tp siti kerja
TRANSCRIPT
PEMERIKSAAN METASTASIS KEGANASAN HEMATOLOGI PADA LCS
DAFTAR ISI
BAB 1. PendahuluanBAB 2. Keganasan hematologi
1. Klasifikasi keganasan hematologi2. Patofisiologi metastasis keganasan hematologi pada multi organ3. Diagnosis
BAB 3. Metastasis keganasan hematologi pada LCS
1. Patofisiologi metastasis keganasan hematologi pada LCS2. Indikasi pemeriksaan LCS
Patogenesis metastase keganasan hematologi ke LCS
BAB 4. Aspek laboratorium pemeriksaan LCS pada keganasan hematologi
1. Pengambilan , pengumpulan sampel LCS2. Teknik / prosedur pemeriksan LCS dan prinsip pemeriksaan3. Interpretasi hasil laboratorium4. Hubungan atau kegunaaan klinik.
BAB 5. Ringkasan
BAB 6. Penutup
BAB 1
PENDAHULUAN
Keganasan hematologi adalah proses neoplastik yang mengenai darah
dan jaringan pembentuk darah beserta seluruh komponennya.(1-6). Kelompok
keganasan hematologi dapat dimasukkan dalam pembagian sebagai
berikut :penyakit mieloproliferatif, limfoproliferatif dan imunoproliferatif. Sifat-
sifat keganasan hematologi umumnya adalah monoklonalitas ( seluruh sel ganas
ganas berasal dari mutasi neoplastik satu buah sel), pertumbuhanya progresif,
mendominasi klon sel normal sampai tertekan dan menghilang sama sekali, dan
terjadi instabilitas genetik sehingga terus menerus terjadi perubahan kromosom
yang mempengaruhi sifat keganasan tersebut. Proses neoplastik pada sistem
hemopoitik akan menyebabkan gagal sumsum tulang yang menyebabkan anemi,
gangguan lekosit atau trombosit, proliferasi sel yang beredar secara sistemik,
kelainan imunologi dan hiperviskositas , infiltrasi ke dalam multi organ atau
jaringan termasuk di dalamnya metastasis ke sususnan saraf pusat (SSP).(hkr.
Penyebaran sel kanker pada Sistem Saraf Pusat (SSP) merupakan
masalah yang serius yang menyebabkan gejala neurologik dan kematian yang
cepat. Diagnosis leukemia pada SSP sangat penting karena berhubungan dengan
angka kesakitan dan berimplikasi pada relaps hematologi. Leukemia pada SSP
terjadi sektar 5-10 % ALL pada anak despite terapi profilksis. Pasien – pasien
leukemia menggambarkan remisis sumsum tulang yang lebih panjang drngan
terapi kemopterapi moderen.
Meningkatnya deteksi keganasan pada liqour cerebrospinal (LCS )
merupakan sebuah informasi klinis yang penting, karena bila teknik diagnostik
terbaru yang digunakan tidak terlalu sensitif, maka akan terjadi keterlambatan
penegakan diagnostik kemudian gejala penyakit menjadi lebih lanjut dan
ireversibel, sehingga pilihan terapi menjadi semakin terbatas atau bahkan tidak
ada. Sel kanker yang menginfiltrasi LCS dapat menyebabkan meningitis
neoplastik, sebuah kondisi fatal dan progresif yang cepat yang ditandai dengan
defisit neurologis [3]. Di seluruh diagnosis kanker, keterlibatan leptomeningeal
dapat ditemukan pada 5% pasien, dan karies merupakan diagnosis yang rendah
dengan median survival dibawah 3 bulan yang ditandai dengan penurunan
neurologis yang cepat [3,4]
Satu pemeriksaan di bidang Neurologi yang sangat penting dan tidak
tergantikan oleh kemajuan teknologi ilmu kedokteran adalah pungsi lumbal dan
pemeriksaan cairan LCS. Sejak diperkenalkan secara ilmiah oleh Quincke pada
tahun 1891 pemeriksaan LCS banyak memberikan hasil penemuan penyakit yang
sangat penting untuk ilmu kedokteran. Volume LCS berkisar 125-150 mL dan
diproduksi di pleksus koroid dengan kecepatan 500 - 600 mL/ hari.
Metode yang kini tersedia untuk mendeteksi penyebaran kanker ke
dalam LCS adalah sitologi, pemeriksaan neurologis, dan neuroimaging. Ketiga
metode ini dapat diterapkan untuk mencapai sebuah diagnosis, tetapi masih
terdapat permasalahan seperti kurangnya sensitivitas, menyebabkan keterlambatan
pengobatan dalam banyak kasus. Sebagai gambaran alat penelitian di bidang
deteksi kanker LCS mengungkapkan berbagai teknologi yang menjanjikan yang
dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang biologi metastasis kanker
serta untuk mengembangkan metode deteksi klinis yang lebih kuat. Tujuan utama
tinjauann pustaka ini untuk menggambarkan keadaan deteksi sel kanker dalam
LCS pada keganasan hematologi sehingga dapat membantu diagnosis dan terapi
yang cepat dan tepat.
BAB . 2
KEGANASAN HEMATOLOGI
1.1 KLASIFIKASI KEGANASAN HEMATOLOGI
Klasifikasi untuk keganasan hematologi telah dikeluarkan oleh WHO.
Perbedaan antara klasifikasi WHO dengan klasifikasi dari FAB dapat dilihat di bawah
ini.2
KLASIFIKASI KEGANASAN MIELOID 2,3
FAB WHO
- Chronic myeloproliferative disease
- Myelodysplastic syndromes - Acute myeloid leukemias
- Chronic myeloproliferative disease- Myelodyplastic/myeloproliferative disease - Myelodysplastic syndromes - Acute myeloid leukemias
Dalam klasifikasi WHO beberapa penyakit yang menunjukkan karakteristik
mieloproliferatif dan mielodisplastik diletakkan ke dalam kelompok baru yang
terpisah (Myelodysplastic/myeloproliferative disease).
KLASIFIKASI CHRONIC MYELOPROLIFERATIVE DISEASE
(CMPD)2,3
Keganasan sel stem dengan ganguan pada benih klonal yang berjalan kronik.
Dengan karakteristik berupa splenomegali dan jumlah sel yang tinggi dalam satu atau dua
garis sel.. Sumsum tulang hiperseluler dengan tanda diferensiasi, tidak ada displasia.
FAB WHO
- Chronic myelogenous leukemia (CML)
- Agnogenic myeloid metaplasia with myelofibrosis (MF) (Idiopathic myelofibrosis)
- Polycythemia vera (EV)
- CML Ph+ : t(9;22)(qq34;q11), BCR/ABL
- Chronic neutrophilic leukemia - Chronic eosinophilic leukemia
hypereosinophilic syndrome
- Essential thrombocytemia (ET) - Chronic idiopathic myelofibrosis - Polycythemia vera - Essential thrombocytemia
Perubahan yang terpenting yaitu, dalam klasifikasi WHO Ph+ dimasukkan dalam
CML. Kasus Ph- (yang menunjukkan tanda-tanda mielodisplastik dan diketahui
mempunyai prognosis yang buruk) dimasukkan dalam atypical CML (aCML), dan dalam
klasifikasi baru tergolong dalam kelompok myelodysplastic/myeloproliferative disease.
KLASIFIKASI MYELODYSPLASTIC/MYELOPROLIFERATIVE DISEASE 2,3
Menurut WHO :
- Pada klasifikasi FAB, CMML tergolong dalam myelodysplastic syndromes
(MDS). Sekitar satu setengah dari kasus menunjukkan proliferatif, tanda
displastik lainnya, tetapi bentuknya berbeda dengan penyakit yang sama.
-
KLASIFIKASI MYELODYSPLASTIC SYNDROMES (MDS)2,3
FAB WHO
Refractory anemia (RA)
Refractory anemia with ringed sideroblast
(RARS)
Refractory anemia wih excess blasts (RAEB)
Refractory anemia with excess blasts in
transformation (RAEB-T)
Refractory anemia
without ringed sideroblasts
with ringed sideroblasts
Refractory cytopenia with
multilineage dysplasia
Refractory anemia with excess blasts
- Atypical myelogenous leukemia (aCML)
- Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
- Juvenile myelomonocytic leukemia (JMML)
Chronic myelomonocytic leukemia (CMML) 5q-syndrome
unclassifiable
-
- Perubahan mayor : RAEB-T pada klasifikasi FAB sekarang
dipertimbangkan menjadi leukemia akut, tidak tipe MDS.
- CMML pada klasifikasi FAB, oleh WHO ditempatkan pada kelompok
MPD/MDS. Kelompok baru dibentuk dari kasus yang sebelumnya
diklasifikasikan sebagai Refractory anemia (RA) atau Refractory anemia with
ringed sideroblast (RARS) dimana displasia mempengaruhi lebih dari satu garis
sel, karena kasus ini mempunyai prognosis buruk (Refractory cytopenia with
multilineage dysplasia).
- 5q-syndrome merupakan subgrup yang baru (kehilangan lengan panjang
kromosom 5).
KLASIFIKASI ACUTE MYELOID LEUKEMIAS (AML)2,3
FAB WHO
M0 : minimally differentiated
M1 : myeloblastic leukemia without maturation
M2 : myeloblastic leukemia with maturation
M3 : hypergranular promyelocytic leukemia
M4 : myelomonocytic leukemia
M4Eo : variant, increase in marrow eosinophils
M5 : monocytic leukemia
M6 : erythroleukemia
(DiGuglielmo’s disease)
M7 : megakaryoblastic leukemia
AML with recurrent cytogenetic abnormalities AML with t(8;21)(q22;q22),(AML1/ETO)
AML with abnormal bone marrow eosinophils inv (16) (p13q22)ort(16;16)(p13;q22) (CBF/MYH11)Acute promyelocytic leukemia (AML with
t(15;17) (q22;q12), (PML/RAR) and variants)
AML with 11q23(MLL) abnormalities.
AML with multineage dysplasia AML and myelodysplastic syndrome, therapy related
Alkylating agent related
Topoisomerase II inhibitor – related
AML not otherwise categorized AML minimally differentiated
AML without maturation
AML with maturation
Acute myelomonocytic leukemia
Acute erythroid leukemia
Acute megakaryoblastic leukemia
Acute basophilic leukemia
Acute panmyelosis with myelofibrosis
Myeloid Sarcoma
Acute Leukemias of Ambiquous Lineage
-- Perubahannya yaitu : leukemia dengan abnormalitas sitogenetik yang menetap
dan yang berkaitan dengan MDS telah dimasukkan ke dalam kelompok yang
terpisah, sisa dari klasifikasi FAB yang lama digolongkan ke dalam kategori
AML not otherwise.
- KLASIFIKASI KEGANASAN LIMFOID 3
- (“REAL” classification of lymphoid malignancies)
- Klasifikasi keganasan limfoid menurut WHO :Bagian 1 : Tipe Non-
Hodgkin
B cell
Precursor B cell neoplasmPrecursor B lymphoblastic leukemia/lymphoma
(precursor B cell acute lymphoblastic leukemia)
Mature (peripheral) B cell neoplasmsChronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
B cell prolymphocytic leukemia
Lymphoplasmacytic lymphoma
Splanic marginal Zone lymphoma
Hairy cell leukemia
Plasma cell neoplasms
Plasma cell myeloma
Plasmacytoma
Monoclonal immunoglobin deposition diseases
Heavy chain diseases
Extranodal marginal Zone B cell lymphoma (MALT lymphoma)
Nodal marginal Zone B cell lymphoma
Follicular lymphoma
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B cell lymphoma
Burkitt’s lymphoma/Burkitt’s cell leukemia
T cell
Percursor T cell neoplasm Precursor T lymphoblastic lymphoma/leukemia
(precursor T cell acute lymphoma/leukemia)
Mature (peripheral) T cell neoplasmsT cell prolymphocytic leukemia
T cell large granular lymphocytic leukemia
Aggressive NK cell leukemia
Adult T cell leukemia / lymphoma
Extranodal NK/T cell lymphoma, nasal type
Enteropathy-type T cell lymphoma
Hepatosplenic T cell lymphoma
Subcutaneus panniculitis-like T cell lymphoma
Blastic NK-cell lymphoma
Mycosis fungoides/Sezary syndrome
Primary cutaneous CD-30 positive T-cell lymphoproliferative disorders
Primary cutaneous anaplastic large cell lymphoma
Lymphomatoid papulosis
Borderline lesion
Angioimmunoblastic T cell lymphoma
Peripheral T cell lymphoma, unspecified
Anaplastic large cell lymphoma
-- Bagian 2 : Hodgkin Lymphoma
Nodular lymphocyte-predominant Hodgkin lymphoma
Classical Hodgkin lymphoma
Nodular selerosis Hodgkin lymphoma
Mixed-cellularity Hodgkin lymphoma
Lymphocyte-rich classical Hodgkin lymphoma
Lymphocyte-depletion Hodkgkin lymphoma
-
-
-
-
1.2. Patofisiologi metastasis keganasan hematologi pada multi organ
Proses neoplastik pada sistem hematologik akan menyebabkan sebagai berikut:
1. Gagal sumsum tulang ( bone marrow failure) mengakibatkan antara lain ;
a. anemi menimbulkan pucat dan lemah
b. gangguan lekosit (netropenia) menimbulkan infeksi yang ditandai oleh
demem, infeksi rongga mulut,tenggorok, kulitsaluran nafas, sepsis
sampai syok septik.
c. Trombositopenia menimbulkan perdarahan kulit, mukosa, gusi dan
epistaksis.
2. Proliferasi sel mieloid dan limfoid dalam sumsum tulangyang kemudian
beredar secara sistemik.
3. Infiltrasi ke dalam organ atau jaringan sehingga menimbulkan
organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
4. Kelainan imunologik terdiri dari:
a.gangguan pembentukan antibodi
b. gangguan imun seluler
e. Pengaruh produk tumor terdiri atas:
a. hiperviskositas
b. peningkatan osteoklas menimbulkan lesi tulang( nyeri tulang dan
strernum)
c. gagal ginjal yang timbul akibat asam urat yang meningkat
Komplikasi keganasan hematologi pada multi organ
Faktor predosposisi ( kelainan kromosom,defek imunologik,defek hematologik)
Faktor etiologi ( virus, lingkungan ( radiasi, bahan kimia,dll)
Mutasi somatik sel induk
Proliferasi neoplastik dan differensiation arrest
Akumulasi sel muda dalam sumsum tulang
Gagal sumsum tulang
Anemi, perdarahan
infeksi
Sel leukemia Inhibisi haemopoiesis normal
Infiltrasi ke multi organ
hiperkatabolik
Asam urat
gout
Gagal ginjal
Katabolisme
Keringat malam
Tulang
Nyeri tulang
Darah
Sindrom hiperviskositas
RES
Limfadenopat,ihepatomegali,splenomegali
Ekstra meduler lain
Meningitis, lesi kulit, pebesaran testis
BAB .3
METASTASIS KEGANASAN HEMATOLOGI PADA LCS
1.1. PATOGENESIS
Leptomenings secara anatomi didefinisikan sebagai piamater dan
arachnoid, pembungkus jaringan yang melingkupi otak dan medulla spinalis.
Invasi ke leptomenings atau cairan serebrospinal oleh kanker disebut sebagai
metastasis lemptomeningeal (Kokkoris, 1983). Metastasis leptomeningeal adalah
sebuah istilah umum yang mewakili meningitis karsinomatosa (metastasis yang
disebabkan oleh karsinoma), meningitis limfomatosa (metastasis yang disebabkan
oleh limfoma), meningtis leukemia (metastasis yang disebabkan oleh leukemia),
dan gliomatosis meningeal (penyebaran ke cairan serebrospinal yang disebabkan
oleh tumor glia ganas). Oleh sebab itu, metastasis leptomeingeal dapat
diakibatkan oleh penyebaran tumor otak primer, seperti yang sering terlihat pada
medulloblastoma dan tumor neuroektodermal terkait lainnya, atau oleh metastasis
SSP dari tumor sistemik, yang seringkali dijumpai pada adenokarsinoma
(misalnya paru-paru dan payudara), limfoma dan leukemia (Chamberlain 1992;
Metastasis leptomeingeal merupakan komplikasi yang semakin sering
terjadi, diperkirakan terjadi pada sekitar 5% dari semua pasien dengan kanker.
Metastasis leptomeningeal yang berasal dari tumor solid lebih sering dijumpai
pada pasien dengan kanker sistemik stadium lanjut, dan oleh sebab itu metastasis
ini ada bersama dengan kanker sistemik yang aktif, sementara meningitis
leukemia dan limfomatosa seringkali merupakan lokasi pertama rekurensi tumor
tanda bukti adanya penyakit sistemik (Kaplan dkk, 1990). Pada sekitar 5-10%
pasien, metastasis leptomeningeal merupakan permulaan gambaran klinis kanker;
dalam kasus ini, penentuan derajat/staging penyakit sistemik dibuat untuk
menentukan tumor primer dan pola metastasisnya . Tidak seperti kanker lain yang
mengenai sistem saraf, metastasis leptomeningeal secara klinis manifestasinya
pleomorfik, dan indeks kecurigaan tinggi diperlukan untuk mendiagnosisnya pada
waktu yang tepat. Karena sel tumor bersirkulasi dalam cairan serebrospinal,
metastasis leptomeningeal dapat mengenai seluruh SSP, tetapi lebih sering
mengenai satu dari tiga regio SSP: (1) hemisfer serebri, (2) nervus cranialis, (3)
medulla spinalis dan radix-nya .
Secara klinis suspek metastasis leptomeningeal didiagnosis dengan
pemeriksaan cairan serebrospinal untuk mengetahui adanya sel ganas dan dengan
pemeriksaan neuroradiografi antara lain CT scan dengan kontras atau MRI dengan
gadolinium-enhanced, CT-myelografi, MRI medulla spinalis dengan kontras, dan
pemeriksaan aliran radionuklid dalam LCS Pola neuroradiografi yang sesuai
dengan gejala dan tanda yang mencurigakan secara klinis diperlukan untuk
membuat diagnosis; namun konfirmasi hasil yang positif dengan pemeriksaan
analisis sitologi tumor dalam cairan serebrospinal masih menjadi standar
diagnostik.
Metastasis leptomeningeal biasanya mengenai seluruh neuraxis, sehingga
terapinya dirancang agar dapat mencapai seluruh kranium dan spasium
subarachnoid medulla spinalis. Karena metastasis leptomeningeal seringkali ada
bersama dengan penyakit berat yang lain, terapi radiasi yang melibatkan
lapangan/daerah intra atau ekstraaxial digunakan tanpa memandang apakah
penyakit lainnya ini secara klinis bergejala. Untuk beberapa obat, penetrasi
kemoterapi sistemik ke dalam cairan serebrospinal buruk; oleh sebab itu
diperlukan pemberian obat intracavitas regional. Sayangnya, bahkan penyebaran
regional obat di dalam cairan serebrospinal dapat menjadi problematik karena
penetrasinya hanya sampai jarak yang pendek ke dalam parenkim otak dan tumor;
penetrasi obat ke dalam nodul yang berdiameter 2-3 mm masih mungkin baik
(Blasberg dkk, 1977), tetapi penetrasi dosis obat efektif ke dalam nodul 5 mm
tidak dapat dicapai pada sebagian besar kasus.
Komplikasi neurologis
Komplikasi neurologis sering terjadi pada keganasan hematologi. Di sini,
keterlibatan menings, otak, dan medulla spinalis disebut sebagai fenomena
paraneoplastik yang langka.
Keterlibatan Meningeal
Menings merupakan tempat yang sering terlibat dalam neoplasma hematologi,
termasuk ALL, AML, dan NHL (103, 104, 105 dan 106). Sindroma klinis yang
dihasilkan pada umumnya terkait dengan tekanan intrakranial yang meningkat:
sakit kepala, letargi, mual, dan muntah. Selama sindrom meningeal ini
berlangsung, papilledema dan tanda dan gejala iritasi meningeal, seperti kaku
kuduk dan Kernig sign dan Brudzinski sign akan muncul. Kejang dan perubahan
status mental merupakan gejala lanjutan yang terjadi belakangan. Kumpulan
gejala ini dalam hubungannya dengan keterlibatan menings telah dikenal sebagai
sindroma meningeal dan hal ini berbeda pada pasien-pasien AL dengan
keterlibatan meningeal yang tanpa gejala pada saat didiagnosis. Palsi/kelumpuhan
saraf kranial terdapat pada sekitar 20% pasien dengan klinis sindroma meningeal
(107). Keterlibatan nervus trigeminalis dapat mengarah pada "sindrom dagu mati
rasa" (numb chin syndrom), sindrom yang jarang ini telah dilaporkan mungkin
terkait dengan keterlibatan hipotalamus. Sindroma ini meliputi hiperfagia dan
obesitas sebagaimana pada kelainan insulin dan sekresi hormon pertumbuhan
(108, 109). SSP adalah "tempat suci" dimana sebagian besar obat buruk
penetrasinya, dan kekambuhan meningeal terisolasi bahkan dapat terjadi setelah
terapi sistemik yang agresif (110). Pada ALL, dan pada AML dan NHL
derajat/stadium yang lebih rendah, terapi profilaksis digunakan untuk mencegah
kekambuhan meningeal terisolasi.
Strategi khusus antara lain penggunaan kemoterapi intratekal, kranial atau radiasi
kraniospinal, dan kemoterapi dosis tinggi dirancang untuk menembus ke dalam
cairan serebrospinal (CSF). Keterlibatan meningeal sering terjadi pada ALL dan
muncul pada saat didiagnosis atau di setiap saat dalam perjalanan penyakit. Pada
akhir tahun 1960-an, Evans dkk menjelaskan terjadi insidensi keterlibatan
meningeal sebanyak 3.8% per bulan selama tahun pertama menurun menjadi 2%
pada tahun kedua dan tahun ketiga (110a). Pavlovsky dkk melaporkan bahwa
risiko keterlibatan meningeal serupa pada pasien AML dan ALL pada usia yang
cocok/sesuai (111).
Keterlibatan meningeal ditemukan pada 7 dari 39 pasien yang baru didiagnosis
dengan AML yang diperiksa lumbal pungsi (LP) sebagai bagian dari evaluasi
rutin; sebagai catatan, ketujuh pasien tersebut mengalami myelomonositik akut
leukemia (112). Pada myelomonositik akut leukemia, terutama ketika terjadi
eosinofilia dan ada inversi kromosom 16, tampaknya memiliki insiden tinggi
keterlibatan meningeal (113, 114). Penggunaan dosis tinggi cytarabin (ara-C)
konsolidasi tampaknya dapat menurun (115). Infiltrasi menings terjadi pada
beberapa jenis NHL (105, 116, 117). Keterlibatan SSP dikaitkan dengan limfoma
derajat tinggi dan penyakit ekstranodal (118). Hal ini terutama sering terjadi pada
limfoma sel-T limfoblasik (119, 120); small noncleaved "Burkitt-like" NHL
(limfoma non hodgkin ‘mirip-Burkitt’ sel kecil yang tidak-membelah), dan
limfoma Burkitt. Profilaksis SSP pada umumnya menjadi komponen terapi untuk
penyakit ini (Bab 89). Dalam serangkaian kasus di National Cancer Institute,
keterlibatan meningeal telah dilaporkan pada 24% pasien dengan small
noncleaved "Burkitt-like" NHL (121). Penyakit meningeal dapat terjadi dalam
hubungannya dengan limfoma Burkitt bahkan ketika penyakit ini terbatas pada
rahang (122). Insidensi keterlibatan meningeal pada limfoma sel-mantel (mantle)
adalah bervariasi (123, 124 dan 125).
Walaupun keterlibatan meningeal jarang terjadi pada tipe lain NHL, NHL sinus
dan testis memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya penyebaran
meningeal baik pada saat didiagnosis ataupun saat terjadi kekambuhan (115, 116).
Keterlibatan limfomatosa menings sering terjadi pada pasien dengan infeksi HIV
(126, 127 dan 128) atau gangguan limfooproliferatif posttransplantasi (129). Hal
ini mungkin juga berlaku untuk pasien yang terinfeksi HIV dengan HD (130).
Neoplasma hematologi lain sesekali melibatkan menings. CML pada fase kronis
atau lebih sering pada fase blas dapat melibatkan menings (131, 132). Keterlibatan
meningeal tampaknya lebih sering pada fase blas bentuk limfoid (133, 134).
Sangat jarang terjadi keterlibatan meningeal pada MM dan leukemia plasma sel
(135, 136), CLL (137), dan HD (130)
Diagnosis keterlibatan meningeal dengan neoplasma hematologi dibuat dengan
pemeriksaan LP dan pemeriksaan cairan serebrospinal. LP sebaiknya dilakukan
secara dini pada pasien yang berisiko atau pasien dengan gejala sindroma
meningeal. Pada pasien trombositopenia, ada risiko kecil untuk terjadinya
hematoma sebagai komplikasi dari LP, dan direkomendasikan untuk dilakukan
transfusi platelet segera sebelum prosedur ini. Pemberian terapi methotrexate
(MTX) atau ara-C pada saat LP pada pasien yang diduga menderita sindrom
meningeal sangat beralasan, yaitu untuk menghindari kebutuhan diulanginya LP
jika hasil sitologi kembali positif. Ditemukannya sel tumor dalam cairan
serbrospinal dengan pemeriksaan sitologi membuktikan keterlibatan meningeal.
Sensitivitasnya meingkat dengan sentrifugasi cairan serebrospinal (138). Baru-
baru ini, teknik immunofenotipe telah diselidiki (139, 140). Secara khusus,
pewarnaan deoxynucleotidyl transferase terminal sangat membantu dalam
membedakan limfosit reaktif dari limfosit leukemia pada ALL (, 140 141).
Sitogenetika metafase juga telah dilakukan pada sampel cairan serebrospinal.
Kriteria klasik untuk mendiagnosis leukemia meningeal adalah hitung
jumlah sel dalam cairan serebropinal lebih dari 5 sel/mm3 dan adanya
bentuk sel blas yang dikenali pada preparat cytospin. Definisi yang lebih
halus dari leukemia SSP mengklasifikasikan cairan serebrospinal (liquor
cerebrospinal/LCS) menjadi tiga kategori (142). CNS1 menunjukkan LCS
yang jernih. CNS3 mewakili leukemia LCS yang jelas. CNS2 didefinisikan
oleh adanya sel blas dengan hitung jumlah total sel kurang dari 5 sel/mm3.
Adanya sel blas bahkan dengan jumlah sel kurang dari lima sel darah putih
(CNS2) menunjukkan risiko untuk terjadinya keterlibatan meningeal di
masa depan, sebaliknya, beberapa pasien dengan hitung jumlah sel blas
kurang dari sepuluh saat pemeriksaan LP rutin dan riwayat meningitis
leukemia secara klinis tidak nampak berkembang menjadi meningitis
leukemia (143, 144). Dalam kasus yang ambigu, LP harus diulang dalam 1
sampai 2 minggu. Diagnosis keterlibatan meningeal biasanya mudah, tetapi
mungkin saja ada beberapa kasus yang sulit didiagnosis. Situasi seperti ini
muncul ketika keganasan dan infeksi meningeal terjadi secara bersamaan.
Juga, sulit pula mendiagnosis pasien dengan dengan riwayat keterlibatan
meningeal di masa lalu (145).
Terapi untuk pasien keganasan hematologi dengan keterlibatan meningeal
tergantung pada situasi klinis. Tujuannya dapat untuk kontrol sementara ataupun
eradikasi lengkap keterlibatan meningeal. Dosis tinggi kemoterapi sistemik
(biasanya dengan ara-C atau MTX) dan radiasi kraniospinal berguna untuk
eradikasi penyakit meningeal. Terapi ini dibahas dalam Bab 78 karena keduanya
berhubungan dengan ALL. Prinsip yang sama dapat diterapkan untuk penyakit
yang lain. Di sini, kita membahas terapi intratekal yang dirancang untuk
mengontrol gejala lokal. Terapi andalan untuk sindroma meningeal melibatkan
pemberian agen kemoterapi secara langsung ke dalam LCS (146, 147).
Agen yang paling banyak digunakan adalah MTX, meskipun antimetabolit
lainnya, seperti ara-C dan 6-mercaptopurine, steroid, dan agen-agen alkylating
diaziquone (148) dan thiotepa (149), juga telah diteliti. Deksametason intratekal
secara cepat dapat memperbaiki gejala, mungkin melalui efek anti inflamasi. Obat
ini dapat menjadi sebuah pilihan yang baik untuk pasien dengan penyakit yang
sulit disembuhkan/refrakter dimana efek paliatif jangka pendek menjadi tujuan
terapi. MTX intratekal harus disuntikkan perlahan-lahan setelah LP
atraumatik/tanpa trauma. Segera setelah injeksi, pasien harus diposisikan
terlentang/supine dengan kaki pada tempat tidur ditinggikan untuk meningkatkan
distribusi obat (150). Obat harus steril dan dilarutkan dalam larutan salin atau
larutan garam yang seimbang. Pengawet obat bebas pada umumnya digunakan,
tetapi keuntungan dari pendekatan ini, jikalau ada, masih tidak jelas. Dokter harus
sangat waspada saat pemberian agen intratekal untuk menghindari overdosis.
Baru-baru ini, persiapan pelepasan ara-C (DepoCyt) secara berkelanjutan telah
disetujui untuk pengobatan meningitis neoplastik. Obat ini diberikan dengan dosis
50 mg, intratekal atau intraventrikular, setiap 2 minggu. Penelitian farmakokinetik
telah menunjukkan konsentrasi terapeutik ara-C bertahan lebih dari 14 hari.
Sebuah penelitian open-label terhadap 110 pasien dengan meningitis neoplastik
yang diterapi selama 1 bulan menunjukkan tingkat respon yang sama dengan yang
diterapi dua kali seminggu dengan MTX intratekal. Efek sampingnya ringan dan
bersifat sementara, antara lain sakit kepala dan arakhnoiditis (151). Agen yang
diberikan secara intratekal didistribusikan ke SSP. Volumenya di dalam SSP
bervariasi menurut usia, bukan menurut ukuran tubuh, sehingga
dosis berbasis usia—bukan luas permukaan tubuh—lebih tepat untuk obat
intratekal (Tabel 72.6) (152). Meningkatkan dosis MTX sampai lebih dari 12 mg
tidak memberikan keuntungan.
TABEL 72,6. Jadwal pengaturan dosis berdasarkan farmakokinetik obat untuk
Metotreksat intratekal
Umur (tahun) Dosis (mg)
<1 6
1 8
2 10
>= 3 12
Jadwal yang optimal maupun rute pemberian MTX (lumbal atau intraventrikular)
masih belum diketahui, begitu juga dengan peran terapi kombinasi seperti "terapi
triple," yang terdiri dari steroid, MTX, dan ara-C (153). MTX yang diberikan
setiap 2 atau 3 hari menginduksi remisi LCS pada sebagian pasien, namun, relaps
sering menjadi masalah (154). Meskipun tidak ada bukti yang jelas tentang
superioritasnya, kebanyakan pasien neoplasma hematologi dengan keterlibatan
meningeal menerima terapi intraventrikular melalui reservoir Ommaya (155).
Cara ini ditoleransi secara lebih baik oleh pasien dan memungkinkan kadar MTX
dalam LCS lebih dapat diandalkan dan lebih konsisten Perawatan harus diberikan
dengan baik untuk menghindari komplikasi dari reservoir Ommaya (156).
Prosedur ini harus dilakukan dalam kondisi steril untuk menghindari infeksi.
Penggunaan antibiotik perioperatif penting untuk mencegah infeksi. Posisi
reservoir penting diperhatikan untuk mencegah distribusi kemoterapi ke
intraparenkim, yang dapat menyebabkan leukoensefalopati. Sebagian besar pusat
pelayanan kesehatan menggunakan agen-tunggal MTX yang diberikan dua kali
seminggu sampai semua sel leukemia telah hilang.
Konsentrasi protein dalam LCS pada umumnya masih tetap tinggi. Maka menjadi
beralasan untuk memberikan terapi intratekal berkelanjutan, radiasi kraniospinal,
atau konsolidasi sistemik dosis tinggi untuk pasien yang penyakit sistemiknya
dapat dikendalikan. Toksisitas sering terjadi setelah pemberian kemoterapi
intratekal, meskipun sulit untuk menentukan apakah obat atau penyakit itu sendiri
yang menyebabkan komplikasi tertentu. Toksisitas telah dilaporkan pada terapi
dengan MTX, ara-C, dan obat-obatan intratekal yang dikombinasikan dengan
radiasi. Sering dijumpai kejadian arachnoiditis ringan yang transien/sementara
(157). Kejadian ini mungkin berhubungan dengan sakit kepala, mual dan muntah;
paresis dan paraplegia yang reversibel juga pernah dilaporkan. Toksisitas yang
berat dan kadang-kadang ireversibel, antara lain demensia, kejang, koma, dan
kematian, telah dilaporkan tetapi jarang terjadi. Sebuah sindroma demam ringan
dan mengantuk dapat terjadi 5-7 minggu setelah terapi intratekal (157).
Myelosupresi mungkin terjadi setelah kemoterapi intratekal, khususnya pada
pasien dengan gagal ginjal. Risiko lebih tinggi terjadinya leukoensefalopati
dijumpai pada pasien yang berusia lebih tua yang telah menerima iradiasi otak.
KETERLIBATAN OTAK
Penyebab paling umum dari massa otak pada keganasan hematologi adalah NHL;
tumor intraserebral yang berhubungan dengan hiperleukositosis pada AL yang
dibahas sebelumnya. Lesi dapat terjadi dalam hubungan dengan limfoma sistemik
atau dapat bersifat limfoma SSP primer. Limfoma SSP primer umumnya terjadi
pada pasien yang imunodefisiensi, dapat iatrogenik (misalnya, setelah
transplantasi organ) atau yang terkait dengan infeksi HIV. Frekuensi limfoma SSP
primer tampaknya meningkat cepat pada pasien yang immunocompromised
maupun imunokompeten (158). Meskipun jarang, massa parenkim otak pernah
dilaporkan ditemukan pada HD dan MM.
Kompresi Medulla Spinalis
Tubrukan medulla spinalis dengan tanda-tanda neurologis atau gejala yang terkait
merupakan keadaan darurat medis (Tabel 72.7). Hal ini dapat terjadi jika
neoplasma hematologi melibatkan medulla spinalis, menings, dura, atau vertebra
dengan kompresi medulla spinalis. Komplikasi ini sering terjadi pada pasien
dengan MM dan tidak jarang pula pada pasien dengan NHL dan HD. Limfoma
merupakan penyebab umum dari kompresi medulla spinalis pada anak-anak (159).
Leukemia merupakan penyebab yang langka, review/tinjauan pada tahun 1981
tentang keterlibatan medulla spinalis pada pasien dengan leukemia ditemukan
hanya 70 kasus yang terdokumentasi dengan baik (160), meskipun pasien lainnya
telah mengalaminya semenjak dilaporkan. Kompresi medulla spinalis disebabkan
oleh hematopoiesis extrameduler. Kompresi medulla spinalis dapat terjadi setiap
saat dalam perjalanan penyakit keganasan hematologi.
BAB 4
ASPEK LABORATORIUM PEMERIKSAAN LCS PADA METASTASIS
KEGANASAN HEMATOLOGI
1.1 Liquor serebrospinalis
Liquor serebrospinal (LCS) adalah cairan tubuh yang mengisi sistem
ventrikel dan sisanya terdistribusi di antara ruang subarachnoid otak dan spinal
cord dan ruang interstitial yang melingkupi elemen-elemen SSP dibentuk oleh
pleksus choroid (50%) dan secara langsung dari dinding ventrikulus (50%). Aliran
cairan serebrospinal melalui foramen Magendie & Luschka ke dalam ruang
subarachnoid dari otak dan korda spinalis. Ini diserap oleh vili arachnoid (90%)
dan secara langsung ke dalam venula otak besar (10%).
Permukaan ventrikel atau ependymal, bersifat permiabel terhadap LCS
maupun molekul-molekul berukuran besar lainnya. Sebaliknya, kompartemen
vaskular otak terpisahkan dari ruang LCS oleh endotil kapiler khusus, dan dapat
berperan untuk mencegah mengalirnya molekul yang berdiameter lebih besar dari
20 angstrom. Lapisan ependyma adalah pembentuk anatomi dasar dari blood-
brain barrier.
Rata-rata produksi LCS pada manusia adalah sekitar 0,3-0,4 ml/menit.
Sehingga volume LCS diperbaharui setiap 5-7 jam. Sekitar 70 % LCS diproduksi
oleh pleksus koroid, dan sisanya terbentuk sebagai hasil dari aktivitas metabolik
otak dan spinal chord parenchyma. Produksi LCS oleh pleksus koroid berawal
sebagai darah kemudian disaring dan dialirkan melalui kapiler koroid. Ultra filtrat
yang dihasilkan kaya dengan protein masuk menuju stroma pleksus koroid dan
berpindah menuju clefts sel-sel epitil koroid. Pada tahap ini terjadi bermacam-
macam tahapan proses, natrium dipisahkan menuju ventrikel digantikan oleh
kalium melalui pompa sodium-potassium-adenosine triphospahte (Na+-K+-
ATPase), yang diatur oleh sel epitel. Ion-ion klorida dan bikarbonat berpindah
secara pasif menuju LCS sebagai akibat adanya aktivitas anhidrase karbonat pada
sel epitil. Protein selanjutnya menuju sistem ventrikel melalui dua mekanisme
yang memungkikan; pinocytosis dan melalui pori-pori yang kecil. Pemisahan air
dari epitil koroid menuju ventrikel terjadi akibat perbedaan tekanan osmotik pada
sekresi natrium, pemisahan ini lebih dikenal sebagai migrasi pasif. Di samping itu
juga dikenal adanya produksi LCS ekstra koroid (extrachoroidal), sekitar 30 %
LCS terjadi pada LCS parenchyma.7,8
LCS berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu proteksi untuk
melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari
luar. Produksi LCS merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan,
sirkulasi dan absorpsi. Jumlah cairan serebrospinal dipertahankan tetap dalam
sewaktu, maka LCS diganti 4-5 kali dalam sehari.
Perubahan dalam LCS dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan LCS sangat membantu dalam mendiagnosa
penyakit-penyakit neurologi. Selain itu juga untuk evaluasi pengobatan dan
perjalanan penyakit, serta menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan LCS
adalah suatu tindakan yang aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan
diagnosa, mengidentifikasi organisme penyebab serta dapat untuk melakukan test
sensitivitas antibiotika.
Fungsi LCS
Secara khusus LCS mempunyai fungsi :
1. LCS menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur pokok pada
LCS berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler, jadi
mempertahankan lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel dalam sistem
saraf.
2. LCS mengakibatkann otak dikelilingi cairan, mengurangi berat otak dalam
tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak dari
keadaan/trauma yang mengenai tulang tengkorak.
3. LCS mengalirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari otak, seperti
CO2,laktat, dan ion Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya mempunyai
sedikit sistem limfatik. Dan untuk memindahkan produk seperti darah, bakteri,
materi purulen dan nekrotik lainnya yang akan diirigasi dan dikeluarkan
melalui villi arakhnoid.
4. Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon-hormon dari
lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari fineal dapat dikeluarkan
ke LCS dan transportasi ke sisi lain melalui intraserebral.
5. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara pengurangan LCS dengan
mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan mempercepat
pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga mencapai sinus venosus, atau
masuk ke dalam rongga subarakhnoid lumbal yang mempunyai kemampuan
mengembang sekitar 30%.5,9
Persiapan pasien
Persiapan pasien dimulai saat seorang dokter merencanakan pemeriksaan
laboratorium bagi pasien. Dokter dibantu oleh paramedis diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, manfaat dari
tindakan itu, dan persyaratan apa yang harus dilakukan oleh pasien. Informasi
yang diberikan harus jelas agar tidak menimbulkan ketakutan atau persepsi yang
keliru bagi pasien.
Pemilihan jenis tes yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan kondisi
klinis pasien akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ketaatan pasien akan
instruksi yang diberikan oleh dokter atau paramedis sangat berpengaruh terhadap
hasil laboratorium; tidak diikutinya instruksi yang diberikan akan memberikan
penilaian hasil laboratorium yang tidak tepat. Hal yang sama juga dapat terjadi
bila keluarga pasien yang merawat tidak mengikuti instruksi tersebut dengan baik.
Ada beberapa sumber kesalahan yang kurang terkontrol dari proses pra-
analitik yang dapat mempengaruhi keandalan pengujian laboratorium, tapi yang
hampir tidak dapat diidentifikasi oleh staf laboratorium. Ini terutama mencakup
variabel fisik pasien, seperti latihan fisik, puasa, diet, stres, efek posisi,
menstruasi, kehamilan, gaya hidup (konsumsi alkohol, rokok, kopi, obat adiktif),
usia, jenis kelamin, variasi diurnal, pasca transfusi, pasca donasi, pasca operasi,
ketinggian. Karena variabel tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap
beberapa variabel biokimia dan hematologi, maka gaya hidup individu dan ritme
biologis pasien harus selalu dipertimbangkan sebelum pengambilan sampel.10,11,12
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah tindakan mengambil cairan serebrospinal.
Indikasi
Kejang atau twitching, paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma, ubun-
ubun besar menonjol, kaku kuduk dengan kesadaran menurun, tuberkulosis milier,
leukemia, mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis, sepsis, demam yang tidak
diketahui sebabnya, pengobatan meningitis kronik karena limfoma dan
sarkoidosis, pengobatan tekanan intrakranial meninggi jinak (benign intracranial
hypertension), memasukkan obat-obatan tertentu.
Kontraindikasi
Syok/renjatan, infeksi lokal di sekitar daerah tempat pungsi lumbal, peningkatan
tekanan intrakranial (oleh tumor, space occupying lession, hidrosefalus),
gangguan pembekuan darah yang belum diobati
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, jarum pungsi patah,
herniasi, tertusuknya saraf oleh jarum pungsi.
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik
ke arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan
tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak
boleh pada bayi.
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit
dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan
gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada
umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.),
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke
kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester.13,14,15
Pada hampir semua kasus, pungsi lumbal dilakukan secara elektif
(terprogram), dilakukan pada pagi hari pada pasien yang telah dipuasakan
sepanjang malam. Hal ini disebabkan karena pada pagi hari seluruh staf
laboratorium dan konsultan berada did tempat, sehingga dapat melakukan
pemeriksaan secepatnya, serta evaluasi kadar glukosa LCS yang terbaik bila
dibandingkan dengan kadar gula darah puasa. Selain itu bisa dilakukan pungsi
lumbal emergency, yang dilakukan pada pasien dengan suspek meningitis,
perdarahan subarachnoid atau leukemia yang mengenai susunan saraf pusat. 16
Pemeriksaan LCS
Peringatan/perhatian awal
1. Jangan menunda pemeriksaan LCS
Sel-sel akan mudah lisis dengan cepatGlukosa akan dirombak.
2. Bekerja dengan hati-hati dan ekonomis
Seringkali hanya sedikit LCS yang dapat ditampung dan tersedia untuk
pemeriksaan. LCS diperoleh dengan prosedur yang sulit, sehingga jangan
menyia-nyiakan setiap tetes LCS.
3. LCS dapat mengandung organisme virulen
Gunakan pipet dengan tutup kapas / katun non absorben atau gunakan ‘bulb’
karet untuk mengalirkan LCS ke dalam pipet.16
Gambar 1.
Rongga SSP yang berisi LCS17
Gambar 2.
Lokasi dilakukan pungsi lumbal17
.
Persiapan penderita, misalnya : puasa, obat-obatan yang harus dan tidak boleh
diminum, serta persiapan-persiapan khusus lainnya jika ada.
Pengambilan sampel LCS, biasanya dilakukan sendiri oleh para dokter
spesialisnya masing-masing, seperti halnya untuk cairan bronkus, cairan
lambung, cairan otak, dsb.18
Cara menampung Bahan Pemeriksaan
Disesuaikan dengan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan dugaan jenis
penyakit. Untuk melakukan berbagai macam pemeriksaan, jarang diperlukan
lebih dari 15 ml. Tabung pemeriksaan harus sangat bersih dan jernih, karena
hasil pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan kimia menjadi tak berarti
karena tabung-tabung yang tidak memenuhi syarat.
1. Bila tanpa pemeriksaan bakteriologis, disiapkan paling sedikit 3 tabung untuk
menampung LCS.
a. Tabung pertama : menampung beberapa tetes LCS yang keluar pertama
dari jarum pungsi. Jangan dipakai untuk pemeriksaan, karena mungkin
sekali mengandung sedikit darah karena tindakan pungsi.
b. Tabung kedua : 2-4 ml.
c. Tabung ketiga : 2-4 ml (sama banyak dengan tabung kedua).
Tabung kedua dan ketiga digunakan untuk pemeriksaan non bakteriologis.
2. Jika hendak dilakukan pemeriksaan bakteriologis, maka tabung ketiga harus
steril. Laboratorium dapat menyediakan tabung yang telah berisi medium
biakan khusus bila dikehendaki.
3. Selalu sediakan tabung yang berisi larutan Natrium Citrat 20% (0,01 ml
larutan Natrium Citrat untuk 1 ml LCS). Tabung ini digunakan bila
diperkirakan LCS akan membeku, misalnya LCS yang mengalir keruh,
xanthokromia atau bercampur darah.16
Macam Pemeriksaan LCS
I. Pemeriksaan makroskopis
1. Warna
2. Kekeruhan
3. Sedimen
4. Bekuan
II. Pemeriksaan mikroskopis
1. Hitung Jumlah Sel
2, Hitung Jenis Sel
3. Bakteriologis
III. Pemeriksaan Kimia
1. Protein
2. Glukosa
3. Chlorida
4. Calsium
5. LDH
6. Asam Laktat
7. Pemeriksaan khusus untuk meningitis tuberkulosa
8. Glutamin
IV. Pemeriksaan Serologis
V. Pemeriksaan Bakteriologis. 16
Tahap pra analitik :
Tahap ini dimulai dari adanya permintaan akan pemeriksaan laboratorium hingga
sampel yang akan diperiksa memasuki laboratorium.
Dalam tahap ini, diperlukan kerja sama dengan petugas medis yang lai berada di
luar laboratorium seperti perawat ruangan. Tahap ini meliputi 2 aspek, yaitu
:
persiapan penderita & pengambilan sampel
1.4.INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN LCS
Tahap analitik
Tahap ini dimulai dari datangnya sample ke laboratorium kemudian
diproses dan dilakukan pemeriksaan sample sampai mengeluarkan hasil. Tahap ini
selalu menjadi perhatian, dan memerlukan biaya yang mahal, terutama dengan
adanya upaya otomatisai peralatan yang ada. Dalam tahap ini termasuk kalibrasi
alat, penggunaan larutan control, larutan standard dan dilakukannya quality
control baik external maupun internal.18,19
A. Pemeriksaan Makroskopis
Pada pemeriksaan makroskopis harus selalu dibandingkan antara tabung
pemeriksaan yang berisi LCS dengan tabung kontrol yang serupa berisi aquadest.
1. Warna
Cairan serebrospinal normal tidak berwarna seperti aquades. Penilaian dilakukan
dengan latar belakang putih. Adanya warna pada cairan ini biasanya menunjukkan
hal abnormal.
Implikasi klinis :
Warna abnormal :
a. Darah / merah
Darah yang disebankan oleh perdarahan subarachnoid dan serebral akan sama
pada ketiga tabung. LCS yang tampak tak berwarna atau tidak keruh bukan
berarti mengesampingkan kemungkinan perdarahan. Bila dalam LCS hanya
mengandung < 400 eritrosit/ul LCS, maka darah dan kekeruhannya tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang.
b. Keabu-abuan : karena leukosit dalam jumlah besar, misalnya pada radang
purulen.
c. Coklat : disebabkan perdarahan yang lama, karena eritrosit mengalami
hemolisis. Contohnya pada meningitis melanomatosis.
d. Xanthokromia
Warna yang ditunjukkan kekuningan atau pink pucat sampai dengan orange
atau kuning pada supernatan LCS yang telah dipusingkan.
Pengamatan harus dilakukan segera mungkin (maks 1 jam) pasca pungsi
sebelum eritrosit lisis (1-4 jam) untuk menghindari positif palsu.
Pigmen yang menyebabkan xanthokromia berasal dari :
I. Oksihemoglobin
II. Methemoglobin
III. Bilirubin (> 6 mg/dL), karena :
- eritrosis dalam LCS mengalami lisis
- plasma, terjadi peningkatan kadar bilirubin direk dengan barier darah-
LCS normal atau adanya peningkatan bilirubin indirek yang berasosiasi
dengan peningkatan permeabilitas barier darah-LCS.
IV. Peningkatan kadar protein pada LCS (> 150 mg/dL), biasanya LCS
mempunyai tendensi untuk membeku.
V. Kontaminasi desinfektan merthilate
VI. Karotenoid
VII. Melanin dalam LCS yang berasal dari melanosarcoma meningeal.16
Xanthokromia biasanya menandakan adanya perdarahan, misalnya
pada perdarahan subarakhnoid akibat oksihemoglobin (warna pink pucat
atau oranye pucat) yang terlihat 2-4 jam setelah perdarahan dan mencapai
puncaknya + 24-36 jam dan berangsur-angsur menghilang setelah 4-8 hari.
Xanthokromia yang disebabkan bilirubin (berwarna kuning) mulai terlihat
pada LCS + 12 jam setelah perdarahan dan mencapai puncaknya + 2-4 hari
dan berangsur menghilang setelah 2-4 minggu. Warna xanthokrom
bertingkat mulai 1+ sampai 4+.
Xanthokromia dalam keadaan normal bisa terjadi pada LCS bayi prematur.
Hal ini disebabkan barier darah-LCS belum matur, kadar bilirubin yang
meningkat atau peningkatan kadar protein. Pemeriksaan xanthokromia lebih
sensitif dan spesifik bila diperiksa menggunakan metode spektofotometri
dibandingkan pemeriksaan makroskopis (visual) saja, disebabkan :
1. Dapat mendeteksi methemoglobin pada pasien hematom subdural,
meskipun LCS
diperiksa secara makroskopis tampak jernih.
2. Dapat membedakan xanthokrom karena peningkatan kadar bilirubin atau
protein.16
Faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian hasil :
1. Darah pada spisemen LCS bisa disebabkan trauma dari pungsi lumbal,
dan ini harus dibedakan dengan darah yang berasal dari perdarahan
subarachnoid.
a. Pada saat pungsi
Bila darah akibat dari trauma pungsi, darah nampak tidak homogen
dengan aliran LCS yang semakin lama semakin jernih.
b. Pemeriksaan makroskopis :
- Warna
Warna darah akibat trauma pungsi biasanya secara berangsur akan
berkurang, sehingga pada tabung ketiga darah berkurang dan LCS
lebih jernih (warna darah lebih muda). Bila dipusingkan maka
supernatan akan tampak jernih, tidak berwarna xanthokromia.
- Bekuan darah
Bekuan darah akibat trauma pungsi akan membeku setelah LCS
didiamkan beberapa saat atau mengendap bila dipusingkan.
2. Kontaminasi LCS dengan cairan desinfektan akan mempengaruhi warna
spisemen LCS.
a. Kuning: hiperbilirubinemia, hemolisis.
b. Oranye: hiperkarotenemia, hemolisis.
c. Merah muda: hemolisis.
d. Hijau: hiperbilirubinemia, meningitis bakterial
Gambar 3. Gambar 4. Pemeriksaan Makroskopis17 Xanthochromia17
normal
Gambar 5. Kemungkinan Perdarahan SSP17
2. Kekeruhan
Pada keadaan normal, LCS jernih, sejernih aquadest.
Bila tidak terjadi kekeruhan, maka bila disebelah belakang tabung ada tulisan,
maka tulisan tersebut akan jelas terbaca menembus LCS.
Bertambahnya jumlah sel (pletositosis) tidak selalu disertai dengan kekeruhan,
misalnya pada encephalitis, meningitis tuberkulosa, meningitis syphilitica, tabes
dorsalis dan poliomielitis. Kekeruhan biasanya berhubungan dengan leukosit yang
banyak, terutama netrofil. Selain itu juga disebabkan darah dan kuman-kuman.
Pada meningitis, kekeruhan bervariasi dari yang minimal hingga hampir penuh
oleh pus. Pada infeksi cryptokokal, kekeruhannya disebabkan oleh sel-sel yeast.
Pada umumnya jumlah sel menunjukkan tingkat kekeruhan LCS, sebagai berikut :
a. < 200 sel / ul : tidak terlihat kekeruhan
b. 200-500 sel / ul : agak keruh
c. > 500 sel / ul : keruh.
Bisa terjadi keadaan yang sangat keruh.
3. Sedimen
Normal tidak ada sedimen, walaupun LCS telah dipusingkan. Adanya sedimen
berarti abnormal. Jumlah sedimen sebanding kekeruhan LCS.
4. Bekuan
Normal tidak ada bekuan, walaupun LCS telah didiamkan beberapa lama. Hal ini
disebabkan LCS tidak mengandung fibrinogen. Maka perlu diperiksa LCS 10
menit setelah pungsi lumbal / penampungan. Bila didapatkan bekuan,
dicantumkan macam bekuannya : halus sekali, berkeping-keping, menyerupai
serat atau kasar dan besar.
Bekuan terbentuk bila terdapat fibrinogen dalam LCS. Keadaan ini biasanya
disertai bertambahnya protein albumin dan globulin (> 1000 mg/dl).
Pada meningitis tuberkulosa terlihat terbentuknya bekuan yang halus dan sangat
renggang yang mulai terbentuk pada permukaan LCS dan “tumbuh” sampai
pertengahan LCS. Pembentukan bekuan ini memerlukan waktu 12 jam/lebih.
Akan tetapi tidak semua meningitis tuberkulosa membentuk bekuan yang halus
dan renggang. Pada peradangan yang menahun, juga mungkin terbentuk bekuan
berupa selaput tipis did atlas permukaan LCS.
Bekuan yang besar atau kasar mengarah pada meningitis purulenta. Bekuan en
masse, yaitu LCS membeku seluruhnya, terlihat pada Sindroma Froin dan pada
perdarahan besar.
Sindroma Froin adalah suatu penyakit dengan kumpulan gejala dan tanda :
sumbatan subarachnoid, kadar protein LCS sangat meningkat, xanthokromia
(karena peningkatan kadar protein) dan pembentukan gel setelah LCS didiamkan.
Implikasi klinis :
Bekuan terjadi karena darah berasal dari pungsi atau peningkatan protein akibat
dari : sumbatan subarachnoid, meningitis supuratif, meningitis tuberkulosa dan
neurosyphilis.16
B. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis diarahkan ke jumlah dan jenis sel dan adanya bakteri
serta jenisnya secara bakterioskopik.
Secara esensial, tidak ada sel-sel dalam LCS. Bila terdapat sel-sel maka sel
tersebut harus diidentifikasi tipe dan persentasenya dibandingkan dengan jumlah
leukosit yang ditemukan. Hanya terdapat dua jenis sel dalam LCS , yaitu leukosit
dan sel-sel tumor. Bila ditemukan leukosit, harus segera dihitung jumlahnya.
1. Hitung jumlah sel
Pemeriksaan ini bertujuan menghitung konsentrasi atau “hitung jumlah”
menggunakan bilik hitung.
Nilai normal : - Dewasa : 0-5 / mm3 (limfosit) = < 5 x 106 leukosit per liter.
- Neonatus : 0-30 sel / mm3 (segmen)
Pemeriksaan dilakukan < ½ jam setelah penampungan, karena leukosit sangat
mudah rusak dan penyebarannya tak merata, sehingga menjadi tidak homogen.
Dianjurkan mengunakan tabung ketiga, karena dianggap sebagai sampel paling
murni.
Dianjurkan menggunakan bilik hitung Fuch-Rosenthal karena lebih teliti karena
lebih luas dan lebih tinggi daripada bilik hitung Neubauer Improve.
Material : Bilik hitung, Pipet Pasteur dengan penghisap / pipet leukosit dan
larutan
Turk.
Metode :
1. Tutup bilik hitung dengan kaca penutup (coverglass)
2. Aduk/kocok LCS pelan2 :
a. Bila LCS jernih, maka pemeriksaan tanpa pengenceran ataunpengenceran
ringan (contoh untuk pengenceran 10/9, maka ambil 1 bagian larutan Turk
dan 11 bagian LCS).
b. Bila LCS sangat keruh, buat pengenceran (contoh untuk 1/20 menggunakan
0,02 ml LCS (garis tanda 0,5 pada pipet lekosit) dan 0,95 larutan Turk (pada
Garis bertanda 11 pada pipet leukosit.
3. Pipet dikocok, buang 3 tetes pertama lalu tetesi bilik hitung dg LCS.
4. Diamkan bilik hitung yang telah ditetesi LCS selama 5 menit agar sel-sel
mengendap dan letakkan bilik hitung did bawah mikroskop.
5. Hitung jumlah sel per 1 mm2 dengan pembesaran 10x.
Cairan serebrospinal normal hanya mengandung 0-5 leukosit/mm3. Bila
pelaporan menggunakan SI, harga tersebut tidak berubah (misal : 150 x 106/l).
Bila tanpa pengenceran, gunakan pembesaran obyektif 40 kali untuk
memastikan bahwa sel-sel yang terhitung adalah leukosit. Bila dengan
pengenceran tapi dijumpai sel eritrosit, maka gunakan pembesaran obyektif 40
kali, eritrosit tidak ikut dihitung.
6. Perhitungan
a. Bila menggunakan bilik hitung Fuch-Rosenthal :
Luas bilik hitung F-R 16 mm3, tinggi bilik tersebut 0,2 mm.
- Bila tanpa pengenceran, tidak memerlukan koreksi.
Hitung sel-sel dalam 5 mm3 menggunakan kotak 1,4,7,13 dan 16.
- Bila pengenceran ringan (10/9), maka :
Jumlah sel = n/16 x 5 x 10/9 = 50n / 144 n / 3
n = semua sel yang dilihat dalam seluruh bidang terbagi.
- Bila pengenceran 20 x, jumlah yang terhitung tiap mm3 dikalikan 20.
b. Bila menggunakan bilik hitung Neubauer Improve :
Luas bilik hitung NI 9 mm3, tinggi bilik hitung 0,1 mm.
- Bila tanpa pengenceran : n/9 x 10 = jumlah sel /mm3.
- Bila pengenceran ringan (10/9), maka : n/9 x 10 x 10/9 = jumlah sel /
mm3
- Bila pengenceran 20 x , maka : n/9 x 10 x 20 = jumlah sel / mm3 .
c. Koreksi perhitungan bila ada darah dalam LCS :
- Bila ada darah (dari perdarahan subarachnoidmaupun trauma pungsi),
tambahkan 1 leukosit tiap 700 eritrosit.
- Bila terdapat anemia atau lekositosis yang signifikan, maka koreksi
leukosit :
= leukosit dalam LCS -
leukosit (darah) x eritrosit (LCS)
eritrosit (darah)
Gambar 6.
Bilik hitung Neubauer Improve17
2. Hitung Jenis
Normal : hanya dijumpai limfosit / mononuklear.
Meskipun dalam LCS ada lebih dari dua jenis sel leukosit, namun dalam
praktek sehari-hari hanya dibuat perbedaan antara sel yang berinti satu atau
mononuklear (disebut “limfosit” saja) dan sel polinuklear (disebut “segmen”).
Pengecatan harus dilakukan sesegera mungkin karena LCS yang disimpan lama
akan sukar dicat.
Metode :
A. Bila LCS hanya mengandung sedikit sel (< 200 x 106/l), cairan jernih atau
agak keruh.
1. Pusingkan LCS pada kecepatan tinggi selama 10 menit,
Pindahkan cairan supernatan pada tabung lain (dapat digunakan untuk
pemeriksaan yang lain).
BAB 2. KEGANASAN HEMATOLOGI
A. JENIS-JENIS KEGANASAN HEMATOLOGIKelompok keganasan hematologi dapat dimasukkan sebagai berikut:1. Peenyakit mieloproliferatif ( myieloproliferative disorders ) terdiri atas
:a. Leukemia mieloid akut dan kronikb. Penyakit mieloproliferatif lain : polositemia vera, mielosklerosis
dengan mieloid metaplasia, trombositemia esensial.2. Penyakit limfoproliferatif terdiri atas;
a. Leukemia limfoid akut dan kronikb. Limfoma maligna ( lymphomas )
3. Penyakit imunoproliferatif ( gamopatimonoklonal). Dua jenis gamopati monoklonal yang sering dijumpai, yaitu : a. Mieloma multipel ( Multiple mieloma)
b. Makroglobulinemia Waldenstrom.
B. JENIS-JENIS KEGANASAN HEMATOLOGI
Kelompok keganasan hematologi dapat dimasukkan sebagai berikut:
4. Peenyakit mieloproliferatif ( myieloproliferative disorders ) terdiri atas
:
c. Leukemia mieloid akut dan kronik
d. Penyakit mieloproliferatif lain : polositemia vera, mielosklerosis
dengan mieloid metaplasia, trombositemia esensial.
5. Penyakit limfoproliferatif terdiri atas;
c. Leukemia limfoid akut dan kronik
d. Limfoma maligna ( lymphomas )
6. Penyakit imunoproliferatif ( gamopatimonoklonal). Dua jenis
gamopati monoklonal yang sering dijumpai, yaitu :
c. Mieloma multipel ( Multiple mieloma)
d. Makroglobulinemia Waldenstrom.
dengan tujuan transfer pengetahuan ilmuwan kepada generasi berikutnya dalam
hal strategi deteksi klinis.
The diagnosis of central nervous system(CNS) leukaemia is important because of itsassociated morbidity1
72 and implications forhaematological relapse3
>4. CNS leukaemiaoccur in about 5-10% of children with acutelymphoblastic leukaemia (ALL) despiteprophylactic therapy.' Moreover, as moreleukaemic patients experience longer bonemarrow remissions with modern chemotherapyregimens, CNS leukemia remains a majorlimiting factor for disease controL6 There isa need for a fast and reliable method fordiagnosis of CNS leukaemia. This report reviewsour experience with the use of thecytocentrifuge in the diagnosis of CNSleukaemia at the University Hospital, KualaLumpur. The cytocentrifuge method wasalso compared with the CSF cell count meth
Cerebrospinal Fluid Examination in Patients with Lymphoma/LeukemiaJohn D. Benson, M.D. (919) 784-3059Timothy R. Carter, M.D. (919) 784-3058Stephen V. Chiavetta, M.D. (919) 784-3060Keith V. Nance, M.D. (919) 784-3286F. Catrina Reading, M.D. (919) 784-3255Vincent C. Smith, M.D. (919) 784-3056John P. Sorge, M.D. (919) 784-3062Keith E. Volmar, M.D. (919) 784-2506Rhonda Humphrey,Practice Manager (919) 784-3063REX PATHOLOGY ASSOCIATES, P.A.Central nervous system (CNS) involvement by lymphoma/leukemia has important prognostic and therapeuticimplications. Lymphomas and leukemias that involve theCNS are most often high-grade neoplasms and includeaggressive B-cell lymphomas (Burkitt or large B-cell),lymphomas associated with immunodeficiency (includingprimary CNS lymphomas), acute lymphoblastic leukemia,and HTLV-1-associated T-cell lymphoma. The frequencyof CNS involvement by lymphoma varies by subtype,ranging from 2 - 27%.1 Among lymphomas, Burkitt andlarge B-cell subtypes are the most common. Low-gradelymphomas and leukemias, such as small lymphocyticlymphoma/chronic lymphocytic leukemia rarely involvethe CNS. CNS involvement by an aggressive B-celllymphoma is often fatal and the risk appears to beparticularly high in patients with immunodeficiency relatedlymphoma.2 Early detection and treatment is necessaryfor successful management. Consequently, there is desireto establish a sensitive and specific analytic method fordetecting occult CNS lymphoma. Cytology and flowcytometry of cerebrospinal fluid (CSF) are the mostcommon methods for evaluating CNS lymphoma. Theadvantages and
Kemampuan untuk mendeteksi dan mengetahui karakteristik sel ganas pada LCS
yang diturunkan dari sel kanker neural dan ekstraneural primer dapat menjawab
pertanyaan paling mendasar tentang biologi penyebaran metastasis melalui
identifikasi dan karakteristik populasi sel kanker tentang kemampuan untuk
menginfiltrasi LCS. Kanker dapat masuk ke LCS melalui jalur hematogen, jalur
langsung dari tumor itu sendiri, atau bermigrasi melalui melalui ruang neural dan
perivaskular [1,2]. Meningkatnya deteksi keganasan LCS merupakan sebuah
informasi klinis yang penting, karena bila teknik diagnostik terbaru yang
digunakan tidak terlalu sensitif, maka akan terjadi keterlambatan penegakan
diagnostik kemudian gejala penyakit menjadi lebih lanjut dan ireversibel,
sehingga pilihan terapi menjadi semakin terbatas atau bahkan tidak ada. Sel
kanker yang menginfiltrasi LCS dapat menyebabkan meningitis neoplastik,
sebuah kondisi fatal dan progresif yang cepat yang ditandai dengan defisit
neurologis [3]. Di seluruh diagnosis kanker, keterlibatan leptomeningeal dapat
ditemukan pada 5% pasien, dan karies merupakan diagnosis yang rendah dengan
median survival dibawah 3 bulan yang ditandai dengan penurunan neurologis
yang cepat [3,4]
Mekanisme biokimia dan molekuler proses yang tersisa masih belum diketahui.
Penjelasannya dapat secara dramatis meningkatkan kemampuan kita untuk
memprediksi, mengobati, dan mencegah peningkatan ini semakin sering dan
seragam menjadi komplikasi fatal dari kanker. Tujuan utama review ini untuk
menggambarkan keadaan deteksi sel kanker dalam LCS dengan tujuan transfer
pengetahuan ilmuwan kepada generasi berikutnya dalam hal strategi deteksi
klinis.
BAB 2. KEGANASAN HEMATOLOGI
C. JENIS-JENIS KEGANASAN HEMATOLOGIKelompok keganasan hematologi dapat dimasukkan sebagai berikut:7. Peenyakit mieloproliferatif ( myieloproliferative disorders ) terdiri atas
:e. Leukemia mieloid akut dan kronikf. Penyakit mieloproliferatif lain : polositemia vera, mielosklerosis
dengan mieloid metaplasia, trombositemia esensial.8. Penyakit limfoproliferatif terdiri atas;
e. Leukemia limfoid akut dan kronik
f. Limfoma maligna ( lymphomas )9. Penyakit imunoproliferatif ( gamopatimonoklonal). Dua jenis
gamopati monoklonal yang sering dijumpai, yaitu : e. Mieloma multipel ( Multiple mieloma)f. Makroglobulinemia Waldenstrom.
BAB III
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium klinik sebagai subsistem pelayanan kesehatan menempati
posisi penting dalam diagnosis invitro. Setidaknya terdapat 5 alasan penting
mengapa pemeriksaan laboratorium diperlukan, yaitu : skrining, diagnosis,
pemantauan progresifitas penyakit, monitor pengobatan dan prognosis penyakit.
Oleh karena itu setiap laboratorium harus dapat memberikan data hasil tes yang
teliti, cepat dan tepat.
Dengan demikian perlu dilakukan pengendalian mutu laboratorium
melalui tiga tahapan penting, yaitu tahap pra analitik, analitik dan pasca analitik.
Pada umumnya yang sering sering diawasi dalam pengendalian mutu hanya tahap
analitik dan pasca analitik yang lebih cenderung kepada urusan administrasi,
sedangkan proses pra analitik kurang mendapat perhatian.
Kesalahan pada proses pra-analitik dapat memberikan kontribusi sekitar 61% dari
total kesalahan laboratorium, sementara kesalahan analitik 25%, dan kesalahan
pasca analitik 14%. Proses pra-analitik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : pra-
analitik ekstra laboratorium dan pra-analitik intra laboratorium. Proses-proses
tersebut meliputi persiapan pasien, pengambilan spesimen, pengiriman spesimen
ke laboratorium, penanganan spesimen, dan penyimpanan spesimen.
Persiapan pasien
Persiapan pasien dimulai saat seorang dokter merencanakan pemeriksaan
laboratorium bagi pasien. Dokter dibantu oleh paramedis diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, manfaat dari
tindakan itu, dan persyaratan apa yang harus dilakukan oleh pasien. Informasi
yang diberikan harus jelas agar tidak menimbulkan ketakutan atau persepsi yang
keliru bagi pasien.
Pemilihan jenis tes yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan kondisi
klinis pasien akan menghasilkan interpretasi yang berbeda. Ketaatan pasien akan
instruksi yang diberikan oleh dokter atau paramedis sangat berpengaruh terhadap
hasil laboratorium; tidak diikutinya instruksi yang diberikan akan memberikan
penilaian hasil laboratorium yang tidak tepat. Hal yang sama juga dapat terjadi
bila keluarga pasien yang merawat tidak mengikuti instruksi tersebut dengan baik.
Ada beberapa sumber kesalahan yang kurang terkontrol dari proses pra-
analitik yang dapat mempengaruhi keandalan pengujian laboratorium, tapi yang
hampir tidak dapat diidentifikasi oleh staf laboratorium. Ini terutama mencakup
variabel fisik pasien, seperti latihan fisik, puasa, diet, stres, efek posisi,
menstruasi, kehamilan, gaya hidup (konsumsi alkohol, rokok, kopi, obat adiktif),
usia, jenis kelamin, variasi diurnal, pasca transfusi, pasca donasi, pasca operasi,
ketinggian. Karena variabel tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap
beberapa variabel biokimia dan hematologi, maka gaya hidup individu dan ritme
biologis pasien harus selalu dipertimbangkan sebelum pengambilan sampel.10,11,12
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah tindakan mengambil cairan serebrospinal.
Indikasi
Kejang atau twitching, paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma, ubun-
ubun besar menonjol, kaku kuduk dengan kesadaran menurun, tuberkulosis milier,
leukemia, mastoiditis kronik yang dicurigai meningitis, sepsis, demam yang tidak
diketahui sebabnya, pengobatan meningitis kronik karena limfoma dan
sarkoidosis, pengobatan tekanan intrakranial meninggi jinak (benign intracranial
hypertension), memasukkan obat-obatan tertentu.
Kontraindikasi
Syok/renjatan, infeksi lokal di sekitar daerah tempat pungsi lumbal, peningkatan
tekanan intrakranial (oleh tumor, space occupying lession, hidrosefalus),
gangguan pembekuan darah yang belum diobati
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, jarum pungsi patah,
herniasi, tertusuknya saraf oleh jarum pungsi.
Alat dan Bahan
7. Sarung tangan steril
8. Duk berlubang
9. Kassa steril, kapas, dan plester
10. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
11. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
12. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
8. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik
ke arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan
tempat tidur.
9. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak
boleh pada bayi.
10. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
11. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.
12. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit
dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan
gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada
umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.),
13. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke
kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
14. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester.13,14,15
Pada hampir semua kasus, pungsi lumbal dilakukan secara elektif
(terprogram), dilakukan pada pagi hari pada pasien yang telah dipuasakan
sepanjang malam. Hal ini disebabkan karena pada pagi hari seluruh staf
laboratorium dan konsultan berada did tempat, sehingga dapat melakukan
pemeriksaan secepatnya, serta evaluasi kadar glukosa LCS yang terbaik bila
dibandingkan dengan kadar gula darah puasa. Selain itu bisa dilakukan pungsi
lumbal emergency, yang dilakukan pada pasien dengan suspek meningitis,
perdarahan subarachnoid atau leukemia yang mengenai susunan saraf pusat. 16
Pemeriksaan LCS
Peringatan/perhatian awal
4. Jangan menunda pemeriksaan LCS
Sel-sel akan mudah lisis dengan cepatGlukosa akan dirombak.
5. Bekerja dengan hati-hati dan ekonomis
Seringkali hanya sedikit LCS yang dapat ditampung dan tersedia untuk
pemeriksaan. LCS diperoleh dengan prosedur yang sulit, sehingga jangan
menyia-nyiakan setiap tetes LCS.
6. LCS dapat mengandung organisme virulen
Gunakan pipet dengan tutup kapas / katun non absorben atau gunakan ‘bulb’
karet untuk mengalirkan LCS ke dalam pipet.16
Macam Pemeriksaan LCS
I. Pemeriksaan makroskopis
1. Warna
2. Kekeruhan
3. Sedimen
4. Bekuan
II. Pemeriksaan mikroskopis
1. Hitung Jumlah Sel
2, Hitung Jenis Sel
3. Bakteriologis
III. Pemeriksaan Kimia
1. Protein
2. Glukosa
3. Chlorida
4. Calsium
5. LDH
6. Asam Laktat
7. Pemeriksaan khusus untuk meningitis tuberkulosa
8. Glutamin
IV. Pemeriksaan Serologis
V. Pemeriksaan Bakteriologis. 16
Tahap pra analitik :
Tahap ini dimulai dari adanya permintaan akan pemeriksaan laboratorium hingga
sampel yang akan diperiksa memasuki laboratorium.
Dalam tahap ini, diperlukan kerja sama dengan petugas medis yang lai berada di
luar laboratorium seperti perawat ruangan. Tahap ini meliputi 2 aspek, yaitu
:
persiapan penderita & pengambilan sampel
BAB IV
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN LCS
Tahap analitik
Tahap ini dimulai dari datangnya sample ke laboratorium kemudian
diproses dan dilakukan pemeriksaan sample sampai mengeluarkan hasil. Tahap ini
selalu menjadi perhatian, dan memerlukan biaya yang mahal, terutama dengan
adanya upaya otomatisai peralatan yang ada. Dalam tahap ini termasuk kalibrasi
alat, penggunaan larutan control, larutan standard dan dilakukannya quality
control baik external maupun internal.18,19
A. Pemeriksaan Makroskopis
Pada pemeriksaan makroskopis harus selalu dibandingkan antara tabung
pemeriksaan yang berisi LCS dengan tabung kontrol yang serupa berisi aquadest.
1. Warna
Cairan serebrospinal normal tidak berwarna seperti aquades. Penilaian dilakukan
dengan latar belakang putih. Adanya warna pada cairan ini biasanya menunjukkan
hal abnormal.
Implikasi klinis :
Warna abnormal :
e. Darah / merah
Darah yang disebankan oleh perdarahan subarachnoid dan serebral akan sama
pada ketiga tabung. LCS yang tampak tak berwarna atau tidak keruh bukan
berarti mengesampingkan kemungkinan perdarahan. Bila dalam LCS hanya
mengandung < 400 eritrosit/ul LCS, maka darah dan kekeruhannya tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang.
f. Keabu-abuan : karena leukosit dalam jumlah besar, misalnya pada radang
purulen.
g. Coklat : disebabkan perdarahan yang lama, karena eritrosit mengalami
hemolisis. Contohnya pada meningitis melanomatosis.
h. Xanthokromia
Warna yang ditunjukkan kekuningan atau pink pucat sampai dengan orange
atau kuning pada supernatan LCS yang telah dipusingkan.
Pengamatan harus dilakukan segera mungkin (maks 1 jam) pasca pungsi
sebelum eritrosit lisis (1-4 jam) untuk menghindari positif palsu.
Pigmen yang menyebabkan xanthokromia berasal dari :
I. Oksihemoglobin
II. Methemoglobin
III. Bilirubin (> 6 mg/dL), karena :
- eritrosis dalam LCS mengalami lisis
- plasma, terjadi peningkatan kadar bilirubin direk dengan barier darah-
LCS
normal atau adanya peningkatan bilirubin indirek yang berasosiasi
dengan
peningkatan permeabilitas barier darah-LCS.
IV. Peningkatan kadar protein pada LCS (> 150 mg/dL), biasanya LCS
mempu-
nyai tendensi
untuk membeku.
V. Kontaminasi desinfektan merthilate
VI. Karotenoid
VII. Melanin dalam LCS yang berasal dari melanosarcoma meningeal.16
Xanthokromia biasanya menandakan adanya perdarahan, misalnya
pada perdarahan subarakhnoid akibat oksihemoglobin (warna pink pucat
atau oranye pucat) yang terlihat 2-4 jam setelah perdarahan dan mencapai
puncaknya + 24-36 jam dan berangsur-angsur menghilang setelah 4-8 hari.
Xanthokromia yang disebabkan bilirubin (berwarna kuning) mulai terlihat
pada LCS + 12 jam setelah perdarahan dan mencapai puncaknya + 2-4 hari
dan berangsur menghilang setelah 2-4 minggu. Warna xanthokrom
bertingkat mulai 1+ sampai 4+.
Xanthokromia dalam keadaan normal bisa terjadi pada LCS bayi prematur.
Hal ini disebabkan barier darah-LCS belum matur, kadar bilirubin yang
meningkat atau peningkatan kadar protein. Pemeriksaan xanthokromia lebih
sensitif dan spesifik bila diperiksa menggunakan metode spektofotometri
dibandingkan pemeriksaan makroskopis (visual) saja, disebabkan :
1. Dapat mendeteksi methemoglobin pada pasien hematom subdural,
meskipun LCS
diperiksa secara makroskopis tampak jernih.
2. Dapat membedakan xanthokrom karena peningkatan kadar bilirubin atau
protein.16
Faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian hasil :
2. Darah pada spisemen LCS bisa disebabkan trauma dari pungsi lumbal,
dan ini harus dibedakan dengan darah yang berasal dari perdarahan
subarachnoid.
a. Pada saat pungsi
Bila darah akibat dari trauma pungsi, darah nampak tidak homogen
dengan aliran
LCS yang semakin lama semakin jernih.
b. Pemeriksaan makroskopis :
- Warna
Warna darah akibat trauma pungsi biasanya secara berangsur akan
berkurang,
sehingga pada tabung ketiga darah berkurang dan LCS lebih jernih
(warna darah
lebih muda). Bila dipusingkan maka supernatan akan tampak jernih,
tidak
berwarna xanthokromia.
- Bekuan darah
Bekuan darah akibat trauma pungsi akan membeku setelah LCS
didiamkan
beberapa saat atau mengendap bila dipusingkan.
2. Kontaminasi LCS dengan cairan desinfektan akan mempengaruhi warna
spisemen LCS.
e. Kuning: hiperbilirubinemia, hemolisis.
f. Oranye: hiperkarotenemia, hemolisis.
g. Merah muda: hemolisis.
h. Hijau: hiperbilirubinemia, meningitis bakterial.
2. Kekeruhan
Pada keadaan normal, LCS jernih, sejernih aquadest.
Bila tidak terjadi kekeruhan, maka bila disebelah belakang tabung ada tulisan,
maka tulisan tersebut akan jelas terbaca menembus LCS.
Bertambahnya jumlah sel (pletositosis) tidak selalu disertai dengan kekeruhan,
misalnya pada encephalitis, meningitis tuberkulosa, meningitis syphilitica, tabes
dorsalis dan poliomielitis. Kekeruhan biasanya berhubungan dengan leukosit yang
banyak, terutama netrofil. Selain itu juga disebabkan darah dan kuman-kuman.
Pada meningitis, kekeruhan bervariasi dari yang minimal hingga hampir penuh
oleh pus. Pada infeksi cryptokokal, kekeruhannya disebabkan oleh sel-sel yeast.
Pada umumnya jumlah sel menunjukkan tingkat kekeruhan LCS, sebagai berikut :
a. < 200 sel / ul : tidak terlihat kekeruhan
b. 200-500 sel / ul : agak keruh
c. > 500 sel / ul : keruh.
Bisa terjadi keadaan yang sangat keruh.
3. Sedimen
Normal tidak ada sedimen, walaupun LCS telah dipusingkan. Adanya sedimen
berarti abnormal. Jumlah sedimen sebanding kekeruhan LCS.
4. Bekuan
Normal tidak ada bekuan, walaupun LCS telah didiamkan beberapa lama. Hal ini
disebabkan LCS tidak mengandung fibrinogen. Maka perlu diperiksa LCS 10
menit setelah pungsi lumbal / penampungan. Bila didapatkan bekuan,
dicantumkan macam bekuannya : halus sekali, berkeping-keping, menyerupai
serat atau kasar dan besar.
Bekuan terbentuk bila terdapat fibrinogen dalam LCS. Keadaan ini biasanya
disertai bertambahnya protein albumin dan globulin (> 1000 mg/dl).
Pada meningitis tuberkulosa terlihat terbentuknya bekuan yang halus dan sangat
renggang yang mulai terbentuk pada permukaan LCS dan “tumbuh” sampai
pertengahan LCS. Pembentukan bekuan ini memerlukan waktu 12 jam/lebih.
Akan tetapi tidak semua meningitis tuberkulosa membentuk bekuan yang halus
dan renggang. Pada peradangan yang menahun, juga mungkin terbentuk bekuan
berupa selaput tipis did atlas permukaan LCS.
Bekuan yang besar atau kasar mengarah pada meningitis purulenta. Bekuan en
masse, yaitu LCS membeku seluruhnya, terlihat pada Sindroma Froin dan pada
perdarahan besar.
Sindroma Froin adalah suatu penyakit dengan kumpulan gejala dan tanda :
sumbatan subarachnoid, kadar protein LCS sangat meningkat, xanthokromia
(karena peningkatan kadar protein) dan pembentukan gel setelah LCS didiamkan.
Implikasi klinis :
Bekuan terjadi karena darah berasal dari pungsi atau peningkatan protein akibat
dari : sumbatan subarachnoid, meningitis supuratif, meningitis tuberkulosa dan
neurosyphilis.16
B. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis diarahkan ke jumlah dan jenis sel dan adanya bakteri
serta jenisnya secara bakterioskopik.
Secara esensial, tidak ada sel-sel dalam LCS. Bila terdapat sel-sel maka sel
tersebut harus diidentifikasi tipe dan persentasenya dibandingkan dengan jumlah
leukosit yang ditemukan. Hanya terdapat dua jenis sel dalam LCS , yaitu leukosit
dan sel-sel tumor. Bila ditemukan leukosit, harus segera dihitung jumlahnya.
1. Hitung jumlah sel
Pemeriksaan ini bertujuan menghitung konsentrasi atau “hitung jumlah”
menggunakan bilik hitung.
Nilai normal : - Dewasa : 0-5 / mm3 (limfosit) = < 5 x 106 leukosit per liter.
- Neonatus : 0-30 sel / mm3 (segmen)
Pemeriksaan dilakukan < ½ jam setelah penampungan, karena leukosit sangat
mudah rusak dan penyebarannya tak merata, sehingga menjadi tidak homogen.
Dianjurkan mengunakan tabung ketiga, karena dianggap sebagai sampel paling
murni.
Dianjurkan menggunakan bilik hitung Fuch-Rosenthal karena lebih teliti karena
lebih luas dan lebih tinggi daripada bilik hitung Neubauer Improve.
Material : Bilik hitung, Pipet Pasteur dengan penghisap / pipet leukosit dan
larutan
Turk.
Metode :
1. Tutup bilik hitung dengan kaca penutup (coverglass)
2. Aduk/kocok LCS pelan2 :
a. Bila LCS jernih, maka pemeriksaan tanpa pengenceran ataunpengenceran
ringan (contoh untuk pengenceran 10/9, maka ambil 1 bagian larutan Turk
dan 11 bagian LCS).
b. Bila LCS sangat keruh, buat pengenceran (contoh untuk 1/20 menggunakan
0,02 ml LCS (garis tanda 0,5 pada pipet lekosit) dan 0,95 larutan Turk (pada
Garis bertanda 11 pada pipet leukosit.
3. Pipet dikocok, buang 3 tetes pertama lalu tetesi bilik hitung dg LCS.
4. Diamkan bilik hitung yang telah ditetesi LCS selama 5 menit agar sel-sel
mengendap dan letakkan bilik hitung did bawah mikroskop.
5. Hitung jumlah sel per 1 mm2 dengan pembesaran 10x.
Cairan serebrospinal normal hanya mengandung 0-5 leukosit/mm3. Bila
pelaporan menggunakan SI, harga tersebut tidak berubah (misal : 150 x 106/l).
Bila tanpa pengenceran, gunakan pembesaran obyektif 40 kali untuk
memastikan bahwa sel-sel yang terhitung adalah leukosit. Bila dengan
pengenceran tapi dijumpai sel eritrosit, maka gunakan pembesaran obyektif 40
kali, eritrosit tidak ikut dihitung.
6. Perhitungan
a. Bila menggunakan bilik hitung Fuch-Rosenthal :
Luas bilik hitung F-R 16 mm3, tinggi bilik tersebut 0,2 mm.
- Bila tanpa pengenceran, tidak memerlukan koreksi.
Hitung sel-sel dalam 5 mm3 menggunakan kotak 1,4,7,13 dan 16.
- Bila pengenceran ringan (10/9), maka :
Jumlah sel = n/16 x 5 x 10/9 = 50n / 144 n / 3
n = semua sel yang dilihat dalam seluruh bidang terbagi.
- Bila pengenceran 20 x, jumlah yang terhitung tiap mm3 dikalikan 20.
b. Bila menggunakan bilik hitung Neubauer Improve :
Luas bilik hitung NI 9 mm3, tinggi bilik hitung 0,1 mm.
- Bila tanpa pengenceran : n/9 x 10 = jumlah sel /mm3.
- Bila pengenceran ringan (10/9), maka : n/9 x 10 x 10/9 = jumlah sel /
mm3
- Bila pengenceran 20 x , maka : n/9 x 10 x 20 = jumlah sel / mm3 .
c. Koreksi perhitungan bila ada darah dalam LCS :
- Bila ada darah (dari perdarahan subarachnoidmaupun trauma pungsi),
tambahkan 1 leukosit tiap 700 eritrosit.
- Bila terdapat anemia atau lekositosis yang signifikan, maka koreksi
leukosit :
= leukosit dalam LCS -
leukosit (darah) x eritrosit (LCS)
eritrosit (darah)
Gambar 6.
Bilik hitung Neubauer Improve17
2. Hitung Jenis
Normal : hanya dijumpai limfosit / mononuklear.
Meskipun dalam LCS ada lebih dari dua jenis sel leukosit, namun dalam
praktek sehari-hari hanya dibuat perbedaan antara sel yang berinti satu atau
mononuklear (disebut “limfosit” saja) dan sel polinuklear (disebut “segmen”).
Pengecatan harus dilakukan sesegera mungkin karena LCS yang disimpan lama
akan sukar dicat.
Metode :
B. Bila LCS hanya mengandung sedikit sel (< 200 x 106/l), cairan jernih atau
agak keruh.
1. Pusingkan LCS pada kecepatan tinggi selama 10 menit,
Pindahkan cairan supernatan pada tabung lain (dapat digunakan untuk
pemeriksaan yang lain).
2. Campur deposit dengan mengetuk dasar tabung,
3. Teteskan deposit LCS pada kaca benda dan biarkan hingga kering pada
hawa udara,
jangan dipanaskan.
4. Fiksasi dengan metanol dan lakukan pengecatan Romanowsky (misal
dengan cat
Giemsa)
5. Identifikasi sel-sel yang tampak did bawah mikroskop sebagaimana
hitung jenis pada
hapus darah tepi.
C. Bila terdapat terlalu banyak sel-sel dalam LCS,
1. Pipet 1 tetes LCS tanpa pemusingan, teteskan pada kaca benda dan
diaduk,
2. Buat usapan / preparat darah hapus tipis dan biarkan kering,
3. Fiksasi dan dicat.
Implikasi klinis :
I. Peningkatan jumlah sel-sel di LCS, disebut : pleiositosis.
a. 2-10 : boderline atau pleiositosis ringan
> 10 sel/ ul berarti abnormal
b. 25-50 sel : pleiositosis sedang
c. > 50 sel : pleiositosis berat.
Pada anak < 5 tahun jumlah < 20 sel/ul masih dianggap normal.
II. Penyakit tertentu dapat meningkatkan atau menggeser hitung sel yang
normal.
a. Leukosit > 500 biasanya disebabkan infeksi purulen dan predominan sel
granulosit / segmen.
b.Leukosit 300-500 dengan sel predominan sel mononuklear
(limfosit/monosit) :
i. Infeksi viral, misalnya poliomielitis dan meningitis aseptik
ii. Syphilis di LCS
iii. Meningitis tuberculosa
iv. Tumor atau abses (leukosit bisa juga dalam batas normal
v. Meningitis bakterial yang dalam pengobatan
vi. Multiple sclerosis (50% kasus)
vii. Encephalopathy karena penyalahgunaan obat
viii. Sindroma Guillain Barre
ix. Encephalomielitis Disseminata Akut
x. Sarcoidosis dari meningen
xi. Polineuritis
xii. Periarteritis susunan saraf pusat.
c.Leukosit dengan > 40% monosit, dijumpai pasca perdarahan
subarachnoid.16
III. Peningkatan netrofil
a. Infeksi, misalnya :
i. Meningitis bakterial
ii. Meningoencephalitis viral awal.
iii. Tuberculosis awal
iv. Meningitis mikotik
v. Encephalomielitis amebik
vi. Stadium awal syphilis meningovascular
vii. Meningitis aseptik
viii.Emboli septik krn endokarditis bakterial
ix. Osteomielitis spinal atau tulang tengkorak
x. Empiema subdural
xi. Abses serebral
xii. Plebitis sinus dural atau vena kortikal 16(Nyoman)
Pada pasien meningitis purulen (bakterial), dapat ditemukan jumlah sel
lebih dari 100-1000 leukosit/mm3. Jumlah sel lebih dari normal, tapi kurang
dari 100, dapat ditemukan pada meningitis viral. Penyebab jumlah sel di
LCS meningkat selain infeksi antara lain penyakit keganasan, perdarahan
intraserebral, dan setelah serangan kejang.
Dominasi sel netrofil atau sel polimorfonuklear (PMN) dapat ditemukan
pada meningitis bakterial stadium awal. Dominasi eosinofil cukup sering
berkaitan dengan meningitis atau ensefalitis oleh parasit. Sedangkan
dominasi limfosit-monosit (mononuklear / MN) ditemukan pada meningitis
viral, tuberkulosis, atau fungal.20
b. Non infeksi
Misalnya :
i. Reaksi karena perdarahan susunan saraf pusat
ii. Reaksi terhadap pungsi lumbalmberulang
iii. Injeksi substansi asing pada rongga subarachnoid, misalnya medium
kontras dan
obat kemoterapi.
iv. Pneumoencephalogram
v. Leukemia granulositik kronik yang metastase ke susunan syaraf pusat
vi. Pungsi lumbal yang terkontaminasi detergen.
vii. Tumor yang mengalami metastasis
viii. Infark.
Reaksi neutrofilik biasanya disebabkan karena organisme piogenik.
IV. Sel-sel lain
1. Sel maligna (limfosit atau histiosit) pada tumor otak primer atau metastase,
terutama
dengan ekstensi meningeal.
2. Peningkatan jumlah sel plasma disebabkan :
a. Proses inflamasi sub akut dan kronis
b. Multiple sclerosis
c. Leukoencephalitis
d. Respon hipersensitivitas lambat
e. Encephalitis viral sub akut
f. Meningitis (tuberculosa atau fungal)
i. beberapa tumor ot
3. Makrofag pada traumatik dan iskemik infark kranial, meningitis tuberculosa
atau mycotik,
reaksi terhadap eritrosit, substansi asing atau lipid dalam LCS.
7. Sel glial, ependimal atau plexus : pasca prosedur bedah atau trauma Susunan
saraf pusat
8. Sel leukemik pada LCS : pasca remisi karena kemoterapi dan pasca
penghentian kemoterapi.
3. Bakterioskopi
Dengan pemeriksaan bakterioskopi, sering sudah dapat diperoleh petunjuk ke arah
etiologi, sebaiknya di samping itu perlu dilakukan biakan dan percobaan binatang,
dilakukan pulasan dari sedimen LCS.16
Untuk menyingkirkan atau mengkonfirmasi diagnosis infeksi, baik ensefalitis
maupun meningitis, dapat dilakukan kultur LCS terhadap beberapa
mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud antara lain pneumococcus,
meningococcus, Haemophilus influenza (bakteri), Enterovirus (virus),
Mycobacterium tuberculosis (tuberkulosis), dan Cryptococcus neoformans
(fungal). Dalam kasus tertentu mungkin juga perlu diperiksa kemungkinan
toksoplasmosis.20
C. Pemeriksaan Kimia
1. Protein
Pemeriksaan protein merupakan pemeriksaan kimia LCS yang paling penting.
LCS normal pada pungsi lumbal mengandung 18-58 mg% protein (rerata 25 mg
%), kadar tersebut memberikan hasil negatif pada pemeriksaan secara kualitatif.
Kadar protein dipengaruhi tempat pengambilan LCS. Semakin ke arah kranial
kadar protein semakin berkurang. Pada cisternal kadar protein normal : 15-25 mg
%, pada ventrikular kadar normalnya : 5-15 mg%.
Selain itu kadar normal tergantung juga pada usia, misalnya pada usia 65 tahun
sekitar 65 mg%.
Cara pemeriksaan
Ada 3 cara pemeriksaan protein dalam LCS, yaitu : Kuantitatif, Semikuantitatif
dan Kuantitatif.
A. Kualitatif
1. Percobaan busa
Percobaan busa merupakan tes kasar terhadap kadar protein. LCS normal
hanya berbusa
sedikit saja dan hilang setelah 1-2 menit.
Cara : dalam sebuah tabung reaksi, cairan dikocok kuat-kuat.
Penilaian : - Negatif : timbul busa sedikit dan hilang setelah 1-2 menit.
- Positif : timbul busa banyak dan tidak menghilang setelah
didiamkan selama 5 menit.
2. Percobaan untuk albumin
Reagen : larutan asam asetat 10%.
Cara : - Kocok isi tabung
- Filtrat diasamkan dengan penambahan satu tetes asam asetat
10% kemudian dididihkan.
Penilaian : - Negatif : tidak timbul kekeruhan / hanya sedikit keruh
- Positif satu (1+) : kekeruhan seperti awan dengan sedikit
endapan
- Positif dua (2+) : kekeruhan seperti awan dengan flokulasi
- Positif tiga (3+) : kekeruhan seperti awan dengan flokulasi
banyak.
B. Semikuantitatif
Pemeriksaan dimaksudkan untuk menyatakan adanya globulin dan albumin.
Percobaan Pandy
Reagen : Reagen Pandy, yaitu larutan fenol jenuh dalam air (phenolum
liquefacium 10 ml, aquadest 90 ml)
Cara : 1. Masukkan 1 ml reagen Pandy pada tabunh tes
2. Tempatkan tabung di depan papan / kartu hitam
3. Teteskan 3 tetes LCS perlahan-lahan setetes demi setetes
menggunakan pipet dan amati perubahan reagen setiap
penambahan tiap tetes LCS.
4. Baca hasil dengan cepat :
Negatif : tidak ada kekeruhan / keruh sedikit
1+ : kekeruhan jelas : + 50-100 mg%
2+ : kekeruhan seperti awan : + 100-300 mg%
3+ : kekeruhan seperti awan besar-besar : + 300-500 mg%
4+ : sangat keruh : > 500 mg%.
C. Kuantitatif
Ditetapkan dengan spektrofotometer.
Cara ini mudah dan sering dilakukan dengan hasil lebih bermakna / akurat.
Selain cara pemeriksaan protein yang kasar, dapat pula diperiksa fraksi-fraksi
protein dalam
LCS menggunakan elektroforesis dan imunoelektroforesis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian kadar protein LCS berasal dari :
1. Obat-obatan yang bisa menyebabkan peningkatan penilaian kadar protein :
a. Kontaminan obat anestesi
b. Chlorpromazine
c. Salysilates
d. Streptomysin
e. Sulfanilamide
f. Tryptophan
2. Darah akibat trauma yang disertai campuran darah tepi pada LCS akan
meningkatkan penilaian kadar protein (koreksi dilakukanndengan
mengurangi
sebanyak 7 mg% untuk setiap 500 sel darah merah/mm3).
3. Obat-obatan yang menurunkan penilaian kadar protein :
a. Albumin
b. Acetophenetidine
Catatan : Neurosyphilis ditandai : - peningkatan kadar protein
- VDRL yang reaktif (+)
- peningkatan jumlah limfosit (Nyoman)
Peningkatan protein dapat terjadi akibat infeksi, perdarahan, multiple sclerosis,
dan keganasan. Sedangkan protein yang rendah mungkin ditemukan pada bayi
atau anak berusia di bawah 2 tahun dan pada intoksikasi air.
Hipoproteinemia atau hipoalbuminemia tidak menyebabkan protein LCS
menurun.20
2. Glukosa
Harga normal : 2,5-4,2 mmol/l atau 45-85 mg/100ml
atau kira-kira setengah dari kadar glukosa plasma pada saat LCS
diambil.
Indikasi utama penetapan kadar glukosa LCS adalah persangkaan meningitis.
Pada penderita meningitis yang diobati, penetapan kadar glukosa LCS dapat untuk
tindak lanjut atau untuk menilai prognosis.
Kadar glukosa LCS bervariasi tergantung pada kadar glukosa darah. Pemeriksaan
kadar gula darah harus dilakukan paling lambat 30-60 menit sebelum dialkukan
pungsi lumbal untuk perbandingan kadarnya. Setiap perubahan kadar glukosa
darah akan direfleksikan pada LCS setelah 1-3 jam.
Pengukuran kadar glukosa LCS bermanfaat untuk mengetahui gangguan transpor
glukosa dari plasma menuju LCS oleh sistem saraf pusat, leukosit dan
mikroorganisme. Evaluasi akurat dari kadar glukosa LCS memerlukan kadar
glukosa plasma yang relatif konstan.
Hal-hal yang menyebabkan penyimpangan dari keadaan normal terdiri dari :
Kerusakan barier darah-otak
Adanya sel-sel radang / sel-sel tumor yang menggunakan glukosa dalam
metabolismenya
Difusi yang berlangsung lambat
Glikolisis, dapat terjadi cepat dalam temperatur kamar
Obat-obatan yang mempunyai reaksi reduksi, misalnya Streptomisin.
Penetapan kadar glukosa LCS dilakukan dengan pemeriksaan secara
spektrofotometrik. Glukosa dalam LCS sangat cepat dirombak, oleh karenanya
pemeriksaan kadar glikosa harus dilakukan sesegera mungkin, bila dilakukan
penundaan harus ditambahkan pengawet fluoride oxalate.
Prinsip : pada meningitis (terutama meningitis purulenta), glukosa dalam LCS
sangat menurun,
Material : sama dengan pemeriksaan glukosa darah,
Metode : sama dengan metode yang digunakan pada pemeriksaan glukosa darah,
hanya digunakan volume LCS 4 kali lebih banyak.
Implikasi klinis :
1. Penurunan kadar glukosa
a. Infeksi piogenik, tuberculosa, jamur,
b. Limfoma dengan penyebaran meningeal,
c. Leukemia dengan penyebaran meningeal,
d. Mumps meningoencephalitis (biasanya normal pada meningoencephalitis
viral),
e. Hipoglikemia / kelaparan.
Catatan : Semua tipe organisme mengkonsumsi glukosa, dan penurunan
kadar glukosa merefleksikan aktivitas bakterial.
2. Peningkatan kadar glukosa berasosiasi dengan diabetes,
3. Kadar glukosa LCS biasanya normal pada beberapa infeksi viral pada otak dan
meningen, pada meningitis aseptik, penyakit degenerasi kronis dan tumor
jinak.
Peringatan klinis :
Tes strip glukosa oksidase tidak mempunyai arti klinis untuk mengenali
kebocoran LCS melalui sekresi nasal atau telinga. Diagnosia rinorrhea dan
otorrhea LCS harus dibuat dengan cara lain, misalnya katun yang diperiksa
radiaktivitasnya setelah pemberian tochnetium-99m.16,20
Glukosa pada LCS biasanya sama dengan 2/3 kali glukosa darah orang yang
bersangkutan 2-4 jam sebelumnya.Satu-satunya penyebab peningkatan glukosa
pada cairan serebrospinal adalah diabetes melitus. Namun glukosa cairan dalam
kasus ini tidak pernah melebihi 300 mg/dl.
Penurunan glukosa cairan serebrospinal biasanya disebabkan infeksi. Infeksi
bakteri menyebabkan glukosa turun sampai sangat rendah, namun infeksi virus
yang hanya menyebabkan glukosa turun sedikit. Pemeriksaan ini tidak selalu
sensitif menyingkirkan infeksi karena 50% pasien meningitis menunjukkan kadar
glukosa cairan serebrospinal normal.
Selain pemeriksaan rutin di atas, kadang juga diperiksa uji aglutinasi lateks untuk
Haemophilus influenza dan PCR (polymerase chain reaction). Aglutinasi lateks
merupakan uji antigen-antibodi yang bermanfaat pada kasus meningitis
Haemophilus yang sudah mendapat pengobatan sebagian; karena pemeriksaan
kultur pada kasus ini mungkin memberi hasil negatif. Sedangkan PCR merupakan
pemeriksaan paling sensitif untuk berbagai jenis penyebab infeksi sistem saraf
pusat, namun biayanya masih cukup tinggi dan belum tersedia di seluruh
laboratorium.20,22
Pemeriksaan kimia LCS lain
- Asam laktat
Kadar asam laktat dapat memberikan informasi diagnostik spesimen LCS.
Kadar asam laktat LCS normal adalah 10-20 mg/dl. Peningkatan laktat LCS
tanpa peningkatan laktat sistemik menunjukkan adanya peningkatan
metabolisme glukosa oleh mikroorganisme atau leukosit. Pada meningitis
bakterialis dan jamur stadium awal atau yang mendapat terapi parsial, populasi
sel dan kadar glukosa LCS mungkin sulit dibedakan dengan yang dijumpai
pada meningitis virus atau penyakit non infeksi lainnya. Kadar laktat di atas
35 mg/dl jarang terjadi kecuali pada meningitis bakterialis dan jamur.
- Urea
Kadar urea dalam darah dan LCS hampir sama, dan urea LCS meningkat pada
uremia.
- Glutamin
Glutamin serebrospinal disintesis di susunan saraf pusat dari amonia dan asam
glutamat. Apabila kadar amonia darah tinggi kadar glutamin LCS akan
meningkat, seperti pada keadaan dengan terjadinya gangguan aliran darah hati
yang berat. Kadar glutamin LCS berkorelasi sama atau lebih baik daripada
kadar amonia dalam darah dengan derajat ensefalopati hepatik. Pada
ensefalopati hepatik kadar glutamin meningkat di atas 35 mg/dl.
- Enzim
Enzim-enzim serum seperti laktak dehidrogenase (LDH), alanin
aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) dapat diukur di
cairan spinal dan kadarnya lebih rendah daripada di serum. Enzim yang paling
sering terpengaruh adalah AST, yang meningkat pada penyakit peradangan,
perdarahan dan degeneratif SSP. Kadar enzim LCS tidak diukur secara rutin
karena umumnya kurang bermanfaat dalam mendiagnosis dan memantau
pasien.
- Klorida
Kadara klorida dalam LCS berubah secara pasif untuk mengkompensasi
perubahan kation dan ion bermuatan negatif lainnya. Pengukuran klorida tidak
memberi informasi diagnostik spesifik dan tidak memberi manfaat. Kadar
klorida LCS adalah sekitar separuh dari kadar di serum, karena hanya fraksi
yang tidak terikat ke protein yang bebas masuk ke dalam cairan spinalis.
Kalsium dalam LCS meningkat dengan meningkatnya kadar protein LCS.
Tahap post analitik
Tahap ini meliputi pelaporan hasil dari alat ke dalam lembaran hasil, dan
interpretasi hasil oleh dokter yang berwenang. Ini merupakan keputusan hasil
laboratorium yang telah dikerjakan dengan secermat-cermatnya. Bagi pemohon
pemeriksaan, laporan ini sangat berguna dalam memberikan kejelasan untuk
menegakkan diagnosis penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greer JP, Foesrster J , Lukens JN, Rogers GM, Paraskevas F, Glader B ( editor), Wintrobe’s clinical haematology. 11 edition. Philadelphia;: lipincott-willams &Wilkinss, 2004.
2. Bakta IM ,hematologi ringkas, jakata, EGC; 20063. Hoffman R, Benz EJ, Shatil SJ , Furie B, Cohen HJ, Silberstain LE, Mc
Glave P ( editor). Haematology: Basic Principles and practices Third edition. New York: ChurchillLivingstone, 2000.
4. Detection of cancer cells in the cerebrospinal fluid: current methods and future directions Cody L Weston, Michael J Glantz, James Connor*AbstractWeston et al. Fluids and Barriers of the CNS 2011, 8:14 http://www.fluidsbarrierscns.com/content/8/1/14
5. Laboratory Management of body fluid. 9th Quality Seminar and Workshop in Laboratory Medicine 2011, Jakarta.
6. Widyastiti, NS. Cairan Otak. BP Undip Semarang, 20017. New WHO Classification of malignant hematological diseases. Available at url :
http://xenia.sote.hu/depts/pathophysiology/hematology/e/who-classification.html
8. Jaffe ES, Harris LN, Stein H, Vardiman WJ. Pathology and Genetics of Tumours of Haematopoetic and Lymphoid Tissues. In : WHO Classification of Tumours. IARC Press. Lyon. 2001 :10-252
9.Kraan J, et al. Flow cytometric immunophenotyping ofcerebrospinal fluid. Curr Protoc Cytom. 2008 Jul;Chapter 6:Unit6.25.2. Hegde U, et al. High incidence of occult leptomeningeal diseasedetected by flow cytometry in newly diagnosed aggressive B-celllymphomas at risk for central nervous system involvement: the roleof flow cytometry versus cytology. Blood 2005;105:496-502.3. French CA, et al. Diagnosing lymphoproliferative disordersinvolving the cerebrospinal fluid: increased sensitivity using flowcytometric analysis. Diagn Cytopathol 2000;23:369-374.4. Schinstine M, et al. Detection of malignant hematopoietic cellsin cerebral spinal fluid previously diagnosed as atypical orsuspicious. Cancer Cytopathol 2006;108:157-162.5. Glantz MJ, et al. Cerebrospinal fluid cytology in patients withcancer: minimizing false-negative results. Cancer 1998;82:733-739.6. Geisinger, et al. Cerebrospinal fluid. In: Modern Cytopathology.Philadelphia: Churchill Livingstone, 2004, p 313-334.7. Di Noto R, et al. Critical role of multidimensional flow cytometryin detecting occult leptomeningeal disease in newly diagnosedaggressive B-cell lymphomas. Leuk Res. 2008 Aug;32(8):1196-9.8. Nowakowski GS, et al. Clinical significance of monoclonal B cellsin cerebrospinal fluid. Cytometry B Clin Cytometry 2005;63B:23-27.
9. Roma AA, et al. Lymphoid and myeloid neoplasms involvingcerebrospinal fluid: comparison of morphologic examinationand immunophenotyping by flow cytometry. Diagn Cytopathol2002;27:271-275.10. Bromberg JEC, et al. CSF flow cytometry greatly improvesdiagnostic accuracy in CNS hematologic malignancies. Neurology
1. 2007;68:1674-1679.