor burung
BEO. Untuk membuktikannya gampang saja kok. Cobalah bandingkan
bagaimana suasana yang melanda dada dan kulit kita saat kita
menyebut kata-kata berikut ini. Membacanya boleh saja di tempat yang
sepi dan sendirian, atau di manapun yang kita sukai : “Piring, gelas,
piring, gelas, sendok !” Kemudian sebut pulalah : “Allah, Allah, Allah !”
Kalau tidak ada bedanya sedikitpun suasana DADA dan KULIT kita saat
membaca kata-kata di atas, maka bolehlah kita mulai meratapi diri.
Karena boleh jadi saat kita membaca itu mungkin nggak ada bedanya
dengan membacanya seekor burung BEO.
Lalu kemudian sebut pulalah : “Jin, iblis, syetan, gendoruwo, roh
gentayangan.” Dan makhluk-makhluk sejenis lainnya. Kalau saat
menyebut nama-nama makhluk jin yang digambarkan (dipersepsikan)
orang dengan sangat menakutkan itu, dada kita lalu gemetar, kulit kita
lalu merinding, ada rasa takut yan menegakkan bulu roma kita, bahkan
ada pula yang sampai keter-keter dan meracau nggak beraturan (yang
katanya tengah kesurupan), dan lain-lain sebagainya, maka berarti saat
itu bolehlah kita meratapi diri pula. Karena berarti :
. . . nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan
mendalam di dada dan di kulit kita dari pada kita nama Allah !
Astagfirullah hal adhiem ! Pantas saja kita ini lebih cenderung untuk
berbuat berbohong dari pada berbuat jujur. Karena memang kita lebih
terkesan dan terpesona dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari
sononya sukanya berbohong melulu. Akibatnya pada diri kita ? Sungguh
sangat menakjubkan ! BOHONG BERBUAH BOHONG.
2. Buah Itu
Begitu terbiasanya kita berbohong di hadapan Allah saat kita shalat,
maka kebiasaan itupun, tanpa kita sadari, lalu terbawa-bawa pula ke
dalam kehidupan sehari-hari kita. Cobalah kita amati diri kita dan
sekeliling kita agak selirik dua lirik. Nggak usah jauh-jauhlah, di tempat

6-106
bekerja kita misalnya. Betapa sering dan bersemangatnya kita selama
ini membuat rencana-rencana yang konon kabarnya adalah untuk
kemajuan perusahaan tempat kita bekerja, dan tentu saja untuk
kemakmuran dan kesejahteraan bersama pula. Akan tetapi sayangnya
lebih banyak pula rencana-rencana itu adalah rencana bohong-
bohongan belaka.
Mari kita lihat bagaimana proses kita merencana itu selama ini melalui
rapat-rapat yang intensitasnya cukup tinggi:
a. Sebelum menghadiri rapat, kita sudah mulai memuat pulau-pulau
mulai dari yang kecil sampai ke yang besar ke dalam fikiran kita
masing-masing. “Itu khan kerjaan si anu. Itu khan bukan tanggung-
jawab saya. Yang ini barulah bagian saya. Orang lain nggak boleh
mengutak-utik bagian saya ini. Yang lain boleh jelek asal yang
bagian saya bisa baik.”
b. Giliran untuk melaksanakannya barulah kelihatan lagi ngelesnya:
“Kita terlebih dulu harus membuat detail rencana ini dengan sangat
terperinci dengan melibatkan berbagai pihak lain yang berkom-
peten, dan berbagai alasan lainnya.”
c. Akhirnya karena otak kita masing-masing masih berpulau-pulau
seperti di atas, ditambah lagi saking rinci dan hebatnya detail
rencana yang kita buat, malah jadinya rencana itu nggak bisa
dilaksanakan sama sekali. Para pimpinan, otaknya dibatasi oleh
pulau-pulau yang berada di otaknya masing-masing. Dikiranya kotak
atau posisinya sebagai pimpinan itu adalah miliknya sendiri. Begitu
pula para pasukan di bawah pun lebih banyak berada pada pulau-
pulau pikirannya sendiri dalam pekerjaannya sehari-hari. Padahal
Indonesia ini walau dikatakan sebagai sebuah negara dengan seribu
pulau, namun pulau-pulau itu tetap masih bisa di satukan dengan
sebuah nama, INDONESIA.
d. Padahal kalau kita berfikir secara sederhana, tidak ada yang tidak
bisa dilaksanakan. Karena masalah-masalah kita ini hanyalah
masalah yang berulang dari dulu-dulu walau dengan kualitas yang
berbeda. Syaratnya hanyalah satu, yaitu temukanlah “sesuatu” yang

6-107
bisa menyatukan pulau-pulau yang ada di setiap fikiran kita. Dan
sesuatu itulah yang kita binding, kita anchoring, kita sandari saat
kita menjalankan fungsi kita masing-masing.
Begitu juga di tingkat kota, propinsi, dan bahkan negara, nyaris saja
rencana-rencana yang kita buat adalah rencana-rencanaan, rencana
bohongan, rapat bohongan, pemeriksaan bohongan, tindakan bohong-
an, pelaksanaan bohongan.
Subhanallah, ternyata bohongnya kita di hadapan Allah tadi, ee, ndak
tahunya Allah malah benar-benar balik mendorong kita untuk berbuat
bohong-bohong berikutnya. Ya seperti kita sekarang inilah. Bangsa kita
ini saat ini nampaknya memang tengah dilanda oleh gelombang
kebohongan massal.
3. Masih Ada Harapan !
Untuk ke luar dari lingkaran kebohongan demi kebohongan di atas,
masih adakah jalan yang terbentang di hadapan kita ? Jawabannya,
ADA ! Dan caranya itupun adalah dengan cara yang sangat sederhana,
yaitu jangan BOHONG di hadapan ALLAH. Artinya:
a. Janganlah mengaku bahwa Allah Maha Besar (Allahu Akbar), kalau
kita belum menyaksikan kemahabesaran Allah.
b. Janganlah menyatakan IyyaKA, kalau kita belum sadar penuh
kepada MU yang kita tuju.
c. Janganlah memuji bahwa Allah Maha Suci (subhanallah), kalau
belum menyaksikan kemahasucian Allah.
d. Janganlah kita bersyahadat akan Allah, kalau kita belum bersaksi
akan ketunggalan Allah, keesaan Allah, dan yang selain Allah adalah
fana, tiada. Dan janganlah kita bersyahadat akan kerasulan Muham-
mad, kalau kita belum menikmati kebenaran ajaran-ajaran Beliau.
e. Janganlah kita mengucapkan salam kepada orang lain, kalau muatan
salam, kebahagian, kesejahteraan itu belum ada pada diri kita.
Nah, harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka
lebar ketika kita bisa menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan :

6-108
• kemahabesaran Allah,
• kemahasucian Allah,
• kemahaesaan Allah, dan
• kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita keluhkan
kepada-Nya.
Inikan IHSAN saja sebenarnya. Karena nggak mungkinlah orang yang
IHSAN, yang menyaksikan dan yang sadar akan ALLAH mau untuk
berbohong, berbohong, dan berbohong lagi !
Nah, temukanlah posisi IHSAN tersebut !
B. Kesimpulan
1. Kita telah terlalu sering berbohong kepada Allah saat kita melakukan
ibadah atau sebuah syariat agama. Kalau kita nggak menyaksikan
kebesaran Allah, padahal saat itu kita tengah mengatakan Allahu Akbar,
itu khan namanya kita saat itu sedang NGELINDUR atau paling tidak
tengah BERBOHONG ketika membaca takbiratul ihram itu. Persis sama
dengan ungkapan seekor burung BEO yang pintar berbicara.
2. Nama jin, syetan dan sebagainya itu lebih menimbulkan kesan
mendalam di dada dan di kulit kita dari pada kita nama Allah ! Pantas
saja kita ini lebih cenderung untuk berbuat berbohong dari pada
berbuat jujur. Karena memang kita lebih terkesan dan terpesona
dengan jin, syetan dan iblis yang memang dari sononya sukanya
berbohong melulu.
3. Begitu terbiasanya kita berbohong di hadapan Allah saat kita shalat,
maka kebiasaan itupun, tanpa kita sadari, lalu terbawa-bawa pula ke
dalam kehidupan sehari-hari kita.
4. Harapan untuk menjadi TIDAK BOHONG lagi itu sangat terbuka lebar
ketika kita bisa menjadi PENYAKSI (SYAHID) akan :
a. kemahabesaran Allah,
b. kemahasucian Allah,
c. kemahaesaan Allah, dan

6-109
d. kita menyaksikan pula respon Allah atas apa-apa yang kita keluhkan
kepada-Nya.
5. Inikan IHSAN saja sebenarnya. Temukanlah posisi IHSAN tersebut !