snapshot strategi pengembangan citra merek … · selama penyusunan laporan ... pendahuluan...

92
i STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF i SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Upload: lamtruc

Post on 10-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

i

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

ii

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

ii

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

1

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

1

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KATA PENGANTAR

Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang senantiasa mengiringi kami

selama penyusunan laporan “Snapshot Citra Merek Produk Kreatif” ini dan juga selama penelitian

yang kami lakukan yang bermuara pada laporan ini. Laporan ini merangkum dan menggambarkan

hasil penggalian dan pengolahan informasi dan data yang kami peroleh dari berbagai sumber

mengenai pengembangan citra merek produk kreatif. Informasi dan data tersebut telah kami

gali melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan pelaku UMKM industri kreatif, wawancara

mendalam dengan lembaga pemerintah daerah yang terkait dengan industri dan ekonomi kreatif,

serta hasil survei konsumen produk kreatif.

Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu kami selama

penelitian dan penyusunan laporan ini, terutama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), pemerintah

daerah, pelaku industri kreatif, dan responden survei konsumen yang tersebar di berbagai wilayah

Indonesia. Kami membuka pintu untuk saran dan kritik sebagai bahan perbaikan kekurangan yang

ada dalam penelitian dan laporan ini agar kami dapat berkontribusi lebih baik dalam penelitian

serupa tentang industri kreatif di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dan juga bermanfaat jangka panjang dalam pengembangan ekonomi dan industri

kreatif nasional.

Jakarta, September 2017

Penyusun

2

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

2

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Daftar Isi

KATA PENGANTAR

TIM PENYUSUN

PENDAHULUAN

STRATEGI PENGEMBANGAN

CITRA MEREK PRODUK KREATIF:

SEBUAH URGENSI

9

1

20

6 10

5

29

23

24

26

27

LANDASAN TEORI

KUPANG

PALEMBANG

JAKARTA

MAKASSAR

AMBON

33

34

36

38

41

MEMBANGUN IDENTITAS MENUJU CITRA INDUSTRI KREATIF

METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF

INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

CITRA MEREK

UMKM DAN CITRA MEREK

13

14

16

18

DESAIN PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

PENGOLAHAN DATA

KETERBATASAN PENELITIAN

MANADO

SEMARANG

SURABAYA

MEDAN

BANDUNG

43

44

47

49

50

3

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

3

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KESIMPULAN

PENUTUP

82

84

52

SEKTOR KULINER

SEKTOR KRIYA

SEKTOR FASHION

SEKTOR MUSIK

SEKTOR ANIMASI

SEKTOR APLIKASI

54

57

59

61

63

65

MEMAHAMI CITRA MEREK PRODUK KREATIF DI MATA KONSUMEN

68 KENDALA PELAKU INDUSTRI DAN HARAPAN PEMERINTAH

KUPANG

PALEMBANG

JAKARTA

MAKASSAR

AMBON

MANADO

SEMARANG

SURABAYA

MEDAN

BANDUNG

70

71

73

74

75

76

77

78

79

80

4

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

4

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

5

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

5

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

PEREKAYASA UTAMA 1

Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D.

Dr. Fathony Rahman

PEREKAYASA UTAMA 2

Dr. Zaki Saldi

Stevanus Wisnu Wijaya, Ph.D.

PENGARAH

Rektor Universitas Prasetiya Mulya

Prof. Dr. Djisman S. Simanjuntak

GRAFIK DAN LAYOUT Firdaus

Detty Sathia

PEMBANTU PENELITI

Fitriana Nurindah Kusumadewi

Gregorius Dimas Hapsoro

Leli Ira Novita

Risqa Tsania

Yohana Desi

Fanni Dyah Anggraini

PEREKAYASA MADYA

Fredy Utama, MM.

Hanesman Alkhair, MM.

Joklan Imelda Goni, MM.

Arief Budiman, M.Si.

Donil Beywiyarno, S.E., M.Com (Extn)

PEREKAYASA MUDA

Muhamad Ridwan

Chevy Andhika Putra

Annanias Shinta Dewi

Tim Penyusun

Universitas Prasetiya Mulya

Undergraduate Program - BSD Campus

Jl. BSD Raya Utama, BSD City, Serpong, Tangerang , Indonesia 15820

P +62-21-304-50-500 ext 2126 / F +62-21-304-50-555 / W www.prasetiyamulya.ac.id

Graduate Program | Business School - Cilandak Campus

JL. R. A. Kartini (TB Simatupang), Cilandak Barat. Jakarta Selatan, Indonesia 12430

P +62-21-751-1126 | F +62-21-751-1128 | W www.pmbs.ac.id

6

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

6

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

PE

ND

AH

UL

UA

N

7

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

7

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF: SEBUAH URGENSI 9

9

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pada tahun 2008, Kementerian Perdagangan RI

menerbitkan buku Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia 2025 sebagai publikasi visi pemerintah

dalam mengembangkan industri kreatif nasional yang

berkontribusi secara signifikan terhadap kemajuan bangsa

(Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025,

2008). Instruksi Presiden RI nomor 6 tahun 2009 tentang

Pengembangan Ekonomi Kreatif mempertegas komitmen

pemerintah dalam memperkuat sektor ini. Sebagai

kelanjutan agenda tersebut, pemerintah menjadikan

pengelolaan ekonomi kreatif sebagai tugas lembaga

kementerian, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif, yang merupakan bagian dari Kabinet Indonesia

Bersatu II (2011- 2014).

Dalam rentang 2008–2015, dapat dikatakan bahwa

istilah “industri kreatif” di Indonesia menjadi semakin

populer seiring dengan semakin kuatnya sektor ini dalam

menggerakkan roda perekonomian nasional. Rata-rata

kontribusi industri kreatif di Indonesia untuk tahun 2010-

2013 adalah 7,13% dari total PDB (Zulaikha, 2016). Sektor

ini juga telah didukung oleh tenaga kerja sebesar sekitar

11,8 juta jiwa di tahun 2012 yang meningkat sampai 15,9

juta jiwa di tahun 2015 (Rusiawan et al., 2017; Zulaikha,

2016). Sebagai kulminasi komitmen dan visi pemerintah

dalam mengawal terus berkembangnya sektor ini dengan

beragam potensinya, Presiden RI mendelegasikan

pengelolaan ekonomi kreatif nasional yang lebih terfokus

dan strategis kepada Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)

yang terbentuk pada tahun 2015.Sejak pembentukannya,

Bekraf dengan program dan kebijakannya telah menaungi

aktivitas pengembangan industri kreatif nasional yang

mengakomodasi pelaku industri kreatif di tanah air.

Karakter kewirausahaan sangat kental dalam sektor

yang berbasis ide-ide kreatif, originalitas, dan inovasi ini,

sehingga tidak mengherankan bahwa banyak pelaku

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang

berkecimpung di industri kreatif. Wirausahawan MKM

industri kreatif, layaknya juga di sektor-sektor non-kreatif,

memiliki banyak tantangan dalam mengembangkan

usahanya. Hal ini secara bertahap telah diidentifikasi oleh

Pengembangan Citra Merek Produk Kreatif: Sebuah Urgensi

Bekraf dalam berbagai forum interaksi dan komunikasi.

Salah satu tantangan yang dihadapi UMKM kreatif adalah

pembentukan dan pengembangan identitas dan citra

merek (brand image). Citra merek memainkan peranan

penting dalam keberlangsungan sebuah usaha, terlepas

dari sektor usaha yang dilakukan – kreatif atau non-kreatif,

maupun skala usaha – MKM atau besar. Penyampaian

pesan sebuah produk dan aktivitas untuk meningkatkan

penjualan selalu berakar dari penciptaan identitas dan

citra merek dan bagaimana mengelolanya.

Di satu sisi, langkah-langkah strategis dalam

pengembangan citra merek telah lazim dilakukan oleh

perusahaan besar yang telah memiliki sumber daya yang

memadai, misalnya dengan pendekatan Strategic Brand

Management (SBM). Di sisi lainnya, pada tingkatan MKM,

pengembangan citra merek bukanlah hal yang lumrah

dilakukan atau menjadi agenda penting, mengingat

keterbatasan sumber daya yang dimiliki UMKM dan

karakteristik pembeda lainnya.

Bekraf melihat potensi peningkatan penjualan produk

serta nilai usaha yang cukup menjanjikan dari sektor

kreatif. Hal ini didasari oleh sumbangsih UMKM kreatif

di tanah air terhadap PDB sebesar Rp852,24 Triliun

dan penyerapan 15,9 juta tenaga kerja pada tahun 2015

(Rusiawan et al., 2017). Dengan usaha pengembangan citra

merek produk kreatif secara tepat oleh para pelaku UMKM

tersebut, sektor ini dapat berkembang secara optimal dan

berkontribusi terhadap perekonomian nasional secara

lebih signifikan. Berangkat dari pemikiran tersebut, serta

minimnya studi pengembangan citra merek produk

UMKM kreatif di Indonesia, laporan ini bertujuan untuk

menambah wawasan masyarakat luas tentang bagaimana

pelaku industri kreatif (UMKM) mengembangkan citra

merek produknya, serta hambatan dan peluang apa saja

yang dapat teridentifikasi.

10

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

10

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

LA

ND

AS

AN

TE

OR

I

11

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

11

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF

INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA

CITRA MEREK

UMKM DAN CITRA MEREK

13

14

16

18

12

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

13

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

INDUSTRI KREATIF

Pemerintah Inggris melalui Department of Culture, Media,

and Sport (DCMS) dapat dikatakan sebagai pencetus

pertama istilah “industri kreatif”. Istilah ini muncul untuk

merepresentasikan tiga belas sektor usaha yang berbasis

kreativitas, keterampilan dan bakat individual, serta yang

memiliki potensi komersial dan menciptakan lapangan

kerja melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan

intelektual. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) arsitektur,

(2) desain, (3) fashion (mode, busana), (4) film dan video,

(5) kerajinan, (6) layanan perangkat lunak dan komputer,

(7) musik, (8) pasar barang seni atau barang antik, (9)

penerbitan, (10) perangkat lunak hiburan interaktif, (11)

periklanan, (12) pertunjukan seni, dan (13) televisi dan

radio (DCMS, 1998).

Dalam kerangka DCMS ini, industri kreatif dapat

diidentifikasi melalui beberapa karakteristik utama.

Pertama, industri tersebut memiliki misi untuk

menghasilkan gagasan baru dalam produk atau layanan

yang ditawarkan secara berkelanjutan. Kedua, industri

tersebut berfokus pada nilai orisinalitas dan keunikan

sehingga membutuhkan perlindungan kekayaan

intelektual. Terakhir, industri ini secara umum memiliki

keterkaitan kuat dengan teknologi sehingga tercapai

nilai orisinalitas dari proses kreatifnya (Banks & O’Connor,

2009; Galloway & Dunlop, 2007; Garnham, 2005;

O’Connor, 2009).

Seperti yang diperkenalkan oleh DCMS, gagasan

mengenai industri kreatif ini awalnya didasari oleh

fenomena yang ditemukan di negara maju, khususnya

Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Namun, belum ada

definisi yang jelas sejauh mana pemahaman terhadap

fenomena industri kreatif di negara maju tersebut dapat

diterapkan untuk konteks yang berbeda. Fahmi, McCann,

and Koster (2015) berpendapat bahwa kemungkinan

terdapat pola yang berbeda antara karakteristik industri

kreatif di negara maju dan di negara berkembang.

Perbedaan ini dapat berdampak pada ketidakcocokan

penerapan kebijakan yang berkaitan dengan industri

kreatif dari negara maju di negara berkembang. Pendapat

tentang ketidakcocokan ini diperkuat oleh temuan

empiris yang menyatakan bahwa elemen sosial, politik,

dan ekonomi secara regional berpengaruh terhadap

tingkat kreativitas dan perilaku kewirausahaan di suatu

wilayah, yang bermuara pada perkembangan industri

kreatif (Clare, 2012; Florida, 2002; Lee, Florida, & Acs,

2004).

Di negara berkembang, khususnya di Asia, ada banyak

sektor kreatif yang masih memegang teguh nilai warisan

turun-menurun yang dipertahankan. Hal tersebut

sering kali menjadi nilai jual yang unik. Di sisi lain, inovasi

pengetahuan, orisinalitas dan teknologi belum menjadi

nilai utama (Kong, Gibson, Khoo, & Semple, 2006;

O’Connor, 2015; O’Connor & Xin, 2006).

Hal ini menggambarkan polarisasi pemahaman industri

kreatif di negara berkembang menjadi; (1) industri budaya

dan tradisional. Istilah ini mewakili kelompok industri

yang menghasilkan produk yang memiliki atribut makna

simbolis yang berakar pada nilai nilai budaya lokal dan

dikembangkan berdasarkan kekayaan intelektual yang

berakar pada budaya tradisional. (Banks & O’Connor,

2009; Galloway & Dunlop, 2007; O’Connor, 2000;

O’Connor, 2009). (2) Industri kreatif berbasis inovasi

dengan memanfaatkan teknologi media baru. Adapun

kelompok industri ini cenderung mengembangkan

inovasi produk dengan memanfaatkan teknologi media

baru. Implikasi utama dari kelompok industri ini adalah

perlunya legalitas hak cipta sebagai syarat keberlanjutan

usaha kelompok industri ini. Contoh dari kelompok

industri ini adalah perfilman, aplikasi & permainan,

animasi, dan yang lainnya (UNDP, 2013).

Fahmi et al. (2015) melihat bahwa kedua kelompok industri

kreatif di atas berkembang di Indonesia karena didukung

oleh faktor faktor penopang yang berbeda. Industri

budaya tradiosional dipengaruhi oleh faktor penopang

budaya lokal yang kuat misalnya dareah Bali, Yogyakarta,

dan Surakarta. Sedangkan industri kreatif berbasiskan

inovasi teknologi berkembang diwilayah yang secara

geographis dapat menyedikaan infrastruktur media baru,

dan ketersediaan SDM yang mampu berinovasi dengan

media baru seperti Jakarta dan Bandung.

Karakteristik Industri Kreatif

14

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Industri kreatif di Indonesia memberikan kontribusi

sebesar 7,38% terhadap total perekonomian nasional, dan

mengalami kenaikan 4,38% dari Rp 784,82 Trilliun pada

tahun 2014 menjadi Rp 852,24 Trilliun pada tahun 2015.

Tiga subsektor yang berkontribusi paling tinggi terhadap

PDB adalah kuliner, fashion, dan kriya, masing-masing

sebesar 41,69%, 18,15%, dan 15,7% (Rusiawan et al., 2017).

Industri kreatif Indonesia memasok sekitar 10% ekspor

nasional, sedangkan nilai impor industri ini hanya 1%.

Nilai ekspor industri kreatif yang 10 kali lipat lebih tinggi

daripada nilai impornya menunjukkan bahwa produk

industri kreatif Indonesia memiliki keunggulan kompetitif

di pasar global. Fakta ini juga menjelaskan bahwa industri

kreatif Indonesia memiliki tingkat ketergantungan

impor yang kecil sehingga memiliki kesempatan untuk

terus berekspansi dan menguasai pasar dalam negeri

(Simarmata & Adiwidjaja, 2011).

Industri kreatif nasional akan berkembang dengan lebih

optimal apabila para pelaku UMKM kreatif juga dapat

mengasah kualitas usaha dan produknya. Salah satu

strategi perbaikan tersebut adalah dengan membangun

citra merek yang positif. Pengembangan citra merek

akan berimplikasi secara signifikan terhadap keuntungan

ekonomi perusahaan (Kandampully & Suhartanto, 2003).

Sayangnya, hal ini belum secara baik dilakukan oleh

kebanyakan UMKM kreatif di Indonesia.

Pada umumnya UMKM kreatif belum menaruh perhatian

khusus terhadap strategi penguatan eksistensi mereknya

melalui pengembangan citra merek. Padahal, layaknya di

tingkat bisnis secara luas, UMKM dapat mempunyai daya

saing yang tinggi dengan menciptakan citra merek yang

unik di pasaran. Membentuk citra merek tersebut dapat

dilakukan melalui penawaran produk atau layanan yang

memiliki inovasi berbeda sehingga dapat menonjol di

antara pesaingnya (Erenkol & Öztaş, 2015). Hal ini masih

menjadi kendala dari UMKM kreatif di Indonesia.

Kendala lain yang ditemukan adalah mengenai hak

paten. Setelah membentuk citra merek yang positif

dan unik, kekayaan intelektual yang terasosiasi dengan

merek tersebut atau inovasi yang telah dilakukan perlu

dilindungi oleh hak paten. Pendaftaran hak paten dan

merek dapat memberikan kebebasan gerak bagi UMKM

dan mengeleminasi ancaman pesaing. Inovasi yang

dilakukan juga dapat memberikan nilai tambah di pasar

yang akhirnya dapat membawa profit bagi UMKM dan

memperkuat posisi merek mereka di pasar (Erenkol &

Öztaş, 2015).

Pada tahun 2016, persentase UMKM kreatif yang sudah

memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) cenderung

rendah. Sesuai dengan grafik di bawah ini, hanya 11,05%

UMKM kreatif yang sudah memiliki HKI, sedangkan

sebesar 88,95% masih belum memiliki HKI (Utoyo,

Rozama, & Wulandari, 2016).

Gambar 2.1

PDB Ekonomi Kreatif

(Ekraf) 2014-2015

(Bekraf, 2016)

Industri Kreatif di Indonesia

15

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 2.2

Persentase UMKM

kreatif yang

memiliki HKI

Dari 11,05% UMKM kreatif yang memiliki HKI, tiga

subsektor yang paling banyak sudah memiliki HKI adalah

(1) subsektor film, animasi dan video, sebesar 21,08%;

(2) subsektor kuliner, sebesar 19,75%; dan (3) subsektor

televisi dan radio, sebesar 16.59% (Utoyo et al., 2016).

Gambar 2.3

Persentase UMKM

kreatif yang

memiliki HKI

menurut subsektor

Perusahaan yang memiliki fokus pada inovasi dapat

memiliki posisi merek yang lebih kuat sehingga tercipta

suatu citra merek yang kuat pula dan mencapai keunggulan

kompetitif (Covin & Miles, 1999; Miles, 2012). Keberhasilan

dalam menerapkan elemen-elemen yang dipaparkan di

atas ke dalam tatanan strategis perusahaan dapat menjadi

kunci kesuksesan UMKM di pasar.

16

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Citra merek adalah kesan yang muncul dalam benak

konsumen saat ia berinteraksi dengan sebuah merek

(Salim & Dharmayanti, 2014). Hal ini merupakan salah satu

faktor utama yang mempengaruhi keputusan pelanggan

dalam memilih suatu produk atau layanan, sehingga

secara umum mempengaruhi perilaku konsumen

dalam pembelian (Kandampully & Suhartanto, 2003;

Lahap, Ramli, Said, Radzi, & Zain, 2015). Citra merek yang

kuat memiliki kapasitas untuk mempengaruhi tingkat

penjualan, harga penjualan, pendapatan dan tingkat

keuntungan ke arah yang lebih positif (So, King, Sparks,

& Wang, 2013).

Untuk membentuk sebuah citra merek yang kuat, sebuah

organisasi perlu menentukan identitas dari merek yang

ditawarkan. Identitas merek adalah nilai atau persona

yang paling mendasar dari sebuah merek. Merek dapat

menjadi kuat jika identitasnya sesuai dengan perilaku

pelanggannya. Dengan landasan ini, identifikasi dan

pengembangan identitas merek menjadi penting agar

komunikasi tentang seperti apa produk atau layanan yang

menyandang merek tersebut dapat dilakukan dengan

lebih baik kepada konsumen. Dalam penentuan identitas

merek, konsep Carl Jung mengenai 12 archetype dari

manusia kerap kali dijadikan acuan.

Dalam ilmu pemasaran, konsep “12 Brand Archetype” yang

dikembangkan oleh Carl Jung lazim digunakan sebagai

dasar penentuan identitas merek. Brand Archetype

adalah identitas yang ditetapkan oleh pemilik merek

berdasarkan sebuah simbol atau ikon yang dirasakan

cocok dengan perilaku konsumennya. Gagasan di balik

penggunaan Brand Archetype adalah untuk menciptakan

kedekatan yang kuat antara konsumen dan merek. Merek

akan lebih mudah menciptakan keterkaitan emosional

dengan konsumen apabila identitas yang diusung sesuai

dengan perilaku konsumen sehingga terbentuk citra

merek yang personal dan melekat di benak konsumen

(Lahap et al., 2015). Berikut adalah 12 tipe archetype:

Citra Merek

Gambar 2.4

Brand

Acrhetype Beserta

Karakterisriknya

17

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Membangun identitas sebuah merek merupakan sebuah

langkah awal dan paling mendasar dalam menciptakan

sebuah merek yang kuat. Indikator utama dari kekuatan

sebuah merek terlihat dari ekuitasnya (brand equity), yaitu

nilai komersial yang diturunkan dari persepsi konsumen

terhadap nama sebuah merek. Semakin tinggi ekuitas

yang dimiliki sebuah merek, semakin banyak pula manfaat

yang diperoleh perusahaan. Beberapa manfaat yang

dimaksud adalah loyalitas pelanggan, marjin keuntungan

yang lebih besar, pelanggan yang tidak terpengaruh oleh

perubahan harga, kemudahan terciptanya kolaborasi

dengan pihak-pihak lain, peningkatan efektivitas

komunikasi pemasaran, dan lain-lain. Sebuah teori

pengembangan ekuitas merek dirumuskan berdasarkan

hal tersebut, serta juga berbasis konsumen. Teori ini

adalah consumer-based brand equity. Premis dasar dari

model ini adalah kekuatan sebuah merek terletak pada

bagaimana konsumen memahami, merasakan, melihat,

dan mendengar sebuah merek tertentu dari waktu ke

waktu. Dengan kata lain, kekuatan merek terletak dalam

pikiran atau persepsi konsumen (Keller, 2001).

Model consumer-based brand equity ini tersusun dari 4

tahapan sesuai dengan yang diilustrasikan dalam gambar

2.5 di atas, yaitu identitas (identity), makna (meaning),

respon (response), dan hubungan (relationship).

Terdapat 6 blok dalam model ini, yaitu ciri khas (salience),

kinerja/performa (performance), imagery, pertimbangan

(judgment), perasaan (feeling), dan resonance.

Brand Salience mencakup aspek kesadaran konsumen

dalam mengidentifikasi identitas suatu merek. Kesadaran

konsumen ini terbentuk dari beberapa elemen, seperti

nama merek, logo, simbol, dan yang lainnya. Seluruh

elemen tersebut memiliki pengaruh dalam membentuk

asosiasi atau identitas tertentu dalam benak konsumen.

Brand Salience ini menjadi fondasi utama dalam

mempengaruhi pembentukan asosiasi atau identitas

terhadap suatu merek yang pada akhirnya membentuk

citra dan arti dari merek tersebut.

Brand Performance terikat dengan aspek fungsional dari

sebuah merek. Mendesain produk yang dapat memenuhi

kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan

salah satu hal penting dalam konstruksi merek yang

kuat. Dalam rangka menciptakan loyalitas merek dan

keterikatan dengan merek, pengalaman konsumen

dalam mengonsumsi produk harus sesuai dengan

ekspektasi mereka. Brand Performance mencakup

aspek fungsional produk atau layanan dalam memenuhi

kebutuhan konsumen.

Brand Imagery memiliki keterikatan terhadap nilai

ekstrinsik dari produk dalam memenuhi kebutuhan

psikologis atau sosial. Aspek ini berfokus terhadap

bagaimana persepsi konsumen terhadap sebuah merek

dalam hal yang cenderung berupa nilai-nilai psikologis

daripada secara fungsional. Dengan demikian, hal ini

terkait pada nilai-nilai yang tidak berwujud (intangible)

dari sebuah merek.

Brand Judgement melibatkan penilaian konsumen

terhadap assosiasi-asosiasi yang muncul dari performance

dan imagery suatu merek sehingga membentuk suatu

opini. Beberapa elemen yang tercakup dalam aspek ini

adalah kualitas merek, kredibilitas merek, konsiderasi

merek, dan keunikan merek (superiority).

Brand Feelings memiliki keterikatan dengan aspek nilai

perasaan yang sesuai dengan kondisi sosial konsumen,

misalnya perasaan yang timbul dari aktivitas pemasaran

dari suatu merek, bagaimana sebuah merek berpengaruh

terhadap perasaan konsumen terhadap dirinya sendiri

dan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Perasaan-

perasaan tersebut secara alamiah dapat terbentuk secara

ringan atau intensif, dan secara positif maupun negatif.

Brand Resonance berfokus pada hubungan antara

pelanggan dengan merek. Aspek ini merujuk pada

kekuatan hubungan yang terbentuk antara keselarasan

nilai-nilai yang dimiliki pelanggan dengan merek. Hal ini

tercipta dari intensitas atau kedalaman ikatan psikologis

yang dimiliki pelanggan dengan merek. Hubungan atau

ikatan pelanggan dengan merek yang semakin kuat

berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan terhadap

merek tersebut.

18

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pengembangan citra merek sangat lazim dilakukan oleh

perusahaan yang telah berdiri cukup lama dan telah

memiliki pasar dengan skala besar. Dengan sumber daya

manusia dan keuangan yang mencukupi, manajemen

citra merek perusahaan tersebut dapat dilaksanakan

secara strategis untuk mencapai kesadaran publik

tentang merek yang dijual (brand awareness) dan

akhirnya memaksimalkan penjualan produk.

Pada skala usaha yang lebih kecil, yaitu di tingkat UMKM

(Usaha Mikro Kecil dan Menengah), pengembangan

citra merek bukanlah suatu hal yang lazim. Walaupun

ada sejumlah kecil UMKM yang memperhatikan

pengembangan citra merek produknya, kegiatan

pengembangan tersebut tidak dilakukan secara strategis

dan terpadu layaknya perusahaan besar. Keterbatasan

waktu dan sumber daya merupakan faktor utama

penghambat pengembangan citra merek UMKM.

Karakteristik utama UMKM adalah keterlibatan pemiliknya

secara aktif dalam menjalankan usaha UMKM tersebut.

Krake (2005) melihat bahwa format pengembangan

citra merek UMKM umumnya berlandaskan semangat

(passion) dari pemilik merek tersebut sebagai seorang

wirausahawan. Semangat ini diimplementasikan dalam

peran aktif wirausahawan tersebut untuk mencapai

pengakuan tentang mereknya (brand recognition).

UMKM umumnya tidak memiliki divisi marketing yang

khusus menangani urusan pengembangan merek,

sehingga peran ini juga dipegang oleh sang pemilik

usaha. Hal serupa juga ditunjukkan oleh temuan Spence

and Hamzaoui Essoussi (2010) bahwa citra merek

UMKM merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari

visi, keyakinan, dan nilai dari sang wirausahawan pemilik

UMKM dan Citra Merek

Gambar 2.5

Brand Equity Model

oleh Keller

Resonance

Salience

FeelingsJudgments

ImageryPerformance

4. RelationshipWhat about you and me?

3. ResponseWhat about you?

2. MeaningWhat are you?

1. IdentityWho are you?

19

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

UMKM.

Krake (2005) juga menemukan bahwa pola kewirausahaan

yang mengendalikan UMKM berdampak pada warna

merek yang mirip dengan karakter sang wirausahawan

pemilik usaha. Pola kewirausahaan juga memungkinkan

kreativitas dan keinovasian dalam pengembangan citra

merek untuk tumbuh tanpa hambatan struktural, seperti

pada perusahaan besar dengan struktur organisasi yang

lebih kompleks.

Yin Wong and Merrilees (2005) membawa kajian

tentang empat konsep inti dari strategi merek (brand

orientation, brand barriers, brand distinctiveness, dan

brand-marketing performance) ke ranah UMKM. Mereka

menemukan bahwa pengembangan citra merek UMKM

umumnya masih beroperasi di tingkat brand orientation,

yaitu sebuah proses kreasi, pengembangan, dan proteksi

identitas merek dalam interaksinya dengan konsumen

sasaran. Jenis yang paling sederhana untuk brand

orientation UMKM adalah minimalist brand orientation.

Satu tingkat di atasnya adalah embryonic brand

orientation, dan yang paling tinggi adalah integrated

brand orientation. Ciri-cire tipe minimalist adalah

kegiatan marketing yang sangat sederhana. Kegiatan

marketing yang lebih kuat ditemukan di tipe embryonic,

tetapi kegiatan pengembangan merek dalam tipe ini

bersifat sangat informal dan hanya sekedar pilihan. Di

tingkat teratas, yaitu integrated, kegiatan promosi dan

pengembangan merek sama-sama sangat kuat dan

dianggap sebagai prioritas.

Studi yang dilakukan oleh Berthon, Ewing, and Napoli

(2008) mengindikasikan bahwa ada sejumlah UMKM yang

berhasil menjalankan kegiatan branding (BMP, Brand

Management Practices) dengan mengadopsi BMP utama

khas perusahaan besar dan menyesuaikannya dengan

skala usaha dan sumber daya UMKM tersebut. UMKM

tersebut berhasil menunjukkan kinerja dan prestasi

yang baik. Hal ini berarti bahwa pengembangan citra

merek yang baik bukanlah sesuatu yang tidak mungkin

dilakukan oleh UMKM, terlepas dari keterbatasan sumber

daya yang dimiliki. Elemen-elemen BMP terpenting yang

berhasil diidentifikasi sebagai faktor penentu kesuksesan

UMKM tersebut adalah: mengerti kebutuhan konsumen

dan persepsi tentang merek; menciptakan merek yang

relevan dan bernilai; konsisten dalam setiap kegiatan

branding; mengkomunikasikan merek dengan efektif;

dan membangun arsitektur merek yang koheren.

Pada tingkat UMKM, Centeno, Hart, and Dinnie (2013)

membangun model pengembangan merek yang terdiri

dari lima tahapan, yaitu (1) merek sebagai sebuah pribadi;

(2) merek sebagai sebuah produk dan diferensiasi merek;

(3) merek sebagai sebuah simbol; (4) merek sebagai

sebuah organisasi; dan (5) pengembangan identitas

merek dan pertumbuhan merek. Model ini, sayangnya,

tidak baku dan tidak mudah diimplementasikan karena

dalam mengksplorasi merek sang pemilik/wirausahawan

selalu melakukan proses yang literatif, eksperimental, dan

berbasis trial and error. Elemen penting dalam proses

pembangunan ini adalah komitmen pemilik merek

untuk terus mendorong kemajuan pengembangan

merek. Selain itu, karakteristik kewirausahaan lainnya,

seperti bagaimana menyikapi sebuah risiko, keinginan

berinovasi, serta intuisi dalam menangani ketidakpastian

dan kompleksitas usaha, juga menentukan keberhasilan

pengembangan merek UMKM.

20

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

20

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

ME

TO

DO

LOG

I P

EN

EL

ITIA

N

21

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

21

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

DESAIN PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

PENGOLAHAN DATA

KETERBATASAN PENELITIAN

23

24

26

27

22

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

23

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar3.1

Diagram Alur

Penelitian

Bab ini menjabarkan metodologi penelitian yang mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data

dan bagaimana data tersebut diolah. Secara singkat, 3 kegiatan utama dalam pengumpulan data adalah Focused Group

Discussion (FGD), In-depth Interview (IDI), dan survei konsumen. Pengolahan data dilakukan menggunakan pendekatan

kualitatif dan kuantitatif dalam rangka menghasilkan insight untuk pengembangan citra merek produk kreatif nasional.

Desain Penelitian

Gambar 3.1 adalah diagram yang menggambarkan alur

penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian ini mencakup

kegiatan Focused Group Discusssion (FGD), In-depth

Interview (IDI), dan survei. FGD dilakukan terhadap pelaku

industri kreatif pada level UMKM dari 6 sektor kreatif. IDI

dilakukan terhadap pejabar pemerintah daerah dari dinas-

dinas yang terkait dengan pengembangan industri dan

ekonomi kreatif. Survei dilakukan secara daring terhadap

konsumen di pasar produk kreatif. Pada akhirnya,

penggabungan antara analisis temuan dalam FGD dan

IDI serta hasil survei online menjadi dasar perumusan

kesimpulan dan rekomendasi. Hasil akhir penelitian ini

diharapkan menjadi laporan yang berisi wawasan yang

berguna bagi para pihak yang terlibat dalam industri

kreatif di Indonesia.

24

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

SEKTOR USAHA PESERTA FGD

USIA PESERTA FGD TINGKAT PENDIDIKAN PESERTA FGD

Focused Group Discussion

Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilakukan

dengan mempertemukan pelaku industri kreatif di enam

sektor, yaitu animasi, aplikasi, musik, kuliner, fashion

(mode dan busana), dan kriya. Pelaksanaan FGD ini

dilakukan di 10 kota di Indonesia, yaitu Manado, Makassar,

Palembang, Medan, Jakarta, Bandung, Ambon, Kupang,

Pengumpulan Data

Semarang, dan Surabaya. Total peserta kegiatan FGD ini

adalah 92 orang.

Berikut adalah gambaran dari profil peserta kegiatan FGD

di 10 kota di Indonesia:

25

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

In-depth Interview

Kegiatan In-depth Interview (IDI) dilakukan terhadap

pejabat Pemerintah Daerah dari dinas-dinas terkait, antara

lain Dinas Koperasi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Dinas Perindustrian

dan Perdangangan. Dengan IDI ini, program-program

Survei konsumen secara online dilakukan untuk

mengetahui sudut pandang konsumen terhadap elemen

citra merek dari sebuah produk kreatif dalam enam sektor

yang telah ditentukan. Proses pengambilan data survei ini

dibantu oleh pihak ketiga yaitu JakPat, selaku penyedia

yang telah dijalankan dan kendala-kendala yang dihadapi

oleh Pemda dalam hal-hal yang terkait pengembangan

citra merek produk kreatif dapat digali.

layanan kuesioner online. Sebanyak 1.825 responden

telah mengisi kuesioner ini dengan profil per sektor

sebagai berikut:

Survey Konsumen

26

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pengolahan Data

Pengolahan data hasil FGD dan IDI dilakukan

menggunakan qualitative content analysis. Teknik

pengolahan data ini mencakup prosedur kategorisasi

persamaan atau perbedaan temuan (coding), refleksi

terhadap ketegori yang dirumuskan (memoing),

pemahaman hubungan antar kategori, pengecekan

dan perbaikan, generalisasi, dan pengembangan

teori. Pengolahan data kualitatif ini dilakukan dengan

menggunakan software NVIVO. Hasil akhir dari proses

ini adalah kategorisasi yang valid atas temuan-temuan di

lapangan.

Data responden FGD dan hasil data survei konsumen

diolah menggunakan proses pengolahan data kuantitatif,

mengingat data yang didapat berbentuk numerik.

Data kuantitatif tersebut diolah dengan menggunakan

software SPSS dan dengan melihat hasil realibilitas

serta validitas dari data yang didapatkan. Hasil akhir

dari proses ini adalah bar chart ataupun pie chart yang

menggambarkan persentase jawaban responden.

DOMISILI

JENIS KELAMIN

27

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Keterbatasan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian

ini adalah:

1. Tidak semua narasumber FGD dapat hadir pada saat

pelaksanaannya, meskipun narasumber tersebut

telah menyatakan bersedia hadir. Hal ini berpengaruh

kepada jumlah sampel, walaupun secara agregat

tingkat keterwakilan dari sampel kepada populasi

tetap baik.

2. Jadwal pejabat pemerintah yang dapat berubah

sewaktu-waktu menjadi salah satu kendala penelitian

ini. Mengingat waktu yang dialokasikan untuk

wawancara di masing-masing kota cukup terbatas,

jumlah informan yang berhasil diwawancarai juga

menjadi terbatas karena jadwal yang tidak sesuai.

3. Salah satu kendala yang umum dalam menggunakan

kuesioner adalah jawaban responden yang mengisi

data secara tidak valid. Akibatnya, banyak data yang

dibuang dan tidak dimasukan kedalam analisis. Akan

tetapi, jumlah responden yang mengisi kuesioner

cukup banyak, sehingga validitas dan reliabilitas

penelitian ini tetap baik.

Keterbatasan Penelitian

28

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

28

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

ME

MB

AN

GU

N

IDE

NT

ITA

S M

EN

UJU

C

ITR

A I

ND

US

TR

I K

RE

AT

IF

29

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

29

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KUPANG

PALEMBANG

JAKARTA

MAKASSAR

AMBON

MANADO

SEMARANG

SURABAYA

MEDAN

BANDUNG

33

34

36

38

41

43

44

47

49

50

30

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Temuan dari proses FGD pengembangan citra merek

oleh pelaku UMKM kreatif dijabarkan dalam bab ini.

Pembahasan ini mencakup pemahaman pelaku industri

kreatif terkait pengembangan citra merek serta kegiatan

apa saja yang sudah dilakukan dalam mengembangkan

citra merek produknya. Selain itu, strategi yang pelaku

industri kreatif telah jalankan dalam pengembangan

citra merek juga diidentifikasi. Penjelasan mengenai

kondisi pengembangan citra merek akan dipaparkan

berdasarkan temuan di masing-masing sektor, yaitu kriya,

fashion (mode, busana), aplikasi, animasi, kuliner, serta

aplikasi.

Kegiatan FGD dilakukan sebanyak 10 kali di 10 kota di

Indonesia yaitu: Palembang, Jakarta, Makassar, Medan,

Ambon, Surabaya, Kupang, Bandung, Semarang dan

Manado. Proses FGD ini dihadiri oleh para pelaku UMKM

kreatif di 6 sektor yang telah dijabarkan di atas.

Berikut adalah profil dari peserta FGD citra merek secara

agregat. Profil dari peserta FGD ini mencakup lama

berdiri usaha, jumlah karyawan, modal usaha, persentase

pertumbuhan usaha dalam tiga tahun terakhir, kondisi

usaha saat ini, dan sumber penjualan.

USIA USAHA BISNIS PESERTA FGD

31

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

JUMLAH KARYAWAN PESERTA FGD

KENAIKAN PENJUALAN DALAM 3 TAHUN TERAKHIR

MODAL BISNIS USAHA PESERTA FGD

32

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2014

SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2016

PERUBAHAN BISNIS DALAM 3 TAHUN TERAKHIR

33

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Kupang Membangun Mereknya

Hasil penggalian informasi dan data dari kegiatan FGD citra merek dari masing-masing kota dijabarkan di bawah ini.

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan

di Hotel Swiss-Belinn Kupang, pada tanggal 26 Juli 2017

dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber.

Dalam FGD ini ditemukan bahwa kegiatan membangun

citra merek di Kupang masih belum dipahami dengan

baik oleh para peserta. Hal ini menjadikan produk yang

ditawarkan belum terintegrasi atau belum selaras dengan

suatu identitas merek. Akibatnya, sebagian besar merek

pelaku industri kreatif belum memiliki citra merek yang

kuat.

Secara garis besar, pelaku industri kreatif di Kupang masih

kesulitan menentukan persona identitas apa yang ingin

ditonjolkan dalam merek mereka. Para pelaku hanya

memiliki keinginan yang kuat untuk terus bertahan

sehingga mengasosiasikan diri mereka dengan archetype

creator. Padahal, persona dari creator adalah nilai inovasi

yang didasari atas keinginan yang kuat mengeksplorasi

dan menciptakan sesuatu yg baru. Hal ini terlihat dari

beberapa pelaku di sektor kuliner, musik, dan animasi,

seperti tergambar pada kutipan-kutipan berikut:

“The creator, usaha yang sudah dilakukan, karena ini

dokumenter, jadi memang harus benar-benar bertahan

lama, karena bergantung pada kebudayaan asli dari

daerah saya sendiri maupun kita semua” (Ibu Maria dari

Sektor Animasi)

“The creator, karena saya ingin bertahan lama. Bisa

mengenalkan merek mungkin dengan kado, jadi terus

memperbanyak referensi” (Bapak Akis dari Sektor Musik)

Implikasi dari kurangnya pemahaman ini adalah nilai

pembeda yang ditawarkan dari masing-masing pelaku

usaha tidak unik. Bahkan, ada yang belum memiliki

merek. Sebagian besar pelaku UMKM kreatif di Kupang

bertahan karena jaringan konsumen dari kerabat-kerabat

terdekat. Namun, kondisi seperti ini kemungkinan besar

akan membuat skala usaha sulit untuk berkembang.

Meskipun demikian, terdapat salah satu pelaku usaha di

sektor musik yang cukup menonjol dari sisi pemahaman

mengenai identitas merek. Identitas merek yang ‘inovatif’

ditanamkan dalam merek musik sasandonya. Hal ini

mendorong pelaku usaha tersebut melakukan inovasi

produk, yaitu sasando elektrik dan variasi warna sasando

yang menarik. Gebrakan ini memperkuat citra merek

“Edon Sasando” menjadi kental akan nilai inovatif,

modern, dan kreatif.

Terdapat hal lain yang cukup menarik, yaitu dari salah satu

pelaku usaha di sektor animasi .yang menyediakan jasa

pembuatan film & animasi yang berfokus kepada topik

budaya NTT. Identitas merek yang peduli akan kearifan

budaya Kupang ini justru belum diangkat secara kuat

oleh pemiliknya. Untuk itu, masih diperlukan upaya upaya

untuk memperkuat idnetitas yna unik ini agar merk yang

ada dapat menembus pasar dengan baik.

Di sisi lain, salah seorang pelaku usaha di sektor kriya

telah menunjukan pemahaman identitas merek

dan implementasinya. Produk aksesoris tenun yang

dimodifikasi dengan bahan etnis dari pelosok NTT

memperkuat identitas inovatif dan kreatif yang ingin

diusung. Hal ini berkontribusi dalam pembentukan citra

merek yang kuat.

34

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Penjabaran kondisi di atas tentang usaha industri

kreatif di Kupang saat ini menunjukkan bahwa tidak

banyak kegiatan strategis yang telah dilakukan dalam

membangun citra merek. Pelaku masih menghadapi

kesulitan dalam menentukan persona apa yang ingin

diusung. Pola pikir pelaku masih terpaku pada mimpi

mempertahankan kelangsungan usahanya, bukan pada

elemen apa saja yang harus dipahami untuk membuat

usahanya dapat bertahan lama. Hal ini menggambarkan

dengan jelas bahwa pemahaman pelaku usaha terhadap

identitas merek masih belum mendalam. Meskipun

demikian, terdapat segelintir pelaku usaha yang sudah

mengimplementasikan identitas yang dimilikinya ke

dalam atribut produknya meskipun aktivitas tersebut

Ibu Marline merupakan salah satu pemilik dan

pengembang usaha alat musik sasando di bawah

merek “Edon Sasando”. Usaha ini telah berdiri dari

tahun 2008 dengan tekad untuk menjadi sebuah

merek yang inovatif dan modern dibandingkan dengan

pesaingnya. Berdasarkan hal tersebut, Ibu Marline dan

sang suami mengembangkan produk sasando elektrik.

Dengan gebrakan yang sangat mencuri perhatian

tersebut, sasando elektrik ini membentuk citra merek

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Praktik Terbaik (Best Practice)

sering dilakukan tanpa sadar. Strategi yang dilakukan oleh

pelaku-pelaku usaha tersebut, antara lain:

- “Edon Sasando” yang menemukan inovasi sasando

elektrik dan menyediakannya dalam berbagi varian

warna, memperkuat citra merek inovatif dan kreatif yang

diusung.

- “Geska”, merek dari produk kriya yang melakukan

modifikasi tenun dengan barang-barang etnis dari

pelosok daerah NTT. Hal ini memperkuat citra inovatif,

kreatif dan kental akan budaya yang diusung oleh pelaku

usaha tersebut.

“Edon Sasando” sebagai merek usaha sasando yang

inovatif, modern, dan kreatif. Tidak sampai di situ,

untuk memperkuat citra mereknya, Ibu Marline juga

meluncurkan produk sasando dengan berbagai variasi

warna dan bentuk. Ibu Marline juga sudah memiliki divisi

sendiri untuk mendesain produk sasando ini dan desain

yang dimiliki tidak sama dengan yang tersedia di toko-

toko.

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel MaxOne Palembang pada

tanggal 12 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM

kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD buku

snapshot Citra Merek di Palembang ini, peserta dari

sektor kuliner dan sektor kriya memiliki kemiripan

dalam kebanggaan terhadap suku serta nilai budaya

yang dimiliki masyarakat Palembang. Etnosentrisme

dalam arti positif terlihat jelas di kedua sektor tersebut.

Hal ini diperkuat dengan munculnya unsur budaya

yang melekat pada produk-produk mereka, yakni

kemplang dengan cuko kentalnya, bakso dengan

tulang sumsumnya, dan boneka dengan songketnya.

Selain itu, mereka memiliki aspirasi yang kuat untuk

Profil Peserta FGD di Palembang

m e n u n j u k a n

eksistensi diri

maupun suku

daerah Palembang

di khalayak yang lebih

luas. Kutipan di bawah ini dapat

menggambarkan penjelasan diatas:

- “Harapannya dengan kemplang ini orang yang jauh

dan kangen Palembang bisa mengobatinya dengan

menicipi makanan ini” (Sektor Kuliner)

- “Saya ingin membuktikan kalau orang Palembang

itu mendunia” (Sektor Kuliner)

- “Dengan brand bakso saya ini saya ingin adanya

eksistensi” (Sektor Kuliner)

35

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

- “Kalau saya sekarang Regular Guy karena memiliki

daerah khas Palembang, selanjutnya saya the creator,

mungkin kedepannya mungkin ada cabangnya”

(Sektor Kriya)

Hal yang berbeda tergambar dari sektor fashion

(mode, busana), dimana terlihat jelas sektor fashion

ingin sekali menunjukan citra modern, modis, dan

elegan. Hal ini dianggap menjadi keunikan tersendiri

dibandingkan dengan kompetitor yang menawarkan

desain “kuno”. Inovasi ini diterjemahkan melalui

pemilihan warna yang lebih lembut, desain yang

elegan dan praktis, sampai ke pelayanan kustomisasi

produk sesuai dengan kemauan pelanggan. Kutipan

di bawah ini dapat menggambarkan penjelasan di

atas:

- “Orang hijab identik dengan yang kekunoan. Bahkan

orang hijab yang daftar ke bank disuruh tawarkan ibu

mau melepas hijabnya. Jadi orang yang berhijab ini

didiskriminasi. Dari ini saya mempunyai tujuan untuk

merubah persepsi tadi, jadi orang berhijab itu belum

tentu tidak menarik gitu loh pak”

- “Wanita itu sangat identik dengan kelembutan dan

anggun juga. Jadi ketika menggunakan produk saya,

yang akan tampil adalah kesederhanaan tapi tetap

elegan”

- “Orang yang ingin buat gantungan saya penuhi, tapi

ide mereka saya penuhi tetapi tidak lepas dari dengan

bahan saya”

Kemiripan juga ditemui kembali di dalam sektor

aplikasi dan animasi. Aspirasi untuk menjadi developer

aplikasi dan animasi yang inovatif, imajinatif, dan

berbeda terlihat sangat jelas dari sektor ini. Hal

ini disebabkan oleh persepsi pelaku yang percaya

bahwa elemen-elemen tersebut adalah modal utama

dalam bersaing di pasaran. Selain itu, keinginan dan

idealisme pelaku dari kedua sektor tersebut untuk

dapat berguna bagi masyarakat atau konsumen

dapat tergambar secara implisit dari penyataan-

pernyataan yang terlontar. Kutipan di bawah ini dapat

menggambarkan penjelasan di atas:

- “Sekarang dibuat game sendiri dituntut untuk out of

the box, jadi harus selalu kreatif” (Sektor Aplikasi)

- “Saya ingin punya start-up seperti Amazon, Uber,

Gojek, dll, jadi saya punya aplikasi yang bisa dipakai

orang lain” (Sektor Aplikasi)

- “Saya ingin ketika orang main games saya akan selalu

merasa bahagia” (Sektor Aplikasi)

- “Membuat suatu advertising yang out of the box juga

sehingga suatu brand bisa dikonsumsi oleh konsumen.

Dan juga kedepannya bisa jadi The Magician di mana

suatu advertising bisa memotivasi dan karismatik”

(Sektor Animasi)

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Dengan karakteristik yang teridentifikasi di atas, para

pelaku usaha kreatif di Palembang telah berusaha untuk

menjalankan strategi tertentu dalam mengembangkan

citra merek. Para pelaku industri kreatif di Palembang

telah memiliki harapan akan identitas apa yang ingin

ditonjolkan dalam merek yang mereka kembangkan.

Namun, tidak banyak strategi yang dilakukan untuk

mengembangkan citra merek ini. Secara garis besar

strategi yang dilakukan oleh pelaku industri kreatif di

Palembang masih berfokus pada penyelarasan identitas

dan atribut produk yang ditawarkan. Berikut adalah

penjabarannya:

• Salah satu pelaku usaha di sektor fashion

mengembangkan produk hijab yang memiliki desain

modern dan modis. Selain itu, ia juga memasukkan

elemen kepraktisan dalam produknya, yaitu hijab

yang dapat digunakan menjadi 6 gaya yang berbeda

dari 1 hijab yang sama. Hal ini sesuai dengan visi

pemilik yang ingin mengomunikasikan citra merek

produk hijab yang jauh dari kata “kuno”.

• Keinginan para pelaku usaha di sektor kuliner untuk

menonjolkan nilai budaya Palembang juga masih

terlihat dalam tahap atribut produk, yakni cuko kental

dari “Kemplang Kito”, kain songket dari “Flanel

Vent Craft”, dan tulang sumsum dari “Bakso Opa

Godeg”. Ciri khas masyarakat Palembang tersebut

berhasil membentuk citra merek para pelaku di

sektor kuliner yang kuat akan unsur budaya lokal.

• Kesan kreatif, inovatif, dan out of the box yang ingin

di tunjukan oleh salah satu pelaku di industri animasi

mendorong terjadinya penggabungan teknik

pembuatan film dalam proses produksinya. Teknik

yang dipakai dalam proses produksinya adalah

penggabungan film dan visual cinematography serta

museography.

36

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Dengan kebanggaan atas budaya Palembang yang

sangat mendalam, Ibu Nuralamah menghadirkan produk

kemplang dengan sentuhan budaya Palembang. Usaha

kemplang yang diberi nama “Kemplang Kito” ini

telah berdiri semejak tahun 2016. Walaupun usahanya

belum berlangsung lama, merek “Kemplang Kito” telah

menunjukan kegiatan pengembangan merek yang

cukup kuat dibandingkan pesaingnya.

Menggunakan nama “Kito”, yang merupakan Bahasa

Palembang dari kata ‘kita’ menciptakan citra merek

yang hangat namun tetap mengandung unsur budaya

Palembang. Tidak hanya berhenti pada pemberian nama

merek saja, kegiatan pengembangan citra merek ini

juga sampai pada pada atribut produk yang ditawarkan.

Hal ini yang mendorong Ibu Nuralamah menggunakan

cuko kental untuk disandingkan dengan produk

kemplangnya. Cuko kental yang merupakan khas kuliner

kota Palembang memperkuat citra merek kemplang kito

menjadi “kemplangnya orang Palembang banget”.

Cara komunikasi yang menggunakan bahasa Palembang

juga diterapkan oleh “Kemplang Kito”. Hal ini dapat

dilihat dari jejak digital pemasarannya di kanal Facebook.

Penggunaan bahasa lokal ini semakin memperkuat citra

merek “Kemplang Kito” yang kuat akan sentuhan budaya

Palembang. Selain itu, penggunaan kanal Facebook ini

menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan eksposur

merek dan membentuk kredibilitas merek. Hal ini

akhirnya akan berkontribusi pada penguatan citra merek.

Praktik Terbaik (Best Practice)

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Haris FX Sudirman, Jakata Pusat,

pada tanggal 15 Juni 2017 dihadiri oleh 9 pelaku UMKM

kreatif sebagai narasumber. Pelaku industri kreatif di

Jakarta telah memahami pentingnya pengembangan

citra merek. Mereka telah memahami beberapa

aspek dalam mendefinisikan identitas dan citra merek

produk mereka, mulai dari filosofi di balik pemilihan

identitas merek hingga bagaimana identitas tersebut

diterjemahkan secara praktis.

Salah satu contohnya adalah seorang pengusaha produk

kriya. Ia telah membawa citra merek dan identitasnya

sampai pada aspek kemasan. Demi menciptakan citra

mainan kayu yang dijualnya sebagai produk non-toxic,

sang pemilik merek sedang mengembangkan kemasan

yang terlihat alami.

Contoh lainnya adalah di sektor kuliner. Seorang

usahawan makanan kerak telor mempunyai misi untuk

melestarikan kebudayaan Betawi, dimana misi ini

merupakan suatu kebanggaan khusus baginya. Hal ini

diejawantahkan dalam nama merek dan desain logo yang

berciri khas Betawi.

Secara garis besar, nuansa idealisme sangat menonjol

dari misi penciptaan usaha produk-produk kreatif seperti

yang dicontohkan. Pencarian posisi identitas merek

yang sesuai berperan cukup besar karena berkaitan erat

dengan langkah pengembangan citra merek.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Jakarta Membangun Mereknya

37

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Salah satu strategi pengembangan citra merek yang

dilakukan adalah mendesain sebuah pengalaman

interaksi dengan konsumen. Seorang pengusaha

kerak telor “Kerak Telor Bang Sape’i” yang memiliki

identitas nilai budaya Betawi yang kental mengajak para

konsumennya untuk ikut serta dalam proses memasak

kerak telor. Misalnya, apabila sang pembeli ingin membeli

2 porsi, maka 1 porsi dimasak oleh penjual dan 1 porsi

lainnya dimasak oleh pembeli, dan pengalaman tersebut

dapat dibagikan lewat media sosial. Penggunaan media

sosial dan strategi digital seperti ini juga telah dilakukan

oleh beberapa peserta lainnya dalam menyebarluaskan

citra merek serta memasarkan produk mereka.

Hal ini dapat memperkuat citra merek “Kerak Telor

Bang Sape’i” sebagai merek yang sangat peduli dalam

melestarikan budaya Betawi. Merek ini bukan hanya

menjadi merek yang mengusung budaya Betawi, tetapi

juga menjadi merek yang secara aktif melestarikan

budaya Betawi. Harapan pemilik merek secara jangka

panjang adalah apabila konsumennya mendengar kata

pelestarian budaya Betawi, asosiasi yang muncul adalah

citra merek “Kerak Telor Bang Sape’i”.

38

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Best Western Makassar pada

tanggal 11 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif

sebagai narasumber. Dalam FGD Citra Merek di Makassar,

sektor kuliner mempunyai misi untuk mengangkat nilai

kedaerahan Sulawesi Selatan melalui penggunaan bahan

baku lokal. Dalam mengembangkan citra mereknya,

seorang produsen kerupuk dan minuman dari rumput

laut telah mendaftarkan merek dagangnya. Seorang

produsen minuman jahe juga telah membuat produk

yang sangat detail warna Sulsel-nya dalam unsur

kemasan dan bahan baku. Selain itu, misi edukasi tentang

pentingnya makanan sehat homemade pendamping ASI

untuk bayi juga diemban oleh seorang wirausahawati

katering makanan bayi.

Temuan dari sektor aplikasi dalam pengembangan citra

merek adalah keinginan seorang pengembang aplikasi

untuk dikenal sebagai kontributor terhadap solusi dari

permasalahan dalam masyarakat melalui pengembangan

aplikasi atau software. Namun belum terlihat usaha

pengembangan citra merek yang selaras dengan identitas

tersebut, baik dari penentuan nama merek, desain visual,

ataupun aktifitas komunikasi pemasarannya.

Peserta dari sektor animasi ingin membangun citra

mereknya menjadi merek yang memiliki kreasi media

hiburan edukatif. Dalam rangka memperkuat citra merek

yang ingin dibangun, selain memproduksi animasi yang

kental akan unsur edukasi, ia berencana mengembangkan

inovasi virtual dan augmented reality. Hal ini menjadikan

konsumen dapat memiliki pengalaman yang interaktif

dari konten-konten edukatif yang diproduksi. Di samping

itu, hal ini juga dapat memperluas target audiens kepada

anak-anak berkebutuhan khusus.

Di sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang

hadir juga ingin mengangkat nilai-nilai khas daerah

Sulawesi Selatan, seperti peserta dari sektor kuliner.

Seorang peserta yang menggeluti usaha hijab ingin

mengangkat tulisan Lontara (aksara tradisional Sulawesi

Selatan) melalui hijab bermotif batik Lontara. Ia sedang

mengembangkan motif batik Lontara, dari yang

sederhana, misalnya tulisan “Aga kareba?” (apa kabar?)

sampai yang lebih kompleks dengan muatan pesan

moral. Peserta lainnya, yang menjalankan bisnis kaus,

memposisikan produknya sebagai kaus khas Makassar,

seperti Dagadu di Jogja atau Joger di Bali. Pengembangan

citra mereknya dilakukan dengan misalnya menggunakan

tagline yang unik, yaitu: “Desain Artis, Kualitas Turis, Harga

Friends”.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Makassar Membangun Mereknya

Praktik Terbaik (Best Practice)

Dari eksplorasi melalui kegiatan FGD, usaha industri

kreatif yang dapat dijadikan sebagai contoh best practice

adalah “Kerak Telor Bang Sape’i”. Usaha beliau adalah

contoh kombinasi yang baik antara misi pelestarian

budaya Betawi (unsur tradisional) dan aktivitas digital

(unsur modern). Pengembangan citra merek melalui

nama dan desain logo yang menonjolkan nuansa Betawi

dipadukan dengan aktivitas pemasaran menggunakan

website. Dengan cara tersebut, identitas Betawi yang

ingin ditonjolkan tentunya dapat ditangkap dengan

mudah dan luas oleh masyarakat dalam era digital saat ini.

Lebih jauh lagi, beliau juga telah memikirkan dan

merancang pengalaman seperti apa yang dapat

ditawarkan kepada konsumennya untuk mempermudah

penyampaian pesan tentang pentingnya melestarikan

budaya Betawi lewat kuliner kerak telor. Konsumen diajak

untuk menerapkan cara memasak kerak telor di outlet

penjualannya.

39

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pelaku usaha kreatif di Makassar telah menjalankan strategi

tertentu dalam mengembangkan citra merek. Beberapa

strategi atau rencana khusus untuk mengembangkan

citra merek, antara lain:

1. Pelaku usaha produk makanan sehat pendamping ASI

untuk bayi memiliki citra merek kepedulian terhadap

tumbuh kembang anak. Selaras dengan hal tersebut,

kegiatan edukasi terhadap kebutuhan tumbuh

kembang anak menjadi fokus utama. Salah satu

contoh edukasinya adalah menanamkan pentingnya

makanan sehat pendamping ASI, kandungan gizi,

serta cara pengolahan yang baik. Pada akhirnya,

citra merek “Diangga Baby Meal” yang peduli

akan tumbuh kembang anak terbentuk secara kuat

melalui inovasi produk yang makanan sehat untuk

bayi serta kegiatan edukasi kepada sang ibu.

2. Pelaku usaha minuman jahe menggunakan

kata “Sarabba” pada merek produknya untuk

mempertegas bahwa produk minuman jahenya

adalah khas Makassar.

3. Untuk kasus produsen kaus, sang pelaku usaha telah

memikirkan untuk merancang suasana tokonya, di

mana pelayan tokonya adalah orang lokal dengan

pakaian adat dan keramahan khas Makassar. Dengan

demikian, misi mengangkat budaya dan nilai lokal

dapat berjalan dengan baik.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

40

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Praktik Terbaik (Best Practice)

Terdapat dua usaha kreatif dari Makassar yang dapat

dijadikan contoh sebagai praktik terbaik dalam

pengembangan citra merek. Kedua usaha tersebut adalah

“Diangga Baby Meal” (produsen makanan homemade

sehat pendamping ASI untuk bayi) dan “Stalagmite”

studio (studio animasi).

“Diangga Baby Meal” telah melakukan langkah yang

cukup unik dalam mengembangkan citra mereknya

melalui inovasi makanan sehat sebagai produk yang

ditawarkan, serta kegiatan edukasi kepada para ibu

mengenai kebutuhan anak dalam masa tumbuh

kembang. Strategi lain yang dilakukan untuk memperkuat

citra mereknya adalah dengan cara memperluas cakupan

pasarnya sehingga terbentuk citra yang kredibel. Dengan

banyaknya ibu-ibu yang berkunjung ke Makassar, baik

untuk berlibur maupun bekerja, ketika mereka membawa

serta bayinya, peluang penjualan produk tersebut ke

kalangan ini cukup tinggi. Kerja sama dengan hotel

tempat ibu-ibu tersebut menginap juga menunjukkan

kreativitas pemilik merek dalam mengembangkan citra

mereknya.

Pemilik brand “Stalagmite Studio” dapat dikatakan

sangat terpelajar dan berwawasan luas dalam hal

pengembangan merek dan aktivitas digital. Ia telah

melakukan pengembangan dengan menggunakan jasa

konsultasi branding. Selain itu, penggunaan search engine

optimisation untuk memilih nama brand “Stalagmite”

dan meningkatkan kepopuleran brand secara online

juga mengindikasikan kesiapan dalam melangkah lebih

jauh lagi dalam memperkuat citra mereknya. Visi jauh ke

depan telah dapat ditunjukkan oleh sang pemilik merek,

yaitu dengan menerapkan teknologi augmented dan

virtual reality untuk produk animasi yang akan digunakan

untuk media edukasi anak-anak berkebutuhan khusus.

41

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang

dilaksanakan di Hotel Amaris Ambon, pada tanggal 15

Juli 2017 dihadiri oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai

narasumber. Pelaku industri kreatif di Ambon telah

menyadari pentingnya pengembangan citra merek

dari produk-produk mereka. Personifikasi merek yang

dipetakan menuju brand archetype dan didiskusikan

dalam FGD menunjukkan bahwa setiap peserta telah

membangun konsep mereknya dengan jelas. Namun

demikian, kedalaman dan kematangan eksekusi

pengembangan yang dilakukan berbeda-beda antar tiap

peserta atau pelaku usaha. Sebagai contoh, beberapa

peserta telah mempunyai nama merek, tetapi terdapat

pula beberapa peserta yang belum memiliki merek.

Seorang produsen aplikasi pembelajaran, dengan

guru-guru dan murid-murid sebagai konsumen,

mengembangkan citra edukatif untuk merek produknya.

Citra merek produk yang dikembangkan tercermin –

salah satunya – dalam penamaan aplikasi dengan nama-

nama yang terasosiasi dengan media pembelajaran.

Untuk mempermudah penyampaian misinya agar dikenal

sebagai merek yang membantu sektor pendidikan,

peserta tersebut berinteraksi langsung dengan guru-

guru dengan mendatangi sekolah untuk menunjukkan

contoh-contoh aplikasi pembelajaran mata pelajaran.

Peserta di sektor animasi menjalankan usahanya dengan

memperhatikan pentingnya mendapatkan chemistry

yang baik dan kecocokan dengan konsumen sebagai

strategi untuk membangun citra merek. Ini juga

diharapkan sebagai sarana untuk memperoleh order

secara berkelanjutan. Untuk itu, ia membangun interaksi

secara terus-menerus dengan konsumen, dimana ia

bersama dengan konsumen membahas konsep produk

animasi yang akan dibuat. Oleh karena itu, citra merek

yang terbentuk adalah merek yang ramah dan sangat

paham terhadap yang kebutuhan konsumennya.

Hal yang menarik terlihat juga dari sektor kuliner yang

memproduksi makanan olahan dari tuna, bluder sageru

dari air nira, dan selai pala. Namun, dari ketiga pelaku

usaha kuliner ini, hanya produsen selai pala yang sudah

memiliki nama merek, sedangkan dua lainnya belum,

sehingga belum ada citra merek yang terbentuk kuat dari

pelaku di sektor kuliner ini.

Sektor kriya diwakili oleh seorang wirausahawan pembuat

produk kriya dari tempurung kelapa. Pengembangan

citra merek dilakukannya dengan menekankan bahwa

tempurung kelapa dapat diolah menjadi bermacam

bentuk produk dan kerajinan tangan, antara lain

pelampung, dompet, guci, vas, dll. Untuk mendukung

hal tersebut, beliau selalu berusaha menciptakan model

desain yang baru untuk menambah variasi produknya.

Citra merek yang terbentuk menjadi merek kriya yang

inovatif dan kreatif.

Seorang wirausahawan yang memiliki sanggar kesenian

musik tifa mewakili sektor musik. Misi pelestarian

kebudayaan lokal melalui musik dan tarian tradisional

dengan alat musik tifa melatarbelakangi pengembangan

citra merek dari sanggar kesenian tersebut. Secara

berkala, sanggar ini tampil dalam berbagai kegiatan adat

dan acara pernikahan.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di AmbonMembangun Mereknya

Secara garis besar, strategi yang dilakukan telah selaras

dengan citra merek yang ingin diusung, yaitu berkaitan

dengan pemberian nama merek, desain visual, produk

yang sesuai dengan citra merek, inovasi produk, hingga

bentuk layanan yang diberikan. Meskipun begitu, pelaku

belum menyentuh komunikasi dengan konsumen yang

dapat memperkuat persepsi konsumen terhadap citra

merek yang diusung. Namun demikian, strategi yang

telah dilakukan sudah cukup baik dalam membangun

citra merek di pasar. Di sisi lain, masih terdapat pelaku-

pelaku UMKM yang bahkan belum memiliki nama merek.

Kesenjangan pengetahuan citra merek di Ambon cukup

tinggi.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

42

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kebudayaan Ambon yang begitu kaya banyak

menginspirasi masyarakatnya untuk berkarya dalam

rangka melestarikan budaya tersebut, termasuk Bapak

Domi. Untuk menyalurkan kecintaannya terhadap budaya

Ambon, Bapak Domi mendirikan “Sanggar Papala”.

Bagi Bapak Domi, budaya memiliki peranan yang sangat

penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di

Maluku. Hal ini dikarenakan budaya bagi masyarakat

Maluku telah menjadi bahasa yang dapat menjembatani

ketegangan sosial antar masyarakat.

Dengan misi tersebut, Bapak Domi membentuk

“Sanggar Papala”, sebuah sanggar kesenian klasik yang

dapat mengangkat dan melestarikan budaya asli Ambon.

Selain itu, Bapak Domi juga memproduksi alat musik tifa

sebagai produk yang ditawarkan. Upaya menjaga keaslian

budaya Ambon, menjadikan “Sanggar Papala” sebagai

sanggar yang menyediakan pelatihan seni dan musik

klasik Ambon. Hal ini merupakan kegiatan yang dilakukan

oleh Bapak Domi untuk membentuk citra mereknya.

Selain itu, “Sanggar Papala” juga sering terlibat dalam

kegiatan-kegiatan multietnik dalam rangka memperkuat

citra merek yang diusungnya.

Praktik Terbaik (Best Practice)

43

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilaksanakan

di Hotel Lion Manado, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri

oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Peserta

dari sektor kuliner menjalankan usaha snack kue cubit

dan minuman. Dengan target konsumen mahasiswa,

peserta tersebut mengedepankan unsur kreativitas pada

produknya. Hal ini tercerminkan dari bentuk, tekstur,

warna, dan rasa kue cubit yang selalu diusahakan untuk

mendapatkan sentuhan inovasi dan berubah-ubah. Selain

itu, pelaku usaha kuliner tersebut melihat adanya masalah

kesehatan untuk makanan jajanan di kalangan mahasiswa,

di mana mereka umumnya mengonsumsi gorengan.

Produk yang ia jual merupakan snack yang sehat, dan

hal tersebut dijadikan sebagai bagian terpenting dari

identitas merek yang dibawa. Sebagai turunan dari

identitas tersebut, ia menggunakan bahan-bahan

organik. Dalam kegiatan promosi, ia selalu menekankan

bahwa snack-nya adalah produk organik. Dengan produk

snack organik tersebut juga, ia membawa misi edukasi

bagi masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat.

Tiga peserta dari sektor kriya merupakan pemain lama

yang cukup senior dalam usaha kerajinan di Manado.

Mereka masing-masing telah berkiprah selama 18 tahun

(usaha kerajinan tangan), 12 tahun (toko souvenir), dan

10 tahun (usaha kerajinan tangan dari kayu kelapa).

Pengembangan citra merek sektor kriya di Manado

yang diwakili oleh ketiga peserta tersebut menekankan

aspek kekhasan daerah, dimana citra merek dibangun

dengan misi agar konsumen merasakan menjadi bagian

integral dari Manado, Sulawesi Utara, baik dari aspek

sumber daya alam maupun budayanya. Hal ini, misalnya,

diturunkan dalam penggunaan kayu hitam eboni (yang

cukup banyak ditemukan di daerah Sulawesi Utara) untuk

produk kerajinan tangan. Selain itu, kemasan produk yang

digunakan juga didesain dengan menonjolkan warna

khas Manado. Unsur estetika dan kreativitas juga mereka

tonjolkan dalam mengembangkan produk-produknya.

Dari sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang

hadir menjalankan usaha yang serupa, yaitu clothing

dengan tema etnik Sulawesi Utara. Nuansa tradisi dan

misi edukasi tentang kekhasan lokal sangat nyata dalam

pengembangan citra merek mereka yang tercerminkan

dengan baik dalam produk yang dijual. Salah satu peserta

menggunakan gambar burung Manguni, burung khas

Minahasa, pada desain baju yang dijual. Burung itu

digambarkan dengan sembilan bulu sayap. Jumlah ini

melambangkan sembilan subsuku dari suku Minahasa.

Dalam pengembangan citra mereknya, peserta di sektor

fashion juga sangat aktif dalam menggunakan media

sosial, website dan e-commerce untuk menyampaikan

pesan merek dan memasarkan produk-produknya.

Peserta dari sektor aplikasi menjalankan usahanya dengan

pembuatan produk-produk aplikasi yang bermanfaat

dalam banyak sektor. Di antara proyek pengembangan

aplikasi yang dikerjakan adalah dalam bidang pariwisata

(bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Manado)

dan kriminalitas (bekerjasama dengan Polda Sulawesi

Utara). Dengan keterlibatan di berbagai sektor, identitas

merek yang diusung dapat berganti-ganti, sesuai dengan

produk aplikasi yang dikembangkan.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di ManadoMembangun Mereknya

44

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pengembangan citra merek yang dilakukan oleh peserta

FGD di Manado mencakup penggunaan media sosial dan

website yang cukup berkelanjutan oleh keempat sektor

yang terwakilkan. Selain itu, sektor kriya dan fashion juga

menggunakan words of mouth, kegiatan pameran, toko,

dan outlet.

Penggunaan tema-tema kedaerahan seperti burung

Manguni dan sumber daya alam khas Sulawesi Utara

seperti kayu eboni menunjukkan bahwa citra merek yang

dikembangkan oleh pelaku usaha kreatif di Sulawesi Utara

sangat menjunjung tinggi nilai kekhasan daerahnya.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

“It is DAN!” Merupakan sebuah merek clothing line

asal Manado yang mengusung budaya sebagai poin

pembeda disain yang ditawarkan. Semenjak tahun

2015, Bapak Daniel yang merupakan pemilik dari merek

tersebut, mengembangkan usaha di sektor fashion.

Darah Minahasa yang mengalir kuat secara turun

menurun, membuat Bapak Daniel terdorong untuk

menggabungkan gairahnya dalam desain dengan budaya

Minahasa. Oleh karena itu, muncullah kolaborasi desain

t-shirt yang modern namun kental akan sentuhan budaya

Minahasa.

Desain yang secara jelas berbeda dengan para pesaingnya

telah membentuk citra merek yang kuat. Citra modern

dan simpel yang bercampur dengan budaya khas

Minahasa kuat terpatri ketika merek “it is DAN!” muncul

di pasar. Desain dengan unsur Sam Ratulangi, burung

Manguni, dan suku asli Minahasa itu sendiri menjadi

warna utama dari produk-produknya.

Praktik Terbaik (Best Practice)

Sejauh Manakah Industri Kreatif di Semarang Membangun Mereknya

Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Dafam

Semarang, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri oleh 11 pelaku

UMKM kreatif sebagai narasumber. Secara umum, pelaku

belum memahami penuh pentingnya pengembangan

citra merek dan bagaimana mejalankan pengembangan

tersebut. Akan tetapi, secara naluriah para peserta telah

menanamkan visi dari para pemilik merek ke dalam

mereknya. Hal ini tergambar secara kuat dari atribut

produk yang ditawarkan. Meskipun demikian, serupa

dengan pelaku UMKM kreatif di kota-kota lainnya,

kegiatan pengembangan merek ini belum dilakukan

secara terintegrasi dan penyampaian citra atau identitas

belum berjalan konsisten pada setiap atribut mereknya.

Dari sektor fashion (mode, busana), citra merek yang

dapat dipercaya menjadi nilai yang ditonjolkan. Hal

ini muncul karena mereka ingin memenuhi ekpektasi

konsumen terhadap produk mereka. Selain itu, salah

satu pelaku dari sektor fashion pun menanamkan nilai

kepercayaan diri pada konsumennya. Akan tetapi, hal

tersebut hanya dilakukan dari diri sendiri, belum secara

menyeluruh. Kegiatannya belum menyentuh elemen-

elemen merek lainnya, seperti nama merek, desain visual,

komunikasi pemasaran, atau standarisasi pelayanan sales

person. Aspek-aspek ini akan membuat citra merek yang

kuat dan menarik jika dieksekusi dengan baik.

Hal yang menarik datang dari sektor kriya. Di kota

Semarang ini, sektor kriya menunjukan kegiatan

pengembangan citra merek yang cukup mendalam.

Hal ini terlihat dari inovasi produk yang sesuai dengan

identitas yang diusung ataupun pengalaman yang

disajikan untuk memperkuat citra merek. Salah satu

pelaku ingin mengusung nilai anti mainstream yang

akhirnya mendorong inovasi produk kerajinan kulit, yakni

menggunakan kulit ikan ayam-ayam atau kulit singa.

Pelaku lainnya dalam sektor ini bahkan menciptakan

paket wisata edukatif di areal produksi kerajinan eceng

gondok. Meskipun begitu, kegiatan pengembangan citra

merek tersebut masih harus ditopang oleh konsistensi

dari elemen-elemen merek lainnya.

45

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Pelaku usaha kreatif di Semarang telah menjalankan

strategi tertentu dalam mengembangkan citra merek.

Sebagian besar pelaku masih berfokus pada atribut

pelayanan atau produk yang sesuai dengan citra

merek yang diusung. Akan tetapi, terdapat beberapa

pelaku usaha yang memiliki strategi berbeda dalam

mengembangkan citra mereknya, antara lain:

1. Salah satu pelaku di sektor fashion menggunakan

ukuran baju dengan standar luar negeri. Hal ini

membentuk persepsi konsumen menjadi merek

fashion yang memberikan kepercayaan diri, terutama

wanita. Jika pada umumnya konsumen menggunakan

pakaian dengan ukuran XL, ternyata pada merek ini

konsumen akan dapat mengenakan pakaian dengan

ukuran M atau L. Hal ini menciptakan kepercayaan

diri bagi konsumen setelah menggenakan produk

dari merek tersebut.

2. Dari sektor kriya, salah satu merek usaha menanamkan

nilai anti mainstream. Hal ini diterjemahkan melalui

inovasi produk yang out of the box. Penggunaan

kulit ikan ayam-ayam hingga kulit singa menjadikan

citra merek tersebut menjadi unik dan berbeda.

Di sisi lain, produksi yang dibatasi memperkecil

kemungkinan konsumen memiliki barang yang sama

dengan orang lain. Setelah konsumen menggunakan

merek ini akan semakin terasa bahwa konsumen

tersebut menjadi konsumen yang anti-mainstream

dan berbeda, layaknya citra merek yang diusung.

3. Masih dari sektor kriya, pelaku lainnya menciptakan

paket wisata edukatif untuk memperkuat citra merek

yang kental akan budaya dan alam. Ia menyiapkan

paket wisata kreatif yang mengajarkan beberapa

bentuk kerajinan, melihat pertanian enceng gondok

secara langsung, mengenalkan wisata di daerah

sekitar yang dekat sekali dengan adanya bahan baku

eceng gondok, yaitu objek wisata Bukit Cinta. Ia juga

mengangkat sejarah dari areal produksi kerajinannya,

yaitu “Klinting”. Nama tersebut diambil dari nama

depan, silsilah, dan simbol dari naga yang ada di Rawa

Pening.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Di sektor lainnya, pelaku usaha kreatif di Semarang masih

melakukan kegiatan pengembangan citra merek sesuai

dengan nalar pemilik dan karakteristik usaha yang dijalani.

Animasi masih berfokus pada pembangunan citra merek

melalui pelayanan yang ramah dan memenuhi keinginan

konsumen. Kuliner berfokus kepada penyetaraan kualitas

rasa makanan dan pelayanan yang ramah.

46

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Dimulai pada tahun 2011, Ibu Dwi Hafirani membangun

merek “Zawa Leather” yang memproduksi tas, dompet,

buku agenda serta semua kerajinan berbahan dasar kulit.

Dengan persona yang anti-mainstream, Ibu Dwi Hafirani

mencoba memasukan unsur tersebut dalam mereknya.

Mengusung inovasi-inovasi produk yang tak biasa

membuat kesan ‘rebel’ dan ‘unik’ menjadi citra yang

terbentuk dari mereknya. Hal ini tercermin dari

penggunaan bahan seperti bulu domba, kulit ikan buntal,

kulit ikan ayam-ayam, dan yang lainnya.

Produk “Zawa Leather” dibuat secara khas (eksklusif),

bahkan berani memberikan garansi. Mereka juga

mengeluarkan produk terbatas yang hanya diluncurkan

pada waktu tertentu. Produk yang dihasilkan

menggunakan aneka sumber bahan yang unik dan tidak

terpikirkan, seperti kulit ikan buntal dan kulit ikan ayam-

ayam, dengan total produksi hanya 10 – 12 buah per

model.

Praktik Terbaik (Best Practice)

47

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Grand Darmo

Surabaya, pada tanggal 13 Juni 2017 dihadiri oleh 10

pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD

citra merek di Surabaya ini tergambar ketimpangan

pengetahuan pelaku UMKM kreatif terhadap branding,

termasuk citra merek di dalamnya. Kesenjangan terlihat

pada bagian mengenai pemahaman branding dan

seberapa penting branding bagi sebuah UMKM. Sebagian

merasa bahwa branding hanya mencakup desain logo.

Sementara, sebagian lain merasa bahwa kegiatan

branding merupakan kegiatan yang tidak perlu dilakukan

di tahap awal saat menjalankan bisnis.

“Kalau dari saya, selling dahulu, branding-nya kemudian.

Kalau selling kan mendapatkan uang fresh money cepat,

tapi kalau branding adalah PR yang sangat jauh ke depan”

“Itu tidak hanya logo dan tagline yang pas tapi juga riset

yang tepat”

Selain itu, sebagian besar pelaku UMKM kreatif dalam

FGD di Surabaya masih belum mengimplementasi

pengetahuan terhadap branding secara mendalam.

Kegiatan pengembangan citra merek yang dilakukan

masih berfokus kepada kualitas atau atribut produk yang

ditawarkan.

Namun demikian, terdapat beberapa pelaku UMKM

kreatif yang sudah memiliki pemahaman mendalam

mengenai branding. Mereka memahami bahwa untuk

menciptakan citra merek yang positif kegiatan branding

yang holistik dari hulu ke hilir perlu dilakukan.

“Adalah janji kita kepada konsumen, komitmen bahwa

kita memang punya produk ini, mulai belanja dari mana,

bagaimananya prosesnya sampai selesai”.

Pelaku di sektor aplikasi dengan nama merek “Kinetikum”

telah memahami prinsip dasar dari pengembangan citra

merek. Hal ini tercermin dari pemilihan nama merek yang

mencerminkan nilai yang dimiliki. Gabungan filosifi kinetik

yang terasosiasi dengan energi dan pergerakan serta

adamantium (sebuah zat yang sangat kuat) menjadikan

nilai yang diusung oleh “Kinetikum” menjadi merek

yang memiliki energi atau pergerakan yang begitu kuat.

Nilai ini menjadi dasar seluruh proses bisnisnya. Eksekusi

yang tepat dapat menciptakan citra merek yang lebih

kuat mengenai “Kinetikum” di benak konsumen.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di SurabayaMembangun Mereknya

48

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Secara garis besar, strategi pembentukan citra merek

yang dilakukan oleh pelaku UMKM kreatif di Surabaya

antara lain adalah:

1. Penggunaan media sosial untuk melakukan kegiatan

endorsement oleh tokoh publik dilakukan untuk

memperkuat asosiasi merek dengan tokoh publik

tersebut. Hal ini dilakukan oleh pelaku di sektor

kuliner dengan memanfaatkan artis Rina Nose,

Shireen Sungkar dan Glenn Alinskie. Strategi ini

dapat membentuk citra merek yang sesuai dengan

citra tokoh publik yang terlibat.

“Kinetikum” yang didirikan oleh Bapak Budi Santoso

pada tahun 2009 bergerak pada bidang aplikasi. Jenis

aplikasi yang dikembangkan oleh Bapak Budi Santoso

adalah software untuk Enterprise Resource Planning

(ERP). Aplikasi ini dirancang untuk menciptakan sistem

alur sumber daya yang efektif bagi sebuah usaha. Berikut

adalah beberapa jenis software “Kinetikum”; (1) Sales

distribution manufacture, (2) project management, dan

(3) human resource information system.

“Kinetikum” diambil berdasarkan ketertarikannya

dengan jam cyclo kinetic yang hanya dapat berfungsi

apabila pemakainya bergerak, serta kata adamantium

yang merupakan zat yang sangat kuat. Hal ini menjadi

filosofi dasar Bapak Budi dalam menjalankan usahanya,

2. Penerapan riset perilaku konsumen yang mendalam

dipraktekkan dengan nyata. Hal ini bertujuan

untuk memastikan inovasi produk sesuai dengan

sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku, sudut

pandang konsumen, serta tren terkini. Inovasi yang

tepat ini dapat memperkuat kredibilitas atas citra

merek yang diusung.

yaitu selalu ingin bergerak dan memiliki energi yang

luar biasa besar. Karena itu beliau berambisi untuk

memudahkan proses usaha dengan mengotomatisasi

sistem dan proses kerjanya. Hal ini tergambar dari inovasi

varian aplikasinya yang mulai merambah berbagai aspek

proses bisnis. Kini, ia mencoba membuat aplikasi untuk

sistem usaha dengan skala yang lebih kecil.

Pemahaman yang dalam mengenai nilai apa yang diusung

dari merek “Kinetikum” membuat Bapak Budi bergerak

secara terarah dan terintegrasi. Hal ini menjadikan citra

merek Bapak Budi menjadi kuat di benak pelanggannya.

Dalam hal penjualan, citra merek yang kuat terbukti dari

keberhasilannya menjual produk dengan kisaran harga

Rp 350 juta.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Praktik Terbaik (Best Practice)

49

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Terdapat beberapa strategi-strategi yang menonjol yang

dilakukan oleh pelaku UMKM kreatif di Medan dalam

rangka mengembangkan citra mereknya, antara lain:

1. Pentol Sadis menciptakan penamaan terhadap

tingkatan kepedasannya menggunakan istilah yang

menarik. Beberapa contoh nama produknya adalah

penyayang, kejam, terlalu sayang dan sadis. Selain

itu pengembangan logo dari merek Pentol Sadis

yang ingin terlihat sangar semakin memperkuat citra

merek yang diusung.

2. Masbro Web berinovasi dengan membuat sistem

Point of Sales (POS) bagi usaha berskala kecil. Sistem

POS yang biasanya mahal kini dapat diakses dengan

harga yang terjangkau bagi klien-klien Masbro Web.

Inovasi tersebut dan juga pelayanan yang ramah

menjadikan citra merek ramah dan dapat diandalkan

semakin terbentuk dalam benak kliennya.

3. Pelaku lainnya berusaha dalam mengembangkan

citra merek melalui usaha peningkatan exposure

merek. Partisipasi dalam pameran dengan skala

regional, nasional maupun internasional kerap

kali mereka perjuangkan. Selain itu bagi beberapa

pelaku, menggunakan Search Engine Optimization

(SEO) juga merupakan salah satu strategi dalam

meningkatkan eksposurnya dalam dunia maya.

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Kegiatan Focus Group Discussion yang dilaksanakan di

Hotel Hermes Medan pada tanggal 20 Juli 2017 dihadiri

oleh 9 narasumber. Sebagian besar pelaku UMKM kreatif

memiliki visi yang cukup jelas mengenai persona atau

identitas seperti apa yang ingin dikembangkan dalam

mereknya. Hal ini terlihat dari penamaan merek dan

atribut produk yang kuat asosiasinya dengan identitas

atau pesona yang ingin dibentuk dalam benak konsumen.

Kedua pelaku dari sektor kuliner merupakan contoh

yang memahami citra merek apa yang ingin dibangun.

Berangkat dari fenomena kata sadis yang semakin marak

digunakan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan anak

muda, Ibu Ella menamakan produk pentol pedasnya ini

dengan nama Pentol Sadis. Kata sadis yang asosiasinya

kuat dengan sesuatu yang ekstrim digunakan untuk

mempertegas pentol yang rasanya pedas. Keunikan

penamaan ini menjadikan pentol sadis ini dekat dengan

konsumennya dan mudah diingat. Hal ini merupakan

langkah mendasar dalam membentuk citra merek yang

kuat.

Hal serupa juga dilakukan oleh Bapak Dzikriy. Durian

yang diolah menjadi produk durian tub, cake dan

juga es krim dengan berbagai topping yang menarik

terkomunikasikan dengan baik oleh nama mereknya yaitu

Hepi Pancake. Dari sektor aplikasi terdapat nama merek

Masbro Web, yang melakukan hal serupa. Pemahaman

yang mendalam mengenai konsumennya membuat

Bapak Reza memilih nama Masbro salah satunya karena

mudah diingat karena memang sedang tren digunakan.

Selain itu, kata ini juga mengomunikasikan dengan baik

nilai keramahan dan sosok yang dapat diandalkan. Hal-

hal tersebut menjadikan citra mereknya menjadi sangat

kuat.

Namun demikian, masih terdapat beberapa pelaku dari

sektor kriya, fesyen, ataupun aplikasi yang masih belum

mengomunikasikan persona maupun identitas apa yang

ingin dibangun dalam mereknya. Kebanyakan dari pelaku-

pelaku ini mengembangkan merek menggunakan nama

sendiri atau singkatan dari lingkungan sosialnya untuk

menunjukan jati dirinya. Belum terdapat strategi yang

konkrit untuk menunjukkan jati diri atau identitas apa

yang sebenarnya ingin dikomunikasikan.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di MedanMembangun Mereknya

50

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Praktik Terbaik (Best Practice)

Bapak Reza dari Masbro Web bergerak dalam bidang

website mulai 2011, tetapi mulai serius menggarapnya

dalam setahun terakhir. Nama Masbro diambil untuk

menunjukkan citra yang akrab dan dapat diandalkan.

Selain itu sebutan ‘masbro’ yang merupakan trend

membuat orang lebih mudah mengenal dan mengingat

merek tersebut.

Ciri khas dari Masbro Web adalah desain yang mengikuti

trend dan dipastikan tidak memiliki tema yang sama

dengan web lainnya. Pengerjaan pembuatan website

terhitung agak lama, karena desain dibuat khusus dan

berbeda sesuai dengan permintaan klien.

Kesan Masbro Web yang akrab dan dapat diandalkan

diramu menjadi sebuah identitas layaknya seorang

pahlawan (archetype hero). Hal ini diimplementasikan

melalui indentifikasi produk yang dibutuhkan pasar saat

ini. Contohnya sistem Point of Sales (POS) yang dibutuhkan

banyak UKM, namun umumnya kurang terjangkau karena

harganya mahal. Masbro Web menciptakan sistem POS

yang terjangkau untuk membantu UKM. Citra yang

terbentuk adalah Masbro Web yang akrab dan dapat

diandalkan, karena jika membutuhkan sesuatu mengenai

sebuah sistem, Masbro Web dapat menyediakannya.

Kegiatan Focus Group Discussion dilaksanakan di

Hotel Ibis Style Bandung pada tanggal 16 Juni 2017 dan

dihadiri 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber.

Temuan utama mengenai citra merek di kota Bandung

ini adalah bahwa sebagian besar pelaku masih terpaku

pada sisi operasional bisnis dan belum seutuhnya

memperhatikan pengembangan citra merek yang

terencana dan terintegrasi. Meskipun demikian, terdapat

beberapa pelaku UMKM kreatif yang memiliki diferensiasi

dalam hal citra merek yang cukup kuat walupun belum

dikomunikasikan dengan baik.

Hasan Batik di Bandung mengklaim mereknya

memiliki ciri khas desain batik yang kontemporer. Hal

ini merupakan nilai pembeda yang menarik, mengingat

banyaknya batik yang mengusung nilai yang kental akan

unsur budaya tradisional. Hasan Batik melawan arus

dengan desain yang lebih modern. Namun, sayangnya

belum terlihat strategi-strategi yang kuat baik dari

elemen-elemen mereknya seperti nama merek, logo,

desain visualisasi maupun komunikasi pemasarannya.

Salah satu pelaku UMKM kreatif yang cukup memiliki

potensi citra merek yang kuat adalah Federal Science oleh

Bapak Yoyo. Pemiliki usaha yang berfokus pada kerajinan

bambu ini memiliki pengetahuan mengenai bambu yang

mendalam. Bapak Yoyo memahami 109 jenis bambu yang

terdapat di Indonesia dan mengedukasikannya melalui

sebuah modul yang disebarkan ke sekolah-sekolah.

Hal ini dapat memperkuat citra merek produk kerajinan

Bapak Yoyo seiring dengan banyaknya konsumen yang

semakin teredukasi mengenai kelebihan dan keunikan

dari masing-masing jenis bambu. Sayangnya nilai-nilai

pembeda tersebut belum dikomunikasikan secara

terintegrasi melalui elemen-elemen merek yang dimiliki.

Hal tersebut menjadikan citra merek yang terbentuk

belum kuat. Kurangnya pemahaman akan citra merek

ini ditemukan pula pada sebagian besar pelaku UMKM

kreatif yang berperan sebagai narasumber.

Sejauh Manakah Industri Kreatif di BandungMembangun Mereknya

51

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan

Melihat kondisi yang telah dijabarkan sebelumnya,

di antara peserta FGD di kota Bandung masih belum

terlihat adanya strategi-strategi yang kuat dalam rangka

mengembangkan citra merek para pelaku UMKM

kreatif. Kegiatan yang dilakukan masih berkutat pada

peningkatan eksposur melalui SEO, social media,

pameran, edukasi pasar dan words of mouth. Belum

terlihat adanya pemahaman yang cukup mengenai

persona atau identitas apa yang ingin dikembangkan dan

strategi untuk mengembangkannya.

Praktik Terbaik (Best Practice)

Hasan Batik merupakan usaha yang telah berdiri

semenjak tahun 1980-an. Usaha ini merupakan usaha

keluarga yang diturunkan kepada Ibu Nia oleh ayahnya.

Oleh karena itu, Ibu Nia merupakan generasi kedua dari

Hasan Batik itu sendiri. Awalnya, usaha ini bergerak pada

bidang dekorasi rumah seperti taplak, base mat, wall

hanging, dll. Namun semenjak tahun 2000-an ketika Ibu

Nia mulai menjalani usaha ini, ia melihat bahwa antusiasme

pasar menurun sehingga mendorongnya untuk merubah

arah usaha menjadi fesyen.

Dengan mengusung diferensiasi motif yang

kontemporer, Hasan Batik mampu mengembalikan

antuasiasme pelanggan. Motif garis-garis dan kotak-

kotak yang cenderung geometris menjadikan batik yang

ditawarkan terlihat tidak kuno. Hal ini bahkan menarik

pejabat-pejabat pemerintah kota Bandung.

Namun, diferensiasi yang cukup kuat ini tidak dijaga

konsistensinya hingga saat ini. Selain itu juga nilai ini

tidak dikomunikasikan secara terintegrasi melalui strategi

terhadap elemen-elemen mereknya.

52

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

52

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

ME

MA

HA

MI

CIT

RA

M

ER

EK

PR

OD

UK

K

RE

AT

IF D

IMA

TA

K

ON

SU

ME

N

53

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

53

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

54

57

59

61

63

65

SEKTOR KULINER

SEKTOR KRIYA

SEKTOR FASHION

SEKTOR MUSIK

SEKTOR ANIMASI

SEKTOR APLIKASI

54

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Survei secara online menyasar 1.800 konsumen produk

kreatif di Indonesia. Hasil dari survei ini menunjukkan

atribut apa saja yang dianggap penting dalam masing-

masing sektor industri kreatif, alasan dibalik pembelian

sebuah produk kreatif, dan titik interaksi pembelian

produk kreatif tersebut. Sektor yang diteliti mencakup

sektor kuliner, sektor kriya, sektor fashion (mode,

Sektor Kuliner

Gambar 5.1

Perspektif Responden

Terhadap Produk Sektor

Kuliner

busana), sektor musik, sektor animasi, dan sektor aplikasi.

Temuan-temuan survei ini dianalisis di bawah ini untuk

setiap sektor usaha kreatif untuk memunculkan wawasan

yang terkait dengan masing-masing sektor.

Dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk atau

layanan dalam sektor kuliner (makan, minuman, restoran, cafe, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu

Gambar 5.1 menunjukkan perspektif responden survei

terhadap produk sektor kuliner. Dari grafik di atas terlihat

bahwa konsumen melihat pengalaman edukatif yang

diberikan oleh merek produk kuliner merupakan atribut

terpenting dari produk tersebut. Citra merek dari produk

kreatif akan menjadi positif apabila pemilik merek dapat

menghadirkan pengalaman atau pengetahuan baru bagi

konsumennya.

Pengetahuan baru yang dimaksud adalah informasi yang

mendidik dan membuat konsumen dapat memahami

suatu pelajaran baru yang terdapat dari produk kuliner

tersebut. Cara untuk melakukan hal tersebut dapat

melalui keterlibatan interaktif penjual-pembeli, baik

secara pikiran (intellectual) atau berupa pelatihan secara

fisik (Pine & Gilmore, 2011).

55

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 5.2

Alasan Responden

Membeli Produk

Sektor Kuliner

Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:

Pengetahuan yang dihadirkan harus merupakan informasi

yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dalam grafik di

atas terlihat bahwa alasan konsumen membeli produk

kuliner adalah karena adanya rasa “kedekatan” dengan

merek tertentu. Hal ini dapat memotivasi pelaku untuk

menyediakan informasi-informasi produk yang dekat

dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Akibatnya,

tercipta hubungan emosional yang terkait. Pemberian

informasi yang edukatif ini dapat dilakukan melalui

penyampaian data atau fakta atau mengajak konsumen

berpartisipasi secara aktif dalam memproduksi produk

kuliner.

56

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Dimanakah Anda membeli produk kreatif? (Boleh lebih dari satu)

Media yang dapat digunakan untuk memperkuat citra

merek pada sektor kuliner adalah melalui toko/workshop.

Hal ini terlihat dari survei bahwa mayoritas konsumen

membeli produk kreatif melalui toko/workshop

online. Temuan ini dapat dimanfaatkan bagi pelaku

agar menjadikan toko/workshop mereka dan seluruh

elemen di dalamnya sebagai media untuk menambah

pengetahuan konsumen.

Keselarasan identitas atau nilai merek yang ditanamkan

oleh pelaku usaha dengan pengalaman edukatif yang

mengandung informasi yang dekat dengan kehidupan

konsumen dapat secara kuat membentuk citra merek di

benak konsumen. Apabila pelaku berhasil menciptakan

citra merek yang kuat di benak konsumen, hal ini bisa

menjadi titik balik perkembangan usaha secara signifikan.

Gambar 5.2

Tempat Pembelian

Produk Sektor Kuliner

57

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 5.5

Perspektif Responden

Terhadap Produk

Sektor Kriya

Serupa dengan sektor kuliner, terlihat bahwa konsumen

pada sektor kriya pun memiliki pandangan yang sama

mengenai atribut penting dari produk kriya, yaitu

pengalaman yang edukatif. Citra dari sebuah produk kriya

akan menjadi positif, apabila pelaku mampu memberikan

pengetahuan-pengetahuan baru dan unik kepada

konsumennya. Penyediaan pengetahuan baru ini dapat

dilakukan melalui atribut produk, desain visual, kegiatan

pemasaran, pengalaman konsumsi, ataupun yang lainnya.

Produk kriya di Indonesia kental akan unsur kreativitas dan

budaya lokal. Pengetahuan mengenai proses pembuatan

produk kriya atau filosofi makna dari produk tersebut,

merupakan informasi yang menarik bagi kosumen.

Pelaku usaha dapat memberikan informasi secara satu

arah dan melibatkan pikiran konsumen atau dengan

cara menciptakan partisipasi aktif konsumen (seperti

pelatihan kepada konsumen).

Sektor Kriya

3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk

atau layanan dalam sektor kriya (kerajinan tangan, daur ulang, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu

58

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Berbeda dari sektor kuliner, pengetahuan baru yang

dihadirkan pada sektor kriya harus dapat berkontribusi

dalam memperkuat jati diri konsumen. Tergambar dalam

grafik bahwa konsumen memutuskan untuk membeli

produk kriya karena merek tersebut mencerminkan

jati dirinya. Temuan ini menjadi dasar bagi pelaku

yang bergerak di bidang kriya untuk lebih memahami

konsumen sampai pada tahap jati dirinya.

Pemahaman mendalam mengenai konsumen ini akan

Masih serupa dengan sektor kuliner, sebagian besar

konsumen sektor kriya membeli produk di toko/

workshop. Dengan demikian, pelaku usaha perlu

mendesain seluruh elemen yang tercakup dalam

toko/workshop tersebut agar mencerminkan jati diri

konsumennya. Hal ini semakin menciptakan citra merek

yang kuat dibenak konsumen produk kriya.

Citra merek produk kriya dapat terbentuk apabila

menciptakan hubungan personal antara konsumen dan

merek, sehingga terjadi peleburan antara merek dan

diri konsumen. Merek tersebut adalah bagian dari diri

konsumen. Baik melalui atribut produk, desain visual,

komunikasi pemasaran ataupun yang lainnya, konsumen

merasa bahwa merek tersebut berkontribusi pada

penguatan jati dirinya.

pelaku berhasil memahami jati diri konsumennya dan

menerjemahkan hal tersebut menjadi pengetahuan-

pengetahuan baru. Keberhasilan pelaku mengeksekusi

hal tersebut dapat membentuk citra merek yang kuat,

sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan

usaha secara signifikan.

Gambar 5.5

Alasan Responden

Membeli Produk

Sektor Kriya

Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:

Gambar 5.6

Tempat Pembelian

Produk Sektor Kriya

59

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Survei pada sektor fashion (mode, busana) menunjukkan

atribut penting dalam sebuah produk fashion yang

serupa dengan dua sektor sebelumnya. Penambahan

pengetahuan baru masih menjadi atribut utama yang

dilihat konsumen dalam mengonsumsi produk fashion.

Elemen yang terdapat pada produk fashion memiliki

cakupan yang luas, mulai dari bahan, warna, aksesoris,

desain dan yang lainnya. Variasi dari elemen-elemen

tersebut menjadi salah satu bentuk informasi yang

menarik untuk diketahui oleh konsumen.

Gambar 5.7

Perspektif Responden

Terhadap Produk

Sektor Fashion

“Wow Effect” yang timbul akibat pengetahuan baru yang

diberikan dapat menimbulkan kekaguman terhadap

merek. Hal ini membentuk citra merek yang positif

terhadap merek tersebut melalui keterikatan emosional.

Informasi yang diberikan dapat melalui cara menciptakan

partisipasi konsumen secara pasif ataupun aktif.

Sektor Fashion

60

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Serupa dengan sektor kriya, penguatan jati diri konsumen

oleh merek menjadi penting. Pengetahuan baru yang

sesuai dengan jati diri konsumen menjadi salah satu

faktor yang menarik konsumen membeli produk fashion.

Pemahaman terhadap jati diri konsumen menjadi kunci

utama pembentukan citra merek yang kuat. Fashion

memang secara umum dipandang sebagai media untuk

mengomunikasikan siapa diri pemakainya. Karena itu,

setiap elemen dari merek harus mengomunikasikan

nilai-nilai yang sama dengan jati diri konsumen, sehingga

tercipta hubungan emosional yang erat.

Hal yang menarik dari sektor fashion adalah konsumen

membeli produk fashion di toko/workshop dan

toko online. Persentase yang hampir sama besar

memungkinkan bahwa konsumen yang membeli di

toko offline juga membeli di toko online. Berdasarkan

hal tersebut, perancangan pengalaman edukatif yang

terintegrasi antara toko offline dan toko online perlu

diimplementasikan.

Kesinambungan citra yang ditemukan pada toko offline

dan toko online dengan identitas merek menjadi kunci

terbentuknya citra merek produk fashion yang kuat.

Kesuksesan membentuk citra merek tersebut tidak

terlepas dari hadirnya unsur pengalaman edukatif

yang sesuai dengan jati diri konsumen. Hal ini dapat

berpengaruh terhadap laju berkembangnya usaha secara

signifikan.

Gambar 5.8

Alasan Responden

Membeli Produk

Sektor Fashion

Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:

Gambar 5.9

Tempat Pembelian

Produk Sektor

Fashion

61

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 5.10

Perspektif Responden

Terhadap Produk

Sektor Musik

Sektor Musik

Seperti yang terlihat pada grafik, dalam sektor musik

atribut penting dalam perspektif responden adalah

edukasi dan hiburan. Selain penambahan pengetahuan

baru, menghadirkan hiburan yang sesuai dengan

selera konsumen menjadi hal yang penting untuk

produk musik. Sejatinya, salah satu fungsi dari musik

adalah hiburan. Hal tersebut yang menjadikan unsur

hiburan selalu lekat dalam menciptakan produk musik.

Meskipun begitu, unsur edukasi juga tetap penting untuk

dihadirkan. Sektor musik mengandung banyak informasi

mengenai kebudayaan tradisional maupun populer. Hal

ini mendasari terjadinya variasi dalam sektor musik.

Penggabungan atribut hiburan dan edukasi dalam

produk musik dapat menciptakan ketertarikan

konsumen terhadap suatu merek. Melalui hal ini,

produk musik dapat membentuk citra merek yang kuat.

Keterlibatan konsumen secara pasif dan secara aktif dapat

dikombinasikan dalam kegiatan pembangunan citra

merek.

62

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Sama halnya dengan sektor fashion, konsumen membeli

produk musik di toko/workshop dan toko online. Temuan

ini menjadikan dasar penanaman nilai-nilai yang sesuai

dengan jati diri konsumen pada toko offline maupun

online. Tentunya, nilai yang disampaikan melalui elemen-

elemen dalam toko offline dan online harus terkait

secara berkesinambungan. Akhirnya, citra merek yang

kuat dapat terbentuk. Dalam rangka mengembangkan

usaha secara signifikan, pelaku dalam sektor musik perlu

memahami jati diri konsumennya secara mendalam serta

mengeksekusi dalam setiap elemen mereknya.

Musik yang sering digunakan untuk mengekpresikan

diri merupakan media dalam mencerminkan jati diri

penggunanya. Fenomena ini memperkuat hasil survei

yang menunjukan bahwa keselarasan merek dengan

jati diri konsumen adalah hal yang penting. Hasil ini

Gambar 5.11

Alasan Responden

Membeli Produk

Sektor Musik

Gambar 5.12

Tempat Pembelian

Produk Sektor Musik

ditemukan juga pada sektor kriya dan sektor fashion.

Atribut hiburan dan edukasi yang didesain selaras

dengan jati diri konsumennya menjadi salah satu cara

dalam membentuk citra merek yang kuat dalam benak

konsumen.

Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:

63

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Dalam konteks produk animasi, atribut utamanya adalah

hiburan. Unsur hiburan mendominasi atribut-atribut

lainnya dalam sektor animasi. Hal ini tergambar pada

grafik di atas. Layaknya produk musik, salah satu fungsi

utama dari produk animasi adalah terhiburnya penonton.

Oleh karena itu, unsur ini harus terasa kuat ketika pelaku

memproduksi sebuah video animasi.

Pelaku yang dapat menciptakan sebuah video animasi

yang menghibur mampu mengajak penonton untuk

terlibat secara emosional dan pikiran. Keterlibatan ini

memunculkan rasa puas dan asosiasi yang kuat terhadap

merek, sehingga tercipta citra merek yang positif.

Meskipun konsumen berpartisipasi secara pasif, namun

unsur hiburan ini dapat mengikat pikiran dan emosi

konsumen secara aktif ke dalam video animasi yang

dibuat.

Gambar 5.13

Perspektif

Responden

Terhadap Produk

Sektor Animasi

Sektor Animasi

3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk

atau layanan dalam sektor film (layar lebar, film pendek, sinteron, dokumenter, ftv dsb) dan animasi (ipinupin,

sopo jarwo, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu

64

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Dari grafik di atas ditemukan sebuah gambaran menarik

mengenai sektor animasi, yaitu tempat konsumen

membeli produk animasi adalah dari toko online dan

teman/kerabat. Konsumen seringkali membeli produk

animasi dari teman/kerabat yang dapat membuat video

animasi atau mereka mendapatkan referensi dari teman/

kerabat mengenai penyedia layanan video animasi

kenalannya. Temuan ini menjadi sebuah arahan bagi

pelaku usaha animasi untuk menyediakan hiburan yang

sesuai dalam toko-toko online-nya. Selain itu, pelaku

usaha kreatif juga harus menjaga hubungan dengan

konsumennya layaknya teman/kerabat yang menghibur.

Dengan demikian dapat tercipta words of mouth.

Hiburan yang ditawarkan tentunya perlu sesuai dengan

jati diri setiap konsumen. Kesesuaian antara hiburan

dalam toko online dan pelaku menjaga hubungan dengan

konsumennya menjadi kunci sukses dari usaha di sektor

ini. Usaha yang semakin berkembang dapat menjadi

bukti dari eksekusi kegiatan pengembangan citra merek

sektor animasi yang sesuai.

Animasi memang merupakan salah satu bentuk hiburan

yang kerap dikonsumsi masyarakat saat ini. Hiburan

yang dikonsumsi oleh setiap konsumen berbeda-beda

tergantung preferensinya. Oleh karena itu, pelaku

usaha animasi perlu memahami perilaku dan jati diri dari

konsumen sehingga mengerti preferensi yang sesuai

dari konsumennya. Dengan menawarkan hiburan yang

berhubungan dengan jati diri konsumennya, pelaku

usaha animasi mampu membentuk citra mereknya

dengan kuat di benak konsumen.

Gambar 5.14

Alasan

Responden

Membeli Produk

Sektor Animasi

Gambar 5.15

Tempat Pembelian

Produk Sektor

Animasi

65

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Sektor Aplikasi

Gambar 5.16

Perspektif Responden

terhadap Produk

Sektor Aplikasi

3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk

atau layanan dalam sektor aplikasi dan pengembangan permainan (software, mobile apps, games dsb)

Sesuai dengan gambaran dari grafik di atas, upaya

memberikan pengetahuan baru untuk sektor aplikasi

merupakan hal yang penting. Dominasi atas atribut

informasi yang edukatif ini ditemukan juga pada sektor

kuliner, kriya, dan fashion. Tersedianya informasi-

informasi menarik seputar produk aplikasi yang diberikan

kepada konsumen dapat menciptakan citra merek yang

kuat.

Proses penciptaan produk aplikasi yang kompleks

menjadi menarik untuk dieksplorasi. Perilaku masyarakat

yang semakin digitally-savvy menjadikan ketertarikan

terhadap bidang ini meningkat. Salah satu cara untuk

menyampaikan fakta menarik mengenai aplikasi dapat

dilakukan melalui media yang dapat diserap secara pasif

seperti infografik, video, artikel, dan lainnya. Selain itu,

pelaku juga dapat menyampaikan edukasi mengenai

aplikasi melalui pelatihan yang melibatkan konsumen

untuk mencoba langsung.

66

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Gambar 5.17

Alasan Responden

Membeli Produk

Sektor Aplikasi

Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:

Berbeda dengan sektor-sektor lainnya, konsumen

memilih produk aplikasi karena dirasa memiliki kesamaan

karakterisik. Aplikasi yang mampu mendukung

konsumen dalam menjalani gaya hidupnya atau sesuai

dengan perilakunya adalah yang menjadi pilihan

konsumen. Dengan kata lain, sisi fungsional aplikasi yang

memiliki kesamaan karakteristik dengan konsumennya

menjadi sangat penting. Lebih lagi jika didukung dengan

pengetahuan baru yang ditawarkan sesuai dengan gaya

hidup serta karakteristik perilaku konsumen. Ini semua

dapat membentuk citra merek yang kuat.

67

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Elemen digital dan aplikasi merupakan satu kesatuan yang

tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, sebagian besar

konsumen membeli produk aplikasi melalui platform/

toko online. Pengetahuan akan hal ini dapat membantu

pelaku usaha aplikasi memaksimalkan presensi digitalnya,

khususnya di platform/toko online. Informasi edukatif

yang sesuai dengan gaya hidup dan perilaku konsumen

menjadi salah satu unsur yang perlu ada dalam platform/

toko online. Hal tersebut akan berimplikasi pada

pembentukan citra merek yang positif sehingga dapat

membantu berkembangnya usaha sektor aplikasi.

Gambar 5.18

Tempat

Pembelian

Produk Sektor

Aplikasi

68

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

68

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KE

ND

AL

A P

EL

AK

U

IND

US

TR

I D

AN

HA

RA

PA

N

TE

RH

AD

AP

PE

ME

RIN

TA

H

69

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

69

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

70

71

73

74

75

76

77

78

79

80

KUPANG

PALEMBANG

JAKARTA

MAKASSAR

AMBON

MANADO

SEMARANG

SURABAYA

MEDAN

BANDUNG

70

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan

citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian

dalam FGD di Kupang, antara lain adalah:

1. Salah satu kendala yang ditemui adalah kesulitan dalam

pembentukan citra merek yang positif dan kredibilitas

yang baik. Hal ini disebabkan oleh: (1) pengetahuan

yang terbatas tentang pentingnya merek, dan (2)

kesulitan mendapatkan nomer B-POM untuk produk

kuliner. Salah satu pelaku usaha di sektor kuliner yang

telah menjalankan usaha keripik selama tiga tahun

belum memiliki nama merek. Keripik yang hanya

dikemas dengan plastik didistribusikan langsung ke

rekan-rekan perkantorannya untuk dijadikan cemilan

sambil bekerja. Tidak adanya nama merek menjadikan

proses mendapatkan nomer B-POM menjadi semakin

sulit.

2. Pembentukan citra merek yang kuat dan positif

memerlukan pengalaman positif selama proses

konsumsi suatu produk/jasa. Salah satu cara

membentuk pengalaman konsumsi yang positif

adalah melalui pemberian produk/jasa yang superior.

Berdasarkan hal tersebut, fasilitas yang mendukung

diperlukan. Kendala ditemukan dalam hal ini. Fasilitas

seperti mic condenser bagi studio di sektor musik,

tempat khusus wisata sasando bagi pelaku usaha

sasando, dukungan software serta komputer dengan

spesifikasi tinggi bagi sektor animasi, dan tempat

penyimpanan bagi sektor kriya, sangat diperlukan.

3. Kendala lain yang ditemukan adalah para pelaku

masih belum dapat mengomunikasikan pembeda

(diferensiasi) dari merek yang dikembangkan. Hal ini

menjadikan citra yang tercemin dari merek tersebut

menjadi serupa dengan pesaing di pasar, sehingga

persaingan semakin ketat dan berpengaruh secara

signifikan terhadap para pelaku usaha.

4. Kendala pembuatan hak paten juga ditemukan oleh

salah satu pelaku usaha di sektor musik. Inovasi

yang cukup unik yang diciptakan oleh pelaku usaha

tersebut. Untuk memperkuat citra mereknya, pelaku

tersebut perlu mematenkan inovasi yang dilakukan.

Dengan demikian, asosiasi citra merek alat musik

yang inovatif hanya melekat pada merek yang dimiliki.

Jika pembuatan hak paten ini tidak dilakukan, inovasi

yang diciptakan dapat diambil pesaing, sehingga citra

merek produk musik inovatif yang terbentuk akan

melekat pada pesaing tersebut.

5. Terdapat juga kendala mengenai pengetahuan

terhadap brand management. Kurangnya pemahaman

pelaku terhadap ilmu ini membuat pelaku kesulitan

menciptakan inovasi ataupun menentukan pasar

yang sesuai dengan mereknya.

6. Selain itu, kegiatan inovasi produk juga terhambat

karena sumber daya manusia yang terbatas. Kegiatan

inovasi yang terlambat akan berpengaruh pada

pembentukan citra merek pula.

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Pembangunan citra merek mencakup banyak

pengembangan identitas merek melalui berbagai

elemen pendukung, seperti atribut produk, komunikasi

pemasaran merek, inovasi produk, sistem operasi

bisnis, hak paten, dan yang lainnya. Beberapa elemen

pendukung di atas masih memiliki kendala yang dirasakan

oleh pelaku usaha industri kreatif di Kupang. Sesuai

dengan kendala-kendala yang muncul di lapangan,

usulan yang diberikan kepada pihak pemerintah tidak

jauh dari kategori yang disebutkan. Berikut adalah usulan-

usulan yang muncul:

1. Bantuan dalam penyediaan fasilitas pelengkap seperti

tempat wisata khusus sasando, hardware & software,

mic conderser, dll.

2. Penghargaan terhadap para pelaku usaha di

sektor musik. Penghargaan yang dimaksud adalah

pembuatan acara-acara musik bagi pelaku usaha,

standar honor bagi para pemain musik, serta

memberikan kesempatan bagi pelaku musik untuk

terlibat dalam suatu acara.

3. Selalu dekat dengan para pelaku usaha sehingga

mengerti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku

usaha, antara lain fasilitas, sumber daya manusia,

modal, akses pasar, atau yang lainnya.

4. Memudahkan pembuatan izin usaha.

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

71

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan

citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian dalam

FGD di Palembang antara lain adalah:

1. Para pelaku masih belum dapat mengomunikasikan

pembeda (diferensiasi) dari merek yang

dikembangkan. Hal ini menjadikan citra yang

tercemin dari merek tersebut menjadi serupa dengan

pesaing di pasar. Selain itu, dari sisi konsumen,

perceived value menjadi rendah sehingga penawaran

harga jasa yang diberikan kepada konsumen menjadi

rendah. Padahal, masyarakat Palembang yang

memiliki kemampuan seni visual yang baik sangat

jarang.

2. Proses inovasi produk yang dapat memperkuat

citra merek terhambat oleh kurangnya informasi

mengenai bahan baku. Hal ini dialami oleh pelaku di

sektor fashion. Kurangnya informasi inovasi bahan-

bahan baru menjadikan progress inovasi yang

dilakukan cenderung terhambat. Ketika pelaku

memiliki ide inovasi produk, yang bersangkutan

merasa tidak ada arahan kemana ia harus mencari

bahan baku. Hal ini menjadikan realisasi inovasi tidak

terjadi dengan cepat. Selain itu, kendala tenaga kerja

dalam rangka memenuhi permintaan juga masih

dirasakan oleh para pelaku.

3. Menciptakan citra merek yang kuat perlu didukung

dengan sistem operasi bisnis yang berjalan lancar

sesuai dengan ekspektasi konsumen. Hal ini

dikarenakan sistem operasi yang baik akan menjaga

kualitas produk dan janji yang ditawarkan oleh

sebuah merek sehingga tercipta citra merek yang

positif. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan akan

brand management menjadikan para pelaku usaha di

Palembang mengalami kesulitan mengembangkan

citra merek yang kuat. Hal ini dialami oleh sektor

kuliner. Pelaku merasa kesulitan dalam membentuk

sistem yang stabil, khususnya apabila ingin ekspansi

usaha. Kebutuhan untuk mempelajari sistem yang

stabil dan berkelanjutan dirasa penting oleh pelaku

usaha di sektor kuliner ini. Hal ini dikarenakan

persepsi pelaku yang percaya bahwa sistem yang

baik dapat membuat usaha terus bertahan dan dapat

membuat pelaku bekerja dengan baik.

72

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Usulan atau feedback kepada pemerintah yang mencuat

dari FGD citra merek di Palembang secara garis besar

adalah bantuan exposure dan pengetahuan. Pelaku

merasa bahwa bantuan pemerintah untuk menyebarkan

eksistensi merek mereka dapat memperkuat citra

merek yang dimiliki sehingga meningkatkan kredibilitas

mereka. Hal ini tentu pada akhirnya dapat membantu

pertumbuhan bisnis. Contoh konkrit dari hal ini adalah

bantuan promosi dan pemasaran.

Selain itu, pengetahuan mengenai brand management

juga diharapkan dapat diberikan oleh pemerintah kepada

pelaku usaha. Hal ini karena para pelaku sadar akan

pentingnya pengelolaan sistem operasi bisnis yang dapat

mendukung pembentukan citra merek. Contoh konkrit

dari hal ini adalah pelatihan mengenai sistem operasi

bisnis dan pelatihan cara menghasilkan ide-ide baru.

Usulan Kepada Pemerintah untuk MemudahkanPengembangan Citra Merek

73

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Sebagai pelaku UMKM industri kreatif, para peserta FGD

menghadapi beberapa kendala dalam mengembangkan

citra merek produk mereka. Hambatan yang cukup

menonjol antara lain adalah:

1. Salah satu media untuk mengkomunikasikan citra

merek adalah melalui packaging produk. Namun,

terdapat kendala yang dialami peserta dari sektor kriya

dalam membuat kemasan produk mainan mereka.

Awalnya, mereka menggunakan kemasan berupa

plastik Polyolefin (POF) shrink film yang mudah rusak.

Akan tetapi, setelah mereka menggunakan boks,

kemasan ini pun masih mudah dibuka (terutama oleh

anak-anak) sehingga terkadang mainan di dalamnya

juga rusak.

2. Saat mengikuti acara pameran atau bazaar, stand

pameran yang disediakan umumnya tidak dapat

mengakomodasi kebutuhan untuk menunjukkan

citra merek produk mereka karena luas stand yang

terbatas. Pelaku usaha di bidang fashion, misalnya,

tidak dapat mengundang pembatik untuk langsung

mendemonstrasikan pembuatan motif batik, yang

umumnya dapat menarik perhatian wisatawan asing.

Lokasi stand yang disediakan juga umumnya tidak

terletak di tempat yang ramai, sehingga merek dan

produk mereka tidak terekspos dengan maksimal.

Harga penyewaan stand pameran pun dirasakan

cukup mahal, dan prosedur pendaftaran pameran

masih dirasakan sangat rumit dan birokratif.

3. Beberapa pelaku telah menggunakan jasa

pembuatan logo merek dan konsultasi branding,

tetapi umumnya biaya yang harus dibayar untuk jasa

tersebut cukup mahal.

4. Pelaku dari sektor kriya sudah membuat video online

tentang merek dan produk mereka, tetapi mereka

masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan

pesan lewat media tersebut secara singkat, menarik,

dan efektif.

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Berkaitan dengan hambatan-hambatan tersebut, muncul

beberapa saran untuk meningkatkan kemudahan pelaku

usaha industri kreatif dalam mengembangkan citra

mereknya, antara lain:

1. Pelatihan branding dan pembuatan kemasan produk.

2. Pelatihan pembuatan video online untuk

menyampaikan pesan merek dan produk secara

menarik, singkat, dan efektif.

3. Penguatan sosialisasi kegiatan pameran dan

pembenahan prosedur pendaftaran keikutsertaan

dalam pameran menjadi lebih mudah dan tidak

birokratif.

4. Penempatan lokasi pameran dan stand yang lebih

tepat. Stand UKM produk kreatif lokal dan nasional

seharusnya ditempatkan di lokasi yang ramai (di

bagian depan), bukan di paling belakang atau ujung.

5. Pembenahan aspek legalitas, misalnya dalam

perizinan usaha (SIUP dan TDP). Koordinasi antara

lembaga terkait harus ditingkatkan, jangan sampai

ada perbedaan informasi dari lembaga yang berbeda.

6. Penguatan sistem database yang handal tentang

pelaku industri kreatif, yang dapat dimanfaatkan

terus menerus walaupun terjadi pergantian pejabat

pemerintahan.

7. Perhatian khusus kepada dunia teater, khususnya

bagaimana meningkatkan minat masyarakat untuk

menonton teater.

74

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan

citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian dalam

FGD di Makassar antara lain adalah:

1. Seorang pelaku usaha kuliner, yaitu produsen

kerupuk dan minuman dari rumput laut, menemukan

bahwa saat ia mendaftarkan merek produknya, nama

merek yang diusulkan telah dipakai produk lain.

Ia sekarang masih mencari nama yang pas. Pelaku

usaha kuliner lainnya (produsen minuman jahe)

sudah pernah mendaftarkan merek produknya,

tetapi sampai sekarang masih belum tuntas. Dari

sektor kriya, seorang pembuat tas rajut juga telah

mendaftarkan HKI untuk produknya kira-kira setahun

yang lalu, tetapi juga belum tuntas sampai sekarang.

Kemudahan dalam mendaftarkan HKI ini menjadi

salah satu cara untuk membentuk citra merek yang

kuat.

2. Pelaku usaha kuliner dengan produk makanan sehat

pendamping ASI untuk bayi merasakan bahwa

masyarakat luas di Makassar masih belum teredukasi

dengan baik mengenai pentingnya makanan

sehat homemade pendamping ASI. Selain itu, ia

merasakan kendala dalam

aspek kemasan. Ia masih

menggunakan kemasan plastik.

Ia ingin menggunakan kemasan

yang bebas BPA (Bisphenol-A),

agar dapat masuk microwave,

namun harganya cukup mahal dan

ketersediaan di pasar juga sedikit.

Memberikan kemasan produk

yang menarik dan fungsional

juga dapat berkontribusi dalam

pembentukan citra merek.

3. Pelaku usaha kriya dengan produk tas rajut mengalami

hambatan dalam mendapatkan bahan baku. Misalnya,

benang yang ia peroleh didapatkan dari Surabaya.

Belum ada bahan baku yang sesuai standarnya yang

dapat ia peroleh dari Makassar atau sekitarnya.

Kesulitan mencari bahan baku ini berhubungan

dengan konsistensi pelayanan atau kualitas dan dapat

berpengaruh terhadap kredibilitas merek. Padahal,

kredibilitas merupakan salah satu elemen yang

membentuk citra merek dalam benak konsumen.

4. Produsen tas rajut tersebut juga mengalami kesulitan

untuk membuat logo merek yang dapat ditempel di

badan tasnya. Ia belum menemukan pihak di Makassar

yang dapat membuat logo dengan persyaratan

tersebut.

5. Para pelaku sektor aplikasi merasa bahwa masyarakat

luas, termasuk instansi pemerintah dan perusahaan,

masih menganggap bahwa pembuatan aplikasi

sangat mahal. Mereka juga merasa tertantang untuk

mengedukasi khalayak luas tentang pentingnya

produk-produk aplikasi dan software.

6. Pelaku usaha dari sektor fashion (mode, busana)

dengan produk kaus, merasakan adanya tantangan

untuk mengembangkan suasana toko atau tempat

penjualan agar sesuai dengan karakter produknya.

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

75

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari

FGD citra merek di Makassar, antara lain adalah:

1. Instansi pemerintah pusat dan daerah yang

melaksanakan program atau kegiatan pengembangan

untuk pelaku industri kreatif diharapkan dapat terus

mengoptimalkan efektivitas program-program

pengembangan tersebut.

2. Pelaku usaha sektor aplikasi menyarankan agar

pemerintah melindungi merek lokal di sektor

aplikasi dan juga keterlibatan stakeholders dalam

pengembangan merek sektor aplikasi, misalnya dari

universitas.

Para peserta FGD di Ambon mengemukakan beberapa

kendala berikut dalam pembentukan citra merek:

1. Keterampilan dan kualitas SDM yang masih kurang.

2. Masalah kemasan (packaging). Hal ini diutarakan oleh

sektor kuliner.

3. Belum adanya konsep branding dan promosi yang

cocok dan inovatif. Hal ini dikemukakan oleh sektor

animasi.

4. Dari sektor aplikasi, kendala utama adalah banyaknya

kalangan konsumen target (guru-guru) yang belum

paham dengan teknologi informasi. Walaupun

interaksi dan promosi di sekolah sudah dilakukan,

konsumen masih bingung dalam menggunakan

aplikasi.

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Peserta dari sektor kriya berharap agar pemerintah

semakin mendukung pengembangan citra merek

industri kreatif, salah satunya dengan memfasilitasi

produk-produk dalam negeri tampil secara lebih intensif

dalam berbagai kegiatan dan forum. Hal senada juga

diutarakan oleh peserta dari sektor musik. Menurut beliau,

selama ini pelaku industri kreatif sudah difasilitasi oleh

pemerintah dengan cukup baik, tetapi kegiatan untuk

mendorong merek merek dalam negeri agar dikenal

luas oleh masyarakat perlu untuk tetap dilaksanakan.

Pengembangan citra berbasis komunitas ditekankan

dengan menyoroti produk-produk khas Ambon, seperti

makanan khas dan tarian khas.

Peserta dari sektor animasi secara khusus menyoroti

kegiatan-kegiatan promosi yang telah dilakukan

pemerintah. Secara umum, kegiatan-kegiatan yang telah

berjalan cukup banyak dan variatif, tetapi dari sisi konsep

dibutuhkan konsep promosi dan branding yang lebih

cocok dan inovatif.

Selain itu, salah satu peserta dari sektor kuliner ingin

mendapatkan bantuan untuk mendapatkan kemasan

berlabel dan sertifikat halal.

76

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Dalam usaha membangun citra merek, para pelaku usaha

kreatif di Manado mengalami hambatan-hambatan

berikut:

1. Peserta di sektor aplikasi merasakan bahwa

masyarakat, khususnya pengusaha kecil dan

menengah, masih belum memahami betapa aplikasi

dapat membantu banyak kegiatan usaha mereka.

Pola pikir “untuk apa membayar aplikasi, sedangkan

pekerjaan masih dapat dikerjakan oleh orang”

masih digunakan di kalangan ini. Dengan demikian,

pengusaha aplikasi cukup sulit untuk mendapatkan

konsumen dari kalangan ini. Hal ini merupakan

implikasi dari pengetahuan branding yang belum

mendalam, sehingga pelaku masih belum bisa

menyampaikan perceived value yang superior

dari diferensiasi yang diusungnya. Pada akhirnya,

konsumen tidak melihat produk yang ditawarkan

bernilai dan akhirnya tidak ingin membayar mahal.

Dengan pengetahuan branding yang baik, pelaku

akan mampu menciptakan citra merek yang baik

sehingga terbentuk perceived value yang tinggi di

benak konsumen.

2. Secara umum, semua peserta merasakan adanya

tumpang tindih masalah birokrasi dan kekurangan

koordinasi di antara dinas-dinas terkait dalam

mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang

relevan dengan usaha industri kreatif.

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Dari FGD di kota Manado, muncul usulan-usulan untuk

pemerintah sebagai berikut:

1. Dukungan yang lebih terfokus, terprogram, dan

berkesinambungan. Selama ini sudah ada berbagai

bentuk dukungan, tetapi masih dalam tahap bantuan

peralatan, misalnya laptop untuk pengembang

aplikasi. Dukungan lebih jauh yang lebih strategis

dirasakan sangat penting.

2. Harmonisasi badan-badan pemerintah terkait dalam

mengimplementasikan program pengembangan

industri kreatif.

3. Penunjukan partisipan pameran (expo) yang lebih

tepat sasaran dan transparan. Peningkatan efisiensi

dan efektifitas kegiatan pameran juga dirasakan

penting.

77

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Terdapat beberapa kendala yang dialami pelaku UMKM

kreatif di kota Semarang dalam membangun citra

mereknya. Secara garis besar kendala tersebut terfokus

pada: (1) terbatasnya pengetahuan branding untuk

memenangkan persaingan dan mengedukasi pasar,

dan (2) inkonsistensi kualitas produk yang disebabkan

sumber daya manusia ataupun operasi bisnis yang tidak

berkelanjutan. Berikut adalah penjabarannya:

1. Persaingan global pasar aplikasi dan game

developer di dalam app store menjadikan pelaku

membutuhkan dana untuk pemasaran yang besar.

Hal ini dibutuhkan untuk dapat bersaing secara

seimbang dengan pesaing-pesaing di level global.

Pemasaran ini menjadi penting karena mereka

membutuhkan user yang banyak untuk dapat

menarik klien memasang iklan yang menjadi

sumber utama pemasukannya.

2. Terdapat kesulitan bagi pelaku

fashion dalam mengatasi

asosiasi konsumen terhadap

produk kulit. Banyak

beredarnya produk kulit

tidak asli di pasaran

menjadikan konsumen

ragu membeli produk

kulit dengan harga yang

mahal. Hal ini terjadi

akibat proses edukasi kualitas produk melalui

komunikasi yang tidak tepat.

3. Permasalahan SDM juga masih ditemukan di kota

Semarang. Banyak pelaku yang merasa kesulitan

mendapatkan sumber daya manusia yang kompeten.

Di sisi lain, ketika mendapatkan sumber daya manusia

yang cukup baik, mereka meminta upah yang sangat

tinggi. Hal ini berpengaruh pada kualitas produk

yang tidak konsisten.

4. Terdapat kesulitan lain untuk menjaga kualitas

produk untuk tetap konsisten. Hal ini dialami oleh

salah satu pelaku kuliner kerupuk kedelai. Karena

memanfaatkan panas matahari untuk produksi, ketika

musim penghujan tiba pelaku mengalami kesulitan

untuk menjaga kualitasnya. Hal ini terkendala karena

tidak adanya inovasi proses bisnis yang lebih

berkelanjutan.

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari FGD citra merek di Semarang

antara lain adalah:

1. Kemudahan mengakses bantuan pembiayaan dari lembaga finansial, misalnya bank.

2. Wadah usaha dibutuhkan untuk mengelompokkan UMKM agar dapat saling bersaing

dengan kelompoknya sendiri, bukan dengan global corporate. Harapannya adalah

agar sumber daya dan kreativitas di Indonesia semakin berkembang.

78

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Kendala yang dialami oleh para pelaku UMKM kreatif di

Surabaya masih serupa dengan kota lainnya. Pengetahuan

branding dan komunikasi, akses pasar, sumber daya

manusia dan birokrasi pengajuan HKI merupakan

kendala-kendala yang dialami. Berikut penjabarannya:

1. Pasar yang masih belum merasa membutuhkan

produk animasi. Hal ini menjadi tantangan

tersendiri bagi pelaku UMKM kreatif animasi

untuk mengedukasi pasar dan membangkitkan

kesadaran mengenai kebutuhan akan produk

animasi. Pemahaman mengenai konsep branding

yang berorientasi pada consumer behavior menjadi

penting.

2. Kendala yang ditemukan lainnya adalah akses

pasar. Dalam konteks pelaku UMKM kreatif aplikasi,

akses pasar menjadi penting untuk membangun

portofolio. Merek produk aplikasi akan menjadi kuat

apabila didukung dengan kredibilitas portofolio

yang dimiliki. Kemudahan mengakses pasar dapat

membantu pelaku untuk mengasah kemampuannya

bersamaan dengan memperbanyak portofolio.

3. Apresiasi konsumen yang rendah terhadap produk

batik. Banyaknya produk batik dengan harga murah

yang dijual di pasaran menjadikan pelaku UMKM

kreatif fashion batik kesulitan menjual produknya.

Proses membatik secara manual yang tidak mudah

merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi

harga. Namun, hal ini luput dari mata konsumen.

Karena itu kemampuan komunikasi edukasi yang

tepat mengenai kualitas dari produk yang ditawarkan

menjadi penting.

4. Permasalahan SDM masih dialami oleh pelaku

UMKM kreatif di Surabaya. Hal ini mempengaruhi

tingkat kualitas pelayanan kepada konsumen dan

konsistensi kualitas produknya itu sendiri.

5. Terdapat permasalahan mengenai proses pengajuan

HKI. Sosialisasi mengenai peraturan-peraturan terkait

HKI perlu dilakukan secara lebih gencar sehingga

para pelaku usaha memiliki ekspektasi terhadap

bagaimana proses mengajukan HKI.

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari

FGD citra merek di Surabaya antara lain adalah:

1. Bantuan dalam pendaftaran merek dan pengajuan

HKI.

2. Pelatihan mengenai branding dan/atau brand

management.

3. Sarana publikasi produk kreatif yang gencar untuk

menunjang penyebaran reputasi merek produk

kreatif kepada khalayak.

79

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Dalam melaksanakan pembangunan citra merek, para

pelaku industri kreatif di Medan menemui kendala-

kendala seperti berikut ini:

1. Pelaku UMKM animasi merasakan hambatan dalam

hal kepercayaan kualitas layanan. Para pelaku

memiliki keahlian yang setara dengan pelaku di

kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, namun

konsumen lebih mempercayai jasa yang ditawarkan

oleh pelaku dari ibu kota. Hal ini merupakan implikasi

kurangnya kemampuan merumuskan diferensiasi

dan mengomunikasikannya dengan tepat kepada

konsumen, sehingga citra merek yang tertanam

kalah kuat dengan citra merek pesaing.

2. Kesempatan membuka stand di pameran memiliki

perbandingan yang tidak seimbang dengan

peminatnya. Selain itu, pemilihan peserta pameran

secara acak menjadikan kesempatan ini semakin sulit

didapatkan. Padahal, pameran merupakan wadah

untuk memperkuat citra merek.

3. Birokrasi pembuatan HKI yang rumit dan memakan

waktu lama menjadikan pelaku memiliki keinginan

yang rendah untuk mendaftarkan merek mereka.

4. Dirasakannya apresiasi yang rendah dari konsumen

Medan dan sekitarnya terhadap produk kreatif.

Oleh karena itu, pelaku perlu memiliki pemahaman

konsep branding yang mampu menumbuhkan minat

konsumen terhadap suatu produk.

Dengan paparan di atas, konsumen di Medan memiliki

karakteristik yang kuat dan khas, yaitu lebih condong

kepada kiblat tren di Jawa (khususnya, Jakarta), dan

mempunyai preferensi konsumsi produk kreatif yang

sangat rendah, di mana umumnya masih lebih memilih

mengumpulkan aset kekayaan secara konkrit.

Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek

Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari

FGD citra merek di Medan antara lain adalah:

1. Pendampingan kepada rekan-rakan UMKM lain yang

lebih kecil dan belum terjangkau dapat dilakukan

secara lebih fokus sehingga nantinya betul-betul

dapat berdiri di atas kekuatan mereka sendiri.

2. Upaya peningkatan apresiasi seni dari warga Medan,

seperti halnya penduduk di kota lain di Jawa.

3. Pelatihan pendaftaran merek dan HKI untuk

memberikan kekuatan merek dari citra yang ingin

diwujudkan.

4. Wadah atau forum untuk menaungi pelaku sektor

animasi dan aplikasi untuk mendapatkan pembinaan

oleh dinas yang ada di wilayah kota dan provinsi.

80

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Terdapat beberapa kendala yang dialami oleh masing-

masing pelaku UMKM kreatif. Berikut adalah hambatan-

hambatan yang dialami oleh para pelaku di Bandung,

yaitu:

1. Pelaku UMKM kreatif di sektor-sektor yang kental

akan unsur tradisional merasakan rendahnya

apresiasi pelanggan terhadap nilai-nilai budaya

yang ditawarkan, sehingga terjadi pembayaran

yang tidak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan

pelaku usaha. Mereka menganggap pihak luar

negeri lebih mengerti akan hasil produk kreatif lokal

Indonesia dibandingkan orang Indonesia. Selain

bantuan edukasi dari pemerintah, pelaku juga perlu

memahami konsep komunikasi edukasi yang tepat

sehingga dapat membentuk persepsi atau citra yang

diinginkan.

2. Pembangunan citra merek sektor animasi

membutuhkan biaya dan dukungan yang sangat

besar, khususnya produk-produk yang khas dari

dalam perusahaan, bukan hanya memberikan jasa

pembuatan kepada klien ekternal. Hal tersebut

dikarenakan produksi yang memakan biaya besar

dan juga kandungan kekayaan intelektual.

3. Pelaku UMKM sektor aplikasi merasakan kendala

dalam hal kegiatan operasional yang terhambat oleh

birokrasi yang dimiliki masing-masing klien. Hal ini

membutuhkan pemahaman mengenai relationship

marketing sehingga pelaku dapat memberikan

masukan-masukan kepada klien dengan menjaga

hubungan tetap baik. Keberhasilan menciptakan

hubungan yang baik dengan klien dapat membentuk

citra merek yang positif.

Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek

Usulan Kepada Pemerintah untuk MemudahkanPengembangan Citra Merek

Selain terdapat hambatan yang dialami, pelaku juga

memiliki usulan atau saran kepada pemerintah dalam

membantu mereka mengembangkan mereknya. Berikut

adalah penjabarannya:

1. Semua program pemerintah diharapkan

berkelanjutan sampai mencapai suatu indikator

tertentu. Pelaku merasa perlunya bimbingan dan

evaluasi setelah pelatihan yang diberikan. Mereka

ingin dapat menjual produknya hingga ke pasar

global. Karena itu, mereka mengharapkan program

pemerintah yang dapat membimbing mereka

mencapai hal tersebut.

2. Perlunya ekosistem yang mendukung sebuah studio

yang dapat menelurkan karya intellectual property,

seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.

Pelaku dari sektor animasi yang telah berkesempatan

menimba ilmu di Malaysia mempelajari sejarah

produk animasi unggulan Malaysia, seperti “Upin

Ipin”. Animasi itu sangat didukung oleh pemerintah

dan mendapatkan apresiasi baik dari ekosistem yang

terbentuk.

81

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

82

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

KE

SIM

PU

LA

N

83

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Kesimpulan

Analisis FGD, in-depth interview, dan survei konsumen

menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa proses

pengembangan citra merek yang dilakukan pelaku

industri kreatif terbagi menjadi 2 hal utama, yaitu

kemampuan mendefinisikan citra merek produk itu

sendiri dan bagaimana memperoleh Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) merek yang telah diciptakan.

Kemampuan mendefinisikan citra merek yang dimaksud

adalah kemampuan teknis, antara lain kemampuan

khusus di bidang grafis untuk mendesain logo merek

dan video profil produk, maupun nonteknis, misalnya

desain pesan (konten) yang ingin disampaikan kepada

konsumen. Semakin menarik desain logo dan video

yang dibuat, serta juga pesan yang disampaikan, semakin

banyak orang yang tertarik untuk berkenalan dengan

merek yang dibuat. Hal ini akan memperkuat citra merek

produk kreatif.

Dalam hal HKI, banyak pelaku industri kreatif yang

mengalami kesulitan dalam mendapatkan/mendaftarkan

merek mereka ke institusi resmi, yaitu Direktorat

Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI).

Tanpa adanya HKI, secara tidak langsung citra merek

akan terpengaruhi. Konsumen akan cenderung memilih

produk kreatif yang mempunyai HKI, karena dianggap

mempunyai orisinalitas dan nilai tambah.

Dari permasalahan yang teridentifikasi dalam hal

keterbatasan kemampuan dalam mendefinisikan citra

merek dan kesulitan mendaftarkan HKI, diperlukan

peran serta berbagai pihak yang terlibat dalam lingkaran

ekonomi kreatif di Indonesia. Bekraf dapat mengambil

peran utama melalui pelatihan terprogram dalam

meningkatkan kemampuan pelaku industri kreatif dalam

mengembangkan citra merek. Selain itu, informasi dan

panduan mengenai pendaftaran HKI juga merupakan

hal penting yang tidak bisa ditinggalkan, baik melalui

dukungan teknis maupun nonteknis.

Kesimpulan dan usulan di atas diharapkan dapat

berkontribusi dalam penguatan citra merek produk

kreatif nasional di masa yang akan datang.

84

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

PE

NU

TU

P

85

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Buku snapshot ini merupakan kontribusi tim penulis dalam

menggambarkan pengembangan citra merek produk

kreatif di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan teknis dan

nonteknis, tentunya masih terdapat kekurangan dalam buku

ini. Beberapa hambatan dan harapan dari pelaku industri

kreatif mungkin belum teridentifikasi dalam penelitian ini

karena belum sempurnanya metode dan pelaksanaannya

di lapangan. Namun demikian, diharapkan penelitian ini

dapat mewakili suara para pelaku industri kreatif. Penyusun

berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan

saran yang membangun mengenai penelitian dan laporan.

Ucapan terima kasih tidak lupa penyusun sampaikan

kepada Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai pemangku

kepentingan ekonomi kreatif Indonesia, Pemerintah Daerah

(Pemda) yang telah memberikan informasi mengenai

perkembangan dan strategi produk kreatif di daerah, pelaku

industri kreatif di berbagai sektor yang telah memberikan

informasi yang penyusun butuhkan, dan konsumen produk

kreatif di Indonesia yang telah memberikan pendapat

mereka terhadap produk kreatif. Semoga buku snapshot

ini berguna bagi para pembaca dan siapapun yang

membutuhkan gambaran mengenai citra merek produk

kreatif nasional dan perspektif konsumen produk kreatif

secara umum.

Penutup

86

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

Daftar Pustaka

Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (2011). The experience

economy: Harvard Business Press.

Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif.

(2017).

Zulaikha, M. (2016). Membangun Komitmen untuk

Sektor Ekonomi Kreatif. Retrieved from http://www.

Bekraf.go.id/berita/page/10/membangun-komitmen-

untuk-sektor-ekonomi-kreatif

Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025.

(2008). Departmen Perdagangan Republik Indonesia.

Banks, M., & O’Connor, J. (2009). After the creative

industries. International Journal of Cultural Policy, 15(4),

365-373. doi:10.1080/10286630902989027

Berthon, P., Ewing, M. T., & Napoli, J. (2008). Brand

management in small to medium‐sized enterprises.

Journal of Small Business Management, 46(1), 27-45.

Centeno, E., Hart, S., & Dinnie, K. (2013). The five phases

of SME brand-building. Journal of Brand Management,

20(6), 445-457.

Clare, K. (2012). The Essential Role of Place Within The

Creative Industries: Boundaries, Networks and Play.

Covin, J. G., & Miles, M. P. (1999). Corporate

entrepreneurship and the pursuit of competitive

advantage. Entrepreneurship: Theory and practice,

23(3), 47-47.

DCMS, U. (1998). Creative industries mapping

document. In: DCMS London.

Erenkol, H. A. D., & Öztaş, Y. B. B. (2015). Entrepreneurial

Brand.

Fahmi, F. Z., McCann, P., & Koster, S. (2015). Creative

economy policy in developing countries: The case

of Indonesia. Urban Studies, 54(6), 1367-1384.

doi:10.1177/0042098015620529

Florida, R. (2002). The Rise of Creative City.

Galloway, S., & Dunlop, S. (2007). A CRITIQUE

OF DEFINITIONS OF THE CULTURAL AND CREATIVE

INDUSTRIES IN PUBLIC POLICY. International

Journal of Cultural Policy, 13(1), 17-31.

doi:10.1080/10286630701201657

Garnham, N. (2005). From cultural to creative

industries. International Journal of Cultural Policy, 11(1),

15-29. doi:10.1080/10286630500067606

Kandampully, J., & Suhartanto, D. (2003). The Role of

Customer Satisfaction and Image in Gaining Customer

Loyalty in the Hotel Industry. Journal of Hospitality

& Leisure Marketing, 10(1-2), 3-25. doi:10.1300/

J150v10n01_02

Kong, L., Gibson, C., Khoo, L.-M., & Semple, A.-L.

(2006). Knowledges of the creative economy: Towards

a relational geography of diffusion and adaptation in

Asia. Asia Pacific Viewpoint, 47(2), 173-194. doi:10.1111/

j.1467-8373.2006.00313.x

Krake, F. B. (2005). Successful brand management

in SMEs: a new theory and practical hints. Journal of

Product & Brand Management, 14(4), 228-238.

Lahap, J., Ramli, N. S., Said, N. M., Radzi, S. M., & Zain,

R. A. (2015). A Study of Brand Image Towards Customer’s

Satisfaction in The Malaysian Hotel Industry.

Lee, S. Y., Florida, R., & Acs, Z. (2004). Creativity

and Entrepreneurship: A Regional Analysis of New

Firm Formation. Regional Studies, 38(8), 879-891.

doi:10.1080/0034340042000280910

Miles, I. (2012). SERVICES INNOVATION: COMING

OF AGE IN THE KNOWLEDGE-BASED ECONOMY. In

Innovation Management in the Knowledge Economy

(pp. 59-81): PUBLISHED BY IMPERIAL COLLEGE PRESS

AND DISTRIBUTED BY WORLD SCIENTIFIC PUBLISHING

CO.

O’Connor, J. (2000). The Definition of the ‘Cultural

Industries’.

O’Connor, J. (2015). Intermediaries and Imaginaries

in the Cultural and Creative Industries. Regional Studies,

49(3), 374-387. doi:10.1080/00343404.2012.748982

O’Connor, J., & Xin, G. (2006). A new modernity?

International Journal of Cultural Studies, 9(3), 271-283.

doi:10.1177/1367877906066874

87

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

O’Connor, J. (2009). Creative industries: a new

direction? International Journal of Cultural Policy, 15(4),

387-402. doi:10.1080/10286630903049920

Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (2011). The experience

economy: Harvard Business Press.

Rusiawan, W., Pamungkas, S. A., Hariwan, P., Wijayanti,

S. C., Pajriyah, A. N., Parasian, W., . . . Mafiroh, R. S. (2017).

Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif. Jakarta:

Badan Ekonomi Kreatif.

Salim, F. F., & Dharmayanti, D. (2014). Pengaruh Brand

Image dan Perceived Quality Terhadap Kepuasan dan

Loyalitas Pelanggan Mobil Toyota di Surabaya.

Simarmata, B., & Adiwidjaja, A. (2011). The Alluring

Export Trade of Indonesia’s Creative Industry. Retrieved

February, 19, 2012.

So, K. K. F., King, C., Sparks, B. A., & Wang, Y. (2013).

The Influence of Customer Brand Identification on Hotel

Brand Evaluation and Loyalty Development.

Spence, M., & Hamzaoui Essoussi, L. (2010). SME

brand building and management: an exploratory study.

European Journal of Marketing, 44(7/8), 1037-1054.

UNDP. (2013). Creative Economy Report 2013 Special

Edition - Widening Local Development Pathways.

Utoyo, S., Rozama, N. A., & Wulandari, V. C. (2016).

Profil Usaha/Perusahaan Ekonomi Kreatif 2016. Jakarta:

Badan Pusat Statistik (BPS).

Yin Wong, H., & Merrilees, B. (2005). A brand

orientation typology for SMEs: a case research approach.

Journal of Product & Brand Management, 14(3), 155-162.

Zulaikha, M. (2016). Membangun Komitmen untuk

Sektor Ekonomi Kreatif. Retrieved from http://www.

bekraf.go.id/berita/page/10/membangun-komitmen-

untuk-sektor-ekonomi-kreatif

88

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

89

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF

90

STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF

90

SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF