teori konvergensi dalam perspektif...

93
TEORI KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Siti Nurholipah NIM: 11150110000005 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Upload: others

Post on 24-May-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TEORI KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Siti Nurholipah

NIM: 11150110000005

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

i

ABSTRAK

Siti Nurholipah. NIM: 11150110000005. Teori Konvergensi dalam Perspektif

Pendidikan Agama Islam. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2019.

Dalam memahami tujuan pendidikan banyak teori yang berkembang. Akan tetapi

tidak semua teori dapat menelaah potensi manusia yang berkembang secara

optimal. Maka dalam hal ini perlu adanya pembahasan konsep pengembangan

pendidikan agama Islam. Penelitian ini mengkaji dan memahami tentang konsep

teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern dalam perspektif pendidikan

agama Islam. Dalam teori konvergensi ini, dinyatakan bahwa peotensi peserta

didik dipengaruhi oleh faktor bawaan atau hereditas dan faktor lingkungan

termasuk pendidikan. Kedua faktor tersebut memiliki pengaruh terhadap

perkembangan potensi peserta didik. Adapun dalam menelaah teori konvergensi

dalam perspektif pendidikan agama Islam, penulis senantiasa bersandar pada al-

Qur‟an dan Hadits. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah library

research dengan bersumber pada buku-buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya

yang berkaitan dengan teori konvergensi. Penelitian ini menghasilkan, pertama

konsep teori konvergensi menurut William Stern, kedua teori konvergensi dalam

perspektif pendidikan agama Islam, dan ketiga implikasi atau keterlibatan teori

konvergensi dalam pendidikan agama Islam.

Kata Kunci : William Stern, Teori Konvergensi, Pendidikan Agama

Islam.

Pembimbing : Dr. Bahrissalim, M.Ag.

Daftar Pustaka : 1997-2019.

ii

ABSTRACT

Siti Nurholipah. NIM: 11150110000005. Convergence Theory in Perspective

of Islamic Education. Islamic Religious Education Study Program, Faculty of

Tarbiyah and Teacher Training at the Syarif Hidayatullah State Islamic University

Jakarta, 2019.

In understanding the purpose of education many theories have developed.

However, not all theories can examine human potential that develops optimally.

So in this case it is necessary to discuss the concept of developing Islamic

religious education. This research examines and understands the concept of

convergence theory pioneered by William Stern in the perspective of Islamic

religious education. In this convergence theory, it is stated that student‟s potential

is influenced by heredity and environmental factors including education. Both of

these factors have an influence on the development of potential learners. As fpr

examining the theory of convergence in the perspective of Islamic religious

education, the author always relies on: al-Qur‟an and Hadith. The research method

used by the author is library research sourced from books, journals, articles, and

so forth related to convergence theory. This research resulted: first concept of

convergence theory according to William Stern, both convergence theories in the

perspective of Islamic education, and the three Implications or engagement of

convergence theories in Islamic religious education.

Keywords : William Stern, Convergence Theory, Islamic Education.

Supervisor : Dr. Bahrissalim, M.Ag.

List of Libraries : 1997-2019.

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim..

Alhamdulillahirabbil „Aalamiin, Maha Suci Allah dengan segala

keagungan dan kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan kepada-Nya

yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan taufiq, serta inayah-Nya, sehingga

atas ridho-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum

mencapai pada kesempurnaan. Namun, dengan harapan hati kecil semoga dapat

bermanfaat. Shalawat bertangkai salam penulis curahkan kepada junjungan alam,

Nabi besar Muhammad SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak dihari

akhir, yang menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga,

sahabat, dan pengikutnya yang setia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadi, M.A

sebagai dosen Pembimbing Nasihat Akademik yang telah memberikan banyak

sekali ilmu dan arahan, kepada orang tua yang senantiasa memberikan do‟a tiada

henti dan dukungan baik berupa materil maupun non-materil, dan kepada teman-

teman yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat agar skripsi yang

berjudul “Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam” ini

dapat selesai tepat waktu.

Penulis amat sangat menyadari masih banyaknya kekurangan dalam

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan

saran yang membangun. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang berperan, diantaranya:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A, selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abdul Haris M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iv

5. Dr. Bahrissalim, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing dalam

penyelesaian skripsi ini.

6. Yudhi Munadi, M.A, selaku dosen pembimbing akademik yang telah

bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, berbagi ilmu, dan

memberikan nasihat serta arahan.

7. Kedua orang tua saya, Ibu Siti Asmi dan Bapak Turi selaku pendidik

pertama yang senantiasa memberikan support, bimbingan, dan do‟a untuk

putrinya ini agar senantiasa diberikan kemudahan dalam segala aktivitas,

terimakasih sedalam-dalamnya.

8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang

telah memberikan banyak ilmu dan berbagai pengalaman kepada penyusun

selama masa perkuliahan.

9. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan

2015, khususnya kelas B.

10. Sahabat-sahabat CLOZY yang telah memberikan semangat kepada penulis

selama penyusunan skripsi.

11. Sahabat-sahabat STARS2 khususnya Camelia Hidayat, Siti Nur Azizah,

Shela Febryanti, Laeli Padilah, Tajul Munajat, Aprian Hidayatullah, Saeful

Bahri, Suhendi, Muhammad Ridwan Santoso dan Khairul Anwar yang

telah memberikan motivasi dan semangat agar skripsi ini dapat segera

terselesaikan serta senantiasa menghibur dikala penulis merasakan

kejenuhan.

12. Sahabat-sahabat terdekat selama penulis menetap di Ciputat Fadhila

Athiya Rahmah, Nursyifa Fauziyah Safari, Chika Chyntia, Nazihah, Novi

Fatonah, Nadya Safira, Khairunnisa, Maya Jelita Hasibuan, Naila Syamila,

Laeli Yuniar, Tasya Annisa, dan Atik Nuratikah yang sangat setia

memberikan motivasi, semangat dan bantuan kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

v

13. Teman-teman KKN Akspansi 2015 khususnya Haipat Fitriani, Nabilah

Mu‟jizatillah, dan Rissa Diah yang telah memberikan banyak bantuan,

motivasi, semangat, dan amat sangat menghibur disaat penulis merasakan

kejenuhan, penulis ucapkan terima kasih banyak.

14. Serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang turut membantu dalam penyusunan penulisan skripsi ini.

Atas semua kontribusi yang tidak dapat disebutkan satu persatu

terimakasih penulis haturkan. Penulis hanya bisa berdoa semoga kita

semua selalu diberi rahmat, hidayah, dan keberkahan hidup dunia dan

akhirat. Dan untuk semua yang telah membantu, penulis amat sangat

berterima kasih atas segala kebaikannya semoga Allah SWT memberikan

pahala yang setimpal dan senantiasa meridhoi amal usaha kita. Aamiin

Jakarta, 31 Oktober 2019

Penulis

Siti Nurholipah

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................... i

ABSTRACT ........................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 8

C. Pembatasan Masalah................................................................................. 8

D. Rumusan Masalah .................................................................................... 8

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Sejarah Munculnya Teori Konvergensi .................................................... 10

1. Teori Nativisme .................................................................................. 14

2. Teori Empirisme ................................................................................. 14

3. Teori Konvergensi .............................................................................. 16

B. Pendidikan Agama Islam .......................................................................... 24

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam .................................................. 24

2. Sumber Pendidikan Agama Islam ...................................................... 28

3. Komponen-komponen Pendidikan Agama Islam ............................... 31

4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam .......................................... 35

5. Tugas dan Fungsi Pendidikan Agama Islam ...................................... 36

a. Tugas Pendidikan Agama Islam ................................................... 36

b. Fungsi Pendidikan Agama Islam .................................................. 37

C. Hasil Penelitian Relevan ........................................................................... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 40

B. Metode Penelitian ..................................................................................... 40

C. Teknik Pengumpula Data ......................................................................... 41

D. Teknik Analisis Data ................................................................................ 42

vii

E. Fokus Penelitian ........................................................................................ 43

F. Prosedur Penelitian.................................................................................... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Konvergensi Menurut William Stern ................................. 45

1. Biografi William Stern ........................................................................ 45

2. Konsep Teori Konvergensi William Stern .......................................... 46

B. Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam ............... 51

C. Implikasi Teori Konvergensi dalam Pendidikan Agama Islam ................ 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 65

B. Saran .......................................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah psikologi pendidikan pada dasarnya merupakan gabungan

dua kata yang terdiri dari kata psikologi dan pendidikan. Oleh karena itu,

untuk memahami definisi psikologi pendidikan terlebih dahulu perlu

dipahami definisi psikologi dan definisi pendidikan secara terpisah.

Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang memiliki arti jiwa

dan logos yang memiliki arti ilmu.1 Dengan demikian dapat diartikan

bahwa psikologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang

membicarakan masalah jiwa. Sedangkan pendidikan adalah usaha untuk

memandirikan manusia melalui aktivitas yang terencana dan disadari

melalui aktivitas belajar dan pembelajaran yang melibatkan siswa dan

guru.2

Witherington dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan,

mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai salah satu studi yang

sistematis mengenai faktor-faktor dan proses kejiwaan yang berhubungan

dengan pendidikan manusia.3 Pengertian tersebut memaparkan dengan

jelas bahwa adanya aspek gejala kejiwaan dan faktor-faktor lainnya yang

ada pada individu dalam belajar dan pembelajaran yang tersusun secara

sistematis sebagai panduan pelaksanaan praktik pendidikan. Sedangkan

menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya yang berjudul psikologi

pendidikan menjelaskan bahwa psikologi pendidikan merupakan ilmu

pengetahuan tentang psikologi yang membahas dan mempelajari anak

didik dalam situasi dan lingkungan pendidikan.4 Dari berbagai pendapat

1 Muhamad Irham dan Novan Ardy Wiyani, Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi

dalam Proses Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), Cet. III, h. 16. 2 Ibid., h. 19.

3 H.C. Witherington, Psikologi Pendidikan, Terj. M. Buchori, (Jakarta: Aksara Baru, 1978),

h. 10. 4 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008), Cet. V, h. 2.

2

mengenai psikologi pendidikan, dapat dipahami bahwa psikologi

pendidikan sebagai cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari tentang

teori-teori psikologi dalam dunia pendidikan terhadap siswa yang berperan

sebagai peserta didik dan guru sebagai pendidik serta hubungan keduanya

dengan lingkungan dalam proses belajar mengajar.5 Oleh karenanya,

psikologi pendidikan sangat berperan penting dalam dunia pendidikan.

Manusia merupakan makhluk yang berpolitik, makhluk sosial,

makhluk yang memiliki budaya, makhluk yang berbahasa, dan lain

sebagainya. Ungkapan tersebut memiliki pandangan mengenai teori

tentang hakikat manusia dengan mengarah kepada konsep manusia dalam

arti yang berbeda-beda.6 Manusia memiliki peran sangat penting dalam

pendidikan, yaitu sebagai subyek sekaligus sebagai obyek pendidikan.

Manusia sebagai subyek pendidikan adalah manusia dewasa yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. Mereka berkewajiban

secara moral atas perkembangan individu generasi penerus mereka,

terutama yang berprofesi dalam bidang pendidikan secara formal,

bertanggung jawab untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan

tujuan pendidikan. Sedangkan, manusia yang termasuk ke dalam obyek

pendidikan yaitu manusia yang belum dewasa dalam proses perkembangan

kepribadiannya, baik menuju kebudayaan maupun proses kematangan dan

integritas. Mereka itulah yang menjadi sasaran yang akan dibina.7 Manusia

tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya, baik lingkungan yang

bersifat alamiah maupun lingkungan yang bersifat materiel, dan terutama

lingkungan sosial. Tingkah laku manusia tersebut merupakan suatu bentuk

adanya kepribadian yang merupakan suatu rangkaian kegiatan-kegiatannya

atas semua interaksinya dengan lingkungannya tersebut.8

5 Op.cit., h. 20.

6 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 1989), cet. IV, h. 400. 7 Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Dasar

Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), Cet. III, h. 153. 8 Ibid., h. 157.

3

Allah telah menciptakan manusia dengan struktur yang paling baik

diantara makhluk-Nya yang lain. Struktur manusia terdiri dari jasmaniah

dan rohaniah. Dalam struktur tersebut, Allah memberikan kemampuan

dasar yang memiliki kecenderungan untuk berkembang, yang disebut

sebagai potensial. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar pada

manusia disebut dengan fitrah.9 Allah telah memberikan fitrah kepada

manusia saat manusia belum terlahir ke dunia, sehingga fitrahnya manusia

belum sepenuhnya terlaksana dengan nyata, sehingga alamlah yang

mempengaruhi fitrah manusia.10

Namun, pada kenyataannya kebanyakan

manusia belum menyadari akan potensi dan kreativitas yang ada pada

dirinya, yang mungkin dapat berkembang dan meningkat. Hal tersebut

disebabkan karena kurangnya rasa peduli terhadap diri sendiri. Oleh sebab

itu, maka diperlukannya usaha-usaha yang baik, yaitu pendidikan agar

dapat mengembangkan dan memelihara fitrah serta dapat membersihkan

jiwa manusia dari syirik dan kesesatan agar mendapatkan hidup yang lebih

percaya diri. Kata fitrah yang berhubungan dengan penjelasan tentang

manusia terdapat dalam QS. Ar-Rum: 30

فطرت ا فأقم وجهك للدين حنيف ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي لك ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون ذ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)

agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia

berdasarkan fitrahnya, yang berarti bahwa manusia telah membawa

9 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta : UIN

Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 69. 10

Lukis Alam, Perspektif Pendidikan IslamMengenai Fitrah Manusia, TARBAWI, Volume

1 No. 02, Juli-Desember 2015, ISSN 2442-8809, h. 45.

4

potensi beragama yang benar (tauhid), dari mulai asal penciptaanya.11

Surat tersebut menginspirasi agar kita sebagai manusia harus

mengembangkan dan mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan

baik.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003

pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.12

Dari tujuan pendidikan nasional tersebut dapat dijadikan acuan bahwa

pendidikan agama Islam di sekolah maupun di madrasah bertujuan untuk

menanamkan dan meningkatkan keimanan melalui penyampaian

pengetahuan, penghayatan, pengamalan, dan pengalaman siswa tentang

agama Islam sehingga menjadi umat Islam yang terus berkembang dalam

hal akidah, ketakwaan, berbangsa dan bernegara serta agar dapat

melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.13

Tujuan pendidikan menurut ahli-ahli pendidikan Islam dikaitkan

dengan tujuan diutusnya Rasulullah SAW yaitu agar manusia memiliki

akhlak yang baik. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW bersabda:

امنا بعثت ألمتم مكارم األخالق Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran

budi pekerti. (H.R. Ahmad)14

Dari pernyataan di atas tujuan pendidikan nasional beriringan

dengan tujuan pendidikan agama Islam bahwasanya selain manusia yang

memiliki ilmu pengetahuan, manusia di dunia ini juga diciptakan agar

menjadi makhluk yang bertakwa dan berakhlak mulia.

11

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Berbgai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. III, h. 284. 12

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,

(Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 64. 13

Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja

Rosda Karya, 2012), h. 16. 14

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), cet. 15, h. 2.

5

Pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai

unsur dimana antara satu dan yang lainnya harus saling berkaitan.

Pendidikan agama Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan

nasional, yang harus mampu menyesuaikan visi pendidikan Islam dengan

visi pendidikan nasional. Pada hakikatnya dilihat dari segi historis,

walaupun pendidikan Islam belum merumuskan seluruh tujuannya secara

tertulis, tetapi dalam pelaksanaannya telah melaksanakan sebagian dari

tujuan pendidikan nasional.15

Dalam proses pendidikan, khususnya

pendidikan agama Islam mempunyai tugas untuk mengembangkan fitrah

manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia

yang makmur dan bahagia. Karena ajaran agama Islam mengandung unsur

pondasi bagi perkembangan seseorang. Dengan adanya tujuan pendidikan

yang sudah tertuang dalam undang-undang dan hadits tentunya harus

menjadikan pendidikan di Indonesia ini maju dan berkembang. Namun,

pada kenyataannya masih banyak hal-hal yang perlu dievaluasi dan

dibenahi karena banyaknya masalah-masalah yang terjadi dari berbagai

aspek pendidikan, hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa

masalah yang terjadi belakangan ini yaitu yang terkait dengan moral

peserta didik diantaranya banyaknya kekerasan dalam pendidikan yang

semakin masif dan mengerikan. Selain itu, kurangnya memberikan

perilaku baik terhadap orang tua, guru, teman, diri sendiri, bahkan

terhadap Tuhannya. Banyak peserta didik yang memiliki tingkat

kepintaran pengetahuannya yang tinggi, tetapi dalam interaksi dengan

teman dan lingkungan sekitarnya sangat kurang, bahkan lupa akan

kewajibannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu lupa akan ibadahnya.

Hal tersebut dipengaruhi karena pengaruh dari internet, tontonan

yang tidak bermanfaat, dan berita-berita yang kebenarnya tidak dapat

dibuktikan, serta lingkungan peserta didik yang kurang mendukung.

15

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,

2009), cet. I, h. 18.

6

Adanya beberapa pengaruh media massa tersebut merupakan

pengaruhi negatif dari adanya globalisasi di dunia dalam pendidikan

nasional sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan belum tercapainya

tujuan pendidikan yang tertuang dalam undang-undang. Tujuan

pendidikan dirumuskan dengan berbagai macam faktor diantaranya adalah

faktor lingkungan dan faktor bawaan yang dikenal dengan istilah

Konvergensi. Teori Konvergensi ini dicetuskan oleh tokoh psikologi

pendidikan barat yaitu William Stern, yang tak lain adalah tokoh psikologi

pendidikan Jerman dan dipelopori juga oleh tokoh pendidikan Indonesia

yaitu Ki Hajar Dewantara yang telah mengembangkan konsep

Konvergensi dengan bercirikan keindonesiaannya.

Sebagaimana sudah kita ketahui, bahwa pendidikan harus dimulai

dengan menyusun gagasan-gagasan yang diikuti dengan penulisan ilmiah.

Dalam proses penyusunan tersebut, maka munculah teori. Adapun Teori

yang dikembangkan oleh para tokoh pendidikan sangat bermacam-macam,

diantaranya adalah teori pendidikan empirisme, nativisme, dan

konvergensi dimana teori-teori tersebut telah memberikan beragam warna

terhadap pola pendidikan dan memberikan bantuan terhadap dunia

pendidikan.16

Teori adalah suatu prinsip yang menerangkan sejumlah

hubungan antara berbagai fakta dan meramalkan hasil-hasil baru

berdasarkan fakta-fakta tersebut, sedangkan teori belajar dapat dipahami

sebagai kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan

penjelasan atas sejumlah fakta yang berkaitan dengan peristiwa belajar.17

Adapun titik tolak perbedaan dari masing-masing teori nativisme,

empirisme, dan konvergensi yaitu terletak pada faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan manusia. Teori nativisme merupakan

sebuah ajaran filosofis yang memiliki pengaruh besar terhadap aliran

pemikiran psikologis. Tokoh dari aliran ini bernama Arthur Schopenhauer

16

Aas Siti Solichah, Teori-teori Pendidikan dalam Al-Qur‟an, Edukasi Islam Jurnal

Pendidikan Islam Vol. 07, No. 1 DOI: 10.30868/EI.V7I01.209 ISSN : 2581-1754, 2018, h. 23. 17

Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Cet.

II, h. 63.

7

seorang filosof Jerman. Dalam dunia pendidikan teori nativisme ini

disebut “pesimisme pedagogis”, karena perkembangan manusia hanya

dipengaruhi oleh faktor bawaan, sedangkan pengalaman dan pendidikan

(lingkungan) tidak berpengaruh apapun.18

Teori empirisme merupakan

kebalikan dari teori nativisme, dengan tokoh utamanya yaitu John Locke.

Ajaran teori empirisme yang sangat terkenal adalah “tabula rasa” sebuah

istilah bahasa Latin yang memiliki arti batu tulis kosong atau lembaran

kosong. Ajaran tabula rasa memiliki arti penting pengalaman, lingkungan,

dan pendidikan maksudnya adalah perkembangan manusia itu bergantung

pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan

hereditas dianggap tidak ada pengaruhnya.19

Maka teori konvergensi

merupakan teori gabungan antara teori nativisme dengan teori empirisme.

Teori ini berpendapat bahwa faktor hereditas atau pembawaan dengan

faktor lingkungan sama-sama memiliki pengaruh penting dalam

perkembangan manusia. Tokoh utama teori konvergensi ini bernama Louis

William Stern, yang merupakan seorang filosof dan psikologis Jerman.20

Dalam pendidikan, berupaya untuk mengembangkan dan

memenuhi kebutuhan tersebut secara konseptual agar berkembang.

Dengan begitu, kita dapat mengetahui betapa pentingnya pendidikan,

karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensi yang

ada pada dirinya. Fitrah manusia pada umumnya sama, akan tetapi yang

membedakan adalah pendidikan seperti apa yang mereka dapatkan,

sehingga terjadilah beragam agama dan kecerdasan setiap individu.

Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal di atas maka peneliti mengkaji

disiplin ilmu dengan lebih terkonsentrasi dengan judul Teori Konvergensi

dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam.

18

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2005), Cet. II, h. 43. 19

Ibid., h. 44. 20

Ibid., h. 46.

8

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,

dapat diidentifikasikan beberapa masalah, diantaranya sebagai berikut:

1. Kebanyakan manusia yang belum menyadari akan potensi dan

kreatifitas yang dimilikinya.

2. Kurangnya rasa peduli terhadap diri sendiri.

3. Belum tercapainya tujuan pendidikan yang tertuang dalam undang-

undang dan hadits Rasulullah SAW.

4. Pengaruh internet, tontonan, dan berita yang tidak layak untuk

dipertontonkan.

5. Lingkungan peserta didik yang kurang mendukung.

C. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta

menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan

adanya identifikasi masalah di atas, penulis membatasi permasalahan yang

hendak diteliti diantaranya:

1. Teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam

2. Implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama Islam

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis ingin

mengetahui beberapa hal dari hasil penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana konsep teori konvergensi menurut William Stern?

2. Bagaimana teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama

Islam?

3. Bagaimana implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama

Islam?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan

penelitian diantaranya:

9

a. Untuk mengetahui konsep teori konvergensi menurut William

Stern.

b. Untuk mengetahui teori konvergensi dalam perspektif pendidikan

agama Islam.

c. Untuk mengetahui sejauh mana implikasi atau keterlibatan teori

konvergensi dalam pendidikan agama Islam.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi penulis

maupun pembaca diantaranya:

a. Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan

pemikiran tentang teori konvergensi dalam perspektif pendidikan

agama Islam.

b. Dapat menambah khazanah pengetahuan penulis mengenai

pendidikan agama Islam.

c. Bagi penulis agar dapat menambah wawasan tentang konsep dan

implikasi teori konvergensi sebagai modal dalam dunia pendidikan.

d. Penelitian ini dapat menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan

oleh peneliti selanjutnya.

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sejarah Munculnya Teori Konvergensi

Dalam ilmu psikologi sangat erat hubungannya dengan ilmu pendidikan.

Dengan pernyataan, bahwa psikologi pendidikan adalah penerapan psikologi dalam

proses belajar dan mengajar. Dengan kata lain bahwa psikologi pendidikan

merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk memahami,

meramalkan, dan mengarahkan pendidikan untuk mencapai tujuan hidup.21

Kehidupan manusia dihubungkan dalam dua proses yang terus-menerus dan

berkelanjutan, yaitu perkembangan dan pertumbuhan yang saling bergantungan

satu dengan yang lainnya.

Menurut Crow dan Crow dalam buku Pendidikan dan Psikologi

Perkembangan karangan Baharuddin, kematangan atau pertumbuhan sejak

pembuahan dan seterusnya merupkan gejala alamiah. Arah terjadinya

perkembangan itu sebagai suatu hasil dari faktor-faktor luar dari individu

yang matang atau tumbuh itu bisa ditunjuk sebagai perkembangan.

Kematangan sebagai suatu proses alamiah dan perkembangan sebagai hasil

dari pengaruh kondisi-kondisi lingkungan terhadap anak selagi ia tumbuh

merupakan dua faktor yang menjadi dasar bagi proses belajar mengajar.22

Pertumbuhan merupakan proses berubahnya keadaan fisik dari hasil proses

kedewasaan karena adanya pengaruh dari lingkungan. Pertumbuhan tidak hanya

berlaku pada alam, sel, kromosom, rambut dan lain sebagainya yang bersifat

kuantifikasi, akan tetapi pertumbuhan juga dapat terdiri dari kesan, keinginan, ide,

gagasan, pengetahuan, nilai, dan lain sebagainya yang bersifat kualitatif. Jadi,

pertumbuhan fisik dapat terdiri dari kuantitas dan kualitas.23

21

Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta : Ar-

Ruzz Media, 2012), Cet. I, h. 29. 22

Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2016), Cet. V, h. 65. 23

Ibid., h. 66.

11

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, perkembangan

merupakan perihal berkembang,24

mekar, terbuka, besar, luas, dan sebagainya.

Perkembangan merupakan proses berubahnya aspek psikologi yang meliputi setiap

kejiwaan rohani, dan kepribadian ke arah yang lebih maju yang tergerak dari

tingkah laku dan perbuatan. Istilah pertumbuhan dan perkembangan dapat juga

disebut dengan istilah kematangan, yaitu dilakukan pada saat sebelum ataupun

sesudah kegiatan belajar. Manusia disebut “matang” apabila fisik dan psikisnya

telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada waktu tertentu.25

Perkembangan dan pertumbuhan pada manusia memiliki prinsip-prinsip

yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya:

a. Menurut William Stern

Pendapat William Stern mengenai prinsip perkembangan dan pertumbuhan

bahwa diri seorang individulah yang menentukan berlangsungnya

perkembangan. Maka dari itu William Stern mencetuskan teori konvergensi.

b. Menurut J.L. Moreno

J.L. Moreno menolak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan anak-anak

itu hanya bergantung dengan merasa lemahnya diri mereka dan pengaruh

lingkungan. Moreno berpendapat bahwa setiap anak memiliki kesempatan dalam

memilih jalan perkembangannya. Dapat diartikan, perkembangan manusia

berada pada diri setiap manusia ketika mereka masih anak-anak. Maka dari itu

menurut Moreno memungkinkannya pendidikan untuk dilaksanakan.

c. Menurut Jean Piaget

Jean Piaget merupakan orang yang sangat peduli terhadap perkembangan anak-

anak sampai usia 7 tahun. Menurutnya setiap anak memiliki dua faktor, yaitu

pengenalan dan perasaan. Kedua faktor tersebut berpengaruh dalam penyesuaian

ruhani terhadap lingkungan. Menurutnya pula dalam ruhani anak terdapat fungsi

pikiran, tetapi kemahiran berpikir tersebut muncul setelah tercapainya tingkat

perkembangan.

d. Menurut Montessori

24

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern

English Press, 2002), cet. III, h. 700. 25

Rohmalina Wahab, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Cet. II, h. 94.

12

Montessori berpendapat bahwa setiap perkembangan memiliki arti biologis.

Berdasarkan dua asas utama, hukum alam memiliki konsep tertentu, yaitu:

1) Asas kebutuhan vitas, atau biasa disebut dengan masa peka.

2) Asas kehidupan.

Perkembangan jiwa dapat dipahami sebagai pelaksanaan dari suatu konsep

keteguhan jasmani dan ruhani dalam ketentuan yang sistematis dan

mendapatkan pelajaran yang penting untuk pembentukan yang tetap.

e. Menurut J.B. Watson dan Pavlov

J.B. Watson dan Pavlov berpendapat bahwa perkembangan pada intinya adalah

kumpulan dari beberapa rangsangan yang telah terlatih sehingga terbentuklah

perangai seseoyang yang sifatnya terus-menerus, yangdibawa sejak lahir.

Rangsangan yang sudah mendapatkan pembiasaan disebut dengan refleks

bersyarat. Jadi, menurutnya perkembangan itu merupakan proses terbentuknya

refleks yang wajar atau dibawa sejak lahir menjadi refleks bersyarat.26

Selain prinsip-prinsip perkembangan yang dikemukakan oleh para ahli di

atas, ada pula prinsip-prinsip perkembangan dan penerapannya dalam pelaksanaan

pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Ketuhanan Organisme

Dalam pembelajaran harus adanya dasar timbal balik dan kurikulum pendidikan

keduanya harus berinteraksi dengan baik.

b. Prinsip Tempo dan Irama Perkembangan

Pada pembelajaran guru harus memilih metode yang tepat, yaitu yang sesuai

dengan tingkat kemampuan siswa.

c. Prinsip Pola untuk Perkembangan

Sistem pendidikan yang digunakan oleh guru harus sesuai. Contohnya

sistem klasikal, yaitu peserta didik dapat dikelompokkan sesuai dengan

tingkat kemampuan perkembangan.

Sekolah dapat menyediakan media pembelajaran sesuai dengan

perkembangan siswa.

d. Prinsip Konvergensi

26

Baharuddin, Op.cit., h. 74-76.

13

Pertumbuhan dan perkembangan ditentukan oleh hereditas dan lingkungan,

maka potensi yang dimiliki peserta didik harus dapat dikembangkan melalui

pendidikan dan kemampuan anak dibatasi oleh upaya pendidikan.

e. Prinsip Bimbingan

Sangat dibutuhkannya bimbingan oleh orang dewasa bagi peserta didik yang

mengalami masalah dalam belajar.27

f. Prinsip Pematangan

Jika sudah waktunya, maka pertumbuhan dan perkembangan akan terjadi

sehingga pembelajarannya harus seuai dengan kemampuan peserta didik.

g. Prinsip Fungsional dan Dinamis

Perkembangan peserta didik akan menjadi dasar untuk menuju perkembangan ke

arah yang sempurna.28

Dalam perkembangan, pendidikan merupakan proses ketika potensi setiap

manusia akan dikembangkan secara kontinu. Faktor yang dapat mempengaruhi

suatu potensi peserta didik yaitu faktor hereditas dan lingkungan. Hereditas

merupakan penurunan sifat genetik dari orang tua kepada anaknya. Yang termasuk

ke dalam faktor-faktor hereditas adalah sifat-sifat jasmani, sifat-sifat perasaan, dan

sifat kepandaian. Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di dalam dan di

luar diri seseorang yang bersifat materiil. Beberapa hal yang mencakup lingkungan

yaitu lingkungan fisiologi (segala keadaan yang ad di dalam dan di luar diri

seseorang), lingkungan psikologi (segala rangsangan atau dorongan yang diperoleh

seseorang sejak dalam kandungan hingga meninggal), dan lingkungan sosio-

kultural (segala dorongan interaksi dan keadaan luar dalam hubungannya dengan

perlakuan orang lain).29

Para ahli telah merumuskan permasalahan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu teori

nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.

27

Baharuddin, Op.cit., h. 77. 28

Baharuddin, Op.cit., h. 78. 29

Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. II, h. 38.

14

1. Teori Nativisme

Teori nativisme dengan tokoh utamanya adalah Arthur Scopenhauer

berpendapat, bahwa perkembangan individu itu hanya ditentukan oleh beberapa

faktor pembawaan (hereditas) atau faktor yang dibawa sejak lahir. Contohnya,

jika ayahnya seorang musisi maka kemungkinan besar anaknya juga akan

menjadi seorang musisi dan jika ayahnya seorang pelukis, maka kemungkinan

besar anaknya juga akan menjadi seorang pelukis, dan sebagainya.30

Menurut teori ini, pengalaman dan pendidikan tidak memiliki arti apapun

atau tidak berpengaruh apapun. Yang menentukan pendidikan pada teori

nativisme ini adalah faktor hereditas yang bersifat kodrati dan dibawa sejak

lahir. Pembawaan tersebut tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan. Maka

dari itu, pendapat seperti itu disebut dengan “Paedagogic Pesimism”.31

Teori ini

bersifat pesimistis dikarenakan tidak membutuhkan peran pendidikan. Sejak

dahulu hingga sekarang, semua orang berusaha mendidik kaum muda karena

pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Konsep

nativisme ini tidak dapat dijadikan teori karena tidak dianggapnya pengaruh

lingkungan dan pendidikan.32

Dengan demikian, pendidikan menurut teori

nativisme ini seluruhnya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor bawaan dari

dalam diri yang bersifat kodrati. Hal-hal apapun yang berasal dari luar seperti

lingkungan dan pendidikan sama sekali tidak dianggap sebagai faktor yang

menentukan perkembangan seseorang. Oleh sebab itu, teori nativisme ini tidak

dapat dipertanggungjawabkan.

2. Teori Empirisme

Tokoh utama dari teori empirisme ini adalah John Lock, seorang filsuf

kebangsaan Inggris, yang terkenal dengan teorinya yaitu “tabularasa”,

maksudnya adalah bahwa seseorang terlahir seperti kertas kosong yang belum

ada tulisan apapun, maka pendidikanlah yang kan mengisi diri seseorang

30

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h.

177. 31

Fadhilah Suralaga dan Solicha, Psikologi Pendidikan, (Ciputat : Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. I, h. 7. 32

Baharuddin, Op.cit., h. 72.

15

tersebut. Maka dari itu, teori ini disebut dengan optimisme pedagogis.

Empirisme berasal dari bahasa Latin, yaitu empiri yang berarti pengalaman.

Perkembangan sesorang ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau

pengalaman-pengalaman yang dialami dalam kehidupannya.33

Menurut pendapat empirisme, pendidikan merupakan peran penting

dalam membentuk peserta didik untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Teori

empirisme ini berbanding terbalik dengan teori nativisme, yang berpendapat

bahwa perkembangan manusia itu hanya dipengaruhi oleh faktor hereditas atau

pembawaan saja, sedangkan teori empirisme ini berpendapat bahwa

perkembangan itu hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengalaman

(pendidikan) saja, faktor bawaan tidak sama sekali mempengaruhi

perkembangan manusia.34

Menurut perspektif Islam, teori empirisme ini memiliki sisi benarnya dan

tidak benarnya. Sisi benarnya yaitu teori empirisme ini searah dengan perspektif

Islam yang menyebutkan bahwa pendidikan atau lingkungan sangat berpengaruh

pada pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, akan tetapi tidak dapat

dikatakan sepenuhnya seperti itu, karena pendidikan dan lingkungan tidak

seluruhnya dapat berpengaruh pada peserta didik. Misalnya, perihal lahirnya

Nabi Muhammad SAW, beliau lahir di lingkungan yang kurang mendukung,

yaitu lingkungan pemuja patung dewa, lingkungan yang selalu semangat, yang

senang melakukan perang, terbiasa dengan berjudi, mabuk-mabukan, dan lain

sebagainya. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW bisa menjadi seorang nabi.35

Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tidak seluruhnya terpengaruh

oleh lingkungan atau pendidikan, akan tetapi disebabkan oleh hal-hal lain,

seperti sifat, kebiasaan, dan faktor pembawaan (hereditas) yang dibawa sejak

lahir untuk menjadi seorang nabi yang mulia, serta adanya petunjuk dari Allah

SWT. Dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, faktor bawaan

33

Syafril dan Zelhendri Zen, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: Kencana, 2017), cet.

I., h. 134. 34

Sumadi Suryabrata, Op.cit., h. 178. 35

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,

2009), cet. I, h. 122.

16

(hereditas) sejak lahir dan faktor lingkungan sama-sama memiliki pengaruh

dalam membentuk potensi manusia.

3. Teori Konvergensi

William Stren merupakan ahli pendidikan bangsa Jerman yang

mempelopori teori konvergensi, menurut teori konvergensi ini bahwa seorang

anak dilahirkan dengan sifat baik dan buruk. Menurutnya, pendidikan berpaut

pada hereditas anak dan lingkungan sekitar, karena hereditas dan lingkungan itu

seperti dua hal yang memiliki tujuan yang sama.36

a. Faktor Pembawaan atau Hereditas

Pembawaan merupakan kecenderungan untuk bertumbuh dan

berkembang bagi manusia berdasarkan ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu, yang

muncul pada saat rancangan dan berlaku sepanjang hidup seseorang.

Disebut sebagai kecenderungan karena pembawaan akan bertumbuh dan

berkembang jika mendapatkan kesempatan dan rangsangan dari luar. Kata

“bertumbuh” ini merujuk kepada aspek-aspek fisik, seperti anggota tubuh

yang sempurna, jenis rambut dan sebagainya. Sedangkan kata

“berkembang” merujuk kepada aspek ruhaniah, seperti pandai, kalem,

bersifat penyayang dan lain sebagainya.

Para ahli berpendapat bahwa gen merupakan unsur pembawa sifat

hereditas. Jadi, seorang peserta didik yang memiliki kulit hitam atau putih,

tinggi atau pendek, cerdas atau kurang cerdas ditentukan oleh sifat-sifat

yang ada pada gen tersebut. Gen tersebut berada pada sel kelamin, maka

akan berpindah dari orang tua kepada keturunannya pada masa rancangan.37

b. Faktor Lingkungan

Pada kenyataannya setiap individu merupakan bagian dari alam

sekitar yang tidak bisa lepas dari lingkungan. Sebagian ahli berpendapat

bahwa setiap individu tidak memiliki arti apapun tanpa adanya lingkungan

36

Ibid., h. 123. 37

Baharuddin, Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoretis Terhadap Fenomena, (Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media, 2016), cet. V, h. 63-67.

17

yang memengaruhinya. F. Patty dalam buku Psikologi Pendidikan: Refleksi

Teoretis Terhadap Fenomena, karangan Baharuddin berpendapat bahwa:

Lingkungan merupakan sesuatu yang mengelilingi individu di dalam

hidupnya, baik dalam bentuk lingkungan fisik seperti orang tua,

rumah, teman bermain, dan masyarakat sekitar, maupun dalam bentuk

lingkungan psikologis seperti perasaan-perasaan yang dialami, cita-

cita, persoalan-persoalan yang dihadapi dan sebagainya.38

Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang mengelilingi individu di

dalam hidupnya bahwasanya secara tidak langsung sejak anak dalam

kandungan ia telah dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya seorang ibu yang

sedang mengandung suasana batinnya sedang gembira atau senang dan

sebagainya (lingkungan psikis) maka kemungkinan individu tersebut

psikisnya akan sehat. Karena sejak bayi lahir dan selama masa hidupnya,

pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut akan dipengaruhi oleh

lingkungan, perawatan, dan makanan-makanan yang diterimanya. Sejak

individu dapat meniru dan bergaul, maka ia akan menirukan secara sengaja

ataupun tidak sengaja segala tingkah laku yang tertangkap oleh indranya.

Hal tersebut memengaruhi inidividu dengan pembawaanya yang menyaring

dan memilih berbagai pengalaman yang membentuk dan memberi warna

hidup dan kehidupannya lebih lanjut sebagai individu yang memiliki

karakter tersendiri.39

Psikologi Amerika, Sartain membagi lingkungan yang memengaruhi

individu menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Lingkungan alam luar, merupakan lingkungan alam yang akan

memberikan pengaruh pada individu, seperti daerah pantai dan

pegunungan. Daerah yang memiliki musim panas akan memberikan

pengaruh yang berbeda pula dengan daerah yang memliki musim dingin.

2) Lingkungan dalam, maksudnya adalah setiap makanan yang sedang

dalam pencernaan dan peresapan ke dalam pembuluh darah sehingga

38

Ibid., h. 68. 39

Ibid., h. 69-70.

18

memengaruhi sel-sel yang ada di dalam tubuh, hal seperti ini termasuk

ke dalam lingkungan dalam.

3) Lingkungan sosial atau masyarakat, yaitu tempat setiap individu

berinteraksi dengan individu yang lain. Situasi kondisi seperti ini akan

memberikan pengaruh tertentu terhadap perkembangan setiap individu.

Pengaruh lingkungan sosial masyarakat akan diterima secara langsung

maupun tidak langsung. Pengaruh yang diterima secara langsung

misalnya dalam pergaulan sehari-hari dengan keluarga, teman, dan lain

sebagainya. Sedangkan pengaruh yang diterima secara tidak langsung

misalnya melalui radio, televisi, beragam buku bacaan, dan dengan cara

lain.40

Pengaruh lingkungan yang diterima secara langsung ataupun

secara tidak langsung keduanya sangat berpengaruh dalam

perkembangan setiap individu dan akan lebih baik lagi jika pengaruh

masyarakat itu memiliki pengaruh yang baik.41

c. Interaksi Antara Hereditas dan Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh terhadap hereditas bagi individu.

Sebaliknya, lingkungan bergantung pada bagaimana individu

menginterpretasi dan memahaminya. Mungkin saja dua individu memiliki

hereditas yang sama, akan tetapi perkembangan keduanya berbeda jika

dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda. Begitu pula jika, keduanya

dibesarkan pada lingkungan yang sama, mungkin juga akan mendapatkan

perkembangan yang berbeda jika keduanya mempunyai hereditas yang

berbeda.42

Hubungan hereditas dan lingkungan sangat berpengaruh bagi

perkembangan individu. Bahkan sifat-sifat setiap individu merupakan hasil

interaksi antara hereditas dan lingkungan. Dapat diartikan bahwa interaksi

antara hereditas dengan lingkungan itulah yang menentukan keadaan

perkembangan unsur-unsur tertentu pada setiap individu.43

Maka dari itu,

40

Ibid., h. 70-71. 41

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2009), cet. V, h. 165. 42

Baharuddin, Op.cit., h. 72. 43

Baharuddin, Op.cit., h. 71.

19

dapat disimpulkan bahwa setiap individu adalah hasil dari hereditas dan

lingkungan.

William Stren menamakan teorinya dengan sebutan teori konvergensi,

diambil dari bahasa Inggris yaitu convergency, artinya memuat dua hal menuju

ke satu titik. Maksudnya adalah teori gabungan antara teori nativisme dengan

teori empirisme. Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh faktor hereditas

dan lingkungan sekitarnya. Karena bakat seseorang dapat berkembang karena

faktor lingkungan, sebaiknya para pendidik dapat menjadikan suasana

lingkungan yang sesuai dan bermacam-macam, agar bakat seseorang dapat

berkembang dengan baik. Menurut William Stern, hasil pendidikan itu

dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan, seperti bertemunya dua garis

menuju ke satu tujuan yang sama.

Pembawaan

Lingkungan

Selaras dengan hal tersebut, teori konvergensi berpendapat bahwa:

a. Pendidikan mungkin diberikan.

b. Pendidikan dimaksudkan sebagai penolong yang diberikan kepada

lingkungan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan bakat yang

baik dan mencegah berkembangnya bakat yang buruk.

c. Hasil pendidikan dibatasi oleh pembawaan dan lingkungan.44

Sesuai dengan teori konvergensi ini, dengan kata lain pendidikan adalah

sebagai tindakan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan

pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk.

a) Urgensi Teori Konvergensi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor bawaan dan

lingkungan saling berhubungan dalam perkembangan individu. Bakat individu

yang merupakan salah satu faktor bawaan akan menjadi berkembang

44

Syafril dan Zelhendri Zen, Op.cit., h. 137.

Hasil Pendidikan/

Perkembangan

20

membutuhkan kesempatan untuk mengaktualisasikan bakat tersebut. Untuk itu

diperlukan lingkungan yang baik dan mendukung perkembangan bakat individu.

Pembawaan dan lingkungan dianggap penting dalam proses pendidikan,

dikarenakan keduanya adalah faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya

dalam pendidikan. Meskipun faktor lingkungan tidak terlalu fatal, namun tetap

menjadi faktor yang harus diperhatikan oleh para pendidik. Lingkungan yang

mendukung akan memudahkan keberhasilan, namun jika lingkungan anak

kurang mendukung tentu saja hasil pendidikan kurang optimal.

Sebenarnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan tidak terlalu

memaksa, akan tetapi, tetap memiliki pengaruh yang besar terhadap

perkemabngan individu. Sehingga pengaruh lingkungan yang dapat berupa

kesempatan-kesempatan bagi individu, tergantung pula pada keputusan individu

apakah bersikap menerima, menolak, atau netral terhadap kesempatan-

kesempatan tersebut. Dengan demikian proses perkembangan individu

merupakan suatu interaksi antara faktor bawaan, lingkungan dan penentuan diri

individu yang bersangkutan.

Manusia adalah sebagai makhluk homo educandus, yaitu makhluk yang

dapat dididik.45

Maka ia layak untuk mendapatkan didikan dari lingkungan

sekitarnya baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan

masyarakat. Ia juga bertanggung jawab atas dirinya sendiri yaitu dengan cara

belajar. Sedangkan sebagai makhluk yang dapat mendidik maka wajib atasnya

untuk mendidik dan mengajarkan apa yang telah dia dapat dari belajar tersebut

walaupun yang didapatkannya itu hanya sepotong kuku, artinya apa yang ia

dapatkan baru sedikit. Sebagaimana telah dijelaskan pada Al-Qur‟an Surat At-

Taubah 122.

هم فرقة كل من ن فر ف لول ۞وما كان ٱلمؤمنون لينفروا كافهة ن ٱلدين ف لي ت فقههوا طائفة م

ذرون ولينذروا ق ومهم إذا رجعوا إليهم لعلههم ي

45

Direktorat Binbaga, Filsafat Penididkan Agama Islam, (Jakarta, 2001), h. 97.

21

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan

perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka

beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang

agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka

telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Teori konvergensi menganggap setiap manusia sepanjang hidupnya selalu

berada dalam perkembangan. Dimana dalam perkembangan tersebut didasarkan atas

tujuan pendidikan yaitu manusia penerus hingga akhir hidupnya. Berdasarkan proses

perkembangannya manusia itu selalu ditentukan oleh perpaduan pengaruh dari faktor

pembawaan (kemampuan dasar) dan faktor lingkungan sekitar, baik yang disengaja

(seperti pendidikan) maupun yang tidak disengaja seperti pergaulan dan lingkungan

alam, sesuai dengan pandangan konvergensi.

Islam telah memberikan konsep atau pandangan bahwa perkembangan manusia

diletakkan pada posisi dua titik lingkaran yaitu sebagai makhluk pribadi yang selalu

mempererat hubungan dengan Tuhan dan sekaligus menjalin hubungan dengan

masyarakatnya. Dengan ikatan dalam lingkaran inilah maka manusia menempuh

rangkaian proses perkembangan yang menuju kearah martabat hidup manusiawi sesuai

dengan kehendak Tuhannya. Sehingga antara kedua kemampuan ini saling pengaruh-

mempengaruhi dalam pribadi internal manusia muslim yang hidup dinamis.

Pandangan Islam sebagaimana tersebut di atas lebih bercorak konvergensi

karena mengakui adanya pengaruh internal (keimanan dalam pribadi) dan pengaruh

eksternal (berupa kegiatan sosialitas dalam masyarakat). Jelasnya bahwa manusia tidak

saja dipandang sebagai makhluk ideal dan struktural akan tetapi juga diletakkan pada

posisi potensial dalam proses perkembangannya.46

Namun faktor kemampuan potensial

yang alami dari anugerah Tuhanya bagaimana pun memiliki ciri-ciri khas dalam

perkembangannya menurut lingkungan sekitar dimana ia tinggal.

Dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam mempunyai tugas

untuk mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud

kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. Karena ajaran agama Islam mengandung

unsur pondasi bagi perkembangan seseorang. Sedangkan dalam usaha

46

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 65-66.

22

pengembangannya haruslah dilakukan secara sadar, berencana dan sistematis.47

Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:

لت ركبه طب قا عن طبق

“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”.

Bahwasanya manusia dalam usaha perkembangannya tidaklah dilakukan secara

langsung, akan tetapi setahap demi setahap atau sedikit demi sedikit. Mulai manusia

tersebut dalam kandungan sampai dengan masa remaja, dewasa bahkan sampai manusia

itu kemudian mati, ia akan mengalami perkembangan yaitu melalui proses pendidikan,

baik dari dalam dirinya, keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.

Selain William Stern, Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh pendidikan

nasional juga menyepakati teori konvergensi, yaitu perkembangan manusia ditentukan

oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Menurutnya perkembangan peserta didik dibagi

menjadi beberapa fase mulai dari lahir sampai dewasa. Fase-fase tersebut adalah periode

yang sangat penting untuk perkembangan panca indera dan tubuh, yaitu pada jaman

wiraga (0-8 tahun). Selain itu, ada juga fase pada masa perkembangan yang mencakup

pikiran anak disebut sebagai jaman wicipta (8-16 tahun) dan ada juga fase tentang

penyesuaian diri dengan masyarakat yaitu jaman wirama (16-24 tahun). Kecepatan atau

kelambanan peserta didik pada masa perkembangan sangat bergantung pada pengaruh

lingkungannya. Faktor hereditas menurut Ki Hajar Dewantara disebut sebagai faktor

dasar. Faktor hereditas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pembawaan yang dibawa sejak lahir, misalnya seperti susunan urat syaraf,

tulang-tulang, otot-otot dan lain sebagainya.

b. Pembawaan kejiwaan, misalnya seperti pembawaan kecerdasan, tinggi-

rendahnya IQ, potensi khusus yang dapat dikembangkan.48

Adapun pengertian pendidikan yang sesuai dengan teori konvergensi tersebut

yaitu pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh pendidikan

47

Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2001), h. 4. 48

Rusman, “Redefinisi Teori Among Ki Hajar Dewantara”, Edukasi,

(https://www.kompasiana.com/rusman245/5500f04ca333114e75512706/redefinisi-teori-among-ki-

hajar-dewantara). Diakses pada 17 September 2019 pukul 14.25.

23

nasional, menurutnya pendidikan merupakan upaya yang dilaksanakan dengan penuh

kesadaran yang bertujuan untuk kebahagiaan manusia. Pendidikan memiliki arti

memelihara hidup agar tumbuh ke arah yang lebih maju, tidak boleh melanjutkan

kehidupan masa lalu. Pendidikan adalah upaya kebudayaan, yang berasaskan peradaban,

artinya memajukan hidup untuk mempertinggi derajat kemanusiaan.49

Teori konvergensi bukanlah suatu hal yang baru dalam sistem pendidikan formal

di Indonesia. Pengaruh teori konvergensi ini sudah diketahui sejak pertama kali

dirumuskannya sistem pendidikan nasional di Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara. Ki

Hajar Dewantara menyebutkan dalam tulisannya bahwa segala usaha dan cara

pendidikan harus sesuai dengan keadaan. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga

berpendapat bahwa pendidikan itu sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan

seseorang, Ki Hajar Dewantara juga mengakui adanya peran yang cukup penting dari

faktor pembawaan (dasar) yang disebut sebagai kekuasaan kodrati.50

Hasil pemikiran Ki Hajar Dewantara yang dekat dengan teori konvergensi ini

dapat juga dilihat dari mottonya yang sampai sekarang menjadi motto pendidikan

nasional, yaitu sebagai berikut:51

a. Ing ngarso sung tulodo, yang memiliki arti bahwa seorang pendidik merupakan

orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan dan seharusnya mampu

menjadi teladan yang baik bagi peserta didik.

b. Ing madya mangun karso, kata mangun karso memiliki arti membangun

kehendak dan kemauan agar dapat mengabdikan dirinya kepada cita-cita yang

tinggi. Sedangkan ing madya memiliki arti di tengah-tengah, maksudnya adalah

pergaulan sehari-harinya menciptakan suasana yang harmonis dan terbuka. Jadi

maksud dari ing madya mangun karso adalah seorang pendidikan adalah sebagai

pemimpin yang seharusnya mampu meningkatkan minat dan kemauan peserta

didik agar dapat berkarya sehingga dapat mengabdikan dirinya kepada cita-cita

yang tinggi.

49

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada, 2005), cet. I, h. 131. 50

Jusrin Efendi Pohan, Filsafat Pendidikan: Teori Klasik Hingga Postmodernisme dan

Problematikanya di Indonesia. (Depok: Rajawali Pers, 2019), cet. I, h. 166. 51

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.

35.

24

c. Tut wuri handayani, kata tut wuri memiliki arti mengikuti dari belakang dengan

rasa cinta dan kasih sayang serta penuh tanggung jawab. Sedangkan handayani

memiliki arti membebaskan dan bimbingan dengan penuh perhatian kepada

peserta didik agar mereka dapat berkembang sesuai dengan bakat yang

dimilikinya.52

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tugas pendidikan itu

selain menjaga budaya masa lalu yang masih relevan, pendidikan juga harus

menerima masukan dan kreativitas yang baru. Pendidikan tidak hanya memiliki

arti untuk membangun, akan tetapi seberapa besar pendidikan dapat memberikan

manfaat untuk menopang kemajuan bangsa di masa yang akan datang, sehingga

tetap terjaganya keberadaan dan tingkat kelulusan dengan baik.53

Dengan demikian, pokok pikiran dari teori konvergensi ini bahwa

potensi atau bakat peserta didik dapat berkembang dengan sangat baik tidak

hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan atau hereditas dan juga tidak hanya

dipengaruhi oleh faktor lingkungan saja. Melainkan, potensi peserta didik akan

berkembang dengan sangat baik karena adanya pengaruh dari kedua faktor

tersebut terutama pendidikan.54

B. Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Dalam bahasa Arab kata pendidikan itu berasal dari kata al-

tarbiyah.55

Menurut perkataan ulama yang berkaitan dengan kata al-

tarbiyah memiliki tiga definisi, diantaranya:

a. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabaa, yarbuu dengan arti

bertambah dan berkembang. Pengertian al-tarbiyah ini berdasarkan

pada QS. ar-Rum [30]: 39.

52

Haryanto, Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, (FIP UNY), h. 13.

(http://staffnew.uny.ac.id/upload/131656343/penelitian/PENDIDIKAN+KARAKTER+MENURU

T+KI+HAJAR+DEWANTORO.pdf). Diakses pada 10 September 2019 pukul 14.56. 53

Abuddin Nata, Op.cit., h. 35. 54

Ujam Jaenudin, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), cet. I, h. 26. 55

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus adz-Dzurriyat), h.

137.

25

فطرت ا فأقم وجهك للدين حنيف ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي

لك ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون ذ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama

Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan

manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah

Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia

tidak mengetahui.

b. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabiya, yarba yang berarti

tumbuh, subur, dan berkembang. Hal ini berdasarkan firman Allah

SWT dalam QS. al-Baqarah [2]: 276.

ل يب كله كفهار أثيم ا وي رب ٱلصهدقت وٱلله ٱلرب و يحق ٱلله

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan

Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,

dan selalu berbuat dosa.

c. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabba, yarubbu yang berarti

memperbaikinya dengan kasih sayang dan lain sebagainya, sehingga

menjadi baik setahap demi setahap. Hal ini sejalan dengan firman

Allah SWT dalam QS. al-Isra‟ [17]: 24.

هما كما رب هيان صغري ا وٱخفض لما جناح ٱلذل من ٱلرهحة وقل رهب ٱرح

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan

penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,

kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah

mendidik aku waktu kecil.56

Jadi, dapat disimpulkan dari ketiga akar kata al-tarbiyah dengan

penggunaannya dalam al-Quran maka al-tarbiyah atau pendidikan secara

bahasa adalah memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, dan merawatnya

dengan penuh kasih sayang.

56

Abuddin Nata, Op.cit, h. 18.

26

Karena sangat luasnya pengertian al-tarbiyah ini, maka Naquib al-Attas

sebagai pakar pendidikan tidak memiliki pendapat yang sama seperti pakar

pendidikan lainnya dalam menggunakan kata al-tarbiyah dengan arti

pendidikan. Karena menurutnya kata al-tarbiyah memiliki arti dan cakupan

yang sangat luas. Kata al-tarbiyah tidak hanya menjangkau manusia melainkan

menjaga juga alam jagat raya termasuk ke dalam cakupan tersebut. Menurut

Naquib al-Attas benda-benda selain manusia tidak dapat dididik karena tidak

memiliki akal, pancaindra, hati nurani, bahkan fitrah yang memungkinkan

untuk dididik. Yang memiliki potensial tersebut hanyalah manusia. Maka dari

itu, Naquib al-Attas berpendapat bahwa kata al-ta‟dib lah yang lebih cocok

untuk digunakan dalam arti pendidikan.57

Al-ta‟dib biasanya diartikan dengan pendidikan yaitu tata krama, sopan

santun,58

budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Kata al-Ta‟dib yang berakar

dari kata adab memiliki definisi pendidikan peradaban atau kebudayaan.

Maksudnya adalah, manusia yang memiliki peradaban yang unggul itu lahir

melalui pendidikan. Al-Ta‟dib menurut Naquib al-Attas adalah pengakuan serta

pengenalan yang secara berturut-turut ditanamkan kepada manusia mengenai

tempat-tempat yang sesuai dengan segala sesuatu pada aturan penciptaan,

sehingga dapat mengarahkan pengenalan dan pengakuan kekuatan dan

kemuliaan Sang Pencipta.59

Akan tetapi, tetap saja kata al-tarbiyah lebih

populer dan sering digunakan oleh para ahli dalam penyebutan pendidikan

agama Islam.

Sebagai manusia yang masih mempelajari agama, tentu sulit mengartikan

apa itu agama, apalagi di dunia ini agama sangatlah beragam. Pandangan

seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahaman kita sebagai manusia

terhadap ajaran agama itu sendiri. Agar pemahaman kita terhadap agama

semakin kuat, kita diharuskan untuk mempelajarinya, tentunya dengan

dorongan pengetahuan yang tinggi.

57

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. I, h. 10. 58

Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 13. 59

Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2017),

cet. V, h. 20.

27

Pengertian agama, menurut para ahli dibagi menjadi dua pengertian.

Pengertian secara bahasa dan secara istilah. Secara bahasa, agama berasal dari

kata ad-din dan religi. Kata agama ditinjau juga dari kata ad-din, yang berarti

peraturan, undang-undang, dan hukum. Dalam bahasa Arab, ad-din memiliki

arti tunduk dan patuh. Sedangkan, kata religi berasal dari bahasa Latin, yang

sebagian para ahli mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata relegere

yang memiliki arti mengumpulkan dan membaca. Selain itu, ada pula yang

mendefinisikan bahwa agama berasal dari bahasa sansakerta yaitu a yang

berarti tidak dan gama yang berarti pergi. Maka agama memiliki arti tidak

pergi, diam di tempat, langgeng, dan diwariskan secara turun temurun.60

Akan

tetapi banyak teori mengenai akar kata agama. Salah satu diantara teori tersebut

mengatakan, akar kata agama adalah gam yang diawali dengan huruf a dan

diakhiri pula dengan huruf a sehingga menjadi a-gam-a yang artinya adalah

aturan, tata cara, dan upacara atau perayaan hubungan manusia dengan raja.

Akar kata tersebut terkadang diawali dengan huruf i dan diakhiri dengan huruf

a, sehingga menjadi kata i-gam-a yang memiliki arti tata cara, aturan, dan

perayaan dalam berhubungan dengan dewa-dewa. Terkadang juga akar kata

gam diawali dengan huruf u dan diakhiri dengan huruf a, sehingga menjadi

kata u-gam-a yang memiliki arti sama dengan a-gam-a dan i-gam-a hanya saja

kata u-gam-a ini berhubungan antar manusia.61

Secara istilah, agama

merupakan aturan keyakinan adanya yang Maha Mulia di luar manusia, serta

suatu aturan kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan alam semesta,

yang sesuai dengan aturan keyakinan dan aturan penyembahan.62

Islam berasal dari bahasa Arab yaitu salama, yang berarti patuh. Dengan

kata dasarnya yaitu salima yang memiliki arti sejahtera, tidak tercela. Kata

tersebut juga berakar kata salm, silm yang berarti kepatuhan, ketenangan, dan

berserah diri.63

Maka dari itu Islam merupakan agama yang memberikan

60

Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan

Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), cet. I, h. 2. 61

Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2008), cet. I, h. 35. 62

Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Op.cit., h. 3. 63

Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 49.

28

bimbingan kepada manusia tentang seluruh permasalahan kehidupan duniawi

untuk mencapi tujuan atau kehidupan yang mulia, dengan berpegang teguh

kepada al-Quran dan Hadits.

Pendidikan Agama Islam merupakan rancangan yang sudah

direncanakan dalam mengatur peserta didik untuk mengetahui, merasakan,

sampai mempercayai paham tentang agama Islam disertakan dengan

bimbingan agar menghormati pemeluk agama lain dalam hubungannya dengan

kerukunan dalam hidup beragama sehingga tercapainya kesatuan dan persatuan

bangsa.64

2. Sumber Pendidikan Agama Islam

Yang dimaksud dengan sumber pendidikan agama Islam adalah referensi

yang melahirkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diproses dalam

pendidikan agama Islam. Sumber pendidikan agama Islam menurut Sa‟id

Ismail sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung, dalam buku

karangan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,65

terdapat enam macam,

diantaranya:

a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an merupakan referensi utama pendidikan agama Islam.

Pada awal zaman pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad SAW menjadikan

Al-Qur‟an sebagai referensi belajar pendidikan agama Islam. Tingkatan

Al-Qur‟an, sebagai referensi belajar yang paling pokok ditegaskan oleh

Allah dalam Al-Qur‟an surat al-Nahl: 64.

لم ٱلهذي ٱخت لفوا فيو وىد ي ؤمنون لقوم ورحة ى وما أنزلنا عليك ٱلكتب إله لت ب ي

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,

melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang

mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi

kaum yang beriman.66

64

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan

Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2011), cet. II, h. 6. 65

Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Op.cit., h. 31. 66

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), cet. Xii, h. 306.

29

Al-Qur‟an menurut bahasa yaitu bacaan, berasal dari akar kata

qara-a, yang memiliki arti membaca. Sedangkan secara istilah menurut

Manna‟ al-Qathan alquran ialah kalamullah yang diturunkan kepada

Rasulullah yang membacanya dinilai ibadah. Juga menurut al-Zarqani

bahwa Alquran ialah lafal yang diturunkan kepada Rasulullah dimulai

dari surah Al-fatihah sampai akhir surat An-nas. Pengertian lebih lengkap

dipaparkan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa al-quran ialah firman Allah

yang diturunkan kepada hati Rasulullah melalui malaikat Jibril dengan

menggunakan bahasa arab agar menjadi dalil dan petunjuk bagi

manusia.67

b. As-Sunnah (Hadits)

As-sunnah atau hadits merupakan cara yang pernah dicontohkan

Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan

dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu hadits qauliyah, fi‟liyah, dan takririyah yang merupakan sumber

yang bisa digunakan umat islam dalam setiap kegiatan sehari-hari. Hal ini

disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syariat Islam

telah terkandung dalam al-Quran, muatan hukum tersebut belum mengatur

berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analitis.

Maka dapat dilihat kedudukan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai

sumber pendidikan agama Islam yang pokok setelah al-Quran.

Eksistensinya merupakan sumber ilmu pengetahuan yang di dalamnya

terdapat keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiah yang

tidak terdapat dalam al-Quran ataupun yang di dalamnya masih

memerlukan penjelasan secara rinci, untuk memperkuat kedudukan hadits

sebagai sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan.68

c. Madzhab Shahabi

Sahabat merupakan orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah

SAW dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan beriman pula.

67

Muhammad Alim, Op.cit., h. 172. 68

Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. I, h. 47.

30

Para sahabt rasulullah SAW memiliki keunikan sifat yang berbeda dengan

orang-orang pada umumnya, antara lain: (1) tradisi yang dilakukan oleh

para sahabat Nabi SAW sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. (2) Tradisi

yang khusus dan aktual merupakan hasil sendiri. (3) Bagian kreatif dalam

kandungan merupakan ijtihad perorang yang telah ditegaskan dalam ijma‟.

(4) Perlakuan para sahabat Nabi SAW sama persis dengan ijma‟.

Usaha para sahabat Nabi SAW dalam pendidikan agama Islam

sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran pendidikan. Misalnya

usaha yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu mengumpulkan al-

Qur‟an dalam satu mushaf yang digunakan sebagai sumber pokok

pendidikan agama Islam; membenarkan keimanan masyarakat dari

kemurtadan dan melawan masyarakat mengenai ketidak mauan dari

pembayaran zakat. Sedangkan usaha yang dilakukan oleh Umar bin al-

Khattab yaitu beliau sebagai pelopor pembaharu terhadap ajaran Islam.

Perlakuannya dalam memperluas wilayah Islam dan melawan kezaliman

merupakan cara dalam membangun startegi dan perluasan pendidikan

agama Islam. Utsman bin Affan berupaya menyatukan aturan berpikir

ilmiah dalam menggabungkan susunan al-Qur‟an dalam satu mushaf.

Sedngkan Ali bin Abi Thalib dominan merumuskan beberapa konsep

pendidikan contohnya seperti keharusan beretika peserta didik pada

pendidiknya dan semangatnya dalam belajar.

d. Mashalil al-Mursalah

Menetapkan peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam

sebab-sebab yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash, dengan

mempertimbangkan kebaikan hidup bersama, dengan berlandaskan

mengambil kebaikan dan menolak keburukan.

Para pakar pendidikan memiliki hak untuk menentukan peraturan

pendidikan agama Islam sesuai dengan keadaan lingkungan. Ketetapan

yang disebutkan harus berdasarkan mashalil al-mursalah yang memiliki

tiga ciri: (1) sesuatu yang ditetapkan harus membawa kebaikan; (2)

kebaikan yang ditetapkan harus kebaikan yang bersifat menyeluruh

31

(mencakup seluruh masyarakat, tanpa adanya pembedaan); (3) ketetapan

yang diambil tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.

e. „Uruf

Kebiasaan masyarakat, yang termasuk perkataan ataupun perbuatan

yang dilakukan secara terus menerus, sehingga hati merasa tenang ketika

melakukannya karena sesuai dengan akal dan diterima oleh budi

pekertinya.

Konsensus bersama dalam „uruf dapat dijadikan sebagai referensi

dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. Dalam proses menerima „uruf

tersebut tentu memiliki syarat antara lain; (1) tidak berlawanan dengan

ketentuan al-Qur‟an dan as-Sunnah; (2) „Uruf yang dikenakan tidak

berlawanan dengan akal sehat dan budi pekerti yang baik, serta tidak

menimbulkan kerusakan dan keburukan.69

f. Ijtihad

Ijtihad secara etimologi yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh.

Sedangkan Umar Shihab mengartikan ijtihad itu dengan kesulitan. Lebih

jelasnya Umar Shihab mengartikan bahwa ijtihad itu merupakan segala

daya dan upaya untuk mengarahkan pada pengkajian, baik pengkajian

dalam ilmu hukum, ilmu kalam, maupun ilmu tasawuf. Orang yang

berkecimpung dalam pengkajian tersebut disebut dengan mujtahid.

Ijtihad merupakan sumber pendidikan agama Islam dikarenakan

proses penetapan hukum syariat yang dilakukan oleh para mujtahid dengan

menggunakan pendekatan nalar. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan

jawaban atas berbagai masalah umat yang ketentuannya tidak terdapat

dalam al-Quran dan Hadits.

3. Komponen-komponen Pendidikan Agama Islam

Komponen adalah bagian dari suatu perangkat yang berperan dalam

suatu proses agar memperoleh tujuan sistem. Komponen pendidikan

merupakan suatu bagian dari proses pendidikan, yang memastikan berhasil atau

69

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit., h. 38-42.

32

tidaknya suatu proses pendidikan. Bahkan dapat pula disebut untuk berjalannya

proses pendidikan dibutuhkannya keberadaan komponen-komponen tersebut.70

Komponen-komponen dalam proses pendidikan terdiri dari lima

komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2) bahan pelajaran atau materi, 3)

metode, 4) alat atau media, dan 5) evaluasi pendidikan.71

a. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan pendidikan agama Islam pada dasarnya sama dengan tujuan

Islam. Sesuai dengan sumber pendidikan agama Islam, maka tujuan

pendidikan agama Islam merujuk kepada al-Qur‟an dan Hadits. Khususnya

yang berhubungan dengan penciptaan manusia, yaitu untuk menjadikan

manusia sebagai pengabdi Allah SWT yang setia. Ditegaskan dalam al-

Qur‟an:

نس إله لي عبدون وما خلقت ٱلنه وٱلDan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)72

Secara umum pendidikan agama Islam bertujuan untuk menumbuhkan

akidah melalui pemberian, pengembangan pengetahuan, pengamalan,

pembiasaan, serta pengalaman peserta didik mengenai agama Islam sehingga

menjadi muslim yang keimanan dan ketakwaannya kepada Alah SWT

berkembang. Serta mewujudkan manusia yang taat akan agama dan

mempunyai akhlak mulia, yaitu manusia yang memiliki pengetahuan, rajin

beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, disiplin, bertoleransi, menjaga

keharmonisan baik untuk diri sendiri maupun orang lain serta dapat

mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.73

70

Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, Perencanaan Pendidikan, (Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 51. 71

Jumanta Hamdayama, Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), cet. II, h.

17. 72

Jalaludin, Pendidikan Islam: Pendekatan Sistem dan Proses, (Jakarta: Rajawalipers,

2016), cet. I, h. 143. 73

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009), h. 189.

33

Dalam GBPP PAI 1994 Pendidikan agama Islam bertujuan untuk

meningkatkan keimanan, penghayatan, pemahaman, dan pengamalan peserta

didik tentang agama Islam, sehingga menjadikan manusia yang bertakwa dan

beriman kepada Allah SWT kemudian berakhlak mulia dalam kehidupan

individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dari tujuan di atas, ada beberapa hal yang dapat ditingkatkan melalui

kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, diantaranya:

1) Mengenai keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.

2) Mengenai masalah intelektual dan keilmuan peserta didik terhadap ajaran

agama Islam.

3) Mengenai pengalaman batin yang dialami oleh peserta didik selama

menjalankan ajaran agama Islam.

4) Mengenai pengamalannya, maksudnya adalah ajaran agama Islam yang

telah diimani, dipahami, dan dihayati oleh peserta didik dapat

menumbuhkan motivasi untuk menjalankan, mengamalkan, dan menaati

ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.74

b. Bahan Pelajaran atau Materi

Bahan pelajaran merupakan inti yang akan disampaikan dalam proses

belajar mengajar. Oleh sebab itu, guru yang akan mengajar pasti mempunyai dan

mendalami materi yang akan disampaikan kepada peserta didik.75

Peserta didik

juga merupakan salah satu bagian komponen penting dalam pendidikan, maka

Amstrong berpendapat mengenai beberapa permasalahan mengenai peserta didik

yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Permasalahan itu mengenai latar

belakang budaya masyarakat peserta didik, tingkat kemampuan peserta didik,

masalah yang dirasakan oleh peserta didik dan penguasaan bahasa peserta didik

di sekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut diharuskan adanya pendidikan

yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus kepada peserta

74

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012),

cet. V, h. 78. 75

Jumananta Hamdayama, Loc.cit.

34

didik yang mempunyai kelainan, dan penanaman sikap dan tanggung jawab pada

peserta didik.76

c. Metode

Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Metode juga bertujuan sebagai cara dalam mentransfer nilai-

nilai pendidikan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Maka dari

itu, penggunaan dari metode dalam pendidikan sangat diperlukan. Beberapa

metode dalam pendidikan yaitu metode proyek, metode eksperimen, metode

diskusi, metode demonstrasi, metode karya wisata, dan lain sebagainya.

d. Alat atau Media

Alat atau media merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk

mencapai tujuan pendidikan atau pengajaran sehingga pendidikan yang

berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan. Contohnya, grafik, bagan, dan

komputer.

e. Evaluasi Pendidikan

Evaluasi merupakan suatu kegiatan mengumpulkan data secara

mendalam da menyeluruh, yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik

yang bertujuan agar mengetahui hasil belajar peserta didik sehingga dapat

mengembangkan kemampuan belajarnya.77

Konsep yang paling penting dalam

evaluasi adalah evaluasi harus bersifat kontinu dan menyeluruh. Kontinu

dipraktikkan pada saat melaksanakan tes harian, tes bulanan, dan tes akhir

program. Menyeluruh dipraktikkan pada saat melaksanakan tes yang

dimaksudkan kepada seluruh aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Satu hal yang harus dipertimbangkan oleh pendidik dalam evaluasi

pendidikan agama Islam atau penilaian yaitu masalah pengamalan agama oleh

peserta didik baik di rumah, di masyarakat, ataupun di sekolah.78

Komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling

berhubungan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.

76

Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, Op.cit., h. 52. 77

Jumananta Hamdayan, Op.cit., h. 18. 78

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1997), h. 94.

35

4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Dalam buku Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA karangan

Ismatu Ropi, Fuad Jabali, Oman Fathurrahman, Din Wahid, Didin Syafrudin

menjelaskan tentang ruang lingkup pendidikan agama Islam. Dengan tujuan

agar pendidik dapat memahami berbagai konsep dasar dalam pengajaran

agama Islam di sekolah. Ada 5 macam materi dalam pendidikan agama Islam,

yaitu al-Qur‟an, Aqidah, Akhlak, Fikih, dan Tarikh dan Kebudayaan Islam.

Masing-masing telah disebutkan berbagai macam mata pelajarannya,

diantaranya:

a. Al-Qur‟an, mata pelajarannya mencakup; berlomba-lomba dalam

kebaikan, bersih dan sehat, etos kerja, ikhlas, ilmu pengetahuan dan

teknologi, khalifah, penciptaan manusia, lingkungan, manusia, menuntut

ilmu, musyawarah, peduli, sabar, toleransi agama.

b. Aqidah, mata pelajarannya mencakup; arsy, azali, fatalisme, hari kiamat,

ikhtiar, iman, ismah, istiqomah, kafir, malaikat, hal-hal ghaib, mukjizat,

nasib, qadha dan qadar, qanaah, risalah, sunatullah, syirik, taaguut,

takhayul, tawakal, dan ulu al-Azmi.

c. Akhlak, yang termasuk ke dalam mata pelajarannya diantaranya; adil,

akhlak, amanah, ananiyah, ghadab, hasad, hilm, husn al-Dann, iffah,

ikhlas, israf, munafik, muruah, namimah, raja, ridha, riya, sabar, taat,

takabur, qanaah, tasamuh, taubat, tawadhu, tawakal.

d. Fikih, yang termasuk ke dalam materi pelajarannya diantaranya; akikah,

aurat, baitul mal, dakwah, darurat, faraid, fasakh, hablun min al-Nas dan

hablun min al-Lah, hadanah, haid, harfiyah, hijab, idah, idulfitri dan

iduladha, ijab kabul, ijma, ijtihad, ila, jenazah, kafarat, khiyar, khulu,

kurban, lian, menghadap kiblat, mudarrabah, mukallaf, mumayyiz,

musafir, puasa, qiyas, ria, rukhsah, shalat dan khutbah Jum‟at, shalat

jamak dan qasar, macam-macam sujud (sahwi, syukur, tilawah), syarak

(hukum Islam), talak, waris, wasiat, zakat, zihar.

e. Tarikh dan Kebudayaan Islam, ada beberapa materi pelajaran diantaranya;

Abdurrahman bin Awf, Abu Bakar, Abu Hurairah, Abu Jahal, Abu Lahab,

36

Abu Sufyan bin Harb, Abu Thalib, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Anshar,

badar, bay‟ah, bayt al-mal, Hamzah, hijrah, perjanjian hudaibiyah, Hunain,

Ibnu Abbas, jahiliyah, jama‟ah, ka‟bah, Khadijah, khalifah, perang

khandaq, Madinah, Mekkah, Mu‟awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad,

piagam Madinah, Quraisy, riddah, sahabat, perang siffin, suku, tabuk,

Thalhah bin Ubaidillah, perang uhud, Umar bin Khattab, umat, Utsman bin

Affan, Yahudi, Zayd bin Tsabit, Al-Zubayr bin al-Awwam.79

5. Tugas dan Fungsi Pendidikan Agama Islam

a. Tugas Pendidikan Agama Islam

Tugas pendidikan agama Islam secara umumnya merupakan

mengarahkan dan membimbing perkembangan dan pertumbuhan peserta

didik dari tingkatan kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan

tertinggi.

Tugas pendidikan agama Islam dapat ditinjau melalui tiga

pendekatan, diantaranya: pendidikan agama Islam sebagai proses

pewarisan budaya, pengembangan bakat, dan hubungannya antara budaya

dan bakat.

Sebagai pengembangan bakat, pendidikan agama Islam memiliki

tugas mendapatkan dan mengembangkan kecakapan dasar peserta didik,

sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama

Islam sebagai proses pewarisan budaya memiliki tugas sebagai alat

penyebaran bagian-bagian utama budaya dari satu generasi ke generasi

selanjutnya, sehingga tetap terjaganya identitas peserta didik dalam

tantangan zaman. Adapun pendidikan agama Islam sebagai interaksi antara

budaya dan bakat, memiliki tugas yaitu sebagai cara memberi dan

mengambil antara manusia dan lingkungan. Dengan cara tersebut, peserta

didik akan mampu menghasilkan dan mengembangkan kreativitas-

kreativitas yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan-keadaan

kemanusiaan dan lingkungannya.

79

Ismatu Ropi, dkk., Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA, (Jakarta: Kencana,

2012), cet. I, h. Xxvi.

37

Agar tugas pendidikan agama Islam dapat tercapai dan berjalan

dengan baik seharusnya dipersiapkan keadaan pendidikan yang fleksibel,

dinamis, dan mendukung.80

b. Fungsi Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama Islam diharuskan dapat menjalankan fungsinya

secara terstruktur ataupun institusional. Fungsi pendidikan agama Islam

secara terstruktur diharuskan adanya struktur organisasi yang mengatur

jalannya proses pendidikan, baik pada dimensi vertikal maupun horizontal.

Sedangkan fungsi pendidikan agama Islam secara institusional memiliki

implikasi bahwa proses pendidikan yang berjalan seharusnya dapat

memnuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus

berkembang. Maka dari itu, dibutuhkannya kerjasama berbagai jalur dan

jenis pendidikan mulai dari sistem pendidikan sekolah maupun pendidikan

luar sekolah.

Jika ditinjau secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari

dua bentuk, yaitu:

1. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-

tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide

masyarakat dan nasional.

2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada

hakikatnya, cara ini dilakukan dengan cara potensi ilmu pengetahuan

dan keterampilan yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga peserta

didik yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial

dan ekonomi yang demikian dinamis.81

C. Hasil Penelitian Relevan

1. Bagus Akbar Saputra, Sarjana Universitas Islam Negeri Sunana Kalijaga

Yogyakarta tahun 2017, dengan judul skripsi “Konsep Konvergensi Menurut

Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama

80

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,

(Jakarta: Kalam Mulia, 2015), cet. IV, h. 122. 81

Ibid., h. 123.

38

Islam”. Berdasarkan penelitian di atas bahwa konsep teori konvergensi

menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki hubungan dengan tujuan pendidikan

agama Islam. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa teori konvergensi ini memiliki

keselarasan dengan teori fitrah dalam agama Islam, dan juga sesuai apabila

dijadikan sebagai patokan dalam mengembangkan konsep pencapaian tujuan

pendidikan agama Islam dengan melakukan penelaahan terhadap tujuan

falsafah tamansiswa yaitu tertib damai salam bahagia yang selaras dengan

tujuan khalifah fil ard.82

2. Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif Teori Fitrah

dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat) penelitian ini dilakukan

oleh Triwidyastusi, Magister Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Berdasarkan penelitian di atas bahwa jika dilihat dari konsep pendidikannya

teori konvergensi lebih memiliki nilai dibandingkan dengan teori nativisme

dan teori empirisme. Teori konvergensi merupakan gabungan dari kedua teori

tersebut, maka hampir sama dengan teori fitrah. Akan tetapi, teori konvergensi

ini tidak sebanding dengan teori fitrah karena teori konvergensi cenderung

bersifat keduniawian. Lebih mementingkan kesuksesan dunia dan

meninggalkan orientasi akhirat. Atau biasa disebut dengan antroposentris

(tanpa melibatkan Tuhan). Sedangkan dalam teori fitrah manusia dapat

mengembangkan dirinya tidak hanya dengan faktor hereditas dan lingkungan

saja, tetapi juga melibatkan urusannya dengan Tuhan.83

3. Yusuf Dwi Hadi, Sarjana Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam

Negeri Tulungagung, tahun 2014, dengan judul skripsi “Konsep Pembentukan

Kepribadian Anak Menurut Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan

Islam”. Berdasarkan penelitian di atas bahwa konsep pembentukan

kepribadian anak menurut teori konvergensi kepribadian anak itu hanya

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan.

82

Bagus Akbar Saputra, “Konsep Konvergensi Menurut Ki Hadjar Dewantara dan

Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama Islam”, Skripsi pada UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Yogyakarta, 2017, h. 17. 83

Triwidyastuti, “Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif Teori

Fitrah dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat)”, Tesis pada Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta, h. 15.

39

Sedangkan jika dilihat dalam perspektif pendidikan Islam bahwa manusia

telah mempunyai potensi, yang mencakup keimanan, ketauhidan, keIslaman,

keselamatan, keikhlasan, kesucian, cenderung menerima kebaikan dan

kebenaran, dan sifat-sifat baik lainnya. Semua potensi tersebut bukan

diturunkan dari orang tua, akan tetapi diturunkan oleh Allah SWT. Proses

pemberian potensi-potensi itu melalui struktur ruhani.84

84

Yusuf Dwi Hadi, “Konsep Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Teori

Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi pada IAIN Tulungagung,

Tulungagung, 2014, h. 90.

40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Teori Konvergensi dalam Perspektif

Pendidikan Agama Islam” ini berlangsung sejak disetujuinya judul

proposal skripsi yaitu pada 10 Januari 2019 sampai dengan 19 Maret

2019.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan Utama Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan diberbagai tempat yang

mendukung untuk penulis menyusun penelitian ini.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara ilmiah yang bertujuan untuk

mendapatkan data dengan maksud dan kegunaan tertentu. Hillway

berpendapat bahwa penelitian merupakan suatu metode studi yang

dilakukan oleh seseorang melalui penyelidikan yang sempurna terhadap

suatu masalah, agar dapat memecahkan masalah tersebut dengan tepat.85

Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan adalah salah satu jenis penelitian

kualitatif yang pengumpulan datanya dilakukan di perpustakaan.86

Penelitian kepustakaan ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data

pada sumber-sumber data yang ada, yang diperoleh dari literatur berupa

buku-buku dan tulisan-tulisan lainnya serta dengan mengandalkan teori-

teori yang ada, untuk dianalisis dan diinterpretasikan87

yang secara luas

85

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Galia Indonesia, 2013), h. 10 86

Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), cet. III, h. 190. 87

Interpretasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian kesan, pendapat

atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.

41

dan mendalam. Untuk itu peneliti menggunakan pendekatan deskriptif

kepustakaan dengan berdasarkan tulisan yang mengarah pada pembahasan

skripsi yang sedang peneliti kerjakan.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dikumpulkan dari berbagai tempat,

berbagai sumber, dan berbagai cara.88

Literatur yang dijadikan sumber

acuan dalam kajian pustaka seharusnya menggunakan sumber primer dan

dapat juga menggunakan sumber sekunder. Sumber data primer

merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang

tidak langsung memberikan data pada pengumpul data89

atau sumber lain

yang masih berkaitan dengan pembahasan. Oleh karena itu, sumber data

yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Sumber data primer pada penelitian skripsi ini meliputi buku-buku dan

jurnal yang berhubungan dengan teori konvergensi menurut William

Stern, yaitu sebagai berikut:

a. William Stern, Psychologhy of Early Childhood: Up to The Sixth

Year of Age, Terj. Anna Barwel, diterbitkan oleh Routledge Taylor

and Francis Group.

b. James T. Lamiel dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An

Introduction to William Stern‟s Critical Personalism.

c. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,

diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya.

d. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, diterbitkan oleh PT

Remaja Rosdakarya.

e. Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, diterbitkan

oleh Rajawali Pers.

88

Rully Indrawan dan R. Poppy Yaniawati, Metodologi Penelitian: Kualitatif,

Kuantitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan Pendidikan, (Bandung: Refika

Aditama, 2014), cet. I, h. 141. 89

Ibid., h. 141.

42

2. Sumber data sekunder pada penelitian skripsi ini meliputi buku-buku

literatur, ensiklopedia, internet, dan lain sebagainya yang mendukung

dalam pembahasan dan penyelesaian dalam penyusunan skripsi yang

sedang peneliti kerjakan, diantaranya sebagai berikut:

a. Jusrin Efendi Pohan, Fisafat Pendidikan, diterbitkan oleh PT

RajaGrafindo Persada.

b. Syafril dan Zelhendril Zen, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,

diterbitkah oleh Kencana.

c. Rohmalina Wahab, Psikologi Belajar, diterbitkan oleh Rajawali

Pers.

d. Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,

diterbitkan oleh Kencana.

D. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data didapat dari beberapa sumber

dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam

dan dilakukan secara kontinu sampai datanya terpenuhi.90

Analisis data

merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam penelitian karena dari

analisis ini akan mendapatkan temuan, baik temuan yang bersifat

substantif maupun formal. Pada dasarnya analisis data merupakan suatu

kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi

tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh temuan berdasarkan

fokus yang akan dijawab.

Karena penelitian ini berjenis kajian pustaka, maka teknis analisis

data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Selain itu,

dengan menggunakan analisis isi ini dapat membandingkan antara satu

buku dengan buku lainnya dalam bidang yang sama, baik berdasarkan

perbedaan waktu, penulisanya, ataupun mengenai standar kualitas buku-

90

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kulitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta), h.

243.

43

buku tersebut dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan

kepada masyarakat.91

Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian

ini dimulai dengan pengumpulan data, yaitu membuat catatan data yang

dikumpulkan melalui studi dokumentasi yang dilakukan terhadap buku-

buku mengenai teori konvergensi, kemudian mendeskripsikannya dari

setiap sumber baik primer maupun sekunder yang berhubungan dengan

teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam, setelah data

terkumpul maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah penarikan

kesimpulan. Hal ini dilakukan agar penulis dapat mengetahui konsep teori

konvergensi dalam pendidikan agama Islam.

E. Fokus Penelitian

Subjek penelitian ini merupakan tentang Teori Konvergensi dalam

Perspektif Pendidikan Agama Islam.

Cara penyajian penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Penyajian

deskriptif ini menjelaskan tentang konsep teori konvergensi menurut

William Stern.

F. Prosedur Penelitian

Tahap-tahap pada penelitian ini terdiri dari tiga tahap, diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan ini merupakan tahap awal yang dilakukan oleh

peneliti. Pada tahap ini peneliti mengunjungi perpustakaan utama UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka untuk mencari data-data

yang sesuai dengan judul skripsi.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan ini, peneliti mulai mengumpulkan data dari

buku-buku, jurnal, artikel, dan sebagainya yang berkaitan dengan judul

91

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. I, h.

181.

44

skripsi. Sumber yang didapat untuk penelitian merupakan sumber dari

perpustakaan dan internet

3. Tahap Tahap Penyelesaian

Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian yaitu peneliti berusaha

menyimpulkan hasil analisis, kemudian menyusun data dalm bentuk

hasil penelitian.

45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Konvergensi Menurut William Stern

1. Biografi William Stern

William Stern lahir pada tahun 1871 di Berlin dengan nama

lengkapnya yaitu Louis William Stern. Dimana ia menghabiskan

tahun-tahun pembentukannya, termasuk tahun belajarnya di

universitas. Stern merupakan anak dari seorang psikolog dan filsuf

Jerman yang dalam sejarah tercatat sebagai pencetus psikologi

kepribadian dan kecerdasan. Dia adalah orang yang menemukan IQ

(intellegence quotient), yang kemudian Lewis Ternan dan para

peneliti lain menggunakannya dalam pengembangan pertama tes IQ,

yang berdasarkan dengan karya Alferd Binet. Stern merupakan

seorang ayah dari Gunther Anders yang merupakan seorang penulis

dan filsuf Jerman.92

Pada tahun 1897, Stern menemukan variator nada

yang memungkinkan dia untuk melakukan penelitian mengenai

persepsi manusia terhadap suara dengan cara yang belum pernah

terjadi sebelumnya.93

Pada tahun yang sama Stern mendapatkan gelar

doktornya di Universitas Berlin, di bawah bimbingan Herman

Ebbinghaus.

William Stern menikah dengan seorang psikolog yang

bernama Clara Joseephy, dan dikaruniai sebanyak tiga orang anak

yang diberi nama Hilde, Gunther, dan Eva, masing-masing lahir pada

tahun 1900, 1902, dan 1904, yang kemudian mereka menjadi ahli ilmu

92

James T. Lamiel dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An Introduction to

William Stern‟s Critical Personalism, p. 716.

(https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0959354300106001) Diakses pada 17 September

2019 pukul 15.31. 93

WHO Schmidt, Dialogue with a Human Scientist: William Stern (1871-1938),

(University of Alberta), p. 2.

(https://journals.library.ualberta.ca/pandp/index.php/pandp/article/download/14990/11811).

Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.18.

46

pengetahuan dan menjadi filsuf.94

Pada tahun 1907, Stern bersama

istrinya menerbitkan sebuah buku tentang bahasa anak yang

berdasarkan buku harian Clara Stern dari pengembangan ketiga anak

mereka dan juga pada semua literatur yang relevan yang tersedia pada

saat itu.95

Pada tahun 1916 Stern pergi ke Hamburg, kemudian diangkat

sebagai Profesor Psikologi di Universitas Hamburg. Pada tahun 1933

Stern menjabat sebagai Direktur Institut Psikologi. Stern merupakan

seorang Yahudi yang hidup pada zaman pemerintahan yang

dijatuhkan oleh sistem pengelola pemerintah yang dijalankan oleh

Hitler setelah Nazi. Stern mencari tempat perlindungan sementara di

Belanda, kemudian pada tahun 1934 Stern pergi ke Amerika Serikat

dan diangkat sebagai Dosen dan Profesor di Duke University. Stern

mengajar di Duke University sampai waktu kematiannya pada tahun

1938.96

2. Konsep Teori Konvergensi William Stern

Menurut Djumransjah teori konvergensi merupakan teori yang

mengkompromikan dua macam teori yang ekstrem, yaitu teori

nativisme dan teori empirisme, dimana faktor pembawaan dan

lingkungan sama-sama memiliki peran penting dan keduanya

berpengaruh terhadap hasil perkembangan peserta didik.97

Tokoh utama teori konvergensi ini adalah William Stern yang

merupakan seorang filosof dan psikolog Jerman. Aliran filsafat yang

dirintis oleh William Stern disebut “personalisme”, yaitu pemikiran

filosofis yang sangat memberikan pengaruh terhadap disiplin-disiplin

ilmu yang berhubungan dengan manusia. Asas personalisme juga

digunakan oleh disiplin ilmu yaitu “personologi” yang

94

James T. Lamiel dan Werner Deutsch, Loc.cit. 95

WHO Schmidt., Op.cit., p. 3. 96

WHO Schmidt., Loc.cit. 97

Djurmansjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: 2004), h. 61.

47

mengembangkan teori yang komprehensif berkenaan dengan

kepribadian manusia.98

“When two opposite stndpoints can each bring forward

weighty arguments in support of their position, the truth must

lie in a union of both, psychic development is not simply the

gradual appearance of inborn qualities nor a simple

acceptance and response to outside influences, but the result

of a „convergence‟ between inner qualities and outer

conditions of development”.99

Maksud dari kutipan diatas adalah faktor yang mempengaruhi

perkembangan manusia tidak hanya berlandaskan pada lingkungan

atau pengalaman saja dan juga tidak hanya berlandaskan pada faktor

pembawaan atau hereditas saja, akan tetapi berlandaskan pada kedua

faktor yang sama-sama memiliki peran penting. Faktor pembawaan

atau hereditas tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya faktor

lingkungan, begitu pula sebaliknya, faktor lingkungan atau

pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan sanggup

mengembangkan manusia sesuai dengan harapan.

Para tokoh yang menganut teori konvergensi mempercayai

bahwa faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama

memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menentukan masa

depan seseorang. Misalnya apabila seorang peserta didik yang terlahir

dari keluarga kiai, suatu saat nanti seorang peserta didik tersebut akan

menjadi ahli agama apabila dididik di lingkungan pendidikan

keagamaan.100

Mungkin sebagian orang lebih banyak ditentukan oleh faktor

lingkungannya. Akan tetapi, mengenai faktor pembawaan yang

bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama,

yaitu akan berbentuk badan, berambut, dan lain sebagainya yang sama

98

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja

RosdaKarya, 2017), cet. XXII, h. 45. 99

William Stern, Psychology of Early Childhood: Up to The Sixth Year of Age, Terj.

Anna Barwell, (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 1924), p. 49.

48

dengan kedua orang tuanya. Namun, mengenai faktor pembawaan

yang bersifat rohaniah sangat sulit untuk diketahui. Banyak tanda

yang menunjukkan, bahwa atak dan bakat seseorang yang tidak

memiliki kesamaan dengan kedua orang tuanya, setelah ditelaah

ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau

ayah/ibu kakeknya. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan, bahwa

tidak semua bakat dan watak seseorang dapat dapat diturunkan

langsung kepada nak-anaknya, akan tetapi memungkinkan kepada

cucunya atau anak-anak cucunya. Sebagai contoh konkritnya, bahwa

tiap anak manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri tegak di

atas kedua kakinya, akan tetapi bakat seperti ini tidak akan menjadi

kenyataan apabila anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan

manusia.101

Pandangan ini bisa dibenarkan, karena konvergensi berangkat

dari sekularisme yang mengangap agama tidak memiliki peran penting

dalam totalitas kehidupan manusia. Bakat atau potensi dalam

konvergensi adalah potensi yang kosong dari nilai-nilai agama

(tauhid). Seperti yang terjadi pada kisah Nabi Ibrahim, walaupun

bapaknya merupakan seorang kafir, produsen berhala dan lingkungan

sekitarnya dipenuhi dengan kemusyrikan, tetapi Nabi Ibrahim adalah

seorang mukmin dan menjadi Nabi bagi umatnya pada masa itu

karena memang pada setiap diri manusia telah terdapat potensi tauhid

yang akan berkembang jika manusia berusaha merealisasikannya

dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan bimbingan wahyu Ilahi

itulah ia dapat mengembangkan potensi tauhidnya sehingga ia dapat

menemukan kebenaran yang hakiki. Pada salah satu khutbahnya yang

dimuat dalam Nahj al-Balagah, dan sesudah menyinggung penciptaan

langgit dan bumi, Ali bin Abi Thalib berkata:

“Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya di tanah mereka,

dan berturut-turut mengirimkan nabi-nabi-Nya agar mereka

101

Muhibbin Syah, Loc.cit.

49

merealisasikan perjnjian fitrah mereka, mengingatkan mereka

akan nikmat-nikmat-Nya yang telah mereka lupakan, agar

mereka dapat menyampaikan risalah, membangkitkan

pendaman-pendaman akal mereka, dan memperlihatkan

kepada mera tanda-tanda kekuasaan-Nya”.102

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan seorang peserta didik

bukan hanya karena pembawaan dan lingkungan saja, karena peserta

didik tidak hanya dikembangkan oleh faktor pembawaan dan faktor

lingkungan, tetapi oleh diri peserta didik itu sendiri. Setiap orang atau

peserta didik mempunyai potensi self-direction dan self-discipline

yang memungkinkan dirinya bebas dalam memilih, antara mengikuti

atau menolak sesuatu lingkungan tertentu yang akan mengembangkan

dirinya. Dengan begitu peserta didik memiliki potensi psikologi

tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam

situasi lingkungan tertentu.103

Hal di atas memiliki maksud yang sama dengan artikel yang

ditulis oleh James T. Lamiel dan Werner Deutsch, yang menyatakan:

“Development is a process that entails the convergence of

inner and outer factors. A person is a totality with different

facets, and acquires an identity which changes over the course

of his/her development. A human person relates both to

him/herself and to other persons, and s/he both influences and

is influenced by those others. Importantly, a human person is

able to grasp his/her own finitude”.104

Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa pendapat tentang

ajaran filosofis yang berkaitan dengan proses perkembangan tersebut,

bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya kualitas hasil

perkembangan peserta didik pada dasarnya terdiri dari dua macam,

yaitu sebagai berikut:

102

Siti Fauziyah, “Konsep Fitrah dan Bedanya dari Nativisme, Empirisme, dan

Konvergensi”, Jurnal Aqlania, Vol. 08. No. 01, ISSN. 2087-8613, 2017, h. 98. 103

Muhibbin Syah, Op.cit., h. 46. 104

James T. Lamiel dan Werner Deutsch, Op.cit., p. 726.

50

Pembawaan

Lingkungan

Hasil Pendidikan/

Perkembangan

1. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat pada diri peserta didik

yang mencakup pembawaan dan potensi psikologis yang ikut

serta mengembangkan dirinya sendiri.

2. Faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri peserta

didik yang mencakup lingkungan (khususnya pendidikan) dan

pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.105

Ada tiga teori konvergensi yang disampaikan oleh William

Stern, yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan mungkin dilaksanakan.

2. Pendidikan dimaksudkan sebagai penolong yang diberikan kepada

lingkungan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan

bakat yang baik dan mencegah berkembangnya bakat yang buruk.

3. Hasil pendidikan dibatasi oleh pembawaan dan lingkungan.

Perspektif teori konvergensi tentunya memberikan arah yang

jelas, yang berkenaan dengan pentingnya pendidikan. Pendidikan

harus dilaksanakan agar potensi peserta didik dapat ditingkatkan.

Sehingga bakat dan kompetensi yang ada pada peserta didik semakin

mahir. Jadi, semuanya berjalan sesuai dengan perannya masing-

masing.106

Dari kedua faktor tersebut, berarti hasil pendidikan atau

perkembangan, merupakan hasil dari kolaborasi antara potensi

pembawaan dan lingkungan termasuk pendidikan. Interaksi antara

pembawaan dan lingkungan (sudah termasuk pendidikan) akan

105

Muhibbin Syah, Op.cit., h. 47. 106

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017),

cet. XIII, h. 56.

51

mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, apabila

peserta didik mampu berperan aktif dalam mencernakan segala

pengalaman yang diperolehnya.

Analisis teori konvergensi ini meskipun dalam hal-hal tertentu

sangat diutamakan bakat dan potensi lainnya dari anak (bidang

kesenian, keterampilan tertentu), akan tetapi usaha penciptaan

lingkungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan itu

diusahakan secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan teori

nativisme dan empirisme tidak sepenuhnya ditolak, tetapi penerimaan

dilakukan dengan pendekatan efektif fungsional yakni diterima sesuai

kebutuhan, namun ditempatkan dalam teori konvergensi. Seperti

diketahui, tumbuh kembang manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor

yaitu hereditas, lingkungan, proses perkembangan diri sendiri, dan

anugrah (merupakan pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan

yang lebih besar (Allah Yang Maha Kuasa) yang ikut menentukan

nasib manusia.

B. Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama

Islam

Allah menciptakan manusia dalam susunan rangka yang sempurna

di antara makhluk Allah yang lain. Susunan rangka manusia terdiri dari

dua unsur, yaitu unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis).

Dalam dua unsur tersebut Allah memberikan kemampuan dasar yang bisa

berkembang. Berkembangnya dua unsur tersebut dalam psikologi disebut

potensialitas (kemampuan dasar yang dapat berkembang).107

Islam menjelaskan bahwa pembawaan dan lingkungan sama-sama

memiliki pengaruh dalam perkembangan dan pertumbuhan anak. Dalam

istilah psikologi disebut dengan teori konvergensi yaitu yang

mencampurkan antara teori nativisme dengan teori empirisme, yaitu antara

pembawaan dengan lingkungan. Sedangkan dalam Islam memiliki istilah

107

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 2006), h. 42.

52

teori fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berarti “ciptaan” atau “penciptaan”.

Selain itu, kata fitrah juga dapat diartikan sebagai “sifat dasar atau

pembawaan” dapat pula diartikan sebagai “potensi dasar yang alami”

pengetahuan tentang Tuhannya. Dengan demikian, maka kata fitrah

merupakan sifat dasar atau potensi pembawaan ketauhidan atau keislaman

yang diciptakan oleh Allah sebagi dasar suatu proses penciptaan.108

Di lingkungan sebagian pemikir Islam mereka berpendapat, bahwa

ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan ajaran

yang mendukung teori konvergensi. Dalam hadits Rasulullah SAW

misalnya bahwa setiap manusia yang dilahirkan mempunyai fitrah, yaitu

asal kejadian yang diberikan Allah SWT kepada manusia berbentuk asal

kejadian untuk meyakini adanya Tuhan, menyukai keindahan, memiliki

bakat-bakat tertentu dan lain sebagainya. Pendapat ini berdasarkan dengan

hadits Nabi SAW sebagai berikut.

ث نا اب ث نا آدم، حده ، عن أب سلمة بن عبد الرهحن، عن أب حده ن أب ذئب، عن الزىري

كل مولود يولد على الفطرة، »ىري رة رضي الله عنو، قال: قال النهب صلهى هللا عليو وسلهم:

سانو فأب واه ي هودانو، أ رانو، أو يج .و ي نص

“Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan

kepada kami Ibnu Abu Dza‟bi dari az-Zuhriy, dari Abu Salamah

bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah ra., berkata: Nabi SAW

bersabda:‟Setiap anak yang dilahirkan telah membawa fitrah,

maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak tersebut

menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Selain pada hadits Rasulullah SAW, penjelasan mengenai fitrah juga

terdapat dalam QS. ar-Ruum [30] ayat 30

لك فطرت ا وجهك للدين حنيففأقم ذ ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي

ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون

108 Muhammad Fathurrohman, Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan dalam Perspektif

Islam, Kabilah, Vol 1 No. 2, Desember 2016.

53

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)

agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui”.109

Dinyatakan bahwa agama Islam benar sesuai dengan fitrah

manusia. Bahkan segala perintah dan larangan-Nya pun erat kaitannya

dengan fitrah manusia. Bila ditinjau dari aspek tersebut maka fitrah

manusia itu cukup banyak macamnya. Diantaranya, yaitu: fitrah beragama,

fitrah berakal budi, fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah berakhlak, fitrah

kebenaran, fitrah kemerdekaan, fitrah keadilan, fitrah persamaan dan

persatuan, dan fitrah seni.110

Dalam kandungan QS. ar-Rum [30] ayat 30 dan hadits yang

diriwayatkan oleh Bukhori, mengandung pengertian, pertama kata fitrah

yang terdapat dalam QS. ar-Rum [30] ayat 30 mengandung pengertian

yang berbeda-beda, ada yang berpendapat bahwa kata fitrah pada ayat

tersebut merupakan potensi dasar beragama yang benar dan lurus dan

merupakan ketetapan dari Allah yang telah ditanamkan Allah dalam diri

setiap individu.111

Dalam hal tersebut para ulama menguatkannya dengan

hadits di atas, yaitu yang kedua kata fitrah dalam hadits di atas lebih

dipahami sebagai potensi yang dibawa sejak lahir, yaitu selain persaan

beragama, juga perasaan menyukai keindahan, dan perasaan ingin tahu.

Perasaan beragama membawa manusia untuk memeluk suatu agama,

perasaan keindahan membawa manusia untuk menyukai seni atau

keindahan, dan perasaan ingin tahu membawa manusia untuk menyukai

ilmu pengetahuan. Perihal antara agama, keindahan atau seni, dan ilmu

109

Kementrian Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surakarta: Media Insani, 2007), h.

407. 110

Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 17-19. 111

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Volume

11, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. VII, h. 53.

54

itulah yang disebut sebagai fitrah.112

Semua hal yang termasuk ke dalam

fitrah bukan berarti hasil belajar, akan tetapi memang telah ada pada

masing-masing diri manusia. Hal tersebut sesuai dengan teori nativisme.

Namun, dalam hadits Rasululah SAW telah dikatakan mengenai adanya

orang tua yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau

Majusi dapat kita pahami sebagai pengaruh dari lingkungan, yaitu

lingkungan keluarga. Lingkungan yang pertama kali mempengaruhi jiwa

seorang anak. Adanya pengakuan Rasulullah SAW terhadap peran orang

tua dalam mempengaruhi pembawaan keagamaan seorang anak tersebut

adalah mengakui akan peran yang diperankan oleh lingkungan.113

Dengan

demikian, maka hadits tersebut dapat dipahami sebagai pendukung teori

konvergensi.

Dalam konsepsi al-Qur‟an yang terdapat pada QS. asy-Syams [91]

ayat 7-10 menunjukkan bahwa setiap manusia diberi kecondongan nafsu

untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, adalah

sebagai berikut.

ها وما فسون ها سوهى ها فألمها فجورىا وت قوى ى لح من زكه وقد خاب من قد أف

ها دسهى

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah

mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan

ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang

mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang

mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7-10)

Ayat tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pandangan bahwa

usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan

positif untuk mengarahkan perkembanganya kepada jalan yang benar yaitu

112

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),

cet. I, h. 252. 113

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,

2009), cet. I, h. 125.

55

Islam. Apabila tidak melalui pendidikan, manusia akan jatuh ke jalan yang

salah yaitu menjadi kafir.114

Menurut Sayid Qutub, dalam tafsir Al-Misbah menuliskan bahwa

dalam pandangan Islam manusia merupakan makhluk dwi-dimensi dalam

tabiat dan potensinya serta kecenderungan arahnya. Hal tersebut

disebabkan karena penciptaannya sebagai makhluk yang diciptakan dari

tanah dan dihembuskannya ruh menjadikannya mempunyai potensi yang

sama dalam hal mampu membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk, serta mampu mengarahkan dirinya menuju kebaikan atau

keburukan dalam ukuran yang sama.115

Dengan demikian berpikir benar

dan sehat merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui

pendidikan dan latihan.

Dari ayat tersebut kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam

fitrah-Nya, manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar.

Kemampuan untuk memilih jalan yang benar tersebut, dapat diarahkan

melalui proses pendidikan yang dapat mempengaruhinya. Faktor

kemampuan memilih yang terdapat pada fitrah manusia berpusat pada

kemampuan berpikir yang sehat atau memiliki akal yang sehat, karena akal

yang sehat bisa membedakan antara sesuatu yang benar dari yang salah.

Sedangkan bagi seseorang yang memiliki pilihan yang benar dan tepat

hanyalah orang yang berpendidikan sehat.116

Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa setiap manusia memiliki

potensi sejak dalam kandungan, potensi tersebut bernama tauhid,

kemudian akan berkembang dan bertambah seiring dengan lingkungan dan

pola pendidikan yang diterima oleh setiap individu. Maka dari itu

114

Iwan Kiswanto, “Teori Konvergensi dan Relevansinya dengan Hadits Nabi

Muhammad SAW Tentang Fitrah Manusia”, Skripsi pada Institut Agama Islam Negeri Walisongo,

Semarang, 2012, h. 54, (http://eprints.walisongo.ac.id/484/5/103111139_Bab4.pdf). Diakses pada

19 Juli 2019 pukul 14.12. 115

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Volume

15, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. X, h. 347. 116

Iwan Kiswanto, Loc.cit.

56

Teori

Konvergensi

لود يولد على الفطرة، كل مو رانو، فأب واه ي هودانو، أو ي نص

سانو أو يج

Perspektif

Pendidikan

Agama Islam

lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah menjadi acuan yang sangat

berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan setiap potensi.

Maka dari itu, pendidikan harus mengingatkan bahwa pada diri

peserta didik terdapat berbagai pembawaan yang harus mereka ketahui,

ada yang baik dan ada yang buruk. Jika peserta didik hidup di lingkungan

yang baik atau buruk, para pendidik harus memberikan semangat pada

peserta didik agar mereka dapat mengembangkan bakat baik yang ada

pada dirinya dan meninggalkan pergaulan atau lingkungan yang dapat

menghambat perkembangan bakat baik atau menyuburkan perkembangan

bakat buruk.

Apabila dideskripsikan mengenai teori konvergensi dalam

perspektif pendidikan agama Islam, maka pada dasarnya teori konvergensi

(A) yang saling bertemu dengan pendidikan agama Islam (B) kemudian

akan melahirkan persepsi atau tanggapan (C) sehingga teori konvergensi

dalam perspektif pendidikan agama Islam dapat dipahami sebagai berikut:

Bahwa fitrah pada seorang anak yang bergantung pada kedua orang tua

dan dapat berkembang dengan lingkungan sekolah yaitu peserta didik itu

sendiri dan pendidik atau dapat pula dikatakan bahwasanya Islam

dikatakan sebagai paham konvergensi plus, yaitu keberhasilan pendidikan

selain disebabkan karena usaha manusia juga karena adanya hidayah dari

Allah SWT. Hal seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut.

A B C

C. Implikasi Teori Konvergensi dalam Pendidikan Agama

Islam

Pendidikan merupakan lingkungan yang menjadi tempat

terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar

57

individu ini baik antara guru dengan peserta didik ataupun antara sesama

peserta didik, terjadi proses dan peristiwa psikologi. Peristiwa dan proses

psikologi ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para

guru dalam memperlakukan para peserta didik secara tepat.

Teori konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan

individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memiliki

peran penting.117

Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada diri individu,

akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan

yang sesuai supaya dapat berkembang.

Apabila ia hidup pada lingkungan yang baik maka ia akan tumbuh

dan berkembang menjadi anak yang baik dan sebaliknya apabila ia hidup

pada lingkungan yang kurang baik maka ia akan hidup dan berkembang

menjadi anak yang kurang baik pula. Sehingga lingkungan pendidikan

yang di dalamnya terdapat para pendidik yang berperan penting bagi

perkembangan anak, karena pendidikan yang menentukan baik buruknya

seorang anak. Tanpa adanya pendidikan anak tidak akan bisa berkembang

karena pendidikan merupakan proses perkembangan bagi anak.

Langeveld sebagaimana dikutip oleh Sumadi, mencoba

menemukan hal-hal yang memungkinkan perkembangan anak itu menjadi

dewasa, ia menemukan hal-hal sebagai berikut:

a. Justru karena anak itu adalah makhluk hidup (makhluk

biologis) maka dia berkembang.

b. Bahwa anak itu pada waktu masih sangat muda adalah sangat

tidak berdaya, dan adalah suatu keniscayaan bahwa dia perlu

berkembang menjadi lebih berdaya.

c. Bahwa kecuali kebutuhan-kebutuhan biologis anak

memerlukan adanya perasaan aman, karena itu perlu adanya

pertolongan atau perlindungan dari orang yang mendidik.

d. Bahwa di dalam perkembangannya anak tidak pasif menerima

pengaruh dari luar semata-mata, melainkan ia juga aktif

mencari dan menemukan.118

117

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),

cet. III, h. 180. 118

Ibid., h. 181-182.

58

Dalam perspektif pendidikan agama Islam mengenai konvergensi,

lebih kepada meletakkan pandangan bahwa manusia merupakan makhluk

ciptaan Allah, yang tidak muncul dengan sendirinya atau berada oleh

dirinya sendiri. Pengetahuan tentang penciptaan manusia sangat penting

artinya dalam merumuskan tujuan pendidikan agama Islam bagi manusia.

Asal kejadian manusia justru harus dijadikan pangkal tolak dalam

menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Manusia merupakan

makhluk ciptaan Tuhan, hal tersebut merupakan salah satu bentuk hakikat

wujud manusia. Hakikat wujudnya yang lain adalah bahwa manusia

merupakan makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan

dan lingkungan.

Dalam praktik pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah

maupun masyarakat tujuan pendidikan agama Islam mengacu kepada

prinsip dasar penciptaan manusia dan fitrahnya dapat juga diartikan

sebagai kajian empiris, metodologis, dan sistematis yang bertujuan untuk

mengetahui segala usaha dalam mempersiapkan peserta didik secara terus

menerus disemua aspeknya, baik jasmani, akal, maupun rohaninya agar

menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat sesuai

dengan nilai-nilai ajaran agama Islam119

yang harus dicapai oleh masing-

masing pendidik.

Selanjutnya dalam hal yang sama pendidikan agama Islam

bertujuan untuk menumbuhkan akidah melalui pemberian, pengembangan

pengetahuan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik

mengenai agama Islam sehingga menjadi muslim yang keimanan dan

ketakwaannya kepada Alah SWT berkembang. Serta mewujudkan manusia

yang taat akan agama dan mempunyai akhlak mulia, yaitu manusia yang

memiliki pengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil,

disiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan baik untuk diri sendiri

119

Mangun dan Budianto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), h. 9

59

maupun orang lain serta dapat mengembangkan budaya agama dalam

komunitas sekolah.120

Karena manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan

mendidik, maka manusia pantas untuk mendapatkan didikan dari

lingkungan sekitarnya. Manusia juga bertanggung jawab atas dirinya

sendiri yaitu dengan cara belajar. Sedangkan sebagai makhluk yang dapat

mendidik, maka wajib untuk mendidik dan mengajarkan apa yang telah

didapatkannya walaupun baru sedikit. Sebagaimana telah dijelaskan pada

QS. at-Taubah [9]: 122.

هم ف لول ن فر من كل فرقة ن ٱلدين ولينذروا ق ومهم إذا رجعوا إليهم ف لي ت فقههوا طائفة م

ذرون لعلههم ي

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka

beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang

agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila

mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat

menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122)

Dalam Tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab Volume 5,

ayat di atas menjelaskan betapa pentingnya memperdalam ilmu dan

menyiarkan informasi yang benar. Memperdalam pengetahuan agama

harus memahami area serta memerhatikan kebenaran yang ada.121

Dalam aktivitas pendidikan itu ada beberapa faktor pendidikan

yang membentuk pola interaksi atau faktor yang saling mempengaruhi,

diantaranya yaitu: tujuan pendidikan, bahan pelajaran atau materi, metode,

alat atau media, dan evaluasi pendidikan. Komponen-komponen

pendidikan agama Islam tersebut saling berhubungan dan saling

mempengaruhi. Apabila salah satu dari kelima komponen pendidikan

agama Islam tersebut tidak terpenuhi maka hasil dari pendidikan tersebut

120

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009), h. 189. 121

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Volume

5, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. III, h. 292.

60

tidak akan bisa berhasil dengan baik. Oleh karena itu supaya tujuan

pendidikan agama Islam dapat tercapai, maka kelima komponen

pendidikan agama Islam itu harus saling berkaitan dan bekerjasama

dengan baik.

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan

keluarga pertama-tama anak mendapatkan pengaruh sadar. Karena itu

bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga akan selalu

mempengaruhi tumbuh berkembangnya watak, budi pekerti dan

kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan dalam keluarga inilah yang

akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan

selanjutnya di sekolah.

Sekolah sebagai lingkungan pendidikan kedua, bertugas

mengembangkan potensi dan bakat anak didik agar mereka memiliki

kecerdasan dan keterampilan, yang kemudian diterapkan di tengah-tengah

masyarakat. Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga merupakan

tempat dimana seseorang menerapkan dan mengembangkan potensinya.

Dalam perkembangan anak didik, selalu terjadi interaksi antara

faktor ajar dan faktor dasar, faktor indogen dan faktor eksogen, faktor-

ekstern dan faktor intern serta faktor lingkungan dan faktor pembawaan

sebagaimana hukum konvergensi.122

Masing-masing pasangan tersebut

saling mempengaruhi. Akan tetapi dalam implementasinya ada yang

mengganggap bahwa yang lebih dominan itu adalah faktor dasar

(keturunan) atau pembawaan dari pada faktor lingkungan yaitu ahli-ahli

psikologi konstitusional. Ada pula yang menganggap bahwa yang lebih

berpengaruh dalam perkembangan anak adalah lingkungan. Pendapat ini

banyak sekali pengikutnya terutama dari Inggris dan Amerika Serikat.123

Dalam QS. an-Nahl [16]: 78 Allah menjelaskan mengenai betapa

pentingnya suatu pendidikan.

122

Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 219. 123

Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Bina Utama, 2003), h. 35.

61

تكم ل ت علمون شي ن بطون أمهه ر وٱألف لكم وجعل ا وٱلله أخرجكم م دة ٱلسهمع وٱألبص

لعلهكم تشكرون

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan

tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu

pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.

an-Nahl [16]: 78)

Dalam tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab Volume 7

menjelaskan bahwa firman Allah di atas menunjukkan kepada alat-alat

utama yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Telinga dan mata

merupakan alat utama pada objek yang bersifat material. Sedangkan alat

utama pada objek yang bersifat non-material adalah akal dan hati.124

Akan

tetapi, alat-alat yang dianugerahkan oleh Allah itu masih belum

sepenuhnya digunakan oleh umat Islam, bahkan para penuntut ilmu

terutama hati (kalbu). Para pelajar lebih banyak menggunakan

pendengaran daripada pengelihatan. Para pelajar baru menggunakan indera

pengelihatan setengah-setengah, akal tidak jarang diabaikan, tetapi hati

(kalbu) hampir selalu terabaikan termasuk dalam lembaga-lembaga

pendidikan agama.125

Karena manusia dilahirkan tanpa sedikitpun

pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut merupakan

petunjuk bagi kita agar melakukan usaha pendidikan, karena dengan

melalui pendengaran, pengelihatan, dan hati manusia dapat dididik.

Kemudian Allah juga menjelaskan dalam QS. al-„Alaq [96]: 3-5

yang menunjukkan bahwa manusia tanpa belajar maka dia tidak akan

dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan

kehidupan di dunia dan akhirat.

وربك ٱألكرم رأ ن ما ل ي علم ٱلهذي علهم بٱلقلم ٱق نس علهم ٱل

124

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2007), cet. VIII, h. 308. 125

Ibid., h. 309.

62

“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar

(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa

yang tidak diketahuinya.” (QS. al-„Alaq [96]: 3-5)

Maksud dari firman Allah di atas yaitu pada ayat ketiga Allah

menjanjikan bahwa ketika seseorang membaca dengan ikhlas karena

Allah, Allah akan memberikan kepadanya anugerah berupa ilmu

pengetahuan, pemahaman-pemahaman, dan wawasan-wawasan baru.126

Pada ayat keempat dan kelima, kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat

tersebut menjelaskan tentang dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam

mengajar manusia. Pertama melalui tulisan (pena) yang harus dibaca oleh

manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat.127

Pada ayat di atas dapat kita pahami bahwa manusia jika tanpa

belajar, maka tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan,

serta setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya masing-masing.

Potensi tersebut dapat berkembang dengan melalui pendidikan.

Adanya perbedaan individual mengharuskan adanya perlakuan

secara individual dalam sistem pendidikan. Perbedaan individual tersebut

dapat dilihat dari kecerdasan, potensi, minat, dan motivasi yang dimiliki

dari masing-masing individu. Perbedaan potensi, minat, dan motivasi

tersebut dapat mempengaruhi kecepatan pemahaman, perhatian, dan

penerimaan sesuatu yang disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik.

Pendidikan tidak diperbolehkan memaksakan kemampuan

seseorang, akan tetapi pendidikan harus bersifat membimbing dan

mengarahkan agar potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat

berkembang dengan baik. Kesiapan individu pada saat belajar, sangat

mempengaruhi hasil belajar. Jika belajar dalam kondisi tidak siap, maka

tidak akan mencapai tujuan pendidikan secara maksimal. Maka dari itu,

seorang pendidik diharuskan untuk mengetahui kondisi peserta didik

sebelum dimulainya pembelajaran. Perbedaan kondisi peserta didik

126

Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Voulume

15, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. III, h. 463. 127

Ibid., h. 464.

63

tersebut akan mempengaruhi pembelajaran yang dilaksanakan oleh

pendidik, baik dalam menentukan model pembelajaran, pendekatan

pembelajaran, strategi pembelajaran, model pembelajaran, dan lain

sebagainya.128

Suatu kenyataan bahwa perkembangan pendidikan manusia

memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan. Salah satu

contohnya, pada IQ seseorang, anak yang memiliki IQ tinggi dibarengi

dengan lingkungan yang sesuai, maka dalam pedidikannya pun akan

berhasil dengan baik. Begitu pula sebaliknya, anak yang pembawaan IQ

nya rendah biarpun lingkungan baik, tetap saja akan terlihat perbedaanya

terutama dalam pola pikirnya. Akan tetapi jika dilihat dari fungsinya,

pembawaan dan lingkungan menurut Henry E. Garret dalam buku Metodik

Khusus Pengajaran Agama Islam karangan Zakiah Darajat, mengatakan

sebagai berikut:

“It appears to be true that heredity determines what man can do,

environment what does do within the limits imposed by heredity”

maksudnya adalah bahwa pembawaan dan lingkungan bukanlah suatu hal

yang bertentangan, akan tetapi keduanya saling membutuhkan.129

Pendidik yang tugasnya untuk mendidik dan mengarahkan peserta

didik seharusnya mengetahui dan sadar akan potensi yang telah dibawa

oleh peserta didik sejak lahir, sehingga dalam mengarahkan akan menjadi

lebih mudah. Akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan dari para

pendidik dalam mengasuh peserta didik sering kali mengabaikan potensi

yang ada pada peserta didik, sehingga menghambat perkembangan dan

menyebabkan pasifnya bakat yang telah dibawa sejak lahir. Upaya-upaya

tersebut diharapkan dapat membantu perkembangan potensi (pembawaan)

yang telah ada pada diri peserta didik sejak mereka dilahirkan agar

tercapainya tujuan pendidikan agama Islam. Maka dari itu, pengembangan

128

Muhammad Fathurrohman, Op.cit. 129

Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

2004), h. 128.

64

potensi harus dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan, terutama

pendidikan agama Islam.

Pengembangan potensi peserta didik seharusnya dilakukan dengan

menanamkan nilai-nilai keislaman, yang bertujuan agar manusia dapat

mengingat janjinya kepada Allah ketika zaman azali dan agar selalu

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal tersedut sesuai dengan tujuan

pendidikan agama Islam yang disebutkan oleh al-Ghazali yaitu

mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan dan

kemegahan. Karena jika tujuan pendidikan agama Islam bukan untuk

mendekatkan diri kepada Alah SWT, maka akan menimbulkan kedengkian

dan permusuhan.130

Demikianlah implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama

Islam, semoga dapat memberikan gambaran kepada para pendidik dalam

membantu perkembangan setiap individu (peserta didik) sesuai dengan apa

yang diharapkan, akan tetapi pelaksanaanya harus tetap memperhatikan

faktor-faktor hereditas peserta didik, kematangan, bakat, kemampuan,

keadaan mental, dan sebagainya. Kiranya teori konvergensi inilah yang

cocok diterapkan dalam praktik pendidikan agama Islam.

130

Ahmad Tanzeh, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosof Muslim: dalam Meniti

Jalan Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 17.

65

BAB V

PENUTUP

Sebagai penutup dalam penelitian ini, penulis menyajikan kesimpulan

yang berdasarkan dengan analisis hasil penelitian dan memberikan sedikit saran

untuk perbaikan penelitian selanjutnya.

A. Kesimpulan

1. Konsep teori konvergensi menurut William Stern merupakan salah satu

teori yang cocok untuk digunakan dalam dunia pendidikan. Teori

konvergensi ini memiliki arti bahwa perkembangan atau potensi manusia

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan.

Adapun teori konvergensi yang disampaikan oleh William Stern, yaitu

pendidikan yang mungkin dilaksanakan, pendidikan bertujuan untuk

mengembangkan bakat yang baik dan mencegah berkembangnya bakat

yang buruk, serta hasil dari pendidikan itu merupakan hasil dari kolaborasi

antara faktor bawaan dan lingkungan.

2. Teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam lebih kepada

meletakkan pandangan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah

yang berkembang karena dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan.

Dalam perkembangannya, manusia cenderung memiliki fitrah atau potensi

beragama sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori. Sehingga

teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam dapat

digambarkan bahwa jika teori konvergensi saling bertemu dengan

pendidikan agama Islam, maka akan melahirkan sebuah persepsi atau

tanggapan, yaitu yang disebut sebagai fitrah yang dapat berkembang

melalui lingkungan baik lingkungan keluarga yaitu orang tua maupun

lingkungan sekolah termasuk pendidik.

3. Implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama Islam sangat

berpengaruh bagi pengembangan potensi peserta didik, karena dalam

pengembangan potensi peserta didik selain dipengaruhi oleh faktor

66

pembawaan dan lingkungan harus pula dilakukan dengan nilai-nilai

keislaman, tentunya memiliki tujuan agar manusia mengingat janjinya

kepada Allah ketika zaman azali dan agar selalu mendekatkan diri kepada

Allah SWT.

B. Saran

Dari penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan sumbangsih

berupa pemikiran agar dapat memperbanyak wawasan dan menjadi upaya

untuk mewujudkannya tujuan pendidikan agama Islam. Adapun saran yang

dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut:

1. Untuk seluruh pendidik pada semua tingkat sekolah dan bagi pendidik

yang bukan hanya di lingkungan sekolah supaya dapat menciptakan

lingkungan pendidikan yang baik untuk peserta didik dan warga sekolah

lainnya, karena hal tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan

potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

2. Sebagai orang tua harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap potensi

yang dimiliki oleh setiap anak-anaknya juga harus dapat mengarahkan

potensi yang dimiliki oleh mereka ke arah yang baik, karena lingkungan

keluarga memiliki pengaruh yang besar juga terhadap perkembangan

potensi yang dimiliki oleh setiap anak.

3. Sebagai peserta didik kita harus menyadari dan menggali potensi atau

fitrah yang ada pada setiap diri masing-masing serta harus terus

memperbaiki diri dengan cara selalu mengingat Allah dan bergaul dengan

lingkungan yang baik, karena dengan begitu akan memberikan pengaruh

yang baik pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi yang

dimilikinya.

67

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Lukis. Perspektif Pendidikan IslamMengenai Fitrah Manusia, TARBAWI,

Volume 1 No. 02. ISSN 2442-8809. Juli-Desember 2015.

Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada. Cet. I. 2008.

Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran

dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. Cet. II.

2011.

Al-Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.

Arifin, M. Fisafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2003.

___________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 2006.

Azhari, Akyas. Psikologi Pendidikan. Semarang: Bina Utama. 2003.

Baharuddin. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media. Cet. V. 2016.

Baharuddin. Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoretis Terhadap Fenomena.

Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Cet. V. 2016.

Darajat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi

Aksara. 2004.

Djurmansjah. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: 2004.

Fathurrohman, Muhammad. “Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan dalam

Perspektif Islam”, Kabilah, Vol 1 No. 2, Desember 2016.

Fauziyah, Siti. “Konsep Fitrah dan Bedanya dari Nativisme, Empirisme, dan

Konvergensi”, Jurnal Aqlania, Vol. 08. No. 01, ISSN. 2087-8613, 2017.

Ghazali, Dede Ahmad dan Heri Gunawan. Studi Islam: Suatu Pengantar dengan

Pendekatan Interdisipliner. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. I.

2015.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. I.

2013.

68

Hadi, Yusuf Dwi. “Konsep Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Teori

Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”. Skripsi pada

IAIN Tulungagung. Tulungagung. 2014.

Hamdayama, Jumanta. Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. II.

2017.

Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. (FIP UNY).

(http://staffnew.uny.ac.id/upload/131656343/penelitian/PENDIDIKAN+K

ARAKTER+MENURUT+KI+HAJAR+DEWANTORO.pdf). Diakses

pada 10 September 2019 pukul 14.56.

Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cet.

XIII. 2017.

Hidayati, Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro. Psikologi Agama. Jakarta :

UIN Jakarta Press. Cet. I. 2007.

Indrawan, Rully dan R. Poppy Yaniawati. Metodologi Penelitian: Kualitatif,

Kuantitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan

Pendidikan. Bandung: Refika Aditama. Cet. I. 2014.

Irham, Muhamad dan Novan Ardy Wiyani. Psikologi Pendidikan: Teori dan

Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Cet.

III. 2016.

Jaenudin, Ujam. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia. Cet. I. 2015.

Jalaludin. Pendidikan Islam: Pendekatan Sistem dan Proses. Jakarta:

Rajawalipers. Cet. I. 2016.

Kementrian Agama. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Surakarta: Media Insani. 2007.

Khodijah, Nyayu. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet.

II. 2014.

Kiswanto, Iwan. “Teori Konvergensi dan Relevansinya dengan Hadits Nabi

Muhammad SAW Tentang Fitrah Manusia”, Skripsi pada Institut Agama

Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2012.

(http://eprints.walisongo.ac.id/484/5/103111139_Bab4.pdf). Diakses pada

19 Juli 2019 pukul 14.12.

69

Lamiel, James T. dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An Introduction to

William Stern‟s Critical Personalism.

(https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0959354300106001)

Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.31.

Mahfud, Rois. Al-Islam: Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011.

Majid, Abdul. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung:

Remaja Rosda Karya. 2012.

Mangun dan Budianto. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Griya Santri. 2010.

Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Cet. I. 2013.

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet.

V. 2012.

___________ . Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta:

Rajawali Pers. 2009

Mujid, Abdul dan Yusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Cet. V. 2017.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet. XV.

2015.

___________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Cet. I. 2010.

___________ . Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers.

2012.

___________ . Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta:

Kencana. Cet. I. 2009.

___________ . Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:

PT Rajagrafindo Persada. Cet. I. 2005.

Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Galia Indonesia. 2013.

Pohan, Jusrin Efendi, Fisafat Pendidikan: Teori Klasik Hingga Postmodernisme

dan Problematikanya di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. Cet. I. 2019.

Prasetwo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan

Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Cet. III. 2016.

70

Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jogjakarta :

Ar-Ruzz Media. Cet. I. 2012.

Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan

Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. IV. 2015.

________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. XII. 2015.

Ropi, Ismatu dkk. Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA. Jakarta: Kencana.

Cet. I. 2012.

Rusman, “Redefinisi Teori Among Ki Hajar Dewantara”, Edukasi,

(https://www.kompasiana.com/rusman245/5500f04ca333114e75512706/re

definisi-teori-among-ki-hajar-dewantara). Diakses pada 17 September

2019 pukul 14.25.

Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:

Modern English Press. Cet. III. 2002.

Saputra, Bagus Akbar. “Konsep Konvergensi Menurut Ki Hadjar Dewantara dan

Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama Islam”. Skripsi pada UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta. 2017.

Schmidt, WHO. Dialogue with a Human Scientist: William Stern (1871-1938).

(University of Alberta).

(https://journals.library.ualberta.ca/pandp/index.php/pandp/article/downloa

d/14990/11811). Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.18.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.

Volume 11. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Cet. VII.

__________________ . Volume 15. Jakarta: Lentera Hati. 2010a. Cet. III.

__________________ . Volume 15. Jakarta: Lentera Hati. 2010b. Cet. X.

__________________ . Volume 5. Jakarta: Lentera Hati. 2010. Cet. III.

__________________ . Jakarta: Lentera Hati. 2007. Cet. VIII.

Solichah, Aas Siti. Teori-teori Pendidikan dalam Al-Qur‟an. Edukasi Islam Jurnal

Pendidikan Islam. Vol. 07, No. 1 DOI: 10.30868/EI.V7I01.209 ISSN :

2581-1754. 2018.

Stern, William. Psychology of Early Childhood: Up to The Sixth Year of Age.

Terj. Anna Barwell. New York: Routledge Taylor & Francis Group. 1924.

71

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, kulitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya. Cet. V. 2009.

Suralaga, Fadhilah dan Solicha. Psikologi Pendidikan. Ciputat : Lembaga

Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Cet. I. 2010.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

2008.

Syaefudin, Udin dan Abin Syamsudin Makmun. Perencanaan Pendidikan.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005.

Syafril dan Zelhendri Zen. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Depok: Kencana. Cet. I.

2017.

Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya. Cet. II. 2005.

Syam, Muhammad Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Dasar Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Cet. III. 1986.

Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. 1997.

Tanzeh, Ahmad. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosof Muslim: dalam

Meniti Jalan Pendidikan Islam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2013.

Triwidyastuti. “Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif

Teori Fitrah dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat)”. Tesis

pada Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Bandung: Citra Umbara. 2009.

Wahab, Rohmalina Wahab. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. II.

2016.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus adz-Dzurriyat.

Zaini, Syahmina. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. 2001.