tirani dan benteng
TRANSCRIPT
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 1
Puisi-puisi Menjelang Tirani dan Benteng
Bukit Biru, Bukit Kelu
Adalah hujan dalam kabut yang ungu
Turun sepanjang gunung dan bukit biru
Ketika kota cahaya dan di mana bertemu
Awan putih yang menghinggapi cemaraku
Adalah kemarau dalam sengangar berdebu
Turun sepanjang gunung dan bukit kelu
Ketika kota tak bicara dan terpaku
Gunung api dan hama di ladang-ladangku
Lereng-lereng senja
Pernah menyinar merah kesumba
Padang hilalang dan bukit membatu
Tanah airku.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 2
Elegi Buat Sebuah Perang Saudara
Dengan mata dingin dia turun ke medan
Di bahunya tegar tersilang hitam senapan
Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan
Mengayun lengan kasar berbulu dendam
Angin pun bagai kampak sepanjang hutan
Bukit-bukit dipacu diatas kuda kelabu
Dada dan lembah menyenak penuh deram
Di ujung gunung lawannya sudah menunggu
Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya
Di kaki langit teja mengantar malam tembaga
Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu
Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu
Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan
Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu
Ketika senja berayun malam di dahan-dahan
Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji
Terlentang kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri.
1960
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 3
Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah lamanya
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa
Fajar pun yang tak kunjung teraih
Begitu benarkah sukarnya
Kemarauku menggigil dalam nyala
Musim tempat berbagi yang perih
Tanganku inikah tangan dukana
menjulur-julur dari kemah berkibar badai
Suara tanah yang hama sepanjang bencana
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah jarak zamannya
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur
Dan kau balas dengan senyum menghibur.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 4
Potret Di Beranda
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyambit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 5
Pekalongan Lima Sore
Kleneng bel beca
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit Sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.
1961
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 6
Jam Kota
Pada ulang tahun hari jadiku, kukitari kota kelahiranku
Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu
Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru
Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari
Di jauhan jam kota menjulang tinggi
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
Bioskop tua. Dindingnya pun retak-retak
Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar
Jalan kecil sepanjang rel kereta-api. Raung
Beruang es di kebun binatang
Pedati kerbau merambati kota pegunungan
Memutar roda kehidupan yang sarat
Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar
Memandang dari luar dindingnya yang putih
Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku
Ke dunia. dan jam kota
Berdentang dini hari
Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah
Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah
Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang
Bernaung ratusan payung peneduh matahari
Dataran tinggi. susunan panci nasi Kapau
Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah
Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya
Anak-anak berkejaran di setasiun bus
Wahai, mengapa kalian menundukkan muka?
Kotaku yang nanar sehabis perang
Wajah muram dan tubuh luka garang
Detak tapal kuda satu-satu
Wahai, pandanglah mukaku!
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 7
Alamat tak Dikenal
Setiap kami tuliskan pesan untukmu
Kami selalu bertanya-tanya
Adakah ia pernah kau terima
Hari ini koran pun memuat iklan-iklan dukacita
Seperti bulan yang lalu dalam bayang abu jelaga
Tahun depan begitu pula, siapa bisa tahu
Robekan penanggalan yang selalu bencana
Randu hutan tak lagi termangu, tapi gundul merunduk
Menahan beban musim sepanjang sejarah
Dan tanah kita adalah bumi semakin melapuk
Gunung api dan gelombang tak kenal istirah
Abjad kehidupan, terlalu keraskah untuk kaueja
Bila sepanjang gang dan di mana-mana orang pada antri
Menadah untuk kutuk apa lagi yang akan menimpa
Sebuah bisik makin tenggelam dalam riuh arena
Ranah mana lagi hilang dari muka bumi
Air bah berpacu mengatasi nyala gunung api
Sementara dunia berjamu dalam pesta ibukota
Beribu balon mengapung menuju mega
Setiap kali kami tuliskan pesan untukmu
Pada iklan duka kantor pekabarab itu juga
Kami bertanya-tanya selalu
Adakah ia pernah kauterima.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 8
Percakapan Dengan Zaini
Rendra di muka kaca
Syahwil sedang meriasnya
penyanyi berbagai serenada dalam warna
sedang menatap diri sendiri dalam kaca
Penyair yang meluluhkan jasad dengan garang
Panggilan gong di pentas bertambah lantang
Seribu sajak meleburkan baitnya dalam gerak
Menggelepar manja. Berbulu putih dengan sayap perak
Beterbangan dan hinggap dari dahan ke dahan
Dahan zaitun, dahan pohon utara dan selatan
Seribu gerak kembali lahir jadi puisi
Si pencari yang mendaki tangga zaman Yunani
Kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja. Karena sajak ada di sepanjang benua
Penyanyi itu telah mengenakan jas birunya
Kali terakhir menatap dirinya pada kaca
Semakin lama kita ngembara dalam puisi
Mana tanganmu, siapa tak terbawa jauh sekali.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 9
Dalam Gerimis
Segugus kapuk randu
Melayang dalam hujan
Menyambung suara bumi berbisik. Tertengadah
Pohon-pohon bungur berbunga ungu
Langit yang mekar dalam hujan pertama
Pohon bungur menyebarkan warna ungu
Sepanjang jalan raya
Angin yang mengetuk mendung. Di atas kota
Menjelang gugus malam
Musim kemarau berbisa
Deretan sedih pohon jeungjing
Sepanjang tebing
Di langit nyaris lembayung. Kawanan
Kelelawar beterbangan ke tenggara
Kawat-kawat telepon berjajaran menghitami
Cakrawala yang retak warna
Kota dalam sayatan jingga
Kelelawar dan kapuk randu
Melayang dalam gerimis
Di atas rimba kotaku
Dahan gladiola telanjang dan menggigil
Memandang padang yang gelisah
Dari selatan seakan ada yang memanggil
Ini hanya sementara, akan membentang
Musim lebih parah
Mendung mengucur pelahan
Dengan kaki-kaki ramping
Dan gerimis berlompatan
Di pipi sungai. sungai pedalaman yang jernih
Kijang-kijang istana berlarian
Berkerisik dalam pusingan dedaun coklat
Tangan yang mengacung ke langit
Dengan jari-jemari mengembang
Meninggi dalam bisa kemarau yang panjang
Sejarah berjalan terbungkuk, di padang ini
Menyalakan kemarau dan gunung api
Kemudian menuliskan namanya
Pada tangga waktu
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 10
Di langit sudah lembayung
Kapuk randu melayang dalam gerimis
Dan kelelawar bergayutan di puncak hutan
Jajaran jendela luka
Yang tertutup dan menanti
Suara memanggil. Walau terhenti
Dalam menggigil
Kapuk randu bergugusan
Melayang gerimis malam.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 11
Almamater
Di depan gerbangmu tua pada hari ini
kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah
Di aula ini. aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan guru besar
Melepaskannya pada hari-harai perpeloncoan
Pada filem dan musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov atau 'Jas Panjang Pesanan'
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakn kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 12
Yang memebayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar Obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.
1963
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 13
Oda Pada Van Gogh
Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi.Sepi namanya.
1964
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 14
Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi
Ya, aku belum bisa menyebut namamu lagi
Dalam surat, buku harian dan percakapan sehari-hari
Kembali seakan sebuah janji diikrarkan
Apa lagi yang dapat kita ucapkan
Seperti dulu, namamu penuh belum bisa kusebut kini
Jauhkan daku dari kekhianatan, doaku setiap kali
Daun-daun asam mulai bermerahan dalam gugusan
Bara kemarau, lunglai dan teramat pelahan
Di atas hutan kelelawar senja beterbangan
Beratus sayap berombak-ombak ke selatan
Menyebar di atas baris-baris merah berangkat tenggelam
Dan sekian ratus senja yang kucatat jadi malam
Kabut pun bagai uban di atas hutan-hutang
Uap air tipis, merendah dari tepi-tepi
Tak sampai gerimis hanya awan berlayangan
Duh namamu penuh, yang belum bisa kusebut kini
Pada suatu hari namamu utuh akan kusebut lagi
Di titik senyap kekhianatan doaku setiap kali
Di atas baris-baris merah yang berangkat tenggelam
Sekian ribu senja kucatat jadi malam.
1964
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 15
Jun Takami, Berkatalah Dengan Jelas*)
Kau, seorang penyair, baru sejurus bicara padaku
Pada pertemuan jarak jauh, mungkin tak berarti
Tapi mengapa justru, di saat ada bagiab dunia tersedu
Ketika bayang terlamun pada mimpi demi mimpi
Layar kabut yang ungu pada kata-katamu
Tatkala pedang tiran mengilat dalam barisan
Dan seluruh penguasa menyeru
Nyanyi kaum puritan
Apa yang kau tuliskan, apa
Kita simpankah pena lalu baca sajak-sajak tua
Atau kita tulis puisi atas pesanan
Dalam bahasa yang disamun slogan demi slogan
Slogan-sogan peperangan dengan nyanyi keangkuhan
Dalam anacaman suara yang mendustai diri
Semboyan-semboyan penguasa atas nama pemerintahan
Adakah kekhianatan lebih dari ini
Karena keranda nestapa telah diusung ke luar pertempuran
Diiringi nyanyi duka bukitmu, pohon-pohon kastanye
Akhir para tiran dalam upacara bunuh diri
Seraya menuliskan nama mereka dalam naskah sejarah
Takami. bahwa puisi telah memanggil kita dari pagi
Dalam suara-suara surgawi
Panggilan yang tak bisa didiamkan
Ke mana pun kita akan pergi
1963
*) Jun Takami adalah seorang penyair Jepang anti perang di waktu Perang Dunia II
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 16
Kota Pelabuhan, Ladang, Angin Dan Langit*)
Dermaga pelabuhan balok hitam pasangan tua
Kawanan undan beterbangan dua-dua
Ketika dingin mencercah kabut Atlantika
Topan berbunyi dalam resah dan bertanya bila
Ada benua baru bagiku, ada benua biru bagiku
Setiap kudatang tak bisa kutolak rindu
Tatkala mengetuk-ngetuk pintu kotamu
Ada beberapa pantai karang memanjang
Ada beberapa malam badainya garang
Tapi rencana masih jauh dan jauh lagi
Sementara angin menggaram lalu gerimis jatuh disini.
*)catatan pelayaran 14 kota, Agustus 1956(kapal Itali Saturnia dan Neptunia) dan Juli 1957 (kapal
barang Jepang Nissho Maru).
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 17
Selamat pagi, ujarnya. Selamat pagi, kataku.
Hari segar bukan? Selendang angin berkibar lembut
Palermo cerah pukul sepuluh, langkah keledai manggut-manggut
Ladang tani di tengah benua di tepi perbukitan pina
Kuperah sapi mereka, kusabitkan gandum musim panas
Kakek tua di desa kecil, di muka warung mengisap pipa
Mereka menganggukkan kepala padamu bila kau lalu
Seperti kakekku di kampong. Gaek Ulu
Penanam kol bertelapak kasar dan berjemari besar
Dan isteri-isteri yang memberiku telur bekal di jalan
Mereka dimana-mana sama karena merekalah manusia
Padang-padang tulipa, wahai pandangan mata burung
Berembusan dari utara tetangkai berguguran dalam cuaca
Angin musim dan sepuluh warna berteguran dalam sapa
Warna besi pijar, warna tembaga, warna logam berkarat
Warna perak kasar, warna aluminia, warna-warna yang sarat
Dan peparumu penuh bau daun, kulit kayu dan pupuk bumi
Jalan coklat kecil dalam taman di tengah lubuk hutan
Tiba-tiba danau yang biru dipagari lereng cemara
Daun-daunan jarum, hijaunya hijau abadi
Bunyi angin malam di hutan, risaunya risau sekali
Padang rumput membentang dalam kerdip bimasakti
Baringkan tubuh di luar kemah, bantalkan tangan di kepala
Bisakah kau hitung di atas silang gemintang yang cemerlang?
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 18
Tidak. Aku hanya bisa menghitungkan anak-anak sapimu
Baru lahir. Atau membilang orang yang lalu lalang
Di jalan samping sebuah café teduh pagi jam sepuluh
Di Lisboa. Baca Koran tentang kapal uap dari Genoa
Lalu menyerakkan remah roti pada kawanan burung merpati
Dalam pertamanan bising di tengah kota mekanisasi
Hijau daunmu berdebu dan tanahmu berbau asam arang
Rawa-rawa di kotamu Harlem
Berlumpur dan sangat sembarang
Senja pengap di antara lorong beton mengacu langit
Langit pun cuma sepotong-sepotong
Langit yang sesak nafas di atas
Melepas ribuan warga kota sehabis jam kerja
Lewat sekian setasiun, terowongan dan jambatan baja
Lewat computer statistic dengan ingatan pita magnetic
Delapan ribu operasi dalam satu detik
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 19
Udara dukana dalam bau keringat mesin, keringat sistim
(kami tersedu untukmu, anak-anak alam yang yatim!)
Malam akhir minggu di Takarazuka, hidangan the
Dan arak beras. Subuh di kota raksasa
Jalanan abu-abu dan gedung-gedung oleng
Di sinikan mesti kehidupan berlabuh, terdampar
Dalam lumpurmu, dan secara jadual
Besok bertolak lagi pada Senin pagi?
Wahai meja mahogany, mesin minyak, kartu presensi
Wahai jentera besi, restoran otomat, gua-gua syahwati
Di balik bingkai jendelamu di dalam sini berdenting
Iba sekali. Mengetuk-ngetuk kaca baur dingin pada deriji
Ketika tetes air memanjang dan jadi keristal
Ketika badai menguburmu jadi gurun putih bulan Januari
Deret tonggak berlampu natrium
Kawat-kawat landai terentang menggigil
Ribuan jendela menutupkan mata di gedung-gedung tinggi
Di jalanan bawah salju subuh jadi lumpur kembali
Kapankah engkau, Mahattan, bisa agak berbaik hati
Salju putih kau ubah jadi lumpur
Zat asam jadi asam arang
Awan dan langit pun kau potong-potong
Pada warga kotamu kau bagi-bagi
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 20
Laut dermagamu bau ammonia, gedungmu steril kreolin
Senja musim gugur kau bunuh terang-terangan di depanku
Di taman kota. Dan arsitek-arsitek itu ( anak buahmu )
Melemparkan karkasnya ke tengah belukar beton bertulang
Rimba baja. Terbaring di antara seribu pejalan di Ginza
Terinjak-injak di halaman setasiun Gambir
Kereta ekspres sebelum lebaran
Terguling sepi ke halte setasiun bawah tanah
Ketika tak seorang pun mengindahkannya
Ketika tak seorang pun menangisinya
Walau pernah terdengar ada kotak di bar memutar
Pengemis-pengemis di Paris
Atau penyanyi hitam meratapi matahari hamper habis
Menyebut gas air mata dan anjing pengaman demonstrasi
Mengenang presiden yang mati di jalan dan dibalkon teater
Wahai pigmentasi epidermis yang demikian tipis!
Mencairlah. Apa yang kau peroleh dari purbasangka
Dan batasan genetika. Mengapa engkau
Meratap-ratap jua, bermalas-malas di tangga
Bangunlah!
Bangunlah dengan kerajinan dan kejujuran tukang sapu
Tukang sapu lantai lobi kantor pusat asuransi
Disuatu jalan Kolombo, atau Nova Skotia
Tak persis kuingat lagi. Matanya bercaya-caya
Seperti mata pak Utjang tukang kandang
Tukang kandang di klinik hewan, Djalan Taman Kencana
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 21
Mata yang tak percaya penindasan, tak percaya perang
Mata pedagang kelontong bersampan di Laut Merah
Mata tukang air berbaju hitam, kota Tiongkok tepi lautan
Yang percaya keringat menganyam rezeki
Bahwa bangun pagi memutar sarat jentera kehidupan
Walau begitu banyak yang terjepit
Tergilas sepi di bumi ini
Walau akhirnya berbunyi juga air mata
Yang menitik diam-diam
Karena kezaliman, jarring-jaring kekuasaan dan peperangan
Yang bertindihan ke pundak lelaki, anak dan perempuan
Mereka berdiri bersama di depan rumah kecil mereka layu
Atau berjalan dengan gerobak barang dan sekedar bungkusan
Di bawah mendung awan perang
Atau mencoba lari melewati suatu perbatasan
Batas ilmu bumi dan batas bebas dengan mati
Begitu benarkah…Wahai mengusap dadalah
Iman-iman yang lemah. Sesuatu menegah, kata tak terucapkan
Bila badanmu lunglai jadi gelombang dan topan
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 22
Berdiamlah, jangan munculkan kata lagi
Karena anak-anakmu kini menangis
Di luar badai akan menyapu langit yang gerimis
Berdoalah, agar menjauh banjir, musim kering panjang
Dan marak gunung api, hama pertanian dan gempa bumi
Dan tirani kekuasaan, tirani kesengsaraan
Serta kelaparan. Juga tirani ketakutan (bagai
Labah-labah-banyak-jari masih menjaringi
Leher dunia ini)
Dunia dengan kota, pelabuhan, lading, angin
Dan langit. Dunia dengan kulit coklat
Putih, kuning dan hitam
Yang pada Saat penciptaan pertama-tama
Ditiupkan dahsyat padanya badai cinta
Kian abad kian pelahan
Kini jadi cincin angin yang kecil
Ulurkan, ulurkan jari manismu kemari
Ulurkanlah tangan yang berdaki dan berpeluh
Dengan kerja. Di gudang dermaga, gardu kereta
Melintas hutan jati yang sepi
Di kilang tebu, di padang Sumba kuda
Dan kerbau liar ngembara
Leher-leher berhanduk kecil meninggalkan
Pangkalan beca. Berdesing-desing nasib
Dalam angin panas dan embun dini hari
Langit di atas CTC, langit malam
Diatas bangunan hitam. Awan setetes-setetes
Berjajar mengalun dalam kelam
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 23
Tercampak lengang pada suara guruh yang jauh
Meluncur-luncur ke ladang, ke pematang
Ke bumi kerontang
Ahoi! Pergilah pergi, musim garang terlalu panjang!
Ahoi! Berlahiranlah anak-anak kambing, sapid an ayam!
Bemekaranlah bunga-bunga bawang
Membulat-bulatlah daun kacang
Gemburkanlah tanah hai cacing-cacing
Tanah ladang-ladang kentang
Di tengah kebun kol, dibahu kakekku Ulu
Kaleng semprot hama tersandang
Di kakinya beribu kol membulat, hijau muda dan padat
Sejajar bertelentangan di bumi
Matahari dan hujan menyerbuki
Tangan Tuhan mengusapi
Gembur dan subur semua jadi
Ayah di kebun kopinya, berperang dengan hilalang
Melawan kawanan tikus, pasukan kera dan babi hutan
Ibuku gemuk sibuk member makan ayam dan burung parkit
Di jauhan mesin-mesin menerjang hutan dan bukit
Dengan suara bergelegar karena akan membentangkan jalan raya
Dan beribu dusun terpencil tersentaklah dari tidurnya
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 24
Rimba-rimba, jurang dan rawa kelam menggeliat
Dalam kantuk lama. Durian hutan, salak belukar
Dan ikan-ikan rawa sebesar paha
Bumipun bersinlah keras-keras
Dan mereka mengalir ke jalan raya
Mengalirlah pelan lender karet, gambir dan cendana
Terbongkarlah intan, minyak bumi dan
Tambang batu bara. Di atasnya mengapung]
Kayu manis, kayu jati dan kayu besi
Dan berlayar ratusan kapal dalam derum tak terhenti
Di antara pulau demi pulau
Mulai benderang dalam cahaya
Cahaya siang dan cahaya malam
Cahaya di antara tulang-tulang dada
Karena telah rampung bendungan alam
Telah dibongkar bendungan hati
Karena kebanaran akhirnya mengibarkan benderanya
Dalam tiupan angin kemerdekaan dan kebebasan sejati
Setelah segala bentuk pengorbanan kita serahkan padanya
Setelah segala bentuk pengorbanan kita serahkan padanya
Setelah satu-satu tiran tersungkur atau mundur
Karena perlawanan adalah kerja, perlawanan dalam doa
Doa untuk bumi seluruh isi dengan cinta abadi
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 25
Dunia yang telah luka-luka sepanjang gurun sejarah
Dan kemudian mencoba lagi mengulangi langkah
Dan turunlah malam di bagian bumi kita
Ketika orang-orang mulai berbaring melepas penat
Waktu kebebasan sejati dirasakan benar sebagai nikmat
Waktu senyum dan jabat tangan kita benar dalam ikhlas
Waktu tak ada lagi pengetuk malam membawa dalih
Malam ini syukurku berjalin terima kasih
Setelah tahun-tahun yang mendung
Langit luka-luka
Meneteskan bencana duka
Kau selamatkan perjalananku ke benua-benua
Kau torehkan pesan alfabetis itu
Pada gelombang yang menyisir pesisir
Pada langit, angin, ladang dan kota
Dan kerja berat dengan hati yang kuat
Selamat malam dunia
Selamatkan malamku
Selamatkan siangku
Tuhanku.
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 26
Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau
1964
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 27
Surat Ricarda Huch (9 April 1933) Kepada Presiden Akademi Kesenian & Ilmu Pengetahuan, Prusia
Tuan Presiden, yang terhormat,
Terhadap pengangkatan saya sebagai anggota Akademi
Seyogyanyalah saya ucapkan terima kasih
Namun nampaknya disni perlu dijelaskan
Saya tak dapat mengabulkan kehendak Tuan
Bahwasanya seorang Jerman adalah seorang Jerman
bahwa pakaiannya, siul lagaknya
Siul dan lagak Jerman
Adalah wajar dan layak
Tetapi, apakah makna Jerman
Dan betapa sikap Jerman
Beragam adanya pendapat dan jawaban
Apa yang diucapkan sebagai kesadaran nasional
Dewasa ini. Ialah sentralisasi, paksaan-paksaan
Car-cara tak berkeadaban. seribu
fitnahan
Terhadap siapa yang memiliki fikiran
lain. Dan jiwa yang habis-habisan onani!
Wahai kesombongan dan pemujian diri sendiri
Di depan bentangan peta bumi
Akademi mengatakan tak ada rintangan
Pada pendapat yang berkebebasan
tapi semua radio, majalah dan koran
Senyap sunyi dari luasan opini
Hingar bingar oleh tunggal opini
Sikap Jerman dewasa ini, ialah
Bahana malapetaka
Jermanku. saya mengenalmu
Terbuka, jujur dan sopan
Tapi sorak pemerintah
Sorak histeris orang-orang supernasionalis
Setiap engkau lewat di berbagai jalanan
Dalam pawai panji mengusungi slogan demi slogan
Saya bertanya ragu: betulkah engkau itu
Demikianlah. Terhadap keadaan begini
Yang meminta kesanggupan menyesuaikan diri
Maka. tuan Presiden Akademi
Kesanggupan itu tak ada pada saya
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 28
Ini akan dimaklumi mereka yang kenal saya pribadi
Atau pembaca buku-buku saya
Bersama ini saya menyatakan diri
Keluar dari Akademi
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 29
Surat Ricarda Huch (Masa Perang 4 November 1941) Kepada Uskup dari Munster, Pangeran Von
Galen
Uskup yang mulia, jika saya
yang tidak Tuan kenal dan asing
Saya menulis surat ini, adalah
sebagai rasa terima kasih dan hormat
Pada Tuan
pada bangsa kita selama
Tahun-tahun terakhir ini
Ada hal yang paling getir keadaannya
Kehilangan hak kemanusiaan
Lenyapnya rasa kemanusiaan
Dan dibawah kelabu mendung ini
Tuan uskup telah berdiri
Menentang pengagung-agungan kezaliman
Dan tegak di pihak korban
Terang-terangan
Rupanya masih ada kesadaran bahwa
Tuntutan bersih suara hati
Lebih bernilai dari
Sejuta tepukan tangan
Wahai. semoga Tuan akan merasa gembira
bahwa banyak orang-orang lainnya
Terikat Tuan hati dan kalbu mereka
Walau tak terucapkan, tak bersuara
Sudilah kiranya Tuan menganggap saya
Dari orang-orang banyak itu, sebagai
Satu suara.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 30
Pidato Ricarca Huch Di Depan Kongres Pengarang Jerman, seusai Perang Dunia
Berlin, Oktober 1947
Pujangga wanita itu
Novelis-penyair delapan puluh tiga tahun
(Demikian tegarnya dihempas waktu!)
Perlahan menaiki mimbar
Dan berkata:
'Dalam sejarah kita ini
Betapa sukarnya terasa
Tugas bimbingan batin waktu ini
Yang tidak pernah ada sebelumnya...
Pada tahun-tahun ngeri terakhir ini
Selama perang berprahara
Dalam histeri demagogi
Dan kibaran semboyan-semboyan
Saya sering ragu-rahu dan
sertanya-tanya. Pada bangsa saya
Sekian banyak yang latah dan menjilat
Apakah benar pada hati kecil berkhianat
sekian banyak sia-sia tersungkur ke bumi
Berselimut awan amunisi
Tapi sementara itu
Telah tampil sekian banyak pula
Kebesaran jiwa
Kesediaan berkorban. Kepahlawanan
Serta kebajikan yang tinggi
Sesudah perang memberi kita
Puing demi puing. Kepapaan dan air mata
Daftar jenazah yang senantiasa bertambah
Hutang dalam ratusan juta jam kerja
Timbulah kini kesabaran dan kekuatan
Memiliki berat beban nestapa
serasa tiada hingganya.*)
1965
----------------------------------------
*) Pada bulan berikutnya, sesudah Ricarda Huch mengucapkan pidatonya didepan pengarang-
pengarang Jerman, dia meninggal dunia di Schonberg, 17 Nopember 1947. Novelis-penyair
pembangkang ini dilahirkan di Braunschweig, 18 Juli 1864.
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 31
Formulir Ini
Siapakah dirimu? Sebuah nomor
Sederet huruf resmi
Dalam abjad Latin
Dari loket di ujung antri yang panjang
Engkau bergegas ke luar gedung ini
Di luar telah menanti matahari
Suara dan undang-undang
Sebelum keluar mereka dipintu akan
Membekalimu dengan kertas-kertas
Putih. Dan ransel bahu
Terlampau gegas kau telah keluar dari gedung ini
Di luar telah menanti padang
Garis-garis
Garis angin
Garis badai
Garis suara
Garis lurus khayali di ujungnya sebutir
Logam. Siapakah diriku?
Sebuah anti-proses
Sebilah tangan yang teracung
"Berhenti!"
Capung yang gelisah
Srigunting menukik resah
Gelatik-gelatik lalu bernyanyi
Di pohon-pohon kecil di sawah
Di atas tanggul sejarah
Diluar sungai mengalir
Dalam garis-garis
Garis ilmu bumi
Garis tegak
lurus
Garis granit
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 32
Suara
Deretkan awan, pelangi, dengan rambutmu merah-ungu
Taburkan pelan, pelangi, sepanjang lengkung lenganmu
Panorama yang kemarau teramat kering
Daunan berjuta. Angin menjadi hening
Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil
Tiada suara lagi betapa cahaya makin mengecil
Pohon-pohon redup dan berbunga di bukit dan pesisir
Kemarauku siang, dinginku malam yang menggigil
Di sanalah dia bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Ketika langit seolah menutup dan kau amat pucat
Di hutan selatan cahayamu pelang berlinangan
Melintas juga ke ambang pasar, pada bayang-bayang jambatan
Tiada terasa lagi di mana cahaya berhenti mengalir
Tiada bintik lagi ketika bintang dalam fajar
Dan pada pilar-pilar langit
Awan pun bersandar
Di sanalah kau bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Setiap terasa lagi suara memanggil-manggil
Pada pilar-pilar langit. Di puncak-puncaknya
Suara Engkau yang merdu
Suara sepi yang biru.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 33
Pagi Terakhir Di Sebuah Losmen Di Djalan Gerdjen
Kawan-kawan telah berangkat pagi ini. Tinggal lagi
Puntung-puntung rokok. Aku dan Arifin
Di luar penyapu sedang membersihkan lantai
Debu bertebar dan ada perasaan aneh
Bernyanyi lewat radio di sebelah
Dua gelas kopi yang panas, di atas meja
Kita tak berkata-kata, tapi ada suara
Yang lengang. Suara musim yang kemarau
Suara musim pengap. Lewat naskah-naskah kita
Gemuruh arak-arakan, deram seribu genderang
Yang lengang. Lewat bunyi unggas pagi
Langit Yogya. Sepotong dan biru
Arifin mengenakan sandalnya dan menyisir
Kami harus meninggalkan losmen ini
Kawan-kawan telah berangkat lebih dahulu
Pembicaraan telah selesai, dan kerja
Menanti. Agaknya kerja Sysiphus
Menyusun gunung batu. Agaknya
Tapi kopi sudah habis, dan kita
Harus berangkat. Di luar losmen
Jalan memanjang batu karang
Kemarau dan cemeti
Tak ada lain pilihan
Kita
Harus
Jalan.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 34
Adalah Bel Kecil Di Jendela
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Di bulan Juni
Berkelining sepi
Daun asam dan cericit burung gereja
Keletak kuda andong-andong Yogya
Kota tua membentang dalam debu
Sepanjang gang ditaburnya sunyi itu
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Di bulan Juli
Berke-
li-
ning
Sepi.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 35
Andong-Andong Margomulyo
Musim kemarau telah meninggi. Di atas cemara
Bayang keraton pada gapura demi gapura
Dan jarum waktu, jarum waktu. 1965
Kabut larut mengombak tanpa suara
Sebuah jam tua, lama kukenal jemarimu
Tembok-tembok benteng berlumut hitam ungu
Adalah ku-ku burung balam
Menyebut namamu. Menyebut namamu
Sepotong langit Yogya
Berawan putih di sana.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 36
2 September 1965, Pagi
Cinta pada kebebasan
Adalah cinta terlarang
Hari ini.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 37
2 September 1965, Senja
Kemerdekaan masih bertahan
Kemerdekaan untuk diam
Senja ini.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 38
Pikiran Sesudah Makan Malam, September
Demikianlah, bila kita harus berkata juga
Kontemporer! Saat ini! Ya
Saat ini juga
Dan secarik bintang melesat di atas sana
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 39
Sesudah Dua Puluh Tahun
Impian kemerdekaan
Di matamu membayang
Malam dan siang
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 40
Tjaikovski
Dalam dada sesak
Kabut mengerang lalu tergelepar
Dan di sini kulihat Iwan
Ketika dia menunjukkan
Sebuah bulan bujur sangkar.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 41
Catatan Tahun 1965
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelenggu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingkan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usmar dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan saraf dianastesi
Genjer-genjer jadi nyanyi
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam dikabulkan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine Gusti-Allah dipentaskan.
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 42
Obsesi Garis Miring
Seekor makhluk melompat-lompat
Dari satu garis miring
Ke garis miring lainnya
Di atas rimba jaringan skema
Saat ini dia tergelincir
Dan meluncur tertahan-tahan
Ke bawah, ke jurang
Tangannya
Menggapai-
gapai.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 43
Oktober Hitam
(1)
Atap-atap gunung
Dan Daratan
Meratap
Ke mega gemulung
Mata yang duka
Menatap
Sepanjang pagi murung
Angin yang nestapa
Berdesah
Awan pun mendung
Di musim pengap
Yang gelisah
Menitiklah gerimis
Karena berjuta
Telah menangis
Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 44
(2)
Kaki kami lamban menyongsongmu, Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi
Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 45
(3)
Pohon-pohon cemara
Pohon asam
Pohon randu sepanjang jalan
Pohon pina di hutan-hutan
Pohon kamboja di pekuburan
Menundukkan
Daun-daunnya
Dan margasatwa
Kawanan unggas
Burung kepodang
Balam dan elang
Berbisik-bisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 46
(4)
Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan
Sembilu telah mengiris
Langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Kamipun terjaga dalam Oktober yang hitam
Bangkit dari kabut ilusi
Tahun-tahun meleleh, tangan 'kan menegak keadilan
Dalam deram tak tertahan-tahan!
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 47
(5)
Awanpun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak perlahan
Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Dipagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris
Fajar kelabu
Fajar kelam
Pagi pembunuhan
Pagi yang hitam
Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 48
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 49
TIRANI
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 50
Merdeka Utara
Dua buah panser Saladin
Dengan roda-roda berat
Rintangan-rintangan jalan
Selebihnya kesenyapan
Dua buah tikungan yang bisu
Seseorang memegang bren
Langit pagi yang biru
Menjadi ungu, menjadi ungu.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 51
Harmoni
Enam barikade telah dipasang
Pagi ini
Ketika itu langit pucat
Di atas harmoni
Senjata dan baju-baju perang
Depan kawat berduri
Kota yang pengap
Gelisah menanti
Bendera setengah tiang
Di atas Gayatri
Seorang ibu menengadah
Menyeka matanya yang basah
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 52
Jalan Segara
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke punggung
Anak-anaknya sendiri
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 53
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
'Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.'
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 54
Salemba
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 55
Tableau Menjelang Malam
Deretan bangunan. Abu-abu
Langit hitam dan sten. Menunggu
Lalu lintas sepi
Semua menanti
Jendela bertutupan. Apa akan terjadi
Di sini
Semua menanti.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 56
Dari Catatan Seorang Demonstran
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 57
Percakapan Angkasa
"Siapa itu korban dibumi
Hari ini?"
Tanya Awan
Pada Angin
"Seorang anak muda
Dia amat berani."
Jawab angin
"Berembuslah kau, dan hentikan saya
Tepat di atas kota ini."
Awan dan Angin
Berhentilah siang hari
Di atas negeri ini
"Wahai, teramat panjangnya
Arakan jenazah
Di bawah!
Raja manakah kiranya
Yang wafat itu?"
"Bukan raja,"
Jawab Angin
"Pangeran agaknya?"
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 58
"Pangeran bukan
Dia hanya kawula biasa
Seorang anak muda."
"tapi mengapa begitu banyak
Orang berjajar di tepi jalan
Ibu-ibu membagikan minuman
Di depan rumah-rumah mereka
Orang-orang melontarkan buah-buahan
Dalam arak-arakan
Dan saya lihat pula
Mereka bertangisan
Di kuburan
Siapa dia sebenarnya
Wahai Sang Angin?"
"Dialah anak muda
Yang perkasa
Di antara kawan-kawannya
Yang terluka
Dia telah mendahului
Menghadap Ilahi
Seluruh negeri ini
mengibarkan bendera nestapa
Baginya
Menangisi kepergiannya
Dalam duka
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 59
Seluruh negeri ini
Yang terlalu lama dizalimi
Telah belajar kembali
Untuk menjadi berani
Dalam berbuat
Untuk menjadi berani
Menghadapi mati."
Kata Sang Awan pula:
"sangat menarik sekali
Kisahmu, ya Angin
Tapi sebelum kita pergi
Mengenbara ke bagian bumi yang lain
Katakan pada saya
Karena kau tahu banyak
Tentang negeri ini
Katakan pada saya
Untuk apa anak muda itu mati?"
Sang angin tersenyum dan berkata:
"Untuk dua patah kata, dia
Rela mati
Dalam usia muda sekali."
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 60
"Apa gerangan itu?"
Tanya Sang Awan
"Menegakkan kebenaran."
sahut Sang Angin
"Dan Keadilan."
Dan mereka berdua
Mulailah ngembara lagi
Sementara senja
Turun ke bumi.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 61
Geometri
Dari titik ini
Sedang kita tarik garis lurus
Ke titik berikutnya
Segala komponen
Telah jelas. Dalam soal
Yang sederhana.
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 62
Aviasi
Sebuah heli melayang-layang
Pada siang yang panas
Di langit ibu kota
Berjuta mata memandang
Tengadah ke atas
Tak lagi bertanya-tanya
Setiap kita jumpa di jalan
Sejak jam lima tadi pagi
Tak ada yang bimbang lagi
Telah kita lumpuhkan urat nadi
Sepi dan tegang di jalanan.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 63
Mimbar
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan teknologi
Tanpa ketakutan
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan
Segala despot dan tiran
Tidak bisa merobohkan
Mimbar kami.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 64
Arithmetik Sederhana
Menyimak Adham Arsyad
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata :
Dua tambah dua
Mudah-mudahkan sama dengan empat.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 65
Depan Sekretariat Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
Kami semua menyanyi
'Gugur Bunga'
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Membuaka baretnya
Airmata tak tertahan
Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal awan.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 66
22 Tahun Kemudian
Ya anakku. Saya telah menuliskannya untukmu
22 tahun yang lalu saya tuliskan ini untuk kalian
Ayahmu, waktu itu, pada suatu musim hujan
Ketika itu tanpa kerja-tetap dan gelandangan
Di sebuah kamar yang pengap di ibukota
Duduk dan mencoba mencatat sajak ini
Ayah harus menuliskan ini. Harus
Walaupun saya belum tahu, apakah saya
Kelak akan mempunyai seorang Dayat
Dan seorang Ina yang bermata-jeli
Atau tidak punya anak sama sekali
Tapi saya harus menuliskan ini. Harus.
(Di luar jam malam telah jatuh
Ada catatan-catatan kecil di atas meja
Derai-derai gerimis mulai meluruh
Di antara deru patroli kota)
Apakah yang pertama harus dituliskan
Bila begitu banyak yang tiada terucapkan?
Di atas meja, catatan-catatan kecil kawanku yang setia
Menggapai-gapai dalam angin dari jendela
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 67
Dari tingkap, menjulur piramid dan tugu-tugu
Kota slogan dan menara, kotamu dulu
Tanah gunung-api dan hama, tanahmu dulu
Pedesaan yang malang, kuli-kuli pelabuhan yang
tersemu
Dalam pidato-pidato seribu jam dari seribu mimbar
Dalam pawai-pawai genderang dan slogan berkibar-kibar
Bertuliskan sepatah kata: Tirani
Ya anakku, Tirani dengan t besar
Kenistaan dengan panjinya tinggi
22 tahun yang lalu. Sungguh tak terpikirkan
Bagi kalian saat ini
Terbayangkan, apa pula
Nyeri perjuangan yang dinistakan
(Di luar jam malam telah jauh
Saya lanjutkan catatan-catatan ini buat kalian
Ketika tetesan embun mulai jatuh
Tanpa suara, perlahan-lahan)
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 68
Berpikir ganda. Apa yang diucapkan
Berlawan dengan suara hati
Rencana-rencana besar, kemewahan dan perempuan
Dipersanjungkan dalam pesta-pesta ingkar insani
Pengejaran, penahanan tanpa pengadilan
Penindasan dan perang saudara
Berbunuh-bunuhan
(Hadirin diminta berdiri, karena akan masuk ruangan:
Penjilat-penjilat dan pelayan-pelayan besar)
Keangkuhan disebar bagai api hutan terbakar
Diatas tanah yang dibelah-belah dan diadu sesamanya!
(Arwah lelaki itu tersenyum, Machiavelli namanya)
Berjuta-juta kami berdiri. Lesu dan lunglai
Sehabis rapat besar dan pawai-pawai
Yang tidak memikirkan pemborosan dan wabah penyakit
Tidak membicarakan harga-harga dan nestapa
kemiskinan
Pemborosan? Siapa peduli itu
Harga? Harga apa? Apa harga diri kau?
Hafalkan singkatan-singkatan ini. Berteriaklah
Dengan dengki dan acungkan tangan terkepal
Tengadahlah. Pandang panji-panji ini
"Hormati!"
Bertuliskan sepatah kata: Tirani
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 69
Ya anakku. Tirani dengan t besar
Bagi kalian saat ini, sungguh tak terpikirkan
Tapi apa yang kau nikmati hari ini
Kebebasan. Kebebasan dengan k besar
Nikmatiklah, nikmatilah.
Dan ia
Bukanlah jatuh dari awan gemawan
Tapi ia lahir dari duka perjuangan
Ia lahir melalui cercaan nista
Melalui kertas-kertas stensil dari tangan ke tangan
Melalui tembok-tembok kota yang sabar
Dilumuri seribu kaleng cat
Rapat-rapat serta seribu isyarat
Di bawah ancaman laras kekuasaan
Yang dibidikkan ke tengkukmu
Ia lahir dari teriakan-teriakan mahasiswa
Dalam pawai-pawai perkasa
Sungguh tak terpikirkan
Bila kita tidak bersama Tuhan
Bagi kalian sungguh tak terpikirkan kini
Juga bagi ayah (22 tahun yang lalu), ketika
Menuliskan sajak ini
Di kamar yang sepi
Sendiri
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 70
(di luar jam malam hampir berakhir
Sementara ayah sudahi catatan-catatan ini
Ketika subuh dan fajar di langir mengalir
Dan harus berkemas untuk berjalan lagi).
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 71
Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 72
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan ?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara.
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 73
Doa
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampuni kami
Ampunilah
Amin.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 74
Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”
Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 75
Benteng
Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dari seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita taktahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 76
06.30
Di pusat Harmoni
Pada papan adpertensi
(Arloji Castell)
Tertulis begini: "Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat"
Di belakangnya langit pagi
Tembok sungai dan kawat berduri
Pengawalan berjaga. Di istana
Arloji Castell
Berkata pada setiap yang lewat
"Dunia Kini
Membutuhkan Waktu Yang Tepat."
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 77
Silhuet
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang lelah
Angin jalanan yang panjang
Tak ada rumah. Kita tak berumah
Kita hanya bayang-bayang
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang letih
Di atas jasad yang pedih
Kita lapar. Kita amat lapar
Bayang-bayang yang lapar
Gerimis telah menangis
Di atas bumi yang sepi
Sehabis pawai genderang
Angin jalanan yang panjang
Menyusup-nyusup
Menusuk-nusuk
Bayang-bayang berjuta
Berjuta bayang-bayang
Di bawah bayangan pilar
Di bawah bayangan emas
Berjuta bayang-bayang
Menangisi gerimis
Menangisi gunung api
Kabut yang ungu
Membelai perlahan
Hutan-hutan
Di selatan.
Juli, 1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 78
Bendera
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
“Tidak ada pahlawan meninggal dunia!”
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Perlahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 79
Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan Kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kautumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
April, 1965
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 80
Persetujuan
Momentum telah dicapai. Kita
Dalam estafet amat panjang
Menyebar benih ini di bumi
Telah sama berteguh hati
Adikku Kappi, engkau sangat muda
Mari kita berpacu dengan sejarah
Dan kini engkau di muka!
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 81
La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
"Hidup kakak-kakak kami!"
Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa ibu ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi
Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 82
Dari Ibu Seorang Demonstran
"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sesaat)
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 83
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kauteriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta Rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 84
Yell
Tiga truk terbuka
Lewat depan rumah
Mereka menyanyi gembira
"Buat Apa Sekolah"
Tas buku di tangan kiri
Dibakar matahari, tak bertopi
Mereka meneriakkan Kebenaran
Yang telah lama dibungkamkan
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 85
Oda Bagi Seorang Supir Truk
Sebuah truk lama
Dengan supir bersahaja
Telah beruban dan agak bungkuk
Di atas stirnya tertidur
Di suatu senja musim ini
Dalam tidurnya ia bermimpi
Jalanan telah rata. Ditempuhnya
Dengan sebuah truk baru
Dengan klakson yang bisa berlagu
Dan di sepanjang jalanan
Beribu anak-anak demonstran
Tersenyum padanya, mengelu-elukan
"Hiduplah bapak supir yang tua
Yang dulu berjuang bersama kami
Selama demonstrasi!"
Di tepi sebuah jalan di ibukota
Ketika udara panas, di suatu senja
Seorang supir lusuh dengan truk yang tua
Duduk sendiri terkantuk-kantuk
Semakin letih, semakin bungkuk.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 86
Horison
Kami tidak bisa dibubarkan
Apalagi dicoba dihalaukan
Dari gelanggang ini
Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah
Dan mengulurkan tangannya yang ramah
Tidak ada lagi sekarang waktu
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu
Karena jalan masih jauh
Karena Arif telah gugur
Dan luka-luka duapulih-satu.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 87
Rendez-Vouz
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
"Saya sudah mengetuk-ngetuk
Pintu yang lain,"
Katanya
"Tapi amat heran
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu."
Kini kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah Sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu!
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 88
Kata Itu, Suara Itu
Tiga buah panser kavaleri
Membayang hitam malam ini
Kami sama berjaga. Semua hening
Seorang anak empat belas tahun
Bertukar api rokok dengan kopral ini
Gugus api berlompatan
Cocktail Molotov di sudut berjajaran
Sebagian tidur, sebagian berkawal
Mungkin sebentar lagi mereka dibangunkan
Atau pagi-pagi sekali bergerak
Menyandang AK, prajutir ini berpapasan
Dengan yang berjaket kuning, dalam gelap
Tanpa kata, tanpa suara
Ruangan yang suram
Langit yang hitam
Tiada kata, tiada suara
Tapi satu sama lain tahu kata itu
Tahu suara itu
Suara bumi ini
Suara berjuta
Mereka berempat berjagalah malam ini
Tanpa kata, tiada suara
Tapi satu sama lain
Tahu kata itu
Paham suara itu.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 89
Malam Sabtu
Berjagalah terus
Segala kemungkinan bisa terjadi
Malam ini
Maukah kita dikutuk anak-cucu
Menjelang akhir abad ini
Karena kita kini berserah diri?
Tidak. Tidak bisa
Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya
Apakah kita hanya akan bernafas panjang
Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?
Tidak. Tidak bisa
Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu
Suara doa berjuta-juta
Rakyat yang telah menanti lama sekali
Menderita dalam nyeri
Mereka sedang berdoa malam ini
Dengar. Dengarlah hati-hati.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 90
Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kancana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Kawula dukana yang berpuluh-juta
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara
Dan memperoleh uang emas beratus-juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 91
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadap kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 92
Pengkhianatan itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret
Pengkhianatana itu telah terjadi
Pengkhianatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret
Ada manager-manager politik
Ada despot yang lalim
Ada ruang sidang dalam istana
Ada hulubalang
Serta senjata-senjata
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka
tapi la la la
disana tak ada kepala
tapi hu hu hu
tak ada kepala di atas bahu
Adalah tempolong ludah
Sipoa kantor dagang
Keranjang sampah
Melayang layang
Ada pernyataan otomatik
Ada penjara dan maut imajiner
Generasi yang kocak
Usahawan-usahawan politik yang kocak...
Ruang sidang dalam istana
La la la
tempolong ludah tak berkepala
Hu hu hu
kerangjang sampah diatas bahu
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen
Terbang
Melayang layang.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 93
Bendera Laskar
Kali pertama, dihalaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah manusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan
Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 94
Beberapa Urusan Kita
Tentang nasip angkatan ini
Itu adalah urusan sejarah
Tapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa tahu
tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketentraman tanpa tiran
Tentang nasip angkatan ini
Itu urusan sejarah
Tetapi tentang menegakkan kebenaran
Itu urusan kita.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 95
Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia
Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia Ketua DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, camat atau jaksa
Atau Menteri. apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis bayinya yang pertama
Ketika sang Ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 96
bahwa 20,22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya, didepan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek disana jauh dari ibu, yang
Melahirkannya. Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada
Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya
darah telah mengantarkannya ke dunia
darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 97
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
maafkan para studen sastra. Saya telah
Menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maafkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretang sejarah
Benarkah?
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 98
Refleksi Seorang Pejuang Tua
Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan
Setelah mereka menyimak deru sejarah
Dalam regu perkasa mulailah melangkah
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dari kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya
Mereka kembali menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun yang lalu
Spiral sejarah telah mengantar kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai dari Sunyi
Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh tahun yang lalu.
1966
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 99
Rijswijk 17
Malam itu kami duduk di beranda, bulan pun ada Lalu lintas terasa hingar, deru deram sebentar-sebentar Memanjang kawat telepon diantara tiang yang merentang Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya Di celah deretan pohon, menyusur cemara hospital Kami sama berdiri. 'Bulan auronetika-kah ini?' Benda-angkasa itu meluncur pelahan Dalam busur lengkung di langit barat Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main sebuah transistor menyanyikan tema jazz Summertime Busur cahaya iotu makin melengkung Di atas gedung, menyentuh bayang bangunan Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang Yang masih bergumul bagi kebebasan dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan Sementara benda-angkasa ini menunjuk ke bulan Dan menjelujuri rimba-belantara teknologi Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demokrasi Mulai menuliskan lengkung huruf 'd' dari demokrasi itu
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 100
Di langit pun membusur garis cahaya Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang Anak-anak belasan tahun berlarian riang Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan Berkejaran dalam main bandit-dan-lakon Menyusu trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka Keluar. Berjalanlah mereka. Kawanan serigala Yang khianat, dan kini dipisahkan dari pimpinannya Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 101
Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama Dari dulu daerah perburuannya. Meraungi betina-betinanya Dari lantai pualam menengadahlah dia ke angkasa Angkasa yang kini, lebih dari masalah "saya terharu" Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi! Dan di sini, orang bergulat melawan anti-logika masih Masalah empat-kebebasan, masalah kurangnya proteina Elektrifikasi dan cetak biru yang sia-sia seseorang berjalan, lalu puluhan berjalan, ribuan Di bawah langit terik lagi, kecemasan lagi Di antara lontaran cakram-cakram api Seperti sebagian gelombang lama, perlahan meninggi Membentur seberang sana. Berhenti Dan berteriak: Hei kau-kau yang disana! Kalian! Hei...kau Ya:kau!
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 102
Dan tiba-tiba semua terdiam. Terdiam. Hanya Terdiam Di Jakarta yang tua, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Ciliwung Ketika dari Buitenzorg bergerak kereta-kencana ke utara Dengan dua belas kuda putih Sang Gubernur Dalam derap-dua di jalan tanah Tanah dijarah, bumi yang dijajah Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang Orang asing dan beberapa pribumi Di Jakarta sini, ya, Jakarta yang Betawi Jakarta yang Rijswijk, yang Meester, yang asli Betawi Jakarta yang Empat Serangkai, yang Saiko Sikikan Kakka Jakarta yang tugu, yang syauvinis, yang maksiat Tapi semuanya Tapi semuanya Jakarta yang Ciliwung Jakarta yang Ciliwung Mengalirlah kau Ciliwung, mengalirlah tenang Mengalirlah lamban dengan kepekaan dan kecoklatanmu Bersama lempung, bersama ampas, bersama sampah Bersama sejarah
Tirani dan Benteng
Taufik Ismail 103
Dan malam ini kau surut, malu pada bulan diatas Gusar pada benda angkasa yang membusur pelahan Menyusur hasil-akhir perhitungan kosmografi Sementara kau belum sempat-sempat membersihakan diri Masalah saniter, perencanaan kota dan semacamnya Dan di atas kau jembatan, lintas kawat dan flamboyan Gugus-gugus bunga merah yang semakin rendah Gugur ke sungai, gugur, hanyut dalam spiral Bayang-bayang yang coklat Bayang-bayang yang bergoyang Perempuan mencuci Anak telanjang yang mandi Burung layang-layang melayang Dalam senja hilang bayang-bayang Di belakang barikade yang panjang Kawat duri bersilang Dinding sungai yang curam Rumah-jaga terdiam Karaben bersangkur terhujam 1966