sle

46
DAFTAR ISI Daftar Isi....................................... i BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................... 1 1.2 Rumusan Masalah.............................. 2 1.3 Tujuan Penulisan............................. 2 1.4 Metode Penulisan............................. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi SLE................................ 3 2.2 Epidemiologi SLE.......................... 3 2.3 Etiologi SLE.............................. 3 2.4 Faktor Risiko SLE......................... 4 2.5 Patofisiologi SLE......................... 5 2.6 Manifestasi Klinik SLE.................... 9 2.7 Diagnosis SLE.............................18 2.8 Diagnosis Banding SLE.....................21 2.9 Penatalaksanaan SLE.......................23 2.10 Komplikasi SLE............................27 2.11 Prognosis SLE.............................27 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan...................................29 i

Upload: fitri-zahara

Post on 17-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Sle

DAFTAR ISI

Daftar Isi...................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2

1.4 Metode Penulisan............................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi SLE...................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi SLE.............................................................................. 3

2.3 Etiologi SLE....................................................................................... 3

2.4 Faktor Risiko SLE.............................................................................. 4

2.5 Patofisiologi SLE................................................................................ 5

2.6 Manifestasi Klinik SLE...................................................................... 9

2.7 Diagnosis SLE.................................................................................... 18

2.8 Diagnosis Banding SLE...................................................................... 21

2.9 Penatalaksanaan SLE.......................................................................... 23

2.10 Komplikasi SLE................................................................................. 27

2.11 Prognosis SLE.................................................................................... 27

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................ 29

i

Page 2: Sle

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum

diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat

beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka

kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta

lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000

penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000

penduduk, dengan rasio wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data

epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di

RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari

total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di

RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien

yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan

mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem

imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10

tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%,

ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik

19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai

adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi

subkutaneus akut 6,7%.

Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka

kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi

umum.15,22 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas

penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa,

sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular

aterosklerosis. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat

1

Page 3: Sle

beragam dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini

serta penatalaksanaan yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Tulisan ini membahas tentang definisi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari

SLE.

1.3 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan memahami tentang

SLE.

1.4 Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.

2

Page 4: Sle

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal dengan SLE (Sistemic

Lupus Erythematosus) merupakan penyakit rematik autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem

dalam tubuh.

2.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama

didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering

ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9

(per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika;

2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-

Amerika. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

Peyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-

40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria

berkisar antara 5,5-9 : 1.

Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat

dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada

periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,

sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan.

2.3 Etiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik,

hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Sampai saat ini

penyebab SLE belum diketahui, diduga factor genetik, infeksi dan lingkungan ikut

berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan

3

Page 5: Sle

untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan

reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody

ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan

penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan

normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam

melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan

tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang

sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh,

sehingga terjadi penyakit menahun.

2.4 Faktor Risiko

Faktor Risiko terjadinya SLE :

1) Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering

daripada pria dewasa

Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering

dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2) Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen

mengurangi resiko ini.

3) Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi

kurang efektif, Sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini

disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga

terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui

peredaran pebuluh darah.

4) Imunitas

Pada pasien SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ), terdapat

hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.

5) Obat

4

Page 6: Sle

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan

diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat

(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).

Jenis obat yang mungkin berhubungan dengan SLE adalah

kloropromazin, hidralasin, prokainamid, isoniazid, fenitoin, dan

penisilamin.

6) Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang - kadang

penyakit ini kambuh setelah infeksi.

7) Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecendrungan akan penyakit ini.

2.4 Patofisiologi

Seperti yang sudah disebutkan bahwa penyebab pasti SLE belum

diketahui. Terdapat hubungan yang kuat antara SLE dengan faktor genetik,

dimana resiko SLE meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar

dizygotic. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor

predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh.

Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang

mengacaukan regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE,

bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik :

Definite Ultraviolet B light

Probable Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1

rasio penderita menarche : menopause = 3:1

Possible Faktor diet : Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung

L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated

fats

Faktor Infeksi : DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin,

5

Page 7: Sle

lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid;

Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; DPenicillamine;

Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a ; Interferon-a

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta

factor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal.

Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif

pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel

tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti

itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah

produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen

autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang

ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.

Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan

berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan

beberapa antigen tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh : nucleosomes, U1RP,

Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag

dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada

reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh.

6

Page 8: Sle

Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen

external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi

lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks

yang merusak berbagai organ bila mengendap.

Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan

protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa

autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat

berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada

sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan

eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini

menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan

dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada

receptor C3b pada eritrosit.

Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun

kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai

mediator inflamasi.2

Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah

ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat

meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

7

Page 9: Sle

Gambar 2.1 Patofisiologi SLE

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

Sel T :

-Lymphopenia

-Penurunan sel T supressor

-Peningkatan sel T helper

-Penurunan memori dan CD4

-Penurunan aktivasi sel T supressor

-Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B :

-Aktivasi sel B

-Peningkatan respon terhadap cytokine

Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme

regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas. Ada empat faktor

yang terkait dengan pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan,

kelainan sistem imun dan hormon.

8

Page 10: Sle

2.4.1. Faktor Genetik

Faktor Genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian

terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang

mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons

imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2

dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase

awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti.

Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,

imunoglobulin dan sitokin.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen

MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi

spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen

komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat

merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear

sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel

fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun.

2.4.2. Faktor Hormonal

Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian

menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan

sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan

produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES7. Autoantibodi pada lupus

kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Selain itu,

terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan

fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti

oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,

termasuk kulit dan ginjal.

2.4.3. Faktor Lingkungan

9

Page 11: Sle

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-

immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.

Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,

dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel

DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu

menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu

kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi

terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu

amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi

pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan

apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius

terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

2.5 Manifestasi Klinis

Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga

kemunculan dan perjalanan penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit

yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang

seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam

tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hepar, sendi,

eritrosit, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda

antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.

Jika ditemukan trias berupa demam, nyeri sendi dan rash pada wanita

usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga

gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada penderita

SLE.

10

Page 12: Sle

Gambar 2.2. Manifestasi Klinis SLE

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ.

Dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa

autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat

keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediet sampai parah dan

fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif

tenang. Remisi permanen sempurna yaitu hilangnya gejala tanpa pengobatan

jarang terjadi.

Secara umum, manifestasi klinis penyakit SLE dapat dibedakan menjadi

manifestasi umum dan manifestasi khusus sesuai dengan organ targetnya.

Manifestasi SLE adalah sebagai berikut:

11

Page 13: Sle

2.5.1 Manifestasi Umum

Kelelahan adalah keluhan umum pada 90% penderita SLE. Demam pada

SLE dapat mencapai > 40oC tanpa leukositosis. Demam pada penyakit ini

biasanya tidak disertai dengan menggigil. Penurunan berat badan juga dapat

terjadi akibat demam dan menurunnya nafsu makan. Gejala konstitusional lain

yang sering dijumpai pada penyakit SLE, yang timbul sebelum ataupun seiring

dengan aktivitas penyakitnya antara lain adalah rambut rontok, mual muntah dan

hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak dan sakit

kepala.

2.5.2 Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering

dijumpai, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa mialgia, atralgia, atau artritis.

Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, simetris, ditandai

dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada

tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi

hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan.

Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri

bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis

iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika tidak ada manifestasi SLE

aktif lainnya.

2.5.3 Manifestasi Kulit

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus

erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus

(SCLE), atau lainnya. Lesi diskoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan

sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat

depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian dermal secara permanen rusak.

Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala.

Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan

antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE, walaupun

setengahnya memiliki ANA yang positif. Namun, di antara individu dengan SLE,

12

Page 14: Sle

sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat

fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah terutama pada pipi dan

sekitar hidung, juga dikenali sebagai “buterfly rash”, telinga, dagu, leher,

punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang

disertai dengan serangan penyakit sistemik.

SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi

sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif;

kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya termasuk

urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis atau lupus

profundus. Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat menjadi manifestasi utama

penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE,

lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Gambar 2.3 Malar rash Gambar 2.4 Discoid rash

2.5.4 Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena

nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama

penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada sekitar 50% pasien SLE.

Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit

SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis

sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari

lupus nephritis berdasarkan gambaran histologis.

13

Page 15: Sle

Tabel 2.2 Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003.

Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis

Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan

immunofluoresensi.

Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis

Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial

dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan

subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron namun

tidak tampak dengan mikroskop biasa.

Class III: Focal Lupus Nephritis

Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau

ekstrakapiler terjadi pada <50%.

Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis.

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis.

Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal

sclerosing lupus nephritis.

Class IV: Diffuse Lupus Nephritis

Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau

ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit imun

yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis

segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental

dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi

yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari

setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang

difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.

Class IV-S (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A) : Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental

proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative

dan lupus nephritis sclerosing.

14

Page 16: Sle

Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse

segmental sclerosing

Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse

global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari

pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron,

disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan

kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus

nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

>90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual.

Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan

datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya

biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam).

Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi

hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani,

kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal Disease (ESRD) dalam 2

tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN

meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu

tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif.

Beberapa pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus

membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih

baik dari pada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan

keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan

penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus

nephritis, terjadi percepatan pada proses aterosklerosis sehingga untuk

mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini.

2.5.5 Manifestasi Pulmoner

15

Page 17: Sle

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis

dengan atau tanpa efusi pleural. Pasien SLE dengan presentasi takipneu, batuk,

hemoptisis dan deman harus dicurigai adanya manifestasi di paru. Jika ringan

gejala ini dapat berespons dengan pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory

drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid.

Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit

dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Semua kemungkinan ini

membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula

dengan perawatan suportif.

2.5.6 Manifestasi Kardiologis dan Vaskuler

Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi.

Biasanya perikarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang

mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah

miokarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial

dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya pada katup mitral atau

aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau

imunosupressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau

endokarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan

dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian

embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan risiko infark miokard,

biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan

diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada

organ.

Prevalensi dari transient ischemic attack, stroke, dan infark miokard

meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak

ekslusif, pada pasien SLE dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya

antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian

thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan

aterosklerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal, baik

noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis, atau dengan embolisasi dari plak

arteri karotid atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis.

16

Page 18: Sle

Pemeriksaan yang tepat untuk aPL dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan

pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari

terapi antiinflamasi dan antikoagulasi. Pada SLE, infark miokard merupakan

manifestasi utama pada aterosklerosis.

2.5.7 Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia,

biasanya normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis.

Hemolisis dapat cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi

glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia

juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia.

Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak

membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika

hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi, terapi

glukokortikoid dosis tinggi biasanya efektif.

2.5.8 Manifestasi Gastrointestinal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari

suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh

peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan

alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini

biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid

sistemik. Perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering

terjadi. Terapi immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan

untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari

terapi tambahan.

2.5.9 Manifestasi Sistem Saraf

Terdapat banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer

pada SLE. Pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas

dan mortalitas. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif,

termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga

17

Page 19: Sle

umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE,

jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.

Kejang juga dapat disebabkan oleh lupus dan penanganannya seringkali

membutuhkan obat anti kejang dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi

manifestasi dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat

glukokortikoid. Psikosis biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian

glukokortikoid. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid

diturunkan atau dihentikan. Myelopati tidak jarang terjadi dan seringkali

menimbulkan kecacatan. Terapi immunosupresif harus segera dimulai dengan

glukokortikoid merupakan standar terapi.

2.5.10 Manifestasi Okuler

Sindrom Sicca atau Sindrom Sjögren dan konjungtivitis nonspesifik umum

terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan

vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan

dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Manifestasi okuler pada SLE

disebabkan oleh berbagai mekanisme. Antaranya adalah deposit kompleks imun,

vaskulitis dan trombosis. Antibodi anti fosfolipid dapat menyebabkan penyakit

vasooklusif pada retina. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara

lain adalah pada:

a. Palpebra : Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi

kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung.

b. Konjungtiva : Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis

nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan

penglihatan. Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang

mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa.

Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat

menyebabkan pengerutan konjungtiva.

c. Sklera : Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler

yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan

bertambah berat. Dengan berkembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi

18

Page 20: Sle

skleritis nekrotik yang melanjut dari tempat lesi semula ke segala jurusan

sampai dihentikan dengan pengobatan.

d. Uvea : Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.

e. Retina : Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita.

Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses

peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak

kedua setelah keratokonjungtivitis sicca. Penderita retinopati SLE memiliki

penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang

signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif

pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.

2.7 Diagnosis

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya

autoantibodi. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun

dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan

spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut Hahn et al, 2005.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis

SLE adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, LED, urinalisis, ANA, antibodi anti

doublestranded-DNA, antibodi antifosfolipid, titer komplemen C3, C4, ureum dan

kreatinin darah, protein urin, serta pencitraan berupa foto rontgen toraks dan USG

ginjal. Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan ini harus ada.

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American College of

Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling

sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada.

Tabel 2.3 Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology.

Gejala Penjelasan

Malar Rash

(Butterfly rash)

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung

19

Page 21: Sle

(wilayah malar)

Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai

dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut

atropi dapat terjadi.

Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat

menimbulkan bercak-bercak

Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat

ditemukan

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi

perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan

melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura

Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan

corak seluler, tubuler atau campuran dalam

sedimen urin.

Gangguan neurologic Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

Gangguan hematologic Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau

leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia

<1500/mm3 atau thrombositopenia <100

000/mm3 tanpa pemberian obat-obatan yang

menyebabkan thrombositopenia.

Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-

phospholipid

Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa

jika diketahui tidak ada pemberian obat yang

dapat memicu ANA sebelumnya.

Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu.

Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama

perjalanan penyakit. Pemeriksaan ANA berulang yang negatif menandakan

diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi

20

Page 22: Sle

IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik

untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.

Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya

tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko,

karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya

autoantibodi.

Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji

penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu

positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu

dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA tidak selalu spesifik

untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti

skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti

isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA

dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti

ds-DNA) dan 25% (anti SM). Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan

positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA (positif 949 iu/ml), C3a dan C4a yang

menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini

sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat

proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.

Hasil ANA positif palsu dapat dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti

endokarditis bakterialis subakut, tuberkulosis, hepatitis dan malaria.

21

Page 23: Sle

Gambar 2.5 Algoritme Diagnosis SLE.

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk SLE adalah sebagai berikut:

a. Rheumatoid arthritis

b. Scleroderma

c. Sjogren syndrome

d. Polymiositis

e. Acute pericarditis

f. Antiphospholipid syndrome

g. Infectious mononucleosis

22

Page 24: Sle

2.9 Penatalaksanaan

a. Farmakologis

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat

keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada

setiap pasien.

a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti

kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan

obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan

ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih

sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai

efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi

hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.

b. Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis

SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan

intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral

untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30

mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis

terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis

dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria

atau imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian

dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis,

cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan

prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari. Kortikosteriod parenteral juga dapat

digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang

23

Page 25: Sle

mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3

hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama

antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi,

fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak,

glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur,

iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol,

dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari

diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat

meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping

osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D

50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga

diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

c. Terapi Imunomodulator

1) Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang

berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan

cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya

kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal

dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4,

respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi

nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan

system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai

2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3.

Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu.

Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut

rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan.

Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah

pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga

terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster.

24

Page 26: Sle

Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan

azoospermia.

Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat

menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis

hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan

jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan

hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari

total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika

urinaria juga perlu dilakukan.

2) Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat

dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini

digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis

atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine

diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai

dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12

minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3

dan neutrofil > 1000/mm3.

Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek

samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di

ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis

diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering

dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan

peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan

menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan,

seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang

mendapat azathioprine

3) Leflunomide

Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan

pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE

yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose

100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.

25

Page 27: Sle

4) Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat

dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis

purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu.

Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek

samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase,

keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.

5) Cyclosporine

Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk

sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya

dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria,

sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas

penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia

gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.

d. Terapi Hormon

Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk

mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE.

Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan

dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200

mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama

trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen

Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

e. Terapi Lain

Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan

mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen

dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek

meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5

hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam,

manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah

26

Page 28: Sle

demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika.

Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya

sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE

sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune

penderita yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi

penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibody.

Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat

terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis

dan infark miokard prematur.

2.11 Prognosis

Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid

ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai

11 tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun.

Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90%

dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-

organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan

prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu

bertahan hidup hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang

mengalami kelainan (57%). Penderita yang mengalami remisi spontan sebanyak

35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita

tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena adanya

penegakan diagnosis yang dini.

Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan

ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang

merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan

kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf

pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada penderita.

Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus

27

Page 29: Sle

erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari

steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang

pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang

tinggi karena atherosclerotic heart disease dan infarct myocardial. Walaupun

penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan, namun prognosisnya lebih

buruk pada penderita laki-laki.

28

Page 30: Sle

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum

diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat

beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka

kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta

lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

Manifestasi klinis yang muncul pada penderita SLE bervariasi, tergantung

organ yang diserang oleh antibodi. Jika ditemukan trias berupa demam, nyeri

sendi dan rash pada wanita usia subur, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya

SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi klinis yang paling sering

terjadi pada penderita SLE. Selain itu, manifestasi yang dapat muncul yaitu

manifestasi di muskuloskeletal, kulit, renal, pulmoner, kardio, vaskular, sistem

saraf, hematologi, gastrointestinal dan okuler.

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American College of

Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling

sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada, yaitu butterfly rash, discoid rash,

fotosensitivitas, ulkus oral, arthritis, serositis, gangguan ginjal, gangguan

neurologic, gangguan hematologic, gangguan imunologi, dan antibodi

antinuklear.

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat

keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada

setiap pasien.

29

Page 31: Sle

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus

Eritematosus Sistemik. 2011

2. Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N. Lupus Eritematosus

Sistemik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Pusblishing; 2009.

P.2565-2577.

3. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus

page. J Clin Pathol; 481-490.

4. Weening JJ et al, “The Classification of Glomerulonephritis in Systemic

Lupus Erythematosus Revisited” Journal of the American Society of

Nephrology 2004, Vol.15, pp. 241–250

5. Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus” American

Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186

6. Manifestasi Klinis SLE. Dikutip dari: http://www.Lupus-

Support.Org.Uk/Nurse/CONT.Htm pada tanggal 19 Maret 2015.

7. Zorab, A. R, Straus H, Dondrea L. C, Arturo C, Mordic R, Tanaka S, et

all. (2005-2006). Lens and Cataract. Chapter 5 Pathology page 45-69.

Section 11. American Academy of Oftalmology : San Francisco.

8. Khalillulah SA. 2010. Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak senilis.

9. Khurana AK, editor. Comprehensive Ophthalmology. In: Diseases of the

lens. 4th Edition. New Delhi: New Age International; 2007