strategi tiongkok dalam mendominasi hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/fis.hi.91.17 . rah.h...
TRANSCRIPT
1
Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan Kerjasama Ekonomi
dengan Zimbabwe (2000-2015)
Wiwit Tri Rahayu / 071311233082
Program S1 Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Airlangga
(E-mail: [email protected])
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa strategi yang digunakan oleh Tiongkok untuk
mendominasi dalam melakukan kerjasama bilateral di bidang ekonomi dengan Zimbabwe.
Zimbabwe sendiri merupakan negara yang memiliki kondisi ekonomi dan politik buruk
sehingga beresiko tinggi untuk dijadikan rekan kerjasama ataupun investasi. Analisa dominasi
Tiongkok dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat fakta bahwa Tiongkok cenderung bisa
mempengaruhi Zimbabwe dalam melakukan kesepakatan ekonomi. Pemerintah Zimbabwe
bahkan lebih memberikan kelonggaran kepada Tiongkok daripada perusahaan lokal hingga
sering dikecam merugikan perusahaan lokal. Kondisi tersebut dapat dicapai Tiongkok dengan
menerapkan strategi yang tepat, yaitu strategi yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi
ataupun politik di Zimbabwe. Terlihat bahwasannya Tiongkok sering memberikan dukungan
kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi dan embargo. Tiongkok
juga memberikan banyak bantuan kepada pemerintah Zimbabwe untuk melakukan
pengembangan ketika IMF dan World Bank menghentikan pinjaman kepada Zimbabwe hingga
hutang-hutangnya dibayar. Dari hasil penelitian didapatkan analisis yang menunjukkan bahwa
Tiongkok menerapkan 2 (dua) strategi utama dalam mendominasi kerjasama ekonomi dengan
Zimbabwe, yaitu (1) prinsip non-intervensi dan (2) strategi bantuan luar negeri.
Kata kunci: Strategi Tiongkok, Zimbabwe, Non-Intervensi, Bantuan Luar Negeri.
ABSTRACT
This research tries to analyze the strategies on China’s domination over bilateral cooperation
with Zimbabwe, particularly in economic sector. Data from various sources show that
Zimbabwe is a vulnerable country both economically and politically. Zimbabwe posses bad
politic and economic regime thus high risk for any cooperation or investation purposes. The
analysis of China’s domination can be explained by the fact which China tend to be more
influential than Zimbabwe on doing their economic cooperation. Zimbabwe government even
tend to make China’s enterprises interests go easier than local enterprises that harmful for its
local enterprises development. Such favorable condition only can be achieved by China trough
applying the right strategies based on Zimbabwe crises. China often provides Zimbabwe for
support while other countries are sanctioning and embargoing. Beside, China also give
Zimbabwe a lot of assistances for its development while International Monetary Fund (IMF)
and World Bank are postponing their loans due to Zimbabwe’s violation issues and
hyperinflation until the government of Zimbabwe pay off all the debt. By using descriptive
analysis through data, literature reviews, and theoretical framework this research found
evidences that proved the hypothesis regarding China’s strategies to dominate its bilateral
2
economic cooperation with Zimbabwe, which are by implementing both (1) non-intervention
and (2) foreign aid strategy.
Keywords: China’s Strategy, Zimbabwe, Non-Intervention, Foreign Aids.
Pendahuluan
Hubungan Tiongkok dengan Zimbabwe sejatinya telah terjalin sejak tahun 1970-an
ketika terjadi perebutan atas kekuasaan dalam pemerintahan Zimbabwe pasca kemerdekaan
yang diperoleh dari Britania Raya. Dukungan tersebut diberikan kepada Zimbabwe African
National Union (ZANU) yang kemudian memenangkan perselisihan tuntuk mengisi kursi
pemerintahan. Terpilihnya pemimpin ZANU, Robert Mugabe menjadi presiden Zimbabwe
turut menjadi awal kemudahan bagi Tiongkok untuk melakukan kerjasama dengan Zimbabwe
(Edinger dan Burke, 2008: 2). Hubungan kerjasama antara keduanya kemudian semakin
mengalami peningkatan dengan dibentuknya Forum for China-Africa Cooperation (FOCAC)
pada tahun 2000. Sejak terjadinya FOCAC, pemerintah Tiongkok semakin banyak
memberikan dukungan dan bantuan kepada Zimbabwe yang dibalas dengan kemudahan akses
perusahaan Tiongkok terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Zimbabwe. Hal ini sejalan
dengan tujuan dibentuknya FOCAC, yaitu upaya untuk melanjutkan reformasi ekonomi berupa
penerapan atas open door policy (Chow, 2004: 128). Dibentuknya FOCAC pada tahun 2000
tidak lain adalah upaya Tiongkok untuk melakukan re-engagement dengan negara-negara
Afrika yang didasari oleh banyaknya kebutuhan Tiongkok atas bahan mentah yang berasal dari
negara-negara Afrika, termasuk Zimbabwe.
Pada tahun 2001, hubungan Tiongkok dengan Zimbabwe juga turut mengalami
peningkatan sebagai akibat dari masuknya Tiongkok ke dalam World Trade Organization
(WTO). Sejak ketergabungannya, Tiongkok berusaha memenuhi aturan yang ada di WTO
seperti penurunan tarif hingga 12% yang secara tidak langsung memudahkan ekspor-impor
antara Tiongkok dengan Zimbabwe (Yang, 2003: 31). Tiongkok kemudian terus mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga dijuliki sebagai “pabrik dunia” pada tahun 2011.
Menjadi produsen utama dunia tentu turut meningkatkan kebutuhan Tiongkok sebagai negara
yang atas barang mentah untuk keeperluan produksi. Terlebih untuk menjaga nilai kompetitif
atas barang produksinya yang murah, Tiongkok perlu mengandalkan bahan mentah dari
negara-negara Afrika seperti Zimbabwe. Negara-negara dunia ketiga juga berfungsi bagi
Tiongkok untuk menjual barang-barang produksinya yang terkenal dengan kualitas sub-standar
sehingga sulit untuk bisa masuk ke pasar-pasar di negara maju (Yang, 2003: 31).
3
Dalam hubungannya dengan Zimbabwe, Tiongkok berhasil menjadikan Zimbabwe
sebagai negara untuk impor bahan mentah dan ekspor atas barang produksi jadi. Tiongkok
berhasil menguasai beberapa perusahaan yang berkaitan dengan kebutuhan bahan mentah
Tiongkok, seperti perusahaan di bidang agrikultur dan pertambangan. Tiongkok terbukti
berhasil mendominasi atas bidang tersebut, dibuktikan pada tahun 2008 Mineral Marketing
Corporation of Zimbabwe (MMCZ) menandatangani nota kesepakatan dengan perusahaan
nikel Tiongkok, Jinchuan Nickel Mining Company of China yang merupakan produsen nikel
dan kobalt terbesar di Tiongkok yang memiliki kapasitas produksi tahunan mencapai 130.000
ton nikel, 200.000 tembaga dan 6.000 ton kobalt (Anon, 2009). Pada tahun 2012 perusahaan
tembakau terbesar Tiongkok, Tian ze Tobacco juga berhasil menjadi pembeli utama atas
tembakau di Zimbabwe dengan nilai mencapai 21% dari total ekspor panen Zimbabwe. Hal ini
sejalan dengan kebutuhan Tiongkok akan tembakau untuk menutupi tingginya permintaan atas
konsumsi roko di negaranya (Mukwereza, t.t.: 4).
Selain banyaknya impor yang dilakukan atas bahan mentah, Tiongkok juga berhasil
menjual barang-barang produksi ke pasar Zimbabwe. Barang-barang asal Tiongkok bahkan
lebih diminati baik oleh penjual ataupun pembeli karena memiliki harga yang lebih kompetitif
dibandingkan dengan barang produksi lokal (Zimstat, 2015). Kondisi tersebut merupakan
beberapa bukti kecil dari adanya dominasi Tiongkok dalam melakukan kerjasama bilateral
dengan Zimbabwe, khususnya di bidang ekonomi. Dominasi tersebut ditunjukkan dengan
adanya posisi Tiongkok yang lebih dapat mempengaruhi Zimbabwe ketika melakukan
kerjasama ekonomi. Terlebih dengan melihat kondisi Zimbabwe, keberhasilan Tiongkok untuk
mampu bertahan melakukan kerjasama dengan Zimbabwe ditengah kecaman dari berbagai
pihak mengindikasikan adanya penerapan strategi tertentu. Penerapan strategi kemudian
dilakukan Tiongkok dengan menyesuaikan pada kondisi Zimbabwe yang sering mendapatkan
kecaman dan kehilangan sumber bantuan dari dunia internasional.
Pembentukan Forum for China –Africa Cooperation (FOCAC)
Pembentukan FOCAC dinyatakan oleh Tiongkok sebagai bentuk new strategic
partnership yang memfasilitasi konsultasi dan dialog antara Tiongkok dengan negara-negara
Afrika, sehingga kerjasama antara keduanya dapat semakin komprehensif dilakukan (Meidan,
2004: 74). Forum ini digunakan oleh Tiongkok untuk menunjukkan kemampuannya dalam
memberikan dukungan terhadap negara-negara Afrika seperti dukungan yang diberikan
terhadap African Union (AU) dan New Partnership for African’s Development (NEPAD) yang
disampaikan saat deklarasi FOCAC tahun 2000 dan Addis Ababa Action Plan tahun 2003.
4
Melalui FOCAC, Tiongkok berupaya untuk memetakan permasalahan yang ada di negara-
negara Afrika kemudian menunjukkan kemampuannya untuk turut menyelesaikan
permasalahan tersebut. Hal ini dinilai oleh pengamat bahwa pembentukan FOCAC dengan
model interaksi yang sedemikian rupa dimaksudkan Tiongkok untuk dapat lebih menjaga
sumber bahan mentah yang ada di negara-negara Afrika dengan cara melahirkan kepercayaan
di negara anggota, termasuk Zimbabwe. Data pada Grafik 1 menunjukkan bahwasannya
kerjasama antara Tiongkok dan Zimbabwe cenderung mengalami kenaikan sejak terbentuknya
FOCAC pada tahun 2000 (Edinger dan Burke, 2008: 16).
Grafik 1: Ekspor dan Impor Tiongkok terhadap Zimbabwe
(Sumber: World Trade Atlas dalam Edinger dan Burke, 2008: 16)
Melalui ketergabungan Zimbabwe dalam FOCAC, Tiongkok melihat bahwa kondisi
Zimbabwe yang mengalami permasalahan baik dalam hal ekonomi ataupun politik
memberikan peluang tersendiri bagi Tiongkok karena minimnya persaingan yang akan
didapatkan dari negara-negara Barat dikarenakan banyaknya sanksi yang dijatuhkan atas
kondisi internal Zimbabwe. Kondisi internal Zimbabwe sering mendapatkan kecaman dari
pihak internasional karena rezim pemerintahan Mugabe dinilai otoriter dan sering melakukan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) pada masyarakatnya. Kondisi ini
menyebabkan pereknomian Zimbabwe terus mengalami penurunan hingga organisasi
internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank memutuskan untuk
menghentikan bantuan finansial kepada Zimbabwe (Thompson, 2012: 102). Pemanfaatan
Tiongkok atas kondisi tersebut dapat dibuktikan dengan melihat pesatnya peningkatan
kerjasama dan dukungan yang diberikan oleh Tiongkok kepada Zimbabwe sejak lahirnya
FOCAC hingga kemudian mendorong pemerintah Zimbabwe untuk mengeluarkan Look East
5
Policy, yaitu kebijakan yang mengindikasikan bahwa Zimbabwe akan mulai lebih bergantung
pada negara-negara Asia seperti Tiongkok dibanding kan negara Barat (Mapaure, 2014: 16).
Setelah pembentukan FOCAC dan lahirnya Look East Policy, hubungan antara Tiongkok dan
Zimbabwe terus mengalami peningkatan. Tiongkok terus mendukung tindakan-tindakan
Zimbabwe sekalipun hal tersebut dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma HAM
atapun tatanan internasional, seperti bantuan pada Operation Murambatsina dan pembangunan
Sekolah Intelijen Mugabe (Edinger dan Burke, 2008: 18).
Lemahnya Perekonomian dan Pemerintahan Zimbabwe
Kondisi ekonomi dan politik Zimbabwe mulai mengalami penurunan drastis pada akhir
tahun 1990-an. Pengamat mengatakan bahwa perekonomian Zimbabwe bahkan mengalami
titik pemulihan yang tidak pasti. Buruknya perekonomian ini tercermin dari adanya penurunan
performa ekonomi negara lebih dari 40% hingga terjadi hiperinflasi antara tahun 2000 sampai
2009. Keadaan tersebut menuntut Zimbabwe untuk mulai menghapus mata uang negaranya
karena dianggap sudah tidak memiliki nilai yang kompetitif dan mulai menggunakan sistem
multi-currency. Zimbabwe kemudian memutuskan untuk menggunakan dolar Amerika Serikat
dan rand Afrika Selatan ke dalam sistem multi-currency negaranya (Southern African-German
Chamber of Commerce and Industry, 2016). Selain perihal ekonomi, kondisi Zimbabwe juga
diperburuk dengan pemerintahan yang korup dan melekatnya budaya sharing the wealth di
kalangan elitis. Kedua kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap iklim investasi
yang buruk, salah satunya adalah minimnya pengembangan dalam hal infrastruktur (listrik, air
dan transportasi) dikarenakan sulitnya mengalokasikan dana dalam keadaan krisis ditambah
dengan regulasi yang tersentralisasi (Southern African-German Chamber of Commerce and
Industry, 2016).
Fluktuasi dalam hal ekonomi dan politik Zimbabwe dimulai pada tahun 1997-an ketika
pemerintah mengeluarkan Economic Structural Adjustment Program (ESAP), yaitu upaya
pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi pasar melalui keterbukaan terhadap ekspor-
impor. Pada kenyataannya, sistem ini mengalami kegagalan dan justru membuat persaingan
ketat antara produk lokal dan produk impor sehingga masyarakat merasa dirugikan dan
mengeluarkan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah yang berujung pada terjadinya konflik
dalam internal negara. Keadaan ini menuntut adanya pengeluaran besar dari pemerintah
sebagai bentuk ganti rugi yang harus diberikan kepada masyarakat untuk menghentikan
konflik. Pengeluaran pemerintah akibat situasi ini tidaklah sedikit karena pemerintah harus
membayar persenan sebanyak ZWD $50.000 pada Desember 1997 serta uang bulanan
6
sebanyak US$ 2.000 pada Januari 1998 (Munangagwa, t.t.: 114). Pemerintah Zimbabwe
kembali mengalami permasalahan internal akibat keterlibatannya dalam perang yang terjadi di
Republik Demokratis Kongo (RDK) pada tahun 1998. Keterlibatan Zimbabwe berakhir pada
banyaknya tentara dan bantuan yang diberikan pada perang di RDK hingga membuat
Zimbabwe harus kembali mengeluarkan biaya yang besar dengan perkiraan mencapai US$ 3
juta per hari serta total pengeluaran mencapai ZWD 6 milyar. Banyaknya pengeluaran tak
terduga untuk pembiayaan tersebut menjadi awal mula penurunan performa Zimbabwe dalam
ekonomi dan politik (Munangagwa, t.t.: 114).
Pada tahun 2000, Zimbabwe bahkan mendapatkan peringatan hingga sanksi dari pihak
internasional karena dianggap melanggar ketentuan HAM dalam melakukan Land Reform
Policy. Peringatan yang awalnya dikeluarkan oleh Human Right Watch berhasil membuat
negera-negara lain khususnya negara-negara Barat dan organisasi internasional mulai
melakukan embargo kerjasama dan bantuan terhadap Zimbabwe. Munculnya permasalahan
ekonomi dan politik yang terjadi secara terus menerus berakibat pada masuknya Zimbabwe ke
dalam kategori negara-negara dengan penghasilan rendah di Afrika ataupun di dunia dengan
GDP hanya sebesar US$ 13,66 milyar dan diperkirakan 70% dari total penduduk hidup di
bawah garis kemiskinan. Selain kebijakan reformasi tanah yang dilakukan oleh Mugabe,
semakin buruknya keadaan ekonomi dan politik juga disebabkan karena gagalnya rezim
Mugabe dalam mengakhiri hubungan patronase dalam pemerintahan itu sendiri (Mashingaidze,
2016: 64). Kegagalan ini kemudian berimbas pada pemilihan presiden yang terkesan tidak
demokratis dan menyebabkan Zimbabwe mendapatkan sorotan negatif oleh pihak-pihak
internasional hingga kembali mendapatkan embargo dan sanksi karena banyaknya kebijakan
di Zimbabwe yang dianggap melanggar norma-norma tertentu. Embargo tersebut tentu
berpengaruh terhadap perekonomian Zimbabwe yang menjadi semakin menurun, International
IMF dan World Bank bahkan menghapuskan bantuannya hingga Zimbabwe mampu membayar
hutang-hutangnya yang terdahulu dengan nilai lebih dari US$ 10 milyar.
Zimbabwe mengalami hiperinflasi sebagai puncak dari penurunan ekonomi secara terus
menerus akibat berbagai permasalahan yang ada. Hiperinflasi dapat terjadi ketika sistem
ekonomi suatu negara mengalami guncangan baik secara eksternal ataupun internal. Dari kasus
Zimbabwe dapat diketahui bahwa guncangan dalam sistem ekonomi muncul karena adanya
pengeluaran tidak terduga yang cukup besar sebagai akibat dari pembiayaan perang.
Pemerintah kemudian secara terpaksa akan meningkatkan jumlah cetakan uang untuk menutup
defisit yang terjadi, yang di sisi lain turut menjadi penyebab atas inflasi. Pada Agustus 2006
inflasi tahunan Zimbabwe mencapai 1000% dan meningkat menjadi 1729.9% pada Februari
7
2007. Inflasi yang terjadi di Zimbabwe kemudian berakibat pada rendahnya permintaan uang
dan memicu terjadinya dolarisasi (Munangagwa, t.t: 121). Sedangkan puncak dari hiperinflasi
ini adalah pemberhentian pemakaian dolar Zimbabwe pada tahun 2009 karena nilai tukar yang
sangat anjlok. Zimbabwe kemudian mulai menerapkan multi-currency dengan menggunakan
mata uang dolar Amerika Serikat dan rand Afrika Selatan sebagai mata uang seharihari (Aliya,
2015). Hiperinflasi yang dialami Zimbabwe membuat beberapa pihak enggan untuk
memberikan pinjaman ataupun bantuan luar negeri, termasuk di antaranya IMF dan World
Bank. Hal ini menyebabkan Zimbabwe mulai bergantung pada bantuan luar negeri dari negara-
negara yang masih menjalin hubungan kerjasama dengannya, salah satunya adalah Tiongkok.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh negara seperti Tiongkok yang sudah mulai
memberikan bantuan kepada Zimbabwe sejak awal kemerdekaannya (Thompson, 2012: 102).
Prinsip Non-Intervensi
Dengan melihat buruknya kondisi internal Zimbabwe ataupun hubungan Zimbabwe
dengan negara-negara lain dan organisasi internasional, Tiongkok kemudian mencoba
membangun kedekatan hubungan dengan Zimbabwe dengan membawa prinsip non-intervensi
sebagai sebuah strategi. Menurut teori realisme, prinsip non-intervensi sebagaimana yang
dibawa oleh Tiongkok dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk tidak campur tangan ataupun
mengabaikan permasalahan yang ada pada rekan kerjasama, termasuk di bidang HAM seperti
yang sering terjadi di Zimbabwe (Jackson dan Sorensen, 1999: 103). Dengan membawa asumsi
anarki dari pandangan realisme, Tiongkok berupaya untuk menunjukkan posisi negara sebagai
tempat kedaulatan tertinggi dan mengabaikan kedaulatan sistem internasional melalui dalih
prinsip non-intervensi. Melalui prinsip ini, Tiongkok menganggap negara-negara Barat
melakukan alibi dengan menuntut adanya demokratisasi dan penegakan HAM untuk mencapai
kepentingan ekonomi dan hal tersebut dianggap Tiongkok sebagai pelanggaran atas hak-hak
kedaulatan negara yang sudah merdeka (Thompson, 2012: 110). Tiongkok juga menggunakan
prinsip non-intervensi sebagai bukti atas pernyataannya untuk tidak menggabungkan urusan
bisnis dengan politik sehingga Tiongkok tidak memiliki hak apapun untuk ikut campur
terhadap masalah internal suatu negara. Namun, penerapan atas prinsip non-intervensi oleh
Tiongkok justru seringkali dinilai sebagai dukungan atas pelanggaran yang terjadi dan
berlawanan dengan keputusan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Contohnya adalah sikap Tiongkok yang menolak untuk ikut campur dengan sanksi yang
diberikan oleh PBB kepada Zimbabwe pada tahun 2008 terkait dengan pelanggaran dalam
8
pemilihan presiden. Tiongkok menolak untuk menyetujui dengan alasan prinsip non-
intervensi.
Menurut Mu Ren (2014: 103), cara paling mudah untuk menunjukkan non-intervensi
Tiongkok adalah dengan melihat sikap Tiongkok terhadap sanksi-sanksi yang dikeluarkan oleh
United Nation Security Council (UNSC). UNSC dapat digunakan sebagai alat untuk menguji
prinsip non-intervensi Tiongkok karena UNSC menjadi forum universal untuk melakukan
intervensi. Selain itu Tiongkok menjadi salah satu dari 5 anggota permanen yang memiliki hak
veto untuk melakukan beberapa tindakan, termasuk membatalkan usul untuk melakukan
intervensi (Ren, 2014: 103). Sebagai anggota UNSC, perilaku Tiongkok tergolong positif dan
jarang mengeluarkan hak vetonya untuk menggagalkan sanksi yang diusulkan oleh UNSC. Di
abad ke-21, Tiongkok mendukung 170 dari 182 sanksi yang telah dikeluarkan oleh UNSC dan
abstain dari 8 sanksi sisanya (Tabel 1).
Tabel 1: Mosi Tiongkok terhadap Sanksi UNSC dalam Post-War Era
(Sumber: UN Security Council Sanctions Committees dalam Ren, 2014: 105)
Tabel 1 menunjukkan bahwasannya selama periode tahun 2000 hingga 2013 Tiongkok
telah menggunakan hak vetonya sebanyak 4 kali. Sikap negatif berupa abstain dan veto yang
diberikan oleh Tiongkok terhadap resolusi sanksi UNSC tersebut tidak terlepas dari sikap
pembelaan terhadap negara-negara Afrika dan Timur Tengah, di antaranya adalah Sudan,
Somalia dan Eritrea, Libya, Suriah, dan tidak terkecuali Zimbabwe. Tiongkok menyatakan
bahwa sikap abstain dan veto yang dikeluarkan merupakan bentuk aplikasi dari prinsip non-
intervensi dan ekspresi netral dalam forum, namun sejatinya sikap tersebut justru menunjukkan
keterpihakan dan kepentingan besar Tiongkok terhadap negara bersangkautan. Hal ini
dibuktikan dengan adanya sikap setuju dari Tiongkok ketika sanksi dijatuhkan kepada negara-
negara yang tidak lagi mewakili kepentingan Tiongkok seperti Côte d’Ivoire dan Sierra Leone
(Ren, 2014: 106).
Di balik prinsip non-intervensi yang dibawa Tiongkok dalam veto yang dilakukan atas
resolusi sanksi Zimbabwe, ada hal lain yang mendasari pertimbangan Tiongkok untuk
mengeluarkan sikap. Tiongkok merupakan negara sumber impor senjata terbesar bagi
Zimbabwe sejak adanya embargo yang dikeluarkan oleh negara-negara Barat. Dari sisi
Tiongkok, terealisasinya sanksi tersebut tentu akan membuat Tiongkok harus mengurangi atau
9
bahkan menghentikan penjualan senjatanya kepada Zimbabwe, dalam keadaan ini Tiongkok
akan turut menjadi pihak yang dirugikan dan terkena dampak atas sanksi yang diberikan UNSC
terhadap Zimbabwe (Shinn, 2013: 90). Keputusan Tiongkok untuk menolak resolusi tersebut
tentu lebih disukai oleh pemerintah Zimbabwe karena sikap Tiongkok mengindikasikan adanya
dukungan kepada pemerintah dan militer Zimbabwe.
Selain melakukan ekspor terhadap senjata, Tiongkok juga memiliki banyak komoditi
produk jadi lain yang diekspor ke Zimbabwe. Tiongkok mampu menyediakan produk barang-
barang kebutuhan yang lebih murah jika dibandingkan dengan barang hasil produksi lokal
Zimbabwe. Banyak pasar-pasar di Zimbabwe yang lebih menyediakan produk Tiongkok
daripada produk buatan perusahaan lokal. Meskipun banyak komplain yang terjadi karena
rendahnya kualitas, namun harga murah menjadi pertimbangan utama Zimbabwe untuk tetap
melakukan impor (Shinn, 2013: 94). Barang-barang produksi Tiongkok kerap disebut dengan
istilah “zhing-zhong” yang mengindikasikan kualitas rendah dan umumnya tidak dapat masuk
ke pasar di negara-negara Barat. Dengan kualitas sub-standar, Tiongkok kemudian
memutuskan untuk memasukkan barang-barangnya ke negara-negara berkembang seperti
Zimbabwe. Komoditi ekspor Tiongkok ke Zimbabwe pun beragam mulai dari reparasi,
elektronik, tekstil, dan sebagainya. Banyaknya komoditi ekspor Tiongkok ke Zimbabwe
sekaligus menunjukkan berapa besar kerugian yang akan ditanggung oleh Tiongkok ketika
embargo terhadap Zimbabwe berhasil dilakukan.
Pembelaan terhadap sanksi internasional yang dijatuhkan kepada Zimbabwe dengan dalih
prinsip non-intervensi bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Tiongkok. Tiongkok sering
mendukung Zimbabwe, khususnya rezim Mugabe dibandingkan keputusan internasional.
Dukungan semacam ini mulai diberikan Tiongkok sejak tahun 2000 ketika Zimbabwe
dianggap melakukan pelanggaran HAM atas diadakannya Land Reform Policy yang
dikeluarkan oleh rezim Mugabe. Pelanggaran ini menyebabkan Zimbabwe kehilangan bantuan
dan embargo dari Amerika Serikat dan pembekuan aset dari Uni Eropa. IMF dan World Bank
juga menghentikan bantuannya ke Zimbabwe. Namun Tiongkok justru menunjukkan
dukungannya dengan menandatangani sebanyak 128 projek dengan Zimbabwe (Lampton,
2014: 76). Tiongkok kembali menunjukkan sikap yang sama pada tahun 2005, ketika
membantu Mugabe untuk melakukan Operation Murambatsina, yaitu penggusuran
pemukiman di sekitar Harare yang menjadi ibu kota Zimbabwe. Operasi yang berhasil mebuat
lebih dari 700.000 rakyat Zimbabwe kehilangan tempat tinggal membuat rezim Mugabe
mendapat teguran dari organisasi internasional termasuk PBB. Adanya dukungan dari
Tiongkok kemudian melahirkan spekulasi bahwa operasi tersebut dilakukan Zimbabwe untuk
10
melindungi perusahaan-perusahaan Tiongkok dari persaingan lokal. Tiongkok juga melakukan
kerjasama di bidang senjata dengan membangun Robert Mugabe School of Intelligence pada
tahun 2007 di saat negara-negara Barat seperti Amerika Serikat sedang gencar melakukan
embargo senjata kepada Zimbabwe atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
Mugabe (Jacob dan Stultz, 2009: 3).
Dengan menerapkan strategi atas prinsip non-intervensi, Tiongkok berhasil menjaga
hubungan kerjasama bilateralnya dengan Zimbabwe, khususnya di bidang ekonomi. Tiongkok
berhasil menjaga pasokan bahan mentah dan juga pasar atas barang produksinya di Zimbabwe
melalui pembelaan-pembelaan yang diberikan dengan dalih non-intervensi. Strategi ini terbukti
lebih bisa dilakukan untuk mendominasi perekonomian Zimbabwe karena pemerintah
Zimbabwe pun akhirnya lebih memilih untuk menjalin kerjasama dengan Tiongkok
dibandingkan dengan negara-negara Barat lainnya. Keberhasilan strategi non-intervensi untuk
mendominasi kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe juga dibuktikan dengan mudahnya
pemerintah Zimbabwe memberikan pengecualian terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok
atas peraturan tertentu. Hal tersebut dilakukan Zimbabwe sebagai ucapan terima kasih atas
konsistensi dukungan yang diberikan oleh Tiongkok (Tombindo dan Tukic, 2016: 16).
Strategi Bantuan Luar Negeri
Selain sebagai negara penerima bantuan sejak awal kemerdekaannya, Tiongkok juga
berperan sebagai negara pendonor. Secara signifikan, Tiongkok mulai melakukan bantuan luar
negeri sejak tahun 1950, kepada Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) dan
Vietnam. Pada tahun 1955 setelah Konferensi Asia-Afrika, Tiongkok memberikan bantuan
yang awalnya hanya kepada negara-negara sosialis meluas kepada negara-negara berkembang
seiring dengan terbukanya Tiongkok untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lain.
Bantuan yang diberikan Tiongkok pada periode ini memiliki tujuan untuk mendapatkan
pengakuan politik dan diplomatik pasca kemerdekaannya tahun 1949. Tujuan lainnya adalah
untuk menyebarkan ideologi komunisme (Nowak, 2015: 202). Setelah mengalami konflik
dengan Uni Soviet, bantuan luar negeri Tiongkok mulai digunakan untuk bersaing dengan Uni
Soviet dalam mempengaruhi negara-negara yang baru merdeka. Pada periode tahun 1971,
bantuan luar negeri difungsikan oleh Tiongkok guna mendapatkan dukungan untuk menjadi
legal representative di PBB dan mendapatkan kursi permanen dalam UNSC. Strategi ini dapat
dikatakan berhasil dengan melihat kembali bahwa sepertiga dukungan yang diperoleh
Tiongkok berasal dari negara-negara Afrika yang mendapatkan bantuan dari Tiongkok.
11
Sedangkan bantuan luar negeri yang dikeluarkan Tiongkok pasca 1979 memiliki tujuan yang
lebih bersifat ekonomi (Nowak, 2015: 204).
Sebagai emerging donor, Tiongkok banyak dikecam karena memberikan bantuan tanpa
adanya prekondisi tertentu dan merusak rules of the game dalam bantuan luar negeri demi
memenuhi kebutuhannya. Bantuan luar negeri yang diberikan oleh Tiongkok memiliki ciri
yang berbeda jika dibandingkan dengan bantuan dari negara-negara Barat pada umumnya. Ciri
tersebut meliputi bantuan berupa self-development, tidak mencampuri urusan politik, mengarah
pada kerjasama mutualisme, fokus pada kebutuhan penerima, serta memberikan dukungan
untuk melakukan inovasi. Sedangkan sumber dana untuk bantuan luar negeri adalah keuangan
negara dan Export-Import Bank of China (EXIM Bank) yang bertanggungjawab terhadap
pinjaman konsesional (Anon, 2011: 3). Meskipun memiliki tujuan yang sama dengan
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yaitu untuk
mempromosikan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan negara-negara miskin, namun
pemberian bantuan luar negeri yang dilakukan oleh Tiongkok memiliki prinsip tersendiri.
Tiongkok turut menerapkan prinsip non-intervensi dalam melakukan bantuan luar negerinya
kepada negara-negara yang sedang mengalami sanksi dan embargo internasional, seperti yang
dilakukan dengan Zimbabwe.
Sebagaimana prinsip non-intervensi, bantuan luar negeri yang diberikan oleh Tiongkok
kepada Zimbabwe sejatinya merupakan strategi yang diterapkan untuk memenuhi kebijakan
luar negeri dan kepentingan Tiongkok di Zimbabwe. Sebagaimana yang dilakukan dalam
FOCAC, Tiongkok akan berusaha untuk memetakan kebutuhan Zimbabwe dengan melihat
kelemahan dan kekurangannya kemudian Tiongkok akan berusaha untuk menunjukkan
kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dalam hal bantuan luar negeri.
Bantuan luar negeri menjadi penting bagi Zimbabwe karena Zimbabwe sudah tidak lagi
menerima bantuan dari IMF, World Bank, ataupun negara-negara maju seperti Amerika Serikat
(Lengauer, 2011: 10). Menurut pernyataan Palmer et. al. (2009: 10), sikap Tiongkok dapat
dijelaskan dengan analisis tradisional dalam hubungan internasional dan kebijakan luar negeri.
Analisis tersebut menyatakan bahwa untuk dapat mewujudkan kebijakan luar negeri pada suatu
negara, Tiongkok harus mampu melakukan change atau maintenance dalam kebijakan negara
tersebut, salah satunya melalui bantuan luar negeri.
Hal ini terbukti dengan melihat kondisi bantuan luar negeri yang dilakukan oleh
Tiongkok. Tiongkok menjadikan bantuan luar negeri sekaligus sebagai sarana untuk
mengekspor barang ataupun jasa dari Tiongkok kepada negara penerima bantuan. Hal ini
dikarenakan Tiongkok menuntut 50% dari dana bantuan harus dihabiskan untuk membiayai
12
kebutuhan atau material dari Tiongkok. Banyak pengamat yang kemudian menyatakan bahwa
bantuan luar negeri dari Tiongkok sulit dibedakan dengan perjanjian investasi ataupun
perdagangan (Condon, 2012: 7). Bantuan yang diberikan oleh Tiongkok juga berbeda dari
definisi yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD) Development Assistance Committee (DAC) yang menyatakan bahwa bantuan
pembangunan kepada negara-negara berkembang memerlukan hibah atau pinjaman yang
diberikan melalui government to government. Sedangkan bantuan dari Tiongkok memiliki
cakupan yang lebih luas dan dinilai lebih ambisius. Terlihat bahwasannya Tiongkok
menganggap bantuan luar negeri yang diberikan sebagai kerjasama dalam bidang foreign direct
investment (FDI) dan kontrak terhadap pemerintah dan perusahaan Tiongkok (Davies, et.al.:
2008: 13). Misalnya, EXIM Bank akan menyediakan concessional loans kepada negara
berkembang dengan interest rate di bawah nilai pasar dengan syarat setidaknya 50% dari dana
yang diberikan harus digunakan untuk produk-produk atau jasa Tiongkok, seperti untuk
membeli bahanbahan atau kerjasama dengan perusahaan konstruksi Tiongkok (Morrison,
2015: 4).
Bantuan luar negeri yang diberikan kepada negara otoriter dan mendapatkan sanksi
internasional seperti Zimbabwe akan semakin memudahkan Tiongkok untuk mendapatkan
akses dan mengalami sedikit persaingan dalam penguasaan sumber daya mentah yang
dibutuhkan. Selain itu, perkembangan Tiongkok di bidang industri juga menuntut Tiongkok
untuk memiliki konsumen atas barang-barang produksinya. Tiongkok yang terkenal dalam
pengembangan teknologi, baik infrastruktur ataupun telekomunikasi, kembali memanfaatkan
bantuan luar negeri untuk mengenalkan produk-produknya. Banyaknya state-owned enterprise
di Tiongkok membuat hubungan diplomatik, bantuan luar negeri, dan kepentingan ekonomi
seolah membaur menjadi satu. Pada November 2004, perwakilan dari perusahaan Huawei
bersama dengan wakil ketua Partai Komunis Tiongkok Wu Bangguo melakukan kunjungan ke
Zimbabwe untuk menandatangani perjanjian dengan operator seluler miliki pemerintah
Zimbabwe. Perjanjian yang mencapai nilai US$ 330 juta tersebut dilakukan oleh Tiongkok
tidak lain untuk mengenalkan Huawei sebagai produk asli Tiongkok kepada Zimbabwe
(Edinger dan Burke, 2008: 12). Keadaan ini menunjukkan bahwa bantuan luar negeri yang
dilakukan oleh Tiongkok turut memiliki kaitan dengan upaya Tiongkok untuk mengekspor
barang produksinya masuk ke dalam pasar negara penerima bantuan (Shinn, 2013: 94). Bukan
menjadi hal yang sulit bagi Tiongkok untuk membuat barang produksinya lebih mendominasi
di pasaran Zimbabwe karena kondisi perekonomian Zimbabwe yang buruk.
13
Kerjasama ekonomi antara Tiongkok dengan Zimbabwe terus mengalami peningkatan
hingga 5000% pada tahun 2010. Peningkatan ini menunjukkan bahwa Zimbabwe memberikan
banyak kelonggaran terhadap masuknya investasi Tiongkok. Zimbabwe bahkan menjadi salah
satu negara Afrika yang mewakili total FDI terbanyak dari Tiongkok dengan pertumbuhan
US$11.2 juta di tahun 2009 hingga mencapai US$ 602 juta pada akhir 2014 (Alao, 2014).
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran bantuan luar negeri dan prinsip non-intervensi
yang membuat Tiongkok secara konstan terus memberikan dukungan kepada Zimbabwe.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa bantuan luar negeri yang dilakukan Tiongkok tidak
terlepas dari upaya pemenuhan kepentingan nasionalnya. Melalui dominasi dalam melakukan
kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe, kepentingan Tiongkok dapat semakin mudah
terpenuhi. Di sisi lain, bantuan luar negeri juga diberikan Tiongkok untuk memperluas
jangkauan penyebaran produk-produknya sebagai pendukung atas go out strategy yang
dikeluarkan tahun 2002.
Keberhasilan Tiongkok dalam mendominasi kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe
juga dibuktikan melalui posisinya sebagai negara non-Afrika tujuan ekspor terbesar bagi
Zimbabwe dan menjadi kreditor utama bagi Zimbabwe, mewakili 24% dari total kredit
Zimbabwe (Zimstat, 2013). Sebagaimana strategi bantuan luar negeri, prinsip non-intervensi
juga berhasil meningkatkan hubungan bilateral antara Tiongkok dengan Zimbabwe. Masih
kuatnya budaya patronase dan korupsi yang ada di Zimbabwe turut berpengaruh dalam
mewujudkan hal ini. Tiongkok juga berhasil menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya di
bidang ekonomi sejak masuknya RMB ke dalam multi-currency di Zimbabwe. Tiongkok
melihat adanya peluang bagi mata uang Tiongkok untuk masuk ke dalam multicurrency
Zimbabwe, salah satunya dengan melakukan banyak pengeluaran RMB melalui FDI, ekspor-
impor, dan pemberian hutang kepada Zimbabwe (Papadavid, 2016: 14). Keadaan tersebut akan
membuat Zimbabwe tertarik untuk memakai mata uang Tiongkok untuk memudahkan
banyaknya transaksi yang terjadi dengan Tiongkok. Kondisi demikian terbukti pada tahun 2014
ketika bank pusat Zimbabwe mulai memasukkan RMB ke dalam keranjang mata uang yang
akan digunakan di Zimbabwe. Keinginan pemerintah Zimbabwe untuk memasukkan mata
uang Tiongkok ke dalam multi-currency di negaranya sejatinya sudah ada sejak tahun 2010
namun baru berhasil terealisasi pada akhir 2015 (Chun, 2014: 20). Pada tanggal 22 Desember
2015, Mugabe secara resmi menyatakan penggunaan RMB setelah Tiongkok melakukan
penghapusan hutang sebesar US$ 40 juta.171 Hal ini tentu menguntungkan bagi Tiongkok
karena penggunaan RMB oleh Zimbabwe akan membantu peredaran mata uang Tiongkok yang
kemudian akan dijadikan pertimbangan oleh IMF untuk menjadikan RMB sebagai mata uang
14
global. RMB kemudia berhasil masuk ke dalam Special Drawing Right (SDR) IMF pada 1
Oktober 2016 (International Monetary Fund, 2016).
Masuknya RMB ke dalam multi-currency Zimbabwe secara tidak langsung turut
membuat posisi Tiongkok di Zimbabwe semakin dominan, yaitu semakin dapat mempengaruhi
kebijakan-kebijakan yang ada di Zimbabwe. Hal ini dikarenakan Tiongkok dapat menuntut
negara yang menggunakan mata uang RMB untuk menerapkan kebijakan tertentu terkait
penggunaan mata uang Tiongkok. Kondisi ini tentu menguntungkan Tiongkok baik secara
ekonomi ataupun politik dan memudahkan Tiongkok untuk melindungi hubungan serta akses
dalam negara tersebut. Negara pengguna RMB juga secara tidak langsung akan turut menjaga
stabilitas RMB sebagai salah satu kepentingan negaranya. Keadaan ini membuktikan bahwa
internasionalisasi mata uang merupakan simbol tangible dari kedaulatan, sebagaimana
Tiongkok dapat dengan mudah meningkatkan posisinya dan bahkan mempengaruhi kebijakan
internal negara pengguna RMB (Chey, 2003: 353).
Kesimpulan
Kerjasama yang dilakukan oleh Tiongkok dengan Zimbabwe merupakan salah satu
upaya Tiongkok untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pencapaian terhadap kepentingan
nasional tentu bukanlah hal yang mudah dan memerlukan strategi yang tepat, terlebih jika
dilakukan atau berkaitan dengan negara seperti Zimbabwe. Zimbabwe sebagai negara dengan
perekonomian dan pemerintahan yang buruk menjadi tantangan tersendiri bagi Tiongkok untuk
melakukan kerjasama ekonomi. Tiongkok kemudian memanfaatkan sanksi dan embargo yang
dikeluarkan oleh negara-negara Barat dan organisasi internasional kepada Zimbabwe sebagai
sebuah peluang besar untuk mendekati pemerintahan Zimbabwe guna mendapatkan “kondisi
baik” di tengah buruknya lingkungan Zimbabwe. Tiongkok melihat Zimbabwe memiliki
sumber daya yang sesuai dengan kebutuhannya, seperti tembakau, kapas, dan berbagai hasil
tambang seperti berlian, tembaga, platinum, nikel, dan sebagainya.
Penerapan strategi Tiongkok dilakukan dengan memetakan kondisi Zimbabwe terlebih
dahulu untuk mengetahui kebutuhan dan cara yang tepat untuk mendekati pemerintahan
Zimbabwe yang dikelola oleh rezim otoriter Mugabe. Tiongkok kemudian berhasil untuk
mendapatkan empati dari pemerintahan Zimbabwe melalui dukungan dan bantuan yang
diberikan secara terus-menerus bahkan ketika Zimbabwe sedang dikecam oleh pihak
internasional. Meskipun sikap ini membuat Tiongkok mendapatkan teguran dari organisasi
internasional karena dianggap membela pelanggaran atas HAM yang ada di Zimbabwe,
Tiongkok justru mengabaikan teguran tersebut. Pengabaian tersebut dapat dijelaskan melalui
15
pandangan realisme terkait kondisi anarki, yaitu kedaulatan negara di atas organisasi
internasional sehingga Tiongkok merasa tidak berkewajiban untuk mentaatinya. Dukungan dan
bantuan yang diberikan kepada Zimbabwe pun demikian dikatakan oleh Tiongkok sebagai
bentuk non-intervensi dan menghargai kedaulatan Zimbabwe.
Selain prinsip non-intervensi, bantuan yang diberikan tanpa adanya syarat tersebut
dinilai oleh pihak internasional akan disalahgunakan oleh pemerintah Zimbabwe yang
memiliki tingkat korupsi tinggi. Namun menurut perspektif realis yang dibawa oleh Tiongkok,
asumsi dan teguran yang diberikan oleh pihak internasional tidak menjadi alasan untuk
menghentikan bantuan kepada Zimbabwe. Terlebih Tiongkok menggunakan bantuan tersebut
sebagai alat untuk mendapatkan pasokan bahan mentah dari Zimbabwe dan juga kemudahan
akses untuk mengekspor barang jadi. Bantuan luar negeri Tiongkok juga sering diberikan
dalam bentuk projek atas produksi baru Tiongkok dengan mempekerjakan tenaga kerja atau
menggunakan material dari Tiongkok. Hal ini dinilai lebih mudah untuk bersaing dengan
negara-negara lain yang memiliki kepentingan sama di Zimbabwe.
Melalui strategi yang diterapkan atas prinsip non-intervensi dan bantuan luar negeri,
Tiongkok berhasil menjadikan kepentingannya di Zimbabwe tetap terpenuhi. Penggunaan
strategi tersebut bahkan menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki posisi yang lebih dominan
dalam hubungan bilateralnya dengan Zimbabwe di bidang ekonomi, meskipun Tiongkok
berperan sebagai “tamu” di Zimbabwe. Tiongkok menunjukkan bahwa kedekatan yang
dibangun dengan pemerintah Zimbabwe berhasil memberikan peluang yang besar untuk
menuntut adanya kebijakan atau kemudahan tertentu atas kerjasama ekspor-impor Tiongkok
dengan Zimbabwe. Hal ini menjadi mungkin dengan melihat kondisi pemerintahan Zimbabwe
menjadikan Tiongkok sebagai main financial backing. Penolakan atas tuntutan yang diberikan
oleh Tiongkok akan berimbas pada minimnya bantuan yang diterima oleh Zimbabwe sehingga
akan berpengatuh pada penurunan performa dalam pengembangan serta lebih lanjut akan
berdampak pada rezim Mugabe sendiri.
Pada akhir tahun 2015, Zimbabwe bahkan memutuskan untuk menggunakan RMB
sebagai salah satu mata uang resmi di negaranya. Hal ini dilakukan setelah Xi Jinping mencabut
hutang jatuh tempo Zimbabwe yang mencapai US$ 40 juta. Digunakannya RMB dalam
perekonomian Zimbabwe akan membuka peluang bagi Tiongkok untuk campur tangan terkait
kebijakan penggunaan RMB di Zimbabwe. Kondisi ini menambah bukti bahwa dengan
memberikan banyak bantuan, baik berupa kerjasama ataupun hutang Tiongkok berhasil
mempengaruhi perekonomian Zimbabwe hingga membuat pemerintah Zimbabwe
memutuskan untuk menggunakan RMB. Kondisi ini tentu semakin menguatkan posisi
16
Tiongkok di Zimbabwe dan menguntungkan serta memudahkan jalannya kerjasama ekspor-
impor antara Tiongkok dengan Zimbabwe.
Referensi
Aliya, Angga, 2015. Zimbabwe Terapkan Yuan Jadi Mata Uang Sehari-hari.
http:/finance.detik.com/read/2015/12/23/134728/5/zimbabwe-terapkan-yuan-jadi-
mata-uang-sehari-hari (diakses pada 20 Oktober 2016).
Anon, 2009. “MMCZ, Chinese Nickel Company Sign MOU”. Zimbabwe.
http://www.chinamining.org/Investment/2009/08/10/1249886895d27818.html
(diakses pada 19 Juli 2017).
Anon, 2011. China’s Foreign Aid. Information Office of the State Council People’s Republic
of China.
Anonim, 2016. “Embassy of the United States: Harare, Zimbabwe”. U.S. Sanction Policy:
Facts and Myths. 14 Maret 2016.
https://harare.usembassy.gov/sanctions_facts_myths.html (diakses pada 12 Oktober
2016).
Chey, Hyoung-kyu, 2013. “Can the Renminbi Rise as a Global Currency? The Political
Economy of Currency Internationalization”. Asian Survey, Vol. 53, No. 2. University
of California Press. 348-368. Dalam
http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2013.53.2.348 (diakses pada 18 Maret 2017).
Chow, Gregory C., 2004. “Economic Reform and Growth in China”. Annals of Economic
And Finance 5. Peking University Press. 127-152.
Chun, Zhang, 2014. “China-Zimbabwe Relations: A Model of China-Africa Relations?”.
Occasional Paper 205. South African Institute of International Affairs (SAIIA):
Global Power and Africa Progamme, 2014.
Condon, Madison, 2012. “China in Africa: What the Policy of Nonintervention Adds to the
Western Development Dilemma”. PRAXIS – The Fletcher Journal of Human
Security, Volume XVI. 5-24.
Davies, M., Hannah Edinger, N. Tay, & S. Naidu, 2008. How China Delivers Development
Assistance to Africa. Centre for Chinese Studies, University of Stellenbosch.
Edinger, Hannah dan Christopher Burke, 2008. AERC Scoping Studies on China-Africa
Relations: A Research Report on Zimbabwe. Center for Chinese Studies.University of
Stllenbosch.
17
International Monetary Fund, 2016. IMF News Article: IMF Adds Chinese Renminbi to
Special Drawing Rights Basket, 30 September 2016. Dalam
http://www.imf.org/en/News/Articles/2016/09/29/AM16-NA093016IMF-Adds-
Chinese-Renminbi-to-Special-Drawing-Rights-Basket (diakses pada 17 Oktober
2016).
Jackson, Robert dan Georg, Sorensen, 1999. Introduction to Internatinal Relation. Oxford
University Press.
Jacob, Nancy dan Stultz, Newell, 2009. “Crisis in Zimbabwe”. Choices for the 21st
Century Education Program. 1-5.
Lampton, David M., 2014. “China’s Foreign Policy, Great Decisions, Eat Decisions”.
Foreign Policy Association. 73-84. Dalam http://www.jstor.org/stable/43681117
(diakses pada 18 Maret 2017)
Lengauer, Sara, 2011. “China’s Foreign Aid Policy: Motive and Method”. Culture
Mandala: Bulletin of the Center for East-West Cultural & Economic Studies, Vol. 9
Issue 2. 35-81.
Mapaure, Clever, 2014. Chinese Investement in Zimbabwe and Namibia: A Comparative
Legal Analysis. Stellenbosch University: Center for Chinese Studies.
Mashingaidze, Andrew Michael, 2016. “China’s Changing Foreign Policy Towards Africa: A
Critical Assessment of the Possible Implications, the Case of Zimbabwe”. Master
Thesis, University of Witwatersrand.
Meidan, Michal, 2006. “China’s Africa Policy: Business Now, Politic Later”. Asian
Perspective, Vol. 30, No. 4, Special Issue on “Rising China’s Foreign Relation”.
Lynne Rienner Publishers. 69-93. Dalam http://www.jstor.org/stable/42704565
(diakses pada 18 April 2017).
Morrison, Wayne M., 2015. China’s Economic Rise: History, Trends, Chalenges, and
Implication for the United States. Congressional Research Service.
Mukwereza, Langton, t.t. “Chinese and Brazilian Cooperation with African Agriculture: The
Case of Zimbabwe”. CBAA Working Paper 048. Dalam www.future-agricultures.org
(diakses pada 20 Maret 2017).
Munangagwa, Chidochashe L., t.t. “The Economic Decline of Zimbabwe”. Gettysburg
Economic Review, Volume 3. 100-141. Dalam
http://cupola.gettysburg.edu/ger/vol3/issl/9 (diakses pada 18 Maret 2017).
Nowak, Wioletta, 2015. “China’s Development Aid Strategies”. Chinese Business
Review, Vol. 14. David Publisher. 201-208.
18
Palmer, Glenn, Scott B. Wohlander, dan T. Clifton Morgan, 2009. “Give or Take: Foreign
Aid and Foreign Policy Substitutability”. Journal of Peace Research, Vol. 39 No. 1.
Sage Publication. 5-26.
Papadavid, Phyliss, 2016. China’s Balancing Act: Why the Internationalisation of the
Renminbi Matters for the Global Economy. Overseas Development Institute Report.
Ren, Mu, 2014. “China’s Non-intervention Policy in UNSC Sanctions in the 21st Cendtury:
The Case of Libya, North Korea, and Zimbabwe”. Ritsumeikan International Affaris,
Vol. 12. Institute of International Relations and Area Studies, Ritsumeikan University.
101-134.
Shinn, David, 2013. “China in Africa: Savior or Self-interest?”. Great Decisions, Eat
Decision. Foreign Policy Association. 85-96. Dalam
http://www.jstor.org/stable/43682516 (diakses pada 18 Maret 2017).
Southern African-German Chamber of Commerce and Industry, 2016. Zimbabwe. Dalam
http://suedafrika.ahk.de/fileadmin/ahk_sedafrika/Annual_Country_Reports
/2015_Zimbabwe_Annual_Country_Reports.pdf (diakses pada 10 Oktober
2016).
Thompson, Reagan, 2012. Assessing the Chinese Influence in Ghana, Angola, and
Zimbabwe: The Impact of Politics, Partners, and Petro. Stanford University: Center
for International Security and Cooperation (CISAC).
Tombindo, Felix dan Tukic, Nusa, 2016. "Economic Reprecussions of the Look East Policy
in Zimbabwe." Policy Briefing. Center for Chinese Studies.
Yang, Dali L., 2003. "China in 2002: Leadership Transition and the Political Economy
Governance ." Asian Survey, 43:1. 25-40.
Zimstat, 2013. Foreign Private Capital Survey Report 2013. www.zimstat.co.zw (diakses
pada 10 Mei 2017).
Zimstat, 2015. Zimbabwe Annual Country Reports 2015. www.zimstat.co.zw (diakses
pada 18 Maret 2017).