tes psikologi

119
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi amanat untuk terus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen dalam pendidikan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003). Hal ini dikarenakan persaingan global yang semakin tinggi, sehingga masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan sumber daya manusia, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatkan mutu pendidikan akan membawa dampak signifikan terhadap peningkatan sumber daya manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan individual dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Hamushek & Woessmann, 2007). Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka mulai tahun 2005 pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) dan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Ujian Nasional merupakan penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003). Ujian Nasional mencakup ujian teori dan praktek yang dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada setiap akhir tahun ajaran pelajaran.

Upload: muhamad-erfan-maulida

Post on 24-Apr-2015

167 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

menggambarkan beberapa mengenai keperluan alat-alat tes dalam bidang psikologi. akan memberikan jawaban secara lebih komprehensif mengenai sesuatu yang bermanfaat dalam memberikan guideline.

TRANSCRIPT

Page 1: Tes psikologi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi

amanat untuk terus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem

pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan

pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen dalam

pendidikan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun

2003). Hal ini dikarenakan persaingan global yang semakin tinggi, sehingga

masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan sumber daya manusia, salah satu

caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatkan

mutu pendidikan akan membawa dampak signifikan terhadap peningkatan

sumber daya manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap

pendapatan individual dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Hamushek &

Woessmann, 2007).

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka mulai

tahun 2005 pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)

menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI)

dan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Ujian Nasional merupakan penilaian

hasil belajar yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara

nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan

teknologi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003).

Ujian Nasional mencakup ujian teori dan praktek yang dilaksanakan secara

serentak di seluruh wilayah Indonesia pada setiap akhir tahun ajaran pelajaran.

Page 2: Tes psikologi

2

Pelaksanaan dan penyelenggaraan UN telah diatur dalam Prosedur

Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN). Di dalamnya juga dibahas mengenai

sanksi-sanksi hukum, sehingga jika seseorang, kelompok dan atau lembaga

terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diproses dan dikenakan sanksi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (BSNP, 2012).

Secara garis besar menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor

20 tahun 2003, hasil UN berguna sebagai salah satu pertimbangan untuk

pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan

berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan

pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan

pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat pentingnya hasil dari UN tersebut, maka

pihak-pihak yang terkait dengan UN dalam hal ini adalah penyelenggara dan

peserta ujian wajib melaksanakan UN dengan menjunjung tinggi kejujuran

(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011).

Hasil dari ujian yang jujur akan menunjukkan prestasi dan pencapaian

belajar peserta didik yang sebenarnya, sehingga akan menggambarkan dan

memberikan informasi yang akurat tentang sejauh mana pengetahuan dan

kemampuan peserta didik berkembang (Cizek dalam Tas & Tekkaya, 2010). Di

Indonesia, fungsi paling penting dari UN adalah dimana hasil analisis data UN

akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan

mutu program atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan

kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan

(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007), informasi-

informasi yang tepat, akurat, dan reliabel yang diperoleh dari hasil UN yang jujur

akan sangat bermanfaat dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah

Page 3: Tes psikologi

3

selanjutnya untuk mengatasi berbagai permasalahan di dalam dunia pendidikan

(Azwar, 2010).

Namun dalam kenyataannya, sejak standar kelulusan dalam UN

diterapkan, banyak terjadi praktek-praktek kecurangan dalam melaksanakan UN.

Orientasi Ujian Nasional yang hanya mementingkan kelulusan membuat banyak

pihak menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh standar kelulusan

(Kompas.com, 11 Juli 2011). Pihak-pihak tersebut baik sebagai peserta ataupun

penyelenggara UN melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan hasil yang

diinginkan, walaupun cara yang digunakan tersebut tidak sah atau melanggar

peraturan yang lebih dikenal sebagai perilaku curang (Genereux & McLeod

dalam Vinski & Tryon, 2009).

Perilaku curang dalam akademik merupakan kekeliruan individu dalam

menunjukkan pengetahuannya dengan cara penipuan atau melanggar peraturan

(Tas & Tekkaya, 2010) seperti menyontek, plagiat, memberi kemudahan kepada

orang lain, misrepresentasi d an sabotase (Whitley & Spiegel dalam Williams,

Nathanson, & Paulhus, 2010). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

mencatat bahwa selama pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2009 terdapat

sedikitnya 22 kasus, mulai dari kategori ringan terkait dengan percetakan dan

distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN pada tingkat SMP, MTs, SLTA

dan MA. Demikian juga halnya dengan UN tahun 2010, BSNP mencatat bahwa

terdapat 9 kasus kecurangan (BSNP, 2010).

Menurut data pada tahun 2012 lebih dari 800 laporan masuk ke

Depdiknas mengenai permasalahan selama UN berlangsung, sebagian besar

diantaranya berisi aduan kebocoran soal dan kecurangan. Demikian juga dengan

laporan Retno Listyati yang merupakan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia

Page 4: Tes psikologi

4

(FSGI) yang mengungkapkan bahwa sejumlah guru yang menjadi pengawas di

berbagai daerah di Indonesia melaporkan bahwa telah terjadi kecurangan dan

kebocoran soal pada saat ataupun sebelum UN berlangsung (Metronews.com,

28 Juni 2012).

Kecurangan masih merupakan permasalahan tersendiri setiap kali BSNP

melaksanakan UN, hal ini dapat dilihat pada laporan BSNP mengenai

pelaksanaan UN (BSNP, 2010). Hampir seluruh media masa menginformasikan

banyak terjadi bentuk-bentuk kecurangan dalam melaksanakan UN, contohnya

peserta ujian dapat dengan leluasa menggunakan handphone saat

melaksanakan ujian (Kompas.com, 19 April 2011), padahal dalam POS UN

2011/2012 telah jelas disebutkan bahwa peserta ujian dilarang untuk membawa

alat komunikasi elektronik ke dalam ruang ujian. Beredarnya kunci jawaban

(Kompas.com, 18 April 2011), siswa saling membantu saat ujian berlangsung,

guru membiarkan peserta ujian mencontek di ruang ujian (Kompas.com, 21 April

2011), guru sengaja membagi jawaban di depan kelas (Kompas.com, 21 April

2009) sampai kepada kasus mengatur pengacakan soal sedemikian rupa

sehingga memungkinkan siswa mendapat paket soal yang sama (Kompas.com,

25 April 2011). Melihat hal ini maka dapat diketahui bahwa kecurangan tidak

hanya melibatkan peserta ujian saja yang merupakan pihak yang paling

berkepentingan untuk lulus dalam UN, namun juga sudah sistematis

dilaksanakan oleh berbagai pihak, hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus

kecurangan yang terungkap yang melibatkan guru, kepala sekolah bahkan

pemerintah daerah.

Berdasarkan hasil pengambilan data awal tanggal 22 Maret 2012

terhadap 67 remaja asal Sumatera Barat yang berada di Yogyakarta khususnya

Page 5: Tes psikologi

5

remaja yang tinggal di Asrama Pemerintah Daerah Sumatera Barat, berstatus

mahasiswa, telah selesai melaksanakan UN, berasal dari sekolah menengah

umum yaitu SMA, SMK dan sekolah menengah agama yaitu MA yang terdiri dari

15 laki-laki dan 52 perempuan. Dari pengambilan data awal tersebut diperoleh

informasi bahwa sekitar 54% remaja melakukan kecurangan saat melaksanakan

UN, dimana 80% laki-laki melakukan kecurangan saat UN dan 73% remaja

perempuan juga melakukan hal yang sama. Remaja yang berasal dari sekolah

umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi yaitu sekitar 61%

dibandingkan dengan remaja yang berasal dari sekolah agama yang memiliki

tingkat kecurangan 41%. Sebagian besar remaja yakni 64% mengungkapkan

bahwa kunci jawaban ujian telah beredar sebelum ujian berlangsung dan 85%

dari remaja tersebut mengungkapkan bahwa gurulah yang memberikan kunci

jawaban dan 51% remaja kemudian mempergunakan kunci jawaban tersebut

untuk menjawab soal ujian. Menurut 51% remaja sebelum ujian berlangsung

guru mengingatkan agar saling membantu saat ujian dan 70% dari remaja

membantu teman dalam menjawab soal ujian. Sekitar 61% remaja mengatakan

bahwa lebih baik menyontek daripada tidak lulus ujian dan sekitar 78%

mengatakan bahwa menyontek saat ujian itu salah.

Menurut Click (dalam Lee, 2009) perilaku curang yang dilakukan di

sekolah merupakan gejala munculnya perilaku curang di kehidupan yang lebih

luas, dan kecurangan merupakan salah satu tindakan yang paling marak terjadi

dalam dunia pendidikan dan terus mengalami peningkatan selama tiga dekade

terakhir dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh McCabe, Trevino, dan

Butterfield (2001). Demikian juga halnya di Indonesia, setiap kali UN selesai

dilaksanakan maka laporan adanya kasus kecurangan kerap kali terjadi, baik

Page 6: Tes psikologi

6

melalui Indonesia Corruption Watch (ICW) ataupun langsung ke Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan baik yang dapat dibuktikan kebenarannya maupun

yang tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan laporan ICW bahwa saksi yang

membuka kecurangan UN seringkali didiskriminasi, rendahnya perlindungan

terhadap saksi kasus kecurangan ini membuat banyak pihak yang enggan

mengungkap kasus kecurangan, sehingga sebagian besar dari kasus-kasus

kecurangan tersebut sulit untuk dibuktikan (antikorupsi.org, 20 Januari 2013). Hal

senada juga diungkapkan oleh West, Ravenscroft, dan Shrader (2004) dimana

ketika harus dilakukan pembuktian kasus kecurangan maka kasus tersebut

menjadi sangat sulit untuk diungkap. Jadi wajar, jika Inspektorat Jenderal

Kementrian Pendidikan Nasional dan Badan Standar Nasional Pendidikan hanya

dapat mengungkap sebagian kecil saja kasus kecurangan UN di Indonesia.

Kesulitan pengungkapan kasus kecurangan ini terlebih lagi pada kasus-kasus

kecurangan yang dilakukan secara sistematis karena melibatkan berbagai pihak

yang memiliki peran besar dalam UN, seperti kasus kecurangan di wiliyah

Brebes yang diungkapkan oleh FSGI, menurut FSGI kecurangan di Brebes

sudah terkondisikan secara rapi dengan melibatkan kepala sekolah, Kelompok

Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan panitia penyelenggara. Sekretaris jendral FSGI

menyebutkan bahwa selain di Brebes, kecurangan sistematis terjadi di beberapa

tempat, seperti Jakarta, Bekasi, Tanggerang, Jambi, Palembang, Bandung,

Tebing Tinggi, Depok dan daerah lainnya (Antikorupsi.org, 2 September 2012).

Perilaku curang dalam dunia pendidikan pertama kali dipublikasikan oleh

Bill Bowers (dalam McCabe, dkk., 2001) berdasarkan hasil survei terhadap 5000

siswa diketahui bahwa tiga perempatnya melakukan kecurangan. Demikian juga

dengan penelitian selama 30 tahun yang dilakukan oleh McCabe dan Trevino

Page 7: Tes psikologi

7

(dalam McCabe, dkk., 2001), dimana secara signifikan tingkat kecurangan terus

mengalami peningkatan, terutama pada saat tes ataupun ujian. Sudarmita

(dalam Widiastono & Tonny, 2004) menjelaskan bahwa maraknya kecurangan

yang terjadi dalam melaksanakan UN merupakan bukti nyata bahwa telah terjadi

krisis moral pada remaja dalam lembaga pendidikan di Indonesia, tidak hanya

remaja di sekolah umum, akan tetapi juga remaja di sekolah dengan latar

belakang keagamaan yang kental, dimana seharusnya di sekolah agama remaja

memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai moral

yang juga diajarkan pada pelajaran-pelajaran keagamaan di sekolah. Karena

bagaimanapun, tujuan pendidikan agama adalah untuk menumbuhkembangkan

akidah serta mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak

mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif,

jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal

dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas (BSNP,

2006).

Kecurangan merupakan perilaku tidak adil secara sosial yang tidak hanya

dibiarkan terjadi, bahkan juga dilakukan oleh para pendidik sendiri, seperti praktik

jual-beli soal, mark up nilai, memberikan kunci jawaban saat melaksanakan UN

dan kasus-kasus kebocoran soal dalam UN (Widiastono & Tony, 2004; BSNP,

2010). Dalam situasi seperti ini remaja sebagai peserta didik seringkali

mengalami kesulitan dalam menghargai nilai-nilai moral yang telah mereka

pelajari. Menurut Martin Hoffman (dalam Santrock, 2003) masa remaja

merupakan masa yang penting dalam perkembangan moral, dimana

perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai

Page 8: Tes psikologi

8

mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seseorang dalam

interaksinya dengan orang lain.

Perkembangan moral yang didasarkan pada penalaran moral merupakan

suatu prinsip moral yang tidak hanya terletak pada aturan suatu tindakan

sehingga tindakan itu disebut baik atau buruk, tetapi kemampuan seeorang untuk

memakai cara berpikir tertentu yang dapat menerangkan pilihannya, mengapa

melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (Gunarsa & Gunarsa, 2004).

Penalaran moral merujuk kepada bagaimana individu memberikan alasan untuk

membenarkan perbuatan mereka (Matarazzo, Abbamonte, & Nigro, 2008).

Menghadapi UN di Indonesia, remaja sebagai individu memiliki keputusan

yang mutlak untuk terlibat dalam segala macam bentuk kecurangan dalam

melaksanakan UN atau tidak, melaksanakan ujian dengan jujur atau melakukan

kecurangan, hal ini sesuai dengan pilihan dan keputusan dari remaja itu sendiri.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu

karakteristik dari individu-individu yang tergoda untuk melakukan kecurangan

dapat dilihat dari kemampuan moral mereka, dimana individu yang memiliki

tingkat perkembangan penalaran moral yang tinggi memiliki kecenderungan

perilaku curang rendah (Davis dalam Bernardi, Metzger, Bruno, Hoogkamp,

Reyes, & Barnaby, 2004).

Maraknya kecurangan yang terjadi setiap tahun saat melaksanakan UN di

Indonesia apakah mungkin terkait dengan tingkat perkembangan moral remaja

yang rendah, sehingga remaja tidak mampu melaksanakan UN yang jujur sesuai

dengan yang semestinya. Demikian juga dengan kasus kecurangan, apakah

jenis sekolah atau jenis pendidikan memiliki peran dalam menentukan tingkat

kecurangan remaja, karena berdasarkan hasil survei awal ditemukan bahwa

Page 9: Tes psikologi

9

remaja yang berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih

tinggi dibandingkan remaja yang berasal dari sekolah agama. Hal senada juga

terungkap dalam penelitian Sutton dan Huba (dalam Rettinger & Jordan, 2005)

yang menemukan bahwa siswa kursus berbasis keagamaan memiliki tingkat

kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang mengikuti

kursus yang sama namun berbasis umum.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini penting dilakukan untuk

melihat perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN, mengetahui tingkat

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah remaja serta kontribusi

keduanya dalam perilaku curang saat melaksanakan UN. Dengan demikian

maka fokus penelitian ini adalah perilaku curang yang dilakukan saat

melaksanakan Ujian Nasional, tingkat perkembangan moral dan jenis sekolah

remaja.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam

penelitian ini adalah adakah perbedaan perilaku curang berdasarkan tingkat

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku curang berdasarkan

tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat melihat dan perilaku curang

remaja sebagai peserta didik dalam melaksanakan Ujian Nasional, melihat

Page 10: Tes psikologi

10

sampai dimana tingkat perkembangan penalaran moral remaja, serta peran dari

jenis sekolah terhadap perilaku curang remaja.

2. Manfaat

Diharapkan juga dengan adanya penelitian ini, dapat memberi beberapa

manfaat, yaitu:

a. Memberikan sumbangan bagi Ilmu Psikologi, terutama Psikologi

Pendidikan yang berhubungan dengan perilaku curang, tingkat

perkembangan moral dan jenis sekolah remaja. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana peran dari tingkat

perkembangan penalaran moral serta jenis sekolah terhadap perilaku

curang remaja dalam melaksanakan UN.

b. Memberikan informasi pada praktisi pendidikan tentang perbedaan

perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN berdasarkan

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah remaja.

c. Memberikan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk

mengurangi kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional di masa

yang akan datang.

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Berbagai penelitian mengenai perilaku curang dan tingkat perkembangan

moral yang penulis temukan diantaranya adalah penelitian Krismani (2008)

tentang Perilaku menyontek remaja ditinjau dari kepatuhan kepada kelompok

dan rasa bersalah, penelitian Muslimin (2005) tentang penalaran moral siswa

ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan tingkat pendidikan orang tua. Tas dan

Tekkaya (2010) tentang Faktor Personal dan Kontekstual Kecurangan Siswa

Page 11: Tes psikologi

11

dalam Sains, kemudian penelitian eksperimen yang dilakukan oleh West, dkk.,

(2004) tentang Kecurangan dan Keputusan Moral pada Mahasiswa. Studi

empirik yang dilakukan oleh Bernardi, dkk., (2004) tentang Pengujian Proses

Keputusan Siswa dalam Perilaku Curang dan penelitian yang dilakukan oleh

Matarazzo, dkk. (2008) mengenai Penalaran Moral dan Perilaku pada Masa

Dewasa serta penelitian Rettinger dan Jordan (2005) tentang Hubungan antara

Agama, Motivasi dan Kecurangan di Perguruan Tinggi.

Memang telah cukup banyak penelitian yang mengambil topik mengenai

perilaku curang, tingkat perkembangan penalaran moral dan latar belakang

pendidikan atau jenis sekolah remaja. Namun di Indonesia sendiri, penulis belum

menemukan penelitian yang secara bersama-sama meneliti tentang perbedaan

perilaku curang remaja dalam melaksanakan Ujian Nasional berdasarkan tingkat

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah, terlebih lagi penelitian yang

membahas mengenai kecurangan dalam melaksanakan UN. Sehingga penulis

berpendapat bahwa penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan

ketujuh penelitian sebelumnya (Krismani, 2008; Muslimin, 2005; Tas & Tekkaya,

2004; West, dkk., 2004; Bernardi, dkk., 2004; dan Matarazzo, dkk., 2008;

Rettinger & Jordan, 2005).

Page 12: Tes psikologi

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Curang

1. Pengertian

Tas dan Tekaya (2010) mengungkapkan bahwa Perilaku curang

merupakan kesalahan individu dalam menggambarkan dan menampilkan

pengetahuannya dengan cara penipuan dan melangar peraturan. Sementara itu

Pavela (dalam Whitley & Spiegel, 2002) mendefinisikan kecurangan sebagai

bentuk perilaku yang dengan sengaja berusaha menggunakan alat-alat,

informasi-informasi atau bahan pelajaran yang tidak sah dalam upaya

pencapaian akademis, diantaranya adalah menggunakan kertas contekan,

melihat hasil kerja orang lain, serta bekerjasama dalam melaksanakan tugas dan

ujian. Hal senada juga disampaikan oleh Eisenberg (dalam Tayfun, 2009) yang

mengungkapkan bahwa perilaku curang merupakan perilaku dimana siswa

memperoleh dan mempergunakan informasi dari sumber yang tidak sah dan

menggunakannya untuk meningkatkan nilai ujian, dan menjadikan itu sebagai

usahanya sendiri.

Genereux dan Mcleod (dalam Vinski & Tyron, 2009) menjelaskan bahwa

perilaku curang merupakan upaya siswa untuk mendapatkan hasil yang

diinginkan dalam suatu tugas dan ujian meskipun dengan menggunakan cara-

cara yang dilarang atau tidak disahkan. Kaufman (2008) menjelaskan bahwa

perilaku curang merupakan perilaku yang tidak etis atau tidak layak, termasuk di

dalamnya praktek memberi dan menerima pertolongan dalam tugas atau tes

akademis, dan menunjukkan pekerjaan kepada orang lain. Wideman (2008)

mengungkapkan bahwa perilaku curang merupakan perilaku tidak jujur yang

Page 13: Tes psikologi

13

berhubungan dengan pencapaian akademik, termasuk di dalamnya menyontek,

plagiat, berbohong, dan bentuk lain yang mengambil keuntungan dari perilaku

tidak adil yang dilakukan oleh para siswa.

Jadi dari pemaparan beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

perilaku curang merupakan perilaku tidak jujur yang berhubungan dengan

pencapaian akademik, dimana terjadi kesalahan individu dalam menggambarkan

dan menampilkan pengetahuannya dengan cara penipuan dan melanggar

peraturan, menggunakan alat-alat, informasi-informasi atau bahan pelajaran

yang tidak sah untuk meningkatkan pencapaian akademik. Dalam hal ini perilaku

curang dilakukan saat melaksanakan Ujian Nasional.

2. Bentuk-bentuk kecurangan

Menurut Pavela (dalam Whitley & Spiegel, 2002) diantara bentuk-bentuk

kecurangan adalah menggunakan kertas contekan, melihat hasil kerja orang lain,

bekerjasama dalam tugas dan ujian. Kemudian Wideman (2008) menjelaskan

yang termasuk bentuk-bentuk dari kecurangan adalah menyontek, plagiat,

berbohong, dan bentuk lain yang mengambil keuntungan dari perilaku tidak adil

yang dilakukan oleh para siswa. Kaufman (2008) menambahkan bahwa bentuk-

bentuk perilaku curang yaitu memberi dan menerima pertolongan dalam tugas

dan ujian akademis serta menunjukkan pekerjaan kepada orang lain. Davis,

Grover, Becker, dan McGregor (dalam Carter & Carter, 2001) menambahkan

salah satu bentuk kecurangan yaitu memberikan sinyal-sinyal non verbal untuk

membantu orang lain dalam ujian, misalnya menggunakan gerakan tangan atau

kaki.

McCabe dan Trevino (dalam Whitley & Spiegel, 2002) membagi

kecurangan dalam tiga kategori, yaitu:

Page 14: Tes psikologi

14

a. Kecurangan dalam ujian

Bentuk-bentuk kecurangan dalam ujian adalah menggunakan kertas

contekan saat ujian, menyalin jawaban dari orang lain saat ujian, menggunakan

metode yang curang dalam memperoleh pertanyaan-pertanyaan yang akan

diujikan, menyalin jawaban orang lain tanpa sepengetahuannya dan membantu

orang lain dalam ujian.

b. Kecurangan dalam tugas (menyalin tugas dan pekerjaan rumah)

Diantara bentuk kecurangan dalam tugas adalah menyalin bahan-bahan

dan kemudian mengklaimnya sebagai pekerjaan sendiri, bekerjasama dalam

melaksanakan tugas ketika instruktur meminta untuk mengerjakan tugas tersebut

sendiri.

c. Plagiat

Plagiat atau penjimplakan merupakan kesengajaan dalam mengambil dan

mereproduksi ulang ide atau kata atau kalimat orang lain dan mengakuinya

sebagai pekerjaan sendiri (Pavela dalam Whitley & Spiegel, 2002). Diantara

bentuk-bentuk plagiat adalah membuat atau memalsukan bibliografi, mengambil

hasil pekerjaan atau tulisan orang lain, mengambil bagian-bagian penting dari

pekerjaan orang lain tanpa izin untuk menyelesaikan tugas sendiri, menyalin

beberapa kalimat atau bahan-bahan yang telah dipublikasikan tanpa

mencantumkan sumber yang jelas.

Dari beberapa bentuk-bentuk kecurangan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kecurangan dalam melaksanakan ujian

adalah:

Page 15: Tes psikologi

15

a. Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan

sebagai bahan contekan. Misalnya karet penghapus, penggaris,

handphone (hp), dsb.

b. Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi dan atau

menerima jawaban dalam ujian.

c. Bekerjasama dalam arti memberi dan atau menerima bantuan selama

ujian berlangsung.

d. Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin

orang tersebut.

e. Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan, dalam hal ini

mengetahui kunci jawaban ujian.

Berdasarkan Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional yang dikeluarkan

oleh BSNP (2012) sebelum ujian dilaksanakan, ada beberapa peraturan dan tata

tertib yang harus dipenuhi oleh peserta UN selama ujian berlangsung. Tata tertib

tersebut memiliki kekuatan hukum, jadi saat terjadi pelanggaran terhadap tata

tertib tersebut, maka peserta ujian maupun pihak-pihak yang terlibat dalam

pelanggaran akan memperoleh sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dalam melaksanakan Ujian Nasional, peserta ujian yang dalam hal ini adalah

remaja dilarang untuk :

a. Membawa buku atau catatan lain, alat komunikasi elektronik, kalkulator

dan sebagainya ke dalam ruang UN kecuali alat tulis yang akan

dipergunakan.

b. Menanyakan jawaban soal kepada siapa pun.

c. Bekerjasama dengan peserta lain.

d. Memberi atau menerima bantuan dalam menjawab soal

Page 16: Tes psikologi

16

e. Memperlihatkan pekerjaan sendiri kepada peserta lain atau melihat

pekerjaan peserta lain.

f. membawa naskah soal UN dan LJUN keluar dari ruang ujian.

g. Menggantikan atau digantikan oleh orang lain.

3. Faktor yang mempengaruhi perilaku curang

Dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli

mengenai perilaku curang, penulis merumuskan bahwa secara garis besar

terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku curang, diantaranya adalah

faktor personal dan faktor situasional.

a. Faktor personal

1) Usia dan jenis kelamin.

Remaja yang berusia lebih muda memiliki tingkat kecurangan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan remaja yang berusia lebih tua (Hilbert dalam Whitley,

1998; Bowers dalam Jordan, 2001) hal ini terlihat dari 10 penelitian yang

dilakukan terhadap mahasiswa dari rentang usia yang berbeda ditemukan bahwa

mahasiswa yang lebih muda memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan mahasiswa yang lebih tua (Whitley, 1998). Laki-laki

memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan

(Wideman, 2008; Smith dalam Whitley, 1998) hal senada juga diungkapkan oleh

Szabo dan Underwood (dalam Wideman, 2008), berdasarkan penelitian yang

dilakukan terhadap 291 mahasiswa ditemukan bahwa laki-laki memiliki tingkat

kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dengan

perbandingan 68% dan 39%.

.

Page 17: Tes psikologi

17

2) Motivasi

Motivasi merujuk kepada alasan tertentu mengapa sesuatu dilakukan

(Djiwandono, 2006). Di dalam dunia pendidikan, motivasi akan menentukan

pencapaian yang diinginkan oleh siswa (Rettinger & Kramer, 2009). Siswa yang

belajar untuk mengembangkan pengetahuan (learning orientation) dan siswa

yang berorientasi pada prestasi (performance orientation) akan memiliki sikap

yang berbeda dalam kecurangan. Siswa yang memiliki orientasi berprestasi akan

lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan dibandingkan dengan siswa

yang memiliki orientasi untuk mengembangkan pengetahuan (Rettinger &

Jordan, 2005). Contohnya adalah, Anderman (dalam Rettinger & Jordan, 2005)

menemukan bahwa siswa pada sekolah menengah yang memiliki tujuan untuk

memperoleh nilai yang tinggi secara signifikan memiliki tingkat kecurangan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak. Demikian juga dengan

harapan untuk sukses, dimana siswa yang memiliki ekspektasi tinggi untuk

sukses sebagian besar akan melakukan berbagai cara untuk memperoleh apa

yang diinginkannya sehingga mereka akan lebih banyak melakukan kecurangan

dibandingkan dengan siswa yang ekspektasi untuk suksesnya sedang dan

rendah (Whitley dalam Olanrewaju, 2010).

3) Sikap

Sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu

terhadap objek sikap berupa orang, benda, tempat, gagasan, seituasi, atau

kelompok (Sobur, 2003). Sikap terhadap kecurangan merupakan permasalahan

yang cukup menentukan dalam keputusan individu untuk terlibat dalam

kecurangan itu sendiri. Individu yang memiliki sikap netral dalam memandang

kecurangan akan cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap perilaku

Page 18: Tes psikologi

18

curang dengan cara meminimalisir dampak-dampak yang dapat ditimbulkan oleh

perilaku curang tersebut dan lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan

dibandingkan individu yang benar-benar menganggap bahwa perilaku curang

adalah salah (Rettinger & Jordan, 2005). Bagaimanapun, individu yang

melakukan kecurangan dan individu yang tidak melakukan kecurangan memiliki

sikap yang berbeda terhadap perilaku curang (Jordan, 2001).

4) Stress dan tekanan

Persaingan untuk mencapai kesuksesan serta rasa takut untuk gagal

dalam lingkungan akademik mendorong siswa untuk melakukan kecurangan.

Siswa merasa bahwa mereka perlu melakukan praktik kecurangan karena

mendapat tekanan dari orang tua dan teman sebaya untuk sukses. Jadi ketika

remaja merasa memiliki kemungkinan untuk gagal dalam tugas ataupun ujian,

maka hal tersebut akan menimbulkan keinginan melakukan berbagai usaha agar

terhindar dari kegagalan, salah satu caranya adalah dengan melakukan

kecurangan (Kaufman, 2008).

5) Inteligensi dan Kecakapan Akademik

Inteligensi secara umum diartikan sebagai kemampuan untuk membuat

kombinasi dan berfikir abstrak (Ebbinghaus & Terman dalam Suryabrata, 2010).

Kemudian Binet menyatakan bahwa sifat hakikat inteligensi itu ada tiga macam

yaitu kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu,

kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai

tujuan itu, dan kemampuan untuk oto-kritik yaitu kemampuan untuk mengkritik

diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya

(Suryabrata, 2010).

Page 19: Tes psikologi

19

Berdasarkan hasil penelitian siswa dengan inteligensi tinggi menunjukkan

tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa yang memiliki

inteligensi rendah (Bloodgood, Turnley, & Mudrack, 2008). Hal ini dikarenakan

siswa dengan inteligensi tinggi sepertinya lebih baik daripada siswa yang lain

dalam memahami materi-materi pelajaran yang relevan, melihat perbedaan dari

berbagai macam topik, lebih peka dalam lapangan emosional dan sosial dan

mengerti hubungan antara tindakan dan hasil, dengan demikian akan lebih

mudah mempergunakan pengetahuan dalam berbagai konteks (Kingston dalam

Bloodgood, dkk., 2008). Siswa yang memiliki kecakapan tinggi dalam akademis

menunjukkan perilaku curang yang lebih rendah dibandingkan siswa yang tidak

cakap (Whitley, 1998) hal ini terlihat dari siswa yang dapat menyelesaikan tugas-

tugasnya dengan baik, memiliki prestasi yang bagus dalam mata pelajaran akan

menunjukkan tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa

yang tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas akademisnya dengan baik serta

memiliki prestasi yang cenderung biasa-biasa saja.

6) Norma sosial dan teman sebaya (Peer Group)

Norma sosial yang berkembang seputar kecurangan dapat mendorong

individu untuk melakukan kecurangan, hal ini seperti yang ditemukan oleh

Dawkins (dalam Yardley, Rodriguez, & Bates, 2009) dimana sekitar 70% siswa

yang melakukan kecuangan karena melihat siswa lain melakukan hal yang sama.

Siswa yang berada dalam norma sosial yang mengizinkan perilaku curang akan

lebih memungkinkan untuk melakukan kecurangan, dibandingkan dengan siswa

yang berada dalam norma sosial yang tidak mengizinkan segala macam bentuk

kecurangan (Whitley, 1998).

Page 20: Tes psikologi

20

Selanjutnya McCabe dan Trevino (dalam Yardley, dkk., 2009) menemukan

bahwa faktor yang cukup dominan dalam perilaku curang adalah hubungan

teman sebaya. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Jordan (2001), dimana

siswa yang melakukan kecurangan melaporkan bahwa teman sebaya melakukan

kecurangan yang sama di dalam kelas, sedangkan siswa yang tidak curang

melaporkan bahwa tidak terjadi kecurangan di dalam kelas (Rettinger & Kramer,

2009).

Siswa menjelaskan bahwa perilaku curang termasuk ke dalam

perbandingan sosial, dimana perbandingan menjadi dasar dari persepsi siswa

terhadap norma teman sebaya (Jordan, 2001; Rettinger & Kramer, 2009),

terdapat korelasi positif antara perilaku curang dan menyaksikan orang lain

melakukan kecurangan dan memberikan peran mempengaruhi teman sebaya

dengan baik (Jordan, 2001). Perilaku curang akan menjadi lebih tinggi jika teman

sebaya juga melakukan hal yang sama (Teodorescu & Andrei, 2009).

7) Penalaran Moral

Secara umum, siswa yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi memiliki

tingkat kecurangan yang rendah (Malinowski & Smith dalam Bernardi, dkk.,

2004). Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh hasil peneiltian Leming

(2001) dimana subjek yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi menunjukkan

perilaku curang yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang memiliki

tingkat penalaran moral sedang dan rendah pada situasi pengawasan yang

tinggi. Sementara itu, pada tingkat pengawasan yang rendah, tingkat kecurangan

antara subjek yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi, sedang dan rendah

sama saja. Kemudian Kohlberg (dalam Semerci, 2006) menemukan bahwa 70%

dari remaja pada tahap prakonvensional melakukan kecurangan, sedangkan

Page 21: Tes psikologi

21

remaja tahap konvensional yang melakukan kecurangan adalah sekitar 55%.

Jadi, remaja pada tahap prakonvensional lebih banyak melakukan kecurangan

dibandingkan dengan remaja pada tahap konvensional.

8) Religiusitas

Religiusitas merupakan pengertian, melakukan, mengikuti serangkaian

doktrin-doktrin dan prinsip-prinsip keagamaan. Siswa yang mendapatkan

pelatihan keagamaan dan kepercayaan mempengaruhi perilaku dan

menyediakan batasan untuk membantu membedakan antara yang benar dan

salah. Siswa yang memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti

serangkaian doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat kecurangan

yang lebih rendah (Bloodgood, dkk., 2008).

Sutton dan Hoba (dalam Rettinger & Jordan, 2005) menemukan bahwa

religiusitas mempengaruhi sikap terhadap kecurangan dimana siswa yang lebih

religius memiliki beberapa pertimbangan untuk melakukan kecurangan, dan

siswa yang mengambil studi keagamaan memiliki tingkat kecurangan yang lebih

rendah dibandingkan dengan siswa lain.

b. Faktor Situasional

1) Kode etik

Lembaga pendidikan yang memiliki kode etik serta sanksi tegas mengenai

pelanggaran-pelanggaran akademik akan mempengaruhi perilaku curang siswa,

dimana siswa dari lembaga pendidikan yang memiliki kode etik yang jelas

memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan lembaga

pendidikan yang tidak memiliki kode etik (Whitley, 1998).

Page 22: Tes psikologi

22

2) Tugas, kompetisi dan ukuran kelas.

Penelitian yang dilakukan Whitley (1998) mengungkapkan bahwa

banyaknya tugas dan kompetisi kelas mempengaruhi perilaku curang siswa,

dimana siswa dengan tugas yang banyak serta kompetisi kelas yang tinggi akan

memiliki kecenderungan untuk berperilaku curang dibandingkan dengan siswa

yang memiliki lebih sedikit tugas dan tingkat kompetisi kelas rendah.

Demikian juga dengan ukuran kelas, Houston (dalam Whitley, 1998)

mengemukakan bahwa kelas besar dengan jumlah siswa yang banyak

memberikan peluang lebih besar kepada siswanya untuk melakukan

kecurangan. Tingkat kesulitan dalam tugas dan ujian juga akan mempengaruhi

perilaku curang siswa, dimana patokan nilai rata-rata yang tinggi kemudian mata

ujian yang sulit dan keharusan untuk lulus membuat siswa takut mengalami

kegagalan serta menanggung resiko-resiko yang tidak diinginkan sehingga tidak

lagi memikirkan keuntungan atau kerugian dari perilaku curang karena yang lebih

penting adalah terhindar dari berbagai hukuman ketika mengalami kegagalan

(Kaufman, 2008).

3) Situasi ujian

Siswa cenderung melakukan kecurangan ketika resiko untuk berbuat

curang lebih sedikit, misalnya adalah tingkat pengawasan yang rendah

(Corcoran & Rotter dalam Whitley, 1998). Tempat duduk saat melaksanakan

ujian juga mempengaruhi perilaku curang, tempat duduk yang memiliki jarak satu

kursi kosong akan lebih baik daripada kursi peserta ujian berdekatan (Houston

dalam Whitley, 1998).

Page 23: Tes psikologi

23

4) Lembaga pendidikan

Lembaga pendidikan merupakan salah satu tempat dimana individu

menuju kepada proses kedewasaan dalam berbagai aspek. Lembaga pendidikan

atau sekolah memiliki dua fungsi pokok yaitu tempat pendidikan dan lembaga

sosialisasi, sehingga sekolah tidak hanya sebatas pada pengalihan ilmu

pengetahuan saja tetapi juga untuk pengembangan kepribadian siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan (2005) menunjukkan

bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa mengikuti kursus yang

berbasis keagamaan lebih rendah dibandingkan siswa yang mengikuti kursus

yang sama akan tetapi berbasis umum. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa

87% mahasiswa jurusan bisnis melakukan kecurangan, tingkat perilaku curang

ini lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dari jurusan teknik, sains dan sosial

(Kaufman, 2008).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku curang dipengaruhi oleh dua faktor,

yaitu faktor personal yang terdiri dari usia dan jenis kelamin, motivasi, sikap,

stress dan tekanan, inteligensi dan kecakapan akademik, norma sosial dan

teman sebaya, penalaran moral dan religiusitas. Sedangkan faktor situasional

dipengaruhi oleh kode etik, tugas, kompetisi dan ukuran kelas, situasi ujian dan

lembaga pendidikan.

4. Perilaku curang remaja

Remaja merupakan sebutan untuk individu yang telah berusia 12 sampai

dengan 21 tahun (Monks, Knoers, & Haditono, 1998), ada juga yang membatasi

dari usia 12 sampai dengan 20 tahun (Djiwandono, 2006). Dengan pembagian

12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa

remaja pertengahan dan 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. Pada masa

Page 24: Tes psikologi

24

remaja, siswa mengalami berbagai macam perubahan, baik dari sisi fisik, kognitif

maupun sosio-emosional (Santrock, 2003).

Pada usia 11 tahun Piaget yakin bahwa pemikiran remaja telah beralih

dari operasi-operasi konkrit kepada operasi-operasi formal (Crain, 2007;

Santrock, 2003), remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif

hipotesis. Pada masa remaja, pengambilan keputusan akan semakin meningkat,

dimana remaja yang lebih tua akan lebih kompeten dalam mengambil keputusan

dibandingkan dengan remaja yang lebih muda. Pada perkembangan remaja

menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) perkembangan identitas merupakan

perkembangan yang paling komprehensif dan provokatif, dimana pandangan-

pandangan dunia menjadi penting. Saat remaja gagal mencapai perkembangan

identitas maka kenakalan akan banyak terjadi di kalangan remaja. Kenakalan itu

mengacu kepada suatu rentang perilaku yang luas, dari perilaku yang tidak dapt

diterima secara sosial sampai kepada pelanggaran serius hingga tindakan-

tindakan kriminal.

Carl Rogers (dalam Sunarto & Hartono, 2006) mengemukakan bahwa

remaja pada hakikatnya hanya mencoba untuk mengekspresikan kemampuan,

potensi, dan bakatnya untuk mencapai tingkat perkembangan pribadi yang

sempurna. Remaja memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri,

membutuhkan pengakuan akan kemampuannya, dan menurut Maslow (dalam

Sunarto & Hartono, 2006) kebutuhan ini disebut kebutuhan penghargaan.

Remaja membutuhkan penghargaan dan pengakuan bahwa remaja tersebut

telah mampu beridiri sendiri, mampu melaksanakan tugas-tugas seperti yang

diharapkan dan dilakukan oleh orang dewasa dan dapat bertanggung jawab atas

sikap dan perbuatan yang dikerjakannya. Karena remaja membutuhkan

Page 25: Tes psikologi

25

penghargaan dan supaya mereka tidak dianggap anak-anak lagi, maka remaja

sering memunculkan penampilan reflectivity atau kecenderungan untuk berpikir

tentang apa yang terjadi pada pikiran diri seseorang dan mempelajari dirinya

sendiri (Djiwandono, 2006). Sehingga remaja memiliki kemungkinan lebih mudah

tidak puas dengan diri sendiri, cenderung mengkritik sifat-sifat pribadi,

membandingkan diri dengan orang lain dan mencoba berubah seperti orang lain.

Lingkungan sosial menuntut remaja untuk dapat meletakkan dasar-dasar

aturan untuk pembentukan sikap dan pola perilaku, sehingga ketika remaja

mengalami kegagalan akan berdampak pada penurun harga diri, yang akan

berlanjut kepada sikap agresif, tidak percaya diri yang akan menjurus kepada

perbuatan-perbuatan yang secara moral tidak dapat diterima oleh masyarakat

luas, misalnya melakukan kecurangan dalam proses pendidikan.

Perilaku curang yang dilakukan oleh remaja dewasa ini sungguh sangat

mengkhawatirkan, banyak ahli setuju bahwa selama tiga dekade ini perilaku

curang dalam dunia pendidikan terus mengalami peningkatan (McCabe, dkk.,

2001). Di Amerika misalnya, setelah melakukan survei terhadap 36.000 remaja

yang bersekolah di sekolah menengah atas, ditemukan bahwa 60% dari mereka

melakukan kecurangan saat mengikuti ujian akhir tahun (Josephson Institute of

Ethics dalam Murdock, Beauschamp, & Hinton, 2008). Hal ini semakin diperburuk

dengan semakin banyaknya remaja yang menganggap bahwa perilaku curang ini

sebagai sesuatu yang normal, perkembangan teknologi berperan dalam

pengikisan norma-norma serta akuntabilitas dalam sosial yang kemudian masuk

ke dalam dunia pendidikan (Kleiner & Chaput dalam Saulsbury, Brown, Heyliger,

& Beale, 2011). Perilaku curang merupakan salah satu perilaku yang harus

diperhatikan dengan serius karena perilaku curang di sekolah merupakan awal

Page 26: Tes psikologi

26

dari perilaku curang dalam kehidupan yang lebih luas (Click dalam Lee, 2009).

Remaja yang melakukan kecurangan di sekolah biasanya akan melakukan hal

yang sama ketika melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (Kaufman, 2008;

Harding dalam Vinski & Tryon, 2009), yang pada akhirnya juga merambah ke

dalam dunia kerja (Teodorescu & Andrei, 2009; Kaufman, 2008; Vinski & Tryon,

2009; Chaput dalam Saulsbury, dkk., 2011). Sehingga secara tidak langsung

remaja telah membangun perilaku yang amoral dan tidak etis dalam kehidupan

sosialnya.

B. Perkembangan Penalaran Moral

1. Pengertian

Moral dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang atau kelompok

yang menjadi pedoman dalam berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku

dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Moral merupakan ajaran tentang

akhlak, kewajiban, serta baik dan buruknya suatu perbuatan, yang berkaitan

dengan kemampuan individu untuk membedakan antara perbuatan benar dan

salah (Sunarto & Hartono, 2006). Santrock (2003) menjelaskan bahwa

perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai

mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan

orang lain. Jadi perkembangan moral merupakan progresifitas kapasitas berfikir

individu mengenai alasan tentang moral yang dipertanyakan yang berhubungan

dengan peraturan dan nilai-nilai yang harus dilakukan seseorang dalam

interaksinya dengan orang lain. Piaget (dalam Slavin, 2011) menjelaskan bahwa

struktur kemampuan kognisi berkembang terlebih dahulu sebelum penalaran

moral, dimana kemampuan kognisi akan menentukan kemampuan individu

bernalar tentang situasi sosial.

Page 27: Tes psikologi

27

Penalaran moral menurut Haidt (dalam Paxton & Greene, 2010) diartikan

sebagai kesadaran aktifitas mental yang terdiri dari transformasi informasi

tentang orang-orang atau situasi untuk mencapai suatu penilaian moral. Dimana

penilaian moral merupakan evaluasi tentang baik dan buruk dari tindakan atau

karakter seseorang yang dibuat dengan menghormati satu set kebajikan yang

diselenggarakan oleh budaya atau sub kultur (Zande, Bekelmans, Vermunt, &

Waarlo, 2009).

Kohlberg (dalam Raaijmakers & Hoof, 2006) menjelaskan bahwa

penalaran moral dipahami sebagai manifestasi dari struktur batin, psikologis dan

kognitif yang mengatur tindakan ketika terjadi konflik moral pada individu.

Penalaran moral lebih ditekankan pada alasan yang mendasari suatu tindakan

yang digunakan dalam menilai baik buruknya tingkah laku (Gardner & Gardiner

dalam Martani, 1995). Sementara itu Rest (1979) menjelaskan bahwa penalaran

moral mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah

kebenaran yang pasti berasal dari tindakan secara moral, seperti apa yang

seharusnya dilakukan. proses ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan

individu dalam sebuah pemecahan masalah ideal untuk dilema moral.

Dari beberapa penjelasan para ahli mengenai penalaran moral, maka

dapat disimpulkan bahwa penalaran moral merupakan manifestasi struktur batin,

psikologis dan kognitif yang diperoleh dari transformasi informasi mengenai

alasan-alasan yang mempertanyakan dan mengevaluasi sehingga sesuatu itu

dianggap baik atau buruk yang mengarah pada pembuatan sebuah keputusan

yang akan mengatur tindakan individu ketika sedang terjadi konflik moral.

Page 28: Tes psikologi

28

2. Perkembangan moral

Perkembangan moral merupakan progresifitas kapasitas berfikir individu

mengenai alasan tentang moral yang dipertanyakan yang berhubungan dengan

peraturan dan nilai-nilai yang harus dilakukan dalam interaksinya dengan orang

lain. Dalam moral, terdapat tiga domain yang tidak dapat dipisahkan. Domain

atau komponen ini seringkali berkaitan satu sama lain, yaitu (Santrock, 2003):

a. Pertimbangan dan pemikiran

Bagaimana mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan

untuk melakukan berbagai tingkah laku etis, fokusnya adalah penalaran yang

dilakukan untuk menentukan keputusan moral.

b. Bertingkah laku

Bagaimana bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya, apakah

individu akan tetap melakukan suatu perbuatan yang amoral seperti yang

dilakukan oleh sebagian besar orang disekitarnya atau tetap mempertahankan

tingkah laku sesuai dengan yang seharusnya.

c. Perasaan

Bagaimana perasaan mengenai permasalahan moral, yakni bagaimana

perasaan individu setelah melakukan suatu perbuatan tertentu, apakah akan

mengulangnya dilain kesempatan atau menghilangkannya.

Piaget (dalam Slavin, 2011) menjelaskan bahwa kemampuan kognisi

akan menentukan kemampuan menalar situasi sosial. Piaget memiliki beberapa

gagasan yang menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dalam dua cara yang

berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangan yang

mereka miliki, yaitu:

Page 29: Tes psikologi

29

a. Moralitas heteronom (heteronomous morality)

Merupakan tahap pertama dari perkembangan moral Piaget, terjadi pada

anak yang berusia 4 sampai 7 tahun, dimana keadilan dan peraturan dipahami

sebagai suatu properti dunia yang tidak dapat diubah, yang berada di luar

kendali manusia. Pada anak yang berada di tatahap heteronom, penilaian benar

atau baiknya tingkah laku berada pada konsekuensi dari tingkah laku tersebut,

bukan dari pelakunya. Anak-anak memandang bahwa -peraturan meruapakan

sesuatu yang pasti, bersifat tetap dan tidak dapat dirubah. Pada usia ini, anak-

anak percaya bahwa suatu pelanggaran secara otomatis akan berhubungan

dengan hukuman (Santrock, 2003; Slavin, 2011).

b. Moralitas otonom (otonom morality)

Merupakan tahap kedua, muncul pada saat anak berusia 7-10 tahun,

dimana anak menyadari bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia dan

dalam menilai suatu tindakan seseorang harus mempertimbngkan intensi si

pelaku selain memikirkan konsekuensinya. Pada masa ini, anak-anak yakin

bahwa nilai benar atau baiknya suatu tingkah laku dilihat dari intensi pelakunya,

kemudian juga anak-anak akan memandang peraturan sebagai suatu

kesepakatan, sehingga dapat diubah sewaktu-waktu dan jika terjadi pelanggaran

peraturan anak merasa bahwa hukuman tidak diberikan secara langsung dan

terjadi hanya bila yang bersangkutan melihat kesalan tersebut, dan masih ada

kemungkinan untuk dihindari (Santrock, 2003; Slavin, 2011).

Piaget (dalam Crain, 2007) menemukan bahwa serangkaian perubahan-

perubahan pada individu terjadi antara usia 10-12 tahun, dimana ketika itu anak

mulai memasuki tahap formal operasional. Pada tahapan ini anak akan berfikir

lebih logis, abstrak dan melakukan penalaran secara deduktif, sehingga anak

Page 30: Tes psikologi

30

seringkali membandingkan kenyataan dengan sesuatu yang ideal,

mempertanyakan mengenai berbagai fakta, mampu menghubungkan masa lalu

dengan masa kini, telah memahami peran dalam masyarakat, sejarah dan alam

semesta dan dapat menempatkan konstruk mental mereka sebagai suatu objek

(Piaget dalam Santrock, 2003). Namun, perkembangan moral tidaklah berhenti

pada usia 12 tahun tersebut, tapi merupakan permulaan dari tahapan formal

operasional yang terus bekembang sampai usia 16 tahun, sehingga masalah-

masalah moral akan terus berkembang selama masa remaja (Crain, 2007).

3. Tahap-tahap penalaran moral

Menurut Turiel (dalam Martani, 1995) perkembangan penalaran moral

merupakan suatu proses yang terjadi secara gradual. Perkembangan terjadi

melalui tahapan tertentu, perubahan penalaran moral dijelaskan melalui model

ekuilibrium. Perubahan penalaran moral dari satu tahap ke tahap berikutnya

merupakan hasil dari keadaan disekuilibrium. Dalam perkembangan penalaran

moral, disekuilibrium berfungsi sebagai timbulnya konflik kognitif. Kondisi

disekulibrium akan menyebabkan seseorang berusaha menggunakan penalaran

sebagai upaya untuk memberikan sebuah penjelasan (Martani, 1995).

Berkembangnya penelitian di bidang perkembangan moral membuat

beberapa ahli perkembangan mengkritisi kualitas penelitian moral yang dilakukan

oleh Kohlberg, hal ini terkait dengan cara memperoleh data dalam penelitiannya.

Boyes, Biordano, dan Gaperyn (dalam Santrock, 2003) mengungkapkan bahwa

harus ada perhatian yang lebih besar terhadap bagaimana perkembangan moral

diuji, hal ini sepertinya disambut baik oleh James Rest (dalam Rest, Narvaez,

Thoma, & Bebeau, 2000) dimana Rest mengembangkan metode lain untuk

mengumpulkan informasi mengenai pemikiran moral yang tidak hanya

Page 31: Tes psikologi

31

mengandalkan satu metode saja seperti yang dilakukan oleh Kohlberg. Menurut

Rest (1979) cerita dalam dilema moral Kohlberg terlalu sulit untuk diberi nilai,

sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut, Rest mengembangkan suatu

pengukuran terhadap perkembangan moral yang disebut dengan Defining Issue

Tes (DIT).

DIT merupakan perangkat moral untuk mengaktifkan skema moral yang

ada di dalam diri individu ketika individu membaca dilema moral yang disajikan

dalam DIT. Melalaui DIT, Rest menyimpulkan bahwa individu memahami situasi

moral dalam tiga skema besar, diantaranya adalah skema kepentingan pribadi,

skema pertahanan norma-norma, dan skema postkonvensional. Ketiga skema

tersebut akan mengatur perkembangan moral individu sehingga menempatkan

individu dalam tahap perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg

(dalam Santrock, 2003).

Skema merupakan satu kerangka kognitif yang terdiri dari sejumlah ide

yang terorganisasi yang berlaku sebagai satu standar, sehingga terhadapnya

dapat dibuat reaksi berikutnya (Chaplin, 2006). Menurut Rest (dalam Rest,

Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) skema dapat dipahami sebagai strukur

pengetahuan umum yang berada di memori jangka panjang. Skema, seperti

harapan, dugaan sementara dan konsep merupakan sesuatu yang dibentuk oleh

individu dan akan muncul dalam pengalaman ketika berhadapan dengan situasi

yang hampir mirip dengan situasi sebelumnya. Skema terdiri dari representasi

beberapa stimulus sebelumnya, terorganisir untuk memahami pengetahuan baru.

Menurut Rest (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) fungsi dari skema

sangat penting untuk membentuk pemahaman manusia, panduan skema

memperhatikan informasi baru untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,

Page 32: Tes psikologi

32

memberikan struktur atau makna logis untuk perlakuan dan panduan sehingga

individu dapat mengevaluasi dan memecahkan masalah dengan tepat. Berikut

adalah penjelasan mengenai ketiga skema perkembangan moral Rest (dalam

Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000) :

a. Skema kepentingan pribadi

Individu yamg masuk dalam kategori skema ini menggunakan dasar

kepentingan pribadi untuk menganalisis dan mempertimbangkan kerjasama

sosial berdasarkan hubungan kedekatan, seperti dengan keluarga, teman atau

orang yang dikenal oleh individu. Seperti pada tahap kedua dan ketiga

perkembangan penalaran Kohlberg (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau,

2000), pada masa ini rasa percaya, kasih sayang dan kesetiaan merupakan

dasar untuk melakukan penilaian moral, pernyataan benar dan salah didasarkan

pada konsekuensi yang akan terjadi pada individu.

Pada tahap ini individu memperlihatkan kekhawatiran-kekhawatiran

dalam memiliki hubungan dengan orang lain yang bukan keluarga, teman atau

dengan orang yang dikenal karena penilaiannbaik adalah apa saja yang

menyenangkan dan membantu orang lain yang memiliki hubungan dekat dan

disetujui oleh orang tesebut, seperti menggunakan penilaian orang tua.

Skema ini merujuk kepada tahap 2 dan 3 perkembangan penalaran moral

Kohlberg yaitu tahap individualisme dan tujuan serta tahap norma interpersonal,

dimana pada tahap ini pemikiran moral didasarkan pada hadiah atau reward dan

minat pribadi. Apa yang benar merupakan apa saja yang memuaskan kebutuhan

diri sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Kemudian individu

menganggap bahwa rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang

lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Perilaku yang baik adalah

Page 33: Tes psikologi

33

apa saja yang menyenangkan dan membantu orang lain dan disetujui oleh orang

tersebut. Misalnya dengan mengambil standar moral orang tua yang

menganggap anak sebagai anak yang baik. Tahap ini ditemukan pada sebagian

besar anak-anak SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP dan banyak siswa SMA

(Santrock, 2003; Crain, 2007; Ormrod, 2008; Slavin, 2011).

b. Skema pertahanan norma

Individu pada skema ini telah mempertimbangkan bagaimana

bekerjasama dengan orang lain dalam skala yang lebih luas, seperti orang asing

atau orang yang baru dikenal. Dengan skema ini individu mampu

mengidentifikasi aturan-aturan dan peran yang telah digariskan oleh pemerintah.

Sama seperti pada tahap keempat perkembangan penalaran Kohlberg (dalam

Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000), pada tahap ini penilaian moral

didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas

sosial. Individu yang masuk dalam kategori skema ini akan memiliki unsur-unsur

seperti kebutuhan untuk mematuhi norma sosial karena telah digariskan oleh

pemerintah, menerapkan norma-norma untuk bekerjasama dengan masyarakat

yang lebih luas.

Penilaian baik dan buruk, benar dan salah harus memiliki aturan hukum

yang jelas dan seragam berlaku bagi setiap orang. Pada skema ini, individu

memandang norma sebagai jalan untuk membangun hubungan timbal balik

dengan orang lain, sehingga setiap warga negara harus mematuhi hukum dan

mengharapkan orang lain juga melakukan hal yang sama. Individu menilai

bahwa dalam masyarakat yang teratur terdapat struktur peran yang harus

dipatuhi, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghormati sistem sosial,

memelihara tatanan sosial, karena tanpa hukum dan tatanan sosial orang akan

Page 34: Tes psikologi

34

bertindak atas kepentingan sendiri, sehingga akan menyebabkan kekacauan dan

dalam situasi ini individu bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab untuk

mencegah hal tersebut.

Skema ini merujuk pada tahap keempat tingkat perkembangan penalaran

moral yang diungkapkan oleh Kohlberg yakni tahap moral sistem sosial. Pada

tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum,

keadilan dan tugas sosial. Benar berarti melakukan kewajiban seseorang,

dengan memperlihatkan sikap hormat kepada orang yang berwenang dan

mempertahankan tatanan sosial tertentu bagi dirinya. Ditemukan pada sebagian

besar siswa SMA karena biasanya tidak akan muncul sebelum masa tersebut

(Ormrod, 2008).

c. Skema postkonvensional

Kewajiban moral didasarkan pada cita-cita bersama, sepenuhnya

berdasarkan hubungan timbal balik dan sesuai dengan apa yang digariskan oleh

masyarakat luas. Sama seperti tahap kelima dan keenam pada perkembanga

penalaran moral Kohlberg, dimana pada tahap ini seseorang memiliki

pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif, sehingga benar dan salah

serta baik dan buruk didasarkan pada hak-hak umum individu berdasarkan

standar yang telah disepakati oleh masyarakat.

Skema ini merujuk pada tahap kelima dan keenam tingkat perkembangan

penalaran moral yang dikembangkan oleh Kohlberg, yakni tahap hak komunitas

vs hak individu dan tahap prinsip etis universal. Pada tingkat ini moralitas

diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar orang lain.

Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai alternatif,

memperhatikan pilihan-pilihan tersebut dan memutuskan sesuai dengan kode

Page 35: Tes psikologi

35

moral pribadinya. Sehingga individu mendefiniskan nilai-nilai berdasarkan prinsip

etika yang telah dipilihnya untuk diikuti. Tingkat ini jarang muncul pada individu

sebelum masa kuliah. Pada tahap ini seseorang memiliki pemahaman bahwa

nilai dan hukum adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda

dengan orang lain. Sehingga apa yang benar ditentukan berdasarkan hak-hak

individu umum dan berdasar standar yang telah disepakati oleh seluruh

masyarakat. seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada

hak manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada suatu konflik antara

hukum dan kata hatinya, individu akan mengikuti kata hatinya, walaupun

keputusan tersebut dapat memunculkan resiko pada dirinya (Santrock, 2003;

Crain, 2007; Ormrod, 2008; Slavin, 2011).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral

Berbagai macam penelitian telah menidentifikasi sejumlah faktor yang

berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral (Ormrod,

2008), diantaranya adalah:

a. Perkembangan kognitif

Penalaran moral yang tinggi memerlukan refleksi yang mendalam mengenai

ide-ide abstrak, sehingga dalam batas-batas tertentu perkembangan penalaran

moral bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg, Nucci, & Turiel dalam

Ormrod, 2008). Hal senada juga diungkapkan oleh Gibbs (dalam Matarazzo,

dkk., 2008) yang mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif memberikan

kontribusi penting terhadap perkembangan penalaran moral, dimana

perkembangan penalaran moral berkembang seiring dengan perkembangan

kognitif.

Page 36: Tes psikologi

36

b. Penggunaan rasio

Anak-anak lebih cenderung memperolah manfaat dalam perkembangan

moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan

perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.

c. Isu dan dilema moral

Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika

mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara

memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu atau yang

lebih dikenal dengan disekuilibrium (ketidakseimbangan). Disekuilibrium

dipandang dapat memicu perkembangan moral, diskusi-diskusi mengenai isu-isu

moral dapat meningkatkan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain

dan transisi ke penalaran yang lebih tinggi (Ormrod, 2008). Dari temuan ini

dihasilkan poin yang sangat penting, yaitu penalaran moral tidak semata-mata

dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan orang dewasa,

melainkan mucul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara

personal oleh individu itu sendiri, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang

seringkali ditinjau ulang, direvisi dan akhirnya diperbaiki oleh individu itu sendiri

seiring waktu.

d. Teman sebaya

Brown dan Theobald (dalam Rice, Dolgin, & Gale, 2008) menejalaskan

alasan kenapa teman sebaya mempengaruhi penalaran moral remaja adalah

karena tekanan yang berasal dari teman sebaya, pengharapan normatif terhadap

apa yang mereka lakukan, harapan dan proses modeling.

Page 37: Tes psikologi

37

e. Perasaan diri

Efikasi diri akan membuat suatu perbedaan dalam perilaku moral (Narvaez &

Rest dalam Ormrod, 2008). Pada masa remaja, individu mulai mengintegrasikan

komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam identitas remaja secara

keseluruhan (Arnold, Biasi, & Nucci dalam Ormrod, 2008). Individu menganggp

diri sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian yang peduli kepada hak-hak

dan kebaikan orang lain sehingga akan meluas kepada masyarakat.

f. Peran keluarga

Penelitian menunjukkan bahwa keluarga khususnya orang tua memiliki

dampak yang cukup kuat untuk perkembangan individu. Orang tua memiliki

peran yang sangat penting dalam proses transisi individu dari anak-anak menuju

remaja (White & Matawie, 2004). Keluarga juga mengajarkan berbagai hal dasar

mengenai sosial, agama, politik, aksi-aksi prososial dan respon-respon sosial.

Dampak peran keluarga terhadap perkembangan moral individu berhubungan

dengan tingkat kehangatan, penerimaan, saling menghargai dan kepercayaan

yang diberikan kepada remaja. Selanjutnya adalah frekuensi serta intensitas

interaksi dan komunikasi antara orang tua dan remaja, disiplin, role model yang

ditunjukkan oleh orang tua serta kesempatan yang diberikan orang tua agar

remaja bisa mandiri (Rice, dkk., 2008).

g. Agama

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa agama membawa dampak

positif terhadap tingkah laku remaja (Youniss, McClellan, & Yates dalam Rice,

dkk., 2008). Misalnya, remaja yang lebih religius memiliki tingkat kecenderungan

yang lebih rendah dalam menggunakan obat-obatan dan perilaku-perilaku non

etik lainnya dibandingkan remaja yang tidak religius.

Page 38: Tes psikologi

38

Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi perkembangan penalaran moral remaja adalah perkembangan

kognitif, penggunaan rasio, isu dan dilema moral, teman sebaya, perasaan diri,

peran keluarga dan agama.

5. Perkembangan penalaran moral remaja

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh remaja adalah

mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok kepadanya dan kemudian

bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan masyarakat.

Remaja diharapkan dapat mengerti konsep-konsep moral yang berlaku umum

yang kemudian menjadi pedoman bagi perilakunya. Pada remaja, pandangan

moral individu biasanya menjadi lebih abstrak, berpusat pada apa yang benar

dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang

dominan, penilaian moral menjadi semakin kognitif sehingga remaja dapat

mengambil keputusan terhadap berbagai permasalah moral yang dihadapinya

(Hurlock dalam Sunarto & Hartono, 2006).

Jadi pada masa remaja, seiring dengan perkembangan kognitifnya maka

remaja juga akan mulai mempertimbangkan situasi-situasi sosial yang terjadi di

sekelilingnya. Pada masa remaja penalaran moral akan semakin berkembang,

maka peran keluarga, sekolah, lingkungan dan masyarakat akan menjadi sangat

penting untuk membantu remaja tumbuh dan berkembang secara optimal

sehingga perkembangan moral yang dimiliki oleh remaja akan berdampak

terhadap perilakunya dalam masyarakat.

Page 39: Tes psikologi

39

C. Sekolah

1. Pengertian dan fungsi

Sekolah merupakan jenis pendidikan yang sudah terstandarisir secara

legal formal. Baik dalam jenjang, lama pendidikan, paket kurikulum, persyaratan

unsur-unsur pengelolaan, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan dan

kemampuan dari kebolehan dan keberartian nilai, prosedur evaluasi, penyajian

materi, dan bahkan pada persyaratan presensi waktu liburan, serta sumbangan

dana pendidikan (Sukamto, 1988; Rohman, 2001).

Sekolah memiliki tujuan yang jelas, yaitu mencapai tujuan pendidikan

nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana tujuan pendidikan

nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka menerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warna

negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut maka sekolah

harus memiliki fungsi-fungsi berikut ini (Ihsan, 2003):

a. Dapat menumbuhkembangkan peserta didik sebagai individu yang memiliki

perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik yang maksimal.

b. Membantu tumbuh kembang peserta didik sebagai makhluk sosial melalui

pengkajian bidang studi tertentu, dimana peserta didik perlu

mengembangkan sikap sosial, gotong royong, toleransi, demokrasi dan

sebagainya.

Page 40: Tes psikologi

40

c. Mampu membentuk peserta didik menjadi manusia susila yang cakap, yang

mampu menampilkan diri sesuai dengan nilai dan norma hidup yang

berkembang di masyarakat.

d. Melalui pendidikan agama, harus dapat menumbuh kembangkan peserta

didik menjadi makhluk religius, sehingga dengan nilai-nilai keagamaan

peserta didik dapat menciptakan kerukunan hidup beragama, menjunjung

tinggi nilai-nilai luhur manusia yang toleran.

2. Sekolah Menengah Tingkat Atas

Mengacu kepada Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah yang

terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional , pendidikan menengah merupakan

jenjang perantara yang menjembatani pendidikan dasar dengan pendidikan

tinggi (Sudjana, 1994). Pendidikan menengah terdiri dari Sekolah Menengah

Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Jalur pendidikan sekolah pada sekolah menengah tingkat atas

dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan, jalur ini dilaksanakan

oleh sekolah melalui kegiatan belajar mengajar, terdiri atas sekolah-sekolah yang

berjenis:

a. Pendidikan umum, merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan

pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan

pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingat akhir masa pendidikan.

Seperti SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan Universitas.

b. Pendidikan kejuruan, merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta

didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Misalnya sekolah menengah

kejuruan (SMK) yang meliputi banyak bidang kejuruan.

Page 41: Tes psikologi

41

c. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta

didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penugasan

pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, contohnya

Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah

Aliyah (MA).

d. Pendidikan luar biasa, merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan

untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental. Contohnya

sekolah luar biasa yang terbagi ke dalam beberapa jenis. Misalnya SLB-A

(yang menangani anak tuna netra), SLB-B (menangani anak tuna rungu),

SLB-C (yang menangani anak tuna daksa), SLB-D (yang menangani anak

tuna grahita).

Dari berbagai jenis sekolah di atas, yang menjadi fokus dalam penelitian

ini adalah remaja sebagai seorang peserta didik yang berasal dari jenis sekolah

pendidikan umum, yaitu SMA dan SMK dan sekolah pendidikan agama, yaitu

MA.

a. Sekolah Menengah Atas (SMA)

Sekolah Menengah Atas adalah lembaga pendidikan sebagai lanjutan

dari sekolah menengah pertama baik SMP maupun MTs. Lembaga pendidikan

yang mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan

tinggi, institut, sekolah tinggi, akademi dan sebagainya. Sekolah menengah atas

menyelenggarakan pendidikan bagi siswa-siswanya dengan tujuan (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1986):

1) Mendidik peserta didik untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga

negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945.

Page 42: Tes psikologi

42

2) Memberikan bekal dan kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan

melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, terutama di Universitas dan

institut.

3) Memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan

melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi, akademi, politeknik, program

diploma dan program lainnya yang setingkat.

4) Memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja

setelah menyelesaikan pendidikannya.

Sekolah Menengah Atas yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam

hal ini adalah Departemen pendidikan dan kebudayaan, disebut SMA Negeri.

sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan swasta disebut SMA

swasta. Pendidikan formal baik bagi siswa SMA negeri mauppun SMA Swasta

berlangsung selama tiga tahun pelajaran atau enam semester dengan

berpedoman pada kurikulum yang berlaku.

Berikut ini adalah Kurikulum SMA kelas XI dan XII program Ilmu

Pengetahuan alam (IPA), program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan porgram

Bahasa terdiri atas 13 mata pelajaran masing-masing mata pelajaran. Jam

pelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana dalam sturktur

kurikulum, satuan pendidkan dimungkinkan menambah maksimum empat jam

pelajaran per minggu secara keseluruhan. Alokasi waktu satu jam pelajaran

adalah 45 menit dan minggu efektif dalam satu tahun pelajaran adalah 34-38

minggu.

Page 43: Tes psikologi

43

Tabel 1

Struktur Kurikulum SMA Program IPA

Komponen Alokasi Waktu (Jam Pelajaran)

Semester I Semester II

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Fisik 7. Kimia 8. Biologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan

Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing

B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri

2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2

2

2 2 2

2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2

2

2 2 2

Total 39 39

Tabel 2

Struktur Kurikulum SMA Program IPS

Komponen Alokasi Waktu

Semester I Semester II

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sejarah 7. Geografi 8. Ekonomi 9. Sosiologi 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan

Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing

B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri

2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2

2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2

Total 39 39

Page 44: Tes psikologi

44

Tabel 3

Sturktur Kurikulum SMA Program Bahasa

Komponen Alokasi Waktu

Semester I Semester II

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sastra Indonesia 7. Bahasa Asing 8. Antropologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan

Komunikasi 13. Keterampilan

B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri

2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2

2

2 2 2

2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2

2

2 2 2

Total 39 39

Sekolah Menengah Atas memiliki jumlah jam pelajaran umum yang lebih

banyak dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan agama, diantaranya

adalah Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi untuk program IPA. Sejarah,

Geografi, Ekonomi dan sosiologi untuk program IPS. Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, Sastra Indonesia dan Bahasa Asing untuk program Bahasa.

b. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Sekolah menengah kejuruan diselenggarakan dengan masa belajar tiga

tahun, sama seperti sekolah menengah tingkat atas lainnya. Tujuan

diselenggarakannya pendidikan kejuruan adalah untuk meningkatkan

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan peserta

didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan

program kejuruannya. Peserda didik yang telah menyelesaikan program

pendidikannya di SMK dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi di

Page 45: Tes psikologi

45

perguruan tinggi dan secara bersamaan juga siap untuk terjun ke dunia kerja

sesuai dengan kekhususan yang dimilikinya.

Tabel 4 Struktur Kurikulum SMK

Komponen Durasi Waktu (Jam)

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika

5.1 Matematika kelompok seni, pariwisata dan Teknologi Kerumahtanggaan

5.2 Matematika kelompok sosial, administrasi dan Akuntansi

5.3 Matematika kelompok teknologi, kesehatan dan pertanian

6. Ilmu Pengetahuan Alam 6.1 IPA 6.2 Fisika

6.2.1 Fisik kelompok pertanian 6.2.2 Fisika kelompok teknologi

6.3 Kimia 6.3.1 Kimia Kelompok pertania 6.3.2 kimia kelompok teknologi dan

kesehatan 6.4 Biologi

6.4.1 Biologi kelompok pertanian 6.4.2 biologi kelompok kesehatan

7. Ilmu pengetahuan sosial 8. seni budaya 9. pendidikan jasmani Olahraga dan kesehatan 10. kejuruan

10.1 Keterampilan komputer dan pengelolaan informasi

10.2 kewirausahaan 10.3 dasar kompetensi kejuruan 10.4 kompetensi kejuruan

B. Muatan lokal C. Pengembangan diri

192 192 192 440

330

403

516

192

192 276

192

192

192 192 128 128

192

202

192 140

1044 192 192

Keterangan: Durasi waktu yang dibutuhkan selama satu tahun pelajaran yaitu sekitar 34-38 minggu

Sekolah Menengah Kejuruan mengkhususkan lulusan agar memiliki

keahlian dalam bidang tertentu. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien

Page 46: Tes psikologi

46

serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, peserta didik harus harus

memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar

ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi dan mampu

berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaan nantinya, serta memiliki

kemampuan mengembangkan diri (BSNP, 2006).

Sebagaimana halnya SMA, peserta didik SMK juga memiliki kurikulum

sebagai acuan dalam melaksanakan pembelajaran seperti yang dapat dilihat

pada tabel 4, karena setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun, peserta

didik juga akan mengikuti Ujian Nasional disamping uji kompetensi untuk

keahlian sesuai dengan jurusannya masing-masing. Berdasarkan tabel struktur

kurikulum SMK dapat dilihat bahwa jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran

pendidikan agama SMK menempati porsi yang lebih banyak daripada SMA,

dimana dalam satu tahun ajaran, jumlah maksimal pelajaran pendidikan agama

yang diajarkan adalah sebanyak 192 jam.

c. Madrasah Aliyah (MA)

Madrasah Aliyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang setara

dengan SMA dan SMK, memiliki standar kompetensi yang sama dengan sekolah

menengah atas lainnya secara nasional, namun memiliki beberapa kurikulum

yang disesuaikan dengan arahan Departeman Agama, karena MA berada di

bawah pembinaan Departemen Agama (Depag) berbeda dengan SMA dan SMK.

Madrasah Aliyah secara teknis memiliki kesamaan dengan SMA dan SMK, yaitu

sebagai tempat berlangsungnnya proses belajar mengajar secara forma

(madrasah.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Tujuan pendidikan di MA adalah

terbentuknya peserta didik yang cerdas, rukun dan Muttafaqqih fi al-Din dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang bermutu, mandiri dan islami sehingga

Page 47: Tes psikologi

47

menghasilkan lulusan yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, memiliki

kualitas pendidikan yang baik, yang memiliki keimanan, ketakwaan, akhlak mulia

dan sikap toleran dengan mengedepankan kebutuhan masyarakat. Jadi secara

garis besar Madrasah Aliyah berusaha untuk menyeimbangkan pendidikan

umum dengan pendidikan agama (Pendis.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Karena

berada dalam pembinaan Departemen Agama, maka kurikulum yang dimiliki oleh

MA selain kurikulum yang ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional

masih ditambah lagi dengan mata pelajaran agama (Pardamean, 2011). Tebel 5,

6 dan 7 akan memperlihatkan kurikulum kelas XII pada Madrasah Aliyah.

Tabel 5

Sturuktur Kurikulum MA Program IPA

Komponen Alokasi Waktu

Semester I Semester II

A. Mata Pelajaran 1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Biologi 11. Fisika 12. Kimia 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan

Kesehatan 15. TI dan Komunikasi

B. Muatan Lokal

2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2

2 2 2

2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2

2 2 2

Jumlah 50 50

Sebagaimana yang terlihat pada tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk

program studi IPA pada MA masing-masing terdapat 3 mata pelajaran bidang

bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan

Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut memiliki jam pelajaran 2 jam

Page 48: Tes psikologi

48

perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan

keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.

Tabel 6

Sturuktur Kurikulum MA Program IPS

Komponen Alokasi Waktu

Semester I Semester II A. Mata Pelajaran

1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Ekonomi 11. Geografi 12. Sosiologi 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan 15. TI dan Komunikasi

B. Muatan Lokal

2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2

2 2 2

2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2

2 2 2

Jumlah 50 50

Tabel 6 memperlihatkan bahwa untuk program studi IPS pada MA juga

terdapat 3 mata pelajaran bidang bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits,

Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut

memiliki jam pelajaran 2 jam perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran,

jam pelajaran pendidikan keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.

Sedangkan pada program studi keagamaan yang dapat dilihat pada tabel 7

terdapat 5 mata pelajaran keagamaan, sehingga kalau dijumlahkan dalam satu

tahun ajaran terdapat maksimal 532 jam pelajaran keagamaan. Jadi dapat

disimpulkan bahwa jam pelajaran keagamaan pada MA lebih banyak

dibandingkan jam pelajaran di SMA dan SMK.

Page 49: Tes psikologi

49

Tabel 7

Kurikulum MA Program Keagamaan

Komponen Alokasi Waktu

Semester I Semester II

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Tafsir dan Ilmu Tafsir 7. Ilmu Hadits 8. Ushul Fiqih 9. Tasawuf/ Ilmu Kalam 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan

Komunikasi 13. Keterampilan

B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2

2

2 2 2

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2

2

2 2 2

Jumlah 38 38

D. Pendidikan Agama di Sekolah

Dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar sekolah menengah

atas di seluruh Indonesia dapat diketahui bahwa salah satu yang membedakan

antara satu sekolah dan sekolah yang lain adalah mata pelajarannya,

sebagaimana perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah agama. Sekolah

umum memiliki jumlah mata pelajaran keagamaan yang lebih sedikit

dibandingkan dengan sekolah agama yang disesuaikan dengan Visi dan Misi

lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan agama yang menjadi konsentrasi

dalam penelitian ini adalah pendidikan agama Islam.

Mata pelajaran keagamaan untuk program studi IPA, IPS dan Bahasa

pada sekolah umum, khususnya SMA adalah 2 jam pelajaran perminggu dengan

jumlah pertemuan dalam satu tahun ajaran adalah 34-38 kali. Jadi, dalam satu

tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan agama berjumlah 68-76 jam pelajaran.

Page 50: Tes psikologi

50

Sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan, jumlah durasi untuk mata

pelajaran pendidikan agama dalam satu tahun pelajaran adalah sebanyak 192

jam. Sementara itu, Madrasah Aliyah merupakan sekolah menengah yang

memiliki jumlah jam pelajaran bidang keagamaan paling banyak dibandingkan

dengan SMA dan SMK, dimana jumlah jam pelajaran keagamaan MA mulai dari

288-532 jam dalam satu tahun ajaran.

Tujuan pendidikan agama Islam berdasarkan standar kompetensi dan

kompetensi dasar SMA/MA (BSNP, 2006) adalah untuk menumbuhkembangkan

akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan,

penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang

Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus mengembangkan

keimanan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT serta mewujudkan manusia

Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang

berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,

bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta

mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Pendidikan agama Islam merupakan usaha-usaha secara sistematis dan

pragmatis dalam membantu anak didik agar hidup sesuai dengan ajaran-ajaran

Islam (Zuhaerini, 1983). Pendidikan agama Islam lebih banyak ditujukan kepada

perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan baik bagi

individu maupun bagi orang lain. Drajat (1992) menjelaskan bahwa pendidikan

Islam merupakan pendidikan iman dan pendidikan amal, sikap dan tingkah laku

pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup sehingga pendidikan Islam

merupakan pendidikan individu dan pendidikan masyarakat. Sehingga

pendidikan agama merupakan proses melatih dan mengembangkan

Page 51: Tes psikologi

51

pengetahuan, keterampilan, pikiran, perilaku khususnya pada sekolah formal.

Pendidikan agama islam lebih bayak diuuka kepada perbaikan sikap mentalyang

terwujud dalam amal peruata, baik untuk keperluan pribadi maupun masyarakat.

Karena pendidikan agama tidak hanya bersifat teoritis saja, melainkan juga

menekankan pada praktek.

Hal terpenting dalam pendidikan agama di sekolah bukanlah mengejar

nilai tinggi, tetapi ukurannya adalah penghayatan dan aktualisasi nilai-nilai dalam

kehidupan sehari-hari, seperti dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat

dan lingkungan. Pendidikan agama merupakan media yan sangat penting dalam

mensosialisasikan dan mewariskan tata nilai keagaman. Menurut Harsa (2008)

terjadinya krisis akhlak yang terlihat dalam banyaknya pelanggaran yang

dilakukan oleh remaja merupakan pertanda longgarnya pegangan terhadap

agama, sehingga menyebabkan hilangnya pengontrol diri dalam berperilaku,

untuk itu Harsa (2008) menilai bahwa penerapan pendidikan agama di rumah,

sekolah maupun masyarakat penting untuk ditingkatkan.

Drajat (dalam Firdaus, Ridwan, Andrian, & Rafiqi, 2008) menjelaskan

bahwa pendidikan agama sekurang-kurangnya diberikan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan kognitif dimana penyampaian informasi secara

teoritis, kemudian pendekatan yang bersifat mekanik atau rangsangan jawaban

yang disebut dengan proses mengkondisi sehingga terjadi automisasi dan dapat

dilakukan melalui latihan, tanya jawab dan melalui teladan, sehingga terjadi

proses pembelajaran yang berdampak pada perubahan tingkah laku (kognitif,

afektif dan psikomotor) ke arah yang lebih baik (Husairi, 2007).

Alokasi waktu yang sedikit untuk mata pelajaran pendidikan agama di

sekolah menurut Burdjani (2005) dapat menjadi penyebab hilangnya fokus dan

Page 52: Tes psikologi

52

perhatian remaja pada nilai-nilai moralitas yang diajarkan pada pelajaran

keagamaan sehingga mempengaruhi perilaku remaja dalam kehidupan sehari-

hari. Selain itu menurut Gunarsa (dalam Azizah, 2006) menjelaskan bahwa pola

pembinaan agama di sekolah akan mempengaruhi perkembangan moral siswa,

sebagaimana hasil studi Penelitian dan Pengembangan Agama serta Pendidikan

Pelatihan Keagamaan tahun 2000 menerangkan bahwa merosotnya moral dan

akhlak peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama

yang terlampau padat pada materi, dan materi tersebut hanya mengedepankan

aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagamaan yang utuh.

E. Hipotesis

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malinowski dan Smith (dalam

Benardi, dkk., 2004) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tingkat penalaran

moral yang tinggi memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan

dengan siswa dengan tingkat penalaran moral yang rendah. Hal tersebut juga

didukung oleh penelitian Leming (2001) dimana subjek yang memiliki tingkat

penalaran moral tinggi menunjukkan perlikau curang yang lebih rendah

dibandingkan dengan subjek yang memiliki tingkat penalaran moral yang sedang

dan rendah.

Perkembangan moral dapat ditingkatkan melalui pendidikan keagamaan

di sekolah. Sekolah umum, agama dan kejuruan merupakan jenis sekolah yang

memiliki perbedaan paling menonjol pada mata pelajaran yang menyangkut

pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan yang ada di sekolah secara

tidak langsung akan memberikan dampak terhadap perilaku siswa, karena

berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sekolah menengah atas

tujuan dilaksanakannya pendidikan agama adalah untuk peningkatan potensi

Page 53: Tes psikologi

53

spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, akhlak mulia yaitu

manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,

berdisiplin, bertoleransi serta mampu menjaga keharmonisan secara personal

dan sosial.

Hasil penelitian yang dilkukan oleh Rettinger dan Jordan (2005)

menunjukkan bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa yang

mengikuti kursus berbasis keagamaan lebih rendah dibandingkan dengan siswa

yang mengikuti kursus yang sama namun berbasis umum. Demikian juga dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bloodgood, dkk. (2008), dimana seseorang yang

memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti serangkaian doktrin-

doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat kecurangan yang lebih

rendah. Kemudian Sutton dan Hoba (dalam Rettinger & Jordan, 2005)

menyimpulkan bahwa religiusitas mempengaruhi sikap terhadap kecurangan

dimana siswa yang lebih religius memiliki beberapa pertimbangan untuk

melakukan kecurangan dan siswa yang mengambil studi keagamaan memiliki

tingkat kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa lain.

Dalam kajian teoritis disebutkan bahwa agama dan pendidikan

keagamaan merupakan faktor yang sama-sama memberikan pengaruh terhadap

perilaku curang dan penalaran moral, di Indonesia terdapat sekolah yang

mengkhususkan pendidikannya kepada pendidikan keagamaan (Islam), yaitu

Madrasah Aliyah atau MA. Sehingga penulis menduga bahwa sekolah yang

memiliki kurikulum dan pendalaman materi keagamaan akan menghasilkan

siswa yang lebih paham mengenai aturan-aturan keagamaan yang kemudian

Page 54: Tes psikologi

54

dapat diterapkannya dikehidupan yang lebih luas melalui perbuatan-perbuatan

terpuji, seperti jujur dalam melaksanakan Ujian Nasional.

Hasil perbandingan jumlah jam pada mata pelajaran pendidikan

keagamaan dari ketiga jenis sekolah tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa

jumlah jam pendidikan keagamaan pada sekolah agama lebih tinggi

dibandingkan dengan sekolah umum dan kejuruan. Sehingga diduga bahwa

remaja yang memperoleh pendidikan keagamaan lebih banyak memiliki tingkat

perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat

kecurangan yang lebih rendah. Sehingga diperoleh kesimpulan untuk hipotesis

dalam penelitian ini adalah :

Hipotesis Kerja (H1)

Hipotesis Nihil (H0)

: Terdapat perbedaan perilaku curang berdasarkan

tingkat perkembangan penalaran moral (kepentingan

pribadi, pertahanan norma dan postkonvensional) dan

jenis pendidikan remaja (pendidikan umum dan

agama).

Tidak terdapat perbedaan perilaku curang dengan

tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis

pendidikan remaja.

Page 55: Tes psikologi

55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi dan Operasionalisasi Variabel

1. Identifikasi Varibel

Berdasarkan kajian teoritis yang telah disampaikan di Bab II, dapat

disimpulkan bahwa penelitian ini berfokus pada perbedaan perilaku curang

dalam melaksanakan Ujian Nasional yang akan dihubungkan dengan tingkat

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada remaja. Dimana perilaku

curang merupakan variabel terikat dan tingkat perkembangan penalaran moral

serta jenis sekolah remaja merupakan variabel bebas.

Perilaku curang dalam penelitian ini merupakan segala bentuk

kecurangan yang dilakukan oleh remaja saat melaksanakan ujian nasional,

sehingga menunjukkan tinggi rendahnya perilaku curang remaja.Tingkat

perkembangan penalaran moral dalam penelitian ini merupakan tingkat

perkembangan penalaran moral yang dikembangkan oleh Rest dari teori

perkembangan penalaran moral Kohlberg (dalam Rest, 1979) terdiri dari skema

kepentingan pribadi, skema pertahanan norma dan skema postkonvensional.

Tingkat perkembangan penalaran moral menunjukkan seberapa besar remaja

mempergunakan pertimbangan moral yang paling prinsip untuk membuat suatu

keputusan dalam mengadapi dilema-dilema sosial yang ada di sekelilingnya.

Variabel terakhir adalah jenis pendidikan yang dilihat dari jenis sekolah

subjek, dimana dalam penelitian ini jenis sekolah merupakan konsentrasi

pendidikan yang ditempuh oleh remaja saat berada di sekolah menengah atas,

yaitu terdiri dari sekolah umum dan sekolah agama. Sekolah agama di sini

Page 56: Tes psikologi

56

adalah sekolah yang menfokuskan pendidikan pada agama Islam dan memiliki

kurikulum keagamaan yang lebih banyak dibandingkan sekolah umum.

2. Operasionalisasi Variabel

a. Perilaku curang

Merupakan skor yang diperoleh dari skala perilaku curang yang

menunjukkan tingkat kecurangan yang dilakukan oleh subjek dalam

melaksanakan Ujian Nasional.

b. Perkembangan Penalaran moral

Merupakan skor yang diperoleh melalui skala Defining Issues Test (DIT)

Rest, yang mengukur tingkat perkembangan penalaran moral subjek.

c. Jenis Sekolah

Merupakan identitas pendidikan yang diperoleh dari angket yang diisi oleh

subjek sebelum mengerjakan skala penelitian.

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 177 remaja berusia 17 sampai 19

tahun yang baru saja selesai melaksanakan Ujian Nasional pada tahun ajaran

2011/2012 dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi A dan B di

Sumatera Barat. Alasan dipilihnya lokasi penelitian yaitu di Sumatera Barat

adalah karena dalam penelitian awal yang penulis lakukan terhadap 67 remaja

yang tersebar pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, 31 orang

diantaranya berasal dan mengikuti pendidikan menengah tingkat atas di

Sumatera Barat. Pemilihan subjek didasarkan pada teknik sampel purposif,

dimana karakteristik subjek telah ditentukan dan diketahui terlebih dahulu

berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Winarsunu, 2007). Dimana identifikasi

subjek dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini:

Page 57: Tes psikologi

57

Tabel 8

Identifikasi Subjek Penelitian

No Lokasi Penelitian Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Perguruan Tinggi A 39 56 95

2 Perguruan Tinggi B 43 39 82

Jumlah 82 95 177

C. Cara Pengumpulan Data

Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan untuk mengumpulkan

data terdiri dari:

1. Perilaku Curang

Perilaku curang remaja dalam melaksanakan Ujian Nasional diungkap

melalui skala perilaku curang. Pernyataan-pernyataan dalam skala perilaku

curang ini merupakan pernyataan langsung terarah kepada informasi mengenai

data perilaku curang yang hendak diungkap sehingga subjek akan tahu persis

mengenai informasi jenis apa yang hendak diteliti. Skala perilaku curang secara

tidak langsung juga akan menjelaskan bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan

oleh remaja dan juga tingkat kecurangan yang dilakukan oleh remaja saat

melaksanakan UN.

Pernyataan dalam skala perilaku curang ini dibuat berdasarkan bentuk-

bentuk perilaku curang yang diketahui oleh remaja, dimana penulis meminta

kepada 49 orang remaja yang pernah mengikuti UN untuk menuliskan bentuk-

bentuk kecurangan yang mereka ketahui dalam melaksanakan UN. Dari seluruh

jawaban remaja tersebut terdapat 45 pernyataan dengan 5 pilihan jawaban, yaitu

Tidak Pernah (TP), Pernah (P), Kadang-kadang (KD), Sering (SR) dan Sangat

Sering (SS). Seluruh aitem pernyataan dikelompokkan ke dalam 5 kategori

bentuk-bentuk perilaku curang yang telah dirumuskan melalui pendapat para ahli

Page 58: Tes psikologi

58

(Pavela dalam Whitley & Spiegel, 2002; Wideman, 2008; Kaufan, 2008; Davis,

dkk., dalam Carter & Carter, 2001; McCabe & Trevino dalam Whitley & Spiegel,

2002). Pada tabel 10 dapat dilihat Blue-Print untuk skala perilaku curang remaja

dalam melaksanakan Ujian Nasional.

Tabel 9

Distribusi Aitem Skala Perilaku Curang Sebelum Uji Reliabilitas

No Indikator Nomor Aitem Jumlah Persen

1 Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan contekan

1,6,10,13,16,19,22,24,26,28,30,32,34,36,38, 40,42,44,45

19 42,2

2 Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi atau menerima jawaban dalam ujian

2,7,11

3 6,7

3 Bekerjasama dalam arti memberi ataupun menerima bantuan selama ujian berlangsung

3,14,17,20,23,25,27,29,31,33,35,37,39,41,43

15 33,3

4 Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin orang tersebut

4,8 2 4,4

5 Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan dan jawaban untuk soal ujian

5,9,12,15,18,21

6 13,3

Total 45 100

Sebelum memberikan skala ini kepada subjek penelitian yang

sesungguhnya, maka perlu diakukan uji coba terlebih dahulu untuk mengetahui

reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau

keterpercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran

(Azwar, 2005). Analisis reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode

Cronbach’s Alpha. Reliabiltas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang

angkanya berada dalam rentang 0-1,00. Koefisien reliabilitas dianggap tinggi

apabila semakin mendekati angka 1,00 demikian juga sebaliknya, koefisien

reliabilitas dianggap rendah jika semakin mendekati anggka 0.

Page 59: Tes psikologi

59

Validitas menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari operasi-

operasi mengukur apa yang seharusnya diukur (Jogiyanto, 2008) dan uji validitas

bertujuan untuk mengetahui sejauh mana skala yang digunakan mampu

menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2005).

Analisis validitas pada penelitian ini menggunakan teknik validitas isi, dimana

suatu jenis validitas yang didasarkan pada butir-butir alat ukur yang digunakan

untuk mencerminkan suatu definisi konseptual (Walizer & Wienir, 1991). Hal ini

dapat dilihat pada blue-print skala perilaku curang. Dimana perilaku curang

dijelaskan melalui indikator-indikator perilaku curang yang diungkapkan oleh para

ahli.

Aitem skala perilaku curang dipilih berdasarkan koefisien korelasi aitem-

total. Parameter daya beda aitem yang berupa koefisien korelasi aitem-total

memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam

mengungkap perbedaan individual sehingga dapat mengoptimalkan fungsi skala

(Azwar, 2005). Besarnya koefisien korelasi aitem-total bergerak dari 0 sampai

dengan 1,00 dengan tanda positif dan negatif, indeks daya diskriminasi semakin

baik jika korelasinya mendekati angka 1,00. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan

korelasi aitem total dengan batasan sama atau lebih besar dari 0,03 dan jika

memenuhi ini maka aitem memiliki daya diskriminasi tinggi, sementara jika

korelasi aitem total kurang dari itu maka dapat dikatakan bahwa aitem memiliki

indeks daya diskriminasi yang rendah (Azwar, 2005).

Page 60: Tes psikologi

60

Tabel 10

Hasil Uji Reliabilitas Skala Perilaku Curang

No Indikator Terpilih Gugur Jumlah

1 Menggunakan kertas contekan atau alat-alat lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan contekan

18 1 19

2 Menggunakan bahasa verbal dan non verbal untuk memberi atau menerima jawaban dalam ujian

2 1 3

3 Bekerjasama dalam arti memberi ataupun menerima bantuan selama ujian berlangsung

15 - 15

4 Melihat dan menyalin hasil pekerjaan orang lain tanpa atau dengan izin orang tersebut

2 - 2

5 Mengetahui terlebih dahulu soal-soal yang akan diujikan dan jawaban untuk soal ujian

6 - 6

Total 43 2 45

Uji coba skala perilaku curang diujikan kepada 116 remaja yang telah

melaksanakan Ujian Nasional, terdiri dari 41 laki-laki dan 75 perempuan dengan

jenis sekolah menengah atas yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil uji coba

diperoleh koefisien korelasi aitem yang tinggi bergerak dari 0,124 sampai 0,613.

Pada tabel 10. dapat diketahui bahwa terpilih 43 aitem yang memiliki daya

diskriminasi tinggi dimana aitem memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,30 dan 2

aitem dinyatakan gugur karena memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,30.

Sehingga untuk jumlah aitem yang digunakan pada skala perilaku curang pada

subjek penelitian adalah sebanyak 43 aitem. Hasil uji reliabilitas skala perilaku

curang menunjukkan bahwa skala perilaku curang reliabel dengan koefisien

alpha sebesar 0,931.

2. Perkembangan Penalaran Moral

Defining Issues Test (DIT) merupakan skala yang digunakan untuk

mengukur perkembangan penalaran moral yang dikembangkan pertamakali oleh

Page 61: Tes psikologi

61

Rest (dalam Santrock, 2003). Skala ini mencoba untuk menentukan isu moral

mana yang dianggap lebih penting oleh individu dalam suatu situasi tertentu

dengan cara memberikan serangkaian permasalahan dan sebuah daftar yang

berisi definisi dari isu-isu utama yang terdapat di dalamnya. DIT pertamakali

dipublikasikan pada tahun 1974 (Rest, Narvaez, & Thoma, 1999). Dalam

mengerjakan skala DIT, dibutuhkan waktu sekitar 50 menit dan DIT dapat

disajikan secara klasikal (Rest, 1979).

Penelitian telah menunjukkan bahwa DIT mampu menjelaskan perbedaan

tingkat perkembangan moral individu, skor DIT secara signifikan berhubungan

dengan kapasitas kognitif individu. Rest (dalam Rest, Narvaez, & Thoma, 1999)

telah melakukan penelitian selama lebih dari 20 tahun untuk melihat validitas dan

reliabilitas DIT, dari penelitian tersebut ditemukan korelasi antara tingkat

perkembangan penalaran moral dengan kapasitas kognitif individu. Reliabilitas

DIT diukur dengan menggunakan tes ulang atau Test-retest yang dilakukan pada

subjek dari latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan usia yang berbeda,

diperoleh nilai r yang bergerak dari 0.70 sampai 0.80. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa DIT merupakan alat yang cukup handal untuk mengukur

tahap perkembangan penalaran moral individu yang sesuai dengan tahap-tahap

perkembangan moral yang disusun oleh Kohlberg (dalam Rest, 1979).

DIT diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia pertama kali oleh Martani

(dalam Fitria, 2000) dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Uji

reliabilitas dilakukan pada siswa SMP dan Mahasiswa, hasil yang diperoleh

adalah adanya korelasi r yang bergerak antara 0.255 sampai 0.410. Penelitian

lain yang juga menguji reliabilitas dan validitas DIT dilakukan oleh Menanti

(dalam Wardani, 1998), dimana hasil uji reliabilitasnya menunjukkan nilai sebesar

Page 62: Tes psikologi

62

0,78 dengan hasil uji validitas aitemnya menunjukkan nilai r yang bergerak

antara 0,38 sampai dengan 0,67. Sedangkan validitasnya diukur dengan validitas

konstruksi atau construct validity yang merupakan validitas yang didasarkan

pada kesesuaian antara alat ukur dengn konstruksi teoritis yang mendasari

penyusunan alat tersebut. Rest (1979) menjelaskan bahwa dasar dari

penyusunan DIT adalah dari teori perkembangan penalaran moral dengan

pendekatan kognitif yang dikemukakan oleh Kohlberg, dengan demikian

perkembangan penalaran moral merupakan psikologikal konstruk dan DIT

disusun berdasarkan operasionalisasi kosntruk tersebut (Fitria, 2000). Dilema-

dilema yang digunakan dalam DIT dirancang untuk membedakan ciri-ciri suatu

tahap perkembangan penalaran moral individu, yang paling penting dalam DIT

adalah melihat alasan yang mendasari terjadinya pengambilan keputusan dalam

menyelesaikan dilema-dilema tersebut.

McGeorge (dalam Rest, 1979) menjelaskan bahwa dalam mengerjakan

skala DIT dibutuhkan kemampuan membaca dan memahami pernyataan-

pernyataan yang terdapat di dalam masing-masing dilema, kemampuan ini mulai

dimiliki saat anak berada di sekolah menengah pertama, yaitu berusia sekitar 13

sampai 14 tahun. Secara teoritis, anak-anak yang yang berumur 13 tahun tidak

lagi berada pada tahap pertama dalam perkembangan penalaran moral,

sehingga dalam menyusun dan mengungkap tahap perkembangan penalaran

moral Rest (1979) memulainya dari tahap 2, dilanjutkan dengan tahap 3, tahap 4,

tahap 5 yang dibagi Rest menjadi dua bagian yaitu 5A yang menunjukkan

moralitas konstrak sosial dan tahap 5B yang menunjukkan moralitas intuitif dan

tahap yang terakhir adalah tahap 6. Pada dasarnya tahap 5A dan 5B dalam DIT

sama dengan tahap 5 dalam tahap perkembangan penalaran moral Kohlberg.

Page 63: Tes psikologi

63

Dalam penelitian ini terdapat 5 dilema moral, pada masing-masing dilema

terdapat 12 pernyataan dalam masing-masing pernyataan terdapat 5 pilihan

jawaban, yaitu Amat Sangat Penting (ASP), Sangat Penting (SP), Penting (P),

Kurang Penting (KP), dan Tidak Penting (TP). Subjek diminta untuk membaca

suatu kasus yang bersifat hipotesis, kemudian diminta untuk mengambil

keputusan apa yang akan dilakukan, setelah itu subjek diminta untuk membaca

keduabelas pernyataan dan memilih satu jawaban untuk masing-masing item

pernyataan. Setelah menyelesaikan keduabelas pernyataan tersebut, subjek

diminta untuk memilih 4 pernyataan yang dianggap paling penting dan kemudian

merengkingnya dari 1 sampai 4.

Skoring akan dilakukan sesuai dengan skoring manual DIT yang telah

ditetapkan oleh Rest (1979), melalui proses sebagai berikut:

1) Menyiapkan lembar data untuk setiap subjek dengan format seperti yang

dapat dilihat pada tabel 11.

2) Dari keempat pernyataan yang telah dirangking oleh subjek, lihat pernyataan

yang pertama paling penting menurut subjek.

Tabel 11

Lembar data subjek

CERITA TAHAP

2 3 4 5A 5B 6 A M P

I

II

III

IV

V

Skor Total

Nilai Persentase

Page 64: Tes psikologi

64

Keterangan:

a) 2, 3, 4, 5A, 5B dan 6 : Merupakan tahap perkembangan penalaran

moral.

b) A : Merupakan pandangan yang mencela tradisi dan menampilkan aturan

sosial yang semaunya sendiri. Menurut Rest (1979) hal ini mungkin

disebabkan oleh subjek yang berada pada masa transisi antara satu tahap

dengan tahap yang lain, biasanya skor A ini diabaikan dan tidak digunakan

dalam interpretasi maupun analisis lainnya.

c) M : Merupakan pernyataan yang tidak mengekspresikan suatu tahap

penalaran moral sama sekali. Skor M digunakan sebagai internal check dari

keajegan jawaban subjek, jika skor M yang diperoleh subjek melebihi 6 maka

skala DIT tidak dapat digunakan atau dinyatakan gugur.

d) P : Skor P diperoleh dengan cara menjumlahkan skor 5A, 5B dan 6. Rest

(1979) mengungkapkan bahwa P merupakan indeks dari suatu

perkembangan penalaran moral dimana seseorang menggunakan

pertimbangan moral yang paling prinsip dalam membuat suatu keputusan

moral.

3) Setelah diketahui pernyataan pertama paling penting, sesuaikan dengan

tabel untuk mengetahui tahap perkembangan penalaran moral subjek, seperti

yang dapat dilihat pada tabel 12. Misalnya, jika pernyataan paling penting

subjek pada cerita pertama adalah aitem no 6, maka berarti subjek berada

pada tahap 4; jika aitem 10 maka subjek berada pada tahap 5A.

Page 65: Tes psikologi

65

Tabel 12

Tabel tahap perkembangan penalara moral

AITEM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

CERITA

I

II

III

IV

V

4 3 2 M 3 4 M 6 A 5A 3 5A

3 4 A 4 6 M 3 4 3 4 5A 5A

3 4 A 2 5A M 3 6 4 5B 4 5A

4 4 3 2 6 A 5A 5A 5B 3 4 3

4 4 2 4 M 5A 3 3 5B 5A 4 3

4) Setelah menemukan tahap aitem, maka tugas selanjutnya adalah memberi

skor untuk masing-masing rangking. Peringkat pertama paling penting diberi

skor 4, kedua paling penting diberi skor 3, ketiga paling penting diberi skor 2,

dan keempat paling penting diberi skor 1.

5) Setelah diberi skor, maka memasukkan skor masing-masing pernyataan ke

dalam lembar data. Kemudian menjumlahkan skor yang diperoleh masing-

masing kolom.

6) Untuk memperoleh nilai P yang merupakan skor paling prinsip dalam

perkembangan moral, maka skor 5A, 5B dan 6 harus ditambahkan.

7) Masing-masing dilema moral akan memiliki 4 entri data, dan kalau

dijumlahkan, maka semuanya akan berjumlah 20 entri data.

8) Setalah diperoleh nilai kasar dari masing-masing dilema moral, maka tahap

selanjutnya adalah membuat persentase dengan cara membaginya dengan

bilangan 0,5. Persentase ini akan menunjukkan profil perkembangan

penalaran subjek.

Page 66: Tes psikologi

66

Setiap subjek dalam penelitian ini akan memiliki lembar datanya sendiri,

sehingga dapat diketahui tingkat perkembangan penalaran moral subjek dan

mengungkap seberapa besar subjek menggunakan pertimbangan moral yang

prinsip dalam membuat suatu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema

sosial yang ada disekelilingnya melalui skor P yang diperoleh oleh subjek.

3. Jenis Sekolah

Jenis sekolah beserta data-data lain mengenai subjek seperti usia dan

jenis kelamin diperoleh melalui lembar identitas diri dan persetujuan yang diisi

oleh subjek sebelum mengisi skala penelitian.

D. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantiitatif. Pada penelitian ini penulis

menggunakan pendekatan komparasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk

melihat perbedaan dari varibel-variabel yang sama terhadap subjek yang

berbeda-beda (Winarsunu, 2007).

E. Cara Analisis Data

Sesuai dengan hipotesis penelitian, data yang diperoleh dalam penelitian

ini dianalisis secara serentak menggunakan teknik analisis varian faktorial atau

yang lebih dikenal dengan anava faktorial dengan bantuan program SPSS 16.0

for Windows. Anava faktorial merupakan teknik statistik parametri yang

digunakan untuk menguji perbedaan antara kelompok-kelompok data yang

berasal dari 2 variabel bebas atau lebih (Winarsunu, 2007).

Page 67: Tes psikologi

67

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskipsi Subjek Penelitian

Setelah dilakukan pengambilan data terhadap subjek penelitian maka

dapat disajikan secara umum pada tabel 13 dan 14 mengenai gambaran

karakteristik subjek penelitian.

Tabel 13

Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Jenis Kelamin Usia Total

17 Tahun 18 Tahun 19 Tahun

Laki-laki 0 27 55 82

Perempuan 5 54 36 95

Total 5 81 99 177

Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa tidak ada subjek laki-laki

yang berusia 17 tahun, 27 subjek berusia 18 tahun dan 55 subjek berusia 19

tahun, subjek paling banyak berada pada usia 19 tahun. Pada subjek perempuan

terdapat 5 subjek berusia 17 tahun, 54 subjek berusia 18 tahun dan 36 subjek

berusia 19 tahun, subjek paling banyak berusia 18 tahun.

Tabel 14

Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Sekolah Saat UN

Jenis Kelamin Jenis Sekolah Total

Umum Agama

SMA SMK MA

Laki-laki 21 35 26 82

Perempuan 45 12 39 95

Total 65 47 65 177

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa subjek laki-laki yang

bersekolah di SMA adalah sebanyak 21 subjek, SMK sebanyak 35 subjek dan

Page 68: Tes psikologi

68

MA sebanyak 36 subjek. Sementara itu subjek perempuan yang bersekolah di

SMA sebanyak 45 subjek, SMK 12 subjek MA sebanyak 39 subjek. Subjek laki-

laki dan perempuan terbanyak bersekolah di MA. Subjek laki-laki kebanyakan

bersekolah di SMK dan perempuan bersekolah di SMA.

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data

1. Perilaku Curang

Skala perilaku curang yang disebarkan kepada subjek penelitian

memperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,950. Hasil uji reliabilitas ini diperoleh

melalui analisis reliabilitas dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha.

Analisis data deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran secara

umum mengenai data penelitian. Melalui deskripsi data penelitian dapat

diperoleh gambaran tentang jumlah data, skor minimum, skor maksimum, mean,

dan deviasi standar. Variabel perilaku curang dalam melaksanakan Ujian

Nasional dapat diketahui bahwa jumlah data (N) sebanyak 177, memiliki nilai

rata-rata sebesar 29,80. Rentang skor sebesar 112 dengan skor minimal 0 dan

skor maksimal 112 serta memiliki deviasi standar sebesar 23,048. Hasil data

variabel perilaku curang dan variabel perkembangan moral dikategorisasikan

berdasarkan tinggi rendahnya jumlah skor dari masing-masing subjek.

Kategorisasi didasarkan pada model distrbusi normal. Berdasarkan satuan

deviasi standar dengan memperhitungkan rentangan skor minimum dan

maksimum teoritisnya, maka pada penelitan ini kategorisasi subjek dibagi

menjadi 3 kategori.

a. Kategori rendah, jika X < (M-1,0 SD)

b. Kategori sedang,jika (M-1,0 SD) ≤ X < (M+1,0 SD)

c. Kategori tinggi, jika (M+1,0 SD) ≤ X

Page 69: Tes psikologi

69

Tabel 15

Kategorisasi Data Skala Perilaku Curang

Skor Interval Klasifikasi N Persentase

X < 7 Rendah 31 17,5 %

7 ≤ X < 53 Sedang 125 70,6%

53 ≤ X Tinggi 21 11,9%

Jumlah 177 100 %

Hasil kategorisasi data skala perilaku curang pada tabel 16 menejelaskan

bahwa skor perilaku curang kategori rendah berjumlah 31 subjek atau sekitar

17,5%. Kategori sedang berjumlah 125 subjek yaitu sekitar 70,6%, serta kategori

tinggi berjumlah 21 subjek yaitu sekitar 11,9%. Banyaknya jumlah subjek yang

berada pada kategori sedang menunjukkan bahwa sebagaia besar subjek

memiliki tingkat perilaku curang sedang. Sementara itu subjek yang tidak

melakukan kecurangan atau skor skala perilaku curang nol (0) adalah sebanyak

16 subjek yaitu sekitar 9%, sisanya yaitu sekitar 161 subjek atau 91% melakukan

kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional.

2. Tingkat perkembangan penalaran moral

Skala DIT merupakan skala yang dipergunakan untuk mengetahui tingkat

perkembangan penalaran subjek dimana dapat memberikan informasi mengenai

skor paling prinsip (skor P) dalam perkembangan moral, yang akan menunjukkan

seberapa besar subjek akan mempergunakan pertimbangan moral yang paling

prinsip untuk membuat satu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema sosial

yang ada disekelilingya melalui tahap perkembangan penalaran moral yang

dikelompokkan kedalam skema perkembangan penalaran moral. Deskripsi

mengenai skema tahap perkembangan penalaran moral subjek dapat dilihat

pada tabel 16.

Page 70: Tes psikologi

70

Tabel 16

Deskripsi Skema Tahap Perkembangan Penalaran Moral

Sekolah

Skema Tahap Perkembangan Moral Total Skema 1 Skema 2 Skema 3

Umum 6 104 2 112 Agama 7 57 1 65

Total 13 161 3 177

Berdasarkan tabel 16 dapat dilihat gambaran bahwa seluruh subjek

penelitian hanya berada pada tiga skema perkembangan penalaran moral, yaitu

skema 1 yang merupakan skema kepentingan pribadi, skema 2 yang merupakan

skema pertahanan norma dan skema 3 yang merupakan skema

postkonvensional. Tahap perkembangan penalaran moral subjek paling banyak

berada pada skema 2 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 161 subjek atau

91%, kemudian skema 1 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 13 subjek

atau 7% dan skema 3 yaitu skema postkonvensional sebanyak 3 subjek atau

2%.

3. Jenis Sekolah

Deskripsi statistik jenis sekolah subjek menjelaskan bahwa subjek

terbanyak berasal dari sekolah umum, yaitu sebanyak 112 subjek yang terdiri

dari 65 subjek berasal dari SMA dan 47 subjek berasal dari SMK. Sementara itu

subjek dari sekolah agama yaitu MA terdiri dari 65 subjek. Jadi dapat disimpulkan

dalam penelitian ini subjek terbanyak merupakan remaja yang berasal dari

sekolah umum.

C. Hasil

1. Uji Homogenitas

Dalam setiap perhitungan statistik yang menggunakan Anava harus

disertai landasan bahwa harga-harga varian dalam kelompok bersifat homogen

atau relatif sejenis. Homogenitas varian merupakan asumsi yang penting di

Page 71: Tes psikologi

71

dalam penghitungan Anava, hal ini disebabkan karena pada hakekatnya anava

digunakan untuk membandingkan varian dalam kelompok yang berasal dari 3

kategori data atau lebih, dan kategori-kategori tersebut baru dapat dibandingkan

secara adil apabila harga-harga varian pada masing-masing kategori bersifat

homogen.

Pengujian homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Levene’s.

Uji ini dilakukan untuk menyatakan bahwa masing-masing varian dari variabel

terikat adalah sama. Pengambilan keputusan didasarkan pada hasil probabilitas

yang diperoleh melalui harga F, dimana apabila harga F terbukti signifikan berarti

terdapat perbedaan. Harga F yang diharapkan adalah harga F yang tidak

signifikan, yaitu jika harga F hitung yang lebih kecil daripada harga F tabel. Hasil

uji Leven’s diperoleh hasil Fhitung sebesar 1,043 dan jika dibandingkan dengan

nilai Ftabel maka diperoleh Ftabel sebesar 2,267 pada taraf 5% diperoleh harga

Fhitung lebih kecil dibandingkan Ftabel (1,043 < 2,267). Nilai probabilitas yang

diperoleh adalah 0,394, oleh karena 0,394 lebih besar dari 0,05 maka dengan

demikian dapat diinterpretasikan bahwa data terbukti tidak signifikan dan ini

menunjukkan tidak adanya perbedaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah

bahwa varian variabel terikat adalah sama atau homogen, sehingga memenuhi

persyaratan untuk dilakukan analisis varian faktorial dan proses analisis varian

dapat dilanjutkan.

2. Uji Hipotesis

Hipotesis penelitian diuji secara serentak, hasil out put analisis

menunjukkan taraf signifikansi hasil hitung dan koefisien Fhitung seperti yang

terlihat pada tabel 17.

Page 72: Tes psikologi

72

Tabel 17

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis

Variabel Terikat : Perilau Curang

No Hipotesis F hitung F tabel Sig.

1 Gabungan (Model) 1,846 2,265 0,106

2 A 2,361 3,048 0,097

3 B 0,123 3,896 0,727

4 A*B 0,851 3,048 0,429

Variabel Bebas: A = Tingkat Perkembagan Penalaran Moral B= Jenis Sekolah

Hasil uji hipotesis untuk melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan

tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah subjek diperoleh harga

Fhitung sebesar 1,846. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel

dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 2,265, sehingga

dapat dilihat bahwa Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel (1,846<2,265)

hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama tidak terdapat perbedaan

perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis

sekolah subjek. Secara terpisah, hasil hipotesis menunjukkan bahwa diperoleh

harga FA sebesar 2,361. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel

dengan taraf signifiansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 3,048 maka

terlihat bahwa FA lebih kecil dibandingkan harga F tabel (2,361<3,048), sehingga

dapat dikatakan bawa tidak terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan

bila ditinjau dari tingkat perkembangan penalaran moral remaja. Selanjutnya

untuk jenis sekolah, diperoleh FB sebesar 0,123. Apabila harga ini

dikonfirmasikan dengan harga Ftabel dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka

diperoleh Ftabel sebesar 3,896. Maka dapat dilihat bahwa FB lebih kecil

dibandingkan harga Ftabel (0,123<3,896), Sehingga dapat disimpulkan bawa tidak

terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan pada remaja bila ditinjau dari

Page 73: Tes psikologi

73

jenis sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku

curang berdasarkan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah

remaja.

Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui interaksi antara tingkat

perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek secara umum,

dimana berdasarkan hasil analisis data diperoleh FA*B sebesar 0,851. Jika

dibandingkan dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka akan diperoleh nilai Ftabel

sebesar 3,048, sehingga dapat dilihat bahwa FA*B lebih kecil dibandingkan Ftabel

(0,851<3,048), maka hal ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan

antara tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek

terhadap perilaku curang subjek. Berdasarkan hal tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel tingkat perkembangan

penalaran moral dan jenis sekolah belum tentu turut memberikan perubahan

terhadap perilaku curang dalam melaksanakan UN.

Berdasarkan nilai rata-rata atau mean yang diperoleh dari masing-masing

kelompok penelitian menunjukkan bahwa terdapat mean yang berbeda. Adapun

mean subjek yang berada pada skema kepentingan pribadi yang berasal dari

sekolah umum adalah 23,667 dengan rerata perilaku curang yang berkisar

antara 5,313 sampai 42,021, sedangkan subjek yang berasal dari sekolah

agama memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 34,429 dengan rerata perilaku

curang yang berkisar antara 17,436 sampai 51,421. Bila kedua mean tersebut

dibandingkan maka terlihat bahwa subjek pada skema kepentingkan pribadi yang

berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah

dibandingkan dengan remaja pada skema yang sama namun berasal dari

sekolah agama.

Page 74: Tes psikologi

74

Adapun mean untuk subjek pada skema pertahanan norma yang berasal

dari sekolah umum adalah 31,202 dengan rerata perilaku curang berkisar antara

26,793 sampai 35,610. Sedangkan yang berasal dari sekolah agama memiliki

mean yang lebih kecil yaitu sebesar 25,632 dengan rerata perilaku curang antara

19,667 sampai 31,586. Bila kedua mean tersebut dibandingkan maka akan

terlihat bahwa subjek pada skema pertahanan norma yang berasal dari sekolah

umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek

pada skema yang sama namum berasal dari sekolah agama.

Adapun mean untuk subjek yang berada pada skema poskonvensional

yang berasal dari sekolah umum memiliki mean sebesar 67,000 dengan rerata

perilaku curang berkisar antara 35,210 sampai 98,790. Sedangkan yang berasal

dari sekolah agama memiliki mean sebesar 51,000 dengan rerata perilaku

curang berkisar antara 6,042 sampai dengan 95,958. Bila kedua mean tersebut

dibandingkan maka dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada skema

poskonvensional yang berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan

yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan subjek yang berasal dari sekolah

agama.

Sementara itu, dari data penelitian dapat juga diperoleh hasil analisis lain

yang cukup berhubungan dengan penelitian, diantaranya adalah melihat

perbedaan perkembangan penalaran moral remaja berdasarkan jenis sekolah

remaja. Dari analisis data diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan

perkembangan penalaran moral remaja yang signifikan berdasarkan jenis

sekolahnya (umum dan agama), dengan perolehan Fhitung 4,653. Jika

dibandingkan dengan Ftabel 3,895 maka dapat diketahui bahwa Fhitung lebih besar

dari Ftabel (4,653>3,895). Berdasarkan rata-rata tingkat perkembangan panalaran

Page 75: Tes psikologi

75

moral remaja, maka remaja dari sekolah umum memiliki rata-rata lebih rendah

yaitu 9,83 dibandingkan dengan remaja dari sekolah Agama yaitu 11,37.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral remaja yang bersekolah

di sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang bersekolah di

sekolah umum.

Peredaan perilaku curang remaja berdasarkan jenis kelamin, diperoleh

signifikansi 0,022 < 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan

tingat perlaku curang yang signfikan pada remaja berdasarkan jenis kelaminnya.

Dimana berdasarkan rata-rata diperoleh gambaran bahwa perilaku curang

remaja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan (34,06 >

26,12).

Analisis aitem dari skala perilaku curang menunjukkan bahwa terdapat

beberapa bentuk kecurangan yang dilakukan oleh sebagian besar subjek dalam

melaksanakan UN, diantaranya adalah menanyakan soal kepada teman dengan

kode soal yang sama yaitu 74%, memberikan bantuan jawaban kepada teman

dengan kode soal yang sama yaitu 71%, mencocokkan kode soal dengan teman

yang lain untuk saling membatu selama ujian yaitu 69%, membuat dan

menggunakan contekan rumus-rumus maupun kunci jawaban di kotak pensil

yaitu 69%, menerima jawaban dari teman melalui kertas kecil saat ujian

berlangsung 68%, memberikan contekan jawaban melalui kertas buram kepada

teman yaitu 65%, menerima contekan jawaban ujian melalui kertas buram dari

teman yaitu 62%, membawa kertas kecil berisi contekan ujian ke dalam ruang

ujian yaitu 62%, memperoleh jawaban ujian melalui sms 62%, membantu teman

dengan mengangkat lembar soal yang telah diberi tanda jawaban yaitu 60%,

menggunakan kertas kecil berisi contekan jawaban ujian saat ujian berlangsung

Page 76: Tes psikologi

76

yaitu 59%, menggunakan kunci jawaban saat ujian berlangsung yaitu 59%,

memperoleh kunci jawaban sebelum ujian berlangsung yaitu 58%, menggunakan

hp untuk memberikan jawaban ujian yaitu 57%, menggunakan hp untuk

menerima jawaban ujian yaitu 57%, menyalin jawaban ujian dari lembar jawaban

ujian teman yaitu 55% dan menciptakan kode-kode tertentu untuk memperoleh

jawaban ujian yaitu 52%.

D. Pembahasan

Perilaku curang dalam melaksanakan UN merupakan perilaku tidak jujur

yang berhubungan dengan pencapaian akademik, dimana terjadi kesalahan

individu dalam menggambarkan dan menampilkan pengetahuannya dengan cara

penipuan dan melanggar peraturan, menggunakan alat-alat, informasi-informasi

atau bahan pelajaran yang tidak sah untuk meningkatkan pecapaian akademik

dalam melaksanakan UN. Dari 177 remaja yang diteliti, 91% remaja melakukan

kecurangan mulai dari kategori rendah, sedang hingga tinggi. Sisanya yaitu 9%

diduga tidak melakukan kecurangan yang terlihat dari perolehan skor pada skala

perilaku curang remaja. Dalam menghadapi UN, 21 remaja atau 11,9% memiliki

tingkat kecurangan yang tinggi, sekitar 125 remaja atau 70,6% masuk kategori

sedang dan 31 remaja atau 17,5% memiliki tingkat kecurangan yang rendah.

Sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar perilaku curang

remaja masuk ke dalam kategori sedang. Sementara itu jika dihubungkan

dengan skema perkembangan penalaran moral Rest (dalam Rest, Narvaez,

Thoma, & Bebeau, 2000) maka diketahui bahwa 13 remaja atau 7,3% berada

pada kategori skema kepentingan pribadi, kemudian 161 remaja atau 91%

Page 77: Tes psikologi

77

berada pada kategori skema pertahanan norma dan 3 remaja atau 1,7% berada

pada kategori skema postkonvensional.

Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk melihat ada atau tidaknya

perbedaan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah atau

pendidikan terhadap perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan antara

perilaku curang remaja yang berada pada skema perkembangan penalaran

moral poskonvensional dengan remaja pada skema perkembangan penalaran

moral pertahanan norma maupun remaja yang berada pada skema

perkembangan penalaran moral kepentingan pribadi.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh West,

dkk. (2004), dimana hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang signifikan

antara perkembangan moral dengan perilaku curang, penelitian tersebut

mengungkapkan bahwa perkembangan moral dan kejujuran merupakan sesuatu

yang tidak berhubungan, namun tingginya tingkat kecurangan berhubungan

dengan rendahnya tingkat kejujuran. Bruggeman (1996) mengungkapkan bahwa

tingkat perkembangan moral tidak berhubungan dengan pilihan individu saat

menghadapi konflik moral yang terjadi. Hal ini didukung oleh Matarazzo, dkk.

(2008) seseorang akan menerapkan nilai-nilai moral jika dihadapkan pada situasi

yang yang tidak terlalu jauh dari fokus yang sedang mereka lakukan. Namun jika

situasi tersebut jauh dari fokus apa yang sedang mereka lakukan maka akan

terjadi pertimbangan untuk menerapkan nilai-nilai moral yang dianut.

Sebagian besar remaja dalam penelitian ini memiliki tingkat

perkembangan penalaran moral yang sedang atau berada pada skema

pertahanan norma, dimana remaja telah mampu untuk mengidentifikasi aturan-

Page 78: Tes psikologi

78

aturan dan peran dalam masyarakat, remaja cenderung lebih patuh tehadap

hukum, aturan dan keadilan serta tugas sosial. Penilaian baik, buruk, benar dan

salah harus memiliki aturan yang jelas dan berlaku bagi semua orang, aturan dan

normalah yang mengatur hubungan timbal balik dengan orang lain, kepatuhan

pada aturan, nilai dan norma di dalam masyarakat dilakukan semata-mata untuk

menghormati sistem sosial, belum masuk pada kesadaran diri untuk mematuhi

aturan yang berlaku di dalam masyarakat seperti pada tahap pascakonvensional

Kohlberg maupun Rest (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000).

Selain itu, remaja pada skema pertahanan norma masuk pada tahap

penalaran konvensional yang dikembangkan oleh Kohlberg (dalam Ormrod,

2008). Perkembangan konvensional biasanya ditemukan pada segelintir siswa

SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP dan banyak siswa SMA. Menurut Kohlberg

(dalam Slavin, 2011) pada tingkat ini individu dalam menjalankan kehidupan

bermasyarakat akan mematuhi beberapa standar tertentu, tetapi standar tersebut

merupakan standar orang lain atau standar yang berlaku dalam masyarakat.

Individu pada tingkat perkembangan penalaran moral ini lebih mementingkan

kebutuhan kelompok, harapan keluarga, dan bangsa. Individu tidak lagi hanya

menghindari apa yang mengakibatkan mereka dihukum atau melakukan apa

yang membuat mereka merasa bahagia, akan tetapi mereka telah mulai

mempertimbangan standar-standar orang lain di luar dirinya sendiri. Peraturan

dan hukum masyarakat menggantikan peraturan dan hukum kelompok sebaya.

Menyadari hal tersebut, jika dihadapkan pada dilema moral dalam

kehidupan yang sebenarnya maka penalaran moral yang tinggi belum tentu

dapat diterapkan dalam tingkah laku yang sesuai dengan pertimbangan moral

remaja, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral

Page 79: Tes psikologi

79

merupakan faktor yang penting dalam membuat keputusan moral, namun jika

terjadi interaksi dengan faktor lain yang lebih komplit maka tidak ada jaminan

bahwa remaja akan tetap mempergunakan pertimbangan moralnya dalam

berperilaku. Sehingga tinggi, sedang atau rendahnya tingkat perkembangan

penalaran moral remaja belum tentu akan berpengaruh terhadap tindakan yang

akan diambilnya. Hal senada ditigaskan oleh Atkinson (dalam Azizah, 2006) yang

mengungkapkan bahwa individu mengetahui bagaimana sebaiknya bertindak

tetapi mungkin tidak melakukannya jika ada kepentingan lain yang ikut terlibat.

Duriez dan Soenens (dalam Marquette, 2010) menjelaskan bahwa

tindakan moral merupakan hasil dari setidaknya empat komponen proses,

diantaranya yaitu mengidentifkasi situasi sebagai masalah moral, kemudian

mencari tahu apa yang harus dilakukan dan mengevaluasi kemungkinan rencana

dan tindakan, mengevaluasi bagaimana tindakan akan memenuhi nilai-nilai

moral dan non moral dan memutuskan tindakan yang akan ditempuh dan yang

terakhir adalah melaksanakannya dalam sebuah tindakan. Menyadari hal ini,

maka akan ada sebagian individu yang mengandalkan penalaran berdasarkan

asas keadilan, keuntungan, norma sosial ataupun prinsip agama sebelum

melaksanakannya dalam bentuk tindakan, sehingga tindakan akan selalu sejalan

dengan asas yang digunakan oleh individu untuk menalar situasi sosial dan

terkadang tindakan moral dapat tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh

masyarakat.

Dalam situasi menghadapi UN fokus remaja adalah mampu

menyelesaikan ujian dengan sebaik-baiknya dan lulus sesuai dengan harapan

remaja dan harapan pihak-pihak diluar diri remaja, seperti pihak keluarga,

sekolah dan masyarakat. Karena Jika situasi tidak memberikan kemudahan bagi

Page 80: Tes psikologi

80

remaja dalam hal pencapaian kelulusan yang ingin diraih, maka remaja dapat

tidak menerapkan nilai-nilai moral yang mereka anut dalam sebuah bentuk

perilaku moral atau bisa jadi asas yang dipergunakan oleh remaja dalam

menghadapi dilema sosial dan moral yang terjadi mempergunakan asas

kepentingan, bukan asas keadilan, norma sosial maupun prinsip agama

sehingga tidak mengherankan, walaupun tingkat perkembangan moral remaja

tergolong sedang sampai tinggi, kecurangan saat melaksanakan UN masih

terjadi. Seperti halnya dalam kasus perilaku curang saat melaksanakan UN, jika

diperhatikan sebagaian besar remaja memiliki kemungkinan untuk membuat

keputusan moral sesuai dengan pertimbangan penalaran moral yang dimilikinya,

namun kenyataannya dilapangan tidak seperti itu, karena hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang pada remaja, baik

yang memiliki tingkat perkembangan penalaran moral tinggi, sedang maupun

rendah.

Selain melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan tingkat

perkembangan penalaran moral remaja, penelitian ini juga ingin mengetahui

apakah terdapat perbedaan perilaku curang berdasarkan jenis sekolah remaja.

Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan

(2005) menunjukkan bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa

dipengaruhi oleh pendidikan yang mereka ikuti, dimana siswa yang mengikut

kursus berbasis keagamaan memiliki tingat kecurangan yang lebih rendah

dibandingkan dengan siswa yang mengikuti kursus berbasis umum. Demikian

juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bloodgood, dkk. (2008) dimana

subjek yang memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti

serangkaian doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat

Page 81: Tes psikologi

81

kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak, namun

hasil analisis data dari penelitian ini tidak sejalan dengan kedua penelitian

tersebut.

Walaupun secara umum terdapat perbedaan perkembangan penalaran

moral antara remaja yang bersekolah di sekolah umum (SMA dan SMK) dengan

remaja yang bersekolah di sekolah agama (MA) dimana dari nilai rata-ratanya

menunjukkan bahwa perkembangan penalaran moral remaja yang berasal dari

sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dari sekolah umum,

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang

antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang

bersekolah di sekolah agama. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang

telah dilakukan oleh Godfrey dan Waugh (1998) dimana hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara siswa dari

sekolah agama dengan siswa dari sekolah umum, baik melalui pengetahuan

tentang perilaku curang maupun teknik yang dipakai dalam melakukan

kecurangan. Penelitian yang dilakukan oleh Bruggeman (1996) juga

menunjukkan hal yang sama, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang

antara siswa dari sekolah umum dengan siswa dari sekolah agama.

Perbedaan yang paling mendasar antara pendidikan yang diterima oleh

remaja di sekolah umum dengan sekolah agama terletak pada mata pelajaran

keagamaannya. Tujuan dari mata pelajaran keagamaan adalah untuk

peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berakhlak mulia, menjadi manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah,

Page 82: Tes psikologi

82

cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi serta mampu menjaga

keharmonisan secara personal dan sosial.

Tidak terdapatnya perbedaan perilaku curang antara remaja dari sekolah

agama dengan remaja dari sekolah umum menjelaskan bahwa kualitas pelajaran

agama yang benar-benar mengajarkan remaja untuk berlaku jujur dan etis di

sekolah umum dan agama tidak jauh berbeda. Memang benar bahwa mata

pelajaran keagamaan sekolah agama lebih banyak dibandingkan dengan

sekolah umum, yaitu sekitar 6-14 jam perminggu, namun jika dilihat dari silabus

masing-masing mata pelajaran keagamaan tersebut dapat diketahui bahwa mata

pelajaran yang berhubungan dengan perilaku jujur dan etis hanya terdapat dalam

satu mata pelajaran dengan alokasi waktu 2 jam permingu yaitu pada mata

pelajaran Akidah Akhlak.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan yang

diperoleh remaja di sekolah umum yang berhubungan dengan jujur dan perilaku

etis yang dibutuhkan saat melaksanakan UN sama saja dengan sekolah agama.

Sehingga tidak mengherankan jika tidak terdapat perbedaan perilaku curang

antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang

bersekolah di sekolah agama. Ditambah lagi, bahwa selama ini pendidikan

agama dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini baru sampai kepada tahap

pengalihan pengetahuan atau baru menyentuh ranah kognitif remaja, hal ini

terlihat dari kemampuan remaja dalam mengaplikasikan pendidikan agama yang

diperolehnya ke dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan tatanan agama dan

masyarakat yang berlaku seperti kejujuran (Harsa, 2008). Adanya pihak yang ikut

membantu remaja dalam melakukan kecurangan dalam melaksanakan UN juga

bisa menjadi penyebab idak berbedanya perilaku curang antara remaja yang

Page 83: Tes psikologi

83

berasal dari sekolah agama dengan remaja yang berasal dari sekolah umum,

seperti keterlibatan guru, pihak sekolah dan pemerintah daerah yang menjadikan

kecurangan tersusun secara sistematis.

Secara terpisah, tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara variabel

tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah remaja. Demikian

juga ketika kedua variabel tersebut secara bersama-sama berusaha

menjelasakan perbedaan perilaku curang antara variabel tingkat perkembangan

penalaran moral dengan jenis sekolah remaja, hasil analisis variansi faktorial

menunjukkan bahwa perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN secara

bersama-sama tidak tergantung pada tingkat perkembangan penalaran moral

dan jenis sekolah remaja.

Tidak terdapatnya perbedaan antara tingkat perkembangan penalaran

moral dan jenis sekolah dengan perilaku curang mungkin disebabkan oleh

alasan kenapa remaja melakukan kecurangan itu sendiri, seperti yang diketahui

bahwa UN merupakan penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk menilai

pencapaian kompetesi lulusan secara nasonal pada mata pelajaran tertentu

dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari UN tersebut berguna

sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan pendidikan,

dasar seleksi masuk jenjang pedidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta

didik dari program atau satuan pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian

bantuan kepada satuan pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat besarnya peran

dari hasil Ujian Nasional tersebut bagi remaja, terlebih lagi pada poin kedua dan

ketiga yaitu sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan

penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan, maka

praktek kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional tidak terhindarkan lagi.

Page 84: Tes psikologi

84

Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari 162 remaja yang melakukan

kecurangan. Sebanyak 157 remaja atau 97% mengungkapkan bahwa mereka

terpaksa melakukan kecurangan saat UN karena takut tidak akan lulus dalam

UN, yang dapat disimpulkan bahwa remaja harus lulus dalam UN bagaimanapun

caranya. Sementara itu sisnya yaitu 5 remaja atau 3% melakukan kecurangan

untuk memperoleh nilai tinggi.

Sekarang ini hasil ujian yang diperoleh oleh remaja terlihat sebagai

gambaran sempurna untuk menilai dan mengetahui sebarapa baik remaja di

sekolah. Pada masa remaja, individu membutuhkan pengakuan akan

kemampuannya baik dari teman sebaya, keluarga ataupun masyakarat secara

luas, tidak ada manusia yang ingin mengalami kegagalan, menyadari hal

tersebut maka sebagian besar remaja akan melakukan berbagai usaha agar

terhindar dari kegagalan tersebut (Kaufman, 2008).

Tidak semua remaja yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, banyak

yang memiliki kemampuan belajar yang tidak cukup baik dan ketika dituntut

untuk mencapai sesuatu dengan standar yang sulit untuk dicapai, maka remaja

menilai bahwa perilaku curang merupakan salah satu jalan keluar yang dapat

dimaklumi. Sehingga tidak mengeherankan jika perilaku curang dianggap

sebagai cara yang efisien untuk memperoleh nilai yang yang diharapkan

(Bouville, 2010). Peran dari ujian nasional yang masih cukup besar membuat

remaja tidak memiliki pilihan lain, jika ingin menyelesaikan program pendidikan

dari satu satuan pendidikan atau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang

selanjutnya dan memperoleh nilai yang memuaskan maka lulus menjadi sebuah

kewajiban. Sehingga nilai-nilai moral dan agama yang dipelajari oleh remaja

Page 85: Tes psikologi

85

disekolah tidak cukup mampu membuat siswa melaksanakan ujian dengan jujur,

hal ini terbukti dari tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah motivasi remaja, karena

motivasi merujuk kepada alasan tertentu mengapa sesuatu dilakukan

(Djiwandono, 2006). Motivasi untuk lulus merupakan salah satu hal yang

mempengaruhi perilaku curang remaja (Whitley, 1998). Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Anderman (dalam Rettinger & Kramer, 2009) remaja yang

mementingkan kelulusan atau nilai dan memiliki orientasi untuk lulus tinggi, lebih

memilih untuk melakukan berbagai bentuk kecurangan daripada harus gagal

dalam ujian, walaupun telah ada aturan dan sanksi jelas yang mengatur

pelaksanaan ujian nasional.

Pada penelitian ini, selain variabel tingkat perkembangan penalaran moral

dan jenis sekolah masih terdapat beberapa faktor lain yang mendasari terjadinya

praktek kecurangan, faktor jenis kelamin misalnya, dalam penelitian ini penulis

menemukan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan tingkat

kecurangan remaja. Dilihat dari rata-rata perilaku curang, laki-laki memiliki tingkat

kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Wideman (2008). Menurut Ward dan Beck

(1989) hal ini terjadi karena perempuan secara umum lebih mematuhi peraturan

sosial.

Ujian Nasional akan menjadi agenda rutin setiap akhir tahun pelajaran,

maka selain melihat perilaku curang dari tingkat perkembangan penalaran moral

dan jenis sekolah, dan kemudian disadari bahwa tidak terdapat perbedaan

perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis

sekolah remaja, untuk itulah sangat penting melihat dan mengetahui bahwa

Page 86: Tes psikologi

86

masih banyak faktor personal maupun situasional yang akan mempengaruhi

tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN, seperti efikasi diri, kontrol

diri, strategi koping, norma sosial, teman sebaya dan lain sebagainya.

Page 87: Tes psikologi

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

perbedaan perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan

jenis pendidikan remaja. Terdapat perbedaan perkembangan penalaran moral

antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang

bersekolah di sekolah agama, dimana remaja dari sekolah agama memiliki

perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi dibanding remaja dari sekolah

umum. Terdapat perbedaan perilaku curang antara remaja laki-laki dengan

remaja perempuan, dimana remaja laki-laki memiliki tingkat kecurangan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. Bentuk kecurangan yang

paling banyak dilakukan oleh remaja saat melaksanakan UN adalah

menanyakan dan membirikan bantuan kepada teman yang memiliki kode soal

yang sama, kemudian membuat dan menggunakan contekan yang berisi kunci

jawaban saat ujian berlangsung, menggunakan hp untuk saling membantu dalam

ujian, menyalin jawaban teman dan menciptakan kode-kode tertentu untuk saling

membantu saat UN berlangsung.

Saran

Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan kesimpulan pada penelitian

ini maka saran yang dapat diajukan adalah:

1. Bagi sekolah

a. Hendaknya pihak sekolah dapat meningkatkan pembinaan dan

pengembangan pendidikan moral khususnya pada perilaku jujur dan

etis terutama pada remaja yang berasal dari sekolah umum, karena

Page 88: Tes psikologi

88

berdasarkan hasil penelitian, tingkat perkembangan penalaran moral

remaja dari sekolah umum lebih rendah jika dibandingkan dengan

remaja dari sekolah agama, sementara itu rata-rata skor perilaku

curang saat UN lebih tinggi dibandingkan remaja dari sekolah agama.

b. Meningkatkan pengawasan saat melaksanakan UN, karena

kecurangan yang banyak dilakukan oleh remaja terjadi saat ujian

tengah berlangsung.

2. Bagi peneliti selanjutnya.

Penelitian ini hanya meneliti sebatas pada perbedaan tingkat

perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada perilaku curang

remaja dalam melaksanakan UN. Oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya

diharapkan dapat megembangkan lagi penelitian ini, terutama pada aspek

motivasi remaja ketika melakukan kecurangan dalam UN. Serta faktor lain

yang mempengaruhi perilaku curang remaja.

Page 89: Tes psikologi

89

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, N. (2006). Perilaku moral dan religiusitas siswa berlatar belakang

pendidikan umum dan agama. Jurnal Psikologi, 33(2), 94-109.

Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. (2010). Tes prestasi edisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bernardi, R. A., Metzger, R. L., Bruno, R. G., Hoogkamp, M. A., Reyes, L. E., &

Barnaby, G. H. (2004). Examining the decision process of students’ cheating behavior: An empirical study. Journal of Business Ethics, 50, 397-414.

Bloodgood, J. M., Turnley, W. H., & Mudrack, P. (2008). The influence of ethics

instruction, religiosity, and intelligence on cheating behavior. Journal of

Business Ethics, 82, 557-571.

Bouville. (2010). Why is cheating wrong? Journal Study Philosophize Education,

29, 67-76.

Bruggeman, E. L. (1996). Cheating, lying, and moral reasning by religious and

secular high school students. Journal of Education Research, 89(6), 340-

344.

BSNP. (2006). Standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA/MA. Diunduh

pada tanggal 11 Januari 2012 dari http://www.bsnp.go.id.

_____. (2010). Raih prestasi dengan kejujuran, 5. Diunduh pada tanggal 11 Januari 2012 dari www.bsnp.go.id.

_____. (2012). Prosedur operasi standar ujian nasional 2011/2012. Diunduh

pada tanggal 29 Maret 2012 dari http://www.bsnp.go.id. Burdjani, A. S. (2005). Tantangan pendidikan agama Islam dalam era globalisasi.

Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 3, 21-32.

Carter, S. L. & Carter, N. M. (2001). Acceptability of treatments for cheating in the

college classroom. Journal of Instructional Psychology, 33(33), 212-216.

Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi. (Dictionary of psychology). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Crain, W. (2007). Teori perkembangan konsep dan aplikasi (Theories of

development, concepts and applications third edition). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

.

Page 90: Tes psikologi

90

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Panduan belajar ke sekolah menengah umum tingkat atas (SMA). Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Djiwandono, S. E. W. (2006). Psikologi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta:

Grasindo. Drajat, Z. (1992). Ilmu pendidikan islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Farodlilah. (2012). Soal UN terbukti bocor. Diunduh pada tanggal 2 September

2012 dari http://www.antikorupsi.org/new/index.

Firdaus, A., Ridwan, M., Andrian, A., & Rafiqi. (2008). Upaya meningkatkan

akhlak dan kepribadian melalui pemahaman pendidikan agama. Jurnal

Pengabdian pada Masyarakat, 46, 28-32.

Fitria. (2000). Hubungan antara identitas diri dan perkembangan kepercayaan eksistensial dengan tingkat perkembangan penalaran moral remaja di Kodya Padang. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Godfrey, J. R. & Waugh, R. F. (1998). The perceptions of students from religious

schools about academic dishonest. Issues in Education Research, 8(2),

95-116.

Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan sekolah. Jakarta: Gunung Mulia.

Hamushek, A. E. & Woessmann, L. (2007). The role of education quality in

economic growth. Public Disclosure Authorized. World Bank Polycy Research Working Paper, 4, 122.

Harsa, T. (2008). Peran pendidikan dalam mengatasi krisis akhlak. Jurnal

Edukasi, 4(1), 45-56.

Husairi, E. (2007). Kejenuhan belajar siswa dalam proses pembelajaran

pendidikan agama Islam. Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 5(8),

107-120.

Ihsan, F. (2003). Dasar-dasar kependidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Jogiyanto. (2008). Pedoman survei skala: Mengembangkan skala, mengatasi

bias dan meningkatkan respon. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Jordan, A. E. (2001). College student cheating: The role of motivation, perceived

norms, attitudes, and knowledge of instituonal policy. Journal Ethics and Behavior, 11(3), 233-247.

Page 91: Tes psikologi

91

Kaufman, H. E. (2008). Moral and ethical issues related to academic dishonesty

on college campuses. Journal of College and Character, 9(5), 1-6.

Kementrian Agama. (2012). Pengertian dan karakteristik madrasah. Diunduh

pada taggal 2 Maret 2012 dari

http://madrasah.kemenag.go.id/detail38.html.

Kementrian Agama bidang Pendidikan Islam. Visi dan misi ditjen pendidikan

Islam. Diunduh pada tanggal 2 Maret 2012 dari http://www.pendis.kemenag.go.id.

Krismani, D. Y. (2008). Perilaku menyontek remaja ditinjau dari kepatuhan

kepada kelompok dan rasa bersalah. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Latief, M. (25 April, 2009). Lihat, mereka bebas “nyontek” pakai hp!. Diunduh

pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (19 April, 2011). SMS kunci jawaban terus beredar. Diunduh pada

tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (18 April, 2011). SMS kunci jawaban terus beredar. Diunduh pada

tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. . (21 April, 2011). Banyak sekolah membiarkan kecurangan. Diunduh

pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. _ . (25 April, 2011). Dibeberkan, parahnya kecurangan un sma!. Diunduh

pada tanggal 14 Juli, 2011 dari www.kompas.com. Lee, D. E. (2009). Cheating in the classroom: Beyond policing. Heldref

Publication, 82(4), 171-174.

Leming, J. S. (2001). Cheating behavior, situational influence, and moral

development. The Journal of Education Research, 214-217. Marquette, H. (2010). Corruption, religion, and moral development. Working

Paper, 42, 1-30. Martani, W. (1995). Perkembangan penalaran moral pada remaja yang berbeda

latar belakang budaya. Jurnal Psikologi, 2, 14-20.

Matarazzo, O., Abbamonte, L., & Nigro, G. A. (2008). Moral reasoning and

behaviour in adulthood. Journal Engineering and Technology, 34, 667-

674.

McCabe, D. L., Trevino, L. K., & Butterfield, K. D. (2001). Cheating in academic

institutions: Decade of research. Journal Ethics and Behavior, 11(3), 219-

232.

Page 92: Tes psikologi

92

Metrotv. (2 Mei, 2012). Mata najwa: Ujian penghabisan. Diunduh tanggal 28 Juni 2012 dari http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/05/02/12424/308/Ujian-Penghabisan.

Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1998). Psikologi

perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Murdock, T. B., Beauchamp, A. S., & Hinton, A. M. (2008). Predictors of cheating

and cheating attributions: Does classroom context influence cheating and

blame for cheating? European Journal of Psychology of Education, 23(4),

477-492.

Muslimin, Z. I. (2005). Penalaran moral siswa ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan tingkat pendidikan orang tua. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Olanrewaju, A. S. (2010). Correlation between academic cheating behavior and

achievement motivation. Journal of Nature and Science, 8(12), 130-134. Ormrod, J. E. (2008). Psikologi pendidikan edisi keenam (Educational Psycholog

6th edition). Jakarta: Erlangga. Pardamean, T. (2011). Sebuah tinjauan pemikiran terhadap madrasah aliyah

negeri (Case study: Sumatera utara). Diunduh pada tanggal 14 Maret 2012 dari http://madrasah.kemenag.go.id.

Paxton, J. M. & Greene, J. D. (2010). Moral reasoning: Hints and allegations.

Journal of Topics in Cognitive Science, 511-527.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59

tahun 2011. Diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 dari

http://subkioke.files.wordpress.com/2011/12/permen-no-59-tahun-2011-

ttg-un.pdf.

Raaijmakers, Q. & Hoof, A. V. (2006). Does moral reasoning repesent sociomoral

structure or political ideology? A further exploration of the relations

between moral reasoning, political attitudes, consistency of moral thought,

and the evaluation of human right in dutch young adults. Social Behavior

and Personality, 34(6), 617-638.

Rest, J. R. (1979). Development in judging moral issues. Minneapolis: University

of Minnesota Press.

Rest, J. R., Narvaez, D., & Thoma, S. J. (1999). Defining issue test 2: Devising

and testing a revised instrument of moral judgment. Journal of

Educational Psychology, 91(4), 644-659.

Page 93: Tes psikologi

93

Rest, J. R., Narvaez, D., Thoma, S. J., & Bebeau, M. J. (2000). A neo-

kohlbergian approach to morality research. Journal of Moral Educaton, 29,

381-396.

Rettinger, D. A. & Jordan, A. E. (2005). The relations among religion, motivation,

and college cheating: A natural experiment. Journal Ethics and Behavior,

15(2), 107-129.

Rettinger, D. A. & Kramer, Y. (2009). Situational and personal cause of student cheating. Journal of Rest High Education, 50, 293-313.

Rice, P., Dolgin., & Gale, K. (2008). The adolescent: Development, relationships,

and culture. U.S.A: Pearson Rohman, A. (2001). Kebijakan pendidikan. Naskah Penelitian (Tidak diterbitkan).

Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Santrock, J. W. (2003). Adolescence perkembangan remaja (Adolescence, 6th

ed). Jakarta: Erlangga.

Saulsbury, M. D., Brown, U. J., Heyliger, S. O., & Beale, R. L. (2011). Effect of Dispositianal traits on pharmacy students’ attitude toward cheating. American Journal of Pharmaceutical Education, 75(4), 1-7.

Semerci, C. (2006). The Options of medicine faculty students regarding cheating

in relation to kohlberg’s moral development concept. Journal Social Behavior and Personality, 34(1), 41-50.

Setiawan. (2010). Mengejar nilai, bukan memanfaatkannya. Diunduh pada

tanggal 11 Juli 2011 dari http://www.kompas.com. Slavin, R. E. (2011). Psikologi pendidikan teori dan praktik edisi kesembilan

(Educational psychology: Theory and practice, 9th ed). Jakarta: Indeks.

Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia. Sudjana, N. (1994). Konvensi nasional pendidikan Indonesia II. Jakarta: Rineka

Cipta. Sukamto. (1988). Perencanaan dan pengembangan kurikulum pendidikan

teknologi dan kejuruan. Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat jenderal pendidikan tinggi, proyek pengembangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Jakarta.

Sunarto & Hartono, A. (2006). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Grasindo. Suryabrata, S. (2010). Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 94: Tes psikologi

94

Tas, Y. & Tekkaya, C. (2010). Personal and contextual factors associated with

students’ cheating in science. The Journal of Experimental Education, 7,

440-463.

Tayfun, A. (2009). Is there a relationship between grade average point and students’ perception with regard to cheating factors. Journal of Commerce and Tourism Education, 49, 191-204.

Teodorescu, D. & Andrei, T. (2009). Faculty and peer influences on academic

integrity: College cheating in Romania. Journal High Education, 57, 267-282.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem pendidikan

nasional. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012 dari http://www.inherent-

dikti.net/files/sisdiknas.pdf.

Vinski, E. J. & Tryon, G. S. (2009). Study of a cognitive dissonance intervention to address high school students’ cheating attitudes and behaviors. Journal Ethics and Behavior, 19(3), 218-226.

Walizer, M. H. & Wienir, P. L. (1991). Metode dan analisis penelitian mencari

hubungan (Research methods and analysis: Searching for relationship).

Jakarta: Erlangga.

Ward, D. A. & Beck, W. L. (1989). Gender and dishonesty. Journal of Social

Psychology, 130(3), 333-339.

Wardani, I. (1998). Tingkat perkembangan penalaran moral remaja di sekolah

koedukasi dan non-koedukasi. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

West, T., Ravenscroft, S. P., & Shrader, C. B. (2004). Cheating and moral

judgment in the college classroom: A natural experiment. Journal of

Business Ethics, 54, 173-183.

White, F. A. & Matawie, K. M. (2004). Parental morality and family processes as predictors of adolescent morality. Journal of Child and Family Studies, 13(2), 219-233.

Whitley, B. E. Jr. (1998). Factors associated with cheating among college

students: A review. Journal Research in Higher Education, 39(3), 235-274.

Whitley, B. E. Jr. & Spiegel, P. K. (2002). Academic dishonesty an educator’s

guide. London: Lawrence Erlabum Assicates.

Wideman, M. A. (2008). Academic dishonesty in postsecondary education: A

literature review. Journal Teaching and Learning, 2, 1-12.

Page 95: Tes psikologi

95

Widiastono & Tonny, D. (2004). Pendidikan manusia Indonesia. Jakarta: Kompas

Media Nusantara.

Williams, K. M., Nathanson, C., & Paulhus, D. L. (2010). Identifying and profiling

scholastic cheaters: Their personality, cognitive ability, and motivation.

Journal of Experimental Psychology, 16(3), 293–307.

Winarsunu, T. (2007). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan.

Malang: UMM Press.

Yardley, J., Rodriguez, M. D., & Bates, S. (2009). True confessions: Alumni’s retrospective reports on undergraduate cheating behaviors. Journal of Ethics and Behavior, 19(1), 1-14.

Zande, P. V. D., Bekelmans, M., Vermunt, J. D,. & Waarlo, A. J. (2009). Moral

reasoning in genetics education. Educational Research, 44(1), 31-36.

Zuhaerini. (1983). Metodik khusus pendidikan agama. Surabaya: Usaha Nasional.

Page 96: Tes psikologi

96

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 97: Tes psikologi

97

LAMPIRAN I

PERNYATAAN KESEDIAAN BERPARTISIPASI DALAM PROSES PENELITIAN

Sehubungan dengan kegiatan penelitian tesis yang diselenggarakan oleh

mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), maka

mahasiswa bernama :

Nama : Elmiyanti

Nim : 10/305634/PPS/02164

Melakukan kegiatan penelitian terhadap partisipan :

Inisial* :

Jenis Kelamin :

Usia :

Pendidikan Menengah Atas : SMA SMK MA

Lainnya________

Jurusan saat SMA/SMK/MA : IPA IPS Bahasa Keagamaan

Teknik ____________

Lainnya ___________

Dalam kegiatan penelitian ini, mahasiswa Magister Sains Psikologi akan

MENJAMIN KERAHASIAAN jawaban yang diberikan oleh partisipan. Setelah

membaca penjelasan ini, maka saya menyatakan bersedia berpartisipasi dalam

proses penelitian ini.

Padang, 2012

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Partisipan

(Elmiyanti, S.Psi.I) *( )

* Nama/Inisial boleh tidak dicantumkan

Page 98: Tes psikologi

98

LAMPIRAN II

(SKALA DIT-REST)

PETUNJUK PENGISIAN

Dalam angket ini terdapat beberapa cerita tentang masalah-masalah sosial. Pada

setiap akhir cerita, saudara diminta untuk memberikan pendapat tentang masalah-

masalah tersebut.

Langkah-langkah pengisian angket adalah sebagai berikut:

1. Bacalah baik-baik setiap cerita yang disajikan

2. Di bawah setiap cerita ada satu pertanyaan yang diajukan, dan ada 3

kemungkinan dianggap paling sesuai dengan pendapat saudara dengan

memberikan tanda cheklist disebelahnya pada lembar jawaban yang telah

disediakan.

3. Setiap cerita disertai dengan 12 pernyataan yang merupakan pertimbangan-

pertimbangan. Tugas saudara adalah mengemukakan seberapa besar

pentingnya pernyataan itu menurut pertimbangan saudara. Nyatakan pendapat

saudara tentang masing-masing pernyataan dengan memilih tanda-tanda yang

tersedia pada kolom disebelah kanan, setiap pernyataan diberi tanda check. Arti

tanda-tanda tersebut adalah:

ASP = Amat sangat Penting

SP = Sangat Penting

P = Penting

KP = Kurang penting

TP = Tidak penting

4. Sesudah menyatakan pendapat anda pada masing-masing pernyataan, pilih

empat pernyataan yang dianggap penting, kemudian buatlah peringkat (ranking)

dari empat pernyataan saudara.

Page 99: Tes psikologi

99

CONTOH CERITA

Pak Joyo ingin membeli sebuah mobil. Ia sudah bekeluarga, mempunyai dua

anak kecil dan mempunyai gaji yang cukup. Mobil yang akan dibelinya merupakan satu-

satunya mobil bagi keluarga Pak Joyo. Rencananya mobil itu akan digunakan untuk pergi

bekerja, dan mengantar anak-anak dan isteri berbelanja atau sekali-sekali

berdarmawisata. Sebelum memutuskan mobil apa yang akan dibeli, Pak Joyo menyadari

bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.

Andaikata saudara adalah Pak Joyo, apa saja yang menjadi bahan pertimbangan

saudara sebelum memutuskan untuk membeli sebuah mobil?

Pertimbangan-pertimbangan:

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Penjual mobilnya harus tetangga Pak Joyo (berarti pernyataan ini dianggp sebagai sesuatu yang tidak penting)

2 Membeli mobil bekas lebih ekonomis daripada membeli mobil baru

3 Warna mobilnya hijau, yang juga merupakan warna kesayangan bagi Pak Joyo

4 Mesinnya bagus, mudah perawatannya dan irit bahan bakar

5 Penampilan bentuk mobilnya harus menarik

(Kalau ada pernyataan aneh dan tidak masuk akal, dan terasa janggal bagi saudara,

berikan saja tanda cheklist di kolom “TP” atau Tidak Penting).

Selanjutnya pilih empat pernyataan yang menurut saudara merupakan yang terpenting,

tuliskan nomor pernyataan yang dipilih di tempat yang disediakan dan tulis menurut

besarnya kepentingan (berdasarkan urutan kepentingan)

Paling penting I = 2 II = 4 III =3 IV = 5

catatan: Pemilihan 4 yang terpenting ini, disesuaikan dengan pernyataan di atas dan

sesuai dengan tanda-tanda yang sudah dipilih berdasarkan tingkat kepentingannya.

Page 100: Tes psikologi

100

CERITA I

Seorang wanita hampir meninggal karena menderita penyakit kanker. Ada

sesuatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya, obat itu berupa radium

yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota itu. Biaya penelitian dan

penemuan obat itu mahal, menghabiskan sekitar Rp 200.000,- . Si apoteker bermaksud

menjualnya dengan harga Rp 2.000.000,- untuk setiap dosis kecil obat tersebut.

Hendro, suami wanita yang sedang sakit tersebut mendatangi setiap kenalannya

untuk meminjam uang untuk membeli obat, dan berhasil mengumpulkan uang sebesar

Rp. 1.000.000,- . Hendro datang ke tempat apoteker dan mengatakan bahwa isterinya

hampir meninggal karenanya ia mau membeli obat dan sekaligus meminta kepada

apoteker untuk menjual obatnya dengan harga yang lebih murah atau ia boleh

membayarnya kemudian. Tetapi apoteker berkata: “Jangan begitu, sayalah yang

menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan keuntungan juga dari penemuan

tersebut. Hendro menjadi putus harapan dan berpikir untuk mengambil sedikit obat dari

toko tersebut agar dapat menyelamatkan isterinya.

Apakah Hendro akan mencuri obat tersebut?

(Pilihlah salah satu kemungkinan di bawah ini dengan memberikan tanda cheklist

disampingnya)

___ Ya, Hendro akan mencuri obat tersebut

___ Tidak dapat memutuskan

___ Tidak, Hendro tidak akan mencuri obat tersebut.

Pertimbangan-pertimbangan

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Bagaimanapun hukum masyarakat akan

dijunjung tinggi.

2 Adalah suatu hal yang wajar kalau suami begitu

cinta kepada istrinya dan berusaha untuk

kesembuhan isterinya walaupun untuk itu harus

mencuri.

3 Hendro berpikir bahwa ia dapat ditembak

sebagai seorang perampok atau dipenjara

karena mencuri obat.

4 Hendro adalah orang yang suka berkelahi, atau

pertimbangannya dipengaruhi oleh orang yang

suka berkelahi.

5 Hendro mencuri obat untuk kepentingan dirinya

sendiri atau untuk menolong orang lain.

Page 101: Tes psikologi

101

ASP SP P KP TP

6 Bagaimanapun si apoteker berhak atas karya

penemuannya dan ini harus dihargai.

7 Hakikatnya hidup tidak sekedar kematian,

individu dan masyarakat.

8 Seharusnya ada nilai-nilai yang digunakan

sebagai dasar untuk mengatur bagaimana

seharusnya masyarakat bertindak.

9 Apoteker dapat bersembunyi dibalik hukum

penghargaan yang sebenarnya hanya

melindungi orang kaya.

10 Dalam kasus ini hukum merupakan cara yang

paling sesuai dengan tuntutan dasar setiap

anggota masyarakat.

11 Sudah sepantasnya kalau apoteker dirampok

karena kejam dan tamak.

12 Tindakan mencuri dalam kasus ini akan

berpengaruh baik bagi masyarakat.

Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut

saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara

merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada

tempat di bawah ini.

Yang paling penting: I= II= III= IV=

Page 102: Tes psikologi

102

CERITA II

Seorang laki-laki dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Tetapi berjalan 1

tahun ia sudah melarikan diri dari penjara, dan pergi ke daerah yang jauh, dan mengganti

namanya menjadi Tomo. Selama 8 tahun hidup di daerah baru ini ia bekerja keras, dan

menyisihkan sedikit-demi sedikit penghasilannya untuk ditabung sebagai modal kerja, ia

berdagang dan menggaji pegawainya dengan upah yang cukup pantas, serta

memberikan sebagian dari keuntungannya untuk amal. Pada suatu hari datang seorang

pembeli bernama Nyonya Yunus yang merupakan tetangga pak Tomo dulu, dia

mengenali Pak Tomo sebagai seorang yang melarikan diri dari penjara 8 tahun yang lalu

dan sampai sekarang masih dicari polisi.

Apakah Nyonya Yunus akan melaporkan keadaan itu, sehingga Pak Tomo bisa dikirim

kembali ke penjara?

___Pak Tomo akan dilaporkan ke Polisi

___Tidak dapat memutuskan

___Pak Tomo tidak akan dilaporkan

Pertimbangan-pertimbangan:

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Pak Tomo telah menjadi orang biak-baik dan itu

sudah dibuktikannya dalam waktu yang cukup

lama

2 Seorang yang melarikan diri dari hukuman

karena perbuatan kriminalnya, apakah tidak

akan terdorong untuk melakukan tindakan

kriminal lagi.

3 Lebik baik memutuskan hubungan, tanpa

merasa mendapat beban hukum.

4 Pak Tomo benar-benar telah membayar

hutangnya kepada masyarakat

5 Masyarakat akan mencela terhadap apa yang

diharapkan Pak Tomo

6 Ada manfaatnya memisahkan penjara dari

masyarakat, khususnya dari orang-orang yang

dermawan.

Page 103: Tes psikologi

103

ASP SP P KP TP

7 Alangkah kejamnya orang yang sampai hati

mengirim Pak Tomo ke penjara

8 Andaikata Pak Tomo dibiarkan saja pergi,

apakah adil dalam memperlakukan semua

narapidana yang dapat membantu dirinya

sendiri?

9 Nyonya Yunus adalah kenalan baiknya Pak

Tomo

10 Merupakan kewajiban setiap warga negara

untuk melaporkan orang yang lari dari penjara

tanpa mengabaikan keadaan sekelilingnya

11 Bagaimana keinginan masyarakat harus

dilayani sebaik-baiknya.

12 Memenjarakan Pak Tomo kembali merupakan

suatu hal yang baik dan melindungi orang lain.

Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut

saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara

merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingakat kepentingannya pada

tempat di bawah ini.

Yang paling penting: I= II= III= IV=

Page 104: Tes psikologi

104

CERITA III

Ada seorang wanita yang hampir mati karena kanker yang dideritanya.

Diperkirakan ia hanya mampu bertahan selama kurang lebih 6 bulan, ia sangat menderita

dan kondisinya sangat lemah sehingga pemberian obat penawar rasa sakit atau Morfin-

pun tidak dapat mempercepat kematiannya. Wanita itu tidak sadar dan hampir gila

karena sakitnya. Pada saat-saat tenang ia meminta kepada dokter supaya diberi morfin

secukupnya agar lekas meninggal. Katanya ia sudah tidak tahan lagi menderita dan

akhirnya toh juga akan meninggal dalam beberapa bulan lagi.

Dokter akan berbuat apa?

___Dokter akan memberikan obat yang banyak sehingga wanita itu meninggal

___Tidak dapat memutuskan

___Dokter tidak memberi obat tersebut

Pertimbangan-pertimbangan:

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Keluarga wanita tersebut senang atau tidak

dengan pemberian obat yang melebihi dosis.

2 Dokter akan dihukum seperti orang lain kalau ia

memberikan obat yang melebihi ukuran kepada

wanita itu karena ini sama saja dengan

pembunuhan.

3 Lebih baik dibiarkan saja membuat keputusan

sendiri terhadap hidupnya dan matinya, tanpa

mengindahkan pendapat orang banyak.

4 Sebenarnya dokter dapat meluluskan

permintaan si wanita dan membuat

kematiannya seolah-olah seperti sebuah

kecelakaan.

5 Negara mempunyai hak untuk memelihara

(mempertahankan) kehidupan seseorang yang

sebenarnya tidak ingin hidup lagi.

6 Pandangan masyarakat terhadap kematian

lebih dipentingkan daripada nilai atau

pandangan pribadi.

Page 105: Tes psikologi

105

ASP SP P KP TP

7 Kalaupun dokter bersimpati terhadap

penderitaan wanita dan mengusahakan

perawatan yang terbaik, bagaimana pendapat

masyarakat.

8 Menolong seseorang untuk mengakhiri

hidupnya merupakan suatu tindakan yang

kooperatif dan bertanggungjawab.

9 Bagaimanapun hanya Tuhan yang dapat

menentukan akhir hidup seseorang.

10 Dokter mempunyai nilai-nilai tersendiri yang

mengatur tingkah lakunya.

11 Masyarakat akan membiarkan seseorang yang

ingin mengakhiri hidupnya kapada saja orang

itu mau.

12 Masyarakat akan mebiarkan perbuatan bunuh

diri atau mercy killing dan tetap melindungi

orang yang ingin hidup.

Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut

saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara

merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada

tempat di bawah ini.

Yang paling penting: I= II= III= IV=

Page 106: Tes psikologi

106

CERITA IV

Pak Westra adalah pemilik sekaligus manager sebuah pompa bensin. Dia ingin

menarik seorang teknisi untuk membantunya, tetapi mencari seorang teknisi yang baik

dan berkualitas sangat sulit. Orang yang dipandangnya memenuhi persyaratan adalah

seseorang yang bernama Liem, tetapi ia seorang keturuan Cina. Secara pribadi Pak

Westra tidak menolak dan tidak mempunyai prasangka etnis, tetapi ia ragu-ragu untuk

menarik Liem, karena kebanyakan pelanggannya tidak senang dengan keturuanan Cina,

pelanggannya akan berkurang kalau Liem bekerja di tempatnya.

Suatu hari Liem bertanya kepada pak westra apakah ada lowongan untuknya,

Pak Wesra mengatakan bahwa lowongan teknisi baru saja terisi walaupun Pak Westra

saat itu tidak menerima karyawan baru.

Karena ia belum menjumpai teknisi sebaik Liem, apa yang akan dilakukan selanjutnya

oleh Pak Westra?

___ Pak Westra akan menarik Liem

___ Tidak dapat memutuskan

___ Tidak akan menarik Liem

Pertimbangan-pertimbangan:

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Seorang pemilik berhak membuat sendiri

keputusan dagangnya.

2 Ada undang-undang atau hukum yang

melarang perbedaan rasial dalam kesempatan

bekerja.

3 Pak Westra adalah orang yang menentang

diskriminasi rasial, atau karena secara pribadi

ia tidak mempunyai prasangka rasial.

4 Mencari teknisi yang baik dan memperhatikan

keinginan langganan merupakan sesuatu yang

bijaksana bagi bisnisnya.

5 Keadaan individu harus disesuaikan dengan

keputusan masyarakat luas.

6 Keserakahan dalam persaingan bebas harus

sepenuhnya dihapuskan.

Page 107: Tes psikologi

107

ASP SP P KP TP

7 Sebagian besar masyarakat di lingkungan Pak

Westra mempunyai sikap seperti pelanggannya

atau mereka justru menentang perbedaan

rasial.

8 Kalau mengangkat tenaga yang berkualitas

seperti Liem, justru membuatnya kehilangan

tempat di masyarakat.

9 Menolak Liem untuk bekerja sesuai dengan

moral Pak Westra.

10 Pak Westra dapat berkeras hati menolak

seseorang walaupun ia tahu bahwa pekerjaa itu

sangat berarti bagi Liem.

11 Dalam kasus seperti ini, kaidah agama

(misalnya: tidak membedakan sesama)

diperlukan.

12 Dalam menolong seseorang yang

membutuhkan jangan mengharap apa yang

dapat diperoleh darinya.

Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut

saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara

merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingkat kepentingannya pada

tempat di bawah ini.

Yang paling penting: I= II= III= IV=

Page 108: Tes psikologi

108

CERITA V

Paimo seorang pelajar SLTA ingin menerbitkan koran pelajar, sehingga ada

tempat untuk mengeluarkan pendapat para pelajar. Ia ingin melakukan kritik terhadap

beberapa peraturan sekolah: seeperti larangan berambut gondrong, dan ingin mengulas

tentang pemilu di Philimina, Paimo mengadap kepala sekolah untuk meminta izin

penerbiatan majalah/koran. Kepala sekolah mengizinkan dengan syarat semua artikel

yang masuk harus diperiksa dan disesuaikan dengan aturan dari kepala sekolah. Paimo

menerimanya dan mulai memilih artikel yang mengena dan sesuai dengan persyaratan.

Dua minggu kemudian koran edisi perdana terbit, dan mendapatkan sambutan yang

menggembirakan. Ternyata para pelajar terkesan pada artikel Paimo dan mulai

melancarkan protes terhadap larangan berambut panjang dan terhadap beberapa

peraturan sekolah lainnya. Para orang tua murid yang ikut membaca ternyata tidak setuju

dengan tulisan Paimo dan meminta kepala sekolah untuk menghentikan penerbitannya,

karena isinya tidak mendidik ke arah yang baik. Kepala sekolah akhirnya minta Paimo

untuk menghentikan penerbitan dengan alasan mengacau suasana di sekolah.

Apakah kepala sekolah akan mencabut izin penerbitan koran itu seterusnya?

___ Ya akan dihentikan

___ Tidak dapat memutuskan

___ Tidak akan dihentikan

Pertimbangan-pertimbangan:

No Pernyataan ASP SP P KP TP

1 Kepala sekolah lebih bertanggung jawa kepada

para pelajar atau kepada orang tua.

2 Kepala sekolah hanya menyatakan

mengizinkan terbit satu kali saja atau terbit

untuk waktu yang lama.

3 Walaupun kepala sekolah menghentikan

penerbitan koran, para pelajar tetap saja

melakukan protes.

4 Kalau ketenangan di sekolah terancam, kepala

sekolah berhak untuk memperingatkan para

pelajar.

5 Dalam kasus ini kepala sekolah berhak

mengatakan tidak.

Page 109: Tes psikologi

109

ASP SP P KP TP

6 Kepala sekolah dapat menghentikan penerbitan

koran, tetapi apakah dapat mencegah diskusi

terhadap hal yang penting?

7 Keadaan ini dapat menyebabkan Paimo

kehilangan kepercayaan dari kepala sekolah.

8 Paimo adalah orang taat terhadap sekolah dan

negaranya.

9 Bagaimanapun penghentian penerbitan koran

berpengaruh terhadap pendidikan murid,

terutama dalam cara berpikir kritis dan

mengadakan penelitian

10 Paimo telah melanggar hak orang lain dengan

cara mempublikasikan pendapatnya sendiri.

11 Kepala sekolah terpengaruh oleh kemarahan

orang tua dan tahu situasi yang terbaik untuk

sekolah.

12 Paimo menggunakan surat kabar sebagai

media untuk menumpahkan rasa tidak puas

dan kebenciannya.

Dari kedua belas pernyataan di atas manakah yang paling penting menurut

saudara, dan kemudian mana yang kedua, ketiga dan keempat yang menurut saudara

merupakan hal yang penting. Tuliskan sesuai dengan tingakat kepentingannya pada

tempat di bawah ini.

Yang paling penting: I= II= III= IV=

Page 110: Tes psikologi

110

LAMPIRAN III SKALA UJI COBA PERILAKU CURANG

Petunjuk Pengisian

Baca dan famahilah setiap pernyataan di bahwa ini dengan seksama, kemudian

berikan jawaban anda dengan cara mencheklis (√ ) pada jawaban yang anda rasa tepat.

KERAHASIAAN jawaban yang anda berikan akan DIJAMIN sepenuhnya. Tidak ada

jawaban yang dianggap benar atau salah dalam pernyataan ini, jadi usahakanlah

menjawab dengan KONDISI YANG SEBENARNYA sesuai dengan yang pernah anda

alami saat melaksanakan UJIAN NASIONAL.

Arti pilihan jawaban tersebut adalah:

TP : Tidak Pernah

P : Pernah

KD : Kadang-kadang

SR : Sering

SS : Sangat Sering

NO PERNYATAAN JAWABAN

TP P KD SR SS

1 Membawa Handphone (HP) ke ruang

ujian

2 Menggunakan isyarat tangan untuk

memberitahukan dan memperoleh

jawaban ujian

3 Membuat kunci jawaban di luar ruang

ujian

4 Melihat lembar jawaban teman tanpa

sepengetahuannya

5 Membeli kunci jawaban ujian sebelum

ujian berlangsung

6 Menggunakan Hp untuk memberikan

jawaban ujian

7 Menciptakan kode-kode tertentu untuk

memperoleh jawaban ujian

8 Menyalin jawaban dari lembar jawaban

teman

9 Memperoleh kunci jawaban sebelum

ujian berlangsung

Page 111: Tes psikologi

111

TP P KD SR SS

10 Menggunakan Hp untuk menerima

jawaban ujian

11 Menanyakan jawaban kepada teman

dengan kode soal yang sama

12 Menggunakan kunci jawaban saat ujian

berlangsung

13 Menggunakan kertas kecil berisi

contekan jawaban ujian

14 Saling bertukar jawaban ujian di luar

ruang ujian

15 Menerima bocoran soal sebelum ujian

untuk soal tersebut berlangsung

16 Menggunakan kalkulator AlphaLink untuk

menyimpan kunci jawaban atau rumus-

rumus penting saat ujian

17 Menerima jawaban dari teman melalui

kertas kecil

18 Memperoleh bocoran soal ujian yang

dipelajari di lembaga bimbingan belajar

19 Menggunakan kalkulator Alphalink untuk

menerima dan memberikan jawaban ujian

20 Membentuk forum yang terdiri dari

teman-teman dengan kode soal yang

sama sebelum ujian dilaksanakan dan

merencanakan kerjasama saat ujian

21 Membahas bocoran soal ujian sebelum

ujian untuk soal tersebut berlangsung

22 Membawa kertas kecil berisi contekan

ujian ke dalam ruang ujian

23 Memberikan bantuan jawaban kepada

teman lain yang memiliki kode soal yang

sama

24 Menulis rumus-rumus atau kunci jawaban

di Papan Ujian

Page 112: Tes psikologi

112

TP P KD SR SS

25 Membuat pos-pos ujian untuk

menyebarkan kunci jawaban

26 Menulis dan menggunakan rumus-rumus

serta kunci jawaban di kartu ujian

27 Membantu teman dengan mengangkat

lembar soal yang telah diberi tanda

jawaban

28 Membuat dan menggunakan contekan

rumus-rumus maupun kunci jawaban di

kotak pensil

29 Bertukar soal yang telah diberi tanda

jawaban

30 Membuat kunci jawaban di kertas kecil

dan menyembunyikannya di dalam

penghapus

31 Membantu teman dalam menjawab soal

ujian

32 Membuat dan menggunakan kunci

jawaban di penggaris

33 Membentuk forum untuk membahas

bocoran soal ujian sebelum ujian tersebut

berlangsung

34 Membuat dan menggunakan contekan di

tisu

35 Mencocokkan kode soal dengan teman

yang lain untuk saling membantu selama

ujian

36 Memperoleh jawaban ujian melalui SMS

37 Berdiskusi di dalam ruang ujian mengenai

jawaban selama ujian berlangsung

38 Menyelipkan kertas contekan maupun

kunci jawaban pada rautan

39 Berdiskusi di luar ruang ujian mengenai

jawaban selama ujian berlangsung

Page 113: Tes psikologi

113

TP P KD SR SS

40 Menulis rumus-rumus maupun kunci

jawaban pada permukaan kulit

41 Memberikan contekan jawaban melalui

kertas buram pada teman

42 Menempelkan kunci jawaban di meja

atau dibawah meja

43 Menerima contekan jawaban melalui

kertas buram dari teman

44 Memperoleh jawaban ujian melalui rautan

dari teman

45 Menulis kunci jawaban di karet

penghapus

Page 114: Tes psikologi

114

LAMPIRAN IV

SKALA PERILAKU CURANG

Petunjuk Pengisian

Baca dan famahilah setiap pernyataan di bahwa ini dengan seksama, kemudian

berikan jawaban anda dengan cara mencheklis (√ ) pada jawaban yang anda rasa tepat.

KERAHASIAAN jawaban yang anda berikan akan DIJAMIN sepenuhnya. Tidak ada

jawaban yang dianggap benar atau salah dalam pernyataan ini, jadi usahakanlah

menjawab dengan KONDISI YANG SEBENARNYA sesuai dengan yang pernah anda

alami saat melaksanakan UJIAN NASIONAL.

Arti pilihan jawaban tersebut adalah:

TP : Tidak Pernah

P : Pernah

KD : Kadang-kadang

SR : Sering

SS : Sangat Sering

NO PERNYATAAN JAWABAN

TP P KD SR SS

1 Membuat kunci jawaban di luar ruang

ujian

2 Melihat lembar jawaban teman tanpa

sepengetahuannya

3 Membeli kunci jawaban ujian sebelum

ujian berlangsung

4 Menggunakan Hp untuk memberikan

jawaban ujian

5 Menciptakan kode-kode tertentu untuk

memperoleh jawaban ujian

6 Menyalin jawaban dari lembar jawaban

teman

7 Memperoleh kunci jawaban sebelum

ujian berlangsung

8 Menggunakan Hp untuk menerima

jawaban ujian

9 Menanyakan jawaban kepada teman

dengan kode soal yang sama

Page 115: Tes psikologi

115

TP P KD SR SS

10 Menggunakan kunci jawaban saat ujian

berlangsung

11 Menggunakan kertas kecil berisi

contekan jawaban ujian

12 Saling bertukar jawaban ujian di luar

ruang ujian

13 Menerima bocoran soal sebelum ujian

untuk soal tersebut berlangsung

14 Menggunakan kalkulator AlphaLink untuk

menyimpan kunci jawaban atau rumus-

rumus penting saat ujian

15 Menerima jawaban dari teman melalui

kertas kecil saat ujian berlangsung

16 Memperoleh bocoran soal ujian yang

dipelajari di lembaga bimbingan belajar

17 Menggunakan kalkulator Alphalink untuk

menerima dan memberikan jawaban ujian

18 Membentuk forum yang terdiri dari

teman-teman dengan kode soal yang

sama sebelum ujian dilaksanakan dan

merencanakan kerjasama saat ujian

19 Membahas bocoran soal ujian sebelum

ujian untuk soal tersebut berlangsung

20 Membawa kertas kecil berisi contekan

ujian ke dalam ruang ujian

21 Memberikan bantuan jawaban kepada

teman lain yang memiliki kode soal yang

sama

22 Menulis rumus-rumus atau kunci jawaban

di Papan Ujian

23 Membuat pos-pos ujian untuk

menyebarkan kunci jawaban

24 Menulis dan menggunakan rumus-rumus

serta kunci jawaban di kartu ujian

Page 116: Tes psikologi

116

TP P KD SR SS

25 Membantu teman dengan mengangkat

lembar soal yang telah diberi tanda

jawaban

26 Membuat dan menggunakan contekan

rumus-rumus maupun kunci jawaban di

kotak pensil

27 Bertukar soal yang telah diberi tanda

jawaban

28 Membuat kunci jawaban di kertas kecil

dan menyembunyikannya di dalam

penghapus

29 Membantu teman dalam menjawab soal

ujian

30 Membuat dan menggunakan kunci

jawaban di penggaris

31 Membentuk forum untuk membahas

bocoran soal ujian sebelum ujian tersebut

berlangsung

32 Membuat dan menggunakan contekan di

tisu

33 Mencocokkan kode soal dengan teman

yang lain untuk saling membantu selama

ujian

34 Memperoleh jawaban ujian melalui SMS

35 Berdiskusi di dalam ruang ujian mengenai

jawaban selama ujian berlangsung

36 Menyelipkan kertas contekan maupun

kunci jawaban pada rautan

37 Berdiskusi di luar ruang ujian mengenai

jawaban selama ujian berlangsung

38 Menulis rumus-rumus maupun kunci

jawaban pada permukaan kulit

39 Memberikan contekan jawaban melalui

kertas buram pada teman

Page 117: Tes psikologi

117

TP P KD SR SS

40 Menempelkan kunci jawaban di meja

atau dibawah meja

41 Menerima contekan jawaban melalui

kertas buram dari teman

42 Memperoleh jawaban ujian melalui rautan

dari teman

43 Menulis kunci jawaban di karet

penghapus

Page 118: Tes psikologi

118

DATA HASIL UJI COBA DAN PENELITIAN

Page 119: Tes psikologi

119