skripsi gabungan
TRANSCRIPT
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)
2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM
NASIONAL DI BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
Holy Apriliani
110200090
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC)
2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM
NASIONAL DI BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
H O L Y A P R I L I A N I
110200090
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
DR. Chairul Bariah, S.H., M.Hum NIP : 1956121019860120001
Pembimbing I Pembimbing II
DR. Chairul Bariah, S.H., M.Hum DR. Mahmul Siregar, S.H., M.HumNIP : 1956121019860120001 NIP : 197302202002121001
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
berkat dan kasih karunia Nya penulis bisa ada sampai saat ini dan masih
dimampukan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul: “UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 DALAM
KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL DI
BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” sebagai tugas
akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan sungguh hanya karena kasih
Nya lah penulis bisa ada sampai dalam tahap ini, semua hanya karena kebaikan
Nya semata.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mengakui bahwa penulis sering
mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta
petunjuk dari Bapak dan Ibu dosen pembimbing, maka penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang membuat penulis merasa menjadi anak yang
paling beruntung di dunia, yang penulis kasihi sepenuh hati Bapak yg luar
biasa Drs. Agus Kembaren, MM dan Mam yg juga luar biasa Nita
Herawati Tarigan, Amd. Terimakasih Pak, Mam untuk semua doa, kasih,
nasihat, dukungan moril dan materil, repetan, dan segala kebaikan kalian
dari aku lahir sampai sekarang aku berhasil menyelesaikan skripsi dan
i
mendapat gelar Sarjana Hukum ku. Tanpa doa kalian aku bukan apa-apa.
Semua ini aku persembahkan untuk kalian dengan sepenuh hati;
2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu
Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. O. K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku
Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam
penulisan skripsi ini, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta
waktunya untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan penulisan skripsi
ini;
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II
yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan,
arahan-arahan, serta waktu untuk membimbing penulis dalam pelaksanaan
penulisan skripsi ini;
ii
8. Ibu Afrita, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang
telah membimbing penulis dan memberi pengarahan dari segi akademis
kepada penulis dari awal sampai saat ini;
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing serta memberikan
ilmu yang sangat bernilai kepada penulis;
10. Kedua adik penulis yang terkasih, Richman Sukada Kembaren, (c)S.An
dan Salsaly Angelika Yokhebed Kembaren. Terimakasih buat doa,
dukungan, kasih yang kalian tunjukkan melalui cara kalian masing-
masing, aku bangga dan bersyukur karena punya kalian dalam hidupku;
11. Keluarga besar Sembiring Kembaren dan Tarigan Tendang. Terimakasih
untuk doa, dukungan moril juga materil serta nasihat-nasihat yang sangat
luar biasa untuk ku. Biarlah Tuhan saja yang membalas kebaikan kalian
semua..;
12. Kelompok kecil Janet dan Elora yaitu Kristina Simbolon, SH, Sarah
Siagian, SH, Roulinta Sinaga, SH, Sri Nita Pagit Tarigan, SH, Sabrina
Gultom, dan Royanti Tampubolon, SH untuk semua kasih, dukungan, doa,
dan kebaikan yg luar biasa yang kalian tunjukkan kepada ku. Aku sungguh
bersyukur karena boleh mengenal kalian dan menjadi bagian dari kalian;
13. Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL), kakak dan abang penulis dari
stambuk 2007 – 2010, adik-adik penulis dari stambuk 2012-2014 dan
terkhusus untuk G11 yang begitu banyak membantu, mendukung,
iii
mendoakan, dan menyemangati ku dalam proses pengerjaan skripsi ini.
Terimakasih sahabat! Aku bangga boleh mengenal kalian semua dan
menjadi bagian dari Perkumpulan yang sangat luar biasa ini;
14. Resimen Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Yon A K/P. Terimakasih
untuk persahabatan yang luar biasa walaupun aku sudah tidak lagi
tergabung di dalamnya. Dan juga kepada KMK USU UP FH. Terimakasih
juga untuk pengalaman yang luar biasa yang boleh aku dapatkan dari
kalian;
15. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa, Bintari Oktora, Chatrine
Sihombing, Fitri F. Tanjung, Stella, SH, Maisyarah Miraza, SH, Ricky
Sidabutar, Tri Yanto Yeremia Siagian, SH, Samitha Andimas, Elfrina
Ritonga, Olivya Tambunan, Amd. Terimakasih untuk doa, kasih, dan
dukungan kalian untuk ku. Terimakasih juga atas kesabaran kalian dalam
menghadapi ku yang super negatif ini. Aku mengasihi kalian ;
16. Teman seperjuangan dan satu asal, Daniel Christian D. Aritonang, Nathan
Lumban Raja dan terkhusus soulmate penulis Daniel Bernadus yang
membuat penulis percaya bahwa soulmate bisa juga berlaku pada sahabat.
Terimakasih dan semoga sukses untuk kalian!;
17. Abang-abang dan kakak-kakak yang sampai saat ini masih meberikan hati
untuk mendukung penulis, kak Lusiana Pangaribuan, SH.M.H, kak
Rischelly Ritonga, SH, kak Yessica Situmorang, SH, kak Kristina
Sitanggang, SH, kak Sherly Sembiring, SH, kak Susanti Nababan, SH,
iv
bang Kastro Sitorus, SH, dan bang Deffid Ivani Siahaan, SH. Terimakasih
untuk saran, doa, dukungan kalian untuk ku. Sangat beruntung boleh
mengenal kalian semua kak,bang;
18. Seluruh guru-guru di SDK.Pamardi Yuwana Bhakti, SMPN 148 Jakarta,
SMPN 157 Jakarta, dan SMAN 67 Jakarta. Terimakasih Bapak dan Ibu,
berkat kalian saya bisa sampai di tahap ini. Terimakasih untuk ilmu dan
didikan yang luar biasa!;
19. Sahabat penulis yang luar biasa Almh.Henny Febrina Purnamasari
Harahap dan Alm.Olan Fernandus Lumban Toruan. Walaupun kalian udah
disamping Bapa di Surga, kenangan bersama kalian dan kebaikan kalian
masih aku ingat sampai detik ini. Terimakasih banyak..;
20. Teman-teman ILSA Stambuk 2011, teman-teman Grup B 2011, serta
Panitia Natal Keluarga Besar Fakultas Hukum USU 2014 terkhusus Seksi
Acara : Rika Sitompul, Christin Tobing, Stephani Situmorang, Via
Situmorang, Novi Sihaloho, Imelda Sinurat, SH, Kartika Manurung, SH,
Tulus Nababan, SH, Alexandro Simanjuntak, SH, Asido Malau, Guntur
Gultom, SH Terimakasih untuk kalian semua! Sangat bersyukur boleh
mengenal kalian dan boleh bekerjasama dengan kalian. Aku mengasihi
kalian ;
21. Keluarga besar Anak Kost Berdikari 48 (AKB 48), Kakak, Bapak, Biring,
dan Bulang. Terimakasih untuk kesabaran kalian selama ini, juga untuk
dukungan doa, dan kebaikan kalian yang luar biasa. Tuhan memberkati!
v
22. Semua pihak yang mengenal dan telah membantu penulis yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih untuk kalian semua. Aku
mengasihi kalian .
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak
kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya
masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.
Demikian lah yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan,Juli 2015
Penulis
Holy Apriliiani
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL .........................................................................xi
DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................................xii
ABSTRAKSI .............................................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................6
C. Tujuan Penulisan...................................................................................6
D. Manfaat Penulisan ...............................................................................7
E. Keaslian Penulisan ...............................................................................7
F. Tinjauan Kepustakaan ..........................................................................8
G .Metode Penelitian ................................................................................17
1. Jenis Penelitian................................................................................17
2. Sumber Data ...................................................................................18
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................19
4. Analisis Data ..................................................................................20
H. Sistematika Penulisan ........................................................................20
BAB II . .KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BERDASARKAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 ..............................................23
vii
A. Sejarah terbentuknya Konvensi United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003 ..................................................23
B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) ..........................................................................35
1. Defenisi dan ruang lingkup .............................................................37
2. Tahap pembuatan UNCAC 2003 ....................................................44
C. Kekuatan mengikat Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003..................................................................47
D. Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ...................53
1. Jenis-jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam Konvensi
United Nations Convention Agaisnt Corruption (UNCAC) 2003....53
2.Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ....57
E. Kerjasama internasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
66
BAB III HUBUNGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 DENGAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA........................................................................................100
A. Ratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption .
(UNCAC) 2003 oleh Indonesia dan negara lainnya ............................100
viii
1. Proses ratifikasi Konvensi UNCAC oleh pemerintah Indonesia
...............................................................................................................101
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
Konvensi UNCAC...........................................................................102
a. Latar belakang dan tujuan pembentukan .....................................104
b. Istilah-istilah penting ...................................................................106
c. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset ..............................108
d. Perlindungan saksi, ahli, dan korban ...........................................110
e. Perlindungan pelapor ...................................................................111
B Akibat hukum dari ratifikasi Konvensi United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003 ....................................................112
C. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 terhadap pembentukan hukum anti korupsi di
Indonesia ..............................................................................................129
D.Pengaruh Konvensi United Nations Convention Agaisnt Corruption
(UNCAC) 2003 terhadap proses pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia .............................................................................130
BAB IV SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
NASIONAL TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DENGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003 .............................................133
ix
A. Ketentuan-ketentuan Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 yang diadopsi dalam hukum nasional
...............................................................................................................133
B. Ketentuan-ketentuan Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 yang belum diadopsi dalam hukum
nasional ................................................................................................151
BAB V PENUTUP....................................................................................................156
A.Kesimpulan ...........................................................................................156
B.Saran .....................................................................................................162
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................xvi
x
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
GAMBAR I Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional
Dibawah Wibawa PBB 43
GAMBAR II Negara-negara yang telah menandatangani UNCAC 2003
dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November
2014 59 59
TABEL I Daftar negara yang telah menandatangani dan
meratifikasi UNCAC 2003, beserta tanggal nya 60
TABEL II Perjanjian-perjanjian ekstradisi Indonesia dengan
Beberapa negara 69
TABEL III Perjanjian-perjanjian MLA Indonesia dengan
beberapa negaraa 79
xi
DAFTAR SINGKATAN
A.
AMLA : ASEAN Mutual Legal Assistance
Ampres : Amanat Presiden
Art : Article
ACCH : Anti Corruption Clearing House
ACCT : ASEAN Convention on Counter Terrorism
ASEAN : Assosiation of South East Asia Nation
C.
CoSP : Conference of the State Parties
CTC : Certified True Copy
D.
DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
H.
HAM : Hak Asasi Manusia
I.
ICJ : International Court of Justice
ICW : Indonesian Corruption Watch
ILO : International Labour Organization
ILSA : International Law Student Association
xii
J.
Jo. : Juncto
K.
KA : Kereta Api
Kapolri : Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Kemenkumham : Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
L.
LBB : Liga Bangsa-Bangsa
M.
Menkumham : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Menlu : Menteri Luar Negeri
MLA : Mutual Legal Assistance
N.
NGO : Non Government Organization
No. : Nomor
P.
PAK : Panitia Antar Kementrian
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perpres : Peraturan Presiden
xiii
Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PPERPRES : Pengesahan Peraturan Presiden
PPTM : Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri
Prolegnas : Program legislasi nasional
R.
RAK : Rapat Antar Kementrian
RI : Republik Indonesia
RPERPRES : Rancangan Peraturan Presiden
RRT : Republik Rakyat Tiongkok
RUU : Rancangan Undang-Undang
T.
TCP : Transfer of Criminal Proceeding
TSP : Transfer of Sentenced Person
U.
UN : United Nations
UNCAC : United Nations Convention Against Corruption
UNESCO : United Nations Economic Social Cultural Organization
UNODC : United Nations Office on Drugs and Crime
UNTOC : United Nations Convention of International Organized Crime
UU : Undang-Undang
xiv
ABSTRAK
UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CONVENTION (UNCAC) 2003 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL DI
BIDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
*) Holy Apriliani**) Chairul Bariah
***) Mahmul Siregar
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, karena itu lah tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum internasional tentang tindak pidana korupsi, untuk mengetahui bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi, dan untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
Konvensi UNCAC 2003 merupakan sebuah perjanjian internasional (treaty based crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip integritas nasional dan prinsip non intervensi. .Main point dari konvensi ini adalah kriminalisasi, asset recovery,dan kerjasama internasional. Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia yang sudah melintas batas negara (cross border).
Kata Kunci: Tindak pidana korupsi, UNCAC 2003, perjanjian internasional
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara**) Dosen Pembimbing I***) Dosen Pembimbing II
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang
bersifat multi etnik. Keragaman etnik dan dengan sendirinya keragaman budaya
merupakan mutiara terpendam yang memerlukan penanganan yang sangat hati-
hati, terutama dalam memilih indikator untuk menetapkan jati diri bangsa
Indonesia. Kelangkaan pakar dan pengamat serta tenaga ahli bangsa Indonesia
yang memusatkan perhatian mereka pada budaya Indonesia yang bersifat multi
etnik ini, sesungguhnya turut bertanggung jawab terhadap kenyataan yang ada
sekarang ini, yakni kurang atau tidak dipahaminya secara benar dan tepat
mengenai karakteristik budaya Indonesia tersebut oleh generasi penerus.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan
karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
1
kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun
dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa sehingga tuntutan akan ketersediaan perangkat
hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang benar-benar
mampu menangani setiap kasus tindak pidana korupsi tidak dapat dielakkan lagi1.
Seluruh rakyat Indonesia sepakat bahwa tindak pidana korupsi harus dicegah dan
dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan
rakyat bahkan sudah sampai tahap sebagai pelanggaran hak ekonomi dan hak
sosial rakyat Indonesia.
Persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bukan hanya
merupakan persoalan dan penegakan hukum semata-mata, tetapi juga merupakan
persoalan sosial dan psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan
persoalan hukum, sehingga harus segera dibenahi secara simultan. Alasan
mengapa tindak pidana korupsi harus dianggap sebagai sebuah persoalan sosial
adalah karena korupsi telah mengakibatkan tidak adanya pemerataan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi pun harus
dianggap sebagai persoalan psikologi sosial, karena tindak pidana korupsi
merupakan penyakit sosial yang sulit untuk disembuhkan.2
Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen
pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi
internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang
1Diakses dari http://www.jurnal.usu.ac.id, diakses tanggal 5 Maret 20152Romli Atmasasmita, Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti
Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 9
2
korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
pada tahun 2003.
Akibat tindak pidana korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula
dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang telah di
ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya
menyatakan bahwa:
“ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;”
("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh
korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")
Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan,
apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia.
Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Menentang
Korupsi (United Nations Convention Against Corruption /konvensi UNCAC
2003) yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida,
Meksiko bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia
untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikut sertanya
Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tanggal 21 maret 2006 yang kemudian
diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan
kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan konvensi ini.
3
Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini diharapkan oleh
pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang
berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah sebanyak 5 kali, akan tetapi peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara
khusus membahas tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset3.
Disahkannya konvensi UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup mengatasi
masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya
dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak
hukum namun juga dari seluruh elemen masyarakat, karena pelaksanaan konvensi
UNCAC 2003 tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga
menuntut peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society).
Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia
terutama setelah berakhirnya era orde baru yang jatuh karena rasa
ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak
terobosan yang dilakukan terutama dengan disahkannya Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan KPK
(Korupsi Pemberantasan Korupsi) sebagai “state auxiliary body” yang khusus
menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk mempercepat
pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini.
3Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption
4
Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam upaya
pemberantasan korupsi ini, maka KPK mempunyai kewajiban untuk memastikan
terimplementasinya konvensi UNCAC 2003 tersebut. Langkah awal untuk
implementasi konvensi UNCAC 2003 adalah menyelaraskan undang-undang
tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan
sejumlah ketentuan yang tercantum dalam konvensi UNCAC 2003. Tentunya
implementasi konvensi UNCAC 2003 tidak harus menunggu hingga seluruh
peraturan perundangan terharmonisasi dengan konvensi UNCAC 2003, karena
sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada
pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang
diperintahkan oleh konvensi.
Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan
korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan
penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang
berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi
yang diharapkan oleh konvensi UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya
peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan
pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat
pemerintah adalah subyek dan obyek dalam konvensi UNCAC 2003 ini. Terkait
dengan konvensi UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan
pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini
mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam
5
pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan
bagi Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan
tindak pidana korupsi menurut konvensi United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003?
2. Bagaimana hubungan konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia?
3. Bagaimana bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai
tindak pidana korupsi;
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak
pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia;
6
3. Untuk mengetahui bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan
nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis, yakni untuk menambah bahan penelitian bagi literatur
yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, serta sebagai dasar
penelitian selanjutnya pada bidang yang sama.
2. Manfaat praktis, yakni sebagai pengingat bagi pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia agar tidak melanggar ketentuan yang ada
yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
E. Keaslian Penulisan
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka
penelitian ini mengangkat suatu materi dari mata kuliah pilihan, yaitu hukum
pidana internasional, khususnya yang membahas mengenai tindak pidana korupsi
yang dituangkan dalam sebuah judul penelitian “United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003 dalam Kaitannya dengan Pembentukan
Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Dalam rangka pengajuan judul penelitian ini, maka harus terlebih dahulu
mendaftarkan judul tersebut ke bagian departemen Hukum Internasional dan telah
7
diperiksa pada arsip bagian departemen Hukum Internasional. Judul yang
diangkat dinyatakan disetujui oleh departemen Hukum Internasional pada tanggal
13 November 2014.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan pada bagian departemen Hukum
Internasional pada khususnya dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
pada umumnya, diketahui bahwa belum ada penelitian yang secara khusus
membahas tentang United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keaslian penulisan yang
dituangkan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya.
F. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-
laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan
pengertian dari judul penelitian, yakni yang diambil dari sumber-sumber buku
yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut
etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum
maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.
1. Pengertian perjanjian internasional menurut Prof.Mochtar
Kusumaatmadja4
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat
hukum tertentu.
4Mochtar Kusumaatmadja,dkk, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal.117
8
Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian
internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum
internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.
2. Organisasi dan Organisasi Internasional
Beberapa pengertian organisasi menurut para ahli, yaitu5 :
a. Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-
hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan
atasan mengejar tujuan bersama
b. James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk
setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama
c. Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan
suatu sistem aktivitas kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih
d. Stephen P. Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan
(entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang
relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau
sekelompok tujuan
Sedangkan pengertian organisasi internasional menurut para ahli antara lain6
a. Bowwet D.W. : “....tidak ada suatu batasan mengenai organisasi
publik internasional yang dapat diterima secara umum. Pada
umumnya organisasi ini merupakan organisasi permanen (sebagai
5Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, diakses pada tanggal 4 Maret 20156Diakses dari, http://Mahendraputra.net/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUM-
INTERNASIONAL-101, diakses pada tanggal 4 Maret 2015
9
contoh, jawatan pos atau KA) yang didirikan berdasarkan perjanjian
internasional yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral
daripada perjanjian bilateral yang disertai beberapa kriteria tertentu
mengenai tujuannya”
b. Starke hanya membandingkan fungsi, hak dan kewajiban serta
wewenang dari lembaga internasional dengan negara yang modern.
Starke berpendapat : “Pada awalnya seperti fungsi suatu negara
modern mempunyai hak, kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki
beserta alat perlengkapannya, semua itu diatur oleh hukum nasional
yang dinamakan hukum tata negara sehingga dengan demikian
organisasi internasional sama halnya dengan alat perlengkapan negara
modern yang diatur oleh hukum konstitusi nasional”
c. Sumaryo Suryokusumo berpendapat bahwa organisasi internasional
adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut aspek-
aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada
waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam rangka
kerja sama menyesuaikan dan mencari kompromi untuk menentukan
kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama serta mengurangi
pertikaian yang timbul
d. T. Sugeng Susanto menjelaskan yang dimaksud dengan organisasi
internasional dalam pengertian luas adalah bentuk kerjasama antar
pihak-pihak yang bersifat internasional untuk tujuan yang bersifat
internasional. Pihak-pihak yang bersifat internasional itu dapat berupa
10
orang-perorangan, badan-badan bukan negara yang berada di berbagai
negara atau pemerintah negara. Adapun yang dimaksud dengan tujuan
internasional ialah tujuan bersama yang menyangkut kepentingan
berbagai negara
e. Boer Mauna menyebutkan bahwa pengertian organisasi internasional
menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional, yang mana dalam pasal itu disebutkan bahwa organisasi
internasional adalah organisasi antar pemerintah. Menurut Boer
Mauna, pengertian yang diberikan konvensi ini sangat sempit karena
hanya membatasi diri pada hubungan antar pemerintah. Menurutnya,
defenisi inimendapat tantangan dari para penganut defenisi yang luas
menurut NGO’s7
3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN/PBB)8
Tujuan Berdirinya PBB :
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) didirikan pada tanggal 24 Oktober
1945 Oleh negara-negara Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina
(sekarang Republik Rakyat Tiongkok), Perancis, Uni Soviet (sekarang
Rusia), dan Inggris.
PBB didirikan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan
keamanan, untuk mengembangkan hubungan persahabatan dan
kerjasama antar bangsa dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi,
7Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2008, PT. Alumni, Bandung, hal.459
8Mizwar Djamily,dkk, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Cetakan Keenam, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama, hal.10
11
sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan, serta memajukan penghormatan
terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.
Disamping itu PBB juga bertujuan untuk menjadi pusat dalam
merukunkan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama
diatas.
4. Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi
itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif9.
Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :
a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009);10
b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999);
c) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
9Prinst Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal.2
10Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
12
pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2009);
d) Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan
Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999);
e) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999);
f) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal
5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999);
g) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999);
h) Pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan
13
perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001)11;
i) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001);
j) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001);
k) Pegawai negeri atau orang lain selain Pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang,
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut :
a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
11Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
14
yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001);
b) Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
c) Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
membiarkan perbuatan curang sebagaimana disebut dalam ayat (1)
huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
d) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaannya atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001);
e) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
15
kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan huruf b
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
f) Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui itu patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
g) Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
h) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001).
5. Sedangkan yang dimaksud dengan United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 200312 adalah :
United Nations Convention against Corruption (UNCAC) is a multilateral convention negotiated by members of the United Nations. It is the first global legally binding international anti-corruption instrument. In its 71 Articles divided into 8 Chapters, UNCAC requires that States Parties implement several anti-corruption measures which
12Diakses dari, http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against_Corruption, diakses pada tanggal 4 Maret 2015
16
may affect their laws, institutions and practices. These measures aim at preventing corruption, criminalizing certain conducts, strengthening international law enforcement and judicial cooperation, providing effective legal mechanisms for asset recovery, technical assistance and information exchange, and mechanisms for implementation of the Convention, including the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption (CoSP).
Konvensi UNCAC 2003 merupakan konvensi multilateral yang
dinegosiasikan oleh anggota PBB. Konvensi ini merupakan instrumen hukum
intenasional pertama tentang anti - korupsi yang mengikat secara global. Konvensi
ini terdiri atas 71 artikel yang terbagi menjadi 8 bab. Dalam konvensi UNCAC
2003 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak menerapkan beberapa langkah-
langkah anti - korupsi yang dapat mempengaruhi hukum mereka baik secara
institusi maupun praktik. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah korupsi,
kriminalisasi perilaku tertentu, memperkuat penegakan hukum internasional dan
kerjasama yudisial, menyediakan mekanisme hukum yang efektif untuk
pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi, dan mekanisme
pelaksanaan Konvensi, termasuk Konferensi Negara-Negara Pihak pada konvensi
PBB melawan Korupsi ( CoSP ) .13
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
menganalisis norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
13Diterjemahkan melalui situs https://translate.google.com/, diakses pada tanggal 4 Maret 2015
17
undangan dan putusan-putusan hakim. Menurut Prof. Soerjono Soekanto14,
penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap azas-azas hukum;
penelitian terhadap sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi
hukum; penelitian sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum.
2. Sumber Data
Penelitian hukum pada umumnya membedakan sumber data ke dalam 2
(dua) bagian, yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sumber data dalam
penelitian ini merupakan data sekunder, yakni terdiri dari15 :
a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini berupa :
1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana
Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana
Korupsi
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
14Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2008, hal.51
15Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003, hal.113-114
18
5) Unied Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
6) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
b) Bahan hukum sekunder adalah bahan acuan yang bersumber dari
buku-buku, surat kabar, media internet serta media massa lainnya
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti karya ilmiah
sarjana, jurnal-jurnal hukum, dan hasil penelitian.
c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus-kamus dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen
atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis.16 Analisis isi
(content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap
isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis isi dapat
digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita
radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir
semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode
penelitian.17 Pengertian lain, menyatakan bahwa Studi Kepustakaan (Library
Research), yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-
16Soerjono Soekanto, op.cit, hal.2117Andre Yuris, Berkenalan dengan Analisis Isi (Content Analysis),
https://andreyuris.wordpress.com/2009/09/02/analisis-isi-content-analysis/, diakses tanggal 30 Juni 2015
19
buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan
bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Menurut Berndl Berson, ”Content analysis is a research technique for
the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of
communication.”18 (kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan
mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk
komunikasi). Teknik analisis data dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Teknik analisis data kuantitatif yaitu menganalisis dengan pengukuran
data statistik secara obyektif belalui perhitungan ilmiah berasal dari
sampel yang menghubungkan antara pengamatan empiris dan ekspresi
matematis
b. Teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data,
mengkualifikasikan berupa huruf, kemudian menghubungkan teori
yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan
untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan
sosiologis.
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif,
karena lebih cenderung menggunakan pendekatan teoritis yang lebih
mengutamakan dalamnya data daripada jumlahnya.
18Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal.179
20
H. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi harus mempermudah dalam pemahaman mulai dari
awal permasalahan hingga pembahasan. Sistematika skripsi ini adalah sebagai
berikut :
Bab pertama dimulai dari memaparkan latar belakang lahirnya
permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 (tiga) inti masalah, serta
menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian, dan menjabarkan kerangka teori
dan konsep serta metode penelitian.
Bab kedua mulai membahas permasalahan yang pertama yaitu Bentuk
Kerjasama Internasional dalam Hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003. Bab ini terdiri dari Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Kedudukan Konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah
Perjanjian Internasional ; Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 yang kemudian terbagi lagi atas : Jenis-Jenis Tindak Pidana
Korupsi yang Diatur dalam Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 ; Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; dan poin
terakhir: Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
21
Bab ketiga berisi tentang Hubungan Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang: Ratifikasi Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Oleh Indonesia
dan Negara Lainnya ; Akibat Hukum dari Ratifikasi Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia ; Pengaruh
Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di Indonesia ; Pengaruh Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Proses
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Bab keempat membahas permasalahan akhir, yaitu Bentuk Sinkronisasi
Peraturan Perundang-undangan Nasional tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003. Bab ini akan memaparkan lebih jelas tentang Ketentuan –
Ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional ; dan Ketentuan-Ketentuan Konvensi
United Naions Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum
Diadopsi dalam Hukum Nasional.
Bab kelima merupakan bab penutup dari skripsi ini. Bab ini berisi
kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran
yang berdasarkan hasil dari penelitian.
22
BAB II
KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003
A. Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003
Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah
menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai
etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan
penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki
hubungan yang erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan
terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam
banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting
sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan
yang berkelanjutan negara tersebut19
Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan
fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi,
yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya
sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan
multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
19Konsideran United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003
23
efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis
yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara,
termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan
lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif.20
Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh
beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak
korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan
dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak
kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang
telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.21 Diawali dengan terungkapnya
beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan
oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan
negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai
awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga
1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5
miliar hingga US$10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang
dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai
salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah.22
Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh
Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah
20Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33
21Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.
22Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia, Figur, Vol XXVII/TH.2008, hal. 22
24
mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$5 miliar. Selain itu ada Presiden
Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$2
miliar hingga US$5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi
kekayaan negaranya sebesar US$1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang
melakukan korupsi sebesar US$300 juta hingga US$800 juta, Presiden Peru
Alberto Fujimori sebesar US$600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang
mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US$114 juta hingga US$ 200 juta, dan
Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan
negaranya sebesar US$100 juta.23
Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the
capture state, yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan
dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat
melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi
berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan
merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju
ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian
negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat
mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis.
Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik
seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak
korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program
pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana
yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak 23Diakses dari, http://jurnal-libre.com/pdf, diakses tanggal 5 Maret 2015
25
sesuai dengan wujud dari program tersebut.24 Berdasarkan dari beberapa
penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang
sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat
publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi
ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam
segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari
gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Dalam kaitannya dengan besarnya dampak negatif korupsi dan
permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan
korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari
tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama
kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian
dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000.25
Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan
dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB
yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi
dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut
didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen against
corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office
on Drug and Crime (UNODC).26
24http://jurnal-libre.com/pdf , Ibid.25Background of United Nation Convention Against Corruption, diakses dari
http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html, diakses tanggal 5 Maret 201526Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption, Ibid.
26
Naskah Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang
diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan
pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 mulai diberlakukan oleh
organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi
UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk
memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan
korupsi.
Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai
dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Melawan Korupsi (konvensi United Nations Convention Againts Corruption/
UNCAC 2003) oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai
dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan
sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara
resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Setelah
diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005.
Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah
129 negara.27
Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah
semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan
praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi
27Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015
27
untuk memberantas korupsi dalam konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh
PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan
memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi
berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat
memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum.
Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan
keberlanjutan pembangunan (jeopardizing sustainable development). Dalam
praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi (crime
organized), pencucian uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi
(economic crime) lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai
akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat (fair
competition) dan menyuburkan persaingan tidak sehat (unfair competition) di
dunia bisnis.28
Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti
Korupsi tingkat internasional29 yaitu:
1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada
di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi
berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing.
2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat
internasional.
28Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015
29Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Convention_against_Transnational_Organized_Crime,diakses tanggal 23 Maret 2015
28
3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang
merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali.
4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat
asing (Bribery of Foreign Public Officials).
5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan
anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal (Criminal Law); Konvensi Hukum
Sipil (Civil Law Convention)
6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized
Crime
7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Konvensi UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) 2003
adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan
komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003
terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara
peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan
umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah30:
a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan
(strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently
and effectively).
b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan
bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi,
termasuk pengembalian aset (to promote, facilitate and support 30h ttp://en.wikipedia.org/wiki/Convention_Against_Transnational_Organized_Crime ,Ibid,
29
international cooperation and technical assistance in the prevention of
and fight against corruption, including in asset recovery).
c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen
publik yang sesuai dengan kepemilikan umum (to promote integrity,
accountability and proper management of public affairs and public
property).
Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri
atas 8 (delapan) bab dan 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai
berikut31:
a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan
istilah-istilah; ruang lingkup pemberlakuan; dan perlindungan
kedaulatan.
b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek
pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor
publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan
pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta;
partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian
uang.
c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan
pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing
dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik;
31Diakses dari http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 23 Maret 2015
30
penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh
pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi;
memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta;
penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan;
penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung
jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan,
maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan;
penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan
perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi
orang-orang yang melaporkan; akibat-akibat tindakan korupsi;
kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama
dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan
berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional
dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi.
d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer
narapidana; bantuan hukum timbal balik; transfer proses pidana;
kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik
penyidikan khusus.
e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer
hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung
atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui
kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional
untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan
31
penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan
pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral.
f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat
pelatihan dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis
informasi tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan
konvensi melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis.
g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi
negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan
korupsi secara efektif dan efisien.
h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi;
penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan,
persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri;
penyimpanan dan bahasa-bahasa.
Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara
global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara
komprehensif. Konvensi UNCAC 2003 menetapkan secara eksplisit bahwa
korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat
luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan
berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu
negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC
2003 menyiapkan 3 (tiga) strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama
lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi (criminalisation), pengembalian
hasil aset korupsi (asset recovery), dan kerjasama internasional (international
32
cooperation).32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk
pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu,
negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk
mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian
bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan
dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18
tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp
5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang
lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen
Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan
Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar
Rp 4,5 triliun) di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha.33 Keberhasilan dari
negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara
korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian
aset hasil korupsi (asset recovery). Seperti halnya negara berkembang lainnya,
Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks.
Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan
karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor
penghambat utama pelaksanaan pembangunan Indonesia dan sangat
membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat
32http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, Ibid,33Diakses dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html, diakses pada
tanggal 21 Maret 2015
33
dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di
dunia.34
Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat
kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum
tindak pidana korupsi.35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini
lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian,
kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasus-
kasus korupsi secara lebih efektif.36
B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional
Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional
memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan
pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara 34Diakses dari, http://www.transparency.org/survey/#cpi, Diakses tanggal 21 Maret 201535Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
36Ibid,
34
menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan,
menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.
Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu
negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu
negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum
internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung
kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk
mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian
tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-
negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.
Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia
akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara
umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa
ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum
internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.
Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk
perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat
sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat
pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan
untuk perjanjian-perjanjian internasional.37 Selanjutnya sesuai hukum
internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian
37 Myers, The Names and Scoope of Treaties, 51 American Journal of International Law , 1957, hal. 574,575
35
internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara
bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional
karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun kadang-
kadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat
membuat perjanjian internasional.
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya
diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional
di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari
tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan
hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention
On the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini
mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum
internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak
pada Konvensi tersebut.
(1)Defenisi dan Ruang Lingkup
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:
a) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat
umum maupun khusus;
b) kebiasaan internasional (international custom);
36
c) prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui
oleh negara-negara beradab;
d) keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified
publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.
Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty)
didefinisikan sebagai:
Suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian
internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu
subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan
ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.
Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam
defenisi perjanjian internasional tersebut:
(a)Adanya subjek hukum internasional
37
Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang
mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional
seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina .
Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal,
organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional.
Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai
kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian
dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam
batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang
menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu
negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang
cukup peka.
Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang
membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang
negara-negara bagian membuat perjanjian dengan negara-negara lain. Kanada
yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan
posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa
Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara
francophone.38
Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 (Pasal 70),
Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga
memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat
persetujuan dengan negara-negara lain38J.Y Morin, In Annuaire Canadien de Droit Internasional (ACDI), 1965, hal. 127-186
38
Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan
wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian
antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status
UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni
1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan
juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya
yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa
antara LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan
gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB.
Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas
terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat
antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi
internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk
membuat perjanjian-perjanjian diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dan
organisasi tersebut.
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum
tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu
konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan
bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat
39
lembaga internasional.39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional.40 Langkah-
langkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah
sebagai berikut :
a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas
nama negara
Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan
negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat.
b. Negosiasi dan adopsi
Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan
pemerintah masing-masing.
c. Otentikasi dan penandatanganan
Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti
instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Sebelum dilakukan
penandatanganan, rancangan teks tersebut dapat diumumkan. Tahap
penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal.
d. Ratifikasi
Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau
pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh
kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya.
39sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison (et.al), dalam Marry G. Kweit& Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup (Final Act), Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126
40Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 75-79
40
e. Aksesi dan addesi
Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan
negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak
ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional.
f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional
Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya
suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau
apa yang telah disetujui oleh negara peserta.
g. Registrasi dan publikasi
Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian
internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus
sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan
diumumkan oleh Sekretariat.
h. Aplikasi dan pelaksanaan perjanjian internasional
Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah
penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara
pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan
dan supervisi oleh organ-organ internasional.
Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan
pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari
hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya.
Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum
41
nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses
harmonisasi hukum.41
Gambar 1Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa
PBB.42
41Harmonisasi adalah suatu proses standarisasi internasional untuk menyamakan standar hukumnasional yang berlaku di negara yang bersangkutan dengan standar internasional sebagai akibat dari ratifikai yang menuntut adanya pemberlakuan (Entry into Force), ibid, hal 130
42Mohd. Burhan Tsani, Op.Cit, hal 82
42
Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82
(2)Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003
Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 (United Nations Convention
Againts Corruption) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan
43
(Negotiation), Penandatanganan (Signature), dan Ratifikasi (Ratification).
Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak
singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut
1 Perundingan (Negotiation)
Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang
korupsi (konvensi UNCAC 2003) diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi
Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya
instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum
internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang
berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan
draft Konvensi43. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun
untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir
Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa
2 Penandatanganan (Signature)
Konvensi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC)
2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas
43Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06..htm, diakses tanggal 23 Maret 2015
44
Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi
tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida
Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111
negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19
September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara
yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai
dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003.44
3 Ratifikasi (Ratification)
Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts
Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara
yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut.
Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi
tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi
adalah sebagaimana terlampir.45
Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi
yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003.
Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB
berdasarkan resolusi No. 57/169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah
Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi
UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut
menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia
44This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http://www.unodc.org/unodc/crime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015
45Ibid,
45
telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18
April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi
terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi
UNCAC Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakuakan
standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan
pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi
UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah
melintas batas negara (cross border).
Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang
merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang
kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On
Drug and Crime (UNODC) yang menjadi subyek hukum internasional dan
menjadi anggota dari masyarakat internasional.46
Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC
di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari
upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik
maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada
permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun
pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003
melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi
negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi
karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek
46Mochtar Kusumaatmadja,dkk. Pengantar Hukum Internasional.Cetakan Pertama, PT Alumni, Bandung, 2010
46
buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi
manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan
dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan
pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar
negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya.47
C. Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003
Adapun kewajiban negara dalam meratifikasi konvensi UNCAC 2003
adalah tidak hanya terbatas pada negara yang menjadi anggota dari organisasi
UNODC yang mana UNODC sebagai organisasi dibawah PBB yang menaungi
Konvensi UNCAC 2003. Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003
selanjutnya wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertera didalam pasal-
pasal yang termuat dalam Konvensi UNCAC 2003. Ketentuan tersebut secara
jelas telah di cantumkan dalam Bab I mengenai ketentuan-ketentuan. Indonesia
merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 dan
juga merupakan anggota dari organisasi UNODC. Namun sebelum diratifikasinya
konvensi UNCAC 2003, berdasarkan laporan anti corruption clearing house
(ACCH) sebenarnya terdapat 25 pasal didalam konvensi UNCAC 2003 yang
sebelumnya telah ada didalam beberapa kebijakan Indonesia.48 Sedangkan jika di
bedah lagi secara garis besar beberapa pasal konvensi UNCAC 2003 yang
menjadi landasan perubahan kebijakan Indonesia terkait korupsi tahun 2009-2013
47Kofi A. Nan. Kata Pengantar UNCAC. Pdf48ACCH. Bab I: Pendahuluan, diakses dari
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf, pada tanggal 6 Marer 2015
47
pasca konvensi UNCAC 2003 adalah bab II dan bab III. Indonesia sebagai aktor
yang telah meratifikasi konvensi UNCAC 2003 memiliki hak yang mana juga hak
tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal didalam konvensi
UNCAC 2003. Indonesia menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66
ayat (2) konvensi UNCAC 2003 yang mengatur mengenai upaya penyelesaian
sengketa, seandainya jika diperlukan, mengenai penjelasan dan pelaksanaan
konvensi UNCAC 2003 melalui Mahkamah Internasional.
Keputusan ini diambil sebagai sebuah pertimbangan bahwa Indonesia tidak
mau mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction)
dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan yang diajukan oleh Indonesia telah
sesuai dengan ketentuan internasional yang berlaku.49
Persyartan yang diajukan oleh Indonesia ini merupakan hak bagi setiap
negara berdaulat dalam perjanjian internasional. Selain telah menggunakan hak
nya adapun kewajiban Indonesia untuk menerapkan konvensi UNCAC 2003
kedalam ranah domestik. Hal ini disebutkan dalam Legislative guide for the
implementation of the United Nations Convention against Corruption Second
revised edition 2012 pada bab Structure of the United Nations Convention against
Corruption yang menjelaskan mengenai tujuan dari terbentuknya konvensi
UNCAC 2003, kewajiban negara peserta, dan prinsip perlindungan kedaulatan
yang sangat di utamakan dalam konvensi UNCAC 2003. Untuk mengadopsi
perjanjian internasional kedalam regulasi suatu negara maka Indonesia sebagai
negara berdaulat tentunya memiliki mekanisme yang berbeda.
49Berdasarkan dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
48
Dalam prosesnya untuk dapat menerapkan pasal-pasal konvensi UNCAC
2003 kedalam regulasi domestik maka Indonesia harus membuat undang-undang
yang menyatakan telah diratifikasinya konvensi UNCAC 2003 di Indonesia
dengan alasan yang jelas. Sebagai mana yang telah di atur dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Dalam prosesnya,
adopsi konvensi UNCAC 2003 kedalam regulasi korupsi Indonesia ini di awali
dengan ditandatanganinya naskah perjanjian internasional UNCAC pada tanggal
18 Desember 2003 yang kemudian diratifikasi pada tanggal 19 September 2006.50
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dalam mekanisme hukum
internasional menjadi hukum nasional terdapat dua macam cara yaitu dengan
undang-undang atau dengan keputusan Presiden.51
Adapun Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-
undang jika perjanjian internasional mengenai52 :
a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) Pembentukan kaidah hukum baru;
f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
50Ibid.51Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional52Ibid.
49
Perjanjian internasional yang tidak di sahkan melalui undang-undang
merupakan perjanjian yang tidak berkaitan dengan ke enam permasalahan
tersebut. Proses adopsi dari konvensi UNCAC 2003 ini mulai di laksanakan pada
tanggal 20 Maret 2006 oleh parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno
mengesahkan Undang-Undang. Nomor 7 tahun 2006 mengenai pengesahan
ratifikasi konvensi UNCAC 2003 yang dilaksanakan pada rapat paripurna DPR
RI.53 Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanismenya konvensi UNCAC 2003
di sahkan melalui undang-undang yang harus disetujui DPR RI.
Urusan mengenai korupsi ini di serahkan pada komisi III DPR RI yang
menangani masalah54 :
a. Hukum,
b. Ham, dan
c. Keamanan.
Secara lebih spesifik lagi dalam mekanisme pengadopsian hukum
internasional ke dalam hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa rapat
paripurna yang harus dilakukan sampai pada akhirnya ratifikasi konvensi UNCAC
2003 di sahkan oleh Indonesia. Adapun tahapan tersebut antara lain diawali
dengan di usulkan rancangnya undang-undang yang berisi mengenai
penjelasan/keterangan maupun naskah akademis yang berasal dari Presiden dan
kemudian disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR RI melalui surat
53Support to fight against corruption. 2013.Kerangka Acuan Seminar Sehari Sensitisasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) , STRANAS PPK dan INPRES No. 1 Tahun 2013 di Indonesia, diakses dari http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf, diakses tanggal 8 Maret 2015.
54Komisi III, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III, diakses tanggal 8 Maret 2015
50
pengantar Presiden yang selanjutnya di sampaikan dalam bentuk tertulis kepada
pimpinan DPR RI dengan surat pengantar Presiden serta Menteri yang mewakili
presiden dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam rapat
paripurna selanjutnya yang mana RUU diterima oleh pimpinan DPR RI ditindak
lanjuti dengan mempublikasikan kepada seluruh anggota. Publikasi RUU
dilakukan oleh instansi yang membuat, dan ditindaklanjuti dengan RUU dibahas
dalam tingkat dua pembicaraan DPR RI oleh Menteri yang mewakili Presiden.55
Kemudian hasil dari adopsi regulasi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 di tugaskan kepada lembaga milik
negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang
memiliki peran penting dalam penerapan konvensi UNCAC 2003. Hal tersebut
dikarenakan KPK merupakan salah satu lembaga yang berhubungan langsung
dengan pemberantasan korupsi. Pemilihan Indonesia memberikan tugas dan
tanggung jawab kepada KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 yaitu KPK sebagai state auxiliary body yaitu lembaga khusus menangani
korupsi. Selain itu latar belakang dibentuknya KPK adalah sebagai salah satu dari
solusi untuk dapat menangani dan meningkatkan pemberantasan korupsi yang
selama ini masih menjadi permasalahan krusial bagi Indonesia.56
Namun, dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi, KPK
tetap melakukan kerjasama dengan institusi dalam negeri.
KPK Sebagai lembaga khusus berperan penting sebagai bagian dari
keberhasilan adopsi regulasi korupsi ini khususnya korupsi yang dilakukan oleh
55Pembuatan Undang-Undang, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang, diakses pada tanggal 20 Maret 2015
56ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid.
51
para pejabat publik, maka dari itu KPK memiliki tanggung jawab serta kewajiban
untuk melaksanakan pelaksanaan konvensi UNCAC 2003 di Indonesia.57 Didalam
sistem operasi konsep hukum internasional, court/institution merupakan prosedur
terakhir yang dapat menjelaskan mengenai adopsi regulasi konvensi UNCAC
2003 yang dipengaruhi dari faktor-faktor domestik. Dalam komponen ini
menjelaskan mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara peserta
konvensi UNCAC 2003 dalam menyelesaikan tindak kejahatan korupsi pada
tingkat internasional sebagai bentuk penerapan konvensi UNCAC 2003. Upaya-
upaya tersebut berdasarkan konsep hukum internasional Charllote Ku dan Paul
F.Dheil dapat berbentuk forum dan aturan berfungsi untuk mengontrol yang
nantinya akan diadili oleh lembaga pengadilan internasional yang dibentuk secara
permanen. Konvensi UNCAC 2003 hingga saat ini hanya menggunakan
International Court Of Justice atau Mahkamah Internasional dalam
menyelesaikan sengketa dua atau lebih negara peserta mengenai penerapan
konvensi yang tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan yang telah
ditentukan. Hal tersebut diatur dalam pasal 66 ayat dua mengenai penyelesaian
sengketa.58
Namun dalam hal ini Indonesia tidak menginginkan adanya intervensi dari
International Court Justice (ICJ) terhadap permasalahan korupsi jika suatu saat
terjadi. Ketidak-inginan Indonesia merupakan hak bagi negara yang mana negara
dapat membatasi dampak dari ICJ dengan membuat persyaratan.59
57ACCH. Bab I: Pendahuluan, Ibid58United Nation Convention Against Corrupion (UNCAC) Treaties, pdf.59Sam Blay.2003.Public International Law: An Australian Perspective Second Edition.
Oxford
52
D. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Konvensi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
1) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur dalam Konvensi
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin dalam
pembukaan (preambule) konvensi UNCAC 2003. Konvensi yang yang telah di
ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya
menyatakan bahwa:
“ Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law;”
("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan
oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga
dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")
Perbuatan-perbuatan yang dilarang atau dikriminalisasi dalam substansi
konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 secara
garis besar terdiri dari empat hal yaitu; (a) tindak pidana korupsi penyuapan
pejabat-pejabat publik nasional (bribery of national public officials); (b) tindak
pidana korupsi terhadap memperdagangkan pengaruh (trading in ifluence); (c)
tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit
enrichment); dan (d) tindak pidana korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in
the private sector).
53
Pertama, tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat publik
nasional (bribery of national public officials) diatur dalam ketentuan Pasal 15
yang berbunyi:
Each state party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: (a) the promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties; (b) the solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties.
Jadi, yang dikriminalisasi adalah dengan sengaja melakukan tindakan
berupa janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada
pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu
sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak
melaksanakan tugas resminya; dan permintaan atau penerimaan manfaat yang
tidak semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk
pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas resminya. Terhadap penyuapan pejabat-pejabat
publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik
diatur dalam ketentuan Pasal 16. Sedangkan mengenai penggelapan,
penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat
publik diatur dalam ketentuan Pasal 17 konvensi UNCAC 2003.
Kedua, tindak pidana korupsi berupa memperdagangkan pengaruh
(trading in influence). Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 18, yang
pada pokoknya melarang perbuatan yang dilakukan dengan sengaja berupa; (a)
54
janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat
publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik
atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada
dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga
pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli
perbuatan itu atau untuk orang lain; dan (b) permintaan atau penerimaan manfaat
yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau
tidak langsung, untuk dirinya atau orang lain agar pejabat publik atau orang itu
menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud
memperoleh manfaat yang tidak semsetinya dari lembaga pemerintag atau
lembaga publik Negara Pihak.
Termasuk dalam kategori memperdagangkan pengaruh adalah
penyalahgunaan fungsi. Pasal 19 konvensi UNCAC 2003 mengatakan bahwa,
dikatakan sebagai penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan
atau tidak melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat
publik dalam pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang
tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain atau badan lain (the abuse of
functions or position, that is, the performance of or failure to perform an act, in
violation of laws, by a public official in the discharge of his or her functions, for
the purpose of obtaining an undue advantage for himself for herself or for another
person or entity).
55
Ketiga, tindak pidana korupsi terhadap perbuatan memperkaya diri secara
tidak sah (illicit enrichment). Ketentuan Pasal 20 konvensi UNCAC 2003
menyatakan, bahwa:
Subject to its contitution and the fundamental principlesof its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.
Perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan
pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan
dengan penghasilannya yang sah yang dilakukan dengan sengaja merupakan
perbuatan yang dilarang.
Keempat, tindak pidana penyuapan di sektor swasta (bribery in the
private sector). Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam substansi Pasal 21 dan
Pasal 22 konvensi UNCAC 2003 yang berisi larangan penyuapan di sektor swasta
dan larangan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Pasal 21 menyatakan,
bahwa Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-
tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan,
jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau
perdagangan: (a) janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak
langsung, manfaat-manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin
atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau
untuk orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak
bertindak, dan (b) permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak
langsung, manfaat yang tidak semsetinya oleh orang yang memimpin atau
56
bekerja, dalam jabatan apapun, dibadan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk
orang lain, agar ia, dengan melanggar tugasnya bertindak atau tidak bertindak.
Pasal 22 menyatakan, bahwa:
Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally in the course of economic, financial or commercial activities, embezzlement by a person who directs or works, in any capacity, in a private sector entity of an property, private funds or securities or any other thing of value entrusted to him or her by virtue of hir or her position.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, Negara Pihak wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,
dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh
orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor
swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang
berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.
2) Negara-Negara yang Telah Meratifikasi Konvensi United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi
para pihaknya. Bagi perjanjian yang demikian penandatanganan perjanjian
tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Pengesahan
demikian dinamakan ratifikasi.
Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif
dimulai pada pertengahan abad ke- XIX. Sebelumnya utusan yang diberi
kekuasaan penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung
57
mengikat negara secara definitif. Menurut Grotius tanda tangan saja sudah cukup.
Kemudian dengan mundurnya monarki absolut dan berkembangnya prinsip-
prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah
dibuat dan yang telah ditandatangani oleh utusan-utusan raja tersebut. Selanjutnya
tandatangan itu saja tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada
ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh
suatu perjanjian.
Penandatanganan konvensi UNCAC 2003 pada tanggal 9 sampai dengan
11 Desember 2003 dan diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB
berdasarkan resolusi No. 57/169. Penandatanganan konvensi ini dilakukan oleh
140 negara dan 129 negara telah meratifikasi isi dari konvensi tersebut.
Indonesia merupakan negara pihak ke-57 yang menandatangani konvensi
UNCAC 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasi melalui Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention
Against Corruption 2003 pada tanggal 18 April 2006. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tindakan
pengesahan tersebut dilaksanakan melalui proses pembuatan undang-undang oleh
DPR RI dengan telah memberlakukan konvensi tersebut sebagai hukum nasional
Indonesia yang menimbulkan kewajiban hukum bagi setiap lembaga atau individu
di Indonesia.60
60Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 12 Mei 2015
58
Gambar 2. Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi UNCAC
2003 dan status ratifikasinya sampai dengan 12 November 201461
United Nations Convention Against Corruption Signature and Ratification Status as of 12
November 2014
Signatories: 140
Parties: 174
Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.htmlTabel 1. Daftar negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi UNCAC 2003, beserta tanggal nya62
Country Signature Ratification, Acceptance (A),
Approval (AA), Accession (a),
Succession (d)
Afghanistan 20 Feb 2004 25 Aug 2008
61Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, diakses tanggal 7 April 2015
62Diakses dari, http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html, Ibid.
59
Albania 18 Dec 2003 25 May 2006
Algeria 9 Dec 2003 25 Aug 2004
Angola 10 Dec 2003 29 Aug 2006
Antigua and Barbuda 21 Jun 2006 a
Argentina 10 Dec 2003 28 Aug 2006
Armenia 19 May 2005 8 Mar 2007
Australia 9 Dec 2003 7 Dec 2005
Austria 10 Dec 2003 11 Jan 2006
Azerbaijan 27 Feb 2004 1 Nov 2005
Bahamas 10 Jan 2008 a
Bahrain 8 Feb 2005 5 Oct 2010
Bangladesh 27 Feb 2007 a
Barbados 10 Dec 2003
Belarus 28 Apr 2004 17 Feb 2005
Belgium 10 Dec 2003 25 Sep 2008
Benin 10 Dec 2003 14 Oct 2004
Botswana 27 Jun 2011 a
Bhutan 15 Sep 2005
Bolivia 9 Dec 2003 5 Dec 2005
Bosnia and Herzegovina 16 Sep 2005 26 Oct 2006
Brazil 9 Dec 2003 15 Jun 2005
Brunei Darussalam 11 Dec 2003 2 Dec 2008
Bulgaria 10 Dec 2003 20 Sep 2006
Burkina Faso 10 Dec 2003 10 Oct 2006
Burundi 10 Mar 2006 a
Cambodia 5 Sep 2007 a
Cameroon 10 Dec 2003 6 Feb 2006
Canada 21 May 2004 2 Oct 2007
Cabo Verde 9 Dec 2003 23 Apr 2008
60
Central African Republic 11 Feb 2004 6 Oct 2006
Chile 11 Dec 2003 13 Sep 2006
China 1 10 Dec 2003 13 Jan 2006
Colombia 10 Dec 2003 27 Oct 2006
Comoros 10 Dec 2003 11 Oct 2012
Congo 13 Jul 2006 a
Cook Islands 17 Oct 2011
Costa Rica 10 Dec 2003 21 Mar 2007
Côte d'Ivoire 10 Dec 2003 25 Oct 2012
Croatia 10 Dec 2003 24 Apr 2005
Cuba 9 Dec 2005 9 Feb 2007
Cyprus 9 Dec 2003 23 Feb 2009
Czech Republic 22 Apr 2005 29 Nov 2013
Democratic Republic of the
Congo
23 Sep 2010 a
Denmark 2 10 Dec 2003 26 Dec 2006
Djibouti 17 Jun 2004 20 Apr 2005
Dominica 28 May 2010 a
Dominican Republic 10 Dec 2003 26 Oct 2006
Ecuador 10 Dec 2003 15 Sep 2005
Egypt 9 Dec 2003 25 Feb 2005
El Salvador 10 Dec 2003 1 Jul 2004
Estonia 12 Apr 2010 a
Ethiopia 10 Dec 2003 26 Nov 2007
European Union 15 Sep 2005 12 Nov 2008 AA
Fiji 14 May 2008 a
Finland 9 Dec 2003 20 Jun 2006 A
France 9 Dec 2003 11 Jul 2005
Gabon 10 Dec 2003 1 Oct 2007
61
Georgia 4 Nov 2008 a
Germany 9 Dec 2003 12 Nov 2014
Ghana 9 Dec 2004 27 Jun 2007
Greece 10 Dec 2003 17 Sep 2008
Guatemala 9 Dec 2003 3 Nov 2006
Guinea 15 Jul 2005 29 May 2013
Guinea-Bissau 10 Sep 2007 a
Guyana 16 Apr 2008 a
Haiti 10 Dec 2003 14 Sep 2009
Honduras 17 May 2004 23 May 2005
Hungary 10 Dec 2003 19 Apr 2005
Iceland 1 Mar 2011 a
India 9 Dec 2005 9 May 2011
Indonesia 18 Dec 2003 19 Sep 2006
Iran (Islamic Republic of) 9 Dec 2003 20 Apr 2009
Iraq 17 Mar 2008 a
Ireland 9 Dec 2003 09 Nov 2011
Israel 29 Nov 2005 4 Feb 2009
Italy 9 Dec 2003 5 Oct 2009
Jamaica 16 Sep 2005 5 Mar 2008
Japan 9 Dec 2003
Jordan 9 Dec 2003 24 Feb 2005
Kazakhstan 18 Jun 2008 a
Kenya 9 Dec 2003 9 Dec 2003
Kiribati 27 Sep 2013 a
Kuwait 9 Dec 2003 16 Feb 2007
Kyrgyzstan 10 Dec 2003 16 Sep 2005
Lao People's Democratic
Republic
10 Dec 2003 25 Sep 2009
62
Latvia 19 May 2005 4 Jan 2006
Lebanon 22 Apr 2009 a
Lesotho 16 Sep 2005 16 Sep 2005
Liberia 16 Sep 2005 a
Libya 23 Dec 2003 7 Jun 2005
Liechtenstein 10 Dec 2003 8 Jul 2010
Lithuania 10 Dec 2003 21 Dec 2006
Luxembourg 10 Dec 2003 6 Nov 2007
Madagascar 10 Dec 2003 22 Sep 2004
Malawi 21 Sep 2004 4 Dec 2007
Malaysia 9 Dec 2003 24 Sep 2008
Maldives 22 Mar 2007 a
Mali 9 Dec 2003 18 Apr 2008
Malta 12 May 2005 11 Apr 2008
Marshall Islands 17 Nov 2011
Mauritania 25 Oct 2006 a
Mauritius 9 Dec 2003 15 Dec 2004
Mexico 9 Dec 2003 20 Jul 2004
Micronesia (Federated States of) 21 Mar 2012 a
Moldova 28 Sep 2004 1 Oct 2007
Mongolia 29 Apr 2005 11 Jan 2006
Montenegro 3 23 Oct 2006 d
Morocco 9 Dec 2003 9 May 2007
Mozambique 25 May 2004 9 Apr 2008
Myanmar 2 Dec 2005 20 Dec 2012
Namibia 9 Dec 2003 3 Aug 2004
Nauru 12 Jul 2012 a
Nepal 10 Dec 2003 31 Mar 2011
Netherlands 4 10 Dec 2003 31 Oct 2006 A
63
New Zealand 10 Dec 2003
Nicaragua 10 Dec 2003 15 Feb 2006
Niger 11 Aug 2008 a
Nigeria 9 Dec 2003 14 Dec 2004
Norway 9 Dec 2003 29 Jun 2006
Oman 9 Jan 2014
Pakistan 9 Dec 2003 31 Aug 2007
Palau 24 Mar 2009 a
Panama 10 Dec 2003 23 Sep 2005
Papua New Guinea 22 Dec 2004 16 Jul 2007
Paraguay 9 Dec 2003 1 Jun 2005
Peru 10 Dec 2003 16 Nov 2004
Philippines 9 Dec 2003 8 Nov 2006
Poland 10 Dec 2003 15 Sep 2006
Portugal 11 Dec 2003 28 Sep 2007
Qatar 1 Dec 2005 30 Jan 2007
Republic of Korea 10 Dec 2003 27 Mar 2008
Romania 9 Dec 2003 2 Nov 2004
Russian Federation 9 Dec 2003 9 May 2006
Rwanda 30 Nov 2004 4 Oct 2006
Saint Lucia 25 Nov 2011
Sao Tome and Principe 8 Dec 2005 12 Apr 2006
Saudi Arabia 9 Jan 2004 29 April 2013
Senegal 9 Dec 2003 16 Nov 2005
Serbia 11 Dec 2003 20 Dec 2005
Seychelles 27 Feb 2004 16 Mar 2006
Sierra Leone 9 Dec 2003 30 Sep 2004
Singapore 11 Nov 2005 06 Nov 2009
Slovakia 9 Dec 2003 1 Jun 2006
64
Slovenia 1 Apr 2008 a
Solomon Islands 6 Jan 2012 a
South Africa 9 Dec 2003 22 Nov 2004
South Sudan 23 Jan 2015
Spain 16 Sep 2005 19 Jun 2006
Sri Lanka 15 Mar 2004 31 Mar 2004
State of Palestine 2 Apr 2014 a
Sudan 14 Jan 2005 5 Sep 2014
Swaziland 15 Sep 2005 24 Sep 2012
Sweden 9 Dec 2003 25 Sep 2007
Switzerland 10 Dec 2003 24 Sep 2009
Syrian Arab Republic 9 Dec 2003
Tajikistan 25 Sep 2006 a
Thailand 9 Dec 2003 1 Mar 2011
The Former Yugoslav Republic
of Macedonia
18 Aug 2005 13 Apr 2007
Timor-Leste 10 Dec 2003 27 Mar 2009
Togo 10 Dec 2003 6 Jul 2005
Trinidad and Tobago 11 Dec 2003 31 May 2006
Tunisia 30 Mar 2004 23 Sep 2008
Turkey 10 Dec 2003 9 Nov 2006
Turkmenistan 28 Mar 2005 a
Uganda 9 Dec 2003 9 Sep 2004
Ukraine 11 Dec 2003 02 Dec 2009
United Arab Emirates 10 Aug 2005 22 Feb 2006
United Kingdom of Great Britain
and Northern Ireland 5
9 Dec 2003 9 Feb 2006
United Republic of Tanzania 9 Dec 2003 25 May 2005
United States of America 9 Dec 2003 30 Oct 2006
65
Uruguay 9 Dec 2003 10 Jan 2007
Uzbekistan 29 Jul 2008 a
Vanuatu 12 Jul 2011 a
Venezuela (Bolivarian Republic
of)
10 Dec 2003 2 Feb 2009
Viet Nam 10 Dec 2003 19 Aug 2009
Yemen 11 Dec 2003 7 Nov 2005
Zambia 11 Dec 2003 7 Dec 2007
Zimbabwe 20 Feb 2004 8 Mar 2007Sumber : http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html
E. Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pemerintah Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam
upaya pemberantasan korupsi. Kerjasama internasional yang telah dan akan
dilakukan antara lain berupa pertukaran informasi, ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, dan pengembalian aset negara hasil tindak pidana korupsi yang
berada di luar negeri. Masyarakat internasional termasuk Indonesia bersama-sama
berkomitmen untuk tidak memberikan perlindungan (deny safe havens) bagi para
koruptor dan aset mereka yang berasal dari tindak pidana korupsi. Pemerintah
Indonesia telah berketetapan untuk memajukan kerjasama internasional dalam
kerangka Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nations
Convention Against Corruption-UNCAC 2003) dan Konvensi PBB Tentang
Kejahatan Lintas Batas Negara yang Terorganisir (United Nations Convention on
Transnational Organised Crime), inisiatif dalam lingkup ASEAN Security
Community, dan inisiatif-inisiatif lainnya yang dapat memajukan kepentingan
Indonesia secara berkesinambungan.
66
Dalam melaksanakan kerjasama internasional di bidang pemberantasan
korupsi disadari bahwa kerjasama tersebut hendaknya didasarkan pada prinsip-
prinsip saling menghormati, persamaan derajat, dan hubungan baik antar bangsa
serta hukum internasional yang berlaku, dengan memperhatikan kebutuhan
nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku. Kerjasama
internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan
Piagam PBB khususnya dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam
PBB.
Konvensi PBB Menentang Korupsi (konvensi UNCAC 2003) yang
dirundingkan selama kurun waktu 2002-2003 telah diterima oleh Majelis Umum
PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 dan Indonesia sebagai salah satu anggota
masyarakat internasional telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 18
Desember 2003. Sebagai kelanjutan konvensi ini, PBB telah menetapkan tanggal
9 Desember 2004 sebagai hari internasional pertama anti korupsi. Sebagai
konsekuensi bagi negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, Indonesia
akan ikut mendukung sesuai dengan wilayah kedaulatan yang dimiliki melakukan
langkah-langkah konkrit pemberantasaan korupsi.
Sebagai perwujudan komitmen tersebut Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk merancang, mengembangkan, dan melaksanakan sebuah Rencana Aksi
Nasional Pemberantasan Korupsi sesuai Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.
Rencana Aksi Nasional ini dimaksudkan sebagai acuan dalam menyusun program
pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
67
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 khususnya Indonesia,
wajib bekerja sama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan
pasal 44 sampai pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem
hukum nasional masing-masing, Negara-Negara Pihak wajib mempertimbangkan
untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata
dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi.
Dalam masalah-masalah kerja sama internasional, dalam hal kriminalitas
ganda dianggap sebagai persyaratan, maka hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi
tanpa memperhatikan apakah undang-undang Negara Pihak yang diminta
menempatkan kejahatan itu ke dalam kategori kejahatan yang sama atau
menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara pihak yang
meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan
permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua Negara
Pihak (Pasal 43 konvensi UNCAC 2003).
Kerjasama Internasional (International Cooperation) dalam memerangi
kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional,
kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang
harus diperhatikan. Yakni adanya kepentingan politik yang sama, saling
menguntungkan dan non intervensi. Ada lima bentuk kerjasama yang bisa
dilakukan yang diatur dalam konvensi UNCAC 2003 yaitu :63
1. Ekstradisi (Konvensi UNCAC 2003 Art. 44)
63Diakses dari,http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67, diakses tanggal 18 April 2015
68
Tabel 2. Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan
Beberapa Negara64
No Negara Pihak Nama PerjanjianTahun
RatifikasiPenandatanganan
1 Indonesia - Malaysia
Treaty between The Government of The
Republic of
1974Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1974
Indonesia and The Government of
Malaysia Relating
to Extradition
2. Indonesia - Filipina
Extradition Treaty between The Republic
of 1976Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1976Indonesia and The
Republic of The Philippines
3. Indonesia - Thailand
Treaty between The Government of The
Republic of
1976Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1978
Indonesia and The Government of The
Kingdom of
Thailand Relating to Extradition
4. Indonesia - Australia
Extradition Treaty between Australia and
The 1992Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1994
Republic of Indonesia
5. Indonesia - Hongkong
Agreement between The Government of
The 1997Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2001Republic of Indonesia
64Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 13 Mei 2015
69
and The Government of
Hongkong for Surrender of Fugitive
Offenders
6. Indonesia - Korea Selatan
Treaty on Extradition between The
2000Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2007
Republic of Indonesia and The Republic of
Korea
7. Indonesia - Singapura
Treaty on Extradition between The Republic
of 2007 Dalam proses ratifikasi
Indonesia and Singapore
Sumber: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA
Konvensi UNCAC 2003 menyebutkan bahwa ekstradisi adalah sebuah
proses formal di mana seorang tersangka kriminal dalam hal ini menyangkut
masalah tindak pidana korupsi yang ditahan oleh suatu pemerintah bisa
diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka
tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus
dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban
untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip
sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada
dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan
keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu
jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah
70
menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya. Perjanjian
ekstradisi ini pula ditekankan dalam konvensi UNCAC 2003.
a) Pasal ini berlaku bagi kejahatan-kejahatan menurut konvensi UNCAC
2003 ini jika orang yang diminta untuk diekstradisikan berada di
wilayah negara pihak yang diminta, dengan ketentuan bahwa
kejahatan yang menjadi dasar permintaan ekstradisi itu dapat dihukum
menurut hukum nasional negara pihak yang meminta dan negara
pihak yang diminta.65
b) Menyimpang dari ketentuan ayat 1, negara pihak yang hukumnya
membolehkan, dapat mengabulkan ekstradisi untuk kejahatan yang
diatur dalam Konvensi ini yang menurut hukum nasionalnya tidak
dapat dihukum.
c) Jika permintaan ekstradisi meliputi beberapa kejahatan yang terpisah,
dan sekurang-kurangnya satu dari kejahatan itu dapat diekstradisi
menurut pasal ini dan kejahatan lainnya tidak dapat diekstradisi
dengan karena alasan jangka waktu penghukumannya tetapi
mempunyai kaitan dengan kejahatan menurut konvensi ini, maka
negara pihak yang diminta dapat menerapkan pasal ini juga bagi
kejahatan-kejahatan itu.
65 Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015
71
d) Kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini harus dianggap
termasuk dalam kejahatan yang dapat diekstradisi di dalam perjanjian
ekstradisi antara negara-negara pihak. Negara-negara pihak akan
memasukkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat
diekstradisi di dalam perjanjian ekstradisi yang akan dibuat di antara
mereka. Negara yang hukumnya membolehkannya, dalam hal negara
itu menggunakan konvensi ini sebagai dasar untuk ekstradisi, tidak
boleh memperlakukan kejahatan menurut konvensi ini sebagai
kejahatan politik.
e) Jika negara yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya perjanjian
menerima permintaan ekstradisi dari negara lain yang tidak
mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara pihak itu, maka
negara pihak itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar
hukum ekstradisi bagi kejahatan yang dapat dikenakan penerapan
pasal ini.
f) Negara pihak yang mempersyaratkan ekstradisi pada adanya
perjanjian wajib:
a. Pada saat penyimpanan instrumen pengesahan, penerimaan atau
persetujuan atau aksesi konvensi ini, memberitahukan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa apakah akan
menggunakan konvensi ini sebagai dasar hukum bagi kerja sama
ekstradisi dengan Negara Pihak lain pada konvensi ini; dan
72
b. Jika negara pihak itu tidak menggunakan konvensi ini sebagai
dasar hukum bagi kerja sama ekstradisi, mengupayakan, sepanjang
perlu, untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Negara
Pihak lain pada konvensi ini untuk melaksanakan pasal ini.
g) Negara-negara pihak yang tidak mempersyaratkan ekstradisi pada
adanya perjanjian wajib mengakui kejahatan yang dapat dikenakan
penerapan pasal ini sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi di antara
negara-negara pihak itu.
h) Ekstradisi tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum
nasional negara pihak yang diminta atau dalam perjanjian ekstradisi
yang berlaku, termasuk antara lain, persyaratan yang terkait dengan
syarat hukuman minimum untuk ekstradisi dan alasan-alasan bagi
negara pihak yang diminta untuk menolak ekstradisi.
i) Negara pihak wajib, berdasarkan hukum nasionalnya, berupaya untuk
mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan
pembuktian yang berkaitan dengan itu menyangkut kejahatan yang
dapat dikenakan penerapan pasal ini.
j) Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dan perjanjian
ekstradisinya, negara pihak yang diminta, setelah meyakini keadaan-
keadaan yang ada menghendaki demikian atau sifatnya mendesak dan
atas permintaan negara pihak yang meminta, dapat mengambil orang
yang dimintakan ekstradisi dan yang berada dalam wilayahnya untuk
73
ditahan atau mengambil tindakan-tindakan yang perlu lainnya untuk
menjamin kehadirannya pada proses ekstradisi.
k) Negara pihak yang di dalam wilayahnya ditemukan tersangka pelaku,
jika negara pihak itu tidak mengekstradisi orang itu untuk kejahatan
yang terkena penerapan pasal ini karena alasan bahwa orang itu adalah
warga negaranya, wajib, atas permintaan negara pihak yang memohon
ekstradisi, untuk menyerahka kasus itu tanpa penundaan yang tidak
perlu kepada pejabat berwenangnya untuk dilakukan penuntutan.
Pejabat yang berwenang itu wajib mengambil putusan dan
melaksanakan proses dengan cara yang sama seperti untuk kasus lain
yang berat menurut hukum nasional negara pihak itu. Negara-negara
pihak yang bersangkutan wajib saling bekerja sama, khususnya
menyangkut aspek prosedur dan pembuktian, untuk menjamin
efisiensi penuntutan tersebut.
l) Jika suatu negara pihak dibolehkan oleh hukum nasionalnya untuk
mengekstradisi atau menyerahkan warga negaranya dengan syarat
bahwa orang itu akan dikembalikan ke negara pihak itu untuk
menjalani hukuman yang dijatuhkan sebagai akibat pengadilan atau
proses hukum yang menjadi dasar permintaan ekstradisi atau
pemindahan orang itu dan negara pihak itu serta negara pihak yang
memohon ekstradisi menyetujui opsi ini dan syarat-syarat lain yang
dianggap layak, maka ekstradisi atau penyerahan bersyarat itu sudah
74
cukup untuk melepaskan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
11.
m)Jika ekstradisi, yang diminta dalam rangka melaksanakan suatu
hukuman, ditolak karena orang yang diminta adalah warga negara,
negara pihak yang diminta, maka negara pihak yang diminta, jika
hukum nasionalnya membolehkannya dan berdasarkan syarat-syarat
yang ditetapkan dalam hukum tersebut, atas permohonan negara pihak
yang meminta, wajib mempertimbangkan untuk melaksanakan
hukuman yang dijatuhkan berdasarkan hukum nasional negara pihak
yang meminta atau sisa hukuman tersebut.
n) Setiap orang yang sedang menjalani proses hukum yang berkaitan
dengan kejahatan yang dapat dikenakan penerapan pasal ini, wajib
dijamin untuk diperlakukan dengan adil pada semua tahap proses,
termasuk menikmati semua hak dan jaminan yang diberikan oleh
hukum nasional negara pihak tempat orang itu berada.
o) Ketentuan konvensi ini tidak boleh ditafsirkan sebagai memberikan
kewajiban untuk melakukan ekstradisi jika negara pihak yang diminta
memiliki alasan-alasan yang kuat untuk meyakini bahwa permintaan
itu telah diajukan untuk tujuan penuntutan atau penghukuman
seseorang berdasarkan kelamin, ras, agama, kebangsaan, asal etnis
atau aliran politik orang itu atau bahwa pengabulan permintaan itu
akan membahayakan kedudukan orang itu karena satu dari alasan-
alasan tersebut.
75
p) Negara pihak tidak boleh menolak permintaan ekstradisi semata-mata
karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap melibatkan juga masalah
perpajakan.
q) Sebelum menolak ekstradisi, negara pihak yang diminta wajib,
sepanjang perlu, berkonsultasi dengan negara pihak yang meminta
untuk memberikan kesempatan yang cukup kepadanya untuk
menyampaikan pendapatnya dan memberikan informasi yang terkait
dengan persangkaannya.
r) Negara-negara pihak wajib mengupayakan untuk mengadakan
perjanjian atau pengaturan bilateral dan multilateral untuk
melaksanakan atau meningkatkan efektivitas ekstradisi.
2. Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) (Konvensi
UNCAC 2003 Art. 46)
MLA ini sangat dianjurkan dalam konvensi United Nations Convention
Against Cooruption (UNCAC) 2003. Negara penandatangan dianjurkan untuk
memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna
memberantas korupsi. Sedangkan dalam MLA ruang lingkup kerja samanya
meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, di pengadilan hingga
pelaksanaan putusan pengadilan. MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral
atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau
atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Objek MLA,
antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan,
dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan
76
permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan,
dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang
bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta
bantuan MLA.
Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah
Pidana, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama
MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan
pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu
penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan
penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda
berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan,
membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut
mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang;
penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan
orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan
77
dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan
asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan
(requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah
kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral
mengenai MLA. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara
yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA
dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam
perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut, legislasi Negara Diminta
biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima,
mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama
dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya
terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa
sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat
mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case
basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap kerjasama yang
berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah
serta lebih mudah diterapkan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak
seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di
bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi
tersebut tidak memiliki kewajiban internasional untuk membantu negara asing.
Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain
yang memberlakukan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus, Negara Diminta
akan bekerjasama berdasarkan suatu treaty hanya jika Negara Peminta
78
menyediakan semacam undertaking of reciprocity.66 Adapun Indonesia memiliki
perjanjian bantuan timbal-balik dengan negara-negara sebagai berikut:67
1. Australia, 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun
1999;
2. China, 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006;
3. Korea Selatan, 30 Maret 2002 (masih dalam proses ratifikasi);
4. Hong Kong SAR, 3 April 2008 (masih dalam proses ratifikasi);
5. India, 25 Januari 2011 (masih dalam proses ratifikasi).
Tabel 3. Perjanjian-Perjanjian MLA Indonesia dengan Beberapa
Negara68
No Negara Pihak Nama Perjanjian
Tahun RatifikasiPenandatangan
an
1. Indonesia - Australia
Treaty Between the Republic of Indonesia and
1995 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999Australia on
Mutual Assistance in Criminal
Matters
2. Indonesia - RRC
Treaty Between the Republic of Indonesia and
2000 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006
The People's Republic of China on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters
66ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific. 2010.
67Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri, 2010.
68http://download.portalgaruda.org/article.php? article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, Ibid.
79
3 Indonesia - Korea Selatan
Treaty Between the Republic of Indonesia and
2002 Belum diratifikasiRepublic of Korea on Mutual
Assistance in CriminalMatters
4.
Indonesia - Brunei,
Kamboja,
Treaty on Mutual Legas Assistance
in Criminal
2004 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008
Laos, Malaysia, Filipina, Matters (ASEAN
MLA TREATY)Singapura,
dan Vietnam
5. Indonesia - Hongkong
Agreement Concerning
Mutual Legal Assistance in 2006 Belum diratifikasi
Criminal Matters between
Hongkong and Indonesia
Sumber: http://download.portalgaruda.org/articles.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA
Dalam lingkup ASEAN, mekanisme yang dapat dilakukan untuk
pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah
melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang
telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut
Negara Penandatangan dan tanggal berlaku:69
1) Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006;
2) Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Juni 2008;
69 Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri. 2010.,Ibid.
80
3) Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007;
4) Malaysia 29 November 2004 berlaku 1 Juni 2005;
5) Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005;
6) Vietnam 29 November 2004 berlaku 25 Oktober 2005.
Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal
Kamboja, Filipina dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum
meratifikasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberlakukan
upaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan terkait pada legislasi
nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup berbagai jenis MLA yang biasa
dapat ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait
pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian,
maka MLA atas dasar hubungan baik berdasarkan asas resiprositas. Target
Pemerintah Indonesia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama
MLA adalah negara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana
korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang
menjadi pusat keuangan dunia, yakni Singapura, Swiss, RRT, Hong Kong,
Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab.
Untuk negara-negara non target, undang-undang MLA Indonesia
memungkinkan kerjasama tanpa adanya perjanjian tetapi cukup dengan
pernyataan akan bekerja sama secara resiprositas, maka bantuan akan dapat
diberikan. Selain itu, negara-negara juga dapat meminta bantuan Indonesia
81
melalui kerangka kerja sama MLA di bawah konvensi UNCAC 2003 dan United
Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC).
The United Nations Convention against Transnational Organized Crime
(UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas
dibandingkan konvensi UNCAC 2003. Indonesia sendiri sudah meratifikasi
konvensi UNTOC melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Covention Against Transnational Crime. Terkait
kerjasama internasional, konvensi UNTOC memiliki landasan hukum untuk
ekstradisi dan MLA terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur
di dalam konvensi. Sebagaimana konvensi UNCAC 2003, konvensi UNTOC
memiliki beberapa sifat yang sama, contohnya sifatnya yang bertindak sebagai
perjanjian di antara para pihak atau dengan menggunakan perjanjian bilateral yang
sudah ada. Memang konvensi UNTOC mengatur mengenai kriminalisasi korupsi
sebagai kejahatan transnasional dan confiscation of proceeds of crime, namun
pengaturan khusus mengenai asset recovery hanya terdapat di dalam konvensi
UNCAC 2003.70
Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Republik Indonesia, tentunya
harus melalui mekanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang.
Penyampaian permintaan MLA diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI kepada negara asing secara langsung (apabila telah ditentukan melalui
perjanjian bilateral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan
dari Kapolri atau Jaksa Agung RI atau Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
70ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, ibid.
82
(khusus tindak pidana korupsi). Hal ini tercantum di dalam Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2006.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham;
sebelumnya dinamakan Departemen Kehakiman) merupakan central authority
untuk kerjasama internasional dalam persoalan-persoalan kriminal. Fungsi
utamanya adalah untuk memproses incoming and outgoing requests. Berdasarkan
Pasal 46 ayat (13) konvensi UNCAC 2003, setiap Negara Pihak wajb menunjuk
badan berwenang pusat yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan untuk
menerima permintaan-permintaan bantuan hukum timbal-balik.
Outgoing requests untuk ekstradisi dan MLA dibuat oleh Kemkumham
berdasarkan permintaan Kejaksaan Agung atau Kapolri. Dalam kasus-kasus
korupsi, MLA juga dapat dimintakan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Permintaan ekstradisi dan MLA dibuat oleh Direktorat Hukum
Internasional dari Kemkumham dan di-review melalui pertemuan-pertemuan
terkoordinasi antara badan-badan yang relevan seperti KPK, Kepolisian,
Kejaksaan Agung, Kemkumham dan Kementerian Luar Negeri. Permintaan MLA
sebagaimana pula dengan ekstradisi tetap dikirimkan melalui saluran diplomatik
(diplomatic channel).
Kemkumham juga memproses permintaan (incoming requests) untuk
ekstradisi dan MLA. Permintaan ekstradisi dapat dikirimkan ke Kemkumham
melalui saluran diplomatik, sementara permintaan MLA dapat dikirimkan
langsung. Dalam menerima suatu permintaan, Kemkumham memverifikasi bahwa
permintaannya sesuai dengan legislasi maupun treaty (jika ada) yang relevan.
83
Setelah itu, Kemkumham akan meneruskan permintaan tersebut untuk dieksekusi
oleh Kejaksaan Agung dan Kapolri. Direktorat Hukum Internasional
Kemkumham memonitor permintaan dengan berkomunikasi dengan Kepolisian
atau Kejaksaan Agung. Semua permintaan yang datang dijaga kerahasiaannya.
Terkait pengembalian aset hasil tindak pidana di luar negeri, Pasal 57
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa Menkumham dapat
membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan
penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas:
1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan
berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau
2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia
berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing
Perbedaan sistem hukum sering menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk
memenuhi syarat-syarat formal yang diminta oleh negara/yurisdiksi yang
bersangkutan. Kelambanan proses hukum terhadap kejahatan di Indonesia sebagai
akibat kompleksitas persoalan pembuktian serta relatif lemahnya koordinasi
internal antar instansi penegak hukum terkait di Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk
mengajukan permintaan Bantuan kepada Negara Diminta untuk menindaklanjuti
putusan pengadilan yang bersangkutan di Negara Diminta tersebut.71
71Diakses dari, http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Mei-gustus%202011_46_56.PDF, diakses tanggal 6 Mei 2015.
84
Dalam praktek Indonesia, amar Putusan Pengadilan tidak menyebutkan
aset pelaku di luar negeri yang perlu dirampas, sehingga kondisi ini mempersulit
upaya perampasan terhadap barang sitaan, pidana denda, atau pembayaran uang
pengganti.
Contoh kasus adalah upaya perampasan aset kasus korupsi ECW Neloe
(Bank Mandiri) senilai kurang lebih USD$ 5,5 juta. MLA untuk kasus ini pertama
kali diajukan kepada Pemerintah Swiss tahun 2008 untuk kepentingan
pelaksanaan eksekusi aset atas putusan perkara korupsi yang telah in kracht.
Namun, MLA tersebut tidak dapat ditindak lanjuti mengingat putusan korupsi di
Indonesia tidak mengkaitkan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan aset di
Swiss dan amar putusan tidak mencantumkan adanya perampasan aset di Swiss.
Untuk itu, perlu dilakukan penyidikan baru dengan sangkaan tindak
pidana pencucian uang. Keterbatasan kemampuan teknologi juga menjadi
penghalang, padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para
pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dibidang perbankan karena
transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal.
Persoalan lain yang dihadapi adalah terkait Central Authority sebagai
salah satu otoritas penting dalam rangka upaya pengembalian harta hasil korupsi
yaitu dalam menentukan lembaga yang dipandang tepat untuk melakukan
permohonan atau pengembalian hasil korupsi kepada Negara Diminta atau
sebaliknya.
Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai central
authority untuk pelaksanaan meminta atau memfasilitasi sebagai Negara Diminta
85
bagi negara lain. Berbeda dengan beberapa negara yang central of authority-nya
berada pada Department of Justice yang membawahi secara langsung proses
penyidikan ataupun penuntutan, Kemkumham lebih berperan sebagai lembaga
yang memiliki otoritas administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan.72
Selain itu, Kemkumham hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan
aparat penegak hukum di luar negeri. Sebagai contoh, Kemkumham tidak
menyelenggarakan pertemuanpertemuan secara reguler dengan counterpart asing
terkait mekanisme kerjasama. Mereka juga kurang berkoordinasi dengan negara
lain dalam menyediakan MLA atau ekstradisi dalam kasus-kasus korupsi. Situs
internet Kemkumham juga hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia dan tidak
memberikan informasi apapun terkait kerjasama internasional.
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
saling memberikan sebesar mungkin bantuan hukum timbal-balik bagi
penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan berkaitan dengan kejahatan
menurut Konvensi ini.73
Bantuan hukum timbal-balik wajib diberikan sebesar-besarnya
berdasarkan undang-undang, traktat, perjanjian dan pengaturan Negara Pihak
yang diminta bagi penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan yang berkaitan
72Yenti Garnasih. Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, 2010), hal. 629.
73 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.
86
dengan kejahatan yang memungkinan pertanggungjawaban badan hukum sesuai
dengan ketentuan pasal 26 Konvensi ini di Negara Pihak yang meminta.
Bantuan hukum timbal-balik yang akan diberikan sesuai dengan pasal ini
dapat diminta untuk tujuan-tujuan berikut:
a) Mengambil bukti atau pernyataan dari orang;
b) Menyampaikan dokumen pengadilan;
c) Melakukan penyelidikan dan penyitaan serta pembekuan;
d) Memeriksa barang dan tempat;
e) Memberikan informasi, barang bukti dan penilaian ahli;
f) Memberikan dokumen asli atau salinan resminya dan catatan yang
relevan, termasuk catatan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan
atau usaha;
g) Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau
hal lain untuk tujuan pembuktian;
h) Memfasilitasi kehadiran orang secara sukarela di Negara Pihak yang
meminta;
i) Bantuan lain yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara
Pihak yang diminta;
j) Mengidentifikasi, membekukan dan melacak hasil kejahatan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi ini;
k) Mengembalikan aset, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V
Konvensi ini.
87
Tanpa mengurangi hukum nasional, pejabat berwenang suatu negara
pihak dapat, tanpa permintaan lebih dahulu, menyampaikan informasi yang
berkaitan dengan masalah-masalah pidana kepada pejabat berwenang di Negara
Pihak lain yang meyakini bahwa informasi itu dapat membantu untuk melakukan
atau menuntaskan penyelidikan dan proses pidana atau dapat menghasilkan
permintaan yang dirumuskan oleh negara pihak lain itu sesuai dengan Konvensi
ini.
Penyampaian informasi berdasarkan ketentuan ayat 4 tidak boleh
mengurangi penyelidikan dan proses pidana di negara dari pejabat berwenang
yang memberikan informasi. Pejabat berwenang yang menerima informasi wajib
mematuhi permintaan agar informasi itu dirahasiakan, meski untuk sementara
waktu, atau digunakan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Namun
demikian, hal ini tidak menghalangi Negara Pihak yang menerima untuk di dalam
proses hukumnya mengungkapkan informasi yang membebaskan kepada seorang
terdakwa. Dalam hal demikian, negara pihak yang menerima wajib, sebelum
informasi diungkapkan, memberitahu kepada negara pihak yang menyampaikan
dan, jika diminta, berkonsultasi dengan Negara Pihak yang menyampaikan. Jika
dalam keadaan luar biasa pemberitahuan di muka itu tidak memungkinkan, negara
pihak yang menerima wajib dengan segera menginformasikan kepada negara
pihak yang menyampaikan mengenai pengungkapan itu.
Ketentuan pasal ini tidak mempengaruhi kewajiban dalam traktat
bilateral atau multilateral yang mengatur atau akan mengatur, seluruhnya atau
sebagiannya, mengenai bantuan hukum timbal balik.
88
Ketentuan ayat 9 sampai ayat 29 berlaku bagi permintaan yang diajukan
berdasarkan pasal ini jika negara-negara pihak yang bersangkutan tidak terikat
oleh traktat mengenai bantuan hukum timbal balik. Jika negara-negara pihak
terikat oleh traktat sedemikian, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dalam
traktat itu berlaku kecuali negara pihak setuju untuk menerapkan ketentuan ayat 9
sampai ayat 29 sebagai penggantinya Negara-negara pihak sangat didorong untuk
menerapkan ketentuan ayat-ayat tersebut jika mereka memfasilitasi kerjasama.
Negara pihak tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan hukum
timbal-balik berdasarkan pasal ini dengan alasan kerahasiaan bank.
Dalam menanggapi permintaan bantuan menurut pasal ini jika tidak ada
kriminalitas ganda, negara pihak yang diminta wajib mempertimbangkan tujuan
Konvensi ini sebagaimana dimaksud dalam pasal. Negara pihak dapat menolak
memberikan bantuan menurut pasal ini dengan alasan tidak ada kriminalitas
ganda. Namun demikian, negara pihak yang diminta wajib, sepanjang sesuai
dengan konsep dasar sistem hukumnya, memberikan bantuan yang tidak
melibatkan tindakan yang bersifat paksaan. Bantuan tersebut dapat ditolak jika
permintaan melibatkan masalah-masalah yang bersifat de minimis atau masalah-
masalah yang pemberian kerjasama atau bantuannya diatur menurut ketentuan lain
dalam Konvensi ini. Negara pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil
tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan pemberian bantuan menurut
pasal ini dengan lingkup yang lebih luas jika tidak ada kriminalitas ganda.
Seseorang yang sedang ditahan atau sedang menjalani hukuman di
wilayah suatu negara pihak tetapi dibutuhkan kehadirannya di negara pihak lain
89
untuk tujuan identifikasi, kesaksian atau memberikan bantuan untuk memperoleh
bukti bagi penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang berkaitan dengan
kejahatan menurut konvensi ini dapat dipindahkan jika syarat-syarat berikut
dipenuhi:
a) Orang tersebut secara sukarela memberikan persetujuannya;
b) Pejabat berwenang kedua negara pihak setuju, dengan syarat-syarat
yang dianggap layak oleh negara-negara pihak itu.
Untuk tujuan ayat 10:
a) Negara pihak yang meminta pemindahan memiliki kewenangan dan
kewajiban untuk menahan orang yang dipindahkan, kecuali diminta
lain atau diberi kewenangan lain oleh negara pihak yang
memindahkan;
b) Negara pihak yang meminta pemindahan wajib dengan segera
melaksanakan kewajiban mengembalikan orang itu ke dalam tahanan
negara pihak yang memindahkan sebagaimana disepakati sebelumnya,
atau sebagaimana disepakati lain, oleh pejabat berwenang kedua
negara pihak;
c) Negara pihak yang meminta pemindahan tidak boleh mewajibkan
negara pihak yang memindahkan untuk melakukan proses ekstradisi
bagi pengembalian orang itu;
d) Orang yang dipindahkan akan menerima pengurangan hukuman yang
dijalani di negara yang memindahkannya untuk waktu yang
90
dijalaninya selama ia ditahan di negara Pihak yang meminta
pemindahan;
e) Jika tidak disetujui oleh negara pihak yang memindahkan orang
menurut ketentuan ayat 10 dan ayat 11, maka orang itu, apa pun
kewarganegaraannya, tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau
dikenakan pembatasan apapun terhadap kebebasan pribadinya dalam
wilayah negara yang meminta pemindahan berkenaan dengan
perbuatan, kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya
dari wilayah negara yang memindahkannya.
Negara pihak wajib menunjuk badan pusat yang bertanggungjawab dan
berwenang menerima permintaan bantuan hukum timbal-balik dan entah
melaksanakannya entah meneruskannya kepada badan berwenang untuk
dilaksanakan. Dalam hal negara pihak mempunyai daerah atau wilayah khusus
dengan sistem bantuan hukum timbal-balik yang berbeda, negara pihak dapat
menunjuk badan pusat tersendiri yang memiliki fungsi yang sama untuk daerah
atau wilayah itu. Badan pusat wajib mengusahakan pelaksanaan dan penyampaian
secara cepat dan benar setiap permintaan yang diterima. Dalam hal badan pusat
meneruskan permintaan itu kepada pejabat yang berwenang untuk dilaksanakan,
badan pusat itu wajib mendorong agar permintaan itu dilaksanakan secara cepat
dan benar oleh badan berwenang. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
wajib diberitahu mengenai badan pusat yang ditunjuk untuk tujuan ini pada saat
Negara Pihak menyerahkan instrumen pengesahan, penerimaan atau persetujuan
atas atau aksesi pada Konvensi ini. Permintaan bantuan hukum timbal balik dan
91
komunikasi yang berkaitan dengan hal itu wajib disampaikan kepada badan pusat
yang ditunjuk oleh negara pihak. Kewajiban ini tidak mengurangi hak negara
pihak untuk meminta agar permintaan dan komunikasi itu ditujukan kepadanya
melalui saluran diplomatik dan, untuk situasi yang mendesak, yang disetujui oleh
negara-negara pihak, melalui Organisasi Polisi Kriminal Internasional, jika
mungkin.
Permintaan harus diajukan secara tertulis atau, jika memungkinkan,
dengan cara yang dapat menghasilkan catatan tertulis, dalam bahasa yang dapat
diterima oleh negara pihak yang diminta, dengan syarat-syarat yang membolehkan
negara pihak itu untuk memeriksa otensititas. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa wajib diberitahu mengenai bahasa atau bahasa-bahasa yang dapat
diterima oleh setiap negara pihak pada saat menyerahkan instrumen pengesahan,
penerimaan atau persetujuan atas atau aksesi pada Konvensi ini. Untuk situasi
yang mendesak dan jika disetujui oleh negara-negara pihak, permintaan dapat
diajukan secara lisan tetapi harus selanjutnya dikonfirmasikan secara tertulis.
Permintaan bantuan hukum timbal-balik harus memuat :
a) Identitas pejabat yang mengajukan permintaan;
b) Masalah pokok dan sifat penyidikan, penuntutan atau proses
pengadilan yang berkaitan dengan permintaan tersebut serta nama dan
fungsi dari pejabat yang melakukan penyidikan, penuntutan atau
proses pengadilan;
c) Ringkasan fakta yang relevan, kecuali yang berkaitan dengan
permintaan untuk tujuan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan;
92
d) Uraian tentang bantuan yang diminta dan rincian tentang prosedur
tertentu yang oleh Negara Pihak yang meminta dikehendaki untuk
diikuti;
e) Sepanjang memungkinkan, identitas, lokasi, dan kewarganegaraan
orang yang bersangkutan; dan
f) Tujuan dari permintaan alat bukti, informasi atau tindakan.74
Negara pihak yang diminta dapat meminta informasi tambahan jika
dirasa perlu untuk melaksanakan permintaan itu sesuai dengan hukum nasionalnya
atau jika hal itu dapat memudahkan pelaksanaannya.
Permintaan wajib dilaksanakan sesuai dengan hukum nasional negara
pihak yang diminta dan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional
negara pihak yang diminta dan jika memungkinkan, sesuai dengan prosedur yang
disebut dalam permintaan itu.
Sepanjang memungkinkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
hukum nasional, jika seseorang berada di wilayah suatu negara pihak dan harus
didengar sebagai saksi atau ahli oleh pejabat pengadilan negara pihak lain, maka
negara pihak yang pertama dapat, atas permintaan pihak lainnya, mengizinkan
sidang dilakukan dengan video conference jika tidak mungkin atau tidak
dikehendaki bahwa orang yang bersangkutan hadir langsung di wilayah Negara
74 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.
93
Pihak yang meminta. Negara-negara pihak dapat menyepakati bahwa sidang itu
dilaksanakan oleh pejabat pengadilan negara pihak yang meminta dan dihadiri
oleh pejabat pengadilan negara pihak yang diminta.
Negara pihak yang meminta tidak boleh menyampaikan atau
menggunakan informasi atau bukti yang diberikan oleh negara pihak yang diminta
bagi penyelidikan, penuntutan atau proses pengadilan yang lain daripada yang
dinyatakan dalam permintaan tanpa persetujuan lebih dahulu negara pihak yang
diminta. Ketentuan ayat ini tidak menghalangi negara pihak yang meminta untuk
mengungkapkan kepada terdakwa di dalam proses hukumnya informasi atau bukti
yang bersifat membebaskan. Dalam hal terakhir ini, negara pihak yang meminta
wajib memberitahukan kepada negara pihak yang diminta sebelum pengungkapan
dilakukan dan, jika diminta, berkonsultasi dengan negara pihak yang diminta Jika
dalam keadaan tertentu pemberitahuan lebih dulu itu tidak mungkin dilakukan,
Negara Pihak yang meminta wajib dengan segera memberitahukan pengungkapan
itu kepada negara pihak yang diminta.
Negara pihak yang meminta dapat mempersyaratkan negara pihak yang
diminta agar menjaga kerahasiaan fakta dan isi permintaan, kecuali sepanjang
yang diperlukan untuk melaksanakan permintaan itu. Jika negara pihak yang
diminta tidak dapat memenuhi persyaratan kerahasiaan, negara pihak itu wajib
dengan segera memberitahukan hal itu kepada negara pihak yang meminta.
Bantuan hukum timbal-balik dapat ditolak :
a) Jika permintaan itu diajukan tidak sesuai dengan ketentuan pasal ini;
94
b) Jika negara pihak yang diminta berpendapat bahwa pelaksanaan
permintaan itu akan merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban
umum atau kepentingan mendasar lainnya;
c) Jika pejabat negara pihak yang diminta dilarang oleh hukum
nasionalnya untuk melakukan tindakan yang diminta dalam kaitannya
dengan kejahatan yang sama, seandainya bagi kejahatan itu dilakukan
penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan berdasarkan
yurisdiksinya sendiri;
d) Jika hal itu akan bertentangan dengan sistem hukum Negara Pihak
yang diminta dalam kaitannya dengan bantuan hukum timbal-balik
bagi permintaan yang akan dikabulkan;
e) Negara Pihak tidak boleh menolak permintaan bantuan hukum timbal
balik semata-mata karena alasan bahwa kejahatan itu dianggap
melibatkan juga masalah-masalah perpajakan. 75
Alasan-alasan harus diberikan untuk penolakan bantuan hukum timbal
balik.
Negara Pihak yang diminta wajib sesegera mungkin melaksanakan
permintaan bantuan hukum timbal balik dan wajib sedapat mungkin memenuhi
tenggat waktu yang disarankan oleh Negara Pihak yang meminta dan alasan-
alasan untuk itu wajib diberikan, lebih disukai jika dicantumkan di dalam
75 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.
95
permintaan itu. Negara Pihak yang meminta dapat meminta informasi tentang
status dan perkembangan tindakan yang diambil oleh Negara Pihak yang diminta
untuk memenuhi permintaannya. Negara Pihak yang diminta wajib menanggapi
permintaan yang wajar dari Negara Pihak yang meminta mengenai status dan
perkembangan penanganan permintaan itu. Negara Pihak yang meminta wajib
dengan segera menginformasikan kepada Negara Pihak yang diminta jika bantuan
yang diminta tidak lagi diperlukan
Bantuan hukum timbal-balik dapat ditunda oleh Negara Pihak yang
diminta dengan alasan bahwa hal itu mencampuri penyidikan, penuntutan atau
proses yang sedang berjalan.
Sebelum menolak suatu permintaan menurut berdasarkan ketentuan ayat
21 atau menunda pelaksanaannya berdasarkan ketentuan ayat 25, Negara Pihak
yang diminta wajib berkonsultasi dengan Negara Pihak yang meminta untuk
mempertimbangkan apakah bantuan dapat diberikan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang dianggapnya perlu. Jika Negara Pihak yang
meminta menerima bantuan sesuai dengan syarat-syarat itu, ia wajib mematuhi
syarat-syarat tersebut.
Tanpa mengurangi penerapan ketentuan ayat 12, seorang saksi, ahli atau
orang lain yang, atas permintaan Negara Pihak yang meminta, setuju untuk
memberikan bukti dalam suatu proses hukum atau untuk membantu suatu
penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di dalam wilayah Negara Pihak
yang meminta tidak boleh dituntut, ditahan, dihukum atau dikenakan pembatasan
lain atas kebebasan pribadinya di wilayah itu berkenaan dengan perbuatan,
96
kelalaian atau penghukuman sebelum keberangkatannya dari wilayah Negara
Pihak yang diminta. Jaminan keamanan itu berakhir ketika saksi, ahli atau orang
lain itu, setelah jangka waktu limabelas hari berturut-turut atau jangka waktu lain
yang disepakati Negara-Negara Pihak sejak tanggal ketika kepadanya secara resmi
diberitahukan bahwa kehadirannya tidak lagi diperlukan oleh pejabat pengadilan,
diberikan kesempatan pergi, akan tetapi ia tetap tinggal secara sukarela di wilayah
Negara Pihak yang meminta, atau, setelah meninggalkan negara itu, kembali lagi
atas kemauannya sendiri.
Biaya-biaya yang biasa untuk memenuhi permintaan wajib dibayar oleh
Negara Pihak yang meminta, kecuali disepakati lain oleh Negara-Negara Pihak
yang bersangkutan. Jika diperlukan atau akan diperlukan pengeluaran-
pengeluaran yang besar atau luar biasa untuk memenuhi permintaan itu, Negara-
Negara Pihak wajib berkonsultasi untuk menentukan syarat-syarat bagi
pemenuhan permintaan, serta bagaimana biaya-biaya itu akan ditanggung Negara
Pihak yang diminta:
a) Wajib memberikan kepada Negara Pihak yang meminta, salinan dari
catatan, dokumen atau informasi kepemerintahan yang dimilikinya
yang menurut hukum nasionalnya terbuka untuk masyarakat umum.
b) Dapat, atas kebijakannya sendiri, memberikan kepada Negara Pihak
yang meminta, seluruh, sebagian atau berdasarkan syarat yang
dianggapnya perlu, salinan dari catatan, dokumen atau informasi
97
kepemerintahan yang dimilikinya yang menurut hukum nasionalnya
tidak terbuka untuk masyarakat umum.76
Negara Pihak wajib mempertimbangkan, sepanjang perlu, kemungkinan
untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral untuk
melaksanakan maksud, menindaklanjuti atau meningkatkan ketentuan pasal ini.
3. Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of
Sentenced Persons) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 45)
Merupakan perjanjian Transfer of Sentenced Person yang meliputi
pemindahan orang yang sudah menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya
untuk menjalani sisa masa hukuman yang belum dijalaninya di negaranya.
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), dapat
mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau
multilateral mengenai pemindahan ke wilayahnya orang yang dihukum dengan
pidana penjara atau dengan bentuk lain perampasan kebebasan karena kejahatan
menurut Konvensi ini agar orang itu dapat menyelesaikan hukumannya di sana.77
4. Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal
Proceding) (Konvensi UNCAC 2003 Art. 47)
76 BPHN, Naskah Akdademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&ved=0CFsQFjAI&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=4SOSVb6xPNGYuQTS-IH4BQ&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=6REhWrKZL8LbygZbjCOpLg, , ibid.
77https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2F%2Fperpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, ibid.
98
Perjanjian Transfer of Criminal Proceding meliputi pemindahan
pemeriksaan orang yang menjadi tersangka tindakan kriminal yang sedang
menjalani pemeriksaan oleh suatu negara untuk dipindahkan ke negara asalnya.
5. Investigasi Bersama (Joint investigation ) (Konvensi UNCAC 2003 Art.
49)
Investigasi bersama merupakan suatu bentuk kesepakatan antara dua
negara atau lebih dalam hal pengusutan suatu tindakan kriminal.
99
BAB III
HUBUNGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
CORRUPTION (UNCAC) 2003 DENGAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. Ratifikasi Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 Oleh Indonesia dan Negara Lainnya
Seiring perkembangan globalisasi, kasus-kasus korupsi cenderung melintasi
batas-batas negara baik dalam hal aset maupun barang bukti. Sebab itu dibutuhkan
kerjasama yang erat dalam penanganannya khususnya dalam hal pengembalian
aset hasil korupsi. Tujuan pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berhenti pada
penangkapan dan penahanan pelakunya. Tetapi harus terfokus pada upaya
pengembalian aset-aset yang telah dicurinya. Dengan diratifikasinya konvensi
UNCAC 2003 oleh Indonesia, semakin lengkaplah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas,
serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan
tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan
sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang
bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional
maupun tingkat internasional, maka dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan
100
dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerjasama internasional,
termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi78.
1 Proses Ratifikasi Konvensi UNCAC 2003 oleh Pemerintah Indonesia
Pada tahap penandatanganan konvensi United Nations Convention
Againts Corruption (UNCAC) 2003 pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember
2003 di Merida Meksiko, Menteri Kehakiman dan HAM RI yang diberikan
mandat (full powers) oleh presiden untuk menandatangani konvensi UNCAC
2003 berhalangan datang. Sehingga Indonesia belum menandatangani konvensi
UNCAC 2003 pada momentum yang tepat. Konvensi UNCAC 2003 seharusnya
ditandatangani oleh presiden bukan level menteri, sehingga memberikan kesan
bahwa top leader Indonesia mendukung penanganan korupsi secara global dan
memperlihatkan keseriusan pemberantasan korupsi di tingkat nasional.
Momentum yang baik ini tidak dimanfaatkan oleh Presiden Megawati pada waktu
itu dan lebih memilih untuk diwakili oleh pejabat setingkat menteri, bukan wakil
presidennya. Berbeda halnya dengan Austria, Hungaria, Yordania, Nigeria, Peru,
dan Filipina, yang mengutus wakil presidennya masing-masing. Tidak ada
penjelasan resmi yang disampaikan mengenai ketidakhadiran Menteri Kehakiman
dan HAM RI di Merida, Meksiko, yang pada waktu itu dijabat oleh Yusril Ihzal
Mahendra. Baru pada tanggal 18 Desember 2003, Menteri Yusril telah
membubuhkan tanda tangannya di markas besar PBB di New York.79
78Diakses dari http://jurnalrepository.unej.ac.id.pdf, diakses tanggall 18 Maret 201579Penandatanganan di New York berdasarkan Pasal 67 UNCAC, Diakses dari
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=167205, diakses tanggal 23 Maret 2015
101
Setelah itu Indonesia meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 18 April
2006 yang disahkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption). Dengan
ratifikasi tersebut, konvensi UNCAC 2003 mempunyai kekuatan pemberlakuan
(Entry into Force) bagi Indonesia sebagai negara peserta ratifikasi Konvesi
tersebut. Ratifikasi konvensi UNCAC 2003 oleh pemerintah Indonesia juga
mempunyai implikasi timbulnya kewajiban yang mengikat bagi bangsa Indonesia
untuk melaksanakan isi dari konvensi UNCAC 2003.
2 UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC80
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus
yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali,81 akan
tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara lain
karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil
tindak pidana korupsi. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember
2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh
Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31
80 Mahrus Ali, Asas,Teori,dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal.32
81Indonesia mempunyai lima Undang-Undang yang berkaitan dengan korupsi yaitu: UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003; UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 24 Maret 2015
102
Oktober 2003. Indonesia lewat rapat paripurna DPR, 20 Maret 2006 mengesahkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003.82
Dengan demikian, peraturan mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia semakin lengkap. Indonesia bisa menggunakan konvensi UNCAC 2003
untuk menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia terutama masalah korupsi
yang melintas batas negara (cross border) Sesuai dengan ketentuan Konvensi
UNCAC 2003, Indonesia juga menyatakan reservation (pensyaratan) terhadap
Pasal 66 ayat (2) Konvensi UNCAC 2003 yang mengatur upaya penyelesaian
sengketa, seandainya terjadi, mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi
melalui Mahkamah Internasional.83
Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak
mengakui jurisdiksi yang mengikat secara clematis (compulsory jurisdiction) dari
Mahkamah Internasional. Pensyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan
ketentuan internasional yang berlaku. Diajukannya Reservation (pensyaratan)
terhadap Pasal 66 ayat 2 adalah berdasarkan pada prinsip untuk tidak menerima
kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional kecuali
dengan kesepakatan Para Pihak. Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak
terikat ketentuan Pasal 66 ayat (2) Konvensi UNCAC 2003 dan berpendirian
bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi
Konvensi UNCAC 2003, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana
diatur dalam ayat (2) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional
82Diakses dari, http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24221&Itemid=56, diakses tanggal 24 Maret 2015
83Diakses dari, http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm, diakses tanggal 24 Maret 2015
103
hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. Yang disahkan dalam
Undang-Undang ini adalah United Nations Convention Against Corruption, 2003
(Konvensi PBB anti Korupsi, 2003). Untuk kepentingan pemasyarakatannya,
dipergunakan salinan naskah asli dalam bahasa Inggris dan terjemahan dalam
bahasa Indonesia. Apabila terjadi perbedaan pengertian terhadap terjemahan
dalam bahasa Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa
Inggris.
(1)Latar Belakang dan Tujuan Pembentukan
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 merupakan
pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 200384
Terdapat dua alasan penting mengapa konvensi UNCAC 2003 perlu diratifikasi;
pertama, tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
perekonomian sehingga penting adanya kerjasama internasional untuk pencegahan
dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil
tindak pidana korupsi; dan kedua, kerjasama internasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas,
dan manajemen pemerintahan yang baik.85
Konvensi UNCAC 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh
suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang
84Konfensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, berisi 8 (delapan) yaitu ketentuan umum; tindakan-tindakan pencegahan; kriminalisasi dan penegakan hukum; kerjasama internasional; pengembalian aset; bantuan teknis; pelatihan dan pengumpulan, peraturan dan analisis informasi; mekanisme untuk pelaksanaan; dan penutup.
85Konsideran huruf b dan huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
104
serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-
lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta
mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi
ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat
dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan
kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus
jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber daya
Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang
berkelanjutan Negara tersebut.86
Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan
fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi,
yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya
sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan
multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
efektif.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah bahwa perolehan
kekayaan pribadi secara tidak sah dapat secara khusus merusak lembaga-lembaga
demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan penegakan hukum, dan salah satu cara
untuk mencegah, mendeteksi, dan menghambatnya adalah dengan cara yang lebih
efektif transfer internasional aset yang diperoleh secara tidak sah dan memperkuat
kerjasama internasional dalam pengembalian aset.
Tujuan dibentuknya konvensi UNCAC 2003 antara lain: (a)
meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas 86Konsideran United Nations Coonvention Against Corruption (UNCAC), 2003.
105
korupsi secara lebih efisien dan efektif (to promote and strenghten measures to
prevent and combat corruption more efficientlyand effectively); (b) meningkatkan,
memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset (to
promote, facilitate and support international cooperation and technical assistance
in the prevention of and fight against corruption, including in asset recovery); dan
(c) meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan pengelolaan yang baik urusan-
urusan publik dan kekayaan publik (to promote integrity, accountability, and
proper management of public affairs and public property).87
(2)Istilah-Istilah Penting
Terdapat sembilan istilah penting yang dijadikan acuan penegakan
hukum dalam konvensi UNCAC 2003. Pertama, pejabat publik yaitu meliputi;88
(a) setiap orang yang memegang jabatan legislatif, eksekutif, administratif, atau
yudikatif di suatu Negara Pihak, baik diangkat atau dipilih, baik tetap atau untuk
sementara, baik digaji atau tidak digaji, tanpa memperhatikan senioritas orang itu;
(b) setiap orang yang melaksanakan fungsi publik, atau memberikan layanan
umum, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan
sebagaimana berlaku di bidang hukum yang sesuai di Negara Pihak tersebut; dan
(c) setiap orang yang dinyatakan sebagai pejabat dapat juga berarti setiap orang
yang melaksanakan fungsi publik atau menyediakan layanan umum sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang nasional Negara Pihak dan sebagaimana berlaku
di bidang hukum yang sesuai di Negara Pihak tersebut.
87Pasal 1 Bab I United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 200388Pasal 2 Bab I United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003
106
Kedua, pejabat pulik asing yaitu setiap orang yang memegang jabatan
legislatif, eksekutif, administratif, atau yudikatif di suatu Negara asing, baik
diangkat atau dipilih, dan setiap orang yang melaksanakan fungsi publik untuk
negara asing, termasuk untuk instansi publik atau perusahaan publik. Ketiga,
pejabat organisasi internasional publik yaitu setiap pegawai sipil internasional
atau setiap orang yang diberi kewenangan oleh organisasi internasional tersebut
untuk bertindak atas nama organisasi tersebut.
Keempat, kekayaan yaitu setiap jenis aset, baik bertubuh atau tak
bertubuh, bergerak atau tak bergerak, berwujud atau tak berwujud, dan dokumen
atau instrumen hukum yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset
tersebut. Kelima, hasil kejahatan yaitu setiap kekayaan yang berasal atau
diperoleh, langsung atau tidak langsung, dari pelaksanaan kejahatan. Keenam,
pembekuan atau penyitaan yang berarti pelarangan sementara transfer, konversi,
pelepasan atau pemindahan kekayaan, atau penempatan sementara kekayaan
dalam pengawasan atau pengendalian berdasarkan perintah pengadilan atau
pejabat berwenang lainnya.
Ketujuh, perampasan yang meliputi; pembayaran denda, jika ada,
adalah perampasan kekayaan secara tetap berdasarkan perintah pengadilan atau
pejabat berwenang lainnya, Kedelpan, kejahatan asal yaitu setiap kejahatan yang
mengakibatkan bahwa hasil-hasil yang diperoleh dapat menjadi subjek dari
kejahatan. Kesembilan, penyerahan terkendali yaitu cara untuk memungkinkan
kiriman yang tak sah atau mencurigakan keluar dari, melalui atau masuk ke dalam
wilayah satu atau lebih Negara, dengan sepengetahuan dan di bawah pengawasan
107
pejabat berwenangnya, dalam rangka penyidikan kejahatan dan identifikasi orang-
orang yang terlibat dalam pelaksanaan kejahatan.
(3)Pembekuan, Penyitaan dan Perampasan Aset
Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset diatur dalam ketentuan
Pasal 31. Terdapat sepuluh rambu-rambu atau panduan dalam proses pembekuan,
penyitaan, dan perampasan aset bagi Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC
2003, yaitu:
1. Wajib mengambil, sepanjang dimungkinkan dalam sistem hukum
nasionalnya, tindakan-tindakan yang perlu untuk memungkinkan
perampasan:
a. hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan menurut konvensi ini
atau kekayaan yang nilainya setara dengan hasil kejahatan itu.
b. kekayaan, peralatan atau sarana lain yang digunakan atau
dimaksudkan untuk digunakan untuk kejahatan menurut
konvensi ini.
2. Wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk
mengidentifikasi, melacak, membekukan atau menyita setiap
barang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk tujuan
perampasan;
3. Wajib mengambil, sesuai dengan hukum nasionalnya, tindakan-
tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk mengatur
pengadministrasian oleh pejabat yang berwenang atas kekayaan
yang dibekukan, disita atau dirampas;
108
4. Jika hasil kejahatan telah diubah dan dikonversi, sebagiannya atau
seluruhnya, ke dalam kekayaan lain, maka sebagai gantinya,
kekayaan tersebut wajib dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini;
5. Jika hasil kejahatan telah bercampur dengan kekayaan yang
diperoleh dari sumber-sumber yang sah, maka dengan tidak
mengurangi kewenangan yang berkaitan dengan pembekuan atau
penyitaan, kekayaan tersebut wajib dikenakan perampasan sampai
nilai perkiraan dari hasil kejahatan yang dicampur tersebut;
6. Pendapatan atau manfaat lain yang berasal dari kejahatan, dari
kekayaan yang berasal dari perubahan atau konversi hasil kejahatan
atau dari kekayaan yang telah bercampur dengan hasil kejahatan,
wajib juga dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini, dengan cara dan lingkup yang sama seperti hasil
kejahatan;
7. Wajib memberikan kewenangan kepada pengadilan atau badan
berwenangnya yang lain untuk memerintahkan agar dokumen bank,
keuangan atau perusahaan diberikan atau disita. Negara Pihak tidak
boleh menolak melaksanakan ketentuan Pasal ini dengan alasan
kerahasiaan bank;
8. Dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan pelaku
untuk menunjukkan kesyahan usul-usul dari apa yang diduga
sebagai hasil kejahatan atau kekayaan lain yang dikenakan
109
perampasan, sepanjang kewajiban tersebut sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar hukum nasionalnya dan dengan proses pengadilan dan
proses lainnya;
9. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset tidak boleh merugikan
hak pihak ketiga yang beritikad baik;
10.Ketentuan tentang pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset
tidak mempengaruhi prinsip bahwa tindakan-tindakan tersebut
diartikan dan dilaksanakan sesuai dengan dan tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum nasional.
(4)Perlindungan Saksi, Ahli, dan Korban
Ketentuan mengenai perlindungan saksi, ahli, dan korban diatur dalam
Pasal 32. Perlindungan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang efektif
terhadap kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi saksi, ahli, dan korban
dan keluarganya, dengan tetap memperhatikan hak terdakwa termasuk haknya
atas proses hukum, meliputi, antara lain: (a) menetapkan tata cara perlindungan
fisik bagi orang dengan, sepanjang perlu dan layak, memindahkannya ke tempat
lain dan, sepanjang perlu, tidak mengizinkan pengungkapan atau membatasi
pengungkapan informasi mengenai identitas dan keberadaan orang tersebut; (b)
membuat atauran pembuktian yang memungkinkan saksi dan ahli memberikan
kesaksian dengan cara menjamin keselamatannya, seperti kesaksian yang
diberikan melalui teknologi komunikasi seperti video atau sarana lain yang sesuai.
Korban yang menjadi saksi dalam suatu persidangan dapat dipindahkan
dari suatu Negara ke Negara lain dengan terlebih dahulu mengadakan perjanjian
110
atau pengaturan mengenai hal itu, jika korban tersebut khawatir kesaksiannya di
persidangan akan membahayakan dirinya. Ketentuan demikian harus juga
memberikan hak kepada pelaku untuk menolak keinginan korban tersebut.
(5)Perlindungan Pelapor
Mengenai perlindungan pelapor dicantumkan dalam rumusan Pasal 33
yang berbunyi:
Each State Party shall consider incorporating into its domestic legal system appropriate measures to provide protectionagainst any unjustified treatment for any person who reports in good faith and on reasonable grounds to the competent authorities any facts offences established in accodance with this Convention.
Berdasarkan Pasal di atas diketahui bahwa setiap Negara yang
meratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003 wajib mempertimbangkan untuk memasukkan ke dalam sistem hukum
nasionalnya tindakan-tindakan yang perlu untuk memberikan perlindungan
terhadap perlakuan yang tidak adil bagi orang yang melaporkan dengan itikad
baik dan dengan alasan-alasan yang wajar kepada pihak yang berwenang fakta-
fakta mengenai kejahatan menurut Konvensi UNCAC 2003 ini.
B. Akibat Hukum dari Ratifikasi Konvensi United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia
Dari sudut pandang Indonesia pengesahan perjanjian internasional diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-undang tersebut mengatur tata cara pengesahan suatu perjanjian
111
internasional sesuai dengan jenis perjanjiannya. Di Indonesia, pengesahan
perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia menggunakan sistem
campuran, yakni oleh badan eksekutif dan legislatif dalam bentuk undang-undang
atau keputusan presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengesahan/ratifikasi perjanjian
internasional dalam bentuk undang-undang diurusi oleh Direktorat Perjanjian
Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia. Sedangkan yang menangani pengesahan/ratifikasi dalam bentuk
keputusan presiden adalah Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan :
a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e) Pembentukan kaidah hukum baru;
f) Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.89
Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Perjanjian Internasional
mengatur pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
89Undang-Undang Perjanjian Internasional, Undang-Undang No. 24 LN. No. 185 Tahun 2000, Pasal 10.
112
materi sebagaimana diatur di dalam Pasal 10, dilakukan dengan keputusan
presiden.
Terkait bentuk pengesahan ini maka setidaknya ada tiga peraturan yang
menjadi dasar yaitu : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Adapun mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dalam
bentuk undang-undang yang dibuat oleh Direktorat Perjanjian Ekonomi dan
Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yakni90 :
1. Pemrakarsa adalah salah satu dari lembaga negara, lembaga
pemerintah, kementerian dan non kementrian (pusat dan daerah).
Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa
perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan (sesuai dengan Pasal 9
dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000) dengan
undang-undang. Jika terdapat keragu-raguan tentang persyaratan ini
maka pemrakarsa harus mengkonsultasikannya dengan Direktorat
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar
Negeri.
90Elmar Iwan Lubis, et.al., Pedoman Praktis Pembuatan, Pengesahan dan Penyimpanan Perjanjian Internasional Termasuk Penyiapan Full Powers dan Credentials, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 6-8.
113
2. Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada
Presiden melalui Menteri Luar Negeri dengan tembusan kepada
Menteri terkait. Permohonan izin prakakarsa tersebut disertai
penjelasan konsepsi pengaturan RUU yang meliputi : urgensi dan
tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran,
lingkup dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan.
Menteri Luar Negeri kemudian membuat surat kepada Presiden yang
berisi pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tercantum dalam
Pasal 3 Perpres No. 68 Tahun 2005 dan melampirkan Certified True
Copy Perjanjian. Pertimbangan-pertimbangan sebagaimana
dimaksud adalah pertimbangan suatu kondisi dimana pemrakarsa
dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas, yaitu : menetapkan Perpu
menjadi UU, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi,
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam,
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional
atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama badan legislasi DPR
RI dan Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Sekretaris Negara
menerima surat Menteri Luar Negeri dan kemudian meakukan
analisa meliputi substansi, prosedural dan kepentingan sektoral
terkait sebelum diteruskan ke Presiden. Jika Presiden setuju maka
Menteri Sekretaris Negara akan mengeluarkan Surat Persetujuan Izin
Prakarsa kepada Menteri Luar Negeri dengan tembusan ditujukan
114
kepada Wakil Presiden dan Menteri terkait. Apabila disetujui
Presiden, pemrakarsa akan membentuk Panitia Antar Kementerian.
3. Pemrakarsa dapat membentuk Panitia Antar Kementrian (PAK) yang
terdiri dari : Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Peraturan
Perundang-Undangan), Sekretariat Kabinet (Biro PUU II),
Kementerian Sekretariat Negara (Biro Hukum dan Administrasi
Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Luar Negeri (Ditjen
HPI dan unit satuan terkait), dan instansi terkait lainnya. (catatan :
Kepala Biro Hukum Pemrakarsa akan menjadi Sekretaris PAK)
4. a. Setelah pembentukan PAK, pemrakarsa mengadakan Rapat Antar
Kementerian (RAK) untuk koordinasi pembahasan RUU
Pengesahan, Naskah Akademik dan terjemahan perjanjian yang
berdasarkan salinan Naskah Resmi Perjanjian (Certified True
Copy/CTC). Apabila terdapat reservasi dan/atau deklarasi atas
perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan pernyataan
reservasi dan/atau deklarasi.
b. Dalam hal pembahasan RUU beserta lampirannya, pemrakarsa
dapat melaksanakan sosialisasi dan meminta masukan dari
masyarakat
Kemudian masukan dari masyarakat tersebut diteruskan ke PAK
untuk menjadi pertimbangan dalam RAK.
5. Setelah pembahasan dalam RAK selesai, pemrakarsa akan
mengajukan permohonan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan
115
atas konsepsi RUU Pengesahan kepada Kementerian Hukum dan
HAM. Setelah proses harmonisasi tersebut selesai, pemrakarsa
menyampaikan dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri,
Menteri Hukum dan HAM dan Menteri terkait untuk memperoleh
persetujuan dan paraf. Persetujuan dan paraf dimaksud, diberikan
selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah dokumen pengesahan
diterima.
6. a. Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas tidak
diperoleh, maka pemrakarsa wajib untuk melakukan koordinasi
ulang dengan Kementerian terkait. Apabila setelah koordinasi
tersebut masih belum diperoleh persetujuan dan paraf dimaksud,
maka pemrakarsa akan melapor secara tertulis kepada Presiden
untuk memperoleh keputusan. Jika presiden tidak memberikan
persetujuan terhadap RUU tersebut, maka proses pengesahan
dihentikan.
b. Jika persetujuan sebagaimana dimaksud butir 5 di atas telah
diperoleh, maka pemrakarsa melakukan perumusan ulang RUU guna
pengesahan.
7. Jika tidak ada masalah lagi, pemrakarsa mengajukan dokumen-
dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri (melalui
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) untuk
disampaikan kepada Presiden, sesuai Pasal 12 (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 jo Pasal 19 Perpres No. 68 Tahun 2005.
116
8. Dokumen-dokumen pengesahan sebagaimana dimaksud dalam butir
7 adalah 1 RUU Pengesahan, 1 salinan Naskah Resmi Perjanjian, 1
Naskah Akademik, 45 copy perjanjian, dan 45 copy naskah
terjemahan perjanjian dalam bahasa Indonesia. Setelah Kementerian
Luar Negeri melakukan verifikasi atas dokumen-dokumen RUU
Pengesahan beserta lampirannya, Menteri Luar Negeri mengajukan
permohonan Amanat Presiden atas RUU Pengesahan tersebut
dengan melampirkan dokumen pengesahan kepada Presiden melalui
Menteri Sekretaris Negara.
9. Menteri Sekretaris Negara menyiapkan Surat Amanat Presiden
(Ampres dan menerbitkan RUU Pengesahan di atas kertas polos
guna diparaf Menteri Luar Negeri, Menteri terkait dan Pimpinan
Lembaga Pemrakarsa pada tiap-tiap lembarnya dan nama jelas
Menteri yang melakukan paraf dicantumkan pada lembar pertama.
Setelah pemberian paraf, Menteri Luar Negeri akan meneruskan
RUU Pengesahan tersebut ke Presiden.
10. Presiden menandatangani Surat Presiden (Ampres) dan diteruskan
kepada pimpinan DPR RI guna menyampaikan RUU Pengesahan
disertai keterangan Pemerintah RI mengenai RUU dimaksud.
Bersamaan dengan itu, Menteri Sekretaris Negara membuat Surat
Penunjukan Wakil Pemerintah yang berisi : Menteri yang ditugaskan
mewakili Presiden dalam pembahasan RUU Pengesahan di DPR RI,
sifat RUU, dan cara penanganan/pembahasan. Surat Penunjukkan
117
Wakil Pemerintah tersebut ditembuskan kapada Menteri Luar
Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Pemrakarsa, dan Menteri
Koordinator terkait.
11. Pembahasan di DPR RI.
12. Apabila disetujui, DPR RI akan mengirimkan Surat Ketua DPR RI
dan Keputusan DPR RI perihal persetujuan DPR RI atas RUU
Pengesahan beserta lampirannya tersebut yang ditujukan kepada
Presiden.
13. Menteri Sekretaris Negara menerbitkan RUU pengesahan di atas
kertas Presiden untuk diparaf Menteri Luar Negeri dan Menteri
terkait lainnya. Setelah itu, RUU pengesahan yang sudah diparaf
tersebut akan disampaikan kepada Presiden.
14. Presiden kemudian akan melakukan penandatanganan RUU dan
mengesahkannya (apabila tidak ditandatangani dalam 30 hari, maka
akan otomatis berlaku). Setelah disahkan, Menteri Sekretaris Negara
akan memberikan nomor undang-undang dan akan memintakan
nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Pada tahap ini, otensifikasi undang-undang Pengesahan guna
penyebarluasan undang-undang dimaksud dilakukan oleh Kepala
Biro Hukum Sekretariat Negara.
15. Pemrakarsa menyampaikan salinan undang-undang Pengesahan
kepada Menteri Luar Negeri dengan dilampiri pernyataan reservasi
dan/atau deklarasi jika ada.
118
16. Menteri Luar Negeri menyampaikan Instrument of Ratification kepada
pimpinan lembaga depositori terkait.
17. Pimpinan lembaga depositori terkait menerima Instrument of
Ratification serta menyampaikan acknowledgement kepada Menteri
Luar Negeri bahwa Instrument of Ratification telah diterima. Menteri
Luar Negeri kemudian menerima acknowledgement tersebut beserta
tanggal mulainya pemberlakuan perjanjian tersebut.
Sementara mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional
dalam bentuk keputusan/peraturan presiden yang dibuat oleh Direktorat Perjanjian
Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia adalah
sebagai berikut91 :
1. Pemrakarsa adalah salah satu dari lembaga negara, lembaga
pemerintah,kementrian dan non kementrian (pusat dan daerah).
Pemrakarsa terlebih dulu mengidentifikasi dan memastikan bahwa
perjanjian mensyaratkan adanya pengesahan dan sesuai dengan Pasal
9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, pengesahan
dimaksud dilakukan dengan peraturan presiden. Jika terdapat
keragu-raguan tentang persyaratan ini maka pemrakarsa harus
mengkonsultasikannya dengan Direktorat Jendral Hukum dan
Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri.
2. Pemrakarsa kemudian mengajukan permohonan izin prakarsa kepada
Presiden dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri dan Menteri
terkait. Permohonan izin prakarsa tersebut disertai penjelasan 91Ibid, hal. 14-15
119
konsepsi pengaturan RPERPRES yang meliputi : urgensi dan tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup
dan objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan serta
melampirkan Salinan Naskah Resmi (Certified True Copy)
perjanjian yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri.
Sekretaris Kabinet menerima surat permohonan izin prakarsa dan
kemudian melakukan analisa meliputi substansi, prosedural dan
kepentingan sektoral terkait sebelum diteruskan kepada Presiden.
Jika Presiden setuju maka Sekretaris Kabinet akan mengeluarkan
Surat Persetujuan Izin Prakarsa kepada Menteri terkait dengan
tembusan ditujukan kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar
Negeri. Apabila disetujui Presiden, Pemrakarsa mengadakan Rapat
Antar Kementerian (RAK) atau Panitia Antar Kementerian (PAK)
yang terdiri dari Sekretariat Kabinet (Biro PUU II), Kementerian
Sekretaris Negara (Biro Hukum dan Administrasi Peraturan
Perundang-Undangan), Kementerian Luar Negeri (Direktorat
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan unit terkait),
Kementrian Hukum dan HAM (Direktorat Harmonisasi Peraturan
Perundang-Undangan) dan instansi terkait lainnya untuk
mengkoordinasikan pembahasan PPERPRES Pengesahan, Naskah
Akademik dan terjemahan perjanjian yang berdasarkan salinan
naskah resmi perjanjian. Apabila terdapat reservasi dan/atau
deklarasi atau perjanjian dimaksud, maka dibahas pula rancangan
120
pernyataan reservasi dan/atau deklarasi. Apabila diperlukan, sebelum
Rancangan PERPRES disampaikan kepada Presiden melalui
Sekretariat Kabinet, dapat terlebih dahulu dibahas dan disepakati
bersama oleh para Menteri dan Kepala LPNK melalui koordinasi
yang dipimpin Menteri Koordinator yang membidangi (Surat
Sekretaris Kabinet No. SE 8/Seskab/I/2012 tanggal 5 Januari 2012).
Dalam hal pembahasan RPERPRES beserta lampirannya,
Pemrakarsa dapat meminta masukan dari masyarakat, kemudian
dapat menjadi pertimbangan dalam RAK/PAK. Pemrakarsa
melaksanakan konsultasi dan koordinasi dengan Kementerian
Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri serta Sekretaris
Kabinet dalam rangka harmonisasi dan pembulatan serta pemantapan
konsepsi RPERPRES.
3. Setelah proses harmonisasi tersebut selesai, pemrakarsa mengajukan
dokumen pengesahan kepada Menteri Luar Negeri (melalui
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) untuk
disampaikan kepada Presiden. Dokumen pengesahan tersebut terdiri
dari 1 Rancangan PERPRES Pengesahan, 1 salinan naskah resmi
perjanjian, 1 naskah penjelasan, 45 salinan naskah perjanjian dalam
bahasa Inggris, dan 45 salinan naskah perjanjian dalam bahasa
Indonesia (sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
jo Pasal 40 Perpres Nomor 68 Tahun 2005).
121
4. Kementerian Luar Negeri akan melakukan verifikasi atas dokumen
pengesahan tersebut, kemudian Menteri Luar Negeri akan
mengajukan dokumen pengesahan perjanjian tersebut kepada
Presiden melalui Sekretariat Kabinet.
5. Sekretariat Kabinet akan melakukan verifikasi terhadap dokumen
pengesahan, untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden. Bila
dipandang perlu, Sekretariat Kabinet akan menyampaikan
Rancangan PERPRES untuk mendapat paraf Menteri Luar Negeri
serta Menteri terkait lainnya.
6. Presiden menetapkan PERPRES Pengesahan.
7. Sekretariat Kabinet memberikan nomor PERPRES dan memintakan
nomor Lembaran Negara kepada Kementerian Hukum dan HAM,
selanjutnya PERPRES disampaikan kepada Ketua DPR RI, Kantor
Wakil Presiden, Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan
Kementerian Koordinator terkait/instansi terkait.
8. Setelah PERPRES diterbitkan, Kementerian Luar Negeri (Direktorat
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional) akan mempersiapkan
draft notifikasi, bila dipandang perlu dan dalam rangka koordinasi,
Kementerian Luar Negeri dapat menyampaikan pemberitahuan
terlebih dahulu kepada lembaga pemrakarsa mengenai rencana
penyampaian notifikasi tersebut.
Dalam hal perjanjian yang disahkan tersebut memerlukan atau
membutuhkan adanya peraturan teknis/peraturan menteri terkait
122
dalam pemberlakuannya, maka lembaga pemrakarsa dapat
menyampaikan surat tertulis kepada Kementerian Luar Negeri untuk
menunda penyampaian Notifikasi tersebut sampai peraturan teknis
terkait diterbitkan. Menteri Luar Negeri akan melakukan notifikasi
atau menyampaikan Instrument of Ratification kepada counterpart
atau lembaga depository yang ditunjuk.
9. Counterpart atau Pimpinan lembaga depository terkait menerima
Instrument of Ratification serta menyampaikan acknowledgement
beserta tanggal pemberlakuan perjanjian tersebut bagi Indonesia
kepada Menteri Luar Negeri.
10. Kementrian Luar Negeri akan menginformasikan acknowledgement
dan tanggal berlakunya perjanjian tersebut kepada lembaga
pemrakarsa dan instansi terkait lainnya.
Permasalahan yang timbul mengenai tata cara ratifikasi terhadap
berbagai perjanjian internasional dilihat dari pandangan yuridis selama ini karena
ketentuan hukum nasional belum memadai. Dasar hukum mengenai tata cara
meratifikasi yang selama ini ada, tidak memberikan prosedur yang jelas dan baku.
Masalah pembuatan dan ratifikasi perjanjian internasional dilihat dari segi praktik
Indonesia masih terdapat kesimpangsiuran karena tidak jelasnya ketentuan Pasal
11 UUD 1945.92 Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan dengan
tegas adanya kata ratifikasi dan tidak memberikan kejelasan prosedural mengenai
tata cara meratifikasi suatu perjanjian internasional. Ketidakjelasan Pasal 11 ini
92Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional Bunga Rampai, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 151.
123
tentunya melahirkan kesulitan dalam praktik Indonesia, menjadi hanya perjanjian
tertentu. Kemudian, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional pada hakikatnya hanyalah kodifikasi dari praktik Indonesia yang
dipedomani oleh Surat Persiden No. 2826/HK/1960.93
Di Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, bahwa praktik mengenai
ratifikasi negara kitapun agak tidak menentu. Bukan saja tidak terdapat pembagian
perjanjian dalam golongan mana yang memerlukan dan tidak memerlukan
persetujuan parlemen, bahkan dalam UUD 1945 kata ratifikasi itu sendiri tidak
terdapat.94
Di samping itu sebagaimana diketahui tahap ratifikasi merupakan tahap
yang paling penting dalam seluruh proses pembuatan perjanjian, karena pada saat
itu suatu negara mengikatkan dirinya secara definitif pada suatu perjanjian.
Ratifikasi suatu perjanjian internasional berarti membatasi kedaulatan suatu
negara. Tidaklah mungkin bahwa pembatasan kedaulatan tersebut hanya diatur
oleh praktik yang bersimpang siur dan bukan oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang jelas.
Begitupun dewasa ini meski sudah ada peraturan-peraturan yang
berkaitan dengan ratifikasi, tetapi masih terdapat banyak ketidakjelasan dalam
proses ratifikasi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 hanya mengatur soal teknis pembuatan undang-undang saja,
93Damos Dumoli Agusman, Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945, Opinio Juris, Volume 04, Januari-April 2012, hal. 6.
94Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 132.
124
bentuk baku undang-undang pengesahan dan cara penulisannya. Perpres Nomor
68 Tahun 2005 hanya sebatas mengatur pelaksanaan persiapan RUU di tingkat
pemerintah sedangkan undang-undang Perjanjian Internasional masih sangat
umum mengatur prinsip-prinsip dasar perjanjian internasional. Faktanya,
mekanisme pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional hanyalah merupakan
Pedoman Praktis Pembuatan Dokumen Hukum yang dibuat oleh Direktorat
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia. Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional tersebut tidak tertera
secara baku, dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional.
Indonesia sering mengalami kesulitan atau sangat terlambat sekali dan
bahkan tidak melakukan sama sekali untuk menjadi pihak atau meratifikasi
konvensi-konvensi atau perjanjian internasional walaupun instrumen internasional
itu penting artinya bagi kepentingan nasional Indonesia. Dari sepuluh konvensi-
konvensi internasional yang dikeluarkan PBB yang menyangkut terorisme
misalnya, Indonesia hanya meratifikasi empat saja.
Menurut Marty Natalegawa (Mantan Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia) bahwa sepanjang tahun 2011, Pemerintah Indonesia sepakati perjanjian
internasional sebanyak 146 perjanjian, yang dikemukakan dalam pidatonya pada
acara Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) tahun 2012 bertajuk 'Refleksi
2011 Proyeksi 2012’. Beliau memaparkan, dari 146 perjanjian Internasional
tersebut, 131 perjanjian diantaranya merupakan perjanjian bilateral. Kemudian,
125
Marty menjelaskan, sebanyak 26 perjanjian internasional sudah diratifikasi.95 Jadi,
masih ada 120 perjanjian internasional yang dibuat sepanjang tahun 2011 yang
belum diratifikasi.
Indonesia dinilai masih belum sepenuhnya serius dan cepat tanggap
dalam meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya
perjanjian internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi, diantaranya
perjanjian tentang batas-batas perairan Indonesia dengan Malaysia dan Australia,
Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat, ASEAN Convention on Counter
Terrorism/ACCT (Konvensi ASEAN mengenai Pemberantasan Terorisme),
Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya,
Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita,
Protokol Konvensi Anti Penyiksaan, dan Statuta Roma yang sudah dimasukkan ke
dalam RANHAM 2004-2009 tapi gagal dilakukan dan kini dimasukan lagi dalam
RANHAM 2011-2014 yang sampai sekarang belum terwujud peratifikasiannya.
Betapa sangat lambatnya proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia
hingga memakan waktu yang relatif lama dan bahkan tak kunjung diratifikasi
juga.
Hingga saat ini menurut Kementrian Luar Negeri kurang lebih 250
konvensi multilateral yang perlu mendapatkan perhatian Pemerintah/Departemen
Teknis yang bersangkutan, yang meliputi berbagai bidang untuk diratifikasi dan
pembuatan RUU nasionalnya, misalnya Konvensi-Konvensi tentang Hak Asasi
Manusia. Dari 25 konvensi tentang Human Rights, baru dalam 6 konvensi
95Nicolas Timothy, 2011 Indonesia Sepakati 146 Perjanjian Internasional, http://www.tribunnews.com/2012/01/04/2011-indonesia-sepakati-146-perjanjian-internasional, diakses Selasa 25 April 2015.
126
Indonesia telah menjadi pihak. Begitu juga Konvensi Den Haag yang mengatur
tentang hukum perdata internasional, yang jumlahnya cukup banyak, belum
satupun yang disahkan Indonesia. Demikian pula halnya dengan Konvensi-
Konvensi ILO yang berjumlah kurang lebih 169 Konvensi.
Memang benar bahwa Indonesia termasuk negara yang agak lambat
dalam meratifikasi atau implementasi konvensi-konvensi internasional. Dari 25
konvensi penting tentang HAM, Indonesia baru meratifikasi sebanyak 6. Sebagai
perbandingan Australia telah meratifikasi 19 konvensi, India 15, Amerika Serikat
dan Iran 10, Bangladesh 9 serta Malaysia 6.96
Lambatnya pemerintah bekerja dalam proses ratifikasi dapat terlihat dari
daftar undang-undang ratifikasi yang dihasilkan DPR RI dimana sebagian besar
undang ratifikasi tersebut adalah untuk perjanjian yang sudah jauh hari
ditandatangani oleh pemerintah. Misalnya saja undang-undang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea (Treaty on
Extradition Between the Republic of Indonesia and The Republic of Korea) yang
sudah ditandatangani sejak tahun 2000 oleh pemerintah namun baru diserahkan
kepada Pimpinan DPR RI untuk diratifikasi pada 2005. Begitu juga Konvensi
Anti Korupsi PBB (UNCAC) 2003 yang ditandatangani 2003 baru diratifikasi
pada tahun 2006. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) pada
bulan Desember 2002, dan baru berhasil diratifikasi pada tahun 2009.97
96Boer Mauna, Op-Cit, hal. 191. 97Stredo, Kerjasama Internasional, http://stredoall.blogspot.com/2010/06/kerjasama-
internasional-mla.html, diakses Sabtu 25 April 2012.
127
Lambatnya kerja ratifikasi nampak pada jumlah undang-undang ratifikasi
yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR RI setiap tahunnya yang paling banyak
hanya mencapai 7 (tujuh) ratifikasi saja. Tahun 2008 jumlah RUU ratifikasi
sebanyak tiga RUU, jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Pada 2007 DPR RI melakukan ratifikasi lima perjanjian internasional
sedangkan pada 2006 dan 2005 masing-masing ada tujuh ratifikasi perjanjian
internasional.98
Padahal sifat rancangan undang-undang/rancangan keputusan presiden
pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana, biasanya hanya
terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Proses ratifikasi suatu
perjanjian internasional juga sesungguhnya sangat ringkas jika dibandingkan
dengan proses pembuatan peraturan perundang-undangan pada umumnya.
Pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah biasanya berlangsung lebih kurang
satu sampai tiga minggu saja. Bandingkan dengan pembahasan RUU pada
umumnya yang bahkan bisa sampai satu tahun atau bahkan lebih.
C. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di
Indonesia
Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani dan meratifikasi
konvensi UNCAC 2003 tentunya mempunyai kewajiban untuk segera
mereformasi sistem hukumnya sesuai dengan ketentuan konvensi UNCAC 2003.
98http://www.google.com, Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional, diakses Sabtu 25 April 2015.
128
Dalam hal ini Indonesia meratifikasi konvensi UNCAC 2003 melalui Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006. Terkait dengan pasal 2 konvensi UNCAC 2003
mengenai tindakan-tindakan pencegahan korupsi, Indonesia mempunyai Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 30 tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian terkait dengan pasal 6
konvensi UNCAC 2003 mengenai Badan atau Badan-Badan Pencegahan atau
Anti Korupsi, Indonesia telah memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu,
Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang yang mana disebutkan
dalam pasal 14 konvensi UNCAC 2003 mengenai tindakan-tindakan untuk
mencegah pencucian uang. Sementara itu berdasarkan pasal 32 konvensi UNCAC
2003 setiap negara dituntut untuk memberikan perlindungan saksi-saksi, para
saksi ahli dan para saksi korban. Guna memenuhi hal tersebut pemerintah
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam konvensi UNCAC 2003 juga
disebutkan bahwa adanya transparansi dan keikutsertaan masyarakat dalam proses
pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, dalam ini Indonesia mempunyai
sebuah lembaga independen yang bernama ICW (Indonesian Corruption
Watch).99
Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, menimbulkan implikasi karakteristik dan
99Diakses dari, http://repository.upnyk.ac.id/8159/2/Hikmatul_Akbar_Carmeli_Konvensi_Anti_Korupsi_PBB.pdf, dikases tanggal 12 Mei 2015
129
substansi gabungan dua sistem hukum yaitu “Civil Law” dan “Common Law”,
sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana
korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita menyebutkan implikasi yuridis tersebut,
bahwa: nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit
enrichment) dimana ketentuan Pasal 20 konvensi United Nations Convention
Against Coruption (UNCAC) 2003 menentukan, bahwa:
...each State Party shall consider adopting... to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relatlon to his or her lawful income".100
D. Pengaruh Konvensi United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 Terhadap Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia
Dengan diratifikasinya Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2006, maka Indonesia harus membentuk produk hukum yang selaras
dengan ketentuan dalam konvensi UNCAC 2003. Berdasarkan alasan filosifis,
sosiologis dan yuridis, produk hukum yang saat ini ada yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tidak lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi
UNCAC 2003. Oleh karena harus dibentuk produk hukum baru untuk
100Diakses dari, http://repo.unsrat.ac.id/24/1/DIMENSI_DAN_IMPLEMENTASI_PERBUATAN_MELAWAN_HUKUM_MATERIIL.pdf, diakses tanggal 12 Mei 2015
130
menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai dasar
pemberantasan tindak pidana di Indonesia. Pengacuan ketentuan-ketentuan
konvensi UNCAC 2003 dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga harus memperhatikan undang-undang
yang masih berlaku di Indonesia pada saat ini maupun rancangan undang-undang
lain yang saat sedang disusun dan terkait dengan materi dalam konvensi UNCAC
2003. Hal ini untuk mencegah adanya tumpang tindih pengaturan terhadap
susbstansi yang sama.
Oleh karena itu mendasarkan beberapa pertimbangan tersebut dan
kebutuhan kepentingan Indonesia dalam usaha pemberantasan tindak pidana
korupsi, maka rancangan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, minimal memuat ketentuan mengenai:
1. Pengertian-pengertian istilah yang dipakai.
2. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
3. Pembekuan, penyitaan dan perampasan.
4. Kebijakan dan praktik pencegahan korupsi.
5. Bentuk-bentuk kerjasama internasional.
6. Partisipasi masyarakat.
Keenam hal tersebut selanjutnya harus dijabarkan berdasarkan ketentuan
yang terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 dan dirumuskan dalam pasal-pasal
rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pengacuan terhadap konvensi UNCAC 2003 tersebut diperlukan mengingat
terdapat beberapa hal baru yang sebelumnya belum pernah diatur dalam undang-
131
undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah ada di Indonesia, baik
dari segi istilah maupun dari segi motode pelaksanaannya.
Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan
korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan
penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang
berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi
yang diharapkan oleh konvensi UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya
peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan
pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat
pemerintah adalah subyek dan obyek dalam konvensi UNCAC 2003 ini. Terkait
dengan konvensi UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan
pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini
mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam
pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan
bagi Indonesia.
BAB IV
SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
NASIONAL TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DENGAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION
AGAINST CORRUPTION (UNCAC) 2003
132
A. Ketentuan–Ketentuan Konvensi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional
Konvensi UNCAC 2003 merupakan perjanjian internasional (treaty-based
crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip
integritas nasional dan prinsip non-intervensi (lihat Pasal 4). Ketentuan ini
mencerminkan bahwa implementasi konvensi ini oleh setiap negara peserta tidak
boleh melanggar prinsip-prinsip tersebut di atas. Contoh upaya pemerintah
Indonesia dalam mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia dan
Singapura dan dari negara lain seharusnya ditempuh jalur diplomatik terlebih dulu
sebelum jalur penegakan hukum langsung (direct enforcement) melalui pihak
Kejaksaan Agung atau Kepolisian karena kompleksitas masalah hukum
pengembalian aset tersebut.
Ketentuan Pasal 4 tersebut di atas sangat relevan dengan ketentuan
mengenai kerjasama internasional (Bab IV) dalam konvensi UNCAC 2003
tersebut yang mengatur mengenai berbagai bentuk kerjasama internasional, dan
ketentuan dalam Bab V tentang Asset Recovery serta ketentuan mengenai Freeze,
Seizure and Confiscation (Art. 31, Bab Ill tentang Criminalization and Law
Enforcement) terutama aset yang berada di luar negeri.
Sehubungan dengan ini, dapat diambil contoh Perjanjian AMLA (Asean
Mutual Legal Assistarnce Treaty)101 tahun 2004 telah ditandatangani oleh 6
101Pemerintah Indonesia telah meratifikasi "UU Payung" {Umbrella Act) tentang Mutual Legal Assistance Treaty atau Bantuan Timbal Balik dalam masalah pidana Ieiah diundangkan di dalam UU Rl Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Di dalam ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, UNCAC tidak lagi menganut prinsip "dual criminality" secara mutlak di mana negara pihak dalam UNCAC jika dianggap perlu dapat melaksanakan bantuan timbal balik tersebut tanpa berpegang kepada prinsip tersebut Pasal 9 {a) UNCAC menegaskan:• A requested State Party, in respoding to a request for
133
(enam) negara anggota ASEAN termasuk Indonesia, dapat dijadikan landasan
hukum regional untuk segera mewujudkan kehendak pemerintah mengembalikan
aset-aset hasil korupsi yang terjadi sejak era Suharto dan era reformasi sampai
saat ini terutama kasus BLBI. Perjanjian ini tampak lebih efektif sekalipun juga
tidak mudah dan kompleksitas masalah hukum yang cukup signifikan untuk
pengembalian aset hasil korupsi. Apalagi dalam perjanjian tersebut dilampirkan
daftar sejumlah kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut.
Perjanjian AMLA 2004 tersebut, masih ada kelemahan yang signifikan
dilihat dari sisi terminologi hukum perjanjian yaitu, pada bagian sope of the
treaty, ditegaskan kalimat, "may include" dan seterusnya sehingga kalimat
tersebut merupakan "batu kerikil" yang tajam dan dapat 'menggagalkan upaya
pengembalian aset hasil korupsi atau pencucian uang yang merupakan target
pemerintah Indonesia terhadap Negara-negara yang non-kooperatif dalam kaitan
ini. Ketentuan mengenai perjanjian ekstradisi (lihat Pasal 44) seperti, prinsip
"dual criminality".tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat (kalimat, "State
Party whose law so permits may grant the extradition ... of a person for any
offences ... that are not punishable under its own domestic law"; Pasal 44 butir 2).
Selain hal tersebut, terobosan hukum terhadap prinsip umum ekstradisi juga
dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas seseorang
yang dimintakan ekstradisi (lihat Pasal 44 butir 11 dan 12). Ketentuan tersebut
memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalitas
assistance .• .in the absence of dual criminality, shall take into account the purposes of this Convention, as set forth in article 1 . ." (b) State Party may decline (non-mandatory obligation, pen.) to render assistance pursuant to this article on the ground of absence of dual criminality."
134
untuk segera (undue delay) menyerahkan seseorang warganya yang dimintakan
ekstradisi ke Negara peminta (requested state party) dengan syarat tertentu atau
"conditional extradition".Namun demikian suatu perjanjian ekstradisi tidak
menjamin efektivitas penyerahan tersangka dari satu negara ke negara lain. Kasus
ekstradisi Hendra Rahardja dari Australia ke Indonesia merupakan contoh konkret
bahwa, implementasi perjanjian ekstradisi dari Australia ke Indonesia belum
pernah menguntungkan pihak Indonesia, bahkan sebaliknya102 Prinsip untuk tidak
mengekstradisi dengan alasan tindak pidana pajak tidak lagi merupakan hal yang
menghalangi ekstradisi (Pasal 44 butir 16). Bentuk kerjasama internasional yang
baru dari konvensi UNCAC 2003 adalah, "transfer of sentenced person" (TSP)
(Pasal 45), dan "Transfer of criminal proceeding" (TCP) [Pasal 47].103 Pasal 45
bersifat non-mandatory provision ("may consider"), dan Pasal 47 bersifat
mandatory provision ("shall consider').
Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 4 mengenai State Souvereignty ini
kiranya perlu diperhatikan penggunaan prinsip-prinsip non-intervensi yang kaku
yang justru menghambat kerjasama internasional terutama dalam menghadapi
korupsi skala nasional dan menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat
suatu negara. Dalam pemburuan aset hasil korupsi sedemikian maka menjadi
kewajiban setiap negara peserta untuk memberikan bantuan penuh tanpa kecuali
102Pemerintah Indonesia dan Australia sudah menandatangani perjanjian ekstradisi dan disahkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1994, TLN 3565
103Pasal 45:" State Parties may consider entering into bilateral or multilateral agreements or arrangements on the transfer to their territory of persons sentenced to imprisonment or other forms of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention, in order that they may complete their sentence there". Pasal47: "State Parties shall consider the possibility of transferring to one another proceedings for the prosecution of an offence ... in cases where such transfer is considered to be in the interest of the proper administration of justice, in particular cases where several jurisdictions are nvolved, with a view to concentrating the procsecution".
135
terhadap negara peminta (requesting state) baik dalam rangka perjanjian bantuan
hukum timbal balik maupun dalam rangka permintaan ekstradisi. Berdasarkan hal
tersebut maka dapat dipastikan bahwa, keberhasilan kerjasama internasional
(bilateral atau multilateral), pada khususnya kerjasama dalam hal pengembalian
aset hasil korupsi atau karena tindak pidana pencucian uang sangat tergantung
bukan pada kesempurnaan rumusan dalam Undang-undang Pemberantasan
Korupsi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003, melainkan sangat ditentukan
oleh strategi dan teknik diplomasi para pejabat Kementerian Luar Negeri
Indonesia atau hubungan baik antara pemerintah. Indonesia dengan pemerintah
negara lain. Kondisi ini belum lagi memperhitungkan kondisi internal dan lintas
kementerian atau instansi penegak hukum saat ini di lndonesia104, dan keterbatasan
anggaran perjalanan dinas luar negeri bagi aparatur penegak hukum.
Kriminalisasi tindak pidana baru dalam konvensi UNCAC 2003 telah·
membedakan antara "bribery in the public sector" (Pasal 15) dan "bribery in the
private sector' (Pasal 21). Hal ini menunjukkan keterkaitan erat hubungan antara
peran sektor publik dan sektor swasta dalam masalah korupsi yang semakin
meningkat dan berdampak buruk terhadap penampilan dan kinerja pemerintah di
sebagian besar negara berkembang.
Ketentuan mengenai kriminalisasi ini merupakan hal yang penting karena
terkait dengan asas legalitas dalam hukum pidana bahwa tidak ada perbuatan yang
boleh dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang
yang ada mendahului perbuatan tersebut (nullum delictum sine praevia lege
104Koordinasi lintas lnstansi penegak hukum dan Kementerian Hukum dan HAM sangat menentukan keberhasilan ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana khususnya berkaitan.
136
poenali). Dalam bab III konvensi UNCAC 2003 terdapat ketentuan mengenai
kriminalisasi dan penegakan hukum yang harus diadopsi oleh pemerintah
Indonesia. Ketentuan tersebut mewajibkan Indonesia untuk melakukan pengaturan
terhadap tindakantindakan yang terkait dengan:105
1. Penyuapan pejabat publik nasional (Pasal 15 Konvensi UNCAC
2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja
a) Janji, tawaran, atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada
pejabat publik, secara langsung atau tak langsung, untuk pejabat
publik itu sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak
atau tidak bertindak melaksanakan tugas resminya;
b) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh
pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu
sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas resminya.
2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi
internasional publik (Pasal 16 konvensi UNCAC 2003 )
105Diakses dari, https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2perpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q, diakses tanggal 12 Mei 2015
137
a) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk
menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, janji,
tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada
pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional publik,
secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat publik itu sendiri
atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas resminya, untuk memperoleh atau
mempertahankan bisnis atau manfaat lain yang tidak semestinya
dalam kaitannya dengan pelaksanaan bisnis internasional.
b) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia) wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan
lain yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan
dengan sengaja, permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak
semestinya oleh pejabat publik asing atau pejabat organisasi publik
internasional, secara langsung atau tidak langsung, untuk pejabat itu
sendiri atau orang atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak
bertindak melaksanakan tugas resminya.
3. Penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan
oleh pejabat publik (Pasal 17 konvensi UNCAC 2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja penggelapan, penyalahgunaan
138
atau penyimpangan lain oleh pejabat publik untuk kepentingan sendiri atau untuk
kepentingan orang atau badan lain, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas publik
atau swasta atau barang lain yang berharga yang dipercayakan kepadanya karena
jabatannya.
4. Pemanfaatan pengaruh (Pasal 18 konvensi UNCAC 2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:
a) Janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada
pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung,
agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya
yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh
manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga
publik negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia),
untuk kepentingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain;
b) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh
pejabat Publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung,
untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang itu
menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada
dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari
lembaga pemerintah atau lembaga publik negara pihak.
5. Penyalahgunaan fungsi (Pasal 19 konvensi UNCAC 2003)
139
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,
penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam arti, melaksanakan atau tidak
melaksanakan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dalam
pelaksanaan tugasnya, dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak
semestinya untuk dirinya atau untuk orang atau badan lain.
6. Memperkaya diri secara tidak sah (Pasal 20 konvensi UNCAC 2003)
Dengan memperhatikan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem
hukumnya, negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,
perbuatan memperkaya diri, dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat
publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan
penghasilannya yang sah.
7. Penyuapan di sektor swasta (Pasal 21 konvensi UNCAC 2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja
dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan:
a) Janji, penawaran atau pemberian, secara langsung atau tidak langsung,
manfaat yang tidak semestinya kepada orang yang memimpin atau
140
bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk
dirinya atau untuk orang lain, agar ia dengan melanggar tugasnya,
bertindak atau tidak bertindak;
b) Permintaan atau penerimaan, secara langsung atau tidak langsung,
manfaat yang tidak semestinya oleh orang yang memimpin atau
bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor swasta, untuk dirinya
atau untuk orang lain, agar ia dengan melanggar tugasnya, bertindak
atau tidak bertindak.
8. Penggelapan kekayaan di sektor swasta (Pasal 22 konvensi UNCAC
2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya
yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja,
dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan, penggelapan oleh
orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor
swasta, terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang
berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya.
9. Pencucian hasil kejahatan (Pasal 23 ayat (1) konvensi UNCAC 2003)
a) Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mengambil, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya,
tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:
141
(1) Konversi atau transfer kekayaan, padahal mengetahui bahwa
kekayaan tersebut adalah hasil kejahatan, dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul tidak sah
kekayaan itu atau membantu orang yang terlibat dalam
pelaksanaan kejahatan asal untuk menghindari konsekuensi
hukum perbuatannya;
(2) Penyembunyian atau penyamaran sifat sebenarnya, sumber,
lokasi, pelepasan, pergerakan atau pemilikan atau hak yang
berkenaan dengan kekayaan, padahal mengetahui bahwa
kekayaan itu adalah hasil kejahatan.
b) Dengan memperhatikan konsep dasar sistem hukumnya:
(1) Perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, padahal
mengetahui, pada waktu menerimanya, bahwa kekayaan itu
adalah hasil kejahatan;
(2) Partisipasi dalam, hubungan dengan atau persekongkolan untuk
melakukan, percobaan untuk melakukan dan membantu,
memfasilitasi dan menganjurkan pelaksanaan kejahatan menurut
pasal ini.
10. Penyembunyian (Pasal 24 konvensi UNCAC 2003)
Dengan memperhatikan ketentuan pasal 23 Konvensi ini, negara-negara
yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja setelah kejahatan dilakukan
142
sesuai dengan Konvensi ini tanpa berpartisipasi dalam kejahatan tersebut,
penyembunyian atau penahanan terus menerus kekayaan jika orang yang terlibat
mengetahui bahwa kekayaan itu adalah hasil dari kejahatan menurut Konvensi ini.
11. Penghalangan peradilan (Pasal 25 konvensi UNCAC 2003)
Negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 (Indonesia), wajib
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan
sebagai kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja:
a) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji,
tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya untuk
memberikan kesaksian palsu atau untuk mencampuri pemberian
kesaksian atau pengajuan bukti dalam proses hukum yang berkaitan
dengan pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini;
b) Penggunaan kekuatan fisik, ancaman, intimidasi untuk mencampuri
pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegakan hukum
yang berkaitan dengan pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini.
Ketentuan sub-ayat ini tidak mengurang hak negara pihak untuk
mempunyai peraturan perundangundangan yang melindungi
kelompok pejabat publik lain.
Laporan penjelasan mengenai Criminal Law Convention menyebutkan 2
(dua) pertimbangan dimasukkannya kriminalisasi tindak pidana korupsi di sektor
swasta ke dalam konvensi ini, yaitu: pertama, bahwa korupsi di sektor swasta
telah melemahkan nilai-nilai seperti, kepercayaan, loyalifas yang diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Sekalipun dampak
143
negatif kepada korban tidak tampak nyata akan tetapi korupsi di sektor swasta
menimbulkan akibat kerugian kepada masyarakat sehingga perlindungan atas
persaingan sehat perlu dilakukan.
Kriminalisasi korupsi di sektor swasta justru bertujuan memulihkan
kepercayaan dan loyalitas di dalam memelihara hubungan sosial dan ekonomi
suatu negara. Kedua, terdapat teori yang dapat dijadikan justifikasi atas
kriminalisasi tersebut, yaitu teori, "interdependence of others". Berdasarkan teori
ini, seluruh sub-sistem sosial saling mempengaruhi secara timbal balik termasuk
nilai-nilainya. Atas dasar itu maka mustahil kiranya pemberantasan korupsi
dilakukan di satu sektor sementara itu juga mengabaikan kegiatan yang sarna di
sektor yang lain. Oleh karena itu hambatan-hambatan di sektor ekonomi dan
regulasinya akan berdampak terhadap system social yang lain seperti, di sektor
politik dan administrasi. Bertolak dari pernyataan teori di atas maka
pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan di bidang
persaingan usaha hanya akan melemahkan seluruh institusi pemberantasan
korupsi.106`
Sekalipun telah ada justifikasi sebagaimana diuraikan di atas tampaknya
negara peserta dalam negosiasi proses penyusunan konyensi inl masih ragu-ragu
untuk menyatakan secara tegas bahwa, korupsi di sektor swasta merupakan
"mandatory obligation". Di dalam Pasal 21 dirumuskan kalimat "shall consider
adopting". Sedangkan untuk kriminalisasi suap pejabat publik, di dalam pasal 15
dirumuskan dengan kalimat "shall adopt". Kriminalisasi penting lainnya adalah
106Albin Eser, Michael Kubicil, Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round; Nomos; 2005, hal. 47-48.
144
perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment).107 Kriminalisasi perbuatan
memperkaya diri sendiri, yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri
justru telah mempersempit lingkup tindak pidana korupsi yang sudah diatur di
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Berkaitan dengan
kriminalisasi tersebut, unsur kerugian Negara dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, oleh Konvensi UNCAC 2003 tidak lagi sebagai unsur penting. Hal
ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 3 butir 2 konvensi UNCAC 2003 mengenai
"scope of application" yang menegaskan bahwa,
"For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence ... to result in damage or harm to State property".
Ketentuan ini memerlukan kajian seksama dan mendalam dari para ahli
hukum pidana ketika pemerintah diwajibkan mengadopsi ketentuan konvensi
tersebut di atas ke dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi dan harus
mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Pertama, apakah unsur kerugian negara (State-loss) masih dapat
dipertahankan pasca ratifikasi konvensi tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3
bersifat mandatory (wajib); kedua, apakah ketentuan mengenai, "illicit
enrichment" sebagai suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan
rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut sehingga dapat
digunakan sistem pembalikan beban pembuktian melalui jalur keperdataan (civil
107Pasal20: " ... each State Party shall consider adopting ... to establish as a criminal offence, When committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public offcial that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her unlawful income·.
145
conviction) dan bukan hanya tergantung kepada "criminal conviction"108 Sistem
pembalikan beban pembuktian terbalik melalui jalur keperdataan ini juga
digunakan di beberapa negara.109 Pembuktian dengan cara tersebut berpandangan,
bahwa:
"confiscation is not regarded as a penalty but as a "compensating measure" aimed at depriving the offender of what he or she has acquired illegally and therefore, has no right to possess. Its purpose is to replace the offender in the same situation (economically) as that in which he or she was before the offence was committed".
Prosedur pembuktian seperti ini berbeda dengan penyitaan sebagai akibat
putusan pengadilan dalam perkara pidana. Model baru dalam proses pembuktian
108 Mengenai pembalikan beban pembuktian ini, kasus "Hongkong Bill of Rights Ordinance 1991", merupakan contoh yang tepat. Dalam undang-undang ini, section 10 ditegaskan: "any person who, being or having been a public servant, (a) maintains a standar of living above that which is commensurate with his present or past official emoluments; or (b) is in control of pecuniary resources or property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives a satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources or property came under his control, be guilty of an offence". UU tersebut dianggap bertentangan dengan ICCPR di dalam konstitusi Hongkong. Pengadilan Tinggi Hongkong, berpendapat bahwa, sebelum terdakwa membuktikan asal usul kekayaannya yang jauh melebihi penghasilannya; jaksa penuntut umum harus membuktikan "beyond reasonable doubt", status pegawai negeri tersebut, standar hidup yang bersangkutan selama penuntutan dan penghasilan resmi yang diterimanya selama itu; dan juga harus dapat membuktikan bahwa, kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu.Apabila penuntut umum dapat membuktikannya seluruhnya, maka kewajiban terdakwa unluk menjelaskan bagaimana yang bersangkutan dapat hidup mampu dengan kekayaanya yang ada, a tau bagaimana kekayaannya berada di bawah kekuasaannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa, dengan proses acara seperti ilu, maka tidak ada pertentangan dengan konstitusi karen a yang bersangkutan sudah diberikan haknya untuk menjelaskan dan jaksa penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal tersebut; sistem pembuktian seperti ini, disebut, sistem "balance probabilities", bukan sistem pembalikan beban pembuktian murni, tetapi menu rut penulis" sis tern pembalikan be ban pembuktian terbatas". Sistem ini sudah digunakan sejak diundangkannya (JU Nom or 3 tahun 1971 sampai dengan UU Nomor 31 tahun 1999: hanya mekanisme hukum acara untuk implementasi pasal tersebut belum diaturdi dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku (KUHAP) atau di dalam undang-undang dimaksud. Kovensi 2003 memberikan alternatifsolusi hukum baru, yaitu dengan memasukkan prosedurkeperdataan dalam menerapkan pembalikan beban pembuktian dengan melalui proses penyitaan perdata (civil forfeiture); narnun demikian seluruh bukti-bukti yang diperoleh melalui proses ini tidak dapat dijadikari alat bukti dalam proses penuntutan pidana.
109Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof, hal. 24-25
146
ini selayaknya dipertimbangkan sebagai bagian penting dalam perubahan undang-
undang pemberantasan korupsi pasca ratifikasi konvensi UNCAC 2003.
Kriminalisasi lain yang penting dan perlu dipertimbangkan secara serius
adalah dimasukkannya tindak pidana pencucian uang ke dalam konvensi (Pasal
23). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang "conditio sine qua
non" terhadap korupsi, sehingga dalam posisi sedemikan itu pemerintah setiap
negara peserta berkewajiban menetapkan kedua perundangan tersebut dalam
sistem hukum pidana nasionalnya. Bagi Indonesia posisi tersebut memerlukan
peninjauan kernbali mengenai kedudukan dan hubungan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang telah diubah oleh Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 satu sama lain.
Praktik penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi
yang menarik perhatian masyarakat luas dan bersifat transnasional110, aparatur
penegak hukum sering menghadapi kesulitan dalam melaksanakan penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi dalam kaitan dengan pencucian uang hasil
korupsi111 Kesulitan tersebut berdampak terhadap efisiensi dan efektivitas
kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di
110Sifat transnasional dari tindak pidana adalah: (a) conduct affecting more than one state;(b) conduct including or affecting of citizens of more than one state: and (c) means and methods transcend nation; boundaries (dikutip dari Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana lnternasional; Refika Aditama, Bandung; 2003)
111Setiap tindak pidana korupsi (dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan keuangan) mutatis mutandis merupakan tindak pidana pencucian uang. Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum acara khusus di dalam Undang-undang Nom or 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara khusus hukum acara yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan terhadap kedua tindak pidana tersebut dalam satu surat dakwaan, dan bagaimana ketentuan hukum pembuktiannya. Dari laporan lebih dari 5000 s/d tahun 2006. hanya 10 (sepuluh) perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, dan 3 (tiga) diantaranya sudah memperoleh putusan pengadilan.
147
negara lain. Masalah hukum yang muncul adalah, pertama, sejauh mana
kemungkinan pengaturan kedua tindak pidana tersebut di dalam satu perundang-
undangan yang sama, dan apakah kewenangan penyidikan akan dilimpahkan
kepada satu lembaga penegak hukum saja atau tetap kepada dua lembaga yang
berbeda. Masalah kedua, kemungkinan menggunakan sistem beban pembuktian
terbalik atau pembalikan beban terbalik (onus of proof/reversal burden of proof).
Kriminalisasi lain di dalam konvensi yang dipandang penting adalah, "trading in
influence" yang merupakan tindak pidana baru dalam lingkup pemberantasan
korupsi. "trading in influence" didefinisikan suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja: menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau
tidak langsung suatu keuntungan yang akan terjadi (or undue advantage) kepada
seorang pejabat publik atau orang lainnya dengan tujuan agar pejabat publik
tersebut atau orang lain tersebut, "abuse his or he real or supposed influence with
a view to obtaining from an administration or public authorithy of the State Party
an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person".
Ketentuan ini dibedakan antara perbuatan yang bersifat aktif dan perbuatan yang
bersifat pasif. Bandingkan ketentuan tersebut di atas dengan definisi, "bribery of
national public officials":
" .. when committed intentionally: (a) to promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties"(article 15).
Masalah hukum dari dua ketentuan ini adalah bagaimana secara teknis
hukum dalam pembuktian membedakan antara menyalahgunakan pengaruh dan
148
tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat
mandatory ("Shall consider') akan tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti
merumuskan unsur-unsur tindak pidananya.
Kriminalisasi lain yang relevan dengan situasi pemberantasan korupsi di
Indonesia adalah, "obstruction of justice" (Art. 25), dihubungkan dengan
ketentuan mengenai "protectio of witnesies, expert and victims" (Art. 32).
Konvensi UNCAC 2003 memerlukan ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya hambatan atau inefisiensi atau inefektivitas proses penyidikan dan
peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Masalah yang sering terjadi di negara
berkembang pada umumnya, dan pada khususnya di Indonesia dalam praktik
pemberantasan korupsi adalah, justru aparatur penegak hukum yang melakukan
"obstruction of justice", di samping dilakukan oleh organisasi kejahatan atau
kelompok masyarakat tertentu. Ketentuan Pasal 25 khusus ditujukan untuk
melindungi seseorang yang akan memberikan kesaksian atau melindungi aparatur
penegak hukum termasuk hakim dan penasihat hukum dari gangguan atau
ancaman atau serangan pihak lain, akan tetapi ketentuan konvensi tersebut belum
dapat menjangkau fakta yang telah penulis uraikan di atas. Masalah hukum yang
timbul apakah masih diperlukan undang-undang tentang Perlindungan Saksi, Ahli
atau Korban tersendiri atau diatur dalam ketentuan tersendiri dan lengkap di
dalam undang-undang Pemberantasan Korupsi yang baru.
Di dalam bagian mengenai Kriminalisasi dan Penegakan hukum (Bab Ill)
konvensi UNCAC 2003 memasukkan ketentuan mengenai "Cooperation with law
enforcement authorities" (Pasal 37). Ketentuan ini relevan dengan wacana yang
149
dilontarkan oleh pihak Kejaksaan Agung baru-baru ini mengenai perlindungan
terhadap tersangka koruptor yang telah kooperatif dalam proses penyidikan dan
penuntutan dalam kasus korupsi. Ketentuan dalam Pasal 37 bersifat "mandatory
obligation" (butir 1) yang ditujuan untuk mendorong agar mereka yang
melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi untuk menyampaikan
informasi penting kepada pihak berwenang yang dapat dijadikan bukti untuk
melaksanakan penuntutan. Bahkan dalam butir 2 ditegaskan kewajiban negara
peserta untuk mempertimbangkan kemungkinan mengurangi hukuman dalam
kasus tertentu atau memberikan pembebasan dan penuntutan (butir 3) terhadap
tersangka korupsi yang memberikan bantuan yang substansial kepada
penyidik/penuntut umum. Dalam pembaruan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ketentuan ini memerlukan kajian
yang serius dan mendalam. Wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan
penuntutuan demi kepentingan umum sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan
Rl, dan substansi ketentuan Pasal 109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP
belum dapat menjangkau substansi ketentuan Pasal 37 konvensi UNCAC, 2003.
Konvensi UNCAC 2003 juga menegaskan bahwa, diperlukan
peningkatan kerjasama intemasional ketika korupsi sudah bersifat transnasional
terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil korupsi (Bab V). Pasca ratifikasi
Konvensi tersebut, dalam hal implementasi kerja sama internasional, pemerintah
telah menyiapkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi
150
B. Ketentuan-Ketentuan Konvensi United Naions Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum Diadopsi dalam Hukum
Nasional112
Beberapa instrumen hukum yang perlu dibentuk sebagai bentuk ratifikasi
terhadap konvensi UNCAC 2003 yang belum diatur di Indonesia diantaranya
adalah sebagai berikut:
Pertama, pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem
system) dalam sistem hukum acara perdata nasional dengan prinsip bahwa yang
dinyatakan jahat adalah benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi
sehingga benda tersebut dapat langsung disita oleh negara sampai ada pemilik
yang sah dapat membuktikan bahwa benda tersebut bukan hasil dari kejahatan
atau digunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Pihak yang mengaku, apabila
dapat membuktikan, maka akan dikembalikan kepadanya tetapi jika tidak maka
harta tersebut menjadi milik negara dan siapa yang mengaku tersebut dapat
diperiksa karena dapat dinyatakan sebagai orang yang mengaku tetapi tidak dapat
membuktikan sehingga dapat dijerat pasal-pasal dalam tindak pidana umum
seperti penipuan ataupun pemalsuan surat-surat jika terbukti.
Kedua, membuat instrumen hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana khususnya dalam hal pembuktian terbalik, artinya setiap pejabat
negara ataupun pihak yang diuntungkan dari perbuatan tindak pidana korupsi
harus membuktikan asal muasal hartanya dan membuktikan kepada pengadilan
112Diakses dari, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA, diakses tanggal 18 Mei 2015
151
darimana harta tersebut berasal hal ini juga berlaku bagi pejabat atau pegawai
negeri yang mendapatkan pertambahan harta kekayaan yang signifikan yang
diduga mendapatkan kekayaan secara tidak sah/halal (illicit enrichment) (Pasal 20
konvensi UNCAC 2003). Pada saat ini pembuktian terbalik hanya dikhususkan
untuk tindak pidana gratifikasi yang nilainya hanya diatas Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) seharusnya bukan hanya tindak pidana gratifikasi tetapi
untuk seluruh tindak pidana korupsi dapat dimintakan proses pembuktian terbalik
(Pasal 12 B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Ketiga, kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private
sector), artinya pihak yang disuap dan menyuap adalah sektor swasta diluar
ketentuan yang ada lama Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, hal ini penting mengingat belum ada satupun ketentuan
hukum di Indonesia yang mengatur tentang kriminalisasi korupsi di sektor swasta
(pelaku dan penerima adalah sektor swasta), artinya tindak pidana korupsi bukan
hanya yang merugikan keuangan negara ataupun penyuapan terhadap aparat
pemerintah (PNS) tetapi juga di sektor swasta terhadap perusahaan-perusahaan
yang mempengaruhi perekonomian di Indonesia apabila ada unsur-unsur tindak
pidana korupsi dapat dipidana.
Keempat, kriminalisasi terhadap penyuapan pejabat publik asing dan pejabat
dari organisasi internasional publik (bribery of foreign public officials and
officials of public international organizations). Tindakan-tindakan tersebut
152
meliputi dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepada
seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu organisasi
internasional publik, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang
layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar
pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam
melaksanakan tugas resminya, guna memperoleh atau mempertahankan bisnis
atau keuntungan lain yang tidak layak berkaitan dengan perilaku bisnis
internasional.113
Kelima, kriminalisasi perbuatan menggelapkan, penyalahgunaan dan
penyimpangan harta kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat publik (PNS)
atau pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 konvensi UNCAC 2003
dan yang dilakukan di sektor swasta (Pasal 22). Pasal 17 konvensi UNCAC 2003
tidak hanya melakukan kriminalisasi terhadap penggelapan saja, tetapi juga
penyalahgunaan atau penyimpangan atas harta kekayaan (property) dalam bentuk
apapun yang dipercayakan kepada pejabat publik.
Keenam, kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh (Trading in
Influence). Kualifikasi tindak tersebut adalah dengan sengaja menjanjikan,
menawarkan, atau memberikan kepada seorang atau pejabat publik atau orang
lain, secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya,
agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau
yang diperkirakan dengan maksud untuk memperoleh otoritas atau orang itu
menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dengan
113Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej, 2009, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal.600
153
maksud untuk memperoleh otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara ,
suatu keuntungan yang tidak semestinya.114
Ketujuh, membuat atau membentuk suatu lembaga yang khusus dalam
mengelola dan mengadministrasikan aset-aset yang dikorupsi dengan membentuk
suatu lembaga baru ini maka seluruh aset-aset hasil tindak pidana (bukan hanya
tindak pidana korupsi) baik yang ada di dalam negeri maupun diluar negeri
ditampung dan dikelola dalam badan pengelola aset tersebut hal ini sangat penting
mengingat banyaknya instansi penegak hukum yang merasa berwenang untuk
menyimpan dan mengelola aset-aset hasil tindak pidana atau yang digunakan
melakukan tindak pidana sehingga agar munculkan masalah bagaimana jika
hilang, berkurang ataupun bonus, bunga dari aset tersebut kepada siapa diberikan.
Kedelapan, pengaturan tentang Illicit Enrichment atau memperkaya secara
tidak sah yaitu dengan sengaja memperkaya secara tidak sah terindikasi dari
kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat
dijelaskan secara masuk akal oelh jumlah pendapatannya yang sah.
Kesembilan, Concealment yaitu tindakan dengan sengaja, setelah
dilakukannya salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut
konvensi ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut.
Kesepuluh, Obstruction of Justice atau perbuatan menghalang-halangi
proses pengadilan yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik,
ancaman, atau intimidasi atau janji menawarkan atau memberikan suatu
keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau
untuk turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti 114Ibid, hal. 601
154
dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan
dalam konvensi UNCAC 2003. Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan
fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan
tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dan
hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi
konvensi UNCAC 2003.
155
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka kesimpulan yang tepat menurut penulis adalah :
1. Konvensi UNCAC 2003 mengatur tentang bentuk-bentuk Kerjasama
Internasional (Internasional Cooperation), antara lain :
a. Ekstradisi (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.44);
b. Bantuan hukum timbal-balik (Mutual Legal Assistance-MLA)
(terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.46);
c. Perjanjian pemindahan orang yang sudah dihukum (Transfer of
Sentenced Persons) (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.45)
d. Perjanjian pemindahan pemeriksaan kriminal (Transfer of Criminal
Proceiding) (terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 art.47);
e. Investigasi bersama (Joint Investigation) (terdapat dalam konvensi
UNCAC 2003 art.49);
Kelima bentuk kerjasama internasional diatas harus dilaksanakan dengan
memperhatikan ketiga prinsip utama, yakni adanya kepentingan politik yang
sama, saling menguntungkan, dan non intervensi.
2. Berdasarkan alasan filosofis, sosiologis dan yuridis, produk hukum yang
saat ini ada yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
156
Pidana Korupsi tidak lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di
dalam konvensi UNCAC 2003. Oleh karena itu harus dibentuk produk
hukum baru untuk menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagai dasar pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Pengacuan kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
konvensi UNCAC 2003 untuk Rancangan Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga harus memperhatikan undang-
undang yang masih berlaku di Indonesia pada saat ini maupun rancangan
undang-undang lain yang saat ini sedang disusun dan terkait dengan materi
dalam konvensi UNCAC 2003. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya
tumpang tindih pengaturan terhadap substansi yang sama.
Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan diatas, maka rancangan undang-
undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, minimal memuat
ketentuan-ketentuan mengenai :
a. Pengertian-pengertian tentang istilah yang dipakai;
b. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
korupsi;
c. Pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset;
d. Kebijakan dan praktik pencegahan tindak pidana korupsi;
e. Bentuk-bentuk kerjasama internasional;
f. Partisipasi masyarakat.
Keenam hal tersebut selanjutnya harus dijabarkan berdasarkan
ketentuan–ketentuan yang terdapat dalam konvensi UNCAC 2003 dan
157
dirumuskan ke dalam pasal-pasal rancangan undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
3. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa belum terjadi
sinkronisasi antara konvensi UNCAC 2003 dengan peraturan perundang-
undangan nasional mengenai tindak pidana korupsi. Pengacuan terhadap
konvensi UNCAC 2003 diperlukan mengingat adanya beberapa hal baru
yang sebelumnya belum pernah diatur dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang pernah ada di Indonesia, baik dari segi istilah
maupun dari metode pelaksanaannya. Beberapa ketentuan yang terdapat di
dalam konvensi UNCAC namun belum diatur dan perlu diatur dalam
ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,
antara lain :
a. Pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem system);
b. Membuat instrumen hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana khususnya dalam hal pembuktian terbalik;
c. Kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private
sector);
d. Kriminalisasi terhadap penyuapan pejabat publik asing dan pejabat
dari organisasi internasional publik (bribery of foreign public officials
and officials of public international organizations);
e. Kriminalisasi perbuatan menggelapkan, penyalahgunaan dan
penyimpangan harta kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat
publik (PNS) atau pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17
158
konvensi UNCAC 2003 dan yang dilakukan di sektor swasta (Pasal
22);
f. Kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh (Trading in Influence);
g. Membuat atau membentuk suatu lembaga yang khusus dalam
mengelola dan mengadministrasikan aset-aset yang dikorupsi;
h. Pengaturan tentang Illicit Enrichment atau memperkaya diri sendiri
secara tidak sah;
i. Concealment yaitu tindakan dengan sengaja, setelah dilakukannya
salah satu dari kejahatan-kejahatan yang ditetapkan menurut konvensi
ini, tanpa turut serta dalam kejahatan-kejahatan tersebut;
j. Obstruction of Justice atauu perbuatan menghalang-halangi proses
pengadilan yaitu tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan
fisik, ancaman, atau intimidasi atau janji menawarkan atau
memberikan suatu keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong
diberikannya kesaksian palsu atau untuk turut campur dalam
pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti dalam suatu
persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan
dalam konvensi UNCAC 2003.
B. Saran
Dari penjelasan diatas maka saran yang tepat menurut penulis adalah :
1. Pemerintah Indonesia sebaiknya lebih memperbaiki hubungan diplomasi
dengan negara lain baik negara yg masih dalam satu kawasan ASEAN
maupun dalam cakupan kawasan yg lebih luas agar semakin
159
mempermudah dalam penangkapan tersangka koruptor dan bahkan
penyitaan aset hasil korupsi;
2. Pemerintah Indonesia juga sebaiknya memperbanyak perjanjian
internasional baik melalui MLA (Mutual Legal Asistance) maupun
melalui ekstradisi dengan negara-negara tempat tujuan aset ditempatkan
agar langkah pengembalian aset hasil korupsi bisa semakin efektif dalam
pelaksanaannya;
3. Selain memperbanyak perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia
juga harus lebih mempercepat proses ratifikasi perjanjian internasional
tersebut agar segera bisa dilaksanakan dalam lingkup nasional;
4. Segera diharmonisasikannya konvensi UNCAC 2003 dengan peraturan
perundang-undangan anti korupsi di Indonesia dengan cara memasukkan
semua kriminalisasi yg telah diatur oleh konvensi UNCAC 2003 ke
dalam peraturan perundang-undangan anti korupsi nasional. Contoh:
mengenai Illicit Enrichment (memperkaya diri secara tidak sah),
pengembalian aset melalui jalur non conviction base (in rem system),
kriminalisasi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private sector),
Concealment, Obstruction of Justice atau perbuatan menghalang-halangi
proses pengadilan, kriminalisasi terhadap perdagangan pengaruh
(Trading in Influence), dan lain-lain;
5. Semakin banyak memberikan edukasi tentang tindak pidana korupsi
kepada semua kalangan agar semakin banyak pihak tahu bahwa korupsi
itu merusak moral dan perekonomian bangsa; dan
160
6. Menghukum seberat-beratnya pelaku tindak pidana korupsi agar ada
efek jera untuk melakukan hal itu lagi.
161
DAFTAR PUSTAKA
Buku
-------------, 2008, Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia, Figur, Vol XXVII/TH.2008, Tanpa penerbit,
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, 2010, Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific,
Ali, Mahrus, 2013, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Penerbit UII Press, Yogyakarta
Anan, Kofi, Tanpa Tahun, Kata Pengantar UNCAC pdf
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Penerbit PT. Alumni, Bandung
Atmasasmita, Romli, 2002, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta
Atmasasmita, Romli, 2003, Pengantar Hukum Pidana lnternasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung
Blay, Sam, 2003, Public International Law: An Australian Perspective Second Edition, Penerbit Oxford
Damos, Dumoli Agusman, 2012, Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945, Penerbit Opinio Juris Volume 04, Januari-April 2012
Darmawan, Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya, Bandung
Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010, Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri
Djamily Mizwar, dkk., Tanpa tahun, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama
162
Eser, Albin, dan Michael Kubicil, 2005, Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round, Penerbit Nomos
Gamasih, Yenti, 2010, Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Penerbit Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta
Isra, Saldi, dan Eddy O.S Hiarriej, 2009, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Korupsi Mengorupsi Indonesia, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Jayawickrama, Nihal, Jeremy Pope dan Oliver Stolpe, Tanpa tahun, Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof
Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung
Kusumaatmadja, Mochtar, dkk., 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung
Kusumaatmadja, Mochtar, dkk., 2010, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung
Lubis, Elmar Iwan, 2012, Pedoman Praktis Pembuatan, Pengesahan dan Penyimpanan Perjanjian Internasional Termasuk Penyiapan Full Powers dan Credentials, Penerbit Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta
Mauna, Boer, 2008, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni, Bandung
Moloeng, Lexy J., 1989, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Penerbit Remaja Karya, Bandung
Morin, J.Y., 1965, In Annuaire Canadien de Droit Internasional (ACDI), Tanpa penerbit
Myers, 1957, The Names and Scoope of Treaties, Penerbit 51 American Journal of International Law
Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
163
Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada
Tsani, Mohd.Burhan, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta
Winamo, Budi, 2008, Isu-Isu Global Kontemporer, Penerbit Caps: Yogyakarta, Yogyakarta
Undang-Undang dan Konvensi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
United Nations Convention Against Corruption 2003
Internet
http://www.jurnal.usu.ac.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi
http://Mahendraputra.net/MATERI-PERKULIAHAN-HUKUM-INTERNASIONAL-101
http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Convention_against_Corruption
https://translate.google.com/
http://jurnal-libre.com/pdf
http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/index.html
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/23/taj01.html
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/09/nas10.html
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/15/0801.htm
h ttp://en.wikipedia.org/wiki/ Convention_against_Transnational_Organized_Crime
164
http://www.unsrat.ac.id/hukum/uu/uu_7_06.htm
http://www.transparency.org/survey/#cpi
http://acch.kpk.go.id/documents/10157/27925/GAP+Analysis+Indonesia+terhadap+UNCAC.pdf
http://www.ti.or.id/media/documents/2013/11/06/t/o/tor_sensitisasi_uncac_jakarta.pdf
http://www.dpr.go.id/id/Komisi/Komisi-III
http://www.dpr.go.id/id/tentangdpr/pembuatan-undang-undang
http://www.unodc.org/unodc/en/treaties/CAC/signatories.html
http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=48142&Itemid=67
http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Volume%202,%20Mei-Agustus%202011_46_56.PDF
http://jurnalrepository.unej.ac.id.pdf
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=167205
http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24221&Itemid=56
http://www.tribunnews.com/2012/01/04/2011-indonesia-sepakati-146-perjanjian-internasional
http://stredoall.blogspot.com/2010/06/kerjasama-internasional-mla.html
http://www.google.com
http://repository.upnyk.ac.id/8159/2/Hikmatul_Akbar_Carmeli_Konvensi_Anti_Korupsi_PBB.pdf
http://repo.unsrat.ac.id/24/1/DIMENSI_DAN_IMPLEMENTASI_PERBUATAN_MELAWAN_HUKUM_MATERIIL.pdf
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=0CFAQFjAG&url=http%3A%2perpustakaan.bphn.go.id%2Findex.php%2Fsearchkatalog%2FdownloadDatabyId
165
%2F11731%2FNASKAHAKADEMIKRANCANGANUNDANG-UNDANGPEMBERANTASANTINDAKPIDANAKORUPSI.pdf&ei=NrRRVfefDtKjugSMsYCICA&usg=AFQjCNHUAGxGpDAWP59ojF2_tUW1hVn_1A&sig2=2KGDZdQUXhvnKJjnAG5r-Q
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260946&val=7042&title=PERJANJIAN%20INTERNASIONAL%20DALAM%20PENGEMBALIAN%20%20ASET%20HASIL%20KORUPSI%20DI%20INDONESIA
166