skenario c blok 22

65
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK 22 Disusun Oleh: KELOMPOK 5 Wahyudo Imami Muhamad 04121401016 Ramitha Yulisman 04121401036 Putri Beauty Oktovia 04121401037 Vina Chanthyca Ayu 04121401043 Dita Nurfitri Zahir 04121401047 M Tata Suharta 04121401053 Marisabela Oktaviani Lintang 04121401056 Iqbal Habibie 04121401063 Rina Novitriani 04121401092 Aji Muhammad Iqbal 04121401094 Tutor : dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc PENDIDIKAN DOKTER UMUM

Upload: dwiandarimaharani

Post on 24-Dec-2015

97 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

skenario c blok 22

TRANSCRIPT

Page 1: SKENARIO C BLOK 22

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO C BLOK 22

Disusun Oleh: KELOMPOK 5

Wahyudo Imami Muhamad 04121401016

Ramitha Yulisman 04121401036

Putri Beauty Oktovia 04121401037

Vina Chanthyca Ayu 04121401043

Dita Nurfitri Zahir 04121401047

M Tata Suharta 04121401053

Marisabela Oktaviani Lintang 04121401056

Iqbal Habibie 04121401063

Rina Novitriani 04121401092

Aji Muhammad Iqbal 04121401094

Tutor : dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc

PENDIDIKAN DOKTER UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

Page 2: SKENARIO C BLOK 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga

kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario C Blok 22”

sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,

nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai

akhir zaman.

Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat

bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan

terimakasih kepada:

1. Allah SWT, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,

2. dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc selaku tutor kelompok 5,

3. teman-teman sejawat FK Unsri,

4. semua pihak yang telah membantu kami.

Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua

orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan

perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.

Palembang, 24 Desember 2014

Kelompok 5

2

Page 3: SKENARIO C BLOK 22

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………….………………………… 2

KEGIATAN TUTORIAL..……………………………….……. 4

1. SKENARIO ………………………………............................. 5

2. KLARIFIKASI ISTILAH ……….………………………….. 5

3. IDENTIFIKASI MASALAH……….……………………….. 6

4. PRIORITAS MASALAH …………………………………… 7

5. ANALISIS MASALAH ..…………………………………… 8

6. TEMPLATE…………………………………………………. 19

7. TOPIK PEMBELAJARAN …………….…………………… 29

8. SINTESIS …………..…...………………………………..…. 29

8.1 REAKSI HIPERSENSITIVITAS........…………..……... 29

8.2 REAKSI ANAFILAKTIK………..…………………….. 33

9. KERANGKA KONSEP ………..………….……………..…. 40

10. KESIMPULAN ……………………………………………. 40

11. DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………….. 41

3

Page 4: SKENARIO C BLOK 22

KEGIATAN TUTORIAL

Tutor : dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc

Moderator : Putri Beauty Oktovia

Sekretaris Meja 1 : Marisabela Oktaviani Lintang

Sekretaris Meja 2 : Dita Nurfitri Zahir

Pelaksanaan : 22 Desember 2014 dan 24 Desember 2014

13.00-15.00 WIB

Peraturan selama tutorial :

1. Sebelum nyampaikan pendapat harus mengacungkan tangan

2. Alat komunikasi dan gadget hanya boleh digunakan untuk keperluan diskusi, namun dalam

mode silent dan tidak mengganggu berlangsungnya diskusi

3. Minum diperbolehkan, namun tidak untuk makan

4. Bila ingin izin keluar, diharapkan melalui moderator

4

Page 5: SKENARIO C BLOK 22

1. SKENARIO

Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas sejak 6 jam yang

lalu. Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat ke

dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah makan obat muncul

bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan. Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah

atau lendir, timbul batuk disertai sesak nafas. Pasien pernah makan obat amoksisilin dan

parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu

mempunyai penyakit dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.

Pemeriksaan fisik :

Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler; frekuensi nafas

28x/menit; suhu 37,8°C.

Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru

Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat, turgor baik

Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria

Pemeriksaan Penunjang :

Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL, kreatinin

0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L

2. KLARIFIKASI ISTILAH

2.1 Sesak nafas: Dyspnea; Pernafasan yang sukar

2.2 Demam: Suatu keadaan suhu tubuh melebihi 37,5°C

2.3 Amoksisilin: Turunan semi sintetik ampicilin yang efektif terhadapa spektrum luas

bakteri gram positif dan negatif.

2.4 Parasetamol: analgetik dan antipiretik yang mempunyai efek serupa dengan aspirin

tetapi hanya sedikit memiliki efek anti inflamasi.

2.5 Bentol: benjolan di permukaan kulit akibat garukan atau gatal.

2.6 Diare: Pengeluaran tinja berair berkali-kali yang tidak normal.

2.7 Batuk: Ekspulsi udara yang tiba-tiba dari paru-paru.

2.8 Asma: Serangan dispnea paroksimal berulang akibat kontraksi spasmodik bronki

2.9 Dermatitis Atopi: Kelainan kulit yang merupakan peradangan kronik, bersifat pruritik

dan eksematosa pada individu dengan predisposisi herediter terhadap pruritus pada kulit.

5

Page 6: SKENARIO C BLOK 22

2.10 Wheezing: Suara pernafasan berfrekuensi tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang

melalui saluran nafas yang sempit.

2.11 Urtikaria: Reaksi vaskuler lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan gambaran

sementara bercak ( bentol ) yang agak menonjol dan lebih merah atau lebih pucat dari

pada kulit sekitarnya disertai gatal yang hebat.

3. IDENTIFIKASI MASALAH

3.1. Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas sejak 6 jam

yang lalu.

3.2. Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat ke

dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah makan obat

muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan.

3.3. Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai sesak nafas.

3.4. Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti saat

ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai penyakit dermatitis atopi.

Riwayat asma pada pasien disangkal.

3.5. Pemeriksaan fisik :

Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler; frekuensi

nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.

Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru

Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat, turgor

baik

Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria

3.6. Pemeriksaan Penunjang :

Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL,

kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.

6

Page 7: SKENARIO C BLOK 22

4. PRIORITAS MASALAH

MASALAHPRIORITAS

MASALAH

Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak

napas sejak 6 jam yang lalu.VVV

Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien

berobat ke dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas

jam setelah makan obat muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan

badan.

VV

Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai

sesak nafas.VV

Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan

seperti saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai

penyakit dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.

V

Pemeriksaan fisik :

Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit,

reguler; frekuensi nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.

Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru

Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus

meningkat, turgor baik

Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria

V

Pemeriksaan Penunjang :

Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18

mg/dL, kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.

V

7

Page 8: SKENARIO C BLOK 22

5. ANALISIS MASALAH

5.1 Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas

sejak 6 jam yang lalu.

5.1.1 Apa hubungan antara jenis kelamin, usia dan pekerjaan dengan keluhan

yang dialami?

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan

bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa

muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali

lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada

anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang

terjadi. Sedangkan untuk pekerjaan, tidak ada hubungannya dengan keluhan yang

dialaminya.

5.1.2 Bagaimana Etiologi dan Patofisiologi dari sesak nafas?

Etiologi:

Sesak nafas karena faktor keturunan.  Yang memang memiliki paru-paru dan

organ pernafasan lemah. Ditambah kelelahan bekerja dan gelisah, maka bagian-

bagian tubuh akan memulai fungsi tidak normal.  Kabar baiknya, ini tidak

otomatis membuat tubuh menderita, sebab secara alami akan melindungi diri

sendiri. Namun demikian, sistem pertahanan bekerja ekstra, bahkan kadang-

kadang alergi dan asma timbul sebagai reaksi dari sistem pertahanan tubuh yang

bekerja terlalu keras. 

Sesak nafas karena faktor lingkungan.  Udara dingin dan lembab dapat

menyebabkan sesak nafas. Demikian pula dengan serbuk sari bunga (pollen) dan

partikel lain. Bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu sesak nafas

berkepanjangan. Polusi pada saluran hidung disebabkan pula oleh rokok yang

dengan langsung dapat mengurangi suplai oksigen. 

Sesak nafas karena produksi lendir yang berlebihan akan menyumbat

saluran pernafasan.   Makanan yang menyebabkan produksi lendir berlebih

adalah produk dari susu, tepung, nasi putih, dan permen. 

Sesak nafas karena kurangnya asupan cairan.  Sesak Nafas karena kurangnya

asupan cairan sehingga lendir pada paru-paru dan saluran nafas mengental.  

Kondisi ini juga menjadi situasi yang menyenangkan bagi mikroba untuk

berkembang biak.

8

Page 9: SKENARIO C BLOK 22

Masalah pada susunan tulang atau otot tegang pada punggung bagian atas

akan menghambat sensor syaraf dan bioenergi dari dan menuju paru-paru.

Sesak nafas karena ketidakstabilan emosi. Orang-orang yang gelisah, depresi,

ketakutan, rendah diri cendertung untuk sering menahan nafas. Atau justru

menarik nafas terlalu sering dan dangkal sehingga terengah-engah. Dalam waktu

yang lama, kebiasaan ini berpengaruh terhadap produksi kelenjar adrenal dan

hormon, yang berkaitan langsung dengan sistem pertahanan tubuh. Kurang

pendidikan bisa juga menyebabkan sesak nafas. Pengetahuan akan cara bernafas

yang baik dan benar akan bermanfaat dalam jangka panjang baik terhadap fisik

maupun emosi seseorang.

Mekanisme:

Alergen masuk ditangkap oleh APC APC mempresentasikan antigen tersebut

kepada Sel Th0 Th0 akan mengaktifkan sel Th2 dan akan mensekresi sitokin

(IL4,IL13) menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma sel

plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada

reseptor permukaan sel mast dan basofil

Alergen yang sama masuk diikat oleh IgE spesifik yang berikatan dengan sel

mast sel mast (di jaringan) dan basofil (di darah) pecah dan melepas isinya yang

berupa granula memicu terjadinya reaksi segera dengan pelepasan mediator

vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin, bahan vasoaktif dari granul

berupa performed mediator menghasilkan amin vasoaktif bronkokonstriksi

dan hipersekresi mukus sesak nafas

5.2 Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat

ke dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah

makan obat muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan.

5.2.1 Bagaimana mekanisme obat amoksisilin dan parasetamol dapat

menyebabkan bentol dan gatal pada pasien ini?

Alergen (amoksisilin lebih sering menyebabkan anafilaksis dibandingkan

parasetamol) yang masuk ke dalam darah akan dikenali oleh APC di mukosa

maupun darah. APC selanjutnya akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2.

Sel Th2 akan mengeluarkan sitokin-sitokin (seperti IL 4 dan IL 13) yang akan

9

Page 10: SKENARIO C BLOK 22

memicu sel memori (limfosit B) menghasilkan IgE. Saat alergen kembali muncul,

maka alergen akan langsung berikatan dengan IgE tersebut. Ikatan antigen-antibodi

IgE itu akan mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator

anafilaksis (disebut juga peristiwa degranulasi sel mast), seperti histamin,

eikosanoid, prostaglandin D2, trombosit-activating factor, bradikinin, leukotrien C4,

D4 & E4, dan sebagainya. Pelepasan histamin kemudian menyebabkan berbagai

reaksi tubuh seperti gatal, bentol, bengkak, sesak nafas, bahkan dapat menyebabkan

hilangnya kesadaran pada syok anafilaktik akibat terjadi pelepasan histamin yang

sangat banyak dan mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah secara

drastis.

5.2.2 Apa saja indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari amoksisilin dan

parasetamol?

Amoksisilin

Dosis:

Dewasa: 250- 500 mg tiap 8 jam.

Anak: 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis

Indikasi:

- Infeksi saluran pernafasan kronik dan akut: pneumonia, faringitis (tidak untuk

faringitis gonore), bronkitis, langritis.

- Infeksi saluran cerna: disentri basiler.

- Infeksi saluran kemih: gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis, pielonefritis.

- Infeksi lain: septikemia, endokarditis.

Kontraindikasi: Pasien dengan reaksi alergi terhadap penisilin.

Efek Samping:

Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam kulit,

pruritus, angioedema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah,

glositis dan stomatitis.

Paracetamol

10

Page 11: SKENARIO C BLOK 22

Dosis:

Untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam, dosis parasetamol dewasa 325 –

650 mg setiap 4 jam atau 500 mg setiap 8 jam. Dosis anak adalah 10 – 15 mg/kgBB,

dapat diberikan setiap 4 jam (maksimal 5 dosis dalam 24 jam). Dosis maksimal

akumulatif parasetamol adalah 4 gram per hari. Efek parasetamol mulai muncul 30 –

60 menit setelah konsumsi dan bertahan selama 4 jam.

Indikasi:

Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal.

Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit

gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Menurunkan demam pada influenza dan

setelah vaksinasi.

Kontraindikasi:

Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glokose-6-fosfat dehidrogenase.

Tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati.

Efek Samping:

Efek samping jarang ditemukan. Dapat berupa gejala ringan seperti pusing, sampai

efek samping berat seperti gangguan ginjal, gangguan hati, reaksi alergi dan

gangguan darah.

Reaksi alergi dapat berupa bintik-bintik merah pada kulit, biduran, sampai reaksi

alergi berat yang mengancam nyawa. Gangguan darah dapat berupa perdarahan

saluran cerna, penurunan kadar trombosit dan leukosit, serta gangguan sel darah

putih.

5.2.3 Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik dari amoksisilin dan

parasetamol?

Amoksisilin

Farmakokinetik

1. Absorpsi

Amoxicillin hampir lengkap diabsorbsi sehingga konsekuensinya

Amoxicillin tidak cocok untuk pengobatan shigella atau enteritis karena

11

Page 12: SKENARIO C BLOK 22

salmonella, karena kadar efektif secara terapetik tidak mencapai organisme

dalam celah intestinal.

Amoxicillin stabil pada asam lambung dan terabsorpsi 74-92% di saluran

pencernaan pada penggunaan dosis tunggal secara oral. Nilai puncak konsentrasi

serum dan AUC meningkat sebanding dengan meningkatnya dosis. Efek terapi

Amoxicillin akan tercapai setelah 1-2 jam setelah pemberian per oral. Meskipun

adanya makanan di saluran pencernaan dilaporkan dapat menurunkan dan

menunda tercapainya nilai puncak konsentrasi serum Amoxicillin, namun hal

tersebut tidak berpengaruh pada jumlah total obat yang diabsorpsi.

2. Distribusi

Distribusi obat bebas ke seluruh tubuh baik. Amoxicillin dapat melewati

sawar plasenta, tetapi tidak satupun menimbulkan efek teratogenik. Namun

demikian, penetrasinya ke tempat tertentu seperti tulang atau cairan

serebrospinalis tidak cukup untuk terapi kecuali di daerah tersebut terjadi

inflamasi. Selama fase akut (hari pertama), meningen terinflamasi lebih

permeabel terhadap Amoxicillin, yang menyebabkan peningkatan rasio sejumlah

obat dalam susunan saraf pusat dibandingkan rasionya dalam serum. Bila infeksi

mereda, inflamasi menurun maka permeabilitas sawar terbentuk kembali.

3. Eliminasi

Jalan utama ekskresi melalui system sekresi asam organik (tubulus) di ginjal,

sama seperti melalui filtrate glomerulus. Penderita dengan gangguan fungsi

ginjal, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan.

Farmakodinamik

Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6

aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai

daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun

bakteri gram negatif.

Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan, Streptococcus

faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp, Staphylococcus aureus,

Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif: Neisseira gonorrhoeae,

Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia

coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella sp.

Parasetamol

12

Page 13: SKENARIO C BLOK 22

Farmakokinetik

Paracetamol mudah diserap melalui saluran pencernaan. Paracetamol

didistribusikan kehampir seluruh cairan tubuh melintasi plasenta dan keluar melalui

ASI. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik normal,

namun dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Waktu paruh eliminasi dari

paracetamol bervariasi antara 1-3 jam. Kadar maksimum paracetamol dalam plasma

dicapai dalam waktu 30 menit setelah pemberian.

Paracetamol dimetabolisme terutama dihati dan diekskresikan dalam urin

terutama sebagai glukuronida dan sulfat konjugat. Kurang dari 5% diekskresikan dan

masih dalam bentuk paracetamol.Sebuah metabolit dihidroksilasi kecil (N-acetyl –p

benzokuinoneimine), biasanya diproduksi dalam jumlah sangat kecil oleh sitrokom

P450 isoenzim (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) dihati dan ginjal. Hal ini biasanya

didetoksifikasi oleh konjugasi dengan glukation tetapi mungkin menumpuk setelah

over dosis paracetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan.

Farmakodinamik

Efek analgesik paracetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau

mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan

mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti

inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu paracetamol tidak digunakan sebagai

antireumatik. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang

lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,

demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.

5.2.4 Bagaimana mekanisme demam pada kasus?

Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari

eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan

pirogen endogen berasal dari dalam tubuh. Pirogen eksogen, dapat berupa infeksi

atau non-infeksi, akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit, dan endotel

untuk melepaskan interleukin (IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing Factor (TNF)-α, dan

interferon (IFN)-γ yang selanjutnya akan disebut pirogen endogen/sitokin. Pirogen

endogen ini, setelah berikatan dengan reseptornya di daerah preoptik hipotalamus

akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2, yang selanjutnya

melepas asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan kemudian oleh enzim

siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). 13

Page 14: SKENARIO C BLOK 22

Rangsangan prostaglandin inilah, baik secara langsung maupun melalui pelepasan

AMP siklik, menset termostat pada suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini merupakan

awal dari berlangsungnya reaksi terpadu sistem saraf autonom, sistem endokrin, dan

perubahan perilaku dalam terjadinya demam (peningkatan suhu).

5.3 Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai sesak

nafas.

5.3.1 Apa makna dari diare tanpa darah atau lendir dan batuk pada kasus ini?

Diare tanpa darah ataupun lendir menunjukkan bahwa diare tersebut bukan

disentri ataupun karena adanya kerusakan pada saluran cerna. Pada reaksi anafilaksis

diare yang terjadi diakibatkan oleh adanya kontraksi otot polos oleh karena

pelepasan mediator-mediator dari sel mast. Gerak peristaltik usus yang berlebihan

inilah yang menyebabkan timbulnya diare pada pasien tanpa disertai darah ataupun

lendir.

Begitu pula dengan batuk, bahwa selain kontraksi otot-otot polos. Efek

pelepasan mediator-mediator yang dikeluarkan sel mast adalah merangsang

pengeluaran mukus terutama pada saluran pernafasan. Akibat sekresi mukus yang

berlebihan tersebut, tubuh berusaha mengeluarkan mukus tersebut melalui

mekanisme batuk.

5.4 Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti

saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai penyakit

dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.

5.4.1 Bagaimana hubungan riwayat asma pada adik pasien dan penyakit dermatitis

atopi yang dipunyai ibu pasien dengan keluhan yang dialami?

Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk mengembangkan respon

imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak masa gestasi. Berbagai region

kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada kromosom

5,6,11,12,13,16. Berbagai lokus genetic mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi

antara lain tiga lokus yang berhubungan dengan asma dan dermatitis atopi yaitu

5q31-33, 11q13 dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang mengandung gen sitokin

IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th-2 menunjukkan

peran penting faktor genetic pada penyakit alergi.

14

Page 15: SKENARIO C BLOK 22

Kromosom 5q telah diketahui memiliki peranan pada pelepasan sitokin yang

mempengaruhi produksi IgE. Daerah MHC kromosom 6 telah menunjukkan

konsistensi terkait fenotipe dalam beberapa studi dan menjadi lokus utama dalam

mempengaruhi penyakit alergi yang berperan dalam pengenalan allergen, sedangkan

kromosom 11 yang berperan sebagai reseptor IgE dengan afinitas kuat pada mastosit.

Atopi adalah kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar

alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian alergi, bahwa faktor

genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai

penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua

mempunyai alergi, maka resiko pada anak adalah 50-70%.

5.4.2 Apa makna riwayat makan obat yang sama (amoksisilin dan parasetamol)

tetapi tidak ada keluhan seperti sekarang?

Pada kasus ini, pasien mengalami reaksi anafilaksis yang mana reaksi ini didasari

oleh adanya hipersensitifitas tipe 1. Hipersensitivitas tipe 1 ini diperantarai oleh IgE.

Didalam perjalanannya, seseorang yang memiliki hipersensitivitas ini tidak akan

langsung menimbulkan gejala saat terpapar oleh antigen yang mana dalam kasus kita

adalah amoksisilin. Ada beberapa fase yang akan terjadi:

a. Fase sensitisasi: yaitu fase dimana terjadinya pembentukan IgE, fase ini

membutuhkan waktu dan dapat terjadi berulang.

b. Fase aktivasi: Pada fase inilah sebenarnya yang telah terjadi pasien yang

menunjukkan gejala alergi. Fase ini merupakan fase dimana terjadinya paparan

ulang antigen spesifik dimana paparan ulang tersebut yang akan merangsang

aktivasi sel mast/basofil yang akan mengeluarkan mediator-mediator berupa

granul dan medapat menimbulkan reaksi.

c. Fase efektor: yaitu fase terjadinya respon imun yang komplek akibat pelepasan

mediator.

Hal inilah yang menyebabkan riwayat makan obat yang sama sebelumnya, tetapi

tidak menimbulkan gejala apapun pada pasien.

5.5 Pemeriksaan Fisik:

15

Page 16: SKENARIO C BLOK 22

Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler;

frekuensi nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.

Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru

Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat,

turgor baik

Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria

5.5.1 Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Kasus Nilai Normal Interpretasi

Keadaan umum:

- Kesadaran Compos mentis Compos mentis Normal

Vital sign:

- TD

- RR

- Nadi

- Temp

120/80 mmHg

28 x/menit

110 x/menit

37,8 oC

120/80 mmHg

16-24 x/menit

60-100 x/menit

36,5-37,5 oC

Normal

Meningkat, Akibat pelepasan

mediator sel mast/basophil

(histamine)

Meningkat,

terjadi mekanisme

kompensasi untuk

meningkatkan cardiac output

dan memperbaiki perfusi ke

jaringan serta organ-organ

vital

Subfebris

Thoraks Wheezing pada

kedua lapangan

paru

- Abnormal

Akibat bronkospasme dan

hipersekresi mukus pada

saluran pernafasan

Abdomen:

- Bentuk Datar Datar Normal

- Kekuatan Lemas Kuat/ Normal Abnormal

16

Page 17: SKENARIO C BLOK 22

otot perut

- Turgor Baik Baik Normal

- Hepar/

Lien

Tidak teraba Tidak teraba Normal

- Bising

usus

Meningkat 3-5 x/menit Akibat gerakan peristaltik

yang meningkat

Ekstremitas:

- Kulit Gambaran

urtikaria

Normal Akibat pelepasan mediator

sel mast/basofil berupa

histamin.

Frekuensi nadi: Takikardia

Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah perifer

menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi untuk

meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan serta organ-organ

vital frekuensi jantung meningkat frekuensi denyut nadi juga meningkat

Frekuensi napas: Takipneu

Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos pada

bronkus spasme bronkus sesak napas

Wheezing pada kedua lapangan paru

Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil

terlepasnya mediator (histamine) kontraksi dari otot polos pada bronkus

spasme bronkus terdengar wheezing pada pemeriksaan

Urtikaria:

Pada awalnya alergen yang menempel pada kulit merangsang sel mast untuk

membentuk antibodi IgE, setelah terbentuk, maka IgE berikatan dengan sel mast.

Setelah itu, pada saat terpajan untuk yang kedua kalinya, maka alergen akan

berikatan dengan igE yang sudah berikatan dengan sel mast sebelumnya. Akibat dari

17

Page 18: SKENARIO C BLOK 22

ikatan tersebut, maka akan mengubah kestabilan dari isi sel mast yang

mengakibatkan sel mast akan mengalami degranulasi dan pada akhirnya sel mast

akan mengeluarkan histamin yang ada di dalamnya.

5.6 Pemeriksaan Penunjang :

Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL,

kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.

5.6.1 Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan

penunjang?

Data pada kasus Nilai normal Interpretasi

Hb 12,2 gr/dL 12 – 14 gr/dL Normal

Leukosit 8.400/mm3 5.000-10.000/mm3 Normal

Diff. Count

- Basofil

- Eosinofil

- Neutrofil batang

- Neutrofil segmen

- Monosit

- Limfosit

2

6

4

52

30

6

0-1

1-3

2-6

50-70

20-40

2-8

Meningkat

Meningkat

Normal

Normal

Normal

Normal

Ureum 18 mg/dL 15-40 mg/dL Normal

Kreatinin 0.46 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL Normal

Na 144 mEq/L 135-153 mEq/L Normal

Kalium 4,2 mEq/L 3,5-5,1 mEq/L Normal

Basophilia dan Eosinophilia

Pada reaksi anafilaksis, untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai

pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan

reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada

permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen

18

Page 19: SKENARIO C BLOK 22

hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan

yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap

penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Adanya peran basofil inilah yang menyebabkan basofil meningkat (basophilia).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I

melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic

factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu

mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor

kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang

terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel

mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Akibat peran eosinofil diperlukan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I

eosinophilia.

6. TEMPLATE

6.1 How to Diagnose

Anamnesis: Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat

hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit), timbul biduran mendadak, gatal dikulit,

suara parau sesak, sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah terpapar

sesuatu.

Diagnostik fisik:

- Keadaan umum: baik sampai buruk

- Kesadaran: compos mentis sampai koma

- Tensi: hipotensi, nadi: takikardi, nafas: takipneu

- Kepala dan leher: cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi, edema periorbita,

perioral, rhinitis

- Thorax: aritmia sampai arrest, pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing

- Abdomen: nyeri tekan, BU meningkat

- Ekstremitas: urtikaria, edema ekstremitas

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan

diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk

memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah 19

Page 20: SKENARIO C BLOK 22

tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi

pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-

immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun

memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu

dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal

yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena

mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun

uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah,

elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,

elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran

Sistem Gejala dan tanda

Umum

Prodormal

Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar

dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut,

rasa gatal di hidung dan palatum

Pernafasan

Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat

Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak nafas,

stridor, edema, spasme

Lidah Edema

Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskula

r

Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,

hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan

EKG: gelombang T datar, terbalik, atau

tanda – tanda infark miokard.

Gastro

intestinal

Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang

kadang – kadang disertai darah, peristaltik

usus meninggi

20

Page 21: SKENARIO C BLOK 22

Kulit Urtika, angioedema, di bibir, muka atau

eksremitas

Mata Gatal, lakrimasi

Susunan saraf

pusat

Gelisah, kejang

1. Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edema setempat, tidak fatal.

2. Reaksi sitemik: biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, sistem kardiovaskular,

gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut timbul segera atau 30 menit setelah

terpapar antigen.

a. Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal – gatal di kulit dan mukosa,

bersin – bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen

b. Sedang: gejalanya lebih berat selain gejala diatas didapatkan bronkospasme,

edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah terpapar

antigen.

c. Berat: terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala seperti reaksi

tersebut diatas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edema laring, stridor,

sesak nafas, sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-

muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma. Kematian

disebabkan oleh edema laring dan aritmia jantung.

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2

organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu

menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and

Immunology telah membuat suatu kriteria.

1. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-

duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,

kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari

respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,

wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau

gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia).

21

Page 22: SKENARIO C BLOK 22

2. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak

setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit

hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya

bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,

pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak

nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);

penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya

nyeri abdominal, kram, muntah).

3. Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada

allergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok

anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah

(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada

orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

6.2 Diagnosis Kerja

Seorang wanita 30 tahun mengalami reaksi anafilaktik tipe moderate akibat alergi obat

amoksisilin.

6.3 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan yang dapat meyerupai reaksi anaflaksis yaitu reaksi vasovagal,

infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema herediter.

Reaksi Reaksi Vasovagal Reaksi Hipoglikemik Sindrom Angiodema

22

Page 23: SKENARIO C BLOK 22

Anafilaksis Neurotik Herediter

Lesu, lemah, rasa

tak enak yang

sukar dilukiskan,

rasa tak enak di

dada, di perut.

Pernafasan :

Sesak napas,

stridor,edema,

spasme

Lidah : edema

Gastrointestinal:

Disfagia, mual,

muntah, kolik,

diare yang kadang-

kadang disertai

darah.

Kulit:

Urtikaria,

angiodema,dll

Reaksi Vasovagal

sering dijumpai setelah

pasien mendapat

suntikan. Pasien tampak

mau pingsan, pucat dan

berkeringat.

Nadi lambat dan tidak

terjadi sianosis

Tekanan darah turun,

tetapi tidak terlalu

rendah.

Pasien tampak lemah,

pucat, berkeringat

sampai tak sadar.

Tekanan darah kadang-

kadang menurun.

Tidak dijumpai tanda-

tanda obstruksi saluran

napas.

Pemeriksaan kadar gula

darah dan pemberian

terapi glukosa

menyokong diagnosis

reaksi hipoglikemik

Menyerupai anafilaksis.

Sindrom ini ditandai

dengan angiodema

saluran napas bagian atas

dan sering dijumpai kolik

abdomen.

Tidak dijumpai kelainan

kulit atau kolaps

vaskuler.

Ada riwayat keluarga

yang mempunyai

sindroma ini disertai

penurunan kadar C1

esterase mendukung

adanya sindrom

angiodema

neuroherediter

6.4 Epidemiologi

Anafilaksis jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 5000 kematian

terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin.

Penisislin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002 % pemakaian. Penyebab reaksi

anafilaktoid yang tersering lainnya adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan

radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan

reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000 dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus

kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.

23

Page 24: SKENARIO C BLOK 22

6.5 Etiologi

Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa

asing. Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga,

makanan, dan obat-obatan. Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan

dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang

sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua. Olahraga atau suhu (panas atau

dingin) dapat juga memicu anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal

sebagai sel mast) melepaskan senyawa kimia yang memulai reaksi alergi.Anafilaksis

karena berolahraga biasanya juga berkaitan dengan asupan makanan tertentu. Bila

anafilaksis timbul saat seseorang sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah

obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat

penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks. Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak

diketahui (anafilaksis idiopatik).

Secara singkat, etiologi terjadinya reaksi anafilaktik sebagai berikut:

1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti: Insulin, vasopressin,

paratohormone

2. Enzim: Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase

3. Bahan-bahan tumbuhan: Alang-alang, rumput, pohon

4. Bahan-bahan bukan tumbuhan: Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba

laboratorium

5. Makanan: Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada

kapsul

6. Antiserum: Antilimsofitik Gamma Globulin

7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan: Bahan latex karet

8. Racun serangga: Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api

9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet

10. Golongan protamin dan antibiotika: Golongan Penisilin, amfotericin B,

nitrofurantoin, golongan kuinolon

11. Anastesi lokal: Prokain, lidokain

12. Relaksan otot: Suxamethonium, gallamine, pancuronium

13. Vitamin: Thiamin, asam folat

14. Agen untuk diagnostik: Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein

15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan: Etilen oksida

6.6 Patofisiologi

24

Page 25: SKENARIO C BLOK 22

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I

(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi

dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig

E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.

Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan

antigen yang sama sampai timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di

tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi

Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E

spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast

(Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan

reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam

tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya

reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,

bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah

preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel

yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa

waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah

waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas

mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin

memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet

activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas

vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil

dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan

aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan

tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada

hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang

membahayakan penderita.

25

Page 26: SKENARIO C BLOK 22

6.7 Penatalaksanaan dan Tindakan Preventif

Terapi Syok Anafilaksis

1. Penderita langsung dibaringkan.

2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.

3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi

kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi

dengan Dextrosa 5%.

4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,1 – 0,3 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,

ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.

5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10.000

6. Bisa diberikan obat alternatif seperti:

26

Page 27: SKENARIO C BLOK 22

a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama

20menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.

b. Kortikosteroid/hidrokortison, IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.

c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang efektif

terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.

Profilaksis/Pencegahan Syok Anafilaksis

Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian

obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat

kita lakukan, antara lain:

1. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.

2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai

riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap

kemungkinan terjadinya syok anafilaksis.

3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat

mentoleransi pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita

tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan

mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%

dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

4. Paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta adanya alat –alat

bantu resusitasi kegawatan.

6.8 Komplikasi

Komplikasi pada kasus ini yaitu dapat berakibat sampai kematian akibat obstruksi jalan

napas dan/atau syok. Kerusakan otak dan gangguan jantung juga dapat terjadi pada

kasus syok anafilaktik.

6.9 Prognosis

Quo ad Vitam: dubia ad bonam

Quo ad Fungsionam: dubia ad bonam

Apabila ditangani secara cepat dan tepat, maka prognosisnya akan baik.

27

Page 28: SKENARIO C BLOK 22

6.10 Kompetensi Dokter Umum

Pada kasus reaksi anafilaktik kompetensi dokter umum mencapai 4A.

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan

penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus

dokter.

28

Page 29: SKENARIO C BLOK 22

7. TOPIK PEMBELAJARAN (LEARNING ISSUES)

7.1 Reaksi Hipersensitivitas

7.2 Reaksi Anafilaktik

8. SINTESIS

8.1 Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe

reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi sendiri-

sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe

I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE à

pelepasan amino vasoaktif dan mediator

Anafilaksis, beberapa

bentuk asma bronkial

29

Page 30: SKENARIO C BLOK 22

lain dari basofil dan sel mast à rekrutmen

sel radang lain

II Antibodi terhadap

Antigen Jaringan

Tertentu

IgG atau IgM berikatan dengan antigen

pada permukaan sel à fagositosis sel target

atau lisis sel target oleh komplemen atau

sitotosisitas yang diperantarai oleh sel

yang bergantung antibody

Anemia hemolitik

autoimun,

eritroblastosis fetalis,

penyakit Goodpasture,

pemfigus vulgaris

III Penyakit

Kompleks Imun

Kompleks antigen-antibodi à

mengaktifkan komplemen à menarik

perhatian nenutrofil à pelepasan enzim

lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-

lain

Reahsi Arthua, serum

sickness, lupus

eritematosus sistemik,

bentuk tertentu

glomerulonefritis akut

IV Hipersensitivitas

Selular (Lambat)Limfosit T tersensitisasi à pelepasan

sitokin dan sitotoksisitas yang

Tuberkulosis, dermatitis kontak,

diperantarai oleh sel T

penolakan transplan

Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat

Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai

reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali

digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi

kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih.

Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel

Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat

oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil dan eosinofil. Bila tubuh

terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik) pada

permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan

berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan

gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

30

Page 31: SKENARIO C BLOK 22

Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial,

rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan

leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari

reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.

Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik

Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk antiobdi jenis IgG

atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibody dengan antigen yang

merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis.

Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell

Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalh destruksi sel darah merah akibat reaksi transfuse

dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan

jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan

melalui mekanisme reaksi tipe II.

Reaksi tipe III (Reaksi Kompleks – Toksik)

Pada reaksi ini, maka antigen maupun antibodinya berada dalam keadaan bebas di dalam sirkulasi

darah. Apabila keduanya bereaksi akan timbul suatu kompleksium. Reaksi tipe III ini atau reaksi

kompleks – toksik tidak lain adalah reaksi alergik yang timbul sebagai manifestasi terbentuknya

kompleksium antara antigen dengan antibodi (IgG atau IgM), serta terjadinya aktivasi komplemen,

dan kompleks ini membentuk deposit di jaringan tubuh, reaksi ini disebut Phenomena Arthus.

Reaksi tipe IV (Reaksi Selular)

Reaksi ini terjadi oleh karena sel limfosit yang tersensitasi bereaksi secara spesifik dengan antigen

tertentu sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi inflitrasi limfosit dan monosit

(makrofag) serta membentuk indurasi jaringan pada daerah tempat antigen tersebut. Respon

terhadap tes kulit ini antara 24-48 jam.

Gambaran Umum Reaksi Alergi Obat

Obat sebagai Imunogen (Reaksi Cepat-IgE)

31

Page 32: SKENARIO C BLOK 22

Alergi obat merupakan 40 % dari reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction). Pada

umumnya obat memiliki berat molekul (BM) < 1 kDa sehingga tidak merupakan antigen lengkap.

Penisilin dengan BM sekitar 300, in vivo (sebagai hapten) akan segera diikat oleh protein carrier

seperti imunoglogulin sehingga merupakan imunogen yang mampu merangsang sistem imun dan

mengakibatkan reaksi alergi. Beberapa obat lain memiliki BM tinggi dan dengan sendirinya sudah

merupakan imunogen tanpa harus diikat terlebih dahulu oleh protein carrier misalnya Streptokinase,

Insulin, Chymopapain, dan Lasparaginase.

Reaksi alergi obat seperti reaksi alergi pada umumnya, terjadi melalui IgE (spesifik). Pada orang

alergi IgE tersebut ditemukan bebas dalam serum dan juga pada permukaan sel mastosit yang

mengikatnya melalui reseptor untuk IgE. Sel mastosit ditemukan di kulit saluran nafas dan saluran

cerna. Imunoglobulin E dapat diperiksa pada sel mastosit dikulit tersebut dengan tes kulit dan IgE

dalam serum melalui berbagai cara (ELISA dan RAST). Pada alergi obat seperti hal penisilin, tes

kulit dapat digunakan.

Sel mastosit yang sudah mengikat IgE pada permukaannya menjadi reaktif (tersensitasi) dan akan

mudah dirangsang bila terpapar ulang dengan alergi yang sama. Akibat ikatan tersebut, sel mastosit

melepaskan mediator – mediatornya yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi

hipersensitivitas tipe I menurut GELL dan COMBS.

Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE kemudian diikat oleh

sel mastosit / basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama,

maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mastosit. Akibat

ikatan antigen IgE, sel mastosit yang mengalami degranulasi dan melepas mediator yang

”Prefomed” antara lain histamin yang menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.

Reaksi Cepat Non-IgE

Sel mastosit dapat pula melepaskan mediator – mediatornya tanpa harus disensitasi terlebih dahulu

oleh antigen. Reaksi tersebut disebut reaksi cepat non IgE / tanpa bantuan IgE yang disebut reaksi

anafilaktoid atau pseudo – alergi. Berbagai obat dan faktor dapat merangsang sel mast langsung

atau tidak langsung untuk melepas mediator – mediatornya dan menimbulkan gejala seperti alergi.

Contoh – contoh :

Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor

Antagonis cyclooxygenase lain

32

Page 33: SKENARIO C BLOK 22

Aspirin

Imunoglobulin

Iron dextran

Kontras

Opiat

Plasma

Protamin

Trombosit

Vancomycin

Pada reaksi aspirin, asam arakinoid dimetabolisir melalui jalur 5 – lypoxygenase sehingga terbentuk

leukotrin LTD 4 dengan sifat bronkokonstriktor. Kebenaran teori tersebut ditunjang oleh fakta

bahwa reaksi aspirin yang dapat menimbulkan gejala saluran nafas, hidung, kulit dan saluran cerna

dapat dicegah oleh zileuton yang merupakan inhibitor dari 5 – lypoxygenase.

8.2 Reaksi Anafilaktik

Definisi

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE

(hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri yang menurun hebat.

Hal ini disebabkan oleh adanya suatu Reaksi Antigen-Antibodi yang timbul segera setelah

suatu antigen yang sensitif untuk seseorang telah masuk dalam sirkulasi.

Secara harafiah, anafilaktik berasal dari kata ana = balik; phylaxis = perlindungan. Dalam

hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan,

dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis = anaphylaxis). Istilah ini

pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier pada tahun 1902 untuk menerangkan

terjadinya renjatan yang disusul dengan kematian pada anjing yang disuntik bisa anemon

laut. Pada suntikan pertama tidak terjadi reaksi, tetapi pada suntikan berikutnya sesudah

beberapa hari terjadi reaksi sistemik yang berakhir dengan kematian.

33

Page 34: SKENARIO C BLOK 22

Renjatan anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik yang berat dengan

tanda-tanda kolaps vaskular dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi ini terjadi

akibat pengeluaran mediator mastosit jaringan atau basofil darah perifer yang

mengakibatkan vasodilatasi umum pembuluh darah perifer dan peningkatan permeabilitas.

Akibatnya terjadi kebocoran cairan ke jaringan sehingga volume darah efektif menurun,

disamping hipoksemia dan disfungsi ventrikel.

Reaksi anafilaktik terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi oleh IgE

spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini dapat diperberat dan

diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh sel-sel radang yang tertarik ke

lokasi reaksi. Reaksi anafilaktik timbulnya tiba-tiba, tidak terduga dan potensial mematikan,

serta memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu harus dimengerti dan

selalu diwaspadai.

Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu :

1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar

dengan alergen.

2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan

alergen.

3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi > 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Etiologi Syok Anafilaksis

Banyak material yang dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaksis, yaitu :

1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti : Insulin, vasopressin, paratohormone

2. Enzim : Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase

3. Bahan-bahan tumbuhan :Alang-alang, rumput, pohon

4. Bahan-bahan bukan tumbuhan : Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba

laboratorium

5. Makanan : Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul

6. Antiserum : Antilimsofitik Gamma Globulin

7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan : Bahan latex karet

8. Racun serangga : Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api

9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet

10. Golongan protamin dan antibiotika : Golongan Penisilin, amfotericin B,

nitrofurantoin, golongan kuinolon

11. Anastesi lokal : Prokain, lidokain

12. Relaksan otot : Suxamethonium, gallamine, pancuronium

34

Page 35: SKENARIO C BLOK 22

13. Vitamin : Thiamin, asam folat

14. Agen untuk diagnostik : Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein

15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan : Etilen oksida

Dengan melihat ada begitu banyak alergen yang dapat menyebabkan atau mencetuskan syok

anafilaksis, maka dari itu, khusus untuk pemberian terapi (obat-obatan) sebaiknya dilakukan

’skin test’ terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis tersebut. Teknik

pelaksanaan skin test, antara lain :

a. Fiksasi daerah follar antebrachi

b. Suntikkan 0,02 ml intra-kutan, obat yang akan digunakan dalam pengobatan

nantinya

c. Lalu buat lingkaran dengan diameter ± 2 cm mengelilingi daerah suntikan

d. Tunggu ± 15 menit untuk melihat apakah terjadi pembesaran melebihi daerah

lingkaran yang dibuat (dianggap dapat mengkibatkan anafilaksis bila lingkaran

kemerahan akibat suntikan mencapai 1 inci = 2,54 cm)

Patogenesis

Berbagai manifestasi klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik

pada umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/ basofil baik yang timbul

segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan ( sesudah

beberapa jam).

Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya, mekanismenya

dapat melalui reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis). Pada pajanan alergen,

alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti makrofag, sel dendritik, sel

langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa

sitokin ke sel T-Helper melalui MHC kelas II. Sel T-Helper kemudian aktif dan

mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan peralihan

menjadi sel plasma yg kemudian menghasilkan antibodi termasuki IgE lalu melekat pada

permukaan basofil, mastosit dan sel B sendiri. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan

ulang dengan alergen yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang

melekat pada mastosit/basofil, ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang

mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat. Mediator

tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permeabilitas kapiler, bronkospasme,

kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi klinik reaksi anafilaktik

berupa urtikaria, angioedema, edema laring, asma, mual/muntah, kram usus, dan renjatan

35

Page 36: SKENARIO C BLOK 22

yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya disebut reaksi

anafilaktik.

Gambaran klinik

Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas

dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan

alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat

dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau

lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saaraf pusat dan sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan

ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada

tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Gejala yang timbul pada organ ialah :

- Kardiovaskuler

Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat

dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih

bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah,

vena perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume

efektif plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat

ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.

- Respirasi

Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk , sesak,

mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema

dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing

dispnea, dan kegagalan pernafasan.

- Gastrointestinal

Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,

diare.

- Kulit : Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.

- Mata : Gatal , lakrimasi, merah, bengkak.

- Susunan saraf pusat : Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.

- Sistem saluran kencing : Produksi urin berkurang.

Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible.

36

Page 37: SKENARIO C BLOK 22

Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok Anafilaksis

masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut :

a. Ringan

1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.

2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata berair.

3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.

b. Sedang

1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema

jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.

2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.

3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.

c. Parah

1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama

seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah

bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.

2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.

3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.

Secara sederhana gajala & tanda syok anafilaktik tertera pada tabel dibawah ini :

 Tanda dan gejala Keterangan

Tekanan darah Turun sampai sangat turun

Tekanan nadi Turun sampai sangat turun

Denyut nadi Meningkat sampai sangat meningkat

Isi nadi Normal atau kecil

Vasokonstriksi perifer Meningkat

Suhu kulit Dingin

Warna Normal atau pucat

Tekanan vena sentral Normal atau rendah

Diuresis Tidak ada

EKG Normal

Foto paru Normal

Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :

1. Reaksi vasovagal

37

Page 38: SKENARIO C BLOK 22

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,

pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal

nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih

mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.

2. Infark miokard akut

Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa

penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda

obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

3. Reaksi hipoglikemik

Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien

tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang

menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi

anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

4. Reaksi histeris

Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis.

Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas

dijumpai pada reaksi anafilaksis.

5. Carsinoid syndrome

Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,

serangan sesak napas seperti asma.

6. Chinese restaurant syndrome

Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit

setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa

menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak

berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.

7. Asma bronchial

Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi

ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan

makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.

8. Rhinitis alergika

Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang

hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di

udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.

Terapi Syok Anafilaksis

38

Page 39: SKENARIO C BLOK 22

1. Penderita langsung dibaringkan.

2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.

3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi

kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi dengan

Dextrosa 5%.

4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,3 – 0,5 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,

ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.

5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10.000

6. Bisa diberikan obat alternatif seperti :

a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama

20 menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.

b. Kortikosteroid/hidrokortison , IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.

c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang

efektif terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.

Profilaksis Syok Anafilaksis

Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat,

tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita

lakukan, antara lain:

4. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.

5. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat

alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan

terjadinya syok anafilaksis.

6. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi

pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami

reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan

terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

7. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta adanya alat –alat bantu

resusitasi kegawatan.

39

Page 40: SKENARIO C BLOK 22

9. KERANGKA KONSEP

10. KESIMPULAN

Wanita 30 tahun, karyawan swasta diduga mengalami reaksi anafilaktik tipe moderate akibat obat

alergi amoksisilin.

40

Riwayat pemakaian amoxicilin

Kompleks IgE pada sel Mast/Basofil

Penggunaan amoksisilin dan paracetamol

Faktor Resiko wanita, usia, riwayat atopi personal/keluarga

Reaksi silang Ag-Ab

Pelepasan granul sel mast dan basofil

Pelepasan mediator vasoaktif (performed mediator) : histamine, ECF-A,NCF-A , TNF-a dll

Degradasi asam arakidonat dari membran sel

Terbentuk newly formed mediator (PG, leukotrien, tromboksen)

Reaksi Anafilaksis

Gejala klinis: sesak napas, wheezing, tachipneu, takikardi,

diare, batuk, bising usus meningkat, urtikaria.

Page 41: SKENARIO C BLOK 22

DAFTAR PUSTAKA

1. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. IV. Jakarta: FKUI.

2. Baratawidjaja, Karnen G. dkk. 2014. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

3. Dorland, W. A.Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

4. HauptMT, Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care. Eds : Ake

Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders companyPhiladelpia-

Tokyo.pp246-56

5. Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya. Jurnal Kedokteran

Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.

6. Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis alergi. Maj. Kedokter

Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.

7. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International edition

Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-

Toronto.pp 242-6

8. Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2000. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: EGC

9. Panduan Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI Jakarta 2000, 17-18.

10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid I, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

11. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Edisi 6. Jakarta: EGC.

12. Rab, Prof.Dr. H tabrani. Pengatasan shock, EGC Jakarta 2000, 153-161.

13. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on Shock.Pertemuan

Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.

14. Djauzi S., Sundaru H., Mahdi D., Sukmana N. 2007. Alergi Obat. Dalam: Sudoyo, Aru W.

Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 251-4

15. Istiantoro Y.H. dan Gan V.H.S. 2007. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya.

Dalam Gunawan S.G. Farmakologi dan Terapi Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 664; 670-1

16. Purwadianto A., Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara. Pp: 47-

9; 56-7

41

Page 42: SKENARIO C BLOK 22

17. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru

W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI. Pp: 190-2

42