studi perbandingan pembentukan undang-undang...
TRANSCRIPT
STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE
(Pembentukan Undang-Undang Yang Berkarakter Responsif)
Tesis
Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Oleh: Jose Cardoso de Araujo
NPM: 322008901
Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga 2010
MOTTO
Gunakan kepintaranmu untuk membantu saudaramu, jangan gunakan kelebihanmu untuk membodohi orang lain
Penulis
“Jangan Tunda sampai besok apa yang dapat di kerjakan hari ini, karena besok bukan hari ini atau anda akan menyesal”
(Penulis)
Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa
By Celly
Kupersembahkan karya tulis ini untuk:
Istriku tercinta: Celina Araujo da Costa Exposto dan keempat anak kami tersayang: Jeciliana Auxiliadora Lopes de Araujo Jelisia Esterela Cardoso de Araujo Amansia Jeje da Silva do Rosario de Araujo Nobere Fortunato Cardoso de Araujo
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : STUDI
PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang- Undang Yang Berkarakter Responsif)
Nama Mahasiswa : Jose Cardoso de Araujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui
Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum Umbu Rauta, SH. MH Pembimbing I Pembimbing II
Mengesahkan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum
Dinyatakan Lulus Ujian Tanggal: 05 Maret 2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : STUDI
PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang Undang Yang Berkarakter Responsif)
Nama Mahasiswa : Jose Cardoso de Araujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui,
Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum Umbu Rauta, SH. MH Penguji I Penguji II
Kustadi, SH. M.Hum Titon Slamet Kurnia, SH. MH
Penguji III Penguji IV
Dinyatakan Lulus Ujian Tanggal: 05 Maret 2010
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jose Cardoso deAraujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana UKSW Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan penuh kesadaran bahwa dalam menulis tesis dengan judul: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang-Undangn Yang Berkarakter Responsif), saya tidak melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan plagiasi, bersedia dicabut hak saya sebagai mahasiswa atau dicabut kembali gelar yang sudah diberikan dan akibat hukum lainnya.
Salatiga, 3 Maret 2010 Yang membuat pernyataan
Jose Cardoso deAraujo
i
SARI PATI
Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan membentuk undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan legislatif dengan rakyat dalam suatu negara. Dalam proses pembentukan undang-undang ini, di dalamnya terdapat transformasi misi, visi dan nilai yang diinginkan oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-undang sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar undang-undang yang dihasilkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan, yang meliputi : Pertama, mampu dilaksanakan; kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi masyarakat. Dewasa ini, orang lebih mengandalkan pada mekanismekelembagaan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenag-wenangan kekuasaan negara. Persoalan ini dikemukakan oleh John Locke dan beliu tidak setuju dengan pemikiran Hobbes yang mau memberikan kekuasaan mutlak kepada negara. Baginya itu terlalu ceroboh. Dia lalu berbicara tentang hak-hak alami yang merupakan hak-hak azasi manusia yang tidak boleh dirampas oleh negara. Untuk menjamin hal ini, locke memisahkan aspek legislative (atau pembuatan undang-undang dan hukum) serta aspek eksekutif dan yudikatif
ii
(pelaksana dari undang-undang dan hukum ini) dalam sebuah sistem politik.
Dengan demikian, diharapkan dapat
menciptakan hukum yang responsif, sehingga mampu untuk menjawab serta menyesuaikan keberadaanya sesuai dengan keinginan dan tuntutan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh, kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencakup pengetahuan didalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.
Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Dalam kaitan ini, argumen yang ditawarkan adalah proses saling mempengaruhi (interplay) diantara aturan dan asas. Karena dalam proses inilah suatu sumber perubahan dibangun kedalam tatanan hukum. Suatu peraturan agar tetap relevan, dan bertahan hidup, mesti bergantung pada kondisi-kondisi historis yang tepat. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus di tata ulang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kebijakan namun juga untuk melindungi otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan.
iii
ABSTRACT
Law making or legislating is an activity regulates society that consists of human individual composite with their dimensions, thus designing and making of law that can be generally accepted by people had been a very hard task. This hardship rests on the reality that law making is a form of communication between institutions that define it, namely legislative power holder in a certain state. In this process of law making can be found the transformation of mission, vision, and values expected by legislature with the society itself in a form of legal regulation.
Law makers or legislatures had been demanded since the beginning to produce a kind of law that satisfy various needs, such as: First, able to be implemented; second, can be enforced; third, in conformity with legal security principles and rights equality of regulated targets; and fourth, able to absorb people’s aspirations.
Nowadays, people increasingly count on institutional mechanism to prevent the strung out of abuse of power and state’s power arbitration. This problem was proposed by John Lock and he disagreed upon Hobbes’s thought about giving absolute power to the state. For him it is very improper. Then he continued to talk about natural rights belong to human rights that cannot be looted by the state. To assure, Locke separated legislative aspect (or law and legal making) and executive and juridical (the executor of this law and legal) within a certain political system.
Therefore, it is expected that this will create a responsive law, hence able in answering and adjusting its presence in accordance with society’s pretension and demand. As said by realist, law is supposed to make law “becoming more responsive toward social needs”. In order to achieve this, they encourage extension of fields that have legal relevance, thus legal logical reasoning
iv
can encompass knowledge within social context and has influence on official action taken by legal apparatus.
Specific characteristic of responsive law is the nature to search for implicit values contained in regulations and policies. In this case, argument proposed here is the interplay process between rules and principles. It is in this process a change source can be built within legal order. In order to keep regulation relevant and survived, thus it should be rely on proper historical conditions. When an environment changes, regulations should be reordered, not only to meet the policy demand but also to protect the authoritativeness of those regulations themselves and its integrity when implemented.
v
KATA PENGANTAR
Ketertarikan saya untuk menulis tentang “Studi
Perbandingan Pembentukan Undang-Undang Antara
Indonesia dan Timor-Leste” berangkat dari pemikiran
bahwa sebagai negara yang baru memperoleh
pengakuan Kemerdekaannya pada Tahun 2002,
tentunya banyak hal yang harus dibenahi termasuk
pembentukan undang-undang yang akan di jadikan
pijakan dalam bertindak dan hidup bermasyarakat, dan
tentunya undang-undang yang berkarakter responsif
sehingga diharapkan dapat merespon tuntutan dan
persoalan yang akan muncul baik sekarang maupun di
masa yang akan datang.
Penulis memuji dan bersyukur atas bimbingan dan
kasinNya atas terselesainya karya tulis ini sebagai
salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Magister
Hukum di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Tuhan telah menemani penulis dalam seluruh karya
tulis ini, Dia tahu akan keterbatasan penulis. Dalam
vi
keterbatasan, Dia mengutus orang-orang yang
bermurah hati membagi kelebihan mereka untuk
menuntun dan melengkapi penulis sampai tulisan ini
dapat dirampungkan. Karena itu dalam nada syukur
dan dan terima kasih, penulis sampaikan kepada:
1. Rektor, Direktur, Ketua Program Studi dan
seluruh Civitas Akademika PPs Magister Ilmu
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Karena atas kerjasama dan pelayanan
yang diberikan sehingga Penulis dapat
menyelasaikan Studi dan penulisan Tesis ini.
Teristimewa kepada mba Evi Yeniarti yang telah
banyak membantu dalam mempersiapkan
administrasi Penulis dengan penuh keramahan.
2. Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum. Selaku Kaprodi,
Dosen Mata kuliah, dan sekaligus sebagai
Pembimbing. Bukan hanya memberikan
masukan, tapi jauh dari itu Penulis mengganggap
beliau sebagai orang tua selama Studi di UKSW.
3. Umbu Rauta, SH. MH. Selaku Dosen pembimbing
dan dosen mata kuliah yang telah banyak
memberi masukan, ide-ide dan saran-saran
dalam penyelesaian penulisan tesis.
4. Dosen-dosen penguji: Kustadi, SH. MH, Titon Slamet Kurnia, SH. MH yang bersedia menguji,
vii
mengkritisi dan memberikan masukan-masukan berharga demi penyempurnaan karya tulis ini.
5. Staf Pengajar PPs Magister Ilmu Hukum UKSW
yang telah membekali penulis dengan berbagai
ilmu dan telah menunjukkan suasana akademik
yang penuh kebersamaan tanpa dibatasi sekat-
sekat budaya, etnis, bahkan agama yang
membuat penulis penuh percaya diri dalam
menghadapi tantangan selama masa kuliah.
6. Presiden Parlemen Nasional Republik Demokratik
Timor-Leste, Fernando “Lasama’ de Araujo yang
telah membantu penyelesaian studi penulis dan
menyetujui untuk diadakan penelitian di
Parlemento Nasional RDTL.
7. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RDTL,
yang mana telah membantu penulis dalam
penyelasaian studi di UKSW Salatiga.
8. Teman- teman senasib seperjuangan di klas Tata
negara dan Bisnis Magister Ilmu Hukum UKSW-
Salatiga angkatan I : Tri Mulyani, Triarso,
Susiana, Ciptono, Anton Koibur, Willy
Agusdinata, Suryanto, Agus Hendro Wibowo,
yang baik secara langsung maupun tidak
langsung telah membantu penulis melalui
diskusi-diskusi selama studi dan dalam proses
penulisan tesis.
viii
9. Teman-teman dari Timor-Leste : spesial
Nominando”Buras” Martins, yang telah banyak
memberi motivasi dan dukungan, baik materi
maupun moral yang pada akhirnya penulis bisa
merasakan kesuksesan ini, Felix do Ceo,
Martinho Boromeu, Mario MM, Costantinho
Godinho, Alipio Monis, Januario Soares,
Dominggos Savio, Olga, Jacob da Silva Araujo,
Jose Honorio, Jakarias Dos Reis, Longinhos,
Dominggos Belo”Dulama”, Alexandre, Avaldo,
Antonio Carceres, Silvino, dan lainya yang tidak
sempat aku sebutkan, satu persatu yang telah
membantu penulis baik secara langsung maupun
tidak langsung.
10. Isteriku tercinta: Celina Araujo da Costa Exposto
yang telah setia dan berkorban, tabah, ikhlas,
sabar dalam mendukung studyku, Ayah Mertua;
Sebastiao Exposto dan Ibu Mertua Terezinha da
Costa Amaral, serta Filomena dan Suaminya
Sabino Neves, Tito Exposto serta Adelia, yang
telah mensuport penulis selama kuliah.
11. Ayahku: Teotonio da Silva (alm.) dan Mamaku
tersayang Ester Cardoso (alm) yang tidak sempat
melihat kesuksesan anaknya serta kakak dan
adikku sekeluarga : Lusinda Cardoso dan
Francisca Cardoso serta seluruh keluarga besar
ASAE.
ix
Semoga budi baik semua orang yang telah aku
sebutkan diatas dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Akhirnya penulis sadar, bahwa tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan
bantuan para pembaca untuk melengkapinya. Mudah-
mudahan pertemuan para pembaca dengan Tesis ini
menjadi suatu pertemuan ilmiah. Pertemuan yang
dimaksud tidak hanya mengisi ketidaktahuan, tetapi
lebih dari itu, suatu pertemuan yang “menantang” dan
menambah kreativitas untuk berpikir tentang hidup
yang telah dihayati dan problema-problema zaman yang
paling mendasar yang mengitari manusia dan
kehidupannya.
Salatiga, 3 Maret 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
Abstrak ......................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................ v
Daftar isi ..................................................................... x
Daftar Tabel ............................................................... xiii
Bab I Pendahuluan ...................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................... 15
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................... 15
1.4 Metode Penelitian ............................................ 16
1.4.1 Jenis Penelitian ......................................... 15
1.4.2 Pendekatan dan Spesifikasi Penelitian ....... 16
1.4.3 Sumber Data dan Tehnik Pengumpulan
Data. ......................................................... 20
1.4.4 Analisis Data ............................................. 21
1.5 Kerangka Teori ................................................. 21
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................ 37
2.1 Teori Pembentukan Undang-Undang ................ 35
2.2 Landasan Pembentukan Peraturan Perundang
undangan ......................................................... 41
2.3 Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan ......................................................... 43
2.4 Materi Muatan Undang-Undang ....................... 45
2.5 Penerapan Demokrasi dalam Pembentukan
Undang-Undang yang Responsif ....................... 47
xi
2.6 Pengtingnya Pembentukan Undang-Undang
dalam Era Globalisasi ....................................... 52
2.7 Akuntabilitas dalam bentuk prosedur
pembentukan Undang-Undang ......................... 58
2.7.1 Tahap Ante Legislative ............................... 60
2.7.1.1 Tahap Penelitian ................................. 60
2.7.1.2 Tahap Pengajuan Usul Inisiatif ........... 61
2.7.1.3 Tahap Perancangan ........................... 62
2.7.1.4 Tahap Pengajuan UU .......................... 63
2.7.2 Tahap Legislative ....................................... 63
2.7.2.1 Tahap Pembahasan ............................. 63
2.7.2.2 Tahap Pembahasan RUU Menjadi UU . 64
2.7.3 Tahap Pengesahan UU ............................... 65
Bab III Penyusunan Undang-Undang di Indonesia dan
Timor-Leste ................................................................ 67
3.1 Gambaran Umum Sistem Pemerintahan di
Indonesia danTimor-Leste ................................. 67
3.1.1 Indonesia ................................................... 67
3.1.2 Timor-Leste ............................................... 68
3.2 Proses pembentukan Undang-Undang di
Indonesia ........................................................... 71
3.2.1. Dasar Kewenangan Pembentukan Undang-
Undang di Indonesia ................................... 71
3.2.1.1. UUD 1945 .......................................... 71
3.2.1.2. UU No 10 Tahun 2004 ...................... 72
3.2.1.3. Tata Tertib DPR-RI
NO.15/I/2004-2005 .......................... 76
xii
3.2.1.3.1 RUU Usul Pemerintah .................. 78
3.2.1.3.2 RUU Usul Inisiatif DPR ................. 81
3.2.1.3.3 RUU Usul dari DPD ...................... 85
3.2.2 Penyusunan RUU berdasarkan Perpres No 68
Tahun 2005 ....................................... 89
3.3 Dasar Kewenangan Pembentukan Undang-
Undang di Timor-Leste .................................. 91
3.3.1 Konstitusi RDTL 2002 ............................ 91
3.3.2 Tata Tertib Parlemen RDTL .................... 95
3.4 Asas Peraturan Perundang-Undangan ............ 99
3.5 Materi Muatan .............................................. 102
3.6 Karakteristik Responsif dalam Pembuatan
Undang-Undang ......................................... 104
3.7 Analisis Perbedaan dan Persamaan dari Proses
Pembuatan UU di Indonesia dan Timor-Leste105
Bab IV Penutup ....................................................... 115
4.1 Kesimpulan .................................................. 115
4.2 Saran ........................................................... 123
DAFTAR PUSTAKA ................................................... 127
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 :Karakteristik Rejim Dalam Kaitannya dengan
Kompetisi danKeterlinatan.
Tabel 2.2 : Hubungan Antara Type Rejim dan
Karakteristik Produk hukumnya.
Tabel 3.1 : Pembentukan UU menurut Tata tertib DPR
No 15/DPR RI/I/2004-2005.
Tabel 3.2 : Pembicaraan RUU dari Pemerintah menurut
Tata tertib DPR No 15/DPR RI/I/2004-
2005.
Tabel 3.3 : Prosedur Pengajuan RUU dari DPR menurut
Peraturan Tata tertib DPR No 15/DPR
RI/I/2004-2005.
Tabel 3.4 : Pembicaraan RUU dari DPR RI menurut
Peraturan Tata Tertib DPR No 15/DPR
RI/I/2004-2005.
Tabel 3.5 : Usulan UU dari DPD menurut Tata Tertib
DPR No 15/DPR RI/I/2004-2005.
Tabel 3.6 : Legislatif Umum sesuai dengan Tata Tertib
Parlemen RDTL.
Tabel 3.7 : Analisis Perbedaan dan Persamaan Proses
Pembuatan UU di Indonesia dan Timor-
Leste.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Pembentukan undang-undang adalah bagian dari
aktivitas dalam mengatur masyarakat 1 yang terdiri atas
gabungan individu-individu manusia dengan segala
dimensinya,2 sehingga merancang dan membentuk
undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas
merupakan suatu pekerjaan yang sulit.3 Kesulitan ini
terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan
undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara
lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan
legislatif dengan rakyat dalam suatu negara. Dalam proses
pembentukan undang-undang ini, di dalamnya terdapat
transformasi misi, visi dan nilai yang diinginkan oleh
lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat
1 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-undang yang demokratis” Makalah dalam seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia” Fakultas Hukum, Undip, Semarang, tanggal 15-16 April 1998, hlm. 3. Dalam Saifudin, Partisipai Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penerbit, FHUI PRESS, Yogyakarta, Juli, 2009, hlm. 1. 2 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan Undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai mahluk mono-dualis jiwa raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri-mahluk Tuhan, Lihat Damardjati Supadjar, Mencari Model Penyusunan Undang-undang Yang Demokratis, Ibid., hlm. 4-5. 3 Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-undang , Cetakan kelima, Pradnya Paramita Jakarta, 1993, hlm. 3.
2
dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-
undang sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar
undang-undang yang dihasilkan mampu memenuhi
berbagai kebutuhan. Pertama, mampu dilaksanakan;
kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-
prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran
yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi
masyarakat. Selain berbagai kesulitan tersebut, pembentuk
undang-undang berpacu dengan dinamika perkembangan
yang terus berubah sejalan dengan nilai-nilai yang
dianggap baik oleh masyarakat. Jadi, pembentukan
undang-undang sebagai bagian dari proses pembentukan
sistem hukum yang lebih luas tidaklah statis, tetapi
mengalami dinamika perubahan.4
Berbagai kesulitan dalam pembentukan undang-
undang tersebut, tampaknya telah lama dirasakan oleh
bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang
dan Timor-Leste yang baru memperoleh kemerdekaannya
pada tahun 2002. Kesulitan-kesulitan dalam pembentukan
undang-undang ini, sekarang lebih dirasakan oleh bangsa
Indonesia dan Timor-Leste yang tengah menghadapi
berbagai problem sosial secara mendasar pada
permasalahan struktural dan kultural yang multi dimensi.5
4 Saifudin, Ibid. hlm. 2. 5 Permasalahan struktural adalah permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disebabkan oleh keberadaan dalam penyelenggaraan pemerintahan , baik menyangkut kewenangan, tugas maupun penerapan dari kewenangan yang dimilikinya. Sedangkan permasalahan kultural adalah permasalahan yang ditimbulkan dari kondisi sosial masyarakat, baik yang
3
Padahal pembentukan undang-undang ini – sekarang dan
dimasa yang akan datang akan terus mengalami
peningkatan sebagai respon atas tuntutan masyarakat
seiring dengan bertambah kompleksnya perkembangan
dan kondisi masyarakat.
Sebagai negara yang telah memilih prinsip demokrasi
dan dipadukan dengan prinsip negara hukum Indonesia
dan Timor-Leste akan menata tertib hidup dan kehidupan
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
menggunakan aturan hukum yang demokratis. Kedua
bangsa akan membangun tatanan kehidupan bersama
dalam wadah negara yang demokratis dan didasarkan pada
aturan hukum. Artinya, bangsa Indonesia dan Timor-Leste
akan meletakan prinsip demokrasi dan prinsip hukum
sebagai suatu sinergi yang saling bersimbiose mutualistik
dalam mewujudkan adanya national legal order 6 yang
demokratis dalam negara. Jadi, keberadaan undang-
undang yang merupakan subsistem dari sistem hukum
nasional menempati peran yang penting dalam rangka
pembangunan sistem hukum nasional yang demokratis.
Dalam rangka membentuk hukum nasional yang
demokratis ini, partisipasi masyarakat dalam pembentukan
undang-undang menjadi faktor yang dominan.
Bertalian dengan pembentukan undang-undang yang
partisipatif ini, didalamnya mengandung dua makna yaitu berupa kemiskinan yang tinggi, pendidikan yang rendah maupun kesadaran hukum yang rendah pula, Dalam Saifudin, Loc.Cit 7 Bandingkan dengan pemikiran, Hans Kelsen, Dalam Saifudin, Ibid hlm.3.
4
proses dan substansi. Proses adalah mekanisme dalam
pembentukan undang-undang yang harus dilakukan
secara transparan sehingga masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan masukan-masukan dalam
mengatur suatu persoalan. Substansi adalah materi yang
akan diatur harus ditujukan bagi kepentingan masyarakat
luas sehingga menghasilkan suatu undang-undang yang
demokratis berkarakter responsif/populistis.7 Dengan
demikian, antara partisipasi, transparansi, dan
demokratisasi dalam pembentukan undang-undang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain yang meliputi : 8
Pertama, tuntutan partispasi perlu dilakukan agar
warga masyarakat yang akan terkena sebagai objek dari
suatu undang-undang, dapat memberikan sumbangan
pikirannya berupa materi-materi muatan yang akan
diaturnya. Keterlibatan masyarakat ini penting, mengingat
pada akhirnya masyarakat juga yang akan menerima 7 Peristilahan mengenai hukum yang responsif/populistis ini dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD untuk melihat perbedaan secara mendasar dengan persitilahan hukum yang konsevatif/ortodox/elitis dalam disertasinya Tahun 1993. Lihat Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia, disertasi UGM, 1993, hlm. 66. 8 Dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum, proses Pembentukan UU yang telah dilakukan secara partisipatif, transparan dan Demokratis, maka pada gilirannya diharapkan UU yang dihasilkannya akan diterima oleh masyarakat dengan penuh kesadaran. Akan tetapi dari sudut pandang politik ternyata adanya partisipasi, transparansi dan demokratisasi dalam proses pembentukan UU bukan merupakan suatu jaminan diterimanya suatu produk UU oleh masyarakat, sebab pertama meskipun terdapat partisipasi masyarkat tetapi pada akhirnya keputusan tetap di tangan lembaga legislative, sehingga partisipasi tetap tidak berarti; kedua,dalam suatu keputusan politik-termasuk UU-selalu saja ada kelompok yang tidak setuju dengan keputusan yang dibuat, Saifudin, Loc.Cit.
5
dampak dengan dikeluarkannya suatu undang-undang.
Artinya, proses pembentukan undang-undang terjadi suatu
proses yang sifatnya bottom up. Terhadap masyarakat yang
terkait langsung dengan kehadiran suatu undang-undang
diharapkan akan merasa ikut melahirkan undang-undang
melalui berbagai keterlibatan dalam bentuk masukan-
masukan yang diberikannya. Meskipun partisipasi
masyarakat itu terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa
suatu undang-undang yang dihasilkannya akan berlaku
efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah
partisipatif yang ditempuh oleh lembaga legislatif dalam
setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat
lebih mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya
suatu undang-undang.
Kedua, persoalan transparansi dalam proses
pembentukan undang-undang perlu dilakukan agar
undang-undang yang dihasilkan dapat diketahui oleh
masyarakat luas sejak awal proses persiapan dan
pembahasannya. Proses pembentukan undang-undang
yang tidak dilakukan secara transparan, dapat
memunculkan sikap apatis bagi masyarakat. Masyarakat
akan melihat undang-undang dengan sebelah mata,
artinya masyarakat enggan untuk mematuhi berbagai
ketentuan dalam undang-undang yang dibuat oleh
lembaga legislatif.
Ketiga, masalah demokratisasi dalam proses
pembentukan undang-undang bertalian dengan logika
6
pemikiran yang sederhana bahwa undang-undang dalam
suatu negara yang demokratis tentu tidak akan keluar dari
kepentingan orang banyak. Artinya, adanya suatu undang-
undang harus dapat memberikan ketenangan, jaminan dan
akuntabilitas bagi kepentingan hidup masyarakat luas.
Rakyat melalui sarana pemilihan umum telah memberikan
kepercayaannya kepada wakilnya yang duduk di DPR. DPR
inilah bersama-sama Presiden-suatu lembaga secara
konstitusional memegang kekuasaan legislatif mengatur
masyarakat melalui berbagai undang-undang yang telah
dikeluarkannya. Karena itu, secara teori undang-undang
yang dihasilkan oleh lembaga legislatif seharusnya diterima
oleh masyarakat luas sebab kepentingannya telah terwakili
dalam proses pembentukan undang-undang. Masalahnya
adalah berbagai aspirasi masyarakat sering tidak
tertampung oleh kepentingan partai-partai politik yang
menguasai DPR, sehingga produk undang-undang yang
dihasilkan belum memuaskan masyarakat luas. 9
Mengingat lingkup dan wewenang Parlemen Nasional
meliputi beberapa tahapan, maka penelitian ini lebih 9 Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang diperankan oleh Orde Baru selama 32 tahun dan akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi 1998, berbagai UU seperti UU pemilu, UU susduk MPR,DPR dan DPRD, UU Parpol dan Golkar, UU Pemerintahan di Daerah, dan UU Referendum hanya dipakai sebagai justifikasi bagi kepentingan-kepentingan politik oleh sekelompok orang yang berkuasa. UU kurang responsif terhadap nasib masyarakat luas tetapi lebih untuk mempertahankan status quo. Akibatnya muncul berbagai aksi demonstrasi ribuan mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di bidang politik dan ekonomi dalam mengatasi krisis yang melanda Indonesia. Lihat, “Mahasiswa Gelar Aksi Keprihatinan”, Kompas, Jumat 27-02-1998, hlm. 3 Lihat pula, “ Aksi Keprihatinan Mahasiswa Berlanjut di Berbagai Kampus”, Kompas, Rabu 11-03-1998, hlm. 3.
7
berfokus atau menitikberatkan pada prosedur pembuatan
peraturan perundang-undangan yang akan menjadi
landasan bertindak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara terutama para pejabat atau aparat
pemerintahan. Untuk itu maka timbullah gagasan tentang
cara membatasi kekuasaan Pemerintah melalui pembuatan
Konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Diatas konstitusi inilah bisa ditentukan batas-batas
kekuasaan Pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik
rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan
kekuasaan Parlemen dan lembaga-lembaga hukum.
Gagasan inilah yang kemudian dinamakan
konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Oleh Carl
J. Freiderick bahwa Konstitusionalisme adalah gagasan
bahwa Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas
yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang
tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud
untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang
diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan
oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah10.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa
“power tends to corrupt, but power absolute, corrupt
absolutely”.
Boleh dikatakan bahwa dewasa ini, orang lebih
mengandalkan pada mekanisme kelembagaan untuk
10 Carl J. Friederick,Dalam Mahpud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. halaman 26-27.Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta 2003.
8
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenag-wenangan kekuasaan negara. Persoalan ini
dikemukakan oleh John Locke dan beliu tidak setuju
dengan pemikiran Hobbes yang mau memberikan
kekuasaan mutlak kepada negara. Baginya itu terlalu
ceroboh. Dia lalu berbicara tentang hak-hak alami yang
merupakan hak-hak azasi manusia yang tidak boleh
dirampas oleh negara. Untuk menjamin hal ini, locke
memisahkan aspek legislatif (atau pembuatan undang-
undang dan hukum) serta aspek eksekutif dan yudikatif
(pelaksana dari undang-undang dan hukum ini) dalam
sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh ada
dalam satu tangan. Keduanya harus dipisahkan,
dikatakannya ; akan menjadi cobaan yang sangat berat
bagi kelemahan manusia untuk memegang kekuasaan,
kalau orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk
membuat hukum juga memiliki kekuasaan untuk
melaksanakannya, karena mereka akan mengecualikan diri
dari ketaatan mematuhi hukum yang mereka buat sendiri,
dan mereka akan mencoba membuat dan melaksanakan
hukum yang melayani kepentingan pribadi mereka dan
melawan kepentingan masyarakat pada umumnya,
sehingga bertentangan dengan tujuan dari masyarakat
dan pemerintah itu sendiri.
Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh
Montesquieu, dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan yudikatif. Dengan adanya pemisahan
9
kekuasaan ini, akan terjamin pembebasan pembuatan
undang-undang oleh parlemen, dan pelaksanaan pekerjan
sehari-hari oleh pemerintah serta pengontrolan oleh
lembaga yudikatif. Kalau ketiga kekuasaan ini ada dalam
satu tangan, akan memusnahkan kemerdekaan rakyat.
Ajaran yang kemudian dikenal dengan “Trias Politica” ini
sangat berpengaruh dalam sistem politik modern sekarang.
Tetapi, pemisahan ketiga kekuasaan ini memang tidak
pernah dijalankan secara murni. Selalu saling tindak
antara ketiganya. Misalnya tugas hakim tidak hanya
menjalankan hukum dan undang-undang, tetapi dalam
kenyataan para hakim juga menciptakan hukum. Atau
pemerintah yang seringkali membuat undang-undang
melalui berbagai macam peraturan yang dibuatnya.
Keadaan ini sudah merupakan tuntutan zaman, sebab
dalam kenyataannya eksekutiflah yang mempunyai banyak
tenaga ahli, data maupun fasilitasnya jika dibandingkan
dengan legislatif.11
Timor-Leste yang juga lahir sebagai sebuah negara,
tepat pada millennium ketiga ini, juga menganut sistem
demokrasi, menjunjung tinggi prinsip negara hukum serta
bercita-cita untuk mensejahterakan seluruh warganya.
Dengan demikian maka, secara konsekuen kekuasaan
negara dibagi kedalam empat lembaga berdaulat yakni
lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif 11 Arif Budiman dalam Teori Negara: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 34-36.
10
serta lembaga kepresidenan12, dengan tetap berpijak pada
apa yang telah diketengahkan oleh Montesquieu dalam
trias politica dengan pemisahan kekuasaannya.
Lembaga perwakilan atau lembaga legislatif dewasa
ini disebut dengan nama parlemen. Suatu negara yang
menamakan demokratis harus mempunyai lembaga ini
dalam struktur ketatanegaraanya karena selain berfungsi
sebagai penyalur aspirasi rakyat, parlemen juga berfungsi
sebagai legislasi serta fungsi pengawasan bagi lembaga
lainnya terutama eksekutif. Dalam konteks negara Timor
Leste lembaga legislatif ini dinamakan “Parlamento
Nasional” sementara di Indonesia dinamakan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)13.
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan
perhatian kepada proses pembuatan undang-undang
antara Timor-Leste, dan lokasi penelitiannya di Parlemen
Nasional Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL) dan
Indonesia sebagai sebuah studi perbandingan. Dengan
demikian, diharapkan dapat menciptakan hukum yang
responsif, sehingga mampu untuk menjawab serta
menyesuaikan keberadaanya sesuai dengan keinginan dan
tuntutan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh, kaum realisme hukum
adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif
12 Asembleia Constituante, Constituicao da Republica Democratica de Timor-Leste, 2002. 13 UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 19.
11
terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”14. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang
yang memiliki keterkaitan secara hukum, sedemikian rupa
sehingga nalar hukum dapat mencakup pengetahuan
didalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap
tindakan resmi para aparat hukum.
Sementara itu, teori Pound mengenai kepentingan-
kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih
eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum
responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik
seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada
sekedar keadilan procedural. Hukum yang baik harus
berkompeten dan juga adil.15 Institusi-institusi hukum
mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit
terhadap hukum otonom dan menjadi instrumen-
instrumen yang lebih dinamis bagi penataan sosial dan
perubahan sosial.
Memang ada ketegangan antara keterbukaan dan
kepatuhan terhadap hukum, dan ketegangan ini
memunculkan masalah sentral dalam perkembangan
hukum. Dilema ini bukanlah sesuatu yang unik bagi
hukum, semua institusi mengalami konflik antara
integritas dan keterbukaan. Integritas dilindungi ketika
sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada
suatu misi khusus atau dapat dibuat akuntabel pada misi 14 Jerome Frank Dalam Buku Philippe Nonet & Philif Selznick,Hukum Responsif, Penerbit Nusa media, Bandung, 2008.,hlm. 83. 15 Philippe Nonet & Philif Selznick, Ibid. hlm. 84-92.
12
tersebut oleh kontrol eksternal. Namun, institusi-institusi
yang mempunyai komitmen tersebut menyatu dengan
berbagai sudut pandang dan pola kerja mereka sendiri;
mereka akan kehilangan kepekaan terhadap lingkungan
sekitarnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa hukum yang responsif
menunjukan suatu kapasitas berdaptasi yang bertanggung
jawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif dan
tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif
mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi
integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan
kekuatan-kekuatan baru didalam lingkungannya. Untuk
melakukan hal ini, hukum responsif memperkuat cara
bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling
menopang walaupun terdapat pertentangan diantara
keduanya. Lembaga responsif menganggap tekanan-
tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan
kesempatan untuk melakukan koreksi diri. Agar
mendapatkan sosok seperti ini, sebuah institusi
memerlukan panduan kearah tujuan. Tujuan menetapkan
standar untuk mengkritisi yang sudah mapan, dan
karenanya membuka jalan untuk melakukan perubahan.
Sebaliknya ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta
oportunisme. Dalam kenyataannya kondisi-kondisi yang
buruk ini terkait satu sama lain dan hidup berdampingan.
Suatu institusi yang formalis, yang terkait pada peraturan,
merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang
13
memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan
dalam konfliknya dengan lingkungan sekitar. Institusi
semacam ini cenderung beradaptasi secara oportunis
karena ia tidak mempunyai kriteria untuk secara rasional
merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang sudah
ketinggalan zaman atau tidak layak lagi. Hanya ketika
sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan baru
dapat ada paduan antara integritas dan keterbukaan,
peraturan dan diskresi. Jadi hukum responsif beranggapan
bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup
otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang
adaptif.
Dengan demikian ciri khas hukum responsif adalah
mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan. Dalam kaitan ini, argumen yang
ditawarkan adalah proses saling mempengaruhi (interplay)
diantara aturan dan asas. Karena dalam proses inilah
suatu sumber perubahan dibangun kedalam tatanan
hukum. Suatu peraturan agar tetap relevan, dan bertahan
hidup, mesti bergantung pada kondisi-kondisi historis yang
tepat. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan
harus di tata ulang, bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan kebijakan namun juga untuk melindungi
otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika
diaplikasikan.
Jadi dapat dikatakan bahwa, hukum yang responsif
sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan
14
sosial dan aspirasi publik, sesuai dengan sifatnya yang
terbuka, maka type hukum ini mengedepankan akomodasi
untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi
mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Produk hukum yang responsif sebagaimana telah
diuraikan diatas, tidak dapat dipisahkan dari tujuan
hukum itu sendiri. Dalam perkembangan pandangan
tentang tujuan hukum, Aristoteles merupakan pemikir
pertama kali yang menyatakan bahwa tujuan hukum
adalah untuk mencapai kehidupan yang baik16. Akan
tetapi manakalah hukum itu berlaku kaku, dilakukan
pelunakan yang disebut equity”. Thomas Aquinas
mengadopsi dan mengembangkan pandangan Aristoteles
dan menyatakan bahwa secara ideal hukum terpancar dari
kekuasaan untuk memerintah guna kebaikan bersama.
Hukum adalah sesuatu yang hidup secara batiniah
didalam masyarakat. Tugas hukum yang memadai tertulis
dalam hati dan kehendak rakyat karena manusia
merupakan mahluk yang rasional. Hukum menurut
Thomas Aquinas terutama berkaitan dengan kewajiban
yang diletakan oleh nalar. Dalam kaitan ini, pandangan
Thomas Aquinas relevan dalam perbincangan hukum,
karena dia memandang manusia bukan semata-mata
mahluk berakal yang hanya mempunyai tujuan
kebahagiaan duniawi belaka, melainkan juga manusia
16 Aristoteles, Dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 97-161.
15
mempunyai tujuan yang bersifat supernatural, yaitu
kebahagiaan kekal. Konsekuensinya kenyataan eksistensi
manusia semacam ini tidak dapat dilepaskan dari alasan
keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Jeremi Benthan, tujuan hukum harus ditujukan
untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang. Sementara dalam perspektif Ilmu-ilmu
Sosial hukum hanya ditujukan dalam pemenuhan
kebutuhan aspek fisik manusia saja. Dengan demikian
produk hukum yang responsif dapat menjadi pintu masuk
untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan serta kepastian
hukum dalam hidup bermasyarakat agar bisa tercapai
hidup sejahtera, bahagia lahir dan batin.
1.2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah :
1. Bagaimana perbandingan prosedur Pembentukan
Undang-Undang antara Indonesia dan Timor-Leste ?
2. Apakah prosedur pembentukan Undang-Undang
tersebut dapat menghasilkan Undang-Undang yang
berkarakter responsif ?
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan dapat menjelaskan prosedur
penyusunan undang-Undang yang berlaku di
Indonesia dan Timor-Leste.
16
2. Mengungkap serta memastikan bahwa sistem
pembuatan Undang-Undang yang ada, dapat
menciptakan hukum yang responsif untuk
masyarakat kedua negara.
3. Mengungkap perbedaan dan persamaan dari
proses pembuatan Undang-Undang pada negara
Timor-Leste dan Indonesia, dengan harapan dapat
memberikan mamfaat yang sebesar-besarnya
terutama bagi negara Timor-Leste yang baru
mencapai kemerdekaannya pada tahun 2002.
1.4 METODE PENELITIAN 1.4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan terhadap kaidah/hukum
itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
hukum adat atau hukum tidak tertulis lainya),17 dan asas-
asas hukum. Penelitian hukum normatif merupakan
penelitian yang lebih menitikberatkan pada penggunaan
data sekunder. Data sekunder yang akan diteliti mencakup
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier.
1.4.2 Pendekatan Dan Spesifikasi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan perbandingan (Comparative Approach).
17 Joni Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Diterbitkan oleh Bayu Media Publishing, Malang Jawa Timur Indonesia, hal.294-297.
17
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum. Menurut Gutteridge,
Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan
penelitian hukum.18 Studi perbandingan hukum
merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu
negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu
waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di
samping itu juga membandingkan suatu putusan
pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang
lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini
bermanfaat bagi peyingkapan latar belakang terjadinya
ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari
dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan
rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-
undangan.
Sebagai bahan perbandingan mengenai penelitian
hukum untuk kajian akademis dan juga untuk kegiatan
praktik hukum, akan dikemukakan beberapa disertasi
yang ditulis oleh peneliti dari berbagai negara dan berbagai
universitas.
Pertama A.P. Piroen didalam disertasinya yang berjudul
BeschermingOmvan van Octroien in Nederland, Duitsland,
and Engeland dan dipertahankan di Rijkuniversiteit te
Leiden tahun 1988 setelah mengemukakan latar belakang
filosofis perlindungan paten, memperbandingkan
18 G. W. Paton, Penelitian Hukum, Dalam Mahmud Marzuki, Penerbit Kencana Media Group, 2008, hlm.132-136.
18
perundang-undangan ketiga negara tersebut beserta latar
belakang filosofis perundang-undangan masing-masing
negara itu.
Kedua David Adedayo Ijalaye didalam disertasinya yang
berjudul The Ekstension Coorporate Personality in
International Law yang disusun dan diuji di Columbia
School of Law, New York setelah mengemukakan
ketentuan-ketentuan Hukum Internasional mengenai
Organisasi Internasional, membandingkan berbagai
organisasi yang bertaraf internasional, baik yang bersifat
antar pemerintah maupun konsorsium yang bersifat privat.
Selanjutnya dikemukakan perbandingan ketentuan-
ketentuan acara dalam berbagai tribunal baik Mahkama
Internasional maupun lembaga-lembaga arbitrase.
Dari kedua contoh diatas dapat dikemukakan dalam
tulisan ini bahwa melakukan perbandingan harus
mengungkapkan persamaan dan perbedaan. Persamaan
diantara perundang-undangan beberapa negara yang
diperbandingkan mungkin saja terjadi karena adanya
persamaan sistem hukum yang dianut oleh negara-negara
tersebut walaupun dari perkembangan politik dan ekonomi
mungkin berbeda. Seperti hal perbandingan antara
Pembuatan undang-undang antara Indonesia dan Timor-
Leste. Secara ekonomis tidak mungkin dapat
diperbandingkan karena Indoneisa secara ekonomi lebih
maju dari Timor-Leste. Akan tetapi dilihat dari sistem
hukumnya, hukum Indonesia mewarisi hukum Belanda
19
sedangkan Timor-Leste mewarisi sebagian hukum
Indonesia dan sebagian hukum Portugis. Karena kedua
negara inilah yang bergantian menduduki Timor-Leste.
Oleh karena itulah doktrin-doktrin yang berlaku di
Indonesia juga sebagian masih berlaku di Timor-Leste.
Didalam perkembangannya mungkin saja kedua negara
baik Indonesia maupun Timor-Leste mengadopsi doktrin-
doktrin lain yang sudah ada atau bahkan menggabungkan
dengan doktrin yang timbul dari hukum kebiasaan yang
merupakan refleksi dari budaya setempat
Perbandingan juga dapat dilakukan diantara negara-
negara dengan sistem hukum berbeda tetapi mempunyai
tingkat perkembangan ekonomi yang hampir sama, seperti
yang dilakukan oleh Fissheha-Tsion Menghistu yang
membandingkan Perundang-undangan dibidang fiscal atas
royalties negara-negara Amerika Latin, Asia dan Asia
Tenggara, serta negara-negara Afrika. Perbandingan
hukum juga dapat dilakukan tanpa melihat sistem hukum
maupun tingkat perkembangan ekonomi, melainkan hanya
melihat substansinya yang merupakan kebutuhan secara
universal, misalnya Money laundering, Perdagangan secara
elektronik, kejahatan narkotika, persaingan usaha, dan
lain-lain. Dalam melakukan penelitian hukum dibidang-
bidang tersebut, peneliti dapat melakukan perbandingan
undang-undang beberapa negara yang mengatur masalah-
masalah tersebut. Sudah barang tentu, latar belakang yang
melandasi masing-masing undang-undang tidak sama,
20
tetapi dapat diduga, adanya persamaan doktrin yang
digunakan didalam masing-masing undang-undang
tersebut.
1.4.3 Sumber Data Dan Teknik Pengumpulan Data
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, maka data penelitian ini lebih mengutamakan
data sekunder dari pada data primer. Data sekunder yang
dimaksud mencakup bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer
yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terkait dengan
masalah penelitian, terdiri dari Konstitusi Republik
Demokratik Timor-Leste (RDTL 2002), Tata Tertib Parlemen
Timor-Leste, UUD 1945, UU No 10/2004, Tata Tertib DPR
RI, Tata Tertib DPD, Perpres No. 68 Tahun 2005, serta UU
lainya yang terkait dengan persoalan Penelitian. Bahan
hukum sekunder meliputi hasil-hasil penelitian, karangan
ilmiah (buku, tesis, disertasi, majalah ilmiah, makalah)
yang bertalian dengan proses pembuatan peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum tertier yaitu meliputi
ensiklopedia dan kamus (baik kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Inggris).
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
data sekunder yaitu dengan melakukan studi kepustakaan
(library research), baik terhadap kaidah hukum yang ada,
hasil penelitian, dan karangan ilmiah (buku, tesis,
disertasi, majalah ilmiah, dan terbitan lainnya) yang
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi atau pembuatan
21
peraturan perundang-undangan oleh parlemen. Studi
kepustakaan dilakukan di beberapa perpustakaan berikut
ini;
1. Perpustakaan Umum Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga;
2. Ruang baca Magister Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga;
Untuk menunjang data sekunder maka diperlukan
data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan.
Pelaksanaan penelitian lapangan dilaksanakan melalui
survey dan pengambilan data awal di Parlemen Republik
Demokratik Timor-Leste dari tanggal 2 april s/d 12 april
2009. Dilanjutkan wawancara dengan pihak-pihak yang
memiliki perhatian dan keterkaitan dengan masalah
penelitian yaitu para anggota Parlemen/DPR (diwakili oleh
pimpinan fraksi).
1.4.4 Analisis Data
Data yang menyangkut proses pembuatan undang-
undang baik dari Parlemen dan Pemerintah RDTL maupun
Indonesia yang telah dikumpulkan lewat penelitian akan
dipelajari, diklasifikasi, diolah, dan diuraikan untuk
selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif
yaitu analisis yang menggunakan kata-kata, bukan dalam
bentuk angka-angka (kuantitatif).
1.4.5 Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini
dibangun dari demokrasi sebagai teori utama (grand
22
theory). Khususnya (representative democracy19 and
democracy participatory) kemudian diturunkan teori
partisipasi publik dan teori kebijakan. Pembahasan
mengenai teori demokrasi perwakilan pada gilirannya akan
mencakup teori lembaga perwakilan rakyat, termasuk
tentang fungsi-fungsi dan hak-hak lembaga perwakilan
rakyat. Disamping teori-teori tersebut sampailah pada
proses pembuatan undang-undang sebagai salah satu
fungsi atau wewenang dari lembaga legislatif.
Kedaulatan rakyat atau kerakyatan, secara harafiah
berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang
menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut
negara demokrasi, selanjutnya Abrahan Lincoln
memberikan batasan singkat tentang demokrasi sebagai
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat ( from the people, of the people, and for the people).20
Dari rakyat maksudnya bahwa para penyelenggara negara
harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang
disetujui/didukung oleh rakyat.
Oleh rakyat, maksudnya adalah bahwa para
penyelenggara negara/pemerintah dilakukan sendiri oleh
rakyat atau atas nama rakyat atau yang mewakili rakyat.
19 Teori Demokrasi Perwakilan dalam Tesis Umbu Rauta, Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Kebijakan Pemerintah Menurut UUD 1945, hlm.14 20 Abraham Lincoln, Dalam Teori Negara Hukum, H.Nukthoh Arfawie Kurde, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2005, hlm.61.
23
Untuk rakyat, maksudnya pemerintah dijalankan atau
berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.21
Dalam negara demokrasi, kedaulatan rakyat bersifat
sentral karena rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi menentukan segala wewenang yang ada dalam
negara.22 Ini berarti baik dalam proses pembentukan
kebijaksanaan negara maupun penyelenggaraan
pemerintahan negara yang bersangkutan semuanya
dibangun atau ditentukan berlandaskan keinginan atau
kehendak rakyat. Dalam hal ini kemauan rakyatlah yang
menjadi hukum tertinggi dalam negara tersebut.
Dalam UUD 1945 telah dimuat sendi-sendi dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan-termasuk
didalamnya UU - yaitu sendi kerakyatan (demokrasi),
negara berdasar atas hukum, dan negara berdasar atas
konstitusi (konstitusionalisme). Dengan demikian,
peraturan perundang-undangan yang akan digunakan
untuk mengatur kehidupan bersama dalam sebuah negara
harus dituangkan dalam sistem konstitusional yang berada
dalam konsepsi negara hukum yang demokratis atau
negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
21 I Gede Panntja Astawa, tentang Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, menurut UUD 1945. 22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH.UI, Jakarta, 1988, Dalam Tesis Umbu Rauta, Ibid hlm.14.
24
“Demokrasi”23 berasal dari jaman Yunani kuno dan
telah mengalami transformasi perkembangan bentuk
demokrasi modern dalam negara bangsa sekarang ini.
Dalam berbagai literatur banyak diberikan rumusan
tentang demokrasi. Untuk memberikan gambaran tentang
pengertian demokrasi, James Mac Gregor Burn at all
menyatakan:
“a system of government in which those who have
authority to make decisions (that have the force of law)
acquire and retain this authority either directly as the
result of winning free elections in which the great
majority of adult citizens are allowed to participate”24
Dari rumusan tersebut, kiranya dapat diberikan
pemahaman terhadap suatu negara yang menganut sistem
demokrasi. Pertama, demokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang mempunyai unsur-unsur atau elemen-
elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua,
orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama
demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan
dan menegakkan hukum. Ketiga, kekuasaan untuk
mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh
dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas
dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa dari
suatu negara. Berdasarkan pada tiga ciri umum tersebut
maka suatu negara demokrasi mempunyai tiga 23 Kata Demokrasi (democracy) berasal dari dua akar kata bahasa Yunani Kuno yaitu “demos”, rakyat dan “kratein”, pemerintahan. 24 James Mac Gregor Burs at all, dalam Saifudin Op.Cit. hlm. 13.
25
pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan
tujuan dari demokrasi. 25Dengan demikian, demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui
pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama atas
dasar aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak.
Jadi, tepat bahwa demokrasi diberikan rumusan yang
singkat sebagai “a government of the people, by the people,
for the people”26
Pemahaman tentang demokrasi diatas, sudah barang
tentu mempunayi konsekuensi-konsekuensi yang harus
diperhatikan. Dalam kaitan ini, Affan Gaffar memberikan
lima hal yang merupakan elemen empirik sebagai
konsekuensi dari demokrasi, yaitu :
1. Masyarakat menikmati apa yang menjadi hak-hak
dasar mereka termasuk hak untuk berserikat,
berkumpul (freedom of assembly), hak untuk
berpendapat (freedom of speech), dan menikmati
pers yang bebas (freedom of the press);
2. Adanya pemilihan umum yang dilakukan secara
teratur dimana si pemilih bebas menentukan
pilihannya tanpa ada unsur-unsur paksaan;
25 Bandingkan dengan Samuel P Huntington yang melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu, pertama, sumber wewenang bagi pemerintah, kedua, tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan ketiga, prosedur untuk membentuk pemerintahan. Lihat Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan, Cetakan kedua, Pustaka Utama Gafitri, Jakarta, 1995. Hlm. 4. 26 Harris G. Warren at all, Our Democraci at Work, Printice Hall, Inc., Englewood Cliffs, USA, 1963, hlm. 2.
26
3. Sebagai konsekuensi kedua hal diatas, warga
masyarakat dapat mengaktualisasikan dirinya
secara maksimal di dalam kehidupan politik
dengan melakukan partisipasi politik yang
mandiri (autonomous participation) tanpa
digerakkan;
4. Adanya kemungkinan rotasi berkuasa sebagai
produk dari pemilihan umum yang bebas;
5. Adanya rekruitmen politik yang bersifat terbuka
(open recruitmen) untuk mengisi posisi-posisi
politik yang penting di dalam proses
penyelenggaraan negara.27
Konsekuensi-konsekuensi ini akan memberikan
kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk
melakukan hak dan kewajiban politiknya dalam bernegara.
Demokrasi akan memberikan kesempatan-kesempatan
untuk, pertama, partisipasi yang efektif; kedua, persamaan
dalam memberikan suara; ketiga, mendapatkan
pemahaman yang jernih; keempat, melaksanakan
pengawasan akhir terhadap agenda; kelima, pencakupan
orang dewasa.28 Adanya konsekuensi-konsekuensi ini akan
memberikan ukuran-ukuran dalam melihat berbagai
27 Affan Gaffar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, dalam Muh. Busyro Muqoddas dkk. (Penyunting), Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm, 106 . 28 Dalam hal ini Robert A. Dahl mengemukakan bahwa “Democracy provides opportunities for: 1. Effective participation; 2. Equality in voting; 3. Gaining enlightened understanding; 4. Exercising final control over the agenda; 5. Inclusion of adult”. Lihat Robert A. Dahl Dalam Democracy, Yale University Press, USA, 1998, hlm. 38.
27
negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi. Jadi,
kesempatan-kesempatan yang merupakan konsekuensi
dari ukuran umum negara demokrasi ini tidak di jalankan,
maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai
negara demokrasi.
Pertumbuhan negara bangsa dengan jumlah
penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, telah
memunculkan berbagai kompleksitas persoalan yang
dihadapi suatu negara sehingga melahirkan demokrasi
modern dengan adanya lembaga perwakilan. C.F Strong
mengatakan bahwa keberadaan lembaga perwakilan dalam
demokrasi modern ini mempunyai peran yang penting dan
berarti dalam suatu negara bangsa.29 Bentuk lembaga
perwakilan ini menurut John Stuart Mill merupakan
pilihan bentuk pemerintahan yang ideal. Bertalian dengan
sistem perwakilan dalam demokrasi modern ini John
Stuart Mill lebih lanjut mengemukakan: “But since all
cannot, in a community exceeding a single small town,
parcitipate personally in any but some very minor portion of
the public bussines it fallows that the ideal type of perfect
government must be refresntative”.30 (Namun demikian, oleh
karena tidak semua orang dalam komunitas ikut
berpartisipasi, maka hal ideal yang dapat dilakukan adalah
melalui perwakilan yang ada di pemerintahan). 29 C. F. Strong, Modern Political Constitutions, E.L.B.S. Edition First Published, The English Language Book Society and Sidwgwick & Jacson Limited, London, 1996, hlm. 171. 30 John Stuart Mill, Utilitarianism Liberty Representative Government, JM Dent & Sons Ltd., Everyman’s Library, London, 1998, hlm. 233.
28
Melalui lembaga perwakilan, persoalan-persoalan
yang kompleks dihadapi masyarakat akan dapat
diselesaikan. Lembaga perwakilan berfungsi untuk
memjembatani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan. Secara umum
lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi perundang-
undangan (termasuk menetapkan APBN), fungsi
pengawasan dan fungsi sebagai sarana pendidikan
politik.31 Fungsi-fungsi ini dilakukan oleh lembaga
perwakilan dalam rangka mewujudkan cita-cita demokrasi
modern yang dewasa ini diikuti oleh sebagaian besar
negara-negara di dunia.
Penggunaan fungsi-fungsi tersebut secara teori
mudah difahami, tetapi dalam praktek menimbulkan suatu
problematika. Apa yang di putuskan oleh lembaga
perwakilan belum tentu diterima oleh masyarakat.
Disinilah kesenjangan akan muncul antara wakil yang
duduk dalam lembaga perwakilan dengan rakyat yang
diwakilinya. Apakah wakil-wakil itu mengambil keputusan
atas dasar pertimbangan nuraninya sendiri? Atau
mengambil keputusan atas dasar petunjuk garis induk
partainya? Dengan kata lain persoalannya adalah
bagaimanakah hubungan antara si wakil dengan yang
diwakilinya.
Sementara itu dalam bukunya Cary Coglianese et
all mengatakan bahwa: 31 Bintan R Saragih, Dalam Tesis Umbu Rauta, Loc. Cit.
29
“Transparansi” dan “partisipasi publik” mewakili dua segi proses pembuatan peraturan yang bisa meningkatkan/memperluas kualitas dan legitimasi pembuatan peraturan. Transparansi menunjuk pada akses publik terhadap informasi yang dimiliki para pembuat peraturan pemerintah sebagaimana juga informasi tentang pengambilan keputusan mereka. Partisipasi publik mencakup beragam kesempatan bagi para warga, organisasi-organisasi bukan pemerintah, bisnis dan banyak lainnya di luar pemerintahan pusat untuk memberikan kontribusi dan memberikan ulasan (komentar) tentang peraturan-peraturan yang diusulkan. Baik transparansi maupun partisipasi publik bisa meningkatkan legitimasi demokratis dengan cara memperkuat banyak hubungan antara lembaga-lembaga pemerintah dengan publik yang mereka layani. Keduanya bisa membantu lebih meningkatkan kualitas pembuatan peraturan yang dilakukan pemerintah. Transparansi membantu menjamin partisipasi publik yang berarti dan luas, dan partisipasi publik yang berarti dan luas tersebut bisa memberikan informasi kepada badan pembuatan peraturan.32
Meskipun telah ada berbagai teori dalam melihat
hubungan antara si wakil dengan yang diwakili tersebut,
demokrasi perwakilan tetap bermasalah. Dalam demokrasi
perwakilan akan memandang dan mengasumsikan rakyat
sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan publik. Rakyat lebih baik apatis
dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan
yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan.
32 Cary Coglianese, et.all., Dalam Transparency and Public Participation in Rulemaking Proses, University of Pensylvania Law School, 2008, hlm.17.
30
Dibawah sebuah pemerintahan perwakilan yang elitis ini,
warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat
besar yang dapat digunakan sesukanya atas keputusan-
keputusan yang luar biasa penting. Inilah sisi gelap dari
demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada
keuntungan-keuntungannya. Jadi, demokrasi perwakilan
yang elitis ini adalah demokrasi yang semu, hanya
diperankan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan rakyat melalui justifikasi pemilihan
umum. Dari berbagai praktek demokrasi perwakilan yang
lebih diperankan oleh sekelompok elit yang duduk dalam
lembaga perwakilan ini, dalam perkembangannya
menuntut adanya demokrasi partisipatoris.
Tuntutan demokrasi partispatoris33 dalam upaya
memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam
proses pengambilan keputusan publik telah menjadi isu
penting dalam konteks global dewasa ini. Di Indonesia yang
menganut sistem demokrasi, wacana tentang partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik
ini, telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses
33 Kelahiran konsep partispasi dalam sistem demokrasi sehingga memunculkan “participatory democracy”, ini, tanpaknya tidak terlepas dari adanya gerakan” New Left” sebagai pengaruh dari “legitimation crisis” pada akhir dasawarsa 1960-an. Gerakan New Left yang memunculkan Democracy Paricipatory ini adalah the main counter-models on the left to the legal democracy. Legal Democracy bertumpu pada premis pluralis theory of politics yang mengacu pada teori overloaded government, sedangkan Democracy Participatory bertumpu pada premis Marxist yang mengacu kepada teori legitimation crisis. Lihat David Held, Models of Democracy, Second Edition, Polity Press, tahun 1996, hlm. 241 dan 264.
31
demokrasi di Indonesia, dan terasa lebih meningkat
terutama setelah bergulirnya gerakan reformasi 1998.
Untuk memahami pengertian tentang partisipasi
secara utuh, maka pertama-tama perlu diketahui terlebih
dahulu pengertian dari “partisipasi politik”. Dalam kaitan
ini Samuel P Hungtintong dan Joan Nelson memberikan
definisi tentang “partisipasi politik” adalah : “we define
political participation simply as activity by private citizens
designed to influence governmental decision making”
34.(partisipasi politik adalah usaha masyarakat dalam
rangka mempengaruhi keputusan pemerintah).
Dari rumusan tentang partisipasi politik tersebut,
tampak bahwa substansi dari partisispasi adalah kegiatan
untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, tanpa
melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang
dilakukannya. Meskipun demikian, dalam definisi tersebut
terdapat empat hal pokok yaitu: pertama, partisipasi
adalah mencakup “kegiatan-kegiatan”, dan tidak
memasukan didalamnya yang berupa “sikap-sikap”
terhadap orientasi politik. Kedua, partisipasi adalah
kegiatan politik warga negara biasa atau tepatnya
perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai
warga negara. Artinya, bukan kegiatan dari orang-orang
yang memang berkecimpung dalam profesi politik atau
pemerintahan. Ketiga, partisipasi adalah hanya merupakan 34 Samuel P Huntington and Joan M Nelson, No easy Choice Political Participation in Developing countries, Harvard University Press, Cumbridge, Massachusetts, and London, 1976, hlm. 4.
32
kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Keempat, partisipasi
mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi pemerintah, tak peduli apakah kegiatan itu
benar-benar mempunyai efek itu.35
Pemahaman terhadap definisi partisipasi yang
didalamnya mengandung empat hal pokok tersebut, pada
dasarnya menuntut masyarakat untuk berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan yang
berpangkal kepada adanya desirability dari masyarakat
untuk mewujudkan self-government dalam democracy
participatory.36 Keterlibatan individu dalam partisipasi
politik ini bertumpu pada dua kerangka utama yaitu:
socioeconomic status dan social centrality.37
Masalah lebih lanjut dari partisiasi ini adalah
mengapa seseorang berpartisipasi atau kurang
berpartisipasi dalam proses politik? Dalam kaitan ini
terdapat faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi
tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu, kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem
politik).38 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi
35 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, di Terjemahkan oleh Sahat Simamora, Cetakan. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 6-8. 36 William N. Nelson, On Justifying Democracy, Routledge & Kegan Paul Ltd., London, 1980, hlm. 51. 37 Milbrath sebagaimana dikutip Joan M Nelson, “Political Participation”, dimuat dalam Understanding Political Development, Editor Myron Weiner dan Samuel P Huntington, Little, Brown and Company, Boston, 1987, hlm. 106-107. 38 Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara yang dapat berupa pengetahuan seseorang
33
atau rendahnya seseorang dalam melihat suatu persoalan
dalam lingkungannya adalah: pertama, apabila seseorang
memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif;
kedua, apabila seseorang tingkat kepercayaan kepada
pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung
pasif-tertekan (apatis); ketiga, apabila kesadaran politik
tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat
rendah, maka akan melahirkan militan radikal; keempat,
apabila kesaradan politik sangat rendah tetapi kepercayaan
kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan
partisipasi yang tidak aktif (pasif).
Adanya berbagai faktor penyebab dari keterlibatan
masyarakat untuk menyalurkan desirability dalam
penyelenggaraan pemerintahan tersebut, berangkat dari
suatu asumsi bahwa yang mendasari partisipasi dalam
demokrasi adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang
apa yang baik bagi dirinya. 39
Selain berbagai faktor yang mendorong seseorang
untuk berpartisipasi tersebut, partisipasi politik sebagai
suatu bentuk kegiatan politik dapat dilihat pula dari
macam-macam bentuk dan intensitasnya. Artinya,
tentang lingkungan masyarakat dan politik, serta minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan keempat, Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 144. 39 Petter L Barger Sebagaimana di kutip oleh Ramlan Surbakti, Dalam Saifudin, Ibid., hlm.140.
34
partisipasi politik dapat dibedakan menurut frekuensi dan
intensitasnya. Dari sudut pandang ini, Miriam Budiardjo
mengemukakan bahwa terdapat adanya tiga kelompok
besar pelaku partisipasi dalam melakukan kegiatan
menurut frekuensi dan intensitasnya yaitu: aktivis;
partisipan; dan, pengamat.40
Memahami berbagai aspek yang bertalian dengan
partisipasi masyarakat dalam melakukan kegiatan politik
diatas, maka dalam demokrasi partisipatoris menuntut
peran aktif berbagai komponen demokrasi secara
keseluruhan. Demokrasi jenis ini akan memberikan
peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi
secara efektif dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kebijkan publik. Prinsip yang dipakai dalam
demokrasi partisipatoris ini adalah persamaan bagi seluruh
warga negara yang telah dewasa untuk ikut menentukan
agenda melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda
yang telah di putuskan secara bersama. Hal ini dilakukan
agar perjalanan kehidupan bernegara mendapatkan
pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat dalam
rangka terwujudnya pemerintahan yang baik. Jadi,
demokrasi partisipatoris pada hakekatnya adalah
demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat
40 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Edisi Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 7.
35
dalam rangka mewujudkan pemerintahan “dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat”.41
Adanya pemberdayaan rakyat yang berupa
partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan
rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.
Karena itulah, prinsip “representation in ideas” di bedakan
dari “representation in presence”, karena perwakilan fisik
saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan
atau aspirasi.42
Akhirnya, pelibatan rakyat secara aktif dalam proses
penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol
terhadap kebijakan yang telah diambil secara bersama,
maka rakyat akan memberikan dukungan dengan penuh
antusias dan dapat merasakan bahwa mereka mempunyai
tingkat “ownership” yang tinggi dalam bernegara.43
Dengan mengacu pada pemahaman terhadap konsep
demokrasi partisipatoris tersebut, maka pada dasarnya
keberadaan lembaga perwakilan walaupun terdapat
berbagai kelemahan, tetaplah merupakan salah satu
komponen dalam demokrasi. Artinya, dinamika demokrasi
modern dalam nation state – selain lembaga perwakilan
yang diisi melalui pemilihan umum - masih terdapat
elemen demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan 41 Jimly Asshididdiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkama Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 141. 42 Ibid., hlm. 161. 43 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Op. Cit., hlm. 6.
36
kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Disinilah arti pentingnya, interest group,
pressure group, tokoh masyarakat, pers dan partai politik
ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Aktivitas dari berbagai kekuatan politik
masyarakat dalam upaya mempengaruhi kebijakan publik
ini merupakan input bagi suatu sistem politik yang akan
diproses menjadi output dalam penyelenggaraan negara. 44
Peran dari elemen-elemen masyarakat ini sangat
diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi
partisipatoris, meskipun pada akhirnya di negara-negara
yang telah membuka diri terhadap pendekatan sosiologis
sekalipun, pembuat undang-undang tetap yang
bertanggung jawab dalam pembentukan undang-undang.45
44 David Easton, A Frame Work for Polical Analysis, Cetakan Kesepuluh, Printice, Hall, Inc. englowood Cl;iffs, NJ, United States of America, 1965, hlm. 112. 45 Jufrina Rizal, Sosiologi Perundang-undangan, Makalah yang disajikan dalam Pendidikan dan Latihan Tenaga Tehnis Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR R, Jakarta, 1998/1999, hlm. 7.
37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pembentukan Undang-Undang
Pemahaman terhadap undang-undang, tidak terlepas
dari kata “wet” dari bahasa Belanda yang berarti undang-
undang. Menurut A Hamid Attamimi, dalam kepustakaan
Belanda terdapat pembedaan antara wet yang formal dan
yang material. Atas dasar pembedaan tersebut, maka
terdapat istilah “wet in materiele zin” yang dapat
diterjemahkan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Bagir Manan mengemukakan bahwa dalam
ilmu hukum dibedakan undang-undang dalam arti
material dengan undang-undang dalam arti formal.
Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap
keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara
umum yang dinamakan peraturan perundang-undangan. 46 Sedangkan undang-undang dalam arti formal adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden
dengan persetujuan DPR. 47 Atas dasar pemahaman
terhadap undang-undang tersebut, maka jelas bahwa
undang-undang dalam arti formal adalah bagian dari
46 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Cetakan Pertama, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1992, hlm.3. 47 Ibid., hlm. 35.
38
undang-undang dalam arti material, yaitu bagian dari
peraturan perundang-undangan. Karena peraturan
perundang-undangan mempunyai sifat abstrak dan
mengikat secara umum, maka peraturan perundang-
undangan lazim disebut bercirikan abstrak-umum atau
umum abstrak.48 Jadi, terhadap undang-undang dapat
diberikan rumusan sebagai berikut: undang-undang
adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh lembaga legislatif – DPR bersama-sama
presiden – yang bersifat abstrak dan berlaku secara umum.
Gagasan dasar dari pembagian kekuasaan (division
of power)49 adalah untuk menyelamatkan negara dari
tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Lahirnya
gagasan ini tidak dapat dilepaskan dari praktek
penyelenggaraan negara yang absolut dibawah seorang
penguasa sehingga merugikan rakyat dalam suatu negara.
Penyelenggaraan negara perlu diberikan kepada organ-
organ yang berbeda dengan orang yang berbeda pula.
Dalam pembagian kekuasaan ini, dapat terjadi ada kerja
sama antara satu organ kekuasaan dengan organ
kekuasaan yang lain dalam menjalankan satu fungsi
48 Bagir Manan, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan hukum Nasional, Makalah disajikan pada Pertemuan ilmiah tentang kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND Dalam Pembangunan Hukum yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, di Jakarta, 19-20 Oktober 1994. 49 Pembagian kekuasaan (division of power) sering disebut juga pemisahan kekuasaan dalam arti formil yaitu bahwa pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Lihat Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cetakan, Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1982, hlm. 3.
39
kekuasaan dalam negara. Jadi, terdapat dasar kerja sama
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Peraturan Perundang-undangan berada dalam
domain hukum tertulis (jus scriptum), yakni hukum yang
dibentuk dan diterapkan oleh institusi atau pejabat yang
berwenang dengan bentuk dan format tertentu. Jimly
Asshidiqie50 mengkategorikan peraturan perundang-
undangan selaku hukum tertulis kedalam 4 (empat)
macam :
(i) Peraturan perundangan yang bersifat umum, yaitu
berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena
tidak menunjuk kepada hal atau peristiwa, atau kasus
kongkrit yang sudah ada sebelum peraturan itu
ditetapkan;
(ii) Peraturan perundangan yang bersifat khusus karena
kekhususan subyek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku
bagi subyek tertentu;
(iii) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya
berlaku di dalam wilayah tertentu;
(iv) Peraturan perundangan yang bersifat khusus, karena
kekhususan daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku
internal.
Macam sifat dari peraturan perundang-undangan
dalam hukum tertulis tersebut berimplikasi pada jenis
maupun institusi atau pejabat yang berwenang 50 Jimly Asshiddiqie, Dalam I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. hlm. 51.
40
membentuknya. Termasuk pula berimplikasi terhadap
penjabaran dari norma yang abstrak menjadi norma yang
kongkrit berdasarkan sumber kewenangan sehingga suatu
bentuk peraturan perundang-undangan lahir.
Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki
institusi atau pejabat dalam membentuk peraturan
perundang-undangan diperoleh melalui atribusi ataupun
delegasi kewenangan.
Atribusi kekuasaan (attributie van rechtsmacht),
khusus atribusi kekuasaan membentuk peraturan
perundang-undangan (attributie van wetgevendemacht)
sering diartikan sebagai pemberian kewenangan kepada
badan atau lembaga atau pejabat (ambt) negara tertentu,
yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar
maupun oleh pembentuk Undang-Undang.
Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru
untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut.
Pemberian wewenang dimaksud melahirkan suatu
kewenangan serta tanggung jawab yang mandiri. Jadi, ada
suatu original power (originaire van macht) yang kemudian
melahirkan suatu original power of legislation (originaire
wetgevendemacht). Jelasnya dalam kewenangan atribusi
terdapat suatu kewenangan baru. 51
Sedangkan delegasi kewenangan (delegatie
vanbevoegdheid) adalah sebagai suatu penyerahan atau 51 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Dalam I Gde Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Penerbit, PT Alumni, Bandung, 2008, hlm. 53.
41
pelimpahan kewenangan (dalam hal ini kewenangan
pembentukan undang-undang – delegatie van
wetbevoegdheid) dari badan atau lembaga atau pejabat
yang menyerahkan atau melimpahkan wewenang tersebut
(delegans). Melalui penyerahan kewenangan yang
dimaksud, berarti seluruh kewenangan yang diserahkan
atau dilimpahkan menjadi tanggung jawab atau beralih
kepada penerima kewenangan (delegataris) . Dalam
delegasi kewenangan yang diserahkan atau dilimpahkan
tersebut sudah ada pada delegans, sehingga tidak ada
penciptaan kewenangan baru.52
Meskipun dimungkinkan dalam hukum perundang-
undangan untuk pendelegasian kewenangan dari bentuk
hukum peraturan perundang-undangan tertentu kepada
pemegang kewenangan dalam membentuk peraturan
perundang-undangan lainnya yang perlu diperhatikan
sebagai koridor adalah hierarkhi peraturan perundang-
undangan yang hanya dimungkinkam untuk
didelegasikan kepada bentuk hukum yang sederajat atau
yang lebih rendah (lex superiori derogate legi lmperiori).
2.2 Landasan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Setiap peraturan perundang-undangan dapat
dikatakan baik (good legislation), sah menurut hukum
(legal validity) dan berlaku efektif karena dapat diterima
52 M.Solly Lubis, Dalam I Gde Pantja Astawa, Ibid. hlm. 77-78.
42
masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang
panjang, sehingga harus didasarkan pada landasan
peraturan perundang-undangan. Sudah banyak para ahli
hukum yang memberikan argumentasi mengenai landasan
peraturan perundang-undangan, antara lain M. Solly
Lubis yang mengatakan bahwa ada tiga landasan
pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni :
1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan
atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu
menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan)
kedalam suatu rencana atau draft peraturan negara.
Misalnya pancasila menjadi dasar filsafat perundang-
undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu
peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.
2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi
dasar hukum (rechtsground) bagi pembuatan suatu
peraturan. Misalnya UUD menjadi landasan yuridis bagi
pembuatan UU organik. Selanjutnya UU itu menjadi
landasan yuridis bagi pembuatan peraturan pemerintah
ataupun Perda.
3. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang
menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan
pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.
Selanjut Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa menambahkan satu
landasan lagi yaitu landasan sosiologis ( sociologiche
gronsdlag, sociologiche gelding). Suatu peraturan
perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
43
sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini
penting agar peraturan perundang-undangan yang dibuat
di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati
belaka. Atas dasar sosiologis ini diharapkan suatu
peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima
oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan
perundang-undangan yang diterima secara wajar akan
mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak
memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya. Dalam teori pengakuan (Annerken-
nungstheorie) di tegaskan bahwa kaidah hukum berlaku
berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum
itu berlaku. Tegasnya bahwa dasar sosiologis artinya
mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat.
2.3. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Di samping landasan peraturan perundang-
undangan, juga dikenal asas-asas peraturan perundang-
undangan atau asas-asas hukum, yaitu nilai-nilai yang
dijadikan pedoman dalam penuangan norma atau isi
peraturan ke dalam bentuk dan susunan peraturan
perundang-undangan yang di inginkan, dengan
penggunaan metode yang tepat dan mengikuti prosedur
yang telah di tentukan. Pentingnya asas-asas hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut Paul Scholten sebagaimana disetir oleh A. Hamid
44
S. Attamimi53 ialah untuk dapat melihat benang merah
dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti.
Asas-asas hukum ini juga dapat di jadikan sebagai
patokan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan
agar tidak melenceng dari cita hukum (rechtsidee) yang
telah disepakati bersama.
Namun secara teoritikal asas-asas hukum bukanlah
aturan hukum (rechtsregel), sebab asas-asas hukum tidak
dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu
peristiwa kongkrit dengan menganggapnya sebagai bagian
dari norma hukum. Meskipun demikikan, asas-asas
hukum tetap dibutuhkan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, karena hukum tidak dapat
mengerti karena asas-asas hukum.
Dari uraian diatas, setidak-tidaknya ada tiga (3) fungsi
asas, yaitu :
1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau
pengujian norma hukum.
2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap
hukum.
3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau
bangsa tertentu dalam memandang perilaku.
Asas-asas hukum dalam proses pembentukan dan
pengujian paraturan perundang-undangan menurut Van
der Vlies terbagi dalam asas-asas formal dan asas-asas
53 Paul Scholten dan Hamid S. Attamimi dalam Buku. I Gde Pantja Astawa,.......Op.Cit, hlm. 82.
45
materiil. Maksud dari kedua jenis asas ini dijelaskan oleh
A. Hamid S.Attamimi54 ke dalam asas-asas pembentukan
dam penilaian peraturan perundang-undangan di
Indonesia, sebagai berikut :
a. asas-asas formal meliputi :
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas perlunya pengaturan;
3. asas organ atau lembaga yang tepat;
4. asas materi muatan yang tepat;
5. asas dapat dilaksanakan;
6. asas dapat dikenali;
b. asas-asas materiil meliputi :
1. asas sesuai dengan cita hukum Indonesia
dan norma fundamental negara;
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara;
3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara
berdasar atas hukum;
4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.
2.4. Materi Muatan Undang-Undang Menurut Soehino55, terdapat 4 (empat) hal yang
menjadi materi muatan UU, yaitu :
1. Materi yang menurut UUD 1945 harus di atur
dengan UU;
54 Van der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi, Dalam I Gede Pandja Astawa....Op. Cit hlm. 83. 55 Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan, Dalam.I Gede Pandja Astawa...Op. Cit. hlm. 97.
46
2. Materi yang menurut ketetapam MPR yang memuat
garis-garis besar dalam bidang legislatif harus
dilaksanakan dengan UU;
3. Materi yang menurut UU pokok, harus
dilaksanakan dengan UU;
4. Materi lain yang mengikat umum, seperti
pembebanan kepada penduduk, yang mengurangi
kebebasan warga negara, yang memuat keharusan
dan/atau larangan.
Maria Farida Indarti Soeprapto,56 mengemukakan
adanya sembilan butir materi muatan Undang-Undang,
yaitu;
1. yang tegas-tegas di perintahkan oleh UUD dan
TAP MPR;
2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;
3. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;
4. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
6. yang mengatur organisasi pokok lembaga-
lembaga tertinggi/tinggi negara;
7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah
negara;
8. yang mengatur siapa warga negara dan cara
memperoleh/kehilangan kewarganegaraannya;
56 Maria Farida Indarti, Dalam Ilmu Perundang-Undangan,Penerbit Kanisius, Jogyakarta, 1998, hlm. 129-130.
47
9. yang di nyatakan oleh suatu UU, untuk di atur
dengan UU.
Materi muatan menurut Bagir Manan dan Kuntana
Magnar terdiri atas 5 (lima) substansi57, yakni:
1. perintah UUD 1945;
2. perwujudan kedaulatan rakyat;
3. memperbaharui UU atau sebagaian dari UU yang
ada;
4. diperintahkan oleh UU yang sudah terbentuk
terdahulu;
5. perjanjian dengan negara lain.
2.5. Penerapan Demokrasi Dalam Pembentukan
Undang-Undang Yang Responsif Mengacu pada penerapan demokrasi dalam
pembentukan undang-undang ini, akan diawali dengan
mengemukakan pikiran Affan Gaffar yang mengacu kepada
Robert A. Dahl mengenai pentingnya dimensi kompetisi
dan keterlibatan dalam mengamati demokrasi in action.
Dengan mengacu kepada dua dimensi tersebut, maka akan
memunculkan empat karakteristik rejim kaitan dengan
konteks ada tidaknya partisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan sebagai berikut: 58
57 Bagir Manan & Kuntana Magnar, I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. Hlm. 98. 58 Affan Gafar yang mengacu pada Robert A. Dahl, Dalam Saifudin, Op. cit. hlm 30.
48
Tabel 2.1
Karakteristik Regim dalam Kaitannya dengan
Kompetisi dan Keterlibatan K
o
m
p
e
t
i
s
i
II
Competitive Oligarchy
III
Poliarchy
I
Closed Hegemony
IV
Compettive Hegemony
K e t e r l i b a t a n
Dari tabel gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: pertama, closed hegemony (Quadran I) dimana
kondisi ini terjadi ketika kompetisi tidak begitu menonjol
bahkan rendah, dan demikian pula tingkat keterlibatan
masyarakat. Kedua, competitive oligarchy (Quadran II)
dimana kondisi ini terjadi ketika tingkat kompetensi yang
tinggi, sedangkan keterlibatan masyarakat rendah sehingga
hanya akan dikuasai oleh sekelompok golongan elit yang
oligarkhis. Ketiga, polyarchy (Quadran III), dimana kondisi
ini terjadi ketika suatu mekanisme politik yang terwujud
dalam pluralisme partai ditemukan dalam derajat yang
sangat tinggi, sehingga kompetisi dan keterlibatan
merupakan warna yang sangat menonjol bagi demokrasi
dalam model pemerintahan. Keempat, competetive
hegemony (Quadran IV), dimana terjadi ketika keterlibatan
49
masyarakat dalam partisipasi politik sangat luas dan
intensif, akan tetapi tidak disertai dengan kompetisi yang
tinggi sehingga melahirkan rezim yang inclusive. Dengan
melihat berbagai karakteristik rezim diatas, lebih lanjut
Affan Gaffar menarik hubungan dengan suatu produk
hukum. Dalam kaitan ini, di buat dua model rejim yaitu
rejim yang demokratis dan tidak demokratis yang di
gambarkan pada tabel 2 (dua) sebagai berikut:
Table 2.2
Hubungan Antara Type Regim Dan Karakteristik
Produk Hukumnya 59
Regime types
Karakteristik Produk
Hukumnya
Mekanisme
Democratic
- Populist
- Progressive
- Limited interpretation
- Pluralistic/
Compettitive
Non Democratic
Elitist
Concervative
Open to interpretation
- Centralistic/Non
Competitive
Dari tabel diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
pertama, untuk rezim yang demokratik pembentukan
hukumnya dilakukan oleh berbagai pihak. Artinya,
keterlibatan masyarakat bukan hanya ada tetapi juga
tinggi karena terdapatnya pluralisme politik dalam
59 Afan Gaffar., dalam Saifudin , Ibid. hlm 31.
50
masyarakat, baik yang tergabung dalam partai politik
maupun pressure group, mass media, lembaga swadaya
masyarakat dan sebagainya. Adanya keterlibatan
masyarakat ini akan berakibat pada produk hukumnya
bersifat populis dan progresif sehingga memberikan space
yang sedikit kepada pihak eksekutif untuk memberikan
interpretasi lebih lanjut terhadap suatu peraturan. Kedua,
untuk rezim yang tidak demokratis pembentukan
hukumnya dilakukan oleh elit utama dalam suatu negara
yaitu top birokrat, pemimpin militer dan pengusaha bagi
negara non sosialistik; sedangkan untuk negara sosialis
pembentukan hukumnya dilakukan oleh pemimpin partai
ditambah sejumlah militer. Produk hukumnya bersifat
elitis, concervative dan terbuka untuk interpretasi baru
dengan peraturan lebih lanjut.60
Atas dasar pemahaman terhadap hubungan antara
rezim dengan produk hukum diatas khususnya yang
bertalian dengan rezim demokrasi, maka persoalannya
semakin menarik ketika dikaitkan dengan adanya
demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris.
Bertolak dari adanya dua macam demokrasi tersebut maka
baik dalam demokrasi perwakilan maupun demokrasi
partisipatoris akan melahirkan problematik yang menarik
60 Affan Gaffar dalam Saifudin Op. Cit hlm 32 .
51
dalam pembentukan undang-undang. Keduanya
mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing.61
Undang-undang dibuat tidak berada dalam ruang
yang hampa, tetapi berada dalam dinamika kehidupan
masyarakat luas dengan segala kompleksitasnya. Artinya,
masyarakat yang akan dituju oleh suatu undang-undang
menghadapi berbagai keterbatasan-keterbatasan dalam
menerima kehadiran suatu undang-undang. 62 Suatu
undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pihak
legislator, sangat mungkin kehadirannya akan ditolak
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam
masyarakat. Disinilah arti pentingnya peran serta
masyarakat dilibatkan dalam proses pembentukan
undang-undang. Demokrasi partisipatoris diharapkan
dapat lebih menjamin bagi terwujudnya produk undang-
undang yang responsif, karena masyarakat ikut membuat
dan memiliki lahirnya suatu undang-undang. Adanya
partisipasi dalam pembentukan undang-undang ini juga
akan menjadikan masyarakat lebih bermakna dan 61 Pada demokrasi perwakilan proses pembentukan UU akan lebih mudah dibuat dari pada proses pembentukan UU pada demokrasi partisipatoris. Persoalan yang muncul dalam proses pembentukan UU cukup diselesaikan melalui kompromi-kompromi politik oleh kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam lembaga perwakilan. Karena ruang lingkup lembaga perwakilan itu terbatas, maka persoalannyapun dapat dilokalisir diantara partai-partai politik yang duduk dalam lembaga perwakilan. Sebaliknya dalam demokrasi partisipatoris pembentukan UU akan lebih sulit karena harus mengakomodir berbagai tatanan nilai dan kepentingan dari berbagai elemen kekuatan masyarakat, sehingga persoalannya akan lebih kompleks dan bisa melebar sesuai dengan kepentingan masing-masing, Dalam Saifudin,Op. Cit.hlm. 33. 62 Robert B Seidmann at all, Legislatif Drafting for Democratic Social Change:A Manual for Drafters, First Published, Kluwer Law International Ltd., London The Hague Boston, 2001, hlm. 15.
52
pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi,
sehingga melahirkan pemerintahan yang bermoral dan
warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat.
2.6. Pengtingnya Pembentukan Undang-
Undang Dalam Era Globalisasi Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, ketika
batas batas negara sudah tidak jelas lagi (borderless),
keberadaan hukum tertulis (jus scriptum) khususnya
dalam bidang kajian hukum perundang-undangan, sudah
menjadi salah satu kebutuhan dasar (basic needs) dalam
upaya menggapai keadilan (justice), kedamaian (peacefull)
dan kepastian hukum (legal certainty). Mengapa demikian?
Karena kemutakhiran hubungan antar manusia saat ini
sudah harus diatur dengan hukum-hukum yang modern.
Ciri-ciri hukum yang modern adalah adanya norma-norma
hukum yang tertulis, rasional, terencana, universal dan
responsif dalam mengadaptasi perkembangan
kemasyarakatan dan dapat menjamin kepastian hukum.
Makin besarnya peranan peraturan perundang-
undangan sebagai hukum tertulis disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain ;
Pertama, peraturan perundangan merupakan kaidah
hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah
ditemukam kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah
hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas begitu
pula pembuatnya.
53
Kedua, peraturan perundang-undangan memberikan
kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-
kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan
kembali.
Ketiga, Struktur dan sistematika peraturan perundang-
undangan lebih jelas sehingga memungkinkan diperiksa
kembali dan diuji, baik dari segi formal maupun materi
muatannya.
Keempat, pembentukkan dan pengembangan peraturan
perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini
sangat penting bagi negara-negara yang sedang
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Kendala terbesar dalam perkembangan ilmu perundang-
undangan dan lebih khusus pada hukum perundang-
undangan adalah belum jelasnya arah politik hukum
perundangan nasional, meskipun telah diundangkannya
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan. UU ini belum
memberikan arah kebijakan hukum perundang-undangan
yang kompeherensif dan futuruistik, justru sebaliknya
masih terkesan tambal sulam dalam mengisi kekosongan
perundang-undangan (wet vacuum)63. Namun, harus
diakui bahwa munculnya UU tentang pembentukan
63 I Gde Pantja Astawa, & Suprin Na’a, Op. Cit., hlm 1-20.
54
peraturan perundang-undangan telah memberikan patron
terhadap upaya unifikasi peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Pada hakekatnya, politik hukum (legal policy)
perundang-undangan Indonesia dimasa yang akan datang
tidak perlu disekat dengan pilihan, apakah dengan
kodifikasi ataukah non-kodifikasi. Akan tetapi, yang lebih
penting adalah penentuan tujuan, arah, sasaran dan
fungsi politik hukumnya seperti; Apakah wawasan
nusantara dibidang hukum harus senantiasa diarahkan
pada unifikasi hukum diseluruh bidang kehidupan bangsa
dan rakyat. Ataukah sesuai dengan prinsip Bhineka
tunggal ika, unifikasi akan berlaku secara selektif. Artinya,
unifikasi sebagai prinsip tanpa menutup kemungkinan
diversifikasi sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan
masyarakat; Apakah setiap gejala atau kepentingan harus
diatur dalam undang-undang. Ataukah ada bagian-bagian
yang akan dibiarkan diatur sendiri oleh masyarakat atau
ditumbuhkan melalui penegak hukum atau ilmu
pengetahuan hukum; Sejauh manakah faktor atau gejala
yang mendunia seperti globalisasi, privatisasi dan lain-lain
dapat dipertemukan dengan paham ke-Indonesia-an
seperti nilai-nilai pancasila, prinsip kekeluargaan, keadilan
sosial dan sebagainya; Bagaimanakah perkiraan corak
hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia
yang berdasarkan Pancasila pada masyarakat industri
Indonesia di masa datang; Bagaimanakah sistem
55
pengorganisasian pembinaan hukum nasional yang dapat
menjamin kebijaksanaan kesatuan perencanaan, kesatuan
program dan sebagainya; Bagaimanakah prinsip dan dasar
kebijaksanaan dan program pembinaan hukum nasional
yang terpadu dengan sektor dan prioritas pembangunan
lainnya; Bagaimana prinsip dan dasar penyusunan
perencanaan dan program pembinaan hukum nasioanl
yang terpadu dengan sektor dan prioritas pembangunan
lainnya.
Teori perundang-undangan dan Ilmu perundang-
undangan merupakan dua bidang ilmu yang menjadi
bagian mutlak dari Ilmu Pengetahuan Perundang-
Undangan (Gezetzgebungs-wissenschaft). Atau dengan kata
lain bahwa ilmu perundang-undangan terdiri atas dua
bagian besar yaitu Teori Perundangan dan Ilmu
Perundangan.
Menurut Burkhardt Krems yang dikutip oleh Maria
Farida Indarti Soeprapto:64
“Ilmu pengetahuan Perundang-undangan
(Gesetzgebungs-wissnschaft) merupakan ilmu yang
interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik
dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu:
64 Maria Farida Indarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya , Yogjakarta, Kanisius ,1998. Hlm. 2
56
1. Teori Perundang-undangan yang berorientasi
pada mencari kejelasan dan kejernihan makna
atau pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif.
2. Ilmu Perundang-undangan yang berorientasi pada
melakukan perbuatan dalam hal pembentukan
peraturan perundang-undangan , dan bersifat
normatif”.
Selanjutnya menurut Krems, substansi Ilmu Perundang-
undangan dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) bagian,
yaitu:
1. Proses perundang-undangan;
2. Metode Perundang-undangan;
3. Teknik Perundang-undangan.
Dalam memberi pembedaan antara Ilmu Perundang-
undangan dengan Teori Perundang-undangan, oleh A.
Hamid S. Attamimi,65 dijelaskan bahwa:
“Teori Perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan pemahaman dan bersifat kognitif, sedangkan Ilmu Perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif” Apabila ditelusuri dalam hukum positif Indonesia,
ditemukan beberapa istilah yang apabila ditelaah dari segi
peristilahan (terminologis) adalah bermakna yang sama.
Antara lain seperti dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata 65 A. Hamid S. Attamimi, Dalam I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. hlm. 7.
57
Urutan Peraturan Perundangan, memberikan istilah
peraturan perundangan ; kemudian dalam Ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, menyebut istilah
Peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam
Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
memberi istilah peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan
terutama mengenai proses pembentukan undang-undang
antara negara Indonesia dan Timor-Leste, maka disini akan
ditelusuri mengenai prosedur yang berlaku pada kedua
negara dalam hal ini tentang pembuatan undang-undang
yang akan menjadi landasan berpijak bagi setiap warga
negara yang mana dapat diharapkan bisa merespon segala
persoalan yang muncul dan akan muncul dikemudian hari
sekaligus sebagai batasan bertindak, baik kedalam untuk
aparat penegak hukum itu sendiri, maupun keluar untuk
mengatur masyarakat.
Studi perbandingan ini akan dilakukan dengan
membandingkan tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dikedua negara, mulai
dari usul inisiatif, asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan, materi muatannya, kerangka
pembuatan peraturan perundang-undangan : Judul,
58
Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan,
Lampiran; selanjutnya pembahasan rancangan undang-
undang, penetapan, hingga pengesahan oleh presiden,
serta pengundangannya dalam lembaran negara.
Berkaitan dengan proses pembuatan peraturan
perundang-undangan seperti yang telah diuraikan diatas,
dapat penulis katakan bahwa “orang tidak membuat
Undang-undang dengan cara duduk dalam satu ruangan
dan kemudian memikirkan undang-undang apa yang akan
dibuat. Menurut D’Anjou ia merupakan proses panjang
yang dimulai dari dalam realitas kehidupan masyarakat.
Terjadi suatu long march sejak dari kebutuhan dan
keinginan perorangan, kemudian menjadi keinginan
golongan, selanjutnya ditangkap oleh kekuatan-kekuatan
politik, diteruskan sebagai suatu problem yang harus
ditangani oleh pemerintah dan baru pada akhirnya masuk
menjadi agenda pembuatan peraturan.66
2.7. Akuntabilitas Dalam Bentuk Prosedur
Pembentukan Undang-Undang. Persoalan prosedur dalam pembentukan UU adalah
suatu kebutuhan yang tak dapat dielakan dalam suatu
negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam sistem
demokrasi menuntut adanya tata cara yang terbuka untuk
suatu proses pembentukan UU. Sebab, dengan adanya
keterbukaan akan memberikan kesempatan kepada
66 Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI PRESS, Jakarta, 2006. hlm. 86.
59
masyarakat luas untuk menyalurkan aspirasinya sebagai
bentuk kontrol terhadap langkah yang akan ditempuh oleh
pemerintah dalam pembentukan UU. Kontrol masyarakat
ini penting agar pemerintah lebih berhati-hati dalam
pembentukan UU yang akan ditujukan kepada masyarakat
luas.
Adanya tahap-tahap yang telah ditentukan dan
dilakukan secara transparan ini, masyarakat dapat
memilih dan menentukan berbagai langkah-langkah dalam
pembentukan UU yang menarik perhatiannya. Prosedur
adalah bagian dari pertanggung jawaban dalam
pembentukan UU. Ketika pembentuk UU menempuh
berbagai tahap-tahap yang harus dilalui sesuai dengan
ketentuan yang ada, maka proses pembentukan UU itu
akan memperolah nilai yang rendah untuk dapat
dipertanggung jawabkan kepada publik. Jadi,
ditempuhnya prosedur secara benar adalah bagian tak
terpisahkan dari bentuk pertanggung jawaban kepada
publik dalam pembentukan UU dalam suatu negara
demokrasi.
Ada banyak langkah yang akan ditempuh untuk
menghasilkan suatu UU yang baik secara procedural.
Secara umum tahap-tahap pembentukan UU menurut
Jufrina Rizal dapat dikelompokan dalam : tahap ante
legislative, tahap legislative dan tahap post legislative.67
Secara lengkap tahap-tahap dalam pembentukan UU 67 Jufrina Rizal, Tindak Pidana Dalam Saifudin ….Op. Cit hlm 72.
60
tersebut menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut
: tahap penelitian, pengajuan usul inisiatif, perancangan,
pengajuan RUU, pembahasan, penetapan RUU menjadi
UU, pengesahan, pengundangan, pemberlakuan dan
penegakkan UU.68
2.7.1 Tahap ante legislative
2.7.1.1. Tahap Penelitian. Penelitian ini merupakan suatu
bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan untuk pemecahan
masalah dan ditangani secara sistematis-logis guna
mendapatkan informasi data yang akurat terhadap suatu
permasalahan. Hasil penelitian ini dituangkan dalam
naskah akademik. Penelitian sebagai tahap awal dalam
pembentukan UU sangat besar mamfaatnya sebagai upaya
pemecahan terhadap suatu obyek yang akan diatur.
Penelitian ini dapat dilakukan oleh pemerintah, DPR, DPD,
perguruan tinggi maupun masyarakat luas pada
umumnya. Semakin banyak penelitian yang dilakukan
untuk pembentukan UU oleh berbagai lembaga penelitian
akan memperkaya wacana dan wawasan terhadap obyek
yang akan diatur.
Jadi, penelitian mempunyai peranan penting dalam
proses penyusunan UU, karena akan memberikan kajian
secara menyeluruh terhadap obyek yang akan diatur. 69
68 Disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie tanggal 19 Februari 2004 di pondok Labu Jakarta. 69 Penelitian Hukum ini dapat dikelompokkan dalam dua type utama yaitu : penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer; dan penelitian hukum normative atau penelitian hukum kepustakaan yang meneliti data sekunder. Untuk penelitian hukum normative ini mencakup: a. penelitian
61
Proses pembentukan UU yang di dahului dengan
penelitian, memang akan membutuhkan waktu yang lama.
Akan tetapi UU yang dihasilkannya diharapkan akan lebih
baik dan bertahan lama serta mendekati rasa keadilan
dalam masyarakat. Sebab, melalui penelitian akan
diketahui deskripsi masyarakat dan berbagai faktor-faktor
yang melingkupinya dari suatu kehidupan masyarakat.
Adanya penelitian akan merupakan suatu dokumen
pertanggung jawaban awal bagi dibuatnya suatu UU.
2.7.1.2. Tahap pengajuan usul inisiatif. Dari hasil
penelitian yang dituangkan dalam naskah akademik
tersebut, langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan
apakah suatu persoalan benar-benar perlu diajukan atau
tidak di ajukan menjadi usul inisiatif suatu RUU. Artinya,
perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil penelitian yang
dituangkan dalam naskah akademik untuk sampai kepada
keputusan dibuatnya usul inisiatif pembentukan suatu
UU. perlu dilihat lebih lanjut apakah berbagai asas dalam
pembentukan UU sudah terpenuhi atau belum. Dalam hal
ini Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 menentukan asas-asas
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,
termasuk didalamnya UU adalah sebagai berikut: kejelasan
tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis dan materi; dapat dilaksanakan; terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematik hukum; c. penelitian terhadap taraf singkronisasi vertical dan horizontal ; d. penelitian perbandingan hukum; dan e. penelitian sejarah hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 14-15.
62
kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan
keterbukaan.70
2.7.1.3. Tahap perancangan. Perancangan suatu RUU
dapat dilakukan oleh Presiden, DPR, DPD maupun
masyarakat luas. Tahap perancangan ini merupakan upaya
penerjemahan gagasan, naskah akademik, atau bahan-
bahan lain kedalam bahasa dan struktur yang normatif.
Penuangan bahan-bahan ke dalam bahasa dan struktur
normatif ini akan menghasilkan suatu rancangan
peraturan perundang-undangan. Tahap perancangan ini
harus dilakukan secara hati-hati menggunakan bahan
hukum yang sederhana, jelas, tegas dan memberikan
jaminan kepastian hukum. Hal ini mengingat suatu
gagasan yang baik untuk mengatur suatu persoalan sering
gagal karena ketidakmampuan legal drafer merumuskan
dalam bahasa hukum dan struktur normatif yang
mempunyai bentuk dan sifat khusus didalamnya. Dalam
menyusun dan merumuskan materi muatan yang akan
dituangkan dalam suatu RUU, maka harus diperhatikan
asas-asas materi muatan yang terdapat dalam pasal 6 UU
No. 10 Tahun 2004, yaitu : pengayoman; kemanusiaan;
kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka
tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum;
dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.71
70 Lihat UU No. 10 Tahun 2004 71 Lihat UU No. 10 Tahun 2004.
63
2.7.1.4. Tahap pengajuan RUU. Setelah suatu ide atau
gagasan untuk mengatur persoalan telah dituangkan
dalam suatu RUU, maka tahap selanjutnya adalah
pengajuan RUU kepada lembaga legislatif yang akan
dilakukan oleh Presiden atau DPR. Dengan demikian jika
tahap perancangan RUU terbuka untuk umum, maka
tahap pengajuan usul inisiatif terhadap suatu RUU
terbatas oleh dua lembaga tersebut. Masyarakat yang
berkeinginan bahwa suatu materi persoalan perlu diatur
dalam suatu UU dan telah menyiapkan naskah RUUnya,
maka masyarakat dapat menyampaikannya ke DPR atau
Presiden. Sementara itu bagi DPD, untuk materi tertentu
harus disalurkan melalui DPR.72
Pengajuan suatu RUU oleh Presiden dan DPR ini
menandai proses akhir pembentukan UU pada tahap ante
legislative. Proses pengkajian pada tahap ante legislative ini
sebaiknya lebih merupakan kajian secara netral, obyektif
dan ilmiah. Pengkajian semata-mata mengutamakan
kepentingan masyarakat luas, sedangkan kajian dari
kepentingan-kepentingan yang bersifat politis sebisa
mungkin dihindarkan dan belum dimasukan. Sebab, pada
dasarnya kajian-kajian yang bersifat politis akan dilakukan
pada tahap pembahasan oleh lembaga legislatif.
2.7.2 Tahap legislative
2.7.2.1. Tahap pembahasan. Pengkajian suatu RUU dalam
pembahasan tahap legislatif yang dilakukan oleh pemegang 72 Lihat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
64
kekuasaan legislatif berarti akan memasuki ranah
kepentingan politik. Dalam tahap ini, RUU yang telah
disusun secara obyektif dan ilmiah akan diuji oleh
kekuatan-kekuatan politik yang duduk di parlemen. Sebab,
perlemen adalah lembaga politik yang terdiri atas partai-
partai politik dan keanggotaaannya diisi melalui pemilihan
umum. Karena masing-masing partai politik mempunyai
visi dan misi yang berbeda, maka sangat mungkin dalam
proses pembahasan suatu RUU akan menghadapi suatu
ketegangan dalam melihat suatu persoalan yang akan
diatur sesuai dengan kepentingannya. Pembahasan dalam
tahap ini akan merupakan proses pengolahan input-output
dalam suatu sistem politik menuju lahirnya suatu UU.
2.7.2.2. Tahap pembahasan RUU menjadi UU. Apabila
pembahasan telah dirasa cukup dan masing-masing partai
politik sudah menyampaikan pikiran, tanggapan dan
harapan terhadap suatu RUU yang akan dijadikan UU,
maka perlu diambil sutu langkah tindakan bersama dalam
rangka mengakhiri perdebatan dalam melihat suatu RUU.
Apakah suatu RUU akan diterima sebagai UU, tentu
dengan berbagai penyempurnaannya ataukah suatu RUU
akan ditolak sebagai UU. Diperlukan kearifan masing-
masing pihak untuk melihat persoalan RUU dalam konteks
masyarakat yang luas. Dengan demikian, akan lebih baik
jika suatu RUU menjadi UU diterima oleh semua pihak dan
berarti tedapat konsensus bersama yang akan memberikan
kekuatan bagi berlakunya UU di masyarakat. Akan tetapi,
65
manakalah perbedaan secara tajam tetap muncul dan
tidak bisa dipertemukan, maka proses pemgambilan
keputusan secara pemungutan suara adalah langkah yang
bijak dan wajar serta dibenarkan dalam suatu negara
demokrasi. Dengan demikian, terlepas dari pro dan kontra
dalam pembahasannya nasib suatu RUU dapat ditetapkan
menjadi UU.
2.7.3. Tahap pengesahan UU
Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka
dengan demikian telah terjadi pengesahan secara material
oleh lembaga legislatif. Terhadap RUU yang telah
ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan
perubahan baik yang menyangkut persoalan secara teknis
maupun substansi. Memang, suatu UU yang dirasakan
tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman
dapat dilakukan perubahan, penggantian atau bahkan
pencabutan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi dalam
proses pembentukan UU, tahap pengesahan adalah batas
yang diperlukan untuk menyelesaikan perdebatan sehingga
RUU yang telah ditetapkan menjadi UU dapat diproses
lebih lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih
harus dilakukan berbagai tindakan hukum seperti
penandatanganan, pengundangan, dan pemberlakuan.
Dengan kata lain, pengesahan secara materil merupakan
akhir dari proses pembahasan suatu RUU menjadi UU di
lembaga legislatif.
66
67
BAB III PROSES PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
DI INDONESIA DAN TIMOR-LESTE
3.1. Gambaran Umum Sistem Pemerintahan di
Indonesia dan Timor-Leste. 3.1.1. Indonesia.
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Negara Indonesia adalah negara hukum.73
Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Menganut sistem
pemerintahan presidensil karena presiden disamping
sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan.
Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.74 Presiden dan
wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh
Menteri-menteri. Sistem pemerintahan Indonsia
berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar),
73 Pasal 1 UUD 1945 74 Pasal 6A UUD 1945
68
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas).
Sistem pemerintahan di Indonesia setelah
perubahan UUD 1945 memiliki badan pwerwakilan
yang terdiri dari, DPR yang merupakan representasi
kepentingan politik dan DPD representasi kepentingan
daerah. Masing-masing lembaga negara tersebut dalam
pengisian keanggotaannya dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum, selain itu ada juga MPR yang
mempunyai lingkungan jabatan dan wewenang
tersendiri, keanggotaannya terdiri dari anggota DPR
dan anggota DPD. Jadi di Indonesia, di dalam badan
perwakilan rakyatnya terdiri dari MPR, DPR dan DPD.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
berdasarkan ketentuan UUD 1945 setelah perubahan
mempunyai otoritas yang hanya meliputi; melantik
Presiden dan Wakil Presiden, mengubah UUD 1945,
men-impeachment Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara itu kedudukannya adalah sebagai lembaga
tinggi negara sejajar sama seperti lembaga tinggi negara
lainnya, yaitu Presiden, DPR, BPK, MA, MK dan komisi
Yudisial. 75.
3.1.2. Timor-Leste
Republik Demokratik Timor-Leste adalah Negara
yang demokratis, berdaulat merdeka dan bersatu,
75 Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Penerbit Fokusmedia, Cetakan Pertama Desember, 2007, hlm 4.
69
berdasarkan kekuatan hukum, keinginan Rakyat, dan
kehormatan atas martabat manusia. Tanggal 28
November 1975 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan
Republik Demokratik Timor-Leste.76 Serta mendapat
pengakuan secara legal oleh dunia internasional pada
tanggal 20 Mei Tahun 2002.
Sistem Pemerintahan Timor-Leste adalah semi
Presidensial, dimana terdiri dari 4 (empat) lembaga
negara, antara lain Lembaga Kepresidenan, Parlemen
Nasional, Pemerintah dan Lembaga Peradilan. Dalam
menjalankan fungsinya berpijak pada pemisahan
kekuasaan serta tidak saling intervensi satu sama lain,
kecuali di tentukan oleh undang-undang. Timor-Leste
memiliki 2 (dua) bahasa nasional yaitu Tetum dan
Portugis serta dua bahasa kerja yaitu bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia.
Parlemen Nasional Republik Demokratik Timor-
Leste (RDTL), pada awalnya beranggotakan 88 orang
yang merupakan anggota majelis konstituante yang
merupakan wakil dari partai-partai yang mendapat
kursi pada pemilihan umum yang dilakukan pada
tahun 2001, dengan fungsi untuk menyusun
“Konstitusi” Republik Demokratik Timor Leste, sebagai
dasar negara serta akan bubar secara otomatis sesudah
tugas tersebut selesai. Namun karena berbagai
pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta 76 Pasal 1, UUD RDTL
70
setelah melalui berbagai perdebatan yang intensif
antara para pemimpin negara, maka pemilihan untuk
anggota parlemen tidak jadi diselenggarakan, dan
secara otomatis mentransformasikan majelis
konstituante beserta ke-88 anggotanya menjadi anggota
Parlemen Nasional. Demikianlah sejarah singkat
mengenai pembentukan parlemen nasional Republik
Demokratik Timor-Leste sebagai lembaga kekuasaan
negara yang memiliki fungsi pokok membuat peraturan
perundang-undangan untuk mengatur segala aspek
kehidupan negara dan warga negara.
Parlemen Republika demokratik Timor-Leste yang
sekarang (periode 2007-2012) beranggotakan 65 orang77,
yang berasal dari berbagai fraksi partai yang berhasil
memperoleh kursi dalam pemilihan umum yang
dilaksanakan pada tahun 2007.
Sebagai institusi yang berdaulat yang memegang
kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-
undangan, maka parlemen nasional wajib mencerminkan
citra negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat serta
yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum yang layak
dihormati baik secara nasional maupun secara
internasional.
77 Konstitusi RDTL 2002
71
3.2. Proses pembentukan Undang-Undang di
Indonesia 3.2.1.Dasar Kewenangan
3.2.1.1. UUD 1945. Salah satu dasar kewenangan
pembentukan Undang-undang di Indonesia, yaitu UUD
1945. Dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1), (2), (3),
(4), (5) UUD 1945 yang telah di amandemen mengatur
secara tegas tentang kewenangan pembentukan undang-
undang.
Pasal 5 ayat (1): Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR. Pasal 20 ayat (1),
(2), (3), (4), (5) menyatakan:
(1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-
undang;
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama;
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak
mendapatkan persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu;
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama menjadi
undang-undang;
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari
72
semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.78
Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa di Indonesia
kekuasaan legislatif (pembentuk undang-undang) menurut
UUD 1945 dilakukan oleh dua organ sekaligus yaitu DPR
dan Presiden, meskipun tekanannya diletakkan pada DPR.
Presiden bertindak sebagai organ yang akan melaksanakan
undang-undang, sedangkan DPR yang keanggotaannya
diisi melalui pemilihan umum bertindak dalam kapasitas
sebagai wakil rakyat yang akan menyuarakan aspirasi
rakyat. Akan tetapi kadang-kadang DPR belum secara
sungguh-sungguh menyuarakan aspirasi rakyat yang
diwakilinya, namun kadangkala lebih tertarik untuk
memperjuangkan kepentingan induk organisasi partainya.
Disinilah masyarakat yang merasa kepentingannya
dirugikan akan berpartisipasi memberikan masukan-
masukan dalam proses pembentukan undang-undang.
Dengan demikian tarik menarik kepentingan akan terjadi
diantara tiga kekuatan politik dalam pembentukan
undang-undang yaitu presiden, DPR dan masyarakat.
3.2.1.2. UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU No 10 tahun
2004, terutama pembahasan Rancangan Undang-undang
di Dewan Perwakilan Rakyat, Bagian pertama pasal 32 ayat 78 UUD 1945 hasil Amandemen.
73
(1) Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan
Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat bersama Presiden atau Mentri yang ditugasi; ayat
(2) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
pertimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan
dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah; ayat
(3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam
pembahasan rancancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
yang khusus menangani bidang legislasi; ayat (4)
Keikutsertaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam
pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dan atau ayat (3) diwakili oleh
komisi yang membidangi materi muatan rancangan
undang-undang yang dibahas; ayat (5) Pembahasan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui tingkat-tingkat pembicaraan; ayat (6) Tingkat-
tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna; ayat (7) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-
74
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur
dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam pasal 33 dikatakan bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan
dimulainya pembahasan rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2). Sementara
dalam pasal 34 bahwa Dewan Perwakilan Daerah
memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama. Selanjutnya dalan
pasal 35 ayat (1) Rancangan undang-undang dapat ditarik
kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden;
ayat (2) Rancangan undang-undang yang sedang dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama DPR dan Presiden; Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Tata Tertib DPR. Pasal 36 mengatakan
dalam ayat (1) Pembahasan rancangan undang-undang
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan
melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan
rancangan undang-undang; ayat (2) Dewan Perwakilan
Rakyat hanya menerima atau menolak peraturan
pemerintah pengganti undang-undang; ayat (3) Dalam hal
rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan
75
pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-
undang ditolak oleh DPR maka Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak
berlaku; ayat (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah
pengganti undang-undang ditolak DPR maka Presiden
mengajukan rancangan undang-undang tentang
pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat
dari penolakan tersebut.
Selanjutnya pada bagian kedua tentang pengesahan,
pasal 37 ayat (1) Rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang; ayat (2) Penyampaian rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Kemudian
dalam pasal 38 ayat (1) Rancangan undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden; ayat (2) Dalam hal rancangan undang-
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanda
tangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut
disetujui bersama, maka rancangan undang-undang
76
tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan; ayat (3) Dalam hal sahnya rancangan
undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka kalimat pengesahannya berbunyi : Undang-undang
ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; ayat (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan
pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum
pengundangan Naskah Undang-Undang kedalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah
ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang; ayat (2)
Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu
penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya
sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut; ayat (3)
Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara tidak atas permintaan tegas dari suatu Undang-
Undang di kecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).79
3.2.1.3. Prosedur Perencanaan dan penyusunan,
Pembahasan, Persetujuan serta Pengesahan dan
Pengundangannya, sesuai dengan Tata Tertib DPR No.
79 UU Republik Indonesia No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
77
15/DPR-RI/I/2004/2005. Barkaitan dengan
pembentukan undang-undang di Indonesia, maka
dalam Peraturan Tata Tertib DPR 2004/2005, ada tiga
lembaga yang dapat mengusulkan suatu rancangan
undang-undang yaitu Presiden, DPR dan DPD.80 Secara
ringkas proses pengusulan rancangan undang-undang
dari tiga lembaga tersebut menurut Tata Tertib DPR No.
15/DPR-RI/I/2004/2005 adalah sebagai berikut:
Ragaan 3.1
Pembentukan UU Menurut Peraturan Tata Tertib
DPR No. 15/DPR RI/I/2004/2005
80 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004/2005 ditetapkan tanggal 29 september 2004 dan disahkan Penggunaannya tanggal 1 Oktober 2004.
RUU DARI PEMERINTAH RUU DARI DPR RI RUU DARI DPD
DUA TINGKAT PEMBICARAAN
PEMBICARAAN TINGKAT I
PEMBICARAAN TINGKAT II
DISETUJUI BERSAMA DPR dan PRESIDEN
DISAHKAN PRESIDEN
UNDANG-UNDANG
78
Dari ragaan tersebut, meskipun ada DPD tetapi
pengajuan suatu RUU tetap ada pada Presiden dan
DPR. Untuk RUU yang berasal dari DPD terlebih
dahulu harus masuk melalui DPR. Hal ini menunjukan
adanya keterbatasan kewenangan DPD dalam Proses
Pembentukan Undang-undang. Terlebih lagi DPD
hanya dapat mengikuti pada Pembicaraan Tingkat I,
tidak dapat mengikuti pada Pembicaraan Tingkat II.
3.2.3.1.1 RUU Usul Pemerintah
Apabila Presiden akan mengusulkan suatu materi
untuk diatur dalam UU, maka presiden dapat
menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan
Pemerintah dan dapat pula dilengkapi dengan Naskah
Akademik yang disampaikan kepada Pimpinan DPR.
Selanjutnya, pimpinan DPR membagikan RUU
tersebut kepada anggota DPR dalam rapat paripurna
berikutnya. DPR mulai membahas paling lambat 60
hari sejak Surat Presiden tentang RUU tersebut
diterima DPR. 81 secara sederhana proses pembahasan
UU yang berasal dari RUU Presiden menurut Tata
Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004/2005 adalah
sebagai berikut:
81 Lihat Pasal 123 dan 124 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15,…….Ibid., hlm. 48-49.
79
Ragaan 3. 2
Pembicaraan RUU dari Pemerintah Menurut
Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR
RI/I/2004/200582
Pembicaraan Tingkat I
Dalam Rapat Komisi, Gabungan
Komisi, BALEG, Panitia Anggaran
atau Rapat PANSUS bersama-sama
Pemerintah dengan acara:
1. Pandangan dan Pendapat Fraksi-
fraksi dan DPD (RUU tertentu)
2. Tanggapan Presiden atas
Pandangan dan pendapat Fraksi
dan DPD (RUU tertentu)
3. Pembahasan RUU oleh DPR dan
Pemerintah dalam RAKER
berdasarkan DIM (Daftar
Inventarisasi Masalah).
Catatan:
DPD hanya ikut pada awal Rapat
Kerja Komisi, Gabungan Komisi,
BALEG, PANSUS, untuk
menyampaikan Pandangan dan
pendapat DPD.
82 Saifudin, Proses,…..Op., Cit. Hlm. 204.
Disampaikan oleh Presiden berupa RUU disertai Naskah Akademik kepada pimpinan DPR
Dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI
Pembicaraan Tingkat II
Dengan acara:
1. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh :
a. Laporan
Pembicaraan Tingkat I.
b. Pendapat akhir Fraksi-Fraksi yang disampaikan anggotanya, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.
2. Penyampaian Pendapat Akhir Presiden Oleh Menteri.
80
Dari ragaan diatas, tampak bahwa RUU yang
berasal dari pemerintah akan dibahas dalam dua
Tingkat Pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama
dilakukan dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi,
Badan Legislatif, Panitia Anggaran, atau Rapat Pansus
bersama-sama dengan Pemerintah. Pertama-tama
kepada Fraksi dan DPD untuk RUU tertentu, diberikan
kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan
pendapat terhadap RUU yang diajukan oleh
Pemerintah. Selanjutnya Presiden diberikan giliran
untuk menanggapi atas pandangan dan pendapat dari
fraksi dan DPD. Pada akhirnya, pembicaraan tingkat
pertama ini ditutup dengan pembahasan RUU oleh
Presiden dan DPR berdasarkan daftar Inventarisasi
Masalah (DIM).83
Apabila pembicaraan Tingkat Pertama sudah
selesai, maka dilanjutkan dengan pembicaraan Tingkat
II dalam Rapat Paripurna. Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat II ini dilakukan untuk:
pengambilan keputusan, yang didahului dengan
penyampaian hasil Pembicaraan Tingkat I, dan
dilanjutkan dengan pendapat akhir Fraksi yang bila
mana perlu disertai dengan cacatan tentang sikap
fraksinya. Pembicaraan Tingkat II ini diakhiri dengan
pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh
Menteri yang mewakilinya. Namun jika ditolak RUU itu 83 Lihat Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15….Ibid.
81
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa
itu.84
3.2.1.3.2 RUU Dari Usul Inisiatif DPR
Dalam rangka menjalankan tugas legislasi yang
berasal dari DPR, maka sekurang-kurangnya 13
anggota DPR, atau Komisi, atau Gabungan Komisi,
atau Badan Legislasi dapat mengajukan usul inisiatif
suatu RUU. Usul inisiatif tersebut disertai dengan
penjelasan dan/atau naskah akademiknya
disampaikan kepada piminan DPR untuk selanjutnya
diampaikan dan dibagikan kepada anggota lainnya
dalam suatu Rapat Paripurna berikutnya. Rapat
Paripurna ini memutuskan apakah RUU usul inisiatif
ini diterima atau ditolak. Jika diterima dengan
perubahan, maka Rapat Paripurna menugaskan
kepada Komisi, Badan Legislasi atau Panitia Khusus
untuk menyempurnakannya. RUU yang diterima
dengan tanpa perubahan maupun dengan
penyempurnaan, maka selanjutnya disampaikan
kepada Presiden untuk menunjuk Menteri yang akan
mewakili Pemerintah dalam Pembahasan suatu RUU
paling lama 60 hari sejak diterimanya surat dari
pimpinan DPR. 85 Secara sederhana proses pengajuan
RUU usul inisiatif menurut Peraturan Tata Tertib DPR
84 Lihat Pasal 136 Tata Tertib DPR RI No. 15….Ibid, hlm.54. 85 Lihat Pasal 128, Peraturan Tata Tertib DPR-RI No. 15…..Ibid. hlm. 50-51
82
No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 dapat dilihat dalam
ragaan sebagai berikut:
Ragaan 3.3
Prosedur Pengajuan RUU dari DPR Menurut
Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR
RI/I/2004-200586
Dari ragaan diatas, terlihat bahwa suatu RUU yang
diajukan oleh 13 anggota atau Komisi, atau Gabungan
Komisi, atau Badan Legislasi ini tidak otomatis akan 86 Saifudin, Proses….Op.,Cit., hlm 206.
Disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dan ditanda tangani sekurang-kurangnya 13 orang anggota DPR, dapat pula diajukan oleh Komisi, Gabungan
Komisi, Baleg disertai penjalasan/naskah akademik
Dalam Rapat Paripurna DPR, ketua Rapat memberitahukan kepada anggota mengenai masuknya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota
Rapat Paripurna DPR-RI memutuskan apakah usul RUU tersebut dapat diterima secara prinsip atau ditolak setelah memberikan kesempatan kepada:
1. Penjelasan para pengusul 2. Pendapat fraksi-fraksi
Persetujuan tanpa
perubahan
Persetujuan dengan perubahan Ditolak (Pembicaraan
selesai) DPR menugaskan Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, atau PANSUS untuk membahas dan menyempurnakan usul dari DPR RI
Disampaikan kepada Presiden oleh pimpinan DPR, dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR
Dua Tingkat Pembicaraan di DPR RI
83
menjadi RUU usul inisiatif DPR karena terlebih dahulu
harus dibahas oleh Rapat Paripurna. Tanggapan dari Rapat
Paripurna ini, ada tiga kemungkinan sikap yang diberikan
atas RUU tersebut yaitu : persetujuan tanpa perubahan,
persetujuan dengan perubahan, dan ditolak. Apabila Rapat
Paripurna menerima RUU tersebut, maka proses
selanjutnya adalah dilakukan pembicaraan sesuai dengan
tingkat-tingkat pembicaraan yang diatur dalam pertaturan
Tata Tertib DPR. Secara sederhana, tingkat-tingkat
Pembicaraan RUU usul inisiatif DPR menurut Peraturan
Tata Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 ini adalah
sebagai berikut :
Ragaan 3.4
Pembicaraan RUU dari DPR RI menurut Peraturan Tata
Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-200587
87 Saifudin, Proses….Ibid., hlm. 207.
Dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI
Pembicaraan Tingkat I
Dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, Panitia anggaran, atau Rapat PANSUS, bersama-sama dengan Pemerintah dengan acara: 1. Pandangan dan Pendapat Presiden dan DPD (RUU tertentu) terhadap RUU dan DPR RI 2. Jawaban Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, Pimpinan BALEG, Panitia anggaran atau Pimpinan PANSUS, atas tanggapan Presiden dan DPD (RUU Tertentu). 3. Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam Rapat Kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Maslah (DIM). Catatan : DPD hanya ikut pada awal Rapat Kerja Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, PANSUS, untuk menyampaikan pandangan dan pendapat DPD.
Pembicaraan Tingkat II
Dengan acara : 1. Pengambilan Keputusan yang
dilakukan oleh: a. Laporan Hasil
Pembicaraan Tingkat I. b. Pendapat akhir fraksi-
fraksi yang disampaikan anggotanya, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya
2. Penyampaian Pendapat akhir Presiden oleh Menteri.
84
Dari ragaan diatas, tampak bahwa RUU usul inisiatif
DPR akan dibahas dalam dua Tingkat Pembicaraan.
Pembicaraan Tingkat I akan dilakukan dalam Rapat
Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislatif, Panitia
Anggaran, atau Rapat Pansus bersama-sama dengan
Pemerintah. Pertama-tama kepada Presiden dan DPD,
untuk RUU tertentu, diberikan kesempatan untuk
menyampaikan pandangan dan pendapat terhadap RUU
usul inisiatif yang diajukan oleh DPR. Selanjutnya giliran
diberikan kepada Pimpinan Komisi, Gabungan Komisi,
Badan Legislatif, Panitia Anggaran atau Pimpinan Pansus
untuk memberikan tanggapan atas pandangan dan
pendapat Presiden dan DPD (RUU tertentu). Pada akhirnya,
Pembicaraan Tingkat I ini ditutup dengan pembahasan
RUU oleh DPR dan Presiden bersadarkan DIM (Daftar
Inventarisasi Masalah).88
Apabila Pembicaraan Tingkat I sudah selesai, maka
dilanjutkan dengan Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat
Paripurna. Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II
dilakukan untuk : pengambilan keputusan, yang didahului
oleh penyampaian hasil Pembicaraan Tingkat I, dan
dilanjutkan dengan pendapat akhir fraksi yang bila mana
perlu disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.
Pembicaraan Tingkat II ini diakhiri dengan pendapat akhir
Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.
Namun jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama 88 Lihat Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15…Loc. Cit.
85
RUU itu tidak boleh dilanjutkan lagi dalam persidangan
DPR masa itu.89
3.2.1.3.3 RUU usulan dari DPD
Keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan di
Indonesia adalah dalam rangka mewakili kepentingan
Daerah. Oleh karena itu, apabila DPD akan
mengajukan usul suatu RUU, sesuai dengan Pasal 22 D
ayat 1 Perubahan UUD 1945 yang berkaitan dengan
kewenangan yang dimilikinya, yaitu masalah otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
pertimbangan keuangan pusat dan daerah,90 maka
RUUnya dapat diajukan kepada DPR. Untuk proses
selanjutnya keikutsertaan DPD dalam pembahasan
RUU hanya pada Rapat Komisi/Panitia/Alat
Kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi. Dengan kata lain, DPD hanya ikut dalam
pembahasan suatu RUU pada Pembicaraan Tingkat I.
selanjutnya yang dapat mewakili DPD dalam Rapat
Komisi/Panitia/Alat Kelengkapan DPR adalah Komisi
yang membidangi materi muatan RUU yang di bahas.
Secara sederhana proses pengusulan dan keikutsertaan
DPD dalam pembentukan UU menurut Peraturan Tata 89 Lihat Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15….Loc., Cit. 90 Kewenangan DPD untuk mengajukan RUU ini dapat dilihat dalam Pasal 119 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15…Op.cit., hlm. 47.
86
Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 dapat dilihat
dalam ragaan sebagai berikut :
Ragaan 3.5
Usulan Undang-Undang Dari DPD Menurut Tatib
DPR RI No 15/DPR RI/I/2004-2005
Persetujuan dengan Perubahan
RUU dari DPD disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR bersama dengan penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademik
Dalam Rapat Paripurna DPR, ketua Rapat memberitahukan kepada anggota mengenai masuknya RUU, membagikan RUU kepada seluruh
anggota
Rapat Badan Musyawarah menentukan waktu dan menunjuk Komisi, BALEG untuk mebahas RUU dari DPD
Komisi atau BALEG membahas RUU dengan alat Kelengkapan DPD
Persetujuan tanpa Perubahan
Ditolak Pembicaraa-n (selesai) DPR menugaskan Komisi,
Gab. Komisi, BALEG, atau PANSUS untuk membahas dan menyempurnakan usul dari DPR RI.
Disampaikan kepada Presiden oleh pimpinan DPR, dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR
Dua Tingkat Pembicaraan di DPR RI
87
Dengan melihat pada ragaan diatas, maka terlihat
bahwa keberadaan DPD yang semula diharapkan sebagai
perwakilan daerah untuk menjembatani kepentingan
Daerah dengan pusat dalam rangka utuhnya
penyelenggaraan kehidupan negara kesatuan RI, tampak
masih belum terdapat keseimbangan antara DPR dengan
DPD dalam proses pembentukan UU. Artinya, DPD hanya
mempunayi kekuasaan yang terbatas, yaitu terletak pada
keterbatasan persoalan materi RUU yang akan
diusulkannya dan keterbatasan kewenangan
pembahasannya. Selain mengusulkan dan membahas RUU
yang berkaitan dengan Daerah tersebut, DPD hanya dapat
memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap RUU
yang bertalian dengan RAPBN, Pajak, pendidikan dan
agama. Jadi, keberadaan DPD lebih merupakan lembaga
pelengkap dalam struktur ketatanegaraan yang lahir dari
perubahan UUD 1945.
Selanjutnya mengenai pengesahan suatu Rancangan
Undang-undang dikatakan bahwa RUU yang telah di
setujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Presiden untuk di sahkan menjadi Undang-
Undang. Penyampaian rancangan undang-undang
sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan dalam
88
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.91
Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 37 di sahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal RUU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanda tangani
oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU
tersebut sah menjadi UU dan wajib di undangkan.92
Pengungdangan dan penyebarluasan suatu
peraturan perundang-undangan. Agar setiap orang
mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus di
undangkan dengan menempatkannya dalam :
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat
penjelasan Peraturan perundang-undangan yang di muat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan
Peraturan Perundang-undangan yang di muat dalam
91 UU No 10 Tahun 2004, Pasal 37. 92 UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 38.
89
Berita Negara Republik Indonesia.93 Peraturan Perundang-
undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali di tentukan
lain dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan
Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam
Lembaram Negara Republik Indonesia atau Berita Negara
Republik Indonesia.
3.2.2 Penyusunan Rancangan Undang-undang
Berdasarkan Perpres No 68 Tahun 2005.
Perpres adalah peraturan yang di buat oleh Presiden,
untuk melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari undang-
undang. Penyusunan Rancangan Undang-undang
dilakukan pemrakarsa berdasarkan Prolegnas.
Penyusunan RUU yang di dasarkan Prolegnas tidak
memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari Presiden.
Namun pemrakarsa harus melaporkan penyiapan dan
penyusunan RUU sebagaimana dimaksud di atas kepada
Presiden secara berkala.94
Dalam kedaan tertentu, pemrakarsa dapat
menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu
mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada Presiden,
dengan di sertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan
Rancangan Undang-Undang, yang meliputi:
93 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 47. 94Pasal 2, Perpres No 68, Tahun 2005.
90
a. Urgensi dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan di atur;
dan
d. Jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud di atas, adalah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang; meratifikasi konvensi internasional;
melaksanakan Keputusan Mahkama Konstitusi; mengatasi
kedaan luar biasa, kedaan konflik, atau bencana alam;
atau kedaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat di setujui
bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat
dan Menteri.95
Dalam penyusunan RUU pemrakarsa membentuk Panitia-
Antar Departemen; Keanggotaan Panitia Antar-Departemen
sebagaimana dimaksud terdiri atas unsur departemen dan
lembaga pemerintah nondepartemen yang terkait dengan
substansi RUU; Panitia Antar-Departemen dipimpin oleh
seorang ketua yang di tunjuk oleh pemrakarsa; Panitia
Antar-Departemen Penyusunan RUU dibentuk setelah
Prolegnas ditetapkan DPR.96
Dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan
bersama antara Presiden dan DPR, RUU tersebut tidak
dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama.
95 Pasal 3, Perpres 68 2005. 96 Pasal 6, Perpres 68, 2005.
91
3.3. Dasar kewenangan Pembuatan UU di
Timor-Leste 3.3.1. Konstitusi RDTL 2002
Pengaturan tentang organ pembuat Undang-Undang
di Timor-Leste terdapat dalam Konstitusi RDTL 2002
dinyatakan dalam Judul III Bab I, II, III dan IV (pasal 92
sampai pasal 102), yang didalamnya mengatur tentang
definisi, pemilihan dan susunan, wewenang, perijinan
legislatif, memprakarsai undang-undang, pertimbangan
Parlemen atas Undang-undang, penataan dan tata kerja
serta komisi tetap dari Parlemen Nasional.
Berdasarkan beberapa ketentuan diatas fungsi
Parlemen Nasional Timor-Leste dalam membuat undang-
undang terdapat dalam pasal 95 ayat (1 dan 2,) yang
berbunyi, ayat (1) Parlemen Nasional berwenang dan
bertanggungjawab untuk membuat undang-undang
mengenai persoalan-persoalan dasar yang menyangkut
kebijakan dalam dan luar negeri.
Dalam ayat (2) mengatakan bahwa Parlemen
Nasional secara eksklusif berwenang dan bertanggung
jawab untuk membuat undang-undang mengenai :
a. Perbatasan Republik Demokratis Timor-Leste,
sesuai dengan pasal 4;
b. Perbatasan perairan territorial, zona ekonomi
eksklusif dan hak Timor-Leste atas daerah
sekitarnya dan landasan kontinental;
92
c. Lambang-lambang negara, sesuai dengan ayat 2
pasal 14;
d. Kewarganegaraan;
e. Hak-hak kebebasan dan jaminan;
f. Kedudukan dan kemampuan individu, hukum
keluarga dan hukum kewarisan;
g. Pembagian wilayah;
h. Undang-undang tentang pemilihan umum dan
sistem jajak pendapat;
i. Partai-partai politik dan perkumpulan politik;
j. Kedudukan para Anggota Parlemen Nasional;
k. Kedudukan pemegang jabatan dalam lembaga-
lembaga negara;
l. Dasar-dasar sistem pendidikan;
m. Dasar-dasar sistem kesehatan dan jaminan
sosial;
n. Penangguhan jaminan sesuai dengan UUD dan
pengumuman keadaan perang dan keadaan
darurat;
o. Kebijakan pertahanan dan keamanan;
p. Kebijakan perpajakan;
q. Sistem penganggaran;
Selanjutnya tentang fungsi Parlemen selain membuat
peraturan perungang-undangan juga Perijinan Legislatif
sesuai dengan pasal 96 ayat (1,2 dan 3), yaitu; dalam ayat
(1). Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah
93
untuk membuat Undang-undang mengenai hal-hal sebagai
berikut;
a. Definisi kejahatan, hukuman, upaya pengamanan
dan masing-masing persyaratannya;
b. Definisi prosedur hukuman perdata dan hukum
pidana;
c. Penataan kehakiman dan kedudukan kehakiman;
d. Aturan dan peraturan umum untuk pegawai
negeri, kedudukan pegawai negeri, dan tanggung
jawab negara;
e. Dasar-dasar umum untuk penataan pemerintahan
umum;
f. Sistem moneter;
g. Sistem perbankan dan keuangan;
h Definisi dasar-dasar kebijakan perlindungan
lingkungan hidup dan pembangunan yang
berkesinambungan;
i. Aturan dan peraturan umum untuk penyiaran
radio dan televisi dan media masa lainnya;
j. Pengabdian militer atau kewajiban negara;
k. Aturan dan peraturan umum bagi penuntutan
resmi dan penyitaan atas kepentingan umum;
l. Cara dan bentuk intervensi, penyitaan,
nasionalisasi dan pengswastaan sarana
penghasilan dan tanah atas alasan kepentingan
umum,serta persyaratan untuk penetapan ganti
rugi berkaitan dengan hal-hal tersebut.
94
Dalam ayat (2) bahwa, Undang-undang mengenai
perijinan Legislatif akan menentukan pokok, pengertian,
ruang lingkup dan masa berlakunya perijinan tersebut,
dan perijinan tersebut dapat diperbaharui. Dalam ayat (3)
berbunyi Undang-undang mengenai Perijinan Legislatif
tidak dapat digunakan lebih dari satu kali dan tidak
berlaku lagi ketika pemerintah diberhentikan, dengan
berakhirnya masa legislatif atau dengan pembubaran
Parlemen Nasional.
Proses pembuatan peraturan perundang-undangan
seperti yang tercantum dalam Konstitusi RDTL 2002,
meliputi beberapa tahapan yakni “tahap usulan yang bisa
atas inisiatif sendiri dari fraksi-fraksi dan/atau anggota
parlemen, badan eksekutif (Pemerintah), tahap apresiasi,
tahap pembahasan, tahap voting, tahap pengesahan dan
tahap pengajuan kepada Presiden untuk diumumkan
sesuai dengan pasal 88 ayat (1) yang berbunyi ; dalam
waktu tiga puluh hari terhitung mulai dari tanggal
diterimanya rancangan Undang-undang apapun dari
Parlemen Nasional, dengan tujuan untuk diumumkan
secara resmi sebagai Undang-undang, Presiden Republik
akan mengumumkannya secara resmi atau menggunakan
hak veto. Bila Presiden memveto, harus berdasarkan
alasan yang layak, selanjutnya menyampaikan
permohonan pada Parlemen Nasional untuk meminta
pertimbangan ulang atas RUU tersebut.
95
3.3.2. Tatib Parlemen RDTL
Di dalam Tata Tertib Parlemen RDTL, mengatur lebih
lanjut mengenai proses pembuatan Undang-Uandang di
Timor-Leste, terutama mengenai prosedur legislatif umum.
Dikatakan bahwa hak prakarsa undang-undang
merupakan wewenang anggota-anggota Parlemen, fraksi-
fraksi parlementer dan Pemerintah.97 Selanjutnya
mengenai prakarsa asli Undang-undang berbentuk
proposal undang-undang apabila dilaksanankan oleh
anggota-anggota Parlemen dan fraksi-fraksi parlementer
dan berbentuk usulan-usulan undang-undang apabila
dilaksanakan oleh Pemerintah. Dan prakarsa susulan,
dalam proses apresiasi, berbentuk usulan perubahan.98
Berkaitan dengan renovasi isiatif di ketengahkan
bahwa, konsep-konsep dan usulan-usulan peraturan yang
tidak dipilih dalam sidang legislatif dimana sudah di
sampaikan tidak perlu direnovasi dalam sidang-sidang
legislatif berikut, kecuali apabila terjadi peristilahan
legislasi. Usulan-usulan peraturan tidak akan bermanfaat
lagi dengan pemberhentian pemerintah atau dengan
peristilahan ketepatan legislasi.99
Setelah disampaikan masing-masing inisiatif legislatif,
wajib diberi nomor dan setelah verifikasi persyaratan yang
sudah ditetapkan secara legal, ketua Parlemen
mengumumkan resolusi perijinan dan menurunkan kepada 97 Pasal 87 Tatib Parlemen RDTL. 98 Pasal 88, Loc. Cit. 99 Pasal 92, Loc. Cit.
96
komisi yang berwenang, jika itu kasusnya di umumkan
dalam paripurna.
Berikut proses legislatif umum sebagaimana dimaksud
akan di gambarkan dalam bagan sebagai berikut :
97
Bagan 3.6
Legislatif Umum sesuai dengan Tatib Parlemen
Nasional Republik Demokratik Timor-Leste
PROJECTO DE LEI (Deputados E Bancadas Parlementares) :Prakarsa RUU dari Anggota dan Fraksi di Parlemen
PRESIDENTE DO
PARLEMENTO Admissao
= proposal atau prakarsa RUU diterima oleh Presiden Parlemen
PROPOSTA DE LEI
(Governo) =Usulan RUU
dari Pemerintah
PLENARIO • Anuncio da Iniciativa Legislativa : “penyampaian alasan Dari Prakarsa/Usulan Suatu RUU • Baixa a Comissao : Di
sampaikan kepada Komisi.
PLENARIO Discussao e votaçao na generalidade : diskusi dan pemilihan secara umum
PLENARIO • Discussao e votaçao na
especialidade :diskusi dan pemilihan secara khusus
• Votaçao Final global : pemilihan akhir umum
PRESIDENTI do PARLEMENTO Assinatura : di tandatangani oleh
Presiden Parlemen
COMISSAO • Apreciaçao preliminary
da iniciativa legislative : “dengar pendapat dari proposal yang diusulkan
• Relatorio e parecer : laporan dengar pendapat
COMISSAO Discuçao e votaçao na
especialidade : diskusi dan pemilihan secara khusus
COMISSAO Redaçao final : Laporan akhir
PRESIDENTE DA REPUBLIKA • Promulgação e publicação
ou : pengesahan dan pengundangan atau
• Veto = menolak
98
Dari tabel-tabel diatas, dapat duraikan bahwa;
prakarsa atau usulan dari suatu Rancangan undang-
undang, dapat dilakukan oleh anggota parlemen
dan/atau fraksi-fraksi di parlemen atau dapat pula
dari pemerintah. Selanjutnya di katakan bahwa
prakarsa asli undang-undang berbentuk proposal
apabila inisiatif dari anggota-anggota parlemen dan
fraksi-fraksi parlementer dan berbentuk usulan-usulan
apabila inisiatif atau prakarsa dari pemerintah. Setelah
disampaikan masing-masing inisiatif legislatif, ini wajib
diberi nomor dan setelah diverifikasi persyaratan yang
sudah ditetapkan secara legal, ketua Parlemen
mengumumkan resolusi perizinan pada rapat
paripurna I untuk selanjutnya disampaikan kepada
Komisi yang berwenang. Setelah dikomisi, dilakukan
dengar pendapat dari setiap RUU dan dilanjutkan
dengan laporan dengar pendapat. Kemudian
dilanjutkan ke dalam Rapat Paripurna II untuk
diadakan diskusi yang pada sesi ini dilakukan
pemilihan secara umum. Pemilihan pada umumnya
memimpin tentang masing-masing konsep atau usulan
peraturan. Dan setelah disahkan pada umumnya,
konsep atau usulan peraturan dapat di turunkan
kepada komisi yang berwenang dalam sebab materi
untuk penilaian dan pemilihan khusus.100 Apabila lolos
pada sesi ini dilanjutkan lagi di Komisi untuk 100 Pasal 102 Tatib Parlemen DTL.
99
didiskusikan secara khusus dan pemilihan secara
khusus di Komisi. Secara wajib diajukan untuk diskusi
dan pemilihan khusus dalam paripurna tentang materi-
materi yang menetapkan dalam nomor-nomor 2 dan 3
pasal 95 UUD atau konstitusi101. Kemudian
dikembalikan kepada rapat paripurna III untuk
melakukan diskusi dan pemilihan secara khusus dan
pemilihan akhir umum. Kemudian Komisi melalukan
laporan akhir tentang RUU tersebut dan disampaikan
kepada Presiden Parlemen untuk ditandatangani.
Setelah penandatangan oleh Presiden Parlemen
kemudian dikirim kepada Presiden Republik untuk
disahkan dan/atau menolak ( veto) dengan alasan
tertentu. Alasan penolakan atau veto dari Presiden
Republik bisa dalam dua motif, yang pertama karena
motif politik, artinya secara politik suatu RUU dapat
merugikan atau menguntungkan secara sepihak
sehingga perlu di kaji ulang. Motif yang kedua, yaitu
inkonstitusional atau bertentangan dengan pasal
tertentu dalam UUD atau konstitusi.
Apabila Presiden Republik mengesahkannya untuk
selanjutnya di undangkan dalam lembaran Negara
sebagai Undang-Undang melalui Jurnal da Republika.
3.4. Asas Peraturan Perundang-undangan Dalam Undang-Uandang No 10 Tahun 2004 dikenal
asas-asas Peraturan Perundang-undangan yang perlu 101 Pasal 103 Tatib Parlemen RDTL.
100
pula diperhatikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik (good legislation
principles), yang meliputi:
Kejelasan tujuan; adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak di capai;
a. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat; adalah bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
atau pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, bila di buat oleh lembaga atau pejabat
yang tidak berwenang.
b. Asas kesamaan jenis dan materi muatan; adalah
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya;
c. Asas dapat dilaksanakan; adalah bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan
harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
d. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; adalah
bahwa peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang dibutuhkan dan bermanfaat dalam
101
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
e. Asas kejelasan rumusan; adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
f. Asas keterbukaan; adalah bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,
dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan. 102:
Di samping asas pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan di atas, dikenal pula asas materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut :
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan; 102 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 5.
102
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum;
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.103
3.5 Materi Muatan Materi muatan yang harus di atur dengan Undang-
Undang berisi hal-hal yang :
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang meliputi :
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara
serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk
diatur dngan Undang-Undang.104
Di Timor-Leste sebagaimana terdapat dalam Konstitusi
RDTL pasal 95 ayat 2 merupakan Materi Muatan
yangmengatur hal-hal sebagaiberikut :
103 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 6 104 Pasal 8 UU No 10 Tahun 2004
103
a. Perbatasan Republik Demokratis Timor-Leste,
sesuai dengan pasal 4;
b. Perbatasan perairan territorial, zona ekonomi
eksklusif dan hak Timor-Leste atas daerah
sekitarnya dan landasan kontinental;
c. Lambang-lambang negara, sesuai dengan ayat 2
pasal 14;
d. Kewarganegaraan;
e. Hak-hak kebebasan dan jaminan;
f. Kedudukan dan kemampuan individu, hukum
keluarga dan hukum kewarisan;
g. Pembagian wilayah;
h. Undang-undang tentang pemilihan umum dan
sistem jajak pendapat;
i. Partai-partai politik dan perkumpulan politik;
j. Kedudukan para Anggota Parlemen Nasional;
k. Kedudukan pemegang jabatan dalam lembaga-
lembaga negara;
l. Dasar-dasar sistem pendidikan;
m. Dasar-dasar sistem kesehatan dan jaminan
sosial;
n. Penangguhan jaminan sesuai dengan UUD dan
pengumuman keadaan perang dan keadaan
darurat;
o. Kebijakan pertahanan dan keamanan;
p. Kebijakan perpajakan;
q. Sistem penganggaran;
104
3.6. Karakteristik Responsif dalam
Pembuatan Undang-Undang. Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah. 105
Dalam penyiapan dan Pembahasan Rancangan
Undang-Undang, masyarakat dapat memberikan
masukan kepada pemrakarsa. Masukan sebagaimana
dimaksud dilakukan dengan menyampaikan pokok-
pokok materi yang diusulkan. Selanjutnya dikatakan
bahwa masyarakat dalam memberikan masukan harus
menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas.106
Di Timor-Leste tidak ada titik atau jalan yang
dapat memberikan tempat bagi masyarakat untuk
berpartisipasi secara langsung dalam proses
pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang dalam
konstitusinya, sehingga dapat dikatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan
Undang-Undang sangat minim bahkan tidak ada. Tentu
ini akan berdampak pada ketidak tahuan atau bahkan
penolakan terhadap suatu produk Undang-Undang
yang telah di buat dengan memakan waktu dan biaya
yang mahal, menjadi sia-sia atau bahkan tidak
berguna.
105 Pasal 53 UU No 10 Tahun 2004. 106Pasal 41 Perpres No 68 Tahun 2005.
105
3.7. Analisis Perbedaan dan Persamaan dari
proses Pembuatan Undang-Undang di
Indonesia dan Timor-Leste. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian
Tesis ini, terutama setelah diadakan study komparasi
atau perbandingan tentang proses pembuatan Undang-
Undang di Indonesia dan Timor-Leste, dimana
ditemukan perbedaan dan persamaan dari kedua
negara, dan merupakan dasar dari diadakannya study
perbandingan hukum, meskipun sistem
pemerintahannya yang berbeda, yakni Indonesia
dengan sistem presidensil dan Timor-Leste dengan
sistem semi Presidensil, yang akan di gambarkan dalam
tabel sebagai, berikut:
Tabel 3.7
ANALISIS PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PROSES
PEMBUATAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA DAN
TIMOR - LESTE No Indikator Indonesia Timor-Leste Ket
1 Dasar Hukum 1. UUD 1945
2. UU No 10 Tahun 2004
3. Tatib DPR RI
4. Perpre No 68 Tahun 2005.
1.Konstitusi
Republik
Demokratik
Timor-Leste
2002
2.Tata Tertib
Parlemen
Nasional
RDTL
106
2 Lembaga
Pembuat UU
1. DPR
2. Presiden
3. DPD
1. Parlemen
Nasional
2. Pemerintah
3 1.Asas
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan.
2.Asas Materi
Muatan
Peraturan
Perundang-
undangan
Terdapat dalam UU No 10
Tahun 2004, Pasal 5:
a. Kejelasan Tujuan;
b. Kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis
dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.
Terdapat dalam UU No 10
Tahun 2004, pasal 6 :
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan
dalam hukum dan
pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian
hukum;
j. keseimbangan,
keserasian,dan
keselarasan.
Belum diatur
secara tegas
dalam aturan
lebih lanjut
4
Materi Muatan
UU No 10 Tahun 2004 pasal
8 :
a. hak-hak asasi
manusia;
Terdapat
dalam
Konstitusi
RDTL
107
b. hak dan kewajiban
warga negara;
c. pelaksanaan dan
penegakan
kedaulatan negara
serta kekuasaan
pembagian negara;
d. wilayah negara dan
pembagian daerah;
e. kewarganegaraan dan
kependudukan;
f. keuangan negara.
pasal 95
ayat 2
5
Pengesahan
dan Peng-
undangan
Pengesahan: Oleh Presiden,
dikatakan dalam pasal 37,
bahwa :
1 Rancangan UU yang
telah disetujui
bersama, oleh DPR
dan Presiden,
disampaikan oleh
Pimpinan DPR
kepada Presiden
untuk di sahkan
menjadi UU.
2 Penyampaian RUU,
sebagaimana
dimaksud diatas
dilakukan dalam
jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak
tanggal persetujuan
bersama.
Selanjutnya dikatakan dalam
pasal 38, bahwa :
Merupakan
wewenang
Presiden
Republik,
terdapat dalam
Pasal 85
Konstitusi RDTL
2002 :
1.
Mengumumkan
secara resmi
Undang-Undang
dan
memerintahkan
penerbitan
resolusi-resolusi
dari Parlemen
Nasional yang
mengesahkan
kesepakatan
dan meratifikasi
tratat serta
perjanjian
108
1. RUU sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 37 disahkan
oleh Presiden dengan
membubuhkan
tanda tangan dalam
jangka waktu 30
(tiga puluh) hari
sejak RUU tersebut
disetujui bersama
oleh DPR dan
Presiden;
2. Dalam RUU
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) tidak ditanda
tangani oleh
Presiden dalam
waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari
sejak RUU tersebut
disetujui bersama,
maka RUU tersebut
sah menjadi UU dan
wajib di undangkan.
3. Dalam halsahnya
RUU sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2), maka kalimat
pengesahannya
berbunyi : UU ini
dinyatakan sah
berdasarkan
ketentuan pasal 20
ayat (5) UUD 1945
4. Kalimat pengesahan
Internasional.
2. Menggunakan
hak veto atas
UU apa saja
dalam waktu 30
( tiga puluh)
hari terhitung
mulai pada
tanggal
penerimaannya.
3. Apabila
Presiden
Republik
memveto suatu
UU, harus
berdasarkan
alasanyang
dapat
dipertanggung
jawabkan,
meliputi :
a. Veto politik :
dimana
dipertimbangka
n bahwa suatu
UU yang
diajukan secara
politik tidak
netral.
b.Veto
Inkonstitusional
:artinya bahwa
UU yang
diajukan
bertentangan
dengan
109
yang berbunyi
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) harus
dibubuhkan pada
halaman terakhir UU
sebelum
pengundangan
naskah UU kedalam
Lembaran Negara RI.
Pengundangan, Dalam Pasal
45 UU No 10 Tahun 2004:
Agar setiap orang
mengetahuinya, Peraturan
Perundang-undangan harus
diundangkan dengan
menempatkannya dalam:
a. Lembaran Negara RI;
b. Berita Negara RI;
c. Lembaran Daerah;
d. Berita Daerah.
Sementara dalam Pasal 47,
dikatakan bahwa :
1. Tambahan Lembaran
Negara RI memuat
penjelasan Peraturan
Perundang-
undangan yang di
muat dalam
Lembaran Negara RI
2. Tambahan Berita
Negara RI memuat
penjelasan Peraturan
Perundang-
undangan yang
dimuat dalam Berita
Konstitusi.
4. setelah
disahkan oleh
Presiden
Republik, harus
di muat dalam
Journal da
Republika, baru
dianggap sah
penggunaanya.
110
Negara RI.
Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan dalam
Lembaran Negara RI atau
Berita Negara RI
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dilaksanakan
oleh menteri yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang
Peraturan Perundang-
undangan. (Pasal 48).
Berdasarkan Tabel diatas dapat penulis analisis
bahwa, perbedaan dan persamaan dalam proses
pembuatan Undang-Undang di Indonesia dan Timor-Leste
adalah sebagai berikut:
Di Indonesia : Dasar hukumnya terdapat dalam UUD
1945, Tata Tertib DPR-RI, Undang-Undang No 10 Tahun
2004 serta Perpres No 68 Tahun 2005, dengan demikian
menurut penulis, bahwa semakin banyak aturan atau
dasar hukum yang digunakan sebagai acuan dalam
pembentukan suatu Undang-Undang dapat menimbulkan
multitafsir oleh para perancang Undang-Undang itu
sendiri, sesuai dengan kepentingan yang diusung, kalau
tidak di cermati dengan sangat teliti dan hati-hati atau
bahkan tumpang tindih antara satu aturan dengan aturan
lainnya yang mengatur hal yang sama.
Sedangkan di Timor-Leste : menurut pengamatan
penulis, bahwa hanya terdapat dua dasar hukum yaitu
Konstitusi dan Tatib Parlemen dalam pembuatan Undang-
111
undang tidak berarti terhindar sama sekali dari kelemahan
atau kekurangan yang ada tetapi bisa diminimalisir.
Lembaga Pembuat Undang-Undang : di Indonesia
menurut observasi penulis lembaga yang berwenang
membuat Undang-Undang ada 3 (tiga), yaitu DPR,
Presiden dan DPD (untuk aturan tertentu yang berkaitan
dengan kepentingan daerah). Untuk selanjutnya akan di
tanda tangani oleh Presiden dalam tempo 30 (tiga Puluh)
hari dan apabila dalam tempo tiga puluh hari tersebut
Presiden tidak menanda tanganinya maka UU tersebut sah
dan harus diundangkan dalam Lembaran Negara. Dimana
untuk membuat suatu Undang-Undang harus ada
persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sehingga
apabila sudah di setujui bersama tinggal penyelesaianya
saja dan menurut hemat saya tidak terlalu memakan
waktu dalam psroses pembuatannya. Hanya saja untuk
mendapatkan kesepakatan antara kedua lembaga pembuat
Undang-Undang ini di butuhkan waktu yang tidak sedikit
dan analisis yang sangat ketat, karena masing-masing
lembaga tentunya mempunyai kepentingan dan berusaha
untuk mempertahankan kepentingan tersebut, sehingga
dapat saja terjadi tolak tarik kepentingan dalam
pembuatan suatu Undang-Undang yang tentunya kalau ini
terjadi otomatis banyak memakan waktu yang akan
berdampak pula terhadap eksistensi berlakunya suatu
Undang-Undang karena kita tahu bahwa hukum selalu
ketinggalan dalam mengatur masyarakat.
112
Sementara di Timor-Leste : inisiatif suatu Undang-
Undang bisa datang dari anggota Parlemen atau fraksi-
fraksi di Parlemen dan Pemerintah, setelah di verifikasi
oleh Presiden Parlemen apabila diterima akan di berinomor
dan diagendakan untuk diumumkan dalam rapat
paripurna. Selanjutnya diadakan dengar pendapat dari
para pemrakarsa mengenai tujuan serta motif dari suatu
Rancangan Undang-Undang. Proses ini akan berakhir
dengan di tanda tanganinya suatu RUU oleh Ketua
Parlemen yang dilanjutkan dengan pengesahan oleh
Presiden Republik, atau Presiden Republik menolak dengan
menggunakan hak veto yang tentunya dengan alasan yang
dapat di terima dan dipertanggung jawabkan. Seperti
halnya di Indonesia, di Timor-Lestepun akan terjadi hal
yang sama, kalau tidak di perhatikan dengan cermat.
Menurut saya bahwa akan ada tolak tarik kepentingan
antara anggota Parlemen atau fraksi-fraksi di Parlemen
atau dengan Pemerintah yang tentunya tidak terlepas dari
partai politik yang mengusung para wakil-wakil rakyat ini.
Dengan demikian akan berdampak pula pada proses
pembuatan suatu undang-undang yang di harapkan dapat
menjadi pijakan untuk mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara menuju kehidupan yang lebih baik
tentunya.
Asas dan Materi Muatan : di Indonesia di atur secara
tegas dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 mengenai
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga
113
lebih memudahkan dalam penempatannya sesuai dengan
porsi masing-masing, mana yang menjadi asas dan materi
muatan Undang-Undang dan mana yamg menjadi asas dan
materi muatan aturan lainnya, dengan demikian
perbedaannya jelas.
Sementara di Timor-Leste : asas dan materi muatan
peraturan perundang-undangan termasuk Undang-undang
semua hanya terdapat dalam Konstitusi tidak di atur lebih
lanjut dalam suatu Undang-Undang atau aturan lainnya
sehingga dapat menyulitkan penempatannya dalam
pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang.
Di samping landasan peraturan perundang-
undangan, juga dikenal asas-asas peraturan perundang-
undangan atau asas-asas hukum, yaitu nilai-nilai yang
dijadikan pedoman dalam penuangan norma atau isi
peraturan ke dalam bentuk dan susunan peraturan
perundang-undangan yang di inginkan, dengan
penggunaan metode yang tepat dan mengikuti prosedur
yang telah di tentukan. Pentingnya asas-asas hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut Paul Scholten sebagaimana disetir oleh A. Hamid
S. Attamimi ialah untuk dapat melihat benang merah dari
sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Asas-asas
hukum ini juga dapat di jadikan sebagai patokan bagi
pembentuk peraturan perundang-undangan agar tidak
melenceng dari cita hukum (rechtsidee) yang telah
disepakati bersama.
114
Namun secara teoritikal asas-asas hukum bukanlah
aturan hukum (rechtsregel), sebab asas-asas hukum tidak
dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu
peristiwa kongkrit dengan menganggapnya sebagai bagian
dari norma hukum. Meskipun demikian, asas-asas hukum
tetap dibutuhkan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, karena hukum tidak dapat
mengerti karena asas-asas hukum.
Dari uraian diatas, setidak-tidaknya ada tiga (3) fungsi
asas, yaitu :
1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau
pengujian norma hukum.
2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman
terhadap hukum.
3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau
bangsa tertentu dalam memandang perilaku.
Dengan melibat betapa pentingnya suatu asas dalam
kaitannya dengan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan maka, dapat penulis katakan
bahwa apabila tidak ada asas yang di pakai sebagai
pedoman dalam pembuatan suatu Undang-undang,
otomatis akan menyulitkan penuangan norma atau
aturan yang tepat yang dapat di gunakan sebagai
pijakan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara.
115
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari uraian latar belakang, teori yang dipakai dan
hasil analisis penulis terhadap proses pembuatan
Undang-Undang di Indonesia dan Timor-Leste, maka
dapat penulis membuat suatu kesimpulan bahwa
prosedur pembuatan Undang-Undang dari kedua
negara memiliki perbedaan dan persamaan sebagai
berikut :
Pertama, Dasar hukum, baik di Indonesia maupun di
Timor-Leste, sama-sama memiliki dasar hukum dalam
pembuatan suatu Undang-Undang, yaitu kalau di
Indonesia meliputi UUD 1945, UU No 10 Tahun 2004,
Tatib DPR serta Perpres No 68 Tahun 2005. Sementara
di Timor-leste juga memiliki dasar hukum dalam
pembuatan suatu UU yaitu Konstitusi RDTL Tahun
2002 serta Tata Tertib Parlemen Nasional.
Kedua, Lembaga yang berwenang, di Indonesia
lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang
meliputi DPR, Presiden dan DPD (untuk UU tertentu).
Demikian pula di Timor-Leste lembaga yang membuat
Undang-Undang yaitu Parlemen Nasional dan
Pemerintah.
116
Ketiga, asas dan materi muatan, di Indonesia diatur
secara tegas dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Tatib
DPR RI, serta Perpres No 68 Tahun 2005. Namun di
Timor-Leste dimuat dalam Konstitusi RDTL 2002 dan
penjabarannya dalam Tata Tertib Parlemen Nasional
RDTL.
Keempat, pengesahan dan pengundangan, di
Indonesia setelah diadakan persetujuan antara DPR
dan Presiden terhadap suatu UU selanjutnya harus di
sahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda
tangan dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung dari
tanggal persetujuan bersama, dan setelah 30 (tiga
puluh) hari tidak di tanda tangani oleh Presiden UU
tersebut sah dan harus di undangkan. Sementara di
Timor-Leste, setelah suatu UU di kirim oleh Pralemen
untuk di sahkan, Presiden Republik memiliki hak veto
untuk menolak suatu UU apabila dipandang perlu,
yang tentunya sesuai dengan alasan yang dapat
diterima dan dapat dipertanggung jawabkan, yaitu
alasan politik dan alasan inkonstitusinal.
Di sisi yang lain tentang responsif tidaknya
pembentukan Undang-Undang di Indonesia, dalam
penyiapan dan Pembahasan Rancangan Undang-
Undang, di atur secara jelas bahwa masyarakat dapat
memberikan masukan kepada pemrakarsa. Masukan
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
117
menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan.
Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat dalam
memberikan masukan harus menyebutkan identitas
secara lengkap dan jelas.
Sedangkan di Timor-Leste tidak ada titik atau
jalan yang dapat memberikan tempat bagi masyarakat
untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses
pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang dalam
konstitusinya, sehingga dapat dikatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan
undang-Undang sangat minim bahkan tidak ada. Tentu
ini akan berdampak pada ketidak tahuan atau bahkan
penolakan terhadap suatu produk Undang-Undang
yang telah di buat dengan memakan waktu dan biaya
yang mahal, menjadi sia-sia atau bahkan tidak
berguna.
Peraturan perundang-undangan dibuat sebagai
upaya untuk menuju perbaikan ke arah masa depan
yang lebih baik. Oleh karena itu seyogiahnya peraturan
perundang-undangan dapat mengakomodir
kepentingan seluruh pihak, bukan hanya kepentingan
golongan semata sehingga undang-undang yang dibuat
benar-benar memiliki karakter yang responsif. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada
kenyataannya masih banyak sekali peraturan yang
tidak sempurna.
118
Masih banyak peraturan yang hanya dibentuk
berdasarkan ego sektoral/golongan semata dengan
alasan berbagai kepentingan yang menyangkut
kewenangan, kelembagaan, hak kewajiban, dan lain
sebagainya.
Perlu disadari pula bahwa serangkaian proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga untuk
menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan
yang baik, akan menjadi tidak berarti apabila tidak
didukung dengan proses penegakan hukum (law
enforcement) yang baik.
Dengan demikian meningkatkan transparansi dan
partisipasi publik dalam proses pembuatan suatu
undang-undang bisa lebih meningkatkan kualitas dan
legitimasi undang-undang tersebut pada
implementasinya. Maka dari itu suatu UU harus dibuat
oleh lembaga atau organ yang berwenang serta
prosedur yang sesuai dengan sistem hukum yang
berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian suatu
undang-undang yang telah di undangkan dapat
merespon semua persoalan yang ada dalam suatu
masyarakat di suatu negara baik baik sekarang serta
masa yang akan datang. Sehingga, prinsip negara
hukum seperti yang dikemukan oleh AV. Dicey yaitu
supremasi of the law, equality before the dan
119
constitution based on the human right dapat ditegakkan,
bukan hanya teori belaka.
Dari uraian penulisan tesis ini, dapat penulis
sampaikan beberapa aspek dalam pembentukan UU
terutama di Indonesia pada era reformasi yaitu : aspek
kelembagaan, aspek masyarakat, aspek pengaturan
dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek tersebut
secara bersama-sama telah mendorong proses
pembentukan UU yang melahirkan adanya
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dan pada
gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam proses
pembentukan UU.
Keempat aspek tersebut adalah :
1. Aspek kelembagaan
Dari aspek kelembagaan terlihat bahwa DPR
selaku pemegang kekuasaan legislatif lebih
mempunyai dasar konstitusional yang kuat dan
tegas peran legislasinya dalam proses
pembentukan UU sehingga membuat pemerintah
tidak lagi dominan sebagaimana terjadi pada era
sebelum reformasi.
2. Aspek masyarakat
Dari aspek masyarakat tampak bahwa
masyarakat merasa bahwa lebih bebas dalam
menyampaikan aspirasinya baik melalui media
maupun datang langsung ke DPR dan sekaligus
memantau dari luar rapat-rapat pembahasan
120
dalam proses pembentukan UU. Hal ini terjadi
karena adanya hubungan yang lebih transparan
antara wakil rakyat dengan rakyat sehingga
mendorong terjadinya kontak yang lebih intensif
dalam rangka proses pembentukan UU yang
demokratis.
3. Aspek pengaturan
Dari aspek pengaturan dapat dikemukakan
bahwa selama reformasi telah terjadi berbagai
perubahan peraturan Tata Tertib DPR dalam
rangka penyempurnaan menuju terwujudnya
tatanan proses pembentukan yang lebih
transparan, partisipatif dan akuntabel.
4. Aspek pembahasan
Pembahasan secara intensif, mendalam dan
menyeluruh terhadap suatu RUU dilakukan
dalam Rapat Komisi, Rapat Pansus maupun
Rapat Panitia Kerja. Akan tetapi tidak mudah
untuk mencapai terwujudnya persamaan dalam
memandang suatu persoalan yang akan diatur
dalam suatu RUU. Hal ini karena dalam
pembahasan terjadi pengkajian yang bertalian
dengan tata nilai dan kepentingan yang dibawah
oleh berbagai kekuatan politik. Oleh karena itu,
suatu produk UU dilihat dari konteks sosial
masyarakat lebih merupakan endapan konflik
nilai dan kepentingan, yang jika tidak dibuat
121
secara hati-hati cermat dan seksama, dapat
menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Proses pembentukan UU yang melibatkan
Pemerintah, DPR dan Masyarakat, pada dasarnya
adalah suatu bentuk ideal dalam proses
pembentukan UU yang responsif. Semua
kekuatan politik secara riil termasuk masyarakat
ada didalamnya. Akan tetapi, karena belum
ditopang oleh perangkat peraturan perundang-
undangan yang mengatur partisipasi masyarakat
secara memadai, maka bentuk ideal tersebut
belum dapat menghasilkan produk undang-
undang yang sepenuhnya responsif bagi
keinginan masyarakat luas. Sehubungan dengan
persoalan ini dapat dikemukakan beberapa hal
sbb:
a. Dalam proses pembentukan UU menuju
terwujudnya demokrasi partisipatoris,
keberadaan lembaga perwakilan tetap
merupakan organ utama dalam proses
legislatif. Akan tetapi, lembaga perwakilan
tidak mungkin mampu menangkap aspirasi
masyarakat secara luas. Sementara itu, masih
terdapat representasi ide yang tersebar luas di
masyarakat. Oleh karena itu lembaga
perwakilan harus tetap terbuka bagi akses
publik untuk dapat berpartisipasi dalam
122
proses pembentukan UU. Dengan demikian,
diharapkan akan melahirkan produk UU yang
transparan partisipatif dan akuntabel dalam
proses demokratisasi di Indonesia dan Timor-
Leste.
b. Pengaturan partisipasi dalam UU No. 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan keputusan DPR No.
15/DPR RI/I/2004-2005 tentang Peraturan
Tata Tertib DPR belum cukup memadai dalam
rangka menuju proses pembentukan UU yang
partisipatif, karena baru mengatur tentang
mekanisme serta evaluasi dari adanya
partisipasi masyarakat.
c. Tidak mudah membuat UU yang sepenuhnya
responsif mengingat kemajemukan kondisi
sosial masyarakat dan latar belakang yang
berbeda dari berbagai kekuatan politik di
masyarakat. Akan tetapi, melalui adanya
jaminan yang lebih memadai dalam peraturan
perudang-undangan, partisipasi masyarakat
akan lebih mendapatkan tempat yang
proporsional dalam proses pembentukan UU
dinegara demokrasi yang berdasar atas
hukum.
123
4.2. Saran Atas dasar penarikan kesimpulan diatas, maka
saran-saran yang dapat dikemukakan dari penelitian
ini adalah :
Pertama, adanya temuan terhadap empat aspek
perubahan dalam proses pembentukan UU di era
reformasi yang mencakup, aspek kelembagaan, aspek
masyarakat, aspek pengaturan dan aspek
pembahasan suatu RUU, perlu dilembagakan dalam
arti diberikan landasan perangkat peraturan
perundang-undangan yang kuat sehingga akan lebih
menjamin proses demokratisasi pembentukan UU
yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
Kedua, adanya partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan UU menunjukan adanya
peningkatan kesadaran masyarakat dalam
bernegara. Oleh karena itu, perumusan materi
muatan yang bertalian dengan HAM harus dilakukan
secara hati-hati dan aspiratif terhadap partisipasi
masyarakat agar produk UU yang dihasilkannya
dapat lebih diterima oleh masyarakat luas.
Ketiga, proses pembentukan UU yang diletakkan
dalam proses sosial masyarakat ternyata mampu
mendorong terwujudnya UU yang lebih responsif.
Oleh karena itu, DPR selaku lembaga pemegamg
kekuasaan legislatif hendaknya dalam proses
pembahasan suatu RUU lebih mengutamakan
124
kepentingan bangsa dan negara secara luas, bukan
kepentingan individu, kelompok, golongan maupun
partai politik tertentu. Dengan demikian, akan
dihasilkan suatu produk UU yang dapat diterima
oleh berbagai pihak sehingga lahirnya suatu UU
tidak menimbulkan masalah baru dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keempat, proses pembahasan suatu RUU oleh
Panitia Kerja yang selama ini dilakukan secara
tertutup dan terbatas yang hanya dapat diikuti oleh
anggota Panitia Kerja termasuk Pemerintah
didalamnya, kiranya sudah waktunya perlu
dipikirkan untuk dilakukan secara terbuka. Hal ini
karena dalam rapat Panitia Kerja dibahas secara
intensif, mendalam dan menyeluruh persoalan yang
menyangkut materi suatu RUU. Dengan
dilakukannya rapat-rapat tersebut secara terbuka,
maka masyarakat dapat mengakses setiap
perkembangan yang terjadi dalam pemhahasan
suatu RUU. Hal ini akan berdampak positif sebagai
proses pendidikan politik masyarakat dalam suatu
negara yang menganut perpaduan antara demokrasi
perwakilan dan demokrasi partisipatoris.
Kelima, perlunya dilakukan penelitian lebih
lanjut berkaitan dengan partisipasi masyarakat
dalam proses pembentukan UU ini, terutama
perjuangan partai politik dalam mengartikulasikan
125
dan mengapresiasikan masukan dari partisipasi
masyarakat agar publik dapat mengetahui secara
lebih luas kinerja wakil-wakil rakyat di DPR dalam
membahas lahirnya suatu UU. Publikasi dari
penelitian-penelitian yang bertalian dengan proses
pembentukan UU yang partisipatif ini pada gilirannya
akan merupakan sarana pendidikan politik rakyat
dalam mewujudkan terbentuknya negara demokrasi
yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang
demokratis.
Keenam, Untuk Timor-Leste diharapkan dapat
dijadikan model untuk saling mengisi dalam
pembentukan UU dimasa mendatang.
126
127
Daftar Pustaka
Astawa, Pantja, I Gde, & Na’a, Suprin, 2008. Dinamika
Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Alumni.
Budiman, Arif, 1997. Teori Negara, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Budiarjo, Miriam, 1998. Partisipasi dan Partai Politik,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Edisi Ketiga
Coglianese, Cary, et.all. 2008, Tranparency and Public
Participation in Rulemaking Proses. University of
Pensylvania Law School.
Frank, Jerome, 2008. Dalam Buku Philippe Nonet
&Philif Selznick, Hukum Responsif. Bandung:
Nusa Media.
Gaffar, Affan, 1992. Pembangunan Hukum dan
Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.
Ibrahim, Joni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif. Malang: Bayu Publishing.
------------, 2002. Konstutusi Republik Demokratik
Timor-Leste.
Manan, Bagir, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan
Indonesia. Jakarta: Cetakan Pertama, Ind-Hill-
Co.
Marzuki, Mahmud, Peter, 2008. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
128
Marzuki, Mahmud, Peter, 2008. Penelitian Hukum,
Dalam Paton G.W. Jakarta, :Kencana Media
Group, 42.
Md. Mahpud. Moh, 2003. Demokrasi dan konstitusi di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
------------,Perpres No 68 Tahun 2005 Tentang Tata
Cara mempersiapkan RUU, Rancangan
PERPU, Rancangan PP, dan Rancangan
Perpres.
Rahardjo, Satjipto, 2006. Hukum Dalam Jagat
Ketertiban. Jakarta: UKI PRESS.
Rahardjo, Satjipto, 1998. Penyusunan Undang-undang
yang demokratis. Seminar: ”Mencari Model
Ideal Penyusunan Undang-undang yang
Demokratis dan Kongres Asosiasi Sosiologi
Hukum Indonesia” Semarang: Fakultas
Hukum, Undip, (3) Rauta, Umbu, 2000. Tesis Tentang Pelaksanaan Fungsi
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
Terhadap Kebijakan Pemerintah Menurut UUD
1945. Bandung: UNPAD.
Saifudin, 2009. Partisipasi Publik Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.Yogyakarta, FH
UII Press. Cetakan Pertama.
-------------,Tata Tertib DPR RI/2004-2005
------------,Tata Tertib Parlemen RDTL (Republik
Demokratik Timor-Leste)
129
-------------,UU Republik Indonesia, No. 10 Tahun 2004,
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
------------,Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Yuhana, Abdi, 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pasca Perubahan UUD 1945. Bandung :
Fokusmedia.