strategi tiongkok dalam mendominasi hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/fis.hi.91.17 . rah.h...

18
1 Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan Kerjasama Ekonomi dengan Zimbabwe (2000-2015) Wiwit Tri Rahayu / 071311233082 Program S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga (E-mail: [email protected]) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa strategi yang digunakan oleh Tiongkok untuk mendominasi dalam melakukan kerjasama bilateral di bidang ekonomi dengan Zimbabwe. Zimbabwe sendiri merupakan negara yang memiliki kondisi ekonomi dan politik buruk sehingga beresiko tinggi untuk dijadikan rekan kerjasama ataupun investasi. Analisa dominasi Tiongkok dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat fakta bahwa Tiongkok cenderung bisa mempengaruhi Zimbabwe dalam melakukan kesepakatan ekonomi. Pemerintah Zimbabwe bahkan lebih memberikan kelonggaran kepada Tiongkok daripada perusahaan lokal hingga sering dikecam merugikan perusahaan lokal. Kondisi tersebut dapat dicapai Tiongkok dengan menerapkan strategi yang tepat, yaitu strategi yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi ataupun politik di Zimbabwe. Terlihat bahwasannya Tiongkok sering memberikan dukungan kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi dan embargo. Tiongkok juga memberikan banyak bantuan kepada pemerintah Zimbabwe untuk melakukan pengembangan ketika IMF dan World Bank menghentikan pinjaman kepada Zimbabwe hingga hutang-hutangnya dibayar. Dari hasil penelitian didapatkan analisis yang menunjukkan bahwa Tiongkok menerapkan 2 (dua) strategi utama dalam mendominasi kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe, yaitu (1) prinsip non-intervensi dan (2) strategi bantuan luar negeri. Kata kunci: Strategi Tiongkok, Zimbabwe, Non-Intervensi, Bantuan Luar Negeri. ABSTRACT This research tries to analyze the strategies on China’s domination over bilateral cooperation with Zimbabwe, particularly in economic sector. Data from various sources show that Zimbabwe is a vulnerable country both economically and politically. Zimbabwe posses bad politic and economic regime thus high risk for any cooperation or investation purposes. The analysis of China’s domination can be explained by the fact which China tend to be more influential than Zimbabwe on doing their economic cooperation. Zimbabwe government even tend to make China’s enterprises interests go easier than local enterprises that harmful for its local enterprises development. Such favorable condition only can be achieved by China trough applying the right strategies based on Zimbabwe crises. China often provides Zimbabwe for support while other countries are sanctioning and embargoing. Beside, China also give Zimbabwe a lot of assistances for its development while International Monetary Fund (IMF) and World Bank are postponing their loans due to Zimbabwe’s violation issues and hyperinflation until the government of Zimbabwe pay off all the debt. By using descriptive analysis through data, literature reviews, and theoretical framework this research found evidences that proved the hypothesis regarding China’s strategies to dominate its bilateral

Upload: phamcong

Post on 08-Sep-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

1

Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan Kerjasama Ekonomi

dengan Zimbabwe (2000-2015)

Wiwit Tri Rahayu / 071311233082

Program S1 Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Airlangga

(E-mail: [email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa strategi yang digunakan oleh Tiongkok untuk

mendominasi dalam melakukan kerjasama bilateral di bidang ekonomi dengan Zimbabwe.

Zimbabwe sendiri merupakan negara yang memiliki kondisi ekonomi dan politik buruk

sehingga beresiko tinggi untuk dijadikan rekan kerjasama ataupun investasi. Analisa dominasi

Tiongkok dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat fakta bahwa Tiongkok cenderung bisa

mempengaruhi Zimbabwe dalam melakukan kesepakatan ekonomi. Pemerintah Zimbabwe

bahkan lebih memberikan kelonggaran kepada Tiongkok daripada perusahaan lokal hingga

sering dikecam merugikan perusahaan lokal. Kondisi tersebut dapat dicapai Tiongkok dengan

menerapkan strategi yang tepat, yaitu strategi yang disesuaikan dengan keadaan ekonomi

ataupun politik di Zimbabwe. Terlihat bahwasannya Tiongkok sering memberikan dukungan

kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi dan embargo. Tiongkok

juga memberikan banyak bantuan kepada pemerintah Zimbabwe untuk melakukan

pengembangan ketika IMF dan World Bank menghentikan pinjaman kepada Zimbabwe hingga

hutang-hutangnya dibayar. Dari hasil penelitian didapatkan analisis yang menunjukkan bahwa

Tiongkok menerapkan 2 (dua) strategi utama dalam mendominasi kerjasama ekonomi dengan

Zimbabwe, yaitu (1) prinsip non-intervensi dan (2) strategi bantuan luar negeri.

Kata kunci: Strategi Tiongkok, Zimbabwe, Non-Intervensi, Bantuan Luar Negeri.

ABSTRACT

This research tries to analyze the strategies on China’s domination over bilateral cooperation

with Zimbabwe, particularly in economic sector. Data from various sources show that

Zimbabwe is a vulnerable country both economically and politically. Zimbabwe posses bad

politic and economic regime thus high risk for any cooperation or investation purposes. The

analysis of China’s domination can be explained by the fact which China tend to be more

influential than Zimbabwe on doing their economic cooperation. Zimbabwe government even

tend to make China’s enterprises interests go easier than local enterprises that harmful for its

local enterprises development. Such favorable condition only can be achieved by China trough

applying the right strategies based on Zimbabwe crises. China often provides Zimbabwe for

support while other countries are sanctioning and embargoing. Beside, China also give

Zimbabwe a lot of assistances for its development while International Monetary Fund (IMF)

and World Bank are postponing their loans due to Zimbabwe’s violation issues and

hyperinflation until the government of Zimbabwe pay off all the debt. By using descriptive

analysis through data, literature reviews, and theoretical framework this research found

evidences that proved the hypothesis regarding China’s strategies to dominate its bilateral

Page 2: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

2

economic cooperation with Zimbabwe, which are by implementing both (1) non-intervention

and (2) foreign aid strategy.

Keywords: China’s Strategy, Zimbabwe, Non-Intervention, Foreign Aids.

Pendahuluan

Hubungan Tiongkok dengan Zimbabwe sejatinya telah terjalin sejak tahun 1970-an

ketika terjadi perebutan atas kekuasaan dalam pemerintahan Zimbabwe pasca kemerdekaan

yang diperoleh dari Britania Raya. Dukungan tersebut diberikan kepada Zimbabwe African

National Union (ZANU) yang kemudian memenangkan perselisihan tuntuk mengisi kursi

pemerintahan. Terpilihnya pemimpin ZANU, Robert Mugabe menjadi presiden Zimbabwe

turut menjadi awal kemudahan bagi Tiongkok untuk melakukan kerjasama dengan Zimbabwe

(Edinger dan Burke, 2008: 2). Hubungan kerjasama antara keduanya kemudian semakin

mengalami peningkatan dengan dibentuknya Forum for China-Africa Cooperation (FOCAC)

pada tahun 2000. Sejak terjadinya FOCAC, pemerintah Tiongkok semakin banyak

memberikan dukungan dan bantuan kepada Zimbabwe yang dibalas dengan kemudahan akses

perusahaan Tiongkok terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh Zimbabwe. Hal ini sejalan

dengan tujuan dibentuknya FOCAC, yaitu upaya untuk melanjutkan reformasi ekonomi berupa

penerapan atas open door policy (Chow, 2004: 128). Dibentuknya FOCAC pada tahun 2000

tidak lain adalah upaya Tiongkok untuk melakukan re-engagement dengan negara-negara

Afrika yang didasari oleh banyaknya kebutuhan Tiongkok atas bahan mentah yang berasal dari

negara-negara Afrika, termasuk Zimbabwe.

Pada tahun 2001, hubungan Tiongkok dengan Zimbabwe juga turut mengalami

peningkatan sebagai akibat dari masuknya Tiongkok ke dalam World Trade Organization

(WTO). Sejak ketergabungannya, Tiongkok berusaha memenuhi aturan yang ada di WTO

seperti penurunan tarif hingga 12% yang secara tidak langsung memudahkan ekspor-impor

antara Tiongkok dengan Zimbabwe (Yang, 2003: 31). Tiongkok kemudian terus mengalami

pertumbuhan ekonomi yang pesat hingga dijuliki sebagai “pabrik dunia” pada tahun 2011.

Menjadi produsen utama dunia tentu turut meningkatkan kebutuhan Tiongkok sebagai negara

yang atas barang mentah untuk keeperluan produksi. Terlebih untuk menjaga nilai kompetitif

atas barang produksinya yang murah, Tiongkok perlu mengandalkan bahan mentah dari

negara-negara Afrika seperti Zimbabwe. Negara-negara dunia ketiga juga berfungsi bagi

Tiongkok untuk menjual barang-barang produksinya yang terkenal dengan kualitas sub-standar

sehingga sulit untuk bisa masuk ke pasar-pasar di negara maju (Yang, 2003: 31).

Page 3: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

3

Dalam hubungannya dengan Zimbabwe, Tiongkok berhasil menjadikan Zimbabwe

sebagai negara untuk impor bahan mentah dan ekspor atas barang produksi jadi. Tiongkok

berhasil menguasai beberapa perusahaan yang berkaitan dengan kebutuhan bahan mentah

Tiongkok, seperti perusahaan di bidang agrikultur dan pertambangan. Tiongkok terbukti

berhasil mendominasi atas bidang tersebut, dibuktikan pada tahun 2008 Mineral Marketing

Corporation of Zimbabwe (MMCZ) menandatangani nota kesepakatan dengan perusahaan

nikel Tiongkok, Jinchuan Nickel Mining Company of China yang merupakan produsen nikel

dan kobalt terbesar di Tiongkok yang memiliki kapasitas produksi tahunan mencapai 130.000

ton nikel, 200.000 tembaga dan 6.000 ton kobalt (Anon, 2009). Pada tahun 2012 perusahaan

tembakau terbesar Tiongkok, Tian ze Tobacco juga berhasil menjadi pembeli utama atas

tembakau di Zimbabwe dengan nilai mencapai 21% dari total ekspor panen Zimbabwe. Hal ini

sejalan dengan kebutuhan Tiongkok akan tembakau untuk menutupi tingginya permintaan atas

konsumsi roko di negaranya (Mukwereza, t.t.: 4).

Selain banyaknya impor yang dilakukan atas bahan mentah, Tiongkok juga berhasil

menjual barang-barang produksi ke pasar Zimbabwe. Barang-barang asal Tiongkok bahkan

lebih diminati baik oleh penjual ataupun pembeli karena memiliki harga yang lebih kompetitif

dibandingkan dengan barang produksi lokal (Zimstat, 2015). Kondisi tersebut merupakan

beberapa bukti kecil dari adanya dominasi Tiongkok dalam melakukan kerjasama bilateral

dengan Zimbabwe, khususnya di bidang ekonomi. Dominasi tersebut ditunjukkan dengan

adanya posisi Tiongkok yang lebih dapat mempengaruhi Zimbabwe ketika melakukan

kerjasama ekonomi. Terlebih dengan melihat kondisi Zimbabwe, keberhasilan Tiongkok untuk

mampu bertahan melakukan kerjasama dengan Zimbabwe ditengah kecaman dari berbagai

pihak mengindikasikan adanya penerapan strategi tertentu. Penerapan strategi kemudian

dilakukan Tiongkok dengan menyesuaikan pada kondisi Zimbabwe yang sering mendapatkan

kecaman dan kehilangan sumber bantuan dari dunia internasional.

Pembentukan Forum for China –Africa Cooperation (FOCAC)

Pembentukan FOCAC dinyatakan oleh Tiongkok sebagai bentuk new strategic

partnership yang memfasilitasi konsultasi dan dialog antara Tiongkok dengan negara-negara

Afrika, sehingga kerjasama antara keduanya dapat semakin komprehensif dilakukan (Meidan,

2004: 74). Forum ini digunakan oleh Tiongkok untuk menunjukkan kemampuannya dalam

memberikan dukungan terhadap negara-negara Afrika seperti dukungan yang diberikan

terhadap African Union (AU) dan New Partnership for African’s Development (NEPAD) yang

disampaikan saat deklarasi FOCAC tahun 2000 dan Addis Ababa Action Plan tahun 2003.

Page 4: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

4

Melalui FOCAC, Tiongkok berupaya untuk memetakan permasalahan yang ada di negara-

negara Afrika kemudian menunjukkan kemampuannya untuk turut menyelesaikan

permasalahan tersebut. Hal ini dinilai oleh pengamat bahwa pembentukan FOCAC dengan

model interaksi yang sedemikian rupa dimaksudkan Tiongkok untuk dapat lebih menjaga

sumber bahan mentah yang ada di negara-negara Afrika dengan cara melahirkan kepercayaan

di negara anggota, termasuk Zimbabwe. Data pada Grafik 1 menunjukkan bahwasannya

kerjasama antara Tiongkok dan Zimbabwe cenderung mengalami kenaikan sejak terbentuknya

FOCAC pada tahun 2000 (Edinger dan Burke, 2008: 16).

Grafik 1: Ekspor dan Impor Tiongkok terhadap Zimbabwe

(Sumber: World Trade Atlas dalam Edinger dan Burke, 2008: 16)

Melalui ketergabungan Zimbabwe dalam FOCAC, Tiongkok melihat bahwa kondisi

Zimbabwe yang mengalami permasalahan baik dalam hal ekonomi ataupun politik

memberikan peluang tersendiri bagi Tiongkok karena minimnya persaingan yang akan

didapatkan dari negara-negara Barat dikarenakan banyaknya sanksi yang dijatuhkan atas

kondisi internal Zimbabwe. Kondisi internal Zimbabwe sering mendapatkan kecaman dari

pihak internasional karena rezim pemerintahan Mugabe dinilai otoriter dan sering melakukan

pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) pada masyarakatnya. Kondisi ini

menyebabkan pereknomian Zimbabwe terus mengalami penurunan hingga organisasi

internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank memutuskan untuk

menghentikan bantuan finansial kepada Zimbabwe (Thompson, 2012: 102). Pemanfaatan

Tiongkok atas kondisi tersebut dapat dibuktikan dengan melihat pesatnya peningkatan

kerjasama dan dukungan yang diberikan oleh Tiongkok kepada Zimbabwe sejak lahirnya

FOCAC hingga kemudian mendorong pemerintah Zimbabwe untuk mengeluarkan Look East

Page 5: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

5

Policy, yaitu kebijakan yang mengindikasikan bahwa Zimbabwe akan mulai lebih bergantung

pada negara-negara Asia seperti Tiongkok dibanding kan negara Barat (Mapaure, 2014: 16).

Setelah pembentukan FOCAC dan lahirnya Look East Policy, hubungan antara Tiongkok dan

Zimbabwe terus mengalami peningkatan. Tiongkok terus mendukung tindakan-tindakan

Zimbabwe sekalipun hal tersebut dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma HAM

atapun tatanan internasional, seperti bantuan pada Operation Murambatsina dan pembangunan

Sekolah Intelijen Mugabe (Edinger dan Burke, 2008: 18).

Lemahnya Perekonomian dan Pemerintahan Zimbabwe

Kondisi ekonomi dan politik Zimbabwe mulai mengalami penurunan drastis pada akhir

tahun 1990-an. Pengamat mengatakan bahwa perekonomian Zimbabwe bahkan mengalami

titik pemulihan yang tidak pasti. Buruknya perekonomian ini tercermin dari adanya penurunan

performa ekonomi negara lebih dari 40% hingga terjadi hiperinflasi antara tahun 2000 sampai

2009. Keadaan tersebut menuntut Zimbabwe untuk mulai menghapus mata uang negaranya

karena dianggap sudah tidak memiliki nilai yang kompetitif dan mulai menggunakan sistem

multi-currency. Zimbabwe kemudian memutuskan untuk menggunakan dolar Amerika Serikat

dan rand Afrika Selatan ke dalam sistem multi-currency negaranya (Southern African-German

Chamber of Commerce and Industry, 2016). Selain perihal ekonomi, kondisi Zimbabwe juga

diperburuk dengan pemerintahan yang korup dan melekatnya budaya sharing the wealth di

kalangan elitis. Kedua kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap iklim investasi

yang buruk, salah satunya adalah minimnya pengembangan dalam hal infrastruktur (listrik, air

dan transportasi) dikarenakan sulitnya mengalokasikan dana dalam keadaan krisis ditambah

dengan regulasi yang tersentralisasi (Southern African-German Chamber of Commerce and

Industry, 2016).

Fluktuasi dalam hal ekonomi dan politik Zimbabwe dimulai pada tahun 1997-an ketika

pemerintah mengeluarkan Economic Structural Adjustment Program (ESAP), yaitu upaya

pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi pasar melalui keterbukaan terhadap ekspor-

impor. Pada kenyataannya, sistem ini mengalami kegagalan dan justru membuat persaingan

ketat antara produk lokal dan produk impor sehingga masyarakat merasa dirugikan dan

mengeluarkan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah yang berujung pada terjadinya konflik

dalam internal negara. Keadaan ini menuntut adanya pengeluaran besar dari pemerintah

sebagai bentuk ganti rugi yang harus diberikan kepada masyarakat untuk menghentikan

konflik. Pengeluaran pemerintah akibat situasi ini tidaklah sedikit karena pemerintah harus

membayar persenan sebanyak ZWD $50.000 pada Desember 1997 serta uang bulanan

Page 6: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

6

sebanyak US$ 2.000 pada Januari 1998 (Munangagwa, t.t.: 114). Pemerintah Zimbabwe

kembali mengalami permasalahan internal akibat keterlibatannya dalam perang yang terjadi di

Republik Demokratis Kongo (RDK) pada tahun 1998. Keterlibatan Zimbabwe berakhir pada

banyaknya tentara dan bantuan yang diberikan pada perang di RDK hingga membuat

Zimbabwe harus kembali mengeluarkan biaya yang besar dengan perkiraan mencapai US$ 3

juta per hari serta total pengeluaran mencapai ZWD 6 milyar. Banyaknya pengeluaran tak

terduga untuk pembiayaan tersebut menjadi awal mula penurunan performa Zimbabwe dalam

ekonomi dan politik (Munangagwa, t.t.: 114).

Pada tahun 2000, Zimbabwe bahkan mendapatkan peringatan hingga sanksi dari pihak

internasional karena dianggap melanggar ketentuan HAM dalam melakukan Land Reform

Policy. Peringatan yang awalnya dikeluarkan oleh Human Right Watch berhasil membuat

negera-negara lain khususnya negara-negara Barat dan organisasi internasional mulai

melakukan embargo kerjasama dan bantuan terhadap Zimbabwe. Munculnya permasalahan

ekonomi dan politik yang terjadi secara terus menerus berakibat pada masuknya Zimbabwe ke

dalam kategori negara-negara dengan penghasilan rendah di Afrika ataupun di dunia dengan

GDP hanya sebesar US$ 13,66 milyar dan diperkirakan 70% dari total penduduk hidup di

bawah garis kemiskinan. Selain kebijakan reformasi tanah yang dilakukan oleh Mugabe,

semakin buruknya keadaan ekonomi dan politik juga disebabkan karena gagalnya rezim

Mugabe dalam mengakhiri hubungan patronase dalam pemerintahan itu sendiri (Mashingaidze,

2016: 64). Kegagalan ini kemudian berimbas pada pemilihan presiden yang terkesan tidak

demokratis dan menyebabkan Zimbabwe mendapatkan sorotan negatif oleh pihak-pihak

internasional hingga kembali mendapatkan embargo dan sanksi karena banyaknya kebijakan

di Zimbabwe yang dianggap melanggar norma-norma tertentu. Embargo tersebut tentu

berpengaruh terhadap perekonomian Zimbabwe yang menjadi semakin menurun, International

IMF dan World Bank bahkan menghapuskan bantuannya hingga Zimbabwe mampu membayar

hutang-hutangnya yang terdahulu dengan nilai lebih dari US$ 10 milyar.

Zimbabwe mengalami hiperinflasi sebagai puncak dari penurunan ekonomi secara terus

menerus akibat berbagai permasalahan yang ada. Hiperinflasi dapat terjadi ketika sistem

ekonomi suatu negara mengalami guncangan baik secara eksternal ataupun internal. Dari kasus

Zimbabwe dapat diketahui bahwa guncangan dalam sistem ekonomi muncul karena adanya

pengeluaran tidak terduga yang cukup besar sebagai akibat dari pembiayaan perang.

Pemerintah kemudian secara terpaksa akan meningkatkan jumlah cetakan uang untuk menutup

defisit yang terjadi, yang di sisi lain turut menjadi penyebab atas inflasi. Pada Agustus 2006

inflasi tahunan Zimbabwe mencapai 1000% dan meningkat menjadi 1729.9% pada Februari

Page 7: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

7

2007. Inflasi yang terjadi di Zimbabwe kemudian berakibat pada rendahnya permintaan uang

dan memicu terjadinya dolarisasi (Munangagwa, t.t: 121). Sedangkan puncak dari hiperinflasi

ini adalah pemberhentian pemakaian dolar Zimbabwe pada tahun 2009 karena nilai tukar yang

sangat anjlok. Zimbabwe kemudian mulai menerapkan multi-currency dengan menggunakan

mata uang dolar Amerika Serikat dan rand Afrika Selatan sebagai mata uang seharihari (Aliya,

2015). Hiperinflasi yang dialami Zimbabwe membuat beberapa pihak enggan untuk

memberikan pinjaman ataupun bantuan luar negeri, termasuk di antaranya IMF dan World

Bank. Hal ini menyebabkan Zimbabwe mulai bergantung pada bantuan luar negeri dari negara-

negara yang masih menjalin hubungan kerjasama dengannya, salah satunya adalah Tiongkok.

Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh negara seperti Tiongkok yang sudah mulai

memberikan bantuan kepada Zimbabwe sejak awal kemerdekaannya (Thompson, 2012: 102).

Prinsip Non-Intervensi

Dengan melihat buruknya kondisi internal Zimbabwe ataupun hubungan Zimbabwe

dengan negara-negara lain dan organisasi internasional, Tiongkok kemudian mencoba

membangun kedekatan hubungan dengan Zimbabwe dengan membawa prinsip non-intervensi

sebagai sebuah strategi. Menurut teori realisme, prinsip non-intervensi sebagaimana yang

dibawa oleh Tiongkok dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk tidak campur tangan ataupun

mengabaikan permasalahan yang ada pada rekan kerjasama, termasuk di bidang HAM seperti

yang sering terjadi di Zimbabwe (Jackson dan Sorensen, 1999: 103). Dengan membawa asumsi

anarki dari pandangan realisme, Tiongkok berupaya untuk menunjukkan posisi negara sebagai

tempat kedaulatan tertinggi dan mengabaikan kedaulatan sistem internasional melalui dalih

prinsip non-intervensi. Melalui prinsip ini, Tiongkok menganggap negara-negara Barat

melakukan alibi dengan menuntut adanya demokratisasi dan penegakan HAM untuk mencapai

kepentingan ekonomi dan hal tersebut dianggap Tiongkok sebagai pelanggaran atas hak-hak

kedaulatan negara yang sudah merdeka (Thompson, 2012: 110). Tiongkok juga menggunakan

prinsip non-intervensi sebagai bukti atas pernyataannya untuk tidak menggabungkan urusan

bisnis dengan politik sehingga Tiongkok tidak memiliki hak apapun untuk ikut campur

terhadap masalah internal suatu negara. Namun, penerapan atas prinsip non-intervensi oleh

Tiongkok justru seringkali dinilai sebagai dukungan atas pelanggaran yang terjadi dan

berlawanan dengan keputusan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB). Contohnya adalah sikap Tiongkok yang menolak untuk ikut campur dengan sanksi yang

diberikan oleh PBB kepada Zimbabwe pada tahun 2008 terkait dengan pelanggaran dalam

Page 8: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

8

pemilihan presiden. Tiongkok menolak untuk menyetujui dengan alasan prinsip non-

intervensi.

Menurut Mu Ren (2014: 103), cara paling mudah untuk menunjukkan non-intervensi

Tiongkok adalah dengan melihat sikap Tiongkok terhadap sanksi-sanksi yang dikeluarkan oleh

United Nation Security Council (UNSC). UNSC dapat digunakan sebagai alat untuk menguji

prinsip non-intervensi Tiongkok karena UNSC menjadi forum universal untuk melakukan

intervensi. Selain itu Tiongkok menjadi salah satu dari 5 anggota permanen yang memiliki hak

veto untuk melakukan beberapa tindakan, termasuk membatalkan usul untuk melakukan

intervensi (Ren, 2014: 103). Sebagai anggota UNSC, perilaku Tiongkok tergolong positif dan

jarang mengeluarkan hak vetonya untuk menggagalkan sanksi yang diusulkan oleh UNSC. Di

abad ke-21, Tiongkok mendukung 170 dari 182 sanksi yang telah dikeluarkan oleh UNSC dan

abstain dari 8 sanksi sisanya (Tabel 1).

Tabel 1: Mosi Tiongkok terhadap Sanksi UNSC dalam Post-War Era

(Sumber: UN Security Council Sanctions Committees dalam Ren, 2014: 105)

Tabel 1 menunjukkan bahwasannya selama periode tahun 2000 hingga 2013 Tiongkok

telah menggunakan hak vetonya sebanyak 4 kali. Sikap negatif berupa abstain dan veto yang

diberikan oleh Tiongkok terhadap resolusi sanksi UNSC tersebut tidak terlepas dari sikap

pembelaan terhadap negara-negara Afrika dan Timur Tengah, di antaranya adalah Sudan,

Somalia dan Eritrea, Libya, Suriah, dan tidak terkecuali Zimbabwe. Tiongkok menyatakan

bahwa sikap abstain dan veto yang dikeluarkan merupakan bentuk aplikasi dari prinsip non-

intervensi dan ekspresi netral dalam forum, namun sejatinya sikap tersebut justru menunjukkan

keterpihakan dan kepentingan besar Tiongkok terhadap negara bersangkautan. Hal ini

dibuktikan dengan adanya sikap setuju dari Tiongkok ketika sanksi dijatuhkan kepada negara-

negara yang tidak lagi mewakili kepentingan Tiongkok seperti Côte d’Ivoire dan Sierra Leone

(Ren, 2014: 106).

Di balik prinsip non-intervensi yang dibawa Tiongkok dalam veto yang dilakukan atas

resolusi sanksi Zimbabwe, ada hal lain yang mendasari pertimbangan Tiongkok untuk

mengeluarkan sikap. Tiongkok merupakan negara sumber impor senjata terbesar bagi

Zimbabwe sejak adanya embargo yang dikeluarkan oleh negara-negara Barat. Dari sisi

Tiongkok, terealisasinya sanksi tersebut tentu akan membuat Tiongkok harus mengurangi atau

Page 9: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

9

bahkan menghentikan penjualan senjatanya kepada Zimbabwe, dalam keadaan ini Tiongkok

akan turut menjadi pihak yang dirugikan dan terkena dampak atas sanksi yang diberikan UNSC

terhadap Zimbabwe (Shinn, 2013: 90). Keputusan Tiongkok untuk menolak resolusi tersebut

tentu lebih disukai oleh pemerintah Zimbabwe karena sikap Tiongkok mengindikasikan adanya

dukungan kepada pemerintah dan militer Zimbabwe.

Selain melakukan ekspor terhadap senjata, Tiongkok juga memiliki banyak komoditi

produk jadi lain yang diekspor ke Zimbabwe. Tiongkok mampu menyediakan produk barang-

barang kebutuhan yang lebih murah jika dibandingkan dengan barang hasil produksi lokal

Zimbabwe. Banyak pasar-pasar di Zimbabwe yang lebih menyediakan produk Tiongkok

daripada produk buatan perusahaan lokal. Meskipun banyak komplain yang terjadi karena

rendahnya kualitas, namun harga murah menjadi pertimbangan utama Zimbabwe untuk tetap

melakukan impor (Shinn, 2013: 94). Barang-barang produksi Tiongkok kerap disebut dengan

istilah “zhing-zhong” yang mengindikasikan kualitas rendah dan umumnya tidak dapat masuk

ke pasar di negara-negara Barat. Dengan kualitas sub-standar, Tiongkok kemudian

memutuskan untuk memasukkan barang-barangnya ke negara-negara berkembang seperti

Zimbabwe. Komoditi ekspor Tiongkok ke Zimbabwe pun beragam mulai dari reparasi,

elektronik, tekstil, dan sebagainya. Banyaknya komoditi ekspor Tiongkok ke Zimbabwe

sekaligus menunjukkan berapa besar kerugian yang akan ditanggung oleh Tiongkok ketika

embargo terhadap Zimbabwe berhasil dilakukan.

Pembelaan terhadap sanksi internasional yang dijatuhkan kepada Zimbabwe dengan dalih

prinsip non-intervensi bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Tiongkok. Tiongkok sering

mendukung Zimbabwe, khususnya rezim Mugabe dibandingkan keputusan internasional.

Dukungan semacam ini mulai diberikan Tiongkok sejak tahun 2000 ketika Zimbabwe

dianggap melakukan pelanggaran HAM atas diadakannya Land Reform Policy yang

dikeluarkan oleh rezim Mugabe. Pelanggaran ini menyebabkan Zimbabwe kehilangan bantuan

dan embargo dari Amerika Serikat dan pembekuan aset dari Uni Eropa. IMF dan World Bank

juga menghentikan bantuannya ke Zimbabwe. Namun Tiongkok justru menunjukkan

dukungannya dengan menandatangani sebanyak 128 projek dengan Zimbabwe (Lampton,

2014: 76). Tiongkok kembali menunjukkan sikap yang sama pada tahun 2005, ketika

membantu Mugabe untuk melakukan Operation Murambatsina, yaitu penggusuran

pemukiman di sekitar Harare yang menjadi ibu kota Zimbabwe. Operasi yang berhasil mebuat

lebih dari 700.000 rakyat Zimbabwe kehilangan tempat tinggal membuat rezim Mugabe

mendapat teguran dari organisasi internasional termasuk PBB. Adanya dukungan dari

Tiongkok kemudian melahirkan spekulasi bahwa operasi tersebut dilakukan Zimbabwe untuk

Page 10: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

10

melindungi perusahaan-perusahaan Tiongkok dari persaingan lokal. Tiongkok juga melakukan

kerjasama di bidang senjata dengan membangun Robert Mugabe School of Intelligence pada

tahun 2007 di saat negara-negara Barat seperti Amerika Serikat sedang gencar melakukan

embargo senjata kepada Zimbabwe atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh

Mugabe (Jacob dan Stultz, 2009: 3).

Dengan menerapkan strategi atas prinsip non-intervensi, Tiongkok berhasil menjaga

hubungan kerjasama bilateralnya dengan Zimbabwe, khususnya di bidang ekonomi. Tiongkok

berhasil menjaga pasokan bahan mentah dan juga pasar atas barang produksinya di Zimbabwe

melalui pembelaan-pembelaan yang diberikan dengan dalih non-intervensi. Strategi ini terbukti

lebih bisa dilakukan untuk mendominasi perekonomian Zimbabwe karena pemerintah

Zimbabwe pun akhirnya lebih memilih untuk menjalin kerjasama dengan Tiongkok

dibandingkan dengan negara-negara Barat lainnya. Keberhasilan strategi non-intervensi untuk

mendominasi kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe juga dibuktikan dengan mudahnya

pemerintah Zimbabwe memberikan pengecualian terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok

atas peraturan tertentu. Hal tersebut dilakukan Zimbabwe sebagai ucapan terima kasih atas

konsistensi dukungan yang diberikan oleh Tiongkok (Tombindo dan Tukic, 2016: 16).

Strategi Bantuan Luar Negeri

Selain sebagai negara penerima bantuan sejak awal kemerdekaannya, Tiongkok juga

berperan sebagai negara pendonor. Secara signifikan, Tiongkok mulai melakukan bantuan luar

negeri sejak tahun 1950, kepada Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) dan

Vietnam. Pada tahun 1955 setelah Konferensi Asia-Afrika, Tiongkok memberikan bantuan

yang awalnya hanya kepada negara-negara sosialis meluas kepada negara-negara berkembang

seiring dengan terbukanya Tiongkok untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lain.

Bantuan yang diberikan Tiongkok pada periode ini memiliki tujuan untuk mendapatkan

pengakuan politik dan diplomatik pasca kemerdekaannya tahun 1949. Tujuan lainnya adalah

untuk menyebarkan ideologi komunisme (Nowak, 2015: 202). Setelah mengalami konflik

dengan Uni Soviet, bantuan luar negeri Tiongkok mulai digunakan untuk bersaing dengan Uni

Soviet dalam mempengaruhi negara-negara yang baru merdeka. Pada periode tahun 1971,

bantuan luar negeri difungsikan oleh Tiongkok guna mendapatkan dukungan untuk menjadi

legal representative di PBB dan mendapatkan kursi permanen dalam UNSC. Strategi ini dapat

dikatakan berhasil dengan melihat kembali bahwa sepertiga dukungan yang diperoleh

Tiongkok berasal dari negara-negara Afrika yang mendapatkan bantuan dari Tiongkok.

Page 11: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

11

Sedangkan bantuan luar negeri yang dikeluarkan Tiongkok pasca 1979 memiliki tujuan yang

lebih bersifat ekonomi (Nowak, 2015: 204).

Sebagai emerging donor, Tiongkok banyak dikecam karena memberikan bantuan tanpa

adanya prekondisi tertentu dan merusak rules of the game dalam bantuan luar negeri demi

memenuhi kebutuhannya. Bantuan luar negeri yang diberikan oleh Tiongkok memiliki ciri

yang berbeda jika dibandingkan dengan bantuan dari negara-negara Barat pada umumnya. Ciri

tersebut meliputi bantuan berupa self-development, tidak mencampuri urusan politik, mengarah

pada kerjasama mutualisme, fokus pada kebutuhan penerima, serta memberikan dukungan

untuk melakukan inovasi. Sedangkan sumber dana untuk bantuan luar negeri adalah keuangan

negara dan Export-Import Bank of China (EXIM Bank) yang bertanggungjawab terhadap

pinjaman konsesional (Anon, 2011: 3). Meskipun memiliki tujuan yang sama dengan

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yaitu untuk

mempromosikan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan negara-negara miskin, namun

pemberian bantuan luar negeri yang dilakukan oleh Tiongkok memiliki prinsip tersendiri.

Tiongkok turut menerapkan prinsip non-intervensi dalam melakukan bantuan luar negerinya

kepada negara-negara yang sedang mengalami sanksi dan embargo internasional, seperti yang

dilakukan dengan Zimbabwe.

Sebagaimana prinsip non-intervensi, bantuan luar negeri yang diberikan oleh Tiongkok

kepada Zimbabwe sejatinya merupakan strategi yang diterapkan untuk memenuhi kebijakan

luar negeri dan kepentingan Tiongkok di Zimbabwe. Sebagaimana yang dilakukan dalam

FOCAC, Tiongkok akan berusaha untuk memetakan kebutuhan Zimbabwe dengan melihat

kelemahan dan kekurangannya kemudian Tiongkok akan berusaha untuk menunjukkan

kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dalam hal bantuan luar negeri.

Bantuan luar negeri menjadi penting bagi Zimbabwe karena Zimbabwe sudah tidak lagi

menerima bantuan dari IMF, World Bank, ataupun negara-negara maju seperti Amerika Serikat

(Lengauer, 2011: 10). Menurut pernyataan Palmer et. al. (2009: 10), sikap Tiongkok dapat

dijelaskan dengan analisis tradisional dalam hubungan internasional dan kebijakan luar negeri.

Analisis tersebut menyatakan bahwa untuk dapat mewujudkan kebijakan luar negeri pada suatu

negara, Tiongkok harus mampu melakukan change atau maintenance dalam kebijakan negara

tersebut, salah satunya melalui bantuan luar negeri.

Hal ini terbukti dengan melihat kondisi bantuan luar negeri yang dilakukan oleh

Tiongkok. Tiongkok menjadikan bantuan luar negeri sekaligus sebagai sarana untuk

mengekspor barang ataupun jasa dari Tiongkok kepada negara penerima bantuan. Hal ini

dikarenakan Tiongkok menuntut 50% dari dana bantuan harus dihabiskan untuk membiayai

Page 12: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

12

kebutuhan atau material dari Tiongkok. Banyak pengamat yang kemudian menyatakan bahwa

bantuan luar negeri dari Tiongkok sulit dibedakan dengan perjanjian investasi ataupun

perdagangan (Condon, 2012: 7). Bantuan yang diberikan oleh Tiongkok juga berbeda dari

definisi yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development

(OECD) Development Assistance Committee (DAC) yang menyatakan bahwa bantuan

pembangunan kepada negara-negara berkembang memerlukan hibah atau pinjaman yang

diberikan melalui government to government. Sedangkan bantuan dari Tiongkok memiliki

cakupan yang lebih luas dan dinilai lebih ambisius. Terlihat bahwasannya Tiongkok

menganggap bantuan luar negeri yang diberikan sebagai kerjasama dalam bidang foreign direct

investment (FDI) dan kontrak terhadap pemerintah dan perusahaan Tiongkok (Davies, et.al.:

2008: 13). Misalnya, EXIM Bank akan menyediakan concessional loans kepada negara

berkembang dengan interest rate di bawah nilai pasar dengan syarat setidaknya 50% dari dana

yang diberikan harus digunakan untuk produk-produk atau jasa Tiongkok, seperti untuk

membeli bahanbahan atau kerjasama dengan perusahaan konstruksi Tiongkok (Morrison,

2015: 4).

Bantuan luar negeri yang diberikan kepada negara otoriter dan mendapatkan sanksi

internasional seperti Zimbabwe akan semakin memudahkan Tiongkok untuk mendapatkan

akses dan mengalami sedikit persaingan dalam penguasaan sumber daya mentah yang

dibutuhkan. Selain itu, perkembangan Tiongkok di bidang industri juga menuntut Tiongkok

untuk memiliki konsumen atas barang-barang produksinya. Tiongkok yang terkenal dalam

pengembangan teknologi, baik infrastruktur ataupun telekomunikasi, kembali memanfaatkan

bantuan luar negeri untuk mengenalkan produk-produknya. Banyaknya state-owned enterprise

di Tiongkok membuat hubungan diplomatik, bantuan luar negeri, dan kepentingan ekonomi

seolah membaur menjadi satu. Pada November 2004, perwakilan dari perusahaan Huawei

bersama dengan wakil ketua Partai Komunis Tiongkok Wu Bangguo melakukan kunjungan ke

Zimbabwe untuk menandatangani perjanjian dengan operator seluler miliki pemerintah

Zimbabwe. Perjanjian yang mencapai nilai US$ 330 juta tersebut dilakukan oleh Tiongkok

tidak lain untuk mengenalkan Huawei sebagai produk asli Tiongkok kepada Zimbabwe

(Edinger dan Burke, 2008: 12). Keadaan ini menunjukkan bahwa bantuan luar negeri yang

dilakukan oleh Tiongkok turut memiliki kaitan dengan upaya Tiongkok untuk mengekspor

barang produksinya masuk ke dalam pasar negara penerima bantuan (Shinn, 2013: 94). Bukan

menjadi hal yang sulit bagi Tiongkok untuk membuat barang produksinya lebih mendominasi

di pasaran Zimbabwe karena kondisi perekonomian Zimbabwe yang buruk.

Page 13: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

13

Kerjasama ekonomi antara Tiongkok dengan Zimbabwe terus mengalami peningkatan

hingga 5000% pada tahun 2010. Peningkatan ini menunjukkan bahwa Zimbabwe memberikan

banyak kelonggaran terhadap masuknya investasi Tiongkok. Zimbabwe bahkan menjadi salah

satu negara Afrika yang mewakili total FDI terbanyak dari Tiongkok dengan pertumbuhan

US$11.2 juta di tahun 2009 hingga mencapai US$ 602 juta pada akhir 2014 (Alao, 2014).

Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran bantuan luar negeri dan prinsip non-intervensi

yang membuat Tiongkok secara konstan terus memberikan dukungan kepada Zimbabwe.

Penjelasan di atas membuktikan bahwa bantuan luar negeri yang dilakukan Tiongkok tidak

terlepas dari upaya pemenuhan kepentingan nasionalnya. Melalui dominasi dalam melakukan

kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe, kepentingan Tiongkok dapat semakin mudah

terpenuhi. Di sisi lain, bantuan luar negeri juga diberikan Tiongkok untuk memperluas

jangkauan penyebaran produk-produknya sebagai pendukung atas go out strategy yang

dikeluarkan tahun 2002.

Keberhasilan Tiongkok dalam mendominasi kerjasama ekonomi dengan Zimbabwe

juga dibuktikan melalui posisinya sebagai negara non-Afrika tujuan ekspor terbesar bagi

Zimbabwe dan menjadi kreditor utama bagi Zimbabwe, mewakili 24% dari total kredit

Zimbabwe (Zimstat, 2013). Sebagaimana strategi bantuan luar negeri, prinsip non-intervensi

juga berhasil meningkatkan hubungan bilateral antara Tiongkok dengan Zimbabwe. Masih

kuatnya budaya patronase dan korupsi yang ada di Zimbabwe turut berpengaruh dalam

mewujudkan hal ini. Tiongkok juga berhasil menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya di

bidang ekonomi sejak masuknya RMB ke dalam multi-currency di Zimbabwe. Tiongkok

melihat adanya peluang bagi mata uang Tiongkok untuk masuk ke dalam multicurrency

Zimbabwe, salah satunya dengan melakukan banyak pengeluaran RMB melalui FDI, ekspor-

impor, dan pemberian hutang kepada Zimbabwe (Papadavid, 2016: 14). Keadaan tersebut akan

membuat Zimbabwe tertarik untuk memakai mata uang Tiongkok untuk memudahkan

banyaknya transaksi yang terjadi dengan Tiongkok. Kondisi demikian terbukti pada tahun 2014

ketika bank pusat Zimbabwe mulai memasukkan RMB ke dalam keranjang mata uang yang

akan digunakan di Zimbabwe. Keinginan pemerintah Zimbabwe untuk memasukkan mata

uang Tiongkok ke dalam multi-currency di negaranya sejatinya sudah ada sejak tahun 2010

namun baru berhasil terealisasi pada akhir 2015 (Chun, 2014: 20). Pada tanggal 22 Desember

2015, Mugabe secara resmi menyatakan penggunaan RMB setelah Tiongkok melakukan

penghapusan hutang sebesar US$ 40 juta.171 Hal ini tentu menguntungkan bagi Tiongkok

karena penggunaan RMB oleh Zimbabwe akan membantu peredaran mata uang Tiongkok yang

kemudian akan dijadikan pertimbangan oleh IMF untuk menjadikan RMB sebagai mata uang

Page 14: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

14

global. RMB kemudia berhasil masuk ke dalam Special Drawing Right (SDR) IMF pada 1

Oktober 2016 (International Monetary Fund, 2016).

Masuknya RMB ke dalam multi-currency Zimbabwe secara tidak langsung turut

membuat posisi Tiongkok di Zimbabwe semakin dominan, yaitu semakin dapat mempengaruhi

kebijakan-kebijakan yang ada di Zimbabwe. Hal ini dikarenakan Tiongkok dapat menuntut

negara yang menggunakan mata uang RMB untuk menerapkan kebijakan tertentu terkait

penggunaan mata uang Tiongkok. Kondisi ini tentu menguntungkan Tiongkok baik secara

ekonomi ataupun politik dan memudahkan Tiongkok untuk melindungi hubungan serta akses

dalam negara tersebut. Negara pengguna RMB juga secara tidak langsung akan turut menjaga

stabilitas RMB sebagai salah satu kepentingan negaranya. Keadaan ini membuktikan bahwa

internasionalisasi mata uang merupakan simbol tangible dari kedaulatan, sebagaimana

Tiongkok dapat dengan mudah meningkatkan posisinya dan bahkan mempengaruhi kebijakan

internal negara pengguna RMB (Chey, 2003: 353).

Kesimpulan

Kerjasama yang dilakukan oleh Tiongkok dengan Zimbabwe merupakan salah satu

upaya Tiongkok untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pencapaian terhadap kepentingan

nasional tentu bukanlah hal yang mudah dan memerlukan strategi yang tepat, terlebih jika

dilakukan atau berkaitan dengan negara seperti Zimbabwe. Zimbabwe sebagai negara dengan

perekonomian dan pemerintahan yang buruk menjadi tantangan tersendiri bagi Tiongkok untuk

melakukan kerjasama ekonomi. Tiongkok kemudian memanfaatkan sanksi dan embargo yang

dikeluarkan oleh negara-negara Barat dan organisasi internasional kepada Zimbabwe sebagai

sebuah peluang besar untuk mendekati pemerintahan Zimbabwe guna mendapatkan “kondisi

baik” di tengah buruknya lingkungan Zimbabwe. Tiongkok melihat Zimbabwe memiliki

sumber daya yang sesuai dengan kebutuhannya, seperti tembakau, kapas, dan berbagai hasil

tambang seperti berlian, tembaga, platinum, nikel, dan sebagainya.

Penerapan strategi Tiongkok dilakukan dengan memetakan kondisi Zimbabwe terlebih

dahulu untuk mengetahui kebutuhan dan cara yang tepat untuk mendekati pemerintahan

Zimbabwe yang dikelola oleh rezim otoriter Mugabe. Tiongkok kemudian berhasil untuk

mendapatkan empati dari pemerintahan Zimbabwe melalui dukungan dan bantuan yang

diberikan secara terus-menerus bahkan ketika Zimbabwe sedang dikecam oleh pihak

internasional. Meskipun sikap ini membuat Tiongkok mendapatkan teguran dari organisasi

internasional karena dianggap membela pelanggaran atas HAM yang ada di Zimbabwe,

Tiongkok justru mengabaikan teguran tersebut. Pengabaian tersebut dapat dijelaskan melalui

Page 15: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

15

pandangan realisme terkait kondisi anarki, yaitu kedaulatan negara di atas organisasi

internasional sehingga Tiongkok merasa tidak berkewajiban untuk mentaatinya. Dukungan dan

bantuan yang diberikan kepada Zimbabwe pun demikian dikatakan oleh Tiongkok sebagai

bentuk non-intervensi dan menghargai kedaulatan Zimbabwe.

Selain prinsip non-intervensi, bantuan yang diberikan tanpa adanya syarat tersebut

dinilai oleh pihak internasional akan disalahgunakan oleh pemerintah Zimbabwe yang

memiliki tingkat korupsi tinggi. Namun menurut perspektif realis yang dibawa oleh Tiongkok,

asumsi dan teguran yang diberikan oleh pihak internasional tidak menjadi alasan untuk

menghentikan bantuan kepada Zimbabwe. Terlebih Tiongkok menggunakan bantuan tersebut

sebagai alat untuk mendapatkan pasokan bahan mentah dari Zimbabwe dan juga kemudahan

akses untuk mengekspor barang jadi. Bantuan luar negeri Tiongkok juga sering diberikan

dalam bentuk projek atas produksi baru Tiongkok dengan mempekerjakan tenaga kerja atau

menggunakan material dari Tiongkok. Hal ini dinilai lebih mudah untuk bersaing dengan

negara-negara lain yang memiliki kepentingan sama di Zimbabwe.

Melalui strategi yang diterapkan atas prinsip non-intervensi dan bantuan luar negeri,

Tiongkok berhasil menjadikan kepentingannya di Zimbabwe tetap terpenuhi. Penggunaan

strategi tersebut bahkan menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki posisi yang lebih dominan

dalam hubungan bilateralnya dengan Zimbabwe di bidang ekonomi, meskipun Tiongkok

berperan sebagai “tamu” di Zimbabwe. Tiongkok menunjukkan bahwa kedekatan yang

dibangun dengan pemerintah Zimbabwe berhasil memberikan peluang yang besar untuk

menuntut adanya kebijakan atau kemudahan tertentu atas kerjasama ekspor-impor Tiongkok

dengan Zimbabwe. Hal ini menjadi mungkin dengan melihat kondisi pemerintahan Zimbabwe

menjadikan Tiongkok sebagai main financial backing. Penolakan atas tuntutan yang diberikan

oleh Tiongkok akan berimbas pada minimnya bantuan yang diterima oleh Zimbabwe sehingga

akan berpengatuh pada penurunan performa dalam pengembangan serta lebih lanjut akan

berdampak pada rezim Mugabe sendiri.

Pada akhir tahun 2015, Zimbabwe bahkan memutuskan untuk menggunakan RMB

sebagai salah satu mata uang resmi di negaranya. Hal ini dilakukan setelah Xi Jinping mencabut

hutang jatuh tempo Zimbabwe yang mencapai US$ 40 juta. Digunakannya RMB dalam

perekonomian Zimbabwe akan membuka peluang bagi Tiongkok untuk campur tangan terkait

kebijakan penggunaan RMB di Zimbabwe. Kondisi ini menambah bukti bahwa dengan

memberikan banyak bantuan, baik berupa kerjasama ataupun hutang Tiongkok berhasil

mempengaruhi perekonomian Zimbabwe hingga membuat pemerintah Zimbabwe

memutuskan untuk menggunakan RMB. Kondisi ini tentu semakin menguatkan posisi

Page 16: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

16

Tiongkok di Zimbabwe dan menguntungkan serta memudahkan jalannya kerjasama ekspor-

impor antara Tiongkok dengan Zimbabwe.

Referensi

Aliya, Angga, 2015. Zimbabwe Terapkan Yuan Jadi Mata Uang Sehari-hari.

http:/finance.detik.com/read/2015/12/23/134728/5/zimbabwe-terapkan-yuan-jadi-

mata-uang-sehari-hari (diakses pada 20 Oktober 2016).

Anon, 2009. “MMCZ, Chinese Nickel Company Sign MOU”. Zimbabwe.

http://www.chinamining.org/Investment/2009/08/10/1249886895d27818.html

(diakses pada 19 Juli 2017).

Anon, 2011. China’s Foreign Aid. Information Office of the State Council People’s Republic

of China.

Anonim, 2016. “Embassy of the United States: Harare, Zimbabwe”. U.S. Sanction Policy:

Facts and Myths. 14 Maret 2016.

https://harare.usembassy.gov/sanctions_facts_myths.html (diakses pada 12 Oktober

2016).

Chey, Hyoung-kyu, 2013. “Can the Renminbi Rise as a Global Currency? The Political

Economy of Currency Internationalization”. Asian Survey, Vol. 53, No. 2. University

of California Press. 348-368. Dalam

http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2013.53.2.348 (diakses pada 18 Maret 2017).

Chow, Gregory C., 2004. “Economic Reform and Growth in China”. Annals of Economic

And Finance 5. Peking University Press. 127-152.

Chun, Zhang, 2014. “China-Zimbabwe Relations: A Model of China-Africa Relations?”.

Occasional Paper 205. South African Institute of International Affairs (SAIIA):

Global Power and Africa Progamme, 2014.

Condon, Madison, 2012. “China in Africa: What the Policy of Nonintervention Adds to the

Western Development Dilemma”. PRAXIS – The Fletcher Journal of Human

Security, Volume XVI. 5-24.

Davies, M., Hannah Edinger, N. Tay, & S. Naidu, 2008. How China Delivers Development

Assistance to Africa. Centre for Chinese Studies, University of Stellenbosch.

Edinger, Hannah dan Christopher Burke, 2008. AERC Scoping Studies on China-Africa

Relations: A Research Report on Zimbabwe. Center for Chinese Studies.University of

Stllenbosch.

Page 17: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

17

International Monetary Fund, 2016. IMF News Article: IMF Adds Chinese Renminbi to

Special Drawing Rights Basket, 30 September 2016. Dalam

http://www.imf.org/en/News/Articles/2016/09/29/AM16-NA093016IMF-Adds-

Chinese-Renminbi-to-Special-Drawing-Rights-Basket (diakses pada 17 Oktober

2016).

Jackson, Robert dan Georg, Sorensen, 1999. Introduction to Internatinal Relation. Oxford

University Press.

Jacob, Nancy dan Stultz, Newell, 2009. “Crisis in Zimbabwe”. Choices for the 21st

Century Education Program. 1-5.

Lampton, David M., 2014. “China’s Foreign Policy, Great Decisions, Eat Decisions”.

Foreign Policy Association. 73-84. Dalam http://www.jstor.org/stable/43681117

(diakses pada 18 Maret 2017)

Lengauer, Sara, 2011. “China’s Foreign Aid Policy: Motive and Method”. Culture

Mandala: Bulletin of the Center for East-West Cultural & Economic Studies, Vol. 9

Issue 2. 35-81.

Mapaure, Clever, 2014. Chinese Investement in Zimbabwe and Namibia: A Comparative

Legal Analysis. Stellenbosch University: Center for Chinese Studies.

Mashingaidze, Andrew Michael, 2016. “China’s Changing Foreign Policy Towards Africa: A

Critical Assessment of the Possible Implications, the Case of Zimbabwe”. Master

Thesis, University of Witwatersrand.

Meidan, Michal, 2006. “China’s Africa Policy: Business Now, Politic Later”. Asian

Perspective, Vol. 30, No. 4, Special Issue on “Rising China’s Foreign Relation”.

Lynne Rienner Publishers. 69-93. Dalam http://www.jstor.org/stable/42704565

(diakses pada 18 April 2017).

Morrison, Wayne M., 2015. China’s Economic Rise: History, Trends, Chalenges, and

Implication for the United States. Congressional Research Service.

Mukwereza, Langton, t.t. “Chinese and Brazilian Cooperation with African Agriculture: The

Case of Zimbabwe”. CBAA Working Paper 048. Dalam www.future-agricultures.org

(diakses pada 20 Maret 2017).

Munangagwa, Chidochashe L., t.t. “The Economic Decline of Zimbabwe”. Gettysburg

Economic Review, Volume 3. 100-141. Dalam

http://cupola.gettysburg.edu/ger/vol3/issl/9 (diakses pada 18 Maret 2017).

Nowak, Wioletta, 2015. “China’s Development Aid Strategies”. Chinese Business

Review, Vol. 14. David Publisher. 201-208.

Page 18: Strategi Tiongkok dalam Mendominasi Hubungan …repository.unair.ac.id/68073/1/Fis.HI.91.17 . Rah.h - JURNAL.pdf · kepada Zimbabwe ketika negara-negara lain sedang melakukan sanksi

18

Palmer, Glenn, Scott B. Wohlander, dan T. Clifton Morgan, 2009. “Give or Take: Foreign

Aid and Foreign Policy Substitutability”. Journal of Peace Research, Vol. 39 No. 1.

Sage Publication. 5-26.

Papadavid, Phyliss, 2016. China’s Balancing Act: Why the Internationalisation of the

Renminbi Matters for the Global Economy. Overseas Development Institute Report.

Ren, Mu, 2014. “China’s Non-intervention Policy in UNSC Sanctions in the 21st Cendtury:

The Case of Libya, North Korea, and Zimbabwe”. Ritsumeikan International Affaris,

Vol. 12. Institute of International Relations and Area Studies, Ritsumeikan University.

101-134.

Shinn, David, 2013. “China in Africa: Savior or Self-interest?”. Great Decisions, Eat

Decision. Foreign Policy Association. 85-96. Dalam

http://www.jstor.org/stable/43682516 (diakses pada 18 Maret 2017).

Southern African-German Chamber of Commerce and Industry, 2016. Zimbabwe. Dalam

http://suedafrika.ahk.de/fileadmin/ahk_sedafrika/Annual_Country_Reports

/2015_Zimbabwe_Annual_Country_Reports.pdf (diakses pada 10 Oktober

2016).

Thompson, Reagan, 2012. Assessing the Chinese Influence in Ghana, Angola, and

Zimbabwe: The Impact of Politics, Partners, and Petro. Stanford University: Center

for International Security and Cooperation (CISAC).

Tombindo, Felix dan Tukic, Nusa, 2016. "Economic Reprecussions of the Look East Policy

in Zimbabwe." Policy Briefing. Center for Chinese Studies.

Yang, Dali L., 2003. "China in 2002: Leadership Transition and the Political Economy

Governance ." Asian Survey, 43:1. 25-40.

Zimstat, 2013. Foreign Private Capital Survey Report 2013. www.zimstat.co.zw (diakses

pada 10 Mei 2017).

Zimstat, 2015. Zimbabwe Annual Country Reports 2015. www.zimstat.co.zw (diakses

pada 18 Maret 2017).