tim penyusun laporan - trp.or.id akhir ran 2018.pdf · laporan akhir kegiatan koordinasi strategis...
TRANSCRIPT
| i Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
TIM PENYUSUN LAPORAN
1. Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D
2. Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
3. Aswicaksana, ST, MT, M.Sc
4. Ir. Rinella Tambunan, MPA
5. Santi Yulianti, S.IP, MM
6. Ir. Nana Apriyana, MT
7. Awan Setiawan, SE, MM, ME
8. Hernydawaty, SE, ME
9. Elmy Yasinta Ciptadi, ST, MT
10. Khairul Rizal, ST, MPP
11. Zulfakar, S.Kom, ME
12. Sapto Mulyono, SAP
13. Tarina Iqlima, ST
14. Idham Khalik, SP, M.Si
15. Gita Nurrahmi, ST
16. Fadiah Adlina Ulfah, S.Si
17. Edi Setiawan, S.Si
18. Sylvia Krisnawati
19. Cecep Saryanto
20. Ujang Supriatna
21. Pratiwi Khoiriyah
22. Meddy Chandra Himawan
23. Widodo
24. Maman Hadiyanto
| iii Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
KATA PENGANTAR
Laporan ini memuat capaian pelaksanaan Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma
Agraria Nasional pada Tahun 2018. Pelaksanaan kegiatan koordinasi strategis ini pertama
kali diinisiasi pada tahun 2013, sebagai upaya koordinasi lintas K/L dan pemerintah daerah
dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional sesuai dengan dokumen White
Paper Pengelolaan Pertanahan Nasional yang diterbitkan oleh Menteri PPN/Kepala
Bappenas pada tahun 2013. Selanjutnya, koordinasi strategis ini menjadi prakondisi
pengenalan isu yang kemudian menjadi kebijakan dalam RPJMN 2015-2019; dan dengan
terbitnya RPJMN 2015-2019 menjadi awal pembaharuan kebijakan bidang pertanahan, serta
untuk memantau dan memberikan arahan dalam pelaksanaan kebijakan RPJMN bidang
pertanahan hingga tahun 2019.
Pada tahun 2018, kegiatan ini dilaksanakan sesuai Surat Keputusan Menteri
PPN/Bappenas Nomor KEP.9/M.PPN/HK/02/2018 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Strategis Reforma Agraria Nasional, dan beranggotakan perwakilan Kementerian/Lembaga
yang menjadi pelaksana kebijakan bidang pertanahan yaitu Kementerian PPN/Bappenas;
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN); Kementerian Dalam Negeri; Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan
Perikanan; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi; dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Sebagaimana tertuang dalam White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan
Nasional, kebijakan-kebijakan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh kegiatan
koordinasi strategis ini adalah: (1) Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistem Publikasi Positif, (2)
Kebijakan Asset Reform dan Access Reform, (3) Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan (4) Kebijakan Sumberdaya Manusia Bidang
Pertanahan. Capaian pelaksanaan kegiatan ini pada tahun 2018 secara umum telah sesuai
dengan rencana kerja yang telah ditetapkan, walaupun tentunya masih terdapat beberapa
kegiatan yang harus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.
iv | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional hanya dapat
berjalan dengan adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak antara lain Badan
Informasi Geospasial (BIG), Kementerian PAN-RB, Kanwil BPN provinsi, Bappeda provinsi,
Kantor Pertanahan kabupaten/kota serta berbagai pihak lainnya. Untuk itu pada
kesempatan ini disampaikan terima kasih dan apresiasi atas segala partisipasi dan bantuan
yang diberikan.
Laporan ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kemajuan
pelaksanaan kebijakan pengelolaan pertanahan nasional. Dengan demikian sektor-sektor
terkait dapat memperhatikan capaian pelaksanaan yang tertuang, terutama dalam
menyusun kebijakan operasional terkait bidang pertanahan di masing-masing sektor.
Semoga laporan ini bermanfaat sebagai salah satu referensi dalam bidang pertanahan.
Jakarta, Desember 2018
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
selaku Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
| v Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN LAPORAN ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL . 3
BAB III RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL ............ 5
BAB IV CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN
2018 ........................................................................................................................... 9
4.1 INTERVENSI KEBIJAKAN ......................................................................................... 9
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif ............................................... 9
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform ..................................... 39
4.1.3 Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum ... 56
4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan .............................. 61
4.2 Koordinasi Pelayanan Pertanahan ...................................................................... 62
4.3 PUBLIKASI DAN SOSIALISASI ............................................................................... 64
4.3.1 Media CD .................................................................................................... 64
4.3.2 Media Daring .............................................................................................. 65
BAB 5 PENUTUP .................................................................................................................. 67
LAMPIRAN .............................................................................................................................. 69
| 1 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAB I PENDAHULUAN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
mengamanatkan beberapa arah kebijakan pengelolaan pertanahan nasional. Kebijakan
pengelolaan pertanahan nasional tersebut diperlukan untuk memberikan arah yang lebih
baik dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencegah terjadinya kasus
pertanahan. Kebijakan pertama adalah membangun sistem pendaftaran tanah publikasi
positif (stelsel positif) yang bertujuan menjamin kepastian hukum hak atas tanah. Kedua
adalah reforma agraria melalui redistribusi tanah yang disertai bantuan pemberdayaan
masyarakat untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Ketiga adalah pencadangan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Kebijakan terakhir adalah pencapaian proporsi kompetensi SDM ideal
bidang pertanahan untuk mencapai kebutuhan minimum juru ukur pertanahan.
Perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional tersebut memerlukan koordinasi
lintas sektor yang melibatkan kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah. Salah
satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian PPN/Bappenas adalah fungsi koordinasi.
Dengan memperhatikan tupoksi tersebut maka pada tahun 2018 telah dilakukan kegiatan
Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Kegiatan tersebut ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri PPN/Bappenas Nomor KEP.9/M.PPN/HK/02/2018 tanggal 9 Februari
2018 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Tim
Koordinasi Strategis tersebut beranggotakan perwakilan dari beberapa
Kementerian/Lembaga yang menjadi pelaksana kebijakan bidang pertanahan yaitu
Kementerian PPN/Bappenas; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (BPN); Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Pertanian;
Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah. Tim koordinasi strategis ini bersinergi dengan Kelompok Kerja Reforma
Agraria yang berada di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dibentuk pada
pertengahan tahun 2017, yang berfokus pada Asset Reform dan Access Reform (arah
2 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
kebijakan ii) sesuai dengan penugasan Presiden. Secara umum tujuan kegiatan tersebut
adalah melaksanakan tugas dalam menyelenggarakan fungsi koordinasi dan sinkronisasi
yang melibatkan Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah daerah, dan organisasi non
pemerintah untuk melaksanakan program dan kegiatan bidang pertanahan yang telah
dirumuskan dalam RPJMN 2015-2019.
Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional dilakukan selama 1 (satu)
tahun dalam bentuk rapat anggota tim, focus group discussion (FGD), kunjungan lapangan,
dan lokakarya yang melibatkan berbagai pihak (stakeholders) bidang pertanahan. Fokus
substansi kegiatan dari Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional adalah untuk
mendukung implementasi kebijakan yang diamantkan dalam RPJMN 2015-2019. Kegiatan
tersebut adalah pembaruan (update) cakupan peta dasar pertanahan, cakupan bidang tanah
bersertipikat yang memiliki titik koordinat (georeferensi) baik, koordinasi dan pemantauan
pelaksanaan kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan, serta harmonisasi peraturan
perundangan terkait tanah adat/ulayat. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mendukung
kebijakan membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif (stelsel positif). Kegiatan
lain adalah koordinasi dan sinergi antar sektor terkait dalam menyiapkan Tanah Obyek
Reforma Agraria (TORA) dan program pemberdayaan masyarakat untuk mendukung
kebijakan reforma agraria, koordinasi penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Bank Tanah untuk mewujudkan kebijakan pencadangan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum. Kemudian untuk mendukung kebijakan pencapaian proporsi
kompetensi SDM ideal bidang pertanahan khususnya juru ukur pertanahan maka dilakukan
koordinasi pemantauan dan evaluasi penerimaan juru ukur di Kementerian ATR/BPN.
Untuk menggambarkan pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria
Nasional Tahun 2018, maka disusun laporan akhir (Final Report) pelaksanaan kegiatan oleh
Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional. Penyusunan laporan akhir dilakukan
melalui rangkaian serangkaian rapat anggota tim, focus group discussion (FGD), dan diakhiri
lokakarya yang melibatkan berbagai pihak (stakeholders) bidang pertanahan. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan masukan dan kesepakatan tentang capaian kegiatan yang
dilakukan dalam upaya perbaikan sistem pengelolaan pertanahan. Laporan akhir ini memuat
tujuan dan sasaran kegiatan, ruang lingkup kegiatan, rencana kebijakan, dan capaian kerja
Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional.
| 3 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAB II TUJUAN DAN SASARAN KOORDINASI STRATEGIS
REFORMA AGRARIA NASIONAL
Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional bertujuan untuk melakukan
koordinasi dalam pelaksanaan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan
pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, serta
penyusunan rencana program dan kegiatan. Sasaran yang akan dicapai adalah:
a. Melaksanakan pengkajian, perumusan dan pengembangan kebijakan pertanahan
nasional yang mendukung pelaksanaan reforma agraria;
b. Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan kegiatan (RPK) terkait
reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RPK tersebut;
c. Melaksanakan diseminasi dan sosialisasi kebijakan pertanahan, membangun
konsensus, dan mendapatkan dukungan komitmen dari institusi dan pelaku terkait
pelaksanaan reforma agraria nasional.
Kegiatan ini dilaksanakan untuk mendukung sasaran rencana strategis Perencanaan
Pembangunan Nasional yang berkualitas, sinergis, dan kredibel. Indikator kinerja (outcome)
yang digunakan berupa (a) persentase K/L/D yang melaksanakan penugasan lingkup bidang
tata ruang dan pertanahan yang sesuai dengan rencana, dan (b) Persentase penyelesaian
penugasan tertentu. Kedua Indikator kinerja tersebut dihasilkan berupa penugasan
(tertentu/khusus) berupa segala bentuk kebijakan/program/kegiatan yang berasal dari
arahan Presiden/arahan Menteri PPN serta jumlah K/L/D yang melaksanakan penugasan
tersebut.
| 5 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAB III RUANG LINGKUP KOORDINASI STRATEGIS
REFORMA AGRARIA NASIONAL
Berikut adalah ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma
Agraria Nasional berdasarkan subjek pelaksana kegiatan, yaitu sebagai berikut:
a. Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN)
Tim Koordinasi Strategis beranggotakan perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Perwakilan Kementerian atau
Lembaga (K/L) terkait program prioritas reforma agraria, yang pembentukannya
ditetapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan memiliki lingkup kerja (i)
Merencanakan, mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program
dan kegiatan reforma agraria nasional; (ii) Melaksanakan pengkajian, perumusan dan
pengembangan kebijakan pertanahan nasional yang mendukung pelaksanaan reforma
agraria nasional; (iii) Melaksanakan koordinasi penyusunan rencana, program dan
kegiatan (RPK) terkait reforma agraria nasional serta pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan RPK tersebut; (iv) Melaksanakan sosialisasi dan publikasi kebijakan dan
perkembangan pelaksanaan kegiatan reforma agraria nasional. Secara lebih rinci,
kegiatan yang akan dilaksanakan baik melalui Kajian dan Studi Kebijakan Pertanahan
Nasional, maupun upaya pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan yang
sebelumnya telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Kajian dan studi kebijakan. Pelaksanaan kegiatan kajian dan studi kebijakan
dilakukan dalam rangka menyusun kebijakan dalam pengelolaan pertanahan di
Indonesia. Adapun studi kebijakan yang akan dilakukan pada tahun anggaran
2018 adalah sebagai berikut:
a) Koordinasi pelaksanaan dan pemantauan publikasi tata batas kawasan hutan
Kegiatan bertujuan untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan publikasi
tata batas kawasan hutan, yang merupakan tindak lanjut dari kegiatan
6 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
sebelumnya di tahun 2017 yaitu pelaksanaan pilot tata batas kawasan hutan.
Publikasi tata batas (delineasi batas) kawasan hutan dilakukan pada skala
yang sama dengan skala kadastral. Pelaksanaan publikasi tata batas kawasan
hutan dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN melalui
kesepakatan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Badan Informasi Geospasial (BIG). Kementerian PPN/Bappenas
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan serta melakukan pemantauan
pelaksanaan kegiatan tersebut.
b) Persiapan pelaksanan sosialisasi peraturan perundangan terkait tanah
adat/ulayat
Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun penyepakatan konsep sosialisasi
terkait peraturan pengukuhan tanah adat/ulayat, sehingga K/L dan pemda
memiliki informasi dan arahan yang jelas dalam menyusun program terkait
tanah adat/ulayat. Pada tahun 2018 kegiatan difokuskan pada upaya
pencabutan Permen ATR No 10 Tahun 2016 dan masukan dalam penyusunan
bentuk hukum hak adat ulayat.
c) Sosialisasi pelaksanaan reforma agraria nasional
Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mensosialisasikan pelaksanaan
kegiatan Reforma Agraria (akses dan aset reform) kepada seluruh stakeholder
reforma agraria di daerah. Pelaksanaan sosialisasi dilaksanakan agar
stakeholder terkait dapat memiliki pemahaman yang sama terkait
pelaksanaan kegiatan reforma agraria di daerah.
d) Koordinasi penyusunan NSPK terkait Lembaga Penyediaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari penyusunan Peraturan Presiden
terkait pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah di lingkungan Kementerian
ATR/BPN, sehingga penyediaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan
umum dapat berjalan secara optimal.
| 7 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
e) Pemantauan pelaksanaan reforma agraria nasional
Reforma Agraria (aset dan akses reform) sebesar 9 Juta Ha merupakan salah
satu amanat Nawacita. Pemantauan pada beberapa provinsi terpilih
diperlukan untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan kegiatan tersebut
f) Pemantauan dan Koordinasi Penerimaan CPNS Juru Ukur Kementerian
Agraria dan Tata Ruang
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengawal pelaksanaan penerimaan CPNS
Kementerian ATR/BPN khususnya juru ukur yang mendukung pelaksanaan
program prioritas reforma agraria dan mendukung terwujudnya nawacita
reforma agraria 9 juta Ha. Pada saat ini, teridentifikasi bahwa keberadaan
juru ukur pertanahan masih sangat kurang
2. Identifikasi dan pengolahan data capaian pembuatan peta dasar pertanahan.
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mewujudkan perubahan kebijakan
pendaftaran pertanahan publikasi positif. Kegiatan ini juga merupakan
kelanjutan dari kegiatan tahun sebelumnya untuk mengidentifikasi capaian peta
dasar pertanahan. Pada akhir tahun 2017, capaian cakupan Peta Dasar
Pertanahan adalah sebesar 45,93%. Prakondisi untuk mewujudkan pendaftaran
pertanahan publikasi positif adalah sebesar 80%.
3. Identifikasi dan pengolahan data cakupan sertipikasi tanah. Kegiatan ini juga
dilakukan dalam rangka mewujudkan perubahan kebijakan pendaftaran tanah
nasional juga meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat.
Pada akhir tahun 2017, capaian cakupan sertipikat tanah yang terdigitasi pada
Geo-KKP adalah sebesar 13,22%. Prakondisi untuk mewujudkan pendaftaran
pertanahan publikasi positif adalah sebesar 80%.
b. Sekretariat Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN)
Sekretariat Reforma Agraria (RAN) dibentuk dalam rangka mendukung pelaksanaan
tugas dari Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria. Sekretariat tersebut akan
mendukung secara teknis pelaksanaan koordinasi reforma agraria dari aspek (i)
penyusunan dan perumusan kebijakan Reforma Agraria Nasional (RAN); (ii) koordinasi
pelaksanaan RAN lintas sektor (K/L); (iii) koordinasi penyelesaian permasalahan
8 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
pertanahan lainnya; dan (iv) pemantauan dan evaluasi. Pelaksanaan kegiatan di
sekretariat juga dapat memberikan informasi perkembangan yang aktual kepada Tim
Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional (RAN).
Diperlukan juga studi kebijakan untuk merumuskan dan mengidentikasi jenis
kebijakan yang harus diambil dalam rangka menyelesaikan konflik pertanahan sebagai
salah satu bentuk kegiatan reforma agraria. Adapun untuk Tahun Anggaran 2018
perumusan kebijakan yang dilakukan adalah terkait publikasi tata batas kawasan
hutan dan harmonisasi peraturan terkait adat/ulayat.
Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan juga membutuhkan media publikasi dan
pengenalan program terhadap stakeholder sehingga dapat memberikan informasi
mengenai program dan kegiatan yang dilakukan oleh Tim Koordinasi Strategis dan
Sekretariat Reforma Agraria. Disamping yang berkaitan dengan kegiatan publikasi dan
sosialisasi diperlukan juga kegiatan penyusunan database program mengingat
banyaknya pelaku program dan kegiatan yang akan dilakukan pada tahun 2018.
| 9 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAB IV CAPAIAN KERJA KOORDINASI STRATEGIS
REFORMA AGRARIA NASIONAL TAHUN 2018
Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Tahun Anggaran 2018 secara umum
meliputi 3 kegiatan utama , yaitu :
1) Intervensi Kebijakan;
2) Koordinasi Pelayanan Pertanahan;
3) Publikasi dan Sosialisasi Reforma Agraria.
4.1. INTERVENSI KEBIJAKAN
Intervensi kebijakan kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional tahun
2018 merupakan tindaklanjut dari arah kebijakan pengelolaan pertanahan nasional yang
tertuang dalam White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional (2013) dan selaras
juga dengan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 Bidang Pertanahan. Beberapa intervensi
kebijakan yang menjadi fokus pada tahun 2018 adalah: (i) Kebijakan Sistem Pendaftaran
Tanah Publikasi Positif; (ii) Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform; (iii) Kebijakan
Pembentukan Lembaga Penyediaan Tanah; dan (iv) Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang
Pertanahan. Berikut penjelasan lebih lanjut capaian masing-masing kebijakan tersebut.
4.1.1 Kebijakan Pendaftaran Tanah Stelsel Positif
Indonesia saat ini menganut Sistem pendaftaran tanah publikasi negatif atau dikenal
juga dengan sistem stelsel negatif, yang berarti negara tidak menjamin kebenaran informasi
yang tercantum di dalam sertipikat hak atas tanah. Informasi yang tercantum tersebut
dianggap benar sampai terbukti sebaliknya. Sehingga, untuk meningkatkan jaminan
kepastian hukum diperlukan perubahan sistem pendaftaran tanah nasional menjadi sistem
publikasi positif. Pada sistem publikasi positif, setiap informasi yang tertera dalam lembar
sertifikat dijamin kebenarannya oleh negara. Apabila terjadi kesalahan informasi yang
dilakukan oleh negara, maka sebagai bentuk pertanggungjawaban, negara wajib mengganti
kerugian terhadap pihak yang dirugikan. Arah kebijakan bidang pertanahan dalam RPJMN
10 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
2015-2019 adalah perubahan sistem pendaftaran tanah stelsel positif. Perubahan sistem
pendaftaran tanah publikasi positif membutuhkan kesiapan baik dari aspek teknis maupun
yuridis. Untuk melakukan perubahan menjadi sistem pendaftaran tanah publikasi positif,
dibutuhkan beberapa prasyarat antara lain; (i) percepatan penyediaan cakupan peta dasar
pertanahan, (ii) percepatan cakupan bidang tanah bersertipikat, (iii) publikasi tata batas
kawasan hutan pada skala pendaftaran tanah (Kadastral 1:5000) yang terintegrasi dalam
sistem pendaftaran tanah di BPN, dan (iv) penetapan dan registrasi tanah adat/ulayat.
Pada tahun 2017 telah dilakukan upaya pemenuhan kondisi prasayarat tersebut
meliputi:
a. Disusunnya peta dasar pertanahan oleh Direktorat Pemetaan Dasar, Kementerian
ATR/BPN dengan cakupan seluas 29.546.883,77 Ha atau 45,93%.
b. Dilakukannya proses digitasi bidang tanah sersertipikat dengan total cakupan pada
tahun 2017 sebesar 8,62 Juta Ha (13,22 Juta Ha bila dibandingkan luas budidaya
ditambah enclave).
c. Pelaksanaan perapatan batas kawasan hutan (publikasi tata batas kawasan hutan)
meliputi Kawasan Hutan Yeh-Ayah, Kawasan Hutan Pantai Rebo, Kawasan Hutan
Gunung Mangkol, dan Kawasan Hutan Ciburial.
A. Rencana
Untuk mewujudkan perubahan sistem pendaftaran tanah dari publikasi negatif
menjadi publikasi positif, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria pada tahun anggaran
2018 telah menetapkan beberapa target kegiatan sebagai berikut:
| 11 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan selama satu tahun
menghasilkan beberapa pencapaian sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya informasi cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan bidang tanah yang telah bersertipikat
a. Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Salah satu prasyarat dalam aspek teknis adalah ketersediaan peta dasar pertanahan
sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat tanah. Peta dasar pertanahan dengan skala besar
yang semakin luas dapat memberikan dasar informasi yang lebih akurat dalam proses
pembuatan sertifikat tanah. Dengan akurasi dan cakupan peta dasar pertanah yang semakin
baik maka akan memberikan jaminan informasi atas informasi bidang tanah yang telah
bersertifikat sehingga diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konflik
pertanahan.
Badan Informasi Geospasial (BIG) pada tahun 2014 menerbitkan luas wilayah
Indonesia secara spasial. Luas wilayah Indonesia ini terdiri dari kawasan hutan dan wilayah
Terindentifikasinya Informasi cakupan
Peta Dasar Pertanahan dan
wilayah Bersertipikat Tahun
2018
Terlaksananya monitoring dan
evaluasi capaian
pelaksanaan kegiatan
publikasi tata batas kawasan
hutan
Tersedianya usulan pencabutan Permen
ATR/Ka. BPN 10/2016 kepada
instansi yang terkait
Tersusunnya pedoman tata batas kawasan
hutan
12 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
non hutan. BIG dalam melakukan perhitungan luas wilayah nasional menggunakan metode
proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection. Sejak tahun 2014 variabel luas wilayah
Indonesia yang diterbitkan oleh BIG menjadi salah satu variabel dalam perhitungan luas
cakupan peta dasar pertanahan. Berdasarkan data dari BIG luas wilayah Nasional diluar
kawasan hutan adalah 64.324.754 Ha. Pada tahun 2014 teridentifikasi luas wilayah yang
telah memiliki peta dasar pertanahan adalah seluas 14.962.428,14 Ha dari luas wilayah
nasional diluar kawasan hutan sebesar 64.324.754 Ha. Sampai dengan tahun 2017 wilayah
nasional yang memiliki peta dasar pertanahan dengan berbagai skala dan metode
perekaman baik CSRT maupun Foto Udara adalah 29,54 juta Ha atau sekitar 45,93%.
Pembuatan peta dasar pertanahan dapat menggunakan citra satelit resolusi tinggi
(CSRT) maupun dengan foto udara. Peta dasar yang menggunakan CSRT memiliki
keunggulan dalam aspek cakupan pekerjaan dengan biaya yang relatif tidak terlalu mahal.
Penggunaan CSRT ini oleh Kementerian ATR/BPN dimulai sejak tahun 2016. Pada tahun
2016 peta dasar yang dihasilkan dengan CSRT cukup luas. Skala yang digunakan adalah skala
1:1.000 dan 1:2.500, sehingga pada tahun 2016 luas cakupan peta dasar pertanahan seluas
29,37 Juta Ha. Metode foto udara juga lazim digunakan dalam pembuatan peta dasar
pertanahan yang dimulai sejak tahun 2017. Peta Dasar yang berasal dari Foto Udara
memiliki keunggulan dalam aspek akurasi yang lebih detail dan memiliki tutupan awan yang
sedikit, namun memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal serta
cakupan luas yang dihasilkan lebih kecil. Beberapa lokasi yang dilakukan pembuatan peta
dasar dengan foto udara pada tahun 2017 antara lain di Kabupaten Kampar, Sumbawa, Deli
Serdang dan Kota Waringing Barat. Penyusunan peta hanya dilakukan pada wilayah-wilayah
yang cakupannya tidak terlalu luas.
Pada tahun 2018 pembuatan peta dasar pertanahan juga menggunakan CSRT maupun
Foto Udara. Beberapa lokasi yang menggunakan CSRT antara lain adalah Provinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jambi, Kalimantan Selatan dan Maluku Utara. Sedangkan metode foto
udara dilakukan di Kab. Bengkulu Selatan. Setelah dilakukan perhitungan berdasarkan data
AoI (Area of Interest) dari Kementerian ATR/BPN pada tahun 2018 luas cakupan peta dasar
pertanahan seluas 30.423.185 Ha atau sekitar 47,30% berbanding luas wilayah non hutan
Indonesia.
| 13 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Berdasarkan hasil perhitungan peta dasar pertanahan sampai dengan tahun 2018,
terdapat beberapa provinsi yang memiliki cakupan peta dasar pertanahan sangat tinggi
(diatas 80%) yaitu Provinsi Aceh, Bali, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Sebaliknya beberapa provinsi masih
memiliki cakupan peta dasar pertanahan dengan kategori sangat rendah (kurang dari 20%)
antara lain, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua, Papua Barat, dan Riau. Cakupan peta
dasar untuk Provinsi DKI Jakarta masih di bawah 10% namun bila dibandingkan cakupan
bidang tanah yang telah bersertifikat sudah cukup besar. Anomali ini perlu mendapat
perhatian semua pihak agar cakupan peta dasar pertanahan dapat menjadi lebih baik.
Dengan capaian cakupan Peta Dasar Pertanahan tersebut diharapkan dapat menghasilkan
data sertipikasi bidang tanah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Rekapitulasi
cakupan peta dasar pertanahan Tahun 2015 s.d 2018 disajikan pada Tabel 4.1, sedangkan
cakupan peta dasar pertanahan tahun 2018 berdasarkan provinsi disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1
Rekapitulasi Cakupan Peta Dasar Pertanahan Tahun 2015 s.d 2018
Uraian Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Luas Wilayah Nasional
189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha
Luas Kawasan Budidaya Nasional
64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha 64,32 juta Ha
Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Kawasan Budidaya
26,9 Juta Ha (41,83%)
29,37 Juta Ha (45,67)
29,54 Juta Ha (45,93)
30,42 Juta Ha (47,30)
Sumber: Badan Informasi Geospasial (2014); Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar– Kementerian ATR/BPN (2014-2018)
Berdasarkan uraian di atas, secara umum capaian cakupan peta dasar pertanahan
sampai dengan tahun 2018 dapat disajikan pada Gambar 4.1 berikut
14 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Gambar 4.1 Luas Wilayah Nasional dan Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan
Hutan Tahun 2018
Perhitungan cakupan peta dasar pertanahan dilakukan dengan memperhatikan
beberapa aspek teknis berikut: (1) Data spasial cakupan peta dasar pertanahan Kementerian
ATR/BPN perlu diolah agar tidak terdapat area yang bertampalan; (2) Pada wilayah yang
saling bertampalan, dilakukan penggabungan menjadi satu area gabungan, sehingga tidak
terjadi double counting daerah cakupan pada area yang sama; (3) Wilayah laut dan wilayah
kawasan hutan yang masuk dalam lembar peta dasar pertanahan, tidak dimasukkan dalam
perhitungan cakupan peta dasar pertanahan; (4) Sesuai arahan BIG, perhitungan luas
menggunakan proyeksi Lambert Cylindrical Equal-area Projection.
Tabel 4.2
Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2018 Berdasarkan Provinsi
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan
Hutan (Ha) Persentase (%)
Aceh 2.293.894,50 2.063.641,48 89,96 Bali 430.782,66 429.446,49 99,69 Banten 732.307,14 674.710,62 92,13 Bengkulu 1.081.984,64 359.640,83 33,24 DI Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98
LUAS WILAYAH NASIONAL 189.073.900 Ha
TERPETAKAN MENJADI PETA DASAR PERTANAHAN 41.205.378 Ha
LUAS WILAYAH NON HUTAN 64.324.754 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
30.423.185 Ha
LUAS WILAYAH HUTAN 124.749.146 Ha
Terpetakan menjadi Peta Dasar Pertanahan
10.782.193 Ha
| 15 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
PROVINSI Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan
Hutan (Ha) Persentase (%)
DKI Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32 Gorontalo 420.247,38 387.613,71 92,23 Jambi 2.769.107,17 647.355,18 23,38 Jawa Barat 2.875.796,22 1.705.556,81 59,31 Jawa Tengah 2.788.249,39 2.595.281,78 93,08 Jawa Timur 3.439.007,49 738.480,14 21,47 Kalimantan Barat 6.420.377,40 1.759.603,67 27,41 Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.705.717,84 86,79 Kalimantan Tengah 2.602.813,50 710.412,23 27,29 Kalimantan Timur 4.258.575,96 844.009,84 19,82 Kalimantan Utara 1.326.458,49 481.278,50 36,28 Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 336.507,08 33,38 Kep. Riau 229.819,83 130.887,69 56,95 Lampung 2.417.687,64 1.793.422,41 74,18 Maluku 720.481,21 366.297,97 50,84 Maluku utara 629.517,46 265.694,43 42,21 Nusa Tenggara Barat 928.105,55 691.839,51 74,54 Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 2.870.008,33 94,69 Papua 1.746.190,12 94.027,58 5,38 Papua Barat 521.870,51 58.681,93 11,24 Riau 1.805.133,04 110.019,12 6,09 Sulawesi Barat 570.776,65 348.803,57 61,11 Sulawesi Selatan 2.375.862,88 1.002.286,08 42,19 Sulawesi Tengah 2.078.666,53 678.831,82 32,66 Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 940.751,47 73,88 Sulawesi Utara 750.253,17 617.578,58 82,32 Sumatera Barat 1.848.089,33 1.421.821,43 76,93 Sumatera Selatan 5.195.630,61 1.884.607,97 36,27 Sumatera Utara 3.426.624,65 1.404.065,66 40,98 INDONESIA 64.324.754,31 30.423.185,81 47,30
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN; Pengolahan Data oleh Kementerian PPN/Bappenas, (2018)
16 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| 17 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
b. Cakupan Bidang Tanah Bersertipikat yang Terdigitasi
Cakupan bidang bersertifikat yang terdigitasi merupakan salah satu prasyarat dalam
arah kebijakan pendaftaran tanah stelsel positif sesuai dalam RPJMN Bidang Pertanahan
2015-2019. Perhitungan cakupan bidang bersertifikat secara nasional diperlukan untuk
melihat kesiapan secara aspek teknis dalam rencana perubahan sistem pendaftaran stelsel
positif. Semakin besar cakupan bidang tanah bersertifikat diaskumsikan semakin banyak
tanah yang sudah bersertifikat dan memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah.
Perhitungan cakupan luas bidang bersertifikat diperlukan untuk melakukan analisis
cakupan luas secara absolut. Data spasial bidang tanah diperoleh dari Pusat Data dan
Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan-Kementerian
ATR/BPN sampai dengan Bulan Agustus 2018. Berdasarkan data dari Pusdatin Tata Ruang
dan LP2B sampai dengan bulan agustus 2018 jumlah bidang tanah bersertifikat sebanyak
54.415.918 Bidang. Dari jumlah bidang tanah tersebut, jumlah bidang tanah bersertifikat
terdigitasi sebanyak 38.530.951 Bidang. Jumlah bidang tanah tersebut yang memiliki
kualitas baik dan kemudian dilakukan perhitungan sebanyak 38.200.672 Bidang, sedangkan
sisanya memiliki kualitas kurang baik sehingga dikeluarkan dari perhitungan. Secara umum,
terdapat beberapa temuan dalam proses pengolahan data, antara lain: (i) kesalahan sistem
proyeksi; (ii) bidang tanah masuk dalam kawasan hutan; (iii) bidang tanah berpotongan
dengan batas administrasi; dan (iv) terdapat bidang tanah yang muncul pada tahun 2017
namun hilang pada tahun 2018.
Perhitungan persentase cakupan bidang tanah bersertifikat terdigitasi dilakukan
dengan membandingkan luas cakupan bidang tanah bersertifikat yang telah diolah dengan
luas kawasan budidaya Indonesia ditambah luas enclave. Wilayah enclave adalah wilayah
yang masuk dalam kawasan hutan namun sudah diterbitkan sertipikath ha katas tanah.
Berdasarkan SK. BIG No.20 Tahun 2013 luas kawasan budidaya Indonesia adalah 64.324.754
Ha, sedangkan pada tahun 2018 luas enclave sebesar 1.578.431 Ha. Perkembangan jumlah
bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi dengan kualitas baik dari tahun 2016 sampai
tahun 2018 terus meningkat. Pada tahun jumlah bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi
dengan kualitas baik sebanyak 22,9 Juta Ha atau setara dengan 7,8 Juta Ha, pada tahun
2017 jumlah bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi dengan kualitas baik sebanyak 23,3
18 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Juta Ha atau setara dengan 8,6 Juta Ha dan pada tahun 2018 meningkat cukup signifikan
baik dari jumlah bidang sertifikat degnan kualitas baik dan luas cakupan. Tahun 2018 jumlah
bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi dengan kualitas baik sebanyak 38,2 Juta Ha atau
setara dengan 13,7 Juta Ha. Rekapitulasi cakupan bidang tanah bersertifikat tahun 2016 s/d
2018 disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Perbandingan Rekapitulasi Cakupan Bidang Tanah Bersertifikat Tahun 2016 s/d 2018
Uraian Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018
Luas Wilayah Nasional 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha 189,07 juta Ha Luas Kawasan Budidaya Nasional (dengan Luas Enclave)
64.324.754 Ha (65.210.543 Ha)
64.324.754 Ha (65.216.843 Ha)
64.324.754,31 (65.903.185,64)
Jumlah Bidang Tanah yang Diolah 22,9 juta bidang 23,3 juta bidang 38,2 juta bidang Luas Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi
7.896.944 Ha (12,11%)
8.623.982 Ha (13,22%)
13.777.508 Ha (20,91%)
Sumber: Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kementerian ATR/BPN (2016 s/d 2018), Pengolahan data oleh Kementerian PPN/Bappenas (2016 s/d 2018)
Cakupan bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi dengan kualitas baik pada tahun
2018 meningkat bila dibandingkan tahun 2017. Pada tahun 2018 jumlah bidang tanah
bersertifikat yang terdigitasi dengan kualitas baik sebanyak 38,2 Juta Ha dengan luas
sebesar 13,77 Juta Ha. Berdasarkan hasil perhitungan masih banyak provinsi yang memiliki
cakupan bidang tanah dibawah 20%, yaitu sebanyak 17 Provinsi. Provinsi yang memiliki
cakupan antara 20-40% berjumlah 13 provinsi yaitu, Banten, Bengkulu, DI Yogyakarta,
Gorontalo, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Utara, Lampung, Papua, dan Sumatera Utara. Sedangkan provinsi yang memiliki
persentase cakupan diatas 40% yaitu Provinsi Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, dan
Riau. Pada perhitungan luas cakupan untuk Provinsi Jawa Timur, terdapat satu kabupaten
yang dikeluarkan dari perhitungan yaitu Kabupaten Ponorogo, hal ini dikarenakan
teridentifikasi bidang tanah rusak. Bidang tanah di kabupaten tersebut teridentifikasi saling
tumpang tindih dan tersebar dengan pola tidak teratur yang tidak identik dengan bidang-
bidang tanah pada umumnya. Selengkapnya tabulasi persentase cakupan bidang tanah
bersertifikat yang terdigitasi setiap provinsi (Tabel 4.4).
| 19 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Tabel 4.4 Cakupan Bidang Tanah Bersertifikat yang telah Terdigitasi Tahun 2018
Provinsi Luas budidaya (Ha)
Luas budidaya (Ha) + enclave
Luas sertifikat terdigitasi (Ha) Persentase
Aceh 2.293.894,50 2.304.681,30 308.155,09 13,37% Bali 430.782,66 432.965,34 199.793,41 46,15% Banten 732.307,14 736.882,19 211.942,91 28,76% Bengkulu 1.081.984,64 1.085.264,63 317.929,56 29,30% DI Yogyakarta 298.332,38 298.627,08 88.211,36 29,54% DKI Jakarta 64.623,82 64.778,42 37.511,31 57,91% Gorontalo 420.247,38 430.056,76 109.141,40 25,38% Jambi 2.769.107,17 2.778.762,21 453.779,70 16,33% Jawa Barat 2.875.796,22 2.901.663,36 564.264,95 19,45% Jawa Tengah 2.788.249,39 2.801.434,94 626.443,51 22,36% Jawa Timur 3.439.007,49 3.465.280,97 662.918,01 19,13% Kalimantan Barat 6.420.377,40 6.456.785,56 1.681.643,45 26,04% Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.998.522,48 486.144,49 24,33% Kalimantan Tengah 2.602.813,50 3.136.210,43 1.408.182,09 44,90% Kalimantan Timur 4.258.575,96 4.272.625,21 918.739,69 21,50% Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.335.785,27 271.729,15 20,34% Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 1.019.006,57 147.670,24 14,49% Kep. Riau 229.819,83 260.927,43 82.366,05 31,57% Lampung 2.417.687,64 2.423.623,27 516.531,16 21,31% Maluku 720.481,21 723.363,10 21.206,20 2,93% Maluku Utara 629.517,46 637.109,57 71.773,13 11,27% Nusa Tenggara Barat 928.105,55 936.753,78 147.585,56 15,75% Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 3.058.579,83 184.117,88 6,02% Papua 1.746.190,12 1.859.020,39 382.571,76 20,58% Papua Barat 521.870,51 561.604,28 100.514,24 17,90% Riau 1.805.133,04 2.088.991,62 972.565,94 46,56% Sulawesi Barat 570.776,65 577.690,22 82.035,28 14,20% Sulawesi Selatan 2.375.862,88 2.474.027,03 307.101,19 12,41% Sulawesi Tengah 2.078.666,53 2.087.878,45 186.912,10 8,95% Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 1.288.867,29 156.190,40 12,12% Sulawesi Utara 750.253,17 751.263,66 33.004,04 4,39% Sumatera Barat 1.848.089,33 1.866.842,40 332.563,02 17,81% Sumatera Selatan 5.195.630,61 5.255.864,48 883.609,65 16,81% Sumatera Utara 3.426.624,65 3.531.446,12 822.660,11 23,30% INDONESIA 64.324.754,31 65.903.185,64 13.777.508,01 20,91%
Sumber: Pusdatin Pertanahan, Tata Ruang dan LP2B-Kemen. ATR/BPN, Pengolahan data oleh Kementerian PPN/Bappenas (2018).
20 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| 21 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
2. Koordinasi Harmonisasi Peraturan Perundangan Terkait Tanah Adat/Ulayat
Koordinasi harmonisasi peraturan perundangan terkait tanah adat/ulayat dilakukan
sebagai upaya untuk menyiapkan peraturan perundangan yang dapat diacu bagi
stakeholders dalam penetapan tanah adat/ulayat. Pada tahun 2018, Tim Koordinasi
Strategis Reforma Agraria Nasional mengikuti kegiatan konsultasi publik dalam rangka
penyusunan Rancangan Peraturan Perundangan yang mengatur tanah adat/ulayat. Hal ini
juga dilakukan untuk memberikan masukan dalam penyusunan bentuk hukum hak adat
ulayat dan upaya pencabutan Permen ATR No 10 Tahun 2016. Pelaksanaan konsultasi publik
dihadiri oleh stakeholders terkait, antara lain: Kementerian ATR/BPN (Biro Hukum dan
Humas, Kanwil BPN Provinsi, Kantor Pertanahan), Pakar/Akademisi (Prof. Maria SW
Soemardjono, Prof. Wayan P. Windia), Kemendagri, Bappenas, Bupati, Bappeda Provinsi.
Berikut beberapa hal penting terkait dengan konsultasi publik yang dilakukan di Bali dan
Sulawesi Selatan.
a. Provinsi Bali
1. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Hukum tanah nasional masih
mengakui adanya hukum adat dengan mengacu pada UUPA. Bentuk konkrit
pengakuan tanah adat/ulayat ditandai adanya bukti fisik dan formal masyarakat
serta adanya historis yang mengakar dalam sistem genologi dan teritorial. Konsep
hukum adat mengenai tanah menganut prinsip (magis) komunalistik religius.
2. Peletak dasar konsep hak ulayat, yaitu: (1) Van Vollen Hoven (19 lingkaran Hukum
Adat): masyarakat genelogi dan teritorial yang pada akhirnya memunculkan
wilayah adat dan wilayah administrasi negara; (2) Ter Haar: Obyek dan Subyek hak
ulayat dapat berakhir jika tidak terpenuhi 3 unsur (Masyarakat hukum adat,
wilayah adat, aturan yang ditaati secara terus menerus baik lisan maupun praktek
di dalam kehidupan.
3. Beberapa permasalahan pendaftaran tanah adat/ulayat, antara lain: tidak
akuratnya informasi mengenai riwayat tanah dan riwayat pemilikan dan/atau
penguasaan tanah oleh masyarakat adat, banyaknya terjadi kasus penyerobotan
22 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
dan klaim kepemilikan atas tanah, dan masih terdapat perbedaan pandangan
terkait wilayah adat dan wilayah administrasi.
4. Perlunya koordinasi lintas K/L di pusat untuk menyamakan persepsi peraturan dan
kebijakan ayng terkait dengan pengaturan tanah adat/ulayat sehingga pemda
mendapat acuan yang jelas dalam penetapan tanah adat/ulayat.
5. UU 23/2014 belum secara jelas mengamanatkan kepada OPD tertentu untuk
menangani terkait tanah adat/ulayat. Saat ini, masyarakat adat hanya dalam
konteks pemberdayaan masyarakat tetapi tidak terkait dengan pengakuan
kepemilikan tanah adat/ulayat. Kemendagri sudah menerbitkan Permendagri No.
52/2014 agar pemda dapat mengidentifikasi masyarakat adat.
6. Permen Agraria no. 5/1999 mengatur tanah adat/ulayat hanya dipetakan dan
tidak diterbitkan sertipikat. Keberadaan tanah adat/ulayat mirip dengan tanah
negara. Sedangkan untuk tanah komunal tidak diperlukan adanya pengakuan
tetapi dapat langsung didaftarkan dengan daftar nama.
7. Beberapa hal yang perlu diatur dalam peraturan terkait dengan tanah adat/ulayat,
antara lain:
- Perlu membedakan adanya asas kewenangan publik dan privat;
- Pada setiap lembar sertipikat hak atas tanah dapat ditulis atas nama
masyarakat dan ditulis tidak dapat diperjual-belikan;
- Dalam penentuan keberadaan masyakat adat, yang melakukan identifikasi
seharusnya masyarakat sendiri;
- Penetapan tidak harus Perda bisa berupa Pergub karena penyusunan Perda
terlalu mahal;
- Pelaksanaan pengukuhan tanah adat/ulayat dilakukan setelah penetapan
batas;
- Semua bidang tanah dipetakan tetapi tidak harus diterbitkan sertipikat hak
atas tanah;
- Tanah adat diberikan hak milik bersama tetapi tidak bisa diterbitkan hak
pengelolaan karena subyeknya berbeda. Hak pengelolaan merupakan hak
publik berupa hak menguasai negara berbeda dengan hak ulayat.
- Di atas tanah ulayat dengan perjnajian dapat diberi HGU dan Hak Pakai;
| 23 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
- Hak milik bersama bukan diberi tetapi sudah dimiliki sehingga perlu
pengakuan untuk menghormati hak adat.
8. Di Bali dikenal dengan dua desa yakni desa adat (desa pakraman) dan desa dinas
(desa administratif). Desa adat atau desa pakraman adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri (Pasal 1
nomor urut 4, Perda Provinsi Bali Nomor 3/2001 tentang Desa Pakraman). Jumlah
Desa Pakraman di Bali pada tahun 2016 mencapai 1.488 desa pakraman.
9. Unsur-unsur desa pakraman, yaitu: unsur parahyangan (tempat suci umat Hindu);
unsur pawongan (umat Hindu); unsur palemahan (tanah desa dan tanah pribadi).
Adapun tugas dan wewenang desa adat, antara lain:
- Melaksanakan pembangunan terutama dibidang keagamaan, kebudayaan;
- Mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya,
melestarikan, kebudayaan nasional (Pasal 5, Perda Provinsi Bali Nomor
3/2001 tentang Desa Pakraman)
- Sedangkan tugas dan wewenang desa dinas adalah menyelenggarakan
administrasi pemerintahan dan pembangunan dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI. Berdasarkan data 2016,
Provinsi Bali terdiri atas 8 Kabupaten 1 Kota, 57 Kecamatan, 716
Desa/Kelurahan (desa dinas).
- Sebagai masyarakat hukum adat, desa adat atau desa pakraman memiliki:
wilayah (wewengkon), organisasi (prajuru), tata kelola (awig-awig), harta
kekayaan (duwe atau druwe desa), dan anggota yang terikat secara skala
(berdasarkan awig-awig) dan niskala (keyakinan Hindu/Pura Kayangan Tiga).
- Salah satu harta kekayaan desa adat di Bali berupa tanah desa, yang terdiri
atas: tanah pekarangan desa (PKD), tanah ayahan desa (AYDS), tanah laba
(laba desa dan laba pura), tanah lainnya, seperti: tanah lapang desa, pasar
desa, setra desa, telajakan desa, telajakan pura, telajakan setra, dll).
24 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
- Pendukung utama budaya Bali adalah desa adat atau desa pakraman, subak
(organisasi pengairan), dan dadya (organisasi kekerabatan).
- Melestarikan pendukung utama budaya Bali: desa adat dan tanah adat
(regulasi, pemberdayaan, dan pendampingan).
- Pelaksanaan PTSL agar diprioritaskan tanah ayahan desa (AYDS), tanah pura,
tanah laba (laba desa dan laba pura), tanah desa yang lainnya, seperti: tanah
lapang desa, pasar desa, setra desa, telajakan desa, telajakan pura, telajakan
setra, dll).
- PTSL terhadap tanah PKD (tegak desa), cukup atas nama desa adat setempat,
sedangkan penguasaan tanah PKD oleh krama desa, wajib menyesuaikan
dengan adat-istiadat (dresta atau awig-awig) desa adat setempat.
- Ciri-ciri desa Pakraman: satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu, wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri, berhak
menguru rumah tangganya sendiri.
- Tanah milik desa pakraman terdiri atas: tanah milik/duwe pura, tanah desa
pakraman (komunal), dan desa pekarangan desa/ayahan desa (PKD/AYDS).
- Pendaftaran tanah desa pakraman:
o Tanah milik/duwe pura: disertipikatkan dengan pemegang haknya adalah
pura (berdasarkan SK Mendagri No. SK. 556/DJA/1986.
o Tanah milik desa pakraman (komunal): disertipikatkan atas nama Desa
Pakraman (berdasarkan SK Menteri Menteri ATR/Ka. BPN No. 276/Kep-
19.2/X/2017 tgl 23-10-2017).
o Tanah pekarangan desa ayahan desa (PKD/AYDS): disertipikatkan atas
nama Desa Pakraman (berdasarkan SK Menteri Menteri ATR/Ka. BPN No.
276/Kep-19.2/X/2017 tgl 23-10-2017). Sampai dengan Juli 2018 telah
diterbitkan sertipikat a.n Desa Pakraman sebanyak 65.247 bidang. Pada
kelompok subyek hak dicatat nama dan tempat kedudukan Desa
Pakraman. Pada kolom penunjuk dicatat nama warga Desa Pakraman
yang menempati/menguasai/menggarap tanah dimaksud serta
pembatasan peralihan dan pembebanan.
| 25 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
- Pemanfaatan tanah PKD/AYDS: Pemanfaatan Tanah Desa Pakraman dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan sistem bagi hasil atau sewa;
pemberian HGB atau Hak Pakai di atas hak milik Desa Pakraman keada pihak
ketiga; pembebanan terhadap HGB atau HP di atas Hak Milik Desa Pakraman
untuk akses permodalan.
10. Beberapa sistem kepemimpinan adat di Papua, yaitu:
- Sistem Kerajaan: pemimpin disebut raja (Fun/Kalana/Rat menurut bahasa
daerah di Raja Ampat dan Semenanjung Onin), contoh Kepulauan Raja
Ampat, Fak-Fak, dan Kaimana.
- Sistem Kepemimpinan Pria Berwibawa (Big man): kepemimpinan diperoleh
melalui pencapaian (achievment) berdasarkan kemampuan individual,
contoh: Suku Maybrat, Suku Imian, Suku Sawiat, Suku Muyu, Suku Naglum,
Suku Asmat, dan Suku Dani, Suku Mee.
- Sistem kepemimpinan keondoafian (Kepala Suku): kepemimpinan diperoleh
melalui pewarisan, contoh: Suku-suku di Sentani, Genyem, Yakari-Skouw, dan
Arso-Waris.
- Sistem Campuran: Kepemimpinan diperoleh melalui pewarisan maupun
pencapaian, contoh: Suku-suku di Yapen, Waropen, biak, Wandamen, dan
Maya.
11. Kondisi tanah adat/ulayat di Papua terdapat dua bentuk penguasaan:
- Tanah adat perorangan: dikuasai oleh perorangan dan/atau keluarga/marga;
haknya bersifat privat sehingga dapat didaftarkan dalam bentuk hak atas
tanah menurut UUPA (konversi); hubungan hukum antara subyek dan obyek
dapat terputus melalui perbuatan hukum atau peristiwa hukum; pada
umumnya bernilai ekonomis; penggunaan tanahnya sudah maju berbentuk
permukiman maupun kebun/ladang budidaya.
- Tanah ulayat: dikuasai secara komunal oleh suku/masyarakat hukum adat;
haknya bersifat publik sehingga tidak dapat didaftarkan dalam bentuk hak
atas tanah menurut UUPA (konversi); hubungan hukum antara subyek dan
obyek tidak dapat terputus seperti hubungan anak dan ibunya (konsep tanah
26 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
adalah ibu); pada umumnya belum bernilai ekonomis; penggunaan tanahnya
masih bersifat tradisional, tempat orang berburu dan mengambil hasil hutan.
12. Di provinsi Papua Barat terdapat dua wilayah adat, yaitu:
- Wilayah adat Domberai, meliputi: Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama,
Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamru, Aifat, Aitinyo.
- Wilayah adat Bomberai: Fakfak, Kaimana, Kokonao.
- Hak wilayah adat Suku Arfak terdiri atas: Suku Arfak Meyah; Suku Arfak
Hatam; Suku Arfak Moile; Suku Arfak Sougb.
- Hukum waris adat suku Arfak:
o Sistem pewarisan yaitu secara individual artinya ahli waris memperoleh
hak atas warisan orang tuanya. Ada juga secara kolektif berarti seluruh
ahli waris mempunyai hak bersama-sama atas aset yang diwariskan.
o Proses pewarisan, ada dua yaitu: ketika pewaris masih hidup dengan
memberikan janji/pesan langsung, atau ketika sudah meninggal dan
dibagikan oleh anak tertua.
- Hukum tanah adat Suku Arfak:
o Hak ulayat: Hak yang diperoleh secara turun-temurun melalui pewarisan
pada keret/marga asli menurut ketentuan adat.
o Hak perseorangan yaitu hak peralihan dari hak ulayat menjadi hak milik
perseorangan dengan syarat harus diketahui oleh kepala keret/marga
dan harus membayar sejumlah uang disertai surat pelepasan atas hak
tanah dari kepala suku/kampong.
- Peradilan adat Suku Arfak:
o Sistem: ditunjuknya hakim adat berdasarkan pihak korban atas dasar
kualitas dan kewibawaan, lalu penentuan jumlah hakim yang bisa sampai
10 orang harus mampu menguasai Bahasa Suku Arfak dengan baik.
o Kewenangan: Mendengar kedua belah pihak yang bersengketa dan
mencari solusi, hakim adat lalu memerintahkan pelaku membayar denda,
mendatangi pihak keluarga dari orang yang diduga pelaku dan
mendengar keterangan, menentukan tempat yang dipandang baik dalam
melaksanakan pembuktian.
| 27 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
o Alat bukti: alat yang dijadikan sebagai pembuktian suatu
delik/pelanggaran misalnya perselingkuhan menggunakan timah panas
yang ditempelkan di salah satu anggota badan dan pelanggaran
pembunuhan dengan cara menggunakan daun bayam yang dimasukan ke
dalam kayu yang berlubang kemudian tangan pelaku akan mengambil
daun tersebut. Jika terputus (daun atau tangannya) maka orang
tersebutlah pelakunya.
13. Kanwil BPN Papua Barat telah melakukan pemetaan hak komunal untuk kawasan
industri di Teluk Bintuni. Pendataan hak komunal dalam rangka pengembangan
investasi pada lokasi kawasan industri seluas 2.112 ha, yang terletak di Kampung
Onar Lama dan Onar Baru, Distrik Sumuri. Pengelolaan tanah ulayat di Papua
Barat erat kaitannya dengan sisi religi masyarakat.
14. Perlu ada kebijakan pengaturan hak masyarakat adat atas wilayah laut yang
selama ini belum ada pengaturannya.
15. Di Papua banyak kasus tanah pemerintah yang diklaim kembali oleh masyarakat
perlu ada upaya proteksinya.
b. Provinsi Sulawesi Selatan
1. Agenda pemerintah saat ini terkait dengan tanah adat/ulayat adalah menyusun
data base pemetaan tanah adat secara nasional dan menyusun kebijakan
manajemen tanah ulayat.
2. Tanah ulayat harus dikelola dengan baik agar menjadi living asset dan
menguraikan konflik tanah ulayat dengan pendekatan ekonomi dan pemerdayaan
masyarakat.
3. Saat ini sebagian besar tanah ulayat belum dimanfaatkan dengan optimal.
Pengelolaan tanah ulayat banyak diatur oleh UU sektoral dan pengaturan dalam
beberapa peraturan perundangan tersebut justru berbeda-beda.
4. Terdapat 26 UU yang mengatur mengenai tanah adat/ulayat, namun istilah dan
syarat pengakuan tanah adat/ulayat berbeda-beda. Tanah adat merupakan tanah
bekas hak milik adat yang administrasinya belum tuntas. Sedangkan tanah ulayat
merupakan tanah yang berada dalam wilayah masyarakat adat.
28 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
5. UUPA ayat 1 merupakan dasar tanah dapat diberikannya/dipunyai baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama orang lain. Saat ini ada sedang trend istilah tanah
komunal namun istilah tersebut tidak ada konsep dan dasar yang kuat. Pasal 2
UUPA dan penjelasannya yang menyatakan Negara menguasai bumi, air dan
ruang angkasa dapat diberikan kepada individu, badan hukum. Kekuasan Negara
berhenti untuk tanah hak dan tanah ulayat.
6. Permen 5/1999 yang menyatakan pengaturan hak ulayat berdimensi publik dan
perdata, sehingga didaftarkan dan dipetakan tetapi tidak diterbitkan sertipikat.
Sedangkan untuk yang berdimensi privat (farm dan keluarga) dapat diterbitkan
sertipikat. Hak ulayat bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga dalam jangka
waktu tertentu, setelah jangka waktu habis harus dikembalikan kepada
masyarakat hukum adat.
7. Dalam penyusunan peraturan perlu adanya asas kewenangan publik dan privat.
Selain itu, penyusunan peraturan perundangan perlu disusun naskah akademis.
8. Hak milik bersama bukan diberi tetapi sudah dimiliki sehingga perlu pengakuan
untuk menghormati hak adat.
9. Pemda Kab. Bulu Kumba sudah menetapkan Perda tentang masyarakat adat
Kajang pada tahun 2006. Namun terdapat tanah yang sudah diterbitkan HGU yang
masuk dalam wilayah adat Kajang sehingga banyak masyarakat hukum Kajang
yang mengklaim agar tanah yang dikuasai HGU dikembalikan kepada masyarakat
Kajang.
10. Tanah adat tidak sama dengan tanah negara sehingga perlu dipisahkan. Untuk itu,
perlu pengukuran ulang tanah masyarakat hukum adat Suku Kajang. Tanah suku
Kajang bukan termasuk tanah Negara.
11. Perpanjangan HGU pada harus sesuai dengan persetujuan batas adat.
12. Perlu penetapan subyek dan obyek serta pemetaan wilayah adat penting
dilakukan.
13. Penetapan tanah adat/ulayat dilakukan untuk wilayah sebagai preservasi karena
selamanya akan ditetapkan sebagai tanah adat/ulayat sebagaimana tanah adat
Badui. Sedangkan untuk wilayah yang tidak sebagai preservasi dapat ditetapkan
sebagai tanah komunal (bersama).
| 29 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
14. Tanah adat/ulayat tidak diterbitkan sertipikat hak atas tanah.
15. Penetapan tanah adat perlu dilakukan batas terluar yang kemudian didaftarkan ke
BPN.
16. Perlu menyiapkan rancangan Peraturan Menteri ATR/BPN ruang di atas tanah,
ruang bawah tanah dan ruang di atas air. Dasar pengaturannya Pasal 4 UUPA yang
menyatakan sekedar diperlukan dan berhubungan dengan di atas tanah. Hal ini
diperlukan untuk pengaturan ruang di bawah tanah dan di atas tanah yang sudah
banyak terjadi seperti di lapangan Karebosi.
Terkait dengan usulan perubahan peraturan perundangan tanah adat/ulayat, pada
tahun 2018, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional memberikan beberapa hal,
antara lain:
• Perlu mencabut Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.9/2015 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang
Berada Dalam Kawasan Tertentu yang sudah direvisi dengan Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN No.10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah
Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu
karena menyebabkan ketidakjelasan mengenai pengertian Hak Ulayat, unsur-unsur
adanya Hak Ulayat, dan penentuan masih ada atau tidaknya Hak Ulayat, serta
ketentuan pengaturan tanah adat/ulayat.
• Beberapa peraturan perundangan yang terkait tanah adat/ulayat, secara umum mirip
dengan Permen Agraria 5/1999 (yang dicabut dengan Permen ATR/BPN No. 9/2015),
mengenai syarat pengakuan keberadaan tanah adat/ulayat sebagai berikut: (i)
Masyarakat hukum adat/ulayat, terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari; (ii) Tanah adat/ulayat, terdapat tanah
ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; (iii) Aturan
hukum adat/ulayat, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan
30 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan
hukum tersebut.
• Perlu membedakan pengertian Hak Ulayat dengan Hak Komunal. Hak komunal tidak
dapat menggantikan hak ulayat, karena terdapat perbedaan makna dan konsep yang
mendasar. Hak komunal sebagai hak milik bersama merupakan hak keperdataan yang
bersifat privat. Sedangkan hak ulayat adalah bentuk hak publik yang merupakan hak
kesatuan masyarakat hukum adat. Jika hak komunal dipersamakan sebagai hak
bersama masyarakat hukum adat yang seluas definisi hak ulayat, dan dapat
dikeluarkan sertifikatnya, maka pemberian hak tersebut merupakan bentuk
‘privatisasi’ hak publik yang dapat membahayakan eksistensi masyarakat adat
bersangkutan.
• Hak komunal perlu diatur dalam peraturan perundangan setingkat undang-undang
karena menyangkut hak keperdataan.
3. Terlaksananya sosialisasi dan pemantauan pelaksanaan kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan
Kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan dilaksanakan melalui rekonstruksi dan
perapatan batas kawasan hutan yang sudah memiliki SK penetapan oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk memberikan kepastian hukum terutama pada
wilayah yang berbatasan pada kawasan hutan. Kegiatan tersebut akan dipetakan pada skala
kadastral (skala 1:5.000) dan diintegrasikan kedalam sistem Geo-KKP Kementerian ATR/BPN.
Hal ini dilakukan agar skalanya sama dengan peta pendaftaran tanah.
Kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan diharapkan dapat memberikan kepastian
hukum hak atas tanah sehingga memberikan perlindungan yang lebih baik kepada berbagai
stakeholder terkait. Bagi BPN dapat lebih jelas batas kawasan hutan dan non hutan sehingga
dalam menerbitkan sertipikat hak atas tanah dapat lebih terjamin. Bagi KLHK dapat
merekonstruksi kembali wilayah hutan yang sudah ditetapkan batasnya sehingga dapat
memetakan potensi perambahan kawasan hutan. mengurangi deforestasi hutan. Bagi
pemerintah daerah (Pemda) akan lebih pasti dalam penetapan rencana tata ruang wilayah.
Serta bagi masyarakat akan mendapatkan jaminan kepastian hukum atas sertipikat hak
tanah yang dimiliki.
| 31 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan mulai dilakukan tahun 2017 oleh
Kementerian ATR/BPN dengan melibatkan Kementerian LHK, BIG dan Kementerian
PPN/Bappenas, namun banyak stakeholder yang belum memahami konsep dan tujuan
kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan yang menjadi salah satu kondisi prasyarat
dalam kebijakan RPJMN 2015-2019 bidang pertanahan. Oleh sebab itu dilaksanakan juga
kegiatan sosialisasi yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada stakeholder
mengenai kegiatan rekonstruksi dan perapatan batas kawasan hutan pada skala kadastral
serta upaya-upaya koordinasi agar pelaksanaannya dapat terlaksana dengan baik.
Pelaksanaan sosialisasi idealnya dilakukan pada semua provinsi dan kabupaten/kota
sehingga semua pihak memahami peran masing-masing, namun mengingat keterbatasan
alokasi anggaran maka pelaksanaan sosialisasi hanya dilakukan di Provinsi Jawa Tengah
pada tanggal 24 Mei 2018 dan Kalimantan Selatan pada tanggal 31 Mei 2018.
Sosialisasi di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dalam forum Rapat Koordinasi
Pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan
oleh Kementerian ATR/BPN. Beberapa SKPD yang hadir pada kegiatan sosialisasi di Provinsi
Jawa Tengah antara lain: BPN Provinsi Jawa Tengah, Perum Perhutani, BPKH Wilayah XI,
Kementerian ATR/BPN, BIG, dan Kementerian LHK. Beberapa hal yang menjadi catatan
dalam pelaksanaan sosialisasi di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kementerian ATR/BPN sebagai
instansi yang melakukan penerbitan sertifikat saat ini mengalami masalah yaitu terdapat
banyak kasus terbitnya sertifikat dalam kawasan hutan yang bertentangan dengan
peraturan bidang kehutanan yang diakibatkan oleh belum jelasnya batas kawasan hutan.
Peran serta masyarakat dalam proses perapatan batas kawasan hutan sangat diperlukan
untuk memberikan tambahan informasi mengenai batas kawasan dan mempercepat proses
pendaftaran tanah. Rencana pelaksanaan perapatan batas kawasan hutan di Provinsi Jawa
Tengah dilakukan pada 6 (enam) lokasi kawasan hutan yang sudah ditetapkan melalui SK
Menteri LHK, yaitu Ambarawa, Magelang, Semarang Timur, Wonogiri, Tahura Ngargoyoso,
dan Tuder.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir penerbitan sertifikat
dalam kawasan hutan, yaitu: (i) Kementerian ATR/BPN dapat meminta pendampingan dari
Perum Perhutani terkait detail batas kawasan hutan karena BPKH belum tentu mengetahui
32 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
update yang terjadi di lapangan dan (ii) KLHK dapat melakukan sosialisasi batas kawasan
hutan kepada perangkat desa di lokasi kawasan hutan tersebut, sehingga dalam proses
sertifikasi perangkat desa dapat membantu menjelaskan batas hutan di lapangan.
a. Provinsi Jawa Tengah
Sosialisasi di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dalam forum Rapat Koordinasi
Pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan Daerah Jawa Tengah yang diselenggarakan
oleh Kementerian ATR/BPN. Beberapa SKPD yang hadir pada kegiatan sosialisasi di Provinsi
Jawa Tengah antara lain: BPN Provinsi Jawa Tengah, Perum Perhutani, BPKH Wilayah XI,
Kementerian ATR/BPN, BIG, dan Kementerian LHK. Beberapa hal yang menjadi catatan
dalam pelaksanaan sosialisasi di Provinsi Jawa Tengah yaitu Kementerian ATR/BPN sebagai
instansi yang melakukan penerbitan sertifikat saat ini mengalami masalah yaitu terdapat
banyak kasus terbitnya sertifikat dalam kawasan hutan yang bertentangan dengan
peraturan bidang kehutanan yang diakibatkan oleh belum jelasnya batas kawasan hutan.
Peran serta masyarakat dalam proses perapatan batas kawasan hutan sangat diperlukan
untuk memberikan tambahan informasi mengenai batas kawasan dan mempercepat proses
pendaftaran tanah. Rencana pelaksanaan perapatan batas kawasan hutan di Provinsi Jawa
Tengah dilakukan pada 6 (enam) lokasi kawasan hutan yang sudah ditetapkan melalui SK
Menteri LHK, yaitu Ambarawa, Magelang, Semarang Timur, Wonogiri, Tahura Ngargoyoso,
dan Tuder.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir penerbitan sertifikat
dalam kawasan hutan, yaitu: (i) Kementerian ATR/BPN dapat meminta pendampingan dari
Perum Perhutani terkait detail batas kawasan hutan karena BPKH belum tentu mengetahui
update yang terjadi di lapangan dan (ii) KLHK dapat melakukan sosialisasi batas kawasan
hutan kepada perangkat desa di lokasi kawasan hutan tersebut, sehingga dalam proses
sertifikasi perangkat desa dapat membantu menjelaskan batas hutan di lapangan.
b. Provinsi Kalimantan Selatan
Pelaksanaan sosialisasi kebijakan publikasi tata batas kawasan hutan salah satunya di
Provinsi Kalimantan Selatan. Pelaksanaan sosialisasi di kalimantan Selatan dilakukan pada
tanggal 31 Mei 2018 dengan turut mengundang beberapa perwakilan Kantor Pertanahan di
Provinsi Kalimantan Selatan antara lain, Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Selatan, Kantah
| 33 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Kota Banjarmasin, Kantah Kota Banjarbaru, Kantah Kabupaten Banjar, Kantah Kabupaten
Tanah Laut, Kantah Kabupaten Barito Kuala. Instansi pusat yang hadir adalah Direktorat
Pengukuran dan Pemetaan Dasar – Kementerian ATR/BPN, dan Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas. Salah satu isu strategis dalam RPJMN 2015-2019 bidang pertanahan
adalah jaminan kepastian hukum hak atas tanah, dengan arah kebijakan membangun sistem
pendaftaran tanah publikasi positif. Salah satu strategi dari arah kebijakan system
pendaftaran tanah publikasi positif adalah kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan pada
skala pendaftaran tanah (kadastral 1:5.000) yang terintegrasi dalam sistem pendaftaran
tanah di Kementerian ATR/BPN. Kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan hanya
dilakukan pada wilayah yang sudah memiliki SK Menteri Kehutanan. Tujuan hanya pada
wilayah yang sudah memiliki SK Menteri Kehutanan adalah agar ada kepastian lokasi
wilayah hutan. Pada tahun 2018 akan dilakukan revisi batas kawasan hutan untuk TORA
sebagai salah satu implikasi dari Perpres 88 tahun 2017, Kanwil BPN Kalimantan Selatan
disarankan untuk menunggu terlebih dahulu SK penetapan baru dari KLHK, baru
mengusulkan perubahan tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan perapatan batas kawasan
hutan Kanwil BPN Kalimantan Selatan mengusulkan untuk menggunakan peralatan dan
standar yang sama dengan KLHK ketika akan melakukan kegiatan tata batas kawasan hutan
yang dilakukan secara bersama dengan Kementerian ATR/BPN maupun ketika proses
penetapan kawasan hutan secara mandiri oleh KLHK. Kegiatan Perapatan Batas Kawasan
Hutan tahun 2018 tidak lagi menggunakan buffer sepanjang 100 Meter yang digunakan
pada tahun 2017, hal ini bertujuan untuk dapat melihat kondisi batas kawasan hutan (obyek
yang teridentifikasi) apabila berada lebih dari 100 M, sehingga apabila ada permasalahan
yang muncul namun jaraknya lebih dari 100 Meter masih dapat dicatat oleh tim. Kegiatan
Perapatan Batas Kawasan Hutan dilakukan tidak untuk menyelesaikan permasalahan yang
muncul dalam pelaksanaan kegiatan ini, namun hanya untuk melakukan inventarisasi
kondisi permasalahan tersebut. Penyelesaian permasalahan tersebut menjadi kewenangan
dari Kemenerian LHK.
c. Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu lokasi pelaksanaan pilot project publikasi
tata batas kawasan hutan pada Tahun Anggaran 2018. Publikasi tata batas kawasan hutan di
34 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Provinsi Jawa Timur dilaksanakan di kawasan hutan Sedayulawas, Kabupaten Lamongan dan
dikerjakan oleh pihak ketiga. Data awal pemetaan batas hutan mengacu pada Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3090/MenLHK-PKTL/KUH/PLA.2/6/2016 seluas
13.013,52 Ha dan terletak di antara tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tuban, Kabupaten
Lamongan, dan Kabupaten Gresik. Konsultan pihak ketiga sebagai pelaksana kegiatan tata
batas menyampaikan bahwa kegiatan tata batas Hutan Sedayulawas telah selesai pada
tanggal 27 Oktober 2018.
Pada tanggal 6-9 November 2018, Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan
Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi
Geospasial (BIG), dan KPH Kabupaten Tuban melakukan kegiatan supervisi batas kawasan
Hutan Sedayulawas untuk melihat hasil pelaksanaan hingga kendala di lapangan. Hasil
supervisi menemukan bahwa terdapat perbedaan luas kawasan hutan antara SK Menhut
dengan hasil pengukuran di lapangan, yaitu 13.800 Ha (SK Menhut seluas 13.013,52 Ha).
Di samping hal tersebut, terdapat catatan lain dalam kegiatan supervisi, antara lain 1)
Jumlah tugu perapatan batas pada lokasi ada sebanyak 984 titik TBK dan 676 titik STK; dan
2) Di dalam kawasan hutan ditemukan tugu batas hak pengelolaan oleh PT Pertamina dan
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Meskipun demikian, secara umum, masyarakat sekitar
kawasan hutan sudah menyadari dan mengakui batas hutan maupun kewenangan dalam
pemanfaatan dan penggunaan hutan. Sementara itu, secara umum tidak ditemukan adanya
kendala, baik teknis maupun faktor alam. Adapun kendala hanya saat pemasangan tugu
batas ke dalam tanah karena terhalang oleh batuan keras dan memanjang di bawah lapisan
tanah pada beberapa titik.
Berdasarkan hasil supervisi kegiatan publikasi tata batas kawasan Hutan Sedayulawas,
Kabupaten Lamongan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas
memberikan beberapa saran dan tindak lanjut ke depannya. Saran dan tindak lanjut
tersebut, antara lain 1) Direktorat Kehutanan Bappenas perlu melakukan koordinasi dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk merevisi lokasi batas kawasan Hutan
Sedayulawas yang berada dalam SK Menhut sesuai dengan hasil pengukuran; dan 2)
Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN perlu menyampaikan
| 35 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
seluruh hasil pelaksanaan kegiatan perapatan batas kawasan hutan TA. 2018 untuk 14 lokasi
lainnya kepada Bappenas.
Kegiatan pemantauan dilaksanakan pada beberapa lokasi kawasan hutan di beberapa
provinsi yang telah diterbitkan SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri LHK. Pada tahun
2017 telah dilakukan kegiatan Pilot Project Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan yang
dilakukan di 3 (tiga) provinsi (dengan 4 kawasan hutan) meliputi Provinsi Jawa Barat
(kawasan hutan Gunung Ciburial), Provinsi Bangka Belitung (kawasan hutan Pantai Rebo dan
Gunung Mangkol), dan Provinsi Bali (kawasan hutan Yeh Ayah). Pengukuran batas kawasan
hutan dalam skala kadastral mencapai 1,303 km.
Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Tetap Bukit Rebo (Provinsi
Kawasan Hutan Lindung Yeh Ayeh
Kawasan Hutan Gunung Ciburial (Provinsi Jawa Barat)
36 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Pada tahun 2018 kegiatan publikasi tata batas kawasan hutan dilakukan pada
beberapa lokasi kawasan hutan yaitu (i) Kawasan Hutan Tangkuban Perahu terletak di
Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat seluas 1.548,79
Hektar; (ii) Kawasan Tahura Banten dengan luas sebesar 1.595,90; (iii) Kawasan Hutan
“Bantul” yang berlokasi di Kab. Bantul Prov. DI Yogyakarta seluas 1.023,36 Hektar dengan
panjang keliling 67 km; (iv) Kawasan Hutan Kulon Progo seluas 858,40 Hektar yang terletak
di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DI Yogyakarta dengan panjang keliling 48 km; (v)
Kawasan Hutan Ambarawa Provinsi Jawa Tengah seluas 5.921,22 hektar; (vi) Kawasan Hutan
Tahura Bunder seluas 615,90 Hektar yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI
Yogyakarta; (vii) Kawasan Hutan di Ngargoyoso seluas 231,30 Hektar yang terletak di
Provinsi Jawa Tengah; (viii) Kawasan Hutan Magelang seluas 3.705,40 Hektar (1126 Tugu),
terletak di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah; (ix) Kawasan Hutan Cibereum
Provinsi Jawa Barat; (x) Kawasan Hutan Wonogiri seluas 20.023,84 Hektar, terletak di
Provinsi Jawa Tengah; (xi) Kawasan Hutan Gunung Kidul seluas 3.360 Hektar yang terletak di
Provinsi DI Yogyakarta; (xii) Kawasan Hutan Karang Bolong seluas 4.018,35 Hektar yang
terletak di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; (xiii) Kawasan Hutan Tahura Djuanda
seluas 528,393 Hektar terletak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat; (xiv)
Kawasan Hutan di Tahura R. Soeryo seluas 27.868,30 Hektar terletak di Provinsi Jawa Timur;
(xv) Kawasan Hutan Sedayulawas seluas 13.013,52 Hektar yang terletak di Kabupaten
Lamongan Provinsi Jawa Timur.
Kawasan Hutan Tangkuban Perahu (Provinsi Jawa Barat)
Kawasan Hutan Magelang (Provinsi Jawa Tengah)
| 37 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Tindaklanjut yang harus dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan tata batas kawasan
hutan yaitu integrasi dalam sistem Geo-KKP dan menyusun pedoman teknis pelaksanaan
publikasi tata batas kawasan hutan. Integrasi hasil kegiatan tata batas kawasan hutan dalam
sistem Geo-KKP saat ini belum dapat dilakukan karena masih menunggu
legalisasi/penetapan hasil pengukuran batas kawasan hutan oleh Kementerian LHK.
Pedoman teknis pelaksanaan publikasi tata batas kawasan hutan nantinya akan disepakati
bersama untuk dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan tata batas kawasan hutan
pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2018 telah disusun konsep awal pedoman teknis
pelaksanaan publikasi tata batas kawasn hutan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.5
Pedoman Penyelesaian Tipologi Permasalahan Publikasi Tata Batas Kawasan Hutan dalam Skala Pendaftaran Tanah (1:5.000)
TIPOLOGI PERMASALAHAN
PENJELASAN TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Perbedaan titik antara SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri
Kegiatan perapatan batas dilakukan pada kawasan hutan yang telah memiliki SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri LHK. Kementerian ATR/BPN menggunakan
Pembaharuan/revisi SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri LHK sesuai
Kawasan Hutan Bantul (Provinsi D.I.Yogyakarta)
Kawasan Hutan Cibereum (Provinsi Jawa Barat)
38 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
TIPOLOGI PERMASALAHAN
PENJELASAN TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
LHK dengan lokasi di lapangan yang disetujui oleh BPKH
data lampiran SK Penetapan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan perapatan batas, namun saat pelaksanaan (bersama KLHK) kondisi di lapangan berbeda dengan data pada lampiran SK Penetapan
kondisi lapangan
Penolakan dari DPRD dan masyarakat terhadap kegiatan perapatan batas kawasan hutan
Batas kawasan hutan masih belum jelas saat sebelum kegiatan perapatan, sehingga DPRP dan masyarakat menuntut penyelesaian batas hutan yang jelas sebelum dilakukan kegiatan perapatan
Menjelaskan/mensosialisasikan batas kawasan hutan kepada DPRD dan masyarakat sekitar sehingga kegiatan perapatan dapat berjalan
Hasil perapatan batas kawasan hutan belum masuk dalam sistem Geo-KKP Kementerian ATR/BPN
Hasil kegiatan perapatan batas kawasan hutan seharusnya di input dalam sistem Geo-KKP sehingga dalam proses sertifikasi pegawai BPN mengetahui batas kawasan hutan dalam skala pendaftaran tanah (1:5.000) untuk meminimalisir terjadinya penerbitan sertifikat hak atas tanah dalam kawasan hutan
- Revisi SK Penetapan Kawasan Hutan menyesuaikan dengan hasil kegiatan perapatan batas pada skala pendaftaran tanah (1:5.000) yang dilakukan bersama antara Kementerian LHK dengan Kementerian ATR/BPN
- Melakukan input dalam sistem Geo-KKP batas kawasan hutan berdasarkan SK Penetapan Kawasan Hutan oleh Menteri LHK yang telah diperbaharui
Terdapat kawasan permukiman dalam kawasan hutan
Pada saat pelaksanaan perapatan batas di lapangan terdapat permukiman dalam kawasan hutan, dengan kondisi masyarakat yang sudah menyadari batas hutan maupun kewenangan dalam pemanfaatan
Penyelesaian oleh Kementerian LHK terkait status kawasan permukiman untuk
| 39 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
TIPOLOGI PERMASALAHAN
PENJELASAN TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
penggunaan hutan memperjelas batas kawasan hutan
Kesulitan memasang patok tugu batas
Patok tugu batas sulit ditanam akibat lapisan batuan di bawah permukaan tanah
…
Akses sulit dan terbatas menuju titik batas kawasan hutan
Beberapa titik batas kawasan hutan berada pada topografi yang relatif terjal seperti tebing galian pasir yang sulit dijangkau, sehingga menghambat proses pembuatan tugu perapatan batas kawasan hutan
…
4.1.2 Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform
Reforma agraria merupakan salah satu kebijakan yang diamanatkan dalam nawacita
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pelaksanaan reforma agraria
dilakukan sebagai salah satu upaya dalam penataan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan
dan penggunaan tanah untuk menghadapi isu pengelolaan pertanahan yaitu ketimpangan
pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah.
Dalam arti sempit, reforma agraria dilakukan melalui redistribusi tanah dan sertipikasi
tanah serta program pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat penerima
aset tanah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Beberapa peraturan
perundangan yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria antara lain UUD 1945
Pasal 33 ayat 3, UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), TAP
MPR No. IX/2001 yang menyatakan pemanfaatan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan redistribusi tanah
antara lain: pasca redistribusi tanah belum disertai dengan pemberian akses sumber daya
yang cukup kepada masyarakat, data rencana pelepasan kawasan hutan sebagai tanah
obyek reforma agraria (TORA) belum tersedia dengan baik, pelaksanaan reforma agraria
belum dipahami secara baik oleh semua sektor terkait baik di pusat maupun di daerah.
Untuk itu, diperlukan koordinasi dan sinergi antar sektor terkait dalam menyiapkan TORA
dan menyiapkan access reform (program pemberdayaan masyarakat).
Beberapa stakeholder terkait reforma agraria yang tergabung dalam Tim Koordinasi
Strategis Reforma Agraria antara lain: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
40 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Pertanahan Nasional; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi;
Kementerian Pertanian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah; Pemerintah Daerah (provinsi/kab/kota); beberapa unit kerja di
lingkungan Kementerian PPN/ Bappenas.
A. Rencana
Dalam Kebijakan Redistribusi Tanah dan Access Reform, Tim Koordinasi Strategis
Reforma Agraria pada tahun anggaran 2018 telah menetapkan beberapa target kegiatan
sebagai berikut:
1. Terselenggaranya sosialisasi pelaksanaan reforma agraria.
2. Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan Reforma Agraria.
3. Koordinasi sertipikasi tanah transmigrasi
4. Koordinasi Penyelesaian Perpres Reforma Agraria
B. Capaian
Pelaksanaan kegiatan koordinasi yang telah dilakukan pada tahun 2018 menghasilkan
beberapa pencapaian sebagai berikut:
1. Sosialisasi Reforma Agraria
Reforma Agraria merupakan salah satu janji presiden dalam Nawacita dan RPJMN
2015-2019 dengan target sebesar 9 Juta Ha. Pelaksanaan reforma agraria meliputi asset
reform dan access reform. Asset reform dilakukan melalui kegiatan redistribusi tanah dan
legalisasi (sertipikasi) aset tanah. Pelaksanaan access reform dilakukan oleh K/L terkait dan
pemerintah daerah melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan reforma
agraria diharapkan masyarakat yang mendapatkan bantuan sertifikat ha katas tanah dapat
meningkat kesejahteraannya dengan bantuan dari K/L dan memiliki tanah yang sudah
bersertifkat. Dalam RKP 2019 sebagian besar kegiatan bidang pertanahan berada di
Kegiatan Prioritas (KP) Pelaksanaan Reforma Agraria, yang termasuk dalam Prioritas
Nasional (PN) Pembangunan Manusia Melalui Pengurangan Kemiskinan Dan Peningkatan
Pelayanan Dasar dan termasuk dalam Program Prioritas (PP) Percepatan Pengurangan
Kemiskinan.
| 41 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Sebagai salah satu janji presiden dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019, maka
Reforma Agraria perlu disosialisasikan kepada stakeholder terkait, baik pusat dan daerah
Sosialisasi dilakukan karena selama ini masih banyak stakeholder baik pusat dan daerah
belum memahami dengan benar mengenai maksud kegiatan reforma agraria. Beberapa hal
yang masuk dalam bahan sosialisasi tersebut antara lain adalah: program prioritas dan
masing-masing kegiatan prioritasnya; konsep reforma agraria; skema pembagian target
reforma agraria; skema koordinasi lokasi pelaksanaan reforma agraria (aset mengikuti akses
dan akses mengikuti aset); tabel kendali skema pelaksanaan kegiatan; pembagian peran
masing-masing pihak dalam pelaksanaan reforma agraria; tabel kendali capaian pelaksanaan
kegiatan. Pada tahun 2018 Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional telah
melaksanakan kegiatan sosialisasi reforma agraria di beberapa daerah meliputi:
a. Sosialiasi Reforma Agraria di Provinsi Sulawesi Barat
Pelaksanaan Sosialisasi Reforma Agraria di Provinsi Sulawesi Barat dilaksanakan
pada tanggal 18 April 2018. OPD yang hadir dalam acara tersebut antara lain
adalah Bappeda Provinsi Sulawesi Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas
Kehutanan, Biro Tata Pemerintahan, Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Barat,
Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Barat. Sedangkan dari Pemerintah Pusat yang
hadir adalah Biro Perencanaan dan Kerjasama Kementerian ATR/BPN, Direktorat
Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah 1 Kementerian Dalam Negeri, dan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas. Pelaksanaan reforma agraria
di Provinsi Sulawesi Barat secara ideal belum berjalan dengan baik, salah satu
penyebabnya adalah kurang baiknya koordinasi antara Kanwil BPN dengan Dinas
di daerah. Selain itu masih banyak masyarakat yang belum bisa memanfaatkan
sertifikat yang didapatkan dari program pemerintah dengan baik, terutama
untuk menambah modal usaha. Fase pemberdayaan masyarakat menjadi
masalah dan kendala yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah daerah,
setelah dilakukan sertifikasi oleh BPN. Harus dilakukan koordinasi antara
pemerintah daerah dan pengusaha untuk memotong rantai distribusi. Selain itu
pemerintah daerah harus memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk fase
produksi maupun pasca produksi sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
42 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
produk tersebut. Masyarakat, baik petani maupun nelayan dapat membentuk
koperasi atau gapoktan sehingga memberikan kemudahan untuk mendapatkan
bantuan perbankan.
b. Sosialisasi Reforma Agraria di Provinsi Riau
Sosialisasi di Provinsi Riau dilaksanakan pada tanggal 6 Juni 2018, beberapa SKPD
yang hadir pada kegiatan sosialisasi antara lain: BPN Provinsi Riau, Bappeda,
BPKH, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian
ATR/BPN. Beberapa hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan sosialisasi di
Provinsi Riau yaitu pola pikir masyarakat menjadi salah satu kunci dalam
keberhasilan pelaksanaan reforma agraria, faktanya di Riau saat ini banyak
masyarakat yang tidak ingin melakukan sertifikasi terhadap tanah yang dimiliki.
Legalisasi tanah transmigrasi banyak terkendala dalam penerbitan SK HPL yang
merupakan kelalaian masa lalu, Kementerian Desa PDTT diharapkan dapat
melakukan fasilitasi dalam penyelesaian kendala tersebut. SKPD di Provinsi Riau
belum melakukan upaya optimal dalam membantu pelaksanaan reforma agraria
yang terkendala akibat RPJMD saat ini belum mengakomodir 9 sub-urusan
pertanahan di daerah (turunan UU 23/2014), sehingga kegiatan pertanahan
sangat minim yang dapat dilakukan daerah termasuk membantu koordinasi
asset dan akses reform. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah pusat
dalam mensukseskan reforma agraria yang merupakan salah satu janji presiden
saat ini yaitu dengan membentuk gugus tugas pada level pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Gugus tugas dibentuk dengan tujuan untuk membantu
penanganan dan strategi yang dapat ditempuh dalam pelaksanaan reforma
agraria yang memiliki tujuan utama yaitu mengurangi ketimpangan dan
kemiskinan di Indonesia. Pembentukan gugus tugas pada level provinsi
dilakukan tahun 2018 dan status saat ini gugus tugas pada Provinsi Riau sudah
terbentuk. Pembentukan gugus tugas reforma agraria level kabupaten/kota
direncanakan akan dibentuk pada tahun 2019. Dengan terbentuknya gugus
tugas reforma agraria pada level provinsi dan kabupaten/kota diharapkan
| 43 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
masalah/kendala dalam perlaksanaan reforma agraria di Provinsi Riau dapat
segera terselesaikan.
c. Sosialisasi Reforma Agraria di Provinsi Jawa Barat
Pelaksanaan sosialisasi reforma agraria di provinsi Jawa Barat dilaksanakan pada
tanggal 20 Agustus 2018 bertempat di Kanwil Provinsi Jawa Barat dengan
dihadiri oleh Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian ATR/BPN, Bappeda
Provinsi Jawa Barat, Dinas Tanaman dan Pangan Jawa Barat, Dinas Kelautan
Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian, Dinas KUKM, dan Jajaran Kanwil BPN
Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Jawa Barat Reforma agraria telah di
koordinasikan dengan dibentuknya gugus tugas melalui Surat Keputusan
Gubernur nomor 590.05/KEP360/2018. Pembentukan gugus tugas tersebut juga
telah di koordinasikan dengan pertemuan seluruh anggota tim pada bulan mei
2018. Tim gugus tugas yang telah dibentuk di Provinsi Jawa Barat diharapkan
dapat melakukan sosial mapping untuk pemberdayaan bersinergi dengan
kegiatan IP4T. Selain itu pelaksanaan reforma agraria dapat disinergikan dengan
program keluarga harapan dan LP2B. Dalam pelaksanaan reforma agrarian
diperlukan keterbukaan dan pertukaran data dan informasi antar sektor, karena
reforma agraria merupakan kegiatan lintas sektor sehingga keterbukaan data
dan informasi menjadi penting, terutama data spasial 1:5000 sehingga dapat
terinformasi wilayah mana saja yang telah mendapatkan program RA. Beberapa
hal penting yang didapatkan dari sosialisasi Reforma Agraria di Provinsi Jawa
Barat meliputi:
1. Tahun 2019 Kanwil Jawa Barat mentargetkan untuk membentuk beberapa
gugus tugas di kabupaten kota sehingga pelaksanaan reforma agraria bisa
dilaksanakan dengan lebih baik.
2. Sebagian tanah di jawa barat sudah dikuasai masyarakat walaupun belum
bersertipikat, sehingga memudahkan dalam penentuan subjek dan objek
reforma agraria.
3. Jawa barat memiliki banyak potensi untuk pelaksanaan reforma agraria
karena banyak memiliki sentra industri kerajinan maupun peternakan.
44 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Potensi tersebut sangat baik apabila dikoordinasikan untuk masuk dalam
bagian program gugus tugas.
4. Kanwil Jawa Barat berharap agar data sensus penduduk dapat disinkronkan
dengan basis data refroma agraria sehingga dapat terpetakan dengan baik.
5. Di daerah terdapat pokja PTSL, sebaiknya gugus tugas dan pokja PTSL
disatukan karena memiliki tugas dan fungsi yang relatif sama.
6. Tahun 2018 terdapat 10 lokasi program pasca legalisasi asset, namun
terdapat hambatan dalam pelaksanaan gugus tugas karena ketua pokjanya
adalah Sekda. Sedangkan tidak memungkinkan SK ditandatangani kanwil
karena merupakan pekerjaan lintas sektor.
7. Telah dilakukan sosial mapping di garut tepatnya desa Cibunar, namun
setelah dilakukan masyarakat ternyata tidak membutuhkan modal, namun
membutuhkan sarana prasarana berupa pembangunan embung. Tanah
masyarakat telah ditetapkan sebagai LP2B namun kondisi tanah
memprihatinkan karena kering saat kemarau, sehingga tanah kurang
produktif.
8. Sampai dengan tahun 2017 untuk sektor KUKM telah tercapai sertipikasi
tanah 21000 bidang, dan target 2018 yaitu 5000 bidang dengan lokasi yang
sporadis. Namun terdapat permasalahan dimana tanah yang sudah
disertipikatkan dijual kepada perusahaan dan warga memilih untuk menjadi
buruh di tanah mereka sendiri.
9. Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat menyampaikan permohonan
perhatian oleh Kanwil BPN untuk sertipikasi tanah nelayan. Hasil dari
pelayanan sertipikasi pada 671 bidang nelayan, tanahnya telah diagunkan
untuk penambahan modal sebesar 16 M.
10. Pelaksanaan reforma agraria di Jawa Barat diharapkan bias meningkatkan
EODB mengingat saat ini peringkat EODB Indonesia tertinggal jauh dari
Negara lain.
| 45 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
REFORMA AGRARIA (9 Juta Ha)
LEGALISASI ASET (4,5 Juta Ha)
REDISTRIBUSI TANAH (4,5 Juta Ha)
HGU Habis dan Tanah Terlantar
(0,4 Juta Ha)
Pelepasan Kawasan Hutan
(4,1 Juta Ha)
Tanah Transmigrasi
yg Belum Bersertipikat (0,6
Juta Ha)
Sertipikasi tanah (PRONA, Lintas
sektor) (3,9 Juta Ha)
2. Pemantauan dan Evaluasi Kegiatan Reforma Agraria Nasional Tahun 2018
Reforma Agraria bertujuan untuk mengurangi ketimpangan Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T), serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin (terutama petani). Reforma agraria dilaksanakan melalui pemberian Asset Reform
dan Access Reform. Secara nasional dalam RPJMN 2015-2019, reforma agraria ditargetkan
sebesar 9 juta hektar yang terdiri atas: (i) legalisasi aset sebesar 4,5 juta hektar dan (ii)
redistribusi tanah sebesar 4,5 juta hektar. Tanah-tanah tersebut diredistribusikan kepada
masyarakat miskin terutama petani yang tidak memiliki tanah (landless). Secara umum
skema reforma agraria dapat digambarkan sebagai berikut.
Sumber: RPJMN 2015-2019
Gambar 4.5 Target Reforma Agraria dalam RPJMN 2015-2019
Hingga tahun 2018 pelaksanaan reforma agraria melalui kegiatan legalisasi aset dan
redistribusi tanah (tidak termasuk pelepasan kawasan hutan) telah mencapai sekitar
3.571.281 Ha Dengan data detail sebagai berikut:
Tabel 4.6 Capaian Legalisasi Aset dan Redistribusi Aset
No Indikator Capaian Jumlah (Ha) Persentase (%)
I Legalisasi Aset 1 Tanah Transmigrasi 32.859 Ha 5% 2 PRONA, Lintor 2.273.474 Ha 58%
II Redistribusi Tanah
46 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
1 HGU Habis dan Tanah Terlantar 270.237 Ha 67% 2 Pelepasan Kawasan Hutan 994.761** 23.4%
Total Capaian 3.571.281 Ha Rata-rata Persentase Capaian 39.68%
Sumber: Kementerian ATR/BPN, Oktober 2018
** Tanah yang dilepaskan dari kawasan hutan tersebut hingga saat ini baru dalam proses inventarisasi dan diharapkan dapat segera ditetapkan melalui SK Menteri LHK sehingga dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan redistribusi tanah.
Dengan demikian, target kegiatan reforma agraria 9 juta hektar nampaknya akan sulit
terselesaikan pada akhir tahun 2019. Hal ini disebabkan oleh terlalu besarnya beban target
pemerintah 2019 untuk menyelesaikan target reforma agraria, yaitu sekitar 5.428.719 Ha
pada 2019 dari total target RPJMN 2015-2019 sebesar 9 Juta Ha. Terdapat beberapa kendala
yang dihadapi dalam realisasi pelaksanaan kegiatan reforma agraria, antara lain:
• Beberapa Kanwil/Kantah BPN masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) juru
ukur pertanahan untuk melaksanakan target sertipikasi tanah yang cukup besar (9 juta
Ha).
• Koordinasi antar K/L dalam pelaksanaan reforma agraria terkait penyediaan data
obyek maupun pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat belum berjalan
dengan baik
• Sumber TORA dari pelepasan kawasan hutan belum serta merta dapat menjadi obyek
redistribusi tanah.
Selain itu beberapa catatan atas pelaksanaan reforma agraria hingga saat ini adalah:
• Capaian pelaksanaan reforma agraria belum dapat disajikan secara spasial, sebab
lokasi kegiatan belum terdefinisi secara pasti. Dengan demikian, data dan informasi
capaian pelaksanaan RA masih dalam bentuk tabular.
• Belum ada data capaian persandingan bidang-bidang tanah yang telah dilegalisasi (asset reform) dengan data program pemberdayaan masyarakat (access reform).
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria selain dilakukan secara
terpusat di Kementerian ATR/BPN juga dilakukan di beberapa Kanwil/Kantah di tingkat
provinsi dan kabupaten. Pada tahun 2018 terdapat beberapa daerah yang menjadi subjek
pemantauan oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria sebagai berikut:
| 47 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
a. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pemantauan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilaksanakan dalam rangka
mengintegrasikan pelaksanaan kebijakan reforma agraria dan kegiatan
perhutanan sosial. Pemantauan dilakukan pada tanggal 7 September 2018 di
Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul yang kemudian dilanjutkan dengan
kunjungan lapangan di hutan mangunan. Beberapa hal penting terkait
pelaksanaan pemantauan di DIY adalah sebagai berikut:
1. Kabupaten Bantul memiliki basis kegiatan pemberdayaan masyarakat
diantaranya adalah kerajian rajut dengan produk akhir tas, dan kegiatan
peternakan ikan di kali (kalen edukasi) yang diinisiasi oleh universitas yang
ada di diy, namun kegiatan tersebut belum diintegrasikan dengan
pemberian sertipikat tanah sehingga belum dapat dikategorikan sebagai
kegiatan reforma agraria.
2. Bappeda Kabupaten Bantul akan segera mengkoordinasikan pemberdayaan
masyarakat untuk kalen edukasi, terutama dalam penentuan lokasi karena
sementara ini lokasi pemberdayaan masih menggunakan sungai irigasi
sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan gangguan aliran air untuk lahan
pertanian.
3. Dalam pertemuan tersebut dilakukan kunjungan ke hutan pinus mangunan.
Hutan pinus mangunan merupakan salah satu kawasan hutan yang sebagian
lahannya dijadikan objek perhutanan sosial yang kemudian dijadikan tempat
wisata dan dikelola oleh masyarakat melalui koperasi.
4. Dalam hal kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bantul untuk
kegiatan perhutanan sosial menggunakan skema kemitraan 25:75.
Pengembangan kegiatan perhutanan tidak hanya dilakukan di dalam hutan
tetapi juga pada desa wisata “sahabat rimba”. Di Kabupaten Bantul terdapat
5 kelompok masyarakat yang belum berkembang dari 9 kelompok
masyarakat yang mendapatkan program perhutanan sosial.
5. Adapun bentuk kegiatan perhutanan sosial yang dilakukan di hutan pinus
mangunan adalah hanya pemeberian ijin pengelolaan kawasan hutan
kepada kelompok masyarakat. Untuk pengembangan tempat wisata di
48 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
kawasan hutan mangunan, kelompok masyarakat mendapatkan bantuan
dari Kementerian Pariwisata sebanyak 500 juta untuk pengembangan desa
wisata kaki langit.
6. Dalam rangka mengintegrasikan program perhutanan sosial dengan reforma
agraria, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan bersama dengan Diro
Perencanaan Kementerian ATR/BPN mengarahkan pelaksanaaan sertipikasi
tanah pekarangan/pertanian di luar kawasan hutan milik anggota kelompok
masyarakat yang mendapatkan program perhutanan sosial.
7. Kantah BPN Kabupaten Bantul pada tahun 2018 tidak memiliki target PTSL
di kecamatan mangunan, sehingga untuk integrasi program perhutanan
sosial dengan reforma agraria baru dapat dilakukan di tahun 2019. Pada
tahun 2019 Kantah Kabupaten Bantul berkomitmen untuk mengarahkan
kegiatan PTSL kepada masyarakat yang menjadi penerima manfaat dari
kegiatan perhutanan sosial.
b. Provinsi Sumatera Selatan
Rapat pemantauan di Provinsi Sumatera Selatan dilaksanakan pada tanggal 14
November 2018 di Hotel Aryaduta Palembang dengan melibatkan Biro
Perencanaan Kementerian ATR/BPN, Direktorat Pemberdayaan Kementerian
ATR/BPN, Direktorat SUPD 1 Kementerian Dalam Negeri, Bappeda Provinsi
Sumatera Selatan, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera
Selatan, dan Kanwil BPN Sumatera Selatan. Beberapa hal penting yang menjadi
pembahasan dalam rapat adalah sebagai berikut:
1. Tanah yang telah diredistribusi di Provinsi Sumatera Selatan hingga tahun
2018 adalah seluas 7942,2812 Ha dengan jumlah 7.051 Bidang. Legalisasi
aset di provinsi sumatera selatan hingga tahun 2018 mencapai luas
6314,0394 Ha dengan jumlah 6.036 Bidang.
2. Terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan reforma agraria di
Provinsi Sumatera Selatan meliputi : 1. Data subjek dan objek yang tidak
sesuai, 2. Batas tanah (TOL) yang kurang jelas, 3. Kondisi medan yang berat
serta lokasi yang jauh, 4. Masyarakat belum memiliki e-KTP.
| 49 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
3. Kegiatan akses reform di provinsi sumatera selatan khususnya di Kabupaten
Musi Banyuasin dilakukan terhadap tanah yang menjadi objek redistribusi
dan konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah di kabupaten Banyuasin telah
dilakukan pada tahun 2016 pada 1.924,94 Ha ( 1000 bidang) yang meliputi 6
desa. Konsolidasi tanah dilakukan dalam rangka peremajaan kebun sawit
rakyat musi banyu asin.
4. Kegiatan konsolidsi tanah di Kabupaten Musi Banyuasin dilengkapi dengan
sumbangan tanah untuk pembangunan jalan selauas 84 Ha untuk
mempermudah akses keluar masuk perkebunan. Selain itu dilakukan
pemberian dana bantuan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa
Sawit (BPDP KS) untuk peremajaan sebesar 25.000.000/Ha.
5. Beberapa bantuan tambahan yang diberikan (akses reform) diantaranya
adalah pemberian bantuan pinjaman dari perbankan untuk kebutuhan
peremajaan tanaman, pemberian pendidikan tentang perkebunan kelapa
sawit, pemberian bibit dalam penerapan pola tanam tumpang sari padi,
jagung, kedelai dan sapi, serta pendampingan dari dinas perkebunan untuk
menjamin kualitas bibit dan tanaman.
c. Provinsi Kalimantan Barat
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reforma agraria di Provinsi Kalimantan
Barat dilaksanakan pada tanggal 22 November 2018 dengan melibatkan
beberapa SKPD, antara lain: BPN Provinsi Kalimantan Barat, Bappeda, dan
Kementerian ATR/BPN. Beberapa hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi di Provinsi Kalimantan Barat yaitu Provinsi Kalimantan
Barat terdiri kawasan non hutan seluas 6.333.028 Ha atau 43,58% dari total luas
wilayah provinsi. Sampai saat ini luas wilayah non hutan yang telah terdaftar
(tersertifikasi) di Provinsi Kalimantan Barat yaitu sebesar 2.342.238 Ha atau
sebanyak 1.470.888 bidang dan tanah yang telah diredistribusikan sejak tahun
2015-2018 sebanyak 79.770 bidang atau seluas 74.946 Ha. Tantangan yang
dihadapi dalam proses pelaksanaan reforma agraria yaitu terkait kendala dalam
penentuan lokasi aset dan kendala dalam pemberian akses kepada masyarakat.
50 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Sejak tahun 2015-2018 masyarakat yang diberikan kegiatan pemberdayaan
sebanyak 2.068 orang yang tersebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat
dengan bentuk pemberdayaan beragam. Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat
saat ini memiliki pegawai juru ukur sebanyak 61 orang, namun jumlah ideal yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kegiatan pertanahan yaitu sebanyak
250 orang.
Cerita sukses pelaksanaan reforma agraria di Provinsi Kalimantan Barat salah
satunya yaitu budidaya aloevera di Kota Pontianak. Dengan adanya kegiatan
sertifikasi petani budidaya lidah buaya dapat mengagunkan sertifikatnya untuk
menambah modal di Bank BRI dengan bantuan BPN. Saat ini hasil budidaya lidah
buaya di Kelurahan Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak
dapat di ekspor ke luar negri.
Cerita sukses lainnya yaitu usaha kain tenun sambas di Kelurahan Batu Layang,
Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak. Awalnya pengrajin kain tenun
hanya memiliki modal usaha sebesar Rp.500.000, setelah adanya kegiatan
sertifikasi pengrajin memiliki sertifikat yang dapat diagunkan di Bank BRI dengan
bantuan BPN sehingga modal usaha kain tenun bertambah menjadi Rp.
50.000.000 sehingga pendapatan pengrajin awalnya Rp. 2.000.000/bulan
menjadi Rp. 40.000.000/bulan.
Beberapa upaya percepatan pelaksanaan reforma agraria di Provinsi Kalimantan
Barat dilakukan dengan beberapa hal berikut:
- Koordinasi intensif dengan BPKH terkait dengan pelepasan kawasan hutan;
- Dukungan penuh Kementerian ATR/BPN pada kegiatan Inventarisasi dan
Verifikasi PPTKH;
- Inventarisasi Perusahaan-perusahaan yang hampir habis masa berlaku HGU
dan mediasi terus menerus terkait sengketa dengan masyarakat;
- Sosialisasi, pendekatan dan dukungan kepada/dari Pemerintah Daerah
terkait Reforma Agraria;
- Strategi penjadwalan kegiatan disesuaikan dengan budaya lokal serta
kondisi geografis dan iklim;
| 51 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
- Beberapa kelonggaran pelaksanaan Reforma Agraria sudah diakomodir
dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria;
- Kepastian ketersediaan obyek dan subyek; dan
- Penambahan Sarana dan Prasarana
d. Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Madiun)
Kegiatan pemantauan dan evaluasi Reforma Agraria dilaksanakan dalam rangka
integrasi data sertipikasi tanah dalam informasi spasial. Pemantauan di
Kabupaten Madiun dilaksanakan pada tanggal 27 November 2018 dengan
dihadiri oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Biro Perencanaan
Kementerian ATR/BPN, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Kementerian
ATR/BPN, Kanwil BPN Jawa Timur, dan jajaran Kantah BPN Madiun.
Beberapa hal yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan monitoring
Reforma Agraria di Kabupaten Madiun adalah:
1. Realisasi pelaksanaan redistribusi tanah provinsi Jawa Timur tahun 2018
adalah 9500 bidang namun realisasi tersebut belum 100% dikarenakan
terdapat alih fungsi pada lahan yang akan diredistribusikan. Pelaksanaan
redistribusi tanah sudah dilakukan melalui mekanisme by name by address
2. Terkait dengan kisah sukses pelaksanaan reforma agraria, telah dilakukan
reforma agraria akses reform di Kabupaten Malang dengan nama “go green
akses reform” dapat dijadikan bahan untuk pelaksanaan monitoring reforma
agraria di tahun 2019.
3. Terdapat permasalahan dalam pelaksanaan reforma agraria terutama akses
reform, yaitu terkait dengan dana pelaksanaan koordinasi dan
pemberdayaan yang tidak ada di BPN melainkan di Pemda dan K/, sehingga
seringkali terdapat benturan dengan pemda terkait masalah pendanaan,
dan jadwal pelksanaan kegiatan.
4. Kabupaten Madiun dan KabupatenPonorogo tahun 2017 dilaporkan telah
terpetakan sebanyak 92% namun dari data tersebut yang valid hanya 2.5%.
Dengan melakukan pemetaan partisipatif untuk memperbaiki data peta
bidang saat ini validitas peta yang ada telah meningkat menjadi 45%.
52 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
5. Validasi data dan peta bidang di Kabupaten Madiun juga disertai dengan
kegiatan IP4T, termasuk didalamnya pendataan harga tanah berdasarkan
harga pasar. Kegiatan IP4T tersebut diminta oleh Bapak Menteri ATR/BPN
untuk ditindaklanjuti dengan sertipikat sehingga kab. Madiun diberikan
anggaran tambahan untuk sertipikasi. Namun, perbaikan data yang
dilakukan di Kabupaten Madiun lebih banyak dilakukan terhadap bidang
tanah yang telah bersertipikat (64%) sehingga terdapat kemungkinan
anggaran tambahan tidak dapat terserap.
6. Perbaikan data peta dan IP4T yang di Kab. Madiun dilakukan dengan
menggunakan drone. Namun terdapat kendala apabila dilakukan dalam
skala besar (lebih dari 1 desa) dalam hal manajemen dan penggabungan
hasil data citra dr drone yang sulit untuk diolah.
7. Terdapat potensi TORA di Kabupaten Madiun yang dapat digabungkan juga
dengan kegiatan LP2B yaitu redistribusi sawah mbawon seluas 2000 Ha,
namun posisi sawah tersebut ada di dalam kawasan hutan sehingga
membutuhkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk pelepasan.
8. Pelaksanaan akses reform di kabupaten madiun adalah berupa pemberian
Hak Tanggungan untuk modal masyarakat dalam menggerakan sektor
usaha. Untuk hasil PTSL 2017 telah diberikan Hak Tanggungan kepada
kelompok usaha brem di kaliabu, melalui program tersebut masyarakat
mengalami kenaikan pendapatan (data akan dikirimkan menyusul)
9. Terkait dengan perbaikan data peta di Kabupaten Madiun mengalami
kendala dalam hal ketersediaan CSRT 0.3 meter yang terbentur aturan
Lapan. Tingkat ketelitian citra yang dihasilkan LAPAN adala 0.5 meter
sehingga tidak bisa dipakai untuk pemetaan bidang di area pemukiman,
sehingga dibutuhkan CSRT dengan tingkat ketelitian peta yang lebih tinggi.
Menteri ATR/BPN telah bersurat ke LAPAN untuk pengadaan CSRT 0.3
Meter dan telah disetujui oleh LAPAN, namun hingga saat ini belum ada
informasi lanjutan dari direktorat Pemetaan Dasar.
10. Pelaksanaan pengumpulan data IP4T di Kabupaten Madiun masih
menggunakan sistem manual (offline). Hal ini terkendala kebijakan pusdatin
| 53 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
ATR yang tidak mau meneriman data IP4T / menambahkan atau
menampilkan data baru yang belum bersertipikat dalam sistem geoKKP
karena belum bersertipikan dan belum memiliki NIB.
11. Di Kabupaten Madiun dan sekitarnya terdapat transaksi jual beli tanah
dengan pihak asing (cina) dengan nilai yang tinggi. Transaksi dilakukan
dengan menggunakan identitas WNI pinjaman (KTP Pinjaman), adapun
tanah-tanah yang dikuasai asing tersebut sekarang diterlantarkan.
3. Koordinasi Sertipikasi Tanah Transmigrasi
Reforma Agraria memiliki salah satu tujuan yaitu mengurangi dan menyelesaikan
konflik pertanahan, selain tentunya juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu permasalahan yang coba diselesaikan dalam skema reforma agraria adalah sertifikasi
tanah transmigrasi khususnya untuk penempatan sebelum tahun 1998. Dalam mencoba
menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan kerjasama yang baik antara Kementerian
Desa dan PDTT, Kementerian LHK dan Kementerian ATR/BPN. Permasalahan tanah
transmigrasi sudah sangat pelik, hal ini karena rata-rata masyarakat yang menempati lokasi
transmigrasi sudah berusia cukup lanjut, sudah ada perubahan dan perbedaan subyek dan
obyek tanah. Selain itu ketersediaan data pendukung juga diperlukan. Karena waktu
penempatan yang sudah lama data pendukung ini sangat sulit didapatkan, Kementerian
Desa dan PDTT tidak memiliki data spasial lokasi penempatan masyarakat transmigran.
Sebagian besar lahan transmigrasi masih masuk dalam kawasan hutan, meskipun sudah
berupa desa definitif dengan berbagai fasilitas sosial dan umum. Permasalahan lainnya
adalah sebagian lahan transmigrasi belum ditetapkan dalam RTRW sebagai cadangan untuk
kegiatan transmigrasi. Selain itu terdapat peraturan-perundangan yang ada tidak
memungkinkan untuk dilakukan sertipikasi pada tanah kawasan transmigrasi. Hal-hal
tersebut akan menyulitkan bagi Kementerian Desa dan PDTT serta Kementerian ATR/BPN
untuk melakukan program sertifikasi lahan-lahan transmigrasi yang sudah lebih dari 20
tahun ditempati masyarakat. Hal ini menyebabkan capaian sertipikasi lahan transmigrasi
tidak mencapai target yang ditetapkan, dibandingkan dengan kegiatan sertipikasi lintas K/L
lainnya. Koordinasi telah dilakukan dalam rangka percepatan target sertifikasi lahan untuk
transmigrasi dengan melibatkan beberapa stakeholder yaitu Kementerian PPN/Bappenas;
54 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Desa, PDTT; Kementerian
ATR/BPN; dan Kementerian Dalam Negeri.
Berdasarkan data dari Kementerian Desa dan PDTT pada tahun 2015 target sertifikasi
tanah transmigrasi sebesar 10.900 bidang, tahun 2016 sebesar 8.059 bidang, dan tahun
2017 sebesar 9.119 bidang. Pada tahun 2018 direktorat teknis di Kementerian Desa dan
PDTT sudah mengusulkan target sertifikat tanah transmigrasi sebesar 100.076 Bidang,
namun karena keterbatasan alokasi anggaran usulan tersebut oleh Biro Perencanaan baru
dialokasikan sekitar 54.877 Bidang. Berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN melalui
dashboard PTSL sampai dengan bulan Oktober 2018 realisasi fisik sertifikat untuk
transmigrasi sekitar 48.000 bidang, yang berada di 12 Provinsi. Pada tahun 2018 telah
diterbitkan SK Sertifikasi untuk transmigrasi di beberapa provinsi, namun masih terdapat
beberapa kendala antara lain, terjadi okupasi oleh masyarakat dan ada wilayah yang masuk
dalam kawasan hutan.
Beberapa permasalahan dalam pelaksanaan sertifikasi tanah transmigrasi tahun 2018
antara lain adalah, berkas usulan dari dinas daerah tidak dapat diproses oleh Kantah dan
Kanwil karena dinas terkait terlambat mengumpulkan berkas. Kantah BPN mengusulkan
untuk usulan sertifikasi transmigrasi berkas dapat disetorkan pada T-1, sedangkan usulan
berkas dari Dinas Transmigrasi Kab/Kota biasanya pada tahun berjalan sehingga
menyulitkan Kanwil dan Kantah BPN untuk memproses usulan tersebut. bahwa banyak
berkas usulan dari daerah belum dilengkapi dengan surat keterangan bebas kawasan hutan
dari BPKH, sehingga berkas harus dikembalikan untuk dilengkapi. Selain itu juga
permasalahan koordinasi, pasca refromasi dinas yang mengurusi bidang transmigrasi di
daerah bukan merupakan instansi vertikal sehingga koordinasi dan rekapitulasi data menjadi
permasalahan baru. Kementerian ATR/BPN membuka seluas-luasnya usulan sertifikasi untuk
tanah transmigrasi dengan syarat semua persyaratan berkas dapat dipenuhi.
4. Koordinasi Penyelesaian Perpres Reforma Agraria
Setelah dilakukan koordinasi dengan pihak terkait pada tahun 2018, telah diterbitkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini
merupakan salah satu landasan pelaksanaan reforma agraria. Beberapa pokok-pokok
pengaturan dalam Perpres reforma agraria, antara lain:
| 55 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
i) Tujuan reforma agraria, antara lain:
- Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka
menciptakan keadilan;
- Menangani sengketa dan koflik agraria;
- Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis
agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah;
- Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;
- Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;
- Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan
- Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
ii) Penyelenggaraan reforma agraria, meliputi:
- Perencanaan reforma agraria; dan
- Pelaksanaan reforma agraria, meliputi: penataan asset dan penataan akses.
- Penataan asset meliputi: redistribusi tanah; atau legaliasi asset.
- Objek redistribusi tanah meliputi: redistribusi tanah untuk pertanian; dan
redistribusi tanah untuk non-pertanian.
- Subyek reforma agraria, terdiri atas: orang perseorangan; kelompok masyarakat
dengan Hak Kepemilikan Bersama; atau badan hukum.
- Penataan akses dilaksanakan berbasis klaster dalam rangka meningkatkan skala
ekonomi, nilai tambah serta mendorong inovasi kewirausahaan subjek reforma
agraria.
- Penataan akses meliputi: pemetaan social, peningkatan kapasitas kelembagaan,
pendamping usaha, peningkatan keterampilan, penggunaan teknologi tepta guna,
diversifikasi usaha, fasilitasi akses permodala, fasilitasi akses pemasaran
(offtaker), penguatan basis data dan informasi komoditas, dan/atau penyediaan
infrastruktur pendukung.
iii) Penanganan sengketa dan konflik dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum
dan keadilan sosial terhadap, terhadap para pihak yang melibatkan:
- antara orang perorangan,
- perorangan/kelompok dengan badan hukum,
56 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
- perorangan/kelompok dengan lembaga,
- badan hukum dengan lembaga, dan
- lembaga dengan lembaga.
iv) Kelembagaan reforma agraria.
- Dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria dibentuk Tim Reforma Agraria
Nasional.
- Tugas Tim Reforma Agraria Nasional, sebagai berikut: menetapkan kebijakan dan
rencana reforma agraria, melakukan koordinasi dan penyelesaian kendala dalam
penyelenggaraan reforma agraria, dan melakukan pengawasan serta pelaporan
pelaksanaan reforma agraria.
- Dalam rangka membantu pelaksnaaan tugas Tim Reforma Agraria Nasional
dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
v) Kewajiban dan larangan penerima tanah objek reforma agraria.
vi) Peran serta masyarakat.
4.1.3 Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum
Tanah merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan. Seiring
semakin tingginya intensitas kebutuhan pembangunan serta semakin terbatasnya
ketersediaan tanah secara simultan, berakibat pada semakin sulitnya optimalisasi
pemanfaatan penggunaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum.
Pemerintah pun mengalami kesulitan dalam melakukan proses pembebasan lahan,
terutama terkait eksekusi pembebasan penguasaan lahan dan pembiayaannya yang
menjadi sangat mahal. Itu semua terlihat melalui banyaknya kasus yang terjadi disebabkan
proses pembebasan lahan yang berlarut-larut. Di sisi lain, hak penduduk lain yang lebih
membutuhkan dan mampu memanfaatkan bidang tanah tersebut tidak terpenuhi sehingga
potensi kesejahteraan yang akan didapat tidak terwujud.
Melihat kondisi tersebut, dengan memperhatikan Pasal 9, ayat (3), dan Pasal 15, ayat
(i) PP No. 11 Tahun2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, terlihat
bahwa negara memiliki kewenangan untuk melakukan penyediaan tanah. Berbeda dengan
| 57 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
badan usaha swasta, negara dalam melakukan penyediaan tanah dan memanfaatkan tanah
yang dikuasainya tidak terikat waktu karena pada akhirnya setiap bidang tanah yang
dikuasai negara akandigunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33, UUD 1945.
Praktik penyediaan tanah secara umum dikenal dengan terminologi Bank Tanah, dan
di Indonesia secara luas dilakukan baik oleh badan usaha swasta, BUMD, maupun BUMN.
Entitas badan hukum yang mewakili negara secara khusus untuk melakukan penyediaan
tanah, atau Bank Tanah itu sendiri, justru belum dimiliki oleh Indonesia. Pembentukan
Lembaga Penyediaan Tanah (Bank Tanah) merupakan salah satu agenda dalam Quickwins
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai salah satu upaya
mempercepat pemerataan pembangunan, sehingga diharapkan Lembaga Penyediaan Tanah
(Bank Tanah) dapat segera terbentuk.
Pada tahun 2017 berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kemenko Bidang
Perekonomian disepakati beberapa hal antara lain: bentuk payung hukum pengaturan
direncanakan adalah melalui Peraturan Pemerintah tentang Badan Pengelola dan Penyedia
Tanah Nasional (BATANAS) karena pertimbangan utama karena ruang lingkup pengaturan
yang diatur dalam BATANAS cukup besar dan luas mulai dari tahap perencanaan,
pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan aset tanah; Badan tersebut bertujuan untuk
menjamin tersedianya tanah bagi pembangunan dan kepentingan umum, pemerataan
ekonomi, sebagai instrumen pengendali harga tanah, menjaga keseimbangan penguasaan
tanah, serta mengelola tanah cadangan umum Negara; Diusulkan agar nama dari badan ini
spesifik saja yaitu Bank Tanah seperti praktik di negara lain, dilengkapi dengan definisi yang
baik dan jelas; BATANAS yang melaksanakan kegiatan pengelolaan tanah yang terpadu yang
meliputi antara lain perencanaan, perolehan, pengembangan, penggunaan, pemanfaatan,
serta pengamanan dan pemeliharaan.
A. Rencana
Pada tahun 2018, terkait dengan Kebijakan Penyediaan Tanah Bagi Pembangunan
Kepentingan Umum adalah lanjutan koordinasi penyusunan Peraturan Presiden terkait
Lembaga Penyediaan Tanah (Bank Tanah).
58 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
B. Capaian
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Badan Pengelola dan Penyedia Tanah
Nasional (BATANAS). Pada tahun 2018, telah dilakukan koordinasi pembahasan rancangan
peraturan pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang
melibatkan K/L antara lain: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian
PAN-RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian ATR/BPN. Berikut beberapa hal penting
terkait dengan pokok-pokok pengaturan Badan Pengelola dan Penyedia Tanah Nasional,
antara lain:
1. Dalam pasal 33 UUD 1945 telah diamanatkan bahwa “Bumi,air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa tanah
merupakan urusan yang vital dan harus dikuasai oleh negara untuk pembangunan bagi
kemakmuran rakyat. Selain itu, UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai landasan regulasi
bahwa Negara hadir untuk memastikan keadilan dalam pemanfaatan tanah bagi
rakyat dan tata kelola pengaturan alas hak serta asetnya;
2. Pembentukan Badan Pengelola dan Penyediaan Tanah Nasional (BATANAS)
diharapkan sebagai wadah untuk memastikan penyediaan tanah dalam rangka
pembangunan bagi kepentingan umum, pemerataan ekonomi, dan pembangunan
ekonomi nasional;
3. Beberapa masalah pertanahan di Indonesia saat ini masih menjadi penghambat
pembangunan, seperti harga tanah yang tinggi, ketersediaan tanah pemerintah yang
terbatas, terjadinya urban sprawl berakibat pada tak terkendalinya alih fungsi lahan
dan perkembangan kota yang tidak efisien.
4. Pemerintah memiliki sumberdaya tanah yang cukup besar yang disebut Tanah
Cadangan Umum Negara (TCUN) yang belum dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal. Potensi luas TCUN sebagian besar berasal dari pelepasan kawasan hutan dan
tanah terlantar. Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN tahun 2017, terdapat
potensi tanah terlantar seluas 400.000 Ha dimana saat ini sekitar 23.000 Ha sudah
berstatus clear and clean dan siap untuk dikelola.
| 59 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
5. RPP BATANAS sudah cukup urgent untuk segera dipercepat penetapannya sehingga
diharapkan dengan adanya BATANAS ini, Pemerintah dapat memaksimalkan peran
pengendalian tanah dari aspek regulasi, administrasi, dan operasional dengan
membentuk Bank Tanah yang dapat menampung potensi tanah untuk pembangunan
maupun kepentingan lain.
6. Sumber tanah yang diperoleh dan kemudian dicadangkan oleh BATANAS berasal dari
1) Tanah Cadangan Umum Negara; 2) Tanah aset pemerintah yang belum
dimanfaatkan; 3) Tanah timbul (reklamasi) maupun bekas pertambangan; 4) Tanah
yang terkena kebijakan perubahan tata ruang dan konsolidasi tanah; 5) Tanah
pelepasan kawasan hutan; 6) Tanah proses pengadaan langsung; dan 7) Sumber obyek
tanah lainnya yang sesuai ketentuan perundang-undangan.
7. Negara memberikan kuasa kepada BATANAS dalam bentuk Hak Pengelolaan dan
selanjutnya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga (Pemerintah, swasta dan
masyarakat) dalam bentuk HGU, HGB dan Hak Pakai.
8. Kelembagaan BATANAS dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) Khusus yang
berfungsi sebagai pengelola dan penyedia tanah utama di Indonesia. Didalam
kelembagaan BATANAS terdiri dari Komite (Menteri ATR/BPN, Menteri Keuangan,
Menteri PUPR, dll), Dewan Pengawas, dan Dewan Pelaksana (Kepala BATANAS, dan
para Deputi).
9. Pada pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan mengamatkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Namun setelah ditelaah
oleh Kementerian Hukum dan HAM, disimpulkan bahwa tidak ada amanat langsung
untuk menyusun RPP terkait BATANAS. Dasar aturan yang dijadikan landasan
pembentuk RPP ini adalah beberapa amanat tidak langsung dalam pasal 4 dan pasal 6
UUPA No.5 Tahun 1960 serta ketentuan umum dalam UU No.2 Tahun 2012. Sesuai
amanat pasal 12 UU No.12 Tahun 2012 yang perlu digaris bawahi adalah tidak ada
ketentuan mengikat bahwa setiap penyusunan RPP harus berdasarkan amanat
langsung dalam UU diatasnya. Dalam pasal tersebut, hanya disebutkan bahwa RPP
berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Penyusunan RPP
60 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
dilakukan karena pertimbangan dapat lebih fleksibel dengan pertimbangan urgensi
penyusunannya.
10. Perlu pengaturan agar tugas dan fungsi BATANAS tidak tumpang tindih dengan
Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Oleh sebab itu, sebaiknya BATANAS lebih
menekankan pada sisi supply dan distribusi aset non PSN. Sedangkan disisi supply dan
distribusi aset PSN, tetap menjadi tanggung jawab LMAN. Peran kedua lembaga
tersebut berbeda, yaitu (i) LMAN berperan dalam pengadaan lahan terhadap proyek
infrastruktur nasional (PSN) yang telah direncanakan oleh pemerintah (dengan
tahapan: merencanakan lokasi proyek terlebih dahulu, baru kemudian pengadaan
lahan); dan (ii) BATANAS berperan untuk mengumpulkan tanah-tanah dari 7 (tujuh)
sumber yang sah dan kemudian dapat digunakan untuk rencana pembangunan dimasa
yang akan datang (dengan tahapan: pengadaan lahan terlebih dahulu, baru kemudian
merencakan proyek pembangunan).
11. Perlu adanya penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum dalam tata kelola
BATANAS. Hal ini mengingat besarnya tanggung jawab dan kewenangan pengelolaan
tanah yang dibebankan kepada BATANAS, sehingga berpotensi terjadinya abuse of
power seperti yang terjadi di Filipina dan India sebagaimana hasil kajian dari Bappenas
tahun 2015 s.d 2016. Kekhawatiran terjadinya abuse of power BATANAS (kasus di
India dan Filipina), dapat diminimalisir dengan skema organisasi yang memudahkan
pengawasan baik secara internal (Dewan Pengawas) maupun eksternal (Kepolisian,
Kejaksaan dan KPK).
12. Sebagaimana amanat PP No.27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN dan BMD,
dijelaskan bahwa Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang diperoleh
atau dibeli atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Untuk itu,
diusulkan agar aset tanah yang diperoleh oleh Batanas dikategorikan sebagai BMN.
13. Tugas dan fungsi BATANAS: Untuk menghimpun dan mendistribusikan tanah, dengan
fungsi utama sebagai fungsi intermediasi tanah dimana tanah-tanah tidak produktif
menjadi produktif kembali. Fungsi ini diperlebar, tidak hanya berfungsi untuk
kepentingan umum, dengan pertimbangan tanah-tanah yang tidak produktif sangat
banyak sedangkan kebutuhan tanah untuk kepentingan umum sangat kecil. Selain itu,
BATANAS juga berhak dalam proses pematangan tanah seperti pemberikan jalan
| 61 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
maupun infrastruktur dasar meskipun terbatas. Hal ini membuka peluang untuk bisa
bekerjasama dengan Kementerian PUPR.
4.1.4 Kebijakan Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan
Kementerian Agrara dan Tata Ruang/BPN pada periode RPJMN 2015-2019 memiliki
tugas dalam mewujudkan pelaksanaan reforma agraria 9 Juta Ha serta beberapa arah
kebijakan yang menyebabkan kuantitas dan kualitas SDM di bidang pertanahan perlu
ditambah. Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidang Pertanahan menjadi salah satu
kunci keberhasilan dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan nasional, sehingga
dapat mempermudah dalam mengakomodasi dan implementasi kebijakan yang telah
disusun sebelumnya. Tugas dan fungsi pokok Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
dalam melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan, dan melaksanakan seluruh
program/kebijakan pertanahan, baik di tingkat pusat, kantah maupun kanwil, memerlukan
dukungan SDM yang berkualitas dan kuantitas yang seimbang. Namun, faktanya saat ini
hanya tersedia 13% dari total pegawai BPN di seluruh Indonesia. Idealnya, untuk
melaksanakan tugas bidang pertanahan (pengukuran atas tanah), komposisi perbandingan
antara SDM Juru Ukur dan Non-Juru Ukur yaitu sebesar 40:60, dan harus ditempatkan
secara merata di tiap-tiap kantor pertanahan dan kantor wilayah BPN Kab/Kota, sehingga
setiap pekerjaan pengukuruan tanah dapat terselesaikan tepat waktu.
A. Rencana
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahun 2018 terkait dengan Kebijakan Sumber
Daya Manusia di Kementerian ATR/BPN adalah:
i) Terlaksananya pemantauan penerimaan SDM juru ukur Kementerian ATR/BPN
ii) Teridentifikasinya ketersediaan SDM juru ukur
B. Capaian
Pada tahun 2018 terdapat Instruksi Presiden Nomor 2 tentang Percepatan
Pendaftaran Sistematis Lengkap (PTSL) di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga saat
ini petugas ukur di Kementerian ATR/BPN dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu petugas
ukur PTSL dengan kemampuan pengukuran sebanyak 10 bidang/hari dan pertugas ukur
kegiatan reguler dengan kemampuan pengukuran sebanyak 2-3 bidang/hari. Tim pelaksana
62 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
PTSL terdiri dari tenaga pengumpul data fisik (juru ukur) dan tenaga pengumpul data yuridis
(analis permohonan hak). Beban kerja kegiatan PTSL akan bertambah setiap tahunnya yang
harus diimbangi dengan penambahan juru ukur dan analis permohonan hak. Hasil kegiatan
PTSL akan di-input pada sistem pertanahan sehingga tenaga komputerisasi juga dibutuhkan.
Beban kerja yang terus meningkat (hingga 10 jt bidang/tahun) saat ini Analis Permohonan
Hak harus melakukan pemeriksaan berkas sebanyak 58 berkas/hari, namun beban kerja
ideal Analis Permohonan Hak maksimal hanya dapat memeriksa sebanyak 15 berkas/hari.
Berdasarkan hasil analisa kebutuhan pegawai untuk menjalankan tugas dan fungsi
Kementerian ATR/BPN dibutuhkan sebanyak 32.606 orang, dengan kondisi eksisting
pegawai saat ini sebanyak 19.212 orang. Status sampai dengan Januari 2018 jumlah PNS
petugas ukur di seluruh Indonesia yaitu sebanyak 2.025 orang. Pada penerimaan petugas
ukur tahun 2017 formasi yang dibuka untuk 800 orang, namun yang lolos seleksi hanya
sebanyak 509 orang karena passing grade yang terlalu tinggi untuk standar juru ukur. Pata
tahun 2018 Kementerian ATR/BPN mengajukan usulan penerimaan CPNS kepada
Kementerian PAN-RB sebanyak 6.000 orang dengan rincian alokasi formasi sebanyak 2.000
orang untuk analis permohonan hak (khusus untuk kegiatan PTSL di daerah), 1.500 orang
untuk juru ukur, dan 2.500 orang untuk formasi lain-lain.
4.2. Koordinasi Pelayanan Pertanahan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) sebagai salah satu tim koordinasi
strategis pelaksanaan reforma agraria nasional perlu didukung oleh ketersediaan sumber
daya manusia dan infrastruktur yang memadai, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai menjadi hal yang perlu untuk
memudahkan kinerja Kementerian ATR/BPN dalam pelaksanaan kegiatan bidang
pertanahan. Beberapa sarana dan prasarana yang perlu tersedia, antara lain ketersediaan
gedung perkantoran yang layak, kondisi arsip yang baik dan lengkap, ketersediaan
perangkat IT, jumlah mobile cabinet yang mencukupi, dan sebagainya.
Namun, fakta saat ini menunjukkan bahwa masih banyak sarana dan prasarana di
daerah yang kurang memadai, baik kondisi fisik maupun jumlahnya. Oleh sebab itu,
Kementerian ATR/BPN perlu melakukan koordinasi dengan seluruh Kantor Wilayah (Kanwil)
| 63 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BPN dan Kantor Pertanahan (Kantah) dalam rangka menginventarisasi jumlah dan kondisi
eksisting serta kebutuhan sarana dan prasarana di tiap daerah.
A. Rencana
Pada tahun 2018 Tim Koordinasi Reforma Agraria merancang target terkait dengan
koordinasi pelayanan pertanahan, yaitu terlaksananya koordinasi kebutuhan sarana dan
prasarana Kanwil dan Kantah BPN.
B. Capaian Tahun 2018
Sampai dengan tahun 2018 Kementerian ATR/BPN memiliki 501 satuan kerja (satker)
di pusat dan daerah, dan akan bertambah pada tahun 2019. Puslitbang-Kementerian
ATR/BPN memiliki penelitian kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pertanahan,
berdasarkan hasil survey disimpulkan bahwa waktu pelayanan pertanahan masih rendah
dan kondisi sarpras juga kurang baik (kondisi loket dll). Komputer, printer, dan alat ukur
merupakan sarpras yang mempengaruhi kecepatan pelayanan pertanahan yang perlu
mendapatkan perhatian. Sehingga Kementerian ATR/BPN perlu memiliki rencana perbaikan
sarpras untuk mewujudkan pelayanan pertanahan yang lebih baik.
Hasil rapat terbatas tahun 2017 terdapat arahan Wakil Presiden untuk melakukan
moratorium pembangunan gedung. Namun untuk hal yang bersifat strategis seperti
pelayanan pertanahan dimungkinkan untuk dikecualikan dari moratorium yang harus
diperkuat dengan kajian akademis penjelasan evaluasi kondisi sarpras Kementerian
ATR/BPN. Bappenas berharap evaluasi dan perbaikan kondisi sarpras Kementerian ATR/BPN
dapat menjadi salah satu rancangan arah kebijakan RPJMN 2020–2024 bidang pertanahan
untuk meningkatkan pelayanan pertanahan. Kajian akademis evaluasi dan perbaikan kondisi
sarpras Kementerian ATR/BPN perlu mencantumkan tipologi pengadaan yang didasarkan
pada beban kerja satker serta skala prioritas pemenuhan sarpras. Identifikasi dan
perencanaan pemenuhan sarpras merupakan suatu rencana jangka panjang, sehingga
berdasarkan hasil identifikasi akan dibagi perencanaan pemenuhan pada beberapa tahun
anggaran. Kementerian ATR/BPN mungkin dapat berkoordinasi dan mencontoh instansi lain
yang memiliki satker daerah dengan kondisi sarpras yang baik dan cenderung seragam
seperti BPS dan Ditjen Pajak-Kementerian Keuangan untuk dapat mengetahui kajian
evaluasi, design, dan strategi.
64 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Secara konseptual Biro Perencanaan dan Kerjasama-Kementerian ATR/BPN sudah
mulai menyusun kajian akademis evaluasi kondisi sarpras, namun saat ini baru melakukan
analisis dan perhitungan perencanaan perbaikan gedung pada satker Kementerian ATR/BPN
belum pada sarpras lainnya. Selain pembangunan gedung perkantoran pada satker terdapat
rencana perbaikan sarpras lainnya di Kementerian ATR/BPN seperti pembangunan rumah
dinas, pengadaan kendaraan dinas, dan perbaikan arsip sebagaimana arahan kebijakan e-
office oleh Sekjen ATR/BPN. Saat ini banyak permintaan kebutuhan sarpras oleh satker di
daerah yang belum dapat terpenuhi karena keterbatasan anggaran. Kajian akademis
pengadaan sarpras akan dikoordinasikan Biro Perencanaan dan Kerjasama bersama
Pulitbang dan Biro Hukum Kementerian ATR/BPN.
4.3. PUBLIKASI DAN SOSIALISASI
Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan koordinasi strategis reforma agraria
nasional dibutuhkan media publikasi dan sosialisasi baik untuk anggota tim koordinasi
strategis reforma agraria nasional, stakeholder terkait maupun kepada masyarakat secara
umum. Pada tahun 2018 terdapat beberapa media publikasi dan sosialisasi terkait
pelaksanaan Reforma Agraria Indonesia yang meliputi media CD dan media daring. Pada
tahun 2018 terdapat kegiatan publikasi dan sosialisasi terkait pelaksanaan Reforma Agraria
Indonesia yang meliputi:
4.3.1 Media CD
Pelaksanaan publikasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang
pertanahan dilakukan pula melalui media CD (compact disc). Adapun kebijakan dan
peraturan perundang-undangan tentang pertanahan yang telah dicetak dan disebarluaskan
pada Tahun 2014 adalah: (i) White Paper Kebijakan Pertanahan; dan (ii) Peraturan
Perundangan di Bidang Pertanahan, dan pada tahun 2015-2016 adalah pembaruan data dan
informasi pertanahan. Pada Tahun 2018 dilaksanakan pembaruan data dan informasi
terutama mengenai peraturan perundang-undangan di Bidang Pertanahan. CD peraturan
perundangan pertanahan ini disusun agar stakeholder terkait dapat mengetahui peraturan
terbaru di bidang pertanahan sehingga memudahkan dalam penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pertanahan.
| 65 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Gambar 4.6 CD Publikasi terkait Kebijakan dan Peraturan Perundangan di Bidang Pertanahan
4.3.2 Media Daring
Publikasi kegiatan sekretariat reforma agraria nasioanal dalam bentuk berita daring
menginduk pada situs Direktorat Tata Ruang Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas
http://trp.or.id pada sub bagian RAN (Reforma Agraria Nasional). Adapun substansi
publikasi dalam media daring adalah kegiatan-kegiatan koordinasi strategis reforma agraria
yang telah dilaksanakan dalam Tahun Anggaran 2018 dan berita-berita yang terkait dengan
bidang pertanahan.
Gambar 4.7 Tampilan Media Online terkait kegiatan RAN 2018
| 67 Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAB 5 PENUTUP
Koordinasi lintas K/L dan Pemda dalam perbaikan sistem pengelolaan pertanahan
nasional sesuai dokumen White Paper Pengelolaan Pertanahan Nasional dan arahan RPJMN
2015-2019 Bidang Pertanahan yang telah dilakukan oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma
Agraria Nasional Tahun 2018 telah tercapai sesuai dengan rencana kegiatan yang telah
ditetapkan. Secara umum, capaian dari masing-masing pokok kegiatan yang ditetapkan pada
tahun 2018, yaitu:
1. Kebijakan sistem pendaftaran tanah publikasi positif:
a. Percepatan peningkatan cakupan peta dasar pertanahan mencapai 30,4 juta Ha
(47,30%) dari luas wilayah Indonesia di luar kawasan hutan seluas 64.324.754,31
Ha, meningkat dari 29.5 juta Ha (45,93%) pada tahun 2017;
b. Percepatan peningkatan cakupan bidang tanah bersertipikat yang terdigitasi
seluas 13,8 juta Ha (20,91%) dari total luas wilayah budidaya (ditambah dengan
wilayah enclave) seluas 65.337.208,87 Ha, meningkat dari 8.1 juta Ha (12,46%)
pada tahun 2017;
c. Rekonstruksi dan perapatan batas kawasan hutan di 5 provinsi, yaitu Provinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Banten (dengan 15 kawasan
hutan) melanjutkan tahun 2017 yaitu pilot project publikasi tata batas kawasan
hutan di 3 (tiga) provinsi (dengan 4 kawasan hutan).
2. Kebijakan redistribusi tanah dan access reform:
a. Sosialisasi kebijakan Reforma Agraria kepada Pemerintah Daerah di 3 (tiga)
provinsi yaitu Sulawesi Barat, Riau, dan Jawa Barat;
b. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Reforma Agraria di 4 (empat) provinsi
yaitu DIY, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur (Madiun);
c. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan capaian kegiatan
Reforma Agraria, dengan capaian: redistribusi tanah yang berasal dari HGU
habis, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya sebesar 270.237 Ha, legalisasi
68 | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
aset dari tanah transmigrasi sebesar 32.859 Ha dan dari PRONA dan Lintor
sebesar 2.273.424 Ha, dan pelepasan kawasan hutan untuk TORA sebesar
994.761 Ha (namun belum ada capaian redistribusi tanah dari pelepasan
kawasan hutan tersebut);
d. Koordinasi penetapan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
3. Kebijakan pembentukan lembaga penyediaan tanah: payung hukum pembentukan
lembaga tersebut disepakati berupa Peraturan Pemerintah (PP), dengan Badan berupa
Badan Layanan Umum (BLU) tentang Badan Pengelola dan Penyedia Tanah Nasional.
4. Kebijakan sumberdaya manusia bidang pertanahan:
Dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan pertanahan khususnya terkait petugas
ukur, Kementerian ATR/BPN telah melakukan rekrutmen CPNS juru ukur pertanahan
pada tahun 2018 dengan formasi sebanyak 369 orang, melanjutkan rekrutmen CPNS
pada tahun 2017 yaitu petugas ukur sebanyak 510 orang dan surveyor pemetaan
sebanyak 208 orang.
LAMPIRAN
PETA DASAR
| A Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
B | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| C Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
D | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| E Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
F | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
PETA SERTIFIKAT
| I Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
J | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| K Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
L | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
| M Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
N | Laporan Akhir Kegiatan Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan