strategi pengurangan kemiskinan di desa-desa sekitar … · dari jumlah penduduk miskin di...

40
1 LAPORAN PENELITIAN STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR HUTAN Pengembangan Model PHBM dan HKm Gutomo Bayu Aji 1 Joko Suryanto Rusida Yulianti Amorisa Wirati Ali Yansyah Abdurrahim Temi Indriati Miranda 1 Peneliti kepala, email: [email protected] PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Widya Graha LIPI Lt. 10, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta Selatan 12710

Upload: others

Post on 16-Sep-2019

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

1

LAPORAN PENELITIAN

STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR HUTAN

Pengembangan Model PHBM dan HKm

Gutomo Bayu Aji1 Joko Suryanto

Rusida Yulianti Amorisa Wirati

Ali Yansyah Abdurrahim Temi Indriati Miranda

1 Peneliti kepala, email: [email protected]

PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Widya Graha LIPI Lt. 10, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta Selatan 12710

!

Page 2: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

2

A. PENGANTAR Kemiskinan di desa-desa yang terletak di sekitar kawasan hutan negara memperlihatkan suatu gambaran kontras antara kondisi kemiskinan rumah-tangga di desa-desa itu dengan kekayaan sumberdaya hutan disekitarnya. Berbagai kalangan berpendapat bahwa kemiskinan di sekitar hutan itu bukan merupakan masalah yang berdimensi tunggal. Kemiskinan di sekitar hutan dipandang merupakan masalah multi-dimensional yang terkait erat dengan pembangunan pedesaan secara umum dan pengelolaan hutan secara khusus (Peluso, 1992; Li, 2002). Proses marjinalisasi di daerah pedalaman (Tsing, 1993), kesenjangan sosial dalam pembangunan pedesaan (Husken, 1998), dan berbagai proses eksklusi sosial yang terjadi akibat undang-undang kehutanan dan kebijakan pemerintah di sektor kehutanan (Kartodihardjo, 2006) merupakan dimensi-dimensi kemiskinan di sekitar hutan. Rejim ilmu pengetahuan kehutanan yang lazim disebut kehutanan ilmiah mempunyai peranan penting dalam meletakkan dasar-dasar ideologi pada pembentukan undang-undang kehutanan. Sebuah landasan hukum yang menjadi pusat analisa berbagai persoalan kehutanan termasuk sumber jurang pemisah interaksi sosial antara penduduk sekitar hutan dengan sumberdaya hutan disekitarnya (Vandergeest dan Peluso, 2006; Contreras-Hermosila dan Fay, 2007). Di wilayah negara Republik Indonesia, jurang pemisah itu terbentang sangat lebar pada peraturan Menteri Kehutanan tentang TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) yang antara lain menyatakan luas kawasan hutan negara adalah 122 juta hektar atau sekitar tiga-perempat daratan Indonesia. Pengakuan itu selain membatasi interaksi sosial masyarakat di sekitar hutan juga mengakibatkan tumpang-tindih dengan lahan-lahan yang dikuasai masyarakat dan penyebab masalah penguasaan lahan pertanian yang sempit di Indonesia. Jumlah penduduk miskin di sekitar hutan sejauh ini bisa dibilang kurang terdata dengan baik. Kementerian Kehutanan sudah bekerjasama dengan BPS untuk menghitung desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan berdasarkan data PODES SE Tahun 2006 dan PODES Tahun 2008. Namun demikian, berdasarkan hasil analisa tersebut jumlah penduduk miskin di dalam kawasan hutan negara sebesar 5,5 juta jiwa (PODES SE Tahun 2006) berbeda dengan hasil analisa lain. Brown (2004) misalnya, memperkirakan jumlah penduduk perdesaan yang “tinggal di lahan hutan negara” sekitar 48,8 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 9,8 juta jiwa adalah miskin. Sunderlin (2000), mengungkapkan ada sekitar 20 juta jiwa yang tinggal di desa-desa sekitar hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 6 juta jiwa menggantungkan sebagian besar penghidupannya pada hutan. Kertas kerja CESS (Center for Enonomic and Social Studies) (2005), yang dibuat berdasarkan analisa data BPS (PODES dan SUSENAS) dan BKKBN menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di desa-desa di dalam dan di sekitar hutan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan. Dari analisa dan perkiraan tersebut diperkirakan 50% penduduk miskin dari 32 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (BPS) berada di dalam dan di sekitar hutan. Perkiraan ini mendekati data yang disampaikan oleh Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal yang memperkirakan dari seluruh desa tertinggal di Indonesia sekitar 58% berada di sekitar hutan.

Page 3: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

3

Analisa dan perkiraan tersebut memberi gambaran bahwa jumlah penduduk miskin di sekitar hutan di Indonesia sangat besar bahkan diperkirakan lebih besar dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan oleh pemerintah yang bertugas membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung bias pada desa-desa di luar hutan dan daerah perkotaan. Berdasarkan hasil analisa tersebut dan memperhatikan karakteristik kemiskinan di sekitar hutan yang multi-dimensi selayaknya pemerintah pusat dan daerah segera membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan prioritas desa-desa di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan pengurangan kemiskinan di desa-desa di dalam dan sekitar hutan hendaknya dirancang secara khusus, yang tidak bisa disamakan dengan kebijakan pengurangan kemiskinan di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Masalah kemiskinan di sekitar hutan memiliki karakteristik yang bersifat spesifik yang terkait dengan hal-hal tersebut diatas yaitu proses marjinalisasi di daerah pedalaman, ketimpangan pembangunan pedesaan dan eksklusi sosial di sektor kehutanan. Dengan kata lain, kebijakan pengurangan kemiskinan di desa-desa di sekitar hutan sudah semestinya diletakkan di dalam konteks pembangunan pedesaan dan kehutanan yang tepat. Makalah kebijakan versi rancangan pertama ini ditujukan untuk memberi sumbangan pemikiran khususnya berupa rekomendasi kebijakan pengurangan kemiskinan di desa-desa sekitar kawasan hutan negara. Rekomendasi kebijakan ini akan dibuat berdasarkan pada analisa data empiris yang merupakan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan pada tahun 2009 dan 2010. Penelitian lapangan pada tahun 2009 telah dilakukan dengan fokus pada model PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di kawasan hutan konsesi Perum Perhutani KPH Kuningan, Jawa Barat. Sedangkan penelitian lapangan pada tahun 2010 telah dilakukan dengan fokus pada model HKm (Hutan Kemasyarakatan) di kawasan hutan lindung di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan Lampung Barat, Lampung. Proses perbaikan makalah kebijakan versi rancangan pertama ini akan dilakukan dengan cara memperkaya diskusi dan workshop serta penambahan data di lokasi-lokasi penelitian sebelumnya maupun dengan pengkayaan model melalui kajian perbandingan di lokasi-lokasi PHBM dan HKm di daerah-daerah lain pada tahun 2011 ini. B. HASIL PENELITIAN 1. Model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) PHBM merupakan buah dari serangkaian uji coba model perhutanan sosial yang dirintis oleh Perum Perhutani sejak tahun 1972.2 Lahirnya kebijakan PHBM di Perum Perhutani tidak terlepas pula dari gerakan reformasi tahun 1998 yang berimbas pada desakan untuk melakukan pembaruan pengelolaan hutan di Jawa. Penjarahan hutan yang meluas di Jawa yang mengakibatkan kerugian sangat besar

2 Lihat buku Perum Perhutani (2001); Kartasubrata (2003); dan Simon (2007; 2008)

Page 4: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

4

di Perum Perhutani selama kekacauan politik pada awal reformasi itu menjadi latar belakang lahirnya kebijakan PHBM ini. Dengan alasan keamanan hutan, Perum Perhutani kemudian melibatkan masyarakat di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan. Kebijakan PHBM ini ditetapkan pada tahun 2001 di seluruh kawasan hutan konsesi Perum Perhuanti di Jawa seluas 1,9 juta hektar atau sekitar 60% luas Pulau Jawa, dengan jumlah desa mencapai 5.459 desa, dan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa (hampir sekitar seperempat jumlah penduduk Pulau Jawa). Perbedaan model PHBM dengan pengelolaan sebelumnya antara lain adalah sebagai berikut: 1) bagi hasil panen kayu tanaman pokok dengan besaran 75% untuk Perum Perhutani dan 25% untuk masyarakat, bagi hasil juga berlaku pada penjarangan kayu tanaman pokok dengan besaran yang berbeda-beda; 2) ijin pemanfaatan lahan hutan diantara kayu tanaman pokok untuk kegiatan pertanian antara lain tanaman pangan dan tanaman perdagangan; 3) ijin penanaman tanaman kayu sampingan yang cepat tumbuh dan cepat dipanen serta tanaman kayu buah-buahan diantara kayu tanaman pokok, beberapa diantaranya diberlakukan bagi hasil dengan besaran lebih besar pada masyarakat dibandingkan Perum Perhutani; dan 4) syarat keterlibatan masyarakat dalam PHBM ini diwajibkan membentuk kelembagaan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang di KPH Kuningan, Jawa Barat merupakan wadah dari KTH-KTH (Kelompok Tani Hutan) yang telah terbentuk sebelumnya. Fungsi utama LMDH adalah untuk mewakili kepentingan masyarakat dalam PHBM. Sepuluh tahun pelaksanaan PHBM sampai tahun 2011 ini, belum semua desa di sekitar hutan membentuk LMDH. Dengan kata lain, belum semua desa dari 5.459 desa tersebut dilaksanakan PHBM walaupun petani sudah menggarap petak lahan hutan. Di desa-desa yang sudah melaksanakan PHBM sekalipun tidak semua petani memperoleh petak lahan hutan. Petak-petak yang sudah terbagi juga tidak rata walaupun ada ketentuan dari Perum Perhutani seluas 0,25 hektar. Perbedaan luas petak ini disebabkan karena pembagian petak lahan hutan itu ditentukan dari penguasaan tanpa ijin sebelumnya yaitu luas lahan yang digarap oleh setiap petani hutan sebelum dilaksanakan PHBM, baik pada saat penjarahan selama kekacauan politik pada awal masa reformasi maupun pada saat mereka menggarap petak lahan hutan itu secara sembunyi-sembunyi jauh sebelum masa reformasi. Secara umum, walaupun Perum Perhutani sudah menerapkan PHBM namun belum terlepas dari paradigma kehutanan secara ilmiah. Artinya, paradigma pengelolaan hutan di Jawa masih dominan pengelolaan kayu (timber management) dengan jumlah dan jenis kayu tanaman pokok seperti Jati, Pinus dan Mahoni yang ditentukan oleh Perum Perhutani. Perhitungan bagi hasil kayu tanaman pokok pada komponen 25% konon katanya ditentukan dari kerugian akibat pencurian kayu yang diperkirakan dalam satu tahun terutama pada tahun-tahun yang paling buruk. Berdasarkan analisa biaya dan manfaat yang dilakukan oleh Affianto, dkk., (2005), perhitungan bagi hasil khususnya pada komponen 25% itu tidak didasarkan pada curahan tenaga kerja yang dialokasikan oleh kedua belah pihak dalam pengelolaan hutan dengan sistem PHBM. Selain itu, fungsi pemberdayaan masyarakat pada kelembagaan LMDH di lokasi penelitian kurang berkembang karena berbagai kendala teknis seperti penguatan kelompok, penentuan jenis tanaman pertanian, pengadaan bibit, pupuk dan obat pertanian, permodalan serta pemasaran yang

Page 5: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

5

seharusnya dikembangkan secara lintas sektor antara Perum Perhutani dengan dinas-dinas pemerintah daerah. Berikut ini akan diuraikan kasus PHBM di dua kawasan hutan produksi yang berbeda yaitu hutan produksi Jati dan non-Jati di KPH Kuningan, Jawa Barat. KPH Kuningan dipilih karena memiliki dua jenis hutan produksi yang hal ini mencerminkan karakteristik hutan produksi di Jawa yaitu Jati dan non-Jati. Selain itu, istilah PHBM mula-mula berawal dari uji coba di KPH Kuningan sehingga merupakan KPH yang memulai PHBM lebih awal. Pelaksanaan PHBM di KPH Kuningan pada awalnya didukung oleh kalangan LSM Kehutanan dengan pendekatan konsep kolaborasi yang melibatkan stakeholder pemerintah daerah.3 KPH Kuningan juga menjadi lokasi percontohan PHBM dari KPH-KPH lain serta dinas kehutanan daerah lain. Sepuluh tahun setelah dilaksanakan PHBM hingga tahun 2011 ini, PHBM KPH Kuningan mengalami dinamika yaitu melemahnya dukungan stakeholder seperti terhentinya alokasi dana APBD serta kelangsungan pendampingan LSM. 1.1. Kasus PHBM di Kawasan Hutan Produksi Jati Kasus PHBM hutan produksi Jati dipilih di Desa Kalimati, Kecamatan Japara, Kuningan. Desa ini merupakan desa terpencil yang terisolasi oleh kawasan hutan negara konsesi Perum Perhutani KPH Kuningan. Sejarah pembentukan desa ini terkait dengan pribumi yang disingkirkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke daratan sempit yang merupakan tanah timbul akibat pembentukan delta dua sungai di tepian hutan Jati. Hutan Jati ini merupakan hutan negara yang telah ditata batas oleh pemerintah kolonial sebelumnya. Penduduk desa Kalimati sudah sejak lama tidak memiliki akses ke dalam kawasan hutan Jati bahkan pada saat merebak penjarahan hutan pada awal masa reformasi di berbagai tempat di Pulau Jawa, hutan di sekitar desa Kalimati relatif aman. Desa ini hanya terdiri dari satu kampung kecil yang diapit oleh dua aliran sungai besar disampingnya. Diluar perkampungan yang sempit dan rumah-rumah penduduk yang rapat yang terbuat dari bambu, terdapat lahan pertanian sawah yang tidak terlalu luas dan kawasan produksi hutan Jati yang tanahnya tampak gersang. Sawah bisa ditanam padi dua kali setahun dengan selingan tanaman palawija tetapi lahan hutan Jati bisa ditanam tanaman palawija hanya pada musim hujan. Apabila dua sungai yang mengapit kampung itu meluap maka bukan hanya rumah-rumah mereka yang terendam banjir tetapi juga sawah mereka hanyut. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan menetapkan desa Kalimati sebagai desa miskin sehingga banyak program penanggulangan kemiskinan disalurkan ke desa ini. Petani di desa Kalimati merupakan petani yang bekerja di sawah dan di kawasan hutan. Keduanya dilakukan secara paralel tergantung situasi dan kondisi alam khususnya curah hujan. Sebagai petani hutan telah mereka lakukan sejak lama, sebelum diberlakukan PHBM. Kawasan hutan Jati di wilayah ini

3 Lihat misalnya Gutomo, dkk., 2009, yang menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten

Kuningan pernah mengalokasikan dana APBD untuk mendukung PHBM pada masa Bupati Arifin Setiamihardja.

Page 6: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

6

sebelumnya menjadi lokasi uji coba teknik plong-plongan KPH Kuningan yaitu teknik wanatani dengan pengosongan lahan untuk tanaman pangan diantara Jati sebagaimana yang diterapkan KPH Madiun, Jawa Timur. Pada saat penelitian ini dilakukan, teknik plong-plongan itu sudah lama ditinggalkan oleh petani. Mereka kembali ke teknik rotasi yaitu menggarap lahan yang kayu tanaman pokoknya sudah dipanen selama kurang-lebih tiga tahun kemudian pindah ke lahan yang lain sehingga membentuk pola rotasi. Secara resmi, PHBM di desa Kalimati dilaksanakan di Hutan Pangkuan Desa (HPD) seluas 137,9 hektar pada tahun 2003. Berdasarkan perjanjian yang disepakati antara Perum Perhutani KPH Kuningan dengan Pemerintah Desa Kalimati, Forum PHBM dan KTH Desa Kalimati, PHBM di Desa Kalimati dilaksanakan pada tahun 2003 di kawasan hutan negara yang berada di dalam HPD Kalimati seluas 35 hektar; terdiri dari KTH Sumber Tani sebanyak 37 orang seluas 9,25 ha; KTH Tani Mekar sebanyak 42 orang seluas 10,5 ha, KTH Tani Makmur sebanyak 20 orang seluas 5 ha, dan KTH Tani Mukti sebanyak 36 orang seluas 9 ha (Berdasarkan Akta Notaris Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sumber Daya Hutan antara Perum Perhutani KPH Kabupaten Kuningan dengan Perhimpunan Kelompok Tani Hutan Desa Kalimati, Kecamatan Japara, Kabupaten Kuningan Tanggal 30 Desember 2004, Nomor 68). Disepakatinya perjanjian itu menunjukkan bahwa penduduk di sekitar hutan di HPD Kalimati memperoleh ijin kelola dalam PHBM. Berdasarkan aturan Perum Perhutani KPH Kuningan, setiap petani memperoleh petak lahan garap di dalam kawasan hutan seluas 0,25 hektar. Pada hutan Jati, lama masa pertanian tanaman pangan relatif isngkat yaitu hanya berlangsung selama tiga tahun, setelah itu pohon-pohon Jati yang mulai besar akan menaungi lahan dan membuat tanaman pertanian tidak bisa tumbuh dengan baik. Untuk mengatasi persoalan lahan hutan ini, para petani kemudian mencari lahan-lahan kosong pada blok kawasan hutan Jati yang sudah ditebang sehingga pergerakkannya dalam kurun waktu yang lama membentuk teknik rotasi. Dalam perjanjian, petani akan memperoleh bagi hasil sebesar 25% pada panen kayu Jati umur 40 tahun. Pada areal yang dipanen saat petani belum terlibat sepenuhnya diatur berdasarkan rumusan berikut: 13% (1983), 22% (1997) dan 25% (2004).4 Sedangkan bagi hasil dari penjarangan diatur sebagaimana pada tabel di bawah ini. Penjarangan dilakukan bertahap yaitu penjarangan pertama dilakukan pada Jati umur tujuh tahun, penjarangan kedua pada Jati umur 10 tahun, penjarangan ketiga pada Jati umur 15 tahun, penjarangan keempat pada Jati umur 20 tahun, penjarangan kelima pada Jati umur 25 tahun, penjarangan keenam pada Jati umur 30 tahun dan penjarangan ketujuh pada Jati umur 35 tahun. Nilai bagi hasil kepada pihak kedua (petani) pada penjarangan berikutnya lebih besar daripada penjarangan pertama dan disesuaikan dengan tahun tanamnya.

4 Lihat Akte Notaris perjanjian kerjasama PHBM antara LMDH desa Kalimati dengan Perum

Perhutani KPH Kuningan.

Page 7: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

7

Tabel 1. Nilai Bagi Hasil Masing-masing Pihak di Desa Kalimati

No Pihak yang Mendapatkan Sharing

Jenis Tanaman Jati Akasia

1983 1997 2004 2004 Penjara

ngan Tebang habis

Penjarangan

Tebang habis

Penjarangan

Tebang habis Tebang habis

1 2

Pihak Pertama (Perum Perhutani) Pihak Kedua (KTH)

1. 95% 2. 75% 3. 75% 4. 75% 1. 5% 2. 25% 3. 25% 4. 25%

87% 13%

1. - 2. 75% 3. 75% 4. 75% 5. 75% 6. 75% 7. 75% 1. 100% 2. 25% 3. 25% 4. 25% 5. 25% 6. 25% 7. 25%

78% 22%

1. - 2. 75% 3. 75% 4. 75% 5. 75% 6. 75% 7. 75% 1. 100% 2. 25% 3. 25% 4. 25% 5. 25% 6. 25% 7. 25%

75% 25%

75% 25%

Sumber: Dikutip dari Akte Notaris Perjanjian kerjasama PHBM antara LMDH Desa Kalimati dengan Perum Perhutani KPH Kuningan

Petani hutan di desa Kalimati tidak hanya menggarap lahan hutan sesuai perjanjian PHBM yakni di lahan hutan seluas 35 hektar. Mereka juga menggarap lahan hutan diluar itu di areal HPD Kalimati yang mencapai luas 137,9 hektar. Hal ini dilakukan karena luas lahan sesuai perjanjian PHBM yaitu seluas 35 hektar tidak cukup untuk memenuhi teknik pertanian rotasi. Walaupun pada lahan diluar perjanjian PHBM itu tidak diberlakukan sistem bagi hasil namun petani dapat memanfaatkan lahan hutan itu sebagai lahan garapan pertanian tanaman pangan.

Berdasarkan hasil survei ekonomi rumah-tangga yang tim peneliti lakukan di desa Kalimati (2009), rata-rata luas lahan sawah rumah-tangga desa Kalimati hanya sekitar 0,19 hektar dan rata-rata luas petak lahan hutan yang digarap sekitar 0,18 hektar. Melalui PHBM, penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga mengalami perubahan yaitu berasal dari petak lahan garap di dalam hutan baik yang sesuai dengan ijin PHBM maupun diluar itu. Perubahan penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga walaupun berupa lahan garap, bukan milik, namun memiliki arti penting dalam ekonomi rumah-tangga petani di Desa Kalimati.

Page 8: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

8

Tabel 2. Perubahan Penguasaan Lahan di Tingkat Rumah-tangga Miskin

Golongan Luas (ha) Petani yang Menguasai Lahan (%) Tanpa PHBM Dengan PHBM

Tidak menguasai lahan 23 5 < 0,25 54 40 0,25 - < 0,5 16 26 0,5 - < 1 4 22 1+ 3 7 Total 100 100

Pada grafik di bawah ini juga terlihat distribusi lahan sawah dan lahan hutan yang dikuasi oleh petani hutan di desa Kalimati tampak saling berhimpitan. Grafik ini memperlihatkan bahwa distribusi penguasaan lahan terbesar oleh petani hutan di desa Kalimati berada pada golongan luas lahan kurang dari 0,25 hektar dan antara 0,25 hektar sampai 0,5 hektar.

Gambar 1. Distribusi Lahan Sawah dan Hutan diantara Rumah Tangga

Desa Kalimati

Dengan kondisi tanah di HPD Kalimati yang di dominasi jenis tanah podsolik yang memiliki tingkat kesuburan rendah dan oksisol yang masam, jenis pertanian tanaman pangan yang sesuai yang sejak lama ditanam oleh petani desa Kalimati adalah jagung, padi huma, sayuran (kacang panjang) dan singkong. Kontribusi pertanian tanaman pangan di dalam hutan terhadap total pendapatan rumah-tangga hanya sekitar 7,1% (6,6% dari lahan PHBM dan 0,5% dari lahan HPD yang tidak PHBM). Sedangkan komposisi pendapatan rumah-tangga dari hasil pertanian tanaman pangan di lahan PHBM yaitu, kayu 11,6%, bukan kayu 14,52%, palawija 71,18%, dan “banjar harian” (kerja upahan) 2,68%. Untuk lahan

Page 9: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

9

HPD diluar perijinan PHBM yaitu, bukan kayu 0%, palawija 83,33%, dan lain-lain 16,66%. Berikut ini merupakan tabel dan grafik yang memperlihatkan jumlah dan sumber-sumber pendapatan dari hasil hutan. Pada tabel di bawah ini terlihat bahwa padi huma merupakan sumber pendapatan terbesar yang diperoleh petani Desa Kalimati pada petak lahan hutan yang dkuasainya. Selain itu, tanaman pangan yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan rumah-tangga adalah palawija seperti Jagung, Singkong, Kacang Tanah dan sayuran.

Tabel 3. Sumber-Sumber Pendapatan dari Lahan Hutan Desa Kalimati

Sumber pendapatan Jumlah

RT Jumlah

Pendapatan (Rp) Hasil Kayu 14 74.291,67 Hasil Non Kayu 23 112.333,33 Hasil Padi Huma 36 3.973.333,33 Hasil Palawija (selain padi huma) 33 484.791,67 Hasil Lainnya 4 80.000,00 Total Hasil 73 4.724.750,00

Pada grafik di bawah juga terlihat bahwa persentase hasil kayu dari kayu tanaman pokok yaitu Jati sangat kecil. Hal ini karena petak lahan yang digarap oleh petani adalah petak lahan hutan yang kayu tanaman pokoknya yaitu Jati sudah dipanen. Sementara umur Jati yang panjang yang mencapai 40-60 tahun membuat petani beranggapan bahwa kayu Jati merupakan investasi jangka panjang. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan pangan rumah-tangga sehari-hari diperlukan petak lahan hutan dan pertanian tanaman pangan yang cukup.

Gambar 2. Persentase Pendapatan Rumah Tangga dari Sumber-sumber Hasil Hutan terhadap Total Pendapatan dari Hasil Hutan di Desa Kalimati

Page 10: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

10

Gambar 3. Distribusi Sumber-sumber Hasil Hutan diantara Rumah Tangga

Desa Kalimati

Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan luas lahan yang dikuasai rumah-tangga petani hutan dan rata-rata pendapatan rumah-tangganya apabila dibuat simulasi tanpa PHBM dan dengan PHBM, berikut perbedaan dan persentase perubahannya. Pada penguasaan lahan terjadi perubahan yang sangat menyolok yaitu sekitar 100% sedangkan pada pendapatan hanya terjadi perubahan kecil yaitu kurang dari 8%.

Tabel 4. Perbedaan Hasil Sebelum dan Sesudah PHBM di Desa Kalimati

Tanpa PHBM Dengan PHBM Perbedaan Perubahan

(%) Rata-rata Lahan yg Dikuasai RT (m2) 1.910,13 3.881,13 1.971,00 103,19 Rata-rata Pendapatan RT per Bulan (Rp) 616.957,08 664.204,58 47.247,50 7,66

Pertambahan luas lahan yang dikuasai oleh rumah-tangga petani Desa Kalimati yang tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan rumah-tangga yang berasal dari petak lahan garap itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain sebagai berikut: 1) kondisi tanah pada lahan hutan di desa Kalimati yang tergolong tidak subur atau gersang, 2) petani di desa Kalimati belum menemukan teknologi pengolahan tanah pada lahan hutan atau kalaupun tahu tetapi umumnya tidak memiliki modal yang cukup, dan 3) petani di desa Kalimati belum menemukan jenis tanaman pertanian dalam teknik wanataninya (agroforestry) khususnya tanaman yang hasilnya bisa diperdagangkan di pasar atau kalaupun mereka sudah mempunyai pandangan terhadap hal itu mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mewujudkannya.

Page 11: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

11

Gambar 4. Posisi Status Kemiskinan Rumah Tangga Desa Kalimati terhadap Garis Kemiskinan Unit Konsumen Standar

Dengan kondisi tersebut diatas, posisi kemiskinan rumah-tangga terhadap garis kemiskinan (Unit Konsumen Standart) berada di bawah garis kemiskinan cukup besar. Di bawah ini tabel yang memperlihatkan jumlah rumah-tangga miskin di desa Kalimati dengan simulasi tanpa PHBM dan dengan PHBM. Jumlah rumah-tangga miskin yang sangat besar yaitu mencapai 65% tidak mengalami penurunan berarti setelah dengan PHBM. Masalah kemiskinan dan program-program yang gagal di Desa Kalimati ini juga telah sejak lama menjadi perhatian pemerintah daerah Kabupaten Kuningan namun belum jelas masalahnya.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Kemiskinan RT dengan Garis Kemiskinan

Unit Konsumen Standar Kuningan, Jawa Barat

Kriteria Perhitungan

Persentase Rumah Tangga yang Tergolong Miskin (%)

Desa Kalimati (n = 100)

Dengan pendapatan PHBM 61

Tanpa pendapatan PHBM 65

1.2. Kasus PHBM di Kawasan Hutan Produksi Pinus dan Mahoni Kasus PHBM di kawasan hutan produksi Pinus dan Mahoni dipilih di desa Jabranti, Kecamatan Karangkencana, Kuningan. Desa ini dipilih antara lain karena merupakan lokasi uji coba dan percontohan PHBM yang didukung oleh kalangan LSM dengan pendekatan konsep kolaborasi. Sebagai lokasi percontohan, petani di desa ini memperoleh keuntungan berupa pendampingan oleh kalangan aktivis LSM khususnya dalam penguatan kelembagaan LMDH, KTH serta forum PHBM.

Page 12: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

12

Selain itu, pendataan kawasan hutan sebagai perencanaan PHBM juga tersedia relatif baik. Beberapa petani yang menjadi pengurus LMDH, KTH, dan forum PHBM di desa itu juga sering memperoleh pelatihan dalam pengembangan metode partisipasi baik di desa mereka maupun keluar desa ataupun sebaliknya menjadi pendamping studi-studi banding yang dilakukan oleh kelompok dari luar desa ke daerah itu. Jabranti induk merupakan sebuah dusun yang penduduknya sangat padat saat ini. Wilayah dusun ini merupakan hasil tukar-guling antara Dusun Situ Wetan dengan kawasan hutan negara konsesi Perum Perhutani pada tahun 1968. Dusun Situ Wetan merupakan dusun asal penduduk Jabranti sebelum tukar guling. Dusun terpencil di lereng bukit yang sangat terjal itu dinyatakan oleh pemerintah daerah setempat sebagai daerah rawan bencana longsor. Atas saran pemerintah daerah setempat dusun itu kemudian dipindah dengan sistem tukar-guling ke tanah di kawasan hutan negara yang dikonsesi oleh Perum Perhutani. Dusun Jabranti sekarang, sebelumnya termasuk ke dalam kawasan hutan negara yang kemudian dialihkan kepemilikannya dan telah menjadi hak milik penduduk dusun Jabranti sekarang ini (walaupun sertifikat atas tanah tersebut belum diterima warga). Oleh karenanya wilayah dusun itu berbatasan langsung dengan kawasan hutan produksi yaitu jenis Pinus dan Mahoni. Tapal batas kawasan hutan berupa patok-patok bahkan berhimpitan dengan tembok-tembok rumah penduduk. Pada tahun 1968 ketika proses tukar-guling dilaksanakan, jumlah kepala keluarga yang dipindah adalah 70 KK. Namun pada saat penelitian ini dilakukan (2009), jumlah KK di dusun itu telah mencapai 270 KK atau sekitar empat kali lipat sehingga wilayah dusun itu sangat padat. Rumah-tangga baru sekarang tidak mempunyai lahan untuk bangunan rumah sehingga di relokasi ke dusun lain. Berdasarkan wawancara dengan orang-orang tua di dusun itu, interaksi antara penduduk dengan hutan telah berlangsung lama jauh sebelum PHBM dilaksanakan. Penduduk menjalin interaksi dengan kawasan hutan negara walaupun kawasan itu terlarang untuk aktivitas pertanian dan perburuan. Hal ini antara lain terlihat pada umur tanaman kopi yang dibudidayakan di dalam kawasan hutan itu setidaknya yang ditanam setelah mereka tinggal di dusun itu pada tahun 1968. Pengetahuan mereka tentang kawasan hutan juga sangat baik antara lain mengenai nama-nama lokasi, peta perburuan binatang hutan khususnya babi hutan dan kijang, jenis-jenis kayu hutan, jenis-jenis burung serta konsumsi hasil hutan berupa obat-obatan tradisional yang berasal dari tanaman hutan. Aktivitas dan pengetahuan mereka yang sangat baik tersebut menunjukkan bahwa interaksi antara penduduk dengan hutan telah berlangsung sejak lama walaupun dibatasi oleh ketentuan-ketentuan pada kawasan hutan negara. PHBM di desa Jabranti direncanakan dilaksanakan pada HPD Jabranti seluas 1275,05 hektar. Kawasan hutan ini terdiri dari Hutan Produksi (HP) Pinus dan Mahoni dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan jenis tanaman kayu-kayu lokal yang berumur tua di kawasan lindung. Berdasarkan perjanjian antara Perum Perhutani dengan Pemerintah Desa Jabranti, Forum PHBM, LMDH dan KTH, PHBM di Desa Jabranti dilaksanakan secara bertahap dimulai dari luasan 79,85 hektar pada tahun 2003 (Berdasarkan Akte Notaris). Walaupun demikian, seluruh

Page 13: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

13

areal HPD Jabranti seluas 1275,05 hektar itu hampir seluruhnya digarap oleh petani setempat. Perbedaan antara kawasan hutan yang disepakati sebagai PHBM dengan yang belum disepakati sebagai PHBM adalah pada penerapan sistem bagi hasil kayu tanaman pokok. Disepakatinya perjanjian itu menunjukkan bahwa penduduk desa Jabranti memperoleh ijin kelola kawasan hutan melalui PHBM. Berdasarkan aturan Perum Perhutani KPH Kuningan, setiap petani hutan memperoleh petak lahan hutan seluas 0,25 hektar. Bagi petani Jabranti, lahan hutan seluas 0,25 hektar memiliki arti penting karena subur. Berbagai jenis tanaman pertanian baik tanaman pangan dan perdagangan tumbuh diantara Pinus dan Mahoni. Tanaman perdagangan yang paling favorit ditanam petani Jabranti adalah Nilam dan Kopi. Nilam adalah bahan baku minyak atsiri yang bisa dipanen dengan cepat. Selain itu, petani juga menanam kayu terutama Akasia yang juga bisa dipanen dalam waktu singkat. Bagi hasil pada kayu tanaman Pinus dan Mahoni berbeda dengan bagi hasil pada kayu tanaman Jati, bagi hasil pada kayu tanaman Pinus dan Mahoni lebih kecil yakni antara 4% sampai 20% (tabel). Untuk jenis tanaman sela yang ditanam oleh petani seperti Akasia, tanaman tahunan dan Pisang, petani dikenakan aturan bagi hasil kepada Perum Perhutani masing-masing sebesar 20%, 20%, dan 8%.

Tabel 6. Nilai Bagi Hasil Masing-masing Pihak Desa Jabranti No Pihak yang

Mendapatkan Bagi hasil

Jenis Tanaman Pinus Tahun Mahoni Albazia Tahunan Pisang

1982 1984 1991 1992 1997 1 2 3

4

5

Pihak pertama Pihak kedua Pemerintah Desa Jabranti Forum PHBM Desa Jabranti Kegiatan sosial

94% 4% 1%

0,5%

0,5%

92% 6% 1%

0,5%

0,5%

85% 13% 1%

0,5%

0,5%

34% 14% 1%

0,5%

0,5%

79% 19% 1%

0,5%

0,5%

75% 20% 2%

2%

1%

20% 75% 2%

2%

1%

20% 75% 2%

2%

1%

8% 87% 2%

2%

1%

Sumber: Akte Notaris Perjanjian Kerjasama PHBM antara LMDH desa Jabranti dengan Perum Perhutani KPH Kuningan. Berdasarkan hasil survei ekonomi rumah-tangga di desa Jabranti, persentase pendapatan hasil hutan dari total pendapatan rumah-tangga sekitar 14% (terutama dari hasil pertanian di dalam hutan). Sedangkan keuntungan lain berasal dari tanaman sela seperti Akasia, hasil hutan bukan kayu seperti jamu-jamuan, sayur-sayuran, buah-buahan, madu hutan, rumput untuk pakan ternak, berburu babi hutan dan sebagainya. Kawasan hutan lindung di HPD Jabranti juga menyediakan sumber pangan yang melimpah khususnya tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayuran seperti pakis hutan, buah pisang muda, rotan muda, petai dan sebagainya yang telah dimanfaatkan penduduk setempat secara tradisional. Jenis tanaman yang ditanam oleh petani di areal HPD diluar kesepakatan PHBM terutama adalah Nilam dan Kopi. Sedangkan pada lahan PHBM antara lain padi huma, jenis-jenis palawija, sayuran, Nilam, Vanili, buah-buahan dan sebagainya. Padi huma, palawija dan sayuran ditanam di lahan PHBM karena

Page 14: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

14

lahannya berdekatan dengan perkampungan penduduk sehingga relatif aman dari babi hutan. Sedangkan Nilam dan Kopi sebagian besar ditanam di areal HPD yang tidak termasuk dalam kesepakatan PHBM yang lokasinya jauh dari perkampungan penduduk karena babi hutan tidak merusak tanaman tersebut. Tabel di bawah ini memperlihatkan perubahan penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga petani hutan dengan simulasi tanpa PHBM dan dengan PHBM. Pada tabel terlihat bahwa rumah-tangga yang tidak menguasai lahan turun drastis dari 23% menjadi hanya 3%. Secara keseluruhan terjadi pergeseran penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga dengan sebaran terbesar pada golongan luas lahan antara 0,25 hektar sampai 1 hektar.

Tabel 7. Perubahan luas lahan garap di tingkat rumah-tangga

Golongan Luas (ha) Petani Penguasa Lahan (%) Tanpa PHBM Dengan PHBM

Tidak menguasai lahan 23 3 < 0,25 40 23

0,25 - < 0,25 26 42 0,5 - < 1 8 22

1+ 3 10 Total 100 100

Pada grafik di bawah terlihat bahwa distribusi antara lahan sawah dan lahan hutan lebih besar pada lahan hutan. Setelah program PHBM di desa ini, aktivitas petani hutan di dalam kawasan hutan negara semakin semarak sehingga mencapai petak-petak lahan hutan diluar kesepakatan PHBM.

Gambar 6. Distribusi Lahan Sawah dan Hutan di antara Rumah Tangga di Desa Jabranti

Page 15: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

15

Dari lahan hutan, sumbangan hasil terbesar terhadap pendapatan rumah-tangga petani hutan berasal dari jenis tanaman non kayu yang pada kasus Jabranti terutama adalah Nilam yaitu tanaman bahan baku minyak atsiri.

Gambar 5. Persentase Pendapatan RT dari Sumber-Sumber Hasil Hutan terhadap Total Pendapatan RT dari Hasil Hutan di Desa Jabranti

Tabel 8. Sumber-Sumber Pendapatan dari Lahan Hutan Desa Jabranti

Sumber pendapatan Jumlah

RT Jumlah

Pendapatan (Rp) Hasil Kayu 36 1.302.083,33 Hasil Non Kayu 73 4.783.589,58 Hasil Padi Huma 2 103.333,33 Hasil Palawija (selain padi huma) 12 222.541,67 Hasil Lainnya 12 474.666,67 Total Hasil 79 6.886.214,58

Gambar 7. Distribusi Sumber-Sumber Hasil Hutan diantara

Rumah Tangga Desa Jabranti

Page 16: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

16

Survei rumah-tangga di desa ini memperlihatkan status rumah tangga yang mengakses PHBM yakni yang miskin sekitar 70% dan tidak miskin 30%. Kontribusi pemanfaatan lahan hutan bagi total pendapatan per bulan adalah: hasil dari lahan PHBM 3,60% dan hasil dari luar lahan PHBM 3,77%. Persentase rata-rata pendapatan RT per bulan atas pemanfaatan lahan PHBM yakni: kayu 35,79%; bukan kayu 54,45%; palawija 5,03%; dan “banjar harian” (kerja di lahan PHBM) 4,71%. Persentase rata-rata pendapatan RT per bulan atas pemanfaatan lahan di luar PHBM yakni: bukan kayu 86,59%; palawija 5,85%; dan lain-lain 7,55%. Pada tabel di bawah diperlihatkan perubahan penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga dan pendapatan rumah-tangga. Penguasaan lahan di tingkat rumah-tangga mengalami perubahan drastis yaitu mencapai sekitar 100% namun demikian tidak demikian halnya dengan pendapatan rumah-tangga yang hanya mengalami kenaikan sekitar 8% saja.

Tabel 9. Perbedaan Hasil Sebelum dan Sesudah PHBM di Desa Jabranti

Tanpa PHBM

Dengan PHBM Perbedaan

Perubahan (%)

Rata-rata Lahan yg Dikuasai RT (m2) 2.413,60 4.923,24 2.509,64 103,98 Rata-rata Pendapatan RT per Bulan (Rp) 864.647,50 933.509,65 68.862,15 7,96

Kemungkinan hasil ini kurang detail memperhatikan pendapatan rumah-tangga dari hasil-hasil hutan lainnya yang biasanya diambil setiap saat seperti kayu bakar, sayuran dan bahan pangan lain yang bersumber dari hasil hutan. Kemungkinan lain biasa saja terjadi karena pada saat survei ini dilakukan petani hutan belum melakukan panen Nilam sehingga sumber pendapatan terbesar ini kurang terekam dengan baik.

Gambar 10. Posisi Status Kemiskinan Rumah Tangga Desa Jabranti terhadap Garis Kemiskinan Unit Konsumen Standar

Page 17: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

17

Kondisi tersebut diatas juga mempengaruhi data kemiskinan rumah-tangga seperti terlihat pada table di bawah ini. Dengan simulasi tanpa PHBM dan dengan PHBM, perubahan rumah-tangga miskin relatif kecil.

Tabel 11. Hasil Perhitungan Kemiskinan Rumah-Tangga dengan Garis Kemiskinan Unit Konsumen Standar

Kriteria Perhitungan

Persentase Rumah Tangga yang Tergolong Miskin (%)

Desa Jabranti (n = 100)

Dengan pendapatan PHBM 32

Tanpa pendapatan PHBM 38

2. Model Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan Kemasyarakatan bisa dikatakan merupakan hasil pergerakan paradigma baru pengelolaan hutan melalui social forestry. Suara lantang forest for people sudah mulai terdengar sejak konggres kehutanan 1978 di Jakarta walaupun masih terkesan sebatas slogan. Namun siapa sangka pemikiran ini terus berkembang yang kemudian melahirkan serangkaian uji coba, termasuk uji coba perhutanan sosial Perum Perhutani di Jawa, dan yang terpenting pada bagian ini adalah uji coba social forestry yang didukung oleh GTZ di Sanggau, Kalimantan Barat serta tujuh lokasi percontohan yang didukung oleh Ford Foundation walaupun beberapa diantaranya mengalami kegagalan. Dukungan lembaga donor internasional dan kalangan masyarakat sipil memungkinkan paradigma baru pengelolaan hutan itu diterima ditengah dominannya paradigma lama pengelolaan hutan di Kementerian Kehutanan. HKm kemudian digunakan untuk menyebut program social forestry pada Keputusan Menteri Kehutanan No.622/Kpts-II/1995 mengenai Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Sebagai program baru ditengah rimba paradigma lama, HKm mengalami dinamika pasang naik dan surut. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (1995-2011) telah dilakukan tujuh kali perubahan peraturan Menteri Kehutanan mengenai HKm. Dinamika politik, perubahan kebijakan dan sinkronisasi antar peraturan di Kementerian Kehutanan antara lain menjadi latar belakang dinamika itu (Savitri, 2010). Walaupun peraturan HKm bersifat dinamis dan bisa dikatakan lebih maju, namun tidak demikian halnya dengan realiasinya. Pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid-2 (2010-2014), menteri kehutanan telah mencadangkan areal pada kawasan hutan negara seluas 2,1 juta hektar untuk HKm. Luasan ini ditargetkan akan tercapai pada tahun 2015 ketika Indonesia masuk dalam kesepakatan internasional pencapaian MDG’s antara lain dalam pengurangan kemiskinan di sekitar hutan yaitu sekitar 50%. Setiap tahun, Kementerian Kehutanan menargetkan 400.000 hektar kawasan itu diberikan ijin HKm. Target ini terkesan ambisius mengingat pergerakan HKm yang sangat lambat ditengah paradigma lama yang mendominasi

Page 18: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

18

Kementerian Kehutanan. Berdasarkan data Direktorat RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial) Kementerian Kehutanan sampai tahun 2011, dari areal yang dicadangkan tersebut seluas 450.000 hektar sudah tercapai, 81.000 hektar sudah memperoleh ijin sementara dari Menteri Kehutanan, dan 34.000 hektar diantaranya sudah memperoleh ijin definitif dari pemerintah daerah atau bupati masing-masing daerah. Di Lampung Barat, pemberian ijin definitif (35 tahun) terkesan dipacu untuk mengejar target. Lebih dari 20 KTH di daerah itu sampai dengan pertengahan tahun 2010 hanya memperoleh ijin sementara dari Menteri Kehutanan selama 5 tahun. Pendampingan yang dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil praktis terhenti sejak diperolehnya ijin definitif dari bupati setempat selama 35 tahun kepada 5 KTH di kawasan hutan Bukit Rigis Register 45B pada tahun 2007. Setelah itu, banyak diantara mereka berharap agar Waremtahu (Wadah Rembug Tani Hutan), sebuah forum petani hutan yang beranggotakan 5 KTH penerima ijin definitif itu bisa mendorong penguatan kelembagaan pada KTH-KTH yang belum memperoleh ijin definitif. Upaya ini berjalan lambat karena pengurus Waremtahu adalah juga petani hutan yang harus mengurus kopi-kopi mereka untuk ekonomi rumah-tangganya. Tugas-tugas pendampingan HKm seperti itu semestinya bisa dimainkan oleh Dinas Kehutanan setempat yang pada kenyataannya selama masa proses perijinan HKm itu lebih banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil. Hambatan untuk mendorong KTH-KTH memperoleh ijin HKm ini sangat dirasakan oleh Dinas Kehutanan setempat. Masalah ketersediaan sumberdaya manusia umumnya menjadi kendala utama. Ketersediaan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan social forestry sangat langka karena Fakultas Kehutanan di universitas-universitas daerah umumnya kurang memberikan penekanan kurikulum social forestry. Ilmu pengetahuan kehutanan masih dipahami sebagai paradigma lama sehingga lahirnya kebijakan yang merepresentasikan paradigma baru kurang bisa dicerna dengan baik.

Penelitian model HKm ini dilakukan di kawasan hutan lindung Bukit Rigis Register 45B yang terletak di kecamatan Sumberjaya, kabupaten Lampung Barat. Peneliti mengambil sampel tiga KTH di Kecamatan Sumberjaya yaitu KTH Bina Wana Lestari (BWL) di Desa Tribudi Syukur, KTH Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) di Desa Tugu sari, dan KTH Setia Wana Bhakti (SWB) di Desa Simpang Sari. Survei ekonomi rumah-tangga dilakukan terhadap 200 sampel rumah-tangga petani hutan yang menjadi anggota KTH-KTH itu. Pemilihan responden dilakukan secara proporsional yaitu 126 rumah tangga dari KTH BWL, 34 rumah tangga dari KTH MWLS, dan 40 rumah tangga dari KTH SWB. Selain survei ekonomi rumah-tangga, peneliti juga melakukan in-depth interview, oral history dan diskusi kelompok.

Penduduk tiga desa yang diteliti adalah penduduk transmigran, sebagian merupakan transmigran generasi pertama yang dilaksanakan setelah kemerdekaan yaitu pada tahun 1951. Sedangkan sebagian yang lain adalah keturunannya dan para pendatang atas inisiatif sendiri. Di ketiga desa tersebut sudah tidak ada lagi penduduk “asli” Lampung Barat. Penduduk “asli” atau yang mula-mula menguasai desa-desa itu sebelum program transmigrasi adalah Suku Kenali dan Semendo.

Page 19: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

19

Orang Semendo adalah kaum migran dari daerah Palembang bagian selatan yang pindah dan kemudian menguasai Sumberjaya dengan kesepakatan Raja Kenali. Pada tahun 1932 orang Kenali dan Semendo sudah tereksklusi dari hutan karena ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah kolonial. Mereka tersingkirkan lagi setelah program transmigrasi dilaksanakan di daerah itu tahun 1951. Penduduk tiga desa yang menerima ijin definitif dari bupati Lampung Barat selama 35 tahun ini merupakan penduduk transmigran, sedangkan orang Kenali dan Semendo yang tersingkir ke desa-desa lain pada saat penelitian ini dilakukan belum memperoleh ijin definitif. Sentimen “asli” dan transmigran sangat terasa sehingga kohesi sosial diantara mereka kurang baik.

2.1. Kasus HKm di KTH Bina Wana Lestari (BWL)

KTH Bina Wana Lestari berada di desa Tri Budi Syukur, kecamatan Sumberjaya yang beranggotakan 493 rumah tangga. Karena anggotanya yang sangat banyak maka KTH BWL dibagi lagi dalam 15 sub kelompok. Pada tahun 2000 KTH BWL diberi kepercayaan oleh Bupati Lampung Barat untuk mengelola lahan hutan. Kepercayaan tersebut tertuang dalam keputusan Bupati Lampung Barat No. 439/Kwl-4/kpts/2000 tentang izin pengelolaan HKm kepada kelompok tani Bina Wana Lestari, Kecamatan Sumberjaya. Selanjutnya berdasarkan peraturan No. 37/Menhut-II/2007, pada desember 2007 KTH MWLS memperoleh izin IUPHKm definitif dengan lama kontrak selama 35 tahun dengan mengelola lahan hutan/HKm seluas 645 hektar.

Seperti halnya KTH lainnya, KTH BWL juga mempunyai aturan yang mengikat dan sebagai dasar bagi pengurus dan anggota bertindak. KTH ini juga menyepakati penanaman tanaman tegakan sedang dan tinggi. Anggota KTH BWL pada umumnya telah mampu memenuhi standar minimum penanaman tegakan yaitu 400 pohon. Beberapa dari mereka memang diuntungkan dengan telah ada tegakan lama dilahan mereka sehingga mereka tidak perlu sepenuhnya menanam tegakan tersebut dari awal. Aturan lain adalah melarang untuk para anggota menebang tegakan lama di dalam kawasan hutan, walaupun tanaman tersebut tidak diinginkan oleh petani hutan. Karena pada intinya para petani hutan diharuskan untuk menjaga kelestarian hutan mereka dengan diantaranya tidak menebang pohon apalagi membuka lahan baru.

Desa Tri Budi Syukur menjadi salah satu proyek percontohan program HKm, begitu juga untuk KTH BWL. Hal ini didukung dengan tingkat kekeluargaan dan gotong royong masyarakatnya yang lebih baik dibanding KTH di desa lain. Mereka saling membantu, misalnya adanya arisan dalam hal mengerjakan sawah. Mereka bersama-sama bergantian membantu mulai dari pengolahan awal lahan sampai panen. Selain itu, keadaan organisasinyapun lebih tertata dengan baik.

Berikutnya akan dijelaskan hasil survei rumah tangga anggota KTH BWL mengenai penguasaan lahan, pendapatan dan tingkat kemiskinan.

Anggota KTH BWL menguasai tiga jenis lahan yaitu lahan sawah dan kebun/ladang yang disebut lahan marga, serta lahan hutan/HKm (atau bukan lahan marga). Dimana rata-rata penguasaan lahan sawah sangat kecil yakni rata-ratanya hanya 0,13 hektar (dengan nilai minimum dan maksimum penguasaan lahan sawah

Page 20: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

20

sebesar 0 hektar dan 0,75 hektar). Sedangkan rata-rata penguasaan lahan adalah 0,34 hektar (minimum dan maksimum penguasaan lahan kebun/ladang sebesar 0 hektar dan 2,5 hektar). Nilai ini lebih besar dibanding dengan rata-rata penguasaan lahan sawah. Meskipun demikian, ternyata banyak rumah tangga yang tidak menguasai lahan kebun/ladang yakni 42,1% (n = 126). Begitu juga untuk lahan sawah, ada sekitar 31,7% rumah tangga tidak menguasai lahan sawah (n = 126). Jika digabungkan antara lahan sawah dan kebun/ladang, maka rata-rata penguasaan lahan marga di KTH BWL 0,46 hektar. Tanaman yang ditanam di lahan marga KTH BWL antara lain padi, kopi, kelapa, nangka, tomat, cabe, pisang, jahe, durian.

Sedangkan penguasaan lahan hutan/HKm oleh anggota KTH BWL cukup besar yakni dengan rata-rata penguasaannya 1,21 hektar (minimum 0,2 hektar dan maksimum 3,75 hektar). Ada sekitar 67,5% rumah tangga anggota KTH BWL menguasai lebih dari 1 hektar lahan hutan/HKm (n = 126). Jenis tanaman yang ditanam di lahan HKm adalah kopi, padi, jagung, lada, nilam, sayuran (cabe, tomat), buah-buahan, coklat, jahe, kemiri, pinang dan tanaman kayu seperti cempaka, tenam, randu.

Dengan menjadi peserta program HKm, anggota KTH BWL semakin luas menguasai lahan. Pada mulanya hanya menguasai lahan marga dengan rata-rata penguasaan sebesar 0,46 hektar. Bila ditambahkan antara penguasaan lahan marga dan hutan, maka rata-rata penguasaan lahan marga + lahan hutan di KTH BWL 1,67 hektar. Berarti anggota KTH BWL mendapat rata-rata tambahan penguasaan lahan sebesar 1,21 hektar.

Tabel 12. Perbandingan Luas Lahan Marga dan Lahan Negara yang Dikuasai Rumah-Tangga (Dalam Hektar)

Penguasaan Lahan

Tri Budi Syukur Tugu Sari Simpang Sari

Minimum Maximum Rata-rata Minimum Maximum Rata-

rata Minimum Maximum Rata-rata

Lahan Marga 0,04 3,00 0,69 0,04 7,25 0,82 0,08 4,00 1,23

Lahan Negara 0,20 3,75 1,21 0,08 12,50 1,66 0,20 4,00

1,27

Total Lahan yang Dikuasai

0,37 5,00 1,67 0,58 12,80 2,10 0,20 5,00 1,89

Kondisi perekonomian desa Tri Budi Syukur bisa dikatakan cukup baik. Hal ini juga terbukti dengan rata-rata pendapatan per tahun rumah tangga anggota KTH BWL cukup besar yakni Rp25.140.492,-. Nilai pendapatan ini terbesar dibandingkan dengan KTH MWLS dan SWB. Pendapatan ini bersumber dari hasil sawah, kebun/ladang dan hutan dengan rata-rata pendapatan per tahun dari sawah Rp4.836.938,- (18,06% dari total pendapatan), dari hasil kebun/ladang Rp9.143.083,- (34,13%) dan Rp12.807.270,- (47,81%) dari hasil lahan HKm. Hasil ini menunjukan bahwa hasil hutan/HKm memberikan sumbangan terbesar

Page 21: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

21

terhadap total pendapatan rumah tangga. Hasil hutan/HKm tersebut adalah kopi dan padi.

Gambar 11. Kontribusi hasil sawah, kebun/ladang dan HKm terhadap pendapatan (%)

Selain tingkat pendapatan rumah tangganya yang cukup besar, ternyata tingkat kemiskinan rumah tangga anggota KTH BWL cukup kecil dan paling rendah dibandingkan dengan KTH MWLS dan SWB. Dimana rumah tangga yang tergolong miskin 4% (n = 126). Apabila rumah tangga tersebut tidak mengikuti HKm, maka ada 37,3% rumah yang termasuk miskin. Jadi dengan rumah tangga mengikuti HKm dan memperoleh pendapatan dari lahan HKm, terjadi pengurangan kemiskinan sebesar 89,4%.

Tabel 13. Jenis-Jenis Sumber Pendapatan Rumah Tangga dari Hasil HKm

Jenis

sumber

pendapa-

tan

Tri Budi Syukur Tugu Sari Simpang Sari

rata-rata

per tahun

(rp)

% thd

income

HKm

% thd

Total

income

rata-rata

per tahun

(rp)

% thd

income

HKm

% thd

Total

income

rata-rata

per tahun

(rp)

% thd

income

HKm

% thd

Total

income

Kopi 10.248.746 80,0 44,2 9.985.294 98,7 62,3 10.800.000 82,3 49,5

Padi 1.588.635 12,4 6,3 0 0,0 0,0 46.500 0,4 0,2

Lada 141.127 1,1 0,6 0 0,0 0,0 8.250 0,1 0,0

Buah-

buahan$ 513.325 4,0 2,0 12.353 0,1 0,1

0 0,0 0,0

Sayuran 226.667 1,8 0,9 0 0,0 0,0 2.139.000 16,3 8,9

Lainnya* 88.770 0,7 0,4 122.059 1,2 0,7 90.475 0,7 0,4

Keterangan : $(terutama pisang,alpukat), *( Tri Budi Syukur :coklat, jahe,kemiri, nangka,jagung,nilam; Tugu Sari :jengkol,nilam; Simpang Sari :cengkeh,coklat, jahe,kemiri, jengkol,randu)

Page 22: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

22

Gambar 12. Kontribusi kopi di lahan HKm terhadap total pendapatan RT (%)

Gambar 13. Posisi Status Kemiskinan Rumah Tangga Desa Tri Budi Syukur

terhadap Garis Kemiskinan dengan Simulasi (a,b,c,d,e)

2.2. Kasus HKm di KTH Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) KTH Mitra Wana Lestari Sejahtera terletak di desa Tugu Sari, kecamatan Sumberjaya mempunyai anggota sebanyak 73 rumah tangga. KTH ini pertama kali mendapatkan izin pengelolaan lahan HKm pada tahun 2002 berupa izin sementara selama 5 tahun. Izin ini dikeluarkan Bupati Lampung Barat yang berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 karena KTH MWLS dianggap telah memenuhi syarat. Sebelum memperoleh izin sementara tersebut, masyarakat telah lama memanfaatkan lahan dan hasil hutan secara ilegal. Dengan keluarnya izin sementara tersebut rumah tangga yang menjadi anggota KTH MWLS telah resmi dan legal dalam mengelola lahan hutan/HKm seluas 260,76 hektar. Luas lahan HKm ini dibagi dalam dua kategori areal kelola HKm yaitu 87,12 hektar

Page 23: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

23

sebagai areal perlindungan dan areal budidaya seluas 173,64 hektar (Waremtahu, 2010). Berdasarkan peraturan No. 37/Menhut-II/2007, pada desember 2007 KTH MWLS memperoleh izin IUPHKm definitif dengan lama kontrak selama 35 tahun. Dengan diperolehnya izin IUPHKm tersebut maka KTH MWLS yang mendapatkan hak pengelolaan dimungkinkan melakukan kegiatan pertanian sesuai konsep wanatani dengan tetap menjaga kelestarian hutan (dengan memelihara dan menjaga tanaman hutan). Mendapatkan izin definitif 35 tahun bukan berarti KTH ini bisa memanfaatkan hutan tanpa kontrol dari pemerintah, terutama pemerintah daerah. Izin definitif sewaktu-waktu bisa dicabut apabila KTH ini terbukti tidak menjalankan kewajiban mereka terutama dalam menjaga kelestarian hutan. Evaluasi dan monitoring dilakukan sedikitnya lima tahun sekali, untuk mengetahui apakah KTH menjalankan kewajiban mereka dan sejauh mana HKm mampu memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Dalam hal perencanaan, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengelolaan lahan HKm, para anggota dan pengurus KTH ini membuat aturan kelompok yang bersifat mengikat sebagai dasar bagi pengurus dan anggota bertindak. Salah satu aturan yang telah disepakati adalah anggota menyanggupi menanam tegakan sedang dan tinggi dengan minimal 400 pohon per hektarnya. Dengan presentasi 70:30 yaitu 70% merupakan tanaman tegakan sedang yang dapat dimanfaatkan seperti tanaman buah-buahan, dan minimal 30% merupakan tegakan tinggi yang umumnya tanaman kayu yang tidak bisa diambil manfaatnya. Dalam prakteknya, belum semua anggota KTH ini telah menjalankan aturan tersebut, namun para anggota KTH ini bisa menanam tegakan sesuai ketentuan tersebut secara bertahap.

Guna mempermudah koordinasi dan komunikasi, KTH MWLS membagi lagi anggotanya dalam empat sub kelompok yaitu Mekar Sari, Mekar Asih, Sb Rejeki dan Jasundo. Dengan pembagian tersebut para anggota KTH MWLS lebih mudah mengerti dan memahami permasalahan antar anggota. Sehingga tingkat kerja sama dan kekompakan antar anggota cukup baik. Selain melakukan diskusi antar anggota, KTH MWLS juga bergabung dengan kelompok diskusi bernama Warem Tahu (Wadah rembuk petani hutan). Waremtahu berfungsi untuk menjalin komunikasi anggota-anggota KTH agar dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan lahan HKm serta pemeliharaan hutan. Berdasarkan hasil survei, penguasaan lahan anggota KTH MWLS terdiri dari lahan marga (sawah dan kebun/ladang) dan lahan hutan/HKm. Rata-rata lahan marga yang dikuasai rumah tangga anggota KTH MWLS seluas 0,16 hektar untuk lahan sawah (minimum 0 hektar, maksimum 2,24 hektar) dan 0,36 hektar untuk kebun/ladang (minimum 0 hektar, maksimum 6,25 hektar). Lahan marga biasanya ditanami padi, kopi, lada, sayuran (cabe, tomat, petai) dan buah-buahan (nangka, pisang, durian). Sedangkan penguasaan lahan hutan/HKmnya, rata-rata rumah tangga menguasai 1,66 hektar lahan HKm (minimum 0,08 hektar dan maksimum 12,5 hektar). Jenis tanaman yang ditanam di lahan HKm adalah kopi, lada, nilam, sayuran (cabe, tomat), buah-buahan (nangka, durian, jengkol, pisang, alpukat) dan tanaman kayu seperti cempaka, tenam, randu. Dengan mengikuti program HKm, anggota KTH MWLS memperoleh rata-rata tambahan penguasaan lahan sebesar

Page 24: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

24

1,67 hektar (dari rata-rata lahan marga yang dikuasai 0,43 hektar; rata-rata lahan marga + hutan/HKm yang dikuasai 2,1 hektar).

Tabel 14. Pendapatan RT per kapita per Tahun dari Kelima Kriteria Simulasi

Kriteria Simulasi Rata-rata Pendapatan RT per kapita per Tahun

Tri Budi Syukur Tugu Sari Simpang Sari

Dengan HKm (Simulasi a) Rp5.507.248,- Rp4.435.895,- Rp4.022.961,-

Tanpa income kopi (Simulasi b) Rp3.881.428,- (-29,5%)

Rp2.240.415,- (-49,5%)

Rp2.979.336,- (-25,9%)

Tanpa income HKm dan kopi (Simulasi c)

Rp3.195.268,- (-42%)

Rp2.217.155,- (-50%)

Rp2.412.975,- (-40%)

Tanpa income HKm dan kopi tapi plus mean income dagang (Simulasi d)

Rp3.827.936,- (-30,5%)

Rp3.339.711,- (-24,7%)

Rp2.881.920,- (-28,4%)

Tanpa income HKm dan kopi tapi plus mean income buruh bangunan (Simulasi e)

Rp4.056.394,- (-26,3%)

Rp2.484.802,- (-44%)

Rp2.719.225,- (-32,4%)

Keterangan : angka dalam tanda () artinya persentase penurunan pendapatan pada simulasi (b), (c), (d) dan (e) jika dibandingkan dengan pendapatan pada simulasi (a).

Jika dilihat dari segi pendapatan, rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun di KTH MWLS sebesar Rp17.752.971,-. Dan bila dirinci, pendapatan tersebut berasal dari hasil sawah, kebun/ladang dan hutan. Dimana rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun dari sawah adalah Rp1.416.000,-; dari kebun/ladang sebesar Rp6.519.385,- serta Rp10.119.706,- dari hasil lahan HKm. Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan hasil lahan HKm yakni 56% (dengan hasil kopi yang paling dominan/terbanyak), lalu dari kebun/ladang sebesar 36% dan sawah sebesar 8%.

Tabel 15. Hasil Perhitungan Kemiskinan dengan Lima Kriteria Simulasi

Kriteria Simulasi Persentase Rumah Tangga yang Tergolong

Miskin (%) Tri Budi Syukur

(n = 126) Tugu Sari (n = 34)

Simpang Sari (n = 40)

Dengan HKm (Simulasi a) 4,0 20,6 22,5

Tanpa income kopi (Simulasi b) 22,2 61,8 45,0

Tanpa income HKm dan kopi (Simulasi c) 37,3 61,8 47,5

Tanpa income HKm dan kopi tapi plus mean income dagang (Simulasi d)

23,0 35,3 40,0

Page 25: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

25

Tanpa income HKm dan kopi tapi plus mean income buruh bangunan (Simulasi e)

19,0 58,8 42,5

Sumber : Hasil perhitungan data survei rumah tangga di Sumberjaya, PPK LIPI 2010

Dari besarnya pendapatan tiap rumah tangga tersebut dihitung tingkat kemiskinan rumah tangga anggota KTH MWLS, dengan banyaknya rumah tangga yang tergolong miskin 20,6% (n = 34). Apabila rumah tangga tersebut tidak mengikuti HKm, maka ada 61,8% rumah yang termasuk miskin. Jadi dengan rumah tangga mengikuti HKm dan memperoleh pendapatan dari lahan HKm, terjadi pengurangan kemiskinan sebesar 66,7%.

Gambar 14. Posisi Status Kemiskinan Rumah Tangga Desa Tugu Sari terhadap Garis Kemiskinan dengan Simulasi (a,b,c,d,e)

2.3. Kasus HKm di KTH Setia Wana Bhakti (SWB)

KTH Setia Wana Bhakti yang berada di desa Simpang Sari, kecamatan Sumberjaya memiliki 145 rumah tangga sebagai anggotanya. Sebelum terbentuk KTH SWB, masyarakat telah lama mengolah dan memanfaatkan lahan hutan dengan sembunyi-sembunyi karena tidak mendapatkan izin dari pemerintah. Berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, pada tahun 2002 Bupati Lampung Barat memberikan izin pengelolaan lahan HKm kepada KTH SWB. Seperti halnya dengan KTH MWLS, bagi KTH SWB izin ini yang pertama kali dan berupa izin sementara selama 5 tahun. Izin sementara tersebut telah melegalkan KTH MWLS untuk mengelola lahan hutan/HKm. KTH SWB memperoleh lahan HKm seluas 259 hektar, yang terdiri dari dua kategori areal kelola HKm yaitu 99,04 hektar sebagai areal perlindungan dan areal budidaya seluas 159,96 hektar.

Page 26: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

26

Setelah membuktikan cukup mampu mengelola lahan HKm dengan baik, akhirnya pada bulan desember 2007 KTH SWB mendapat izin IUPHKm definitif dengan lama kontrak selama 35 tahun. Izin tersebut dikeluarkan berdasarkan peraturan No. 37/Menhut-II/2007. Dengan begitu KTH SWB bisa menjalankan kegiatan pengelolaan lahan HKm dengan konsep wanatani. Dimana kegiatan tersebut harus tetap menjaga kelestarian hutan dengan cara memelihara dan menjaga tanaman hutan. Di samping itu, dalam melaksanakan kegiatannya KTH SWB juga dikontrol dan diawasi pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Kontrol dan pengawasan pemerintah diwujudkan dalam program evaluasi dan monitoring terhadap kerja KTH. KTH juga berkewajiban memberikan laporan kegiatan kepada pemerintah. Hasil evaluasi dan laporan kegiatan KTH dapat digunakan sebagai dasar dicabut atau tidak izin definitif tersebut. Seperti halnya KTH MWLS, KTH SWB juga mempunyai aturan kelompok dan kepengurusan. Dalam aturan tersebut juga memuat kesepakatan untuk menanam tegakan sedang dan tinggi dengan minimal 400 pohon per hektarnya. Dengan komposisi 70% ditanami tanaman tegakan sedang dan 30% ditanami tanaman tegakan tinggi. Dimana tanaman tegakan sedang dapat diambil hasilnya (seperti tanaman buah-buahan) dan tanaman tegakan tinggi yang berupa tanaman kayu tidak boleh diambil hasil kayunya. Dari aturan yang ada tersebut, masih banyak anggota KTH SWB yang belum menerapkan aturan komposisi tanaman tegakan sedang/tinggi.

KTH SWB juga bergabung dengan kelompok diskusi bernama Warem Tahu (Wadah rembuk petani hutan). Namun keadaan KTH SWB kurang maju dibandingkan dengan KTH BWL dan MWLS. Hal ini disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang mengerti HKm dan mau perduli dengan sesame anggota KTH. Selain itu, juga dikarenakan kurangnya kegiatan diskusi, koordinasi dan kerja sama antar anggota KTH SWB. Hal ini mengakibatkan anggota-anggota KTH merasa kesulitan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan lahan HKm serta pemeliharaan hutan. Lahan yang dimanfaatkan oleh anggota KTH SWB tergolong dalam lahan marga yang berupa sawah dan kebun/ladang, serta ada juga bukan lahan marga yaitu lahan hutan/HKm. Lahan marga yang dikuasai rumah tangga banyak yang berupa kebun/ladang. Hal ini terlihat dengan nilai rata-rata penguasaan lahan kebun/ladang jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan sawah. Dimana rata-rata penguasaan lahan kebun/ladang sebesar 0,59 hektar. Sedangkan penguasaan lahan sawah sangat kecil yakni rata-ratanya hanya 0,03 hektar dengan 27,5% rumah tangga yang menguasai lahan sawah sebesar 1 hektar tapi juga cukup banyak yang tidak menguasai lahan sawah (50%, n = 40). Bila digabungkan antara lahan sawah dan kebun/ladang, maka rata-rata penguasaan lahan marga di KTH SWB 0,62 hektar. Tanaman yang ditanam di lahan marga KTH SWB antara lain padi, kopi, kelapa, tomat, cabe, pisang, jahe, durian, nangka. Penguasaan lahan hutan/HKm oleh anggota KTH SWB cukup besar yakni dengan rata-rata penguasaannya 1,27 hektar (minimum 0,2 hektar dan maksimum 4 hektar). Ada sekitar 80% rumah tangga anggota KTH SWB menguasai lebih dari 1 hektar lahan hutan/HKm (n = 40). Jenis tanaman yang ditanam di lahan HKm

Page 27: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

27

adalah kopi, lada, nilam, sayuran (cabe, tomat), cengkeh, coklat, jahe, kemiri, jengkol, dan tanaman kayu seperti cempaka, tenam, randu.

Setelah mengikuti program HKm, lahan yang dikuasai anggota KTH SWB semakin luas. Yang semula hanya menguasai lahan marga dengan rata-rata penguasaan sebesar 0,62 hektar, anggota KTH SWB telah memperoleh penambahan lahan hutan/HKm. Jika digabungkan antara penguasaan lahan marga dan hutan, maka rata-rata penguasaan lahan marga + lahan hutan di KTH SWB 1,89 hektar. Dengan begitu anggota KTH MWLS memperoleh rata-rata tambahan penguasaan lahan sebesar 1,27 hektar (berdasar pada hasil survei). Rata-rata pendapatan per tahun rumah tangga anggota KTH SWB cukup besar yakni Rp23.958.569,-. Pendapatan ini bersumber dari hasil sawah, kebun/ladang dan hutan dengan rata-rata pendapatan per tahun dari sawah Rp1.920.000,- (6,31%), dari kebun/ladang Rp15.394.529,- (50,59%) dan Rp13118369,- (43,1%) dari hasil lahan HKm. Berbeda dengan KTH BWL dan MWLS, hasil kebun/ladang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan rumah tangga anggota KTH SWB. Tingkat kemiskinan rumah tangga anggota KTH MWLS cukup tinggi dan paling tinggi dibandingkan dengan KTH BWL dan MWLS. Dimana rumah tangga yang tergolong miskin 22,5% (n = 40). Apabila rumah tangga tersebut tidak mengikuti HKm, maka ada 47,5% rumah yang termasuk miskin. Jadi dengan rumah tangga mengikuti HKm dan memperoleh pendapatan dari lahan HKm, terjadi pengurangan kemiskinan sebesar 52,6%. Gambar 15. Posisi Status Kemiskinan Rumah Tangga Desa Simpang Sari terhadap

Garis Kemiskinan dengan Simulasi (a,b,c,d,e)

Page 28: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

28

C. MODEL PERCEPATAN PENGURANGAN KEMISKINAN Di dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, gagasan yang mengaitkan antara kehutanan dengan kemiskinan di sekitar hutan dicantumkan pada pasal pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.5 Penetapan pasal itu walaupun dianggap tidak sesuai dengan yang dikehendaki namun merupakan suatu prestasi dari negosiasi panjang kalangan aktivis gerakan masyarakat sipil antara lain di bawah koordinasi FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) kepada sejumlah anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) saat itu. Kekhawatiran kalangan aktivis itu menjadi kenyataan karena pasal itu selama ini dianggap oleh rimbawan (forester) di Kementerian Kehutanan bukan sebagai pasal yang mengatur pengurangan kemiskinan di sekitar hutan. Dengan kata lain, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan di sekitar hutan tidak memiliki kaitan pasal yang kuat. Hal ini kemudian menjadi kendala untuk mendorong kebijakan pengurangan kemiskinan di sekitar hutan. Walaupun tidak memiliki kaitan pasal di dalam Undang-undang Kehutanan secara eksplisit namun kalangan aktivis ini terus berupaya mendorong kebijakan social forestry sambil melihat peluang di dalam dinamika kebijakan nasional khususnya yang terkait dengan pengurangan kemiskinan. Upaya yang tak kenal lelah ini menemukan peluang pada kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan PNPM Mandiri. Peluang ini dianggap penting karena produk-produk kebijakan social forestry yaitu HKm, Hutan Desa dan Kemitraan tidak ditetapkan sebagai kebijakan penanggulangan kemiskinan. Program-program social forestry memang telah berperan besar dalam menurunkan tingkat kemiskinan di pedesaan di sekitar hutan sebagaimana ditunjukkan dalam kajian ini namun latar belakang kebijakan social forestry adalah untuk merehabilitasi kawasan hutan yang kritis, bukan untuk mengurangi kemiskinan. Bagaimanapun kalangan aktivis pendukung social forestry ini sadar bahwa kemiskinan di sekitar hutan merupakan masalah multi-dimensional yang tidak bisa ditangani secara sektoral, apalagi tanpa kaitan pasal di dalam Undang-undang Kehutanan yang kuat. Pandangan ini mempunyai implikasi diperlukannya sebuah integrasi antar sektor dalam penanganan kemiskinan di sekitar hutan. Untuk itu, dalam pandangan ini, isu kemiskinan di sekitar hutan harus diangkat secara nasional agar memperoleh perhatian dalam kebijakan nasional pengurangan kemiskinan. Upaya itu tampak membuahkan hasil terlihat dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan yaitu P.16/Menhut/2011 tentang PNPM Mandiri Sektor Kehutanan. Dipilihnya skema PNPM Mandiri Sektor Kehutanan tidak terlepas dari kaitan pasal pemberdayaan masyarakat di dalam Undang-undang Kehutanan dan adanya kluster kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan yaitu kluster pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan pasal pemberdayaan masyarakat di dalam Undang-undang Kehutanan. Dengan demikian, kebijakan pengurangan kemiskinan di sekitar hutan di bawah paradigma social forestry akan diakselerasikan dengan mekanisme pemberdayaan masyarakat yang ditetapkan dalam PNPM Mandiri sektor kehutanan secara nasional.

5 Wawancara dengan Prof. San Afri Awang: Ketua FKKM, Dosen Fak. Kehutanan UGM, dan Staf

Khusus Menteri Kehutanan

Page 29: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

29

Dengan ditetapkannya PNPM Mandiri Sektor Kehutanan tersebut, social forestry memperoleh ruang kebijakan baru khususnya untuk mengembangkan PHBM dan HKm sebagai komponen dalam mekanisme pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Bagaimanapun ditetapkannya PNPM Mandiri Sektor Kehutanan harus dipandang sebagai sebuah momentum untuk membangun sinergi antar sektor dalam strategi pengurangan kemiskinan di sekitar hutan. Dalam hal ini, sektor kehutanan telah sejak lama mengembangkan social forestry antara lain dalam bentuk model PHBM dan HKm yang telah berperan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di sekitar hutan. Walaupun demikian, fungsi model-model tersebut belum optimal karena implementasi program tersebut dilakukan secara sektoral. Dengan demikian model-model tersebut penting untuk dikembangkan dalam suatu mekanisme pemberdayaan masyarakat desa-desa di sekitar hutan melalui sinergi antar sektor yang terkait. Persoalannya adalah bagaimana mengembangkan model-model tersebut sebagai komponen pemberdayaan masyarakat sehingga berfungsi secara optimal dalam pengurangan kemiskinan di sekitar hutan? 1. Paradigma Pembangunan Desa di Sekitar Hutan Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diawali dengan sebuah bangunan paradigma yang didasarkan pada kritik pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sebagai berikut:

Pertama, pembangunan pedesaan yang ditandai dengan modernisasi di semua bidang telah berdampak pada marjinalisasi dan kemisknan. Salah satu bidang modernisasi yang menjadi tumpuan pembangunan pedesaan sampai sekarang adalah modernisasi di sektor pertanian. Program revolusi hijau setidaknya mengandung dua kegagalan yaitu a) menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar, dan b) menciptakan kesenjangan antara “desa sawah” dan “desa hutan” mengingat intensifikasi pertanian hanya dilakukan di sawah, tidak di “hutan”. Pertanian di dalam hutan atau yang dikenal dengan istilah perladangan ataupun wanatani (agroforestry) dibiarkan menjadi sistem pertanian yang ekstensif dan tanpa program bantuan pemerintah ataupun pihak swasta. Dalam paradigma lama yang memegang prinsip kehutanan ilmiah secara kuat yaitu timber management, praktik perladangan serta wanatani bahkan dilarang secara paksa sehingga para peladang berpindah harus dimukimkan dengan pengajaran pertanian menetap. Kondisi itu mengakibatkan desa hutan mengalami marjinalisasi dan kemiskinan secara multi-dimensional. Kedua, pemberdayaan masyarakat desa telah bergeser dari cara mobilisasi massa pada jaman Orde Baru ke cara partisipasi pada era Reformasi. Metode partisipasi sekarang jauh berbeda dengan metode partisipasi yang diciptakan oleh kalangan intelektual-aktivis pada jaman Orde Lama atau yang dikenal dengan istilah riset aksi partisipatoris yang merupakan cikal-bakal lahirnya pendekatan buttom up, participation action riset dan pendekatan partisipasi yang dikembangkan oleh Bank Dunia sekarang ini (White, 2006). Metode partisipasi sekarang cenderung dilakukan dalam waktu yang singkat. Selain itu, metode partisipasi sekarang juga memiliki kecenderungan pragmatis yang dilakukan dengan

Page 30: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

30

hanya menemui tokoh-tokoh masyarakat yang biasa disebut dengan istilah Tomas (tokoh-tokoh masyarakat) dan Toga (tokoh agama) serta elit-elit desa lainnya. Hal ini jauh berbeda dengan riset aksi partisipatoris yang dilakukan pada awal diciptakannya yaitu dengan cara tinggal bersama masyarakat miskin dalam kurun waktu yang lama dan dengan kode etik tertentu seperti prinsip: “3 sama, 4 jangan dan 4 harus”.6 Metode partisipasi sekarang kurang bisa melihat akar masalah kemiskinan di desa-desa di sekitar hutan sehingga kebijakan pengurangan kemiskinan kurang tepat sasaran..

2. Metode Pengukuran Kemiskinan di Sekitar Hutan Bangunan paradigmatis tersebut juga mempunyai implikasi dalam penataan metodologi khususnya terkait penataan data penduduk miskin di desa-desa sekitar hutan. Perbedaan data dari berbagai sumber telah melahirkan diskusi-diskusi yang lebih kritis mengenai metode pengukuran kemiskinan di sekitar hutan sehingga jumlah penduduk miskin di sekitar hutan yang sekarang ada masih perlu diperbaiki.

Pertama, data penduduk miskin di dalam dan di sekitar hutan harus tersedia dengan baik. Analisa dan perkiraan yang ada (Kementerian Kehutanan dan BPS 2007-2009; Brown, 2004; Sunderlin, 2000; CESS, 2005; Kementerian Kehutanan; dan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal) bisa digunakan sebagai informasi awal namun belum bisa digunakan sebagai dasar intervensi ataupun pembuatan kebijakan pengurangan kemiskinan karena masih merupakan gambaran umum. BPS (Badan Pusat Statistik) dalam hal ini mengemban tugas untuk melakukan pendataan penduduk miskin di desa-desa di dalam dan di sekitar hutan. Pendataan ini hendaknya dilakukan berkoordinasi dengan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dibawah koordinasi Wakil Presiden RI. Hal ini berarti, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) perlu mencantumkan social forestry sebagai salah satu Prioritas Nasional dalam strategi pengurangan kemiskinan khususnya di desa-desa sekitar hutan. Selama ini social forestry hanya dicantumkan dalam “Arah Kebijakan Prioritas 9” yaitu Lingkungan Hidup dan Pengendalian Bencana, bukan dalam prioritas pengurangan kemiskinan. Kedua, metode pengukuran kemiskinan di desa-desa di dalam dan di sekitar hutan hendaknya disesuaikan dengan kondisi keterpencilannya ataupun kondisi daerah pedalaman desa-desa itu sehingga variabel-variabel pengeluaran yang digunakan oleh BPS dalam pengukuran kemiskinan tidak bias pengeluaran masyarakat kota dan lebih relevan. Selain itu, metode yang digunakan untuk menentukan kemiskinan hendaknya tidak hanya

6 3 sama: ”sama bekerja, sama makan dan sama tidur dengan buruh tani atau tani miskin”. 4

jangan: ”jangan tidur di rumah kaum penghisap di desa; jangan menggurui kaum tani; jangan merugikan tuan rumah dan kaum tani; jangan mencatat di hadapan kaum tani”. 4 harus: ”harus melaksanakan 3 sama sepenuhnya; harus rendah hati, sopan-santun dan suka belajar dari kaum tani; harus tahu bahasa dan mengenal adat-istiadat setempat; dan harus membantu memecahkan kesulitan-kesulitan tuan rumah, kaum tani dan partai setempat” (dalam White, 2006).

Page 31: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

31

didasarkan pada variabel-variabel pengeluaran yang digunakan dalam survei rumah-tangga desa-desa di dalam dan di sekitar hutan namun juga perlu dikombinasikan dengan kasus-kasus kemiskinan di dalam dan di sekitar hutan yang dilakukan dengan metode riset aksi partisipatoris yang benar-benar membumi. Metode kombinasi ini penting untuk dikembangkan mengingat kemiskinan di desa-desa di dalam dan di sekitar hutan mempunyai karakteristik yang spesifik.

3. Kemitraan Pemberdayaan Desa di Sekitar Hutan Untuk mengembangkan model-model social forestry seperti PHBM dan HKm sebagai komponen pemberdayaan masyarakat desa di sekitar hutan diperlukan suatu pendekatan yang disebut kemitraan yang terintegrasi baik antar sektor maupun antara pemerintah dengan swasta. Pendekatan ini akan memecahkan masalah social forestry yang selama ini hanya ditangani secara sektoral dan mensinergikan kebijakan yang sudah berjalan yaitu PHBM dan HKm dengan kebijakan nasional penangulangan kemiskinan anatra lain PNPM Mandiri Sektor Kehutanan. Dalam kaitan dengan hal itu, ada perbedaan kelembagaan antara PHBM dan HKm dengan kelembagaan PNPM mandiri yang harus disinergikan. Kelembagaan basis PHBM dan HKm berada di tingkat desa atau di tingkat akar rumput yaitu LMDH dan KTH, sedangkan kelembagaan basis PNPM Mandiri berada di tingkat kecamatan yang merupakan penjelmaan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) sebelumnya. Perbedaan kelembagaan antara kedua program ini bisa menimbulkan masalah khususnya dalam jangkauan dan pemerataan apabila hal itu tidak segera diatasi. Dengan mempertimbangkan kedekatan LMDH di tingkat akar rumput, lembaga ini bisa dikembangkan sebagai wadah baru kemitraan yang terintegrasi. Pengembangan LMDH sebagai lembaga baru kemitraan tentu tidak mudah karena lembaga itu terkooptasi oleh mitra usahanya sehingga seringkali fungsinya menjadi mandul. Dengan demikian, pengembangan lembaga ini sebagai wadah kemitraan yang baru harus diikuti dengan reorientasi serta penataan visi dan kelembagaan. Lembaga baru ini berfungsi sebagai wadah kemitraan yang mensinergikan kepentingan antar sektor ke dalam suatu mekanisme pemberdayaan masyarakat. Faktor utama yang seringkali menjadi kendala dalam social forestry antara lain adalah a) jenis tanah, kondisi kesuburan lahan hutan dan luas petak lahan hutan yang dikuasai; b) teknik wanatani (agroforestry) yang sesuai dengan kondisi lahan dan budaya pertanian masyarakat setempat; c) kelembagaan social forestry serta komponen pendukung masyarakat sipil; d) dukungan stakeholder lintas sektoral terutama dari kalangan pemerintah daerah dan swasta; dan e) kemampuan permodalan dan teknologi termasuk penyediaan bibit, pupuk dan obat hama, pengolahan hasil-hasil pertanian serta pemasaran hasil pertanian. Dalam hal ini kemitraan tersebut setidaknya harus dilakukan oleh beberapa sektor terkait antara lain sektor kehutanan, sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor koperasi dan usaha kecil menengah dan pemberdayaan masyarakat. Peran stakeholder, permasalahan dan rekomendasi disajikan pada sebuah matrik di bawah (Lampiran 1a dan 1b: Matrik Stakeholder, Permasalahan dan Rekomendasi untuk PHBM dan HKm). Dengan demikian, fungsi dan peran kemitraan ini sangat penting dalam

Page 32: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

32

pembangunan desa-desa di sekitar hutan, pemberdayaan masyarakat desa di sekitar hutan, dan menjadi wadah kemitraan termasuk untuk mengelola dana-dana kemitraan yang berasal dari berbagai sektor tersebut. 4. Model Penguatan Akses, Kontrol dan Partisipasi 4.1. Model Penguatan Akses Akses merupakan komponen penting yang memungkinkan masyarakat desa di sekitar hutan terlibat dalam pengelolaan hutan melalui skema PHBM maupun HKm. Kedua skema tersebut terkait dengan mekanisme perijinan dan mekanisme pelaksanaan ijin. Dalam kaitan dengan hal itu, tim peneliti menemukan celah-celah akses baik pada skema PHBM maupun HKm dan model penguatan akses, sebagai berikut: Mekanisme perijinan dalam skema PHBM antara lain mempunyai celah sehingga diperlukan model penguatan akses sebagai berikut:

- Mekanisme perijinan ditentukan Perum Perhutani melalui pembentukan LMDH dan perjanjian kerjasama (kontrak berdasarkan akte notaris). Isi perjanjian terutama menyangkut bagi hasil harus dibicarakan bersama dengan LMDH.

- Di dalam proses perijinan tidak ada pendamping sehingga proses perijinan tergantung pada inisiatif tokoh masyarakat desa dan Perum Perhutani di wilayah yang bersangkutan. Pendamping diperlukan selama proses pembentukan LMDH, kontrak, dan proses selanjutnya.

- Masa ijin (di desa Kalimati) kurang dari daur tanaman Jati yaitu 25 tahun, sedangkan daur tanaman Jati mencapai 40-60 tahun. Masa ijin ini perlu diperbaiki sesuai daur tanaman Jati.

Dalam pelaksanaan ijin terdapat celah sehingga diperlukan strategi sebagai berikut:

- Terjadi pemindahtanganan ijin yaitu berupa hak kelola yang dimiliki oleh suatu rumah-tangga pada petak lahan tertentu kepada rumah-tangga lain. Kontrol terhadap pemindahtanganan perlu dilakukan oleh LMDH.

- Terjadi penggarapan lahan oleh pihak luar desa karena penduduk desa setempat tidak mampu menggarap lahan sehingga memungkinkan dilakukan “jual-beli” kesepakatan oleh oknum Perhutani kepada tenaga penggarap yaitu berupa penanaman tanaman pokok dengan lahan garapan. Kontrol dari Perhutani dan LMDH setempat diperlukan.

- Masih adanya magersari dalam PHBM menyebabkan kerancuan mekanisme perijinan antara magersari atau PHBM. Magersari hendaknya disesuaikan dengan PHBM.

Sedangkan mekanisme perijinan HKm mempunyai celah sehingga diperlukan model penguatan akses sebagai berikut:

Page 33: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

33

- Sosialisasi HKm sangat kurang terutama oleh Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan terhadap masyarakat sekitar hutan sehingga terget HKm tidak tercapai. Sosialisasi kepada masyarakat desa sekitar hutan terutama yang sudah ada pencadangan areal HKm sangat diperlukan.

- Areal yang dicadangkan oleh Menteri Kehutanan pada kawasan hutan untuk HKm tidak disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar hutan karena tidak ditentukan secara partisipatif. Pencadangan areal perlu dibicarakan kembali bersama masyarakat setempat.

- Syarat-syarat pengajuan perizinan HKm umumnya tidak dipahami oleh masyarakat sekitar hutan terutama yang belum ada KTH. Sedangkan pembentukan KTH perlu pendampingan. Sementara itu tenaga pendamping dari Dinas Kehutanan sangat terbatas, begitu pula tenaga pendamping dari kalangan LSM. Dengan demikian penting untuk bekerjasama dengan badan penyuluh daerah.

Dalam pelaksanaan ijin HKm terdapat celah sehingga diperlukan strategi sebagai berikut:

- Kemeterian Kehutanan dan Dinas Kehutanan tidak mampu mengontrol pihak-pihak yang diberi ijin secara terus-menerus sehingga terjadi pemindahtanganan ijin yaitu berupa hak kelola HKm oleh suatu rumah-tangga ke rumah-tangga yang lain, bahkan ke luar desa. KTH perlu melakukan kontrol terhadap pemindahtangan ijin.

- Lemahnya kontrol terhadap pemindahtanganan hak kelola ini berimplikasi pada lepasnya hak kelola dari rumah-tangga sasaran dan peluang terjadinya akumulasi penguasaan hak kelola lahan hutan oleh kelompok masyarakat non petani atau petani kaya. KTH perlu mengoreksi hak pengelolaan lahan hutan dengan prioritas sasaran rumah-tangga miskin penggarap lahan hutan.

4.2. Model Penguatan Kontrol Dalam kaitannya dengan kontrol terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu kontrol terhadap lahan dan kontrol terhadap tanaman. Keduanya berpengaruh langsung terhadap pendapatan. Kajian yang dilakukan oleh tim peneliti LIPI telah menghasilkan ketentuan-ketentuan minimum yang disyaratkan agar suatu rumah-tangga miskin di desa di sekitar hutan yang terlibat dalam social forestry bisa keluar dari bawah garis kemiskinan yaitu sebagai berikut:

Pertama, kontrol terhadap lahan yang mensyaratkan luas lahan minimum yaitu berupa syarat petak lahan hutan minimum yang harus dikuasai oleh rumah-tangga miskin di desa di sekitar hutan agar rumah-tangga itu bisa keluar dari bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh syarat luas lahan minimum yang harus dikuasai oleh suatu rumah-tangga petani-hutan yang miskin untuk keluar dari bawah garis kemiskinan pada kasus PHBM dan HKm di lima desa lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

- Luas lahan minimum untuk PHBM desa Kalimati: 3,45 hektar

Page 34: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

34

- Luas lahan minimum untuk PHBM desa Jabaranti: 1,67 hektar - Luas lahan minimum untuk HKm desa Tribudi Syukur: 0,57 hektar - Luas lahan minimum untuk HKm desa Tugu Sari: 1,05 hektar - Luas lahan minimum untuk HKm desa Simpang Sari: 0,66 hektar

(keterangan : perhitungan luas lahan minimum berdasarkan tingkat produktivas lahan di masing-masing lokasi, lampiran 2).

Kedua, kontrol terhadap tanaman yang mensyaratkan komposisi tanaman minimum yang sering diartikan sebagai kompetisi antara kayu tanaman pokok dengan tanaman pertanian yaitu syarat jumlah kayu tanaman pokok (Jati, Pinus, Mahoni, Cempaka) dan jumlah tanaman pertanian minimum (Padi huma, Jagung, Singkong, Kacang Tanah, sayur-sayuran dan buah-buahan serta tanaman perdagangan seperti Nilam dan Kopi) dalam satuan luas tertentu yang berfungsi maksimum dalam kelestarian lingkungan hutan dan memberikan pendapatan minimum kepada rumah-tangga miskin untuk keluar dari bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh syarat komposisi tanaman minimum yang harus diusahakan oleh suatu rumah-tangga petani-hutan yang miskin untuk keluar dari bawah garis kemiskinan pada kasus PHBM dan HKm di lima desa lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

- Komposisi tanaman minimum untuk PHBM desa Kalimati: 800 kayu tanaman pokok (Jati) dan nilam / kopi / palawija / buah-buahan

- Komposisi tanaman minimum untuk PHBM desa Jabranti: 800 kayu tanaman pokok (Pinus dan Mahoni) dan 38.400 jagung / 114.400 kacang tanah / 9.600 sinkong / 84.000 padi gogo

- Komposisi tanaman minimum untuk HKm desa Tribudi Syukur: 260 kayu tanaman pokok (Cempaka dan Sengon) dan 1300 tanaman kopi per hektar

- Komposisi tanaman minimum untuk HKm desa Tugu Sari: 428 kayu tanaman pokok (Cempaka dan Sengon) dan 2140 tanaman kopi per hektar

- Komposisi tanaman minimum untuk HKm desa Simpang Sari: 316 kayu tanaman pokok (Cempaka dan Sengon) dan 1580 tanaman kopi per hektar

Ketiga, implikasi dari kontrol lahan dan tanaman tersebut adalah

pendapatan minimum rumah-tangga dari usaha wanatani yang diperoleh rumah-tangga miskin di desa di sekitar hutan baik dari sumber pendapatan kayu maupun bukan kayu untuk keluar dari bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh syarat pendapatan minimum perkapita per tahun suatu rumah-tangga petani-hutan yang miskin untuk keluar dari bawah garis kemiskinan pada kasus PHBM dan HKm di lima desa lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

- Pendapatan minimum untuk PHBM desa Kalimati: Rp 10.112.136,- - Pendapatan minimum untuk PHBM desa Jabaranti: Rp 7.421.172,- - Pendapatan minimum untuk HKm desa Tribudi Syukur: Rp 6.072.742,-

Page 35: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

35

- Pendapatan minimum untuk HKm desa Tugu Sari: Rp 6.393.515,- - Pendapatan minimum untuk HKm desa Simpang Sari: Rp 6.783.065,-

(Perhitungan selebihnya mengenai ketentuan minimum tersebut dibuat dalam tabel di bawah ini: Lampiran 3).

Ketentuan-ketentuan minimum tersebut tidak bersifat kaku melainkan lentur. Sebagai contoh pada kasus PHBM desa Kalimati, syarat minimum luas lahan yang harus dikuasai oleh rumah-tangga miskin agar keluar dari bawah garis kemiskinan adalah 3,45 hektar. Syarat minimum luas lahan ini tentu sulit dipenuhi mengingat jumlah penduduk yang besar dan lahan hutan yang dikelola dengan PHBM terbatas. Dengan demikian, syarat minimum luas lahan itu bisa dikurangi namun harus sebanding dengan meningkatnya produktivitas terkait dengan syarat komposisi tanaman minimum termasuk intensifikasi wanataninya, sehingga akan diperoleh syarat pendapatan minimum yang setara untuk keluar dari bawah garis kemiskinan. Perhitungan teknik wanatani khususnya di hutan Jati dan Rimba telah banyak dilakukan oleh para ahli agroforestry sejak masa kolonial Belanda hingga sekarang seperti yang terakhir dibuat oleh Simon dan Kartasubrata. Rujukan ini bisa digunakan sebagai dasar implementasi ketentuan-ketentuan minimum tersebut agar suatu rumah-tangga miskin di sekitar hutan bisa keluar dari bawah garis kemiskinan. Tim peneliti juga mencoba membuat ketentuan komposisi tanaman minimum untuk wanatani pada PHBM dan HKm (Lampiran 2). 4.3. Model Penguatan Partisipasi Partisipasi merupakan komponen yang sangat menentukan keberhasilan PHBM dan HKm. Partisipasi dalam PHBM memiliki celah sehingga diperlukan model penguatan partisipasi sebagai berikut:

- Penetapan areal PHBM ditentukan oleh Perum Perhutani tanpa melibatkan masyarakat setempat. Pada hutan Jati, areal PHBM selalu berpindah mengikuti areal tebang sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dengan demikian penetapan areal HKm perlu direncanakan bersama masyarakat setempat.

- Jenis tanaman pokok yang akan ditanam pada kawasan hutan ditentukan oleh Perum Perhutani tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat, sedangkan untuk tanaman pertanian, Perum Perhutani memberi arahan jenis tertentu yang dianggap sesuai dengan kondisi lahan. Perum Perhutani perlu mengakomodasi usulan LMDH dalam penentuan jenis tanaman pokok dan tanaman pertanian.

Sedangkan partisipasi pada HKm memiliki celah sehingga diperlukan model peguatan partisipasi sebagai berikut:

- Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pencadangan areal HKm sehingga kesesuaian areal HKm rendah. Dengan demikian pencadangan areal HKm oleh Menteri Kehutanan perlu dibicarakan kembali bersama masyarakat setempat.

Page 36: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

36

- Partisipasi masyarakat dalam penentuan jenis tanaman pokok relatif kuat, begitupun dengan jenis tanaman pertanian. Untuk menjaga fungsi kelestarian hutan, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan perlu menentukan standar kompetisi tanaman ideal sehingga jumlah tanaman pokok dan tanaman pertanian bisa hidup bersama dalam fungsi kelestarian hutan dan fungsi ekonomi masyarakat setempat.

5. Model Akselerasi Nasional Skema perbaikan yang dimaksudkan merupakan optimalisasi fungsi social forestry dalam pengurangan kemiskinan. Bagimanapun, penataan internal dalam model PHBM dan HKm tidak cukup untuk meningkatkan efektivitas pengurangan kemiskinan di desa sekitar hutan. Hal ini karena penataan internal bersifat sektoral, sedangkan kemiskinan di desa-desa sekitar hutan bersifat multi-dimensional. Untuk itu, penataan internal pada PHBM dan HKm perlu diakselerasikan dengan kebijakan penanggulangan kemiskinan khususnya di desa sekitar hutan. Adapun model akselerasi itu adalah sebagai berikut:

Page 37: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

37

Model Akselerasi Social Forestry dengan Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan

Model pengurangan kemiskinan melalui social forestry ini bisa direplikasi ke daerah-daerah lain di desa-desa sekitar hutan. Adapun prasyarat replikasi model itu adalah sebagai berikut:

1. Tersedia lahan minimum di kawasan hutan negara untuk pengembangan social forestry dalam bentuk model PHBM dan HKm. Kawasan hutan negara yang bisa dijadikan lokasi pengembangan social forestry itu antara lain berstatus kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Dalam kaitan dengan hal itu, pemerintah telah mencadangkan areal untuk PHBM dan HKm.

Page 38: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

38

2. Terdapat kelompok masyarakat desa sekitar hutan dalam bentuk LMDH dan KTH. Namun demikian, kelompok masyarakat ini umumnya perlu pendampingan teknis terkait pengajuan ijin kelola PHBM dan HKm tersebut. Dengan demikian, diperlukan pendampingan kelembagaan yang merupakan Tupoksi dinas terkait terutama Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan. Namun demikian selama ini pendampingan kelembagaan lebih banyak dimotori oleh kalangan LSM di bidang kehutanan. Dengan demikian perlu kiranya instansi terkait meningkatkan peran pendamping dengan cara menambah sumber daya manusia khususnya yang memiliki keahlian di bidang social forestry.

3. Adanya kepastian ijin kelola PHBM dan HKm sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan yaitu, ijin kelola PHBM adalah selama daur tanaman baik Jati, Mahoni ataupun Pinus. Sedangkan ijin kelola HKm adalah selama 25 tahun dalam bentuk ijin definitif dari pemerintah daerah setempat.

4. Pembinaan budidaya tanaman pertanian di dalam kawasan hutan negara. Pembinaan ini terkait dengan jenis dan komposisi tanaman yang sesuai dengan karakteristik fisik lokasi. Jenis dan komposisi tanaman sangat penting dibina karena petani hutan umumnya kurang memiliki modal awal seperti bibit, pupuk dan obat tanaman serta teknik budidaya tanaman secara intensif di dalam kawasan hutan negara. Untuk itu instansi yang terkait seperti pertanian dan perkebunan, perindustrian, koperasi dan usaha kecil serta permodalan menjadi komponen utama dalam pembinaan komoditas ini.

5. Adanya program nasional penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri sektor Kehutanan yang bisa diintegrasikan ke dalam model PHBM dan HKm sehingga tujuan dan sasaran pengurangan kemiskinan di sekitar hutan lebih bisa tercapai.

D. PENUTUP Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa social forestry khususnya PHBM dan HKm telah berperan dalam pengurangan kemiskinan di desa-desa sekitar hutan. Dengan berbagai penataan antara lain pada tataran paradigmatis, metode pengukuran kemiskinan, lembaga kemitraan, dan akses, kontrol serta partisipasi sebagaimana diuraikan diatas, program-program itu memungkinkan dikembangkan sebagai komponen dalam kebijakan nasional pengurangan kemiskinan di desa-desa di sekitar hutan. Peluang ini bisa tercapai apabila pemerintah dalam hal ini Bappenas menempatkan social forestry sebagai prioritas nasional dalam penanggulangan kemiskinan dan bersama-sama dengan instansi terkait seperti Kementerian Koordinator Perekonomian serta TNP2K membuat regulasi khusus yang mengatur tentang kemitraan dalam pengurangan kemiskinan khususnya di desa-desa sekitar hutan. Regulasi tersebut berfungsi untuk mengintegrasikan sektor-sektor terkait secara sinergis di dalam suatu lembaga kemitraan sehingga pengurangan kemiskinan di desa-desa di sekitar hutan bisa tercapai.

Page 39: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

39

DAFTAR PUSTAKA

Affianto, Agus, dkk. 2005, Analisis Biaya Pendapatan Dalam Pengelolaan PHBM, Sebuah Panduan Perhitungan Bagi Hasil, Latin, Bogor.

Brown, T. 2004, Analysis of Population and Poverty in Indonesia’s Forest. Draft. Natural Resources Management Program Report, Jakarta.

CESS-ODI, 2005, “Links Between Forests and Poverty in Indonesia. What Evidence? How Can Targeting of Poverty in and Near Forests be Improved?”, Briefing Paper II, March, Jakarta.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo dan Chip Fay, 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah, Permasalahan dan Kerangka Tindakan, World Agroforestry Centre, Bogor.

Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007, Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007.

Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2009, Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009.

Gutomo Bayu Aji, Joko Suryanto, dan Temi Indriati Miranda, 2009, Strategi Alternatif Mengurangi Kemiskinan Dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Elmatera Publishing, Yogyakarta.

Husken, F. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman : Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. PT Grasindo. Jakarta.

Kartasubrata, Junus, 2003, Social Forestry and Agroforestry in Asia.

Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhamtani (eds.), 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta-Singapore.

Laporan Perhutani, t.t., Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Melalui PHBM Plus.

Li, Tania Murray, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Peluso, Nancy Lee, 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java, University of California Press, Berkeley.

Riyanto, Budi, 2007. ”Konstruksi Hutan Adat Menurut Undang-undang Kehutanan”, dalam Myrna Safitri (ed.), 2007, Konstruksi Hutan Adat, Pilihan Hukum Pengakuan Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Hutan, FKKM dan Ford Foundation.

Safitri, Myrna A., 2010, Akses Pada Keadilan Tenutial di Indonesia: Perijinan Hutan Kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, Lampung dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Rekomendasi Kebijakan.

Simon, Hasanu, 2004, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Page 40: STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN DI DESA-DESA SEKITAR … · dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan dan di daerah perkotaan. Namun demikian kondisi ini kurang diperhatikan

40

-------------------, 2007, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sunderlin, W.D., Resosudarmo, I.A.P., Rianto, E. dan Angelsen, A. 2000. The Effect of Indonesia’s Economic Crisis on Small Farmers and Natural Forest Cover in The Outer Islands. Occasional Paper 29(E). Bogor, CIFOR.

Tsing, Anna L., 1993, In The Realm oh The Diamond Queen: Marginality in an Out-of-The-Way Place, Princenton: Princenton University Press.

Vandergeest dan Nancy Lee Peluso, 2006. “Empires of Forestry: Professional Forestry and State Power in Southeast Asia”, Part 1 dan 2. Environment and History 12 (2006): 31–64 & Environment and History 12 (2006): 359–93, The White Horse Press

White, Ben, 2006, “Diantara Apologia Diskursus Kritis: Transisi Agraria dan Pelibatan Dunia Ilmiah di Indonesia”, dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Hadiz dan Dakidae, Equinox.