studi perbandingan pembentukan undang-undang...

147
STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang-Undang Yang Berkarakter Responsif) Tesis Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Oleh: Jose Cardoso de Araujo NPM: 322008901 Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2010

Upload: phungxuyen

Post on 03-Apr-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE

(Pembentukan Undang-Undang Yang Berkarakter Responsif)

Tesis

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Oleh: Jose Cardoso de Araujo

NPM: 322008901

Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga 2010

Page 2: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

MOTTO

Gunakan kepintaranmu untuk membantu saudaramu, jangan gunakan kelebihanmu untuk membodohi orang lain

Penulis

“Jangan Tunda sampai besok apa yang dapat di kerjakan hari ini, karena besok bukan hari ini atau anda akan menyesal”

(Penulis)

Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa

By Celly

Kupersembahkan karya tulis ini untuk:

Istriku tercinta: Celina Araujo da Costa Exposto dan keempat anak kami tersayang: Jeciliana Auxiliadora Lopes de Araujo Jelisia Esterela Cardoso de Araujo Amansia Jeje da Silva do Rosario de Araujo Nobere Fortunato Cardoso de Araujo

Page 3: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : STUDI

PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang- Undang Yang Berkarakter Responsif)

Nama Mahasiswa : Jose Cardoso de Araujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui

Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum Umbu Rauta, SH. MH Pembimbing I Pembimbing II

Mengesahkan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum

Dinyatakan Lulus Ujian Tanggal: 05 Maret 2010

Page 4: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : STUDI

PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang Undang Yang Berkarakter Responsif)

Nama Mahasiswa : Jose Cardoso de Araujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui,

Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum Umbu Rauta, SH. MH Penguji I Penguji II

Kustadi, SH. M.Hum Titon Slamet Kurnia, SH. MH

Penguji III Penguji IV

Dinyatakan Lulus Ujian Tanggal: 05 Maret 2010

Page 5: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jose Cardoso deAraujo NPM : 322008901 Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana UKSW Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan penuh kesadaran bahwa dalam menulis tesis dengan judul: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN TIMOR-LESTE (Pembentukan Undang-Undangn Yang Berkarakter Responsif), saya tidak melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan plagiasi, bersedia dicabut hak saya sebagai mahasiswa atau dicabut kembali gelar yang sudah diberikan dan akibat hukum lainnya.

Salatiga, 3 Maret 2010 Yang membuat pernyataan

Jose Cardoso deAraujo

Page 6: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

i

SARI PATI

Pembentukan undang-undang adalah bagian dari aktivitas dalam mengatur masyarakat yang terdiri atas gabungan individu-individu manusia dengan segala dimensinya, sehingga merancang dan membentuk undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas merupakan suatu pekerjaan yang sulit. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan legislatif dengan rakyat dalam suatu negara. Dalam proses pembentukan undang-undang ini, di dalamnya terdapat transformasi misi, visi dan nilai yang diinginkan oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-undang sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar undang-undang yang dihasilkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan, yang meliputi : Pertama, mampu dilaksanakan; kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi masyarakat. Dewasa ini, orang lebih mengandalkan pada mekanismekelembagaan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenag-wenangan kekuasaan negara. Persoalan ini dikemukakan oleh John Locke dan beliu tidak setuju dengan pemikiran Hobbes yang mau memberikan kekuasaan mutlak kepada negara. Baginya itu terlalu ceroboh. Dia lalu berbicara tentang hak-hak alami yang merupakan hak-hak azasi manusia yang tidak boleh dirampas oleh negara. Untuk menjamin hal ini, locke memisahkan aspek legislative (atau pembuatan undang-undang dan hukum) serta aspek eksekutif dan yudikatif

Page 7: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

ii

(pelaksana dari undang-undang dan hukum ini) dalam sebuah sistem politik.

Dengan demikian, diharapkan dapat

menciptakan hukum yang responsif, sehingga mampu untuk menjawab serta menyesuaikan keberadaanya sesuai dengan keinginan dan tuntutan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh, kaum realisme hukum adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, sedemikian rupa sehingga nalar hukum dapat mencakup pengetahuan didalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.

Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Dalam kaitan ini, argumen yang ditawarkan adalah proses saling mempengaruhi (interplay) diantara aturan dan asas. Karena dalam proses inilah suatu sumber perubahan dibangun kedalam tatanan hukum. Suatu peraturan agar tetap relevan, dan bertahan hidup, mesti bergantung pada kondisi-kondisi historis yang tepat. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus di tata ulang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kebijakan namun juga untuk melindungi otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan.

Page 8: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

iii

ABSTRACT

Law making or legislating is an activity regulates society that consists of human individual composite with their dimensions, thus designing and making of law that can be generally accepted by people had been a very hard task. This hardship rests on the reality that law making is a form of communication between institutions that define it, namely legislative power holder in a certain state. In this process of law making can be found the transformation of mission, vision, and values expected by legislature with the society itself in a form of legal regulation.

Law makers or legislatures had been demanded since the beginning to produce a kind of law that satisfy various needs, such as: First, able to be implemented; second, can be enforced; third, in conformity with legal security principles and rights equality of regulated targets; and fourth, able to absorb people’s aspirations.

Nowadays, people increasingly count on institutional mechanism to prevent the strung out of abuse of power and state’s power arbitration. This problem was proposed by John Lock and he disagreed upon Hobbes’s thought about giving absolute power to the state. For him it is very improper. Then he continued to talk about natural rights belong to human rights that cannot be looted by the state. To assure, Locke separated legislative aspect (or law and legal making) and executive and juridical (the executor of this law and legal) within a certain political system.

Therefore, it is expected that this will create a responsive law, hence able in answering and adjusting its presence in accordance with society’s pretension and demand. As said by realist, law is supposed to make law “becoming more responsive toward social needs”. In order to achieve this, they encourage extension of fields that have legal relevance, thus legal logical reasoning

Page 9: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

iv

can encompass knowledge within social context and has influence on official action taken by legal apparatus.

Specific characteristic of responsive law is the nature to search for implicit values contained in regulations and policies. In this case, argument proposed here is the interplay process between rules and principles. It is in this process a change source can be built within legal order. In order to keep regulation relevant and survived, thus it should be rely on proper historical conditions. When an environment changes, regulations should be reordered, not only to meet the policy demand but also to protect the authoritativeness of those regulations themselves and its integrity when implemented.

Page 10: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

v

KATA PENGANTAR

Ketertarikan saya untuk menulis tentang “Studi

Perbandingan Pembentukan Undang-Undang Antara

Indonesia dan Timor-Leste” berangkat dari pemikiran

bahwa sebagai negara yang baru memperoleh

pengakuan Kemerdekaannya pada Tahun 2002,

tentunya banyak hal yang harus dibenahi termasuk

pembentukan undang-undang yang akan di jadikan

pijakan dalam bertindak dan hidup bermasyarakat, dan

tentunya undang-undang yang berkarakter responsif

sehingga diharapkan dapat merespon tuntutan dan

persoalan yang akan muncul baik sekarang maupun di

masa yang akan datang.

Penulis memuji dan bersyukur atas bimbingan dan

kasinNya atas terselesainya karya tulis ini sebagai

salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Magister

Hukum di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Tuhan telah menemani penulis dalam seluruh karya

tulis ini, Dia tahu akan keterbatasan penulis. Dalam

Page 11: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

vi

keterbatasan, Dia mengutus orang-orang yang

bermurah hati membagi kelebihan mereka untuk

menuntun dan melengkapi penulis sampai tulisan ini

dapat dirampungkan. Karena itu dalam nada syukur

dan dan terima kasih, penulis sampaikan kepada:

1. Rektor, Direktur, Ketua Program Studi dan

seluruh Civitas Akademika PPs Magister Ilmu

Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga. Karena atas kerjasama dan pelayanan

yang diberikan sehingga Penulis dapat

menyelasaikan Studi dan penulisan Tesis ini.

Teristimewa kepada mba Evi Yeniarti yang telah

banyak membantu dalam mempersiapkan

administrasi Penulis dengan penuh keramahan.

2. Dr. Tri Budiyono, SH. M. Hum. Selaku Kaprodi,

Dosen Mata kuliah, dan sekaligus sebagai

Pembimbing. Bukan hanya memberikan

masukan, tapi jauh dari itu Penulis mengganggap

beliau sebagai orang tua selama Studi di UKSW.

3. Umbu Rauta, SH. MH. Selaku Dosen pembimbing

dan dosen mata kuliah yang telah banyak

memberi masukan, ide-ide dan saran-saran

dalam penyelesaian penulisan tesis.

4. Dosen-dosen penguji: Kustadi, SH. MH, Titon Slamet Kurnia, SH. MH yang bersedia menguji,

Page 12: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

vii

mengkritisi dan memberikan masukan-masukan berharga demi penyempurnaan karya tulis ini.

5. Staf Pengajar PPs Magister Ilmu Hukum UKSW

yang telah membekali penulis dengan berbagai

ilmu dan telah menunjukkan suasana akademik

yang penuh kebersamaan tanpa dibatasi sekat-

sekat budaya, etnis, bahkan agama yang

membuat penulis penuh percaya diri dalam

menghadapi tantangan selama masa kuliah.

6. Presiden Parlemen Nasional Republik Demokratik

Timor-Leste, Fernando “Lasama’ de Araujo yang

telah membantu penyelesaian studi penulis dan

menyetujui untuk diadakan penelitian di

Parlemento Nasional RDTL.

7. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RDTL,

yang mana telah membantu penulis dalam

penyelasaian studi di UKSW Salatiga.

8. Teman- teman senasib seperjuangan di klas Tata

negara dan Bisnis Magister Ilmu Hukum UKSW-

Salatiga angkatan I : Tri Mulyani, Triarso,

Susiana, Ciptono, Anton Koibur, Willy

Agusdinata, Suryanto, Agus Hendro Wibowo,

yang baik secara langsung maupun tidak

langsung telah membantu penulis melalui

diskusi-diskusi selama studi dan dalam proses

penulisan tesis.

Page 13: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

viii

9. Teman-teman dari Timor-Leste : spesial

Nominando”Buras” Martins, yang telah banyak

memberi motivasi dan dukungan, baik materi

maupun moral yang pada akhirnya penulis bisa

merasakan kesuksesan ini, Felix do Ceo,

Martinho Boromeu, Mario MM, Costantinho

Godinho, Alipio Monis, Januario Soares,

Dominggos Savio, Olga, Jacob da Silva Araujo,

Jose Honorio, Jakarias Dos Reis, Longinhos,

Dominggos Belo”Dulama”, Alexandre, Avaldo,

Antonio Carceres, Silvino, dan lainya yang tidak

sempat aku sebutkan, satu persatu yang telah

membantu penulis baik secara langsung maupun

tidak langsung.

10. Isteriku tercinta: Celina Araujo da Costa Exposto

yang telah setia dan berkorban, tabah, ikhlas,

sabar dalam mendukung studyku, Ayah Mertua;

Sebastiao Exposto dan Ibu Mertua Terezinha da

Costa Amaral, serta Filomena dan Suaminya

Sabino Neves, Tito Exposto serta Adelia, yang

telah mensuport penulis selama kuliah.

11. Ayahku: Teotonio da Silva (alm.) dan Mamaku

tersayang Ester Cardoso (alm) yang tidak sempat

melihat kesuksesan anaknya serta kakak dan

adikku sekeluarga : Lusinda Cardoso dan

Francisca Cardoso serta seluruh keluarga besar

ASAE.

Page 14: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

ix

Semoga budi baik semua orang yang telah aku

sebutkan diatas dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya penulis sadar, bahwa tulisan ini masih jauh

dari kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan

bantuan para pembaca untuk melengkapinya. Mudah-

mudahan pertemuan para pembaca dengan Tesis ini

menjadi suatu pertemuan ilmiah. Pertemuan yang

dimaksud tidak hanya mengisi ketidaktahuan, tetapi

lebih dari itu, suatu pertemuan yang “menantang” dan

menambah kreativitas untuk berpikir tentang hidup

yang telah dihayati dan problema-problema zaman yang

paling mendasar yang mengitari manusia dan

kehidupannya.

Salatiga, 3 Maret 2010

Penulis

Page 15: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

x

DAFTAR ISI

Abstrak ......................................................................... i

Kata Pengantar ............................................................ v

Daftar isi ..................................................................... x

Daftar Tabel ............................................................... xiii

Bab I Pendahuluan ...................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ......................................... 15

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................... 15

1.4 Metode Penelitian ............................................ 16

1.4.1 Jenis Penelitian ......................................... 15

1.4.2 Pendekatan dan Spesifikasi Penelitian ....... 16

1.4.3 Sumber Data dan Tehnik Pengumpulan

Data. ......................................................... 20

1.4.4 Analisis Data ............................................. 21

1.5 Kerangka Teori ................................................. 21

Bab II Tinjauan Pustaka ............................................ 37

2.1 Teori Pembentukan Undang-Undang ................ 35

2.2 Landasan Pembentukan Peraturan Perundang

undangan ......................................................... 41

2.3 Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan ......................................................... 43

2.4 Materi Muatan Undang-Undang ....................... 45

2.5 Penerapan Demokrasi dalam Pembentukan

Undang-Undang yang Responsif ....................... 47

Page 16: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

xi

2.6 Pengtingnya Pembentukan Undang-Undang

dalam Era Globalisasi ....................................... 52

2.7 Akuntabilitas dalam bentuk prosedur

pembentukan Undang-Undang ......................... 58

2.7.1 Tahap Ante Legislative ............................... 60

2.7.1.1 Tahap Penelitian ................................. 60

2.7.1.2 Tahap Pengajuan Usul Inisiatif ........... 61

2.7.1.3 Tahap Perancangan ........................... 62

2.7.1.4 Tahap Pengajuan UU .......................... 63

2.7.2 Tahap Legislative ....................................... 63

2.7.2.1 Tahap Pembahasan ............................. 63

2.7.2.2 Tahap Pembahasan RUU Menjadi UU . 64

2.7.3 Tahap Pengesahan UU ............................... 65

Bab III Penyusunan Undang-Undang di Indonesia dan

Timor-Leste ................................................................ 67

3.1 Gambaran Umum Sistem Pemerintahan di

Indonesia danTimor-Leste ................................. 67

3.1.1 Indonesia ................................................... 67

3.1.2 Timor-Leste ............................................... 68

3.2 Proses pembentukan Undang-Undang di

Indonesia ........................................................... 71

3.2.1. Dasar Kewenangan Pembentukan Undang-

Undang di Indonesia ................................... 71

3.2.1.1. UUD 1945 .......................................... 71

3.2.1.2. UU No 10 Tahun 2004 ...................... 72

3.2.1.3. Tata Tertib DPR-RI

NO.15/I/2004-2005 .......................... 76

Page 17: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

xii

3.2.1.3.1 RUU Usul Pemerintah .................. 78

3.2.1.3.2 RUU Usul Inisiatif DPR ................. 81

3.2.1.3.3 RUU Usul dari DPD ...................... 85

3.2.2 Penyusunan RUU berdasarkan Perpres No 68

Tahun 2005 ....................................... 89

3.3 Dasar Kewenangan Pembentukan Undang-

Undang di Timor-Leste .................................. 91

3.3.1 Konstitusi RDTL 2002 ............................ 91

3.3.2 Tata Tertib Parlemen RDTL .................... 95

3.4 Asas Peraturan Perundang-Undangan ............ 99

3.5 Materi Muatan .............................................. 102

3.6 Karakteristik Responsif dalam Pembuatan

Undang-Undang ......................................... 104

3.7 Analisis Perbedaan dan Persamaan dari Proses

Pembuatan UU di Indonesia dan Timor-Leste105

Bab IV Penutup ....................................................... 115

4.1 Kesimpulan .................................................. 115

4.2 Saran ........................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA ................................................... 127

Page 18: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 :Karakteristik Rejim Dalam Kaitannya dengan

Kompetisi danKeterlinatan.

Tabel 2.2 : Hubungan Antara Type Rejim dan

Karakteristik Produk hukumnya.

Tabel 3.1 : Pembentukan UU menurut Tata tertib DPR

No 15/DPR RI/I/2004-2005.

Tabel 3.2 : Pembicaraan RUU dari Pemerintah menurut

Tata tertib DPR No 15/DPR RI/I/2004-

2005.

Tabel 3.3 : Prosedur Pengajuan RUU dari DPR menurut

Peraturan Tata tertib DPR No 15/DPR

RI/I/2004-2005.

Tabel 3.4 : Pembicaraan RUU dari DPR RI menurut

Peraturan Tata Tertib DPR No 15/DPR

RI/I/2004-2005.

Tabel 3.5 : Usulan UU dari DPD menurut Tata Tertib

DPR No 15/DPR RI/I/2004-2005.

Tabel 3.6 : Legislatif Umum sesuai dengan Tata Tertib

Parlemen RDTL.

Tabel 3.7 : Analisis Perbedaan dan Persamaan Proses

Pembuatan UU di Indonesia dan Timor-

Leste.

Page 19: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG Pembentukan undang-undang adalah bagian dari

aktivitas dalam mengatur masyarakat 1 yang terdiri atas

gabungan individu-individu manusia dengan segala

dimensinya,2 sehingga merancang dan membentuk

undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas

merupakan suatu pekerjaan yang sulit.3 Kesulitan ini

terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan

undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara

lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan

legislatif dengan rakyat dalam suatu negara. Dalam proses

pembentukan undang-undang ini, di dalamnya terdapat

transformasi misi, visi dan nilai yang diinginkan oleh

lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat

1 Satjipto Rahardjo, “Penyusunan Undang-undang yang demokratis” Makalah dalam seminar “Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis dan Kongres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia” Fakultas Hukum, Undip, Semarang, tanggal 15-16 April 1998, hlm. 3. Dalam Saifudin, Partisipai Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penerbit, FHUI PRESS, Yogyakarta, Juli, 2009, hlm. 1. 2 Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan dalam pembentukan Undang-undang adalah bahwa manusia itu sebagai mahluk mono-dualis jiwa raga, mono-dualis individu-sosial, mono-dualis pribadi mandiri-mahluk Tuhan, Lihat Damardjati Supadjar, Mencari Model Penyusunan Undang-undang Yang Demokratis, Ibid., hlm. 4-5. 3 Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-undang , Cetakan kelima, Pradnya Paramita Jakarta, 1993, hlm. 3.

Page 20: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

2

dalam suatu bentuk aturan hukum. Pembentuk undang-

undang sejak awal proses perancangan, telah dituntut agar

undang-undang yang dihasilkan mampu memenuhi

berbagai kebutuhan. Pertama, mampu dilaksanakan;

kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip-

prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran

yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi

masyarakat. Selain berbagai kesulitan tersebut, pembentuk

undang-undang berpacu dengan dinamika perkembangan

yang terus berubah sejalan dengan nilai-nilai yang

dianggap baik oleh masyarakat. Jadi, pembentukan

undang-undang sebagai bagian dari proses pembentukan

sistem hukum yang lebih luas tidaklah statis, tetapi

mengalami dinamika perubahan.4

Berbagai kesulitan dalam pembentukan undang-

undang tersebut, tampaknya telah lama dirasakan oleh

bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

dan Timor-Leste yang baru memperoleh kemerdekaannya

pada tahun 2002. Kesulitan-kesulitan dalam pembentukan

undang-undang ini, sekarang lebih dirasakan oleh bangsa

Indonesia dan Timor-Leste yang tengah menghadapi

berbagai problem sosial secara mendasar pada

permasalahan struktural dan kultural yang multi dimensi.5

4 Saifudin, Ibid. hlm. 2. 5 Permasalahan struktural adalah permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang disebabkan oleh keberadaan dalam penyelenggaraan pemerintahan , baik menyangkut kewenangan, tugas maupun penerapan dari kewenangan yang dimilikinya. Sedangkan permasalahan kultural adalah permasalahan yang ditimbulkan dari kondisi sosial masyarakat, baik yang

Page 21: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

3

Padahal pembentukan undang-undang ini – sekarang dan

dimasa yang akan datang akan terus mengalami

peningkatan sebagai respon atas tuntutan masyarakat

seiring dengan bertambah kompleksnya perkembangan

dan kondisi masyarakat.

Sebagai negara yang telah memilih prinsip demokrasi

dan dipadukan dengan prinsip negara hukum Indonesia

dan Timor-Leste akan menata tertib hidup dan kehidupan

dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

menggunakan aturan hukum yang demokratis. Kedua

bangsa akan membangun tatanan kehidupan bersama

dalam wadah negara yang demokratis dan didasarkan pada

aturan hukum. Artinya, bangsa Indonesia dan Timor-Leste

akan meletakan prinsip demokrasi dan prinsip hukum

sebagai suatu sinergi yang saling bersimbiose mutualistik

dalam mewujudkan adanya national legal order 6 yang

demokratis dalam negara. Jadi, keberadaan undang-

undang yang merupakan subsistem dari sistem hukum

nasional menempati peran yang penting dalam rangka

pembangunan sistem hukum nasional yang demokratis.

Dalam rangka membentuk hukum nasional yang

demokratis ini, partisipasi masyarakat dalam pembentukan

undang-undang menjadi faktor yang dominan.

Bertalian dengan pembentukan undang-undang yang

partisipatif ini, didalamnya mengandung dua makna yaitu berupa kemiskinan yang tinggi, pendidikan yang rendah maupun kesadaran hukum yang rendah pula, Dalam Saifudin, Loc.Cit 7 Bandingkan dengan pemikiran, Hans Kelsen, Dalam Saifudin, Ibid hlm.3.

Page 22: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

4

proses dan substansi. Proses adalah mekanisme dalam

pembentukan undang-undang yang harus dilakukan

secara transparan sehingga masyarakat dapat

berpartisipasi memberikan masukan-masukan dalam

mengatur suatu persoalan. Substansi adalah materi yang

akan diatur harus ditujukan bagi kepentingan masyarakat

luas sehingga menghasilkan suatu undang-undang yang

demokratis berkarakter responsif/populistis.7 Dengan

demikian, antara partisipasi, transparansi, dan

demokratisasi dalam pembentukan undang-undang

merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat

dipisahkan satu sama lain yang meliputi : 8

Pertama, tuntutan partispasi perlu dilakukan agar

warga masyarakat yang akan terkena sebagai objek dari

suatu undang-undang, dapat memberikan sumbangan

pikirannya berupa materi-materi muatan yang akan

diaturnya. Keterlibatan masyarakat ini penting, mengingat

pada akhirnya masyarakat juga yang akan menerima 7 Peristilahan mengenai hukum yang responsif/populistis ini dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD untuk melihat perbedaan secara mendasar dengan persitilahan hukum yang konsevatif/ortodox/elitis dalam disertasinya Tahun 1993. Lihat Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum di Indonesia, disertasi UGM, 1993, hlm. 66. 8 Dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum, proses Pembentukan UU yang telah dilakukan secara partisipatif, transparan dan Demokratis, maka pada gilirannya diharapkan UU yang dihasilkannya akan diterima oleh masyarakat dengan penuh kesadaran. Akan tetapi dari sudut pandang politik ternyata adanya partisipasi, transparansi dan demokratisasi dalam proses pembentukan UU bukan merupakan suatu jaminan diterimanya suatu produk UU oleh masyarakat, sebab pertama meskipun terdapat partisipasi masyarkat tetapi pada akhirnya keputusan tetap di tangan lembaga legislative, sehingga partisipasi tetap tidak berarti; kedua,dalam suatu keputusan politik-termasuk UU-selalu saja ada kelompok yang tidak setuju dengan keputusan yang dibuat, Saifudin, Loc.Cit.

Page 23: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

5

dampak dengan dikeluarkannya suatu undang-undang.

Artinya, proses pembentukan undang-undang terjadi suatu

proses yang sifatnya bottom up. Terhadap masyarakat yang

terkait langsung dengan kehadiran suatu undang-undang

diharapkan akan merasa ikut melahirkan undang-undang

melalui berbagai keterlibatan dalam bentuk masukan-

masukan yang diberikannya. Meskipun partisipasi

masyarakat itu terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa

suatu undang-undang yang dihasilkannya akan berlaku

efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah

partisipatif yang ditempuh oleh lembaga legislatif dalam

setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat

lebih mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya

suatu undang-undang.

Kedua, persoalan transparansi dalam proses

pembentukan undang-undang perlu dilakukan agar

undang-undang yang dihasilkan dapat diketahui oleh

masyarakat luas sejak awal proses persiapan dan

pembahasannya. Proses pembentukan undang-undang

yang tidak dilakukan secara transparan, dapat

memunculkan sikap apatis bagi masyarakat. Masyarakat

akan melihat undang-undang dengan sebelah mata,

artinya masyarakat enggan untuk mematuhi berbagai

ketentuan dalam undang-undang yang dibuat oleh

lembaga legislatif.

Ketiga, masalah demokratisasi dalam proses

pembentukan undang-undang bertalian dengan logika

Page 24: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

6

pemikiran yang sederhana bahwa undang-undang dalam

suatu negara yang demokratis tentu tidak akan keluar dari

kepentingan orang banyak. Artinya, adanya suatu undang-

undang harus dapat memberikan ketenangan, jaminan dan

akuntabilitas bagi kepentingan hidup masyarakat luas.

Rakyat melalui sarana pemilihan umum telah memberikan

kepercayaannya kepada wakilnya yang duduk di DPR. DPR

inilah bersama-sama Presiden-suatu lembaga secara

konstitusional memegang kekuasaan legislatif mengatur

masyarakat melalui berbagai undang-undang yang telah

dikeluarkannya. Karena itu, secara teori undang-undang

yang dihasilkan oleh lembaga legislatif seharusnya diterima

oleh masyarakat luas sebab kepentingannya telah terwakili

dalam proses pembentukan undang-undang. Masalahnya

adalah berbagai aspirasi masyarakat sering tidak

tertampung oleh kepentingan partai-partai politik yang

menguasai DPR, sehingga produk undang-undang yang

dihasilkan belum memuaskan masyarakat luas. 9

Mengingat lingkup dan wewenang Parlemen Nasional

meliputi beberapa tahapan, maka penelitian ini lebih 9 Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang diperankan oleh Orde Baru selama 32 tahun dan akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi 1998, berbagai UU seperti UU pemilu, UU susduk MPR,DPR dan DPRD, UU Parpol dan Golkar, UU Pemerintahan di Daerah, dan UU Referendum hanya dipakai sebagai justifikasi bagi kepentingan-kepentingan politik oleh sekelompok orang yang berkuasa. UU kurang responsif terhadap nasib masyarakat luas tetapi lebih untuk mempertahankan status quo. Akibatnya muncul berbagai aksi demonstrasi ribuan mahasiswa menuntut dilakukannya reformasi di bidang politik dan ekonomi dalam mengatasi krisis yang melanda Indonesia. Lihat, “Mahasiswa Gelar Aksi Keprihatinan”, Kompas, Jumat 27-02-1998, hlm. 3 Lihat pula, “ Aksi Keprihatinan Mahasiswa Berlanjut di Berbagai Kampus”, Kompas, Rabu 11-03-1998, hlm. 3.

Page 25: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

7

berfokus atau menitikberatkan pada prosedur pembuatan

peraturan perundang-undangan yang akan menjadi

landasan bertindak dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara terutama para pejabat atau aparat

pemerintahan. Untuk itu maka timbullah gagasan tentang

cara membatasi kekuasaan Pemerintah melalui pembuatan

Konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Diatas konstitusi inilah bisa ditentukan batas-batas

kekuasaan Pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik

rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan

kekuasaan Parlemen dan lembaga-lembaga hukum.

Gagasan inilah yang kemudian dinamakan

konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Oleh Carl

J. Freiderick bahwa Konstitusionalisme adalah gagasan

bahwa Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas

yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang

tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud

untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang

diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan

oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah10.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa

“power tends to corrupt, but power absolute, corrupt

absolutely”.

Boleh dikatakan bahwa dewasa ini, orang lebih

mengandalkan pada mekanisme kelembagaan untuk

10 Carl J. Friederick,Dalam Mahpud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. halaman 26-27.Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta 2003.

Page 26: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

8

mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan

kesewenag-wenangan kekuasaan negara. Persoalan ini

dikemukakan oleh John Locke dan beliu tidak setuju

dengan pemikiran Hobbes yang mau memberikan

kekuasaan mutlak kepada negara. Baginya itu terlalu

ceroboh. Dia lalu berbicara tentang hak-hak alami yang

merupakan hak-hak azasi manusia yang tidak boleh

dirampas oleh negara. Untuk menjamin hal ini, locke

memisahkan aspek legislatif (atau pembuatan undang-

undang dan hukum) serta aspek eksekutif dan yudikatif

(pelaksana dari undang-undang dan hukum ini) dalam

sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh ada

dalam satu tangan. Keduanya harus dipisahkan,

dikatakannya ; akan menjadi cobaan yang sangat berat

bagi kelemahan manusia untuk memegang kekuasaan,

kalau orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk

membuat hukum juga memiliki kekuasaan untuk

melaksanakannya, karena mereka akan mengecualikan diri

dari ketaatan mematuhi hukum yang mereka buat sendiri,

dan mereka akan mencoba membuat dan melaksanakan

hukum yang melayani kepentingan pribadi mereka dan

melawan kepentingan masyarakat pada umumnya,

sehingga bertentangan dengan tujuan dari masyarakat

dan pemerintah itu sendiri.

Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh

Montesquieu, dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan

eksekutif, dan yudikatif. Dengan adanya pemisahan

Page 27: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

9

kekuasaan ini, akan terjamin pembebasan pembuatan

undang-undang oleh parlemen, dan pelaksanaan pekerjan

sehari-hari oleh pemerintah serta pengontrolan oleh

lembaga yudikatif. Kalau ketiga kekuasaan ini ada dalam

satu tangan, akan memusnahkan kemerdekaan rakyat.

Ajaran yang kemudian dikenal dengan “Trias Politica” ini

sangat berpengaruh dalam sistem politik modern sekarang.

Tetapi, pemisahan ketiga kekuasaan ini memang tidak

pernah dijalankan secara murni. Selalu saling tindak

antara ketiganya. Misalnya tugas hakim tidak hanya

menjalankan hukum dan undang-undang, tetapi dalam

kenyataan para hakim juga menciptakan hukum. Atau

pemerintah yang seringkali membuat undang-undang

melalui berbagai macam peraturan yang dibuatnya.

Keadaan ini sudah merupakan tuntutan zaman, sebab

dalam kenyataannya eksekutiflah yang mempunyai banyak

tenaga ahli, data maupun fasilitasnya jika dibandingkan

dengan legislatif.11

Timor-Leste yang juga lahir sebagai sebuah negara,

tepat pada millennium ketiga ini, juga menganut sistem

demokrasi, menjunjung tinggi prinsip negara hukum serta

bercita-cita untuk mensejahterakan seluruh warganya.

Dengan demikian maka, secara konsekuen kekuasaan

negara dibagi kedalam empat lembaga berdaulat yakni

lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif 11 Arif Budiman dalam Teori Negara: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hlm. 34-36.

Page 28: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

10

serta lembaga kepresidenan12, dengan tetap berpijak pada

apa yang telah diketengahkan oleh Montesquieu dalam

trias politica dengan pemisahan kekuasaannya.

Lembaga perwakilan atau lembaga legislatif dewasa

ini disebut dengan nama parlemen. Suatu negara yang

menamakan demokratis harus mempunyai lembaga ini

dalam struktur ketatanegaraanya karena selain berfungsi

sebagai penyalur aspirasi rakyat, parlemen juga berfungsi

sebagai legislasi serta fungsi pengawasan bagi lembaga

lainnya terutama eksekutif. Dalam konteks negara Timor

Leste lembaga legislatif ini dinamakan “Parlamento

Nasional” sementara di Indonesia dinamakan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR)13.

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan

perhatian kepada proses pembuatan undang-undang

antara Timor-Leste, dan lokasi penelitiannya di Parlemen

Nasional Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL) dan

Indonesia sebagai sebuah studi perbandingan. Dengan

demikian, diharapkan dapat menciptakan hukum yang

responsif, sehingga mampu untuk menjawab serta

menyesuaikan keberadaanya sesuai dengan keinginan dan

tuntutan yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh, kaum realisme hukum

adalah untuk membuat hukum “menjadi lebih responsif

12 Asembleia Constituante, Constituicao da Republica Democratica de Timor-Leste, 2002. 13 UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 19.

Page 29: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

11

terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial”14. Untuk mencapai

tujuan ini, mereka mendorong perluasan bidang-bidang

yang memiliki keterkaitan secara hukum, sedemikian rupa

sehingga nalar hukum dapat mencakup pengetahuan

didalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap

tindakan resmi para aparat hukum.

Sementara itu, teori Pound mengenai kepentingan-

kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih

eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum

responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik

seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada

sekedar keadilan procedural. Hukum yang baik harus

berkompeten dan juga adil.15 Institusi-institusi hukum

mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang sempit

terhadap hukum otonom dan menjadi instrumen-

instrumen yang lebih dinamis bagi penataan sosial dan

perubahan sosial.

Memang ada ketegangan antara keterbukaan dan

kepatuhan terhadap hukum, dan ketegangan ini

memunculkan masalah sentral dalam perkembangan

hukum. Dilema ini bukanlah sesuatu yang unik bagi

hukum, semua institusi mengalami konflik antara

integritas dan keterbukaan. Integritas dilindungi ketika

sebuah institusi mempunyai komitmen yang kuat pada

suatu misi khusus atau dapat dibuat akuntabel pada misi 14 Jerome Frank Dalam Buku Philippe Nonet & Philif Selznick,Hukum Responsif, Penerbit Nusa media, Bandung, 2008.,hlm. 83. 15 Philippe Nonet & Philif Selznick, Ibid. hlm. 84-92.

Page 30: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

12

tersebut oleh kontrol eksternal. Namun, institusi-institusi

yang mempunyai komitmen tersebut menyatu dengan

berbagai sudut pandang dan pola kerja mereka sendiri;

mereka akan kehilangan kepekaan terhadap lingkungan

sekitarnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa hukum yang responsif

menunjukan suatu kapasitas berdaptasi yang bertanggung

jawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif dan

tidak serampangan. Suatu institusi yang responsif

mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi

integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan

kekuatan-kekuatan baru didalam lingkungannya. Untuk

melakukan hal ini, hukum responsif memperkuat cara

bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling

menopang walaupun terdapat pertentangan diantara

keduanya. Lembaga responsif menganggap tekanan-

tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan

kesempatan untuk melakukan koreksi diri. Agar

mendapatkan sosok seperti ini, sebuah institusi

memerlukan panduan kearah tujuan. Tujuan menetapkan

standar untuk mengkritisi yang sudah mapan, dan

karenanya membuka jalan untuk melakukan perubahan.

Sebaliknya ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta

oportunisme. Dalam kenyataannya kondisi-kondisi yang

buruk ini terkait satu sama lain dan hidup berdampingan.

Suatu institusi yang formalis, yang terkait pada peraturan,

merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang

Page 31: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

13

memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan

dalam konfliknya dengan lingkungan sekitar. Institusi

semacam ini cenderung beradaptasi secara oportunis

karena ia tidak mempunyai kriteria untuk secara rasional

merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang sudah

ketinggalan zaman atau tidak layak lagi. Hanya ketika

sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan baru

dapat ada paduan antara integritas dan keterbukaan,

peraturan dan diskresi. Jadi hukum responsif beranggapan

bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup

otoritatif untuk mengontrol pembuatan peraturan yang

adaptif.

Dengan demikian ciri khas hukum responsif adalah

mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam

peraturan dan kebijakan. Dalam kaitan ini, argumen yang

ditawarkan adalah proses saling mempengaruhi (interplay)

diantara aturan dan asas. Karena dalam proses inilah

suatu sumber perubahan dibangun kedalam tatanan

hukum. Suatu peraturan agar tetap relevan, dan bertahan

hidup, mesti bergantung pada kondisi-kondisi historis yang

tepat. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan

harus di tata ulang, bukan hanya untuk memenuhi

kebutuhan kebijakan namun juga untuk melindungi

otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika

diaplikasikan.

Jadi dapat dikatakan bahwa, hukum yang responsif

sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan

Page 32: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

14

sosial dan aspirasi publik, sesuai dengan sifatnya yang

terbuka, maka type hukum ini mengedepankan akomodasi

untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi

mencapai keadilan dan emansipasi publik.

Produk hukum yang responsif sebagaimana telah

diuraikan diatas, tidak dapat dipisahkan dari tujuan

hukum itu sendiri. Dalam perkembangan pandangan

tentang tujuan hukum, Aristoteles merupakan pemikir

pertama kali yang menyatakan bahwa tujuan hukum

adalah untuk mencapai kehidupan yang baik16. Akan

tetapi manakalah hukum itu berlaku kaku, dilakukan

pelunakan yang disebut equity”. Thomas Aquinas

mengadopsi dan mengembangkan pandangan Aristoteles

dan menyatakan bahwa secara ideal hukum terpancar dari

kekuasaan untuk memerintah guna kebaikan bersama.

Hukum adalah sesuatu yang hidup secara batiniah

didalam masyarakat. Tugas hukum yang memadai tertulis

dalam hati dan kehendak rakyat karena manusia

merupakan mahluk yang rasional. Hukum menurut

Thomas Aquinas terutama berkaitan dengan kewajiban

yang diletakan oleh nalar. Dalam kaitan ini, pandangan

Thomas Aquinas relevan dalam perbincangan hukum,

karena dia memandang manusia bukan semata-mata

mahluk berakal yang hanya mempunyai tujuan

kebahagiaan duniawi belaka, melainkan juga manusia

16 Aristoteles, Dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 97-161.

Page 33: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

15

mempunyai tujuan yang bersifat supernatural, yaitu

kebahagiaan kekal. Konsekuensinya kenyataan eksistensi

manusia semacam ini tidak dapat dilepaskan dari alasan

keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Jeremi Benthan, tujuan hukum harus ditujukan

untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak

mungkin orang. Sementara dalam perspektif Ilmu-ilmu

Sosial hukum hanya ditujukan dalam pemenuhan

kebutuhan aspek fisik manusia saja. Dengan demikian

produk hukum yang responsif dapat menjadi pintu masuk

untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan serta kepastian

hukum dalam hidup bermasyarakat agar bisa tercapai

hidup sejahtera, bahagia lahir dan batin.

1.2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka

masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah :

1. Bagaimana perbandingan prosedur Pembentukan

Undang-Undang antara Indonesia dan Timor-Leste ?

2. Apakah prosedur pembentukan Undang-Undang

tersebut dapat menghasilkan Undang-Undang yang

berkarakter responsif ?

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui dan dapat menjelaskan prosedur

penyusunan undang-Undang yang berlaku di

Indonesia dan Timor-Leste.

Page 34: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

16

2. Mengungkap serta memastikan bahwa sistem

pembuatan Undang-Undang yang ada, dapat

menciptakan hukum yang responsif untuk

masyarakat kedua negara.

3. Mengungkap perbedaan dan persamaan dari

proses pembuatan Undang-Undang pada negara

Timor-Leste dan Indonesia, dengan harapan dapat

memberikan mamfaat yang sebesar-besarnya

terutama bagi negara Timor-Leste yang baru

mencapai kemerdekaannya pada tahun 2002.

1.4 METODE PENELITIAN 1.4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,

yaitu penelitian yang dilakukan terhadap kaidah/hukum

itu sendiri (peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,

hukum adat atau hukum tidak tertulis lainya),17 dan asas-

asas hukum. Penelitian hukum normatif merupakan

penelitian yang lebih menitikberatkan pada penggunaan

data sekunder. Data sekunder yang akan diteliti mencakup

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tertier.

1.4.2 Pendekatan Dan Spesifikasi Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

17 Joni Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Diterbitkan oleh Bayu Media Publishing, Malang Jawa Timur Indonesia, hal.294-297.

Page 35: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

17

Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan

studi perbandingan hukum. Menurut Gutteridge,

Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan

penelitian hukum.18 Studi perbandingan hukum

merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu

negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu

waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di

samping itu juga membandingkan suatu putusan

pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang

lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini

bermanfaat bagi peyingkapan latar belakang terjadinya

ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari

dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan

rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-

undangan.

Sebagai bahan perbandingan mengenai penelitian

hukum untuk kajian akademis dan juga untuk kegiatan

praktik hukum, akan dikemukakan beberapa disertasi

yang ditulis oleh peneliti dari berbagai negara dan berbagai

universitas.

Pertama A.P. Piroen didalam disertasinya yang berjudul

BeschermingOmvan van Octroien in Nederland, Duitsland,

and Engeland dan dipertahankan di Rijkuniversiteit te

Leiden tahun 1988 setelah mengemukakan latar belakang

filosofis perlindungan paten, memperbandingkan

18 G. W. Paton, Penelitian Hukum, Dalam Mahmud Marzuki, Penerbit Kencana Media Group, 2008, hlm.132-136.

Page 36: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

18

perundang-undangan ketiga negara tersebut beserta latar

belakang filosofis perundang-undangan masing-masing

negara itu.

Kedua David Adedayo Ijalaye didalam disertasinya yang

berjudul The Ekstension Coorporate Personality in

International Law yang disusun dan diuji di Columbia

School of Law, New York setelah mengemukakan

ketentuan-ketentuan Hukum Internasional mengenai

Organisasi Internasional, membandingkan berbagai

organisasi yang bertaraf internasional, baik yang bersifat

antar pemerintah maupun konsorsium yang bersifat privat.

Selanjutnya dikemukakan perbandingan ketentuan-

ketentuan acara dalam berbagai tribunal baik Mahkama

Internasional maupun lembaga-lembaga arbitrase.

Dari kedua contoh diatas dapat dikemukakan dalam

tulisan ini bahwa melakukan perbandingan harus

mengungkapkan persamaan dan perbedaan. Persamaan

diantara perundang-undangan beberapa negara yang

diperbandingkan mungkin saja terjadi karena adanya

persamaan sistem hukum yang dianut oleh negara-negara

tersebut walaupun dari perkembangan politik dan ekonomi

mungkin berbeda. Seperti hal perbandingan antara

Pembuatan undang-undang antara Indonesia dan Timor-

Leste. Secara ekonomis tidak mungkin dapat

diperbandingkan karena Indoneisa secara ekonomi lebih

maju dari Timor-Leste. Akan tetapi dilihat dari sistem

hukumnya, hukum Indonesia mewarisi hukum Belanda

Page 37: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

19

sedangkan Timor-Leste mewarisi sebagian hukum

Indonesia dan sebagian hukum Portugis. Karena kedua

negara inilah yang bergantian menduduki Timor-Leste.

Oleh karena itulah doktrin-doktrin yang berlaku di

Indonesia juga sebagian masih berlaku di Timor-Leste.

Didalam perkembangannya mungkin saja kedua negara

baik Indonesia maupun Timor-Leste mengadopsi doktrin-

doktrin lain yang sudah ada atau bahkan menggabungkan

dengan doktrin yang timbul dari hukum kebiasaan yang

merupakan refleksi dari budaya setempat

Perbandingan juga dapat dilakukan diantara negara-

negara dengan sistem hukum berbeda tetapi mempunyai

tingkat perkembangan ekonomi yang hampir sama, seperti

yang dilakukan oleh Fissheha-Tsion Menghistu yang

membandingkan Perundang-undangan dibidang fiscal atas

royalties negara-negara Amerika Latin, Asia dan Asia

Tenggara, serta negara-negara Afrika. Perbandingan

hukum juga dapat dilakukan tanpa melihat sistem hukum

maupun tingkat perkembangan ekonomi, melainkan hanya

melihat substansinya yang merupakan kebutuhan secara

universal, misalnya Money laundering, Perdagangan secara

elektronik, kejahatan narkotika, persaingan usaha, dan

lain-lain. Dalam melakukan penelitian hukum dibidang-

bidang tersebut, peneliti dapat melakukan perbandingan

undang-undang beberapa negara yang mengatur masalah-

masalah tersebut. Sudah barang tentu, latar belakang yang

melandasi masing-masing undang-undang tidak sama,

Page 38: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

20

tetapi dapat diduga, adanya persamaan doktrin yang

digunakan didalam masing-masing undang-undang

tersebut.

1.4.3 Sumber Data Dan Teknik Pengumpulan Data

Oleh karena penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif, maka data penelitian ini lebih mengutamakan

data sekunder dari pada data primer. Data sekunder yang

dimaksud mencakup bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer

yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terkait dengan

masalah penelitian, terdiri dari Konstitusi Republik

Demokratik Timor-Leste (RDTL 2002), Tata Tertib Parlemen

Timor-Leste, UUD 1945, UU No 10/2004, Tata Tertib DPR

RI, Tata Tertib DPD, Perpres No. 68 Tahun 2005, serta UU

lainya yang terkait dengan persoalan Penelitian. Bahan

hukum sekunder meliputi hasil-hasil penelitian, karangan

ilmiah (buku, tesis, disertasi, majalah ilmiah, makalah)

yang bertalian dengan proses pembuatan peraturan

perundang-undangan. Bahan hukum tertier yaitu meliputi

ensiklopedia dan kamus (baik kamus hukum, kamus

bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Inggris).

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

data sekunder yaitu dengan melakukan studi kepustakaan

(library research), baik terhadap kaidah hukum yang ada,

hasil penelitian, dan karangan ilmiah (buku, tesis,

disertasi, majalah ilmiah, dan terbitan lainnya) yang

berkaitan dengan pelaksanaan fungsi atau pembuatan

Page 39: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

21

peraturan perundang-undangan oleh parlemen. Studi

kepustakaan dilakukan di beberapa perpustakaan berikut

ini;

1. Perpustakaan Umum Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga;

2. Ruang baca Magister Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga;

Untuk menunjang data sekunder maka diperlukan

data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan.

Pelaksanaan penelitian lapangan dilaksanakan melalui

survey dan pengambilan data awal di Parlemen Republik

Demokratik Timor-Leste dari tanggal 2 april s/d 12 april

2009. Dilanjutkan wawancara dengan pihak-pihak yang

memiliki perhatian dan keterkaitan dengan masalah

penelitian yaitu para anggota Parlemen/DPR (diwakili oleh

pimpinan fraksi).

1.4.4 Analisis Data

Data yang menyangkut proses pembuatan undang-

undang baik dari Parlemen dan Pemerintah RDTL maupun

Indonesia yang telah dikumpulkan lewat penelitian akan

dipelajari, diklasifikasi, diolah, dan diuraikan untuk

selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif

yaitu analisis yang menggunakan kata-kata, bukan dalam

bentuk angka-angka (kuantitatif).

1.4.5 Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini

dibangun dari demokrasi sebagai teori utama (grand

Page 40: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

22

theory). Khususnya (representative democracy19 and

democracy participatory) kemudian diturunkan teori

partisipasi publik dan teori kebijakan. Pembahasan

mengenai teori demokrasi perwakilan pada gilirannya akan

mencakup teori lembaga perwakilan rakyat, termasuk

tentang fungsi-fungsi dan hak-hak lembaga perwakilan

rakyat. Disamping teori-teori tersebut sampailah pada

proses pembuatan undang-undang sebagai salah satu

fungsi atau wewenang dari lembaga legislatif.

Kedaulatan rakyat atau kerakyatan, secara harafiah

berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang

menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut

negara demokrasi, selanjutnya Abrahan Lincoln

memberikan batasan singkat tentang demokrasi sebagai

suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat ( from the people, of the people, and for the people).20

Dari rakyat maksudnya bahwa para penyelenggara negara

harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang

disetujui/didukung oleh rakyat.

Oleh rakyat, maksudnya adalah bahwa para

penyelenggara negara/pemerintah dilakukan sendiri oleh

rakyat atau atas nama rakyat atau yang mewakili rakyat.

19 Teori Demokrasi Perwakilan dalam Tesis Umbu Rauta, Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Kebijakan Pemerintah Menurut UUD 1945, hlm.14 20 Abraham Lincoln, Dalam Teori Negara Hukum, H.Nukthoh Arfawie Kurde, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2005, hlm.61.

Page 41: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

23

Untuk rakyat, maksudnya pemerintah dijalankan atau

berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.21

Dalam negara demokrasi, kedaulatan rakyat bersifat

sentral karena rakyat sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi menentukan segala wewenang yang ada dalam

negara.22 Ini berarti baik dalam proses pembentukan

kebijaksanaan negara maupun penyelenggaraan

pemerintahan negara yang bersangkutan semuanya

dibangun atau ditentukan berlandaskan keinginan atau

kehendak rakyat. Dalam hal ini kemauan rakyatlah yang

menjadi hukum tertinggi dalam negara tersebut.

Dalam UUD 1945 telah dimuat sendi-sendi dasar

pembentukan peraturan perundang-undangan-termasuk

didalamnya UU - yaitu sendi kerakyatan (demokrasi),

negara berdasar atas hukum, dan negara berdasar atas

konstitusi (konstitusionalisme). Dengan demikian,

peraturan perundang-undangan yang akan digunakan

untuk mengatur kehidupan bersama dalam sebuah negara

harus dituangkan dalam sistem konstitusional yang berada

dalam konsepsi negara hukum yang demokratis atau

negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.

21 I Gede Panntja Astawa, tentang Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, menurut UUD 1945. 22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH.UI, Jakarta, 1988, Dalam Tesis Umbu Rauta, Ibid hlm.14.

Page 42: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

24

“Demokrasi”23 berasal dari jaman Yunani kuno dan

telah mengalami transformasi perkembangan bentuk

demokrasi modern dalam negara bangsa sekarang ini.

Dalam berbagai literatur banyak diberikan rumusan

tentang demokrasi. Untuk memberikan gambaran tentang

pengertian demokrasi, James Mac Gregor Burn at all

menyatakan:

“a system of government in which those who have

authority to make decisions (that have the force of law)

acquire and retain this authority either directly as the

result of winning free elections in which the great

majority of adult citizens are allowed to participate”24

Dari rumusan tersebut, kiranya dapat diberikan

pemahaman terhadap suatu negara yang menganut sistem

demokrasi. Pertama, demokrasi adalah suatu sistem

pemerintahan yang mempunyai unsur-unsur atau elemen-

elemen saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Kedua,

orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama

demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan

dan menegakkan hukum. Ketiga, kekuasaan untuk

mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh

dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas

dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa dari

suatu negara. Berdasarkan pada tiga ciri umum tersebut

maka suatu negara demokrasi mempunyai tiga 23 Kata Demokrasi (democracy) berasal dari dua akar kata bahasa Yunani Kuno yaitu “demos”, rakyat dan “kratein”, pemerintahan. 24 James Mac Gregor Burs at all, dalam Saifudin Op.Cit. hlm. 13.

Page 43: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

25

pemahaman utama yang meliputi hakekat, proses dan

tujuan dari demokrasi. 25Dengan demikian, demokrasi

adalah sistem pemerintahan yang dibentuk melalui

pemilihan umum untuk mengatur kehidupan bersama atas

dasar aturan hukum yang berpihak pada rakyat banyak.

Jadi, tepat bahwa demokrasi diberikan rumusan yang

singkat sebagai “a government of the people, by the people,

for the people”26

Pemahaman tentang demokrasi diatas, sudah barang

tentu mempunayi konsekuensi-konsekuensi yang harus

diperhatikan. Dalam kaitan ini, Affan Gaffar memberikan

lima hal yang merupakan elemen empirik sebagai

konsekuensi dari demokrasi, yaitu :

1. Masyarakat menikmati apa yang menjadi hak-hak

dasar mereka termasuk hak untuk berserikat,

berkumpul (freedom of assembly), hak untuk

berpendapat (freedom of speech), dan menikmati

pers yang bebas (freedom of the press);

2. Adanya pemilihan umum yang dilakukan secara

teratur dimana si pemilih bebas menentukan

pilihannya tanpa ada unsur-unsur paksaan;

25 Bandingkan dengan Samuel P Huntington yang melihat demokrasi dalam tiga pendekatan umum yaitu, pertama, sumber wewenang bagi pemerintah, kedua, tujuan yang dilayani oleh pemerintah; dan ketiga, prosedur untuk membentuk pemerintahan. Lihat Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan, Cetakan kedua, Pustaka Utama Gafitri, Jakarta, 1995. Hlm. 4. 26 Harris G. Warren at all, Our Democraci at Work, Printice Hall, Inc., Englewood Cliffs, USA, 1963, hlm. 2.

Page 44: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

26

3. Sebagai konsekuensi kedua hal diatas, warga

masyarakat dapat mengaktualisasikan dirinya

secara maksimal di dalam kehidupan politik

dengan melakukan partisipasi politik yang

mandiri (autonomous participation) tanpa

digerakkan;

4. Adanya kemungkinan rotasi berkuasa sebagai

produk dari pemilihan umum yang bebas;

5. Adanya rekruitmen politik yang bersifat terbuka

(open recruitmen) untuk mengisi posisi-posisi

politik yang penting di dalam proses

penyelenggaraan negara.27

Konsekuensi-konsekuensi ini akan memberikan

kesempatan kepada rakyat selaku warga negara untuk

melakukan hak dan kewajiban politiknya dalam bernegara.

Demokrasi akan memberikan kesempatan-kesempatan

untuk, pertama, partisipasi yang efektif; kedua, persamaan

dalam memberikan suara; ketiga, mendapatkan

pemahaman yang jernih; keempat, melaksanakan

pengawasan akhir terhadap agenda; kelima, pencakupan

orang dewasa.28 Adanya konsekuensi-konsekuensi ini akan

memberikan ukuran-ukuran dalam melihat berbagai

27 Affan Gaffar, Pembangunan Hukum dan Demokrasi, dalam Muh. Busyro Muqoddas dkk. (Penyunting), Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm, 106 . 28 Dalam hal ini Robert A. Dahl mengemukakan bahwa “Democracy provides opportunities for: 1. Effective participation; 2. Equality in voting; 3. Gaining enlightened understanding; 4. Exercising final control over the agenda; 5. Inclusion of adult”. Lihat Robert A. Dahl Dalam Democracy, Yale University Press, USA, 1998, hlm. 38.

Page 45: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

27

negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi. Jadi,

kesempatan-kesempatan yang merupakan konsekuensi

dari ukuran umum negara demokrasi ini tidak di jalankan,

maka negara tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai

negara demokrasi.

Pertumbuhan negara bangsa dengan jumlah

penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, telah

memunculkan berbagai kompleksitas persoalan yang

dihadapi suatu negara sehingga melahirkan demokrasi

modern dengan adanya lembaga perwakilan. C.F Strong

mengatakan bahwa keberadaan lembaga perwakilan dalam

demokrasi modern ini mempunyai peran yang penting dan

berarti dalam suatu negara bangsa.29 Bentuk lembaga

perwakilan ini menurut John Stuart Mill merupakan

pilihan bentuk pemerintahan yang ideal. Bertalian dengan

sistem perwakilan dalam demokrasi modern ini John

Stuart Mill lebih lanjut mengemukakan: “But since all

cannot, in a community exceeding a single small town,

parcitipate personally in any but some very minor portion of

the public bussines it fallows that the ideal type of perfect

government must be refresntative”.30 (Namun demikian, oleh

karena tidak semua orang dalam komunitas ikut

berpartisipasi, maka hal ideal yang dapat dilakukan adalah

melalui perwakilan yang ada di pemerintahan). 29 C. F. Strong, Modern Political Constitutions, E.L.B.S. Edition First Published, The English Language Book Society and Sidwgwick & Jacson Limited, London, 1996, hlm. 171. 30 John Stuart Mill, Utilitarianism Liberty Representative Government, JM Dent & Sons Ltd., Everyman’s Library, London, 1998, hlm. 233.

Page 46: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

28

Melalui lembaga perwakilan, persoalan-persoalan

yang kompleks dihadapi masyarakat akan dapat

diselesaikan. Lembaga perwakilan berfungsi untuk

memjembatani dan menyalurkan aspirasi rakyat dalam

proses penyelenggaraan pemerintahan. Secara umum

lembaga perwakilan ini mempunyai fungsi perundang-

undangan (termasuk menetapkan APBN), fungsi

pengawasan dan fungsi sebagai sarana pendidikan

politik.31 Fungsi-fungsi ini dilakukan oleh lembaga

perwakilan dalam rangka mewujudkan cita-cita demokrasi

modern yang dewasa ini diikuti oleh sebagaian besar

negara-negara di dunia.

Penggunaan fungsi-fungsi tersebut secara teori

mudah difahami, tetapi dalam praktek menimbulkan suatu

problematika. Apa yang di putuskan oleh lembaga

perwakilan belum tentu diterima oleh masyarakat.

Disinilah kesenjangan akan muncul antara wakil yang

duduk dalam lembaga perwakilan dengan rakyat yang

diwakilinya. Apakah wakil-wakil itu mengambil keputusan

atas dasar pertimbangan nuraninya sendiri? Atau

mengambil keputusan atas dasar petunjuk garis induk

partainya? Dengan kata lain persoalannya adalah

bagaimanakah hubungan antara si wakil dengan yang

diwakilinya.

Sementara itu dalam bukunya Cary Coglianese et

all mengatakan bahwa: 31 Bintan R Saragih, Dalam Tesis Umbu Rauta, Loc. Cit.

Page 47: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

29

“Transparansi” dan “partisipasi publik” mewakili dua segi proses pembuatan peraturan yang bisa meningkatkan/memperluas kualitas dan legitimasi pembuatan peraturan. Transparansi menunjuk pada akses publik terhadap informasi yang dimiliki para pembuat peraturan pemerintah sebagaimana juga informasi tentang pengambilan keputusan mereka. Partisipasi publik mencakup beragam kesempatan bagi para warga, organisasi-organisasi bukan pemerintah, bisnis dan banyak lainnya di luar pemerintahan pusat untuk memberikan kontribusi dan memberikan ulasan (komentar) tentang peraturan-peraturan yang diusulkan. Baik transparansi maupun partisipasi publik bisa meningkatkan legitimasi demokratis dengan cara memperkuat banyak hubungan antara lembaga-lembaga pemerintah dengan publik yang mereka layani. Keduanya bisa membantu lebih meningkatkan kualitas pembuatan peraturan yang dilakukan pemerintah. Transparansi membantu menjamin partisipasi publik yang berarti dan luas, dan partisipasi publik yang berarti dan luas tersebut bisa memberikan informasi kepada badan pembuatan peraturan.32

Meskipun telah ada berbagai teori dalam melihat

hubungan antara si wakil dengan yang diwakili tersebut,

demokrasi perwakilan tetap bermasalah. Dalam demokrasi

perwakilan akan memandang dan mengasumsikan rakyat

sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses

pengambilan keputusan publik. Rakyat lebih baik apatis

dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan

yang merusak budaya, masyarakat dan kebebasan.

32 Cary Coglianese, et.all., Dalam Transparency and Public Participation in Rulemaking Proses, University of Pensylvania Law School, 2008, hlm.17.

Page 48: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

30

Dibawah sebuah pemerintahan perwakilan yang elitis ini,

warga negara sering menyerahkan kekuasaan yang sangat

besar yang dapat digunakan sesukanya atas keputusan-

keputusan yang luar biasa penting. Inilah sisi gelap dari

demokrasi perwakilan, walaupun diakui juga ada

keuntungan-keuntungannya. Jadi, demokrasi perwakilan

yang elitis ini adalah demokrasi yang semu, hanya

diperankan oleh sekelompok orang yang

mengatasnamakan rakyat melalui justifikasi pemilihan

umum. Dari berbagai praktek demokrasi perwakilan yang

lebih diperankan oleh sekelompok elit yang duduk dalam

lembaga perwakilan ini, dalam perkembangannya

menuntut adanya demokrasi partisipatoris.

Tuntutan demokrasi partispatoris33 dalam upaya

memberdayakan masyarakat untuk turut serta dalam

proses pengambilan keputusan publik telah menjadi isu

penting dalam konteks global dewasa ini. Di Indonesia yang

menganut sistem demokrasi, wacana tentang partisipasi

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik

ini, telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses

33 Kelahiran konsep partispasi dalam sistem demokrasi sehingga memunculkan “participatory democracy”, ini, tanpaknya tidak terlepas dari adanya gerakan” New Left” sebagai pengaruh dari “legitimation crisis” pada akhir dasawarsa 1960-an. Gerakan New Left yang memunculkan Democracy Paricipatory ini adalah the main counter-models on the left to the legal democracy. Legal Democracy bertumpu pada premis pluralis theory of politics yang mengacu pada teori overloaded government, sedangkan Democracy Participatory bertumpu pada premis Marxist yang mengacu kepada teori legitimation crisis. Lihat David Held, Models of Democracy, Second Edition, Polity Press, tahun 1996, hlm. 241 dan 264.

Page 49: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

31

demokrasi di Indonesia, dan terasa lebih meningkat

terutama setelah bergulirnya gerakan reformasi 1998.

Untuk memahami pengertian tentang partisipasi

secara utuh, maka pertama-tama perlu diketahui terlebih

dahulu pengertian dari “partisipasi politik”. Dalam kaitan

ini Samuel P Hungtintong dan Joan Nelson memberikan

definisi tentang “partisipasi politik” adalah : “we define

political participation simply as activity by private citizens

designed to influence governmental decision making”

34.(partisipasi politik adalah usaha masyarakat dalam

rangka mempengaruhi keputusan pemerintah).

Dari rumusan tentang partisipasi politik tersebut,

tampak bahwa substansi dari partisispasi adalah kegiatan

untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, tanpa

melihat bentuk, sifat dan hasil dari partisipasi yang

dilakukannya. Meskipun demikian, dalam definisi tersebut

terdapat empat hal pokok yaitu: pertama, partisipasi

adalah mencakup “kegiatan-kegiatan”, dan tidak

memasukan didalamnya yang berupa “sikap-sikap”

terhadap orientasi politik. Kedua, partisipasi adalah

kegiatan politik warga negara biasa atau tepatnya

perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai

warga negara. Artinya, bukan kegiatan dari orang-orang

yang memang berkecimpung dalam profesi politik atau

pemerintahan. Ketiga, partisipasi adalah hanya merupakan 34 Samuel P Huntington and Joan M Nelson, No easy Choice Political Participation in Developing countries, Harvard University Press, Cumbridge, Massachusetts, and London, 1976, hlm. 4.

Page 50: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

32

kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi

pengambilan keputusan pemerintah. Keempat, partisipasi

mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan untuk

mempengaruhi pemerintah, tak peduli apakah kegiatan itu

benar-benar mempunyai efek itu.35

Pemahaman terhadap definisi partisipasi yang

didalamnya mengandung empat hal pokok tersebut, pada

dasarnya menuntut masyarakat untuk berpartisipasi

dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan yang

berpangkal kepada adanya desirability dari masyarakat

untuk mewujudkan self-government dalam democracy

participatory.36 Keterlibatan individu dalam partisipasi

politik ini bertumpu pada dua kerangka utama yaitu:

socioeconomic status dan social centrality.37

Masalah lebih lanjut dari partisiasi ini adalah

mengapa seseorang berpartisipasi atau kurang

berpartisipasi dalam proses politik? Dalam kaitan ini

terdapat faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi

tinggi rendahnya partisipasi seseorang, yaitu, kesadaran

politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem

politik).38 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi

35 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, di Terjemahkan oleh Sahat Simamora, Cetakan. Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 6-8. 36 William N. Nelson, On Justifying Democracy, Routledge & Kegan Paul Ltd., London, 1980, hlm. 51. 37 Milbrath sebagaimana dikutip Joan M Nelson, “Political Participation”, dimuat dalam Understanding Political Development, Editor Myron Weiner dan Samuel P Huntington, Little, Brown and Company, Boston, 1987, hlm. 106-107. 38 Yang dimaksud dengan kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara yang dapat berupa pengetahuan seseorang

Page 51: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

33

atau rendahnya seseorang dalam melihat suatu persoalan

dalam lingkungannya adalah: pertama, apabila seseorang

memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada

pemerintah tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif;

kedua, apabila seseorang tingkat kepercayaan kepada

pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung

pasif-tertekan (apatis); ketiga, apabila kesadaran politik

tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat

rendah, maka akan melahirkan militan radikal; keempat,

apabila kesaradan politik sangat rendah tetapi kepercayaan

kepada pemerintah sangat tinggi, maka akan melahirkan

partisipasi yang tidak aktif (pasif).

Adanya berbagai faktor penyebab dari keterlibatan

masyarakat untuk menyalurkan desirability dalam

penyelenggaraan pemerintahan tersebut, berangkat dari

suatu asumsi bahwa yang mendasari partisipasi dalam

demokrasi adalah dirinya sendiri yang paling tahu tentang

apa yang baik bagi dirinya. 39

Selain berbagai faktor yang mendorong seseorang

untuk berpartisipasi tersebut, partisipasi politik sebagai

suatu bentuk kegiatan politik dapat dilihat pula dari

macam-macam bentuk dan intensitasnya. Artinya,

tentang lingkungan masyarakat dan politik, serta minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah adalah penilaian seseorang terhadap pemerintah: apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan keempat, Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 144. 39 Petter L Barger Sebagaimana di kutip oleh Ramlan Surbakti, Dalam Saifudin, Ibid., hlm.140.

Page 52: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

34

partisipasi politik dapat dibedakan menurut frekuensi dan

intensitasnya. Dari sudut pandang ini, Miriam Budiardjo

mengemukakan bahwa terdapat adanya tiga kelompok

besar pelaku partisipasi dalam melakukan kegiatan

menurut frekuensi dan intensitasnya yaitu: aktivis;

partisipan; dan, pengamat.40

Memahami berbagai aspek yang bertalian dengan

partisipasi masyarakat dalam melakukan kegiatan politik

diatas, maka dalam demokrasi partisipatoris menuntut

peran aktif berbagai komponen demokrasi secara

keseluruhan. Demokrasi jenis ini akan memberikan

peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi

secara efektif dalam proses pengambilan keputusan yang

menyangkut kebijkan publik. Prinsip yang dipakai dalam

demokrasi partisipatoris ini adalah persamaan bagi seluruh

warga negara yang telah dewasa untuk ikut menentukan

agenda melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda

yang telah di putuskan secara bersama. Hal ini dilakukan

agar perjalanan kehidupan bernegara mendapatkan

pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat dalam

rangka terwujudnya pemerintahan yang baik. Jadi,

demokrasi partisipatoris pada hakekatnya adalah

demokrasi yang secara sadar akan memberdayakan rakyat

40 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Edisi Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 7.

Page 53: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

35

dalam rangka mewujudkan pemerintahan “dari rakyat,

oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat”.41

Adanya pemberdayaan rakyat yang berupa

partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan

rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat

diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat.

Karena itulah, prinsip “representation in ideas” di bedakan

dari “representation in presence”, karena perwakilan fisik

saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan

atau aspirasi.42

Akhirnya, pelibatan rakyat secara aktif dalam proses

penentuan agenda, pengambilan keputusan dan kontrol

terhadap kebijakan yang telah diambil secara bersama,

maka rakyat akan memberikan dukungan dengan penuh

antusias dan dapat merasakan bahwa mereka mempunyai

tingkat “ownership” yang tinggi dalam bernegara.43

Dengan mengacu pada pemahaman terhadap konsep

demokrasi partisipatoris tersebut, maka pada dasarnya

keberadaan lembaga perwakilan walaupun terdapat

berbagai kelemahan, tetaplah merupakan salah satu

komponen dalam demokrasi. Artinya, dinamika demokrasi

modern dalam nation state – selain lembaga perwakilan

yang diisi melalui pemilihan umum - masih terdapat

elemen demokrasi lainnya yang mempunyai hak dan 41 Jimly Asshididdiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kedua, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkama Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 141. 42 Ibid., hlm. 161. 43 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Op. Cit., hlm. 6.

Page 54: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

36

kedudukan yang sama dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Disinilah arti pentingnya, interest group,

pressure group, tokoh masyarakat, pers dan partai politik

ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan. Aktivitas dari berbagai kekuatan politik

masyarakat dalam upaya mempengaruhi kebijakan publik

ini merupakan input bagi suatu sistem politik yang akan

diproses menjadi output dalam penyelenggaraan negara. 44

Peran dari elemen-elemen masyarakat ini sangat

diperlukan dalam rangka menciptakan demokrasi

partisipatoris, meskipun pada akhirnya di negara-negara

yang telah membuka diri terhadap pendekatan sosiologis

sekalipun, pembuat undang-undang tetap yang

bertanggung jawab dalam pembentukan undang-undang.45

44 David Easton, A Frame Work for Polical Analysis, Cetakan Kesepuluh, Printice, Hall, Inc. englowood Cl;iffs, NJ, United States of America, 1965, hlm. 112. 45 Jufrina Rizal, Sosiologi Perundang-undangan, Makalah yang disajikan dalam Pendidikan dan Latihan Tenaga Tehnis Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR R, Jakarta, 1998/1999, hlm. 7.

Page 55: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pembentukan Undang-Undang

Pemahaman terhadap undang-undang, tidak terlepas

dari kata “wet” dari bahasa Belanda yang berarti undang-

undang. Menurut A Hamid Attamimi, dalam kepustakaan

Belanda terdapat pembedaan antara wet yang formal dan

yang material. Atas dasar pembedaan tersebut, maka

terdapat istilah “wet in materiele zin” yang dapat

diterjemahkan dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Bagir Manan mengemukakan bahwa dalam

ilmu hukum dibedakan undang-undang dalam arti

material dengan undang-undang dalam arti formal.

Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap

keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berisi

aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara

umum yang dinamakan peraturan perundang-undangan. 46 Sedangkan undang-undang dalam arti formal adalah

peraturan perundang-undangan yang dibentuk Presiden

dengan persetujuan DPR. 47 Atas dasar pemahaman

terhadap undang-undang tersebut, maka jelas bahwa

undang-undang dalam arti formal adalah bagian dari

46 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Cetakan Pertama, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1992, hlm.3. 47 Ibid., hlm. 35.

Page 56: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

38

undang-undang dalam arti material, yaitu bagian dari

peraturan perundang-undangan. Karena peraturan

perundang-undangan mempunyai sifat abstrak dan

mengikat secara umum, maka peraturan perundang-

undangan lazim disebut bercirikan abstrak-umum atau

umum abstrak.48 Jadi, terhadap undang-undang dapat

diberikan rumusan sebagai berikut: undang-undang

adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang

dibuat oleh lembaga legislatif – DPR bersama-sama

presiden – yang bersifat abstrak dan berlaku secara umum.

Gagasan dasar dari pembagian kekuasaan (division

of power)49 adalah untuk menyelamatkan negara dari

tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Lahirnya

gagasan ini tidak dapat dilepaskan dari praktek

penyelenggaraan negara yang absolut dibawah seorang

penguasa sehingga merugikan rakyat dalam suatu negara.

Penyelenggaraan negara perlu diberikan kepada organ-

organ yang berbeda dengan orang yang berbeda pula.

Dalam pembagian kekuasaan ini, dapat terjadi ada kerja

sama antara satu organ kekuasaan dengan organ

kekuasaan yang lain dalam menjalankan satu fungsi

48 Bagir Manan, Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan hukum Nasional, Makalah disajikan pada Pertemuan ilmiah tentang kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND Dalam Pembangunan Hukum yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, di Jakarta, 19-20 Oktober 1994. 49 Pembagian kekuasaan (division of power) sering disebut juga pemisahan kekuasaan dalam arti formil yaitu bahwa pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Lihat Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cetakan, Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1982, hlm. 3.

Page 57: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

39

kekuasaan dalam negara. Jadi, terdapat dasar kerja sama

dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Peraturan Perundang-undangan berada dalam

domain hukum tertulis (jus scriptum), yakni hukum yang

dibentuk dan diterapkan oleh institusi atau pejabat yang

berwenang dengan bentuk dan format tertentu. Jimly

Asshidiqie50 mengkategorikan peraturan perundang-

undangan selaku hukum tertulis kedalam 4 (empat)

macam :

(i) Peraturan perundangan yang bersifat umum, yaitu

berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena

tidak menunjuk kepada hal atau peristiwa, atau kasus

kongkrit yang sudah ada sebelum peraturan itu

ditetapkan;

(ii) Peraturan perundangan yang bersifat khusus karena

kekhususan subyek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku

bagi subyek tertentu;

(iii) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya

berlaku di dalam wilayah tertentu;

(iv) Peraturan perundangan yang bersifat khusus, karena

kekhususan daya ikat materinya, yaitu hanya berlaku

internal.

Macam sifat dari peraturan perundang-undangan

dalam hukum tertulis tersebut berimplikasi pada jenis

maupun institusi atau pejabat yang berwenang 50 Jimly Asshiddiqie, Dalam I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. hlm. 51.

Page 58: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

40

membentuknya. Termasuk pula berimplikasi terhadap

penjabaran dari norma yang abstrak menjadi norma yang

kongkrit berdasarkan sumber kewenangan sehingga suatu

bentuk peraturan perundang-undangan lahir.

Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan yang dimiliki

institusi atau pejabat dalam membentuk peraturan

perundang-undangan diperoleh melalui atribusi ataupun

delegasi kewenangan.

Atribusi kekuasaan (attributie van rechtsmacht),

khusus atribusi kekuasaan membentuk peraturan

perundang-undangan (attributie van wetgevendemacht)

sering diartikan sebagai pemberian kewenangan kepada

badan atau lembaga atau pejabat (ambt) negara tertentu,

yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar

maupun oleh pembentuk Undang-Undang.

Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru

untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut.

Pemberian wewenang dimaksud melahirkan suatu

kewenangan serta tanggung jawab yang mandiri. Jadi, ada

suatu original power (originaire van macht) yang kemudian

melahirkan suatu original power of legislation (originaire

wetgevendemacht). Jelasnya dalam kewenangan atribusi

terdapat suatu kewenangan baru. 51

Sedangkan delegasi kewenangan (delegatie

vanbevoegdheid) adalah sebagai suatu penyerahan atau 51 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Dalam I Gde Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Penerbit, PT Alumni, Bandung, 2008, hlm. 53.

Page 59: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

41

pelimpahan kewenangan (dalam hal ini kewenangan

pembentukan undang-undang – delegatie van

wetbevoegdheid) dari badan atau lembaga atau pejabat

yang menyerahkan atau melimpahkan wewenang tersebut

(delegans). Melalui penyerahan kewenangan yang

dimaksud, berarti seluruh kewenangan yang diserahkan

atau dilimpahkan menjadi tanggung jawab atau beralih

kepada penerima kewenangan (delegataris) . Dalam

delegasi kewenangan yang diserahkan atau dilimpahkan

tersebut sudah ada pada delegans, sehingga tidak ada

penciptaan kewenangan baru.52

Meskipun dimungkinkan dalam hukum perundang-

undangan untuk pendelegasian kewenangan dari bentuk

hukum peraturan perundang-undangan tertentu kepada

pemegang kewenangan dalam membentuk peraturan

perundang-undangan lainnya yang perlu diperhatikan

sebagai koridor adalah hierarkhi peraturan perundang-

undangan yang hanya dimungkinkam untuk

didelegasikan kepada bentuk hukum yang sederajat atau

yang lebih rendah (lex superiori derogate legi lmperiori).

2.2 Landasan Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan Setiap peraturan perundang-undangan dapat

dikatakan baik (good legislation), sah menurut hukum

(legal validity) dan berlaku efektif karena dapat diterima

52 M.Solly Lubis, Dalam I Gde Pantja Astawa, Ibid. hlm. 77-78.

Page 60: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

42

masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang

panjang, sehingga harus didasarkan pada landasan

peraturan perundang-undangan. Sudah banyak para ahli

hukum yang memberikan argumentasi mengenai landasan

peraturan perundang-undangan, antara lain M. Solly

Lubis yang mengatakan bahwa ada tiga landasan

pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni :

1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan

atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu

menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan)

kedalam suatu rencana atau draft peraturan negara.

Misalnya pancasila menjadi dasar filsafat perundang-

undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu

peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.

2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi

dasar hukum (rechtsground) bagi pembuatan suatu

peraturan. Misalnya UUD menjadi landasan yuridis bagi

pembuatan UU organik. Selanjutnya UU itu menjadi

landasan yuridis bagi pembuatan peraturan pemerintah

ataupun Perda.

3. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang

menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan

pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara.

Selanjut Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa menambahkan satu

landasan lagi yaitu landasan sosiologis ( sociologiche

gronsdlag, sociologiche gelding). Suatu peraturan

perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan

Page 61: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

43

sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan

keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini

penting agar peraturan perundang-undangan yang dibuat

di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati

belaka. Atas dasar sosiologis ini diharapkan suatu

peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima

oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan

perundang-undangan yang diterima secara wajar akan

mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak

memerlukan pengerahan institusional untuk

melaksanakannya. Dalam teori pengakuan (Annerken-

nungstheorie) di tegaskan bahwa kaidah hukum berlaku

berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum

itu berlaku. Tegasnya bahwa dasar sosiologis artinya

mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat.

2.3. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Di samping landasan peraturan perundang-

undangan, juga dikenal asas-asas peraturan perundang-

undangan atau asas-asas hukum, yaitu nilai-nilai yang

dijadikan pedoman dalam penuangan norma atau isi

peraturan ke dalam bentuk dan susunan peraturan

perundang-undangan yang di inginkan, dengan

penggunaan metode yang tepat dan mengikuti prosedur

yang telah di tentukan. Pentingnya asas-asas hukum

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

menurut Paul Scholten sebagaimana disetir oleh A. Hamid

Page 62: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

44

S. Attamimi53 ialah untuk dapat melihat benang merah

dari sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti.

Asas-asas hukum ini juga dapat di jadikan sebagai

patokan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan

agar tidak melenceng dari cita hukum (rechtsidee) yang

telah disepakati bersama.

Namun secara teoritikal asas-asas hukum bukanlah

aturan hukum (rechtsregel), sebab asas-asas hukum tidak

dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu

peristiwa kongkrit dengan menganggapnya sebagai bagian

dari norma hukum. Meskipun demikikan, asas-asas

hukum tetap dibutuhkan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, karena hukum tidak dapat

mengerti karena asas-asas hukum.

Dari uraian diatas, setidak-tidaknya ada tiga (3) fungsi

asas, yaitu :

1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau

pengujian norma hukum.

2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman terhadap

hukum.

3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau

bangsa tertentu dalam memandang perilaku.

Asas-asas hukum dalam proses pembentukan dan

pengujian paraturan perundang-undangan menurut Van

der Vlies terbagi dalam asas-asas formal dan asas-asas

53 Paul Scholten dan Hamid S. Attamimi dalam Buku. I Gde Pantja Astawa,.......Op.Cit, hlm. 82.

Page 63: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

45

materiil. Maksud dari kedua jenis asas ini dijelaskan oleh

A. Hamid S.Attamimi54 ke dalam asas-asas pembentukan

dam penilaian peraturan perundang-undangan di

Indonesia, sebagai berikut :

a. asas-asas formal meliputi :

1. asas tujuan yang jelas;

2. asas perlunya pengaturan;

3. asas organ atau lembaga yang tepat;

4. asas materi muatan yang tepat;

5. asas dapat dilaksanakan;

6. asas dapat dikenali;

b. asas-asas materiil meliputi :

1. asas sesuai dengan cita hukum Indonesia

dan norma fundamental negara;

2. asas sesuai dengan hukum dasar negara;

3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara

berdasar atas hukum;

4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip

pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.

2.4. Materi Muatan Undang-Undang Menurut Soehino55, terdapat 4 (empat) hal yang

menjadi materi muatan UU, yaitu :

1. Materi yang menurut UUD 1945 harus di atur

dengan UU;

54 Van der Vlies dan A. Hamid S. Attamimi, Dalam I Gede Pandja Astawa....Op. Cit hlm. 83. 55 Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan, Dalam.I Gede Pandja Astawa...Op. Cit. hlm. 97.

Page 64: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

46

2. Materi yang menurut ketetapam MPR yang memuat

garis-garis besar dalam bidang legislatif harus

dilaksanakan dengan UU;

3. Materi yang menurut UU pokok, harus

dilaksanakan dengan UU;

4. Materi lain yang mengikat umum, seperti

pembebanan kepada penduduk, yang mengurangi

kebebasan warga negara, yang memuat keharusan

dan/atau larangan.

Maria Farida Indarti Soeprapto,56 mengemukakan

adanya sembilan butir materi muatan Undang-Undang,

yaitu;

1. yang tegas-tegas di perintahkan oleh UUD dan

TAP MPR;

2. yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;

3. yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;

4. yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;

5. yang mengatur pembagian kekuasaan negara;

6. yang mengatur organisasi pokok lembaga-

lembaga tertinggi/tinggi negara;

7. yang mengatur pembagian wilayah/daerah

negara;

8. yang mengatur siapa warga negara dan cara

memperoleh/kehilangan kewarganegaraannya;

56 Maria Farida Indarti, Dalam Ilmu Perundang-Undangan,Penerbit Kanisius, Jogyakarta, 1998, hlm. 129-130.

Page 65: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

47

9. yang di nyatakan oleh suatu UU, untuk di atur

dengan UU.

Materi muatan menurut Bagir Manan dan Kuntana

Magnar terdiri atas 5 (lima) substansi57, yakni:

1. perintah UUD 1945;

2. perwujudan kedaulatan rakyat;

3. memperbaharui UU atau sebagaian dari UU yang

ada;

4. diperintahkan oleh UU yang sudah terbentuk

terdahulu;

5. perjanjian dengan negara lain.

2.5. Penerapan Demokrasi Dalam Pembentukan

Undang-Undang Yang Responsif Mengacu pada penerapan demokrasi dalam

pembentukan undang-undang ini, akan diawali dengan

mengemukakan pikiran Affan Gaffar yang mengacu kepada

Robert A. Dahl mengenai pentingnya dimensi kompetisi

dan keterlibatan dalam mengamati demokrasi in action.

Dengan mengacu kepada dua dimensi tersebut, maka akan

memunculkan empat karakteristik rejim kaitan dengan

konteks ada tidaknya partisipasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan sebagai berikut: 58

57 Bagir Manan & Kuntana Magnar, I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. Hlm. 98. 58 Affan Gafar yang mengacu pada Robert A. Dahl, Dalam Saifudin, Op. cit. hlm 30.

Page 66: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

48

Tabel 2.1

Karakteristik Regim dalam Kaitannya dengan

Kompetisi dan Keterlibatan K

o

m

p

e

t

i

s

i

II

Competitive Oligarchy

III

Poliarchy

I

Closed Hegemony

IV

Compettive Hegemony

K e t e r l i b a t a n

Dari tabel gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut: pertama, closed hegemony (Quadran I) dimana

kondisi ini terjadi ketika kompetisi tidak begitu menonjol

bahkan rendah, dan demikian pula tingkat keterlibatan

masyarakat. Kedua, competitive oligarchy (Quadran II)

dimana kondisi ini terjadi ketika tingkat kompetensi yang

tinggi, sedangkan keterlibatan masyarakat rendah sehingga

hanya akan dikuasai oleh sekelompok golongan elit yang

oligarkhis. Ketiga, polyarchy (Quadran III), dimana kondisi

ini terjadi ketika suatu mekanisme politik yang terwujud

dalam pluralisme partai ditemukan dalam derajat yang

sangat tinggi, sehingga kompetisi dan keterlibatan

merupakan warna yang sangat menonjol bagi demokrasi

dalam model pemerintahan. Keempat, competetive

hegemony (Quadran IV), dimana terjadi ketika keterlibatan

Page 67: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

49

masyarakat dalam partisipasi politik sangat luas dan

intensif, akan tetapi tidak disertai dengan kompetisi yang

tinggi sehingga melahirkan rezim yang inclusive. Dengan

melihat berbagai karakteristik rezim diatas, lebih lanjut

Affan Gaffar menarik hubungan dengan suatu produk

hukum. Dalam kaitan ini, di buat dua model rejim yaitu

rejim yang demokratis dan tidak demokratis yang di

gambarkan pada tabel 2 (dua) sebagai berikut:

Table 2.2

Hubungan Antara Type Regim Dan Karakteristik

Produk Hukumnya 59

Regime types

Karakteristik Produk

Hukumnya

Mekanisme

Democratic

- Populist

- Progressive

- Limited interpretation

- Pluralistic/

Compettitive

Non Democratic

Elitist

Concervative

Open to interpretation

- Centralistic/Non

Competitive

Dari tabel diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

pertama, untuk rezim yang demokratik pembentukan

hukumnya dilakukan oleh berbagai pihak. Artinya,

keterlibatan masyarakat bukan hanya ada tetapi juga

tinggi karena terdapatnya pluralisme politik dalam

59 Afan Gaffar., dalam Saifudin , Ibid. hlm 31.

Page 68: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

50

masyarakat, baik yang tergabung dalam partai politik

maupun pressure group, mass media, lembaga swadaya

masyarakat dan sebagainya. Adanya keterlibatan

masyarakat ini akan berakibat pada produk hukumnya

bersifat populis dan progresif sehingga memberikan space

yang sedikit kepada pihak eksekutif untuk memberikan

interpretasi lebih lanjut terhadap suatu peraturan. Kedua,

untuk rezim yang tidak demokratis pembentukan

hukumnya dilakukan oleh elit utama dalam suatu negara

yaitu top birokrat, pemimpin militer dan pengusaha bagi

negara non sosialistik; sedangkan untuk negara sosialis

pembentukan hukumnya dilakukan oleh pemimpin partai

ditambah sejumlah militer. Produk hukumnya bersifat

elitis, concervative dan terbuka untuk interpretasi baru

dengan peraturan lebih lanjut.60

Atas dasar pemahaman terhadap hubungan antara

rezim dengan produk hukum diatas khususnya yang

bertalian dengan rezim demokrasi, maka persoalannya

semakin menarik ketika dikaitkan dengan adanya

demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris.

Bertolak dari adanya dua macam demokrasi tersebut maka

baik dalam demokrasi perwakilan maupun demokrasi

partisipatoris akan melahirkan problematik yang menarik

60 Affan Gaffar dalam Saifudin Op. Cit hlm 32 .

Page 69: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

51

dalam pembentukan undang-undang. Keduanya

mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing.61

Undang-undang dibuat tidak berada dalam ruang

yang hampa, tetapi berada dalam dinamika kehidupan

masyarakat luas dengan segala kompleksitasnya. Artinya,

masyarakat yang akan dituju oleh suatu undang-undang

menghadapi berbagai keterbatasan-keterbatasan dalam

menerima kehadiran suatu undang-undang. 62 Suatu

undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pihak

legislator, sangat mungkin kehadirannya akan ditolak

karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam

masyarakat. Disinilah arti pentingnya peran serta

masyarakat dilibatkan dalam proses pembentukan

undang-undang. Demokrasi partisipatoris diharapkan

dapat lebih menjamin bagi terwujudnya produk undang-

undang yang responsif, karena masyarakat ikut membuat

dan memiliki lahirnya suatu undang-undang. Adanya

partisipasi dalam pembentukan undang-undang ini juga

akan menjadikan masyarakat lebih bermakna dan 61 Pada demokrasi perwakilan proses pembentukan UU akan lebih mudah dibuat dari pada proses pembentukan UU pada demokrasi partisipatoris. Persoalan yang muncul dalam proses pembentukan UU cukup diselesaikan melalui kompromi-kompromi politik oleh kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam lembaga perwakilan. Karena ruang lingkup lembaga perwakilan itu terbatas, maka persoalannyapun dapat dilokalisir diantara partai-partai politik yang duduk dalam lembaga perwakilan. Sebaliknya dalam demokrasi partisipatoris pembentukan UU akan lebih sulit karena harus mengakomodir berbagai tatanan nilai dan kepentingan dari berbagai elemen kekuatan masyarakat, sehingga persoalannya akan lebih kompleks dan bisa melebar sesuai dengan kepentingan masing-masing, Dalam Saifudin,Op. Cit.hlm. 33. 62 Robert B Seidmann at all, Legislatif Drafting for Democratic Social Change:A Manual for Drafters, First Published, Kluwer Law International Ltd., London The Hague Boston, 2001, hlm. 15.

Page 70: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

52

pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi,

sehingga melahirkan pemerintahan yang bermoral dan

warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat.

2.6. Pengtingnya Pembentukan Undang-

Undang Dalam Era Globalisasi Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, ketika

batas batas negara sudah tidak jelas lagi (borderless),

keberadaan hukum tertulis (jus scriptum) khususnya

dalam bidang kajian hukum perundang-undangan, sudah

menjadi salah satu kebutuhan dasar (basic needs) dalam

upaya menggapai keadilan (justice), kedamaian (peacefull)

dan kepastian hukum (legal certainty). Mengapa demikian?

Karena kemutakhiran hubungan antar manusia saat ini

sudah harus diatur dengan hukum-hukum yang modern.

Ciri-ciri hukum yang modern adalah adanya norma-norma

hukum yang tertulis, rasional, terencana, universal dan

responsif dalam mengadaptasi perkembangan

kemasyarakatan dan dapat menjamin kepastian hukum.

Makin besarnya peranan peraturan perundang-

undangan sebagai hukum tertulis disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain ;

Pertama, peraturan perundangan merupakan kaidah

hukum yang mudah dikenali (diidentifikasi), mudah

ditemukam kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah

hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas begitu

pula pembuatnya.

Page 71: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

53

Kedua, peraturan perundang-undangan memberikan

kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-

kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan

kembali.

Ketiga, Struktur dan sistematika peraturan perundang-

undangan lebih jelas sehingga memungkinkan diperiksa

kembali dan diuji, baik dari segi formal maupun materi

muatannya.

Keempat, pembentukkan dan pengembangan peraturan

perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini

sangat penting bagi negara-negara yang sedang

membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Kendala terbesar dalam perkembangan ilmu perundang-

undangan dan lebih khusus pada hukum perundang-

undangan adalah belum jelasnya arah politik hukum

perundangan nasional, meskipun telah diundangkannya

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan perundang-undangan. UU ini belum

memberikan arah kebijakan hukum perundang-undangan

yang kompeherensif dan futuruistik, justru sebaliknya

masih terkesan tambal sulam dalam mengisi kekosongan

perundang-undangan (wet vacuum)63. Namun, harus

diakui bahwa munculnya UU tentang pembentukan

63 I Gde Pantja Astawa, & Suprin Na’a, Op. Cit., hlm 1-20.

Page 72: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

54

peraturan perundang-undangan telah memberikan patron

terhadap upaya unifikasi peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

Pada hakekatnya, politik hukum (legal policy)

perundang-undangan Indonesia dimasa yang akan datang

tidak perlu disekat dengan pilihan, apakah dengan

kodifikasi ataukah non-kodifikasi. Akan tetapi, yang lebih

penting adalah penentuan tujuan, arah, sasaran dan

fungsi politik hukumnya seperti; Apakah wawasan

nusantara dibidang hukum harus senantiasa diarahkan

pada unifikasi hukum diseluruh bidang kehidupan bangsa

dan rakyat. Ataukah sesuai dengan prinsip Bhineka

tunggal ika, unifikasi akan berlaku secara selektif. Artinya,

unifikasi sebagai prinsip tanpa menutup kemungkinan

diversifikasi sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan

masyarakat; Apakah setiap gejala atau kepentingan harus

diatur dalam undang-undang. Ataukah ada bagian-bagian

yang akan dibiarkan diatur sendiri oleh masyarakat atau

ditumbuhkan melalui penegak hukum atau ilmu

pengetahuan hukum; Sejauh manakah faktor atau gejala

yang mendunia seperti globalisasi, privatisasi dan lain-lain

dapat dipertemukan dengan paham ke-Indonesia-an

seperti nilai-nilai pancasila, prinsip kekeluargaan, keadilan

sosial dan sebagainya; Bagaimanakah perkiraan corak

hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia

yang berdasarkan Pancasila pada masyarakat industri

Indonesia di masa datang; Bagaimanakah sistem

Page 73: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

55

pengorganisasian pembinaan hukum nasional yang dapat

menjamin kebijaksanaan kesatuan perencanaan, kesatuan

program dan sebagainya; Bagaimanakah prinsip dan dasar

kebijaksanaan dan program pembinaan hukum nasional

yang terpadu dengan sektor dan prioritas pembangunan

lainnya; Bagaimana prinsip dan dasar penyusunan

perencanaan dan program pembinaan hukum nasioanl

yang terpadu dengan sektor dan prioritas pembangunan

lainnya.

Teori perundang-undangan dan Ilmu perundang-

undangan merupakan dua bidang ilmu yang menjadi

bagian mutlak dari Ilmu Pengetahuan Perundang-

Undangan (Gezetzgebungs-wissenschaft). Atau dengan kata

lain bahwa ilmu perundang-undangan terdiri atas dua

bagian besar yaitu Teori Perundangan dan Ilmu

Perundangan.

Menurut Burkhardt Krems yang dikutip oleh Maria

Farida Indarti Soeprapto:64

“Ilmu pengetahuan Perundang-undangan

(Gesetzgebungs-wissnschaft) merupakan ilmu yang

interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik

dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua bagian besar, yaitu:

64 Maria Farida Indarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya , Yogjakarta, Kanisius ,1998. Hlm. 2

Page 74: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

56

1. Teori Perundang-undangan yang berorientasi

pada mencari kejelasan dan kejernihan makna

atau pengertian-pengertian, dan bersifat kognitif.

2. Ilmu Perundang-undangan yang berorientasi pada

melakukan perbuatan dalam hal pembentukan

peraturan perundang-undangan , dan bersifat

normatif”.

Selanjutnya menurut Krems, substansi Ilmu Perundang-

undangan dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) bagian,

yaitu:

1. Proses perundang-undangan;

2. Metode Perundang-undangan;

3. Teknik Perundang-undangan.

Dalam memberi pembedaan antara Ilmu Perundang-

undangan dengan Teori Perundang-undangan, oleh A.

Hamid S. Attamimi,65 dijelaskan bahwa:

“Teori Perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan pemahaman dan bersifat kognitif, sedangkan Ilmu Perundang-undangan (dalam arti sempit) berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif” Apabila ditelusuri dalam hukum positif Indonesia,

ditemukan beberapa istilah yang apabila ditelaah dari segi

peristilahan (terminologis) adalah bermakna yang sama.

Antara lain seperti dalam Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR Mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata 65 A. Hamid S. Attamimi, Dalam I Gde Pantja Astawa, Op. Cit. hlm. 7.

Page 75: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

57

Urutan Peraturan Perundangan, memberikan istilah

peraturan perundangan ; kemudian dalam Ketetapan MPR

No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan, menyebut istilah

Peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam

Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

memberi istilah peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan

terutama mengenai proses pembentukan undang-undang

antara negara Indonesia dan Timor-Leste, maka disini akan

ditelusuri mengenai prosedur yang berlaku pada kedua

negara dalam hal ini tentang pembuatan undang-undang

yang akan menjadi landasan berpijak bagi setiap warga

negara yang mana dapat diharapkan bisa merespon segala

persoalan yang muncul dan akan muncul dikemudian hari

sekaligus sebagai batasan bertindak, baik kedalam untuk

aparat penegak hukum itu sendiri, maupun keluar untuk

mengatur masyarakat.

Studi perbandingan ini akan dilakukan dengan

membandingkan tata cara pembentukan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dikedua negara, mulai

dari usul inisiatif, asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan, materi muatannya, kerangka

pembuatan peraturan perundang-undangan : Judul,

Page 76: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

58

Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan,

Lampiran; selanjutnya pembahasan rancangan undang-

undang, penetapan, hingga pengesahan oleh presiden,

serta pengundangannya dalam lembaran negara.

Berkaitan dengan proses pembuatan peraturan

perundang-undangan seperti yang telah diuraikan diatas,

dapat penulis katakan bahwa “orang tidak membuat

Undang-undang dengan cara duduk dalam satu ruangan

dan kemudian memikirkan undang-undang apa yang akan

dibuat. Menurut D’Anjou ia merupakan proses panjang

yang dimulai dari dalam realitas kehidupan masyarakat.

Terjadi suatu long march sejak dari kebutuhan dan

keinginan perorangan, kemudian menjadi keinginan

golongan, selanjutnya ditangkap oleh kekuatan-kekuatan

politik, diteruskan sebagai suatu problem yang harus

ditangani oleh pemerintah dan baru pada akhirnya masuk

menjadi agenda pembuatan peraturan.66

2.7. Akuntabilitas Dalam Bentuk Prosedur

Pembentukan Undang-Undang. Persoalan prosedur dalam pembentukan UU adalah

suatu kebutuhan yang tak dapat dielakan dalam suatu

negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam sistem

demokrasi menuntut adanya tata cara yang terbuka untuk

suatu proses pembentukan UU. Sebab, dengan adanya

keterbukaan akan memberikan kesempatan kepada

66 Satjipto Rahardjo, Dalam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI PRESS, Jakarta, 2006. hlm. 86.

Page 77: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

59

masyarakat luas untuk menyalurkan aspirasinya sebagai

bentuk kontrol terhadap langkah yang akan ditempuh oleh

pemerintah dalam pembentukan UU. Kontrol masyarakat

ini penting agar pemerintah lebih berhati-hati dalam

pembentukan UU yang akan ditujukan kepada masyarakat

luas.

Adanya tahap-tahap yang telah ditentukan dan

dilakukan secara transparan ini, masyarakat dapat

memilih dan menentukan berbagai langkah-langkah dalam

pembentukan UU yang menarik perhatiannya. Prosedur

adalah bagian dari pertanggung jawaban dalam

pembentukan UU. Ketika pembentuk UU menempuh

berbagai tahap-tahap yang harus dilalui sesuai dengan

ketentuan yang ada, maka proses pembentukan UU itu

akan memperolah nilai yang rendah untuk dapat

dipertanggung jawabkan kepada publik. Jadi,

ditempuhnya prosedur secara benar adalah bagian tak

terpisahkan dari bentuk pertanggung jawaban kepada

publik dalam pembentukan UU dalam suatu negara

demokrasi.

Ada banyak langkah yang akan ditempuh untuk

menghasilkan suatu UU yang baik secara procedural.

Secara umum tahap-tahap pembentukan UU menurut

Jufrina Rizal dapat dikelompokan dalam : tahap ante

legislative, tahap legislative dan tahap post legislative.67

Secara lengkap tahap-tahap dalam pembentukan UU 67 Jufrina Rizal, Tindak Pidana Dalam Saifudin ….Op. Cit hlm 72.

Page 78: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

60

tersebut menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut

: tahap penelitian, pengajuan usul inisiatif, perancangan,

pengajuan RUU, pembahasan, penetapan RUU menjadi

UU, pengesahan, pengundangan, pemberlakuan dan

penegakkan UU.68

2.7.1 Tahap ante legislative

2.7.1.1. Tahap Penelitian. Penelitian ini merupakan suatu

bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan untuk pemecahan

masalah dan ditangani secara sistematis-logis guna

mendapatkan informasi data yang akurat terhadap suatu

permasalahan. Hasil penelitian ini dituangkan dalam

naskah akademik. Penelitian sebagai tahap awal dalam

pembentukan UU sangat besar mamfaatnya sebagai upaya

pemecahan terhadap suatu obyek yang akan diatur.

Penelitian ini dapat dilakukan oleh pemerintah, DPR, DPD,

perguruan tinggi maupun masyarakat luas pada

umumnya. Semakin banyak penelitian yang dilakukan

untuk pembentukan UU oleh berbagai lembaga penelitian

akan memperkaya wacana dan wawasan terhadap obyek

yang akan diatur.

Jadi, penelitian mempunyai peranan penting dalam

proses penyusunan UU, karena akan memberikan kajian

secara menyeluruh terhadap obyek yang akan diatur. 69

68 Disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie tanggal 19 Februari 2004 di pondok Labu Jakarta. 69 Penelitian Hukum ini dapat dikelompokkan dalam dua type utama yaitu : penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer; dan penelitian hukum normative atau penelitian hukum kepustakaan yang meneliti data sekunder. Untuk penelitian hukum normative ini mencakup: a. penelitian

Page 79: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

61

Proses pembentukan UU yang di dahului dengan

penelitian, memang akan membutuhkan waktu yang lama.

Akan tetapi UU yang dihasilkannya diharapkan akan lebih

baik dan bertahan lama serta mendekati rasa keadilan

dalam masyarakat. Sebab, melalui penelitian akan

diketahui deskripsi masyarakat dan berbagai faktor-faktor

yang melingkupinya dari suatu kehidupan masyarakat.

Adanya penelitian akan merupakan suatu dokumen

pertanggung jawaban awal bagi dibuatnya suatu UU.

2.7.1.2. Tahap pengajuan usul inisiatif. Dari hasil

penelitian yang dituangkan dalam naskah akademik

tersebut, langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan

apakah suatu persoalan benar-benar perlu diajukan atau

tidak di ajukan menjadi usul inisiatif suatu RUU. Artinya,

perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil penelitian yang

dituangkan dalam naskah akademik untuk sampai kepada

keputusan dibuatnya usul inisiatif pembentukan suatu

UU. perlu dilihat lebih lanjut apakah berbagai asas dalam

pembentukan UU sudah terpenuhi atau belum. Dalam hal

ini Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 menentukan asas-asas

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,

termasuk didalamnya UU adalah sebagai berikut: kejelasan

tujuan; kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

kesesuaian antara jenis dan materi; dapat dilaksanakan; terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematik hukum; c. penelitian terhadap taraf singkronisasi vertical dan horizontal ; d. penelitian perbandingan hukum; dan e. penelitian sejarah hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 14-15.

Page 80: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

62

kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan

keterbukaan.70

2.7.1.3. Tahap perancangan. Perancangan suatu RUU

dapat dilakukan oleh Presiden, DPR, DPD maupun

masyarakat luas. Tahap perancangan ini merupakan upaya

penerjemahan gagasan, naskah akademik, atau bahan-

bahan lain kedalam bahasa dan struktur yang normatif.

Penuangan bahan-bahan ke dalam bahasa dan struktur

normatif ini akan menghasilkan suatu rancangan

peraturan perundang-undangan. Tahap perancangan ini

harus dilakukan secara hati-hati menggunakan bahan

hukum yang sederhana, jelas, tegas dan memberikan

jaminan kepastian hukum. Hal ini mengingat suatu

gagasan yang baik untuk mengatur suatu persoalan sering

gagal karena ketidakmampuan legal drafer merumuskan

dalam bahasa hukum dan struktur normatif yang

mempunyai bentuk dan sifat khusus didalamnya. Dalam

menyusun dan merumuskan materi muatan yang akan

dituangkan dalam suatu RUU, maka harus diperhatikan

asas-asas materi muatan yang terdapat dalam pasal 6 UU

No. 10 Tahun 2004, yaitu : pengayoman; kemanusiaan;

kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka

tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum

dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum;

dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.71

70 Lihat UU No. 10 Tahun 2004 71 Lihat UU No. 10 Tahun 2004.

Page 81: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

63

2.7.1.4. Tahap pengajuan RUU. Setelah suatu ide atau

gagasan untuk mengatur persoalan telah dituangkan

dalam suatu RUU, maka tahap selanjutnya adalah

pengajuan RUU kepada lembaga legislatif yang akan

dilakukan oleh Presiden atau DPR. Dengan demikian jika

tahap perancangan RUU terbuka untuk umum, maka

tahap pengajuan usul inisiatif terhadap suatu RUU

terbatas oleh dua lembaga tersebut. Masyarakat yang

berkeinginan bahwa suatu materi persoalan perlu diatur

dalam suatu UU dan telah menyiapkan naskah RUUnya,

maka masyarakat dapat menyampaikannya ke DPR atau

Presiden. Sementara itu bagi DPD, untuk materi tertentu

harus disalurkan melalui DPR.72

Pengajuan suatu RUU oleh Presiden dan DPR ini

menandai proses akhir pembentukan UU pada tahap ante

legislative. Proses pengkajian pada tahap ante legislative ini

sebaiknya lebih merupakan kajian secara netral, obyektif

dan ilmiah. Pengkajian semata-mata mengutamakan

kepentingan masyarakat luas, sedangkan kajian dari

kepentingan-kepentingan yang bersifat politis sebisa

mungkin dihindarkan dan belum dimasukan. Sebab, pada

dasarnya kajian-kajian yang bersifat politis akan dilakukan

pada tahap pembahasan oleh lembaga legislatif.

2.7.2 Tahap legislative

2.7.2.1. Tahap pembahasan. Pengkajian suatu RUU dalam

pembahasan tahap legislatif yang dilakukan oleh pemegang 72 Lihat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Page 82: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

64

kekuasaan legislatif berarti akan memasuki ranah

kepentingan politik. Dalam tahap ini, RUU yang telah

disusun secara obyektif dan ilmiah akan diuji oleh

kekuatan-kekuatan politik yang duduk di parlemen. Sebab,

perlemen adalah lembaga politik yang terdiri atas partai-

partai politik dan keanggotaaannya diisi melalui pemilihan

umum. Karena masing-masing partai politik mempunyai

visi dan misi yang berbeda, maka sangat mungkin dalam

proses pembahasan suatu RUU akan menghadapi suatu

ketegangan dalam melihat suatu persoalan yang akan

diatur sesuai dengan kepentingannya. Pembahasan dalam

tahap ini akan merupakan proses pengolahan input-output

dalam suatu sistem politik menuju lahirnya suatu UU.

2.7.2.2. Tahap pembahasan RUU menjadi UU. Apabila

pembahasan telah dirasa cukup dan masing-masing partai

politik sudah menyampaikan pikiran, tanggapan dan

harapan terhadap suatu RUU yang akan dijadikan UU,

maka perlu diambil sutu langkah tindakan bersama dalam

rangka mengakhiri perdebatan dalam melihat suatu RUU.

Apakah suatu RUU akan diterima sebagai UU, tentu

dengan berbagai penyempurnaannya ataukah suatu RUU

akan ditolak sebagai UU. Diperlukan kearifan masing-

masing pihak untuk melihat persoalan RUU dalam konteks

masyarakat yang luas. Dengan demikian, akan lebih baik

jika suatu RUU menjadi UU diterima oleh semua pihak dan

berarti tedapat konsensus bersama yang akan memberikan

kekuatan bagi berlakunya UU di masyarakat. Akan tetapi,

Page 83: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

65

manakalah perbedaan secara tajam tetap muncul dan

tidak bisa dipertemukan, maka proses pemgambilan

keputusan secara pemungutan suara adalah langkah yang

bijak dan wajar serta dibenarkan dalam suatu negara

demokrasi. Dengan demikian, terlepas dari pro dan kontra

dalam pembahasannya nasib suatu RUU dapat ditetapkan

menjadi UU.

2.7.3. Tahap pengesahan UU

Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka

dengan demikian telah terjadi pengesahan secara material

oleh lembaga legislatif. Terhadap RUU yang telah

ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan

perubahan baik yang menyangkut persoalan secara teknis

maupun substansi. Memang, suatu UU yang dirasakan

tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman

dapat dilakukan perubahan, penggantian atau bahkan

pencabutan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi dalam

proses pembentukan UU, tahap pengesahan adalah batas

yang diperlukan untuk menyelesaikan perdebatan sehingga

RUU yang telah ditetapkan menjadi UU dapat diproses

lebih lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih

harus dilakukan berbagai tindakan hukum seperti

penandatanganan, pengundangan, dan pemberlakuan.

Dengan kata lain, pengesahan secara materil merupakan

akhir dari proses pembahasan suatu RUU menjadi UU di

lembaga legislatif.

Page 84: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

66

Page 85: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

67

BAB III PROSES PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG

DI INDONESIA DAN TIMOR-LESTE

3.1. Gambaran Umum Sistem Pemerintahan di

Indonesia dan Timor-Leste. 3.1.1. Indonesia.

Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang

berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar. Negara Indonesia adalah negara hukum.73

Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada

tanggal 17 Agustus 1945. Menganut sistem

pemerintahan presidensil karena presiden disamping

sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan.

Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu

pasangan secara langsung oleh rakyat.74 Presiden dan

wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun,

dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan

yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh

Menteri-menteri. Sistem pemerintahan Indonsia

berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar),

73 Pasal 1 UUD 1945 74 Pasal 6A UUD 1945

Page 86: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

68

tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak

terbatas).

Sistem pemerintahan di Indonesia setelah

perubahan UUD 1945 memiliki badan pwerwakilan

yang terdiri dari, DPR yang merupakan representasi

kepentingan politik dan DPD representasi kepentingan

daerah. Masing-masing lembaga negara tersebut dalam

pengisian keanggotaannya dipilih oleh rakyat melalui

pemilihan umum, selain itu ada juga MPR yang

mempunyai lingkungan jabatan dan wewenang

tersendiri, keanggotaannya terdiri dari anggota DPR

dan anggota DPD. Jadi di Indonesia, di dalam badan

perwakilan rakyatnya terdiri dari MPR, DPR dan DPD.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

berdasarkan ketentuan UUD 1945 setelah perubahan

mempunyai otoritas yang hanya meliputi; melantik

Presiden dan Wakil Presiden, mengubah UUD 1945,

men-impeachment Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara itu kedudukannya adalah sebagai lembaga

tinggi negara sejajar sama seperti lembaga tinggi negara

lainnya, yaitu Presiden, DPR, BPK, MA, MK dan komisi

Yudisial. 75.

3.1.2. Timor-Leste

Republik Demokratik Timor-Leste adalah Negara

yang demokratis, berdaulat merdeka dan bersatu,

75 Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Penerbit Fokusmedia, Cetakan Pertama Desember, 2007, hlm 4.

Page 87: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

69

berdasarkan kekuatan hukum, keinginan Rakyat, dan

kehormatan atas martabat manusia. Tanggal 28

November 1975 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan

Republik Demokratik Timor-Leste.76 Serta mendapat

pengakuan secara legal oleh dunia internasional pada

tanggal 20 Mei Tahun 2002.

Sistem Pemerintahan Timor-Leste adalah semi

Presidensial, dimana terdiri dari 4 (empat) lembaga

negara, antara lain Lembaga Kepresidenan, Parlemen

Nasional, Pemerintah dan Lembaga Peradilan. Dalam

menjalankan fungsinya berpijak pada pemisahan

kekuasaan serta tidak saling intervensi satu sama lain,

kecuali di tentukan oleh undang-undang. Timor-Leste

memiliki 2 (dua) bahasa nasional yaitu Tetum dan

Portugis serta dua bahasa kerja yaitu bahasa Inggris

dan bahasa Indonesia.

Parlemen Nasional Republik Demokratik Timor-

Leste (RDTL), pada awalnya beranggotakan 88 orang

yang merupakan anggota majelis konstituante yang

merupakan wakil dari partai-partai yang mendapat

kursi pada pemilihan umum yang dilakukan pada

tahun 2001, dengan fungsi untuk menyusun

“Konstitusi” Republik Demokratik Timor Leste, sebagai

dasar negara serta akan bubar secara otomatis sesudah

tugas tersebut selesai. Namun karena berbagai

pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan budaya serta 76 Pasal 1, UUD RDTL

Page 88: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

70

setelah melalui berbagai perdebatan yang intensif

antara para pemimpin negara, maka pemilihan untuk

anggota parlemen tidak jadi diselenggarakan, dan

secara otomatis mentransformasikan majelis

konstituante beserta ke-88 anggotanya menjadi anggota

Parlemen Nasional. Demikianlah sejarah singkat

mengenai pembentukan parlemen nasional Republik

Demokratik Timor-Leste sebagai lembaga kekuasaan

negara yang memiliki fungsi pokok membuat peraturan

perundang-undangan untuk mengatur segala aspek

kehidupan negara dan warga negara.

Parlemen Republika demokratik Timor-Leste yang

sekarang (periode 2007-2012) beranggotakan 65 orang77,

yang berasal dari berbagai fraksi partai yang berhasil

memperoleh kursi dalam pemilihan umum yang

dilaksanakan pada tahun 2007.

Sebagai institusi yang berdaulat yang memegang

kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-

undangan, maka parlemen nasional wajib mencerminkan

citra negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat serta

yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum yang layak

dihormati baik secara nasional maupun secara

internasional.

77 Konstitusi RDTL 2002

Page 89: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

71

3.2. Proses pembentukan Undang-Undang di

Indonesia 3.2.1.Dasar Kewenangan

3.2.1.1. UUD 1945. Salah satu dasar kewenangan

pembentukan Undang-undang di Indonesia, yaitu UUD

1945. Dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1), (2), (3),

(4), (5) UUD 1945 yang telah di amandemen mengatur

secara tegas tentang kewenangan pembentukan undang-

undang.

Pasal 5 ayat (1): Presiden berhak mengajukan

rancangan undang-undang kepada DPR. Pasal 20 ayat (1),

(2), (3), (4), (5) menyatakan:

(1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-

undang;

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh

DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama;

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak

mendapatkan persetujuan bersama, rancangan

undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi

dalam persidangan DPR masa itu;

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-

undang yang telah disetujui bersama menjadi

undang-undang;

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh

Presiden dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari

Page 90: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

72

semenjak rancangan undang-undang tersebut

disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah

menjadi undang-undang dan wajib

diundangkan.78

Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa di Indonesia

kekuasaan legislatif (pembentuk undang-undang) menurut

UUD 1945 dilakukan oleh dua organ sekaligus yaitu DPR

dan Presiden, meskipun tekanannya diletakkan pada DPR.

Presiden bertindak sebagai organ yang akan melaksanakan

undang-undang, sedangkan DPR yang keanggotaannya

diisi melalui pemilihan umum bertindak dalam kapasitas

sebagai wakil rakyat yang akan menyuarakan aspirasi

rakyat. Akan tetapi kadang-kadang DPR belum secara

sungguh-sungguh menyuarakan aspirasi rakyat yang

diwakilinya, namun kadangkala lebih tertarik untuk

memperjuangkan kepentingan induk organisasi partainya.

Disinilah masyarakat yang merasa kepentingannya

dirugikan akan berpartisipasi memberikan masukan-

masukan dalam proses pembentukan undang-undang.

Dengan demikian tarik menarik kepentingan akan terjadi

diantara tiga kekuatan politik dalam pembentukan

undang-undang yaitu presiden, DPR dan masyarakat.

3.2.1.2. UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU No 10 tahun

2004, terutama pembahasan Rancangan Undang-undang

di Dewan Perwakilan Rakyat, Bagian pertama pasal 32 ayat 78 UUD 1945 hasil Amandemen.

Page 91: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

73

(1) Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan

Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat bersama Presiden atau Mentri yang ditugasi; ayat

(2) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

pertimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan

dengan mengikutsertakan Dewan Perwakilan Daerah; ayat

(3) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam

pembahasan rancancangan undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat

komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat

yang khusus menangani bidang legislasi; ayat (4)

Keikutsertaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam

pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana

dimaksud pada ayat 2 dan atau ayat (3) diwakili oleh

komisi yang membidangi materi muatan rancangan

undang-undang yang dibahas; ayat (5) Pembahasan

bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui tingkat-tingkat pembicaraan; ayat (6) Tingkat-

tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan

Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang

legislasi dan rapat paripurna; ayat (7) Ketentuan lebih

lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-

Page 92: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

74

undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur

dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam pasal 33 dikatakan bahwa Dewan Perwakilan

Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan

dimulainya pembahasan rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2). Sementara

dalam pasal 34 bahwa Dewan Perwakilan Daerah

memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan

undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja

negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan dan agama. Selanjutnya dalan

pasal 35 ayat (1) Rancangan undang-undang dapat ditarik

kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden;

ayat (2) Rancangan undang-undang yang sedang dibahas

hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan

bersama DPR dan Presiden; Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-

undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan Tata Tertib DPR. Pasal 36 mengatakan

dalam ayat (1) Pembahasan rancangan undang-undang

tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan

melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan

rancangan undang-undang; ayat (2) Dewan Perwakilan

Rakyat hanya menerima atau menolak peraturan

pemerintah pengganti undang-undang; ayat (3) Dalam hal

rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan

Page 93: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

75

pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-

undang ditolak oleh DPR maka Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak

berlaku; ayat (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah

pengganti undang-undang ditolak DPR maka Presiden

mengajukan rancangan undang-undang tentang

pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-

undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat

dari penolakan tersebut.

Selanjutnya pada bagian kedua tentang pengesahan,

pasal 37 ayat (1) Rancangan undang-undang yang telah

disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan

oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan

menjadi Undang-Undang; ayat (2) Penyampaian rancangan

undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Kemudian

dalam pasal 38 ayat (1) Rancangan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh

Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam

jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh

DPR dan Presiden; ayat (2) Dalam hal rancangan undang-

undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanda

tangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga

puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut

disetujui bersama, maka rancangan undang-undang

Page 94: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

76

tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib

diundangkan; ayat (3) Dalam hal sahnya rancangan

undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

maka kalimat pengesahannya berbunyi : Undang-undang

ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945; ayat (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan

pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum

pengundangan Naskah Undang-Undang kedalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah

ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang; ayat (2)

Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu

penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya

sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut; ayat (3)

Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya

yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan

negara tidak atas permintaan tegas dari suatu Undang-

Undang di kecualikan dari ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).79

3.2.1.3. Prosedur Perencanaan dan penyusunan,

Pembahasan, Persetujuan serta Pengesahan dan

Pengundangannya, sesuai dengan Tata Tertib DPR No.

79 UU Republik Indonesia No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 95: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

77

15/DPR-RI/I/2004/2005. Barkaitan dengan

pembentukan undang-undang di Indonesia, maka

dalam Peraturan Tata Tertib DPR 2004/2005, ada tiga

lembaga yang dapat mengusulkan suatu rancangan

undang-undang yaitu Presiden, DPR dan DPD.80 Secara

ringkas proses pengusulan rancangan undang-undang

dari tiga lembaga tersebut menurut Tata Tertib DPR No.

15/DPR-RI/I/2004/2005 adalah sebagai berikut:

Ragaan 3.1

Pembentukan UU Menurut Peraturan Tata Tertib

DPR No. 15/DPR RI/I/2004/2005

80 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004/2005 ditetapkan tanggal 29 september 2004 dan disahkan Penggunaannya tanggal 1 Oktober 2004.

RUU DARI PEMERINTAH RUU DARI DPR RI RUU DARI DPD

DUA TINGKAT PEMBICARAAN

PEMBICARAAN TINGKAT I

PEMBICARAAN TINGKAT II

DISETUJUI BERSAMA DPR dan PRESIDEN

DISAHKAN PRESIDEN

UNDANG-UNDANG

Page 96: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

78

Dari ragaan tersebut, meskipun ada DPD tetapi

pengajuan suatu RUU tetap ada pada Presiden dan

DPR. Untuk RUU yang berasal dari DPD terlebih

dahulu harus masuk melalui DPR. Hal ini menunjukan

adanya keterbatasan kewenangan DPD dalam Proses

Pembentukan Undang-undang. Terlebih lagi DPD

hanya dapat mengikuti pada Pembicaraan Tingkat I,

tidak dapat mengikuti pada Pembicaraan Tingkat II.

3.2.3.1.1 RUU Usul Pemerintah

Apabila Presiden akan mengusulkan suatu materi

untuk diatur dalam UU, maka presiden dapat

menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan

Pemerintah dan dapat pula dilengkapi dengan Naskah

Akademik yang disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Selanjutnya, pimpinan DPR membagikan RUU

tersebut kepada anggota DPR dalam rapat paripurna

berikutnya. DPR mulai membahas paling lambat 60

hari sejak Surat Presiden tentang RUU tersebut

diterima DPR. 81 secara sederhana proses pembahasan

UU yang berasal dari RUU Presiden menurut Tata

Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004/2005 adalah

sebagai berikut:

81 Lihat Pasal 123 dan 124 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15,…….Ibid., hlm. 48-49.

Page 97: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

79

Ragaan 3. 2

Pembicaraan RUU dari Pemerintah Menurut

Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR

RI/I/2004/200582

Pembicaraan Tingkat I

Dalam Rapat Komisi, Gabungan

Komisi, BALEG, Panitia Anggaran

atau Rapat PANSUS bersama-sama

Pemerintah dengan acara:

1. Pandangan dan Pendapat Fraksi-

fraksi dan DPD (RUU tertentu)

2. Tanggapan Presiden atas

Pandangan dan pendapat Fraksi

dan DPD (RUU tertentu)

3. Pembahasan RUU oleh DPR dan

Pemerintah dalam RAKER

berdasarkan DIM (Daftar

Inventarisasi Masalah).

Catatan:

DPD hanya ikut pada awal Rapat

Kerja Komisi, Gabungan Komisi,

BALEG, PANSUS, untuk

menyampaikan Pandangan dan

pendapat DPD.

82 Saifudin, Proses,…..Op., Cit. Hlm. 204.

Disampaikan oleh Presiden berupa RUU disertai Naskah Akademik kepada pimpinan DPR

Dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI

Pembicaraan Tingkat II

Dengan acara:

1. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh :

a. Laporan

Pembicaraan Tingkat I.

b. Pendapat akhir Fraksi-Fraksi yang disampaikan anggotanya, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.

2. Penyampaian Pendapat Akhir Presiden Oleh Menteri.

Page 98: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

80

Dari ragaan diatas, tampak bahwa RUU yang

berasal dari pemerintah akan dibahas dalam dua

Tingkat Pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama

dilakukan dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi,

Badan Legislatif, Panitia Anggaran, atau Rapat Pansus

bersama-sama dengan Pemerintah. Pertama-tama

kepada Fraksi dan DPD untuk RUU tertentu, diberikan

kesempatan untuk menyampaikan pandangan dan

pendapat terhadap RUU yang diajukan oleh

Pemerintah. Selanjutnya Presiden diberikan giliran

untuk menanggapi atas pandangan dan pendapat dari

fraksi dan DPD. Pada akhirnya, pembicaraan tingkat

pertama ini ditutup dengan pembahasan RUU oleh

Presiden dan DPR berdasarkan daftar Inventarisasi

Masalah (DIM).83

Apabila pembicaraan Tingkat Pertama sudah

selesai, maka dilanjutkan dengan pembicaraan Tingkat

II dalam Rapat Paripurna. Rapat Paripurna

Pembicaraan Tingkat II ini dilakukan untuk:

pengambilan keputusan, yang didahului dengan

penyampaian hasil Pembicaraan Tingkat I, dan

dilanjutkan dengan pendapat akhir Fraksi yang bila

mana perlu disertai dengan cacatan tentang sikap

fraksinya. Pembicaraan Tingkat II ini diakhiri dengan

pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh

Menteri yang mewakilinya. Namun jika ditolak RUU itu 83 Lihat Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPR No. 15….Ibid.

Page 99: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

81

tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa

itu.84

3.2.1.3.2 RUU Dari Usul Inisiatif DPR

Dalam rangka menjalankan tugas legislasi yang

berasal dari DPR, maka sekurang-kurangnya 13

anggota DPR, atau Komisi, atau Gabungan Komisi,

atau Badan Legislasi dapat mengajukan usul inisiatif

suatu RUU. Usul inisiatif tersebut disertai dengan

penjelasan dan/atau naskah akademiknya

disampaikan kepada piminan DPR untuk selanjutnya

diampaikan dan dibagikan kepada anggota lainnya

dalam suatu Rapat Paripurna berikutnya. Rapat

Paripurna ini memutuskan apakah RUU usul inisiatif

ini diterima atau ditolak. Jika diterima dengan

perubahan, maka Rapat Paripurna menugaskan

kepada Komisi, Badan Legislasi atau Panitia Khusus

untuk menyempurnakannya. RUU yang diterima

dengan tanpa perubahan maupun dengan

penyempurnaan, maka selanjutnya disampaikan

kepada Presiden untuk menunjuk Menteri yang akan

mewakili Pemerintah dalam Pembahasan suatu RUU

paling lama 60 hari sejak diterimanya surat dari

pimpinan DPR. 85 Secara sederhana proses pengajuan

RUU usul inisiatif menurut Peraturan Tata Tertib DPR

84 Lihat Pasal 136 Tata Tertib DPR RI No. 15….Ibid, hlm.54. 85 Lihat Pasal 128, Peraturan Tata Tertib DPR-RI No. 15…..Ibid. hlm. 50-51

Page 100: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

82

No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 dapat dilihat dalam

ragaan sebagai berikut:

Ragaan 3.3

Prosedur Pengajuan RUU dari DPR Menurut

Peraturan Tata Tertib DPR No. 15/DPR

RI/I/2004-200586

Dari ragaan diatas, terlihat bahwa suatu RUU yang

diajukan oleh 13 anggota atau Komisi, atau Gabungan

Komisi, atau Badan Legislasi ini tidak otomatis akan 86 Saifudin, Proses….Op.,Cit., hlm 206.

Disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dan ditanda tangani sekurang-kurangnya 13 orang anggota DPR, dapat pula diajukan oleh Komisi, Gabungan

Komisi, Baleg disertai penjalasan/naskah akademik

Dalam Rapat Paripurna DPR, ketua Rapat memberitahukan kepada anggota mengenai masuknya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota

Rapat Paripurna DPR-RI memutuskan apakah usul RUU tersebut dapat diterima secara prinsip atau ditolak setelah memberikan kesempatan kepada:

1. Penjelasan para pengusul 2. Pendapat fraksi-fraksi

Persetujuan tanpa

perubahan

Persetujuan dengan perubahan Ditolak (Pembicaraan

selesai) DPR menugaskan Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, atau PANSUS untuk membahas dan menyempurnakan usul dari DPR RI

Disampaikan kepada Presiden oleh pimpinan DPR, dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR

Dua Tingkat Pembicaraan di DPR RI

Page 101: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

83

menjadi RUU usul inisiatif DPR karena terlebih dahulu

harus dibahas oleh Rapat Paripurna. Tanggapan dari Rapat

Paripurna ini, ada tiga kemungkinan sikap yang diberikan

atas RUU tersebut yaitu : persetujuan tanpa perubahan,

persetujuan dengan perubahan, dan ditolak. Apabila Rapat

Paripurna menerima RUU tersebut, maka proses

selanjutnya adalah dilakukan pembicaraan sesuai dengan

tingkat-tingkat pembicaraan yang diatur dalam pertaturan

Tata Tertib DPR. Secara sederhana, tingkat-tingkat

Pembicaraan RUU usul inisiatif DPR menurut Peraturan

Tata Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 ini adalah

sebagai berikut :

Ragaan 3.4

Pembicaraan RUU dari DPR RI menurut Peraturan Tata

Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-200587

87 Saifudin, Proses….Ibid., hlm. 207.

Dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI

Pembicaraan Tingkat I

Dalam Rapat Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, Panitia anggaran, atau Rapat PANSUS, bersama-sama dengan Pemerintah dengan acara: 1. Pandangan dan Pendapat Presiden dan DPD (RUU tertentu) terhadap RUU dan DPR RI 2. Jawaban Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, Pimpinan BALEG, Panitia anggaran atau Pimpinan PANSUS, atas tanggapan Presiden dan DPD (RUU Tertentu). 3. Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam Rapat Kerja berdasarkan Daftar Inventarisasi Maslah (DIM). Catatan : DPD hanya ikut pada awal Rapat Kerja Komisi, Gabungan Komisi, BALEG, PANSUS, untuk menyampaikan pandangan dan pendapat DPD.

Pembicaraan Tingkat II

Dengan acara : 1. Pengambilan Keputusan yang

dilakukan oleh: a. Laporan Hasil

Pembicaraan Tingkat I. b. Pendapat akhir fraksi-

fraksi yang disampaikan anggotanya, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya

2. Penyampaian Pendapat akhir Presiden oleh Menteri.

Page 102: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

84

Dari ragaan diatas, tampak bahwa RUU usul inisiatif

DPR akan dibahas dalam dua Tingkat Pembicaraan.

Pembicaraan Tingkat I akan dilakukan dalam Rapat

Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislatif, Panitia

Anggaran, atau Rapat Pansus bersama-sama dengan

Pemerintah. Pertama-tama kepada Presiden dan DPD,

untuk RUU tertentu, diberikan kesempatan untuk

menyampaikan pandangan dan pendapat terhadap RUU

usul inisiatif yang diajukan oleh DPR. Selanjutnya giliran

diberikan kepada Pimpinan Komisi, Gabungan Komisi,

Badan Legislatif, Panitia Anggaran atau Pimpinan Pansus

untuk memberikan tanggapan atas pandangan dan

pendapat Presiden dan DPD (RUU tertentu). Pada akhirnya,

Pembicaraan Tingkat I ini ditutup dengan pembahasan

RUU oleh DPR dan Presiden bersadarkan DIM (Daftar

Inventarisasi Masalah).88

Apabila Pembicaraan Tingkat I sudah selesai, maka

dilanjutkan dengan Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat

Paripurna. Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II

dilakukan untuk : pengambilan keputusan, yang didahului

oleh penyampaian hasil Pembicaraan Tingkat I, dan

dilanjutkan dengan pendapat akhir fraksi yang bila mana

perlu disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.

Pembicaraan Tingkat II ini diakhiri dengan pendapat akhir

Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.

Namun jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama 88 Lihat Pasal 135 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15…Loc. Cit.

Page 103: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

85

RUU itu tidak boleh dilanjutkan lagi dalam persidangan

DPR masa itu.89

3.2.1.3.3 RUU usulan dari DPD

Keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan di

Indonesia adalah dalam rangka mewakili kepentingan

Daerah. Oleh karena itu, apabila DPD akan

mengajukan usul suatu RUU, sesuai dengan Pasal 22 D

ayat 1 Perubahan UUD 1945 yang berkaitan dengan

kewenangan yang dimilikinya, yaitu masalah otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

pertimbangan keuangan pusat dan daerah,90 maka

RUUnya dapat diajukan kepada DPR. Untuk proses

selanjutnya keikutsertaan DPD dalam pembahasan

RUU hanya pada Rapat Komisi/Panitia/Alat

Kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang

legislasi. Dengan kata lain, DPD hanya ikut dalam

pembahasan suatu RUU pada Pembicaraan Tingkat I.

selanjutnya yang dapat mewakili DPD dalam Rapat

Komisi/Panitia/Alat Kelengkapan DPR adalah Komisi

yang membidangi materi muatan RUU yang di bahas.

Secara sederhana proses pengusulan dan keikutsertaan

DPD dalam pembentukan UU menurut Peraturan Tata 89 Lihat Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15….Loc., Cit. 90 Kewenangan DPD untuk mengajukan RUU ini dapat dilihat dalam Pasal 119 Peraturan Tata Tertib DPR RI No. 15…Op.cit., hlm. 47.

Page 104: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

86

Tertib DPR No. 15/DPR-RI/I/2004-2005 dapat dilihat

dalam ragaan sebagai berikut :

Ragaan 3.5

Usulan Undang-Undang Dari DPD Menurut Tatib

DPR RI No 15/DPR RI/I/2004-2005

Persetujuan dengan Perubahan

RUU dari DPD disampaikan oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR bersama dengan penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademik

Dalam Rapat Paripurna DPR, ketua Rapat memberitahukan kepada anggota mengenai masuknya RUU, membagikan RUU kepada seluruh

anggota

Rapat Badan Musyawarah menentukan waktu dan menunjuk Komisi, BALEG untuk mebahas RUU dari DPD

Komisi atau BALEG membahas RUU dengan alat Kelengkapan DPD

Persetujuan tanpa Perubahan

Ditolak Pembicaraa-n (selesai) DPR menugaskan Komisi,

Gab. Komisi, BALEG, atau PANSUS untuk membahas dan menyempurnakan usul dari DPR RI.

Disampaikan kepada Presiden oleh pimpinan DPR, dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR

Dua Tingkat Pembicaraan di DPR RI

Page 105: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

87

Dengan melihat pada ragaan diatas, maka terlihat

bahwa keberadaan DPD yang semula diharapkan sebagai

perwakilan daerah untuk menjembatani kepentingan

Daerah dengan pusat dalam rangka utuhnya

penyelenggaraan kehidupan negara kesatuan RI, tampak

masih belum terdapat keseimbangan antara DPR dengan

DPD dalam proses pembentukan UU. Artinya, DPD hanya

mempunayi kekuasaan yang terbatas, yaitu terletak pada

keterbatasan persoalan materi RUU yang akan

diusulkannya dan keterbatasan kewenangan

pembahasannya. Selain mengusulkan dan membahas RUU

yang berkaitan dengan Daerah tersebut, DPD hanya dapat

memberikan pertimbangan kepada DPR terhadap RUU

yang bertalian dengan RAPBN, Pajak, pendidikan dan

agama. Jadi, keberadaan DPD lebih merupakan lembaga

pelengkap dalam struktur ketatanegaraan yang lahir dari

perubahan UUD 1945.

Selanjutnya mengenai pengesahan suatu Rancangan

Undang-undang dikatakan bahwa RUU yang telah di

setujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan

Rakyat kepada Presiden untuk di sahkan menjadi Undang-

Undang. Penyampaian rancangan undang-undang

sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan dalam

Page 106: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

88

jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak

tanggal persetujuan bersama.91

Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud

pada Pasal 37 di sahkan oleh Presiden dengan

membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling

lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui

bersama oleh DPR dan Presiden. Dalam hal RUU

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditanda tangani

oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)

hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU

tersebut sah menjadi UU dan wajib di undangkan.92

Pengungdangan dan penyebarluasan suatu

peraturan perundang-undangan. Agar setiap orang

mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus di

undangkan dengan menempatkannya dalam :

a. Lembaran Negara Republik Indonesia;

b. Berita Negara Republik Indonesia;

c. Lembaran Daerah; atau

d. Berita Daerah.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat

penjelasan Peraturan perundang-undangan yang di muat

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Tambahan

Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan

Peraturan Perundang-undangan yang di muat dalam

91 UU No 10 Tahun 2004, Pasal 37. 92 UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 38.

Page 107: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

89

Berita Negara Republik Indonesia.93 Peraturan Perundang-

undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan

mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali di tentukan

lain dalam Peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan.

Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan

Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam

Lembaram Negara Republik Indonesia atau Berita Negara

Republik Indonesia.

3.2.2 Penyusunan Rancangan Undang-undang

Berdasarkan Perpres No 68 Tahun 2005.

Perpres adalah peraturan yang di buat oleh Presiden,

untuk melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari undang-

undang. Penyusunan Rancangan Undang-undang

dilakukan pemrakarsa berdasarkan Prolegnas.

Penyusunan RUU yang di dasarkan Prolegnas tidak

memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari Presiden.

Namun pemrakarsa harus melaporkan penyiapan dan

penyusunan RUU sebagaimana dimaksud di atas kepada

Presiden secara berkala.94

Dalam kedaan tertentu, pemrakarsa dapat

menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu

mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada Presiden,

dengan di sertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan

Rancangan Undang-Undang, yang meliputi:

93 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 47. 94Pasal 2, Perpres No 68, Tahun 2005.

Page 108: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

90

a. Urgensi dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan di atur;

dan

d. Jangkauan serta arah pengaturan.

Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud di atas, adalah

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang; meratifikasi konvensi internasional;

melaksanakan Keputusan Mahkama Konstitusi; mengatasi

kedaan luar biasa, kedaan konflik, atau bencana alam;

atau kedaan tertentu lainnya yang memastikan adanya

urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat di setujui

bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat

dan Menteri.95

Dalam penyusunan RUU pemrakarsa membentuk Panitia-

Antar Departemen; Keanggotaan Panitia Antar-Departemen

sebagaimana dimaksud terdiri atas unsur departemen dan

lembaga pemerintah nondepartemen yang terkait dengan

substansi RUU; Panitia Antar-Departemen dipimpin oleh

seorang ketua yang di tunjuk oleh pemrakarsa; Panitia

Antar-Departemen Penyusunan RUU dibentuk setelah

Prolegnas ditetapkan DPR.96

Dalam hal RUU tidak mendapat persetujuan

bersama antara Presiden dan DPR, RUU tersebut tidak

dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama.

95 Pasal 3, Perpres 68 2005. 96 Pasal 6, Perpres 68, 2005.

Page 109: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

91

3.3. Dasar kewenangan Pembuatan UU di

Timor-Leste 3.3.1. Konstitusi RDTL 2002

Pengaturan tentang organ pembuat Undang-Undang

di Timor-Leste terdapat dalam Konstitusi RDTL 2002

dinyatakan dalam Judul III Bab I, II, III dan IV (pasal 92

sampai pasal 102), yang didalamnya mengatur tentang

definisi, pemilihan dan susunan, wewenang, perijinan

legislatif, memprakarsai undang-undang, pertimbangan

Parlemen atas Undang-undang, penataan dan tata kerja

serta komisi tetap dari Parlemen Nasional.

Berdasarkan beberapa ketentuan diatas fungsi

Parlemen Nasional Timor-Leste dalam membuat undang-

undang terdapat dalam pasal 95 ayat (1 dan 2,) yang

berbunyi, ayat (1) Parlemen Nasional berwenang dan

bertanggungjawab untuk membuat undang-undang

mengenai persoalan-persoalan dasar yang menyangkut

kebijakan dalam dan luar negeri.

Dalam ayat (2) mengatakan bahwa Parlemen

Nasional secara eksklusif berwenang dan bertanggung

jawab untuk membuat undang-undang mengenai :

a. Perbatasan Republik Demokratis Timor-Leste,

sesuai dengan pasal 4;

b. Perbatasan perairan territorial, zona ekonomi

eksklusif dan hak Timor-Leste atas daerah

sekitarnya dan landasan kontinental;

Page 110: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

92

c. Lambang-lambang negara, sesuai dengan ayat 2

pasal 14;

d. Kewarganegaraan;

e. Hak-hak kebebasan dan jaminan;

f. Kedudukan dan kemampuan individu, hukum

keluarga dan hukum kewarisan;

g. Pembagian wilayah;

h. Undang-undang tentang pemilihan umum dan

sistem jajak pendapat;

i. Partai-partai politik dan perkumpulan politik;

j. Kedudukan para Anggota Parlemen Nasional;

k. Kedudukan pemegang jabatan dalam lembaga-

lembaga negara;

l. Dasar-dasar sistem pendidikan;

m. Dasar-dasar sistem kesehatan dan jaminan

sosial;

n. Penangguhan jaminan sesuai dengan UUD dan

pengumuman keadaan perang dan keadaan

darurat;

o. Kebijakan pertahanan dan keamanan;

p. Kebijakan perpajakan;

q. Sistem penganggaran;

Selanjutnya tentang fungsi Parlemen selain membuat

peraturan perungang-undangan juga Perijinan Legislatif

sesuai dengan pasal 96 ayat (1,2 dan 3), yaitu; dalam ayat

(1). Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah

Page 111: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

93

untuk membuat Undang-undang mengenai hal-hal sebagai

berikut;

a. Definisi kejahatan, hukuman, upaya pengamanan

dan masing-masing persyaratannya;

b. Definisi prosedur hukuman perdata dan hukum

pidana;

c. Penataan kehakiman dan kedudukan kehakiman;

d. Aturan dan peraturan umum untuk pegawai

negeri, kedudukan pegawai negeri, dan tanggung

jawab negara;

e. Dasar-dasar umum untuk penataan pemerintahan

umum;

f. Sistem moneter;

g. Sistem perbankan dan keuangan;

h Definisi dasar-dasar kebijakan perlindungan

lingkungan hidup dan pembangunan yang

berkesinambungan;

i. Aturan dan peraturan umum untuk penyiaran

radio dan televisi dan media masa lainnya;

j. Pengabdian militer atau kewajiban negara;

k. Aturan dan peraturan umum bagi penuntutan

resmi dan penyitaan atas kepentingan umum;

l. Cara dan bentuk intervensi, penyitaan,

nasionalisasi dan pengswastaan sarana

penghasilan dan tanah atas alasan kepentingan

umum,serta persyaratan untuk penetapan ganti

rugi berkaitan dengan hal-hal tersebut.

Page 112: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

94

Dalam ayat (2) bahwa, Undang-undang mengenai

perijinan Legislatif akan menentukan pokok, pengertian,

ruang lingkup dan masa berlakunya perijinan tersebut,

dan perijinan tersebut dapat diperbaharui. Dalam ayat (3)

berbunyi Undang-undang mengenai Perijinan Legislatif

tidak dapat digunakan lebih dari satu kali dan tidak

berlaku lagi ketika pemerintah diberhentikan, dengan

berakhirnya masa legislatif atau dengan pembubaran

Parlemen Nasional.

Proses pembuatan peraturan perundang-undangan

seperti yang tercantum dalam Konstitusi RDTL 2002,

meliputi beberapa tahapan yakni “tahap usulan yang bisa

atas inisiatif sendiri dari fraksi-fraksi dan/atau anggota

parlemen, badan eksekutif (Pemerintah), tahap apresiasi,

tahap pembahasan, tahap voting, tahap pengesahan dan

tahap pengajuan kepada Presiden untuk diumumkan

sesuai dengan pasal 88 ayat (1) yang berbunyi ; dalam

waktu tiga puluh hari terhitung mulai dari tanggal

diterimanya rancangan Undang-undang apapun dari

Parlemen Nasional, dengan tujuan untuk diumumkan

secara resmi sebagai Undang-undang, Presiden Republik

akan mengumumkannya secara resmi atau menggunakan

hak veto. Bila Presiden memveto, harus berdasarkan

alasan yang layak, selanjutnya menyampaikan

permohonan pada Parlemen Nasional untuk meminta

pertimbangan ulang atas RUU tersebut.

Page 113: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

95

3.3.2. Tatib Parlemen RDTL

Di dalam Tata Tertib Parlemen RDTL, mengatur lebih

lanjut mengenai proses pembuatan Undang-Uandang di

Timor-Leste, terutama mengenai prosedur legislatif umum.

Dikatakan bahwa hak prakarsa undang-undang

merupakan wewenang anggota-anggota Parlemen, fraksi-

fraksi parlementer dan Pemerintah.97 Selanjutnya

mengenai prakarsa asli Undang-undang berbentuk

proposal undang-undang apabila dilaksanankan oleh

anggota-anggota Parlemen dan fraksi-fraksi parlementer

dan berbentuk usulan-usulan undang-undang apabila

dilaksanakan oleh Pemerintah. Dan prakarsa susulan,

dalam proses apresiasi, berbentuk usulan perubahan.98

Berkaitan dengan renovasi isiatif di ketengahkan

bahwa, konsep-konsep dan usulan-usulan peraturan yang

tidak dipilih dalam sidang legislatif dimana sudah di

sampaikan tidak perlu direnovasi dalam sidang-sidang

legislatif berikut, kecuali apabila terjadi peristilahan

legislasi. Usulan-usulan peraturan tidak akan bermanfaat

lagi dengan pemberhentian pemerintah atau dengan

peristilahan ketepatan legislasi.99

Setelah disampaikan masing-masing inisiatif legislatif,

wajib diberi nomor dan setelah verifikasi persyaratan yang

sudah ditetapkan secara legal, ketua Parlemen

mengumumkan resolusi perijinan dan menurunkan kepada 97 Pasal 87 Tatib Parlemen RDTL. 98 Pasal 88, Loc. Cit. 99 Pasal 92, Loc. Cit.

Page 114: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

96

komisi yang berwenang, jika itu kasusnya di umumkan

dalam paripurna.

Berikut proses legislatif umum sebagaimana dimaksud

akan di gambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Page 115: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

97

Bagan 3.6

Legislatif Umum sesuai dengan Tatib Parlemen

Nasional Republik Demokratik Timor-Leste

PROJECTO DE LEI (Deputados E Bancadas Parlementares) :Prakarsa RUU dari Anggota dan Fraksi di Parlemen

PRESIDENTE DO

PARLEMENTO Admissao

= proposal atau prakarsa RUU diterima oleh Presiden Parlemen

PROPOSTA DE LEI

(Governo) =Usulan RUU

dari Pemerintah

PLENARIO • Anuncio da Iniciativa Legislativa : “penyampaian alasan Dari Prakarsa/Usulan Suatu RUU • Baixa a Comissao : Di

sampaikan kepada Komisi.

PLENARIO Discussao e votaçao na generalidade : diskusi dan pemilihan secara umum

PLENARIO • Discussao e votaçao na

especialidade :diskusi dan pemilihan secara khusus

• Votaçao Final global : pemilihan akhir umum

PRESIDENTI do PARLEMENTO Assinatura : di tandatangani oleh

Presiden Parlemen

COMISSAO • Apreciaçao preliminary

da iniciativa legislative : “dengar pendapat dari proposal yang diusulkan

• Relatorio e parecer : laporan dengar pendapat

COMISSAO Discuçao e votaçao na

especialidade : diskusi dan pemilihan secara khusus

COMISSAO Redaçao final : Laporan akhir

PRESIDENTE DA REPUBLIKA • Promulgação e publicação

ou : pengesahan dan pengundangan atau

• Veto = menolak

Page 116: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

98

Dari tabel-tabel diatas, dapat duraikan bahwa;

prakarsa atau usulan dari suatu Rancangan undang-

undang, dapat dilakukan oleh anggota parlemen

dan/atau fraksi-fraksi di parlemen atau dapat pula

dari pemerintah. Selanjutnya di katakan bahwa

prakarsa asli undang-undang berbentuk proposal

apabila inisiatif dari anggota-anggota parlemen dan

fraksi-fraksi parlementer dan berbentuk usulan-usulan

apabila inisiatif atau prakarsa dari pemerintah. Setelah

disampaikan masing-masing inisiatif legislatif, ini wajib

diberi nomor dan setelah diverifikasi persyaratan yang

sudah ditetapkan secara legal, ketua Parlemen

mengumumkan resolusi perizinan pada rapat

paripurna I untuk selanjutnya disampaikan kepada

Komisi yang berwenang. Setelah dikomisi, dilakukan

dengar pendapat dari setiap RUU dan dilanjutkan

dengan laporan dengar pendapat. Kemudian

dilanjutkan ke dalam Rapat Paripurna II untuk

diadakan diskusi yang pada sesi ini dilakukan

pemilihan secara umum. Pemilihan pada umumnya

memimpin tentang masing-masing konsep atau usulan

peraturan. Dan setelah disahkan pada umumnya,

konsep atau usulan peraturan dapat di turunkan

kepada komisi yang berwenang dalam sebab materi

untuk penilaian dan pemilihan khusus.100 Apabila lolos

pada sesi ini dilanjutkan lagi di Komisi untuk 100 Pasal 102 Tatib Parlemen DTL.

Page 117: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

99

didiskusikan secara khusus dan pemilihan secara

khusus di Komisi. Secara wajib diajukan untuk diskusi

dan pemilihan khusus dalam paripurna tentang materi-

materi yang menetapkan dalam nomor-nomor 2 dan 3

pasal 95 UUD atau konstitusi101. Kemudian

dikembalikan kepada rapat paripurna III untuk

melakukan diskusi dan pemilihan secara khusus dan

pemilihan akhir umum. Kemudian Komisi melalukan

laporan akhir tentang RUU tersebut dan disampaikan

kepada Presiden Parlemen untuk ditandatangani.

Setelah penandatangan oleh Presiden Parlemen

kemudian dikirim kepada Presiden Republik untuk

disahkan dan/atau menolak ( veto) dengan alasan

tertentu. Alasan penolakan atau veto dari Presiden

Republik bisa dalam dua motif, yang pertama karena

motif politik, artinya secara politik suatu RUU dapat

merugikan atau menguntungkan secara sepihak

sehingga perlu di kaji ulang. Motif yang kedua, yaitu

inkonstitusional atau bertentangan dengan pasal

tertentu dalam UUD atau konstitusi.

Apabila Presiden Republik mengesahkannya untuk

selanjutnya di undangkan dalam lembaran Negara

sebagai Undang-Undang melalui Jurnal da Republika.

3.4. Asas Peraturan Perundang-undangan Dalam Undang-Uandang No 10 Tahun 2004 dikenal

asas-asas Peraturan Perundang-undangan yang perlu 101 Pasal 103 Tatib Parlemen RDTL.

Page 118: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

100

pula diperhatikan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik (good legislation

principles), yang meliputi:

Kejelasan tujuan; adalah bahwa setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus

mempunyai tujuan yang jelas yang hendak di capai;

a. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat; adalah bahwa setiap jenis peraturan

perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga

atau pejabat pembentuk peraturan perundang-

undangan yang berwenang. Peraturan perundang-

undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal

demi hukum, bila di buat oleh lembaga atau pejabat

yang tidak berwenang.

b. Asas kesamaan jenis dan materi muatan; adalah

bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan harus benar-benar memperhatikan materi

muatan yang tepat dengan jenis peraturan

perundang-undangannya;

c. Asas dapat dilaksanakan; adalah bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan

harus memperhitungkan efektivitas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,

baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

d. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; adalah

bahwa peraturan perundang-undangan dibuat

karena memang dibutuhkan dan bermanfaat dalam

Page 119: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

101

mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara;

e. Asas kejelasan rumusan; adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan peraturan

perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan

mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya;

f. Asas keterbukaan; adalah bahwa dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan

mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,

dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat

mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam proses pembuatan

peraturan perundang-undangan. 102:

Di samping asas pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan di atas, dikenal pula asas materi Muatan

Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut :

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan; 102 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 5.

Page 120: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

102

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum;

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.103

3.5 Materi Muatan Materi muatan yang harus di atur dengan Undang-

Undang berisi hal-hal yang :

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang meliputi :

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara

serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara.

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk

diatur dngan Undang-Undang.104

Di Timor-Leste sebagaimana terdapat dalam Konstitusi

RDTL pasal 95 ayat 2 merupakan Materi Muatan

yangmengatur hal-hal sebagaiberikut :

103 UU No 10 Tahun 2004 Pasal 6 104 Pasal 8 UU No 10 Tahun 2004

Page 121: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

103

a. Perbatasan Republik Demokratis Timor-Leste,

sesuai dengan pasal 4;

b. Perbatasan perairan territorial, zona ekonomi

eksklusif dan hak Timor-Leste atas daerah

sekitarnya dan landasan kontinental;

c. Lambang-lambang negara, sesuai dengan ayat 2

pasal 14;

d. Kewarganegaraan;

e. Hak-hak kebebasan dan jaminan;

f. Kedudukan dan kemampuan individu, hukum

keluarga dan hukum kewarisan;

g. Pembagian wilayah;

h. Undang-undang tentang pemilihan umum dan

sistem jajak pendapat;

i. Partai-partai politik dan perkumpulan politik;

j. Kedudukan para Anggota Parlemen Nasional;

k. Kedudukan pemegang jabatan dalam lembaga-

lembaga negara;

l. Dasar-dasar sistem pendidikan;

m. Dasar-dasar sistem kesehatan dan jaminan

sosial;

n. Penangguhan jaminan sesuai dengan UUD dan

pengumuman keadaan perang dan keadaan

darurat;

o. Kebijakan pertahanan dan keamanan;

p. Kebijakan perpajakan;

q. Sistem penganggaran;

Page 122: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

104

3.6. Karakteristik Responsif dalam

Pembuatan Undang-Undang. Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau

pembahasan rancangan undang-undang dan

rancangan peraturan daerah. 105

Dalam penyiapan dan Pembahasan Rancangan

Undang-Undang, masyarakat dapat memberikan

masukan kepada pemrakarsa. Masukan sebagaimana

dimaksud dilakukan dengan menyampaikan pokok-

pokok materi yang diusulkan. Selanjutnya dikatakan

bahwa masyarakat dalam memberikan masukan harus

menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas.106

Di Timor-Leste tidak ada titik atau jalan yang

dapat memberikan tempat bagi masyarakat untuk

berpartisipasi secara langsung dalam proses

pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang dalam

konstitusinya, sehingga dapat dikatakan bahwa

partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan

Undang-Undang sangat minim bahkan tidak ada. Tentu

ini akan berdampak pada ketidak tahuan atau bahkan

penolakan terhadap suatu produk Undang-Undang

yang telah di buat dengan memakan waktu dan biaya

yang mahal, menjadi sia-sia atau bahkan tidak

berguna.

105 Pasal 53 UU No 10 Tahun 2004. 106Pasal 41 Perpres No 68 Tahun 2005.

Page 123: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

105

3.7. Analisis Perbedaan dan Persamaan dari

proses Pembuatan Undang-Undang di

Indonesia dan Timor-Leste. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian

Tesis ini, terutama setelah diadakan study komparasi

atau perbandingan tentang proses pembuatan Undang-

Undang di Indonesia dan Timor-Leste, dimana

ditemukan perbedaan dan persamaan dari kedua

negara, dan merupakan dasar dari diadakannya study

perbandingan hukum, meskipun sistem

pemerintahannya yang berbeda, yakni Indonesia

dengan sistem presidensil dan Timor-Leste dengan

sistem semi Presidensil, yang akan di gambarkan dalam

tabel sebagai, berikut:

Tabel 3.7

ANALISIS PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PROSES

PEMBUATAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA DAN

TIMOR - LESTE No Indikator Indonesia Timor-Leste Ket

1 Dasar Hukum 1. UUD 1945

2. UU No 10 Tahun 2004

3. Tatib DPR RI

4. Perpre No 68 Tahun 2005.

1.Konstitusi

Republik

Demokratik

Timor-Leste

2002

2.Tata Tertib

Parlemen

Nasional

RDTL

Page 124: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

106

2 Lembaga

Pembuat UU

1. DPR

2. Presiden

3. DPD

1. Parlemen

Nasional

2. Pemerintah

3 1.Asas

Pembentukan

Peraturan

Perundang-

undangan.

2.Asas Materi

Muatan

Peraturan

Perundang-

undangan

Terdapat dalam UU No 10

Tahun 2004, Pasal 5:

a. Kejelasan Tujuan;

b. Kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis

dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan

kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan;

g. Keterbukaan.

Terdapat dalam UU No 10

Tahun 2004, pasal 6 :

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan

dalam hukum dan

pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian

hukum;

j. keseimbangan,

keserasian,dan

keselarasan.

Belum diatur

secara tegas

dalam aturan

lebih lanjut

4

Materi Muatan

UU No 10 Tahun 2004 pasal

8 :

a. hak-hak asasi

manusia;

Terdapat

dalam

Konstitusi

RDTL

Page 125: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

107

b. hak dan kewajiban

warga negara;

c. pelaksanaan dan

penegakan

kedaulatan negara

serta kekuasaan

pembagian negara;

d. wilayah negara dan

pembagian daerah;

e. kewarganegaraan dan

kependudukan;

f. keuangan negara.

pasal 95

ayat 2

5

Pengesahan

dan Peng-

undangan

Pengesahan: Oleh Presiden,

dikatakan dalam pasal 37,

bahwa :

1 Rancangan UU yang

telah disetujui

bersama, oleh DPR

dan Presiden,

disampaikan oleh

Pimpinan DPR

kepada Presiden

untuk di sahkan

menjadi UU.

2 Penyampaian RUU,

sebagaimana

dimaksud diatas

dilakukan dalam

jangka waktu paling

lambat 7 (tujuh) hari

terhitung sejak

tanggal persetujuan

bersama.

Selanjutnya dikatakan dalam

pasal 38, bahwa :

Merupakan

wewenang

Presiden

Republik,

terdapat dalam

Pasal 85

Konstitusi RDTL

2002 :

1.

Mengumumkan

secara resmi

Undang-Undang

dan

memerintahkan

penerbitan

resolusi-resolusi

dari Parlemen

Nasional yang

mengesahkan

kesepakatan

dan meratifikasi

tratat serta

perjanjian

Page 126: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

108

1. RUU sebagaimana

dimaksud dalam

pasal 37 disahkan

oleh Presiden dengan

membubuhkan

tanda tangan dalam

jangka waktu 30

(tiga puluh) hari

sejak RUU tersebut

disetujui bersama

oleh DPR dan

Presiden;

2. Dalam RUU

sebagaimana

dimaksud pada ayat

(1) tidak ditanda

tangani oleh

Presiden dalam

waktu paling lambat

30 (tiga puluh) hari

sejak RUU tersebut

disetujui bersama,

maka RUU tersebut

sah menjadi UU dan

wajib di undangkan.

3. Dalam halsahnya

RUU sebagaimana

dimaksud pada ayat

(2), maka kalimat

pengesahannya

berbunyi : UU ini

dinyatakan sah

berdasarkan

ketentuan pasal 20

ayat (5) UUD 1945

4. Kalimat pengesahan

Internasional.

2. Menggunakan

hak veto atas

UU apa saja

dalam waktu 30

( tiga puluh)

hari terhitung

mulai pada

tanggal

penerimaannya.

3. Apabila

Presiden

Republik

memveto suatu

UU, harus

berdasarkan

alasanyang

dapat

dipertanggung

jawabkan,

meliputi :

a. Veto politik :

dimana

dipertimbangka

n bahwa suatu

UU yang

diajukan secara

politik tidak

netral.

b.Veto

Inkonstitusional

:artinya bahwa

UU yang

diajukan

bertentangan

dengan

Page 127: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

109

yang berbunyi

sebagaimana

dimaksud pada ayat

(3) harus

dibubuhkan pada

halaman terakhir UU

sebelum

pengundangan

naskah UU kedalam

Lembaran Negara RI.

Pengundangan, Dalam Pasal

45 UU No 10 Tahun 2004:

Agar setiap orang

mengetahuinya, Peraturan

Perundang-undangan harus

diundangkan dengan

menempatkannya dalam:

a. Lembaran Negara RI;

b. Berita Negara RI;

c. Lembaran Daerah;

d. Berita Daerah.

Sementara dalam Pasal 47,

dikatakan bahwa :

1. Tambahan Lembaran

Negara RI memuat

penjelasan Peraturan

Perundang-

undangan yang di

muat dalam

Lembaran Negara RI

2. Tambahan Berita

Negara RI memuat

penjelasan Peraturan

Perundang-

undangan yang

dimuat dalam Berita

Konstitusi.

4. setelah

disahkan oleh

Presiden

Republik, harus

di muat dalam

Journal da

Republika, baru

dianggap sah

penggunaanya.

Page 128: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

110

Negara RI.

Pengundangan Peraturan

Perundang-undangan dalam

Lembaran Negara RI atau

Berita Negara RI

sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 46 dilaksanakan

oleh menteri yang tugas dan

tanggung jawabnya di bidang

Peraturan Perundang-

undangan. (Pasal 48).

Berdasarkan Tabel diatas dapat penulis analisis

bahwa, perbedaan dan persamaan dalam proses

pembuatan Undang-Undang di Indonesia dan Timor-Leste

adalah sebagai berikut:

Di Indonesia : Dasar hukumnya terdapat dalam UUD

1945, Tata Tertib DPR-RI, Undang-Undang No 10 Tahun

2004 serta Perpres No 68 Tahun 2005, dengan demikian

menurut penulis, bahwa semakin banyak aturan atau

dasar hukum yang digunakan sebagai acuan dalam

pembentukan suatu Undang-Undang dapat menimbulkan

multitafsir oleh para perancang Undang-Undang itu

sendiri, sesuai dengan kepentingan yang diusung, kalau

tidak di cermati dengan sangat teliti dan hati-hati atau

bahkan tumpang tindih antara satu aturan dengan aturan

lainnya yang mengatur hal yang sama.

Sedangkan di Timor-Leste : menurut pengamatan

penulis, bahwa hanya terdapat dua dasar hukum yaitu

Konstitusi dan Tatib Parlemen dalam pembuatan Undang-

Page 129: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

111

undang tidak berarti terhindar sama sekali dari kelemahan

atau kekurangan yang ada tetapi bisa diminimalisir.

Lembaga Pembuat Undang-Undang : di Indonesia

menurut observasi penulis lembaga yang berwenang

membuat Undang-Undang ada 3 (tiga), yaitu DPR,

Presiden dan DPD (untuk aturan tertentu yang berkaitan

dengan kepentingan daerah). Untuk selanjutnya akan di

tanda tangani oleh Presiden dalam tempo 30 (tiga Puluh)

hari dan apabila dalam tempo tiga puluh hari tersebut

Presiden tidak menanda tanganinya maka UU tersebut sah

dan harus diundangkan dalam Lembaran Negara. Dimana

untuk membuat suatu Undang-Undang harus ada

persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, sehingga

apabila sudah di setujui bersama tinggal penyelesaianya

saja dan menurut hemat saya tidak terlalu memakan

waktu dalam psroses pembuatannya. Hanya saja untuk

mendapatkan kesepakatan antara kedua lembaga pembuat

Undang-Undang ini di butuhkan waktu yang tidak sedikit

dan analisis yang sangat ketat, karena masing-masing

lembaga tentunya mempunyai kepentingan dan berusaha

untuk mempertahankan kepentingan tersebut, sehingga

dapat saja terjadi tolak tarik kepentingan dalam

pembuatan suatu Undang-Undang yang tentunya kalau ini

terjadi otomatis banyak memakan waktu yang akan

berdampak pula terhadap eksistensi berlakunya suatu

Undang-Undang karena kita tahu bahwa hukum selalu

ketinggalan dalam mengatur masyarakat.

Page 130: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

112

Sementara di Timor-Leste : inisiatif suatu Undang-

Undang bisa datang dari anggota Parlemen atau fraksi-

fraksi di Parlemen dan Pemerintah, setelah di verifikasi

oleh Presiden Parlemen apabila diterima akan di berinomor

dan diagendakan untuk diumumkan dalam rapat

paripurna. Selanjutnya diadakan dengar pendapat dari

para pemrakarsa mengenai tujuan serta motif dari suatu

Rancangan Undang-Undang. Proses ini akan berakhir

dengan di tanda tanganinya suatu RUU oleh Ketua

Parlemen yang dilanjutkan dengan pengesahan oleh

Presiden Republik, atau Presiden Republik menolak dengan

menggunakan hak veto yang tentunya dengan alasan yang

dapat di terima dan dipertanggung jawabkan. Seperti

halnya di Indonesia, di Timor-Lestepun akan terjadi hal

yang sama, kalau tidak di perhatikan dengan cermat.

Menurut saya bahwa akan ada tolak tarik kepentingan

antara anggota Parlemen atau fraksi-fraksi di Parlemen

atau dengan Pemerintah yang tentunya tidak terlepas dari

partai politik yang mengusung para wakil-wakil rakyat ini.

Dengan demikian akan berdampak pula pada proses

pembuatan suatu undang-undang yang di harapkan dapat

menjadi pijakan untuk mengatur kehidupan berbangsa

dan bernegara menuju kehidupan yang lebih baik

tentunya.

Asas dan Materi Muatan : di Indonesia di atur secara

tegas dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 mengenai

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga

Page 131: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

113

lebih memudahkan dalam penempatannya sesuai dengan

porsi masing-masing, mana yang menjadi asas dan materi

muatan Undang-Undang dan mana yamg menjadi asas dan

materi muatan aturan lainnya, dengan demikian

perbedaannya jelas.

Sementara di Timor-Leste : asas dan materi muatan

peraturan perundang-undangan termasuk Undang-undang

semua hanya terdapat dalam Konstitusi tidak di atur lebih

lanjut dalam suatu Undang-Undang atau aturan lainnya

sehingga dapat menyulitkan penempatannya dalam

pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang.

Di samping landasan peraturan perundang-

undangan, juga dikenal asas-asas peraturan perundang-

undangan atau asas-asas hukum, yaitu nilai-nilai yang

dijadikan pedoman dalam penuangan norma atau isi

peraturan ke dalam bentuk dan susunan peraturan

perundang-undangan yang di inginkan, dengan

penggunaan metode yang tepat dan mengikuti prosedur

yang telah di tentukan. Pentingnya asas-asas hukum

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

menurut Paul Scholten sebagaimana disetir oleh A. Hamid

S. Attamimi ialah untuk dapat melihat benang merah dari

sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Asas-asas

hukum ini juga dapat di jadikan sebagai patokan bagi

pembentuk peraturan perundang-undangan agar tidak

melenceng dari cita hukum (rechtsidee) yang telah

disepakati bersama.

Page 132: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

114

Namun secara teoritikal asas-asas hukum bukanlah

aturan hukum (rechtsregel), sebab asas-asas hukum tidak

dapat diterapkan secara langsung terhadap suatu

peristiwa kongkrit dengan menganggapnya sebagai bagian

dari norma hukum. Meskipun demikian, asas-asas hukum

tetap dibutuhkan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, karena hukum tidak dapat

mengerti karena asas-asas hukum.

Dari uraian diatas, setidak-tidaknya ada tiga (3) fungsi

asas, yaitu :

1. Sebagai patokan dalam pembentukan dan/atau

pengujian norma hukum.

2. Untuk memudahkan kedekatan pemahaman

terhadap hukum.

3. Sebagai cermin dari peradaban masyarakat atau

bangsa tertentu dalam memandang perilaku.

Dengan melibat betapa pentingnya suatu asas dalam

kaitannya dengan pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan maka, dapat penulis katakan

bahwa apabila tidak ada asas yang di pakai sebagai

pedoman dalam pembuatan suatu Undang-undang,

otomatis akan menyulitkan penuangan norma atau

aturan yang tepat yang dapat di gunakan sebagai

pijakan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa

dan bernegara.

Page 133: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

115

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari uraian latar belakang, teori yang dipakai dan

hasil analisis penulis terhadap proses pembuatan

Undang-Undang di Indonesia dan Timor-Leste, maka

dapat penulis membuat suatu kesimpulan bahwa

prosedur pembuatan Undang-Undang dari kedua

negara memiliki perbedaan dan persamaan sebagai

berikut :

Pertama, Dasar hukum, baik di Indonesia maupun di

Timor-Leste, sama-sama memiliki dasar hukum dalam

pembuatan suatu Undang-Undang, yaitu kalau di

Indonesia meliputi UUD 1945, UU No 10 Tahun 2004,

Tatib DPR serta Perpres No 68 Tahun 2005. Sementara

di Timor-leste juga memiliki dasar hukum dalam

pembuatan suatu UU yaitu Konstitusi RDTL Tahun

2002 serta Tata Tertib Parlemen Nasional.

Kedua, Lembaga yang berwenang, di Indonesia

lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang

meliputi DPR, Presiden dan DPD (untuk UU tertentu).

Demikian pula di Timor-Leste lembaga yang membuat

Undang-Undang yaitu Parlemen Nasional dan

Pemerintah.

Page 134: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

116

Ketiga, asas dan materi muatan, di Indonesia diatur

secara tegas dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Tatib

DPR RI, serta Perpres No 68 Tahun 2005. Namun di

Timor-Leste dimuat dalam Konstitusi RDTL 2002 dan

penjabarannya dalam Tata Tertib Parlemen Nasional

RDTL.

Keempat, pengesahan dan pengundangan, di

Indonesia setelah diadakan persetujuan antara DPR

dan Presiden terhadap suatu UU selanjutnya harus di

sahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda

tangan dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung dari

tanggal persetujuan bersama, dan setelah 30 (tiga

puluh) hari tidak di tanda tangani oleh Presiden UU

tersebut sah dan harus di undangkan. Sementara di

Timor-Leste, setelah suatu UU di kirim oleh Pralemen

untuk di sahkan, Presiden Republik memiliki hak veto

untuk menolak suatu UU apabila dipandang perlu,

yang tentunya sesuai dengan alasan yang dapat

diterima dan dapat dipertanggung jawabkan, yaitu

alasan politik dan alasan inkonstitusinal.

Di sisi yang lain tentang responsif tidaknya

pembentukan Undang-Undang di Indonesia, dalam

penyiapan dan Pembahasan Rancangan Undang-

Undang, di atur secara jelas bahwa masyarakat dapat

memberikan masukan kepada pemrakarsa. Masukan

sebagaimana dimaksud dilakukan dengan

Page 135: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

117

menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan.

Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat dalam

memberikan masukan harus menyebutkan identitas

secara lengkap dan jelas.

Sedangkan di Timor-Leste tidak ada titik atau

jalan yang dapat memberikan tempat bagi masyarakat

untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses

pembuatan suatu Rancangan Undang-Undang dalam

konstitusinya, sehingga dapat dikatakan bahwa

partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan

undang-Undang sangat minim bahkan tidak ada. Tentu

ini akan berdampak pada ketidak tahuan atau bahkan

penolakan terhadap suatu produk Undang-Undang

yang telah di buat dengan memakan waktu dan biaya

yang mahal, menjadi sia-sia atau bahkan tidak

berguna.

Peraturan perundang-undangan dibuat sebagai

upaya untuk menuju perbaikan ke arah masa depan

yang lebih baik. Oleh karena itu seyogiahnya peraturan

perundang-undangan dapat mengakomodir

kepentingan seluruh pihak, bukan hanya kepentingan

golongan semata sehingga undang-undang yang dibuat

benar-benar memiliki karakter yang responsif. Namun

demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada

kenyataannya masih banyak sekali peraturan yang

tidak sempurna.

Page 136: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

118

Masih banyak peraturan yang hanya dibentuk

berdasarkan ego sektoral/golongan semata dengan

alasan berbagai kepentingan yang menyangkut

kewenangan, kelembagaan, hak kewajiban, dan lain

sebagainya.

Perlu disadari pula bahwa serangkaian proses

pembentukan peraturan perundang-undangan yang

memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga untuk

menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan

yang baik, akan menjadi tidak berarti apabila tidak

didukung dengan proses penegakan hukum (law

enforcement) yang baik.

Dengan demikian meningkatkan transparansi dan

partisipasi publik dalam proses pembuatan suatu

undang-undang bisa lebih meningkatkan kualitas dan

legitimasi undang-undang tersebut pada

implementasinya. Maka dari itu suatu UU harus dibuat

oleh lembaga atau organ yang berwenang serta

prosedur yang sesuai dengan sistem hukum yang

berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian suatu

undang-undang yang telah di undangkan dapat

merespon semua persoalan yang ada dalam suatu

masyarakat di suatu negara baik baik sekarang serta

masa yang akan datang. Sehingga, prinsip negara

hukum seperti yang dikemukan oleh AV. Dicey yaitu

supremasi of the law, equality before the dan

Page 137: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

119

constitution based on the human right dapat ditegakkan,

bukan hanya teori belaka.

Dari uraian penulisan tesis ini, dapat penulis

sampaikan beberapa aspek dalam pembentukan UU

terutama di Indonesia pada era reformasi yaitu : aspek

kelembagaan, aspek masyarakat, aspek pengaturan

dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek tersebut

secara bersama-sama telah mendorong proses

pembentukan UU yang melahirkan adanya

transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dan pada

gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam proses

pembentukan UU.

Keempat aspek tersebut adalah :

1. Aspek kelembagaan

Dari aspek kelembagaan terlihat bahwa DPR

selaku pemegang kekuasaan legislatif lebih

mempunyai dasar konstitusional yang kuat dan

tegas peran legislasinya dalam proses

pembentukan UU sehingga membuat pemerintah

tidak lagi dominan sebagaimana terjadi pada era

sebelum reformasi.

2. Aspek masyarakat

Dari aspek masyarakat tampak bahwa

masyarakat merasa bahwa lebih bebas dalam

menyampaikan aspirasinya baik melalui media

maupun datang langsung ke DPR dan sekaligus

memantau dari luar rapat-rapat pembahasan

Page 138: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

120

dalam proses pembentukan UU. Hal ini terjadi

karena adanya hubungan yang lebih transparan

antara wakil rakyat dengan rakyat sehingga

mendorong terjadinya kontak yang lebih intensif

dalam rangka proses pembentukan UU yang

demokratis.

3. Aspek pengaturan

Dari aspek pengaturan dapat dikemukakan

bahwa selama reformasi telah terjadi berbagai

perubahan peraturan Tata Tertib DPR dalam

rangka penyempurnaan menuju terwujudnya

tatanan proses pembentukan yang lebih

transparan, partisipatif dan akuntabel.

4. Aspek pembahasan

Pembahasan secara intensif, mendalam dan

menyeluruh terhadap suatu RUU dilakukan

dalam Rapat Komisi, Rapat Pansus maupun

Rapat Panitia Kerja. Akan tetapi tidak mudah

untuk mencapai terwujudnya persamaan dalam

memandang suatu persoalan yang akan diatur

dalam suatu RUU. Hal ini karena dalam

pembahasan terjadi pengkajian yang bertalian

dengan tata nilai dan kepentingan yang dibawah

oleh berbagai kekuatan politik. Oleh karena itu,

suatu produk UU dilihat dari konteks sosial

masyarakat lebih merupakan endapan konflik

nilai dan kepentingan, yang jika tidak dibuat

Page 139: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

121

secara hati-hati cermat dan seksama, dapat

menimbulkan masalah baru dikemudian hari.

Proses pembentukan UU yang melibatkan

Pemerintah, DPR dan Masyarakat, pada dasarnya

adalah suatu bentuk ideal dalam proses

pembentukan UU yang responsif. Semua

kekuatan politik secara riil termasuk masyarakat

ada didalamnya. Akan tetapi, karena belum

ditopang oleh perangkat peraturan perundang-

undangan yang mengatur partisipasi masyarakat

secara memadai, maka bentuk ideal tersebut

belum dapat menghasilkan produk undang-

undang yang sepenuhnya responsif bagi

keinginan masyarakat luas. Sehubungan dengan

persoalan ini dapat dikemukakan beberapa hal

sbb:

a. Dalam proses pembentukan UU menuju

terwujudnya demokrasi partisipatoris,

keberadaan lembaga perwakilan tetap

merupakan organ utama dalam proses

legislatif. Akan tetapi, lembaga perwakilan

tidak mungkin mampu menangkap aspirasi

masyarakat secara luas. Sementara itu, masih

terdapat representasi ide yang tersebar luas di

masyarakat. Oleh karena itu lembaga

perwakilan harus tetap terbuka bagi akses

publik untuk dapat berpartisipasi dalam

Page 140: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

122

proses pembentukan UU. Dengan demikian,

diharapkan akan melahirkan produk UU yang

transparan partisipatif dan akuntabel dalam

proses demokratisasi di Indonesia dan Timor-

Leste.

b. Pengaturan partisipasi dalam UU No. 10

tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan keputusan DPR No.

15/DPR RI/I/2004-2005 tentang Peraturan

Tata Tertib DPR belum cukup memadai dalam

rangka menuju proses pembentukan UU yang

partisipatif, karena baru mengatur tentang

mekanisme serta evaluasi dari adanya

partisipasi masyarakat.

c. Tidak mudah membuat UU yang sepenuhnya

responsif mengingat kemajemukan kondisi

sosial masyarakat dan latar belakang yang

berbeda dari berbagai kekuatan politik di

masyarakat. Akan tetapi, melalui adanya

jaminan yang lebih memadai dalam peraturan

perudang-undangan, partisipasi masyarakat

akan lebih mendapatkan tempat yang

proporsional dalam proses pembentukan UU

dinegara demokrasi yang berdasar atas

hukum.

Page 141: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

123

4.2. Saran Atas dasar penarikan kesimpulan diatas, maka

saran-saran yang dapat dikemukakan dari penelitian

ini adalah :

Pertama, adanya temuan terhadap empat aspek

perubahan dalam proses pembentukan UU di era

reformasi yang mencakup, aspek kelembagaan, aspek

masyarakat, aspek pengaturan dan aspek

pembahasan suatu RUU, perlu dilembagakan dalam

arti diberikan landasan perangkat peraturan

perundang-undangan yang kuat sehingga akan lebih

menjamin proses demokratisasi pembentukan UU

yang transparan, partisipatif dan akuntabel.

Kedua, adanya partisipasi masyarakat dalam

proses pembentukan UU menunjukan adanya

peningkatan kesadaran masyarakat dalam

bernegara. Oleh karena itu, perumusan materi

muatan yang bertalian dengan HAM harus dilakukan

secara hati-hati dan aspiratif terhadap partisipasi

masyarakat agar produk UU yang dihasilkannya

dapat lebih diterima oleh masyarakat luas.

Ketiga, proses pembentukan UU yang diletakkan

dalam proses sosial masyarakat ternyata mampu

mendorong terwujudnya UU yang lebih responsif.

Oleh karena itu, DPR selaku lembaga pemegamg

kekuasaan legislatif hendaknya dalam proses

pembahasan suatu RUU lebih mengutamakan

Page 142: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

124

kepentingan bangsa dan negara secara luas, bukan

kepentingan individu, kelompok, golongan maupun

partai politik tertentu. Dengan demikian, akan

dihasilkan suatu produk UU yang dapat diterima

oleh berbagai pihak sehingga lahirnya suatu UU

tidak menimbulkan masalah baru dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Keempat, proses pembahasan suatu RUU oleh

Panitia Kerja yang selama ini dilakukan secara

tertutup dan terbatas yang hanya dapat diikuti oleh

anggota Panitia Kerja termasuk Pemerintah

didalamnya, kiranya sudah waktunya perlu

dipikirkan untuk dilakukan secara terbuka. Hal ini

karena dalam rapat Panitia Kerja dibahas secara

intensif, mendalam dan menyeluruh persoalan yang

menyangkut materi suatu RUU. Dengan

dilakukannya rapat-rapat tersebut secara terbuka,

maka masyarakat dapat mengakses setiap

perkembangan yang terjadi dalam pemhahasan

suatu RUU. Hal ini akan berdampak positif sebagai

proses pendidikan politik masyarakat dalam suatu

negara yang menganut perpaduan antara demokrasi

perwakilan dan demokrasi partisipatoris.

Kelima, perlunya dilakukan penelitian lebih

lanjut berkaitan dengan partisipasi masyarakat

dalam proses pembentukan UU ini, terutama

perjuangan partai politik dalam mengartikulasikan

Page 143: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

125

dan mengapresiasikan masukan dari partisipasi

masyarakat agar publik dapat mengetahui secara

lebih luas kinerja wakil-wakil rakyat di DPR dalam

membahas lahirnya suatu UU. Publikasi dari

penelitian-penelitian yang bertalian dengan proses

pembentukan UU yang partisipatif ini pada gilirannya

akan merupakan sarana pendidikan politik rakyat

dalam mewujudkan terbentuknya negara demokrasi

yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang

demokratis.

Keenam, Untuk Timor-Leste diharapkan dapat

dijadikan model untuk saling mengisi dalam

pembentukan UU dimasa mendatang.

Page 144: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

126

Page 145: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

127

Daftar Pustaka

Astawa, Pantja, I Gde, & Na’a, Suprin, 2008. Dinamika

Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Alumni.

Budiman, Arif, 1997. Teori Negara, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Budiarjo, Miriam, 1998. Partisipasi dan Partai Politik,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Edisi Ketiga

Coglianese, Cary, et.all. 2008, Tranparency and Public

Participation in Rulemaking Proses. University of

Pensylvania Law School.

Frank, Jerome, 2008. Dalam Buku Philippe Nonet

&Philif Selznick, Hukum Responsif. Bandung:

Nusa Media.

Gaffar, Affan, 1992. Pembangunan Hukum dan

Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.

Ibrahim, Joni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

Normatif. Malang: Bayu Publishing.

------------, 2002. Konstutusi Republik Demokratik

Timor-Leste.

Manan, Bagir, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan

Indonesia. Jakarta: Cetakan Pertama, Ind-Hill-

Co.

Marzuki, Mahmud, Peter, 2008. Pengantar Ilmu

Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Page 146: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

128

Marzuki, Mahmud, Peter, 2008. Penelitian Hukum,

Dalam Paton G.W. Jakarta, :Kencana Media

Group, 42.

Md. Mahpud. Moh, 2003. Demokrasi dan konstitusi di

Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

------------,Perpres No 68 Tahun 2005 Tentang Tata

Cara mempersiapkan RUU, Rancangan

PERPU, Rancangan PP, dan Rancangan

Perpres.

Rahardjo, Satjipto, 2006. Hukum Dalam Jagat

Ketertiban. Jakarta: UKI PRESS.

Rahardjo, Satjipto, 1998. Penyusunan Undang-undang

yang demokratis. Seminar: ”Mencari Model

Ideal Penyusunan Undang-undang yang

Demokratis dan Kongres Asosiasi Sosiologi

Hukum Indonesia” Semarang: Fakultas

Hukum, Undip, (3) Rauta, Umbu, 2000. Tesis Tentang Pelaksanaan Fungsi

Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat

Terhadap Kebijakan Pemerintah Menurut UUD

1945. Bandung: UNPAD.

Saifudin, 2009. Partisipasi Publik Dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.Yogyakarta, FH

UII Press. Cetakan Pertama.

-------------,Tata Tertib DPR RI/2004-2005

------------,Tata Tertib Parlemen RDTL (Republik

Demokratik Timor-Leste)

Page 147: STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12471/2/T322008901.pdf · STUDI PERBANDINGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG ANTARA INDONESIA DAN

129

-------------,UU Republik Indonesia, No. 10 Tahun 2004,

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

------------,Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Yuhana, Abdi, 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pasca Perubahan UUD 1945. Bandung :

Fokusmedia.