skripsi gabungan

280
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL DI BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh: Holy Apriliani 110200090 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Upload: holy-apriliani-kembaren

Post on 21-Jan-2017

353 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)

2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM

NASIONAL DI BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Holy Apriliani

110200090

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)

2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM

NASIONAL DI BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat

dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

H O L Y A P R I L I A N I

110200090

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

DR. Chairul Bariah, S.H., M.Hum NIP : 1956121019860120001

Pembimbing I Pembimbing II

DR. Chairul Bariah, S.H., M.Hum DR. Mahmul Siregar, S.H., M.HumNIP : 1956121019860120001 NIP : 197302202002121001

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas

berkat dan kasih karunia Nya penulis bisa ada sampai saat ini dan masih

dimampukan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul: “UNITED

NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 DALAM

KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL DI

BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” sebagai tugas

akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan sungguh hanya karena kasih

Nya lah penulis bisa ada sampai dalam tahap ini, semua hanya karena kebaikan

Nya semata.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mengakui bahwa penulis sering

mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta

petunjuk dari Bapak dan Ibu dosen pembimbing, maka penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis yang membuat penulis merasa menjadi anak yang

paling beruntung di dunia, yang penulis kasihi sepenuh hati Bapak yg luar

biasa Drs. Agus Kembaren, MM dan Mam yg juga luar biasa Nita

Herawati Tarigan, Amd. Terimakasih Pak, Mam untuk semua doa, kasih,

nasihat, dukungan moril dan materil, repetan, dan segala kebaikan kalian

dari aku lahir sampai sekarang aku berhasil menyelesaikan skripsi dan

i

mendapat gelar Sarjana Hukum ku. Tanpa doa kalian aku bukan apa-apa.

Semua ini aku persembahkan untuk kalian dengan sepenuh hati;

2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu

Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku

Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam

penulisan skripsi ini, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta

waktunya untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan penulisan skripsi

ini;

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan,

arahan-arahan, serta waktu untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan

penulisan skripsi ini;

ii

8. Ibu Afrita, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang

telah membimbing penulis dan memberi pengarahan dari segi akademis

kepada penulis dari awal sampai saat ini;

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing serta memberikan

ilmu yang sangat bernilai kepada penulis;

10. Kedua adik penulis yang terkasih, Richman Sukada Kembaren, (c)S.An

dan Salsaly Angelika Yokhebed Kembaren. Terimakasih buat doa,

dukungan, kasih yang kalian tunjukkan melalui cara kalian masing-

masing, aku bangga dan bersyukur karena punya kalian dalam hidupku;

11. Keluarga besar Sembiring Kembaren dan Tarigan Tendang. Terimakasih

untuk doa, dukungan moril juga materil serta nasihat-nasihat yang sangat

luar biasa untuk ku. Biarlah Tuhan saja yang membalas kebaikan kalian

semua..;

12. Kelompok kecil Janet dan Elora yaitu Kristina Simbolon, SH, Sarah

Siagian, SH, Roulinta Sinaga, SH, Sri Nita Pagit Tarigan, SH, Sabrina

Gultom, dan Royanti Tampubolon, SH untuk semua kasih, dukungan, doa,

dan kebaikan yg luar biasa yang kalian tunjukkan kepada ku. Aku sungguh

bersyukur karena boleh mengenal kalian dan menjadi bagian dari kalian;

13. Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL), kakak dan abang penulis dari

stambuk 2007 – 2010, adik-adik penulis dari stambuk 2012-2014 dan

terkhusus untuk G11 yang begitu banyak membantu, mendukung,

iii

mendoakan, dan menyemangati ku dalam proses pengerjaan skripsi ini.

Terimakasih sahabat! Aku bangga boleh mengenal kalian semua dan

menjadi bagian dari Perkumpulan yang sangat luar biasa ini;

14. Resimen Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Yon A K/P. Terimakasih

untuk persahabatan yang luar biasa walaupun aku sudah tidak lagi

tergabung di dalamnya. Dan juga kepada KMK USU UP FH. Terimakasih

juga untuk pengalaman yang luar biasa yang boleh aku dapatkan dari

kalian;

15. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa, Bintari Oktora, Chatrine

Sihombing, Fitri F. Tanjung, Stella, SH, Maisyarah Miraza, SH, Ricky

Sidabutar, Tri Yanto Yeremia Siagian, SH, Samitha Andimas, Elfrina

Ritonga, Olivya Tambunan, Amd. Terimakasih untuk doa, kasih, dan

dukungan kalian untuk ku. Terimakasih juga atas kesabaran kalian dalam

menghadapi ku yang super negatif ini. Aku mengasihi kalian ;

16. Teman seperjuangan dan satu asal, Daniel Christian D. Aritonang, Nathan

Lumban Raja dan terkhusus soulmate penulis Daniel Bernadus yang

membuat penulis percaya bahwa soulmate bisa juga berlaku pada sahabat.

Terimakasih dan semoga sukses untuk kalian!;

17. Abang-abang dan kakak-kakak yang sampai saat ini masih meberikan hati

untuk mendukung penulis, kak Lusiana Pangaribuan, SH.M.H, kak

Rischelly Ritonga, SH, kak Yessica Situmorang, SH, kak Kristina

Sitanggang, SH, kak Sherly Sembiring, SH, kak Susanti Nababan, SH,

iv

bang Kastro Sitorus, SH, dan bang Deffid Ivani Siahaan, SH. Terimakasih

untuk saran, doa, dukungan kalian untuk ku. Sangat beruntung boleh

mengenal kalian semua kak,bang;

18. Seluruh guru-guru di SDK.Pamardi Yuwana Bhakti, SMPN 148 Jakarta,

SMPN 157 Jakarta, dan SMAN 67 Jakarta. Terimakasih Bapak dan Ibu,

berkat kalian saya bisa sampai di tahap ini. Terimakasih untuk ilmu dan

didikan yang luar biasa!;

19. Sahabat penulis yang luar biasa Almh.Henny Febrina Purnamasari

Harahap dan Alm.Olan Fernandus Lumban Toruan. Walaupun kalian udah

disamping Bapa di Surga, kenangan bersama kalian dan kebaikan kalian

masih aku ingat sampai detik ini. Terimakasih banyak..;

20. Teman-teman ILSA Stambuk 2011, teman-teman Grup B 2011, serta

Panitia Natal Keluarga Besar Fakultas Hukum USU 2014 terkhusus Seksi

Acara : Rika Sitompul, Christin Tobing, Stephani Situmorang, Via

Situmorang, Novi Sihaloho, Imelda Sinurat, SH, Kartika Manurung, SH,

Tulus Nababan, SH, Alexandro Simanjuntak, SH, Asido Malau, Guntur

Gultom, SH Terimakasih untuk kalian semua! Sangat bersyukur boleh

mengenal kalian dan boleh bekerjasama dengan kalian. Aku mengasihi

kalian ;

21. Keluarga besar Anak Kost Berdikari 48 (AKB 48), Kakak, Bapak, Biring,

dan Bulang. Terimakasih untuk kesabaran kalian selama ini, juga untuk

dukungan doa, dan kebaikan kalian yang luar biasa. Tuhan memberkati!

v

22. Semua pihak yang mengenal dan telah membantu penulis yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk kalian semua. Aku

mengasihi kalian .

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak

kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya

masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Demikian lah yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan,Juli 2015

Penulis

Holy Apriliiani

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL .........................................................................xi

DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................................xii

ABSTRAKSI .............................................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Rumusan Masalah ................................................................................6

C. Tujuan Penulisan...................................................................................6

D. Manfaat Penulisan ...............................................................................7

E. Keaslian Penulisan ...............................................................................7

F. Tinjauan Kepustakaan ..........................................................................8

G .Metode Penelitian ................................................................................17

1. Jenis Penelitian................................................................................17

2. Sumber Data ...................................................................................18

3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................19

4. Analisis Data ..................................................................................20

H. Sistematika Penulisan ........................................................................20

BAB II . .KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION

AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 ..............................................23

vii

A. Sejarah terbentuknya Konvensi United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003 ..................................................23

B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) ..........................................................................35

1. Defenisi dan ruang lingkup .............................................................37

2. Tahap pembuatan UNCAC 2003 ....................................................44

C. Kekuatan mengikat Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003..................................................................47

D. Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Konvensi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ...................53

1. Jenis-jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam Konvensi

United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) 2003....53

2.Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ....57

E. Kerjasama internasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

66

BAB III HUBUNGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION

AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 DENGAN

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA........................................................................................100

A. Ratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption .

(UNCAC) 2003 oleh Indonesia dan negara lainnya ............................100

viii

1. Proses ratifikasi Konvensi UNCAC oleh pemerintah Indonesia

...............................................................................................................101

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan

Konvensi UNCAC...........................................................................102

a. Latar belakang dan tujuan pembentukan .....................................104

b. Istilah-istilah penting ...................................................................106

c. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset ..............................108

d. Perlindungan saksi, ahli, dan korban ...........................................110

e. Perlindungan pelapor ...................................................................111

B Akibat hukum dari ratifikasi Konvensi United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003 ....................................................112

C. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 terhadap pembentukan hukum anti korupsi di

Indonesia ..............................................................................................129

D.Pengaruh Konvensi United Nations Convention Agaisnt Corruption

(UNCAC) 2003 terhadap proses pemberantasan tindak pidana

korupsi di Indonesia .............................................................................130

BAB IV SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NASIONAL TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DENGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION

AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 .............................................133

ix

A. Ketentuan-ketentuan Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 yang diadopsi dalam hukum nasional

...............................................................................................................133

B. Ketentuan-ketentuan Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 yang belum diadopsi dalam hukum

nasional ................................................................................................151

BAB V PENUTUP....................................................................................................156

A.Kesimpulan ...........................................................................................156

B.Saran .....................................................................................................162

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................xvi

x

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

GAMBAR I Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional

Dibawah Wibawa PBB 43

GAMBAR II Negara-negara yang telah menandatangani UNCAC 2003

dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November

2014 59 59

TABEL I Daftar negara yang telah menandatangani dan

meratifikasi UNCAC 2003, beserta tanggal nya 60

TABEL II Perjanjian-perjanjian ekstradisi Indonesia dengan

Beberapa negara 69

TABEL III Perjanjian-perjanjian MLA Indonesia dengan

beberapa negaraa 79

xi

DAFTAR SINGKATAN

A.

AMLA : ASEAN Mutual Legal Assistance

Ampres : Amanat Presiden

Art : Article

ACCH : Anti Corruption Clearing House

ACCT : ASEAN Convention on Counter Terrorism

ASEAN : Assosiation of South East Asia Nation

C.

CoSP : Conference of the State Parties

CTC : Certified True Copy

D.

DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

H.

HAM : Hak Asasi Manusia

I.

ICJ : International Court of Justice

ICW : Indonesian Corruption Watch

ILO : International Labour Organization

ILSA : International Law Student Association

xii

J.

Jo. : Juncto

K.

KA : Kereta Api

Kapolri : Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Kemenkumham : Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

L.

LBB : Liga Bangsa-Bangsa

M.

Menkumham : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Menlu : Menteri Luar Negeri

MLA : Mutual Legal Assistance

N.

NGO : Non Government Organization

No. : Nomor

P.

PAK : Panitia Antar Kementrian

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

Perpres : Peraturan Presiden

xiii

Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

PPERPRES : Pengesahan Peraturan Presiden

PPTM : Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri

Prolegnas : Program legislasi nasional

R.

RAK : Rapat Antar Kementrian

RI : Republik Indonesia

RPERPRES : Rancangan Peraturan Presiden

RRT : Republik Rakyat Tiongkok

RUU : Rancangan Undang-Undang

T.

TCP : Transfer of Criminal Proceeding

TSP : Transfer of Sentenced Person

U.

UN : United Nations

UNCAC : United Nations Convention Against Corruption

UNESCO : United Nations Economic Social Cultural Organization

UNODC : United Nations Office on Drugs and Crime

UNTOC : United Nations Convention of International Organized Crime

UU : Undang-Undang

xiv

ABSTRAK

UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CONVENTION (UNCAC) 2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL DI

BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

*) Holy Apriliani**) Chairul Bariah

***) Mahmul Siregar

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, karena itu lah tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang tindak pidana korupsi, untuk mengetahui bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi, dan untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

Konvensi UNCAC 2003 merupakan sebuah perjanjian internasional (treaty based crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip integritas nasional dan prinsip non intervensi. .Main point dari konvensi ini adalah kriminalisasi, asset recovery,dan kerjasama internasional. Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia yang sudah melintas batas negara (cross border).

Kata Kunci: Tindak pidana korupsi, UNCAC 2003, perjanjian internasional

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara**) Dosen Pembimbing I***) Dosen Pembimbing II

xv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang

bersifat multi etnik. Keragaman etnik dan dengan sendirinya keragaman budaya

merupakan mutiara terpendam yang memerlukan penanganan yang sangat hati-

hati, terutama dalam memilih indikator untuk menetapkan jati diri bangsa

Indonesia. Kelangkaan pakar dan pengamat serta tenaga ahli bangsa Indonesia

yang memusatkan perhatian mereka pada budaya Indonesia yang bersifat multi

etnik ini, sesungguhnya turut bertanggung jawab terhadap kenyataan yang ada

sekarang ini, yakni kurang atau tidak dipahaminya secara benar dan tepat

mengenai karakteristik budaya Indonesia tersebut oleh generasi penerus.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas

tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki

seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang

tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada

umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan

karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai

1

kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun

dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi

dituntut cara-cara yang luar biasa sehingga tuntutan akan ketersediaan perangkat

hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang benar-benar

mampu menangani setiap kasus tindak pidana korupsi tidak dapat dielakkan lagi1.

Seluruh rakyat Indonesia sepakat bahwa tindak pidana korupsi harus dicegah dan

dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan

rakyat bahkan sudah sampai tahap sebagai pelanggaran hak ekonomi dan hak

sosial rakyat Indonesia.

Persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bukan hanya

merupakan persoalan dan penegakan hukum semata-mata, tetapi juga merupakan

persoalan sosial dan psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan

persoalan hukum, sehingga harus segera dibenahi secara simultan. Alasan

mengapa tindak pidana korupsi harus dianggap sebagai sebuah persoalan sosial

adalah karena korupsi telah mengakibatkan tidak adanya pemerataan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi pun harus

dianggap sebagai persoalan psikologi sosial, karena tindak pidana korupsi

merupakan penyakit sosial yang sulit untuk disembuhkan.2

Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen

pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi

internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang

1Diakses dari http://www.jurnal.usu.ac.id, diakses tanggal 5 Maret 20152Romli Atmasasmita, Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti

Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 9

2

korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

pada tahun 2003.

Akibat tindak pidana korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula

dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang telah di

ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya

menyatakan bahwa:

“ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;”

("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh

korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan

nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan

pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")

Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan,

apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia.

Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Menentang

Korupsi (United Nations Convention Against Corruption /konvensi UNCAC

2003) yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida,

Meksiko bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia

untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikut sertanya

Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tanggal 21 maret 2006 yang kemudian

diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan

kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan konvensi ini.

3

Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini diharapkan oleh

pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang

berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah sebanyak 5 kali, akan tetapi peraturan

perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara

khusus membahas tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset3.

Disahkannya konvensi UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup mengatasi

masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya

dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak

hukum namun juga dari seluruh elemen masyarakat, karena pelaksanaan konvensi

UNCAC 2003 tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga

menuntut peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society).

Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia

terutama setelah berakhirnya era orde baru yang jatuh karena rasa

ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak

terobosan yang dilakukan terutama dengan disahkannya Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan KPK

(Korupsi Pemberantasan Korupsi) sebagai “state auxiliary body” yang khusus

menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk mempercepat

pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini.

3Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption

4

Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam upaya

pemberantasan korupsi ini, maka KPK mempunyai kewajiban untuk memastikan

terimplementasinya konvensi UNCAC 2003 tersebut. Langkah awal untuk

implementasi konvensi UNCAC 2003 adalah menyelaraskan undang-undang

tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan

sejumlah ketentuan yang tercantum dalam konvensi UNCAC 2003. Tentunya

implementasi konvensi UNCAC 2003 tidak harus menunggu hingga seluruh

peraturan perundangan terharmonisasi dengan konvensi UNCAC 2003, karena

sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada

pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang

diperintahkan oleh konvensi.

Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan

korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan

penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang

berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi

yang diharapkan oleh konvensi UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya

peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan

pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat

pemerintah adalah subyek dan obyek dalam konvensi UNCAC 2003 ini. Terkait

dengan konvensi UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan

pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini

mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam

5

pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan

bagi Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan

tindak pidana korupsi menurut konvensi United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003?

2. Bagaimana hubungan konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi

di Indonesia?

3. Bagaimana bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai

tindak pidana korupsi;

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak

pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia;

6

3. Untuk mengetahui bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan

nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat teoritis, yakni untuk menambah bahan penelitian bagi literatur

yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, serta sebagai dasar

penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.

2. Manfaat praktis, yakni sebagai pengingat bagi pemerintah Negara

Kesatuan Republik Indonesia agar tidak melanggar ketentuan yang ada

yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, baik secara langsung

ataupun tidak langsung.

E. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama

masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka

penelitian ini mengangkat suatu materi dari mata kuliah pilihan, yaitu hukum

pidana internasional, khususnya yang membahas mengenai tindak pidana korupsi

yang dituangkan dalam sebuah judul penelitian “United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003 dalam Kaitannya dengan Pembentukan

Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Dalam rangka pengajuan judul penelitian ini, maka harus terlebih dahulu

mendaftarkan judul tersebut ke bagian departemen Hukum Internasional dan telah

7

diperiksa pada arsip bagian departemen Hukum Internasional. Judul yang

diangkat dinyatakan disetujui oleh departemen Hukum Internasional pada tanggal

13 November 2014.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan pada bagian departemen Hukum

Internasional pada khususnya dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

pada umumnya, diketahui bahwa belum ada penelitian yang secara khusus

membahas tentang United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keaslian penulisan yang

dituangkan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya.

F. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-

laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan

pengertian dari judul penelitian, yakni yang diambil dari sumber-sumber buku

yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut

etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum

maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.

1. Pengertian perjanjian internasional menurut Prof.Mochtar

Kusumaatmadja4

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat

hukum tertentu.

4Mochtar Kusumaatmadja,dkk, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal.117

8

Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian

internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum

internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

2. Organisasi dan Organisasi Internasional

Beberapa pengertian organisasi menurut para ahli, yaitu5 :

a. Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-

hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan

atasan mengejar tujuan bersama

b. James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk

setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama

c. Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan

suatu sistem aktivitas kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih

d. Stephen P. Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan

(entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah

batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang

relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau

sekelompok tujuan

Sedangkan pengertian organisasi internasional menurut para ahli antara lain6

a. Bowwet D.W. : “....tidak ada suatu batasan mengenai organisasi

publik internasional yang dapat diterima secara umum. Pada

umumnya organisasi ini merupakan organisasi permanen (sebagai

5Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, diakses pada tanggal 4 Maret 20156Diakses dari, http://Mahendraputra.net/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUM-

INTERNASIONAL-101, diakses pada tanggal 4 Maret 2015

9

contoh, jawatan pos atau KA) yang didirikan berdasarkan perjanjian

internasional yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral

daripada perjanjian bilateral yang disertai beberapa kriteria tertentu

mengenai tujuannya”

b. Starke hanya membandingkan fungsi, hak dan kewajiban serta

wewenang dari lembaga internasional dengan negara yang modern.

Starke berpendapat : “Pada awalnya seperti fungsi suatu negara

modern mempunyai hak, kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki

beserta alat perlengkapannya, semua itu diatur oleh hukum nasional

yang dinamakan hukum tata negara sehingga dengan demikian

organisasi internasional sama halnya dengan alat perlengkapan negara

modern yang diatur oleh hukum konstitusi nasional”

c. Sumaryo Suryokusumo berpendapat bahwa organisasi internasional

adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut aspek-

aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada

waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam rangka

kerja sama menyesuaikan dan mencari kompromi untuk menentukan

kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama serta mengurangi

pertikaian yang timbul

d. T. Sugeng Susanto menjelaskan yang dimaksud dengan organisasi

internasional dalam pengertian luas adalah bentuk kerjasama antar

pihak-pihak yang bersifat internasional untuk tujuan yang bersifat

internasional. Pihak-pihak yang bersifat internasional itu dapat berupa

10

orang-perorangan, badan-badan bukan negara yang berada di berbagai

negara atau pemerintah negara. Adapun yang dimaksud dengan tujuan

internasional ialah tujuan bersama yang menyangkut kepentingan

berbagai negara

e. Boer Mauna menyebutkan bahwa pengertian organisasi internasional

menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional, yang mana dalam pasal itu disebutkan bahwa organisasi

internasional adalah organisasi antar pemerintah. Menurut Boer

Mauna, pengertian yang diberikan konvensi ini sangat sempit karena

hanya membatasi diri pada hubungan antar pemerintah. Menurutnya,

defenisi inimendapat tantangan dari para penganut defenisi yang luas

menurut NGO’s7

3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN/PBB)8

Tujuan Berdirinya PBB :

PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) didirikan pada tanggal 24 Oktober

1945 Oleh negara-negara Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina

(sekarang Republik Rakyat Tiongkok), Perancis, Uni Soviet (sekarang

Rusia), dan Inggris.

PBB didirikan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan

keamanan, untuk mengembangkan hubungan persahabatan dan

kerjasama antar bangsa dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi,

7Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2008, PT. Alumni, Bandung, hal.459

8Mizwar Djamily,dkk, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Cetakan Keenam, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama, hal.10

11

sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan, serta memajukan penghormatan

terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.

Disamping itu PBB juga bertujuan untuk menjadi pusat dalam

merukunkan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama

diatas.

4. Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi

itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif9.

Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :

a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009);10

b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999);

c) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat

kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat

9Prinst Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal.2

10Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

12

pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2009);

d) Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan

Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999);

e) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak

berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999);

f) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara

karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal

5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999);

g) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud

untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999);

h) Pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau

penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan

13

perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001)11;

i) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001);

j) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana

dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001);

k) Pegawai negeri atau orang lain selain Pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk

sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat

berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang,

atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,

atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut :

a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian

atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya

11Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

14

yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001);

b) Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan

berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk

diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

c) Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara

Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

membiarkan perbuatan curang sebagaimana disebut dalam ayat (1)

huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7

ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

d) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah

atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaannya atau

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut

pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada

hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001);

e) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan

15

kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan huruf b

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

f) Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui itu patut

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

g) Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut

diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi

nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara

yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

h) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001).

5. Sedangkan yang dimaksud dengan United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 200312 adalah :

United Nations Convention against Corruption (UNCAC) is a multilateral convention negotiated by members of the United Nations. It is the first global legally binding international anti-corruption instrument. In its 71 Articles divided into 8 Chapters, UNCAC requires that States Parties implement several anti-corruption measures which

12Diakses dari, http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against_Corruption, diakses pada tanggal 4 Maret 2015

16

may affect their laws, institutions and practices. These measures aim at preventing corruption, criminalizing certain conducts, strengthening international law enforcement and judicial cooperation, providing effective legal mechanisms for asset recovery, technical assistance and information exchange, and mechanisms for implementation of the Convention, including the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption (CoSP).

Konvensi UNCAC 2003 merupakan konvensi multilateral yang

dinegosiasikan oleh anggota PBB. Konvensi ini merupakan instrumen hukum

intenasional pertama tentang anti - korupsi yang mengikat secara global. Konvensi

ini terdiri atas 71 artikel yang terbagi menjadi 8 bab. Dalam konvensi UNCAC

2003 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak menerapkan beberapa langkah-

langkah anti - korupsi yang dapat mempengaruhi hukum mereka baik secara

institusi maupun praktik. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah korupsi,

kriminalisasi perilaku tertentu, memperkuat penegakan hukum internasional dan

kerjasama yudisial, menyediakan mekanisme hukum yang efektif untuk

pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi, dan mekanisme

pelaksanaan Konvensi, termasuk Konferensi Negara-Negara Pihak pada konvensi

PBB melawan Korupsi ( CoSP ) .13

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

menganalisis norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

13Diterjemahkan melalui situs https://translate.google.com/, diakses pada tanggal 4 Maret 2015

17

undangan dan putusan-putusan hakim. Menurut Prof. Soerjono Soekanto14,

penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap azas-azas hukum;

penelitian terhadap sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi

hukum; penelitian sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum.

2. Sumber Data

Penelitian hukum pada umumnya membedakan sumber data ke dalam 2

(dua) bagian, yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat

dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sumber data dalam

penelitian ini merupakan data sekunder, yakni terdiri dari15 :

a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan

perundang-undangan, dalam hal ini berupa :

1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana

Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana

Korupsi

3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian

Internasional

4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

14Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2008, hal.51

15Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003, hal.113-114

18

5) Unied Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

6) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

b) Bahan hukum sekunder adalah bahan acuan yang bersumber dari

buku-buku, surat kabar, media internet serta media massa lainnya

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti karya ilmiah

sarjana, jurnal-jurnal hukum, dan hasil penelitian.

c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus-kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen

atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan

melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis.16 Analisis isi

(content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap

isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis isi dapat

digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita

radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir

semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode

penelitian.17  Pengertian lain, menyatakan bahwa Studi Kepustakaan (Library

Research), yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-

16Soerjono Soekanto, op.cit, hal.2117Andre Yuris, Berkenalan dengan Analisis Isi (Content Analysis),

https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/, diakses tanggal 30 Juni 2015

19

buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan

bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Menurut Berndl Berson, ”Content analysis is a research technique for

the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of

communication.”18 (kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan

mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk

komunikasi). Teknik analisis data dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Teknik analisis data kuantitatif yaitu menganalisis dengan pengukuran

data statistik secara obyektif belalui perhitungan ilmiah berasal dari

sampel yang menghubungkan antara pengamatan empiris dan ekspresi

matematis

b. Teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data,

mengkualifikasikan berupa huruf, kemudian menghubungkan teori

yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan

untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan

sosiologis.

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif,

karena lebih cenderung menggunakan pendekatan teoritis yang lebih

mengutamakan dalamnya data daripada jumlahnya.

18Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal.179

20

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi harus mempermudah dalam pemahaman mulai dari

awal permasalahan hingga pembahasan. Sistematika skripsi ini adalah sebagai

berikut :

Bab pertama dimulai dari memaparkan latar belakang lahirnya

permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 (tiga) inti masalah, serta

menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian, dan menjabarkan kerangka teori

dan konsep serta metode penelitian.

Bab kedua mulai membahas permasalahan yang pertama yaitu Bentuk

Kerjasama Internasional dalam Hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Menurut Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003. Bab ini terdiri dari Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Kedudukan Konvensi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah

Perjanjian Internasional ; Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi Berdasarkan Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 yang kemudian terbagi lagi atas : Jenis-Jenis Tindak Pidana

Korupsi yang Diatur dalam Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 ; Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; dan poin

terakhir: Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

21

Bab ketiga berisi tentang Hubungan Konvensi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang: Ratifikasi Konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Oleh Indonesia

dan Negara Lainnya ; Akibat Hukum dari Ratifikasi Konvensi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia ; Pengaruh

Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di Indonesia ; Pengaruh Konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Proses

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Bab keempat membahas permasalahan akhir, yaitu Bentuk Sinkronisasi

Peraturan Perundang-undangan Nasional tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dengan Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003. Bab ini akan memaparkan lebih jelas tentang Ketentuan –

Ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional ; dan Ketentuan-Ketentuan Konvensi

United Naions Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum

Diadopsi dalam Hukum Nasional.

Bab kelima merupakan bab penutup dari skripsi ini. Bab ini berisi

kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran

yang berdasarkan hasil dari penelitian.

22

BAB II

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED

NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003

A. Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003

Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah

menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan

masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai

etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan

penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki

hubungan yang erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan

terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam

banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting

sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan

yang berkelanjutan negara tersebut19

Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan

fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi,

yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya

sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan

multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara

19Konsideran United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003

23

efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis

yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara,

termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan

lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.20

Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh

beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak

korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan

dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak

kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang

telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.21 Diawali dengan terungkapnya

beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan

oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan

kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan

negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai

awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga

1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5

miliar hingga US$10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang

dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai

salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah.22

Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh

Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah

20Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33

21Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.

22Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia, Figur, Vol XXVII/TH.2008, hal. 22

24

mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar. Selain itu ada Presiden

Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$2

miliar hingga US$5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi

kekayaan negaranya sebesar US$1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang

melakukan korupsi sebesar US$300 juta hingga US$800 juta, Presiden Peru

Alberto Fujimori sebesar US$600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang

mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$114 juta hingga US$ 200 juta, dan

Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan

negaranya sebesar US$100 juta.23

Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the

capture state, yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan

dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat

melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi

berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan

merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju

ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian

negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat

mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis.

Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik

seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak

korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program

pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana

yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak 23Diakses dari, http://jurnal-libre.com/pdf, diakses tanggal 5 Maret 2015

25

sesuai dengan wujud dari program tersebut.24 Berdasarkan dari beberapa

penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat

publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang

sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat

publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi

ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam

segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari

gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Dalam kaitannya dengan besarnya dampak negatif korupsi dan

permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan

korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari

tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama

kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian

dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000.25

Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan

dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB

yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi

dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut

didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen against

corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office

on Drug and Crime (UNODC).26

24http://jurnal-libre.com/pdf , Ibid.25Background of United Nation Convention Against Corruption, diakses dari

http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html, diakses tanggal 5 Maret 201526Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption, Ibid.

26

Naskah Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang

diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan

pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 mulai diberlakukan oleh

organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi

UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk

memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan

korupsi.

Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai

dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Melawan Korupsi (konvensi United Nations Convention Againts Corruption/

UNCAC 2003) oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai

dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan

sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara

resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Setelah

diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005.

Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah

129 negara.27

Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah

semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan

praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi

27Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015

27

untuk memberantas korupsi dalam konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh

PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan

sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan

memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi

berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat

memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum.

Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan

keberlanjutan pembangunan (jeopardizing sustainable development). Dalam

praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi (crime

organized), pencucian uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi

(economic crime) lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai

akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat (fair

competition) dan menyuburkan persaingan tidak sehat (unfair competition) di

dunia bisnis.28

Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti

Korupsi tingkat internasional29 yaitu:

1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada

di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi

berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing.

2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat

internasional.

28Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015

29Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_against_Transnational_Organized_Crime,diakses tanggal 23 Maret 2015

28

3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang

merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali.

4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat

asing (Bribery of Foreign Public Officials).

5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan

anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal (Criminal Law); Konvensi Hukum

Sipil (Civil Law Convention)

6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized

Crime

7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah

pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Konvensi UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) 2003

adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan

komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003

terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara

peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan

umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah30:

a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan

(strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently

and effectively).

b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan

bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi,

termasuk pengembalian aset (to promote, facilitate and support 30h ttp://en.wikipedia.org/wiki/Convention_Against_Transnational_Organized_Crime ,Ibid,

29

international cooperation and technical assistance in the prevention of

and fight against corruption, including in asset recovery).

c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen

publik yang sesuai dengan kepemilikan umum (to promote integrity,

accountability and proper management of public affairs and public

property).

Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri

atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai

berikut31:

a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan

istilah-istilah; ruang lingkup pemberlakuan; dan perlindungan

kedaulatan.

b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek

pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor

publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan

pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang

berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta;

partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian

uang.

c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan

pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing

dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik;

31Diakses dari http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 23 Maret 2015

30

penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh

pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi;

memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta;

penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan;

penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung

jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan,

maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan;

penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan

perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi

orang-orang yang melaporkan; akibat-akibat tindakan korupsi;

kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama

dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan

berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional

dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi.

d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer

narapidana; bantuan hukum timbal balik; transfer proses pidana;

kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik

penyidikan khusus.

e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer

hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung

atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui

kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional

untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan

31

penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan

pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral.

f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat

pelatihan dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis

informasi tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan

konvensi melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis.

g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi

negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan

korupsi secara efektif dan efisien.

h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi;

penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan,

persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri;

penyimpanan dan bahasa-bahasa.

Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara

global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara

komprehensif. Konvensi UNCAC 2003 menetapkan secara eksplisit bahwa

korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat

luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan

berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu

negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC

2003 menyiapkan 3 (tiga) strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama

lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi (criminalisation), pengembalian

hasil aset korupsi (asset recovery), dan kerjasama internasional (international

32

cooperation).32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk

pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu,

negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk

mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian

bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan

dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18

tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp

5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang

lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen

Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan

Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar

Rp 4,5 triliun) di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha.33 Keberhasilan dari

negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara

korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian

aset hasil korupsi (asset recovery). Seperti halnya negara berkembang lainnya,

Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks.

Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan

karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor

penghambat utama pelaksanaan pembangunan Indonesia dan sangat

membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat

32http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, Ibid,33Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses pada

tanggal 21 Maret 2015

33

dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di

dunia.34

Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat

kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum

tindak pidana korupsi.35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini

lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden

menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian,

kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasus-

kasus korupsi secara lebih efektif.36

B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional

memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan

pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara 34Diakses dari, http://www.transparency.org/survey/#cpi, Diakses tanggal 21 Maret 201535Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan

perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

36Ibid,

34

menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,

menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.

Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu

negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu

negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum

internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung

kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk

mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian

tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-

negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.

Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia

akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara

umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa

ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum

internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.

Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk

perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat

sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat

pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan

untuk perjanjian-perjanjian internasional.37 Selanjutnya sesuai hukum

internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian

37 Myers, The Names and Scoope of Treaties, 51 American Journal of International Law , 1957, hal. 574,575

35

internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara

bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional

karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun kadang-

kadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat

membuat perjanjian internasional.

Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya

diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh

Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional

di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari

tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan

hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention

On the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini

mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum

internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak

pada Konvensi tersebut.

(1)Defenisi dan Ruang Lingkup

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum

internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:

a) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat

umum maupun khusus;

b) kebiasaan internasional (international custom);

36

c) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui

oleh negara-negara beradab;

d) keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang

telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified

publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.

Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty)

didefinisikan sebagai:

Suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:

Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian

internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu

subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan

ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.

Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam

defenisi perjanjian internasional tersebut:

(a)Adanya subjek hukum internasional

37

Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang

mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional

seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina .

Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal,

organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional.

Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai

kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian

dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam

batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang

menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu

negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang

cukup peka.

Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang

membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang

negara-negara bagian membuat perjanjian dengan negara-negara lain. Kanada

yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan

posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa

Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara

francophone.38

Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 (Pasal 70),

Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga

memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat

persetujuan dengan negara-negara lain38J.Y Morin, In Annuaire Canadien de Droit Internasional (ACDI), 1965, hal. 127-186

38

Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan

wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian

antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status

UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni

1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan

juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya

yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa

antara LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan

gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB.

Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas

terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat

antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi

internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk

membuat perjanjian-perjanjian diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dan

organisasi tersebut.

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum

tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu

konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan

bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat

39

lembaga internasional.39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional.40 Langkah-

langkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah

sebagai berikut :

a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas

nama negara

Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan

negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat.

b. Negosiasi dan adopsi

Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan

pemerintah masing-masing.

c. Otentikasi dan penandatanganan

Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti

instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Sebelum dilakukan

penandatanganan, rancangan teks tersebut dapat diumumkan. Tahap

penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal.

d. Ratifikasi

Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau

pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh

kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya.

39sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison (et.al), dalam Marry G. Kweit& Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup (Final Act), Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126

40Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 75-79

40

e. Aksesi dan addesi

Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan

negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak

ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional.

f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional

Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya

suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau

apa yang telah disetujui oleh negara peserta.

g. Registrasi dan publikasi

Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian

internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus

sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan

diumumkan oleh Sekretariat.

h. Aplikasi dan pelaksanaan perjanjian internasional

Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah

penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara

pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan

dan supervisi oleh organ-organ internasional.

Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan

pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari

hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya.

Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum

41

nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses

harmonisasi hukum.41

Gambar 1Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa

PBB.42

41Harmonisasi adalah suatu proses standarisasi internasional untuk menyamakan standar hukumnasional yang berlaku di negara yang bersangkutan dengan standar internasional sebagai akibat dari ratifikai yang menuntut adanya pemberlakuan (Entry into Force), ibid, hal 130

42Mohd. Burhan Tsani, Op.Cit, hal 82

42

Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82

(2)Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003

Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 (United Nations Convention

Againts Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan

43

(Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification).

Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak

singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut

1 Perundingan (Negotiation)

Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang

korupsi (konvensi UNCAC 2003) diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi

Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya

instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum

internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang

berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan

draft Konvensi43. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara

anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun

untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir

Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa

2 Penandatanganan (Signature)

Konvensi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC)

2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas

43Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06..htm, diakses tanggal 23 Maret 2015

44

Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi

tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida

Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111

negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19

September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara

yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai

dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003.44

3 Ratifikasi (Ratification)

Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts

Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara

yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut.

Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi

tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi

adalah sebagaimana terlampir.45

Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi

yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003.

Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB

berdasarkan resolusi No. 57/169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah

Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi

UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut

menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia

44This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http://www.unodc.org/unodc/crime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015

45Ibid,

45

telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18

April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi

terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi

UNCAC Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakuakan

standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan

pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi

UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah

melintas batas negara (cross border).

Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang

merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang

kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On

Drug and Crime (UNODC) yang menjadi subyek hukum internasional dan

menjadi anggota dari masyarakat internasional.46

Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC

di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari

upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik

maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada

permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun

pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003

melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi

negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi

karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek

46Mochtar Kusumaatmadja,dkk. Pengantar Hukum Internasional.Cetakan Pertama, PT Alumni, Bandung, 2010

46

buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi

manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan

dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan

pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar

negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya.47

C. Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003

Adapun kewajiban negara dalam meratifikasi konvensi UNCAC 2003

adalah tidak hanya terbatas pada negara yang menjadi anggota dari organisasi

UNODC yang mana UNODC sebagai organisasi dibawah PBB yang menaungi

Konvensi UNCAC 2003. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003

selanjutnya wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertera didalam pasal-

pasal yang termuat dalam Konvensi UNCAC 2003. Ketentuan tersebut secara

jelas telah di cantumkan dalam Bab I mengenai ketentuan-ketentuan. Indonesia

merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dan

juga merupakan anggota dari organisasi UNODC. Namun sebelum diratifikasinya

konvensi UNCAC 2003, berdasarkan laporan anti corruption clearing house

(ACCH) sebenarnya terdapat 25 pasal didalam konvensi UNCAC 2003 yang

sebelumnya telah ada didalam beberapa kebijakan Indonesia.48 Sedangkan jika di

bedah lagi secara garis besar beberapa pasal konvensi UNCAC 2003 yang

menjadi landasan perubahan kebijakan Indonesia terkait korupsi tahun 2009-2013

47Kofi A. Nan. Kata Pengantar UNCAC. Pdf48ACCH. Bab I: Pendahuluan, diakses dari

http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf, pada tanggal 6 Marer 2015

47

pasca konvensi UNCAC 2003 adalah bab II dan bab III. Indonesia sebagai aktor

yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 memiliki hak yang mana juga hak

tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal didalam konvensi

UNCAC 2003. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66

ayat (2) konvensi UNCAC 2003 yang mengatur mengenai upaya penyelesaian

sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan

konvensi UNCAC 2003 melalui Mahkamah Internasional.

Keputusan ini diambil sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak

mau mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction)

dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah

sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku.49

Persyartan yang diajukan oleh Indonesia ini merupakan hak bagi setiap

negara berdaulat dalam perjanjian internasional. Selain telah menggunakan hak

nya adapun kewajiban Indonesia untuk menerapkan konvensi UNCAC 2003

kedalam ranah domestik. Hal ini disebutkan dalam Legislative guide for the

implementation of the United Nations Convention against Corruption Second

revised edition 2012 pada bab Structure of the United Nations Convention against

Corruption yang menjelaskan mengenai tujuan dari terbentuknya konvensi

UNCAC 2003, kewajiban negara peserta, dan prinsip perlindungan kedaulatan

yang sangat di utamakan dalam konvensi UNCAC 2003. Untuk mengadopsi

perjanjian internasional kedalam regulasi suatu negara maka Indonesia sebagai

negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang berbeda.

49Berdasarkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

48

Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal konvensi UNCAC

2003 kedalam regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang-undang

yang menyatakan telah diratifikasinya konvensi UNCAC 2003 di Indonesia

dengan alasan yang jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Dalam prosesnya,

adopsi konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi korupsi Indonesia ini di awali

dengan ditandatanganinya naskah perjanjian internasional UNCAC pada tanggal

18 Desember 2003 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 19 September 2006.50

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dalam mekanisme hukum

internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara yaitu dengan

undang-undang atau dengan keputusan Presiden.51

Adapun Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-

undang jika perjanjian internasional mengenai52 :

a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik

Indonesia;

c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e) Pembentukan kaidah hukum baru;

f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

50Ibid.51Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian

Internasional52Ibid.

49

Perjanjian internasional yang tidak di sahkan melalui undang-undang

merupakan perjanjian yang tidak berkaitan dengan ke enam permasalahan

tersebut. Proses adopsi dari konvensi UNCAC 2003 ini mulai di laksanakan pada

tanggal 20 Maret 2006 oleh parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno

mengesahkan Undang-Undang. Nomor 7 tahun 2006 mengenai pengesahan

ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yang dilaksanakan pada rapat paripurna DPR

RI.53 Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanismenya konvensi UNCAC 2003

di sahkan melalui undang-undang yang harus disetujui DPR RI.

Urusan mengenai korupsi ini di serahkan pada komisi III DPR RI yang

menangani masalah54 :

a. Hukum,

b. Ham, dan

c. Keamanan.

Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum

internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat

paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi konvensi UNCAC

2003 di sahkan oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali

dengan di usulkan rancangnya undang-undang yang berisi mengenai

penjelasan/keterangan maupun naskah akademis yang berasal dari Presiden dan

kemudian disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR RI melalui surat

53Support to fight against corruption. 2013.Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) , STRANAS PPK dan INPRES No. 1 Tahun 2013 di Indonesia, diakses dari http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf, diakses tanggal 8 Maret 2015.

54Komisi III, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III, diakses tanggal 8 Maret 2015

50

pengantar Presiden yang selanjutnya di sampaikan dalam bentuk tertulis kepada

pimpinan DPR RI dengan surat pengantar Presiden serta Menteri yang mewakili

presiden dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam rapat

paripurna selanjutnya yang mana RUU diterima oleh pimpinan DPR RI ditindak

lanjuti dengan mempublikasikan kepada seluruh anggota. Publikasi RUU

dilakukan oleh instansi yang membuat, dan ditindaklanjuti dengan RUU dibahas

dalam tingkat dua pembicaraan DPR RI oleh Menteri yang mewakili Presiden.55

Kemudian hasil dari adopsi regulasi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003

yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 di tugaskan kepada lembaga milik

negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang

memiliki peran penting dalam penerapan konvensi UNCAC 2003. Hal tersebut

dikarenakan KPK merupakan salah satu lembaga yang berhubungan langsung

dengan pemberantasan korupsi. Pemilihan Indonesia memberikan tugas dan

tanggung jawab kepada KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2000 yaitu KPK sebagai state auxiliary body yaitu lembaga khusus menangani

korupsi. Selain itu latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu dari

solusi untuk dapat menangani dan meningkatkan pemberantasan korupsi yang

selama ini masih menjadi permasalahan krusial bagi Indonesia.56

Namun, dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi, KPK

tetap melakukan kerjasama dengan institusi dalam negeri.

KPK Sebagai lembaga khusus berperan penting sebagai bagian dari

keberhasilan adopsi regulasi korupsi ini khususnya korupsi yang dilakukan oleh

55Pembuatan Undang-Undang, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang, diakses pada tanggal 20 Maret 2015

56ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid.

51

para pejabat publik, maka dari itu KPK memiliki tanggung jawab serta kewajiban

untuk melaksanakan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 di Indonesia.57 Didalam

sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution merupakan prosedur

terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi konvensi UNCAC

2003 yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini

menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta

konvensi UNCAC 2003 dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada

tingkat internasional sebagai bentuk penerapan konvensi UNCAC 2003. Upaya-

upaya tersebut berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul

F.Dheil dapat berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang

nantinya akan diadili oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara

permanen. Konvensi UNCAC 2003 hingga saat ini hanya menggunakan

International Court Of Justice atau Mahkamah Internasional dalam

menyelesaikan sengketa dua atau lebih negara peserta mengenai penerapan

konvensi yang tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan yang telah

ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66 ayat dua mengenai penyelesaian

sengketa.58

Namun dalam hal ini Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi dari

International Court Justice (ICJ) terhadap permasalahan korupsi jika suatu saat

terjadi. Ketidak-inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang mana negara

dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan.59

57ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid58United Nation Convention Against Corrupion (UNCAC) Treaties, pdf.59Sam Blay.2003.Public International Law: An Australian Perspective Second Edition.

Oxford

52

D. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United

Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

1) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur dalam Konvensi

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin dalam

pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang yang telah di

ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya

menyatakan bahwa:

“ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;”

("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan

oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga

dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan

pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")

Perbuatan-perbuatan yang dilarang atau dikriminalisasi dalam substansi

konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara

garis besar terdiri dari empat hal yaitu; (a) tindak pidana korupsi penyuapan

pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials); (b) tindak

pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh (trading in ifluence); (c)

tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit

enrichment); dan (d) tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in

the private sector).

53

Pertama, tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik

nasional (bribery of national public officials) diatur dalam ketentuan Pasal 15

yang berbunyi:

Each state party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: (a) the promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties; (b) the solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties.

Jadi, yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja melakukan tindakan

berupa janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada

pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu

sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak

melaksanakan tugas resminya; dan permintaan atau penerimaan manfaat yang

tidak semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk

pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak

bertindak melaksanakan tugas resminya. Terhadap penyuapan pejabat-pejabat

publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik

diatur dalam ketentuan Pasal 16. Sedangkan mengenai penggelapan,

penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat

publik diatur dalam ketentuan Pasal 17 konvensi UNCAC 2003.

Kedua, tindak pidana korupsi berupa memperdagangkan pengaruh

(trading in influence). Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 18, yang

pada pokoknya melarang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja berupa; (a)

54

janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat

publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik

atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada

dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga

pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli

perbuatan itu atau untuk orang lain; dan (b) permintaan atau penerimaan manfaat

yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau

tidak langsung, untuk dirinya atau orang lain agar pejabat publik atau orang itu

menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud

memperoleh manfaat yang tidak semsetinya dari lembaga pemerintag atau

lembaga publik Negara Pihak.

Termasuk dalam kategori memperdagangkan pengaruh adalah

penyalahgunaan fungsi. Pasal 19 konvensi UNCAC 2003 mengatakan bahwa,

dikatakan sebagai penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan

atau tidak melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat

publik dalam pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang

tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain atau badan lain (the abuse of

functions or position, that is, the performance of or failure to perform an act, in

violation of laws, by a public official in the discharge of his or her functions, for

the purpose of obtaining an undue advantage for himself for herself or for another

person or entity).

55

Ketiga, tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara

tidak sah (illicit enrichment). Ketentuan Pasal 20 konvensi UNCAC 2003

menyatakan, bahwa:

Subject to its contitution and the fundamental principlesof its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.

Perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan

pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan

dengan penghasilannya yang sah yang dilakukan dengan sengaja merupakan

perbuatan yang dilarang.

Keempat, tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the

private sector). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam substansi Pasal 21 dan

Pasal 22 konvensi UNCAC 2003 yang berisi larangan penyuapan di sektor swasta

dan larangan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Pasal 21 menyatakan,

bahwa Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-

tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan,

jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau

perdagangan: (a) janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak

langsung, manfaat-manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin

atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau

untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak

bertindak, dan (b) permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak

langsung, manfaat yang tidak semsetinya oleh orang yang memimpin atau

56

bekerja, dalam jabatan apapun, dibadan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk

orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya bertindak atau tidak bertindak.

Pasal 22 menyatakan, bahwa:

Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally in the course of economic, financial or commercial activities, embezzlement by a person who directs or works, in any capacity, in a private sector entity of an property, private funds or securities or any other thing of value entrusted to him or her by virtue of hir or her position.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, Negara Pihak wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,

dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh

orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor

swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang

berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.

2) Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi

para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian penandatanganan perjanjian

tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan

demikian dinamakan ratifikasi.

Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif

dimulai pada pertengahan abad ke- XIX. Sebelumnya utusan yang diberi

kekuasaan penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung

57

mengikat negara secara definitif. Menurut Grotius tanda tangan saja sudah cukup.

Kemudian dengan mundurnya monarki absolut dan berkembangnya prinsip-

prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah

dibuat dan yang telah ditandatangani oleh utusan-utusan raja tersebut. Selanjutnya

tandatangan itu saja tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada

ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh

suatu perjanjian.

Penandatanganan konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 9 sampai dengan

11 Desember 2003 dan diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB

berdasarkan resolusi No. 57/169. Penandatanganan konvensi ini dilakukan oleh

140 negara dan 129 negara telah meratifikasi isi dari konvensi tersebut.

Indonesia merupakan negara pihak ke-57 yang menandatangani konvensi

UNCAC 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasi melalui Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention

Against Corruption 2003 pada tanggal 18 April 2006. Sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tindakan

pengesahan tersebut dilaksanakan melalui proses pembuatan undang-undang oleh

DPR RI dengan telah memberlakukan konvensi tersebut sebagai hukum nasional

Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau individu

di Indonesia.60

60Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 12 Mei 2015

58

Gambar 2. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi UNCAC

2003 dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November 201461

United Nations Convention Against Corruption Signature and Ratification Status as of 12

November 2014

Signatories: 140 

Parties: 174 

Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.htmlTabel 1. Daftar negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi UNCAC 2003, beserta tanggal nya62

Country Signature Ratification, Acceptance (A),

Approval (AA), Accession (a),

Succession (d)

Afghanistan 20 Feb 2004 25 Aug 2008

61Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, diakses tanggal 7 April 2015

62Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, Ibid.

59

Albania 18 Dec 2003 25 May 2006

Algeria 9 Dec 2003 25 Aug 2004

Angola 10 Dec 2003 29 Aug 2006

Antigua and Barbuda   21 Jun 2006 a

Argentina 10 Dec 2003 28 Aug 2006

Armenia 19 May 2005 8 Mar 2007

Australia 9 Dec 2003 7 Dec 2005

Austria 10 Dec 2003 11 Jan 2006

Azerbaijan 27 Feb 2004 1 Nov 2005

Bahamas   10 Jan 2008 a

Bahrain 8 Feb 2005 5 Oct 2010

Bangladesh   27 Feb 2007 a

Barbados 10 Dec 2003  

Belarus 28 Apr 2004 17 Feb 2005

Belgium 10 Dec 2003 25 Sep 2008

Benin 10 Dec 2003 14 Oct 2004

Botswana   27 Jun 2011 a

Bhutan 15 Sep 2005  

Bolivia 9 Dec 2003 5 Dec 2005

Bosnia and Herzegovina 16 Sep 2005 26 Oct 2006

Brazil 9 Dec 2003 15 Jun 2005

Brunei Darussalam 11 Dec 2003 2 Dec 2008

Bulgaria 10 Dec 2003 20 Sep 2006

Burkina Faso 10 Dec 2003 10 Oct 2006

Burundi   10 Mar 2006 a

Cambodia   5 Sep 2007 a

Cameroon 10 Dec 2003 6 Feb 2006

Canada 21 May 2004 2 Oct 2007

Cabo Verde 9 Dec 2003 23 Apr 2008

60

Central African Republic 11 Feb 2004 6 Oct 2006

Chile 11 Dec 2003 13 Sep 2006

China 1 10 Dec 2003 13 Jan 2006

Colombia 10 Dec 2003 27 Oct 2006

Comoros 10 Dec 2003 11 Oct 2012

Congo   13 Jul 2006 a

Cook Islands   17 Oct 2011

Costa Rica 10 Dec 2003 21 Mar 2007

Côte d'Ivoire 10 Dec 2003 25 Oct 2012

Croatia 10 Dec 2003 24 Apr 2005

Cuba 9 Dec 2005 9 Feb 2007

Cyprus 9 Dec 2003 23 Feb 2009

Czech Republic 22 Apr 2005 29 Nov 2013

Democratic Republic of the

Congo

  23 Sep 2010 a

Denmark 2 10 Dec 2003 26 Dec 2006

Djibouti 17 Jun 2004 20 Apr 2005

Dominica   28 May 2010 a

Dominican Republic 10 Dec 2003 26 Oct 2006

Ecuador 10 Dec 2003 15 Sep 2005

Egypt 9 Dec 2003 25 Feb 2005

El Salvador 10 Dec 2003 1 Jul 2004

Estonia   12 Apr 2010 a

Ethiopia 10 Dec 2003 26 Nov 2007

European Union 15 Sep 2005 12 Nov 2008 AA

Fiji   14 May 2008 a

Finland 9 Dec 2003 20 Jun 2006 A

France 9 Dec 2003 11 Jul 2005

Gabon 10 Dec 2003 1 Oct 2007

61

Georgia   4 Nov 2008 a

Germany 9 Dec 2003 12 Nov 2014

Ghana 9 Dec 2004 27 Jun 2007

Greece 10 Dec 2003 17 Sep 2008

Guatemala 9 Dec 2003 3 Nov 2006

Guinea 15 Jul 2005 29 May 2013

Guinea-Bissau   10 Sep 2007 a

Guyana   16 Apr 2008 a

Haiti 10 Dec 2003 14 Sep 2009

Honduras 17 May 2004 23 May 2005

Hungary 10 Dec 2003 19 Apr 2005

Iceland   1 Mar 2011 a

India 9 Dec 2005 9 May 2011

Indonesia 18 Dec 2003 19 Sep 2006

Iran (Islamic Republic of) 9 Dec 2003 20 Apr 2009

Iraq   17 Mar 2008 a

Ireland 9 Dec 2003 09 Nov 2011

Israel 29 Nov 2005 4 Feb 2009

Italy 9 Dec 2003 5 Oct 2009

Jamaica 16 Sep 2005 5 Mar 2008

Japan 9 Dec 2003  

Jordan 9 Dec 2003 24 Feb 2005

Kazakhstan   18 Jun 2008 a

Kenya 9 Dec 2003 9 Dec 2003

Kiribati   27 Sep 2013 a

Kuwait 9 Dec 2003 16 Feb 2007

Kyrgyzstan 10 Dec 2003 16 Sep 2005

Lao People's Democratic

Republic

10 Dec 2003 25 Sep 2009

62

Latvia 19 May 2005 4 Jan 2006

Lebanon   22 Apr 2009 a

Lesotho 16 Sep 2005 16 Sep 2005

Liberia   16 Sep 2005 a

Libya 23 Dec 2003 7 Jun 2005

Liechtenstein 10 Dec 2003 8 Jul 2010

Lithuania 10 Dec 2003 21 Dec 2006

Luxembourg 10 Dec 2003 6 Nov 2007

Madagascar 10 Dec 2003 22 Sep 2004

Malawi 21 Sep 2004 4 Dec 2007

Malaysia 9 Dec 2003 24 Sep 2008

Maldives   22 Mar 2007 a

Mali 9 Dec 2003 18 Apr 2008

Malta 12 May 2005 11 Apr 2008

Marshall Islands   17 Nov 2011

Mauritania   25 Oct 2006 a

Mauritius 9 Dec 2003 15 Dec 2004

Mexico 9 Dec 2003 20 Jul 2004

Micronesia (Federated States of)   21 Mar 2012 a

Moldova 28 Sep 2004 1 Oct 2007

Mongolia 29 Apr 2005 11 Jan 2006

Montenegro 3   23 Oct 2006 d

Morocco 9 Dec 2003 9 May 2007

Mozambique 25 May 2004 9 Apr 2008

Myanmar 2 Dec 2005 20 Dec 2012

Namibia 9 Dec 2003 3 Aug 2004

Nauru   12 Jul 2012 a

Nepal 10 Dec 2003 31 Mar 2011

Netherlands 4 10 Dec 2003 31 Oct 2006 A

63

New Zealand 10 Dec 2003  

Nicaragua 10 Dec 2003 15 Feb 2006

Niger   11 Aug 2008 a

Nigeria 9 Dec 2003 14 Dec 2004

Norway 9 Dec 2003 29 Jun 2006

Oman   9 Jan 2014

Pakistan 9 Dec 2003 31 Aug 2007

Palau   24 Mar 2009 a

Panama 10 Dec 2003 23 Sep 2005

Papua New Guinea 22 Dec 2004 16 Jul 2007

Paraguay 9 Dec 2003 1 Jun 2005

Peru 10 Dec 2003 16 Nov 2004

Philippines 9 Dec 2003 8 Nov 2006

Poland 10 Dec 2003 15 Sep 2006

Portugal 11 Dec 2003 28 Sep 2007

Qatar 1 Dec 2005 30 Jan 2007

Republic of Korea 10 Dec 2003 27 Mar 2008

Romania 9 Dec 2003 2 Nov 2004

Russian Federation 9 Dec 2003 9 May 2006

Rwanda 30 Nov 2004 4 Oct 2006

Saint Lucia   25 Nov 2011

Sao Tome and Principe 8 Dec 2005 12 Apr 2006

Saudi Arabia 9 Jan 2004 29 April 2013

Senegal 9 Dec 2003 16 Nov 2005

Serbia 11 Dec 2003 20 Dec 2005

Seychelles 27 Feb 2004 16 Mar 2006

Sierra Leone 9 Dec 2003 30 Sep 2004

Singapore 11 Nov 2005 06 Nov 2009

Slovakia 9 Dec 2003 1 Jun 2006

64

Slovenia   1 Apr 2008 a

Solomon Islands   6 Jan 2012 a

South Africa 9 Dec 2003 22 Nov 2004

South Sudan   23 Jan 2015

Spain 16 Sep 2005 19 Jun 2006

Sri Lanka 15 Mar 2004 31 Mar 2004

State of Palestine   2 Apr 2014 a

Sudan 14 Jan 2005  5 Sep 2014

Swaziland 15 Sep 2005 24 Sep 2012

Sweden 9 Dec 2003 25 Sep 2007

Switzerland 10 Dec 2003 24 Sep 2009

Syrian Arab Republic 9 Dec 2003  

Tajikistan   25 Sep 2006 a

Thailand 9 Dec 2003 1 Mar 2011

The Former Yugoslav Republic

of Macedonia

18 Aug 2005 13 Apr 2007

Timor-Leste 10 Dec 2003 27 Mar 2009

Togo 10 Dec 2003 6 Jul 2005

Trinidad and Tobago 11 Dec 2003 31 May 2006

Tunisia 30 Mar 2004 23 Sep 2008

Turkey 10 Dec 2003 9 Nov 2006

Turkmenistan   28 Mar 2005 a

Uganda 9 Dec 2003 9 Sep 2004

Ukraine 11 Dec 2003 02 Dec 2009

United Arab Emirates 10 Aug 2005 22 Feb 2006

United Kingdom of Great Britain

and Northern Ireland 5

9 Dec 2003 9 Feb 2006

United Republic of Tanzania 9 Dec 2003 25 May 2005

United States of America 9 Dec 2003 30 Oct 2006

65

Uruguay 9 Dec 2003 10 Jan 2007

Uzbekistan   29 Jul 2008 a

Vanuatu   12 Jul 2011 a

Venezuela (Bolivarian Republic

of)

10 Dec 2003 2 Feb 2009

Viet Nam 10 Dec 2003 19 Aug 2009

Yemen 11 Dec 2003 7 Nov 2005

Zambia 11 Dec 2003 7 Dec 2007

Zimbabwe 20 Feb 2004 8 Mar 2007Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html

E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam

upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan

dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum

timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang

berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama

berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para

koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah

Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam

kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations

Convention Against Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang

Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on

Transnational Organised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security

Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan

Indonesia secara berkesinambungan.

66

Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan

korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada prinsip-

prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa

serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan

nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama

internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan

Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam

PBB.

Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang

dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum

PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota

masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18

Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal

9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai

konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia

akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan

langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.

Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan

untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi

Nasional Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.

Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program

pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam

pemberantasan korupsi di Indonesia.

67

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia,

wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan

pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem

hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan

untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata

dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi.

Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas

ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi

tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta

menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau

menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang

meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan

permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara

Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003).

Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi

kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional,

kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang

harus diperhatikan. Yakni adanya kepentingan politik yang sama, saling

menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa

dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu :63

1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44)

63Diakses dari,http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67, diakses tanggal 18 April 2015

68

Tabel 2. Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan

Beberapa Negara64

No Negara Pihak Nama PerjanjianTahun

RatifikasiPenandatanganan

1 Indonesia - Malaysia

Treaty between The Government of The

Republic of

1974Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1974

Indonesia and The Government of

Malaysia Relating

to Extradition

2. Indonesia - Filipina

Extradition Treaty between The Republic

of 1976Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1976Indonesia and The

Republic of The Philippines

3. Indonesia - Thailand

Treaty between The Government of The

Republic of

1976Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1978

Indonesia and The Government of The

Kingdom of

Thailand Relating to Extradition

4. Indonesia - Australia

Extradition Treaty between Australia and

The 1992Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1994

Republic of Indonesia

5. Indonesia - Hongkong

Agreement between The Government of

The 1997Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2001Republic of Indonesia

64Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 13 Mei 2015

69

and The Government of

Hongkong for Surrender of Fugitive

Offenders

6. Indonesia - Korea Selatan

Treaty on Extradition between The

2000Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2007

Republic of Indonesia and The Republic of

Korea

7. Indonesia - Singapura

Treaty on Extradition between The Republic

of 2007 Dalam proses ratifikasi

Indonesia and Singapore

Sumber: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA

Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah

proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut

masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa

diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka

tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus

dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban

untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip

sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada

dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan

keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu

jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah

70

menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian

ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003.

a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC

2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di

wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa

kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum

menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara

pihak yang diminta.65

b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya

membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang

diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak

dapat dihukum.

c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah,

dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi

menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi

dengan karena alasan jangka waktu penghukumannya tetapi

mempunyai kaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini, maka

negara pihak yang diminta dapat menerapkan pasal ini juga bagi

kejahatan-kejahatan itu.

65 Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015

71

d) Kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini harus dianggap

termasuk dalam kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian

ekstradisi antara negara-negara pihak. Negara-negara pihak akan

memasukkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat

diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi yang akan dibuat di antara

mereka. Negara yang hukumnya membolehkannya, dalam hal negara

itu menggunakan konvensi ini sebagai dasar untuk ekstradisi, tidak

boleh memperlakukan kejahatan menurut konvensi ini sebagai

kejahatan politik.

e) Jika negara yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian

menerima permintaan ekstradisi dari negara lain yang tidak

mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara pihak itu, maka

negara pihak itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar

hukum ekstradisi bagi kejahatan yang dapat dikenakan penerapan

pasal ini.

f) Negara pihak yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya

perjanjian wajib:

a. Pada saat penyimpanan instrumen pengesahan, penerimaan atau

persetujuan atau aksesi konvensi ini, memberitahukan kepada

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah akan

menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama

ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini; dan

72

b. Jika negara pihak itu tidak menggunakan konvensi ini sebagai

dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi, mengupayakan, sepanjang

perlu, untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Negara

Pihak lain pada konvensi ini untuk melaksanakan pasal ini.

g) Negara-negara pihak yang tidak mempersyaratkan ekstradisi pada

adanya perjanjian wajib mengakui kejahatan yang dapat dikenakan

penerapan pasal ini sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di antara

negara-negara pihak itu.

h) Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum

nasional negara pihak yang diminta atau dalam perjanjian ekstradisi

yang berlaku, termasuk antara lain, persyaratan yang terkait dengan

syarat hukuman minimum untuk ekstradisi dan alasan-alasan bagi

negara pihak yang diminta untuk menolak ekstradisi.

i) Negara pihak wajib, berdasarkan hukum nasionalnya, berupaya untuk

mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan

pembuktian yang berkaitan dengan itu menyangkut kejahatan yang

dapat dikenakan penerapan pasal ini.

j) Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dan perjanjian

ekstradisinya, negara pihak yang diminta, setelah meyakini keadaan-

keadaan yang ada menghendaki demikian atau sifatnya mendesak dan

atas permintaan negara pihak yang meminta, dapat mengambil orang

yang dimintakan ekstradisi dan yang berada dalam wilayahnya untuk

73

ditahan atau mengambil tindakan-tindakan yang perlu lainnya untuk

menjamin kehadirannya pada proses ekstradisi.

k) Negara pihak yang di dalam wilayahnya ditemukan tersangka pelaku,

jika negara pihak itu tidak mengekstradisi orang itu untuk kejahatan

yang terkena penerapan pasal ini karena alasan bahwa orang itu adalah

warga negaranya, wajib, atas permintaan negara pihak yang memohon

ekstradisi, untuk menyerahka kasus itu tanpa penundaan yang tidak

perlu kepada pejabat berwenangnya untuk dilakukan penuntutan.

Pejabat yang berwenang itu wajib mengambil putusan dan

melaksanakan proses dengan cara yang sama seperti untuk kasus lain

yang berat menurut hukum nasional negara pihak itu. Negara-negara

pihak yang bersangkutan wajib saling bekerja sama, khususnya

menyangkut aspek prosedur dan pembuktian, untuk menjamin

efisiensi penuntutan tersebut.

l) Jika suatu negara pihak dibolehkan oleh hukum nasionalnya untuk

mengekstradisi atau menyerahkan warga negaranya dengan syarat

bahwa orang itu akan dikembalikan ke negara pihak itu untuk

menjalani hukuman yang dijatuhkan sebagai akibat pengadilan atau

proses hukum yang menjadi dasar permintaan ekstradisi atau

pemindahan orang itu dan negara pihak itu serta negara pihak yang

memohon ekstradisi menyetujui opsi ini dan syarat-syarat lain yang

dianggap layak, maka ekstradisi atau penyerahan bersyarat itu sudah

74

cukup untuk melepaskan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat

11.

m)Jika ekstradisi, yang diminta dalam rangka melaksanakan suatu

hukuman, ditolak karena orang yang diminta adalah warga negara,

negara pihak yang diminta, maka negara pihak yang diminta, jika

hukum nasionalnya membolehkannya dan berdasarkan syarat-syarat

yang ditetapkan dalam hukum tersebut, atas permohonan negara pihak

yang meminta, wajib mempertimbangkan untuk melaksanakan

hukuman yang dijatuhkan berdasarkan hukum nasional negara pihak

yang meminta atau sisa hukuman tersebut.

n) Setiap orang yang sedang menjalani proses hukum yang berkaitan

dengan kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini, wajib

dijamin untuk diperlakukan dengan adil pada semua tahap proses,

termasuk menikmati semua hak dan jaminan yang diberikan oleh

hukum nasional negara pihak tempat orang itu berada.

o) Ketentuan konvensi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan

kewajiban untuk melakukan ekstradisi jika negara pihak yang diminta

memiliki alasan-alasan yang kuat untuk meyakini bahwa permintaan

itu telah diajukan untuk tujuan penuntutan atau penghukuman

seseorang berdasarkan kelamin, ras, agama, kebangsaan, asal etnis

atau aliran politik orang itu atau bahwa pengabulan permintaan itu

akan membahayakan kedudukan orang itu karena satu dari alasan-

alasan tersebut.

75

p) Negara pihak tidak boleh menolak permintaan ekstradisi semata-mata

karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah

perpajakan.

q) Sebelum menolak ekstradisi, negara pihak yang diminta wajib,

sepanjang perlu, berkonsultasi dengan negara pihak yang meminta

untuk memberikan kesempatan yang cukup kepadanya untuk

menyampaikan pendapatnya dan memberikan informasi yang terkait

dengan persangkaannya.

r) Negara-negara pihak wajib mengupayakan untuk mengadakan

perjanjian atau pengaturan bilateral dan multilateral untuk

melaksanakan atau meningkatkan efektivitas ekstradisi.

2. Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) (Konvensi

UNCAC 2003 Art. 46)

MLA ini sangat dianjurkan dalam konvensi United Nations Convention

Against Cooruption (UNCAC) 2003. Negara penandatangan dianjurkan untuk

memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna

memberantas korupsi. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya

meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga

pelaksanaan putusan pengadilan. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral

atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau

atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Objek MLA,

antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan,

dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan

76

permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan,

dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang

bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta

bantuan MLA.

Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah

Pidana, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama

MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan

pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;

mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu

penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan

penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda

berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan,

membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin

diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan

tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin

diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan

tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut

mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang;

penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan

orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2006 menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan

77

dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan

asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan

(requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah

kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral

mengenai MLA. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara

yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA

dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam

perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut, legislasi Negara Diminta

biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima,

mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama

dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya

terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa

sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat

mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case

basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap kerjasama yang

berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah

serta lebih mudah diterapkan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak

seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di

bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi

tersebut tidak memiliki kewajiban internasional untuk membantu negara asing.

Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain

yang memberlakukan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus, Negara Diminta

akan bekerjasama berdasarkan suatu treaty hanya jika Negara Peminta

78

menyediakan semacam undertaking of reciprocity.66 Adapun Indonesia memiliki

perjanjian bantuan timbal-balik dengan negara-negara sebagai berikut:67

1. Australia, 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun

1999;

2. China, 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006;

3. Korea Selatan, 30 Maret 2002 (masih dalam proses ratifikasi);

4. Hong Kong SAR, 3 April 2008 (masih dalam proses ratifikasi);

5. India, 25 Januari 2011 (masih dalam proses ratifikasi).

Tabel 3. Perjanjian-Perjanjian MLA Indonesia dengan Beberapa

Negara68

No Negara Pihak Nama Perjanjian

Tahun RatifikasiPenandatangan

an

1. Indonesia - Australia

Treaty Between the Republic of Indonesia and

1995 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999Australia on

Mutual Assistance in Criminal

Matters

2. Indonesia - RRC

Treaty Between the Republic of Indonesia and

2000 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006

The People's Republic of China on Mutual Legal

Assistance in Criminal Matters

66ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific. 2010.

67Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri, 2010.

68http://download.portalgaruda.org/article.php? article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, Ibid.

79

3 Indonesia - Korea Selatan

Treaty Between the Republic of Indonesia and

2002 Belum diratifikasiRepublic of Korea on Mutual

Assistance in CriminalMatters

4.

Indonesia - Brunei,

Kamboja,

Treaty on Mutual Legas Assistance

in Criminal

2004 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008

Laos, Malaysia, Filipina, Matters (ASEAN

MLA TREATY)Singapura,

dan Vietnam

5. Indonesia - Hongkong

Agreement Concerning

Mutual Legal Assistance in 2006 Belum diratifikasi

Criminal Matters between

Hongkong and Indonesia

Sumber: http://download.portalgaruda.org/articles.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA

Dalam lingkup ASEAN, mekanisme yang dapat dilakukan untuk

pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah

melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang

telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut

Negara Penandatangan dan tanggal berlaku:69

1) Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006;

2) Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Juni 2008;

69 Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri. 2010.,Ibid.

80

3) Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007;

4) Malaysia 29 November 2004 berlaku 1 Juni 2005;

5) Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005;

6) Vietnam 29 November 2004 berlaku 25 Oktober 2005.

Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal

Assistance in Criminal Matters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal

Kamboja, Filipina dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum

meratifikasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberlakukan

upaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan terkait pada legislasi

nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup berbagai jenis MLA yang biasa

dapat ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait

pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian,

maka MLA atas dasar hubungan baik berdasarkan asas resiprositas. Target

Pemerintah Indonesia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama

MLA adalah negara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana

korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang

menjadi pusat keuangan dunia, yakni Singapura, Swiss, RRT, Hong Kong,

Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab.

Untuk negara-negara non target, undang-undang MLA Indonesia

memungkinkan kerjasama tanpa adanya perjanjian tetapi cukup dengan

pernyataan akan bekerja sama secara resiprositas, maka bantuan akan dapat

diberikan. Selain itu, negara-negara juga dapat meminta bantuan Indonesia

81

melalui kerangka kerja sama MLA di bawah konvensi UNCAC 2003 dan United

Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC).

The United Nations Convention against Transnational Organized Crime

(UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas

dibandingkan konvensi UNCAC 2003. Indonesia sendiri sudah meratifikasi

konvensi UNTOC melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang

Pengesahan United Nations Covention Against Transnational Crime. Terkait

kerjasama internasional, konvensi UNTOC memiliki landasan hukum untuk

ekstradisi dan MLA terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur

di dalam konvensi. Sebagaimana konvensi UNCAC 2003, konvensi UNTOC

memiliki beberapa sifat yang sama, contohnya sifatnya yang bertindak sebagai

perjanjian di antara para pihak atau dengan menggunakan perjanjian bilateral yang

sudah ada. Memang konvensi UNTOC mengatur mengenai kriminalisasi korupsi

sebagai kejahatan transnasional dan confiscation of proceeds of crime, namun

pengaturan khusus mengenai asset recovery hanya terdapat di dalam konvensi

UNCAC 2003.70

Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Republik Indonesia, tentunya

harus melalui mekanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang.

Penyampaian permintaan MLA diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia RI kepada negara asing secara langsung (apabila telah ditentukan melalui

perjanjian bilateral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan

dari Kapolri atau Jaksa Agung RI atau Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

70ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, ibid.

82

(khusus tindak pidana korupsi). Hal ini tercantum di dalam Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2006.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham;

sebelumnya dinamakan Departemen Kehakiman) merupakan central authority

untuk kerjasama internasional dalam persoalan-persoalan kriminal. Fungsi

utamanya adalah untuk memproses incoming and outgoing requests. Berdasarkan

Pasal 46 ayat (13) konvensi UNCAC 2003, setiap Negara Pihak wajb menunjuk

badan berwenang pusat yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan untuk

menerima permintaan-permintaan bantuan hukum timbal-balik.

Outgoing requests untuk ekstradisi dan MLA dibuat oleh Kemkumham

berdasarkan permintaan Kejaksaan Agung atau Kapolri. Dalam kasus-kasus

korupsi, MLA juga dapat dimintakan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Permintaan ekstradisi dan MLA dibuat oleh Direktorat Hukum

Internasional dari Kemkumham dan di-review melalui pertemuan-pertemuan

terkoordinasi antara badan-badan yang relevan seperti KPK, Kepolisian,

Kejaksaan Agung, Kemkumham dan Kementerian Luar Negeri. Permintaan MLA

sebagaimana pula dengan ekstradisi tetap dikirimkan melalui saluran diplomatik

(diplomatic channel).

Kemkumham juga memproses permintaan (incoming requests) untuk

ekstradisi dan MLA. Permintaan ekstradisi dapat dikirimkan ke Kemkumham

melalui saluran diplomatik, sementara permintaan MLA dapat dikirimkan

langsung. Dalam menerima suatu permintaan, Kemkumham memverifikasi bahwa

permintaannya sesuai dengan legislasi maupun treaty (jika ada) yang relevan.

83

Setelah itu, Kemkumham akan meneruskan permintaan tersebut untuk dieksekusi

oleh Kejaksaan Agung dan Kapolri. Direktorat Hukum Internasional

Kemkumham memonitor permintaan dengan berkomunikasi dengan Kepolisian

atau Kejaksaan Agung. Semua permintaan yang datang dijaga kerahasiaannya.

Terkait pengembalian aset hasil tindak pidana di luar negeri, Pasal 57

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa Menkumham dapat

membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan

penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas:

1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan

berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau

2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia

berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing

Perbedaan sistem hukum sering menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk

memenuhi syarat-syarat formal yang diminta oleh negara/yurisdiksi yang

bersangkutan. Kelambanan proses hukum terhadap kejahatan di Indonesia sebagai

akibat kompleksitas persoalan pembuktian serta relatif lemahnya koordinasi

internal antar instansi penegak hukum terkait di Indonesia.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2006, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk

mengajukan permintaan Bantuan kepada Negara Diminta untuk menindaklanjuti

putusan pengadilan yang bersangkutan di Negara Diminta tersebut.71

71Diakses dari, http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Mei-gustus%202011_46_56.PDF, diakses tanggal 6 Mei 2015.

84

Dalam praktek Indonesia, amar Putusan Pengadilan tidak menyebutkan

aset pelaku di luar negeri yang perlu dirampas, sehingga kondisi ini mempersulit

upaya perampasan terhadap barang sitaan, pidana denda, atau pembayaran uang

pengganti.

Contoh kasus adalah upaya perampasan aset kasus korupsi ECW Neloe

(Bank Mandiri) senilai kurang lebih USD$ 5,5 juta. MLA untuk kasus ini pertama

kali diajukan kepada Pemerintah Swiss tahun 2008 untuk kepentingan

pelaksanaan eksekusi aset atas putusan perkara korupsi yang telah in kracht.

Namun, MLA tersebut tidak dapat ditindak lanjuti mengingat putusan korupsi di

Indonesia tidak mengkaitkan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan aset di

Swiss dan amar putusan tidak mencantumkan adanya perampasan aset di Swiss.

Untuk itu, perlu dilakukan penyidikan baru dengan sangkaan tindak

pidana pencucian uang. Keterbatasan kemampuan teknologi juga menjadi

penghalang, padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para

pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dibidang perbankan karena

transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal.

Persoalan lain yang dihadapi adalah terkait Central Authority sebagai

salah satu otoritas penting dalam rangka upaya pengembalian harta hasil korupsi

yaitu dalam menentukan lembaga yang dipandang tepat untuk melakukan

permohonan atau pengembalian hasil korupsi kepada Negara Diminta atau

sebaliknya.

Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai central

authority untuk pelaksanaan meminta atau memfasilitasi sebagai Negara Diminta

85

bagi negara lain. Berbeda dengan beberapa negara yang central of authority-nya

berada pada Department of Justice yang membawahi secara langsung proses

penyidikan ataupun penuntutan, Kemkumham lebih berperan sebagai lembaga

yang memiliki otoritas administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung

untuk melakukan penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan.72

Selain itu, Kemkumham hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan

aparat penegak hukum di luar negeri. Sebagai contoh, Kemkumham tidak

menyelenggarakan pertemuanpertemuan secara reguler dengan counterpart asing

terkait mekanisme kerjasama. Mereka juga kurang berkoordinasi dengan negara

lain dalam menyediakan MLA atau ekstradisi dalam kasus-kasus korupsi. Situs

internet Kemkumham juga hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia dan tidak

memberikan informasi apapun terkait kerjasama internasional.

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

saling memberikan sebesar mungkin bantuan hukum timbal-balik bagi

penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan berkaitan dengan kejahatan

menurut Konvensi ini.73

Bantuan hukum timbal-balik wajib diberikan sebesar-besarnya

berdasarkan undang-undang, traktat, perjanjian dan pengaturan Negara Pihak

yang diminta bagi penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan yang berkaitan

72Yenti Garnasih. Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, 2010), hal. 629.

73 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.

86

dengan kejahatan yang memungkinan pertanggungjawaban badan hukum sesuai

dengan ketentuan pasal 26 Konvensi ini di Negara Pihak yang meminta.

Bantuan hukum timbal-balik yang akan diberikan sesuai dengan pasal ini

dapat diminta untuk tujuan-tujuan berikut:

a) Mengambil bukti atau pernyataan dari orang;

b) Menyampaikan dokumen pengadilan;

c) Melakukan penyelidikan dan penyitaan serta pembekuan;

d) Memeriksa barang dan tempat;

e) Memberikan informasi, barang bukti dan penilaian ahli;

f) Memberikan dokumen asli atau salinan resminya dan catatan yang

relevan, termasuk catatan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan

atau usaha;

g) Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau

hal lain untuk tujuan pembuktian;

h) Memfasilitasi kehadiran orang secara sukarela di Negara Pihak yang

meminta;

i) Bantuan lain yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara

Pihak yang diminta;

j) Mengidentifikasi, membekukan dan melacak hasil kejahatan sesuai

dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini;

k) Mengembalikan aset, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V

Konvensi ini.

87

Tanpa mengurangi hukum nasional, pejabat berwenang suatu negara

pihak dapat, tanpa permintaan lebih dahulu, menyampaikan informasi yang

berkaitan dengan masalah-masalah pidana kepada pejabat berwenang di Negara

Pihak lain yang meyakini bahwa informasi itu dapat membantu untuk melakukan

atau menuntaskan penyelidikan dan proses pidana atau dapat menghasilkan

permintaan yang dirumuskan oleh negara pihak lain itu sesuai dengan Konvensi

ini.

Penyampaian informasi berdasarkan ketentuan ayat 4 tidak boleh

mengurangi penyelidikan dan proses pidana di negara dari pejabat berwenang

yang memberikan informasi. Pejabat berwenang yang menerima informasi wajib

mematuhi permintaan agar informasi itu dirahasiakan, meski untuk sementara

waktu, atau digunakan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Namun

demikian, hal ini tidak menghalangi Negara Pihak yang menerima untuk di dalam

proses hukumnya mengungkapkan informasi yang membebaskan kepada seorang

terdakwa. Dalam hal demikian, negara pihak yang menerima wajib, sebelum

informasi diungkapkan, memberitahu kepada negara pihak yang menyampaikan

dan, jika diminta, berkonsultasi dengan Negara Pihak yang menyampaikan. Jika

dalam keadaan luar biasa pemberitahuan di muka itu tidak memungkinkan, negara

pihak yang menerima wajib dengan segera menginformasikan kepada negara

pihak yang menyampaikan mengenai pengungkapan itu.

Ketentuan pasal ini tidak mempengaruhi kewajiban dalam traktat

bilateral atau multilateral yang mengatur atau akan mengatur, seluruhnya atau

sebagiannya, mengenai bantuan hukum timbal balik.

88

Ketentuan ayat 9 sampai ayat 29 berlaku bagi permintaan yang diajukan

berdasarkan pasal ini jika negara-negara pihak yang bersangkutan tidak terikat

oleh traktat mengenai bantuan hukum timbal balik. Jika negara-negara pihak

terikat oleh traktat sedemikian, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dalam

traktat itu berlaku kecuali negara pihak setuju untuk menerapkan ketentuan ayat 9

sampai ayat 29 sebagai penggantinya Negara-negara pihak sangat didorong untuk

menerapkan ketentuan ayat-ayat tersebut jika mereka memfasilitasi kerjasama.

Negara pihak tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum

timbal-balik berdasarkan pasal ini dengan alasan kerahasiaan bank.

Dalam menanggapi permintaan bantuan menurut pasal ini jika tidak ada

kriminalitas ganda, negara pihak yang diminta wajib mempertimbangkan tujuan

Konvensi ini sebagaimana dimaksud dalam pasal. Negara pihak dapat menolak

memberikan bantuan menurut pasal ini dengan alasan tidak ada kriminalitas

ganda. Namun demikian, negara pihak yang diminta wajib, sepanjang sesuai

dengan konsep dasar sistem hukumnya, memberikan bantuan yang tidak

melibatkan tindakan yang bersifat paksaan. Bantuan tersebut dapat ditolak jika

permintaan melibatkan masalah-masalah yang bersifat de minimis atau masalah-

masalah yang pemberian kerjasama atau bantuannya diatur menurut ketentuan lain

dalam Konvensi ini. Negara pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil

tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan pemberian bantuan menurut

pasal ini dengan lingkup yang lebih luas jika tidak ada kriminalitas ganda.

Seseorang yang sedang ditahan atau sedang menjalani hukuman di

wilayah suatu negara pihak tetapi dibutuhkan kehadirannya di negara pihak lain

89

untuk tujuan identifikasi, kesaksian atau memberikan bantuan untuk memperoleh

bukti bagi penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang berkaitan dengan

kejahatan menurut konvensi ini dapat dipindahkan jika syarat-syarat berikut

dipenuhi:

a) Orang tersebut secara sukarela memberikan persetujuannya;

b) Pejabat berwenang kedua negara pihak setuju, dengan syarat-syarat

yang dianggap layak oleh negara-negara pihak itu.

Untuk tujuan ayat 10:

a) Negara pihak yang meminta pemindahan memiliki kewenangan dan

kewajiban untuk menahan orang yang dipindahkan, kecuali diminta

lain atau diberi kewenangan lain oleh negara pihak yang

memindahkan;

b) Negara pihak yang meminta pemindahan wajib dengan segera

melaksanakan kewajiban mengembalikan orang itu ke dalam tahanan

negara pihak yang memindahkan sebagaimana disepakati sebelumnya,

atau sebagaimana disepakati lain, oleh pejabat berwenang kedua

negara pihak;

c) Negara pihak yang meminta pemindahan tidak boleh mewajibkan

negara pihak yang memindahkan untuk melakukan proses ekstradisi

bagi pengembalian orang itu;

d) Orang yang dipindahkan akan menerima pengurangan hukuman yang

dijalani di negara yang memindahkannya untuk waktu yang

90

dijalaninya selama ia ditahan di negara Pihak yang meminta

pemindahan;

e) Jika tidak disetujui oleh negara pihak yang memindahkan orang

menurut ketentuan ayat 10 dan ayat 11, maka orang itu, apa pun

kewarganegaraannya, tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau

dikenakan pembatasan apapun terhadap kebebasan pribadinya dalam

wilayah negara yang meminta pemindahan berkenaan dengan

perbuatan, kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya

dari wilayah negara yang memindahkannya.

Negara pihak wajib menunjuk badan pusat yang bertanggungjawab dan

berwenang menerima permintaan bantuan hukum timbal-balik dan entah

melaksanakannya entah meneruskannya kepada badan berwenang untuk

dilaksanakan. Dalam hal negara pihak mempunyai daerah atau wilayah khusus

dengan sistem bantuan hukum timbal-balik yang berbeda, negara pihak dapat

menunjuk badan pusat tersendiri yang memiliki fungsi yang sama untuk daerah

atau wilayah itu. Badan pusat wajib mengusahakan pelaksanaan dan penyampaian

secara cepat dan benar setiap permintaan yang diterima. Dalam hal badan pusat

meneruskan permintaan itu kepada pejabat yang berwenang untuk dilaksanakan,

badan pusat itu wajib mendorong agar permintaan itu dilaksanakan secara cepat

dan benar oleh badan berwenang. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa

wajib diberitahu mengenai badan pusat yang ditunjuk untuk tujuan ini pada saat

Negara Pihak menyerahkan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan

atas atau aksesi pada Konvensi ini. Permintaan bantuan hukum timbal balik dan

91

komunikasi yang berkaitan dengan hal itu wajib disampaikan kepada badan pusat

yang ditunjuk oleh negara pihak. Kewajiban ini tidak mengurangi hak negara

pihak untuk meminta agar permintaan dan komunikasi itu ditujukan kepadanya

melalui saluran diplomatik dan, untuk situasi yang mendesak, yang disetujui oleh

negara-negara pihak, melalui Organisasi Polisi Kriminal Internasional, jika

mungkin.

Permintaan harus diajukan secara tertulis atau, jika memungkinkan,

dengan cara yang dapat menghasilkan catatan tertulis, dalam bahasa yang dapat

diterima oleh negara pihak yang diminta, dengan syarat-syarat yang membolehkan

negara pihak itu untuk memeriksa otensititas. Sekretaris Jenderal Perserikatan

Bangsa-Bangsa wajib diberitahu mengenai bahasa atau bahasa-bahasa yang dapat

diterima oleh setiap negara pihak pada saat menyerahkan instrumen pengesahan,

penerimaan atau persetujuan atas atau aksesi pada Konvensi ini. Untuk situasi

yang mendesak dan jika disetujui oleh negara-negara pihak, permintaan dapat

diajukan secara lisan tetapi harus selanjutnya dikonfirmasikan secara tertulis.

Permintaan bantuan hukum timbal-balik harus memuat :

a) Identitas pejabat yang mengajukan permintaan;

b) Masalah pokok dan sifat penyidikan, penuntutan atau proses

pengadilan yang berkaitan dengan permintaan tersebut serta nama dan

fungsi dari pejabat yang melakukan penyidikan, penuntutan atau

proses pengadilan;

c) Ringkasan fakta yang relevan, kecuali yang berkaitan dengan

permintaan untuk tujuan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan;

92

d) Uraian tentang bantuan yang diminta dan rincian tentang prosedur

tertentu yang oleh Negara Pihak yang meminta dikehendaki untuk

diikuti;

e) Sepanjang memungkinkan, identitas, lokasi, dan kewarganegaraan

orang yang bersangkutan; dan

f) Tujuan dari permintaan alat bukti, informasi atau tindakan.74

Negara pihak yang diminta dapat meminta informasi tambahan jika

dirasa perlu untuk melaksanakan permintaan itu sesuai dengan hukum nasionalnya

atau jika hal itu dapat memudahkan pelaksanaannya.

Permintaan wajib dilaksanakan sesuai dengan hukum nasional negara

pihak yang diminta dan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional

negara pihak yang diminta dan jika memungkinkan, sesuai dengan prosedur yang

disebut dalam permintaan itu.

Sepanjang memungkinkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar

hukum nasional, jika seseorang berada di wilayah suatu negara pihak dan harus

didengar sebagai saksi atau ahli oleh pejabat pengadilan negara pihak lain, maka

negara pihak yang pertama dapat, atas permintaan pihak lainnya, mengizinkan

sidang dilakukan dengan video conference jika tidak mungkin atau tidak

dikehendaki bahwa orang yang bersangkutan hadir langsung di wilayah Negara

74 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.

93

Pihak yang meminta. Negara-negara pihak dapat menyepakati bahwa sidang itu

dilaksanakan oleh pejabat pengadilan negara pihak yang meminta dan dihadiri

oleh pejabat pengadilan negara pihak yang diminta.

Negara pihak yang meminta tidak boleh menyampaikan atau

menggunakan informasi atau bukti yang diberikan oleh negara pihak yang diminta

bagi penyelidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang lain daripada yang

dinyatakan dalam permintaan tanpa persetujuan lebih dahulu negara pihak yang

diminta. Ketentuan ayat ini tidak menghalangi negara pihak yang meminta untuk

mengungkapkan kepada terdakwa di dalam proses hukumnya informasi atau bukti

yang bersifat membebaskan. Dalam hal terakhir ini, negara pihak yang meminta

wajib memberitahukan kepada negara pihak yang diminta sebelum pengungkapan

dilakukan dan, jika diminta, berkonsultasi dengan negara pihak yang diminta Jika

dalam keadaan tertentu pemberitahuan lebih dulu itu tidak mungkin dilakukan,

Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera memberitahukan pengungkapan

itu kepada negara pihak yang diminta.

Negara pihak yang meminta dapat mempersyaratkan negara pihak yang

diminta agar menjaga kerahasiaan fakta dan isi permintaan, kecuali sepanjang

yang diperlukan untuk melaksanakan permintaan itu. Jika negara pihak yang

diminta tidak dapat memenuhi persyaratan kerahasiaan, negara pihak itu wajib

dengan segera memberitahukan hal itu kepada negara pihak yang meminta.

Bantuan hukum timbal-balik dapat ditolak :

a) Jika permintaan itu diajukan tidak sesuai dengan ketentuan pasal ini;

94

b) Jika negara pihak yang diminta berpendapat bahwa pelaksanaan

permintaan itu akan merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban

umum atau kepentingan mendasar lainnya;

c) Jika pejabat negara pihak yang diminta dilarang oleh hukum

nasionalnya untuk melakukan tindakan yang diminta dalam kaitannya

dengan kejahatan yang sama, seandainya bagi kejahatan itu dilakukan

penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan berdasarkan

yurisdiksinya sendiri;

d) Jika hal itu akan bertentangan dengan sistem hukum Negara Pihak

yang diminta dalam kaitannya dengan bantuan hukum timbal-balik

bagi permintaan yang akan dikabulkan;

e) Negara Pihak tidak boleh menolak permintaan bantuan hukum timbal

balik semata-mata karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap

melibatkan juga masalah-masalah perpajakan. 75

Alasan-alasan harus diberikan untuk penolakan bantuan hukum timbal

balik.

Negara Pihak yang diminta wajib sesegera mungkin melaksanakan

permintaan bantuan hukum timbal balik dan wajib sedapat mungkin memenuhi

tenggat waktu yang disarankan oleh Negara Pihak yang meminta dan alasan-

alasan untuk itu wajib diberikan, lebih disukai jika dicantumkan di dalam

75 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.

95

permintaan itu. Negara Pihak yang meminta dapat meminta informasi tentang

status dan perkembangan tindakan yang diambil oleh Negara Pihak yang diminta

untuk memenuhi permintaannya. Negara Pihak yang diminta wajib menanggapi

permintaan yang wajar dari Negara Pihak yang meminta mengenai status dan

perkembangan penanganan permintaan itu. Negara Pihak yang meminta wajib

dengan segera menginformasikan kepada Negara Pihak yang diminta jika bantuan

yang diminta tidak lagi diperlukan

Bantuan hukum timbal-balik dapat ditunda oleh Negara Pihak yang

diminta dengan alasan bahwa hal itu mencampuri penyidikan, penuntutan atau

proses yang sedang berjalan.

Sebelum menolak suatu permintaan menurut berdasarkan ketentuan ayat

21 atau menunda pelaksanaannya berdasarkan ketentuan ayat 25, Negara Pihak

yang diminta wajib berkonsultasi dengan Negara Pihak yang meminta untuk

mempertimbangkan apakah bantuan dapat diberikan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan dan syarat-syarat yang dianggapnya perlu. Jika Negara Pihak yang

meminta menerima bantuan sesuai dengan syarat-syarat itu, ia wajib mematuhi

syarat-syarat tersebut.

Tanpa mengurangi penerapan ketentuan ayat 12, seorang saksi, ahli atau

orang lain yang, atas permintaan Negara Pihak yang meminta, setuju untuk

memberikan bukti dalam suatu proses hukum atau untuk membantu suatu

penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di dalam wilayah Negara Pihak

yang meminta tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau dikenakan pembatasan

lain atas kebebasan pribadinya di wilayah itu berkenaan dengan perbuatan,

96

kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya dari wilayah Negara

Pihak yang diminta. Jaminan keamanan itu berakhir ketika saksi, ahli atau orang

lain itu, setelah jangka waktu limabelas hari berturut-turut atau jangka waktu lain

yang disepakati Negara-Negara Pihak sejak tanggal ketika kepadanya secara resmi

diberitahukan bahwa kehadirannya tidak lagi diperlukan oleh pejabat pengadilan,

diberikan kesempatan pergi, akan tetapi ia tetap tinggal secara sukarela di wilayah

Negara Pihak yang meminta, atau, setelah meninggalkan negara itu, kembali lagi

atas kemauannya sendiri.

Biaya-biaya yang biasa untuk memenuhi permintaan wajib dibayar oleh

Negara Pihak yang meminta, kecuali disepakati lain oleh Negara-Negara Pihak

yang bersangkutan. Jika diperlukan atau akan diperlukan pengeluaran-

pengeluaran yang besar atau luar biasa untuk memenuhi permintaan itu, Negara-

Negara Pihak wajib berkonsultasi untuk menentukan syarat-syarat bagi

pemenuhan permintaan, serta bagaimana biaya-biaya itu akan ditanggung Negara

Pihak yang diminta:

a) Wajib memberikan kepada Negara Pihak yang meminta, salinan dari

catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya

yang menurut hukum nasionalnya terbuka untuk masyarakat umum.

b) Dapat, atas kebijakannya sendiri, memberikan kepada Negara Pihak

yang meminta, seluruh, sebagian atau berdasarkan syarat yang

dianggapnya perlu, salinan dari catatan, dokumen atau informasi

97

kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya

tidak terbuka untuk masyarakat umum.76

Negara Pihak wajib mempertimbangkan, sepanjang perlu, kemungkinan

untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral untuk

melaksanakan maksud, menindaklanjuti atau meningkatkan ketentuan pasal ini.

3. Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of

Sentenced Persons) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 45)

Merupakan perjanjian Transfer of Sentenced Person yang meliputi

pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya

untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya.

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), dapat

mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau

multilateral mengenai pemindahan ke wilayahnya orang yang dihukum dengan

pidana penjara atau dengan bentuk lain perampasan kebebasan karena kejahatan

menurut Konvensi ini agar orang itu dapat menyelesaikan hukumannya di sana.77

4. Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal

Proceding) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 47)

76 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.

77https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, ibid.

98

Perjanjian Transfer of Criminal Proceding meliputi pemindahan

pemeriksaan orang yang menjadi tersangka tindakan kriminal yang sedang

menjalani pemeriksaan oleh suatu negara untuk dipindahkan ke negara asalnya.

5. Investigasi Bersama (Joint investigation ) (Konvensi UNCAC 2003 Art.

49)

Investigasi bersama merupakan suatu bentuk kesepakatan antara dua

negara atau lebih dalam hal pengusutan suatu tindakan kriminal.

99

BAB III

HUBUNGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST

CORRUPTION (UNCAC) 2003 DENGAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A. Ratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 Oleh Indonesia dan Negara Lainnya

Seiring perkembangan globalisasi, kasus-kasus korupsi cenderung melintasi

batas-batas negara baik dalam hal aset maupun barang bukti. Sebab itu dibutuhkan

kerjasama yang erat dalam penanganannya khususnya dalam hal pengembalian

aset hasil korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berhenti pada

penangkapan dan penahanan pelakunya. Tetapi harus terfokus pada upaya

pengembalian aset-aset yang telah dicurinya. Dengan diratifikasinya konvensi

UNCAC 2003 oleh Indonesia, semakin lengkaplah peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip

demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas,

serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan

tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan

sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang

bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional

maupun tingkat internasional, maka dalam melaksanakan pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan

100

dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerjasama internasional,

termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi78.

1 Proses Ratifikasi Konvensi UNCAC 2003 oleh Pemerintah Indonesia

Pada tahap penandatanganan konvensi United Nations Convention

Againts Corruption (UNCAC) 2003 pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember

2003 di Merida Meksiko, Menteri Kehakiman dan HAM RI yang diberikan

mandat (full powers) oleh presiden untuk menandatangani konvensi UNCAC

2003 berhalangan datang. Sehingga Indonesia belum menandatangani konvensi

UNCAC 2003 pada momentum yang tepat. Konvensi UNCAC 2003 seharusnya

ditandatangani oleh presiden bukan level menteri, sehingga memberikan kesan

bahwa top leader Indonesia mendukung penanganan korupsi secara global dan

memperlihatkan keseriusan pemberantasan korupsi di tingkat nasional.

Momentum yang baik ini tidak dimanfaatkan oleh Presiden Megawati pada waktu

itu dan lebih memilih untuk diwakili oleh pejabat setingkat menteri, bukan wakil

presidennya. Berbeda halnya dengan Austria, Hungaria, Yordania, Nigeria, Peru,

dan Filipina, yang mengutus wakil presidennya masing-masing. Tidak ada

penjelasan resmi yang disampaikan mengenai ketidakhadiran Menteri Kehakiman

dan HAM RI di Merida, Meksiko, yang pada waktu itu dijabat oleh Yusril Ihzal

Mahendra. Baru pada tanggal 18 Desember 2003, Menteri Yusril telah

membubuhkan tanda tangannya di markas besar PBB di New York.79

78Diakses dari http://jurnalrepository.unej.ac.id.pdf, diakses tanggall 18 Maret 201579Penandatanganan di New York berdasarkan Pasal 67 UNCAC, Diakses dari

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=167205, diakses tanggal 23 Maret 2015

101

Setelah itu Indonesia meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 18 April

2006 yang disahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption). Dengan

ratifikasi tersebut, konvensi UNCAC 2003 mempunyai kekuatan pemberlakuan

(Entry into Force) bagi Indonesia sebagai negara peserta ratifikasi Konvesi

tersebut. Ratifikasi konvensi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia juga

mempunyai implikasi timbulnya kewajiban yang mengikat bagi bangsa Indonesia

untuk melaksanakan isi dari konvensi UNCAC 2003.

2 UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC80

Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus

yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali,81 akan

tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara lain

karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil

tindak pidana korupsi. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember

2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh

Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31

80 Mahrus Ali, Asas,Teori,dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal.32

81Indonesia mempunyai lima Undang-Undang yang berkaitan dengan korupsi yaitu: UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003; UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 24 Maret 2015

102

Oktober 2003. Indonesia lewat rapat paripurna DPR, 20 Maret 2006 mengesahkan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003.82

Dengan demikian, peraturan mengenai tindak pidana korupsi di

Indonesia semakin lengkap. Indonesia bisa menggunakan konvensi UNCAC 2003

untuk menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia terutama masalah korupsi

yang melintas batas negara (cross border) Sesuai dengan ketentuan Konvensi

UNCAC 2003, Indonesia juga menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap

Pasal 66 ayat (2) Konvensi UNCAC 2003 yang mengatur upaya penyelesaian

sengketa, seandainya terjadi, mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi

melalui Mahkamah Internasional.83

Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak

mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction) dari

Mahkamah Internasional. Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan

ketentuan internasional yang berlaku. Diajukannya Reservation (pensyaratan)

terhadap Pasal 66 ayat 2 adalah berdasarkan pada prinsip untuk tidak menerima

kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional kecuali

dengan kesepakatan Para Pihak. Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak

terikat ketentuan Pasal 66 ayat (2) Konvensi UNCAC 2003 dan berpendirian

bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi

Konvensi UNCAC 2003, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana

diatur dalam ayat (2) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional

82Diakses dari, http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24221&Itemid=56, diakses tanggal 24 Maret 2015

83Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 24 Maret 2015

103

hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. Yang disahkan dalam

Undang-Undang ini adalah United Nations Convention Against Corruption, 2003

(Konvensi PBB anti Korupsi, 2003). Untuk kepentingan pemasyarakatannya,

dipergunakan salinan naskah asli dalam bahasa Inggris dan terjemahan dalam

bahasa Indonesia. Apabila terjadi perbedaan pengertian terhadap terjemahan

dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa

Inggris.

(1)Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 merupakan

pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 200384

Terdapat dua alasan penting mengapa konvensi UNCAC 2003 perlu diratifikasi;

pertama, tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi

merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan

perekonomian sehingga penting adanya kerjasama internasional untuk pencegahan

dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil

tindak pidana korupsi; dan kedua, kerjasama internasional dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas,

dan manajemen pemerintahan yang baik.85

Konvensi UNCAC 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh

suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang

84Konfensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, berisi 8 (delapan) yaitu ketentuan umum; tindakan-tindakan pencegahan; kriminalisasi dan penegakan hukum; kerjasama internasional; pengembalian aset; bantuan teknis; pelatihan dan pengumpulan, peraturan dan analisis informasi; mekanisme untuk pelaksanaan; dan penutup.

85Konsideran huruf b dan huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

104

serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-

lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta

mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi

ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat

dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan

kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus

jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber daya

Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang

berkelanjutan Negara tersebut.86

Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan

fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi,

yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya

sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan

multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara

efektif.

Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah bahwa perolehan

kekayaan pribadi secara tidak sah dapat secara khusus merusak lembaga-lembaga

demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan penegakan hukum, dan salah satu cara

untuk mencegah, mendeteksi, dan menghambatnya adalah dengan cara yang lebih

efektif transfer internasional aset yang diperoleh secara tidak sah dan memperkuat

kerjasama internasional dalam pengembalian aset.

Tujuan dibentuknya konvensi UNCAC 2003 antara lain: (a)

meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas 86Konsideran United Nations Coonvention Against Corruption (UNCAC), 2003.

105

korupsi secara lebih efisien dan efektif (to promote and strenghten measures to

prevent and combat corruption more efficientlyand effectively); (b) meningkatkan,

memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam

pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset (to

promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance

in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery); dan

(c) meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan yang baik urusan-

urusan publik dan kekayaan publik (to promote integrity, accountability, and

proper management of public affairs and public property).87

(2)Istilah-Istilah Penting

Terdapat sembilan istilah penting yang dijadikan acuan penegakan

hukum dalam konvensi UNCAC 2003. Pertama, pejabat publik yaitu meliputi;88

(a) setiap orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif, atau

yudikatif di suatu Negara Pihak, baik diangkat atau dipilih, baik tetap atau untuk

sementara, baik digaji atau tidak digaji, tanpa memperhatikan senioritas orang itu;

(b) setiap orang yang melaksanakan fungsi publik, atau memberikan layanan

umum, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan

sebagaimana berlaku di bidang hukum yang sesuai di Negara Pihak tersebut; dan

(c) setiap orang yang dinyatakan sebagai pejabat dapat juga berarti setiap orang

yang melaksanakan fungsi publik atau menyediakan layanan umum sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana berlaku

di bidang hukum yang sesuai di Negara Pihak tersebut.

87Pasal 1 Bab I United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 200388Pasal 2 Bab I United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003

106

Kedua, pejabat pulik asing yaitu setiap orang yang memegang jabatan

legislatif, eksekutif, administratif, atau yudikatif di suatu Negara asing, baik

diangkat atau dipilih, dan setiap orang yang melaksanakan fungsi publik untuk

negara asing, termasuk untuk instansi publik atau perusahaan publik. Ketiga,

pejabat organisasi internasional publik yaitu setiap pegawai sipil internasional

atau setiap orang yang diberi kewenangan oleh organisasi internasional tersebut

untuk bertindak atas nama organisasi tersebut.

Keempat, kekayaan yaitu setiap jenis aset, baik bertubuh atau tak

bertubuh, bergerak atau tak bergerak, berwujud atau tak berwujud, dan dokumen

atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset

tersebut. Kelima, hasil kejahatan yaitu setiap kekayaan yang berasal atau

diperoleh, langsung atau tidak langsung, dari pelaksanaan kejahatan. Keenam,

pembekuan atau penyitaan yang berarti pelarangan sementara transfer, konversi,

pelepasan atau pemindahan kekayaan, atau penempatan sementara kekayaan

dalam pengawasan atau pengendalian berdasarkan perintah pengadilan atau

pejabat berwenang lainnya.

Ketujuh, perampasan yang meliputi; pembayaran denda, jika ada,

adalah perampasan kekayaan secara tetap berdasarkan perintah pengadilan atau

pejabat berwenang lainnya, Kedelpan, kejahatan asal yaitu setiap kejahatan yang

mengakibatkan bahwa hasil-hasil yang diperoleh dapat menjadi subjek dari

kejahatan. Kesembilan, penyerahan terkendali yaitu cara untuk memungkinkan

kiriman yang tak sah atau mencurigakan keluar dari, melalui atau masuk ke dalam

wilayah satu atau lebih Negara, dengan sepengetahuan dan di bawah pengawasan

107

pejabat berwenangnya, dalam rangka penyidikan kejahatan dan identifikasi orang-

orang yang terlibat dalam pelaksanaan kejahatan.

(3)Pembekuan, Penyitaan dan Perampasan Aset

Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset diatur dalam ketentuan

Pasal 31. Terdapat sepuluh rambu-rambu atau panduan dalam proses pembekuan,

penyitaan, dan perampasan aset bagi Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC

2003, yaitu:

1. Wajib mengambil, sepanjang dimungkinkan dalam sistem hukum

nasionalnya, tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan

perampasan:

a. hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan menurut konvensi ini

atau kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan itu.

b. kekayaan, peralatan atau sarana lain yang digunakan atau

dimaksudkan untuk digunakan untuk kejahatan menurut

konvensi ini.

2. Wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk

mengidentifikasi, melacak, membekukan atau menyita setiap

barang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk tujuan

perampasan;

3. Wajib mengambil, sesuai dengan hukum nasionalnya, tindakan-

tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk mengatur

pengadministrasian oleh pejabat yang berwenang atas kekayaan

yang dibekukan, disita atau dirampas;

108

4. Jika hasil kejahatan telah diubah dan dikonversi, sebagiannya atau

seluruhnya, ke dalam kekayaan lain, maka sebagai gantinya,

kekayaan tersebut wajib dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal ini;

5. Jika hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan yang

diperoleh dari sumber-sumber yang sah, maka dengan tidak

mengurangi kewenangan yang berkaitan dengan pembekuan atau

penyitaan, kekayaan tersebut wajib dikenakan perampasan sampai

nilai perkiraan dari hasil kejahatan yang dicampur tersebut;

6. Pendapatan atau manfaat lain yang berasal dari kejahatan, dari

kekayaan yang berasal dari perubahan atau konversi hasil kejahatan

atau dari kekayaan yang telah bercampur dengan hasil kejahatan,

wajib juga dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal ini, dengan cara dan lingkup yang sama seperti hasil

kejahatan;

7. Wajib memberikan kewenangan kepada pengadilan atau badan

berwenangnya yang lain untuk memerintahkan agar dokumen bank,

keuangan atau perusahaan diberikan atau disita. Negara Pihak tidak

boleh menolak melaksanakan ketentuan Pasal ini dengan alasan

kerahasiaan bank;

8. Dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan pelaku

untuk menunjukkan kesyahan usul-usul dari apa yang diduga

sebagai hasil kejahatan atau kekayaan lain yang dikenakan

109

perampasan, sepanjang kewajiban tersebut sesuai dengan prinsip-

prinsip dasar hukum nasionalnya dan dengan proses pengadilan dan

proses lainnya;

9. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset tidak boleh merugikan

hak pihak ketiga yang beritikad baik;

10.Ketentuan tentang pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset

tidak mempengaruhi prinsip bahwa tindakan-tindakan tersebut

diartikan dan dilaksanakan sesuai dengan dan tunduk pada

ketentuan-ketentuan hukum nasional.

(4)Perlindungan Saksi, Ahli, dan Korban

Ketentuan mengenai perlindungan saksi, ahli, dan korban diatur dalam

Pasal 32. Perlindungan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang efektif

terhadap kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi saksi, ahli, dan korban

dan keluarganya, dengan tetap memperhatikan hak terdakwa termasuk haknya

atas proses hukum, meliputi, antara lain: (a) menetapkan tata cara perlindungan

fisik bagi orang dengan, sepanjang perlu dan layak, memindahkannya ke tempat

lain dan, sepanjang perlu, tidak mengizinkan pengungkapan atau membatasi

pengungkapan informasi mengenai identitas dan keberadaan orang tersebut; (b)

membuat atauran pembuktian yang memungkinkan saksi dan ahli memberikan

kesaksian dengan cara menjamin keselamatannya, seperti kesaksian yang

diberikan melalui teknologi komunikasi seperti video atau sarana lain yang sesuai.

Korban yang menjadi saksi dalam suatu persidangan dapat dipindahkan

dari suatu Negara ke Negara lain dengan terlebih dahulu mengadakan perjanjian

110

atau pengaturan mengenai hal itu, jika korban tersebut khawatir kesaksiannya di

persidangan akan membahayakan dirinya. Ketentuan demikian harus juga

memberikan hak kepada pelaku untuk menolak keinginan korban tersebut.

(5)Perlindungan Pelapor

Mengenai perlindungan pelapor dicantumkan dalam rumusan Pasal 33

yang berbunyi:

Each State Party shall consider incorporating into its domestic legal system appropriate measures to provide protectionagainst any unjustified treatment for any person who reports in good faith and on reasonable grounds to the competent authorities any facts offences established in accodance with this Convention.

Berdasarkan Pasal di atas diketahui bahwa setiap Negara yang

meratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

2003 wajib mempertimbangkan untuk memasukkan ke dalam sistem hukum

nasionalnya tindakan-tindakan yang perlu untuk memberikan perlindungan

terhadap perlakuan yang tidak adil bagi orang yang melaporkan dengan itikad

baik dan dengan alasan-alasan yang wajar kepada pihak yang berwenang fakta-

fakta mengenai kejahatan menurut Konvensi UNCAC 2003 ini.

B. Akibat Hukum dari Ratifikasi Konvensi United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia

Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian

111

internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Di Indonesia, pengesahan

perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem

campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang

atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengesahan/ratifikasi perjanjian

internasional dalam bentuk undang-undang diurusi oleh Direktorat Perjanjian

Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia. Sedangkan yang menangani pengesahan/ratifikasi dalam bentuk

keputusan presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang

apabila berkenaan dengan :

a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;

b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik

Indonesia;

c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e) Pembentukan kaidah hukum baru;

f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.89

Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional

mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk

89Undang-Undang Perjanjian Internasional, Undang-Undang No. 24 LN. No. 185 Tahun 2000, Pasal 10.

112

materi sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan

presiden.

Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya ada tiga peraturan yang

menjadi dasar yaitu : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Adapun mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dalam

bentuk undang-undang yang dibuat oleh Direktorat Perjanjian Ekonomi dan

Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yakni90 :

1. Pemrakarsa adalah salah satu dari lembaga negara, lembaga

pemerintah, kementerian dan non kementrian (pusat dan daerah).

Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa

perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan (sesuai dengan Pasal 9

dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000) dengan

undang-undang. Jika terdapat keragu-raguan tentang persyaratan ini

maka pemrakarsa harus mengkonsultasikannya dengan Direktorat

Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar

Negeri.

90Elmar Iwan Lubis, et.al., Pedoman Praktis Pembuatan, Pengesahan dan Penyimpanan Perjanjian Internasional Termasuk Penyiapan Full Powers dan Credentials, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 6-8.

113

2. Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada

Presiden melalui Menteri Luar Negeri dengan tembusan kepada

Menteri terkait. Permohonan izin prakakarsa tersebut disertai

penjelasan konsepsi pengaturan RUU yang meliputi : urgensi dan

tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran,

lingkup dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.

Menteri Luar Negeri kemudian membuat surat kepada Presiden yang

berisi pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tercantum dalam

Pasal 3 Perpres No. 68 Tahun 2005 dan melampirkan Certified True

Copy Perjanjian. Pertimbangan-pertimbangan sebagaimana

dimaksud adalah pertimbangan suatu kondisi dimana pemrakarsa

dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, yaitu : menetapkan Perpu

menjadi UU, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi,

mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam,

keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional

atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama badan legislasi DPR

RI dan Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Sekretaris Negara

menerima surat Menteri Luar Negeri dan kemudian meakukan

analisa meliputi substansi, prosedural dan kepentingan sektoral

terkait sebelum diteruskan ke Presiden. Jika Presiden setuju maka

Menteri Sekretaris Negara akan mengeluarkan Surat Persetujuan Izin

Prakarsa kepada Menteri Luar Negeri dengan tembusan ditujukan

114

kepada Wakil Presiden dan Menteri terkait. Apabila disetujui

Presiden, pemrakarsa akan membentuk Panitia Antar Kementerian.

3. Pemrakarsa dapat membentuk Panitia Antar Kementrian (PAK) yang

terdiri dari : Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Peraturan

Perundang-Undangan), Sekretariat Kabinet (Biro PUU II),

Kementerian Sekretariat Negara (Biro Hukum dan Administrasi

Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Luar Negeri (Ditjen

HPI dan unit satuan terkait), dan instansi terkait lainnya. (catatan :

Kepala Biro Hukum Pemrakarsa akan menjadi Sekretaris PAK)

4. a. Setelah pembentukan PAK, pemrakarsa mengadakan Rapat Antar

Kementerian (RAK) untuk koordinasi pembahasan RUU

Pengesahan, Naskah Akademik dan terjemahan perjanjian yang

berdasarkan salinan Naskah Resmi Perjanjian (Certified True

Copy/CTC). Apabila terdapat reservasi dan/atau deklarasi atas

perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan pernyataan

reservasi dan/atau deklarasi.

b. Dalam hal pembahasan RUU beserta lampirannya, pemrakarsa

dapat melaksanakan sosialisasi dan meminta masukan dari

masyarakat

Kemudian masukan dari masyarakat tersebut diteruskan ke PAK

untuk menjadi pertimbangan dalam RAK.

5. Setelah pembahasan dalam RAK selesai, pemrakarsa akan

mengajukan permohonan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan

115

atas konsepsi RUU Pengesahan kepada Kementerian Hukum dan

HAM. Setelah proses harmonisasi tersebut selesai, pemrakarsa

menyampaikan dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri,

Menteri Hukum dan HAM dan Menteri terkait untuk memperoleh

persetujuan dan paraf. Persetujuan dan paraf dimaksud, diberikan

selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah dokumen pengesahan

diterima.

6. a. Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas tidak

diperoleh, maka pemrakarsa wajib untuk melakukan koordinasi

ulang dengan Kementerian terkait. Apabila setelah koordinasi

tersebut masih belum diperoleh persetujuan dan paraf dimaksud,

maka pemrakarsa akan melapor secara tertulis kepada Presiden

untuk memperoleh keputusan. Jika presiden tidak memberikan

persetujuan terhadap RUU tersebut, maka proses pengesahan

dihentikan.

b. Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas telah

diperoleh, maka pemrakarsa melakukan perumusan ulang RUU guna

pengesahan.

7. Jika tidak ada masalah lagi, pemrakarsa mengajukan dokumen-

dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri (melalui

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) untuk

disampaikan kepada Presiden, sesuai Pasal 12 (3) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 jo Pasal 19 Perpres No. 68 Tahun 2005.

116

8. Dokumen-dokumen pengesahan sebagaimana dimaksud dalam butir

7 adalah 1 RUU Pengesahan, 1 salinan Naskah Resmi Perjanjian, 1

Naskah Akademik, 45 copy perjanjian, dan 45 copy naskah

terjemahan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Setelah Kementerian

Luar Negeri melakukan verifikasi atas dokumen-dokumen RUU

Pengesahan beserta lampirannya, Menteri Luar Negeri mengajukan

permohonan Amanat Presiden atas RUU Pengesahan tersebut

dengan melampirkan dokumen pengesahan kepada Presiden melalui

Menteri Sekretaris Negara.

9. Menteri Sekretaris Negara menyiapkan Surat Amanat Presiden

(Ampres dan menerbitkan RUU Pengesahan di atas kertas polos

guna diparaf Menteri Luar Negeri, Menteri terkait dan Pimpinan

Lembaga Pemrakarsa pada tiap-tiap lembarnya dan nama jelas

Menteri yang melakukan paraf dicantumkan pada lembar pertama.

Setelah pemberian paraf, Menteri Luar Negeri akan meneruskan

RUU Pengesahan tersebut ke Presiden.

10. Presiden menandatangani Surat Presiden (Ampres) dan diteruskan

kepada pimpinan DPR RI guna menyampaikan RUU Pengesahan

disertai keterangan Pemerintah RI mengenai RUU dimaksud.

Bersamaan dengan itu, Menteri Sekretaris Negara membuat Surat

Penunjukan Wakil Pemerintah yang berisi : Menteri yang ditugaskan

mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Pengesahan di DPR RI,

sifat RUU, dan cara penanganan/pembahasan. Surat Penunjukkan

117

Wakil Pemerintah tersebut ditembuskan kapada Menteri Luar

Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Pemrakarsa, dan Menteri

Koordinator terkait.

11. Pembahasan di DPR RI.

12. Apabila disetujui, DPR RI akan mengirimkan Surat Ketua DPR RI

dan Keputusan DPR RI perihal persetujuan DPR RI atas RUU

Pengesahan beserta lampirannya tersebut yang ditujukan kepada

Presiden.

13. Menteri Sekretaris Negara menerbitkan RUU pengesahan di atas

kertas Presiden untuk diparaf Menteri Luar Negeri dan Menteri

terkait lainnya. Setelah itu, RUU pengesahan yang sudah diparaf

tersebut akan disampaikan kepada Presiden.

14. Presiden kemudian akan melakukan penandatanganan RUU dan

mengesahkannya (apabila tidak ditandatangani dalam 30 hari, maka

akan otomatis berlaku). Setelah disahkan, Menteri Sekretaris Negara

akan memberikan nomor undang-undang dan akan memintakan

nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM.

Pada tahap ini, otensifikasi undang-undang Pengesahan guna

penyebarluasan undang-undang dimaksud dilakukan oleh Kepala

Biro Hukum Sekretariat Negara.

15. Pemrakarsa menyampaikan salinan undang-undang Pengesahan

kepada Menteri Luar Negeri dengan dilampiri pernyataan reservasi

dan/atau deklarasi jika ada.

118

16. Menteri Luar Negeri menyampaikan Instrument of Ratification kepada

pimpinan lembaga depositori terkait.

17. Pimpinan lembaga depositori terkait menerima Instrument of

Ratification serta menyampaikan acknowledgement kepada Menteri

Luar Negeri bahwa Instrument of Ratification telah diterima. Menteri

Luar Negeri kemudian menerima acknowledgement tersebut beserta

tanggal mulainya pemberlakuan perjanjian tersebut.

Sementara mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional

dalam bentuk keputusan/peraturan presiden yang dibuat oleh Direktorat Perjanjian

Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia adalah

sebagai berikut91 :

1. Pemrakarsa adalah salah satu dari lembaga negara, lembaga

pemerintah,kementrian dan non kementrian (pusat dan daerah).

Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa

perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan dan sesuai dengan Pasal

9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, pengesahan

dimaksud dilakukan dengan peraturan presiden. Jika terdapat

keragu-raguan tentang persyaratan ini maka pemrakarsa harus

mengkonsultasikannya dengan Direktorat Jendral Hukum dan

Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri.

2. Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada

Presiden dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri

terkait. Permohonan izin prakarsa tersebut disertai penjelasan 91Ibid, hal. 14-15

119

konsepsi pengaturan RPERPRES yang meliputi : urgensi dan tujuan

penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup

dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan serta

melampirkan Salinan Naskah Resmi (Certified True Copy)

perjanjian yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri.

Sekretaris Kabinet menerima surat permohonan izin prakarsa dan

kemudian melakukan analisa meliputi substansi, prosedural dan

kepentingan sektoral terkait sebelum diteruskan kepada Presiden.

Jika Presiden setuju maka Sekretaris Kabinet akan mengeluarkan

Surat Persetujuan Izin Prakarsa kepada Menteri terkait dengan

tembusan ditujukan kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar

Negeri. Apabila disetujui Presiden, Pemrakarsa mengadakan Rapat

Antar Kementerian (RAK) atau Panitia Antar Kementerian (PAK)

yang terdiri dari Sekretariat Kabinet (Biro PUU II), Kementerian

Sekretaris Negara (Biro Hukum dan Administrasi Peraturan

Perundang-Undangan), Kementerian Luar Negeri (Direktorat

Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan unit terkait),

Kementrian Hukum dan HAM (Direktorat Harmonisasi Peraturan

Perundang-Undangan) dan instansi terkait lainnya untuk

mengkoordinasikan pembahasan PPERPRES Pengesahan, Naskah

Akademik dan terjemahan perjanjian yang berdasarkan salinan

naskah resmi perjanjian. Apabila terdapat reservasi dan/atau

deklarasi atau perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan

120

pernyataan reservasi dan/atau deklarasi. Apabila diperlukan, sebelum

Rancangan PERPRES disampaikan kepada Presiden melalui

Sekretariat Kabinet, dapat terlebih dahulu dibahas dan disepakati

bersama oleh para Menteri dan Kepala LPNK melalui koordinasi

yang dipimpin Menteri Koordinator yang membidangi (Surat

Sekretaris Kabinet No. SE 8/Seskab/I/2012 tanggal 5 Januari 2012).

Dalam hal pembahasan RPERPRES beserta lampirannya,

Pemrakarsa dapat meminta masukan dari masyarakat, kemudian

dapat menjadi pertimbangan dalam RAK/PAK. Pemrakarsa

melaksanakan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian

Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri serta Sekretaris

Kabinet dalam rangka harmonisasi dan pembulatan serta pemantapan

konsepsi RPERPRES.

3. Setelah proses harmonisasi tersebut selesai, pemrakarsa mengajukan

dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri (melalui

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) untuk

disampaikan kepada Presiden. Dokumen pengesahan tersebut terdiri

dari 1 Rancangan PERPRES Pengesahan, 1 salinan naskah resmi

perjanjian, 1 naskah penjelasan, 45 salinan naskah perjanjian dalam

bahasa Inggris, dan 45 salinan naskah perjanjian dalam bahasa

Indonesia (sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

jo Pasal 40 Perpres Nomor 68 Tahun 2005).

121

4. Kementerian Luar Negeri akan melakukan verifikasi atas dokumen

pengesahan tersebut, kemudian Menteri Luar Negeri akan

mengajukan dokumen pengesahan perjanjian tersebut kepada

Presiden melalui Sekretariat Kabinet.

5. Sekretariat Kabinet akan melakukan verifikasi terhadap dokumen

pengesahan, untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden. Bila

dipandang perlu, Sekretariat Kabinet akan menyampaikan

Rancangan PERPRES untuk mendapat paraf Menteri Luar Negeri

serta Menteri terkait lainnya.

6. Presiden menetapkan PERPRES Pengesahan.

7. Sekretariat Kabinet memberikan nomor PERPRES dan memintakan

nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM,

selanjutnya PERPRES disampaikan kepada Ketua DPR RI, Kantor

Wakil Presiden, Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan

Kementerian Koordinator terkait/instansi terkait.

8. Setelah PERPRES diterbitkan, Kementerian Luar Negeri (Direktorat

Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) akan mempersiapkan

draft notifikasi, bila dipandang perlu dan dalam rangka koordinasi,

Kementerian Luar Negeri dapat menyampaikan pemberitahuan

terlebih dahulu kepada lembaga pemrakarsa mengenai rencana

penyampaian notifikasi tersebut.

Dalam hal perjanjian yang disahkan tersebut memerlukan atau

membutuhkan adanya peraturan teknis/peraturan menteri terkait

122

dalam pemberlakuannya, maka lembaga pemrakarsa dapat

menyampaikan surat tertulis kepada Kementerian Luar Negeri untuk

menunda penyampaian Notifikasi tersebut sampai peraturan teknis

terkait diterbitkan. Menteri Luar Negeri akan melakukan notifikasi

atau menyampaikan Instrument of Ratification kepada counterpart

atau lembaga depository yang ditunjuk.

9. Counterpart atau Pimpinan lembaga depository terkait menerima

Instrument of Ratification serta menyampaikan acknowledgement

beserta tanggal pemberlakuan perjanjian tersebut bagi Indonesia

kepada Menteri Luar Negeri.

10. Kementrian Luar Negeri akan menginformasikan acknowledgement

dan tanggal berlakunya perjanjian tersebut kepada lembaga

pemrakarsa dan instansi terkait lainnya.

Permasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap

berbagai perjanjian internasional dilihat dari pandangan yuridis selama ini karena

ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara

meratifikasi yang selama ini ada, tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku.

Masalah pembuatan dan ratifikasi perjanjian internasional dilihat dari segi praktik

Indonesia masih terdapat kesimpangsiuran karena tidak jelasnya ketentuan Pasal

11 UUD 1945.92 Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan dengan

tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai

tata cara meratifikasi suatu perjanjian internasional. Ketidakjelasan Pasal 11 ini

92Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 151.

123

tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik Indonesia, menjadi hanya perjanjian

tertentu. Kemudian, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional pada hakikatnya hanyalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang

dipedomani oleh Surat Persiden No. 2826/HK/1960.93

Di Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, bahwa praktik mengenai

ratifikasi negara kitapun agak tidak menentu. Bukan saja tidak terdapat pembagian

perjanjian dalam golongan mana yang memerlukan dan tidak memerlukan

persetujuan parlemen, bahkan dalam UUD 1945 kata ratifikasi itu sendiri tidak

terdapat.94

Di samping itu sebagaimana diketahui tahap ratifikasi merupakan tahap

yang paling penting dalam seluruh proses pembuatan perjanjian, karena pada saat

itu suatu negara mengikatkan dirinya secara definitif pada suatu perjanjian.

Ratifikasi suatu perjanjian internasional berarti membatasi kedaulatan suatu

negara. Tidaklah mungkin bahwa pembatasan kedaulatan tersebut hanya diatur

oleh praktik yang bersimpang siur dan bukan oleh ketentuan-ketentuan hukum

yang jelas.

Begitupun dewasa ini meski sudah ada peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan ratifikasi, tetapi masih terdapat banyak ketidakjelasan dalam

proses ratifikasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 hanya mengatur soal teknis pembuatan undang-undang saja,

93Damos Dumoli Agusman, Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945, Opinio Juris, Volume 04, Januari-April 2012, hal. 6.

94Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 132.

124

bentuk baku undang-undang pengesahan dan cara penulisannya. Perpres Nomor

68 Tahun 2005 hanya sebatas mengatur pelaksanaan persiapan RUU di tingkat

pemerintah sedangkan undang-undang Perjanjian Internasional masih sangat

umum mengatur prinsip-prinsip dasar perjanjian internasional. Faktanya,

mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional hanyalah merupakan

Pedoman Praktis Pembuatan Dokumen Hukum yang dibuat oleh Direktorat

Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia. Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional tersebut tidak tertera

secara baku, dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional.

Indonesia sering mengalami kesulitan atau sangat terlambat sekali dan

bahkan tidak melakukan sama sekali untuk menjadi pihak atau meratifikasi

konvensi-konvensi atau perjanjian internasional walaupun instrumen internasional

itu penting artinya bagi kepentingan nasional Indonesia. Dari sepuluh konvensi-

konvensi internasional yang dikeluarkan PBB yang menyangkut terorisme

misalnya, Indonesia hanya meratifikasi empat saja.

Menurut Marty Natalegawa (Mantan Menteri Luar Negeri Republik

Indonesia) bahwa sepanjang tahun 2011, Pemerintah Indonesia sepakati perjanjian

internasional sebanyak 146 perjanjian, yang dikemukakan dalam pidatonya pada

acara Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) tahun 2012 bertajuk 'Refleksi

2011 Proyeksi 2012’. Beliau memaparkan, dari 146 perjanjian Internasional

tersebut, 131 perjanjian diantaranya merupakan perjanjian bilateral. Kemudian,

125

Marty menjelaskan, sebanyak 26 perjanjian internasional sudah diratifikasi.95 Jadi,

masih ada 120 perjanjian internasional yang dibuat sepanjang tahun 2011 yang

belum diratifikasi.

Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya serius dan cepat tanggap

dalam meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya

perjanjian internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi, diantaranya

perjanjian tentang batas-batas perairan Indonesia dengan Malaysia dan Australia,

Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat, ASEAN Convention on Counter

Terrorism/ACCT (Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme),

Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya,

Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita,

Protokol Konvensi Anti Penyiksaan, dan Statuta Roma yang sudah dimasukkan ke

dalam RANHAM 2004-2009 tapi gagal dilakukan dan kini dimasukan lagi dalam

RANHAM 2011-2014 yang sampai sekarang belum terwujud peratifikasiannya.

Betapa sangat lambatnya proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia

hingga memakan waktu yang relatif lama dan bahkan tak kunjung diratifikasi

juga.

Hingga saat ini menurut Kementrian Luar Negeri kurang lebih 250

konvensi multilateral yang perlu mendapatkan perhatian Pemerintah/Departemen

Teknis yang bersangkutan, yang meliputi berbagai bidang untuk diratifikasi dan

pembuatan RUU nasionalnya, misalnya Konvensi-Konvensi tentang Hak Asasi

Manusia. Dari 25 konvensi tentang Human Rights, baru dalam 6 konvensi

95Nicolas Timothy, 2011 Indonesia Sepakati 146 Perjanjian Internasional, http://www.tribunnews.com/2012/01/04/2011-indonesia-sepakati-146-perjanjian-internasional, diakses Selasa 25 April 2015.

126

Indonesia telah menjadi pihak. Begitu juga Konvensi Den Haag yang mengatur

tentang hukum perdata internasional, yang jumlahnya cukup banyak, belum

satupun yang disahkan Indonesia. Demikian pula halnya dengan Konvensi-

Konvensi ILO yang berjumlah kurang lebih 169 Konvensi.

Memang benar bahwa Indonesia termasuk negara yang agak lambat

dalam meratifikasi atau implementasi konvensi-konvensi internasional. Dari 25

konvensi penting tentang HAM, Indonesia baru meratifikasi sebanyak 6. Sebagai

perbandingan Australia telah meratifikasi 19 konvensi, India 15, Amerika Serikat

dan Iran 10, Bangladesh 9 serta Malaysia 6.96

Lambatnya pemerintah bekerja dalam proses ratifikasi dapat terlihat dari

daftar undang-undang ratifikasi yang dihasilkan DPR RI dimana sebagian besar

undang ratifikasi tersebut adalah untuk perjanjian yang sudah jauh hari

ditandatangani oleh pemerintah. Misalnya saja undang-undang Pengesahan

Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea (Treaty on

Extradition Between the Republic of Indonesia and The Republic of Korea) yang

sudah ditandatangani sejak tahun 2000 oleh pemerintah namun baru diserahkan

kepada Pimpinan DPR RI untuk diratifikasi pada 2005. Begitu juga Konvensi

Anti Korupsi PBB (UNCAC) 2003 yang ditandatangani 2003 baru diratifikasi

pada tahun 2006. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani United

Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) pada

bulan Desember 2002, dan baru berhasil diratifikasi pada tahun 2009.97

96Boer Mauna, Op-Cit, hal. 191. 97Stredo, Kerjasama Internasional, http://stredoall.blogspot.com/2010/06/kerjasama-

internasional-mla.html, diakses Sabtu 25 April 2012.

127

Lambatnya kerja ratifikasi nampak pada jumlah undang-undang ratifikasi

yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR RI setiap tahunnya yang paling banyak

hanya mencapai 7 (tujuh) ratifikasi saja. Tahun 2008 jumlah RUU ratifikasi

sebanyak tiga RUU, jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya. Pada 2007 DPR RI melakukan ratifikasi lima perjanjian internasional

sedangkan pada 2006 dan 2005 masing-masing ada tujuh ratifikasi perjanjian

internasional.98

Padahal sifat rancangan undang-undang/rancangan keputusan presiden

pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana, biasanya hanya

terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Proses ratifikasi suatu

perjanjian internasional juga sesungguhnya sangat ringkas jika dibandingkan

dengan proses pembuatan peraturan perundang-undangan pada umumnya.

Pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah biasanya berlangsung lebih kurang

satu sampai tiga minggu saja. Bandingkan dengan pembahasan RUU pada

umumnya yang bahkan bisa sampai satu tahun atau bahkan lebih.

C. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di

Indonesia

Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani dan meratifikasi

konvensi UNCAC 2003 tentunya mempunyai kewajiban untuk segera

mereformasi sistem hukumnya sesuai dengan ketentuan konvensi UNCAC 2003.

98http://www.google.com, Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional, diakses Sabtu 25 April 2015.

128

Dalam hal ini Indonesia meratifikasi konvensi UNCAC 2003 melalui Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2006. Terkait dengan pasal 2 konvensi UNCAC 2003

mengenai tindakan-tindakan pencegahan korupsi, Indonesia mempunyai Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 30 tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian terkait dengan pasal 6

konvensi UNCAC 2003 mengenai Badan atau Badan-Badan Pencegahan atau

Anti Korupsi, Indonesia telah memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu,

Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang yang mana disebutkan

dalam pasal 14 konvensi UNCAC 2003 mengenai tindakan-tindakan untuk

mencegah pencucian uang. Sementara itu berdasarkan pasal 32 konvensi UNCAC

2003 setiap negara dituntut untuk memberikan perlindungan saksi-saksi, para

saksi ahli dan para saksi korban. Guna memenuhi hal tersebut pemerintah

Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konvensi UNCAC 2003 juga

disebutkan bahwa adanya transparansi dan keikutsertaan masyarakat dalam proses

pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, dalam ini Indonesia mempunyai

sebuah lembaga independen yang bernama ICW (Indonesian Corruption

Watch).99

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-

Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan

99Diakses dari, http://repository.upnyk.ac.id/8159/2/Hikmatul_Akbar_Carmeli_Konvensi_Anti_Korupsi_PBB.pdf, dikases tanggal 12 Mei 2015

129

substansi gabungan dua sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”,

sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana

korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut,

bahwa: nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit

enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 konvensi United Nations Convention

Against Coruption (UNCAC) 2003 menentukan, bahwa:

...each State Party shall consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relatlon to his or her lawful income".100

D. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption

(UNCAC) 2003 Terhadap Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia

Dengan diratifikasinya Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2006, maka Indonesia harus membentuk produk hukum yang selaras

dengan ketentuan dalam konvensi UNCAC 2003. Berdasarkan alasan filosifis,

sosiologis dan yuridis, produk hukum yang saat ini ada yaitu Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tidak lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi

UNCAC 2003. Oleh karena harus dibentuk produk hukum baru untuk

100Diakses dari, http://repo.unsrat.ac.id/24/1/DIMENSI_DAN_IMPLEMENTASI_PERBUATAN_MELAWAN_HUKUM_MATERIIL.pdf, diakses tanggal 12 Mei 2015

130

menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai dasar

pemberantasan tindak pidana di Indonesia. Pengacuan ketentuan-ketentuan

konvensi UNCAC 2003 dalam Rancangan Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga harus memperhatikan undang-undang

yang masih berlaku di Indonesia pada saat ini maupun rancangan undang-undang

lain yang saat sedang disusun dan terkait dengan materi dalam konvensi UNCAC

2003. Hal ini untuk mencegah adanya tumpang tindih pengaturan terhadap

susbstansi yang sama.

Oleh karena itu mendasarkan beberapa pertimbangan tersebut dan

kebutuhan kepentingan Indonesia dalam usaha pemberantasan tindak pidana

korupsi, maka rancangan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi, minimal memuat ketentuan mengenai:

1. Pengertian-pengertian istilah yang dipakai.

2. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

3. Pembekuan, penyitaan dan perampasan.

4. Kebijakan dan praktik pencegahan korupsi.

5. Bentuk-bentuk kerjasama internasional.

6. Partisipasi masyarakat.

Keenam hal tersebut selanjutnya harus dijabarkan berdasarkan ketentuan

yang terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 dan dirumuskan dalam pasal-pasal

rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pengacuan terhadap konvensi UNCAC 2003 tersebut diperlukan mengingat

terdapat beberapa hal baru yang sebelumnya belum pernah diatur dalam undang-

131

undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah ada di Indonesia, baik

dari segi istilah maupun dari segi motode pelaksanaannya.

Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan

korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan

penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang

berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi

yang diharapkan oleh konvensi UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya

peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan

pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat

pemerintah adalah subyek dan obyek dalam konvensi UNCAC 2003 ini. Terkait

dengan konvensi UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan

pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini

mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam

pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan

bagi Indonesia.

BAB IV

SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

NASIONAL TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DENGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION

AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003

132

A. Ketentuan–Ketentuan Konvensi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional

Konvensi UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty-based

crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip

integritas nasional dan prinsip non-intervensi (lihat Pasal 4). Ketentuan ini

mencerminkan bahwa implementasi konvensi ini oleh setiap negara peserta tidak

boleh melanggar prinsip-prinsip tersebut di atas. Contoh upaya pemerintah

Indonesia dalam mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia dan

Singapura dan dari negara lain seharusnya ditempuh jalur diplomatik terlebih dulu

sebelum jalur penegakan hukum langsung (direct enforcement) melalui pihak

Kejaksaan Agung atau Kepolisian karena kompleksitas masalah hukum

pengembalian aset tersebut.

Ketentuan Pasal 4 tersebut di atas sangat relevan dengan ketentuan

mengenai kerjasama internasional (Bab IV) dalam konvensi UNCAC 2003

tersebut yang mengatur mengenai berbagai bentuk kerjasama internasional, dan

ketentuan dalam Bab V tentang Asset Recovery serta ketentuan mengenai Freeze,

Seizure and Confiscation (Art. 31, Bab Ill tentang Criminalization and Law

Enforcement) terutama aset yang berada di luar negeri.

Sehubungan dengan ini, dapat diambil contoh Perjanjian AMLA (Asean

Mutual Legal Assistarnce Treaty)101 tahun 2004 telah ditandatangani oleh 6

101Pemerintah Indonesia telah meratifikasi "UU Payung" {Umbrella Act) tentang Mutual Legal Assistance Treaty atau Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana Ieiah diundangkan di dalam UU Rl Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Di dalam ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, UNCAC tidak lagi menganut prinsip "dual criminality" secara mutlak di mana negara pihak dalam UNCAC jika dianggap perlu dapat melaksanakan bantuan timbal balik tersebut tanpa berpegang kepada prinsip tersebut Pasal 9 {a) UNCAC menegaskan:• A requested State Party, in respoding to a request for

133

(enam) negara anggota ASEAN termasuk Indonesia, dapat dijadikan landasan

hukum regional untuk segera mewujudkan kehendak pemerintah mengembalikan

aset-aset hasil korupsi yang terjadi sejak era Suharto dan era reformasi sampai

saat ini terutama kasus BLBI. Perjanjian ini tampak lebih efektif sekalipun juga

tidak mudah dan kompleksitas masalah hukum yang cukup signifikan untuk

pengembalian aset hasil korupsi. Apalagi dalam perjanjian tersebut dilampirkan

daftar sejumlah kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut.

Perjanjian AMLA 2004 tersebut, masih ada kelemahan yang signifikan

dilihat dari sisi terminologi hukum perjanjian yaitu, pada bagian sope of the

treaty, ditegaskan kalimat, "may include" dan seterusnya sehingga kalimat

tersebut merupakan "batu kerikil" yang tajam dan dapat 'menggagalkan upaya

pengembalian aset hasil korupsi atau pencucian uang yang merupakan target

pemerintah Indonesia terhadap Negara-negara yang non-kooperatif dalam kaitan

ini. Ketentuan mengenai perjanjian ekstradisi (lihat Pasal 44) seperti, prinsip

"dual criminality".tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat (kalimat, "State

Party whose law so permits may grant the extradition ... of a person for any

offences ... that are not punishable under its own domestic law"; Pasal 44 butir 2).

Selain hal tersebut, terobosan hukum terhadap prinsip umum ekstradisi juga

dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas seseorang

yang dimintakan ekstradisi (lihat Pasal 44 butir 11 dan 12). Ketentuan tersebut

memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas

assistance .• .in the absence of dual criminality, shall take into account the purposes of this Convention, as set forth in article 1 . ." (b) State Party may decline (non-mandatory obligation, pen.) to render assistance pursuant to this article on the ground of absence of dual criminality."

134

untuk segera (undue delay) menyerahkan seseorang warganya yang dimintakan

ekstradisi ke Negara peminta (requested state party) dengan syarat tertentu atau

"conditional extradition".Namun demikian suatu perjanjian ekstradisi tidak

menjamin efektivitas penyerahan tersangka dari satu negara ke negara lain. Kasus

ekstradisi Hendra Rahardja dari Australia ke Indonesia merupakan contoh konkret

bahwa, implementasi perjanjian ekstradisi dari Australia ke Indonesia belum

pernah menguntungkan pihak Indonesia, bahkan sebaliknya102 Prinsip untuk tidak

mengekstradisi dengan alasan tindak pidana pajak tidak lagi merupakan hal yang

menghalangi ekstradisi (Pasal 44 butir 16). Bentuk kerjasama internasional yang

baru dari konvensi UNCAC 2003 adalah, "transfer of sentenced person" (TSP)

(Pasal 45), dan "Transfer of criminal proceeding" (TCP) [Pasal 47].103 Pasal 45

bersifat non-mandatory provision ("may consider"), dan Pasal 47 bersifat

mandatory provision ("shall consider').

Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 4 mengenai State Souvereignty ini

kiranya perlu diperhatikan penggunaan prinsip-prinsip non-intervensi yang kaku

yang justru menghambat kerjasama internasional terutama dalam menghadapi

korupsi skala nasional dan menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat

suatu negara. Dalam pemburuan aset hasil korupsi sedemikian maka menjadi

kewajiban setiap negara peserta untuk memberikan bantuan penuh tanpa kecuali

102Pemerintah Indonesia dan Australia sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dan disahkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1994, TLN 3565

103Pasal 45:" State Parties may consider entering into bilateral or multilateral agreements or arrangements on the transfer to their territory of persons sentenced to imprisonment or other forms of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention, in order that they may complete their sentence there". Pasal47: "State Parties shall consider the possibility of transferring to one another proceedings for the prosecution of an offence ... in cases where such transfer is considered to be in the interest of the proper administration of justice, in particular cases where several jurisdictions are nvolved, with a view to concentrating the procsecution".

135

terhadap negara peminta (requesting state) baik dalam rangka perjanjian bantuan

hukum timbal balik maupun dalam rangka permintaan ekstradisi. Berdasarkan hal

tersebut maka dapat dipastikan bahwa, keberhasilan kerjasama internasional

(bilateral atau multilateral), pada khususnya kerjasama dalam hal pengembalian

aset hasil korupsi atau karena tindak pidana pencucian uang sangat tergantung

bukan pada kesempurnaan rumusan dalam Undang-undang Pemberantasan

Korupsi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003, melainkan sangat ditentukan

oleh strategi dan teknik diplomasi para pejabat Kementerian Luar Negeri

Indonesia atau hubungan baik antara pemerintah. Indonesia dengan pemerintah

negara lain. Kondisi ini belum lagi memperhitungkan kondisi internal dan lintas

kementerian atau instansi penegak hukum saat ini di lndonesia104, dan keterbatasan

anggaran perjalanan dinas luar negeri bagi aparatur penegak hukum.

Kriminalisasi tindak pidana baru dalam konvensi UNCAC 2003 telah·

membedakan antara "bribery in the public sector" (Pasal 15) dan "bribery in the

private sector' (Pasal 21). Hal ini menunjukkan keterkaitan erat hubungan antara

peran sektor publik dan sektor swasta dalam masalah korupsi yang semakin

meningkat dan berdampak buruk terhadap penampilan dan kinerja pemerintah di

sebagian besar negara berkembang.

Ketentuan mengenai kriminalisasi ini merupakan hal yang penting karena

terkait dengan asas legalitas dalam hukum pidana bahwa tidak ada perbuatan yang

boleh dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang

yang ada mendahului perbuatan tersebut (nullum delictum sine praevia lege

104Koordinasi lintas lnstansi penegak hukum dan Kementerian Hukum dan HAM sangat menentukan keberhasilan ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana khususnya berkaitan.

136

poenali). Dalam bab III konvensi UNCAC 2003 terdapat ketentuan mengenai

kriminalisasi dan penegakan hukum yang harus diadopsi oleh pemerintah

Indonesia. Ketentuan tersebut mewajibkan Indonesia untuk melakukan pengaturan

terhadap tindakantindakan yang terkait dengan:105

1. Penyuapan pejabat publik nasional (Pasal 15 Konvensi UNCAC

2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan

sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja

a) Janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada

pejabat publik, secara langsung atau tak langsung, untuk pejabat

publik itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak

atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya;

b) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh

pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu

sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak

bertindak melaksanakan tugas resminya.

2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi

internasional publik (Pasal 16 konvensi UNCAC 2003 )

105Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2perpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015

137

a) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk

menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, janji,

tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada

pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik,

secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu sendiri

atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak

bertindak melaksanakan tugas resminya, untuk memperoleh atau

mempertahankan bisnis atau manfaat lain yang tidak semestinya

dalam kaitannya dengan pelaksanaan bisnis internasional.

b) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan

lain yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan

dengan sengaja, permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak

semestinya oleh pejabat publik asing atau pejabat organisasi publik

internasional, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu

sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak

bertindak melaksanakan tugas resminya.

3. Penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan

oleh pejabat publik (Pasal 17 konvensi UNCAC 2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan

sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja penggelapan, penyalahgunaan

138

atau penyimpangan lain oleh pejabat publik untuk kepentingan sendiri atau untuk

kepentingan orang atau badan lain, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas publik

atau swasta atau barang lain yang berharga yang dipercayakan kepadanya karena

jabatannya.

4. Pemanfaatan pengaruh (Pasal 18 konvensi UNCAC 2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:

a) Janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada

pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung,

agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya

yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh

manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga

publik negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia),

untuk kepentingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain;

b) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh

pejabat Publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung,

untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang itu

menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada

dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari

lembaga pemerintah atau lembaga publik negara pihak.

5. Penyalahgunaan fungsi (Pasal 19 konvensi UNCAC 2003)

139

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,

penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan atau tidak

melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dalam

pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak

semestinya untuk dirinya atau untuk orang atau badan lain.

6. Memperkaya diri secara tidak sah (Pasal 20 konvensi UNCAC 2003)

Dengan memperhatikan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem

hukumnya, negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,

perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat

publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan

penghasilannya yang sah.

7. Penyuapan di sektor swasta (Pasal 21 konvensi UNCAC 2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja

dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan:

a) Janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak langsung,

manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin atau

140

bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk

dirinya atau untuk orang lain, agar ia dengan melanggar tugasnya,

bertindak atau tidak bertindak;

b) Permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung,

manfaat yang tidak semestinya oleh orang yang memimpin atau

bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor swasta, untuk dirinya

atau untuk orang lain, agar ia dengan melanggar tugasnya, bertindak

atau tidak bertindak.

8. Penggelapan kekayaan di sektor swasta (Pasal 22 konvensi UNCAC

2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya

yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,

dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh

orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor

swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang

berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.

9. Pencucian hasil kejahatan (Pasal 23 ayat (1) konvensi UNCAC 2003)

a) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya,

tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan

sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:

141

(1) Konversi atau transfer kekayaan, padahal mengetahui bahwa

kekayaan tersebut adalah hasil kejahatan, dengan maksud

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul tidak sah

kekayaan itu atau membantu orang yang terlibat dalam

pelaksanaan kejahatan asal untuk menghindari konsekuensi

hukum perbuatannya;

(2) Penyembunyian atau penyamaran sifat sebenarnya, sumber,

lokasi, pelepasan, pergerakan atau pemilikan atau hak yang

berkenaan dengan kekayaan, padahal mengetahui bahwa

kekayaan itu adalah hasil kejahatan.

b) Dengan memperhatikan konsep dasar sistem hukumnya:

(1) Perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, padahal

mengetahui, pada waktu menerimanya, bahwa kekayaan itu

adalah hasil kejahatan;

(2) Partisipasi dalam, hubungan dengan atau persekongkolan untuk

melakukan, percobaan untuk melakukan dan membantu,

memfasilitasi dan menganjurkan pelaksanaan kejahatan menurut

pasal ini.

10. Penyembunyian (Pasal 24 konvensi UNCAC 2003)

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 23 Konvensi ini, negara-negara

yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), mempertimbangkan untuk

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan

sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja setelah kejahatan dilakukan

142

sesuai dengan Konvensi ini tanpa berpartisipasi dalam kejahatan tersebut,

penyembunyian atau penahanan terus menerus kekayaan jika orang yang terlibat

mengetahui bahwa kekayaan itu adalah hasil dari kejahatan menurut Konvensi ini.

11. Penghalangan peradilan (Pasal 25 konvensi UNCAC 2003)

Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan

sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:

a) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji,

tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya untuk

memberikan kesaksian palsu atau untuk mencampuri pemberian

kesaksian atau pengajuan bukti dalam proses hukum yang berkaitan

dengan pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini;

b) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman, intimidasi untuk mencampuri

pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegakan hukum

yang berkaitan dengan pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini.

Ketentuan sub-ayat ini tidak mengurang hak negara pihak untuk

mempunyai peraturan perundangundangan yang melindungi

kelompok pejabat publik lain.

Laporan penjelasan mengenai Criminal Law Convention menyebutkan 2

(dua) pertimbangan dimasukkannya kriminalisasi tindak pidana korupsi di sektor

swasta ke dalam konvensi ini, yaitu: pertama, bahwa korupsi di sektor swasta

telah melemahkan nilai-nilai seperti, kepercayaan, loyalifas yang diperlukan untuk

memelihara dan meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Sekalipun dampak

143

negatif kepada korban tidak tampak nyata akan tetapi korupsi di sektor swasta

menimbulkan akibat kerugian kepada masyarakat sehingga perlindungan atas

persaingan sehat perlu dilakukan.

Kriminalisasi korupsi di sektor swasta justru bertujuan memulihkan

kepercayaan dan loyalitas di dalam memelihara hubungan sosial dan ekonomi

suatu negara. Kedua, terdapat teori yang dapat dijadikan justifikasi atas

kriminalisasi tersebut, yaitu teori, "interdependence of others". Berdasarkan teori

ini, seluruh sub-sistem sosial saling mempengaruhi secara timbal balik termasuk

nilai-nilainya. Atas dasar itu maka mustahil kiranya pemberantasan korupsi

dilakukan di satu sektor sementara itu juga mengabaikan kegiatan yang sarna di

sektor yang lain. Oleh karena itu hambatan-hambatan di sektor ekonomi dan

regulasinya akan berdampak terhadap system social yang lain seperti, di sektor

politik dan administrasi. Bertolak dari pernyataan teori di atas maka

pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan di bidang

persaingan usaha hanya akan melemahkan seluruh institusi pemberantasan

korupsi.106`

Sekalipun telah ada justifikasi sebagaimana diuraikan di atas tampaknya

negara peserta dalam negosiasi proses penyusunan konyensi inl masih ragu-ragu

untuk menyatakan secara tegas bahwa, korupsi di sektor swasta merupakan

"mandatory obligation". Di dalam Pasal 21 dirumuskan kalimat "shall consider

adopting". Sedangkan untuk kriminalisasi suap pejabat publik, di dalam pasal 15

dirumuskan dengan kalimat "shall adopt". Kriminalisasi penting lainnya adalah

106Albin Eser, Michael Kubicil, Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round; Nomos; 2005, hal. 47-48.

144

perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment).107 Kriminalisasi perbuatan

memperkaya diri sendiri, yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri

justru telah mempersempit lingkup tindak pidana korupsi yang sudah diatur di

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Berkaitan dengan

kriminalisasi tersebut, unsur kerugian Negara dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999, oleh Konvensi UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting. Hal

ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 3 butir 2 konvensi UNCAC 2003 mengenai

"scope of application" yang menegaskan bahwa,

"For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence ... to result in damage or harm to State property".

Ketentuan ini memerlukan kajian seksama dan mendalam dari para ahli

hukum pidana ketika pemerintah diwajibkan mengadopsi ketentuan konvensi

tersebut di atas ke dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi dan harus

mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001. Pertama, apakah unsur kerugian negara (State-loss) masih dapat

dipertahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3

bersifat mandatory (wajib); kedua, apakah ketentuan mengenai, "illicit

enrichment" sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan

rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut sehingga dapat

digunakan sistem pembalikan beban pembuktian melalui jalur keperdataan (civil

107Pasal20: " ... each State Party shall consider adopting ... to establish as a criminal offence, When committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public offcial that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her unlawful income·.

145

conviction) dan bukan hanya tergantung kepada "criminal conviction"108 Sistem

pembalikan beban pembuktian terbalik melalui jalur keperdataan ini juga

digunakan di beberapa negara.109 Pembuktian dengan cara tersebut berpandangan,

bahwa:

"confiscation is not regarded as a penalty but as a "compensating measure" aimed at depriving the offender of what he or she has acquired illegally and therefore, has no right to possess. Its purpose is to replace the offender in the same situation (economically) as that in which he or she was before the offence was committed".

Prosedur pembuktian seperti ini berbeda dengan penyitaan sebagai akibat

putusan pengadilan dalam perkara pidana. Model baru dalam proses pembuktian

108 Mengenai pembalikan beban pembuktian ini, kasus "Hongkong Bill of Rights Ordinance 1991", merupakan contoh yang tepat. Dalam undang-undang ini, section 10 ditegaskan: "any person who, being or having been a public servant, (a) maintains a standar of living above that which is commensurate with his present or past official emoluments; or (b) is in control of pecuniary resources or property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives a satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources or property came under his control, be guilty of an offence". UU tersebut dianggap bertentangan dengan ICCPR di dalam konstitusi Hongkong. Pengadilan Tinggi Hongkong, berpendapat bahwa, sebelum terdakwa membuktikan asal usul kekayaannya yang jauh melebihi penghasilannya; jaksa penuntut umum harus membuktikan "beyond reasonable doubt", status pegawai negeri tersebut, standar hidup yang bersangkutan selama penuntutan dan penghasilan resmi yang diterimanya selama itu; dan juga harus dapat membuktikan bahwa, kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu.Apabila penuntut umum dapat membuktikannya seluruhnya, maka kewajiban terdakwa unluk menjelaskan bagaimana yang bersangkutan dapat hidup mampu dengan kekayaanya yang ada, a tau bagaimana kekayaannya berada di bawah kekuasaannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa, dengan proses acara seperti ilu, maka tidak ada pertentangan dengan konstitusi karen a yang bersangkutan sudah diberikan haknya untuk menjelaskan dan jaksa penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal tersebut; sistem pembuktian seperti ini, disebut, sistem "balance probabilities", bukan sistem pembalikan beban pembuktian murni, tetapi menu rut penulis" sis tern pembalikan be ban pembuktian terbatas". Sistem ini sudah digunakan sejak diundangkannya (JU Nom or 3 tahun 1971 sampai dengan UU Nomor 31 tahun 1999: hanya mekanisme hukum acara untuk implementasi pasal tersebut belum diaturdi dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku (KUHAP) atau di dalam undang-undang dimaksud. Kovensi 2003 memberikan alternatifsolusi hukum baru, yaitu dengan memasukkan prosedurkeperdataan dalam menerapkan pembalikan beban pembuktian dengan melalui proses penyitaan perdata (civil forfeiture); narnun demikian seluruh bukti-bukti yang diperoleh melalui proses ini tidak dapat dijadikari alat bukti dalam proses penuntutan pidana.

109Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof, hal. 24-25

146

ini selayaknya dipertimbangkan sebagai bagian penting dalam perubahan undang-

undang pemberantasan korupsi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003.

Kriminalisasi lain yang penting dan perlu dipertimbangkan secara serius

adalah dimasukkannya tindak pidana pencucian uang ke dalam konvensi (Pasal

23). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang "conditio sine qua

non" terhadap korupsi, sehingga dalam posisi sedemikan itu pemerintah setiap

negara peserta berkewajiban menetapkan kedua perundangan tersebut dalam

sistem hukum pidana nasionalnya. Bagi Indonesia posisi tersebut memerlukan

peninjauan kernbali mengenai kedudukan dan hubungan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,

dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang telah diubah oleh Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 satu sama lain.

Praktik penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi

yang menarik perhatian masyarakat luas dan bersifat transnasional110, aparatur

penegak hukum sering menghadapi kesulitan dalam melaksanakan penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi dalam kaitan dengan pencucian uang hasil

korupsi111 Kesulitan tersebut berdampak terhadap efisiensi dan efektivitas

kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di

110Sifat transnasional dari tindak pidana adalah: (a) conduct affecting more than one state;(b) conduct including or affecting of citizens of more than one state: and (c) means and methods transcend nation; boundaries (dikutip dari Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana lnternasional; Refika Aditama, Bandung; 2003)

111Setiap tindak pidana korupsi (dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan keuangan) mutatis mutandis merupakan tindak pidana pencucian uang. Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum acara khusus di dalam Undang-undang Nom or 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara khusus hukum acara yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan terhadap kedua tindak pidana tersebut dalam satu surat dakwaan, dan bagaimana ketentuan hukum pembuktiannya. Dari laporan lebih dari 5000 s/d tahun 2006. hanya 10 (sepuluh) perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, dan 3 (tiga) diantaranya sudah memperoleh putusan pengadilan.

147

negara lain. Masalah hukum yang muncul adalah, pertama, sejauh mana

kemungkinan pengaturan kedua tindak pidana tersebut di dalam satu perundang-

undangan yang sama, dan apakah kewenangan penyidikan akan dilimpahkan

kepada satu lembaga penegak hukum saja atau tetap kepada dua lembaga yang

berbeda. Masalah kedua, kemungkinan menggunakan sistem beban pembuktian

terbalik atau pembalikan beban terbalik (onus of proof/reversal burden of proof).

Kriminalisasi lain di dalam konvensi yang dipandang penting adalah, "trading in

influence" yang merupakan tindak pidana baru dalam lingkup pemberantasan

korupsi. "trading in influence" didefinisikan suatu perbuatan yang dilakukan

dengan sengaja: menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau

tidak langsung suatu keuntungan yang akan terjadi (or undue advantage) kepada

seorang pejabat publik atau orang lainnya dengan tujuan agar pejabat publik

tersebut atau orang lain tersebut, "abuse his or he real or supposed influence with

a view to obtaining from an administration or public authorithy of the State Party

an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person".

Ketentuan ini dibedakan antara perbuatan yang bersifat aktif dan perbuatan yang

bersifat pasif. Bandingkan ketentuan tersebut di atas dengan definisi, "bribery of

national public officials":

" .. when committed intentionally: (a) to promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties"(article 15).

Masalah hukum dari dua ketentuan ini adalah bagaimana secara teknis

hukum dalam pembuktian membedakan antara menyalahgunakan pengaruh dan

148

tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat

mandatory ("Shall consider') akan tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti

merumuskan unsur-unsur tindak pidananya.

Kriminalisasi lain yang relevan dengan situasi pemberantasan korupsi di

Indonesia adalah, "obstruction of justice" (Art. 25), dihubungkan dengan

ketentuan mengenai "protectio of witnesies, expert and victims" (Art. 32).

Konvensi UNCAC 2003 memerlukan ketentuan yang dapat mencegah

terjadinya hambatan atau inefisiensi atau inefektivitas proses penyidikan dan

peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Masalah yang sering terjadi di negara

berkembang pada umumnya, dan pada khususnya di Indonesia dalam praktik

pemberantasan korupsi adalah, justru aparatur penegak hukum yang melakukan

"obstruction of justice", di samping dilakukan oleh organisasi kejahatan atau

kelompok masyarakat tertentu. Ketentuan Pasal 25 khusus ditujukan untuk

melindungi seseorang yang akan memberikan kesaksian atau melindungi aparatur

penegak hukum termasuk hakim dan penasihat hukum dari gangguan atau

ancaman atau serangan pihak lain, akan tetapi ketentuan konvensi tersebut belum

dapat menjangkau fakta yang telah penulis uraikan di atas. Masalah hukum yang

timbul apakah masih diperlukan undang-undang tentang Perlindungan Saksi, Ahli

atau Korban tersendiri atau diatur dalam ketentuan tersendiri dan lengkap di

dalam undang-undang Pemberantasan Korupsi yang baru.

Di dalam bagian mengenai Kriminalisasi dan Penegakan hukum (Bab Ill)

konvensi UNCAC 2003 memasukkan ketentuan mengenai "Cooperation with law

enforcement authorities" (Pasal 37). Ketentuan ini relevan dengan wacana yang

149

dilontarkan oleh pihak Kejaksaan Agung baru-baru ini mengenai perlindungan

terhadap tersangka koruptor yang telah kooperatif dalam proses penyidikan dan

penuntutan dalam kasus korupsi. Ketentuan dalam Pasal 37 bersifat "mandatory

obligation" (butir 1) yang ditujuan untuk mendorong agar mereka yang

melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi untuk menyampaikan

informasi penting kepada pihak berwenang yang dapat dijadikan bukti untuk

melaksanakan penuntutan. Bahkan dalam butir 2 ditegaskan kewajiban negara

peserta untuk mempertimbangkan kemungkinan mengurangi hukuman dalam

kasus tertentu atau memberikan pembebasan dan penuntutan (butir 3) terhadap

tersangka korupsi yang memberikan bantuan yang substansial kepada

penyidik/penuntut umum. Dalam pembaruan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ketentuan ini memerlukan kajian

yang serius dan mendalam. Wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan

penuntutuan demi kepentingan umum sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan

Rl, dan substansi ketentuan Pasal 109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP

belum dapat menjangkau substansi ketentuan Pasal 37 konvensi UNCAC, 2003.

Konvensi UNCAC 2003 juga menegaskan bahwa, diperlukan

peningkatan kerjasama intemasional ketika korupsi sudah bersifat transnasional

terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil korupsi (Bab V). Pasca ratifikasi

Konvensi tersebut, dalam hal implementasi kerja sama internasional, pemerintah

telah menyiapkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bantuan Timbal

Balik dalam Masalah Pidana, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang

Ekstradisi

150

B. Ketentuan-Ketentuan Konvensi United Naions Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum Diadopsi dalam Hukum

Nasional112

Beberapa instrumen hukum yang perlu dibentuk sebagai bentuk ratifikasi

terhadap konvensi UNCAC 2003 yang belum diatur di Indonesia diantaranya

adalah sebagai berikut:

Pertama, pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem

system) dalam sistem hukum acara perdata nasional dengan prinsip bahwa yang

dinyatakan jahat adalah benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi

sehingga benda tersebut dapat langsung disita oleh negara sampai ada pemilik

yang sah dapat membuktikan bahwa benda tersebut bukan hasil dari kejahatan

atau digunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Pihak yang mengaku, apabila

dapat membuktikan, maka akan dikembalikan kepadanya tetapi jika tidak maka

harta tersebut menjadi milik negara dan siapa yang mengaku tersebut dapat

diperiksa karena dapat dinyatakan sebagai orang yang mengaku tetapi tidak dapat

membuktikan sehingga dapat dijerat pasal-pasal dalam tindak pidana umum

seperti penipuan ataupun pemalsuan surat-surat jika terbukti.

Kedua, membuat instrumen hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana khususnya dalam hal pembuktian terbalik, artinya setiap pejabat

negara ataupun pihak yang diuntungkan dari perbuatan tindak pidana korupsi

harus membuktikan asal muasal hartanya dan membuktikan kepada pengadilan

112Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 18 Mei 2015

151

darimana harta tersebut berasal hal ini juga berlaku bagi pejabat atau pegawai

negeri yang mendapatkan pertambahan harta kekayaan yang signifikan yang

diduga mendapatkan kekayaan secara tidak sah/halal (illicit enrichment) (Pasal 20

konvensi UNCAC 2003). Pada saat ini pembuktian terbalik hanya dikhususkan

untuk tindak pidana gratifikasi yang nilainya hanya diatas Rp. 10.000.000,-

(sepuluh juta rupiah) seharusnya bukan hanya tindak pidana gratifikasi tetapi

untuk seluruh tindak pidana korupsi dapat dimintakan proses pembuktian terbalik

(Pasal 12 B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Ketiga, kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private

sector), artinya pihak yang disuap dan menyuap adalah sektor swasta diluar

ketentuan yang ada lama Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, hal ini penting mengingat belum ada satupun ketentuan

hukum di Indonesia yang mengatur tentang kriminalisasi korupsi di sektor swasta

(pelaku dan penerima adalah sektor swasta), artinya tindak pidana korupsi bukan

hanya yang merugikan keuangan negara ataupun penyuapan terhadap aparat

pemerintah (PNS) tetapi juga di sektor swasta terhadap perusahaan-perusahaan

yang mempengaruhi perekonomian di Indonesia apabila ada unsur-unsur tindak

pidana korupsi dapat dipidana.

Keempat, kriminalisasi terhadap penyuapan pejabat publik asing dan pejabat

dari organisasi internasional publik (bribery of foreign public officials and

officials of public international organizations). Tindakan-tindakan tersebut

152

meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada

seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu organisasi

internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang

layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar

pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam

melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau mempertahankan bisnis

atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan dengan perilaku bisnis

internasional.113

Kelima, kriminalisasi perbuatan menggelapkan, penyalahgunaan dan

penyimpangan harta kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat publik (PNS)

atau pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 konvensi UNCAC 2003

dan yang dilakukan di sektor swasta (Pasal 22). Pasal 17 konvensi UNCAC 2003

tidak hanya melakukan kriminalisasi terhadap penggelapan saja, tetapi juga

penyalahgunaan atau penyimpangan atas harta kekayaan (property) dalam bentuk

apapun yang dipercayakan kepada pejabat publik.

Keenam, kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh (Trading in

Influence). Kualifikasi tindak tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan,

menawarkan, atau memberikan kepada seorang atau pejabat publik atau orang

lain, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya,

agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau

yang diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas atau orang itu

menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dengan

113Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej, 2009, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal.600

153

maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara ,

suatu keuntungan yang tidak semestinya.114

Ketujuh, membuat atau membentuk suatu lembaga yang khusus dalam

mengelola dan mengadministrasikan aset-aset yang dikorupsi dengan membentuk

suatu lembaga baru ini maka seluruh aset-aset hasil tindak pidana (bukan hanya

tindak pidana korupsi) baik yang ada di dalam negeri maupun diluar negeri

ditampung dan dikelola dalam badan pengelola aset tersebut hal ini sangat penting

mengingat banyaknya instansi penegak hukum yang merasa berwenang untuk

menyimpan dan mengelola aset-aset hasil tindak pidana atau yang digunakan

melakukan tindak pidana sehingga agar munculkan masalah bagaimana jika

hilang, berkurang ataupun bonus, bunga dari aset tersebut kepada siapa diberikan.

Kedelapan, pengaturan tentang Illicit Enrichment atau memperkaya secara

tidak sah yaitu dengan sengaja memperkaya secara tidak sah terindikasi dari

kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat

dijelaskan secara masuk akal oelh jumlah pendapatannya yang sah.

Kesembilan, Concealment yaitu tindakan dengan sengaja, setelah

dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut

konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut.

Kesepuluh, Obstruction of Justice atau perbuatan menghalang-halangi

proses pengadilan yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik,

ancaman, atau intimidasi atau janji menawarkan atau memberikan suatu

keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau

untuk turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti 114Ibid, hal. 601

154

dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan

dalam konvensi UNCAC 2003. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan

fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan

tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dan

hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi

konvensi UNCAC 2003.

155

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas maka kesimpulan yang tepat menurut penulis adalah :

1. Konvensi UNCAC 2003 mengatur tentang bentuk-bentuk Kerjasama

Internasional (Internasional Cooperation), antara lain :

a. Ekstradisi (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.44);

b. Bantuan hukum timbal-balik (Mutual Legal Assistance-MLA)

(terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.46);

c. Perjanjian pemindahan orang yang sudah dihukum (Transfer of

Sentenced Persons) (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.45)

d. Perjanjian pemindahan pemeriksaan kriminal (Transfer of Criminal

Proceiding) (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.47);

e. Investigasi bersama (Joint Investigation) (terdapat dalam konvensi

UNCAC 2003 art.49);

Kelima bentuk kerjasama internasional diatas harus dilaksanakan dengan

memperhatikan ketiga prinsip utama, yakni adanya kepentingan politik yang

sama, saling menguntungkan, dan non intervensi.

2. Berdasarkan alasan filosofis, sosiologis dan yuridis, produk hukum yang

saat ini ada yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

156

Pidana Korupsi tidak lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di

dalam konvensi UNCAC 2003. Oleh karena itu harus dibentuk produk

hukum baru untuk menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia. Pengacuan kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

konvensi UNCAC 2003 untuk Rancangan Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga harus memperhatikan undang-

undang yang masih berlaku di Indonesia pada saat ini maupun rancangan

undang-undang lain yang saat ini sedang disusun dan terkait dengan materi

dalam konvensi UNCAC 2003. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya

tumpang tindih pengaturan terhadap substansi yang sama.

Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan diatas, maka rancangan undang-

undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, minimal memuat

ketentuan-ketentuan mengenai :

a. Pengertian-pengertian tentang istilah yang dipakai;

b. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana

korupsi;

c. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset;

d. Kebijakan dan praktik pencegahan tindak pidana korupsi;

e. Bentuk-bentuk kerjasama internasional;

f. Partisipasi masyarakat.

Keenam hal tersebut selanjutnya harus dijabarkan berdasarkan

ketentuan–ketentuan yang terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 dan

157

dirumuskan ke dalam pasal-pasal rancangan undang-undang pemberantasan

tindak pidana korupsi.

3. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa belum terjadi

sinkronisasi antara konvensi UNCAC 2003 dengan peraturan perundang-

undangan nasional mengenai tindak pidana korupsi. Pengacuan terhadap

konvensi UNCAC 2003 diperlukan mengingat adanya beberapa hal baru

yang sebelumnya belum pernah diatur dalam undang-undang pemberantasan

tindak pidana korupsi yang pernah ada di Indonesia, baik dari segi istilah

maupun dari metode pelaksanaannya. Beberapa ketentuan yang terdapat di

dalam konvensi UNCAC namun belum diatur dan perlu diatur dalam

ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,

antara lain :

a. Pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem system);

b. Membuat instrumen hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana khususnya dalam hal pembuktian terbalik;

c. Kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private

sector);

d. Kriminalisasi terhadap penyuapan pejabat publik asing dan pejabat

dari organisasi internasional publik (bribery of foreign public officials

and officials of public international organizations);

e. Kriminalisasi perbuatan menggelapkan, penyalahgunaan dan

penyimpangan harta kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat

publik (PNS) atau pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17

158

konvensi UNCAC 2003 dan yang dilakukan di sektor swasta (Pasal

22);

f. Kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh (Trading in Influence);

g. Membuat atau membentuk suatu lembaga yang khusus dalam

mengelola dan mengadministrasikan aset-aset yang dikorupsi;

h. Pengaturan tentang Illicit Enrichment atau memperkaya diri sendiri

secara tidak sah;

i. Concealment yaitu tindakan dengan sengaja, setelah dilakukannya

salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut konvensi

ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut;

j. Obstruction of Justice atauu perbuatan menghalang-halangi proses

pengadilan yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan

fisik, ancaman, atau intimidasi atau janji menawarkan atau

memberikan suatu keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong

diberikannya kesaksian palsu atau untuk turut campur dalam

pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti dalam suatu

persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan

dalam konvensi UNCAC 2003.

B. Saran

Dari penjelasan diatas maka saran yang tepat menurut penulis adalah :

1. Pemerintah Indonesia sebaiknya lebih memperbaiki hubungan diplomasi

dengan negara lain baik negara yg masih dalam satu kawasan ASEAN

maupun dalam cakupan kawasan yg lebih luas agar semakin

159

mempermudah dalam penangkapan tersangka koruptor dan bahkan

penyitaan aset hasil korupsi;

2. Pemerintah Indonesia juga sebaiknya memperbanyak perjanjian

internasional baik melalui MLA (Mutual Legal Asistance) maupun

melalui ekstradisi dengan negara-negara tempat tujuan aset ditempatkan

agar langkah pengembalian aset hasil korupsi bisa semakin efektif dalam

pelaksanaannya;

3. Selain memperbanyak perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia

juga harus lebih mempercepat proses ratifikasi perjanjian internasional

tersebut agar segera bisa dilaksanakan dalam lingkup nasional;

4. Segera diharmonisasikannya konvensi UNCAC 2003 dengan peraturan

perundang-undangan anti korupsi di Indonesia dengan cara memasukkan

semua kriminalisasi yg telah diatur oleh konvensi UNCAC 2003 ke

dalam peraturan perundang-undangan anti korupsi nasional. Contoh:

mengenai Illicit Enrichment (memperkaya diri secara tidak sah),

pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem system),

kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector),

Concealment, Obstruction of Justice atau perbuatan menghalang-halangi

proses pengadilan, kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh

(Trading in Influence), dan lain-lain;

5. Semakin banyak memberikan edukasi tentang tindak pidana korupsi

kepada semua kalangan agar semakin banyak pihak tahu bahwa korupsi

itu merusak moral dan perekonomian bangsa; dan

160

6. Menghukum seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi agar ada

efek jera untuk melakukan hal itu lagi.

161

DAFTAR PUSTAKA

Buku

-------------, 2008, Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia, Figur, Vol XXVII/TH.2008, Tanpa penerbit,

ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, 2010, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific,

Ali, Mahrus, 2013, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Penerbit UII Press, Yogyakarta

Anan, Kofi, Tanpa Tahun, Kata Pengantar UNCAC pdf

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Atmasasmita, Romli, 2002, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta

Atmasasmita, Romli, 2003, Pengantar Hukum Pidana lnternasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung

Blay, Sam, 2003, Public International Law: An Australian Perspective Second Edition, Penerbit Oxford

Damos, Dumoli Agusman, 2012, Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945, Penerbit Opinio Juris Volume 04, Januari-April 2012

Darmawan, Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung

Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri

Djamily Mizwar, dkk., Tanpa tahun, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama

162

Eser, Albin, dan Michael Kubicil, 2005, Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round, Penerbit Nomos

Gamasih, Yenti, 2010, Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Penerbit Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta

Isra, Saldi, dan Eddy O.S Hiarriej, 2009, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Korupsi Mengorupsi Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Jayawickrama, Nihal, Jeremy Pope dan Oliver Stolpe, Tanpa tahun, Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof

Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Kusumaatmadja, Mochtar, dkk., 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Kusumaatmadja, Mochtar, dkk., 2010, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Lubis, Elmar Iwan, 2012, Pedoman Praktis Pembuatan, Pengesahan dan Penyimpanan Perjanjian Internasional Termasuk Penyiapan Full Powers dan Credentials, Penerbit Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta

Mauna, Boer, 2008, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Moloeng, Lexy J., 1989, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Penerbit Remaja Karya, Bandung

Morin, J.Y., 1965, In Annuaire Canadien de Droit Internasional (ACDI), Tanpa penerbit

Myers, 1957, The Names and Scoope of Treaties, Penerbit 51 American Journal of International Law

Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta

163

Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada

Tsani, Mohd.Burhan, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta

Winamo, Budi, 2008, Isu-Isu Global Kontemporer, Penerbit Caps: Yogyakarta, Yogyakarta

Undang-Undang dan Konvensi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

United Nations Convention Against Corruption 2003

Internet

http://www.jurnal.usu.ac.id

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi

http://Mahendraputra.net/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUM-INTERNASIONAL-101

http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against_Corruption

https://translate.google.com/

http://jurnal-libre.com/pdf

http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm

h ttp://en.wikipedia.org/wiki/ Convention_against_Transnational_Organized_Crime

164

http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm

http://www.transparency.org/survey/#cpi

http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf

http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf

http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III

http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang

http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html

http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67

http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Mei-Agustus%202011_46_56.PDF

http://jurnalrepository.unej.ac.id.pdf

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=167205

http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24221&Itemid=56

http://www.tribunnews.com/2012/01/04/2011-indonesia-sepakati-146-perjanjian-internasional

http://stredoall.blogspot.com/2010/06/kerjasama-internasional-mla.html

http://www.google.com

http://repository.upnyk.ac.id/8159/2/Hikmatul_Akbar_Carmeli_Konvensi_Anti_Korupsi_PBB.pdf

http://repo.unsrat.ac.id/24/1/DIMENSI_DAN_IMPLEMENTASI_PERBUATAN_MELAWAN_HUKUM_MATERIIL.pdf

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2perpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId

165

%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA

166