skripsi baru
DESCRIPTION
PCOSTRANSCRIPT
ABSTRAK
Sindroma ovarium polikistik (Polycystic Ovarian Syndrome / SOPK) merupakan suatu kumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan sistem endokrin. Kelainan ini banyak ditemukan pada wanita usia reproduksi. Gejala tersering yang ditimbulkanya antara lain infertilitas karena siklus yang anovulatoar, oligo sampai amenore, obesitas dan hirsutisme. SOPK adalah suatu kondisi di mana ovarium seorang wanita, dan dalam beberapa kasus kelenjar adrenal memproduksi androgen lebih dari normal. Tingginya kadar hormon ini mengganggu perkembangan folikel ovarium dan pelepasan sel telur selama ovulasi. Akibatnya, kantung berisi cairan atau kista, dapat berkembang dalam ovarium
ABSTRACT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom ovarium polikistik (SOPK). adalah penyakit ginekologi umum dengan
disfungsi reproduksi, gangguan endokrin, dan metabolise glukolipid yang abnormal.
SOPK adalah salah satu penyebab utama pada infertilitas dan gangguan menstruasi
pada wanita usia subur.1 Infertilitas pada pasien SOPK disebabkan karena kegagalan
terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur dari ovarium. Sindrom ovarium
polikistik adalah endokrinopati yang paling umum pada wanita, dengan prevalensi
6,5-6,7% di antara wanita premenopause. SOPK awalnya didefinisikan oleh
konferensi NIH pada tahun 1990 sebagai kombinasi anovulasi kronis atau
oilgomenorrhea dan hiperandrogenisme.2
Sindrom ovarium polikistik merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan
adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin
(seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka
panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi
peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi
insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular,
penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Gambaran klinis yang dijumpai pada
umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea (haid yang
sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan),
2
adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium.2 SOPK mencakup kriteria
klinis dan biokimia maupun juga morfologi ovarium. Perempuan dengan siklus
reguler dan hiperandrogenisme diakui bisa menjadi bagian sindroma ini. SOPK dapat
didiagnosis jika ada dua dari tiga kriteria berikut ini: (1) ovarium polikistik (2)
oligo-/anovulasi (3) bukti klinis atau biokimia dari hiperandrogenisme.3
Infertilitas didefinisikan sebagai hilangnya kemampuan untuk hamil dan memiliki
seorang anak. Suatu pasangan mengalami infertilitas jika tidak terjadi kehamilan
setelah koitus dan tidak menggunakan kontrasepsi selama 12 bulan.4 Pada penelitian
literatur ini penulis mencoba melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
pengaruh Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) terhadap infertilitas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang timbul dalam penelitian
literatur ini adalah : Bagaimanakah pengaruh Sindroma Ovarium Polikistik
terhadap infertilitas ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian literatur ini adalah untuk menjelaskan pengaruh
Sindroma Ovarium Polikistik terhadap infertilitas
3
2. Tujuan khusus
Tujuan secara khusus penelitian literatur ini adalah untuk menjelaskan :
2.1 Definisi, Klasifikasi dan Epidemiologi Infertilitas
2.2 Faktor Penyebab Infertilitas
2.3 Definisi Sindroma Ovarium Polikistik
2.4 Manifestasi Klinis Sindroma Ovarium Polikistik
2.5 Faktor Penyebab Sindroma Ovarium Polikistik
2.6 Patofisiologi Sindroma Ovarium Polikistik
2.7 Cara Menegakkan Diagnosis Sindroma Ovarium Polikistik
2.8 Penatalaksanaan Sindroma Ovarium Polikistik
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah :
1. Bagi penulis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penulis untuk menjelaskan
tentang hubungan penyakit Sindroma Ovarium Polikistik terhadap Infertilitas.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan bisa sebagai tambahan
kepustakaan untuk penelitian selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi, Klasifikasi dan Epidemiologi Infertilitas
Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan mengandung setelah 1 tahun
berusaha hamil. Secara medis infertilitas dibagi menjadi dua jenis, yaitu Infertilitas
primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer adalah Menunjuk pada pasien
yang belum pernah hamil sama sekali. Infertilitas sekunder digunakan untuk pasien
yang pernah hamil sebelumnya.5 Kira-kira 15% pasangan mengalami infertilitas, yang
dapat berasal dari subfertilitas atau sterilitas (ketidakmampuan hamil kongenital)
pada salah satu pasangan atau keduanya. Wanita menyebabkan 40%-50% kasus
infertilitas. Laki-laki menyebabkan 30% kasus dan menyumbang 20%-30% kasus
pada pasangan. Insiden infertilitas meningkat sekitar 100% dalam 20 tahun terakhir di
negara-negara maju karena meningkatnya penyakit menular seksual (terutama gonore
dan klamidia yang kemudian menyebabkan kerusakan tuba), meningkatnya jumlah
mitra seksual (meningkatkan kemungkinan mendapat PMS), sengaja menunda
kehamilan, penggunaan kontrasepsi dan merokok (>1 bungkus perhari menurunkan
kesempatan hamil sebesar >20%). Infertilitas menyebabkan 10%-20% dari semua
kunjungan ke bagian ginekologi. Penyebab infertilitas dapat disebabkan karena faktor
koitus pria (40%), serviks (5-10%), uterus-tuba (30%), faktor ovulasi (15-20%) dan
faktor peritoneum atau panggul (40%).5
5
B. Faktor Penyebab Infertilitas
Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh :
1. Kelainan oosit
Penyebab utama infertilitas wanita akibat kelainan oosit adalah kegagalan ovulasi
secara teratur atau tidak terjadi ovulasi sama sekali. Berbagai gangguan yang
menyebabkan gangguan ovulasi adalah disfungsi hipotalamus, penyakit pada
hipofisis dan disfungsi ovarium. Penyebab anovulasi pada hipotalamus adalah
kelainan berat badan, latihan fisik yang berat, stres, dan perjalanan jauh. Penyebab
anovulasi pada hipofisis dan endokrin adalah hiperprolaktinemia dan hipertiroidise.
Penyebab pada disfungsi ovarium yang paling sering adalah sindroma ovarium
polikistik dan kegagalan ovarium prematur.4
2. Penyakit tuba Fallopii
Biasanya akibat dari pembentukan jaringan parut inflamasi pada tuba fallopii.
Inflamasi ini dapat disebabkan oleh penyakit peradangan pelvis, apendisitis dengan
ruptur, aborsi septik, pascaoperasi, dan penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim.
Lokasi penyumbatan tuba yang paling sering adalah ujung tuba yang berfimbria di
bagian distal. Penyumbatan ini biasanya disebabkan perlengketan pada pelvis.4
3. Endometriosis
Endometriosis merupakan kelainan yang sering ditemukan, ditandai oleh adanya
jaringan yang menyerupai endometrium di luar lokasi normalnya pada dinding uterus.
Kelenjar dan stroma endometriosis biasanya responsif terhadap hormon gonad dan
perubahan biokimia yang diinduksi oleh steroid menyebabkan endometrium ektopik
ini sangat mirip dengan kelenjar dan stroma yang terlihat pada endometrium di dalam
6
rongga uterus. Peningkatan produksi prostaglandin oleh lesi endometriotik pada
periode perimenstruasi dan menstruasi dapat menimbulkan inflamasi, fibrosis, dan
adhesi yang merupakan tanda tanda kelainan ini. Wanita dengan endometriosis
memiliki gejala nyeri pelvis, masa adneksa, infertilitas, atau kombinasi dari gejala
tersebut.4
4. Leiomioma uterus
Leiomioma uterus juga dikenal sebagai fibroid atau mioma uterus, merupakan
tumor jinak pada otot polos uterus. Tumor ini merupakan tumor pelvis yang paling
sering pada wanita. Dan mungkin berlokasi pada setiap tempat di dalam dinding
uterus atau dapat bergantung pada tangkai yang mengandung pasokan darah ke tumor
tersebut (leiomioma bertangkai). Leiomioma bertangkai dapat menggantung dari
bagian luar uterus atau dapat menonjol ke dalam rongga endometrium. Leiomioma
yang mengubah bentuk rongga uterus (yang berlokasi di submukosa) atau
menyumbat tuba fallopii sangat mungkin menyebabkan infertilitas.4
C. Definisi Sindroma Ovarium Polikistik
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan gangguan heterogen dan
endokrinopati paling sering pada wanita usia reproduktif yang ditandai dengan
adanya anovulasi kronik dan hiperandrogenisme, dan menjadi salah satu penyebab
infertilitas pada wanita.6 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah gangguan
endokrin pada wanita yang terkait dengan resistensi insulin dan penyakit
kardiovaskular. Sindrom ovarium polikistik adalah gangguan endokrin paling umum
terjadi pada 6-10% wanita usia reproduktif.7
7
Gambar 1. Perbandingan ovarium normal dengan ovarium polikistik (A.D.A.M images)
D. Faktor Penyebab Sindroma Ovarium Polikistik
Etiologi dari Sindroma ini tidak sepenuhnya dipahami meskipun resistensi
insulin dan hiperandrogenisme memiliki keterlibatan.8 Sindroma ovarium polikistik
juga berhubungan faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti dislipidemia dan
peningkatan kadar hs-CRP (C reactive sensitif protein), sebuah reaktan fase akut yang
meningkat selama respon inflamasi. Sekitar setengah dari wanita SOPK adalah
obesitas. Jaringan adiposa, terutama lemak visceral dianggap sebagai endokrin aktif
yang menghasilkan beberapa protein yang disebut adipositokin. Adiponektin adalah
faktor adiposa yang diturunkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan memiliki
efek antiatherogenic dan anti-inflamasi.7,8 Pada kebanyakan wanita dengan SOPK,
akan dijumpai pengeluaran LH (luteinizing hormone) yang berlebihan. LH
menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis androgen di ovarium. Dijumpai
peningkatan rasio LH terhadap FSH (follicle stimulating hormone).9
8
Penyebab peningkatan pengeluaran LH dari hipofisis dan peningkatan sintesis
hormon steroid seks di ovarium masih belum diketahui. Kadar hormon androgen
yang tinggi menyebabkan kapsul ovarium fibrotik, hirsutisme, akne, seboreik,
pembesaran klitoris, dan pengecilan payudara. Pada perempuan dengan SOPK, tidak
dijumpai gangguan sintesis estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang
tinggi yang meningkatkan risiko terkena kanker endometrium dan payudara.
Penelitian terakhir tentang sindrom ovarium polikistik mengungkap adanya hubungan
antara hiperinsulinemia dengan peningkatan kadar testosteron plasma. Pengeluaran
insulin memicu sekresi testosteron dari ovarium dan menghambat sekresi sex
hormone binding globulin (SHBG) dari hati. Pada sebagian wanita dengan SOPK dan
anovulatorik, ditemukan peningkatan kadar insulin dalam darah. Namun, perlu
diketahui bahwa SOPK bukan hanya disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi. Para
wanita gemuk atau obesitas, anovulasi serta kadar insulin yang tinggi merupakan
faktor risiko terkena penyakit jantung koroner. Hiperinsulinemia berkaitan cukup erat
dengan kadar lipid abnormal dan peningkatan tekanan darah. Kegemukan dan siklus
haid yang anovulatorik merupakan faktor risiko terjadinya hiperplasia endometrium
yang dapat berubah menjadi keganasan. Risiko terkena kanker payudara juga akan
meningkat.9
9
E. Manifestasi Klinis Sindroma Ovarium Polikistik
Manifestasi klinis yang dijumpai pada sindroma ovarium polikistik umumnya
adalah berupa amenorea, oligomenorea, infertilitas, hirsutisme, akne, adipositas, dan
pembesaran kedua ovarium dan juga ditandai oleh siklus haid tidak teratur, anovulasi
kronik, dan hiperandrogenisme.2,7 Wanita yang menderita sindroma ovarium
polikistik mengalami gangguan dalam metabolisme gula yang berakibat terjadi
gangguan menstruasi. Bila sindroma berlanjut, perempuan tersebut akan menderita
hipertensi, diabetes hingga beresiko mengalami stroke dan penyakit jantung koroner.
Karena terjadi gangguan menstruasi, wanita dengan sindroma ovarium polikistik
biasanya mengalami infertil dan beresiko menderita kanker payudara serta kanker
rahim.10
F. Patofisiologi sindroma ovarium polikistik
Penampakan utama pada SOPK adalah hiperandrogenisme dan anovulasi
kronik yang sering dihubungkan dengan resistensi insulin, serta perubahan frekuensi
pengeluaran gonadotropin-releasing hormone dan pengeluaran hormon-hormon
gonadotropin lainnya.11
Hipotalamus dan hipofisis berperan penting dalam pengendalian
perkembangan gonad dan fungsi reproduksi. Fungsi gonad pada wanita secara
langsung dikontrol oleh hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle-
stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini, pada
gilirannya, diatur oleh gonadotropin-releasing hormone (GnRH) hipotalamus yang
sekresinya pulsatif serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Sedangkan
ovarium sebagai organ reproduksi primer wanita melakukan tugas ganda, yaitu
10
menghasilkan ovum dan menghasilkan hormon-hormon seks wanita seperti estrogen
dan progesteron. Kedua hormon ini bekerja bersama untuk mendorong fertilisasi
ovum dan untuk mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk kehamilan.12
Selama fase folikel (paruh pertama siklus ovarium), folikel ovarium
mengeluarkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar
estrogen yang rendah tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang
menurun selama bagian terakhir fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi
LH yang terus meningkat selama fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen
mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi memicu lonjakan sekresi LH pada
pertengahan siklus. Lonjakan LH, menyebabakan ovulasi yang matang. Sekresi
estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi.12
Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak
memerlukan stimulasi gonadotropik, namun bantuan hormon diperlukan untuk
membentuk antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen.
Estrogen, FSH, dan LH semuanya diperlukan.13
Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik FSH maupun estrogen
merangsang proliferasi sel-sel granulosa. Baik FSH maupun LH diperlukan untuk
sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel. Baik sel granulosa maupun sel teka
berpartipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen
memerlukan sejumlah langkah berurutan, dengan langkah terakhir adalah perubahan
androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi
kapasitas mereka mengubah androgen menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa,
11
dipihak lain mudah mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu
membuat androgen sendiri. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang
pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk
meningkatkan perubahan androgen teka menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH
yang rendah sudah cukup untuk mendorong perubahan menjadi estrogen ini,
kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama bergantung pada kadar LH dalam
darah, yang terus meningkat selama fase folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus
tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat karena bertambahnya jumlah sel
folikel penghasil estrogen. Pada keadaan SOPK kelainan utama anovulasi tampaknya
karena kelebihan produksi androgen di dalam ovarium yang menyebabkan sejumlah
besar folikel preovulasi gagal untuk merespons FSH. 13
Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang
nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan
responsif terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan
androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya
sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya
menjadi minimal.14
12
Akibat ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan
kista-kista dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang,
sehingga akan terbentuk folikel-folikel berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-
sel theca yang hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan
kadar LH.14
Gambar 2.Peningkatan produksi androgen oleh sel theca karena pengaruh LH yang tinggi.14
Hiperespons pada ovarium dan androgen adrenal pada LH dan kortikotropin
menjadi karakteristik wanita yang mengalami SOPK akibat hasil dari peningkatan
stimulasi insulin secara kronik. Terlihat pada gambar bahwa kombinasi dari
peningkatan level androgen dan obesitas akan meningkatkan aromatisasi
ekstraglandular pada jaringan lemak dan menyebabkan pembentukan estrogen
13
(asiklikestrogen) dalam bentuk estrone meningkat yang berdampak umpan balik
positif terhadap LH dan umpan balik negatif terhadap FSH sehingga kadar LH
meningkat dan kadar FSH menurun dalam plasma. Akibat dari peningkatan kadar LH
dalam plasma akan meningkatkan stimulasi stroma pada sel theca dan menjadikan
androgen meningkat.14
Dalam patogenesis SOPK resistensi insulin telah memperoleh peran penting
dalam beberapa waktu. Insulin adalah hormon yang diperlukan oleh sel untuk
mendapatkan energi dari glukosa. Namun kadang-kadang sel tidak menunjukkan
respon yang memadai terhadap aktivitas insulin. Keadaan ini disebut sebagai
resistensi insulin.1,15
Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih
dari 40% penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10%
diantaranya akan menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun.
Kadar insulin yang tinggi seperti ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga
keluhan SOPK menjadi semakin parah.1,15
Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa.
Kompensasi akibat adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan
menyebabkan efek-efek yang berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresi
androgen ovarium oleh sel-sel adrenal. Insulin juga dapat menurunkan produksi sex
hormone-binding globulin (SHBG) di liver.1,15
G. Cara menegakkan diagnosis sindroma ovarium polikistik
14
Cara menegakkan diagnosis SOPK menurut konsensus Rotterdam tahun 2003
mengenai sindrom ovarium polikistik, bahwa kriteria diagnostik untuk SOPK adanya
2 dari 3 keadaan berikut yaitu: oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-tanda
hiperandrogenisme secara klinis maupun biokimia dan ovarium polikistik dimana
keadaan-keadaan tersebut diatas bukan disebabkan oleh hiperplasia adrenal
kongenital, tumor yang mensekresi androgen atau cushing syndrome. Tanda
hiperandrogenisme jika ditemukan adanya hirsutisme (dengan nilai skore ferryman-
gallwey ≥8). Pengukuran biokimia hiperandrogenisme ditentukan dengan serum
androgen (testosteron bebas, testosteron total, dehydroepiandrosteron sulfat, dan
androstenedion). 16
Ada juga kriteria diagnosis yang direkomendasikan oleh The European Society
for Human Reproduction and Embryology dan The American Society for
Reproductive Medicine . Dimana untuk menegakkan diagnosis SOPK apabila
sekurangnya 2 dari kriteria yang ada terpenuhi. Kriteria diagnosisnya adalah:
1. oligo-ovulasi atau anovulasi yang bermanifestasi sebagai oligomenorea dan
amenorrhea.
2. Hiperandrogenisme (secara klinis ada peningkatan androgen) atau
hiperandrogenemia (secara biokimiawi terdapat peningkatan hormon
androgen)
3. Polikistik ovarii ( seperti yang tampak melalui pemeriksaan ultrasonografi.
15
Polikistik ovarii didefinisikan sebagai adanya 12 atau lebih folikel pada sekurangnya
1 ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm atau volume total ovarium > 10 cm3.16
Meskipun banyak wanita dengan SOPK adalah obesitas, obesitas bukan
merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SOPK. Bahkan banyak wanita yang
ramping juga dapat memiliki SOPK . Wanita dengan SOPK diketahui berada pada
resiko peningkatan resistensi insulin. Pada wanita kurus dengan SOPK, Resistensi
insulin ini dianggap serupa dalam tingkat keparahan dengan pada wanita yang
mengalami obesitas dan tidak memiliki SOPK. Karena resistensi insulin tersebut,
wanita dengan SOPK memiliki resiko terkena diabetes mellitus tipe 2.17
H. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi
dan mengobati SOPK. Pengobatan terapi bertujuan, pertama melancarkan siklus haid
dan mengembalikan kesuburan, kedua merubah gangguan metabolik glukosa dan
metabolisme lipid, ketiga mengidealkan berat badan karena kejadiannya berhubungan
dengan kesakitan. Terapi SOPK dapat dilakukan dengan cara farmakologi maupun
dengan secara operatif.
1. Secara farmakologi dapat dilakukan dengan :
1.1 Terapi Metformin
Intoleransi glukosa dapat diatur dengan diet dan olahraga, dan pengontrolan berat
badan adalah yang paling tepat. Metformin dapat mengubah sensitifitas insulin dan
metabolisme glukosa dan memperbaiki hiperandrogenisme dan haid yang tidak
16
teratur. Metformin juga bermanfaat untuk menormalkan lipid. Metformin diberikan
pada dosis yang bervariasi mulai dari 1,5-2,5 mg/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis.
Efek samping ringan yang dialami seperti gejala gangguan sistem pencernaan (mual,
rasa logam di mulut, dan perubahan frekuensi buang air besar) dapat terjadi pada 5-
10% kasus, tapi obat dapat ditoleransi dengan baik jika peningkatan dilakukan secara
bertahap. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah asidosis laktat yang untungnya
terjadi sangat jarang dan hampir selalu berhubungan dengan kondisi hipoksia yang
menjadi kontraindikasi terapi dengan metformin.18
1.2 Clomiphene citrate
Meskipun sejumlah obat telah digunakan untuk menginduksi ovulasi pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik, clomiphene citrate adalah sederhana, dan
telah terbukti. Clomiphene adalah zat antiestrogenik yang mempromosikan pelepasan
FSH dari kelenjar pituitari, sehingga merangsang perkembangan folikel ovarium dan
ovulation. Pengobatan dengan clomiphene, wanita anovulasi (sekitar setengah dari
mereka yang cenderung memiliki sindrom ovarium polikistik atas dasar adanya
hyperandrogenemia) menghasilkan angka kehamilan kumulatif dari 56% setelah
enam siklus pengobatan. Baru-baru ini, tingkat kehamilan kumulatif dari 73%
dilaporkan ketika pengobatan dengan clomiphene citrate adalah diulang sampai
sembilan siklus ovulasi.19
2. Untuk terapi secara operatif dapat dilakukan :
2.1 Reseksi baji ovarium (Ovarian Wedge Resection)
Reseksi baji ovarium dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi.
Reseksi baji ovarium direkomendasi oleh Kistner dan Patton terhadap pasien SOPK
17
yang mengalami ovulasi pada pemberian clomiphene citrat namun tidak terjadi
kehamilan. Keduanya menganjurkan tindakan reseksi baji dilakukan pada pasien
yang tidak mengalami kehamilan setelah 7 atau 8 kali siklus pengobatan dengan
clomiphene citrat. Pada reseksi baji ovarium dilakukan insisi 2 – 3 cm pada korteks
ovarium yang menebal. Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan dihindari
daerah hilus ovarium untuk menghindari terjadinya perdarahan yang banyak. Melalui
lubang insisi bagian medulla diangkat dan sebanyak mungkin korteks ovarium
dipertahankan. Gjonnaess (1984) melakukan prosedur reseksi baji ovarium secara
laparoskopi. Dengan memakai elektrode unipolar dibuat 8 – 15 lubang sedalam 2 – 4
mm pada kapsul pada masing-masing ovarium. Dengan tindakan ini ovulasi dapat
disembuhkan pada 92% pasien dengan angka keberhasilan kehamilan sebesar 80%.15
2.2 Pengeboran (pembuatan lubang) ovarium dengan Laser secara Laparoskopi
(Laparoscopy Laser Ovarian Drilling)
Tindakan pengeboran ovarium dengan laser diperkenalkan dan digunakan
untuk terapi SOPK sejak 15 tahun terakhir. Dasar tindakan ini adalah bahwa laser
memiliki densitas power yang terkontrol sehingga didapat kedalaman penetrasi pada
jaringan sesuai yang diharapkan serta kerusakan jaringan akibat pengaruh panas yang
dapat diprediksi. Pemakaian laser juga akan mengurangi resiko perlengketan.
Beberapa jenis laser yang sering digunakan adalah : karbon dioksida (CO2), argon
dan YAG. Tindakan pengeboran ovarium dengan laser dilakukan dengan laparoskop
dengan diameter 10 mm yang dihubungkan dengan laser CO2. Dapat digunakan CO2
ultrapulsa (40 – 80 W, 25 – 200 mJ) atau CO2 superpulsa (25 – 40 W). Seluruh
18
folikel subkapsular yang tampak divaporisasi dan dibuat lubang ukuran 2 – 4 mm
secara acak pada stroma ovarium. Tahun 1997 tehnik tindakan pengeboran ovarium
dengan laser distandarisasi dengan menggunakan jarum elektrode unipolar yang
ditusukkan kedalam kavum abdomen secara tegak lurus, dibuat 10 – 15 tusukan pada
masing-masing ovarium dengan arus koagulasi sebesar 40-W selama 2 detik pada
masing-masing tusukan. Dengan menggunakan laser YAG, Huber dkk (1988)
melakukan pengeboran ovarium sebanyak 3 – 5 buah pada masing ovarium dengan
panjang 5 – 10 mm dan kedalaman 4 mm. Tindakan ini berhasil memberikan ovulasi
spontan pada 5 dari 8 orang pasien yang diterapi. Danielle (1989) melakukan
pengeboran ovarium dengan menggunakan laser argon, CO2 atau kalium titanyl
phosphate (KTP) dimana dibuat tehnik 2 tusukan (two-puncture technique) untuk
drainage folikel subkapsular yang tampak dan membuat lubang pada stroma ovarium.
Tindakan ini memberikan ovulasi spontan pada 71% kasus. Dari beberapa penelitian
penggunaan laser untuk pengeboran ovarium didapati hasil ovulasi spontan antara 70
– 80% dengan tingkat keberhasilan kehamilan antara 56 – 80%.15
19
BAB III
PEMBAHASAN
Hampir setiap pasangan di dunia menginginkan seorang anak, namun
sayangnya tidak setiap perkawinan dianugerahi keturunan. Di Indonesia terdapat
sekitar 10-15% pasangan mengalami infertilitas. Infertilitas adalah kegagalan
pasangan untuk hamil setelah satu tahun memiliki hubungan seksual yang teratur
tanpa kontrasepsi. Infertilitas bisa primer atau sekunder. Infertilitas primer adalah
istilah yang menggambarkan pasangan yang belum pernah hamil, sedangkan
infertilitas sekunder mengacu pada pasangan yang telah mencapai kehamilan di masa
lalu tapi tidak mampu mendapatkannya lagi. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
infertilitas dapat disebabkan oleh faktor suami maupun faktor istri. Angka kejadian
infertilitas karena faktor istri mencangkup 40-50% dikarenakan adanya masalah pada
ovarium yang mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi atau anovulasi. Anovulasi
sendiri dapat disebabkan oleh bermacam-macam kelainan seperti kelainan interaksi
susunan saraf pusat (SSP)-hipotalamus, kelainan perangkat hipotalamus-hipofisis,
kelainan pada mekanisme umpan balik, kelainan pada ovarium (Sindroma ovarium
resisten gonadotropin, Sindroma luteinized unruptured follicle (LUF), dan Sindrom
20
ovarium polikistik). Peringkat utama infertilitas yang disebabkan oleh anovulasi
dimiliki oleh sindrom ovarium polikistik, yaitu sebanyak 70%.5
Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan
(infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum)
dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai
kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya
ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan
hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada
pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus
tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah
abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan
infertilitas. Sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara
15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Penyebab pastinya hingga
kini belum banyak diketahui. Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan
oleh Stein dan Leventhal pada sekitar tahun 1935. Kelainan atau sindrom ini
bukanlah sebuah penyakit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang
dijumpai pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea
(haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut
berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium. Sindrom
ovarium polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses
ovulasi (anovulasi). setiap kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya
anovulasi kronis akan menyebabkan terjadinya sindrom ovarium polikistik.3
21
Wanita dengan SOPK baik yang memiliki berat badan normal ataupun yang
mengalami obesitas memiliki masalah besar, yaitu resistensi insulin. Resistensi
insulin didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh untuk beradaptasi dengan
asupan normal glukosa atau ketidakmampuan insulin menghasilkan efek fisiologis
metabolik yang memadai bagi tubuh. Gangguan metabolik inilah yang sesungguhnya
menjadi patofisiologi kunci bagi timbulnya berbagai gejala klinis yang telah
disebutkan sebelumnya. Resistensi insulin merupakan masalah sentral pada wanita
dengan SOPK. Wanita dengan SOPK mengalami masalah jangka pendek dan jangka
panjang sebagai konsekuensi resistensi insulin dan compensatory hiperinsulinemia
yang terjadi. Hampir semua manifestasi klinis SOPK ternyata berkaitan dengan
gangguan ini dan derajatnya bertambah berat seiring dengan perjalanan waktu.
Masalah jangka pendek yang bisa terjadi karena gangguan ini meliputi anovulasi,
hiperandrogenisme, infertilitas dan abortus. Kelainan metabolik pada SOPK apabila
tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi kelainan metabolik endokrin
yang bersifat kronis dan progresif. Gangguan metabolik pada SOPK diketahui
berkaitan erat dengan kejadian DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia.20
Pada wanita dengan SOPK, akan dijumpai pengeluaran LH (luteinizing
hormone) yang berlebihan. LH menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis
androgen di ovarium. Dijumpai peningkatan rasio LH terhadap FSH (follicle
stimulating hormone). Penyebab peningkatan pengeluaran LH dari hipofisis dan
peningkatan sintesis hormon steroid seks di ovarium masih belum diketahui. Adanya
resistensi insulin merupakan defek primer pada SOPK yang menyebabkan
hiperinsulinemia. Sel theca menjadi sangat aktif dan responsif terhadap stimulasi LH.
22
Sel theca adalah pembungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan
dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium. Sel theca akan lebih besar dan
menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif ini akan terhalang
maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktif. Akibat
ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista dengan
diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan
terbentuk folikel-folikel berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang
hiperplastik yang mengalami luteinisasi. Dampaknya akan terjadi anovulasi dan
menyebabkan infertilitas.14,20
Untuk mendiagnosis SOPK dapat menggunakan kriteria diagnosis menurut
konsensus Rotterdam tahun 2003 maupun menurut The European Society for Human
Reproduction and Embryology dan The American Society for Reproductive Medicine
mengenai sindroma ovarium polikistik. Kriteria diagnostik untuk SOPK bila
ditemukan dua dari tiga gejala berikut yaitu : oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-
tanda hiperandrogenisme secara klinis maupun biokimia dan ovarium polikistik.
Dimana keadaan diatas bukan disebabkan oleh hiperplasia adrenal kongenital maupun
tumor. Yang mana kedua keadaan tersebut dapat mensekresi androgen. Pengukuran
biokimia hiperandrogenisme dapat ditentukan dengan serum androgen (testosteron
bebas, testosteron total, dehydroepiandrosteron sulfat/DEAS, dan androstenedion)
untuk mengetahui apakah terdapat tumor di ovarium dan suprarenal. Kadar DEAS
yang tinggi menggambarkan adanya tumor di kelenjar suprarenal. Kadang-kadang,
perlu juga dilakukan pemeriksaan hormon 17-alfa hidroksi progesteron, kadarnya
yang tinggi menandakan adanya hiperplasia adrenal kongenital (defisiensi enzim 21-
23
hidroksilase). sedangkan tanda hiperandrogenisme secara klinis adalah ditemukan
hirsutisme yaitu kondisi medis yang ditandai dengan pertumbuhan rambut yang
berlebihan pada wanita akibat kadar androgen yang lebih tinggi dari normal. Dan
dengan pemeriksaan ultrasonografi ditemukan adanya 12 atau lebih folikel pada
sekurangnya 1 ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm atau volume total ovarium >
10 cm3.16,17
Setelah sindroma ovarium polikistik didiagnosa maka dapat dilakukan
penatalaksanaan dengan tujuan menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogenisme,
mengembalikan siklus haid menjadi normal, memperbaiki fertilitas dan
menghilangkan gangguan metabolisme yang terjadi. Terapi SOPK dapat dilakukan
dengan pendekatan secara non farmakologis dan secara farmakologis. Secara non
farmakologis, penurunan berat badan akan memberikan pengaruh terhadap kadar
hormon dalam sirkulasi. Satu penelitian menerangkan pada 6 orang penderita SOPK
yang mengalami penurunan berat badan rata-rata sebesar 16,2 kg akan menyebabkan
penurunan kadar testosteron, 4 orang diantaranya terjadi ovulasi. Secara farmakologis
dapat diberikan antiandrogen untuk menurunkan produksi testosteron maupun untuk
mengurangi kerja dari testosteron. Contoh obat antiandrogen adalah Cyproterone
acetat yang bersifat kompetitif-inhibisi terhadap testosteron dan dyhidrotestosteron
pada reseptor androgen. Dosis 100 mg perhari pada 5-15 siklus haid. Metformin
dapat mengubah sensitifitas insulin dan metabolisme glukosa dan memperbaiki
hiperandrogenisme dan haid yang tidak teratur. Metformin bertujuan untuk menekan
aktifitas chytochrom P450c-17α ovarium yang akan menurunkan kadar androgen,
LH, dan hiperinsulinemia. Metformin juga bermanfaat untuk menormalkan lipid.
24
Metformin diberikan pada dosis yang bervariasi mulai dari 1,5-2,5 mg/hari dibagi
dalam 2 atau 3 dosis. Terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan mengembalikan fungsi
fertilisasi dapat menggunakan Clomiphene citrat. Pada keadaan hiperandrogen pada
wanita dan anovulasi, clomiphene citrat dilaporkan meningkatkan frekuensi siklus
ovulasi sampai 80% dengan rata-rata terjadi kehamilan sekitar 67%. Dosis diberikan
50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan
menjadi 200 mg. Terapi secara operatif juga dapat dilakukan untuk menangani
SOPK. Yaitu Reseksi baji ovarium yang dapat dilakukan dengan cara laparoskopi
atau laparatomi yang dilakukan pada pasien yang telah diberikan clomiphene citrat
namun tidak terjadi kehamilan. Terapi operatif yang kedua adalah Pengeboran
ovarium dengan Laser secara Laparoskopi (Laparoscopy Laser Ovarian Drilling).
Dasar tindakan ini adalah bahwa laser memiliki densitas power yang terkontrol
sehingga didapat kedalaman penetrasi pada jaringan sesuai yang diharapkan serta
kerusakan jaringan akibat pengaruh panas yang dapat diprediksi. Pemakaian laser
juga akan mengurangi resiko perlengketan. Dengan melakukan terapi diatas baik
secara farmakologis maupun secara operatif dengan tujuan mampu menormalkan
siklus ovulasi pada penderita SOPK.15
25
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ada pengaruh sindroma ovarium polikistik terhadap infertilitas. Dimana pada
sindroma ovarium polikistik terjadi kegagalan proses ovulasi oleh karena produksi
androgen yang berlebihan di dalam ovarium yang menyebabkan sejumlah besar
folikel preovulasi gagal untuk merespons FSH dan folikel menjadi tidak matang.
Maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif
folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel berbentuk seperti
kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang hiperplastik dan mengakibatkan wanita
mengalami kegagalan dalam proses ovulasi hingga menyebabkan wanita menjadi
infertil.
B. SARAN
Masyarakat hendaknya mengenal lebih jauh tentang sindroma ovarium
polikistik. Terutama wanita muda usia reproduktif. Informasi mengenai sindroma
ovarium polikistik yang merupakan salah satu penyabab infertilitas pada wanita perlu
dibagikan kepada masyarakat melalui edukasi dan penyuluhan dapat dilakukan oleh
26
tenaga medis, dan kemudian dapat dipublikasikan melalui media kesehatan sehingga
dapat mengurangi angka infertilitas akibat sindroma ovarium polikistik
DAFTAR PUSTAKA
1. Brassard, Maryse. Basic Infertility Including Polycystic Ovary Syndrom. Med Clin N Am 2008; 92: 1163–1192
2. Kandarakis ED. Polycystic ovarian syndrome: pathophysiology, molecular aspects and clinical implications. Expert Reviews. Jan 2008; 10(e3): 1-21
3. Susanto E, Santoso B, Samsulhadi, Widjiati. Korelasi Jumlah Ekspresi Reseptor IGF-1 (Insulin Like Growth Factor-1) dan Kelenjar Endometrium Rattus norvegicus Strain Wistar Model SOPK (Sindroma Ovarium Polikistik) Yang Mendapat Testosteron. Majalah Obstetri & Ginekologi. 2011;19:1-5
4. Heffner L, Schust D. At a Glance Sistem Reproduksi. Erlangga Medical Series. 2006;2:76
5. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku obstetri & ginekologi. EGC. 2008;9:679-680
6. Ayaz A, Alwan Y, Faroog MU. Efficacy of combined metformin–clomiphene citrate in comparison with clomiphene citrate alone in infertile women with polycystic ovarian syndrome (SOPK). Journal of Medicine and Life. 2013;6:198-201
7. Mohammadi E, Rafraf M, Farzadi L, Jafarabadi MA, Sabour S. Effects of omega−3 fatty acids supplementation on serum adiponectin levels and some metabolic risk factors in women with polycystic ovary syndrome. Asia Pac J Clin Nutr 2012;21(4):511-518
8. Legro RS, Kunselman AR, Bryzski RG, Casson PR, Diamond MP, Schlaff WD, et all. The pregnancy in polycystic ovarium syndrome II (PSOPK II) Trial: Rationale and Design of a doubleblind Randomized trial of clomiphene citrate and Letrozole for the treatment of infertility in women with polycystic ovary syndrome. National Institute of Healty. May 2012;33(3):470-481
9. Baziad A. Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH. Cermin Dunia Kedokteran. 2012;39:573-5
27
10. Gersak K, Ferk P. Genetics of Polycystic Ovary Syndrome. Gynaecol Perinatol. 2007;16(2):53–57
11. Ahmed, M.I. Naltrexone treatment in clomiphene resistant woman with polycystic ovary syndrome. Human reproduction 2008; 23(11):2564-2569.
12. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC 2011;6:347-9
13. Fairley, Diana H, Taylor A. Anovulation. BMJ 2009; 327: 546-549
14. Hadibroto BR. Sindrom ovarium polikistik. Majalah kedokteran nusantara FKUSU 2005; 38(4): 333-7
15. Yu L, Liao Y, Wu H, Zhao J, Wu L, Shi Y, et all. Effects of electroacupuncture and Chinese kidney-nourishing medicine on polycystic ovary syndrome in obese patients. Journal of Traditional Chinese Medicine. June 2013; 33(3): 287-293
16. Lamb JD, Johnstone EB, Rousseau JA, Jones CL, Pasch LA, Cedars MI. Physical activity in women with polycystic ovary syndrome: prevalence, predictors, and positive health associations. Am J Obstet Gynecol 2011;204:352.e1-6.
17. Stoval DW, Bailey AP, Pastore LM. Assessment of Insulin Resistance and Impaired Glucose Tolerance in Lean Women with Polycystic Ovary Syndrome. Journal of womens health 2011;20:37-43
18. Nestler JE. Metformin for the treatment of the polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 2008; 358: 47–54
19. Guzick DS. Treating the Polycystic Ovary Syndrome the Old-Fashioned Way. N Engl J Med 2007; 366:6: 622-4
20. Djuwantono T, Tjahyadi D, Ritonga MA. Isu terkini penanganan yang tepat dampak metabolik sindroma polikistik ovarium. Continuing Medical Education (CME) on Clinical Reproductive Endocrinology for Medical Practice. Okt 2010: 1-20
28
BIODATA MAHASISWA
BIMBINGAN SKRIPSI FK UKI T.A 2013/2014
NAMA : NANGGALA PUTRA RAHANDA
NIM : 1161050028
TEMPAT/TANGGAL LAHIR : SURABAYA, 25 JUNI 1993
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SLTP : SMP NEGERI 7 DEPOK
2. SLTA : SMA NEGERI 4 DEPOK
3. UNIVERSITAS : UNIVERSITAS KRISTENINDONESIA
JUDUL SKRIPSI :
PENGARUH SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK TERHADAP INFERTILITAS
29
30