tirani dan benteng

103
Tirani dan Benteng Taufik Ismail 1 Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng Bukit Biru, Bukit Kelu Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahaya dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku Gunung api dan hama di ladang-ladangku Lereng-lereng senja Pernah menyinar merah kesumba Padang hilalang dan bukit membatu Tanah airku. 1965

Upload: aveline-agrippina

Post on 04-Jul-2015

697 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 1

Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng

Bukit Biru, Bukit Kelu

Adalah hujan dalam kabut yang ungu

Turun sepanjang gunung dan bukit biru

Ketika kota cahaya dan di mana bertemu

Awan putih yang menghinggapi cemaraku

Adalah kemarau dalam sengangar berdebu

Turun sepanjang gunung dan bukit kelu

Ketika kota tak bicara dan terpaku

Gunung api dan hama di ladang-ladangku

Lereng-lereng senja

Pernah menyinar merah kesumba

Padang hilalang dan bukit membatu

Tanah airku.

1965

Page 2: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 2

Elegi Buat Sebuah Perang Saudara

Dengan mata dingin dia turun ke medan

Di bahunya tegar tersilang hitam senapan

Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan

Mengayun lengan kasar berbulu dendam

Angin pun bagai kampak sepanjang hutan

Bukit-bukit dipacu diatas kuda kelabu

Dada dan lembah menyenak penuh deram

Di ujung gunung lawannya sudah menunggu

Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya

Di kaki langit teja mengantar malam tembaga

Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu

Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu

Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan

Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu

Ketika senja berayun malam di dahan-dahan

Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji

Terlentang kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri.

1960

Page 3: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 3

Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku

Begitu benarkah lamanya

Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa

Tingkap angin makin ungu dalam nestapa

Fajar pun yang tak kunjung teraih

Begitu benarkah sukarnya

Kemarauku menggigil dalam nyala

Musim tempat berbagi yang perih

Tanganku inikah tangan dukana

menjulur-julur dari kemah berkibar badai

Suara tanah yang hama sepanjang bencana

Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku

Begitu benarkah jarak zamannya

Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur

Dan kau balas dengan senyum menghibur.

1963

Page 4: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 4

Potret Di Beranda

Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh

Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya

Bersama gambar-gambar sulaman ibuku

Dibuatnya tatkala masih perawan

Di dapur rumah nenekku, nenekku renta

Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit

Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu

Kerbau bajak kesayangan kakekku

Kerupuk kulit telah mengirim ibuku

Sekolah ke kota, jadi guru

Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku

Yang disulap subur dalam hidayat

Dijunjung dan dipikul ke pasar

Dalam dingin dataran tinggi

Karena ibuku yang mau jadi guru

Dan ibuku bertemu ayahku

Yang dikirim nenekku ke surau menyambit ilmu

Dengan ikan kolam, bawang dan wortel

Di ujung cangkul kakekku kukuh

Yang kembang dan berisi dalam rahmat

Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan

Karena ayahku mau jadi guru

Maka lahirlah kami berenam

Dalam rahman

Dalam kesayangan

dalam kesukaran

Di beranda rumah nenekku, di desa baruh

Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya

Bersama gambar-gambar buatan ibuku

Disulamnya tatkala masih perawan.

1963

Page 5: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 5

Pekalongan Lima Sore

Kleneng bel beca

Debu aspal panggang

Sangar jalan pelabuhan

Terik kota pesisir

Tik-tik persneling Raleigh

Bungkus sarung palekat

Sungai kuning coklat

Nyanyi rumah yatim

Pejaja es lilin

Riuh Kampung Arab

Jembatan loji karatan

Genteng rumah pegadaian

Keringat pasar sepi

Kumis Raj Kapoor

Sengangar lilin batik

Deru pabrik tenun

Bal-balan Bong Cina

Harum tauto Tjarlam

Sirup kopyor dingin

Gorengan kuali tahu

Percikan minyak kelapa

Sisa bungkus megono

Panas teh melati

Tik-tok kuda dokar

Dengung DKW Hummel

Peluit Sepur bomel

Klakson Debu Revolusi.

1961

Page 6: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 6

Jam Kota

Pada ulang tahun hari jadiku, kukitari kota kelahiranku

Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu

Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru

Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari

Di jauhan jam kota menjulang tinggi

Kotaku yang nanar sehabis perang

Wajah muram dan tubuh luka garang

Detak tapal kuda satu-satu

Wahai, pandanglah mukaku!

Bioskop tua. Dindingnya pun retak-retak

Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar

Jalan kecil sepanjang rel kereta-api. Raung

Beruang es di kebun binatang

Pedati kerbau merambati kota pegunungan

Memutar roda kehidupan yang sarat

Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar

Memandang dari luar dindingnya yang putih

Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku

Ke dunia. dan jam kota

Berdentang dini hari

Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah

Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah

Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang

Bernaung ratusan payung peneduh matahari

Dataran tinggi. susunan panci nasi Kapau

Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah

Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya

Anak-anak berkejaran di setasiun bus

Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?

Kotaku yang nanar sehabis perang

Wajah muram dan tubuh luka garang

Detak tapal kuda satu-satu

Wahai, pandanglah mukaku!

1963

Page 7: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 7

Alamat tak Dikenal

Setiap kami tuliskan pesan untukmu

Kami selalu bertanya-tanya

Adakah ia pernah kau terima

Hari ini koran pun memuat iklan-iklan dukacita

Seperti bulan yang lalu dalam bayang abu jelaga

Tahun depan begitu pula, siapa bisa tahu

Robekan penanggalan yang selalu bencana

Randu hutan tak lagi termangu, tapi gundul merunduk

Menahan beban musim sepanjang sejarah

Dan tanah kita adalah bumi semakin melapuk

Gunung api dan gelombang tak kenal istirah

Abjad kehidupan, terlalu keraskah untuk kaueja

Bila sepanjang gang dan di mana-mana orang pada antri

Menadah untuk kutuk apa lagi yang akan menimpa

Sebuah bisik makin tenggelam dalam riuh arena

Ranah mana lagi hilang dari muka bumi

Air bah berpacu mengatasi nyala gunung api

Sementara dunia berjamu dalam pesta ibukota

Beribu balon mengapung menuju mega

Setiap kali kami tuliskan pesan untukmu

Pada iklan duka kantor pekabarab itu juga

Kami bertanya-tanya selalu

Adakah ia pernah kauterima.

1963

Page 8: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 8

Percakapan Dengan Zaini

Rendra di muka kaca

Syahwil sedang meriasnya

penyanyi berbagai serenada dalam warna

sedang menatap diri sendiri dalam kaca

Penyair yang meluluhkan jasad dengan garang

Panggilan gong di pentas bertambah lantang

Seribu sajak meleburkan baitnya dalam gerak

Menggelepar manja. Berbulu putih dengan sayap perak

Beterbangan dan hinggap dari dahan ke dahan

Dahan zaitun, dahan pohon utara dan selatan

Seribu gerak kembali lahir jadi puisi

Si pencari yang mendaki tangga zaman Yunani

Kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara

Ke mana saja. Karena sajak ada di sepanjang benua

Penyanyi itu telah mengenakan jas birunya

Kali terakhir menatap dirinya pada kaca

Semakin lama kita ngembara dalam puisi

Mana tanganmu, siapa tak terbawa jauh sekali.

1963

Page 9: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 9

Dalam Gerimis

Segugus kapuk randu

Melayang dalam hujan

Menyambung suara bumi berbisik. Tertengadah

Pohon-pohon bungur berbunga ungu

Langit yang mekar dalam hujan pertama

Pohon bungur menyebarkan warna ungu

Sepanjang jalan raya

Angin yang mengetuk mendung. Di atas kota

Menjelang gugus malam

Musim kemarau berbisa

Deretan sedih pohon jeungjing

Sepanjang tebing

Di langit nyaris lembayung. Kawanan

Kelelawar beterbangan ke tenggara

Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami

Cakrawala yang retak warna

Kota dalam sayatan jingga

Kelelawar dan kapuk randu

Melayang dalam gerimis

Di atas rimba kotaku

Dahan gladiola telanjang dan menggigil

Memandang padang yang gelisah

Dari selatan seakan ada yang memanggil

Ini hanya sementara, akan membentang

Musim lebih parah

Mendung mengucur pelahan

Dengan kaki-kaki ramping

Dan gerimis berlompatan

Di pipi sungai. sungai pedalaman yang jernih

Kijang-kijang istana berlarian

Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat

Tangan yang mengacung ke langit

Dengan jari-jemari mengembang

Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang

Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini

Menyalakan kemarau dan gunung api

Kemudian menuliskan namanya

Pada tangga waktu

Page 10: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 10

Di langit sudah lembayung

Kapuk randu melayang dalam gerimis

Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan

Jajaran jendela luka

Yang tertutup dan menanti

Suara memanggil. Walau terhenti

Dalam menggigil

Kapuk randu bergugusan

Melayang gerimis malam.

1963

Page 11: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 11

Almamater

Di depan gerbangmu tua pada hari ini

kami menyilangkan tangan ke dada kiri

Tegak tengadah menatap bangunanmu

Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu

Untuk kali penghabisan

Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu

hari-hari kuliah di ruang fisika

Mengantuk pada pagi cericit burung gereja

Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah

Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah

Suara-suara menjalar sepanjang gang

Suara pasien yang pertama kali kujamah

Di aula ini. aula yang semakin kecil

Kita beragitasi, berpesta dan berkencan

Melupakan sengitnya ujian, tekanan guru besar

Melepaskannya pada hari-harai perpeloncoan

Pada filem dan musik yang murahan

Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik

Drama Sophocles, Chekov atau 'Jas Panjang Pesanan'

Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan

Tentang filsafat, perempuan serta peperangan

Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini

Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini

Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua

Kau telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas

Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu

Dalam berpikir dan menyatakn kebebasan suara hati

Berpijak di tanah air nusantara

Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan

Dengan penuh kecintaan

Dan kami bersyukur pada Tuhan

Yang telah melebarkan gerbang tua ini

Dan kami bersyukur pada ibu bapa

Yang sepanjang malam

Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami

Dorongan kekasih sepenuh hati

Dan kami berhutang pada manusia

Yang telah menjadi guru-guru kami

Page 12: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 12

Yang memebayar pajak selama ini

Serta menjaga sepeda-sepeda kami

Pada hari ini di depan gerbangmu tua

Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin

Mikroskop. Kamar Obat. Perpustakaan

Gulungan layar di kampung nelayan

Nyanyi pohon-pohon perkebunan

Angin hijau di padang-padang peternakan

Deru kemarau di padang-padang penggembalaan

Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil

Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan

Dan mencintai manusianya

Mencintai kebebasannya.

1963

Page 13: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 13

Oda Pada Van Gogh

Pohon sipres. Kafe tua

Di ujung jalan

Sepi. Sepi jua

Langit berombak

Bulan di sana

Sepi.Sepi namanya.

1964

Page 14: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 14

Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi

Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi

Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari

Kembali seakan sebuah janji diikrarkan

Apa lagi yang dapat kita ucapkan

Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini

Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali

Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan

Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan

Di atas hutan kelelawar senja beterbangan

Beratus sayap berombak-ombak ke selatan

Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam

Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam

Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutang

Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi

Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan

Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini

Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi

Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali

Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam

Sekian ribu senja kucatat jadi malam.

1964

Page 15: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 15

Jun Takami, Berkatalah Dengan Jelas*)

Kau, seorang penyair, baru sejurus bicara padaku

Pada pertemuan jarak jauh, mungkin tak berarti

Tapi mengapa justru, di saat ada bagiab dunia tersedu

Ketika bayang terlamun pada mimpi demi mimpi

Layar kabut yang ungu pada kata-katamu

Tatkala pedang tiran mengilat dalam barisan

Dan seluruh penguasa menyeru

Nyanyi kaum puritan

Apa yang kau tuliskan, apa

Kita simpankah pena lalu baca sajak-sajak tua

Atau kita tulis puisi atas pesanan

Dalam bahasa yang disamun slogan demi slogan

Slogan-sogan peperangan dengan nyanyi keangkuhan

Dalam anacaman suara yang mendustai diri

Semboyan-semboyan penguasa atas nama pemerintahan

Adakah kekhianatan lebih dari ini

Karena keranda nestapa telah diusung ke luar pertempuran

Diiringi nyanyi duka bukitmu, pohon-pohon kastanye

Akhir para tiran dalam upacara bunuh diri

Seraya menuliskan nama mereka dalam naskah sejarah

Takami. bahwa puisi telah memanggil kita dari pagi

Dalam suara-suara surgawi

Panggilan yang tak bisa didiamkan

Ke mana pun kita akan pergi

1963

*) Jun Takami adalah seorang penyair Jepang anti perang di waktu Perang Dunia II

Page 16: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 16

Kota Pelabuhan, Ladang, Angin Dan Langit*)

Dermaga pelabuhan balok hitam pasangan tua

Kawanan undan beterbangan dua-dua

Ketika dingin mencercah kabut Atlantika

Topan berbunyi dalam resah dan bertanya bila

Ada benua baru bagiku, ada benua biru bagiku

Setiap kudatang tak bisa kutolak rindu

Tatkala mengetuk-ngetuk pintu kotamu

Ada beberapa pantai karang memanjang

Ada beberapa malam badainya garang

Tapi rencana masih jauh dan jauh lagi

Sementara angin menggaram lalu gerimis jatuh disini.

*)catatan pelayaran 14 kota, Agustus 1956(kapal Itali Saturnia dan Neptunia) dan Juli 1957 (kapal

barang Jepang Nissho Maru).

Page 17: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 17

Selamat pagi, ujarnya. Selamat pagi, kataku.

Hari segar bukan? Selendang angin berkibar lembut

Palermo cerah pukul sepuluh, langkah keledai manggut-manggut

Ladang tani di tengah benua di tepi perbukitan pina

Kuperah sapi mereka, kusabitkan gandum musim panas

Kakek tua di desa kecil, di muka warung mengisap pipa

Mereka menganggukkan kepala padamu bila kau lalu

Seperti kakekku di kampong. Gaek Ulu

Penanam kol bertelapak kasar dan berjemari besar

Dan isteri-isteri yang memberiku telur bekal di jalan

Mereka dimana-mana sama karena merekalah manusia

Padang-padang tulipa, wahai pandangan mata burung

Berembusan dari utara tetangkai berguguran dalam cuaca

Angin musim dan sepuluh warna berteguran dalam sapa

Warna besi pijar, warna tembaga, warna logam berkarat

Warna perak kasar, warna aluminia, warna-warna yang sarat

Dan peparumu penuh bau daun, kulit kayu dan pupuk bumi

Jalan coklat kecil dalam taman di tengah lubuk hutan

Tiba-tiba danau yang biru dipagari lereng cemara

Daun-daunan jarum, hijaunya hijau abadi

Bunyi angin malam di hutan, risaunya risau sekali

Padang rumput membentang dalam kerdip bimasakti

Baringkan tubuh di luar kemah, bantalkan tangan di kepala

Bisakah kau hitung di atas silang gemintang yang cemerlang?

Page 18: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 18

Tidak. Aku hanya bisa menghitungkan anak-anak sapimu

Baru lahir. Atau membilang orang yang lalu lalang

Di jalan samping sebuah café teduh pagi jam sepuluh

Di Lisboa. Baca Koran tentang kapal uap dari Genoa

Lalu menyerakkan remah roti pada kawanan burung merpati

Dalam pertamanan bising di tengah kota mekanisasi

Hijau daunmu berdebu dan tanahmu berbau asam arang

Rawa-rawa di kotamu Harlem

Berlumpur dan sangat sembarang

Senja pengap di antara lorong beton mengacu langit

Langit pun cuma sepotong-sepotong

Langit yang sesak nafas di atas

Melepas ribuan warga kota sehabis jam kerja

Lewat sekian setasiun, terowongan dan jambatan baja

Lewat computer statistic dengan ingatan pita magnetic

Delapan ribu operasi dalam satu detik

Page 19: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 19

Udara dukana dalam bau keringat mesin, keringat sistim

(kami tersedu untukmu, anak-anak alam yang yatim!)

Malam akhir minggu di Takarazuka, hidangan the

Dan arak beras. Subuh di kota raksasa

Jalanan abu-abu dan gedung-gedung oleng

Di sinikan mesti kehidupan berlabuh, terdampar

Dalam lumpurmu, dan secara jadual

Besok bertolak lagi pada Senin pagi?

Wahai meja mahogany, mesin minyak, kartu presensi

Wahai jentera besi, restoran otomat, gua-gua syahwati

Di balik bingkai jendelamu di dalam sini berdenting

Iba sekali. Mengetuk-ngetuk kaca baur dingin pada deriji

Ketika tetes air memanjang dan jadi keristal

Ketika badai menguburmu jadi gurun putih bulan Januari

Deret tonggak berlampu natrium

Kawat-kawat landai terentang menggigil

Ribuan jendela menutupkan mata di gedung-gedung tinggi

Di jalanan bawah salju subuh jadi lumpur kembali

Kapankah engkau, Mahattan, bisa agak berbaik hati

Salju putih kau ubah jadi lumpur

Zat asam jadi asam arang

Awan dan langit pun kau potong-potong

Pada warga kotamu kau bagi-bagi

Page 20: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 20

Laut dermagamu bau ammonia, gedungmu steril kreolin

Senja musim gugur kau bunuh terang-terangan di depanku

Di taman kota. Dan arsitek-arsitek itu ( anak buahmu )

Melemparkan karkasnya ke tengah belukar beton bertulang

Rimba baja. Terbaring di antara seribu pejalan di Ginza

Terinjak-injak di halaman setasiun Gambir

Kereta ekspres sebelum lebaran

Terguling sepi ke halte setasiun bawah tanah

Ketika tak seorang pun mengindahkannya

Ketika tak seorang pun menangisinya

Walau pernah terdengar ada kotak di bar memutar

Pengemis-pengemis di Paris

Atau penyanyi hitam meratapi matahari hamper habis

Menyebut gas air mata dan anjing pengaman demonstrasi

Mengenang presiden yang mati di jalan dan dibalkon teater

Wahai pigmentasi epidermis yang demikian tipis!

Mencairlah. Apa yang kau peroleh dari purbasangka

Dan batasan genetika. Mengapa engkau

Meratap-ratap jua, bermalas-malas di tangga

Bangunlah!

Bangunlah dengan kerajinan dan kejujuran tukang sapu

Tukang sapu lantai lobi kantor pusat asuransi

Disuatu jalan Kolombo, atau Nova Skotia

Tak persis kuingat lagi. Matanya bercaya-caya

Seperti mata pak Utjang tukang kandang

Tukang kandang di klinik hewan, Djalan Taman Kencana

Page 21: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 21

Mata yang tak percaya penindasan, tak percaya perang

Mata pedagang kelontong bersampan di Laut Merah

Mata tukang air berbaju hitam, kota Tiongkok tepi lautan

Yang percaya keringat menganyam rezeki

Bahwa bangun pagi memutar sarat jentera kehidupan

Walau begitu banyak yang terjepit

Tergilas sepi di bumi ini

Walau akhirnya berbunyi juga air mata

Yang menitik diam-diam

Karena kezaliman, jarring-jaring kekuasaan dan peperangan

Yang bertindihan ke pundak lelaki, anak dan perempuan

Mereka berdiri bersama di depan rumah kecil mereka layu

Atau berjalan dengan gerobak barang dan sekedar bungkusan

Di bawah mendung awan perang

Atau mencoba lari melewati suatu perbatasan

Batas ilmu bumi dan batas bebas dengan mati

Begitu benarkah…Wahai mengusap dadalah

Iman-iman yang lemah. Sesuatu menegah, kata tak terucapkan

Bila badanmu lunglai jadi gelombang dan topan

Page 22: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 22

Berdiamlah, jangan munculkan kata lagi

Karena anak-anakmu kini menangis

Di luar badai akan menyapu langit yang gerimis

Berdoalah, agar menjauh banjir, musim kering panjang

Dan marak gunung api, hama pertanian dan gempa bumi

Dan tirani kekuasaan, tirani kesengsaraan

Serta kelaparan. Juga tirani ketakutan (bagai

Labah-labah-banyak-jari masih menjaringi

Leher dunia ini)

Dunia dengan kota, pelabuhan, lading, angin

Dan langit. Dunia dengan kulit coklat

Putih, kuning dan hitam

Yang pada Saat penciptaan pertama-tama

Ditiupkan dahsyat padanya badai cinta

Kian abad kian pelahan

Kini jadi cincin angin yang kecil

Ulurkan, ulurkan jari manismu kemari

Ulurkanlah tangan yang berdaki dan berpeluh

Dengan kerja. Di gudang dermaga, gardu kereta

Melintas hutan jati yang sepi

Di kilang tebu, di padang Sumba kuda

Dan kerbau liar ngembara

Leher-leher berhanduk kecil meninggalkan

Pangkalan beca. Berdesing-desing nasib

Dalam angin panas dan embun dini hari

Langit di atas CTC, langit malam

Diatas bangunan hitam. Awan setetes-setetes

Berjajar mengalun dalam kelam

Page 23: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 23

Tercampak lengang pada suara guruh yang jauh

Meluncur-luncur ke ladang, ke pematang

Ke bumi kerontang

Ahoi! Pergilah pergi, musim garang terlalu panjang!

Ahoi! Berlahiranlah anak-anak kambing, sapid an ayam!

Bemekaranlah bunga-bunga bawang

Membulat-bulatlah daun kacang

Gemburkanlah tanah hai cacing-cacing

Tanah ladang-ladang kentang

Di tengah kebun kol, dibahu kakekku Ulu

Kaleng semprot hama tersandang

Di kakinya beribu kol membulat, hijau muda dan padat

Sejajar bertelentangan di bumi

Matahari dan hujan menyerbuki

Tangan Tuhan mengusapi

Gembur dan subur semua jadi

Ayah di kebun kopinya, berperang dengan hilalang

Melawan kawanan tikus, pasukan kera dan babi hutan

Ibuku gemuk sibuk member makan ayam dan burung parkit

Di jauhan mesin-mesin menerjang hutan dan bukit

Dengan suara bergelegar karena akan membentangkan jalan raya

Dan beribu dusun terpencil tersentaklah dari tidurnya

Page 24: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 24

Rimba-rimba, jurang dan rawa kelam menggeliat

Dalam kantuk lama. Durian hutan, salak belukar

Dan ikan-ikan rawa sebesar paha

Bumipun bersinlah keras-keras

Dan mereka mengalir ke jalan raya

Mengalirlah pelan lender karet, gambir dan cendana

Terbongkarlah intan, minyak bumi dan

Tambang batu bara. Di atasnya mengapung]

Kayu manis, kayu jati dan kayu besi

Dan berlayar ratusan kapal dalam derum tak terhenti

Di antara pulau demi pulau

Mulai benderang dalam cahaya

Cahaya siang dan cahaya malam

Cahaya di antara tulang-tulang dada

Karena telah rampung bendungan alam

Telah dibongkar bendungan hati

Karena kebanaran akhirnya mengibarkan benderanya

Dalam tiupan angin kemerdekaan dan kebebasan sejati

Setelah segala bentuk pengorbanan kita serahkan padanya

Setelah segala bentuk pengorbanan kita serahkan padanya

Setelah satu-satu tiran tersungkur atau mundur

Karena perlawanan adalah kerja, perlawanan dalam doa

Doa untuk bumi seluruh isi dengan cinta abadi

Page 25: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 25

Dunia yang telah luka-luka sepanjang gurun sejarah

Dan kemudian mencoba lagi mengulangi langkah

Dan turunlah malam di bagian bumi kita

Ketika orang-orang mulai berbaring melepas penat

Waktu kebebasan sejati dirasakan benar sebagai nikmat

Waktu senyum dan jabat tangan kita benar dalam ikhlas

Waktu tak ada lagi pengetuk malam membawa dalih

Malam ini syukurku berjalin terima kasih

Setelah tahun-tahun yang mendung

Langit luka-luka

Meneteskan bencana duka

Kau selamatkan perjalananku ke benua-benua

Kau torehkan pesan alfabetis itu

Pada gelombang yang menyisir pesisir

Pada langit, angin, ladang dan kota

Dan kerja berat dengan hati yang kuat

Selamat malam dunia

Selamatkan malamku

Selamatkan siangku

Tuhanku.

Page 26: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 26

Syair Orang Lapar

Lapar menyerang desaku

Kentang dipanggang kemarau

Surat orang kampungku

Kuguratkan kertas

Risau

Lapar lautan pidato

Ranah dipanggang kemarau

Ketika berduyun mengemis

Kesinikan hatimu

Kuiris

Lapar di Gunungkidul

Mayat dipanggang kemarau

Berjajar masuk kubur

Kauulang jua

Kalau

1964

Page 27: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 27

Surat Ricarda Huch (9 April 1933) Kepada Presiden Akademi Kesenian & Ilmu Pengetahuan, Prusia

Tuan Presiden, yang terhormat,

Terhadap pengangkatan saya sebagai anggota Akademi

Seyogyanyalah saya ucapkan terima kasih

Namun nampaknya disni perlu dijelaskan

Saya tak dapat mengabulkan kehendak Tuan

Bahwasanya seorang Jerman adalah seorang Jerman

bahwa pakaiannya, siul lagaknya

Siul dan lagak Jerman

Adalah wajar dan layak

Tetapi, apakah makna Jerman

Dan betapa sikap Jerman

Beragam adanya pendapat dan jawaban

Apa yang diucapkan sebagai kesadaran nasional

Dewasa ini. Ialah sentralisasi, paksaan-paksaan

Car-cara tak berkeadaban. seribu

fitnahan

Terhadap siapa yang memiliki fikiran

lain. Dan jiwa yang habis-habisan onani!

Wahai kesombongan dan pemujian diri sendiri

Di depan bentangan peta bumi

Akademi mengatakan tak ada rintangan

Pada pendapat yang berkebebasan

tapi semua radio, majalah dan koran

Senyap sunyi dari luasan opini

Hingar bingar oleh tunggal opini

Sikap Jerman dewasa ini, ialah

Bahana malapetaka

Jermanku. saya mengenalmu

Terbuka, jujur dan sopan

Tapi sorak pemerintah

Sorak histeris orang-orang supernasionalis

Setiap engkau lewat di berbagai jalanan

Dalam pawai panji mengusungi slogan demi slogan

Saya bertanya ragu: betulkah engkau itu

Demikianlah. Terhadap keadaan begini

Yang meminta kesanggupan menyesuaikan diri

Maka. tuan Presiden Akademi

Kesanggupan itu tak ada pada saya

Page 28: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 28

Ini akan dimaklumi mereka yang kenal saya pribadi

Atau pembaca buku-buku saya

Bersama ini saya menyatakan diri

Keluar dari Akademi

1965

Page 29: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 29

Surat Ricarda Huch (Masa Perang 4 November 1941) Kepada Uskup dari Munster, Pangeran Von

Galen

Uskup yang mulia, jika saya

yang tidak Tuan kenal dan asing

Saya menulis surat ini, adalah

sebagai rasa terima kasih dan hormat

Pada Tuan

pada bangsa kita selama

Tahun-tahun terakhir ini

Ada hal yang paling getir keadaannya

Kehilangan hak kemanusiaan

Lenyapnya rasa kemanusiaan

Dan dibawah kelabu mendung ini

Tuan uskup telah berdiri

Menentang pengagung-agungan kezaliman

Dan tegak di pihak korban

Terang-terangan

Rupanya masih ada kesadaran bahwa

Tuntutan bersih suara hati

Lebih bernilai dari

Sejuta tepukan tangan

Wahai. semoga Tuan akan merasa gembira

bahwa banyak orang-orang lainnya

Terikat Tuan hati dan kalbu mereka

Walau tak terucapkan, tak bersuara

Sudilah kiranya Tuan menganggap saya

Dari orang-orang banyak itu, sebagai

Satu suara.

1965

Page 30: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 30

Pidato Ricarca Huch Di Depan Kongres Pengarang Jerman, seusai Perang Dunia

Berlin, Oktober 1947

Pujangga wanita itu

Novelis-penyair delapan puluh tiga tahun

(Demikian tegarnya dihempas waktu!)

Perlahan menaiki mimbar

Dan berkata:

'Dalam sejarah kita ini

Betapa sukarnya terasa

Tugas bimbingan batin waktu ini

Yang tidak pernah ada sebelumnya...

Pada tahun-tahun ngeri terakhir ini

Selama perang berprahara

Dalam histeri demagogi

Dan kibaran semboyan-semboyan

Saya sering ragu-rahu dan

sertanya-tanya. Pada bangsa saya

Sekian banyak yang latah dan menjilat

Apakah benar pada hati kecil berkhianat

sekian banyak sia-sia tersungkur ke bumi

Berselimut awan amunisi

Tapi sementara itu

Telah tampil sekian banyak pula

Kebesaran jiwa

Kesediaan berkorban. Kepahlawanan

Serta kebajikan yang tinggi

Sesudah perang memberi kita

Puing demi puing. Kepapaan dan air mata

Daftar jenazah yang senantiasa bertambah

Hutang dalam ratusan juta jam kerja

Timbulah kini kesabaran dan kekuatan

Memiliki berat beban nestapa

serasa tiada hingganya.*)

1965

----------------------------------------

*) Pada bulan berikutnya, sesudah Ricarda Huch mengucapkan pidatonya didepan pengarang-

pengarang Jerman, dia meninggal dunia di Schonberg, 17 Nopember 1947. Novelis-penyair

pembangkang ini dilahirkan di Braunschweig, 18 Juli 1864.

Page 31: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 31

Formulir Ini

Siapakah dirimu? Sebuah nomor

Sederet huruf resmi

Dalam abjad Latin

Dari loket di ujung antri yang panjang

Engkau bergegas ke luar gedung ini

Di luar telah menanti matahari

Suara dan undang-undang

Sebelum keluar mereka dipintu akan

Membekalimu dengan kertas-kertas

Putih. Dan ransel bahu

Terlampau gegas kau telah keluar dari gedung ini

Di luar telah menanti padang

Garis-garis

Garis angin

Garis badai

Garis suara

Garis lurus khayali di ujungnya sebutir

Logam. Siapakah diriku?

Sebuah anti-proses

Sebilah tangan yang teracung

"Berhenti!"

Capung yang gelisah

Srigunting menukik resah

Gelatik-gelatik lalu bernyanyi

Di pohon-pohon kecil di sawah

Di atas tanggul sejarah

Diluar sungai mengalir

Dalam garis-garis

Garis ilmu bumi

Garis tegak

lurus

Garis granit

1965

Page 32: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 32

Suara

Deretkan awan, pelangi, dengan rambutmu merah-ungu

Taburkan pelan, pelangi, sepanjang lengkung lenganmu

Panorama yang kemarau teramat kering

Daunan berjuta. Angin menjadi hening

Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil

Tiada suara lagi betapa cahaya makin mengecil

Pohon-pohon redup dan berbunga di bukit dan pesisir

Kemarauku siang, dinginku malam yang menggigil

Di sanalah dia bersimpuh, bulan yang tua dan setia

Ketika langit seolah menutup dan kau amat pucat

Di hutan selatan cahayamu pelang berlinangan

Melintas juga ke ambang pasar, pada bayang-bayang jambatan

Tiada terasa lagi di mana cahaya berhenti mengalir

Tiada bintik lagi ketika bintang dalam fajar

Dan pada pilar-pilar langit

Awan pun bersandar

Di sanalah kau bersimpuh, bulan yang tua dan setia

Setiap terasa lagi suara memanggil-manggil

Pada pilar-pilar langit. Di puncak-puncaknya

Suara Engkau yang merdu

Suara sepi yang biru.

1965

Page 33: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 33

Pagi Terakhir Di Sebuah Losmen Di Djalan Gerdjen

Kawan-kawan telah berangkat pagi ini. Tinggal lagi

Puntung-puntung rokok. Aku dan Arifin

Di luar penyapu sedang membersihkan lantai

Debu bertebar dan ada perasaan aneh

Bernyanyi lewat radio di sebelah

Dua gelas kopi yang panas, di atas meja

Kita tak berkata-kata, tapi ada suara

Yang lengang. Suara musim yang kemarau

Suara musim pengap. Lewat naskah-naskah kita

Gemuruh arak-arakan, deram seribu genderang

Yang lengang. Lewat bunyi unggas pagi

Langit Yogya. Sepotong dan biru

Arifin mengenakan sandalnya dan menyisir

Kami harus meninggalkan losmen ini

Kawan-kawan telah berangkat lebih dahulu

Pembicaraan telah selesai, dan kerja

Menanti. Agaknya kerja Sysiphus

Menyusun gunung batu. Agaknya

Tapi kopi sudah habis, dan kita

Harus berangkat. Di luar losmen

Jalan memanjang batu karang

Kemarau dan cemeti

Tak ada lain pilihan

Kita

Harus

Jalan.

1965

Page 34: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 34

Adalah Bel Kecil Di Jendela

Sebuah bel kecil tergantung di jendela

Di bulan Juni

Berkelining sepi

Daun asam dan cericit burung gereja

Keletak kuda andong-andong Yogya

Kota tua membentang dalam debu

Sepanjang gang ditaburnya sunyi itu

Sebuah bel kecil tergantung di jendela

Di bulan Juli

Berke-

li-

ning

Sepi.

1965

Page 35: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 35

Andong-Andong Margomulyo

Musim kemarau telah meninggi. Di atas cemara

Bayang keraton pada gapura demi gapura

Dan jarum waktu, jarum waktu. 1965

Kabut larut mengombak tanpa suara

Sebuah jam tua, lama kukenal jemarimu

Tembok-tembok benteng berlumut hitam ungu

Adalah ku-ku burung balam

Menyebut namamu. Menyebut namamu

Sepotong langit Yogya

Berawan putih di sana.

1965

Page 36: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 36

2 September 1965, Pagi

Cinta pada kebebasan

Adalah cinta terlarang

Hari ini.

1965

Page 37: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 37

2 September 1965, Senja

Kemerdekaan masih bertahan

Kemerdekaan untuk diam

Senja ini.

1965

Page 38: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 38

Pikiran Sesudah Makan Malam, September

Demikianlah, bila kita harus berkata juga

Kontemporer! Saat ini! Ya

Saat ini juga

Dan secarik bintang melesat di atas sana

1965

Page 39: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 39

Sesudah Dua Puluh Tahun

Impian kemerdekaan

Di matamu membayang

Malam dan siang

1965

Page 40: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 40

Tjaikovski

Dalam dada sesak

Kabut mengerang lalu tergelepar

Dan di sini kulihat Iwan

Ketika dia menunjukkan

Sebuah bulan bujur sangkar.

1965

Page 41: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 41

Catatan Tahun 1965

Di lapangan dibakari buku

Mesin tikmu dibelenggu

Piringan hitam dipanggang

Buku-buku dilarang

Kita semua diperanjingkan

Gaya rabies klongsongan

Hamka diludahi Pram

Masuk penjara Sukabumi

Jassin dicaci diserapahi

Terbenam daftar hitam

Usmar dimaki Lentera

Takdir disumpahi Lekra

Sudjono dicangkul BTI

Nasakom bersatu apa

Umat dibunuhi di desa

Kanigoro bagaimana lupa

Kus Bersaudara dipenjara

Mochtar masih diterungku

Osram bungkuk meringkuk

Jalan aspal kubangan

Minyak tanah dikemanakan

Rebutan beras antrian

Siapa mati kelaparan

Inflasi saban pagi

Pidato tiap hari

Maki-maki sebagai gizi

Bahasa carut diperluaskan

Beatles gondrong dipersetankan

Pita suara dimatirasakan

Susunan saraf dianastesi

Genjer-genjer jadi nyanyi

Tari perang dipamerkan

Warna merah dikibarkan

Warna hitam dikabulkan

Pawai garang digenderangkan

Kolone kelima disusupkan

Sarung siapa dilekatkan

Matine Gusti-Allah dipentaskan.

(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)

Page 42: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 42

Obsesi Garis Miring

Seekor makhluk melompat-lompat

Dari satu garis miring

Ke garis miring lainnya

Di atas rimba jaringan skema

Saat ini dia tergelincir

Dan meluncur tertahan-tahan

Ke bawah, ke jurang

Tangannya

Menggapai-

gapai.

1965

Page 43: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 43

Oktober Hitam

(1)

Atap-atap gunung

Dan Daratan

Meratap

Ke mega gemulung

Mata yang duka

Menatap

Sepanjang pagi murung

Angin yang nestapa

Berdesah

Awan pun mendung

Di musim pengap

Yang gelisah

Menitiklah gerimis

Karena berjuta

Telah menangis

Tujuh lelaki

Telah mati

Pagi itu

Page 44: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 44

(2)

Kaki kami lamban menyongsongmu, Kenyataan

Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami

Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang

Dan terendam mimpi demagogi

Cakar kekhianatan

Telah mencengkeram urat leher

Menebas jalan napas

Page 45: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 45

(3)

Pohon-pohon cemara

Pohon asam

Pohon randu sepanjang jalan

Pohon pina di hutan-hutan

Pohon kamboja di pekuburan

Menundukkan

Daun-daunnya

Dan margasatwa

Kawanan unggas

Burung kepodang

Balam dan elang

Berbisik-bisik

Tiada henti

Menyebut namaMu

Page 46: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 46

(4)

Darah Ade, anak perempuan mungil itu

Menetes sepanjang tongkat ayahnya

Yang bertelekan di kuburan

Menahan berat beban cobaan

Tapi tetap tegak bertahan

Sembilu telah mengiris

Langit

Menyayat-nyayat mega

Menurunkan gerimis

Semua berbisik

Tiada henti

Menyebut namaMu

Kamipun terjaga dalam Oktober yang hitam

Bangkit dari kabut ilusi

Tahun-tahun meleleh, tangan 'kan menegak keadilan

Dalam deram tak tertahan-tahan!

Page 47: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 47

(5)

Awanpun jadi mendung

Di pagi musim yang pengap

Ketika arakan jenazah

Bergerak perlahan

Di atas kendaraan baja

Di bawah awan nestapa

Dipagar air mata

Kulihat pagi jadi mendung

Kulihat cuaca mengundang gerimis

Di negeri yang berkabung

Dalam duka mengiris

Fajar kelabu

Fajar kelam

Pagi pembunuhan

Pagi yang hitam

Tujuh lelaki

Telah mati

Dikhianati.

1965

Page 48: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 48

Dengan Puisi, Aku

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian Yang Akan Datang

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya.

1965

Page 49: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 49

TIRANI

Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita

Di bawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan

Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'

Berikrar setia kepada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu

Kami semua telah menatapmu

Dan di atas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!

1966

Page 50: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 50

Merdeka Utara

Dua buah panser Saladin

Dengan roda-roda berat

Rintangan-rintangan jalan

Selebihnya kesenyapan

Dua buah tikungan yang bisu

Seseorang memegang bren

Langit pagi yang biru

Menjadi ungu, menjadi ungu.

1966

Page 51: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 51

Harmoni

Enam barikade telah dipasang

Pagi ini

Ketika itu langit pucat

Di atas harmoni

Senjata dan baju-baju perang

Depan kawat berduri

Kota yang pengap

Gelisah menanti

Bendera setengah tiang

Di atas Gayatri

Seorang ibu menengadah

Menyeka matanya yang basah

1966

Page 52: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 52

Jalan Segara

Di sinilah penembakan

Kepengecutan

Dilakukan

Ketika pawai bergerak

Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak

Negeri ini

Ditembuskan ke punggung

Anak-anaknya sendiri

1966

Page 53: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 53

Karangan Bunga

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu

'Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi.'

1966

Page 54: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 54

Salemba

Alma Mater, janganlah bersedih

Bila arakan ini bergerak perlahan

Menuju pemakaman

Siang ini

Anakmu yang berani

Telah tersungkur ke bumi

Ketika melawan tirani

1966

Page 55: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 55

Tableau Menjelang Malam

Deretan bangunan. Abu-abu

Langit hitam dan sten. Menunggu

Lalu lintas sepi

Semua menanti

Jendela bertutupan. Apa akan terjadi

Di sini

Semua menanti.

1966

Page 56: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 56

Dari Catatan Seorang Demonstran

Inilah peperangan

Tanpa jenderal, tanpa senapan

Pada hari-hari yang mendung

Bahkan tanpa harapan

Di sinilah keberanian diuji

Kebenaran dicoba dihancurkan

Pada hari-hari berkabung

Di depan menghadang ribuan lawan.

1966

Page 57: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 57

Percakapan Angkasa

"Siapa itu korban dibumi

Hari ini?"

Tanya Awan

Pada Angin

"Seorang anak muda

Dia amat berani."

Jawab angin

"Berembuslah kau, dan hentikan saya

Tepat di atas kota ini."

Awan dan Angin

Berhentilah siang hari

Di atas negeri ini

"Wahai, teramat panjangnya

Arakan jenazah

Di bawah!

Raja manakah kiranya

Yang wafat itu?"

"Bukan raja,"

Jawab Angin

"Pangeran agaknya?"

Page 58: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 58

"Pangeran bukan

Dia hanya kawula biasa

Seorang anak muda."

"tapi mengapa begitu banyak

Orang berjajar di tepi jalan

Ibu-ibu membagikan minuman

Di depan rumah-rumah mereka

Orang-orang melontarkan buah-buahan

Dalam arak-arakan

Dan saya lihat pula

Mereka bertangisan

Di kuburan

Siapa dia sebenarnya

Wahai Sang Angin?"

"Dialah anak muda

Yang perkasa

Di antara kawan-kawannya

Yang terluka

Dia telah mendahului

Menghadap Ilahi

Seluruh negeri ini

mengibarkan bendera nestapa

Baginya

Menangisi kepergiannya

Dalam duka

Page 59: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 59

Seluruh negeri ini

Yang terlalu lama dizalimi

Telah belajar kembali

Untuk menjadi berani

Dalam berbuat

Untuk menjadi berani

Menghadapi mati."

Kata Sang Awan pula:

"sangat menarik sekali

Kisahmu, ya Angin

Tapi sebelum kita pergi

Mengenbara ke bagian bumi yang lain

Katakan pada saya

Karena kau tahu banyak

Tentang negeri ini

Katakan pada saya

Untuk apa anak muda itu mati?"

Sang angin tersenyum dan berkata:

"Untuk dua patah kata, dia

Rela mati

Dalam usia muda sekali."

Page 60: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 60

"Apa gerangan itu?"

Tanya Sang Awan

"Menegakkan kebenaran."

sahut Sang Angin

"Dan Keadilan."

Dan mereka berdua

Mulailah ngembara lagi

Sementara senja

Turun ke bumi.

1966

Page 61: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 61

Geometri

Dari titik ini

Sedang kita tarik garis lurus

Ke titik berikutnya

Segala komponen

Telah jelas. Dalam soal

Yang sederhana.

Page 62: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 62

Aviasi

Sebuah heli melayang-layang

Pada siang yang panas

Di langit ibu kota

Berjuta mata memandang

Tengadah ke atas

Tak lagi bertanya-tanya

Setiap kita jumpa di jalan

Sejak jam lima tadi pagi

Tak ada yang bimbang lagi

Telah kita lumpuhkan urat nadi

Sepi dan tegang di jalanan.

1966

Page 63: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 63

Mimbar

Dari mimbar ini telah dibicarakan

Pikiran-pikiran dunia

Suara-suara kebebasan

Tanpa ketakutan

Dari mimbar ini diputar lagi

Sejarah kemanusiaan

Pengembangan teknologi

Tanpa ketakutan

Di kampus ini

Telah dipahatkan

Kemerdekaan

Segala despot dan tiran

Tidak bisa merobohkan

Mimbar kami.

1966

Page 64: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 64

Arithmetik Sederhana

Menyimak Adham Arsyad

Selama ini kita selalu

Ragu-ragu

Dan berkata :

Dua tambah dua

Mudah-mudahkan sama dengan empat.

1966

Page 65: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 65

Depan Sekretariat Negara

Setelah korban diusung

Tergesa-gesa

Ke luar jalanan

Kami semua menyanyi

'Gugur Bunga'

Perlahan-lahan

Perajurit ini

Membuaka baretnya

Airmata tak tertahan

Di puncak Gayatri

Menunduklah bendera

Di belakangnya segumpal awan.

1966

Page 66: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 66

22 Tahun Kemudian

Ya anakku. Saya telah menuliskannya untukmu

22 tahun yang lalu saya tuliskan ini untuk kalian

Ayahmu, waktu itu, pada suatu musim hujan

Ketika itu tanpa kerja-tetap dan gelandangan

Di sebuah kamar yang pengap di ibukota

Duduk dan mencoba mencatat sajak ini

Ayah harus menuliskan ini. Harus

Walaupun saya belum tahu, apakah saya

Kelak akan mempunyai seorang Dayat

Dan seorang Ina yang bermata-jeli

Atau tidak punya anak sama sekali

Tapi saya harus menuliskan ini. Harus.

(Di luar jam malam telah jatuh

Ada catatan-catatan kecil di atas meja

Derai-derai gerimis mulai meluruh

Di antara deru patroli kota)

Apakah yang pertama harus dituliskan

Bila begitu banyak yang tiada terucapkan?

Di atas meja, catatan-catatan kecil kawanku yang setia

Menggapai-gapai dalam angin dari jendela

Page 67: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 67

Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu

Kota slogan dan menara, kotamu dulu

Tanah gunung-api dan hama, tanahmu dulu

Pedesaan yang malang, kuli-kuli pelabuhan yang

tersemu

Dalam pidato-pidato seribu jam dari seribu mimbar

Dalam pawai-pawai genderang dan slogan berkibar-kibar

Bertuliskan sepatah kata: Tirani

Ya anakku, Tirani dengan t besar

Kenistaan dengan panjinya tinggi

22 tahun yang lalu. Sungguh tak terpikirkan

Bagi kalian saat ini

Terbayangkan, apa pula

Nyeri perjuangan yang dinistakan

(Di luar jam malam telah jauh

Saya lanjutkan catatan-catatan ini buat kalian

Ketika tetesan embun mulai jatuh

Tanpa suara, perlahan-lahan)

Page 68: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 68

Berpikir ganda. Apa yang diucapkan

Berlawan dengan suara hati

Rencana-rencana besar, kemewahan dan perempuan

Dipersanjungkan dalam pesta-pesta ingkar insani

Pengejaran, penahanan tanpa pengadilan

Penindasan dan perang saudara

Berbunuh-bunuhan

(Hadirin diminta berdiri, karena akan masuk ruangan:

Penjilat-penjilat dan pelayan-pelayan besar)

Keangkuhan disebar bagai api hutan terbakar

Diatas tanah yang dibelah-belah dan diadu sesamanya!

(Arwah lelaki itu tersenyum, Machiavelli namanya)

Berjuta-juta kami berdiri. Lesu dan lunglai

Sehabis rapat besar dan pawai-pawai

Yang tidak memikirkan pemborosan dan wabah penyakit

Tidak membicarakan harga-harga dan nestapa

kemiskinan

Pemborosan? Siapa peduli itu

Harga? Harga apa? Apa harga diri kau?

Hafalkan singkatan-singkatan ini. Berteriaklah

Dengan dengki dan acungkan tangan terkepal

Tengadahlah. Pandang panji-panji ini

"Hormati!"

Bertuliskan sepatah kata: Tirani

Page 69: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 69

Ya anakku. Tirani dengan t besar

Bagi kalian saat ini, sungguh tak terpikirkan

Tapi apa yang kau nikmati hari ini

Kebebasan. Kebebasan dengan k besar

Nikmatiklah, nikmatilah.

Dan ia

Bukanlah jatuh dari awan gemawan

Tapi ia lahir dari duka perjuangan

Ia lahir melalui cercaan nista

Melalui kertas-kertas stensil dari tangan ke tangan

Melalui tembok-tembok kota yang sabar

Dilumuri seribu kaleng cat

Rapat-rapat serta seribu isyarat

Di bawah ancaman laras kekuasaan

Yang dibidikkan ke tengkukmu

Ia lahir dari teriakan-teriakan mahasiswa

Dalam pawai-pawai perkasa

Sungguh tak terpikirkan

Bila kita tidak bersama Tuhan

Bagi kalian sungguh tak terpikirkan kini

Juga bagi ayah (22 tahun yang lalu), ketika

Menuliskan sajak ini

Di kamar yang sepi

Sendiri

Page 70: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 70

(di luar jam malam hampir berakhir

Sementara ayah sudahi catatan-catatan ini

Ketika subuh dan fajar di langir mengalir

Dan harus berkemas untuk berjalan lagi).

1966

Page 71: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 71

Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya

“Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula

Mereka kehausan dalam panas bukan main

Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Biarlah sepuluh ikat juga

Memang sudah rezeki mereka

Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan

Seperti anak-anak kecil

“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”

Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya

Dan ada yang turun dari truk, bu

Mengejar dan menyalami saya

“Hidup pak rambutan!” sorak mereka

Page 72: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 72

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

“Hidup pak rambutan!” sorak mereka

“Terima kasih, pak, terima kasih!

Bapak setuju kami, bukan ?”

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara.

“Doakan perjuangan kami, pak,”

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima kasih mereka

“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”

Saya tersedu, bu. Saya tersedu

Belum pernah seumur hidup

Orang berterima-kasih begitu jujurnya

Pada orang kecil seperti kita.

1966

Page 73: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 73

Doa

Tuhan kami

Telah nista kami dalam dosa bersama

Bertahun membangun kultus ini

Dalam pikiran yang ganda

Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami

Ampunilah

Amin

Tuhan kami

Telah terlalu mudah kami

Menggunakan asmaMu

Bertahun di negeri ini

Semoga Kau rela menerima kembali

Kami dalam barisanMu

Ampuni kami

Ampunilah

Amin.

1966

Page 74: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 74

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini

Tidak ada pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku?”

Tidak ada pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus.

1966

Page 75: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 75

Benteng

Benteng

Sesudah siang panas yang meletihkan

Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas

Dan kita kembali ke kampus ini berlindung

Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran

Dari para dermawan tidak dikenal

Kulit duku dan pecahan kulit rambutan

Lewatlah di samping Kontingen Bandung

Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana

Semuanya kumal, semuanya tak bicara

Tapi kita tidak akan terpatahkan

Oleh seribu senjata dari seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan

Keperluan-keperluan kecil seharian

Studi, kamar-tumpangan dan percintaan

Kita taktahu apa yang akan terjadi sebentar malam

Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966

Page 76: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 76

06.30

Di pusat Harmoni

Pada papan adpertensi

(Arloji Castell)

Tertulis begini: "Dunia Kini

Membutuhkan Waktu Yang Tepat"

Di belakangnya langit pagi

Tembok sungai dan kawat berduri

Pengawalan berjaga. Di istana

Arloji Castell

Berkata pada setiap yang lewat

"Dunia Kini

Membutuhkan Waktu Yang Tepat."

1966

Page 77: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 77

Silhuet

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang lelah

Angin jalanan yang panjang

Tak ada rumah. Kita tak berumah

Kita hanya bayang-bayang

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang letih

Di atas jasad yang pedih

Kita lapar. Kita amat lapar

Bayang-bayang yang lapar

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang sepi

Sehabis pawai genderang

Angin jalanan yang panjang

Menyusup-nyusup

Menusuk-nusuk

Bayang-bayang berjuta

Berjuta bayang-bayang

Di bawah bayangan pilar

Di bawah bayangan emas

Berjuta bayang-bayang

Menangisi gerimis

Menangisi gunung api

Kabut yang ungu

Membelai perlahan

Hutan-hutan

Di selatan.

Juli, 1965

Page 78: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 78

Bendera

Mereka yang berpakaian hitam

Telah berhenti di depan sebuah rumah

Yang mengibarkan bendera duka

Dan masuk dengan paksa

Mereka yang berpakaian hitam

Telah menurunkan bendera itu

Di hadapan seorang ibu yang tua

“Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”

Mereka yang berpakaian hitam

Dengan hati yang kelam

Telah meninggalkan rumah itu

Tergesa-gesa

Kemudian ibu tua itu

Perlahan menaikkan kembali

Bendera yang duka

Ke tiang yang duka.

1966

Page 79: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 79

Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa

Jika adalah yang harus kaulakukan

Ialah menyampaikan Kebenaran

Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan

Ialah yang bernama keyakinan

Jika adalah yang harus kautumbangkan

Ialah segala pohon-pohon kezaliman

Jika adalah orang yang harus kauagungkan

Ialah hanya rasul Tuhan

Jika adalah kesempatan memilih mati

Ialah syahid di jalan Ilahi.

April, 1965

Page 80: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 80

Persetujuan

Momentum telah dicapai. Kita

Dalam estafet amat panjang

Menyebar benih ini di bumi

Telah sama berteguh hati

Adikku Kappi, engkau sangat muda

Mari kita berpacu dengan sejarah

Dan kini engkau di muka!

1966

Page 81: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 81

La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini

Kini anak-anak itu telah berpawai pula

Dipanggang panas matahari ibukota

Setiap lewat depan kampus berpagar senjata

Mereka berteriak dengan suara tinggi

"Hidup kakak-kakak kami!"

Mereka telah direlakan ibu bapa

Warganegara biasa ibu ini

Yang melepas dengan doa

Setiap pagi

Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah

Kini telah melangkahkan sejarah.

1966

Page 82: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 82

Dari Ibu Seorang Demonstran

"Ibu telah merelakan kalian

Untuk berangkat demonstrasi

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini"

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada

Atau gas airmata

Tapi langsung peluru tajam

Tapi itulah yang dihadapi

Ayah kalian almarhum

Delapan belas tahun yang lalu

Pergilah pergi, setiap pagi

Setelah dahi dan pipi kalian

Ibu ciumi

Mungkin ini pelukan penghabisan

(Ibu itu menyeka sudut matanya)

Tapi ingatlah, sekali lagi

Jika logam itu memang memuat nama kalian

(Ibu itu tersedu sesaat)

Page 83: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 83

Ibu relakan

Tapi jangan di saat terakhir

Kauteriakkan kebencian

Atau dendam kesumat

Pada seseorang

Walaupun betapa zalimnya

Orang itu

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah

Di atas bumi kita ini

Sebelum kalian melangkah setiap pagi

Sunyi dari dendam dan kebencian

Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan

Serta Rasul kita yang tercinta

Pergilah pergi

Iwan, Ida dan Hadi

Pergilah pergi

Pagi ini

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta

Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka

Dan berangkatlah mereka bertiga

Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).

1966

Page 84: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 84

Yell

Tiga truk terbuka

Lewat depan rumah

Mereka menyanyi gembira

"Buat Apa Sekolah"

Tas buku di tangan kiri

Dibakar matahari, tak bertopi

Mereka meneriakkan Kebenaran

Yang telah lama dibungkamkan

1966

Page 85: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 85

Oda Bagi Seorang Supir Truk

Sebuah truk lama

Dengan supir bersahaja

Telah beruban dan agak bungkuk

Di atas stirnya tertidur

Di suatu senja musim ini

Dalam tidurnya ia bermimpi

Jalanan telah rata. Ditempuhnya

Dengan sebuah truk baru

Dengan klakson yang bisa berlagu

Dan di sepanjang jalanan

Beribu anak-anak demonstran

Tersenyum padanya, mengelu-elukan

"Hiduplah bapak supir yang tua

Yang dulu berjuang bersama kami

Selama demonstrasi!"

Di tepi sebuah jalan di ibukota

Ketika udara panas, di suatu senja

Seorang supir lusuh dengan truk yang tua

Duduk sendiri terkantuk-kantuk

Semakin letih, semakin bungkuk.

1966

Page 86: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 86

Horison

Kami tidak bisa dibubarkan

Apalagi dicoba dihalaukan

Dari gelanggang ini

Karena ke kemah kami

Sejarah sedang singgah

Dan mengulurkan tangannya yang ramah

Tidak ada lagi sekarang waktu

Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu

Karena jalan masih jauh

Karena Arif telah gugur

Dan luka-luka duapulih-satu.

1966

Page 87: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 87

Rendez-Vouz

Sejarah telah singgah

Ke kemah kami

Ia menegur sangat ramah

Dan mengajak kami pergi

"Saya sudah mengetuk-ngetuk

Pintu yang lain,"

Katanya

"Tapi amat heran

Mereka berkali-kali menolakku

Di ambang pintu."

Kini kami beratus-ribu

Mengiringkan langkah Sejarah

Dalam langkah yang seru

Dan semakin cepat

Semakin dahsyat

Menderu-deru

Dalam angin berputar

Badai peluru

Topan bukit batu!

1966

Page 88: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 88

Kata Itu, Suara Itu

Tiga buah panser kavaleri

Membayang hitam malam ini

Kami sama berjaga. Semua hening

Seorang anak empat belas tahun

Bertukar api rokok dengan kopral ini

Gugus api berlompatan

Cocktail Molotov di sudut berjajaran

Sebagian tidur, sebagian berkawal

Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan

Atau pagi-pagi sekali bergerak

Menyandang AK, prajutir ini berpapasan

Dengan yang berjaket kuning, dalam gelap

Tanpa kata, tanpa suara

Ruangan yang suram

Langit yang hitam

Tiada kata, tiada suara

Tapi satu sama lain tahu kata itu

Tahu suara itu

Suara bumi ini

Suara berjuta

Mereka berempat berjagalah malam ini

Tanpa kata, tiada suara

Tapi satu sama lain

Tahu kata itu

Paham suara itu.

1966

Page 89: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 89

Malam Sabtu

Berjagalah terus

Segala kemungkinan bisa terjadi

Malam ini

Maukah kita dikutuk anak-cucu

Menjelang akhir abad ini

Karena kita kini berserah diri?

Tidak. Tidak bisa

Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh

Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri

Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya

Apakah kita hanya akan bernafas panjang

Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?

Tidak. Tidak bisa

Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu

Suara doa berjuta-juta

Rakyat yang telah menanti lama sekali

Menderita dalam nyeri

Mereka sedang berdoa malam ini

Dengar. Dengarlah hati-hati.

1966

Page 90: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 90

Kemis Pagi

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan

yang selama ini mengenakan seragam kebesaran

Dan menaiki kereta-kereta kancana

Dan menggunakan meterai kerajaan

Kawula dukana yang berpuluh-juta

Hari ini kita serahkan mereka

Untuk digantung di tiang Keadilan

Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana

Bertahun-tahun lamanya

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa

Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara

Dan memperoleh uang emas beratus-juta

Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri

Merekalah penganjur zina secara terbuka

Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan

Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan

Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan

Telah kita naiki gedung-gedung itu

Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya

Seorang ketika digiring, tersedu

Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya

Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.

1966

Page 91: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 91

Memang Selalu Demikian, Hadi

Setiap perjuangan selalu melahirkan

Sejumlah pengkhianat dan para penjilat

Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadap kita

Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang

Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang

Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian

Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi.

1966

Page 92: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 92

Pengkhianatan itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret

Pengkhianatana itu telah terjadi

Pengkhianatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret

Ada manager-manager politik

Ada despot yang lalim

Ada ruang sidang dalam istana

Ada hulubalang

Serta senjata-senjata

Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka

tapi la la la

disana tak ada kepala

tapi hu hu hu

tak ada kepala di atas bahu

Adalah tempolong ludah

Sipoa kantor dagang

Keranjang sampah

Melayang layang

Ada pernyataan otomatik

Ada penjara dan maut imajiner

Generasi yang kocak

Usahawan-usahawan politik yang kocak...

Ruang sidang dalam istana

La la la

tempolong ludah tak berkepala

Hu hu hu

kerangjang sampah diatas bahu

Angin menerbangkan kertas-kertas statemen

Terbang

Melayang layang.

1966

Page 93: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 93

Bendera Laskar

Kali pertama, dihalaman kampus, pagi itu

Telah berkibar bendera laskar

Berkibar putih bagai mega

Dengan garis-garis yang merah

Karena telah dibayar dengan darah

Dia telah mendengar teriakan kita

Sepanjang jalan-jalan raya

Di atas truk tanpa tenda

Di atas jip, di depan pawai-pawai semua

Dia selalu mendahului kita

Dalam setiap gerakan

Kepadanya berbagi nestapa kita

Duka setengah tiang

Duka sejarah manusia

Yang telah lama dihinakan

Dan dimelaratkan

Di depan markas, berkibar bendera laskar

Kami semua melambaimu

Hai kawan dan lambang kami yang setia

lambailah sejarah dari atas sana

Buat kami satu laskar

Buat generasi yang kukuh dan kekar.

1966

Page 94: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 94

Beberapa Urusan Kita

Tentang nasip angkatan ini

Itu adalah urusan sejarah

Tapi tentang menegakkan kebenaran

Itu urusan kita

Apakah cuaca akan cemas di atas

Hingga selalu kita bernaung mendung

Apakah jantung kita masih berdegup kencang

Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?

Berjagalah terus. Berjagalah!

Siang kita bila berlucut laras senapan

Malam kita bila terancam penyergapan

Berjagalah terus. Berjagalah!

Mungkin kita tak akan melihat hari nanti

Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa tahu

tapi itu urusan Tuhan

Masalah kemenangan, ketentraman tanpa tiran

Tentang nasip angkatan ini

Itu urusan sejarah

Tetapi tentang menegakkan kebenaran

Itu urusan kita.

1966

Page 95: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 95

Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka

Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh

Seorang warganegara biasa

Dari republik ini

Surat ini ditujukan kepada

Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia

Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur

Barangkali dia Ketua MPRS

Taruhlah dia Ketua DPR

Atau pemilik sebuah perusahaan politik

(bernama partai)

Mungkin dia Mayor, camat atau jaksa

Atau Menteri. apa sajalah namanya

Malahan mungkin dia saudara sendiri

Jika ingin saya tanyakan adalah

Tentang harga sebuah nyawa di negara kita

Begitu benarkah murahnya? Agaknya

Setiap bayi dilahirkan di Indonesia

Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya

Dan menjeritkan tangis bayinya yang pertama

Ketika sang Ibu menahankan pedih rahimnya

Di kamar bersalin

Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin

Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini

Ketika itu tak seorangpun tahu

Page 96: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 96

bahwa 20,22 atau 25 tahun kemudian

Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri

Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi

Serta pajak kita semua

Di jalan raya, didepan kampus atau di mana saja

Dan dia tergolek disana jauh dari ibu, yang

Melahirkannya. Jauh dari ayahnya

Yang juga mungkin sudah tiada

Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya

darah telah mengantarkannya ke dunia

darah kasih sayang

Darah lalu melepasnya dari dunia

Darah kebencian

Yang ingin saya tanyakan adalah

Tentang harga sebuah nyawa di negara kita

Begitu benarkah gampangnya?

Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian

Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah

Nama lebih penting

Disiplin tegang dan kering

Mungkin pengabdian kepada negara asing

Lebih penting

Mungkin

Page 97: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 97

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka

maafkan para studen sastra. Saya telah

Menggunakan bahasa terlalu biasa

Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi

Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa

karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun

Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa

Kita tak bisa membiarkannya lebih lama

Kemudian kita dipenuhi pertanyaan

Benarkah nyawa begitu murah harganya?

Untuk suatu penyelesaian

Benarkah harga-diri manusia kita

Benarkah kemanusiaan kita

Begitu murah umpan sebuah pidato

Sebuah ambisi

Sebuah ideologi

Sebuah coretang sejarah

Benarkah?

1966

Page 98: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 98

Refleksi Seorang Pejuang Tua

Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan

Setelah mereka menyimak deru sejarah

Dalam regu perkasa mulailah melangkah

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dari kalbu yang murni

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali dua puluh tahun yang lalu

Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya

Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya

Mereka kembali menyeru-nyeru

Nama kau, Kemerdekaan

Seperti dua puluh tahun yang lalu

Spiral sejarah telah mengantar kita

Pada titik ini

Tak ada seorang pun tiran

Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan

Dan berseru: Berhenti!

Tidak ada. Dan kalau pun ada

Tidak bisa

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dimulai dari Sunyi

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali duapuluh tahun yang lalu.

1966

Page 99: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 99

Rijswijk 17

Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada Lalu lintas terasa hingar, deru deram sebentar-sebentar Memanjang kawat telepon diantara tiang yang merentang Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital Kami sama berdiri. 'Bulan auronetika-kah ini?' Benda-angkasa itu meluncur pelahan Dalam busur lengkung di langit barat Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime Busur cahaya iotu makin melengkung Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang Yang masih bergumul bagi kebebasan dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi Mulai menuliskan lengkung huruf 'd' dari demokrasi itu

Page 100: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 100

Di langit pun membusur garis cahaya Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang Anak-anak belasan tahun berlarian riang Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon Menyusu trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka Keluar. Berjalanlah mereka. Kawanan serigala Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja

Page 101: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 101

Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama Dari dulu daerah perburuannya. Meraungi betina-betinanya Dari lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa Angkasa yang kini, lebih dari masalah "saya terharu" Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi! Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi Di antara lontaran cakram-cakram api Seperti sebagian gelombang lama, perlahan meninggi Membentur seberang sana. Berhenti Dan berteriak: Hei kau-kau yang disana! Kalian! Hei...kau Ya:kau!

Page 102: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 102

Dan tiba-tiba semua terdiam. Terdiam. Hanya Terdiam Di Jakarta yang tua, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Ciliwung Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara Dengan dua belas kuda putih Sang Gubernur Dalam derap-dua di jalan tanah Tanah dijarah, bumi yang dijajah Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang Orang asing dan beberapa pribumi Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat Tapi semuanya Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung Jakarta yang Ciliwung Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah Bersama sejarah

Page 103: Tirani Dan Benteng

Tirani dan Benteng

Taufik Ismail 103

Dan malam ini kau surut, malu pada bulan diatas Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi Sementara kau belum sempat-sempat membersihakan diri Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral Bayang-bayang yang coklat Bayang-bayang yang bergoyang Perempuan mencuci Anak telanjang yang mandi Burung layang-layang melayang Dalam senja hilang bayang-bayang Di belakang barikade yang panjang Kawat duri bersilang Dinding sungai yang curam Rumah-jaga terdiam Karaben bersangkur terhujam 1966