suara muda

28
Menyerah Kepada Bukit Bukan Sunatullah; Sebuah Persembahan Bagi Sang Pembelah Bukit Edisi Istimewa Desember 2014 KUWU MUDA DAN BENTENG KETAHANAN PANGAN DESA KHITTAH KAUM MUDA ANTARA FOKUS DAN CINTA Kepada Cah Angon, Kami Belajar

Upload: fahmirizani

Post on 29-Jan-2016

61 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

suara muda

TRANSCRIPT

Page 1: Suara Muda

Menyerah Kepada Bukit Bukan Sunatullah; Sebuah Persembahan Bagi Sang Pembelah Bukit

Edisi Istimewa Desember 2014

KUWU MUDA DAN BENTENG KETAHANAN PANGAN DESA

KHITTAH KAUM MUDA ANTARA FOKUS DAN CINTA

Kepada Cah Angon, Kami Belajar

Page 2: Suara Muda

Penanggung Jawab: Armansyah Pemimpin Redaksi: Sopandi Redaktur Ahli: Diding Wahyudin Dewan Redaksi: Diding Wahyudin, Heri Purnama, Sopandi, Ahmad Biki, Fahmi Rizani Keuangan: Ade Lin Distribusi : Yayan Supriyatna, Fajar Riesta Ilustrasi dan Tata Letak: @fajrin_am Alamat Redaksi : Jl. Otista Gg. Melati V. No. 105 Pasapen I Kuningan

Khittah Kaum Muda antara Fokus dan Cinta

Menyerah Kepada Bukit Bukan Sunatullah; Sebuah Persembahan Bagi Sang Pembelah Bukit

KUWU MUDA DANBENTENG KETAHANAN PANGAN DESA

Magrib Mengajidi Kampung Kami:Kajian atas Sebuah Pendidikan Tradisi

Kepada Cah Angon,Kami Belajar

23

3

7

11

20

daftarBaca

Page 3: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

1

Suara Muda adalah jembatan baru bagi generasi muda Kota Kuda dalam ikhtiar menyumbang-tukarkan beragam diskursus pengetahuan, melalui dua bingkai nilai, gerakan dan gagasan. Sebagaimana nilai fungsi dari jembatan, kehadiran Suara Muda seakan lahir untuk mewadahi sejumput hasrat kegelisahan yang semakin luas tersebar dalam setiap nalar-jiwa generasi muda, tak terbatas pada tapal kedaerahan, pusat maupun desa, level ekonomi atas, menengah hingga bawah.

Jamak diketahui bahwa generasi muda sebagai pewaris dari estapet kepemimpinan pada masa-masa mendatang, cukup tergolong matang ketika mendapatkan tradisi penggemblengan dalam setiap level organisasi kepemudaan dalam pola dan periode masing-masing. Namun seiring dengan berjalannya perkembangan rezim yang melewati beberapa babak pemerintahan, generasi muda senantiasa dihadapkan pada tradisi orde yang beragam. Sebut saja generasi 1945 yang erat dengan nilai-nilai idealisme kemerdekaan, kemudian berlanjut pada generasi pasca 1945 terpaku pada dua tipikal kepemimpinan yang sederhana, yaitu tipikal administator leader atau sodilarity makers leader. Beberapa tren dan alur kepemimpinan di atas selayakanya akan melewati beberapa fase mendatang yang kian beragam.

Posisi Indonesia sebagai negara, seharusnya kini dapat menjadi “pemain utama” (great power) di sebuah panggung besar dunia. Posisi Indonesia di Asia Tenggara mirip dengan posisi Brasil di Amerika Latin, Nigeria di Afrika dan India di Asia Selatan, demikian kira-kira hasil bacaan ketat R. William Liddle, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, Soko Guru dari ilmuwan-ilmuwan Politik di Indonesia. Pendapat Liddle di atas, lagi-lagi didasarkan pada sumber daya politik Indonesia yang dianggap cukup penting yaitu kekuatan ekonomi yang mendasari sumber-sumber daya lainnya (Majalah Tempo; 26 Oktober 2014).

Dukungan atas bacaan Liddle itu, datang jauh hari dari bait-bait syair Grup Musik Koes Plus bersaudara. Dalam lagu Kolam Susu, dituliskan lirik tajam tentang ketidak-mustahilan “tongkat dan kayu” yang dilempar dapat segera tumbuh menjadi tanaman. Sungguh sebuah perumpamaan yang muluk, yang menggambarkan nilai sumber daya alam yang mampu menopang kekuatan ekonomi negeri Indonesia.

Tapi apa hendak dikata, bacaan hanyalah tinggal bacaan. Sebagaimana dilansir oleh media Antara News.com dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per januari 2014, menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mencapai lebih dari 25 Juta penduduk. Data

tersebut juga menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin yang tidak berkurang dan bahkan kian bertambah, serta yang paling ironis adalah bahwa sebagian mereka menetap tinggal di daerah pedesaan. Desa sebagai wilayah terendah dalam bangunan administratif negara, kemudian kini menjadi primadona sekaligus objek menantang dalam kajiannya yang beragam. Namun dalam pembahasannya yang lebih penting, kita semua cenderung sepakat, bahwa masa depan pembangunan di negeri ini, yang secara spesisifik didominasi oleh wilayah pedesaan, mendapatkan subjek (pelaku) kerja dan pengolahannya yang tertuju pada satu level dalam roda generasi kaum muda.

Maka melalui edisi Suara Muda kali ini, tak berlebihan kiranya kami mencoba mencari kembali titik temu antara peran dan kreatifitas kaum muda di satu sisi dan objek perjalanan negara dalam bingkai kepemimpinan dan pemerintahannya di sisi yang lain. Semoga dengan hadirnya Suara Muda, generasi muda Kota Kuda, dapat tambah berwarna, dengan cinta, prestasi dan karya.

sekedar pengantar

Page 4: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

2

Khittah Kaum Muda

antara Fokus dan

Cinta

“Kita boleh saja berambisi untuk menjawab segala hal, tentang segala sesuatu. Tapi percayalah dalam sebuah riset sosial, hal itu bagaimanapun juga punya sebuah keterbatasan, entah itu keterbatasan waktu, tempat, anggaran dsb. Dan karenanya fokus menjadi sangat penting”

-Arif Zulkifli, Wartawan Muda Tempo, dalam Festival Mata Muda, Salihara 2013-

Page 5: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

3

Dalam sebuah syair dangdut populer, Rhoma Irama, menyisipkan karakter kuat dari sosok pemuda yang memiliki

level emosi yang senantiasa tinggi. Melalui syairnya “Darah Muda”, sang Raja Dangdut menyampaikan pesan tersirat agar para pemuda mampu mengolah energi “yang berapi-api” dengan sebuah kontrol pikir yang positifserta potensi dari sifat “tak mau mengalahnya” kaum muda tersebut kemudian dapat diterjemahkan dalam ikhtiar produktif serta kekaryaan kreatif yang bermanfaat untuk sesama.

Semangat berapi-api yang berkobar dalam jiwa kaum muda dalam lantunan syair Bang Haji (sapaan anak muda bagi Rhoma Irama) di atas, dapat juga dirujuk dari riwayat perjalanan kaum muda pra kemerdekaan 1945. Tepat pada tahun 1928, identitas kaum muda saat itu lekat dengan identitas kolektif dari organisasi-organisasi kepemudaan dan kedaerahan.Bersama dengan penggunaan kata “jong” (Jong Java, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond),mereka memasuki satu babak sejarah yang juga berapi-api, yaitu ketika kaum-kaum muda itu terikat secara berjamaah dalam satu identitas nasional, dalam sebuah ikatan sumpah kesetiaan, pada tanah, pada bangsa dan bahasa keindonesiaan.

Memasuki satu tahun pasca kemerdekaan, Tahun 1946 Bung Karno sosok pemimpin penuh gelora yang pernah menjanjikan akan mengguncang dunia hanya dengan 10 pemuda itu,tercatathadir di Ibu Kota Yogyakarta, dalam agenda penggemblengan kepada para pemuda dalam sebuah “Kursus Pemuda”. Dalam pidatonya yang memukau, Bung Karno meneriakan kata-kata lantang kepada pemerintah Belanda, bahwa Indonesia sudah merdeka, dan berdaulat 100 persen, dan satu-satunya pilihan untuk negeri penjajah itu adalah untuk pergi dan angkat kaki dari tanah dan laut Indonesia”. Begitulah kira-kira lawatan sejarah sang pendiri bangsa, dengan semangatnya yang berapi-api turut membesarkan semangat muda di sekitarnya untuk terus yakin dalam melanjutkan perjalanan roda sebuah bangsa yang merdeka.

Jika kembali merunut pada peran kaum muda dalam setiap zamannya, dapat ditemukan

satu warna kekhasan yang lahir dari masing-masing generasi. Adalah nyata bahwa sejarah kepemudaan yang berkisar di tahun 1945-an, cukup terkonsentrasi pada satu-dua objek perjuangan, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan. Sedangkan dalam era pembangunan, reformasi hingga abad ke- 21 dalam wajah revolusi pengetahuan, tantangan yang dihadapi oleh kaum muda terasa semakin ragam, dan kian tajam berkembang.

Menarik untuk dibandingkan antara satu-dua objek perjuangan yang dihadapi oleh kaum muda dalam lingkaran masa kemerdekaan tersebut dengan kondisi yang dihadapi oleh kaum muda dalam dunia keterbukaan “kiwari”. Ikhtiar kemerdekaan dan kedaulatan negara yang diperjuangkan oleh pejuang muda “baheula”, ternilai kecil dari aspek kuantitas, namun cukup besar dari nilai kualitas. Artinya upaya kaum muda “baheula” dalam merebut kemerdekaan dan kedaulatan negara terhitung detil pada kekuatan fisik dan sangat fokus pada peletakan dasar dan landasan ideologi negara. Sehingga karakter kepemimpinan generasi muda saat itu, dipotret oleh seorang Indonesianis asal Monash University Australia, Herbert Feith, dalam buku The Decline Of Constitutional Democracy in Indonesia hanya tertuju pada dua tipe sederhana, Administrators dan Solidarity Makers. (Cornell University Press, 1964, hal 113).

Perjalanan dan tantangan kaum muda “kiwari”, justru terlihat lebih kaya sekaligus rumit. Era keterbukaan yang ditandai dengan revolusi besar-besaran sumber informasi, menjadikan generasi muda tidak hanya terpaku pada dua karakter seperti yang diwantikan oleh Feith dalam maha karyanya itu. Catatan lain yang mewartakan kerumitan itu ditemukan dalam sebuah kajian budaya, “Pasca-Indonesia, Pasca –Einstein, karya dari Romo Mangun, bahwa sains dan tekhnologi sebagaimana kodratnya akan menggiring manusia Indonesia pada ide keseragaman sekaligus anti keseragaman. Menurut Romo Mangun, manusia modern akan semakin terarah pada pencarian mereka atas segala hal yang selalu unik dan baru. Pencarian tersebut merupakan simbol kemerdekaan diri melawan kebudayaan massal dunia yang belakangan berkembang pada dua kutub keniscayaan, yaitu

Page 6: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

4

tekhnologi dan industri.

Peta Tantangan Kaum Muda; Beda dan NyataKeterkaitan antara generasi kaum muda tanah

air yang saat ini (per 2013) jumlahnya mencapai angka 64 juta jiwa atau 24% dari total keseluruhan penduduk Indonesia di satu sisi dan segala bentuk tantangan modernitas kehidupan di sisi yang lain, meniscayakan adanya satu fokus atau prioritas yang

kelak kaum muda kerjakan dan cita-citakan.

Jamak disadari bahwa energi dan semangat kaum muda cenderung berbeda jika dibandingkan dengan apa-apa yang dimiliki oleh kaum lainnya yang berbeda masa dan usia.Dalam hikayah kemerdekaan kita, sang Proklamator, Bung Karno berjanji akan menggoncangkan dunia hanya dengan sepuluh kekuatan pemuda, itu artinya bahwa hanya dengan sepuluh pemuda Bung karno akan dapat menggerakan dunia. Namun

beberapa hal yang tidak diperkirakan oleh Bung Karno saat itu adalah apakah cukup baginya, bahwa hanya dengan sepuluh pemuda, ia juga akan dapat mendamaikankonflik dunia, memberikan keteraturan pada perekonomian dunia serta menjamin kesejahteraan bagi dunia dan milyaran penduduknya?

Pertanyaan yang muncul belakangan di atas menjadi sangat penting, jika dikaitkan dengan kondisi ruang kehidupan yang semakin kompleks dengan ragam tantangan perubahan. Berkenaan

dengan beragamnya tantangan yang kian berubah itu, melalui karyanya, Legitimation Crisis, Juergen Habermas, melihatnya dalam satu bingkai besar evolusi sosial. Dalam abad kemodernan, proses evolusi sosial mencakup tiga dimensi penting, yang pertama adalah dimensi pengetahuan tekhnis, yaitu perkembangan kekua t an -kekua t an produksi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi), kedua adalah dimensi kesadaran praktis-moral, yaitu perkembangan atau perubahan-perubahan struktur normatif masyarakat

(sistem nilai, moralitas, hukum, dst), dan yang terakhir adalah dimensi kekuasaan, yaitu bertambah besarnya otonomi sistem atau semakin besarnya kemampuan pengendalian sistem. [F. Budi Hardiman;1993] .

Melalui Habermas, ikhtiar kaum muda dalam menghadapi proses perubahan pada dua dimensi pertama, yaitu yang tekhnis dan yang praktis sejatinya dapat diselesaikan bersamaan dengan pengendalian atas dimensi ketiga yang

Page 7: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

5

berkembang. Penjelasan Habermas tentang kaitan dimensi tekhnis, praktis dan dimensi kekuasaan tidak bersifat deterministis melainkan lebih bersifat hipotetis.

Dalam konteks gerakan kaum muda Indonesia, sebuah Forum Dialog Muda yang dirintis oleh komunitas yang bernama Mata Muda, pada pertengahan tahun 2014 lalu, mampu menerjemahkan tiga dimensi perubahan Habermas tersebut dalam 12 program yang mengagumkan. Fokus program kaum muda dalam menyongsong tantangan perubahan di atas adalah dengan meletakkannya pada tiga dimensi ala Habermasian yang cukup sejalan-berkelindan. Adapun ke 12 program yang difokuskan pada tiga dimensi itu adalah:

1. Dimensi Tekhnis :a. Anak Muda dan Risetb. Aktivisme Digital dan Tata Kelola

Internetc. Lingkungan dan Ketahanan Pangand. Budaya dan Seni

2. Dimensi Praktis :a. HAM dan Demokrasib. Seksualitas dan Perempuanc. Pluralisme dan Toleransid. Kebebasan Berekspresi

3. Dimensi (Pengendalian) Kekuasaan :a. Politik dan Pemilub. Ruang Publikc. Komunitas Berbasis Kampusd. Pasar Komunitas

Pemaparan gerakan Mata Muda sebagaimana dalam pemetaan dan fokus program tersebut, adalah langkah awal dalam ikhtiar menghadapi tantangan yang kian beragam. Adapun cara terbaik dalam proses lanjutan dari proses pelaksanaan ke-12 program, gerakan muda ibu kota itu memulainya dengan langkah yang cukup sederhana, yaitu dengan proses “sosialisasi” atau proses adaptasi kesadaran kaum muda dengan kondisi riil di masyarakat. Istilah adaptasi tidak dipahami sebagai penyesuaian buta terhadap masyarakat, melainkan termasuk proses memahami harapan-harapan secara timbal balik dan rasional. Dengan meminjam

kembali konsep Habermasian, “sosialisasi” kaum muda bersamaan dengan pemilahan dan pemetaan pemograman maka yang dimaksudkan adalah sebagai konsep “individuasi”, yang merupakan proses pembentukan kesadaran sebagai individu yang memahami permasalahan “intersubjektif ”. [F. Budi Hardiman;1993. h.148].

Pekerjaan rumah terbesar gerakan muda era kiwari adalah problem kesadaran yang kian tercerabut dari nilai-nilai moral dan kemanfaatan publik. Alih-alih ingin memimpikan sebuah cita-cita luhung tentang ikhtiar perubahan besar, menyadari dan memikirkannya secara besama saja, generasi muda belakangan, sangat merasa kesulitan. Kaum muda sebagai bagian dari masyarakat, kini tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka adalah bagian-bagian dari suatu sistem organisasi global yag utuh. Hingga pada titik klimaksnya berbgai persoalan nir-nilai di ruang publik justru didominasi oleh kaum muda kontraproduktif ini.

Dengan demikian, setelah melewati tahapan sosialisasi yang berkecenderungan mempunyai nilai kesadaran intrinsik ke dalam, kini masyarakat pembaca setidaknya dapat melanjutkan pada proses tahapan yang lebih konkrit ke luar. Adalah proses komunikasi yang equal, maka kaum muda di masa depan akan dapat memanfaatkan energi besar dalam rasio komunikatif mereka dalam menyusun-rancang program-program solutif, demi kemanfaatan masyarakat yang lebih banyak. Bagi Habermas pula, rasio komunikatif adalah kunci dari ragam persoalan-persoalan rumit di era keterbukaan informasi saat ini.

Namun hal penting yang perlu dicatat pula adalah bahwa nilai “sosialisasi” dengan kesadaran intrinsik yang bersifat ke dalam dan kedudukan rasio komunikatif yang dimaksimalkan oleh generasi muda di lingkar luar tersebut, tentu mustahil menjadi solusi mutlak atas segala problem-problem perubahan dalam masyarakat global, melainkan sedikit-penuh dapat menjadi catatan sejarah bahwa ikhtiar generasi muda tampak hadir dan terasa nyata.

Page 8: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

6

Page 9: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

7

Seperti halnya orang lain, ketika saya mengakui keberadaan semua nabi adalah benar adanya, secara otomatis sayapun

mengakui bahwa diantara banyaknya nabi dan rasul tersebut salah satu diantaranya adalah ayah. Bapaknya para nabi. Dan tidak diragukan lagi, semua kita sepakat bahwa Ibrahim adalah bapak yang dimaksud. Bapak yang menjadi sumber inspirasi, meneteskan air cucuran kepada anak-anaknya.

Yang menjadi anaknya juga tidak melulu hadir dengan proses pertalian hubungan antara seorang suami dan istri yang kemudian berketurunan. Karena hanya Ismail dan Ishak saja yang secara biologis adalah anak murni Ibrahim. Selainnya bisa saja han yakarena adanya tali persaudaraan yang panjang dan turun temurun. Akan tetapi, kalaupun diantara kita tidak sampai kepada tali silsilah dimaksud, tetap saja, status anak tersebut bisa melekat dalam artian lain. Yaitu anak intelektual.

Dari seorang Ibrahim, kisah atau cerita yang menarik tidak hanya tentang perdebatan batin antara cintanya kepada Tuhan yang harus dibuktikan dengan penyembelihan anak kesayangannya yang selama ini dikenal dengan istilah hari qurban oleh manusia setelanya, melainkan banyak juga cerita lainnya yang, seiring dengan kehadirannya mampu

Menyerah Kepada Bukit Bukan Sunatullah; Sebuah Persembahan Bagi Sang Pembelah Bukit

menjadi isnpirasi dan bahan pelajaran bagi manusia setelahnya.

Satu hal yang juga menarik dari sosok Ibrahim adalah ketika ia meragukan paradima yang sudah mapan yang ada di sekitarnya lingkungan saat itu. Termasuk paradigma yang melekat pada diri orang terdekatnya, yaitu Azar, ayahnya. Sedikit saya ingin mengatakan, dalam hal ini, secara intelektual Ibrahim bukan merupakan anak dari ayahnya tersebut, melainkan Ia hanya menjadi anak secara biologis. Yang menarik dari kisah tersebut ialah ketika keraguan yang dirasakan oleh Ibrahim dikonsultasikan kepada alam. Dalam mencurahkan segala kerisauannya itu, Ibrahim bertanya kepada matahari, kepada bulan kemudian kepada bintang.

Singkat cerita, Ibrahim mendapat hukuman bakar yang diberikan oleh raja pada saat itu. Terlebih hukuman psikologis, karena ayahnya ikut marah dan bahkan tidak mengakuinya sebagai anak. Akan tetapi, dari kisah tragis tersebut, akhir cerita mengatakan lain, pada masa itu, tidak satu orangpun yang mengira-ngira, kalau Ibrahim tanpa diduga akan selamat dari kobaran api yang menyala-nyala.

Selain Ibrahim, sayapun pernah sedikit mengenal tentang sejarah masa depannya Ali

Page 10: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

8

Syariati. Dalam salah satu bukunya Ia menyatakan kalau manusia pada setiap masanya terbagi ke dalam tiga golongan. Golongan tersebut, digambarkan oleh Syariati kedalam bentuk segitiga sama kaki dengan dua sudut di bawah, dan sudut sisanya berada di atas. Sementara, bagian dalam dari gari sisi tersebut disekat menjadi tiga bagian.

Bagian pertama, adalah sekatan antara dua sudut bagian bawah, ruangnya cukup luas, sisi satu dengan yang lainnya cukup berjauhan. Untuk menampung benda, mampu memuat jumlah yang cukup banyak. Begitulah kondisi masyarakat biasa. Di dunia ini, masyarakat biasa hampir memenuhi seluruh pelosok dunia, dengan jumlah yang juga sangat banyak dan luas jika dibandingkan masyarakat berpengetahuan. Karena menurut Syariati, masyarakat berpengethuan atau cendekia, berada pada sekatan yang lebih tinggi, yaitu diatas masyarakat biasa.

Tempat masyarakat cendekia ini lebih sempit daripada wilayah masyarakat biasa. Jarak satu dengan lainnya sangat bersinggungan. Sebuah kenyamanan tidak lagi Nampak pada posisi ini. bagi masyarakat biasa, posisi ini sangat menghawatirkan. Tidak rasional. Tidak terpikirkan untuk dijadikan tempat bersemayam.

Sedangkan untuk sekat ketiga, dimana hal ini meruakan sekat teratas dari segitiga yang digambarkannya itu, adalah tempat dimana orang jenius mengambil posisi. Posisinya lebih atas daripada orang cendekia maupun masyarakat biasa. Pilihannya untuk diam di tempat yang sangat sempit dan dengan jumlah yang tidak banyak tersebut seringkali dicap gila, tidak hanya oleh seorang awam, melainkan juga oleh mereka yang dinamakan kaum cendekia.

Begitulah hidup menurut Syariati, setiap masanya, manusia senantiasa terbagi ke dalam tiga sekatan tadi. Terus dan terus meningkat, orang biasa naik ke posisi manusia cendekia sehingga jumlahnya semakin banyak sehingga lama kelamaan posisi cendekia tersebut menjadi biasa-biasa saja. Dan begitupun diantara orang cendekia meloncat ke posisi jenius sehingga ditempat itu juga semakin dihuni oleh banyak orang dan

menyebabkan kejeniusan yang awalnya dianggap aneh dan gila berubah menjadi biasa aja. Akan tetapi, ketika seorang jenius mencoba keluar dari posisi awalnya (sekatan puncak) yang semakin dihuni banyak orang cendekia yang berhasil naik sekat, kembali lagi dianggap gila. Keluar dari koridor yang dianggap mapan.

KELUAR DARI KEMAPANANKeluar dari sebuah tatanan yang dianggap

mapan memang begitulah resikonya. Seperti kisah Ibrahim. Alih-alih mendapat pujian, yang pasti hadir menghampiri adalah cacian. Hal tersebut terjadi tidak hanya dalam beragama, dalam kehidupan sehari-haripun begitu adanya. Ketika seorang pengusaha sukses atau pegawai negeri sipil -yang belakangan ini menjadi dambaan hampir semua orang- ketika ditinggalkan begitu saja oleh seseorang demi memilih posisi lain, seperti wakil rakyat atau menjadi kepala desa, daripada pujian, yang menyayangkan terlebih mencemooh dipastikan lebih banyak.

Hal tersebut baru sebatas meninggalkan. Belum menghancurkan seperti halnya Ibrahim yang menghancurkan patung-patung sebagai sebuah kemampanan keagamaan pada masa itu selain cemooh, tentu saja resiko yang diterima adalah eksekusi mati, dibakar hidup-hidup. Hal seperti itu bisa juga kita lihat bagaimana sikap masyarakat pada msing-masing masanya kepada Musa, kepada Isa, kepada Muhammad, kepada Martin Luther, kepada Galilea Galileo, kepada Ahmad Dahlan, kepada Cak Nur. Pada awalnya, sebagian besar adalah cemoohan.

Langkah tersebut tentu saja tidak berakhir pada diri Cak Nur, ataupun Ahmad Dahlan, ataupun Martin Luther. Masih banyak diantara warga negara di muka bumi ini, khususnya Indonesia yang melakukan hal serupa. Meninggalkan suatu hal yang dianggap mapan demi sebuah pilihan yang menurut banyak orang tidaklah sebanding dengan apa yang ditinggalkannya.

Seperti sebuah realita, menjadi guru bagi

Page 11: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

9

sebagian orang adalah sebuah kehormatan dan kemapanan hidup. Terlebih menyandang status pegawai negeri sipil (PNS). Hanya untuk orang-orang pilihan saja yang dalam usia mudanya dengan sukarela mendinikan pensiunnya demi sebuah pengabdian “kepala desa”, sebuah jabatan kampung yang pada masa itu sangat tidak sebanding dengan pegawai negeri sipil.

Akan tetapi, lain kolam lain pula ikannya. Meminjam istilah Bang Haji Rhoma Irama, bukan kepala bukan pula pikirannya. Begitupun dia, walaupun sebagian orang menyayangkan dengan keputusannya, tetapi bagi seorang Diding Wahyudin, hal tersebut adalah peralihan. Melampaui kemapanan, tanpa menghancurkan.

Jika saya tarik garis lurus kepada uraian sebelumnya, sosok dan gaya Ibrahim yang tidak nyaman dalam paradigm mapan, menerima

kenyataan seadanya dan apa adanya, tidak melakukan apapun serta ketiga sekatan yang dibuat dalam segitiganya Ali Syariati yang menentukan posisi manusia apakah hidup berdiri diposisi awam, cendekia atau jenius, seorang anak muda desa, Diding Wahyudin, dengan kebulatan hati brani melepas kemapanannya sebagai pegawai negeri sipil, yaitu seorang guru, demi sebuah tindakan yang dianggapnya lebih memacu kegilaannya dalam berjuang, yaitu kepala desa.

Bagi Diding, menajdi kepala desa adalah menjadi guru dalam artian sesungguhnya. Menjadi siswa dalam artian yang lebih luas. Tanpa menggunakan white board, kepala desa mampu memebrikan pelajaran kepada seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kepada siswa di dalam kelas. Menjadi kepala desa mampu mengambil pelajaran yang lebih luas, tidak hanya dari seorang guru atau dosen yang menerangkan di hadapan

Page 12: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

10

siswanya di aula ataupun laboratorium.

Itulah yang dilakukan Diding Wahyudin, setelah sekian lama masyarakatnya menjadi budak dalam berbagai aktifitas desa, menjadi objek pemerasan setiap kali diselenggarakannya pembangunan, saat itulah sebuah perubahan digulirkan. Masyarakat tidak lagi menjadi pelaku utama pembangunan, masyarakat tidak lagi menjadi penyumbang dana terbesar sebuah kemajuan. Semasa kepemimpinannya, masyarakat menjadi manusia seutuhya sebagai manusia merdeka. Berbaur dan bercampur bersama pemerintan yang dibentuknya.

Tentu saja, bentuk kemerdekaan lainnya adalah terciptanya sebuah pelayanan sarana transportasi yang layak, yang mampu menghubungkan antara desa dan dusun, terlebih pusat kota. Tujuh kampung yang terpisah dengan jarak masing-masing yang cukup panjang merupakan bentuk keterbatasan lain kemanusiaan dalam menikmati kemerdekaan bangsanya 69 tahun yang lalu yaitu Indonesia.

Pada masa kepemimpinannya, tujuh kampung dengan jarak masing-masing dua sampai empat kilometer yang, untuk mencapai pusat desa saja membutuhkan biaya melebihi Rp.20.000,- atau dengan terlebih dahulu melintasi tiga kecamatan tetangga, disulapnya, bersama-sama melibatkan masyarakat, membelah bukit menjadi sebuah kisah haru yang mampu menghubungkan kedua pihak dengan jarak dan biaya yang terjangkau.

Bukit yang menghalangi, lembah yang merintangi beberapa masyarakat kampungnya itu, ia sulap menjadi jalan besar yang mampu menghubungkan atara kampung dan desa yang dipimpinnya. Tak ayal, semua pihak, baik dari satu daerah ke daerah yang lainnya, termasuk juga ke pusat desa dan kecamatan, sejak saat itu terasa nyamannya. Apalagi belakangan ini semua jalan tersebut mulai mendapat pengerasan sekaligus pengaspalan. Masyarakat semakin merdeka.

Jika dilihat dari sudut pandang kota, peristwa itu memang kurang kurang menarik. Hanya saja, untuk masalah kemerdekaan, kebebasan individu dalam melakukan aktifitasnya, pihak kota belum

mencapai proses besar seperti halnya usaha tersebut di atas. Menjadi pemimpin kota, alih-alih memerdekakan, yang ada adalah sebuah eksploitasi dan penindasan. Sebuah kecenderungan yang muncul akibat dari rakusnnya kekuasaan. Bukan Ibrahim lagi yang muncul melainkan Qorun dan Fir’aun.

Memimpin dengan memerdekakan rakyatnya adalah proses mendobrak paradigm mapan. Sebuah cara yang dilakukan kapal ketika mendobrak karang di tengah lautan. Alih-alih mampu melintasi tebing tersebut, yang ada hanyalah sebuah kehancuran, memporakporandakan diri dan semua apapun yang ikut berdama dirinya. Seperti Ibrahim yang kemudian dibakar, seperti Galileo yang dihukum mati. Sementara kemapanan yang didobrak tersebut adalah pola kepemimpinan yang menindas dan mengeksploitasi.

Tentang keterbatasan masyarakatnya untuk bisa menikmati kemerdekaannya. Dengan segala spekulasi dan kematangan ide, jarak yang jauh, biaya yang besar serta resiko yang akan diterima menjadi tantangan yang semstinya diperjuangkan. Masyarakat yang jauh dibalik bukit dengan pegunungan dan lembah yang merintangi kemerdekaannya seketika dirubahnya menjadi lekukan jalan, naik turunya sarana transportasi yang dibatasi jembatan menceritakan kisah baru sebuah kemerdekaan.

Tidak terbayang, kalau sosok Ibrahim baru tidak menjatuhkan pilihannya kepada kepala desa ini, dipastikan, sebuah penindasan, pemerasan, keterbatasan dan sebagainya sampai saat ini masih dianggap hal wajar, diterimanya sebagai sunatullah. Bukit dan gunung adalah tebing, yang ketika melewatinya harus mengikuti alur tebing tersebut. Termasuk naik turun dan liku-likunya. Menerobosnya adalah sebuah tindakan yang diluar nalar yang jauh dari kemungkinan. Bagitulah, paradigm masa lampau, masa ketika belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi, serta al-sulthon (kekuatan).

Page 13: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

11

Bung Karno menemukan istilah Marhaen, saat usianya masuk genap 20 tahun. Pada sebuah pinggiran Desa di Bandung

Selatan, Bung Karno bertemu dengan sosok petani yang mengenalkan dirinya dengan nama Mang Aen. Dalam dialognya dengan petani desa itu, Bung Karno mendapatkan pelajaran berharga tentang nilai kemandirian yang dijalani oleh sang petani dari bumi pasundan tersebut. Mulai dari penggunaan tenaga, pemilikan tanah sawah garapan, perkakas persawahan hingga hasil dari olahan pertanian itu hanya diperuntukkan bagi diri dan keluarga petani itu semata. Riwayat ringkas dari perjalanan Sukarno Muda ini dapat dirujuk dalam

KUWU MUDA DAN BENTENG KETAHANAN PANGAN DESA

“Hidup matinya sebuah bangsa ditentukan sejauh mana bangsa itu mampu menyediakan kebutuhan pangan bagi rakyatnya”.

–Pidato Soekarno, pada saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

(IPB), 27 Agustus 1952-

Page 14: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

12

sebuah karya Otobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, dengan judul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang diterbitkan Tahun 1966.

Bersamaan dengan penemuan konsep Marhaen di atas, pada usia yang demikian muda Bung Karno teramat sadar, bahwa kemandirian desa adalah gerbang utama dari ikhtiar keras negara dalam memajukan kesejahteraan rakyatnya. Keberadaan penduduk Indonesia yang menetapi desa yang sebagian luasnya agraris dipahami Bung Karno sebagai lumbung besar khususnya bagi ketahanan pangan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam syair-syair tahun 1970-an, Grup Musik Legendaris, Koes Plus bersaudara, dengan “Kolam Susunya” menamsilkan kesuburan tanah pedesaan di Indonesia sebagai surga. Bagaimana tidak, tanah pedesaan di Indonesia mampu memberikan keajaiban bagi beragam tanaman yang dapat tumbuh, meskipun berasal dari tongkat dan kayu-kayuan. Ibu Sud pun demikian, dalam lagu-lagunya, ia menampilkan Desa sebagai tanah dan tempat tinggal indah nan permai.

Kekuatan potensi desa yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi, syahdan memungkinkan Indonesia dapat menjadi negara dengan persedian pangan yang unggul khususnya di kawasan Asia Tenggara.

Politik Ketahanan Pangan Desa dalam Kabinet Kerja

Pidato sang Presiden dalam pembukaan Fakultas Pertanian pada awal kutipan di atas, menunjukkan harapan besar negara kepada generasi muda yang terhimpun dalam laboratorium besar kampus Institut Pertanian Bogor. Dalam hubungannya antara potensi kaum muda di satu sisi dan kemampuan atas mempertahankan kedaulatan pangan di sisi yang lain, diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama. Artinya kepentingan pada keberadaan keduanya berada dalam posisi vital, berkelindan setara antara satu dengan yang lainnya.

Jika dibandingkan dengan masa awal

kemerdekaan, kaum muda Indonesia dalam konteks kekinian turut ditantang dalam upaya menyumbangkan peranan pentingnya dalam proses pertahanan pangan, terutama bagi kaum muda yang menetap di desa.

Budiman Sujatmiko, Aktivis PRD 98 yang mewakili sosok marhaenis muda, dalam sebuah diskusi okobter 2014 lalu, kembali menegaskan perihal peran kaum muda pedesaan yang harus diberdayakan sebagai agen pembangunan dan perubahan. Kedua peran itu (pembangunan dan perubahan) bagi Budiman perlu pendampingan dalam mengolah sumber daya hingga akhirnya mampu menggerakan perekonomian desa.

Begitupun dengan konsep Nawa Cita sebagai blue print agenda Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla di tahun 2014, dengan zahir mencatat bahwa program ketahanan pangan adalah satu dari 9 agenda utama pemerintahan Indonesia ke depan. Kehadiran sosok Joko Widodo sebagai alternatif pemimpin muda selain menjadi jawaban atas buntunya generasi kepemimpinan kaum muda di Indonesia juga dapat menjadi sang penentu (The Decission Maker) dalam penerjemahan cita-cita pendiri bangsa yang memimpikan kedaulatan pangan di Indonesia.

Jamak diketahui bahwa Presiden Joko Widodo kemudian memberikan implementasi yang segera ketika ia menjadikan Desa sebagai satu elemen kementerian baru dalam Kabinet Kerja. Kementerian itu diberi nama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kementerian ini lahir dari tiga gabungan unsur yang berasal dari tiga kementerian sebelumnya, yaitu Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kementerian Desa ini dibebani tugas yang cukup menantang, yakni untuk membangun hampir 74 ribu desa yang ada di Indonesia.

Kementerian Desa dalam Kabinet Kerja, melalui sosok menteri mudanya, Marwan Ja’far, menekankan bahwa pekerjaan rumah pemerintahan

Page 15: Suara Muda

TTL Kuningan 3 Oktober 1976Jenis Kelamin Laki-laki

Agama IslamStatus Perkawinan Kawin

Istri Iin Inawati,S.PdAnak Eka Wahyu Azmi, Basilia Wahyu Azkia

Alamt Rumah Dusun Salasa Rt 02/01 Desa Cipakem Kec. Maleber Kab. Kuningan. Alamat Kantor Jalan Raya Cipakem No. 01 Kec. Maleber Kab. Kuningan

Nomor HP 085223485111

DATA DIRI

DidingWahyudin, S.Pd

PENDIDIKAN

1989 SD MIN Cipakem

1992 SLTP MTs Yaspika Karangtawang

1995 SLTA Jurusan Perkantoran SMEAN Kuningan

2002 S1 Jurusan PE-AP Universitas Kuningan

2013 S2 Magister Administrasi Pemerintahan2013 S2 Magister Administrasi PemerintahanUNSWAGATI Cirebon

curriculum vitae

Page 16: Suara Muda

PENGALAMAN ORGANISASI

1999-2000 Sekretaris Umum OPCI Cipakem

2000-2001 Ketua 1 BEM UNIKU

2001-2003 Ketua Umum HMI Cab. Kuningan

2001-2004 Departemen Organisasi KNPI Kuningan

2004-2009 Sekretaris Umum Gema Matlaul Anwar

2005-2007 Sekretaris Umum KAHMI Kuningan

2006-2008 Sekretaris Eksekutif Daruz Zakat Kuningan

2007-Sekarang Sekretaris APDESI Kec. Maleber

2007-Sekarang Departemen Pengurus APDESI Kuningan

2008-Sekarang Dewan Pengurus Ponpes Nurul Barokah Maleber

2008-2009 Sekretaris F-MAD

2009-2010 Ketua BKAD Kec.Maleber

KURSUS DAN PELATIHAN

1999 Basic training HMI Kuningan HMI Cabang Kuningan

Pemuda Wirausaha KNPI Jabar

Mahasiswa dan Bisnis Prop Jabar

Intermedite Training HMI Jatinangor HMI Jatinanggor Sumedang

Bela Negara Pangdam Siliwangi

Pelatihan PPK Pemilu KPU Kuningan

Penyusunan KTSP Diknas Jabar

2006 ISQ Leadership Pertamina

Pelatihan Pemerintahan Desa Pemda Kuningan

Pelatihan DKM Pemprop Jabar

Pelatihan Aksi Desa Mapan Pemprop Jabar

PNPM Pemkab Kuningan

BKAD BPM PORA

2009 PNPM Open Menu BPM PORA

2004

2001

2000

2007

2008

Page 17: Suara Muda

PENGALAMAN BEKERJA

1999-2000 Guru Honor, MTs Cipakem

2002-2003 Guru Bantu Sekolah, SMPN 2 Lebakwangi

2003-2004 Anggota PPK Kec. Lebakwangi

2003-2006 Guru PNS, Wakasek SMPN Karangkancana

2007-2011 Kepala Desa Cipakem

2012- sekarang Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Maleber

PENGHARGAAN

2007 Penghargaan Pencapaian Penerimaan PBB Terbaik II Kategori IV sebagai Kepala Desa Cipakem dari Bupati Kuningan

2008 Penghargaan Pencapaian Penerimaan PBB Terbaik II Kategori IV

sebagai Kepala Desa Cipakem dari Bupati Kuningan

Juara III Lomba Posyandu Tingkat Kabupaten Kuningan sebagai Pembina Desa Cipakem dari Dinas Kesehatan Kuningan

Juara II Lomba Kader Posyandu Tingkat Kabupaten Kuningan sebagai Pembina Desa Cipakem dari Dinas Kesehatan Kuningan

Penghargaan LELAKI SEJATI Tahun 2009 dari PT Bentoel dan Jawa Pos

Penghargaan Pencapaian Penerimaan PBB Terbaik II Kategori IV sebagai Kepala Desa Cipakem dari Bupati Kuningan

Juara ke II lomba Desa Siaga Tingkat Kab. Kuningan sebagai Pembina Desa Cipakem dari Pemkab Kuningan

Juara I Lomba PHBS Kecamatan Malebersebagai Pembina Desa Cipakem dari Camat Maleber

Juara II Lomba Desa Tingkat Kabupaten Kuningan sebagai Pembina Desa Cipakem dari Pemkab Kuningan

Juara II Pemeliharaan Hutan Rakyat Tingkat Kabupaten Kuningan sebagai Pembina Desa Cipakem dari Hutbun Kuningan

2011 Penghargaan UNIKU Award sebagai PENGGERAK PEMBANGUNAN dari Universitas Kuningan

Penghargaan ADHIKARYA PANGANdari PRESIDEN RI Susilo Bambang Yudhoyono

2009

2010

Page 18: Suara Muda
Page 19: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

17

saat ini adalah fokus pada pembukaan lahan untuk pertanian, serta terkonsentrasi pada pengembangan organisasi desa, pembangunan dan pemberdayaan kemasyarakatan, hal ini sebagaimana yang tertuang dalam penjabaran Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dalam sebuah dialog pada diskusi yang sama -Oktober 2014- lalu, Budiman Sujatmiko memberikan satu tantangan bagi peserta diskusi, salah satunya adalah Komitee Pemuda, KNPI Pusat di Jakarta, dalam ikhtiar pemuda untuk membangun negara melalui desa. Data Statistik menyebutkan bahwa dari 74 Ribu jumlah desa yang ada di Indonesia, kini masih terdapat 133 titik di Indonesia yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. Tantangan dari Bung Budiman tidak hanya sekedar tantangan. Indonesia dengan potensi penambahan demografi kaum muda, yang berusia 20-hingga 40 tahun cukup setara dengan 24 % dari jumlah keseluruhan penduduk yang hidup di Indonesia.

Dengan demikian Indonesia yang memiliki jumlah demografi yang besar ini, selanjutnya mendapatkan momentum tepat untuk mengembalikan kerja produktif kaum muda, khususnya untuk terlibat kembali di bidang pertanian, yang saat ini justru didominasi oleh kaum tua. Data menunjukkan bahwa hampir 80% dari 100% jumlah petani yang bergelut dalam bidang ketahanan pangan diisi oleh petani tua. Sungguh sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi kaum muda Indonesia.

Kuwu Muda: Dari Desa Untuk Bangsa

Memahami latar problematik ketahanan pangan desa di satu sisi dan peluang kaum muda sebagai motor penggeraknya di sisi yang lain, membutuhkan fokus pembahasan yang lebih detil dan terpeinci. Bukti bahwa sejarah Indonesia yang pernah mencapai tahap swasembada pangan sejatinya dinilai sebagai potensi besar sebagai dasar kaum muda untuk melangkah. Dengan daya kreatifitasnya kaum muda dapat berperan

dalam aktifitas riset, kebijakan hingga level praktik produksi yang dapat dieksplorasi dalam jenis pangan yang mungkin beragam. Sebagai contoh bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia sebagai konsumen utama pangan, bisa saja digeser pada jenis pangan lainnya, semisal kentang, jagung, tiwul, ketela sukun hingga tidak bertahan pada jenis beras saja.

Proses transformasi pengetahuan tentang kekayaan pangan bagi masyarakat konsumen di Indonesia sangat dibutuhkan sebagai langkah awal kaum muda dalam menggerakkan penyebaran jenis konsumsi pangan yang merata. Selain mengandalkan sumber karbohidrat sebagai bahan konsumsi masyarakat desa, dapat pula ditingkatkan pada sumber protein hewani yang secara nyata tumbuh pembiakannya di daerah desa, semisal sapi, ayam kampung dan domba.

Menarik untuk diambil contoh tentang keberhasilan seorang kuwu muda di sebuah desa di Jawa Barat. Dengan segala kreatifitas laku-berfikirnya, pada tahun 2011 lalu seorang pemuda berhasil terpilih untuk mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan dari Presiden SBY di Istana Negara. Adalah Diding Wahyudin, sarjana pendidikan yang saat itu berusia 35 tahun, berhasil diajukan oleh Pemkab Kuningan untuk menerima penghargaan penting tersebut. Pemerintah Kabupaten Kuningan menilai bahwa Diding selaku Pembina mampu melibatkan masyarakat untuk dapat memenuhi, kebutuhan pangan dengan memanfaatkan potensi daerahnya.

Keberhasilan Kang Diding sebagai kuwu muda nampak nyata ketika ia dapat menjadikan Desa Cipakem yang notabenenya adalah desa yang sangat terpencil di kotanya, sebagai desa dengan penghasilan ternak sapi dan domba yang tinggi. Surplus daging yang terjadi di Desa Cipakem itu tidak hanya memberikan nilai kesejahteraan namun juga dapat mewariskan nilai kemandirian desa dengan basis kekuatan yang terletak pada kreativitas kerja rakyatnya.

Desa Cipakem adalah tanah kelahiran Kang Diding. Wilayah Desa Cipakem umumnya dikelilingi hutan belantara dengan jarak antar dusun

Page 20: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

18

yang saling terpencil. Perjalanan menuju desa ini, menempuh jarak tidak kurang dari 62 KM dari pusat pemerintahan Kota Kuda. Meskipun jalan tempuh ke desa ini berhadapan dengan jurang-jurang yang curam, yang mengapit rapat di kanan kirinya, namun pemandangan dengan hamparan sawah dan perkebunan akan terasa memberikan kesan yang indah, terlebih dengan suguhan udara segar pegunungan yang niscaya akan menyejukkan hawa para penghirupnya.

Wujud desa seberapapun tertinggalnya di mata Kang Diding adalah anugerah Tuhan yang tidak boleh dilupakan. Bahwa terdapat banyak segala keterbatasan yang melingkari desa, mulai dari pengangguran pemuda, kering-kerontangnya tanah

kosong yang meliputi perbukitan desa, adalah satu ujian Tuhan, yang harus diikhtiari agar bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan warga.

Melihat kondisi desa dan masyarakatnya yang sulit berkembang, tampaknya malah menjadi suatu tantangan tersendiri bagi seorang pemuda desa. tahun). Setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kuningan (Uniku), Kang Diding memberanikan diri untuk ikut pemilihan kepala desa pada tahun 2008. Tanpa disangka, warga menaruh kepercayaan tinggi bagi sosok muda, sehingga Kang Diding yang juga merupakan santri jebolan Pesantren Tradisional di Karangtawang ini, mampu menang mutlak dan mendapat dukungan

Page 21: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

19

penuh warganya.

Dalam sebuah pernyataannya di Media Nasional, Pikiran Rakyat (9/01/2012), Diding menjelaskan:

“Berbekal dari pengalaman pendidikan pesantren dan kampus, Kami meniatkan diri untuk ikut dalam pemilihan kepala desa. Tujuan kami hanya satu, untuk memajukan dan menyejahterakan warga, kami tidak mau lagi melihat warga yang tidak bisa makan akibat kemiskinan. Pokoknya, saya harus berusaha bagaimana caranya agar warga desa kami terlepas dari kemiskinan,” tutur Diding. Langkah awal yang kami lakukan, menurut Diding, yaitu ketika Sekretaris Desa (Sekdes) Cipakem diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) maka berdasarkan kesepakatan, tanah bengkok hak Sekdes seluas 500 bata (7000 meter persegi) disewakelolakan kepada lima warga dan masing-masing pengelola diwajibkan menyetor satu kuintal padi ke lumbung desa dalam satu kali musim panen. “Saat ini, di lumbung padi desa kami sudah ada 5 ton gabah kering giling dan diproyeksikan untuk membantu warga miskin,” Alhamdulillah, dan saya yakin ini adalah berkah sebuah jihad pembangunan oleh seorang pemuda desa, katanya.

Di desa Cipakem selain hampir 40 persen penduduknya pergi merantau ke berbagai kota besar baik Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan ke Sumatra. Para perantau tersebut umumnya menjadi wirausahawan yang berhasil sehingga sedikitnya mereka dapat membantu pula proses pembangunan desa.

Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Diding. Pada Idul Fitri 2008 ketika para perantau mudik, Diding mengadakan silaturahmi. Sejumlah perantau bersedia warga yang tetap ada di desa, dengan cara membelikan domba atau sapi untuk dipelihara dengan sistem bagi hasil. Sebab, rumput sebagai pakan ternak dinilai melimpah baik di sawah maupun di daerah perkebunan milik Perhutani.

Daerah Cipakem dari luas 2.096 ha, di antaranya seluas 1.415 ha merupakan tanah perkebunan milik Perhutani yang ditumbuhi dan ditanami rumput gajah sehingga peternak lebih bergairah dengan memelihara ternak domba dan sapi. Pakan ternak

lebih dari cukup sehingga mereka banyak yang berhasil meningkatkan kesejahteraan hidupnya berkat bantuan perantau dan kini menjadi pemasok hewan ternak. Dalam penjelasannya yang lain, soal pengalaman-pengalaman unik yang ia hadapi, Kang Diding pun berbagi cerita:

“Pada 2007, desa kami memiliki sekitar 500 ekor domba dan 200 ekor sapi. Pada 2010-2011 ini, jumlahnya C meningkat sehingga kami rata-rata tiap tahun mampu memasok hewan kurban 2.000 ekor domba atau kambing dan 700 ekor sapi dengan daerah pemasaran Jakarta. Kami sekarang surplus daging,” kata Diding. Berkat ketekunan dan kerja keras serta adanya kebersamaan pada warga masyarakat Desa Cipakem, selain beternak, mereka juga memanfaatkan lahan sawah (irigasi) seluas 75 hektare dan sawah tadah hujan seluas 4.00 ha, serta kerja sama dengan Perhutani sehingga tanahnya bisa ditanami padi gogo (huma) dan kopi. “Kami juga sekarang menghasilkan kopi rata-rata 50 ton per musim. Ditambah gadung, singkong, pisang, cengkih, dan hanjeli sehingga Desa Cipakem saat ini dinilai mampu menciptakan ketahanan pangan,” katanya, bangga. (Pikiran Rakyat, 09/01/2012).

Dalam skala yang lebih kecil, ikhtiar keras Kang Diding seakan hadir sebagai sosok yang mewakili semangat Soekarno Muda dan Figur Marhaen, meski dalam wajah yang lain dan rentang waktu yang berbeda. Bahwa hanya dengan berbekal jiwa yang muda serta pemilikan atas jejak tanah kelahiran di pedalaman desa, posisi Indonesia sebagai rumah besar bersama, sejatinya dapat memberikan mimpi yang setara dalam mencapai cita-cita kemerdekaan yang nyata dan sejahtera. Bersama mimpi besar sang pendiri bangsa, yang menjadikan keberadaan desa sebagai titik tolak perjuangan kaum muda, selayaknya dapat diturut-tutur sebagai modal dan virus yang berharga bagi seluruh daya perubahan dan kemajuan bangsa. Bahkan Soekarno Muda pun pernah menggugat para pemuda, agar lebih dalam untuk memikirkan nasib-nasib mereka sendiri serta bekerja keras untuk masa depan. Karena baginya, ia lahir untuk ditakdirkan menjadi hati, telinga serta lidah rakyat Indonesia.

Page 22: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

20

Magrib Mengaji di Kampung Kami: Kajian atas Sebuah Pendidikan Tradisi

Page 23: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

21

Suasana Kampung Di kalangan masyarakat pendidian, siapa

yang tidak mengenal nama-nama kemasan kurikulum pendidikan, semisal CBSA, KTSP dan KBK,hingga Kurtilas (kurikulum dua ribu tiga belas). Segala macam bentuk kemasan tersebut merupakan tawaran kreatif Negara dalam hal ini adalah kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud; dulu) dalam usaha mewujudkan cita-cita pendidikan Indonesia. Sebagaimana tertera dalam undang-undang sistem pendidikan nasional bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan usaha sadar dan terencana, guna mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan sebuah kurikulum, baik yang saat ini ramai dibicarakan, jauh sebelum itu Mohamad Hatta menulis tentang sistem pendidikan Indonesia. Menurutnya, walaupun dalam tujuan pendidikan terjadi proses pembentuan nilai-nilai yang baik dan luhur mengenai kehidupan tetapi tanpa pendidikan agama di Langgar atau di Pesantren, sekolah tidak mampu mendidik perasaan agama yang dalam. Menurutnya, sistem pelajaran di sekolah an sich tertuju kepada proses mencerdaskan otak. Proses pendidikan perasaan agama sebagai nyanyian jiwa yang mengenai perasaan sama sekali tidak diajarkan. Artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara proses pendidikan sekolah umum dengan pendidikan Agama di Langgar atau Pesantren.

Walaupun begitu, pendidikan agama yang dimaksud tersebut bukan berarti otomatis lepas dari kekurangan. beberapa bentuk kekurangan yang sebuah pendidikan agama atau pesantren ialah, hanya dihususkan kepada satu bidang garapan yang dipelajari, yaitu tentang agama saja dengan tidak disertakan pengetahuan lain berupa pengetahuan modern yang dapat dipakai untuk berjuang mencari penghidupan sehari-hari. Begitupun juga dengan batas waktu pembelajarannya yang tidak

mententu.

Untuk menjawab kesenjangan tersebut diatas, di satu sisi pesantren modern hadir sebagai bentuk inovasi dengan mencoba menggabungkan dua tradisi yang berbeda antara kitab putih dan kitab kuning menjadi bahan ajar yang saling mengisi satu dengan lainnya. Di sisi yang lain, ialah dilakukan penambahan jam ajar pendidikan agama di luar sekolah berupa Madrasah Diniyah. Sebuah sekolah agama yang, bagi sebagian daerah sudah dikemas dengan beberpa aturan baku seperti halnya sekolah formal yang sudah ada.

Diluar kedua jenis pendidikan tersebut, diantara kita juga pernah mendengar atau bahkan sebagai pelaku sebuah tradisi yang saat ini terlupakan yaitu mengaji diwaktu magrib. Untuk beberapa daerah atau bahkan semuanya, hal tersebut merupakan suatu peristiwa lumrah dan mapan menjadi sebuah tradisi. Tanpa adanya anjuran dan peraturan dari pihak manapun termsuk pemerintah kegiatan tersebut hadir secara sukarela mendarah daging menjadi budaya yang saya pandang jika dibandingkan dengan bentuk yang baru hadir belakangan ini yaitu madrasah diniyah sangat jauh melampaui.

Untuk saat ini, tradisi tersebut sulit untuk ditemukan, kalaupun ada hanya satu atau beberapa kampung saja yang mungkin melakukan hal itu. Kalau bukan karena kampung santri yang di dalamnya terdapat beberapa pesantren atau kyai, juga kampung yang jauh di pedalaman dan bebas dari pengaruh “teknologi”, hadirnya sosok pemimpin yang peduli dan faham akan makna pentingnya magrib mengaji adalah penyebab berlangsungnya tradisi tersebut sampai saat ini.

Kampung saya tidak memiliki kyai, apalagi pesantren, akan tetapi magrib mengaji senantasa bertahan walaupun pengaruh teknologi sudah sangat mendominasi kalangan tertentu generasi muda. Tetap ada, walaupun hari-hari senantiasa diiringi dengan segala kemajuan zaman. televisi, dan alat elektronik lainnya mewarnai suasana sore setiap individu keluarga.

Hanya saja, magrib mengaji sebagai tradisi kampung yang lemah lambat laun mengikis

Page 24: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

22

hilang. Kecenderungan terlibat suasna baru dari kemajuan teknologi begitu mempengruhi, mengalihkan perhatian. Tidak mengenal tua ataupn muda, menjelang magrib tiba yang dahulu semua aktifitas terhenti dan berbondong-bondong untuk menghimpun diri di masjid, mengikuti dan menyaksikan anak mengaji belakangan ini adalah sebaliknya. Di Masjid hanya terdengar dengkuran kakek yang tertidu saat menungu shalat Isya dan dahakan abah lebe yang sedang wiridan.

Magrib mengaji yang sejatinya adalah sarana yang hadir memberikan jalan dalam menjalin dan memupuk kebersamaan kian menghilang. Kebersamaan berupa keberbauran dan keterlibatan satu dengan lainnya tidak lagi tercipta. Orang tua, anak-anak, guru ngaji yang sejatinya adalah pelaku utama dalam menciptakan iklim baru kebersamaan semakin renggang. Tradisi itu bagaikan ban bocor yang hampa udara dan ditinggal pergi sang empunya.

Pemimpin BaruMenerima hal baru yang lebih baik dan

mempertahankan hal lama yang baik rupanya menjadi sudut pandang lain dalam menerima satu sosok kepemimpinan baru di desa kami. Kepala desa yang hadir seiring dengan lunturnya tradisi membawa angin segar sebuah perubahan desa yang lebih baik.

Tanpa bermakud menafikan sebuah perjuangan kepemimpinan sebelumnya, Diding Wahyudin, sebagai kepala desa terpilih saat itu tanpa menunggu waktu lama memberikan gebragan baru bagi masyarakatnya. Bukan hanya jembatan, sarana irigasi, pemukiman warga, sarana transportasi dan segala jenis pembangunan fisik lainnya, melainkan juga pembangunan mental spiritual yang tiada henti menjadi perhatiannya.

Melihat latar belakang hidupnya yang pernah mengenyam suasana pesantren di pondok kecil Kabupaten Kuningan, yaitu Karangtawang ia hadir memberikan wajah segar religiusitas dalam kepemimpinannya. Tak ayal, sebuah tradisi lama yang kian merenggut akibat banyak factor, Magrib

mengaji seakan mendapat darah segar, pompaan semangat dan dorongan dengan segala apresiasi serta supportnya yang tulus dari seorang wajah santri yang merindukan masa lalunya.

Dibawah kepemimpinannya, tidak hanya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang menjadi prioritasnya, tidak hanya melek baca yang senatiasa menjadi pusat perhatiannya. Sebuah tradisi, yang salah satunya adalah magrib mengaji menjadi wacana baru dan kembali dihadirkan dalam rangka menyeimbangkan kompetensi dengan pendidikan umum yang didapatkannya di sekolah dengan keakraban rasa keagamaan yang didapat dari mengaji.

Magrib mengaji, selain masalah waktu yang penting dari itu adalah persoalan nilai. Menumbuh kembangkan pendidikan nilai. Hal itulah yang syarat dari magrib mengaji. betapa tidak, sebuah pembelajaran yang tidak berakhir dengan raport dan ijazah apalagi honorarium untuk sang kyai dengan berbagai tunjangannya, tetapi mampu berjalan berkesinambungan dari satu generasi ke generasi sesudahnya.

Magrib mengaji yang diperuntukan tidak hanya usia sekolah, melainkan keterlibatan semua pihak. tidak melulu belajar agama secara literal, akan tetapi menyimpan keakraban menjelang malam, berkumpul membaca ulang keberagamaan, bertutur sapa kesibukan dengan sesekali diiringi pembacaan terhadap al-qur’an yang lebih dalam guna mencapai persfektif.

Bersyukur, sebuah kampung dengan jarak yang cukup jauh dari pusat desa/kota, yang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khusus kampung saya dan umumnya semua kampung yang terdapat di Desa Cipakem, atas dukungan dan semangat dari seorang pemimpin muda saat itu, sampai saat ini mampu mempertahankan tradisi magriban tersebut. Magrib mengaji yang belakangan ini seakan surut, atas suport dan motovasinya kembali mendapat angin segar.[]

Page 25: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

23

Kepada Cah Angon, Kami Belajar

Oleh: Diding Wahyudin

Sayup-sayup bangun (dari tidur)Pohon sudah mulai membumi,

Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baruAnak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,?

walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaianPakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan

Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti soreMumpung terang rembulannyaMumpung banyak waktu luang

Mari bersorak-sorak ayo…

[Kidung Lir-ilir, Kanjeng Sunan Kalijaga]

Page 26: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

24

Indonesia adalah tanah dengan sejuta kitab suci kehidupan yang tidak sempatdituliskan di atas kertas,bebatuan dan pelepah daun-daun pepohonan. Meskipun di luar negeri sana, terdapat milyaran hektar tanah, tempat bangsa-bangsa dunia lain berpijak, berjalan hingga berlari kencang dengan sekian banyak penelitian dan penemuan ilmiah di bidang pengetahuan alam hingga sosial. Tapikini, kami di Indonesia, tempat lahirnya lebih dari 200 juta jiwa penduduknya memiliki penilaianrasa dan pandangan nalar yang sederhana sekaligus berbeda. Bagi kami tanah adalah anugerah yang tidak cukup hanya dibatasi dengan bentuk-bentuk penjumlahan luas yang lebih mirip dengan penjara-penjara angka. Tanah di mata batin kami adalah perpustakan jiwa yang tak terbatas keluasannya, tempat kami belajar hidup untuk lebih dapat bertanggung jawab dan bersyukur secara penuh atas karunia Tuhan yang Maha Mulia pada setiap jengkal dan detikruang waktu-Nya. Tanah bagi kami adalah hamparan bebatuan, yang kadang nampak gersang oleh terik kemarau yang berkepanjangan, namun tanah bagi kami juga adalah padang semesta yang kerap basah dan lembab berselimutkan mata air pegunungan dan sesekali berupa hempasan air pasang lelautan.

Dalam ragam tafsir kami atas tanah yang dimiliki negeri ini, kami mencoba menggali nilai kealamainnya yang lain, yaitu pada aspek kedekatan tanah pada kehidupan alami yang ternilai akrab dengan kehidupan manusia khususnya di wilayah pedesaan. Kenapa desa? Karena bagi kami desa titik pijak yang menjadi landasan awal bagi sebagian besar penduduk negeri kepulauan ini, selain itu juga karena melalui desa pulalah pengertian tentang sejarah dan masa depan negeri ini bermula dan berakhir.

Cah Angon: Hikayah Tanah Kelahiran Sang PembelajarIndonesia dalam setiap babak perjalanan sejarah, sedikit banyak memang menjadikan hikayah para

generasi-generasi lampau sebagai landasan penting bagi usaha para pewarisnya dalammemulai gerak dan langkah kehidupan. Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga salah seorang bocah tanah Jawayang kemudian menjadi primadona dari sembilan wali yang menyebarkan ajaran Islam dengan gaya dan tafsir kebudayaan yang lekat dengan tradisi kenusantaraan. Selain dikenal dengan Dalang tanah Jawa pertama yang mampu menyeleraskan ajaran agama dengan nilai keharmonisan budaya jawa, sosok wali yang acap dikesankan nyentrik ini, juga adalah seorang guru yang berhasil menerjemahkan siklus perjalanan kehidupan umat manusia melalui satu tembang ringkas yang populer dengan judul, Lir Ilir.

Melalui tembang Lir-Ilir, Kanjeng Sunan sejatinya ingin mengantarkan kepada para pendengarnya yang notabenenya adalah masyarakat tradisional Jawa yang hidup di abad ke 14-an, dalam satu pesan kesederhanaan, yaitu bahwa keterkaitan antara tanah (Wujud Ciptaan Tuhan) dan kepribadian diri (Wakil Tuhan) diibaratkan sebagai dua subjek ciptaan yang senantiasa harus saling mengisi dan mempelajari. Laku utama yang melatari proses tradisi mengisi dan mempelajari dalam ajaran moral agama dan kemanusiaan adalah wujud syukur diri dan ketawdhuan diri atas anugerah tak terbatas sang Maha Kuasa. Dalam sebuah penelusaran tentang pemaknaan Cah Angon sebagai model pembelajar yang lebih kongkrit, kami menemukan karakterCah Angon yang ditafsirkan Kyai Ceret dalam satu konsep (penyucian diri) yaitu kembali ke khittah kehadiran manusia selaku Wakil Tuhan di muka bumi.

Seorang anak gembala menurut beliau setidaknya memiliki beberapa karakter :

1. Tidak akan makan sebelum hewan yang digembalakannya makan.

Seorang anak gembala akan mencarikan rumput dan dedaunan buat kambing-kambing yang digembalakannya atau membawanya ke suatu tempat yang banyak rumput dan dedaunan. Setelah kambing-kambingnya makan dengan

Page 27: Suara Muda

Edisi Istimewa Desember 2014

25

tenang barulah sang bocah angon tadi makan bekal yang di bawanya dari rumah dengan sambil tetap mengawasi kambing-kambingnya.

2. Tidak akan tidur sebelum yakin hewan yang digembalakannya dalam keadaan aman

Jika kita memperhatikan bocah angon, maka didapati bahwa sang penggembala mesti berada di belakang hewan-hewan yang digembalakannya. Ini bermakna bahwa sang bocah angon dengan posisi itu bisa melihat dengan jelas kalau hewan yang di bawah kendalinya berada dalam keadaan aman, nyaman dan tidak tercerai-berai lari dari kumpulannya. Seorang anak gembala tidak akan mencoba tidur atau tidur nyenyak jika dia belum yakin bahwa kambing-kambingnya dalam keadaan aman dari ulah manusia lainnya atau dari gangguan binatang liar/buas.

3. Selalu menggunakan bahasa hewan yang digembalakannya

Seorang bocah angon dalam pekerjaannya selalu menggunakan bahasa hewan yang digembalakannya. Jika dia menggembala kambing, dia akan memanggil dengan menggunakan suara kambing …mbeeeeeek. Seorang bocah angon yang berpengalaman akan dengan cepat mengerti tentang aspirasi/keinginan kambing-kambingnya, dia bisa membedakan suara kambingnya apakah berteriak karena lapar-mau makan ataukah dalam keadaan bahaya dan lebih spesifik lagi dia cukup mengerti gelagat bahwa kambingnya butuh pasangan.

4. Sabar dan adil dalam mengurus hewan yang digembalakannya.

Seorang bocah angon dituntut memiliki kesabaran yang tinggi karena harus menunggu dan menjaga serta mengawasi hewan yang digembalakannya sejak

matahari terbit sampai tenggelam. Hal ini karena lambatnya kambing makan, sehingga penggembala membutuhkan kesabaran tinggi menghadapinya. Selain itu bocah angon memberi makan dengan adil semua kambing-kambing yang digembalakannya tanpa membedakan jenis/ras ataupun perangainya.

Melalui tafsiran Cah Angon diatas, setidaknya ditemukan tiga mata rantai kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat nilai kultural dan semangat moralitasnya. Jika dalam paragraf-paragraf awal, relasi antara kehidupan manusia dengan tanah-tanah tenpat berpijak dunia di luar Indonesia lebih terbangun pada nilai mekanistis sekaligus materialistis. Sedangkan tamsil yang coba kami sampaikan dalam hikayah percontohan, bagaimana sejatinya proses manusia dalam mempelajari konsep kehidupan serta cara mereka mempertahankannya lebih bersifat pada nilai kedinamisan yang berpangkal-ujung pada pertukaran rasa dan nalar antara kesadaran diri manusia dengan subjek ciptaan lainnya, entah itu berupa hewan, tanah ataupun semesta alam lainnya.

Tentu saja keberadaan Cah Angon sebagai sosok qiyasi, dalam kehidupan masyarakat yang lebih realistis secara pengertian hakekat bisa saja berwujud sosok yang lain, semisal seorang Auditor, Negarawan, budayawan, Dokter ,Kiai, Sipil atau Militer--namun hal yang paling penting adalah bagaiamana spirit yang berupa “daya angon” atau kesanggupan untuk menggembalakan dengan karakter yang merangkul dan memesrai semua pihak, diterima dan mengakomodir semua kepentingan tanpa ada subjek (objek) yang dirugikan. []

Page 28: Suara Muda

Sekenang Kata Untuk Kang DIDING WAHYUDIN

# Utje Ch. Hamid Suganda [Bupati Kuningan]

Diding adalah figur muda yang benar-benar lahir dari rahim desa. Sebagai Pemimpin Muda Masa Depan, Diding hanya berbekal satu modal utama, yaitu pengalaman kepemimpinan yang berbasis desa, yang dalam era otonomi daerah sekarang menjadi sangat berharga. [Dialog bersama Pimpinan Pondok Pesantren Kyai Nur Alam, Maleber, awal Tahun 2014]

# Dr. Iskandar, MM [ Rektor Universitas Kuningan]

Diraihnya UNIKU AWARDS tahun 2011 lalu, oleh Kang Diding Wahyudin, dalam kategori Pemuda Penggerak Pembangunan adalah bukti nyata, bahwa kini generasi muda masih memiliki sosok pemimpin muda yang dapat dijadikan panutan bersama, demi meraih cita-cita kemajuan daerah, khususnya di Kota Kuda, dan umumnya bagi negeri tercinta kita Indonesia.

# H.D. Arifin, S.Ag. M.Pd [ Mantan Ka Kamenag Kabupaten Kuningan ]

Diding Kecil lahir sebagai santri kampung yang tekun [meski dengan cara tertatih-baca]dalam mempelajari segala bait-bait kemusykilan Kitab Kuning di dunia kepesantrenan. Tanpa disangka, nilai ketekunan yang Diding Kecil miliki, cukup melekat kuat hingga masa kepemudannya kini. Semoga sifat keistiqomahan dan ketawadhuan diri sebagai sosok pembelajar dapat merekat hingga masa tak terhingga nanti. Senantiasa bermanfaat dan menjadi maslahat bagi kepentingan umat yang lebih banyak.

# Jubaedah SE[Camat Maleber]

Kang Diding sosok yang ulet dan gigih dalam bekerja. Kini, Kita buuh lebih, stok pejuang muda bagi masyarakat desa.

# KH. Amiludin [ Pimpinan Ponpes Al-Abshori, Karang Tawang Kuningan ]

Saya memberikan restu kepada pa kuwu [Diding Wahyudin]. Diding teh sosok muda nu lahir ti lingkungan palemburan. Gede lan nyantrina oge di palemburan Karang Tawang. Masa ngorana diabdikeun pikeun lembur. Mugia kapayun tiasa tetep istiqomah dina pangabdian diri anjeuna kanggo kamaslahatan umat lan lemah cai pada umumna.

# Heri Purnama, S.Ag. M.Pd [ Ketua Umum PGM Kab. Kuningan ]

Sebagai Tokoh Muda, Kang Diding dikenal dengan mobilitas pergerakannya yang tinggi. Hal tersebut ternyata diantaranya bersumber pada dua fase sejarah kependidikannya dahulu.Pertama sebagai seorang jebolan santri tradisional, yang memahami benar arti dari sikap kemandirian, dan yang kedua adalah kematangan pengalaman manejerial Kang Diding dalam memimpin Organisasi Internal dan Eksternal Kemahasiswaan saat masa studinya di Unversitas Kuningan.