skenario c blok 22
DESCRIPTION
skenario c blok 22TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO C BLOK 22
Disusun Oleh: KELOMPOK 5
Wahyudo Imami Muhamad 04121401016
Ramitha Yulisman 04121401036
Putri Beauty Oktovia 04121401037
Vina Chanthyca Ayu 04121401043
Dita Nurfitri Zahir 04121401047
M Tata Suharta 04121401053
Marisabela Oktaviani Lintang 04121401056
Iqbal Habibie 04121401063
Rina Novitriani 04121401092
Aji Muhammad Iqbal 04121401094
Tutor : dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario C Blok 22”
sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,
nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai
akhir zaman.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat
bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan
terimakasih kepada:
1. Allah SWT, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc selaku tutor kelompok 5,
3. teman-teman sejawat FK Unsri,
4. semua pihak yang telah membantu kami.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua
orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.
Palembang, 24 Desember 2014
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………….………………………… 2
KEGIATAN TUTORIAL..……………………………….……. 4
1. SKENARIO ………………………………............................. 5
2. KLARIFIKASI ISTILAH ……….………………………….. 5
3. IDENTIFIKASI MASALAH……….……………………….. 6
4. PRIORITAS MASALAH …………………………………… 7
5. ANALISIS MASALAH ..…………………………………… 8
6. TEMPLATE…………………………………………………. 19
7. TOPIK PEMBELAJARAN …………….…………………… 29
8. SINTESIS …………..…...………………………………..…. 29
8.1 REAKSI HIPERSENSITIVITAS........…………..……... 29
8.2 REAKSI ANAFILAKTIK………..…………………….. 33
9. KERANGKA KONSEP ………..………….……………..…. 40
10. KESIMPULAN ……………………………………………. 40
11. DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………….. 41
3
KEGIATAN TUTORIAL
Tutor : dr. Liniyanti D Oswari M.N.S,MSc
Moderator : Putri Beauty Oktovia
Sekretaris Meja 1 : Marisabela Oktaviani Lintang
Sekretaris Meja 2 : Dita Nurfitri Zahir
Pelaksanaan : 22 Desember 2014 dan 24 Desember 2014
13.00-15.00 WIB
Peraturan selama tutorial :
1. Sebelum nyampaikan pendapat harus mengacungkan tangan
2. Alat komunikasi dan gadget hanya boleh digunakan untuk keperluan diskusi, namun dalam
mode silent dan tidak mengganggu berlangsungnya diskusi
3. Minum diperbolehkan, namun tidak untuk makan
4. Bila ingin izin keluar, diharapkan melalui moderator
4
1. SKENARIO
Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas sejak 6 jam yang
lalu. Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat ke
dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah makan obat muncul
bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan. Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah
atau lendir, timbul batuk disertai sesak nafas. Pasien pernah makan obat amoksisilin dan
parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu
mempunyai penyakit dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler; frekuensi nafas
28x/menit; suhu 37,8°C.
Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat, turgor baik
Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria
Pemeriksaan Penunjang :
Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL, kreatinin
0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L
2. KLARIFIKASI ISTILAH
2.1 Sesak nafas: Dyspnea; Pernafasan yang sukar
2.2 Demam: Suatu keadaan suhu tubuh melebihi 37,5°C
2.3 Amoksisilin: Turunan semi sintetik ampicilin yang efektif terhadapa spektrum luas
bakteri gram positif dan negatif.
2.4 Parasetamol: analgetik dan antipiretik yang mempunyai efek serupa dengan aspirin
tetapi hanya sedikit memiliki efek anti inflamasi.
2.5 Bentol: benjolan di permukaan kulit akibat garukan atau gatal.
2.6 Diare: Pengeluaran tinja berair berkali-kali yang tidak normal.
2.7 Batuk: Ekspulsi udara yang tiba-tiba dari paru-paru.
2.8 Asma: Serangan dispnea paroksimal berulang akibat kontraksi spasmodik bronki
2.9 Dermatitis Atopi: Kelainan kulit yang merupakan peradangan kronik, bersifat pruritik
dan eksematosa pada individu dengan predisposisi herediter terhadap pruritus pada kulit.
5
2.10 Wheezing: Suara pernafasan berfrekuensi tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang
melalui saluran nafas yang sempit.
2.11 Urtikaria: Reaksi vaskuler lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan gambaran
sementara bercak ( bentol ) yang agak menonjol dan lebih merah atau lebih pucat dari
pada kulit sekitarnya disertai gatal yang hebat.
3. IDENTIFIKASI MASALAH
3.1. Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas sejak 6 jam
yang lalu.
3.2. Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat ke
dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah makan obat
muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan.
3.3. Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai sesak nafas.
3.4. Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti saat
ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai penyakit dermatitis atopi.
Riwayat asma pada pasien disangkal.
3.5. Pemeriksaan fisik :
Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler; frekuensi
nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.
Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat, turgor
baik
Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria
3.6. Pemeriksaan Penunjang :
Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL,
kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.
6
4. PRIORITAS MASALAH
MASALAHPRIORITAS
MASALAH
Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak
napas sejak 6 jam yang lalu.VVV
Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien
berobat ke dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas
jam setelah makan obat muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan
badan.
VV
Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai
sesak nafas.VV
Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan
seperti saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai
penyakit dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.
V
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit,
reguler; frekuensi nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.
Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus
meningkat, turgor baik
Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria
V
Pemeriksaan Penunjang :
Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18
mg/dL, kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.
V
7
5. ANALISIS MASALAH
5.1 Seorang wanita, 30 tahun, karyawan swasta, datang ke UGD karena sesak napas
sejak 6 jam yang lalu.
5.1.1 Apa hubungan antara jenis kelamin, usia dan pekerjaan dengan keluhan
yang dialami?
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa
muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang
terjadi. Sedangkan untuk pekerjaan, tidak ada hubungannya dengan keluhan yang
dialaminya.
5.1.2 Bagaimana Etiologi dan Patofisiologi dari sesak nafas?
Etiologi:
Sesak nafas karena faktor keturunan. Yang memang memiliki paru-paru dan
organ pernafasan lemah. Ditambah kelelahan bekerja dan gelisah, maka bagian-
bagian tubuh akan memulai fungsi tidak normal. Kabar baiknya, ini tidak
otomatis membuat tubuh menderita, sebab secara alami akan melindungi diri
sendiri. Namun demikian, sistem pertahanan bekerja ekstra, bahkan kadang-
kadang alergi dan asma timbul sebagai reaksi dari sistem pertahanan tubuh yang
bekerja terlalu keras.
Sesak nafas karena faktor lingkungan. Udara dingin dan lembab dapat
menyebabkan sesak nafas. Demikian pula dengan serbuk sari bunga (pollen) dan
partikel lain. Bekerja di lingkungan berdebu atau asap dapat memicu sesak nafas
berkepanjangan. Polusi pada saluran hidung disebabkan pula oleh rokok yang
dengan langsung dapat mengurangi suplai oksigen.
Sesak nafas karena produksi lendir yang berlebihan akan menyumbat
saluran pernafasan. Makanan yang menyebabkan produksi lendir berlebih
adalah produk dari susu, tepung, nasi putih, dan permen.
Sesak nafas karena kurangnya asupan cairan. Sesak Nafas karena kurangnya
asupan cairan sehingga lendir pada paru-paru dan saluran nafas mengental.
Kondisi ini juga menjadi situasi yang menyenangkan bagi mikroba untuk
berkembang biak.
8
Masalah pada susunan tulang atau otot tegang pada punggung bagian atas
akan menghambat sensor syaraf dan bioenergi dari dan menuju paru-paru.
Sesak nafas karena ketidakstabilan emosi. Orang-orang yang gelisah, depresi,
ketakutan, rendah diri cendertung untuk sering menahan nafas. Atau justru
menarik nafas terlalu sering dan dangkal sehingga terengah-engah. Dalam waktu
yang lama, kebiasaan ini berpengaruh terhadap produksi kelenjar adrenal dan
hormon, yang berkaitan langsung dengan sistem pertahanan tubuh. Kurang
pendidikan bisa juga menyebabkan sesak nafas. Pengetahuan akan cara bernafas
yang baik dan benar akan bermanfaat dalam jangka panjang baik terhadap fisik
maupun emosi seseorang.
Mekanisme:
Alergen masuk ditangkap oleh APC APC mempresentasikan antigen tersebut
kepada Sel Th0 Th0 akan mengaktifkan sel Th2 dan akan mensekresi sitokin
(IL4,IL13) menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel mast dan basofil
Alergen yang sama masuk diikat oleh IgE spesifik yang berikatan dengan sel
mast sel mast (di jaringan) dan basofil (di darah) pecah dan melepas isinya yang
berupa granula memicu terjadinya reaksi segera dengan pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin, bahan vasoaktif dari granul
berupa performed mediator menghasilkan amin vasoaktif bronkokonstriksi
dan hipersekresi mukus sesak nafas
5.2 Tiga hari yang lalu pasien mengeluh demam, pada hari kedua demam pasien berobat
ke dokter dan mendapat obat amoksisilin dan parasetamol. Dua belas jam setelah
makan obat muncul bentol disertai gatal pada ke dua lengan dan badan.
5.2.1 Bagaimana mekanisme obat amoksisilin dan parasetamol dapat
menyebabkan bentol dan gatal pada pasien ini?
Alergen (amoksisilin lebih sering menyebabkan anafilaksis dibandingkan
parasetamol) yang masuk ke dalam darah akan dikenali oleh APC di mukosa
maupun darah. APC selanjutnya akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2.
Sel Th2 akan mengeluarkan sitokin-sitokin (seperti IL 4 dan IL 13) yang akan
9
memicu sel memori (limfosit B) menghasilkan IgE. Saat alergen kembali muncul,
maka alergen akan langsung berikatan dengan IgE tersebut. Ikatan antigen-antibodi
IgE itu akan mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator
anafilaksis (disebut juga peristiwa degranulasi sel mast), seperti histamin,
eikosanoid, prostaglandin D2, trombosit-activating factor, bradikinin, leukotrien C4,
D4 & E4, dan sebagainya. Pelepasan histamin kemudian menyebabkan berbagai
reaksi tubuh seperti gatal, bentol, bengkak, sesak nafas, bahkan dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran pada syok anafilaktik akibat terjadi pelepasan histamin yang
sangat banyak dan mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah secara
drastis.
5.2.2 Apa saja indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari amoksisilin dan
parasetamol?
Amoksisilin
Dosis:
Dewasa: 250- 500 mg tiap 8 jam.
Anak: 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis
Indikasi:
- Infeksi saluran pernafasan kronik dan akut: pneumonia, faringitis (tidak untuk
faringitis gonore), bronkitis, langritis.
- Infeksi saluran cerna: disentri basiler.
- Infeksi saluran kemih: gonore tidak terkomplikasi, uretritis, sistitis, pielonefritis.
- Infeksi lain: septikemia, endokarditis.
Kontraindikasi: Pasien dengan reaksi alergi terhadap penisilin.
Efek Samping:
Pada pasien yang hipersensitif dapat terjadi reaksi alergi seperti urtikaria, ruam kulit,
pruritus, angioedema dan gangguan saluran cerna seperti diare, mual, muntah,
glositis dan stomatitis.
Paracetamol
10
Dosis:
Untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam, dosis parasetamol dewasa 325 –
650 mg setiap 4 jam atau 500 mg setiap 8 jam. Dosis anak adalah 10 – 15 mg/kgBB,
dapat diberikan setiap 4 jam (maksimal 5 dosis dalam 24 jam). Dosis maksimal
akumulatif parasetamol adalah 4 gram per hari. Efek parasetamol mulai muncul 30 –
60 menit setelah konsumsi dan bertahan selama 4 jam.
Indikasi:
Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal.
Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit
gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot. Menurunkan demam pada influenza dan
setelah vaksinasi.
Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glokose-6-fosfat dehidrogenase.
Tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati.
Efek Samping:
Efek samping jarang ditemukan. Dapat berupa gejala ringan seperti pusing, sampai
efek samping berat seperti gangguan ginjal, gangguan hati, reaksi alergi dan
gangguan darah.
Reaksi alergi dapat berupa bintik-bintik merah pada kulit, biduran, sampai reaksi
alergi berat yang mengancam nyawa. Gangguan darah dapat berupa perdarahan
saluran cerna, penurunan kadar trombosit dan leukosit, serta gangguan sel darah
putih.
5.2.3 Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik dari amoksisilin dan
parasetamol?
Amoksisilin
Farmakokinetik
1. Absorpsi
Amoxicillin hampir lengkap diabsorbsi sehingga konsekuensinya
Amoxicillin tidak cocok untuk pengobatan shigella atau enteritis karena
11
salmonella, karena kadar efektif secara terapetik tidak mencapai organisme
dalam celah intestinal.
Amoxicillin stabil pada asam lambung dan terabsorpsi 74-92% di saluran
pencernaan pada penggunaan dosis tunggal secara oral. Nilai puncak konsentrasi
serum dan AUC meningkat sebanding dengan meningkatnya dosis. Efek terapi
Amoxicillin akan tercapai setelah 1-2 jam setelah pemberian per oral. Meskipun
adanya makanan di saluran pencernaan dilaporkan dapat menurunkan dan
menunda tercapainya nilai puncak konsentrasi serum Amoxicillin, namun hal
tersebut tidak berpengaruh pada jumlah total obat yang diabsorpsi.
2. Distribusi
Distribusi obat bebas ke seluruh tubuh baik. Amoxicillin dapat melewati
sawar plasenta, tetapi tidak satupun menimbulkan efek teratogenik. Namun
demikian, penetrasinya ke tempat tertentu seperti tulang atau cairan
serebrospinalis tidak cukup untuk terapi kecuali di daerah tersebut terjadi
inflamasi. Selama fase akut (hari pertama), meningen terinflamasi lebih
permeabel terhadap Amoxicillin, yang menyebabkan peningkatan rasio sejumlah
obat dalam susunan saraf pusat dibandingkan rasionya dalam serum. Bila infeksi
mereda, inflamasi menurun maka permeabilitas sawar terbentuk kembali.
3. Eliminasi
Jalan utama ekskresi melalui system sekresi asam organik (tubulus) di ginjal,
sama seperti melalui filtrate glomerulus. Penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan.
Farmakodinamik
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6
aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai
daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif.
Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan, Streptococcus
faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp, Staphylococcus aureus,
Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif: Neisseira gonorrhoeae,
Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia
coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella sp.
Parasetamol
12
Farmakokinetik
Paracetamol mudah diserap melalui saluran pencernaan. Paracetamol
didistribusikan kehampir seluruh cairan tubuh melintasi plasenta dan keluar melalui
ASI. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik normal,
namun dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Waktu paruh eliminasi dari
paracetamol bervariasi antara 1-3 jam. Kadar maksimum paracetamol dalam plasma
dicapai dalam waktu 30 menit setelah pemberian.
Paracetamol dimetabolisme terutama dihati dan diekskresikan dalam urin
terutama sebagai glukuronida dan sulfat konjugat. Kurang dari 5% diekskresikan dan
masih dalam bentuk paracetamol.Sebuah metabolit dihidroksilasi kecil (N-acetyl –p
benzokuinoneimine), biasanya diproduksi dalam jumlah sangat kecil oleh sitrokom
P450 isoenzim (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) dihati dan ginjal. Hal ini biasanya
didetoksifikasi oleh konjugasi dengan glukation tetapi mungkin menumpuk setelah
over dosis paracetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan.
Farmakodinamik
Efek analgesik paracetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti
inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu paracetamol tidak digunakan sebagai
antireumatik. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini,
demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.
5.2.4 Bagaimana mekanisme demam pada kasus?
Substansi penyebab demam adalah pirogen. Pirogen dapat berasal dari
eksogen maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh sedangkan
pirogen endogen berasal dari dalam tubuh. Pirogen eksogen, dapat berupa infeksi
atau non-infeksi, akan merangsang sel-sel makrofag, monosit, limfosit, dan endotel
untuk melepaskan interleukin (IL)-1, IL-6, Tumor Necrosing Factor (TNF)-α, dan
interferon (IFN)-γ yang selanjutnya akan disebut pirogen endogen/sitokin. Pirogen
endogen ini, setelah berikatan dengan reseptornya di daerah preoptik hipotalamus
akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2, yang selanjutnya
melepas asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan kemudian oleh enzim
siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). 13
Rangsangan prostaglandin inilah, baik secara langsung maupun melalui pelepasan
AMP siklik, menset termostat pada suhu tubuh yang lebih tinggi. Hal ini merupakan
awal dari berlangsungnya reaksi terpadu sistem saraf autonom, sistem endokrin, dan
perubahan perilaku dalam terjadinya demam (peningkatan suhu).
5.3 Pasien juga mengeluhkan diare tanpa darah atau lendir, timbul batuk disertai sesak
nafas.
5.3.1 Apa makna dari diare tanpa darah atau lendir dan batuk pada kasus ini?
Diare tanpa darah ataupun lendir menunjukkan bahwa diare tersebut bukan
disentri ataupun karena adanya kerusakan pada saluran cerna. Pada reaksi anafilaksis
diare yang terjadi diakibatkan oleh adanya kontraksi otot polos oleh karena
pelepasan mediator-mediator dari sel mast. Gerak peristaltik usus yang berlebihan
inilah yang menyebabkan timbulnya diare pada pasien tanpa disertai darah ataupun
lendir.
Begitu pula dengan batuk, bahwa selain kontraksi otot-otot polos. Efek
pelepasan mediator-mediator yang dikeluarkan sel mast adalah merangsang
pengeluaran mukus terutama pada saluran pernafasan. Akibat sekresi mukus yang
berlebihan tersebut, tubuh berusaha mengeluarkan mukus tersebut melalui
mekanisme batuk.
5.4 Pasien pernah makan obat amoksisilin dan parasetamol tetapi tak ada keluhan seperti
saat ini. Riwayat asma dimiliki oleh adik pasien dan ibu mempunyai penyakit
dermatitis atopi. Riwayat asma pada pasien disangkal.
5.4.1 Bagaimana hubungan riwayat asma pada adik pasien dan penyakit dermatitis
atopi yang dipunyai ibu pasien dengan keluhan yang dialami?
Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk mengembangkan respon
imun dalam bentuk reaksi alergi sudah terbentuk sejak masa gestasi. Berbagai region
kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada kromosom
5,6,11,12,13,16. Berbagai lokus genetic mempunyai asosiasi dengan penyakit alergi
antara lain tiga lokus yang berhubungan dengan asma dan dermatitis atopi yaitu
5q31-33, 11q13 dan 13q12-14. Kromosom 5q31-36 yang mengandung gen sitokin
IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th-2 menunjukkan
peran penting faktor genetic pada penyakit alergi.
14
Kromosom 5q telah diketahui memiliki peranan pada pelepasan sitokin yang
mempengaruhi produksi IgE. Daerah MHC kromosom 6 telah menunjukkan
konsistensi terkait fenotipe dalam beberapa studi dan menjadi lokus utama dalam
mempengaruhi penyakit alergi yang berperan dalam pengenalan allergen, sedangkan
kromosom 11 yang berperan sebagai reseptor IgE dengan afinitas kuat pada mastosit.
Atopi adalah kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE antibodi terpapar
alergen. Suatu studi epidemiologi keluarga menyokong kejadian alergi, bahwa faktor
genetik berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua mempunyai
penyakit alergi, maka 25-40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua
mempunyai alergi, maka resiko pada anak adalah 50-70%.
5.4.2 Apa makna riwayat makan obat yang sama (amoksisilin dan parasetamol)
tetapi tidak ada keluhan seperti sekarang?
Pada kasus ini, pasien mengalami reaksi anafilaksis yang mana reaksi ini didasari
oleh adanya hipersensitifitas tipe 1. Hipersensitivitas tipe 1 ini diperantarai oleh IgE.
Didalam perjalanannya, seseorang yang memiliki hipersensitivitas ini tidak akan
langsung menimbulkan gejala saat terpapar oleh antigen yang mana dalam kasus kita
adalah amoksisilin. Ada beberapa fase yang akan terjadi:
a. Fase sensitisasi: yaitu fase dimana terjadinya pembentukan IgE, fase ini
membutuhkan waktu dan dapat terjadi berulang.
b. Fase aktivasi: Pada fase inilah sebenarnya yang telah terjadi pasien yang
menunjukkan gejala alergi. Fase ini merupakan fase dimana terjadinya paparan
ulang antigen spesifik dimana paparan ulang tersebut yang akan merangsang
aktivasi sel mast/basofil yang akan mengeluarkan mediator-mediator berupa
granul dan medapat menimbulkan reaksi.
c. Fase efektor: yaitu fase terjadinya respon imun yang komplek akibat pelepasan
mediator.
Hal inilah yang menyebabkan riwayat makan obat yang sama sebelumnya, tetapi
tidak menimbulkan gejala apapun pada pasien.
5.5 Pemeriksaan Fisik:
15
Kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg; frekuensi nadi 110x/menit, reguler;
frekuensi nafas 28x/menit; suhu 37,8°C.
Thoraks : jantung/paru: wheezing pada kedua lapangan paru
Abdomen : datar, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, bising usus meningkat,
turgor baik
Ektremitas : Kulit: gambaran urtikaria
5.5.1 Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan Kasus Nilai Normal Interpretasi
Keadaan umum:
- Kesadaran Compos mentis Compos mentis Normal
Vital sign:
- TD
- RR
- Nadi
- Temp
120/80 mmHg
28 x/menit
110 x/menit
37,8 oC
120/80 mmHg
16-24 x/menit
60-100 x/menit
36,5-37,5 oC
Normal
Meningkat, Akibat pelepasan
mediator sel mast/basophil
(histamine)
Meningkat,
terjadi mekanisme
kompensasi untuk
meningkatkan cardiac output
dan memperbaiki perfusi ke
jaringan serta organ-organ
vital
Subfebris
Thoraks Wheezing pada
kedua lapangan
paru
- Abnormal
Akibat bronkospasme dan
hipersekresi mukus pada
saluran pernafasan
Abdomen:
- Bentuk Datar Datar Normal
- Kekuatan Lemas Kuat/ Normal Abnormal
16
otot perut
- Turgor Baik Baik Normal
- Hepar/
Lien
Tidak teraba Tidak teraba Normal
- Bising
usus
Meningkat 3-5 x/menit Akibat gerakan peristaltik
yang meningkat
Ekstremitas:
- Kulit Gambaran
urtikaria
Normal Akibat pelepasan mediator
sel mast/basofil berupa
histamin.
Frekuensi nadi: Takikardia
Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) vasodilatasi tahanan pembuluh darah perifer
menurun Hipovolemia relative terjadi mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan cardiac output dan memperbaiki perfusi ke jaringan serta organ-organ
vital frekuensi jantung meningkat frekuensi denyut nadi juga meningkat
Frekuensi napas: Takipneu
Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
Pelepasan dari histamine oleh sel mast/basofil kontraksi dari otot polos pada
bronkus spasme bronkus sesak napas
Wheezing pada kedua lapangan paru
Allergen (amoksisilin) berikatan dengan IgE spesifik di sel mast/basofil
terlepasnya mediator (histamine) kontraksi dari otot polos pada bronkus
spasme bronkus terdengar wheezing pada pemeriksaan
Urtikaria:
Pada awalnya alergen yang menempel pada kulit merangsang sel mast untuk
membentuk antibodi IgE, setelah terbentuk, maka IgE berikatan dengan sel mast.
Setelah itu, pada saat terpajan untuk yang kedua kalinya, maka alergen akan
berikatan dengan igE yang sudah berikatan dengan sel mast sebelumnya. Akibat dari
17
ikatan tersebut, maka akan mengubah kestabilan dari isi sel mast yang
mengakibatkan sel mast akan mengalami degranulasi dan pada akhirnya sel mast
akan mengeluarkan histamin yang ada di dalamnya.
5.6 Pemeriksaan Penunjang :
Hb 12,2 gr/dl, leukosit 8400/mm3, hitung jenis basofil 2/6/4/52/30/6, ureum 18 mg/dL,
kreatinin 0,46 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L.
5.6.1 Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan
penunjang?
Data pada kasus Nilai normal Interpretasi
Hb 12,2 gr/dL 12 – 14 gr/dL Normal
Leukosit 8.400/mm3 5.000-10.000/mm3 Normal
Diff. Count
- Basofil
- Eosinofil
- Neutrofil batang
- Neutrofil segmen
- Monosit
- Limfosit
2
6
4
52
30
6
0-1
1-3
2-6
50-70
20-40
2-8
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Normal
Normal
Ureum 18 mg/dL 15-40 mg/dL Normal
Kreatinin 0.46 mg/dL 0,5-1,5 mg/dL Normal
Na 144 mEq/L 135-153 mEq/L Normal
Kalium 4,2 mEq/L 3,5-5,1 mEq/L Normal
Basophilia dan Eosinophilia
Pada reaksi anafilaksis, untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai
pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan
reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
18
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan
yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Adanya peran basofil inilah yang menyebabkan basofil meningkat (basophilia).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor
kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Akibat peran eosinofil diperlukan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I
eosinophilia.
6. TEMPLATE
6.1 How to Diagnose
Anamnesis: Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat
hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit), timbul biduran mendadak, gatal dikulit,
suara parau sesak, sukar nafas, lemas, pusing, mual, muntah, sakit perut setelah terpapar
sesuatu.
Diagnostik fisik:
- Keadaan umum: baik sampai buruk
- Kesadaran: compos mentis sampai koma
- Tensi: hipotensi, nadi: takikardi, nafas: takipneu
- Kepala dan leher: cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi, edema periorbita,
perioral, rhinitis
- Thorax: aritmia sampai arrest, pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing
- Abdomen: nyeri tekan, BU meningkat
- Ekstremitas: urtikaria, edema ekstremitas
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah 19
tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-
immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun
memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu
dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal
yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena
mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun
uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah,
elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,
elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran
Sistem Gejala dan tanda
Umum
Prodormal
Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut,
rasa gatal di hidung dan palatum
Pernafasan
Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat
Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak nafas,
stridor, edema, spasme
Lidah Edema
Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskula
r
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,
hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan
EKG: gelombang T datar, terbalik, atau
tanda – tanda infark miokard.
Gastro
intestinal
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang
kadang – kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi
20
Kulit Urtika, angioedema, di bibir, muka atau
eksremitas
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan saraf
pusat
Gelisah, kejang
1. Reaksi lokal: biasanya hanya urtikaria dan edema setempat, tidak fatal.
2. Reaksi sitemik: biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, sistem kardiovaskular,
gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut timbul segera atau 30 menit setelah
terpapar antigen.
a. Ringan: mata bengkak, hidung tersumbat, gatal – gatal di kulit dan mukosa,
bersin – bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen
b. Sedang: gejalanya lebih berat selain gejala diatas didapatkan bronkospasme,
edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah terpapar
antigen.
c. Berat: terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala seperti reaksi
tersebut diatas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edema laring, stridor,
sesak nafas, sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-
muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma. Kematian
disebabkan oleh edema laring dan aritmia jantung.
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2
organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu
menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.
1. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-
duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari
respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia).
21
2. Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak
nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya
nyeri abdominal, kram, muntah).
3. Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
allergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah
(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
6.2 Diagnosis Kerja
Seorang wanita 30 tahun mengalami reaksi anafilaktik tipe moderate akibat alergi obat
amoksisilin.
6.3 Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang dapat meyerupai reaksi anaflaksis yaitu reaksi vasovagal,
infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema herediter.
Reaksi Reaksi Vasovagal Reaksi Hipoglikemik Sindrom Angiodema
22
Anafilaksis Neurotik Herediter
Lesu, lemah, rasa
tak enak yang
sukar dilukiskan,
rasa tak enak di
dada, di perut.
Pernafasan :
Sesak napas,
stridor,edema,
spasme
Lidah : edema
Gastrointestinal:
Disfagia, mual,
muntah, kolik,
diare yang kadang-
kadang disertai
darah.
Kulit:
Urtikaria,
angiodema,dll
Reaksi Vasovagal
sering dijumpai setelah
pasien mendapat
suntikan. Pasien tampak
mau pingsan, pucat dan
berkeringat.
Nadi lambat dan tidak
terjadi sianosis
Tekanan darah turun,
tetapi tidak terlalu
rendah.
Pasien tampak lemah,
pucat, berkeringat
sampai tak sadar.
Tekanan darah kadang-
kadang menurun.
Tidak dijumpai tanda-
tanda obstruksi saluran
napas.
Pemeriksaan kadar gula
darah dan pemberian
terapi glukosa
menyokong diagnosis
reaksi hipoglikemik
Menyerupai anafilaksis.
Sindrom ini ditandai
dengan angiodema
saluran napas bagian atas
dan sering dijumpai kolik
abdomen.
Tidak dijumpai kelainan
kulit atau kolaps
vaskuler.
Ada riwayat keluarga
yang mempunyai
sindroma ini disertai
penurunan kadar C1
esterase mendukung
adanya sindrom
angiodema
neuroherediter
6.4 Epidemiologi
Anafilaksis jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 5000 kematian
terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin.
Penisislin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002 % pemakaian. Penyebab reaksi
anafilaktoid yang tersering lainnya adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan
radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan
reaksi yang fatal terjadi antara 1:10.000 dan 1:50.000 prosedur intravena. Kasus
kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.
23
6.5 Etiologi
Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa
asing. Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga,
makanan, dan obat-obatan. Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan
dewasa muda. Obat-obatan dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang
sering ditemukan pada orang dewasa yang lebih tua. Olahraga atau suhu (panas atau
dingin) dapat juga memicu anafilaksis dengan membuat sel tertentu (yang dikenal
sebagai sel mast) melepaskan senyawa kimia yang memulai reaksi alergi.Anafilaksis
karena berolahraga biasanya juga berkaitan dengan asupan makanan tertentu. Bila
anafilaksis timbul saat seseorang sedang dianestesi (dibius), penyebab tersering adalah
obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk memberikan efek melumpuhkan (obat
penghambat saraf otot), antibiotik, dan lateks. Pada 32-50% kasus, penyebabnya tidak
diketahui (anafilaksis idiopatik).
Secara singkat, etiologi terjadinya reaksi anafilaktik sebagai berikut:
1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti: Insulin, vasopressin,
paratohormone
2. Enzim: Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase
3. Bahan-bahan tumbuhan: Alang-alang, rumput, pohon
4. Bahan-bahan bukan tumbuhan: Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba
laboratorium
5. Makanan: Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada
kapsul
6. Antiserum: Antilimsofitik Gamma Globulin
7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan: Bahan latex karet
8. Racun serangga: Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet
10. Golongan protamin dan antibiotika: Golongan Penisilin, amfotericin B,
nitrofurantoin, golongan kuinolon
11. Anastesi lokal: Prokain, lidokain
12. Relaksan otot: Suxamethonium, gallamine, pancuronium
13. Vitamin: Thiamin, asam folat
14. Agen untuk diagnostik: Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan: Etilen oksida
6.6 Patofisiologi
24
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig
E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita.
25
6.7 Penatalaksanaan dan Tindakan Preventif
Terapi Syok Anafilaksis
1. Penderita langsung dibaringkan.
2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.
3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi
kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi
dengan Dextrosa 5%.
4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,1 – 0,3 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,
ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.
5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10.000
6. Bisa diberikan obat alternatif seperti:
26
a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama
20menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.
b. Kortikosteroid/hidrokortison, IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.
c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang efektif
terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.
Profilaksis/Pencegahan Syok Anafilaksis
Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian
obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat
kita lakukan, antara lain:
1. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaksis.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita
tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan
mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta adanya alat –alat
bantu resusitasi kegawatan.
6.8 Komplikasi
Komplikasi pada kasus ini yaitu dapat berakibat sampai kematian akibat obstruksi jalan
napas dan/atau syok. Kerusakan otak dan gangguan jantung juga dapat terjadi pada
kasus syok anafilaktik.
6.9 Prognosis
Quo ad Vitam: dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam: dubia ad bonam
Apabila ditangani secara cepat dan tepat, maka prognosisnya akan baik.
27
6.10 Kompetensi Dokter Umum
Pada kasus reaksi anafilaktik kompetensi dokter umum mencapai 4A.
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus
dokter.
28
7. TOPIK PEMBELAJARAN (LEARNING ISSUES)
7.1 Reaksi Hipersensitivitas
7.2 Reaksi Anafilaktik
8. SINTESIS
8.1 Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe
reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi sendiri-
sendiri, tetapi di dalam klinik dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
I Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibodi IgE à
pelepasan amino vasoaktif dan mediator
Anafilaksis, beberapa
bentuk asma bronkial
29
lain dari basofil dan sel mast à rekrutmen
sel radang lain
II Antibodi terhadap
Antigen Jaringan
Tertentu
IgG atau IgM berikatan dengan antigen
pada permukaan sel à fagositosis sel target
atau lisis sel target oleh komplemen atau
sitotosisitas yang diperantarai oleh sel
yang bergantung antibody
Anemia hemolitik
autoimun,
eritroblastosis fetalis,
penyakit Goodpasture,
pemfigus vulgaris
III Penyakit
Kompleks Imun
Kompleks antigen-antibodi à
mengaktifkan komplemen à menarik
perhatian nenutrofil à pelepasan enzim
lisosom, radikal bebas oksigen, dan lain-
lain
Reahsi Arthua, serum
sickness, lupus
eritematosus sistemik,
bentuk tertentu
glomerulonefritis akut
IV Hipersensitivitas
Selular (Lambat)Limfosit T tersensitisasi à pelepasan
sitokin dan sitotoksisitas yang
Tuberkulosis, dermatitis kontak,
diperantarai oleh sel T
penolakan transplan
Reaksi Tipe I atau Reaksi Cepat
Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anfilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai
reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kali
digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi
kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih.
Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh fagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel
Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE akan diikat
oleh sel yang memiliki reseptor untuk IgE (Fce-R) seperti sel mast, basofil dan eosinofil. Bila tubuh
terpajan ulang dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat IgE (spesifik) pada
permukaan sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan
berbagai mediator antara lain histamin yang didapat dalam granul-granul sel dan menimbulkan
gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
30
Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial,
rinitis, urtikaria dan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostagladin dan
leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari
reaksi tipe I yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.
Reaksi Tipe II atau Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk antiobdi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Ikatan antibody dengan antigen yang
merupakan bagian dari sel pejamu tersebut dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis.
Lisis sel dapat pula terjadi melalui sensitasi sel NK sebagai efektor Antibody Dependent Cell
Cytotoxicity (ADCC). Contoh reaksi tipe II adalh destruksi sel darah merah akibat reaksi transfuse
dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan
jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan
melalui mekanisme reaksi tipe II.
Reaksi tipe III (Reaksi Kompleks – Toksik)
Pada reaksi ini, maka antigen maupun antibodinya berada dalam keadaan bebas di dalam sirkulasi
darah. Apabila keduanya bereaksi akan timbul suatu kompleksium. Reaksi tipe III ini atau reaksi
kompleks – toksik tidak lain adalah reaksi alergik yang timbul sebagai manifestasi terbentuknya
kompleksium antara antigen dengan antibodi (IgG atau IgM), serta terjadinya aktivasi komplemen,
dan kompleks ini membentuk deposit di jaringan tubuh, reaksi ini disebut Phenomena Arthus.
Reaksi tipe IV (Reaksi Selular)
Reaksi ini terjadi oleh karena sel limfosit yang tersensitasi bereaksi secara spesifik dengan antigen
tertentu sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi inflitrasi limfosit dan monosit
(makrofag) serta membentuk indurasi jaringan pada daerah tempat antigen tersebut. Respon
terhadap tes kulit ini antara 24-48 jam.
Gambaran Umum Reaksi Alergi Obat
Obat sebagai Imunogen (Reaksi Cepat-IgE)
31
Alergi obat merupakan 40 % dari reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction). Pada
umumnya obat memiliki berat molekul (BM) < 1 kDa sehingga tidak merupakan antigen lengkap.
Penisilin dengan BM sekitar 300, in vivo (sebagai hapten) akan segera diikat oleh protein carrier
seperti imunoglogulin sehingga merupakan imunogen yang mampu merangsang sistem imun dan
mengakibatkan reaksi alergi. Beberapa obat lain memiliki BM tinggi dan dengan sendirinya sudah
merupakan imunogen tanpa harus diikat terlebih dahulu oleh protein carrier misalnya Streptokinase,
Insulin, Chymopapain, dan Lasparaginase.
Reaksi alergi obat seperti reaksi alergi pada umumnya, terjadi melalui IgE (spesifik). Pada orang
alergi IgE tersebut ditemukan bebas dalam serum dan juga pada permukaan sel mastosit yang
mengikatnya melalui reseptor untuk IgE. Sel mastosit ditemukan di kulit saluran nafas dan saluran
cerna. Imunoglobulin E dapat diperiksa pada sel mastosit dikulit tersebut dengan tes kulit dan IgE
dalam serum melalui berbagai cara (ELISA dan RAST). Pada alergi obat seperti hal penisilin, tes
kulit dapat digunakan.
Sel mastosit yang sudah mengikat IgE pada permukaannya menjadi reaktif (tersensitasi) dan akan
mudah dirangsang bila terpapar ulang dengan alergi yang sama. Akibat ikatan tersebut, sel mastosit
melepaskan mediator – mediatornya yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi
hipersensitivitas tipe I menurut GELL dan COMBS.
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE kemudian diikat oleh
sel mastosit / basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama,
maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mastosit. Akibat
ikatan antigen IgE, sel mastosit yang mengalami degranulasi dan melepas mediator yang
”Prefomed” antara lain histamin yang menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Reaksi Cepat Non-IgE
Sel mastosit dapat pula melepaskan mediator – mediatornya tanpa harus disensitasi terlebih dahulu
oleh antigen. Reaksi tersebut disebut reaksi cepat non IgE / tanpa bantuan IgE yang disebut reaksi
anafilaktoid atau pseudo – alergi. Berbagai obat dan faktor dapat merangsang sel mast langsung
atau tidak langsung untuk melepas mediator – mediatornya dan menimbulkan gejala seperti alergi.
Contoh – contoh :
Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor
Antagonis cyclooxygenase lain
32
Aspirin
Imunoglobulin
Iron dextran
Kontras
Opiat
Plasma
Protamin
Trombosit
Vancomycin
Pada reaksi aspirin, asam arakinoid dimetabolisir melalui jalur 5 – lypoxygenase sehingga terbentuk
leukotrin LTD 4 dengan sifat bronkokonstriktor. Kebenaran teori tersebut ditunjang oleh fakta
bahwa reaksi aspirin yang dapat menimbulkan gejala saluran nafas, hidung, kulit dan saluran cerna
dapat dicegah oleh zileuton yang merupakan inhibitor dari 5 – lypoxygenase.
8.2 Reaksi Anafilaktik
Definisi
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE
(hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri yang menurun hebat.
Hal ini disebabkan oleh adanya suatu Reaksi Antigen-Antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen yang sensitif untuk seseorang telah masuk dalam sirkulasi.
Secara harafiah, anafilaktik berasal dari kata ana = balik; phylaxis = perlindungan. Dalam
hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan,
dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis = anaphylaxis). Istilah ini
pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier pada tahun 1902 untuk menerangkan
terjadinya renjatan yang disusul dengan kematian pada anjing yang disuntik bisa anemon
laut. Pada suntikan pertama tidak terjadi reaksi, tetapi pada suntikan berikutnya sesudah
beberapa hari terjadi reaksi sistemik yang berakhir dengan kematian.
33
Renjatan anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi anafilaktik yang berat dengan
tanda-tanda kolaps vaskular dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi ini terjadi
akibat pengeluaran mediator mastosit jaringan atau basofil darah perifer yang
mengakibatkan vasodilatasi umum pembuluh darah perifer dan peningkatan permeabilitas.
Akibatnya terjadi kebocoran cairan ke jaringan sehingga volume darah efektif menurun,
disamping hipoksemia dan disfungsi ventrikel.
Reaksi anafilaktik terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi oleh IgE
spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini dapat diperberat dan
diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh sel-sel radang yang tertarik ke
lokasi reaksi. Reaksi anafilaktik timbulnya tiba-tiba, tidak terduga dan potensial mematikan,
serta memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu harus dimengerti dan
selalu diwaspadai.
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu :
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen.
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan
alergen.
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi > 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Etiologi Syok Anafilaksis
Banyak material yang dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaksis, yaitu :
1. Protein heterolog dalam bentuk hormon seperti : Insulin, vasopressin, paratohormone
2. Enzim : Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase
3. Bahan-bahan tumbuhan :Alang-alang, rumput, pohon
4. Bahan-bahan bukan tumbuhan : Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba
laboratorium
5. Makanan : Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul
6. Antiserum : Antilimsofitik Gamma Globulin
7. Protein yang berhubungan dengan pekerjaan : Bahan latex karet
8. Racun serangga : Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
9. Polisakarida seperti dextram dan thiomerosal pada bahan pengawet
10. Golongan protamin dan antibiotika : Golongan Penisilin, amfotericin B,
nitrofurantoin, golongan kuinolon
11. Anastesi lokal : Prokain, lidokain
12. Relaksan otot : Suxamethonium, gallamine, pancuronium
34
13. Vitamin : Thiamin, asam folat
14. Agen untuk diagnostik : Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
15. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan : Etilen oksida
Dengan melihat ada begitu banyak alergen yang dapat menyebabkan atau mencetuskan syok
anafilaksis, maka dari itu, khusus untuk pemberian terapi (obat-obatan) sebaiknya dilakukan
’skin test’ terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis tersebut. Teknik
pelaksanaan skin test, antara lain :
a. Fiksasi daerah follar antebrachi
b. Suntikkan 0,02 ml intra-kutan, obat yang akan digunakan dalam pengobatan
nantinya
c. Lalu buat lingkaran dengan diameter ± 2 cm mengelilingi daerah suntikan
d. Tunggu ± 15 menit untuk melihat apakah terjadi pembesaran melebihi daerah
lingkaran yang dibuat (dianggap dapat mengkibatkan anafilaksis bila lingkaran
kemerahan akibat suntikan mencapai 1 inci = 2,54 cm)
Patogenesis
Berbagai manifestasi klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik
pada umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/ basofil baik yang timbul
segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan ( sesudah
beberapa jam).
Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya, mekanismenya
dapat melalui reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis). Pada pajanan alergen,
alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti makrofag, sel dendritik, sel
langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa
sitokin ke sel T-Helper melalui MHC kelas II. Sel T-Helper kemudian aktif dan
mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan peralihan
menjadi sel plasma yg kemudian menghasilkan antibodi termasuki IgE lalu melekat pada
permukaan basofil, mastosit dan sel B sendiri. Apabila di kemudian hari terjadi pajanan
ulang dengan alergen yang sama maka alergen itu akan ditangkap oleh IgE terutama yang
melekat pada mastosit/basofil, ikatan alergen dengan IgE spesifiknya ini akan merangsang
mastosit/basofil mengeluarkan mediator, baik yang segera maupun yang lambat. Mediator
tersebut menyebabkan dilatasi venula, peningkatan permeabilitas kapiler, bronkospasme,
kontraksi otot polos dan dilatasi arteriol sehingga timbul manifestasi klinik reaksi anafilaktik
berupa urtikaria, angioedema, edema laring, asma, mual/muntah, kram usus, dan renjatan
35
yang bisa menyebabkan kematian tiba-tiba. Reaksi inilah yang sebenarnya disebut reaksi
anafilaktik.
Gambaran klinik
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas
dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan
alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat
dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan
ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Gejala yang timbul pada organ ialah :
- Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat
dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih
bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah,
vena perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume
efektif plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat
ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
- Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk , sesak,
mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema
dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing
dispnea, dan kegagalan pernafasan.
- Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,
diare.
- Kulit : Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
- Mata : Gatal , lakrimasi, merah, bengkak.
- Susunan saraf pusat : Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
- Sistem saluran kencing : Produksi urin berkurang.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
36
Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok Anafilaksis
masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut :
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema
jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
c. Parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama
seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah
bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Secara sederhana gajala & tanda syok anafilaktik tertera pada tabel dibawah ini :
Tanda dan gejala Keterangan
Tekanan darah Turun sampai sangat turun
Tekanan nadi Turun sampai sangat turun
Denyut nadi Meningkat sampai sangat meningkat
Isi nadi Normal atau kecil
Vasokonstriksi perifer Meningkat
Suhu kulit Dingin
Warna Normal atau pucat
Tekanan vena sentral Normal atau rendah
Diuresis Tidak ada
EKG Normal
Foto paru Normal
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1. Reaksi vasovagal
37
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas
dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa
menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi
ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan
makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di
udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.
Terapi Syok Anafilaksis
38
1. Penderita langsung dibaringkan.
2. Pemberian oksigen dimana dapat dipertimbangkan intubasi endotrakheal.
3. Diberikan larutan salin (cairan IVFD Ringer Laktat atau NaCl 0,9%) untuk mengisi
kekurangan cairan pada pembuluh darah yang melebar. Juga ditambahkan nutrisi dengan
Dextrosa 5%.
4. Diberikan suntikan adrenalin IM/SK 0,3 – 0,5 ml larutan 1:1000 bila keadaan ringan,
ulangi setiap 5 – 10 menit bila keadaan parah.
5. Dapat juga diberikan adrenalin secara IV yaitu 3 – 5 ml IV larutan 1 : 10.000
6. Bisa diberikan obat alternatif seperti :
a. Aminofilin bila ada bronkospasme dengan dosis 5 – 6 mg/kg perinfus selama
20 menit dan dilanjutkan 0,4 – 0,9 mg/kg/jam.
b. Kortikosteroid/hidrokortison , IV 100-200 mg untuk mencegah relaps.
c. Antihistamin IV seperi difenhidramin 50 – 100 mg IM/IV, namun kurang
efektif terlebih apabila penanganan syok sudah teratasi.
Profilaksis Syok Anafilaksis
Pencegahan syok anafilaksis merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat,
tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita
lakukan, antara lain:
4. Pemberian obat harus benar – benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
5. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaksis.
6. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat – obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
7. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anfilaksis atau anafilaktoid serta adanya alat –alat bantu
resusitasi kegawatan.
39
9. KERANGKA KONSEP
10. KESIMPULAN
Wanita 30 tahun, karyawan swasta diduga mengalami reaksi anafilaktik tipe moderate akibat obat
alergi amoksisilin.
40
Riwayat pemakaian amoxicilin
Kompleks IgE pada sel Mast/Basofil
Penggunaan amoksisilin dan paracetamol
Faktor Resiko wanita, usia, riwayat atopi personal/keluarga
Reaksi silang Ag-Ab
Pelepasan granul sel mast dan basofil
Pelepasan mediator vasoaktif (performed mediator) : histamine, ECF-A,NCF-A , TNF-a dll
Degradasi asam arakidonat dari membran sel
Terbentuk newly formed mediator (PG, leukotrien, tromboksen)
Reaksi Anafilaksis
Gejala klinis: sesak napas, wheezing, tachipneu, takikardi,
diare, batuk, bising usus meningkat, urtikaria.
DAFTAR PUSTAKA
1. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. IV. Jakarta: FKUI.
2. Baratawidjaja, Karnen G. dkk. 2014. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Dorland, W. A.Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
4. HauptMT, Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care. Eds : Ake
Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders companyPhiladelpia-
Tokyo.pp246-56
5. Jalal, E. A. 1998. Mast cell konsep baru tentang ciri morfologik dan fungsinya. Jurnal Kedokteran
Yarsi. 6 ( 3 ): 28 – 40.
6. Jeren, M. 1995. Tinjauan pustaka patogenesis dan mediator kimia pada rinitis alergi. Maj. Kedokter
Diponegoro. 1 & 2 : 119 – 27.
7. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International edition
Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-
Toronto.pp 242-6
8. Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2000. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: EGC
9. Panduan Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI Jakarta 2000, 17-18.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
11. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC.
12. Rab, Prof.Dr. H tabrani. Pengatasan shock, EGC Jakarta 2000, 153-161.
13. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on Shock.Pertemuan
Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
14. Djauzi S., Sundaru H., Mahdi D., Sukmana N. 2007. Alergi Obat. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 251-4
15. Istiantoro Y.H. dan Gan V.H.S. 2007. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya.
Dalam Gunawan S.G. Farmakologi dan Terapi Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 664; 670-1
16. Purwadianto A., Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara. Pp: 47-
9; 56-7
41
17. Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Pp: 190-2
42