working paper otonomi daerah di indonesia: pengalaman

30
Working Paper Otonomi Daerah di Indonesia: Pengalaman Lapangan dan Emerging Tantangan Konferensi diselenggarakan bersama oleh: Indonesia Regional Science Association (IRSA), Program Pascasarjana Ekonomi, Universitas Indonesia, Pacific Science Organisasi Konferensi Regional (PRSCO) Temuan, pandangan, dan interpretasi dalam laporan ini digali dari pengarang dan tidak boleh dikaitkan dengan Lembaga Penelitian SMERU atau salah satu lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU. Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi SMERU, Phone: 62-21- 336336; Faks: 62-21-330850; E-mail: [email protected]; Web: www.smeru.or.id Syaikhu Usman Lembaga Penelitian SMERU Sebuah Kertas Disiapkan untuk The7th PRSCOSummer Institute / The 4th IRSA International Conference: "Desentralisasi, Sumber Daya Alam, dan Pengembangan Wilayah di Pasifik Rim" Bali, 20 - 21 Juni 2002 UCAPAN Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan di empat belas kabupaten di seluruh provinsi di sebelas selama dua tahun. Saya berterima kasih kepada banyak orang yang telah memberikan sumbangan

Upload: fanfanzz

Post on 18-Jun-2015

296 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Working Paper

Otonomi Daerah

di Indonesia:

Pengalaman Lapangan dan

Emerging Tantangan

Konferensi diselenggarakan bersama oleh: Indonesia Regional Science

Association (IRSA), Program Pascasarjana Ekonomi, Universitas

Indonesia, Pacific Science Organisasi Konferensi Regional

(PRSCO)

Temuan, pandangan, dan interpretasi dalam laporan ini digali dari

pengarang dan tidak boleh dikaitkan dengan Lembaga Penelitian SMERU

atau salah satu lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi SMERU, Phone: 62-21-

336336;

Faks: 62-21-330850; E-mail: [email protected]; Web:

www.smeru.or.id

Syaikhu Usman Lembaga Penelitian SMERU

Sebuah Kertas Disiapkan untuk The7th PRSCOSummer Institute / The 4th

IRSA International Conference: "Desentralisasi, Sumber Daya Alam, dan

Pengembangan Wilayah di Pasifik Rim"

Bali, 20 - 21 Juni 2002

UCAPAN

Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan di empat belas

kabupaten di seluruh provinsi di sebelas selama dua tahun. Saya

berterima kasih kepada banyak orang yang telah memberikan sumbangan

pada kertas ini, tapi terutama saya ingin mengakui berikut:

Lembaga Penelitian SMERU: M. Sulton Mawardi, Vita Febriany, Nina

Toyamah, Ilyas Saad, Sudarno Sumarto, M. Fadhil Hasan, Hudi Sartono,

Pamadi Wibowo, John Strain, Sri Budiyati, Bambang Sulaksono, Musriyadi

Page 2: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Nabiyu, Akhmadi, Nuning Akhmadi, Rachael Diprose, Kristen Stokes, dan

Mona Sintia.

Lembaga Daerah Kontak: Tony Umbu (Kupang), Muchlis (Mataram), Pitres

Sombowadile (Manado dan Gorontalo), M. Hudaya (Banjarmasin),

Marcelius Uthan (Pontianak), Lilik Ekowati (Surabaya), Hanif nurcholis

(Semarang), Hidayatul Firdaus (Bandung), Panca Yusahnonta (Padang)

dan Ery Sumantri (Medan).

Personal Kontak: Dr Aswin Rose (Jam'iyyatul Islamiyah), Joan Hardjono

(Universitas Padjadjaran, Bandung) DR. John Maxwell (Australian National

University) dan DR. Yuswandi A. Temenggung (Departemen Dalam

Negeri).

aku

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

ABSTRAK

Setelah lebih dari tiga dekade di bawah pemerintahan nasional yang

terpusat, Indonesia memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru

otonomi daerah yang menjadi efektif pada tanggal 1 Januari 2001. Karya

ini menelaah baik persiapan dan awal pelaksanaan otonomi di daerah,

serta beberapa tantangan yang muncul selama pelaksanaan. Makalah ini

didasarkan pada penelitian yang dilakukan di empat belas kabupaten di

provinsi sebelas ke dua tahun terakhir. Presentasi ini memiliki dua bidang

fokus: pertama, proses internal yang digunakan oleh pemerintah daerah

untuk mengelola kekuasaan dan tanggung jawab baru; dan kedua, sejauh

mana proses pembuatan kebijakan publik di bawah otonomi daerah untuk

daerah mencerminkan semangat transparansi, pemerintahan yang baik

dan demokrasi.

Undang-undang Nomor 22, Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah

menyerahkan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

di semua sektor administratif pemerintah, kecuali untuk keamanan dan

Page 3: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

pertahanan, kebijakan luar negeri, moneter dan fiskal, keadilan, dan

urusan agama. Akibatnya, pemerintah daerah harus reformasi struktur

internal mereka untuk mengakomodasi peningkatan besar dalam tanggung

jawab yang telah diwariskan dari pemerintah pusat. Sebuah bagian

penting dari proses ini meliputi menempatkan sejumlah besar pegawai

pemerintah pusat di bawah pemerintah daerah dan meningkatkan

kapasitas finansial mereka untuk melaksanakan otonomi daerah. Tidak

adanya rencana rinci untuk proses transisi dan kurangnya peraturan

pendukung untuk memperjelas prosedur yang harus dilakukan, telah

menghambat pelimpahan ini pihak berwenang setempat. Perubahan

dalam administrasi pemerintah juga harus berurusan dengan kurangnya

inisiatif dan dukungan dari pegawai pemerintah untuk kebijakan. Banyak

dari karyawan pemerintah yang sekarang menerapkan otonomi daerah

terbiasa menjadi pelaksana kebijakan pemerintah yang terpusat. Selain

itu, pemerintah sebelumnya ditandai oleh praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme.

Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mempromosikan lebih baik

penyampaian layanan pemerintah dan untuk meningkatkan tingkat

akuntabilitas pemerintah daerah. Oleh karena itu, fokus dari diskusi ini

mencakup baik dampak otonomi daerah pada pemerintah daerah, serta

dampak kebijakan ini pada kinerja pemerintah daerah dalam memberikan

layanan. Dengan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih akrab dengan

kebutuhan masyarakat mereka dari pemerintah pusat, kami berharap

pemerintah daerah untuk dapat menciptakan kebijakan publik yang lebih

sesuai.

Pada akhirnya, otonomi daerah tidak hanya masalah yang mengatur

hubungan antara berbagai tingkat pemerintahan. Sebaliknya, ini adalah

tentang yang mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyat. Namun,

hal ini masih sulit dicapai di daerah, karena hampir semua kelompok-

Page 4: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

kelompok kepentingan lokal, termasuk partai politik, tetap lemah dan

kurang terorganisir, karena mereka telah hampir sepenuhnya ditinggalkan

dalam pengambilan keputusan politik proses selama tiga dekade terakhir.

Tanpa lembaga-lembaga masyarakat sipil yang kuat, akan sulit untuk

mencapai praktek-praktek pemerintahan yang baik.

ii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

PENDAHULUAN

Selama 30 tahun masa Presiden Suharto, di Indonesia sistem

pemerintahan menjadi semakin terpusat dan otokratis. Memang, kedua

fitur diperkuat pemerintah satu sama lain dan cenderung mengabaikan

kebutuhan daerah dan masyarakat. Sejak Presiden Soeharto

mengundurkan diri pada Mei 1998, Indonesia telah mengalami dramatis

mendorong ke arah demokrasi. Ditandai dengan pemilu bebas, kebebasan

pers, dan bangsa-lebar panggilan untuk reformasi, proses demokratisasi

ini juga melahirkan tuntutan daerah bagi pemerintah pusat untuk

mendesentralisasikan wewenang dan fungsi.

Meskipun desentralisasi juga memiliki potensi untuk menciptakan

keresahan dalam jangka pendek, tuntutan dari daerah otonomi yang lebih

besar sekarang hanya terlalu kuat untuk diabaikan. Dalam jangka panjang

desentralisasi memiliki potensi untuk menstabilkan politik, ekonomi dan

kondisi sosial di Indonesia. Apa yang dibutuhkan, bagaimanapun, adalah

jadwal yang realistis bagi pelaksanaan desentralisasi yang

menyeimbangkan tuntutan otonomi daerah dengan kapasitas pemerintah

daerah untuk melaksanakan fungsi-fungsi baru.

Kebijakan baru desentralisasi dan otonomi daerah diuraikan dalam UU No

22, 1999 tentang "Pemerintah Daerah" 1 dan UU No 25, 1999 tentang

"The Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah."

Kedua hukum ini didasarkan pada lima prinsip: 1) demokrasi, 2) partisipasi

Page 5: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

dan pemberdayaan masyarakat, 3) pemerataan dan keadilan, 4)

pengakuan terhadap potensi dan keanekaragaman daerah dalam dan 5)

kebutuhan untuk memperkuat legislatif lokal. Lima prinsip ini mendukung

Indonesia mendorong reformasi, yang bertujuan untuk terus membasmi

praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (dikenal sebagai KKN),

dalam birokrasi pemerintahan.

Salah satu alasan tertentu di balik kebijakan desentralisasi dan otonomi

daerah adalah bahwa sistem pemerintahan yang terpusat tidak mungkin

mengelola populasi besar di Indonesia lebih dari 203 juta (BPS, 2001) dan

beragam sosial-budaya dan latar belakang agama. Kuat, kompeten

pemerintah daerah dan otonomi yang lebih besar adalah persyaratan

dasar untuk sebuah negara dengan keragaman seperti Indonesia. Tujuan

utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk membawa

pemerintah lebih dekat dengan konstituennya sehingga pelayanan

pemerintah dapat disampaikan lebih efektif dan efisien. Hal ini didasarkan

pada asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman

yang lebih baik tentang kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka dari

pemerintah pusat. Walaupun ada potensi besar untuk kabupaten dan

pemerintah kota agar lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat,

sebelum itu dapat terjadi partai-partai politik dan kelompok-kelompok

masyarakat sipil di daerah perlu diperkuat untuk memastikan bahwa

proses-proses pemerintahan yang baik dapat dibentuk dengan baik.

Politik, dapat dikatakan bahwa esensi dari otonomi daerah adalah untuk

mengembalikan "martabat" oftheregions,

whichuntilnowhasbeenoverrunbythecentralgovernment. Fromthis

perspektif, akan tampak bahwa otonomi daerah, yang disusun

berdasarkan paradigma pluralisme, dapat digambarkan sebagai bagian

dari upaya untuk menebus negara. Itu

????????????????????????????????????????????????

Page 6: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

1 Ini adalah hukum ketujuh di Indonesia pada pemerintah daerah.

Sebelum kemerdekaan, pemerintah Belanda melewati dua peraturan

mengenai desentralisasi. Sejak kemerdekaan, telah ada enam undang-

undang utama pada pemerintah daerah, yaitu UU No 1, 1945, UU No 22,

1948, UU No 1, 1957, Keputusan Presiden No 6, 1959, UU No 18, 1965,

dan UU No 5, 1974 (Pamudji, 1990; Suwandi, 2001).

1

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

otonomi diberikan kepada daerah akan mendorong dan memperkuat

integrasi nasional. Sebuah paradigma alam ini tidak dapat disimpulkan

hanya dari satu teori integrasi nasional, tapi perlu dilantik dari bukti empiris

negara-negara yang telah mengalami desentralisasi sebagai akibat dari

kontrol yang berlebihan di bawah pemerintahan tersentralisasi, serta

pengalaman dari beberapa negara yang tetap terpadu di bawah sistem

otonomi atau federasi.

Meskipun dukungan yang kuat bagi otonomi daerah, tidaklah

mengherankan bahwa banyak yang masih menganggap sistem baru

sebagai ancaman. Oleh karena itu, telah terjadi peningkatan tekanan pada

pemerintah pusat untuk mendesentralisasikan operasinya. Jika pemerintah

pusat gagal dalam upaya untuk menerapkan sistem baru ini, elit politik di

beberapa daerah ingin mendukung pelaksanaan sistem pemerintahan

federal, sedangkan atas orang lain akan lebih suka untuk mengejar

rencana untuk menjadi independen dari Jakarta (misalnya, Papua, Riau ,

Maluku dan Aceh).

Framework dan Kewenangan Pemerintah

Wilayah Indonesia dibagi menjadi otonom provinsi, kabupaten (kabupaten)

dan kotamadya (kota). Kabupaten dan kotamadya secara teknis tingkat

yang sama pemerintah. Pembedaan ini didasarkan pada apakah

administrasi pemerintah berlokasi di daerah pedesaan (kabupaten) atau

Page 7: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

daerah perkotaan (kotamadya). Dalam kabupaten dan kotamadya terdapat

sub-distrik (kecamatan) yang lebih kecil unit pemerintahan administratif.

Setiap sub-distrik ini dibagi lagi menjadi desa. Desa di daerah pedesaan

disebut desa, sedangkan di perkotaan, mereka disebut sebagai kelurahan

(Gambar 1).

UU No 22, 1999 transfer fungsi, personil dan aset dari pemerintah pusat

ke provinsi serta pemerintah kabupaten dan kotamadya. Ini berarti bahwa

pihak berwenang sedang tambahan diserahkan kepada pemerintah

kabupaten dan kota, membentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi

dibandingkan dengan deconcentrated2 dan co-sistem administered3 masa

lalu (lihat Gambar 1). Bupati (kepala kabupaten) dan walikota (kepala kota)

sebagai kepala pemerintah daerah otonom secara langsung bertanggung

jawab kepada majelis lokal (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD).

Badan yang dekonsentrasi untuk fungsi-fungsi didesentralisasikan telah

dihapuskan dan pegawai negeri sipil badan-badan ini telah ditempatkan di

bawah wewenang pemerintah daerah.

????????????????????????????????????????????????

2 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat

kepada gubernur provinsi dan / atau pejabat pemerintah pusat di provinsi.

3 Co-administrasi adalah ketika tingkat pemerintahan yang lebih tinggi

langsung tingkat yang lebih rendah untuk melakukan tugas dan fungsi dan

tingkat yang lebih tinggi pemerintah memberikan biaya, sarana, prasarana

dan sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas. Tingkat yang lebih

rendah pemerintah wajib melaporkan kepada tingkat yang lebih tinggi

pemerintah mengenai pelaksanaan tugas atau fungsi-fungsi ini.

2

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

& HQWUDO

3URYLQFH

Page 8: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

9LOODJH

'LVWULFW

6XE? GLVWULFW

'HFHQWUDOL] DWLRQ' HFRQFHQWUDWLRQ & R?

DGPLQLVWUDWLRQ

0XQLFLSDOLW \

6XE? GLVWULFW

9LOODJH

Gambar 1. Kerangka Pemerintah Menurut UU No 22, 1999

Administrasi pemerintah di semua sektor dengan pengecualian keamanan

dan pertahanan, kebijakan luar negeri, moneter dan fiskal, keadilan, dan

urusan agama, hukum telah didesentralisasikan fungsi pemerintah pusat

ke pemerintah daerah. Provinsi memiliki dual status sebagai daerah

otonom sendiri dan juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki wewenang untuk mengelola hal-

hal tertentu yang lintas baik antar kabupaten dan antar-kabupaten dan

kotamadya administrasi dan kewenangan yang tidak (atau belum)

diterapkan oleh kabupaten dan kotamadya. Sebagai wakil dari pemerintah

pusat, provinsi melaksanakan tugas-tugas administratif tertentu yang

didelegasikan oleh Presiden kepada Gubernur.

Desentralisasi terfokus pada tingkat kabupaten dan kotamadya. Ini selalu

menjadi tingkat ketiga di bawah pemerintah pusat dan tingkat provinsi. Ada

30 propinsi dan 341 pemerintah seperti di Indonesia (MoHARA, Maret

2001). Kekuatan kabupaten dan kotamadya meliputi seluruh sektor

kewenangan administratif selain yang dipertahankan oleh pemerintah

pusat dan provinsi, termasuk pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan, pertanian, transportasi, industri dan perdagangan, investasi,

lingkungan hidup, urusan tanah, koperasi dan tenaga kerja.

Ada tradisi kelompok-kelompok masyarakat sipil di Indonesia, tetapi

Page 9: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

mereka telah hampir sepenuhnya ditinggalkan dari politik proses

pengambilan keputusan atau pun dikooptasi oleh

3

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

pemerintah selama tiga dekade terakhir. Oleh karena itu berbagai

organisasi masyarakat yang mewakili kepentingan politik dan agama,

hukum adat setempat (adat), perempuan, dan pemuda perlu

dikembangkan. Demikian juga, berbagai badan profesional, termasuk bagi

para pebisnis, pengacara, guru, buruh, wartawan dan akademisi dapat

juga memainkan peran penting dalam menyuarakan aspirasi masyarakat

kepada pemerintah daerah. Berkelanjutan reformasi administrasi

pemerintah hanya dapat dicapai melalui negosiasi kembali keseimbangan

kekuasaan antara negara dan rakyat (diwakili melalui berbagai organisasi

masyarakat), berdasarkan luas asli dan interaksi (Antlov, 1999).

Metode dan Tujuan

Karya ini menelaah persiapan untuk desentralisasi yang telah dilakukan

oleh pemerintah daerah, beberapa langkah-langkah awal pelaksanaan,

dan muncul beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pemda kabupaten

dan kotamadya selama proses implementasi desentralisasi. Presentasi ini

berfokus pada dua bidang: pertama, proses internal yang dilakukan oleh

pemerintah daerah untuk mengatasi baru mereka wewenang dan

tanggung jawab, dan kedua, apakah proses pembuatan kebijakan publik

mencerminkan semangat transparansi, good governance dan demokrasi.

Makalah ini didasarkan pada penelitian lapangan dilakukan oleh tim

peneliti SMERU dalam dua belas kabupaten dan dua kotamadya di

seluruh provinsi sebelas selama delapan belas bulan (lihat Tabel 1) .4

wilayah sampel telah dipilih untuk memungkinkan geografis yang tersebar

di seluruh Indonesia. Mereka dimaksudkan untuk mencerminkan beberapa

variasi regional Indonesia dan juga untuk memungkinkan para peneliti

Page 10: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

untuk melihat pelaksanaan undang-undang otonomi daerah baik di

daerah-daerah di mana hukum-hukum ini bekerja dengan baik dan juga di

daerah-daerah di mana kesulitan dan masalah yang signifikan muncul.

Kabupaten dan kotamadya

1. Sumba Timur 2. Lombok Barat 3. Minahasa 4. Bolaang Mangondow 5.

Gorontalo

6. Banjarmasin 7. Sanggau 8. Magetan 9. Kudus

10. Sukabumi 11. Solok 12. Karo 13. Simalungun 14. Deli Serdang

Propinsi

Nusa tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Sulawesi

Utara Gorontalo

Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Jawa Tengah Jawa Timur

Jawa Barat Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Utara Sumatera

Utara

Lokasi

Kawasan Timur Indonesia Kawasan Timur Indonesia Kawasan Timur

Indonesia Kawasan Timur Indonesia Kawasan Timur Indonesia Kawasan

Timur Indonesia Jawa Timur Indonesia

Jawa Barat Jawa Barat Indonesia Indonesia Barat Indonesia Barat

Indonesia

Jadwal kerja lapangan

September 2001 Juni 2000 Mei 2001 Mei 2001 Mei 2001 Agustus 2000

September 2000 Oktober 2000 November 2000 April 2000 Juli 2000

Februari 2001 Februari 2001 Maret 2001

Catatan: Area dalam huruf tebal merupakan kotamadya.

????????????????????????????????????????????????

Table1. Districtandmunicipalitysample

4 Tujuan awal penelitian ini adalah untuk membantu dan

menginformasikan pemerintah mengenai pelaksanaan otonomi daerah

Page 11: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

dengan ikut serta real-time yang akurat informasi melalui laporan berkala,

memorandum dan newsletter untuk pembuat kebijakan, masyarakat donor,

partai politik, organisasi masyarakat, komunitas akademis di Indonesia ,

dan badan-badan profesional lainnya.

4

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

Informasi yang dikumpulkan terutama melalui wawancara semi-terstruktur

dengan para pejabat di semua tingkat pemerintahan, serta dengan

perwakilan dari partai politik dan lembaga masyarakat sipil (termasuk

organisasi masyarakat, LSM, pers, badan-badan profesional, informal para

pemimpin agama, di tingkat lokal pemimpin tradisional, kepala desa dan

anggota majelis tingkat desa). Semi-terstruktur sifat penelitian telah

memungkinkan untuk fleksibilitas dan konsistensi penyelidikan masalah

ketika mereka muncul dari beberapa sudut.

DECENTRALIZATIONOF AUTHORITY

Beberapa perubahan yang perlu dibuat untuk transformasi Indonesia dari

otokrasi terpusat ke demokrasi desentralisasi telah dilaksanakan dengan

cepat (misalnya, dengan mengadakan pemilu yang bebas dan

mengeluarkan undang-undang yang mentransfer fungsi pemerintah pusat

kepada daerah). Perubahan penting lainnya akan memakan waktu lebih

lama (misalnya mengubah pola pikir terpusat pegawai negeri dan

membangun kapasitas daerah untuk mengatasi fungsi-fungsi baru

mereka). Ada keprihatinan luas tentang peran dari beberapa pejabat

pemerintah yang saat ini bertanggung jawab untuk melaksanakan otonomi

daerah dan hubungan mereka dengan pemerintah yang sentralistik

sebelumnya. Pemerintah yang dicirikan oleh meluasnya praktik korupsi,

kolusi dan nepotisme. Selama lebih dari tiga dekade, pemerintah dan

administrasi, termasuk tentara dan polisi, lebih peduli dengan melayani

kebutuhan cabang eksekutif pemerintahan dan mempertahankan

Page 12: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

kekuasaan mereka, daripada melayani publik. Saat ini sudah ada

kebutuhan yang jelas untuk memisahkan birokrasi, tentara dan polisi dari

posisi politik sehingga mereka tetap netral.

Salah satu masalah penting yang perlu diklarifikasi adalah makna dari

istilah "kewenangan" dalam Peraturan Pemerintah No 25, 2000 tentang

"Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Pemerintah

Otonom". Saat ini, Peraturan Pemerintah ini membaca lebih seperti

instruksi pemerintah pusat tentang tugas dan tanggung jawab daerah

daripada sebuah dokumen yang memberikan wewenang atas fungsi-

fungsi baru. Menurut peraturan ini, jika kabupaten dan kotamadya

kekurangan kapasitas untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu, tugas

mereka harus menyerah kepada pemerintah provinsi. Meskipun Peraturan

Pemerintah Nomor 25, 2000 itu dimaksudkan untuk memperjelas proses

menyerahkan fungsinya kepada pemerintah provinsi, banyak

ketidakpastian mengenai proses ini masih tetap.

Sebagai September 2001 banyak daerah masih bersiap-siap untuk

melaksanakan UU No 22, 1999. Pemerintah daerah masih mempelajari

rumusan kekuatan dan fungsi yang mereka telah ditetapkan dan sedang

menyiapkan struktur organisasi yang akan ditempatkan di bawah

kewenangan mereka. Salah satu faktor yang memperlambat persiapan

untuk desentralisasi adalah kurangnya peraturan pendukung yang jelas

dan arahan dari pemerintah pusat government.5 Oleh karena itu, ada

persepsi yang tersebar luas di setiap daerah yang hidup bahwa pusat

????????????????????????????????????????????????

5 kurangnya peraturan pendukung adalah ciri khas dari inefisiensi

pemerintah pusat. Sebagai contoh, sidang otonomi daerah dimulai 22

tahun setelah undang-undang tentang "Pemerintahan Daerah" (UU No 5,

1974) sudah berlalu. Hukum ini tidak pernah benar-benar dilaksanakan.

Menurut Suprayoga Hadi (2001) Bappenas (Nasional dan Badan

Page 13: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Perencanaan Pembangunan), Otonomi Kabupaten Pilot Program (DAPP),

yang dimulai tahun 1996 dan dilakukan di satu kabupaten atau kota di

setiap propinsi, berhasil dalam mencapai luas menyatakan tujuan dari

desentralisasi. Dalam kenyataannya inisiatif ini adalah menahan karena

pemerintah pusat gagal mewariskan sumber daya keuangan yang

diperlukan agar sesuai dengan tanggung jawab baru.

5

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

pemerintah masih belum sepenuhnya berkomitmen terhadap pelaksanaan

otonomi daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sedikitnya tiga faktor. Pertama,

pemerintah pusat telah lambat untuk mengeluarkan peraturan yang

diperlukan untuk memperjelas UU No 22, 1999 dan UU No 25, 1999.

Kedua, daerah menganggap pemerintah pusat untuk menjadi tidak

konsisten dalam pelaksanaan hukum-hukum ini awalnya sejak beberapa

kewenangan yang diberikan kepada daerah telah revoked.6 Ketiga,

pemerintah pusat telah dilihat sebagai reaktif dalam cara yang telah

meratifikasi beberapa peraturan. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah

Nomor 20, 2001, tentang "Pengawasan dan Pengendalian Kinerja

Pemerintah Daerah" dikeluarkan setelah ada kasus pemerintah provinsi

diabaikan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Faktor-faktor ini telah

menciptakan lingkungan ketidakpastian bagi pemerintah daerah karena

mereka mempersiapkan diri untuk melaksanakan otonomi daerah.

Restrukturisasi Organisasi Pemerintah

Restrukturisasi kelembagaan pemerintah daerah (hirarki organisasi

departemen pemerintah) adalah salah satu langkah penting yang

dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan desentralisasi. Secara total,

239 tingkat provinsi-kantor pemerintah pusat (Kanwil), tingkat kabupaten

3.933 kantor-kantor pemerintah pusat (Kandep), dan 16.180 unit teknis

(UPT) dari pemerintah pusat telah diserahkan kepada provinsi, kabupaten,

Page 14: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

dan kotamadya (GTZ Desentralisasi News, Maret 2001). Penggabungan

kantor-kantor tertentu dalam hirarki pemerintah pusat telah mengakibatkan

pembentukan kedua dinas teknis dan badan-badan otonom lainnya.

Pemerintah daerah telah berusaha untuk merampingkan struktur

pemerintah seefisien mungkin sesuai dengan prinsip "kaya fungsi, miskin

struktur (kaya fungsi, miskin struktur)". Dalam teori, hal ini memerlukan

penurunan yang signifikan pada saat ini jumlah pegawai negeri.

Pemerintah daerah selalu cenderung untuk menghindari kesulitan-

kesulitan yang disebabkan oleh retrenching pegawai negeri. Akibatnya,

banyak pemerintah kabupaten dan kotamadya harus memelihara struktur

administratif yang tidak perlu besar (Tabel 2) .7 pemerintah provinsi juga

cenderung tetap besar, walaupun tugas dan tanggung jawab mereka telah

dikurangi secara substansial.

????????????????????????????????????????????????

6 Sebagai contoh, Keputusan Presiden Nomor 10 tentang "Pelaksanaan

Otonomi Daerah di Sektor Tanah" bertentangan dengan Pasal 11 UU No

22, 1999, yang bertanggung jawab untuk tanah cedes penting bagi Pemda

kabupaten dan kotamadya. Keputusan ini membatalkan pengalihan

administrasi pertanahan kepada pemerintah daerah, sedangkan

sebenarnya banyak pemerintah kabupaten dan kota telah membentuk

Kantor Administrasi Tanah Lokal. Selain masalah tanah, banyak daerah

masih belum jelas tentang kebijakan pemerintah pusat di daerah dan

fungsi pengelolaan seperti transportasi, komunikasi, statistik dan keluarga

berencana.

7 kabupaten Simalungun, di provinsi Sumatera Utara, adalah salah satu

daerah uji coba otonomi daerah sebagaimana diizinkan oleh Undang-

Undang No 5, 1974. Selama persidangan ini dibentuk kabupaten

Simalungun 39 unit kerja. Dalam prakteknya, bagaimanapun, distrik

menghadapi masalah serius karena pengalihan wewenang ini tidak

Page 15: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

diimbangi dengan transfer dana yang memadai oleh pemerintah pusat.

Pengalaman ini kemudian memaksa kabupaten Simalungun untuk

mengurangi ukuran dari administrasi. Ada banyak kecurigaan tentang

kesungguhan pemerintah pusat dalam melaksanakan desentralisasi

karena banyak daerah takut bahwa pemerintah pusat saat ini akan meniru

pengalaman buruk dari program percontohan otonomi daerah (DAPP).

Yang DAPP dikenang lebih sebagai beban daripada keuntungan. (lihat

juga Footnote No 5).

6

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

Table2. Numberofgovernmentworkunitsinselecteddistrictsandmunicipalities

Kabupaten dan kotamadya

1. Minahasa 2. Bolaang Mangondow 3. Gorontalo 4. Banjarmasin 5.

Sanggau 6. Magetan 7. Kudus 8. Karo 9. Simalungun

Sumber: laporan lapangan SMERU.

Sebelum undang-undang baru

20 16 13 25 18 22 16 15 39

Setelah undang-undang baru

Mengubah

Di masa lalu itu biasa bagi staf untuk dinominasikan sebelum lembaga

dirancang, leadingtoalessthanperfectmaximizationofhumanresources.

Inthefuture Namun, masing-masing pemerintah daerah harus merancang

lembaga-lembaga sendiri didasarkan pada fungsi dan tugas-tugas yang

harus dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan lokal. Oleh karena itu

pemerintah daerah harus melakukan studi penilaian diri untuk menentukan

prioritas dalam restrukturisasi layanan sipil setempat. Di samping itu, ada

kebutuhan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan melakukan

kebijakan yang dirancang secara nasional mengenai pensiun dini untuk

memungkinkan restrukturisasi tersebut berlangsung.

Page 16: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Ada juga sebuah perdebatan terus apakah harus kekuasaan

terkonsentrasi di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten dan kota.

Banyak pejabat provinsi meragukan kapasitas pemerintah kabupaten dan

kota untuk melaksanakan desentralisasi. Mereka memberi kesan bahwa

mereka masih berharap bahwa otonomi daerah akan dilaksanakan di

tingkat provinsi dan tidak langsung di tingkat kabupaten dan kota.

Perhatian utama adalah kenyataan bahwa tidak akan ada dana yang

cukup untuk membiayai lebih dari 700 tugas dan fungsi untuk kabupaten

dan kota yang sekarang bertanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu,

banyak para pejabat tingkat provinsi mengharapkan bahwa dalam satu

tahun atau begitu banyak kabupaten dan kotamadya akan menyerahkan

sebagian tanggung jawab dan fungsinya kepada provinsi. Sudah diterima

secara luas, namun, bahwa pemerintah pusat merasa bahwa hal itu tidak

diinginkan untuk membangun politik yang kuat, pemerintahan sendiri

provinsi. Alasan di balik ini adalah bahwa hal ini mungkin telah menjadi

kendaraan untuk lebih kuat disintegrasi daerah, terutama di daerah-daerah

seperti Aceh, Maluku dan Papua, di mana gerakan-gerakan kemerdekaan

telah mengajukan tantangan kepada pemerintah pusat.

Walaupun demikian, provinsi maupun kabupaten dan pemerintah kota

sepakat bahwa otonomi daerah harus dilaksanakan tanpa penundaan.

Meskipun daerah-daerah dengan penuh semangat mendukung

desentralisasi dimulai pada 1 Januari 2001, ada juga persepsi umum

bahwa tidak semua persiapan untuk desentralisasi yang dibutuhkan akan

selesai pada tanggal tersebut. Tampaknya ada yang realistis diterima oleh

pejabat pemerintah di semua tingkatan bahwa proses implementasi

desentralisasi akan menjadi panjang dan bahwa pemerintah daerah akan

menangani masalah yang timbul.

7

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

Page 17: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

34 +14 25 +9 25 +12 33 +8 25 +7 26 +4 16 0 19 +4 28 -11

Hubungan antara Pemerintah Tingkat

Di jantung pelaksanaan desentralisasi adalah hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah di daerah. Jika desentralisasi adalah

untuk berjalan dengan lancar isu-isu berikut adalah paling penting.

Pertama, pemerintah pusat harus terus menunjukkan komitmennya untuk

proses sekarang sedang berjalan dan kemauan untuk melaksanakan UU

No 22, 1999 dan UU No 25, 1999. Kedua, pemda perlu latihan kesabaran

dan harus realistis selama tahap pelaksanaan undang-undang ini. Ketiga,

mekanisme harus ditemukan untuk membantu personil pemerintah untuk

memfokuskan kerja mereka pada pelayanan publik, bukan hanya untuk

memenuhi kebutuhan atasan mereka.

Sejak pelaksanaan undang-undang desentralisasi yang baru dimulai,

posisi provinsi dalam kaitannya dengan kabupaten dan kota telah menjadi

tidak pasti. Kabupaten dan pemerintah kota kini memiliki hubungan timbal

balik langsung dengan pemerintah pusat. Menurut UU No 22, 1999,

masing-masing daerah otonom adalah independen dan tidak ada lagi

hubungan hierarki antara provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.

Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintah,

kabupaten dan kota yang cenderung memposisikan diri sebagai sub-

koordinat dari pemerintah pusat, bukan provinsi. Beberapa anggota

kabupaten dan kota majelis-majelis perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, DPRD) bahkan meragukan kewenangan provinsi berkumpul di

wilayah mereka. Di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara peraturan

daerah tentang subjek yang sama telah dikeluarkan oleh kedua majelis

provinsi dan kabupaten. Ini menunjukkan perlunya seperangkat pedoman

yang jelas menetapkan hubungan antara berbagai lapisan pemerintahan.

Di masa lalu "instansi vertikal" adalah alat pemerintah pusat yang

sentralistik melaksanakan kebijakan pemerintah di daerah. Banyak tugas

Page 18: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

dan kekuasaan sekarang telah diserahkan kepada pemerintah daerah.

Menurut Pasal 8, ayat (1) UU No 22, 1999, proses devolving kekuasaan ini

harus disertai dengan transfer dana, infrastruktur dan sumber daya

manusia. Penyerahan infrastruktur dalam bentuk tanah, bangunan, dan

peralatan, bagaimanapun, tampaknya memerlukan diskusi lebih lanjut dan

sedang menunggu pengaturan tambahan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah.

Mengubah Status Pegawai Pemerintah

Salah satu hasil dari proses desentralisasi merupakan kelebihan besar

sekitar 2,1 juta pegawai pemerintah pusat yang sedang ditransfer ke

tingkat pemerintah daerah (Koran Tempo, 14 Juli 2001), baik di provinsi

maupun kabupaten dan kota tingkat administrasi. Sekitar setengah dari

personil pemerintah ini guru sekolah. Di banyak kabupaten dan kotamadya

juga terdapat karyawan tingkat provinsi yang akan ditransfer ke Pemda

kabupaten dan kotamadya. Transfer ini cenderung lebih untuk mewakili

perubahan status dari transfer fisik karena sebagian besar pejabat ini

sudah berbasis di daerah. Sebagai contoh, setelah pelaksanaan

desentralisasi jumlah pegawai negeri di kabupaten Kudus di Jawa Tengah

meningkat dari 1.184 ke 8.875 (Tabel 3). Semua personel, bagaimanapun,

sudah berbasis di Kudus, sehingga desentralisasi telah mengakibatkan

mereka tidak secara fisik ditransfer dari, misalnya, Jakarta untuk Kudus.

8

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2002

Table3. ThenumberandstatusofgovernmentemployeesbeforeJanuary1st,

2001, Kabupaten Kudus

Kabupaten Status karyawan

Page 19: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Tabel 4.

Total

9

4.448

1.069

Page 20: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

10

1. Karo

5.

35

Tabel 5.

n.a. n.a.

n.a.

n.a.

n.a.

Page 21: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

11

12

13

Tabel 6.

Daerah

1.

Page 22: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

2.

3.

4.

5.

6.

7.

a.

a.

+200

a. a.

14

15

16

Page 23: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

17

18

1.

19

2.

Dinamis

Catatan:

Page 24: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Pada saat yang sama,

?

?

20

3.

4.

21

5.

6.

22

REFERENSI

Maret 1998. Jakarta.

Oktober 1999. Jakarta.

Jakarta.

Page 25: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

Jakarta.

Jakarta.

Oktober 1999. Jakarta.

Jakarta.

23

Jakarta.

2001.

Makassar.

____. Juni 2000.

____.

____.

____.

____.

Jakarta.

24

____.

____.

____.

____. Juni 2001.

Page 26: Working Paper Otonomi Daerah Di Indonesia: Pengalaman

____. Juli 2001.

____. Jakarta.

____. Jakarta.

Jakarta.

2001. Jakarta.

2001.

25