studi komparatif terhadap keabsahan akta hibah...

118
STUDI KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, M.M.,) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah Disusun Oleh : ARIFATUL KHULWA NIM 072111013 JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011

Upload: doankiet

Post on 02-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STUDI KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, M.M.,)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

dalam Ilmu Syari’ah

Disusun Oleh :

ARIFATUL KHULWA

NIM 072111013

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH

FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2011

ii

iii

iv

MOTTO

tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝ ßγs9≡ uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §ΝèO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ Iωuρ “]Œ r&  

öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_ r& y‰Ψ Ïã öΝ Îγ În/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪

Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,

Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu

dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak

menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di

sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan

tidak (pula) mereka bersedih hati.

(Q.S Al- Baqarah : 262)

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan meraungi ilmu yang ditempuh, dengan asa dan harapan ku

persembahkan karya tulis skripsi ini saya persembahkan teruntuk orang-orang

yang selalu hadir dalam susah, sedih dan bahagia dalam kehidupan ku khususnya

buat :

� Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah).

� Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad

Nadhif dan Siti Komariyah, AH, Uswatun Khasanah, AH dan Khusnul

Fuad serta Nur Af’idah, AH dan Ahmad Arwani S.Pdi.

� Guru-guruku di seluruh jenjang pendidikan penulis.

� Mz Muhammad Zainul Anwar.

� Sahabat CORS’07 (Community Of Rayon Syari’ah 07), salam “Satu

Rasya Satu Jiwa”.

� Para sahabat-sahabat PMII, Wadyabala Justisia, dan Rekan- rekanita

IPNU-IPPNU Kota Semarang.

� Semua orang yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung

jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini

tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran

orang lain kecuali informasi yang terdapat

dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Semarang, Juni 2011

Deklarator

Arifatul Khulwa

NIM: 072111013

vii

ABSTRAK

Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai pranata

yang menjadi alat perantara kepemilikan, hukum Islam dan hukum positif yang

ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkah-langkah

untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau barang secara

sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan karena apabila suatu saat

terjadi perselisihan dan permasalahan dengan barang atau hak tersebut, orang-

orang yang bersangkutan bisa menjadikan hal tersebut sebagai bukti karena

sudah adanya pengakuan hukum.

Berangkat dari itu, ada tiga permasalahan yang dirumuskan, pertama,

Bagaimana keabsahan akta hibah menurut hukum positif ? Kedua, Bagaimana

keabsahan akta hibah menurut hukum Islam ? Dan ketiga, Apa peran Notaris dan

PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam Keabsahan Akta Hibah ?

Skripsi ini menggunakan Jenis penelitian kepustakaan (library research ).

mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta hibah. penelitian ini

juga bisa disebut penelitian kasus/ studi kasus (case study) dengan pendekatan

kualitatif. Penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis-normatif.

Disini penulis menggunakan sumber data Primer diantaranya, lapangan (field

research), dan data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina Ismawati, S.H.,

M.M kemudian sumber data sekunder memberikan keterangan yang bersifat

mendukung sumber data primer antara lain Studi kepustakaan, Peraturan

Perundang-undangan dan hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Selanjutnya menganalisa data tersebut

secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada.

Hasil penelitian ini adalah, pertama, Keabsahan Akta Hibah Menurut

Hukum Positif merupakan kewajiban dalam kebijakan undang-undang, karena

sudah terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur

(Proses) pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah

mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan

kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan

suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Kedua, Ditinjau dalam

hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam tidak menjelaskan secara

tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara

eksplisit. Dan Ketiga, Keabsahan akta hibah yang dilakukan oleh Notaris dan

PPAT Dina Ismawati, S.H, MM. Dalam Notaris mengenai benda bergerak

maupun tidak bergerak persyaratannya adalah dengan menunjukkan KTP dan

surat-surat benda yang akan dihibahkan sesuai dengan ketentuan.

Key word : Hibah, Akta Hibah dan Notaris/PPAT

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah rabb al-alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta hidayahn-Nya, penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang

memberikan uswatun hasanah kepada umatnya bagaimana berperilaku sehari-

hari, baik kepada Allah SWT, maupun kepada sesama manusia.

Penulis tidak dapat memungkiri bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak

lepas dari peran serta orang-orang di sekitar penulis, oleh karena itu penulis

haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo.

2. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang. Bapak Abdul Ghofur M.Ag selaku PD I, Bapak Saifullah

M.Ag selaku PD II, Bapak Arif Budiman M.Ag selaku PD III.

3. Ibu Anthin Lathifah M.Ag selaku Kepala Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah dan

Ibu Nur Hidayati Setyani, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-

Syakhsiyah yang senantiasa memberi nasehat.

4. Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, MH selaku pembimbing I, serta A. Syifaul

Anam, S.Hi.,M.H. selaku pembimbing II, yang menyempatkan waktunya untuk

menelaah dari bab perbab pembuatan skripsi ini.

5. Segenap dosen yang telah mendidik dengan tulus, terima kasih atas ilmu yang

ditularkan, dan para pegawai di Fakultas Syari’ah yang telah memberi

pelayanan administratif kepada mahasiswa.

6. Notaris dan PPAT Ibu Dina Ismawati, SH.,MM yang memberi kesempatan

kepada penulis disela-sela kesibukaanya guna penelitian dikantor beliau.

7. Bapak dan Ibu ku tersayang (Bapak H. Hamami dan Ibu Hj. Muslimah)

yang telah memperjuangkan ku hingga saat ini dari segi ekonomi dan

kasih sayangnya. Ridlo dan kepercayaanmu adalah kunci masa depan ku.

8. Kakak-kakakku tercinta yaitu Ahmad Hanif dan Rosyidah, Ahmad

Nadhif dan Siti Komariyah, Uswatun Khasanah dan Khusnul Fuad serta

ix

Nur Af’idah dan Ahmad Arwani S.Pdi. Tanpa ridlo dan keikhlasan

kalian, saya tidak bisa melanjutkan jenjang yang lebih tinggi dari kalian.

Semoga kalian dan keluarga selalu dilindungi dan diberkahi oleh Allah.

9. Keponakan-keponakanku Iffatul Izza, Muhammad Abdurrahman Alhadi,

Sholla Izzul Mutho’, Inayah, Abu Nawas, Fitrotul ‘Adawiyah, Alha

Buluqiyah, Sekar Asyiqotillah, dan Sekar Sania Alfatimi yang selalu

memberi warna dalam hidup penulis. Semoga menjadi anak yang sholeh

sholekhah berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa.

10. Serta semua keluarga ku tercinta yang selalu memberi semangat sehingga

tersusun skripsi ini.

11. Mas Muhammad Zainul Anwar yang selalu mengisi hari-hari ku dalam

suka maupun duka. Semoga Tuhan mempertemukan kita dalam Ridlo-

Nya.

12. Sahabat-sahabat CORS (Community Of Rayon Syari’ah 07) diantaranya

mz Zainul Anwar, Rina Rif’atin Ulfah, Nurul Fitriana, Titik Khasanah,

Zumaroh, Nur Hayatun Nufus, Thoifatul Muashomah, Agus Lukman

Fitrian, Ahda Zaki, Ibnu Qodir, Izzudin, Arif Karunia Rahman, Ahmad

Nasron, Wuri Nur Aryanti, Sofil Mubarok, Nuril Huda, Masduki, Mei

Ristikawati, Lutfi Hakim, Zein Asrori Ashiddiqi, Nur Izza Kholida,

Ahmad Ihsan, Faqehuddin, Bahrul Amik, Anita Indra Prasta, Ainung

Jariyah, Arif Herdianto, Picus dan Ubedul Mustofa. Kalian adalah

mutiara dalam perjalananku. Jaga persahabatan kita karena kita “ SATU

RASYA SATU JIWA” sampai akhir hayat nanti. Insyallah.

13. Sahabat-sahabat PMII Rayon Syari’ah (Senior mas Iman Fadhilah, Kakek

Ibnu Thalhah, mas Khadek, mas Saefudin, mas Gepeng, mbak Evi Lestari

)dari angkatan 2004 ( mas Heri, mas Koyen, mas Khosem, mas Saefudin,

mas Yoni, mbak Firoh, mbak Ovi, mas Ali Kopleng ) angkatan 2005

(mas Ali Shodiq, mas Tomy Andrias, mas Jigug, mas Johan, mas

Hamdani, mas Rifa’I, mas Rif’an, mbak Novi, mbak Via, mbak Lely,

x

mas Faizin, mbak Lina, mbak Ela, mas Waris) angkatan 2006 (mas

Yayan M Royani, mas Badrut Tammam, mas Alfian Qodri Azizi, mas

Taufik Robot, mas Suyanto, mas Khoirul Anam, mbak Aniqotus Saadah,

mbak Aniqotur Rasyidah, mbak Ely Nur Rahmah, mbak Erma, mbak

Hima, mbak Ifa, mas Jama’ Syari, mas Nafis, mbak Uswatun Khasanah,

mbak Via, mas Yunus) angkatan 2008 (Arif Fajar, Aslamiyah, Endang,

Aziz, Irham, Juki, Khudlori, Sofi, Nirma, Putri, Lia, Muhson, Aqil,

Salamah, Sirot, Sulaiman, Mujab) angkatan 2009 (Arif Jundan, David,

Faidhol, Iqbal, Hanif, Majid, Ridlo,Fuadi, Umam, Rosita, Ulfi, Wahib,

Yohana, Dani, Zumi, Ulfa). Angkatan 2010 (I’anatul Afwa, Eni, Nadia,

Nilna, Novi, dkk) yang tak bisa penulis sebut satu persatu semua, kalian

adalah keluarga dan sahabat yang selalu memberi support. Semoga

perjuangan kalian di beri rahmat oleh Allah SWT. Salam Pergerakan !

14. Sahabat-sahabat PMII Komisariat Walisongo periode 2010-2011, Ahmad

Junaidi, Nurul Watiqoh, Risma Nur Alifah, Aidris Saputro, Aisyah

Ubaidillah, Zaqraf Maulida, Nur Hidayah (inok), M. Idris, Idrus, Ali

Mahmudi, Sahid, Maftukin, Usfi, Jauharul Asror (acong), Rifqi,

Qowimul Adib, Lefi, Luluk Eka Dini, Afroh, Indri, Nur Faidah, Faruq,

Supri, Vina Inayatuzzulfa, Maftuh, Ana dan sahabat-sahabat semua yang

tidak bisa penulis sebut semua.

15. Senior Justisia, Mas Tedi Kholiludin, Mas Ikrom, Mas Arif Mustafifin,

Mas Sujiantoko, Mas Nasrudin, Mas Hendi, Mas Jojo, Mas Heri, Mbak

Rofik, Mbak Ana, Mbak Lina, Mas Faizin, Mas Rouf, Mas Hamdani,

Mbak Nikmah, Mas Ubed, Mas Khoirudin, Mas Munif, Mas Munif

Bams, Mas Chambali.

16. Wadyabala angkatan 2008, Nasihin Alm, Ariyani Kemuning Jati,

Siswoyo, Ceprudin, Muhammad Syafi’i, Muhammad Zainul Anwar,

Nazar Nurdin, Irfain Amin, Putri Rahmi, Miftahul Farid, Anis, Rifiq dan

wadyabala 2007, 2009 dan 2010.

xi

17. Teman-teman kelas ASA angkatan 2007, M.Nur Huda, Annisa Lutfi

Aryani, Ahmad Ghofur, Habib Ulin Ni’am, M. Khoirul Huda, Khozin,

Noh Latif, Mahfud, Maksumah Nurbianti, Robby Al-Ghomi, Isadurrofik,

Ahmad Rouf, Ahmad Sahal, Saifurrahim, Solhan, Umiyati, Asrof.

18. Rekan-rekanita IPNU-IPPNU Kota Semarang, Mbak Umul, Zida, Nurul,

Dila, Mas Makruf, Mas Rahul, Mas Rahman, Riani, Ridwan, Mas Rifqi,

Mas Saidin, dek aini, Mas Edi, dek Ela, Laila, Syifa’. Bersemilah-

bersemilah Tunas-tunas NU !!

19. Bapak lurah Wibisono dan Ibu Fatimah Hestiana beserta dek Galang, dek

Satria, Simbah Putri dan Kakung , Pasukan Seneng Posko 35 Desa Pakis

KKN IAIN Walisongo Angkatan ke-56 Tahun 2011, Kordes Nur

Muhammad (Memet), Bendes Ainu Zumrudiana, Jauharotul Faridah

(Chaca), Mas Bro Holil, Sie Jangkung M.Fariz Iskandar, Nusan Amelia,

Mirza Rusdiana, Ianatur Rasyidah, mbak bro Kayisul Aroiyah dan

Ahmad Baihaqi. Kalian adalah keluarga baruku.

20. Sahabat ku JABLAY, SA Krisa Apriliani, Siska Putri Patresia, Lailatun

Nuha, Lina Hasnawati, dan Novi Lidyawati. Semoga persahabatan kita

berjalan sampai akhir hayat nanti.

21. Dan semua insan di muka bumi yang pernah berinteraksi dengan penulis,

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semarang, Juni 2011

Penulis

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v

HALAMAN DEKLARASI ................................................................................... vi

HALAMAN ABSTRAK ....................................................................................... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ...................................................................... viii

HALAMAN DAFTAR ISI .................................................................................... xii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 9

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10

D. Telaah Pustaka ..................................................................................... 10

E. Metode Penelitian ................................................................................. 15

F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 20

BAB II :A. TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA HIBAH MENURUT HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

1. Akta Hibah menurut Hukum Islam ................................................. 22

a. Definisi Akta Hibah ............................................................... 26

b. Dasar Hukum Akta Hibah ..................................................... 26

c. Syarat dan Rukun Akta Hibah ............................................... 29

2. Akta Hibah menurut Hukum Positif ............................................... 32

a. Definisi Akta Hibah .............................................................. 32

b. Dasar Hukum Akta Hibah .................................................... 33

c. Macam-macam Alat Bukti Tertulis ....................................... 35

d. Fungsi Akta Hibah ................................................................. 42

B. KETENTUAN AKTA HIBAH MENURUT NOTARIS DAN PPAT

1. Akta Hibah menurut Notaris .......................................................... 53

xiii

a. Definisi Notaris .......................................................................... 54

b. Kewenangan Notaris .................................................................. 54

c. Akta Notaris ............................................................................... 55

d. Syarat Akta Hibah ...................................................................... 58

2. Akta Hibah menurut PPAT ............................................................ 59

a. Definisi PPAT ............................................................................ 59

b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT ....................................... 60

c. Bentuk-bentuk Akta ................................................................... 61

BAB III : KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,

SH.,MM)

A. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM .................. 63

B. Tata cara dan Syarat-syarat Akta Hibah ............................................... 64

C. Macam-macam Akta Hibah.................................................................. 70

D. Bentuk Akta Hibah ............................................................................... 71

E. Prosedur Pembuatan Akta Hibah ........................................................ 72

BAB IV : ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina

Ismawati, SH.,MM)

A. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Islam ....................... 77

B. Analisis Keabsahan Akta Hibah menurut Hukum Positif ...................... 85

C. Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,SH.,MM

dalam Keabsahan Akta Hibah ................................................................ 87

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................... 90

B. Saran-Saran .......................................................................................... 92

C. Penutup ................................................................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah mewajibkan beberapa ibadah menyangkut harta, supaya

terpenuhi hajat orang dan tertolaklah kemelaratan dari para fakir.1 Salah

satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka

mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa

kesetiakawanan dan kepedulian sosial adalah saling memberi, karena

manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial.

Dalam Islam banyak cara untuk melakukan kebaikan atau

menyalurkan hartanya kepada orang lain, ada beberapa macam nama

pemberian dalam Islam, diantaranya: wasiat, hadiah, sedekah, hibah dan

wakaf. Pemberian itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah

dan mewujudkan kasih sayang diantara sesama manusia dan maksud

tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa.

Suatu hadiah dapat menjadikan kecintaan pada diri penerima hadiah

kepadanya. Selain itu dijelaskan tangan diatas lebih baik daripada tangan

dibawah.

1 Tengku Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang: Pustaka Rizki

Putra,2000, hlm 69

2

Dalam dasar hukum pemberian dalam ayat-ayat Al-Qur’an banyak

yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong

menolong dan salah satu bentuk tolong menolong adalah memberikan

harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, firman Allah

SWT:

¢ (#θçΡuρ$yès?uρ ’ n?tã Îh�É9ø9 $# 3“uθø) −G9 $# uρ ( Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa” (Al-Maidah : 2)2

Penafsiran dasar hukum pemberian yaitu Al-Qur’an (Q.S Al-

Baqarah : 262)

tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝßγ s9≡ uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §Ν èO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ Iωuρ “]Œ r&  

öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_ r& y‰Ψ Ïã öΝ Îγ În/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪

Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,

Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya

itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak

menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala

di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka

dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah :

2623)

Islam mengizinkan seseorang memberikan sebagai hadiah semua

harta miliknya ketika masih hidup, tetapi perlu diingat juga dalam

2 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 56 3 Ibid, hlm. 70

3

pemberian harus ada sifat keadilan. Dalam pemberian hibah juga

demikian. Dimana hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui

transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan

jelas ketika pemberi masih hidup.4 Dalam rumusan Kompilasi Hukum

Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa

imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki

(ps. 171 huruf g KHI)

Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai

pranata yang menjadi alat perantara kepemilikan. Hibah juga mempunyai

arti penting dalam kehidupan, dengan kata lain hibah adalah suatu

pemindahan harta tertentu atas sebagian orang yang memberi dan

penerimaan atas bagian orang yang diberi harta.

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah

diatur dalam Pasal 1666 yaitu :

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di

waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat

ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si

penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara

orang-orang yang masih hidup.”5

4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada,1995,

hlm 466 5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

PT Pradnya Paramita, 1992, hlm. 436

4

Menurut ketentuan pasal 1682 KUH Perdata tentang cara

menghibah sesuatu yaitu :

“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687,

dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta

notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”6

Adapun rukun hibah ada 3 yang esensial, yaitu terdiri dari: Orang

yang menghibahkan (al-wahib), orang yang menerima hibah (al-mauhub-

lah), dan pemberian atau perbuatan hibah atau yang disebut juga al-

hibah.7 Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan

syari’at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan hibah dilakukan semasa hidup, demikian juga penyerahan

barang yang dihibahkan.

2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan

dilakukan, dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap

bertindak (misalnya belum dewasa atau kurang sehat akal), maka

penerima dilakukan oleh walinya.

3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama

sekali oleh pemberi hibah.

4. Penghibahan hendaknya dilakukan dihadapan beberapa orang saksi

(hukum sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang

sengketa dibelakang hari.8

6 Ibid, hlm 438 7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:

Kencana,2006, hlm. 133 8 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika,

2004, hlm. 117

5

Terkait dengan hal tersebut hukum Islam dan hukum positif yang

ada di Indonesia juga mengatur tentang bagaimana cara dan langkah-

langkah untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau

barang secara sah agar mendapat kekuatan hukum. Hal ini diperlukan

karena apabila suatu saat terjadi perselisihan dan permasalahan dengan

barang atau hak tersebut, orang-orang yang bersangkutan bisa menjadikan

hal tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum.

Ini artinya dalam pembuatan akta hibah sangat diperlukan di dalam

hukum Islam maupun hukum positif. Adapun mengenai pengertian dari

akta menurut Prof. R. Soebekti, S.H., adalah suatu tulisan yang memang

dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan

ditandatangani.

Setiap akta hibah harus dibuat oleh seorang Notaris. Karena

Notaris dalam pasal 1 huruf 1 Undang-undang No.3 tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris adalah jabatan umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang. Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk

Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 huruf 7 Undang-

undang No.30 tentang Jabatan Notaris tahun 2004 pengertian tentang Akta

Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

6

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang.

Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan

seseorang. Dan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh

Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Adapun kewenangan-kewenangan Notaris sebagaimana disebutkan dalam

pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.3 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, Notaris berwenang :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa

salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan akta;

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;

g. Membuat akta risalah lelang.9

Dalam pembuatan akta hibah maka para pihak dapat mengerti dan

dapat mengetahui dasar akibat perbuatannya itu dapat diatur sedemikian

rupa sehingga kepentingan yang bersangkutan mendapat perlindungan yang

wajar sebagaimana diketahui oleh Notaris, bukan hanya berkewajiban

membuat akta yang diminta olehnya, tetapi juga harus memberikan nasehat

hukum serta penjelasan yang diperlukan oleh orang yang memerlukan.

9 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan

Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009, hlm 229

7

Dalam suatu pembuatan akta hibah, seseorang diperbolehkan memberi

dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-

undang dinyatakan tak cakap untuk itu.10

Orang yang belum dewasa tidak

diperbolehkan membuat akta hibah. Sedangkan kecakapan seseorang

penghibah ditinjau bagaimana seseorang dapat menikmati keuntungan dari

suatu hibah.

Selain Notaris, pembuat akta hibah dapat dilakukan oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPAT ini lebih focus kepada pelaksanaan

sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti

telah dilakukannya perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud

adalah sebagai berikut :

a. Jual beli;

b. Tukar menukar;

c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng);

e. Pembagian hak bersama;

f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;

g. Pemberian Hak Tanggungan;

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan;

10 R. Subekti dan R.Tjitrosudibio,Op. Cit, hlm 438

8

Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun. Berbeda dengan akta Notaris, akta PPAT adalah akta

yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum

tertentu.11

Bentuk pemindahan hak hibah dilakukan oleh para pihak di hadapan

Notaris/PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya

perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan Notaris/PPAT, dipenuhi

syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan

secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditandatangani para pihak

menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hibah yang dilakukan.

Dengan demikian ketiga sifat hibah, yaitu tunai, terang dan riil, dipenuhi.

Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum

yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan

perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit juga

membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang

baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat

11 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai BPN “Bumi Bhakti”, 1998, hlm. 3-4

9

para pihak dan ahli warisnya karena administrasi Notaris/PPAT sifatnya

tertutup bagi umum.12

Dalam suatu pembuatan akta hibah tidak terlepas adanya suatu

kesepakatan dan perjanjian antara Notaris/PPAT dan si penghibah begitu

juga antara si penghibah dengan yang mendapatkan hibah tersebut, karena

itu adanya kepercayaan sangat diutamakan dan tiap-tiap Notaris/PPAT

wajib menyimpan akta hibah tersebut diantara surat-surat lainnya.

Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam pembuatan akta hibah

seorang Notaris mempunyai peranan yang sangat penting. Pada pasal 934

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa setiap

Notaris/PPAT menyimpan surat aslinya baik dalam bentuk apapun setelah

si penghibah memberitahukan kepada semua kepentingan.

Penelitian yang dilakukan kali ini adalah bagaimana

mengkomperasikan hukum Islam dan hukum positif yang ada di Indonesia

tentang keabsahan akta hibah. Sebagai pendukungnya penulis akan meneliti

peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM. dalam mengabsahkan

akta hibah.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis ingin mengangkat

masalah ini dalam bentuk skripsi yang berjudul : “STUDI

12 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007 hlm 330-331

10

KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: Studi di

Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM ”.

B. Permasalahan

Setelah melihat pemaparan latar belakang masalah di atas dapat

dikemukakan pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif ?

2. Bagaimana Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam ?

3. Apa peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM dalam

Keabsahan Akta Hibah ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif.

2. Untuk mengetahui Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui peran Notaris / PPAT dalam Keabsahan Akta

Hibah

11

D. Telaah Pustaka

Pada tahapan ini penulis berusaha memberi informasi tentang

penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan

permasalahan, dengan mengambil langkah ini pada dasarnya bertujuan

sebagai jalan pemecahan permasalahan penelitian dengan harapan apabila

peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti ini. Sejauh

penelusuran penulis, belum ditemukan tulisan yang lebih spesifik dan

yang mendetail yang membahas tentang masalah Studi Komparatif

Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum

Positif studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,.

Namun demikian ada beberapa tulisan yang berhubungan dengan akta

hibah, antara lain :

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, membahas pengertian

hibah, dasar hukum hibah, dan hibah hubungannya dengan warisan.

Dalam al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks

pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusannya, doa-doa yang

dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan

sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum

tentang hibah seperti yang dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit,

12

digunakan petunjuk dan anjuran secara umum agar seseorang memberikan

sebagian rezekinya kepada orang lain.13

As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah. Buku ini mengemukakan tentang

definisi, legalitas, rukun, syarat hibah. Hibah itu sah melalui ijab dan

qobul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan.14

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif

Hukum dan Etika. Pada tulisan tersebut pada dasarnya membahas tentang

segala bidang profesi kenotariatan, etika, landasan, perilaku etis, sampai

pada peranan intitusi pendidikan kenotariatan dalam mewujudkan insan

Notaris/PPAT yang menjunjung tinggi hukum dan etik. Keberadaan

Notaris/PPAT adalah sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat

atau mengesahkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai

keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum untuk menjamin kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat.

Disisi lain dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, ia

perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian

hukum.15

13 Ahmad Rofiq, Op.Cit 14 As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah,Bandung : PT Al-Ma’arif, 1986 15 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan

Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009

13

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Buku ini

menjelaskan tentang alat bukti tertulis yakni akta. Menurut beliau akta

adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa

yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian.16

Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Buku ini merupakan buku

pedoman para Pejabat Pembuat Akta Tanah di Indonesia. Dimulai dari

Peraturan Jabatan PPAT yang merupakan pelaksanaan pasal 7 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah

memberikan kedudukan yang lebih kuat mengenai hak dan kewajiban

PPAT yang selama ini hanya diatur setingkat dengan Peraturan Menteri.

Buku pedoman ini juga melampirkan formulir akta hibah demi penunjang

dalam penelitian penulis.17

Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia. Menerangkan bahwa

perbuatan hukum pemindahan hak dalam Hukum Tanah Nasional, yang

memakai dasar Hukum Adat. Dengan dilakukannya perbuatan hukum

16 Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty,

2002 17 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti”

1998

14

yang bersangkutan hak atas tanah yang menjadi obyek berpindah kepada

penerima hak.18

Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan

Tinggi Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan

Hibah Orang Tua terhadap Anak” dalam penelitian ini, penulis

menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dalam penarikan

kembali hibah, dan menceritakan bahwa hibah yang diberikan kepada

orang tuanya terhadap anak-anaknya tersebut gugatannya ditolak, karena

hibah yang diberikan oleh pemohon untuk semua anak-anaknya dan bukti-

bukti yang diajukan tidak menguatkan permohonan sehingga ditolak. Dan

karena menurut hukum Islam istilah pemberian hibah tersebut telah

dilakukan secara adil.19

Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris

dalam Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus

di Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti

Sukoharjo”. dalam penelitian ini, penulis menjelaskan bagaimana

kedudukan Notaris dalam pembuatan testament atau surat wasiat dan

menceritakan bahwa dalam dunia pewarisan akan selalu timbul adanya

18 Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta : Djambatan 2007 19 Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi

Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan Hibah Orang Tua

terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang 2008

15

ketidak beresan dalam pengurusan, pemindahan, dan peralihan yang

menyangkut harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia

sehingga memerlukan penanganan dan penyelesaian dari lembaga Notariat

untuk menghindari sengketa yang timbul diantara ahli waris dengan

ditinggalkannya testament, oleh karena hukum, ahli waris memiliki hak

dari si peninggal warisan serta tuntutan hukum untuk memperoleh harta

warisan. 20

Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian

terdahulu berbeda dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis.

Penelitian-penelitian yang secara umum membahas tentang penarikan

hibah. sedangkan yang penulis teliti saat ini lebih spesifik dengan Studi

Komparatif Terhadap Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif studi di kantor Notaris/PPAT Dina Ismawati, S.H., MM,.

E. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode

penelitian sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

20 Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam

Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di Kantor Notaris dan

PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Surakarta 2008

16

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

research ). Penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan

dari buku utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang

berupa sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji.21

Dalam

hal ini mengenai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan akta

hibah. sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus/ studi

kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif.

2. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yaitu

pendekatan ini dikembangkan berdasarkan sifat dasar (the nature) dari

bahan kajiannya. Kendati ada perbedaan, kajian hukum bidang tertentu

tetap memiliki kesamaan dengan kajian hukum bidang lain. Penetapan

metode ini bergantung pada masalah / peristiwa hukum yang akan

diteliti.

3. Sumber data

Sumber data adalah dari mana data diperoleh. Disini penulis

menggunakan sumber data yang terbagi dalam dua jenis, yaitu :

a. Sumber Data Primer

21 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1991, Cet 1 , hlm 109.

17

Sumber data primer yaitu sumber literatur yang utama yang

berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Sumber data primer

dikumpulkan dengan cara lapangan (field research) dan data hibah

yang berhasil dikumpulkan dan disesuaikan dengan rumusan

masalah yang digunakan pada penelitian ini antara lain:

- Data-data akta hibah di kantor Notaris / PPAT Dina

Ismawati, S.H., M.M

- Data-data dari dasar hukum yang digunakan dan dijadikan

acuan dalam keabsahan akta hibah menurut hukum Islam

dan hukum positif tersebut.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak secara

langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung

sumber data primer antara lain :

1. Studi kepustakaan yaitu buku-buku:

- Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia

- As-sayyid Saabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14

- Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia

Perspektif Hukum dan Etika

- Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia

18

- Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia

2. Peraturan Perundang-undangan :

- Peraturan Jabatan Notaris

- Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

- Kompilasi Hukum Islam

3. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih

berlaku, misalnya:

- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)

- Undang-undang Agraria dan hasil penelitian sebelumnya

yang berhubungan dengan Akta Hibah Menurut Hukum

Islam dan Hukum Positif

4. Hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti dalam penelitian ini.

c. Sumber Data Tersier

Yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan

terhadap sumber data primer maupun penjelasan terhadap sumber

data sekunder, misalnya: kamus-kamus, ensiklopedi, indeks

kumulatif , dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru

dan berkaitan erat dengan permasalahannya.22

22 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1996, hlm 114

19

4. Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik

sebagai berikut :

a. Interview (wawancara)

Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya

langsung tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan.23

Dengan hal ini penulis mengadakan Tanya jawab secara bebas

dengan Notaris/PPAT yang merupakan pembuat akta hibah dalam

penelitian ini, untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang

bersifat lebih mendalam yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu setiap bahan tertulis yang dijadikan sebagai

sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan,

bahkan untuk meramalkan.24

Diantara dokumen yang penulis

gunakan adalah keabsahan akta hibah menurut hukum Islam dan

hukum Positif di Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M

c. Observasi

23 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : PT

Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II, hlm. 192 24 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT Remaja

Rosdakarya, 2004, Cet XVIII, hlm. 161

20

Pengamatan yang dilakukan penulis secara langsung mengenai

fenomena yang ada, yang berkaitan dengan obyek penelitian yang

dilanjutkan dengan surat pencatatan secara sistematis terhadap

semua gejala yang akan diteliti.

5. Analisis Data

Setelah data selesai terkumpul dengan lengkap, tahap yang harus

dilakukan selanjutnya adalah analisis data. Pada dasarnya analisis

adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh

suatu hepotesa. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas

sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.

Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga

diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab

persoalan-persoalan yang diajukan dalam penelitian.

Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif.

Maka data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif

analisis, yaitu menggambarkan secara sistematik dan akurat dan

karakteristik mengenai akta hibah.25

25 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet III,

hlm 7

21

Dalam hal ini yang dianalisis adalah Studi Komparatif Terhadap

Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

studi di kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H., M.M.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab,

dimana satu bab yang lainnya saling mendasari dan terkait. Hal ini guna

memudahkan pekerjaan dalam penulisan dan memudahkan pembaca dalam

memahami dan menangkap hasil penelitian. Adapun sistematika

penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, dalam pendahuluan ini dijelaskan latar belakang

masalah, selanjutnya dari latar belakang masalah tersebut dirumuskan

masalah yang ada, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan landasan teori yang

berisikan dua sub bab. Bab yang pertama membahas tentang akta hibah

diantaranya pengertian, akta hibah menurut hukum positif, dan akta hibah

menurut hukum Islam. Sedangkan bab yang kedua membahas tentang

Notaris/PPAT dan akta Notaris/PPAT diantaranya pengertian, pengertian

akta, jenis-jenis akta, tugas dan wewenang Notaris/PPAT.

22

BAB III Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan Hukum

Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM). pada

bab ini akan disajikan hasil penelitian yang didahului oleh profil, tata cara

dan syarat-syarat akta hibah,macam-macam akta hibah, bentuk, prosedur

pembuatan formulir akta hibah di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,

SH.,MM dalam keabsahan akta hibah.

BAB IV Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati,

SH.,MM). Bab ini akan menganalisis Keabsahan Akta Hibah Menurut

Hukum Islam dan Hukum Positif serta menganalisis peran Notaris dan

PPAT Dina Ismawati, SH.,MM dalam keabsahan akta hibah.

BAB V Penutup hasil akhir dari penelitian ini sekaligus merupakan

akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi kesimpulan dan

saran.

23

22

BAB II

AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF

A. Tinjauan Umum Tentang Akta Hibah Menurut Hukum Islam dan

Hukum Positif

1. Akta Hibah Menurut Hukum Islam

a. Definisi Akta Hibah

Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan

agama. Dan Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan

dasar hukum Islam dan hukum positif. Ada juga hukum adat akan

tetapi yang menjadi acuan dasar hukum yang paling utama adalah

hukum Islam dan hukum positif.

Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang

berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara

orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam.

Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba

artinya memberi.26

Dan jika subyeknya Allah berarti memberi

karunia, atau menganugrahi (Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49,

50, 53). Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu

26 A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet. 14,

hlm. 1584

23

benda melalui transaksi (Aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah

diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.27

Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah

pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri

kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.28

Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan

pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia

hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan

hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak

diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah

(pinjaman).29

Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah

pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari

seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.30

Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para

ulama :

27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1998, Cet. III, hlm 466 28 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van

Hoeve, 1996, hlm 540 29 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara,

1997, Cet 9, hlm 167 30 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007,

Cet II, hlm 56

24

1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib

al-Arba’ah.31

menghimpun empat definisi hibah dari empat

mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah

memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan

seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan

milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang

diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’I dengan

singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum

adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.

2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama

mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya

sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang

mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan

hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun

tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.32

31 Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut:

Dar al-Fikr,t.th, Juz 3, hlm 289-292. 32 Ibid

25

3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah

ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara Cuma-Cuma

tanpa adanya bayaran.33

4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang

diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa

hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan

pengganti tertentu pada masa hidup.34

5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,35

hibah

adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan

dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa

ada ganti, meskipun dari jenjang atas.

6. Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu

suatu pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang

dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah

tanpa mengharapkan balasan apa pun.36

33 Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet.4,

Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm 98. 34 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas , 1995,

hlm 319 35 Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang:

Pustaka Alawiyah, t.th, hlm 39 36 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003, hlm, 76.

26

7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat

bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan

maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika

masih hidup dan tanpa imbalan.37

b. Dasar Hukum Akta Hibah

Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam

konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-

Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama

para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi

Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran

secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya

kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262.38

tÏ% ©!$# tβθà) Ï�ΖムöΝ ßγ s9≡uθøΒr& ’ Îû È≅‹ Î6 y™ «!$# §Ν èO Ÿω tβθãèÎ7 ÷Gム!$tΒ (#θà) x�Ρr& $xΨ tΒ

Iωuρ “]Œ r&   öΝ çλ°; öΝ èδã�ô_r& y‰Ψ Ïã öΝ ÎγÎn/ u‘ Ÿωuρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠ n=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ ∩⊄∉⊄∪

Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,

Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu

dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak

menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di

37 Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam

kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hlm. 105 38 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo

persada,1995, hlm 467

27

sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan

tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al- Baqarah : 262)39

Firman Allah juga :

(#θà) Ï�Ρr& uρ ÏΒ $Β Ν ä3≈ oΨ ø%y—u‘ ÏiΒ È≅ ö6 s% βr& š†ÎAù' tƒ ãΝ ä. y‰tn r& ßNöθyϑø9 $# tΑθà) u‹sù

Éb>u‘ Iωöθs9 ûÍ_ s?ö�zr& #’ n<Î) 9≅ y_r& 5=ƒÌ�s% šX£‰¢¹r'sù ä. r& uρ z ÏiΒ tÅsÎ=≈ ¢Á9 $#

∩⊇⊃∪ Artinya : Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami

berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah

seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku,

Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai

waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah

dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?"(Al-

Munafiqun: 10)40

Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ (kesepakatan) telah

terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya

memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar

anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang

asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits

Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-

39 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Jakarta, 1971, hlm. 66 40 Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Op.Cit. hlm. 938

28

pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang

wafatnya, Abu Bakar berkata:

��������� �� ��������� :���� ������������ ������� �! "�#�� ���� �$��%&#�� ���� �'���( )�* �+�,%-�. �/0���� �+����! �'�1����2�#�� ���3 4�5�3������ ����* ����6 �7���8 9)�:� ���2�#�� � ���* ����� �#�� ;�&�<�� .

� >��,�<�� �?(���-�@ )�@�� A&�B�@ ������� ���C �+%1�� ����6 �$�-�1 �D�C�E��� �8��F�� �G(�&�C�� �H��I� �G�! �J��! 4�D�@��K��� �%��#�* �+�L�&�M�< 4����*� ��� �J��N :�+�#��� ��( �D%0� �@ ��! �G�! �O�% �� ���<�� >'�<�� %)���P "Q �R S�����@ 4�7� �! ���� >T���� %)�#�� �Q&���* S�����@ � �!4�7 )91�P� �U� �6 �7�,�#�-�1 �8��F��

�G(�&�C�� �H��I� � �#�* �U� �6 �+0�L�8�F�� �+0�L�T�,�<�� ����6 4�7�� ���%1�P� � �V �W� �0��� �J��! XY����.

“Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih

menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak

ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau.

Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan (emas) 20 wasaq.

Maka jika engkau memecah-mecah dan memilikinya, maka itu

adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta

waris.” 41

Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah

nadb (sunnah).

Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan

istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah

dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain.

Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda,

41

Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hlm. 11٣

29

kesamaannya adalah bahwa manusia diperintahkan untuk

mengeluarkan sebagian hartanya.

c. Syarat dan Rukun Akta Hibah

Adapun rukun dan syarat hibah, Ibn Rusyd dalam Bidayah al-

Mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu:

1) Orang yang menghibahkan (al-wahib)

a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.

b. Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam

keadaan sakit, hibahnya dibatasi 1/3 saja dari bendanya itu.

Riwayat ‘Imran ibn Husain menjelaskan tindakan Nabi SAW

����1�&�:�Z ���:�� 4��0������� �G�� �G�@� 4A[�(�&�� )�1�&�:�Z�� �\�0�N �G�@ 4X����I �+%1�� �/���I 4�H� �-�B�! �J ���( :�U�����I �G�@� 4�'90�]����� �J ���( :§�U���,���� _����&�!� ��� ����_$ �D%,�I X��:���� ����� � ��� �G�B�( ����� _J��! 4�5�&�0�R �)�L�2�* >)�:% �� "�#�. ab� �+�0�#�� � �#�I� )�* �7���8 ���&�N�2�* � ��� �0�@ �c�,���2�* � ���d�#�e �J��N

>)���*�%C�� �)�f�� �+�#�� �+� �� :����6 �7���8 )�* �g�&�! �c�,������� S�F��� �h��! +0*.

“Ketika (Imran ibn Husain) memerdekakan enam orang hamba

dalam saat menjelang kematiannya, maka Rasulullah SAW.

30

Memerintahkan (agar dimerdekakan 1/3nya, dan menetapkan

sebagai hamba yang lainnya)”42

Terhadap hadis ini, memang kontroversial. Mayoritas Ulama

menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika

orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, maka hibah

yang diberikan paling banyak 1/3 hartanya.

Ulama Ahli Zahir memahami hadis tersebut sebagai dasar

hukum wasiat. Karena itu, hibah tidak ada batasan yang tegas.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1)

berbunyi sebagai berikut:

“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun,

berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan

sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain

atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”.

Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa:

“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan

sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat

persetujuan dari ahli warisnya”.

42 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 4, Semarang: Asy-Syifa’,1990. hlm 112

31

Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari

usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar

pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk

memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu.

Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali jika ahli warisnya

menyetujui.43

c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.

2) Orang yang menerima hibah

3) Benda yang dihibahkan, harus milik si penghibah. Apabila milik

orang lain maka tidak sah hukumnya.

Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukun-

rukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah

penerimaannya yaitu dengan cara memberi hibah ada dua macam:

ucapan dan perbuatan. Ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan

perbuatan dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna

hibah.

Sedangkan pembuktian dalam hal hibah, dijelaskan menurut

Sobhi Mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara

43

Ibid, hlm. 471

32

adalah: “Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada

batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang

menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dan dalil-dalil

itu.44

Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara

tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah

dijelaskan secara eksplisit.

2. Akta Hibah Menurut Hukum Positif

a. Definisi Akta Hibah

Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah

dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara

cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan

ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup.

Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah

pemberian, sedekah, pemindahan hak.45

Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah

yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa

Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan

44 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum

Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hlm 26 45 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hlm 217

33

mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula

antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar,

terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian

yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat

dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula

“Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat

dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula

hibah antara suami istri tetap dibolehkan.46

Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu

persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan

hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu

barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat

ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan

ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang

dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk

dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat.

b. Dasar Hukum Akta Hibah

46 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hlm.

343

34

Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666

yaitu :

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu

hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik

kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima

hibah yang menerima penyerahan itu.

Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara

orang-orang yang masih hidup.”47

Prosedur (Proses) penghibahan harus melalui akta Notaris yang

asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu :

“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687,

dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta

notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu” 48

Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila

pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah

dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta

otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH

Perdata menyebutkan :

”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu

akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan

47 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 436 48 Ibid, hlm 438

35

kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri

atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima

hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-

penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau

akan diberikan kepadanya di kemudian hari.

Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah

sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik

terkemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu

dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana

penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya

akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”49

c. Macam-macam alat bukti tertulis

Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-

bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai

fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang

adanya bukti. Kita mengetahui bahwa dalam setiap ilmu

pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian.

Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang

bisa digunakan sebagai bukti, antara lain :

a. Bukti dengan surat

b. Bukti dengan saksi

c. Persangkaan-persangkaan

d. Sumpah

49 Ibid, hlm 438-439

36

Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan

permasalahan penulis akan meneliti tentang alat bukti tertulis atau

surat.

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat

tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati

atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan

sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat

dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian

akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang

memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk membuktikan.50

Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan

surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa :

“ Surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian

oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk

membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan

ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,

tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang

yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal

terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung

dengan perihal pada surat (akta) itu.51

50 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty

Yogyakarta, 2006, hlm. 149 51 Ropaun Rambe, Hukum Acara lengkap, hlm, 255

37

Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta otentik,

akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum

pembuktian dikenal paling tidak tiga jenis surat, yaitu:

38

1. Akta otentik

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1868

pengertian akta otentik adalah :

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di

mana akta dibuatnya.”52

Berdasarkan Pasal 1868 dapat disimpulkan unsur akta otentik

yakni:

1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (Verleden) dalam

bentuk menurut hukum;

2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

3. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat,

jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang

membuatnya.

Dan dalam Pasal 1869

“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya

pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam

bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun

demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan

jika ia ditanda tangani oleh para pihak.”53

Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat

oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai

52 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm 475 53 Ibid, hlm. 475

39

wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan

surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah

Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan

sebagainya.

2. Akta di bawah tangan

Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.54

Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta

di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar

sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis

seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu

keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau

banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya.

Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”.

Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat

diterima sebagai permulaan bukti tertulis (Ps. 4 S 1867 No. 29,

1871 BW, 291 Rbg).

54 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 105

40

Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang

dalam ayat satu mengatakan:

“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang

ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register,

surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat

tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” 55

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata

terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus

seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan sendiri, atau setidak-

tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan tangannya

si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah

atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila

ketentuannya tidak dipenuhi, maka akta tersebut hanya sebagai

suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.56

3. Surat bukan akta

Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di

dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas.

Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang

bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat

55 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Op.Cit, hlm 476 56 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni,

1992, hlm. 45

41

pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang

demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian.

Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini

adalah bahwa surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan

ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak

dapat dipercaya.

Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat

mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada

penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 (2)

KUH Perdata.

Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai

berikut:

“Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak

memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah

register-register dan surat-surat itu merupakan pembuktian

terhadap si pembuatnya:

1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan

dengan tegas tentang suatu pembayaran yang telah diterima;

2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa

catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu

kekurangan di dalam sesuatu alasan hak bagi seorang untuk

keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.

42

Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut :

“Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas

hak yang selamanya dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak

ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu

merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.”

Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun surat-

surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai

kekuatan buktinya sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada

juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti

yang lengkap,antara lain surat-surat yang ditentukan dalam Pasal

1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata.

Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum

perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum dalam Pasal

138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894

BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan

perdata (hibah), alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan

alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor

satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.57

Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti

pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat

57 Teguh Samudera, hlm. 36

43

gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya

sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata

(hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti surat

memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat

pembuktian utama.

d. Fungsi Akta Hibah

Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi.

Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain:

a) Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum.

Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai

fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu

perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak

dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi.

Dalam hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan),

1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk

akta otentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti

halnya dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal

44

1767 (tentang peminjaman uang dengan bunga), Pasal 1851

KUH Perdata (tentang perdamaian).

Jadi, akta disini maksudnya digunakan untuk

lengkapnya suatu perbuatan hukum.

b) Sebagai alat pembuktian

Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan

bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka

berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya.

Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681,

1682, 1683 (tentang cara menghibahkan). Jadi disini akta

memang dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari.58

Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas

bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian

dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi

hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian

hari.59

58 Ibid, hlm. 46-47 59 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160.

45

Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang

paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat

pembuktian, maka “daya pembuktian atau kekuatan

pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam”60

yaitu:

a. Kekuatan Pembuktian Lahir (pihak ketiga)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir

ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan

lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat

yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap

(mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti

sebaliknya.61

Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta,

kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh

pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan

yang di dalam akta dipalsukan.

60 A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Intermasa,

1978, hlm. 56-57, Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160, Subekti dan R.Tjitrosudibio,

Op.Cit, hlm 476. 61 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 160

46

Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber

pada kenyataan.62

62 Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 48

47

b. Kekuatan Pembuktian Formil

Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar

tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertanda tangan di

bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi

kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak

menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah,

mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu

benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu.

Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah

bahwa ada pernyataan para pihak yang menandatangani “?

Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber

atas kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang

menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa

hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah

keterangannya.63

c. Kekuatan Pembuktian Material

63 Ibid, hlm. 48

48

Kekuatan pembuktian material yaitu suatu kekuatan

pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi

dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa

peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-

benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi

akta.

Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah

(peristiwa hukum) itu telah terjadi.

Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber

pada keinginan agar orang lain menganggap isi

keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku,

sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat

dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian

material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si

penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal

balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari

masing-masing si penanda tangan.

1) Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

49

Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH

Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu sebagai alat

pembuktian yang sempurna 64

) bagi kedua belah pihak dan

ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak

darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta

otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat)

berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta

tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut

dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada

pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

a. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik

Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa

suatu surat yang kelihatannya seperti akta otentik,

diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan

sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang

tidak terbukti sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formal akta otentik

64

kata “sempurna” menurut hemat penulis sebaiknya diganti dengan kata “lengkap”,

mengingat bahwa akta itu merupakan hasil karya manusia, tiada satu pun hasil karya manusia

yang sempurna kecuali hasil ciptaan Tuhan. Maka untuk selanjutnya dalam skripsi ini penulis

gunakan kata lengkap untuk kata sempurna menurut penulis-penulis yang bukunya penulis

baca dalam skripsi ini. Di kutip dari buku Teguh Samudera, hlm. 49

50

Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa

biasanya orang menandatangani suatu surat itu untuk

menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut di atas tanda

tangannya adalah benar keterangannya.

Karena bukan menjadi tugas pegawai umum

(notaris) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan

para penghadap yang dituliskan dalam akta. Maka

dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila

tanda tangan para penanda tangan telah diakui

kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan

telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah

membuktikan terhadap setiap orang. Dan juga dalam

akta otentik yang berupa akta berita acara, bahwa

keterangan pegawai umum (notaris) itu adalah satu-

satunya keterangan yang diberikan dan

ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti

adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta

keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap

orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut

mempunyai kekuatan pembuktian formal.

51

52

c. Kekuatan pembuktian material akta otentik

Kekuatan pembuktian material dari akta, yaitu

keinginan agar orang lain menganggap bahwa apa yang

menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu

berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan

bukti buat dirinya sendiri.

Dengan kata lain, keinginan agar orang lain

menganggap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan

dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta

otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan

yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar

terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan

untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta

itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain

keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas

dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada

pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta otentik

yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut

53

berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh

pegawai umum saja (berdasarkan apa-apa yang terjadi,

dilihat, dan didengar), dianggap benar isi keterangan

tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang.

Dengan demikian maka akta ini mempunyai

kekuatan pembuktian material.

2) Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan

Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta

di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang

terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta

tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap

(seperti kekuatan pembuktian dalam akta otentik) terhadap

orang-orang yang menandatangani serta para ahli warisnya

dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan

di muka hakim, menurut Wirjono Prodjodikoro pengakuan

itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan

isi tulisan adalah benar”

a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan

54

Menurut Pasal 1876 KUH Perdata seseorang yang

terhadapnya dimajukan akta di bawah tangan, diwajibkan

mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Sedangkan

terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia

tidak mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila

tanda tangan tersebut diingkari atau tidak diakui oleh ahli

warisnya, maka menurut Pasal 1877 KUH Perdata hakim

harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut

diperiksa di muka pengadilan. Sebaliknya apabila tanda

tangan itu hendak dipakai maka akta tersebut dapat

mempunyai alat pembuktian yang lengkap terhadap para

pihak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap pihak lain,

kekuatan pembuktiannya adalah bebas, dalam arti

bergantung kepada penilaian hakim.

Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan

berarti bahwa keterangan akta yang tercantum di atas tanda

tangan tersebut diakui pula. Hal ini dapat kita mengerti,

karena biasanya seseorang yang menandatangani sesuatu

surat itu untuk menjelaskan bahwa keterangan yang

tercantum di atas tanda tangan adalah benar keterangannya.

55

Karena ada kemungkinan bahwa tanda dalam akta di bawah

tangan tidak diakui atau diingkari, maka akta di bawah

tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir.

b. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan

Seperti yang telah diterangkan pada kekuatan

pembuktian luar akta di bawah tangan, yaitu apabila tanda

tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang

tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula, maka

di sini telah pasti terhadap setiap orang bahwa pernyataan

yang ada di atas tanda tangan itu adalah pernyataan si

penanda tangan.

Jadi akta di bawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian formal.

c. Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan

Disini juga menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUH

Perdata yang telah dikemukakan di atas dan secara singkat

dapat dikatakan bahwa diakuinya tanda tangan pada akta

di bawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan

pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan

56

akta tersebut berlaku pula sebagai benar terhadap si

pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat. Dengan

demikian akta di bawah tangan hanya memberikan

pembuktian material yang cukup terhadap orang untuk

siapa pernyataan itu diberikan (kepada siapa si penanda

tangan akta hendak memberikan bukti). Sedangkan

terhadap pihak lainnya kekuatan pembuktiannya adalah

bergantung kepada penilaian hakim (bukti bebas).

Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan

adanya suatu perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai

alat pembuktian satu-satunya.65

Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi

(seperti dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi). Akta di bawah

tangan atau akta formalitatis causa (sebagai syarat pokok)

mempunyai juga daya pembuktian, dan akta hibah yang ditentukan

sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja mempunyai daya

pembuktian.

B. Ketentuan Akta hibah menurut Notaris dan PPAT

65 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda, Nederland:

PT Intermasa, 1967, hlm. 54

57

1. Akta Hibah Menurut Notaris

Di tanah air kita, notariat sudah dikenal semenjak Belanda

menjajah Indonesia. Karena notariat adalah suatu lembaga yang sudah

dikenal dalam kehidupan mereka. Tetapi lembaga ini terutama

diperuntukkan guna mereka sendiri karena undang-undang maupun

karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang

berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang Hukum Perdata, ialah

Burgerlijk Wetbook (B.W) atau sekarang umumnya disebut Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.

a. Definisi Notaris

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN

Nomor 30 Tahun 2004), notaris didefinisikan sebagai pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.

b. Kewenangan Notaris

Kewenangan notaris, menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat

akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam

akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,

58

menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain

yang ditetapkan oleh undang. Notaris memiliki wewenang pula

untuk:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus.

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa

salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya.

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan akta.

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau

g. Membuat akta risalah lelang

c. Akta Notaris

59

Akta notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti

tertulis dengan kekuatan pembuktian sempurna. Dalam penjelasan

umum UUJN disebutkan bahwa akta notaris yang merupakan akta

otentik memiliki kekuatan sebagai alat bukti tertulis yang terkuat

dan terpenuh. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta

notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan

dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di

hadapan persidangan pengadilan.66

Dalam Pasal 38 Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris, bentuk dan sifat akta terdiri atas: 67

(1) Setiap akta Notaris terdiri atas:

a. Awal akta atau kepala akta;

b. Badan akta; dan

c. Akhir atau penutup akta.

(2) Awal akta atau kepala akta memuat:

a. Judul akta;

b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

(3) Badan akta memuat:

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,

pekerjaan, jabatan,

b. Kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang

yang mereka wakili;68

c. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

66 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta: Ull Press,

2009, hlm. 19 67 Ibid, hlm 237 68 Yang dimaksud dengan “kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum

bertindak.

60

d. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari

pihak yang berkepentingan; dan

e. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan,

jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi

pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebgaimana dimaksud

dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7);

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat

penandatanganan atau penerjemah akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi

akta; dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam

pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang

dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat

Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat

nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang

mengangkatnya.

Berbagai akta yang biasa atau sering dibuat di hadapan atau

oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam persoalan

akta hibah salah satunya akta-akta yang menyangkut hukum

perorangan (personen recht), Burgerlijk Wetboek (BW) Buku I

yaitu hibah yang berhubungan dengan perkawinan dan

penerimanya (harus otentik/Pasal 176 dan 177 BW),

Kemudian akta-akta yang menyangkut hukum perikatan

(verbintenissen recht), Burgerlijk Wetboek Buku III salah satunya

membahas tentang berbagai hibah (Pasal 1666 dan seterusnya

61

BW), untuk tanah dengan akta PPAT (harus otentik/Pasal 1682

BW)

62

d. Syarat-syarat Akta Hibah

Adapun syarat membuat akta hibah, dalam Pasal 39 UUJN

tentang akta hibah adalah:

(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah

menikah; dan

b. Cakap melakukan perbuatan hukum.

(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan

kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling

sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap

melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)

penghadap lainnya.

(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan

secara tegas dalam akta.69

Saksi sebagaimana termaksud, harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah

menikah;

b. Cakap melakukan perbuatan hukum;

c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;

d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah

dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat

dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris

atau para pihak.70

69 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, hlm. 237-238 70 Pasal 39 ayat (2) UUJN Tentang Akta Notaris

63

2. Akta hibah menurut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran

tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan

keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang

bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah

tersebut, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut

bidang tanah itu, atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan

pencatatan data yuridis ini, khususnya pencatatan perubahan data

yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan PPAT sangatlah

penting. Menurut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan

hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta

PPAT.71

a. Definisi PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

71 Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah, hlm. 24

64

Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai

bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Oleh

karena itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan

tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut.

Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri

oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan hukum

itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak

dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut

pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti

lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai

perbuatan hukum yang baru.72

b. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT

Pasal 2 UUJN tentang Tugas pokok dan kewenangan PPAT

dalam ayat (1) dijelaskan:

(1) Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai berikut:

72 Ibid, hlm. 117

65

a. Jual beli;

b. Tukar menukar;

c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. Pembagian harta bersama;

f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak

Milik;

g. Pemberian Hak Tanggungan;

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.73

c. Bentuk-bentuk Akta

Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan

akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) dan

cara pengisiannya sebagaimana tercantum pada lampiran 16 s/d 23,

akta hibah terdapat pada lampiran 18. Adapun pelaksanaan

pembuatan akta hibah dalam pasal 101 UUJN menyebutkan

bahwa:

(1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang

melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang

yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-

kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk

bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang

memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak

atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditujukan

dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan

hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.

73 Ibid, hlm 166

66

(3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang

bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan

maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus

dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.74

74 Ibid , hlm. 170

63

BAB III

KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM

DAN HUKUM POSITIF

(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)

C. Profil Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM

Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM terletak di Ruko

Ngaliyan Square, Jl. Prof. Dr. Hamka Nomor 17 Blok B.17 Semarang.

Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM mempunyai luas 6 x

10 m2. Adapun letak Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM

berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Perpustakaan TPM

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Bimbel Kumon.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Bimbel Lia.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Lembaga Keuangan Perdagangan.

Kantor Notaris Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal 14

Maret 2003 sesuai dengan Surat Keputusan sebagai Notaris: S.K. Men.

Keh & HAM R.I Tgl 14-03-2003 No. C-320. HT. 03.03-Th. 2003.

Sedangkan pengucapan sumpah Notaris pada tanggal 3 Juni 2003 sesuai

dengan No. 181. 4/150/2003 tgl. 03-06-2003.

64

Adapun Kantor PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berdiri pada tanggal

21 Juli 2005 sesuai dengan SK.Kepala BPN Tgl. 21 Juli 2005 No. 12-X.A-

2005. Sedangkan pengucapan sumpah PPAT sesuai dengan No.

640/172/PPAT/2005 Tgl. 20-09-2005.75

D. Tata Cara dan Syarat-syarat Akta Hibah

Akta ialah tulisan yang sengaja dibuat dihadapan notaris namanya akta

notarial, atau akta otentik atau akta notaris. Pertama, Orang datang kepada

notaris minta akta yang ada tanda tangannya dan cap jempol para pihak,

para saksi dan notaris. Dengan syarat membawa KTP ketika akan di

notaris. Kemudian ketika melihat syarat akta hibah, kantor Notaris dan

PPAT Dina Ismawati, S.H, MM berpedoman pada Pasal 1320, untuk

sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;76

Sedangkan tata cara dan syarat akta hibah yang dibuat Notaris dan

PPAT,adalah sebagai berikut:

75

Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret

2011 76

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, hlm. 339

65

66

a) Syarat Pemberi

Orang yang bermaksud menghibahkan dan si calon penerima

hibah datang ke kantor Notaris dan PPAT kemudian

mengutarakan kehendaknya untuk menghibahkan sesuatu,

sehingga disitu ada pemberi dan penerima hibah. kemudian

ditanyakan apa yang akan dihibahkan.

Kalau yang dihibahkan benda tidak bergerak atau tanah maka

akan dibuatkan akta PPAT. Mereka harus menunjukkan bukti

bahwa mempunyai kewenangan memberi hibah, dia adalah

pemiliknya, misalnya bukti sertifikat. Jika ia bukan pemilik obyek

hibah dan hanya bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari

orang atau badan hukum atau instansi yang diwakilinya, maka

kualitas atau dasar hukum dari tindakannya harus disebutkan

secara jelas (Kuasa Notariil).

Surat kuasa tersebut harus dilekatkan atau dijahitkan pada akta

yang disimpan oleh PPAT dan harus disebutkan dalam aktanya.

Demikian pula nama-nama orang atau badan hukum atau instansi

yang diwakilinya diuraikan secara lengkap; kemudian dengan

67

menunjukkan KTP guna mengecek umur sudah 18 tahun, karena

sebagai syarat kecakapan hukum.

Apabila pemilik obyek hibah tidak cakap hukum melakukan

perbuatan hukum, maka bagi mereka yang warga Negara

Indonesia diwakili oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka

yang tunduk pada hukum Perdata Barat diperlukan juga

persetujuan Pengadilan Negeri setempat.

b) Syarat penerima hibah

Umur minimal 18 tahun, kalau belum dewasa diwakili oleh

wali atau pengampu. Untuk akta Notaris, Notaris membuat

aktanya sesuai keinginan para pihak sesuai dengan format teknik

pembuatan akta. Untuk akta PPAT teknik pembuatan akta sudah

ada blangko akta hibah dari BPN.

Setelah akta selesai dibuat, sebelum di tandatangani harus

dibacakan oleh Notaris atau PPAT dihadapan para pihak atau

saksi-saksi setelah itu baru di tandatangani oleh para pihak atau

saksi-saksi dan Notaris atau PPAT. Khusus untuk akta PPAT

sebelum akta diberi nomor atau tanggal harus dilakukan terlebih

dahulu sebagai berikut:

68

� Pengecekan sertifikat di kantor pertanahan Kabupaten atau

Kota setempat.

� Dibayarkan pajak-pajak. Pemberi hibah tidak membayar pajak

PPH atau Pajak Penghasilan, sedangkan penerima hibah kalau

obyek hibah lebih dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta

rupiah) wajib membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas

Tanah dan Bangunan) tarifnya 5 %. Jadi NJOP (Nilai Jual

Obyek Pajak) dikurangi Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta

rupiah) x 5 %. Pembayaran ke pemerintah kota atau kabupaten.

Pembiayaan di kantor notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM.,

relatif, tergantung harga benda yang dihibahkan dan kemampuan

seseorang. Sedangkan sistem pembiayaan pajak akta hibah adalah sebagai

berikut:

a) Hibah dari orang tua kepada anak

• Pemberi hibah → tidak dikenai PPH

• Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x

5 %

• Bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) 5 % setelah BPHTB di bayar penuh dahulu

69

kemudian ajukan permohonan dilampiri surat keterangan bahwa

yang bersangkutan adalah orang tua dan anak.

b) Hibah kepada orang lain

• Hibah kepada kakak atau adik sama dengan hibah kepada orang lain.

• Pemberi hibah → tidak dikenai PPH

• Penerima hibah → Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) = (Nilai Jual Obyek Pajak [NJOP]- Rp. 60.000.000,-) x 5

%

• Tidak bisa mengajukan pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) 5 %.77

Akta itu dikatakan otentik, kalau dibuat di hadapan pejabat yang

berwenang. Otentik itu artinya sah. Karena notaris itu adalah pejabat yang

berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris

adalah akta otentik, atau akta itu sah.78

Sering orang membuat perjanjian, ditulis sendiri oleh pihak-pihak,

tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di

bawah tangan. Ada kalanya akta yang dibuat di bawah tangan itu, para

pihak kurang puas kalau tidak dicapkan di notaris. Sebelum

77

Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011 78

A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 3

70

membubuhkan cap notaris, diberi nomor dan tanggal, nomor mana harus

dicatat dalam buku yang telah ditandatangani oleh Ketua Pengadilan

Negeri, kemudian diberikan kata-kata, dan ditandatangani oleh notaris.

Membubuhkan cap pada akta semacam itu ada dua macam, yaitu :

a) Legalisasi atau pengesahan

Untuk keperluan legalisasi itu, maka para penandatangan surat

atau akta itu harus datang menghadap notaris, tidak boleh

ditandatangani sebelumnya dirumah. Kemudian notaris memeriksa

tanda kenal, yaitu KTP, atau tanda kenal lainnya. Pengertian kenal itu

lain dengan pengertian sehari-sehari, yakni notaris harus mengerti

benar sesuai dengan kartu kenalnya, bahwa orangnya yang datang itu

memang sama dengan kartu kenalnya, dia memang orangnya, yang

bertempat tinggal di alamat kartu kenal itu, gambarnya cocok.

Sesudah diperiksa cocok, kemudian notaris membacakan surat

atau akta di bawah tangan itu dan menjelaskan isi dan maksud surat di

bawah tangan itu.

Akta di bawah tangan yang dilegalisasi itu sah, jika :

� Isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku.

71

� Yang menanda tangani betul orangnya yang bersangkutan.

� Tanggalnya memang dibuat pada waktu ditandatangani itu, bukan

tanggal lainnya.79

b) Diwaarmerking atau Didaftar atau Ditandai

Untuk waarmerking akta di bawah tangan maka para

penandatangan tidak perlu datang menghadap kepada notaris,

cukup saja yang sudah ditandatangani itu dibawa ke notaris.

Di dalam waarmerking ini notaris hanya mendaftar, jadi tidak

menjamin:

� Bahwa isinya diperkenankan oleh hukum.

� Apa yang menandatangani memang betul orang yang

bersangkutan.

� Apa tanggal yang ada pada akta di bawah tangan itu

memang ditandatangani pada waktu itu.

E. Macam-Macam Akta Hibah

1. Akta hibah benda bergerak

Akta hibah benda bergerak meliputi benda yang dapat berpindah

dari tempat satu ke tempat yang lain seperti hibah uang, hibah saham,

hibah mobil dan lain sebagainya. Akta hibah benda bergerak ini yang

79

Ibid, hlm. 4

72

mempunyai wewenang dalam pengurusannya adalah notaris, karena

notaris mempunyai wewenang dalam pembuatan akta otentik secara

resmi dalam pembuktian.

2. Akta hibah benda tak bergerak

Akta hibah benda tak bergerak meliputi hak atas tanah atau hak

milik atas satuan rumah susun, yang berwenang dalam perkara akta

hibah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena PPAT

bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta hibah sebagai bukti telah dilakukannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas

satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran

perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

hukum itu.80

F. Bentuk

Pada asasnya bentuk sesuatu akta notaris yang harus berisikan

perbuatan-perbuatan dan sebagainya yang dikonstatir oleh notaris, pada

umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam

perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu, dan teknik

80

Biro Humas dan Humas BPN, hlm. 4

73

pembuatan akta antara lain KUH Perdata Indonesia dan Peraturan Jabatan

Notaris di Indonesia (PJN).

Untuk menjamin perbuatan-perbuatan dan keterangan kehendak

mereka untuk di kemudian hari dan dalam suatu bentuk demikian yang

dapat dibuat, akan menghadap ke muka notaris dengan maksud supaya

dibuatkan dalam bentuk tulisan mengenai perbuatan-perbuatan atau

keterangan kehendak mereka itu dalam bentuk akta yang mempunyai

kekuatan otensitisitas.81

G. Prosedur Pembuatan Formulir Akta Hibah

1) Permulaan Akta

a. Pencantuman judul (nama) akta tidak diatur secara jelas dalam

perundang-undangan (PJN), akan tetapi mengingat hal itu penting,

antara lain mengenai penyelenggaraan/memasukkan ke dalam

repertorium, buku akta dan lain-lain. (protokol), dalam akta-akta

notaris judul akta ini selalu dimuat.

b. Pencantuman nomor pada setiap akta notaris penting sehubungan

antara lain dengan ketentuan pasal 36 dan 36a PJN

81

Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar Baru,

1985, hlm. 31

74

c. Penanggalan harus selalu dicantumkan dalam akta notaris, untuk

memenuhi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf d jo pasal 1 PJN.

d. Nama lengkap (kecil, keluarga/ vornamen en naam) demikian

tempat kedudukan notaris harus dicantumkan.

e. Saksi dalam penyelesaian akta hibah, harus dikenal oleh Notaris

atau pejabat setempat.

2) Komparisi/tindakan menghadap

a. Pencantuman nama lengkap, pekerjaan atau jabatan (sepanjang hal

ini dapat diberitahukan) dan tempat tinggal setiap penghadap dan

(bila ada) yang diwakilinya merupakan keharusan dalam akta hibah.

b. Jika penghadap bukan pemilik obyek hibah beli dan hanya

bertindak selaku kuasa atau dalam jabatan dari orang atau badan

hukum atau instansi yang mewakilinya, maka kualitas atau dasar

hukum dari tindakannya harus disebutkan secara jelas;

Surat kuasa yang tidak otentik harus dilekatkan atau dijahitkan pada

akta yang disimpan oleh pejabat (notaris, PPAT, pejabat umum) dan

harus disebutkan dalam aktanya. Demikian pula nama-nama orang

atau badan hukum atau instansi yang mewakilinya diuraikan secara

lengkap.

75

c. Apabila pemilik objek hibah tidak cakap melakukan perbuatan

hukum, maka bagi mereka yang warga Negara Indonesia diwakili

oleh wali atau pengampu, dan bagi mereka yang tunduk pada

hukum Perdata Barat diperlukan juga persetujuan Pengadilan

Tinggi setempat.

d. Sebutkan persetujuan yang diperlukan, misalnya persetujuan istri

atau suami mengenai harta campur.

e. Hal “renvooi”, berupa gantian, coretan atau tambahan itu menurut

ketentuan pasal 32 PJN, yaitu:

� Bahwa semua perubahan dan tambahan (perkataan/bilangan)

yang terdapat pada akta hibah harus ditulis di pinggir halaman

akta hibah.

� Bahwa setiap renvooi itu hanya sah bila ditandatangani (dalam

praktek kebanyakan di paraf) atau disahkan oleh para penghadap,

para saksi dan notaris.

� Bahwa jika perubahan atau tambahan itu terlalu panjang untuk

ditulis di pinggir akta, maka penulisan itu dilakukan di bagian

akhir akta itu sebelum penutupan, dengan menunjuk pada

halaman dan baris yang bersangkutan.

76

� Bahwa bilamana renvooi itu tidak dilakukan secara demikian,

maka perubahan dan tambahan itu tidak berharga (batal)

f. Pencantuman, bahwa (para) penghadap “telah dikenal oleh” atau

“diperkenalkan kepada” Notaris dapat ditempatkan baik segera

setelah komparisi atau sebelum akhir akta. Apabila para pihak lebih

dari dua, sebaiknya atau lebih praktis hal ini dicantumkan sebelum

akhir akta, agar penyebutan kalimat itu cukup satu kali saja (tidak

berkali-kali)

3) Premise atau preaemisse

Hal ini dimaksud keterangan atau pernyataan pendahuluan yang

merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur dalam sesuatu

akta guna memudahkan pengertian apa yang dimaksud dengan

dibuatnya akta itu. Jadi semacam prolog atau muqadimah.

4) Isi akta

Pada bagian ini diuraikan secara jelas atau terang bahan sesuai atau

sehubungan dengan judul akta dan bila ada dengan premise tersebut,

sebagaimana dikehendaki oleh:

- Notaris dalam akta-akta yang memuat risalah atau berita acara,

dan atau

77

- Para penghadap atau pihak-pihak yang menghendaki dibuat

akta ini (Pasal 1 PJN)

- Dalam menyusun pasal-pasal atau urutan isi akta

mendahulukan apa yang merupakan esensialia yaitu

mengutamakan dan selalu mencantumkan hal-hal yang pokok

(tidak bisa dihilangkan atau ditiadakan), seperti dalam hibah

“penyerahan benda atau kebendaan oleh pihak penghibah”.

5) Akhir akta

- Penyebutan tentang nama lengkap, pekerjaan atau jabatan dalam

masyarakat dan tempat tinggal dari para (masing-masing) saksi

diatur dalam Pasal 25 ayat 2 huruf c PJN dengan sanksi

sebagaimana tercantum dalam ayat 3 Pasal itu.

- Keharusan para notaris membacakan akta yang dibuat di

hadapannya kepada para penghadap, para saksi dan sebagainya.

Dalam relaas-acte hanya kepada para saksi saja, demikian pula

penanda tangannya tercantum dalam pasal 28 PJN, dengan

sanksinya masih terdapat dalam Pasal itu.82

Penelitian kali ini penulis tidak bisa memaparkan secara eksplisit

tentang data yang telah bertransaksi di Kantor Notaris dan PPAT Dina

82 Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM

78

Ismawati, SH.,MM., data hibah di PPAT yang telah dihimpun dari tahun

2008 sejumlah 6 akta , 2009 sejumlah 10 akta, 2010 sejumlah 6 akta dan

2011 sampai sekarang belum ada yang berakta hibah. sedangkan akta

hibah yang melalui Notaris hanya sejumlah 1 akta sejak Kantor Notaris

dan PPAT Dina Ismawati, SH.,MM., berdiri.83

83

Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H,MM tanggal 23 Maret 2011

77

BAB IV

ANALISIS KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM)

H. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Islam

Seperti telah diuraikan dari bab satu, dua dan tiga skripsi ini bahwa

dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan

(anjuran) untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai

bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat

baik dan bernilai positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah

adalah sunat. Firman Allah :

’ tA# uuρ . . . tΑ$yϑø9 $# 4’ n?tã ϵ Îm6ãm “ÍρsŒ 4†n1ö�à) ø9 $# 4’ yϑ≈ tGuŠ ø9 $# uρ tÅ3≈ |¡yϑø9 $# uρ tø⌠ $# uρ

È ≅‹ Î6¡¡9 $# . . . ∩⊇∠∠∪

Artinya : “….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

pertolongan) … (Al-Baqarah: 177)84

Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat

penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta otentik menjadikan

dasar pembuktian yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R.

Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa

84

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Jakarta, 1971.hlm.43

78

membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-

dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.85

Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan

oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

)� �e%��< �@�� �&�V��i�� �����<�� �G�@ �&���� �G�@ 4Aj�&�I ��1�&�:�Z�� �G�@� 4A'�V� �G�� �G�@� 4A[�(�&�� �G�� �G�@� )�@�� 4�D�B�0�#�! �G�� �G�@� 4AO�%:�� ���� %)�:% �� "�#�. ab� �+�0�#�� � �#�I� �J��N :§»� �� "�i���(

�O�% �� 4� �V�� �����@ ��"��%3� �O��1 lm��!�3 AJ����� 4� ������ �!��� %G�B��� �n���0��� "�#�� "��%������ �+�0�#��«

Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang

digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia

kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu

dibebankan kepada Tergugat.”86

Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di

samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an

dan Hadits kepada kita sekarang ini yang merupakan sumber dan

pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui tulisan.

Adapun korelasinya apabila hibah tidak diaktakan, bisa

menggunakan alat bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam,

yaitu :87

Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan

urutan sebagai berikut:

85

Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hlm.7 86

Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, (Bandung: Ma’arif, tt), hal 59. 87

Op. Cit hlm. 56

79

a. Pengakuan

b. Saksi

c. Sumpah

d. Qorinah

e. Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak

f. Pengakuan hakim.

Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan

dengan urutan sebagai berikut:

a. Pengakuan

b. Saksi

c. Sumpah

d. Penolakan sumpah

e. Pengetahuan hakim

f. Qorinah

g. Qosamah

h. Qiyafah

i. Dan Qur’ah.

Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan

sebagai berikut:88

a. Pengakuan

b. Saksi

c. Sumpah

d. Surat resmi

Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, alat-alat bukti itu ada dua

puluh enam dengan urutan sebagai berikut:89

1. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri yang tidak memerlukan

sumpah.

2. Pengingkaran penggugat atas jawaban tergugat.

3. Fakta yang berbicara atas dirinya sendiri disertai sumpah

pemegangnya.

88 Ibid, hlm. 57

89 Ibid, hlm. 58

80

4. Pembuktian dengan penolakan sumpah belaka.

5. Penolakan sumpah dan sumpah yang dikembalikan.

6. Saksi satu orang laki-laki tanpa sumpah yang dikembalikan.

7. Saksi satu orang laki-laki dengan sumpah penggugat.

8. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

9. Keterangan saksi satu orang laki-laki dan penolakan tergugat untuk

bersumpah.

10. Keterangan saksi/dua orang perempuan dan sumpah penggugat.

11. Saksi dua orang perempuan tanpa sumpah.

12. Saksi tiga orang laki-laki.

13. Saksi empat orang laki-laki.

14. Kesaksian budak.

15. Kesaksian anak-anak di bawah umur (sudah mumayyiz)

16. Kesaksian orang yang fasiq.

17. Kesaksian orang non Islam.

18. Bukti pengakuan

19. Pengetahuan hakim

20. Berdasarkan berita mutawatir.

21. Berdasarkan berita tersebut (khobar istifadlon)

22. Berdasarkan berita orang perorang.

23. Bukti tulisan

24. Berdasarkan indikasi-indikasi yang Nampak

25. Berdasarkan hasil undian

26. Berdasarkan hasil penelusuran jejak.

Menurut Nashr Fariid Waashil alat-alat bukti itu ada sebelas,

dengan urutan sebagai berikut:90

a. Pengakuan

b. Saksi

c. Sumpah

d. Pengembalian sumpah

e. Penolakan sumpah

f. Tulisan

g. Saksi ahli

h. Qorinah

i. Pendapat ahli

j. Pemeriksaan setempat

90

Ibid, hlm. 59

81

k. Dan permintaan keterangan orang yang bersengketa.

Dan menurut pendapat penulis hal ini merupakan cara penghibahan

yang dilakukan secara sah. Meskipun di dalam persyaratan hibah tidak

tercantum dalam pembuatan akta hibah secara tekstual, akan tetapi dalam

hukum Islam bukti tertulis adalah merupakan akta yang kuat sebagai alat

bukti dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak.

Ayat yang menunjukkan pentingnya bukti tulisan, firman Allah

Q.S Al-Baqarah (2): 282 berbunyi :

$yγ •ƒ r'≈ tƒ šÏ% ©!$# (# þθãΖtΒ# u # sŒ Î) Λ äΖtƒ# y‰s? Aøy‰Î/ #’ n<Î) 9≅ y_r& ‘ wΚ|¡•Β çνθç7 çFò2$$ sù 4 = çGõ3u‹ ø9 uρ öΝ ä3uΖ÷< −/ 7= Ï?$Ÿ2 ÉΑ ô‰yèø9 $$Î/ 4 Ÿωuρ z>ù' tƒ ë= Ï?% x. βr& |= çFõ3tƒ $yϑŸ2 çµ yϑ= tã

ª!$# 4 ó=çGò6 u‹ ù=sù È≅ Î=ôϑ㊠ø9 uρ “Ï% ©!$# ϵ ø‹n=tã ‘,ysø9 $# È, −Gu‹ ø9 uρ ©!$# … çµ −/ u‘ Ÿωuρ ó§y‚ö7 tƒ çµ ÷ΖÏΒ

$\↔ ø‹x© 4 βÎ* sù tβ% x. “Ï% ©!$# ϵ ø‹n=tã ‘,ysø9 $# $·γŠ Ï� y™ ÷ρr& $�‹ Ïè|Ê ÷ρr& Ÿω ßì‹ ÏÜ tGó¡o„ βr& ¨≅ Ïϑãƒ

uθèδ ö≅ Î=ôϑ㊠ù=sù … çµ •‹ Ï9 uρ ÉΑô‰yèø9 $$Î/ 4 (#ρ߉Îηô±tFó™ $# uρ Èøy‰‹ Íκ y− ÏΒ öΝ à6 Ï9% y Íh‘ ( βÎ* sù öΝ©9 $tΡθä3tƒ È÷n=ã_u‘ ×≅ ã_t� sù Èβ$s?r& z5 ö∆$# uρ £ϑÏΒ tβöθ|Ê ö�s? z ÏΒ Ï!# y‰ pκ ’¶9 $# βr& ¨≅ ÅÒs?

$yϑßγ1 y‰÷n Î) t�Åe2x‹çFsù $yϑßγ1 y‰÷n Î) 3“t�÷zW{ $# 4 Ÿωuρ z>ù'tƒ â!# y‰ pκ ’¶9 $# # sŒ Î) $tΒ (#θãã ߊ 4 Ÿωuρ (# þθßϑt↔ ó¡s? βr& çνθç7 çFõ3s? # ·�F Éó|¹ ÷ρr& # ·�F Î7 Ÿ2 #’ n<Î) Ï&Î#y_r& 4 öΝ ä3Ï9≡ sŒ äÝ|¡ø%r& y‰ΖÏã

«!$# ãΠ uθø%r& uρ Íο y‰≈ pκ ¤¶=Ï9 #’ oΤ÷Š r& uρ �ωr& (# þθç/$s?ö�s? ( HωÎ) βr& šχθä3 s? ¸ο t�≈ yfÏ? Zο u�ÅÑ% tn

82

$yγ tΡρã�ƒ ωè? öΝ à6 oΨ ÷< t/ }§øŠ n= sù ö/ä3ø‹n=tæ îy$uΖã_ �ωr& $yδθç7 çFõ3s? 3 (# ÿρ߉Îγ ô© r& uρ # sŒÎ) óΟ çF÷ètƒ$t6 s?

4 Ÿωuρ §‘!$ŸÒムÒ= Ï?% x. Ÿωuρ Ó‰‹ Îγ x© 4 βÎ) uρ (#θè=yèø� s? … çµ ¯ΡÎ* sù 8−θÝ¡èù öΝà6 Î/ 3 (#θà) ¨?$# uρ ©!$# ( ãΝ à6 ßϑÏk=yèムuρ ª!$# 3 ª!$# uρ Èe≅ à6 Î/ >óx« ÒΟŠ Î=tæ ∩⊄∇⊄∪

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,

hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara

kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan

menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia

menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa

yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,

dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang

berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau

dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya

mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi

dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka

(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang

kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang

mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)

apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,

baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang

demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan

lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah

mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang

kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)

kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;

dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu

lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu

kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah

mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”91

Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang

lelaki mengelilingi beberapa kaum sambil meminta agar mereka bersedia

91

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Jakarta, 1971. hlm. 70

83

menjadi saksi, tetapi tidak seorang pun menyanggupinya. Ada pula yang

mengatakan bahwa pengertian wa la ya’bau, ialah jangan menolak

dijadikan saksi, dan hendaknya mengabulkannya, karena menolak

hukumnya adalah haram.

Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa tulisan

merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memenuhi syarat, dan

penulisan ini diwajibkan untuk urusan kecil atau besar. Sebab dengan

adanya tulisan mengenai hak-hak ini, kesaksiannya, dan memegang

prinsip keadilan antara kedua belah pihak yang bersangkutan, juru tulis

dan para saksi, hal-hal tersebut merupakan penolak adanya kemungkinan

keraguan dan hal-hal yang ditimbulkan akibat adanya keraguan, seperti

permusuhan dan pertengkaran.92

Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi

Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat

dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3

harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang

saksi untuk memiliki”.

Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa:

92

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra,

1985, hlm. 132

84

“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang

dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli

warisnya”.

Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari

usia maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa

usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk

menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta

kecuali jika ahli warisnya menyetujui.93

Maka menurut singkat pendapat penulis bahwa batasan memberi

hibah 1/3 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si

penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa dirinya,

akan tetapi jika ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si

pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan.

Sedangkan analisis pendapat penulis tentang penarikan kembali

hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut

kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah penarikan kembali hibah

tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu

pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan

orang yang diberi. Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah

mencukupi.

93

Ibid, hlm. 471

85

I. Analisis Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif

Undang-undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau

hibah selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang masih hidup.

Menurut pendapat penulis tentang kewajiban berakta hibah dalam

kebijakan undang-undang sudah terpenuhinya kebutuhan hukum

masyarakat karena dimulai dari prosedur (Proses) pembuatan akta hibah,

penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris

bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu :

“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas

ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang

aslinya disimpan oleh notaries itu” 94

Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada

hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan

diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi

kuasa pada orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat

oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang

membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat

94 Ibid, hlm 438

86

bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil,

juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya.

Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam

hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW

menjelaskan bahwa:

“ Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai

hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap

untuk itu.(1676)”

“ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah,

kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu

Kitab Undang-undang ini.”95

Ukuran dewasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika

berumur 21 tahun, sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21

tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang.

Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan

pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak

bertransaksi dengan Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak

bertransaksi dengan PPAT. Ketika penulis mencermati adanya perbedaan

karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan

95 Ibid, hlm.438

87

satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan

upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas.

Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, menurut

pendapat penulis bahwa:

a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. (apabila

timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah

merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan

dengan alat-alat pembuktian lain.)

b. Arti penting suatu akta hibah terletak disitu, yang mana dalam praktek

hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum

yang lebih kuat.96

J. Deskripsi Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati,S.H, MM dalam

Keabsahan Akta Hibah

Menurut pendapat Ibu Dina Ismawati, S.H, MM, orang yang datang ke

Notaris atau PPAT berarti orang itu patuh pada Hukum Perdata Indonesia,

dalam hal ini adalah BW. Maka dasar hukum, bentuk dan kekuatan hukum

sama persis dengan hukum positif di Indonesia. Kecuali pada tata cara

96

John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika,

1987, hlm. 60-61

88

pembuatan akta hibah di dalam hukum positif dengan Peraturan Jabatan

Notaris (PJN) serta Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PJPPAT) berbeda.

PJN dan PJPPAT mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh si

penghibah maupun si penerima hibah yakni harus menunjukkan KTP,

PBB tahun terakhir, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan

Bangunan (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS) ini bertujuan

untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai dasar

Pengenaan PBB.

Sedangkan dalam hukum positif dalam BW Hibah barulah mengikat

dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-

kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau

dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal

1683 KUH Perdata menyebutkan :

”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu

akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-

kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh

seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah

dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah

diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di

kemudian hari.

Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri,

maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta otentik terkemudian,

yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si

89

penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang

yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu

diberitahukan kepadanya.”97

Menurut pendapat penulis, memang penting sekali apabila syarat

penghibahan harus mengikuti syarat dari PJN ataupun PJPPAT. Bertujuan

agar tanah atau benda tersebut tidak terikat dengan orang lain dan tidak

dituntut dikemudian hari. Hal ini merupakan cara penghibahan yang telah

dilakukan secara sah, karena dengan adanya bukti-bukti tertulis yang

dikuatkan dengan adanya tanda tangan tersebut. Dalam hal ini penulis

mendukung prosedur akta hibah yang dilakukan dengan model yang

dibuat oleh Notaris maupun PPAT. Hanya saja diharapkan hukum Islam

tetap ditegakkan bagi Notaris dan PPAT. Demi keabsahan hukum Islam

maupun hukum positif.

97 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm

438-439

90

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Keabsahan Akta Hibah Menurut Hukum Positif merupakan kewajiban

dalam kebijakan undang-undang, karena sudah terpenuhinya

kebutuhan hukum masyarakat yang dimulai dari prosedur (Proses)

pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta. Hibah barulah

mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu

dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima

hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang

lain.

2. Ditinjau dalam hukum Islam tentang akta hibah, maka hukum Islam

tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun

dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit. Hukum Islam mengenai

perkara hibah ini adalah, dalam hukum Islam dengan adanya ijab

qobul yang diketahui oleh adanya saksi. Maka hibah itu dianggap sah.

Meskipun demikian dalam hukum Islam bukti tertulis adalah

merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti dalam menetapkan hak

atau membantah suatu hak.

91

3. Peran Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM dalam keabsahan

akta hibah membedakan wilayah kerja antara Notaris dan PPAT.

Notaris mengenai benda bergerak dan PPAT mengenai benda tidak

bergerak. Persyaratannya dalam pembuatan akta hibah hampir sama,

dengan menunjukkan KTP dan surat-surat benda yang akan

dihibahkan yaitu harus menggunakan :

c) Sertifikat atas nama pihak pertama diberikan kepada pihak kedua.

Pihak pertama beserta suami atau istri foto copy kartu keluarga

dan KTP pihak kedua.

d) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir, Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Pemberitahuan

Pajak Setoran (SPPS). Surat Tanda Terima Setoran (STTS)

bertujuan untuk menunjukkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

sebagai dasar pengenaan PBB.

Dalam hal keabsahan akta hibah, memang dalam pembuatan dan

keabsahan akta hibah berbagai cara dan syarat. Yakni menurut hukum

Islam dan hukum Positif, dalam hal keabsahan akta hibah kedua hukum

tersebut sama-sama mempunyai dasar yang kuat.

92

B. SARAN

Meskipun dalam hukum Islam bersifat klasik namun dalam masalah

keabsahan akta hibah masih relevan dengan kondisi saat ini, karenanya

tidak berlebihan bila dalam membentuk peraturan perundang-undangan

khususnya di Indonesia mengkomparasikan dengan pikiran hukum Islam.

C. PENUTUP

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,

hidayat dan ridlo-Nya tulisan yang diangkat dalam bentuk skripsi telah

dilaksanakan. Penulis menyadari bahwa meskipun telah mengupayakan

semaksimal mungkin tidak menutup kemungkinan terdapat kesalahan dan

kekurangan baik dalam paparan maupun metodologinya. Namun demikian

semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

93

DAFTAR PUSTAKA

A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983.

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000

A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa Menurut KUH Perdata Belanda,

Nederland: PT Intermasa, 1967.

A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Cet.

14.

Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah,

Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3.

Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van

Hoeve, 1996.

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum

dan Etika, Yogyakarta : UII Press, 2009.

Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (Terjemah), Surabaya: Al-Ikhlas ,

1995.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grasindo

persada,1995

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra, 1985

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum

Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.

Asaf A.A Fyze, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:Tintamas, 1966

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia,Jakarta:FH UII Press, 2004.

94

Biro Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional,Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Koperasi Pegawai Badan

Pertanahan Nasional “Bumi Bhakti” 1998.

Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Jakarta, Djambatan, 2007.

Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005.

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam,

Jakarta, Sinar Grafika, 1994

Chuzaimah dan HafiznAnshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam

kontemporer III, Cet.3, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004.

Dokumen-dokumen Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, MM.

Fajar Iskandar, dalam skripsinya “Studi Analisis terhadap Pengadilan Tinggi

Agama Semarang No: 15/Pdt.G/2007/PTA.smg tentang Penarikan

Hibah Orang Tua terhadap Anak”, Jurusan Al-Ahwal Al-Syasiyah

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2008.

Hasil Wawancara dengan Ibu Dina Ismawati, S.H, MM pada tanggal 30 Maret

2011.

Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul-Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa’, 1990.

John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika,

1987.

Kamar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya,

Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1991

M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Cet.1, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2003.

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta :

PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1995, Cet.II.

Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar

Baru, 1985.

95

Pengayoman, Masalah Hukum Jabatan Notaris Dalam Kegiatan Pertanahan,

Jakarta Timur : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian

Hukum dan HAM RI, 2010

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Jakarta, Pradnya Paramita, 1999.

Sa’di Abu Nabieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, Cet

III.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), Jakarta:Pena Pundi Aksara,

1997, Cet 9.

Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

----------------, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.

Sudikno Mertokusumo, Hukum acara Perdata Indonesia, Yogyakarta :

Liberty, 2002.

Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang:

Pustaka Alawiyah, t.th

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni,

1992.

Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah,Semarang,

Pustaka Rizki Putra,2000.

---------------------------------------------------------, Pengantar Fiqh Muamalah,

Cet.4, Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001.

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia,

2007, Cet II.

Tyas Prihatanika Herjendraning Budi Wijaya,”Kedudukan Notaris dalam

Pembuatan dan Pencabutan Testament (Surat Wasiat) Studi Kasus di

96

Kantor Notaris dan PPAT Eko Budi Prasetyo, SH di Kecamatan Bakti

Sukoharjo” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta,

2008.

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan

Terjemah, Jakarta, 1971.

97

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Arifatul Khulwa

TTL : Semarang, 13 September 1989

Alamat : Jl. Sunan Kalijaga Raya RT 01 RW 02 Penggaron Kidul

Pedurungan Semarang 50194

Pendidikan :

� MI Infarul Ghoy Plamongan Sari Pedurungan Semarang,

lulus tahun 2001

� MTS Infarul Ghoy Plamongan Sari Pedurungan

Semarang, lulus tahun 2004

� MAN 1 Semarang, lulus tahun 2007

� Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang sejak 2007

Pengalaman Organisasi :

1. Sekretaris HMJ AS (2009)

2. Bendahara PMII Rayon Syari’ah Kom.Walisongo (2009-2010)

3. Redaktur Justisia (2008 sampai sekarang)

4. Bendahara IPPNU PC.Kota Semarang (2010-2012)

5. Divisi Pendidikan dan Penelitian Karang Taruna Kecamatan

Pedurungan (2009-2013)

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, 9 Juni 2011

ARIFATUL KHULWA